PARTISIPASI POLITIK ETNIS TIONGHOA DALAM PEMILIHAN CALON
LEGISLATIF 2014 PADA WILAYAH PASAR KELURAHAN
TANJUNGPINANG KOTA
NASKAH PUBLIKASI
Oleh:
YANTI
NIM : 100565201091
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2017
1
PARTISIPASI POLITIK ETNIS TIONGHOA DALAM PEMILIHAN CALON
LEGISLATIF 2014 PADA WILAYAH PASAR KELURAHAN
TANJUNGPINANG KOTA
YANTI
Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan ilmu Politik Universitas
Maritim Raja Ali Haji
A B S T R A K
Partisipasi etnis Tionghoa dalam Partai Politik diIndonesia sejak Masa Kolonial
hingga era Reformasi menunjukkan bahwa sebuah sistem sosial mengalami dinamika
sesuai dengan sistem politik yang berlaku. Keterlibatan etnis Tionghoa Indonesia di
ajang politik bukan merupakan fenomena baru, tetapi bagaimana hal ini bangkit atau
jatuh tergantung pada kebijakan masing-masing rezim terhadap etnis Tionghoa
Indonesia. Namun etnis tionghoa yang ada saat ini khususnya di wilayah pasar yang
mayoritas tionghoa memilih untuk tidak terlibat dalam kegiatan politik, mereka
cenderung diajak atau di mobilisasi
Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui Partisipasi Politik Etnis Tionghoa
Dalam Pemilihan Calon Legislatif 2014 Pada Wilayah Pasar Kelurahan
Tanjungpinang Kota. Dalam penelitian informannya adalah Ketua Komisi Pemilihan
Umum Kota Tanjungpinang, pengamat politik di Kota Tanjungpinang serta
perwakilan dari masyarakat tionghoa yang bermukim di Pasar, dan pegawai
kelurahan Tanjungpinang Kota selaku kepala seksi pemerintahan ketentraman dan
ketertiban. Analisis data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah analisa data
kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dianalisa bahwa masih kurangnya
partisipasi etnis tionghoa dalam pemilihan legislatif tahun 2014 walaupun dalam
memberikan hak suaranya etnis tionghoa di kelurahan tanjungpinang kota sudah
melakukannya dengan baik. Partisipasi etnis tionghoa yang rendah yaitu etnis
tionghoa masih belum aktif dalam mengikuti kegiatan politik pada tahun 2014. Hal
ini dikarenakan berbagai faktor seperti salah satunya adalah kurangnya pengetahuan
etnis tionghoa terhadap pemilu itu sendiri
Kata Kunci : Partisipasi Politik, Etnis Tionghoa
2
A B S T R A C T
Ethnic Chinese participation in political parties in Indonesia was since the
colonial era until the era of Reform suggests that a social system undergoes a
dynamics in accordance with the prevailing political system. Indonesia ethnic
Chinese involvement in politics is not a new phenomenon, but how this rise or fall
depending on the policy of the respective regime against ethnic Chinese Indonesia.
But the ethnic Chinese are particularly in the market areas that the majority of
Chinese prefer not to engage in political activity, they tend to be invited or at
mobilization
The goal in this research is to know the Political participation of ethnic
Chinese Legislative Candidate in the elections to 2014 on the Market Wards
Tanjungpinang city. In the research of informannya is the Chairman of the City
Election Commission Tanjungpinang, political observers in the town of Tanjung
Pinang as well as representatives from the Chinese community which settled in the
market, and an employee of the city as the head of Tanjung Pinang village section of
the reign of peace and order. The analysis of the data used in this study is the
analysis of qualitative data.
Based on the research results can then be analyzed that there is still a lack of
ethnic Chinese participation in the legislative elections by 2014 although in her voice
gave ethnic Chinese neighborhood in the town of Tanjung Pinang already do well.
The participation of the ethnic Chinese are low i.e. ethnic Chinese are still not active
in following political activity by 2014. This is due to various factors such as lack of
knowledge of one is ethnic Chinese against the election itself
Keywords: Political Participation, Ethnic Chinese
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemilihan umum merupakan
salah satu sarana penyaluran hak asasi
warga Negara yang prinsipil. Dalam
rangka pelaksanaan hak asasi warga
Negara adalah keharusan bagi
pemerintah untuk menjamin
terlaksananya penyelenggaraan pemilu
sesuai dengan jadwal ketatanegaraan
yang telah ditentukan. Sesuai dengan
prinsip kedaulatan rakyat dimana
rakyatlah yang berdaulat, semua aspek
penyelenggaraan pemilu, harus
dikembalikan kepada rakyat untuk
menentukannya adalah pelanggaran
terhadap hak asasi apabila pemerintah
tidak menjamin terselenggaranya
pemilihan umum, memperlambat
penyelenggaraan pemilu tanpa
persetujuan para wakil rakyat.
Pemilihan umum dilaksanakan
dalam waktu yang panjang untuk
memilih wakil-wakil rakyat. yang akan
melaksanakan kepentingan nasional
suatu bangsa. Keterwakilan
kepentingan rakyat ini merupakan
representasi kelompok. Yakni konsep
seseorang atau kelompok orang (baca:
partai politik) mempunyai kemampuan
untuk bicara dan bertindak atas nama
suatu kelompok yang lebih besar.
(Miriam Budiardjo : 2003: 175).
Dalam setiap sistem politik yang
demokratis, selalu mempersoalkan
sumber kekuasaan yang melandasi
sebuah pemerintahan baru terbentuk,
untuk tujuan apa kekuasaan itu
ditetapkan dan prosedur apa yang
memberikan legalitas terhadap
kekuasaan tersebut. Dalam masyarakat
transisi, Pemilu merupakan suatu
konsensus bersama untuk menjawab
persoalan sumber kekuasaan, tujuan
kekuasaan dan prosedur yang
melegalitasi kekuasaan itu sendiri.
(Hungtinton dalam Sahdan 2004:379)
Menjelang Pemilu adalah masa
saatnya kampanye dimana setiap Parpol
atau calon melakukan pendekatan pada
massa untuk menarik dukungan.
Kampanye sebagai serangkaian
tindakan komunikasi yang terencana
dengan tujuan menciptakan efek
tertentu pada sejumlah besar khalayak
yang dilakuan secara berkelanjutan
pada kurun waktu tertentu. Perlu
diperhatikan bahwa pesan kampanye
harus terbuka untuk didiskusikan dan
dikritisi. Hal ini dimungkinkan karena
gagasan dan tujuan kampanye pada
dasarnya mengandung kebaikan untuk
publik bahkan sebagian kampanye
ditujukan sepenuhnya untuk
kepentingan dan kesejahtraan umum.
Oleh karena itu isi pesan tidak boleh
menyesatkan, maka disini tidak perlu
ada pemaksaan dalam mempengaruhi
apapun ragam dan tujuannya, upaya
perubahan yang dilakukan kampanye
selalu terkait dengan aspek
pengetahuan, sikap, dan prilaku.
(Venus, 2004: 7)
Kampanye-kampanye atau
kegiatan berbentuk kampanye melalui
media dan pemasangan atribut ini
banyak memenuhi ruang-ruang di
masyarakat. Intensitas kegiatan
berbentuk kampanye semakin
meningkat. Dalam kampanye
masyarakat seperti didoktrin habis-
habisan oleh berbagai kekuatan politik
atau pihak yang akan maju dalam
Pemilu dan pemilihan kepala daerah.
Fungsi dari kampanye adalah untuk
menyampaikan suatu pesan yang berisi
tentang ajakan kepada masyarakat atau
mempengaruhi masyarakat agar dapat
mengerti maksud dan tujuan dari apa
yang akan dikomunikasikan. Segala
tindakan dalam kegiatan kampanye
4
dilandasi oleh prinsif persuasif yakni
mengajak dan mendorong publik untuk
menerima atau melakukan sesuatu yang
dianjurkan atas dasar sukarela. (Venus,
2004: 8)
Kehidupan politik yang
merupakan bagian dari keseharian
dalam interaksi antar warga negara
dengan pemerintah, dan institusi-
institusi di luar pemerintah, telah
menghasilkan dan membentuk variasi
pendapat, pandangan dan pengetahuan
tentang praktik-praktik perilaku politik
dalam semua sistem politik. Oleh
karena itu, seringkali kita bisa melihat
dan mengukur pengetahuan-
pengetahuan, perasaan dan sikap warga
negara terhadap negaranya,
pemerintahnya, pemimpin politik dan
lain-lain. Kegiatan partisipasi politik
dilakukan oleh seluruh warga negara,
sehingga seolah-olah menutup
kemungkinan bagi tindakan-tindakan
serupa yang dilakukan oleh non-warga
negara biasa. Institusi yang menjadi
sasaran atau objek politik dalam
partisipasi politik, yaitu pemerintah
sebagai pemegang otoritas.
Adanya institusi-institusi politik
di tingkat masyarakat, seperti partai
politik, kelompok kepentingan,
kelompok penekan, dan media massa
yang kritis dan aktif, merupakan satu
indikator adanya keterlibatan rakyat
dalam kehidupan politik. Dengan
dilandasi suatu kesadaran bahwa,
aktivitas-aktivitas politik pemerintah
dengan serta merta, secara langsung
maupun tidak langsung. Sedangkan
fungsi-fungsi yang dijalankan oleh
kelompok kepentingan, partai politik
dan yang lainnya dalam infrastruktur
politik, merupakan wujud dari
keikutsertaan rakyat dalam proses
politik dalam suatu sistem politik.
Partisipasi politik dalam sistem
demokrasi merupakan hak warga
negara tetapi dalam kenyataan
persentase warga negara yang
berpartisipasi berbeda, tidak semua
warga negara ikut serta dalam proses
politik. Menurut Paige yang dikutip
Oleh Ramlan (1999:144) “Yang
menentukan tinggi-rendahnya
partisipasi politik seseorang adalah
kesadaran politik serta kepercayaan
terhadap pemerintah/sistem politik”.
