OBYEKTIVITAS BERITA PEMILU TIMOR LESTEDI SURAT KABAR NASIONAL TIMOR LESTE
Oleh:D. DWIKORI SITARESMI
A. Latar Belakang Masalah
Timor Leste, negara baru yang merupakan bekas propinsi Republik Indonesia
yang ke 27 pada bulan April & Juli 2007 menyelenggarakan pemilihan umum yang
kedua. Pemilu yang bertujuan memilih presiden dan parlemen kali ini
diselenggarakan oleh pemerintah Timor Leste sendiri, sedang pemilu pertama pada
tahun 2001 diselenggarakan oleh The United Nation (UN). Pemilihan presiden yang
diikuti oleh 8 kandidat presiden ini harus diselenggarakan dalam dua putaran karena
pada putaran pertama tidak memenuhi syarat mayoritas, sebagaimana yang
diharuskan dalam sistem pemilu mayoritas sederhana yang dianut oleh negara baru
ini. Meskipun berlangsung dalam dua putaran, pemilihan presiden yang dilaksanakan
pada tanggal 9 April dan 9 Mei 2007 (Kompas, 10 Mei 2007) dan berhasil memilih
Ramos Horta ini berlangsung relatif aman dan damai, meski ada beberapa insiden
kecil mewarnainya. Begitu pula yang terjadi saat pemilihan parlemen pada tanggal
30 Juni 2007, berlangsung lancar dan aman menurut pemantau pemilu internasional,
meski seperti pada pemilihan presiden terjadi beberapa insiden kecil yang
mewarnainya (Kompas 7 Juli 2007).
Kekerasan terjadi justru setelah pemilu, yakni saat pembentukan pemerintahan
di bawah pimpinan perdana menteri. Partai Frente Revolusinãria do Timor Leste
Independente (FRETILIN) yang memperoleh suara terbanyak dengan memenangkan
29, % suara, tidak berhasil menggandeng partai lain untuk berkoalisi guna mencapai
syarat mayoritas dalam membentuk pemerintahan, sementara Partai CNRT, yang
dibentuk oleh Xanana Gusmão dan menduduki tempat kedua dengan meraih 24,1%
suara, berhasil mengajak Partai Demokrat (PD) serta koalisi dua partai yakni Asosiasi
Demokrat Timor Leste - Partai Sosial Demokrat (ASDT-PSD), di luar partai
FRETILIN untuk berkoalisi (Kompas, Sabtu 07 Juli 2007). Para anggota partai
FRETILIN tidak bisa menerima keputusan koalisi Aliansi Mayoritas Parlemen itu
yang menghendaki Xanana Gusmão menjadi perdana menteri. Kebuntuan ini
akhirnya diselesaikan oleh Ramos Horta selaku presiden, yang dalam Undang –
Undang Dasar Timor Leste memiliki kewenangan untuk menyelesaikan kemelut
tersebut, dengan menunjuk Xanana Gusmão sebagai perdana menteri. Penunjukkan
ini menyulut kemarahan para anggota partai FRETILIN, yang merasa sebagai
pemenang pemilu namun gagal memerintah. Sebagai ungkapan kekecewaan, anggota
dan simpatisan partai FRETILIN langsung melakukan pembakaran atas rumah-rumah
penduduk bukan anggota partai FRETILIN yang berjumlah sekitar 1000 rumah.
Kekerasan terjadi sebagian besar di Distrik Viqueque, Baucau dan Covalima, 3
wilayah yang mayoritas penduduknya merupakan anggota Partai FRETILIN (Crisis
Group Asia Briefing, http://www.crisisgroup.org/library/
Di Timor Leste berita tentang pemilu ini juga sangat menarik perhatian
masyarakat karena menyangkut masa depan negera tersebut. Akankah para pemimpin
politik yang terpilih dapat membawa negara Timor Leste pada keadaan politik yang
lebih stabil, ekonomi yang lebih baik dan kesejahteraan yang semakin meningkat?
Untuk memenuhi keingintahuan masyarakat maka media massa seperti surat kabar
Suara Timor Lorosae dan Timor Post terbitan Dili dengan intens meliput acara
pemilu dari persiapan hingga perhitungan suara, juga meliput respons masyarakat atas
hasil pemilu tersebut.
Berita-berita ini tentu memiliki tingkat obyektivitas yang berbeda-beda dalam
setiap surat kabar. Masing-masing surat kabar memiliki kebijakan redaksional yang
berbeda satu sama lain, yang menyebabkan terjadinya perbedaan menyangkut isi
berita karena perbedaan penyediaan space atau kebijakan redaksional, yang
menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat obyektivitas. Maka dalam penelitian ini
peneliti ingin melihat tingkat obyektivitas surat kabar Suara Timor Lorosae serta
Timor Post dalam pemberitaannya, khususnya seputar pemilu di negara Timor Leste.
2
Sebagai sebuah wilayah baru merdeka, maka media massa yang ada juga
mengikuti perkembangan masyarakat dan pemerintahan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah tingkat obyektivitas surat kabar nasional Timor Leste: Suara
Timor Lorosae dan Timor Post edisi Maret, April, Mei, Juni dan Juli 2007 dalam
memberitakan pemilihan umum yang ke-2 Timor Leste tahun 2007.
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui tingkat obyektivitas surat kabar Suara Timor Lorosae dan
Timor Post edisi Maret, April, Mei, Juni dan Juli 2007 dalam memberitakan
pemilihan umum yang ke-2 Timor Leste tahun 2007.
D. Kerangka Pemikiran.
1. Media Massa dan Berita
Dengan berkembangnya teknologi komunikasi, semakin mudah bagi manusia
untuk memenuhi keingintahuannya tentang dunia di sekitarnya atau dunia yang asing
baginya. Keberadaan media massa yang dari hari ke hari mengalami perbaikan baik
dalam bidang teknologi maupun content-nya semakin menunjang usaha manusia
untuk memenuhi kebutuhan akan informasi tersebut, meski informasi yang
diminatinya sulit dijangkau secara fisik karena beribu-ribu kilometer jauhnya. Karena
itu benar bila dikatakan media menjadikan kita mampu merasakan kehidupan dan
budaya yang berbeda, yang sangat jauh dari tempat kita berdomisili seperti yang
dikatakan oleh Mc Luhan (Tester, 1994:86)
“the media have extended our ability to perceive and know different social and cultural arrangements in differences places. As such, to the extent that the media have expanded what we can now, the world seems to be smaller. Thanks to and trough the media we able to live in many different world and cultures at the same time, without ever leaving room. The world has come to seem like a village…..”
3
Hal ini dikarenakan media massa melaporkan kejadian dari tempat-tempat yang
berlainan, sehingga kemampuan manusia untuk mengerti kehidupan di tempat lain
sungguh dapat terjadi, seperti dikatakan Tester lebih lanjut,
“……that media play an absolutely fundamental role in developing and exacerbating this sense of living in a world of stranger precisely because newspaper report people in different places”. “Basically, newspaper reports and television pictures make us aware of people in other parts of the world. We become aware of what is happening to them. We are able to develop some kind of an awareness of what they are suffering and what they are hoping for even tough the chances are that we do not personally know any single one of them. This is another dimension of the series of relationship that Marshall McLuhan was seeking to highlight with his idea of the global village” (Tester, 1944:90).
