PORTOFOLIO
MALARIA FALCIPARUM DAN
DEMAM TIFOID
Kasus 2
Topik: Malaria Falciparum dan Demam TifoidTanggal (Kasus) : 21 Juli 2015 Presenter : dr. Apriliza RalasatiTanggal Presentasi : 24 Juli 2015 Pendamping : dr. Sartika SadikinTempat Presentasi : RSUD RUPITObjektif Presentasi : Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa Neonatus
Bayi Anak Remaja Dewasa
Lansia Bumil
Deskripsi : Laki-Laki 30 tahun, Demam tifoid dengan hiperkolsetrolemia Tujuan : Tatalaksana Demam tifoid dengan hiperkolestrolemia, Mengetahui penyebab Demam tifoid dengan hiperkolestrolemiaBahan Bahasan :
Tinjauan Pustaka
Riset Kasus Audit
Cara membahas Diskusi Presentasi dan diskusi
Email Pos
Data Pasien:
Nama : Tn. B Umur : 34 tahun Pekerjaan : TaniAlamat : Ma. Rupit Agama : Islam Bangsa : Indonesia
No. Reg : 03_.....
Nama RS: RSUD RUPIT Telp : Terdaftar sejak :Data utama untuk bahan diskusi:1. Diagnosis / Gambaran Klinis: Malaria Falciparum dan Demam tifoid / Keadaan Umum Sakit sedang.2. Riwayat Pengobatan : -3. Riwayat Kesehatan / Penyakit : Sejak enam hari sebelum masuk rumah sakit, pasien merasa badannya
terasa lesu, kemudian pasien mengeluh demam sepanjang hari,demam timbul
mendadak, mengigil pada malam hari. Demam menurun saat pagi hari namun
badan pasien masih terasa hangat . Pasien masih dapat beraktivitas seperti biasa
pada pagi hari. Pasien juga mengeluh badannya terasa sakit dan pegal-pegal, nafsu
makannya kurang serta mual tidak disertai muntah. Kepala pasien terasa sakit
seperti diikat. Pasien tidak berobat hanya minum obat warung. Keluhan pasien
tidak berkurang.
Satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh demamnya
semakin tinggi dan pada malam hari semakin mengigil kemudian demam turun
disertai pasien berkeringat banyak. Pasien mengaku sulit BAB. BAK pasien
normal tidak berwarna kuning. Perut pasien terasa sakit seperti ditusuk di sekitar
ulu hati dan pusar. Pasien mengaku mual , pasien muntah 2 kali, isi apa yang
dimakan, tidak disertai darah. Banyaknya tiap muntah ± ½ gelas belimbing. Lidah
pasien terasa pahit. Badan pasien terasa lemas dan badan pasien mulai terasa
hangat, pasien lalu datang ke RSUD Rupit.
4. Riwayat Keluarga : Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.5. Riwayat Pekerjaan : pasien bekerja sebagai tani6. Lain-lain : Riwayat kencing manis, darah tinggi, dan riwayat penyakit infeksi lainnya. Disangkal7. Riwayat berpergian keluar daerah endemik malaria disangkal.
8. Riwayat transfusi darah disangkal.
8. Riwayat kebiasaan
Penderita jarang mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, setelah buang air besar dan kecil.
Penderita merokok 1 bungkus perhari. Penderita sering makan sayur, buah dan minum air putih. Penderita jarang olahraga.
Daftar Pustaka:Malaria Falciparum
1. Nasroudin, Hadi W, Erwin AT, dkk. Penyakit infeksi di Indonesia. Editor: Nasroudin, Hadi W, Erwin AT, dkk. Fakultas Kedokteran Airlangga:Surabaya; 2009 : 441-48
2. Harijanto PN, Nugroho A, Gunawan CA. Malaria Dari Molekuler ke Klinis. Edisi ke-2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta; 2009 : 1-250
3. Zulkarnaen I, Malaria Berat. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-1. Fakultas Kedokteran Indonesia:Jakarta; 1999 : 504-08
4. Rani AA, Soegondo S, Wijaya IP. Panduan Pelayanan Medik PAPDI. Editor’s. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:Jakarta ; 2006 : 148-
2
51
5. WHO and Unitet Nations International Children’s Emergency Fund. 2005. World Malaria Report.
6. Syafrudin D, Asih PB, Casey GJ, dkk. Moleculer Epidemiology of Plasmodium Falsiparum Resistance to Antimalaria Drugs in Indonesia. 2005; 72 : 174-82
7. Cook GC. Prevntion and Treatment of Malaria. The Lancet. 1988; 2 : 32-38
8. Hofman SL. Diagnosis, Treatment and Prevontion of Malaria. Medical Clinic of North America 1994(6); 76 : 1327-60
Demam Tifoid
1. World Health Organization. [Online].Available from: http://www.who.int/topics/typhoid_fever/en/.
2. Widodo D. DEMAM TIFOID. In Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2006. p. 1752-1757.
3. Nugroho H. NILAI DIAGNOSTIK TYPHOID DIPSTICK ASSAY PADA DEMAM TIFOID. Pendidikan Program Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam. Semarang: Universitas Diponegoro, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran; 1999.
4. Parry CM, Hien TT, Doughan G, Farrar JD. TYPHOID FEVER. New England Journal of Medicine. 2002 November; 347(20).
5. Bhutta ZA, Khan MI, Soofi SB, Ochiai RL. New Advances in Typhoid Fever. In Curtis N, Finn A, Pollard AJ, editors. Hot Topics in Infection and Immunity in Children VII. NewYork: Springer; 2011. p. 17-35.
6. Prasetyo RV, I. Pediatric.com. [Online]. Available from: www.pediatrik.com/buletin/06224114418-f53zji.doc.
7. Background document:The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever Geneva: WHO; 2003.
8. Nelwan RHH. Demam: Tipe dan Pendekatan. In Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS, Setiadi S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2006. p. 1697-1706.
