PEMIKIRAN SOEKARNO TENTANG MARHAENISME
DI SUSUN OLEH
AGUS SUPRIADI
NIM : 201033200778
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1428/2007
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, segala puja, puji, serta syukur saya panjatkan
ke hadirat Allah SWT “ For the great inspiration of love “, karena-Nya lah setiap
manusia mempunyai rasa cinta di dalam hatinya, dan atas cinta itulah eksistensi
manusia akan sangat jelas terlihat karena cinta adalah sebuah rasa kemanusiaan.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi
besar Muhammad SAW, manusia utama yang telah memberikan jalan kepada
umat manusia bagaimana cara untuk bereksistensi, yaitu dengan jalan
menunjukkan bagaimana cara manusia agar bisa menuju kepada Tuhannya.
Terima kasih yang tulus dari lubuk hati, penulis haturkan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Dan
Filsafat.
2. Bapak Dr. H. Shobahussurur, MA dan Nawiruddin, MA selaku pembimbing
yang memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis.
3. Bapak Drs. Harun Rasyid, MA selaku Direktur Program Ekstensi Fakultas
Ushuluddin Dan Filsafat, beserta stafnya.
4. Bapak, Ibu, dan staf dosen Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat yang telah
mengajarkan ilmunya kepada penulis sampai dapat menyelesaikan studi.
5. Kedua orang tua, H. Saliri dan Hj. Warkonah yang mulia dan sangat saya
hormati yang telah menyokong doa dan sabar mendengarkan keluhan
anaknya. Beserta kakak- kakak dan adik- adik tercinta.
6. Teman- teman di Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat program Ekstensi 2001,
khususnya “Team Hojel” (Dul Pintu, Ayung S.Fil.I, Lee Chuen, Iyat adik
kelas, Daman Gambus, Nursalim Tronika S.Fil.I).
7. Untuk Selvy dan wanita lainnya yang tidak bosannya mendukung penulis
dalam menyusun skripsi.
Penulis tidak bisa membalas jasa kalian semua, namun hanya Allah lah
yang akan membalasnya. Amin.
Jakarta, 25 April 2006
Penulis
BAB II
SEJARAH DAN RIWAYAT HIDUP SOEKARNO
A. Kajian Pustaka
Sebelum penulis mengkaji tulisan ini, ada beberapa tulisan yang
membahas tentang Marhaenisme. Salah satunya adalah karya ilmiah (skripsi)
Farid Muttaqin, dengan judul “Sosialisme Religius dalam Marhaenisme
Soekarno”. Namun skripsi tersebut, penulis tidak dapat menemukannya.
Sedangkan tulisan lainnya adalah tulisan-tulisan yang telah tercetak dalam
bentuk buku, di antaranya “Renungan Bung Karno Bapak Marhaenisme
Indonesia” oleh O. P. Simorangkir. Dalam tulisan tersebut, penulis melihat hanya
membahas secara umum tentang Marhaenisme dan menghubungkannya dengan
ekonomi di Indonesia.
Yulianto Sigit Wibowo dengan bukunya yang berjudul “Marhaenisme
Ideologi Perjuangan Soekarno”. Dalam buku ini, Yulianto membahas bagaimana
Sukarno yang terinspirasi dari pemikiran Marxisme menggabungkannya dengan
pemikirannya sendiri dalam perjuangannya melawan kolonialisme dan
imperialisme. Namun tulisan tersebut bukanlah karya ilmiah dari akademik
(skripsi) melainkan sebagai tulisan lepas.
Pada buku lain yang membahas tentang Marhaenisme adalah
“Marhaenisme Adjaran Bung Karno” karya Asmara Hadi membahas tentang
Marxisme, dan tentang penyesuaian yang dilakukan Soekarno sehingga dapat
digunakan di dalam kondisi masyarakat Indonesia. Asmara Hadi dalam bukunya
yang lain yang membahas tentang Marhaenisme adalah “Sembilan Tesis
Marhaenisme dan Pendjelasan Singkatnya”. Pada buku ini membahas tentang
sembilan tesis yang dideklarasikan dalam konferensi Partindo di Jogjakarta pada
bulan Agustus 1933 dan memberi penjelasan tiap-tiap tesisnya.
Ali Sastroamidjojo dalam bukunya “Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme”
membahas tentang kapitalisme dan imperialisme dan awal masuknya ke
Indonesia. Juga membahas tentang keadaan masyarakat Indonesia yang pada saat
itu berhadapan dengan kapitalisme Belanda hingga terjadi pergerakan
kemerdekaan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia. Ali Sastroamidjojo
menerangkan tentang dasar dari Marhaenisme dan menghubungkan Marhaenisme
dengan Pancasila dan manifesto politik.
Oleh sebab itu penulis merasa persoalan tersebut penting sekali untuk
dikaji ke dalam sebuah karya ilmiah, agar kita dapat memahami secara mendalam
dan menyeluruh bagaimana ideologi Marhaenisme yang dipaparkan oleh
Soekarno pada 4 Juli 1927 yang lalu.
B. Latar Belakang Keluarga
Soekarno dilahirkan di Surabaya pada tanggal 6 Juni 1901 dari pasangan
Sukemi Sosrodihardjo yang berasal dari Blitar dan Ida Ayu Nyoman Rai yang
berasal dari Bali. Ayah Soekarno, Raden Sukemi Sostrodihardjo1 termasuk
golongan bangsawan rendahan Jawa, sebagaimana ditunjukkan oleh gelar
“Raden” yang disandangnya dan dengan demikian bisa masuk sekolah pendidikan
guru (Kweekschool) yang dibuka sekitar tahun 1870 di Probolinggo, Jawa Timur.2
1 Lahir tahun 1869 dan meninggal pada 8 Mei 1945, pada usia 76 tahun. 2 Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, penerjemah; Hasan Basari
(Jakarta: LP3ES, 1987), h. 27.
Setelah lulus, Sukemi dipekerjakan pada sebuah sekolah pendidikan
pegawai negeri bumiputra yang baru dibuka di Singaraja, Bali. Di samping tugas
sebagai pengajar, ia menambah penghasilannya dengan bekerja sebagai asisten
peneliti DR. Van der Tuuk, seorang ahli bahasa Batak yang pada waktu itu sedang
sibuk mempelajari bahasa dan adat-istiadat Bali. Sedangkan ibunya Ida Ayu
Nyoman Rai, yang menurut Soekarno adalah putri dari salah satu keluarga Bali
dari kelas Brahmana, dan setelah upacara perkawinan menurut agama Islam
dikeluarkan dari kasta Brahmananya.3
Sukemi dan istrinya tetap tinggal di Singaraja sampai lahir anak tertua
mereka, seorang putri bernama Sukarmini. Dalam masa dua tahun setelah
kelahiran putrinya tersebut, Sukemi mengajukan permohonan dan diizinkan
pindah ke Surabaya. Setelah enam tahun lahirnya Soekarno, keluarganya pindah
dari Surabaya ke Sidoarjo dan kemudian ke Mojokerto, di mana Sukemi
dinaikkan pangkatnya menjadi manteri guru di sekolah Ongkoloro untuk kaum
Bumiputra.4
Kusno Sosro Soekarno,5 melewatkan bagian terbesar dari masa kecilnya di
Tulungagung, Kediri. Bersama kakeknya, Soekarno dididik untuk selalu bersikap
jujur dan adil, juga membiarkannya menuruti kehendak hatinya sendiri. Seperti
pada saat masih kecil Soekarno sudah diperbolehkan menonton pertunjukkan
wayang, yang berlangsung mulai senja hingga dini hari. Bahkan sebelum
3 O. P. Simorangkir, Renungan Bapak Marhaen Indonesia; Bung Karno (Jakarta: Univ.
Krisnadwipayana, 2002), h. v. 1. Pernikahan yang mereka lakukan merupakan pernikahan yang jarang terjadi pada masanya, yakni pernikahan antar-suku, antar-agama.
4 Simorangkir, Renungan Bapak Marhaen Indonesia, h. 1-2. 5 Nama kecil Soekarno yang dikemudian hari kedua nama depannya dibuang sesuai dengan
kebiasaan Jawa.
pergerakan nasionalis dimulai, Soekarno kecil duduk malam demi malam di muka
layar, hasrat akan kemerdekaan dihidupkan terus oleh dalang.6
Selain dengan kakeknya, Soekarno juga dekat dengan pembantu
keluarganya yaitu Sarinah, yang dikemudian hari dipujanya sebagai lambang
wanita Indonesia. Soekarno mengakui, bahwa Sarinah besar pengaruhnya dalam
hidupnya. Melalui dialah ia belajar mencintai rakyat jelata. Di Tulungagung, ia
hanya menjalani masa yang singkat. Ketika usianya sekitar enam tahun,
keluarganya pindah ke Sidoarjo dan kemudian pindah ke Mojokerto. Di
Mojokerto, ayahnya diangkat menjadi guru di Ongkoloro dan Soekarno masuk ke
sekolah tempat ayahnya mengajar. Pada masa kecilnya Soekarno telah memiliki
kelebihan, yakni dengan cepat menguasai kawan bermainnya. Ia senang dengan
reputasinya sebagai jagoan muda, yang lebih berani dari pada teman-temannya,
suka memimpin dan mengatur kegiatan bermain membuat dirinya menjadi pusat
dari suatu geng kecil.7
C. Latar Belakang Pendidikan
Sekolah di masa Soekarno dipengaruhi politik etis atau hutang budi di
bidang pendidikan. Kaum kolonial Belanda di bawah pengaruh J.H. Abendanon
menginginkan pendidikan gaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantarnya bagi kaum elit Indonesia yang terpengaruh Barat. Dengan model ini
diharapkan dapat mengambil alih pekerjaan yang ditangani oleh pegawai yang
berkebangsaan Belanda, dan dengan ini membuat pribumi berterima kasih dan
mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Pada tahun 1908 didirikannya
6 Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, h. 27-29. 7 John D. Legge, Sukarno; Sebuah Biografi Politik, penterjemah; tim PSH (Jakarta: Sinar
Agape Press, 1985), h. 29.
sekolah Ongkoloro (sekolah untuk kaum Bumiputra), dan pada tahun 1915
didirikan Inlandsche Vervolgsholen dengan tujuan untuk membawa para murid
Ongkoloro melanjutkan jenjang pendidikannya ke yang lebih tinggi.8
Pendidikan dasar ditempuhnya di Tulungagung, ia tinggal bersama
kakeknya. Di sinilah masa pembentukan kepribadiannya sesuai nilai-nilai dan
tradisi Jawa, yang berdasarkan karakter cerita pewayangan. Ia di Tulungagung
sampai kelas empat, kemudian pindah ke sekolah Eropa di Mojokerto pada tahun
1908. Ayahnya memasukkannya ke sekolah ELS ( Europese Lagere School)9 agar
ia bisa diterima sebagai murid sekolah menengah Eropa, dan pada tahun 1915 ia
lulus.10
Setelah tamat sekolah dasar, Soekarno berkesempatan melanjutkan
pendidikannya di Surabaya. Melalui jasa teman baik ayahnya, yakni Oemar Said
Tjokroaminoto, ayahnya mendaftarkannya ke HBS (Hogere Burger School), dan
menitipkannya di rumah Tjokroaminoto. Di HBS, Soekarno belajar selama lima
tahun. Pada tanggal 10 Juni 1921 ia lulus dari HBS11 dan bermaksud
melanjutkannya ke Belanda, namun ibunya tidak mengizinkannya. Ibunya
menginginkan agar Soekarno melanjutkannya di dalam negeri saja. Akhirnya
Soekarno mendaftarkan diri di Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hogeschool)
di Bandung.12
8 Simorangkir, Renungan Bapak Marhaen Indonesia, h. 4-5. 9 ELS merupakan sekolah lanjutan Belanda, pada masanya sekolah lanjutan Belanda lebih
mudah didapat daripada sekolah bumiputera. 10 Rosihan Anwar, In Memoriam; Mengenang Yang Wafat (Jakarta: Kompas, 2002), h. 12.
