BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5 – 15% penyulit kehamilan dan merupakan
salah satu dari tiga penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin. Di Indonesia
mortalitas dan morbiditas hipertensi dalam kehamilan juga masih cukup tinggi. Hal ini
disebabkan selain oleh etiologi tidak jelas, juga oleh perawatan dalam persalinan masih
ditangani oleh petugas non medik dan sistem rujukan yang belum sempurna. Hipertensi
dalam kehamilan dapat dialami oleh semua lapisan ibu hamil sehingga pengetahuan tentang
pengelolaan hipertensi dalam kehamilan harus benar-benar dipahami oleh semua tenaga
medik baik di pusat maupun di daerah.1
Untuk hipertensi berat, obat antihipertensi digunakan untuk mencegah komplikasi
maternal yang serius dan komplikasi janin, namun tidak ada konsensus mengenai kapan
pemberian pengobatan pada hipertensi ringan-sedang. Gangguan hipertensi selama kehamilan
terjadi pada wanita yang sudah memiliki hipertensi kronis primer atau sekunder, dan pada
wanita dengan hipertensi onset baru yang baru muncul pada saat kehamilan. Ketika tekanan
arteri rata-rata melebihi 140 mmHg terdapat risiko yang signifikan dari pembuluh darah pada
otak ibu. Tujuan dari pengobatan adalah untuk menjaga tekanan darah setiap saat kurang dari
170/110 mmHg tetapi tidak lebih rendah dari 130/90 mmHg. Obat antihipertensi digunakan
pada kehamilan untuk mengurangi risiko langsung akibat tekanan darah yang terlampau
tinggi.2
Preeklampsia sebagai salah satu penyakit yang sering dijumpai pada ibu hamil dan
masih merupakan salah satu penyebab kematian ibu. Preeklampsia merupakan penyakit yang
ditandai dengan adanya edema, hipertensi dan proteinuria yang terjadi setelah umur
kehamilan 20 minggu. Efek preeklampsia pada kematian perinatal berkisar antara 10-28%.
Penyebab terbanyak kematian perinatal disebabkan prematuritas, pertumbuhan janin
terhambat, dan solutio plasenta. Sekitar 75% Preeklampsia terjadi antepartum dan sisanya
terjadi pada postpartum. Preeklampsia berat pada perkembangannya dapat berkembang
menjadi eklampsia yang ditandai dengan timbulnya kejang atau konvulsi. Penggunaan obat
pada saat mengandung bagi ibu hamil harus diperhatikan. Pencegahan konsekuensi
1
kardiovaskular dan serebrovaskular sebagai akibat dari tingginya tekanan darah dengan cepat
merupakan tujuan penting dari manajemen klinis, sehingga sering membutuhkan penggunaan
obat antihipertensi dengan bijaksana.3,4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Preeklampsia Berat (PEB)
2.1.1 Definisi
Preeklampsia ialah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan / atau edema
akibat dari kehamilan setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah
persalinan, bahkan setelah 24 jam postpartum.1,3
Hipertensi ialah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥ 140/90 mmHg.
Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam.