9. Guyton AC, Hall EJ. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11 th ed. Rachman LY, editor. Jakarta: EGC; 2007.
10. Khosla SN AASUKA. PubMed. [Online].Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7502322.
11. WHO. World Health Organization. [Online].; Available from:
3
http://www.who.int/topic/typhoid_fever/en/.
Hasil Pembelajaran1. Diagnosis Malaria falciparum dan Demam Tifoid2. Mekanisme terjadinya Malaria falciparum dan demam tifoid3. Edukasi pada keluarga mengenai Malaria falciparum dan demam tifoid4. Langkah-Langkah Penatalaksanaan Malaria falciparum dan demam tifoid5. Motivasi kepatuhan pencegahan berulang
1. Subjektif : Sejak enam hari sebelum masuk rumah sakit, pasien merasa badannya
terasa lesu, kemudian pasien mengeluh demam sepanjang hari,demam timbul
mendadak, mengigil pada malam hari. Demam menurun saat pagi hari namun
badan pasien masih terasa hangat . Pasien masih dapat beraktivitas seperti biasa
pada pagi hari. Pasien juga mengeluh badannya terasa sakit dan pegal-pegal, nafsu
makannya kurang serta mual tidak disertai muntah. Kepala pasien terasa sakit
seperti diikat. Pasien tidak berobat hanya minum obat warung. Keluhan pasien
tidak berkurang.
Satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh demamnya
semakin tinggi dan pada malam hari semakin mengigil kemudian demam turun
disertai pasien berkeringat banyak. Pasien mengaku sulit BAB. BAK pasien
normal tidak berwarna kuning. Perut pasien terasa sakit seperti ditusuk di sekitar
ulu hati dan pusar. Pasien mengaku mual , pasien muntah 2 kali, isi apa yang
dimakan, tidak disertai darah. Banyaknya tiap muntah ± ½ gelas belimbing.Lidah
pasien terasa pahit. Badan pasien terasa lemas, pasien lalu datang ke RSUD Rupit.
Gejala – gejala yang pasien alami menunjukkan manifestasi klinis malaria dengan
diagnosis banding demam tifoid.
2. Objektif :
Dari hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium dapat ditegakkan diagnosis Malaria
4
falciparum dan demam tifoid
o Gejala Klinis :
Pasien mengalami demam terus menerus selama enam hari yang dirasakan naik
turun dan menggigil pada malam hari serta timbul banyak keringat ketika demam
turun. Pasien juga mengeluh badannya terasa pegal dan sakit, pasien juga
mengeluh sakit kepala seperti diikat. Pasien mengeluh sulit BAB, muntah, nafsu
makan menurun, lidah terasa pahit dan pasien merasa badannya lemas. Dari gejala
ini menunjukkan klinis mengarah ke malaria falciparum dan demam tifoid.
Dari kondisi tersebut, kita menilai bahwa pasien pertama mengalami gejala
prodromal berupa badan pasien terasa lesu. Pasien kemudian mengalami demam
yang meningkat dan mengigil pada malam hari, demam turun disertai keringat
serta demam turun tapi badan masih terasa hangat pada pagi hari dan kondisi ini
berlangsung selama enam hari sebelum pasien masuk rumah sakit. Dari gejala
klinis ini, kita menilai bahwa pasien mengalami pola demam khas pada malaria,
yaitu trias malaria dimana terdapat tiga fase yaitu fase panas, fase dingin dan fase
berkeringat. Pasien juga mengalami pola demam seperti pada demam tifoid yaitu
demam menurun pada pagi hari namun badan masih terasa hangat dan pasien
masih dapat beraktivitas seperti biasa.
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum
Keadaan sakit : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis, GCS 15
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 68 kali per menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 20 kali per menit, thoracoabdominal
Suhu : 37,5o C (aksila)
Status generalisata o Kepala :
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Pupil isokor,
5
RC (+/+) Ø 3mm/3mm.
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-)
Mulut : Coated tongue (+), atrofi papil lidah (-)
o Leher : JVP(5-2) mmHg, pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)
o Thorak : Bentuk dada normal, retraksi (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok(-)
krepitasi (-), penggunaan otot bantu nafas (-)
Paru Inspeksi : Statis simetris kanan dan kiri, dinamis kanan = kiri, tidak ada yang tertinggal Palpasi : Stemfremitus kanan=kiri Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru Auskultasi: Vesikuler (+) normal kanan = kiri, ronkhi (-) kedua paru, wheezing (-)
Jantung Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat Palpasi : ictus cordis teraba linea axilaris anterior sinistra ICS VI Perkusi : batas atas ICS II, batas kanan linea parasternalis dextra, batas kiri linea axilaris anterior sinistra ICSVI Auskultasi :HR 96 x/menit, reguler, Bunyi Jantung I dan II normal, Murmur (-), Gallop (-)
o Abdomen
Inspeksi : datar, scar (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan (+) epigastium , hepar tidak teraba,
Lien teraba shuffner 1.
Auskultasi: bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
o Genital (Tidak diperiksa)
o Ekstremitas
Ekstremitas atas : Gerakan bebas, edema (-/-), jaringan parut (-),
pigmentasi normal, telapak tangan pucat (-), jari
tabuh (-), turgor < 2 detik, sianosis (-).
Ekstremitas bawah : Gerakan bebas, jaringan parut (-), pigmentasi
6
normal, telapak kaki pucat (-), jari tabuh (-),
turgor kembali lambat (-), edema pretibia dan
pergelangan kaki (-/-).
Pemeriksaan Penunjang :Pemeriksaan darah rutin
Hemoglobin : 15,9 (dbn) Eritrosit 5,4 juta sel (dbn)
Hematokrit 4 vol % (dbn) Leukosit 8600/ mm3 (dbn)
Trombosit 135.000 (dbn).