Kelulusan Soekarno banyak perbedaan, pada buku John D. Legge, Soekarno; Sebuah Biografi Politik, kelulusan Soekarno pada tahun 1916.
11 dari 67 pelajar, yang lulus hanya 52 orang. Soekarno termasuk satu dari lima orang pribumi dan Tionghoa yang lulus ujian.
12 Simorangkir, Renungan Bapak Marhaen Indonesia, h. 9.
Untuk menyelesaikan studinya ia memerlukan waktu satu tahun lebih lama
daripada yang telah ditetapkan secara resmi, yaitu empat tahun. Hal tersebut
disebabkan karena tak lama setelah menjadi mahasiswa ia terpaksa meninggalkan
Bandung untuk beberapa lama, sebab Tjokroaminoto ditangkap, dan Soekarno
harus mengambil alih urusan rumah tangganya. Ia menyelesaikannya dengan
sebuah skripsi tentang rencana pelabuhan dan dinyatakan lulus pada tahun 1926
sebagai seorang insinyur.
D. Aktifitas Politik Sukarno
Kehidupan politik yang dialami Soekarno tak lepas dari persoalan politik
bagaimana menuju Indonesia merdeka. Bergaul dengan masyarakat Surabaya
semasa menjadi murid HBS yang dipimpin oleh Tjokroaminoto, seorang
pemimpin kharismatik dari Sarekat Islam (SI). Banyak tamu yang datang ke
rumah Tjokroaminoto. Orang-orang yang aktif dalam pergerakan rakyat, seperti
Haji Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, Semaoen, Alimin, juga
politisi sosialis Belanda Sneevliet dan Baars. Soekarno sering diajak berdiskusi
bersama mereka.13
1. Masa Penjajahan
Saat masih mahasiswa STT Soekarno menjadi ketua Jong Java cabang
Bandung, namun pada masa itu kegiatan politiknya dinomorduakan karena
mendapat peringatan dari Profesor Klopper, jika ia ingin meneruskan studinya di
STT ia harus memenuhi kewajibannya sebagai seorang mahasiswa dengan tidak
13 Anwar, In Memoriam, h. 16.
ikut campur dalam gerakan politik. Soekarno mendapat peringatan tersebut
setelah ia berpidato dengan semangat dalam rapat raksasa yang diselenggarakan
Konsentrasi Radikal (Radicale Concentratie)14 tahun 1923, dan ia pun berjanji
untuk menjauhi diri dari berpidato di rapat-rapat umum politik.15
Kehidupan politik yang dialami Soekarno selama kemahasiswaannya
sebagian terdiri dari pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat yang diselenggarakan
oleh Konsentrasi Radikal (Radicale Concentratie), sebagian lagi dari hubungan
dengan berbagai organisasi Sarekat Islam dan Jong Java yang diketuainya.
Batu loncatannya untuk masuk ke dalam kepemimpinan nasional adalah
Algemeene Studie Club ( Kelompok Studi Umum) yang turut didirikannya pada
awal tahun 1926. Berbeda dengan Studie Club di kota lain, Studie Club di
Bandung bercorak radikal dan non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial.
Karena sikap radikal dan non-kooperatif tersebut, Soekarno setelah lulus menolak
bekerja pada Dinas Pekerjaan Umum maupun karier akademik lainnya.
Sebaliknya, ia memilih terlibat penuh dalam perjuangan politik untuk
kemerdekaan Indonesia.16
Gagasan dari Studie Club merupakan bagian dari gejolak dalam pemikiran
anggotanya yang radikal. Kelompok ini lebih banyak ditujukan pada upaya
mencapai kemerdekaan dan menolak pandangan bahwa kemerdekaan dapat diraih
secara perlahan dengan bekerja sama dengan Belanda. Kelompok ini lebih
menekankan pada perjuangan.
14 Radicale Concentratie adalah suatu koalisi dari semua partai – termasuk partai-partai
orang Eropa – yang pertama kali dibentuk pada tahun 1918 dengan tujuan untuk bekerja ke arah otonomi atau kemerdekaan dan pada tahun 1922 dihidupkan lagi oleh NIP (National Indische Partij) yang merupakan pengganti IP (Indische Partij).
15 Simorangkir, Renungan Bapak Marhaen Indonesia, h. 9. 16 Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis; Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan
Kharismatis Soekarno (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), h. 23.
Pada tahun 1927 Soekarno bersama Iskaq Tjokrohadisurjo, Dr. Tjipto
Mangunkusumo, Budiarto, dan Sunario mendirikan Perserikatan Nasional
Indonesia yang pada bulan Mei 1928 namanya berubah menjadi Partai Nasional
Indonesia (PNI) yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.17 Pemerintahan
kolonial Belanda mengawasi dengan ketat perkembangan PNI, karena propaganda
yang dilakukan oleh Soekarno mendapat dukungan masyarakat. Pada akhir tahun
1929 tersiar kabar yang bersifat provokatif bahwa PNI diduga akan melakukan
pemberontakan pada awal tahun 1930, berdasarkan berita tersebut maka pada
tanggal 24 Desember 1929 Soekarno, Soepriadinata, Gatot Mangkupraja dan
Maskun ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda.18 Hukuman terhadap
pemimpin PNI ini membuat anggota yang aktif dalam keadaan bahaya, atas
pertimbangan tersebut maka PNI memutuskan pembubaran dan memecahkan
kelompok menjadi dua kubu yang saling bersaing.
Bebasnya Soekarno dari penjara Sukamiskin gagal memulihkan keretakan
yang terjadi dalam partai. Moh. Hatta dan Sjahrir yang kembali dari Belanda tidak
setuju dengan pandangan Soekarno, dan mereka mendirikan partai baru yakni
Pendidikan Nasional Indonesia atau biasa disebut dengan PNI-Baru. Untuk
membenarkan sikap mereka, Sjahrir menuduh Soekarno menumbuhkan prinsip
non-kooperasi seakan-akan sebagai agama dan Moh. Hatta menganggap Soekarno
memanfaatkan non-kooperasi untuk melakukan provokatif besar-besaran daripada
berangsur-angsur.19
17 Yulianto Sigit Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno (Yogyakarta:
Buana Pustaka, 2005), h. 27-28. 18 Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional : Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi (1908-
1945) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h. 71. 19 Isak (ed), 100 Tahun Bung Karno; Sebuah Liber Amicorum (Jakarta: Hasta Mitra, 2001),
h. 61.
Perbedaan sikap politik Soekarno yang radikal dan revolusioner membuat
PNI kemudian pecah menjadi dua, Sartono mendirikan Partai Indonesia (Partindo)
yang dipimpin oleh Soekarno dan Sjahrir mendirikan PNI-Baru yang dipimpin
oleh Moh. Hatta. Bagi Soekarno Partindo sangat sesuai dengan keinginannya,
karena Partindo memberikan kebebasan dalam kegiatan politiknya sehingga
Soekarno memilih masuk Partindo. Pada masa Partindo inilah istilah
Marhaenisme mulai mendapatkan tempat yang luas.20
Soekarno berhasil menampung anggota sebanyak 20.000 bagi Partindo,
namun untuk kedua kalinya Soekarno ditahan dengan paksa oleh pemerintah
Belanda dan diasingkan di luar pulau Jawa. Semua ini disebabkan karena
pemerintah Belanda merasa terusik oleh keberhasilan Soekarno yang terus-
menerus membangkitkan kaum marhaen. Soekarno pada saat di penjara
Sukamiskin pernah mengajukan soerat minta ampoen21 pada pemerintah Belanda
namun tidak digubris.22
Moh. Hatta pun menulis tentang Soekarno, yang berkaitan dengan surat
tersebut:
“Tidak lain daripada Soekarno sendiri yang mendorong Partindo (Gabungan nama ini dari dia juga) kepada agitasi dan demonstrasi terus-terusan, sehingga seluruh pergerakan kiri sekarang menderita kesusahan.... Belum lagi sepuluh bulan berselang ia menampar dada dan menyebutkan tuan sambil berkata, bahwa “non-cooperation menolak pekerjaan bersama dengan kaum pertuanan di atas semua lapangan dan menuntut adanya perjuangan yang tak kenal damai, satu overbiddljike strijd dengan kaum pertuanan itu.” Sekarang ia sendiri yang pertama menempuh jalan damai dan
20 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 20-21. 21 Soerat minta ampoen ini sempat ramai dibicarakan kebenarannya dalam pers Indonesia,
Ibu Inggit, Mahbub Djunaedi, Moh. Roem, dan Pramoedya Ananta Toer merupakan kelompok yang menganggap surat tersebut adalah palsu atau perbuatan intel Belanda. Karena kebenaran harus ditemukan dengan cara mengkaji sosok Soekarno yang totalitas dalam perjuangannya.
22 Isak (ed), 100 Tahun Bung Karno, h. 63.
tunduk. Satu tragedi-Soekarno, yang belum ada contohnya dalam riwayat dunia.”23
“Pernyataan tobat” dari Soekarno ini dengan segera dilaporkan dalam
sebuah nota kepada Gubernur Jendral, dan Soekarno membenarkan pernyataannya
itu dengan mengumumkan keputusannya untuk keluar dari Partindo, dengan
alasan bahwa ia tidak lagi menyetujui prinsip-prinsip, arah dan kegiatan
pergerakan itu, dan meminta agar ia dibebaskan dari kedudukannya sebagai ketua
partai.24
Soekarno, buangan politis Belanda, ternyata orang yang dicari Jepang.
