PERDAGANGAN INTERNASIONAL KESULTANAN BANTEN
AKHIR ABAD XVI-XVII
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Magister Humaniora (M. Hum) Jurusan Magister Sejarah dan
Kebudayaan Islam pada Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
Ikot Sholehat
NIM: 21160221000005
PROGRAM STUDI MAGISTER
SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2019 M
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim, segala puji bagi Allah, Rabb Semesta
Alam yang telah mengaruniakan nikmat kepada penulis berupa
kesempatan memasuki dunia keilmuan dan memberi kekuatan dalam
menuntaskan penulisan tesis yang merupakan kewajiban sebagai
mahasiswa pada Program Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam di
Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Hadirnya karya ini tidak sekadar sebagai
pemenuhan syarat formal bagi gelar Magister Humaniora, tapi lebih jauh
untuk meningkatkan kapasitas diri sebagai pembelajar sejarah dan
menangkap makna dari peristiwa.
Tesis yang saya beri judul “Perdagangan Internasional
Kesultanan Banten Akhir Abad XVI-XVII” bertujuan merekonstruksi
perdagangan di Banten dalam sektor ekspor-impor serta melalui
serangkaian kebijakan ekonominya atas perdagangan bebas di Banten.
Beralih ke balik layar, penulisan karya ini tidak terlepas dari
dukungan orang-orang hebat dan kuat yang turut menguatkan penulis
sejak mula hingga purna. Maka di kesempatan ini, penulis menghaturkan
penghargaan dan rasa terimakasih kepada:
1. Saiful Umam, M.A., Ph.D., selaku dekan Fakultas Adab dan
Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Abdullah, M.Ag., selaku ketua Program Magister Fakultas Adab
dan Humaniora
3. Amelia Fauzia, M.A., Ph.D., selaku ketua Program Magister Sejarah
dan Kebudayaan Islam.
viii
4. Muknin Suprayogi, M.Si., selaku sekretaris Program Magister
Sejarah dan Kebudayaan Islam.
5. Dr. H. abdul chair, M.A., selaku pembimbing yang totalitas
mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya, serta memberi jalan
pada penemuan sumber-sumber sejarah bagi penulisan ini.
6. Dr. Awalia Rahma, M.A., sebagai penguji I yang telah
menyampaikan pandangan, kritik, dan saran sejak WIP hingga
sidang promosi.
7. Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag., sebagai penguji II yang telah
menyampaikan pandangan, dan kritiknya pada sidang promosi
8. Prof. Dr. Dien Madjid, selaku penguji Ujian Komprehensif (WIP 2)
yang telah menyampaikan pandangan, kritik, dan saran sejak sidang
komprehensif hingga promosi.
9. Prof. Dr. Budi Sulistiono, Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, Dr. Halid,
M.Ag, Dr. Frans Sayogie, Dr. Abdul Wahid Hasyim, M.Ag, Dr.
Zakiya Darajat, dan Dr. Darsita Suparno, selaku para dosen
pengampu berbagai mata kuliah yang telah memberikan banyak
ilmu semasa penulis menempuh studi pada Program Magister SKI.
10. Para sahabat Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam dan Bahasa
dan Sastra Arab Angkatan 2016.
11. Para sahabat di sepanjang pergaulan yang selalu memberi dukungan.
12. Kakak-kakak tersayang, yang selalu memberikan semangat serta
membantu dengan penuh perhatian.
13. Kedua orang tua tercinta, Bapak M. Lani, A. Ma, dan ibu
Hamdanah, yang telah memebrikan doa dan semangatnya hingga
bisa menyelesaikan pendidikan ini, dan untuk keduanya hasil
perjuangan ilmiah ini kupersembahkan.
ix
Akhirnya, semoga karya ini bernilai manfaat bagi keilmuan dan
siapapun yang berminat pada kajian ini.
x
ABSTRAK
Ikot Sholehat, Perdagangan Internasional Kesultanan Banten Akhir
Abad XVI-XVII.
Berdasarkan latar belakang sejarah dan posisinya pada jalur
pelayaran internasional, serta sebagai akibat adanya interaksi antar-
bangsa yang menyertai kegiatan perdagangan, Kesultanan Banten
menjelma sebagai bandar perdagangan internasional akhir abad XVI-
XVII. Adapun objek kajian dalam penelitian perdagangan internasional
Kesultanan Banten pada akhir abad XVI-XVII ini diteliti menggunakan
metode sejarah dengan pendekatan ekonomi politik. Dengan rumusan
masalah yang dibahas adalah bagaimana kegiatan ekspor-impor dan
faktor yang menyebabkan fluktuasi perdagangan di Kesultanan Banten.
Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui kegiatan ekspor-impor dan
faktor penyebab fluktuasi harga dalam perdagangan di Kesultanan
tersebut. Teori yang digunakan oleh penulis dalam analisis kajian ini
adalah teori merkantilisme dan teori ekonomi.
Berdasarkan hasil analisis sumber menunjukkan beberapa
temuan dalam penelitian. Pertama, Akhir abad XVI-XVII menunjukkan
bahwa kegiatan perdagangan mengalami peningkatan. Kegiatan
perdagangan di Banten akibat adanya interaksi antar bangsa dalam skala
yang besar, hingga menjadikan Kesultanan Banten sebagai pemegang
kontrol atas kegiatan perekonomian internasional. Kedua, fluktuasi
harga disebabkan adanya faktor ekonomi politik internal dan eksternal
serta peruabahan iklim dan cuaca yang tidak menentu mengakibatkan
beberapa penyakit dan hama banyak menyerang tanaman komoditas.
Kata kunci: perdagangan internasional, ekspor-impor, politik-ekonomi,
Banten, abad XVI-XVII
xi
ABSTRACT
Ikot Sholehat, International Trade of the Sultanate of Banten in the Late
XVI-XVII Century.
Based on the historical background and its position on the
international shipping lane, and as a result of inter-nation interaction that
accompanied trade activities, the Sultanate of Banten was transformed
as an international trading port at the end of the XVI-XVII century. The
object of study in the research of international trade in the Sultanate of
Banten at the end of the XVI-XVII century was examined using
historical methods with a political economy approach. With the
formulation of the problem discussed is how the export-import activities
and factors that cause trade fluctuations in the Sultanate of Banten. This
study is intended to determine export-import activities and the factors
causing price fluctuations in trade in the Sultanate. Theories used by the
authors in the analysis of this study are mercantilism and economic
theory.
Based on the results of the analysis of the sources showed several
findings in the study. First, the end of the XVI-XVII centuries showed
that trading activities increased. Trade activities in Banten due to
interaction between nations on a large scale, to make the Sultanate of
Banten as the holder of control over international economic activities.
Second, price fluctuations are caused by internal and external political-
economic factors as well as climate and weather changes which cause
erratic several diseases and pests to attack many commodity crops.
Keywords: international trade, export-import, political-economy,
Banten, XVI-XVII century
xii
Glosarium
Bahar : Satuan ukuran berat, 3 bahar = 1 pikul
Dacing : Alat untuk menimbang sesuatu berupa tongkat yang
diberi skala yang dilengkapi dengan anak timbangan dan
tempat untuk meletakkan barang (yang ditimbang,
digantungkan pada tongkat tersebut).
Fluktuasi : Gejala yang menunjukkan turun-naiknya harga,
perubahan (harga tersebut) karena pengaruh permintaan
dan penawaran
Heeren XVII : Dewan direktur (direksi) yang menjalankan perusahaan
khusus yaitu Perusahaan Dagang Hindia timur Belanda
(VOC).
Jeneng/Jinjem : Pegawai Banten yang ditempatkan di Lampung sebagai
perwakilan dari Banten. Bertugas sebagai pengawas
perkebunan lada di Lampung.
Jung : Sejenis kapal layar, yang banyak terdapat di
perairan Asia Tenggara sampai ke pantai Timur Afrika
Lbs /pound : Satuan massa atau berat di sejumlah sistem perdagangan.
Peti : Alat menyimpan barang dagang seperti rempah-rempah
dan lainnya.
Picol : Satuan berat tradisional yang dipakai di Jawa dan
sekitarnya.
Ponggawa : Perwakilan dari Banten dari kaum bangsawan
Regerings Reglement: Undang-Undang yang mengatur mengenai
pemerintahan jajahan. UU ini dikeluarkan pada
tahun 1815.
Shilling : Satuan keuangan dan pernah digunakan pada banyak
negara termasuk Inggris.
Stuiver : Uang receh atau uang koin yang bernilai 5 sen atau
1/20 gulden.
Syahbandar: Pejabat kerajaan yang bertugas mengatur dan mengawasi
perdagangan.
xiii
Daftar Tabel
Tabel 1. Perkiraan ukuran kawasan Kota Surosowan ......... 75
Tabel 2. Komoditas Jaringan pedagangan lokal Banten...... 85
Tabel 3. Keluar-masuk kapal pedagang .............................. 100
Tabel 4. Perdagangan Jung Banten dan Asia Tenggara ...... 102
Tabel 5. Perlayaran kapal-kapal Nusantara tahun 1636 ...... 103
Tabel 6. Kapal-kapal dagang ............................................... 104
Tabel 7. Komoditas impor pedagangan mancanegara ......... 153
Tabel 8. Pengiraman lada dari Asia Tenggara ke Belanda .. 164
Tabel 9. Ekspor lada dari Banten......................................... 165
Tabel 10. Harga lada di Eropa tahun 1500-1649 ................. 169
Tabel 11. Pengiriman lada dari Asia Tenggara ke Inggris .. 171
Tabel 12. Impor perusahaan Inggris dari lada hitam ........... 172
Tabel 13. Stok lada tahun 1650 ........................................... 175
Tabel 14. Pengiriman lada ke Perusahaan Eropa ................ 179
Tabel 15. Ekspor gula ke Belanda oleh VOC ...................... 185
Tabel 16. Harga gula di Amsterdam tahun 1631-1637 ....... 186
Tabel 17. Import beras Kesultanan Banten ......................... 197
Tabel 18. Distribusi uang real dan uang Belanda ................ 206
Tabel 19. Penyebaran uang perak dan emas ........................ 207
Tabel 20. Pajak Kesultanan Banten ..................................... 217
Tabel 21. Fluktuasi harga beras tahun 1675-1678 ............... 223
Tabel 22. Fluktuasi harga lada dalam beberapa tahun......... 228
xiv
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ............................... iv
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................... v
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................ vi
KATA PENGANTAR ....................................................... vii
ABSTRAK .......................................................................... x
GLOSARIUM .................................................................... xii
DAFTAR TABEL .............................................................. xiii
DAFTAR ISI ...................................................................... xiv
BAB I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah .................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah .......................................... 13
1.3 Pembatasan Masalah.......................................... 14
1.4 Perumusan Masalah ........................................... 15
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................... 16
1.6 Sistematika Pembahasan ................................... 17
BAB II. Metodologi
2.1 Metode Penelitian .............................................. 18
2.2 Landasan Teori .................................................. 21
2.3 Pendekatan ......................................................... 28
2.4 Kajian Pustaka ................................................... 32
2.5 Kerangka Pemikiran .......................................... 45
2.6 Bagan Kerangka Berpikir .................................. 50
BAB III. Gambaran Umum Wilayah Kesultanan Banten
3.1 Letak Geografis ................................................. 51
3.2 Sejarah Singkat .................................................. 58
xv
3.3 Penduduk dan Mata Pencaharian ....................... 67
BAB IV. Perdagangan Kesultanan Banten Akhir Abad XVI-XVII
4.1 Jaringan Perdagangan Kesultanan Banten ......... 79
4.2 Pelaku Perdagangan di Kesultanan Banten ....... 86
4.3 Peran Pasar Dalam Perdagangan ....................... 106
BAB V. Ekonomi Politkik dan Perdagangan Bebas
5.1 Buka-Tutup Sistem Perdagangan Bebas............ 118
5.1.1 Sistem Perdagangan Bebas (Terbuka) ..... 118
5.2.2 Sistem Perdagangan Bebas (Tertutup)..... 139
5.2 Komoditas Perdagangan Bebas ......................... 147
BAB VI. Perdagangan Internasional Kesultanan Banten Akhir
Abad XVI-XVII
6.1 Kegiatan Ekspor-Impor Perdagangan ................ 155
6.1.1. Perdagangan Lada ................................... 155
2. Perdagangan Gula ................................... 181
3. Perdagangan Beras ................................ 191
6.2 Penerapan Bea Cukai dan Pajak ........................ 198
6.2 Penggunaan Mata Uang ..................................... 209
6.3 Fluktuasi Perdagangan ....................................... 217
6.3.1. faktor internal .................................. 217
2. faktor eksternal ................................ 225
BAB VII. Penutup
6.1 Kesimpulan ........................................................ 233
6.2 Saran .................................................................. 235
DAFTAR PUSTAKA ........................................................ 236
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perdagangan telah lama menjadi faktor yang membuat interaksi
antar bangsa. Interaksi tersebut terjadi karena sistem perdagangan yang
menempatkan mayoritas kerajaan di Nusantara terlibat dalam
perdagangan internasional maupun domestik. Sistem perdagangan
Nusantara terbentuk selama berabad-abad dari zaman Kerajaan Hindu-
Buddha hingga Kerajaan Islam, sehingga membentuk suatu jaringan
perdagangan yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, bahkan telah
menjadi sebuah jaringan kultural.1
Banten pada masa lalu tercatat sebagai pusat perdagangan
internasional. Seperti dalam sumber Cina yang berjudul Shung Peng
Hsiang Sung (1430), yang menyebut nama Banten (Bantam) sebagai satu
dari beberapa daerah yang menjadi rute pelayaran mereka, hingga berita
Tome Pires (1513) yang menggambarkan Banten sebagai sebuah kota
pelabuhan yang ramai.2
Terdapat faktor eksternal dan internal yang mendukung rute
pelayaran yaitu: eksternal, berupa semangat dunia yang mendorong
ditemukannya jalur-jalur pelayaran baru yang secara otomatis membuka
wilayah-wilayah baru, termasuk Banten yang menjadi satu di antara mata
rantai yang terbentuk. Faktor internal, berupa sumber daya alam berupa
1 Gandung Ismanto, Menemukan Kembali Jati Diri dan Kearifan Lokal
Banten, (Banten: Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2006), h. 2 2 Gandung Ismanto, Menemukan Kembali Jati Diri dan Kearifan Lokal
Banten… h. 2
2
rempah-rempah. Sumber daya alam Banten memang sangat mendukung
terbentuknya sebagai bandar perniagaan internasional.3
Bersamaan dengan perkembangan Banten, komoditas sumber
daya alam berupa lada, beras, gula, cengkeh dan lainnya berkembang
pesat dalam perdagangan internasional. Lada menjadi komoditas
perdagangan monopoli oleh keluarga Sultan dan penguasa lainnya. oleh
karena itu, sejumlah besar bangsawan bekerjasama dengan pedagang-
pedagang asing. Perdagangan tersebut memberikan penghasilan utama
bagi kesultanan. Sebagai tambahan, pajak dari ekspor barang dan bea
pelabuhan juga berkontribusi secara signifikan bagi kemajuan Banten.4
Kesultanan Banten yang berdiri pada tahun 1525 memiliki
teritorial hingga ke daerah-daerah yang meliputi Jasinga, Tangerang dan
Lampung. Aktivitas perdagangan dan kerjasama Banten dengan
pedagang asing, seperti Cina, Portugis, Inggris dan Belanda membuat
perjanjian dagang yang mengatur sistem ekspor-impor pedagangan di
Banten.5
Secara geografis Banten terletak di ujung Pulau Jawa, antara
Selat Sunda dengan Laut Jawa. Daerah perbatasan Samudra Hindia dan
Laut Cina Selatan. Oleh karena itu Banten dianggap sebagai pelabuhan
perdagangan terpenting antara negara-negara di Asia Selatan dan Cina
sebelum pedagang Eropa tiba di Banten. Selain sebagai tempat
perdagangan ekspor-impor, pelabuhan pun digunakan sebagai tempat
3 Adeng, “Pelabuhan Banten Sebagai Bandar Jalur Sutra”. Patanjala. Vol. 2,
No. 1, Maret 2010: 80-94, h. 92. 4 M.A.P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), h. 402. 5 Ota Atsushi, Perubahan Rejim dan Dinamika Sosial di Banten; Masyarakat,
Negara, dan Dunia Luar Banten 1750-1830, (Serang: Fakultas Ushuluddin dan
Dakwah Press, IAIN SMH Banten, 2009), h. 16.
3
pertukaran informasi baik kebudayaan maupun pengetahuan antara
bangsa-bangsa Asia.6
Banten kota pemerintah Kerajaan Islam dan pusat perdagangan
regional maupun internasional. Sekaligus juga sebagai kota konsumtif7
dan produktif8 yaitu pusat ibadah, pusat administrasi dan perdagangan.9
Daerah ini berada di bawah pimpinan seorang dipati dan ditempatkan di
Bandar Banten dengan kotanya di tepi sungai. Banten merupakan bandar
Kerajaan Sunda di samping bandar Pontang, Chiqude (Cikande),
Tanahara, Calapa dan Cimanuk,10 yang merupakan pelabuhan kekuasaan
Sunda sebelum Banten memisahkan diri dari Kerajaan Sunda.
Pusat kota Banten berperan sebagai wilayah ekonomi, terutama
pelabuhan yang menjadi jalur ekspor dan impor. Kemajuan perdagangan
di Banten ditunjang juga oleh beberapa hal diantaranya: Pertama, adanya
hubungan antara pasar dunia dengan pasar domestik. Kedua, adanya
hubungan antara pelabuhan dengan daerah pedalaman di Nusantara
maupun pelabuhan di berbagai negara dalam konteks keluar masuknya
barang, terbentuknya jalur-jalur transportasi, dan terbentuknya pusat-
pusat pengumpulan barang dagangan di tempat-tempat tertentu. Ketiga,
6 Halwany Michrob, Catatan Sejarah dan Arkeologi Ekspor-Impor, (Serang:
Kamar Dagang dan Industri Daerah (KADINDA), 1993), h. 14. 7 Banten dikatakan sebagai kota konsumtif karena saat itu perilaku penduduk
yang boros yang mengkonsumsi barang atau jasa secara berlebihan, yang lebih
mendahulukan keinginan dari pada kebutuhan. Hal ini terjadi bukan hanya pada para
para pedagang tetapi penduduk lokal terutama dari kalangan bangsawan. 8 Sedangkan kota produktif merupakan kota yang saat itu Banten mampu
menghasilkan produksi barang dan jasa dalam jumlah besar. 9 Halwany Michrob, Ekspor Impor di Zaman Kesultanan Banten, (Serang:
Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda), 1989), h. 36. 10 Uka Tjandrasasmita, Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), h. 24
4
hubungan antara kegiatan perdagangan dengan pembentukan kota
dagang itu sendiri.11
Pertumbuhan Banten sangat berkembang di abad akhir XVI
sampai abad XVII. Kehidupan ekonominya menitikberatkan pada
perdagangan dan pelayaran, sehingga aktivitas ekspor-impor semakin
meningkat. Kekuasaan ekonomi dipegang oleh kaum ningrat yang
mendominasi perdagangan sebagai pemodal. Pengawasan terhadap
perdagangan dan pelayaran merupakan sendi-sendi kekuasaan mereka
ingin memperoleh hasil pajak yang besar.12
Perkembangan ekonomi Banten cukup cepat karena selain
letaknya yang strategis, juga banyak para pedagang dengan membawa
komoditi rempah-rempah dari berbagai daerah di Nusantara ke
pelabuhan untuk di ekspor. Hal ini, membuat Banten semakin dikenal,
karena adanya perdagangan lada dari Indrapura, Lampung dan
Palembang.13
Ramainya pelabuhan Banten, berkembang menjadi kota
perdagangan dan pelabuhan internasional. Sebagai pusat perdagangan,
menjadikannya banyak dikunjungi oleh para saudagar dari kerajaan-
kerajaan Islam di Nusantara, saudagar Cina, Eropa dan negara Asia
lainnya,14 sehingga para pedagang asing menempati kampung-kampung
di Banten. Tumbuhnya Kampung Pecinan (perkampungan orang-orang
Cina), dan Kampung Pekojan (perkampungan orang Arab).
11 Adeng, “Pelabuhan Banten Sebagai Bandar Jalur Sutra”… h. 87. 12 Halwany Michrob, Catatan Sejarah dan Arkeologi Ekspor Impor… h. 14 13 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru (1500-1900) dari
Emporium sampai Imperium I, (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 68. 14 Uka Tjandrasasmita, Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra... h. 59.
5
Faktor yang mendukung berkembangnya Banten sebagai pusat
perdagangan internasional adalah sebagai berikut:
1. Banten terletak di ujung Barat pulau Jawa dan memiliki
pelabuhan dengan sarana yang baik.
2. Kedudukan Banten yang sangat strategis menjadikan daya
tarik tersendiri untuk berlayar dan berdagang bagi kalangan
pedagang Islam maupun pedagang asing.
3. Banten memiliki bahan rempah-rempah dengan kualitas yang
sangat baik, sehingga menjadi daya tarik yang kuat bagi
pedagang di Banten.15
4. Tumbuhnya perkampungan-perkampungan pedagangan
asing di Banten.
Pesatnya aktivitas ekspor-impor perdagangan internasional yang
berlangsung di Banten akibat jatuhnya Malaka ke tangan Portugis 1511.
Oleh karena itu, para pedagang mencari tempat niaga lainnya yang
menyediakan barang-barang yang dicari oleh para pedagang. Karena
Malaka pada masa itu telah dikuasai Portugis, bahkan di pelabuhan
tersebut akan terjadi transaksi jual beli berbagai komoditas di Banten
para pedagang itu berasal dari Arab, Abesinia, Belanda, Cina, Denmark,
Gujarat (India), Inggris, Portugis, Prancis, Persia, danTurki.16
Kegiatan ekspor-impor perdagangan Banten sangat maju dan
bahkan Banten dapat dianggap sebagai sebuah kota pelabuhan
emporium, tempat barang-barang dagangan dari berbagai penjuru dunia
15 M.C. Ricklef, Sejarah Modern Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada
Universitas Press, 1995), h. 56-57. 16 Boedhihartono, dkk. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem Sosial,
(Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 141.
6
digudangkan dan kemudian didistribusikan. Situasi di Karangantu sangat
dikembangkan, ini terbukti didominasi oleh pedagang seperti, dari
Tiongkok membawa barang dagangan berupa porselen, sutra, beludru,
benang emas, jarum dan lain-lain.17
Pedagang Persia dan Arab menjual permata dan obat-obatan.18
Pedagang dari Gujarat menjual kain dari bahan kapas dan sutra.
Sementara itu, pedagang Portugis membawa barang dagangan berupa
kain dari India.19 Para pedagang dari Nusantara, seperti dari Cirebon,
Makassar, Sumbawa, Palembang, Maluku dan lain-lain membawa
barang dagangan dari daerahnya masing-masing.20
Pedagang asing yang datang dengan jumlah yang besar di Banten
pada awal abad XVII adalah pedagang Turki, Bengal, Cina, Persia,
Melayu, Arab, Pegu dan Gujarat.21 Orang-orang Persia yang ada di Jawa
biasanya mendapatkan penghasilan dari menjual obat-obatan dan batu
mulia. Orang-orang Pegu dan Arab melakukan perdagangan laut,
membawa barang-barang dagangan dari satu kota ke kota lain. Orang-
orang Pegu dan Arab merupakan pedagang perantara yang menjual
barang dagangan Cina ke pulau-pulau di Nusantara, dan kemudian
17 Halwany Michrob, dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa lalu Banten,
(Serang: Saudara, 1993), h. 82. 18 Halwany Michrob, dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa lalu Banten… h.
82 19 Halwany Michrob, dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa lalu Banten… h.
83 20 Halwany Michrob, dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa lalu Banten,
(Serang: Saudara, 1993), h. 82-83. 21 Supratikno Rahardjo, “Bandar Jalur Sutra” (Kumpulan Makalah Diskusi).
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998), h. 25.
7
barang-barang yang berasal dari pulau-pulau tersebut dijual kembali ke
pedagang Cina.22
Orang Keling dan Melayu yang nampak memiliki kedudukan
sedikit lebih tinggi, dibandingkan dengan orang Arab, Pegu dan Gujarat.
Mereka adalah saudagar yang memberikan modal (orang Keling dan
Melayu sebenarnya adalah pemasok uang dan barang) dengan bunga
tertentu maupun piutang untuk kebutuhan pelayaran. Bunga hutang
tersebut adalah keuntungan dua kali lipat yang harus diberikan kepada
pemberi modal yang telah disepati dalam peminjaman modal oleh para
pedagang. Jika para peminjam modal tidak bisa memberikan bunga
tersebut, maka orang-orang Keling dan Melayu akan mengambil semua
barang dagangan bahkan kapal-kapal mereka.23
Selain itu pedagang Cina kebanyakan berdagang dalam jumlah
yang besar. Berbeda dengan orang-orang Keling maupun Melayu, orang
Gujarat lebih miskin,24 sehingga mereka mendapatkan penghasilan dari
agunan kapal (agunan atau jaminan adalah aset pihak peminjam yang
dijanjikan kepada pemberi pinjaman jika peminjam tidak dapat
mengembalikan pinjaman tersebut) dan menjadi pelaut sewaan.25
22 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2:
Jaringan Perdagangan Global, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h.
81. 23 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2:
Jaringan Perdagangan Global… h. 394. 24 G. P, J. Rouffaer, W. Ijzerman, De Eerste Schipvaart Der Nederlanders
Naar Oost-Indie Onder Cornelis De Houtman 1595-1597., (S’gravenhage: Martinus
Nijhoff, 1915), h. 121. 25 Willem Lodewijcksz, Prima Pars Descriptionis Itineris Navalis in Indiam
Orientalem, Earvmqje Rervm Qvae Navibvs Battavis Occvueevnt, (National Central
Library of Rome: Ex Officina Cornelij Nicolaj, Typographi Ad Symbolum Diarij, Ad
Aquam, 1598), h. 120-121.
8
Pedagang Asia di Banten mendapat saingan dari pedagang Eropa
yang singgah di Pelabuhan Banten. Bahkan, mereka menetap di Banten
guna menjalankan perdagangan mereka. Persaingan antar pedagang
Asia-Eropa (Cina dan Belanda), dan persaingan sesama pedagang Eropa
(Belanda dan Inggris) meramaikan perdagangan internasional Banten.
Belanda harus bersaing dengan Inggris dan negara-negara lainnya dalam
menancapkan pengaruh di Banten.26 Oleh sebab itu, VOC mendirikan
markas besar di Batavia yang secara geografis dekat dengan Banten.
Tahun 1603, untuk pertama kalinya VOC berhasil mendirikan
kantor dagang di Banten, yang merupakan kantor pertama di Nusantara.
Sementara Inggris pun mendapat kompensasi yang sama, sehingga
Banten menjadi area persaingan para pedagang Eropa. Ketika VOC
menguasai perdagangan di Banten, pola perdagangan masih berjalan
dengan baik. Pada awal kehadirannya, mereka berusaha menyesuaikan
diri dengan pola perdagangan yang ada. Mereka harus melakukan
pendekatan persuasif dengan menjalin hubungan persahabatan yang baik
dengan penguasa Banten dengan cara memberikan berbagai
persembahan yang pantas karena merekalah yang memiliki wewenang
untuk menentukan siapa saja yang boleh berdagang di wilayahnya.
Bahkan mereka pula yang memiliki hak monopoli penjualan terhadap
produk utama (lada, gula, beras) di wilayah kekuasaannya.27
Permasalahan timbul dengan kehadiran pedagang Eropa lainnya
seperti Inggris dan Perancis di kawasan Pantura Jawa khususnya di
Banten. Kehadiran orang-orang Eropa telah meningkatkan persaingan
26 Nina. H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara.
(Jakarta: LP3ES, 2004), h. 35 27 J.Th. Vermeulen, Tionghoa di Batavia dan Huru Hara 1740 (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2010), hlm. 4.
9
tawar-menawar kepada Sultan Banten, untuk mendapatkan hak
monopoli. Persaingan dagang VOC tidak hanya dengan negara-negara
Eropa, juga terjadi antara VOC dengan penguasa lokal, persaingan untuk
berebut monopoli.28
Penguasa setempat yang menerapkan monopoli penjualan
dilawan VOC dengan memaksakan monopoli pembelian. Pada awalnya
hal itu dilakukan dalam rangka menstabilkan harga (terutama dalam
penjualan lada) yang sangat fluktuatif yang merugikan kompeni Eropa.
Dengan monopoli pembelian yang ditegakkan dengan kekerasan senjata,
VOC mendapatkan harga yang murah dan dijual dengan harga yang
setinggi mungkin sehingga mendapatkan keuntungan yang besar.29
VOC juga memperlakukan orang-orang Cina sebagai partner
dagang yaitu sebagai agen-agen. Ketika VOC berdagang di Banten,
orang-orang Cina yang sudah memiliki semacam lisensi dari penguasa
menyediakan komoditi lada untuk VOC. Sebaliknya mereka berharap
VOC dapat menukarnya dengan sutra, porselen serta barang-barang lain
dari negeri Cina. Dengan cara demikian VOC memperoleh muatan yang
memadai. Situasi semacam ini telah memaksa VOC untuk melakukan
perdagangan intra-Asia untuk memperoleh berbagai komoditi yang
dapat ditukar dengan barang komoditi untuk diangkut ke Eropa. Hal
inilah yang menyebabkan berkembangnya kenyataan bahwa kehadiran
28 Singgih Tri Sulistiyono, “Peran Pantai Utara Jawa Dalam Jaringan
Perdagangan Rempah”. Makalah disajikan pada Seminar Nasional mengenai Jalur
Rempah dengan tema “Rempah Mengubah Dunia”. (Makassar: 11-13 Agustus 2017),
h. 16. 29 Singgih Tri Sulistiyono, Peran Pantai Utara Jawa dalam Jaringan
Perdagangan Rempah… h. 16.
10
para pedagang Eropa bukan hanya meramaikan perdagangan global
namun juga perdagangan intra-Asia.30
Perdagangan di Banten mengalami puncak kejayaan pada masa
Sultan Abu Al-Fath Abdul Fattah (1651-1683)31 yang terkenal dengan
sebutan Sultan Ageng Tirtayasa. Sistem perdagangan yang dipakai oleh
Sultan Ageng adalah perdagangan bebas32 seperti yang dipakai oleh
negara-negara lain seperti Inggris, Denmark, Mekkah, Coromandel,
Benggala, Siam, Tonkin dan Cina. Sultan Ageng Tirtayasa melakukan
kerjasama dengan negara-negara tersebut. Usaha Sultan Ageng dalam
bidang perdagangan pun berhasil, yaitu dengan menjadikan Pelabuhan
Banten sebagai pelabuhan internasional.33
Kegiatan ekspor-impor perdagangan internasional dengan
bangsa-bangsa Eropa dan lainnya. Perdagangan jelas merupakan
kegiatan investasi permodalan yang dalam masyarakat kerajaan
tradisional diartikan dengan istilah pre-industrial society, para
bangsawan, para penguasa juga turut mempunyai investasi
permodalannya. Penghasilan Kesultanan Banten bukan hanya dari bea
cukai barang dagang, tetapi juga dari pasar yang setiap hari memberikan
keuntungan untuk kas negara.34
30 J.Th. Vermeulen, Tionghoa di Batavia dan Huru Hara 1740… h. 6-7. 31 Nama asli Sultan Ageng Tirtayasa adalah Pageran Surya, kemudian ia
mendapat gelar setelah berangkat ke tanah suci yaitu Sultan Abu Al-Fathi Abdul Fattah.
Kemudian, mendapat gelar lagi setelah ia memerintah Kesultanan Banten yaitu Sultan
Ageng Tirtayasa. Lihat Uka Tjandrasasmita, Musuh Besar Kompeni Belanda, Sultan
Ageng Tirtayasa, (Jakarta: Yayasan Kebudayaan Nusalarang, 1987), h. 7-8. 32 Nina. H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama,
Jawara… h. 49. 33 Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2010), h. 85 34 Uka Tjandrasasmita, “Banten Sebagai Pusat Kekuasaan dan Niaga Antar
Bangsa”. Kumpulan makalah diskusi Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra, (Jakarta:
Depdikbud, 1995), h. 111.
11
Transaksi jual-beli di Banten dapat dilakukan dengan mata uang
yang berlaku dan ada pula melalui transaksi tertulis baik antara pedagang
maupun penguasa. Perdagangan di Banten termasuk sistem Commenda35
pada abad XVI-XVII yaitu merupakan sistem perdagangan berupa
kontrak peminjaman uang sebagai modal untuk melakukan suatu usaha
kegiatan berlayar dengan modal tersebut. Bahkan sistem ini dijalankan
oleh beberapa kerajaan di Nusantara.36
Seiring dengan peningkatan perdagangan yang mendatangkan
kemakmuran dan sebagai kekuatan negara, Kesultanan Banten berupaya
memperluas daerah kekuasaannya ke daerah yang dapat menguntungkan
perekonomian Banten. Di samping itu, Kesultanan Banten pun berupaya
menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara
seperti: Cirebon, Demak dan Mataram. Hubungan Banten dengan
kerajaan lain dikhususkan untuk meningkatkan ekonomi di kerajaan-
kerajaan tersebut.37
Berkembangnya bandar pelabuhan Banten, sangat
menguntungkan bagi tata niaga lada, gula, beras dan rempah-rempah
lainnya sebagai komoditas utama. Hal ini antara lain menjadi salah satu
daya tarik bagi para pedagang asing untuk mengadakan transaksi dagang.
Adanya monopoli perdagangan yang dijalankan oleh bangsa-bangsa
Eropa mengakibatkan terjadinya konflik dengan Kesultanan Banten.38
35 Sistem commenda disebut juga sistem perdagangan yang dilakukan oleh
para usahawan yang mempunyai modal tinggi. 36 J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society: Essay in Asia Social and
Economic History, (Bandung: Sumur Bandung, 1960), h. 230. 37 Edi. S. Ekadjati, “Kesultanan Banten dan Hubungan dengan Wilayah
Luar”. Kumpulan Makalah Diskusi… h. 99 38 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru (1500-1900) dari
Emporium sampai Imperium I… h. 81
12
Memburuknya hubungan Banten dengan orang-orang Eropa
akibat adanya blokade yang merugikan Banten. Banyak perahu-perahu
dagang Cina yang datang ke Banten dirampas dan dibawa ke Batavia.
Setelah VOC menguasai Banten dan memonopoli perdagangan.
Akhirnya di adakanlah perjanjian mengenai ekonomi perdagangan
antara VOC dan Banten yang secara praktis memperlemah kewibawaan
Banten.39 Blokade-blokade intensif dan ekstensif yang dilakukan oleh
Bangsa Eropa terutama VOC benar-benar mengakibatkan ekonomi
Banten mengalami penurunan dan kolepsnya perdagangan di Banten,
hingga menimbulkan fluktuasi harga bahkan bisa dikuasai oleh Bangsa
Eropa.40
Terbentuknya kegiatan ekspor-impor di Banten tidak lepas dari
perkembangan dunia internasional. Motif ekonomi perdagangan bebas
mendorong berbagai bangsa untuk mencari komoditas yang bernilai
tinggi. Permintaan pasar akan rempah-rempah meningkat pesat di
pasaran Eropa, sehingga menjadi salah satu faktor pendorong kegiatan
ekspor-impor. Ramainya kegiatan ekspor-impor di Banten adalah
komoditas yang ditawarkan. Komoditas yang dihasilkan di Banten
sangat beragam dan memiliki daya tarik sendiri. Faktor ekonomi-politik
internal dan eksternal serta perubahan iklim yang tidak menentu
mengakibatkan (fluktuasi) naik-turun harga dagang seiring dengan
kebutuhan para pedagang untuk memenuhi komoditas yang akan
diperdagangkan.
39 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru (1500-1900) dari
Emporium sampai Imperium I… h. 81. 40 Halwany Michrob, Catatan Sejarah dan Arkeologi Ekspor-Impor… h. 20.
13
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latarbelakang di atas, terdapat
sejumlah masalah yang dapat di identifikasi di antaranya:
1. Sistem perdagangan di Banten, sistem yang menerapkan
perdagangan bebas yang mencakup ekspor-impor pada
komoditas rempah-rempah.
2. Kebijakan ekonomi politik, pemerintah Banten yang telah
mengeluarkan beberapa kebijakan ekonomi politik dalam
perdagangan internasional. Kebijakan ini menjadi aturan bagi
para pedagang yang singgah dan melakukan transaksi di
Banten.
3. Kegiatan ekspor-impor, rempah-rempah masih menjadi
primadona bagi para pedagang Eropa. Komoditas dengan
kualitas yang sangat baik dan permintaan yang besar
menjadikan harga jual yang tinggi. Hal ini, terjadi pada
komoditas ekspor-impor lada, beras dan gula.
4. Faktor pendukung, berkembangnya Banten sebagai pusat
perdagangan internasional menjadikan sarana dan prasarana
harus memadai dalam proses perdagangan. Dengan adanya
faktor pendukung maka perdagangan di Banten menjadi lebih
mudah di jangkau oleh para pedagang baik lokal maupun
internasional.
14
C. Pembatasan Masalah
Penelitian ini bermaksud untuk mendeskripsikan dan
merekonstruksi sejarah perdagangan internasional Kesultanan Banten.
Penelitian ini harus dibatasi dan dirumuskan, untuk menjadi sebuah
penelitian yang terarah dan sitematis. Batasan penelitian ini difokuskan
pada wilayah Kesultanan Banten. Batasan temporalnya adalah akhir
abad XVI hingga abad XVII, sehingga penulis memfokuskan dalam satu
permasalah yaitu perdagangan internasional. Banten mempunyai peran
besar dalam ekspor-impor perdagangan dengan negara-negara di Asia
dan Eropa.
Meskipun demikian dianggap perlu juga untuk melihat lebih jelas
gambaran sejarah Kesultanan Banten secara keseluruhan dan
hubungannya dengan negara-negara di Asia dan Eropa. Sebagai tulisan
sejarah tidak bisa berdiri sendiri dalam arti tidak terlepas dari pengaruh
sebelumnya, maka tidak menutup kemungkinan penulis mengulas sejak
akhir abad XVI saat berlangsungnya perdagangan internasional di
Banten. Karena Kesultanan Banten saat itu karena berada di jalur jalan
dagang Nusantara dan juga merupakan jalur jalan dagang Asia dan jalan
dunia, di ujung barat Pulau Jawa, menjadikannya sangat stategis di dunia
Internasional.
Lingkup masalah juga dibatasi dan difokuskan pada lingkup
posisi dan kegiatan perdagangan di Kesultanan Banten, terutama
perdagangan internasional yang menyangkut ekspor-impor, pelaku
perdagangan, dan sistem perdagangan. Namun, tidak menutup
kemungkinan juga ikut dibahas kegiatan perdagangan di daerah lain
selain Kesultanan Banten, seperti di Batavia, Jepara dan daerah lainnya
di Nusantara. Karena daerah di Nusantara memberikan tidak hanya
15
sedikit peranan bagi Kesultanan Banten, karena Banten memiliki
posisinya yang strategis menghubungkan antara Pulau Jawa dan Pulau
Sumatra, maka ketergantungan wilayah/daerah lain terhadap Banten
sangat besar, bahkan tak hanya pedagang lokal di Nusantara, para
pedagang dari negara-negara Asia dan Eropa pun sangat membutuhkan
Banten sebagai pemasok rempah-rempah di negaranya.
D. Perumusan Masalah
Dalam mengkaji Kesultanan Banten akhir abad XVI-XVII
sebagai suatu kawasan dan aktifitas perdagangan, perlu ditinjau kondisi
masa lalunya sebagai pijakan ke masa sekarang. Berkaitan dengan hal
itu, maka ada beberapa kondisi menarik dan penting untuk di bahas yang
timbul dari masalah yang dialami di Kesultanan Banten, yaitu pertama,
posisi Banten berada di jalur perdagangan internasional. Kedua, sebagai
tempat yang dapat menghasilkan rempah-rempah dengan kualitas yang
baik. Sejak dulu rempah-rempah merupakan barang dagangan yang
begitu laris di pasaran, dan hasil bumi yang banyak terdapat di Banten
memang menjadi permintaan paling utama bagi masyarakat Eropa saat
itu, sehingga meningkatkan harga jual yang tinggi.
Berdasarkan pertimbangan historis dan pemikiran yang
dipaparkan dalam pembahasan di atas, penelitian ini memfokuskan
kajian terhadap “PERDAGANGAN INTERNASIONAL
KESULTANAN BANTEN AKHIR ABAD XVI-XVII.” Pelacakan
terhadap kajian diatas didasarkan permasalahan penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimana kegiatan ekspor-impor Kesultanan Banten?
16
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya fluktuasi
perdagangan di Banten?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Persoalan ekspor-impor perdagangan tidak dapat
diperbincangkan tanpa hubungannya dengan Kesultanan Banten,
keberadaannya sebagai tempat perdagangan internasional yang
memberikan sarana dan prasarananya. Oleh karena itu, penelitian ini
disamping bertujuan mengamati ekonomi Banten dalam sektor
perdagangan juga sesuai perumusan masalah di atas, tujuan yang ingin
di capai dalam penelitian sejarah adalah untuk mengetahui perdagangan
internasional akhir abad XVI-XVII, pada kegiatan ekspor-impor dan
fluktuasi harga.
Secara umum diharapkan adanya penelitian mengenai
perdagangan internasional Kesultanan Banten dapat dikenal oleh
masyarakat pada umumnya, sebagai salah satu sejarah penting di
nusantara. Selain itu, untuk memberikan manfaat bagi penulis untuk
lebih mengetahui dan memahami sejarah perkembangan ekonomi dalam
sistem perdagangan internasional khususnya pada sektor ekspor-impor.
Pengungkapan sejarah perdagangan internasional Kesultanan
Banten ini diharapkan menjadi suatu bahan masukan bagi kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan untuk kebijakan pemerintah serta
pengembangan pengelolaan perdagangan daerah Banten. Terutama bagi
pengembangan di Indonesia yang merupakan sebaran pulau-pulau yang
dipersatukan oleh laut.
17
F. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan gambaran global pada penelitian ini supaya
dapat diketahui arah penulisan tesis ini, maka diperlukan sebuah
sistimatika penulisan. Sistematika penulisan dimaksud adalah sebagai
berikut:
Bab I, pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, serta sistematika pembahasan.
Bab II, metodologi, bab ini membahas tentang metodologi
penelitian, landasan teori, kajian pustaka, pendekatan, kerangka
pemikiran, dan bagan kerangka berpikir.
Bab III, gambaran umum Kesultanan Banten yang meliputi: letak
geografis Kesultanan Banten, sejarah singkat Kesultanan Banten, serta
penduduk dan mata pencaharian.
Bab VI, perdagangan Kesultanan Banten akhir abad XVI-XVII,
yaitu, jaringan perdagangan lokal Kesultanan Banten, pelaku
perdagangan, serta peran pasar dalam perdagangan.
Bab V. Ekonomi Politik dan perdagangan bebas, yang membahas
mengenai buka-tutup sistem perdagangan bebas dan komoditas
perdagangan bebas.
Bab VI. Perdagangan internasional Kesultanan Banten akhir
abad XVI-XVII yaitu kegiatan ekspor-impor perdagangan, penggunaan
mata uang, serta penerapan bea cukai dan pajak, fluktuasi perdagangan
di Banten, meliputi faktor internal dan faktor eksternal.
Bab VII. Penutup, bab yang terakhir ini berisi kesimpulan dalam
masalah penelitian, dan saran-saran mengenai penelitian serta lampiran
data-data primer terkait dengan penelitian.
18
BAB II
METODOLOGI
A. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian ilmu sejarah, dengan metode
yang digunakan adalah teknik pengumpulan data sesuai dengan tata
urutan sebuah penulisan sejarah atau Historiografi, dengan tahapan
sebagai berikut, yaitu: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3)
verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), (4) interpretasi: analisis
dan sintesis, dan (5) penulisan.41
Berlandaskan metode sejarah seperti di atas, maka peneliti
melakukan tahapan penelitian yang meliputi pencarian dan menghimpun
sumber, mengkritisi sumber yang dihimpun, memahami dan
menganalisis serta menafsirkan fakta, dan akhirnya merekonstruksi fakta
menjadi sintesis kisah sejarah yang sistematis dan kronologis secara
tertulis.
Sumber sejarah merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam
penyusunan penelitian karena sumber sejarah merupakan instrument
(alat atau sarana penelitian) utama dalam pengolahan data dan
merekontsruksi sejarah. Berdasarkan bahannya, sumber sejarah dibagi
menjadi dua yaitu sumber tertulis (dokumen) dan sumber tidak tertulis
(artifact). Dokumen dapat berupa surat-surat, notulen rapat, kontrak
kerja, sedangkan artifact berupa foto-foto, bangunan dan alat-alat.42
41 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 1995), h. 89 42 Nugroho Notosusanto, Norma-norma Dasar Penelitian Sejarah, (Jakarta:
Dephankam, 1971), h. 135.
19
Dalam tahapan metode penelitian, penulis melakukan kegiatan
pengumpulan sumber baik sumber primer maupun sekunder mulai
dengan mencari serta mengumpulkan sumber sejarah, baik yang bersifat
primer maupun sekunder. Sumber primer yaitu sumber yang berasal dari
pelaku pertama atau tokoh yang sejaman dengan peristiwa, yang
digunakan meliputi naskah, arsip, koran, dan majalah. Adapun sumber
sekunder adalah sumber yang telah diolah/ditulis oleh pihak lain, seperti
buku, jurnal ataupun majalah.
Sumber primer yang digunakan sebagai rujukan utama oleh
penulis adalah sebagai berikut: Naskah atau manuscript sejarah Banten,
arsip perjanjian dagang antara Kesultanan Banten dengan Belanda abad
XVII, catatan harian Belanda abad XVII (dagh register), kemudian ada
pula sumber primer berupa buku yang sezaman yaitu, Prima Pars
Descriptionis Itineris Navalis In Indiam Orientalem, Earvmqje Rervm
Qvae Navibvs Battavis Occvueevnt. Sedangkan sumber primer lainnya
berupa koran seperti, Donderdaegbfe Courant No. 36. Dalam berbagai
tahun terbit sesuai kebutuhan.
Kegiatan selanjutnya adalah penilaian terhadap sumber yang
telah diperolah, apakah itu data valid atau kuat atau tidak kuat. Hal ini
dilakukan untuk mendapatkan sumber data yang akurat, sehingga hasil
yang diperoleh bisa mendekati obyektif atau tidak berpihak pada siapa-
siapa. Kritik sumber ini dilakukan dalam dua proses, yaitu kritik interen
dan ekstern. Kritik interen artinya meneliti keaslian bahan sumber
tersebut. Sedangkan kritik ekstern adalah kritik yang dilakukan pada
kebenaran tahun atau keaslian pelaku atau data yang diperoleh.43
43 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2007), h.
134
20
Sebagai contoh analisis pada tahapan ini adalah mengkritisi
pelabuhan sebagai pusat ekonomi dari karya berjudul Pelabuhan Banten
sebagai bandar jalur sutra karya Adeng, yang menjelaskan bahwa
Pelabuhan Banten (Karangantu) adalah pelabuhan yang menjadi pusat
ekonomi internasional. Setelah diamati pada sumber yang dirujuk yaitu
buku cacatan De Eerste Schipvaart Der Nederlanders Naar Oost-Indie
Onder Cornelis De Houtman 1595-1597, terdapat kesalahan penafsiran,
data yang dirujuk tersebut menunjukkan bahwa Pelabuhan Banten
(Karangantu) adalah pelabuhan satu-satunya yang menjadi pusat
ekonomi internasional. Ternyata pada sumber aslinya, penafsiran
tersebut tidak tepat. Karena, pelabuhan Banten seperti bandar Pontang,
Chiqude (Cikande), Tanahara, Calapa dan Cimanuk adalah beberapa
pelabuhan yang menjadi pusat ekonomi selain pelabuhan Karangantu.
Analisis pada kritik ekstern yaitu mencari kebenaran tahun
contohnya pada sumber primer yang terbit tahun 1598. Sumber tersebut
merupakan sumber yang ditulis langsung oleh Willem Lodewijcksz.
Seorang kartografer yang mengunjungi Banten akhir abad XVI, ia
menggambarkan bagaimana kondisi kota Banten akhir abad XVI yang
kemudian ia lukiskan dalam sebuah peta. Selain dalam bentuk peta, ia
pun menulisnya dalam bentuk buku yang berjudul Premier Livre De
L'histoire De La Navigation Aux Indes Orientales Hollandais Et Des
Choses A Eux Advenues.
Setelah dilakukan kritik tersebut, maka proses selanjutnya adalah
interpretasi, yaitu tahap memberikan penjelasan atau makna terhadap
sumber atau kejadian yang diperoleh, hingga dikategorikan sebagai suatu
peristiwa (proses dari kejadian menjadi peristiwa). Peristiwa dalam hal
ini adalah kejadian yang membawa pengaruh atau bermakna terhadap
21
penjelasan agar menjadi rangkaian yang logis untuk selanjutnya
dilakukan pembentukan konsep dan generalisasi sejarah.
Pada tahapan ini penulis juga menunjukkan data statistik dari
perdagangan di Kesultanan Banten yang sukses membangun ekonomi
berbasis perdagangan internasional terutama dalam sektor ekspor-impor.
Hal lainnya ialah pada pembangunan infrastruktur yang kompleks
dibangun oleh Kesultanan Banten, yaitu dengan peningkatan sarana dan
prasarana serta pelayanan di Pelabuhan Banten termasuk pengadaan
manajemen organisasi, yang menjadi faktor utama peningkatan arus
barang dan jasa dari berbagai negara.
Langkah terakhir yang dilakukan peneliti adalah melakukan
penulisan dari penyusunan hasil interpretasi dan merekontruksi fakta
dari sumber-sumber yang diperoleh, dan merangkai suatu
peristiwa/kejadian menjadi suatu kisah sejarah yang sistematis dan
kronologis secara tertulis. Hasil penelitian direkonstruksi secara berurut
mulai dari awal abad XVII yang ditandai dengan meluasnya jaringan
perdagangan internasional Kesultanan Banten, hingga puncaknya masa
kejayaan Kesultanan Banten pada masa Sultan Ageng Tirtayasa di
pertengahan abad XVII, sampai penguasaan Kesultanan Banten oleh
Belanda di akhir abad XVII.
B. Landasan Teori
Saat ini perdagangan internasional bukan hanya bermanfaat
untuk bidang ekonomi saja melainkan bermanfaat pula di bidang lain
seperti sosial, politik, dan pertahanan keamanan. Karena pentingnya
perdagangan internasional, maka teori tentang perdagangan
22
internasional dapat digunakan sebagai bahan panduan sebelum
mengambil kebijakan di bidang perdagangan internasional.
Teori perdagangan internasional ini akan menggambarkan
bagaimana mekanisme perdagangan yang dijalankan oleh Kesultanan
Banten abad XVII. Teori perdagangan internasional menganalisa dasar-
dasar terjadinya perdagangan internasional serta keuntungan yang
diperoleh. Kebijakan perdagangan internasional membahas alasan-
alasan serta pengaruh pembatasan perdagangan, serta hal-hal
menyangkut proteksionisme baru. Pasar valuta asing merupakan
kerangka kerja terjadinya pertukaran mata uang sebuah negara dengan
mata uang negara lain, sementara neraca pembayaran mengukur
penerimaan total sebuah negara-negara lainnya di dunia dan total
pembayaran ke negara-negara lain tersebut.44
Untuk menggambarkan perdagangan di Kesultanan Banten maka
penulis menggunakaan teori merkantilisme dan teori ekonomi makro.
1. Teori Merkantilisme
Teori ini mulai muncul sejak abad XVII dan XVIII. Para
penganut merkantilisme percaya bahwa negara bisa mendapatkan
keuntungan dari perdagangan internasional.45 Jerman Werner Sombart
mengatakan bahwa, perlu mengetahui teori ekonomi dalam mengkaji
sejarah ekonomi, sebab itulah cara yang dapat di pakai untuk mengganti
haluan dari menelaah fakta-fakta yang terpisah menjadi sebuah sistem.
Pada umumnya sistem dibicarakan dalam bentuk model-model yang
disederhanakan. Oleh sebab itu, seorang sejarahwan ekonomi
44 Paul. R. krugman and Maurince Obstfeld, International Economics: Theory
and Policy, (New York: Harper Collins, 1991), h.4. 45 Apridar, Ekonomi Internasional: Sejarah, Teori Konsep dan Permasalahan
dalam Aplikasinya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 98.
23
menggunakan istilah “merkantilisme”. Bahkan Merkantilisme itu
merupakan salah satu model dari dua model yang dikontraskan oleh
Adam Smith,46 yaitu model tentang sistem pertanian dan sistem
merkantilis.
Frederick Winslow Taylor mengatakan bahwa, merchant
capita/merkantilisme adalah suatu teori ekonomi yang menyatakan
bahwa kesejahteraan suatu negara hanya ditentukan oleh banyaknya aset
atau modal yang disimpan oleh negara yang bersangkutan, dan besarnya
volume perdagangan global sangat penting. Keuntungan perdagangan
merupakan prasyarat utama dan keuntungan berhasil jika melakukan
investasi, dan investasi akan meningkatkan produksi perdagangan.
Menurutnya sistem ekonomi yang cocok adalah sistem liberal, karena
akan memberikan keleluasan yang besar bagi tiap individu untuk
bertindak dalam perekonomian.47
Kebijakan merkantilisme adalah kebijakan dalam usaha untuk
monopoli perdagangan dan yang terkait lainnya, dalam usahanya untuk
memperoleh daerah-daerah jajahan guna memasarkan hasil industri.
Untuk mendapatkan keuntungan yang tinggi, mengambil keuntungan
dari daerah belum berkembang yang kaya akan sumber alam. Negara
akan mengambil barang mentah dengan harga murah untuk kemudian
dibawa ke negaranya dan diolah menjadi barang jadi. Menurut teori
merkantilisme keuntungan dapat diambil dari perbedaan harga antara
46 Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial. Edisi kedua, (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 42. 47 Deliar Noer, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 37
24
barang mentah yang murah dan barang jadi yang dijual dengan harga
tinggi.48
Kemakmuran Kesultanan Banten sangat bergantung pada
merkantilisme. Proses merkantilisme tidak akan terjadi secara konstan
dan stabil tanpa adanya dukungan politik. Dukungan politik didapatkan
dari para bangsawan Banten yang menguasai pemerintahan. Para
bangsawan seringkali bertindak sebagai pemberi modal ataupun
pedagang itu sendiri.49
Dengan demikian, teori merkantilisme dapat dideskripsikan
tentang jaring-jaring hubungan perdagangan internasional dan
menjelaskan tentang perkembangan ekonomi di Kesultanan Banten.
Perkembangan ekonomi Banten cukup cepat karena selain letaknya yang
strategis juga banyak mendatangkan komoditi rempah-rempah dari
berbagai daerah melalui pelabuhan untuk di ekspor, hal ini membuat
Banten semakin dikenal. Komoditas lada datang dari Indrapura,
Lampung dan Palembang, karena daerah tersebut merupakan daerah
kekuasaan Banten. Hal ini sama halnya dengan yang dikatakan oleh teori
di atas, bahwa Banten mengambil barang dan memonopoli perdagangan
dari daerah kekuasaannya.50
Dampak yang lebih buruk bagi Banten adalah saat hilangnya
kebebasan Banten dalam perniagaan dunia. Ketergantungan Banten pada
VOC di bidang pangan untuk menunjang logistik rakyatnya setelah
48 Rizky Natassia dan Hayu Yolanda Utami, “Pengaruh Harga Pinang
Terhadap Volume Ekspor Pinang”. Journal of Economic and Economic Education.
Vol.5 No.1. Januari 2016, h. 8. 49 Halwany Michrob dan Mudjahid A. Chudari, Catatan Masa Lalu Banten,
(Serang: Saudara Serang, 2011), h. 3. 50 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru (1500-1900) dari
Emporium Sampai Imperium I, (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 68.
25
tahun 1684, menghancurkan sendi-sendi kemakmuran dan proses
merkantilisme bebas Banten.51 Selama abad XVII, ketika perdagangan
Banten masih bebas, Banten menikmati kemakmurannya yang luar
biasa. Blokade laut VOC tidak dapat menghentikan kegiatan
perdagangan dan ketersedian pangan Banten, Banten dapat
mengatasinya dengan menanam sendiri tanaman pangan untuk
memenuhi kebutuhan pangannya, tanpa harus bergantung dari impor
bahan pangan.52
Ketika sebuah kekuasaan pemerintahan berdiri, maka berbagai
kewenangan bisa dilakukan untuk keuntungannya. Demikian pula yang
berlaku pada masa Kesultanan Banten dengan menerapkan kebijakan
ekonomi dan membangun beberapa sarana-sarana untuk memperlancar
ekonomi. Selanjutnya dengan sistem pemerintahan dan kekuasaan, juga
terjadi perubahan pengelolaan ekonomi khususnya dalam perdagangan
internasional di Banten. Faktor geografis sangat berperan dalam alur
perdagangan, di mana Banten terletak di ujung Pulau Jawa, tempat yang
sangat strategis bagi perkembangan ekonomi.
2. Teori Ekonomi
Perdagangan internasional erat kaitannya dengan ekonomi.