Sementara itu Siregar menyatakan, “media massa merupakan institusi sosial
yang berorientasi kepada kepentingan khalayak untuk memenuhi hak dalam
mendapatkan informasi (right to know) dan hak untuk menyatakan pendapat (right to
expression…” (Wahyuni, 2000:54). Agar kebutuhan manusia akan informasi tersebut
dapat terselenggara dengan baik maka mau tidak mau harus ada sikap saling
membutuhkan antara audience atau khalayak dengan media dan sumber berita.
Media massa menurut Herman dan Chomsky terlibat dalam suatu interaksi
simbiosis (a symbiotic relationship), bahwa penyediaan informasi media massa
digerakkan oleh kebutuhan ekonomi (economic necessity) dan pertukaran
kepentingan (reciprocity of interest). Media membutuhkan keberlangsungan media
yang menjadi “bahan dagangannya”. Sumber berita membutuhkan media massa guna
memaparkan ide dan dirinya pada khalayak. Sementara di sisi lain khalayak
membutuhkan berita tentang kejadian di lingkungan yang “mengitarinya”. Pada titik
inilah wartawan menjadi mediator utama sebagai penghubung a symbiotic
relationship tersebut (Sulhan, 2006: 330).
Hal yang sama akan berlaku ketika surat kabar akan meliput pemilihan umum.
Para politisi akan membutuhkan media massa untuk menyampaikan ide-ide partai
maupun ide pribadi kepada khalayak. Di sisi yang lain media massa juga
4
membutuhkan politikus sebagai sumber berita yang akan menghiasi surat kabar atau
media elektronik dan new media yang berbasis internet tersebut. A symbiotic
relationship ini akan berlangsung secara berkesinambungan karena kedua-duanya
merasakan saling membutuhkan. Dengan demikian kedua belah pihak juga akan
berusaha agar hubungan yang baik terus terjalin.
Para wartawan atau jurnalis akan mengumpulkan berbagai informasi tentang
kejadian-kejadian yang berlangsung dan menuliskannya dalam bentuk berita. Berita,
menurut Siregar (2006: 250), adalah cerita tentang fakta sosial yang
direkonstruksikan untuk kemudian diceritakan. Cerita tentang fakta sosial inilah yang
kemudian ditampilkan di media massa. Motif khalayak dalam menghadapi media
massa khususnya media jurnalisme pada dasarnya adalah untuk mendapatkan fakta
sosial. Berita (newstory) menurut Brook dapat dibicarakan dalam berbagai definisi
bertolak dari nilai suatu fakta. Rumusan inilah yang menjadi standard kelayakan
berita (news-worthy). Dalam pengertian ini nilai suatu berita bersifat intrinsik,
terkandung dalam fakta itu sendiri dan bersifat ekstrinsik sesuai dengan pemaknaan
yang dilakukan oleh khalayak. Menurut Siregar, suatu fakta terikat dalam ruang dan
waktu spesifik yang dianggap memiliki nilai lebih dari proses sosial yang
berlangsung. Nilai atau pemaknaan ini dapat dilihat dari dua aspek, yaitu penting dan
menarik. Fakta dianggap penting sebagai informasi karena memenuhi kepentingan
pragmatis sosial khalayak, membawa implikasi dalam peran dan keberadaan sosial
dari khalayak (Siregar, 2006: 264).
Dalam kaitan pendefinisian, berbagai buku teks jurnalisme umumnya
memiliki kesamaan dalam merumuskan berita secara teknis, yaitu mencantumkan
konflik sebagai unsur dalam kelayakan berita. Konflik dipandang sebagai penggalan
dari proses sosial yang dianggap penting dan menarik bagi khalayak (Siregar, 2006:
265). Mengenai konflik, Joe Kelly menyebutkan
“Conflict is inevitable, often determined by structural factors in the organization or group, and an integral part of process of change. In fact, some degree of conflict is helpful. Conflict is natural part of any communication relationship. Not all conflicts have the some outcomes.
5
Generally, the outcomes of conflict can be perceived of destructive or constructive (Mayers dkk, 1980: 227-229).
Dalam pemberitaan tentang pemilu di Timor Leste tahun 2007, berbagai
konflik terjadi secara kasat mata, yang sebelumnya sudah diprediksi oleh banyak
pihak. Maka tidak mengherankan kalau media massa menaruh perhatian pada pemilu
yang diselenggarakan sendiri oleh negara baru tersebut.
Mencher (2003: 68) menyatakan berita dalam media massa mengikuti dua
general guidelines:
News is information about a break from the normal flow of events, an
interruption in the expected, a deviation from the norm.
News is information people need to make sound decisions about their lives.
Bagaimana seorang wartawan atau editor menentukan apakah suatu peristiwa
merupakan sesuatu yang tidak biasa dan apakah sebuah informasi perlu diketahui
publik menurut Mencher dengan menggunakan nilai berita sebagai tuntunan. Nilai
berita tersebut meliputi: timeliness, impact, consequence or importance, prominence
of the people involved, proximity to reader or listeners, conflict, the unusual nature of
the event, necessity ( Mencher, 2003:64).
Sedang komponen dalam sebuah berita menurut Mencher haruslah: accurate,
property attributed, complete, balance and fair, objective, brief and focus, well-
written (Mencher, 2003: 38). Ketika mengumpulkan informasi untuk menulis suatu
peristiwa menjadi berita, wartawan akan melakukan wawancara dari pihak-pihak
yang diberitakan. Seandainya ia menulis sebuah konflik antara 2 partai, maka
wawancara komprehensif akan dilakukan atas tokoh atau anggota kedua partai politik
tadi, juga terhadap saksi mata, pelaku kalau tertangkap. Inilah yang disebut coverage.
Ada pula Continuous Coverage yaitu usaha wartawan untuk terus menerus
menelusuri fakta sampai mereka merasa yakin telah memenuhi pertanyaan yang
muncul di benak pembaca. Usaha yang gigih untuk memuaskan pembaca tersebut
bisa berlangsung satu minggu (Mencher, 2003: 7). Ada dua tipe coverage yaitu one-
side coverage atau koverasi satu sisi dan two-sided or multi-sided coverage atau
6
koverasi dua atau banyak sisi. One-side coverage dapat terjadi bila berita tersebut
tidak mengandung konflik. Namun bila ada konflik maka yang dilakukan adalah
multi-sided coverage (Prajarto,dkk., 2006: 5).
Saat reporter dan jurnalis bekerja menurut Tuchman, berita-berita akan
dikategorikan ke dalam hard, soft, spot, developing dan continuing. Beberapa editor
melawankan antara hard news dan soft news. Menurut Mott, “a hard news story is
“interesting to human beings’ and a soft-news story is ‘interesting because it deals
with the life of the human beings “ (McQuail, 2004: 262). Tuchman menegaskan,
“Hard news concern important matters and soft news, interesting matters” (McQuail,
2004: 263). Tuchman mengakui sangat sulit membedakan apakah sebuah peristiwa
dikategorikan ‘important’ atau ‘interesting’. Seorang editor bisa saja menempatkan
suatu peristiwa sebagai hard news sementara editor lain menempatkannya sebagai
soft news (McQuail, 2004: 263). Kesulitan yang sama juga dijumpai ketika harus
membedakan antara spot news dan developing news. Menurut Tuchman “When they
learned of unexpected event, it was called ‘spot news’. If it took a while to learn the
‘facts’ associated with a ‘breaking story’, it was ‘developing news’ (McQuail, 2004:
263).