Soekarno dibebaskan oleh Jepang pada awal 1942. Soekarno pun kembali ke Jawa
untuk bergabung dengan bekas lawan politiknya – Moh. Hatta dan Sjahrir – untuk
menyusun rencana tentang cara menuju Indonesia Merdeka. Dalam pertemuan
pertama - disebut “pertemuan taktis” – Soekarno, Moh. Hatta, dan Sjahrir
membicarakan kemungkinan kerja sama dengan Jepang, namun tetap
menghidupkan gerakan rakyat bagi kemerdekaan.25
Pada masa penjajahan Jepang, Soekarno aktif dalam organisasi yang
dibuat oleh Jepang seperti Pusat Tenaga Rakyat (Putera) organisasi yang
direncanakan sebagai jembatan mencapai pemerintahan sendiri bersama Moh.
Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH. M. Mansur yang didirikan pada tanggal 3
Maret 1943, namun rencana tersebut cepat terungkap26. Dengan kemampuannya
melatih, mendidik dan melindungi rakyatnya, Soekarno pun diakui oleh Jepang
sebagai tokoh sentral bagi rakyat Indonesia.
23 Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, h. 206. Ini dibenarkan oleh Hatta dalam
suatu percakapan dengan penulis tanggal 13 September 1968 di New York. 24 Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, h. 207. 25 Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis; Tinjauan Teologis-Etis, h. 29. 26 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 28.
2. Masa Kemerdekaan
Pada Agustus 1945, Soekarno menjadi ketua Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Bersama Moh. Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yang selanjutnya
Soekarno dipilih sebagai presiden dan Moh. Hatta menjadi wakil presiden.
Pada bulan Desember 1948, Belanda melancarkan agresinya yang kedua.
Soekarno, Moh. Hatta dan beberapa pemimpin lainnya ditawan dan diasingkan ke
Prapat dan kemudian dipindahkan ke Bukit Menumbing, Bangka. Namun atas
tekanan Dewan Keamanan PBB, para pemimpin yang ditawan dibebaskan
kembali. Pada tanggal 16 Desember 1949, Soekarno dilantik menjadi presiden
Republik Indonesia serikat (RIS) di Jakarta dan delapan bulan kemudian tepatnya
pada tanggal 17 Agustus 1950, Soekarno kembali memproklamasikan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).27
Pada tahun 1955 Indonesia menyelenggarakan pemilu yang pertama, dan
setahun kemudian Soekarno menghapus partai-partai politik dan memberlakukan
sistem Demokrasi Terpimpin. Pada tanggal 5 Juli 1959 Soekarno mengeluarkan
dekrit tentang pembubaran konstituante dan kembali pada UUD 1945, dan pada
bulan November 1959 mengumumkan Manipol yang kemudian pada awal
tahun1960 ditambah dengan USDEK28, dikenal dengan MANIPOL-USDEK29.
Pada peristiwa GESTOK (Gerakan Satu Oktober)30 Soekarno menunjuk
Mayjen Soeharto menjadi Panglima Pemulihan Keamanan. Tanggal 11 Maret
27 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 29. 28 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 30. 29 MANIPOL-USDEK adalah pernyataan politik terbuka Soekarno yang menginginkan
kembali pada UUD 1945, menuju Sosialisme Indonesia dengan Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin yang merupakan kepribadian Indonesia.
30 Peristiwa penculikan dan pembunuhan beberapa perwira tinggi AD, dan peristiwa ini terjadi di atas jam 12 malam.
1966 Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) yang
ditujukan untuk Mayjen Soeharto, dan pada tanggal 20 Februari 1967 MPRS
mencopot Soekarno dari jabatan Presiden RI dan menyerahkan pada Soeharto.
MPRS menetapkan Soeharto menjadi presiden tepatnya pada tanggal 27 Maret
1967 hingga terpilihnya presiden hasil pemilu. Sesuai dengan Tap. MPRS. No.
XXXIII/MPRS/1967 Soekarno dijadikan sebagai tertuduh dalam kasus politik dan
diproses secara hukum. Sebelum kasusnya diproses Soekarno menghembuskan
nafas terakhirnya pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso.31 Atas
sumbangsihnya sampai akhir hayat, Soekarno banyak memperoleh gelar doctor
honoris causa dalam bidang hukum maupun politik dari berbagai universitas.
31 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 32.
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG MARHAENISME
A. Keadaan Masyarakat Masa Penjajahan
Kesengsaraan yang terjadi pada rakyat Indonesia yang hidup di bawah
penjajahan kolonial Belanda merupakan obyek dari pemikiran Soekarno.
Soekarno berupaya keras untuk merumuskan persoalan nyata yang dihadapi
bangsa Indonesia.
Soekarno mempelajari sejarah Indonesia secara mendalam. Ia hidup di
dalamnya, melihat dan mengalami, bahwa kehidupan di Indonesia sangat
berlawanan antara minoritas kelompok yang kaya dengan kelompok yang miskin.
Bahkan kurang lebih 92% dari rakyat Indonesia pada masa kolonial hidup dalam
keadaan miskin akibat penjajahan dan kapitalisme. Dalam tatanan masyarakat
yang tidak adil itulah timbul keinginan untuk memberontak. Dengan terhapusnya
penjajahan di Indonesia maka akan merubah kehidupan rakyat Indonesia.32
Pada permulaan abad ke- 17, Belanda telah memperkuat dalam satu
persaingan dan memonopoli perdagangan Indonesia. Dengan mendirikan VOC
(Verenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1602. Kekerasan, paksaan dan
tipu daya dijalankan oleh VOC agar hasil bumi hanya dijual kepadanya. V.O.C.
tidak hanya memonopoli membeli dengan harga murah tetapi ingin berkuasa
dengan menentukan harga sendiri.33
32 O. P. Simorangkir, Renungan Bapak Marhaen Indonesia; Bung Karno (Jakarta: Univ.
Krisnadwipayana, 2002), h. 17. 33 Ali Sastroamidjojo, Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme (Jakarta: Partai Nasional
Indonesia, 1961), h. 11-12.
Seratus lima puluh tahunnya Belanda menjalankan kekejaman dan
kekerasan terhadap rakyat Indonesia. Untuk menjalankannya, Belanda
menggunakan kaum feodal Indonesia, dari yang paling tinggi sampai paling
rendah diikutsertakan sebagai kaki tangan Belanda untuk menindas dan memeras
rakyat. Oleh karena itulah, di Indonesia tidak tumbuh suatu kelas borjuis yang
berkuasa, kekuasaan feodal pun sudah lumpuh dan dijadikan kaki tangan
Belanda.34
Di masa penjajahan Belanda dan dari pemerasan yang sangat kejam maka
lahirlah suatu kelas yang pada awalnya tidak ada di Indonesia, yakni kelas proletar
yang berasal dari petani yang sama sekali tidak punya tanah. Kaum proletar, kaum
tani melarat dan golongan melarat yang lain itulah yang oleh Soekarno disebut
dengan satu nama kolektif marhaen, yakni kelas yang diperas pada masa Belanda,
oleh imperialisme dan kapitalisme.35Selama kaum penjajah bersama kaum feodal
berkuasa, kehidupan rakyat akan hidup dengan rasa takut dan menderita.
Sepanjang masa rakyat ditindas dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa
perubahan hidup.
B. Pengertian dan Konsep Dasar Marhaenisme
1. Asal Kata Marhaenisme
Asal kata Marhaenisme berawal pada saat Soekarno merasa perlu mencari
kata pemersatu rakyat. Karena dalam propaganda PKI istilah “orang kecil”
seringkali dipakai untuk mengacu kepada kaum proletar. Menurut Soekarno di
34 Sastroamidjojo, Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme, h. 13. 35 Hadi (H.R.), Marhaenisme Adjaran Bung Karno (Jakarta: Partai Nasional Indonesia,
1961), h. 50-51.
Indonesia yang miskin bukan hanya golongan proletar tetapi hampir keseluruhan
rakyat Indonesia dalam kemiskinan akibat kapitalisme.
Soekarno mendapat istilah Marhaenisme berawal ketika pada suatu hari
saat sedang jalan-jalan di desa Kiduleun Cigereleng, Bandung.36 Ia berjumpa
dengan seorang petani yang sedang mengerjakan sawah kepunyaannya sendiri,
dengan menggunakan alatnya sendiri. Dalam benak Soekarno terbesit jelas bahwa
ia bukan proletar karena tidak menjual tenaganya, walau demikian petani tersebut
hidup dalam kemiskinan. Soekarno menanyakan namanya? Marhaen, jawab si
petani. Setelah peristiwa tersebut, Soekarno mendapatkan ilham untuk
menggunakan namanya untuk menggambarkan penderitaan rakyat Indonesia.37
Dari asal perkataan ini sudah jelas dan nyata bahwa Marhaen adalah kata
pemersatu. Karena di Indonesia yang miskin bukan hanya proletar -yang hanya
menjual tenaga atau jasanya- tetapi orang yang memiliki tempat pun termasuk.
Entah ia sebagai petani, buruh, nelayan, pegawai, sarjana, maupun dokter, selama
ia dalam keadaan miskin maka ia adalah marhaen. Dalam pembelaannya,
Soekarno memakai istilah Marhaenisme dengan makna yang lebih luas.
Marhaenisme disamakan dengan “massaisme” atau kekuatan massa, meski
mereka kecil dalam status dan kepemilikan, namun mereka besar dalam jumlah
yang bila disatukan bisa menjadi kekuatan besar melawan kolonialisme.
“Pergaulan hidup merk marhaen, - pergaulan hidup yang sebagian besar sekali adalah terdiri kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang
36 Herbert Feith dan Lance Castles (ed), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 (Jakarta:
LP3ES, 1988), h. 143. Ada pula yang mengatakan percakapan ini tidak pernah terjadi. Lihat John D. Legge, Sukarno; Sebuah Biografi Politik, penterjemah; tim PSH (Jakarta: Sinar Agape Press, 1985), h. 90.