Masyarakat yang memiliki kesadaran
untuk berpartisipasi dalam kehidupan
politik maka akan membawa
dampak/mempengaruhi suatu sistem
politik yang responsif, baik pemerintah
lokal atau pemerintah pusat. Kesadaran
politik masyarakat didalam kehidupan
politik akan membatasi kekuasaan
pemerintah (negara), akan tetapi apabila
kesadaran politik masyarakat sangat
tinggi, namun kepercayaan terhadap
pemerintah sangat rendah maka akan
terjadi krisis legitimasi.
Masyarakat modern dalam
kehidupan politik adalah masyarakat
yang selalu kritis, masyarakat tersebut
berpartisipasi politik dalam masalah-
masalah negara (pemerintah), karena
masyarakat tersebut mempunyai hak
untuk mengkritik. Masyarakat etnis
tionghoa merupakan salah satu subjek
dan objek dalam kegiatan politik, dalam
kegiatan politik termasuk didalamnya
adanya kegiatan pemilihan umum.
Masyarakat etnis tionghoa masih
memerlukan pembinaan dalam orientasi
ke arah pertumbuhan potensi dan
kemampuannya ke depan dapat
berperan dalam bidang politik.
Partisipasi politik Tionghoa
tidak boleh dilupakan hanya
dikarenakan populasinya sedikit,
jumlah mungkin memiliki makna cukup
besar bagi perhitungan suara pemilu,
5
tetapi kecil bagi proses demokratisasi
secara lengkap. Partisipasi politik
minoritas yang demokratis justru bisa
memberikan kontribusi pembelajaran
yang menarik dalam proses
demokratisasi. Saat ini mayoritas
komunitas Tionghoa akan memilih
kandidat yang menjamin tidak ada
diskriminasi dan stabilitas ekonomi.
(Christine:2014)
Partisipasi etnis Tionghoa dalam
Partai Politik diIndonesia sejak Masa
Kolonial hingga era Reformasi
menunjukkan bahwa sebuah sistem
sosial mengalami dinamika sesuai
dengan sistem politik yang berlaku.
Pada tiap masa, sejak zaman kolonial
hingga era reformasi, sistem politik
yang berlaku memiliki
perbedaan.Interaksi dan
interdependensi etnis Tionghoa dalam
wadah partai politik sebagai bagian dari
kemajemukan bangsa Indonesia tidak
terlepas dari sistem pemerintahan yang
berlaku serta keadaan sosial masyarakat
yang terjadi.
Keterlibatan etnis Tionghoa
Indonesia di ajang politik bukan
merupakan fenomena baru, tetapi
bagaimana hal ini bangkit atau jatuh
tergantung pada kebijakan masing-
masing rezim terhadap etnis Tionghoa
Indonesia. Setelah kerusuhan Mei 1998,
situasi politik telah berubah, dan etnis
Tionghoa Indonesia diperbolehkan
untuk memasuki kembali ajang politik
di tingkat nasional dan juga di tingkat
regional dan lokal, ini menunjukkan
kelonggaran kebijakan pemerintah
terhadap mereka.
Setelah etnis Tionghoa
memasuki wilayah politik yang
dulunya bentuk partisipasi etnis
Tionghoa pada saat itu hanya memiliki
hak memilih dan tidak berhak untuk
dipilih, kemudian Pada tanggal 16
september 1998 presiden Bj Habibie
mengeluarkan inpres No.26/1998 yang
isinya menghapus istilah masyarakat
pribumi dan masyarakat non pribumi,
sehingga ada kesetaraan antara etnis
Tionghoa dan Pribumi mulai saat
itu.(Rian Anggria.P,2014:3).
Era reformasi membawa
perubahan demokratisasi yang begitu
cepat pada perpolitikan di tanah air. hal
ini dapat dilihat pada masyarakat etnis
Tionghoa, Pada masa rezim tersebut
etnis Tionghoa hanya memiliki hak
memilih dan tidak berhak untuk dipilih.
Seperti hasil penelitian terdahulu yang
sudah dilakukan bahwa pada Pemilu
2009, Kompas menonjolkan
diskriminasi sudah tidak lagi menjadi
masalah besar dan partisipasi politik
etnis Tionghoa dianggap sudah mulai
aktif. Penelitian berikutnya juga
sebagian besar masyarakat Tionghoa
memiliki kesempatan dan ruang gerak
yang lebih luas untuk berpartisipasi
dalam kancah politik nasional maupun
daerah. Pada pemilu 2009 partisipasi
etnis Tionghoa lebih meningkat baik
secara kuantitas maupun kualitas.
Dari penelitian terdahulu yaitu
Rizky Hani S.P (2013) tentang
Partisipasi Politik Etnis Tionghoa
Dalam Pemilukada Tahun 2009 (studi
kasus desa kragan kec. Kragan kab.
Rembang) tersebut secara umum
menggambarkan partisipasi politik yang
dilakukan masyarakat etnis Tionghoa di
Desa Kragan dalam pemilukada tahun
2009 di Kabupaten Rembang adalah
dilihat dari motifnya kecenderungan
mereka ingin merasa aman dari segi
apapun karena ada rasa trauma akan
kejadian masa lalu yang sempat
membuat kehidupannya mengalami
goncangan, terutama dalam aspek
perekonomiannya, banyak toko, bahkan
rumah orang cina dirusak massa, hal
6
itulah yang membuat orang cina
khususnya di Kragan paling tidak mau
ikutserta dalam pemilukada.
Antusiame masyarakat
Tionghoa dalam pemilu semakin besar,
hal ini dapat dilihat dari mulai dari
Pemilu 2009 etnis tionghoa sudah mulai
mau mengikuti kampanye, sebagian
dari mereka mencalonkan diri dalam
dunia politik, ikut serta dalam kegiatan-
kegiatan politik. Kebebasan bagi warga
Tionghoa di masa ini lebih dapat
tercapai dengan dikeluarkannya Udang-
Undang Kewarganegaraan No 12
Tahun 2006. Lahir pula UU
Penghapusan Diskriminasi Ras dan
Etnik. Banyak diantara etnis Tionghoa
yang terjun langsung di beberapa partai.
Orientasi politik masyarakat
etnis tionghoa ini selalu dinamis dan
akan berubah-ubah mengikuti kondisi
yang ada dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Para partisipan
memilih untuk berperan menembus
pandangan etnis Tionghoa yang selama
ini dikenal, biasa bergerak di jalur
bisnis, berdagang, dan pengusaha.
Perlakukan buruk ataupun sikap
diskriminasi yang dialami tidak
menyurutkan motivasi mereka untuk
berperan memilih terjun di bidang
tertentu, karena mereka mempunyai
cara pandang (melalui
pengetahuan/pengalaman) yang
membuat membuat mereka terinspirasi
dan termotivasi untuk memilih bidang
yang mereka geluti. Mereka
mempunyai kesamaan dalam hal
semangat untuk berkarya dengan
sepenuh hati di bidangnya masing-
masing dan memperoleh pengakuan
bagi diri mereka maupun dari
masyarakat.
Interaksi dengan berbagai
orang/kelompok melalui keterlibatan
mereka mengikis kecurigaan dan
memperoleh penerimaan dari berbagai
pihak. Sikap dan perilaku mereka
dilandasai pemahaman bahwa semua
orang sederajat dan mereka mempunyai
kesadaran akan makna hidup yang
transenden melampaui diri sendiri,
yaitu memberi bagi sesama. Orientasi
politik sebenarnya merupakan suatu
cara pandang dari suatu golongan
masyarakat dalam suatu struktur
masyarakat. Timbulnya orientasi itu
dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang
ada dalam masyarakat maupun dari luar
masyarakat yang kemudian membentuk
sikap dan menjadi pola mereka untuk
memandang suatu obyek politik.
Orientasi politik itulah yang kemudian
membentuk tatanan dimana interaksi-
interaksi yang muncul tersebut akhirnya
mempengaruhi perilaku politik yang
dilakukan seseorang.
Pada penelitian ini, penulis
memfokuskan penelitian di daerah
Provinsi Kepulauan Riau khususnya
Kota Tanjungpinang, yang mana daerah
ini merupakan salah satu daerah yang
memiliki presentase jumlah masyarakat
etnis Tionghoa yang cukup tinggi
dengan jumlah penduduk kelompok
etnis Tionghoa sebanyak 42.736 dari
230.380 jiwa yang ada di Kota
Tanjungpinang (Data sementara Dinas
Kependudukan 2013)
Jumlah pemilih dari kalangan
etnis Tionghoa cukup banyak di
Tanjungpinang. Diperkirakan jumlah
pemilih dari kalangan etnis Tionghoa
sekitar 25 persen. Berdasarkan data
Dinas Kependudukan Tanjungpinang
jumlah pemilih sementara yang akan
diverifikasi lembaga penyelenggara
pilkada sebanyak 157.293 orang.
(Sumber: kepri.antaranews:2014). Saat
ini berdasarkan catatan kependudukan
Kecamatan Tanjungpinang Kota,
jumlah masyarakat Tionghoa di wilayah
7
pasar dari data tahun 2014 mencapai
320 orang.
Tanjungpinang adalah salah satu
daerah yang termasuk sebagai daerah
yang masih mau menerima masyarakat
yang berasal dari etnis Tionghoa.
Terdapat di beberapa daerah tertentu,
yang terlihat hanya etnis Tionghoanya
saja, padahal tidak sedikit juga
masyarakat yang berdarah pribumi
lainnya. Banyak masyrakat dari suku
lainnya yang menetap hingga membaur
dengan masyarakat Tionghoa lainnya.
