POKOK PEWARTAAN PAULUS DALAM SURAT RASUL PAULUS
KEPADA JEMAAT DI GALATIA UNTUK KATEKESE UMAT DI
LINGKUNGAN SANTO ANTONIUS PADUA PAROKI KALASAN
YOGYAKARTA
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Bernardus Yusminardhy Wiyono
NIM: 011124010
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
ii
S K R I P S I
POKOK PEWARTAAN PAULUS DALAM SURAT RASUL PAULUS
KEPADA JEMAAT DI GALATIA UNTUK KATEKESE UMAT DI
LINGKUNGAN SANTO ANTONIUS PADUA PAROKI KALASAN
YOGYAKARTA
Oleh:
Bernardus Yusminardhy Wiyono
NIM: 011124010
Telah disetujui oleh:
Pembimbing
Dr. A. Hari Kustono, Pr. Tanggal 9 Agustus 2007
iii
S K R I P S I
POKOK PEWARTAAN PAULUS DALAM SURAT RASUL PAULUS
KEPADA JEMAAT DI GALATIA UNTUK KATEKESE UMAT DI
LINGKUNGAN SANTO ANTONIUS PADUA PAROKI KALASAN
YOGYAKARTA
Dipersiapkan dan ditulis oleh:
Bernardus Yusminardhy Wiyono
NIM: 011124010
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
pada tanggal 24 Agustus 2007
dan dinyatakan memenuhi syarat
SUSUNAN PANITIA PENGUJI
Nama Tanda tangan
Ketua : Drs. F.X. Heryatno W.W., S.J., M.Ed. .....................
Sekretaris : F.X. Dapiyanta, SFK., M.Pd. .....................
Anggota : 1. Dr. A. Hari Kustono, Pr. .....................
2. Dra. Y. Supriyati, M.Pd. .....................
3. Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A. ......................
Yogyakarta, 24 Agustus 2007
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Dekan
Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D.
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada
semua yang memperhatikan kegiatan pewartaan Gereja, keluarga, kekasih, teman,
dan warga Lingkungan santo Antonius Padua, Paroki Kalasan Yogyakarta.
v
MOTTO
“Kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat;
kamu hidup di luar kasih karunia”. (Gal 5:4)
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali telah disebutkan dalam kutipan
dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 9 Agustus 2007
Penulis,
Bernardus Yusminardhy Wiyono
vii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Pokok Pewartaan Paulus dalam Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Galatia untuk Katekese Umat di Lingkungan Santo Antonius Padua Paroki Kalasan Yogyakarta”. Skripsi ini dipilih berdasar pelaksanaan Katekese Umat Lingkungan santo Antonius Padua paroki Kalasan Yogyakarta yang kurang mempergunakan Kitab Suci. Proses atau langkah-langkah yang terjadi dalam pendalaman iman di Lingkungan ini masih lebih bersifat liturgis. Pendamping Katekese Umat tidak memiliki program dalam melaksanakan tugas pendampingan. Umat sebagai peserta Katekese Umat cenderung pasif dan kurang mendialogkan pengalaman hidupnya dengan pengalaman iman Kitab Suci. Oleh karena itu skripsi ini dimaksudkan untuk membantu pelaksanaan Katekese Umat di Lingkungan santo Antonius Padua paroki Kalasan Yogyakarta agar lebih optimal menggunakan Kitab Suci dengan Gal sebagai titik tolak permenungan.
Skripsi ini mengungkapkan masalah pokok mengenai apa dan bagaimana pokok pewartaan Paulus dalam Gal diterapkan dalam Katekese Umat. Dalam Gal Paulus menyatakan bahwa iman akan Kristus merupakan jalan keselamatan dan beriman berarti bebas dari belenggu Taurat. Pertama-tama pokok pewartaan tersebut dijabarkan melalui studi pustaka sebagai bahan untuk Katekese Umat di Lingkungan, kemudian data mengenai situasi umum Katekese Umat di Lingkungan santo Antonius Padua paroki Kalasan Yogyakarta diperoleh melalui wawancara. Wawancara tersebut dilakukan kepada warga Lingkungan.
Dari hasil permasalahan yang dikaji penulis menyimpulkan bahwa Paulus memiliki kekayaan ajaran dalam pelaksanaan pewartaan di Galatia. Dari pengamatan lapangan penulis melihat bahwa situasi umum Katekese Umat di Lingkungan santo Antonius Padua paroki Kalasan Yogyakarta tidak berjalan seperti digambarkan oleh Katekese Umat. Oleh karena itu penulis mengusulkan suatu program Katekese Umat dengan menggunakan Gal sebagai titik tolak pembicaraan. Program tersebut menggunakan pokok pewartaan Paulus dalam Gal sebagai inspirasi Katekese Umat, dengan cara membaca, mengartikan dan merenungkan perikopa yang diambil dari Gal. Model Katekese Umat yang digunakan dalam program tersebut mengikuti model biblis, karena Katekese Umat lebih optimal menggunakan Kitab Suci, dengan langkah-langkah yang terkandung di dalam model biblis.
viii
ABSTRACT
The title “The Essence Of Paul’s Teaching In The Epistle To The Galatian For Catechese Activity In The Santo Antonius Padua Kalasan Yogyakarta, is chosen based on the fact that the use of the Bible in carrying out the people catecheses to the faithful in Santo Antonius Padua Kalasan, is not organized. The fact shows that in every catechese in the area, the discussion on the Biblle does not go deeply enough. The stage of catecheses is some what liturgical. The catechist does not have enough education in doing his task. The participants of the catechese tend to stay passive, and do not have a chance to compare their live experiences with the Bible. Based on this fact, this writing tries to help the catechis catechesis activities in Santo Antonius Padua Kalasan more optimally may make use of the epistle tothe Galatians The main issues in this writing are what and how the essence the epistle to the Galatians is appllied in people catechesis so that the use of the Biblle in catechesis is well intelligible. St. Paul’s epistle to the Galatians states belief in Christ is the revelation from the cuffig of the Toragh. The teachings of the good news are disscussed and eleborated in detail by getting data from books, observation on the catechesis activities have do to have a better background of the people there. The final result reveals that Sint Paul has rich teachings in proclaiming the good news in Galatia. St. Paul’s epistle to the Galatians can be used as the material in people catechese. The faithful has to read and understand the text. The teaching of St. Paul’s epistle to the Galatian become an ispiration in preparing catechese program appropride to the situation of the people in santo Antonius Padua Kalasan. Biblical model is applied to make the catechese activities run well. The model of catechesis has steps to folow, fist reading the Biblical text, understanding the text, seeing people life experiences and applying the Biblical values in people’s every life.
ix
KATA PENGANTAR
Penulis mengambil judul skripsi ini “Pokok pewartaan Paulus dalam Surat
Rasul Paulus kepada Jemaat di Galatia untuk Katekese Umat di Lingkungan santo
Antonius Padua Paroki Kalasan Yogyakarta”. Pengolahan tentang pokok pewartaan
Paulus dalam Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Galatia juga merupakan usaha
penulis untuk menambah wawasan serta sebagai bentuk penggalian spiritualitas
hidup Kristiani. Penerapan pokok pewartaan Paulus itu ke dalam Katekese Umat
bagi penulis merupakan usaha untuk melatih diri dalam hal keterampilan, hal itu
berguna ketika penulis melaksanakan tugasnya sebagai katekis. Seorang katekis
dalam melaksanakan tugasnya mendidik dan membina iman umat yakni melalui
Katekese Umat. Iman umat yang dibina oleh katekis bersumber dari Kitab Suci, oleh
sebab itu tempat dan penggunaan Kitab Suci menjadi perlu dalam Katekese Umat.
Salah satu surat yang mendapat tempat dan akan dipergunakan di dalam Katekese
Umat ialah surat rasul Paulus kepada jemaat di Galatia.
Bagi penulis, skripsi ini merupakan langkah dan usaha dalam mempersiapkan
diri menjadi seorang katekis yang handal seperti yang ditunjukkan santo Paulus
dalam suratnya kepada jemaat di Galatia. Penulis menyadari menjadi katekis tidak
hanya sekedar mengajar tetapi perlu juga memiliki sikap berani membela Injil
Kristus seperti yang dilakukan oleh Santo Paulus ia tidak pernah gentar menghadapi
para pengajar Yahudi yang dilawannya dengan gagah berani. Penulis dengan
semangat yang demikian menjadi lebih mantap bekerja di ladang Tuhan sebagai
seorang katekis, dengan menggunakan Katekese Umat sebagai cangkulnya. Sebagai
x
langkah awal bagi penulis untuk bekerja diladang Tuhan, maka penulis harus
menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan yang telah diberikan
oleh beberapa pihak. Penulis dengan tulus hati ingin mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Romo Dr. A. Harikustono Pr, selaku dosen pembimbing utama yang dengan
penuh kasih membimbing penulisan skripsi ini.
2. Romo Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A. selaku dosen penguji kedua yang
mengarahkan dan membimbing dengan sabar dalam penulisan skripsi ini.
3. Ibu Dra. Y. Supriyati, M.Pd. sebagai dosen pendamping akademik sekaligus
penguji ketiga yang membimbing dalam penulisan skrpsi ini.
4. Seluruh dosen, staf dan karyawan IPPAK, yang telah banyak membantu penulis
selama studi di IPPAK.
5. Bapak dan Ibu Aloysio Wiyono dan Florentina Sunarmi serta adik-adik Yogo
Wardoyo dan Dini Setyo sebagai keluarga yang membiayai, menyemangati dan
mendukung penulis selama studi di IPPAK
6. Anastasia selaku belahan hati yang selalu setia menemani, mendampingi, dan
membantu pengerjaan skripsi ini.
7. Seluruh angkatan 2001, Antonius Puji Nugroho (ALM), Fransiskus Xaverius
(ALM), Martinus, Emanuel Paulus Matubun, Aladim, Yosafat Danang Sujati,
Fransiska Binarayati, Dian Anomsari, Tiovila Kleden, Mejureti Neli sebagai
teman senasib dalam penulisan skripsi ini.
8. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebut.
xi
Atas segala kebaikan dan perhatian mereka, tidak ada kata yang lebih tepat
yang dapat diungkapkan oleh penulis selain “terima kasih dan terima kasih”
Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat berguna bagi siapa
saja yang mempunyai minat dan perhatian terhadap studi Kitab Suci untuk katekese.
Penulis juga menyadari skripsi ini belumlah sempruna, oleh sebab itu penulis sangat
mengharapkan saran-saran dari pembaca demi kesempurnaan.
Yogyakarta, 9 Agustus 2007
Penulis
Bernardus Yusminardhy Wiyono
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PENDAMPING .............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... iv
MOTTO ........................................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
ABSTRACT...................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................. xvii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Penulisan Skripsi ...................................................... 1
B. Rumusan Permasalahan ..................................................................... 6
C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 7
D. Manfaat Penulisan .............................................................................. 7
E. Metode Penulisan ............................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 8
BAB II. PAULUS DAN POKOK PEWARTAANNYADALAM SURAT RASUL PAULUS KEPADA JEMAAT DI GALATIA ..................... 10
A. Paulus .................................................................................................. 10
1. Identitas Paulus ............................................................................. 10
a. Asal Paulus.............................................................................. 10
b. Paulus seorang anak Kota ....................................................... 12
c. Paulus seorang Farisi diaspora ................................................ 15
d. Paulus seorang rabi dari Yerusalem ....................................... 18
e. Paulus seorang nabi Kristus yang bangkit .............................. 19
f. Gambaran waktu hidup Paulus................................................ 20
2. Karya Pewartaan Paulus................................................................ 22
xiii
a. Paulus merencanakan karyanya .............................................. 22
b. Perencanaan yang sulit direalisasikan..................................... 24
c. Tantangan di lapangan .......................................................... 25
d. Karya Paulus dalam Perjanjian Baru....................................... 27
e. Karya Paulus dalam gereja purba............................................ 38
B. Pokok Pewartaan Paulus dalam Suratnya bagi Jemaat di Galatia....... 30
1. Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Galatia ............................... 30
a. Penulis dan alamat tujuan surat............................................... 31
b. Latar belakang penulisan surat................................................ 32
c. Waktu dan tempat penulisan surat .......................................... 34
d. Komposisi surat ...................................................................... 34
e. Gaya surat ............................................................................... 36
f. Isi surat .................................................................................... 37
2. Pokok Pewartaan yang Disampaikan Paulus ................................ 38
a. Membela Injil Kristus ............................................................. 39
b. Keselamatan manusia.............................................................. 45
c. Jalinan relasi antara Allah dan manusia .................................. 56
BAB III. KITAB SUCI DALAM KATEKESE UMAT ................................... 65
A. Gambaran Umum Katekese ................................................................ 65
1. Pengertian Katekese ...................................................................... 66
2. Titik Tolak Katekese ..................................................................... 67
3. Tujuan Katekese............................................................................ 68
4. Isi Katekese .................................................................................. 69
5. Peserta Katekese............................................................................ 70
6. Pembimbing Katekese................................................................... 71
7. Model-model Katekese ................................................................. 72
a. Model katekismus ................................................................... 72
b. Model penjelasan pikiran ........................................................ 73
c. Model München...................................................................... 73
d. Model aktif .............................................................................. 74
e. Model pengalaman.................................................................. 74
xiv
f. Model Sower ........................................................................... 75
g. Model Shield ........................................................................... 75
h. Model induktif deduktif .......................................................... 76
i. Model naratif eksperiensial ..................................................... 76
j. Model dialog partisipatif ......................................................... 77
B. Katekese Umat .................................................................................... 77
1. Latar Belakang Munculnya Katekese Umat ................................. 77
a. Budaya musyawarah ............................................................... 78
b. Arus demokrasi zaman saat Katekese Umat dicetuskan ......... 79
c. Majunya ilmu-ilmu tentang manusia ...................................... 79
d. Gambaran Gereja saat itu ........................................................ 80
2. Rumusan Katekese Umat .............................................................. 82
a. Arti dan makna Katekese Umat .............................................. 83
b. Isi Katekese Umat ................................................................... 84
c. Peserta Katekese Umat............................................................ 84
d. Pendamping Katekese Umat ................................................... 85
e. Suasana Katekese Umat .......................................................... 86
f. Tujuan Katekese Umat............................................................ 87
3. Perkembangan Ketekese Umat ..................................................... 88
a. Gagasan tentang keterlibatan umat dalam PKKI I.................. 88
b. Arti dan makna Katekese Umat dalam PKKI II...................... 89
c. Peranan pembina Katekese Umat dalam PKKI III ................ 90
d. Iman umat yang terlibat dalam masyarakat pada PKKI IV .... 91
e. Manfaat ansos dan kedudukan Kitab Suci dalam Katekese Umat pada PKKI .................................................................... 92
f. Penggalakan karya Katekese Umat dalam PKKIV................. 92
g. Katekese Umat dan KBG dalam PKKI VII ............................ 93
h. Pengupayaan Katekese Umat untuk membangun KBG yang kontekstual dalam PKKI VIII ............................................... 94
4. Model-model Katekese Umat ....................................................... 95
a. Model pengalaman hidup........................................................ 95
b. Model Biblis............................................................................ 100
xv
c. Model campuran...................................................................... 102
C. Tempat Kitab Suci dalam Katekese Umat .......................................... 104
1. Pemahaman Hakikat Kitab Suci.................................................... 105
a. Pemahaman yang keliru .......................................................... 105
b. Kitab Suci sebagai kitab iman................................................. 106
2. Cara Penafsiran Kitab Suci ........................................................... 107
a. Umat juga diberi wewenang ................................................... 107
b. Pemahaman umat dihargai ...................................................... 108
c. Tetap perlu adanya bantuan .................................................... 109
3. Pengalaman Iman Umat Kitab Suci .............................................. 110
a. Allah berbicara kepada manusia ............................................. 110
b. Jalinan peristiwa hidup............................................................ 111
4. Penggunaan Kitab Suci dalam Katekese Umat............................. 113
a. Tetap relevan di setiap zaman ................................................. 113
b. Menganalogikan pengalaman.................................................. 113
c. Mempertemukan pengalaman ................................................. 114
d. Sebuah contoh menggunakan Kitab Suci dalam Katekese Umat........................................................................................ 115
BAB IV. SITUASI UMUM KATEKESE UMAT DI LINGKUNGAN SANTO ANTONIUS PADUA KALASAN YOGYAKARTA......... 118
A. Tanggal dan Tempat Penelitian........................................................... 118
B. Responden........................................................................................... 118
C. Instrument ........................................................................................... 119
D. Variable Penelitian .............................................................................. 119
E. Hasil Penelitian ................................................................................... 119
1. Keadaan Umat............................................................................... 120
2. Penggunaan Kitab Suci ................................................................. 121
3. Langkah-langkah Katekese Umat ................................................. 122
4. Peserta Katekese Umat.................................................................. 122
5. Pendamping Katekese Umat ......................................................... 123
6. Sarana Katekese Umat .................................................................. 124
7. Harapan terhadap Pelaksanaan Katekese Umat ............................ 124
xvi
F. Pembahasan Hasil Wawancara di Lingkungan Santo Antonius Padua Paroki Kalasan Yogyakarta................................................................. 124
1. Langkah-langkah........................................................................... 125
2. Peserta ........................................................................................... 125
3. Pendamping................................................................................... 126
4. Sarana............................................................................................ 126
5. Penggunaan Kitab Suci ................................................................. 137
BAB V. USULAN PROGRAM KATEKESE UMAT BERDASARKAN POKOK PEWARTAAN PAULUS DALAM SURAT RASUL PAULUS KEPADA JEMAAT DI GALATIA UNTUK KATEKESE UMAT LINGKUNGAN SANTO ANTONIUS PADUA KALASAN YOGYAKARTA.............................................. 128
A. Latar Belakang Pemilihan Program .................................................... 128
B. Alasan Pemilihan Tema ...................................................................... 129
C. Tema dan Tujuan................................................................................. 130
D. Penjabaran Tema................................................................................. 132
E. Petunjuk Pelaksanaan Program........................................................... 136
F. Contoh Persiapan Katekese Umat Model Biblis................................. 137
BAB VI PENUTUP .......................................................................................... 147
A. Kesimpulan ......................................................................................... 147
B. Saran-saran.......................................................................................... 148
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 149
LAMPIRAN...................................................................................................... 150
Lampiran 1: Permohonan Wawancara ...................................................... (1)
Lampiran 2: Pedoman Wawancara ........................................................... (2)
xvii
DAFTAR SINGKATAN
A. SINGKATAN-SINGKATAN KITAB SUCI
Singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian
Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. Ende: Arnoldus. (Dipersembahkan
kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama
Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1085, hal. 8.
B. SINGKATAN RESMI DOKUMEN GEREJA
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus keII
kepada para uskup, klerus dan segenap umat beriman tentang
katekese masa kini, 16 Oktober 1979.
C. SINGKATAN LAIN
AAU : Akademi Militer Angkatan Udara
Art : Artikel
CBSA : Cara Belajar Siswa Aktif
DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta
IPPAK : Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama
Katolik, Universitas Sanata Dharma
KBG : Komunitas Basis Gerejani
KK : Kepala Keluarga
Km : Kilometer
xviii
Komkat : Komisi Kateketik
LBI : Lembaga Biblika Indonesia
M : Masehi
Mudika : Muda-mudi Katolik
PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan Indonesia
PNS : Pegawai Negeri Sipil
Prodi : Program Studi
St : Santo
TNI AU : Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara
TV : Televisi
USD : Universitas Sanata Dharma
YKBK : Yayasan Komunikasi Bina Kasih
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hidup umat diwarnai dengan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Kebutuhan hidup agar tercukupi maka dilakukan segala usaha memenuhi kebutuhan
hidup. Banyak hal yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti
berdagang, bercocok tanam dan bekerja dengan profesi masing-masing sebagai
dokter, sebagai guru, karyawan dan lain-lain. Warna hidup yang demikian kiranya
mempengaruhi kehidupan rohani seseorang. Usaha dan tindakan manusia yang
menjadi tekanan utama dalam pembangunan hidup rohani. Unsur yang lebih penting
agar keselamatan terjadi dalam kehidupan sering dilupakan yakni unsur iman. Umat
terkadang jatuh dalam hal-hal lahiriah tanpa disertai iman seperti ke gereja hanya
untuk memenuhi kewajiban, rajin datang dalam doa Lingkungan hanya untuk
kumpul-kumpul dan lain-lain, serta penggunaan Kitab Suci sebagai inspirasi hidup
beriman dirasa kurang. Hal yang dilakukan umat itu adalah usaha mendapatkan
keselamatan namun terkadang melupakan iman sebagai unsur penting keselamatan.
Dalam kehidupan umat di lingkungan dapat ditemukan kegiatan umat untuk
menumbuh-kembangkan iman, mendidik dan membina iman. Usaha tersebut sering
dikenal dengan istilah katekese atau umat lebih mengenalnya dengan pembinaan
iman. Iman yang dibina mengacu pada iman jemaat perdana. Maka dengan demikian
Kitab Suci Perjanjian Baru menjadi sarana di dalam pembinaan iman itu. Kitab Suci
sebagai sarana bina iman terkadang kurang optimal dipergunakan. Kitab Suci di
dalam pembinaan iman terkadang kurang mendapatkan tempat. Pengalaman iman di
2
dalam Kitab Suci yang dapat memberi inspirasi untuk usaha bina iman kurang diolah
dengan baik.
Salah satu bagian dari Kitab Suci yang akan mendapat perhatian dalam usaha
bina iman ialah surat rasul Paulus kepada jemaat di Galatia. Surat tersebut dapat
memberi inspirasi dalam usaha bina iman dengan mengolah pengalaman iman jemaat
Galatia. Surat Galatia adalah suara Paulus yang paling keras mengungkapkan
legalisme (Gal 1:6; 3:1). Hal itu adalah keterikatan pada hukum dan peraturan yang
pada umumnya telah menggantikan kehidupan rohani. Orang mengira hidupnya
menjadi suci dan benar karena hal-hal yang tidak mereka lakukan, karena hal-hal
yang seharusnya mereka lakukan, karena pemimpin yang mereka ikuti atau karena
kelompok yang mereka masuki. Perbuatan yang telah dilakukan dianggap sebagai hal
yang paling menentukan untuk seseorang memperoleh keselamatan dari Allah
(Wiersbe, 1975: 3).
Taurat merupakan bentuk hukum Yahudi yang mengharuskan ketaatan pada
peraturan yang tidak terhitung banyaknya memenuhi segala segi kehidupan sehari-
hari. Orang Kristen Yahudi banyak yang mengatakan inilah pokok ajaran Kristen, di
mana keselamatan diperoleh jika orang tanpa cacat mentaati peraturan tersebut. Hal
ini membuat seseorang terbelenggu dalam kerapuhan dan dosanya. Mereka
berpendapat hanya Yahudilah yang dapat menjadi Kristen tulen atau setidak-tidaknya
orang bukan Yahudi yang dipermandikan harus taat pada Taurat dan menjadi Yahudi
(Haughton, 1973: 22).
Paulus yang berkarya di Galatia, baru saja meninggalkan tempat itu, beberapa
pengajar agama berkebangsaan Yahudi mulai merongrong hasil karyanya. Mereka
mengatakan bahwa Paulus tidak pernah melihat Yesus seperti Rasul-rasul lain. Paulus
3
tidak diutus oleh Yesus ia bekerja hanya di bawah perintah Rasul, yang
sesungguhnya tidak pernah mengatakan bahwa hukum Yahudi tidak berlaku lagi.
Pauluslah yang menyebarkan ajaran berbahaya itu. Orang asing hanya dapat
diselamatkan jikalau mematuhi hukum Taurat. Orang-orang di Galatia menjadi
bingung untuk apa Allah memberikan hukum Taurat (Haughton, 1973: 24).
Paulus berjuang keras dalam pewartaannya ia menentang legalisme ini. Ia
yakin bahwa Yesus menghendaki pewartaan kabar gembira demi keselamatan
manusia ditujukan kepada semua orang baik Yahudi maupun non Yahudi. Legalisme
seperti ini menjadi perhatian Paulus ketika ia ada bersama para Rasul. Para Rasul
memperhitungkan apa yang menjadi perhatian Paulus itu. Pertemuan para Rasul pada
akhirnya harus memutuskan apakah orang-orang bukan Yahudi yang dipermandikan
menjadi murid Kristus harus mentaati Taurat (Gal 2:9). Dalam pertemuan itu para
Rasul sependapat bahwa tidak menjadi keharusan bagi orang kafir yang bertobat
menerima hukum Yahudi cukuplah bagi mereka mengikuti Kristus (Haughton, 1973:
22).
Surat Galatia adalah surat yang sangat menonjol berbicara tentang kebebasan
Kristiani untuk mengatasi legalisme (Gal 5:1), bahwa orang-orang bukan Yahudi
pengikut Kristus bebas dari keterikatan hukum Taurat. Surat Galatia dipenuhi dengan
pembelaan Paulus ketika berhadapan dengan pengajar agama berkebangsaan Yahudi,
untuk membebaskan orang-orang bukan Yahudi yang mengimani Kristus dari ikatan
hukum Taurat. Persoalan tentang kebebasan Kristiani menjadi penting karena orang
yang telah mendapat kebebasan beriman jangan terikat kembali pada peraturan-
peraturan yang sangat mendetail dari hukum. Paulus dalam surat Galatia
menerangkan bahwa hukum itu diberikan agar orang dapat membedakan mana yang
4
benar dan mana yang baik. Kuasa dosa ada dimana-mana manusia tidak dapat
menghindarinya, Allah berjanji membebaskan manusia dari belenggu itu (Gal 3:22-
24). Jawaban Paulus yang demikian menghilangkan kebingungan orang Galatia dan
menyadarkan mereka akan keterikatannya pada hukum Taurat. Orang Kristen hidup
karena Roh bukan hidup karena hukum. Allah membebaskan manusia dari
keterikatan dosa dan maut dengan diutusNya Yesus turun ke dunia hidup di antara
manusia (Haughton, 1975: 26-27).
Orang Kristen adalah manusia yang bebas, pernyataan tentang kebebasan
Kristiani ini didasarkan pada iman akan Yesus Kristus. Kebebasan sebagai anugerah
Yesus Kristus yang disamakan dengan keselamatan manusia, yaitu jalinan relasi
antara manusia dengan Allah. Kriteria pokok yang memberi kesaksian tentang
kenyataan kebebasan Kristen ditunjukkan Paulus dengan dua tanda yaitu sakramen
babtis dan karya Roh. Babtis dan karya Roh akan membuat orang sampai kepada
Allah oleh karena perantaraan Yesus Kristus. Manusia diajak untuk mengenal juru
selamat dan dekat denganNya hingga menanggulangi unsur-unsur ancaman yang
biasanya menindas serta memperbudak hidup manusiawi, seperti ancaman hukum,
dosa, dan maut. Pengenalan dan kedekatan itu sebagai tanda diperoleh kebebasan
Kristiani. Cinta kasih menjadi norma kebebasan Kristiani. Keselamatan terjadi atas
diri manusia jika ia dekat dengan Allah bukan karena usahanya untuk meraih
keselamatan yang akhirnya membelenggu hidup manusia. Manusia dibebaskan dari
belenggu itu oleh iman akan Yesus Kristus (Klein, 1989: 54).
Umat dengan membaca, memahami dan merenungkan surat Galatia dapat
menyadari dan mengalami kebebasan yang dimiliki di dalam Kristus. Hal itu Sebagai
wujud pengolahan pengalaman iman alkitabbiah dalam usaha bina iman. Kematian
5
dan kebangkitan Kristus menjadi titik tolak untuk umat dapat menyadari dan
mengalami kemerdekaan itu. Kebebasan Kristiani itu di dalam kasih karunia Allah,
mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah yang menentukan besarnya kebebasan
Kristen yang disadari dan dialami. Umat mempelajari surat Galatia berarti ikut serta
dalam suatu reaksi rohani yang menghasilkan kabangunan rohani untuk menghadapi
situasi hudup. Surat Galatia lebih banyak berbicara tentang situasi yang musti
dihadapi waktu itu seperti pengejaran, penganiayaan hingga pembunuhan (Gunning,
1988: 73).
Jemaat Kristiani kecil yang dilayani Paulus sesudah penyaliban dan
kebangkitan Kristus dapat berkembang dan tersebar cepat dimana-mana di wilayah
kerajaan Romawi. Hal itu adalah bentuk reaksi rohani berantai yang luar biasa terjadi
sebagai hasil dari kebangunan rohani. Iman Kristiani berhasil menjadi suatu kekuatan
dinamis yang cukup berpengaruh dalam sejarah. Kristianisme hadir dengan
membawa suatu yang lain dan oleh Paulus diwartakan dalam karyanya. Kristianisme
menawarkan seorang pribadi dan bahasa yang digunakan adalah bahasa kasih bukan
penindasan atau penguasaan serta dalam Kristianisme ada kebersamaan. Orang yang
menanggapi pewartaan Paulus dengan sadar menerima pribadi yang ditawarkan yakni
Yesus Kristus. Orang merasakan kasih hingga ia dapat mengembangkan hidupnya
secara maksimal, dalam kebersamaan orang menjadi bagian antara yang satu dengan
yang lain. Pribadi, kasih dan kebersamaan menjadi kekuatan yang istimewa dalam
gerakan Kristiani (Gunning, 1988: 75).
Implikasi dari reaksi rohani itu di dalam kehidupan nyata pada zaman itu
akhirnya terbentuk. Beberapa implikasi yang menonjol antara lain bidang sosial,
agama dan budaya (Klein, 1989: 66). Aplikasi ajaran Paulus dalam hidup sehari-hari
6
adalah Yesus Kristus menjadi teladan dan orang-orang saling mengasihi, saling
tolong-menolog dalam kebersamaan dan kemasyarakatan saat itu (Gal 6: 1-18)
Umat dapat mengolah pengalaman iman Kristiani yang terdapat dalam surat
Galatia. Hasil pengolahan itu menjadi sebuah renungan yang dapat disampikan
kepada umat dengan cara membaca teks, mengartikan dan menerapkan teks. Umat
yang hidup di Lingkungan kiranya dapat menimba inspirasi dari sana dalam
pendalaman iman. Pengolahan terhadap teks Kitab Suci lebih digiatkan, pemandu
Katekese Umat dapat memberikan permenungan yang lebih kaya dan lebih dalam
sebagai inspirasi hidup beriman guna menghadirkan keselamatan dengan persiapan
Katekese Umat yang dibuat dengan baik.
Karya pewartaan Paulus yang tercatat dalam surat Rasul Paulus kepada
jemaat di Galatia, memuat pokok pewartaan Paulus yang kaya demi menumbuhkan
dan mengembangkan iman umat hingga menjadi peningkatan penghayatan iman yang
lebih berdasar pada Kitab Suci. Oleh sebab itu penyusun mengambil judul “Pokok
Pewartaan Paulus dalam Surat Rasul Paulus Kepada Jemaat di Galatia Untuk
Katekase Umat Lingkungan Santo Antonius Padua Paroki Kalasan
Yogyakarta” agar usaha Gereja dapat terwujud untuk membantu umat semakin
memahami, mengahayati dan mewujudkan imannya akan Yesus Kristus, hingga
keselamatan hadir dalam hidup setiap orang yang mengimani Kristus serta lebih
bertolak dari pengalaman alkitabbiah.
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Apa pokok pewartaan Paulus dalam surat Rasul Paulus bagi jemaat di Galatia?
2. Bagaimana penggunaan dan tempat Kitab Suci dalam Katekese Umat?
7
3. Bagaimana penerapan pokok pewartaan Paulus dalam surat Rasul Paulus kepada
jemaat di Galatia untuk Katekase Umat di Lingkungan santo Antonius Padua
Kalasan?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Dapat memaparkan pokok pewartaan Paulus dalam surat Rasul Paulus kepada
jemaat di Galatia.
2. Dapat menjelaskan tempat Kitab Suci dan cara menggunakan Kitab Suci dalam
Ketekese Umat.
3. Dapat menggunakan pokok pewartaan Paulus dalam surat Rasul Paulus kepada
jemaat di Galatia untuk Katekese Umat di Lingkungan santo Antonius Padua,
paroki Kalasan, Yogyakarta.
4. Secara administratip akademis penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagai
persyaratan kelulusan Sarjana Strata I (S1) program studi IPPAK Fakultas Ilmu
Pendidikan dan Keguruan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
D. MANFAAT PENULISAN
1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi kelangsungan kegiatan studi mengenai
pokok pewartaan Paulus dalam surat Rasul Paulus kepada jemaat di Galatia.
2. Memberikan gambaran tentang penggunaan dan tempat Kitab Suci dalam
Katekese Umat
3. Memberikan sumbangan ide bagi katekis tentang pokok pewartaan Paulus dalam
surat rasul Paulus kepada jemaat di Galatia bagi para katekis untuk penerapannya
dalam melaksanakan tugasnya sebagai pewarta.
8
E. METODE PENULISAN
Penulis menggunakan metode deskriptif analisis yaitu metode yang
menggambarkan dan menganalisa data-data yang diperoleh melalui studi pustaka dan
penelitian di lapangan. Penulis sangat tertarik dengan studi tentang pokok pewartaan
yang disampaikan Paulus dalam surat Rasul Paulus bagi jemaat di Galatia. Hal
tersebut dilihat dan disajikan untuk Katekase Umat di lingkungan santo Antonius
Padua.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Skripsi ini mengambil judul “Pokok Pewartaan Paulus dalam Surat Rasul
Paulus kepada Jemaat di Galatia untuk Ketekese Umat di Lingkungan Santo Antonius
Padua Paroki Kalasan Yogyakarta.” Judul tersebut akan diuraikan dalam enam bab
sebagai berikut:
Bab I, Pendahuluan, berisi meliputi: latar belakang penulisan, perumusan
masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, kajian pustaka dan sistematika
penulisan.
Bab II, Paulus dan Pokok Pewartaannya dalam Surat Rasul Paulus kepada
Jemaat di Galatia, menguraikan tentang identitas Paulus dan karya pewataannya. Bab
ini juga berisi tentang pokok pewartaan Paulus dalam surat Rasul Paulus kepada
jemaat di Galatia.
Bab III, Kitab Suci dalam Katekese Umat, akan menguraikan keberadaan
Kitab Suci di dalam Katekese Umat, agar hal tersebut dapat dilakukan maka
gambaran umum mengenai Katekese Umat terebih dahulu dapat disajikan disajikan.
9
Bab IV, Situasi Umum Katekese Umat di Lingkungan Santo Antonius Padua
Paroki Kalasan Yogyakarta, memaparkan situasi umum Katekese Umat di
lingkungan santo Antonius Padua Kalasan Yogyakarta. Gambaran stuasi tersebut
antaralain mengenai keadaan umat, pelaksanaan Katekese Umat, dan keprihatianan
terhadap pelaksanaan Katekese Umat.
Baba V, Usulan Program Katekese Umat, Berdasarkan Pokok Pewartaan
Paulus dalam Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Galatia untuk Umat Lingkungan
Santo Antonius Padua Paroki Kalasan, menyampaikan usulan program Katekese
sebagai penerapan pokok pewartaan Paulus dalam Surat Rasul Paulus kepada jemaat
di Galatia guna kegiatan Katekese Umat.
Bab VI, Penutup, merupakan kesimpulan dan saran-saran yang dapat diambil
dari penulisan skripsi .
BAB II
PAULUS DAN POKOK PEWARTAANNYA
DALAM SURAT RASUL PAULUS KEPADA JEMAAT DI GALATIA
Pewartaan memiliki peranan yang amat besar dalam menumbuhkan dan
memperkembagkan Gereja. Gereja perdana dapat berkembang dengan pesat karena
pewartaan yang giat. Paulus tampil sebagai salah seorang pewarta Injil Kristus yang
cukup berpengaruh bagi perkembangan Gereja awal. Pengaruh pewartaan Paulus bagi
perkembangan Gereja awal ialah Gereja awal dapat berkembang tidak hanya di
kalangan Yahudi tetapi juga dapat berkembang di kalangan bangsa bukan Yahudi.
Gereja dapat berkembang di kalangan orang-orang bukan Yahudi sebab Paulus
menyampaikan pokok pewartaan yang cocok bagi mereka. Orang-orang non Yahudi
yang menerima pewartaan Paulus akan Injil Kristus tidak diharuskan untuk menjadi
Yahudi terlebih dahulu. Tulisan Paulus dalam surat Galatia menggambarkan
dinamika karya Paulus yang mewarta di kalangan orang-orang bukan Yahudi dengan
pokok pewartaan yang ia sampaikan.
A. PAULUS
Santo Paulus adalah seorang pewarta yang dengan gigih mewartakan Injil
Kristus. Kerap kali dipertanyakan dalam karya pewartaan itu identitas Paulus dan
pokok pewartaannya yang menimbulkan kontraversi di kalangan bangsa Yahudi
sebagai asal kegiatan pewartaan. Identitas dan karya Paulus dapat menjadi inspirasi
para pewarta di zaman sekarang ini meskipun zaman ketika Paulus hidup berbeda
dengan zaman sekarang ini
11
1. Identitas Paulus
Paulus adalah seorang rasul, informasi mengenai identitas dan karyanya tidak
ada banyak sumber yang dapat dijadikan acuan. Paulus berasal dari Tarsus yang
menjadikan seorang Paulus kecil jadi anak kota. Keaslian sebagai seorang Yahudi
dari mashab Farisi sering dibanggakannya. Jati dirinya dibentuk melalui jalur
pendidikan yang ditempuh di Yerusalem hingga ia dapat menjadi seorang rabi.