Istilah ekonomi pertama kali lahir di Yunani (Greek) berasal dari kata
oikos dan nomos. Pada waktu itu pengertian ekonomi hanya sebatas
peraturan rumah tangga dan kepemilikan ekonomi Seiring berjalannya
waktu, pengertian ekonomi menjadi melebar sehingga keterkaitannya
51 Tubagus Najib, Kebangkitan Banten dari Masa ke Masa (Berdasarkan
Naskah Kuno dan Peninggalan Arkeologi), (Serang: Yayasan Sheng Po Banten, 2011),
h. 60. 52 Upaya untuk memproduksi beras sendiri telah dilakukan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa selama periode blokade VOC di laut, dengan membuka lahan persawahan
baru di sekitar ibukota Banten
26
dengan penelitian ini, Kesultanan Banten merupakan pusat perdagangan
internasional secara tidak langsung akan melahirkan sistem ekonomi
yang membentuk pola-pola sosial dalam masyarakat.53
Teori ekonomi digunakan untuk menganalisis Ekonomi
Kesultanan Banten, khususnya teori ekonomi makro yang merupakan
ilmu ekonomi yang mengkaji fenomena perekonomian secara
menyeluruh dan luas misalnya pengangguran, pertumbuhan ekonomi,
permintaan dan penawaran, mekanisme pasar serta fluktuasi harga. Teori
ekonomi makro mengajarkan kita agar dapat mengetahui permasalahan-
permasalahan ekonomi dan menganalisisnya, sehingga dapat mengambil
kebijakan-kebijakan makro secara menyeluruh yang dapat
menyelesaikan permasalahan ekonomi.54
Teori ekonomi makro atau makroekonomi adalah teori yang
muncul di sekolah pemikiran ekonomi di Amerika Serikat pada awal
tahun 1970. Teori ini mengacu pada nama John Maynard Keynes, antara
makroekonomi sendiri dan bahwa leluhur intelektualnya mengatakan
bahwa teori Keynes menggeser fokus analisisnya jauh dari pasar
individu ke seluruh perekonomian.55
Permasalahan ekonomi yang paling mencolok di Banten
adalah fluktuasi harga komoditas. Perubahan di tingkat harga bisa
disebabkan oleh berbagai macam faktor misalnya ekonomi politik
internal dan eksternal, kebijakan pemerintah tentang ekonomi, serta
53 Ibnu Khaldun, Muqadimah, terj. Ahmadie Toha (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), h. 359-360. 54 Aang Curatman, Teori Ekonomi Makro, (Yogyakarta: Swagati Press, 2010),
h. 1. 55 Priyono dan Zainuddin Ismail, Teori Ekonomi, (Sidoarjo: Zifatama
Publisher, 2012), h. 389.
27
faktor iklim dan cuaca. Selain itu, fluktuasi pada harga komoditas jangka
pendek bisa dipengaruhi oleh faktor moneter, contohnya, inflasi mata
uang real di Banten yang menyebabkan kenaikan harga komoditas.
Perkembangan teori ekonomi makro berada dari kegagalan
ekonomi klasik yang sangat fanatik terhadap konsep mekanisme pasar
dalam mengatur perekonomian. Kegagalan tersebut memunculkan
pemikiran-pemikiran baru para ahli-ahli ekonomi. Ahli ekonomi
Keynesian menekankan betapa pentingnya peranan pemerintah dalam
mengendalikan berbagai masalah ekonomi.56
Kebijakan pemerintah dalam menangani perekonomian
negara terutama di Kesultanan Banten dapat berupa kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter. Kebijakan pemerintah Banten dalam menekan
masalah ekonomi dengan cara membuka pasar bebas baik itu tertutup
ataupun terbuka. Kebijakan perdagangan yang dilakukan pemerintah
dapat dilakukan untuk meningkatkan dan menyempurnakan sistem
perdagangan, demi mewujudkan tujuan ekonomi nasional Kesultanan
Banten. Keyakinan Keynesian pada teori ekonomi makro untuk menilai
kestabilkan perekonomian didasarkan pada, fluktuasi ekonomi makro
secara signifikan dapat mengurangi kesejahteraan ekonomi, dan
pemerintah berpengetahuan dan cukup mampu untuk memperbaiki pasar
bebas.57
Peran pemerintah Banten dalam menekan permasalahan
ekonomi salah satunya mengeluarkan beberapa kebijakan ekonomi
politik. Permasalah ekonomi di Banten adalah monopoli perdagangan
oleh Bangsa Eropa, akibatnya persaingan dagang tidak dapat dihindari
56 Priyono dan Zainuddin Ismail, Teori Ekonomi… h. 31. 57 Priyono dan Zainuddin Ismail, Teori Ekonomi… h. 78.
28
hingga menyebabkan fluktuasi harga. Kebijakan yang dibuat oleh Sultan
Banten bertujuan untuk menekan naik-turunya harga komoditas. Selain
itu, untuk menekan keuntungan yang lebih besar yang didapat oleh
pedagang-pedagang Eropa dengan sistem monopolinya.
Pertumbuhan ekonomi Banten dimulai dari perdagangan
lokal Banten hingga meluas dalam jaringan internasional, dan akhirnya
Banten di kenal sebagai bandar perniagaan internasional yang hingga
masa puncaknya di pertengahan abad XVII. Teori ekonomi makro dapat
mempelajari perilaku konsumen dan perusahaan serta penentuan harga-
harga pasar dan kuantitas faktor, barang dan jasa yang diperjual-belikan
di Banten. Sehingga teori ekonomi makro bertujuan untuk menganalisis
pertumbuhan ekonomi dan jalannya mekanisme pasar.
C. Pendekatan
Kegiatan ekonomi di Kesultanan Banten, meliputi arus dan
volume perdagangan internasional. Oleh karena itu tulisan ini juga
menggunakan pendekatan ekonomi politik, terlihat jelas adanya
pertentangan antara meningkatnya ekonomi internasional dengan
keinginan negara untuk mengatur ketergantungan ekonomi dan otonomi
politiknya. Pada saat yang bersamaan, negara menginginkan keuntungan
yang maksimal dari perdagangan bebas yang dilakukan dengan negara
lain, tetapi di sisi lain negara juga ingin melindungi otonomi politik, nilai
kebudayaan, serta struktur sosial yang dimilikinya. Dapat dikatakan
bahwa kegiatan perdagangan di Banten berjalan melalui logika sistem
29
pasar, di mana pasar diperluas secara geografis dan kerja sama
antarnegara di berbagai aspek diperluas melalui mekanisme harga.58
Selanjutnya, ada dua tujuan dari pendekatan ekonomi politik,
yaitu: menciptakan suatu sumber pendapatan atau swasembada bagi
masyarakat, atau membantu mereka dalam mencari pendapatan dan
mewujudkan swasembada. Untuk menyediakan sejumlah daya bagi
negara dan pemerintah agar mampu menjalankan berbagai tugas dan
fungsinya dengan baik. Kesultanan Banten memiliki ciri yang secara
umum ditemukan pula pada kota-kota Islam sejaman di bagian-bagian
lain dibelahan dunia.59 Sebagaimana Muslim di Nusantara dan Afrika,
juga negara-negara Arab, memiliki istana, pasar-pasar dan masjid-
masjid. Pemukiman dibagi menurut pekerjaan dan etnik, sebagaimana
hal ini juga terdapat di kota-kota Islam di dunia. Sejarah kota banyak
dipengaruhi oleh demografi serta ekologi, struktur spesial, pola-pola
okupasi serta faktor-faktor sosial penduduk kota.60
Pendekatan ekonomi politik suatu ilmu yang mengajarkan
bagaimana memakmurkan sebuah negara.61 Secara sederhana
pendekatan ekonomi politik dapat dipahami tentang bagaimana proses-
proses dalam pasar memiliki implikasi maupun kaitan dengan aktivitas
politik. Secara keseluruhan, dapat dirangkum pemaknaan pendekatan
ekonomi politik sebagai sebuah studi yang mempelajari kaitan antara
58 Robert Gilpin, The Political Economy Of International Relations, (New
York: Princeton University Press, 2016), h. 120. 59 Halwany Michrob, Catatan Sejarah dan Arkeologi: Ekspor-Impor di Zaman
Kesultanan Banten, (Serang: Sudara, 1993), h. 5 60 Halwany Michrob, Catatan Sejarah dan Arkeologi: Ekspor-Impor di Zaman
Kesultanan Banten… h. 5. 61 Robert Gilpin, The Nature of Political Economy, dalam Global Political
Economy: Understanding the International Economic Order, (Princeton: Princeton
University Press, 2001), h. 25.
30
pasar (ekonomi) dan politik yang dapat diwakili oleh salah satunya ke
dalam bentuk kebijakan untuk memperlihatkan bangsa menjadi kaya.62
Fokus dari pendekatan ekonomi politik adalah fenomena-
fenomena ekonomi secara umum, yang bergulir serta dikaji menjadi
lebih spesifik, yakni menyoroti interaksi antara faktor-faktor ekonomi
dan faktor-faktor politik. Dalam perkembangan yang berikutnya, istilah
ekonomi politik selalu mengacu pada adanya interaksi antara aspek
ekonomi dan aspek politik.63
Pendekatan ekonomi politik dimulai dengan sifat politik
pengambilan keputusan dan prihatin dengan bagaimana politik akan
mempengaruhi pilihan ekonomi dalam suatu masyarakat. Masyarakat
harus didefinisikan secara luas untuk mencakup tidak hanya negara atau
yurisdiksi lain semacam itu, tetapi juga perusahaan, kelompok sosial,
atau organisasi lain.64
Dalam pendekatan ekonomi politik, masalah yang dihadapi
antara lain mencakup variabel-variabel politik, variabel ekonomi,
sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh pada pendekatan ini meliputi
intervensi pemerintah, perubahan kebijakan, tindakan politik ekonomi,
kenaikan harga di pasar, kemerosotan daya beli masyarakat, kelangkaan
sumber daya, revolusi sosial, transformasi industrial, revolusi dan
kemajuan ilmu, pengetahuan, teknologi, komunikasi, dan informasi.65
62 Robert Gilpin, The Nature of Political Economy, dalam Global Political
Economy: Understanding the International Economic Order… h. 25. 63 Didick J. Rachbini, Ekonomi Politik: Paradigma dan Teori Pilihan Publik,
(Jakarta. Penerbit Ghalia Indonesia, 2002), h. 10. 64 Lionel Robbins, an Essay on The Nature & Significance of Economic
Science, (London: Macmillan Or Co Limited St. Martin's Street, 1932), h. 16. 65 Petr Ivanovich Nikitin, Ekonomi Politik, (Jakarta: Erlangga, 1968), h. 10
31
Pendekatan ekonomi politik adalah suatu ilmu yang memasukan
unsur bahasan utama seperti perdagangan internasional, keuangan
internasional, dan pembangunan (dalam konteks ekonomi), atau
pertanyaan-pertanyaan dari regulasi politik suatu pemerintahan (dalam
konteks ekonomi internasional).66 Pada umumnya sama dalam kajian ini,
terlihat dari dari struktur fisik dalam perdagangan misalnya, dapat
terlihat konstruksi tata ruang dan fungsi-fungsi bangunan yang berada di
dalam dan di luar sektor benteng kota yang digunakan untuk menyimpan
barang-barang perdagangan.
Pada perkembangan selanjutnya, ekonomi politik berusaha
merumuskan cara bagaimana memperkaya rakyat sekaligus pemerintah.
Kriteria identifikasi dari pendekatan ekonomi politik adalah ada tidaknya
uraian tentang interaksi sistem antara ekonomi dan politik dalam teori
tersebut. Interaksi yang dimaksudkan adalah, kausalitas antar proses
(deterministik), hubungan timbal balik (interaktif), dan perilaku yang
terus menerus.67
Interaksi kausalitas (sebab-akibat) antar proses pada
perdagangan internasional Kesultanan Banten yang menyebabkan
adanya aktivitas ekspor-impor meningkatkan pada permintaan rempah-
rempah di Banten. Sehingga mendorong produktivitas pada komoditas
yang dihasilkan oleh Banten. Sedangkan hubungan timbal balik yang
terjadi pada perdagangan internasional seperti adanya kepentingan
penguasa atau raja dan pemerintah Banten dalam campur tangan soal
pasar, bukan semata-mata untuk mendapatkan keuntungan materi tetapi
66 Ralf J. Leiteritz. International Political Economy: The State of The Art,
(New York: Colombia International, 2005), h. 53. 67 Lane Jan Erik, Ekonomi Politik Komparatif, Terj. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994), h. 14.
32
mungkin juga menyangkut hak milik dan untuk melindungi kontrak-
kontrak antara mereka dengan pedagang- pedagang di pasar. Dengan
demikian jelas ada hubungan kepentingan timbal balik antara pihak
penjual dan pembeli dengan pihak penguasa.
Terakhir, perilaku terus menerus (kelakuan yang tidak ada
hentinya) kelakuan yang disertai oleh faktor yang mempengaruhinya.
Contohnya, perilaku yang dijalankan oleh Kesultanan Banten dan para
pedagang, guna memperluas jaringan perdagangan internasional dan
juga mendapatkan keuntungan. Perdagangan internasional dijalankan
oleh agen-agen tertentu, yang kemudian diterima oleh para pedagang
tanpa mengalami perubahan, tetapi perilaku ini terus menerus dilakukan
oleh para agen perdagangan internasional di Banten selama abad XVI-
XVIII.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, pendekatan
ekonomi politik dapat diartikan sebagai interaksi antara pasar (sebagai
elemen ekonomi) dan politik dalam cakupan internasional, yang
kemudian mengimplikasikan adanya hubungan antarnegara dan aktor
non-negara di dalamnya. Dapat diasumsikan dari kesimpulan tersebut
bahwa pendekatan ekonomi politik digunakan sebagai cara untuk
mengatur pemerintahan dan perekonomian sebuah negara dengan baik.
Penulis beropini bahwa hal tersebut merupakan poin penting dari
ekonomi politik, keduanya tidak dapat dibahas secara terpisah ketika
keduanya memberi pengaruh yang signifikan.
D. Kajian Pustaka
Tulisan tentang sejarah Kesultanan Banten telah dirintis oleh
beberapa penulis sebelumnya, namun masih belum ada yang fokus pada
33
penelitian ekonomi perdagangan internasional di Kesultanan Banten.
Tulisan-tulisan tersebut lebih banyak menjelaskan Banten sejarah
ekonomi, sosial, agama dan budaya. Namun tentunya data-data dari
tulisan tersebut turut memberikan kontribusi besar dalam tulisan ini.
Dalam penelitian perdagangan ekspor-impor Kesultanan Banten
akhir abad XVI-XVII, dilakukan tinjauan pustaka terhadap beberapa
literatur yang relevan. Beberapa literature tersebut banyak terdapat
dalam kajian jurnal terdahulu yang membahas mengenai perdagangan di
Kesultanan Banten.
1. European Southeast Asia Encounters with Islamic
Expansionism, circa 1500–1700: Comparative Case Studies
of Banten, Ayutthaya, and Banjarmasin in the Wider Indian
Ocean Context.
Journal of World History, vol. 25. No. 2-3. Juni/September,
2014, pp. 229-262. Jurnal ini ditulis oleh Kenneth R. Hall, dalam
tulisannya ia mendeskripsikan 2 studi, yang pertama ia akan
secara khusus membahas persaingan antara pedagang Eropa yang
baru tiba dan negara-negara Asia Tenggara yang beragama Islam
dan Budha di tiga "zona pertemuan" Asia Tenggara dalam 1500-
1700. Studi kasus pertama akan berfokus pada pemerintahan
Islam Banten yang didasarkan pada Jawa Barat dan garis pantai
Selat Sunda, yang makmur sebagai pelabuhan perdagangan
alternatif regional dan pusat peradaban Islam regional setelah
Portugis menguasai Malaka pada tahun 1511.
Ke dua, Ayutthaya Thailand juga menjadi makmur setelah
penaklukan Portugis di Malaka. Studi kasus ke tiga membahas
kemunculan pelabuhan di Banjarmasin yang berpusat di
34
Kalimantan selatan dan konversi elitnya ke Islam, yang responsif
terhadap peningkatan permintaan global untuk lada Asia
Tenggara.
Kenneth R. Hall, menjelaskan Pelabuhan Banten adalah
perwakilan dari sistem politik kepulauan Indonesia kontemporer
yang muncul sebagai akibat dari peningkatan perdagangan
Samudra Hindia sejak abad XV. Itu adalah produk reaktif dari
perebutan Portugis terhadap Malaka pada tahun 1511, karena
sejumlah pelabuhan perdagangan asli muncul sebagai alternatif
dari emporium Malaka di Selat Melaka dan wilayah Laut Jawa
bagian barat.
Banten memiliki keuntungan karena lokasinya yang strategis
di pesisir barat laut Jawa di persimpangan Laut Jawa, Laut Cina
Selatan, dan lorong-lorong maritim Selat Melaka. Selain menjadi
pengekspor lada utama sendiri, Banten, dengan kontrolnya atas
Selat Sunda, menawarkan alternatif bagi Muslim dan pendatang
lain yang tidak mau, karena kehadiran Portugis yang meningkat
militan, untuk melewati Selat Melaka setelah 1511, orang-orang
Portugis Kristen mendikte persyaratan selektif dari perjalanan
mereka dan terutama membatasi bagi pedagang Muslim yang
mereka pandang sebagai saingan pasar.68
Sumber daya pengiriman Banten, yang bergantung pada
berbagai diaspora maritim regional dan kadang-kadang pelaut
Eropa dan kapal-kapal mereka, cukup memadai untuk
68 Kenneth R. Hall, “European Southeast Asia Encounters with Islamic
Expansionism, circa 1500–1700: Comparative Case Studies of Banten, Ayutthaya, and
Banjarmasin in the Wider Indian Ocean Context”. Journal of World History. Vol. 25.
No. 2-3. (2014), h. 231.
35
mempertahankan keunggulan Banten sebagai pelabuhan
internasional dan regional. Dengan demikian, Banten sampai
tahun 1680-an merupakan pusat kegiatan perdagangan
internasional dan antar wilayah yang kompleks, ruang yang
relatif erat, teritorial, yang disucikan sebagai akibat warisan
Islam penguasa, karena ini merupakan fondasi bagi inovasi
politik dan ekonomi awal yang menggerakkan nya kelemahan
lawan.69
Kajian jurnal ini menjelaskan Banten dari abad XVI-XVIII,
yang berhubungan dengan kajian penulis. Data kajian ini sangat
membantu penelitian dalam bidang perdagangan yang terjadi
Kesultanan Banten. Dijelaskan pula bahwa Banten adalah negara
komersial yang sementara berhasil karena basis strategisnya di
wilayah Selat Sunda, inovasi berulang para raja dalam
kepemimpinan negara, kebijakan terkait perdagangan, dan
ekspresi agensi lokal.
Karya ini merupakan rujukan bagi peneliti, karena sangat
membantu dalam memahami sistem perdagangan Internasional
di Banten. Namun, kajian ini lebih fokus pada perdagangan yang
terjadi di Pelabuhan Banten, Ayutthaya dan Banjarmasin, tidak
menjelaskan keseluruhan aktivitas perdagangan internasional
serta komoditas perdagangan di Banten. Sedangkan penulis
memfokuskan penelitian pada keseluruhan perdagangan
internasional dan komoditas ekspor-impor.
69 Kenneth R. Hall, “European Southeast Asia Encounters with Islamic
Expansionism, circa 1500–1700: Comparative Case Studies of Banten, Ayutthaya, and
Banjarmasin in the Wider Indian Ocean Context”… h. 240.
36
2. Pelabuhan Banten Sebagai Bandar Jalur Sutra.
Jurnal Patanjala Vol. 2, No. 1, (Maret 2010), ini ditulis oleh
Adeng, ia mendeskripsikan dalam tulisannya mengenai jenis-
jenis barang yang diperdagangkan, pengaturan dan pengelolaan
pelabuhan, sistem perdagangan, serta sistem transportasi yang
terdapat di Kesultanan Banten. Dalam penulisan ini digunakan
metode penelitian yang berlaku di dalam ilmu sejarah, yaitu:
heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.
Sebagai bandar perdagangan, penduduk Banten memiliki
perkembangan kebudayaan sebagai akibat adanya interaksi
antarbangsa yang menyertai kegiatan perdagangan. Peranan dan
kedudukan Banten sebagai pelabuhan jalur sutra yang
perkembangannya begitu pesat tidak terlepas dari perkembangan
dunia internasional, yang disebabkan oleh adanya motif ekonomi,
politik, dan agama.70
Tradisi maritim dan agraris yang dimiliki masyarakat Banten
menambah modal dasar bagi terbentuknya Banten sebagai Kota
Pelabuhan. Hal lain yang perlu digaris bawahi ialah kemampuan
masyarakat Banten menerima pengaruh dari luar (dalam arti luas)
untuk diintegrasikan dan dikembangkan. Tulisan ini
menggunakan metode studi pustaka dengan sumber yang sama
digunakan dalam penelitian ini. Peran Pelabuhan Banten sebagai
bandar niaga atau kota pelabuhan di Jalur Sutra pada konstelasi
perkembangan dunia internasional. Pada konteks itulah, kajian
ini berhubungan dengan penelitian yang ditulis karna
70 Adeng, “Pelabuhan Banten Sebagai Bandar Jalur Sutra”. Patanjala. Vol. 2,
No. 1, (2010), h. 94.
37
memberikan penjelasan bagaimana Banten mempunyai tiga
peran, yaitu sebagai centre of change, centre of integration, dan
centre of culture.71
Kajian jurnal ini menjelaskan Banten dari abad XV-XVII,
dijelaskan pula Pelabuhan Banten yang menjadi faktor utama
perekonomian Kesultanan Banten. Akan tetapi, ada perbedaan
mengenai tempat, kajian jurnal lebih fokus terhadap satu tempat
yaitu pelabuhan Kesultanan Banten sebagai bandar niaga.
Sedangkan penelitian penulis di fokuskan terhadap perdagangan
internasional Kesultanan Banten.
3. Bina Kawasan di Negeri Bawah Angin: Dalam Perniagaan
Kesultanan Banten Abad XV-XVII.
Jurnal ini ditulis oleh Sonny C. Wibisono, Kalpataru
Majalah Arkeologi. Vol. 22 No. 2, (November 2013). Mengkaji
tentang perniagaan di Kesultanan Banten, penulisan yang
bertolak dari negeri para sultan sebagai negeri Kerajaan Islam
yang sudah cukup banyak diteliti, dan dari studi kasus tentang
bina kawasan Kesultanan Banten yang dicoba merupakan cara
untuk menguji model ekonomi melalui data sejarah maupun
akeologis, untuk melihat kawasan niaga di negeri ini dibangun
oleh para sultan melalui strategi, dan politik-ekonomi mereka.
Upaya bina kawasan Kesultanan ini antara lain dilakukan
mulai dari penguasaan wilayah, pemindahan ibu kota dari
pedalaman ke pesisir, pengembangan kota pelabuhan Banten
71 Adeng, “Pelabuhan Banten Sebagai Bandar Jalur Sutra”… h. 94
38
Lama, penguatan dan perluasan wilayah lada, pembangunan kota
baru dan revitalisasi pertanian di wilayah Tirtayasa.72
Kajian jurnal ini sangat berhubungan dengan data penelitian,
karena dapat dicatat bahwa pola jaringan yang berbasis pada
perniagaan sebenarnya ada banyak jalinan yang mengikuti
denyut pertumbuhan niaga itu. Pola jaringan niaga ini merupakan
sistem perdagangan yang dilakukan di Banten. Tulisan ini
menjelaskan bagaimana Jaringan ulama, jaringan distribusi
gerakan barang seperti keramik (ceramic route), penyebaran
kesenian dan material atau jenis komoditi perniagaan lainnya.
Keseluruhan data ini dapat menggambarkan kompleksitas dari
sebuah jaringan perniagan di Kesultanan Banten pada penelitian
ini.73
Data pada kajian ini sangat membantu penelitian dalam
bidang perdagangan yang terjadi Kesultanan Banten. Akan tetapi,
ada perbedaan antara penelitian ini dengan kajian tersebut, yaitu
perbedaan pendekatan, tahun dan tempat penelitian. Karya ini
bersifat umum, sedangkan kajian penelitian lebih fokus kepada
perdagangan internasional terutama pada sektor ekspor-impor
yang terjadi di Kesultanan Banten akhir abad XVI-XVII.
4. Pasar Pada Masa Kesultanan Islam Banten.
Jurnal yang diterbitkan Thaqafiyyat, Vol. 13, No. 1, (Juni
2012) tersebut ditulis oleh Siti Fauziyah, yang mengkaji
72 Sonny C. Wibisono, “Bina Kawasan di Negeri Bawah Angin: dalam
Perniagaan Kesultanan Banten Abad Ke-15-17”. Kalpataru, dalam Majalah Arkeologi.
Vol. 22 No. 2, (2013), h. 111. 73 Sonny C. Wibisono“Bina Kawasan di Negeri Bawah Angin: dalam
Perniagaan Kesultanan Banten Abad Ke-15-17”… h. 112
39
mengenai pasar Kesultanan Banten sebagai sarana perdagangan.
Penulisan ini menggunakan metode penelitian studi pustaka.
Dalam struktur perekonomian kesultanan, kota bandar dan kota
istana sekaligus menjadi pusat jaringan pasar yang tertinggi (the
highest market) bagi pusat pasar tingkat menengah (intermediate
market center) di luar daerah kota bandar dan istana, serta pasar
lokal di daerah pedesaan. Dengan demikian, jaringan pasar
terbagi secara hierarkis dari pusat kegiatan ekonomi ke daerah
pinggiran sesuai dengan hubungan ekonomi yang timbal balik
antara kedua belah pihak, yaitu kota bandar atau istana dan
daerah pedesaan.74
Pasar Banten merupakan pusat perdagangan, baik
internasional maupun lokal dan perdagangan keliling. Selain itu
pasar di Banten juga merupakan pusat pertukaran dan pertemuan
para saudagar terkemuka dan para nahkoda kapal. Pasar di
Banten merupakan salah satu sumber penghasilan Sultan dan
pemerintahan. Sultan tidak hanya mendapatkan pajak dari
perdagangan di pasar, tetapi juga ikut mencari untung dengan
usaha dagang.75
Data sejarah kajian jurnal ini berhubungan dengan penelitian.
Sumber pustaka yang digunakan hampir sama dengan penelitian
ini, kajian ini pun sangat menunjang pada pembasahan mengenai
peran pasar pada perdagangan internasional. Secara khusus
kajian ini membahas tentang peran pasar di Banten yang erat
74 Siti Fauziyah, “Pasar pada Masa Kesultanan Islam Banten”. Thaqafiyyat.
Vol. 13, No. 1, (2012), h. 84. 75 Siti Fauziyah, “Pasar pada Masa Kesultanan Islam Banten”… h. 85.
40
kaitannya dengan perdagangan. Akan tetapi, kajian ini tidak
secara khusus menceritakan perdagangan internasional yang
terjadi di Kesultanan Banten, walaupun ada point tersendiri yang
membahas peran pasar di Banten. Hal ini yang menjadi pembeda
antara kajian ini dengan karya penulis.
Karya ini merupakan rujukan bagi peneliti, karena sangat
membantu dalam memahami sistem perdagangan di Banten. Hal
yang menjadi perbedaannya, kajian ini fokus pada peran pasar di
Banten, tidak khusus membahas perdagangan internasional yang
terjadi di Kesultanan Banten.
5. Batu Silindris dan Budidaya Tebu di Banten, Batavia, dan
Sekitarnya Pada Abad Ke XVII-XVIII.
Kajian ini ditulis oleh Libra Hari Inagurasi, dalam Jurnal
Naditira Widya, Vol. 9 No. 1. (April 2015). Balai Arkeologi
Banjarmasin, yang mendeskripsikan mengenai Banten dan
Batavia sebagai contoh dua kota pada abad XVII-XVIII yang
memproduksi gula dari bahan baku tebu. Metode yang digunakan
dalam tulisan ini adalah deskriptif, historis, dan komparatif. Data
arkeologi yang digunakan dalam tulisan ini diperoleh melalui
survei di beberapa situs di Banten: penelitian di Museum Gula,
Klaten, Jawa Tengah, peninjauan pada Museum Sejarah Jakarta,
dan studi pustaka.
Pembuatan gula di Banten dan Batavia dilakukan oleh orang-
orang Cina. Budidaya tebu adalah tindakan manusia untuk
mengupayakan tebu menjadi gula, barang yang bernilai lebih.
Budidaya tebu merupakan fenomena yang berlangsung di Kota
Banten dan Batavia pada abad XVII-XVIII Masehi. Dilihat dari
41
aspek ekonomi, gula tebu merupakan komoditas perdagangan di
Asia. Gula merupakan komoditas yang banyak diminati setelah
lada, akibatnya Banten dan Batavia di abad tersebut melakukan
budidaya tebu yang akan dijadikan sebagai gula hingga bisa
menjadi komoditas perdagangan eksport di Eropa.76
Jurnal ini sangat berkaitan dengan penelitian perdagangan
internasional Kesultanan Banten abad XVII, terutaman pada
ekspor-impor perdagangan gula. Tulisan ini memberikan
gambaran bagaimana proses budidaya tanaman tebu yang akan di
jadikan gula. Melalui deskripsi data arkeologi yang dilakukan,
menjadikan tulisan ini sebagai kajian sumber untuk
menggambarkan kondisi Banten dalam sejarah pembuatan gula.
Karya ini pun merupakan rujukan bagi peneliti, karena sangat
membantu dalam memahami perdagangan gula di Banten. Hal
yang menjadi perbedaannya, kajian ini fokus pada proses
pembudidayaan tanaman tebu yang akan diproses menjadi gula
dengan menggunakan peralatan batu silindris yang terdapat di
Banten, dan tidak khusus membahas perdagangan internasional
yang terjadi di Kesultanan Banten.
6. Model Pertukaran Lampung dan Banten Pada Abad XVI-
XVIII.
Karya Nanang Saptono dalam Artikel Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi, Balai Arkeologi Jawa Barat tahun
(2013). Menjelaskan bagaimana hubungan Lampung dan Banten.
76 Libra Hari Inagurasi, “Batu Silindris dan Budidaya Tebu di Banten, Batavia,
dan Sekitarnya pada Abad Ke XVII-XVIII”. Naditira Widya. Vol. 9 No. 1. (2015), h.
33.
42
Di mana, Lampung merupakan daerah penghasil rempah-rempah
dengan kualitas baik. Sehingga bagi Banten, kondisi seperti ini
dimanfaatkan dalam perluasan motif ekonomi terutama
pemenuhan kebutuhan akan lada. Perluasan wilayah ekonomi
Kesultanan Banten bertujuan untuk maningkatkan sektor
perdagangan internasional. Model resiprokal terbentuk antara
penguasa Banten dengan penguasa Lampung. Banten
memperoleh lada sedangkan penguasa Lampung memperoleh
legalitas berupa gelar atau ajaran agama Islam.
Hubungan yang terjadi antara penguasa Lampung dengan
Banten melahirkan model pertukaran redistributif antara
penguasa Lampung dengan masyarakat yang menjadi subordinat
pemimpin Lampung. Model pertukaran redistributif tampaknya
hanya menguntungkan para elite tertentu apalagi kemudian
berkembang model monopoli perdagangan. Masyarakat yang
merasa terugikan menerapkan model pertukaran pasar tradisional
secara sembunyi-sembunyi.
Kajian ini berisi tentang hubungan Banten dan Lampung
dalam bidang ekonomi. Hal ini berhubungan dengan data
penelitian, karena perluasaan daerah kekuasaan Banten untuk
menunjang perdagangan internasional. Akan tetapi, karya ini
tidak secara khusus membahas tentang perdagangan
internasional yang terjadi di Banten.
7. Dinamika Hubungan Sosial-Keagamaan Pada Masyarakat
Nelayan di Karangantu Banten.
Karya ini ditulis oleh Yanwar pribadi, yang diterbitkan oleh
Jurnal Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Volume 7,
43
Nomor 1. (Juni 2017), ini mengeksplorasi dinamika interaksi
sosio-religius di antara komunitas nelayan antar etnis di bekas
pelabuhan Kesultanan Banten. Pendekatan penelitian dan
penulisan dalam tulisan ini adalah antropologis-historis, dan
digabungkan dengan penggunaan sumber-sumber tertulis melalui
studi pustaka, sedangkan alur penulisan menggunakan
pendekatan sinkronik.
Argumen yang ditawarkan di tulisan ini adalah bahwa di satu
sisi, hubungan antar etnis di daerah pesisir Banten adalah
hubungan sosial-ekonomi-budaya yang telah telah terjalin lama
dan dapat dijadikan sebagai bentuk hubungan multikulturalisme
yang ideal. Secara lebih luas jurnal ini pun menyelidiki kebijakan
pemerintah tentang sektor kelautan dan perikanan di Banten sejak
tahun 2000. Masalah utama yang dibahas adalah sejarah
Kesultanan Banten sebagai pusat kekuatan maritim, kedatangan
dan interaksi antara pedagang asing dan nusantara dan nelayan
dan masyarakat setempat, kebijakan desentralisasi, pola dan
bentuk interaksi antar etnis, dan pengaruh kebijakan
desentralisasi terhadap perkembangan dunia maritim Banten.77
Kajian ini dapat memberikan gambaran pada penelitian ini,
bahwasanya interaksi antar etnis di wilayah pantai utara Banten
melalui sosial-ekonomi-budaya yang telah lama terjalin dari abad
XVI hingga abad XVII, menjadikan Banten sebagai bandar
perniagaan yang banyak di kunjungi oleh para pedagang
77 Yanwar pribadi, “Dinamika Hubungan Sosial-Keagamaan pada Masyarakat
Nelayan di Karangantu Banten”. Teosofi: Tasawuf dan Pemikiran Islam. Volume 7,
Nomor 1. (2017), h. 207.
44
Nusantara lainnya. Kajian ini pun berhubungan dengan penelitian
perdagangan internasional Kesultanan Banten, karena sumber
pustaka yang digunakan dapat memberikan penjelasan lebih luas
mengenai perekonomian di Banten.
Dari tulisan-tulisan tersebut tampak bahwa permasalahan utama
yang diangkat dalam penelitian ini belum terjawab, karena perbedaan
dalam tujuan penulisan dan pusat perhatian. Namun tulisan-tulisan
tersebut memberikan wawasan yang mendalam bagaimana bentuk
sistem dan proses perdagangan di Kesultanan Banten. Sumber-sumber
jurnal ini pula digunakan bahan tambahan referensi dalam penulisan
tesis, terlebih lagi data pada jurnal-jurnal tersebut memberikan gambaran
dalam kajian perdagangan internasional di Banten.
Penulisan mengenai perdagangan internasional Kesultanan
Banten abad XVII telah banyak dipresentasikan oleh banyak sumber,
terutama berbasis ekspor-impor. Berbeda dengan sumber-sumber yang
telah disebutkan di atas, dalam penulisan tesis ini hanya mencakup
wilayah Banten pada abad XVII saja, dengan maksud untuk mengetahui
bagaimana perdagangan di wilayah Kesultanan Banten abad XVII. Abad
XVII di Banten telah dikenal menjadi wilayah perdagangan yang ramai.
Penelitian ini akan difokuskan pada perdagangan internasional di
wilayah Kesultanan Banten, komoditas ekspor-impor, aktivitas
perdagangan yang membuka peluang besar terhadap komoditas dagang
di Banten yang beragam.
45
E. Kerangka Pemikiran
Perdagangan adalah suatu kegiatan tukar menukar untuk
memperoleh barang-barang yang tidak tersedia di tempat tersebut, dan
kegiatan perdagangan dilakukan secara ramai dan merupakan kegiatan
kelompok daripada individu. Kegiatan perdagangan karena ada pasar
permintaan dan penawara yang kemudian membentuk proses-proses
transaksi. Berbagai aktivitas perdagangan di Banten menyebabkan
perdagangan berkembang pesat, bahkan mampu menjadi salah satu pusat
perdagangan internasional.78
Pada tahap awal suatu pengkajian peneliti perlu menetapkan
bagaimana hendak mendekati objek studinya; dengan kata lain ia perlu
menentukan approach atau pendekatan yang akan diterapkan.
Pengkajian sejarah yang memakai pendekatan itu akan lebih mampu
melakukan eksplanasi (penjelasan) daripada yang membatasi diri pada
pengungkapan bagaimana sesuatu terjadi atau menguraikan kejadian
sebagai narasi (cerita).79 Suatu peristiwa harus diterangkan secara lebih
jauh dan lebih mendalam mengenai bagaimana terjadinya, latar belakang
kondisi sosial, ekonomis, politik dan kulturalnya.
Secara fisik kebanyakan kota-kota perdagangan di Nusantara
berada pada silangan jalan pengangkutan darat, sungai, selat teluk atau
pantai laut bebas yang amat potensial bagi kelancaran dan
pengembangan lintas perdagangan barang dan jasa. Pada tata ruang
tersebut biasanya terdapat gudang-gudang, sarana transportasi, tempat
78 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesutanan
Banten 1522-1684, (Depok, FIB Universitas Indonesia, Komunitas Bambu, 2007), h.
16-17. 79 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. xi.
46
penginapan, tempat ibadah, kantor-kantor urusan pajak dan bea cukai,
rumah makan, toko-toko dan tempat hiburan.80
Perdagangan di Banten terbagi atas 3 jenis, yaitu perdagangan
lokal, perdagangan regional dan perdagangan internasional.
Perdagangan lokal di Banten merupakan proses jual-beli berbagai barang
dagangan yang berasal dari Banten maupun barang dari laur Banten,
namun, berlangsung di dalam Kesulanan Banten. Perdagangan regional
merupakan perdagangan yang terjadi di luar Kesultanan Banten. Namun,
termasuk dalam kekuasaan Banten. Sedangkan perdagangan
internasional yaitu jual-beli barang yang terjadi di luar Kesultanan
Banten, seperti dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara.81
Dalam berbagai kasus, tingkat pertumbuhan ekonomi sering
dianggap berhubungan erat dengan tingkat kemakmuran negara.
Pertumbuhan ekonomi merupakan bagian dari fenomena pembangunan
yang lebih umum atau luas yang secara strategis dipengaruhi oleh
institusi-intitusi dan perilaku politik.82 Hal ini terlihat pada pertumbuhan
ekomoni perdagangan internasional di Banten menjadi salah satu sumber
penghasilan sultan dan pemerintahan, bahkan para bangsawan pun ikut
serta dalam pengaturan perdagangan. Sultan tidak hanya mendapatkan
penghasilan keuntungan dari perdagangan, tetapi juga ikut mencari
untung dengan usaha dagang.83
Ekonomi Banten memperlihatkan perbedaan antara tiga cakupan
perdagangan. Namun, proses perdagangan yang dapat diwujudkan itu
80 Halwany Michrob, Catatan Sejarah dan Arkeologi: Ekspor-Impor di Zaman
Kesultanan Banten… h. 6 81 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesutanan
Banten 1522-1684… 114. 82 Lane Jan Erik, Ekonomi Politik Komparatif… h. 275. 83 Siti Fauziyah, “Pasar pada Masa Kesultanan Islam Banten… h. 84.
47
meliputi tiga pihak yang sama yaitu produsen, distributor dan konsumen.
Kesultanan Banten bisa mencakup tiga pihak tersebut, contohnya Banten
dapat memproduksi barang-barang yang dibuat atau dihasilkan di
Banten, salah satunya adalah pada komoditas lada. Sebagai distributor,
Banten menetapkan beberapa para pegawai yang akan mengurusi barang
produksinya. Serta dapat menjadi konsumsi bagi penduduk Banten itu
sendiri.84
Faktor ekonomi politik yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi adalah kebijakan ekonomi dan iklim politik. Kebijakan yang
dibuat harus mampu mendorong terjadinya investasi serta iklim politik
harus mendukung.85 Pada kasus perdagangan di Banten, kebijakan
politik yang dibuat oleh Kesultanan di pengaruhi oleh pertumbuhan
ekonomi. Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa contohnya, saat
menerapkan kebijakan untuk menanam lada bagi penduduk Lampung
sebanyak 500 batang perorang. Dengan adanya kebijakan tersebut,
Banten dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan harga jual
tinggi kepada para pedagang asing. Hal ini dikarenakan, Banten
mempunyai pasokan lada dengan kualitas terbaik.
Untuk memenuhi dan melengkapi berbagai aktifitas perdagangan
di Banten, maka Kesutanan Banten membangun beberapa sarana dan
prasarana seperti Pelabuhan Karangantu, pasar, gudang dan lainnya.
Semua itu dilakukan untuk menunjang dan menarik para pedagang.
Perdagangan dan pelabuhan merupakan unsut penting bagi Kesultanan
Banten, hal tersebut dapat mendatangkan devisa bagi Banten. Sarana
84 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesutanan
Banten 1522-1684… h. 114. 85 Lane Jan Erik, Ekonomi Politik Komparatif… h. 290.
48
yang telah dibangun oleh kesultanan adalah sebagai jembatan
penghubung darat dan laut dalam aktifitas perdagangan internasional.86
Perdagangan internasional yang penting tercermin dalam
pencacahan sederhana yaitu memainkan peran besar dalam kemunculan
dan perkembangan Banten, sebagai kota perdagang internasional yang
wilayahnya membentang dari Tangerang ke Tulang Bawang dan dari
Pelabuan Ratu ke Solebar.87 Jelas bahwa ada celah untuk diisi dan
penting untuk mempertanggungjawabkan kompleksitas peneliti untuk
menganalisis ekonomi di Banten khususnya dalam perdagangan
internasional.
Perdagangan merupakan tulang punggung perekonomian
Kesultanan Banten sebagai entitas kerajaan yang berada di wilayah
pesisir utara laut Jawa. Konsep perekonomian yang menekankan pada
tiga pola dasar, yaitu produksi, distribusi dan konsumsi sangat
dipengaruhi oleh sistem sosial dan sistem politik atau struktur
kekuasaannya. Sehubungan dengan itu, penulis mengkaji perkembangan
perdagangan internasional Kesultanan Banten akhir abad XVI-XVII dari
pendekatan ekonomi politik untuk melihat bagaimana pembangunan
ekonomi yang dilakukan oleh kesultanan berpengaruh pada pesatnya
perkembangan kesultanan Banten sebagai kota perdagangan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa sejak lama Banten telah menjadi
daerah kosmopolitan yang mempertemukan pedagang dari berbagai
penjuru dunia untuk mengadu nasib di sana. Pada masa sekarang, Banten
86 Herman. A. Carel Lawalata, Pelabuhan dan Niaga Pelayaran, (Jakarta:
Aksara Baru, 1981), h. 5. 87 Gregorius Andika Ariwibowo, “Sungai Tulang Bawang dalam Perdagangan
Lada di Lampung pada Periode 1684 Hingga 1914”. Masyarakat & Budaya. Vol. 19.
No. 2. (2017), h. 254.
49
tidak lagi menjadi kota kosmopolitan seperti pada masa kesultanan.
Namun, setelah Indonesia merdeka, setidaknya orang-orang ‘asing’ dari
berbagai daerah di Indonesia masih ada yang menetap dan bergantung
sepenuhnya pada perdagangan di Banten yang pernah sangat termasyhur
pada akhir abad XVII, XVII hingga abad XVIII.
50
Kerangka berpikir
Rumusan
masalah
1. Bagaimana kegiatan ekspor-impor perdagangan
internasional Kesultanan Banten?
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya
fluktuasi perdagangan di Banten?
Sumber
primer
Manuscript sejarah Banten, arsip, koran Donderdaegbfe
Courant No. 36, serta buku sezaman seperti Prima Pars
Descriptionis Itineris Navalis In Indiam Orientalem,
Earvmqje Rervm Qvae Navibvs Battavis Occvueevnt, tahun
terbit 1598.
Kajian
pustaka
Adeng, Pelabuhan Banten Sebagai Bandar Jalur Sutra. Jurnal
Patanjala Vol. 2, No. 1. 1 Maret 2012. pp. 80-94.
Siti Fauziyah, Pasar Pada Masa Kesultanan Islam Banten.
Jurnal Thaqafiyyat, Vol. 13, No. 1, Juni 2012. pp. 84-96
Metodologi Metode
Pendekatan
Teori
Dalam penulisan ini digunakan metode
penelitian yang berlaku di dalam ilmu
sejarah, yaitu: heuristik, kritik,
interpretasi, dan historiografi
1. Teori Merkantilisme, menyatakan
bahwa kesejahteraan suatu negara
hanya ditentukan oleh banyaknya aset
atau modal yang disimpan oleh negara
yang bersangkutan, dan besarnya
volume perdagangan global sangat
penting.
2. Teori Ekonomi makro, digunakan untuk
menganalisis dan memahami
permasalahan ekonomi secara
menyeluruh dalam menentukan arah-
arah kebijakan seperti, pertumbuhan
ekonomi, kestabilan harga, fluktuasi,
permintaan dan penawaran.
Pendekatan ekonomi politik
51
BAB III
GAMBARAN UMUM KESULTANAN BANTEN
A. Letak Geografis
Banten Satu bagian Indonesia di ujung barat pulau Jawa
membentang tanah seluas 9.160,70 km² yang dibatasi lautan di bagian
selatan, utara, barat, dan daratan di bagian timurnya, kaya sumber daya
alam yang potensial. Setiap November-Maret musim hujan datang di
sini, dengan cuaca yang didominasi angin barat (dari Sumatera Hindia
sebelah selatan India). Setiap Juni-Agustus musim kemarau datang di
sini, dengan cuaca didominasi oleh angin timur yang menyebabkan
sebidang tanah ini di bagian selatannya mengalami kekeringan yang
keras.88
Dataran rendah dengan ketinggian 0-50 mdpl terdapat di
sepanjang pesisir utara, dan sebagian pesisir selatan dengan kemiringan
lereng berkisar antara 0-15%. Topografi perbukitan bergelombang
sedang dengan kemiringan lereng 15-25 % terdapat di sebagian besar
sebidang tanah di Jawa ini, dan topografi perbukitan terjal dengan
kemiringan lereng >25% terdapat di sebagian kecil bagian selatannya.89
Sebagian lainnya, terdapat pegunungan yang relatif sulit untuk
diakses, namun menyimpan potensi sumber daya alam. Topografi
tersebut, secara umum digunakan manusia yang menghuninya di
lingkungan pantai utara untuk sawah irigasi teknis dan setengah teknis,
88 Tim Penyusun Buku Profil Penataan Ruang Propinsi Banten: Sistem
Informasi dan Dokumentasi Penataan Ruang Wilayah Tengah Buku Profil Penataan
Ruang Propinsi Banten, (Jakarta: Depkimpraswil, 2003), h. 1. 89 Tim Penyusun Buku Profil Penataan Ruang Propinsi Banten: Sistem
Informasid dan Dokumentasi Penataan Ruang Wilayah Tengah Buku Profil Penataan
Ruang Propinsi Banten… h. 1-2.
52
kawasan pemukiman serta industri. Manusia di kawasan bagian tengah
memanfaatkannya untuk sawah irigasi terbatas dan kebun campur serta
sebagian berupa pemukiman pedesaan.
Manusia di bagian barat memanfaatkannya untuk pertanian.
Namun di bagian selatan yang merupakan cekungan yang kaya air masih
belum dimanfaatkan secara efektif dan produktif oleh manusia
penghuninya. Di bagian yang belum dikelola secara optimal ini
dikelilingi bukit-bukit bergelombang dengan rona lingkungan kebun
campur, dan hutan rakyat yang tidak terlalu produktif. Lahan yang ada
masih didominasi untuk sawah, perkebunan dan hutan rakyat. Lahan
sawah proporsinya berkisar antara 10% sampai dengan >50%, Lahan
perkebunan dan hutan rakyat proporsinya berkisar antara 10% sampai
dengan >50%. Sebidang Jawa di ujung barat itu kini menjadi wilayah
administratif Provinsi Banten.90
Letak geografis Banten pada batas astronomi adalah 105˚1`11²-
106˚7`12² BT dan 5˚7`50²-7˚1`1² LS. Banten secara umum merupakan
daerah dengan dataran rendah yang berada pada 0-200 mdpl. Banten
merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran penting dimasa silam
dengan berdirinya kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha dan kemudian
berkembang menjadi kerjaan bercorak Islam, yaitu Kesultanan Banten.91
Secara topografi, wilayah Banten dapat dibagi menjadi dua
bagian besar, yang dipisahkan oleh sebuah baris Barat-Timur. Daerah
Selatan merupakan wilayah perbukitan, mulai dari Gunung Honje
90 Tim Penyusun Buku Profil Penataan Ruang Propinsi Banten: Sistem
Informasi dan Dokumentasi Penataan Ruang Wilayah Tengah Buku Profil Penataan
Ruang Propinsi Banten… h. 3. 91 Tim Penyusun, Banten dalam Angka 2008, (Serang, Badan Pusat Statistik
Nasional, 2008), h. 3.
53
(Pandeglang) hingga pegunungan Halimun (Lebak). Sedangkan di
sebelah Utara, hampir merupakan daerah dataran rendah. Di antara bukit
disekitarnya, yaitu Gunung Pulosari, Gunung Aseupan, dan Gunung
Karang.92
Pembabakan sejarah Banten secara geografis,93 sebagaimana
tertulis dalam laporan-laporan asing tentang Banten pada abad XVI
sampai abad XVII. Banten menunjukan ciri-ciri umum yang menjadi
karakter sebuah wilayah maritim. Ciri-ciri itu antara lain, adanya
persaingan dagang internasional yang meriah, sistem hukum berlaku
baik, raja yang bijaksana, ilmu pengetahuan berkembang, dan aktivitas
keagamaan menjadi pertanda dari kearifan sultan. Karena alasan keadaan
geografis itulah, Kesultanan Banten menjadi wilayah yang menarik
untuk dikunjungi oleh para saudagar maupun dari ahli agama baik dari
kawasan Nusantara maupun dari luar negeri.94
Berdasarkan sumber sejarah, Kesultanan Banten telah dikenal
sejak masa Kerajaan Hindu-Sunda yang memiliki peran penting dan
sangat besar dalam menunjang perekonomian, karena merupakan pusat
perdagangan yang bersifat nasional dan internasional. Sebagai Bandar
Pelabuhan, di bawah Kerajaan Sunda, Banten menempati posisi kedua
setelah Sunda Kelapa. Kerajaan Sunda memiliki enam Bandar
perdagangan, yaitu, Banten, Sunda Kelapa, Pontang, Cigede, Tanahara
dan Cimanuk. Melalui Bandar-bandar tersebut berbagai sumber daya
yang dihasilkan di kawasan pedalaman disalurkan ke penjuru dunia
92 Yoseph Iskandar, dkk, Sejarah Banten: dari Masa Nirleka Hingga Akhir
Masa Kejayaan Kesultanan Banten, (Jakarta: Tryana Sjam’un Corp, 2011), h. 2. 93 Suhartono, Bandit-Bandit Pedesaan di Jawa, (Yogyakarta: Aditya Media,
1995), h. 27. 94 Hs. Suhaedi dan Hidayatullah, Perubahan Sosial di Banten, Kajian Tehadap
Mobilitas Kiyai dan Jawara, (Serang: P3M IAIN SMH Banten, 2006), h. 19.
54
wilayah-wilayah Nusantara lainnya. Di Kesultanan Banten
diperdagangkan barang-barang seperti beras, bahan makanan, serta lada,
yang wilayah perdagangannya mencapai Sumatera hingga Kepulauan
Maladewa.95
Kesultanan Banten ditata lebih teratur sebagai sebuah wilayah
politis. Sebagai langkah awalnya, pendiri Kerajaan Islam Banten
memindahkan pusat pemerintahan dari pedalaman (Girang) ke
Surosowan (pesisir). Faktor geografi, ekonomi, politik sangat berperan
dalam pemindahan/pembangunan keraton. Walau Islam mengajarkan
tauhid, unsur magis (kosmologis) dalam pemindahan/pembangunan
Kesultanan Banten masih sangat kuat. Buktinya, pemindahan dari
Girang ke Surosowan atas petunjuk Sunan Gunung Jati (ayah Maulana
Hasanuddin, pemegang Kesultanan pertama Banten) juga didasari pada
nilai bahwa kerajaan yang runtuh/dikalahkan harus ditinggalkan.96
Sebagai sultan pertama, Hasanuddin berhasil memperluas
wilayahnya: Jayakarta, Karawang, Lampung, dan beberapa daerah lain
di Sumatra Selatan.97 Saat Sultan Maulana Hasanuddin melakukan
perjalanannya ke Lampung, dan sepanjang pantai selatan Sumatra ke
Indrapura, ia mengumpulkan pasukan yang cukup besar di sana, dan
menjadikan Kesultanan Banten sebagai negara yang memiliki kekuatan
yang besar.98
95 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Muslim di
Indonesia dari Abad XIII Sampai XVIII Masehi, (Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 52 96 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Muslim di
Indonesia dari Abad XIII Sampai XVIII Masehi … h. 52 97 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, (Jakarta:
Djambatan dan KITLV, 1983), h. 214. 98 A. J. Van Der. A. A, Nederlands Oost-Indie, of Beschrijving Der
Nederlandsche. Bezitting En in 00st-Indie, (Amsterdam: J.F. Schleijer, 1846), h. 192.
55
Pesatnya aktivitas niaga yang berlangsung di Kesultanan Banten
tidak terlepas dari pengaruh jatuhnya Malaka ke tangan orang-orang
Portugis tahun 1511.99 Kedatangan para pedagang Eropa ke Banten sejak
akhir abad XVI telah membuka kesempatan kepada masyarakat untuk
berinteraksi dalam lapangan ekonomi. Menjelang abad XVII, para
pedagang Eropa semakin banyak berdatangan dan berdiam di Banten
dalam loji-loji yang dibangun di sekitar pelabuhan.100
Kedatangan pedagang Eropa tidak semata-mata berdagang tanpa
izin dari raja Banten, salah satu contohnya adalah saat pedagangan
Inggris tiba di Banten dengan dua kapal yang singgah di Banten
membawa surat dari ratu Inggris dan beberapa hadiah untuk raja Banten.
Hal tersebut dilakukan agar Inggris dapat berdagang di Banten. Saat raja
Banten memberikan izin kepada para pedagang Inggris, mereka
langsung mendaratkan barang-barang dagangannya dan para pedagang
Inggris dikenal dengan penjualannya yang sangat baik.101
Kesultanan Banten telah mengalami dua kali perpindahan lokasi.
Pusat kerajaan yang pertama terletak di Banten Girang, kira-kira 3
kilometer di sebelah Selatan Kota Serang atau sekitar 13 kilometer dari
Banten Lama. Dan pada tahun 1524 pusat kerajaan dipindahkan ke
Banten Lama.102 Letak Banten Lama yang berada di daerah pantai
mempunyai pengaruh yang tidak sedikit terhadap kegiatan manusia yang
bermukim di daerah tersebut. Sungai mengelilingi Banten merupakan
99 Jualiadi, dkk, Ragam Pusaka Budaya Banten, (Serang: BP3S, 2005), h. 72 100 Mufti Ali, Misionarisme di Banten, (Serang: Laboratorium Bantenologi,
2009), h. 1 101 Frederick Charles Danvers, Letters Received by The East India Company,
(London Sampson Low, Marston & Company, 1896), h. xxv. 102 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Muslim di
Indonesia dari Abad XIII Sampai XVIII Masehi … h. 52.
56
pertahanan alam yang sangat baik, sekaligus juga sebagai jalan
penghubung antara daerah pedalaman dan daerah pantai, memungkinkan
perkembangan potensi ekonomi maritim.103
Luas Kota Banten pada akhir abad XVI seperti digambarkan pada
peta tanpa skala itu sukar dipastikan. Berita orang Belanda tahun 1596
hanya mengatakan kira-kira sama dengan Amsterdam lama. Sedangkan
pada tahun 1678 luas kota Banten kira-kira 1 mil. Menurut Francois
Valentijn, kota tersebut panjangnya 2 mil Inggris tetapi katanya kini
(1694) tidak demikian mungkin karena pernah terbakar pada tahun 1682.
Messe mengatakan pada tahun 1683 Kota Banten luasnya lebih daripada
Batavia. Valentijn mengatakan bahwa pada tahun 1694, panjangnya kota
di pesisir kurang dari ¼ mil.104
Piegaud mengatakan, pada akhir abad XVII, ketika pada masa
Sultan Abdul Mahasin Zaenal Abidin, penguasa Kesultanan Banten,
memerintahkan Pangeran Natawijaya untuk melakukan sensus
penduduk Kota Surosowan berjumlah sekitar 31.848 orang. Sedangkan
pada tahun 1708 dilakukan sensus penduduk Kota Surosowan berjumlah
sekitar 36.302 orang. Dengan demikian, dalam jangka waktu 12 tahun
pertumbuhan penduduk Kota Surosowan hanya mecapai 4.454 orang
atau sekitar 372 orang pertahun. Kalau dibandingkan dengan
pertambahan penduduk Kota Cirebon, pertambahan penduduk Kota
Surosowan tidaklah terlalu menonjol.105
103 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten… h. 214. 104 Uka Tjandasasmita, Banten Abad XV-XXI Pencapaian Gemilang
Penorehan Menjelang, (Jakarta: Puslitbang Lektur Khazanah Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2011), h. 87. 105 Theodore G. Th. Pigeaud, Descriptive Lists of Javanese Manuscripts.
