Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 1
PENGELOLAAN TRENGGILING (Manis javanica Desmarest 1822) DI HABITAT
IN-SITU DAN EX-SITU
Novriyanti
([email protected] / YM: beautifulcarealways)
Abstrak
Pengelolaan trenggiling belum banyak dilakukan, baik secara in-situ maupun
secara ex-situ. Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) merupakan satwa yang
memiliki manfaat ekologi dan ekonomi tinggi sehingga dalam perdagangannya sangat
diatur oleh PHKA dan scientific authority-nya. Secara ekologi, trenggiling merupakan
satwa yang bermanfaat dalam upaya penggemburan tanah. Secara ekonomi,
trenggiling termasuk sumberdaya alam hewani yang memiliki nilai jual tinggi
dipasaran internasional. Permintaan terhadap satwa ini terus meningkat. Hal ini
menuntut diperlukannya suatu pengaturan terhadap populasi satwa ini dengan
mengetahui pengelolaannya secara in-situ maupun ex-situ. Di dalam CITES, status
perdagangan trenggiling termasuk kedalam Lampiran 2 (Appendix 2) yang berarti
dilarang diperdagangkan secara bebas, kecuali keturunan kedua dan seterusnya.
Namun dengan maraknya perdagangan illegal dan tingginya permintaan terhadap
satwa ini, beberapa anggota CITES bersepakat untuk memasukkan trenggiling ke
dalam list Lampiran 1 CITES. Meskipun demikian, upaya pengelolaan terhadap satwa
ini baik secara in-situ di dalam kawasan-kawasan konservasi belum banyak dilakukan.
jika pun ada, pengelolaan tersebut tidak fokus pada upaya peningkatan populasi
khusus trenggiling saja. Disamping itu, data dan informasi mengenai populasi
trenggiling di alam juga belum banyak tersedia. Sulitnya perkembangbiakan satwa ini
dipenangkaran menjadi salah satu alasan tidak banyak dibangun penangkaran
terhadap satwa ini. Didukung pula oleh pola reproduksi yang cukup lambat dan sulit
dalam pemilihan pasangan menjadikan pengelolaan trenggiling secara ex-situ banyak
difokuskan pada pemeliharaan pakan dan kandang untuk membantu reproduksinya.
Kata kunci: Trenggiling, konservasi in-situ, konservasi ex-situ, perdagangan.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Trenggiling merupakan salah satu satwa dilindungi yang dipercaya dapat
menjadi penawar bagi penyakit tertentu oleh masyarakat China, terutama sisik dan
dagingnya (Hertanto 2010). Sebagian kalangan meyakini trenggiling dapat dijadikan
sebagai obat kuat dan makanan bagi masyarakat di pedesaan atau pedalaman di
Kalimantan Timur (Zainuddin 2008). Namun dalam pelaksanaan pemanfaatannya
cukup sulit dilakukan. Sebagai satwa yang dilindungi (Appendix II CITES), trenggiling
dilarang diperdagangkan kecuali dengan peraturan dan kuota tertentu yang ditetapkan
oleh management authority (PHKA) dan scientific authority (LIPI). Menurut Kang and
Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 2
Phipps (2003) dalam Shepherd (2008) ada wacana untuk mentransfer status
trenggiling dari Appendix II CITES menjadi Appendix I CITES. Kondisi ini semakin
memperkuat bahwa trenggiling dilarang untuk diperdagangkan. Meskipun demikian,
perdagangan secara ilegal tetap terjadi dan permintaan terhadap satwa ini terus
meningkat. Untuk itu, suplay trenggiling harus tersedia secara kontinyu dan
berkelanjutan.
Belum banyak ditemukan pelaporan mengenai pengelolaan satwa ini baik
secara in-situ maupun ex-situ. Namun demikian, telah ada upaya penelitian mengenai
trenggiling mulai dari morfologi, fisologi, dan beberapa data mengenai perilaku, dan
reproduksi. Hanya saja, aktivitas pengelolaan secara keseluruhan dan contoh-contoh
pengelolaan secara umum belum banyak diketahui. Di Sumatera Utara, khususnya
daerah Sibolga dan Binjai, telah dilakukan upaya penangkaran trenggiling secara
otodidak oleh seorang pengusaha China asal Medan. Penangkaran ini berdiri dengan
motif ingin mengatasi maraknya perburuan trenggiling, membantu mengontrol
perdagangannya di Sumatera Utara secara illegal dengan membeli trenggiling hasil
tangkapan masyarakat setempat. Akan tetapi, dalam prakteknya, kegiatan
penangkaran yang dikelola oleh UD. Multi Jaya Abadi tersebut belum banyak
dilaporkan hasilnya. Termasuk penelitian Bismark (2009) mengenai kajian trenggiling
secara ex-situ pun tidak banyak melaporkan kegiatan pengelolaan. Oleh karena itu,
diperlukan suatu kajian atau sebuah bentuk studi kasus yang khusus mempelajari dan
mencari data dan fakta mengenai pengelolaan trenggiling baik di habitat alaminya (in-
situ) maupun secara ex-situ.