Di kota-kota besar lainnya, masyarakat
Tionghoa dianggap tidak begitu
berpengaruh bagi daerah. Sehingga,
etnis Tionghoa kerap dianggap sebagai
kaum minoritas. Tidak ada kehangatan
antar masyarakat yang ada. Dengan
anggapan seperti ini, masyarakat
Tionghoa pun juga menjadi
individualistis dan acuh tak acuh
terhadap masyarakat Non Tionghoa
lainnya. Di kota Tanjungpinang, yang
merupakan Ibukota dari provinsi
Kepulauan Riau terdapat satu daerah
yang dianggap sebagai „China Town‟
bagi masyarakat awam. Yakni di
plantar Mutiara 1 Jalan Potong Lembu,
kelurahan Kamboja, kecamatan
Tanjungpinang Timur, dan kelurahan
Tanjungpinang kota kawasan kota
lama, pasar. Hal ini dikarenakan
terdapat satu daerah khusus yang
penduduknya adalah masyarakat
Tionghoa.
Partisipasi masyarakat etnis
tionghoa diperpolitikan Indonesiadi era
Reformasi ini telah membuat kota ini
menjadi Kota Pertama yang pernah
memiliki ketua DPRD kota yang
berasal dari keturunan etnis tionghoa.
Bobby Jayanto pengukir sejarah,
setidaknya di Museum Rekor Indonesia
(Muri) ia tercatat sebagai warga
Tionghoa pertama yang menjadi ketua
DPRD Indonesia yaitu di Kota
Tanjungpinang. Hasil tersebut
berdasarkan hasil rekapitulasi data
Komisi Pemilihan Umum Kota
Tanjungpinang tahun 2004 bahwa
pemeroleh suara terbanyak diantara 25
anggota yang terpilih dalam pemilu
2004 (Komisi Pemilihan Umum).
Sejarah silam tentang etnis
Tionghoa di Kota Tanjungpinang
memang sedikit sekali atau hampir
tidak tercatat dalam sejarah namun
setelah reformasi peningkatan
partisipasi politik oleh etnis Tionghoa
ini sangat tinggi. Hal ini tidak dapat
dipungkiri karena kaum Tionghoa yang
berperan penting dalam ekonomi politik
dan hubungan antara investor dari
Singapura yang masuk ke Kepri yang di
pegang oleh sebagian besar etnis
Tionghoa di Kepri. Dapat dilihat dalam
lingkup Provinsi Kepulauan Riau sudah
banyak aktor-aktor politik yang muncul
dari kalangan etnis Tionghoa seperti
Hendry Frankim yang pernah menjabat
sebagai anggota DPD dari daerah
pemilihan Kepulauan Riau, Robby
patria Jayanto yang pada priode 2004-
2009 menjabat sebagai Ketua DPRD
Kota Tanjungpinang, Rudy Chua
sebagai anggota DPRD Provinsi
Kepulauan Riau periode 2009-2014
serta Reni dan Beni yang kini menjabat
sebgai anggota DPRD Kota
Tanjungpinang 2009-2014. Hal ini
menjadi menarik, melihat kondisi diatas
yang membuktikan kontribusi dan
partisipasi politik etnis Tionghoa di
Kota Tanjungpinang cukup besar,
padahal ditinjau dari sejarah
pembentukan Provinsi Kepri adalah
kekuatan kemelayuan dari etnis melayu
yang ingin adanya Provinsi Melayu
yakni Kepulauan Riau itu sendiri. (Eki
Darmawan : 2013: 7-8)
8
Fenomena yang terjadi berkaitan
dengan partisipasi politik etnis tionghoa
dilihat dari tingkat insiatif. Toleransi
terhadap perbedaaan pendapat. Tingkat
kebersamaan (Konsensus). Besarnya
keberhasilan output (Dedi Irawan
(Dalam Efriza: 2012: 201). Tingkat
inisiatif adalah kesadaran dari etnis
tionghoa untuk melakukan sendiri
kegiatan partisipasi politik tanpa adanya
faktor dari kelompok lain seperti seperti
tekanan, pengaruh atau paksaan seperti
datang ke tempat pemilihan, kemudian
aktif dalam kegiatan politik seperti
kampanye, datang pada sosialisasi yang
diadakan pemerintah dan mengawasi
jalananya pemilu, namun kenyataannya
hal ini belum dapat dilakukan karena,
etnis tionghoa yang ada saat ini
khususnya di wilayah pasar yang
mayoritas tionghoa memilih untuk tidak
terlibat dalam kegiatan politik, mereka
cenderung diajak atau di mobilisasi.
Maka dari itu saat ini yang terlihat
hanya beberapa dari etnis tionghoa
tersebut yang ikut dalam kegiatan
politik. Tidak hanya itu pada saat
pemilihan ada etnis tionghoa yang
memilih tidak menggunakan hak
suaranya.
Namun jika dilihat dari toleransi
berpendapat fenomena yang terjadi
adalah para etnis tionghoa ini sangat
menghormati perbedaan, mereka tidak
pernah secara paksa untuk mendorong
orang lain memilih sesuai dengan
dirinya atau memilih etnisnya juga yang
sedang maju dalam pemilihan, hal ini
dibuktikan dengan tidak adanya konflik
berkaitan dengan hal tersebut, karena
etnis ini memilih untuk tidak ikut
terlalu dalam dunia politik.
Kemudian tingkat kebersamaan
fenomena yang terjadi dalam etnis ini
sangat kental karena mereka akan
memilih orang-orang dari etnisnya
untuk dipilih maju menjadi wakil
rakyat, kemudian secara umum
keberhasilan output dalam partisipasi
masyarakat tiomnghoa masih sangat
rendah, mereka rata-rata belum aktif
karena ketidak pahaman tentang politik,
banyak masyarakat tionghoa
beranggapan bahwa politik tidak akan
membawa perubahan bagi kehidupan
mereka.
Kesadaran politik tionghoa juga
masih kurang, kesadaran Politik adalah
sebuah kesadaran yang harus dimiliki
oleh warga negara tentang hak dan
kewajiban sebagai warga negara
bagaimana bisa mensikapi mawsalah
politik yang ada dilingkup kebijakan
Negara dan Pemerintah.
Terdapat empat indikator kesadaran
yang masing-masing merupakan suatu
tahapan bagi tahapan berikutnya dan
menunjuk pada tingkat kesadaran
tertentu, mulai dari yang terendah
sampai yang tertinggi, antara lain:
pengetahuan, pemahaman, sikap dan
pola perilaku (tindakan). Pengetahuan
adalah hasil dari proses mengingat
suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Orang tahu harus bisa
mendefenisikan materi atau objek
tersebut. Pemahaman adalah hasil dari
kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang dikatahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut
dengan benar (Notoadmojo, 2003).
Menurut Newcomb, sikap adalah
kesediaan atau kesiapan untuk
bertindak yang terdiri dari menerima,
merespon, menghargai dan bertanggung
jawab terhadap suatu objek. Sedangkan
tindakan adalah sesuatu yang dilakukan
atau perbuatan
Dengan demikian, berdasarkan
fenomena yang ada maka penulis
tertarik untuk melakukan kajian lebih
mendalam, yaitu dalam bentuk skripsi
9
dengan judul: “PARTISIPASI
POLITIK ETNIS TIONGHOA
DALAM PEMILIHAN CALON
LEGISLATIF 2014 PADA
WILAYAH PASAR KELURAHAN
TANJUNGPINANG KOTA”
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah diuraikan di atas, maka
permasalahan yang akan diteliti adalah
Partisipasi Politik Etnis Tionghoa Pada
Wilayah Pasar Tanjungpinang Kota,
sehingga perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah : “Bagaimana
Partisipasi Politik Etnis Tionghoa
Dalam Pemilihan Calon Legislatif
2014 Pada Wilayah Pasar Kelurahan
Tanjungpinang Kota?”
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini pada
dasarnya untuk mengetahui
Partisipasi Politik Etnis Tionghoa
Dalam Pemilihan Calon Legislatif
2014 Pada Wilayah Pasar
Kelurahan Tanjungpinang Kota
2. Kegunaan penelitian
a. Kegunaan Akademik
adalah sebagai media belajar
untuk mengetahui dan
mendapatkan gambaran yang
jelas mengenai mengetahui
Partisipasi Politik Etnis
Tionghoa Dalam Pemilihan
Calon Legislatif 2014 Pada
Wilayah Pasar Kelurahan
Tanjungpinang Kota.
b. Kegunaan Praktis
adalah dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan atau acuan
dalam meningkatkan kehidupan
politik mengetahui Partisipasi
Politik Etnis Tionghoa Dalam
Pemilihan Calon Legislatif 2014
Pada Wilayah Pasar Kelurahan
Tanjungpinang Kota. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat
menambah pengetahuan,
informasi dan bacaan ilmiah
bagi pihak yang memerlukan.
Konsep Operasional
Untuk mencapai realitas
dalam rangka penelitian secara
empiris, maka sejumlah konsep
yang masih abstrak perlu
dioperasionalkan agar benar-benar
menyentuh fenomena yang akan
diteliti. Penentuan konsep
operasional yang penulis
pergunakan adalah teori Dedi
Irawan (Dalam Efriza: 2012: 201)
ada empat nilai partisipasi politik
yang akan menmbah bobot dalam
partisipasi politik, yaitu:
1. Tingkat insiatif
Inisiatif diartikan sebagai
kesadaran dari masyarakat
Tionghoa untuk melakukan
sendiri kegiatan partisipasi
politik tanpa adanya faktor dari
kelompok lain seperti seperti
tekanan, pengaruh atau paksaan.
Hal ini dapat dilihat dari
indikator:
a. Memberikan suara pada
saat pemilu berlangsung
maupun kegiatan
kampanye yang
dilakukan salah satu
calon legislatif
b. Adanya antusias dari
masyarakat tionghoa
untuk menyambut pesta
demokrasi
2. Toleransi terhadap perbedaaan
pendapat
Cerminan dari kehidupan
demokrasi adalah sikap toleran
terhadap segala perbedaan yang
10
ada di lingkungan politiknya.
