1
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang memberi
gejala yang akan berlanjut kesuatu organ target seperti stroke, penyakit jantung
koroner dan hipertrofi ventrikel kanan. Dengan target organ di otak yang berupa
stroke, hipertensi menjadi penyebab utama stroke yang membawa kematian yang
tinggi.1
Hingga saat ini, hipertensi masih merupakan masalah kesehatan serius
di seluruh dunia. Penyebabnya antara lain prevalensi hipertensi yang semakin
meningkat, sedikitnya penderita yang mendapatkan terapi adekuat, masih
banyaknya penderita yang tidak terdeteksi, serta tingginya morbiditas dan
mortalitas akibat komplikasi hipertensi.2
Data WHO tahun 2000 menunjukkan bahwa sekitar 972 juta (26,4%)
penduduk dunia menderita hipertensi dan angka tersebut kemungkinan
meningkat menjadi 29,2% pada tahun 2025. Dari 972 juta penderita hipertensi,
333 juta berada di negara maju sedangkan 639 juta sisanya berada di Negara
berkembang. Di Indonesia, pada tahun 2007, prevalensi hipertensi di daerah
urban dan rural berkisar antara 17-21%, tetapi data secara nasional belum
lengkap. Sebagian besar penderita hipertensi di Indonesia tidak terdeteksi,
sementara mereka yang terdeteksi umumnya tidak menyadari kondisi
penyakitnya.2,3
1
2
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi diketahui bahwa kasus
hipertensi esensial lebih tinggi bila dibandingkan dengan hipertensi sekunder.
Jumlah kasus yang didapat yaitu pada tahun 2008, 2009, 2010, dan 2011 yaitu
yang menderita hipertensi esensial pada tahun 2008 sebanyak 3.352 kasus, tahun
2009 sebanyak 3.688 kasus, tahun 2010 sebanyak 2.812 kasus dan pada tahun
2011 sebanyak 6.594 kasus. Sedangkan untuk yang menderita hipertensi
sekunder pada tahun 2008 sebanyak 1.110 kasus, tahun 2009 sebanyak 1.903
kasus, tahun 2010 sebanyak 1.624 kasus, dan pada tahun 2011 sebanyak 834
kasus.4
Sedangkan data Puskesmas Raja Basa Indah didapatkan hipertensi
selalu masuk urutan 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Rajabasa Indah pada
tahun 2009-2012. Pada tahun 2009, hipertensi masuk urutan ke-4 dengan jumlah
1.896 kasus (11,54%). Tahun 2010 masih masuk dalam urutan ke-4 dengan
jumlah kasus sebanyak 1.674 (9,8%) dan pada tahun 2011, ternyata kasus
hipertensi menurun menjadi urutan ke-6 sebanyak 1.510 kasus (8%). Tetapi
disayangkan pada tahun 2012 kasus hipertensi kembali melonjak dengan urutan
ke-3 yaitu sebanyak 1.915 kasus (10%).5
Hipertensi sebenarnya merupakan penyakit yang dapat dicegah bila
faktor resiko dikendalikan. Berdasarkan data epidemiologi terbaru, hiperurisemia
juga disebut sebagai faktor resiko yang penting bagi hipertensi dan penyakit
kardiovaskuler lainnya.6,7,10 Namun, peranan asam urat sebagai faktor resiko
penyebab penyakit kardiovaskuler masih kontroversial. Studi yang dilakukan
3
oleh Culleton dkk tahun 2006 pada The Framingham Heart Study menunjukkan
asam urat tidak mempunyai peranan kausal pada perkembangan penyakit jantung
koroner, kematian akibat penyakit kardiovaskuler ataupun kematian akibat sebab
apapun.8 Di sisi lain, beberapa studi justru menunjukkan bahwa hiperurisemia
berperan penting pada terjadinya morbiditas kardiovaskuler di populasi umum,
pasien hipertensi, DM tipe 2, dan pasien penyakit jantung serta vaskuler.9,10
Hubungan antara hiperurisemia dengan hipertensi semakin diperkuat
oleh studi eksperimental dengan hewan coba tikus yang dilakukan oleh Heinig
dan Johnson pada tahun 2006. Percobaan tersebut menunjukkan adanya
peningkatan tekanan darah tikus, 3 – 5 minggu setelah kadar asam urat mereka
ditingkatkan melalui pemberian oxonic acid. Oxonic acid merupakan suatu
inhibitor uricase yang bertugas menghambat kerja enzim uricase. Sedangkan
cara kerja enzim uricase adalah mengubah asam urat menjadi allantoin yang
lebih larut dan dapat diekskresi lewat urine. Mekanisme yang mendasari
terjadinya hipertensi pada percobaan tersebut adalah hiperurisemia menyebabkan
vasokontriksi renal akibat penurunan kadar endothelial nitric oxide (NO),
meningkatkan produksi renin pada macula densa ginjal, dan mengaktifkan sistem
RAA (Renin – Angiotensin – Aldosteron).6
Dari hasil uraian di atas kita ketahui bahwa peran hiperurisemia sebagai
faktor risiko hipertensi dan penyakit kardiovaskuler masih merupakan
kontroversi. Oleh sebab itu, saya sebagai peneliti tertarik untuk melakukan
4
penelitian ini agar mengetahui apakah memang terdapat hubungan antara
hiperurisemia dengan hipertensi, khususnya pada lanjut usia.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara hiperurisemia dengan hipertensi pada lansia di
Wilayah Kerja Puskesmas Rajabasa Indah Bandar Lampung tahun 2013.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum :
Untuk mengetahui hubungan peningkatan kadar asam urat dengan hipertensi
pada lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Rajabasa Indah Bandar Lampung
tahun 2013.
1.3.2 Tujuan Khusus :
1. Mengetahui karakteristik hipertensi pada lansia.
2. Mengetahui karakteristik hiperurisemia pada lansia.
3. Mengetahui hubungan antara hiperurisemia dengan hipertensi pada lansia.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah
bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai hubungan antara
hiperurisemia dengan hipertensi.
5
1.4.2 Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya mengontrol kadar asam urat sehingga secara
langsung dapat menurunkan angka kejadian hipertensi.
1.4.3 Bagi Penulis
Penelitian ini sebagai pembelajaran nyata dan berharga untuk
memahami dan mengkaji masalah kesehatan yang ada di masyarakat dan
sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu kedokteran.