Tujuan
Berlatar belakang permasalahan diatas, kajian ini penting dilakukan untuk
mengetahui berbagai aktivitas pengelolaan trenggiling (Manis javanica Desmarest,
1822) di kawasan konservasi in-situ maupun ex-situ.
Manfaat
Dengan diketahuinya aspek-aspek yang berkaitan dengan pengelolaan
trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di kawasan konservasi in-situ maupun
ex-situ, data dan fakta maupun informasi yang diperoleh dapat dijadikan sebagai
panduan dan inspirasi dalam pengelolaan dan konservasi satwaliar khususnya
trenggiling sehingga dapat dilakukan upaya yang tepat, efektif, dan efisien dalam
pengelolaan.
BIO-EKOLOGI
Taksonomi dan Kekerabatan
Trenggiling pernah diklasifikasikan dengan berbagai bangsa/ordo satwa seperti
Xenarthra yang tergolong pemakan semut (anteater) yaitu sloths (Bradypus
variegates) dan armadillos (Ordo Cingulata, Suku Dasypodidae, Marga Dasypus). Akan
tetapi pembuktian secara genetik ternyata tidak ada hubungan kekerabatan yang
dekat walaupun sama-sama sebagai satwa karnivora (Murphy et al. 2001 dalam Farida
Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 3
2010). Beberapa ahli Paleontologi mengklasifikasikan trenggiling ke dalam bangsa
Cimolesta bersama dengan beberapa kelompok satwa yang telah punah.
Trenggiling merupakan satwa yang berasal dari Kingdom animalia; Filum:
Chordata; Class: Mammalia; Order: Pholidota; Family: Manidae; Genus: Manis; dan
Spesies: Manis javanica Desmarest, 1822. Trenggiling dapat dikatakan memiliki
kedekatan fisiologi dan morfologi dengan satwa yang tidak bergigi. Hal ini dikarenakan
dalam adaptasi hidupnya, terutama dalam proses perolehan pakan trenggiling hanya
menggunakan lidahnya.
Morfologi
Berdasarkan penampakan fisiknya, trenggiling betina lebih pendek dari
trenggiling jantan (Payne dan Francis 1998 dalam Farida 2010) (gambar 1).
Trenggiling memiliki moncong dan hidung yang merupakan daerah sensitif dan aktif.
Berdasarkan analisis skeleton dan limbus alveolaris, moncong hidung yang panjang
dan lubang mulut yang sempit menandakan bahwa otot pengunyah tidak berkembang
dengan baik sehingga makanan yang masuk kedalam mulutnya akan langsung ditelan
dan dicerna di dalam lambung. Selain itu, tulang lidahnya (os hyoideus) yang
berukuran panjang namun lebih sederhana dibandingkan dengan os hyoideus
karnivora lainnya berfungsi untuk membantu menelan atau memasukkan makanan
(Cahyono 2008).
Gambar 1 Trenggiling (Manis javanica) (Foto: Novriyanti 2010).
Trenggiling memiliki lidah yang panjangnya hampir sama dengan tubuhnya,
mencapai 56 cm (Attenborough 2007 dalam Ruhyana 2007) sedangkan menurut Breen
(2003) lidah trenggiling dapat menjulur hingga 25 cm. Karena tidak memiliki gigi,
diduga trenggiling memiliki kebiasaan makan dan kebutuhan serta palatabilitas pakan
yang menarik untuk diteliti.
Lidah trenggiling mempunyai dua prinsip kerja yaitu memanipulasi makanan
yang berada di mulut serta membantu dalam mengambil dan memilih makanan yang
berasal dari lingkungan (Yapp 1965 dalam Sari 2007). Berdasarkan hal tersebut, Sari
(2007) juga menemukan bahwa jenis makanan trenggiling merupakan makanan yang
tergolong keras karena adanya lapisan kithin pada semut, sesuai dengan anatomi
lidahnya yang dilapisi oleh keratin yang tebal untuk mengolah dan menyerap kithin.
Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 4
Habitat dan Penyebaran
Trenggiling memiliki habitat yang cukup luas. Ia dapat hidup di hutan primer
maupun hutan sekunder. Tak jarang ditemukan dibeberapa perkebunan seperti
perkebunan karet dan di daerah-daerah terbuka (Davies and Payne 1982; Foenander
1953; Medway 1969; Medway 1977; Zon 1977; Bain and Humphrey 1982). Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa trenggiling memiliki wilayah jelajah yang luas dan
biasanya ia menempati sarangnya selama beberapa bulan saja. Sarang trenggiling
selain terdapat di atas pohon, sarang trenggiling juga ditemukan di lubang-lubang
yang berada dibagian akar-akar pohon besar atau membuat lubang di dalam tanah
yang digali dengan menggunakan cakar kakinya. Namun tak jarang trenggiling
ditemukan menempati lubang-lubang bekas hunian binatang lainnya. Pintu masuk ke
lubang sarang selalu tertutup.
Selain Manis javanica masih terdapat beberapa spesies (jenis) trenggiling
lainnya seperti: M. javanica culionensis, M. crassicaudata (Thick-Tailed Pangolin), M.
gigantea (Giant Ground Pangolin), M. multiscutata; M. pentadactyla (Chinese
Pangolin), M. pentadactyla aurita, M. pentadactyla dalmanni, M. pentadactyla
pentadactyla (Chinese Pangolin), M. pentadactyla pusilla, M. temminckii (Temminck’s
Ground Pangolin), M. tetradactyla (Black-Bellied Pangolin), M. tetradactyla
longicaudus, M. tricuspis (Three-Cusped Pangolin), M. tricuspis tricuspis (Tree
Pangolin) (Alamendah 2009).
Trenggiling bukan hanya ditemukan di Indonesia. Trenggiling juga terdapat di
Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Di
Indonesia trenggiling (Manis javanica) tersebar di pulau Sumatera, jawa, Kalimantan
dan beberapa pulau kecil di kepulauan Riau, Pulau Lingga, Bangka, Belitung, Nias,
Pagai, Pulau Natuna, Karimata, Bali dan Lombok (Corbet dan Hill 1992 dalam Junandar
2007). Terdapat tujuh spesies yaitu empat spesies tersebar di Afrika (M. tricupis, M.
tetradactyla, M. gigantea dan M. temmincki) dan tiga spesies tersebar di Asia (M.
javanica, M. crassicaudata dan M. pentadactyla) (Rahm 1990 dalam Junandar 2007).
Tetapi menurut Gaubert dan Antunes (2005) dalam Junandar (2007) terdapat satu
spesies lain yang ada di Palawan, yaitu Manis culionensis. Sebelumnya spesies ini
dianggap sebagai spesis M. javanica, tetapi morfologi spesies ini menunjukkan
beberapa perbedaan dengan M. javanica.
Perilaku
Trenggiling (Manis javanica) merupakan binatang nokturnal yang aktif
melakukan kegiatan hanya di malam hari. Pada siang hari trenggiling biasanya
bersembunyi di lubang sarang, salah satunya ada yang berada di atas pohon.
Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 5
Gambar 2 Aktivitas trenggiling di atas pohon (sumber: http://www.ksda-
bali.go.id/?p=386).
Dalam memperoleh pakan, trenggiling menggunakan indera penciumannya
untuk mendapatkan mangsa. Sebelum menemukan mangsa, trenggiling biasanya
membaui daerah yang diduga merupakan tempat bersarangnya mangsa. Kemudian ia
menggali sumber pakan tersebut dengan menggunakan cakar depannya hingga
mangsa keluar. Lidah trenggiling sudah bersiap-siap untuk menangkap mangsa saat
mangsa sudah mulai keluar. Perilaku minum pada trenggiling tidak jauh berbeda
dengan cara memperoleh mangsanya. Trenggiling mengeluarkan lidahnya dan
memasukkannya kembali dengan cepat ketika minum (Nowak 1999). Tak jarang,
dalam aktivitas makannya di alam, trenggiling terlihat ikut memasukkan kerikil atau
butiran pasir yang tidak terlalu halus ke dalam mulutnya. Menurut Nisa (2005)
makanan yang dicerna di dalam lambung sepenuhnya dilakukan hingga menjadi halus
dengan bantuan kerikil yang tertelan.