Proteinuria ialah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau sama dengan
≥ 1 + dipstick.1
Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan
timbulnya tekanan darah tinggi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria
dan/atau edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih.1
2.1.2 Faktor Risiko
Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan,
yang dapat dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut:1
1. Primigravida, primipaternitas
2. Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes
mellitus, hidrops fetalis, bayi besar
3. Umur yang ekstrim
4. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia
5. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas
Perempuan muda dan nulipara sangat rentan untuk mengembangkan
preeklamsia, sedangkan wanita yang lebih tua memiliki risiko lebih besar untuk
hipertensi kronis dengan preeklamsia. Insiden tersebut nyata dipengaruhi oleh ras dan
etnik serta oleh predisposisi genetik. Faktor-faktor lain termasuk pengaruh lingkungan
3
dan sosial ekonomi. Kejadian preeklampsia pada populasi nulipara berkisar antara 3%
- 10%. Insiden preeklampsia pada multipara juga variabel tetapi kurang dari pada
nulipara.3
Ada beberapa faktor risiko lain yang terkait dengan preeklamsia. Termasuk
didalamnya adalah obesitas, kehamilan multifetal, usia ibu, hyperhomocysteinemia,
dan sindrom metabolik. Hubungan antara berat badan ibu dan risiko preeklamsia
adalah progresif. Hal ini meningkat dari 4,3% untuk wanita dengan indeks massa
tubuh (IMT) < 20 kg/m2 menjadi 13,3% pada mereka dengan IMT > 35 kg/m2. Pada
wanita dengan kehamilan gemelli dibandingkan dengan mereka yang tunggal,
insidensi dari kehamilan hipertensi adalah 13% dengan 6%, dan kejadian
preeklampsia 13% dengan 5%, keduanya signifikan meningkat.3
2.1.3 Etiologi dan Patofisiologi
Teori yang dianggap dapat menjelaskan etiologi dan patofisiologi
preeklampsia harus dapat menjelaskan bahwa hipertensi dalam kehamilan seringkali
terjadi pada:3
1. Mereka yang terpapar pada villi chorialis untuk pertama kalinya (pada
nulipara)
2. Mereka yang terpapar dengan villi chorialis yang berlimpah (pada kehamilan
gemelli atau mola)
3. Mereka yang sudah menderita penyakit vascular sebelum kehamilan
4. Penderita dengan predisposisi genetik hipertensi
Faktor-faktor yang berpotensi sebagai etiologi adalah:
1. Invasi trofoblastik abnormal kedalam vasa uterine
Pada awal kehamilan, sel sitotrofoblas menginvasi arterispiralis uterus,
mengganti lapisan endothelial dari arteri tersebut dengan merusak jaringan elastis
medial, muskular, dan neural secara berurutan. Sebelum trimester kedua
kehamilan berakhir, arteri spiralis uteri dilapisi oleh sitotrofoblas, dan sel
endothelial tidak lagi ada pada bagian endometrium atau bagian superfisial dari
4
miometrium. Proses remodeling arteri spiralis uteri menghasilkan pembentukan
sistem arteriolar yang rendah tahanan serta mengalami peningkatan suplai volume
darah yang signifikan untuk kebutuhan pertumbuhan janin. Pada preeklampsia,
invasi arteri spiralis uteri hanya terbatas pada bagian desidua proksimal, dengan
30% sampai dengan 50% arteri spiralis dari placental bed luput dari proses
remodeling trofoblas endovaskuler. Segmen miometrium dari arteri tersebut
secara anatomis masih intak dan tidak terdilatasi. Rerata diameter eksternal dari
arteri spiralis uteri pada ibu dengan preeklampsia adalah 1,5 kali lebih kecil dari
diameter arteri yang sama pada kehamilan tanpa komplikasi. Kegagalan dalam
proses remodeling vaskuler ini menghambat respon adekuat terhadap kebutuhan
suplai darah janin yang meningkat yang terjadi selama kehamilan. Ekspresi
integrin yang tidak sesuai oleh sitotrofoblas ekstravilli mungkin dapat
menjelaskan tidak sempurnanya remodeling arteri yang terjadi pada preeklampsia.
Kegagalan invasi trofobas pada preeklampsia menyebabkan penurunan perfusi
uteroplasenta, sehingga menghasilkan plasenta yang mengalami iskemi progresif
selama kehamilan. Selain itu, plasenta pada ibu dengan preeklampsia
menunjukkan peningkatan frekuensi infark plasenta dan perubahan morfologi
yang dibuktikan dengan proliferasi sitotrofoblas yang tidak normal.3
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan.
Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima elektron atau atom/molekul
yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting
yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis,
khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi
oksidan pada manusia adalah suatu proses yang normal, karena oksidan memang
dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Radikal hidroksil akan merusak membran
sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.
