PEMIKIRAN TENTANG HUKUM KELUARGA K.H M. SYAFI’I HADZAMI:
STUDI ATAS BUKU TAUDLIHUL ADILLAH
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
SUFYAN ZULKARNAIN
NIM: 1112044100019
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2016 M
ii
LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI
PEMIKIRAN TENTANG HUKUM KELUARGA KH. M SYAFI’
HADZAMI STUDI ATAS BUKU TAUDLIHUL ADILLAH
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
SUFYAN ZULKARNAIN
NIM. 1112044100019
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2016 M/1437 H
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul: “Pemikiran Tentang Hukum Keluarga KH. M Syafi’i
Hadzami Studi Atas Buku Taudlihul Adillah” telah diajukan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 19 Desember 2016, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Hukum
Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah).
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Sufyan Zulkarnain
NIM : 1112044100019
Fakultas : Syariah dan Hukum
Jurusan : Ahwal Syakhshiyyah
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
ABSTRAK
Sufyan Zulkarnain, NIM 1112044100019, Pemikiran Tentang Hukum
Keluarga K.H. M.Syafi’i Hadzami: Studi Atas Buku Taudlihul Adillah, Strata
Satu (SI), Jurusan Ahwal Syakhshiyyah, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1438 H/2016 M, 86
Halaman.
K.H. M. Syafi’i Hadzami adalah salah satu tokoh Betawi yang menjadi
panutan dan menjadi rujukan dalam hal fikih Islam, beliau juga menulis buku
untuk menjawab pertanyaan dari masyarakat (jamaah) yang mengikuti kajiannya.
Dalam menentukan hukum terutama dalam mengambil data dan keputusan
hukumnya beliau tidak asal asalan. Beliau tetap memakai rujukan Al-Qur’an dan
Hadist, dan dipengaruhi oleh para ulama-ulama sebelumnya. Penelitian ini
mengungkap: (1) bagaimana pemikiran K.H. M. Syafi’i Hadzami dalam hal
pernikahan beda agama dan pernikahan wanita hamil, (2) bagaimana metode
istimbath hukum K.H. M. Syafi’i Hadzami, dan (3) Madzhab dan ulama mana
yang lebih dijadikan rujukan K.H. M. Syafi’i Hadzami dalam menentukan hukum.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan cara mengumpulkan
data-data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, kemudian di deskripsikan
sehingga dapat memberikan kejelasan terhadap kenyataan atau realitas.
Pengumpulan data dilaukan dengan studi pustaka (library research), atau
dokumentasi terhadap buku-buku K.H. M. Syafi’i Hadzami dan tulisan orang lain
yang mengenai beliau. Yang menjadi sumber data utama dalam penelitian ini
adalah buku Taudlihul Adillah karya KH. M. Syafi’i Hadzami.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa: (1) Pendapat KH. Syafi’i Hadzami
mengenai pernikah beda agama dengan tegas beliau menyatakan tidak sah
pernikahannya. Sedangkan mengenai pernikahan wanita hamil beliau berpendapat
bahwa wanita yang hamil karena zina, boleh dinikahkan baik kepada laki-laki
yang menyebabkan kandungannya, atau kepada orang lain. Dan sesudah anaknya
lahir, tidak harus dikawinkan lagi, karena sudah sah perkawinannya. (2) Dalam
ijtihad menentukan hukum Islam, KH Syafi’i Hadzami menggunakan metode
bayani. (3) Pengunaan madzhab Syafi’i sebagai dasar penentuan hukum tidak
terlepas dari pendidikan beliau sejak kecil dan tradisi masyarakat Jakarta yang
mengikuti madzhab Syafi’i, serta di Negara kita Indonesia mayoritas
menggunakan madzhab Syafi’i.
Kata kunci : Hukum Keluarga, K.H M. Syafi’i Hadzami, Taudlihul Adillah
Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini SH, M.Ag
Daftar Pustaka : 1977 sampai 2012.
vi
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah segala puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT. Karena atas rahmat, inayah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Salawat dan salam semoga dilimpahkan selalu kepada Afdholu al-
Makhluqat Rasulullah SAW, pembawa rahmat bagi seluruh umat di dunia.
Setelah perjuangan yang begitu berat dan melelahkan sepenuhnya penulis
menyadari, bahwa suksesnya penulisan skripsi ini bukan semata-mata atas usaha
penulis pribadi. Namun adanya bantuan dan motiviasi yang konstruktif dari
berbagai pihak. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis merasa perlu untuk
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.
3. Ketua Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syahsiyah) di Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
Dr.H. Abdul Halim, M.Ag dan sekretaris Program Studi, Arip Purkon,MA
yang telah banyak membekali ilmu yang amat bermanfaat bagi penulis.
4. Ibu Dr. Hj. Mesraini, SH, M.Ag Selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga, pikirannya disela-sela kesibukannya untuk
memberikan bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
vii
5. Keluarga besar Yayasan Perguruan Islam Al-‘Asyirotusy-Syafi’iyyah yang
telah membantu pengadaan literature, khususnya kepada Ustadz Hariri.
6. Kepada seluruh Dosen dan Guru-Guruku yang telah banyak memberikan
saran dan masukan serta doa yang telah dipanjatkan, khususnya Ustadz
Mahsyar Zainudin, MA., Ustadz H. Shofar Mawardi, dan Ustadz
Syihabuddin.
7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda H. Muhyiddin Hamdani, Ibunda Hj.
Sufiyati yang tidak henti-hentinya memberikan motivasi materil dan moril
yang sangat berharga serta doa restunya yang tiada henti-hentinya, sehingga
akhirnya penulis dapat juga menyelesaikan studi di Perguruan Tinggi.
8. Rekan- rekan mahasiswa, terima kasih atas kehadiran kalian yang mengisi
hari-hari bersama, khususnya para sahabat Ahmad Faiq, Rivaldi Fahlepi, M.
Martin, Lutfan Adli, Nanik Maulidah, Itmam Huda, Muhajir dan yang
lainnya. Jadikan persahabatan ini tetap abadi selamanya.
9. Semua orang yang pernah hadir dalam kehidupan penulis, khususnya saudari
Mega Lestari untuk memberikan motivasi, nasehat, petuah dan gambaran
hidup. Jazakumullah khairal jaza.
10. Pimpinan beserta seluruh staf Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Perpustakaan Iman Jama’ Lebak Bulus yang telah memberikan bantuan
dan pelayanan dalam upaya memenuhi kebutuhan yang berkenaan dengan
literatur untuk penyusunan skripsi ini.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis serahkan semuanya semoga
amal baik kita semua diterima di sisi-Nya serta mendapat balasan yang setimpal
viii
dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para
pembaca umumnya. Aminn..
Amin Yaa Rabbal ‘Alamin
Jakarta, 02 Desember 2016
Sufyan Zulkarnain
ix
DAFTAR ISI
PENGESAHAN PEMBIMBING ........................................................................ ii
PERSETUJUAN PENGUJI.................................................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 6
C. Perumusan dan Pembatasan Masalah ........................................ 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 8
E. Tinjauan Penelitian Terdahulu .................................................. 8
F. Metode Penelitian .................................................................... 10
G. Sistematika penelitian .............................................................. 11
BAB II PERNIKAHAN BEDA AGAMA DAN PERNIKAHAN
WANITA HAMIL MENURUT PENDAPAT FUQAHA
A. Pernikahan Beda Agama ......................................................... 14
B. Wanita Hamil di Luar Nikah ................................................... 23
BAB III BIOGRAFI KH. M. SYAFI’I HADZAMI DAN BUKU
TAUDLIHUL ADILLAH
A. Biografi KH. M. Syafi’i Hadzami ......................................... 32
B. Deskripsi Buku Taudlihul Adillah .......................................... 48
C. Materi Hukum Keluarga dalam Buku Taudlihul Adillah ........ 52
BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN KH. MUHAMMAD SYAFI’I
HADZAMI DALAM BUKU TAUDLIHUL ADILLAH
A. Pemikiran KH. M. Syafi’i Hadzami ...................................... 57
B. Metode Istinbath Hukum KH. M. Syafi’i Hadzami ................ 69
C. Mazhab Yang Beliau Ikuti ...................................................... 75
x
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 83
B. Saran-saran .............................................................................. 84
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 86
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam al-Quran Allah SWT dengan tegas menyatakan bahwa Islam yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. adalah agama dengan ajaran yang
sempurna.1 Kesempurnaan ini tampak dari sumber pokoknya yaitu al-Quran dan
Hadis Nabi yang memuat norma-norma dan nilai-nilai moral yang tinggi serta
aturan-aturan tentang segala aspek kehidupan manusia seperti aspek akidah,
akhlak, ibadah, muamalah atau kehidupan bermasyarakat.2 Islam, sebagai agama
yang sempurna, juga dilengkapi aspek moral dan hukum yang semata-mata untuk
kesejahteraan manusia itu dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah fi al-
ardli.3 Berdasarkan sumber al-Quran dan Hadits tersebut maka muncullah ilmu
dan pedoman yang salah satunya adalah hukum Islam (Fiqh Islam).4
Hukum Islam tumbuh dan berkembang sejak masa Nabi Muhammad
SAW, kemudian melalui berbagai tahapan sejarah, muncul istilah fiqh sebagai
bagian dari disiplin kajian dan menjadi bagian dari hukum Islam.5
1 Hal ini sebagaimana yang tertera dalam surat al-Maidah (5)/3.
سلم دينااليوم أكملت لكن دينكن وأتممت عليكن نعمتي ورضيت لكن ال2 Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial; Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga
Ukhuwah, (Bandung; Mizan, 1995), h. 11. 3 Sebagai seorang khalifah, maka Allah memberikan isyarat untuk mengikuti petunjuk
Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 38 dan menegakkan kebenaran
dan tidak mengikuti hawa nafsu sebagaimana dalam surat Shad ayat 26. 4 Ulama sepakat mengenai sumber hukum Islam adalah al-Quran dan Sunnah. Sedangkan
sumber lainnya seperti ihsan, mashalahah mursalah dan lainnya menjadi perdebatan para ulama. 5 Fikih merupakan salah satu tradisi keilmuan yang berkembang di Islam. Tradisi yang
lain dalam Islam adalah Ilmu Kalam, Tasawuf, dan Filsafat. Untuk keterangan lebih lanjut ada
pada, Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina Mulya, 1992), h. 201
2
Dengan menggunakan fiqh umat manusia dapat memahami serta
mengetahui hukum syariah Islam yang di antaranya hukum yang membahas
mengenai hukum keluarga.6
Salah seorang Ulama‟ kontemporer, yaitu Mustafa Ahmad al-Zarqa, telah
membagi fikih menjadi dua kelompok besar, yaitu „ibadah dan Mu‟amalah,
kemudian membaginya lebih rinci menjadi tujuh kelompok, dan salah satunya
adalah hukum keluarga “al-ahwal al-syakhsiyah”, yaitu hukum perkawinan
(nikah), perceraian (talak, khuluk dll.), nasab, nafkah, wasiat, dan waris.7
Sedangkan Abdul Wahhab Khallaf membagi hukum dalam al-Qur‟an
menjadi tiga bagian, yaitu, Akidah, Akhlak, dan Mu‟amalah. Mu‟amalah dibagi
lagi menjadi tujuh bagian dan salah satunya yaitu bidang Hukum Keluarga (al-
ahwal al-syakhsiyah). Menurut beliau Para ahli Fiqih kontemporer berbeda
pendapat mengenai pengertian hukum keluarga yaitu Abdul Wahhab Khollaf,
menjelaskan bahwa hukum keluarga “al-ahwal al-syakhsiyah” adalah hukum
yang mengatur kehidupan keluarga, yang dimulai dari awal pembentukan
keluarga. Adapun tujuannya adalah untuk mengatur hubungan suami, istri dan
anggota keluarga.8
Wahbah al-Zuhaili menjadikan bab tersendiri Hukum Keluarga Islam,
dengan menggunakan istilah “al-ahwal al-syakhsiyah”, sama dengan yang
digunakan Jawad Mughniyah. Dalam satu kitab al-Mughniyah membahas dua
6 Fikih hukum keluarga merupakan kajian fiqh yang baru berdasarkan terjemahan dari
hukum yang muncul dari Barat. 7 Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh al-Islam fi Thaubihi al-Jadid: al-Madkhal al-Fiqih
al-Amm (Beirut: Dar al Fikr, 2010.). h. 55-56. 8 Abd al-Wahhab Khallaf, „Ilm-Usul al-Fiqh, (Kairto: Maktabah al-DDa‟wah al-
Islamiyah, t.t.), h. 32
3
bahasa pokok, yakni: al-Ibadat, dan al-Ahwal as-Syakhsiyah. Wahbah al-Zuhaili
berpendapat hukum keluarga adalah hukum tentang hubungan manusia dengan
keluarganya, yang dimulai dari perkawinan hingga berakhir pada suatu pembagian
warisan karena ada anggota keluarga yang meninggal dunia.9
Secara umum, cakupan dari Hukum Keluarga Jika kita mengacu pada
definisi Hukum Keluarga “al-ahwal al-syakhsiyah” dari Wahbah al-Zuhaili dan
Abdul Wahhab Khallaf, yaitu:
1. Hukum Keluarga (usrah) yang dimulai dari peminangan sampai
perpisahan, baik karena ada yang wafat maupun karena terjadi perceraian.
2. Hukum kekayaan keluarga (amwal); yang mencakup waris, wasiyat, wakaf
dan sejenisnya yang berkaitan dengan penerimaan dan atau pemberian.
3. Hukum Perwalian terhadap anak yang belum dewasa.
Pembahasan mengenai hukum keluarga ini adalah bagian integral dari
kajian fiqh Islam. Pembahasan mengenai hal ini juga menjadi perhatian para
tokoh agama di Indonesia, mulai dari para walisongo, Samsuddin al-Sumatrani,
Nurudin arraniri sampai pada tokoh ulama dewasa ini seperti KH. M Syafi‟i
Hadzami.
KH. M Syafi‟i Hadzami sebagai salah satu tokoh Betawi yang menjadi
panutan dan menjadi rujukan dalam hal fikih Islam, juga menulis buku yang
merupakan hasil dari pertanyaan dari masyarakat (jamaah) yang mengikuti
kajiannya.
9 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatullatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr,1989),
jilid 6., h. 12
4
Dalam penulisan buku terutama dalam bidang fikih, K.H M. Syafi‟i
Hadzami tentunya juga tidak gegabah dalam menentukan sumber tulisannya.
Sebab, beliau sadar betul keberadaan masyarakat betawi dan beliau juga
dipengaruhi oleh ulama-ulama sebelumnya yang menjadi gurunya.
Buku karya beliau yang sampai saat ini masih menjadi rujukan adalah
Taudlihul Adillah. Buku ini merupakan kumpulan keputusan hukum fikih yang
terdiri atas 7 jilid. Dalam setiap jilidnya selalu terdiri atas ibadah, muamalah,
munakahat dan bidang-bidang lainnya, baik yang termasuk masalah klasik
ataupun kontemporer.
Berdasarkan data yang ada, peneliti menemukan masalah hukum keluarga
yang dibahas dalam buku tersebut berjumlah enam puluh empat (64) masalah
yang terdiri atas lima puluh tiga (53) masalah perkawinan, delapan (8) masalah
cerai, dan tiga (3) masalah waris. Bahasan-bahasan tersebut, menarik untuk
dipetakan mengenai sumber hukum, dasar pengambilan hukum serta
kecenderungan mazhab yang diikuti.
Salah satu materi yang dibahas dalam hukum keluarga adalah hukum
menceraikan istri yang sedang hamil, tetapi bukan kehendak suaminya, namun
atas kehendak istrinya. Dalam penetapan hukum tersebut, K.H. M Syafii Hadzami
memberikan keputusan bahwa hukumnya boleh (tidak apa) dan tidak berdosa
karenanya.10 Penetapan hukum boleh tersebut sebenarnya oleh K.H. M Syafii
Hadzami dimulai dari hukum makruh lantas membolehkan dengan adanya alasan
istri yang menyeleweng. Dasar penetapan hukumnya adalah hadits dan
10
K.H. M. Syafi‟I Hadzami, Taudlihul Adillah (100 Masalah Agama), (Kudus: Menara
Kudus, tt), jilid 3., h. 284
5
pemaknaan hadits berdasarkan interpretasi Ibrahim al-Bajuri dalam kitab
Hasyiyah atas Fathul Qarib al-Mujib.
Berdasarkan data tersebut K.H. Syafi‟i Hadzami ternyata dalam
menjelaskan suatu hukum, penetapan hadits dan pemaknaan hadits bukan
berdasarkan para pensyarah hadits secara langsung akan tetapi dari fuqaha yang
menafsirkan hadits. Hal ini terjadi karena keberadaan kitab al-Bajuri lebih dekat
didengar oleh masyarakat Betawi saat itu dibandingkan dengan syarah hadits
lainnya seperti yang ditulis oleh Imam Ibn Hajjar.
Contoh bahasan lainnya adalah mengenai hukum menikah dengan ahl al-
Kitab.11 Menurut beliau pada saat ini sudah tidak ada ahl al-Kitab berdasarkan
hadits yang dinukil dari kitab al-Umm karya Imam Syafii.
اخبزنا عبد انمجيد عن ابن جزيج قال قال عطاء نيس نصاري انعزب بأهم كتاب
نتىراة والنجيم فاما من دخم فيهم إنما اهم انكتاب بنىا اسزائيم وانذين جاءتهم ا
.من انناس فهيسىا منهم 12
Berdasarkan kutipan pendapat di atas, ternyata K.H. M Syafi‟i Hadzami
lebih memilih pendapat fiqh yang klasik yaitu dari tokoh fiqh madzhab syafii
langsung.
Berdasarkan dua contoh di atas, terkesan bahwa K.H. M. Syafi‟i Hadzami
mempunyai pertimbangan sendiri dalam menentukan hukum terutama dalam
pengambilan data untuk keputusan hukumnya. Oleh karena itu, penulis tertarik
ingin mengetahui lebih banyak bagaimana isi pendapat beliau, terutama dalam
11
Bahasan ahl al-Kitab dibahas dalam bukunya jilid 6. Untuk keterangan lebih lanjut ada
pada K.H. M. Syafi‟I Hadzami, Taudlihul Adillah (100 Masalah Agama), (Kudus: Menara Kudus,
tt), jilid 6., h. 236 12
Muhammad Ibn Idris al-Syafi‟I, al- Umm, (Beirut: Dar al-Wafa‟, 2001), jilid 5., h. 7
6
tema hukum keluarga? Apa dalil-dalil yang beliau pakai? Kemudian apabila
dibandingkan dengan pendapat fuqaha madzhab, pendapat KH. M. Syafi‟I
Hadzami ini lebih mengikuti ke madzhab siapa? Apa persamaan-persamaan
pendapat K.H. M Syafii Hadzami dengan madzhab yang beliau ikuti tersebut dan
apa pula perbedaannya? Kemudian apa kontribusi K.H. M Syafii Hadzami dalam
perkembangan hukum islam di Indonesia? Untuk menjawab keingintahuan
tersebut penulis akan melakukan penelitian skripsi dengan judul “Pemikiran
Tentang Hukum Keluarga K.H. M. Syafi’i Hadzami: Studi atas Buku
Taudlihul Adillah”.
B. Identifikasi Masalah
Kajian mengenai pemikiran tokoh lokal Betawi adalah kajian yang
menarik untuk dilakukan. Sebab, secara kuantitatif masih jarang sekali kajian
seperti ini. Dalam kajian ini K.H. M Syafii Hadzami merupakan salah satu tokoh
yang menulis kitab fatwa. Kitab ini merupakan jawaban dan penjelasan terhadap
pertanyaan-pertanyaan dari jamaahnya dan dikumpulkan menjadi satu tulisan.
Selanjutnya, berdasarkan latar belakang di atas, maka ada beberapa
identifikasi masalah yang dapat dijadikan penelitian, yaitu antara lain:
1. Bagaimana konsep pengambilan hukum K.H. Syafi‟i Hadzami mengenai
hukum Islam?
2. Bagaimana KH. Syafi‟i Hadzami memandang permasalahan fiqh yang
belum berkembang dan belum dibahas oleh Ulama sebelumnya?
7
3. Apakah ada keterpengaruhan KH. Syafi‟i Hadzami terhadap pemikiran
para ulama sezamannya pada masa beliau masih hidup?
4. Bagaimana pandangan para ulama sezamannya dan para muridnya
terhadap keputusan hukum yang dipakai oleh K.H. Syafi‟i Hadzami?
5. Apakah K.H. Syafi‟i Hadzami juga menggunakan Fiqh lain selain dari
Madzhab Syafi‟i?
6. Bagaimana K.H. Syafii Hadzami mengaplikasikan metode pengambilan
atau penetapan hukum fiqh yang saat ini?