Nilai Satwaliar (Ekonomi, Ekologi, Sosbud)
Trenggiling memiliki nilai yang cukup baik ditingkat ekologi, ekonomi maupun
sosial budaya. Secara ekologi, trenggiling merupakan satwa yang bermanfaat dalam
upaya penggemburan tanah. Hal ini dikarenakan dalam mendapatkan mangsanya tak
jarang trenggiling menggali tanah atau membuat lubang di dalam tanah. Tanah yang
sering tergali dan tertimbun kembali oleh cakaran trenggiling lama-kelamaan dapat
menjadi lebih gembur karena di dalam tanah terjadi siklus oksigen yang baik bantuan
dari aktivitas makan trenggiling. Menurut Mondadori (1988) dalam Farida (2010),
biasanya trenggiling dapat menggali tanah untuk membuat sarang atau mencari
makan dengan kedalaman 3,5 meter. Selain membantu menyuburkan dan
menggemburkan tanah di dalam hutan, di Riau, trenggiling juga merupakan satwa
Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 6
pemangsa serangga perusak pohon seperti semut dan binatang halus lain yang sering
menggerogoti pepohonan hingga mengalami pengeroposan. Keberadaan trenggiling ini
yang secara tidak langsung dapat menjaga kelangsungan regenerasi ratusan jenis
pepohonan yang ada di hutan Riau (EBN 2010).
Secara ekonomi, trenggiling termasuk sumberdaya alam hewani yang memiliki
nilai jual tinggi dipasaran internasional. Hal ini dikarenakan manfaat secara sosial dan
budaya yang diberikan trenggiling seperti penyediaan protein hewani, kebutuhan
sebagai obat tradisional, dan kepentingan permintaan lain seperti tonics di beberapa
Negara. Permintaan terhadap satwaliar cenderung meningkat (Soehartono dan
Mardiastuti 2003) sehingga mendorong harga daging trenggiling per kilogram di pasar
Internasional mencapai USD 600 (Hertanto 2010). Namun menurut Martin and Phipps
(1996), harga satu ekor trenggiling di tingkat Internasional dapat mencapai puluhan
juta atau seekor trenggiling hidup dijual seharga USD 2 per Kg. Di Indonesia, terutama
di daerah-daerah yang memiliki daya ekonomi lemah, trenggiling malah dijual dengan
harga yang cukup murah dari tangan pengumpul dan pemburu trenggiling lokal.
Menurut Zainuddin (2008), di wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah trenggiling
dihargai sekitar Rp 50.000,- per ekor. Sedangkan untuk trenggiling yang sudah dikuliti
dapat dijual dengan harga tinggi, sekitar Rp 200.000,- sampai Rp 400.000,-.
PERMASALAHAN, ANCAMAN, DAN GANGGUAN TERKINI
Trenggiling termasuk salah satu satwa yang sangat rentan terhadap ancaman
kepunahan. Trenggiling merupakan satwa yang mudah diburu karena jika
mendapatkan bahaya, ia menggulung tubuhnya seperti bola dan memudahkan para
illegal hunter menangkapnya. Selain itu, sebagai satwa pemanjat, perangkap dalam
bentuk tempat panjat pun mudah dibuat dan trenggiling dapat dengan mudah
terperangkap ditempat itu. Jika di luar habitat aslinya atau di penangkaran, trenggiling
sulit beradaptasi. Selain itu, satwa ini juga sulit bereproduksi dan berkembangbiak di
penangkaran (Lim dan Ng 2007; Wu et. al 2004).
Gambar 3 Trenggiling yang Sudah Dikuliti untuk Keperluan Ekspor
(Sumber: http://indonesia.mongabay.com/news/2010/id0720-0214-
hance_china_pangolin.html).
Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 7
Perburuan trenggiling telah dilakukan sejak beberapa dekade tahun yang lalu. Hal ini
dapat dikatakan lazim sehingga ekspor trenggiling secara besar-besaran telah
bertahun-tahun dilakukan (gambar 3). Sebagai contoh, Serawak-Malaysia mengekspor
sebanyak 60 ton sisik trenggiling pada tahun 1958-1964 (Harrisson dan Loh 1965
dalam Shepherd 2008).