Pemeriksaan Serologik widal tes :
Widal tes O : 1/320 (positif infeksi akut S.thypi)
Widal tes S. Thypi H : 1/160
pemeriksaan mikrobiologi : malaria falciparum (+)
3. Assessment :Tuan B, laki-laki berusia 34 tahun sudah menikah, pekerjaan petani datang dengan
keluhan utama demam dan badan terasa lemas. Keluhan pasien pertama didahului
dengan badan pasien terasa lesu, lalu timbul demam yang berlangsung sejak enam
hari sebelum pasien masuk rumah sakit, hilang timbul, hangat pada malam hari
namun pasien merasa mengigil pada malam hari,demam turun disertai keringat
banyak.
Dari kondisi tersebut, kita menilai bahwa pasien pertama mengalami gejala
prodromal berupa badan pasien terasa lesu. Pasien kemudian mengalami demam
yang meningkat dan mengigil pada malam hari, demam turun disertai keringat
serta demam turun tapi badan masih terasa hangat pada pagi hari. Dari gejala
klinis ini, kita menilai bahwa pasien mengalami pola demam khas pada malaria,
yaitu trias malaria dimana terdapat tiga fase yaitu fase dingin, fase panas dan fase
berkeringat.
Hal ini disebabkan oleh pecahnya sel darah merah yang terinfeksi Plasmodium
dapat menyebabkan timbulnya gejala demam disertai menggigil. Periodisitas
7
demam pada malaria berhubungan dengan waktu pecahnya sejumlah skizon
matang dan keluarnya merozoit yang masuk aliran darah (sporulasi). Respon yang
terjadi bila organisme penginveksi telah menyebar di dalam darah, yaitu
pengeluaran suatu bahan kimia oleh makrofag yang disebut pirogen endogen
(TNF alfa dan IL-1).
Gambar 1 : siklus malaria (gambar diperoleh dari cdc.gov)
Pirogen endogen ini menyebabkan pengeluaran prostaglandin, suatu perantara
kimia lokal yang dapat menaikan termostat hipotalamus yang mengatur suhu
tubuh. Setelah terjadi peningkatan titik patokan hipotalamus, terjadi inisiasi
respon dingin, dimana hipotalamus mendeteksi suhu tubuh di bawah normal,
sehingga memicu mekanisme respon dingin untuk meningkatkan suhu. Respon
dingin tersebut berupa menggigil dengan tujuan agar produksi panas meningkat
dan vasokonstriksi kulit untuk segera mengurangi pengeluaran panas. Pasien juga
mengalami pola demam seperti pada demam tifoid yaitu demam menurun pada
8
pagi hari namun badan masih terasa hangat dan pasien masih dapat beraktivitas
seperti biasa.
Pada keluhan tambahan didapatkan keluhan berupa kepala pasien terasa sakit
yang umumnya disebabkan oleh infeksi Plasmodium melepaskan toksin malaria
atau GPI sehingga mengaktifasi makrofag dan mensekresikan IL 2 dan terjadi
sintesis bradikinin mestimulus /respon serabut saraf di otak sehingga timbullah
sakit kepala. Pasien juga mengeluh sulit BAB, sakit perut, muntah dan nafsu
makan menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi dari malaria maupun
salmonella thypii yang menginvasi sistem pencernaan pasien. Seperti yang sudah
kita ketahui bahwa pada demam tifoid terjadi mekanisme dimana masuknya
kuman Salmonella typhi (S typhi) dan Salmonella paratyphi (S.paratyphi) ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan di dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam
usus dan selanjutnya berkembang biak.
Pada riwayat penyakit dahulu pasien menyangkal pernah mengalami penyakit
yang sama sebelumnya. Pasien juga menyangkal pada keluarga dan lingkungan
sekitar menderita penyakit yang sama. Pasien tidak mendapatkan transfuse darah
sebelumnya. Pasien tidak berpergian ke daerah endemis malaria. Dari anamnesis
ini pasien masih dalam diagnosis malaria dengan diagnosis banding demam tifoid.
Pada riwayat kebiasaan pasien diketahui bahwa pasien menjalani pola kebersihan
lingkungan dan higienitas yang kurang baik. Hal ini dapat mengarahkan pasien
pada kemungkinan terjadinya infeksi salmonella thypii yang masuk melalui
perantara makanan maupun minuman pasien yang kurang higienis.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital pasien dalam batas normal,
kesadaran pasien baik. Pada pemeriksaan status generalisata didapatkan lidah
kotor (+) , nyeri tekan pada epigastrium serta lien shuffner 1. Lidah kotor disini
disebabkan oleh penumpukan bakteri pada epitel lidah dan terjadi deskuamasi sel
epitel. Lien teraba shuffner 1 menunjukkan adanya banyak parasit dalam
makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang
tidak terinfeksi. Hal ini menunjukkan pemeriksaan yang mengarah pada malaria
dan tifoid karena tifoid juga dapat ditemukan splenomegali.
9
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan pada pemeriksaan widal titer O yang
meningkat yaitu sebesar 1/360 yang menunjukkan peningkatan antibodi tubuh
terhadap bakteri salmonella thypii. Pemeriksaan darah pada demam tifoid
terutama titer O paling baik ditemukan pada seminggu pertama pasien mengalami
keluhan demam.
Pemeriksaan mikrobiologi menunjukkan adanya malaria falciparum pada pasien.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang maka diagnosis
mengarah kepada Malaria Falciparum dan demam tifoid.
4. Plan : Diagnosis : Malaria falciparum dan demam tifoid
Penatalaksanaan :Non farmakologi :
- Tirah baring- Diet lunak rendah serat
Farmakologi :- IVFD RL gtt xxx/menit- Ranitidin 2x50mg (iv)- Tiamfenikol 4 x 500mg (p.o)- FDC (Fixed Drug Combination) DHP 1 x 3 tablet (p.o) dan Primakuin
1 x 2 tablet (p.o) -
Prognosis Vitam : dubia ad bonamFunctionam : dubia ad bonam Edukasi keluarga :
1. Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai penyakit dan tatalaksana yang akan diberikan
2. Memberikan penjelasan kepada keluarga pasien mengenai kondisi klinis pasien jika penyakit pasien terulang kembali dan tanda-tanda yang mengharuskan pasien dibawa secepatnya kerumah sakit.