6
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fisiologi Pengaturan Tekanan Darah
Tekanan darah arteri rata-rata adalah gaya utama untuk mendorong
darah ke jaringan. Tekanan tersebut harus diatur secara ketat dengan tujuan:
1) Dihasilkan gaya dorong yang cukup sehingga otak dan jaringan lain menerima
aliran darah yang adekuat, dan
2) Tidak terjadi tekanan yang terlalu tinggi yang dapat memperberat kerja
jantung dan meningkatkan risiko kerusakan pembuluh darah.
Pengaturan tekanan darah melibatkan integrasi berbagai komponen
sistem sirkulasi dan sistem tubuh lain (Gambar 2.1). Perubahan setiap faktor
tersebut akan mengubah tekanan darah kecuali terjadi perubahan kompensatorik
pada variabel lain sehingga tekanan darah konstan.12
Berdasarkan bagan tersebut diketahui bahwa tekanan darah sangat
tergantung pada curah jantung (cardiac output) dan resistensi perifer. Menurut
Wilson and Price, besar tekanan darah seseorang juga dapat dihitung dengan
rumus:13
Tekanan darah = Curah jantung x Denyut jantung
6
7
Gambar 2.1. Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah.12
Kecepatandenyut jantung
Volumesekuncup
Jari-jariarteriol
Viskositasdarah
aktivitasparasimpatis
aktivitassimpatis dan
epinefrin
aliranbalik vena
kontrolmetabolik
lokal
kontrol vasokontriktor
lokal
jumlaheritrosit
Volumedarah
Aktivitaspernapasan
Aktivitasotot rangka
aktivitas simpatisdan epinefrin
Vasopresin danangiotensin II
Pergeseran cairan bulk flow pasif
antara kompartmen vaskuler dan
cairan interstisium
Keseimbangangaram dan air
Vasopresin dan sistemrenin-angiotensin-
aldosteron
Curah jantung Resitensi perifer total
Tekanan Darah Arteri Rata-Rata
8
Di dalam tubuh terdapat baroreseptor yang secara konstan memantau
tekanan darah arteri rata-rata. Baroreseptor tersebut adalah sinus caroticus dan
baroreseptor arcus aorta. Setiap perubahan pada tekanan darah akan
mencetuskan refleks baroreseptor yang diperantarai oleh sistem saraf otonom.
Tujuan refleks tersebut adalah penyesuaian curah jantung dan resistensi perifer
total sehingga tekanan darah kembali normal. Contoh kerja reflek baroreseptor
adalah peningkatan tekanan darah setelah berolahraga. Hal tersebut akan
mempercepat pembentukan potensial aksi di neuron aferen sinus caroticus dan
baroreseptor lengkung aorta. Melalui peningkatan kecepatan pembentukan
potensial aksi tersebut, pusat kontrol kardiovaskuler mengurangi aktivitas
simpatis dan meningkatkan aktivitas parasimpatis. Sinyal-sinyal eferen tersebut
akan menurunkan kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup, merangsang
vasodilatasi arteriol dan vena sehingga curah jantung dan resistensi perifer turun.
Hasil akhirnya adalah tekanan darah kembali normal. Namun pada hipertensi,
baroreseptor tidak berespon mengembalikan tekanan darah ke tingkat normal
karena mereka telah beradaptasi untuk bekerja pada tingkat yang lebih tinggi.12
2.2 Hipertensi
Sebelum kita mengenal lebih jauh tentang hipertensi, kita perlu
mengetahui apa itu yang dimaksud dengan tekanan darah. Tekanan darah adalah
kekuatan yang ditimbulkan oleh jantung yang berkontraksi seperti pompa, untuk
mendorong agar darah terus mengalir ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah.
9
Tanpa adanya kekuatan memompa secara terus menerus seperti ini dalam sistem
peredaran darah, darah segar tidak dapat terbawa ke otak dan seluruh jaringan
tubuh. Peredaran darah sendiri merupakan sistem tertutup. Artinya, setelah
sampai di ujung jaringan, darah akan kembali lagi ke jantung. Tekanan darah
dibagi menjadi dua, yaitu tekanan darah sistolik dan diastolik. Angka lebih tinggi
yang diperoleh pada saat jantung berkontraksi disebut tekanan darah sistolik.
Sedangkan angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi
disebut tekanan darah diastolik. Dikatakan tekanan darah tinggi jika tekanan
sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik mencapai 90
mmHg atau lebih, atau keduanya.11
Hipertensi merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang paling
banyak ditemui di masyarakat dengan insidensi 10-15% pada orang dewasa.
Kejadian hipertensi juga sering dikaitkan dengan penambahan usia.
Hal tersebut ditunjukkan dengan makin meningkatnya jumlah penderita
hipertensi seiring dengan peningkatan populasi usia lanjut.2,14
2.2.1. Definisi dan Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang
memberi gejala yang akan berlanjut kesuatu organ target seperti stroke,
penyakit jantung koroner dan hipertrofi ventrikel kanan. Dengan target
organ di otak yang berupa stroke, hipertensi menjadi penyebab utama
stroke yang membawa kematian yang tinggi.1 Jika sistem kompleks yang
10
mengatur tekanan darah tidak berjalan dengan semestinya, maka tekanan
dalam arteri meningkat. Peningkatan tekanan dalam arteri yang berlanjut
dan menetap disebut tekanan darah tinggi. Tekanan darah dinyatakan
tinggi bila tekanan sistolik adalah 140 mmHg atau lebih secara terus
menerus, tekanan diastolik 90 mmHg atau lebih secara terus menerus atau
keduanya.15
Beberapa organisasi seperti JNC 7 (The Seventh Report of The
Joint Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure) dan ESH (European Society of Hypertension)
membuat klasifikasi hipertensi seperti yang tertera pada tabel di bawah
ini. Akan tetapi, pada umumnya digunakan klasifikasi JNC 7.
Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7.16
Klasifikasi
Tekanan Darah
Tekanan Darah
Sistolik (mmHg)
Tekanan Darah
Diastolik (mmHg)
Normal 120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 >160 >100
11
2.2.2. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, selama ini dikenal dua jenis
hipertensi, yaitu:
1. Hipertensi Primer atau Esensial
Hipertensi esensial atau primer adalah hipertensi yang belum
diketahui penyebabnya secara jelas dan lebih sering yaitu meliputi
95% dari hipertensi.17
Hipertensi ini merupakan penyakit multifaktorial yang timbul
akibat interaksi beberapa faktor risiko. Beberapa faktor risiko tersebut
antara lain adalah:
a. Pola hidup seperti merokok, asupan garam berlebih, obesitas,
aktivitas fisik, dan stres.
b. Faktor genetis dan usia
c. Sistem saraf simpatis : tonus simpatis dan variasi diurnal.
d. Ketidakseimbangan antara modulator vasokontriksi dan
vasodilatasi.
e. Pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan dalam system
renin, angiotensin, dan aldosteron.2
2. Hipertensi Sekunder
Merupakan suatu keadaan dimana peningkatan tekanan darah
yang terjadi disebabkan oleh penyakit tertentu. Hipertensi jenis ini
mencakup 5% kasus hipertensi. Beberapa penyebab hipertensi
12
sekunder antara lain penyakit ginjal seperti glomerulonefritis akut,
nefritis kronis, kelainan renovaskuler, dan Sindrom Gordon; penyakit
endokrin seperti feokromositoma, dan hipertiroid; serta kelainan
neurologi seperti tumor otak.18
2.2.3. Kerusakan Organ Target
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ target
yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah:
1. Jantung
Hipertrofi ventrikel kiri
Angina atau infark miokardium
Gagal jantung
2. Otak
stroke atau transcient ischemic attack
3. Penyakit ginjal kronis
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati
Adanya kerusakan organ target, terutama pada jantung dan
pembuluh darah, akan memperburuk prognosis pasien hipertensi.
Tingginya angka morbiditas dan mortalitas hipertensi terutama disebabkan
oleh timbulnya penyakit kardiovaskuler.2
13
2.2.4. Diagnosis
Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali
pengukuran. Diagnosis baru dapat ditetapkan setelah dua kali atau lebih
pengukuran pada kunjungan yang berbeda kecuali terdapat kenaikan yang
tinggi atau gejala-gejala klinis. Penegakkan diagnosis hipertensi adalah
dengan melakukan anamnesa tentang keluhan pasien, riwayat penyakit
dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang.2
2.2.5. Pemeriksaan Fisik
Dalam pemeriksaan fisik selain memeriksa tekanan darah, juga
untuk evaluasi adanya penyakit penyerta, kerusakan organ target, serta
kemungkinan adanya hipertensi sekunder.
Pengukuran di kamar periksa dilakukan pada posisi duduk
dikursi setelah pasien istirahat selama 5 menit, kaki di lantai dan lengan
pada posisi setinggi jantung. Ukuran dan peletakan manset ( panjang 12-
13 cm, lebar 35 cm untuk standar orang dewasa) dan stetoskop harus
benar (gunakan suara Korotkoff fase I dan V untuk penentuan sistolik dan
diastolik ). Pengukuran dilakukan dua kali, dengan sela antara 1-5 menit,
Pengukuran tambahan dilakukan jika hasil kedua pengukuran sebelumnya
sangat berbeda. Konfirmasi pengukuran pada lengan kontralateral
14
dilakukan pada kunjungan pertama dan jika didapatkan kenaikan tekanan
darah.
Pengukuran sendiri dirumah memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kekurangannya adalah masalah ketepatan pengukuran, sedangkan
kelibahannya antara lain dapat menyingkirkan efek whaitecoat dan
memberikan banyak hasil pengukuran. Beberapa peneliti menyatakan
bahwa pengukuran di rumah lebih memiliki kondisi tekanan darah sehari-
hari. Pengukuran tekanan darah di rumah juga diharapkan dapat
meningkatkan kepatuhan pasien dan meningkatkan keberhasilan
pengendalian tekanan darah serta menurunkan biaya.2
2.2.6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri: tes darah
rutin, glukosa darah (sebaiknya puasa), kolesterol total serum, kolesterol
LDL dan HDL serum, trigliserida serum (puasa), asam urat serum,
kreatinin serum, kalium serum, Hb dan Hct, Urinalisis (uji carik celup
serta sendimen urin), dan elektrokardiogram.2
2.3. Asam Urat dan Hiperurisemia
Asam urat adalah senyawa sukar larut dalam air yang merupakan hasil
akhir metabolisme purin. Secara alamiah purin terdapat dalam tubuh kita dan
dijumpai pada semua makanan dari sel hidup, yakni makanan dari tanaman
15
berupa sayur, buah, dan kacang-kacangan atau hewan berupa daging, jeroan,
dan ikan sarden. Juga dalam minuman berakohol dan makanan kaleng. Ada dua
sumber utama purin dalam tubuh, yaitu purin yang berasal dari makanan dan
purin hasil metabolisme DNA tubuh.15
Asam urat merupakan hasil akhir metabolism purin, baik purin yang
berasal dari bahan makanan maupun purin yang berasal dari pemecahan asam
nukleat tubuh. Senyawa ini sukar larut dalam air, tetapi dalam plasma
darah/serum, asam urat larut dalam bentuk natrium urat. Sedangkan dalam
saluran kemih urat terdapat dalam bentuk asam urat. Bentuk garamnya terlarut
pada kondisi pH atau keasaman > 7. Dalam bahan makanan, purin terdapat
dalam asam nukleat berupa nucleoprotein. Di usus, asam nukleat dibebaskan
dari nucleoprotein oleh enzin pencernaan. Selanjutnya asam nukleat ini akan
dipecah lagi menjadi mononukleatida. Mononukleatida dihidrolisis menjadi
nukleosida yang langsung dapat diserap oleh tubuh dan sebagian dipecah lebih
lanjut menjadi purin dan pirimidin. Selanjutnya didalam hati, purin diangkut
dan teroksidasi menjadi asam urat. Jadi, asam urat terbentuk dari hasil
metabolisme ikatan kimia yang mengandung nitrogen yang terdapat dalam asam
nukleat yaitu purin.enzim yang penting pada pembentukan asam urat adalah
Xantin Oksidase yang sangat aktif bekerja pada usus halus, hati, dan ginjal.19
Pernyataan diatas juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan
Mustafiza, Pramadya Vardhani pada tahun 2010 yang manyatakan bahwa
Proses pembentukan asam urat sebagian besar berasal dari metabolisme
16
nukleotida purin endogen, guanylic acid (GMP), inosinic acid (IMP), dan
adenylic acid (AMP). Perubahan intermediate hypoxanthine dan guanine
menjadi xanthine dikatalisis oleh enzim xanthine oxidase dengan produk akhir
asam urat (Gambar 1).