Perdagangan trenggiling saat ini masih diawasi. Ekspor trenggiling terbesar
saat ini dilakukan ke Negara China (Semiadi et al. 2008). Hal ini dikarenakan bahwa di
China, trenggiling dimanfaatkan sebagai makanan, obat tradisional maupun obat
penguat (tonics) (Wu, et al., 2004; Liou, 2006). Shepherd (2008) menyatakan bahwa
trenggiling merupakan salah satu jenis satwaliar yang paling sering dan paling banyak
disita oleh aparat berwenang terkait dengan penyelundupan dan penjualan illegal. Di
Vietnam, pada Maret 2008 yang lalu tertangkap sekitar 24 ton trenggiling beku yang
berasal dari Indonesia. Pada bulan Juli 2008 juga ditemukan hasil sitaan polisi
Sumatera sebanyak 14 ton pangolin.
Menurut Kompas (2010) Sebanyak 60 trenggiling hasil tangkapan polisi
perairan Polda Jambi di perairan Tanjung Jabung Barat pada pekan lalu dilepasliarkan
kembali di hutan restorasi Harapan Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. trenggiling
yang dilepasliarkan tersebut sempat dititipkan sementara di Kebun Binatang Taman
Rimba Jambi. Puluhan trenggiling yang merupakan hewan langka dan dilindungi
undang-undang tersebut akan dilepasliarkan di hutan restorasi di Desa Bungku,
Kabupaten Batanghari, yang merupakan hutan dataran rendah di Provinsi Jambi.
Pedagang yang membawa 18 ekor trenggiling pada salah satu kapal penumpang dari
Mentawai ke Padang tertangkap oleh petugas.
KONSERVASI IN-SITU
Sesuai data dan pelaporan hasil penelitian di habitat aslinya, penemuan
trenggiling secara umum hanya terbatas pada penemuan jenis. Penemuan dan
penelitian mengenai populasi di alam belum banyak dilaporkan secara jelas. Hal ini
sebenarnya menyulitkan para peneliti trenggiling untuk melakukan penelitian di
habitat alaminya. Data tiga tahun terakhir yang dilakukan oleh LIPI hanya mengenai
kuota penetapan perdagangan trenggiling yang diizinkan ekspor tidak lebih dari 10
ekor yang diambil langsung dari alam. Selain itu data lain hanya berisi tentang
trafficking. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya keberadaan populasi di alam
dapat dikatakan sangat rendah atau bahkan belum dapat dipastikan secara langsung
berapa jumlah aktual saat ini.
Setelah mengetahui data penurunan populasi trenggiling dan ketersediaannya
di alam hendaknya pengelolaan dapat diarahkan dalam bentuk pengelolaan populasi
trenggiling dan habitatnya di alam, baik dalam kawasan Cagar Alam, Suaka
Margasatwa, maupun di kawasan-kawasan pelestarian alam seperti Taman Nasional.
Namun upaya itu belum terlihat karena belum ada kawasan tertentu baik di Taman
Nasional, Cagar Alam maupun Suaka Margasatwa yang benar-benar fokus pada
Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 8
trenggiling dan permasalahannya. Biasanya hanya ditemukan daftar jenis satwaliar
secara umum dan bentuk-bentuk pengelolaan habitat yang umum di alam.
Penanggulangan masalah trenggiling secara in-situ sebenarnya dapat dengan mudah
dilaksanakan jika seluruh stakeholder yang terkait dapat sepemahaman dan komitmen
dalam mengelola populasinya. Pengawasan sangat diperlukan dalam hal ini. bukan
hanya pengawasan terhadap bio-ekologi satwa yang dikelola, tetapi juga pengawasan
terhadap sosio-ekonomi masyarakat di sekitar kawasan konservasi in-situ.
KONSERVASI EX-SITU
Penangkaran menurut Fakultas Kehutanan IPB (1991) adalah suatu usaha atau
kegiatan mengembangbiakkan jenis-jenis satwaliar yang bertujuan untuk
memperbanyak populasinya dengan tetap mempertahankan kemurnian genetiknya di
luar habitat alaminya. Usaha penangkaran trenggiling diketahui belum banyak
dilaporkan. Hal ini menjadikan banyaknya kesulitan ditemukan dalam perolehan data
dan informasi mengenai satwa ini di penangkaran. Trenggiling diketahui merupakan
satwa yang sulit beradaptasi dengan lingkungan diluar habitat aslinya sehingga sulit
pula melakukan perkembangbiakan (breeding) di penangkaran (Lim dan Ng 2007; Wu
et. al 2004). Namun ada yang menyebutkan bahwa trenggiling dapat bertahan hidup
dengan kuat dan sangat keras. Spesies Manis crassicaudata dilaporkan dapat hidup di
penangkaran selama hampir 20 tahun (Nowak 1999).