37 Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, penerjemah; Hasan Basari (Jakarta: LP3ES, 1987), h.175.
kecil, kaum pelajar kecil, pendek kata : . . . . kaum kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya semua kecil.”38
Kaum marhaen bukan hanya kaum buruh, melainkan juga petani kecil,
pedagang kecil dan pelajar kecil. Bahkan, dalam perkembangannya kaum
marhaen bukan hanya kaum kecil atau kaum melarat saja. Setelah Marhaenisme
dijadikan asas oleh Partindo, orang yang disebut marhaenis adalah tiap-tiap orang
bangsa Indonseia yang menjalankan Marhaenisme.
2. Konsep Dasar Marhaenisme
Ide yang mendasari Soekarno dalam merumuskan Marhaenisme diawali
dari penelusuran historis yang dialami pada saat itu, yaitu kolonialisme Belanda
yang menurut Soekarno menyebabkan kesengsaraan rakyat dan kemajemukkan
masyarakat Indonesia dalam suku, budaya, agama maupun aliran-aliran politik.39
Dari penelusuran historis tersebut membuat Soekarno mencari cara bagaimana
mempersatukan masyarakat Indonesia yang majemuk tersebut. Mengenai
banyaknya aliran politik yang terjadi pada saat itu, Soekarno menawarkan jalan
keluar yaitu dengan ide menyatukan aliran-aliran tersebut dengan ide NASAKOM
(Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme). Soekarno menawarkan ide tersebut
dikarenakan masing-masing aliran memiliki tujuan yang sama namun berjuang
sendiri-sendiri.
Berdasarkan dari penelusuran historis tersebut, Soekarno berupaya untuk
menggalang rasa sentimen kebangsaan rakyat Indonesia yang pada saat itu
tercerai berai. Dimulai dengan menawarkan ide tentang nasionalisme serta
38 Soekarno, Indonesia Mengugat (Jakarta: S.K. Seno, 1956), h. 137. 39 Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis; Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan
Kharismatis Soekarno (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), h. 41.
merumuskan model nasionalisme yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Konsep
nasionalisme Soekarno sangat dipengaruhi oleh pemikiran Ernest Renan (1882)
dengan pendapatnya tentang bangsa. Menurut Renan bangsa adalah ada suatu
nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi dari dua hal:
1. Rakyat itu dari awal harus bersama-sama menjalani suatu riwayat.
2. Rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi
satu. Bukan sekedar jenis ras, bahasa, agama, persamaan kebutuhan dan
batas-batas negeri yang menjadi bangsa.40
Nasionalisme Soekarno berawal dari suatu bangsa, yaitu rakyat.
Pengertian rakyat dalam konsep bangsa di atas adalah sekumpulan manusia yang
secara historis mempunyai kesamaan riwayat, kemauan dan keinginan untuk
menjadi satu.
Penekanan dalam konsep nasionalisme Soekarno, yaitu tentang kesadaran
akan nasib. Apa yang diinginkan oleh Soekarno adalah adanya perubahan nasib
dari bangsa yang tertindas dan terjajah menjadi bangsa yang merdeka dan
memiliki harga diri.41
“Nasionalisme adalah suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa.... Rasa nasionalistis itu akan menimbulkan suatu rasa percaya akan dirinya sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan yang mau mengalahkan kita.”42
40 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi,
1963), h. 3. 41 Yulianto Sigit Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno (Yogyakarta:
Buana Pustaka, 2005), h. 37. 42 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 3.
Di atas disebutkan bahwa nasionalisme adalah keinsyafan (kesadaran)
rakyat. Untuk menyadarkan dan membangkitkan rakyat, Soekarno menyebutkan
ada tiga cara yaitu:
1. Menunjukkan kepada rakyat, bahwa mereka punya masa lalu
adalah masa lalu yang indah.
2. Membangkitkan kesadaran rakyat, bahwa mereka punya masa kini
adalah masa kini yang gelap.
3. Memperlihatkan kepada rakyat sinarnya masa depan yang berseri-
seri dan terang, serta cara mendatangkan masa depan yang penuh
dengan janji-janji itu.43
Dari pengertian nasionalisme di atas, Ruslan Abdulgani merumuskan tiga
aspek nasionalisme Indonesia. Pertama, aspek politik, bersifat menumbangkan
dominasi politik bangsa asing untuk menggantikannya dengan suatu sistem
pemerintahan yang demokratis. Kedua, aspek sosial-politik, bersifat
menghentikan eksploitasi ekonomi asing, dan membangun masyarakat baru yang
bebas dari kemelaratan dan kesengsaraan. Ketiga, aspek kultural, bersifat
menghidupkan kembali kepribadian bangsa Indonesia yang disesuaikan dengan
perkembangan jaman.44 Dari konsep nasionalisme tersebut, Soekarno merasa
perlu adanya ideologi yang mampu menjembatani antara ide tentang negara yang
diinginkan oleh rakyat Indonesia dengan realitas masyarakat Indonesia. 45
Nasionalisme Soekarno yang disebut sebagai sosio-nasionalisme. Sosio-
nasionalisme diambil dari kata sosio yang berarti masyarakat dan nasionalisme
yang berarti perasaan yang mengikat atas dasar kesamaan asal-usul, rasa memiliki
43 Soekarno, Indonesia Mengugat, h. 118. 44 Ruslan Abdulgani, Negara dan Dasar Negara (Jakarta: Penerbit Endang, 1957), h. 40. 45 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 41.
hubungan yang erat. Jadi sosio-nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat,
nasionalisme yang mencari keselamatan seluruh masyarakat dan bertindak sesuai
dengan keadaan masyarakat tersebut. Nasionalisme Soekarno adalah nasionalisme
yang sadar akan keadaan masyarakat yang menderita karena penindasan
imperialisme dan sadar akan keharusan menentang dan meruntuhkannya agar
dapat mendirikan suatu masyarakat baru yang adil dan makmur tanpa penderitaan,
serta bersandarkan atas azas perikemanusiaan.46
Sosio-nasionalisme ini merupakan prinsip awal Marhaenisme. Konsep ini
digunakan pada masa perjuangan dan prinsip kedua adalah sosio-demokrasi di
mana konsep ini digunakan setelah Indonesia merdeka, sosio-demokrasi bukan
hanya demokrasi politik yang menitikberatkan pada kekuasaan kelembagaan
melainkan juga mencakup bidang ekonomi yang menekankan bahwa setiap warga
negara memiliki hak, kewajiban dan perlakuan yang sama dalam bidang ekonomi.
Kedua prinsip tersebut tidak dapat dipisahkan dan saling berhubungan. Konsep
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi kemudian dalam kongres Partindo 1933
dijadikan sinonim dari istilah Marhaenisme.
Soekarno memberi penegasan terhadap konsep sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi, yakni membebaskan seluruh rakyat Indonesia dari belenggu
kemiskinan dan kesengsaraan.
“Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme marhaen, dan menolak tiap tindak borjuisme yang menjadi sebabnya kepincangan masyarakat itu. Jadi: sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi – suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri dan rezeki..... Sosio-demokrasi adalah timbul karena sosio-nasionalisme.”47
46 Sastroamidjojo, Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme, h. 26. 47 Soekarno, Indonesia Mengugat, h. 175
Konsep Marhaenisme yang merupakan sinonim dari konsep sosio-
nasionalisme dan sosio-demokrasi merupakan dasar sendi sistem pemerintahan
yang bukan hanya memiliki ciri demokrasi dalam bidang politik saja, melainkan
juga mencakup sendi demokrasi ekonomi. Konsep ini membedakan sistem
demokrasi Barat yang hanya mencakup sendi politik saja dengan sistem
demokrasi yang diinginkan oleh Marhaenisme Soekarno.
Ide sentral dari Marhaenisme yang mencakup aspek demokrasi politik dan
ekonomi, sama halnya dengan ide sentral yang terkandung dalam tema demokrasi,
yaitu partisipasi rakyat. Dalam demokrasi politik dituntut tersedianya ruang bagi
rakyat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam sistem politik, sama halnya dengan
demokrasi ekonomi, Soekarno mensyaratkan dilibatkannya partisipasi rakyat
dalam sistem ekonomi. Partisipasi rakyat yang terangkan dalam demokrasi sendiri
telah memberikan arti pada pemanfaatan secara optimal segenap potensi rakyat
dalam segi politik maupun segi ekonomi. Pengelolaan potensi ekonomi yang
bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ini
dikelola dengan sistem padat karya. 48
C. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Marhaenisme
Pada tahun 1920-an kehidupan ekonomi di Indonesia masih bergantung
pada pertanian dan pekebunan. Belum banyak industri berdiri dan belum banyak
kaum buruh miskin. Untuk menggerakkan revolusi di Indonesia tidak mungkin
mengandalkan kaum buruh yang jumlahnya hanya sedikit. Soekarno menemukan
cara untuk menggerakkan revolusi setelah menemukan seorang petani yang
48 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 66.
bernama Marhaen. Petani tersebut memiliki lahan, memiliki alat dan bekerja
untuk dirinya sendiri, namun kehidupannya masih miskin. Banyak rakyat miskin
yang ditemui Soekarno adalah orang-orang yang berkehidupan miskin seperti pak
Marhaen. Soekarno menamakan kelompok ini sebagai kelompok Marhaen. Dan
Soekarno berpendapat bahwa perubahan akan berhasil jika Marhaen bersatu.49
Marhaenisme lahir sebagai suatu ajaran tentang azas dan cara perjuangan
rakyat Indonesia dari masyarakat kolonial. Lahirnya Marhaenisme ketika
pergerakan kemerdekaan nasional seolah-olah dilumpuhkan oleh imperialisme
Belanda. Pergerakan kemerdekaan nasional seluruhnya terkena tindakan keras
Belanda, setiap pemimpin baik itu nasionalis maupun Islam dicurigai, dipersempit
langkahnya dan ditangkapi.