Kadar asam urat manusia dan beberapa primata seperti simpanse
memiliki rentang yang luas (2 mg/dl sampai 12 mg/dl) dan lebih tinggi dari
mamalia lain. Hal itu disebabkan oleh mutasi gen pengode uricase, suatu enzim
hepar yang berfungsi mengubah asam urat menjadi allantoin yang lebih larut
dan dapat diekskresi lewat urine. Ketiadaan enzim tersebut menyebabkan
hampir 100% asam urat yang difiltrasi di glomerulus akan mengalami
reabsorpsi dan sekresi pada tubulus proksimal ginjal. Proses tersebut dimediasi
oleh urate exchanger dan voltage sensitive urate channel.7,20
17
Gambar 2.2. Sintesis Asam Urat.21
Kadar asam urat pada tiap individu sangat bervariasi tergantung pada
sintesis dan ekskresinya. Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat
dalam darah. Untuk laki-laki, ambang normalnya dalam darah adalah 7,0
mg/dL. Adapun pada perempuan normalnya adalah 5,7 mg/dL darah.22
Saat ini kejadian pasti hiperurisemia dimasyarakat masih belum jelas.
Prevalensinya di masyarakat dan berbagai kepustakaan barat sangat bervariasi
antara 2,3 – 17,6%. Penelitian yang dilakukan oleh Indrawan pada tahun 2005
pada penduduk kota Denpasar, Bali mendapatkan prevalensi hiperurisemia
sebesar 18,2%.23
18
Hiperurisemia terjadi bila kadar asam urat melebihi daya larutnya dalam
plasma yaitu 6,7 mg/dl pada suhu 37°C. Kondisi ini dapat disebabkan karena
ketidakseimbangan antara produksi yang berlebihan, penurunan ekskresi atau
gabungan keduanya. Produksi yang berlebihan terjadi pada keadaan diet tinggi
purin, alkoholisme, turn over nukleotida yang meningkat, obesitas, dan
dislipidemia. Sedangkan penurunan ekskresi asam urat terjadi pada penyakit
ginjal, hipertensi, penggunaan diuretik, resistensi insulin, dan kadar estrogen
yang rendah.20,21,24
Berdasarkan penyebabnya, hiperurisemia dapat dibedakan menjadi :
1. Hiperurisemia primer
Merupakan hiperurisemia tanpa disebabkan oleh penyakit lain.
Hiperurisemia primer terdiri dari hiperurisemia dengan kelainan molekular
yang masih belum jelas dan hiperurisemia karena adanya kelainan enzim
spesifik.
2. Hiperurisemia sekunder
Merupakan hiperurisemia yang disebabkan oleh penyakit lain atau
penyebab lain. Hiperurisemia jenis ini dibagi menjadi beberapa kelompok,
yaitu kelainan yang menyebabkan peningkatan biosintesis de novo, kelainan
yang menyebabkan peningkatan degradasi ATP, atau pemecahan asam
nukleat dan kelainan yang menyebabkan underexcretion.
19
3. Hiperurisemia idiopatik
Merupakan jenis hiperurisemia yang tidak jelas penyebab primer,
kelainan genetik, tidak ada kelainan fisiologi atau anatomi yang jelas.
Penegakkan diagnosa hiperurisemia meliputi anamnesa, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesa bertujuan untuk mengetahui
ada tidaknya faktor keturunan, kelainan atau penyakit lain sebagai peyebab
hiperurisemia sekunder. Pemeriksaan fisik untuk mencari kelainan atau
penyakit sekunder seperti tanda-tanda anemia, pembesaran organ limfoid,
keadaan kardiovaskuler dan tekanan darah, keadaan dan tanda kelainan
ginjal serta kelainan pada sendi. Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk
mengarahkan dan memastikan peyebab hiperurisemia. Pemeriksaan
penunjang yang rutin dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin asam urat
darah, kreatinin darah, pemeriksaan urin rutin, dan kadar asam urat urin 24
jam.25
2.4. Lanjut Usia
2.4.1. Pengertian Lanjut Usia
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan usia 60 tahun
sebagai titik awal seseorang memasuki masa lansia. Sedangkan Menurut
pasal 1 ayat (2), (3), UU nomor 13 tahun 1998 tentang kesehatan
20
menjelaskan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia
lebih dari 60 tahun.26
2.4.2. Perubahan Fisik Pada Lanjut Usia
Menurut Ahmad Jubaidi (2008) ada berapa pola perubahan fisik
ketika Lansia, yaitu :
1. Perubahan pada kardiovaskular. Katub jantung menebal dan kaku,
kemampuan memompa darah menurun, elastisitas pembuluh darah
menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
sehingga tekanan darah meningkat.
2. Perubahan pada respirasi. Otot-otot pernafasan kekuatannya menurun
dan kaku, elastisitas paru-paru menurun, kapasitas residu meningkat
sehingga menarik nafas lebih berat, alveoli melebar dan jumlahnya
menurun, kemampuan batuk menurun, serta terjadinya penyempitan
pada bronkus.
3. Perubahan pada pendengaran. Membran timpani atrofi akan
mengakibatkan gangguan pendengaran. Tulang-tulang pendengaran
akan mengalami kekakuan.
4. Perubahan penglihatan. Ini akan ditandai dengan menurunnya respon
terhadap sinar, adaptasi terhadap gejala menurun, akomodasi menurun,
lapangan pandang menurun, dan katarak.
21
2.4.3. Klasifikasi Lanjut Usia
Beragamnya pandangan tentang standart ukuran masa lansia
menimbulkan klasifikasi lansia bertingkat-tingkat. Paling tidak ada lima
klasifikasi masa lansia sesuai dengan tingkat usianya, yaitu :
1. Pralansia (Presenilis) adalah seseorang yang berusia antara 45 – 59
tahun.
2. Lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3. Lansia resiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih.
4. Lansia potensial adalah seseorang yang masih mampu melakukan
pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang.
5. Lansia tidak potensial adalah seseorang yang tidak berdaya mencari
nafkah sehingga hidupnya digantungkan pada orang lain.
2.5. Hipertensi Pada Lanjut Usia
Tidak sedikit orang menganggap kalau hipertensi pada kelompok
lansia adalah hal biasa. Penyakt ini seakan tidak perlu diobati dan dioperasi
karena dianggap tidak membawa pengaruh apa-apa. Asumsi itu tidak benar.