Idealismenya membuat ia beraliran keras dengan mengejar dan menganiaya jemaat
perdana. Sampai pada suatu saat iapun ditemui oleh Yesus sendiri yang membuatnya
menjadi nabi Kristus yang bangkit untuk mewartaakan InjilNya.
a. Asal dan gambaran fisik Paulus
Leluhur Paulus berasal dari Galilea, beberapa kemungkinan namun belum
dapat diketahui kepastiannya, apa faktor yang membuat leluhur Paulus itu pindah ke
Tarsus. Perdagangan dan penjajahan yang dilakukan oleh pemerintah Siria
memungkinkan untuk leluhur Paulus berpindah ke Tarsus. Diri Paulus sendiri
termasuk dalam suku Benyamin dan ia sebagai anggota Farisi dilahirkan di Tarsus.
Kewarganegaraan yang dimiliki Paulus kewarganegaraan Romawi. Warga negara
Roma sebagai status yang disandangnya memberi kesan bahwa ia sudah lama tinggal
di sana (YKBK, 1995: 208).
Tarsus sebagai kota kelahirannya merupakan kota terkenal dan Tarsus adalah
kota pendidikan. Di usia muda Paulus menerima pendidikan dasar di kota itu. Paulus
mulai mempelajari berbagai filsafat Yunani dan ibadah-ibadah agama. Penempatan
dirinya di Yerusalem dan dididik di sana membentuk jati diri Paulus. Keanggotaan
sebagai dewan Sanhedrin didapatkannya. Ia sebagai anggota Sinagoga atau dewan
12
Sanhedrin mendapatkan kekuasaan resmi untuk mengatur penganiayaan orang
Kristen (YKBK, 1995: 208).
Paulus mempunyai perawakan kecil. Penampilan fisiknya oleh alkitab
digambarkan sebagai tokoh yang tidak meyakinkan. Diri Paulus kurang lebih
digambarkan sebagai seorang yang kecil perawakannya, rambutnya tipis dan halus,
kakinya bengkok, alisnya bertemu dan hidungnya sedikit bungkuk. Gambaran lain
diri Paulus yang mengesankan bahwa ia berbadan tegap, penuh belas kasihan dan
kadang terlihat sebagai manusia juga kadang wajahnya seperti wajah malaikat
(YKBK, 1995: 208).
b. Paulus seorang anak kota
Paulus adalah seorang anak kota, jika dibandingkan dengan tempat kelahiran
Yesus di desa maka jauh berbeda. Paulus lahir di kota Tarsus dan Yesus dilahirkan di
Nasaret hanya sebuah desa yang tidak terkenal di pegunungan Galilea. Tarsus sebuah
kota megah layaknya kota-kota lain yang megah di kekaisaran Roma. Kepuasan
Paulus akan keberadaan kota kelahirannya tampak dalam perkataannya yang dikutip
dari kisah para Rasul “Aku seorang Yahudi, warga kota Tarsus di Silisia, kota bukan
sembarang kota” (Brunot, 1992: 10).
Keberadaan kota Tarsus dengan segala hal yang ada dan yang terjadi di sana
membuat Paulus menjadi orang yang dapat dengan cepat menangkap setiap ide,
gagasan dan buah-buah pemikiran yang disampaikan oleh orang lain kepadanya.
Perkembangan kepribadian diri Paulus banyak terjadi karena pengaruh latar belakang
kota Tarsus dengan pencampuran suku-suku bangsa, agama-agama dan kelas sosial.
Paulus menjadi pengembara yang tak kenal lelah, menjadi pewarta yang bersemangat
13
dan menjadi nabi Allah. Ia akan berusaha agar dunia mendengar pewartaannya dan
dunia mengimani apa yang diimaninya (Brunot, 1992: 12).
Watak yang dimiliki Paulus rumit, di dalam dirinya terdapat bermacam sifat
kontra. Perbuatannya didasari dengan keyakinan yang teguh seperti layaknya anak-
anak kota yang lain. Ia berbakat dalam organisasi, serta mempunyai kemampuan
untuk menyindir dengan nada gurau yang menjadi kekuatan dalam pribadinya
sebagai seorang penantang. Sampai akhir hidupnya ia mempertahankan semangat
senda gurau, yang kadang-kadang menjadi sarkasme, apabila ia mencaci-maki
musuh-musuhnya atau orang-orang yang terlalu mudah percaya. Dia juga menguasai
bahasa karikatur. Ia tidak pernah sayang akan dirinya dan senyumnya yang
merupakan perpaduan sindiran dan kesederhanaan (Brunot, 1992: 12).
Kehidupan kota Tarsus membekas sangat dalam pada dirinya. Paulus sangat
tertarik kepada manusia, kehidupan kota, masyarakat, hukum dan lebih-lebih ia
sangat tertarik pada atletik dan disiplin militer. Di dalam diri Paulus ditemukan
sebuah kontras lagi, yaitu bahwa di dalam tubuhnya yang lemah dan berpenyakit
menahun itu, tersembunyi watak seorang jago gulat dan serdadu. Dalam dirinya
terdapat sesuatu yang juga dimiliki oleh Pascal, yaitu saraf baja yang menjadikan
seseorang tergolong dalam deretan ahli pikir terbesar di dunia, meskipun ia bertubuh
jenaka. Meskipun begitu Paulus selalu dicengkeram oleh rasa was-was. Jelas bahwa
ia tak pernah lepas dari ketegangan saraf yang biasanya di derita oleh orang kota dan
olahragawan gigih. Ia bukan seniman bukan pula penyair, ia seorang yang sanggup
menangani gagasan-gagasan dan gerombolan orang-orang, ia menonjol dalam
kegesitan dan kecakapan otaknya, sangat peka dan bukan main cepat bereaksi. Dia
seorang pemimpin yang setia kepada tradisi, tetapi sekaligus juga sangat kreatif. Dia
14
seorang pengacara yang hebat dan tak terkalahkan, namun ia lebih tertarik untuk
meyakinkan audiencenya dari pada mengikat mereka. Sebagai seorang ahli bicara
yang populer, ia menganggap bahwa yang paling penting dan utama ialah berbicara
dalam batas daya tangkap pendengar. Dia senantiasa mengambil peristiwa-peristiwa
hangat sebagai contoh dalam pembicaraan prikehidupan masyarakat kota sehari-hari
yang sederhana. Dia begitu berhasil mengikat perasaan orang lain, sehingga ia dapat
menghadirkan dirinya seakan-akan ia berada di tengah-tengah umat yang membaca
suratnya, meskipun mereka berada di tempat yang jauh. Ia mendekte maupun menulis
sendiri suratnya. Paulus mampu menyingkirkan pikirannya, urusan-urusan serta
kesibukan-kesibukan di tempat kerjanya, untuk menghadirkan dirinya secara penuh.
Dengan demikian tanpa banyak susah payah ia tidak hanya ikut berprihatin dengan
kegusaran-kegusaran dan persoalan-persoalan serta godaan-godaan mereka. Paulus
juga ikut memperbincangkan pokok-pokok pembicaraan yang sedang hangat
diperdebatkan di antara mereka. Pokok pembicaraan Paulus mengenai persoalan-
persoalan yang terjadi waktu ia dulu tinggal bersama dengan mereka. Paulus selalu
memakai perbendaharaan kata mereka (Brunot, 1992: 12-13).
Paulus seorang yang beremosi kuat maka tidak mengherankan bila sifat ini
memberi kesan bahwa tulisan-tulisan Paulus bertentangan dengan dirinya sendiri,
bahwa kalimatnya sepintas lalu nampak tidak sesuai pendapatnya. Paulus berbakat
untuk menciptakan kalimat-kalimat yang mudah dihafalkan. Ia sanggup
memperingkas iman Kristen yang masih muda usianya dalam rumusan-rumusan yang
ringkas. Hal ini berbeda dengan kalimat yang diucapkan oleh Yesus, kalimat Yesus
tegas, utuh, jelas, sedangkan cara berfikir Paulus bahkan terkesan picik dan ringkas
dengan nada keras dan agung berwibawa pada ayat-ayatnya membuat pembacanya
15
kadang-kadang bertanya pada diri mereka sendiri, apakah dengan berpegang pada
ayat-ayatnya yang bernada keras seperti itu mereka tidak tersesat dalam cara berpikir
yang terlalu picik atau ringkas (Brunot, 1992: 13-14).
c. Paulus seorang Farisi diaspora
Pengaruh-pengaruh positif dan negatif telah disebutkan di atas. Di dalam diri
Paulus yang dibesarkan di Tarsus tersembunyi agamanya sebagai harta karun yang
tidak dimiliki oleh semua lingkungan kota Tarsus. Paulus seorang Yahudi orang
tuanya berasal dari Giskala di Galilea, mereka termasuk suku Benyamin yang
berdomisili di Tarsus. Nama Saul diberikan setelah anak ini disunat. Nama yang
diberikan itu berasal dari nama raja Israel yakni Saul yang diturunkan dari suku
Bennyamin, meskipun dia tinggal di negeri orang ia tetap bangga dengan warisan-
warisan leluhurnya darimana mereka berasal dulu. Paulus adalah nama kedua yang
diberikan, sesuai dengan tradisi di Tarsus ia diberi nama Yunani (Brunot, 1992: 14).
Keluarga Paulus adalah keluarga perantauan orang-orang Yahudi Galilea
yang sukses. Kewarganegaraan Romawi dapat menjadi satu bukti yang menunjukkan
kesuksesan mereka di tanah rantau dan mereka dapat menyesuaikan diri disana.
Paulus dilahirkan di tenggah-tengah Golongan saudagar-saudagar berada sebagai
kaum menengah di propinsi Roma itu. Hak-hak istimewa sebagai warga negara
Romawi didapatkan olehnya seperti hak dipilih menjadi magistrat dan hak dalam hal
kehakiman untuk memohon kepada Kaisar melepaskan tuduhan. Nasib Paulus
menjadi lebih baik dibanding dengan orang sebangsanya (Brunot, 1992: 15).
Keberadaan Paulus pada jantung masyarakat kafir ini bukanlah pelarian dari
benteng istiadat Yahudi yang kuat. Suasana Yudaisme yang paling murni melingkupi
16
keberadaan Paulus dibesarkan dengan didasari iman yang utuh dan mendalam,
keluarga Paulus termasuk mashab Farisi. Kotbah-kotbah serta suratnya
mempertahankan keaslian Yahudi sebagai nenek moyangnya dan membanggakan
adat Yahudi sebagai adat yang ketat. Paulus selalu membanggakan keluarganya dan
meletakkannya di tempat paling atas. Gal 1:13 dan surat Paulus yang lain juga
menunjukkan hal ini. Paulus disunat tujuh hari setelah kelahiranya sesuai dengan
perintah hukum (Brunot, 1992: 15). Mashab Farisi terkenal dengan mashabnya yang
keras tekun beribadat. Paulus di dalam mashab Farisi ini masih menunjukkan
keistimewaan dirinya yakni dengan perkembangan rohani yang mengagungkan dan
dengan usaha gigih yang tak kunjung layu meskipun menderita penganiayaan. Di
hadapan raja Agripa Paulus dengan bangga menyakinkan bahwa ia hidup sebagai
seorang Farisi menurut mashab paling keras dengan agama Yahudi. Keluarga
memberi pengaruh terhadap Paulus untuk menjadikannya Farisi tulen mempunyai
sifat puas akan keadaan diri sendiri hingga menimbulkan kesombongan (Brunot,
1992: 15-16).
Orang-orang Saduki, Eseni dan Farisi merupakan mashab yang paling kuat
dan utama Yahudi di permulaan terik Masehi. Kaum Eseni adalah masyarakat yang
lebih tertutup dibanding mashab Farisi. Mereka melaksanakan hukum-hukum dengan
teliti sampai segi yang kecil. Kasta imamat yang bersifat mesianik diberikan dalam
kehidupan dengan harapan akan terjadi restorasi imamat di bait Allah Yerusalem.
Orang-orang Saduki yang memimpin upacara keagamaan dihalang-halangi oleh
orang Farisi. Orang Saduki dianggap sebagai orang yang merampas tugas-tugas
imamat dan sebagai penghianat yang bekerjasama dengan penjajah. Orang-orang
Eseni merupakan rahib-rahib yang berdomisili di padang gurun untuk
17
mempersiapkan secara diam-diam upaya meraih kekuasaan. Orang-orang Farisi
merupakan lawan aristokrat Saduki. Mereka orang Farisi mengajarkan Taurat.
Pengalaman mereka luas, mereka mempunyai kesanggupan intelektuil untuk
memperkembangkan sistem kausaistik dan mempertahankan tradisi serta membuat
hukum lisan yang kekuatannya sama dengan hukum tertulis Musa. Mereka dijuluki
“Orang-orang terpisah” atau Farisi karena kesalehan rakyat yang memudar. Nama itu
sebagai tanda kemasyuran yang melekat pada diri orang-orang Farisi. Formalitas dan
kemunafikan yang merata di kalangan Farisi dicela oleh Yesus. Hal baik lain yang
kiranya dapat kita akui dari keberadaan orang Farisi adalah nilai spiritual yang sejati,
rasa hormat terhadap benda suci, penyerahan diri terhadap penyelenggaraan Illahi dan
usaha-usaha untuk hidup sesuai dengan sabda Allah meski sabda itu ditafsirkan salah
(Brunot, 1992: 16-17).
Paulus menggunakan bahasa Yunani. Bahasa yang dipelajari selama menuntut
ilmu dan Paulus tahu tentang naskah-naskah Kitab Suci Septuaginta. Bahasa
Yunaninya diperkaya dengan perjalanan-perjalanannya yang dilakukan, perjumpaan-
perjumpaan dengan pembicara-pembicara terkenal, perdebatan-perdebatan dengan
orang Yahudi di sinagoga, dan dengan pertentangan-pertentangan dengan lawan yang
tak mau kalah. Ahirnya Paulus menguasai dan mampu menggunakan bahasa ini
dalam karyanya (Brunot, 1992: 18).
Doa dipelajari oleh Paulus mula-mula dari ibunya. Rumusan-rumusan doa
Paulus diambil dari Kitab Suci. Orang Yahudi dilahirkan untuk berdoa. Suasana
kesucian dari cinta kasih Allah memenuhi masa kanak-kanaknya. Paulus menjadi
Farisi sejati dengan doa-doa dari seluruh kesusastraan Yahudi. Mazmur-mazmur
apokrip dinyanyikan dengan semangat dan doa berkembang menjadi aliran mistik
18
(Brunot, 1992: 19). Hidup doa Paulus sungguh dibangun, maka menjadikannya
seorang Farisi yang tidak saja fanatik tetapi juga spiritualistik.
Surat Galatia menunjukkan betapa terkejutnya Paulus akan kekurangan orang-
orang Farisi. Dalam surat itu Paulus menyatakan betapa rendah dirinya dan
menunjukkan kesedian dirinya untuk mengharapkan Allah, karena ia tetap mengakui
sebagai Farisi sejati yang tak bercela, putera Abraham yang juga akan diselamatkan
oleh Allah karena iman (Brunot, 1992: 19-20).
d. Paulus seorang Rabbi dari Yerusalem
Yerusalem semenjak masa pemerintahan raja Daud merupakan kota suci bagi
Yudaisme dan kota ini menjadi kota universitas di zaman Paulus. Anak-anak dari
golongan menengah atas melanjutkan dan meyelesaikan studinya di Yerusalem.
Paulus juga pergi ke kota ini setelah ia berusia lima belas tahun. Ia sendiri yang
menceritakan sebagian kecil riwayat hidupnya, bahwa ia orang Yahudi dilahirkan di
Tarsus di Silisia dan diasuh atau dididik di Yerusalem. Ia dididik oleh Gamaliel
dengan disiplin ilmu pendidikan dari hukum Yahudi. Gamaliel adalah seorang ahli
Taurat yang tidak menentang para Rasul (Brunot, 1992: 21).
Paulus tidak meninggalkan ajaran dan kesalehan gurunya dan Pauluspun
senang menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Rabi Gamaliel adalah penerus
dari Rabi Hilel yang terkenal. Pandangan-pandangan Hilel yang cemerlang dan
liberalis diwarisi oleh Gamaliel. Ajaran-ajaran yang disampaikan Rabi itu baik oleh
orang Kristen ataupun orang Yahudi sama-sama dihargai, tentang diri Gamaliel
dikatakan bahwa semenjak kematiannya kehormatan Taurat lenyap, dan tiada lagi
kemurnian dan pantangan (Brunot, 1992: 23).
19
Paulus dididik oleh Gamaliel dengan gaya dan cara pendidikan yang lazim
dilaksankan saat itu. Ia mendengarkan madah-madah yang dinyanyikan secara teratur
selama bertahun-tahun masa pendidikannya. Pelajaran dan madah-madah
dinyanyikan teratur, menurut ritme juga disertai dengan alunan gerak tubuh (Brunot,
1992:21-25). Pendidikan membentuk diri Paulus menjadi seorang rabi yang sunguh
kompeten di bidang agama, yakni agama Yahudi yang dianut Paulus.
e. Paulus seorang Nabi Kristus yang bangkit
Paulus memiliki sosok seorang nabi di dalam hidupnya pengalaman karya
serta kegiatan-kegiatan dan juga sifat jujur serta semangatnya merupakan hal yang
sama terdapat pada para nabi besar lainnya dalam sejarah Kitab Suci. Paulus seorang
ahli Taurat yang bertobat dia menjalani pendidikannya di bawah bimbingan Rabbi
Gamaliel, lebih dari sekedar itu ia adalah seorang nabi. Nabi Amos dan nabi Yesaya
telah menerima tugas untuk melaksanakan karya pewartaan dari Allah. Paulus dengan
diawali dari pendidikannya ia mengerti tentang Allah, sedangkan dari pertobatannya
ia dapat mengalami Allah. Pengertian dan pengalamannya akan Allah membuatnya
dapat menerima karya pewartaan yang diberikan oleh Allah. Paulus sama seperti
nabi-nabi besar lainnya iapun menerima karya pewartaan Allah dan dilaksanakan
olehnya demi keselamatan manusia (Brunot, 1992: 33).
Paulus sebelum bertobat yang menjadi pusat perhatianya adalah kewenangan
dan kemenangan hukum Taurat baginya dibuktikan dengan penuh semangat.
Keselamatan erat kaitannya dengan dijalankanya Taurat tanpa cacat, barang siapa
mengancam keberadaan Taurat baginya harus disingkirkan. Pertobatannya membalik
semua yang ada di dalam dirinya, satu-satunya kebahagiaan atau kebodohannya tidak
20
lain adalah Kristus yang bangkit. Darah nabi-nabi Yuda gigih mengalir dalam nadi
Paulus dari suku benyamin. Kecil perawakannya dan lemah tampangnya namun
demikian singa yang mengaum tidak membuatnya gentar dalam melaksanakan karya
pewartaannya (Brunot, 1992: 13-14).
f. Gambaran waktu hidup Paulus
Kehidupan Paulus secara kronologis tidak dapat dipastikan. Para ahli sudah
memeras otak untuk menyusun sebuah kronologi. Berbagai perdebatan telah terjadi
untuk menentukan kronolgi hidup Paulus. Tetapi mereka tidak sampai menjadi
sepakat, bahkan dalam garis besarnya untuk menentukan sebuah kronologi
keberadaan hidup Paulus belum ada kesepakatan (Groenen, 1991: 214).
Tahun kelahiran dan tahun kematian Paulus tidak dapat dipastikan. Hanya
diketahui bahwa Paulus sekitar tahun 62 M berada dalam tahanan di Roma. Kepastian
mengenai menjalani hukuman mati atau dibebaskan tidak didapatkan. Lalu mengenai
hidup dan berkarya Paulus beberapa lama tidak juga diketahui dengan pasti.
Keberadaan Paulus juga simpang siur dikatakan oleh tradisi sekitarnya. Tahun
kelahirannya diduga 5-10 M. Dugaan ini berdasar pengandaian akan kematian Kristus
yang terjadi sekitar tahun 30 M (Groenen, 1991: 214).
Masa hidupnya yang juga penting menjadi perhatian yakni pertobatannya.
Tahun masuknya Paulus menjadi Kristen tidak dapat dipastikan Orang dapat
memilih salah satu tahun antara tahun 33 dan 36 M. Mungkin orang yang memilih
tahun 33 sedikit lebih aman daripada yang memilih tahun 36 (Groenen, 1991: 214).
Keberadaan Paulus di Korintus Menurut Kis 18: 12 yakni waktu Gallio mulai
menjabat sebagai gubernur di Akhay, negeri Yunani bagian selatan. Menurut berita
21
yang ada Iunius Annaeus Gallio memang menjabat Gubernur dari pertengahan tahun
51 sampai pertengahan tahun 52/53 M. Menurut Kis 18:11 Paulus pada waktu itu
tinggal di kota Korintus selama satu setengah tahun, katakan saja 2 tahun. Kalau
berita para Rasul itu tepat, maka ada pegangan pasti. Selama tahun 51-53 Paulus
tinggal di Korintus. Menurut Kis 20:3 pada kesempatan lain Paulus selama dua bulan
tinggal di tanah Yunani, mungkin sekali di kota Korintus (Groenen, 1991: 214-215).
Tidak lama kemudian Paulus ke Yerusalem. Di sana ia ditangkap, ditahan dua
tahun di Kaisarea, lalu berlayar ke Roma dan ditahan disana dua tahun lagi. Pelayaran
ke Roma menurut apa yang tercantum dalam kisah para Rasul maka selama satu
tahun juga. Jangka waktu itu meliputi tahun 57-62 (Groenen, 1991: 215).
Gambaran waktu hidup Paulus sulit untuk dapat dipastikan. Kesulitan untuk
mengetahui gambaran hidup Paulus disebabkan karena kurangnya data-data
mengenai keberadaan diri santo Paulus. Data yang digunakan untuk mengetahui
gambaran masa hidup Paulus diambil dari berbagai sumber, antara lain adalah kitab
suci dan beberapa tulisan historis. Sumber-sumber yang digunakan tersuebut tidak
banyak yang berbicara tentang keberadaan Paulus hingga dengan demikian ditemui
kesulitan untuk mengetahui gambaran hidup Paulus.
Kasulitan ini kiranya tidak menjadi penghalang untuk mengetahui karya
pewartaan Paulus. Karya pewartaan Paulus sangat berpengaruh bagi perkembangan
Kristianisme pada masa awal mulai berkembangnya Gereja. Oleh sebab itu penting
menggali labih dalam karya pewartaan Paulus, tanpa dihalangi olah gambaran masa
hidup Paulus yang sulit dipastikan. Berikut ini kronologi hidup Paulus yang coba
dibuat tanpa angka tahun.
• Ia dilahirkan dan dibesarkan di Tarsus
22
• Paulus melanjutkan pendidikannya di Yerusalem
• Menjadi anggota Sanhedrin
• Melakukan pengejaran serta penganiayaan terhadap orang-orang Kristen.
• Pertobatannya dalam perjalanan ke Damsyik
• Ia melaksanakan karya pewartaannya
• Paulus menulis surat-suratnya
• Akhir dari hidupnya
2. Karya Pewartaan Paulus
Paulus pernah ditemui oleh Yesus sendiri, yang berarti ia langsung diutus oleh
Tuhan untuk mewartakan Injil. Di dalam dirinya setelah perjumpaan itu terjadi
pergulatan yang membawanya pada pertobatan. Paulus selanjutnya menyusun
rencana untuk karya pewartaannya. Iapun sadar bahwa rencana itu sulit direalisasikan
dan banyak menghadapi tantangan di lapangan. Perjanjian baru telah mencatat karya
Paulus di zaman Gereja purba.
a. Paulus merencanakan karyanya
Paulus mempunyai kekuatan pada pokok pewartaan dan mempunyai
rancangan misi yang luas. Rancangan misi yang luas dan kuatnya pokok pewartaan
yang disampaikan menjadi peristiwa sejarah yang menentukan awal perkembangan
Gereja (Jacobs, 1990: 21).
Hal mengenai riwayat hidup Paulus antara panggilannya dan pertemuan para
Rasul di Yerusalem dapat diketahui hanya sedikit. Surat Galatia secara eksplisit
23
menyebutkan mengenai hal itu (Gal 1:1-24; 2:1-10). Hal yang dapat diketahui cukup
banyak informasinya ialah tentang karya pewartaan. Karya pewartaan Paulus yang
hebat secara khusus diceritakan oleh Lukas dalam Kisah Para Rasul. Kotbah-
kotbahnya dimana Paulus mewartakan pokok-pokok pewartaannya Lukas tidak dapat
mengurai dengan gamblang sesuai dengan apa yang menjadi ciri khas Paulus. Pokok
pewartaan Paulus yang diuraikan Lukas tidak mencerminkan pola Paulus karena
sebagai berikut (Jacobs, 1990: 21):
Pertama-tama karena karya pewartaan Paulus tidak dapat dipisahkan dari
pokok interpretasi pokok pewartaannya mengenai Injil. Apa yang diwartakan Paulus
berhubungan dengan pertanggungjawaban pertemuannya dengan Kristus dan
panggilannya sebagai Rasul. Pewahyuan yang diberikan oleh Allah mengenai Yesus
putraNya berarti bagi Paulus ialah pengakhiran dari usahanya sebagai kaum Farisi
untuk menemukan pembenaran dihadapan Allah dengan taat kepada Taurat. Tuhan
menampakan diri bukan dalam tuntutan mentaati Taurat, tetapi keselamatan Tuhan
ada dalam anugrah rahmat pembenaran. Salib memperlihatkan kegagalan Taurat
dalam mengembalikan manusia kepada panggilannya (Jacobs, 1990: 22).
Kemudian pewahyuan Paulus yang diterima olehnya berarti juga bagi kaum
kafir. Karya pewartaan diantara orang bukan Yahudi sudah lama dimulai, tetapi
pewartaan itu dilakukan masih dalam kungkungan hukum Yahudi. Perbedaan rencana
karya pewartaan yang dilakukan oleh Paulus kepada kaum kafir ialah tanpa belenggu
Taurat yang menjadikan orang harus Yahudi terlebih dahulu. Paulus mengemukakan
dan menerangkan hal itu berkali-kali. Allah memberikan pembenaranNya kepada
semua orang yang percaya dan mau menerimanya, hanya ada satu Allah bagi semua
bangsa baik yang bersunat ataupun yang tidak bersunat (Jacobs, 1990: 22).
24
Selanjutnya Paulus akan melaksanakan rencana karya perwataannya dengan
tuntas. Ia mewartakan Injil kepada kaum kafir dengan pokok pewartaan tentang
kebebesan dari belenggu Taurat. Hal ini berarti Paulus merumuskan kembali pokok
pewartaannya mengenai salib dalam kategori dan bahasa yang lain dari yang dipakai
dalam kristanitas Yahudi. Paulus menterjemahkan apa yang diwartakannya kedalam
bahasa Yunani untuk kebudayaan Helenis. Ia merumuskan kembali pokok
pewartaannya hingga terdapat pokok pewartaan yang baru (Jacobs, 1990: 22-23).
Akhirnya Paulus melaksanakan rencana karya pewartaannya bukanlah dengan
maksud mendirikan suatu Gereja Kristen kafir disamping Gereja Kristen Yahudi.
Paulus selalu menekankan kesatuan Gereja-Gereja baru, hingga mereka
dikumpulkan dalam satu meja baik orang Kristen Yahudi ataupun Kristen non
Yahudi dan diproleh saling pengakuan dari beraneka ragam jemaat (Jacobs, 1990:
23).
b. Perencanaan yang sulit direalisasikan
Pelaksanaan karya pewartaan Paulus menjadi rencana yang sulit
direalisasikan, kendati rencana Paulus dalam keseluruhanya itu logis dan cocok,
namun demikian karena pemahamannya yang khas mengenai iman Kristiani dan hal-
hal di atas membuat rencana karya pewartaan Paulus pelaksanaannya menjadi hal
yang sulit. Pertentangan hebat dialami Paulus dalam seluruh karyanya baik kegiatan
pewartaannya ataupun pokok pewartaannya, tak henti-hentinya ia menimbulkan dan
harus mempergulatkan pertengkaran yang hebat dan mendalam. Paulus sepertinya
mendominir Gereja dalam tigapuluh tahun pertamanya hal itu tidak benar karena
surat-suratnya menunjukan realitas yang tidak demikian. Paulus harus mengalami
25
kesulitan bergulat dalam jemaat Helenis yang didirikannya sendiri, melawan
interpretasi Injil yang kegila-gilaan dan sepiritualistis. Injil yang diwartakan Paulus
tidak lepas dari kebudayaan, sosial, dan ekonomi Yunani. Kesulitan Paulus pertama-
tama ia bergulat melawan orang Kristen Yahudi yang konservativ dimana mereka
ikut campur tangan dalam kebanyakan jemaat yang didirikan Paulus, meraka
mewartakan Injil dengan mengikutsertakan Taurat di dalamnya. Ia menghadapi kedua
masalah tersebut harus mempertanggungjawabkan bukan hanya interpretasi pokok
pewartaannya namun juga kedudukannya kepada Rasul dan karya pewartaanya.
Masalah tersebut tampak mula-mula di Korintus, dari jemaat yang dibentuknya
sendiri salah menangkap pokok pewartaan Paulus. Di Galatia (Gal 1: 22) masalah
yang tampak dan menjadi kesulitan dalam Paulus melaksanakan rencana karya
pewartaannya ialah pengakuan akan karyanya itu oleh Gereja di Yerusalem dan oleh
para Rasul serta oleh para tokoh dari jemaat baru yang didirikannya (Jacobs, 1990:
23-24).
c. Tantangan di lapangan
Paulus tidak hanya mengalami kesulitan, ia juga mendapat tantangan.
Tantangan yang paling hebat dan jelas nampak dalam surat Galatia, dalam surat
tersebut muncul para pesertanya. Paulus dan Gereja di Yerusalem serta para Rasul
menjadi dua belah pihak yang bertolak belakang satu sama lain sedangkan jemaat di
Galatia posisinya lebih berperan sebagai saksi (Gal 1:7). Kegiatan misioner yang
pertama di Siria dan Kilikia setelah periode itu berlalu, lalu Paulus bersama Barnabas
pergi ke Yerusalem untuk mendapat pengakuan atas karya pewartaannya oleh
pemimpin jemaat yakni Yakobus dan Yohanes. Setelah Paulus mendapatkan
26
pengakuan tersebut Paulus kembali menuju ke Asia kecil melalui Antiokia. Sesudah
mendapatkan pengakuan itu ada dua insiden penting ditulis dalam surat Galatia, yang
kemudian melawankan Paulus dengan orang Kristen Yahudi dari Yerusalem. Insiden
pertama di Antiokia ketika itu Petrus makan bersama dengan orang kafir lalu datang
beberapa orang dari kalangan Yakobus (Gal 1:1-14). Petrus mengambil posisi tengah,
ia lalu mengundurkan diri karena takut kepada saudara-saudara yang bersunat sebab
makan bersama dengan orang kafir adalah hal yang melanggar Taurat. Paulus
merasakan tantangan akan hal ini, baginya duduk makan bersama yang lain
dimaksudkan sebagai suatu perjamuan Ekaristi dan menekankan kesatuan dalam
tubuh Kristus antara orang Kristen Yahudi dan non Yahudi. Paulus mesti
menyampaikan apa yang sesuai dengan persetujuan di Yerusalem yakni pendapatnya
tentang Ekaristi dan kesatuan tubuh, terlebih dihadapan beberapa orang kalangan
Yakobus yang masih menjunjung tinggi Taurat. Insiden yang kedua ialah orang-
orang Kristen Yahudi atau lebih tepatnya pengajar-pengajar Yahudi mengacaukan
karya pewartaan Paulus di Galatia. Mereka memutar balikan Injil Kristus
mengembalikan Taurat (Gal 1:7). Mereka itu lebih menunjuk ke arah wakil dari
jemaat purba Yerusalem. Paulus ditantang oleh bagian terpenting Gereja purba dalam
pelaksanaan rencana karya pewartaan. Kedudukan Paulus menjadi semakin sulit
diterima dan terus terancam sebab pokok pewartaan yang diwartakannya berkait
keberadaan Taurat dalam iman Kristiani, dimana hal itu dalam surat Galatia dengan
keras dikatakan oleh Paulus. Inti perselisihan itu diperlihatkan dalam surat Galatia
yang juga menjadi tema dari surat tersebut, yakni tentang janji-janji serta ketetapan
Perjanjian Lama dan pribadi Yesus serta pewartaanNya (Gal 3:1-14). Salib bagi
Paulus mempersalahkan nilai keselamatan dari ketaatan kepada Taurat, dari
27
keterikatan para murid pada tradisi Israel dan previlege Perjanjian Lama. Menanggapi
tantangan yang ditujukan pada diri Paulus, ia memperlihatkan kepada orang Galatia
sebagai saksi, bahwa dengan imanlah mereka menjadi anak Abraham bukan karena
secara jasmaniah sebagai orang Yahudi (Gal 3:7). Diskusi mengenai hal ini
tampaknya tidaklah mudah diselesaikan. Surat Galatia atau surat yang lain serta
dalam karangan Perjanjian Baru masih terdengar mengenai tema ini (Yacobs, 1990:
24-26).
Sentimen keras juga terdengar dalam karangan apokrif seperti buku
Kerygmata Petrou misalnya. Di dalam buku tersebut dituliskan tentang Paulus bahwa
ia seorang musuh melawan Petrus. Karangan itu juga mengatakan bahwa karena
omong kosong Paulus, ia musti bertanggung jawab terhadap fakta golongan kafir
menolak ajaran yang sesuai Taurat (Jacobs, 1990: 26).
d. Karya Paulus dalam Perjanjian Baru
Paulus di dalam Perjanjian Baru juga mempunyai tempat, tetapi berada
dimana tempatnya. Paulus dalam Perjanjiaan Baru mempunyai kedudukan yang
sangat penting. Kedudukannya yang penting itu karena surat-suratnya dengan cepat
disimpan oleh jemaat Helenis dan surat-surat itu mempunyai tempat khusus dalam
usaha-usaha pertama untuk membuat suatu kanon karangan-karangan yang diakui
dan yang mempunyai kewibawaan normatif. Paulus mempunyai kedudukan yang
penting karena oleh lukas, ia diberikan tempat yang sama pentingnya dengan Petrus.
Nama Paulus juga digunakan oleh beberapa pengarang Perjanjian Baru hingga ia
mempunyai kedudukan sangat penting, seperti yang terjadi pada surat kepada
Timotius, kepada Titus dan mungkin juga kepada umat di Kolose dan di Efesus
(Jacobs, 1990: 27-28).
28
Kesimpulan yang dapat ditarik ialah dalam Perjanjian Baru karangan yang
tidak berbicara mengenai Paulus, pokok pewartaannya sungguh nyata, namun surat-
surat pastoral lain yang secara eksplisit ditulis oleh Paulus, pokok-pokok pewartaan
Paulus yang terkandung di dalamnya kehilangan daya kekuatan dan artinya, serta
pandangan dan pemikiran Paulus tidak ditanggapi. Kotbah-kotbah Paulus yang
berada dalam Kisah Para Rasul juga tidak mencerminkan pokok pewartaan Paulus.
Lukas membuat kotbah itu menurut pandangan dan pemikirannya sendiri. Lukas
melupakan apa yang menjadi inti sari pikiran Paulus tentang pemisahan Taurat
Yudaisme dengan iman Kristiani. Pentingnya karya pewartaan Paulus dalam kisah
Para Rasul sangat ditonjolkan sedangkan pokok pewartaannya kurang mendapat
tempat. Paulus secara pribadi melihat sendiri bagaimana pribadinya, pikirannya,
pokok pewartaannya, serta karya pewartaannya ditantang dan dipersoalkan (Jacobs,
1990: 28-29). Kesimpulan yang demikian semakin membantu untuk lebih memahami
Kitab Suci.
e. Karya Paulus dalam Gereja purba
Paulus mempunyai posisi dominan dan Pauluslah yang utama dalam Gereja
Perdana, namun hal itu pantas disangsikan. Ia mengalami perlawanan yang cukup
hebat dan surat Galatia mencatat hal itu. Di dalam surat itu terdapat pembelaan
Paulus terhadap serangan para lawan dan juga terdapat pandangan-pandangan Paulus
yang rupa-rupanya dipermasalahkan dalam kalangan Gereja Purba. Dukungan
terhadap Paulus juga dialami olehnya, dari Kisah para Rasul dan surat-surat pastoral
tampak mengenai dukungan yang diberikan kepada Paulus. Karangan-karangan
berikut yang di tulis setelah wafatnya menyebutkan bahwa Paulus ialah seorang
29
pemimpin Gereja. Ia diterima oleh pemimpin yang lain, disambut hangat oleh semua
jemaat di seluruh Gereja. Perlawanan yang dihadapi, dukungan yang diterima, dan
penerimaan diri Paulus sebagai pemimpin Gereja menjadi beberapa hal yang kiranya
pantas disangsikan untuk menentukan posisi Paulus yang dominan dan utama dalam
Gereja Perdana (Jacobs, 1990: 29-30).
Perlawanan yang dihadapi Paulus cukup hebat dimana-mana, tetapi pada
akhir hidupnya setelah wafat bagaimana mungkin dapat menjadi tokoh besar dalam
Gereja Purba? Dimana tempat Paulus? Apakah kedudukan Paulus yang dominan itu
sebenarnya hasil rekayasa Lukas dan para pengarang surat Pastoral ataukah itu
perkembangan hidup Paulus sendiri? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak mudah
dijawab. Kedudukan Kisah Para Rasul mesti diperhatikan terlebih dahulu untuk dapat
mengetahui keberadaan Paulus dalam Gereja purba jika Kisah Para Rasul digunakan
sebagai summber informasinya. Lukas yang mengarang Kisah Para Rasul bukanlah
kawan dan bukan pembantu Paulus. Ia seseorang yang berasal dari angkatan
kemudian dan menceritakan keberadaan diri Paulus sebagaimana seseorang
memehami Paulus pada angkatan yang berikutnya. Pemahaman Lukas tentang Paulus
berbeda dengan keberadaan diri Pulus yang dipahami oleh kawan dan lawannya.