Peroksida lemak selain akan merusak membran sel, juga akan merusak nukleus,
dan protein sel endotel.
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan,
khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal vitamin E
pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar
oksidan peroksida lemak yang relatif tinggi. Peroksida lemak sebagai oksidan
5
yang sangat toksis ini akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah dan akan
merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah mengalami
kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan
aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak
jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah
menjadi peroksida lemak.3,4
Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan
sel endotel yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan
membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan
rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut “disfungsi endotel”
(endothelial dysfunction). Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang
mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi :1
- Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel,
adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi
prostasiklin (PGE2): suatu vasodilatator kuat.
- Agregasi sel-sel trombosit pada daerah yang mengalami kerusakan.
Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat di lapisan
endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi
tromboksan (TXA2) suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal
perbandingan kadar prostasiklin/ tromboksan lebih tinggi kadar
prostasiklin (lebih tinggi vasodilatator). Pada preeklampsi kadar
tromboksan lebih tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi
vasokonstriksi, dengan terjadi kenaikan tekanan darah.
- Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular
endotheliosis).
- Peningkatan permeabilitas kapiler.
- Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO
(vasodilatator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor)
meningkat.
- Peningkatan faktor koagulasi.
6
Gambar 1. Abnormalitas invasi trofoblastik pada pembuluh darah uterina
Gambar 2. Remodelling vaskuler plasenta pada wanita hamil normal (atas) dan
pada wanita hamil preeklampsi (bawah)
2. Intoleransi imunologi antara maternal dengan jaringan fetomaternal
Terdapat sejumlah bukti yang menyatakan bahwa preeklampsia adalah
penyakit dengan mediasi imunologi. Risiko preeklampsia meningkat pada
keadaan dimana pembentukan “blocking antibody” terhadap “placental site”
terganggu.
7
Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak adanya “hasil
konsepsi” yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen
protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respons imun,
sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada
plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK)
ibu. Pada hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G,
sehingga menghambat invasi trofoblas kedalam desidua. HLA-G juga merangsang
produksi sitokin, sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasi.
Kemungkinan terjadi Immune-Maladaptation pada preeklampsia.3
3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan
vasopresor. Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan
bahan vasopresor, atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk
menimbulkan respons vasokonstriksi. Pada kehamilan normal terjadinya refrakter
pembuluh darah terhadap bahan vasopresor adalah akibat dilindungi oleh adanya
sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa
daya refrakter terhadap bahan vasopresor akan hilang bila diberi prostaglandin
sintesa inhibitor (bahan yang menghambat produksi prostaglandin). Prostaglandin
ini di kemudian hari ternyata adalah prostasiklin.1
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan
vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan
vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor
hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor.
Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi dalam
kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini
dapat dipakai sebagain prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.1
4. Teori Stimulus Inflamasi
Teori ini berdasrkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas didalam sirkulasi
darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan
normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa proses
apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stress oksidatif. Bahan-bahan ini
8
sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada
kehamilan normal, jumlah debris trofobas masih dalam batas wajar, sehingga
reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis
pada preeklampsia, dimana pada preeklampsia terjadi peningktan stress oksidatif,
sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat.
Semakin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil
ganda, maka reaksi stress oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa
debris trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi
inflamasi pada kehamilan normal. Respons inflamasi ini akan mengaktivasi sel
endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula, sehingga terjadi
reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada
ibu.1,3
Gambar 2. Patofisiologi Hipertensi pada Kehamilan
5. Defisiensi nutrisi
Berbagai faktor defisisensi nutrisi diperkirakan berperan sebagai penyebab
preeklampsia. Banyak saran yang diberikan untuk menghindari hipertensi
misalnya dengan menghindari konsumsi daging berlebihan, protein, purin, lemak,
hidangan siap saji, dan produk-produk makanan instan lain. Diet buah dan sayur
banyak mengandung aktivitas non-oksidan yang dapat menurunkan tekanan darah.