Literature of Java. Vol. 2 (Codices Manuscripti, X.) pp. xv, 972. Leiden, University
Library, 1968, h. 68.
57
Penduduk Kesultanan Banten merupakan suatu komuniti
(kesatuan hidup setempat) yang memanfaatkan sumber daya
lingkungannya hingga mampu mencapai pertumbuhan dalam bidang
ekonomi. Keterkaitan antara penggunaan sumber daya lingkungan
dengan majunya perekonomian dijembatani oleh kegiatan perdagangan
yang terjadi antara kesultanan ini dengan berbagai pihak, mengakibatkan
tumbuhnya pembangunan berbagai sarana serta prasarana yang pada
akhirnya mampu menjadikan ekonomi di Kesultanan Banten
berkembang pesat.106
Menurut beberapa sumber tertulis seperti catatan orang-orang
Eropa yang berkunjung ke Banten, Kesultanan Banten merupakan salah
satu kesultanan Islam terbesar di Pulau Jawa pada abad XVI, terkadang
disebut dengan Bantam.107 Tempat ini sangat terkenal sebagai pusat
perdagangan, dan senantiasa disinggahi oleh para pedagang dari negari
lain.
Ramainya aktivitas perdagangan yang terjadi dipusat pelabuhan
yang merangkap sebagai pusat dagang serta pusat pemerintahan
Kesultanan Banten di karenakan Banten, yang terletak di ujung barat laut
Jawa adalah pasar utama untuk lada.108 Tome Pires mengatakan
banyaknya pedagang yang berdatangan serta terlibat dalam aktivitas jual
beli di kawasan ini, agaknya sudah berjalan sejak Kesultanan Banten
106 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal, Kesultanan
Banten 1522-1682, (Depok, FIB Universitas Indonesia, 2007), h. 8 107 Graaf H. J. De dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa
Peralihan Dari Majapahit Ke Mataram, (Jakarta: Graffiti Press, 1985), h. 146 108 Bolton Corney, M.R.S.L, The Voyage of Sir Henry Middleton to Bantam
and the Maluco Islands 1604-1606, (London: Printed for The Hakluyt Society, 1855),
16.
58
masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Tempat ini sudah
dikenal sebagai tempat penghasil beras, bahan makanan dan lada.109
B. Sejarah Singkat Kesultanan Banten
Merujuk pada sumber asing, yaitu sumber Cina yang berjudul
Shung Peng Hsiang Sung (1430), nama Banten disebut sebagai tempat
yang terletak dalam beberapa rute pelayaran, Tanjung Sekong – Gresik -
Jaratan Banten -Timor Banten - Demak: Banten - Banjarmasin: Kreung
(Aceh) - Barus - Pariaman - Banten. Rute pelayaran ini dibuat Mao’k’un
pada sekitar tahun 1421. Jelas bahwa ketika orang Portugis ini datang
pada tahun 1512, tempat itu sudah bernama Banten meskipun ia
menyebutnya “Bautan”.110
Dalam sumber lokal, nama Banten disebut paling awal dalam
naskah Carita Parahiyangan, yang ditulis pada tahun 1580. Dalam
naskah ini disebutkan adanya sebuah tempat yang disebut “Wahanten
Girang” yang dapat dihubungkan dengan nama Banten. Dalam Tambo
Tulangbawang dan Primbon Bayah, serta berita Cina, hingga abad XIII,
orang menyebut daerah Banten dengan nama Medanggili. Selain itu,
nama Banten disebut dalam naskah-naskah Sejarah Banten. Ada sekitar
31 versi dari naskah ini, tetapi yang paling tua ditulis tahun 1662/1663.111
Banten yang berada di jalur perdagangan internasional, diduga
sudah memiliki hubungan dengan dunia luar sejak awal abad Masehi.
109 Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, (London, The
Hakluyt Society, 1944), h, 167-168. 110 Nina. H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2003), h. 25. 111 Titik Pudjiastuti, Sadjarah Banten Suntingan Teks dan Terjemahan
Disertai Tinjauan Aksara dan Amanat. Disertasi, (Depok: Fakultas Sastra, Universitas
Indonesia, 2000), h. 13.
59
Kemungkinan abad VII, Banten sudah menjadi pelabuhan yang
dikunjungi para saudagar dari luar. Ketika Islam dibawa oleh para
pedagang dari Arab ke Timur, barangkali Banten telah menjadi sasaran
dakwah Islam. Menurut berita Tome Pires, pada tahun 1513 di Cimanuk,
sudah dijumpai orang-orang Islam. Jadi, setidaknya pada akhir abad ke-
XV, Islam sudah mulai diperkenalkan di pelabuhan milik Kerajaan
Hindu Sunda. Ketika Sunan Ampel Denta pertama kali datang ke Banten,
ia mendapati orang Islam di Banten, walaupun penguasa di situ masih
beragama Hindu.112
Berdirinya Kesultanan Banten telah menjadi pengganti kerajaan
Sunda Pajajaran. Tetapi raja-raja Banten tidak pernah merasa
berhubungan erat dengan para pendahulu "kafir" mereka di Pakuwan,
seperti halnya raja-raja Islam Jawa Tengah terhadap raja-raja Brawijaya
di Majapahit. Pajajaran memang tidak pernah menjadi pusat kebudayaan
seperti Majapahit (mungkin Pajajaran sendiri telah mendapat pengaruh
kuat dari kebudayaan Jawa pada abad XV).113
Banten adalah Kota pelabuhan yang didirikan oleh Muslim Jawa
pada abad keenam belas dan tidak kehilangan waktu dalam menarik
pedagang perusahaan India, Cina dan Eropa dalam mengejar hampir
secara eksklusif satu komoditas, yaitu lada. Sebagian dari produksi dari
112 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten,
(Jakarta: Penerbit Saudara Perang, 1993), h. 50-51 113 Theodore G. Th. Pigeaud, Literature of Java. Catalogue raisonne of
Javanese manuscripts in the library of the University of Leiden and other collections in
The Netherlands, (Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal, Land-en Volkenkunde,
1967), h. 322.
60
Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya dan Kalimantan dikirim ke sini
untuk diekspor kembali ke pasar internasional.114
Pada tahun 1524-1525 Syarif Hidayatullah dari Pasei, yang kelak
menjadi Sunan Gunungjati, telah berlayar dari Demak ke Banten, untuk
meletakkan dasar bagi pengembangan agama Islam dan bagi
perdagangan orang-orang Islam. Syarif Hidayatullah sudah menunaikan
rukun ke 5, naik haji ke Mekkah, sebelum ia datang di Keraton raja
Demak. Sebagai haji yang saleh dan sebagai musafir yang mengenal
peraturan dunia ia mendapat sambutan hangat di keraton itu. la mendapat
salah seorang saudara perempuan raja Demak sebagai istri. Dapat diduga
bahwa ia telah berpengaruh terhadap iparnya, seorang keturunan Cina
yang baru beberapa puluh tahun masuk Islam.
Pasei, kota pelabuhan Sumatera Utara tempat asal Syarif
Hidayatullah, sudah lebih dari dua abad beragama Islam. Ada alasan
untuk menduga bahwa gelar sultan yang dipakai Trenggana dari Demak,
dan sepak terjangnya sebagai pelindung agama, banyak berkaitan dengan
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan agama Islam yang harus
meliputi segala aspek hidup. Tentu hal itu sudah dipahami benar oleh
Nurullah sepulang dari Mekkah.115
Dalam tradisi Cirebon, peranan Sunan Gunung Djati sebagai
pendiri Kesultanan Banten sangat menonjol. Perintis berdirinya
Kerajaan Islam ini diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam dan
pembentukan kelompok masyarakat muslim. Jika hal ini telah dilakukan,
114 Ng Chin-keong, Boundaries and Beyond China’s Maritime Southeast,
(Singapore: NUS Press National University of Singapore, 2007), h. 28. 115 De Graaf dan Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, (Jakarta:
Pustaka Utama Graffiti, 2003), h. 134
61
maka penguasaan daerah secara militer, penguasaan daerah secara
politik pun dijalankan sampai akhirnya berdiri suatu pemerintahan.116
Sebagaimana dilaporkan oleh J. De Barros, ketika sudah menjadi
Kesultanan Banten, Banten telah merupakan pelabuhan besar di Jawa,
sejajar dengan Malaka. Sebuah sungai membagi Kota Banten menjadi
dua bagian. Sungai itu dapat dilayari oleh perahu jenis jung dan galen.
Pada satu tepi sungai berjajar banteng-benteng yang dibuat dari kayu
yang dilengkapi dengan meriam.117
Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, di tahun 1408, Sunan
Gunung Djati mengirim putranya Maulana Hasanuddin ke Banten yang
berjarak satu jam dari Serang, tepatnya di wilayah Banten Girang,
Maulana Hasanuddin di Banten menyebarkan agama Islam, dan
karenanya perhatian orang-orang Banten tertarik untuk memeluk agama
Islam. Setelah banyak orang-orang Banten memeluk agama Islam. Ia
memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan yang disebut Kesultanan
Banten.118
Pendirian awal Kota Surosowan oleh Sultan Maulana
Hasanuddin atas petunjuk ayahnya Sunan Gunung Djati sebagaimana
diketahui dari cerita sejarah atau Babad Banten pupuh XIX. Ditunjukan
letak keraton, pasar, alun-alun serta Watu Gigilang yang tidak boleh
dipindahkan dari tempatnya. Karena terjadi pemindahan Watu Gigilang
itu konon berarti keruntuhan kerajaan atau kesultanan. Pembangunan
kota Banten itu dilanjutkan setelah Maulanan Hasanuddin (1526-1570)
diganti putranya yaitu Maulana Yusuf yang memerintah dari tahun
116 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten… h. 214. 117 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten… h. 145. 118 A. J. Van Der. A. A, Nederlands Oost-Indie, of Beschrijving Der
Nederlandsche. Bezitting En in 00st-Indie…h. 191.
62
(1570-1580). Pembangunan kota oleh Maulana Yusuf digambarkan oleh
Sejarah Banten Pupuh XXII. “diceritakan bahwa Maulana Yusuf
mempunyai tenaga jasmani yang kuat, membangun sebuah pertahanan
dari bata dan karang (gawe kuta baluarti bata kalawang kawis),
mendirikan kampung-kampung, membuat sawah dan ladang, membuat
saluran-saluran air dan bendungan-bendungannya”.119
Dari gambaran di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada
masa pemerintahan Maulanan Yusuf, Kesultanan Banten benar-benar
sudah mempunyai ibukota yang telah memenuhi persyaratan sebuah kota
dari segi morphologi perkotaan. Keraton merupakan tempat raja,
penguasa politik di kerajaan, pasar, tempat pusat ekonomi atau
perniagaan, masjid, tempat atau pusat kegiatan keagamaan, alun-alun
merupakan pusat upacara-upacara kerajaan, rakyat dapat berkumpul
dengan dihubungkan oleh jalan.
Kedatangan orang-orang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis
de Houtman pada tahun 1596 ke Banten yaitu enam belas tahun setelah
wafatnya Maulana Yusuf dan masa pemerintahan Maulana Muhammad
yang mencoba mengadakan serangan ke Palembang. Dalam peperangan
itu ia gugur sehingga namanya disebut pula Prabu Seda Ing
Palembang.120 Jadi kota yang digambarkan pada masa kedatangan
orang-orang Belanda pertama-tama itu adalah gambaran pada masa
pemerintahan Maulana Muhammad. Pada tahun itu orang-orang Belanda
hanya mengatakan kira-kira sama dengan Kota Amsterdam lama tahun
1480-an.
119 Uka Tjandrasasmita, “Banten Sebagai Pusat Kekuasaan dan Niaga Antar
Bangsa”. Dalam Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi,
(Jakarta: Cv. Dwi Jaya Karya, 1995), h. 110. 120 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten… h. 43.
63
Dalam berita Belanda tahun 1596 itu disebutkan adanya berbagai
golongan masyarakat pedagang yang berasal dari berbagai bangsa dan
negeri. Di sepanjang pantai terdapat rumah-rumah orang Melayu,
Benggala, Gujarat dan Abesenia, pedagang-pedagang Cina mempunyai
perkampungan sendiri yang terletak di sebelah Barat bergabung dengan
orang-orang Portugis. Para pedagang dari Cina banyak
memperdagangkan macam-macam sutera, laken, beludru, satin, benang,
emas, piring, porselin dan lainnya. Sedangkan orang Arab dan Iran
memperdagangkan macam-macam batu-batuan seperti delima dan obat-
obatan. Sama halnya dengan para pedagang dari Cina dan Arab para
pedagang dari negara lain pun memperdagangkan barang-barang khas
dari negara mereka masing-masing, yang diperjual belikan di pasar
Kesultanan Banten.121
Pada abad XVII, Kesultanan Banten telah merupakan tempat
berniaga penting dalam perniagaan internasional di Asia. Kedudukan
penguasa setempat ditunjang oleh kaum bangsawan, yang mempunyai
kekuatan lokal, sedangkan administrasi pelabuhan, perkapalan, dan
perniagaan di urus oleh Syahbandar. Pada sekitar tahun 1618 menurut
berita Cina Tung His Yang K’au, untuk kepentingan perdagangan, Sultan
Banten menunjuk dua tempat di luar kota sebagai pasar dan dibangun
toko-toko agar pembeli dapat berbelanja di pasar-pasar tersebut sampai
petang hari, karena sudah itu ditutup.122
Sejak imigran Cina datang ke Banten, mereka telah mendirikan
pemukiman yang kemudian dapat membentuk jaringan yang
121 Uka Tjandrasasmita, “Banten Sebagi Puat Kekuasaan dan Niaga Antar
Bangsa”… h. 112. 122 W. P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled
from Chinese Sources, (Jakarta: Bhratara, 1960), h. 56.
64
memungkinkan pertukaran tenaga kerja, pekerjaan, modal, barang, dll.
Menurut para pedagang Cina, Banten adalah pasar utama lada dan
rempah-rempah lainnya. Pedagang Inggris dan Belanda memiliki pabrik
utama mereka, dan para pedagang dari Arab dan Hindostan pun datang
ke Banten. Pendapat pedagang Cina mengatakan pedagang Eropa
merupakan pedagang yang paling boros, mereka bisa membunuh dan
menghukum mati penduduk asli bahkan penduduk asing, guna
mendapatkan keuntungan yang besar dalam perdagangan mereka.123
Kesultanan Banten mempertahankan hubungan dagang yang erat
dengan Dinasti Ming dari Cina. Dalam catatan Belanda pada tahun 1596,
menggambarkan gambaran yang jelas tentang suasana perdagangan yang
intens di Banten, perdagangan tersebut dilakukan di atas kapal, banyak
orang Jawa dan negara-negara lain seperti Turki, Cina, Bengali, Arab,
Persia, Gujarati, dan lain-lain yang melaukan perdagangan. Setiap
negara mengambil tempat di kapal tempat mereka memajang barang-
barang mereka sama seperti jika ada di pasar.124
Sultan-sultan banten sejak pergantian Maulana Muhammad oleh
putranya yaitu Abdul Mufakir Mahmud Abdul Kadir, usaha-usaha
Kesultanan Banten ditingkatkan dalam bidang politik, kesejahteraan
masyarakat, pertanian, perdagangan, di samping sultan tersebut amat
gigih dalam menentang penjajahan berikut monopoli yang dilakukan
oleh Kompeni Belanda. Setelah Abdul Mufakir Mahmud Abdul Kadir
123 A Complete View of the Chinese Empire. Exhibited on its Geographical
Description of that Country. A Dissertation on its Antiquity, and A Genuine and
Copious Account of Earl Macartney's Embassy From the King of Great Britain to The
Emperor of China, (London: Cawthorn, British Library, No. I32, Strand, 1798), h. 120. 124 J.c. Van Leur, Indonesian Trade and Society: Essay in Asia Social and
Economic History, (Bandung: Sumur Bandung, 1960), h. 3.
65
(1596-1651) yang diserahkan kepada Sultan abdul Fath Adul Fathi yang
terkenal dengan julukan Sultan Ageng Tirtayasa maka Kesultanan
Banten merupakan puncak kejayaan dan kebesarannya.125
Dalam upaya meningkatkan kekuatan ke dalam, Sultan Ageng
Tirtayasa telah melakukan usaha-usaha meningkatkan pertanian dan
konsolidasi kekuatan dengan mengadakan hubungan-hubungan dengan
Lampung, Solebar, Bengkulu, Cirebon dan lainnya. Hubungan pelayaran
dan perdagangan dengan Kerajaan Goa, dengan sumber rempah-rempah
di Maluku meskipun perjanjian dengan Belanda tidak dibolehkan tetap
dilakukannya. Usaha Sultan Ageng Tirtayasa ke luar baik dalam bidang
politik diplomatik maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan
bangsa-bangsa lain ditingkatkan pula. Pelabuhan di Kesultanan Banten
semakin ramai dikunjungi para pedagang asing baik dari Asia maupun
dari Eropa. Hubungan persahabatan dan perdagangan dengan Inggris,
pada 10 November 1681 sultan mengirim utusan ke Inggris di bawah
pimpinan Jaya Sadana.126
Kesultana Banten yang dari segi politik, ekonomi, sosial, budaya
selama pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa merupakan puncaknya,
maka dengan mulainya ada ketegangan yang timbul dari pihak puteranya
sendiri yaitu Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau Sultan Haji. Kesultanan
Banten sebagai pusat kekuasaan dan perdagangan antar bangsa mulai
mengalami kepudarannya. Ketegangan itu disebabkan ambisi Sultan
125 Uka Tjandrasasmita, Musuh Besar Kompeni Belanda, Sultan Ageng
Tirtayasa, (Djakarta: Yayasan Kebudayaan Nusalarang, 1987), h. 7-8. 126 Uka Tjandrasasmita, “Banten Sebagi Puat Kekuasaan dan Niaga Antar
Bangsa”… h. 116.
66
Haji untuk mengganti Sultan Ageng Tirtayasa yang di adu domba oleh
Kompeni Belanda. 127
Kemuduran baik dari segi politik maupun ekonomi dan
perdagangan sejak akhir abad XVII dan lenyap sama sekali kekuasaan
politiknya pada awal abad XIX oleh Kolonialisme Belanda, kerena
penghasilan Kesultanan Banten dari bea cukai para pedagang asing yang
biasanya berlabuh dan membeli komoditi ekspornya pindah ke Batavia.
Kesultanan Banten tidak lagi dapat melakukan perniagaan antar bangsa
dan struktur sosial politiknya di pecah belah dan Kesultanan banten
dihancurkan oleh Kompeni Belanda.
Ketika Kesultanan telah dilumpuhkan VOC, tidak terkecuali
penataan daerah, kekuasaan Banten di tangan VOC sampai
kebangkrutannya pada 1799. Kongsi dagang yang perkembangannya
bertindak laksana negara ini digantikan oleh pemodal utamanya,
pemerintah Belanda menguasai sebagian nusantara hampir dua abad
(1602-1799), juga Banten. Sebagai penguasa tertinggi di daerah jajahan
pertama, Herman Willem Daendels diangkat sebagai Gubernur Jenderal
Pemerintah Hindia Belanda. Banten masih dianggap sebagai daerah
yang penting bagi kolonial.128
127 Uka Tjandrasasmita“Banten Sebagi Pusat Kekuasaan dan Niaga Antar
Bangsa”… h. 117. 128 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta:
Pustaka Jaya Kompas, 1984), h. 112.
67
C. Penduduk dan Mata Pencaharian
Kedatangan para pedagang dari berbagai negeri menjadikan
Banten sebagai daerah multietnis yang memunyai kultur yang beragam.
Di bawah Kesultanan Banten, perdagangan lada membuat Banten
menjadi kota pelabuhan yang penting. Kapal-kapal dagang Cina, India
dan Eropa singgah dan berdagang di Banten. Dalam melaksanakan
perdagangan, Banten menerapkan sistem perdagangan terbuka. Artinya,
semua pedagang dari berbagai bangsa dibebaskan untuk berdagang di
Banten.
Masyarakat Kesultanan Banten terbagi atas beberapa golongan,
yaitu: golongan sultan-sultan dan keluarganya golongan elit, golongan
non elit dan golongan budak. Golongan pertama, terdiri dari sultan
sebagai penguasa dan beserta keluarganya. Golongan kedua,
diketegorikan dalam pejabat-pejabat tinggi kerajaan seperti, Menteri,
Mangkubumi, Kadi, Senopati Laksamana, Syahbandar dan lainnya.
Golongan bangsawan, yang sebenarnya masih merupakan keluarga
sultan, banyak juga yang memangku jabatan penting dalam
pemerintahan. Rupanya hal ini merupakan kebiasaan dalam masyarakat
tradisional di Indonesia. Usaha ini di anggap dapat memperkokoh
kedudukan raja di bidang politik, ekonomi bahkan kultural, kedua
golongan ini merupakan lapisan masyarakat yang jumlahnya terbatas.129
Hal ini berbeda dengan lapisan yang disebut non elit, jumlahnya
terbanyak dan terdiri atas rakyat kebanyakan petani, pedagang, tukang,
nelayan dan sebagainya. Golongan budak dimaksudkan olehnya sebagai
orang yang tidak mempunyai kebebasan diri sendiri, yang
129 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten,
(Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006), h. 78
68
keberadaannya disebabkan karena tawanan perang, pembayaran utang
dan penyebab lainnya.130
Hubungan antara sultan sebagai penguasa dengan rakyatnya
cukup dekat. Hal tersebut diuraikan dalam Sejaran Banten Pupuh XLV
yang menjelaskan bahwa “pada musim hujan dan musim peralihan,
sultan jarang menerima sembah. Para Menteri dan Ponggawa pada
waktu itu berada di sawah. Jika sultan mendengar orang sakit,
dikirimnya gula geseng dan gula ngemu dengan uang untuk mereka yang
sakit. Apabila sultan menerima sembah, maka tak seorang pun boleh
kena sengat matahari. Apabila tidak ada tempat maka orang pun harus
berusaha untuk lebih dekat kepadanya”.131
Status sosial yang dimiliki oleh seseorang, akan mempengaruhi
peran dan caranya untuk berinteraksi dengan orang lain. Seperti halnya
Sultan yang tidak semua golongan bisa berinteraksi langsung dengannya.
Selain itu, hal ini juga terlihat dari toponim tempat tinggal oleh
masyarakat yang terkelompokkan dalam pola pemukiman yang
berkelompok berdasarkan oleh status sosial yang dimiliki, toponim
tersebut adalah:
a. Kawangsaan adalah (tempat tinggal Pangeran Wangsa).
b. Kapurban adalah (tempat tinggal Pangeran Prabu).
c. Kamandalika adalah (tempat tinggal Pangeran Mandalika).
d. Kawiragunan adalah (tempat tinggal Pangeran Wiraguna).
e. Kaloran adalah (tempat tinggal Pangeran Lor).
130 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal, Kesultanan
Banten 1522-1682… h. 27. 131 Hoesain Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten… h. 58-
59.
69
f. Kasunyatan adalah (tempat tinggal Ulama Istana).132
Sultan yang merupakan pemimpin kerajaan ini, bertindak juga
sebagai pendiri, pembangun dan pengembang Kota Pelabuhan Banten.
Di mulai dari sultan pertama yaitu Maulana Hasanuddin yang
membangun Kota Banten, selanjutnya para sultan setelah itu pun banyak
membangun kota baik sebagai pertahanan, maupun guna menunjang
sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat Kota Banten.
Sehingga dengan petunjuk dan arahan dari sultan, Kesultanan Banten
mampu memperlihatkan diri sebagai Kota Pelabuhan Internasional.133
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Meilink-Roelofsz, bahwa
hubungan antara golongan dan kedua yang dipaparkan di atas,
nampaknya cukup erat walaupun dalam batas-batas tertentu mungkin
karena disebabkan oleh adat istiadat dan faktor sosio-budaya.134
Kemudian Syahbandar di Banten mendapatkan bagian dari uang pajak
untuk berlabuh, sebesar dua pertiga disetorkan pada sultan dan sisanya
untuk Syahbandar. Kenyataan ini menunjukan bahwa sebagai pejabat
yang menguasai pelabuhan, ia dianggap berpengaruh terhadap sultan.
Uraian mengenai masyarakat Banten lainnya yang merupakan
mayoritas dalam Kota Banten, ialah yang termasuk dalam Kota Banten,
yaitu yang termasuk dalam golongan non elit. Yang termasuk dalam
kelas ini ialah rakyat pribumi yang berdiam di sana, ditambah pula
dengan pedagang asing yang bertempat tinggal di Banten. Sebagai
132 Boedhihartono, dkk. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem Sosial.
(Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 141. 133 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten… h.
80. 134 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten… h.
81.
70
sebuah pusat kota bercorak maritim yang bersandar pada kehidupan
perdagangan dan pelayaran.
Masyarakat Petani di Banten sebelumnya adalah sebagai
masyarakat awal, dalam berproduksi sektor petanian yang sederhana
telah dipraktikkan, dengan sistem huma. Struktur masyarakat masih
sederhana, egaliter, dan mengutamakan gotong-royong. Kepemimpinan
dalam organisasi sosialnya berdasar pada kharismatik, yang ditentukan
oleh pengetahuan, ahli mistik, dan pertanian. Budaya masyarakatnya
masih heterogen. Agama yang dianut adalah agama asli masyarakat,
animisme. Untuk melihat stereotipe masyarakat Banten yang
monokulutur, dengan pertanian sistem huma, sekarang ini kita dapat
melihatnya pada masyarakat petani di Kenekes, Pandeglang.135 Dalam
masyarakat yang monokultural ini, penataan daerah belum ada.
Masyarakat masih dalam organisasi sosial yang sederana, ikatan desa.
Mengenai penduduk yang berdiam di kepulauan nusantara,
beberapa teori mengatakan terjadinya gelombang perpindahan penduduk
(the waves of migration). Begitu pula dari mitos dan cerita rakyat banyak
dijumpai kisah orang (dalam) perjalanan. Ada yang menetap dan
kemudian dianggap sebagai “pahlawan budaya” (culture hero), peletak
kehidupan sosial-politik masyarakat setempat. Kisah negeri atau pulau
tenggelam dan orang terdampar memenuhi halaman ceritera rakyat di
kepulauan.136
135 Radjimo Sastro Wijono, “di Bawah Bayang-Bayang Ibukota: Penataan
Daerah di Provinsi Banten dari Zaman Kolonial Sampai Zaman Reformasi”. Sejarah
Citra Lekha. Vol. 2, No. 2, 2017, h. 138. 136 Radjimo Sastro Wijono, “di Bawah Bayang-Bayang Ibukota: Penataan
Daerah di Provinsi Banten dari Zaman Kolonial Sampai Zaman Reformasi”… h. 138.
71
Masyarakat di Banten pun merupakan masyarakat urban
transisional, tatkala mendapat desakan dari bangsa Tionghoa dan Hindu,
masyarakat Banten yang telah berperadaban pertanian yang masih
sederhana mulai melirik dunia laut. Hawa yang subur, dan sedikitnya
penduduk menjadikan masyarakat petani yang senang hidupnya itu,
tinggal diam dan menerima, sedangkan kepulauan luas yang sangat
banyak itu belum dioptimalkan, namun malah menarik hati masyarakat
luar. Dapat dikatakan, sesudah ada pengaruh Hindu, kebudayaan
masyarakat Banten bertambah naik dan mereka mulai berkenalan dengan
perdagangan.137
Agama animisme terdesak oleh agama Hindu dan Budha. Budaya
yang lebih pintar itu mengajarkan pemerintahan negeri, yang menuju
teknik kebudayaan yang lebih sempurna. Penduduk Pulau Jawa yang
suka damai itu belum memiliki sikap pertentangan kelas dalam arti yang
seluas- luasnya terhadap agama baru tersebut. Mereka tidak memberi
kesempatan kepada pengikut agama Hindu untuk mempertaruhkan
kepercayaan mereka dalam sebuah pertentangan, yakni Hinduisme yang
aristokratis dan Budhisme yang lebih demokratis.138
Pertentangan agama, oleh masyarakat Jawa yang tidak mengenal
kelas itu, dapat diredam. Sedikit atau banyak, semua filsafat Hindu
diterima oleh penduduk. Dalam perkembangan masyarakat yang telah
bercampur dengan budaya dari luar, Hindu/Buddha, Banten yang telah
mengenal sistem pertanian padi sawah, juga mulai mengembangkan
pelabuhan sebagai tempat interaksi ekonomi maupun budaya lintas etnis,
137 Radjimo Sastro Wijono, “di Bawah Bayang-Bayang Ibukota: Penataan
Daerah di Provinsi Banten dari Zaman Kolonial Sampai Zaman Reformasi”… h. 138 138 Radjimo Sastro Wijono, “di Bawah Bayang-Bayang Ibukota: Penataan
Daerah di Provinsi Banten dari Zaman Kolonial Sampai Zaman Reformasi”… h. 139.
72
Cina, Arab, dan India. Raja sebagai pusat kekuasaan belum
memprioritaskan agenda penataan daerah. Penguasa memisahkan antara
pusat kekuasaan dengan pusat perekonomian. Dalam hal ini, pusat
kekuasaan terdiri dari masyarakat monokulur, sedangkan pusat ekonomi
terdiri atas masyarakat yang multikultur.139
Masyarakat yang menuju ke arah kosmopolitan yang multikultur
merupaka para pedagang Islam yang datang di Banten juga
mendiseminasikan agamanya kepada masyarakat setempat. Puncaknya
melahirkan kekuatan politis, berdirinya kesultanan. Masuknya Islam di
Banten boleh dianggap sebagai pembaharu masyarakat. Di bidang
perdagangan dengan dikuasainya Pelabuhan Malaka ke tangan Portugis
telah membawa kesempatan Pelabuhan Banten mengambil peran sebagai
jalur perdagangan internasional.140
Sebagai penunjang bagi keberhasilan dari kegiatan perdagangan
internasional, Banten juga menjalin hubungan diplomatik dengan
berbagai bangsa, termasuk pedagang dari Eropa. Pada 1681 tercatat
bahwa Banten memiliki seorang duta besar yang ditempatkan di kota
London, Inggris. Keberadaan duta besar Banten di Inggris itu
mencerminkan bahwa Kesultanan Banten pada abad XVII mendapat
pengakuan internasional dan dipandang sejajar dengan negara-negara
besar berdaulat lainnya. Kedatatangan Bangsa Eropa di Banten untuk
pertama disambut dengan hangat. Akan tetapi dalam perkembangannya,
mereka mulai melakukan berbagai kecurangan dan berbagai tindak
139 Nina. H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara… h. 45 140 Nina. H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara… h. 45
73
kekerasan yang mengakibatkan munculnya sikap permusuhan dari
orang-orang Banten.141
Hubungan yang memburuk ini dicoba untuk diperbaiki oleh
armada dagang Belanda lainnya di bawah pimpinan Van Neck yang
datang ke Banten dua tahun kemudian. Upaya Van Neck dalam
mengambil hati penguasa Banten berhasil. Sejak itu orang-orang
Belanda dizinkan untuk membuka kantor dagang di Banten. Adanya para
pedagang dari Eropa menjadikan etnis di Banten semakin beragam. Di
sini, terjadi interaksi yang saling pengaruh memengaruhi, relasi yang ada
di antara etnis yang beragam itu damai tanpa ada konflik. Hal ini tidak
lepas dari peran penguasa yang menata daerah, dengan memberikan
tempat-tempat tinggal kepada masing-masing etnis secara bebas.
Fragmentasi relasi masyarakat sangat dipengaruhi oleh perdagangan di
antara mereka.142
Secara kultural, penduduk yang mendiami wilayah Kesultanan
Banten berasal dari berbagai etnis dan suku bangsa. Namun, demikian
suku bangsa mayoritas menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa
pergaulan sehari-hari. Sementara itu, di wilayah Banten Utara suku
bangsa Jawa merupakan komunitas yang menggunakan Bahasa Jawa
sebagai bahasa ibunya. Komunitas Jawa ini datang bersamaan dengan
didirikannya Kesultanan Banten. Selain kedua suku bangsa ini, di
Pelabuhan Banten berdiam pula etnis pendatang Eropa, Cina, Arab, dan
lain-lain.
141 Nina. H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara… h. 45. 142 Radjimo Sastro Wijono, “di Bawah Bayang-Bayang Ibukota: Penataan
Daerah di Provinsi Banten dari Zaman Kolonial Sampai Zaman Reformasi”… h. 139.
74
Orang Eropa merupakan sebuah komunitas yang mendiami
daerah perkotaan. Demikian juga dengan orang-orang Cina yang pada
awalnya mendiami daerah atau pusat-pusat perekonomian. Pada abad
XVII, mereka telah memiliki perkampungan sendiri dan memegang
peranan cukup penting dalam bidang ekonomi. Sementara itu, orang-
orang Arab bermukim di Banten memberi dampak penyebaran Islam di
daerah ini. Mereka tidak terlalu dominan di bidang ekonomi tetapi cukup
peranan penting.143
Jumlah penduduk di Kesultanan Banten ini berkisar antara
80.000 sampai 100.000 orang dipenghujung abad XVI. Mengenai jumlah
penduduk di Kesultanan Banten seluruhnya dapat ditelusuri dari sensus
yang pernah dilakukan beberapa kali. Jumlah penduduk dari setiap kali
diadakan perhitungan cacah jiwa ini tidak tetap, tersebut di tahun 1694
banyaknya penduduk 31.848 jiwa, sedangkan di tahun 1708 bertambah
menjadi 36.302 jiwa. Lain halnya dengan sensus penduduk yang
dilakukan oleh Reis yang memperkirakan penduduk Banten sebagai
berikut: di tahun 1672 lebih dari 100.000 jiwa, di tahun 1673 menjadi
220.000 jiwa, di tahun 1674 sebanyak 800.000 jiwa, di tahun 1684
menjadi 700.000 jiwa, dan tahun 1696 menurun menjadi 125.000 jiwa.144
Berpijak dari data-data di atas, terlihat bahwa perhitungan jumlah
penduduk sudah dirasakan sebagai suatu hal yang dianggap penting,
hingga pihak kesultanan mengadakan cacah jiwa secara resmi sebanyak
dua kali. Berapa tepatnya jumlah penduduk yang bermukim di dalam
wilayah Kesultanan Banten memang tidak dapat ditentukan secara pasti.
143 Nina. H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara… h. 82. 144 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, (Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, 2008), h. 106.
75
Sensus yang pernah dilakukan mencerminkan bahwa pemerintahan
Kesultanan Banten telah berupa mendata jumlah penduduknya, meski
tidak diketahui langkah apa yang diterapkan sebagai tindak lanjut dari
pendataan tersebut.145
Tabel 1
Perkiraan ukuran kawasan kota Surosowan pada abad XVII146
Kota Banteng atau daerah
dengan tembok (km²)
Perkiraan daerah kota (km²)
Surosowan 1,0 km² 5 km²
Abad XVII, kekuatan penguasa di Banten lebih menitik beratkan
pengawasannya terhadap sumber-sumber produksi, daripada terhadap
upeti dan aliansi perdagangan. Berbagai hasil bumi yang diperoleh dari
dalam negeri dan wilayah sekitar dipergiat perjualannya ke berbagai
kawasan, selain itu hubungan dengan para produsen dari berbagai tempat
dijalin kembali.
Sedangkan mata pencaharian penduduk di Kesultanan Banten
adalah nelayan, pedagang, pengrajin, dan petani. Hal tersebut,
mengakibatkan masyarakat Banten memiliki jiwa bebas dan lebih
bersifat terbuka, dengan demikian mereka dapat bergaul dengan
pedagang-pedagang dari berbagai bangsa yang lain. Para pedagang lain
145 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal, Kesultanan
Banten 1522-1682… h. 62-63. 146 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 2:
Jaringan Perdagangan Global, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h.
87.
76
tersebut banyak yang menetap dan mendirikan serta membangun
perkampungan di Banten, seperti perkampungan Keling, perkampungan
Pekoyan (Arab), perkampungan Pecinan (Cina) dan sebagainya. Selain
perkampungan tersebut ada pula perkampungan yang dibentuk
berdasarkan pekerjaan seperti Kampung Pande (para pandai besi),
Kampung Panjunan (pembuat pecah belah) dan kampung Kauman (para
ulama).147
Dalam catatan orang Inggris, pedagang asing di Banten seperti,
orang Bengali, Gujarat, Malaysia, Abesinia, Cina, Portugis, dan orang
Belanda, tempat tinggal mereka ditempatkan di luar tembok kota, bahkan
orang India yang datang dari perbatasan negara, telah disediakan tempat
tinggal yang sama dengan pedagang asing lainnya. Mereka memiliki
pasar untuk komoditas tertentu, atau bertukar yang berada di bagian
timur kota. Seluruh penduduk asing dari pedagang akhirnya
dipekerjakan di pabrik Inggris, dan untuk menyimpan komoditas
mereka.148
Mata pencaharian penduduk Kesultanan Banten dari sektor
pertanian berupa lada, selain itu para petani pun banyak
membudidayakan padi, sayur-sayuran dan buah-buahan. Sejarah Banten
menceritakan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa
memberitahukan kepada pada Ponggawa tentang keinginan untuk
147 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal, Kesultanan
Banten 1522-1682, 148 The Haleian Miſcellany, or, A Collection Scarce, Curios, and Entertaining
Pamphlets and Tracts, As Well in Manuscript As in Print. Interspersed with His Torical,
Political, and Critical Notes With A Table of the Contents. Vol IX, (London: Print
Robert Dutton, Gracechurch-Street, 1810), h. 47.
77
memeriksa persawahan (seserangan) dan untuk membangun lumbung
besar di alun-alun.149
Di sektor nelayan, penduduk Banten banyak mencari ikan,
karena letak Kota Banten terletak dipesisir laut, oleh karena itu, banyak
penduduk Banten yang menjadi nelayan sebagai mata pencaharian
mereka. Dari hasil nelayan tersebut kemudian para penduduk Banten
menjual ikan secara khusus disebuah pasar di Kota Banten dekat dengan
Istana Surosowan. Dengan banyaknya penduduk Banten yang menjadi
nelayan, hingga akhirnya mereka menetap di kampung tersendiri yang
dinamakan dengan penjaringan.150
Ada pun mata pencaharian lain penduduk Banten adalah sebagai
pengrajin atau pekarya seperti pembuatan gerabah, penggilangan lada,
pengrajin alat-alat yang terbuat dari tempurung kelapa, pesulam,
pembuat barang dari bambu, pembuat keris, dan lainnya. Dari pekerjaan
itu, penduduk mendiamin kampung tersendiri sesuai dengan jenis
pekerjaannya seperti di kampung Panjunan, Pamarican, Pasulaman,
Pratok, Pamaranggen, Pawilahan. Hasil dari pengrajin tersebut
kemudian diperjual belikan di pasar Banten dekat dengan pelabuhan.151
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa penduduk di
Kesultanan Banten terdiri dari berbagai lapisan dan telah mencerminkan
suatu masyarakat yang kompleks sebagai suatu kota. Keadaan kota di
Kesultanan Banten tidak hanya ditinggali oleh penduduk pribumi, tetapi
dari berbagai negara pun tinggal dan meramaikan Kota Banten sebagai
pedagang. Oleh karena itu Kota Banten setiap tahunnya mengalami
149 Hoesain Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten… h. 56. 150 Hoesain Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten… h. 56. 151 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten…
h. 82-83
78
peningkatan jumlah populasi penduduk. Terutama di abad XVII, karena
ketika itu Kesultanan Banten berada pada puncak keemasannya.
79
BAB IV
PERDAGANGAN KESULTANAN BANTEN
A. Jaringan Perdagangan Lokal Kesultanan Banten
Banten memiliki hubungan ekonomis yang sangat dekat dengan
daerah lainnya di Nusantara. Jaringan perdagangan lokal Banten
mengawali sejarah perdagangan yang mampu menjadikan Banten
sebagai pusat perniagaan. Komoditas perdagangan lokal di Banten lebih
beragam di bandingkan dengan komoditas dalam perdagangan
internasional. Pedagang-pedagang dari Barat dan Timur Nusantara
berkumpul di Teluk Banten, seperti dari Palembang, Pariaman, dari
Lawe dan Tanjungpura (Kalimantan Selatan), Malaka, Makassar, Jawa
Timur dan Madura.152
Banten merupakan daerah pengekspor beras pada akhir abad XVI
tepatnya pada tahun 1596. Beras tersebut didatangkan dari Rembang dan
Makassar.153 Akibat dari produksi beras tidak seimbang dengan
banyaknya jumlah penduduk di Banten, sehingga perlu didatangkan dari
luar. Perdagangan ini, selain untuk memenuhi kebutuhan juga untuk
menjalin hubungan dagang dengan daerah di luar Banten, bahkan Banten
pun mampu menjalin hubungan dagang di luar Nusantara seperti dari
Benggala dan Pegu.154
Perdagangan Banten dengan daerah di Nusantara terjadi bukan
hanya pada komoditas beras, banyak para pedagang lokal yang singgah
152 Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke XVI dan
XVII, (Depok: Komunitas Bambu, 2017), h. 49. 153 Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, (London: The
Hakluyt Society, 1944), h. 168. 154 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten,
(Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006), h. 141.
80
di Teluk Banten dengan membawa sumber daya nabati selain beras.
Seperti, buah-buahan pisang, papaya dan beberapa jenis buah-buahan
didatangkan dari Batavia. Bahkan, jenis buah durian pada musimnya
akan diperdagangkan sebagai makanan tambahan bagi masyarakat
Banten.155 Akibat meningkatnya pemenuhan kebutuhan akan pangan,
Banten memonopoli perdagangan buah-buahan di samping komoditi
utama rempah-rempah.
Kebutuhan bahan makan yang tidak dihasilkan di Banten, akan
didatangkan dari luar Banten. Bukan hanya bahan pokok saja yang
datang dari daerah lain, tetapi kebutuhan rempah-rempah seperti bawang
putih di impor dari Palembang.156 Aktivitas perdagangan terpusat di
pelabuhan-pelabuhan yang ada di Banten, seperti Pelabuhan Karangantu,
Pelabuhan Pontang dan Pelabuhan Cigede. Komoditas yang telah
terkumpul di pelabuhan dijual lagi secara lebih besar ke pedagang
perantara lain untuk disalurkan ke pasar yang lain dan seterusnya.157
Pelabuhan Pontang dan Pelabuhan Cigede memiliki sebuah kota
yang baik, orang-orang yang berdagang di Banten juga berdagang di
Pelabuhan Pontang. Dikabarkan bahwa jung-jung yang berlabuh di
pelabuhan banyak membawa beras, bahan makan dan juga lada. Para
pedagang lokal yang banyak singgah di Banten berasal dari Pariaman,
Andalas, Tulang Bawang, Sekampung dan tempat-tempat lainnya.158
Perdagangan bebas yang terjadi di Banten mempererat interaksi yang
terjadi di kalangan para pedagang.
155 Leonard Blusse, Jaap de Moor, Nederlanders Oversee: De Eerste Vijftig
Jaar, 1600-1650, (Franeker: T. Wever, 1983), h. 106. 156 J. A. Van Der Chijs, Oud Bantam, (TBG 26: 1-62, 1881), h. 61. 157 Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires… h. 171. 158 Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires… h. 171.
81
Sebagai bandar perniagaan, Banten membuat jalur pelayaran
dagang (keluar) di dalam Nusantara, jalur pertama Banten yaitu ke
Banjarmasin. Letak Banjarmasin sangat strategis, karena berada di
antara selat Makasar dan laut Jawa, sehingga banyak pedagang-
pedagang yang singgah di pelabuhan ini. Komoditas yang penting dari
pelabuhan ini adalah lada, emas, intan, dan beberapa hasil hutan lainnya.
Pelayaran dagang ke Banjarmasin, juga diikuti oleh para pedagang dari
Sulawesi, Jawa, Gujarat, dan China pun singgah di Pelabuhan
Banjarmasin.159
Jalur perdagangan ke Banjarmasin melewati Cirebon, Gunung
Muria, Kepulauan Karimunjawa, Sampit, Pulau Damar, Batu Mandi,
Tanjung Cimanten, Sungai Kapuas, Keramaian dan masuk ke Sungai
Barito. Pelayaran ke dua dari Banten ke Demak dengan menyusuri Pantai
Utara Jawa, Melalui Chiao Lu Pa atau Kelapa Tanjung Indramayu,
Cirebon Pulau Wu Chen (Pekalongan), dan akhirnya tiba di Tan Mu
(Demak). Selanjutnya pelayaran ke tiga yaitu, dari Banten ke Timor
melalui Pantai Panjang Utara Jawa, Madura, Bali, Lombok, Sumbawa,
Flores, Sumba.160
Sedangkan, jalur pelayaran kapal dagang (masuk) dari jalur
Sumatera (Aceh) ke Banten melaui Aceh yaitu, ke Barus, dari Barus ke
Pariaman, dan dari Pariaman ke Banten. Adapun jalur pelayaran kapal
ke dua menuju Banten melalui Pantai Timur Sumatera yaitu, pantai
Mapor - Pulau Lingga - Pulao Roti - tujuh pulau lainnya (tidak diketahui
159 Aisyah Syafiera, “Perdagangan di Nusantara Abad ke-16”, Avatara, E-
Journal Pendidikan Sejarah. Volume 4, No. 3, Oktober 2016, h. 726. 160 Sonny Chr. Wibisono, “Kegiatan Perdagangan di Bandar Banten dalam
Lalu Lintas Perdagangan Jalur Sutra”. Makalah, Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra,
(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), h. 91
82
namanya) - Bangka - Menumbing - Sungai Palembang - Tanjung - Tapa
- Tanjung Berani - Pulau Maspari - Wai Sekampung - Ketapang - Pulau
Sumur - Sunda (Banten).161
Jalur pelayaran kapal dagang lain juga dapat melalui Banten
yaitu, dari Banten ke Timor, dari Banten ke Demak, dan dari Demak ke
Banten, selanjutnya dari Banten ke Banjarmasin dan kembali lagi ke
Banten, dari Kruseng Aceh ke Barus, dari Barus ke Pariaman dan dari
Pariaman ke Banten.162
Jaringan perdagangan lokal di Kesultanan Banten pun terjadi
pada negeri bawahannya di Sumatra, seperti Tulang Bawang (Lampung),
Bengkulu dan Palembang. Penguasaan Tulang Bawang oleh Banten
berhubungan erat dengan politik ekonomi Banten terhadap Lampung
khususnya menyangkut lada. Pada waktu itu lada merupakan komoditas
ekspor terpenting, sehingga Banten sangat berkepentingan terhadap lada
sehingga untuk urusan hukum adat dan kemasyarakatan, Tulang Bawang
diberi hak otonomi sedangkan untuk lada sepenuhnya urusan Banten.163
Sungai Tulang Bawang merupakan sarana yang sangat penting pada
masa perdagangan rempah-rempah di kawasan Asia Tenggara. Wilayah
Tulang Bawang pada periode itu merupakan salah satu pusat perkebunan
lada milik Kesultanan Banten.164
Lada menjadi komoditas perdagangan di Nusantara. Lada di
Banten dihasilkan berasal dari beberapa wilayah di Sumatra, seperti
161 J.V. Mills, Chinese Navigators in Insulinde About A.D. 1500. Article.
Archipel, Anne 1979. No. 18, pp. 69-93, h. 77-78. 162 J.V. Mills, Chinese Navigators in Insulinde About A.D. 1500… h. 77-78 163 Sartono kartidjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru (1500-1900) dari
Emporium sampai Imperium I, (Jakarta: gramedia, 1999), h. 68. 164 B.L.M.C. Perquin, Nederlandsch Indische Staatsspoor En Tramwegen,
(Amsterdam: Bureau Industria, 1921), h. 54.
83
Palembang, Bengkulu dan Lampung.165 Untuk mencapai wilayah
pedalaman Lampung dan Palembang, bergantung pada peran Sungai
Tulang Bawang sebagai jalur transportasi. Lada yang telah dikumpulkan
dan dipilih kualitas terbaik kemudian dijual kepada para pedagang yang
telah memiliki perjanjian dagang dengan Banten.166
Selain wilayah Sumatra, Banten pun menjalin hubungan dagang
dengan Maluku, komoditas perdagangan dari Maluku adalah cengkeh.
Cengkeh yang ada di Banten merupakan impor dari Maluku yang
kemudian di ekspor kembali oleh Banten ke pasar luar di Nusantara. Para
pedagang yang terlibat dari jual beli cengkeh pada umumnya adalah
pedagang dari Ambon dan Banda.167
Pedagang dari Timor dan Solor pun ikut meramaikan
perdagangan di Banten, mereka membawa berbagai komoditas yang
berupa kayu cendana. Di daerahnya, pedagang Timor dan Solor menjual
pala, cengkeh, cangkang kura-kura dan gading gajah yang didapat dari
Banten. Selain itu, Banten juga menjalin dagang dengan Goa dan juga
pedagang dari Jawa Timur, komoditas yang diperdagangkan adalah
garam. Meskipun Banten terletak di pesisir pantai, kondisi air laut di
sepanjang Teluk Banten sangat kotor sehingga tidak memungkinkan
untuk pembuatan garam. Akibatnya, Banten menjalin dagang dengan
daerah yang menghasilkan garam dengan kualitas terbaik.
165 Sartono Kartidjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru (1500-1900) Dari
Emporium sampai Imperium I… h. 68. 166 Anonim, De Pepercultuur In De Buitenbezittingen, (Batavia:
Landsdrukkerij, 1918), h. 38. 167 Hariyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Banten 1522-1684, (Depok: Fakultas Ilmu Budaya UI, 2007), h. 162.
84
Impor garam Banten dari Jawa Timur168 memperoleh laba yang
sangat besar, karena Banten menjual garam seharga 1000 perak untuk
setiap gantang169, yang berarti laba yang diperoleh dari penjualan garam
stiap gantang mencapai 812.50 perak atau keuntungan 4 kali lipat dari
modal. Hal ini berbanding dengan harga penjualan garam di daerah
asalnya Jawa Timur yang hanya menjual garam seharga 150 perak untuk
800 gantang garam.170
Selain lada, Banten pula mendatangkan ikan asin dari
Banjarmasin yang merupakan bahan impor yang diperjual belikan di
Banten. Mendatangkan ikan asin sebagai bahan impor lebih
menguntungkan dibandingkan jika memproduksi bahan pangan sendiri.
Pedagang yang terlibat dalam jual beli ini merupakan pedagang besar
yang berasal dari Banjarmasin yang menyalurkan barang dagangan
untuk dijual secara eceran di pasar. Dengan demikian, pedagang besar
dari Banjarmasin ini tidak terlibat langsung dengan konsumen, karena
kebutuhan konsumen akan bahan makanan ikan asin ini sangat besar.171
Jaringan perdagangan lokal di Banten lebih menekankan pada
komoditas impor bahan pangan. Selain bahan pangan yang didatangkan
sebagai barang impor dan diperjual belikan, ada pula bahan pangan yang
diambil dari tempat lain namun tidak diperdagangkan sebagai
168 Garam yang didatangkan dari Jawa Timur berasal dari daerah Gresik, Pati
dan Juana. 169 Dalam kamus bahasa Indonesia, gantang disebut sebagai ukuran atau
takaran yang biasa di pakai untuk timbangan beras. Isi 1 gantang sama dengan berat
3,125 kg. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jilid II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991),
h. 291. 170 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1:
Tanah di Bawah Angin, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), h. 33. 171 Hariyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Baten 1522-1684… h, 166.
85
komoditas. Adapun berkenaan dengan barang impor dari produksi dalam
negeri, pemerintah Kesultanan Banten mengeluarkan aturan. Namun,
aturan tersebut sering dilangar oleh para pedagang, dengan memasukkan
barang impor secara illegal. Bahkan bukan hanya pada bahan pangan
tetapi pada bahan lainnya.
Tabel 2
Komoditas jaringan pedagangan lokal Banten172
Daerah Komoditas
Banjarmasin Ikan asin
Batavia Buah-buahan
Batavia Gula merah
Jawa timur Garam
Maluku Cengkeh
Palembang Bawang putih
Palembang Madu
Sumatra (Lampung, Palembang,
Bengkulu)
Lada
Timor dan Solor Kayu cendana
Bali Kapas
Selain komoditas impor perdagangan lokal, Kesultanan Banten
pun melakukan impor pada komoditas lainnya dengan pedagang
mancanegara.
172 Jaringgan perdagangan lokal ini termasuk dalam pedagangan impor yang
dilakukan oleh Kesultanan Banten, guna memenuhi kebutuhan penduduk banten yang
semakin meningkat.
86
B. Pelaku Perdagangan di Kesultanan Banten
Dalam sejarah perekonomian di Indonesia, Malaka memegang
peranan sangat penting dalam perdagangan internasional karena tidak
ada satu pun kota yang dapat menggantikan peran Malaka sebagai pusat
perdagangan. Namun, setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pusat
perdagangan beralih ke Aceh yang ketika itu disibukkan dengan para
pedagang dari Asia Barat, dan juga Banten yang utamanya merupakan
pusat pelabuhan bagi pelayaran bangsa Cina dan kota-kota pelabuhan di
pesisir Utara Jawa dengan nilai ekspor yang terus menerus meningkat
setiap tahunnya.
Perdagangan di Kesultanan Banten menjadi besar akibat adanya
ekspor lada dan beras yang sudah dimulai sejak akhir abad XVI, dan
menjadikan Pelabuhan Banten menjadi semakin ramai.173 Mengingat
Banten sebagai kerajaan bercorak maritim yang menitikberatkan
kehidupannya pada perdagangan dan pelayaran, maka baik kekuasaan
politik maupun ekonominya didominasi oleh kaum ningrat yang sebagai
pemberi modal atau kadang-kadang sebagai peserta.174
Ketika Belanda pertama kali singgah di Pelabuhan Banten, ia
tertarik dengan kondisi struktur sosial dari masyarakat di Banten, karena
ketika itu para pedagangan dari berbagai negara memainkan peranannya
dalam sejarah perdagangan di Banten. Bahkan pada tahun 1600, para
saudagar Asia Barat berhasil mendapatkan kedudukan yang tinggi di
Kesultanan Banten. Bahkan saudagar lain dari pesisir India pun
173 Halwany Michrob, Ekspor-Impor di Zaman Kesultanan Banten, (Serang:
Kadinda, 1993), h. 7. 174 Halwany Michrob, Ekspor-Impor di Zaman Kesultanan Banten… h. 14.
87
mempunyai kedudukan tinggi sebagai Syahbandar Banten.175 Pada tahun
1600 semua pedagang kaya masih menggunakan gudang untuk
menyiman barang dagangannya. Sedangkan para pedagang Cina di
Banten pada umumnya telah membangun pemukiman dari batu bata.176
Penguasa Banten juga memungut keuntungan dari sektor jasa
yang diselenggarakan oleh para pedagang dari India. Para produsen
menjual produknya dengan harga murah kepada alat-alat kekuasaan
kesultanan, dan pihak kesultanan akan memperoleh keuntungan dalam
pendistribusiannya.177 Sebagian besar pedagang Asia Barat di Banten
yang dapat secara permanen atau sementara di sana dan beberapa di
antaranya memiliki rumah. Para pedagang yang berperan di Banten juga
banyak berasal dari berbagai etnis.178
Selain pedagang dari Asia Barat, Cina juga dapat dikatakan etnis
pedagang yang paling berperan di Banten, terutama sebagai pembeli dan
pengangkut lada untuk didistribusikan. Karena saat itu komoditas
rempah-rempah yang banyak diperdagangkan adalah lada. Para
pedagang Asia Barat juga memiliki peran khusus dalam perdagang lada.
Menurut sumber-sumber Belanda, kapal-kapal Cina yang datang ke
Banten pada setiap tahunnya antara 8-10 kapal yang masing-masing
berdaya angkut maksimum 50 ton. Pada laporan lain disebutkan 5-8
kapal Cina bertonase sampai 100 ton datang setiap tahunnya. Sementara
175 M.A.P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630, (Yogyakarta: Penertbit Ombak, 2016), h.
387. 176 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1:
Tanah di Bawah Angin… h. 82. 177 Halwany Michrob, Ekspor-Impor di Zaman Kesultanan Banten… h. 22. 178 M.A.P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630… h. 390.
88
catatan dari pelaut Prancis mengatakan Cina yang seluruhnya bertonase
sampai 300 ton. Lebih jauh catatan J.P Coen (1614) menyebutkan tak
kurang dari 6 kapal Cina tiba di Banten setiap tahunnya dan membawa
kembali kargo barang senilai 300.000 real.179
Intensitas kehadiran para pedagang Cina dalam meramaikan
perdagangan di Banten, diiringi pula dengan migrasi dengan frekuensi
yang cukup tinggi. Thomas Besr melaporkan adanya koloni Cina di
Banten yang berpopulasi kurang dari 300 cacah, sementara pada saat
yang sama kapal Inggris hanya boleh bersandar di pelabuhan. Imigran
Cina ini membeli lada dari para petani dengan harga yang jauh lebih
murah, untuk kemudian dijual kembali pada para pedagang Cina yang
langsung dari daratan Cina dengan kapal-kapal pada setiap tahunya.180
Cina merupakan pelaku perdagangan yang menguasi ekonomi di
Banten, hal tersebut terlihat dengan banyaknya barang yang di ekspor-
impor. Selain lada, pedagang Cina juga mengekspor kayu cendana,
rempah-rempah seperti pala dan cengkih, ada pula mereka membawa
sutra, porselin berkualitas tinggi wewangian musk dan obat-obatan.