Lukas sepertinya tidak mengenal pokok pewartaan Paulus khususnya tentang
penyelamatan karena iman tanpa Taurat. Paulus dilukiskan dalam Kisah Para Rasul
sebagai tukang mukjizat, ahli pidato, dan pemimpin Gereja serta bagi Lukas tidak ada
pertentangan antara pewartaan Paulus dan iman orang Yahudi. para ahli
menyimpulkan kisah para Rasul jika digunakan sebagai sumber informasi harus
digunakan dengan hati-hati, terdapat hubungan cukup penting antara kisah para Rasul
dan surat-surat Rasul Paulus. Kisah para Rasul dan surat-surat Rasul Paulus lebih
30
pada surat Galatia ditulis dengan tujuan dan pandangan yang berbeda, maka eksekisis
tidak dapat diabaikan salah satu dari keduannya dengan kata lain dapat dikatakan
keduanya digunakan sebagai pelengkap. Kisah Rasul tidak dapat dilewati begitu saja
jika bertitrik pangkal pada Galatia, karena informasi dari surat Galatia terbatas maka
apa yang di katakan Paulus harus dengan hati-hati dan kritis ditempatkan dalam
kerangka sejarah pada kisah para Rasul (Jacobs, 1990: 30-31). Kedudukan Paulus
yang dominan dan utama dalam Gereja Purba masih saja disangsikan dengan
berbagai latar belakang hidupnya, karyanya dan pokok pewartaannya. Keberadaan
Paulus jika dilihat oleh umat zaman sekarang lepas dari sangsi tersebut maka Paulus
sebagai tokoh besar dalam Gereja perdana terkesan kuat sekali.
B. POKOK PEWARTAAN PAULUS DALAM SURATNYA BAGI JEMAAT
DI GALATIA
Gambaran keselamatan bagi orang Yahudi kiranya sama seperti sebuah warisan
dalam sebuah keluarga yang dialihkan kepada alih waris keluarga atas dasar
keturunan. Keselamatan dapat diperoleh jika seseorang menjadi Yahudi dan mentaati
Taurat sebagai hukum Yahudi. Paulus sebagai seorang Yahudi miliki pandangan
yang berbeda mengenai hal itu. Surat Galatia mencatat situasi yang panas dan penuh
dengan konflik ketika Paulus meyampaikan dan mempertahankan pandangannya
yang berbeda.
1. Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Galatia
Penulis dari surat ini tidak diragukan lagi adalah Paulus sendiri. Hal yang
belum jelas dan masih tetap menjadi keraguan hingga terjadi diskusi terus-menerus di
31
antara para ahli adalah mengenai alamat tujuan surat. Surat ini ditujukan kepada
jemaat Galatia karena permasalahan tertentu sebagai latarbelakang penulisannya.
Waktu penulisan dan tempat ditulisnya surat ini juga msaih menjadi bahan diskusi
para ahli dan hanya perkiraan yang dapat dihasilkan. Sesuai dengan permasalahan
yang terjadi surat ini memiliki komposisi, gaya dan isi tersendiri. Uraian mengenai
surat rasul Paulus kepada jemaat di Galatia tersaji di bawah ini.
a. Penulis dan Alamat Tujuan Surat
Keraguan akan keaslian Surat Galatia yang ditulis sendiri oleh Paulus oleh
sebagian kalangan tetap ada. Semua orang mengakui bahwa surat Galatia ditulis
Paulus. Keterkecualian bagi kelompok ekstrim seperti sekolah Van Manen, mereka
menyatakaan tidak mengakui bahwa surat Galatia ditulis oleh Paulus, namun bagi
Gereja sebagai panutan umat tetap menyatakan bahwa surat ini ditulis oleh Paulus.
Surat Galatia diterima tradisi Gereja sebagai satu dari empat surat utama yang ditulis
Paulus (YKBK, 1995: 322).
Surat ini ditujukan kepada sekelompok jemaat. Jemaat yang dimaksudkan
adalah umat di Galatia. Paulus dengan alasan tertentu mengirimkan suratnya ke pada
umat di Galatia. Permasalahan yang belum dapat dipecahkan ialah mengenai tujuan
surat tersebut dialamatkan kemana. Ada dua teori yang dikemukakkan untuk
menunjukkan tempat kemana surat tersebut dialamatkan. Teori pertama yang
dikemukan ialah teori “Galatia utara” dan yang kedua adalah teori “Galatia selatan”.
Teori Galatia utara menunjuk Galatia yang terletak di pusat Asia Kecil dan teori
Galatia selatan menunjukan daerah di bagian selatan propinsi Romawi (YKBK, 1992:
323).
32
b. Latar belakang penulisan surat
Surat Galatia ditulis dengan beberapa permasalahan yang melatar
belakanginya. Permasalahan yang melatarbelakangi penulisan surat ini yaitu, yang
pertama adalah permasalahan mengenai kewibawaan kerasulan Paulus (Gal 1:1-5),
yang kedua adalah permasalahan berkaitan dengan kesetiaan terhadap agama Yahudi
(Gal. 4:17). Permasalahan terakhir memberi kesan adanya kegoyahan iman umat di
Galatia(Gal 1: 6-7).
Kewibawaan Rasul Paulus oleh pengajar-pengajar Yahudi dianggap sebagai
titik lemah yang ada pada diri sang Rasul. Mereka para pengajar itu memanfaatkan
kelemahan ini. Keonaran sengaja ditimbulkan oleh para pengajar itu. Mereka
mempergunjingkan kewibawaan Paulus, dengan mengatakan bahwa ia adalah murid
dari murid Kristus. Menurut para pengajar Yahudi itu Paulus tidak boleh menyebut
dirinya sebagai Rasul. Hal lain yang dikatakan oleh para pengajar Yahudi yakni
Paulus mengacaukan ajaran yang ia terima dan mempropagandakan kebebasan
hukum (Gal 2:4-5). Orang-orang Galatia dipengaruhi oleh Paulus untuk tidak
menyertakan hukum Taurat dalam iman Kristen. Pengaruh Paulus yang demikian
membuat gerang para pengajar Yahudi untuk mematahkan pokok pewartaan Paulus
dalam karya pewartaan Paulus, mereka menyerang Paulus pada titik lemahnya
sebagai Rasul. Paulus tidak tinggal diam kewibawaannya sebagai Rasul dibela yang
diuraikannya pembelaan itu dalam surat Galatia (LBI, 1983: 82).
Kristianisme yang muncul dijaman Paulus pada waktu itu dianggap sebagai
suatu sekte atau bahkan bidaah dari agama Yahudi. Sekte ini yang membedakannya
dengan sekte-sekte lain ialah menerima Yesus sebagai Messias. Kesetiaan terhadap
agama Yahudi menjadi terancam menurut para pengajar Yahudi, untuk
33
mempertahankan kesetiaan terhadap agama Yahudi pengajar-pengajar Yahudi itu
menekankan pentingnya warisan perjanjian yang dibuat kepada Abraham. Kesetiaan
terhadap agama Yahudi diwujudkan dengan bersunat bagi setiap orang. Mereka
pengajar-pengajar Yahudi mengharuskan pelaksanaan seluruh hukum oleh semua
orang Kristen. Harapan para pengajar Yahudi ialah tetap adanya kesetiaan terhadap
agama Yahudi sehingga mereka para pengikut Kristus lepas dari penganiayaan
teman-teman sebangsa Yahudi. Kesetiaan terhadap agama Yahudi bagi Paulus dapat
menghambat perkembangan gerakan Kristianitas yang mulai tumbuh pada saat itu. Ia
sebagai Rasul Kristus menginginkan keselamatan yang dibawa oleh Kristus dapat
diterima oleh seluruh bangsa di dunia tanpa dibatasi oleh unsur keYahudian, jika
unsur-unsur Yahudi tetap ada bahkan dengan hukum-hukumnya yang menjadikan
orang beriman terbelenggu di dalamnya hal itu malahan akan menjadi beban, sebab
keselamatan setiap orang lebih ditentukan oleh Allah bukan pertama-tama manusia
yang berusaha untuk mendapatkan keselamatan itu apalagi jika segala perbuatan itu
lebih diarahkan pada loyalitas atau kesetiaan terhadap suatu bangsa yakni bangsa
Yahudi (LBI, 1983: 82).
Iman umat di Galatia menjadi goyah. Kepasrahan terhadap Allah melalui
Kristus menjadi berkurang (Gal 3:1). Orang-orang di Galatia terpengaruh oleh ajaran
yang disampaikan para pengajar Yahudi. Mereka orang-orang Galatia mulai
memasukan unsur-unsur Yahudi ke dalam iman Kristen. Nenek moyang orang-orang
Galatia memiliki daerah yang berasal dari utara, berdarah panas dan mudah terbakar
serta keadaan mereka dulu suka terhadap takhayul. Iman umat di Galatia dapat
dengan mudah digoyahkan dengan kondisi yang demikian ditambah lagi mereka
lebih gampang menerima sistem agama yang lebih lahiriah dan ritual. Mereka mulai
34
merayaakan pesta-pesta Yahudi. Kristianitas yang dihadirkan Paulus kepada orang-
orang Galatia lebih mengandalkan iman yang teguh terhadap Allah. Kepercayaan
terhadap Allah lebih dikedepankan lepas dari keterikatan terhadap tradisi yang
menunjuk suatu bangsa, setiap orang diajak untuk menemukan jati dirinya di hadapan
Allah. Paulus mendengar bahwa iman umatnya di Galatia mulai goyah segera ia
menulis surat yang bersemangat ini untuk mengungkapkan isi hatinya bahwa ia tidak
ingin umatnya berpaling dari Allah dan lebih condong untuk mentaati hukum (LBI,
1983: 83).
c. Waktu dan tempat penulisan surat
Kedua hal ini mengenai waktu dan tempat penulisan belum dapat dipastikan.
Para ahli masih memperdebatkan kapan ditulisnya surat Galatia dan di mana tempat
penulisan. Berbagai argumen disampaikan oleh para ahli untuk dapat memberikan
gambaran mengenai waktu dan tempat misalnya (LBI, 1983: 85).
Sebagian besar para ahli berpendapat surat ini ditujukan kepada jemaat
Galatia yang beralamatkan di daerah jemaat di sebelah utara. Kemungkinan besar
surat Galatia dituliskan tidak lama sesudah kunjungan Paulus yang kedua yakni
ditulis di Efesus atau di Yunani. Surat Galatia dari kesan yang sama terhadap surat
Roma mengenai tema dan kosakatanya diperkirakan surat Galatia ditulis tidak lama
sebelum surat Roma sekitar tahun 56-57 Masehi (LBI, 1983: 85).
d. Komposisi surat
Dinamika pemikiran Paulus cukup menarik untuk dicermati dalam surat ini.
Dapat dilihat komposisi yang lebih jelas dari surat Galatia jika memperhatikan
35
dinamika pemikiran Paulus, daripada melihat dari sudut isi surat tersebut. Dinamika
pemikiran Paulus yang kita lihat, dari hal itu dapat diketahui bahwa surat Galatia
adalah surat pembelaan. Surat pembelaan di zaman Paulus mempunyai komposisi
sebagai berikut (Jacobs, 1990: 37):
1) Exordium/prueemium (pembukaan) : 1,6-10 2) Narratio (ceritera) : 1,11 – 2, 14 3) Propositio (rumusan singkat) : 2,15 – 21 4) Probatio atau argumentatio (pembelaan) : 3,1 – 4,31 5) Perenesis (anjuran) : 5,1 – 6, 10
Bagian pembukaan langsung menunjukkan maksud dan motifasi Paulus.
Paulus mengungkapkan perasaannya, apa yang menjadi isi hatinya terhadap orang-
orang Galatia yang dengan cepat berpaling dari Injil Kristus. Bagian ini menunjukkan
Paulus bereaksi emosional sekali (Jacobs, 1990: 37):
Bagian selanjutnya ialah Narratio dalam bagian ini dengan jelas muncul
emosi Paulus, apa yang dilakukan orang-orang Galatia yang dianggap Paulus mereka
telah murtad. Hal itu adalah sebagai sebuah serangan pribadi terhadap diri Paulus.
Narratio merupakan bagian yang menceritakan dengan singkat sebuah narasi dengan
maksud meyakinkan para pembaca secara eksistensial bahwa perkara yang sedang
dibela itu penting. Paulus membawa pokok pewartaannya ke Galatia dengan cerita
tersebut ia mau menunjukan apa yang diwartakannya itu bagi kita di zaman sekarang
ini juga penting (Jacobs, 1990: 37).
Argumentatio atau pembelaan merupakan bagian komposisi paling penting.
Bagian yang penting itu didahului dengan rumusan singkat dari pembelaannya,
sebagai sebuah rumusan singkat dari pembelaan Paulus maka kiranya dapat dikatakan
inilah inti dari surat Galatia. Bagian propositio di dalamnya mengungkapkan
36
pandangan Paulus yang paling penting, seperti yang terdapat pada Gal 2:21 ”Aku
tidak menolak karunia kasih Allah. Sebab sekiranya ada kebenaran oleh hukum
Taurat maka sia-sialah kematian Kristus”. Bagian pembelaan yang dimulai dengan
kata-kata pedas memperlihatkan maksud dan suasana surat, betapa Paulus geram
hatinya orang-orang Galatia dianggapnya bodoh karena cepat berpaling dari Kristus.
Argumen yang disampaikan Paulus bukan suatu uraian logis. Argumen tersebut
mempunyai sifat yang beragam ada yang bersifat dialog, memberi sebuah contoh,
diskusi, kutipan yang diambil dari Kitab Suci dan dari dunia helenis. Paulus
menggunakan berbagai hal untuk dapat meyakinkan umatnya, dalam bentuk dialog
permulaan dari argumentatio menandaskan sekali lagi propositio, kemudian ia
langsung memulai dengan persoalaan diikuti segera diajukannya argumen dari Kitab
Suci untuk menegaskan pembelaannya terhadap iman akan Kristus (Jacobs, 1990:
37).
Paulus mengambil beberapa kesimpulan praktis dari prinsip yang telah
diuraikan dalam argumentatio. Hal itu diletakkannya pada bagian parenesis yang
bukan merupakan bagian embel-embel saja meskipun hubungan logis bagian
parenesis dengan argumentatio tidak begitu jelas. Kesimpulan tersebut meskipun
demikian merupakan alasan-alasan langsung yang dikemukaakan oleh Paulus dari
bagian teoritis. Pada bagian parenesis Paulus menyampaikan hal-hal praktis dari
uraian-uraian teorinya (Jacobs, 1990: 38).
e. Gaya surat
Gaya surat yang ditulis oleh Paulus sesuai dengan gawatnya keaadaan,
sebagai sebuah surat pembelaan tampak kemarahan Paulus kepada pengajar-pengajar
37
Yahudi yang menghancurkan pekerjaannya, merebut Kristus dari hati jemaatnya.
Kemarahannya juga tampak terhadap orang-orang Kristen karena mereka gampang
sekali meninggalkan kebenaran yang telah mereka terima. Perasaan Paulus tidak
disembunyikan olehnya. Salam pembukaan dan penutup tidak diberikan kepada
orang Galatia seperti lazimnya surat yang diberikan kepada umat yang lain. Gaya
surat yang emosional disambung dengan tulisan yang selanjutnya menggerakan agar
umatnya menyadari situasi yang sedang dihadapi dan bertindak dalam menghadapi
situasi tersebut (LBI, 1983: 83).
Gaya emosional terlihat dari kalimat-kalimatnya yang berlebihan,
menyimpang dari kalimat yang biasa. Ia membantah dan menyangkal tuduhan-
tuduhan yang diarahkan kepada dirinya seperti Rasul palsu dan pengajar ajaran sesat.
Gaya menggerakan terlihat dari himbauan-himbauan dan petunjuk-petunjuk praktis
yang diberikan kepada umat di Galatia (LBI, 1983: 83).
f. Isi surat
Gaya surat ini sangat hidup seperti telah dikatakan di atas untuk dapat
megetahui bagian-bagian dari surat ini akan lebih mudah membaginya dari dinamika
pemikirannya, namun demikian surat ini juga harus dilihat dari segi isi. Kita dapat
melihat beberapa bagian dari surat ini dilihat dari segi isinya.
Pertama ia memperlihatkan kewibawaannya sebagai Rasul yang perlu
dipertahankan, pada bab satu sampai bab dua hal itu diperlihatkan. Paulus
memaparkan riwayat hidupnya perjumpaannya dengan para Rasul, hubungannya
dengan mereka dan apa yang mereka kerjakan bersama mereka. Kewibawaan Paulus
sebagai Rasul dengan kuat dipertahankan. Ia menunjukan apa yang diajarkan oleh
38
Paulus tidak bertentangan dengan apa yang diajarkan para Rasul dan apa yang ia
dapat berasal dari Allah (LBI, 1983: 84.).
Bagian selanjutnya dari isi surat ini menunjukan pokok-pokok pewartaannya
yang diserang oleh para pengajar Yahudi, seperti wafat Kristus, iman akan Kristus
dan babtisan. Sarana keselamatan adalah iman terhadap Kristus bukan hukum dan
praktek agama Yahudi yang dapat mendapatkan keselamatan. Hal ini adalah tema
pokok dari pokok pewartaan Paulus dimana ia mengajarkan tentang kebebasan
Kristen. Uraian yang detail mengenai pokok pewartaannya ini disampaikan dalam
surat Roma, sedangkan isi dari surat Galatia lebih pada gambaran situasi dari pada
uraian pokok pewartaan (LBI, 1983: 83).
Isi surat bagian yang terakhir ialah diberikan peringatan dan dorongan.
Suratnya ditutup oleh Paulus dengan kesimpulan. Pokok pewartaan tentang
pembebasan disimpulkan dan diletakan pada bagian isi yang terakhir ini. Paulus tidak
ingin umatnya berpaling dari Injil Kristus terikat kembali kepada Taurat. Praktis
Hidup beriman sebagai dorongan untuk bebas dari belenggu Taurat ditonjolkan pada
bagian penutup (LBI, 1983: 83).
2. Pokok Pewartaan yang Disampaikan Paulus.
Pokok pewartaan sama halnya dengan ide pokok Paulus atau suatu hal yang
menjadi isi pewartaannya. Pokok pewartaan Paulus dalam Gal antaralain ialah Jemaat
Galatia meragukan kerasulan Paulus. Pembelaan diri atas keraguan itu merupakan
pembelaan terhadap Injil Kristus sendiri. Paulus tidak menghendaki jika keselamatan
manusia diperoleh dengan jalan ketaatan bukan dengan beriman. Beriman adalah
berserah kepada Allah yang menghadirkan keselamatan bagi manusia. Hal ini berarti
39
manusia menjalin relasi antara dirinya dengan Allah yang akan menyelamatan.
Uraian mengenai pembelaan, keselamatan dan relasi Allah dengan manusia sebagai
pokok pewartaan Paulus dapat disimak di bawah ini.
a. Membela Injil Kristus
Paulus dengan gigih membela Injil Kristus. Pembelaannya dimulai dari
pembelan terhadap dirinya sendiri sebagai seorang pewarta yang oleh jemaat
kerasulannya diragukan. Ia menyatakan bahwa Allah sendirilah yang mengutus
Paulus untuk mewartakan Injil. Pernyataannya itu diperkuat oleh Paulus dengan
menegaskan bahwa pemimpin Gereja di Yerusalem mendukung dirinya.
1) Pembelaan seorang pewarta
Seorang pewarta Kristus dalam menjalankan tugasnya banyak mengahadapi
hambatan dan tantangan. Wawasan yang luas, spiritualitas yang mantap dan
keterampilan yang memadai diperlukan dalam pelaksanaan tugas itu. Setiap serangan
yang dilancarkan dari pihak lawan untuk mematahkan karya pewartaan yang
dilaksanakan dapat ditangkal. Pembelaan diri dapat dilakukan dengan gigih ketika
berhadapan dengan pihak lawan. Pewarta yang berwawasan, memiliki spiritualitas
yang mantab dan keterampilan yang memadai, apa yang dipunyainya itu akan
mendukung pelaksanaan karya pewartaannya. Kiranya demikian dengan yang ada di
dalam diri Paulus hingga pembelaan terhadap dirinya dapat dilakukan ketika
berhadapan dengan para pengajar-pengajar Yahudi.
Paulus menjadi marah dengan apa yang terjadi di Galatia. Di awal suratnya
kepada jemaat di Galatia ucapan syukur dan terima kasih tidak ditambahkan. Paulus
40
langsung mengungkapakan kesesalan hatinya sebab jemaat di Galatia cepat
meninggalkan Injil Kristus mengejar Injil yang lain (LBI, 1983: 90). Kemarahannya
dapat dipahami sebagai seorang pewarta yang telah berkarya di Galatia mengetahui
jemaatnya beralih mengejar Injil lain. Nada surat ini keras bahkan kasar, kiranya
Paulus memang sengaja bersikap demikian sebab pendapat yang mau mengantikan
Injil Kristus harus dilawan. Paulus membela Injil Kristus dari Injil palsu agar tetap
ada di hati umatnya.
Paulus tahu betul bahwa situasi di Galatia menjadi demikian karena
propaganda para pengajar Yahudi yang menyebarkan ajaran-ajaranya sebagai Injil
yang tidak lebih hanya rangkaian kata-kata kosong belaka hingga menjadi batu
sandungan bagi umat dan menghancurkan Injil Kristus. Paulus dituduh sebagai
oportunis, menurut pengajar pengajar Yahudi Paulus mendasarkan ajarannya pada
kebebasan dari Taurat untuk menyesuaikan diri dengan keinginan orang lain (LBI,
1983: 90). Pembelaannya menjadi semakin nyata ketika Paulus menghadapi para
pengajar Yahudi. Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Galatia dapat dijadikan surat
pembelaan yang ampuh bagi Gereja untuk menangkal segala tindakan yang bertujuan
menggeser Injil Kristus di hati umat dan digantikan dengan yang lain, melalui Paulus
kita dapat belajar bagaimana membela Injil Kristus dari hal-hal lain yang
mengganggu keberadaan Injil dan melihat bagaimana Injil dibela oleh Paulus dalam
surat Galatia.
Paulus membela Injil Kristus yang nampak jelas dalam surat Galatia, karena
memang surat ini merupakan surat pembelaan. Pembelaanya tertuang dalam surat
dari awal hingga Akhir sebagai mana surat-surat pembelaan dunia Helenis waktu itu
(Jacobs, 1990: 37). Pembelaan Paulus terhadap Injil Kristus sebagai seorang pewarta
41
yang sering mengajarkan ajaran-ajaran Kristus dijabarkannya pembelaan tersebut
dalam beberapa tema Yakni: pembelaan diri dalam bentuk cerita, pembelaan ajaran
dalam bentuk argumentasi dan yang terakhir anjuran susila. Satu demi satu dengan
hal-hal yang disampaikannya itu Paulus menelanjangi argumen lawan-lawannya
sambil menyerukan kesetian kepada orang-orang Galatia (LBI, 1983: 84).
2) Tugas pewartaan dari Allah sendiri
Tugas melaksanakan karya pewartaan adalah tugas yang berasal dari Allah
sendiri bukan berasal dari pihak manusia. Manusia memiliki peran lebih-lebih
sebagai pekerja. Rencana dan penentuan karya pewartaan itu sepenuhnya dipegang
oleh Allah sendiri. Rencana karya pewartaan itu dapat berjalan dan berhasil dengan
baik didukung juga oleh karya manusia sebagai pekerja Allah. Manusia menjadi
media Allah untuk melaksanakan karyaNya.
Karya pewartaan bertujuan untuk keselamatan manusia, semata keselamatan
itu adalah pemberian dari Allah. Tujuan dari karya pewartaan itu adalah keselamatan
bagi manusia dan keselamatan itu diberi oleh Allah. Tujuan yang hendak dicapai
datangnya dari Allah, suatu hal yang dialamatkan kepada manusia yang datangnya
dari Allah maka Allah sendirilah yang akan menyampaikannya yakni melalui karya
pewartaan itu, hingga dengan demikian tugas pewartaan yang diemban oleh para
pewarta berasal dari Allah sendiri. Pauluspun memiliki sikap demikian ketika
berhadapan dengan para pengajar Yahudi bahwa karyanya bukanlah berasal dari para
Rasul atau bahkan bukan berasal dari dalam diri sendiri, melainkan berasal dari
Tuhan sendiri yakni ketika ia terima dari Yesus dalam penampakan di perjalanan
menuju ke Damaskus (Gal 1:12 ).
42
Posisi Paulus oleh para pengajar Yahudi di perlemah. Mereka mengatakan
bahwa Gereja Yerusalem tidak pernah mengutus Paulus menjadai pewarta bagi
Kristus. Paulus menangkal serangan tersebut. Ia mengatakan bahwa karya
pewartaannya tidak mengikuti model atau ukuran manusia. Kristuslah yang
memberikan sendiri lewat pernyataan diriNya dan karya penyelamatanNya.
Perubahan diri Paulus menjadikan bukti bahwa karya pewartaannya berasa dari Allah
sendiri. Paulus sebelum pertobatannya adalah seorang Yahudi tulen sejak muda didik
dalam semangat dan tradisi Yahudi jauh dari pengaruh Kristen hingga saat
penganiayaan para pengikut Kristen iapun turut serta. Teman-teman Yahudi
sebangsanya tidak ada yang sanggup menandingi Paulus sebagai seorang Yahudi.
Paulus berubah yang tadinya dipihak lawan Kristus menjadi dipihak kawan Kristus
bahkan melaksanakan karya pewartaan akan Kristus. Perubahan ini merupakan karya
Allah terhadap dirinya, Allah sendiri yang mengubahnya. Allah mengubah diri
Paulus yang lama menjadi dirinya yang baru untuk sebuah karya pewartaan yang
harus dilaksanakan oleh Paulus sesuai kehendakNya(LBI, 1983: 92).
Allah sejak permulaan telah memilih Paulus untuk melaksanakan karya
pewartaan dari Allah (Gal 1:15), seperti Yeremia yang telah dipilih Allah. Pertobatan
Paulus menghantarnya percaya kepada Putra Allah yang diutus ke dunia dan
kemudian mewartakannya. Kristus menemuinya sendiri hingga pertobatan atas dirnya
terjadi, setelah itu ia langsung memulai pewartaannya. Paulus tidak meminta
petunjuk kepada para Rasul dan tidak tergantung kepada Gereja Yerusalem dalam
melaksanakan karya pewartaannya. Yesus sendiri yang menemui Paulus maka ia
sendirilah yang mengutus hingga penuhlah wahyu yang ia terima untuk pelaksanaan
karya pewartaan. Paulus memulai karyanya bermula di Arab lalu ke Damsyik tidak
43
mungkin jika ajarannya berasal dari penduduk wilayah itu. Kemunculannya di
Yerusalem ialah setelah tiga tahun kemudian dari pertobatannya baru ia menemui
Petrus di sana untuk menekankan bahwa ajaran seluruhnya dari Allah (LBI, 1983: 92-
93).
3) Persetujuan dari pemimpin Gereja
Karya pewartaan yang dilaksanakan tidak dapat dilakukan dengan
mengandalkan diri sendiri, selain mengandalkan Tuhan yang berkarya sendiri atas
karya pewartaan tersebut perlu pihak lain yang menjadi andalan dan sekaligus
menjadi wadah karya pewartaan itu. Persetujuan dari pemimpin Gereja maka
diperlukan dalam pelaksanaan karya pewartaan. Umat yang setia mengikuti Kristus
bernaung di dalam Gereja. Kristus diikuti dengan setia oleh umatNya dan diteladani
oleh mereka di bawah naungan Gereja oleh sebab itu mendapat persetujuan dari
pemimpin Gereja yang menaungi umatnya menjadi penting, sebab umat akan lebih
mudah terbuka menerima apa yang diwartakan tentang Kristus hingga dengan
demikian iman akan Kristus dan penghayatannya akan semakin mendalam di dalam
hidup dan di dalam hati setiap umat.
Paulus setelah bertobat ia langsung melaksanakan karya pewartaannya untuk
menyelamatkan manusia. Karyanya sudah dilaksanakan beberapa waktu lamanya
kemudian agar pelaksanaan karyanya berjalan dengan lancar maka iapun meminta
persetujuan dari para peminpin Gereja yang saat itu berada di Yerusalem. Persetujuan
tersebut pertama-tama berguna dalam hal persatuan umat Allah, agar setiap umat
yang mempercayai Kristus bersatu dan bernaung di dalam satu Gereja yakni Gereja
Kristus.
44
Persetujuan dari para Rasul pemimipin Gereja Yerusalem dimintanya pada
kunjungan Paulus yang kedua ke Yerusalem. Karya pewartaan Paulus telah
dilaksanakan selama empat belas tahun kemudian ia meminta persetujuan atas
karyanya kepada para Rasul. Ia datang sebagai wakil dari Gereja Antiokhia.
Permasalahan Paulus dibicarakan secara diam-diam bersama para pemuka.
Pembicaraan itu bertujuan untuk menyatukan karya pewartaan Paulus di Antiokhia
yang telah berhasil mendirikan Gereja di sana, apa yang dibicarakan bukannya
meminta nasehat atau kejelasan tetapi lebih-lebih mencari dukungan. Karya
pewartaannya jika tidak di dukung oleh para Rasul akan sia-sia (LBI, 1983: 94).
Dukungan sebagai tanda persetujuan dari para pemimpin Gereja didapatkan
Paulus. Ia menjelaskan kepada para Rasul bahwa persekutuan mereka dengan Kristus
tidak memberikan hak mutlak atas pewartaan karena hal penting bagi Allah iman
yang teguh dalam persekutuan itu. Para pemimpin tidak meminta kepada Paulus
untuk mengajar suatu ajaran atau praktek baru (LBI, 1983: 95). Iman dan persekutuan
menjadi hal penting yang dipertimbangkan untuk persetujuan itu diberikan kepada
Paulus. Paulus mewartakan Kristus kepada orang-orang non Yahudi. Ia mendapatkan
tugas khusus yang demikian. Hal ini sama seperti Petrus sebagai pemimipin orang
Kristen Yahudi. Persetujuan itu didapatkan dari pemimipin Gereja. Paulus
menobatkan orang-orang bukan Yahudi sedangkan Petrus menobatkan orang-orang
Yahudi. Keduanya menjadi satu persekutuan umat Allah hingga dengan demikian
karya pewartaan Paulus menjadi karya pewartaan yang sah di dalam Gereja Kristus.
Laporan karya Paulus mengesan bagi para pemimpin Gereja Yerusalem
hingga persetujuan itu didapatkan (Gal 2:9-10). Keputusan ditentukan oleh para
pemimimpin. Yakobus yang menonjol dalam mengambil keputusan itu. Yakobus
45
bersama dengan Petrus menyambut Paulus di kalangan para Rasul. Pengelolaan
Gereja di pusat Yahudi dipimpin para Rasul di Yerusalem. Paulus datang bersama
Barnabas ke Yerusalem untuk meminta persetujuan. Keduanya menyebarkan Injil
Kristus di kalangan orang bukan Yahudi. Paulus dan Barnabas dengan cinta kasih
tetap dihubungkan dengan orang-orang Kristen Yahudi. Cinta kasih yang mendasari
relasi tersebut diwujudkan dengan mengirimkan kolekte untuk Gereja Yerusalem
(LBI, 1983: 96).
b. Keselamatan manusia
Keselamatan menjadi hal yang sangat berharga dalam hidup manusia.
Kehidupan manusia berada dalam realitas dosa dengan maut sebagai upahnya, yang
berarti ancaman bagi kehidupan jauh dari keselamatan. Manusia ingin hidupnya
bermakna sebuah keselamatan. Sebuah peraturan dengan ketaatan yang ketat
diciptakan agar manusia selamat. Ironinya ketaatan itu malah menjadi hal yang
membelenggu kehidupan sebab peraturan yang dibuat tidak dapat dijalankan dengan
sempurna. Manusia tidak punya cukup banyak kekuatan untuk mengusahakan
keselamatan hadir dalam hidupnya. Pasrah dan berserah menjadi jalan yang juga
berima, mengandalkan Tuhan pemberi keselamatan. Tindakan manusia terletak pada
pengambilan keputusan untuk mau atau tidak beriman pada Kristus sebagai jalan
keselamatan.
1) Kehidupan manusia dalam dosa
Gereja mempunyai sebuah ungkapan yakni upah dosa adalah maut. Dosa bagi
manusia akan mendatangkan maut bukan keselamatan. Manusia agar hidupnya tidak
46
membuahkan maut sebagai upahnya maka ia jangan berdosa. Dosa harus dibersihkan
dari kehidupan manusia.
Kenyataan yang ada dalam hidup manusia dosa menjadi realitas yang tidak
dapat dihindari. Manusia tidak luput dari kuasa dosa, sejauh mungkin manusia
menghindarinya dimana-mana kuasa dosa selalu ada. Dosa merupakan cermin yang
menunjukan kerapuhan dan kelemahan manusia. Manusia tidak mempunyai kuasa
yang cukup untuk mengalahkan kuasa dosa.
Kuasa dosa ada dimana-mana Paulus hendak menunjukkan bahwa kekafiran
bahkan Yudaisme sendiri dengan Tauratnya tidak dapat memperbaharui dunia (Gal
3:19). Kehidupan di dunia adalah kehidupan yang mengerikan karena ada kemarahan
Tuhan, sebab hubungan manusia dengan Tuhan telah putus. Seorang pun tidak akan
luput dari kemarahanNya. Hidup ini betapa mengerikan dengan adanya kemarahan
Tuhan, laksana langit mendung penuh guntur. Putusnya hubungan tersebut membuat
manusia masuk dalam dosa. Kuasa dosa yang bekerja mengakibatkan maut. Maut
menjemput murka Allah datang bagi orang berdosa. Paulus menunjukkan situasi
hidup manusia yang dilingkupi oleh dosa. Ia mengupas secara jelas kebijaksanaan
manusia yang jahat. Nada bicaranya jelas dan mendesak bahwa kemurkaan Allah
tampak menantang segala kedurhakaan dan kedurjanaan manusia sehingga manusia
tidak dapat berdalih dengan alasan apapun (Brunot, 1992 : 96).
Paulus sebagai Rasul para orang kafir mengerti bahwa mereka telah tersesat
jauh dalam dosa sehingga tidak dapat mengerti keadaan. Mereka menghayal bahwa
dirinya berjasa, meskipun mereka tahu tentang Allah namun tidak memuliakannya,
tidak mengucap syukur bahkan kiranya menjadi bebal dan hatiya menjadi gelap.
Kemuliaan Allah yang tidak dapat mati diganti dengan gambaran berupa manusia
47
fana, unggas, binatang berkaki empat dan yang melata (Brunot, 1992 : 97). Secara
historis bangsa Romawi dan Yunani kaya akan karya filsafat yang bermutu mulai dari
Aristoteles sampai dengan Plato sebagai muridnya hingga para penerusnya. Kedua
bangsa tersebut juga terkenal dengan penyembahan berhala dan dewa-dewi yang
menggantikan Allah sebagai sembahan yang sepatutnya disembah. Kenyataan
histories yang demikian kiranya membuat Paulus berbicara demikian mengenai
kebudayaan Romawi danYunani yang berada dalam keadaan dosa.
Orang-orang Yahudi mempunyai anggapan bahwa keadaan mereka lebih dari
si kafir (Gal 2:15). Paulus yang berhadapan dengan pandangan orang-orang Yahudi
yang demikian itu menganggap keadaan mereka lebih buruk. Paulus secara perlahan
mendesak orang Yahudi membuka diri dan melihat siapa dirinya yang sebenarnya.
Mereka orang-orang Yahudi secara sembunyi-sembunyi melakukan perbuatan jahat
yang dilakukan oleh orang-orang kafir itu. Perdebatan antara Paulus dan orang
Yahudi mengenai realitas dosa terjadi baik disinagoga-sinagoga atau di tengah-tengah
lingkungan Yahudi. Perdebatan mengenai realitas dosa itu dipandang dari dua sisi
dari sisi hukum dan dari sisi pokok permasalahannya. Pandangan Paulus dari sisi
hukum menyatakan bahwa dosa yang sama mendapat hukuman yang sama pula, jika
sesorang membayangkan kebalikannya maka ia menipu diri sendiri sebab Allah
meberikan ganjaran kepada setiap orang yang sesuai dengan perbuatannya masing-
masing. Pandangan yang kedua dilihat dari segi persoalannya yakni bagaimanakah
penilaian terhadap perbuatan orang Yahudi? terlebih perbuatan kaum Farisi, mereka
sombong, menganggap dirinya paling luhur karena merasa dilengkapi dengan hak-
hak istimewa, hukum Taurat, sunat dan Kitab Suci. Paulus mengkritisi kelengkapan-
kelengakapan itu. Ia membicarakan persoalan hukum Taurat yang menurutnya
48
menciptakan dosa, membunuh dan memperbudak orang dalam perbuatan-perbuatan
lahir serta mengahancurkan martabat manusia. Paulus menyatakan bahwa orang-
orang Yahudi kurang tertarik menelaah kenyataan janji Allah kepada Abraham (Gal.
3:15-18), bagi mereka perjanjian itu sebagai perbuatan timbal balik antara Allah
dengan manusia, hingga Allah berkewajiban menyelamatkan manusia. Hukum Taurat
oleh orang-orang Yahudi dilihat sebagai alat pencapaian keselamatan. Keselamatan
terjadi dengan diamalkannya hukum. Pandangan yang demikian membawa pada
formalitas dan lekas puas dengan dirinya sendiri.
