Peran Dewan Perwakilan Daerah dalam Proses Pemberhentian Presiden di Indonesia
Oleh:
Catur Alfath Satriya dan Fitra Arsil
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
E-‐mail: [email protected]
Abstrak
Sebagai kamar kedua, DPD seharusnya memiliki peran yang fundamental dalam proses demokrasi yang ada di Indonesia. Lahir dari semangat reformasi, DPD seharusnya mampu menyuarakan aspirasi daerah di tingkat pusat. Namun, hal tersebut bertolak belakang dengan desain kelembagaan DPD di dalam UUD 1945 yang tidak mencerminkan hal tersebut. Hal ini terlihat dari kewenangan yang dimiliki DPD hanya bersifat subordinatif terhadap DPR. Permasalahan ketimpangan kewenangan tersebut tidak hanya terjadi dalam legislasi dan pengawasan, namun juga terhadap keterlibatan DPD dalam proses pemberhentian Presiden. Di dalam penelitian ini, penulis akan menjelaskan bagaimana keterlibatan DPD dalam proses pemberhentian Presiden di dalam UUD 1945
Role of Regional Representatives Council in the Presidential Impeachment Process in Indonesia
Abstract As a second chamber, DPD should have fundamental role in the democratic process in Indonesia. Born
from spirit of reform, DPD should be able to voice the aspirations, as a regional representation, at the center level. However, it is contrary due to the institutional design of DPD in the 1945 Constitution that does not reflect it. Based on the authority of DPD in 1945 Constitution, DPD is merely subordinate to DPR. The Problem is not only in legislation and supervision authority, but also in the involvement of DPD in the process of presidential impeachment. In this study, the author will explain how the involvement of DPD in the process of presidential impeachment in 1945 Constitution.
Keywords: DPD, impeachment, 1945 Constitution
Pendahuluan
Amandemen UUD 1945 memberikan warna baru dalam struktur ketatanegaraan Republik
Indonesia. Munculnya lembaga negara baru seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) memberikan perubahan yang
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
fundamental dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia. Ada lima poin besar yang perlu
menjadi perhatian dari hasil amandemen UUD 1945. Pertama, adanya pergeseran kekuasaan
legislatif dari tangan Presiden ke DPR. Kedua, diadopsinya sistem pengujian konstitusional
(judicial review) suatu undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah
Konstitusi. Ketiga, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara namun hanya sebagai
lembaga tinggi negara yang sederajat dengan lembaga tinggi negara yang lain. Keempat, MPR
tidak lagi menjadi lembaga pengejawantahan kedaulatan rakyat. Kelima, hubungan antar
lembaga tinggi negara bersifat saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks
and balances.1
Salah satu lembaga yang diharapkan dapat memperkuat prinsip checks and balances
adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD sebagai lembaga yang diciptakan dari semangat
reformasi diharapkan dapat membuka ruang aspirasi daerah dalam pengambilan keputusan
politik di tingkat pusat. Munculnya DPD sebagai lembaga tersendiri merupakan bentuk
institusionalisasi utusan daerah yang merupakan salah satu kelompok di dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ada 5 alasan mengapa DPD perlu dibentuk. Pertama,
memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperteguh persatuan kebangsaan
seluruh daerah. Kedua, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi kepentingan daerah
dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan pusat dan daerah. Ketiga, meningkatkan
percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.