Sebab, tekanan darah yang selalu tinggi bisa menyebabkan komplikasi seperti
serangan jantung dan stroke. Bahkan, kalau sudah berat dan menahun (kronis),
penderita hipertensi lansia bisa mengalami penurunan kesadaran (koma).
22
Menurut Dr. dr. Zulkhair Ali Sp.Pd KGH dari RS Mohammad
Hoesin (RSMH) Palembang, hipertensi pada usia lanjut mempunyai prevalensi
yang tinggi. Pada usia di atas 65 tahun didapatkan antara 60 – 80 %. Selain itu,
prevalensi gagal jantung dan stroke juga tinggi, keduanya merupakan
komplikasi hipertensi. Oleh karena itu, penanggulangan hipertensi amat penting
dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada usia lanjut. Ia
mengatakan, selisih dari tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik yang
disebut sebagai tekanan nadi, terbukti sebagai penyebab tingginya angka
kematian dan kesakitan.26
2.6. Hubungan Hiperurisemia dengan Hipertensi
Hubungan antara hipertensi dan gout masih belum begitu jelas. Namun
banyak bukti penelitian yang menyebutkan bahwa hipertensi ditemukan pada
sekitar sepertiga pasien gout. Adapun seperempat penderita hipertensi memiliki
kadar asam urat yang tinggi dalam darahnya.22
Sejak lima dekade terakhir, banyak penelitian menemukan hubungan
asam urat dengan penyakit kardiovaskular, termasuk hipertensi, sindrom
metabolik, dan penyakit ginjal. Pada tahun 1800-an, Sir Alfred Garrod
membuktikan bahwa gout berhubungan dengan peningkatan kadar asam urat
dalam darah. Tidak lama kemudian, Frederick Akbar Mohamed, orang yang
pertama kali meneliti tentang hipertensi esensial menyebutkan bahwa hipertensi
23
sering berhubungan dengan gout. Peneliti lain seperti Alexander Haig dan
Nathan Smith Davis juga meneliti hubungan hipertensi dengan hiperurisemia.
Bahkan pada tahun 1897, dalam surat presidensialnya kepada American
Medical Association, ia menulis bahwa tekanan darah arteri yang tinggi pada
gout disebabkan oleh asam urat atau substansi toksik lainnya di dalam darah
yang meningkatkan tonus pembuluh darah arteriol.6,7
Selanjutnya banyak penelitian mengenai hiperurisemia baik pada
hewan coba maupun manusia. Dari penelitian-penelitian tersebut diketahui
beberapa bukti yang menunjukkan bahwa hiperurisemia memang berhubungan
dengan hipertensi (tabel 2,2).
P
Pada tahun 2006, Heinig dan Johnson melakukan studi eksperimental
pada tikus untuk mengetahui hubungan hiperurisemia dan hipertensi. Pada studi
tersebut, tikus diberi oxonic acid, suatu inhibitor uricase. Ketika uricase
Tabel 2.2. Bukti Hubungan antara Kadar Asam Urat dan Hipertensi.7
1. Kadar asam urat yang terus menerus tinggi merupakan predictor perkembangan hipertensi.
2. Peningkatan kadar asam urat ditemukan pada 25-60% pasien hipertensi esensial yang tidak diterapi dan pada 90% pasien dewasa dengan hipertensi onset baru.
3. Peningkatan kadar asam urat pada tikus menyebabkan hipertensi dengan karakteristik klinis, hemodinamik, dan histologi seperti hipertensi.
4. Penurunan kadar asam urat dengan inhibitor xantin oksidase menurunkan tekanan darah pasien dewasa dengan hipertensi onset baru.
24
dihambat, asam urat tidak dapat diubah menjadi allantoin yang bersifat lebih
larut dan dapat diekskresi melalui urin. Ternyata setelah 3-5 minggu terjadi
peningkatan tekanan darah tikus. Mekanisme yang mendasari terjadinya
hipertensi pada hiperurisemia dijelaskan pada gambar 2.3.
Kadar asam urat ditemukan meningkat pada pasien hipertensi esensial
yang tidak diobati (40-60%), pengobatan diuretik (50%), maligna (>75%), dan
dewasa (90%). Pada hipertensi yang berhubungan dengan asam urat, penurunan
enzim nitrit oksidase di endotel kapiler menyebabkan vasokonstriksi renal yang
mengaktifkan sistem renin-angiotensin. Hiperurisemia kronik yang mensti-
mulasi sistem renin-angiotensin dan menghambat pelepasan nitrit oksidase
endotel, menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatkan tekanan darah.
Pada wanita, hiperurisemia yang terjadi akibat makanan, hipertensi, obesitas,
atau preeklampsia dapat beralih ke sirkulasi fetus melalui plasenta dan me-
nyebabkan penurunan jumlah nefron dan Intra Uterine Growth Retardation
(IUGR). Pada penderita hipertensi, kadar asam urat dapat meningkat akibat
penurunan aliran darah ginjal, mikro vaskular, dan pelepasan laktat. Penurunan
aliran darah ginjal mendorong reabsorpsi asam urat; mikrovaskular
menyebabkan iskemia jaringan; dan pelepasan laktat yang menahan sekresi
asam urat di tubulus proksimal. Pada iskemia, ATP didegradasi menjadi adenin
dan xantin, selanjutnya xantin oksidase meningkatkan pembentukan asam
urat.25
25
Gambar 2.3 : Mekanisme hipertensi akibat hiperurisemia.7
Pada gambar tersebut terlihat bahwa peningkatan kadar asam urat
serum memiliki efek pada ginjal dan pembuluh darah. Hiperurisemia
menyebabkan:
1. Penurunan NO dan peningkatan ROS,
2. Inflamasi vaskuler dan proliferasi otot polos,
3. Peningkatan produksi renin, dan
4. Lesi vaskuler pada ginjal.6,7
Proliferasi otot polos terjadi akibat aktivasi mitogen spesifik oleh
asam urat. Walaupun otot polos tidak memiliki reseptor untuk asam urat, asam
urat tetap dapat masuk ke dalam sel dengan bantuan organic anion
26
transporter (OAT). Setelah masuk ke dalam sel otot polos, asam urat
mengaktifkan protein kinase (Erk 1/2). Selanjutya Erk 1/2 akan menginduksi
sintesis de novo dari COX-2 dan tromboksan lokal serta mengatur up
regulation PDGF A (platelet derived growth factor A). Hasil akhir proses
tersebut adalah aktivasi mitogen spesifik yang menyebabkan proliferasi sel.24
Asam urat juga menyebabkan akumulasi kristal urat di sekitar plak
atherosklerosis yang telah terbentuk. Kristal urat tersebut dapat mengaktifkan
komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi komplemen mengakibatkan
berbagai efek biologis seperti inflamasi, kemotaksis, opsonisasi, dan aktivitas
sitolitik. Asam urat juga akan menstimulasi sintesis MCP-1 (monocyte
chemoattractant protein-1) pada otot polos tikus. Caranya adalah dengan
mengaktivasi p38 MAP kinase, factor transkripsi nuklear, NF-KB, dan AP-1.