Hal ini dapat dilihat dari
indikator:
a. Adanya sikap toleran
dalam menghadapi
perbedaan saat
pemilihan calon
legislatif
3. Tingkat kebersamaan
(Konsensus)
Konsensus adalah nilai
partisipasi yang membutuhkan
kebersamaan dalam
memecahkan permasalahan
politik yang timbul. Hal ini
dapat dilihat dari indikator:
a. Adanya kebersamaan
yang ditunjukkan pada
saat kampanye
pemilihan berlangsung
meskipun berbeda
pendapat atau berbeda
pilihan
4. Besarnya keberhasilan output
Nilai ini adalah akhir dari suatu
proses partisipasi. Besarnya
keberhasilan partisipasi amat
ditentukan dalam beberapa hal
termasuk bagaimana intensitas
partisipasi yang dijalankan. Hal
ini dapat dilihat dari indikator:
a. Aktif dalam kegiatan
politik
b. Ikut dalam pengurusan
partai
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini penulis
menggunakan jenis penelitian
Deskriptif Kualitatif. Menurut
Sugiyono (2012 : 6) “Penelitian
Deskriptif adalah penelitian yang
dilakukan terhadap variabel
mandiri, yaitu tanpa membuat
perbandingan, atau dengan
menggabungkan dengan variabel
lain.” “Penelitian deskriptif adalah
suatu metode dalam meneliti status
kelompok manusia, suatu objek,
suatu set kondisi, suatu sistem
pemikiran ataupun suatu kelas
peristiwa pada masa sekarang.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
membuat deskripsi, gambaran atau
lukisan secara sistematis, faktual
dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan antar
fenomena yang diselidiki.”
Sedangkan menurut Moleong (2004
: 03) ”Penelitian Kualitatif adalah
metode kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata atau
lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati.
Penelitian kualitatif adalah
tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada
pengamatan pada manusia dalam
kawasanya sendiri dan berhubungan
dengan orang-orang tersebut dalam
bahasanya dan dalam
peristilahanya. Dengan demikian,
penelitian ini bermaksud untuk
mengumpulkan data tentang
Partisipasi Politik Etnis Tionghoa
Pada Wilayah Pasar Tanjungpinang
Kota, yang kemudian
dideskripsikan atau digambarkan
secara jelas sebagaimana kenyataan
di lapangan.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di
Wilayah Pasar Tanjungpinang Kota.
Dipilihnya wilayah pasar
dikarenakan wilayah pasar
merupakan salah satu tempat
dengan populasi etnis tionghoa
terbanyak di Kota Tanjungpinang.
11
3. Informan
Kriteria pemilihan informan
adalah orang yang memahami tentang
partisipasi politik tionghoa, dan terlibat
langsung dalam pemilihan anggota
legislatif tahun 2009.
4. Sumber dan Jenis Data
a. Sumber Data
Data bersumber dari
sampel atau informan yang telah
ditetapkan sebelumnya, yaitu
daripada masyarakat etnis
tionghoa di wilayah pasar
Tanjungpinang Kota dan yang
telah memiliki hak pilih dalam
pemilihan umum tahun 2014.
Adapun bentuk dari data yang
diperoleh ini berupa data primer
yang selanjutnya harus
dianalisis dan diambil
generalisasinya. Dalam
menentukan konsep pertanyaan
kepada informan.
b. Jenis Data
1. Data Primer
Data ini merupakan data
yang diperoleh secara
langsung melalui objek yang
akan diteliti, dengan sumber
data yang dikumpulkan
langsung dari pihak pertama
berupa pendapat subyektif
karena berbentuk persepsi
pribadi masing-masing yang
diterima dari pihak pertama
(orang yang dijadikan obyek
penelitian). Data primer
didapatkan melalui
wawancara untuk
mengetahui dimensi yang
mempengaruhi partisipasi
politik.
2 Data Sekunder
Data yang sifatnya sudah
obyektif, dimana data
sekunder merupakan data
yang tidak diperoleh secara
langsung oleh peneliti,
melainkan bersumber dari
data-data yang telah ada dan
tersedia. Data sekunder ini
berfungsi dalam
memperkuat keabsahan data
primer. Data sekunder dalam
penelitian ini berupa data
jumlah penduduk,
monografi kelurahan,
struktur organisasi dan
keadaan masyarakat wilayah
pasar Tanjungpinang Kota
dan khususnya masyarakat
etnis tionghoa di wilayah
pasar Tanjungpinang Kota.
G. Teknik analisa data
Analisa data merupakan
bagian yang sangat penting dalam
metode penelitian karena dengan
analisa data tersebut dapat diberi arti
dan makna yang berguna dalam
memecahkan masalah penelitian.
Analisa data yang dilakukan
semenjak awal sampai akhir penelitian
bertujuan untuk memahami makna yang
terkandung dalam data. Data yang
diperoleh akan dianalisa melalui analisa
deskriptif kualitatif, yaitu data yang
diperoleh dilukiskan atau digambarkan
secara sistematis sehingga dapat
diperoleh suatu kesimpulan. Dalam
penelitian ini menggunakan teknik
analisis deskriptif kualitatif, menurut
Bogdan dan Biklen (Moleong,
2004:248) teknik analisis data
merupakan upaya yang dilakukan
dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-
milahnya dalam satuan yang dapat
dikelola, mensintesiskannya, mencari
dan menemukan pola, menemukan apa
yang penting dan apa yang dipelajari
dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain.
12
Moleong (2004:35) menyatakan
analisa dan kualitatif adalah proses
pengorganisasian, dan penguratan data
kedalam pola dan kategori serta satu
uraian dasar, sehingga dapat
dikemukakan tema yang seperti
disarankan oleh data. Adapun langkah –
langkah analisa data yang dilakukan
adalah : (1) menelaah dari semua data
yang tersedia dari berbagai sumber, (2)
reduksi data yang dilakukan dengan
membuat abstraksi, (3) menyusun data
kedalam satuan-satuan, (4)
pengkategorian data sambil membuat
koding, (5) mengadakan pemeriksaaan
keabsahan data, dan (6) penafsiran data
secara deskriptif.
LANDASAN TEORITIS
1. Partisipasi
Partisipasi selain telah
menjadi kata kunci dalam
pembangunan, juga menjadi salah
satu karakteristik dari
penyelenggaraan pemerintah yang
baik. Secara etimologi, partisipasi
berasal dari bahasa inggris
“participation” yang berarti
mengambil bagian/keikutsertaan.
Dalam kamus lengkap Bahasa
Indonesia dijelaskan “partisipasi”
berarti: hal turut berperan serta
dalam suatu kegiatan, keikutsertaan,
peran serta. Secara umum
pengertian dari partisipasi
masyarakat dalam pembangunan
adalah keperan sertaan semua
anggota atau wakil-wakil
masyarakat untuk ikut membuat
keputusan dalam proses
perencanaan dan pengelolaan
pembangunan termasuk di
dalamnya memutuskan tentang
rencana-rencana kegiatan yang akan
dilaksanakan, manfaat yang akan
diperoleh, serta bagaimana
melaksanakan dan mengevaluasi
hasil pelaksanaannya.
Partisipasi berarti peran
serta seseorang atau kelompok
masyarakat dalam proses
pembangunan baik dalam bentuk
pernyataan maupun dalam bentuk
kegiatan dengan memberi masukan
pikiran, tenaga, waktu, keahlian,
modal dan atau materi, serta ikut
memanfaatkan dan menikmati hasil-
hasil pembangunan (I Nyoman
Sumaryadi, 2010: 46).
H.A.R.Tilaar, (2009: 287)
mengungkapkan partisipasi adalah
sebagai wujud dari keinginan untuk
mengembangkan demokrasi melalui
proses desentralisasi dimana
diupayakan antara lain perlunya
perencanaan dari bawah (bottom-
up) dengan mengikutsertakan
masyarakat dalam proses
perencanaan dan pembangunan
masyarakatnya. Menurut
Sundariningrum dalam Sugiyah
(2001: 38) mengklasifikasikan
partisipasi menjadi 2 (dua)
berdasarkan cara keterlibatannya,
yaitu :
a. Partisipasi Langsung
Partisipasi yang terjadi apabila
individu menampilkan kegiatan
tertentu dalam proses partisipasi.
Partisipasi ini terjadi apabila setiap
orang
dapat mengajukan pandangan,
membahas pokok permasalahan,
mengajukan keberatan terhadap
keinginan orang lain atau terhadap
ucapannya.
b. Partisipasi tidak langsung
Partisipasi yang terjadi apabila
individu mendelegasikan hak
partisipasinya.
Cohen dan Uphoff yang dikutip
oleh Siti Irene Astuti D (2011: 61-63)
13
membedakan patisipasi menjadi empat
jenis, yaitu pertama, partisipasi dalam
pengambilan keputusan. Kedua,
partisipasi dalam pelaksanaan. Ketiga,
partisipasi dalam pengambilan
pemanfaatan. Dan Keempat, partisipasi
dalam evaluasi.
1. Pertama, partisipasi dalam
pengambilan keputusan.
Partisipasi ini terutama
berkaitan dengan penentuan
alternatif dengan masyarakat
berkaitan dengan gagasan atau
ide yang menyangkut
kepentingan bersama. Wujud
partisipasi dalam pengambilan
keputusan ini antara lain seperti
ikut menyumbangkan gagasan
atau pemikiran, kehadiran dalam
rapat, diskusi dan tanggapan
atau penolakan terhadap
program yang ditawarkan.
2. Kedua, partisipasi dalam
pelaksanaan meliputi
menggerakkan sumber daya
dana, kegiatan administrasi,
koordinasi dan penjabaran
program. Partisipasi dalam
pelaksanaan merupakan
kelanjutan dalam rencana yang
telah digagas sebelumnya baik
yang berkaitan dengan
perencanaan, pelaksanaan
maupun tujuan.