Keempat, mekanisme kontrol dan keseimbangan antar cabang kekuasaan negara dalam dalam
lembaga legislatif itu sendiri. Kelima, menjamin dan menampung perwakilan daerah yang
memadai untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentinangan daerah dalam lembaga legislatif.2
Namun, kehadiran DPD sebagai lembaga yang mempunyai legitimasi yang tinggi karena
dipilih langsung oleh rakyat tidak sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. DPD tidak
memiliki kewenangan yang powerful apabila dibandingkan dengan DPR. Padahal, sebagai kamar
kedua seharusnya DPD memiliki kewenangan untuk melakukan second review terhadap tindakan
yang dilakukan oleh DPR. Secara teoritis, DPD seharusnya berfungsi sebagai kamar
1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. 4, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 291-
292 2 Efriza dan Syafuan Rozi, Parlemen Indonesia Geliat Volksraad hingga DPD: Menembus Lorong Waktu
Doeloe, Kini, dan Nanti, (Bandung: Alfabeta, 2010), hal. 252
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
penyeimbang sehingga dapat mengoreksi kesalahan yang dilakukan oleh kamar lain. House
mewakili rakyat kebanyakan sedangkan senate mewakili orang yang lebih mapan sebagai
pelaksanan checks and balances terhadap tekanan yang mungkin muncul dari opini publik.3
Permasalahan eksistensi dan peran DPD tidak hanya terdapat di dalam fungsi legislasi dan
pengawasan namun juga terdapat di komposisi antara DPR dan DPD di dalam MPR yang akan
sangat berkaitan dengan proses pemberhentian Presiden ditengah masa jabatan atau yang lebih
dikenal dengan istilah pemakzulan Presiden. Adanya ketidakseimbangan jumlah anggota DPD di
dalam MPR membuat ketidakseimbangan peran DPD dalam proses pemberhentian Presiden. 4
Tinjauan teoritis
Teori Pemberhentian Presiden
Istilah pemberhentian Presiden secara terminologi mempunyai banyak arti dan
klasifikasi. Harun Alrasyid mengungkapkan bahwa pemberhentian Presiden merupakan salah
satu dari syarat pergantian Presiden. Harun Alrasyid berpendapat bahwa terdapat 3 unsur dalam
pergantian Presiden yaitu: (1). Presiden berhenti tetap; (2). Presiden berhenti di tengah masa
jabatannya; dan (3). Pejabat pengganti Presiden menjabat selama sisa masa jabatan Presiden
yang digantikan.5 Menurut Harun Alrasyid pergantian jabatan Presiden dapat terjadi dengan 4
syarat, yaitu: (1) Meninggal dunia; (2) Mengundurkan diri (berhenti); (3) Dilepaskan dari
jabatannya (diberhentikan); (4) Menderita gangguan kesehatan.6 Dalam hal ini, Harun Alrasyid
membedakan antara berhenti dengan diberhentikan. Menurut Harun Alrasyid yang membedakan
berhenti dengan diberhentikan adalah faktor pendorongnya. Berhenti faktor pendorong lebih
dominan berasal dari diri sang Presiden. Sedangkan, diberhentikan faktor pendorong lebih
3 Aunur Rofiq, Peran & Kewenangan DPD Koran Sindo, (23 Maret 2016), dapat diakses di http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=0&date=2016-03-23 (diakses pada tanggal 9 Juni 2016 pukul 08.00 WIB)
4 Dewan Perwakilan Daerah, Untuk Apa DPD RI, (Jakarta: Dewan Perwakilan Daerah, 2006), hal. 67-68
5 Fajri Nursyamsi, Pergantian Presiden Republik Indonesia Dengan Dasar “Tidak Dapat Melakukan Kewajibannya” dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, (Tesis Magister, Jakarta, 2016), hal. 26 6 Ibid., hal. 43-‐44
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
dominan berasal dari pihak luar diri Presiden.7 Sementara itu, Jimly Asshiddiqie berpendapat
bahwa syarat berhenti dapat diartikan sebagai pengunduran diri secara sepihak dan juga dapat
diartikan sebagai diberhentikan.8
Selain itu, Hamdan Zoelva juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
pemberhentian Presiden adalah impeachment dalam arti sempit. Dia menggunakan istilah
Pemakzulan Presiden dibandingkan dengan pemberhentian Presiden dikarenakan istilah
pemberhentian Presiden lebih luas yang berarti bisa karena mengundurkan diri atau tidak dapat
lagi melaksanakan tugas dalam jabatannya. Hamdan Zoelva berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan impeachment adalah pengawasan legislatif yang luar biasa (an extraordinary legislative
check) baik terhadap eksekutif maupun yudikatif yang dapat berupa hukuman berhenti dari
jabatan sebagai tindakan politik akibat telah melakukan kesalahan berat terhadap negara.9 Di
dalam konteks sistem pemerintahan, penggunaan istilah impeachment dikaitkan dengan proses
pemberhentian Presiden di negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial. Hal ini
berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer yang menggunakan istilah mosi tidak percaya
atau vote of no confidence untuk memberhentikan kepala pemerintahannya.