2) Peranan Taurat dalam menyelamatkan manusia
Manusia berupaya untuk memperoleh keselamatan, agar jangan dosa berbuah
maut di dalam hidupnya maka manusia mencoba untuk menghindar dari dosa. Upaya
yang diperbuat dengan mengadakan seperangkat hukum yang mengatur hidup.
Manusia harus berbuat begini dan harus berbuat begitu untuk kesempurnaan
hidupnya (Gal13:19). Bangsa Yahudi dengan hukum Tauratnya bangga akan hal ini,
dimana setiap orang Yahudi harus mentaatai hukum Taurat tanpa bercacat agar
hidupnya menjadi baik dan sempurna tanpa dosa. Setiap aturan yang baik yang
tertulis ataupun tidak tertulis mesti ditaati. Dalam hal berdoa misalnya setiap orang
Yahudi yang hendak berdoa sesuai dengan hukum Taurat perlu berbagai ritual
membersihkan diri, ditambah lagi dengan berbagai larangan yang tidak boleh
dilanggar agar kesucian dalam diri manusia tidak ternodai.
Taurat diharapkan mampu menghantar manusia dalam kesucian hidup hingga
keselamatan terjadi atas dirinya. Keselamatan yang terjadi atas diri manusia oleh
karena Taurat sangat bergantung pada manusianya. Manusia mesti melakukan
49
berbagai macam hal baik di dalam hidupnya untuk memperoleh keselamatan.
Manusia yang superior dibentuk oleh Taurat, dimana manusia mampu berbuat hal ini
dan itu serta mampu untuk tidak melanggar larangan yang ini dan larangan yang itu.
Setelah hal tersebut tercapai dalam hidup manusia barulah ia dapat memperoleh
keselamatan karena usahanya.
Janji keselamatan telah dibuat antara Allah dan manusia. Abraham sabagai
wakil dari manusia untuk membuat perjanjian dengan Allah demi keselamatan.
Antara janji dan Taurat terpaut waktu yang lama, empat ratus tiga puluh tahun,
seperti dikutip Paulus dari teks perjanjian lama untuk menunjukkan waktu yang
terpaut antara janji dan Taurat (LBI, 1983: 102). Taurat oleh bangsa Yahudi dianggap
mempunyai kekuatan yuridis untuk menyelamatkan manusia. Perjanjian itu dipelihara
oleh bangsa Yahudi dalam kurun waktu tersebut. Kekuatan hukum dipergunakan
untuk melestarikan janji keselamatan antara Allah dan manusia yang diwakili oleh
Abraham (Gal 17-18). Abaraham dan keturunannya secara harafiah memelihara janji
itu dengan yurisdiksi Taurat. Mereka itulah menurut orang Yahudi yang akan
diselamatkan.
Hukum mempunyai nilai yang positif di mata Paulus. Hukum mengandung
tuntutan-tuntutan dan kehendak Allah (Gal 5:14). Manusia memperoleh hidup dan
hukum untuk kuhidupan manusia jika hukum tidak hanya didengarkan tetapi juga
direalisasikan (Gal 3:12). Setiap manusia akan mendapatkan keadilan Allah jika ia
melakukan hukum tersebut (Kirchberger, 1989 : 37-38).
Taurat dengan kekuatannya secara hukum hendak membuat manusia mengerti
hakekat Allah yang baik, Allah yang suci. Peranan Taurat mempersiapkan seseorang
untuk memeluk iman. Taurat menjaga untuk siap memulai penghayatan iman yang
50
teguh. Taurat mengambil peranan dalam mempersiapkan seseorang untuk beriman
(LBI, 1983: 103-104). Taurat yang memelihara janji antara Allah dengan manusia
berarti juga ikut memelihara relasi antara Allah dan manusia. Manusia dihantar pada
tahap relasi awal antara Allah dan manusia. Relasi itu mulai dikenal dengan
keberadaan Taurat. Manusia berusaha memperdalam relasinya dengan Allah menjadi
langkah kemudian.
3) Iman berbuah keselamatan
Manusia berusaha semakin keras agar keselamatan hadir baginya dengan
mentaati hukum yang membuat akan semakin terlihat kelemahan dan kerapuhan yang
ada di dalam diri manusia. Ketidaksanggupan memperbuat tindakan sesuai dengan
aturan yang ada dan menghindari larangan yang tidak boleh dilanggar lebih terlihat
jelas. Hal ini menunjukkan sekali lagi realitas dosa menjadi kuasa yang tidak dapat
dilawan oleh manusia.
Keselamatan adalah sesuatu hal yang memposisikan keberadaannya di luar
diri manusia. Manusia hendak menjangkau keselamatan itu bagi dirinya. Keselamatan
yang memiliki adalah Allah. Daya jangkau manusia untuk meraih keselamatan tidak
memadai untuk memperolehnya. Keselamatan dapat terjadi atas diri manusia jika Ia
menghendaki. KehendakNya jelas dapat dilihat yakni demi keselamatan manusia.
Keselamatan merupakan anugrah yang diberikan kepada manusia. Maka jika Allah
tidak berkendak untuk menyelamatkan manusia keselamatan tidak akan terjadi.
Meski manusia berusaha sekuat mungkin di dalam hidupnya.
Meskipun begitu tindakan dan usaha manusia tetap berarti dan mempunyai
nilai demi keselamatan manusia. Arti dan nilai tindakan manusia itu ada pada kasih
51
karunia Allah. Manusia perlu berusaha sekuat mungkin dan melakukan tindakan
sejauh mungkin agar keselamatan terjadi atas dirinya. Usaha dan tindakan manusia
adalah menyadari dan menanggapi kasih karunia itu.
Manusia dapat menyadari dan menanggapi kasih karunia Allah jika iman ada
di dalam dirinya. Iman kembali menguatkan bahwa keselamatan berasal dari Allah,
sebab iman pun pula karya Allah sendiri atas diri manusia. Manusia dapat beriman
jika Allah bekerja di dalam dirinya, iman lalu mulai tumbuh dan dapat berkembang
didukung oleh karya pewartaan akan Allah.
Iman merupakan jawaban manusia terhadap kasih Allah. Orang beriman
setuju kepada Allah menyerahkan diri kapada kekendaknya. Ia mengandalakan Allah
dan berusaha dengan kekuatan manusiawinya. Manusia dibimbing oleh Tuhan dan ia
beriman kepada Allah. Manusia akan mentaati panggilan Tuhan sejauh usaha mereka
didukung oleh rahmad. Dukungan rahmat merupakan wujud karya Allah yang
membimbing manusia (Brunot, 1992: 110).
Akar-akar kekristenan ditekankan oleh Paulus, yang terlihat dalam iman
Kristen dalam iman pada masa awal (Gal 3:6). Bapa-bapa bangsa beriman kepada
kekuatan Allah yang membangkitkan orang mati. Iman mereka sekarang menjadi
iman kita, yang diimani dalam Yesus Kristus yang telah telah wafat dan bangkit
kembali. Abraham menjadi sahabat Allah semata karena iman dan Allah
memperhitungkan semua itu. Iman Kristen sebagai iman akan Yesus dan iman dalam
Putra Allah, iman dalam wafat dan kebangkitanNya diyakini membawa keselamatan
bagi manusia. Iman baru ini bersifat Kristosentris, Yesus adalah Tuhan merupakan
risngkasan keKristenan yang menjadi inti dari Kristianisme. Paulus menghidupi
imannya saat ia hidup dalam Injil, hidup di alam penebusan, menikmati kelimpahan
52
Ilahi dan menerima patokan baru tanpa tanggung-tanggung. Iman Kristen tidak dapat
dilepaskan dari karya penebusan yang memuncak pada kemenangan Paskah yang
berarti pula keselamatan bagi dunia. Iman memberikan roh pada yang telah
dijanjikan, mengangkat menjadi anak Allah dan menenggelamkan seseorang dalam
suasana hidup yang memungkinkan perkembangan di dalam Kristus dan roh
berkembang subur (Brunot, 1992: 111).
4) Kristus atau hukum Taurat
Kristus dan hukum Taurat keduanya berasal dari Allah, keduanya diturunkan
oleh Allah bagi manusia. Makna keduaanya diturunkan agar manusia mampu
mengenal Allah. Allah merindukan untuk dapat dekat dengan manusia. Allah
memanggil-manggil manusia untuk datang kehadiratnya. Kristus dan hukum Taurat
merupakan perwujudan konkrit Allah yang menghadirkan diri dalam sejarah hidup
manusia.
Hukum Taurat sebagai perwujudan diri Allah di dalam kehidupan manusia
erat kaitanya dengan identitas suatu bangsa. Untuk beragama Yahudi, orang harus
menanggalkan kebangsaan aslinya. Orang-orang yang berkebangsaan non Yahudi
jika hendak diselamatkan harus menerima Taurat dengan segala detil peraturan dan
larangan. Taurat sebagai identitas bangsa Yahudi demikian membuat orang-orang
non Yahudi menjadi Yahudi.
Keselamatan manusia erat kaitanya dengan nasionalisme suatu bangsa. Taurat
merupakan landasan konstitusional perundang-undangan milik bangsa Yahudi. Allah
meskipun demikian sungguh hadir di sana dalam sejarah hidup suatu bangsa. Yakni
bangsa Yahudi yang mewakili bangsa-bangsa lain seluruh dunia. Taurat dihadirkan
53
Allah ke dunia agar manusia mampu mengenal Allah. Lebih lanjut Allah mengutus
Putranya sendiri agar manusia sampai kepadaNya.
Kristus adalah seseorang yang berkebangsaan Yahudi. Kristus juga identik
dengan bangsa Yahudi yang harus diterima oleh setiap orang demi keselamatanNya,
namun demikian tidak mengidentifikasikan seseorang ke dalam suatu bangsa. Orang-
orang non Yahudi yang percaya kepadanya, mengikuti dan meneladaninya tidak
harus berubah identitasnya menjadi orang berkebangsaan Yahudi. Nilai universalitas
yang dibawa oleh Kristus lebih nampak. Jalan keselamatan lebih terbuka lebar untuk
setiap orang hingga orang-orang yang mempercayai dapat memasukinya.
Taurat mengantar manusia pada relasi tingkat awal manusia dan Allah demi
keselamatan. Manusia dengan hanya mengandalkan usahanya demi keselamatan, dan
Taurat membuat orang harus menjadi Yahudi. Peranan Taurat sebagai jalan
keselamatan bagi manusia menjadi tanda tanya besar, namun demikian pilihan tetap
musti dijatuhkan demi menempuh jalan keselamatan
Persoalan pelik dalam surat Galatia terjadi perselisihan dan konflik antara
Paulus dan pengajar Yahudi mengenai keberadaan Taurat di dalam karya pewartaan
keselamatan Allah yang mereka laksanakan (Gal 1:6-7). Paulus lebih menekankan
Kristus bahkan hanya Kristus yang harus diterima, baginya Taurat suatu kesia-sian
dan sepertinya Paulus menjadi alergi dengan Taurat. Menurutnya sunat dan
pelaksanaan hukum Taurat bukan prasyarat untuk nanti mandapatkan keselamatan.
Paulus menanggalkan Taurat sebagai jalan keselamatan yang berarti mempercepat
proses pemisahan Yudaisme dengan Kristianisme. Seluruh hidup Paulus
memperjuangkan Injil Kristus terhadap orang Kristen bukan Yahudi agar Taurat tidak
ditambahkan dalam iman Kristen, tindakan Paulus menyulut terjadinya pertikaian
54
antara umat Kristen dan orang Yahudi. Perbedaan dua jalan dan tata keselamatan
mengakibatkan pertikaian tersebut. Umat Kristen menganggap baginya adalah
Kristus dan iman akan Dia serta bagi orang Yahudi adalah Taurat dan ketaatannya
(Groenen, 1991: 250-251).
5) Hidup, wafat dan kebangkitan Kristus menyelamatkan manusia
Kehendak Allah untuk menyelamatkan manusia dilakukan dengan mengutus
putraNya Yesus Kristus. Realitas kehidupan manusia berada dalam dosa, untuk dapat
mengangkat manusia dalam situasi hidup itu sang penyelamat mesti turun ke dalam
situasi dosa yang dihadapi oleh manusia. Kemudian setelah sang penyelamat turun
maka Ia akan naik kembali dari realitas dosa itu. Yesus Kristus naik kembali kepada
Bapa dengan membawa manusia. Hingga ia diselamatkan dari situasi hidupnya yang
penuh dosa. Paulus sulit menerima hidup, wafat dan kebangkitan Kristus yang
demikian. Sebelum pertobatan Paulus yang terjadi dalam diri Yesus Kristus adalah
suatu hal yang mustahil.
Allah yang maha mulia turun ke tengah-tengah hidup manusia jelata.
KematianNya dengan cara disalib menunjukan suatu kematian bagi orang yang
paling bejat (Gal 3:13). Paulus berusaha merenungkan Yesus. Paulus sebagai seorang
Farisi tentang kebangkitan badan saja yang diakui. Pertobatannya membuat ia
merenungkan makna dari hidup, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus yang
menyelamatkan manusia.
Yesus Kristus yang mulia diturunkan, direndahkan ke dalam realitas dosa agar
dapat menyentuh dan mengangkat manusia. Pada saatnya Ia ditinggikan dan
memperoleh kemenangan dengan kematiannya yang paling hina di mata manusia. Ia
55
wafat di salib dan dibangkitkan pada hari ketiga. Bangkit dari kematian Ia
mengalahkan maut. Ia memperoleh kemenangan atas maut sebagai buah dosa.
Manusia hidup di jaman Almasih yang ditentukan oleh Allah sendiri. Allah
mengutus Putranya untuk hidup bersama-sama dengan manusia. Ia hidup dengan
terlebih dahulu dilahirkan dari rahim seoarang ibu. KehidupanNya untuk menebus
manusia yang hidup di bawah hukum dan diangkat menjadi Putera. Manusia yang
hidup akan menuju ke kematian. Manusia akan mengalami mati sebagai dosa.
Kematian hasil dari daging yang dekat dengan dosa Yesus hiduppun pula akan mati.
Tetapi Ia tidak berdosa sebab Ia memasukan diriNya ke dalam kematian. Dari sana Ia
dapat keluar sebagai tanda dosa dikalahkan (Brunot, 1992: 106-107). Yesus hidup di
alam Yahudi. Latar belakang keYahudian Kristus dipengaruhi oleh kebudayaan
Yunani, namun sifat keYahudiannya lebih tampak. Alam pikiran Yahudi merupakan
titik-tolak dari gagasan Yesus. Banyak gagasan keYahudian yang melatarbelakangi
hidup Yesus diambil alih dan ditafsirkan untuk kegiatan pewartaan (Jacobs, 1982:
170-171)
Manusia yang mati di kayu salib adalah manusia yang terkutuk Yesus mati di
kayu salib yang dianggap juga sebagai manusia terkutuk, namun demikian dengan
kematian terkutuk itulah manusia diselamatkan. Kematian Kristus merupakan
penebusan yang berlangsung terus sepanjang zaman. Penebusan Kristus adalah harga
yang mahal dari Allah Yang paling berharga yang diberikan Allah adalah PuteraNya
sendiri (Brunot, 1992: 107-108)
Yesus mengalami nasib yang sama dengan para nabi. Ia menerima kematian
karena usaha pertobatan Israel dan mempersiapkan Israel untuk kedatangan Tuhan.
Israel tidak mau percaya kepada Yesus maka Ia dibunuh oleh mereka. Kematian
56
Yesus lebih dihubungkan kepada akhir zaman atau Parusia. Karyanya akan
diteruskan hingga akhir zaman. Kematian tidak membuat karya itu berhenti (Jacobs,
1982: 100). Kebangkitan Kristus sebagai lanjutan dari karyaNya. Kebangkitan
Kristus juga berarti sebuah tawaran keselamatan yang diberikan bagi manusia.
Tawaran keselamatan bagi Israel yang menolak dan tidak mempercayai Yesus tatap
ada. Jika mereka mau menggabungkan diri dengan israel yang baru yakni umat
Kristiani (Jacobs, 1982: 100). Kristisanisme hadir meneruskan karya pewartaanYesus
dan menawarkan keselamatan bagi semua orang berkat wafat dan kebangkitan
Kristus. Orang mendengar lanjutan pewartaan itu dan melihat tawaran itu diharapkan
dapat menerimanya. Tidak seperti sikap yang ditunjukkan oleh bangsa Israel yang
menolak dengan membunuh Yesus. Namun menghantar Yesus pada kebangkitan
hingga kemulianNya. Wujud penerimaan itu dimulai dengan membangun relasi
antara Allah dan manusia.
c. Jalinan relasi antara Allah dan manusia
Manusia menginginkan keselamatan hadir di dalam hidupnya maka ia harus
memiliki iman, bukan pertama-tama melakukan perbuatan-perbuatan yang
dianggapnya telah membuat dirinya benar. Iman di dalam diri manusia terbangun
dengan adanya jalinan relasi antara Allah dan manusia. Relasi antara Allah dan
manusia dapat terbangun berkat kasih karunia dari Allah sendiri. Kasih itu nyata
dengan diutusnya Yesus sang putra bagi manusia. Hadirnya putra Allah menebus
dosa hingga manusia dibebaskan dari segala dosanya. Manusia menjadi benar
dihadpan Allah sebab ada kasih karunia Allah yang mewarnai kehidupan dan sebagai
dasar tindakan dalam hidup manusia.
57
1) Kasih karunia Allah bagi manusia
Kasih karunia Allah bagi manusia dipahami secara sederhana adalah kebaikan
Allah bagi manusia. Kasih karunia Allah adalah Allah sendiri yang mengasihi,
melayani dan membimbing manusia. Allah menjalin relasi antara dirinya dan
manusia dengan kasih karunia yang berbuah keselamatan bagi manusia.
Kasih karunia merupakan hal yang mendasari relasi antara Allah dan manusia,
dengan dasar relasi oleh karena kasih karunia terbagunlah suatu relasi yang kuat.
Relasi tersebut menjadi kuat dan tidak mudah digoyahkan. Allah menganugerahkan
kasih karunia yang membuat relasi antara Allah dan manusia menjadi kokoh. Seperti
sebuah tembok kokoh relasi yang dijalin tidak mudah roboh oleh terpaan angin dan
hujan. Kasih karunia merekatkan setiap bagian yang menjadi unsur-unsur di dalam
tembok tersebut
Relasi antara Allah dan menusia oleh karena kasih karunia menjadikan relasi
tersebut dekat. Kedekatan yang terjadi di dalam relasi antara Allah dan manusia
ibarat sebuah relasi yang terjadi di dalam sebuah keluarga yakni relasi antara anak
dengan ayahnya, relasi antara ibu dengan anaknya dan relasi antara anak dengan anak
dalam keluarga itu. Keharmonisan dan kehangatan relasi di dalam keluarga dijadikan
gambaran yang menunjukkan betapa dekatnya Allah dan manusia berkat kasihnya.
Keterbukaan diri Allah terhadap manusia seperti sebuah keterbukaan seorang oran
tua terhadap anaknya. Pemeliharaan Allah terhadap setiap hidup manusia sama
seperti seorang ibu yang merawat dan memelihara bayinya dengan penuh kasih.
Allah melindungi setiap umatnya sama seperti seorang ayah yang melindungi setiap
anggota keluarganya. Kedekatan relasi antara Allah dan manusia terjalin seperti relasi
dalam sebuah keluarga yakni relasi yang berdasarkan hubungan darah saling
58
mengasihi satu sama lain, hinggga dengan demikian kedekatan relasi tersebut sangat
dapat dirasakan. Allah yang transenden jauh berada diluar jangkauan manusia terasa
sangat dekat bahkan Allah bersemayam di dalam diri setiap umat, menjadi satu
dengan setiap pribadi, menjadi Allah yang imanen.
Kasih Allah menyala-nyala laksana api bagi orang yang berelasi denganNya.
Kasihnya yang besar itu terkadang manusia tidak melihatnya. Kasih yang kadang
tidak tampak itu memberikan rasa damai di dalam hati. Kasih Allah yang besar
memberikan rasa damai nyata di dalam Kristus sebab Kristus berasal dariNya.
Manusia yang ingin merasakan kasihNya berarti melalui Kristus dan mengikuti
Kristus. Kasih Allah yang besar dirasakan oleh setiap umatnya terhimpun di dalam
persekutuan yang dinamakan Gereja. Kasihnya menjadi ragi kepercayaan bagi tiap
keluarga manusia dalam keanggotaan Gereja (Roger, 1994: 7-8). Kasih Allah
mempersatukan setiap manusia yang percaya. Persekutuan umat Allah dalam Gereja
menjadi lebih kuat berkat kasih Allah. Gereja Kristus yang dibangun oleh para Rasul
menjadi lebih kokoh dimulai dari setiap keluarga sebagai manifestasi Gereja kecil.
Allah memberikan rahmat kasihnya dengan takaran yang berlimpah ruah.
Kasihnya merupakan kasih yang penuh dan menyeluruh, sebab mengatasi
keseluruhan situasi hidup manusia. Allah mempunyai inisiaif terlebih dahulu untuk
berkarya dalam situasi hidup manusia (Wijngaards, 1994: 177).
Allah sangat mengasihi manusia. Kasih Karunia Allah membuat manusia
hidup dalam rahmat bukan dalam dosa. Dosa telah dikalahkan oleh Kristus dengan
kebangkitannya maka manusia tidak berada lagi dalam kuasa dosa melainkan hidup
dalam rahmat. Rahmat yang berlimpah akan diberikan bagi manusia melalui Yesus
Kristus (Brunot, 1992: 109).
59
Manusia dengan sesamanya diharapkan juga saling mengasihi. Kehidupan
diwarnai dengan tindakan kasih. Perbuatan yang dapat dilakukan misalnya dengan
saling tolong menolong. Berbuat baik bagi sesama sebagai wujud saling mengasihi
memang sukar dan melelahkan namun Paulus tetap mengharapkan agar selalu
diperbuat (Gal 6:1-10).
2) PutraNya diutus untuk membebaskan manusia
Jalinan relasi antara Allah dan manusia menjadi suatu kenyataan. Yesus
diutus oleh Bapa datang ke dunia. Kedatangan Yesus di dunia mewujudkan relasi
antara Allah dan manusia, dengan kedatanganNya itu Yesus menyatu dengan
manusia. Allah hadir dalam diri PutraNya mendatangi manusia. Sebagai sesama
manusia Putra Allah dapat berkomunikasi dengan manusia yang lain. Sebuah relasi
yang nyata dibentuk salah satunya dengan komunikasi, meskipun banyak hal menjadi
syarat untuk terjalinnya sebuah relasi. Pengorbanan dan kematian Yesus di kayu salib
menjadi titik kulminasi yang diperbuat olehNya untuk membuktikan kenyataan relasi
tersebut. Yesus Putra Allah menjadi dekat dengan manusia dan menjadi sahabat
manusia, ia rela mengorbankan diriNya di kayu salib demi keselamatan manusia.
Yesus mati dalam sebuah relasi sebab ia rela mengorbankan nyawa demi sahabatnya.
Relasi manusia dengan Allah nyata ditunjukkan dengan adanya hubungan
persahabatan yang erat dan kedekatan antara Allah dan manusia melalui PutraNya.
Relasi tersebut diwujudkan oleh Allah sendiri. Yesus mempunyai asal dari
Bapa sendiri, Ia Putra Allah yang menyatu dengan Bapa. Ia yang sejak semula telah
berada bersama dengan Allah Bapa, seperti yang dikatakan Yohanes dalam prolog
Injilnya “Pada mulanya adalah firman; firman itu bersama-sama dengan Allah dan
60
Firman itu adalah Allah”. Yesus Putra Allah yang menyatu dengan Bapa
menghadirkan diriNya ke tengah-tengah hidup manusia.
Allah mengutus PutraNya untuk membebaskan manusia dari belenggu dosa
(Gal 5:1). Yesus menjalankan tugas perutusan dari Allah Bapa dengan sepenuh hati.
Ia rela mengorbankan diriNya di kayu salib demi keselamatan manusia. Salib
diterima menjadi salah satu konsekuensi tugas perutusan, sebab dengan salib itu
Yesus akan membebaskan umat manusia.
Kristus membebaskan manusia sekali untuk selamanya. Manusia jangan
sampai terperosok lagi ke dalam belenggu penghambaan. Belenggu penghambaan
telah dilepaskan oleh Kristus. Manusia yang hidup seturut Taurat maka ia hidup
kembali dalam peghambaan. Taurat salah satu bentuk hukum Yahudi ini salah
satunya mengaharuskan orang untuk disunat jika mau selamat. Jalan keselamatan
melalui sunat sebagai bentuk pengamalan Taurat berarti membelenggu kembali
manusia dalam kelemahan-kelemahannya, dalam tubuh fana manusia yang terbatas
dan dikuasai dosa (LBI, 1983: 87).
Kedatangan Kristus yang membebaskan oleh Paulus digambarkan dengan
sebuah personifikasi. Kebebasan yang didambakan seperti kebebasan yang
dirindukan budak, seperti seorang menderita pada waktu melahirkan, mengerang
kesakitan menahan kelahiran bayinya. Setiap orang menantikan datangnya putra
Allah. Penantian ini bukanlah kesia-sian sebab ada pengharapan seperti seorang ibu
yang kesakitan saat melahirkan namun setelah putranya lahir seluruh sakitnya
menjadi sirna karena suka cita (Brunot, 1992: 105).
Kebebasan yang ditawarkan oleh Paulus bukanlah kebebasan lepas
sekehendak hati, bertindak semaunya sendiri. Paulus mendorong agar orang
61
melakukan cinta kasih yang merupakan nafas hidup Kristiani, dengan saling
mengasihi, mencintai dan melayani sesama (Gal 3:25-29). Tindakan demikian dapat
dilakukan atas dorongan Roh bukan dorongan dan keinginan daging. Hidup dengan
bimbingan Roh sangat didambakan sebab cinta diri yang merupakan hasil dari
keinginan daging merusak keindahan dan keserasian Pribadi. Keinginan-keinginan
daging menunjukkan akibat-akibat hawa nafsu, namun sebaliknya jika ia dibimbing
Roh akan menjauhkan dari cinta diri. Ia menjadi milik Kristus dan hidup menurut
RohNya. Ia mempertahankan kematiaannya terhadap dosa yang membebaskan itu. Ia
ambil bagian dalam kematian Kristus terhadap dunia, pada waktu itu diterima Roh
Kristus Roh yang selalu diikuti dalam praktek cinta kasih, hingga dengan demikian
manusia yang dibebaskan Kristus bukanlah manusia yang bebas semau dirinya
sendiri melainkan hidup yang dibimbing oleh Roh (LBI, 1992: 109-110).
3) Manusia dibenarkan oleh Allah
Manusia diletakkan dalam jalinan relasi antara Allah dan manusia. Jalinan
relasi yang terbentuk Antara Allah dan manusia membuat manusia dibenarkan.
Manusia dibenarkan dihadapanNya. Kebenaran terletak di tangan Allah ia sendiri
yang memegang kebenaran tersebut. Manusia yang berada bersama dengan Allah ia
akan ikut memiliki kebenaran di tangan Allah itu. Kebenaran yang ikut dimilikinya
dari Allah menjadikan diri manusia benar tidak sekedar memiliki kebenaran namun
manusia tidak menjadi benar.
Kebenaran ditentukan oleh Allah, jadi kebenaran yang ada adalah kebenaran
Allah. Keselamatan juga datangnya dari Allah yang diberikan olehNya bagi manusia.
Segala sesuatu ditentukan oleh asalnya. Keduanya berasal dari Allah manusia tidak
62
dapat menentukanya sendiri bagi dirinya. Manusia jika akan menentukan sesuatu bagi
dirinya maka sesuatu itu haruslah kepunyaannya sendiri berasal dari dirinya sendiri,
bagaimana mangkin segala sesuatu yang bukan kepunyaan manusia hendak
ditentukan sendiri oleh dirinya, sebab ia tidak mempunyai hak sama sekali atas hal
itu.
Istilah pembenaran yang disampaikan Paulus berasal dari kata dikaiosune,
yang arti harafiahnya keadilan atau kebenaran. Dikaiosune ada pada diri Allah dan
manusia dimasukkan dalam dikaiosune Allah. Manusia yang masuk dikaiosune
Allah menjadikan ia adil dan benar. Tindakan Allah pada tempat pertama dimana
manusia dimasukkan berkait dengan tindakan Allah yang universal bagi manusia
demi keselamatan, tindakan atau karya Allah itu dalam Yesus Kristus melalui salib
(Kirchberger, 1989: 31). Manusia yang dimasukkan di dalam dikaiosune Allah ia
dihakimi Allah. Penghakiman Allah terhadap manusia membuat manusia menerima
keadilan dan iapun dibenarkan atas tindakannya.
Kebenaran mengenai dikaiosune Allah dirumuskan Paulus bahwa seseorang
dibenarkan karena iman dalam Yesus Kristus bukan karena Taurat dengan
ketaatannya (Gal 2:16). Hukum tidak membenarkan perbuatan manusia, ketika ia
dihadapkan ke pengadilan kerena suatu kesalahan maka dalil-dalil seorang pengacara
secara hukum akan mencari-cari selah kebenarannya tetapi perbuatannya tidaklah
dibenarkan. Pengadilan Allah berbeda terhadap seseorang yang diadili seseorang oleh
karena iman dibenarkan oleh Allah, sebab manusia hidup bebas dipimpin oleh roh
untuk bertindak. Tindakan manusia yang dipimpin oleh roh jauh dari cinta diri dan
ogoisme adalah cinta kasih. Itulah tindakan yang dibenarkan. Hukum manusia
menghakimi yang bertindak didorong oleh keinginan daging. Tindakan yang
63
didorong atas keinginan daging adalah cinta diri dan egoisme. Cinta diri dan egoisme
menjauhkan manusia terhadap Allah dan sesama ia hanya mendahulukan kepentingan
diri sendiri demi keuntungan diri sendiri. Tindakan demikian kiranya tidak dapat
dibenarkan, lain halnya dengan tindakan cinta kasih yang jauh dari cinta diri dan
egoisme.
Manusia yang hidup diatur oleh hukum agama membuat hidupnya dipenuhi
oleh batasan-batasan karena tuntutan yang musti dipenuhi. Ia harus berbuat suatu hal
dan tidak diperbolehkan suatu hal sesuai dengan tuntutan itu. Batasan-batasan itu
membuat manusia menjadi kerdil. Hidup rohani seseorang menjadi berkembang jika
ia tidak hidup menurut hukum agama dengan segala tuntutannya melainkan hidup
menurut dorongan Roh. Hidup menurut dorongan Roh berarti berbuat cinta kasih.
Cinta kasih adalah hukum Kristus yang hidup dengan cinta kasih sama halnya hidup
dengan hukum Kristus yang tidak membatasi manusia sebab Kristus membebaskan
manusia. Kekerdilan hidup manusia oleh karena hukum dikikis oleh Kristus. Hukum
Kristus menghidupkan manusia dan manusia yang hidup seturut hukum Kristus serta
lebih karena beriman pada Kristus ia dibenarkan oleh Allah sebab perbuatannya
benar memenuhi hukum kasih yakni berbuat cinta kasih (Gal 6:2).
Pembenaran tanpa hukum tidak berarti orang Kristen dibenarkan cuma-cuma
oleh Allah. Pembenaran karena iman berarti pelaksanaan hukum bukan prasyarat
pembenaran, bukan karena berbuat baik kita dibenarkan. Kita orang berdosa
dibenarkan Allah terdapat kesanggupan di dalam diri kita manusia untuk bertindak
sebagai manusia benar, bertindak secara baik sesuai dengan kehendak Allah. Iman
menjadi mati dan kita manusia belum dibenarkan jika tidak bertingkah laku secara
baru (Kirchberger, 1989: 39). Pertobatan harus dilakukan oleh manusia untuk ia
64
dibenarkan dihadapan Allah. Pertobatan bukan pertama-tama hanya menyesali
kesalahan tetapi lebih pada keterbukaan mengakui segala kesalahan dihadapan Allah
dan mengubah cara hidup yang lama dengan cara hidup yang baru.
BAB III
KITAB SUCI DALAM KATEKESE UMAT
Kitab Suci merupakan harta kekayaan Gereja yang tak ternilai harganya.
Dalam hidup sehari-hari Kitab Suci kurang mendapat tempat dan jarang digunakan
bahkan sebagian umat Katolik takut hanya untuk membuka dan membaca Kitab Suci.
Padahal melalui Kitab Suci umat dapat belajar untuk dapat meningkatkan
penghayatan iman. Untuk dapat meningkatkan penghayatan iman umat membutuhkan
katekese agar iman semakin tumbuh dan berkembang. Katekese sebagai kegiatan
bina iman memiliki cakupan yang luas. Arah katekese di Indonesia menekankan
Katekese Umat sebagai usaha untuk meningkatklan penghayatan iman dengan Kitab
Suci sebagai salah satu sumber pengolahannya.
A. GAMBARAN UMUM TENTANG KATEKESE
Dalam hidup menggereja penghayatan iman umat lebih ditekankan daripada
pengetahuan iman. Katekese membantu umat untuk dapat meningkatkan penghayatan
iman. Iman merupakan dasar kehidupan menggereja bagi umat. Kehidupan
menggereja kiranya tidak dapat berjalan dengan baik jika iman umat tidak terjaga.
Ketika terjadi kegoyahan iman, seperti yang terjadi pada umat di Galatia, maka
katekese menjalankan peranannya untuk menjaga dan meneguhkan iman umat.
1. Pengertian Katekese
Katekese ialah pembinaan terhadap berbagai pihak anak-anak, kaum muda,
dan orang-orang dewasa dalam hal iman. Pembinaan itu mencakup penyampaian
66
ajaran Kristen yang diberikan secara organis dan sistematis. Pembinaan itu
mempunyai maksud untuk mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup
Kristen (CT, art. 18). Sasaran kegiatan bina iman adalah anak-anak, kaum muda dan
orang dewasa. Katekese yang organis dan sistematis membuat pelaksanaan menjadi
lebih baik. Katekese memiliki tujuan dalam hal kepenuhan hidup Kristen. Hal ini
merupakan sebuah tujuan pembinaan yang tidak berorientasi pada hal duniawi,
seperti harta dan kekuasaan. Tujuan ini membedakan masyarakat kelompok agama
dengan kelompok lain, seperti kelompok sosial, kelompok politik serta kelompok
ekonomi.
Katekese merupakan salah satu bentuk pelayanan Sabda Allah dalam Gereja
(CT, art. 17). Seluruh kehidupan Gereja berkaitan erat dengan katekese terutama
perkembangan rohani dan keselarasan dalam hidupnya dengan rencana Allah secara
hakiki tergantung pada katekese (CT, art. 13). Katekese sebagai salah satu bentuk
pelayanan sabda, dapat membantu umat beriman semakin mengimani Yesus dan
memperoleh hidup dariNya. Katekese membina serta mendidik umat dalam hidup
dan pembangunan Tubuh Kristus (CT, art. 1).
Katekese dimengerti secara luas sebagai usaha saling tolong menolong dari
setiap orang untuk mengartikan dan mendalami hidup menurut pola Kristus demi
kedewasaan Kristiani yang penuh (Setyakarjana, 1997: 17). Pengertian ini
mengandung prinsip bahwa katekese adalah proses pewartaan sabda Allah melalui
komunikasi iman antar anggota orang yang beriman kepada Kristus.
Di dalam surat rasul Paulus kepada jemaat di Galatia katekese dimengerti
sebagai sebuah pewartaan. Pewartaan yang dilakukan santo Paulus menegaskan
bahwa iman akan Kristus yang bangkit adalah jalan keselamatan (Gal 1:1-5).
67
Pewartaan Paulus yang tercatat dalam surat Galatia semakin meneguhkan
penghayatan iman umat akan Yesus Kristus demi keselamatan Gereja sebagai umat
Allah. Pewartaan Paulus mendidik orang beriman agar mencapai kedewasaan dalam
hidup beriman. Melalui pewartaan Paulus orang semakin percaya pada Kristus dan
dibawa kepada keselamatan Yesus Kristus
2. Titik Tolak Katekese
Ketekese merupakan pembinaan iman dalam bentuk penyampaian ajaran
Kristiani. Kristus sang Guru yang mengajar menjadi jiwa katekese. Demikian juga
titik tolak katekese adalah pengajar katekese itu sendiri, yakni Yesus Kristus sang
Guru. Katekese, dalam persekutuan dengan pribadi Kristus, menyampaikan
ajaranNya, dan meneladani Kristus sang Guru (CT, art. 5-9).
Katekese selain bertitik tolak pada Kristus juga bertitik tolak dari
pengetahuan, pengalaman, masalah, kaprihatinan dari peserta serta dari berbagai
suasana yang ingin diciptakan (Setyakarjana, 1997: 16). Katekese berangkat dari
konteks permasalahan setempat yang diterangi dalam iman akan Yesus. Katekese
tidak bertolak dari sesuatu yang jauh dari kehidupan umat. Titik tolak katekese
diambil dari tengah-tengah situasi hidup umat. Pengalaman hidup umat mendapat
tempat dalam ketekese, karena permasalahan dan keprihatinan katekese adalah
permasalahan dan keprihatinan umat.