Tidak hanya rempah-rempah, barang yang pedagang Cina juga
mengimpor senjata api kecil yang terbuat dari tembaga. Dari beberapa
barang dagang Cina dapat diketahui bahwa pasar-pasar di Banten banyak
di dominasi oleh pedagang Cina.181
Perdagangan perantara dalam ekspor-impor barang-barang
tersebut sebagian besar berada di tangan orang-orang Cina yang menetap
179 M.A.P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630… h. 397. 180 Halwany Michrob, Ekspor-Impor di Zaman Kesultanan Banten… h. 23. 181 G. P. Rouffaer, J. W. Ijzerman, De Eerste Schipvaart Der Nederlanders
Naar Oost-Indie Onder Cornelis De Houtman 1595-1597. Vol I… h. 123.
89
di Banten. Laporan-laporan Belanda menyebutkan bahwa mereka
bahkan mempekerjakan budak-budak untuk mengumpulkan produk-
produk yang mereka inginkan (terutama lada dan juga beras), dan
mereka juga mengikutsertakan budak-budak dalam pelayaran dagang
mereka ke Nusantara.182
Setelah adanya para pedagang dari Asia Barat dan Cina yang
mendominasi pasar di Banten, muncullah para pedagang dari bangsa
Eropa seperti, Potrugis, Belanda, Denmark dan Inggris. Sejak Belanda
datang ke Banten, dalam catatannya mereka melihat sistem ekspor pada
akhir abad XVI yang dilakukan oleh para pedagang Asia Barat lebih
kecil dibandingkan dengan yang dilakukan oleh para pedagang Cina.
Komiditi ekspor yang dilakukan adalah jenis rempah-rempah terutama
lada yang masih menjadi incaran para pedagang asing di Banten. Pada
tahun 1598 sebanyak 18.000 karung lada dikirim menggunakan 5 kapal
jung Cina, berbanding dengan 3.000 karung yang diangkut dalam kapal-
kapal Gujarat. Kapal-kapal Belanda pun tidak berhasil untuk mengirim
pulang 9.000 karung lada ke negerinya.183
Jaringan perdagangan yang sudah ada sejak abad XVI di Banten
lebih ditingkatkan lagi baik secara regional maupun internasional.
Berdasarkan Dagh Register Belanda, Kesultanan Banten mengadakan
perdagangan dengan negara-negara di Timur Tengah, Eropa dengan
Portugis, Denmark, Perancis, Inggris, dan Cina, Jepang, serta dengan
negara-negara di Asia Tenggara termasuk Filipina. Tome Pires
mengatakan bahwa pada abad XVI terdapat komoditas ekspor dan impor
182 M.A.P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630… h. 400. 183 M.A.P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630… h. 393.
90
dari kota-kota bandar seperti Demak, Jepara, Gresik, Tuban, dan salah
satunya adalah Banten. Bahan ekspor yang menjadi komoditas di kota
Bandar adalah lada, beras, buah-buahan dan sayuran. Sedangkan
komoditas impor banyak datang dari negeri Cina, seperti kain, keramik,
belacu, dril, dan lainnya.184
Portugis adalah Bangsa Eropa yang pertama menjalin hubungan
dagang dengan Banten. Pentingnya peranan orang Portugis di Banten
terlihat baik dengan sering hadirnya kapal-kapal mereka, maupun dari
hubungan saling percaya yang mereka bina dengan Sultan Hasanuddin,
atau juga dari fakta bahwa sejak pertengahan abad XVI beberapa orang
Portugis menetap dalam jumlah besar di Banten dan memiliki tempat
tinggal di Banten.185
Pedagang Portugis yang menetap di Banten membeli bahan
pangan langsung di pasar Banten. Terdapat sekitar 6 atau 8 orang
penguasa Portugis baik penguasa sekuler maupun gerejawi menetap di
Banten. Setiap tahun mereka bisa mengirim 4 jung ke Malaka, masing-
masing bobotnya sekitar 40 ton. Kapal-kapal tersebut berlayar bersama
para pedagang Portugis yang membawa barang dagangan beserta
pemilik kapal. Karena pedagang Portugis banyak menyewa kapal-kapal
kepada para saudagar dan pelayaran mereka menggunakan hak khusus
untuk mengangkut kargo. Bahan pangan yang mereka bawa terdiri atas
rempah-rempah berharga dan kayu cendana. Sebagai gantinya para
184 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2009), h. 46. 185 G. P. Rouffaer En Dr J. W. Ijzerman, De Eerste Schipvaart Der
Nederlanders Naar Oost-Indie Onder Cornelis De Houtman 1595-1597. Vol III, ('S-
Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1929), h. 193
91
pedagang Portugis mengimpor kain-kain bagi Banten, kain yang pada
tahun 1617 memiliki kualitas yang sangat baik.186
Pedagang Portugis membawa barang-barang dagangan mereka
terutama pakaian. Meskipun menghadapi saingan dari pedagang-
pedagang asing lainnya, orang-orang Portugis mengunjungi tempat-
tempat di Indonesia seperti Malaka, Jambi untuk mengimpor bahan-
bahan pakaian tenunan. Meniru cara-cara pedagang Portugis, pedagang-
pedagang Belanda dan Inggris pun datang ke Nusantara. Mereka
memperdagangkan tekstil dari serat dan koromandel. Maka timbullah
usaha-usaha monopoli perdagangan yang mengakibatkan timbulnya
persaingan di kalangan serikat-serikat dagang Barat sendiri.187
Dalam hubungannya dengan portugis, pemerintah Banten
memiliki seorang juru bahasa portugis, orang ini yang dahulunya
beragama Nasrani sebelum menjadi mualaf, berasal dari Mailopore dan
dikenal dengan julukan “Keling Panjang” (Quilling panjang).188 Orang
Portugis menetap di bagian Barat kota, di daerah yang diperuntukkan
perniagaan internasional, diketahui mereka menjual bubuk mesiu yang
mereka dapat dari Malaka. Sebelum kedatangan orang-orang Belanda,
Portugis berhasil memberangkatkan lima buah kapal bermuatan lada
menuju Cina. Hal ini dikerenakan, Banten merupakan salah satu rantai
perniagaan Portugis dengan Cina dan Jepang.189
186 G. P. Rouffaer En Dr J. W. Ijzerman, De Eerste Schipvaart Der
Nederlanders Naar Oost-Indie Onder Cornelis De Houtman 1595-1597… h. 193. 187 Nugroho Notosusanto dkk. Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1993), h.277. 188 Willem Lodewijcksz, Premier Livre De L'histoire De La Navigation Aux
Indes Orientales Hollandais et Des Choses A Eux Advenues, (Amsterdam: Cornille
Nocolas, 1598), h. 21. 189 Willem Lodewijcksz, Premier Livre De L'histoire De La Navigation Aux
Indes Orientales Hollandais et Des Choses A Eux Advenues… h. 20.
92
Tahun 1596 Belanda datang ke Banten, membuat orang Portugis
tidak bisa menikmati situasi yang nyaman di Banten. Setibanya di Teluk
Banten, Portugis melihat adanya lima kapal Belanda di bawah pimpinan
Wolfert Harmensz, terjadi peperangan antara orang Portugis dan
Belanda pada tahun 1601. Mengakhiri pertempuran tersebut pihak
Belanda berhasil mengusir orang-orang Portugis dari Banten yang
selama kurang lebih tujuh puluh tahun telah menetap di Banten.
Ketidakmampuan Portugis menguasai Banten, memaksa mereka
mencari sebuah pelabuhan lain di Nusantara, dan orang Portugis
selanjutnya mengalihkan perniagaan ke Makassar.190
Kesultanan Banten menjadi bandar perdagangan yang penting
saat Belanda tiba di Teluk Banten. Dalam buku harian mereka mendapat
gambaran tentang situasi kota, pusat perdagangan, masyarakat, pasar,
dan produk maupun harga. Pembentukan Bandar Banten tak terlepas dari
berjalannya mekanisme perniagaan yang disebabkan karena
berlangsungnya hubungan dan permintaan komoditi dalam bentuk baik
ekspor maupun impor.191 Sebuah laporan Belanda pada tahun 1616
mengenai hubungan mengenai kedekatan antara perdagangan di Banten
dan berlakunya monopoli Belanda menyatakan bahwa harga buah pala
dan biji pala di Banten lebih murah daripada di Banda. Oleh karena itu
orang-orang Banda dilarang untuk bedagang di Banten.
Selain kedatangan orang-orang dari Bangsa Belanda, Banten
merupakan tempat kegiatan Perusahaan India Timur Inggris (English
190 C.R.Boxer, Francisco Vieira De Figueiredo: A Portuguese Merchant-
Adventurer In South East Asla, 1624.-1667, (S’gravenhage: Martinus Nuhoff, 1967), h.
3. 191 Sonny Chr. Wibisono, “Kegiatan Perdagangan di Bandar Banten dalam
Lalu Lintas Perdagangan Jalur Sutra”… h. 91
93
East India Company “EIC”) di abad XVII, perusahaan tersebut
dijalankan oleh pelaku perdagangan dari Inggris. Namun, kegiatan
tersebut tetap dibayangi oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda atau
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), asosiasi Inggris dengan
Banten berjalan sangat panjang yang dimulai pada tahun 1602, dan
hanya berakhir ketika mereka diusir oleh Sultan pada tahun 1682.
Selama periode ini, orang-orang Inggris mendirikan jaringan
perdagangan yang rapuh tetapi berfungsi yang mencakup banyak daerah
di Asia Tenggara, terutama Makassar, Maluku, Kepulauan Banda serta
Siam, Vietnam, Laos dan Kamboja dan Banten. Meskipun upaya mereka
untuk menembus daratan Asia pada akhirnya tidak berhasil, Direktur
EIC berharap bahwa posisi strategis Banten akan menjadikannya batu
loncatan ke pasar yang sulit dikuasai seperti, Cina, Taiwan dan Jepang.
Sejauh menyangkut EIC, Badan Banten mendominasi dalam
merumuskan dan mengendalikan kebijakan Timur Jauh pada periode
sebelum 1683.192
Indonesia, adalah pelabuhan yang paling penting bagi Inggris
karena pasokan lada, hal ini disampaikan oleh orang-orang di "ulu"
(daerah hulu), yaitu, Minangkabau. Tujuan besar Perusahaan Inggris
yaitu, untuk mendorong perdagangan tanpa transportasi uang dan
sedapat mungkin, untuk menjual "manufaktur Inggris," terutama kain.
Dalam upaya mengejar tujuan-tujuan ini, Inggris sering mencoba untuk
menjual barang-barang wol yang tidak cocok ke pasar Asia Tenggara
atau tekstil India yang belum dipilih dengan memperhatikan selera lokal.
192 David Kenneth Bassett, B. A, The Factory of the English East India
Company at Bantam, 1602-1682. Disertasi, (London: School of Oriental and African
Studies (SOAS), 1955.), h. 181.
94
Pasar Banten didominasi oleh orang-orang Cina, karena adanya migrasi
Cina ke Asia Tenggara pada abad XVII, mengakibatkan para pedagang
Inggris harus berbaur dengan orang-orang Cina di Banten, dan dengan
referensi khusus untuk Muslim Cina yang menguasai pasar Banten.
Di Banten, meskipun perwakilan EIC yang berpengalaman
mengakui kesenangan yang menyertai setiap transaksi perdagangan,
tidaklah mudah untuk membujuk atasan mereka di Inggris bahwa biaya
tambahan atau perubahan administratif dibenarkan. Direktur EIC tidak
mudah diyakinkan, misalnya, bahwa itu akan membantu kepentingan
Inggris untuk menunjuk perwakilan Banten sebagai "Presiden" daripada
"Agen," meskipun mereka diberitahu bahwa akan banyak orang yang
berdiri di atas gelar kehormatan, dan akan menunjukkan rasa hormat
yang sesuai.193
Perusahan Inggris yang berada di Banten merasa mustahil untuk
melakukan perdagangan, karena dalam kegiatan dagang mereka harus
memberikan hadiah yang cocok untuk penguasa dan keluarganya, oleh
karena itu, tidaklah mengherankan bahwa Sultan Banten secara kukuh
menolak tekanan Inggris untuk hak-hak istimewa. Sementara itu, orang-
orang194 yang diinginkan dan memiliki kedekatan dengan sultan dapat
masuk ke Banten tanpa ada halangan. Sedangkan mereka yang tidak mau
menerima adat istiadat setempat mungkin harus menjauh dari Banten.
Akibat adanya ketegangan antara perusahaan dagang Inggris dengan
Banten, membuat orang-orang Inggris dianggap melakukan kecurangan
193 David Kenneth Bassett, B. A. (Wales), The Factory of the English East
India Company at Bantam, 1602-1682… h, 37. 194 Orang-orang yang dimaksud adalah mereka yang memiliki peran penting
di Banten seperti dari Asia Barat, Cina dan India.
95
dan kejahatan dalam perdagangan di Banten, meskipun orang-orang
Inggris tidak melakukan hal tersebut.195
Perubahan ekonomi besar yang terjadi di Banten yang tercatat
oleh orang-orang Inggris adalah adanya ekspansi dramatis dari budidaya
gula (tanaman tebu), yang terjadi pada tahum 1630. Hal ini membuat
Kesultanan Banten mengelola tanah yang dicampur dengan pupuk
kompas untuk menghasilkan tanah yang baik untuk budidaya tanaman
tebu. Gula, yang pada tahun-tahun pertama setelah pendirian Perusahaan
India Timur dikirim olehnya ke tanah air, oleh karena itu terdiri dari
produk Cina, Siam, formosa dan Bengal dan pertama setelah tahun 1637
pengiriman pertama gula Jawa terjadi.196
Selain budidaya tanaman tebu, teknik pembutan kapal yang
dibantu oleh orang-orang Inggris mengalami perkembangan, hal ini
membuat Sultan Banten memberikan penawaran kepada orang-orang
Inggris untuk bekerja di bawah perintahnya. Misalnya, pada tahun 1667,
seseorang dipekerjakan sebagai kapten kapal sultan ke Manila,
sementara pelaut Inggris lainnya bekerja sebagai pembuat kapal dan
membantu kapal awak ke Manila dan Macao. Dengan akses teknologi
baru ini, armada Banten berubah dari satu armada perahu kecil ke salah
satu kapal lautan. Sultan sendiri menjadi pedagang, mengirim kapalnya
sendiri untuk membuka perdagangan langsung dengan Manila, kapal
kerajaan yang dibangun di Rembang (Jawa Timur) di bawah pengawasan
orang Inggris yang berlayar ke Persia pada tahun 1671.197
195 David Kenneth Bassett, B. A. (Wales). The Factory of the English East
India Company at Bantam, 1602-1682… h, 199. 196 K. W. Van Gorkom's, Oost-Indische Cultures, Tweede Deel, (Amsterdam:
J. H. De Bussy, 1918), h, 120 197 David Kenneth Bassett, B. A. (Wales). The Factory of the English East
India Company at Bantam, 1602-1682… h, 14.
96
Penyelenggaraan hari-hari pasar sudah tentu tidak terlepas dari
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Arus barang yang akan
diperdagangkan, baik barang-barang yang berasal dari negeri-negeri di
luar Indonesia maupun barang-barang yang berasal dari daerah-daerah
sekitar kota, akan mempengaruhi waktu penyelenggaraan hari-hari
pasar. Barang-barang yang berasal dari berbagai negeri yang dibawa
kapal-kapal dagang ke Indonesia, juga tergantung pada musim yang
disesuaikan dengan arus angin yang memungkinkan untuk
keberangkatan dan pelayaran.
Demikian pula barang-barang yang berasal dari daerah-
daerah sekitarnya, baik hasil-hasil produksi pertanian, perkebunan
maupun hasil-hasil kerajinan tangan industri di Indonesia, tergantung
pada musim. Misalnya panen padi, panen cengkeh, pala, lada dan lain-
lain jelas tidak setiap waktu, tetapi ada musim tertentu. Hubungan
pertanian sawah, ladang, ataupun kebun dipengaruhi pula oleh faktor-
faktor ekologi. Stabilitas terselenggaranya pasar-pasar tidak terlepas
pula dari faktor-faktor politik suatu negara. Sistem monopoli dalam
dunia perdagangan pada waktu itu yang dilakukan kerajaan-kerajaan
atau serikat dagang asing dapat menimbulkan ketidakstabilan pasar-
pasar di suatu tempat dalam suatu kerajaan.198
Pola perdagangan di Banten bukan hanya menyoroti masalah
rempah-rempah. Namun, perdagangan juga meliputi perdagangan
tekstil. Catatan Inggris dan Belanda pada tahun-tahun awal abad ketujuh
belas memberi kita gambaran yang cukup bagus tentang perdagangan
tekstil di Asia Tenggara. Belanda menyadarinya lebih awal dari Inggris,
198 Nugroho Notosusanto dkk. Sejarah Nasional Indonesia III… h. 269.
97
bahwa ada dua laporan Belanda, ditahun 1605 dan 1614, memberikan
penjelasan rinci tentang semua pusat perdagangan di laut Timur, barang-
barang yang diproduksi dan barang yang dapat diambil di setiap wilayah
dan pola umum perdagangan Asia Tenggara.199
Banten merupakan daerah yang menjadi pasar tekstil di Asia
Tenggara setelah India, pasar tekstil berkembang di Banten karena para
pedagang Inggris yang melakukan berdagangan di Banten dengan cara
barter menukar barang tekstil dengan rempah-rempah. Pada tahun 1608
perdagangan tekstil di Banten seperti kain-kain dari Surat dan Cambay
diminatai oleh pasaran di Asia Sealtan dan Asia Timur, dan mereka dapat
menukarnya dengan lada dan rempah-rempah yang lebih halus. Oleh
karena itu, Inggris merekomendasikan bahwa perdagangan harus dibuka
di Surat dan Cambay. Begitu besar permintaan tekstil India bahwa
sebelum didirikannya Pabrik di India, Inggris sering membeli barang-
barang ini dari pedagang India di Banten dan di tempat lain dan
kemudian menukarkannya dengan lada.200
Pedagang Inggris di Banten menuliskan surat kepada
perusahaan pada tahun 1615, menyatakan bahwa barang tekstil dari
Gujarat yang dapat dijual seharga 12.000 real. Dewan Inggris di Surat
menulis kepada perusahaan Inggris di Banten pada tahun 1631 yang
mengatakan bahwa mewajibkan untuk membuat daftar perdagangan
199 S. P. Sen, “The Role of Indian Textiles in Southeast Asian Trade in the
Seventeenth Century”. Journal of Southeast Asian History, Vol. 3, No. 2. September
1962, h. 96. 200 P. Sen, “The Role of Indian Textiles in Southeast Asian Trade in the
Seventeenth Century”… h. 96.
98
tekstil seperti kain-kain dari Surat yang dijual di Banten dan
mencocokkan dengan barter 1.200 ton lada dan 100 ton cengkeh.201
Tahun 1664 perdagangan tekstil di Banten merupakan
perdagangan dengan kualitas yang baik, sehingga para pedagang
Belanda di Batavia menanyakan kepada dewan Belanda di Surat tekstil
yang dikirim dari Surat tidak sebaik di Banten. Dewan perusahaan
Inggris di Surat mengatakan bahwa ekspor Belanda terikat pada kualitas
yang lebih rendah. Dalam perdagangan tekstil di Asia Tenggara ada
persaingan akut di antara Perusahaan Eropa dan juga pedagang India,
masing-masing mencoba untuk menyudutkan pasar. Perusahaan Inggris
mengatakan ada praktik-praktik tidak adil yang dilakukan oleh Belanda
terkait perdagangan tekstil.202
Catatan pedagang Inggris di Banten menulis bahwa orang
Belanda menjual kain-kain India dengan harga yang sangat rendah,
bahkan di bawah harga biaya di Pantai Coromandel. Pada tahun 1622
pedagang Inggris mengeluh bahwa orang Belanda yang membayar kain
dari pedagang Inggris dan menjualnya kembali dengan harga yang telah
ditentukan sendiri oleh orang Belanda dan menciptakan monopoli di
pasar tekstil. Di sisi lain, Belanda juga mengeluhkan pada 1633 bahwa
pedagang Inggris juga telah melakukan monopoli di pasar Banten.203
Terlepas dari persaingan di antara perusahaan-perusahaan
besar Eropa, ada faktor lain yang juga menyebabkan penurunan harga
tekstil adalah karena adanya perdagangan pribadi para pelayan
201 S. P. Sen, “The Role of Indian Textiles in Southeast Asian Trade in the
Seventeenth Century”… h. 96-98. 202 S. P. Sen, “The Role of Indian Textiles in Southeast Asian Trade in the
Seventeenth Century”… h. 97. 203 S. P. Sen, “The Role of Indian Textiles in Southeast Asian Trade in the
Seventeenth Century”… 98.
99
perusahaan-perusahaan Eropa tersebut, termasuk kapten kapal dan
pelaut. Dewan perusahaan Inggris di Banten menulis kepada Kompeni
Belanda pada 1615, mengeluhkan tentang perdagangan pribadi para
pelayan perusahaan yang menjual harga kain dari Coromandel dengan
harga 1.700 real, sedangkan kain tersebut dibeli oleh perusahaan dengan
harga yang rendah. Oleh karena itu, pelayan tersebut mendapatkan
keuntungan yang lebih dari keuntungan perusahaan dalam perdagangan
tekstil.204
Tahun 1660, Dewan Inggris di Surat mengeluhkan bahwa
pasar tekstil di Banten tidak adanya keuntungan yang lebih baik terhadap
perusahaan, dikarenakan adanya perdagangan pribadi yang berskala
besar dari para pelayan perusahaan, dan Dewan Inggris mengatakan
bahwa di pasar Surat telah di perjual belikan barang-barang pribadi dan
barang-barang yang merusak penjualan komoditas perusahaan. Tahun
1693 pedagangan pirbadi harus dihentikan, karena dapat menyebabkan
keruntuhan perusahaan-perusahaan Eropa.205 Di Banten pasar tekstil
dipisahkan antara penjual laki-laki (orang asing yang menjual tekstil
India dan Cina) dan juga perempuan (perempuan lokal yang menjual
tekstil setempat).206
204 S. P. Sen, “The Role of Indian Textiles in Southeast Asian Trade in the
Seventeenth Century”… 98 205 William Foster. C.I.E, The English Factories in India 1655-1660, (Oxford:
At The Clarendon Press, 1921), h. 344. 206 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I:
Tanah di Bawah Angin… h. 109.
100
Tabel 3
Keluar-masuk kapal pedagang lokal dan asing di Banten akhir abad
XVI-XVII
Daerah/Negara Tonase Barang dagang Jenis dan
jumlah Kapal Keterangan
Palembang207 - 600 picol lada 2 jung Masuk
Jepara208 - Porcelain dari
Jepang
2 jung Masuk
Jepara209 100 ton Beras 50 jung Masuk
Jepara210 - 60 koyang beras 1 jung Masuk
Banda dan
Maluku
- Cengkeh, pala,
benzoin, kapur
barus dan kayu
manis
Jung Masuk
Pegu211 500 ton - 17 Jung Masuk
Pribumi Jawa 20-200 ton Barang-barang
kelontong
Kapal kecil
(Goting
Jawa)212
Masuk
207 H. T. Colenbrander, Dagh Register Gehonde Int Casteel Batavia Anno
1641-1642, (S’gravenhage: Martinus Nijhoff, 1900), h. 16. 208 J. A. Van Der Chijs, Dagh Register Gehonde Int Casteel Batavia Anno
1640-1641, (S’gravenhage: Martinus Nijhoff, 1887), h. 46. 209 J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social Find
Economic Historis, (Bandung: Sumur Bandung, 1960), h. 169. 210 J. A. Van Der Chijs, Dagh Register Gehonde Int Casteel Batavia Anno
1640-1641… h. 10. 211 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II:
Jaringan Perdagangan Global, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h.
326. 212 Kapal Goting Jawa tidak hanya berlayar dan singgah di Banten
untuk perdagangan. Namun, berlayar antarpulau di Nusantara, untuk pelayaran
lokal dilayani oleh kapal dengan ukuran besar 20 ton dan untuk operasi di
101
Cina213
(1614)
300 ton Barang dagang
dari Cina seperti
keramik, kain dan
lainnya dan
ditukar dengan
lada
4-6 Jung
8-10 jung
Masuk
(1615) - 5 jung
(1616) - 3 jung
India214 - Rempah-rempah,
budak dan bahan
pangan lainnya
1 jung Masuk
Portugis215
(1617)
40 ton Mengangkut
bahan pahan
rempah-rempah
dan kayu cendana
4 kapal Keluar
perairan dangkal biasanya dilakukan oleh kapal-kapal yang dasarnya datar,
kapal sangat gesit di perairan. Lihat Adeng, Pelabuhan Banten Sebagai Bandar Jalur
Sutra. Patanjala Vol. 2, No. 1, (Maret 2010), h. 91. 213 Sumber Belanda menyebutkan kapal-kapal Cina yang datang ke Banten
pada setiap tahunnya antara 8-10 kapal yang masing-masing berdaya angkut
maksimum 50 ton. Pada laporan lain disebutkan 5-8 kapal Cina bertonase sampai 100
ton datang setiap tahunnya. Sementara itu catatan dari pelaut Prancis menyatakan 9-10
kapal besar, sedangkan sumber Inggris menyebutkan 3-6 kapal Cina yang seluruhnya
bertonase sampai 300 ton. Lihat H. T. Colenbrander, Jan Pietersz. Coen Bescheiden
Omtrent Zijn Bedrijf In Indie Verzameld Door, Uitgegeven Door Het Koninklijk
Instituut Voor De Taal, Land En Volkenkunde Van Nederlandsch-Indie. Vol. I,
(university of Toronto: 'S-Gravenhage Martinus Nijhoff, 1919), h. 65. 214 G. P. Rouffaer, J. W. Ijzerman, De Eerste Schipvaart Der Nederlanders
Naar Oost-Indie Onder Cornelis De Houtman 1595-1597. Vol I. ('S-Gravenhage:
Martinus Nijhoff, 1929), h. 371. 215 G.P. Rouffaer En J.W. Ijzerman, De Eerst Schipvaart Der Nederlanders
Naar Oost-Indie Onder Cornelis De Houtman 1595-1597, Vol. III, ('S-Gravenhage:
Martinus Nijhoff, 1929), h. 193.
102
Belanda216
(1598)
- Rampah-rampah
(lada)
3 kapal Keluar
Belanda217
(1598)
- Rampah-rampah
(lada)
5 kapal keluar
Banten218
- Buah-buahan dan
hewan ternak
(ayam)
1 jung Keluar
Inggris219
(1602)
Berkapasitas
200-600 ton
Manufaktur
Inggris
4 kapal Masuk
Denmark - 600 potong kain 1 kapal Masuk
Tabel 4
Perdagangan Jung Banten dan Asia Tenggara ke Nagasaki220
Tahun Tongking Cochin
Cina Kamboja Siam Patani Banten Total
1651-1660 15 40 37 28 20 1 141
1661-1670 6 43 24 26 9 - 108
1671-1680 8 41 10 26 2 1 88
1681-1690 12 25 9 31 9 - 86
216 Kapal pertama di pimpin oleh van neck yang kembali ke Belanda setelah
kapalnya dipenuhi oleh muatan rempah-rempah. Lihat Hoesein Djajadiningrat,
Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, (Jakarta: Djambatan, 1983), h. 164 217 Kapal ke dua di pimpin oleh Van Waerwijk yang melanjutkan perjalannya
dari Banten ke Maluku. 218 H. T. Colenbrander, Dagh Register Gehonde Int Casteel Batavia Anno
1636, (S’gravenhage: Martinus Nijhoff, 1899), h. 102. 219 David Kenneth Bassett, B. A, The Factory of the English East India
Company at Bantam, 1602-1682… h. 8. 220 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II:
Jaringan Perdagangan Global, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h.
335.
103
1691-1700 6 29 23 19 7 1 85
1701-1710 3 12 1 11 2 - 29
Tabel 5
Perlayaran Kapal-Kapal Nusantara Tahun 1636221
Dari tempat-tempat di Jawa Jumlah kapal
Charingin 1
Banten 61
Karawang 1
Indramayu 3
Cirebon 9
Losari 6
Tegal 19
Pekalongan 14
Batang 3
Kaliwungu 1
Demak 5
Jepara 36
Lasem 2
Jaratan 19
Surabaya 15
Gresik -
221 J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social Find
Economic Historis … h. 174.
104
Adapun perdagangan di Banten semakin ramai dengan
adanya kapal-kapal dagang yang keluar masuk dari dan menuju Teluk
Benggala pada tahun 1675, 1676 dan 1681.222
Tabel 6
1675
Coromandel Benggala
dari Ke dari ke
2 kapal Inggris
2 kapal Portugis
4 kapal Denmark
1 kapal “Moor”
1 kapal Banten
4 kapal Denmark
1 kapal “Moor”
2 kapal Inggris
10 5 2
Jumlah pelayaran kapal dari dan ke Banten (Coromandel dan Benggala) (17)
Jumlah pelayaran kapal dari dan ke Banten semua daerah (49)
1676
Coromandel Benggala
dari Ke dari ke
1 kapal “Moor”
1 kapal tidak
teridentifikasi
3 kapal Portugis
1 kapal Denmark
2 kapal Banten
1 kapal “Moor”
1 kapal Inggris
1 kapal Portugis 1 kapal Belanda
1 kapal Inggris
222 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 262.
105
2 8 1 2
Jumlah pelayaran kapal dari dan ke Banten (Coromandel dan Benggala) (13)
Jumlah pelayaran kapal dari dan ke Banten semua daerah (53)
1681
Coromandel benggala
dari Ke dari ke
1 kapal Denmark
1 kapal Perancis
1 kapal Inggris
1 kapal Banten
1 kapal Portugis 1 kapal Denmark
1 kapal tidak
teridentifikasi
1 kapal Perancis
1 kapal Denmark
5 1 2 2
Jumlah pelayaran kapal dari dan ke Banten (Coromandel dan Benggala) (10)
Jumlah pelayaran kapal dari dan ke Banten semua daerah (63)
Persaingan dagang orang-orang dari bangsa Eropa di Banten
khususnya Belanda, menjadikan perdagangan Inggris menjadi tidak
berkembang. Keadaan tersebut diperparah oleh situasi dalam Kesultanan
Banten yang menjadikan perdagangan di Banten dikuasi oleh bangsa
Eropa. Selain Belanda dan Inggris, para pedagang Perancis dan juga
Denmark semakin meramaikan pelabuhan Banten. Bahkan dalam kurun
waktu tahun 1659-1676 para pedagang Eropa sudah banyak mempunyai
kantor dagangnya di Banten.223
Dari perdagangan di Kesultanan Bantam, depot barang-barang
asing, semuanya terbagi atas Kepulauan. Orang Jawa dan penduduk
pulau-pulau lain datang untuk mengambil barang-barang asing di Banten
223 H.T. Colenbrander, Koloniale Geschiedenis: Algemene Koloniale
Geschiedenis Met Karten, (S'Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1925), h. 181.
106
dan membawa produk mereka sendiri di perjalanan ke luar. Seperti
garam dari Jawa Timur, gula dari Jepara dan Batavia, beras dari
Makassar dan Sumbawa untuk dibawa ke kota Timor dan Palembang
juga membawa banyak madu dan lilin, dan yang terpenting adalah
adanya perdagang beras. Penduduk Banten menjadikan beras sebagai
makanan pokok sehari-hari, bahkan penduduk Banten menjual makanan
mereka ke orang asing dengan harga 20 sen.224
Para pelaku perdagangan di Banten yang memiliki peranan
penting adalah orang-orang Cina. Saat Belanda tiba di Banten, orang-
orang Cina pun menjadi perantara perdagangan dengan pedagang dari
negara lainnya yang ada di Banten, hal ini telah ada sejak zaman Sultan
Hasanuddin, orang-orang Cina menempati posisi penting dalam
perdagangan. Orang-orang Cina bahkan telah mempunyai tempat khusus
yang disebut Pecinan di dalam kota dengan akses luas pada jaringan
ekonomi.225
C. Peran Pasar Dalam Perdagangan
Perdagangan erat kaitannya dengan ketersediaan komoditas
tertentu yang dibutuhkan dalam proses jaringan perdagangan.
Komoditas utama dari dan ke pulau Jawa selama abad-abad awal
perkembangan Islam dalam jaringan perdagangan global seperti lada,
pala, beras, getah damar dan kayu. Sebelum masa Islam, raja-raja Jawa
224 W. Fruin Mees, Geschiedenis Van Java Deel II, (Weltevreden: Commissie
Voor De Volkslectuur, 1920), h. 98. 225 Peter Carey, Orang Cina dan Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa,
Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825. Terj.Tim Komunitas Bambu, (Depok:
komunitas Bambu, 2008), h. 13.
107
sedikit sekali memperhatikan masalah perdagangan komoditas sebagai
diplomasi politik.226
Perdagangan dapat didefinisikan sebagai kegiatan tukar menukar
barang atau jasa atau keduanya. Pada masa awal sebelum uang
ditemukan, tukar menukar barang dinamakan barter yaitu menukar
barang dengan barang. Pada masa modern perdagangan dilakukan
dengan penukaran uang. Setiap barang dinilai dengan sejumlah uang.
Pembeli akan menukar barang atau jasa dengan sejumlah uang yang
diinginkan penjual.
Aktivitas perdagangan ini merupakan kegiatan utama dalam
sistem ekonomi yang diterjemahkan sebagai sistem aktivitas manusia
yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan
konsumsi barang dan jasa. Secara umum, istilah perdagangan (trade)
dipakai untuk menjelaskan hubungan timbal balik yang dilakukan paling
tidak antar dua pihak, sebagai usaha untuk memperoleh barang melalui
pertukaran (exchange) dengan lebih menekankan aspek kebutuhan dari
pada aspek sosial.227
Pada dasarnya mekanisme perdagangan didorong oleh kebu-
tuhan akan barang atau bahan baku yang tidak dapat diperoleh atau
dibuat di suatu tempat, sementara itu di tempat lain terjadi surplus barang
sehingga terjadilah transaksi. Dalam konteks sistem sifat hubungan itu
dapat terlihat sebagai gerak atau aliran barang (movement of goods).228
226 D. J. M. Tate, The Making of Modern South East Asia Vol. I: The European
Conquest, (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1971), h. 65. 227 Windari, “Perdagangan dalam Islam”, Al-Masharif. Volume 3, No. 2, Juli-
Desember 2015, h. 21. 228 Karl Polanyi, The Great Transformation: The Political and Economic
Origins of Our Time, (Boston: Beacon Press, 1957), h. 243-270.
108
Dengan demikian di dalam suatu sistem perdagangan sedikitnya
menghendaki empat unsur tingkah laku yang berkaitan dengan komoditi,
yaitu perolehan bahan baku, pembuatan barang (manufacturing),
penyebaran barang (distribution), dan pemakaian (consumtion).
Mengingat sifat komoditi yang dapat berupa barang mentah atau barang
jadi maka proses perdagangan sedikitnya dapat berupa distribusi bahan
baku dari tempat asalnya ke tempat pembuatan atau langsung ke tempat
pemakainya atau distribusi barang dari tempat pembuatan ke tempat
pemakainya.229
Pasar menduduki tempat penting bagi kinerja para pelaku
ekonomi perdagangan. Dalam struktur perekonomian kesultanan, kota
bandar dan kota istana sekaligus menjadi pusat jaringan pasar yang
tertinggi (the highest market) bagi pusat pasar tingkat menengah
(intermediate market center) di luar daerah kota bandar dan istana, serta
pasar lokal di daerah pedesaan. Dengan demikian, jaringan pasar terbagi
secara hierarkis dari pusat kegiatan ekonomi ke daerah pinggiran sesuai
dengan hubungan ekonomi yang timbal balik antara kedua belah pihak,
yaitu kota bandar atau istana dan daerah pedesaan.230
Pasar Banten merupakan pusat perdagangan baik internasional
maupun lokal dan perdagangan keliling. Selain itu pasar di Banten juga
merupakan pusat pertukaran dan pertemuan para saudagar terkemuka
dan para nahkoda kapal. Pasar di Banten merupakan salah satu sumber
penghasilan Sultan dan pemerintahan. Sultan tidak hanya mendapatkan
pajak dari perdagangan di pasar, tetapi juga ikut mencari untung dengan
229 Edward Adamson Hoebel, Everett Lloyd Frost, Cultural and Social
Anthropology, (University Of Virginia: Mcgraw-Hill, 1976), h. 225. 230 Siti Fauziyah, “Pasar Pada Masa Kesultanan Islam Banten”, Thaqafiyyat,
Vol. 13, No. 1, Juni 2012, h. 84.
109
usaha dagang. Pasar dapat menjadi makna simbolis seorang penguasa.
Dengan adanya pasar, dapat dikatakan bahwa di wilayah tersebut
keamanannya terjamin untuk melakukan transaksi.231
Dalam pengertian umum, pasar adalah tempat jalinan hubungan
antara pembeli dan penjual serta produsen yang turut serta dalam
penukaran itu. Pasar tidak hanya terdapat di kota-kota pusat kerajaan,
tetapi juga di kota-kota lainnya. Pasar sangatlah erat hubungannya
dengan sifat dan corak kehidupan ekonomi kota itu sendiri. Kota dilihat
dari pengertian ekonomi adalah suatu tempat pemukiman (settlement)
yang penduduknya hidup dari perdagangan daripada pertanian.232
Hal itu sesuai pula dengan kehidupan kota-kota pusat kerajaan
dan kota-kota pelabuhan dari zaman pertumbuhan dan perkembangan
kerajaan-kerajaan maritim bercorak Islam di Indonesia. Kota-kota pusat
kerajaan dan kota-kota pelabuhan seperti Samudra Pasai, Aceh, Malaka,
Demak, Banten, Gresik, Jaratan, Jepara, Surabaya, Ternate, Banda,
Gowa-Makasar, Banjarmasin, Palembang dan sebagainya, banyak
dikunjungi pedagang-pedagang besar dan kecil dari berbagai negeri
asing dan juga dari daerah kerajaan di Indonesia.233
Willem Lodewycksz menggambarkan keramaian perdagangan di
Kesultanan Banten. Bahwa di Kesultanan Banten ada tiga pasar yang
dibuka setiap hari. Pertama, terletak di sebelah Timur Kota Karangantu,
banyak ditemukan pedagang-pedagang asing dari Portugis, Arab, Turki,
231 Siti Fauziyah, “Pasar Pada Masa Kesultanan Islam Banten”… h. 84. 232 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim
di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, (Kudus: Menara Kudus, 2000),
h.131. 233 Nugroho Notosusanto dkk., Sejarah Nasional Indonesia III… h. 265
110
Cina, Inia, Pegu, Melayu, Benggala, Gujarat, Malabar, Abesenia, dan
dari seluruh Nusantara.234
Pasar kedua, terletak di alun-alun dekat Masjid Agung, yang
dibuka sampai tengah hari bahkan sampai sore. Di pasar ini
diperdagangkan lada, buah-buahan, senjata keris, tombak, pisau, meriam
kecil, kayu cendana dan lainnya. Demikian besar pasar kedua ini
sehingga ujungnya hampir menyambung dengan pasar pertama
dipelabuhan. Pasar ketiga, terletak di daerah Pecinan yang dibuka setiap
hari sampai malam.235
Sedangkan Cornelis de Houtman menggambarkan pasar di
Banten secara mendetail dan terperinci dalam beberapa kelompok di
pasar, yaitu: kelompok A, tempat penjualan semangka, mentimun dan
kelapa. Kelompok B, tempat penjualan gula dan madu dalam periu-
periuk. Kelompok C, tempat penjualan kacang. Kelompok D, tempat
penjualan tebu dan bumbu masakan. Kelompok E, tempat penjualan
keris, pedang dan tombak. Kelompok F, tempat penjualan pakaian laki-
laki. Kelompok G, tempat penjualan pakaian wanita. Kelompok H,
tempat penjualan rempah-rempah, benih dan biji-biji kering.236
Kelompok I, tempat orang-orang Benggala dan Gujarat menjual
barang besi dan barang tajam. Kelompok K, khusus untuk kedai orang-
orang Cina. Kelompok L, tempat penjualan daging. Kelompok M,
234 Willem Lodewijcksz, Prima Pars Descriptionis Itineris Navalis in Indiam
Orientalem, Earvmqje Rervm Qvae Navibvs Battavis Occvueevnt, (National Central
Library of Rome: Ex Officina Cornelij Nicolaj, Typographi Ad Symbolum Diarij, Ad
Aquam, 1598), h. 25-26. 235 Willem Lodewijcksz, Prima Pars Descriptionis Itineris Navalis in Indiam
Orientalem, Earvmqje Rervm Qvae Navibvs Battavis Occvueevnt… h. 26. 236 G. P. Rouffaer, J. W. Ijzerman, De Eerste Schipvaart Der Nederlanders
Naar Oost-Indie Onder Cornelis De Houtman 1595-1597… h. 148-227.
111
tempat penjualan ikan. Kelompok N, tempat penjualan buah-buahan.
Kelompok O, tempat penjualan sayur-sayuran. Kelompok P, tempat
penjualan lada. Kelompok Q, tempat penjualan brambang (bawang).
Kelompok R, tempat penjualan beras. Kelompok S, kios untuk
pedagang. Kelompok T, tempat penjualan emas dan permata. Urutan
kelompok lain terpisah dengan kelompok bagian dalam dan disebutkan
kelompok V, tempat perahu-perahu asing yang penuh dengan muatan
bahan makanan, dan pada kelompok akhir yaitu kelompok X adalah
tempat penjualan unggas.237
Pasar sebagai pusat perekonomian di Kesultanan Banten
penyelenggaraan hari-hari pasar sudah tentu tidak terlepas dari faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Arus barang yang akan diperdagangkan,
baik barang-barang yang berasal dari negeri-negeri di luar Indonesia
maupun barang-barang yang berasal dari daerah-daerah sekitar kota,
akan mempengaruhi waktu penyelenggaraan hari-hari pasar. Barang-
barang yang berasal dari berbagai negeri yang dibawa kapal-kapal
dagang ke Indonesia, juga tergantung pada musim yang disesuaikan
dengan arus angin yang memungkinkan untuk keberangkatan dan
pelayaran.238
Kepentingan penguasa atau raja dan pemerintahannya dalam
campur tangan soal pasar, bukan semata-mata untuk mendapatkan
keuntungan materi tetapi mungkin juga menyangkut hak milik dan untuk
melindungi kontrak-kontrak antara mereka dengan pedagang- pedagang
di pasar. Dengan demikian jelas ada hubungan kepentingan timbal balik
237 G. P. Rouffaer, J. W. Ijzerman, De Eerste Schipvaart Der Nederlanders
Naar Oost-Indie Onder Cornelis De Houtman 1595-1597… h. 148-227. 238 Siti Fauziyah, “Pasar Pada Masa Kesultanan Islam Banten”… h. 87.
112
antara pihak penjual dan pembeli dengan pihak penguasa. Di Indonesia
pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam, bukti-bukti tentang
pasar sebagai salah satu sumber penghasilan raja dan pemerintahan suatu
kerajaan jelas ada. Menurut berita Cina, dari tahun 1618 di Banten, setiap
hari raja menarik cukai dari pasar.239
Campur tangan raja dengan masalah pasar sebagai pusat
perdagangan sudah tentu diharapkan mendatangkan penghasilan bagi
kerajaan, untuk kepentingan pembiayaan, perlindungan keamanan dan
ketertiban termasuk para pedagang dan pasar itu sendiri. Penghasilan
yang masuk kepada raja atau penguasa guna penambahan keuangan raja
dan menambah kekayaan akan benda-benda logam berharga.240 Campur
tangan raja ataupun pemerintah dalam masalah pasar juga mempunyai
sisi yang positif yaitu untuk menertibkan pertengkaran-pertengkaran dan
kekacauan yang biasanya terjadi di pasar. Hal itulah mengapa raja
mencampuri masalah di pasar serta agar dapat memebrikan tekanan-
tekanan harga di pasar dengan pemberian lisensi.241
Selain pasar berikut ini tempat-tempat lain penunjang
perdagangan di Kesultanan Banten.
1. Kompleks keraton Surosowan terbukti merupakan quarter
untuk melaksanakan industri logam, meliputi aktivitas
pelumeran, peleburan, pengecoran, dan penempaan baik
perunggu, besi dan bahkan emas (untuk mata uang Banten).
239 Nugroho Notosusanto Dkk, Sejarah Nasional Indonesia III… H. 267. 240 Max Weber, The City Translated and Edited by Don Martindale and
Gertrud Neuwirth, (London: The Free Press, 1966), h. 67. 241 Sir John Hicks, A Theory of Economic History, (New York: Oxford
University Press, 1969), h. 33
113
2. Sukadiri merupakan salah satu tempat kegiatan industri
logam dan tembikar. Sukadiri meliputi sub-cluster
Kepandean (industri logam) dan Pajantran (industri tenun).
3. Panjunan merupakan tempat kegiatan industri tembikar,
sekaligus tempat mukim pengrajin tembikar dan nelayan.
4. Jembatan Rante juga merupakan areal industri perunggu dan
besi.
5. Penjaringan merupakan tempat pertukangan jaring.
6. Pamarican merupakan salah satu tempat penyimpanan dan
pengolahan rempah-rempah.
7. Pabean merupakan areal pemukiman sekaligus tempat peng-
gudangan keramik dan tempat penarikan cukai.
8. Pacinan merupakan konsentrasi pemukiman ras Cina dengan
aktivitas bidang jasa, terutama perdagangan.
9. Karangantu menjadi tempat pemukiman orang-orang asing
(Arab, Turki, Malaya, dll.), sekaligus sebagai pelabuhan,
pasar dan pusat aktivitas nelayan.
10. Kagongan tempat pembuatan benda-benda logam terutama
gong.
11. dan sebagainya, termasuk daerah-daerah belakang yang
menghasilkan kelapa, sayur dan padi, khususnya sepanjang
aliran sungai Cibanten.242
Adapun toponomi daerah di Banten diambil dari nama jenis
perdagangan di pasar, seperti Pamarican (tempat menjual merica/lada),
Pabean (tempat pelabuhan/tol pembayaran pajak), dan Pasar Anyer
242 Halwany Michrob, Ekspor-Impor di Zaman Kesultanan Banten… h. 18.
114
(pasar masyarakat lokal penduduk Banten). Pemunculan Banten sebagai
pusat ekonomi yang didukung dengan tumbuh berkembangnya bandar
pelabuhan, amat menguntungkan bagi tata-niaga lada sebagai komoditas
utama. Hal ini antara lain menjadi salah satu daya tarik bagi para
pedagang asing untuk mengadakan transaksi dagang. Secara tak
tersadari, dorongan faktor ekonomi ini menjadi salah satu daya ikat
integrasi sosial yang bersifat kosmopolit.243
Perbedaan kepentingan, antara lain konflik internasional yang di
campurtangani oleh kekuatan asing, mengakibatkan disintegrasi Banten,
yang bersumber dan kemudian bermuara pada kepentingan hegemoni
ekonomi. Blokade-blokade intensif dan ekstensif yang dilakukan oleh
VOC/Belanda benar-benar mengakibatkan ekonomi Banten yang semula
berlingkup eksternal dan berjarak jelajah jauh, terpuruk kembali kepada
ekonomi eksternal yang terbatas dan amat menggantungkan kepada hasil
bumi. Ujung kesemuanya ini adalah kolepsnya (collapse) sistem
ekonomi, politik dan militer Kesultanan Banten.
Kesultanan Banten merupakan kerajaan bercorak maritim yang
menitikberatkan kehidupannya pada perdagangan dan pelayaran, maka
kekuasaan politik dan ekonomi dipegang oleh kaum ningrat yang
mendominasi perdagangan sebagai pemberi modal atau kadang-kadang
sebagai peserta. Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran
merupakan sendi-sendi kekuasaan mereka yang memungkinkan kerajaan
memperoleh penghasilan pajak yang besar.244
Orang-orang Tionghoa merupakan perantara antara VOC, yang
berdagang di seluruh Kasultanan Banten, telah ada sejak zaman Sultan
243 Halwany Michrob, Ekspor-Impor di Zaman Kesultanan Banten… h. 20. 244 Halwany Michrob, Ekspor-Impor di Zaman Kesultanan Banten… h. 14.
115
Hasanuddin, orang-orang Tionghoa menempati posisi penting dalam
perdagangan. Orang-orang Tionghoa bahkan telah mempunyai tempat
khusus yang disebut Pecinan di dalam kota dengan akses luas pada
jaringan ekonomi. Komoditas yang diperdagangkan di pasar-pasar Jawa
pada waktu itu, yaitu: kapas mentah, garam, nila, tembakau, jahe, sutera,
porselen dan tikar pandan.245
Komoditas tersebut dikuasai oleh pedagang perantara Tionghoa,
sekaligus pembuat kapal, pengurus dan pemelihara pasar serta pembuat
senjata. Hak-hak tersebut didapatkan setelah perjanjian antara VOC dan
Mataram pada 1677 dan Banten di sekitar Tangerang sejak tahun 1684,
para Kapten Tionghoa mendapat untung besar dari kegiatan ekonomi
yang dilakukan oleh perantara Tionghoa. Komoditas candu juga
merupakan bisnis yang sangat menggiurkan dalam hal penghasilan,
terutama bagi VOC.246
Tidak hanya para pedagang yang memainkan perannya di pasar,
tetapi para penguasa pun sama halnya dengan para pedagang lainnya.
Penguasa Banten kadang kala mencampuri urusan persediaan dan
permintaan. Agar dapat memenuhi permintaan pedagang asing atas
bingkisan besar yang berisi lada.247 Para penguasa Banten menjalankan
sebuah langkah pendahuluan dalam pembelian, ia membeli lada dengan
harga yang rendah dari produsennya dan menimbunnya, yang kemudian
ia jual kepada Belanda dengan harga yang tinggi. Orang-orang Belanda
245 Peter Carey, Orang Cina dan Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa,
Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825… h. 13 246 Ames R. Rush, Opium To Java, Jawa dalam Cengkraman Bandar-Bandar
Opium, Indonesia Kolonial 1860-1910, Terj. E. Setyawati Alkhatab, (Yogyakarta:
Mata Bangsa, 2000), h. 52. 247 M.A.P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630…h. 406.
116
merasa dijadikan korban para penguasa Banten yang telah melakukan
monopoli perdagangan terhadap pedagang Belanda.
Para penguasa Banten memiliki perkebunan sendiri yang digarap
oleh budak mereka. Perkebunan tersebut meliputi perkebunan lada yang
hasilnya dibawa ke kota. Namun, Van Leur mengatakan para penguasa
Banten tersebut merupakan pelaku perdagangan, tetapi tidak
mendominasi lalu lintas perdagangan Banten. Karena, pelaku
perdagangan di Banten dalam yang mendominasi dilakukan oleh para
pedagang dari luar negeri.248
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, para penguasa
Banten kadang kala mencampuri urusan persediaan dan permintaan.
Agar dapat memenuhi permintaan pedagang asing atas bingkisan besar
yang berisi lada.249 Selain penguasa Banten, perdagangan di Banten erat
kaitannya dengan peran syahbandar pada wilayah itu. Secara umum
syahbandar dapat diartikan sebagai penguasa pelabuhan, atau raja
pelabuhan. Tugas utama syahbandar adalah mengurus dan mengawasi
perdagangan orang yang dibawahinya.
Dalam hal ini, termasuk pengawasan pasar dan gudang,
syahbandar juga mengawasi timbangan, ukuran barang dagang, dan mata
uang. Oleh karena itu, syahbandar biasanya diangkat dari kalangan
saudagar asing. Syahbandar bertugas memberi petunjuk mengenai cara-
cara berdagang, ia pula yang menentukan pajak yang harus dipenuhi oleh
248 J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social Find
Economic Historis… h. 175. 249 M.A.P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630…h. 406.
117
para pedagang dan akan diserahkan kepada raja. Syahbandar merupakan
pelaku perdagangan yang sanagat penting di Banten di abad XVII.250
Komoditas yang diperdagangkan di pasar-pasar Jawa pada waktu
itu, yaitu: kapas mentah, garam, nila, tembakau, jahe, sutera, porselen
dan tikar pandan. Komoditas tersebut dikuasai oleh pedagang perantara
Cina, sekaligus pembuat kapal, pengurus dan pemelihara pasar serta
pembuat senjata. Para kapten Cina mendapat untung besar dari kegiatan
ekonomi yang dilakukan oleh perantara Cina.251 Komoditas rempah-
rempah merupakan bisnis yang sangat menggiurkan dalam hal
penghasilan, terutama bagi Belanda dan perusahaan Inggris.
250 Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka,
1984), h. 146. 251 Peter Carey, Orang Cina dan Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa,
Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825… h. 22.
118
BAB V
EKONOMI POLITIK DAN PERDAGANGAN BEBAS
A. Buka-Tutup Sistem Perdagangan Bebas
1. Perdagangan Bebas (Terbuka)
Kebesaran Banten yang tercatat dalam berbagai rekaman
sejarah itu bukan hanya karena letaknya yang stategis dan berada pada
jalur sutra. Transportasi air saat itu menjadi satu-satunya jalan yang
dapat menghubungkan antara berbagai negara, akan tetapi karena daerah
kekuasaan banten cukup luas hingga mencapai Lampung, Palembang,
dan Landak (Kalimantan) dan beberapa daerah yang menyimpan banyak
kekayaan alam terutama rempah-rempah yang sangat dibutuhkan oleh
pasar internasional (terutama kawasan pasar di Eropa dan Timur
Tengah).252
Secara kultural, penduduk yang mendiami wilayah
Kesultanan Banten berasal dari berbagai etnik dan suku bangsa. Namun,
demikian suku bangsa mayoritas menggunakan bahasa Sunda sebagai
bahasa pergaulan sehari-hari. Sementara, di wilayah Banten Utara suku
bangsa Jawa merupakan sebuah komunitas yang menggunakan bahasa
Jawa sebagai ibunya.253
Keberadaan pelabuhan-pelabuhan, selain mendorong
kedatangan para saudagar dari Nusantara, aktivitas politik maupun
ekonomi ras Eropa, Cina, Arab, dan lain-lain, juga menjadi komunitas
yang melengkapi kedua suku sebelumnya. Pada sekitar abad XVII,
252 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten, Banten dalam
Perjalanan Sejarah, (Banten: Disbudpar, 2012), h. 1 253 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten, Banten dalam
Perjalanan Sejarah … h. 2.
119
komunitas Cina memiliki perkampungannya tersendiri yang kemudian
disebut dengan Kampung Pecinan. Pedagang Cina yang bertempat
tinggal menetap berfungsi pula sebagai pedagang perantara.254
Sementara komunitas Arab lebih banyak memberikan peranan penting
dalam proses penyebaran Islam di Banten, walau dalam aktivitas
ekonominya mereka juga memiliki peran yang cukup penting.255
Perdagangan bebas biasanya terlarang bagi pedagang Cina
dan mereka harus memilih di antara dua alternatif yang sangat berbahaya
yaitu menerima berintegrasi dalam hierarki dan mengelola transaksi
perdagangan sebagai pegawai negeri atau mencari keuntungan
individual dan bersifat ilegal, dengan setiap saat mengambil resiko
menjadi korban penyitaan musiman yang diterapkan negara untuk
mempertegas kekuasaannya.256
Sistem ekonomi politik dan perdagangan bebas Kesultanan
Banten lahir akibat meningkatnya kegiatan ekonomi. Kebijakan politik
tersebut dibuat berlandaskan ekonomi, sehingga Banten menetapkan
bahwa semua bangsa asing harus mempunyai wakil dalam pemerintahan,
wakil-wakil tersebut merupakan para pedagang di Banten. Peraturan ini
juga dikenakan pada bangsa-bangsa Eropa, peran sebagai penjamin dan
wakil bangsa asing sendiri dijabat oleh kepala loji.257 Puncak struktur
birokrasi dikepalai oleh patih (wazir besar), sedangkan fungsi pengadilan
254 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987), h. 72. 255 Nina. H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama Dan
Jawara, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), h. 82 256 Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Jilid I. (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996), h. 298. 257 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, (Jakarta:
Pusat Penelitian dan Perkembangan Arkeologi Nasional, 2008), h. 94.
120
keagamaan dipegang oleh Fakih Najmuddin yang dibantu oleh dua
kliwon. Jabatan itu ada bagian yang mengurusi administrasi dan
pengawasan atas penanaman lada, produksi, dan perdagangan yang
disebut Ponggawa. Sementara Syahbandar ditugasi mengawasi
perdagangan luar negeri di pelabuhan. Tingkat hierarki yang paling
bawah di duduki oleh yang memangku jabatan Ngabuey dan Lurah yang
ditugasi mengawasi sejumlah rumah tangga. Tugas utama mereka adalah
memungut pajak dan upeti serta memelihara ketertiban umum.