9
Kejadian preeklampsia pada pasien dengan asupan vitamin C harian kurang dari
85 mg dapat meningkat menjadi 2 kali lipat. Obesitas pada ibu tidak hamil dapat
menyebabkan aktivasi endotel dan respon inflamasi sistemik yang berhubungan
dengan arterosklerosis. Kadar C-reactive protein (“inlamatory marker”)
meningkat pada obesitas yang seringkali berkaitan dengan preeklampsia.3
6. Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe ibu
lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika
dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang
mengalami preeklampsi, 26% anak perempuannya akan mengalami preeklampsi
pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsi.1
2.1.4 Diagnosis
Preeklampsia berat adalah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160
mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/ 24
jam.
Preeklampsia digolongkan preeklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih
gejala sebagai berikut:1
Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110
mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di
rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.
Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4 + dalam pemeriksaan kualitatif
Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam
Kenaikan kadar kreatinin plasma
Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan
pandangan kabur
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat
teregangnya kapsula Glisson)
Edema paru-paru dan sianosis
Hemolisis mikroangiopatik
10
Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan
cepat
Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoseluler): peningkatan kadar alanine
dan aspartate aminotransferase
Pertumbuhan janin intrauterine yang terhambat
Sindrom HELLP
Preeklampsia berat dibagi menjadi (a) preeklampsia berat tanpa impending
eclampsia dan (b) preeklampsia berat dengan impending eclampsia.Disebut
impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa
nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan
progresif tekanan darah.1
2.1.5 Manajemen Umum Perawatan Preeklampsia Berat
Pengelolaan prreklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,
pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ
yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan.1
Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda-tanda
klinik berupa: nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium, dan kenaikan cepat
berat badan, selain itu, perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran
proteinuria, pengukuran tekanan darah pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
USG dan NST.1
Tujuan dari manajemen preeklampsia berat adalah (1) mencegah terjadinya
kejang, (2) mengontrol tekanan darah ibu, (3) menginisiasi persalinan.
1. Sikap terhadap penyakit: pengobatan medikamentosa
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap
dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada
preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena mempunyai risiko tinggi untuk
terjadinya edema paru dan oliguria. Oleh karena itu, monitoring input cairan (melalui
oral ataupun infus) dan output (melalui urin) menjadi sangat penting. Bila terjadi
tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan
dapat berupa (a) 5% Ringer-dekstrose atau cairan garam faali jumlah tetesan <
11
125cc/jam atau (b) Infus Dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan ringer
laktat (60-125 cc/jam) 500 cc. Folley catheter juga dipasang untuk mengukur
pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila produksi urin < 30cc/jam dlam 2-3 jam atau <
500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila
terjadi kejang secara mendadak, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung.
Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.1
Pemberian anti kejang berupa magnesium sulfat, dimana magnesium sulfat
menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan
menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan
kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser
kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara
ion kalsium dan ion magnesium). Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi
pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau eklampsia. Cara pemberian
Magnesium sulfat:3
Jika ada tanda impending eclampsia dosis awal diberikan intravena dan
intramuskular, jika tidak ada, dosis awal cukup intramuskular saja. Dosis awal
sekitar 4 gram MgSO4 IV (20 % dalam 20 cc) selama 4 menit (1 gr/menit).
Diikuti segera 10 gram 50% intramuscular, 5 gram IM di bokong kiri dan 5
gram di bokong kanan. Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan 1 cc xylocain
2% yang tidak mengandung adrenalin pada suntikan intramuskular.
Dosis ulangan diberikan setelah 6 jam pemberian dosis awal, dosis ulangan 5
gram MgSO4 50% diberikan secara intramuskuler setiap 6 jam, bergiliran pada
bokong kanan/kiri dimana pemberian MgSO4 tidak melebihi 2-3 hari.
12
Gambar 3. Pemberian MgSO4
Syarat-syarat pemberian MgSO4:1
Tersedia antidotum MgSO4 yaitu calcium gluconas 10%, 1 gram (10% dalam
10 cc) diberikan intravenous dalam 3 menit.