3. Ketiga, partisipasi dalam
pengambilan manfaat.
Partisipasi dalam pengambilan
manfaat tidak lepas dari hasil
pelaksanaan yang telah dicapai
baik yang berkaitan dengan
kualitas maupun kuantitas. Dari
segi kualitas dapat dilihat dari
output, sedangkan dari segi
kuantitas dapat dilihat dari
presentase keberhasilan
program.
4. Keempat, partisipasi dalam
evaluasi. Partisipasi dalam
evaluasi ini berkaitan dengan
pelaksanaan pogram yang sudah
direncanakan sebelumnya.
Partisipasi dalam evaluasi ini
bertujuan untuk mengetahui
ketercapaian program yang
sudah direncanakan sebelumnya
Berdasarkan beberapa definisi di
atas maka dapat disimpulkan bahwa
partisipasi adalah keterlibatan suatu
individu atau kelompok dalam
pencapaian tujuan dan adanya
pembagian kewenangan atau tanggung
jawab bersama.
Menurut Oakley (1991: 22-
26),mengartikan partisipasi dalam tiga
bentuk yaitu:
1. Partisipasi sebagai bentuk
kontribusi, yaitu interpretasi
dominan dari partisipasi
dalam pembangunan di dunia
ke tiga adalah melihatnya
sebagai suatu keterlibatan
secara sukarela atau bentuk
kontribusi lainnya.
2. Partisipasi sebagai organisasi,
meskipun diwarnai dengan
perdebatan panjang diantara
para praktisi dan teoritis
mengenai organisasi sebagai
instrumen yang fundamental
bagi partisipasi, namun
dikemukakan bahwa
perbedaan organisasi dan
partisipasi terletak pada
hakekat bentuk
organisasional yang bisa atau
organisasi yang muncul dan
dibentuk sebagai hasil dari
adanya partisipasi.
Selanjutnya dalam
melaksanakan partisipasi
dapat dilakukan melalui
beberapa dimensi, yaitu :
14
a. Sumbangan pikiran ( ide
atau gagasan)
b. Sumbangan materi
(dana, barang, alat)
c. Sumbangan tenaga
(bekerja atau memberi
kerja)
d. Memanfaatkan /
melaksanakan pelayanan
pembangunan.
3. Partisipasi sebagai
pemberdayaan.
Tjokroamidjojo (1994:226-228),
mengatakan bahwa ada tiga hal penting
yang mempengaruhi partisipasi
masyarakat dalam pembangunan yaitu :
1. Masalah Kepemimpinan. Ia
menjelaskan bahwa unsur
pertama dari proses
pengendalian usaha dalam
pembangunan ditentukan
sekali oleh adanya serta
kualitas kepemimpinan.
Peranan kepemimpinan
nasional dan kepemimpinan
politik suatu bangsa adalah
amat menentukan. Bahkan
seringkali menjadi penentu
utama dari bisa tidaknya
proses pembangunan
terselenggara.
2. Komunikasi. Ia menjelaskan
bahwa supaya masyarakat
terlibat dalam suatu sistem dan
dalam pengendalian tujuan-
tujuan pembangunan,
hendaklah administrasi
pemerintah menjangkau
(penetrasi) golongan
masyarakat yang paling jauh
dan yang paling perlu bagi
berhasilnya usaha-usaha
pembangunan.
3. Pendidikan. Ia menjelaskan
bahwa tingkat pendidikan yang
memadai akan memberikan
kesadaran yang lebih tinggi
dalam berwarga negara, dan
memudahkan bagi
pengembangan nilai-nilai dan
sikap-sikap kualitas hidup
sebagai bangsa. Lebih lanjut
Bintoro mengatakan bahwa
mengenai pendidikan ini
perhatian tidak saja diberikan
mengenai pendidikan formal
tetapi untuk kepentingan
partisipasi perhatian pun perlu
diberikan kepada pendidikan
non formal.
Pendapat yang dikemukakan
Tjokroamidjojo di atas, menyiratkan
bahwa kepemimpinan, komunikasi dan
pendidikan merupakan penyebab
menculnya partisipasi masyarakat
dalam pembangunan. Pandangan lain
pula dikemukakan oleh Ndraha
(2003:47) yang mengatakan bahwa ada
beberapa unsur penting yang turut
mempengaruhi partisipasi masyarakat
yakni :
1. Komunikasi yang
menumbuhkan pengertian yang
efektif dan berhasil
2. Perubahan sikap, pendapat dan
tingkah laku yang diakibatkan
oleh pengertian yang
meumbuhkan kesadaran.
3. Kesadaran yang didasarkan
kepada perhitungan dan
pertimbangan.
4. Antusiasme yang meimbulkan
spontanitas, yaitu kesediaan
melakukan sesuatu yang tumbuh
dari dalam tubuh sendiri tanpa
dipaksa orang lain.
5. Adanya rasa tanggung jawab
terhadap kepentingan bersama.
` Partisipasi dapat diterapkan
secara efektif, jika manajemen puncak
serta para manajer tingkat bawah
15
bekerjasama dalam memahami dan
menerapkan partisipasi dalam
organisasi mereka, jika hal tersebut
telah dilakukan partisipasi akan berhasil
diterapkan dalam kondisi apapun,dan
sebaliknya apabila manajemen puncak
serta manajer tingkat bawah tidak
bersungguh-sungguh dalam
menerapkan partisipasi bahkan dalam
organisasi yang paling demokratis dan
desentralisasi sekalipun, partisipasi
tidak akan sukses untuk diterapkan.
Kata partisipasi sering dikaitkan dengan
kegiatan-kegiatan yang bernuansa
pembangunan, pengambilan keputusan,
kebijakan, pelayanan pemerintah.
Sehingga partisipasi itu memiliki arti
yang penting dalam kegiatan
pembangunan, dimana pembangunan
itu bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan yang diinginkan masyarkat.
Bhattacharyya (dalam Ndraha,2003:
102) mengartikan partisipasi sebagai
pengambilan bagian dalam kegiatan
bersama, sedangkan Mubyarto (dalam
Ndraha,2003 102) juga menyebutkan
bahwa partisipasi sebagai kesediaan
untuk membantu berhasilnya setiap
program sesuai kemampuan setiap
orang tanpa berarti mengorbankan
kepentingan diri sendiri.
Wahyudi Kumorotomo
(2009:112-114) mengatakan bahwa
partisipasi adalah berbagai corak
tindakan massa maupun individual yang
memperlihatkan adanya hubungan
timbal balik antara pemerintah dengan
warganya. Dalam pembangunan,
partisipasi semua unsur masyarakat
dengan kerja sama sukarela merupakan
kunci utama bagi keberhasilan
pembangunan. Soehardjo (dalam
Tangkilisan 2005: 321). Dalam hal ini
partisipasi berfungsi menumbuhkan
kemampuan masyarakat untuk
berkembang secara mandiri (self-
reliance) dalam usaha memperbaiki
taraf hidup masyarakat. Davis (dalam
Tangkilis 2005: 321) memberikan
pengertian partisipasi sebagai berikut:
“Participation is defined as an
individual as mental and emosional
involvement in a groupsituasion that
encourages him to contribute to group
goal and share responsibility for them.”
Bila diterapkan dalam pembangunan,
maka pendapat Keith Davis ini
mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
1. Adanya keterlibatan mental dan
emosi individu dalam melakukan
aktifitas kelompok;
2. Adanya motivasi individu untuk
memberikan kontribusi tergerak yang
dapat
berwujud barang, jasa, buah pikiran,
tenaga, dan keterampilan;
3. Timbulnya rasa tanggung jawab
dalam diri individu terhadap aktivitas
kelompok dalam usaha pencapaian
tujuan.
Dalam hubungannya dengan palaku-
pelaku yang terlibat dalam aktifitas
pembangunan, Nelson (dalam
Tanggkilisan 2005:323) menyebutkan
adanya dua macam bentuk partisipasi,
yaitu: (1). Partisipasi Horizontal yaitu
partisipasi di antara sesama warga atau
anggota masyarakat, di mana
masyarakat mempunyai kemampuan
secara bersama suatu kegiatan
pembangunan; (2). Partisipasi Vertikal
yaitu partisipasi antara masyarakat
sebagai suatu keseluruhan dengan
pemerintah, dalam hubungan dimana
masyarakat berada pada posisi sebagai
pengikut atau klien.
2. Partisipasi Politik
Partisipasi secara harfiah
berarti keikutsertaan, dalam konteks
politik hal ini mengacu pada pada
keikutsertaan warga dalam berbagai
16
proses politik. Keikutsertaan warga
dalam proses politik tidaklah hanya
berarti warga mendukung keputusan
atau kebijakan yang telah digariskan
oleh para pemimpinnya, karena
kalau ini yang terjadi maka istilah
yang tepat adalah mobilisasi politik.
Partisipasi politik adalah
keterlibatan warga dalam segala
tahapan kebijakan, mulai dari sejak
pembuatan keputusan sampai
dengan penilaian keputusan,
termasuk juga peluang untuk ikut
serta dalam pelaksanaan keputusan.
Partisipasi politik dapat
bersifat indivual maupun kolektif,
secara terorganisasi maupun
spontan, sehingga Huntington dan
Nelson (2000:42) menyebutkan
bahwa ”Partisipasi politik sebagai
kegiatan warga negara yang
bertindak sebagai pribadi, yang
dimaksud untuk mempengaruhi
keputusan pemerintahan”
Partisipasi politik
merupakan suatu aktivitas atau
kegiatan seseorang/sekelompok
orang yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi kebijakan
pemerintah lewat partai politik,
yang kemudian diagregasikan oleh
partai politik. Akan tetapi tuntutan
(ide-ide) dari anggota partai
politiklah yang mendapat porsi.