Teori Sistem Bikameral
Secara umum, pembagian struktur parlemen di dunia dibagi menjadi dua yaitu unikameral
dan bikameral. Unikameral yaitu hanya mempunyai satu lembaga perwakilan sedangkan
bikameral yaitu mempunyai dua lembaga perwakilan. Menurut Fatmawati kriteria untuk
menetukan kamar dalam suatu parlemen adalah sebagai berikut: (1). Memiliki kewenangan
sesuai dengan fungsi dari parlemen; (2). Memiliki anggota tersendiri yang merupakan wakil dari
warga negara dengan kategori dan metode seleksi tertentu; (3). Memiliki struktur kelembagaan
tersendiri dan aturan-aturan tersendiri tentang prosedur dalam lembaga tersebut.10 Selain itu,
Arend Lijphart membuat 4 kategori struktur kamar yang terdiri dari: (1) Strong bicameralism;
(2) Medium-strenght bicameralism; (3) Weak bicameralism; dan (4) Unicameral legislatures.
7 Ibid., hal. 81-‐82 8 Ibid., hal. 43-‐44 9 Kamarudin, Struktur Wewenang Pemberhentian Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Disertasi Doktor, Makasar), hal. 47-‐48 10 Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral, (Disertasi doctor Universitas Indonesia, Jakarta, 2009), hal. 51
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
Terdapat 3 ciri dari sistem bikameral yang menjelaskan apakah bikameralisme kuat atau
bikameralisme lemah, yaitu: 11
a. Kekuatan kedua kamar berdasarkan kewenangan formal yang diatur di dalam Undang-
Undang Dasar, dalam hal ini kamar kedua (second chambers) cenderung subordinat
terhadap kamar pertama (first chambers)
b. Kepentingan politik yang sesungguhnya dari kamar kedua (second chambers) tidak hanya
tergantung dari kewenangan formal yang diatur dalam Undang-Undang Dasar tetapi juga
metode seleksinya. Dalam hal kewenangan formal dan legitimasi demokrasi, sistem
bikameral dapa dibagi menjadi 2 yaitu simetris dan asimetris bikameral. Kamar yang
simetris adalah kamar dengan kekuatan konstitusional yang setara dan memiliki
legitimasi demokrasi, sedangkan kamar yang asimetris adalah kamar yang tidak setara
dalam hal kewenangan formal dan legitimasi demokrasi.
c. Perbedaan lainnya terletak pada komposisi anggota yang mana kamar kedua (second
chambers) dapat dipilih dengan metode yang berbeda untuk memberikan tempat yang
lebih kepada minoritas tertentu. Jika demikian, maka kedua kamar tersebut berbeda
komposisinya dan disebut sebagai incongruent.
Dari penjelasan di atas, maka: (a) Strong bicameralism memiliki karakteristik simetris
dan incongruence; (b) Medium-strength bicameralism memiliki karakteristik tidak
adanya salah satu dari simetris dan incongruence; (c) Weak bicameralism memiliki
karakteristik asimetris dan congruent.
Menurut Tsebelis dan Money, terdapat dua karakteristik khusus dalam sistem
bikameral yaitu: 12 (a) Keanggotaan dari kedua kamar berdasarkan pada metode seleksi
dan kategori dari warga negara yang diwakili. Sebagian besar, majelis rendah dipilih
secara langsung oleh warga negara, sedangkan majelis tinggi dipilih melalui metode
seleksi atau perwakilan golongan; (b) Kewenangan formal kedua kamar yang tercermin
dalam mekanisme penyelesaian jika terjadi perbedaan.
11 Ibid., hal. 31-‐32 12 Ibid., hal. 39-‐40
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
Metode Penelitian
Secara garis besar, penelitian yang dilakukan merupakan penelitian hukum normatif.
Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
mencakup: (1) Penelitian terhadap azas-azas hukum; (2) Penelitian terhadap sistematika hukum;
(3) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum; (4) Penelitian sejarah hukum; dan (5) Penelitian
perbandingan hukum.13 Pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau
data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tertier.14 Di dalam penelitian
ini penulis meneliti mengenai asas-asas hukum dengan pendekatan komparatif (comparative
approach). Dalam hal ini peneliti melakukan perbandingan proses pemberhentian Presiden di
Indonesia dengan di negara lain dengan menggunakan konstitusi sebagai acuannya. Negara yang
digunakan oleh peneliti sebagai pembanding adalah sebagian besar negara-negara di Amerika
Latin dan beberapa negara di Amerika tengah dan Afrika. Hal ini dikarenakan negara-negara di
Amerika Latin memiliki kesamaan dalam sistem pemerintahan yaitu sistem pemerintahan
presidensial. Dari sudut sifatnya, penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif. Hal
tersebut dikarenakan peneliti akan mencoba menggambarkan bagaimana peran DPD dalam
proses pemberhentian Presiden di Indonesia secara komperhensif. Apabila dilihat dari sudut
bentuknya, penelitian ini adalah penelitian evaluatif. Hal ini dikarenakan peneliti mencoba
memberikan penilaian apakah selama ini pengaturan mengenai impeachment di Indonesia sudah
ideal dengan teori-teori hukum yang berkembang saat ini. Dilihat dari sudut penerapannya,
penelitian yang dilakukan adalah penelitian murni. Hal ini dikarenakan tujuan dari penelitian ini
adalah untuk pengembangan ilmu atau teori. Dilihat dari sudut ilmu yang dipergunakan,
penelitian yang dilakukan adalah penelitian mono disipliner yaitu hanya satu disiplin ilmu yang
digunakan yaitu ilmu hukum.15
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder, yaitu data
yang diperoleh dari kepustakaan yaitu buku, jurnal, skripsi, tesis, disertasi dan lain sebagainya
13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, (Jakarta: UI-‐Press, 2012), hal. 51 14 Ibid., hal. 52 15 Sri Mamuji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 4-‐5
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
yang digunakan untuk mendukung penelitian ini.16Alat pengumpulan data yang digunakan oleh
peneliti dalam penelitian ini adalah dengan cara studi dokumen atau bahan pustaka. Dalam hal
ini, melalui bacaan yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti dan penelitian yang
pernah dilakukan di masa lampau. Selain itu, peneliti juga akan melakukan wawancara apabila
data yang diperoleh dari studi dokumen belum mencukupi.17
Metode analisis yang digunakan oleh peneliti adalah metode analisis kualitatif yaitu apa
yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan
perilaku nyata dan yang diteliti adalah objek penelitian yang utuh.
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Di dalam penelitian ini, penulis akan membandingkan bagaimana proses pemberhentian
Presiden di Indonesia dengan di negara lain dan lembaga apa saja yang berperan dalam proses
pemberhentian Presiden tersebut. Di dalam penelitian ini, ada lima kriteria negara yang dijadikan
dasar sebagai pembanding. Pertama, yaitu negara dengan sistem pemerintahan presidensial.
Kedua, negara dengan struktur parlemen bikameral. Ketiga, kamar kedua yang merupakan
keterwakilan daerah (regional representation). Keempat, bentuk negara yaitu federasi atau
kesatuan. Kelima, tipe bikameral simetris atau asimetris. Dalam penelitian ini, kategori simetris
dan asimetris yang digunakan berdasarkan teori dari Arend Ljiphart yang melihat simetris atau
asimetris sebuah kamar dilihat dari kewenangan formal dan legitimasi demokrasi antar 2 kamar.