Klasifikasi terakhir adalah continuing news. Tuchman menyimpulkan
“continuing news is a series of stories on the same subject based upon events
occurring over a period of time” (McQuail, 2004: 263). Berbeda dengan sebelumnya,
continuing news merupakan suatu peristiwa yang terjadwal dengan rapi dan
memerlukan periode waktu yang agak lama. Contohnya: penetapan pajak oleh DPR,
kampanye pemilu dan diplomasi. Pemilihan umum di Timor Leste yang menjadi
subyek penelitian ini termasuk continuing news, karena merupakan peristiwa yang
telah dijadwalkan jauh-jauh hari sebelumnya dan juga memerlukan periode yang
tidak sebentar. Berita-berita tersebut menjadi isi utama media massa, seperti halnya
surat kabar atau koran atau pers, yang akan menjadi subyek dalam penelitian ini. Dari
segi format berita, ada dua format dasar berita yaitu hardnews (menekankan pada
nilai penting peristiwa) dan features berisi laporan mendalam dari suatu peristiwa dan
7
pendapat dari suatu peristiwa. Format berita lainnya adalah hardnews, softnews,
editorial, artikel opini dan background stories (Prajarto, dkk., 2006: 5).
Saat persiapan pemilu, partai-partai peserta pemilu melakukan kampanye
besar-besaran untuk menggaet suara pemilih. Redaksi surat kabar akan menempatkan
berita kampanye lebih banyak sebagai hardnews dari pada features karena berita-
berita tersebut yang menjadi daya tarik bagi khalayak untuk membaca surat kabar.
Pemilih yang terdidik akan memperhatikan isi kampanye dengan seksama untuk
mengetahui kebijakan partai sebelum mereka memilih. Dan kelompok pemilih seperti
ini akan menggunakan surat kabar untuk membantunya menentukan pilihan.
Dalam massa kampanye politikus akan menggunakan beberapa jenis
kampanye. Yang pertama adalah positive campaign, yaitu kampanye yang
menghindari kampanye yang bersifat menyerang partai-partai lain, dan lebih
menitikberatkan pada kebijakan partai. Kedua negative campaign, yaitu kampanye
yang bersifat menyerang. Saat berkampanye, sebuah partai akan lebih banyak
melakukan penyerangan terhadap partai lain, dan tidak menghiraukan program partai.
Yang ketiga adalah mix (positive and negative) campaign dimana selain
menyampaikan program partai juga melakukan penyerangan. Namun dari penelitian
yang dilakukan oleh Ansholabere dan Iyenger pada pemilihan di Amerika Serikat,
penggunaan negative campaign justru membuat jumlah pemilih menurun dan orang
enggan datang ke tempat pemungutan karena tiga alasan (Prajarto, 2006: 23):
1. Negative campaign melemahkan semangat pendukung kandidat yang
diserang.
2. Negative campaign membuat pemilih tidak menyukai kedua belah pihak.
3. Negative campaign menggerus rasa kewajiban dan tanggung jawab
masyarakat dan merongrong kewibawaan proses pemilihan secara
keseluruhan.
Di Indonesia pemahaman pers menurut Huges terbagi menjadi pers lokal,
regional dan nasional. Konsep pers lokal merupakan sebuah surat kabar atau koran
yang terbit di suatu daerah tertentu. Artinya kantor pusat berlokasi di daerah tersebut
8
dan mayoritas berita yang dimuat adalah berita mengenai daerah tersebut. Surat kabar
dengan kategori ini biasanya tidak dapat dibeli di daerah-daerah lain, kecuali
berlangganan. Konsep pers regional lebih mengacu pada surat kabar yang terbit di
kota (biasanya di ibukota propinsi) dan disebarkan ke daerah lain yang berada di luar
wilayah kota itu, tetapi tidak ke seluruh wilayah negara Indonesia. Pers nasional bisa
berarti surat kabar yang terbit di daerah tertentu dan disebarkan ke sebagian wilayah
negara Indonesia (Sulhan, 2006: 319).
Dilihat dari perbedaan isi beritanya, media lokal yang memiliki basis pembaca
lokal, biasanya akan membatasi diri pada wacana kedaerahan. Proporsi headline akan
lebih banyak menyangkut isu-isu lokal (Sulhan, 2006: 318). Keadaan ini dapat
tumbuh subur pasca otonomi daerah, dimana memang diharapkan daerah lebih
berperan aktif untuk menetapkan kebijaksanaan daerahnya sendiri sehingga pers
dapat lebih berperan aktif dalam membuka wawasan masyarakat. Pers regional akan
lebih menginformasikan peristiwa yang terjadi di beberapa daerah yang menjadi
jangkauannya, menjadikan isi beritanya lebih luas dibandingkan pers lokal.
Sementara pers nasional akan lebih banyak memberitakan peristiwa-peristiwa
nasional baik yang terjadi di ibukota negara maupun di daerah, yang dianggap
berskala nasional. Mengacu pada pendapat di atas, surat kabar Suara Timor Lorosae
dan Timor Post merupakan koran nasional di Timor Leste. Kedua surat kabar ini
berkantor di Dili, ibu kota Timor Leste dan mengutamakan berita nasional yang ada
di Dili maupun di distrik yang berskala nasional. Selain itu kedua surat kabar tetap
menyajikan berita-berita dari distrik.
Sebagai surat kabar nasional Timor Leste kedua surat kabar tersebut sebagian
besar menggunakan bahasa Tetum dalam menulis beritanya. Dalam undang-undang
dasarnya, bahasa Tetum ditetapkan sebagai bahasa nasional Timor Leste sementara
bahasa Portugis ditetapkan sebagai bahasa adminsitrasi. Selain bahasa Tetum, bahasa
Portugis dan Indonesia juga digunakan terutama oleh Surat Kabar Suara Timor
Lorosae yang menyadari pembacanya sebagaian besar mengerti bahasa Indonesia.
9
Selain bahasa yang digunakan, lokasi dari mana berita di dapat oleh jurnalis
merupakan hal yang patut dicermati. Selain Dili sebagai ibukota Timor Leste ada 13
distrik yang menjadi lokasi dimana berita didapatkan. Ke-13 distrik ini pada zaman
pemerintahan Indonesia merupakan 13 kabupaten. Ketika United Nations (PBB)
hadir di Timor Leste pada tahun 1999 akhir untuk membantu berdirinya pemerintahan
Timor Leste yang kokoh, tetap menggunakan pembagian yang digunakan Indonesia.
Perbedaannya hanyalah istilah distrik, untuk menggantikan istilah kabupaten.