Dengan menggunakan teori dialektika Marxisme, Soekarno menemukan
bahwa adanya pertentangan antara dua kekuatan, yaitu pertentangan antara yang
terjajah dengan yang menjajah. Pertumbuhan dan perkembangan imperialisme di
Indonesia yang menyebabkan penderitaan rakyat. Soekarno berpendapat bahwa
rakyat Indonesia dapat menghentikan penderitaan tersebut dengan melakukan
perlawanan dengan membentuk kekuatan dalam suatu organisasi dan ruh dari
pembentukan kekuatan rakyat itu adalah nasionalisme.50
Rakyat Indonesia yang pada waktu itu sudah bergerak belum dapat
memformulasikan secara tegas makna dan tujuan dari nasionalisme Indonesia
tersebut. Pada pertengahan tahun 1927 tepatnya pada tanggal 4 Juli 1927 akhirnya
ketegasan itu tercapai. Ketegasan formulasi tentang azas dan cara perjuangan
49 Darmawan, Soekarno Bapak Bangsa Indonesia (Bandung: Hikayat Dunia, 2005), h.
119. 50 Sastroamidjojo, Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme, h. 25.
tersebut tercapai dengan lahirnya Marhaenisme dan Partai Nasional Indonesia
(PNI).51
Tuntutan perbaikan nasib rakyat menggerakkan hatinya. Dalam
karangannya yang berjudul Mencapai Indonesia Merdeka, Soekarno berkata:
“Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena ingin hidup yang lebih layak dan sempurna. Kita bergerak tidak karena “ideal” saja, kita bergerak karena ingin cukup makanan,ingin cukup perumahan, ingin cukup pendidikan, ingin cukup minimum seni dan kultur, -pendek kata kita bergerak karena ingin perbaikan nasib di dalam segala bagian-bagian dan cabang-cabangnya.”52
1. Marhaenisme dan Pancasila
Formulasi tentang Marhaenisme selanjutnya mendapat penjelasan secara
detail dan luas dalam konsep ideologi yang kemudian dinamakan oleh Soekarno
sebagai Pancasila. Dalam pidatonya di hadapan BPUPKI tanggal 1 Juni 1945,
Soekarno menawarkan gagasan ideologi yang berisi lima prinsip dasar yaitu:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme (Peri kemanusiaan)
3. Mufakat (Demokrasi)
4. Kesejahteraan Sosial
5. Menyusun Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa53
Dalam perumusan Pancasila, Soekarno dipengaruhi oleh banyak tokoh dan
diantaranya adalah A. Baars, seorang sosialis yang ditemui Soekarno pada saat
51 Sastroamidjojo, Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme, h. 24. 52 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 280. 53 Soekarno, “Lahirnya Pancasila” dalam Pancasila dan Perdamaian Dunia (Jakarta:
Idayu Press, 1985), h. 19.
masih sekolah HBS di Surabaya. Baars menyarankan agar tidak berpaham
kebangsaan, tetapi berpaham rasa kemanusiaan sedunia. Pertemuan itu terjadi
pada tahun 1917. Namun pada tahun 1918, Soekarno terpengaruh –diperingatkan-
oleh Dr. Sun Yat Sen dalam tulisannya “San Min Chu I” atau “The Three
People’s Principles”, yang membongkar saran dari A. Baars mengenai untuk
tidak berpaham kebangsaan.54
Pada sila Kebangsaan Indonesia berarti suatu kebangsaan yang luas, bukan
kebangsaan yang chauvinisme, melainkan kebangsaan yang menuju persatuan
dunia dan persaudaraan dunia. Peri kemanusiaan dalam sila kedua mengandung
arti bahwa bangsa Indonesia hendak hidup berdampingan dengan seluruh bangsa
di dunia atau internasionalisme. Internasionalisme ini akan hidup jika
bersandarkan nasionalisme yang luas dan berdasarkan peri kemanusiaan. 55
Pada sila ketiga yaitu demokrasi berarti demokrasi dalam segala bidang
kehidupan rakyat dan tidak berdasarkan keputusan mayoritas melainkan
musyawarah untuk mufakat. mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan.
Bangsa Indonesia bukan negara untuk satu golongan. Dengan cara mufakat, kita
memperbaiki segala hal, juga kselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan
atau permusyawaratan di dalam badan perwakilan rakyat.56 Prinsip ketiga,
permufakatan, perwakilan, di situlah kita mempropagandakan ide kita masing-
masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu cara yang berkebudayaan.
Sila keempat merupakan tujuan dari sila ketiga yaitu untuk kesejahteraan
sosial. prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Untuk
54 Soekarno, Pancasila dan Pedamaian Dunia, h. 14. 55 Sastroamidjojo, Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme, h. 40. 56 Soekarno, Pancasila dan Pedamaian Dunia, h. 15.
menuju kesejahteraan perlu adanya dewan pewakilan. Di Eropa ada demokrasi
parlementer. Menurut Jean Jaures; di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap
orang mempunyai hak yang sama. Hak politik yang sama, tiap orang dapat
memilih, dan dapat masuk dalam parlemen. Tetapi tidak ada Sociale
Rechtvaardigheid –kesejahteraan sosial-. Jika kita mencari demokrasi, jangan
demokrasi barat. Tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-
ekonomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.57 Dan
yang terakhir sila ketuhanan menghendaki tiap-tiap warga menyembah Tuhan-nya
dengan leluasa dan tidak ada paksaan. hendaknya menyusun Indonesia Merdeka
dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Negara yang tiap-tiap orangnya
dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa. Prinsip yang kelima ialah ketuhanan
yang berkebudayaan –ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan
yang menghormati satu sama lain-.58
Kelima prinsip di atas kemudian dinamakan sebagai Pancasila. Namun
dalam kesempatan tersebut, Soekarno tidak menawarkan permanen. Konsep ini
masih terbuka untuk dirubah, dan untuk perubahan tersebut Soekarno
menawarkan konsep Trisila yang secara substansial merupakan kristalisasi dari
konsep Pancasila, yakni sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan.59
Menurut Soekarno, prinsip kebangsaan Indonesia dan internasionalisme
bisa disatukan menjadi konsep sosio-nasionalisme, prinsip mufakat dan
kesejahteraan bisa disatukan menjadi konsep sosio-demokrasi, sedangkan prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa berdiri sendiri. Konsep trisila ini sama dengan konsep
Marhaenisme – sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi - yang ditambah dengan
57 Soekarno, Pancasila dan Pedamaian Dunia, h. 17-18. 58 Soekarno, Pancasila dan Pedamaian Dunia, h. 19. 59 Soekarno, Pancasila dan Pedamaian Dunia, h. 21.
Ketuhanan Yang Maha Esa.60 Konsep ini diungkapkan oleh Soekarno dalam
pernyataannya:
“atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras sehingga tinggal tiga saja..... Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosio-nasionalisme..... Demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilah yang dahulu saya namakan sosio-demokrasi...... Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan.”61
Tawaran Soekarno tersebut selanjutnya dibahas oleh ‘Panitia Sembilan’
yang terdiri dari Soekarno, Moh. Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso,
Abdul Kahar Muzzakir, Haji Agus Salim, Ahmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan
Muh. Yamin. Hasil pembahasan ini kemudian dikenal dengan sebutan Piagam
Jakarta yang diselesaikan pada tanggal 22 Juni 1945. dalam dokumen ini
ditetapkan sebagai berikut:
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya
2. (Menurut dasar)kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. (Dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
5. (Serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia62
Dalam perkembangannya rumusan Piagam Jakarta tersebut mengalami
perubahan dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
60 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 67. 61 Sastroamidjojo, Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme, h. 41. 62 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 68.
pada tanggal 18 Agusus 2006 sebagai dasar negara Republik Indonesia yang
diproklamasikan kemerdekaannya oleh Soekarno dan Moh. Hatta. Rumusan
tersebut yang tetap bernama Pancasila itu adalah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Setelah melalui pergulatan pemikiran yang panjang dan lama dari sejak
lahirnya Marhaenisme pada 4 Juli 1927, serta didiskusikan secara panjang dan
lebar, jelaslah bahwa gagasan tentang pokok-pokok dasar Pancasila sudah ada.
BAB IV
PEMIKIRAN SOEKARNO TENTANG MARHAENISME
D. Sembilan Tesis Marhaenisme
Dalam menjelaskan Marhaen dan Marhaenisme, Sukarno membuat tesis-
tesis yang kemudian dalam konferensi Partindo di Jogjakarta pada awal tahun
1933 menetapkan dan mendeklarasikannya. Tesis-tesis yang ditetapkan dan
dideklarasikan antara lain sebagai berikut: 63
1. Marhaenisme, yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Dalam kalimat tesis pertama dapat dijelaskan bahwa Marhaenisme terjadi
dari dua bagian tersebut, yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Kedua
bagian tersebut dapat dibeda-bedakan, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan. Kedua
bagian tersebut menunjukkan bahwa untuk melaksanakan Marhaenisme harus
melalui dua fase, yaitu fase sosio-nasionalisme, yang berlaku dalam zaman
penjajahan. Sedangkan fase sosio-demokrasi, adalah teori perjuangan yang harus
dilaksanakan setelah zaman penjajahan berakhir, dan kaum Marhaen telah berada
dalam keadaan merdeka, untuk membangun masyarakat yang bebas dari
kesengsaraan lahir dan bathin.64 Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, seperti
yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya merupakan konsep dasar dari
Marhaenisme.
Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme kaum Marhaen yang tujuannya
tidak hanya mencapai Indonesia Merdeka, tetapi juga agar di dalam Indonesia
63 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1963), h. 253.
64 Asmara Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme dan Penjelasan Singkatnya (Jakarta: P.B. Partindo, 1958), h. 4.
Merdeka itu disusun masyarakat sosialis. Sosio-demokrasi dibuat untuk
membedakan dengan demokrasi borjuis atau demokrasi liberal yang hanya
berlaku di dalam politik tetapi tidak berlaku di dalam ekonomi. Sosio-demokrasi
menghendaki demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, yakni saat kaum
Marhaen berkuasa tidak hanya mengatur undang-undang pemerintahan melainkan
juga harus berkuasa mengatur ekonomi, produksi dan distribusi.
Sosio-demokrasi menginginkan tiap-tiap pergaulan hidup itu harus tumbuh
menurut keadaannya. Tiap-tiap orang — menurut kaum sosial-demokrat — yang
hidup di dalam suatu masyarakat itu adalah jadi anggota masyarakat itu dan oleh
karena itu ia berhak mengeluarkan pikirannya, kemauannya dan cita-citanya
tentang cara-cara masyarakat itu diatur.65
2. Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang
melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
Dari kalimat tesis kedua dapat kita ketahui bahwa Marhaen adalah nama
kolektif yang diberikan oleh Sukarno untuk menyatukan rakyat yang sengsara
akibat kapitalisme. Dan dari kalimat di atas dapat dijelaskan bahwa Marhaen itu
terdiri dari tiga elemen, yaitu:
a. Kaum proletar atau biasa disebut kaum buruh, yaitu orang yang tidak
memiliki alat produksi atau alat lainnya untuk bekerja. Mereka hanya
menjual tenaganya untuk mendapatkan upah.
b. Kaum tani melarat, mereka adalah petani-petani Indonesia yang
mempunyai sedikit tanah, memiliki alat produksi dan bekerja pada
65 Soekarno, “Tulisan Soekarno: Perbedaan Asas Sosio-Demokrat dan Komunis” artikel
diakses tanggal 7 Februari 2007 dari Http://id.wikisource.org/wiki/Tulisan Soekarno: Perbedaan Asas Sosio-Demokrat dan Komunis
tanahnya sendiri, namun hasil dari pertanian tersebut tidak dapat
mencukupi keperluannya. Posisi kaum tani melarat ini adalah semi
proletar.
c. Kaum melarat yang lain, mereka adalah orang yang tidak menjadi buruh
dan tidak pula memiliki tanah untuk dikerjakan. Mereka adalah para
nelayan, pedagang, dan sebagainya.66
Pada awalnya kaum proletar yang dibutuhkan oleh imperialisme dan
kapitalisme di Indonesia adalah kaum proletar kasar yang hanya mengandalkan
otot atau tenaga saja. Kemudian setelah kapitalisme internasional memerlukan
tenaga yang bekerja dengan otak, maka timbullah kaum proletar baru, yaitu
proletar intelek yang bekerja dengan pena, dan kertas. Kaum ini berasal dari
golongan feodal dan borjuis, karena hanya kedua golongan tersebut saja yang
sanggup menyekolahkan anak-anaknya sampai sekolah tinggi.67
3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar, oleh
karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen, dan oleh
karena perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain
kaum yang melarat tidak termaktub di dalamnya.