Kebijakan sistem perdagangan bebas ini menimbulkan
kelompok dagang Asia yang digolongkan dalam 2 kelompok yaitu:
orang-orang kaya yang memasukkan uangnya ke dalam dunia
perdagangan secara insidental258. Kelompok berikutnya adalah para
saudagar kelontong atau saudagar keliling, mereka ini biasanya
merupakan pemilik modal yang ikut langsung dalam dunia perdagangan
dengan cara ikut berlayar bekeliling menjajakan barang dagangannya.259
Abad XVI, Kesultanan Banten menerapkan kebijakan
perdagangan bebas terbuka dengan melakukan swasembada dalam hal
bahan makanan. Sepanjang abad ini Banten menjadi pengekspor bahan
makanan. Para penguasa mengembangkan pertanian dan membangun
proyek-proyek untuk memperluas lahan dengan membuka hutan serta
mengembangkan irigasi. Dengan mengikuti kebijakan ini, secara
keseluruhan Banten mempunyai persediaan bahan pangan yang
memadai.260
258 Insidental adalah terjadi atau dilakukan hanya pada kesempatan atau waktu
tertentu saja, tidak secara tetap atau rutin, sewaktu-waktu. Lihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jilid II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 381. 259 M. A. P. Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630, (Yogyakarta: Ombak, 2016), h. 93. 260 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 204.
121
Perdagangan bebas Kesultanan Banten terbagi atas
perdagangan bebas terbuka dan tertutup. Abad XVI, dalam sistem
perdagangan bebas terbuka peranan pedagang Nusantara dan pedagang
Cina di Banten bersifat komplementer (barang yang kegunaannya saling
melengkapi satu sama lain). Mereka bertalian erta dengan saling
ketergantungan antara pedagang rempah-rempah dan komoditas lainnya,
seperti bahan pakaian, buah-buahan, bumbu dapur dan lainnya.261
Seiring dengan adanya kebijakan perdagangan bebas yang
diterapkan oleh Kesultanan Banten dengan peningkatan kegiatan
ekonomi yang mendatangkan kemakmuran dan juga kekuatan negara,
Kesultanan Banten berupaya memperluas wilayah kekuasaannya ke
daerah sekitarnya yang dipandang dapat menguntungkan perekonomian
Banten. Kebijakan perdagangan bebas (terbuka) dimulai pada masa
pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), yang berhasil
memperluas daerah kekuasaan hingga ke Lampung, Bengkulu sampai
Solebar. Perluasaan wilayah ini dimaksudkan untuk kepentingan
perdagangan Banten, untuk membuka jalur pedagangan mancanegara.262
Adapun kebijakan ekonomi dari Sultan Maulana Hasanuddin
dalam sektor perdagangan di Banten ialah berusaha meningkatkan
pendapatan rakyat melalui pertumbuhan pasar yang cepat. Dengan
dibukanya perdagangan bebas ini, pasar Banten menjadi pusat
persinggahan perdagangan rempah-rempah dari Eropa maupun Asia dan
dari daerah-daerah di Nusantara. Kebijakan lainnya yaitu mencetak mata
261 Yanwar Pribadi, “Era Niaga di Nusantara pada Masa Kerajaan Islam
(1500-1700) M”. Jurnal Al-Qalam. Vol 22. No 1, (Januari-April 2005), h. 77. 262 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900… h.
112.
122
uang sendiri yang disebut real Banten, guna mempermudah transaksi
jual-beli.263
Selanjutnya, masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf
(1570-1580), kegiatan ekonomi yang dilakukan adalah melanjutkan
kebijakan ekonomi yang sudah ada dimasa pemerintahan sebelumnya
yaitu dengan meningkatkan produksi pertanian, guna menunjang
perniagaan. Pada masa pemerintahannya, perdagangan Banten sudah
sangat maju dengan membuka perdagangan bebas terbuka ini Banten
dianggap sebagai sebuah kota pelabuhan emporium, tempat barang-
barang dagangan dari berbagai penjuru dunia digudangkan dan
kemudian di distribusikan.264 Pada tahun 1580, Maulana Yusuf
meninggal dunia dan digantikan oleh putera mahkota Maulana
Muhammad yang saat itu baru berusia 9 tahun.
Keadaan politik internal mengalami permasalahan saat putra
mahkota Maulana Muhammad belum cukup umur untuk menjadi
seorang raja. Sehingga saat itu kaum bangsawan menginginkan adik dari
Sultan Maulana Yusuf, yaitu Pangeran Aria Jepara untuk menduduki
takhta dengan alasan putra mahkota masih terlalu kecil. Sedangkan kaum
pedagang menghendaki naik takhtanya putra mahkota Maulana
Muhammad sebagai raja Banten. Namun, akhirnya kadhi (hakim agung)
bersama empat tokoh dari kalangan pedagang membentuk kewalirajaan.
Hal ini tercatat dalam bukti Sejarah Banten, pupuh XV, nomor 37-39,
halaman 360-361.265
263 Halwany Michrob, A. Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten,
(Jakarta: Saudara, 1993), h. 78. 264 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, (Jakarta:
Djambatan, 1983), h. 161. 265 Manuscript Sejarah Banten Br. 625.
123
Pengangkatan wali raja dilaksanakan setelah adanya gejolak
dalam istana, terjadi perang saudara yang terjadi di Kesultanan Banten,
yaitu antara Pengeran Jepara (adik Sultan Maulana Yusuf) yang
berkeinginan untuk menduduki takhta kerajaan, dengan para abdi dalem
kerajaan atau hakim agung dan para wali raja yang lainnya termasuk para
pengeran yang tidak ingin Pangeran Jepara menjadi raja di Banten.
Akibatnya terjadi pertempuran hebat di luar istana. Dalam
pertempuran itu, Pengeran Jepara akhirnya tewas ditangan Mangkumi
dan seluruh pasukan pemberontak kembali ke Jepara. Dari Sejarah
Banten disebutkan bahwa para wali raja, warga dan Ponggawa
mendukung Ki Mangkubumi sebagai wali raja yang sah, dan setelah itu
putra mahkota dinobatkan menjadi Sultan Banten dengan gelar Kanjeng
Ratu Banten Surosowan dengan perwalian di bawah Mangkubumi, dan
politik Kesultanan Banten menjadi lebih kondusif.266
Sultan Maulana Muhammad (1580-1596) dikenal sebagai
seorang sultan yang amat sholeh. Pada masa pemerintahannya, ekonomi
Kesultanan Banten tidaklah mengalami kemajuan yang signifikan. Hal
tersebut karena sultan mempunyai tugas yang lebih penting yaitu
penyebaran agama Islam dan menulis kitab-kitab serta memperindah
bangunan Masjid Agung Banten. Untuk tempat peribadatan
dibangunnya masjid-masjid sampai ke seluruh daerah di wilayah
Kesultanan Banten. Di akhir hidupnya, Maulana Muhammad
mengadakan penyerbuan ke Palembang untuk memperluas kekuasaan.
Namun, hal tersebut berakhir saat sultan tertembak oleh pasukan
Palembang.267
266 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 181. 267 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 182
124
Pengganti Sultan Maulana Muhammad adalah Sultan Abdul
Mufakir Mahmud Abdulkadir (1596-1647), yang saat itu masih berusia
5 bulan. Pada masa ini, ekonomi politik dan perdagangan bebas dipegang
oleh waji raja Pangeran Ranamanggala. Masa pemerintahan
Ranamanggala mengubah kebijkan ekonomi politik dan perdagangan
bebas terbuka menjadi tertutup. Hal ini akan dijelaskan pada point
berikutnya.
Sebelum memasuki kebijakan perdagangan bebas tertutup,
ekonomi politik yang signifikan pada akhir abad XVI adalah adanya
kekuatan politik bangsawan yang menjalankan perdagangan bebas
terbuka di Banten. Posisi penguasa biasanya dilindungi oleh kekuatan
bangsawan, setiap bangsawan mengendalikan satu kawasan dari satu
daerah di Banten, dan daerahnya dijaga oleh pasukan, tentara sewaan dan
pekerja-pekerjanya.
Campur tangan administrasi dalam urusan pelayaran dan
perdagangan di pelabuhan dan rumah penimbangan berada dalam
genggaman syahbandar (India dan Cina).268 Selain itu, kepemilikan
kapal laut untuk berdagang merupakan sumber pendapatan bagi mereka,
karena bangsawan menyewakan perahunya kepada rakyat yang tidak
268 Syahbandar dari India bernama Sancho Moluko. Dalam catatan Belanda
seorang syahbandar merupakan saudagar yang ikut dalam aktivitas perdagangan.
Bahkan syahbandar memiliki kekayaan dan memiliki istana sendiri di Banten.
syahbandar India tersebut diketahui berdagang dalam jumlah besar, dan ia sanggup
memasok kapal-kapal Belanda dengan 200 ton lada dalam sekali waktu. Lihat M. A. P.
Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di Nusantara Antara 1500
dan Sekitar 1630… h. 389. Sedangkan syahbadar dari Cina beranama Sim Suan,
seorang saudagar Cina yang memlilih untuk bekerja sama dengan Belanda, yang pada
akhirnya menimbulkan banyak hutang kepada Belanda. Akibat memasok lada ke Cina
dengan modal berhutang kepada Kompeni Belanda. Lihat Ijzerman, Cornelis Buijsero
te Bantam 1616-1618, (S’gravenhage: Martinus Nijhoff, 1932), h. 231.
125
memiliki kapal sendiri. Mereka pun mempunyai kepemilikan tanah dan
rumah-rumah di daerah tersebut.269
Kekuatan politik yang dimiliki oleh para bangsawan di
Banten tidak dapat diragukan lagi, ini terlihat dari posisi mereka. Para
bangsawan Borjuis terdiri dari bangsawan saudagar, yaitu pedagang
borongan. Di Banten, yang merupakan pelabuhan Selatan bagi
perdagangan Bangsa Cina, para saudagar Cina merupakan bagian kaum
bangsawan yang penting.270 Para bangsawan dan saudagar yang menetap
di Banten mengirimkan uang mereka ke Cina untuk berdagang. Selain
bangsawan dan saudagar dari India dan Cina terdapat pula sudagar dari
kaum pribumi bersama dengan bangsawan dari Nusantara seperti Bugis,
Banjar, Banda, Ternate, Makassar, dan Jawa Timur. Mereka bertempat
tinggal di pinggiran Kota Banten, dan bahkan kekuataan politik dari para
bangsawan dan saudagar ini bertahan hingga awal abad XVII.271
Namun, memasuki masa abad XVII ekonomi politik Banten
sepenuhnya dipegang oleh Sultan Banten. Meskipun beberapa
bangsawan dan saudagar masih memainkan peran penting di Banten
namun, dalam pengawasan sultan. Masa pemerintahan Sultan Ageng
Tirtayasa, Kesultanan Banten menerapkan kembali kebijakan sistem
perdagangan bebas terbuka, yaitu dengan membuka sistem jual-beli
barang, arus modal dan tenaga kerja secara bebas antara negara-negara
tanpa ada hambatan dalam proses perdagangan. Kebijakan Sultan Ageng
269 J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social Find
Economic Historis, (Bandung: Sumur Bandung, 1960), h. 113. Lihat Dagh Register
1624-1629, h. 149. 270 J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social Find
Economic Historis … h. 113. 271 J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social Find
Economic Historis … h. 115.
126
Tirtayasa dalam bidang ekonomi yaitu memulihkan perniagaan di
Banten dengan membuat saluran antara Pontang dan Tanara agar dapat
dilayari kapal dan mengairi daerah sekitarnya hingga menjadi daerah
penghasil pangan bagi Banten.272
Saluran air yang dibangun pada tahun 1660-1670 yang
dilakukan oleh rakyat Banten di sepanjang saluran air terdapat
persawahan baru untuk mendukung persediaan makanan bagi rakyat
Banten. Untuk meningkatkan bidang ekonomi sultan melakukan
kebijakan dengan cara meningkatkan hasil bumi serta memperkuat
armada guna menjamin keamanan para pedagang di perairan Banten.273
Hal tersebut dilakukan karena Sultan Ageng Tirtayasa menerapkan
ekonomi pasar bebas terbuka dan anti monopoli.274
Tidak hanya dalam bidang perdagangan, sultan pun
meningkatkan ekonomi dalam sektor pertanian. Banten yang merupakan
daerah agraris, yang sebagian besar rakyatnya bermata pencaharian
pertanian sangat perlu dikembangkan karena mempunyai peran penting
dalam pembangunan Kota Banten. Pembangunan pertanian ini
merupakan bagian penting yang harus diprioritaskan yang bertujuan
untuk meningkatkan hasil dan mutu produksi serta meningkatkan
pendapatan tarif hidup petani. Keanekaragaman hayati merupakan salah
satu hasil nilai sentral dari pembangunan pertanian di masa akan datang,
272 M. Harun Yahya, Kerajaan Islam Nusantara Abad XV-XVII M,
(Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), h. 39. 273 Sutrisno Kutoyo, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan
Kolonialisme di Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Depdikbud, 1995), h. 42. 274 Hasan Muarif Ambary, Panggung Sejarah, (Jakarta: Yayasan Obor
Indoesia, 1999), h. 273-274.
127
maka harus dikembangkan untuk menghasilkan produk pertanian yang
memiliki daya saing yang tinggi.275
Ketika Belanda menerapkan sistem monopoli perdagangan,
oleh karena itu Sultan Ageng Tirtayasa menerapkan perdagangan bebas.
Sejak kedatangan pedagang Belanda, hubungan Banten dan Belanda
semakin memburuk. Akibat adanya desakan dari Belanda agar Banten
memberikan hal monopoli dagang bagi Belanda. Keinginan Belanda
ditolak oleh Sultan Ageng Tirtaya, karena bertentangan dengan
kebijakan Banten yang menerapkan perdagangan bebas bukan sistem
monopoli yang dapat merugikan Banten.276
Sultan Ageng Tirtayasa merupakan musuh besar Kompeni
Belanda saat Banten tidak menyerahkan hak monopoli dagang kepada
Belanda, sultan mengeluarkan kebijakan untuk memperluas daerah
kekuasaan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa menjalankan ekonomi politik
perdagangan bebas terbuka dan mengusir Belanda dari Batavia,
kebijakan ini dijalankan sama halnya dengan beberapa negara yang
menganut sistem perdagangan bebas seperti di Banten yaitu, Inggris,
Denmark, Surat, Karamandel, Benggala, Siam, Cina, dan Tomkin.277
Sejak pertangahan abad XVII, rongrongan politik
perdagangan dari pihak Kompeni Belanda terhadap Kesultanan Banten
mulai santer, tetapi sebaliknya untuk menanggulangi dan menentangnya
pihak Banten makin meningkatkan kekuatannya. Konflik pertama
Kesultanan Banten sudah di mulai sejak akhir abad XVI, akibat adanya
275 Edi S, Ekadjati, “Kesultanan Banten dan Hubungan dengan Wilayah
Luar”. Makalah, Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra, (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1995), h.22 276 Edi S, Ekadjati“Kesultanan Banten dan Hubungan dengan Wilayah
Luar”… h.22. 277 Kosoh S, dkk, Sejarah Jawa Barat, (Jakarta: Depdikbud, 1979), h. 88
128
ikut campur Belanda dalam urusan ekonomi politik di Kesultanan
Banten, bahkan Belanda telah mendirikan Vereenidge Oost Indische
Compagnie (VOC) pada tahun 1602, dan telah menerapkan monopoli
perdagangan yang tujuan akhirnya untuk penguasaan secara politik
terhadap Kesultanan Banten.278 Akibatnya sejak tahun 1656 terjadi
peperangan yang terus-menerus terutama antara bulan Mei 1653 sampai
Juli 1659 di daerah-daerah perbatasan antara Angke Tangerang, bahkan
juga diperairan Teluk Banten.279
Keadaan tidak kondusif kembali terjadi di Kesultanan Banten
dan mulai memuncak ketika masa Sultan Ageng Tirtayasa. Akibat
adanya ikut campur Belanda hingga menyebabkan perang antara
keduanya yang memakan waktu hampir satu tahun. Adanya perang
tersebut pihak Belanda kerugian yang sangat besar baik benda maupun
jiwa. Ditambah bahwa Belanda memaksa monopoli perdagangan yang
merupakan awal dari pada pemaksaan kolonialismenya. Pada tanggal 10
Juli 1659 diadakanlah perjanjian antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan
Belanda dan disaksikan oleh Kiai Damang Dirade Wangsa dan Kiai
Ingalu Marta Sidana Ang merupakan utusan dari Sultan Jambi.
Dari pihak Belanda diwakili oleh Gubernur Jendral dan dari
pihak Banten ialah sultan beserta pembesar-pembesarnya. Perjanjian
tersebut terdiri dari 12 pasal yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Pertama bahwa telah disetujui dan diputuskan oleh kedua
belah pihak bahwa semua penduduk yang berasal dari Jakarta
yang memasuki daerah sultan baik umum maupun tentara
278 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900… h.
113-115. 279 Uka Tjandrasasmita, Sultan Ageng Musuh Besar Kompeni Belanda,
(Jakarta: Yayasan Kebudayaan Nusalarang, 1967), h. 12-16.
129
tanpa memandang dari keturunan atau bangsa yang selama
peperangan terakhir atau sebelumnya pernah ditangkap oleh
sultan maka akan dikembalikan, seperti halnya oleh
Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia terhadap orang Banten
yang berada di Jakarta, kecuali yang telah disunati dan telah
di Islamkan oleh sultan tidak akan ditahan untuk kembali ke
Jakarta, tetapi dengan kehendak sendiri pergi dari atau tetap
berdiam di Banten tanpa ada yang merintanginya, terutama
mereka yang sekurang-kurangnya telah pergi selama tiga
bulan ke atas dan disunati, tetapi yang disunati baru saja
waktu itu diduga atau masih dala tiga bulan maka oleh sultan
akan dikembalikan atau dibayar kepada sipemiliknya
sehingga mencapai jumlah tertentu yang akan ditaksir, dan ia
yang ada pada masa dibuatnya perjanjanjian ini atau setelah
perantara-perantara dari Jambi yang pertama kali datang dari
Jakarta ke Banten dan memeluk agama Islam seta disunati
maka dengan cara bagaimana pun tanpa kekecualian
hendaknya dikembalikan ke Jakarta baik dengan kemauan
sendiri atau bukan, tanpa pemisah-pemisah sebagaimana juga
tentara yang ke Jakarta dan mereka itu orang-orang Islam.
2. Bahwa Sultan Banten akan menyerahkan kembali semua
lembu dan kerbau yang oleh pihak rakyatnya pernah diambil
dari daerah Jakarta.
3. Bahwa apabila permintaan ini dipenuhi muka kapal-kapal
yang menduduki daerah perairan Banten oleh Gubernur
Jendral dan Dewan Hindia akan dipanggil kembali untuk
membersihkan pelabuhan-pelabuhan tersebut, dan kemudian
130
segala kegiatan yang bersifat permusuhan baik di darat
maupun di laut akan dihentikan dan selanjutnya perdamaian
antara Jakarta dan Banten akan di jaga serta dipelihara agar
berlaku terus menerus.
4. Bahwa Gubernur Jendral dan Dewan Hindia kembali
sebagaimana sediakala untuk terus menerus menepatkan
wakilnya di Banten untuk mengurus kepentingan-
kepentingannya, dan untuk itu akan diduduki suatu tempat
oleh Gubernur Jendral dan tidak disewa. Tetapi juga tempat
tersebut hendaknya setelah dianggap baik.
5. Bahwa sultan akan memberikan perintah dan akan
memelihara sendiri tempat atau rumah itu dan dapat
dipastikan bahwa perwakilan-perwakilan yang tinggal di
sana dapat terjamin keamanannya baik pada waktu malam
atau pun siang, tidak ada orang yang memaki-maki serta
menghina.
6. Beberapa warga dari Jakarta yang menggabungkan diri ke
Banten oleh sultan tidak akan diperngaruhi baik
kepercayaannya ataupun dengan perlakuan apapun, tetapi
hendaknya dilindungi atau ditahan dan diserahkan kembali
baik mengenai orang-orang biasa maupun tentara tanpa
pemisah kebangsaannya atau perorangannya. Seperti halnya
Gubernur Jendral dan Dewan Hindia dipihak lain akan
demikian.
7. Oleh karena sewaktu-waktu ternyata barang-barang
kebanyakan dicuri atau dilarang, dan para pedagang dari
Jakarta dipaksa ke Banten sehingga menimbulkan kerusakan
131
dan banyak kerugian bagi Kompeni Belanda dan yang
bertempat tinggal di Jakarta demikian pula seperti halnya
dengan perwakilan-perwakilan yang ada di Banten,
hendaknya dijanjikan bahwa semua kapal-kapal dari Jakarta
yang datang di Banten untuk berkunjung dan ternyata ada
barang-barang yang dicuri atau dilarang masuk atau juga
ditahan maka dapat diambil kembali tanpa ada perlawanan
dari seseorang. Tetapi abdi-abdi dari sultan hendaknya
ditahan dan dalam hal ini dimohon bantuannya agar barang-
barang yang dicuri atau dilarang itu ditahan, kemudian
dikembalikan di Jakarta meskipun barang-barang itu tidak
termasuk barang-barang yang kena cukai.
8. Untuk kapal-kapal yang melewati yang akan mengganti air
dan dipesan oleh perwakilannya tidak akan dikenakan wajib
membayar cukai pelabuhan seperti biasanya sejak masa-masa
lampau.
9. Kemudian dijanjikan serta diputuskan bahwa batas pemisah
daerah antara Banten dan Jakarta ialah sungai Untung Jawa
dari laut hingga darat melalui pegunungan.
10. Dan oleh karena semua penduduk dari kedua belah pihaknya
harus ada ketenangan dari gangguan pembunuhan serta
perampokan yang jahat dihutan-hutan atau dipegunungan
maka orang dari Banten tidak diperkenankan datang di
daerah Jakarta bahkan juga sungai-sungai dan anak-anak
sungainya, kecuali yang termasuk orang-orang Banten
sendiri atau karena keadaan darurat, atau kesemuanya itu
akan dianggap musuh, akan ditangkap atau dibunuh tanpa
132
terjadi permutusan perdamain ini. Akan tetapi mengenai
sungai Untung Jawa karena terutama telah dimengerti serta
diputuskan bahwa dapat dilayari dan dipergunakan baik oleh
penduduk Banten maupun penduduk Jakarta, akan tetapi
sekurang-kurangnya akan mendapat keterangan dari
Gubernur Jendral dan Dewan Hindia dan dari sultan juga
perwakilan Belanda yang oleh Gubernur Jendral dan Dewan
Hindia diperintahkan ke Banten untuk memberitakan sesuatu
di sana, dan hendaknya hal-hal yang baik dipisahkan daripada
yang jahat-jahat.
11. Dan karena pasal-pasal ini dilakukan dengan rasa keagamaan
maka hendaknya ditandatangani oleh Gubernur Jendral dan
Dewan Hindia disatu pihak dan oleh Paduka Sri Sultan dan
pembesar-pembesar Banten dipihak lain.
12. Dan perjanjian perdamain ini akan dipelihara baik-baik dan
diteruskan tidak hanya pada waktu Gubernur Jendral dan
Dewan Hindia yang sekarang saja juga tidak hanya pada
waktu Paduka Sri Sultan dan pembesar-pembesar Banten
yang sekarang saja, tetapi juga pengganti-pengganti yang
terhormat dan turunan-turunannya.280
Meskipun baru saja tanggal 10 Juli 1659 terjadi perjanjian
dan perdamain namun, Sultan Ageng Tirtayasa menganggap perlu
kewaspadaan dalam menghadapi masa yang akan datang bila terjadi
sewaktu-waktu perang dan pertempuran. Untuk peperangan tersebut
280 Manuscript perjanjian Banten dan Belanda. Renovatie Van De Acte
Obligator. Kode Arsip Bantam 66,67,68, Koleksi Arsip Nasional (ANRI). Di akses
pada tanggal 22 November 2018. Lihat terjemahan dalam Uka Tjandrasasmita, Sultan
Ageng Musuh Besar Kompeni Belanda... h. 24-26.
133
Kesultanan Banten memperkuat pasukan-pasukan dengan daerah-daerah
sekitarnya, Kesultanan Banten mengadakan hubungan dengan berbagai
negara seperti, India, Mongol, Arab, dan Inggris. Utusan dari Kesultanan
Banten ke negeri Inggris terjadi pada tanggal 10 November 1681 dengan
rombongan yang dipimpin oleh Ngabehi Naya Wipraya dan Jaya
Sendana. Pengiriman utusan tersebut bukan hanya untuk persahabatan
semata tetapi juga dalam usaha meminta bantuan persenjataan.281
Selain dari perjanjian yang telah disepakati di atas, sultan
Ageng pun membuat beberapa kebijakan ekonomi politik yang di buat
untuk para pedagangan, adapun kebijakan mengenai ekonomi politik
diantaranya:
1. Kegiatan ekonomi yang menguntungkan semua pihak dengan
cara tetap menghidupkan perdagangan, tetapi diperkuat
dengan ketahan pangan dalam negeri.282
2. Memajukan perdagangan Banten dengan meluaskan daerah
kekuasaan.
3. Mengusir Belanda atau kompeni dari Batavia, karena
Belanda dianggap sebagai musuh yang menyebabkan
kemunduran Kesultanan Banten.
Segala kebijakan yang di buat sultan dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat Banten.283
Sumber daya alam yang subur sangat berpotensi untuk
mengembangkan sektor pertanian dan perkebunan. Sultan membuat
sistem irigasi dan kanal-kanal. Selain pertanian dari hasil perkebunan
281 Uka Tjandrasasmita, Sultan Ageng Musuh Besar Kompeni Belanda... h. 26. 282 Ragam Pustaka Budaya Banten… h. 27. 283 Heru Erwanto, Kota dan Kabupaten dalam Lintasan, (Sumedang: Al-
Quprin Djatingangor, 2006), h. 40, 348.
134
seperti kelapa dan lada menjadi komoditas yang ditingkatkan oleh sultan
untuk menopang perdagangan. Untuk melaksanakan kebijakan tersebut
maka Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan pemindahan dan
pembuatan pemukiman baru diperkebunan baru tersebut. Pemindahan
tersebut mencapai 5000 orang laki-laki yang sehat disertai keluarga
mereka. Jumlah ini merupakan jumlah yang sangat besar sehingga
memerlukan pemukiman baru untuk menopangnya.284
Selain kebijakan yang tersebut di atas, adapun kebijakan
lainnya yang dilakukan sultan untuk membangun perekonomian yang
baik bagi penduduk Banten, Kesultanan Banten diantaranya
mengadakan hubungan diplomasi dengan bangsa-bangsa lain semakin
ditingkatkan, pengembangan sumber daya pengairan/sistem irigasi,
mengembangkan tanaman lada dan kelapa diseluruh daerah
kekuasaannya, dan ekspor hasil pertanian. Dari usaha-usaha dan
kewajiban yang diterapkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa membuat
Banten menjadi kota yang besar dan makmur dan mencapai puncak
keemasan disepanjang pertengahan abad XVII dan menjadikan Banten
sebagai pelabuhan internasional yang ramai di kunjungi oleh para
pedagang asing.285
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan
Banten puncak keemasan mulai menurun di akhir abad XVII. Perebutan
kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan putranya
Sultan Haji, dimanfaatkan oleh Belanda untuk memecah belah diantara
keduanya. Selain memanfaatkan situasi tersebut, pokok pertikaian antara
Kesultanan Banten dengan Kompeni Belanda adalah masalah
284 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 156. 285 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 156
135
perdagangan, pihak Kompeni Belanda selalu mencegah perdagangan
dari Kesultanan Banten dengan daerah tersebut karena keinginan untuk
monopolinya. Sejak pertengahan abad XVII Kesultanan Banten
merupakan pintu gerbang masuknya barang perdagangan dari dan ke
Kepulauan Nusantara.286
Perang saudara yang berlangsung di Kesultanan Banten
meninggalkan ketidakstabilan pemerintah masa berikutnya. Konflik
antara keturunan penguasa Banten maupun gejolak ketidakpuasan
masyarakat Banten atas ikut campurnya Belanda dalam urusan Banten.
Maka Kesultanan Banten pada akhirnya dikuasai oleh Belanda.
Kedaulatan Kesultanan Banten sangat penting bagi sebuah
negara, sebab perdagangan bebas hanya dapat terjadi jika negara tersebut
dapat dengan bebas berhubungan dengan negara lain tanpa melalui pihak
ketiga. Pihak ketiga di sini adalah penguasa teratas dari sebuah negara
atau wilayah. VOC setelah tahun 1684, menjadi pihak ketiga dari
Banten, karena tindakannya sebagai penguasa di atas Banten. Ketika
Kesultanan Banten jatuh ke tangan VOC, akibatnya VOC menjalankan
monopoli perdagangan rempah-rempah di Kesultanan Banten di tahun
1684, dan setelah jatuhnya Banten di tahun 1684, ternyata tidak berarti
apa-apa terhadap perdagangan rempah-rempah terutama lada dan
cengkeh di Hindia Timur 287
Harga yang ditawarkan oleh VOC ke pasar Eropa, cenderung
terus menurun. Produksi lada dan cengkeh masih terus dikuasai oleh
286 Uka Tjandrasasmita, Banten Abad XV-XXI: Pencapaian Gemilang
Penorehan Menjelang, (Jakarta, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan: Badan
Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2011), h. 90-91 287 J. R. Bruijn, F. S. Gaastra, Ivo Schoffer, Dutch Asiatic Shipping in the 17th
and 18 Centuries. (The Hague: Martinus Nijhoff, 1987), h. 22.
136
pedagang gelap Banten di Lampung, dengan mengirimkannya ke
Bengkulu dan Inggris melalui jalur darat tanpa harus ke Banten dahulu,
lagi pula Inggris (EIC) juga telah berhasil menanam cengkeh di Hindia
Barat dan menjualnya langsung ke Eropa, dengan harga yang lebih
murah dari yang ditawarkan oleh VOC.288
Menggeliatnya masalah-masalah ekonomi politik dalam
Kesultanan Banten terjadi di awal abad XVII hingga akhir abad tersebut.
Masalah-masalah ditimbulkan karena adanya intervensi dari VOC dalam
Kesultanan Banten. Hal tersebut diperparah saat Sultan Haji menjabat
sebagai raja menggantikan Sultan Ageng Tirtayasa yang ditangkap oleh
VOC. Kedaulatan runtuh dengan ditanda tanganinya perjanjian pada
tanggal 17 April 1684 yang terdiri atas 10 pasal utama yang terpaksa
harus diterima dengan segala konsekuensinya.289 Perjanjian yang
ditandatangani dan disepakati antara Kesultanan Banten yang diwakili
oleh Sultan Haji dan VOC pada tanggal 17 April 1684, menghasilkan
beberapa poin penting, yang diperbarui dari perjanjian di tahun 1659.290
yaitu:
1. Agar Banten mematuhi kesepakatan yang telah dibuat di
tahun 1659, dengan tambahan menjaga ketentraman di pulau
Jawa. Kesepakatan yang ada, Banten tidak boleh membantu
pihak manapun musuh VOC.
2. Agar penduduk Banten dan juga Batavia-VOC tidak boleh
melewati tapal batas yang telah disepakati.
288 Halwany Michrob, A. Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten… h.
166. 289 Nina. H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama dan
Jawara… h. 56. 290 Uka Tjandrasasmita, Sultan Ageng Musuh Besar Kompeni Belanda... h. 59.
137
3. Tapal batas disepakati berada di sepanjang timur sungai
Cisadane, hingga ke pesisir selatan Jawa.
4. Kapal milik Banten atau VOC jika mengalami kerusakan di
Jawa dan Sumatera, harus segera ditolong dan dilindungi
penumpang maupun muatannya.
5. Kerugian akibat perampokan dan kerusakan yang terjadi
selama periode perjanjian 1659, hingga berakhirnya Perang
dengan Banten tahun 1684 sebesar 12.000 rijksdaalder, harus
diganti oleh Sultan Banten.
6. Setiap pelaku Perang Banten harus dihukum sesuai yurisdiksi
VOC, dimanapun dia berada, baik di Banten maupun di
wilayah kekuasaan VOC.
7. Kekuasaan Cirebon tidak dapat lagi diklaim oleh Banten.
8. VOC bebas membayar hutang terhadap Banten dan berbagai
macam sewa yang dibebankan Banten kepada VOC,
sebagaimana perjanjian di tahun 1659.
9. Sultan Banten dilarang mengadakan kesepakatan apapun dan
dengan pihak manapun di luar VOC.
10. Seluruh keturunan Sultan Banten harus mematuhi keputusan
dan kesepakatan perjanjian ini.291
Selain dari perjanjian yang telah disepakati, Banten pun
membuat beberapa kebijakan yang di buat pada masa Sultan Haji untuk
para pedagangan terutama VOC, adapun kebijakan mengenai ekonomi
politik terdapat dalam beberapa pasal diantaranya:
291 Yosep Iskandar, Sejarah Banten dari Masa Nirleka (Prasejarah) Hingga
Akhir Masa Kejayaan Kesultanan Banten (Abad ke-17), (Jakarta; Tryana Sjam’un Corp
2001), h. 190-195.
138
Penderitaan rakyat semakin berat sejak ditandatanganinya
perjajian, VOC telah menguasi Kesultanan Banten. Kesultanan harus
membayar biaya perang dengan pajak yang tinggi. Monopoli
perdagangan kompeni yang memaksa rakyat untuk menjual hasil
pertaniannya, terutama lada dan cengkeh, kepala kompeni melalui
pegawai kesultanan yang ditunjuk dengan harga yang sangat rendah.
Pedagang yang membantu Sultan Ageng Tirtayasa dalam perang lalu,
diusir dari Banten.292
Pada perjanjian tahun 1684, Kesultanan Banten harus
melepaskan daerahnya seperti. Tangerang Timur, Priangan Barat dan
kepulauan Untung Jawa di bagian barat Batavia. Daerah-daerah tersebut
umumnya adalah jaringan kubu pertahanan Banten dalam persiapan
menghadapi VOC.293
Wilayah-wilayah yang diduduki oleh VOC dari banten,
adalah wilayah-wilayah yang strategis dan memberi keuntungan ganda
bagi VOC. Aspek strategis, terutama berkaitan dengan aspek pertahanan.
VOC kemudian mendirikan kubu-kubu pertahanan di sekitar wilayah
Bogor dan Tangerang. VOC terutama mendirikan sebuah benteng
bernama Diamant di pinggir sungai Cisadane di kota Tangerang. Selain
itu, VOC menduduki wilayah Lampung dan pulau-pulau di Selat Sunda.
Lampung sebelumnya adalah sebagai penghasil utama lada bagi Banten,
sedangkan pulau-pulau di Selat Sunda sebagai benteng pertahanan VOC,
292 Halwany Michrob, A. Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten… h.
163. 293 Hasan Ambary, dkk, Naskah Sejarah Kerajaan Banten dan Pemerintahan
Serang dari Masa ke Masa, Bab III. (Serang: Panitia Hari Jadi Pemerintahan Daerah
Serang, 1984), h. 24.
139
untuk mencegah kapal-kapal asing saingan VOC memasuki Banten
kembali.294
Setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal dunia, prestise
Banten merosot tajam karena perebutan kekuasaan di antara keluarga
Sultan yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperluas pengaruh
mereka dalam mengintervensi kesultanan. Peristiwa tahun 1682,
Belanda mengirim pasukan ke Banten pada bulan Maret telah lama
dianggap sebagai titik krusial dalam sejarah Banten karena hilangnya
kemerdekaan diplomatik kesultanan dan basis kemakmuran
ekonominya.295
2. Sistem Perdagangan Bebas (Tertutup)
Ekonomi Politik yang dijalankan oleh Kesultanan Banten
mengalami perubahan saat Sultan Maulana Yusuf meninggal dunia pada
akhir abad XVI, dengan terbaginya kelompok terkemuka dalam
masyarakat menjadi dua, yaitu kaum bangsawan dan kaum pedagang.
Hal ini mengakibatkan sistem perdagangan bebas terbuka menjadi
tertutup.
Perubahan kebijakan ekonomi politik ini berlanjut hingga
masa pemerintahan sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdulkadir yang
diwakili oleh Pangeran Ranamanggala. Sebelum Ranamanggala
menjabat sebagai wali raja, kedudukan wali dipegang oleh ayah tiri
sultan Abdul Mufakhir yang saat itu membawa kondisi perekonomian
Banten menjadi tidak kondusif, akibatnya perdagangan Banten
294 J. R. Bruijn, F. S. Gaastra, Ivo Schoffer, Dutch Asiatic Shipping in the 17th
and 18 Centuries… h. 112. 295 Yanwar Pribadi, “Dinamika Hubungan Sosial Keagamaan pada
Masyarakat Nelayan di Karangantu Banten”, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran
Islam. Volume 7, Nomor 1, Juni 2017, h. 204.
140
mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan adanya pemberontakan
yang disebut “pailir”.296
Setelah itu, wali raja diserahkan kepada Pangeran
Ranamanggala yang menjadikan Banten aman. Namun, dengan
kebijakan ekonomi barunya membuat keresahan para pedagangan
pribumi dan mancanegara. Periode perwalian ini berlangsung cukup
lama, sekurang-kurangnya telah dua kali pergantian, dan memberi
peluang pada golongan punggawa untuk mengambil peran dalam
ekonomi politik di Banten. Tetapi banyak para bangsawan menganggap
perdagangan hanya menguntungkan orang asing. Beberapa dari
bangsawan mencoba untuk mengambil kekuasaan kepemimpinan
Pangeran Ranamanggala yang mengganggap perdagangan lada sebagai
sumber konflik dan bahkan penyebab utama perang saudara di Banten.297
Sejak keberhasilan memegang jabatan wali raja, Pangeran
Ranamanggala membuat sebuah kebijakan ekonomi politik dengan
memutuskan untuk menghentikan semua kegiatan perdagangan bebas
terbuka diseluruh teritorial Banten dan mewajibkan penduduk untuk
kembali menanam padi dan umbi-umbian akibat ketidakmampuan
negara mengekspor beras. Keputusan yang tidak populis ini dirasakan
akibatnya oleh seluruh populasi Banten, karena dengan perintahnya agar
memusnahkan tanaman lada.
Menghadapi kebijakan tersebut, dan akibat yang
ditimbulkan, seluruh elemen masyarakat menuntut Ranamanggala
segera melepaskan jabatan sebagai wali raja dengan harapan Kesultanan
296 Halwany Michrob, A. Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten… h.
97. 297 Ragam Pustaka Budaya Banten, (Balai Penelitian Peninggalan Purbakala
Serang, 2005), h. 20.
141
Banten dapat kembali kepada kebijakan ekonomi politik lama. Beberapa
pedagang tidak sanggup lagi untuk mengikuti perubahan-perubahan
yang begitu radikal. Kesengsaraan penduduk dan diperparah dengan
adanya epidemik298 yang melanda Banten di tahun 1625. Situasi politik
semakin memburuk, ditambah dengan adanya blokade jalur laut oleh
Belanda untuk memastikan perjanjian monopoli dan adanya tekanan dari
Mataram dengan politik unifikasi,299 seluruh Jawa yang menuntut
pengakuan Banten atas kedaulatan raja Jawa tahun 1626.300
Krisis kepercayaan segera dialami pemerintah Kesultanan
Banten, seperti ditandai dengan pengabaian untuk menanam lada
kembali. Sebagian besar penduduk sudah terlanjur melanjutkan usaha
pertanian mereka dengan mencoba membuka lahan baru dan irigasi
untuk padi dan tebu. Anjuran pemerintah untuk kembali menanam lada
menjadi tidak efektif. Tetapi pada tahun 1636 pemerintah mengeluarkan
kebijakan untuk mewajibkan menanam lada.301
Sudah jelas bahwa tujuan utama perubahan-perubahan yang
dilakukan oleh Ranamanggala pada aparat negara adalah membentuk
298 Epidemik adalah keadaan dimana suatu masalah kesehatan (umumnya
penyakit) yang ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam waktu yang singkat berada
dalam frekuensi yang meningkat. Epidemik bisa timbul dari masalah kesehatan baru
yang menjangkiti suatu populasi manusia di suatu daerah, dalam suatu periode waktu
tertentu, dengan laju yang melampaui perkiraan berdasarkan pengalaman mutakhir.
Bisa juga masalah kesehatan yang telah lama ada tetapi pada suatu saat meningkat
dengan cepat. Dengan kata lain, epidemik adalah wabah yang terjadi secara lebih cepat
daripada yang diduga. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jilid II, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1991), h. 267. 299 Politik unifikasi adalah suatu langkah penyeragaman hukum atau
penyatuan suatu hukum untuk diberlakukan bagi seluruh bangsa disuatu wilayah negara
tertentu sebagai hukum nasional di negara tersebut. . Lihat Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jilid II… h. 1106. 300 Claude Guillot, Libre Entreprise Contre Economie Dirigee, Guerres
Civiles a Banten 1580-1603, Archipel, No. 43. 1992. 301 Ragam Pustaka Budaya Banten… h. 21.
142
sebuah struktur yang dapat menerapkan peraturan-peraturan perubahan
sistem perdagangan tersebut. Salah satu keputusan Ranamanggala selain
menghapus perdagangan bebas terbuka adalah dengan menaikkan secara
seksama berbagai pajak, bea dan cukai untuk semua transaksi
perdagangan. Hal ini merupakan strategi guna mendapatkan keuntungan
yang lebih besar dari perdagangan. Berbeda halnya pada masa
sebelumnya yang menerapkan perpajakan yang rendah guna menarik
pedagang-pedagang dan mengembangkan pedagangan di Banten.302
Kenaikan pajak itu langsung membuat pedagang-pedagang bergolak,
khususnya orang Inggris dan Belanda, yang betul-betul merencanakan
sejak waktu itu untuk meninggalkan Banten.
Hal itu sama sekali tidak meresahkan Ranamanggala yang
melanjutkan politiknya dengan merubah peraturan tersebut. Belanda
menyebut Banten sebagai pasar bebas yang menaati hanya pada satu-
satunya peraturan permintaan dan penawaran. Pembeli-pembeli
langsung menghubungi pedagang besar untuk memperoleh barang
dagangan yang mereka perlukan terutama dari para pedagang Cina.
Pemerintah bertugas hanya sebagai penengah untuk menyelesaikan
perselisihan yang mungkin terjadi antara para pedagang.303
Fluktuasi harga yang besar, mengikuti tersedianya stok dan
uang yang terus menerus dikeluhkan oleh orang-orang Eropa. Hal ini
membuktikan juga betapa bebasnya sistem perdagangan di Banten.
Kebebasan juga dimiliki oleh pembeli untuk memasok barang dagang
mereka dari berbagai daerah di Banten. Dengan adanya sistem kebijakan
302 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 215. 303 De Jonge, De Opkomst Van Het Nederlandsch Gezag in Oost-Indie, Jilid
8, (S’gravenhage: Martinus Nijhoff, 1875), h. 4.
143
bebas ini membuat para pangeran dan Ranamanggala ingin
mengakhirinya dengan mengadakan pengawasan negara yang
sebenarnya.
Pemerintahan Kesultanan Banten bersifat otokratik,304
kekuasaan raja bisa dibilang tidak terbatas. Oleh karena itu raja berhak
memainkan ekonomi politiknya berdasarkan kebijakan-kebijakan yang
telah dibuatnya. Namun, dalam bidang pertahanan dewanlah yang
membuat keputusan-keputusan penting. Tetapi dipertengahan abad XVII
sistem ini kemudian ditinggalkan. Pergolakan yang terjadi di abad XVI
ketika pergantian raja dari Sultan Maulana Yusuf ke Maulana
Muhammad merupakan sebuah tradisi yang tidak memiliki kekuatan
hukum, sehingga pergantian raja dengan demikian menjadi sumber
pertikaian di dalam istana.305
Secara umum penempatan pada sebagian besar pejabat yang
berada di bawah kendali Kesultanan Banten tidak didasarkan kepada
keahlian dalam jabatan birokrasi, tetapi lebih didasarkan kepada ikatan-
ikatan kekerabatan dengan sultan atau elite birokrasi. Kedekatan karena
keturunan sebuah keuntungan dan memudahkan orang memperoleh
jabatan-jabatan di lingkungan kesultanan.
Kondisi yang tidak kondusif juga terjadi di luar istana, akibat
adanya perekonomian yang makmur di Banten, sehingga Banten menjadi
incaran dari negeri-negeri tetangganya yang kuat. Dengan adanya situasi
politik seperti itu Banten memanfaatkan kondisi yang sangat
304 Otokratik adalah pemerintahan atau pemimpin yang menghendaki segala
kebijakan dan keputusan dari sebuah oraganisasi ada ditangannya. Bawahan hanyalah
sebatas pelaksana tugas atau pelaksana seluruh perintah atasan yang bersifat harus
ditaati dan tanpa ketaatan dapat dikatakan sebagai bentuk pembangkangan. 305 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 214.
144
menguntungkan selama akhir abad XVI hingga abad XVII, yaitu dengan
tetap pada posisi bertahan untuk siap-siap menghadapi serangan dari dua
belah pihak, yaitu Kerajaan Mataram dan Belanda. Kerajaan Mataram
yang ingin menyatukan seluruh Pulau Jawa di bawah kekuasaannya, dan
Belanda yang telah melakukan pengepungan di depan Pelabuhan Banten
guna mencegah seluruh perniagaan internasional.306
Banten yang terus bersiaga dengan kondisi politik seperti ini
hanya dapat melakukan serangan gerilya disepanjang perbatasan
terhadap kapal-kapal Belanda. Sedangkan pada tahun 1629 dan 1630
Kerajaan Mataram melakukan penyerangan ke pesisir Utara bagian Barat
Jawa termasuk Banten. Terjadi pertempuran di Timur Banten dengan
Kerajaan Mataram yang pada akhirnya pertempuran tersebut
dimenangkan oleh Kesultanan Banten.307
Kesultanan Banten pada awal abad XVII dapat digambarkan
dengan adanya perubahan-perubahan dalam pemerintahan maupun
perekonomiannya, yang pertama dilakukan dalam perubahan
pembentukan pemerintahan baru. Sistem ini diawali dengan sistem
nepotisme, karena diawal abad XVII ini Kesultanan Banten masih
dipegang oleh tiga pangeran dan tiga saudara laki-laki yang sepenuhnya
mengawasi jalannya pemerintahan. Pengangkatan tiga pangeran tersebut
merupakan anak laki-laki dari Sultan Maulan Yusuf, sedangkan tiga
saudara laki-laki merupakan saudara dari wali raja yang diangkatnya
sebagai Tumenggung, hal ini dilakukan oleh wali raja yang baru, karena
306 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 208 307 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 208.
145
ingin memisahkan diri dari kebijakan Ponggawa dan melakukan
perubahan ke arah yang lebih radikal.308
Pangeran yang diangkat oleh wali raja ini tentu saja dikepalai
oleh seorang raja yang bergelar Pengeran Ratu sampai tahun 1638, ketika
ia mengambil gelar sultan. Keadaan tersebut yang bersifat mendua,
tercermin di puncak pemerintahan negara dalam dua Perdana Menteri.
Guillot juga menjelaskan dua Perdana Menteri tersebut adalah Perdana
Menteri “urusan dalam” dan Perdana Menteri “urusan luar”. Perdana
Menteri Bangsawan lebih tinggi tingkatannya, walaupun kurang
berkuasa dalam praktiknya. Ia pada umumnya adalah seorang anggota
keluarga raja sangat dekat dengan yang bertindak sebagai penasihat
utama raja. Selain itu, ia menyelesaikan segala urusan kaum bangsawan.
Nama patih jero (Perdana Menteri “urusan dalam”) yang
diberikan kepadanya dilain tempat, jelas bahwa ia benar-benar
menangani urusan-urusan dalam istana dan keluarga raja. Di Banten ia
bergelar Mangkubumi dan memiliki nama panggilan Pengeran Pepatih
atau Upapatih. Perdana Menteri kedua, Patih Jaba “urusan luar”, berasal
dari bukan bangsawan dan menangani segala urusan, sepanjang tidak
berhubungan dengan kaum bangsawan. Dapat diartikan bahwa ia
mempunyai antara lain kewenangan mengenai orang asing, jadi
mengenai perdagangan, dan kekuasaannya sangat besar.309 Syahbandar,
tandha (duane), dan andamohi (juru runding) maupun juru dacin
(penanggung jawab timbangan) dan eluruh pejabat pelabuhan itu berada
di bawah jurudiksinya.310
308 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 124. 309 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 109. 310 Moh. Ali fadilah, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten,
dalam Ragam Pustaka Budaya Banten… h. 19.
146
Setelah perubahan dalam sistem pemerintahan, dilanjutkan
dengan adanya perubahan dalam peraturan perdagangan. Dalam
peraturan perdagangan tersebut dibuatlah kebijakan baru dengan
menghapus sistem perdagangan bebas terbuka. Setiap pedagang kini
dilarang untuk melakukan pembelian secara langsung dan bebas ke
pedagang lainnya, tetapi harus melalui Kesultanan Banten terlebih
dahulu. Karena kebijakan tersebut dipegang sepenuhnya oleh para
pangeran khususnya Ranamanggala. Dengan adanya perubahan yang
terjadi menimbulkan kemarahan yang begitu besar dari para pedagang di
Banten, terutama orang Tionghoa. Akibat dari kemarahan dan tekanan
dari para pedagangan di Banten saat itu, akhirnya para pangeran dan
Ranamanggala terpaksa meninggalkan jabatannya dan menyerahkan
kekuasaannya kepada putra mahkota.311
Dualisme politik ini terbukti menjadi salah satu titik lemah
Kesultanan Banten dalam menghadapi berbagai persoalan ekonomi.
Pada intinya berbenturan kepentingan dipicu oleh tarik-menarik dua
isme, yaitu nasionalisme dan internasionalisme, antara konservatisme312
dan liberalisme, antara pribumi dan non-pribumi. Dualisme kepentingan
itu tampak nyata ditunjukan oleh permainan peran figur-figur yang
saling beroposisi. Samentara yang mempresentasikan feodalisme adalah
petani sebagai pemegang kekuasaan dan ponggawa yang
mempresentasikan orang biasa yang mendominasi kekuaatan ekonomi
311 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 128. 312 Konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai
tradisional.
147
negara pada sistem birokrasi di Kesultanan Banten sesuai dengan
kompetensinya.313
Pada bulan Januari 1624, masa perwalian sultan berakhir dan
Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdulkadir diangkat sultan Banten.
Saat menjabat sebagai sultan, ia mengembalikan kebijakan ekonomi
politik dan perdagangan bebas seperti sediakala yang sudah dilakukan
oleh para pendaahulunya. Sultan Abdul Mufakhir dikenal sebagai sultan
yang memperhatikan kepentingan rakyatnya terutama dalam bidang
ekonomi, dan sultan pun berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan
negara-nagara lainnya terutama negara Islam.
Sultan Banten tidak hanya memiliki kekuasaan politik, tetapi
juga memiliki kekuasaan ekonomi, terbukti dengan besarnya andil sultan
dalam perdagangan di pasar perdagangan bebas yang menjadi sumber
dana bagi negara adalah upeti yang merupakan kewajiban dari rakyat dan
bawahannya kepada sultan. Kegiatan perdagangan merupakan sumber
ekonomi terbesar bagi kesultanan, karena sultan memiliki hak
prerogratif314 untuk melakukan monopoli perdagangan.
B. Komoditas Buka-Tutup Perdagangan Bebas
Komoditas perdagangan bebas di Banten terjadi pada berbagai
rempah-rempah terutama lada, beras, gula, dan lainnya. Hal ini terlihat
pada pedagang bebas Belanda dan pedagangan Cina memperlihatkan
aktivitas yang cukup besar di Banten, tetapi Perusahaan Inggris jarang
313 Moh. Ali fadilah, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten,
dalam Ragam Pustaka Budaya Banten… h. 19 314 Hak prerogratif adalah hak istimewa yang dipunyai oleh kepala negara
mengenai hukum dan undang-undang di luar kekuasaan badan-badan perwakilan. Lihat
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jilid II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 787.
148
melakukan upaya untuk bersaing dengan lada di sana kecuali pabrik-
pabrik Hindia lainnya gagal menghasilkan pasokan yang diharapkan.
Perdagangan bebas ini diawali oleh para pedagang Cina yang
mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam perekonomian di
Nusantara terutama Banten. Di Banten para pedagang Cina diberi
kesempatan besar dalam perdagangan lada. Sebagai bandar perniagaan,
budidaya lada digalakkan oleh tumbuhya permintaan dari pedagang-
pedagang Cina. Oleh karena itu kota Banten juga menjadi jalan keluar
produksi lada.315
Terbentuknya perdagangan bebas di Banten menimbulkan
komoditi utama yang dihasilkan Banten yaitu lada. Mengenai lada
Banten Tome Pires juga menuliskan “lada Banten lebih baik ketimbang
Cochin (India), (produksinya) lebih dari 1000 bahar setiap tahunnya.
Lada panjang dan asam melimpah, cukup dimuat seribu kapal”.
Pelabuhan lada antara lain Banten, Pontang, dan Chigede.316
Melimpahnya lada di pesisir utara Jawa ini juga tampak dalam
perjanjian antara Portugis dan Sunda pada tahun 1522 yang dilakukan
oleh Henrique Leme dengan penguasa Sunda sebelum adanya
perdagangan bebas. Raja Sunda memberi hak kepada Portugis untuk
membangun benteng, membantu untuk melindungi dari serangan Islam.
Sebagai imbalan Raja Sunda menyediakan seribu karung lada atau 160
bahar tiap tahunnya. Perjanjian yang diduga dilakukan di Banten ini
315 Leonard Blusse, Persekutuan Aneh Pemukim Cina Wanita Peranakan dan.
BeIanda di Batavia VOC, (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 71. 316 Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires an Account of The
East. Seri II, Jilid XXXIX & XL, (London: Hakluyt Society, 1944), h.166.
149
tidak pernah terlaksana, karena ketika Francisco de Sa datang kembali
tahun 1527, pelabuhan Banten sudah dikuasai oleh Islam.317
Ekspor lada pada perdagangan bebas di Banten memiliki daya
tarik yang kuat sehingga mendorong Portugis harus menjalin kerjasama
dengan Banten guna menciptakan perdagangan bebas yang ramai.
Ukuran berat dalam menimbang lada pada saat itu adalah bahar. 1 bahar
setara dengan 3 picol, sedangkan 1 picol sama dengan 60 kilogram. Jadi,
timbangan berat yang digunakan dalam perdagangan bebas ini berkisar
pada berat 1 bahar lada adalah 3x 60 kilogram yakni 180 kilogram.318
Perdagangan bebas di Banten memberikan keuntungan bagi
pedagang Inggris. Harga lada di Jambi berkisar pada 5/52 real per picol
(132 lbs).319 Harga lada Jambi lebih murah di bandingkan dengan harga
di Banten, karenanya perusahaan Inggris berinvestasi dengan menjual
lada dari Jambi di Bantendengan harga pasaran di telah ditetapkan di
Banten. Sehingga Inggris memperoleh keuntungan yang besar dan dapat
mengurangi kerugian akibat pengangkutan lada dari Jambi ke Banten.320
Perubahan kebijakan perdagangan bebas, tentu saja membawa
perubahan orientasi ekonomi yang diaplikasikan secara brutal itu
membawa konsekuensi dramatis terhadap populasi secara keseluruhan.
Dalam beberapa tahun, produksi lada menurun tajam meskipun sejumlah
petani masih tetap menjual lada secara sembunyi-sembunyi, tetapi harga
317 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 69. 318 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi, (Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia, 2007), h. 26. 319 1 lbs= 0.45 kg, jadi 132 lbs= 59.874kg berat lada dari Jambi, di akses dari
https://www.metric-conversions.org/id/berat/pon-ke-kilogram.htm. Tanggal 17 April
2019, pukul 15.00 wib. 320 David Kenneth Bassett, B. A, The Factory of the English East India
Company at Bantam, 1602-1682. Disertasi, (London, 1955), h. 98.
150
lada dipasaran sangat rendah. Harga lada per karung bisa mencapai 5,5
hingga 6,5 real di awal abad XVII. Namun, setahun setelah kampanye
pencabutan pohon lada, harga lada jatuh mencapai 0,75 real, bahkan tiga
tahun kemudian hanya 0,5 real per karung. Akibatnya sangat fatal,
sekitar 6000 pedagang meninggalkan Banten dan mencoba membangun
perdagangan di Batavia yang baru saja dibangun oleh VOC.321
Perdagangan bebas menyebabkan pengaruh Banten di Lampung,
membuat Banten memperluas kewenangannya di sana untuk
mendapatkan control atas perdagangan lada. Banten adalah salah satu
kekuatan perdagangan yang terkemuka dan memperoleh sebagian besar
pendapatannya dari perdagangan lada. Sultan Banten mempertahankan
kontrolnya atas rempah-rempah yang menguntungkan ini dengan
menunjuk represent orang-orang pribumi yang datang untuk membentuk
hirarki penguasa yang relatif terpusat yang berada di sana wilayah pesisir
dan pelabuhan Lampung untuk memantau pengiriman dan menyimpan
mengawasi para penyelundup dan penyadap lainnya. Sultan setuju untuk
membeli semua lada yang dikirim dengan harga tertentu, meskipun
mengklaim 11%, minimal, sebagai upeti kerajaannya.322
Kartika VOC mulai kegiatannya di Nusantara terutama di
Banten, dihadapinya suatu dunia perdagangan inernasional dengan
sistem perdagangan bebas terbuka. Peraturan jual beli, proses tawar
menawar, penentuan harga mengikuti pola pergerakan pasar.
Perdagangan rempah-rempah menempati kedudukan yang utama, akan
321 Claude Guillot, La Politique Vivriere Du Sultan Agung, Archipel, no. 50.
1995. h. 105. 322 Jeff Kingston, “Securing Sumatra's Pepper Peripheral: Resistance and
Pacification in Lampung during the 18th and 19th Centuries”. Jurnal Asia Tenggara-
Sejarah dan Budaya. No. 19, 1990, h. 78.