Refleks patella positif kuat
Frekuensi pernapasan > 16 kali per menit, tidak ada tanda-tanda distress
pernafasan
Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam)
2. Sikap terhadap kehamilannya
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat
selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya dibagi menjadi:1
Perawatan aktif (agresif): kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan
dengan pemberian pengobatan medikamentosa. Indikasi perawatan aktif ialah
bila ditemukan satu atau lebih keadaan dibawah ini:
- Usia kehamilan ≥ 37 minggu
- Adanya tanda-tanda impending eclampsia
13
- Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu kedaan klinik dan
laboratorik memburuk
- Diduga terjadi solusio plasenta
- Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan
- Adanya tanda-tanda gawat janin
- Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction (IUGR)
- NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
- Terjadinya oligohidramnion
- Adanya tanda-tanda sindroma “HELLP” khususnya menurunnya
trombosit dengan cepat
Perawatan konservatif (ekspektatif): kehamilan tetap dipertahankan bersamaan
dengan pmberian pengobatan medikamentosa. Indikasi perawatan konservatif
ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu tanpa disertai tanda-tanda
impending eclampsia dengan keadaan janin baik.1
2.2 Obat Antihipertensi
Banyak sekali macam-macam obat yang dapat digunakan untuk pengobatan tekanan
darah tinggi (hipertensi) yang disebut dengan antihypertensive medicines (obat-obat anti
hipertensi). Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi tekanan darah dan
mengembalikannya pada ukuran normal dengan obat-obat yang mudah di konsumsi,
tersedia, jumlahnya sedikit mungkin, jika memungkinkan tanpa ada efek samping. Tujuan
pengobatan tersebut hampir selalu tercapai pada pengobatan hipertensi.
Apapun yang seorang wanita hamil makan atau minum dapat memberikan pengaruh
pada janinnya. Seberapa banyak jumlah obat yang akan terpapar ke janin tergantung dari
bagaimana obat tersebut diabsorpsi (diserap), volume distribusi, metabolisme, dan
ekskresi (pengeluaran sisa obat). Penyerapan obat dapat melalui saluran cerna, saluran
napas, kulit, atau melalui pembuluh darah (suntikan intravena). Kehamilan sendiri
mengganggu penyerapan obat karena lebih lamanya pengisian lambung yang dikarenakan
peningkatan hormon progesteron. Volume distribusi juga meningkat selama kehamilan,
14
estrogen dan progesteron mengganggu aktivitas enzim dalam hati sehingga berpengaruh
dalam metabolisme obat. Ekskresi oleh ginjal juga meningkat selama kehamilan.
Untuk mengetahui bagaimana mekanisme pengobatan hipertensi kehamilan maka
perlu diketahui mekanisme pengobatan hipertensi secara umum, sebab pengobatan
hipertensi secara umum tidak jauh berbeda dengan pengobata hipertensi pada kehamilan,
tapi pada absorpsi obat dan dampak pengobatan dan hipertensi itu sendiri pada janinnya.
Jenis-jenis obat anti hipertensi (tekanan darah tinggi):5
1. Diuretik. Obat-obat jenis ini membantu tubuh untuk meniadakan tubuh dari cairan
dan sodium yang berlebihan sehingga pembuluh darah tidak terlalu berat bekerja
karena terlalu banyaknya cairan dalam tubuh dengan menghambat absorbsi garam
dan air sehingga volume darah menurun akibatnya tekanan darah ikut menurun.
2. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACE inhibitor), adalah obat-obat yang
memperlambat aktivitas dari enzim ACE, yang mengurangi produksi dari
angiotensin II (kimia yng sangat kuat yang menyebabkan otot-otot yang
mengelilingi pembuluh-pembuluh darah untuk berkontraksi). Sebagai akibatnya,
pembuluh-pembuluh membesar atau melebar, dan tekanan darah berkurang.