Apabila kewenangan formal dan legitimasi demokrasi antar 2 kamar setara berarti bikameral
simetris. Namun, apabila kewenangan formal dan legitimasi demokrasi antar 2 kamar tidak
setara berarti bikameral asimetris. Berikut penjabaran negara yang penulis lakukan berdasarkan
tipe bikameral dan lembaga yang berperan dalam proses pemberhentian Presiden
16 Ibid., hal. 22 17 Ibid., hal. 6
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
Tabel 4.1 Tipe bikameral dan lembaga yang berperan dalam proses pemberhentian
Presiden
No Nama negara (bentuk negara) Tipe bikameral Lembaga yang berperan
1. Amerika Serikat (federasi) Bikameral
Simetris
House of Representatives
(FC), Senate (SC), dan Ketua
Mahkamah Agung
2. Filipina (kesatuan) Bikameral
Simetris
House of Representatives
(FC), Senate (SC), dan Ketua
Mahkamah Agung
3. Argentina (federasi) Bikameral
Simetris
House of Representatives
(FC), Senates (SC), dan
Ketua Mahkamah Agung
4. Brazil (federasi) Bikameral
Simetris
Chamber of Deputies (FC),
Federal Senate (SC), dan
Mahkamah Agung
5. Bolivia (kesatuan) Bikameral
Simetris
Jaksa Agung, Pluri-National
Legislative Assembly (JS),
dan Mahkamah Agung
6. Chili (kesatuan) Bikameral
Simetris
Chamber of Deputies (FC)
dan Senate (SC)
7. Kolombia (kesatuan) Bikameral
Simetris
House of Representatives
(FC), Senate (SC), dan
Mahkamah Agung
8. Republik Dominika (kesatuan) Bikameral
Simetris
Chamber of Deputies (FC),
Senate (SC), dan Mahkamah
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
Agung
9. Meksiko (federasi) Bikameral
Simetris
House of Representatives
(FC) dan Senate (SC)
10. Paraguay (kesatuan) Bikameral
Simetris
Chamber of Deputies (FC)
dan Chamber of Senators
(SC)
11. Uruguay (kesatuan) Bikameral
Simetris
Chamber of Representatives
(FC) dan Chamber of
Senators (SC)
12. Afrika Selatan (kesatuan) Bikameral
Asimetris
National Assembly (FC)
13. Kenya (kesatuan) Bikameral
Asimetris
National Assembly (FC) dan
Senate (SC)
Ket: FC= first chamber, SC= second chamber, JS= Joint Session
Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa hampir setiap negara melibatkan kamar kedua
dalam proses pemberhentian Presiden. Di negara yang merupakan tipe bikameral simetris
menempatkan kamar kedua secara tersendiri dalam proses pemberhentian Presiden. Hanya
Bolivia yang menempatkan peran kamar keduanya dalam bentuk joint session dengan kamar
pertama dalam proses pemberhentian Presiden. Sementara itu, di negara yang merupakan tipe
bikameral asimetris ada yang menempatkan kamar keduanya sebagai pemutus dalam proses
pemberhentian Presiden yaitu Kenya namun ada juga yang tidak melibatkan kamar kedua dalam
proses pemberhentian Presiden seperti Afrika Selatan. Selain itu, berdasarkan bentuk negara,
negara yang bebentuk federasi selalu melibatkan kamar kedua dalam proses pemberhentian
Presiden yaitu dalam hal memutuskan apakah Presiden patut diberhentikan atau tidak. Sementara
itu, negara yang berbentuk kesatuan ada beberapa negara yang melibatkan kamar kedua dalam
proses pemberhentian Presiden yaitu Filipina, Bolivia, Chili, Kolombia, Republik Dominika,
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
Paraguay, Uruguay, dan Kenya. Namun, ada juga yang tidak melibatkan kamar kedua dalam
proses pemberhentian Presiden yaitu Afrika Selatan.
Di Indonesia sendiri, proses pemberhentian Presiden melibatkan 3 lembaga tinggi negara
yaitu DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR. DPR sebagai lembaga yang mengajukan usul
pemberhentian Presiden, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang memutuskan apakah
Presiden bersalah atau tidak, dan MPR sebagai lembaga yang memutuskan apakah Presiden patut
diberhentikan atau tidak.
Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam proses Pemberhentian Presiden
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terhadap 13 negara yang lain, kewenangan
kamar kedua dalam proses pemberhentian Presiden dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi. Pertama,
kamar kedua mempunyai kewenangan dalam memberikan putusan akhir apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak. Kedua, kamar kedua mempunyai kewenangan untuk melakukan
investigasi sebelum memutus apakah Presiden dapat diberhentikan atau tidak. Ketiga, kamar
kedua dengan kamar pertama bertemu dalam joint session memutuskan apakah Presiden dapat
disidangkan atas kesalahan yang dilakukannya atau tidak. Keempat, kamar kedua tidak
mempunyai kewenangan apapun dalam proses pemberhentian Presiden. Berikut penjabaran yang
penulis lakukan berdasarkan kewenangan kamar kedua dalam proses pemberhentian Presiden:
Tabel 4.2 Kewenangan kamar kedua (second chamber) dalam proses pemberhentian
Presiden
No. Nama negara Kewenangan kamar kedua
(second chamber) dalam proses
pemberhentian Presiden
1. Amerika Serikat (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
2. Filipina (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
3. Argentina (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
4. Brazil (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
5, Bolivia (BS) Bersama kamar pertama dalam
bentuk joint session memberikan
persetujuan apakah Presiden
dapat disidangkan di depan
Mahkamah Agung atau tidak
6. Chili (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
7. Kolombia (BS) Melakukan investigasi dan
memutuskan apakah Presiden
dapat diberhentikan atau tidak
8. Republik Dominika (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
9. Mexico (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
10. Paraguay (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
11. Uruguay (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
12. Kenya (BA) Melakukan investigasi dan
memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
13. Afrika Selatan (BA) Tidak memiliki kewenangan
dalam proses pemberhentian
Presiden
Ket: BS= Bikameral Simetris; BA= Bikameral Asimetris
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa mayoritas negara dengan sistem
pemerintahan presidensial dan struktur parlemen bikameral melibatkan kamar kedua (second
chamber) dalam proses pemberhentian Presiden. Hanya Afrika Selatan yang tidak melibatkan
kamar kedua dalam proses pemberhentian Presiden. Dari penjelasan di atas dapat juga kita lihat
bahwa negara dengan tipe bikameral simetris pada umumnya menempatkan kamar kedua sebagai
pemutus akhir apakah Presiden dapat diberhentikan atau tidak. Hanya kolombia yang kamar
keduanya selain diberi kewenangan untuk memutus juga diberikan kewenangan untuk
melakukan investigasi dan hanya Bolivia yang kewenangan kamar keduanya bersama dengan
kamar pertama dalam bentuk joint session memberikan persetujuan apakah Presiden dapat
disidangkan di depan Mahkamah Agung atau tidak terhadap kesalahan yang telah dilakukan.
Sementara itu, terdapat juga negara dengan tipe bikameral asimetris yang melibatkan kamar
keduanya dalam proses pemberhentian Presiden yaitu Kenya namun ada juga yang tidak yaitu
Afrika Selatan.
Kuorum Pengambilan Keputusan dalam Proses Pemberhentian Presiden
Dalam proses pemberhentian Presiden, dibutuhkan suara minimal di masing-masing
kamar agar proses pemberhentian Presiden dapat berjalan. Pembahasan mengenai kuorum
menjadi penting hal ini dikarenakan proses pemberhentian Presiden dapat berjalan dari satu
proses ke proses yang lain memerlukan persetujuan yang harus sesusai dengan kuorum yang
diatur di dalam peraturan perundang-undangan maupun tata tertib lembaga masing-masing.
Berikut penjabaran yang penulis lakukan berdasarkan kuorum dalam proses pemberhentian
Presiden:
Tabel 4.3 Kuorum dalam proses pemberhentian Presiden
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
No. Nama negara Kuorum kamar
pertama
Kuorum kamar
kedua
1. Amerika Serikat ½ N+1 2/3
2. Filipina 1/3 2/3
3. Argentina 2/3 2/3
4. Brazil 2/3 2/3
5. Bolivia 2/3 (JS) 2/3 (JS
6. Chili ½ N+1 2/3
7. Kolombia ½ N+1 2/3
8. Republik Dominika ¾ 2/3
9. Mexico ½ N+1 2/3
10. Paraguay 2/3 2/3
11. Uruguay ½ N+1 2/3
12. Kenya 2/3 2/3
13. Afrika Selatan 2/3 -
Ket: JS=Joint Session, N= Jumlah berdasarkan kuorum kehadiran