MCP-1 sendiri merupakan kemokin yang berperan penting dalam penyakit
vaskular dan atherosclerosis. Akibat dari mekanisme tersebut adalah
peningkatan produksi sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β, dan IL-6. IL-
6 yang juga dikenal sebagai hepatocyte stimulating factor merangsang
hepatosit untuk memproduksi HCRP. HCRP menurunkan produksi NO
dengan cara menghambat enzim nitrit oksidase sintase (eNOS).17,24,28
Pada tahun 2003, Johnson dkk juga melakukan percobaan serupa,
tetapi dengan menggunakan model tikus yang berbeda. Pada tikus tersebut
tidak terjadi desposisi kristal urat di ginjal sehingga fungsi ginjal tetap terjaga.
Hasilnya menunjukkan adanya peningkatan tekanan darah. Hipertensi yang
27
terjadi berkaitan dengan penurunan produksi NOS1 oleh apparatus
juxtaglomerulus. Tikus tersebut juga menderita vaskulopati berat pada arteri
interlobularis dan arteriol afferen akibat peningkatan COX-2 dan renin. Kadar
NO yang rendah semakin memperparah disfungsi endotel yang terjadi.24
Lebih jauh lagi hiperurisemia akan menyebabkan perubahan
mikrovaskuler pada ginjal yang mirip dengan gambaran arteriosklerosis pada
hipertensi esensial. Lesi vaskuler tersebut menyebabkan iskemia. Selanjutnya
iskemia menyebabkan pelepasan laktat dan peningkatan produksi asam urat.
Laktat sendiri bersifat menghambat sekresi asam urat dengan mengeblok
organic anion transporter. Peningkatan produksi asam urat terjadi karena
iskemi menyebabkan pemecahan ATP menjadi adenosin dan xathine. Hal
tersebut menciptakan suatu ligkaran setan. Kondisi hiperurisemia
meningkatkan aktivitas enzim xathine oksidase. Padahal enzim tersebut juga
membentuk superoksida sebagai akibat langsung aktivitasnya. Peningkatan
jumlah oksidan menyebabkan stress oksidatif yang semakin menurunkan
produksi NO dan memperparah disfungsi endotel yang terjadi. Lesi pada
vaskuler ginjal ini akan memicu terjadinya salt sensitive hypertension yaitu
peningkatan tekanan darah yang lebih tinggi pada konsumsi jumlah natrium
yang sama. Kondisi ini menetap meskipun hiperurisemia telah dikoreksi dan
diberikan diet rendah garam.6,7
28
2.7. KERANGKA PENELITIAN
Produksi Renin
NO ROS Inflamasi Proliferasi otot polos vaskuler
HIPERURISEMIA
Disfungsi Endotel Lesi vaskuler
ginjal
Salt Sensitive Hypertensive
HIPERTENSI
Tekanan darah
Cardiac output
Resistensi perifer
Gangguan keseimbangan dan
air
Vasokontriksi perifer
System RAA
LANSIA > 60
Faktor pencetus Wanita menopause
Gambar 2.4. Kerangka Penelitian
29
Keterangan gambar :
= Diteliti
= Tidak diteliti
NO = Nitric Oxide
ROS = Reactive Oxygen Species
SRAA = Sistem Renin Angiotensin Aldesteron
Pada lansia faktor resiko seperti pola makan, dan riwayat alkoholisme
dapat memicu terjadinya peningkatan kadar asam urat di dalam darah. Pada
alkohol dapat menyebabkan pembuangan asam urat lewat urin akan berkurang
sehingga asam uratnya tetap bertahan dalam darah.15 Pada wanita menopause,
efek hormon estrogen akan berkurang pengaruhnya terhadap metabolisme
asam urat, sehingga memudahkan terjadinya peningkatan asam urat dalam
darah.24
Dari faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan terjadinya hiperurisemia.
Jika sudah terjadi hiperurisemia, maka akan memacu berbagai hal seperti
peningkatan produksi renin dan ROS, merurunkan NO, serta memacu
terjadinya inflamasi dan proliferasi otot polos vaskuler sehingga terjadilah
disfungsi endotel yang menyebabkan lesi vaskuler di ginjal yang memicu
terjadinya Salt sensitive hypertension yaitu peningkatan tekanan darah yang
lebih tinggi pada konsumsi jumlah natrium yang sama.6,7 Selain itu, dari
produksi renin yang meningkat dapat mempengaruhi kerja dari SRAA yang
berpengaruh pada vasokontriksi perifer serta gangguan keseimbangan dan air.
30
Dari kedua hal tersebut, maka dapat meneybabkan peningkatan resistensi
perifer dan cardiac output. Sehingga terjadilah peningkatan tekanan darah atau
biasa disebut dengan hipertensi.
2.8. HIPOTESIS PENELITIAN
Terdapat hubungan antara Hiperurisemia dengan Hipertensi Pada
Lansia di ilayah kerja Puskesmas Raja Basa Indah kelurahan Rajabasa Nunyai
Kota Bandar Lampung pada tahun 2013.
31
BAB III
METODE PENELITIAN
2.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini merupakan
penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional yaitu suatu
penelitian yang mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan
efek, dengan cara pendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada
suatu saat (point time approach).29
2.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Maret - April tahun
2013 dan dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Rajabasa Indah khususnya
kelurahan Rajabasa Nunyai Kota Bandar Lampung
2.3 Subjek Penelitian
Subjek atau populasi penelitian ini adalah lanjut usia yang berada di
wilayah kerja Puskesmas Rajabasa Indah khususnya kelurahan Rajabasa Nunyai
Bandar Lampung pada Tahun 2013.