7. Adakah K.H. Syafii Hadzami mendapatkan perlawanan atau bantahan dari
ulama lainnya dalam menetapkan hukum fiqh?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Oleh karena buku Taudlihul Adillah pembahasan maka penulis
membatasinya hanya dalam hal hukum keluarga (al-Ahwal al-Syakhshiyah).
Kajian dalam hukum keluarga pun hanya dibatasi dalam beberapa tema saja,
yaitu tentang pernikahan beda agama, dan pernikahan wanita hamil diluar nikah.
Kajian dalam kedua tema tersebut dibatasi dalam aspek cara pengambilan dasar
hukum, serta kecenderungan ulama dan mazhab yang digunakan.
Permasalahan dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran K.H. M. Syafi‟i Hadzami dalam hal pernikahan
beda agama dan pernikahan wanita hamil?
2. Bagaimana metode istinbath hukum KH. M. Syafi‟I Hadzami?
8
3. Madzhab dan ulama mana yang lebih dijadikan rujukan K.H. M Syafi‟i
Hadzami dalam menentukan hukum?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui
bagaimana pemikiran KH. Syafii Hadzami dalam hal pernikahan beda agama dan
pernikahan wanita hamil. Kedua, untuk mengetahui metode dan cara mengambil
hukum berdasarkan sumber hukum yang ada. Ketiga, untuk mengetahui
kecenderungan ulama yang dijadikan rujukan oleh K.H. Syafii Hadzami.
Sedangkan signifikansi penelitian ialah untuk melengkapi persyaratan
mencapai gelar Sarjana di bidang hukum keluarga. Selain itu, diharapkan hasil
dari penelitian ini dapat menjadi koleksi khazanah Islam yang bermanfaat dan
merupakan salah satu kontribusi dalam mengkaji tokoh Islam lokal Betawi.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Kajian mengenai pemikiran K.H. Syafii Hadzami masih sedikit sekali,
yaitu antara lain;
1) Ahmad Afandi, Pemikiran KH. Muhammad Syafi‟I Hadzami dalam
bidang Fiqh Ibadah (2010). Skripsi yang ditulis oleh mahasiswa fakulas
Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini membahas mengenai pendapat KH.
Muhammad Syafi‟I Hadzami dalam bidang Ibadah yang secara khusus
membahas mengenai posisi jenazah ketika dishalatkan. Berdasarkan
penelitian ini, diketahui bahwa KH. Muhammad Syafi‟I Hadzami
9
berpendapat jika shalat mayit laki-laki maka posisi kepala mayit berada di
sebelah kiri Imam. Pendapat ini dikomentari oleh Sayyid Abdurahman
Assegaf yang menyatakan pendapat tersebut kurang tepat. Sebab, pendapat
tersebut menyalahi kebiasaan masyarakat pada umumnya.13
2) Taufik, Kajian Hukum Islam dalam Buku Taudlihul Adillah Karya K.H.
Muhammad Syafi‟i Hadzami, (2003). Penelitian ini berupa skripsi yang
ditulis untuk Program Pascsarjana Program Studi Kajian Timur Tengah
dan Islam Universitas Indonesia. Berdasarkan penelitiannya, peneliti tesis
ini menemukan beberapa hal yaitu: pertama, dalam menetapkan hukum,
KH Syafi‟i Hadzami menggunakan metode bayani, qiyasi dan Istishlahi.
Metode qiyasi digunakan untuk menyelesaikan masalah hukum bunga
bank, jual beli kredit, dan hukum al-kohol. Metode bayani digunakan
untuk menyelesaikan persoalan mengenai perkawinan antar pemeluk
agama. Sedangkan metode istishlahi digunakan untuk menyelesaikan
masalah keluarga berencana dan transfuse darah. Kedua, secara umum
dalam menyelesaikan persoalan kontemporer KH. Syafi‟i Hadzami lebih
cenderung atau sama dengan hasil Bahsul Masail NU. Hanya saja
terkadang lebih terperinci dan terkadang lebih ringkas dari Bahsul Masail
NU.14
Berdasarkan hal di atas, tidak ditemukan penelitian / skripsi yang
memetakkan K.H. M Syafii Hadzami dalam bidang al-Ahwal al-
13
Ahmad Afandi, “Pemikiran KH. Muhammad Syafi‟I Hadzami dalam bidang Fiqh
Ibadah “ Skripsi” (Jakarta: Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, 2010), h. 48 14
Taufik,” Kajian Hukum Islam dalam Buku Taudlihul Adillah Karya K.H. Muhammad
Syafii Hadzami,” tesis (Jakarta: Perpustakaan UI Jakarta, 2003), h. 154
10
Syakhshiyyah. Pemetaan ini penting untuk melihat aspek sosial dan
kecenderungan fikih yang digunakan oleh K.H. M Syafi‟i Hadzami
sehingga kita dapat mengetahui ciri dan model penetapan dalam hukum
fikih.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu
dengan cara mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti,
kemudian dideskripsikan sehingga dapat memberikan kejelasan terhadap
kenyataan atau realitas. Selain itu juga dengan analisis, yaitu dengan mengadakan
perincian terhadap masalah yang diteliti dengan jalan memilah-milah antara
pengertian yang satu dengan pengertian yang lain, untuk memperoleh kejelasan
masalah yang diteliti.
2. Jenis penelitian
Penelitian ini dikatagorikan sebagai penelitian kualitatif dan dilakukan
melalui kajian kepustakaan (library research). Data-data yang diperlukan dicari
dari sumber-sumber kepustakaan (buku, majalah, artikel, dan lain-lain).
Sedangkan secara teknis penulisannya didasarkan pada buku pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta (2012), dan penerjemahan Al-Quran menggunakan Al-
Qur‟an dan terjemahnya yang diterbitkan oleh Departemen Agama, tahun 2000.
11
3. Sumber penelitian
Sumber penelitian dibagi menjadi sumber primer dan sumber sekunder.
Sumber primer adalah buku Taudlihul Adillah yang diterbitkan oleh „‟MENARA
KUDUS‟‟ tahun 1982 yang terdiri dari 7 jilid. Sedangkan sumber sekunder adalah
beberapa karya beliau lain seperti buku Qiyas adalah Hujjah Syar‟iyyah, Sullamu
al Arsy fi Qira‟at Warsyi, Mathmah al Rubi fi Ma‟rifah al Riba, Ujalah Fidyah
Sholat dan karya lainya. Selain itu, penulis juga akan berusaha merujuk ke kitab-
kitab yang dijadikan rujukan beliau untuk mencari kejelasan dalam penetapan
hukum keluarganya, diantaranya kitab al-Umm, Mirqat Shu‟ûd al- Tashdiq fi
Syarh Sullam al-Taufiq, Hasyiah al-Syarqawi, Hasyiatul Bajury, Mughni Muhtaj
ila Ma‟rifah Ma‟ani alfazh al-Minhaj, Ushul al-Fiqh al-Islami, al-Muhazzab, dll.
4. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan
studi pustaka dokumen, mulai dari buku-buku K.H. M Syafi‟i Hadzami sampai
tulisan orang lain yang mengenai beliau.
Oleh karena penelitian ini penelitian kualitatif sehingga analisis datanya
menggunakan pendekatan logika induktif atau data yang ada pada buku-buku dan
bermuara pada kesimpulan-kesimpulan.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam penulisan, maka skripsi ini direncanakan
dalam beberapa bab sebagai berikut:
12
Bab pertama, pendahuluan dengan pokok bahasan latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodologi
penelitian, kajian pustaka, sistematika pembahasan. Bab ini penting berkaitan
dengan alasan pemilihan judul skripsi yang berkaitan dengan permasalahan yang
akan diangkat.
Dalam bab ini juga dibahas mengenai batasan, metodologi penelitian serta
sistematika penulisan yang bertujuan untuk memperjelas dan mempermudah
penulis dalam membahas dan menulis. Hal ini dikarenakan batasan, metode
penelitian dan sistematikanya sudah jelas.
Bab kedua membahas mengenai pendapat para ulama fuqaha mengenai
hukum al-ahwal al-syakhsyiyyah khususnya didalam masalah pernikahan beda
agama dan pernikahan wanita hamil, Bab ini bertujuan untuk melihat aspek-aspek
yang berkaitan dengan penetapan hukum al-Ahwal al-Syakhshiyyah. Aspek-aspek
tersebut akan dijadikan sebagai landasan teori dalam mengkaji kitab yang ditulis
oleh K.H. M. Syafii Hadzami. Dengan begitu, maka penelitian ini mampu
menjelaskan posisi K.H. Syafii Hadzami dalam kajian disiplin hukum Islam baik
secara umum ataupun dalam sistem kenegaraan Indonesia.
Bab ketiga adalah cakupan al-Ahwal al-Syakhsyiyyah K.H. M. Syafi‟i
Hadzami yang berisi Biografi K.H. M. Syafi‟i Hadzami dan deskripsi buku
Taudlihul Adillah, Materi tentang pernikahan dalam buku Taudlihul Adillah,
Materi tentang perceraian dalam buku Taudlihul Adillah, Materi tentang hukum
waris dalam Taudlihul Adillah. Kajian ini bertujuan untuk memetakan materi-
materi yang dibahas oleh K.H. M. Syafi‟i Hadzami dalam kitabnya. Sebab dalam
13
buku tersebut, materi-materinya tidak terdapat dalam satu jilid atau dalam satu
bab khusus. Namun, kajiannya berada terdapat hampir di seluruh kitab-kitabnya.
Bab keempat membahas mengenai studi materi hukum al-Ahwal al-
Syakhsyiyyah K.H. M Syafi‟i Hadzami. Pokok bahasannya adalah Studi dasar dan
sumber pengambilan hukum ahwal al-Syakhsyiyyah, bagaimana metode istinbath
hukumnya, dan studi aliran mazhab dalam pengambilan hukum ahwal al-
Syakhsyiyyah, Bahasan bab ini untuk menganalisa kerangka berfikir K.H. M.
Syafi‟i Hadzami berdasarkan beberapa teori yang sudah dibahas dalam bab dua.
Bahasan tersebut untuk melihat kecenderungan K.H. M. Syafi‟i Hadzami dalam
menentukan hukum.
Bab kelima, pada bab ini memuat kesimpulan dari perumusan masalah.
Serta dilengkapi dengan saran-saran yang disampaikan oleh penulis.
14
BAB II
PERNIKAHAN BEDA AGAMA DAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL
MENURUT PENDAPAT FUQAHA
A. Pernikahan Beda Agama
Pernikahan beda agama dalam pandangan Islam dibagi ke dalam dua
golongan, yang pertama pernikahan pria Muslim dengan wanita non Muslim dan
yang kedua yaitu pernikahan pria non Muslim dengan wanita Muslim. Hukum
pernikahan beda agama telah dinyatakan secara tegas dalam al-Qur‟an. Pemikiran
utama dalam masalah ini ada tiga pendapat, yaitu: pertama mengharamkan secara
mutlak pernikahan beda agama. Kedua, memperbolehkan dengan syarat tertentu.
Ketiga, membolehkan tanpa syarat. Ketiga pendapat ini merupakan hasil
interpretasi terhadap QS. Al-Ma‟idah (5):5, QS. Al-Baqarah (2):221, dan QS. Al-
Mumtahanah (60):10.
1. Pernikahan dengan perempuan yang bukan beragama samawi1
Seorang Muslim tidak boleh nikah dengan perempuan musyrik, yaitu
perempuan yang menyembah Allah swt bersama tuhan yang lain, seperti berhala,
bintang-bintang, api, atau binatang.
Hal yang sama adalah perempuan atheis atau materealis, yaitu orang yang
mempercayai materi sebagai tuhan, serta mengingkari keberadaan Allah. Dia juga
tidak mengakui berbagai agama samawi seperti Atheis, Eksistensial, al-
Baha‟iyyah, dan al-Qadiyaniyyah. Larangan ini berdasarkan firman Allah SWT,
1 Agama samawi adalah agama yang memiliki kitab yang diturunkan, serta memiliki nabi
dan rasul.
15
/(221: 2)اىثقسج
Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik sampai mereka
beriman. Sesungguhnya hamba sahaya perempuan yang mukmin lebih
baik dari pada perempuan musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak laki-laki yang mukmin lebih baik dari pada laki-laki yang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka
sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya
(perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran”. (QS.Al-Baqarah:221)
Selain itu, dalil selanjutnya yang menegaskan ketidak bolehan perempuan muslim
bagi pria kafir dan sebaliknya, yaitu QS. Al-Mumtahanah:10
/(10: 60.)اىرذح
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan mukmin
berhijrah padamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.
Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah
mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami
mereka) mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang
kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami)
mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa
16
bagimu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka
maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir. Dan hendaklah
kamu meminta mahar yang telah kamu berikan. Dan (jika suami tetap
kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka
bayarkan (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah
hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu. Dan Allah maha
mengetahui dan maha bijaksana”.
Madzhab Hanafi dan Syafi‟i serta madzhab yang lainnya memasukan
perempuan yang murtad ke dalam golongan perempuan musyrik, dimana tidak
ada seorang muslim atau kafir yang boleh menikahinya. Sebab, dia telah
meninggalkan agama Islam.2
Kesimpulannya, menurut kesepakatan fuqaha seorang muslim tidak boleh
menikahi orang yang tidak termasuk ahli kitab, seperti watsaniyyah, yaitu
perempuan yang menyembah berhala: Majusiyah, yaitu perempuan yang
menyembah api. Sebab, kelompok tidak mempunyai kitab yang dipegang pada
sekarang ini.
Penyebab bagi pengharaman menikahi perempuan musyrik dan
perempuan yang sepertinya adalah tidak adanya keharmonisan, ketenangan, dan
kerjasama antara suami isteri. Hal ini dikarenakan perbedaan akidah yang dapat
menumbuhkan rasa gelisah dan ketidak tenangan, dan perpecahan antara suami
istri. Akhirnya, kehidupan rumah tangga yang seharusnya berlandaskan rasa
sayang, kasih, dan cinta tidak menjadi tentaram, dan tidak dapat tercapai
tujuannya yang berupa ketenangan dan kestabilan.3
2 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 2012), jilid 7.,
h.157 3 Ali al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyri‟ wa Falsaftuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), jilid 2., 45
17
Selain itu, ketidakadaan rasa keimanan terhadap suatu agama membuat
seorang perempuan mudah untuk melakukan pengkhianatan rumah tangga,
kerusakan, dan keburukan.
2. Pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki kafir
Ulama secara ijma‟ pernikahan perempuan muslimah dengan orang kafir
hukumnya haram. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT
ل ذنذا . شسمي ا ٱى (221: 2)اىثقسج/ درى يؤ
„‟Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman.‟‟ (Al-Baqarah: 221)
Dan juga firman Allah SWT,
:(10)اىرذح
Artinya : “jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman,
maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir
(suami-suami mereka) mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan
orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka”. (Al-Mumtahanah: 10)
Larangan dalam pernikahan ini dikhawatirkan perempuan yang beriman
jatuh kedalam kekafiran. Sebab biasanya suami mengajak istrinya untuk memeluk
18
agamanya. Biasanya perempuan mengikuti suami mereka karena terpengaruh
dengan perbuatan suaminya, dan mengikuti meraka dalam agama mereka.4
3. Pernikahan dengan ahli kitab
Para ulama sepakat bahwa mengenai pernikahan laki-laki muslim dengan
wanita Ahl al-Kitab diperbolehkan dalam syari‟at Islam. Pendapat ini mengacu
pada QS. Al-Maidah:5.
./(5:5)اىائدج
Artinya : “Pada hari ini di halalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal pula bagi mereka. Dan dihalalkan mengawini
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzinah dan tidak pula menjadikannya gula-gula.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman, maka hapuslah amalannya
dan ia di hari akhirat dia termasuk orang-orang merugi”.
Selain itu, ada sahabat senior juga berpendapat membolehkannya. Mereka
antara lain adalah Umar, Usman, Thalhah, Hudzaifah, Salman, Jabir, dan sahabat-
sahabat lainnya.5 Semuanya menunjukkan atas dibolehkannya laki-laki muslim
menikahi perempuan ahli kitab. Bahkan diantara mereka ada yang
mempraktikkannya, seperti Shahabat Thalhah dan Shahabat Hudzaifah, sementara
4 Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Beirut: Dar al-Kutub, 2005), jilid 1, h. 180
5 KH. Ali Mustafa Yaqub, Nikah Beda Agama dalam Al-Quran dan Hadits, hal.28
19
tidak ada satu pun sahabat nabi saw yang menentangnya. Dengan demikian,
dibolehkannya nikah ini sudah merupakan ijma‟ Shahabat. Dalam hal ini Ibnu al-
Mundzir mengatakan bahwa jika ada riwayat dari ulama salaf yang
mengharamkan pernikahan tersebut di atas maka riwayat itu dinilai tidak shahih.6
Menurut mazhab Hanafi dan menurut mazhab Maliki laki-laki muslim
makruh menikah dengan perempuan ahli kitab dan ahli dzimmah.7 Sedangkan
mazhab Hanbali berpendapat, perkawinannya dengan perempuan ahli kitab adalah
khilaf al Awla.8
Hal berdasarkan perintah Umar R.a berkata kepada orang-orang yang
kawin dengan perempuan ahli kitab, agar menceraikan mereka. Sedangkan
perempuan ahli harb (kafir yang memerangi umat Islam), menurut mazhab Hanafi
haram untuk dikawini, jika dia berada di darul harb (wilayah konflik); karena
mengawininya akan membuka pintu fitnah. Perkara ini makruh menurut mazhab
Syafi‟i. Juga menurut mazhab Maliki dalam salah satu pendapatnya. Sedangkan
menurut Madzhab Hambali perkawinan dengan perempuan ahli harb adalah
makruh.9
Imam al-Syafii dalam kitab al-Umm menyatakan bahwa menikahi ahl
kitab hukumnya halal tanpa ada pengecualian. Ia berkata
و ن اب ى ر اىن و ا س ائ س د اح ن و ذ ي 10اء ث ر س ا غيس ت ي د ذعاىى أ الل ل سي
6 Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al-Mughni,
(Saudi Arabia, Dar Alam al-Kutub,1417H/1997M), Cet III, juz IX, hal.545 7 Menurut Ibn Rusyd secara umum nikah dengan ahli kitab disepakati hukumnya boleh
tanpa menjelaskan tingkatannya. Untuk keterangan lebih lanjut ada pada, Ahmad Ibn Rusyd,
Bidayah al-Mujtahid wa nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), jilid 2., h. 33 8 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, h. 157
9 Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, h.158
10 Muhammad Idris al-Syafi‟i, al-Umm (Beirut: Dar al-Kutub, 1980), jilid 5., h. 7.
20
Menurut jumhur fuqaha mazhab Syafi‟i mengenai perkawinan dengan
perempuan Ahli kitab dibolehkan tanpa syarat. Akan tetapi, mazhab Syafi‟i ini
mengikat perkawinan dengan perempuan ahli kitab dengan satu ikatan. Mereka
berkata,11
خ ي ذ ى اىص ي ع ح ي ا ذ ر م ح ي ت س د س ن ذ ن ى ح ي ات ر م و ذ ذ Artinya : “Perempuan ahli kitab halal untuk dikawini. Akan tetapi makruh
mengawini perempuan ahli harb, begitu pula halnya perempuan ahli
dzimmah, menurut pendapat yang sahih."
Adapun yang dimaksud dengan perempuan ahli kitab adalah perempuan
Yahudi dan Nasrani. Bukan perempuan yang terus memegang kitab Zabur dan
yang lainnya, seperti lembaran Syiits, Idris, dan Ibrahim as.. Jika perempuan ahli
kitab adalah perempuan Israil, maka boleh menikah dengannya jika dia tidak
mengetahui nenek moyangnya yang pertama memeluk agama Yahudi setelah
terjadi penghapusannya dan penyelewengannya, atau merasa ragu kepadanya,
dengan kuatnya mereka pegang agama tersebut, apabila agama tersebut dalam
keadaan benar. Jika tidak, maka perempuan tersebut tidak halal untuknya, akibat
hilangnya keutamaan agama tersebut. Jika perempuan Ahli kitab tersebut adalah
orang Nasrani, maka dalam pendapat yang paling zahir, dia boleh dikawini oleh
seorang muslim jika dia mengetahui nenek moyangnya yang pertama memeluk
agama nasrani ini, sebelum terjadi penghapusan dan penyelewengannya karena
mereka berpegang teguh dengan agama tersebut manakala dalam keadaan benar.