Sedangkan partisipasi politik
menurut Budiarjo (2003:12),
memakai pengertian sebagai berikut
: ”Partisipasi politik sebagai
kegiatan seseorang atau sekelompok
orang untuk ikut serta dalam politik,
yaitu dengan jalan memilih
pemimpin negara, secara langsung
ataupun langsung ikut
mempengaruhi kebijakan
pemerintah”.
Berpartisipasi politik dalam
kehidupan politik merupakan hak
bagi setiap warga negara, untuk
mempengaruhi pembuatan/proses
kebijakan politik. Partisipasi
tersebut dapat berupa tuntutan atau
dukungan dari pada hasil kebijakan
publik. Bentuk partisipasi politik
selain mempengaruhi proses
kebijakan adalah memilih
pemimpin (jabatan politis),
partisipasi tersebut merupakan
partisipasi aktif. Usaha
mempengaruhi proses kebijakan
tersebut biasanya dilakukan oleh
masyarakat secara terorganisir,
sehingga menurut Maran
(2001;147) menegaskan bahwa
”Partisipasi politik merupakan
usaha terorganisir oleh warga
negara untuk memilih pemimpin-
pemimpin mereka dan
mempengaruhi bentuk dan jalannya
kebijakan umum”.
Sejalan dengan hal tersebut
di atas maka Paige yang dikutip
oleh Ramlan (2010:140)
mengemukakan pendapatnya yaitu
”Partisipasi politik
merupakan keikut-sertaan
warga negara biasa dalam
menentukan segala
keputusan yang
menyangkut/mempengaruhi
hidupnya. Adapun Keikut-
sertaan yang dimaksud
antara lain : 1).Mengajukan
tuntutan, 2).melaksanakan
/mendukung keputusan,
3).mengajukan kritik/koreksi
atas pelaksanaan suatu,
kebijakan umum,
4).mendukung /menentang
calon pemimpin tertentu,
5).mengajukan alternatif
pemimpin dan memilih
17
wakil rakyat dalam
pemilihan umum serta ikut
dalam kehidupan politik
seperti ; ikut
mensosialisasikan program
partai politik, ikut menjadi
pengurus partai politik, ikut
membayar iuran
keanggotaan, ikut dalam
kampanye, ikut memberikan
suara dalam pemilihan
umum, ikut dalam
demonstrasi
(konvensional/in-
konvensional)”.
Atas dasar teori yang
dikemukakan oleh Paige sebagai
dasar teori partisipasi politik.
Memilih definisi Paige sebagai
landasan teori dalam penelitian ini,
dimana menurut landasan teori ini
memakai pengertian bahwa yang
terlibat dalam partisipasi politik
adalah masyarakat biasa.
Ramlan (2010:145)
menjelaskan berdasarkan tinggi-
rendahnya kedua faktor (kesadaran
dan kepercayaan) tersebut, dimana
partisipasi politik masyarakat dibagi
menjadi 4 (empat) tipe yaitu :
a. Partisipasi politik aktif apabila
seseorang memiliki kesadaran
politik dan kepercayaan kepada
pemerintahan yang tinggi.
contohnya mengajukan usul
mengenai suatu kebijakan
umum, mengajukan kritik dan
perbaikan untuk meluruskan
kebijakan pemerintah.
b. Partisipasi politik apatis/alienasi
apabila kesadaran politik dan
kepercayaan politik kepada
pemerintah rendah. Contohnya
kegiatan yang hanya menaati
pemerintah, menerima, dan
melaksanakan setiap keputusan
pemerintah.
c. Partisipasi politik radikal
apabila kesadaran politik tinggi
tetapi kepercayaan kepada
pemerintah sangat rendah.
Radikalisme berarti suatu
konsep atau semangat yang
berupaya mengadakan
perubahan kehidupan politik
secara menyeluruh, dan
mendasar tanpa
memperhitungkan adanya
peraturan-peraturan /ketentuan-
ketentuan konstitusional, politis,
dan sosial yang sedang berlaku.
d. Partisipasi politik pasif apabila
kesadaran politik sangat rendah
tetapi kepercayaan kepada
pemerintah sangat tinggi, yakni
bersikap tidak peduli terhadap
situasi politik di tempatnya.
Bentuk partisipasi politik
seseorang tampak dalam aktivitas-
aktivitas politiknya. Bentuk
partisipasi politik yang paling
umum adalah pemungutan suara
atau dikenal dengan istilah voting,
apakah itu untuk memilih calon
para wakil rakyat, apakah itu untuk
memilih presiden dan lain
sebagainya. Oleh karena itu Rush
dan Althoff (2003 : 56)
mengidentifikasikan bentuk-bentuk
partisipasi politik yang mungkin
sebagai berikut :
a. Mencari jabatan politik /
administratif,
b. Menjadi anggota pasif
organisasi politik,
c. Menjadi partisipan dalam rapat
umum, demonstrasi, dan
sebagainya,
d. Menjadi partisipan dalam
diskusi politik informal,
18
e. Menjadi partisipan dalam
pemungutan suara (voting).
Seberapa jauh orang
berpartisipasi politik dalam
kehidupan politik? Perlu
diperhatikan bahwa tanpa
partisipasi politik, kehidupan politik
akan mengalami kemacetan. Namun
pandangan tentang pentingnya
partisipasi politik berbeda dari
sistem politik yang satu ke sistem
politik yang lain. Sejalan dengan hal
tersebut, maka Maurice (2003 : 20)
menyatakan bahwa terdapat
perbedaan yang mendasar dari tipe
partisipasi politik menurut kriteria
masyarakatnya, kriteria tersebut
antara lain :
a. Masyarakat
Primitif/Awam. Dalam
masyarakat primitif
dimana politik cenderung
erat terintegrasi dengan
kegiatan masyarakat pada
umumnya, partisipasi
condong tinggi dan
mungkin sulit untuk
membedakannya dari
kegiatan yang lain.
b. Masyarakat Berkembang.
Dalam masyarakat
berkembang, karena
adanya kombinasi dari
institusi dan pengaruh
modern dan tradisional,
partisipasi mungkin
dibatasi oleh faktor-faktor
seperti tingkatan
pendidikan dan masalah
umum dari komunikasi
partisipasi politik dibatasi
oleh berbagai faktor,
dalam beberapa bentuk
partisipasi mungkin sangat
tinggi, dan yang lainnya
mungkin sangat rendah.
c. Masyarakat Totaliter.
Salah satu karakteristik
paling penting dari
masyarakat totaliter adalah
bahwa mereka berusaha
mengontrol partisipasi
dalam proses politik pada
semua tingkatan.
Sedangkan Milbrath (2000
: 44) menyebutkan bahwa
terdapat 4 faktor utama yang
mendorong orang berpartisipasi
politik, antara lain :
a. Sejauh mana orang
menerima perangsang
politik.
Karena adanya
perangsang, maka
seseorang mau
berpartisipasi
dalam kehidupan
politik. Dalam hal
ini minat untuk
berpartisipasi
dipengaruhi
misalnya oleh
sering mengikuti
diskusi-diskusi
politik melalui
media atau melalui
diskusi formal.
b. Faktor
karakteristik
pribadi seseorang.
Orang-orang yang
berwatak sosial
yang mempunyai
kepedulian sosial
yang besar
terhadap problem
sosial, politik,
ekonomi, sosial
budaya pertahanan
dan keamanan,
biasanya mau
19
terlibat dalam
aktivitas politik.
c. Karakteristik sosial
seseorang.
Karakter sosial
menyangkut status
sosial ekonomi,
kelompok ras,
etnis dan agama
seseorang.
Bagaimanapun
juga lingkungan
sosial itu ikut
mempengaruhi
persepsi, sikap,
perilaku seseorang
dalam bidang
politik. Orang
yang berasal dari
lingkungan sosial
yang lebih rasional
dan menghargai
nilai-nilai seperti
keterbukaan,
kejujuran, keadilan
dan lain-lain tentu
akan mau juga
memperjuangkan
tegaknya nilai-nilai
tersebut dalam
bidang politik.
Oleh sebab itulah,
mereka mau
berpartisipasi
dalam bidang
politik.
d. Keadaan politik.
Lingkungan politik
yang kondusif
membuat orang
dengan senang hati
berpartisipasi
dalam kehidupan
politik. Dalam
lingkungan politik
yang demokratis
orang merasa lebih
bebas dan nyaman
untuk terlibat
dalam aktivitas-
aktivitas politik
daripada dalam
lingkungan politik
yang totaliter.
Lingkungan politik
yang sering diisi
dengan aktivitas-
aktivitas brutal dan
kekerasan dengan
sendirinya
menjauhkan
masyarakat dari
wilayah politik.
”Partisipasi politik
masyarakat dalam rencana
pembangunan harus sudah dimulai
sejak saat perencanaan kemudian
pelaksanaan dan seterusnya
pemeliharaan”. Ramlan (2010:16).
Sejalan dengan hal tersebut di atas,
bahwa Huntington (2000:270)
memaparkan :
”Kegiatan masyarakat
yang disebut
partisipasi politik
adalah perilaku politik
lembaga dan para
pejabat pemerintah
yang bertanggung
jawab membuat,
melaksanakan dan
menegakkan
keputusan politik,
perilaku politik
masyarakat
(individu/kelompok)
yang berhak
mempengaruhi
lembaga dan pejabat
pemerintah dalam
pengambilan
keputusan politik,
20
karena menyangkut
kehidupan
masyarakat”.
Dedi Irawan (Dalam Efriza:
2012: 201) ada empat nilai partisipasi
politik yang akan menambah bobot
dalam partisipasi politik, yaitu:
1. Tingkat insiatif
Inisiatif diartikan sebagai
kesadaran dari individu atau
kelompok untuk melakukan
sendiri kegiatan partisipasi
politik tanpa adanya faktor dari
kelompok lain seperti seperti
tekanan, pengaruh atau paksaan
2. Toleransi terhadap perbedaaan
pendapat
Cerminan dari kehidupan
demokrasi adalah sikap toleran
terhadap segala perbedaan yang
ada di lingkungan politiknya.