Pewartaan Paulus dalam Gal juga mempunyai titik tolak. Paulus meneguhkan
iman akan Kristus sebab, iman jemaat di Galatia mulai goyah (Gal 1:6). Titik tolak
pewartaan Paulus dalam Gal adalah iman akan akan Kristus. Sebagian besar jemaat
Paulus adalah orang-orang Kristen bukan Yahudi. Ia tidak menginginkan pewartaan
68
bertolak dari suatu yang tidak sesuai bagi jemaat di Galatia. Oleh sebab itu ketaatan
terhadap Taurat ditinggalkan oleh Paulus. Iman akan Kristus selalu ia tekankan
karena sebagian besar jemaat Paulus adalah kalangan Kristen bukan Yahudi maka
iman akan Kristuslah yang paling cocok sebagai titik tolak pewartaan Paulus (Gal
2:15)
3. Tujuan Katekese
Pelaksanaan katekese mempunyai tujuan dan maksud yang hendak dicapai.
Tujuan katekese adalah berkat bantuan Allah iman yang baru tumbuh dikembangkan.
Katekese bertujuan memekarkan iman yang mulai tumbuh menuju kepenuhannya,
memantapkan peri hidup Kristen umat beriman, baik tua ataupun muda (CT, art. 20).
Misteri Kristus dalam cahaya firman Allah akan meresapi pribadi manusia
dan mengubahnya menjadi ciptaan baru. Hal itu juga merupakan tujuan katekese.
(CT, art. 20). Menjadi ciptaan baru berarti menjadi manusia yang telah mati dari dosa
berkat salib Kristus. Iman akan Kristus yang mulai tumbuh dan berkembang
mengubah manusia lama menjadi manusia baru. Manusia menerima Kristus juga
berarti menerima hidup baru yakni, kehidupan lama yang diliputi dosa diubah
menjadi hidup anak-anak Allah yang mulia. Perubahan hidup dari manusia lama
menjadi manusia baru terjadi berkat iman akan Kristus.
Katekese sungguh diperlukan sebab bertujuan mendampingi jemaat Kristen
agar mampu mencapai kesatuan iman dan kedewasaannya dalam hidup beriman (CT,
art. 25). Hal ini kiranya mendukung untuk kegiatan pembangunan jemaat atau
kegiatan pastoral. Pembangunan jamaat mengokohkan kesatuan iman umat. Banyak
hambatan dan tantangan yang dihadapi. Umat mesti harus mengahadapi tantangan
69
dan dapat membela diri menangkal serangan yang menggoyahkan kekokohan
kesatuan umat Allah.
Katekese menurut Sumarno (2005: 1) dalam Program Pengalaman Lapangan
Pendidikan Agama Katolik Paroki., memiliki tujuan tergantung dari pengertian
katekese. Jika katekese dipandang sebagai pengajaran iman maka tujuannya adalah
isi iman dapat dimengerti oleh peserta. Katekese jika dimengerti sebagai komunikasi
iman maka yang menjadi tujuan katekese adalah pengungkapan pengalaman iman.
Jika katekese dipandang sebagai pendidikan iman maka bertujuan mematangkan dan
mendewasakan iman. Secara singkat tujuan katekese adalah perkembangan iman
menuju kedawasaan atau kematangan.
Santo Paulus adalah seorang pewarta yang dapat diteladani untuk selalu
menjaga kesatuan iman. Jemaatnya dipersatukan kembali untuk mengimani Kristus
setelah para pengajar Yahudi merongrong hasil karya pewartaan Paulus yang
membuat iman jemaat Galatia menjadi goyah (Gal 1:8).
4. Isi Katekese
Katekese adalah proses pendidikan dan pembinaan iman. Isi katekese adalah
isi pewartaan Injil secara menyeluruh demi keselamatan (CT, art. 26). Katekese
pertama-tama tidak berisi dogma-dogma atau ajaran-ajaran. Isi katekese bukan ajaran
yang telah diberikan tetapi isi katekese adalah perjumpaan dan pengolahan
pengalaman iman kitab suci dan pengalaman hidup umat
Isi katekese sekarang adalah sejarah keselamatan manusia melalui Kristus.
Hal ini berbeda dengan katekese lama yang menitikberatkan pada doktrin. Kristus
yang menyelamatkan diwartakan dan setiap orang beriman menerimaNya agar
70
realitas dosa yang menghambat dan membatalkan rencana Allah untuk
menyelamatkan manusia dapat dihancurkan (Bataona, 1978: 22).
Muatan pewartaan Paulus adalah Injil Kristus sebagai jalan keselamatan.
Terdapat muatan pewartaan yang tidak berdasar Injil Kristus dalam Gal. Gal
menyebutkan bahwa Para pengajar palsu yang berkarya di Galatia melakukan hal itu.
Karya pewartaan mereka bermuatan lain yakni berisi ketaatan terhadap hukum
Taurat, sedangkan Injil Kristus dikesampingkan jalan keselamatan bukan lagi iman
tetapi ketaatan terhadap Taurat. Paulus hanya mewartakan Injil Kristus. Ia tidak
menambah isi pewartaannya dengan taat terhadap Taurat. Pewartaan Injil Kristus
secara menyeluruh menjadi fokus perhatian santo Paulus (Gal 1:8).
5. Peserta
Peserta katekese adalah orang-orang yang perlu mengalami katekese. Peserta
yang mengalami katekese antara lain anak-anak, kaum remaja, kaum muda, kaum
dewasa, kaum penyandang cacat, dan kaum lanjut usia (CT, art. 35-45). Pihak-pihak
itu disebutkan sebagai penegasan bahwa mereka yang berada di dalam Gereja Kristus
wajib menerima katekese.
Peserta Katekese merupakan sekelompok orang yang beriman Kristiani.
Kedewasaan iman hendak dicapai bagi peserta, lingkungan peserta, kelompok umur
peserta, kebudayaan dan masalah yang menjadi keprihatinan peserta juga menjadi
fokus perhatian katekese yang merupakan bagian keseluruhan dari peserta. Hal itu
menjadi perhatian sebab berguna dalam penentuan tema serta metode yang sesuai
dengan situasi dan kondisi peserta. Fokus perhatian terhadap peserta mendukung
terwujudnya tujuan katekese (Setyakarjana, 1997: 16).
71
Orang Kristen bukan Yahudi menjadi tujuan dan sasaran karya pewartaan
Paulus. Ia tidak menyertakan orang-orang Yahudi fanatik dalam pewartaannya, sebab
mereka tidak dapat melepaskan unsur keyahudian yang melekat pada diri mereka
karena takut menerima penganiayaan (Gal 6:12).
6. Pembimbing Katekese
Pembimbing adalah seseorang yang diserahi tugas memberi pendidikan
keagamaan dan latihan bagi kehidupan seturut Injil (CT, art. 62). Pengertian pendidik
secara luas menjadi pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pembinaan iman
kristiani. Mereka yang bertanggung jawab antaralain para uskup, para imam, katekis
awam, pihak paroki, pihak keluarga, pihak sekolah, organisasi-organisasi, dan pusat-
pusat pembinaan (CT, art. 63-71).
Katekis dalam proses katekese bukan sebagai guru tetapi lebih menunjukan
peran sebagai pembimbing, pengarah, atau disebut sebagai fasilitator. Kemauan dan
kemampuan adalah faktor utama dari seorang pembimbing yang menentukan dalam
pelaksanaan katekese. Kemauan untuk mendampingi umat timbul di dalam hati
seorang pendamping. Kemampuan untuk mengarahkan umat harus ada di dalam diri
seorang pendamping seperti memilih metode dan sarana yang mendukung proses
katekese. Kepekaan dituntut juga dalam diri pembimbing untuk memahami apa yang
menjadi harapan umat. Seorang Katekis perlu mempunyai sikap tegas dalam
mengarahkan umat untuk mencari apa yang dibutuhkan oleh umat (Setyakarjana,
1997: 16).
Peranan pemimpin/pendamping jemaat sangat menonjol dalam diri Paulus
(Gal 4:12). Paulus membimbing jemaat Galatia agar tidak meninggalkan imannya
72
akan Kristus. Gal adalah bukti bimbingan Paulus kepada Jemaatnya. Paulus segera
menulis surat kepada jamaat Galatia ketika mendengar iman jemaat mulai goyah.
7. Model-model Katekese
Katekese dapat dilakukan dengan berbagai cara dan sarana, seperti
menggunakan media komunikasi sosial, mengunakan berbagai tempat kesempatan
dan pertemuan, melalui homili, memanfaaatkan kepustakaan kateketis, dan dengan
menggunakan katekismus (CT, art. 46-50).
Model pewartaan yang digunakan Paulus adalah pengajaran. Uraian ajaran
dituliskan dalam suratnya (Gal 6:11). Ajaran Paulus disampaikan kepada jemaat
dengan mengirimkan surat. Uraian ajaran santo Paulus secara utuh tidak dapat
ditemukan dalam Gal.
Di bawah ini disajikan beberapa uraian model-model katekese. Marinus
Telaumbana (1999: 111-143) dalam bukunya Ilmu Kateketik mamaparkan beberapa
model katekese antara lain:
a. Model katekismus
Katekese dengan menggunkan model ini proses yang terjadi di dalamnya
ialah tanya jawab. Buku katekismus yang digunakan terdapat pertanyaan dan
jawaban. Pertanyaan diberikan kepada peserta dan jawaban dibacakan. Peserta
menjawab pertanyaan yang diberikan dengan terlebih dahulu menghafal jawaban
yang dibacakan oleh pembimbingnya. Salah satu buku yang digunakan Katekismus
Katolik disusun oleh Team STFT Suryagung Bumi, 1986 (Telaumbanua, 1999: 111).
73
Kekhasan dari model ini adalah hapalan akan bahan-bahan yang disampaikan. Peserta
menghafal apa yang diajarkan oleh guru agama.
b. Model penjelasan pikiran
Katekese dengan menggunakan model ini menjelaskan tema-tema yang
hendak disampaikan. Suatu hal yang hendak disampaikan kepada peserta tidak
melalui proses tanya jawab. Proses yang terjadi ialah menguraikan kepada peserta
hal-hal apa yang hendak disampaikan (Telaumbanua, 1999: 111). Kekhasan yang
menjadi model ini adalah peserta tidak hanya menghafal tetapi peserta memahami
dengan sungguh bahan pelajaran agama yang diberikan oleh guru agama. Uraian
materi pelajaran tidak cukup hanya dihafal sebab jika dihafalkan maka peserta akan
kesulitan sebab harus mengahafal uraian materi yang kiranya lebih panjang. Jadi
uraian materi pelajaran yang diberikan akan lebih baik jika dipahami dari pada di
hafalkan.
c. Model Munchen
Katekese dengan mengunakan model ini lebih kompleks dari dua model
sebelumnya. Model ini mempunyai tiga azas utama. Yang pertama teks dijelaskan
dengan bantuan panca indra menyentuh akal budi dan memberi dorongan agar peserta
bertindak. Yang kedua ialah pembentukan budi pekerti agar mau berkelakuan baik.
Yang terakhir kesatuan pelajaran menjadi tekanan. Keistimewaannya ialah peranan
Kitab Suci yang sangat menonjol. Sabda Allah menjadi titik tolak dalam model ini.
Sebuah buku yang dapat dibaca mengenai metode ini adalah Katekismus Jerman,
yang diterjemahkan oleh P. Wahyo, OFM dan diterbitkan oleh Obor tahun 1962
74
(Telaumbanua, 1999: 118). Kekhasan yang terdapat pada model ini peserta tidak
hanya menghafal dan memahami tetapi sampai pada segi praksis hidup. Peserta
didorong untuk bertindak. Tindakan itu dilakukan berdasarkan apa yang telah
dipelajari, dengan lain kata kekhasan dari model ini peserta dapat mempraktekkan
apa yang dipelajarinya.
d. Model aktif
Katekese dengan menggunakan model ini dipengaruhi oleh ilmu pendidikan
modern. Aktifitas peserta menjadi bagian penting tidak hanya pasif diam
mendengarkan pembimbing katekese. Pembimbing dalam prosesnya harus lihai
melihat fungsi dan arah kegiatan serta dampaknya bagi peserta. Aktifitas peserta baik
dilakukan pada awal proses dan diakhir proses ditutup dengan pesan dan kesan dari
pembimbing. Kedewasaan iman menjadi tujuan dari kegiatan katekese. Kesaksian
iman diutamakan dalam model ini. Metode ini diterapkan dalam buku-buku
pengajaran agama katolik misalnya seperti Mengenal Yesus, yang diterbitkan oleh
Depdikbud tahun 1994 (Telaumbanua, 1999: 118). Kekhasan dari model ini kiranya
seperti pada proses belajar di sekolah-sekolah Indonesia yang terkenal dengan
singkatan CBSA yakni cara belajar siswa aktif.
e. Model pengalaman
Katekese dengan menggunkan model ini mengutamakan pengalaman. Peserta
tidak hanya ditransfer pengetahuan dan tidak hanya diberi uraian panjang lebar tetapi
peserta diajak untuk mengalami sendiri perjumpaan bersama dengan Alla. Buku yang
dapat digunakan adalah buku-buku pelajaran agama, terutama buku-buku Katekese
75
Umat, dari Pankat Semarang dan Piket, Ruteng, Samarinda (Telaumbanua, 1999:
129). Kekhasan yang ada pada model ini terletak pada pengalaman. Pengalaman
hidup peserta mendapatkan tempat. Apa yang dialami peserta adalah bahan pelajaran
yang berharga untuk diolah.
f. Model Sower
Katekese dengan model ini digunakan sebab menyesuaikan dengan daya
tangkap dan minat para peserta. Ada tiga tahap yang terkandung dalam metode ini.
Tahap dasar peserta diajak menghidupi kebiasaan Kristen. Tahap menengah peserta
diaktifkan dalam kegiatan-kegiatan menggereja. Tahap atas yakni pengkombinasian
antar minat peserta dengan bahan ajaran yang diberikan (Telaumbanua, 1999: 137-
138). Kekhasan model ini adalah peserta didik sungguh dipahami dan dikenali.
Pengenalan dan pemahaman terhadap peserta mutlak diperlukan. Jika pendamping
tidak mengenal pesertanya maka penyesuaian bahan dengan daya tangkap peserta
tidak dapat dilakukan. Dengan kata lain kekhasan model ini adalah mengetahui
keadaan awal peserta didik.
g. Model Shield
Katekese dengan menggunkan model ini memiliki prinsip sesuai dengan
kebutuhan peserta, dimana kebutuhan tersebut harus dapat dipenuhi dalam katekese.
Pemaksaan dalam proses katekese janganlah sampai terjadi. Ada beberapa macam
kebutuhan peserta yang harus dipenuhi dan katekese menjawab kebutuhan itu
(Telaumbanua, 1999: 138). Yang menjadi kekhasan model Shield adalah katekese
menjawab kebutuhan peserta. Katekese bertolak dari situasi hidup peserta. Apa yang
76
menjadi permasalahan dan keprihatinan hidup peserta diolah sungguh-sungguh dalam
proses katekese.
h. Model induktif deduktif
Katekese dengan model ini menyajikan ulang peristiwa yang ada di dalam
Kitab Suci atau menjelaskan ajaran yang diimani Gereja. Tujuan dari katekese model
ini ialah untuk memberi informasi dan mengisi rasa ingin tahu peserta. Suatu saat
mereka diharapkan dapat mengulang kembali (Telaumbanua, 1999: 138). Kekhasan
dari model ini peserta akan mempunyai wawasan yang luas dalam menunjang
penghayatan iman mereka. Hal ini menjadi demikian sebab model ini berangkat dari
hal yang cakupannya lebih luas menuju pada hal yang spsifik. Hingga dengan
demikian pengertian yang diperoleh oleh peserta bukanlah pengertian dalam arti
sempit tetapi sebuah pengertian yang diperoleh itu dalam arti yang luas.
i. Model naratif eksperiensial
Katekese dengan model ini menggunkan cerita. Pokok bahasan yang
disampaikan disajikan melalui cerita. Buku yang dapat digunakan Mengenal Yesus,
yang diterbitkan oleh Depdikbud tahun 1994 (Telaumbanua, 1999: 140). Cerita
digunakan sebagai media agar peserta dapat memahami apa yang disampaikan.
Kekhasan dari model ini adalah digunakannya narasi-narasi yang dapat diambil dari
berbagai sumber. Narasi yang digunakan dapat diambil dari mitos setempat, epos
setempat atau cerita lain yang menggambar pengalaman hidup. Cerita yang diambil
tersebut adalah cerita yang bersifat mendidik, memberi inpirasi, mengembangkan
iman.
77
j. Model dialog partisipatif
Katekese dengan model ini mengutamakan komunikasi iman. Pelaksanan
dengan model ini dengan buku Pendidikan Agama Katolik untuk SMTA: memahami
Keselamatan, yang diterbitkan oleh Depdibbud tahun 1994 (Telaumbanua, 1999:
143). Peserta saling berbagi pengalaman dalam proses katekese. Pengalaman yang
dibagikan baik pengalaman sehari-hari ataupun pengalaman imannya. Kekhasan dari
model ini peserta memiliki keterbukaan diri, keberanian untuk berbicara, dan rasa
saling percaya satu sama lain. Kekhasan yang demikan harus ada jika tidak ada maka
proses komunikasi yang diharapkan tidak akan terjadi. Sebab komunikasi dapat
terjadi jika masing-masing pihak terbuka, berani berbicara untuk mengungkapkan diri
dan saling percaya.
B. KATEKESE UMAT
Katekese Umat telah dicetuskan sebagai arah katekese di Indonesia. Para
pakar saat itu berhasil merumuskan arah katekese di Indonesia. Sesuai dengan hasil
pemikiran mengenai arah katekese di Indonesia, katekese di Indonesia berjalan sesuai
dengan arah Katekese Umat. Katekese Umat dalam perjalanan mengalami berbagai
macam perkembangan. Seiring perkembangan itu berbagai model untuk Katekese
Umat dicetuskan.
1. Latar Belakang Munculnya Katekese Umat
Berbagai macam hal melatarbelakangi munculnya Katekese Umat yakni
budaya musyawarah, arus demokrasi zaman itu, majunya ilmu tentang manusia dan
gambaran Gereja. Budaya musyawarah terbiasa dengan pembicaraan permasalahan
78
secara bersama. Hal ini membuat segala masalah yang diungkapkan dalam Katekese
Umat dibahas bersama-sama. Kesamaan hak bersuara dalam demokrasi kala itu
membuat umat dalam Katekese Umat dapat dengan bebas mengungkap segala hal
yang menjadi permasalahan untuk dibahas bersama. Perkembangan ilmu tentang
menusia tidak memandang manusia sebagai obyek tetapi sebagai subyek yang
membuat proses Katekese Umat subyeknya adalah umat sendiri. Gambaran Gereja
telah berubah memunculkan Katekese Umat yang tidak terlalu bergantung kepada
hirarki. Latar belakang munculnya ketekese umat dipengaruhi oleh arus demokrasi
zaman saat itu, kemajuan ilmu tentang manusia, dan gambaran Gereja saat itu.
a. Budaya musyawarah
Musyawarah merupakan kegiatan dimana sebuah permasalahan dibicarakan
secara bersama-sama. Setiap orang yang ikut serta dalam pembicaraan tersebut
memiliki hak yang sama untuk bersuara. Setiap permasalahan diungkapkan oleh
setiap peserta. Permasalahan dibicarakan bersama dan keputusan atas permasalahan
tersebut diambil secara bersama-sama. Keputusan yang telah diambil menjadi
kesepakatan bersama yang akan dilaksanakan. Musyawarah menunjukan adanya
suasana demokratis. Kesamaan hak mendapat tempat yang besar bagi setiap orang.
Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat diberikan kepada setiap orang (Lalu, 2005:
77). Kebiasaan musyawarah yang ada di dalam masyarakat memberikan pola pada
Katekese Umat. Katekese Umat diilhami dari kebiasaan musyawarah masyarakat
desa, masyarakat akar rumput atau rakyat jelata. Kebiasan berembuk atau membahas
masalah secara bersama-sama dimasukkan di dalam Katekese Umat. Suasana
demokratis dibentuk dalam Katekese Umat.
79
b. Arus demokrasi zaman saat Katekese Umat dicetuskan
Sering dikatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat untuk
rakyat. Kekuasaan berasal dari rakyat, yang menjadi pemimpin adalah rakyat.
Seluruh rakyat ikut memerintah. Hal ini berarti berbagai elemen masyarakat terlibat
dengan berbagai kepentingan di dalamnya. Agar dapat kepemimpinan berjalan baik
maka dilakukanlah dengan perwakilan dan musyawarah. Keputusan yang diambil
dalam musyawarah itu menjadi konsensus yang ditaati secara bersama. Jaminan atas
hak asasi manusia menjadi ciri khas demokrasi. Kedudukan warga negara di mata
hukum dan pengadilan sama, diakuinya hak politis seperti berkumpul dan beroposisi.
Arus demokrasi zaman itu ialah peranan aktif dari rakyat sebagai sikap budaya yang
kemudian memunculkan ide tentang Katekese Umat (Lalu, 2005: 46-47). Peranan
aktif umat menjadi sikap budaya sebagai arus demokrasi zaman itu tetap
mempertahankan beberapa unsur seperti kedaulatan rakyat, kebebasan, kesamaan
hak, konsensus atau kesepakatan bersama, dan perwakilan. Latar belakang yang
demikian diadopsi ke dalam Katekese Umat. Katekese Umat sangat menekankan
peranan umat. Hal ini menjadi sikap budaya yang menggantikan kebiasaan
tergantung pada pejabat Gereja. Umat yang berprakarsa dan berperan aktif dalam
membangun kehidupan iman.
c. Kemajuan ilmu-ilmu tentang manusia
Pandangan dunia mengenai manusia saat ini telah berubah. Perubahan ini
dipengaruhi oleh keberadaan ilmu-ilmu tentang manusia. Ilmu tersebut memilki
perkembangan yang pesat diantaranya ialah psikologi, pedagogi dan antropologi.
Perkembangan itulah yang berakibat pada perubahan pandangan tentang manusia.
80
Manusia dahulu dipandang seperti kertas putih kosang atau seperti sebuah botol
kosong. Keberadaannya yang demikian berpengaruh pada pendidikan untuk
perkembangan diri manusianya. Seperti sebuah kertas putih kosong atau seperti
sebuah botol untuk mendidik manusia tinggal mengisi kekosongan itu. Manusia
dianggap belum mengetahui apa-apa dan tidak berbekal suatu apapun. Pengetahuan
yang telah dimiliki oleh pendidiknya ditransfer kepada peserta didik. Saat ini berkat
perkembangan ilmu tentang manusia pandangan terhadap manusia berubah. Manusia
dipandang seperti sebuah tumbuhan yang telah memiliki daya tumbuh di dalam
dirinya. Kemampuan untuk tumbuh dan berkembang seperti pada tumbuhan terdapat
di dalam diri manusia. Proses pengembangannya sekedar memberi sarana atau
bantuan agar dapat tumbuh lebih subur. Proses belajar manusia bukan pertama-tama
menerima bahan tetapi mengasimilasikan dan penemuan makna baru dari bahan yang
dipahaminya. Katekese Umat dengan latar belakang yang demikian sangat
memperhatikan kemampuan dan harkat manusia di dalam dirinya. Seseorang yang
hadir tidak dianggap tidak memiliki sesuatu untuk disumbangkan. Melainkan sangat
diharapkan ia dapat mengungkapkan keberadaan dirinya dengan segala yang
dimilikinya. Proses Katekese Umat yang terjadi di dalamnya bukanlah transformasi
pengetahuan tetapi sebuah komunikasi iman, saling berbagi atau tukar pengalaman
iman yang terjadi dua arah saling memberi dan menerima. Berbeda dengan model
transformatif yang membuat peserta menjadi pasif (Lalu, 2005: 49-50).
d. Gambaran gereja saat itu
Gereja kini telah merumuskan kembali gambaran akan dirinya yang sesuai
dengan situasi zaman. Ada tiga gambaran tentang Gereja yang melatarbelakangi
81
munculnya Katekese Umat. Tiga gambaran Gereja masa kini itu adalah Gereja umat
Allah, Gereja sebagai sakrament dan Gereja kaum miskin.
Gereja umat Allah ialah Gereja yang di dalamnya terdiri dari para awam,
hirarki dan biarawan-biarawati. Umat Allah yang dimaksud ialah bangsa yang
dipanggil dan dipilih Allah. Umat Allah yang dipanggil itu untuk menjadi milik Allah
dan menyelamatkan dunia. Gereja dipandang berkembang dari bawah dan segi
kharismatis ditekankan. Gereja umat Allah mendapat bentuk di dalam Katekese
Umat. Bentuk dari gambaran sebagai umat Allah terlihat peran serta umat yang
menonjol, umat menjadi pusat tidak tergantung hanya kepada hirarki. Katekese Umat
mewujudkan persekutuan umat dengan berbagai macam perbedaan yang ada di dalam
diri umat. Peserta yang ada dalam Katekese Umat semuanya sederajat saling
meneguhkan dan memperkaya lewat komunikasi iman (Lalu, 2005: 50-52).
Gereja sebagai sakramen berarti sebagai tanda dan sarana karya keselamatan
Allah. Gereja bagi dunia yang diselamatkan memiliki fungsi. Fungsi Gereja bagi
dunia membantu manusia untuk membangun relasi yang hidup dengan Allah. Dasar
dari penyelamatan dunia ialah dunia yang sesuai dengan semangat iman. Dunia
disesuaikan dengan semangat Pencipta dan sang Penebusya. Tugas perutusan Gereja
ialah membawakan amanat Kristus kepada manusia di dunia. Dunia sebagai tempat
tinggal manusia semakin disempurnakan dan diresapi dengan semangat Injili.
Membawa amanat ialah tugas Gereja berkait dengan penghayatan iman.
Penyempurnaan dunia terarah pada masyarakat yang lebih baik, lebih adil, dan lebih
sejahtera (Lalu, 2005: 52-53). Latar belakang yang demikian melahirkan Kastekese
Umat. Masalah-masalah yang aktual diungkap di dalam Katekese Umat. Katekese
Umat juga merupakan usaha transformasi sosial. Hal ini dilatarbelakangi oleh Gereja
82
yang senantiasa membangun dan menyempurnakan dunia sebagai tempat segala
aktifitas sosial.
Gereja kaum miskin bukan Gereja untuk kaum miskin. Gereja kaum miskin
menunjukkan hakikat Gereja. Gereja kaum miskin memperlihatkan kehadiran kaum
miskin yang nyata masuk dalam cakrawala pemikiran tentang Gereja. Kaum miskin
diberdayakan. Keterlibatan mereka mendapat tempat penting. Kaum miskin menjadi
pelaku utamanya. Mereka menjadi subyek bukan obyek pelayanan pastoral. Gereja
membangun hidup menggerejanya sebagai orang miskin dan tertindas. Gereja kaum
miskin melatarbelakangi Katekese Umat. Latar belakang demikian yang
memunculkan partisipasi umat. Umat yang partisipatif melibatkan diri berfikir,
berbicara, menganalisa, merefleksi, merencanakan dan bertindak. Kaum miskin
adalah orang yang tersisih bahkan dianggap tidak bermartabat. Latar belakang Gereja
kaum miskin memunculkan Katekese Umat yang mengangkat martabat mereka yang
dianggap tersisih dan tidak bermartabat. Lebih lanjut Katekese Umat berproses untuk
memberdayakan mereka dan memerdekakannya (Lalu, 2005: 58-61).
2. Rumusan Katekese Umat
Rumusan Katekese Umat ditemukan, setelah berjalan tanpa arah akhirnya
kegiatan bina iman di Indonesia menemukan arah yang jelas. Arahan yang jelas
berjalannya kegiatan bina iman di Indonesia dapat dilihat dari rumusan yang telah
dihasilkan. Rumusan yang memperjelas arah katekese di Indonesia itu di dalamnya
mencakup arti dan makna, tujuan, peserta pendamping, dan suasana. Rumusan
Katekese Umat disajikan di bawah ini berdasarkan hasil PKKI II yang dipaparkan
oleh Huber (1980: 15-16) dalam Katekese Umat.
83
a. Arti dan makna Katekese Umat
Katekese Umat diartikan sebagai komunikasi iman atau tukar pengalaman iman antara anggota jemaat. Melalui kesaksian para peserta saling membantu sedemikian rupa, sehingga iman masing-masing diteguhkandan dihayati secara sempurna. Dalam Katekese Umat tekanan terutama diletakkan penghayatan iman. Meskipun pengetahuan tidak dilupakan. Katekese Umat mengandaikan ada perencanan (Huber, 1980: 15).
Katekese adalah komunikasi iman yang dilakukan antar sesama peserta, maka
lebih diharapkan sesama peserta yang saling berkomunikasi bukan komunikasi
peserta dengan pendamping. Proses komunikasi yang terjadi demi membangunan
jemaat. Hal yang dikomunikasikan ialah penghayatan iman akan Kristus bukannya
pengetahuan tentang rumusan iman. Rumusan iman tetap diangap perlu, sebab
penghayatan iman ditunjang oleh rumusan iman (Huber, 1980: 18). Komunikasi iman
yang dimasud adalah tuar pengalaman iman. Umat saling bertukar pengalaman dalam
Katekese Umat. Satu sama lain diantara umat saling membagikan pengalamanya.
Umat menceritakan pengalaman hidupnya dimana Tuhan berkarya. Diharapkan
dengan pengalaman yang dibagikan dapat memberi inpirasi hidup bagi umat.
Bidang pembinaan iman mempunyai cakupan yang luas sekali. Katekese
katekese di Indonesia dirumuskan dengan Katekese Umat. Rumusan itu sebagai arah
katekese di Indonesia secara tidak langsung membatasi bidang pembinaan iman yang
memiliki cakupan luas itu. Kegiatan Katekese Umat termasuk salah satu bidang
usaha pastoral Gereja. Katekese dalam bidang usaha pastoral Gereja memiliki
pengaruh dalam bidang usaha tersebut. Spesifikasi atau kekhasan katekese dalam
bidang usaha tersebut ditunjukkan dengan adannya perencanaan dan keteraturan.
Rumusan Katekese Umat dicetuskan juga untuk mangungkapkan arah usaha kateketis
pada umumnya (Huber, 1980: 18). Perencanaan terhadap Katekese Umat merupakan
84
rancangan untuk pelaksanaannya. Rancangan itu diwujudkan dengan pembuatan
program Katekese Umat, yang kemudian diikuti dengan pembuatan persiapan
pertemuan Katekese Umat.
b. Isi Katekese Umat
Dalam Katekese Umat itu kita bersaksi tentang iman kita akan Yesus Kristus, pengantara Allah yang bersabda kepada kita dan pengantara kita menghadapi sabda Allah. Yesus Kristus tampil sebagai pola hidup kita dalam Kitab Suci, khususnya dalam perjanjian baru, yang mendasari penghayatan iman Gereja di sepanjang tradisinya (Huber, 1980: 15).
Bagian ini menegaskan bahwa pola dan penentu Katekese Umat adalah Yesus
Kristus. Isi dan cara komunikasi iman yang terjadi ditandai dengan Yesus Kristus.
Iman itu diukur dan berpedoman pada Kitab Suci. Penghayatan iman yang
dikomunikasikan dalam Katekese Umat hendaknya di tanggapi dan ditampung serta
mendalami satu pokok saja. Pembicaraan yang tidak berkesinambungan dalam
Katekese Umat tidak dicita-citakan (Huber, 1980: 19). Sebuah pembicaraan dapat
terjadi jika terdapat bahan yang dibicarakan. Sebagai bahan pembicaraan dalam
Katekese Umat adalah pengalaman iman yang diambil dari Kitab Suci dan tradisi
dipertemukan dengan pengalaman umat atas peristiwa hidup sehar-ihari. Singkatnya
pengalaman iman Kitab Suci dan pengalaman hidup umat merupakan isi dari
Katekese Umat. Keduanya diolah dan dibahas oleh peserta sendiri dengan dipandu
oleh seorang fasilitator.
c. Peserta Katekese Umat
Yang berkatekese ialah umat, artinya semua orang beriman, yang secara pribadi memilih Kristus dan secara bebas berkumpul untuk lebih memahami
85
Kristus; Kristus menjadi pola hidup pribadi, pun pula kehidupan pribadi dan kelompok; jadi seluruh umat baik yang berkumpul dalam kelompok basis maupun di sekolah atau perguruan tinggi. Penekanan pada seluruh ini justru merupakan salah satu unsur yang memberi arah pada katekese sekarang. Penekanan pada peranan umat pada katekese ini sesuai dengan peranan umat pada pengertian Gereja itu sendiri (Huber, 1980: 15).
Seluruh Gereja menjadi tujuan kegiatan bina iman yang dibuat. Oleh sebab itu
peserta katekese ialah semua orang beriman. Hal ini menegaskan keseluruhan tujuan
kegiatan bina iman. Pembinaan iman tidak saja ditujukan bagi sebagian umat namun
segenap warga umat terpanggil untuk terus membina dan mendalami imannya akan
Yesus (Huber, 1980: 20).
Umat sebagai peserta katekese ialah mereka yang secara pribadi memilih
Kristus. Pilihan akan Kristus dijatuhkan oleh mereka secara mutlak. Baptis sebagai
tanda akan pilihan itu yang ditentukan. Secara pribadi mereka yang memilih Kristus
dipersiapkan dengan menjadi katekumen (Huber, 1980: 20).
Mereka sebagai peserta Katekese Umat bebas berkumpul untuk memahami
Kristus. Segala paksaan tidak dilakukan oleh Gereja kepada setiap orang beriman
untuk melakukan suatu hal. Sama halnya dengan melakukan kegiatan bina iman
setiap peserta di dalamnya tidak dipaksa untuk mengikutinya. Peserta dengan bebas
mengikutinya didasari dengan kerelaan hati (Huber, 1980: 20).
d. Pendamping Katekese Umat
Dalam ketekese yang menjemaat ini pemimpin katekese bertindak terutama sebagai pengarah dan pemudah (Fasilitator). Ia adalah pelayan yang menciptakan suasana yang komunikatif. Ia membangkitkan gairah supaya para peserta berani berbicara secara terbuka. Katekese Umat menerima banyak jalur komunikasi dalam berkatekese. Tugas mengajar yang dipercayakan kepada hirarki menjamin kekayaan iman berkembang dengan lurus (Huber, 1980: 15-6).
86
Katekese agar dapat berjalan dengan lancar perlu didampingi oleh seseorang.
Pendamping katekese mempunyai berbagai macam sebutan seperti katekis, guru
umat, porehanger, guru minggu, ketua umat, guru agama, dan sebagainya.
Menyebutkan keberadaan pendamping katekese hendak menekankan apa yang
diharapkan, bagaimana membawa diri dan fokus perhatian seorang pendamping
katekese (Huber, 1980: 20). Pendamping Katekese Umat adalah fasilitator. Failitator
adalah seseorang yang mempermudah peserta berproses dalam Katekese Umat,
seperti pendamping membantu peserta untuk dapat berbicara dan pendamping
membantu peserta menemukan makna teks Kitab suci bagi hidup peserta.
Pendamping membawa diri tidak sebagai pembesar. Ia tidak
mengindoktrinasi, tidak bersikap seakan-akan dirinya paling pandai dan
menyampaikan suatu hal pada yang bodoh. Seperti Yesus pemimpin katekese berlaku
sebagai pelayan. Pendamping Katekese Umat mengusahakan suasana Kristen
dimana ada kepercayaan, ada harapan, dan ada penghargaan. Pembicaraan diarahkan
oleh pendamping Katekese Umat kapada salib Kristus. Pendamping Katekese Umat
dapat melayani peserta. Input yang diminta diberikan oleh pendamping dan mengenai
waktu serta tempat kegiatan biarlah umat yang melakukannnya (Huber, 1980: 22).
Pendamping agar dapat melayani umat dengan baik maka perlu membuat program
pendalaman iman dan persiapan pendalaman iman.
e. Suasana Ketekese Umat
Katekese Umat merupakan komunikasi iman dari peserta sebagai sesama dalam iman yang sederajat, yang saling bersaksi tentang iman mereka. Peserta berdialog dalam suasana terbuka, ditandai sikap saling menghargai dan saling mendengarkan. Proses terencana ini berlangsung terus-menerus (Huber, 1980: 16).
87
Suasana yang terjadi yakni suasana yang sederajat peserta merasa sebagai
komunitas yang mempunyai rasa setia kawan. Dalam suasana kesetiakawanan itu
bersama-sama menuju kepenuhan Kristus. Kesetiakawanan itu ditunjukkan dengan
mengahargai setiap sumbangan yang diberikan oleh peserta (Huber, 1980: 22).
Suasana terbuka dan dialogis yang terjadi di dalam Katekese umat. Suasana
tersebut adalah terbangunnya keterbukaan satu sama lain. Suasana yang demikian
bertentangan dengan nafsu mencari kedudukan dan gengsi serta mementingkan diri
sendri melainkan saling menerima satu sama lain. Suasana itu berlawanan dengan
kesombongan yang meremehkan orang lain. Suasana Katekese Umat yang terbentuk
tidak lagi membedakan antara orang Yahudi dan bukan Yahudi, antara hamba dan
orang bebas, antara laki-laki dan perempuan. Suasana itu membuat semua saudara
yang hadir satu dalam Kristus (Huber, 1980: 22). Suasana yang diciptakan dalam
Katekese Umat menjadi penting, sebab pembinaan iman yang membuat iman
sungguh ditumbuhkan dan dikembangkan pertama-tama dapat diwujudkan dengan
membangun suasana hidup beriman. Oleh sebab itu rumusan mengenai suasana
Katekese Umat juga penulis sampaikan.
f. Tujuan Katekese Umat
Tujuan komunikasi iman itu ialah: - Supaya dalam terang injil kita semakin meresapi arti pangalaman-
pengalaman kita sehari-hari; - Dan kita bertobat kepada Allah dan semakin menyadari kehadiran-Nya
dalam kenyataan hidup sehari-hari; - Dengan demikian kita semakin sempurna beriman, berharap,
mengamalkan cinta kasih dan semakin dikukuhkan hidup Kristiani kita; - Pula kita semakin bersatu dalam Kristus, semakin menjemaat, makin tegas
mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja semesta; - Sehingga kita sanggup memberi kesaksian tantang Kristus dalam hidup
kita di tengah masyarakat (Huber, 1980: 16).