4. Karena Partindo berkeyakinan bahwa di dalam perjuangan, kaum
melarat Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemennya (bagian-
bagiannya), maka Partindo memakai perkataan Marhaen itu.
Dalam kalimat dalam tesis ketiga dan keempat menjelaskan bahwa
Partindo sebagai partai yang menjadikan Marhaenisme sebagai asasnya.
66 Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme, h. 10-11. 67 Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme, h. 13.
5. Di dalam pejuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan,
bahwa kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali.
Tentang kalimat pada tesis kelima Sukarno menjelaskan sebagai berikut:
“Kalimat ini saja sudahlah membuktikan, bahwa cara perjuangan yang dimaksud adalah cara perjuangan yang tidak ngalamun, cara perjuangan yang rasional, cara pejuangan yang ‘menurut kenyataan’, cara perjuangan yang modern. Sebab apa yang dikatakan disitu? Yang dikatakan disitu ialah, bahwa di dalam perjuangan Marhaen, kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali”68
Kata kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali inilah yang
menunjukkan kemodernan dan kerasionalan tesis kelima, karena kaum proletarlah
yang lebih hidup dalam ideologi modern, kaum proletar adalah kelas yang lahir
dari kapitalisme. Mereka lebih jelas pikirannya dan nilai perlawanannya terhadap
kapitalisme dan imperialisme lebih besar daripada perlawanan dari golongan-
golongan yang lain. Oleh karena berdasarkan kuantitas kaum tani lebih besar
jumlahnya, namun pada umumnya sebagian dari diri kaum tani masih berada pada
ideologi feodalisme, kaum tani kita masih mengagung-agungkan ningratisme,
masih mengandalkan kekuatan gaib. Sedangkan untuk menjatuhkan imperialisme
dan kapitalisme ideologi modern sangat dibutuhkan.69 Dari tesis ini dapat
dikatakan bahwa kaum proletar sebagai pelopor revolusioner atau pemimpin
sedangkan kaum yang lain sebagai grassroot.
6. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat
dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.
Dari tesis keenam dapat dijelaskan bahwa Marhaenisme adalah azas untuk
menyusun masyarakat dan negara. Azas atau prinsip adalah pegangan yang terus
68 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 254. 69 Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme, h. 14-15.
menentukan sikap dan perbuatan. Azas tidak boleh dilepas, azas tidak boleh
dilepas walau telah sampai pada Indonesia Merdeka. Justru pada saat di dalam
Indonesia Merdeka itulah azas harus dilaksanakan, karena azaslah yang akan
menjawab setiap pertanyaan bagaimana seharusnya pemerintahan, susunan
ekonomi di dalam Indonesia Merdeka.70 Azas Marhaenisme tersebut adalah apa
yang telah disebutkan dalam tesis pertama yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-
demokrasi.
7. Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan
masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus
dengan cara perjuangan revolusioner.
Dari tesis ketujuh mengandung pengertian bahwa Marhaenisme bukan
hanya azas untuk menyusun tatanan masyarakat dan negara, melainkan juga
sebagai azas perjuangan.
Untuk menjatuhkan imperialisme internasional yang menguasai Indonesia
diperlukannya azas perjuangan, dan azas perjuangan yang ditetapkan adalah:
pertama, nonkooperasi, yakni tidak ikut serta dalam segala aktifitas yang
membantu pemerintahan Belanda. Kedua, penyusunan kekuasaan, penyusunan
kekuasaan atau kekuatan untuk dihadapkan kepada kekuatan imperialisme. Dan
ketiga, massa aksi, perlunya massa aksi untuk meruntuhkan imperialisme.71
Setelah imperialisme dan kapitalisme internasional runtuh dan telah
mencapai Indonesia Merdeka, maka sebagian azas perjuangan tidak diperlukan
lagi yaitu nonkooperasi. Tetapi kedua azas lainnya tetap harus dilaksanakan,
karena dengan kedua azas perjuangan tersebut yaitu penyusunan kekuasaan dan
70 Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme, h. 18. 71 Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme, h. 19.
massa aksi digunakan untuk mencegah tumbuhnya sistem kapitalisme di dalam
Indonesia Merdeka.72
8. Jadi Marhaenisme adalah; cara perjuangan dan azas yang
menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.
Pada tesis kedelapan dijelaskan bahwa Marhaenisme menghendaki
runtuhnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme. Jadi Marhaenisme
menghendaki segala bentuk kapitalisme, baik itu kapitalisme internasional
maupun kapitalisme bangsa sendiri.
9. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia yang
menjalankan Marhaenisme.
Tesis yang terakhir adalah tentang marhaenis, dijelaskan bahwa marhaenis
adalah tiap orang warga Indonesia yang menjalankan Marhaenisme. Jadi bukan
keadaan atau situasi yang membuat seorang dianggap sebagai marhaenis.
Banyak kaum marhaen yang bukan marhaenis, karena tidak menjalankan
Marhaenisme. Dan sebaliknya ada pula dari kelas borjuis yang meninggalkan
kelasnya dan masuk ke dalam kelas marhaenis. Mereka yang menjadi marhaenis
dilihat dari faktor karakter dan moral, sebab tanpa karakter dan moral orang dapat
dengan mudah menyimpang dari jalan dan cita-cita yang tadi dijunjung tinggi.73
Faktor karakter membuat seorang setia kepada cita-cita idealnya walau
dihadapkan dengan segala situasi. Dan faktor moral yang merupakan kekuatan
bathin yang membuat kita bersatu dengan anggota masyarakat dan mendorong
kita melakukan perbuatan demi kepentingan umum.
72 Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme, h. 22. 73 Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme, h. 30.
E. Marhaenisme Sebagai Kategori Kelas
Istilah kelas memiliki pengertian secara politis seperti saat ini, berawal
dari pokok analisa Marx tentang struktur masyarakat, yang berhasil melakukan
suatu analisis tentang hubungan kelas dan peranan kelas-kelas tertentu dalam
periode sejarah yang silih berganti.
Setiap periode menampilkan suatu kelas progresif dengan kepentingan dan
tindakannya yang tersendiri, yang akan memajukan perkembangan sosial,
sedangkan kelas yang lain yang reaksioner melancarkan perlawanannya terhadap
perkembangan tersebut. Dalam kapitalisme yang menjadi kelas progresif adalah
kaum proletar, sedangkan kelas reaksioner adalah kaum borjuis. Kelas progresif
ini selalu melakukan perlawanan terhadap kelas reaksioner yang merupakan
kelompok hasil gabungan dari kaum feodal, birokrat, militer, agama, dan pemodal
.74
Sama halnya yang terjadi di Indonesia pada masa imperialisme Belanda.
Pemerintah Belanda yang reaksioner tak henti-hentinya menahan dan melawan
setiap langkah-langkah progresif yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Namun
kelas progresif di Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap imperialisme
Belanda bukan hanya kelas proletar saja, tetapi juga termasuk kaum tani, kaum
pelajar, dan tokoh-tokoh agama terutama Islam. Melihat fenomena ini, Soekarno
kemudian merumuskan istilah Marhaen yang merupakan kelas progresif
Indonesia.
Kelas progresif dalam Marxisme terjadi karena kontradiksi pada proses
produksi yang kapitalistik, sedangkan kelas progresif di Indonesia dikarenakan
74 Yulianto Sigit Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno (Yogyakarta:
Buana Pustaka, 2005), h. 54.
kekuatan produksi dan hubungan produksi. Kekuatan produksi rakyat Indonesia
yang melimpah dijalin dalam suatu hubungan produksi yang eksploitatif dan
monopolistik yang mengakibatkan rakyat Indonesia menjadi semakin dirugikan
dan semakin melarat.75 Keberpihakan Marhaenisme pada kaum melarat ini sama
dengan keberpihakan Marxisme.
Kaum marhaen ini terdiri dari tiga unsur, pertama kaum proletar (buruh)
Indonesia, kedua kaum tani Indonesia, dan ketiga kaum melarat Indonesia.
Sedangkan kaum marhaenis adalah setiap pejuang yang mengorganisir kaum
marhaen dengan massa aksi tersebut untuk menghancurkan sistem kapitalisme,
imperialisme, dan kolonialisme, serta bersama-sama membangun negara dan
masyarakat yang kuat, adil dan makmur.76 Istilah melarat menunjukkan bahwa
posisi kaum marhaen berada di level bawah dalam stratifikasi masyarakat.
Dalam wacana politik modern, kelas progresif merupakan sasaran bagi
kelas reaksioner untuk memecah-belah kelas progresif dan kemudian dihancurkan.
Kemungkinan ini kemudian diantisipasi dengan muncul istilah kelas menengah
sebagai identifikasi baru bagi kelas progresif. Kelas progresif ini merupakan
kombinasi dari kelas bawah dan kelas menengah seperti kelompok intelektual
progresf, kelompok agama progresif, dan lain sebagainya.77 Dari penjelasan ini
maka Marhaenisme secara substansial sebenarnya kelas menengah progresif
Indonesia yang berjuang untuk menghapus segala kesengsaraan dan penderitaan
yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme.
75 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 84. 76 Ruslan Abdulgani, Sosialisme Indonesia (Jakarta: Yayasan Prapantja, 1961), 33. 77 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 56.