3. Memperbaiki higienitas maupun sanitasi di lingkungan keluarga agar preventif terhadap penyakit tifoid menyeluruh.
Edukasi pasien :Modifikasi gaya hidup, modifikasi pola makan, edukasi agar pasien berobat teraturKonsultasi : Jika terjadi komplikasi lebih lanjut, pasien dirujuk ke penyakit dalam.
10
1.1 Definisi
Plasmodim falsiparum adalah salah satu organisme penyebab malaria.
Plasmodium ini merupakan jenis yang paling berbahaya dibanding dengan
plasmodium yang lain yang menginfeksi manusia seperti P. vivax, P. malariae dan
P. ovale. Saat ini P. falciparum merupakan salah satu spesies penyebab malaria
yang paling banyak diteliti. Hal tersebut karena spesies ini banyak menyebabkan
angka kematian dan kesakitan pada manusia, selain itu juga karena dapat
ditumbuhkan dalam jangka waktu yang lama secara in vitro.1, 2
1.2 Epidemiologi
Penyakit ini pernah diberantas di banyak negara, namun kemudian muncul
kembali. Saat ini malaria berjangkit di 103 negara dan separuh penduduk dunia
hidup di tempat beresiko mengalami malaria. Dari 300 juta penduduk yang
terjangkit malaria, 3 juta diantaranya meninggal dunia yang berarti beberapa ratus
dalam tiap jamnya.1
Selain kemunculannya kembali, masalah lainnya adalah resisitensi parasit
terhadap obat anti malaria dan resistensi nyamuk terhadap pestisida. Malaria juga
mengancam daerah-daerah yang sebelumnya bukan daerah endemic malaria,
mengancam kesehatan traveler serta member beban kepada masyarakat.1
Pada tahun 2006 terjadi Kejadian Luar Biasa malaria di beberapa daerah.
Upaya penanggulangan baik dengan pengobatan secara massal, survey demam,
penyemprotan rumah, penyelidikan vector penyakit dan tindakan lain telah
dilakukan dengan baik. Beberapa factor yang turut membuat terjadinya KLB ini
disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan tempat perindukan potensial
semakin meluas atau semakin bertambah. Salah satu yang menyebabkan KLB
(Kejadian Luar Biasa) ini adalah malaria Falsiparum.2
1.3 Patogenesis
12
Patogenesis malaria sangat kompleks dan seperti pathogenesis penyakit
infeksi pada umumnya melibatkan factor parasit, factor penjamu, factor social dan
lingkungan. Ketiga factor tersebut saling terkait satu sama lain dan menentukan
manisfestasi klinis malaria yang bervasiasimulai dari yang terberat seperti malaria
serebral sampai infeksi yang paling ringan, yaitu infeksi asimtomatik.2, 3
Pada factor parasit berbagai factor menentukan dalam terjadinya infeksi ini
meliputi resistensi terhadap obat anti malaria, kemampuan parasit dalam
menghindari diri dari respon system imun tubuh host melalui variasi antigenic.
Factor yang paling penting dari parasit adalah pembentukkan sitoadherens dan
pembentukan roset serta berbagai toksin dalam malaria. Sitoadherens adalah
ikatan antara eritrosit yang terinfeksi dengan endotel vascular terutama kapiler
postvenula, menyebabkan terjadinya sekuestrasi parasit pada kapiler-kapiler
organ. Hal ini menyebabkan eritrosit yang terinfeksi melekat pada kapiler-kapiler
13
organ tubuh, menimbulkan gangguan aliran darah local dan jika berat akan
menimbulkan iskemia dan hipoksia dengan hasik akhir adalah kegagalan organ.
Sedangkan roseting adalah ikatan antara eritrosit yang terinfeksi dengan beberapa
eritrosit yang tidak terinfeksi membentuk suatu gumpalan yang disebut roset.
Roseting terjadi karena eritrosit yang terinfeksi melepaskan protein tertentu yang
menimbulkan perlekatan dengan eritrosit yang tidak terinfeksi. Hal ini akan
mengakibatlkan rusaknya eritrosit lain yang normal sehingga asupan oksigen
menjadi terganggu, terjadi hipoksia organ dan terjadi gagal organ.1, 2
Toksin parasit sebagian berasal dari parasit sendiri sebagian berasal dari
eritrosit terinfeksi yang pecah sewaktu proses skizogoni yang mengeluarkan
toksin seperti glycosylphosphatidylinositols (GPI), hemozosin atau yang berasal
dari antigen parasit seperti MSP-1, MSP-2, RAP-1. Toksin tersebut akan
merangsang pengeluaran NO dengan memicu enzim inducible nitric oxide
synthase (iNOS). Pengeluaran NO dalam jumlah berebihan akan mengganggu
berbagai fungsi sel tubuh. Kadar NO yang terlalu tinggi juga akan meningkatkan
sitoadherens dan sekuasterasi parasit.3, 4, 6
Faktor pejamu yang berperan meningkatkan infeksi malaria adalah seperti
umur, genetic, nutrisi, imunitas dan terutama peran dari mediator yang dihasilkan
oleh makrofag, limfosit, leokosit, sel endotel, trombosit akibat rangsangan dari
toksin ataupun antigen parasit. Di daerah endemis stabil, malaria berat terutama
malaria serebral umumnya diderita oleh anak-anak umur 1-4 tahun , setelah itu
hanya ditemukan anemia pada usia pubertas sedangkan pada dewasa umumnya
adalah asimtomatik. Hal ini mungkin disebabkan respon imun terhadap malaria
pada anak terbentuk lebih lambat. Di daerah endemis tidak stabil malaria berat
dapat ditemukan hampir pada semua umur. Selain itu ada beberapa penelitian
bahwa orang dewasa non-imun lebih peka terhadap malaria berat dibanding
dengan anak-anak non-imun, tetapi orang dewasa non-imun mampu membentuk
imunitas klinik dan parasitologis lebih cepat dibanding anak-anak non-imun.2, 4
14
Faktor nutrisi mungkin berperan menentukan kepekaan dalam malaria
berat. Pada beberapa penelitian malaria berat sangat jarang ditemukan pada anak-
anak. Defisiensi besi, riboflavin, PABA mungkin mempunyai efek protektif
terhadap malaria berat karena kekurangan zat gizi tersebut akan menghambat pula
pertumbuhan parasit.1
1.4 Gejala Klinis
Gejala klinis malaria meliputi keluhan dan tanda klinis yang merupakan
petunjuk penting dalam diagnosis malaria. Gejala klinis tersebut dipengaruhi oleh
strain plasmodium, imunitas tubuh dan jumlah parasit yang menginfeksi. Gejala
tersebut juga dipengaruhi oleh endemisitas tempat infeksi (berhubungan dengan
imunitas) dan pengaruh pemberian pengobatan profilaksis atau pengobatan yang
tidak adekuat. Gejala P. falciparum umumnya lebih berat dan lebih akut
dibandingkan dengan jenis lain, sedangkan gejala oleh P. malariae dan P. ovale
ditemukan yang paling ringan.4
Gejala-gejala prodormal malaria hampir sama dengan penyakit infeksi
lain, yaitu adanya lesu, malaise, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri tulang
dan otot, anorexia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa
dingin di punggung. Keluhan ini dapat sering terjadi pada infeksi P. vivax dan P.