3. Tingkat kebersamaan
(Konsensus)
Konsensus adalah nilai
partisipasi yang membutuhkan
kebersamaan dalam
memecahkan permasalahan
politik yang timbul.
4. Besarnya keberhasilan output
Nilai ini adalah akhir dari suatu
proses partisipasi. Besarnya
keberhasilan partisipasi amat
ditentukan dalam beberapa hal
termasuk bagaimana intensitas
partisipasi yang dijalankan
GAMBARAN UMUM LOKASI
PENELITIAN
Etnis Tionghoa menjadi
fenomenal dalam dunia politik electoral
sejak reformasi bergulir. Situasi ini
mengisyaratkan bahwa terjadi
perubahan prilaku politik dalam tubuh
etnis Tionghoa yang selama ini
cenderung non politis, sekarang justru
masuk dalam situasi yang berbeda.
Partisipasi masyarakat etnis tionghoa
diperpolitikan Indonesia di era
Reformasi ini telah membuat kota ini
menjadi Kota Pertama yang pernah
memiliki ketua DPRD kota yang
berasal dari keturunan etnis tionghoa.
Robby patria Jayanto pengukir sejarah,
setidaknya di Museum Rekor Indonesia
(Muri) ia tercatat sebagai warga
Tionghoa pertama yang menjadi ketua
DPRD Indonesia yaitu di Kota
Tanjungpinang. Hasil tersebut
berdasarkan hasil rekapitulasi data
Komisi Pemilihan Umum Kota
Tanjungpinang tahun 2004 bahwa
pemeroleh suara terbanyak diantara 25
anggota yang terpilih dalam pemilu
2004 (Komisi Pemilihan Umum).
Berdasarkan fakta-fakta yang
muncul, melihat kondisi diatas
membuktikan kontribusi dan partisipasi
politik etnis Tionghoa di Kota
Tanjungpinang cukup besar di era
Reformasi ini. Hal inilah yang membuat
penulis mencoba meneliti dan berusaha
untuk menggambarkan bagaimana
budaya politik dari etnis Tionghoa
dilihat dari keterlibatannya dalam
kancah perpolitikan di Indonesia
khususnya di Tanjungpinang pada era
Reformasi.
PEMBAHASAN
1. Tingkat insiatif
Inisiatif diartikan sebagai
kesadaran dari masyarakat Tionghoa
untuk melakukan sendiri kegiatan
partisipasi politik tanpa adanya faktor
dari kelompok lain seperti seperti
tekanan, pengaruh atau paksaan. Hal ini
dapat dilihat dari indikator:
21
a. Memberikan suara pada saat
pemilu berlangsung maupun
kegiatan kampanye yang dilakukan
salah satu calon legislative.
Dari hasil wawancara yang
dilakukan maka dapat dianalisa bahwa
dalam memberikan hak suaranya etnis
tionghoa di kelurahan tanjungpinang
kota sudah melakukannya dengan baik
hanya saja yang terjadi adalah
kesalahan pemasukan data sehingga
masih ada etnis tionghoa di kelurahan
tanjungpinang kota yang tidak dapat
memberikan hak suaranya karena tidak
terdaftar dan tidak memiliki kartu
pemilih. Pemilih yang baru terlibat
dalam kegiatan pemilihan digolongkan
dalam pemilih pemula. Faktor yang
mempengaruhi partisipasi tersebut bisa
dari dalam diri individu itu sendiri
seperti adanya kesadaran yang dimiliki
pemilih pemula maupun faktor
pendorong lainnya yaitu dukungan dari
berbagai pihak seperti dorongan dari
keluarga, teman-teman yang dilakukan
melalui komunikasi politik dalam
kehidupan sehari-hari.
b. Adanya antusias dari masyarakat
tionghoa untuk menyambut pesta
demokrasi
Dari hasil wawancara yang
dilakukan dengan seluruh informan
maka dapat dianalisa bahwa masih
kurangnya kesadaran etnis tionghoa
dalam pemilihan 2014. Dan hal ini
harus segera diantisipasi agar tidak
terulang kembali di pemilihan
berikutnya. etnis tionghoa harus
memiliki kesadaran terhadap keadaan
politik yang ada disekitarnya. Dengan
kesadaran politik yang tinggi para
pemilih pemula diharapkan akan
memperhatikan program dan
melakukan penilaian yang kritis
terhadap kompetisi masing-masing
partai dan kandidiat dalam
memecahkan permasalahan.
Kurangnya pemahaman
masyarakat etnis tionghoa terhadap
pentingnya pemilihan umum menjadi
faktor utama mereka untuk tidak
berpartisipasi, di samping itu realitas
dalam kehidupan sehari-hari juga tidak
mengenalkan kepada mereka pada
perkembangan politik. Berkenaan
dengan hal tersebut di atas setelah
penulis melakukan survei penulis
menemukan partisipasi politik etnis
tionghoa pada Wilayah Pasar
Tanjungpinang Kota masih cukup
memprihatinkan, dimana hal ini penulis
sampaikan bahwa terdapat beberapa
gejala, antara lain dalam pengamatan
yang dilakukan sementara dapat dilihat
bahwa adanya masyarakat etnis
tionghoa dalam kehidupan politik
mereka hanya sekedar ikut-ikutan.
Adanya anggapan dari sebagian
kelompok Etnis Tionghoa Pada
Wilayah Pasar Tanjungpinang Kota
bahwa anggota legislatif maupaun
pemerintah yang merupakan wakil dari
masyarakat belum dapat
memperjuangkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan keinginan masyarakat
khususnya masyarakat dari etnis
tionghoa.
2. Toleransi terhadap perbedaaan
pendapat
Berdasarkan hasil wawancara
dengan informan maka dapat dianalisa
bahwa sikap toleran sudah ditunjukan
etnis tionghoa pada pemilu tahun 2014,
tidak ada terjadi konflik. Sebagian besar
dari mereka menjaga agar tidak terjadi
konflik horizontal. Konflik horisontal
yang dimaksudkan adalah konflik antar
kelompok masyarakat yang disebabkan
oleh berbagai faktor seperti ideologi
politik, ekonomi dan faktor primordial.
Sedangkan konflik vertikal maksudnya
22
adalah konflik antara
pemerintah/penguasa dengan warga
masyarakat.
3. Tingkat kebersamaan (Konsensus)
Dari hasil wawancara yang
dilakukan maka dapat dianalisa bahwa
sudah banyak etnis tionghoa di
Kelurahan Tanjungpinang Kota yang
berpartisipasi dalam kampanye. Hal ini
dapat dilihat dari setiap partai politik
mengadakan kampanye pasti tidak
ketinggalan etnis tionghoa ada
didalamnya. Bagi sebagian etnis
tionghoa yang sudah faham dunia
politik, memiliki segmentasi tersendiri,
sehingga tidak jarang mereka
menentukan pilihan yang sesuai dengan
jiwa mereka. Begitu juga dengan
keikutsertaan mereka dalam kampanye
yang memiliki banyak motif. Apapun
faktornya etnis tionghoa hendaknya
memahami terlebih dahulu. Apa itu
pemilu dan tujuannya serta apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan saat
berkampanye.
4. Besarnya keberhasilan output
Nilai ini adalah akhir dari suatu
proses partisipasi. Besarnya
keberhasilan partisipasi amat ditentukan
dalam beberapa hal termasuk
bagaimana intensitas partisipasi yang
dijalankan. Hal ini dapat dilihat dari
indikator:
a. Aktif dalam kegiatan politik
Dari hasil wawancara yang
dilakukan kepada seluruh informan
diatas diketahui bahwa etnis tionghoa
masih belum aktif dalam mengikuti
kegiatan politik pada tahun 2014. Hal
ini dikarenakan berbagai faktor seperti
salah satunya adalah kurangnya
pengetahuan etnis tionghoa terhadap
pemilu itu sendiri. Disini juga dituntut
peran aktif dari KPU sendiri untuk
dapat mensosialisakannya kepada para
etnis tionghoa tersebut.sehingga
tercapai pemilihan yang demokratis dan
objektif. Selain itu disini juga diminta
keaktifan para etnis tionghoa untuk
dapat mencermati situasi dan dapat
menambah pengetahuan mereka sendiri
terhadap pemilu sehingga mereka
sendiri tidak kecewa. Dalam hal ini
etnis tionghoa memang harus disiapkan
untuk menjadi pemilih yang cerdas
sehingga tidak bisa jatuh dalam
eksploitasi politik. Saat dilakukan
observasi di Kelurahan ini maka
diketahui bahwa sebagian besar etnis
tionghoa memilih untuk tidak terlalu
memikirkan dampak ketika mereka
salah memilih calon hal ini disebabkan
kurangnya pengetahuan mereka
terhadap Pemilu, dan tujuan dari Pemilu
itu sendiri.
b. Ikut dalam pengurusan partai
Dari hasil wawancara yang
dilakukan kepada seluruh informan
diatas diketahui bahwa etnis tionghoa
masih belum aktif dalam mengikuti
kegiatan politik pada tahun 2014. Hal
ini dikarenakan berbagai faktor seperti
salah satunya adalah kurangnya
pengetahuan etnis tionghoa terhadap
pemilu itu sendiri. Disini juga dituntut
peran aktif dari KPU sendiri untuk
dapat mensosialisakannya kepada para
etnis tionghoa tersebut.sehingga
tercapai pemilihan yang demokratis dan
objektif. Selain itu disini juga diminta
keaktifan para etnis tionghoa untuk
dapat mencermati situasi dan dapat
menambah pengetahuan mereka sendiri
terhadap pemilu sehingga mereka
sendiri tidak kecewa. Dalam hal ini
etnis tionghoa memang harus disiapkan
untuk menjadi pemilih yang cerdas
sehingga tidak bisa jatuh dalam
eksploitasi politik. Saat dilakukan
observasi di Kelurahan ini maka
diketahui bahwa sebagian besar etnis
23
tionghoa memilih untuk tidak terlalu
memikirkan dampak ketika mereka
salah memilih calon hal ini disebabkan
kurangnya pengetahuan mereka
terhadap Pemilu, dan tujuan dari Pemilu
itu sendiri.