F. Marhaenisme Sebagai Ideologi Perjuangan
Secara etimologi (sejarah kata), ideologi berasal dari kata idea yang berarti
pikiran, dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara tertulis, ideologi berarti studi
tentang gagasan, pengetahuan kolektif, pemahaman-pemahaman, pendapat-
pendapat, nilai-nilai, prakonsepsi-prakonsepsi, pengalaman-pengalaman, dan atau
ingatan tentang informasi sebuah kebudayaan dan juga rakyat individual.78
Ideologi-ideologi dapat dipandang sebagai artikulasi konseptual dan sikap
pro dan kontra terhadap perubahan dalam proses modernisasi tersebut. Istilah
ideologi pertama kali diperkenalkan oleh Destutt de Tracy (1754-1836) yang
mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang idea. Ilmu pengetahuan ini memiliki
garapan pada upaya penetapan asal mulanya ide-ide, dalam hal ini ilmu
pengetahuan tersebut harus mengesampingkan prasangka-prasangka metafisika
dan agama. Kemajuan ilmiah hanya dapat dicapai jika ide-ide palsu dapat
dihindarkan. Aliran ideologues dari de Tracy mengikuti tradisi pencerahan Prancis
dalam kepercayaannya bahwa akal adalah alat kebahagiaan yang utama. Di sini
asal mula ideologi mempunyai konotasi positif, yaitu ilmu pengetahuan yang tepat
mengenai, yang mengatasi prasangka-prasangka agama dan metafisika, yang
dapat berguna sebagai basis baru pendidikan rakyat.79
Penilaian negatif terhadap ideologi diluncurkan oleh Vilfredo Pareto
(1848-1923), mengkritik tentang apa yang dimaksud dengan cita-cita luhur atau
78 Admin, “Tentang Ideologi” artikel diakses tanggal 7 Februari 2007 dari
Http://www.marhaenis.org/article.php?story=20060719094154537&query=stratifikasi%2Bmasyarakat
79 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 57.
ideologi adalah sekedar alat perjuangan politik dan sosial yang dalam
kenyataannya tidak lebih dari rasionalisasi pengakuan-pengakuan kekuasaan.
Namun tidak hanya penilaian negatif saja yang melekat pada ideologi, Karl
Mannheim (1893-1947) berpendapat positif, menurutnya wajar jika pemikiran
mengenai realitas sosial bergantung dari kontek sosial dan ditentukan oleh
harapan, kepentingan, dan cita-cita masing-masing kelompok sosial.80
Mannheim menyatakan, jika terjadi krisis dalam masyarakat, maka muncul
dua kekuatan saling bertentangan, yaitu kelompok yang memerintah dan
kelompok yang tertindas. Masing-masing kelompok mempunyai ideologi yang
berbeda, seperti kelompok penguasa mencoba mengurangi konflik dengan
memelihara status quo, perkembangan pemikiran yang selalu sesuai dengan segala
zaman dan selalu sesuai dengan interest unsur yang berkuasa. Sedangkan
kelompok yang tertindas bersifat utopia, di mana selalu tak puas dengan keadaan,
mencari ide baru. Pemikiran selalu terikat kepada orang-orang tertindas.81
Marhaenisme digunakan sebagai azas atau ideologi perjuangan
dipengaruhi oleh marxisme dengan tema perjuangan kelas sebagai aspeknya.
Marxisme dalam perjuangan kelasnya hanya dalam ruang lingkup tertentu saja,
yaitu perjuangan kelas antara kelas proletar dengan kelas kapitalis, sedangkan
dalam Marhaenisme perjuangan kelasnya dalam lingkup yang luas yaitu
perjuangan bangsa, perjuangan terjadi antara bangsa yang terjajah dengan bangsa
yang menjajah. Menurut Soekarno perjuangan kelas yang terjadi di negara yang
terjajah tetap ada namun perjuangan kelas tersebut tertutup dengan perjuangan
80 Frans Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h.
229. 81 Syahrial Syarbaini, M.A., dkk, Sosiologi dan Politik (Jakarta; Ghalia Indonesia, 2002),
h. 106.
nasional yang lebih penting dan lebih besar.82 Dalam artikelnya “Kapitalis Bangsa
Sendiri” Soekarno menjelaskan bahwa perjuangan yang dilakukan perjuangan
yang mengutamakan perjuangan nasional, perjuangan bangsa.83
Marhaenisme sebagai sebuah dasar gerakan politik yang memuat konsep
masyarakat telah memenuhi syarat untuk disamakan dengan sebuah ideologi.
Sebagai sebuah ideologi, Marhaenisme tak lepas dari kecenderungan yang dialami
oleh setiap ideologi, bahwa suatu saat Marhaenisme akan menghasilkan suatu
kesadaran palsu dan hal itu tidak dapat dihindari. Marhaenisme sebagai ideologi
progresif merupakan suatu ideologi perlawanan terhadap ideologi reaksioner yang
direpresentasikan oleh imperialisme Belanda di Indonesia.
Marhaenisme sebagai sebuah ideologi memuat semangat pembebasan
segala proses dehumanisasi dalam sejarah kemanusiaan dan penindasan dalam
struktur sosial kemasyarakatan. Selain itu, Marhaenisme telah memiliki
seperangkat tatanan lain yang disyaratkan bagi keabsahan sebuah ideologi, yaitu
ajaran dan cara-cara pencapaian.
Cita-cita Marhaenisme bukan hanya sekedar untuk mengusir penjajah
Belanda, tetapi juga menghilangkan ideologi kapitalisme secara keseluruhan baik
itu kapitalisme asing maupun kapitalisme bangsa sendiri. Dalam Marhaenisme,
kapitalisme adalah penyebar kesengsaraan, kemiskinan, peperangan, dan rusaknya
susunan dunia.84 Penolakan terhadap ideologi kapitalisme merupakan hal yang
wajar untuk hampir keseluruhan negara baru. Menurut Lyman Tower Sargent
(1986) alasan penolakan disebabkan pada identifikasi dengan kolonialisme dan
82 Hadi (H.R.), Sembilan Tesis Marhaenisme, h. 6. 83 Asmara Hadi (H.R.), Marhaenisme Adjaran Bung Karno (Jakarta: Partai Nasional
Indonesia, 1961), h. 53. 84 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 181.
neokolonialisme. Identifikasi seperti ini mengakibatkan ketakutan yang mendalam
dan negara baru dan negara berkembang cenderung menerima sosialisme.85
Dari pernyataan Sargent bahwa negara baru lebih memilih ideologi
sosialisme dikarenakan banyak negera-negara baru terlahir dari perlawanan
terhadap kolonialisme dan imperialisme yang merupakan turunan dari
kapitalisme. Sosialisme dalam hal ini dianggap sebagai ideologi pembebas dari
belenggu kapitalisme, maka wajar jika Marhaenisme lebih condong ke ideologi
sosialisme.
Marhaenisme sebagai ideologi sosialis diharapkan menjadi pembebas dari
segala kesengsaraan rakyat Indonesia yang diakibatkan oleh imperialisme Belanda
dan Marhaenisme harus mampu menjembatani kesenjangan sosial yang terjadi
serta menjelaskan kondisi sosial masyarakat agar tidak menjadi suatu kesadaran
palsu.86
G. Pola Perjuangan Marhaenisme
Marhaenisme mempunyai tujuan menghapus segala bentuk sistem
kapitalisme, baik itu kapitalisme asing maupun kapitalisme bangsa sendiri. Selain
itu Marhaenisme juga berusaha menghilangkan sifat-sifat sektarianisme yang
lebih mementingkan kepentingan kelas. Hal ini Soekarno memberi penjelasan.
“.... Kita harus anti segala kapitalisme, walaupun kapitalisme bangsa sendiri. Tetapi di situ saya janjikan pula untuk menerangkan, bahwa kita di dalam perjuangan kita mengejar Indonesia Merdeka itu tidak pertama-tama mengutamakan perjuangan kelas, tetapi harus mengutamakan perjuangan nasional.”87
85 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 60. 86 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 61. 87 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 183.
Sebagai kekuatan politik, Marhaenisme memiliki pola perjuangan yang
bersifat non-kooperatif, yakni tidak mau bekerja sama dengan pihak imperialisme
Belanda. Non-kooperatif adalah salah satu azas perjuangan Marhaenisme untuk
mencapai Indonesia Merdeka. Di dalam perjuangan mencapai Indonesia Merdeka
Soekarno mengingatkan, bahwa adanya pertentangan kebutuhan antara kaum yang
dijajah dan kaum yang menjajah. Non-kooperatif merupakan prinsip Soekarno
dalam setiap gerakan politiknya. Gerakan non-kooperatif yang pertama kali
dilakukan Soekarno ialah tidak menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar dalam berpidato.
“Non-kooperasi kita adalah satu azas perjuangan kita untuk mencapai Indonesia Merdeka. Di dalam perjuangan mengejar Indonesia Merdeka kita harus senantiasa ingat, bahwa adalah pertentangan antara sana dan sisni, antara kaum penjajah dan kaum yang dijajah. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang memberi keyakinan kepada kita, bahwa Indonesia Merdeka tidaklah bisa tercapai, jikalau kita tidak menjalankan politik non-cooperation. Memang pertentangan kebutuhan inilah yang buat sebagian besar menetapkan kita punya azas-azas perjuangan yang lain-lain, misalnya machtsvorming, massa aksi dan lain-lain.”88
Non-kooperatif bukan hanya azas perjuangan saja melainkan juga suatu
prinsip yang hidup, yang tidak mau bekerja sama di segala lapangan politik
dengan pihak penjajah. Sedangkan konsep massa aksi ditegaskan sebagai
pergerakan rakyat yang bersifat masif –berjumlah banyak/massal-, dan harus
bersifat radikal.89 Massa aksi berbeda dengan aksi massal, yang membedakannya
adalah sifat radikal revolusioner. Soekarno juga menjelaskan bahwa non-
kooperatif adalah berisi aktifitas dan radikalisme -radikalisme pikiran, semangat,
dan radikalisme dalam segala sikap baik lahir maupun batin yang berdasarkan
88 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 189. 89 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 62-63.
keyakinan dan kenyataan bahwa pertentangan kebutuhan tidak dapat ditutupi.