ovale. Sedangkan pada P. falciparum dan P. malariae gejala ini dapat tidak jelas
bahkan dapat muncul mendadak. Setelah itu dapat terjadi gejala khas Trias
Malaria yang secara berurutan, yaitu menggigil, demam, berkeringat. Trias
malaria ini dapat berlangsung 6-10 jam dan lebih sering terjadi pada infeksi P.
vivax. Pada P. falciparum menggigil dapat berlangsung lebih berat ataupun tidak
ada. Periode bebas panas pada P. falciparum berlangsung 12 jam, pada P. vivax
dan P. Ovale berlangsung 36 jam, pada P. Malariae berlangsung 60 jam.1, 2
Beberapa gejala klinis khas dari keempat jenis parasit yang menyebabkan
malaria antara lain:
15
Plasmodium Manisfestasi klinis
Falciparum Gejala gastrointestinal (mual muntah),
hemolisis, anemia, ikterus,
hemoglobinuria, syok, algid malaria,
gejala serebral (sakit kepala, kejang),
edema paru, hipoglikemi, gagal ginjal
akut, kelainan retina, kematian
Vivax Anemia kronik, splenomegali, rupture
limpa
Ovale Sama dengan vivax
Malariae Splenomegali menetap, limpa jarang
rupture, sindrom nefrotik
1.5 Diagnosis dan Penatalaksaan
Diagnosis malaria yang cepat dan tepat merupakan hal yang sangat
diperlukan dalam penatalaksanaan kasus malaria. Hal tersebut terutama
berhubungan dengan infeksi P. falciparum yang dapat menyebabkan malaria berat
ataupun malaria dengan komplikasi. Bagi seorang dokter umum anamnesis
adanya riwayat bepergian ke daerah endemis malaria selama lebih kurang 2
minggu sebelum timbul gejala klinis dapat sangat membantu dalam diagnosis.
Gejala klinis yang khas antara lain demam tinggi yang dapat disertai gangguan
kesadaran, ikterik, gangguan berkemih, muntah-muntah hebat, pembesaran limpa
dan trias Malaria dapat terjadi pada seseorang yang baru pertama terinfeksi
malaria. Bagi orang yang bertempat tinggal di daerah endemis biasanya penderita
sudah mempunyai kekebalan walaupun tidak spesifik sehingga gejalanya hanya
berupa demam, sakit kepala, lemah, kadang menggigil dan sebagainya.2
Meskipun anamnesis dan pemeriksaan fisis sangat mendorong kearah
malaria, diagnosis pasti tetap harus ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium.
Bila pada hapusan darah dan laboratorium terdapat plasmodium dan antibody
16
terhadap malaria maka diagnosis pasti malaria dapat ditegakkan. Bila pada
hapusan darah dan laboratorium negative, maka pemeriksaan perlu dilakukan
berulang-ulang. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan yang sangat sensitive
dan spesifik untuk deteksi Plasmodium seperti melalui Moleculer Assay, ELISA
dan PCR. Pemeriksaan PCR sangat berguna pada kasus-kasus dengan derajat
parasitemia yang rendah.2, 6, 8
Pengobatan malaria falsiparum
Lini pertama: dengan Fixed Dose Combination = FDC yang terdiri dari
Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP) tiap tablet mengandung 40 mg
Dihydroartemisinin dan 320 mg Piperakuin.
Untuk dewasa dengan Berat Badan (BB) sampai dengan 59 kg diberikan DHP
peroral 3 tablet satu kali per hari selama 3 hari dan Primakuin 2 tablet sekali
sehari satu kali pemberian, sedang untuk BB > 60 kg diberikan 4 tablet DHP satu
kali sehari selama 3 hari dan Primaquin 3 tablet sekali sehari satu kali pemberian.
Dosis DHA = 2 - 4 mg / kgBB (dosis tunggal), Piperakuin = 16 - 32 mg / kgBB
(dosis tunggal), Primakuin = 0,75 mg / kgBB (dosis tunggal).
Pengobatan malaria falsiparum yang tidak respon terhadap pengobatan DHP.
Lini kedua: Kina + Doksisiklin / Tetrasiklin + Primakuin. Dosis kina = 10 mg /
kgBB / kali (3x / hari selama 7 hari), Doksisiklin = 3,5 mg / kgBB per hari
(dewasa, 2x / hr selama 7 hari), 2,2 mg / kgBB / hari (8-14 tahun, 2x / hr selama 7
hari), Tetrasiklin = 4-5 mg / kgBB / kali (4x / hari selama 7 hari).