3. Angiotensin II receptor blockers (ARBs), adalah obat-obat yang menghalangi aksi
dari angiotensin II dengan mencegah angiotensin II mengikat pada reseptor-
reseptor angiotensin II pada pembuluh-pembuluh darah. Sebagai akibatnya,
pembuluh-pembuluh darah membesar (melebar) dan tekanan darah berkurang.
4. Sympathoplegic agents
- Obat yang bekerja pada sentral adrenergik (α2-agonist seperti klonidin dan
metildopa). Mekanisme kerja dengan menstimulasi reseptor α2 yang
berdaya vasodilatasi.
- Obat yang bekerja pada sistem saraf perifer:
o β-blockers, adalah obat-obat yang menghalangi norepinephrine dan
epinephrine (adrenaline) mengikat pada reseptor-reseptor beta pada
syaraf-syaraf. Beta blockers terutama menghalangi reseptor-
reseptor beta 1 dan beta 2. Dengan menghalangi efek-efek dari
norepinephrine dan epinephrine, beta blockers mengurangi denyut
jantung; mengurangi tekanan darah dengan melebarkan pembuluh-
pembuluh darah.
15
o α-blockers, mekanisme kerjanya memblok reseptor α adrenergik
yang ada pada otot polos pembuluh.
5. Dilator Pembuluh darah (vasodilator), seperti hydralazine (Apresoline) dan
minoxidil (Loniten). Obat ini menurunkan tekanan darah dengan relaksasi otot-
otot di dinding pembuluh darah.
6. Kalsium channel blockers, seperti amlopidine (Norvasc), diltiazem (Cardizem),
isradipine (DynaCirc), nifedipin (Adalat, Procardia), dan Obat verapamil (Calan,
Isoptin, Verelan), golongan ini memperlambat gerakan kalsium ke dalam sel
pembuluh darah sehingga menghambat penyaluran impuls dan kontraksi dinding
pembuluh darah.
Uraian diatas merupakan jenis obat yang digunakan pada pengidap hipertensi secara
umum, namun tidak semua dari jenis obat diatas dapat digunakan pada ibu hamil, karena
memikirkan keadaan janin yang dikandung.5
2.3 Penggunaan Obat Antihipertensi pada Kehamilan
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut off)
tekanan darah untuk pemberian antihipertensi. Belfort mengusulkan cut off yang dipakai
adalah ≥ 160/110 mmHg dan MAP ≥ 126 mmHg. Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas
tekanan darah pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik ≥ 180 mmHg
dan/atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu
penurun awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai <
160/105 mmHg atau MAP < 125 mmHg. Jenis antihipertensi yang diberikan sangat
bervariasi. Berdasarkan Cochrane Review atas 40 studi evaluasi yang melibatkan 3.797
perempuan hamil dengan preeklampsia, Duley menyimpulkan bahwa pemberian
antihipertensi pada preeklampsia ringan maupun preeklampsia berat tidak jelas
kegunaannya. Di sisi lain Hendorson, dan Cochrane Review, juga meneliti 24 uji klinik
yang melibatkan 2.949 ibu dengan hipertensi dalam kehamilan, menyimpulkan bahwa
sampai didapatkan bukti yang lebih teruji, maka pemberian jenis antihipertensi,
diserahkan kepada para klinikus masing-masing, yang tergantung pada pengalaman dan
pengenalan dengan obat tersebut. Ini berarti hingga sekarang belum ada antihipertensi
yang terbaik untuk pengobatan hipertensi dalam kehamian.1
16
Penggunaan obat antihipertensi pada kehamilan digunakan untuk mengontrol
hipertensi ringan sampai sedang atau untuk mengendalikan hipertensi berat. Agen dengan
dosis standar yang digunakan termasuk didalamnya adalah metildopa, labetalol, dan
nifedipine. Penggunaan golongan ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker harus
dihindari di semua trimester; pemberiaannya pada trimester kedua dan ketiga terkait