Dari pemaparan jumlah kuorum di atas dapat dilihat bahwa kuorum yang dibutuhkan di
kamar pertama berbeda-beda, namun kuorum yang dibutuhkan di kamar kedua adalah 2/3. Dari
13 negara yang penulis teliti, hanya 1 negara yang tidak memiliki pengaturan mengenai kuorum
di kamar kedua yaitu Afrika Selatan
Di Indonesia kuorum kehadiran yang dibutuhkan dalam pengajuan usul pemberhentian
Presiden oleh DPR adalah 2/3 dari jumlah anggota DPR dan kuorum pengambilan keputusan
adalah 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir. Pengaturan ini sebagaimana yang ditulis di
dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 setelah amandemen yang berbunyi: “Pengajuan permintaan
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan
dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir
dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat.” Sementara itu, dalam pengambilan keputusan apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak oleh MPR, kuorum kehadiran yang dibutuhkan adalah ¾ dari jumlah
anggota MPR dan kuorum pengambilan keputusan yang dibutuhkan adalah 2/3 dari jumlah
anggota MPR yang hadir. Dari penjelasan ini dapat dilihat bahwa permasalahan dapat muncul di
kuorum MPR. Di dalam kuorum MPR, persidangan mengenai pemberhentian Presiden dapat
dimulai apabila dihadiri oleh ¾ dari jumlah anggota MPR. Hal ini sesungguhnya dapat
menegasikan kehadiran DPD dalam proses pemberhentian Presiden mengingat jumlah anggota
DPD yang hanya berjumlah 132 dan anggota DPR yang berjumlah 560. Sehingga kehadiran ¾
jumlah anggota MPR yaitu 519 anggota bisa dipenuhi hanya dengan anggota DPR saja yang
hadir tidak harus ada anggota DPD/kelompok DPD. Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun
DPD terlibat secara keanggotaan dalam proses pemberhentian Presiden namun keterlibatan
tersebut tidak berdampak secara signifikan mengingat ketidakhadiran anggota DPD dalam MPR
tidak mempengaruhi jumlah kuorum yang ada.
Kewenangan Kamar Kedua dalam Proses Pemberhentian Presiden
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis mencoba merangkum bahwa proses
pemberhentian Presiden di Indonesia berbeda dari negara-negara yang lain. Perbedaan yang
paling terlihat adalah tidak terlibatnya kamar kedua secara kelembagaan dalam proses
pemberhentian Presiden. Keputusan pemberhentian Presiden di Indonesia berada di MPR yang
merupakan kamar tersendiri tidak seperti negara yang lain yang pada umumnya meletakan
kewenangan untuk memberhentikan Presiden pada kamar kedua. Hal ini menurut penulis juga
disebabkan karena desain konstitusional lembaga perwakilan di Indonesia tidak menggunakan
prinsip bikameral yang kuat. DPD hanya lahir untuk memenuhi aspirasi politik daerah namun
kewenangannya tidak disejajarkan dengan kamar pertama yaitu DPR. Bentuk kamar kedua yang
tidak terlalu kuat selain di Indonesia terdapat juga di Kenya dan Afrika Selatan. Walaupun di
Kenya, proses pemberhentian Presiden juga melibatkan kamar kedua sebagai pemutus apakah
Presiden dapat diberhentikan atau tidak. Sementara itu, di Afrika Selatan yang struktur
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
parlemennya bikameral asimetris, proses pemberhentian Presiden hanya berada di National
Assembly sebagai kamar pertama yang memutuskan apakah Presiden dapat diberhentikan atau
tidak.
Secara umum, penulis melihat terdapat kekurangan dalam proses pemberhentian Presiden
di Indonesia. Pertama, penuntut dalam proses pemberhentian Presiden juga berperan dalam
pemutus apakah Presiden dapat diberhentikan atau tidak. Hal ini terlihat secara kelembagaan,
DPR berperan dalam pengajuan usul pemberhentian Presiden dan secara keanggotaan DPR juga
berperan dalam memutuskan apakah Presiden dapat diberhentikan atau tidak. Menurut penulis,
hal ini tidak sesuai dengan prinsip checks and balances yang dianut di dalam sistem
pemerintahan presidensial. Seharusnya ada pemisahan peran antara penuntut dan pemutus dalam
proses pemberhentian Presiden baik secara kelembagaan maupun secara keanggotaan. Kedua,
DPD sebagai kamar kedua harus terlibat secara kelembagaan dalam proses pemberhentian
Presiden. Hal ini bertujuan agar DPD mempunyai posisi tawar (bargaining position) dalam
proses pemberhentian Presiden. Dalam hal ini, penulis mengusulkan bahwa DPD harus menjadi
pemutus akhir dalam proses pemberhentian Presiden seperti di negara lain yang menganut sistem
pemerintahan presidensial dengan struktur parlemen bikameral.