Di samping asal berita yang membedakan setiap surat kabar, kebijaksanaan
redaksional juga menentukan perbedaan isi berita setiap surat kabar. Seperti yang
dicontohkan Siregar, sepanjang perjalanannya sebagai pemimpin redaksi surat kabar
Kompas, Jacob Oetama berusaha menumbuhkan jurnalisme “compassion”.
Keterharuan, berbelas kasih, compassion, menuntut kepekaan personal untuk mampu
terharu dalam menghadapi kehidupan pihak lain (Siregar, 2006: 263).
Berbagai perbedaan yang menyangkut tentang penulisan berita akan
memperlihatkan perbedaan kualitas informasi dari setiap surat kabar. Menurut
McQuail, salah satu konsep yang paling yang paling dekat untuk melihat kualitas
informasi adalah dari segi obyektivitas (McQuail, 2000: 172).
2. Obyektivitas media
Obyektivitas merupakan bentuk profesionalitas yang ideal untuk mencapai
sebuah tujuan, menghendaki skill yang merata, dimana segala usaha tidak hanya
dilakukan oleh perorangan, tetapi oleh keseluruhan organisasi media massa tersebut
(McQuail, 1992: 184). Dengan kata lain, untuk mencapai penyajian informasi yang
berkualitas, insan media seperti wartawan tidak dapat melakukan upaya tersebut
sendirian, tetapi harus didukung oleh organisasi media seperti editor, juga staf
pimpinan media yang bersangkutan.
Obyektivitas sendiri merupakan bentuk khusus dari praktisi media dan juga
sikap khusus dari tugas pengumpulan, proses dan penyebaran informasi. Yang utama
adalah pengadopsian sebuah posisi tidak dipengaruhi siapapun dan tidak memihak
10
salah satu pihak yang menjadi obyek dalam pemberitaan. Hal ini berarti sungguh
lepas dari unsur subyektivitas atau adanya unsur individu yang melingkupinya. Yang
kedua adalah mengurangi partisanship, tidak memihak atau tidak menunjukkkan bias.
Ketiga, obyektivitas menghendaki strict attachment agar akurat dan kriteria
kebenaran yang lainnya (seperti relevance dan completeness). Obyektivitas juga
mengasumsikan sedikitnya maksud tersembunyi atau melayani sebuah partai politik
tertentu. Proses pengamatan dan reporting sebaiknya tidak terkontaminasi oleh unsur
subyektivitas atau tidak terpengaruh oleh realitas yang dilaporkan (McQuails, 1993,
172).
Pernyataan yang lebih mendetail tentang obyektivitas dilakukan oleh Boyar,
yang menyajikan satu set pernyataan tentang arti obyektivitas dalam enam elemen
utama (McQuail 1992: 184-185):
Balance and even-handedness in presenting different side of an issue Accuracy and realism of reporting Presentastion of all main relevant points Separation of facts from opinion, but treating opinion as relevant Minimizing the influence of the writer’s own attitude, opinion or involvment Avoiding slant, rancour or devious purpuse
Sedang Roshco menyebutkan keuntungan obyektivitas bagi jurnalisme dan
organisasi berita sebagai pemberi arah yang jelas untuk meneliti dan
mempertanggungjawabkan isi. Penekanan lebih pada tehnik daripada substansi,
melindungi reporter dari bias (McQuail, 1992:185).
Model yang paling mendekati obyektivitas yang ideal adalah model yang dibuat
oleh Westersthãl, yang mengadopsi peraturan penyiaran di Swedia, meski
menghindari istilah obyektivitas yang menghendaki ketidakberpihakan. Secara
umum Rosenger membagi model tersebut kedalam dua dimensi, yakni dimensi
kognitif dan dimensi evaluatif.
Garis besar model Westerthãl adalah:
11
Yang meliputi dimensi kognitif adalah aspek faktuality, sementaran dimensi evaluatif
adalah aspek impartiality (McQuail 1992: 196-197).
McQuail menjabarkan bahwa aspek kognitif berita sangat terkait dengan
faktualitas (factuality). Faktualitas diartikan sebagai kualitas informasi yang
dikandung oleh suatu berita, sedangkan kriteria kualitas informasi adalah potensial
bagi audiens untuk belajar tentang realitas (Dewan Pers, 2006:9-10). Faktualitas
memiliki tiga aspek utama yaitu truth (kebenaran), informativeness dan relevance.
McQuail membagi kebenaran menjadi tiga subaspek yaitu factualness, accurate dan
completeness.
Informativness berkaitan dengan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi
kualitas pemahaman dan pembelajaran tentang peristiwa yang terjadi, manusia
ataupun benda, sedangkan aspek relevance berkaitan dengan standar kualitas proses
seleksi berita. McQuail memberikan empat acuan untuk menentukan standar aspek
relevance yaitu teori normatif, praktik jurnalistik, audience dan dunia nyata.
OBYEKTIVITAS
FACTUALITYIMPARTIALITY
Truth Relevance Balance Neutral
12
Informativness
Dalam penelitian Wasterhãl tahun 1983, aspek evaluatif berkaitan dengan
impartiality (ketidakberpihakan) (McQuail, 1992: 196). Dalam suatu penelitian yang
dimaksud, keberpihakan adalah teks berita secara sistematis yang menonjolkan satu
sisi di atas yang lain ketika berkenaan dengan isu kontroversial dengan tujuan
mengarahkan pembaca secara konsisten ke arah tertentu.
McQuail membedakan aspek evaluatif menjadi dua, yaitu balance dan
netralitas. Balance berhubungan dengan seleksi atau penghilangan fakta-fakta yang
mengandung nilai atau expression point of view, sedangkan netralitas berhubungan
dengan presentasi fakta itu sendiri.yang dapat dievaluasi dari penggunaan kata-kata,
citra dan frame of reference yang bersifat evaluatif dan juga penggunaan gaya
presentasi yang berbeda. Meski keduanya sulit dibedakan namun untuk lebih jelas
McQuail menambahkan bahwa untuk meneliti balance kita perlu mencari denotasi,
sedangkan dalam meneliti netralitas kita perlu mencari konotasi (Dewan Pers, 2006:
11).
Dalam penelitian ini, dimana tingkat obyektivitas pemberitaan surat kabar
akan diteliti, penulis menggunakan unit analisis yang telah diolah oleh McQuail.
a. Factualness
Factualness dapat dipahami sebagai derajad kefaktualan suatu berita. Derajad
kefaktualan sebuah berita sangat erat kaitannya dengan derajad atau tingkatan
korespondensi antara berita dengan fakta atau antara teks dengan realitas yang terjadi
(McQuail 1992: 205).
Factualitas terdiri dari empat indikator utama: main point, nilai informasi,
readability, checkability. Main point diukur berdasarkan letak dan jenisnya. Letak
main point bisa di awal, di tengah atau di akhir dan di awal-di akhir teks berita.
Penilaian positif hanya diberikan kepada berita yang memiliki main point di bagian
awal teks berita.
Nilai informasi penting karena berhubungan dengan tingkat ketidakpastian.