Berdasarkan informasi dan penelitian terbatas, diketahui bahwa UD. Multi Jaya
Abadi telah melakukan kegiatan konservasi untuk satwa ini dalam bentuk penangkaran
(Bismark 2009). Penangkaran ini dilakukan dengan tujuan untuk melindungi satwa ini
dari kegiatan perdagangan liar satwa langka, terlebih lagi ada kebiasaan masyarakat
Sibolga yang gemar memburu trenggiling dengan menggunakan jerat berpaku.
Penggunaan alat tangkap ini tidak sesuai karena dapat melukai satwa. Dengan kondisi
yang luka maka trenggiling yang telah ditangkap akan memiliki nilai jual yang jauh
lebih rendah. Untuk itu muncullah ide untuk membeli seluruh trenggiling yang ada
pada warga untuk ditangani atau diselamatkan (rescue) dan ditangkarkan sekaligus
sebagai sarana penyadar-tahuan kepada masyarakat agar tidak lagi menangkap
trenggiling di alam karena populasinya sudah mulai terbatas. Untuk kasus yang sama
dengan Spesies Manis crassicaudata yang dilaporkan oleh Nowak (1999), trenggiling di
UD. Multi Jaya Abadi menurut Bismark (2009) juga dapat hidup lama di dalam
penangkaran dan telah berhasil melakukan reproduksi. Jumlah anakan (F2) yang
tercatat sejak tahun 2007 sebanyak 4 individu.
Berhasil atau tidaknya suatu kegiatan konservasi ex-situ bergantung pada
teknik pemeliharaannya. Menurut Bismark (2009), teknik pemeliharaan trenggiling di
UD. Multi Jaya Abadi menggunakan sistem kandang semi permanen (semi alami)
dengan lantai tetap terbuat dari tanah dan atap kandang terbuat dari rumbia.
Meskipun demikian, sanitasi yang baik tetap diperhatikan. Jenis pakan yang diberikan
adalah kroto dan berbagai buah-buahan penarik semut. Aktivitas harian trenggiling di
Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 9
dalam kandang hampir tidak jauh berbeda dengan kondisi dan aktivitasnya di habitat
asli trenggiling.
KEBIJAKAN KONSERVASI
Sama seperti perlindungan terhadap sumberdaya alam lainnya terutama
satwaliar, perlindungan terhadap trenggiling juga termaktub dalam peraturan
perundangan yang ada di Indonesia. UU No.5 tahun 1990 yang mengatur tentang
Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya dibentuk dengan tujuan untuk
melindungi satwaliar dan tumbuhan beserta habitatnya. Melindungi berarti melakukan
kegiatan pengelolaan. Untuk selanjutnya kegiatan pengelolaan dilakukan dengan
berbagai peraturan lainnya yang tertuang dalam beberapa bentuk keputusan Menteri
dan Kebijakan pemerintah setempat.
Kemudian Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 berhasil dibuat dengan
harapan dapat mengatur kegiatan pengawetan tumbuhan dan satwaliar. Pada
peraturan perundangan ini, daftar jenis margasatwa yang dilindungi beserta
konservasinya dilampirkan. Hingga sampai pada saat Indonesia ikut meratifikasi
konvensi CITES dengan menjadi anggota di dalam CITES. Aksi ini sebenarnya telah
menunjukkan bahwa sebenarnya dari segi peraturan perundangan telah banyak
dilakukan upaya konservasi satwaliar. Dengan bantuan CITES, Indonesia dapat
mengontrol perdagangan satwaliar dan tumbuhan, khususnya trenggiling.
Pada PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan satwaliar,
trenggiling termasuk pada status satwa dilindungi. Di dalam CITES, pada lampirannya,
trenggiling termasuk dalam Appendix II sejak 1 Juli 1975 yang mengandung
pengertian bahwa satwa ini dilarang diperdagangkan. Di Indonesia, perdagangan ini
diatur oleh Management Authority (PHKA) dan Scientific Authority yang dipegang oleh
LIPI. Seluruh perizinan untuk kegiatan perdagangan dan kuotanya diatur oleh kedua
lembaga otoritas tersebut. Namun demikian, izin yang berlaku hanya untuk keturunan
kedua (F2) dan seterusnya dari trenggiling.
Pada IUCN tahun 2010, trenggiling termasuk dalam status Endangered (EN ver
3.1) yang berarti terancam punah dimasa yang akan datang. Hal ini dikarenakan
kondisi populasi trenggiling di alam dari waktu ke waktu semakin menurun. Status
trenggiling di IUCN semakin meningkat menuju kelangkaan setelah sebelumnya
trenggiling menempati status sebagai satwa yang lower risk atau beresiko rendah
(Near Threatened) di tahun 1996. Berbeda dengan di Indonesia, dibeberapa Negara
lain seperti India, Nepal, Sri Lanka, dan USA, status trenggiling dalam CITES sudah
berada pada Appendix I.