88
Kegiatan katekese yang berjalan mempunyai dua arah tujuan, berkait dengan
pengalaman peserta dan pengalaman iman Gereja. Tujuan itu mempunyai sorotan
yang berbeda-beda. Tiga tujuan pertama memperhatikan peserta. Dua tujuan
berikutnya memperhatikan segi kehidupan menggereja dan segi kehidupan
bermasyarakat. Tujuan bagi kehidupan peserta mendewasakan umat, umat dapat
memandang hidup sebagai sejarah penyelamatannya, serta menumbuhkan pertobatan.
Tujuan bagi hidup menggereja ialah agar gerak trinitas yakni iman, harapan dan cinta
kasih gerak tersebut dapat diikuti serta Katekese Umat bertujuan membangun Gereja.
Serta tujuan bagi kehidupan bermasyarakat Katekese Umat bertujuan mewujdkan
iman yang kontekstual (Huber, 1980: 23).
3. Perkembangan Katekese Umat
Komisi kateketik seluruh Indonesia mengadakan sebuah pertemuan.
Pertemuan itu bertujuan untuk membahas mengenai jalannya kegiatan Katekese di
indonesia. Peserta saling mengungkapkan pengalamannya dalam berkatekese. Bentuk
komunikasi antar komisi kateketik yang demikian itu lambat laun menghasilkan
sebuah ide tentang Katekese Umat, yang terus dikembangkan dan menjadi bahan
diskusi guan proses pembinaan iman yang lebih baik. Di bawah ini ringkasan
mengenai bagaimana ide tentang Katekese Umat dikembangkan dari setiap
Pertemuan Komisi Kateketik Keuskupan seIndonesia (PKKI).
a. Gagasan tentang keterlibatan umat dalam PKKI I
Gagasan mengenai keterlibatan umat merangsang munculnya ide tentang
Katekese Umat. Katekese yang berjalan di Indonesia sesuai dengan sharing
89
pengalaman para peserta PKKI I sangat dirasakan tergantung kepada pejabat Gereja.
Kegiatan Katekese yang berjalan tidak sangat bergantung kepada klerus antara lain
terjadi di pedalaman Kalimantan dan Irian Jaya. Keterlibatan umat mulai di rasakan
disana. Keterlibatan yang terjadi disana walaupun dipicu oleh kurangnya tenaga
imam hal ini memunculkan ide bagaimana keterlibatan umat dapat digalakkan.
Kesadaran akan keterlibatan umat lebih mendapat tempat. Katekese yang
berpola hirarkis mulai direlativir. Dua pembicara di dalam pertemuan tersebut
menyadarkan arah dan memunculkan gagasan tentang Katekese dengan pola baru.
Pembicara pertama Rm. Setyakarjana muncul dengan bahannya yang bertema “
Mencari arah Katekese dalam Gereja yang berkembang di Indonesia”. Peserta dengan
bahan pembicaraan tersebut menjadi yakin akan suatu arah dan pola baru. Sebuah
ceramah disampaikan oleh Rm. Hardawiryana dengan judul “Katekese dan teologi”.
Ceramah yang didengarkan oleh peserta dan diskusi yang dilakukan mereka
memunculkan gagasan Katekese yang melibatkan seluruh umat (Lalu, 2005: 61).
b. Arti dan makna Katekese Umat dalam PKKI II
Kesimpangsiuran mengenai Katekse Umat yang telah dicanangkan itu terjadi
di setiap keuskupan. Pola Katekese Umat mulai dicoba. Ide dan praktek Katekese
Umat mulai berjalan. Kesimpangsiuran itu disebabkan karena belum begitu jelasnya
seluk beluk Katekese Umat itu sendiri. Selain itu Katekese Umat sebagai hal baru
yang hendak merubah wajah Gereja lokal dirasa menggangu stabilitas Gereja
institusional. Untuk semakin memperjelas mengenai keberadaan Katekese Umat
maka diadakan PKKI II. Dalam pertemuan tersebut dirumuskan arti dan makna
Katekese Umat (Lalu, 2005: 4).
90
c. Peranan pembina Katekese Umat dalam PKKI III
Perkembangan Katekese Umat dapat terjadi dengan menggembirakan.
Keberhasilan Katekese Umat dalam pelaksanaannya tergantung pada pembinanya.
Perkembangan yang demikian membuat PKKI III menampung dan
mengkomunikasikan gagasan praktis pembinaan pembina Katekese Umat.
Pembinaan itu menekankan pada pembinaan keterampilan juga tidak melupakan segi
pengetahuan dan kepribadian (Lalu, 2005: 7).
Pembinaan yang digagas dalam PKKI III menyangkut keterampilan dan
unsur pokok pembinaan. Suatu hal yang berkait dengan arti dan makna pembina telah
panjang lebar diuraikan pada bagian terdahulu. Pembinaan keterampilan pembina itu
seperti yang telah disebut pada bagian terdahulu. Pembinaan itu pada keterampilan
berkomunikasi dan berefleksi. Unsur pokok yang perlu dalam pembinaan pembina
Katekese Umat ialah menyadari pengalaman hidup, menyadari pengalaman iman,
menyadari komunikasi dengan tradisi Kristiani dan menyadari arah keterlibatan baru
(Lalu, 2005: 8-9).
Usaha peningkatan pembina Katekese Umat memang banyak mengalami
hambatan. Hambatan itu antara lain pemahaman yang kurang tentang Katekese Umat
itu sendiri, sarana yang kurang situasi geografis yang sulit dan lain sebagainya.
Namun demikian usaha peningkatan kualitas pembina Katekese Umat tetap terus
dilakukan. Kekurangan yang ada hanya akan menyurutkan niat dan usaha kita. Agar
kita selalu bersemangat kiranya dapat melihat beberapa hal yang mendukung.
Pendukung itu antara lain datang dari pimpinan Gereja dan lembaga kateketis dan
pastoral. Dukungan itu juga nyata dengan adanya barisan pembina Katekese Umat
yang terus dibina. Diharapkan pembina Katekese Umat semakin berkualitas. Umat
91
dapat meresapi pengalaman hidup sehari-hari dengan terang Injil, Kerajaan Allah
semakin nyata dalam hidup sehari-hari dan Gereja menjadi sungguh hidup (Lalu,
2005: 7).
d. Iman umat yang terlibat dimasyarakat dalam PKKI IV
Katekese Umat mulai dapat membuat umat berbicara. Umat menyadari bahwa
mereka berhak untuk bersuara. Persaudaraan dalam Gereja dipererat oleh Katekese
Umat. Persaudaraan itu masih pada lingkup pelataran Gereja. Persaudaraan yang
demikian berarti belum meluas pada masyarakat. Langkah dan usaha memprluas
persaudaraan di dalam masyarakat mulai difikirkan pada PKKI IV (Lalu, 2005: 12).
Iman yang terlibat dalam masyarakat ialah iman yang ditandai dengan sikap
sederhana memperhatikan lingkungan. Iman yeng memasyakat ialah iman yang
bercorak misioner. Hal ini berarti memberi perhatian pada yang lemah
mendampinginya dalam kesulitan. Perjuangan terhadap kelestarian lingkungan dan
kekayaan alam juga menjadi makna iman yang memasyarakat. Arti lain dari iman
yang memasyarakat ialah pertimbangan-pertimbangan institusional tidak dibiarkan
membelenggu kebebasan Injili. Iman yang telibat dalam masyakat juga menentukan
tentang keterlibatan macam apa serta sektor mana yang menjadi prioritas
keterlibatannya (Lalu, 2005: 13-14).
Iman yang terlibat dalam masyarakat harus dapat diwujudkan dengan
Katekese Umat. Katekese Umat hendaknya peka dengan permasalahan yang terjadi di
segala bidang. Bidang-bidang yang dimaksudkan adalah sosial, ekonomi politik,
budaya, pendidikan, kelestarian alam dan modernisasi. Peka terhadap permasalahan
di setiap bidang memerlukan analisis sosial (Lalu, 2005: 14).
92
e. Manfaat ansos dan kedudukan Kitab Suci untuk Katekese Umat dalam
PKKI V
Katekese Umat dari PKKI I Ke PKKI V perkembangannya tidak lagi
membangun ke dalam tetapi membangun ke luar. Katekese Umat melihat keluar.
Analisis sosial dalam Katekese Umat bermanfaat untuk membantu melihat masalah
di luar secara lebih dalam dan luas. Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk
dalam segala hal. Masyarakat miskin cenderung tersingkir. Hal ini disebabkan oleh
struktur sosial yang ada. Struktur itu bahkan membuat masyarakat menjadi miskin.
Kesenjangan sosial sangat besar antara yang kaya dan miskin. Salah satu masalah
yang dapat dilihat itu merupakan masalah penghayatan iman. Di sinilah letak peranan
Katekese Umat dengan analisis sosialnya. Dimensi sosial sungguh disadari dan
dimiliki oleh umat (Lalu, 2005: 17).
f. Penggalakan karya Katekese Umat dalam PKKI VI
Katekese Umat dalam PKKI VII akan digalakkan. Tema yang diangkat pada
PKKI VI adalah “ Menggalakkan karya Katekese di Indonesia”. Kiranya dengan
tema tersebut bertujuan untuk lebih baiknya pelaksanaan Katekese Umat yang dicita-
citakan. Pokok-pokok pembicaraan yang menunjang penggalakan karya Katekese
antaralain tentang pembangunan jemaat berorientasi Kerajaan Allah, peranan Kitab
Suci dalam ansos dan tentang tugas serta spiritualitas pembina (Lalu, 2005: 24).
Jemaat dengan orientasi Kerajaan Allah ialah jemaat yang bersandar pada
Bapa, yang menghormati otonomi dunia, yang menjalankan diakonia, yang
bekerjasama dengan semua orang yang berkehendak baik, yang tabah dan bertobat
terus-menerus. Peranan Kitab Suci adalah sebagai sakramen Allah yang berfirman,
93
Allah hadir dalam sejarah yang terdapat dalam Kitab Suci, pengalaman kabar baik
dirumuskan, pengalaman itu diungkapkan dalam hidup baru. Tugas dan spiritualitas
pembina Katekese Umat ialah tugas dan spiritualitas Yesus sendiri (Lalu, 2005: 24-
30).
g. Katekese Umat dan KBG dalam PKKI VII
Kelompok basis Gerejani mulai terbentuk. Umat kelompok kategorial dan
teritorial menyebut diri mereka sebagai kelompok basis Gerejani. Peranan dan
maknanya yang dimiliki tidak sama di setiap tempat. Umat yang berada di dalam
kelompok teritorial berbasis masyarakat jika seluruhnya Katolik. Anggotanya jika
demikian adalah warga RW, warga RT atau warga wilayah dan warga lingkungan.
Umat yang berada di dalam kelompok minoritas basisnya berdasarkan suku atau
pendatang. Anggotanya adalah orang-perorang atau keluarga yang tinggal terpencar-
pencar. Komunitas basis Gerejani mempunyai wujud yang khas. Komunitas basis
Gerejani adalah persekutuan yang senantiasa bertumbuh, berkembang dan berada di
tengah perjalanan (Lalu, 2005: 32-33).
PKKI VIII lebih lanjut mengambarkan tentang komunitas basis gerejani. Ada
beberapa ciri khas yang dimiliki oleh kominitas basis gerejani. Ciri-ciri tersebut ialah
komunitas relatif kecil, didasari pada firman Allah, berorientasi pada kaum kecil,
terbuka, menghayati pola hidup alternatif dan memberdayakan umat awam (Lalu,
2005: 33-34).
Katekese Umat diharapkan dapat menunjang keberadaan kelompok basis
gerejani. Umat dengan Katekese Umat dihantar untuk berkomunitas. Visi dan misi
komunitas yang diharapkan diperjelas dengan Katekese Umat. Ketekese Umat
94
membantu anggota komunitas memahami dan mempraktekkan kepemimpinan yang
partisipatif dalam pembangunan komunitas itu sendiri (Lalu, 2005: 34-35).
h. Pengupayaan Katekese Umat untuk membangun KBG yang kontekstual
dalam PKKI VIII
KBG dalam PKKI VII telah digagas. Pengertian mengenai hal itu telah
diuraikan diatas. PKKI VII menguraikan apa itu yang dimaksud dengan KBG. Ciri
yang menegaskan tentang keberadaan KBG juga telah disebutkan di atas, untuk
memperjelas pengertian KBG serta membedakan dengan kelompok-kelompok yang
lain yang ada.
KBG yang telah digagas tersebut kemudian dievaluasi. Terdapat beberapa hal
yang diketahui dari hasil evaluasi tersebut. KBG ternyata masih berkutat pada hal
Gerejani. Dimensi kemasyarakatn yang ada belum dapat disentuh. Daya transformstif
belum ditampakkan oleh KBG. Cara hidup menggereja yang baru diharapkan dengan
keberadaan KBG. Masyarakat dihantar untuk menuju indonesia baru. Oleh sebab itu
KBG yang memiliki dimensi sosial kemasyarakatan perlu dibangun. KBG yang
kontekstual perlu diusahakan. PKKI VIII diadakan untuk mengusahakan hal itu
(Lalu, 2005: 36).
Untuk membangun KBG yang kontekstual beberapa hal diutarakan. Salah
satunya diungkap mengenai Gereja yang berdimensi kemasyarakatan. Gereja yang
berdimensi kemasyarakatan ialah perbuatan iman yang ditonjolkan di dalam
masyarakat. Iman yang sungguh diwujudnyatakan itu tidak hanya dalam hal rohani
seperti berdoa dan hanya pergi ke Gereja. Hal-hal lain banyak yang dapat dilakukan
dalam segala bidang seperti politik, sosial dan ekonomi (Lalu, 2005: 37-41).
95
Katekese Umat mengupayakan KBG berdimensi kemasyarakatan serta dapat
diwujudkan dalam hidup sehari-hari. Pendekatan problem kehidupan digunakan
karena terdapat spriritualitas pembebasan serta teologi politik pembebasan. Katekese
Umat tidak hanya menyadarkan tetapi membuat orang bertindak. Pendekatan
problem kehidupan yang digunakan membuat Katekis sebagai pembina menjadi
pemerhati atau paling tidak orang yang bersolider. Pendekatan problem kehidupan
menciptakan tiga kelompok dalam masyarakat. Kelompok itu jika disebutkan antara
lain korban, pemerhati dan pelaku. Spriritualitas keterlibatan dan teologi politik
pembebasan yang digunakan hendak memberdayakan. Permasalahan dihadapi
dengan yang daya besar. Hal ini seperti Kristus yang menghadapi sengsaraNya
dengan teguh hingga ke puncak Golgota (Lalu, 2005: 42-43).
4. Model-model Katekese Umat
Model-model Katekese Umat dalam skripsi ini menunjukkan titik awal
pendalaman iman. Model-model Katekese Umat terdiri dari model pengalaman
hidup, model biblis dan model campuran. Setiap model memiliki langkah-langkah
rinci mulai dari pengungkapan pengalaman hidup, pendalaman iman Kitab Suci
sampai pada aplikasi dalam situasi konkret hidup peserta.
a. Model pengalaman hidup
Katekese Umat dengan model pengalaman hidup bertitik tolak dari
pengalaman hidup peserta (Sumarno, 2005: 11). Katekese Umat berangkat dari
situasi hidup peserta. Situasi hidup peserta menjadi titik tolak pembicaraan di dalam
Katekese Umat. Kemudian situasi hidup itu diterangi oleh pengalaman iman dari
96
Kitab Suci. Untuk lebih jelasnya mengenai model pengalaman hidup berikut ini
adalah langkah-langkah Katekese Umat dengan model pengalaman hidup:
1) Pembukaan
Langkah ini berisikan lagu dan doa pembukaan yang sesuai dengan tema yang
diangkat dalam pertemuan. Pendamping mengingatkan dan menghubungkan dengan
tema-tema yang sudah dibahas dalam pertemuan sebelumnya (Sumarno, 2005: 11).
Kekhasan dari langkah ini adalah sebagai proses pembukaan, memaparkan apa yang
akan dilakukan atau sebagai langkah pengenalan terhadap hal yang akan dibicarakan.
Tujuan yang hendak dicapai dalam langkah ini adalah untuk mempersiapkan proses
agar berjalan dengan baik. Peserta pada langkah ini sudah mulai dikondisikan untuk
dapat mengikuti pendalaman iman yang akan berlagsung.
2) Penyajian suatu pengalaman hidup
Pengalaman hidup selanjutnya diungkapkan. Pengalaman yang diungkap
adalah pengalaman konkret yang sungguh dialami oleh umat. Juga harus ada
kesesuaian dengan tema yang diangkat dalam pertemuan. Pengalaman yang disajikan
dapat diambil dari surat kabar atau cerita yang relevan bagi peserta (Sumarno, 2005:
11). Yang menjadi kekhasan pada langkah ini adalah mengungkapan pengalaman
hidup. Tujuan dari langkah ini adalah dengan pengungkapan pengalaman hidup dapat
mengetahui permasalahan dan kepriatinan hidup peserta. Katekekis berperan
menciptkan suasana terbuka untuk pengungkapan pengalaman hidup. Katekis
membuat peserta berani untuk berbicara saat pertemuan dengan cara bertanya kepada
peserta dengan pertanyaan yang mudah untuk dijawab hingga degan demikian umat
97
menjadi berbicara. Peserta dibuat untuk membuka dirinya mengungkapkan
pengalaman hidupnya. Peserta tidak hanya pasif tetapi juga aktif dengan mau
menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh katekis yang memandu jalannya
pertemuan.
3) Pendalaman pengalaman hidup
Peserta diajak untuk mangaktualisasikan pengalaman itu dalam situasi hidup
nyata. Biasanya terjadi dalam kelompok kecil dengan pertanyaan-pertanyaan
pendalaman yang merangsang peserta mengambil bagian dalam sikap moral konkret
sesuai dengan tema untuk hidup sehari-hari (Sumarno, 2005: 11). Kekhasan pada
langkah ini ialah terjadi pengolahan terhadap pengalaman hidup yang aktual.
Pengolahan itu menjadi sebuah refleksi atas pengalaman hidup peserta. Tujuan dari
langkah ini adalah ditemukannya makna yang lebih baik dari pengalaman hidup yang
telah dilalui. Katekis membantu peserta dalam pengolahan dengan pertanyaan
pertanyaan yang bersifat interpretatif.
4) Rangkuman pendalaman pengalaman hidup
Langkah ini menyajikan pandangan umum dari sikap-sikap yang dapat
diambil oleh peserta berhubung dengan tema dalam penyajian pengalaman hidup.
Rangkuman yang disampaikan, Juga disesuaikan dengan teks Kitab Suci atau tradisi
yang hendak dipakai dalam langkah berikutnya (Sumarno, 2005: 11). Kekhasan pada
langkah ini penentuan sikap hidup sesuai dengan iman dan tradisi Kristiani. Tujuan
dari langkah ini adalah membentuk sikap hidup ketika seseorang menghadapi suatu
permasalahan. Katekis pada langkah ini berperan agar peserta dapat menentukan dan
98
menemukan serta dapat memiliki sikap hidup yang sesui dengan iman dan tradisi
Kristiani.
5) Pembacaan Kitab Suci atau Tradisi Gereja
Peserta dibagikan teks Kitab Suci yang digunakan. Pertanyaan juga dibagikan
kepada peserta. Pertanyaan sekitar tema dan hal-hal yang mengesan dan pesan inti
teks. Teks dibaca dan direnungkan serta direfleksikan dengan bantuan pertanyaan
(Sumarno, 2005: 11). Kekhasan pada langkah ini adalah peserta sungguh
menggunakan inderanya mendengar dan melihat. Tujuan dari langkah ini adalah
penyampaian tradisi Kristiani. Peran katekis adalah membuat suasana agar
penyampaian tradisi Kristiani dapat ditangkap oleh umat dengan baik. Peserta perlu
mendengar teks yang dibaca dengan cermat dan juga melihat ayat demi ayat dengan
ikut membacanya.
6) Pendalaman teks Kitab Suci atau Tradisi
Peserta mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah direnungkan.
Pendamping membantu peserta untuk mencari dan mengungkapkan pesan inti
menurut mereka sehubungan dengan tema. Pesan inti teks untuk dapat diungkap
dengan baik dan obyektif maka pendamping harus membaca beberapa buku referensi.
Suasana terbuka diciptakan oleh pendamping guna pengungkapan tafsiran Kitab Suci
dari peserta (Sumarno, 2005: 12). Kekhasan dari langkah ini adalah adanya
interpretasi teks Kiitab Suci yang disajikan terhadap pengalaman hidup peserta.
Tujuan yang hendak dicapai adalah agar nilai-nilai Kristiani meresap dalam
kehidupan umat.
99
7) Rangkuman pendalaman teks Kitab Suci
Pesan inti yang telah diungkap peserta digabungkan dengan pesan yang
disampikan pendamping. Pandamping memberi masukan dari persiapan yang telah
dilakukan sebelumnya. Masukan itu dibatasi pada pesan pokok yang dapat
dimengerti oleh peserta sesuai dengan tema (Sumarno, 2005: 12). Yang menjadi
kekhasan dari langkah ini adalah penggunaan sarana-sarana buku penunjang agar
kekayaan input dapat diberikan kepada peserta. Tujuan dari langkah ini inpirasi yang
kaya dapat ditimba untuk perjalanan hidup umat.
8) Penerapan dalam hidup konkret.
Peserta diajak untuk mengambil beberapa kesimpulan praktis sehubungan
dengan tema untuk hidup pribadi menggereja dan bermasyarakat. Peserta dengan
hening diajak juga merenungkan dan mengumpulkan buah-buah pribadi dari
pertemuan itu (Sumarno, 2005: 12). Yang menjadi kekhasan langkah ini adalah segi
praksis kehidupan beriman sungguh disentuh. Tujuannya adalah Peserta diajak untuk
berbuat sesuai dengan nilai-nilai dan tradisi Kristiani.
9) Penutup
Penutup pertemuan dimulai dengan mengungkapkan doa-doa spontan sebagai
buah-buah pertemuan atau doa umat yang lain. Pandamping mengakhiri dengan doa
penutup yang merangkum keseluruhan tema dan tujuan pertemuan. Selanjutnya
diakhiri dengan suatu doa dan nyanyian yang sesuai dengan tema (Sumarno, 2005:
12). Kekhasan langkah ini merupakan akhir dari seluruh proses pendalaman iman.
Tujuannya adalah menutup seluruh proses pemdalaman iman.
100
b. Model Biblis
Katekese Umat dengan model Biblis bertitik tolak dari pengalaman Kitab
Suci atau tradisi (Sumarno, 2005: 11). Katekese Umat berangkat dari pengalaman
Kitab Suci dan tradisi, dua hal itu menerangi situasi hidup peserta. Untuk lebih
jelasnya mengenai model Biblis berikut ini adalah langkah-langkah Katekese Umat
dengan model Biblis:
1) Pembukaan
Lagu yang diangkat hendaknya disesuaikan dengan tema Kitab Suci atau
tradisi yang ditentukan dalam pertemuan pendalaman iman. Tema yang disajikan
dihubungkan dengan tema pertemuan yang sebelumnya (Sumarno, 2005: 12).
Kekhasan dari langkah ini adalah memaparkan apa yang akan dilakukan atau sebagai
langkah pengenalan terhadap hal yang akan dibicarakan. Tujuan yang hendak dicapai
dalam langkah ini adalah untuk membuka proses pendalaman iman agar berjalan
dengan baik. Peserta megalami pengkondisian untuk dapat mengikuti pendalaman
iman.
2) Pembacaan Kitab Suci atau Tradisi
Peserta membacakan kutipan yang dipilih langsung dari Kitab Suci. Agar
mempermudah proses selanjutnya teks diperbanyak. Kemudian diluangkan waktu
untuk hening merefleksikan pertanyaan yang diberikan (Sumarno, 2005: 13). Yang
menjadi kekhasan langkah ini adalah terjadi penyampaian teks Kitab Suci dan tradisi
Kristiani. Tujuannya teks Kitab Suci yang menjadi sentral dari model ini sungguh
dipahami.
101
3) Pendalaman teks Kitab Suci atau Tradisi
Di dalam kelompok kecil peserta dapat melakukan hal ini, dengan
membagikan hasil jawaban atas pertanyaan yang diberikan. Pendamping kemudian
merangkum hasil yang diungkapkan peserta. Rangkuman jawaban itu dihubungkan
dengan apa yang dipersiapkan pendamping. Peserta dengan demikian diperkaya
sebab yang disampaikan pendamping berasal dari berbagai sumber. Isi dan pesan teks
disampikan dengan relevan oleh pendamping sebagai narasumber (Sumarno, 2005:
12-13). Kekhasan dari langkah ini adalah pengungkapan hasil permenungan sebagai
bentuk dari pengolahan terhadap teks Kitab Suci dan tradisi Kristiani. Permenungan
yang disampaikan itu diperkaya dengan bahan-bahan dari buku-buku. Tujuan dari
langkah ini adalah menampilkan kepada peserta pesan teks Kitab Suci.
4) Pendalaman Pengalaman Hidup
Langkah ini memungkinkan peserta menghubungkan pesan teks dengan
pengalaman hidupnya sesuai dengan tema seperti yang terdapat dalam peristiwa
dalam budaya setempat, dalam hidup bermasyarakat, menggereja, berkeluarga,
bekerja dan belajar (Sumarno, 2005: 13). Kekhasan langkah ini adalah aktualisasi
nilai dan tradisi Kristiani terhadap hidup umat. Tujuan dari langkah ini adalah refleksi
terhadap pengalaman hidup yang diterangi oleh pengalaman alkitabiah.
5) Penerapan dalam hidup peserta
Refleksi dan memikirkan langkah konkret dalam hidup sehari-hari merupakan
proses yang dilakukan peserta pada langkah ini. Semangat kekuatan dan jiwa dari
pesan teks diwujudkan (Sumarno, 2005: 13). Kekhasan langkah ini adalah menyusun
102
sebuah rencana konkret. Tujuannya agar apa yang telah didapatkan dalam
pendalaman iman dapat diterapkan dalam hidup sehari-hari. Pendamping
mengarahkan agar peserta dapat menyusun rencana konkretnya, hambatan dan
tantangan untuk mewujudkan niat dibicarakan bersama.
6) Penutup
Merupakan reflesi pribadi tentang kesulitan untuk mewujudkan pesan teks,
sarana apa saja yang diperlukan, dan apa saja yang menunjang perwujudan itu di
dalam Gereja dan masyarakat. Kemudian pertemuan ditutup dengan doa-doa spontan
dan diakhiri oleh pendamping dengan doa yang merangkum seluruh jalannya
pertemuan (Sumarno, 2005: 13).
c. Model campuran
Katekese dengan model ini merupakan campuran dari model pengalaman
hidup dan model Biblis. Langkah-langkah yang terjadi di dalamnya adalah perpaduan
antara model biblis dan model pengalaman hidup. Untuk memperjelas tentang model
katekese ini berikut penulis sampaikan uraiannya
1) Pembukaan
Mengungkapkan pokok-pokok tema pertemuan dan menghubungkan dengan
tema-tema pertemuan yang sebelumnya. Lagu yang diangkat disesuaikan dengan
tema pertemuan yang dibahas (Sumarno, 2005: 13). Kekhasan langkah ini sebagai
introduksi. Tujuannya untuk memulai pendalaman iman. Peserta diajak oleh katekis
untuk masuk dalam suasana pendalaman iman.
103
2) Pembacaan teks Kitab Suci dan Tradisi
Pembacaan teks dilakukan secara langsung dari Kitab Suci. Jika perlu
pembacaan dapat dilakukan sekali lagi oleh pendamping. Kemudian disediakan
waktu hening untuk merenungkan teks yang dibacakan (Sumarno, 2005: 13).
Pembacaan menjadi kekhasan langkah ini. Sabda Allah diperdengarkan kepada
peserta. Tujuannya agar peserta mengetahui tentang teks yang dipilih dalam
pendalaman iman itu.
3) Penyajian pengalaman hidup
Penyajian dapat dilakukan dengan media komunikasi seperti koran, majalah,
slide video dan lain-lain. Hal ini bertujuan agar peserta terangsang untuk
menanggapinya (Sumarno, 2005: 13). Kekhasan langkah ini adalah pengungkapan
pengalaman hidup. Tujuannya untuk mengetahui keprihatinan dan permasalahan apa
yang sedang dihadapi oleh umat.
4) Pendalaman pengalaman hidup dan teks biblis atau Tradisi
Peserta mengungkapkan pesan dan kesannya. Peserta mencari apa yang
obyektif dalam pengalaman tadi. Peserta diajak menemukan sendiri tema dan pesan
pokok dari penyajian tadi. Peserta merefleksikan dan menganalisa pesan itu untuk
hidup sehari-hari dalam hubungannya dengan teks. Kesimpulan disampaikan
pendamping dan jika mungkin langkah konkret difikirkan bersama. (Sumarno, 2005:
14). Kekhasan pada langkah ini peserta menemukan pesan teks bagi hidupnya, bagi
permasalahan yang sedang diadapi. Tujuannya agar peserta dapat memperoleh
inspirasi hidup dari teks Kitab Suci.
104
5) Penerapan meditatif
Menghubungkan pengalaman konkret dengan teks Kitab Suci. Diharapkan
peserta dapat menarik pelajaran nyata dalam hidup berkeluarga, menggereja dan
masyarakat (Sumarno, 2005: 14). Kakhasan langkah ini adalah menerapkan apa yang
telah didapatkan dalam pendalaman iman sebagai sebuah pelajaan hidup. Peserta
dapat menerapkan nilai dan tradisi Kristiani dalam hidupnya.
6) Evaluasi singkat
Evaluasi dilakukan terhadap isi, tema, langkah-langkah dan proses yang
berlangsung dalam pertemuan. Harapannya ialah pertemuan selanjutnya dapat
menjadi lebih baik dan lebih relevan dengan kebutuhan dan aspirasi peserta
(Sumarno, 2005: 14). Kekhasan pada langkah ini menjadi proses melihat kembali apa
yang telah dibuat.
7) Penutup
Suasana hening dibentuk sebagai awal. Kemudian diungkapkan doa-doa
spontan dari peserta. Kemudian katekis mengakhiri dengan doa penutup yang
merangkum jalannya pertemuan (Sumarno, 2005: 14). Langkah ini bertujuan
mengakhiri pertemuan pendalaman iman. Peserta dengan bagian penutup ini dapat
juga merasa diteguhkan dan merasa mendapat tugas perutusan.
C. TEMPAT KITAB SUCI DALAM KATEKESE UMAT
Katekese Umat merupakan komunikasi iman, iman yang dikomunikaskan
dapat dilhat, ditemukan, digali di dalam Kitab Suci. Oleh sebab itu tempat Kitab Suci
105
perlu diperhatikan dalam Katekese Umat. Untuk melihat bagaimana Kitab Suci
ditemptkan dalam Katekese Umat kita dapat melihat pemahaman terhadap hakikat
Kitab Suci, cara penafsirannya serta bagaimana cara Kitab Suci dipergunakan dalam
pendalaman iman. Berikut uraian mengenai bagaimana Kitab Suci ditempatkan
dalam Katekese Umat dilihat dari pemahaman, penafsiran dan penggunaannya serta
bagaimana mengenai pengalaman iman umat yang ada di dalamnya.
1. Pemahaman Hakekat Kitab Suci
Jika umat ditanya mengenai faham Kitab Suci akan diterima jawaban yang
beranekaragam. Kitab Suci dipahami umat bermacam-macam terkadang mereka
keliru memahami Kitab Suci. Pemahaman yang benar mengenai Kitab Suci di
kalangan umat awam biasanya dimiliki oleh pemuka jemaat, orang yang studi di
lembaga kateketik, dan orang yang pernah mengikuti kursus Kitab Suci, atau pihak
lain seperti orang-orang yang belajar di institut teologi.
a. Pemahaman yang keliru
Kitab Suci sering dipahami dengan pemahaman yang keliru. Kitab suci yang
memuat firman Allah perlu dijelaskan kepada umat hingga umat memiliki
pemahaman yang benar (Lalu, 2005: 96). Pemahaman yang ada antara lain Kitab
Suci dilihat sebagai buku sejarah. Manusia melihat sejarah keberadaan diri berdasar
Kitab Suci dengan mengambil data historis di sana. Kitab Suci dipahami sebagai
seperangkat pranata sosial, sementara kemajemukan agama menjadi ciri yang ada di
dalam masyarakat. Akhirnya manusia tidak mengerti sejarah hidupnya yang obyektif
dan terjebak dalam fanatisme.
106
b. Kitab Suci sebagai kitab iman
Pemahaman yang benar mengenai Kitab Suci adalah sebagai “Kitab Iman”
(Lalu, 2005: 96-98). Pemahaman yang demikian akan memberi pengertian yang
berbeda, cara bersikap yang berbeda dan cara bertindak yang berbeda. Kitab Suci
sebagai kitab iman berarti bahwa Allah berkarya lewat pengalaman manusia. Sikap
hidup dengan pengertian demikian akan membuat orang selalu “Eling” kepada
Tuhan. Hal yang dilakukan dalam hidup seseorang akan merenung dan berefleksi.
Kitab iman yang memuat iman orang Israel kepada Yahwe disebut kitab
perjanjian lama. Perjalanan suku bangsa Israel dicatat dengan kaca mata iman.
Pengalaman hidup mereka sehari-hari menghantar pada Yahwe yang diimani. Mereka
berhadapan dengan alam kemudian mengimani bahwa alam diciptakan oleh Yahwe.
Pengalaman dengan sesama seperti peristiwa perang dan berbagai kejahatan membuat
mereka berfikir bahwa itu berasal manusia. Allah Yahwe tidak mungkin
menimbulkan kejahatan tetapi setanlah yang berbuat demikian. Keyakinan yang
demikian diiwariskan kepada anak cucu mereka. Ajaran yang diturunkan diyakini
dari Allah dan dipahami sebagai firman Allah. Roh Allah sendiri yang membuat
semuanya itu menjadi demikian. Roh Allah yang memberi ilham dan membimbing
lewat pengalaman hidup (Lalu, 2005: 96-97).
Satu lagi bagian dari Kitab Suci Kristiani yakni perjanjian baru. Kitab
perjanjian baru adalah sebuah cerita yang bertitik tolak dari Yesus Kristus. Hal ini
sama dengan kebiasaan kita yang sering bercerita tentang orang-orang yang
dikagumi, dikasihi, dicintai dan yang telah tiada. Kepercayaan dan cinta dengan
cerita diungkapkan secara tidak langsung. Yesus setelah kebangkitan Iapun menjadi
buah bibir banyak orang dan kisah hidupnya dituliskan (Lalu, 2005: 97-98).
107
Katekese Umat membangun iman jemaat. Iman umat Israel dan iman jemaat
perdana terhadap Yesus menjadi model beriman. Katekese Umat yang membangun
iman jemaat, arsitektur bangunan iman itu bersumber dari Kitab Suci. Iman umat
Israel dan iman jemaat perdana menjadi cerminan dalam penghayatan iman yang
diusahakan melalui proses Katekese Umat (Lalu, 2005: 98).
2. Cara Penafsiran Kitab Suci
Bagi umat katolik penafsiran Kitab Suci memang tidak sembarangan sebab
hal ini telah diserahkan sepenuhnya kepada hirarki. Untuk keperluan Katekese Umat
perlu menyikapi hal ini secara lain yakni umat juga diberi wewenang, pemahaman
yang dimiliki umat dipahami, serta tetap butuh bantuan dalam umat menafsirkan
Kitab Suci. Sikap yang demikian merupakan konsekuensi logis dari keterlibatan umat
hingga dengan demikian cita-cita Katekese Umat mengusahakan katekese dari umat,
oleh umat dan untuk umat dapat diwujudkan. Untuk dapat menafsirkan kitab suci
maka kiranya perlu beberapa prinsp yang harus diperhatikan antara lain.
a. Umat juga diberi wewenang
Panafsiran Kitab Suci bukan merupakan sebuah persoalan yang mudah. Umat
sudah terbiasa dengan ungkapan bahwa yang berhak menafsirkan Kitab Suci adalah
pejabat Gereja. Umat akhirnya menjadi takut untuk menafsirkan Kitab Suci. Umat
yang bernaung di bawah atap Gereja, kiranya dapat dipahami sikap yang demikian.
Penafsiran Kitab Suci dapat juga dilakukan oleh umat. Wewenang
menafsirkan Kitab Suci juga dimiliki oleh umat. Umat tidak hanya mendengarkan
saja apa yang dikatakan magisterium mengenai hasil telaah terhadap Kitab Suci.
108
Umat dapat menafsirkan Kitab Suci sebab Kitab Suci tidak ditulis pertama-tama tidak
hanya untuk magisterium tetapi untuk seluruh umat Allah. Kitab Suci menjadi
petunjuk hidup umat. Umat yang tua muda, besar kecil, kaya miskin hendaknya harus
mengetahui isinya. Pelaku utama penafsiran ialah seluruh umat Allah atau seluruh
Gereja. Perwujudan Gereja paling dasar adalah komunitas Katekese Umat hingga
dengan demikian memiliki hak menafsirkan Kitab Suci. Umat yang juga memiliki
wewenang dalam menafsirkan Kitab Suci tidak dengan sesuka hati berbuat itu.