Semakin tinggi nilai informasi sebuah berita, maka semakin rendah tingkat
ketidakpastiannya (McQuail 1992:206). Nilai informasi sebuah berita diukur
13
berdasarkan: density, breath, depth. Density diartikan sebagai kepadatan informasi.
Pengertian density adalah proporsi semua point yang relevan yang disajikan, yaitu
fakta. Maka density meneliti jumlah fakta yang relevan yang tersaji dalam teks berita.
Breadth dapat diartikan sebagai keluasan informasi, yakni jumlah point yang berbeda
sebagai proporsi keseluruhan yang mungkin (McQuail, 1992: 206). Atau dapat
dijabarkan dengan keragaman informasi, yakni jumlah perbedaan informasi atau
sumber fakta yang tersaji dalam teks berita. Depth diartikan sebagai kedalaman
informasi, berupa jumlah fakta dan motif yang menyertai dan membantu
menerangkan maksud pokok (McQuail 1992:2006).
Factualness dapat dilihat pula dari dimensi readability atau bisa dimaksudkan
sebagai kekayaan informasi. Pengukuran kekayaan infromasi sangat berhubungan
dengan hal sebaliknya yaitu redudancy. Yang dimaksud dengan redudancy adalah
pengulangan atau penggunaan singkatan atau istilah khusus dalam teks berita yang
tidak disertai dengan penjelasan dari istilah tersebut sehingga dapat membingungkan
pembaca.
Checkability untuk mengukur factualness yang ketiga merupakan tingkatan
atau derajad dimana fakta yang ditampilkan dapat diperiksa atau didukung oleh
sumber yang bernama disertai bukti-bukti pendukung yang relevan, seperti sumber
yang jelas dan tidak menggunakan nara sumber anonim (Dewan Pers, 2006: 15 ).
b. Akurasi.
Akurasi merupakan dimensi yang sangat penting bagi surat kabar karena
akurasi dapat menunjukkan kualitas sebuah berita. Selain itu akurasi sangat penting
bagi subyek berita dimana reputasi dan kepentingannya dipertaruhkan oleh
pemberitaan. Akurasi juga berhubungan dengan kredibilitas surat kabar di mata
pembacanya. Akurasi diukur dengan menggunakan dimensi-dimensi: verifikasi
terhadap fakta, relevansi sumber berita, akurasi penyajian. Verifikasi terhadap fakta
menyangkut sejauh mana berita yang ditampilkan berkorespondensi dengan fakta
yang benar-benar terjadi di lapangan (McQuail, 1992: 207).
14
Relevansi sumber berita menyangkut kompetensi sumber berita sebagai
sumber fakta. Dijadikannya sumber berita yang relevan seperti pelaku, saksi peristiwa
atau ahli sangat penting bagi aspek akurasi sebuah pemberitaan. Sumber berita juga
berguna untuk melakukan cek dan ricek dalam praktik jurnalistik yang lazim.Selain
adanya sumber berita, penting juga untuk melakukan pengklarifikasian terhadap
sumber berita berdasarkan kategori-kategori tertentu. Ada empat tipe dasar sumber
berita yang biasa dipakai untuk mengidentifikasi sumber berita meskipun sering kali
yang muncul adalah penggabungan dari keempat bentuk dasar yaitu, sumber berita
formal (dari unsur pemerintah), laporan tangan pertama (wartawan dan saksi
peristiwa), sumber berita dari pihak non formal (perusahaan, partai politik atau pihak
bukan unsur pemerintah) dan leak atau bocoran (Prajarto dkk., 2006: 6).
Komponen aspek akurasi yang terakhir adalah akurasi penyajian, yang lebih
berkaitan dengan hal-hal teknis semacam konsistensi penulisan berita seperti ejaan
kata, tanda baca dan kesesuaian antara judul dengan isi berita (Dewan Pers, 2006 :
17).
Betapa pentingnya judul sebuah berita diungkapkan oleh Hutchison dkk, “The
headline’shandful of words can influence a reader about whether or not to read the
first few paragraph of the article. The headline is the first key decision point for the
news paper reader (Hutchison, 1986: 130). Pentingnya judul untuk menarik pembaca
surat kabar juga dikatakan oleh Reach “The headline is a unique type of text....It
should, in theory, encapsulate the story in a minimum number of words, attracct the
reader to the story and, if it appears on the front page, attract the reader to the
paper” (Reah, 2002: 231 ).
Namun dalam kenyataan banyak surat kabar yang tidak mengindahkan betapa
pentingnya sebuah judul bagi pembacanya. Dari hasil penelitian Dewan Pers
terungkap bahwa dalam upayanya untuk meraih pembaca yang luas, nampak
kecenderungan pers menerapkan teknik penyajian judul berita yang sensasional,
menggemparkan dan menakutkan. Teknik ini menghasilkan judul berita yang disebut
15
scare headline. Selain itu judul berita terkadang hanya didasarkan pada opini
wartawan sehingga bersifat evaluatif, subjektif, konklusif dan tidak faktual.
Seringkali judul berita demikian menimbulkan kekecewaan bagi pembacanya karena
tidak sesuai dengan isi beritanya (Rahayu, 2006: 2). Selain kesesuain antara judul
dengan teks berita, dalam akurasi diperlukan juga tingkat kesesuaian antara foto
dengan teks berita ( McQuail, 1992: 210).
c. Completeness
Completeness diartikan sebagai prakondisi untuk memahami berita secara
layak, yakni kelengkapan informasi mengenai kejadian penting yang diberitakan.
Wartawan akan dapat memberikan informasi yang lengkap bila ia menggunakan
rumusan 5 W + 1 H dalam pemberitaannya yaitu What, meliputi informasi mengenai
kejadian atau peristiwa apa yang terjadi, Who, siapa saja yang terlibat di dalamnya,
Where, yaitu dimana peristiwa itu terjadi, When, kapan peristiwa itu terjadi, Why,
mengapa peristiwa itu bisa terjadi dan How, bagaimana tejadinya peristiwa itu.
Berita akan menarik bila menempatkan unsur 5 W + 1 H pada lead-nya
sehingga pembaca akan tertarik untuk membaca lebih lanjut dari teks berita tersebut
seperti yang dikatakan oleh Hutchison dkk. “The lead of the story is the next key
decision point. A good lead gives an interesting, clear account of what happend,
usually in a single sentence paragraph. The best lead are “what” leads. Of the 5 W +
H and Significance questions, what is the peg for leads (Hutchison, 1986: 130).
Berdasarkan tipenya Mencher menggolongkan lead menjadi dua tipe yaitu direct lead
dan delay lead. Direct lead memfokuskan theme kejadian pada paragraf pertama.
Direct lead biasanya berisi informasi spesifik tentang apa yang terjadi atau apa yang
dikatakan, dimana peristiwa tersebut terjadi, lokasi kejadian, sumber informasi. Delay
lead, yaitu lead yang sering digunakan pada features dan news features, biasanya
menggunakan scene atau evokes, anekdot dan sebagainya (Mencher, 2003:119-122).