Pengobatan malaria vivax dan ovale
Lini pertama: Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP), diberikan peroral
satu kali per hari selama 3 hari, primakuin= 0,25mg / kgBB / hari (selama 14
hari).
17
Pengobatan malaria vivax yang tidak respon terhadap pengobatan DHP.
Lini kedua: Kina + Primakuin. Dosis kina = 10 mg / kgBB / kali (3x / hr selama 7
hari), Primakuin = 0,25 mg / kgBB (selama 14 hari).
• Pengobatan malaria vivax yang relaps (kambuh):
- Diberikan lagi regimen DHP yang sama tetapi dosis primakuin ditingkatkan
menjadi 0,5 mg / kgBB / hari.
- Dugaan relaps pada malaria vivax adalah apabila pemberian Primakiun dosis 0,25
mg / kgBB / hr sudah diminum selama 14 hari dan penderita sakit kembali dengan
parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah pengobatan.
Pengobatan malaria malariae
Cukup diberikan DHP 1 kali perhari selama 3 hari dengan dosis sama dengan
pengobatan malaria lainnya dan dengan dosis sama dengan pengobatan malaria
lainnya dan tidak diberikan Primakuin.
Pengobatan infeksi campuran antara malaria falsiparum dengan malaria
vivax / malaria ovale dengan DHP.
Pada penderita dengan infeksi campuran diberikan DHP 1 kali per hari selama 3
hari, serta DHP 1 kali per hari selama 3 hari serta Primakuin dosis 0,25 mg /
kgBB selama 14 hari.
Pengobatan malaria pada ibu hamil
• Trimester pertama:
- Kina tablet 3x 10 mg / kg BB + Klindamycin 10 mg / kgBB selama 7 hari.
• Trimester kedua dan ketiga diberikan DHP tablet selama 3 hari.
• Pencegahan / profilaksis digunakan Doksisiklin 1 kapsul 100 mg / hari diminum 2
hari sebelum pergi hingga 4 minggu setelah keluar / pulang dari daerah endemis.
18
2. Demam Tifoid
2.1 DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit, yang disebabkan oleh Salmonella typhi.
Penyakit ini ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman yang
terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi.. Demam tifoid adalah
penyakit infeksi pada usus halus. Demam tifoid disebut juga paratyphoid fever,
enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis. (1)
Gejala biasanya berkembang 1-3 minggu setelah terpapar dan
menunjukkan gejala yang mungkin ringan atau berat. Gejala termasuk demam
tinggi, malaise, sakit kepala, konstipasi atau diare, muncul bintik merah pada
dada, dan pembesaran limpa dan hati. Carrier yang sehat dapat memperlihatkan
gejala penyakit akut. (1)
Demam tifoid dapat diobati dengan antibiotik. Namun, resistansi terhadap
antimikroba telah meluas. (1)
2.2 EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid terjadi diseluruh dunia, terutama di Negara berkembang
yang memiliki sanitasi yang buruk. Demam tifoid endemik di Asia, Afrika,
Amerika latin, dan pasifik. Demam tifoid merupakan penyakit endemik di
Indonesia. Insidensi demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait
dengan sanitasi lingkungan. Di daeral rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000
penduduk sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.
Perbedaan insidensi di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih
yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang
kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. (2)
2.3 ETIOLOGI
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sedangkan demam
paratifoid disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B dan
Salmonella paratyphi C. (3)
19
Salmonella typhi tergolong dalam famili Enterobacteriaceae, adalah
kuman gram negatif berbentuk batang, memiliki flagella, tidak membentuk
spora, fakultatif anaerobik bergerak aktif. Bakteri ini mempunyai panjang kurang
lebih 3 mikron lebar 0,5 mikron. Kuman ini memiliki 3 macam antigen. Antigen
somatik O atau antigen somatik berasal dari dinding sel kuman, antigen flagelar
(H) berasal dari cambuk kuman dan antigen Vi berupa bahan termolabil yang
diduga sebagi pelapis tipis dinding sel kuman. Antigen O merupakan bahan
kompleks polisakarida yang penting untuk menentukan virulensi kuman. (3)
2.4 PATOGENESIS
Masuknya kuman Salmonella typhi (S typhi) dan Salmonella paratyphi
(S.paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan di dalam lambung,
sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila
respons imunitas humral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torakikus kuman yang terdapat di
dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik), dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotial
tubuh terutama hati dan limpa . Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibakan bakterimia yang
kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. (2)
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak
dan bersama cairan empedu dieksresikan secara “intermitten” ke dalam lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis
20
kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental,
dan koagulasi. (2)
Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hyperplasia jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas
tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. (2)
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya. (2)
2.5 DIAGNOSIS
Penegakan kasus sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan
terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis
penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secar dini. Walaupun
pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu
menegakkan diagnosis. (2)
Untuk Mendiagnosis klinis demam tifoid cukup sulit. Di area endemik
tifoid, demam yang tidak deketahui penyebabnya yang berlangsung lebih dari satu
minggu dapat di curigai demam tifoid. Kultur darah dapat dijadikan diagnosis
standar. Kultur sumsum tulang lebih sensitif. Kultur darah kurang sensitif
dibandingkan dengan kultur sumsum tulang karena jumlah mikroorganisme
yang ditemukan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah yang ditemukan di
sumsum tulang. Kultur darah lebih sensitif pada minggu pertama yang dapat
menurun dengan pemberian antibiotik. Kultur tinja ditemukan positif pada 30%
kasus dan memiliki sensitivitas tergantung pada jumlah tinja dan lama
penyakit. (4)
21
Penggunaan tes widal masih kontroversial karena sensitivitas, spesifitas
dan nilai prediksi yang digunakan sangat bervariasi tergantung letak area
geografis. Tes ini mendeteksi aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H dari
Salmonella enterica serotype typhi. Meskipun begitu, tes widal masih digunakan
pada daerah lokal yang telah diketahui cut of point nya. (4)
A. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis demam tifoid bervariasi mulai dari yang ringan hingga
yang bentuk yang berat seperti syok toksik. Gejala yang ditimbulkan seperti
demam tinggi (104oF), keringat banyak, gangguan buang air besar berupa
konstipasi pada dewasa dan diare pada anak, malaise, mialgia, batuk kering yang
menyerupai bronkhitis, anoreksia, mual, dan pada pada beberapa kasus ditemukan
non-bloody diarrhea. Jika demam lebih darai 5 hari, bintik-bintik merah mungkin
ditemukan.