Terang Roh kudus membimbing dalam menafsirkan Kitab Suci. Penafsiran yang
dibuat jemaat bersifat dialogal. Mereka saling membagi dan memahami pemahaman
masing-masing sebab pluralitas yang ada pada umat (Lalu, 2005: 99).
b. Pemahaman umat dihargai
Allah menyapa manusia melalui pangalaman hidupnya. Pengalaman hidup itu
dimiliki oleh umat Allah. Di dalam pengalaman itulah Kitab Suci sungguh dapat
dipahami. Pemahaman yang sungguh baik dalam arti sesuai dengan realitas hidup.
Umat yang memilki pengalaman itu kiranya lebih sesuai jika umat sendirilah yang
menafsirkan Kitab Suci. Pengalaman hidup berkeluarga misalnya dapat diterangi dari
pengalaman alkitabbiah. Jika hal ini dipahamami oleh umat yang mengalami hidup
berkeluarga, maka umat dapat banyak berbicara dibandingkan dengan seorang imam
yang berbicara tentang hidup berkeluarga. Oleh sebab itu penafsiran Kitab Suci yang
dilakukan oleh umat kiranya lebih otentik (Lalu, 2005: 100-101).
Umat dalam menafsirkan Kitab Suci harus tetap obyketif, pesan Kitab Suci
yang diambil sesuai dengan maksud pengarang. Proses ini memiliki kesulitan sendiri.
Umat yang menafsirkan demikian perlu mempertanyakan maksud dari teks.
109
Pengertian dan makna dari teks secara obyektif harus dipahami. Hal ini mencegah
agar penafsiran Kitab Suci tidak subyektif. Pengalaman hidup umat di dalamnya
terdapat berbagai macam peristiwa hidup yang dialami. Pengalaman itu diterangi oleh
pengalaman iman di dalam Kitab Suci. Penafsiran Kitab Suci yang subyektif bukan
berarti menjadi pembenaran atas berbagai peristiwa hidup itu. Kemampuan
menafsirkan Kitab Suci yang ada pada diri umat harus dihargai. Kemampuan
memahami pengertian walaupun secara minimal tetap ada di dalam diri umat. Tuham
menganugerahkan pengertian yang sepadan dengan kebutuhan dan tugas umat (Lalu,
2005: 101).
c. Tetap perlu adanya bantuan
Komunitas Katekese Umat yang menafsirkan Kitab Suci dapat terjadi
kesalahan. Terang Roh Kudus yang membimbing mendapat tempat di sini. Penafsiran
komunitas Katekese Umat dilakukan bersama-sama di dalam Gereja. Kepastian dari
penafsiran itu adalah kepastian orang-orang yang mendengarkan firman dengan iman
dan pendengaran mereka dilatih berulang-ulang.
Kesalahan yang terjadi ialah orang kurang percaya akan karya Roh Kudus
pada orang kecil dan sederhana. Kesalahan lain dalam penafsiran itu terletak pada
tobat yang belum terjadi. Maka dengan demikian bantuan dalam menafsirkan Kitab
Suci tetap diperlukan. Bagaimana bantuan itu diberikan kepada umat dalam usahanya
untuk menafsirkan Kitab Suci. Bantuan ini membuat kontek, jenis sastra, dan maksud
pengarang Kitab Suci dapat dipahami (Lalu, 2005: 101-102). Hirarkis menjalankan
perannya dalam penafsiran bagi Katekese Umat dalam hal bantuan ini. Oleh sebab itu
peran hirarkis tetap ada dan tidak dilupakan.
110
3. Pengalaman Iman Umat dalam Kitab Suci
Kitab Suci merupakan kitab iman. Pengalaman hidup bangsa Israel menjadi
sejarah keselamatan seluruh umat manusia. Allah bersedia menyapa manusia dan
berbicara kapadanya agar manusia selamat. Kemudian sapaan dalam jalinan peristiwa
hidup bangsa Israel dirumuskan dalam Kitab Suci.
a. Allah berbicara kepada manusia
Kitab Suci adalah sabda Allah yang diperuntukkan bagi semua manusia. Allah
bersabda kepada manusia berarti juga Allah berbicara kepada manusia. Kepada
semua orang tidak saja bagi orang-orang tertentu. Oleh sebab itu tidak benar jika
orang Kristen beranggapan Kitab Suci hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu
(Richards, 1971: 3). Allah berbicara kepada manusia merupakan pengalaman iman
seluruh umat. Pengalaman seluruh umat diajak bicara oleh Allah merupakan sebuah
karunia. Umat Allah jadi mengenal AllahNya yang menyelenggarakan kehidupan.
Jalannya roda kehidupan seluruh manusia ialah prakarsa Allah. Kehidupan manusia
berjalan dengan arah yang telah ditentukan dan direncanakan. Keteraturan yang
ditemui di dalam kehidupan tidak lain karena adanya sebuah ketentuan. Sebuah
arahan ke depan yang mempunyai tujuan jelas maka di dalamnya terdapat sebuah
perencanaan. Allahlah sebagai pihak yang berada di balik semua itu. Seluruh orang
beriman harus menyadari keberadaan Allah yang berkarya di dalam hidup manusia.
Saat ini seseorang yang hendak menyadari keberadaan Allah yang berkarya ia harus
memulainya dari Kitab Suci dimana sabdaNya dituliskan.
Oleh sebab itu dalam kehidupan sehari-hari jika manusia beranggapan dapat
meninggalkan Kitab Suci itu adalah sebuah angapan yang salah. Banyak orang
111
menyangaka mereka dapat hidup dengan aman sentausa terlepas dari keberadaan
Kitab Suci. Anggapan yang demikian juga tidak benar (Richards, 1971: 3). Kitab
Suci hendaknya dipergunakan sebagai bahan permenungan atas peristiwa hidup
sehai-hari. Pengalaman hidup sehari-hari dterangi olah pengalaman iman Kitab Suci.
Pengalaman hidup yang sulit dan pahit dapat diatasi dengan mengambil inspirasi dari
Kitab Suci.
b. Jalinan peristiwa hidup
Allah berkarya di dalam hidup manusia melalui pengalaman sehari-hari atau
melalui peristiwa hidup. Peristiwa hidup Israel merupakan sebuah media karya Allah
atas diri manusia. Peristiwa hidup bangsa Israel disusun secara kronoligis dalam
Kitab Suci, sehingga manusia dapat melihat karya Allah yang tertuang dalam Kitab
Suci (Richards, 1971: 10). Maka dari itu kepekaann terhadap karya Allah yang
terjadi dalam hidup keseharian umat perlu untuk diasah dan dikembangkan.
Pertama-tama yang terjadi dalam perjanjian lama ialah sebuah peristiwa
keluarga 2000 tahun sebelum Yesus. Abraham dikisahkan secara historis oleh tradisi.
Janji Allah dikisahkan pada Abraham menjadi nyata, Abraham dan keturunannya
yang mengembara, sampai salah seorang sukunya pindah yakni Yusuf pindah ke
Mesir (Richards, 1971: 11).
Peristiwa keluarga kemudian berkembang menjadi peristiwa sekumpulan
umat atau menjadi sebuah bangsa. Mesir menjadi tempat perkembangannya.
Bertambahnya jumlah orang Israel di Mesir mengancam mereka diperbudak dan
terancam terpecah. Musa dengan gagah berani muncul sebagai pemimpin sebuah
bangsa yang mulai besar itu. Mereka keluar dari Mesir untuk menentukan nasib yang
112
lebih baik bagi bangsa mereka. Bagi bangsa diturunkan hukum Musa sebagai hukum
keagamaan dan hukum perdata (Richards, 1971: 11-12).
Dari keluarga yang Semit menjadi bangsa Seminomaden kini menjadi bangsa
yang berdaulat dan memiliki wilayah teritorial kekuasaannya. Tanah sebagai wilayah
teritorial diperoleh di bawah pimpinan Yosua. Kemudian oleh hakim-hakim
kepemimpinan dilanjutkan (Richards, 1971: 12).
Bangsa Seminomaden yang telah memiliki sebidang tanah sebagai tempat
tingal kini telah memiliki raja. Sebuah kerajaan terbentuk, kehidupan bangsa Israel
berjalan sebagaimana layaknya dinamika sebuah kerajaan dimulai dari kegemilangan
seorang raja, perpecahan kerajaan hingga ditaklukkan oleh kekuasaan Babilon yang
berujung pada pembuangan (Richards, 1971: 12-14).
Masuklah era baru yakni terbentuknya Gereja. Segala yang dimiliki tidak ada
di tanah pembuangan. Agama dihayati pada tingkat yang lebih dalam. Para nabi
membimbing mereka mewujudkan cita-cita dalam pembaharuan yang mereka
usahakan sekembalinya dari pembuangan. Hingga harapan mesianik ala bangsa
Yahudi tumbuh di hati mereka (Richards, 1971: 14-17).
Perjanjian baru akhirnya melukiskan gambaran Israel yang sebenarnya. Akhir
dari rencana Allah ialah sabdaNya menjadi manusia tempat Israel sebenarnya
dipersatukan. Setelah sebelumnya langit diciptakan, perjanjian Sinai diturunkan dan
para nabi menubuatkan tentang karya Allah bagi keselamatan manusia melalui
bangsa Yahudi (Richards, 1971: 17). Gambaran Israel yang sebenarnya bukan lagi
ditentukan oleh unsur nasionalisme. Israel sebenarnya adalah Kerajaan Allah yang
terwujud bagi seluruh umat manusia secara universal. Kristus dan seluruh
pengikutNya perwujudan akan hal itu.
113
4. Penggunaan Kitab Suci dalam Katekese Umat
Kitab Suci bukanlah sebuah buku yang mudah untuk ditelaah dan dipelajari.
Hingga dengan demikian menggunakan buku suci ini juga tidak mudah. Lalu
bagaimana menggunakan Kitab Suci yang usianya telah lebih dari dua ribu tahun itu.
Kitab Suci digunakan harus tetap relevan di setiap zaman. Pengalaman umat
perjanjian lama dan perjanjian baru dipergunakan untuk memberi inpirasi bagi
pengalaman hidup umat. Agar inspirasi didapatkan maka perlu proses analogi antara
pengalaman iman Kitab Suci dengan pengalaman hidup sehari-hari, hingga dengan
demikian harus dipertemukan kedua pengalaman itu di dalam proses pendalaman
iman.
a. Tetap relevan di setiap zaman
Penggunaan Kitab Suci dalam Katekese Umat harus sesuai dengan masa
sekarang. Teks-teks yang digunakan untuk Katekese Umat relevan pada saat ini.
Amanat Kitab Suci yang terdapat dalam teks memiliki daya kekuatan untuk
pewahyuan serta jawaban iman masa kini (Lalu, 2005: 105).
Kesatuan pandangan dan kesan teologis tetap disampaikan. Teks-teks yang
diambil tidak lepas dari keseluruhan hal itu. Fundamentalis dan simplisistik
membayangi jika teks terlepas dari keseluruhan pesan teologisnya yang relevan
dengan zaman (Lalu, 2005: 105).
b. Menganalogikan pengalaman
Pengalaman analogis diperhatikan dalam pemilihan teks Kitab Suci. Teks
yang mampu berbicara kepada situasi dipilih sesuai dengan situasi umat. Teks tetap
114
berbicara dalam keasliannya kepada peserta Katekese Umat. Pengalaman iman yang
direflesikan dan dikomunikasikan oleh Kitab Suci tetaplah dihargai. Pengalaman
Iman yang analogis akan banyak ditemukan bagi pengalaman hidup peserta Katekese
Umat di Indonesia.
Penggunaan secara profetis sesuai dengan situasi masyarakat. Tema teks
Kitab Suci yang analogis dengan situasi dapat diambil misalnya tema kekerasan,
diskriminasi ras dan etnis, keadilan sosial, penyalahgunaan agama untuk kepentingan
politik, dan kemiskinan. Selain tema, tokoh-tokoh juga dapat dianalogikan seperti :
Ibrahim, Ruth dan Naomi, Yunus, Maria, Petrus, dan Maria Magdalena, serta yang
lainnya (Lalu, 2005: 106).
c. Mempertemukan pengalaman
Penggunaan Kitab Suci ialah mempertemukan peserta dengan pengalaman
bukan dengan teks Kitab Suci. Seseorang dalam proses Katekese Umat membaca teks
Kitab Suci. Proses sebenarnya yang terjadi seseorang bertemu dengan pengalaman
Kitab Suci. Ada dua pengalaman yang dilihatnya yakni pengalaman hidup dan
pengalaman Kitab Suci. Orang dihantar untuk bertemu dengan Tuhan di balik teks
yang bercerita tentang pengalaman itu. Masuk dan menjadi bagian pengalaman Kitab
Suci merupakan tantangan yang dilakukan, sehingga mampu mendengar dan
menemukan bahwa pengalaman sekarang ini tidak lepas dari pengalaman alkitabiah
(Lalu, 2005: 106).
Pemaduan pengalaman peserta Katekese Umat dan pengalaman Kitab Suci
juga harus dilakukan dan Jembatan antara dua pengalaman itu hendaknya
diketemukan. Keterpaduan yang diharapkan adalah dapat terjadi keterkaitan antara isi
115
atau tema. Jika tema yang diambil adalah ketidakadilan teks yang dipilih juga
berbicara tentang keadilan. Keterkaitan antara pengalaman peserta Katekese Umat
dan pengalaman alkitabiah harus dipelihara. Segi afeksi menjadi titik perhatian. Pada
tema ketidakadilan itu peserta yang menggumuli pengalaman alkitabiah harus dapat
merasakan teguran, penerangan, peneguhan dan bermetanoia. Afeksi tidak dilupakan
karena mendorong proses Katekese Umat berkembang dan kemudian mengambil
keputusan untuk bertindak. Afeksi mendorong kemauan dan kehendak (Lalu, 2005:
107).
d. Sebuah contoh menggunakan Kitab Suci dalam persiapan Katekese Umat
Terdapat tiga langkah mempelajari teks guna mempersiapkan sebuah
renungan Kitab Suci untuk pendalaman iman. Metode ini merupakan sarana bantu
mempersiapkan sebuah renungan Kitab Suci. Kreatifitas tetap diperlukan dalam
penggunaan metode ini. Metode ini didukung dengan latihan-latihan serius dan
berbagai pengalaman nyata dalam kursus Kitab Suci. Metode ini memiliki tiga
langkah sebagai berikut (Leks, 1983: 77)
1) Membaca
Seseorang yang hendak mempersiapkan renungan Kitab Suci hendaknya
mempelajari teks terlebih dahulu. Mempelajari di sini lebih pada sebuah kegiatan
pengamatan teks. Pengamatan dilakukan dengan pertama-tama membaca terlebih
dahulu teks yang telah dipilih (Leks, 1983: 83-84).
Pengamatan terhadap teks menentukan kadar pemahaman dan penerpan teks
terhadap situasi hidup umat. Pengamatan terhadap teks sangat perlu dilakukan,
116
pengamatan itu untuk mengetahui apa yang dikatakan di dalam teks. Mempelajari
teks pada langkah yang pertama ini melihat di dalam teks para pelaku, konteks waktu
dan masalah yang terjadi. Hingga dengan demikian dapat mengerti arti dari teks.
Permenungan terhadap teks ketika disampaikan kepada umat saat pendalaman iman
memuat unsur obyektif (Leks, 1983: 84).
2) Mengartikan
Langkah kedua dalam mempersiapkan sebuah renungan yang akan digunakan
untuk pendalaman iman adalah mengartikan teks. Langkah mengartikan berbeda
dengan langkah sebelumnya. Pada langkah ini yang dipergunaan akal budi bukan
pertama-tama penglihatan (Leks, 1983: 120).
Dalam mengartikan teks dengan didahului langkah membaca akan hadir sang
penulis. Langkah ini bila dilakukan dengan seksama maka akan mempertemukan
orang yang mengartikan dengan sang penulis. Akan ditemukan suatu hal yang dulu
difikirkan penulis dan yang mendorong penulis dalam menulis teks tersebut.
Perhatian pokok penulis dapat ditangkap oleh orang yang mengartikan. Setelah pokok
perhatian penulis ditemukan maka yang selanjutnya menemukan arti keagamaan yang
dikaitkan penulis dengan apa yang ditulisnya. Perhatian orang yang mengartikan teks
bukan pada pikiran-pikirannya tetapi pada penulis dan teksnya (Leks, 1983: 120-
121). Oleh sebab itu dalam proses pengartian teks sang pengarti teks Kitab Suci
meninggalkan egonya.
Kemudian pengarti teks menentukan sejauh mana teks akan diartikan dan apa
saja sarana-sarana yang akan dipergunakan. Teks diartikan sejauh berguna dan
bermafaat untuk sebuah permenungan dalam pendalaman iman. Sarana yang
117
dipergunakan adalah sarana yang sudah ada dibantu dengan terang roh kudus, suara
Gereja, dan suara umat beriman, serta akal budi sendiri (Leks, 1983: 121-122).
Pembatasan telah dilakukan kemudian kembali pada pokok perhatian penulis
dalam terang masalahnya. Pengarti teks dapat melihat unsur dan bagian yang ada
dalam teks yang saling berkaitan dan dan saling menunjang (Leks, 1983: 122).
3) Merenungkan
Permenungan terhadap Kitab Suci agar dapat dilakukan dengan baik, langkah
selanjutnya yang dilakukan adalah menerapkan teks Kitab Suci yang direnungkan.
Menerapkan berarti teks kuno itu bersuara dalam kehidupan konkret dan
mengkonfrontasikan kehidupan sehari-hari dengan kebenaran dalam teks. Oleh sebab
itu pengetahuan dan pemahaman atas situasi hidup umat menjadi perlu (Leks, 1983:
133).
Menerapkan sebuah teks Kitab Suci sebagai sebuah bahan permenungan bagi
umat mempunyai pedoman yakni berisikan kabar baik. Teks menjadi berarti dalam
keadaan hidup umat. Pedoman yang kedua penerapan itu dapat
dipertanggungjawabkan berdasarkan teks suci. Pedoman ini berarti bahwa penerapan
yang dilakukan sejiwa dan seirama dengan batin sang penulis. Pedoman yang ketiga
ialah penerapan ditujukan kepada diri sendri. Penerapan yang dilakukan ketika
dihadapan umat pertama-tama dialamatan untuk diri sendiri. Penerapan jangan
dijadikan sarana membuka rahasia pribadi dan keluarga. Pedoman-pedoman lain
dalam penerapan misalnya penerapan itu konkret, relevan dan selalu dihayati dalam
hidup (Leks, 1983: 137-138).
BAB IV
SITUASI UMUM KATEKESE UMAT
DI LINGKUNGAN SANTO ANTONIUS PADUA PAROKI KALASAN
YOGYAKARTA
Katekese Umat adalah komunikasi iman yang dilakukan oleh umat.
Pelaksanaan Katekese Umat sungguh dapat ditemukan dalam kehidupan umat
Lingkungan santo Antonius Padua paroki Kalasan Yogyakarta, untuk mengetahui hal
itu secara mendalam dilakukan wawancara kepada warga lingkungan santo Antonius
Padua Paroki Kalasan Yogyakarta. Penelitian sederhana yang dibuat ini bertujuan
agar penerapan pokok pewartaan Paulus dalam Gal dapat menjawab kebutuhan umat.
A. TANGGAL DAN TEMPAT PENELITIAN.
Penelitian untuk mengetahui situasi umum Katekese Umat di Lingkungan
Santo Antonius Padua Paroki Kalasan Yogyakarta dilakukan pada tanggal 16 Juli
2007. Tempat penelitian dengan mewawancarai warga Lingkungan yang dilakukan di
setiap rumah umat.
B. RESPONDEN
Penentuan responden yang diwawancarai mengacu pada teknik yang
dikemukakan oleh Marsuki dalam bukunya Metodologi Riset, yaitu sampel Random
Sampling. Teknik Random Sampling adalah pengambilan sampel secara Random (se-
rampangan, tidak pandang bulu) yaitu cara pengambilan elemen-elemen dari populasi
sehingga setiap elemen mendapat kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi
119
anggota sampel. Jadi tidak pilih kasih/objektif (Marsuki, 1995 : 43). Penulis memilih
delapan responden, mereka adalah warga lingkungan yang biasa hadir dalam pen-
dalaman iman.
C. INSTRUMEN
Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara. Seperti yang diungkapkan oleh Sutrisno Hadi dalam bukunya
Metodologi Riset, bahwa salah satu fungsi wawancara untuk mengetahui kemantapan
dan kebenaran data (Sutrisno Hadi, 1973 : 226). Penulis mempergunakan instrumen
tersebut karena wawancara lebih tepat untuk penelitian sederhana yang dilakukan ini.
D. VARIABEL PENELITIAN
Variabel yang diteliti melalui instrumen pengumpulan data dengan
menggunakan wawancara adalah :
Tabel 1 : Variabel Penelitian
Variabel Nomor Item Jumlah Keadaan umat 1,2,3 3 Penggunaan Kitab Suci 4 1 Langkah-langkah katekese umat 5 1 Peserta katekese Umat 6,7 2 Pendamping Katekese Umat 8,9 2 Sarana Katekese Umat 10 1 Harapan pelaksanaan Katekese Umat 11 1
Jumlah total item 11 11
E. HASIL PENELITIAN
Setelah dilakukan wawancara terhadap warga Lingkungan santo Antonius
Padua paroki Kalasan Yogyakarta untuk mengetahui pelaksanaan Katekese Umat di
120
sana, maka berkut ini disampaikan hasilnya. Lapaoran hasil wawancara yang
disampaikan sesuai dengan variabel penelitian yang ingin dilihat.
1. Keadaan Umat
Keadaan umat yang dilaporkan ini penulis maksudkan sebagai identitas
responden. Responden yang diwawancarai adalah warga Lingkungan santo antonius
Padua paroki Kalasan, identitas yang perlu diungkapkan antaralain jumlah umat,
mata pencaharian, dan batas-batas wilayah serta luas lingkungan.
Jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 8 orang.responden pria
sebanyak 5 orang dan responden wanita sebanyak 3 orang dengan perincian sebagai
berikut: pensiunan 2 orang, ibu rumah tangga 3 orang. Terakhir yang bekerja
sejumlah 3 orang sebagai pegawai suwasta.
a. Jumlah Umat
Lingkungan santo Antonius Padua memiliki warga sebanyak 78 jiwa, terdiri
dari 24 KK, bapak-bapak sejumlah 24 orang dan ibu-ibu sejumlah 24 orang, mudika
18 orang, anak-anak sebanyak 10 orang, dan kaum lanjut usia sejumlah 2 orang.
b. Mata Pencaharian Umat
Umat Lingkungan santo Antonius Padua Kalasan memiliki mata pencaharian
yang bermacam-macam. Mata pencaharian umat tidak didominasi oleh satu profesi
sebagai bentuk mata pencaharian mereka. Mata pencaharian umat antara lain adalah
petani, peagawai negeri dan pegawai suwasta, wiraswasta, serta pensiunan. Umat
yang bermatapencaharian sebagai petani sejumlah 1 orang, pegawai negeri sejumlah
121
1 orang, pegawai swasta 10 orang, wiraswasta sejumlah 5 orang, dan pensiunan di
Lingkungan santo Antonius Padua sejumlah 4 orang.
c. Batas Wilayah dan Luas Lingkungan
Wilayah Lingkungan ini tidak seperti Lingkungan yang lain pada umumnya.
Wilayah Lingkungan berada di sebelah selatan bandara Adisicipto dengan jarak
kurang lebih 200 Meter. Wilayah Lingkungan berdekatan dengan kompleks TNI AU
dan berdekatan juga dengan kompleks AAU. Wilayah Lingkungan ini menjadi salah
satu daerah yang terkena bencana gampa bumi di DIY Mei 2007 yang lalu. Dampak
dari gempa tersebut sampai saat penulisan skripsi ini masih dapat dilihat seperti
bangunan yang rusak dan hancur, bahkan tenda darurat masih ada di sana.
Lingkungan santo Antonius Padua memiliki luas wilayah 937.500 M². Batas
wilayah yang ada sebelah timur berbatasan dengan kelurahan Kalitirto, sebelah
selatan berbatasan dengan dusun Krikilan, sebelah barat berbatasan dengan kali
Kuning, sebelah Utara berbatasan dengan bandara Adisucipto.
2. Penggunaan Kitab Suci
Kitab Suci digunakan saat pendalaman iman, sembahyangan lingkungan,
ibadat syukuran dan saat menjelang tidur. 2 orang biasa menggunakan Kitab Suci
sebelum tidur, dengan menggunakan kalender liturgi untuk menentukan perikopa
yang dibaca. 1 orang menggunakan Kitab Suci dengan cara memilih sebuah ayat
yang menyentuh hatinya dan yang memberi kekuatan saat menghadapi masalah.
Dalam kegiatan bersama seperti pendalaman iman dan ibadat syukuran Kitab Suci
digunakan pertama-tama dengan menentukan teks, dan melihat kalender liturgi serta
122
penyesuaian dengan tema kegiatan dimana Kitab Suci digunakan, setelah teks
ditentukan kemudian dibaca, selanjutnya mendiskusikan teks. 6 orang mengalami
kesulitan dalam menggunakan Kitab Suci. Kesulitan yang dihadapi adalah tidak
memahami teks yang dibacanya, sehingga teks yang dibaca tidak dapat berbicara
untuk pengalaman hidup umat. Cara mengatasinya dengan bertanya maksud dari teks
yang dibaca saat ke Gereja atau pendalaman iman, mendiskusikan teks dalam
pertemuan pendalaman iman.
3. Langkah-langkah Katekese Umat
6 orang tidak mengetahui adanya langkah-langkah dalam pendalaman iman.
Langkah-langkah atau urutan yang diketahui oleh mereka adalah urutan ibadat seperti
yang telah ada. Langkah-langkah itu secara garis besar yakni: Pembukaan dengan
lagu dan doa – seruan tobat- permenungan kitab Suci – doa umat – Penutup.
Langkah-langkah itu dijalankan seperti layaknya urutan ibadah yang membedakan
saat pembacaan teks kitab suci divariasikan. Saat permenungan pemimpin mengajak
umat lain untuk berbicara saling memberi komentar, saling memberikaan
pemahamannya akan pesan kitab suci yang ditangkapnya dan mensharingkan
pengalamannya yang sesuai dengan tema. Hanya ada 2 orang mengetahui langkah-
langkah Katekese Umat. Mereka adalah pendamping Katekese Umat namun langkah-
langkah tersebut tidak dijalankan.
4. Peserta Katekese Umat
Seluruh responden merasa senang bisa berkumpul bertemu dengan umat yang
lain, saling berbagi rasa ketika terjadi omong-omong, terutama mereka merasa
123
imannya dikembangkan diteguhkan jika mengalami keloyoan iman mereka merasa
dibangkitkan. Ada juga perasaan negatif, 1 orang agak terpaksa karena musti
meluangkan waktu setiap hari kamis untuk hadir dalam pendalaman iman padahal
ada juga acara lain yang bersamaan waktunya. Masing-masing responden mengalami
hambatan untuk hadir dalam pendalaman iman. 2 orang merasa malas untuk hadir ke
pendalaman iman. 2 orang tidak mempunyai kendaraan. 3 orang merasa jarak yang
ditempuh cukup jauh antara 1-2km jaraknya. 1 orang tidak hadir dalam pertemuan
pendalaman iman karena tidak tahu informasi mengenai tempat yang digunakan
untuk pendalaman iman. Hambatan lain yang dialami oleh 2 orang peserta karena
sedang konflik dengan salah satu anggota umat.
5. Pendamping Katekese Umat
Pendamping Katekese Umat di Lingkungan santo Antonius Padua berjumlah
2 orang. Satu orang pendamping adalah salah seorang dosen di sebuah universitas
milik suwasta di DIY. Satu lagi pendamping yang lain ialah seorang mantan wakil
camat. 1 orang pemandu terkadang merasa berat menjalankan tugasnya, namun di sisi
lain pemandu merasa harga dirinya meningkat sebab ia dianggap sebagai pemimpin
dan dituakan. Bahan-bahan pendalaman iman yang diambil oleh para pemandu saat
masa biasa berasal dari Kitab Suci, buku renungan Kitab Suci dan buku-buku
mengenai hidup beriman Kristiani. Sedangkan pada masa khusus seperti pada masa
advent dan masa prapaskah bahan yang digunakan oleh para pemandu berasal dari
keuskupan. Program Katekese Umat tidak dibuat oleh para pemandu. Pendalaman
iman dipimpin oleh para pemandu dengan persiapan seadanya sesaat sebelum
memulai pendalaman iman.
124
6. Sarana Katekese Umat
Penggunaan sarana dalam pendalaman iman masih sangat terbatas, selain
Kitab Suci jarang digunakan sarana-sarana lain dalam pelaksanaan pendalaman iman.
Penggunaan sarana yang sangat terbatas ini dikarenakan kemampuan umat yang
terbatas untuk menyediakan sarana, kemampuan pendamping untuk memikirkan
sarana yang dapat digunakan juga terbatas, adanya anggapan bahwa sarana yang
digunakan selalu sarana yang mahal.
7. Harapan Pelaksanaan Katekese Umat
Seluruh responden memberikan harapan yang baik terhadap Katekese Umat di
lingkungan. Harapan umat terhadap berjalannya pendalaman iman ialah agar
pendalaman iman berjalan lebih baik terencana dan terprogram, sehingga
penghayatan iman umat dapat ditingkatkan. 4 orang memiliki harapan berkaitan
dengan penggunaan Kitab Suci. Mereka berharap dapat membaca, memahami dan
merenungkan Kitab Suci. Tema atau bahan diharapkan oleh 2 orang berkaitan dengan
pengetahuan iman, spiritualitas dan praksis hidup Kristiani diinginkan umat.
F. PEMBAHASAN HASIL WAWANCARA DI LINGKUNGAN SANTO
ANTONIUS PADUA PAROKI KALASAN YOGYAKARTA
Gambaran situasi tentang pelaksanaan Katekese Umat telah dapat dipaparkan
dengan penelitian sederhana yang dilakukan. Hal positif dan negatif dengan
penelitian tersebut tampak. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai situasi Katekese
Umat di Lingkungan santo Antonius Padua paroki Kalasan Yogyakarta penulis
membahas hasil penelitian tersebut lebih lanjut.
125
1. Langkah-langkah
Langkah-langkah Katekese Umat yang terjadi di Lingkungan kurang tampak.
Langkah-langkah yang menjadi proses Katekese Umat kurang tampak sebab umat
mengikuti tradisi yang ada. Tradisi umat jika berkumpul dengan umat yang lain hal
yang dilakukan adalah ibadah. Umat akhirnya selalu mengikuti tradisi itu. Tradisi
yang demikian sudah melekat erat pada diri umat dan sulit untuk dirubah.
Proses komunikasi iman masih dirasakan sangat kurang sekali. Komunikasi
dua arah tidak terjadi dari awal. Pola komunikasi pendalaman iman hanya berjalan
searah. Sebagaimana layaknya sebuah teta perayaan ibadat pertemuan pendalaman
iman dimulai dengan lagu dan berbagai macam doa yang disampaikan oleh
pendamping. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Injil penyampaian renungan,
doa umat dan doa penutup.
2. Peserta
Peserta yang datang dalam pendalaman iman hanya sedikit. Hal ini menjadi
demikian karena rumah umat berjauhan jaraknya antara 1-2Km, dan kurang informasi
serta dikarenakan gangguan musim seperti musim hujan. Rumah yang berjauhan
menjadi kendala untuk umat hadir dalam pendalaman iman karena umat harus jalan
kaki untuk hadir dalam pendalaman iman.
Sikap terbuka dan saling menghargai kurang dimiliki oleh umat. Hal ini
menjadi demikian karena keadaan masyarakat sekitar. Masyarakt sekitar tidak
hanya terdiri dari segolongan masyarakat yang memiliki tingkat perekonomian yang
sama. Kesenjangan sosial ekonomi rupanya berpengaruh pada sikap hidup umat..
Umat enggan untuk mensharingkan pengalaman atau paling tidak berbicara
126
menjawab pertanyaan yang disampaikan pendamping sulit dilakukan. Hal ini menjadi
demikian karena umat malu untuk mengungkapkan pengalamannya, dan malu
bercerita tentang hidupnya.
Umat kurang memiliki kemampuan berfleksi. Hal ini karena kurangnya
kepekaan hati untuk menyadari kehadiran Allah di dalam diri umat. Peristiwa hidup
sehari-hari yag dialami umat dinggap hanya sebagai sebuah rentetan peristiwa hidup
manusiawi yang biasa saja, karya Ilahi dalam hidup kurang disadari.
3. Pendamping
Pendamping dalam memadu pendalaman iman bersikap sebagai pengajar. Hal
ini mejadi demikian karena orang tersebut mantan seorang pegawai negeri.
Kepegawaiannya berpengaruh dalam memandu pendalaman iman. Di kantor biasanya
ia memberi banyak instruksi. Hingga saat pendalaman iman berlangsung kebiasaan
yang demikian terbawa.
Pendamping kurang mempersiapkan jalannya pendalaman iman dan tidak
memiliki program untuk pelaksanaan Katekese Umat. Hal ini menjadi demikian
karena kurangnya pemahaman, sarana dan prasarana. Untuk dapat membuat
persiapan dan program pendalaman iman dibutuhkan pemahaman dan bahan-bahan,
apa yang dibutuhkan pendamping itu kurang dimiliki.
4. Sarana
Sarana yang digunakan dalam pendalaman iman hanya seadanya saja. Hal ini
menjadi demikian karena keterbatasan pemikiran untuk memunculkan sarana-sarana
bagi tercapainya tujuan pendalaman iman. Sarana-sarana kurang dipergunakan sebab
127
tidak ada pemanfaatan media seperti penggunaan “Media Murah”. Sarana selalu
dianggap sesuatu yang mahal, misalnya penggunaan perangkat audio visual, sound
system, tape recorder dan televisi.
5. Penggunaan Kitab Suci
Umat dalam meningkatkan penghayatan imannya telah mempergunakan kitab
Sici. Permasalahan yang ada dalam penggunaan Kitab Suci ialah permenungan
terhadap teks Kitab Suci kurang maksimal. Sajian akan sebuah renungan teks Kitab
suci untuk peperluan pendalam iman dirasa sangat miskin. Hal ini menjadi demikian
karena renungan Kitab Suci yang dibuat asal jadi tidak ada program Katekese Umat.
BAB V
USULAN PROGRAM KATEKESE UMAT
BERDASARKAN POKOK PEWARTAAN PAULUS
DALAM SURAT RASUL PAULUS KEPADA JEMAAT DI GALATIA
UNTUK UMAT LINGKUNGAN SANTO ANTONIUS PADUA PAROKI
KALASAN YOGYAKARTA
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap umat Lingkungan
santo Antonius Padua Kalasan Yogyakarta dan mengetahui kebutuhan umat di sana
maka saya akan mengusulkan program Katekese Umat yang kiranya sesuai dengan
situasi umat. Program pembinaan ini sebatas usulan berdasarkan hasil pengamatan,
berarti program ini belum dicoba atau diuji di lapangan.
A. LATAR BELAKANG PEMILIHAN PROGRAM
Usulan program yang disampaikan adalah Katekese Umat. Berdasarkan
kenyataan berjalannya Katekese Umat di Lingkungan santo Antonius Padua Kalasan
penulis menyampaikan usulan program Katekese Umat. Kegiatan Katekese Umat
yang terjadi di Lingkungan lebih bersifat liturgis agar bersifat kateketis, maka
program Katekese Umat diusulkan sebagai usulan program. Umat sebagai peserta
yang berproses cenderung pasif. Katekese Umat membuat peserta aktif
mengkomunikasikan pengalaman imannya tidak hanya pasif mendengarkan kotbah
dalam pendalaman iman. Pendalaman iman di Lingkungan santo Antonius Padua
Kalasan berjalan tanpa program. Katekese Umat adalah komunikasi iman dengan
129
adanya perencanaan. Dalam Katekese Umat perencanaan itu diwujudkan ke dalam
program. Selain pemandu tidak membuat program dalam memandu pendalaman
iman, mereka tidak dapat memikirkan sarana yang dapat dipergunakan dalam
pendalaman iman. Program Katekese Umat yang disampaikan mengandaikan harus
menggunakan saran-sarana yang dapat membantu dalam pelaksanaan pendalaman
iman.
Program Katekese Umat yang dibuat ini dijadikan acuan untuk menentukan
tujuan, isi dan urutan pendalaman iman di Lingkungan santo Antonius Padua, yang
menyangkut pendekatan dan metode. Program Katekese Umat yang dibuat
menekankan unsur Kitab Suci dan keterlibatan umat. Penekanan pembuatan program
pada penggunaan Kitab Suci dan keterlibatan umat. Hal ini menjadi demikian karena
kasanah kekayaan Kitab Suci jarang sekali digali dan keterlibatan umat dirasa
kurang. Juga penekanan pada keterlibatan umat sesuai dengan cita-cita Katekese
Umat.
B. ALASAN PEMILIHAN TEMA
Berbagai macam bahan Pendalaman iman di Lingkungan santo Antonius
Padua Kalasan Yogyakarta telah disampaikan. Penulis mengharapkan bahan
pendalaman iman dalam program ini dapat menjawab kebutuhan umat lingkungan.
Umat Lingkungan santo Antonius Padua Kalasan Yogyakarta mimiliki harapan
terhadap pelaksanaan Katekese Umat yang dilaksanakan setiap minggunya. Umat
mengharapkan penghayatan iman mereka dapat ditingkatkan. Semangat atau
sepiritualitas hidup sebagai seorang kristiani juga diharapkan oleh umat dapat
berkembang.