Para wartawan ketika menulis berita kadangkala menggabungkan direct lead dan
delay lead. Lead hasil penggabungan ini disebut Combo Lead. Kisah akan diawali
16
dengan kalimat umum yang biasa, wartawan lalu mengejutkan pembaca dengan “a
karate chop” pada akhir paragraf pertama (Mencher, 2003: 129).
d. Relevance
Relevance adalah kunci untuk menilai kualitas seleksi berita (news selection).
Hal ini berkaitan erat dengan the significance yakni hal apa yang paling penting dan
apa yang menyentuh hidup orang secara mendalam. Dalam mengukur tingkat
relevansi dapat juga digunakan standar yang lazim yaitu nilai berita yang terdiri dari:
proximity yaitu kedekatan, timeliness, sebagai ketepatan waktu, significance yang
diartikan sebagai bermakna atau berarti, prominence adalah keadaan yang menonjol
dan magnititude, yakni besaran sebuah peristiwa (McQuail, 1992: 200).
e. Balance
Balance diartikan sebagai keseimbangan dalam pemberitaan. Bisa juga
disamakan dengan ketidakberpihakan atau non-partisanship. Balance dapat diukur
dengan menghitung berapa banyak ruang dan waktu yang diberikan media untuk
menyajikan pendapat atau kepentingan salah satu pihak.
f. Neutrality
Neutrality sering disamakan dengan ketidakberpihakan dalam pemberitaan
namun perbedaannya dengan balance, netralitas lebih berkaitan dengan aspek
presentasi penempatan suatu berita, keutamaan relatif, headlining, dan pilihan kata.
Secara umum obyektivitas mensyaratkan pemberitaan yang tenang, dingin, terkendali
dan berhati-hati. Dengan demikian penggunaan kata-kata ambigu, emosional atau
warna dalam presentasi hanya akan menjauhkan netralitas dan obyektivitas.
Netralitas dapat diukur berdasarkan empat hal yaitu sensasionalism, stereotype,
junxtaposition, linkage.
Sensasionalisme diartikan sebagai suka menimbulkan sensasi. Tujuannya
adalah untuk menarik perhatian orang lain. Meski sensasionalisme dibenarkan dalam
bidang periklanan, tetapi tidak demikian dalam bidang jurnalistik, yang memang
17
harus mengedepankan unsur obyektivitas. Stereotype berarti pemberian atribut
tertentu terhadap individu, kelompok atau bangsa tertentu dalam menyajikan sebuah
berita. Atribut bisa memiliki asosiasi yang negatif ataupun positif, tetapi tidak pernah
bersifat netral atau berdasarkan pada kenyataan yang sebenarnya. Junxtaposition
dapat diartikan sebagai menyandingkan dua hal yang berbeda untuk menimbulkan
efek kontras yang akhirnya menambah kesan dramatis pada berita yang disajikan.
Dengan begitu junxtaposition dapat mengubah atau mengeser pemaknaan dua fakta
yang sebenarnya berbeda, menjadi berhubungan secara kontras. Linkages berarti
menyandingkan dua fakta yang berlainan dengan maksud untuk memberikan efek
asosiatif. Linkages biasanya digunakan untuk menghubungkan dua fakta yang
berbeda sehingga dianggap atau diasosiasikan memiliki sebab akibat (Dewan Pers,
2006:26).
E. METODOLOGI PENELITIAN
1. Metode Penelitian
Untuk mengungkapkan tingkat obyektivitas surat kabar Suara Timor Lorasae
serta Timor Post dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis isi. Kripendorf
mendefinisikan “.....as a research technique for making replicable and valid
references from data to their text “ sedangkan menurut Herbert C. Gans “ a content
analyst can observe recurring patterns in the news and can find a structure in its
content ( Gans, 1980 : 5) sementara itu Kerlinger berpendapat “Content analysis is a
method of studying and analyzing communication in a systematic, objective and
quantitative manner for the purpose of measuring variables (Wimmer & Dominick,
2006: 150). Jelaslah analisis isi menunjukkan sebagai sebuah metode penelitian yang
sistematis, yang berarti isi yang akan dianalisis dipilih berdasarkan aturan-aturan
yang jelas dan konsisten.
Pengambilan sample juga mengikuti prosedur yang tepat, dan tiap item
memiliki kesempatan yang sama untuk dianalisis. Selain sistematis, analisis isi juga
obyektif, dalam arti peneliti harus menghindari bias dalam penelitian. Kategori yang
18
sama dengan prosudur yang sama akan menghasilkan angka yang sama meski
dilakukan oleh peneliti lain. Definisi operasional dan aturan-aturan untuk
mengklasifikasikan variabel harus jelas dan komprehensif sehingga peneliti lain yang
menggunakan proses yang sama, akan menghasilkan kesimpulan yang sama. Yang
ketiga, analisis isi adalah kuantitatif yang berarti menggunakan nilai-nilai bilangan
dan frekuensi untuk menjabarkan hasil penelitian, dengan menggunakan metode
deduktif (McQuails, 2006:151).
2. Populasi dan Sampling
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah berita-berita tentang
pemilu di negara Timor Leste pada tahun 2007 yang dimuat di surat kabar Suara
Timor Lorosae dan Timor Pos edisi Maret, April, Mei, Juni dan Juli 2007.
Pengambilan sample dilakukan dengan teknik multi-stage sampling sehingga
penelitian terhadap item-item berita itu akan dilakukan terhadap kedua suratkabar
edisi hari Senin, Rabu dan Jumat untuk minggu pertama dan ketiga setiap bulannya
selama bulan Maret, April, Mei, Juni dan Juli 2007.
19
3. Unit Kategori & Unit Kelas.
Dari paparan di atas dapat dirangkum unit kategori dan unit kelas dari
penelitian ini sebagai berikut:
NO UNIT KATEGORI UNIT KELASNAMA SURAT KABAR 1. Suara Timor Lorosae
2. Timor PostEDISIHALAMANJUDUL
A. INFORMASI BERITA1. Bahasa yang digunakan 1. Tetum 2. Indonesia2. Jenis Lead 1. Direct Lead 2. Delay Lead3. Format Berita 1. Hardnews
2. Softnews 3. Features
4. Tipe Koverasi 1. One-sided2. Two or multi-sided
5. Sumber Berita 1. Sumber Berita Formal 4. Leak2. Sumber Berita Non Formal 3. First-hand reports
6 Nilai Berita 1. Tinggi2. Sedang 3. Rendah
TRUTH CRITERIAFactualness
7. Mainpoint1. Tinggi2. Sedang3. Rendah
8. Nilai Informasi 1. Tinggi2. Sedang3. Rendah
9. Readability 1. Tinggi2. Sedang3. Rendah
10. Checkability 1. Tinggi2. Sedang3. Rendah
20
AcuracyVerifikasi Terhadap Fakta
11. Cek dan Ricek 1. Ada2. Tidak Ada
12. Kesalahan Penulisan: Data , Tanggal, Nama Nara sumber, Alamat dsb.
1. Ada2. Tidak Ada
13. Sumber Berita Yang Relevan 1. Ada2. Tidak Ada
14. Konsistensi Penulisan Teknis Berita
1. Ada2. Tidak ada
15. Akurasi Judul dengan Isi 1. Ya2. Tidak
16. Akurasi Antara Foto dg. Isi 1. Ya2. Tidak
Completeness17. 5 W + 1 H 1. Tinggi (5-6)
2. Sedang (3-4)3. Rendah (1-2)
BALANCE CRITERIA18. Source Bias 1. Ada
2. Tidak Ada19. Slant 1. Ada
2. Tidak Ada20. Ketidakseimbangan 1. Ada
2. Tidak AdaNeutrality
21. Sensasionalism 1. Tinggi2. Sedang3. Rendah
22. Seterotype 1. Tinggi2. Sedang3. Rendah
23. Junktaposition 1. Tinggi2. Sedang3. Rendah
24. Linkages 1. Tinggi2. Sedang3. Rendah
21
4. Definisi Operasional
Sebuah parameter penelitian memiliki keabsahan bila hasil yang dilakukan
oleh peneliti manapun dengan alat tersebut menghasilkan hasil yang relatif sama.