Jika ternyata mereka masuk ke dalam agama nasrani setelah terjadi
11
Abu Zakariya al-Anshari, Mughni al-muhtaj: 2/187 Abu Ishaq al-Syirazi (tahqiq
Muhammad al-Zuhaili) , al-Muhadzab: (Damaskus: Dar al-Qalam, 1996), jilid 5 h. 151
21
penyimpangan, maka dalam pendapat yang paling sahih dilarang. Jika mereka
pegang agama ini dengan tanpa terjadi penyelewengan, maka boleh dalam
pendapat yang paling zahir. Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur.
Berdasarkan keumuman dalil yang menunjukkan pembolehan kawin dengan
perempuan ahli kitab, tanpa terikat dengan sesuatu.
4. Menikah dengan perempuan Majusi
Mayoritas ulama fuqaha berkata,12 Majusi bukanlah ahli kitab berdasarkan
surat Al-An‟am: 156.
أ ا أصه ا إ ة ذقى ٱىنر إ ما ع دزاسر قثيا عيى طائفري
ف ىغ (156: 6)العا/.ييDalam ayat ini Allah Swt., memberitahukan bahwa ahli kitab terbagi
kepada dua golongan. Jika majusi adalah ahli kitab, berarti mereka terbagi
menjadi tiga golongan. Di samping itu, majusi tidak memiliki sedikitpun posisi
dari berbagai kitab Allah yang diturunkan kepada para nabi-Nya. Sesunguhnya
yang mereka baca adalah kitab Zaradasyt. Dia adalah seorang nabi palsu lagi
pendusta. Kalau demikian, mereka bukanlah ahli kitab. Dasarnya sesunguhnya
Umar menyebutkan majusi pada masalah mengambil jizyah dari mereka, dia
berkata, “Aku tidak tahu apakah yang aku lakukan pada perkara mereka?”
Abdurrahman bin Auf berkata kepadanya, “Aku bersaksi bahwa aku mendengar
Rasulullah bersabda,
.اب ر اىن و ا ح س ا ت س 13
12
Imam Al-Qurthubi, Ahkaamu al-Qur‟an, al-Jashshaash: jilid 2 h.327, Ibn Qudamah al-
Maqdisi al-Mughni: jilid 6, h.591, al-Badaa‟i: 2/271. 13
Wahbah Al-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, hal.151
22
“Tetapkanlah untuk mereka sunah peraturan untuk ahli kitab”.
Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Syafi‟i. Hadist ini merupakan dalil bahwa
mereka bukanlah ahli kitab.14
5. Perempuan as-Saamirah dan as-Shaaibah
As-Saamirah adalah sekte Yahudi. Sedangkan ash-Shaa‟ibah adalah sekte
Nasrani. Abu Hanifah dan mazhab Hambali berpendapat, sesungguhnya mereka
bagian dari ahli kitab. Orang muslim boleh menikah dengan para perempuan ash-
Shaa‟ibah karena ash-Shaa‟ibah adalah suatu kaum yang beriman dengan suatu
kitab. Mereka membaca kitab Zabur dan mereka tidak menyembah bintang-
bintang. Sedangkan kedua teman Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad
bin Hasan asy-Syaibani berkata, tidak boleh menikah dengan mereka; karena ash-
Shaa‟ibah adalah suatu kaum yang menyembah bintang-bintang.
Menurut Mazhab Syafi‟i orang-orang yang berkata, jika as-Saamirah
berbeda dengan yahudi, dan ash-Shaa‟ibah berbeda dengan nasrani dalam pokok
ajaran agama mereka, maka perempuan penganut kedua sekte ini haram untuk
dinikahi. Jika tidak, maka tidak haram untuk dinikahi. Jika as-Saamirah sesuai
dengan Yahudi, dan ash-Shaa‟ibah sesuai dengan Nasrani, dalam dasar agama
mereka, maka halal untuk menikah perempuan penganut kedua sekte ini. Ini
adalah yang ditetapkan oleh al-Qudwari dalam al-Kitab, yang merupakan dalil
bagi Mazhab Hanafi. Dia berkata, “perempuan penganut sekte ash-Shaa‟ibah
14
Imam asy-Syaukani Nailul Authar :Jilid 8/ hal 56. Dan Sufyan meriwayatkan dari al-
Hasan bin Muhammad, dia berkata, Nabi saw. menulis kepada majusi yang melakukan hijrah
untuk mengajak mereka kepada Islam, dia berkata, “Jika kalian masuk Islam, kalian akan
mendapatkan apa yang kami dapatkan, dan kalian harus melaksanakan apa yang kami laksanakan.
Barangsiapa yang menolak, dia harus membayar jizyah. Sembelihan mereka tidak boleh disantap,
dan perempuan mereka tidak boleh dinikahi.”
23
boleh dinikahi jika mereka beriman kepada seorang nabi, dan mereka membaca
suatu kitab, meskipun mereka menyembah bintang-bintang. Akan tetapi, tidak ada
kitab bagi mereka, maka tidak boleh menikahi mereka.”15
B. Wanita Hamil di Luar Nikah
Islam melindungi dan menghendaki agar umat muslim bersih dari
penyakit-penyakit masyarakat yang sangat berbahaya dan merusak seperti zina.
Oleh sebab itu Islam berusaha menghilangkan tempat- tempat tumbuh nya
kerusakan dan menutup celah-celah yang menuju pada kerusakan tersebut. Allah
Swt berfirman:
اي ٱىص شسمح ايح ل ينخ إل شايح أ ٱىص دس شسك أ ل ينذا إل شا
ىل عيى ذ ي ؤ (3: 24)اىز/ .ٱى
Artinya : “Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan perempuan pezina, atau
perempuan musyrik dan perempuan pezina tidak dikawini melainkan
oleh laki-laki pezina atau lai-laki musyrik. Yang demikian diharamkan
atas orang-orang mukmin”. (QS. Al-Nur : 3)
Dalam kitab-kitab fikih ada dibicarakan tentang boleh atau tidaknya
seseorang menikah dalam keadaan hamil, apakah hamil yang sah karena ditinggal
suami, atau hamil akibat hubungan di luar nikah. Bila hamil di luar nikah, maka
akan terbilang dalam permasalahan zina. Tentang hukum menikahi wanita pezina
para ahli fiqh berbeda pendapat.
Mengenai hukum menikahi wanita yang sedang hamil karena zina, para
jumhur telah sepakat boleh dan sah menikahinya, seperti sahabat Ali bin Abi
15
M. Quraish Shihab Al-Lubaab: jilid 3, hal.7
24
Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan para Tabi‟in serta Imam Mazhab. Akan tetapi
apabila sipezina bukan menikah dengan sesama pelakunya, para ulama berbeda
pendapat, diantaranya:
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi`i, mereka mengatakan
wanita hamil akibat zina boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang
menghamilinya atau dengan laki-laki lain.
Menurut Imam Abu Hanifah: “Wanita hamil karena zina itu tidak ada
iddahnya, bahkan boleh mengawininya, tetapi tidak boleh melakukan hubungan
seks sehingga dia melahirkan kandungannya”.16 Menurutnya, wanita yang sedang
hamil dari zina boleh dan sah dinikahi oleh laki-laki lain yang tidak menzinainya,
tetapi hukumnya makruh. Hanya saja sebelum melahirkan, wanita tersebut tidak
boleh digauli oleh suaminya,17 sehingga bayi yang dalam kandungan itu lahir. Ini
didasarkan kepada sabda Nabi Saw:
و درى ذذيض ديضح ل غيسذاخ د و درى ذضع طا دا 18.ل ذ
Artinya : “Wanita hamil tidak boleh disetubuhi hingga dia melahirkan (bayinya).
Dan wanita yang sedang tidak hamil boleh digauli hingga ia
mengeluarkan darah haidl satu kali”. (HR. Al-Hakim)
Menurut Imam Syafi`i: “Hubungan suami istri karena zina itu tidak ada
iddahnya, wanita yang hamil karena zina itu boleh dikawini, dan boleh melakukan
16
Abdurrahman Al-Jusry, Al-Fiqh „Ala Mazahibul Arba‟ah, (Beirut: Darul Haya‟ al-
Turb al-Araby, 1969), h. 521 17
Wahbah Al-Zuhayliyy, Usul al-fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‟asir, 1997),
h. 149 18
Muhammad bin Abdullah, al-Mustadrak „ala al-Shahiani, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiah, 1990), juz ke-2, h. 212
25
hubungan intim sekalipun dalam keadaan hamil.”19Menurutnya, wanita yang
sedang hamil dari zina boleh dan sah dinikahi pria lain yang tidak menzinainya,
serta sesudah akad nikah mereka boleh melakukan hubungan suami istri. Ini di
dasarkan pada sabda Nabi Saw:
اق تا ا سر فسج د ي ي ذ ىا اىصد ا .ىل عثد د اى اى
Artinya : “Bagi dia maskawinnya, karena kamu telah meminta kehalalannya
untuk menggaulinya sedang anak itu hamba bagimu”.
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, mereka mengatakan
tidak boleh melangsungkan perkawinan antara wanita hamil karena zina dengan
laki-laki lain sampai dia melahirkan kandungannya.20 Mereka berpendapat sama
halnya dengan yang dikawini dalam bentuk zina atau syubhat atau kawin fasid,
maka dia harus mensucikan diri dalam waktu yang sama dengan iddah. Dengan
alasan sabda Nabi Muhammad. SAW
ي اى االل ت ؤ ي ئ س ل و ذ ي ل ى اثا ع ي يس غ ع ز ش اء ى ق س ي ا س خ ل ا
اى ث اىذ ي ئ س ل و ذ ي ل ى. الل ت ؤ ى ر اىسى د اج س عيى ا ع ق ي الخس ا اىي
)زا اتداد( ا. ئ س ث ر س ي
Artinya : “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat menyiramkan airnya (sperma) kepada tanaman orang lain,
yakni wanita-wanita tawanan yang hamil, tidak halal bagi seorang
yang beriman kepada Allah dan hari akhirat mengumpuli wanita
tawanan perang sampai menghabiskan istibra‟nya (iddah) satu kali
haid.” (HR. Abu Daud)21
19
Abdurrahman Al-Jusry, Al-Fiqh „‟Ala Mazahibul Arba‟ah, (Beirut: Darul Haya‟ al-
Turb al-Araby, 1969), h. 543 20
Fathurrahman, Syari`ah: Jurnal Hukum dan Pemikiran, (Fakultas Syariah dan hukum,
Uin Jakarta,2006), h. 231 21
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats bin Ishak, Sunan Abi Dawud (Semarang : CV asy-
Syifa‟), Jilid III, hal.69
26
Mereka juga beralasan dengan sabda Nabi Saw
د ء ط ي ل .ح يض د ض ي ذ ى ذ ر د و د اخ ذ س ي غ ل ع ض ى ذ ر د و ا
Artinya : “Janganlah kamu menggauli wanita hamil sampai dia melahirkan dan
wanita yang tidak hamil sampai haid satu kali”.
Dengan dua hadits di atas, Imam Malik dan Imam Ahmad berkesimpulan
bahwa wanita hamil tidak boleh dikawini, karena dia perlu iddah. Mereka
memberlakukan secara umum, termasuk wanita hamil dari perkawinan yang sah,
juga wanita hamil dari akibat perbuatan zina. Bahkan menurut Imam Ahmad,
wanita hamil karena zina harus bertaubat, baru dapat melangsungkan perkawinan
dengan laki-laki yang mengawininya.22
Secara umum kita dapat memahami dan mengetahui bahwa pernikahan
yang disebutkan di atas dinilai sah oleh banyak ulama, walaupun memang ada
ulama yang menyatakan bahwa pernikahan itu tidak sah. Sahabat Nabi SAW Ibnu
Abbas ra. Berpendapat bahwa hubungan dua jenis kelamin yang tidak didahului
oleh pernikahan yang sah, lalu dilaksanakan sesudahnya pernikahan yang sah,
menjadikan hubungan tersebut awalnya haram dan akhirnya halal. Dengan kata
lain pernikahan orang yang telah berzina dengan seseorang perempuan, kemudian
menikahinya dengan sah, dapat diserupakan atau dianalogikan dengan seseorang
yang mencari buah dari kebun seseorang, kemudian dia membeli dengan sah
kebuntersebut bersama seluruh buahnya. Apa yang dicurinya (sebelum yang dibeli
itu) haram. Sedangkan yang dibelinya setelah pencuriannya itu adalah halal. Inilah
pendapat Imam Syafi‟i dan Abu Hanifah. Sedangkan pendapat Imam Malik
22
Wahbah Al-Zuhayli, Usul al-fiqh al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‟asir, 1997),
hal.150
27
menilai bahwa siapa yang berzina dengan seseorang kemudian dia menikahinya,
pernikahan tersebut tidaklah sah dan dengan demikian hubungan seks keduanya
adalah haram, sepanjang janin masih dikandung oleh perempuan yang dinikahinya
itu. Pernikahan baru sah bila akad nikah dilakukan setelah kelahiran anak.23
Dalam kitabnya Majmu‟ Syarah al-Muhazzab, Imam Nawawi
mengatakan:
ماد فسع : اذا شد اى لا, فا دا اء ماد دائلا ا يجة عييا اىعدج, س ساج ى
اىصا فينس نادا قثو يد د ا عقد اىناح عييا ىغيس اي دائلا جاش ىيص
و ضعا ىذ .24
Artinya : “Apabila seorang perempuan berzina, maka tidak wajib atasnya
ber‟iddah baik ia dalam keadaan tidak hamil maupun hamil. Karena
itu, jika ia dalam keadaan tidak hamil, maka boleh bagi sipezina dan
lainnya yang bukan menzinainya melakukan akad nikah atasnya dan
jika ia hamil karena zina, maka makruh menikahinya sebelum
melahirkan anaknya”.
Sayyid Sabiq dalam kitab fiqh al-sunnahnya mengatakan, bahwa boleh
menikahi wanita pezina dengan catatan mereka yang melakukan zina tersebut
harus bertaubat terlebih dahulu, karena Allah Swt menerima taubat dan
memasukan mereka kedalam hamba-hamba yang salih.25
Dalam masalah kawin hamil terdapat perselisihan pendapat para ulama
sebagai berikut:
23
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta Sampai Seks dari Nikah Mut‟ah
sampai Nikah Sunah dari Bias Lama Sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera hati, 2006) . Cet. Ke-3 ,
h. 229. 24
Muhyidin bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu‟ Syarah al-Muhazzab, (Beirut: Dar al-Fikr,
1994), Juz XV, h. 398 25
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, cet IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), h.83
28
a. Menurut Pendapat Mazhab Syafi’i
لدس لا ل ماد دا ا ش اىعقد عييا و يج ح ىر اىذ
Artinya: “Diperbolehkan berakad nikah dengan wanita pezina walaupun wanita
itu dalam keadaan hamil, bahwasannya tidak ada larangan hanya
karena kandungan ini”
Alasan yang dimaksudkan bahwa nikah artinya akad nikah, sehingga
orang-orang hamil tanpa akad nikah terlebih dahulu, tidak dapat disamakan
dengan orang-orang yang hamil karena hubungan suami istri, namun mereka tetap
berstatus sesuai dengan keadaan sebelum mereka melakukan perzinaan. Kalau
gadis maka tetap berstatus gadis, meskipun sudah tidak perawan lagi atau sudah
hamil, bila mereka sebelumnya hidup sebagai janda, maka tetap pula sebagai
janda.
Menurut madzhab Syafi‟i bahwa wanita hamil sebab zina boleh melakukan
perkawinan dengan laki-laki lain,26 beliau beralasan dengan firman Allah SWT :
فذي س غيس ذصي ىن أ ذثرغا تأ ىنزاء ذ ا أدو ىن ( 24: 4.)اىساء/
Artinya : “...... Dan dihalalkan oleh Allah bagimu selain wanita yangdemikian itu
(yaitu) mencari istri-istri dengan harta-hartamu untuk dikawini bukan
untuk berzina ...”.
Berdasarkan ayat di atas wanita pezina itu tidak termasuk ke dalam
golongan perempuan yang haram dinikahi, sebab itu ia boleh dinikahi, begitu juga
firman Allah SWT :
26
Abu Ishaq al-Syirazii, al-Muhadzab, Fi fiqh al-Imam as-Syafii, tahqiq Muhammad al-
Zuhaili (Damaskus: Dar al-Qalam, 1996) jilid 4, h. 147
29
أنذا ى ن ٱلي يذي ٱىص إ ينا فقساء يغ ائن إ عثادم ٱلل
فضي ۦ ٱلل سع عيي (32: 24)اىز/ .
Artinya : “Dan kawinkanlah orcmg-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (An-
Nuur:32)
Dalam ayat ini menunjukkan bahwa wanita pezina yang hamil termasuk
golongan wanita yang tidak bersuami.
b. Menurut Mazhab Hanafi
27 لذطا درى ذضع ي ي ع د .يصخ اىعق ىن ا
Artinya : “Sah hukumnya berakad nikah dengan pezina yang sedang hamil,
akan tetapi tidak boleh dicampurinya sehingga ia melahirkan.”
Wanita hamil boleh dinikahi oleh siapa pun, baik yang menikahinya itu
laki-laki yang menghamilinya maupun laki-laki yang bukan menghamilinya,
beliau beralasan sama dengan madzhab Syafi‟i, namun ada syarat yang beliau
kemukakan, yaitu seandainya yang mengawini wanita hamil itu laki-laki yang
bukan menghamilinya, maka boleh menikah namun tidak boleh mencampuri
wanita itu sebelum ia melahirkan
c. Menurut Madzbab Hambali
Perempuan pezina, baik ia hamil atau tidak, tidak boleh dikawini oleh laki-
laki yang mengetahui keadaannya itu, kecuali dengan dua syarat :
27
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 229.
30
1) Telah habis masa iddahnya, tiga kali haid. Namun jika ia hamil, maka
iddahnya habis dengan melahirkan anaknya, dan belum boleh
mengawininya sebelum habis masa iddahnya itu.
2) Telah taubat wanita itu dari perbuatan maksiatnya, dan jika ia belum
bertaubat, maka tidak boleh mengawininya.28
Apabila telah sempurna kedua syarat itu, yaitu telah habis masa iddahnya
dan telah bertaubat dari dosanya, maka halal mengawini wanita itu bagi laki-laki
yang menzinainya atau laki-laki lain.
d. Menurut Madzhab Maliki
29 و ي ي ش اىعقد ع ج ي ل .ا درى ذضع اىذ
Artinya : “Tidak boleh melaksanakan akad nikah (dengan wanita pezina yang
hamil) sehingga ia bersalin (melahirkan).”
Menurut madzhab Maliki wanita hamil karena zina itu tidak boleh dinikahi
oleh siapa pun, baik laki-laki yang menzinainya, maupun oleh laki-laki yang lain.
Golongan ini beralasan dengan keumuman ayat atau firman Allah SWT:
د ى أ اه ٱلد ي د أ يضع (4: 65)اىطلاق/ .أجي
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya.”
28
Abu Muhammad Abdullah ibn Qudamah al- Mughni (jedah ; Maktabah al-Sawadih,
2000), hal.309 29
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 230.
31
Dari ayat di atas dijelaskan bahwa wanita yang hamil baik karena hamil
zina atau karena hamil yang bukan zina, maka tidak boleh mengawini wanita
tersebut sampai ia melahirkan.
Dari segi lain kita melihat bahwa seorang istri hamil yang dicerai oleh
suaminya (fasakh) atau ditinggal mati oleh suaminya, si wanita itu tidak boleh
kawin sebelum melahirkan. Sesudah melahirkan dan sesudah menjalani nifas baru
diperbolehkan untuk kawin.
32
BAB III
BIOGRAFI K.H M SYAFI’I HADZAMI DAN BUKU TAUDLIHUL
ADILLAH
A. Biografi K.H Muhammad Syafi’i Hadzami
KH. Muhammad Syafi‟i putra Betawi lahir pada tanggal 31 januari tahun
1931 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 12 Ramadhan tahun 1349 Hijriyah,
di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat. Ayahnya bernama Muhammad Saleh
Raidi dan ibu nya bernama ibu Mini. Sedangkan ayahnya sendiri merupakan
betawi asli dan seorang karyawan di perusahaan minyak di Sumatera Selatan,
sedangkan ibunya merupakan seorang wanita kelahiran Citeureup Bogor, Jawa
Barat. 1
Di kemudian ia lebih di kenal dengan nama Syafi‟i Hadzami atau
lengkapnya KH. Muhammad Syafi‟i Hadzami. Nama atau gelar Hadzami2 adalah
pemberian julukan yang diberikan oleh guru-guru dan para Ulama karena
kedalaman ilmu yang beliau miliki dalam memahami serta menjelaskan masalah-
masalah yang tergolong rumit untuk dipahami dan Muallim Syafi‟i dengan mudah
menjelaskan masalah-masalah tersebut dengan berbagai sumber referensi yang
beliau miliki. Gelar tersebut disandangnya ketika ia masih berumur dibawah 30
tahun. Syafi‟i Hadzami merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara, yaitu
diantranya Solehah, Safri, Sa‟diah, Suhairi, Sahlani, Saidi, dan Syafwani.