130
Umat menginginkan agar penghayatan iman dan sepiritualitas hidup kristiani
semakin ditingkatkan. Penghayatan iman dan sepiritualitas kristiani dapat
ditingkatkan dengan terang iman yang menyinari pengalaman hidup sehari-hari. Sinar
terang pengalaman iman yang menuntun perjalanan hidup umat diperoleh dengan
mempertemukan pangalaman sehari-hari dengan pengalaman iman itu sendiri yang
dapat dilihat dalam Kitab Suci. Oleh sebab itu Kitab Suci berperan penting dalam
meningkatkan penghayatan iman. Umat semakin dapat menggunakan Kitab Suci juga
menjadi kebutuhan dalam peningkatan penghayatan iman. Surat Galatia merupakan
salah satu bagian dari Kitab Suci yang akan digunakan untuk meningkatkan
penghayatan iman kristiani dan sepiritualitas kristiani, maka perlu pengolahan
terhadap pengalaman iman jemaat Galatia agar dapat memberi inspirasi bagi hidup
umat di Lingkunan santo Antonius Padua Kalasan Yogyakarta.
Berangkat dari harapan yang demikian penulis menyusun program Katekese
Umat dengan beberapa tema. Tema umum dari usulan program ini adalah
“Menghayati pemahaman, spiritualitas, dan praksis hidup kristiani dari Gal”. Dari
tema umum yang demikian penulis menjabarkan kembali dalam tiga tema yang
menyangkut segi pemahaman, spiritualitas dan menyangkut segi praksis dalam hidup
beriman kristiani bagi situasi umat lingkungan santo Antonius Padua.
C. TEMA DAN TUJUAN
Berdasarkan uraian di atas, tema program Katekese Umat yang diusulkan
adalah sebagai berikut:
Tema umum Menghayati pemahaman, spiritualitas, dan praksis hidup kristiani
dari Gal.
131
Tujuan umum: Bersama-sama pendamping, peserta dapat lebih memahami iman
kristiani, semakin memperdalam spiritualitas hidup kristiani
hingga dapat bertindak selaras dengan praksis hidup kristiani
dengan membaca, memahami dan merenungkan surat Galatia.
Dari tema umum di atas, kemudian dijabarkan dalam 3 tema. Dalam program
ini penulis mengusulkan tema pokok tersebut dibagi menjadi 12 sub tema yang
memiliki penekanan tersendiri.
Tema 1 Paham tentang iman Kristiani menurut uraian santo Paulus
dalam surat Galatia bagi peningkatan penghayatan iman umat.
Tujuan 1 Bersama-sama pendamping peserta dapat memahami imannya
hingga dapat semakin menghayati iman dan ketika ditanya dapat
memberi uaraian yang baik
Tema 2 Spiritualitas Kristiani dalam surat Galatia yang meneguhkan iman
umat.
Tujuan 2 Bersama pendamping peserta semakin dibangun spriritualitas
hidup Kristianinya, hingga umat dapat memertahankan imannya
ketika digoyahkan.
Tema 3 Jalan hidup Kristiani anjuran santo Paulus dalam surat Galatia
sebagai jalan hidup umat.
Tujuan 3 Bersama pendamping peserta dapat menjalani hidup sebagai
seorang Kristiani seturut teladan Jemaat di Galatia, hingga dengan
demikian umat Kristen tidak saja tahu tentang imannya, tidak
sekedar mantab hatinya tetapi dapat mewujudkan iman dalam
hidup sehari-hari
D. PENJABARAN TEMA Tema umum : Belajar dari surat rasul Paulus kepada jemaat di Galatia agar dalam hidup sehari-harilebih memahami iman Kristiani,
semakin memperdalam spiritualitas hidup Kristiani dan bertindak selaras dengan praksis hidup Kristiani.
Tujuan umm : Bersama-sama pendamping, peserta dapat meningkatkan pemahaman tentang iman Kristiani, spiritualitas Kristiani, dan
praksis hidup Kristiani dengan membaca, memahami dan merenungkan surat Galatia
no Tema Tujuan Sub Tema Tujuan Tubtema Materi Sarana Metode Sumber Bahan
I II III IV V VI VII VIII IX
1
Paham tentang iman menurut santo Paulus dalam surat Galatia bagi peningkatan pemahaman iman umat
Bersama-sama pendamping peserta dapat memahami iman Kristiani, sehingga umat dapat memiliki pemahaman tentang iman, Kristus, dosa dan kasih karunia
• Pengetahuan Iman Kristiani bagi penghayatan iman sehari-hari
• Hidup Kristus sebagai teladan hidup umat
Bersama-sama pendamping, peserta dapat memiliki pengetahuan iman untuk meningkatkan penghayatan iman umat dalam hidup sehari-hari. Bersama pendamping peserta dapat lebih mengtahui perjalanan hidup Yesus hingga dapat meneladaninya dalam hidup sehari-hari
• Pengertian iman
• Iman akan Kristus • Kehidupan
Yesus • Kehidupan
Yesus bagi Paulus
• Kitab Suci • Kertas flep • Alat tulis • Daftar
pertanyaan • Kitab Suci • Spidol • Kertes flep
• Sharing pengalmn
• Informasi • Refleksi
pribadi • Sharing
pegalamn • Diskusi • Pleno
• Gal 3:1-14; 4:1-30; • Jacobs, T. (1982). Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius. • Brunot, A. (1992). Paulus Dan Pesannya, Yogyakarta: Kanisius. • Roger. (1994). Kasih Allah Laksana Api,
2
Spiritualitas Kristiani dalam surat Galatia yang meneguhkan iman umat
Bersama pendamping peserta semakin dibangun spiritualitasnya, hingga menjadi umta yang tidak mudah goyah imannya
• Kasih karunia Allah yang tercurah bagi kehidupan kita sehari-hari
• Dosa manusia merusak relasi dalam hidup sehari-hari
• Menimba semangat perutusan dari santo Paulus bagi hidup sehari-hari umat yang diutus menjadi saksi.
• Dukungan Gereja
bagi setiap umat yang hendak meningkatkan penghayatn imannya
Bersama pendamping peserta dapat memahami apa yang dimaksud dengan kasih karunia Allah Bersama pendamping peserta dalam hidup sehari-hari dapat memahami arti dosa yang sesungguhnya Bersama pendamping peserta dapat menimba semangat perutusan dari santo Paulus sehingga dalam hidup sehari-hari semakin mantab diutus sebagai saksi Kristus Bersama-sama pendamping umat menyadari bahwa Gereja memberi dukungan spenuhnya peningkatan penghayatan iman
• Kasih karunia Allah • Hidup berkat kasih karunia • Pengertian dosa • Realitas dosa
• Tugas perutusan
• Paulus diutus Tuhan Yesus • Pemimpin
Gereja Yerusalem dan jemaat perdana • Paulus
meminta
• Kitab Suci • Kertas flep • Spidol • Kitab Suci • Kertas flep • Spidol • Kitab suci • Cergam • Daftar
pertanyaan • Kitab Suci • Daftar
pertanyaan • Kertas flep • Kitab suci • Kertas flep
• Tanya jawab
• Ceramah • Sharing
pengalmn • Ceramah • Tanya
jawab • Sharing
penglmn • Sharing
pengalmn • informasi • Refleksi
pribadi • Diskusi • Tanya
jawab • Pleno • Sharing
penglamn
Yogyakarta: Kanisius • Gal 1: 6-24; 2: 1-21 • Diane bergant dan Robert J. Karris. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 2002 • Klein Paul. (1989). Kebebasan Kristen: Makna Dan Implikasi-implikasinya, Dalam: Tema-tema Paulus, Kumpulan
3
Jalan hidup Kristiani anjuran santo Paulus dalam surat Galatia sebagai jalan hidup umat
Bersama pendamping peserta dapat menjalani hidup sebagai seorang Kristiani seturut teladan jemaat di Galatia, hingga dengan
• Tindakan manusia
yang dibenarkan di hadapan Allah sebagai dasar tindak-tanduk umat
• Kebebasan hidup seorang Kristiani dalam hidup sehari-hari
• Roh sebagai dorongan hidup adalah penuntun hidup sehari-hari
shingga umat dapat lebih bersemangat dalam mengimani Kristus Bersama pendamping menyadari tindakan yang dibenarkan Allah sehingga dalam hidup sehari-hari dapat melakukan tindak-tanduk yang benar. Bersama pendamping peserta dapat mengerti arti kebebasan Kristiani sehingga dalam hidup sehari-hari dapat bertindak dengan bebas atas dasar roh dan cinta kasih. Bersama pendamping peserta dapat menyadari dorongan Roh sehingga dalam hidup sehari-hari dapat merasakan tuntunan roh yang mengarahkan hidup.
dukungan Gereja Yerusalem
• Allah membenarkan manusia
• Tindakan benar manusia • Kristus membebasakan• Manusia bebas • Pengertian
Roh • Karya Roh • Hidup dituntun
oleh Roh
• Spidol • Kitab Suci • Kertas flep • Spidol • Kitab Suci • Kertas flep • Spidol • Kitab suci • Kertas flep • Spidol
• Pleno • Informasi • Diskusi • Pleno • Tanya
jawab • Sharing
pengalmn • Pleno • Informasi • Sharing
pengalmn • Pleno • Tanya
jawab
karangan, Bogor: Ofset. • Kirchberger Goerge. (1989). Pembenaran Hanya Oleh Iman, Dalam: Tema-tema Paulus, Kumpulan karangan, Bogor: Ofset. • Roger. (1994). Kasih Allah Laksana Api, Yogyakarta: Kanisius • Gal 5:16-26; 6:1-18 • Lembaga Biblika Indonesia. (1983). Surat-surat Paulus 1: Tafsir Perajanjian Baru 6.
demikian umat tidak saja tahu tentang imannya, tidak sekedar mantab hatinya tetapi sampai juga pada segi praksis hidup.
• Saling mengasihi
sebagai dasar tindakan sehari-hari
• Saling menghormati sebagi dasar tindakan hidup bersama • Saling membantu
sebagai dasar hidup sejahtera
Bersama pendamping peserta dapat saling mengasihi dalam tindakan hidup sehari-hari. Peserta bersama pendamping dapat saling menghormati sehingga dalam kebersamaan hidup sehari-hari tercipta suasana hidup yang harmonis. Peserta bersama pendamping dapat saling membantu sehingga tercipta kesejahteraan karena setiap kesusahan seseorang dibantu oleh yang lain
• Tindakan kasih
dalam hidup sehari-hari
• Menghormati sesama
• Kebersamaan dalam hidup • Membantu sesama yang kesulitan • Kesejahteran hidup
• Kitab Suci • Alat Tulis • Kerts flep • Kitab Suci • Teks cerita • Alat tulis • Kitab suci • Cergam • Alat tulis
• Tanya
jawab • Pleno • Informasi • Diskusi • Pleno • Informasi • Tanya
jawab • Sharing
penglamn • Informasi • Refleksi
pribadi
Yogyakarta: Kanisius • Diane bergant dan Robert J. Karris. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 2002
136
E. PETUNJUK PELAKSANAAN PROGRAM
Program pembinaan yang diusulkan dalam tulisan ini dilaksanakan selama 1
(satu) tahun dalam 12 (dua belas) kali pertemuan, sesuai dengan jumlah subtema.
Setiap pertemuan dilaksanakan sebulan sekali, dengan subtema tema yang berurutan
sesuai dengan urutan subtema tema, sebab tema yang disajikan merupakan semacam
paket pendampingan yang mengolah segi pengetahuan, spiritualitas dan praksis
hidup. Seksi pewartaan Lingkungan akan melaksanakan program ini.
Setiap pertemuan dilaksanakan selama 1-2 jam. Dalam setiap pertemuan pada
awalnya peserta diajak untuk menemukan pesan Kitab Suci, bisa dilakukan secara
pribadi, kemudian disharingkan dalam kelompok kecil dan akhirnya disharingkan
dalam kelompok besar. Pesan teks kemudian diterapkan dalam situasi hidup peserta
dengan mangungkapkan pengalaman hidup yang berkait dengan tema. Peserta
kemudian memaknai pengalamannya dalam terang iman Kitab Suci.
Peranan pendamping adalah merangkum pesan teks yang dietemukan oleh
peserta. Pendamping kemudian memberikan masukan pesan teks Kitab Suci secara
oyektif. Pesan teks diterapkan dalam pengalaman peserta, sampai di sini pendamping
berperan membantu peserta untuk menemukan makna teks Kitab Suci bagi
pengalaman hidupnya. Maka dengan demikian teks Kitab Suci yang dibaca dapat
menjadi tuntunan hidup bagi peserta.
Program ini berfungsi sebagai contoh pelaksanaan Katekese Umat bagi
pemandu di Lingkungan. Katekese Umat umat yang selama ini berjalan tanpa
program dengan program ini pemandu dapat membuat program Katekese Umat
seperti ini. Maka dengan demikian kegiatan katekese Umat dapat berjalan dengan
baik sebab telah ada perencanaan yang matang.
137
Pada dasarnya program Katekese Umat yang diusulkan ini mengacu kepada
model Biblis. Program ini menggunakan model Biblis dengan langkah-langkah antara
lain pembacaan dan pendalaman teks Kitab Suci serta pendalaman pengalaman dan
penerapan dalam hidup peserta (Sumarno, 2005: 12-13). Model Biblis digunakan
agar Kitab Suci menjadi unsur utama dalam pendalaman iman.
E. CONTOH PERSIAPAN KATEKESE UMAT MODEL BIBLIS
1. Identitas Satuan Persiapan
a. Tema Pengetahuan iman Kristiani bagi penghayatan iman sehari-hari
b. Tujuan Bersama-sama pendamping peserta dapat memiliki
pengetahuan iman untuk meningkatkan penghayatan iman
umat dalam hidup sehari-hari
c. Peserta Orang tua
d. Tempat Di Lingkungan santo Antonius Padua
e. Waktu 19.00 – 21.00 WIB
f . Metode Sharing pengalaman, Informasi, Refleksi pribadi
g. Sarana Kitab Suci, kertas flep, alat tulis, daftar pertanyaan
h. Sumber bahan
• Gal 3:1-14
• Lembaga Biblika Indonesia. (1983). Surat-surat Paulus 1:
Tafsir Perjanjian Baru 6. Yogyakarta: Kanisius. Hal 99-
101.
138
• Gunning, JJ. W. (1973). Tafsiran Surat Galatia. Jakarta:
BPK Gunung Mulia. Hal 55-56.
2. Pemikiran Dasar
Dalam hidup sehari-hari wawasan atau pengetahuan tentang iman yang
dimiliki oleh umat dirasakan sangat kurang sekali, untuk peningkatan penghayatan
iman. Umat yang kurang memiliki pengetahuan akan iman tampak ketika menjawab
pertanyaan tentang imannya dari orang lain yang berbeda keyakinan. Jawaban atas
pertanyaan itu disampaikan dengan tidak lancar dan apa yang disampaikannya
menunjukkan jika pengetahuan akan iman tidak memadai. Pengetahuan akan iman
perlu diberikan bagi umat karena membantu peningkatan penghayatan iman mereka
dalam hidup sehari-hari. Penghayatan iman umat dalam hidup sehari-hari di tengah
masyarakat yang mayoritas non katolik kiranya menjadi dangkal jika tidak memiliki
pengetahuan tentang iman secara memadai.
Gal menunjukkan jemaat Galatia kurang memiliki pengetahuan tentang iman.
Jemaat Galatia tidak memahami makna sebenarnya iman akan Kristus. Mereka dalam
keseharian hidupnya adalah kelompok minoritas di Galatia. Sebagaian besar
penduduk daerah itu orang kafir dan orang beragama Yahudi sementara pengikut
Kristus saat itu masih dianggap sebagai sekte dari agama Yahudi. Pengetahuan
tentang iman yang kurang memadai membuat penghayatan iman dalam hidup sehari-
hari menjadi pudar bahkan mereka meninggalkan imannya akan Kristus ketika berada
dalam situasi masyarakat yang demikian.
Dari Gal 3:1-14 kita dapat mememiliki pengetahuan dan makna iman
Kristiani untuk meningkatkan penghayatan iman dalam hidup sehari-hari. Kita dapat
mengetahui dan memperoleh makna iman yakni bahwa iman kita membenarkan
139
manusia di hadapan Allah. Manusia dibenarkan di hadapan Allah karena iman berarti
segala tindakan manusia menjadi benar dan setiap kesalahan tidaklah diperhitungkan
oleh Allah. Manusia menjadi dibenarkan karena iman bukan dibenarkan karena
perbuatannya mentaati hukum tertentu, bukan karena keturunan juga bukan karena
sebagai suku bangsa tertentu. Contoh yang disampaikan dalam Gal 3:1-14 adalah
Abraham. Ia sebagai orang yang dibenarkan karena imannya bukan karena
perbuatannya mentaati hukum Taurat sebab Taurat belum ada di zaman Abraham
(Gunning, 1975: 55-56). Makna iman yang demikian harus dipahami oleh umat agar
ketika berhadapan dengan mayoritas masarakat yang non katolik penghayatan iman
kristiani dalam hidup sehari-hari dapat ditingkatan bukan malah penghayatan iman
menjadi pudar atau bahkan umat meninggalkan imannya.
Dalam pendalaman iman kali ini peserta diajak menyadari makna iman seperti
diurai dalam Gal 3:1-14 untuk meningkatkan penghayatan iman dalam hidup sehari-
hari. Peserta dapat menyadari dengan membaca memahami dan merenungkan teks
Kitab Suci tersebut dapat. Peserta diajak untuk dapat memiliki pengetahuan iman
agar peserta dapat meningkatkan penghayatan iman dalam hidup sehari-hari. Peserta
mendalami pengalaman kesehariannya berkaitan dengan meningkatkan pengahayatan
iman di tengah masyarakat yang mayoritas non Katolik. Umat dalam pendalaman
iman menentukan sikap hidup di tengah masyarakat yang mayoritas nonkatolik serta
dapat memikirkan niat konkret yang dapat dibuat untuk meningkatkan penghayatan
iman Kristiani dalam hidup sehari-hari di tengah keadaan masyarakat yang demikian.
140
3. Pengembangan Langkah-langkah
a. Pembukaan
• Kata pengantar
Bapak ibu warga Lingkungan santo Sntonius Padua yang dikasihi Tuhan,
selamat malam dan selamat berjumpa dengan saya untuk kesekian kalinya. Dalam
pendalaman iman malam hari ini kita akan berproses bersama agar dapat memiliki
pengetahuan akan iman sehingga pengahayatan akan iman dapat ditingkatkan dalam
hidup sehari-hari. Agar pendalaman iman kita dapat berjalan dengan lancar marilah
kita awali dengan doa pembukaan.
• Doa pembukaan
Ya Allah bapa yang baik. Kami bersyukur dan berterimakasih karena kau
kumpulkan kembali di tempat ini. UmatMu berkumpul di tempat ini untuk bersama-
sama berbicara tentang pengetahuan dan pemahaman iman kami. Kami bersama-
sama ingin lebih mengetahui dan memahami iman kami agar penghayatan iman kami
dalam hidup sehari-hari dapat semakin diteguhkan dan dikembangkan. Utuslah Roh
KudusMu ya Tuhan agar menerangi budi dan hati kami hingga kami dapat lebih
mengetahui dan memahami iman kami akan Dikau dengan lebih dalam hingga dalam
hidup sehari-hari kami dapat lebih menghayati iman akan Dikau. Amin.
b. Pembacaan Kitab Suci
• lagu “Kusiapkan hatiku” (Bernyanyi bagi Tuhan No 55)
• Pembacaan teks Kitab Suci
141
(Salah seorang membaca teks dari Kitab Suci Gal 3:1-14. Umat lain menyimak
melalui teks yang difotokopi).
c. Pendalaman Teks Kitab Suci
• Pertanyaan
- Menurut Gal 3:1-14 iman Kristiani yang bagaimana harus dipahami untuk
dapat meningkatkan penghayatan iman dalam hidup sehari-hari ?
(Hal ini dilakukan dalam kelompok kecil dengan menuliskan jawaban pertanyaan
pada kertas flep dengan menggunakan spidol)
• Pleno
(apa yang telah dituliskan diplenokan ke dalam kelompk besar)
• Arah Rangkuman
Penghayatan iman kristiani dapat ditingkatkan jika kita memahami tentang
iman. Iman adalah percaya kepada Allah. Percaya kepada Allah berarti seseorang
berserah kepada kehendak Allah. Seseorang yang berserah kepada allah adalah orang
yang mengandalkan Allah. Jika seseorang memahami iman secara demikian akan
membantunya untuk meningkatkan penghayatan iman.
Jemaat Galatia telah mengenal Kristus. Mereka sebelumnya telah menerima
pewartaan yang membangkitkan iman akan Kristus. Mereka yang telah mengimani
Kristus namun kemudian meninggalkan iman akan Kristus. Jemaat Galatia
meninggalkan iman akan Kristus dan iman akan Kristus tidak dihayati lagi dalam
hidup sehari-hari karena tidak mengetahui dan memahami dengan sungguh makna
iman mereka. Jemaat Galatia beralih dari beriman kepada ketaatan terhadap Taurat.
142
Mereka mengira dengan taat terhadap Taurat sebagai hukum agama Yahudi dapat
menyelamatkannya. Mereka tidak tahu hakekat tentang iman akan Kristus, padahal
hakikatnya melalui iman akan Kristus mereka diselamatkan (LBI, 1983: 99-100).
Jemaat Galatia adalah orang-orang yang hidup di tengah masyarakat yang
terdiri dari orang-orang beragama Yahudi dan orang-orang kafir. Kristianisme waktu
itu dianggap sebagai sebuah sekte dari agama Yahudi. Para pengikut Kristus dalam
kehidupan sehari-hari adalah golongan minoritas di Galatia. Kondisi masyarakat yang
demikian melunturkan bahkan membuat jemaat Galatia meninggalkan penghayatan
iman akan Krsitus dalam hidup sehari-hari mereka.
Iman membenarkan manusia di hadapan Allah (Gunning, 1975: 55). Iman
demikianlah yang perlu diketahui dan dipahami maknanya. Jika berkat iman manusia
dibenarkan maka suatu kerugian jika orang-orang Galatia meninggalkan penghayatan
imannya akan Krsitus dalam hidup sehari-hari, sebab mereka menjadi dibenarkan di
hadapan Allah karena iman. Manusia terkadang beranggapan ia menjadi benar karena
perbuatannya seperti mentaati dengan sempurna peraturan agama. Manusia dapat
selalu mentaati segala peraturan dengan sempurna tetapi belum tentu dilakukan
dengan iman. Perbuatan itu hanya perbuatan lahiriah belaka, menyangkut tataran luar
dan tidak menyentuh segi terdalam pribadi manusia. Hal itulah yang membuat
manusia belum tentu dapat dibenarkan karena tindakannya. Manusia hanya
dibenarkan jika tindakannya itu disertai dengan iman yang teguh kepada Allah.
Pembenaran manusia di hadapan Allah karena iman dapat dtemukan pada diri
Abraham. Berkat Abraham dan Taurat jemaat Galatia mengambil bagian dalam
berkat. Mereka mengikuti orang-orang Yahudi tidak mengikuti Abraham maka takluk
kembali pada hukum Taurat meninggalkan penghayatan iman akan Kristus dalam
143
hidup sehari-hari mereka (Gunnning, 1975: 56). Abraham dibenarkan di hadapan
Allah karena ia beriman, percaya dan mengandalkan Allah. Taurat tidak memiliki
daya keselamtan atas manusia kecuali iman. Taurat jika dijadikan jalan keselamatan
maka generasi Abraham hingga sebelum Musa tidak akan pernah selamat sebab
Taurat belum ada waktu itu. Oleh sebab itu Paulus menganjurkan agar penghayatan
iman dalam hidup shari-hari tetap teguh terus dijaga dan ditingkatkan.
d. Pendalaman Pengalaman hidup
• Pertanyaan
Apa kesulitan yang dihadapi bapak ibu dalam meningkatkan penghayatan iman
Kristiani dalam hidup sehari-hari?
• Arah rangkuman
Salah satu kesulitan yang dihadapi untuk meningkatkan penghayatan iman
dalam hidup sehari-hari adalah tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai
wawasan iman kita. Pengetahuan yang tidak memadai mengenai iman tampak saat
kita tidak dapat memberi jawaban dengan uraian yang baik ketika ditanya tentang
iman kita oleh orang lain yang berbeda kepercayan. Penghayatan iman dalam hidup
sehari-hari menjadi sulit ditingkatkan karena tidak mengerti dan memahami secara
mendalam tentang iman kita. Jika kita mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
iman kita maka pertanyaan yang ditujukkan itu dapat dijawab dengan baik. Di tengah
masyarakat kita dapat berbicara banyak tentang iman yang berarti juga kita
mewartakan Kristus maka perlu untuk memiliki pengetahuan tentang iman.
Pengetahuan itu berguna untuk meningkatkan penghayatan iman tentang Kristus
dalam hidup sehari-hari dan juga untuk mewartakan Kristus
144
Kesulitan yang lain untuk meningkatkan penghayatan iman kita selain
pengetahuan yang kurang memadai adalah situasi dan kondisi tempat tinggal di
sekitar rumah atau situasi masyarakat setempat. Di lingkungan sekitar tempat kita
tinggal orang-orang katolik adalah golongan minoritas. Kita menjadi sulit untuk
meningkatkan penghayatan iman kita di tengah-tengah masyarakat yang demikian.
Kita terkadang kita merasa dibedakan, dipersulit jika mengalami suatu hal misalnya
untuk menjadi PNS, dan banyak hal sebagai kesulitan lain yang ditemui sebagai
golongan minoritas. Namun demikian hal itu tidak membuat kita menjadi putus asa
penghayatan iman menjadi kendor bahkan iman akan Kristus kita tinggalkan.
e. Penerapan dalam situasi hidup peserta
• Pengantar
Hampir seluruh proses pendalaman iman ini kita lewati. Dari awal di langkah
yang pertama kita telah menjalani proses ini dengan lancar. Kita telah bersama-sama
menggali pesan Kitab Suci yang membantu kami untuk dapat lebih menghayati iman
Kristiani dalam hidup sehari-hari. Kita juga telah mengungkapkan bersama apa yang
menjadi kesulitan untuk meningkatkan penghayatan iman kita dalam hidup sehari-
hari. Selanjutnya secara bersama kita akan membicarakan sikap dan niat apa yang
dapat diperbuat untuk meningkatkan penghayatan iman dalam hidup sehari-hari.
• Pertanyaan
o Sikap apa yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan
pengahayatan iman Kristiani dalam hidup sehari-hari di
Lingkungan santo Antonius Padua paroki Kalasan Yogyakarta?
145
o Apa yang dapat kita perbuat untuk semakin meningkatkan
pengahayatan iman Kristiani dalam hidup sehari-hari di
Lingkungan santo Antonius Padua paroki Kalasan Yogyakarta?
• Rangkuman
Sikap yang dapat dikembangkan ialah toleransi antar umat beragama. Sikap
ini adalah memberikan kesempatan kepada orang lain untuk dapat melakukan
aktifitas sebagai wujud penghayatan iman agamanya. Sikap toleransi antar umat
beragama yang berkembang akan membuat setiap orang apapun agamanya dapat
beribadah dengan nyaman. Penghayatan iman dalam hidup sehari-hari hingga dengan
demikian dapat ditingkatkan sebab suasana di dalam kehidupan masyarakat
mendukung seseorang untuk meningkatkan penghayatan iman dalam hidup sehari-
hari.
Saat berkumpul dengan orang lain yang berbeda agama kita dapat yang dapat
kita buat ialah mengajak orang lain yang berbeda agama untuk mempunyai sikap
toleran terhadap orang lain yang berbeda agama. Saat omong-omong dengan tetangga
kita dapat berbicara toleransi antar umat beragama, kerukunan umat beragama dan
saling menghargai serta menghormati antar umat beragama. Diharapkan dari omong-
omong tersebut tercipta suasan rukun toleran dan saling menghormati untuk
membentuk suasana yang baik dalam menghayati iman agama masing-masing.
Dengan modal toleransi antar umat beragama sikap lain yang perlu
dikembangkan adalah sikap mau belajar dari orang lain yang berbeda agama. Di
lingkungan sekitar kita biasa melihat saat magrib orang-orang pergi sembahyang ke
musola. Kita dapat menjadikan hal ini sebagai motifasi untuk semakin giat pergi ke
gereja setiap minggunya. Mereka sangat taat beribadah dengan menjalankan shalat
146
lima waktu. Hal dapat kita teladani untuk meningkatkan hidup doa. Sikap mau belajar
dari orang lain yang berbeda harus ditumbuhkan di dalam diri kita. Belajar dalam
hidup adalah sebuah proses yang berlangsung terus-menerus.
Niat lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penghayatan iman kita
dalam hidup sehari-hari misalnya mencari bantuan bagi masyarakat yang menjadi
korban gempa dan disalurkan kepada para korban tanpa membedakan agama.
Bantuan diminta dari pihap-pihak lain sebagai donator, setelah bantuan diterima dari
donator maka disalurkan kepada para korban. Dengan memberikan bantuan
diharapkan kita dapat semakin menghayati iman Kristiani dalam hidup sehari-hari
sebab hal ini adalah tanda kasih yang kita perbuat.
F. Penutup
• Doa umat
(Umat diminta secara sepontan mendaraskan doa umat sesuai dengan tema).
• Doa penutup
Ya Allah kami berterima kasih karena telah menjalani proses ini dengan
lancar. Kami telah bersama-sama menggali pesan Kitab Suci yang membantu untuk
lebih memahami iman akan Dikau hingga kami dapat lebih menghayati iman dalam
hidup sehari-hari. Kami juga telah mengungkapkan bersama apa yang menjadi
kesulitan untuk menghayati iman. Selanjutnya secara bersama kami juga telah
membicarakan bagaimana dapat semakin mengetahui tentang iman hingga
meningkatkan penghayatan iman kami dalam hidup sehari-hari. Pertemuan
pendalaman iman ini telah selesai maka kami akan kembali ke rumah masing-masing
lindungilah kami sehingga dapat sampai di rumah dengan selamat. Amin.
BAB VI
PENUTUP
Sebagai akhir skripsi ini penulis hendak mengemukakan pokok-pokok yang
perlu ditegaskan kembali, dipikirkan dan dikembangkan lebih mendalam berkait
dengan pokok pewartaan Paulus dalam Gal untuk Katekese Umat di Lingkungan
santo Antonius Padua Kalasan.
Berdasarkan situasi umum Katekese Umat di lingkungan santo Antonius
Padua Kalasan, penulis kemudian mengusulkan saran-saran sehubungan dengan
berjalannya kegiatan Katekese Umat agar kegiatan tersebut dapat berjalan baik
dengan penempatan Kitab Suci di dalamnya.
A. KESIMPULAN
Pokok pewartaan Paulus dalam Gal adalah Injil Kristus jalan keselamatan
dengan terjalinnya relasi antara Allah dan manusia. Pokok pewartaan tersebut sangat
berguna bagi kegiatan Katekese Umat. Gagasan ini memberikan inpirasi guna
pelaksanaan Katekese Umat yang alkitabbiah di Lingkungan santo Antonus Padua
paroki Kalasan Yogaakarta.
Terjadi komunikasi iman dengan tukar pengalaman iman dan terjadi dialog
antara pengalaman hidup dengan pengalaman iman Kitab Suci dalam Katekese Umat
yang menggunakan Kitab suci. Tukar pengalaman iman dapat terjadi dengan terlebih
dahulu dilakukan pengolahan pengalaman hidup menjadi pengalaman iman.
Pengolahan pengalaman hidup menjadi pengalaman iman dilakukan dengan dialog
antara pengalaman iman Kitab Suci dengan pengalaman hidup sehari-hari.
148
Terdapat segi positif dan segi negatif berjalannya Katekese Umat di
Lingkungan santo Antonius Padua paroki Kalasan Yogyakarta, juga terdapat
beberapa beberapa harapan yang umat sampaikan. Letak permasalahan yang
pelaksanaan Katekese Umat antara lain peserta yang cenderung pasif, program yang
tidak dibuat oleh pendamping, sarana yang digunakan hanya Kitab Suci dan langkah-
langkah yang bersifat liturgis.
Penerapan Pokok pewartaan Paulus dalam Gal untuk Katekese Umat di
Lingkungan santo Antonius Padua paroki Kalasan Yogyakarta dengan
mempergunakan pokok pewartaan Paulus itu sebagai tema umum usulan program
Katekese Umat. Penulis mengharapkan melalui Katekese Umat yang lebih
mendalami Kitab Suci, iman umat sungguh dibina dan ditumbuhkembangkan. Umat
menerima Yesus Kristus, membuka diri terhadap Allah yang menyelamatkan.
Keselamatan itu dipandang sebagai rahmat dari Allah bukan semata-mata usaha
manusia dengan taat hukum agama, seperti yang diungkapkan Paulus dalam suratnya
kepada jemaat di Galatia.
B. SARAN-SARAN
Semua pihak menggharapkan katekese Umat dapat berjalan dengan baik, agar
Katekese Umat berjalan baik di Lingkungan santo Antonius Padua paroki Kalasan
Kalasan Yogyakarta maka penulis menyarankan hal-hal kepada pihak-pihak tersebut
antaralain:
1. Ketua stasi dapat mengadakan kegiatan untuk memberi pembekalan kepada seksi
pewartaan Lingkungan. Materi pembekalan yang diberikan mengenai Katekese
Umat.
149
2. Ketua Lingkungan lebih giat untuk mengajak warganya hadir mengikuti
pendalaman iman di Lingkungan
3. Seksi pewartaan lingkungan dapat melaksanaan kegiatan Katekese Umat secara
terprogram dan terencana, misalnya dengan menggunakan usulan program yang
telah disampaikan.
4. Umat dalam hidup sehari-harinya dianjurkan untuk menjadi dekat dengan Kitab
Suci cara paling mudah yang dapat dilakukan adalah membaca teks Kitab Suci
sesuai petunjuk kalender liturgi.
DAFTAR PUSTAKA
Bataona, Y. (1978). Katekese Sekarang. Dalam Th. Huber Arah Katekese di Indonesa (hal. 18-24). Yogyakarta: Kanisius.
Brunot, A. (1992). Paulus dan Pesannya. Yogyakarta: Kanisius. Groenen, C. (1991). Pengantar ke dalam Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. Gunning, J. J. W. (1973). Tafsiran Surat Galatia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Haughton, Roesmary. (1988). Pembinaan Umat Kristen Awal. Yogyakarta: Kanisius. Huber, Th. (Ed.). (1980). KatekeseUmat. Yogyakarta: Kanisius. Jacobs, T. SJ. (1982). Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru. Yogyakarta:
Kanisius. . (1990). Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya. Yogyakarta: Kanisius. Kirchberger, Goerge. (1989). Pembenaran Hanya Oleh Iman. Dalam N. Hayon.
Tema-tema Paulus (hh. 31-52). Bogor: Nihil Ofset. Klein, Paul. (1989). Kebebasan Kristen: Makna dan Implikasi-implikasinya. Dalam
N. Hayon. Tema-tema Paulus (hh. 54-75). Bogor: Nihil Ofset. Lalu, Yosef. (2005). Katekese Umat. Jakarta: KWI. Leks, Stefan. (1983). Tumbuh Dalam Iman Berkat Alkitab. Yogyakarta: Kanisius. Lembaga Biblika Indonesia. (1983). Surat-surat Paulus 1: Tafsir Perjanjian Baru 6.
Yogyakarta: Kanisius. Richards, Hubert, J. (1971). Allah Berbitjara Kepada Kita. Yogyakarta: Kanisius. Roger. (1994). Kasih Allah Laksana Api. Yogyakarta: Kanisius. Setyakarjana, J.S., S.J. (1997). Arah Katekese di Indonesia. Yogyakarta: Puskat. Sumarno Ds., M. (2005). Program Pengalaman Lapangan Pendidikan Agama
Katolik Paroki. Diktat Mata Kuliah PPL PAK Paroki Semester V, Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Wiersbe, W. W. (1975). Merdeka di dalam Kristus. (G.Wargasetia, Penerjemah). Bandung: Kalam Hidup. (Dokumen asli diterbitkan tahun 1975).
Wijngaards, John. (1994). Yesus Sang Pembebas. Yogyakarta: Kanisius. Yayasan Komunikasi Bina Kasih. (1982). Tafsiran Alkitab Masa Kini 3 Matius-
Wahyu. Jakarta: YKBK OMF. . (1995). Ensiklopedi Alkitab Masa Kini: Jilid II M-Z. Jakarta: YKBK
OMF. Yohanes Paulus II. (1979). Cathecesi Tradendae. (R. Hardawiyana, Penerjemah).
Jakarta: Dokpen KWI (Dokumen asli diterbitkan tahun 1979).
151
LAMPIRAN
(2)
(3)
Lampiran 2: pedoman wawancara 1. Berapakah jumlah umat di lingkungan ini? 2. Mata pencaharian umat di lingkungan ini apa saja? 3. Bagaimana keadaan wilayah lingkungan? 4. Bagaimana penggunaan Kitab Suci bagi peningkatan penghayatan iman di
lingkungan ini? 5. Langkah-langkah Katekese Umat yang dijalankan bagaimana? 6. Sebagai peserta Katekese Umat bagaimana perasaan bapak dan ibu? 7. Apa hambatan yang dialami untuk hadir dalam pendalaman iman? 8. Bagaimana perasaan bapak sebagai pemandu pendalaman iman? 9. Bagaimana dengan pembuatan program, persiapan, dan bahan-bahan
pendalaman iman? 10. Bagaimana penggunaan sarana dalam Katekese Umat? 11. Bagaimana harapan bapak ibu terhadap Katekese Umat di lingkungan?