Kesimpulan
Dari hasil pemaparan penelitian ini, penulis ingin menyampaikan beberapa poin yang dapat
disimpulkan, yaitu:
1. Proses pemberhentian Presiden di negara dengan sistem pemerintahan presidensial dan
struktur parlemen bikameral pada umumnya melibatkan dua kamar. Pada umumnya,
Kamar pertama sebagai pihak yang melakukan penuntutan dan kamar kedua sebagai
pihak yang memutuskan. Walaupun terdapat perbedaan antara negara yang bikameral
simetris dan bikameral asimetris. Di negara yang menggunakan bikameral simetris kamar
kedua terlibat secara kelembagaan dalam proses pemberhentian Presiden dalam hal
memutus ataupun bersama dengan kamar pertama dalam bentuk joint session. .Hal ini
bertujuan agar di dalam proses pemberhentian Presiden terjadi checks and balances
sehingga Presiden tidak secara mudah diberhentikan. Sementara itu, di negara yang
menggunakan bikameral asimetris terdapat negara yang melibatkan kamar kedua dalam
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
proses pemberhentian Presiden namun ada juga yang tidak melibatkan kamar kedua
dalam proses pemberhentian Presiden.
2. Secara garis besar proses pemberhentian Presiden di Indonesia melibatkan 3 lembaga
tinggi negara yaitu DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR. DPR berperan dalam proses
penuntutan lalu Mahkamah Konstitusi berperan sebagai lembaga yang memberikan
pendapat apakah terdapat pelanggara hukum atau tidak dan apakah Presiden dan/atau
Wakil Presiden masih memenuhi syarat atau tidak, lalu MPR berperan sebagai lembaga
yang memberikan keputusan politik apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden layak
untuk dimakzulkan. DPD di dalam proses pemberhentian Presiden tidak berperan secara
kelembagaan namun berperan secara keanggotaan di dalam MPR.
Saran
Dari hasil penelitian yang dilakukan, penulis ingin memberikan saran berkaitan dengan
proses pemberhentian Presiden di Indonesia:
1. Proses pemberhentian Presiden di Indonesia belum menunjukan mekanisme checks and
balances secara murni. Hal ini terlihat bahwa tidak adanya peran DPD secara
kelembagaan. Padahal, DPD merupakan lembaga perwakilan yang merupakan
representasi daerah yang kedudukannya harus disamakan dengan lembaga perwakilan
yang lain yaitu DPR. Selain itu, proses pemberhentian Presiden di Indonesia
menempatkan penuntut dalam hal ini DPR berperan juga dalam proses pemutusan di
dalam MPR sebagai bagian dari anggota MPR. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip checks
and balances yang menempatkan kedudukan yang berbeda antara penuntut dan pemutus
baik secara kelembagaan maupun keanggotaan.
2. DPD sebagai lembaga perwakilan harus diperkuat fungsi dan kewenangannya agar checks
and balances antar lembaga tinggi negara semakin baik.
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
Daftar referensi:
Arsil, Fitra. 2015. Koalisi partai politik di Indonesia: kajian terhadap pengaturan dan praktik
terkait koalisi partai politik di Indonesia periode 1945-1959 dan 1998-2014. Disertasi
Doktor Universitas Indonesia. Jakarta, 2015.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
____. Pengantar ilmu hukum tata negara, jilid 2. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006
____. Pengantar ilmu hukum tata negara, cet. 4. Jakarta: Rajawali Pers, 2012
Fatmawati. Struktur dan fungsi legislasi parlemen dengan sistem multikameral. Disertasi Doktor
Universitas Indonesia. Jakarta, 2009.
Linan, Anibal Perez. Presidential impeachment and the new political
iInstability in Latin America. New York: Cambridge University Press, 2007.
Mamuji, Sri, et.al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Manan, Bagir. Lembaga Kepresidenan, cet.2. Jakarta: FH UII Press, 2003.
Nursyamsi, Fajri. Pergantian Presiden Republik Indonesia Dengan Dasar “Tidak Dapat
Melakukan Kewajibannya” dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945. Tesis Magister Universitas Indonesia. Jakarta, 2016.
Soekanto Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3. Jakarta: UI-Press, 2012.
Wasito, Wiwik Budi. Mekanisme, wewenang, dan akibat hukum pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Tesis Magister
Universitas Indonesia. Jakarta, 2009.
Zoelva, Hamdan. Impeachment presiden: alasan tindak pidana pemberhentian presiden menurut
uud 1945. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016