1 Ali Yahya, KH. Muhammad Syafi’i Hadzami : Sumur Yang Tak Pernah Kering,
(Jakarta; Yayasan Al-Syirotus Syafi‟iyah 1999),hal. 11 2 Hadzami adalah nama seorang wanita Arab Yaman yang hidup dimasa sebelum Islam
yang juga diberi gelar Zarqa al-Yammah. Ia sering dijadikan suatu contoh (perumpamaan) dalam
hal pandangan yang tajam dan informasi yang benar. Seorang penyair berkata : Apabila Hadzami
telah berkata, maka benarkanlah. Karena sesungguhnya perkataan yang benar itu adalah yang
dikatakan Hadzami. Ali Yahya, hal;83
33
Semasa kecil Syafi‟i Hadzami tidak tinggal dengan orang tuanya,
melainkan beliau tinggal dengan kakeknya, Husin di Batu Tulis XIII (dulu disebut
gang lebar). Kepada kakeknya, ia belajar al-Qur‟an sampai khatam pada usia 9
tahun. Selain itu, ia juga belajar dasar-dasar ilmu alat, yaitu nahwu dan sharaf.3
Masa kecilnya selalu bersentuhan dengan persoalan-persoalan agama
sehingga membuat “dunia kecilnya” didominasi ilmu-ilmu agama. Pada masa
kecil, ia sering diajak kakeknya untuk mengaji dan menghadiri majelis dzikir Kyai
Abdul Fatah, pimpinan tarekat Idrisiah. Bahkan pada masa itu, ia pernah
mengalami fana‟ karena semata-mata hanya ingat kepada Allah. Dari gurunya ini,
ia pernah mendapat doa khusus dan di doakan kelak ia akan menjadi orang baik.
Selain kepada kakeknya, ia juga mengaji al-Qur‟an nahwu dan sharaf
kepada pak Sholihin selama kurang lebih dua tahun. Anehnya, selang beberapa
tahun berjalan, hubungan keduanya menjadi terbalik. Pak Sholihin justru menjadi
murid dan belajar kepada Syafi‟i Hadzami. Ia tidak menyangka bahwa Syafi‟i
Hadzami yang masih berusia belasan tahun telah memiliki ilmu yang dapat di
bilang lumayan.
Selain mengaji, Syafi‟i Hadzami juga pernah mengenyam pendidikan
formal di HEI (Holandshe Engels Institute), yaitu pendidikan setingkat sekolah
dasar dari tahun 1936 sampai tahun 1942. Di sekolah ini, ia mendapatkan
pelajaran Bahasa Belanda dan Bahasa Inggris, namun kata pengantar yang
3Ali Yahya, KH. Muhammad Syafi’i Hadzami : Sumur Yang Tak Pernah Kering, (Jakarta;
Yayasan Al-Syirotus Syafi‟iyah 1999),hal. 12
34
digunakanya adalah Bahasa Belanda.4 Pada tahun 1942 masehi Syafi‟i Hadzami
berhasil lulus dari HEI, dan ia kemudian melanjutkan thalabul ilminya dengan
mengikuti kursus stenografi dan pembukuan.
Setelah itu, ia mengaji lagi selama bertahun tahun dengan cara mendatangi
guru gurunya untuk belajar kitab kuning. Atau dalam studi di Timur Tengah
dikenal dengan istilah al-kutub al-qadhimah, sebagai sandingan dari al-kutub al-
ashriyyah. Guru-guru yang di datanginya selama bertahun-tahun lebih dari
sepuluh orang. Sejak tahun 1935 (awal belajar dari kakeknya, Husein) sampai
dengan tahun 1976 (saat wafatnya habib Ali bin Husein al-Athas, Bungur) ia tak
pernah putus berguru kepada para ulama. Jadi, selama 41 tahun ia terus
mendatangi guru-gurunya untuk menimba ilmu. Mengenai kegiatan mengajinya
ini, ia mengatakan: Saya datang kerumah guru-guru hingga saya buat silsilahnya
itu. Semuanya dengan mengaji kitab kuning, saya datang dengan membawa kitab,
kemudian saya baca, dan setelah itu pulang. Jadi, saya mengaji dengan cara privat
pada guru-guru itu. Tidak banyak orang, kadang-kadang hanya saya sendiri atau
berdua.
Para ulama betawi memang jarang yang membuat asrama atau pondok
bagi murid-muridnya. Karena itu, berbeda dengan daerah-daerah lain di jawa dan
juga beberapa daerah diluar jawa, tradisi pesantren tidak begitu dikenal di Betawi.
Sistem yang berkembang di Betawi adalah sistem halaqah, dan model pendidikan
4 Ali Yahya, KH. Muhammad Syafi’i Hadzami : Sumur Yang Tak Pernah Kering,
(Jakarta; Yayasan Al-Syirotus Syafi‟iyah 1999),hal.20
35
agama yang kemudian juga berkembang adalah model madrasah bukan
pesantren.5
Mengenai keberhasilan Syafi‟i Hadzami dalam belajar, KH. Bunyamin,
muridnya, mengatakan: „‟Mungkin terutama masalah kesungguhannya,
istiqomahnya melebihi dari yang lain‟‟. Ulama memang banyak, tetapi KH.M
Syafi‟i Hadzami hanya satu. Sekali lagi saya katakan, hanya satu ! sulit dicari
orang seperti beliau. Kealiman beliau tidak perlu disangsikan lagi, karena
pengetahuan beliau penuh dan meliputi bermacam-macam ilmu. Kelebihan lain
dari beliau adalah istiqamahnya. Beliau benar-benar seorang yang istiqomah dan
itu di akui oleh semua orang. Saya rasa istiqomahnya ini yang membuat ilmu
beliau bisa seperti itu. Beliau juga bersikap tawadhu‟ dan selalu menghormati
orang lain baik yang lebih tua atau yang lebih muda dari beliau.6
Selain ketekunan dan kesungguhan, faktor lain yang membuat Syafi‟i
Hadzami berhasil menjadi seorang kyai besar seperti sekarang ini, menurut Drs.H.
Marzuki, muridnya, adalah keridhoan dan tabarruk dari guru-gurunya. Dalam hal
ini ia mengatakan : „‟Barangkali kalau kita berfikir tradisional, tidak terlepas dari
tabarruk seorang syeikh kepada beliau. Jadi, katakanlah kalau kita lihat kyai dulu,
barangkali antara ilmu dengan masa belajar tidang begitu seimbang (balance).
Artinya, belajar yang tidak begitu lama tetapi ilmu yang begitu lama yang ia
dapat. tentunya ada futuh lain barangkali. Saya melihat secara tradisional saja.
Nampaknya bagi orang yang berfikiran modernis sekarang hal ini sudah terkikis‟‟.
5 Ali Yahya, KH. Muhammad Syafi’i Hadzami : Sumur Yang Tak Pernah Kering,
(Jakarta; Yayasan Al-Syirotus Syafi‟iyah 1999),hal.13-14 6 Ali Yahya, KH. Muhammad Syafi’i Hadzami : Sumur Yang Tak Pernah Kering,
(Jakarta; Yayasan Al-Syirotus Syafi‟iyah 1999),hal. 238
36
Ketekunan Syafi‟i Hadzami ini dapat dilihat dari kegiatan mengajinya
dengan mendatangi guru-gurunya di berbagai tempat yang saling berjauhan.
Bahkan menurut Drs. KH. Saipuddin Amsir, muridnya, ketika dalam usia dibawah
20 tahun ia pernah berkonsentrasi total untuk menekuni kitab-kitab. Semua
beberapa tahun ia tinggakan semua kegiatan, dan ia melakukan „uzlah
(mengasingkan diri) di kamarnya hanya untuk mengurusi ilmu sampai-sampai ia
mengalami majdzub bil-‘ilmi. Dalam kondisi demikian, ia seolah-olah menjadi
lupa terhadap dirinya, sehingga memakai sendal terkadang terbalik, lupa
mengancingkan baju secara pas dan sebagainya. Wajarlah bila di masa-masa
mengajarnya kemudian, buah dari ketekunannya itu muncul kembali sesuatu yang
mengagumkan banyak orang, sehingga ia menjadi seorang ulama.7
Kebesaran Syafi‟i Hadzami sebagai seorang ulama, menurut Drs. KH.
Saipuddin Amsir, murid, dapat dilihat dari dua segi. Pertama, kualitas pribadinya
yang disaksikannya sendiri secara langsung. Dan kedua, pengakuan orang lain
terhadap kebesarannya.
Selain, itu Drs. KH. Saipuddin Amsir, juga menyebutkan pengakuan para
ulama terhadap Syafi‟i Hadzami. Diantara pengalaman yang diceritakannya
adalah ketika ia mengalami kesulitan dalam masalah fiqih yang berkaitan dengan
haji sewaktu ia berada di Mekkah. Ia lalu menanyakan kepada Kyai Damanhuri,
seorang ulama yang tinggal dan menuntut ilmu di Mekkah. Kemudian Kyai
Damanhuri mengatakan: „‟Ente kan anak jakarta, ente kenal Syafi‟i Hadzami dan
7Ali Yahya, KH. Muhammad Syafi’i Hadzami : Sumur Yang Tak Pernah Kering, (Jakarta;
Yayasan Al-Syirotus Syafi‟iyah 1999),hal.78
37
ente muridnya sebagaimana yang ente katakan. Jangan tanya masalah itu sama
saya. Nanti kalau pulang, bawa masalah itu dan tanyakan pada Syafi‟i Hadzami”.8
Tak dapat disangkal bahwa para guru memainkan peran yang sangat
penting dalam mengantarkan murid-murid meraih cita-cita yang dikehendaki.
Memang guru bukanlah satu-satunya faktor penentu. akan tetapi bagaimanapun
juga, semakin berkualitasnya guru yang dimiliki seseorang, semakin besar juga
kemungkinannya untuk mendapatkan ilmu-ilmu yang bermutu.
Muallim Syafi‟i Hadzami termasuk orang yang beruntung. Betapa tidak.
Guru-gurunya adalah para ulama terkemuka di zamannya yang benar-benar
menguasai bidang-bidang keilmuan secara khusus. Sebagian diantara mereka
bahkan sebelumnya selama puluhan tahun telah menimba ilmu di timur tengah
pada tokoh-tokoh ulama besar di masanya.
Mengenai para guru ini, muallim pernah mengatakan :
“Alhamdulillah, saya bersyukur kepada Allah karena mendapatkan para
gugu-guru spesialis yang benar-benar mahir di bidangnya. Tetapi itu bukan karena
saya memilih-milih. Itu kebetulan saja. Sebab sebelumnya saya tidak mengetahui
dan tidak bisa menilai karena ilmu saya masih terbatas. Setelah banyak belajar,
barulah saya mengetahui bahwa mereka orang-orang yang menguasai
bidangnya”.9
Guru-guru Muhammad Syafi‟i Hadzami yang dapat dicatat selama beliau
menuntut ilmu adalah ;
a. Kakek Husin, dan guru-guru di kampung sejak tahun 1935 sampai tahun
1944, mengaji Al- Qur‟an beserta tajwidnya. Dan kepada kakek Husin,
8 Ali Yahya, KH. Muhammad Syafi’i Hadzami : Sumur Yang Tak Pernah Kering,
(Jakarta; Yayasan Al-Syirotus Syafi‟iyah 1999),hal.82 9 Ali Yahya, KH. Muhammad Syafi’i Hadzami : Sumur Yang Tak Pernah Kering,
(Jakarta; Yayasan Al-Syirotus Syafi‟iyah 1999), hal.41
38
Muhammad Syafii juga belajar dasar-dasar ilmu alat (Grammar) yaitu
nahwu dan shoraf.
b. Guru Saidan di kemayoran. Setelah mengaji kepada kakek Husin, ia
mengaji kepada guru saidan di kemayoran, kepadanya ia belajar ilmu
tajwid, ilmu nahwu dengan kitab pegangan Mulhatul-i’rab, dan ilmu fiqh
dengan pegangan kitab ats-Tsimarul-Yaniah yang merupakan syarah atas
kitab ar-Rhiyadhul Badi’ah. Guru Sa‟idan pula yang menyuruhnya belajar
kepada guru-guru yang lain, misalnya guru Ya‟kub Saidi (Kebon Sirih),
guru Kholid (Gondangdia), guru Abdul Majid (Pekojan), dan lain-lain.
Selain belajar guru agama Muhammad Syafi‟i juga belajar silat. Ia belajar
selama lima tahun (1948-1953). Guru Saidan wafat pada tanggal 20
januari 1976 dan dimakamkan di daerah Kranji, Bekasi.
c. Habib Ali bin Husein al-Athas. Ia belajar sejak tahun 1958-1976, kepada
nya ia belajar fiqh. Habib Ali bin Husein al-Athas dilahirkan di Huraidhah,
Hadramaut pada tanggal 1 muharam 1309 H (1889 M). Pada usia 6 tahun
ia belajar ilmu-ilmu keislaman pada sebuah Ma‟had di Hadramaut. Pada
tahun 1912 ia menunaikan ibadah haji dan kemudian menetap di Mekah
untuk menuntut ilmu selama 5 tahun. Pada tahun 1917 ia kembali ke
Huraidhah, hadramaut dan mengajar disana. 3 tahun kemudian ia tiba di
jakarta dan menetap di kota ini hingga akhir hayatnya. Habib Ali Bungur
selalu berusaha menyiarkan ilmu-ilmu agama islam dengan membuka
majelis taklim di rumahnya, selain mengajar di tempat-tempat lain.
39
d. Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, kepadanya Syafi‟i Hadzami
rajin mengikuti pengajian umum yang di asuh oleh Habib Ali bin
Abdurrahman al-Habsyi, setiap hari minggu pukul 08:00 wib Habib Ali
bin Abdurrahman al-Habsyi dilahirkan di Kwitang, jakarta pusat pada
tanggal 20 jumadil akhir 1286 H (1876 M), pada usia 10 tahun Habib Ali
bin Abdurrahman al-Habsyi dikirm ke Hadramaut untuk belajar kepada
beberapa ulama terkemuka di masa itu di antaranya Habib Ali bin
Muhammad al-Habsyi (Sewun), Habib Ahmad bin hasan al-Athas
(Huraidhah), Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur (mufti
Hadramaut) dan sebagainya.
e. KH Mahmud Romli, kitab yang di pelajarinya Ihya Ulumuddin (tasauf)
dan Bujairimi (fiqh). Asal usul ulama kelahiran menteng yang sering
dipanggil guru Mahmud ini tidak terlalu jelas. Ia dikenal tidak bayak
bicara, sehingga sangat dikit sekali informasi yang diperoleh mengenai
kehidupanya dimasa kecil dan remajanya.
f. KH. Ya’kub Saidi, kepadanya Syafi‟i Hadzami benyak mempelajari ilmu
Ushuluddin dan Mantiq. Selama 5 tahun Syafi‟i Hadzami mengaji kepada
beliau, yaitu sejak tahun 1950-1955 M.
g. KH. Muhammad Ali Hanafiyah, kepadanya Syafi‟i Hadzami
mempelajari kitab Kafrawi, Mulhatul I’rab, dan Asymawi.
h. KH. Mukhtar Muhammad, kepadanya Syafi‟i Hadzami selama 5 tahun
yakni sejak tahun 1953 sampai tahun 1958 ia mempelajari kitab Kafrawi.
40
i. KH. Muhammad Sholeh Mushonif, kepadanya Syafi‟i Hadzami mengaji
kitab Ushuluddin.
j. KH. Zahruddin Utsman, kepadanya Syafi‟i Hadzami tidak mengaji
kitab. Namun demikian. Muhammad Syafi‟i Hadzami tetap menganggap
sebagai guru karena ia mendapatkan ijazah dari KH. Zahruddin Utsman,
yaitu ijazah kitab al-Hikam.
k. Syeikh Yasin bin Isa al-Fadani, bila setiap ada kesempatan untuk
menunaikan ibadah haji, maka hal itu akan dimanfaatkannya untuk
menuntut ilmu pada ulama terkemuka di Mekkah guna menambah
wawasan. Darinya Syafi‟i Hadzami banyak mendapatkan ijazah.10
Dalam setiap perubahan zaman, diperlukan suatu usaha baru untuk
menafsirkan dan menyelaraskan agama dengan tuntutan zaman. Karena itu,
pembaharuan diyakini sebagai cara untuk menyesuaikan agama agar tidak
ketinggalan zaman. Inilah yang diyakini KH. M. Syafi‟i Hadzami, bahwa
pembaharuan sangat diperlukan oleh agama. Ini berarti ia tidak kaku dalam
menyikapi perubahan dan perkembangan yang terjadi. Ia tidak menjadikan
10
Al- Allamah al-Muhaddits asy-Syekh Abul –Faidh‟ Alamuddin Muhammad Yasin bin
Muhammad Isa al-Fadani dilahirkan di Mekkah pada tahun 1335H.
Syekh Yasin mengajar berbagai ilmu di Masjidil-Haram dan di Darul-„Ulum. Setiap
bulan Ramadhan ia membacakan kitab-kitab hadits Kutubus-sittah dan mengijazahkan kepada
mereka yang menghadirinya. Karya-karyanya terbilang banyak, lebih dari 60 buah, sebagian telah
dicetak dan sebagian lagi masih dalam bentuk naskah tulisan tangan. Diantara karya-karyanya
adalah :
1. Ad-Durr al-Mandhud fi Syarh Sunan Abi Daud, 20 jilid.
2. Fathul-‘ Allam Syarh Bulughil-Maram, 4 jilid.
3. Hasyiyah atas al-Asybah wa an-Naza’ir karya as-Suyuthi.
4. Nailul-Ma’mul, Hasyiyah ‘ala Lubbil-Ushul, dan sebagainya.
Syekh Yasin wafat pada malam jum‟at tanggal 28 Dzul-Hijjah 1410 H, dishalatkan
keesokan harinya setelah sholat jumat dan dimakamkan di pemakaman Ma‟la di Mekkah.
41
pandangan hidupnya menjadi suatu sistem yang tertutup dan kemudian
memalingkan diri dari proses modernisasi.
Dalam menyikapi pembaharuan pemahaman ajaran-ajaran agama, KH. M.
Syafi‟i Hadzami bersikap cukup luwes dan tidak kaku. Dalam menghadapi
gagasan-gagasan baru, ia tidak mau langsung menolak atau menyetujuinya tanpa
menimbangnya terlebih dahulu dengan pedoman syari‟at. Jadi, pembaharuan
dalam memahami agama bukan sesuatu yang harus ditolak, asalkan tidak keluar
dari relnya dan ditangani oleh orang yang memiliki persyaratan- persyaratan
untuk itu. Pandangan ini didasarkan pada teks hadis Nabi SAW bahwa setiap
seratus tahun ada yang disebut mujaddid (pembaharuan). Dalam kehidupan
beragama ini ada mujaddid, yaitu orang-orang yang memperbaharui pandangan-
pandangan agama. Jadi, yang di perbaharui bukan agamanya, tetapi
pandangannya. Ibarat mata yang sudah tidak bisa memandang dengan jelas, bila
memakai kacamata, apa yang dipandang akan menjadi lebih jelas. Padahal, objek
pandangannya sama saja. Jadi, bukan objeknya yang dirubah, melainkan alat
untuk memandangnya yang perlu diperbaharui. Itulah tugas seoarang mujaddid.
Ada tujuh karya tulis beliau, yaitu:
a. Sullamul `Arsy fi Qira`at Warsy.
Risalah ini selesai disusunnya pada tanggal 24 Dzulqa`dah tahun 1376H
(1956M) pada saat ia berusia 25 tahun. Risalah setebal 40 halaman ini berisi
tentang kaidah-kaidah khusus pembacaan Al-Qur`an menurut Syeikh Warasy
yang terdiri atas satu mukadimah, sepuluh mathlab (pokok pembicaraan), dan satu
khatimah (penutup).
42
b. Al-Hujajul Bayyinah.
Risalah ini dalam bahasa Indonesia memiliki arti argumentasi-argumentasi
yang jelas, yang selesai beliau tulis sekitar tahun 1960. Risalah ini mendapat
pujian dari gurunya, Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi. Bahkan dari gurunya
ini, ia mendapatkan rekomendasi (seperti kata pengantar) untuk bukunya ini.
c. Qiyas Adalah Hujjah Syar`iyyah.