dengan fetopathy, gagal ginjal neonatal, dan kematian dengan demikian pemberiannya
merupakan kontraindikasi. Data yang terbaru juga menunjukkan obat tersebut juga harus
dihindari pada trimester pertama. Pada metaanalisis yang telah dipelajari pada kontrol
hipertensi, menunjukkan bahwa labetalol intravena atau nifedipine oral memiliki
efektivitas yang sama dengan Hydralazine intravena, dengan efek samping yang lebih
sedikit. Pengelolaan hipertensi pada kehamilan membantu melindungi wanita dari
tekanan darah yang sangat tinggi dan memungkinkan untuk melanjutkan kehamilan,
pertumbuhan dan pematangan janin.2,6
1. Sympathetic Nervous System Inhibition
Metildopa tetap menjadi salah satu obat antihipertensi yang digunakan untuk
hipertensi pada kehamilan, pusat kerjanya agonis α2-adrenergik, yang dimetabolisme
menjadi α-methyl norepinephrine kemudian menempati norepinephrine di vesikel-vesikel
neurosekretori dari terminal saraf adrenergik, merupakan obat antihipertensi yang paling
sering digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi kronis. Obat ini mengontrol
tekanan darah secara bertahap, sekitar 6 sampai 8 jam, karena mekanisme aksinya
indirek. Pengobatan dengan metildopa dilaporkan mencegah progresifitas hipertensi berat
pada kehamilan dan tidak didapatkan memiliki efek terhadap uteroplasental atau
hemodinamik janin. Efek samping yang terjadi merupakan akibat dari α2-agonis atau
penurunan tonus perifer simpatik. Obat ini bekerja pada bagian dari batang otak
mengakibatkan penurunan kewaspadaan dan gangguan tidur, yang mengarah pada
perasaan lelah atau depresi pada beberapa pasien. Sering juga terjadi penurunan salivasi,
yang mengarah ke xerostomia. Metildopa juga dapat meningkatkan enzim hati sebesar
5%; hepatitis dan nekrosis hepatis juga telah dilaporkan.2,7
Metildopa membutuhkan waktu 24 jam untuk aksi lengkapnya, dimulai dengan dosis
250 mg dibutuhkan pemberian 3 kali sehari. Efek samping yang umum adalah konstipasi,
17
galaktorea, depresi pasca persalinan dan pola tidur berubah. Juga dapat menyebabkan
sakit kepala sehingga dapat membingungkan dengan gejala impending eklampsia.8
2. Peripherally Acting Adrenergic Receptor Antagonists
β-blocker telah digunakan secara luas pada kehamilan. Meskipun beberapa percobaan
acak yang membandingkan β-blocker dengan plasebo atau agen lainnya telah dilakukan,
masih ada beberapa masalah yang belum terselesaikan mengenai penggunaannya dalam
kehamilan, sebagian besar merupakan hasil dari beberapa penelitian kecil yang
menunjukkan hubungan dengan berat bayi lahir rendah. Tak satu pun dari β-blocker telah
dikaitkan dengan efek teratogenik. β-blocker oral telah dikaitkan dengan bradikardia
neonatal non klinis secara signifikan, meskipun dalam review sistematis dari uji coba,
labetalol (bersama dengan metildopa oral, nifedipine, atau hydralazine) tidak tampak
menyebabkan efek detak jantung bayi. Terapi parenteral telah ditemukan meningkatkan
risiko bradikardia neonatal, yang memerlukan intervensi pada 1 dari 6 bayi yang baru
lahir. Hasil dari maternal meningkat hasilnya dengan penggunaan β-blocker, dengan
tekanan darah ibu yang terkontrol secara efektif, penurunan kejadian hipertensi berat, dan
penurunan tingkat preterm yang masuk ke rumah sakit.2
Labetalol, sebuah β-blocker nonselektif dengan kemampuan vaskular α1-reseptor
blocking, telah memperoleh penerimaan luas dalam pengobatan hiperetensi pada