Berdasarkan seluruh jawaban
dengan informan dari seluruh dimensi
yang ada dalam penelitian ini maka
temuan yang ada bahwa selama ini para
etnis tionghoa yang masuk di dalam
dunia politik lebih bersifat
perseorangan atau pribadi atas
kemauannya sendiri bukan karena
adanya dukungan khusus dari
komunitas etnis yang ada. Hal ini di
dasari oleh banyak faktor mulai dari
pengetahuan masyarakat etnis tionghoa
tentang politik sangat terbatas, seperti
mereka hanya memahami arti dari
pemilu adalah kewajiban memilih saja,
mereka tidak begitu memahami tujuan
dari pemilu tersebut, sama halnya
dengan perpolitikan, masyarakat
tionghoa selalu beranggapan negatif
terhadap politik, politik selalu dikaitkan
dengan kejahatan dan kehancuran
karena adanya trauma masa lalu
terhadap perlakuan yang didapatkan
selama bertahun-tahun sebelum
reformasi.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian
maka dapat dianalisa bahwa masih
kurangnya partisipasi etnis tionghoa
dalam pemilihan legislatif tahun 2014
walaupun dalam memberikan hak
suaranya etnis tionghoa di kelurahan
tanjungpinang kota sudah
melakukannya dengan baik, kemudian
adanya sikap toleran sudah ditunjukan
etnis tionghoa pada pemilu tahun 2014,
tidak ada terjadi konflik. Sebagian besar
dari mereka menjaga agar tidak terjadi
konflik horizontal. Konflik horisontal
yang dimaksudkan adalah konflik antar
kelompok masyarakat yang disebabkan
oleh berbagai faktor seperti ideologi
politik, ekonomi dan faktor primordial.
Kemudian diketahui bahwa
belum banyak etnis tionghoa di
Kelurahan Tanjungpinang Kota yang
berpartisipasi dalam kampanye. Bagi
sebagian etnis tionghoa yang sudah
faham dunia politik, memiliki
segmentasi tersendiri, sehingga tidak
jarang mereka menentukan pilihan yang
sesuai dengan jiwa mereka. Begitu juga
dengan keikutsertaan mereka dalam
kampanye yang memiliki banyak motif.
Apapun faktornya etnis tionghoa
hendaknya memahami terlebih dahulu.
Apa itu pemilu dan tujuannya serta apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan
saat berkampanye.
Partisipasi etnis tionghoa yang
rendah yaitu etnis tionghoa masih
belum aktif dalam mengikuti kegiatan
politik pada tahun 2014. Hal ini
dikarenakan berbagai faktor seperti
salah satunya adalah kurangnya
pengetahuan etnis tionghoa terhadap
pemilu itu sendiri. Disini juga dituntut
peran aktif dari KPU sendiri untuk
dapat mensosialisakannya kepada para
etnis tionghoa tersebut.sehingga
tercapai pemilihan yang demokratis dan
objektif. Kemudian dapat dianalisa
bahwa di wilayah pasar Kelurahan
Tanjungpinang Kota etnis tionghoa
lebih senang ikut dalam kampanye
daripada masuk dalam kepengurusan
partai hal ini dikarenakan etnis tionghoa
rata-rata tidak tertarik dalam kehidupan
politik. Untuk itu dibutuhkan
pemahaman lebih lanjut terhadap
politik kepada etnis tionghoa.
Etnis tionghoa tidak ikut
berpartisipasi dalam kepengurusan
partai politik. Partai Politik seharusnya
24
merangkul etnis tionghoa dalam
pemilu. Ada baiknya Partai Politik
membuat perencanaan kegiatan untuk
para etnis tionghoa dalam langkah
pemenangan pemilunya. Melalui
kesadaran tentang karakter dan masuk
ke basis-basis etnis tionghoa melalui
kegiatan yang betul-betul diminati oleh
etnis tionghoa.
Saran
Adapun saran yang dapat
disampaikan adalah sebagai berikut
:
1. Sebaiknya ada sosialisasi untuk
para etnis tionghoa agar lebih
memahami tentang politik, dan
perlunya ikut serta dalam
kegiatan pemilu.
2. Sebaiknya partai politik
merangkul etnis tionghoa untuk
ikut dalam kegiatan partai,
seperti kepengurusan dan
melibatkan dalam kegiatan-
kegiatan politik agar
menumbuhkan kepercayaan
etnis tionghoa terhadap politik
yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Arfani, Riza Noer. 1996. Demokrasi
Indonesia Kontemporer.
Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada\
Budioarjo, Miriam. 2003. Partisipasi
dan Partai Politik. Jakarta :
Yayasan Obor Indonoesia
Christen Susanna tjhin. 2014. Bersatu
dalam takdir, KAMI
INDONESIA!.
http://cstjhin.blogspot.com/20
14/08
Deuvenger, Maurice. 2003. Sosiologi
politik. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada
Dwiningrum, Siti Irene Astuti. 2011.
Desentralisasi dan Partisipasi
Masyarakat dalam Pendidikan.
Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Eko, Sutoro. 2001. Dinamika Politik
Lokal di Indonesia: Politik
Pemberdayaan. Riau:
Seminar Internasional Ke
Dua.
Efriza. 2012. Political Explore, Sebuah
Kajian Ilmu Politik, Alfabeta,
Bandung
H.I, A.Rahman. 2007. Sistem Politik
Indonesia. Yogyakarta, Graha
Ilmu
H.A.R. Tilaar. 2009. Kekuasaandan
Pendidikan: Kajian
Menejemen Pendidikan.
Nasional dalam Pusaran
Kekuasaan. Jakarta: Rinika
Cipta
Huntington, Samuel, P. 2000. Political
Order and changing societies.
New Haven: Yale University
Press.
Ibrahim T.Y.2013. Muslims in China
atau Perkembangan Islam di
Tionghoa, terj: Joesoef Souy‟b,
Jakarta.
Maurice. 2003. Sosiologi Politik,
Rajawali Press, Jakarta
Milbrath, Lester, and Goel, ML. 1997.
Political Participation.
25
Chicago : Rand McNally
College Publishing Co
Moleong, Lexy. 2007. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung
: Remaja Rosda Karya
Ndraha, Taliziduhu. 2003 Kybernologi
Ilmu Pemerintahan Baru, Jilid
I. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Raga Maran, Rafael. 2001. Pengantar
Sosiologi Politik. Jakarta :
Rineka Cipta
Ramlan. 2010. Memahami Ilmu
Politik. Jakarta : Grasindo
Rush, Michael dan Philip Althoff.
(2002). Pengantar Sosiologi
Politik. Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada.
Sahdan, Gregorius. 2004. Jalan
Transisi Demokrasi Pasca
Soeharto, Bantul:Pustaka
Jogja Mandiri.
Sugiyono. 2001. Metodologi Penelitian
Sosial. Bandung : CV. Alfabeta
Sumaryadi, I Nyoman. 2010.
Efektivitas Implementasi
Kebijkan Otonomi Daerah.
Jakarta : Citra Utama
Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan
Etnis Tionghoa. Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia
Suryadinata, Leo. 2005. Pemikiran
Politik Etnis Tionghoa
Indonesia. Jakarta: LP3ES
Indonesia
Sochmawardiah, Hesti Armiwulan.
2013. Diskriminasi Rasial
Dalam Hukum HAM.
Yogyakarta: GENTA Publishing
Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2005.
Manajemen Publik. Jakarta:
Gramedia Widia Sarana
Indonesia
Tjokroamidjojo. 1994. Bintoro,
Perencanaan Pembangunan,
Jakarta, Masagung
Venus. 2004. Manajemen Kampanye;
Panduan Teoritis Dan Praktis.
Dalam Mengefektifkan
Kampanye Komunikasi.
Bandung Simbiosa Rekaatam
Media
Wahyudi. 2009. Kepemimpinan Kepala
Sekolah Dalam Organisasi
Pembelajaran (Learning
Organization). Pontianak.
Alfabeta
Zamzami. A. Karim. 2013.
Perkembanagan Komunitas
Politik. Yogyakarta : Stisipol
Raja Haji Press & Leutikaprio
Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 Tentang
Kewarganegaraan.
Website :
http://kepri.antaranews.com/berita/215
68/pakar-suara-etnis-tionghoa-
tidak-solid
Jurnal
Krismawati, Devi (2010) dalam
Partisipasi Politik Etnis
Tionghoa dalam Pemilu 2004
dan Pemilu 2009 di Surat Kabar
Harian Kompas (Analisis
Framing Pemberitaan tentang
Partisipasi Politik Etnis
Tionghoa dalam Pemilu 2004
dan Pemilu 2009 di Surat Kabar
Harian Kompas edisi Oktober
26
2003-September 2004 dan
Oktober 2008-September
2009). S1 thesis, UAJY
Eki Darmawan. 2013. Trust Yang
Dibangun Etnis Tionghoa
Dalam Politik Di Kepulauan
Riau (Study Kota
Tanjungpinang)
https://www.academia.edu.
Rizky Hani S.P (2013) tentang
Partisipasi Politik Etnis
Tionghoa Dalam Pemilukada
Tahun 2009 (studi kasus desa
kragan kec. Kragan kab.
Rembang). Jurnal Paradigma.
Volume 01 Nomor 01 Tahun
2013