Di dalam risalah ini dikemukakan dalil-dalil dari al-Qur`an, al-Hadits, dan
ijma` ulama yang menunjukkan bahwa qiyas merupakan salah satu dari hujjah
syari`ah. Risalah ini selesai disusun pada tanggal 13 Shafar 1389 H bertepatan
dengan tanggal 1 Mei 1969 M.
d. Taudlihul Adillah
Buku Taudhih Adillah diterbitkan pada tahun 1971, yaitu setahun setelah
tanya jawab di radio cendrawasih itu berjalan, jawaban-jawaban yang ia
sampaikan berikut dengan pertanyaan-pertanyaan yang dianjurkan oleh para
pendengar cendrawasih , diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Taudlihul
Adillah yang artinya Menjelaskan dalil-dalil, disertai dengan judul dalam bahasa
Indonesia seratus masalah agama.
e. Mathmah Ar-Ruba fi Ma`rifah Ar-Riba.
Di dalam risalah ini dibahas beberapa persoalan yang berkaitan dengan riba,
seperti hukum riba, benda-benda yang ribawi, jenis-jenis riba, bank simpan
pinjam, deposito, dan sebagainya. Risalah ini selesai ditulis pada tanggal 7
Muharram 1397H (1976M).
43
f. Ujalah Fidyah Shalat.
Risalah yang ditulis pada tahun 1977 ini membahas khilaf tentang
membayarkan fidyah (mengeluarkan bahan makanan pokok) untuk seorang
muslim yang telah meninggal dunia yang di masa hidupnya pernah meninggalkan
beberapa waktu shalat fardhu. Risalah ini disusun karena adanya pertanyaan
tentang masalah tersebut yang diajukan oleh salah seorang jama`ah pengajiannya.
g. Qabliyah Jum`at.
Risalah ini membahas tentang sunnahnya sholat Qabliyyah Jum`at dan hal-
hal yang berkaitan dengannya. Di dalam risalah ini dikemukakan nash-nash al-
Qur`an, al-Hadits, dan pendapat para fuqaha (ahli fiqih).
h. Shalat Tarawih,
Risalah ini disusun untuk memberikan penjelasan shalat tarawih yang sering
menjadi persoalan di kalangan kaum muslimin. Di dalamnya dikemukakan dan
dijelaskan dalil-dalil dari hadits dan keterangan para ulama yang berkaitan dengan
shalat tarawih. Mulai dari pengertiannya, ikhtilaf tentang jumlah raka`atnya, cara
pelaksanaannya, dan lain-lain dibahas dalam risalah ini.
Selain mengajar dan menulis kitab-kitab KH. M Syafi‟i Hadzami juga
berkontribusi dalam bidang organisasi yang ada di Indonesia, diantaranya adalah
menjadi anggota kepengurusan MUI DKI dan NU.
Sejak kepengurusan MUI DKI yang pertama hingga sekarang (priode
1995-2000) Muallim Syafi‟i Hadzami selalu mendapat kepercayaan menduduki
berbagai jabatan. Pada priode pertama (1975-1980) ia menjadi salah satu anggota
44
pengurus pada priode berikutnya, muallim Syafi‟i Hadzami diberi kepercayaan
untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, yaitu sebagai salah satu ketua.
Jabatan sebagai salah satu ketua kembali dipercayakan kepada Muallim
Syafi‟i Hadzami pada priode kepengurusan berikutnya, yaitu periode 1985-1990.
Ini menunjukan kepercayaan ulama dan umat terhadapnya.
Pada tahun 1990 beliau mendapatkan keperayaan yang lebih tinggi lagi
dalam kepengurusan MUI DKI. Kali ini beliau diberi amanah sebagai ketua
umumnya. Kepercayaan yang sama kembali diberikan kepada beliau pada tahun
1995. Kepercayaan ini merupakan cermin dari pengakuan para ulam di jakarta
atas keilmuan dan ketokohan beliau. Sebenarnya dengan kondisi kesehatan yang
agak menurun ditambah dengan kegiatan mengajar yang sangat banyak, Muallim
sudah ingin beristrirahat dari kegiatan keorganisasian. Tatapi dengan adanya
kepercayaan dan desakan para ulama serta perasaan tanggungjawab akan
kepentingan umat, Muallim akhirnya menerima amanah itu.
Selain di MUI DKI, Muallim pun terlibat dalam kegiatan NU. Hanya saja
sebagaimana di MUI DKI, beliau juga tak dapat seaktif orang lain. Begitupun,
beliau tetap memberikan perhatiannya kepada NU dan selalu mengikuti
perkembangannya. Bila memungkinkan beliau juga berusaha menghadiri acara-
acara penting yang diadakan oleh NU, misalnya rapat-rapat pleno, terutama bila
diadakan di Jakarta.
Pada mukhtamar NU ke 29 yang berlangsung tanggal 1 sampai 5
Desember 1994 di Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Muallim ikut
menghadirinya. Dalam mukhtamar ini Muallim mendapatkan kepercayaan sebagai
45
salah satu rois syuriah. Kepercayaan ini mencerminkan mengakuan para ulama
atas keilmuan dan ketokohan beliau. Di samping itu, juga merupakan
penghormatan kepada para ulama Betawi secara keseluruhan. Dalam sejarahnya
kepengurusan NU tingkat pusat memang lebih banyak diisi oleh tokoh-tokoh
ulama dari Jawa Timur atau Jawa Tengah. Tidak banyak ulama-ulama Betawi
yang menduduki jabatan-jabatan penting di PBNU.
Perjuangan KH. Muhammad Syafi‟i Hadzami dalam bidang pendidikan
a. Pendirian BMMT (Badan Musyawarah Majelis Taklim)
Pada tahun 1963 sewaktu Muallim Syafi‟i Hadzami baru mengajar pada
14 majlis taklim, terbentuklah lembaga yang bernama BMMT (Badan
Musyawarah Majelis Taklim) yang mengkoordinasikan majelis-majelis itu. Badan
ini dibentuk setelah memperhatikan kesungguhan dan ketekunan jamaah majelis-
majelis taklim dalam menuntut ilmu. Idenya datang dari muallim sendiri ketika
beliau baru berusia 32 tahun sebagai pengasuh majlis-majlis taklim tersebut.
Sedangkan pengorganisasiannya ditangani oleh H. Ali Dimung yang ketika itu
menjabat sebagai pimpinan DPRD DKI dan anggota MPRS-RI, dengan dibantu
sepenuhnya oleh A. Moedjib Thoha dan Abdullah Sholihin.
Dalam musyawarah yang diadakan pada tanggal 7 april 1963 bertempat
dikediaman saudara Abdullah Sholihin dan dipimpin langsung oleh Muallim
Syafi‟i Hadzami, dapat ditetapkan dan disahkan susunan pengurus BMMT yang
diberi nama Al-„Asyirotusy-Syafi‟iyah sekaligus mengukuhkan pimpinan-
pimpinah majelis taklim tersebut.
46
b. Mendirikan pesantren
Dengan semakin berkembangnya kegiatan BMMT, maka untuk
melancarkan gerak dan usahanya di bidang sosial, pendidikan, pengajaran, dan
lain-lain. Pengurus BMMT Al-„Asyirotusy-Syafi‟iyah merasa sangat perlu untuk
meningkatkan organisasinya menjadi suatu badan hukum berbentuk yayasan .
Berlandaskan musyawarah mufakat segenap anggota majelis-majelis
taklim, maka pada tahun 1975 dengan akte Notaris M.S.Tadjoedin no. 288
tertanggal 30 juni 1975, lahirlah suatu yayasan yang bernama yayasan Al-
„Asyirotusy-Syafi‟iyah dengan ketua umumnya KH. Muhammad Syafi‟i
Hadzami.
Untuk mewujudkan cita-citanya di bidang sosial, Yayasan BMMT Al-
„Asyirotusy-Syafi‟iyah bertekad untuk lebih menggiatkan para anggota majelis
taklim dalam pembinaan mental (akhlak) Islam dengan bimbingan praktis ke arah
terjalinnya kerukunan hidup dan kegotongroyongan di segala bidang kehidupan
sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Setelah yayasan terbentuk, selanjutnya diusahakan penyediaan sarana
fisik. Pada hari ahad tanggal 1 juni 1975 dalam suatu pertemuan antara pengurus
Yayasan BMMT dengan para anggota majelis taklim, Yayasan telah menerima
tanah untuk modal pembangunan kompleks pesantren. Tanah untuk membangun
gedung pesantren tersebut terletak di Kampung Dukuh, Kebayoran Lama.
Pertama, tanah seluas seribu meter persegi. Pemberi wakafnya adalah yang
beranama Haji Hafidz beserta keluarganya. Dalam usaha memperluas area
yayasan Al-„Asyirotusy-Syafi‟iyah, pengurus yayasan dapat membeli tanah seluas
47
2.200 meter persegi. Dengan adanya penambahan tahan tersebut, maka luas
keseluruhan tanah Yayasan Al-„Asyirotusy-Syafi‟iyah menjadi 3.700 meter
persegi.
Pembangunan kompleks pesantren juga dilaksanakan atas bantuan
pemerintah, jadi Yayasan menerima bantuan pemerintah berupa bentuk bangunan,
bukan berupa uang. Pada tanggal 1977 dengan suatu ucapan peresmian dimulailah
pembangunan kompleks pesantren. Dalam kesempatan itu sambutan-sambutan
yang bersifat dukungan yang bersifat telah diberikan oleh Bapak Haji Urip
Widodo selaku Wakil Gubernur DKI, Bapak KH.Dr. Idham Chalid dan beberapa
ulama terkemuka warga jakarta.
Perguruan Al-„Asyirotusy-Syafi‟iyah menyelenggarakan pendidikan dari
tingkat TK hingga aliyah. Sementara itu, untuk program pesantren rencananya
akan menampung semabanyak 40 santri. Nama yang diberikan untuknya adalah
Ma’had al-Arba’in atau lengkapnya Ma’had al-Arba’in al-Islami as-Salafi as-
Sunni asy-Syafi’i. Pesantren yang akan dikembangkan ini adalah pesantren
diniyah, artinya pesantren tradisional yang hanya mempelajari ilmu-ilmu agama
dengan membaca kitab-kitab kuning. Sebagai kader-kader yang disiapkan untuk
menjadi ulama, mereka tentu harus mempelajari dan mendalami seluruh disiplin
ilmu agama.11
Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Demikian pula dengan KH.
Muhammad Syafi‟i Hadzami juga pada akhirnya harus merasakan maut, karena
itulah satu satunya jalan untuk bisa bertemu dengan Allah SWT. Diceritakan
11
Ali Yahya, KH. Muhammad Syafi‟i Hadzami : Sumur Yang Tak Pernah Kering,
(Jakarta; Yayasan Al-Syirotus Syafi‟iyah 1999), hal.135
48
bahwasanya beliau wafat, Ba‟da mengajar di Masjid Ni‟matul Ittihad tepatnya
pada tanggal 07 Mei tahun 2006 masehi beliau merasakan nyeri di dada dan sesak
napasnya, hingga akhirnya KH. Muhammad Syafi‟i Hadzami dilarikan kerumah
sakit RSPP pertamina namun ditengah perjalanan Allah SWT memanggilnya
untuk kembali menghadap-Nya, dengan meninggalnya orang alim banyak
linangan air mata yang mengalir dari keluaga murid-murid serta orang-orang yang
mencintai beliau, ribuan orang berdatangan kerumah beliau untuk mensholati
bahkan menurut penuturan murid beliau yang mensholati jenazah Muallim Syafi‟i
Hadzami tak putus-putus dari pagi hingga malam hari.
B. Deskripsi Buku Taudlihul Adillah
Buku Taudlihul Adillah diterbitkan pada tahun 1971, yaitu setahun
setelah tanya jawab di radio cendrawasih itu berjalan, jawaban-jawaban yang ia
sampaikan berikut dengan pertanyaan-pertanyaan yang dianjurkan oleh para
pendengar cendrawasih , diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Taudlihul
Adillah yang artinya “Menjelaskan dalil-dalil”, disertai dengan judul dalam
bahasa indonesia seratus masalah agama.
Buku Taudlihul Adillah terdiri dari 7 jilid, sebagai berikut :
Buku Taudlihul Adillah Perihal Pembahasan Halaman buku
JILID 1
1. Bab Aqidah Islamiyah Hal 1-7
2. Bab Ushul/Akhlak Hal 11-39
3. Bab Thaharah/Bersuci Hal 39-55
4. Bab Bersuci dan shalat Hal 56-70
5. Bab Shalat/Shalat
Jum‟at/Tilawah Hal 72-127
49
JILID 1
6. Bab Khutbah/Adzan Hal 132-144
7. Bab Batas aurat laki-
laki/perempuan Hal 145
8. Bab Puasa Hal 152-153
9. Bab Menyembelih hewan Hal 156-157
10. Bab Kematian Hal 158-165
11. Bab Doa/dzikir dan amal
shadaqah Hal 166-176
12. Bab Muamalah/munakahah Hal 180-207
13. Bab Bidang munakahah Hal 209-225
14. Susulan bab mu‟amalah Hal 227-229
Buku Taudlihul Adillah Perihal Pembahasan Halaman buku
JILID 2
1. Bab Aqidah Islamiyah Hal 1-28
2. Bab Ushul Akhlak Hal 30-81
3. Bab Bersuci (wudlu/mandi
junub) Hal 83-99
4. Bab Bersuci dan shalat Hal 102-110
5. Bab Shalat/Shalat
Jum‟at/Tilawah Hal 112-174
6. Bab Khutbah/Adzan Hal 178-181
7. Bab Zakat/puasa Hal 182-188
8. Bab Menyembelih hewan Hal 192-193
9. Bab Kematian/janaiz Hal 195-202
10. Bab Doa/dzikir Hal 203-214
11. Bab Muamalah/munakahah Hal 216-264
Buku Taudlihul Adillah Perihal Pembahasan Halaman buku
JILID 3
1. Bab Aqidah Islamiyah Hal 1-28
2. Bab Ushul Akhlak Hal 30-99
3. Bab Bersuci (wudlu/mandi
junub) Hal 101-118
4. Bab Bersuci dan shalat Hal 119-143
5. Bab Shalat/Shalat
Jum‟at/Tilawah Hal 147-193
6. Bab Khutbah Hal 195-196
7. Bab Zakat/puasa Hal 198-216
8. Bab Menyembelih hewan Hal 220-221
50
JILID 3
9. Bab Kematian/janaiz Hal 223-240
10. Bab Doa/dzikir Hal 244-260
11. Bab Muamalah/munakahah Hal 261-285
Buku Taudlihul Adillah Perihal Pembahasan Halaman buku
JILID 4
1. Bab Aqidah Islamiyah Hal 1-35
2. Bab Ushul Akhlak Hal 40-104
3. Bab Bersuci (wudlu/mandi
junub) Hal 106-121
4. Bab Bersuci dan shalat Hal 124-158
5. Bab Shalat jum‟at/khutbah Hal 160-166
6. Bab Puasa/zakat/haji Hal 168-185
7. Bab
Qur‟ban/aqiqah/memotong
hewan
Hal 186-196
8. Bab Berdoa/dzikir/amal
sedekah Hal 198-210
9. Bab Muamalah/munakahah Hal 212-231
Buku Taudlihul Adillah Perihal Pembahasan Halaman buku
JILID 5
1. Bab Aqidah Islamiyah Hal 1-23
2. Bab Ushul Akhlak Hal 27-85
3. Bab Bersuci/wudlu/mandi
junub Hal 88-98
4. Bab Shalat/Shalat
Jum‟at/Tilawah Hal 99-150
5. Bab Adzan/khutbah Hal 155-159
6. Bab Puasa/zakat Hal 161-171
7. Bab
Qur‟ban/aqiqah/memotong
hewan
Hal 172-174
8. Bab Kematian/janaiz Hal 176-181
9. Bab Berdoa/dzikir/amal
sedekah Hal 183-190
10. Bab Muamalah/munakahah Hal 192-226
11. Bab Khitan Hal 227-228
12. Bab Membayar hutang Hal 230
51
Buku Taudlihul Adillah Perihal Pembahasan Halaman
buku
JILID 6
1. Bab Aqidah Islamiyah Hal 1-46
2. Bab Ushul Akhlak Hal 49-164
3. Bab
Bersuci/wudlu/tayammum/jun
ub
Hal 165
4. Bab Bersuci dan shalat Hal 169-186
5. Bab Shalat/Shalat
Jum‟at/Tilawah Hal 189-211
6. Bab Khutbah/Adzan Hal 213-219
7. Bab Memotong hewan Hal 223
8. Bab Kematian/cara membayar
hutang kepada orang yang
sudah meninggal
Hal 225
9. Bab Muamalah/munakahah Hal 227-229
10. Bab Bidang munakahah Hal 231-246
11. Bab Kematian/cara membayar
hutang kepada orang yang
sudah meninggal
Hal 225
12. Bab Muamalah/munakahah Hal 227-229
13. Bab Bidang munakahah Hal 231-246
Buku Taudlihul Adillah Perihal Pembahasan Halaman
buku
JILID 7
1. Bab Aqidah Islamiyah Hal 1-68
2. Bab Ushul Akhlak Hal 73-131
3. Bab Bersuci dan shalat Hal 135-140
4. Bab Shalat/Shalat
Jum‟at/Tilawah Hal 143-188
5. Bab Khutbah/Adzan Hal 191-197
6. Bab Puasa Hal 201-210
7. Bab Memotong hewan Hal 213-221
8. Bab Kematian Hal 223-228
9. Bab Berdoa/dzikir/amal
sedekah Hal 231-237
10. Bab Muamalah/munakahah Hal 239-247
11. Bab Bidang munakahah Hal 251-263
52
Buku Taudlihul Adillah telah terbit dalam tujuh jilid, yakni mulai dari jilid
ke-satu sampai jilid ke-tujuh. Dalam buku ini permasalah-permasalahan yang
ditanyakan para pendengar diklasifikasi kedalam beberapa kelompok . misalnya
aqidah, akhlak, adzan, khutbah, puasa, zakat, qurban, aqiqah, doa, muamalah,
munakahah dan sebagainya.
Dalam menjawab pertanyaan , biasanya KH. Muhammad Syafi‟i Hadzami
mulai menjawab dengan menjelaskan pengertian/ definisi/ batasan dari masalah
yang dibahas, baik pengertian menurut bahasa maupun menurut istilah. Setelah itu
ia akan mengemukakan ayat-ayat Al-Qur‟an, Hadits hadits Nabi dan pendapat-
pendapat para ulama yang ada dalam kitab-kitab yang mu’tamad (kitab-kitab yang
diakui dan dijadikan rujukan oleh para ulama). Dengan mengemukakan semua itu,
maka akan dapat dipahami bahwa pendapat-pendapat ulama yang terdapat pada
nash-nash kitab benar-benar ada dasarnya, bukan semata-mata pendapat mereka.
Semua dalil yang dikemukakan (termasuk nash-nash ulama) dituliskan
dalam bahasa aslinya, kemudia batu diikuti oleh terjemahnya. Sumber-sumber
rujukan nya disebutkan dengan jelas. Bila dikutip suatu hadits, ia selalu sebutkan
perawinya, bila yang di nukil nash-nash ulama, ia sebutkan juga kitab yang
memuat keterangan itu.
c. Materi Hukum Keluarga dalam Buku Taudlihul Adillah
Materi hukum keluarga yang terdapat dalam buku Taudlihul Adillah bisa
di klasifikasikan ke dalam beberapa kelompok, yaitu masalah pernikahan,
perceraian, dan waris.
53
1. Materi Pernikahan dalam Buku Taudlihul Adillah
Di dalam materi pernikahan penulis menemukan berbagai macam
pembahasan masalah yang berbeda-beda dan ada pula pembahasan yang sama
tetapi dengan judul yang berbeda, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Pernikahan beda agama
Masalah pernikahan beda agama, dibahas di dalam 5 buku. Tampak dalam
kelima buku tersebut pembahasannya kurang lebih sama, tetapi dengan judul yang
berbeda, yaitu :
1. Jilid I, hal 209, judul : Perkawinan pria muslim dengan wanita kristen;
2. Jilid II, hal 263, judul : Batal nikah sebab murtad;
3. Jilid III, hal 289, judul : Pernikahan wanita Islam dengan pria kafir;
4. Jilid VI, hal 214, judul : Perkawinan pria muslim dengan wanita kristen;
5. Jilid VII, hal 263, judul : Pernikahan wanita Islam dengan pria kafir
kemudian cerai dan menikah lagi dengan pria muslim.
b. Pernikahan perempuan yang sedang hamil karena zina.