Untuk memudahkan peneliti lain menelitinya, maka definisi operasional harus ada.
Definisi operasional dalam penelitian ini akan memaparkan dan menjelaskan cara
menterjemahkan kategori dan kelas di atas yang nantinya akan dipakai dalam coding
sheet. Beberapa istilah yang dipakai dalam penelitian ini yang nantinya akan tertuang
dalam coding sheet yang perlu mendapat penjelasan adalah :
a) Format Berita, item berita bisa diindentifikasi dari formatnya. Hardnews
menekankan pada nilai penting peristiwa. Softnews adalah berita menarik,
yang perlu diketahui tetapi tidak terlalu penting. Features adalah gaya
penulisan yang memuat reportase mendalam dari suatu peristiwa, yang tidak
mengikuti gaya penulisan piramida terbalik.
b) Tipe Koverasi menyangkut tipe sisi peliputan apakah One Sided, yakni suatu
tipe koverasi hanya satu sisi (bagi berita yang tidak mengandung konflik) atau
two or multi sided yakni banyak sisi. Bila berita mengandung konflik, maka
peliputan yang baik harus two or multi sided.
c) Sumber Berita, bisa sumber formal seperti pemerintah, parlemen, bisa dari
first hand report yakni laporan tangan pertama, bisa juga dari leak yaitu
bocoran atau lainnya.
d) Nilai berita, apakah berita tersebut bernilai tinggi (penting dan patut diketahui
khalayak) atau bernilai biasa saja, atau kurang penting tapi baik untuk
pengetahuan bagi pembaca atau bernilai rendah sama sekali, yang sebenarnya
tidak perlu diberitakan.
e) Mainpoint merupakan tema inti pemberitaan. Yang penting apakah yang
ditulis berupa fakta atau hanya opini wartawan semata, atau campuran antara
fakta dan opini. Maintpoint diukur berdasarkan letak dan jenisnya. Letak
mainpoint bisa di awal, di tengah atau di akhir dan di awal-di akhir teks berita.
22
Penilaian positif hanya diberikan kepada berita yang memiliki mainpoint di
bagian awal teks berita, dan berupa fakta – bukan opini wartawan.
f) Nilai informasi berhubungan dengan tingkat ketidakpastian. Semakin tinggi
nilai informasi sebuah berita, maka semakin rendah tingkat ketidakpastiannya.
Nilai informasi sebuah berita diukur berdasarkan: density, breath, depth.
Density diartikan sebagai kepadatan informasi. Pengertian density adalah
proporsi semua point yang relevan yang disajikan, yaitu fakta. Maka density
meneliti jumlah fakta yang relevan yang tersaji dalam teks berita. Breadth
dapat diartikan sebagai keluasan informasi, yakni jumlah point yang berbeda
sebagai proporsi keseluruhan yang mungkin. Atau dapat dijabarkan dengan
keragaman informasi, yakni jumlah perbedaan informasi atau sumber fakta
yang tersaji dalam teks berita. Depth diartikan sebagai kedalaman informasi,
berupa jumlah fakta dan motif yang menyertai dan membantu menerangkan
maksud pokok.
g) Readability atau bisa dimaksudkan sebagai kekayaan informasi. Pengukuran
kekayaan informasi sangat berhubungan dengan hal sebaliknya yaitu
redudancy. Yang dimaksud dengan redudancy adalah pengulangan atau
penggunaan singkatan atau istilah khusus dalam teks berita yang tidak disertai
dengan penjelasan dari istilah tersebut sehingga dapat membingungkan
pembaca. Readability diukur berdasarkan 1 Ada tidak pengulangan kalimat
atau paraphrase pada setiap item berita, 2 fungsi anak kalimat – mengaburkan
atau memperjelas kalimat inti, 3 ada atau tidaknya penjelasan dari penggunaan
kata atau istilah khusus.
h) Checkability merupakan tingkatan atau derajad dimana fakta yang
ditampilkan dapat diperiksa atau didukung oleh sumber yang bernama disertai
bukti-bukti pendukung yang relevan, seperti sumber yang jelas dan tidak
menggunakan nara sumber anonim.
23
i) Source Bias: yaitu penampilan satu sisi dalam pemberitaan. Source Bias
dapat dilihat dari ketidakseimbangan sumber berita yang dikutip dalam
liputan. Dalam peliputan harus ada yang pro maupun yang kontra.
j) Slant: yaitu kecenderungan dalam pemberitaan. Slant diukur dari kalimat
pujian ataupun kritikan yang ditemukan dalam teks berita.
k) Ketidakseimbangan: dapat mengambil bentuk ketidakseimbangan porsi
alinea, representasi narasumber, representasi aktor, pemakaian kata hiperbolik
dan ketidakseimbangan kuantitas data atau fakta yang dibutuhkan. Wartawan
harus menyajikan perbedaan antara yang pro dan kontra, bukan mencari yang
benar atau salah.
l) Sensasionalisme diartikan sebagai suka menimbulkan sensasi. Tujuannya
adalah untuk menarik perhatian orang lain.
m) Stereotype berarti pemberian atribut tertentu terhadap individu, kelompok atau
bangsa tertentu dalam menyajikan sebuah berita. Atribut bisa memiliki
asosiasi yang negatif ataupun positif, tetapi tidak pernah bersifat netral atau
berdasarkan pada kenyataan yang sebenarnya.
n) Junxtaposition dapat diartikan sebagai menyandingkan dua hal yang berbeda
untuk menimbulkan efek kontras yang akhirnya menambah kesan dramatis
pada berita yang disajikan. Dengan begitu junxtaposition dapat mengubah
atau menggeser pemaknaan dua fakta yang sebenarnya berbeda, menjadi
berhubungan secara kontras.
o) Linkages adalah menyandingkan dua fakta yang berlainan dengan maksud
untuk menimbulkan efek assosiatif. Linkaged dapat dimaknai juga sebagai
hubungan. Media sering menghubungkan beberapa hal, baik itu aspek yag
berbeda dari suatu peristiwa atau aktor yang berbeda yang berhubungan
dengan peristiwa yang sama.
24
Penilaian:
Tinggi, sedang dan rendah.