31
32
2.4 Populasi dan Sampel
3.4.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah lansia berusia > 60 tahun
yang berada di wilayah kerja Puskesmas Raja Basa Indah khususnya
kelurahan Rajabasa Nunyai Bandar Lampung Tahun 2013 sebanyak 619
orang.
3.4.2. Jumlah Sampel
Sampel pada penelitian ini sejumlah 243 sampel. Besar sampel
dapat dihitung dengan rumus slovin sebagai berikut:29
N 619n = = = 242,9
1+Nd2 1 + 619.(0,05)2
n = 243 sampel
Keterangan:
n : Ukuran sampel
N : Ukuran populasi
d : Kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan
sampel yang ditolerir, misalnya 5 %.
33
2.4.3. Kriteria Inklusi
a. Lansia : Usia > 60 tahun
b. Penduduk yang dapat ditemui pada saat penelitian.
c. Bersedia menjadi subjek penelitian.
2.4.4. Kriteria Eksklusi
a. Sedang minum obat anti hipertensi
b. Mempunyai riwayat DM
c. Gagal ginjal kronik
d. Merokok
2.4.5. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan
metode Simple Random Sampling (SRS) yaitu metode mencuplik sampel
secara acak dimana masing-masing subjek atau unit dari populasi
memiliki peluang yang sama dan independen (tidak tergantung) untuk
terpilih ke dalam sample.30
2.5 Variabel Penelitian
a. Variabel bebas : Hiperurisemia
b. Variabel terikat : Hipertensi
34
2.6 Definisi Operasional Variabel
2.6.1 Hiperurisemia
Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat dalam darah.
Cara pengukuran yaitu dengan menggunakan Alat Tes Darah
EasyTouch GCU. Hasil pengukuran adalah laki-laki dengan kadar asam
urat ≤ 7,0 mg/dL dan perempuan ≤ 5,7 mg/dL dikatakan tidak
hiperurisemia, dan untuk laki-laki dengan kadar asam urat ≥ 7,0 mg/dL
dan perempuan ≥ 5,7 mg/dL dikatakan hiperurisemia.22 Sedangkan skala
ukurnya adalah nominal.
.
2.6.2 Hipertensi
Berdasarkan JNC 7, tekanan darah normal adalah keadaan
tekanan darah sistolik 120 mmHg dan tekanan diastolik < 80 mmHg,
Prehipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik 120-139 mmHg
dan tekanan diastolik 80-89 mmHg, Hipertensi derajat 1 adalah keadaan
tekanan darah sistolik 140-159 mmHg dan tekanan diastolik 90-99
mmHg serta hipertensi derajat 2 adalah keadaan tekanan darah sistolik
lebih dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 100 mmHg.16
Tekanan darah diukur dengan menggunakan sphygmomanometer
air raksa dan skala ukurnya adalah nominal.
35
2.6.3 Lanjut Usia
Batasan usia yang digunakan adalah berdasarkan WHO yang
menetapkan usia 60 tahun sebagai titik awal seseorang memasuki
masa lansia.26
2.7 Pengumpulan Data
3.7.1. Jenis Data
a. Kuantitatif meliputi skor hasil pengkuran tekanan darah, dan tes asam
urat dan kuesioner.
b. Kualitatif meliputi hipertensi dan non hipertensi, hiperurisemia dan non
hiperurisemia.
Sumber data penelitian ini menggunakan sumber data primer yaitu
data yang langsung diambil dari responden dengan menggunakan kuesioner
dengan pedoman wawancara terstruktur, pengukuran dan pengamatan
dengan check list.
3.7.2. Cara Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran dan
kuesioner yang dilakukan secara langsung kepada lansia berusia > 60 tahun
yang berada di wilayah kerja Puskesmas Raja Basa Indah kelurahan
Rajabasa Nunyai Bandar lampung tahun 2013.
36
2.8 Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan langkah-langkah:
1. Editing adalah pengecekan atau pengoreksian data yang telah dikumpulkan
karena kemungkinan data yang masuk (raw data) atau data yang terkumpul
tidak logis dan meragukan.
2. Coding adalah pemberian atau pembuatan kode-kode pada tiap data yang
termasuk dalam kategori yang sama.
3. Entry adalah memasukkan data untuk diolah menggunakan spss versi 16.
4. Tabulating adalah mengelompokkan data sesuai variabel yang akan diteliti
guna memudahkan analisis data.31
2.9 Analisis Data
Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan program SPSS 16.
Analisis data meliputi:
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan
gambaran distribusi responden serta menggambarkan
masing-masing variabel, baik variabel bebas maupun
variabel terikat.33
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk menguji hipotesis hubungan
antara variabel bebas dan variabel terikat, dengan uji Chi square dengan
37
tingkat kemaknaan 95% dengan program komputer SPSS. Dasar
pengambilan keputusan berdasarkan tingkat signifikan (nilai p) adalah:
a. Jika nilai p > 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak
b. Jika nilai p ≤ 0,05 maka hipotesis penelitian diterima
3. Penghitungan odd ratio (OR) untuk mengetahui seberapa kuat hubungan
hiperurisemia dengan hipertensi.
4. Penghitungan interval kepercayaan (IK) atau confidence interval (CI) yang
menunjukkan rentang odds ratio yang diperoleh pada populasi sumber
apabila sampling dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama.32
2.10 Alur Penelitian
LANSIA > 60 TAHUN
NILAI KADAR ASAM URAT
HIPERURISEMIA NON HIPERURISEMIA
UKUR TEKANAN DARAH
HIPERTENSI NON HIPERTENSI
UJI CHI QUADRAT
Simple Random Sampling
UKUR TEKANAN DARAH
NON HIPERTENSI
HIPERTENSI
Gambar 3.5. Alur Penelitian
38
DAFTAR PUSTAKA
1. Bustan M.N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta. Rineka Cipta.
2. Yogiantoro, Mohammad. 2009. Hipertensi Esensial. In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing, pp: 1079-1082.
3. Misbach, Jusuf. 2007. Ancaman Serius Hipertensi di Indonesia. Simposia, pp: 34.
4. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. (2008, 2009, 2010, dan 2011). Profil Kesehatan Provinsi Lampung . Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Bandar Lampung
5. Laporan data penyakit Puskesmas Raja Basa Indah 2012
6. Heinig M and RJ Johnson. 2006. Role of Uric Acid in Hypertension, Renal Disease, and Metabolic Syndrome. Cleveland Clinic Journal of Medicine, pp: 1059-64.