Masalah pernikahan hamil, dibahas di dalam 5 buku. Tampak dalam
kelima buku tersebut pembahasannya kurang lebih sama, tetapi dengan judul yang
berbeda, yaitu :
1. Jilid I, hal 220, judul : Menikahi wanita yang sedang hamil;
2. Jilid IV, hal 222, judul : Pernikahan wanita hamil karena zina;
3. Jilid V, hal 197, judul : Pernikahan wanita hamil;
4. Jilid V, hal 218, judul : Hukum menikahi wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya dan dalam keadaan hamil 3 bulan;
54
5. Jilid VII, hal 251, judul : Menikahi wanita hamil karena zina.
c. Pernikahan banci
Pada masalah pernikahan banci dibahas didalam 2 buku saja, yaitu jilid I
hal 213 dengan judul sah kah pernikahan seorang banci buku, dan pada buku jilid
III hal 264 dengan judul bagaimana hukum perkawinan banci.
d. Masalah wali nikah.
Tentang permasalahan wali nikah dibahas didalam 2 buku, yaitu terdapat
pada buku jilid II hal 231 dengan judul wali pernikahan anak haram, buku jilid II
hal 240 dengan judul wanita yang tidak ada walinya, buku jilid V hal 214 sahkah
anak laki-laki dari saudara perempuan bapak menjadi wali.
e. Masalah poligami.
Permasalahan poligami hanya dibahas didalam satu buku saja. Yaitu
terdapat pada buku jilid IV hal 220, dan buku jilid IV hal 225.
f. Hak dan kewajiban suami istri.
Masalah hak dan kewajiban suami istri dibahas di dalam 7 buku, dengan
19 pembahasan. Tampak dalam kesembilan belas buku tersebut pembahasannya
kurang lebih sama, tetapi dengan judul yang berbeda, yaitu :
1. Jilid I, hal 216, judul : Bolehkah pernikahan turun/naik ranjang;
2. Jilid II, hal 232, judul : Suami ditinggal istri tanpa alasan;
3. Jilid II, hal 242, judul : Hukum istri yang membantah suami;
4. Jilid II, hal 243, judul : Hukum seorang istri yang menemui laki-laki lain
tanpa izin suami;
55
5. Jilid II, hal 253, judul : Hukum menggauli istri yang keguguran sebelum
40 hari;
6. Jilid III, hal 267, judul : Hukum mas kawin yang kurang;
7. Jilid III, hal 276, judul : Suami membiarkan istri tidur seorang diri dalam
keadaan suci;
8. Jilid III, hal 280, judul : Hukum suami yang mengizinkan istri berzina;
9. Jilid IV, hal 219, judul : Hukum meninggalkan istri tua dan menikahi yang
muda;
10. Jilid IV, hal 227, judul : Karena impotent suami membiarkan istri berzina;
11. Jilid IV, hal 229, judul : Mentelantarkan nafkah anak dan istri;
12. Jilid IV, hal 231, judul : Istri suka maksiat apakah suami berdosa;
13. Jilid V, hal 202, judul : Hukum wanita mempunyai dua suami;
14. Jilid V, hal 211, judul : Istri membangkang suami karena dilarang
bersilaturahim kerumah saudara yang tidak disukai suaminya;
15. Jilid V, hal 213, judul : Hukum istri memberi uang kepada orang tuanya
tanpa seizin suami;
16. Jilid V, hal 204-205, judul : Seorang istri yang ditinggal suami tanpa di
beri nafkah;
17. Jilid VI, hal 231, judul : Hukum mengikuti (KB);
18. Jilid VII, hal 258, judul : Cara untuk sah menikah;
19. Jilid VII, hal 260, judul : Suami atau mertua yang lebih besar tanggung-
jawabnya.
56
g. Materi Perceraian dalam Buku Taudlihul Adillah
Permasalahan perceraian dibahas oleh KH. Syafi‟i Hadzami di dalam 3
buku yang terdiri dari 5 judul, yaitu :
1. Jilid II, hal 262 dan hal 264, judul : Niat mentalak istri tetapi tidak
diucapkan;
2. Jilid III, hal 271, judul : Talak dengan mengatakan kepada istri „‟Pondok
Jodo, Panjang Baraya‟‟;
3. Jilid III, hal 282, judul : Menceraikan dalam keadaan hamil;
4. Jilid V, hal 220, judul : Talak tiga;
5. Permasalahan cerai gugat terdapat didalam buku jilid III, hal 272 dengan
judul istri mengatakan‟‟ceraikan aku‟‟.
h. Materi Hukum Waris dalam Buku Taudlihul Adillah
Pembahasan masalah hukum waris dalam buku Taudlihul Adillah
diuraikan oleh KH. Syafi‟i Hadzami hanya sebanyak 3 pembahasan, yaitu:
Pembagian harta waris terdapat didalam buku jilid VI hal 229, buku jilid VII hal
239, dan buku jilid VII hal 247.
57
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN KH. MUHAMMAD SYAFI’I HADZAMI
DALAM BUKU TAUDLIHUL ADILLAH
A. Pemikiran KH. Muhammad Syafi’i Hadzami
Pokok bahasan dalam kitab Taudlihul Adillah sebenarnya banyak
mencakup berbagai bidang kajian. Dalam kajian fikih keluarga yang konsentrasi
dalam tulisan ini juga terbagi menjadi beberapa judul. Namun untuk
mempermudah dan mempertajam dalam menganalisa maka penulis hanya akan
membahas beberapa hal saja.
1. Pernikahan Beda Agama
KH. Muhammad Syafi’i Hadzami membahas pernikahan beda agama
dalam 5 buku, pembahasan tersebut terkesan sama akan tetapi dituliskan dengan
judul yang berbeda-beda.1 KH. Syafi’i Hadzami menyatakan bahwa wanita
Kristen disamakan dengan ahli kitab, sebagaimana yang disebutkan dalam al-
Quran. Akan tetapi, KH. Syafi’i Hadzami memberikan suatu argumentasi
tersendiri mengenai ahli kitab ini. Argument tersebut dapat dijadikan rujukan
bahwa ahl kitab sebenarnya, sehingga tidak menjadi bias antara Kristen ahli kitab
dan Kristen bukan ahl kitab.
1 Hal terjadi sebagaimana yang telah dibahas dalam bab sebelumnya, bahwa buku ini
merupakan kumpulan ceramah. Justru keuntungannya maka kita akan mengetahui penambahan
data yang beliau sampaikan dalam ceramah tersebut. Berbeda dengan buku murni dan
perkembangan keilmiahannya tidak diketahui secara jelas.
58
Menurut KH Syafi’i Hadzami, ahli kitab adalah perempuan Israiliyyah
yang meyakini kitab Taurat dan Injil yang asli, sedangkan orang-orang yang
masuk ke dalam agama Yahudi dan Nasrani yang bukan berasal dari Israiliyyah
(Bani Israil) tidaklah disebut ahl al-kitab.2
Pendapat ini, beliau sandarkan dari pendapat Imam Syafii dalam kitab al-
Umm. Redaksi dari kitab al-Umm adalah;
ع ع ي د اى ع ث ع ا ؽ ث ض ا ابر م و ا ت ب ؽ ع اى اؼ ص ف ىي اء ط ع ه ا :قاه ق ح ي ؽ خ ات
ا ؼ اىر ذ اء خ ي ػ اى و ئي ا ؽ ق ا ت اب ر ن اى و ا ا ا ج ي ف و خ ظ ا ا ف و ي د ال
ـاى ك ي ي ف ا . ا3
Artinya : ‟‟Telah memberitakan kepada kami oleh Abdul Majid dari Ibnu Juraij,
berkata ia : Telah berkata Atha‟: Bukanlah orang-orang Nashrani
dari para bangsa Arab itu tergolong ahli Kitab. Hanya saja ahli Kitab
itu adalah Bani Israil dan mereka yang kedatangan Taurat dan Injil.
Adapun orang yang masuk ke dalam agama mereka, bukanlah dari
pada ahli Kitab”.4
Berdasarkan keterangan Imam Syafii yang ada di dalam kitab al-Umm
tersebut, maka KH Syafii Hadzami menyatakan bahwa orang-orang non muslim
dari bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain yang bukan Israiliyyah tidaklah
termasuk golongan ahl al-kitab, terlebih lagi kitab-kitab mereka sudah tidak asli
lagi sebagaimana yang diturunkan kepada Nabi Musa dan Isa.
Sementara itu, dalam keterangan lain,5 beliau juga mengutip pendapat
yang terdapat dalam kitab al-Muhadzdzab karya al-Syirazi (392-476 H),
2 KH. Syafii Hadzami, Taudlihul adillah, (Kudus: Menara Kudus, 1982), jilid 1., h. 210
3 Muhammad Ibn Idris al-Syafi’I, al- Umm, (Beirut: Dar al-Wafa’, 2001), jilid 7., h. 7
4 Terjemah ini dikutip dari kitab Taudlihul Adillah. K.H. M Syafi’I Hadzami, Taudlihul
Adillah, jilid 1., h. 209 5 Keterangan ini berkaitan dengan pertanyaan dari Abdul Latief Kreo Cipadu, yang
menanyakan mengenai ahl kitab dan musyrik dalam surat al-Baqarah ayat 221 dan al-Maidah ayat
5 serta relasinya dengan masalah pernikahan. K.H. M Syafi’I Hadzami, Taudlihul Adillah, jilid
6., h. 234.
59
ع ت ع اؼ اى ص ظ اىي ي ظ ف و ض ظ ائ ؽ ؽ ز ن ر ي ا كي ى ي ؾ يد ل ي و اىر ث ع
ل ي ط ا ء ا ذ ع اؼ م ف و ت ط ي ظ ف ا ي ض ظ ل اىيي ي ل ت اء ا
ب ؽ اى ع اؼ ص ت عع م ا يو اىر ث ع اق ث و ي ض ظ ا ي ي ع ل في و ض ظ ي كي اى ت ش ذ ي ة ا اذ غ ؽ ت ي ل ت اء ا ط اء ل ائ ؽ ؽ ز ناذ و ي س ى ء
اىش ل ع ر ث اذ ذ ك ف لا ط ؽ ج اىط فاىف ؽ و ص ا ل ل ي 6.اىي
Artinya : “Dan mereka yang masuk ke dalam agama Yahudi dan Nashrani
sesudah tabdil ( perubahan ), tidaklah boleh bagi seorang muslim
menikahi perempuan-perempuan merdeka dari mereka itu, dan tidak
boleh mewathi hamba sahaya mereka dengan jalan permilikan,
karena mereka itu telah masuk dalam agama yang bathil. Maka
mereka itu seperti orang yang murtad dari kaum muslimin. Dan orang
yang masuk kedalam agama mereka, padahal tidak diketahui apakah
mereka masuk sebelum tabdil atau sesudahnya seperti nashrani-
nashrani arab, yaitulah:Tanukh, Banu Taghlib dan Bahraa‟, tidaklah
halal menikahi perwmpuan-perempuan mereka yang merdeka dan
tidak halal mewathi hamba-hamba sahaya mereka dengan jalan
permilikan, karena yang asal dalam perhubungan kelamin itu adalah
terlarang, maka tidaklah menjadi halal dalam keadaan Syak (ragu).7
Keterangan di atas oleh KH. Syafi’I Hadzami digaris bawahi mengenai
kata tabdil yang artinya: penukaran, penggantian, atau perubahan. Untuk
menguatkan maksud dari tabdil ini, beliau mengutip Kitab al Nadzm al
Musta‟dzab fi Syarhi Gharibil Muhadzdzab, sebagai berikut:
ؽ س اى ه ع ت ا ي ع خ ا ا ع )قىتععاىرثعيو( س اى ه ع ت لالا ز ا اؽ ز ه لا اى ع ت اا
اللي ص ي ث اى ح ف ص 8.الل ع ع د ى ؿ ا ؽ ي غ ي ع قي عيي
6 Abu Ishaq al-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi‟i, (tahqiq Muhammad al-
Zauhaili) (Damaskus: Dar al-Qalam, 1996), jilid 4., h. 152 7 K.H. M Syafi’I Hadzami, Taudlihul Adillah, jilid 6., h. 235
8 Baththal Ibn Ahmad Ibn Sulaiman Ibn Baththal al-Rakbi, al-Nazhm al-Musta‟dzab fi
Tafsir Gharib Alfazh al-Muhadzdzab (Makkah al-Mukarramah: al-Maktabah al-Tijariyah,1991)
jilid 2., h. 135
60
Artinya : “Katanya : تععاىرثدعيو , maknanya : bahwa mereka menjadikan sebagai
ganti yang halal akan yang haram dan mereka tukarkan sifat Nabi
SAW. tidak menurut apa yang diturunkan dari sisi Allah”.
Dalam aspek lain, secara historis, KH. Syafii Hadzami juga mengakui
bahwa ada beberapa sahabat yang menikah dengan wanita-wanita ahl al-kitab,
seperti Hudzaifah dengan wanita dari ahli Madyan. Mereka antara lain Utsman
ibn ‘Affan (577-656 M) yang menikah dengan Nailah binti Farafisyah al
Kalbiyah, wanita yang berasal dari Nashirah di Palestina, dan Jabir dan Saad bin
Abi Waqash (595-674 M). Namun, menurut KH, Syafii Hadzami perempuan-
perempuan tersebut memang benar-benar berasal dari ahl al-kitab seperti yang
dimaksudkan di atas.
Sedangkan mengenai pernikahan wanita muslim dengan laki-laki non
muslim, maka KH Syafi’i Hadzami menyatakan dengan tegas bahwa nikahnya
tidak sah.9 Untuk memperkuat pendapat tersebut, KH Syafi’i Hadzami mengutip
pendapat yang terdapat dalam Hasyiah al-Syarqawi, yang redaksinya sebagai
berikut:
ؽ اف ؽ ز ى ن ح ي ك و ل ذ س ذ ف اق ت ال حا ا ا ا د م .10جا
Artinya : “Dan tidak halal perempuan Islam, untuk laki-laki kafir. Sama ada
perempuan itu merdeka atau budak belian, dengan sepakat”. 11
9 Masalah ini dibahas ketika ada pertanyaan dari Wawang Usmiati dari Tomang. K.H. M
Syafi’I Hadzami, Taudlihul Adillah, jilid 3., h.269 10
Abd Allah Ibn Hijazi Ibn Ibrahim al-Syarqawi, Hasyiah al-Syarqawi, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1987), jilid 2, h. 241. 11
Terjemah ini dikutip dari kitab Taudlihul Adillah, lihat K.H. M Syafi’I Hadzami,
Taudlihul Adillah, jilid 3., h. 270
61
KH. Syafii Hadzami juga melarang mengawini orang-orang musyrik: yaitu
mereka yang mempersekutukan Allah dalam persembahan, atau yang menyembah
selain Allah SWT. seperti yang menyembah ruh nenek moyang, menyembah
berhala, menyembah bulan, atau bintang-bintang, menyembah matahari, atau
menyembah api. Baik yang musyrik itu menjadi pengantin laki-laki ataupun
pengantin perempuan. Sedang mereka yang meninggalkan tuhan pun, termasuk
dalam i’tiqad yang musyrik.12
Di dalam buku Taudlihul Adillah permasalahan pernikahan beda agama
yang dibahas bukan hanya pasangan yang akan hendak menikah saja, akan tetapi
dibahas pula pasangan yang sudah menikah lalu diantara salah satu dari pasangan
tersebut murtad ( keluar dari islam).
Pernikahan sebagaimana diketahui harus dilakukan oleh pasangan yang
seagama. Dalam pernikahan juga ada bahasan mengenai talak. Dalam talak ini
bisa terjadi secara langsung dan ada juga yang terjadi secara tidak langsung. Salah
satu talak yang terjadi secara langsung adalah berkaitan dengan murtad dari salah
satu pasangan.
KH. Syafi’i Hadzami membahas mengenai hal ini berkaitan dengan
pertanyaan seseorang Tjetjep Hermawan dari Tanjung Priuk mengenai batalnya
nikah karena seseorang yang telah murtad dan relasinya dengan batalnya
pernikahan yang disebabkan oleh thalak atau cerai.13
12
K.H. M Syafi’i Hadzami, Taudlihul Adillah, jilid 6., h. 235 13
K.H. M Syafi’I Hadzami, Taudlihul Adillah, jilid 2., h. 263
62
Menurut beliau laki-laki yang murtad maka secara otomatis pernikahannya
batal demi hukum. Pendapat ini beliau sandarkan dalam kitab Mirqât Su‟ûd al-
Tashdîq fi Syarh Sullam al-Tawfiq karya Imam Nawawi al-Bantani (1813-1897)14
sebagai berikut:
ق ل ا ى ا ع ع ي ى ا ع ع ت اػ م ه ض اىعو ث ق از ن ي ذ اص ت و ط ث ذ لا
15.ج ع ع اى ف
Artinya : “Dan batallah dengan sebab riddah itu puasanya, tayamumnya dan
nikahnya sebelum dukhul, dan demikian pula sesudah dukhul, jika
tidak ia kembali kepada islam di dalam masa iddahnya”. 16
KH. Syafii Hadzami juga menjelaskan penyebab rusaknya pernikahan
adalah thalaq. Thalaq itu artinya membuka atau menguraikan tali pengikat nikah.17
Selain thalaq sebagaimana diungkapkan oleh para ulama bahwa batalnya
pernikahan dapat terjadi karena fasakh yang salah satu penyebabnya adalah
riddah.
Dalam hal ini, KH. Syafii Hadzami menjelaskan mengenai perbedaan
antara thalaq dengan fasakh dalam hal hitungan thalaqnya. Thalaq tidak akan
14
Penyandaran ini sebenarnya karena penanya menanyakan langsung mengenai isi kitab
tersebut, maka beliau langsung mengutip isi kitab tersebut. K.H. M Syafi’I Hadzami, Taudlihul
Adillah, jilid 2., h. 263 15
Muhammad Nawawi al-Bantani, Mirqat Shu‟ûd al- Tashdiq fi Syarh Sullam al-Taufiq
(Jakarta: Dar al-Kutub al-Islami, 2013), h. 36 16
K.H. M Syafi’I Hadzami, Taudlihul Adillah jilid 7., h 263 17
Pendapat ini dapat dilihat pula dalam pemikiran ulama sebelumnya seperti dalam kitab
al-Wajiz, Wahbah al-Zuhaili, al-Wajiz fi Fiqh al-Islami ( Beirut: Dar al-Fikr, 2006) jilid 3., h.125
63
berkurang hitungannya ketika terjadi fasakh. Perempuan yang sudah ditalak tiga
kali tidak dapat menikah kembali sebelum memenuhi persyaratan, yaitu:
1. Habis iddah dari padanya.
2. Menikah kepada lain orang.
3. Didukhul oleh suami baru itu.
4. Dithalaq oleh suami baru itu.
5. Habis iddah dari suami baru itu.
Sedangkan dalam fasakh, maka kebatalannya itu tidak mengurangi
bilangan-bilangan thalaq yang dimiliki.18
Berdasarkan pendapat tersebut, KH. Syafi’I Hadzami membagi batalnya
pernikahan menjadi dua utama yaitu talak dan fasakh. Fasakh ini tidak merusak
status hak talak dari suami. Fasakh inilah yang kemudian dijadikan masalah
utama yaitu berkaitan dengan suami yang telah murtad. Artinya menurut KH.
Syafi’I Hadzami bagi pasangan yang murtad mengakibatkan perkawinan mereka
menjadi fasakh.
2. Pernikahan Wanita Hamil
Pada saat ini sudah sering terdengar ada orang yang menikah karena
hamil terlebih dahulu. Problema seperti ini sebenarnya sudah ada sejak lama dan
menjadi perdebatan di kalangan masyarakat.19
18
Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama, bahwa thalaq jatuh sampai
tiga kali sedangkan fasakh jatuh hanya sekali dan tidak menikah kembali. Wahbah al-Zuhaili, al-
Wajiz fi Fiqh al-Islami, jilid 3., h.126 19
Masalah ini adalah pertanyaan dari Abu Chair Dukuh Pinggir II Jakarta, K.H. M
Syafi’I Hadzami, Taudlihul Adillah, jilid 1., h.220
64
Wanita yang sudah hamil menurut pandangan KH. Syafi’I Hadzami
kemungkinannya ada beberapa tipe yaitu wanita hamil itu masih punya suami,
wanita itu ditinggal mati oleh suaminya, wanita itu diceraikan oleh suaminya
wanita hamil itu belum pernah menikah.
Berkaitan dengan hukum pernikahan maka beliau membagi wanita hamil
tersebut dalam beberapa hal, yaitu:20
1. Wanita hamil itu masih punya suami, sudah barang tentu tidak sah akad
nikahnya dengan orang lain.
2. Wanita hamil itu ditinggal mati oleh suaminya, baru boleh sah dikawini
setelah ia melahirkan.
3. Wanita hamil itu diceraikan oleh suaminya, pun baru boleh sah dinikahi
setelah ia melahirkan.