Masa inkubasi pada demam tifoid tanpa komplikasi berkisar 10-14 hari.
Malaise dan letargi dapat berlanjut hingga beberapa bulan saat penyakit muncul.
Jika tidak di obati, demam tifoid dapat berkembang hingga ke stadium empat
dimana tiap stadium berakhir dalam 1 minggu.
Pada minggu pertama, suhu tubuh meningkat secara perlahan-lahan
dengan baradikardi relatif, malaise, nyeri kepala dan batuk. Pada beberapa kasus
ditemukan perdarahan dari hidung dan nyeri perut.
Pada minggu kedua demam berkisar 104oF dan denyut jantung yang
lambat. Delirium kadang di temukan. Bintik merah pada dada bagian bawah dan
abdomen ditemukan pada 30% pasien. Gejala abdominal makin jelas dengan di
temukannnya nyeri pada kuadran kanan bawah. Diare dengan frekuensi 6-8 kali
per hari, namun konstipasi juga sering ditemukan. Lien dan hepar teraba dan
tegang.
Pada minggu ketiga demam, komplikasi mulai muncul seperti perdarahan
intestinal, ensefalitis, abses metastase, colesistisis, endokarditis dan osteitis.
Sekitar 10-15% demam tifoid mengalami komplikasi. Perforasi usus terjadi 1-3%
22
dan menjadi peritonitis dan menyebabkan kematian jika tidak segera di
intervensi bedah.
Pada minggu ke empat demam, pasien yang mengalami delirium
menunjukkan gejala dehidrasi. Komplikasi lain termasuk DIC, pneumonia yang
sering terjadi pada anak dan jarang pada dewasa. Pada kasus yang jarang terjadi
seperti granuloma hepar, lien dan sum-sum tulang, abses hepar dan lien, efusi
pleura, sindrom fagosit, pseudotumor cerebri, endokarditis hemolitik dan
perikarditis. (5)
B. PEMERIKSAAN LABORATORIUM PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi;
(2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji
serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler. (6)
1. PEMERIKSAAN DARAH TEPI
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan
hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan
aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh
beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta
laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal
yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam
tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi
dugaan kuat diagnosis demam tifoid. (6)
2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.
typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum
atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan
lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. (6)
23
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada
beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1)
jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu;
dan (3) waktu pengambilan darah. (6)
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak
kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan
untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih
sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut. (6)
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan
pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif
40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-
50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel
penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan
volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam
feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga
(75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama.
Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai
sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan
sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah
pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-
hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang
diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak
24
digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah
satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah
dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang. (6)
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan
media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang
sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu
pengambilan spesimen yang tidak tepat. (6)
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri
sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis
baku dalam pelayanan penderita. (6)
3. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX®; (3) metode enzyme immunoassay (EIA);
(4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan
dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan
adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen
spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang
diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang
digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit). (6)
3.1 UJI WIDAL
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan
sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi
25
aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda
terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah
yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan
(slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat
dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan
teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji
hapusan.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara
lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status
imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi;
gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-
endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan. (6)
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta
sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif
akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda
infeksi).3 Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia,
manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar
titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di
populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan
peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. (6)
3.2 TES TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
26
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
3.3 METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi
terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi.
Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang
tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-
M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi
dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan
pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-
tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan
dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif
yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa
Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan
kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat
digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah
bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan
27
diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila
hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
3.4 METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY
(ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam
spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992)
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada
sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang
didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan
sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial
serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine
penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada
deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen
Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih
lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada
minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya
nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis. (6)
3.5 PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi
dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi
sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen
kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
4. IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER
28
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan
teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase
chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
A. Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur
teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang
bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah
serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi
dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis
masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian. (6)
2.6 PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini masih di anut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu
istirahat dan perawatan dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan, tatalaksana simtomatik dan suportif seperti pemberian cairan oral
atau intravena, pemberian antipiretik, nutrisi yang tepat dan transfusi darah bila
ada indikasi serta pemberian antimikroba untuk menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman. (2)
Lebih dari 90% pasien dapat di berikan tatalaksana dirumah dengan
pemberian antibiotik oral, asuhan terpercaya dan cek up medis jika ada
komplikasi atau respon terapi yang gagal. Namun, pasien dengan muntah, diare
berat dan distensi abdomen harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik
parenteral. (7)
a. Tatalaksana Demam Tifoid tanpa Komplikasi
Strategi pemberian antibiotik pada kasus tifoid tanpa komplikasi dapat dilihat
pada tabel berikut
Kerentanan
Terapi optimal Obat efektif alternatif Antibiotik Dosis
harian mg/kg
Hari Antibiotik Dosis harian mg/kg
Hari
29
Sensitif Fluorokuinolon mis. Ofloxacin; ciprofloxacin
15 5-7 KloramfenikolAmoxicilin
Cotrimoxazole
50-7575-1008-40
14-211414
MDR FluorokuinolonCefixim
1515-20
5-77-14
AzitromicinCefixime
8-1015-20
77-14
Resisten kuinolon
AzitromicinCeftriaxon
8-1075
710-14
Cefixime 20 7-14
Berdasarkan data dari Global Distribution to Salmonella enterica Serotype
Typhi tahun 1990-2002, seluruh dunia menjadi area endemik demam tifoid dan
pada beberapa area dilaporkan telah terjadi strain MDR dan strain yang resisten
asam nalidiksat. Di Indonesia sendiri dilaporkan menjadi daerah endemik namun
bukan daerah dengan strain MDR serta strain resisten asam nalidiksat. (4)
Florokuinolon secara luas dianggap optimal dalam pengobatan penderita
demam tifoid dewasa. Obat ini relatif murah, baik di toleransi serta lebih cepat
dan lebih efektif dibandingkan dengan obat lini pertama seperti kloramfenikol,
ampicilin, amoxicilin dan cotrimoxazole. Penetrasi florokuinolon sangat baik di
jaringan dan membasmih S.typhi pada stadium intraseluler serta lebih efektif di
kandung empedu jika dibandingkan obat lain. Florokuinolon cepat menghasilkan
respon terapi, menghilangkan demam dan gejala lain demam tifoid dalam 3-5 hari
serta jumlah carier setelah pengobatan yang rendah (7).