7. Feig DI, Kang DH, Johnson RJ. 2008. Uric Acid and Cardiovascular Risk. N Eng J Med, pp: 1811-21.
8. Culleton BF, Larson MG, Kannel WB, Levy D. 2006. Serum Uric Acid and Risk for Cardiovascular Disease and Death: The Framingham Heart Study. Ann Intern Med, pp: 7-13.
9. Niskanen LK, Laaksonen DE, Nyysonen K, Alfthan G, Lakka HM, Lakka TA, Salonen JT. 2004. Uric Acid Level as a Risk Factor for Cardiovascular and All Cause Mortality in Middle Aged Men: A Prospective Cohort Study Arch Itern Med, pp: 1541-46.
10. Mustafiza, Pramadya Vardhani.2010.Hubungan Antara Hiperurisemia dengan Hipertensi.Surakarta
11. Khasanah, Nur.2012.Waspadai Beragam Penyakit Degeneratif Akibat Pola Makan.Jogjakarta:Laksana
12. Sherwood, Lauralee. 2010. Human physiology: From cells to system. 7th edition. Toronto: Brooks/Cole Cengage Learning.
39
13. Price SA, Wilson LM. 2006. Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes 4th Edition. Philadelphia: Mosby Year Book.
14. Siregar, Tagor Gumanti Muda. 2003. Hipertesi Esensial. In: Rilantono dkk (ed).Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FKUI.
15. Deni, Damayanti. 2012. Panduan Lengkap Mencegah dan Mengobati Asam Urat. Yogyakarta: Araska
16. Joint National Committee, Prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure.7 th report. Maryland : U.S. Departement of Health and Human Services.
17. Bratawidjaja KG. 2002. Imunologi Dasar. Jakarta: FKUI, pp: 44-53.
18. Joesoef AH dan Budhi Setianto. 2003. Hipertensi Sekunder. In: Rilantono dkk (ed). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FKUI.
19. Suiraoka, IP.2012. Penyakit Degeneratif. Yogyakarta:Nuha Medika.
20. Hediger MA, Johnson RJ, Miyazaki H, Endou H. 2005. Molecular Physiology of Urate Transport. Am J Physiol, pp: 125-33.
21. Berry CE and JM Hare. 2004. Xanthine Oxidoreductase and Cardiovascular Disease: Molecular Mechanism and Pathophysiological Implications. Am J Physiol, pp: 589-606.
22. Dr.dr. Soeroso, Joewono, Sp.PD-KR, M.Sc, Algristian Hafid, S.Ked.2011. AsamUrat.Jakarta:Penebar Plus+ .
23. Indrawan IGNB. 2005. Hubungan Konsumsi Purin Tinggi dengan Hiperurisemia Studi Potong Lintang Analitik pada Penduduk Suku Bali di Kota Denpasar. Denpasar: In Press.
24. Johnson RJ, Kang DH, Feig DI, Kivlighn S, Kanelis J, Watanabe S, Tuttle KR, Mazzali M. 2003. Is There a Pathogenic Rule of Uric Acid in Hypertension, Cardiovascular and Renal Disease? Hypertension Journal, pp: 1183-90.
25. Putra, Tjokorda Raka. 2009. Hiperurisemia. In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing, pp: 2550-2554.
40
26. Muhammad, Najamuddin. 2010. Tanya-Jawab Kesehatan Harian Untuk Lansia. Jogjakarta : Tunas Publishing.
27. Kodim, N.2011.Asam Urat: Faktor Pencegah atau Faktor Prognosis Penyakit Kardiovaskular dan Penyakit Ginjal ?. Edisi No 01 Vol XXXVII-2011– Editorial: Medika Jurnal Kedokteran Indonesia.
28. Purwanto, Bambang. 2009. Pathogenesis, Etiology, and Management of Hypertension and Nefrotoxic Agents. Disampaikan pada Half Day Simposium: Renal Disease Induced by Nefrotoxic Agents. Surakarta.
29. Nasir, Abd, Muhith Abdul, Ideputri M.E. 2011.Buku Ajar Metodologi Penelitian Kesehatan.Yogyakarta:Nuha Medika.
30. Murti, Bhisma.2006.Desain dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Di Bidang Kesehatan.Yogyakarta:Gajah Mada University Press.
31. Hasan, I.2004.Analisis Data Penelitian Dengan Statistik.Jakarta:Sinar Grafika Offset
32. Ghazali MV, Sastromihardjo S, Rochani S, Soelaryo T, Pramulyo H. Studi Cross-Sectional. 2007. In: Sastroasmoro S dan Ismael S (ed). Dasar – Dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi Ketiga. Jakarta: Sagung Seto, pp:112-26.
33. Soekidjo Notoatmodjo. 2003. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
41
Lampiran 1
INFORMED CONCENT(Lembar Persetujuan)
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Umur : tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan*
Alamat :
Setelah mendapatkan keterangan secukupnya serta mengetahui tentang manfaat penelitian yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA HIPERURISEMIA DENGAN HIPERTENSI PADA LANJUT USIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013”, saya menyatakan (bersedia/tidak bersedia)* diikutsertakan dalam penelitian ini.
Saya percaya apa yang saya sampaikan ini dijamin kebenarannya.
Bandar Lampung,.................... 2013
Peneliti, Responden,
Yeti Oktarina ........................................ NPM. 09310326
Keterangan :
*) coret yang tidak perlu
42
Lampiran 2
Instrumen Pengumpulan Data(Kuesioner)
HUBUNGAN ANTARA HIPERURISEMIA DENGAN HIPERTENSI PADA LANJUT USIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJA BASA INDAH
BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013
1. KARAKTERISTIK IDENTITAS RESPONDEN
No. Responden :
NAMA :UMUR : tahun TANGGAL WAWANCARA :JENIS KELAMIN :
2. PERILAKU
Apakah responden sedang minum Obat Anti Hipertensi minimal 8 jam sebelumnya ?
a. Ya b. Tidak
3. RIWAYAT PENYAKIT
1. Apakah responden sedang menderita penyakit DM atau pernah didiagnosa DM (kencing manis) oleh dokter ? a. Ya b. Tidak
2. Apakah responden menderita penyakit gagal ginjal kronik ?
a. Ya b. Tidak
4. HASIL PENGUKURAN
1. Tekanan darah : mmHg
2. Kadar asam urat : mg/dL