Hal yang ketiga ini berdasarkan firman Allah swt. Dalam surat At-Thalaq
ayat 4, sebagai berikut :
ي أ ي أ خ اه ال ز خ ل أ ي ز ع .ض
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
4. Wanita hamil itu belum menikah, atau karena berzina. Beliau mengutip kitab
dari Hasyiatul Bajury, juz ke II halaman 169, sebagai berikut :
ز ر ن ى .ر ص ل ا ي ع ع ض و ث اق ؤ ط اؾ خ اعاط ق از ن ر ص ااؾ لااا
20
K.H. Muhammad Syafi’I Hadzami, Taudlihul Adillah, jilid 1., h. 220
65
Artinya : “jika seorang laki-laki menikahi wanita yang tengah hamil karena
zina, pastilah sah nikah nya. Boleh mewathi‟nya sebelum
melahirkannya, atas qaul yang paling shahih”.
Namun begitu, beliau menyarankan untuk mengulangi akad nikahnya
setelah anaknya lahir. Hal ini untuk menghindari khilaf.21 Pemikiran mengenai hal
ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi
ة ر س ك ف لا اى ط ج ؽ اى ط
Artinya : „‟Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi‟‟
Khusus mengenai wanita yang hamil karena zina, maka orang yang
menikahinya adalah pelaku zina tersebut. Hal ini beliau sandarkan dalam surat
An-Nur ayat 3 sebagai berikut :
ا ي ٱىؿ ح شؽ م أ ا ي حا ؾ إ ل ن ر ي ا ي ح ل ٱىؿ ؽ ز شؽ ك أ ا ؾ إ ل ا ن س ي ل
ي ع ى ل غ ي ؤ ( 4)النور:.ٱى
Artinya : “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina
tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki
musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang
mukmin”.
21
K.H. Muhammad Syafi’I Hadzami, Taudlihul Adillah, jilid 1., h. 221
66
Ayat ini kemudian oleh muallim Syafi’i Hadzami ditafsirkan dengan
merujuk pada tafsir Imam Ibnu Jarir Al Thabari juz ke 18 halaman 74 sebagai
berikut:
ع ثا زع عثعاللقاه:ا ث زع قاه:عيي ا ث ع ز دح ي دا د عيدي ع ـعث د ات د ع ) ى د ق :اا دديل إل اىؿ ن ر (قدداه:اىؿ ي دد حا ددؽ م ش أ ا ي ددحا ددا ددؾ إ ي ددؿ ي ل ح ي ددث اىق و ددأ ي ل
د أ ي ث ح ي ا ؿ ت .ح م ؽ ش دح ي دا اىؿ قداه: ؿ ت دل يإ دؿ ذ ل ح ي دث اىق و دأ د دي ث ا ا
(ح ي ث اىق و أ يؽ غ شؽك أ ثيح اىق و أ ي ؤ اى ي ع ى ل غ ؽ ز .ثقاه:)
Artinya : “Telah memberitakan kepada kami oleh Ali, katanya : Telah
meberitakan kepada kami oleh Abdullah, katanya: Telah
memberitakan kepada kami oleh Mu‟awiyah dari Ali dari Ibnu Abbas
ra. Firman Allah swt: Azzani la yankihu illa ziniyatan au musyrikatan,
katanya : Laki-laki jalang dari ahli qiblat, tidaklah ia berzina
melainkan dengan perempuan jalang yang sepertinya, atau
perempuan musrikah. Katanya: Dan wanita jalang dari ahli Qiblat
tidaklah ia berzina melainkan dengan laki-laki Musyrik dari pada
yang bukan ahli Qiblat, kemudian katanya: Dan diharamkan yang
demikian itu yakni berzina atas orang-orang yang beriman”.
Berdasarkan data di atas, maka muallim Syafii Hadzami memberikan suatu
pendapat bahwa La yankihu, artinya tidak melakukan zina, sebagaimana diketahui
bahwa wathi’ itu memang setengah dari pada makna nikah.
Selain itu, ayat ini memang hukum Allah yang melarang perjodohan laki-
laki yang afif terhadap wanita jalang dan sebaliknya, akan tetapi larangan ini
kemudian telah dinasakhkan, dihapus hukumnya dengan ayat ; Wa ankihul
ayamaa minkum, Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Sa’id ibn Musayyab :
67
دددا ع ع ت ر ددداى ي دددح ال ؽ ي ددد ر ط ك س ن ا ا دددي اال دددا ددد دددف ه اق ددد ن دددي دددا ا
ي ك اى 22.ي
Artinya : “Mereka itu memandang ayat yang sesudahnya itu untuk
menasahkannya. Yaitulah : Waankihu ayamaa minkum.
Dikatakannya: maka mereka itupun daripada orang-orang
bujangan Muslimin”.
Pada kesempatan lain, beliau menyatakan bahwa wanita yang hamil
karena zina adalah kehamilan yang tidak di hormati syara’, sperma yang masuk ke
dalam rahimnya adalah ghairu muhtarom, (tidak dihormati). Oleh karena itu
adanya kehamilan itu sama halnya seperti tiada.
Sedangkan iddah hanyalah bagi air mani yang dihormati, walaupun karena
syubhat. Jadi wanita hamil i‟ddahnya melahirkan adalah kehamilan bagi
perempuan yang mempunyai iddah, yaitu suami atau yang mewathi’nya dengan
syubhat. Adapun wanita hamil karena zina tidak memiliki iddah. Oleh karena itu,
wanita tersebut tidak ada sesuatu yang menghalangi nikahnya. Shah dinikahkan,
dan boleh disetubuhi sebelum melahirkan.
Sedangkan wanita yang bersuami, yang ditalaq oleh suaminya atau
ditinggal mati oleh suaminya , jika ia hamil, maka ia tidak boleh nikah sebelum
selesai iddahnya, yaitu melahirkan. Jadi yang menghalangi pernikahan wanita ini,
bukan semata kehamilannya, tetapi iddahnya.
Untuk menguatkan pendapatnya dalam masalah ini, muallim Syafi’i
Hadzami merujuk ke dalam beberapa kitab, diantaranya sebagai berikut :
1. Kitab Mughni al-Muhtaaj karya Syeikh Muhammad al-Syarbini:
22
K.H. M Syafi’I Hadzami, Taudlihul Adillah, jilid IV., h. 225
68
ث ي ؾ ااذ و ا اى س ء ط اذ ن ؾ ح ى ، :ي د ؽ ز ل 23.إغ
Artinya : “Perhatian. Boleh menikahi dan menyetubuhi wanita yang hamil dari
zina, karena tidak dihormati”.
2. Kitab al- Jamal „ala al Syarh Manhaj karya Syaikhul Islam Zakariyya Al
Anshory,:
ي اىؽ سع ص ي اىش ذ ؽ ش ج اؼ ث ع دو خ ى داىس اه ز د ي ى د و ج اىؿ ت د ق دس ى ن
دددز ددد دددا ي دددع و دددام دددؿ اى ق ا ددد ا ا ؽ ق دددا لا دددث ي دددز ز نا ح س ص دددا ع
اا ى ج اىؿ اؾطء خ 24.ح ث ش ا و س ي ف ث ث ك ات ر ت ق ع ع ع ث ي ز ا
Artinya : “Ibarat Syeikh Muhammad Aromly (dan Ibnu Hajar): Dan jika tidak
diketahui suatu kehamilan dan tidak diperoleh jalan untuk
menghubungkannya kepada seorang suami, ditanggungkanlah
keadaan kehamilan itu dari zina, sebagaimana keduanya telah
menukilkannya dan mengikrarkannya, yakni dipandang dari segi sah
mengawininya bersamannya (kehamilan tersebut) dan kebolehan
menyetubuhi suami baginya. Adapun dari segi tidak menyiksanya
(jilid dan taghrib) ditanggungkan atas keadaannya karena syubhat”.
3. Kitab al Anwar li A‟mal al-Abrar, bagi Syeikh Yusuf Al-Ardabili, sebagai
berikut :
ز ر ن ى 25. ع ض و ث ق ا ؤ ط ى ز نا ر ص ااىؿ لااا
23
Syams al-Din Muhammad Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma‟rifah Ma‟ani
alfazh al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997), Jilid 3., h. 510 24
Zakariyya al-Anshari, al-Jamal Ala Syarh al-Manhaj, (Beirut: Dar Ihya al-Turats, tt. ).
Jilid 4., h. 457 25
Yusuf Ibn Ibrahim al-Ardabili, al- Anwar li A‟mal al-Abrar, (Kuwait: Dar al-Dhiya’,
2006), Juz II., h.209
69
Artinya : “Jika menikah seorang kepada perempuan yang hamil karena zina,
sahlah perkawinannya, dan boleh bagi suami menyetubuhinya
sebelum melahirkan ia akan kandungannya”.
Dan, banyak lagi kitab-kitab Fiqih Sjafi’i yang mengutarakan masalah
yang sama maksudnya dengan ibarat-ibarat tersebut. Dengan memperhatikan
semua pendapat di atas, maka seseorang akan memahami firman Allah dalam
Surat Al-Talaaq ayat 4 :
. ي ز ع ض ي ا ي خ ا ه ا ز ال خ ل ا
Artinya : “Dan wanita-wanita yang hamil, iddah mereka adalah melahirkan
kandungan......”
Kata-kata Ajalahunna yang berarti iddah mereka, sudah jelas, bahwa yang
dimaksudkan adalah mereka yang ditinggal mati, atau cerai oleh suami mereka
dan tidak meliputi orang yang hamil tanpa suami atau karena berzina.
Kesimpulan dari seluruh keterangan tersebut bahwa wanita yang hamil
karena zina, boleh dinikahkan baik kepada laki-laki yang menyebabkan
kandungannya, atau kepada orang lain. Dan sesudah anaknya lahir, tidak harus
dikawinkan lagi, karena sudah sah perkawinannya. Hanya sunnah dikawinkan lagi
karena ihtiyaath. Keluar dari qaul mereka yang tidak mengesahkannya.
B. Metode Istinbath Hukum KH. Syafi’i Hadzami
Pengambilan keputusan atau penetapan hukum dalam literatur Ilmu Ushul
Fiqih mengacu pada istilah istinbath. Secara etimologi, istinbath terambil dari
70
akar kata al-Nabth 26yang artinya adalah air yang keluar atau tampak pada saat
menggali sumur. Jadi, istinbath berarti mengeluarkan air dari dalam tanah (mata
air). Karena itu, secara umum istinbath digunakan dalam arti istikhraj.
Dengan demikian, dari pengertian secara bahasa ini kemudian dapat ditarik
pengertian istinbath secara istilah yang diartikan menurut al-Jurjani dengan
اا اىع اج ؽ ر ط ق 27حيس ؽ اىق ج ق اىػط ؽ ف ت ص ص اى
Artinya : "Mengeluarkan hukum-hukum dari nash-nash dengan ketajaman nalar
dan kemampuan yang optimal"
Penggalian terhadap suatu persoalan hukum dilakukan berdasarkan cara-
cara dan mekanisme yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul. Oleh karena
itu, sebelum menentukan metode pengambilan keputusan hukum Syafi'i Hadzami,
terlebih dahulu akan diuraikan secara singkat metode dan mekanisme istinbath
hukum yang dibuat oleh para ulama ushul.28
1. Metode bayani
Metode bayani ini digunakan untuk menetapkan hukum berdasarkan nash-
nash al Qur’an dan hadis Nabi saw. Hal ini penting mengingat al-Qur’an dan
hadis adalah sumber utama hukum Islam, dan tugas penting seorang mujtahid
adalah bahwa ia dapat menguasai kandungan hukum yang terdapat dalam dua
sumber hukum tersebut. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman mengenai ushlub
26
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Krapyak: Pesantren al-Munawwir,
2000), h. 1476 27
Ali Ibn Muhammad al-Sayyid al-Syarif al-Jurjani, Mu‟jam al-Ta‟rifat (Kairo: Dar al-
Fadhilah, 2000), h.22
28
Hal ini menurut Ma’ruf al-Dawalibi sebagaimana yang diuraikan oleh Wahabah al-
Zuhaili, Ushul FIqh al-ISlami (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), juz 2., h. 1040
71
bahasa Arab dan penunjukan lafadz atas suatu arti. Dalam hal ini, para ulama
ushul telah membuat kaidah-kaidah kebahasaan atau semantik untuk memahami
redaksi hukum dari nash-nash syara'. Kaidah-kaidah kebahasaan tersebut
setidaknya dapat dikategorisasi dalam dua bagian besar, yaitu:
a. Penunjukan (dilalah) nash terhadap makna. Bagian ini mencakup
pembahasan tentang khas, ‘am, musytarak. hakikat, majaz, dan lain-lain
dilihat dari segi bahwa lafadz- lafadz tersebut dapat memberikan faedah
atas suatu makna.
b. Penunjukan (dilalah) nash terhadap hukum syara’ secara langsung. Bagian
ini mencakup pembahasan tentang lafadz- lafadz amr dan lafadz- lafadz
nahi dilihat dari segi bahwa lafadz- lafadz amr dapat memberikan faedah
wajib dan lafadz- lafadz nahi dapat memberikan fiaedah haram, sedangkan
wajib dan haram adalah hukum syara.29
2. Metode Qiyasi
Metode qiyasi digunakan untuk menetapkan suatu persoalan hukum yang
tidak terdapat penjelasan hukumnya secara pasti dalam nash al-Qur'an dan hadis
berdasarkan hukum yang telah ada dalam nash al- Qur'an dan hadis karena adanya
persamaan ‘illat.
Metode ini didasarkan pada anggapan bahwa ketentuan-ketentuan yang
diturunkan Allah swt. untuk mengatur kehidupan manusia mempunyai alasan
logis dan hikmah yang ingin dicapainya. Allah swt tidak menurunkan ketentuan
dan aturan tersebut secara sia-sia tanpa suatu tujuan. Secara umum, tujuan
29
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, jilid I, h.198
72
tersebut adalah untuk tercapainya kemashlahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Namun demikian, secara lebih khusus, setiap perintah dan larangan mempunyai
alasan logis dan tujuan masing-masing. Sebagian dari padanya disebutkan
langsung di dalam al-Qur'an atau hadis, sebagian lagi diisyaratkan saja., dan ada
pula yang harus direnungkan dan dipikirkan terlebih dahulu. Alasan logis inilah
yang kemudian dinamakan 'illat Dengan demikian, metode qiyasi ini adalah
metode penalaran yang berupaya menggunakan 'illat sebagai alatnya.
Dalam melakukan metode qiyasi ini, perlu dipenuhi beberapa unsur dan
persyaratan, yaitu: Pertama, ashl (maqis 'alaihi), yaitu masalah pokok yang
mempunyai ketentuan hukumnya secara jelas berdasarkan dalil nash atau ijma'.
Kedua, far‟un (maqis), yaitu masalah baru yang tidak ada ketentuan hukumnya
dalam nash atau ijma'. Ketiga, ‘illat, yaitu sifat atau alasan hukum yang
ditemukan dalam hukum 'ashl dan betul -betul ditemukan pada far’un. Keempat,
hukm al-ashl, yaitu hukum syara yang terdapat dalam nash pada ashl.30
3. Metode Istislahi
Metode istislahi ini digunakan untuk menetapkan suatu persoalan hukum
yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan hadis berdasarkan mashlahah. Metode
ini adalah perpanjangan atau kelanjutan dari metode qiyasi. Sebab, sama-sama
didasarkan pada anggapan bahwa Allah swt. menurunkan aturan dan ketentuan
untuk kemashlahatan manusia. Dalam menggunakan metode ini harus
diperhatikan tujuan-tujuan syari'at (maqashid al syari‟ah) yang ingin dicapai dan
30
Abd al-Wahhab al-Khallaf, Ilm Ushul Fiqh , (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1996), h.58
73
dipertahankan oleh syari'at yang meliputi aspek dharuriyah (primer), hajiyah
(sekunder), dan tahsiniyah (tersier).31
Pembagian dan pembedaan tiga kategori ini hanyalah berdasarkan bobot
dan prioritas kepentingannya. Syari'at menginginkan agar kebutuhan- kebutuhan
tersebut dapat terpenuhi dan seharusnya tidak ada pertentangan antara ketiga
kategori ini, karena yang lebih rendah diperlukan untuk menunjang yang lebih
tinggi. Namun demikian, dalam kenyataan sering muncul pertentangan antara
ketiga kategori ini karena adanya perbedaan pandangan manusia. Menghadapi hal
ini, maka kategori pertama harus lebih didahulukan dan dimenangkan dari
kategori yang kedua dan ketiga, begitu pula halnya antara kategori yang kedua
harus dimenangkan dari pada, kategori yang ketiga.
Melihat keputusan-keputusan hukum Syafi'i Hadzami dalam masalah -
masalah di atas dalam hubungannya dengan metode istinbath hukum Islam, maka
dapat diketahui bahwa Syafi’i Hadzami lebih banyak mengunakan metode bayani
dari pada menggunakan qiyasi atau istislahi. Namun demikian, dalam
mencantumkan dalil - dalil al-Qur’an dan hadis sebagai dalil penetapan hukum
dalam metode bayani, ia tidak memaparkan pendapat-pendapat para mufassir dan
muhaddis mengenai dalil yang ia sebutkan, seperti dalil tentang menikah dengan
wanita ahl al-kitab yang melahirkan pendapat pro dan kontra di kalangan ulama.
Beliau hanya mengutip pendapat ulama sesuai yang dibutuhkan tanpa
menjelaskan pendapat lain dalam kitab yang membahas ayat yang sama. Begitu
pula dalam pemaknaan Hadits beliau tidak menjelaskan mengenai asbab al-wurud
31
Wahbah al-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Damasykus: Dar al-Fikr, 1999), h. 91-
93
74
hadits tersebut. Beliau hanya mengutip adanya hadits yang berkaitan dengan
masalah tersebut.
Dalam hal istislahi dan qiyasi beliau tidak menjelaskan suatu aspek hukum
berdasarkan nilai kemaslahatan ataupun menggunakan model qiyas dengan
menyatakan bahwa hukum yang ada dapat dilihat dari aspek qiyas yang
disamakan dalam hal ilatnya. Hal ini membuktikan bahwa menurut beliau semua
permasalahan sosial masyarakat sebenarnya sudah ada jawabannya dalam sumber
hukum Islam. Hanya saja sumber hukum tersebut salah satunya adalah pendapat
ulama yang ahli ijtihad.
Pada aspek lain, Syafi'i Hadzami, di akhir penyelesaian hukumnya selalu
mengambil justifikasi jawaban hukumnya dari pendapat-pendapat para ulama
yang tersebar dalam kitab-kitab karangan mereka. Hal ini dilakukannya untuk
memperkuat bahwa jawaban-jawaban hukumnya adalah identik dengan pendapat-
pendapat para ulama terdahulu sekaligus untuk membuktikan bahwa jawaban-
jawaban hukumnya mempunyai sumber referensi yang jelas. Oleh karena itu,
melihat mekanisme jawaban - jawaban hukum Syafi'i Hadzami tersebut, maka
dapat juga dikatakan bahwa metode pengambilan keputusan hukumnya adalah
menyandarkan diri pada pendapat-pendapat para ulama terdahulu dalam berbagai
kitab mereka yang berhaluan madzhab Imam Syafi'i, sekalipun dalam beberapa
masalah ia menggunakan logikanya sendiri yang didasarkan pada kaidah - kaidah
fiqhiyyah, ayat - ayat al-Qur’an dan hadis - hadis Nabi saw.
Dari jawaban-jawabannya, dapat dilihat bahwa Syafi'i Hadzami lebih
sering menyandarkan keputusan hukumnya pada ibarat-ibarat kitab yang disusun
75
oleh para ulama dari pada ia menjawab dengan menggunakan analisa logikanya
sendiri. Ketika suatu kasus atau permasalahan ditemukan dalam ibarat suatu kitab
maka ia mencukupkan diri pada keterangan ibarat kitab tersebut, tanpa terlebih
dahulu ia menjelaskan atau menganalisa keputusan hukum tersebut: secara lebih
kritis dari berbagai sudut pandang.
Dengan demikian, kalau diamati metode istinbath hukum yang dilakukan
oleh Syafi'i Hadzami, dalam perbandingannya dengan metode istinbath hukum
yang dilakukan Bahsul Masail NU, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
metode istinbath hukumnya adalah sama, yaitu merujuk pada keterangan-
keterangan dan pendapat-pendapat para ulama yang tertuang dalam kitab-kitab
karangan mereka.
Melihat kenyataan di atas dapat dipastikan bahwa dengan kuatnya
konsistensi Syafi'i Hadzami sebagai ulama NU, maka ia dapat disebut sebagai
golongan ulama. tradisionalis, sebagaimana dengan ulama-ulama NU yang
lainnya.