PENGEMBANGAN KEGIATAN KONSERVASI
Kegiatan pengembangan kegiatan konservasi meliputi upaya-upaya
pembinaan populasi trenggiling baik di alam maupun secara ex-situ. Upaya ini tidak
dapat dilakukan oleh salah satu pihak saja. Pengembangan melibatkan seluruh
Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 10
stakeholder yang terkait. Oleh sebab itu diperlukan suatu pemahaman dan pegangan
yang sama terhadap kegiatan konservasi. Pemahaman tersebut dapat berupa
penyadar-tahuan akan kondisi populasi trenggiling di alam yang mendorong
perubahan sikap agar tidak lagi melakukan penangkapan trenggiling di habitat aslinya
dan mengupayakan terbangunnya suatu kegiatan penangkaran yang dapat memenuhi
kebutuhan trenggiling secara lokal dan internasional.
Banyak pemahaman yang telah dilakukan, pembuatan nota kesepakatan atas
perdagangan trenggiling dapat menjadi salah satu upaya pengembangan kegiatan
konservasi satwa ini. Namun tetap saja terjadi banyak penyimpangan-penyimpangan
yang berakibat pada terhambatnya pengembangan kegiatan konservasi trenggiling.
Setiap Negara yang tergabung dalam CITES seharusnya menerapkan dan dan
menegakkan peraturan serta sanksi yang ada dalam konvensi yang telah disepakati.
Kewajiban menaati setiap kesepakatan dalam konvensi CITES ternyata masih minim.
Masih banyak Negara yang tidak memenuhi kewajibannya sebagai Negara anggota
CITES untuk mengawasi perdagangan trenggiling (Shepherd 2007). Ditambah lagi,
CITES juga belum memiliki legislasi yang kuat untuk menjadikan konvensi ini berlaku
secara efektif pada Negara-negara anggotanya. Meskipun demikian, para anggota
CITES bersepakat untuk terus mengadakan simposium terkait dengan pengembangan
satwaliar di penangkaran, termasuk trenggiling. Rencana pendanaan pun sudah diatur
sedemikian rupa agar dapat memenuhi seluruh kebutuhan penangkaran-penangkaran
satwaliar (CITES 2001).
Berbagai kebijakan konservasi dalam pengelolaan populasi trenggiling di alam
dan dipenangkaran telah banyak ditemukan. Hanya saja dalam pelaksanaannya masih
berbenturan dengan berbagai kepentingan yang lebih mengedepankan aspek ekonomi
dari pemanfaatan trenggiling. Usaha-usaha penangkaran yang ada pun lebih banyak
bertujuan untuk kegiatan ekonomi, memenuhi kebutuhan pasar lokal dan internasional
terhadap trenggiling.
PENUTUP
Terdapat beberapa perbedaan dalam aktivitas pengelolaan trenggiling (Manis
javanica Desmarest, 1822) di kawasan konservasi in-situ maupun ex-situ. Di dalam
kawasan in-situ, trenggiling dikelola secara global dalam kawasan Cagar Alam, Suaka
Margasatwa, dan Taman Nasional. Bentuk pengelolaan di dalam kawasan konservasi
ini berbeda juga saling berbeda dan biasanya kurang difokuskan pada satwa tertentu
seperti trenggiling. Kegiatan penangkaran merupakan salah satu program atau
kegiatan konservasi yang dilakukan secara ex-situ bagi pelestarian trenggiling.
Meskipun tidak banyak pelaporan mengenai penangkaran trenggiling, manajemen
pengelolaan yang ditemukan dilapangan dapat dikatakan cukup baik untuk tindakan
pengelolaan individu dan populasi.
Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 11
DAFTAR PUSTAKA
Alamendah. 2009. Trenggiling, Dagingnya 1 juta per Kg. Dalam:
http://alamendah.wordpress.com/2009/10/28/trenggiling-dagingnya-1-juta-
per-kg/ [20 Mei 2010]
Bismark M. 2009. Teknologi Pengembangan Penangkaran dalam UKP Teknologi
Konservasi Biodiversitas Fauna Langka. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan dan Konservasi Alam. Tidak dipublikasikan.