151
tetapi komoditas lain seperti perdagangan beras, gula, sagu, kain dan
sebagainya, merupakan penunjang dalam kegiatan perdagangan
tersebut.323
Banten bahkan juga dapat menjual berasnya ke luar negeri, tanpa
harus lagi menjualnya pada VOC. VOC juga sangat bergantung pada
beras dari Mataram selama operasinya di akhir dekade abad XVII. VOC
mendapatkan sumber logistik pangan secara sangat murah dari Mataram
setelah tahun 1678, sehingga VOC kini tidak lagi bergantung pada impor
luar negeri untuk persediaan beras, walaupun penyediaannya cukup lama
karena harus dikapalkan dahulu ke Batavia. Banten yang juga berusaha
menerapkan politik beras, akhirnya tidak dapat menanggulangi keadaan
baik yang telah didapatkan oleh VOC.324
Gula merupakan salah satu komoditas penting pada perdagangan
bebas yang mengisi income kesultanan Banten. Gula ketika diproduksi
memerlukan bahan baku tebu (Saccaharum officinarum). Selain tebu,
bahan lain yang dijadikan gula adalah pohon aren (Arenga pinnata),
maupun pohon siwalan (Borassus flabellifer).325
Guillot menjelaskan bahwa di Kelapadua, wilayah kecil Pecinan
telah didirikan penggilingan tebu yang nantinya diproduksi menjadi
gula. Biaya sebesar 7.000 rijksdaalders dikeluarkan untuk pembiayaan
pembangunan tempat penggilingan tebu dan buruh kerja. Gaji buruh
323 Anthony Reid, 2011. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid
2: Jaringan Perdagangan Global, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011),
h. 211. 324 Uka Tjandrasasmita, Sultan Ageng Tirtayasa. (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1984), h. 29. 325 Claude Guillot, 1990. The Sultanate of Banten, (Jakarta: Gramedia Book
Publishing Division, 1990), h. 34.
152
yang diberikan dalam produksi gula ini adalah 1¼ rijksdaalders
perbulan. Tempat produksi gula ini juga berdekatan dengan produksi
arak yang diproduksi oleh etnis Cina, konsumennya adalah para pelaut
yang singgah di pelabuhan Banten.
Produksi gula Kepaladua berkembang hingga menjadi pusat
produksi gula utama di kota Banten. Akan tetapi, sejak direbutnya
produksi ini oleh Belanda pada 1682 yang mulai mengontrol dan
memonopoli perdagangan gula, produksi gula menjadi beralih ke
wilayah antara Tanara dan Tangerang.326
Komoditas cengkeh juga mewarnai perdagangan bebas di
Banten. Cengkeh juga merupakan komoditi yang tinggi permintaannya
di pasar. Pada tahun Inggris membeli 120.000 pon cengkeh dan
meningkat pada tahun 1636 menjadi 300.000 pon dari Banten. Pada 1
Juni 1635, terjadi perebutan pada komoditas cengkeh oleh para pedagang
terhadap pedagang Inggris. Hal ini disebabkan karena Inggris yang telah
menawarkan harga yang jauh lebih tinggi untuk mendapatkan cengkeh
dan membawanya ke Inggrris. Adanya sistem perdagangan bebas ini
Inggris mendapatkan tempat tinggal di Banten.327
Perdagangan bebas lada dan cengkeh telah hilang untuk
selamanya dari pulau Jawa, ketika Banten jatuh ke tangan VOC.
Monopoli lada dan cengkeh yang dijalankan VOC setelah jatuhnya
Banten di tahun 1684, ternyata tidak berarti apa-apa terhadap
perdagangan lada dan cengkeh di Hindia Timur. Harga yang ditawarkan
oleh VOC ke pasar Eropa, cenderung terus menurun. Produksi lada dan
326 Claude Guillot, 1990. The Sultanate of Banten… h. 34. 327 David Kenneth Bassett, B. A, The Factory of the English East India
Company at Bantam, 1602-1682… h. 98.
153
cengkeh masih terus dikuasai oleh pedagang gelap Banten di Lampung,
dengan mengirimkannya ke Bengkulu-Inggris melalui jalur darat tanpa
harus ke Banten dahulu, lagipula Inggris (EIC) juga telah berhasil
menanam cengkeh di Hindia Barat dan menjualnya langsung ke Eropa,
dengan harga yang lebih murah dari yang ditawarkan oleh VOC.328
Adapun komoditas buka tutup perdagangan bebas yang termasuk
pada jaringan impor yang dilakukan oleh para pedagang asing seperti
Cina, pedagang Eropa, India, Gujarat dan lainnya, merupakan barang-
barang yang banyak di perjual-belikan di Banten.
Tabel 7
Komoditas impor pedagangan mancanegara.329
Negara Komoditas
Cina Bahan pembuat manisan
Cina The
Cina, Mesir, dan India Obat-obatan
Cina Pakaian satin, beludru dan sutera
Cina Keramik
Amerika Selatan Cabai
India Rempah-rempah halus yang sudah digiling
India Bahan kain dari kapas
Gujarat Opium
Inggris Senapan perang
328 Halwany Michrob, A. Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten… h.
171. 329 Hariyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Baten 1522-1684… h, 165-179.
154
Dampak yang lebih buruk bagi Banten adalah hilangnya
kebebasan Banten dalam perniagaan dunia. Ketergantungan Banten pada
VOC di bidang pangan untuk menunjang logistik rakyatnya setelah
tahun 1684, menghancurkan sendi-sendi kemakmuran dan proses
merkantilisme bebas Banten. Selama abad XVII, ketika perdagangan
Banten masih bebas, Banten menikmati kemakmurannya yang luar
biasa. Blokade laut VOC tidak dapat menghentikan kegiatan
perdagangan dan ketersedian pangan Banten, Banten dapat
mengatasinya dengan menanam sendiri tanaman pangan untuk
memenuhi kebutuhan pangannya, tanpa harus bergantung dari impor
bahan pangan.330
Pada intinya kehancuran perdagangan bebas Kesultanan Banten,
menjadikan tujuan utama VOC terhadap Banten telah tercapai. Tanpa
harus melalui peperangan terbuka melawan seluruh kekuatan Banten
yang tidak bebas intervensi VOC. Menghindari pengalamannya dalam
Perang Makassar (1660-1669), VOC berusaha sesedikit mungkin
mengeluarkan biaya perang, kalaupun harus ada biaya yang dikeluarkan,
maka pihak yang dibantulah yang harus membayar semua biayanya.331
330 Tubagus Najib, Kebangkitan Banten dari Masa ke Masa (Berdasarkan
Naskah Kuno dan Peninggalan Arkeologi), (Serang: Yayasan Sheng Po Banten, 2011),
h. 60. 331 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900… h.
78.
155
BAB VI
PERDAGANGAN INTERNASIONAL KESULTANAN BANTEN
A. Kegiatan Ekspor-Impor Perdagangan
1. Perdagangan Lada
Banten telah menjadi salah satu pelabuhan yang ramai,
bahkan ketika masih merupakan wilayah Kerajaan Sunda.332 Pusat
perdagangan dan perkebunan lada di Pulau Jawa yang terbesar adalah
Banten. Pada akhir abad XVI-XVII aktivitas perdagangan ladanya telah
menarik banyak pedagang mancanegara. Pada masa itu, lada merupakan
bahan rempah yang sangat diminati oleh orang-orang di benua Eropa,
sehingga para pedagang asing berdatangan ke kawasan penghasil lada di
Nusantara.
Budidaya lada di Banten terdapat di daerah kawasan
pedalaman. Namun, tidak disebutkan secara pasti lokasinya di daerah
mana. Colenbrader menjelaskan, banyak petani lada datang dengan
perahu dari pedalaman ke Kota Banten di pesisir pada waktu musim
hujan. Kedatangan petani lada ini sangat diharapkan oleh para saudagar,
karena mereka dapat membeli dan mengumpulkannya sebelum dibawa
ke negeri masing-masing. Setiap tahun mereka berusaha mendapatkan
lada sebanyak mungkin agar dapat diangkut sesuai dengan kapasitas
kapal.333
Lada atau piper ningrum telah dikenal dari masa Kesultanan
Banten berdiri sampai masa Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Ageng
332 Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires an Account of the
East. Seri II Jilid XXXIX & XL, (London: Hakluyt Society, 1944), h.172. 333 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten,
(Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006), h. 169.
156
Tirtayasa yang saat itu mengintensifkan perang ekonomi melawan
Belanda mencapai puncak kejayaan Kesultanan Banten, sangat boleh
jadi penanaman lada tradisional merangkap menjadi petani komersial,
atau sebaliknya petani komersial juga bertindak menjadi penanam lada
tradisional. Sejak masa Kesultanan Banten, kawasan ini dikenal sebagai
penghasil lada dan mampu mengekspor 1000 bahar pertahun.334 Pada
masa Kesultanan Banten, lada dibudidayakan di berbagai tempat
terutama di kawasan perbukitan.
Lada yang dikeluarkan dari pelabuhan Banten selain
dihasilkan dari kebun-kebun di Banten sendiri, juga diproduksi di kebun-
kebun lada di wilayah kekuasaan Banten di Pulau Sumatera seperti
Lampung, Palembang, dan Bengkulu. Peran aktif Banten dalam jalinan
perdagangan mancanegara ini menjadikan wilayah Lampung sebagai
pemasok lada bagi Banten. Pada tahun 1663 diperkirakan Lampung
menyediakan hampir 90% kebutuhan lada bagi Banten. Berdasarkan hal
ini, dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan lada Banten
adalah lada yang ditanam di Lampung. Hal ini pun juga didasari oleh
pendapat Vlekke bahwa setelah perjanjian 1684, para bangsawan dan
pemilik tanah di wilayah sekitar Kesultanan Banten enggan untuk
menanam dan memproduksi lada, mereka mulai menanam dan
membudidayakan tanaman pangan.335
Kesultanan Banten pada masa itu memerintahkan kepada
setiap penduduk pria di Lampung untuk menanam 500 pohon lada.
Penanaman paksa pohon lada oleh Banten ini diawasi oleh para utusan
334 Halwany Michrob, Ekspor-Impor di Zaman Kesultanan Banten, (Serang:
KADINDA, 1993), h. 20. 335 Vlekke, B.H.M, Nusantara: Sejarah Indonesia. (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2016), h. 196.
157
dari Kesultanan Banten yang biasa disebut sebagai punggawa.336 Para
utusan ini diberikan wilayah untuk ditanami lada serta mengawasi
distribusinya hingga ke Pelabuhan Banten ini, selain mendapatkan
wilayah dan pembagian keuntungan, para utusan ini juga dinikahkan
dengan dengan putri para bangsawan dari Banten.337
Komoditi ekspor lada menjadi komoditi terpenting dari
perdagangan Kesultanan Banten. Begitu pentingnya lada dalam
perkembangan perekonomian Kesultanan Banten, maka tidak sedikit
pula para petani mengalihkan jenis tanaman padinya ke tanaman lada,
hasil pertanian yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Hasil
lada yang diperoleh dari wilayah sekitar Kesultanan Banten berasal dari
budidaya lada yang dilakukan oleh para petani lada yang memang
bermata pencaharian sebagai petani. Keberhasilan Sultan Ageng
mengendalikan monopoli lada dibuktikan oleh persaingan Anglo-
Belanda selama masa pemerintahannya untuk lada di Banten.338
Sebelum masa pemerintahan wali raja Pangeran
Ranamanggala pada tahun 1609, para pedagang dari luar Banten dapat
mengambil sendiri lada-lada yang dibutuhkan langsung di Menggala.339
Mitra dagang utama Banten dalam penjualan lada ini adalah orang-orang
Tionghoa. Namun, ketika semakin kuatnya pengaruh para pedagang
Eropa di Banten, Ranamanggala memerintahkan penutupan semua
336 Manuscript perjanjian Banten dan Lampung abad XVII. 337 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, (Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, 2008), h. 204-205. 338 J. Kathirithamby Wells, “Forces of Regional and State Integration in The
Western Archipelago, C. 1500-1700”. Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 18, No.
1. 1987, h. 36. 339 G. P. Rouffaer en J. W. Ijzerman, De Eerste Schipvaart Der Nederlanders
Naar Oost-Indie Onder Cornelis De Houtman 1595-1597, (S-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 1915), h. 41.
158
pelabuhan di mancanegara dan memusatkan perdagangan lada langsung
dari pelabuhan Banten. Oleh karena itu, lada-lada yang berasal dari
Lampung diharuskan dikirimkan langsung ke Banten. Tidak ada lagi
pembelian langsung dan dengan bebas di pedagang, wali raja
memerintahkan membunuh beberapa dari mereka yang tidak mau
mengerti.340
Sebelum daerah penghasil lada dikuasai oleh Kesultanan
Banten, cara untuk mendapatkan lada sebanyak-banyaknya ditempuh
dengan berbagai jalan. Pedagang-pedagang Banten mendatangi daerah-
daerah diseberang lautan (Lampung, Sukadana, Bengkulu, Solebar dan
Palembang) dengan membawa barang dagangan kain tenun buatan
Banten untuk dibarter dengan lada. Bahkan orang-orang Banten
melakukan penculikan dan perampokan terhadap orang-orang dari
Batavia, Kalasi, Bandan dan Bali. Orang-orang yang diculik itu ditukar
dengan lada dan padi di Lampung, kemudian setelah kedudukan Banten
semakin kecil di daerah sebrang maka berbagai peraturan dan undang-
undang dibuat.341
Isi peraturan itu mengenai berbagai kasus misalnya kasus
tanam paksa untuk lada, kasus tentang jual beli, kasus tentang utang
piutang, kasus tentang pemadatan dan opium (narkoba), kasus tentang
perampokan, dan sebagainya. Peraturan-peraturan tersebut dituangkan
dalam berbagai piagam. Ada pula berita yang dihimpun dalam Dagh
Register (catatan harian VOC) yang menunjukan kekuasaan Banten atas
Lampung. Berita dalam Dagh Register itu misalnya yang ditulis pada
340 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 126-
127. 341 Tubagus Najib Al-Bantani, Supermasi Hukum dalam Kesultanan Banten
Berdasarkan Naskah Piagam Banten, (Serang: Yayasan Sengpho, 2011), h. 30
159
tanggal 25 September 1642, oleh nahkoda kapal Portugis, Antonio
Fialho Farera, isinya tentang diberangkatkan 20 perahu perang ke
Lampung pada tanggal 14 September 1641, karena dua orang kaya di
Lampung memberontak.342
Kutipan dari Dagh Register tanggal 14 September 1641
hanya merupakan salah satu hubungan antara Kesultanan Banten dan
Lampung dalam arti hubungan tuan dan sahaya. Contoh lain dapat
ditemukan dalam bentuk hukum dan peraturan dari Kesultanan Banten
yang khusus dibuat untuk mengatur hubungan antara penduduk
Lampung dan penguasa Banten.
Diakui saat itu lada memang merupakan komoditas utama
yang banyak mendatangkan keuntungan, baik di bidang materi maupun
non materi. Fungsi lada bukan hanya sebagai barang yang
diperdagangkan, akan tetapi juga berperan sebagai alat tukar, hal tersebut
diketahui dari piagam tahun 1690 yang menyebutkan lada dapat
dijadikan alat tukar dalam perkara hutang piutang. Berdasarkan data dari
penanaman lada di Lampung saat ini, diperoleh keterangan bahwa dalam
1 hektar dapat ditanami kurang lebih 2000 batang lada, dengan jarak
tanam 2 meter dan jarak antar barisan 2,5 meter.343
Sebagai tanaman menjalar, lada membutuhkan tiang atau
pajar yang dapat berupa pohon hidup maupun tiang mati. Bertolak dari
hal itu, maka untuk menanam 500 pohon lada dibutuhkan tanah seluas
kira-kira ¼ hektar atau sekitar 2500 m². Lada yang menjadi komoditas
dagang orang-orang Eropa, sebelum penguasaan Belanda atas
342 Tubagus Najib Al-Bantani, Supermasi Hukum dalam Kesultanan Banten
Berdasarkan Naskah Piagam Banten... h. 30. 343 Pedoman Bercocok Tanam Lada, (Bogor, Lembaga Penelitian Tanaman
Industri, 1973), h. 17.
160
perdagangan di Banten, Inggris menguasai perdagangan lada di Banten.
Inggris selama periode 1669 hingga 1683 rata-rata pertahun
mendapatkan sekitar 2 juta kilogram lada dari Banten.344
Ukuran dan satuan berat timbangan yang dipergunakan untuk
menimbang lada pada masa lalu menggunakan istilah yang berbeda-
beda, satu gantang lada berisi kira-kira 3 pon pada timbangan Belanda,
dan 1 bahar setara dengan 375 pon.345 Namun, tidak dijelaskan berapa isi
1 karung lada, karena masa kini berat 1 pon sama dengan kurang lebih
½ kg, kalau saja berat lada dalam satu karung sebanyak 100 pon atau 50
kg, maka berat lada yang dihasilkan dalam masa berjayanya perdagangan
lada ini sebesar 6.600.000 karung lada x 50 kg = 330.000.000, dari hasil
perhitungan tersebut, hasil rata-rata per tahun diketahui 330.000.000:
100 tahun = 3.300.000 kg per tahun.346
Penanaman lada secara tradisional, menunjukkan dalam 1
hektar dapat ditanam sekitar 2000 batang lada. Pohon lada yang memiliki
kualitas baik, disertai dengan pemeliharaan, pengawetan tanah serta
pemupukan yang intensif, akan mendapatkan sejumlah 4 kg lada setiap
panen. Jadi dalam 1 hektar dihasilkan 2000 x 4 kg = 8000 kg/hektar”.347
Hasil panen lada di pedalaman Banten hanya mendapat setengah dari
hasil penen lada yang diperoleh di Lampung, budidaya lada di Banten
dapat memproduksi 2 kg lada setiap pohon, dalam 1 hektar, hasilnya
2000 x 2 kg = 4000 kg/hektar. Sedangkan luas lahan yang digunakan di
344 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten… h.
175 345 J.A. Van Der Chijs,Oud Bantam 1881 dalam TBG 26:1-62 346 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten… h.
175. 347 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten… h.
167.
161
Banten yaitu 3.300.000 : 4000 hektar atau kurang lebih 8.250.000 meter
persegi.
Walaupun budidaya lada memerlukan waktu yang cukup
panjang dan pengelolaan yang tidak sederhana, membudidayakan lada
sebagai tujuan utama karena harga komoditi cukup tinggi dan banyak
disukai. “Hasil rata-rata yang didapat dari tiap pohon lada berkisar 1-2
kg lada kering dan pohonnya baik dapat meningkatkan menjadi 4 kg,
sedangkan dalam 100 kg lada kering setelah digiring dapat dihasilkan
3336 kg lada hitam”.348
Sebagai bentuk perluasan wilayah ekonomi Kesultanan
Banten di Lampung serta pengendalian terhadap tata niaga lada,
penguasa Banten menempatkan jenjen (jinjam atau jenang) di Semangka
(Kota Agung). Karena hanya berurusan dengan soal lada, jenjen tidak
mencampuri urusan pemerintahan. Dengan posisi demikian, elit lokal
Lampung yang terpencar-pencar yang disebut “adipati” secara hirarkis
tidak berada di bawah perintah jinjam.349
Penempatan wakil dari Kesultanan Banten berlangsung
hingga abad XVIII.350 Pengiriman pegawai-pegawai Banten dan
pengangkatan elit adalah dua ukuran utama sultan untuk meyakinkan
pengawasan atas Lampung. Pengiriman pegawai terjadi di daerah-daerah
348 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kebesaran dan Tragedi Kota Banten… h.
166. 349 Andi Syamsu Rijal, Dua Pelabuhan Satu Selat: Sejarah Pelabuhan Merak
dan Pelabuhan Bakauheni di Selat Sunda 1912-2009. Tesis. (Depok: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Program Studi Sejarah, 2011), h. 40 350 Para pegawai Banten ini disebut bumi dalam piagem sultan 1737 dan 1761
dan regen dalam sumber-sumber Belanda. Pigeaud, “Afkondigingen”, 138. Para
pegawai menyebut jeneng dan jinjem, yang Suzuki jelaskan berdasarkan sumber-
sumber abad ke-17, tidak ditemukan dalam sumber-sumber abad ke-18
162
pertumbuhan lada secara luas untuk memfasilitasi penanaman lada dan
untuk memonopoli pengiriman lada ke Banten.
Sultan atau pegawai-pegawai istana menunjuk elit lokal
berpengaruh dalam perluasan wilayah ekonomi. Kepada elit lokal
tersebut sultan menetapkan aturan, dalam bantuk piagem, yang berisi
kewajiban-kewajiban rakyat biasa. Piagem yang ada biasanya
menetapkan bahwa semua orang harus menanam 500 atau 1000 pohon
lada per orang dan harus menjualnya secara eksklusif kepada seorang
pedagang yang akan mengirimkannya ke Banten. Beberapa dari piagem
ini juga mengkhususkan tugas-tugas pemeliharaan perdamaian publik,
pelaporan masalah-masalah lokal yang penting kepada perdana menteri,
pengumpulan bea dari lalu lintas sungai, dan pengawasan perdagangan.
Perwakilan-perwakilan lokal mengeluarkan pass jalan351 kepada
pedagang-pedagang Banten dan Lampung izin resmi transportasi
perekonmian terutama perdagangan lada. Piagem juga melarang
perdagangan lada tanpa pass jalan.352
Dalam sumber-sumber Belanda, kepala elit lokal pada
umumnya disebut sebagai kepala (hoofd). Anggota-anggota elit
berpengaruh disebut Ponggawa, tanpa memandang gelar mereka atau
kepemilikan piagem. Ponggawa-Ponggawa Lampung selalu tinggal di
daerah lokal mereka. Mereka adalah para kepala kampung dari
351 Hak mengumpulkan toll di jalur sungai di Tulang Bawang disebutkan di
piagem tahun 1771, Pigeaud, “Afkondigingen”, 142. Pengeluaran pass oleh perwakilan
lokal untuk pedagang lada dituliskan dalam piagem tahun 1690 di Puti dan dalam
bibliografi Nachoda Muda. Pigeaud, “Afkondigingen”, 130, 151: Drewes (ed.) De
Biografie, 59-61, 110-112 352 Ota Atsushi, Perubahan Rejim dan Dinamika Sosial di Banten;
Masyarakat, Negara, dan Dunia Luar Banten 1750-1830, (Serang: Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah Press, IAIN SMH Banten, 2009), h. 70.
163
pemukiman mereka sendiri. Sebagaimana kasus di Kesultanan Banten,
kekuasaan mereka tidak banyak didasarkan pada wilayah melainkan
pada orang. Ponggawa penting menggunakan pengaruhnya di beberapa
pemukiman yang berpencar. Oleh karena itu, sering terjadi bahwa dua
kelompok masyarakat atau lebih yang tinggal di lokasi yang sama berada
di bawah kekuasaan ponggawa yang berbeda. Ponggawa yang
berpengaruh membangun hubungan patron-klien dengan kepala-kepala
kampung yang kurang berpengaruh, dalam sumber-sumber Belanda,
kepala kampung yang paling berpengaruh di sebuah daerah umumnya
disebut regent kepala (hoofdregent).353
Kontak langsung antara Eropa Barat Laut dan daerah-daerah
ini datang untuk mengubah perdagangan lada secara radikal. Ekspor
Banten selama dekade pertama abad XVII berubah dari Cina ke Eropa.
Selanjutnya, orang-orang Eropa juga mengambil alih bagian
perdagangan lada di Asia. Belanda tidak diragukan lagi sangat giat, tetapi
distribusi geografis yang luas dari lada berarti bahwa Perusahaan
Belanda terlepas dari posisinya yang semakin kuat di Nusantara dan
terlepas dari out maneuvering dari perdagangan pribumi tidak dapat
menyesuaikan seluruh produksi untuk ekspor. Sampai tahun 1680
Pangeran Banten mempertahankan kedaulatannya, dan orang-orang
Cina, India, Inggris, Prancis, Denmark, dan negara-negara lain dapat
dengan bebas mengamankan lada di sana. Di sisi lain, Belanda
diuntungkan karena sangat dekat dengan salah satu pasar utama.354
353 Ota Atsushi, Perubahan Rejim dan Dinamika Sosial di Banten;
Masyarakat, Negara, dan Dunia Luar Banten 1750-1830… h. 71. 354 Kristof Glamann, Dutch Asiatic Trade 1620-1740. (S-Gravenhage:
Martinus Nijhoff, 1981), h. 75-85.
164
Sejak kedatangan Bangsa Eropa terutama armada Belanda
keseimbangan perdagangan lada bergerak dengan cepat ke tangan
wilayah Eropa Utara. Sedangkan para pedagang Muslim di pertama abad
XVII yang berlayar ke Nusantara mengalami penurunan, dan Bangsa
Portugis pada tahun 1620 mengalami hal yang sama seperti para
pedagang Muslim. Pada tahun 1620 kapal Portugis yang kembali dari
Asia hanya berjumlah 17, hal ini dikarenakan para pedagang Belanda,
Inggris, Denmark dan Perancis telah berhasil berlayar ke Asia terutama
ke Nusantara. Bangsa Eropa Utara berkonsentrasi pada rempah-rempah
di Asia Tenggara, saat itu kekuatan Bangsa Portugis mulai melemah,
dengan hasil di tahun 1620-an Asia Tenggara menyediakan lebih dari
setengah pasokan lada Eropa.355
Amsterdam menjadi pasar lada utama Eropa, diikuti oleh
London. Kedatangan lada di Amsterdam dan London dari Asia Tenggara
adalah lada yang berasal dari Banten dan Aceh, selain dari Asia Tenggara
pasar Eropa juga menerima lada dari India.
Tabel 8
Pengiriman lada dari Asia Tenggara ke Eropa 1600-1699.356
Ke Belanda Perkiraan dari Asia
Tenggara
Tahun
Asia Tenggara
(Banten dan
Aceh)
India Ton
Harga di
Eropa
355 David Bulbeck, Southeast Asian Exports Since the 14th Century: Cloves,
Pepper, Coffee and Sugar, (Leiden: KITLV Press, 1998), h. 74-76 356 David Bulbeck, Southeast Asian Exports Since the 14th Century: Cloves,
Pepper, Coffee and Sugar… h. 74-76.
165
1603 - - 2.000 -
1603-1609 - - - -
1610-1619 - - 1.500 1.065
1620-1629 1.235 - 1.500 885
1630-1639 1.235 - 1.400 742
1640 2.095 - 1.900 988
1641-1656 2.243 - 2.100 987
1660-1669 3.063 - 2.900 1.421
1670-1679 3.458 - 4.500 1.305
1680-1689 2.470 - 2.600 884
1690-1699 2.964 - 2.600 1,040
Heeren XVII,357 mencatat kebutuhan lada dalam total
tahunan untuk pemasaran di abad XVII ini ada total konsumsi lada di
Eropa diperkirakan sekitar 7 juta kilogram, yang di impor Portugis
sekitar 1,4 juta kilogram, sementara sisanya sekitar 5,6 juta kilogram
harus didistribusikan antara Inggris dan Belanda. Akhir abad XVII
tepatnya tahun 1688, Heeren berpendapat bahwa orang-orang Eropa
dapat mengkonsumsi sekitar 7,2 juta kilogram lada setiap tahunnya.
357 Heeren XVII adalah dewan direktur (direksi) yang menjalankan perusahaan
khusus yaitu Perusahaan Dagang Hindia timur Belanda (VOC), yang dibentuk pada
1602 untuk tujuan nasioanal, dan para direkturnya bertanggungjawab kepada Parlemen
Belanda. Dewan direktur ini terdiri dari 17 anggota perwakilan pemegang saham
Perusahaan Dagang Hindia Timur tersebut. 17 anggota ini masing-masing berasal dari
Amsterdam sebanyak delapan orang. Empat orang dari Middelburg (Zeeland), dan
empat orang lagi berasal dari Rotterdam, Delft, Hoorn, dan Enkhuizen. Anggota 17 dari
Heeren XVII ini diangkat oleh Zeeland. Tujuannya dari Heeren XVII adalah untuk
menerapkan kebijakan Gubernur Jenderal VOC tersebut. Mereka menetapkan
kebijakan umum dan membagi tugas di antara kamar dagang perusahaan yang
melakukan pekerjaan. Mereka membangun kapal-kapal dan gudang milik sendiri.
166
Tampaknya dari konteks bahwa kali ini rujukannya adalah penjualan
Eropa yang ditutupi oleh pasokan dari perusahaan Inggris dan Belanda.
Kebutuhan lada di akhir abad XVII lebih meningkat dibandingkan di
awal abad XVII sekitar tahun 1622 dari 1,6 juta kilogram sampai 5,6 juta
kilogram setiap tahunnya.358
Tanaman lada termasuk tanaman tua yang pernah
dibudidayakan manusia sejak 372 SM oleh orang Yunani yang sudah
mengenal dua jenis lada, yaitu lada hitam dan cabai. Abad pertengahan,
lada termasuk jenis rempah-rempah yang terpenting dan berharga,
bahkan di Jerman pada abad XIV-XV, lada digunakan sebagai alat tukar
dan membayar gaji serta pajak. Tanaman lada berasal dari daerah Ghat
Barat, Malabar, dan India, telah berhasil meluas ke Nusantara sejak satu
abad sebelum masehi, dan tanaman ini meluas di Indonesia melalui
perantara para pedagang.359
Dapat dilihat dari akhir abad XVI hingga awal abad XVII
ekspor lada dari Banten mengalami peningkatan.
Tabel 9
Ekspor lada dari Banten360
Tahun Keterangan
1598
Total ekspor lada yang dilakukan oleh Kesultanan
Banten adalah sebanyak 30.000 karung yang 18.000
karung dari angka tersebut diambil oleh para saudagar
358 Kristof Glamann, Dutch Asiatic Trade 1620-1740… h. 74. 359 Aksi Agraris Kanisius, Bercocok Tanam Lada, (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1980), h. 5. 360 M.A.P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630… h. 401
167
Cina, 9.000 karung oleh saudagar Belanda, dan 3.000
karung oleh para saudagar Gujarat.
1603 Panen lada sebanyak 48.000 karung diperoleh oleh
orang-orang Belanda dan Inggris.
1613 Jumlah keseluruhan lada mencapai hingga 30.000
sampai 32.000 karung.
1614 130.000 karung (satu panen raya) yang jumlah itu
Belanda memperoleh 50.000 karung.
1616 Panen diperkirakan menghasilkan 30.000 karung.
1617 Panen lada 120.000 karung.
1618 Panen lada menghasilkan sekitar 30.000 karung.
1620 Panen lada sekitar 100.000 karung.
1627
Hasil panen masih mencapai 50.000 hingga 60.000
karung, dan sebagian besar dari angka tersebut dikirim
ke Batavia.
1629 Panen menghasilkan hanya 15.000 hingga 16.000
karung.
Meskipun Belanda dan Inggris kemudian membeli hasil
panen lada dengan jumlah yang besar, pemerintah Banten tidak ingin
kehilangan pendapatan bea cukai yang berasal dari orang-orang Cina,
yang merupakan pembeli lada yang tertua di sana. Oleh karenanya
pemerintah Banten menghalangi orang-orang Belanda agar mereka tidak
dapat membeli terlalu banyak lada, sehingga ada cukup lada yang tersisa
untuk dapat dibeli oleh saudagar Cina.
Kesultanan Banten menjadikan lada sebagai komoditas
terpenting dalam struktur perdagangannya. Selain dihasilkan di daerah
168
sendiri, Kesultanan Banten pun menerima lada yang dhasilkan daerah
lain. Dengan hak monopoli yang dimiliki Kesultanan Banten berhasil
menguasai perdagangan lada di Sumatera bagian Selatan. Karena inilah
Pelabuhan Banten menjadi salah satu pusat perekonomian laut yang
hampir menggantikan kedudukan Malaka, yang telah jatuh ke tangan
Portugis. Kedudukan Kesultanan Banten sebagai produsen lada dan
pemegang monopoli perdagangan lada mulai mengalami kemunduran
setelah memasuki akhir abad XVII.361
Hal ini disebabkan terjadinya pertentangan politik dikalangan
keluarga sultan yang memperebutkan takhta. Akhir abad XVII ini, Putera
Mahkota Kesultanan Banten yang merangkap sebagai Sultan Muda
Banten mencari dan meminta bantuan kepada VOC. Ia menawarkan
imbalan kepada VOC, kalau berhasil menduduki takhta sebagai sultan
maka VOC akan memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Banten.
Tahun 1682, hak monopoli itu diperoleh VOC yang ditandai dengan
diusirnya para pedagang non-Belanda yang singgah di Pelabuhan
Banten.362
Komoditi dalam perdagangan di Banten untuk barang ekspor
sangatlah bervariasi dari tahun ke tahunnya, terutama ekspor lada yang
sangatlah penting bagi Kesultanan Banten. Hal ini dikarenakan oleh
besarnya panen yang dihasilkan daerah pedalaman jika dibandingkan
dengan hasil lada dari daerah kawasan penghasil lada lainnya. Berbagai
dokumen membicarakan perubahan periodik panen besar dan kecil, yang
361 Nina. H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004). h. 79. 362 Nina. H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara… h. 79.
169
jelas merupakan acuan penting untuk mengetahui pembudidayaan lada
domestik.363
Tabel 10
Harga lada di Eropa tahun 1500-1649364
Tahun Harga dollar/kg
1500-1509 0.44
1510-1519 0.70
1520-1529 0.74
1530-1539 0.63
1540-1549 0.6
1550-1559 0.6
I560-1569 1.0
1580-1589 0.9
1590-1599 1.0
1580-1589 0.74
1590-1599 0.71
1600-1609 0.9
1609-1624 0.53
1625-1629 0.52
1630-1639 0.42
1640-1649 0.49
1650-1659 0.29
1660-1669 0.34
363 M.A.P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630… h. 401. 364 David Bulbeck, Southeast Asian Exports Since the 14th Century: Cloves,
Pepper, Coffee and Sugar… h. 70.
170
1670-1679 0.40
1680-1689 0.35
1690-1699 0.44
1700-1709 0.70
Impor lada Belanda mencapai puncaknya pada 1670 dengan
lebih dari 4.500 ton, sementara impor Inggris memuncak sedikit pada
tahun 1611. Harga Eropa tetap tinggi akibat perang Inggris-Belanda
1665-1667, harga lada di Eropa semakin mahal sehingga mendorong
tingginya pesanan mereka di Asia Tenggara. Sementara pada tahun
1677-1678 harga lada turun serendah 26 sen guilder perpicol, sedangkan
harga lada meningkat 1,10 gulden pada sepuluh tahun sebelumnya ketika
terjadi perang antara Belanda dan Inggris.365
Data di atas merupakan ekspor-impor lada yang dilakukan
oleh Belanda, sedangkan di bawah ini merupakan data ekpor-impor yang
dilakukan oleh Inggris. Pembentukan hubungan dengan Kesultanan
Banten adalah titik yang paling tepat untuk memulai sejarah Perusahaan
Inggris, karena di sanalah pabrik pertamanya dibuka pada bulan
Desember, 1602.366 Pada pendirian pertama Perusahaan Inggris
menempatkan di bawah perintah William Starkey ditempatkan staf dan
sembilan belas pedagang dan pelaut. Selain Belanda, perusahaan Inggris
pun terlibat besar dalam ekspor-impor perdagangan lada di Banten.
365 Kristof Glamann, Dutch Asiatic Trade 1620-1740. (S-Gravenhage:
Martinus Nijhoff, 1981), h. 82-83. 366 David Kenneth Bassett, B. A, The Factory of The English East India
Company at Bantam, 1602-1682. Disertasi, (London, 1955), h. 4.
171
Berikut ini data penjualan lada dari perusahaan Inggris yang kirim ke
London dari tahun 1669-1686.
Tabel 11
Pengiriman lada dari Asia Tenggara ke Eropa (Inggris) Tahun 1600-
1699.367
Ke Inggris Perkiraan dari Asia
Tenggara
Tahun Asia Tenggara
(Banten dan Aceh)
India Ton Harga di
Eropa
1603 - 1.350 2.000 -
1603-1609 328 - - -
1610-1619 415 266 1.500 1.065
1620-1629 562 87 1.500 885
1630-1639 412 - 1.400 742
1640 272 - 1.900 988
1641-1656 - - 2.100 987
1660-1669 576 175 2.900 1.421
1670-1679 1.893 354 4.500 1.305
1680-1689 763 477 2.600 884
1690-1699 298 491 2.600 1,040
367 David Bulbeck, Southeast Asian Exports Since the 14th Century: Cloves,
Pepper, Coffee and Sugar… h. 74-76.
172
Tabel 12
Impor perusahaan Inggris dari lada hitam tahun 1669-1686, per 1000
lbs dan 1000 ponds.368
Tahun Banten Surat Madras Total
1669 2,264 359 - 2,408
1670 2,076 611 - 2,467
1671 3,689 793 - 4,115
1672 4,691 652 - 4,905
1673 2,270 845 - 2,859
1674 - 1,347 - 1,237
1675 4,011 437 - 4,083
1676 3,003 1,554 34 4,214
1677 4,686 1,097 41 5,346
1678 4,046 643 - 4,304
1679 5,798 23 - 5,344
1680 1,738 329 - 1,897
1681 1,536 870 - 2,209
1682 4,031 852 - 4,482
1683 518 1,108 96 1,581
1684 - 1,490 6 1,374
1685 - 1,364 41 1,290
1686 - 886 857 1,600
368 Kristof Glamann, Dutch Asiatic Trade 1620-1740. (S-Gravenhage:
Martinus Nijhoff, 1981), h. 84.
173
Sebelum perusahaan Inggris melakukan impor lada ke
London dengan jumlah yang besar, perusahaan Inggris dan Kesultanan
Banten menandatangi kontrak perjanjian dagang pada tahun 1643.
Kontrak tersebut menjelaskan mengenai lada, bahwasanya lada di
Banten hanya boleh dibeli oleh perusahaan Inggris dan tidak ada
pedagang lain yang dapat membeli lada di Banten. Hal itu karena, Banten
telah berjanji kepada perusahaan Inggris. Perusahaan Inggris dapat
membeli lada dengan harga 6⅔ real per karung sampai 111¼ real per 100
karung. Jika lada mengalami kerusakan maka kesultanan harus
menurunkan 6% harga lada dalam 8 real per karung dengan berat
timbangan 132 lbs. Pada akhir tahun 1643 perusahaan Inggris berhasil
menaikkan perkiraan stok ladanya di Banten menjadi 700 hingga 800
ton.369
Kontrak dagang yang telah dibuat menghasilkan keuntungan
besar bagi perusahaan Inggris, terbukti pada tahun 1649 ada empat kapal
dengan kargo yang berlayar membawa lada, benzoin, jahe, beberapa
cengkeh, gula dan beberapa bal kain. Nilai total kargo sebesar Rs.
187.482, dan sebagian besar di lada 2.135.375 lbs dengan biaya
mencapai Rs. 131,248, yang merupakan akuisisi tak terduga seperti kita
lihat, dicatat Rs. 15.749 dan biaya benzoin Rs. 10.536. sebelum tahun
1649, biasanya hanya dua kapal yang dikirim ke Inggris setiap tahun dan
kargo gabungan mereka jarang melebihi 100.000 real, meskipun ini
terjadi pada tahun 1643 ketika tiga kapal dikirim ke Eropa.370
369 David Kenneth Bassett, B. A, The Factory of The English East India
Company at Bantam, 1602-1682… h. 148. 370 David Kenneth Bassett, B. A, The Factory of The English East India
Company at Bantam, 1602-1682… h. 159.
174
Pada bulan Desember 1646 Pengadilan Inggris memutuskan
untuk mengambil keuntungan yang lebih besar dengan kenaikan harga
secara umum yaitu menaikkan harga jual kepada para pedagang di
London. Kenaikan harga jual rempah-rempah terutama lada bukan hanya
dari Banten saja. Namun, lada dari Jambi juga mengalami kenaikan.
Pada bulan September 1648, lada yang datang dari Jambi terjual pada 15
dinar per lbs. dan telah meningkat dengan satu farthing pada bulan
Desember.371 Oleh karena itu, pada bulan Oktober 1649, setelah pasokan
lada pertama diterima dari Bantam dengan jumlah yang sangat besar
mencapai 2.135.375 lbs pada bulan Januari lalu, lada Jambi mengalami
penurunan dengan harga 12½ dinar per lbs dan lada dari Malabar
mencapai harga 13½ dinar per lbs di sepanjang tahun 1650 dan 1651.372
Pada bulan Agustus 1650, Kesultanan Banten berada dalam
tingkat hutang mencapai 24.000 real, sehingga perusahaan Inggris
mengirim beberapa kapal untuk melakukan impor lada dari Banjarmasin
dan Jambi. Meskipun demikian perusahaan Inggris tetap mempunyai
persediaan 1000 ton lada yang dibeli selama lima bulan di tahun 1650.
Namun, pada 3 Juni 1650, Presiden Peniston melaporkan bahwa impor
lada dari Banjarmasin dan Jambi tidak sebaik lada di Banten, sehingga
kapal-kapal Inggris yang datang dari Banjarmasin dan Jambi tidak dapat
membawa pulang keuntungan dari penjualan lada tersebut.373
371 William Foster, A Calendar of the Court Minutes Etc. Of the East India
Company 1644-1649, (Oxford: At The Clarendon Press, 1912), h. 159. 372 William Foster, A Calendar of the Court Minutes Etc. Of The East India
Company 1644-1649… h. 359. 373 David Kenneth Bassett, B. A, The Factory of the English East India
Company at Bantam, 1602-1682… h. 161.
175
Lada Jambi tetap pada harga jual yang sangat rendah di
London dengan harga 12 dinar per lbs, itu pun tidak sampai bulan
Desember 1652, dan bulan-bulan awal 1653 bahwa kenaikan sekitar satu
sen per lb terjadi. Dihadapkan oleh perkampungan kumuh pasar lada di
London, Kompeni dalam surat-surat mereka pada tanggal 29 Mei 1650,
menempatkan pembatasan umum atas impor lada dari Banten ke Inggris.
Instruksi baru, seperti yang dilihat oleh Presiden Baker, mengatakan
untuk mengembalikan impor lada dari Banten ke Inggris dengan jumlah
yang banyak. Tidak hanya lada, rempah rempah lain pun seperti
gingseng hijau, cengkeh, kacang, bunga pala untuk dikirim ke Inggris
setahun sekali dalam jumlah yang dibutuhkan oleh perusahaan
Inggris.374
Tabel 13
Stok lada tahun 1650 dari perusahaan Inggris yang dikirim dari luar
Banten dan kembali ke Banten375
Daerah Dikirim dari luar Banten Kembali ke Banten
Solebar 20.187 real 20.684 real
Jambi 17.000 real 48.000 real
Banjarmasin 620 real -
Makassar 34.000 real -
Jepara 7.000 real 3.000 real
374 William Foster, C.I.E, The English Factories in India 1655-1660, (Oxford:
At The Clarendon Press 1921), h. 7. 375 William Foster, C.I.E, The English Factories in India 1655-1660, (Oxford:
At The Clarendon Press 1921), h. 7.
176
Tabel di atas menunjukan harga impor yang berbeda lada dari
luar Banten dan dari Banten Jepara dan Makasar dapat dikatakan sebagai
daerah pemasok beras dan gula. Namun, setelah kapal-kapal Inggris
melakukan impor lada dapat diketahui bahwa Jepara dan Makassar
mempunyai komoditas perdagang lada yang besar. Tetapi Makassar pada
tahun 1650 tidak mengirim ladanya ke Banten. Hal yang sama dilakukan
oleh Banjarmasin yang hanya menyediakan stok kecil lada sehingga
tidak bisa untuk mengirim kembali lada ke Banten selama 2 tahun
terakhir untuk di impor ke Inggris.376
Persediaan lada di Jambi, Solebar dan Banjarmasin tidak
dapat menyediakan lebih dari sekitar 70.000 real lada. Lebih jauh lagi,
pada tahun 1650, kurangnya orang dan pengiriman membuatnya tidak
mungkin untuk memasok persediaan lada. Pada akhir tahun membawa
setidaknya 76.000 real lada kembali ke Banten, hal tersebut telah
memenuhi permintaan lada yang meningkat setiap tahunnya.377
Pesanan ini lebih mudah diberikan daripada dipenuhi, karena
komoditas alternatif yang disarankan oleh pengadilan Inggris hampir
tidak bisa diperoleh. Dalam surat mereka 1 Maret 1651, pengadilan
berharap Presiden EIC dan Dewan EIC di Banten untuk mengatur impor
lada kepada mereka dengan sekitar 500 ton lada per tahun, dan dengan
melengkapinya dengan, benjamin, Cengkeh, jahe hijau dll, yang
mungkin sekitar di atas 200 ton lebih.378
376 David Kenneth Bassett, B. A, The Factory of The English East India
Company at Bantam, 1602-1682… h. 162. 377 David Kenneth Bassett, B. A, The Factory of The English East India
Company at Bantam, 1602-1682… h. 162. 378 William Foster, C.I.E, The English Factories in India 1655-1660… h. 7.
177
Pada akhir abad XVII, perusahaan Inggris tengah berjuang
dengan masalah-masalah dagang mereka seperti kekurangan kain, harga
yang tidak kompetitif, permintaan untuk bahan-bahan perak daripada
tekstil sebagai pembayaran, kadang-kadang pecahnya kekerasan dan
khususnya tingkat kematian yang tinggi. Karena EIC telah
membelanjakan begitu banyak pada perdagangan lada, itu sangat
dipengaruhi oleh keserakahan yang berkembang pada akhir abad XVII,
jatuhnya harga, dan keinginan Eropa untuk menggunakan jahe murah
yang dibawa dari Amerika sebagai pengganti. Pada 1678, gudang-
gudang di London berisi sekitar 19.000 karung lada yang tidak terjual,
pengingat yang mengingatkan perdagangan yang terus menurun.379
Setelah tahun 1680, total ekspor lada mejadi turun.
Kesultanan Banten adalah pengekspor lada besar terakhir yang
independen, dan ketika Kesultanan Banten jatuh ke tangan Belanda pada
tahun 1682, unsur kompetitif sebagian besar lenyap dari pembelian lada
Eropa. Kesultanan Banten diwajibkan menandatangi kontak untuk
mengirim lada ke perusahaan Belanda sebanyak 5 real per picol.
Pedagang asing lainnya dikeluarkan dari Banten. Kontak atau perjanjian
dagang tersebut ditandatangani oleh Sultan Banten Abu Nashr Abdul
Kahar (Sultan Haji), dan perdagangan Banten dikendalikan oleh
Belanda.380
Perkebunan lada mengalami pasang surut yang disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu faktor politik dan faktor geografis. Di
beberapa wilayah Banten tidak cocok untuk ditanami lada. Hal tersebut
379 David Kenneth Bassett, B. A, The Factory of the English East India
Company at Bantam, 1602-1682… h, 186. 380 David Bulbeck, Southeast Asian Exports Since the 14th Century: Cloves,
Pepper, Coffee and Sugar… h. 64.
178
dikarenakan naiknya air laut yang mempengaruhi tingkat kesuburan
tanah. Hal tersebut terbukti dengan hasil perkebunana lada pada masa
yang menurun sekitar 30%. Daerah-daerah yang gagal ditanami lada
kemudian oleh penguasa pada saat itu digantikan oleh tanaman kopi, dan
beras yang juga menjadi salah satu komoditas internasional dari
Banten.381
Kemuduran produksi lada juga diakibatkan oleh kondisi
politik di Kesultanan Banten. Kondisi politik di Kesultanan Banten
dipengaruhi adanya kolonial yang menjajah wilayah Banten. Kedudukan
kolonial di Indonesia juga mempengaruhi perkebunan lada di Banten.
Perkebunan lada mulai memuncak dan mengalami kemajuan cukup
pesat pada saat di Banten diduki oleh VOC. Hal tersebut berujung
dengan dijadikanya lada sebagai komoditas utama oleh VOC.382
Jatuhnya Banten tehadap Belanda pada 1682, menyebabkan
pengiriman lada ke Eropa tahun 1690-1790 telah terikat kontrak untuk
memasok secara eksklusif ke VOC. Pantai Barat Sumatra, yang telah
menyediakan banyak lada dunia pada periode 1560-1620, para kepala
daerah mengikat diri mereka untuk memasok Belanda melalui Perjanjian
Painan tahun 1666,383 meskipun dalam praktiknya pelabuhan-pelabuhan
ini merana karena monopoli, sebagian besar lada yang ditanam di
Minangkabau bergeser ke outlet Timur Palembang dan Jambi.
381 Hardiman, “Perkebunan Lada di Banten Tahun 1805-1816”. Student
Universitas Negeri Yogyakarta. Vol 1. No. 1. 2016, h. 14. 382 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. Cet I. (Jakarta:
PT. Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 58. 383 Perjanjian Painan atau Het Painans Tractaat merupakan perjanjian yang
dibuat oleh penghulu atau penguasa beberapa kota pantai di Pesisir Barat Minangkabau
dengan wakil VOC.
179
Inggris mendirikan perusahaan mereka di Bengkulu, di
sebelah selatan daerah yang dicakup oleh Perjanjian Painan, pada tahun
1684, dan juga mendirikan sistem monopoli pengiriman dengan harga
yang ditentukan. Meskipun sistem ini terbukti sangat melemahkan
ekonomi, dengan pengiriman terus menurun dengan harga rendah tetap,
itu memang memberikan statistik yang lebih baik daripada yang tersedia
di bawah sistem yang lebih bebas. Tabel 14, menunjukkan pengiriman
ke Belanda dan Inggris di bawah sistem ini setelah 1690. Tren penurunan
dari masing-masing pusat setelah kondisi monopoli VOC jelas. Ini
terjadi di Banten, Palembang, dan Jambi pada tahun 1690, tetapi
Banjarmasin sebagian besar merupakan pelabuhan bebas sampai VOC
memberlakukan perjanjian monopolistik dan kehadiran militer pada
tahun 1747, setelah itu semua lada mengalir ke Batavia, di bawah
pengaturan monopoli ini, petani diharapkan untuk menanam sekitar 500
pohon lada.
Tabel 14
Pengiriman lada ke Perusahaan Eropa akhir abad XVII-XVIII, (1690-
1790) (Ton per Tahun)384
Tahun Banten Jawa
Lainnya385
Palembang Jambi Persediaan
Ke
Batavia
Bengkulu
1690-
99 1,824 - - - 1,824 195
I700-09 1,732 141 - - 1,873 1,018
384 David Bulbeck, Southeast Asian Exports Since the 14th Century: Cloves,
Pepper, Coffee and Sugar… h. 82. 385 Cirebon dan Priangan
180
1710-
19 1,693 23 2,692 - 4,408 -
1720-
29 2,104 - 3,112 17 5,233 -
1730-
39 1,509 - 794 14 2,579 -
1740-
49 1,840 - 1,012 - 3,785 -
1750-
59 1,144 - 717 - 2,642 749
1760-
69 1,403 - 758 - 2,807 352
1770-
79 1,476 - 325 - 2,324 l,ll4
1780-
89 1,276 8 152 - 1,973 1,190
Keadaan yang dialami oleh Kesultanan Banten ketika kultur
lada mulai menyusut seluruh kegiatan perdagangan pun ikut mundur.
Berbagai peristiwa tersebut menunjukan bahwa ketergantungan pada
lada sebagai komoditas utama dapat menjadikan suatu pusat
perdagangan berkembang pesat, akan tetapi sebaliknya dapat pula
menyebabkan kemunduran.386
386 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi, (Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia, 2007), h. 132.
181
2. Perdagangan Gula
Gula adalah komoditas perdagangan yang sangat dibutuhkan,
sama halnya seperti garam, tembaga, dan barang berat lainnya.
Permintaan Eropa akan gula yang tinggi pada abad XVII, membuat
Belanda memulai penanaman gula di Jawa.387 Perdagangan gula mulai
dijalankan oleh Perusahaan Belanda, budidaya tanaman tebu sebagai
komoditas perdagangan baru yang dianggap memiliki prospek cerah
bagi kehidupan perekonomian Belanda. Gula yang diproduksi dengan
berbagai cara dimulai sejak abad XVI, gula mulai mendominasi pola
konsumsi dunia. Selain gula putih, adapun produksi lainnya yaitu gula
merah yang dapat disimpan dalam jangka waktu lama, serta dapat
diperdagangkan dan di pasarkan.388
Memasuki masa perkembangan Islam dan kehadiran orang-
orang Belanda di kepulauan Indonesia pada abad XVI-XVII Masehi,
budidaya tanaman tebu semakin dikenal luas, terutama di pusat-pusat
pemukiman sepanjang wilayah pesisir utara Pulau Jawa. Sebagai contoh
adalah di Jepara, Pekalongan, Batavia, dan Banten.389
Industri gula di Banten terlebih dahulu dikuasai oleh imigran
Tionghoa. Belanda mulai mengembangkan industri gulanya dari tahun
1619. Tahun 1630 Heeren XVII makin menaruh perhatian pada gula dari
Asia ketika pasokan gula dari koloni Belanda di Brasil mulai terganggu
akibat pertikaiannya dengan orang-orang Portugis. Harga gula yang
387 Holden Furber, John Company at Work, A Study of European Expansion
in India in the Late Eighteenth Century, (Harvard Historical Studies, Vol. LV:
Cambridge Mass, 1948), p. 162 388 David Bulbeck, Southeast Asian Exports Since the 14th Century: Cloves,
Pepper, Coffee and Sugar… h. 107. 389 Robert Van Niel, Java’s Northeast Coast 1740-1840: A Study in Colonial
Encroachment and Dominance, (Leiden: CNWS Publications, 2005), h. 133-153.
182
tinggi menyebabkan gula dari Asia dapat memberi keuntungan yang
cukup meskipun menjalani pelayaran yang lebih panjang yaitu melalui
Tanjung Harapan.390
Ekspor gula Jawa mencapai 10.000 picol di tahun 1619 dan
karena keuntungan yang diperoleh dengan perdagangan gula sangat
besar dan ternyata bahwa Jawa menghasilkan gula berkualitas baik.
Perusahaan Belanda secara bertahap memutuskan untuk membuat
negara merdeka dan di wilayahnya sendiri didekat dengan Batavia untuk
mendirikan pabrik gula dan mendirikan industri gula. Perusahaan
memberi tanah kepada orang Cina produsen gula dan diberikan berbagai
hak prerogatif mereka, termasuk lisensi untuk memotong kayu bakar
yang diperlukan untuk produksi gula tanpa pembayaran dari hutan.391
Gula yang telah berhasil diproduksi dibawa ke Belanda
dengan kapal-kapalnya sendiri, gula tersebut dijual dalam pelelangan
umum di berbagai kamar Perusahaan.392 Dari budidaya tebu ini, VOC
mendapatkan gula yang sangat laku di pasar perdagangan Eropa.393
Tanaman tebu awalnya ditanam di tanah-tanah partikelir yang
penguasanya bukanlah bupati melainkan tuan tanah dari etnis Cina.
Penanaman tebu secara meluas di Pulau Jawa dimulai sekitar
tahun 1600. Penanaman tersebut dilakukan saat gula mulai terkenal
sebagai pemanis di Eropa, yang sebelumnya tanaman tebu hanya
digunakan sebagai obat. Penanaman tebu oleh Belanda dimulai dari
390 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII … h. 134 391 K. W. Van Gorkom's, Oost-Indische Cultures, Tweede Deel. (Amsterdam:
J. H. De Bussy, 1918), h, 120. 392 Tio Poo Tjiang, De Suikerhandel Van Java, (Amsterdam: J. H. De Bussy,
1923), h. 5. 393 Nina. H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara... h. 80.
183
perbukitan di Siam Tengah Kamboja dan Banten. Dari produksi gula
tersebut di pasarkan untuk pengguna lokal dan untuk di ekspor kembali
ke Eropa.394
Pada awal abad XVII, tanah partikelir yang terdapat di sekitar
Batavia merupakan daerah pembudidayaan tebu yang paling penting di
Pulau Jawa. Hal tersebut didukung oleh beberapa faktor yaitu: adanya
kepentingan individu dari pegawai VOC pada pembudidayaan tebu, dan
pemusatan pembudidayaan tebu beserta dengan proses pengolahnnya
hingga menjadi 2000 gula.395 Penanaman tebu di luar Batavia, termasuk
Banten, dilakukan VOC dalam skala kecil, para pemilik pembudidayaan
tebu dan pabrik penggiling menggunakan tenaga kerja wajib yang telah
ditentukan oleh para penguasa lokal. Rata-rata pekerja wajib yang
mengolah tanaman tebu mencapai jumlah 70-80 orang yang diawasi oleh
sekitar 5-6 orang Cina.396
Tahun 1648, Belanda melakukan pengiriman pertama gula
dari Batavia ke Banten. Selain melakukan pembudidayaan tebu di
Banten, VOC pun mendirikan pabrik gula yang akan menghasilkan
2.000 picol gula putih, dan pada tahun 1652 sudah menjadi satu dari
11.700 picol. Harga-harga gula selama periode perdagangan dari
perusahaan Belanda ini jumlahnya mencapai 7,50 fl per pon. Bubuk gula
putih dari Cina, pada tahun 1620-an harganya mencapai 3,78 fl per 100
pon, pada 1637 telah meningkat menjadi harga 6,86 fl. per 100 pon.397
394 Innes. R. L, The Door Ajar: Japan’s Foreign Trade In The Seventeenth
Sentury. Disertasi. (University Of Michigan, 1980), h. 504. 395 D.H. Burger, Sedjarah Ekonomis-Sosiologis Indonesia. Jilid 1. Terj.