C. Mazhab Yang Beliau Ikuti
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipastikan bahwa KH Syafii
Hadzami adalah pengikut mazhab Syafii, dan bukan pengikut Imam Syafii secara
murni. Jika dilihat dari beberapa sumber referensi yang dilihat dalam putusan
hukum mengenai keluarga ahwal Syakhshiyyah sebagaimana yang telah dibahas
di atas, maka dapat diketahui ada beberapa contoh sumber referensi yaitu antara
lain Zakaria al-Anshari, Imam al-Syafii sendiri, al-Thabari Yusuf Ibn Ibrahim al-
Ardabili, Abu Ishaq al-Syirazi, Abd Allah Ibn Hijazi Ibn Ibrahim al-Syarqawi,
76
sampai pada Imam Nawawi al-Bantani. Para Imam tersebut dikutip berdasarkan
aspek yang melatarbelakangi secara langsung atau tidak langsung. Aspek yang
secara langsung misalnya ketika ada orang menanyakan suatu data yang ada
dalam kitab Sullam al-Taufiq dengan syarahnya yang ditulis oleh Imam Nawawi
Banten maka beliau mengutip ulang pendapat tersebut. Sementara aspek tidak
langsung adalah permasalahan yang diminta jawaban ada dalam kitab tersebut.
Selain itu, KH. Syafi’i Hadzami juga mengutip pendapat hanya yang berkaitan
dengan tidak melihat hukum lain dari ijtihad Ulama Syafiiyah lainnya.
Imam Syafii dengan madzhabnya berkembang dengan pesat di dunia
Islam. Perkembangan tersebut antara lain berada di Mesir yang perkembangannya
mencapai puncak dan jumlah pengikutnya terbanyak dibanding dengan madzhab
lainnya.32 Hal ini didukung oleh para penguasa yang berkuasa pada saat itu,dan
bahkan sampai pemimpin besar al-Azhar sebagian besar adalah bermazhab
Syafii.33 Madzhab ini juga berkembang sampai ke Yaman, Hijaz, Malibar (Hindia
Selatan), Sudan dan lain sebagainya termasuk Indonesia. Khusus perkembangan
madzhab Syafii di Indonesia dapat diketahui sejak awal berkembangnya Islam di
Indonesia. Ibn Bathuthah mencatat bahwa Sultan Malik al-Zhahir adalah
bermadzhab Syafii. Selain itu, pada perkembangan selanjutnya ada banyak sekali
32
Hal ini adalah menurut Ibn Khaldun, sedangkan menurut Muhammad Timur pertama
adalah Imam Syafii dan selanjutnya adalah Imam Malik. Untuk keterangan lebih lanjut ada pada,
Abd al-Rahman Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006), 206 33
Ahmad Timur Basya, Nazhriyah Tarikhiyyah fi Huduts al-Madzahib al-Araba‟ah
(Beirut: Dar al-Qadir 1990), h. 73-74
77
pelajar Indonesia yang belajar di daearah Hijaz yang mempelajari fiqh Madzhab
Syafii seperti Imam Nawawi al-Bantani dan Mahfudz al-Tirimsi.34
Bahkan jauh sebelum munculnya Ulama di atas yang mempengaruhi pola
madzhab, para wali penyebar Islam di Jawa juga dikenal dengan pengikut
madzhab Syafii, walaupun ada sebagian yang mengikuti madzhab Syi’ah
Zaidiyah. Indikasi mengikuti madzhab Syafii dapat dilihat dari Sunan Bonang
yang menulis kitab yang merupakan gubahan dari kitab Ihya Ulum al-Din karya
al-Ghazali. Sedangkan Sunan Gunung Jati sebenarnya adalah pengikut Syiah
Zaidiyah yang dalam bermazhab juga mendekati mazhabnya Imam Syafii.35
Oleh karena itu, wajar jika KH. Syafii Hadzami adalah pengikut murni
dari madzhab Syafii dengan menggunakan pendekatan madzhabnya. Sebab beliau
adalah besar dan belajar di kalangan ulama bermadzhab Syafii, baik Syafii dari
Hadramaut dan Hijaz ataupun memang Syafii yang sudah berkembang di
Indonesia sebelumnya.
Selanjutnya, Madzhab Syafii terbagi menjadi beberapa generasi yang satu
sama lain mempunyai putusan hukum yang mungkin saling menguatkan atau
berbeda atau bahkan ada hukum baru yang berkaitan dengan masalah masyarakat.
Dalam hal ini peneliti ingin melihat kecenderungan KH. Syafii Hadzami dalam
bermazhab tersebut. Ada beberapa teori yang menyatakan tentang pembagian
periodesasi dalam mazhab Syafi’i, dan ulama berbeda pendapat menganai hal
tersebut. Menurut Dr. Muhammad Ibrahim dalam bukunya al-Mazhab „inda
34
Biografi kedua tokoh tersebut dan hubungannya dengan madzhab Syafii dapat dilihat
dalam, Abdurahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi (Yogyakarta:
LKiS,2004), h. 95-dan seterusnya. 35
Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Tela‟ah Atas Metode Dakwah
Walisongo,(Bandung Mizan, 1998), h. 196
78
Syafi‟iyah menyatakan bahwa perkembangan mazhab ini dibagi menjadi empat
periode. Menurut Dr Yusuf Umar al-Qawasi dalam bukunya al-Madhkal ila
mazhab Syafi‟i membagi periode mazhab ini menjadi enam periode.36
1. Periode Penciptaan Mazhab
Pada masa ini, mazhab ini baru dibuat oleh Imam Muhammad bin Idris bin
Syafi’ atau yang terkenal dengan sebutan Imam Syafi’i. Masa ini dibagi menjadi
dua periode, yaitu periode Baghdad dan periode Mesir. Mazhab Qodim adalah
istilah yang dipakai oleh ulama untuk menjelaskan kumpulan fatwa fikih dan
istinbath hukum dari imam Syafi’i ketika beliau berada di Baghdad. Pembentukan
Mazhab ini berawal ketika imam Syafi’i selesai melakukan pengembaraan
ilmunya dari Irak dan tanah Hijaz (Makkah, dan ketika di Madinah Beliau belajar
kepada imam Malik). Lalu beliau datang ke Baghdad dan berguru kepada
Muhammad ibn Hasan al-Syaibani, seorang murid terkemuka dari imam Hanafi.
Disini beliau banyak belajar mengenai penggunaan ra‟yu dalam ijtihad.
Imam Syafi’i berhasil menyatukan dan menggabungkan kedua metodologi
fikih, yaitu fikih Hijaz –yang mempunyai karakteristik penggunaan hadits-hadits
shohih dan amal ahli Madinah dalam berijtihad, tanpa adanya penggunaan ra‟yu-,
dan fikih Irak –yang mempunyai karakteristik pengoptimalan penggunaan ra‟yu
dalam berijtihad-. Hal ini adalah suatu hal yang luar biasa yang belum pernah
dilakukan oleh ulama fikih sebelumnya.
36
Akram Yusuf al-Qawasi, al-Madkhal ila Madzhab al-Imam al-Syafii, (Oman: Dar al-
Nafais, 2003), 296
79
Dalam periode ini, beliau juga meletakkan batu pertama kodifikasi ilmu
Usul fikih dalam kitabnya Ar-Risalah yang selanjutnya akan dijadikan pijakan
oleh ulama sesudahnya untuk dasar-dasar metodologi ijtihad hukum.
Sedangkan Mazhab Jadid adalah madzhab yang beliau ijtihadkan ketika
di Mesir. Ada beberapa alasan yang mengharuskan imam Syafi’i meninggalkan
Baghdad dan singgah di negara Mesir, diantaranya:
1. Merebaknya imperialisme Prancis di Baghdad, ditambah lagi condongnya
ideologi Khalifah Ma’mun ar-Rasyid –Kholifah Abbasiyah- kepada
Mu’tazilah.
2. Ingin berguru kepada imam Laits ibn Sa’ad, yang mana beliau sanjung
sebagimana yang dikutip dari maqolahnya‘’Ia –imam Laits- lebih faqÎh
dari imam Malik, namun mengapa orang-orang tidak berguru
kepadanya?’’. Namun sayangnya beliau tidak sempat bertemu dan berguru
kepada imam Laits, dikarenakan Ia meninggal ketika imam Syafi’i baru
dalam perjalanan ke Mesir.
3. Memenuhi undangan Abbas ibn Abdillah al-Hasyimi untuk menyebarkan
ilmu dan Mazhabnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa periode pertama ini adalah periode awal
penciptaan Mazhab ditangan imam Syafi’i, yang dibagi menjadi dua periode
mazhab, yaitu mazhab Qodim di Baghdad dan mazhab Jadid di Mesir. Periode
awal ini berlangsung sepanjang hidup beliau sampai beliau berpulang ke rahmat
ilahi dan dimakamkan di Mesir.
80
2. Periode Pemindahan Mazhab.
Pemindahan mazhab adalah pemindahan ajaran mazhab sepeninggal imam
Syafi’i pada tahun 204 H, yang penyebarannya dilanjutkan oleh murid-muridnya
yang berguru langsung kepadanya. diantara murid-muridnya yang terkenal yaitu:
a) Abu Ya’kub Yusuf ibn Yahya al-Buthi (wafat tahun 231 H)
b) Abu Ibrahim Ismail ibn Yahya al-Muzani, (wafat tahun 264 H)
mempunyai kitab yang terkenal yaitu Mukhtashor al-muzani.
c) Ar-Robi’ ibn Sulaiman al-Marodi (wafat tahun 270 H)
Jadi, periode kedua ini yaitu periode pemindahan mazhab terjadi melalui
dua cara, yaitu melalui murid-murid imam Syafi’i, dan melalui kitab yang beliau
tulis.
3. Periode Kodifikasi Mazhab
Melihat banyaknya karangan kitab dalam mazhab Syafi’i mengharuskan
murid-muridnya untuk memproses dan mengkodifikasikan kitab-kitab tersebut
sehingga akan bisa dipelajari oleh generasi selanjutnya sebagai sebuah tradisi
keilmuan turats yang sangat berharga bagi perkembangan keilmuan islam,
khususnya dalam ranah fikih. Lalu memfilter dan menjauhkan mazhab dari
beberapa pemikiran fikih yang syadz –langka, tidak masyhur, dan menjelaskan
fatwa-fatwa fikih yang mu‟tamad –terjamin kebenarannya- di semua bab yang ada
dalam ilmu fikih. Sehingga kitab turots dalam mazhab Syafi’i yang kita pelajari
saat ini benar-benar dapat dipertanggung jawabkan keaslian kebenarannya, tanpa
ada keraguan sedikitpun.
81
Periode ketiga ini digagas oleh dua ulama besar dan terkenal dalam fikih
mazhab Syafi’i, yaitu: imam Rofi’i dan imam Nawawi. Berikut ulasan singkat
mengenai kedua ulama tersebut.
4. Periode Peneguhan Eksistensi Mazhab
Periode ini adalah periode terakhir dalam mazhab Syafi’i. Dalam periode
ini eksistensi mazhab Syafi’i benar-benar dimunculkan sehingga orang-orang
mengenal mazhab Syafi’i. Periode ini dipelopori oleh dua ulama besar, yaitu
Imam al-Haitami dan Imam al-Romli.
Berdasarkan data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan
KH Syafii Hadzami dalam bermadzhab. KH. Syafii Hadzami dalam penetapan
hukum ini pernah mengutip pendapat Imam Syafii dalam kitab al Umm. Artinya
beliau sebenarnya juga melihat secara utuh pemikiran Imam al-Syafii dalam
madzhab Qadim. Pengambilan dari kitab al-Umm ini dikarenakan kitab-kitab fiqh
lainnya memang tidak ditemukan pada saat ini. Kitab tersebut adalah induk dari
segala kitab fiqh Syafii. Selain beliau juga mengutip dari kitab Mughni Muhtaj,
al-Muhadzdzab dan sampai pada kitab fath al-Qarib
Hal ini menunjukkan bahwa beliau dalam menentukan ulama madzhab Syafii
tidak memilah dan menentukan dari generasi mana, akan tetapi semua kitab yang
terjangkau dan bermazhab Syafii dijadikan landasan sumber penentukan
hukumnya. Beliau dalam menjelaskan hal itu di dasarkan pada sumber hukum
yang dicari dan tidak berdasarkan aspek tahun atau generasi pemikirannya.
Artinya, KH. Muhammad Syafii Hadzami tidaklah hanya merujuk dari satu kitab
82
saja, akan tetapi berbagai macam rujukan yang sesuai dengan masalah yang
dibahas.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. K.H. M. Syafi’i Hadzami adalah tokoh asli dari kalangan masyarakat
Betawi yang mempunyai keilmuan dalam bidang fikih yang sangat
mumpuni. Pendapat KH. Syafi’i Hadzami mengenai pernikahan beda
agama dengan tegas beliau menyatakan tidak sah pernikahannya. Menurut
beliau, ahli kitab adalah perempuan Israiliyyah yang meyakini kitab Taurat
dan Injil yang asli, sedangkan orang-orang yang masuk ke dalam agama
Yahudi dan Nasrani yang bukan berasal dari Israiliyyah (Bani Israil)
tidaklah disebut ahl al-kitab. Berdasarkan keterangan Imam Syafii yang
ada di dalam kitab al-Umm tersebut, maka KH Syafi’i Hadzami
menyatakan bahwa orang-orang non muslim dari bangsa Indonesia dan
bangsa-bangsa lain yang bukan Israiliyyah tidaklah termasuk golongan ahl
al-kitab, terlebih lagi kitab-kitab mereka sudah tidak asli lagi sebagaimana
yang diturunkan kepada Nabi Musa dan Isa. Sedangkan mengenai
pernikahan wanita hamil KH. Syafi’i Hadzami berpendapat bahwa wanita
yang hamil karena zina, boleh dinikahkan baik kepada laki-laki yang
menyebabkan kandungannya, atau kepada orang lain. Dan sesudah
anaknya lahir, tidak harus dikawinkan lagi, karena sudah sah
perkawinannya. Hanya sunnah dikawinkan lagi karena ihtiyaath. Keluar
dari qaul mereka yang tidak mengesahkannya.
84
2. Dalam ijtihad menentukan hukum Islam, KH Syafi’i Hadzami
menggunakan metode bayani. Artinya, dalam menentukan hukum Islam
beliau lebih banyak menggunakan penjelasan dari al-Quran dan Hadits
serta penjelasan para ulama.
3. KH. Syafi’i Hadzami tidak pernah berijtihad sendiri, akan tetapi selalu
menggunakan penjelasan ulama dari madzhab Syafi’i. Dalam menentukan
madzhab Syafi’I, beliau tidak memilih generasi (thabaqat) akan tetapi
langsung mencari data yang sesuai permasalahan dibutuhkan masyarakat.
Pengunaan madzhab Syafi’i sebagai dasar penentuan hukum tidak terlepas
dari pendidikan beliau sejak kecil dan tradisi masyarakat Jakarta yang
mengikuti madzhab Syafi’i, serta di Negara kita Indonesia mayoritas
menggunakan madzhab Syafi’i.
B. Saran
Kajian mengenai tokoh lokal adalah sesuatu yang penting. Sebab, dengan
memahami hal itu kita dapat memperoleh inspirasi dalam mengkajinya. Oleh
karena itu tokoh lokal seperti KH. Syafii Hadzami adalah tokoh yang dapat
dijadikan model penelitian lebih lanjut untuk mengenal tokoh lokal yang lain.
Penelitian ini masih banyak kekurangan dan dapat dijadikan penelitian
selanjutnya seperti mengenai dalam ilmu kalam dan tradisi dakwah yang beliau
lakukan.
85
Bagi pemerintah indonesia mengenang pemikiran tokoh lokal tidak cukup
hanya membuat nama jalan, akan tetapi harus juga tetap mengkaji pemikiran dan
karya-karya mereka.
86
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad ibn, al-Mustadrak ‘ala al-Shahiani, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiah, 1990
Akram Yusuf al-Qawasi, al-Madkhal ila Madzhab al-Imam al-Syafii, Oman: Dar
al-Nafais, 2003
Anshari, Zakariyya al-, al-Jamal Ala Syarh al-Manhaj, Beirut: Dar Ihya al-Turats,
tt.
Ardabili, Yusuf Ibn Ibrahim al-, al- Anwar li A’mal al-Abrar, Kuwait: Dar al-
Dhiya’, 2006
Bantani, Muhammad Nawawi al-, Mirqat Shu’ûd al- Tashdiq fi Syarh Sullam al-
Taufiq, Jakarta: Dar al-Kutub al-Islami, 2013
Basya, Ahmad Timur, Nazhriyah Tarikhiyyah fi Huduts al-Madzahib al-
Araba’ah, Beirut: Dar al-Qadir 1990
Baththal Ibn Ahmad Ibn Sulaiman Ibn Baththal al-Rakbi, al-Nazhm al-
Musta’dzab fi Tafsir Gharib Alfazh al-Muhadzdzab, Makkah al-
Mukarramah: al-Maktabah al-Tijariyah,1991
Hadzami, Muhammad Syafii, ‘Ujalah Fidyah Shalat, Jakarta Yayasan al-Asyirat
al-Syafi’iyah 1977 H
Hadzami, Muhammad Syafii, Mathmaf al-Ruba fi Ma’rifati al-Riba, Jakarta:
Yayasan al-Shirat al-Syafi’iyyah, 1397 H
Hadzami, Muhammad Syafii, Qabliyah Jum’at, Jakarta Yayasan al-Asyirat al-
Syafi’iyah, tt
Hadzami, Muhammad Syafii, Qiyas adalah Hujjah Syar’iyyah, Jakarta Yayasan
al-Asyirat al-Syafi’iyah, tt
Hadzami, Muhammad Syafii, Shalat al-Tarawih, Jakarta Yayasan al-Asyirat al-
Syafi’iyah
Hadzami, Muhammad Syafii, Sullam al-‘Arsy fi Qira’at al-Warsy, Jakarta
Yayasan al-Asyirat al-Syafi’iyah 1376 H
87
Hadzami, Muhammad Syafii, Syafa’ah fi Ijtinab Muraghamah al-Syar’iyyah,
Jakarta Yayasan al-Asyirat al-Syafi’iyah, tt
Hadzami, KH. Syafii, Taudlihul Adillah, Kudus: Menara Kudus, 1982
Ibn Khaldun, Abd al-Rahman, al-Muqaddimah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2006
Ibn Qudamah, Abu Muhammad Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad, al-Mughni,
Saudi Arabia, Dar Alam al-Kutub,1417H/1997M
Ibn Rusyd, Ahmad, Bidayah al-Mujtahid wa nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar
al-Fikr, 1990
Jurjani, Ali Ibn Muhammad al-Sayyid al-Syarif al-, Mu’jam al-Ta’rifat, Kairo:
Dar al-Fadhilah, 2000)
Jurjawi, Ali al-, Hikmat al-Tasyri’ wa Falsaftuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1980
Jusry, Abdurrahman al-, Al-Fiqh ‘Ala Mazahibul Arba‟ah, Beirut: Darul Haya‟
al-Turb al-Araby, 1969
Khallaf, Abd al-Wahhab al-, Ilm Ushul Fiqh , Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1996
Mas’ud, Abdurahman, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi,
Yogyakarta: LKiS, 2004
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir, Krapyak: Pesantren al-
Munawwir, 2000
Nawawi, Muhyidin ibn Syaraf al-, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Beirut: Dar
al-Fikr, 1994
Sabiq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1980
Saksono, Widji, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah
Walisongo, Bandung Mizan, 1998
Shihab, M. Quraish, Perempuan: dari Cinta Sampai Seks dari Nikah Mut’ah
sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama Sampai Bias Baru, Jakarta:
Lentera hati, 2006
Syafi’I, Muhammad Ibn Idris al-, al- Umm, Beirut: Dar al-Wafa’, 2001
88
Syarbini, Syams al-Din Muhammad Khatib al-, Mughni Muhtaj ila Ma’rifah
Ma’ani alfazh al-Minhaj, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997
Syarqawi, Abd Allah Ibn Hijazi Ibn Ibrahim al-, Hasyiah al-Syarqawi, Beirut:
Dar al-Fikr, 1987
Syirazi, Abu Ishaq al-, al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i, (tahqiq
Muhammad al-Zauhaili), Damaskus: Dar al-Qalam, 1996
Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial; Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi
hingga Ukhuwah, Bandung; Mizan, 1995
Yahya, Ali, KH. Muhammad Syafi’i Hadzami : Sumur Yang Tak Pernah Kering,
Jakarta; Yayasan Al-Syirotus Syafi’iyah 1999
Zarqa, Mustafa Ahmad al-, al-Fiqh al-Islam fi Thaubihi al-Jadid: al-Madkhal al-
Fiqih al-Amm, Beirut: Dar al Fikr, 2010
Zuhaili, Wahbah al-, al-Wajiz fi Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 2006
--------------------- Tafsir al-Munir, Beirut: Dar al-Kutub, 2005
---------------------, Usul al-fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1997