b. Tatalaksana Demam Tifoid dengan Komplikasi
Jika telah terjadi komplikasi pada demam tifoid maka diberikan pengobatan seperti
berikut
Kerentanan
Obat parenteral optimal Obat alternatif parenteral efektifAntibiotik Dosis
harian mg/kg
Hari Antibiotik Dosis harian mg/kg
Hari
Sensitif Fluorokuinolon mis.ofloxacin
15 10-14
KloramfenikolAmoxicilin
Cotrimoxazole
1001008-40
14-211414
MDR Fluorokuinolon 15 10- Ceftriaxone 60 10-
30
14 Cefotaxime 80 1410-14
Resisten kuinolon
CeftriaxoneCefotaxime
6080
10-1410-14
Fluorokuinolone 20 7-14
Pasien demam tifoid yang masih dirawat atau yang telah keluar harus
dipantau perkembangan komplikasi. Intervensi secara berkala dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas. Florokuinolon parenteral merupakan antibiotik pilihan
untuk infeksi berat. Pasien demam tifoid disertai dengan perubahan status mental
yang ditandai dengan delirium, stupor harus segera di evaluasi meningitis dengan
memeriksa cairan serebrospinal. Jika hasilnya normal namun dicurigai meningitis
tifoid, pasien dewasa maupun anak harus segera diterapi dengan dexametasone
dosis tinggi secara intravena dikombinasikan dengan antimikroba. Dexametasone
diberikan pada fase awal 3 mg/kg secara i.v infus perlahan selama 30 menit dan
setelah enam jam kemudian diberikan 1 mg/kg dan diulang setiap enam jam.
Penggunaan hidrokortison pada dosis rendah tidak efektif. Penmberian steroid
dosis tinggi dapat diberikan jika hasil kultur darah pasien belum ada dan penyakit
memberat. (7)
Pasien dengan perdarahan saluran cerna butuh perawatan intensif,
monitoring dan transfusi darah. Intervensi tidak dapat dilakukan jika terjadi
kehilangan darah yang signifikan. Konsultasi dengan bedah di indikasikan jika
dicurigai perforasi intestinal. Jika terjadi perforasi maka penanganan bedah harus
segera dilakukan tidak lebih dari enam jam. Metronidazole dan gentamicin atau
ceftriaxone dapat diberikan sebelum dan setelah pembedahan jika tidak
menggunakan fluorokuinolon untuk mencegah lolosnya bakteri melalui luka pada
usus ke cavum abdominal. (7)
Sekitar 5-20% kasus akut dilaporkan menjadi relaps pada demam tifoid
yang telah mendapatkan pengobatan yang sempurna. Pada kasus ini terjadi
demam terjadi kembali setelah pengobatan antibiotik tuntas. Manifestasi klinis
lebih ringan dibandingkan pada awal penyakit. Kultur harus tetap dilakukan dan
31
pengobatan diberikan sesuai dengan standar. Pada kasus relaps harus dipastikan
bahwa tidak ada scistosomiasis. (7)
c. Tatalaksana terhadap Carier
Seseorang tersangka carier kronik jika tidak menunjukkan gejala namun
terus menunjukkan kultur tinja positif terhadap S.typhi setelah sembuh dari gejala
akut. Sekitar 1-5% pasien menjadi carier kronik. Jumlah carier lebih banyak pada
wanita, usia lebih dari 50 tahun dan pasien dengan colelitiasis atau scistosomiasis.
Jika ditemukan colelitiasis atau scistosomiasis maka perlu dilakukan
colesistectomi atau pengobatan antiparasit di kombinasikan dengan antibiotik
untuk menghilangkan bakteri. Untuk mengeradikasi carier S.typhi, amoxicilin
atau ampicilin (100 mg/kg/hari) ditambah dengan probenecid (Benemid®)(1 gr
oral atau 23 mg /kg untuk anak) atau Cotrimoxazole (160-800 mg 2kali sehari)
diberikan selama enam minggu. Sekitar 60% hasil kultur menjadi negatif. Sekitar
80% carier kronik sukses dengan pemberian 750 mg ciprofloxacin 2 kali sehari
selama 28 hari atau 400 mg norfloxacin. Obat kuinolon lain mungkin memberikan
hasil yang serupa. (7)
Carier tidak boleh dilibatkan dalam kegiatan mengolah dan meyajikan
makanan juga pasien yang baru sembuh dan orang yang menunujukkan gejala
demam tifoid. Meskipun hal ini sulit untuk dilakukan, pekerjaan yang menyentuh
makanan tidak bolh dilakukan hingga hasil kultur tinja negatif selama tiga kali
pemeriksaan. (7)
Dokter Pendamping
dr. Sartika Sadikin
32
Recommended