Prajudi Atmosudirjo, (Jakarta: Prandnjaparamita, 1962), h. 104. 396 Nina. H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara… h. 81. 397 Kristof Glamann, Dutch Asiatic Trade 1620-1740... h, 155.
184
Tahun yang sama 1637, Perusahaan gula perdagangan Timur
India (Oost-Indische Compagnie) membeli gula di Banten untuk dikirim
ke Batavia dengan harga 6 real per picol sampai 50 fl. per 100 pon. Pada
awal tahun 1637, Perusahaan Belanda menaikkan harga gula di Banten
dari 6 hingga 9 botol per picol gula. Ini adalah langkah melawan Inggris,
yang bersama-sama dengan Denmark telah mencoba untuk menetapkan
bahwa Sultan Banten telah mengeluarkan larangan mengirim gula ke
Batavia.398 Di sisi lain, Perusahaan Belanda, untuk menentang Inggris di
Banten dan untuk menarik lebih banyak gula ke Batavia, harga gula
ditingkatkan menjadi 9 real per picol.399
Selain memperluas hubungan perdagangannya untuk
mendapatkan gula di luar wilayahnya Banten dan Batavia, Perusahaan
juga berusaha untuk memenuhi kebutuhan pasar tanah air dengan
mendorong budidaya tanaman tebu di daerahnya. Pada tahun 1637
adalah langkah pertama, dilakukan oleh perkebunan perusahaan Belanda
yaitu menjadikan Batavia dan Banten sebagai tempat penjualan gula
terbesar di Nusantara, harga panen gula yang telah ditetapkan dalam
timbangan 22 picol sebesar 245.000 fl.400
Ketika Sultan Banten melarang pengiriman gula dari Banten
ke Batavia, perusahaan Belanda melalui perdagangannya ke Taiwan
dapat membeli gula dari Cina dengan jumlah yang cukup untuk
persediaan gula di Batavia. Namun, pada tahun 1640-an Heeren XVII
398 J. J. Reesse, De Suikerhandel Van Amsterdam Van Het Begin Der 17e eeuw
Tot 1813, (Haarlem: J. L. E. I. Kleynenberg, 1908.), h. 162. 399 J. J. Reesse, De Suikerhandel Van Amsterdam Van Het Begin Der 17e eeuw
Tot 1813… h. 162. 400 . J. Reesse, De Suikerhandel Van Amsterdam Van Het Begin Der 17e
eeuw Tot 1813… h. 162
185
menuntut adanya pembelian gula dari Cina dengan jumlah yang banyak,
sehingga terjadi penurunan harga dalam penjualan gula di Batavia.401
Berikut ini adalah ekspor gula ke Eropa dari Jawa (Batavia
dan Banten) Cina, Benggala, dan Siam, yang dilakukan oleh VOC dari
tahun 1622-1642.
Tabel 15
Ekspor gula ke Belanda oleh VOC tahun 1622-1641 (ton).402
Tahun
Asal Gula
Tiongkok
(Gula Putih)
Benggala
(Gula
Putih)
Jawa
(Gula
Putih)
Siam
(Gula
Coklat)
Total
VOC
1622 109 0 0 0 109
1631 -- 17 -- -- 17
1632 X -- 0 --
1633 X -- 0 --
1634 X 0 0 X 212
1635 X -- X --
401 Kristof Glamann, Dutch Asiatic Trade 1620-1740... h, 156. 402 David Bulbeck, Southeast Asian Exports since the 14th Century: Cloves,
Pepper, Coffee and Sugar… h. 112.
186
1636 X -- X --
1637 574 X 600 X 1174
1638 X -- X -- 966
1639 X X X X
1640 X X X X
1641 X X X X 1019
Keterangan
X = Ada ekspor tapi tidak diketahui jumlahnya karena tidak tercatat
0 = Dipastikan tidak ada ekspor
--= Tidak ada data
Tabel 16
Harga gula di Amsterdam tahun 1631-1637.fl. per Pound.403
Tahun Permen
putih
Gula
halus
Gula
roti
Gula
putih
brasil
Moscovados
(gula merah)
Gula non-tebu
Gula batu
India Timur
Bubuk gula
India Timur
1631 1,71 0,82 0,78 0,67 0,59 - 0,54
1632 1,14 0,80 0,74 0,70 0,54 0,71 0,54
1633 1,12 0,80 0,75 0,67 0,54 0,49 0,46
1634 1,11 0,77 0,73 0,66 0,50 0,49 0,49
1635 1,11 0,76 0,73 0,66 0,51 0,55 0,49
403 Kristof Glamann, Dutch Asiatic Trade 1620-1740… h. 154.
187
1636 1,10 0,79 0,75 0,60 0,52 0,58 0,45-0,49
1637 1,36 1,06 1,02 0,85 0,67 0,83 0,68-0,72
Walaupun penjualan gula ke luar Kesultanan Banten juga
terjadi namun jumlahnya tidak sebanyak seperti penjualan lada.
Pedagang yang terlibat sangat terbatas, seperti pedagang Cina yang
membawa langsung komoditas ini untuk dijadikan barang dagangan ke
Cina. Yang pasti, gula dibawa sebagai pelengkap kebutuhan makanan
para pedagang yang berniaga keluar Banten. Dengan demikian diduga
jumlah gula yang diperdagangkan sebagai barang ekspor sangat sedikit,
dugaan ini diperkuat dengan sumber tertulis yang menyebutkan bahwa
gula yang dijual di Banten didatangkan pula dari Batavia dan Jepara.404
Tahun 1638, produksi gula di Banten dikuasai oleh
perusahaan Inggris (EIC). Penanaman gula dilakukan oleh para petani
Tionghoa di Banten, mereka dapat menanam tanaman tebu di area yang
cukup luas, sehingga hasil panen tebu dapat dibeli oleh para pedagang
Inggris 100.000 batang tebu dari setiap keluarga setiap tahunnya. Para
pedagang Inggris melakukan kontrak dengan petani Tionghoa, kontrak
tersebut melibatkan 8 orang Tionghoa dengan menjanjikan 100.000
batang tebu ini akan menghasilkan 450 picol (sekitar 2,8 ton) gula putih
yang bermutu. Berdasarkan perhitungan ini, jumlah keseluruhan
produksi yang disediakan oleh orang Tionghoa melebihi 17 ton gula
putih.405
404 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi… h. 146. 405 De Jonge, De Opkomst Van Het Nederlandsch Gezag In Oost-Indie, Jilid
8, (S’gravenhage: Martinus Nijhoff, 1875), h. 159-160.
188
Pada masa penguasaan gula di Banten, harga pertama gula
yang ditetapkan 4, 5 dan 6 ringgit, masing-masing untuk picol, ketiga,
kedua dan kualitas pertama, tetapi segera harga ini mengalami
pengurangan 1 ringgit per picol untuk setiap spesies. Perusahaan
berulang kali mengubah ketentuan pengiriman, jumlah produk yang akan
dikirim, serta harga, sehingga situasi industri gula sangat tidak pasti dan
sebagai hasilnya jumlah pabrik dan hasilnya berubah setiap tahun.
Apalagi industri itu menderita perang dan kerusuhan, sedangkan
penyakit di alang-alang dan ternak, baik untuk membajak 121 tanaman
tebu. Adanya kelangkaan pekerjaan orang yang terjadi berulang kali
menyebabkan penundaan terhadap penamanan tebu.406
Sebelum tahun 1638, Presiden Rastell (Presiden EIC) pada
bulan September 1630, meminta gula yang tersedia di Banten untuk
dikirim ke pasar Persia, dengan harga gula yang menunjukkan
kecenderungan naik untuk menjanjikan keuntungan. Tetapi saat itu
Kesultanan Banten tidak menerima permintaan tersebut, sehingga pada
bulan Oktober 1634, bagaimanapun juga gula-gula harus dikirim ke
Persia. Hal tersebut membuat presiden mendorong para pedagang kecil
di Banten agar bisa mengirim pasokan gula ke Persia.407
Jumlah gula yang diekspor terus meningkat dan akhirnya
diperpanjang tidak hanya ke Persia tetapi juga ke Inggris. Gula Jawa
tidak dikenal di Inggris, karena saat itu Inggris hanya menerima impor
gula dari India Timur. Penjualan gula di Inggris pada 8 Oktober 1624,
406 K. W. Van Gorkom's, Oost-Indische Cultures, Tweede Deel… h, 121 407 K. W. Van Gorkom's, Oost-Indische Cultures, Tweede Deel… h, 121
189
seberat 1500 lbs,408 dijual dengan harga £.4120 per seratus pound.
Penjualan gula Jawa biasanya di peti, pengiriman pertama untuk gula
dari Banten di London terjadi dalam penjualan 55 peti pada 109 shilling
(1 shilling= seperdua puluh pound sterling) per potong.409
Tanggal 24 April 1635, Inggris masih menerima gula dari
Hindia Timur, dan pada tanggal 31 Januari 1635, kapal Inggris berhasil
membawa gula dari Banten sebanyak 21 peti gula dengan 145 potong
harga 326 lbs,410 dengan biaya bersih Rs. 630 (rijksdaalders). Pada bulan
Januari 1636 penjualan gula Jawa memperoleh nilai tertinggi, dan pada
bulan Desember gula yang dibawa ke Inggris mencapai 9.702 lbs411
sampai 36.000 lbs.412
Penanaman gula di Banten dijadikan investasi dalam
komoditas ekspor, karena ekspor gula dari Banten dikuasai oleh
perusahaan Inggris. Tidak kalah dengan perusahaan Inggris, VOC pada
tahun 1637 juga menanamkan investasi gula di Banten, Gubernur Jendral
Antonio van Diemen pada bulan Desember 1638, mengatakan bahwa
Belanda berhasil memperoleh 1632 picol gula dan 55½ picol413 lada dari
Banten.414
408 1 lbs= 0.45 kg, jadi 1500 lbs= 680.3885kg berat gula dari India Timur. di
akses dari https://www.metric-conversions.org/id/berat/pon-ke-kilogram.htm. Tanggal
30 Oktober 2018, pukul 21.00 wib. 409 David Kenneth Bassett, The Factory Of The English East India Company
At Bantam, 1602-1682… h. 117 410 326 lb= 147.8711 kg gula yang datang dari Banten. 411 9.702 lbs= 4.400.753 kg dan 36.000 lbs= 16.32932 kg gula dari Jawa. 412 David Kenneth Bassett, B. A, The Factory Of The English East India
Company At Bantam, 1602-1682… h. 117. 413 1 picol= 60,479 kg, jadi 1632 picol= 987,017 kg dan 55½ picol= 332,634
kg, gula dan lada yang diperoleh Belanda dari Banten. 414 David Kenneth Bassett, B. A, The Factory Of The English East India
Company At Bantam, 1602-1682… h. 118.
190
Perdagangan gula oleh perusahaan Inggris pada bulan
Februari 1639 berhasil memonopoli semua gula dari petani Cina
(Tionghoa) di Kelapdua dengan kontrak perjanjian monopoli mereka
harus menyediakan 100.000 batang tebu yang akan menghasilkan 450
picol415 gula putih dengan kualitas yang bagus. Perusahaan Inggris bisa
mengharapkan produksi gula tahunan sebanyak 2700 picol atau sekitar
356.400 lbs.416
Monopoli gula yang dilakukan oleh perusahaan Inggris tidak
selamanya berjalan lancar, karena pada tanggal 16 Agustus 1639, para
direktur di London memutuskan untuk melarang impor gula dari Banten,
dan beberapa pesanan gula yang akan dikirim ke London harus
dibatalkan. Namun, setelah itu para direktur di London memperbaharui
kontrak tersebut pada bulan Agustus 1640. Tetapi pada bulan Agustus
1641, Belanda telah menguasai pasar Persia dengan mengirim gula
selama tiga tahun berturut-turut.417
Kontrak yang telah diperbaharui harus berakhir pada bulan
Januari 1642, dan perusahaan Inggris hanya bisa mengirim 5 peti gula ke
Surat India. Meskipun ekspor gula ke Surat India dan mungkin berhenti
setelah tahun tersebut, perdagangan ke Inggris dalam bentuk gula
tampaknya terus berlanjut dalam skala sedang selama dekade
berikutnya.418
415 450 picol= 272,155 kg gula. 416 2700 picol= 163,293,3 kg gula atau sekitar 356.400 lbs= 161.6603 kg 417 David Kenneth Bassett, B. A, The Factory Of The English East India
Company At Bantam, 1602-1682… h. 119. 418 David Kenneth Bassett, B. A, The Factory Of The English East India
Company At Bantam, 1602-1682… h. 119.
191
3. Perdagangan Beras
Beras merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat
di wilayah Nusantara, sehingga beras menjadi komoditi yang tak kalah
pentingnya dengan rempah-rempah lainnya. Jika rempah-rempah
menjadi komoditi penting di Nusantara untuk keperluan dagang dengan
pedagang asing, maka beras menjadi komoditi penting untuk keperluan
konsumsi. Jawa terkenal dengan hasil padi melimpah, sehingga menjadi
pengekspor utama beras di Nusantara pada masa itu. Hal ini ada sekitar
empat sampai lima jenis beras yang sangat putih dengan kualitas yang
tidak tertandingi.419
Kesultanan Banten dikenal sebagai daerah penghasil beras, di
samping menghasilkan bahan makanan lainnya. Adanya kegiatan
penjualan beras di Banten telah diberitakan oleh orang-orang Belanda
yang datang ke Banten.420 Juga diberitakan bahwa kapal-kapal dari
Rembang dan Makassar membawa beras ke Banten.421 Selain itu, beras
dibawa pula oleh pedagang-pedagang dari Pegu dan Benggala.422
Beras salah satu hasil pertanian yang pernah disebut sebagai
komoditas ekspor-impor Kesultanan Banten lainnya. Kendati penjualan
beras tidak berlangsung lama. Namun, beras tetap merupakan barang
dagangan penting di abad XVII. Beras di Banten didatangkan dari
berbagai tempat di luar Banten, sehingga hampir dapat dipastikan bahwa
419 Supratikno Rahardjo, Diskusi Ilmiah “Bandar Jalur Sutra” (Kumpulan
Makalah Diskusi). (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998), h. 22-
23. 420 G. P. Rouffaer en J. W. Ijzerman, De Eerste Schipvaart Der Nederlanders
Naar Oost-Indie Onder Cornelis De Houtman 1595-1597… h. 252. 421 G. P. Rouffaer en J. W. Ijzerman, De Eerste Schipvaart Der Nederlanders
Naar Oost-Indie Onder Cornelis De Houtman 1595-1597… 110. 422 Irmawanti. M. Johan, Laporan Penelitian Sumber Dana dan Daya Negara
Kesultanan Banten Abad 16-17 M, (Jakarta: UI, 1991), h 6.
192
beras merupakan salah satu barang dagangan hasil pertanian yang
berlangsung terus menerus. Sejak awal abad XVI, Banten merupakan
pengekspor beras. Tome Pires mengatakan, menjelang tahun 1515 Tanah
Sunda pada umumnya dapat menjual sampai 10 jung beras setiap
tahunnya, dan berhasil mengekspor ke Malaka, bahkan hingga ke
Jawa.423
Beras merupakan komoditas strategi kolonial dalam ekspansi
ekonomi kolonial di Asia Tenggara. Akibatnya banyak produsen beras
berperan penting dalam kancah perdagangan internasional. Gudang
beras di pulau Jawa saat itu adalah Jepara yang pada tahun 1614 harga
beras mencapai 15 real per koyan (atau 2 ton),424 sedangkan di Banten
harganya mencapai 40 hingga 50 real. Saat itu Jepara melakukan sistem
dengan mendatangkan beras sebagai barang impor dan menjualnya
sebagai barang ekspor. Hal itu mendatangkan keuntungan banyak bagi
Jepara. Oleh karena itu, sistem yang dilakukan di Jepara dijalankan juga
oleh Kesultanan Banten, yaitu dengan mendatangkan (impor) beras dari
Jepara, Malaka dan Cirebon, dan para pedagang Pegu juga membawa
beras untuk diperjualbelikan di pasar Banten.425
Kesultanan Banten mendatangkan beras dari Jepara karena
saat itu merupakan tempat termurah dari tempat lainnya. Kualitas beras
pertama dapat diberikan dengan harga 36 fl sampai 27 fl per 30 HL
(beban) atau per koyang. Sementara harga beras dari Maluku adalah 90
423 Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires An Account of the
East… h. 169-170. 424 M.A.P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630… h. 471. 425 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi… h, 161.
193
fl. Jepara merupakan lumbung padi dengan kualitas terbaik, sehingga
Jepara mampu mengekspor berasnya ke Banten, Ambon, Banda dan
tempat lainnya yang berada di Jawa.426
Pajak impor beras yang dilakukan oleh Kesultanan Banten
sebesar 10%, dan pajak penjual hanya 2-3%. Pada tahun 1624, ketika
Belanda kekurangan beras, Belanda pun melakukan hal yang sama
dengan mendatangkan beras dari Jepara dengan membayar harga lebih
mahal dibandingkan harga yang diberikan kepada Banten. Belanda harus
membayar 70-110 fl. Hal ini dikarenakan saat Jepara mengeksportir
berasnya telah terjadi suap antara para pedagang, hingga harga beras
menjadi semakin meningkat.427
Kesultanan Banten termasuk dalam kota di Asia tenggara
yang melakukan ekspor berasnya ke Eropa. Saat Aceh, Malaka dan
Batavia tidak dapat memproduksi beras di daerahnya, oleh karena itu
Eropa mengimpor beras dari Banten, Maluku dan pantai Barat Sumatera
yang dapat mendorong produksi beras di daerahnya dengan imbalan
lada, timah atau emas yang bisa mereka hasilkan secara lokal.428
Beras merupakan bahan makanan dan hasil bumi paling
pokok di Asia Tenggara, selain bahan makanan lain seperti talas, ubi,
sagu dan jenis gandum yang telah mendahului domestikasi padi. Jawa
adalah pengekspor beras terbesar ke Malaka, antara lain berasal dari
Banten, Kalapa, Batavia dan tempat-tempat di Maluku. Begitu
kemampuan mengekspor beras tersebut menurun, akibat blokade militer
426 W. Fruin Mees, Geschiedenis Van Java Deel II, (Weltevreden: Commissie
Voor De Volkslectuur, 1920), h. 91. 427 W. Fruin Mees, Geschiedenis Van Java Deel II… h. 91. 428 Halwany Michrob, A Hypothetical Reconstruction Of The Islamic City Of
Banten Indonesia. Tesis. (Philadelphia: University Pennsylvania., 1987), H. 29.
194
dan kemiskinan, segera muncul areal-areal persawahan baru. Pada tahun
1630 orang-orang Banten telah mengenal arus-arus sungai dan membuat
bendungan untuk pengairan yang dapat digunakan di sawah-sawah
mereka,429 dan mereka juga menerapkan sistem pemumukan tanah, agar
tanah sawah samakin subur hingga bisa diperoleh panen dengan hasil
yang baik.430
Pembangunan gudang atau lumbung beras sebenarnya sudah
diperintahkan pada masa Sultan Abdul Mafakir pada akhir tahun 1640
dan bangunan tersebut masih belum selesai tahun 1659, dan selesai pada
tahun 1668 ketika masa Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintahkan
untuk segera menyimpan persediaan beras itu ke dalam gudang atau
lumbung.431 Tanaman padi memang senantiasa dibudidayakan
berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan akan pangan, sehingga beras
erat kaitannya dengan kebiasaan makan masyarakat Banten saat itu.
Penjualan bahan pangan di Kesultanan Banten mengalami
pasang surut, dalam arti tidak selamanya beras menjadi komoditas
ekspor, melainkan justru pada masa tertentu beras menjadi komoditas
impor. Apabila musim kemarau maka Banten akan impor beras, dan
sebaliknya jika musim penghujan maka Banten mampu mengekspor
berasnya. Silih bergantinya penjualan beras berhubungan dengan turun
naiknya hasil pertanian, dan bertalian erat dengan berbagai hal.432
Beras tidak hanya diolah dijadikan nasi sebagai makan pokok
semata oleh masyarakat, namun juga dibuat berbagai macam makanan
429 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1:
Tanah di Bawah Angin, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), h. 29. 430 Halwany Michrob, Ekspor-Impor di Zaman Kesultanan Banten… h. 24. 431 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 82. 432 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 82.
195
yang dapat dijadikan bekal perjalanan. Pemanfaatan beras nampaknya
sudah mengalami diversifikasi, bukan hanya sekedar ditanak melainkan
dipergunakan sebagai bahan pembuat panganan lainnya. Banyaknya
pemakaian serta kegunaan akan beras, menjadikan para pedagang sangat
beralasan untuk mendatangkan beras secara langsung maupun tidak
langsung dari berbagai tempat di luar Banten. Kebutuhan beras harus
terpenuhi meski hampir dapat dipastikan budidaya padi yang dihasilkan
petani tidak sebanyak hasil budidaya lada, sehingga beras bukan
merupakan komoditas utama dalam perdagangan ekspor, tetapi menjadi
komoditas impor.433
Saat terjadi perbudakan yang dilakukan oleh para pedagang
asing di Banten, beras menjadi alat pembayaran untuk gaji atau upah para
budak. Upah harian budak di Banten sebesar 1000 cash, upah rata-rata
beras dalam gantang 3,0, dan upah sebagai kelipatan kebutuhan beras
tiap hari 15,0. Satu gantang sama dengan 1,75 liter beras beratnya sekitar
3,1 kg, atau lima kali konsumsi setiap hari seorang pekerja.434
Berbagai keterangan tersebut, menumbuhkan berbagai
penafsiran yang dapat menelaah masalah tentang niaga beras. Beras yang
didatangkan dari luar Banten dan berlangsung secara berkesinambungan
dalam suatu periode tertentu, besar kemungkinan berupa suatu pesanan
yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun oleh pedagang besar
sebagai barang dagangan. Penjualan beras itu mengalami beberapa kali
pengalihan, yang pertama berasal dari produsen yakni petani yang
433 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi… h. 135. 434 Willem Lodewijcksz, Prima Pars Descriptionis Itineris Navalis In Indiam
Orientalem, Earvmqje Rervm Qvae Navibvs Battavis Occvueevnt, (National Central
Library Of Rome: Ex Officina Cornelij Nicolaj, Typographi Ad Symbolum Diarij, Ad
Aquam, 1598), h. 40.
196
menjual kembali kepada pengumpul, selanjutnya pedagang tersebut
menjual kembali kepada pedagang besar yang membawa secara
langsung untuk diperdagangkan sebagai komoditas ekspor di berbagai,
antaranya Banten.435
Tergambar bahwa perjalanan beras yang berasal dari luar
Kesultanan Banten, dan merupakan komoditas andalan sebagai barang
ekspor-impor suatu tempat setidaknya mengalami enam kali peralihan
pemilik yang berasal dari produsen di luar Kesultanan Banten hingga
berakhir ke konsumen di dalam Kesultanan Banten. Persebaran beras
yang berasal dari luar Kesultanan Banten akan mengalami perbedaan
dengan beras yang merupakan budidaya tanaman padi di dalam negeri.436
Saat Kesultanan Banten akan impor beras dari Jawa, hal
tersebut dihalang oleh Belanda. Karena, saat itu kapal-kapal yang
membawa beras menuju Banten akan di belokan ke Batavia yang saat itu
pula mengalami kekurangan beras.437 Penyediaan beras menjadi semakin
lama semakin berkurang, walaupun dilakukan impor dari Jawa harga
beras tetap mengalami kenaikan. Di awal tahun 1675 naik 25% dari
harga 20 sampai 50 real. Bulan Juli masih 50 real, tetapi pada bulan
November mencapai 400 real sebelum turun menjadi 40 real di bulan
Desember.438
435 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi… h, 137 436 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi… h, 137. 437 J. A. Van Der Chijs, Dagh Register Gohenden Int Casteel Batavia 1675.
11 January 1975. (Batavia Landsrukkerij: S’Hage M. Nijhoff, 1902), h. 14. 438 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 190.
197
Tabel 17
Import beras Kesultanan Banten tahun 1614-1615.439
Tahun Daerah Harga
1614 Jepara 7,5 real per ton
1615 Jepara 9-10 real per ton
1615 Malaka 50-60 real per ton
Dalam Dagh Register tanggal 6 dan 11 Januari 1678
disebutkan bahwa Sultan Banten memberikan beras kepada orang-orang
yang mengalami kerugian akibat kebakaran di Kota Banten. Bantuan dari
sultan berupa bahan pangan yang memperlihatkan bentuk toleransi yang
besar antara penguasa dan rakyatnya. Hal ini menunjukan bahwa beras
merupakan komoditi pangan yang sangat penting bagi penduduk Banten,
sehingga sultan memberikan bantuannya berupa beras.440
Selain beras yang menjadi komoditas impor, Kesultanan
Banten pun melakukan impor pada beberapa komoditas lainnya. Hal ini
dikarenakan Banten tidak menghasilkan dan memproduksi beberapa
komoditas yang banyak dibutuhkan oleh penduduk Banten, sehingga
pemerintah melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan.
439 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi… h. 161. Lihat J.C. Van Leur,
Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social Find Economic Historis,
(Bandung: Sumur Bandung, 1960), h. 207-209. 440 A. Van Der Chijs, Dagh Register Gohenden Int Casteel Batavia 1675. 11
January 1976… h. 15.
198
B. Penggunaan Mata Uang
Bertumbuhnya produksi untuk pasar dunia tidak memungkinkan
tanpa bertambahnya persediaan uang. Sejumlah transaksi tentunya
melalui pertukaran langsung barang-barang dagang dalam jumlah besar.
Zaman perdagangan mengakibatkan permintaan secara berkelanjutan
akan mata uang yang digunakan dalam transaksi dagang antara pedagang
lokal dengan pedagang asing, begitu juga sebaliknya. Mata uang perak,
tembaga, dan timah merupakan mata uang yang banyak digunakan di
wilayah perdagangan di Nusantara.441
Guna menunjang majunya perdagangan, pemerintah Banten
bukan hanya mendirikan sarana berupa bangunan, akan tetapi juga
mengeluarkan mata uang lokal yang berbentuk bulat tanpa lubang, dan
dengan lubang segi enam, serta lubang segi empat. Terbuat dari bahan
tembaga, timah hitam dan perunggu, mata uang lokal ini pun dinamakan
real.442
Catatan orang Cina Tung-His-Yang-Kao menyebutkan dari abad
XVII mata uang yang dipakai di Banten adalah mata uang yang terbuat
dari tembaga. Sedangkan orang-orang Eropa (Inggris dan Belanda) yang
datang ke Banten, setiap tahunnya selalu membawa mata uang perak.
Uang perak ini dikemas dalam peti, masing-masing berisi 8000 real.443
Orang Jawa menyebut mata uang ini dengan picis. Menurut keterangan
orang-orang Belanda, picis dibawa ke Banten dari Cina, yaitu dari daerah
441 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 2:
Jaringan Perdagangan Globa… h. 110. 442 Uka Tjandrasasmita, Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-
Kerajaan Islam di Indonesia, dalam Sejarah Indonesia III, (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1976), h. 234. 443 Kristof Glamann, Dutch Asiatic Trade 1620-1740… h. 51.
199
Chuan-Chou, sebagai mata uang pengganti dari uang Chien yang dibuat
dari tembaga yang nilainya terlalu mahal.444
Mata uang picis tidak baik mudah patah dan nilainya pun sangat
rendah. Jacob Van Neck yang memimpin ekspedisi perdagangan yang
kedua dari Belanda ke Asia, mengatakan mata uang picis hanya mampu
bertahan tidak lebih dari 3-4 tahun.445 Untuk memberikan gambaran nilai
sebuah mata uang, harga uang picis dapat kita lihat sebagai berikut:
1 atak = 200 picis
1 peku = 1000 picis
1 bungkus = 10.000 picis, dan
1 keti = 100.000 picis
Hal tersebut berarti bahwa saat itu uang picis adalah lebih rendah
jika dibandingkan harga mata uang logam lainnya. Pada tahun 1618 mata
uang picis mengalami penurunan. Nilai tukar picis mencapai 1 : 8.500,
hal ini terjadi karena peraturan politik ekonomi di Asia Tenggara, dari
beberapa mata uang di pasaran bebas, Banten memegang peranan
penting dalam penentuan standar harga barang dan nilai mata uang saat
itu, dengan bersandarnya beberapa perahu Cina yang bermuatan lada dari
Jambi untuk diperjualbelikan di Banten.446
Variasi jenis mata uang yang beredar pada satu wilayah ekonomi,
memperlihatkan sistem moneter dari administrasi politik yang
bersangkutan. Nilai nominal yang terkandung pada mata uang kertas,
444 Blusse Leonard, Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women and
the Dutch in VOC Batavia, (Leiden: Foris Publications, 1986), h. 36. 445 Irmawanti. M. Johan, Laporan Penelitian Sumber Dana dan Daya Negara
Kesultanan Banten Abad 16-17 M… h. 11. 446 J.C. Mollema, De Eerste Scpajakhipvaart Der Hollanders Naar Oost-Indie
1595-1597, ('S-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1936), h. 211.
200
logam atau yang lainnya memberikan informasi mengenai satuan nilai
mata uang sebagai alat pembayaran yang sah, sedangkan pada logam,
nilai intrinsiknya adalah pada nilai logamnya seperti tembaga, timah,
perak atau emas.447
Picis ini merupakan mata uang yang dipakai baik di Cina maupun
di luar Cina. Meski nilai tukar di setiap tempat tentunya tidak sama.
Keadaan ini menunjukkan bahwa picis merupakan mata uang yang
bersifat internasional, karena berlaku di berbagai tempat. Peran serta
para pedagang Cina dalam sirkulasi mata uang ini sangat besar, bukan
saja di pelabuhan atau kota dagang akan tetapi sampai ke pedalaman
daerah.
Berlandaskan kondisi tersebut, maka bukan tidak mungkin bila
para Sultan Banten lebih cenderung memilih dan menentukan picis
sebagai alat tukar uang lokal yang hanya berlaku di kawasan yang sangat
terbatas. Mengingat pula ketergantungan Kesultanan Banten pada
pedagang asing sangat besar, sehingga secara tidak langsung kebutuhan
akan picis lebih besar dibandingkan dengan keperluan akan mata uang
lokal.448
Turun naiknya picis berdasarkan pada besar tidaknya
permintaan, dari banyak tidaknya picis yang beredar. Kondisi tersebut
tercipta karena banyak tidaknya picis yang dibawa oleh pendatang cina
dari negerinya. Secara tidak langsung, stabil tidaknya peredaran dan
pertukaran mata uang picis yang berlangsung di Banten sangat
tergantung bagi pihak luar, dalam hal ini produsen picis yaitu orang Cina.
447 Halwany Michrob, Ekspor-Impor di Zaman Kesultanan Banten… h. 33. 448 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan…
h. 238
201
Oleh sebab itu, pasar di Banten bergerak menurut irama yang ditentukan
oleh peredaran uang picis. Oleh karenanya, bila mata uang picis tidak
didatangkan maka jumlah picis yang beredar akan semakin menyusut
dan juga berakibat pada mahalnya harga picis.449
Mata uang picis sangat penting bagi perdagangan di Banten, mata
uang picis juga memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi
Kesultanan Banten secara keseluruhan. Walaupun nilai intrinsik yang
terkandungnya sangat rendah jika dibandingkan dengan real perak, tetapi
persebarannya sangat luas di masyarakat Banten.450
Empat jenis mata uang logam yang terdapat di Kesultanan
Banten, yakni mata uang logam Banten, Belanda, Inggris dan Cina. Mata
uang Banten terdiri dari dua tipe, yakni (1) bertera tulisan Jawa,
berlubang segi enam, diameter antara 2,10-3,10 cm, tebal 0,05-0,20 cm,
diameter lubang 0,40-0,60 cm, dan terbuat dari perunggu, (2) bertera
tulisan Arab, berbentuk bulat berlubang bulat, diameter 1,90-2,40 cm,
tebal 0,05-0,16 cm, diameter lubang 0,60-1,20 cm.451
Mata uang di Banten yang terbuat dari timah didapatkan dari
orang Inggris dan Balanda. Orang Inggris di Banten menambah pesanan
timah dari 20 ton pada tahun 1608 menjadi 50-60 ton pada tahun 1615
dan 100-150 ton pada tahun 1636. Pesanan timah tersebut selain
digunakan untuk pembuatan peluru, sebagian besar digunakan untuk
pembuatan mata uang di Banten. Orang Belanda yang mengetahui ada
pembuatan mata uang picis di Banten menjual timah kepada orang Cina
449 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi… h. 241. 450 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi… h. 241. 451 Halwany Michrob, Ekspor-Impor Di Zaman Kesultanan Banten… h. 36
202
atas dasar monopoli. Namun, penjualan timah pada tahun 1640
dilakukan oleh orang Inggris, karena saat itu orang Inggris memotong
monopoli VOC yang memasok timah dengan harga lebih murah untuk
menyaingi pembuatan picis di Banten.452
Bentuk mata uang logam Inggris (EIC) hampir sama dengan
bentuk mata uang logam Belanda/VOC, terutama dari ukuran dan bahan.
Mata uang Inggris di Banten hanya ditemukan satu tipe dengan dua
variasi. Pada satu sisi berlambang perisai berbentuk hati terbagi dalam 4
bagian oleh garis menyilang, yang masing-masing bagian tersusun satu
huruf yang keseluruhannya berbunyi VEIC. Sebuah pada sisi lainnya
bertera tulisan Arab dan sebuah lagi bertera gambar timbangan.453
Ketika VOC berusaha untuk memonopli akan besarnya
permintaan picis pada saat itu tahun 1637, VOC menyediakan 133 ton
timah hitam, dan tahun 1638 sebanyak 153 ton kepada para pembuat
picis. Mengingat bahwa Inggris juga menyediakan jumlah yang sama
dan orang Cina masih membawa masuk mata uangnya, sementara VOC
sendiri berharap dapat memperoleh bagian yang besar di pasar yakni
mencapai 240 ton, dan dapat diperkirakan bahwa kira-kira diperlukan
350 ton setiap tahun untuk membuat picis. Maka sekitar 170 juta ton
mata uang yang dikeluarkan setiap tahun. Oleh karena itu, mata uang
picis rusak dalam waktu lima tahun, perhitungan bahwa lebih dari 800
juta mata uang picis yang beredar di Banten bahkan diseluruh Kepulauan
Indonesia lainnya. 454
452 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 2:
Jaringan Perdagangan Global… h. 115. 453 Halwany Michrob, Ekspor-Impor di Zaman Kesultanan Banten… h. 36. 454 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 2:
Jaringan Perdagangan Global… h. 116.
203
Mata uang dengan nilai yang lebih tinggi adalah mata uang yang
terbuat dari emas, hal tersebut merupakan tanda kekayaan, status sosial,
jaminan dan keindahan guna memudahkan perdagangan. Mata uang
emas ini biasa di sebut dengan “dinar” yang merupakan persamaan kata
dari Bahasa Arab yaitu “dinara”. Penggunaan mata uang dinar di Banten
biasanya digunakan oleh kaum bangsawan kerajaan. Hal ini pernah
dilakukan dalam perdagangan lada yang menggunakan mata uang dinar
sebagai alat pembayaran selain real dan poundsterling. Mata uang dinar
biasanya berdiameter antara 10 sampai 14 milimeter dengan kemurnian
berat 17 karat dan bobot 0,6 gram.455
Tidak hanya mata uang emas, tahun 1618 Kesultanan Banten
meminta kepada orang Belanda untuk mencetak mata uang perak kecil,
dan pembuatan mata uang perak menggunakan cetakan yang sama dalam
pembuatan mata uang emas. Dan biasanya uang tersebut dicetak dengan
teraan nama atau gelar penguasaa pada saat itu.
Selama tiga dekade berturut-turut Kesultanan Banten mengalami
kekurangan mata uang picis. Hal ini dikarenakan nilai picis terhadap
perak meningkat dan hampir empat kali lipat antara tahun 1613 dan
1618. Karena kelangkaannya dari 30.000 menjadi 8.000 setiap real.
Masuknya secara besar-besaran perak untuk membayar lada di Banten
dan bandar-bandar tersebut mengakibatkan gejolak tukar picis ini,
bahkan sekiranya persediaan picis tetap stabil.456
Selain mata uang picis, dalam pedagangan internasional
menggunakan mata uang real spanyol dan real Kesultanan Banten. Mata
455 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 2:
Jaringan Perdagangan Global… h. 117. 456 Leonard Blusse, Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women and
the Dutch in VOC Batavia… h. 40.
204
uang real Kesultanan Banten adalah mata uang yang dikeluarkan oleh
kesultanan dengan nama sultan yang menjabat saat itu. Namun, mata
uang tersebut berlaku dan dikeluarkan kesultanan ditahun 1580,
sedangkan abad XVII real spanyol adalah mata uang yang banyak
digunakan dalam perdagangan internasional. Karena setelah tahun 1580,
para sultan tidak lagi mencetak mata uang kesultanan.457
Dalam Sejarah Banten pupuh LXI,458 masa Sultan Ageng
Tirtayasa pernah memberikan hadiah sejumlah real kapada mereka yang
dianggap berjasa membunuh musuh. Hal ini menunjukan mata uang real
yang digunakan oleh sultan bukan hanya digunakan dalam hal
perdagangan. Mata uang real yang beredar di Banten terdapat beberapa
macam jenisnya, yaitu mata uang real Belanda yang terbuat dari perak,
mata uang real Banten terbuat dari tembaga dan dibuat di Banten serta
real Spanyol atau dolar Spanyol. Mata uang real Spanyol yang berlaku
di Banten lebih dapat diterima oleh para pedagang dari berbagai
negara.459
Pada awal pendirian VOC pada tahun 1602, Heeren XVII
menetapkan aturan untuk pengiriman real harus secara eksklusif, dan jika
uang real tidak dapat disediakan, maka, sebagai alternatif lainnya adalah
emas. Selama tahun 1616-1620 harga dari mata uang per 1 koin real
berfluktuasi antara 48 dan 49 Stuiver.460 Koin real dikemas dalam peti,
masing-masing berisi 8000 real. Heeren XVII pada tahun 1629
457 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi… h. 237. 458 Manuscript Sejarah Banten Pupuh LXI, h. 801. Nomor, 11. 459 Sir William Foster. C.I.E. The Voyage of Thomas Best to the East Indies
1612-1614, (New Delhi: Asian Educational Service, 1995), h. 69. 460 Stuiver adalah uang receh atau uang koin yang bernilai 5 sen atau
1/20 gulden.
205
memutuskan bahwa setiap peti bersisi 4000 real yang akan dikirim harus
dikemas setiap harinya. Saat uang real terus meningkat maka Dewan
perusahaan di Belanda mengirimkan surat ke Batavia untuk
memperkenalkan koin-koin Belanda, agar dapat memenuhi permintaan
uang selain real yang samakin meningkat setiap tahunnya.461
Pada dekade-dekade berikutnya Belanda meningkatkan ekspor
mata uang. Saat perdagangan lada meningkat di Banten, muncullah mata
uang, seperti uang komersial, dan uang untuk ekspor. Rijksdaalder
adalah mata uang Belanda yang dapat bersaing dengan real secara luas
di Nusantara. Selain digunakan di Nusantara mata uang real dan
rijksdaalder berhasil di ekspor pada tahun ke Levant dan lebih jauh ke
Armenia dan Persia.462
Ketika terjadi perang dengan Spanyol, sehingga penyebaran uang
real menjadi terhambat. Oleh karena itu, Belanda mengamankan uang
real untuk perdagangan. Pada tahun 1601, perwakilan Belanda yang
berada di Batavia saat itu memeperoleh ijin untuk penjualan uang real,
uang tersebut didapat dari persediaan real yang berada di Belanda.
Berikut ini adalah distribusi uang real dan uang Belanda pada tahun
1652-1653.
461 Kristof Glamann, Dutch Asiatic Trade 1620-1740… h. 51. 462 J. G. van Dillen, “Amsterdam Als Wereldmarkt Der Edele Metalen In De
17de En 18de Eeuw”. Journal De Economist. December 1923, Volume 72. h. 586.
206
Tabel 18
Distribusi uang real dan uang Belanda463
Daerah Real Rijksdaalder
Jawa464 dan Sumatera 61,798 206,805
Maluku - 33,150
Malaka - 12,750
Arakan 59,653 12,750
Coromandel - -
Ceylon - 12,750
Cina - -
Jumlah 121,451 285,855
Permintaan akan uang semakin meningkat di akhir abad XVII
yaitu selama periode 1680-1685 lebih dari 200.000 real dibeli dengan
nilai sekitar 700.000 fl. Pembelian dilakukan selama tahun 1683, 1684,
dan 1685, dan untuk memudahkan penjualan maka pembayaran pada di
awal tahun 1680 hanya sebesar 2% persen, pada 1683, 14% dan pada
1684 berada pada 17 11/17%. Hal ini berlaku diseluruh Nusantara, Malaka,
Batavia, Banten, Jepara, Banjarmasin, Ambon, Banda, Ternate, Solor,
Timor, Makasar, lebih lanjut Palembang, Jambi, Indragiri, Malaka,
Perak, Ligor, Achin, dan stasiun-stasiun di pantai Barat Sumatera
(Padang, Pulau Poulo Chinco, Baros, dan Priaman).465
463 Kristof Glamann, Dutch Asiatic Trade 1620-1740… h. 59. 464 Distrubisi uang daerah Jawa meliputi Banten dan Batavia yang merupakan
daerah dengan permintaan uang paling tinggi. 465 Kristof Glamann, Dutch Asiatic Trade 1620-1740… h. 64.
207
Mata uang yang dicetak di Batavia merupakan mata uang yang
akan didistribusikan keseluruh Nusantara, salah satunya Kesultanan
Banten, karena permintaan dan penggunaan uang di Banten melebihi
daerah lainnya di Nusantara. Berikut ini pasokan perak dan emas pada
tahun 1652-1653 yang berasal dari Belanda dan bahkan emas dikirim
dari Makasar dan Maluku.
Tabel 19
Penyebaran uang perak dan emas466
Perak dan emas Belanda Asia Total
Real - 248,400 248,400
Rijksdaalder 150,122 6,166 156,288
Emas batangan - 203,991 203,991
Jumlah 150,122 458,557 608.679
Permintaan untuk emas dan logam dari Belanda meningkat
selama periode 1650 hingga 1657 sebesar 800.000 fl dan bahkan
mencapai 1 juta fl. Namun, dengan tingginya permintaan Heeren XVII
pun memotong permintaan, tetapi tidak selalu sama setiap tahunnya.
Real 600.000 fl, rijksdaalder 300.000 fl, dan mata uang lainnya yang
terbuat dari perak mencapai 300.000 fl.467
Penggunaan mata uang pun dapat memengaruhi dan
mengendalikan harga perdagangan. Turunya harga koin real468
memberikan pengaruh bagi naik turunnya harga, akhir abad XVI harga
466 Kristof Glamann, Dutch Asiatic Trade 1620-1740… h. 59 467 Kristof Glamann, Dutch Asiatic Trade 1620-1740… h. 60. 468 Faktor turunnya nilai koin dipengaruhi oleh lalu lintas pelayaran dagang
yang dikendalikan oleh persediaan dan permintaan pada komoditas dagang. Hal ini di
lakukan oleh pemerintah Banten untuk mengendalikan harga (kebijakan reguler).
208
komoditas lada naik dalam waktu singkat. Saat itu para pedagang
Belanda resah akan inflasi yang tidak terduga, akibat uang real dengan
jumlah besar yang mereka beli dan edarkan di Banten. Harga real saat
Belanda pertama datang ke Banten nilainya setara 12.000 cash, dan
segera jatuh kurang dari 6.000 cash, dan kenaikan harga dari semua
komoditas yang tidak dapat di hindari.469
Selain itu, persediaan mata uang real mungkin menjadi lebih
kecil, karena komoditas lada semakin sering digunakan untuk barter
dengan komoditas kain, yang sering menghasilkan keuntungan yang jauh
lebih tinggi 80% dari pada pengunaan real sebagai alat tukar jual beli
lada.470
Penggunaan uang dalam perdagangan pun dijadikan sebagai alat
pinjam meminjam. Hal ini banyak dilakukan oleh orang Cina yang kaya,
mereka melakukan kegiatan rentenir di Banten. Tidak hanya orang Cina,
pedagang Melayu dan keling pun melakukan hal yang sama, kerap
meminjamkan uangnya kepada pedagang yang membutuhkan.
Keuntungan dari kegiatan tersebut adalah mereka menerapkan bunga
dalam setiap kali peminjaman. Semakin lama uang yang dipinjamkan,
maka keuntungan akan semakin besar bagi rentenir.471
Keuntungan yang didapatkan dari pinjam meminjam uang ini
tidak sepenuhnya ditentukan oleh lama tidaknya si peminjam
mengembalikan modal, akan tetapi didapatkan dari berhasil tidaknya si
peminjam menggandakan uang yang dipinjam. Uang tersebut digunakan
469 M. A. P. Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630… h. 403 470 M. A. P. Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630… h. 405 471 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi… h. 239.
209
sebagai modal oleh pedagang tersebut dan yang dipinjam harus
dikembalikan dengan jumlah dua kali lipat. Sebaliknya bila peminjam
mengalami kerugian dan tidak mampu membayar kembali uang yang
dipinjamnya, maka ia harus menyerah seluruh anak istrinya sampai ia
mampu melunasi hutangnya.472
Banyaknya mata uang yang dipakai di Kesultanan Banten seperti
real Banten, real atau dolar Spanyol, picis atau cash, dan dinar,
menandakan bahwa kegiatan perdagangan dan pertukaran mata uang
yang dipakai merupakan bagian aktivitas perdagangan lokal maupun
internasional. Para pedagang yang membawa uang dari negerinya harus
menukarkan uang terlebih dahulu dengan mata uang yang berlaku di
Banten. Semakin banyak para pedagang yang melakukan transaksi maka
nilai mata uang yang berlaku akan mengalami naik turun seiring dengan
banyak tidaknya mata uang yang beredar di Banten.
C. Penerapan Bea Cukai dan Pajak
Kesultanan Banten merupakan kerajaan besar yang bertumpu
pada perdagangan, maka diperkirakan sumber penghasilan tersebar yang
diperoleh pihak kesultanan berasal dari sektor ini, antara bea masuk dan
pajak penjualan. Tempat pintu masuk yang akan terbuka bila kapal telah
membayar bea masuk terdapat di Pabean. Besarnya bea masuk
tergantung dari banyak tidaknya barang dagang komoditas yang
diperdagangkan termasuk negara para pedagang tersebut menentukan
472 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi… h. 240.
210
pajak yang harus dibayar, dan pajak pedagang Belanda lebih besar473
dibandingkan dengan pedagang Cina.474
Pajak barang ekspor merupakan pajak yang harus dibayar oleh
para pedagang dengan jumlah yang besar. Untuk pajak barang masuk
dikenakan kewajiban bagi para pedagang membawa berbagai
persembahan baik untuk sultan, Tumenggung dan Syahbandar. Hal
tersebut menunjukkan bahwa ada berbagai kewajiban, baik yang berupa
uang maupun barang yang harus diberikan kepada pihak pemerintah
Kesultanan Banten.475
Pajak perdagangan yang berupa bea cukai perdagangan ekspor-
impor wajib dilaksanakan oleh seluruh pedagang. Namun, jumlahnya
tidak sama. Kas negara dari pajak perdagangan didapat dari para
pedagang asing yang membayar pajak paling besar, sedangkan para
pedagang lokal dibebankan atas pajak hewan ternak, rumah, perahu dan
pajak pasar.476 Pembayaran pajak juga diterapkan pada pertanian, tetapi
pajak dari hasil pertanian tidak bisa dibandingkan dengan hasil pajak dari
473 Perlakuan yang tidak sama dalam membayar pajak yang dirasakan oleh
pedagang Belanda dan Cina dikarenakan ada berbagai masalah yang dialami oleh kedua
bangsa tersebut. Hubungan dagang antara orang Cina dengan pihak kesultanan sudah
berjalan lebih lama dibandingkan dengan pedagang Belanda. Sikap pedagang Cina
yang semata-mata berorientasi pada masalah ekonomi sangat berbeda dengan sikap
Belanda yang merambah ke soal politik. Ramainya perdagangan di Kesultanan Banten
akibat banyaknya dagang Cina yang terlibat, sehingga ketergantungan pihak
pemerintah terhadap pedagang Cina sangat besar dibandingkan dengan pedagang
Belanda. 474 Uka Tjandrasasmita, Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-
Kerajaan Islam di Indonesia… h. 80. 475 W.P. Groeneveldt, Nusantara dalam Catatan Tionghoa: Historical Notes
in Indonesian and Malaya Compiled from Chinese Sources, (Jakarta, Komoditas
Bambu, 2018), h. 56. 476 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, dari
Emporium Sampai Imporium, (Jakarta: PT. Gramedia Psutaka Utama, 1984), h. 111.
211
pajak pelabuhan, pajak ekspor, pajak timbangan dan pajak pasar serta
penyeberangan.477
Sekitar tahun 1618 dalam berita Cina Tung-His-Yang K’au,
sultan Banten untuk kepentingan pedagangan menunjuk dua tempat di
luar kota dan pasar. Campur tangan sultan dengan masalah pasar sebagai
pusat-pusat perdagangan dan kegiatan ekonomi sudah tentu diharapkan
mendatangkan penghasilan bagi kesultanan, untuk kepentingan
pembiayaan perlindungan keamanan dan ketertiban termasuk para
pedagang dan pasar-pasar itu sendiri. Menurut pendapat John Hicks,
campur tangan pemerintah dalam masalah pasar sekalipun harus siap
menghadapi masalah dan kekacauan yang biasa timbul di pasar. Selain
itu juga, kegiatan ekonomi di pasar-pasar adalah dengan adanya
penarikan pajak-pajak, menurut berita Cina pada tahun 1618 raja setiap
hari menarik cukai dari pasar.478
Berkaitan dengan hal tersebut ketika sebuah kapal Cina berlabuh
ke Banten maka seorang petugas datang ke kapal itu untuk meminta
keterangan. Nahkoda kapal memberikan sekeranjang jeruk dan dua buah
payung kecil. Selanjutnya petugas tersebut melaporkan secara tertulis
kepada Sultan Banten dan ketika berlayar memasuki pelabuhan Banten
dihadiahkan kepada sultan buah-buahan dan berpotong-potong kain
sutera.479
Infromasi tersebut di atas menunjukkan bahwa ada berbagai
kewajiban, baik yang berupa uang maupun barang yang harus diberikan
477 Ito Takeshi, The World of The Adat Aceh A Historical Study of The
Sultanate of Aceh. Disertasi. (Canberra: Australia National University, 1984), h. 335. 478 Uka Tjandrasasmita, Banten Sebagai Pusat Kekuasaan dan Niaga Antar
Bangsa. Makalah, Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra… h. 114. 479 W.P Groeneveldt, Historical Notes in Indonesia and Malaya Compiled
from Chinese Sourses… h. 56.
212
kepada pemerintah Kesultanan Banten. Keadaan ini dapat pula diartikan
bahwa apakah yang diterima oleh pihak Kesultanan Banten terdiri dari
dua macam, yaitu pajak langsung, pajak yang resmi yang harus dibayar,
pembayaran pajak resmi lebih menguntungkan karena berdasarkan
kesepakatan yang telah disetujui oleh masing-masing bangsa. Pajak tidak
resmi yaitu berupa hadiah. Besarnya pajak resmi ditentukan oleh pihak
pemerintah, sedangkan besar tidaknya pajak tidak resmi sangat
tergantung pada kepada si pemberi pajak.480
Penguasa Banten mendapat pemasukan yang besar dari bea yang
di dalamnya tidak hanya termasuk cukai ekspor dan impor namun juga
iuran pelabuhan dan semacamnya perkampungan pedagang membayar
jumlah perkapal yang dibulatkan, 2/3 dari total pembayaran tersebut
masuk kantong raja dan sisanya ke Syahbandar. Sistem bea cukai
tersebut mirip dengan yang ada di Malaka. Pada tahun 1607 pemerintah
Banten tiba-tiba mengadakan bea cukai yang besarnya 8%. Alasan yang
mereka berikan atas kenaikan cukai itu adalah jatuhnya harga jual lada
dari 4 real ke 2 real.481
Kapal-kapal Belanda dan Inggris yang datang ke Pelabuhan
Banten harus membayar 1.500 real untuk uang jangkar (uang berlabuh)
dan 1 real untuk setiap kantong lada dan yang diekspor (jadi sekitar 8%).
Tetapi sekitar pertengahan abad XVII orang-orang Inggris berhasil
menukar pembayaran uang jangkar sebesar 800 real dengan cara
memberi hadiah-hadiah kepada para penguasa Kesultanan Banten.482
480 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi… h. 424. 481 Nina. H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara... h. 78 482 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 2:
Jaringan Perdagangan Global… h. 254.
213
Selain itu, barang yang masuk pelabuhan dikenakan bea cukai
yang besarnya ditentukan oleh Syahbandar. Syahbandar pun
menerapkan berbagai bajak yang besarnya bervariasi. Cukai ekspor tidak
hanya dipungut dari lada namun, juga pada produk lainnya seperti, sutra,
kayu cendana, dan gading gajah. Produk-produk yang tidak dihasilkan
dari Banten, maka pajak yang harus dibayar lebih besar daripada lada,
sementara orang-orang Belanda harus membayar cukai impor sebesar
3% atas kain.483 Pada tahun 1608 Syahbandar Banten menarik bea cukai
dan pajak terhadap kapal Banten milik VOC yang akan mengekspor
8.440 karung lada 11.533 fl.484
Tabel 20
Pajak Kesultanan Banten485
Pajak kerajaan sebesar 8% menurut harga pembelian
yang ditetapkan (4 real per karung) fl 6.346
Ruba-ruba untuk Syahbandar (250 real per 6000 karung) fl 826
Ruba-ruba untuk raja (500 real per karung) fl 1.625
Beli-belian, suatu pajak khusus (666 real per karung) fl 2.201
Pangroro, pajak khusus yang lain, 11½ cash per karung fl 14
Pajak untuk juru tulis, dihitung per 100 karung fl 198
Pajak untuk juru timbang, dihitung per 100 karung fl 198
Biaya untuk mengangkut lada ke rumah timbang fl 98
Total pajak fl 11.533
483 H. T. Colenbrander, Jan Pietersz Coen Bescheiden, Omtrent Zijn Bedrijf
in Indie, Vol I, Eerste Deel ('S-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1919), h. 64. 484 Nina. H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara... h. 78. 485 Nina. H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara... h. 78
214
Jumlah 11.533 fl, ini harus dibayar sebagai pajak ekspor barang
seharga 33.760,00 fl. Kain yang dimasukkan Belanda juga dikenakan
pajak sebesar 3% dari harga jual, bahkan untuk barang ekspor yang
bukan hasil dalam negeri juga dikenakan pajak lebih besar.486 Pada
kenyataannya, besar pajak yang ditetapkan oleh Syahbandar487 Banten
tidaklah sama. Syahbandar hanya menarik pajak kerajaan hanya 5% bagi
para pedagang Cina tetapi mereka diwajibkan membawa berbagai hadiah
untuk penguasa Banten. Semuanya bergantung pada keharmonisan
antara Syahbandar dan para pedagang.
Untuk barang-barang ekspor yang bukan merupakan hasil Banten
sendiri dipungut biaya pajak yang lebih besar, misalnya lada dari luar.
Selanjutnya ada pajak dari barang berupa kain yang dikenakan 3% bea
impor. Menurut laporan pegawai-pegawai VOC, Kesultanan Banten
mempersulit usaha-usaha perdagangan Belanda. Bea cukai dinaikkan,
sedangkan pada tahun 1615 barang yang sebelumnya bebas pajak
dikenakan pajak. Belanda untuk mendapatkan hak monopoli di Banten,
membujuk syahbandar dan juru tulis dengan diberikan hadiah
kepadanya, agar barang-barang yang dibawa oleh Belanda bebas dari
486 Halwany Michrob, Catatan Masa Lalu Banten… h. 107. 487 Syahbandar adalah pejabat kerajaan yang bertugas mengatur dan
mengawasi perdagangan. Syahbandar bisa menjadi orang yang sangat berkuasa,
walaupun dikatakan tidak diberi gaji oleh raja. Disamping penghasilan dari bea cukai,
syahbandar di Banten mendapat sebagian uang pajak untuk belabuh (ruba-ruba).
Biasanya jumlah yang harus dibayar seluruhnya (pajak berlabuh dan bea cukai)
ditetapkan sekaligus untuk setiap kapal, dua pertiga untuk raja dan sisanya untuk
syahbandar. Syahbandar dianggap sebagai golongan “borjuis” (bourgeois atau
golongan orang kaya kota). Tidak jarang kedudukan syahbandar dipegang oleh orang
asing, dalam hal ini orang India atau Cina. Namun sejak tahun 1609, pemerintah Banten
hanya menunjuk pedagang Cina sebagai syahbandar. Lihat Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia III, hlm.162 ; Djoko Suryo, Ekonomi Masa Kesultanan, h. 278;
Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, h. 249
215
pajak. Akan tetapi bujukan Belanda untuk memperoleh monopoli tidak
berhasil.