Tinggi = terdapat 5-6 item
Sedang = terdapat 3-4 item
Rendah = terdapat 0-2 item
Rumus Unit Kategori dan sub kategori di atas merupakan instrument yang akan
penulis pakai dalam penelitian ini. Untuk memenuhi sistematika dan standard
keilmiahan maka realibilitasnya diukur dengan rumus sebagai berikut:
Wimmer & Dominick (2006: 167).Keterangan:
M : adalah jumlah hasil koding yang disetujui oleh 2 orang pengkoder.
N1 & N2 : Total jumlah koding yang dikerjakan oleh 2 orang pengkoder.
25
2 M Reliabilitas = ------------------------- N1 + N2
5. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan pengkodingan terhadap item berita yang
telah diteliti ke dalam coding sheet. Data dalam coding sheet dimasukkan ke dalam
master table dan dianalisis untuk mengetahui kecenderungan dan perhitungan
statistiknya dengan menggunakan program SPSS.
6. Analisis Data dan Pelaporan
Analisis terhadap data yang telah terkumpul dilakukan dengan mengamati
hasil perhitungan statistiknya dan dikaitkan dengan tujuan penelitian yaitu melihat
tingkat obyektivitas suratkabar Suara Timor Lorosae dan Timor Post. Hasil analisis
akan dipaparkan pada bab keempat.
26
DAFTAR PUSTAKA
Assegaff, Djafar H. (1983). Jurnalisme Masa Kini, Pengantar ke Praktek Kewartawanan, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Briggs, Asa & Peter Burke. (2000). ‘Sejarah Sosial Media’ A Social History of the Media, New York: Polity Press.
Demers, David Pearce & Suzanne Nichols. (1987). Precision Journalism A Praktical Guide, California: SAGE Publications.
Fuller, Jack. (1996). News Value, Chicago: The University of Chicago Press.
Franklin, Bob, Martin Hamer, et al. (2005). Key Concepts in Journalism Studies, London: SAGE Publications.
Gusmão, Martinho G. da Silva. (2007). Hari’i Demokrasia: Projektu no Prosesu Ne’ebé la Nahas, Dili: CNE.
Hill, Helen Mary. (2000). Gerakan Pembebasan Timor Lorosae, Dili: Yayasan Hak & Sahe Institute for Liberation.
Hutchison Sr, R, Earl. (1986). Writing for Mass Communication, New York : Longman.
Itule, Bruce D. & Douglas A. Anderson. (2007). News Writing & Reporting, New York: Mc Grow Hill Companies, Inc.
Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama Kusumaningrat. (2005). Jurnalistik Teori dan Praktik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Kovack, Bill & Tom Rosenstiel. (2001). Sembilan Elemen Jurnalisme. Pantau, Judul asli: The Elements of Journalism, New York: Crown Publishers.
Masduki. (2001). Jurnalisme Radio: Menata Profesionalisme Reporter dan Penyiar, Yogyakarta:Lkis
McQuail, Denis. (2004). McQuail’s Reader in Mass Communication Theory, London: SAGE Publication
McQuail, Denis. (1992). Media Performance Mass Communication and The Public Interest, London, SAGE Publication.
27
McQuail, Denis. (2000). McQuail’s Mass Communication Theory, fourth edition. London: SAGE Publication.
Mencher, Melvin. (2003). News Reporting and Writing, Ninth Edition. New York: McGrow-Hill Companies.
Myers, Gail E. Michele Thoela Myers. (1980). The Dynamics of Human Communication, A Laboratory Approch, New York: Mc. Grow-Hill Book Company.
Pamungkas, Sigit. (2009). Perihal Pemilu, Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL, UGM.
Prajarto, Nunung dkk. (2006) Koverasi Lima Surat Kabar Terhadap Pembangunan Kabupaten Sleman, Laporan Penelitian. Yogyakarta: Bagian Humas Sekretaris Daerah Kabupaten Sleman.
Putra, I Gusti Ngurah (Editor). (2008). Media, Komunikasi, dan Politik Sebuah Kajian Kritis, Yogyakarta: FISIPOL UGM.
Rachmadi, F. (1990). Perbandingan Sistem Pers, Analisis Deskriftif Sistem Pers di Berbagai Negara, Jakarta: PT Gramedia.
Rivers, William L. Co., (2004). Media Massa & Masyarakat Modern , Edisi Kedua., Jakarta: Prenada media.
Siregar, Ashadi,(2006). Pemberitaan Media Pers Indonesia: Paradigma, Epistimologi, Ruang Publik dan Pendekatan Multikultural, Yogyakarta: Jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, FISIPOL, UGM, Volume 9, Nomor 3, Maret 2006, 225-270.
Siregar, Ashadi. (1998). Bagaimana Meliput dan Menulis Berita Untuk Media Massa, Yogyakarta: Kanisius.
Sulhan, Muhammad. (2006). Kisah Kelabu di Balik Maraknya Pers Lokal di Kalimantan, Yogyakarta: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, FISIPOL, UGM, Volume 9, Nomor 3, Maret 2006.
Strenz, Herbert. (1993). Reporter dan Sumber Berita, Persekongkolan Dalam Mengemas dan Menyesatkan Berita, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Surjomihardjo, Abdurrachman& Hilman Adil dkk. (2002). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
28
Syahputra, Iswandi. (2006). Jurnalisme Damai Meretas Ideologi Peliputan di Arena Konflik, Yogyakarta: Kelompok Pilar Media.
Tester, Keith. (1994). Media, Culture and Morality, London: Routledge.
Wahyuni, Hermin Indah. (2000). Televisi dan Intervensi Negara, Konteks Politik Kebijakan Publik Industri Penyiaran Televisi Pada Era Orde Baru, Yogyakarta: Media Pressindo.
Rahayu (Editor). (2006). Menyingkap Profesionalisme Kinerja Surat Kabar Di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Kajian Media dan Budaya Populer, Dewan Pers dan Departemen Komunikasi dan Informasi.
Reah. D. (2002). The Language of Newspaper, London: Routledge.
Wilson, John. (1996). Understanding Journalism. London: Routledge.
Wimmer, Roger D. & Joseph R. Dominick. (2006). Mass Media Research An Introduction, 8th Edition. Thomson, Wadsworth, United States of America.
Crisis Group Asia Briefing No. 65, Timor Leste’s Parliamentary Election. Dili /Brussels, 13 Juni 2007 dalam http: /www.crisisgroup.org /library /documents /asia/timor/b65_timor_leste_parliamentary_elections.pdf, diakses tgl. 7 Juni 2008.
Undang-Undang Dasar Republik Demokrasi Timor Leste versi Bahasa Indonesia (2002). Dili: Majelis Konstutuante Timor Leste.
http://www.democracynow.org/shows/1999/9/6 diakses tgl. 7 Juni 2008
http://www.etan-org/et99/april/3-10/8untalk.htm diakses tgl. 8 April 2009
Kompas, 10 Mei 2007, 07 Juli 2007
Suara Timor Lorosae, 10 April 2007
29
CATATAN:
Tulisan ini merupakan Bab I dari Tesis saya, yang telah diuji pada tanggal 25 April
2010 di Depan Dewan Penguji, Jurusan Komunikasi S2, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Penulis:
D. Dwikori Sitaresmi, M.A.
30