Soekarno dalam tulisannya “Non-Cooperation Tidak Bisa Mendatangkan Massa-
Aksi dan Matchsvorming” mengungkapkan sebagai berikut:
“Tjukupkah sekian sahadja keterangan tentang massa-aksi? Tjukupkah keterangan, bahwa massa-aksi ialah pergerakannya rakyat Marhaen yang berdjuta-djuta? Keterangan sekian itu sama sekali belum tjukup! Sebab keterangan kita itu melupakan satu hal lagi, jang sangat sekali penting didalam soal massa-aksi. Keterangan kita itu masih lupa menerangkan, bahwa massa-aksi haruslah bersemangat dan bersepak-terdjan radikal, bersemangat dan bersepak-terdjang revolusioner.” 90
Sikap radikal dan non-kooperatif dipilih oleh Soekarno disebabkan
kecenderungan kelas yang berkuasa tidak akan mau menyerahkan kekuasaannya
dengan suka rela. Untuk merebut suatu kekuasaan haruslah disertai dengan usaha
keras yang tidak mengenal kompromi, dan terus memaksa kelas berkuasa untuk
menyerahkan kekuasaannya dengan massa aksi. Agar massa aksi dapat terkontrol
maka dibutuhkannya machtvorming atau pembentukkan kuasa atau tenaga.
“ Machtvorming adalah berarti vormingnya macht, pembikinan tenaga, pembikinan kuasa. Machtvorming adalah jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana tunduk kepada kita. Paksaan itu adalah perlu oleh karena ‘sana mau ke sana, sini mau ke sini’.”91
Machtvorming atau pembikinan kekuasaan ini merupakan syarat utama
bagi perjuangan mencapai Indonesia merdeka, selain massa aksi dan radikal.
Soekarno berpendapat, bahwa selama rakyat Indonesia belum membuat kekuasaan
(macht) yang kuat, masih terpecah belah, dan masih belum bisa mendorong semua
keinginannya dengan kekuasaan yang teratur dan tersusun, maka selama itu pula
kaum imperialis memandang rendah rakyat Indonesia dan mengabaikan tuntutan-
90 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 197. 91 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 297.
tuntutannya.92 Langkah dalam pembikinan kekuasaan ini dimulai dengan
pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai organisasi yang mengontrol
pergerakan.
“.... partai marhaen bermaksud menjadi partai pelopor massa aksi, haruslah mempunyai azas perjuangan yang 100% radikal; antitese, perlawanan zonder damai, kemarhaenan melenyapkan cara susunan masyarakat sekarang, mencapai susunan masyarakat baru.”93
Untuk mewujudkan tujuan politik Marhaenisme, Soekarno telah
menentukan prasyarat yang harus dilalui oleh rakyat Indonesia. Pertama, adanya
kesadaran kelas yang tertindas, dalam hal ini diwakili oleh kelas progresif
Indonesia yakni kaum marhaen. Kedua, kelas progresif tersebut harus bersifat
radikal. Ketiga, kelas progresif yang radikal tersebut harus membuat kekuatan
pemaksa (pressure power) untuk memaksa imperialisme Belanda menyerahkan
kekuasaannya. Dan keempat, kelas progresif radikal tersebut harus bersifat non-
koopertif. Sifat non-kooperatif ini bukan hanya sebagai pola perjuangan saja
melainkan sudah menjadi prinsip perjuangan yang tidak dapat diubah.94
92 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 297. 93 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 304. 94 Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno, h. 65.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa:
pemikiran politik Soekarno didasari dari satu central point, yaitu kebenciannya
terhadap kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Dari pengalaman terjajah
oleh kolonial Belanda memacu semangat perlawanan Soekarno untuk
membebaskan bangsa dan negaranya dari penjajahan sekaligus mengobarkan
semangat nasionalisme yang revolusioner, dan dari teori-teori Marx, Soekarno
mendapat langkah-langkah taktis dan strategis yang dapat dijadikan sebagai
pedoman perjuangan.
Dengan menggunakan metode dialektika Marxisme, Soekarno membuat
konsep untuk dijadikan dasar dan cara perjuangan untuk mencapai Indonesia
merdeka dan masyarakat yang adil dan makmur yaitu Marhaenisme. Marhaenisme
merupakan kajian terhadap fenomena masyarakat Indonesia yang agraris, melihat
pertentangan kelas secara garis besar. Soekarno menjelaskan keadaan masyarakat
Indonesia dan kenyataan yang terjadi bahwa di Indonesia ada penindasan dan
penghisapan oleh kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme terhadap rakyat
Indonesia. Kenyataan tersebut menimbulkan pertentangan antara golongan rakyat
Indonesia sebagai keseluruhan dengan golongan imperialisme yaitu penjajah.
Sama halnya dengan Marxisme, Marhaenisme memiliki konsep kelas
progresif. Namun berbeda dengan Marxisme, dalam Marhaenisme kelas
progresifnya terletak pada struktur masyarakat agraris dan cenderung memilih
metode revolusi atau perubahan nasional daripada perubahan kelas. Revolusi
nasional adalah gerakan kemerdekaan, yaitu suatu tuntutan tegas dari hak rakyat
untuk memerintah sendiri.95
Marhaenisme seperti yang diungkapkan oleh Soekarno dalam Deklarasi
Marhaenisme pada rapat PNI di Makasar tahun 1933, menjelaskan tentang siapa
Marhaen, Marhaenis, dan apa Marhaenisme. Marhaen adalah setiap warga atau
orang-orang yang dimelaratkan oleh kaum imperialisme Belanda. Golongan
Marhaen terdiri dari kaum proletar, kaum tani melarat dan kaum melarat
Indonesia lain seperti nelayan, pedagang, atau bahkan kaum intelek seperti dokter,
mahasiswa dan sebagainya. Sedangkan Marhaenis adalah setiap warga negara
yang menjalankan Marhaenisme.
Dalam perjuangannya, Marhaenisme menggunakan azas atau cara
perjuangan seperti non-kooperatif, yaitu gerakan tidak bekerja sama dalam segala
hal dengan golongan imperialisme Belanda. Massa aksi, yaitu golongan Marhaen
melakukan aksi secara radikal. Hal tersebut dikarenakan imperialisme Belanda
tidak mungkin melepaskan kekuasaannya dengan sukarela. Dan machtvorving
atau pembentukkan kekuasaan merupakan cara perjuangan modern. dengan itu
dibentuknya sebuah partai politik dengan tujuan kemerdekaan Indonesia. Dalam
praktiknya, menurut penulis, Soekarno dalam menjalankan Marhaenisme tidak
sampai pada tujuannya yaitu menuju masyarakat sosial, hanya sampai pada
Indonesia merdeka .
Dalam perkembangannya, nilai-nilai atau prinsip-prinsip Marhaenisme
dijadikan sebagai dasar negara yang hingga saat ini berlaku, yaitu Pancasila.
95 Yulianto Sigit Wibowo, Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno (Yogyakarta:
Buana Pustaka, 2005), h. 90.
Pokok-pokok dasar Pancasila merupakan gagasan konsep Marhaenisme, yaitu
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi dengan ketuhanan. Pancasila merupakan
perjuangan Marhaenisme pasca kemerdekaan yang menitikberatkan pada dasar
negara.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah lalu dan dalam kaitannya dengan
penelitian ini yang jauh dari sempurna, penulis mengajukan beberapa saran yang
diharapkan dapat memberi masukan khususnya bagi penulis dan umumnya bagi
yang memperhatikan dan yang ingin melanjutkan penelitian ini:
1. Mencoba mengkaji kembali pemikiran Soekarno tentang Marhaenisme
dalam faktor perkembangannya menjadi dasar negara, yaitu Pancasila.
Marhaenisme secara dialektis menunjukkan adanya hubungan historis
dengan Pancasila. Sebagai pemikiran orisinil dari Indonesia, kajian
terhadap Marhaenisme perlu ditingkatkan intensitasnya dan diharapkan
dapat menunjukkan perkembangan-perkembangan baru.
2. Dalam penelitian ini, penulis banyak mengalami kendala dalam
pencarian data yang hanya ditemukan di perpustakaan nasional.
Diharapkan adanya penambahan buku-buku yang mengkaji tentang
pemikiran Soekarno di perpustakaan Ushuluddin dan Filsafat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, Ruslan. Negara dan Dasar Negara. Jakarta: Penerbit Endang, 1957.
----------------------. Sosialisme Indonesia. Jakarta: Yayasan Prapantja, 1961.
Anwar, Rosihan. In Memoriam; Mengenang Yang Wafat. Jakarta: Kompas, 2002.
Dahm, Bernhard. Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, penerjemah; Hasan
Basari. Jakarta: LP3ES, 1987.
Darmawan. Soekarno Bapak Bangsa Indonesia. Bandung: Hikayat Dunia, 2005.
Feith, Herbert dan Castles, Lance, ed. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965.
Jakarta: LP3ES, 1988.
Hadi (H.R.), Asmara. Marhaenisme Adjaran Bung Karno. Jakarta: Partai Nasional
Indonesia, 1961.
-------------------------. Sembilan Tesis Marhaenisme dan Penjelasan Singkatnya.
Jakarta: P.B. Partindo, 1958.
Isak, Joesoef, ed. 100 Tahun Bung Karno; Sebuah Liber Amicorum. Jakarta:
Hasta Mitra, 2001.
Legge, John D. Sukarno; Sebuah Biografi Politik, penterjemah; tim PSH. Jakarta:
Sinar Agape Press, 1985.
Ranoh, Ayub. Kepemimpinan Kharismatis; Tinjauan Teologis-Etis atas
Kepemimpinan Kharismatis Soekarno. Jakarta: Gunung Mulia, 2000.
Sastroamidjojo, Ali. Dasar-Dasar Pokok Marhaenisme. Jakarta: Partai Nasional
Indonesia, 1961.
Simorangkir, O. P. Renungan Bapak Marhaen Indonesia; Bung Karno. Jakarta:
Univ. Krisnadwipayana, 2002.
Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi. Panitya Penerbit Di Bawah Bendera
Revolusi, 1963.
------------. Indonesia Mengugat. Jakarta: S.K. Seno, 1956.
------------. Pancasila dan Perdamaian Dunia. Jakarta: Idayu Press, 1985.
Suhartono. Sejarah Pergerakan Nasional : Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi
(1908-1945). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Suseno, Frans Magnis. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Syarbaini, Syahrial, dkk. Sosiologi dan Politik. Jakarta; Ghalia Indonesia, 2002.
Wibowo, Yulianto Sigit. Marhaenisme; Ideologi Perjuangan Soekarno.
Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005.
Admin. “Tentang Ideologi” artikel diakses tanggal 7 Februari 2007 dari
Http://www.marhaenis.org/article.php?story=20060719094154537&quer
y=stratifikasi%2Bmasyarakat
Soekarno. “Tulisan Soekarno: Perbedaan Asas Sosio-Demokrat dan Komunis”
artikel diakses tanggal 7 Februari 2007 dari
Http://id.wikisource.org/wiki/Tulisan Soekarno: Perbedaan Asas Sosio-
Demokrat dan Komunis