Pajak dan bea cukai dapat memengaruhi fluktuasi harga
komoditas ekspor-impor. Hal ini terjadi karena syahbandar menolak
hadiah dari Belanda yang ingin terbebas dari pajak dan bea cukai
terhadap barang ekspor-impor. Akhirnya Belanda mulai menarik
pedagang-pedagang dari dan menuju Banten di alihkan ke Jayakarta.
Perbuatan Belanda tersebut mengakibatkan ekonomi di Banten saat itu
mulai mengalami kemunduran lebih dari 8 windu, harga komoditas
ekspor-impor berfluktuasi terutama pada komoditas lada, akibat
memburuknya kondisi ekonomi Banten saat itu.488
Tahun 1608 (lihat tabel 22), saat harga komoditas lada turun,
pemerintah Banten ingin memperhitungkan bea cukai terhadap jatuhnya
harga jual lada. Hal ini menyebabkan ketegangan terhadap Belanda yang
mencoba memperoleh monopoli perdagangan dengan cara menentukan
harga yang telah mereka tentukan sendiri. Sementara pemerintah Banten
ingin mengembalikan harga lama komoditas lada atas dasar bea cukai
yang mereka ambil atas perdagangan lada.
Berbeda dengan Belanda, pedagang Inggris lebih
mempertimbangkan motif para penguasa Banten dalam hal penarikan
pajak dan bea cukai terhadap komoditas perdagangan, yang di anggap
oleh Inggris tidak masuk akal489 karena mereka telah melihat tindakan
488 Adrian. B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan
17, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 111. 489 Peter floris, His Voyage to the East Indies in the Globe 1611-1615,
(London: Printer For The Hakluyt Society, 1934), h. 23.
216
para penguasa Banten yang telah memeras dan melakukan tindakan
korupsi terhadap harga komoditas.490
Pajak memiliki peranan penting bagi Kesultanan Banten, karena
pajak merupakan sumber utama pendapatan negara. Pajak yang dipungut
digunakan pemerintah untuk membiayai pengeluaran dan pembangunan.
Pengeluaran seperti, biaya gaji pegawai, pembelian peralatan kegiatan
pemerintah dan sebagainya. Sedangkan pembangunan terdiri dari
pembangunan jembatan, jalan raya, pembangunan keraton dan
sebagainya.
Kesultanan Banten telah membangun kantor dinas pelabuhan bea
cukai atau pajak tempat tersebut dinamakan Pabean yang digunakan
untuk membayar pajak bagi para pedagang. Kantor tersebut mengawasi
semua kegiatan ekspor-impor barang dagangan. Barang dagang impor
ditempatkan di sebuah gudang di bawah pengawasan bea cukai sebelum
dikirim ke daerah lainnya, di situ pula lah dilakukan pembayaran pajak
barang dan pajak-pajak yang harus dibayar oleh para pedagang ketika
kapal mereka merapat di pelabuhan Banten. Untuk menghitung pajak
digunakanlah timbangan dacing.491
Pajak yang telah ditentukan oleh pemerintah Kesultanan Banten
bukan hanya dalam bentuk perdagangan ekspor-impor. Pembayaran
pajak juga dihasilkan dari tempat-tempat hiburan yang berada di
490 William Foster, Letters Received By The East India Company 1615,
(London: Sampson Low, Marston & Company St. Sunstatt'a Mouse Fetter Lane, Fleet
Street, E.C, 1899), h. 276. 491 Alat untuk menimbang sesuatu berupa tongkat yang diberi skala yang
dilengkapi dengan anak timbangan dan tempat untuk meletakkan barang (yang
ditimbang, digantungkan pada tongkat tersebut. Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka,
1991), h. 201.
217
pelabuhan Banten.492 Selain pajak yang menjadi kas negara, Kesultanan
Banten pun banyak menyita harta dari para pelaku perdagangan yang
melakukan kesalahan. Semakin besar kesalahan, maka denda dari
penyitaan barang semakin banyak.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kian banyak pelanggaran
dilakukan, kekayaan kesultanan semakin bertambah. Denda mengacu
pada sejumlah uang sedangkan penyitaan berbentuk barang. Besarnya
denda tergantung dari harta milik tersita. Terlepas dari kewenangan yang
dimiliki pihak pemerintah, keadaan ini menggambarkan bahwa pihak
kesultanan memperoleh keuntungan materi dari peristiwa tersebut.
Seluruh kekayaan yang terhimpun pada akhirnya ada pula yang
disalurkan kembali guna kepentingan masyarakat, atau mungkin sekali
digunakan sebagai tambahan modal untuk mengembangkan usaha dalam
perdagangan.493
D. Fluktuasi Perdagangan Ekspor-Impor
1. Faktor Internal
a. Ekonomi Politik
Fluktuasi ekspor-impor di Banten disebabkan oleh 2
faktor utama, yaitu faktor ekonomi politik, dan perubahan iklim
di Banten. Ekonomi Politik Banten menjadi faktor internal yang
paling memengaruhi harga ekspor-impor perdagangan, salah
satunya saat terjadi Peristiwa Pailir.494 Pertentangan antar
492 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 97. 493 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi… h. 243. 494 Peristiwa Pailir terjadi pada bulan Juli 1608. Terjadinya peristiwa tersebut
karena adanya perebutan kekuasaan di dalam istana pada masa Sultan Abdul Mafakhir
Mahmud Abdul Kadir (1596-1651) dengan perwalian Mangkubumi Yayanegara. Lihat
218
pembesar kerajaan yang menimbulkan persaingan tidak sehat
antar mereka. Masing-masing kelompok dari kelompok
Mangkubumi dan kelompok para pangeran yang menjadi perusuh
yaitu Pangeran Mandalika, dan putra Maulana Yusuf berusaha
memperkuat kedudukan dirinya dalam segala segi.
Para pangeran lainnya seperti Pangeran Arya
Ranamanggala, Pangeran Mandura, Pangeran Kulon, Pangeran
Singaraja, Ratu Bagus Kidul, Dipati Yudanegara, melakukan
perbuatan yang tidak sesuai hukum yang berlaku, sehingga
banyak terjadi perampokan kapal-kapal asing ataupun pribumi.
Selain itu, para pangeran tersebut merencakana untuk membunuh
Mangkubumi dengan ditunjuklah Dipati Yudanegara untuk
menyerang dan membunuh Mangkubumi dengan menggunakan
sebilah tombak, kejadian ini berlangsung pada tanggal 23
Oktober 1608.495 Karena tindakan mereka itulah perniagaan di
Banten terhenti, sehingga terjadi penurunan harga barang ekspor-
impor.496
Konflik di Banten yang menyebabkan menurunnya
ekonomi dan terjadinya fluktuasi harga komoditas berawal dari
kebijakan mangkubumi yang mencampuri urusan di luar istana
yaitu dalam perdagangan. Saat mangkubumi menjabat sebagai
wali raja, lebih disibukkan kepada mengurusi para pedagang
asing yang banyak menimbulkan keributan dengan anak negeri.
Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten. (Jakarta: Djambatan,
1983), h. 169. 495 Manuschript Sejarah Banten, No, 15-17, h. 388 496 Halwany Michrob, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Saudara Serang,
1993), h. 102.
219
Para pengaran Banten merasa kekuasaan mangkubumi hanya
sebatas di dalam istana, sementara urusan di luar istana adalah
hak para pengeran. Karena mangkubumi tidak mengetahui
bahaya dari para pedagang asing tersebut yang dapat bahkan telah
mengancam seluruh Banten dan membuat rakyat menderita.
Akibat perjanjian dagang yang lebih banyak menguntungkan
pribadi, selain itu mangkubumi juga menerima suap dari para
pedagang asing.497
Akibatnya, peraturan dari mangkubumi tidak dihiraukan
oleh sebagian besar pangeran. Karena untuk urusan di luar istana
setiap pangeran dapat mengeluarkan peraturan sendiri yang
bertentangan dengan peraturan mangkubumi. Akhirnya, pada
bulan Oktober 1604 Pangeran Mandalika, dan putra Maulana
Yusuf menahan jung dari Johor. Berawal dari persitiwa tersebut
terjadilah peristiwa Pailir di Banten.
Sementara tahun 1620, saat politik internal di pegang oleh
wali raja Pangeran Ranamanggala telah membuat keputusan
kebijakan ekonomi yaitu melarang semua jenis ekspor lada,
sehingga lada yang disimpan dalam jumlah besar menjadi busuk.
Selama Ranamanggala berkuasa larangan atas penjualan lada di
Banten masih diberlakukan sangat ketat. Hampir tidak penjualan
lada di Batavia, bahkan penyelundupan meskipuun di Batavia
lada bernilai 6 real perkarung, dan sedangkan di Banten harga
lada masih ½ real perkarung.498
497 Halwany Michrob, Catatan Masa Lalu Banten… h. 99. 498 H. T. Colenbrander, Jan Pietersz Coen Bescheiden, Omtrent Zijn Bedrijf in
Indie… h. 776.
220
Para pedagang Cina pun di batasi, mereka hanya
diperbolehkan untuk membeli setelah Belanda dan Inggris
mendapatkan apa yang mereka inginkan, dan pedagang Cina
tidak diperbolehkan untuk menjual kembali komoditas yang di
beli di Banten kepada para pedagang Eropa lainnya.499 Akibatnya
pedagang Eropa terutama Belanda melakukan aksi blokade
terhadap Banten.
Perubahan menyeluruh akibat kebijakan dari
Ranamanggala mempunyai dampak yang begitu mengerikan bagi
penduduk Banten. Dalam beberapa tahun penduduk menjual
hasil pertanian dengan harga yang sangat rendah, karena para
bangsawan dan pemilik perkebunan tidak lagi diizinkan menjual
lada, sehingga mereka mengalami kejatuhan harga. Harga
sekarung lada yang masih bias ditawar antara 5,5 dan 6,5 real
tahun 1618, setelah sebelum pencabutan pohon-pohon lada jatuh
menjadi 0,75 real tahun 1620, dan 0,5 real tahun 1621, sampai
0,3 real tahun 1623.500 Dengan adanya larangan penanam lada,
penduduk beralih menanam padi dan gula, dan tahun 1631 panen
raya padi menghasilkan 100.000 karung berkisar 3.000 ton. Hal
ini tidak pernah di dapatkan di tahun-tahun sebelumnya.501
Pangeran Ranamanggala bermaksud menghapuskan
semua kegiatan perdagangan di Banten. Pelabuhan nyaris punah
dengan perginya sebagian besar pedagang keluar dari Banten.
Pedagang India telah di usir, loji-loji pedagang Eropa tidak ada
499 M. A. P. Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630… h. 417. 500 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 185. 501 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 187.
221
algi di pelabuhan. Pedagang Portugis tidak lagi berani mendekati
Pelabuhan Banten. Ranamanggala memutuskan untuk mengubah
negerinya menjadi negeri pertanian dan pemerintah akan
membagikan tanah kepada penduduk, sehingga mereka bias
mencari nafkah dengan menanam padi dan umbi-umbian.502
Tahun 1624, saat Panegran Ranamanggala
mengundurkan diri dari kekuasaannya, saat itulah putra mahkota
naik tahta karena telah melebihi usia dewasa 28 tahun. Namun,
setelah kenaikan putra mahkota keadaan Banten tidaklah
membaik karena di tahun 1625 Kota Banten diserang wabah yang
mematikan dalam jangka waktu 5 bulan.503 Selain itu keadaan
politik pun tidaklah membaik malah semakin memburuk, karena
pengepungan pelabuhan yang dilakukan oleh Batavia dan
ancaman dari Kerajaan Mataram, yang ingin menyatukan seluruh
Pulau Jawa di bawah Kekuasaan Mataram. Tahun 1626504
Mataram merencanakan serangan terhadap Banten hingga tahun
1630, yang mengakibatkan ekonomi Banten melemah, karena
pemerintah Banten disibukkan dengan melawan Kerajaan
Mataram.
Selama 15 tahun masa pemulihan pemerintah Banten,
perdagangan semakin membaik tetapi keadaan politik masih
belum stabil untuk menjadikan Pelabuhan Banten sebagai
pelabuhan yang menarik kembali bagi pedagang asing. Hal ini
502
503 De Jonge, De Opkomst Van Het Nederlandsch Gezag In Oost-Indie… h.
100. 504 H. T. Colenbrander, Jan Pietersz Coen Bescheiden, Omtrent Zijn Bedrijf in
Indie… h. 581.
222
membuat pedagang asing memilih Makassar sebagai tempat
berniaga mereka.
b. Perubahan Iklim dan Cuaca
Faktor lain yang erat hubungannya dengan fluktuasi
harga komoditi yaitu keadaan alam dan lingkungan setempat.
Banten mengalami masa kekeringan yang tinggi dari tahun 1643-
1671. Akibat kekeringan tersebut, Banten melakukan impor beras
dari Jawa terutama dari Jepara. Penyediaan beras menjadi begitu
mengkhawatirkan sehingga sultan memerintahkan agar
dilakukan upacara di seluruh daerah dan semua penduduk agar
berpuasa dan berdoa agar hujan turun dan membasahi
persawahan, karena saat itu sawah-sawah petani mengalami
kekeringan hingga menyebabkan gagal panen. Krisis ini
disebabkan pertama oleh cuaca yang tidak menentu, dan krisis ini
menjadikan penduduk Banten meminta pertanggungjawabannya
kepada Sultan Ageng Tirtayasa untuk bisa mengembalikan
kondisi di Kesultanan Banten kembali normal.505
Fluktuasi harga beras terjadi pada tahun 1676
dikarenakan faktor cuaca yang mempengaruhi hasil produksi
padi para petani, persawahan mereka tergenang air akibat hujan
dan mengalami kekeringan saat musim kemarau serta serangan
dari hewan pengerat tanaman padi di sawah. Oleh karena itu,
pada tahun 1676 sultan mengirim kapalnya ke Siam untuk
mengimpor beras, sedangkan pedagang Inggris membawa beras
505 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 191.
223
dari Benggala.506 Setelah panen padi dari petani di Jawa Tengah
beras kemudian didatangkan kembali dari Jawa. Namun,
harganya tetap 50 real. Krisis ini berlanjut tahun 1677 dan 1678.
Pada bulan Juni 1677 harga beras mencapai 55 real dan Maret
1678,507 harga beras mencapai 80 real, kenaikan harga tersebut
mencapai 400% dihitung dari tahun 1674.508
Tabel 21
Fluktuasi harga beras tahun 1675-1678.509
Tahun Harga Jenis Beras
1675 20-50 real Last
1675 (Juli) 50 real Koyang
1675 (November) 400 real Koyang
1675 (Desember) 40-50 real Koyang
1676 50 real Last
1677 55 real Koyang
1678 80 real Koyang
Krisis yang menyebabkan fluktuasi harga beras ini
disebabkan oleh keadaan cuaca yang tidak menguntungkan,
karena musim kering yang berkelanjutan hingga bertahun-tahun.
Selain itu, kurangnya jumlah penduduk, serta penanaman secara
506 A. Van Der Chijs, Dagh Register Gohenden Int Casteel Batavia Anno 1675.
12 January 1976. (Batavia Landsrukkerij: S’Hage M. Nijhoff, 1903), h. 8. 507 F. De Haan, Dagh Register Gohenden Int Casteel Batavia Anno 1675. 18
Maert 1678, (Batavia Landsrukkerij: S’hage M. Nijhoff, 1903), h. 103. 508 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 191 509 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII… h. 191.
Lihat J. A. Van Der Chijs, Dagh Register Gohenden Int Casteel Batavia 1677. 18 Juny
1977. (Batavia Landsrukkerij: S’Hage M. Nijhoff, 1904), h. 178. F. De Haan, Dagh
Register Gohenden Int Casteel Batavia 1678. 18 Maert 1678… h. 103.
224
besar-besaran pada bahan ekspor (lada), yang mengakibatkan
penurunan pada sektor pertanian (padi).
Kondisi iklim Banten yang tidak menentu menyebabkan
timbulnya beberapa penyakit tanaman. Terutama pada tanaman
lada, penyakit busuk pangkal batang yang menyerang tanaman
ini lalu menyebar penyakit kuning yang merusak kebun-kebun
lada, jamur akar, busuk tunggul, keriting daun, karat merah,
bercak daun, sarang laba laba dan jamur upas merebaknya
walang sangit pemakan bunga dan buah lada menjadi persoalan
tersendiri. Selain itu, pemeliharaan kebun lada yang tidak optimal
dapat menyebabkan menurunnya keseburan tanah dan hasil
panen, sehingga jika panen mengalami pernurunan maka harga
jual lada akan meningkat.510
Akhir abad XVII hingga abad XVIII, sistem pertanian
lada yang ekstensif di Banten mengakibatkan terjadinya
sedimentasi yang besar. Dampak langsungnya tentu saja
pendangkalan alur sungai dan bahkan yang terparah adalah
terjadinya sedimentasi di daerah muara sungai yang berakibat
makin dangkalnya pelabuhan alam Banten. Hal ini
mengakibatkan kapal-kapal besar tidak dapat lagi merapat di
pelabuhan Banten.
Rusaknya lingkungan, khususnya daerah perairan baik
pedalaman maupun pesisirnya. Terjadinya sedimentasi membuat
proses pengangkutan hasil produksi dari pedalaman ke pelabuhan
menjadi terganggu, juga kapal-kapal besar yang hendak
510 Iim Imadudin, “Perdagangan Lada di Lampung dalam Tiga Masa (1653-
1930)”. Patanjala. Vol. 8, No. 3 2016, pp. 349- 364, h. 361.
225
mengangkut lada dari pantai kesulitan untuk berlabuh karena
terjadinya pendangkalan di daerah pelabuhan. Akibatnya harga
lada berfluktuasi dikarenakan rusaknya lingkungan.511
Sedangkan industri penggilingan gula mengalami
penurunan akibat penyakit tumbuhan liar di kebun tebu
tumbuhnya alang-alang yang menghambat pertumbuhan
tanaman tebu, kelangkaan ternak untuk membajak perkebunan.
Kelangkaan pekerjaan orang berulang kali menyebabkan
penundaan untuk penanaman dan masa panen tebu.512
2. Faktor Eksternal
Fluktuasi harga terjadi tidak hanya pada ekonomi politik
internal dalam istana. Namun, adanya ekonomi politik eksternal pada
pedagang asing sebelum dibentuknya VOC. Adanya persaingan ketat
antara para pedagang asing terutama pedagang Belanda yang berlomba-
lomba untuk mendapatkan rempah-rempah, maka keuntungan para
pedagang sedikit dan mereka mengalami kerugian besar akibat adanya
persaingan tersebut. Persaingan antara Belanda dan Inggris
mengakibatkan naiknya harga secara tidak wajar, dan masing-masing
dari mereka mengeluhkan ketika kedatangan kapal-kapal yang datang
dari masing-masing negara yang mengakibatkan kenaikan harga
komoditas.513
511 Ery Soedewo, “Lada Si Emas Panas: Dampaknya bagi Kesultanan Aceh
dan Kesultanan Banten”. Artikel Balai Arkeologi Medan. Edisi No. 23/Tahun
XI/Januari 2007, h. 21. 512 Tio Poo Tjiang, De Suikerhandel Van Java… h. 121. 513 William Foster, Letters Received By the East India Company 1615… h.
274.
226
Kerugian yang mereka dapat mencapai 5 laksa gulden. Oleh
karena itu, untuk mengatasi kerugian tersebut maka dibentuklah VOC
pada tahun 1602 dengan modal pertama 6,5 juta guden, dengan tujuan
untuk mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya serta memperkuat
kedudukan Belanda.514
Pedagang Belanda mengandalkan persekutuan dagangnya
berupaya mempengaruhi Sultan Banten agar mendapatkan hak monopoli
pembelian. Kegiatan tersebut juga dilakukan oleh pedagang Inggris.
Sedangkan cara yang dilakukan oleh pedagang Cina adalah mereka
masuk ke pedalaman kawasan petani di musim panas untuk mencari lada
dengan kualitas yang baik. Selain itu pedagang Cina memberikan
pinjaman uang untuk para petani sebagai modal untuk mendapatkan
keuntungan yang lebih besar dari perdagangan lada. Persaingan di antara
para pedagang asing tersebut membuat harga perdagangan terutama pada
komoditas lada mengalami fluktuasi setiap tahunnya.515
Pertentangan antara Banten dan VOC memperparah fluktuasi
perdagangan di Banten. Hal tersebut terjadi karena hubungan antara
Jayakarta dan Banten semakin renggang akibat perbuatan VOC. Jan
Pieterzoon Coen yang memperburuk keadaan dengan memindahkan
kegiatan dagang Belanda dari Banten ke Jayakarta, sehingga
perdagangan di Banten sedikit menurun. Selain itu, untuk mengacaukan
perekonomian Banten, VOC mengadakan blokade ekonomi. VOC tidak
membeli lada dari Banten, bahkan kapal-kapal asing dilarang berlabuh
514 Halwany Michrob, Catatan Masa Lalu Banten… h. 111. 515 Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan
Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi Ekonomi… h. 121.
227
di Banten. Perbuatan VOC tersebut sangat merugikan Banten, sehingga
harga lada di pasar Banten menurun tajam.516
Ketika blokade Belanda atas Banten terganggu oleh ekspor lada
dan impor bahan pangan lainnya, ketika itu perkebunanan lada
mengalami perubahan beralih fungsi menjadi persawahan. Petani saat itu
mulai menanam tebu, padi, dan lainnya, karena bahan pangan tersebut
merupakan produk yang dapat mereka jual selain lada.517
Banten terpaksa harus beralih dari tanaman ekspor ke tanaman
pangan karena diblokade dari laut, suatu taktik favorit VOC yang
digunakan terhadap kota-kota yang bergantung pada impor bahan
pangan. Banten adalah pelabuhan yang paling sering menderita, dalam
tahun 1630-an ada gerakan besar-besaran untuk menanam padi.518
Naik turunnya harga komoditi ekspor-impor di Banten,
sebagaimana diberitakan oleh Jan Jansz Karel tanggal 6,7 dan 10
Agustus 1596 (akhir abad XVI) karena ada pengaruh kebijakan harga
yang ditentukan oleh pihak kesultanan. Oleh karena itu, Jan Jansz Karel
membuat surat pada tanggal 10 Agustus 1596 yang menyarankan dan
penguasa Belanda untuk segera berbicara dengan sultan terkait tentang
harga komoditas terutama lada.
Adapun harga lada dari tahun ke tahunnya mengalami fluktuasi
(naik-turun) akibat adanya persaingan antar berbagai negara dan
perusahaan dagang Belanda di Banten, dan juga produksi yang tinggi dan
516 Halwany Michrob, Catatan Masa Lalu Banten… h. 119. 517 M. A. P. Meilink-Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630… h. 391. 518 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 2:
Jaringan Perdagangan Globa, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h.
347.
228
persediaan yang meningkat dapat memberi pengaruh bagi harga jual
lada.
Tabel 22
Fluktuasi (naik-turun) harga lada dalam beberapa tahun.519
Tahun Harga Keterangan
1599 3 real per
karung
Turunnya nilai real menyebabkan
harganya naik mencapai 4 atau 6 real
perkarung. Harga terus melonjak
sampai tahun 1603.
1608 12 real per
karung
Melonjaknya harga lada semakin
meningkat.
1612 121 per 10
karung
1614
15 atau 16 real
per 10 karung
Dalam sumber Coen, Bescheiden I
pada tahun tersebut harga 13 atau 14
real per 10 karung.
1615
15 real per 10
karung
Menurut catatan Van den Broecke,
sedang dalam catatan Coen,
Bescheiden I 12 real per 10 karung.
1616
17 atau 18 real
per 10 karung,
25 hingga 27
per 10 karung
dan 20 sampai
Lada dibeli sebelum kedatangan para
saudagar Cina.
519 M.A.P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630… h. 404
229
21 real per 10
karung
1617
31 real per
karung,
Pembelian partai besar oleh para
saudagar Asia, 4 real perkarung
meningkat hingga sebanyak 8 sampai
10 real per karung pada saat
kedatangan jung-jung Cina. 4 real per
karung, meski panen raya yang
menghasilkan 110.000 karung dan
pembelian yang sedikit oleh bangsa
Eropa. Pembelian orang-orang Cina
ditujukan untuk dijual kembali di
Kamboja dan Siam, selain negeri Cina.
1618 10 real per picol
Sama dengan 2 karung setelah harga
ditentukan oleh pemerintah Banten
dan para penasihat Cinanya.
Peningkatan harga di Banten
sehubungan dengan harga lada yang
tinggi di Negeri Cina. Ketika Coen
mengancam untuk melucuti lada dari
jung-jung Cina harga lada anjlok
menjadi 6 real atau 6½ real per karung.
1618 43 dan 48 real
per 10 karung
Ketika jung-jung Cina datang kembali
harga lada kembali meningkat.
1618 30 dan 32½ real
per 10 karung
Ketika Coen dan orang-orang Belanda
mengancam akan melucuti lada
230
dengan paksa dan harga jatuh, serta
mengeluarkan perintah untuk membeli
dengan harga itu harga lada naik
kembali menjadi 35 real per karung.
September
1618
5½ real per
karung
Hasil panen yang buruk
mengakibatkan turunnya harga lada,
dan diharapkan harga lada naik
kembali naik menjadi 6 atau 7 real real.
1619 2 real per
karung
Harga lada jatuh.
1620-1621 7½ dan 5 real
per 10 karung
Harga lada semakin turun tajam.520
1623 3 real per 10
karung
Harga lada semakin turun tajam
20 Juni
1623
12 real per 100
karung
Puncak masa krisis521
1629 7000 hingga
8000 karung522
Menurunnya budidaya lada
Ketika harga lada di Banten jatuh, bangsa-bangsa Eropa
Utara juga mencoba untuk memaksakan harga yang sama di pelabuhan
lain selain di Banten seperti di Pelabuhan Sumatera (Aceh dan
520 M.A.P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630… h. 404. 521 H. T. Colenbrander, Jan Pietersz Coen Bescheiden, Omtrent Zijn Bedrijf in
Indie… h. 776. 522 H. T. Colenbrander, Jan Pietersz Coen Bescheiden, Omtrent Zijn Bedrijf in
Indie, Vol V. Eerste Deel ('S-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1923), h. 741.
231
Pariaman), pedagang Inggris membeli lada di pelabuhan tersebut atas
kesepakatan yang telah di buat dengan saudagar pelabuhan karena harga
lada di Pelabuhan Aceh dan Pariaman lebih tinggi dari pada harga yang
mereka bayar di Banten.523
Fluktuasi harga pun terjadi pada komoditas gula, Saat itu
Hindia Barat mulai memproduksi dan menghasilkan gula, akibatnya
permintaan untuk gula Jawa menurun. Sementara perang dengan Banten
dan Belanda sekitar 1660 menghambat perkembangan industri gula.
Pada tahun yang menguntungkan 1652 ada 20 pabrik gula yang
beroperasi, tetapi pada tahun 1660524 sepuluh dari mereka telah berhenti
bekerja dan bekerja hanya sisanya.525
Untuk menanggulangi fluktuasi harga pada umumnya para
petani komoditas ekspor-impor mulai menanam jika harga tinggi, tetapi
dengan menanami sebagian lahan dengan tanaman pangan yang dapat
mereka usahakan jika harga pasar rendah. Jika harga tetap rendah, atau
jika ekonomi keuangan dirasakan pahit karena alasan politik, para petani
memilih keluar atau dipaksa keluar oleh penguasa mereka.526
523 M.A.P. Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia dan Pengaruh Eropa di
Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630… h. 405. 524 Perusahaan atau pabrik gula ini sebagian besar berada di Batavia,
sementara Banten merupakan tempat penanaman tebu dan produksi gula dan hasilnya
kemudian di ekspor ke Eropa. Perusahaan memberikan tanah kepada produsen gula
yang dikelola oleh orang-orang Cina di Banten dan memberikan banyak sekali
keistimewaan pada mereka, misalnya, lisensi untuk memotong kayu bakar gratis untuk
pembuatan gula, dll, dengan syarat bahwa seluruh produk harus dikirim ke Perusahaan
di harga yang harus ditetapkan dengan sendirinya. Harga-harga ini masing-masing
adalah 6, 5, dan 4 Rijksdaalder pemerintah per pikul untuk kualitas pertama, kedua,
atau ketiga; tetapi tahun berikutnya di Rijksdaalder dikurangkan dari masing-masing
kelas. Lihat H. C. Prinsen Geerligs, The World's Cane Sugar Industry Past and Present,
(Manchester: Norman Rodger Altrincham, 1912), h. 116-117. 525 K. W. Van Gorkom's, Oost-Indische Cultures, Tweede Deel… h, 121 526 Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1… h.
45.
232
Gabungan beberapa faktor yang menyebabkan fluktuasi dimulai
dari keadaan ekonomi politik di dalam Kesultanan Banten, tekanan
monopoli dari Belanda, dan iklim yang relatif tidak stabil dengan
keadaan kekeringan tinggi, melahirkan keadaan fluktuasi harga
perdagangan ekspor-impor di Banten di abad XVII.
233
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
Akhir abad XVI, permintaan akan rempah-rempah meningkat
pesat di pasaran Eropa, sehingga menjadi salah satu faktor pendorong
masuknya bangsa Eropa ke dalam jaringan perdagangan di Banten. Hal
ini memberikan dampak pada kegiatan perdagangan yang telah ada di
Banten menjadi semakin ramai dan beragam. Ramainya kegiatan
perdagangan di Nusantara, mulai membuka wilayah-wilayah
perdagangan di Banten yang semula belum terlalu ramai.
Mengenai permintaan akan komoditi rempah-rempah (lada, beras
dan gula) di Banten, membuat pembelian secara besar-besaran dan
menjadikan ekonomi Kesultanan Banten pada abad XVII sebagai puncak
kejayaan dari Kesultanan Banten. Para pedagang dari berbagai negara
singgah ke dermaga Pelabuhan Karangantu untuk menjual dagangan
mereka atau membeli kebutuhan mereka yang tidak mereka dapat di
negara mereka sendiri atau negara lainnya.
Dengan kedatangan pedagang Eropa, Banten mulai menghadapi
ekonomi politik dalam dunia perdagangan internasional dengan sistem
terbuka maupun tertutup. Peraturan jual-beli, proses penawaran,
penentuan harga, semuanya telah mengikuti pola atau sistem yang telah
ditetapkan oleh para pedagang Eropa. Kebijakan politik internal dan
eksternal atas ekonomi Banten menyebabkan terjadinya fluktuasi harga
perdagangan, persaingan dagang yang tidak sehat antar bangsa Eropa
234
sangat berpengaruh besar terjadinya fluktuasi. Selain itu, faktor iklim
yang tidak menentu serta banyaknya penyakit yang menyerang tanaman
komoditas membuat panen mengalami penurunan. Akibatnya harga
komoditas eskpor-impor mengalami kenaikan dan penurunan.
Dengan adanya sistem perdagangan yang dibuat oleh pedagang
Eropa membuat Banten mengeluarkan beberapa peraturan dan kebijakan
dalam perdagangan guna mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Bahkan Banten telah membuat perjanjian ekonomi dengan para
pedagang terutama pedagang Belanda yang dimulai pada masa Sultan
Ageng Tirtayasa.
Kebijakan ekonomi politik yang diterapkan di Banten
mengakibatkan timbulnya persaingan antara pedagang. Pada akhirnya
peredaran mata uang semakin banyak, karena permintaan para pedagang
yang besar akan kebutuhan uang. Peredaran uang pun dapat
menyebabkan fluktuasi harga dengan adanya inflasi uang maka harga
komoditas akan mengalami fluktuasi. Melalui perdagangan, keuntungan
ekonomi yang diperoleh Banten bukan hanya berasal dari jual-beli
semata.
Pajak dan bea cukai pun mengiringi naik-turunnya harga
komoditas ekspor-impor. Ketika pajak dan bea cukai yang tinggi
terhadap harga komoditas, maka harga akan jatuh karena para pedagang
tidak membayar pajak dan bea cukai dan menimbulkan ketegangan
antara Banten dan para pedagang Eropa terutama Bangsa Belanda
dengan melakukan aksi blokade terhadap perdagangan Banten.
Sehingga, barang-barang komoditas semakin berkurang di pasaran
akibanya terjadi fluktuasi harga pada komoditas ekspor-impor.
235
B. Saran-saran
Mengingat keterbatasan kemampuan penulis banyak hal yang
belum diungkap, banyak persoalan yang belum dibahas yang sebagainya
disebabkan oleh terbatasnya sumber informasi, dan sebagian lain karena
kelemahan dan keterbatasan dalam memahami informasi yang ada,
karena itu saran dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis, guna
perbaikan di kemudian hari.
Dengan izin dan pertolongan Allah SWT, penulisan Tesis ini
dapat terselesaikan. Penulis sadar sepenuhnya bahwa kesalahan,
kekurangan, dan ketidaksempurnaan terdapat didalamnya.
236
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Abdurrahman, Dudung. 2011. Metodologi Penelitian Sejarah Islam.
Yogyakarta: Ombak.
A Complete View of the Chinese Empire. Exhibited on Its Geographical
Description of That Country, A Dissertation on Its Antiquity, and
A Genuine and Copious Account of Earl Macartney's Embassy
From The King Of Great Britain to The Emperor of China. 1798.
London: Cawthorn, British Library, No. I32, Strand.
Adamson Hoebel, Edward, Everett Lloyd Frost. 1976. Cultural and
Social Anthropology. University Of Virginia: Mc Graw-Hill.
Aksi Agraris Kanisius. 1980. Bercocok Tanam Lada. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Ali, Mufti. 2009. Misionarisme di Banten. Serang: Laboratorium
Bantenologi.
Ambary, Hasan, dkk. 1984. Naskah Sejarah Kerajaan Banten dan
Pemerintahan Serang dari Masa ke Masa, Bab III. Serang: Panitia
Hari Jadi Pemerintahan Daerah Serang.
Anonim, 1918. De Pepercultuur In De Buitenbezittingen. Batavia:
Landsdrukkerij.
Apridar. 2009. Ekonomi Internasional: Sejarah, Teori, Konsep, dan
Permasalahan dalam Aplikasinya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Atsushi, Ota. 2009. Perubahan Rejim dan Dinamika Sosial di Banten;
Masyarakat, Negara, dan Dunia Luar Banten 1750-1830. Serang:
Fakultas Ushuluddin Dan Dakwah Press, IAIN SMH Banten.
Boedhihartono, dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem
Sosial. Jakarta: Rajawali Press.
237
Boxer, C.R. 1967. Francisco Vieira De Figueiredo: A Portuguese
Merchant-Adventurer In South East Asla, 1624.-1667.
S’gravenhage: Martinus Nuhoff.
Bruijn, J. R, F. S. Gaastra, Ivo Schoffer. 1987. Dutch Asiatic Shipping
in The 17th and 18 Centuries. The Hague: Martinus Nijhoff.
Bulbeck, David. 1998. Southeast Asian Exports Since the 14th Century:
Cloves, Pepper, Coffee and Sugar. Leiden: KITLV Press.
Burger, D.H. 1962. Sedjarah Ekonomis-Sosiologis Indonesia. Jilid 1.
Terj. Prajudi Atmosudirjo. Jakarta: Prandnjaparamita.
Carel Lawalata, Herman. A. 1981. Pelabuhan dan Niaga Pelayaran.
Jakarta: Aksara Baru.
Carey, Peter. 2008. Orang Cina dan Bandar Tol, Candu dan Perang
Jawa, Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825. Terj. Tim
Komunitas Bambu. Depok: komunitas Bambu.
Chijs, J. A. Van Der. 1902. Dagh Register Gohenden Int Casteel Batavia
1675. 11 January 1975. Batavia Landsrukkerij: S’Hage M. Nijhoff.
Chijs, J. A. Van Der. 1903 Dagh Register Gohenden Int Casteel Batavia
1676. 12 January 1976. Batavia Landsrukkerij: S’Hage M. Nijhoff.
Chin keong, Ng. 2007. Boundaries and Beyond China’s Maritime
Southeast. Singapore: NUS Press National University of
Singapore.
Coen, Jan Pietersz. 1919. Omtrent Zijn Bedrijf In Indie, Eerste Deel. S-
Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Colenbrander, H.T. 1899. Dagh Register Gehonde Int Casteel Batavia
Anno 1636. S’gravenhage: Martinus Nijhoff.
1900. Dagh Register Gehonde Int Casteel Batavia
Anno 1641-1642. S’gravenhage: Martinus Nijhoff.
238
1919. Jan Pietersz. Coen Bescheiden Omtrent
Zijn Bedrijf In Indie Verzameld Door, Uitgegeven Door Het
Koninklijk Instituut Voor De Taal, Land En Volkenkunde Van
Nederlandsch-Indie. Vol. I. University of Toronto: 'S-Gravenhage
Martinus Nijhoff.
1900. Dagh Register Gehonde Int Casteel Batavia
Anno 1641-1642. S’gravenhage: Martinus Nijhoff.
1925. Koloniale Geschiedenis: Algemene
Koloniale Geschiedenis Met Karten. S'Gravenhage: Martinus
Nijhoff.
Cortesao, Armando. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires. London,
The Hakluyt Society.
Curatman, Aang. 2010. Teori Ekonomi Makro. Yogyakarta: Swagati
Press.
Darmawijaya. 2010. Kesultanan Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.
Danvers, Frederick Charles. 1896. Letters Received by The East India
Company. London: Sampson Low, Marston & Company.
De Haan, F. 1903. Dagh Register Gohenden Int Casteel Batavia 1675.
18 Maert 1678. Batavia Landsrukkerij: S’hage M. Nijhoff.
De, Graaf H. J. De dan Th. G. Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-Kerajaan
Islam Di Jawa Peralihan Dari Majapahit Ke Mataram. Jakarta:
Graffiti Press.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten. 2012. Banten dalam
Perjalanan Sejarah. Banten: DISBUDPAR.
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten.
Jakarta: Djambatan.
Djoened, Marwati. 1984. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid III. Jakarta:
Balai Pustaka.
239
Ekadjati, Edi. S. 1995. Kesultanan Banten dan Hubungan Dengan
Wilayah Luar. Kumpulan makalah diskusi Banten Kota Pelabuhan
Jalan Sutra. Jakarta: Depdikbud.
Erwanto, Heru. 2006. Kota dan Kabupaten dalam Lintasan. Sumedang:
Al-Quprin Djatingangor.
Foster, William. 1912. A Calendar of The Court Minutes Etc. Of The
East India Company 1644-1649. Oxford: At The Clarendon Press.
Foster, William. C.I.E. 1921. The English Factories in India 1655-1660.
Oxford: At The Clarendon Press.
Foster, William. C.I.E. 1995. The Voyage of Thomas Best To The East
Indies 1612-1614. New Delhi: Asian Educational Service.
Fruin Mees, W. 1920. Geschiedenis Van Java Deel II. Weltevreden:
Commissie Voor De Volkslectuur.
Fruin Mees, W. 1920. Geschiedenis Van Java Deel II. Weltevreden:
Commissie Voor De Volkslectuur.
Furber, Holden. 1948. John Company at Work, A Study of European
Expansion in India in the Late Eighteenth Century. Harvard
Historical Studies, Vol. LV: Cambridge Mass.
Gilpin, Robert. 2001. The Nature of Political Economy. Princeton:
Princeton University Press.
Gilpin, Robert. 2016. The Political Economy of International Relations.
New York: Princeton University Press.
Glamann, Kristof. 1981. Dutch Asiatic Trade 1620-1740. S-Gravenhage:
Martinus Nijhoff.
Groeneveldt, W. P. 1960. Historical Notes On Indonesia and Malaya
Compiled from Chinese Sources. Jakarta: Bhratara.
240
Groeneveldt, W.P. 2018. Nusantara dalam Catatan Tionghoa:
Historical Notes on Indonesian and Malaya Compiled From
Chinese Sources. Jakarta, Komoditas Bambu.
Guillot, Claude. 2008 Banten Sejarah dan Perdaban Abad X-XVII.
Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia.
Hicks, Sir. 1969. A Theory of Economic History. New York: Oxford
University Press.
Iskandar, Yoseph, dkk. 2011. Sejarah Banten: dari Masa Nirleka Hingga
Akhir Masa Kejayaan Kesultanan Banten. Jakarta: Tryana
Sjam’un Corp.
Ismanto, Gandung. 2006. Menemukan Kembali Jati Diri dan Kearifan
Lokal Banten. Banten: Biro Humas Setda Provinsi Banten.
Jan Erik, Lane. 1994. Ekonomi Politik Komparatif, Terj. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
J. Rachbini, Didick. 2002. Ekonomi Politik: Paradigma dan Teori
Pilihan Publik,. Jakarta. Penerbit Ghalia Indonesia. Jonge, De. 1875. De Opkomst Van Het Nederlandsch Gezag In Oost-
Indie. Jilid 8. S’gravenhage: Martinus Nijhoff.
Jualiadi, dkk. 2005. Ragam Pusaka Budaya Banten. Serang: BP3S.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jilid II. 1991. Jakarta: Balai Pustaka.
Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888.
Jakarta: Pustaka Jaya Kompas.
1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Cet I..
Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
241
1989. Pengantar Sejarah Indonesia Baru (1500-
1900) dari Emporium sampai Imperium I. Jakarta: Gramedia.
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. 2003. Inventarisasi Sumber
Sejarah Mulai 1942-1965. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah.
Khaldun, Ibnu. 2001. Muqadimah, terj. Ahmadie Toha. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Kosoh S, dkk. 1979. Sejarah Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud.
Krugman, Paul. R. and Maurince Obstfeld. 1991. International
Economics: Theory and Policy. New York: Harper Collins.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya.
Kurosawa, Aiko. 1993. Mobilisasi dan Kontrol. Jakarta: Grasindo.
Kutoyo, Sutrisno. 1995. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme
dan Kolonialisme di Daerah Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud.
Lapian, Adrian. 2008 Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16
dan 17. Jakarta: Komunitas Bambu.
Leiteritz, Ralf J. 2005. International Political Economy: The State of
The Art. New York: Colombia International.
Leonard, Blusse. 1986. Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo
Women and The Dutch In VOC Batavia. Batavia: KITLV.
Lodewijcksz, Willem. 1598. Prima Pars Descriptionis Itineris Navalis
in Indiam Orientalem, Earvmqje Rervm Qvae Navibvs Battavis
Occvueevnt. National Central Library of Rome: Ex Officina
Cornelij Nicolaj, Typographi Ad Symbolum Diarij, Ad Aquam.
Lodewijcks, Willem, 1598. Premier Livre De L'histoire De La
Navigation Aux Indes Orientales Hollandais et Des Choses A Eux
Advenues. Amsterdam: Cornille Nocolas.
242
Lombard, Denys, 1996. Nusa Jawa Silang Budaya. Jilid I. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Lubis, Nina. H. 2004. Banten dalam Pergumulan Sejarah, Sultan,
Ulama, Jawara. Jakarta: LP3ES.
M. Johan, Irmawanti. 1991. Laporan Penelitian Sumber Dana dan Daya
Negara Kesultanan Banten Abad 16-17 M. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Manuscript Sejarah Banten Br. 625.
Michrob, Halwany dan Mudjahid Chudari. 1993. Catatan Masa lalu
Banten. Serang: Saudara.
1993. Catatan Sejarah dan Arkeologi Ekspor-
Impor. Serang: Kamar Dagang dan Industri Daerah.
Mollema, J.C. 1936. De Eerste Schipvaart Der Hollanders Naar Oost-
Indie 1595-1597. 'S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Najib, Tubagus. 2011. Kebangkitan Banten dari Masa Ke Masa
(Berdasarkan Naskah Kuno dan Peninggalan Arkeologi). Serang:
Yayasan Sheng Po Banten.
Nakamura, Mitsuo. 1988. Jenderal Imamura dan Periode Awal
Pendudukan Jepang. Jakarta: YOI.
Notosusanto, Nugroho. 1971. Norma-norma Dasar Penelitian Sejarah.
Jakarta: Dephankam.
1993. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta:
Balai Pustaka.
Nur, Deliar. 2005. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Nurdholt, Henk Schulte, dkk. 2008. Meneliti Sejarah Penulisan
Sejarah”. Dalam Henk Schulte Nurdholt, dkk (Ed.), Perspektif
243
Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Pedoman Bercocok Tanam Lada. 1973. Bogor: Lembaga Penelitian
Tanaman Industri.
Perquin, B.L.M.C. 1921. Nederlandsch Indische Staatsspoor En
Tramwegen. Amsterdam: Bureau Industria. Pigeaud, Theodore G. Th. 1967. Literature of Java. Catalogue raisonne
of Javanese manuscripts in the library of the University of Leiden
and other collections in The Netherlands. Leiden: Koninklijk
Instituut voor Taal, Land-en Volkenkunde.
Polanyi, Karl. 1957. The Great Transformation: The Political and
Economic Origins of Our Time. Boston: beacon press.
Prinsen Geerligs, H. C. 1912. The World's Cane Sugar Industry Past and
Present. Manchester: Norman Rodger Altrincham.
Priyono dan Zainuddin Ismail. 2012. Teori Ekonomi. Sidoarjo: Zifatama
Publisher. Pudjiastuti, Titik. 2000. Sadjarah Banten Suntingan Teks dan
Terjemahan Disertai Tinjauan Aksara dan Amanat. Disertasi.
Depok: Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
R. Rush, Ames. 2000. Opium To Java, Jawa dalam Cengkraman
Bandar-Bandar Opium, Indonesia Kolonial 1860-1910. Terj.
Yogyakarta: Mata Bangsa.
Ragam Pustaka Budaya Banten. 2005. Balai Penelitian Peninggalan
Purbakala Serang.
Rahardjo, Supratikno. 1998. Diskusi Ilmiah “Bandar Jalur Sutra”
(Kumpulan Makalah Diskusi). Jakarta: Departemen Pendidikan
Dan Kebudayaan RI.
Reesse, J. J. 1908. De Suikerhandel Van Amsterdam Van Het Begin Der
17e eeuw Tot 1813. Haarlem: J. L. E. I. Kleynenberg.
244
Reid, Anthony. 2011. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680
Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Reid, Anthony. 2014. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680
Jilid 1: Tanah di Bawah Angin.Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Ricklef, M.C. 1995. Sejarah Modern Indonesia. Yogyakarta: Gajah
Mada Universitas Press.
Robbins, Lionel. 1932. an Essay on The Nature & Significance of
Economic Science,. London: Macmillan or Co Limited St. Martin's
Street. Roelofsz, M.A.P. Meilink. 2016. Perdagangan Asia dan Pengaruh
Eropa di Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Roesjani, Tb. 1954. Sedjarah Banten. Jakarta: Arief.
Rouffaer, G. P, J. W. Ijzerman. 1915. De Eerste Schipvaart Der
Nederlanders Naar Oost-Indie Onder Cornelis De Houtman 1595-
1597. S’gravenhage: Martinus Nijhoff.
Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Soetanto, Himawan. 2010. Serangan Jepang ke Hindia Belanda Pada
Masa Perang Dunia II 1942. Jakarta: Pusjarah.
Suhaedi, Hs, dkk. 2006. Perubahan Sosial di Banten, Kajian Tehadap
Mobilitas Kiyai dan Jawara. Serang: P3M IAIN SMH Banten.
Suhartono. 1995. Bandit-Bandit Pedesaan Di Jawa. Yogyakarta: Aditya
Media.
Syafrudin, Ateng. 1993. Sejarah Pemeritahan di Jawa Barat. Bandung,
Pemda Propinsi Jawa.
245
Tate, D. J. M. 1971. The Making of Modern South East Asia Vol. I: The
European Conquest. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Tim Penyusun Buku Profil Penataan Ruang Propinsi Banten. 2003.
Sistem Informasi dan Dokumentasi Penataan Ruang Wilayah
Tengah Buku Profil Penataan Ruang Propinsi Banten. Jakarta:
Depkimpraswil.
Tim Penyusun. 2008. Banten dalam Angka 2008. Serang, Badan Pusat
Statistik Nasional.
Tjandrasasmita, Uka. 1987. Musuh Besar Kompeni Belanda, Sultan
Ageng Tirtayasa. Jakarta: Yayasan Kebudayaan Nusalarang.
1995. Banten Sebagai Pusat Kekuasaan dan
Niaga Antar Bangsa. Kumpulan makalah diskusi Banten Kota
Pelabuhan Jalan Sutra. Jakarta: Depdikbud.
1995. Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
2000. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota
Muslim di Indonesia dari Abad XIII Sampai XVIII Masehi. Kudus:
Menara Kudus.
2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
2011. Banten Abad XV-XXI Pencapaian
Gemilang Penorehan Menjelang. Jakarta: Puslitbang Lektur
Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian
Agama RI.
Tjiang, Tio Poo. 1923. De Suikerhandel Van Java. Amsterdam: J. H. De
Bussy.
Untoro, Heriyanti Ongkodharma. 2007. Kapitalisme Pribumi Awal:
Kesutanan Banten 1522-1684. Depok, FIB Universitas Indonesia,
Komunitas Bambu.
246
2006. Kebesaran dan Tragedi Kota Banten. Jakarta,
Yayasan Kota Kita.
Van Der, A. J. A. A. 1846. Nederlands Oost-Indie, 0F Beschrijving Der
Nederlandsche. Bezitting En In 00st-Indie. Amsterdam: J.F.
Schleijer.
Van Gorkom's, K. W. 1918. Oost-Indische Cultures, Vol II. Tweede
Deel. Amsterdam: J. H. De Bussy.
Van Leur, J.C. 1960. Indonesian Trade and Society: Essay in Asia Social
and Economic History. Bandung: Sumur Bandung.
Van Niel, Robert. 2005. Java’s Northeast Coast 1740-1840: A Study in
Colonial Encroachment and Dominance. Leiden: CNWS
Publications.
Vermeulen, J.Th. 2010. Tionghoa di Batavia dan Huru Hara 1740.
Jakarta: Komunitas Bambu.
Vlekke, B.H.M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Weber, Max. 1966. The City Translated and Edited by Don Martindale
And Gertrud Neuwirth. London: The Free Press.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2004. Desentralisasi dalam Tata
Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda: Kebijakan dan Upaya
Sepanjang Babak Akhir Kekuasaan Kolonial di Indonesia (1900-
1940. Malang: Bayumedia.
Yahya, M. Harun. 1995. Kerajaan Islam Nusantara Abad XV-XVII M.
Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera.
B. ARTIKEL dan JURNAL
J.V. Mills, 1979. Chinese Navigators In Insulinde About A.D. 1500.
Article. Archipel. No. 18, pp. 69-93
247
Adeng, 2010. Pelabuhan Banten Sebagai Bandar Jalur Sutra. Jurnal
Patanjala Vol. 2, No. 1. pp. 80-94.
Aisyah Syafiera, 2016. Perdagangan di Nusantara Abad Ke-16.
Avatara, E-Journal Pendidikan Sejarah. Volume 4, No. 3, Oktober.
Claude Guillot. 1992. Libre Entreprise Contre Economie Dirigee,
Guerres Civiles A Banten 1580-1603. Archipel, No. 43.
Claude Guillot. 1995. La Politique Vivriere Du Sultan Agung, Archipel,
No. 50. pp. 83-118.
Hardiman. 2016. Perkebunan Lada Di Banten Tahun 1805-1816. Jurnal
Student Universitas Negeri Yogyakarta. Vol 1. No. 1. pp. 1-14.
J. Kathirithamby Wells. 1987. Forces of Regional And State Integration
In The Western Archipelago, C. 1500-1700. Journal of Southeast
Asian Studies, Vol. 18, No. 1. pp. 24-44.
J. G. van Dillen. 1923. Amsterdam Als Wereldmarkt Der Edele Metalen
In De 17de En 18de Eeuw. Journal De Economist. Volume 72. pp
717-730.
Radjimo Sastro Wijono. 2017. di Bawah Bayang-Bayang Ibukota:
Penataan Daerah di Provinsi Banten dari Zaman Kolonial
Sampai Zaman Reformasi. Jurnal Sejarah Citra Lekha , Vol. 2 , No.
2. pp. 126-142.
Rizky Natassia, dan Hayu Yolanda Utami. 2016. Pengaruh Harga
Pinang Terhadap Volume Ekspor Pinang, Journal of Economic
and Economic Education.Vol.5 No.1. pp. 6-12.
S. P. Sen. 1962. The Role of Indian Textiles In Southeast Asian Trade In
The Seventeenth Century. Journal of Southeast Asian History, Vol.
3, No. 2. pp. 92-110.
Singgih Tri Sulistiyono. 2017. Peran Pantai Utara Jawa dalam Jaringan
Perdagangan Rempah. Makalah. Dalam: Seminar Nasional
248
mengenai Jalur Rempah dengan tema “Rempah Mengubah
Dunia”. Makassar: pp. 11-13.
Siti Fauziyah. 2012. Pasar pada Masa Kesultanan Islam Banten. Jurnal
Thaqafiyyat, Vol. 13, No. 1. pp. 84-96.
Sonny C. Wibisono. 2013. Bina Kawasan di Negeri Bawah Angin:
dalam Perniagaan Kesultanan Banten Abad Ke-15-17, Kalpataru,
Majalah Arkeologi Vol. 22 No. 2. pp. 61-122.
Supratikno Rahardjo. 1998. Bandar Jalur Sutra. Makalah. Dalam:
Diskusi Dan Seminar Ilmiah. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan RI.
Windari. 2015. Perdagangan dalam Islam, Jurnal Al-Masharif. Volume
3, No. 2. 19-35.
Yanwar Pribadi. 2005. Era Niaga di Nusantara pada Masa Kerajaan
Islam (1500-1700) M. Jurnal Al-Qalam, Vol 22. No 1. Januari-
April. 65-83.
C. MAJALAH
J.A. Van Der Chijs. 1881. Oud Bantam. Dalam: TBG 26. pp. 1-62
Pigeaud. Afkondigingen. pp. 130, 151
Theodore G. Th. Pigeaud, Descriptive Lists of Javanese Manuscripts.
Literature of Java. Vol. 2 (Codices Manuscripti, X.) pp. xv, 972.
Leiden, University Library, 1968, h. 68.
D. TESIS DAN DISERTASI
Andi Syamsu Rijal. 2011. Tesis: Dua Pelabuhan Satu Selat: Sejarah
Pelabuhan Merak dan Pelabuhan Bakauheni di Selat Sunda 1912-
2009. Tesis. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program
Studi Sejarah.
David Kenneth Bassett, B. A. (Wales). 1955. The Factory of the English
East India Company At Bantam, 1602-1682. A Thesis Presented
249
For The Degree Of Doctor Of Philosophy. London: School Of
Oriental and African Studies (SOAS).
Halwany Michrob. 1987. A Hypothetical Reconstruction of The Islamic
City Of Banten Indonesia. A Thesis In The Graduate Program In
Historic Preservation Presented to the Faculties of The University
of Pennsylvania In Partial Fulfillment of The Requirements Far
The Degree of Master of Science. Philadelphia: University
Pennsylvania.
Ito Takeshi. 1984. The World of The Adat Aceh A Historical Study of The
Sultanate of Aceh. A Thesis Submitted for The Degree of Doctor
of Philosophy In The Australian National University. Canberra:
Australia National University.
Peta Kesultanan Banten Abad XVII
Keterangan A:
1. Istana Sultan Muda
2. Kediaman Tumenggung
3. Kediaman Kiai Kanga Pamman
4. Kediaman Bangsawan Yang Bertalian darah dengan sultan
5. Kediaman Ratu Bagus Panta
6. Kediaman Keluarga Sultan Patra Sari
7. Kediaman Kiai Wadon Adi, Kepala Bangsawan
8. Kediaman Aria Papati
9. Kediaman Pengerang Sambaing Loor, keponakan sultan yang
menjabat sebagai penasehat
10. Kediaman Kiai Bagus
11. Kediaman Sim Suan, pemimpin orang Cina
Keterangan B:
A. Istana sultan
B. Masjid agung
C. Pasar kecil
D. Tambatan perahu perang sultan
E. Kandang gajah milik sultan
F. Gudang senjata milik sultan
G. Paseban alun-alun
H. Rumah timbangan
I. Pabrik
BIODATA PENULIS
Ikot Sholehat, dilahirkan di Kota Serang-Banten, tepatnya di
Kelurahan Pipitan, Kecamatan Walantaka, pada hari Selasa, tanggal 22
Juni 1993. Penulis anak ke 6 dari 6 bersaudara, pasangan dari bapak,
M. Lani, A. Ma, dan ibu Hamdanah. Penulis menyelesaikan pendidikan
Sekolah Dasar di MI Al-Khairiyah pipitan pada tahun 2006. Pendidikan
Menengah Pertama di MTs Al-Khairiyah Pipitan pada tahun 2008, dan
Pendidikan Menengah Atas di MA Al-Khairiyah Pipitan pada tahun
2011, dan melanjutkan Perguruan Tinggi di UIN “SULTAN
MAULANAN HASANUDDIN” BANTEN pada tahun 2016, dan pada
tahun 2016 penulis melanjutkan pendidikan strata dua (S2) di UIN
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA pada tahun 2019.
Selama menjadi mahasiswa S1, penulis aktif di organisasi,
seperti organisasi Pramuka, dan menjadi anggota Himpunan
Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Selain itu, penulis
juga aktif sebagai guru di TPQ, MDA dan di Sekolah Menengah
Kejuruan Negeri hingga sekarang.