Boonsong Lekagul and McNeely JA. 1977. Mammals of Thailand. Bangkok: Association
for the Conservation of Wildlife.
Breen K. 2003. Manis javanica, Animal Diversity Web. Dalam:
http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Manis_javanica.html [3 Mei 2010].
Cahyono E. 2008. Kajian anatomi skelet trenggiling jawa (Manis javanica). [skripsi].
Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
CITES [Convention on International Trade in Endangered Species]. 2001. Relationship
between Ex-situ Breeding Operations and In-situ Conservation Programs.
Proceedings Sixteenth Meeting of the Animal Committee, USA 11-15 Desember
2000.
Davies G and Payne J. 1982. A Faunal Survey of Sabah. Kuala Lumpur: WWF Malaysia.
EBN [Era Baru News]. 2010. Spesies hutan Riau terus menyusut. Dalam:
http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/13986-spesies-hutan-riau-terus-
menyusut [15 Desember 2010].
Farida WR. 2010. Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1922), mamalia bersisik yang
semakin terancam. Fauna Indonesia IX(1): 5-9.
Hertanto, editor. 2010. Sejuta kilo daging trenggiling dijual. Dalam:
http://megapolitan.kompas.com/read/2010/04/17/21594696/Sejuta.Kilo.Dagi
ng.Trenggiling.Dijual [11 Mei 2010].
Junandar. 2007. Gambaran morfologi hati trenggiling (Manis javanica). [skripsi].
Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Lim NTL and Ng PKL. 2007. Home range, activity cycle and natal den usage of a
female Sunda pangolin Manis javanica (Mammalia: Pholidota) in Singapore.
Endangered Species Research. (4):233-240.
Liou C, (ed). 2006. The state of wildlife trade in China: Information on the trade in
wild animals and plants in China 2006. TRAFFIC East Asia, China.
Novriyanti. 2010. Pengelolaan Trenggiling (Manis javanica Desmarest 1822) di Habitat Insitu dan Eksitu. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutana IPB 12
Martin EB and Phipps M. 1996. A Review of the Wild Animal Trade In Cambodia.
TRAFFIC Bulletin Vol.16 No.2:45-60
Medway L. 1969. The Wild Mammals of Malaya and Singapore. Oxford: Oxford
University Press.
Medway L. 1977. Mammals of Borneo. Monographs of the Malaysian Branch of the
Royal Asiatic Society 7:1-172.
Nisa C. 2005. Morphological studies of the stomach of Malayan Pangolin (Manis
javanica). [disertasi]. Bogor. Graduate school Bogor Agricultural University.
Ruhyana AY. 2007. Kajian morfologi saluran pernapasan trenggiling (Manis javanica)
dengan tinjauan khusus pada trachea dan paru-paru. [skripsi]. Bogor. Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Sari RM. 2007. Kajian morfologi lidah trenggiling (Manis javanica). [skripsi]. Bogor.
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Semiadi G, Darnaedi D, Arief AJ. 2008. Sunda Pangolin Manis javanica Conservation in
Indonesia: Status and Problems. In: Pantel S and Chin SY (ed.). 2009.
Proceedings of the Workshop on Trade and Conservation of Pangolins Native to
South and Southeast Asia, 30 June-2 July 2008, Singapore Zoo, Singapore.
TRAFFIC Southeast Asia, Petaling Jaya, Selangor, Malaysia.
Shepherd CR. 2007. Bear trade in Southeast Asia: The status of protection for
Southeast Asia’s bears. In: Williamson DF. (ed). 2007. Proceedings of the
fourth international symposium on trade of bear parts, 4 October, 2006,
Nagano, Japan. TRAFFIC East Asia – Japan. Tokyo.
Shepherd CR. 2008. Overview of pangolin trade in Southeast Asia. In: Pantel S and
Chin SY (ed.). 2009. Proceedings of the Workshop on Trade and Conservation
of Pangolins Native to South and Southeast Asia, 30 June-2 July 2008,
Singapore Zoo, Singapore. TRAFFIC Southeast Asia, Petaling Jaya, Selangor,
Malaysia.
Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta:
Japan International Cooperation Agency (JICA).
Wu S, Liu N, Zhang Y, Ma G. 2004. Assessment of threatened status of Chinese
Pangolin (Manis Pentadactyla). Chinese Journal of Applied Environmental
Biology 10(4): 456-461.
Zainuddin H. 2008. Satwa jelmaan setan itu kini jadi barang dagangan. Dalam:
http://www.antara.co.id/view/?i=1208940642&c=WBM&s= [11 Mei 2010].