kehamilan. Ketika diberikan secara oral untuk wanita dengan hipertensi kronis,
tampaknya aman dan efektif seperti metildopa, meskipun dengan penggunaan dosis yang
lebih tinggi dilaporkan menyebabkan hipoglikemia neonatal. Parenteral digunakan untuk
mengobati hipertensi berat, dan karena insiden dari hipotensi ibu lebih rendah dan efek
samping lainnya, penggunaannya menggantikan hydralazine.8
Labetalol merupakan sebuah α-blocker dengan nonselektif β-blocking properti. Obat
ini tersedia dalam oral serta bentuk injeksi. Keamanan pada trimester pertama kehamilan
telah didokumentasikan. Tujuan antihipertensi adalah untuk mengurangi dan
menstabilkan tekanan darah, dalam upaya untuk meminimalkan risiko seperti solusio
plasenta, gagal jantung ibu, pendarahan otak; pada saat yang sama labetalol tidak
memiliki efek buruk pada sirkulasi uteroplasenta dan janin. Hasilnya dengan pengobatan
labetalol dapat mengontrol tekanan darah dengan baik. Tidak ada efek takikardia dan
tekanan darah stabil. Labetalol tidak berpengaruh pada aliran darah uteroplasenta. Bentuk
18
injeksi juga tersedia untuk krisis hipertensi. The National Guideline Clearinghouse,
mengenai pengobatan gangguan hipertensi pada kehamilan telah merekomendasikan
bahwa terapi antihipertensi awal harus dimulai dengan labetalol atau nifedipine, untuk
menurunkan target tekanan darah 160 untuk sistolik dan diastolik 110.2,6
3. Calcium Channel Antagonists
Calcium channel antagonis telah digunakan untuk mengobati hipertensi kronis,
preeklamsia ringan yang terjadi pada akhir kehamilan, dan hipertensi urgent terkait
dengan preeklampsia. Oral nifedipine dan verapamil tampaknya tidak menimbulkan
risiko teratogenik terhadap janin pada trimester pertama. Sebagian peneliti telah berfokus
pada penggunaan nifedipin, meskipun ada laporan dari nicardipine, isradipin, felodipin,
dan verapamil. Efek samping ibu dari calcium channel blockers termasuk takikardia,
palpitasi, edema perifer, sakit kepala, dan kemerahan pada wajah. Nifedipine tampaknya
tidak terdeteksi menyebabkan penurunan aliran darah uterus. Pemberian kapsul nifedipin
short-acting dalam laporan kasus berhubungan dengan hipotensi ibu dan gawat janin. Satu
studi telah menunjukkan efikasi dan keamanan nifedipine oral long-acting pada pasien
hamil dengan hipertensi berat pada kehamilan, dan diberikan kemungkinan efek janin
yang tidak diinginkan dari short-acting nifedipine sublingual, dianjurkan penggunaan
long-acting.2,9
Kekhawatiran penggunaan antagonis kalsium untuk kontrol tekanan darah pada
preeklamsia bersamaan dengan magnesium sulfat untuk mencegah kejang; interaksi obat
antara nifedipine dan magnesium sulfat dilaporkan menyebabkan blokade neuromuskuler,
depresi miokard, atau kolaps sirkulasi dalam beberapa kasus. Dalam praktek dan dalam
evaluasi terakhir, obat-obat ini biasanya digunakan bersama-sama tanpa meningkatkan
risiko.2
4. Diuretik
Diuretik sering diberikan pada hipertensi esensial sebelum konsepsi, the National
High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in
Pregnancy menyimpulkan bahwa diuretik dapat dilanjutkan pada kehamilan (dengan
upaya dilakukan dengan menurunkan dosis) atau digunakan dalam kombinasi dengan
agen lainnya. Hydrochlorothiazide dapat dilanjutkan selama kehamilan; penggunaan
19
dosis rendah (12,5-25 mg sehari) dapat meminimalkan efek metabolik yang tak
diinginkan, seperti gangguan toleransi glukosa dan hipokalemia. Triamterene dan
amilorid tidak teratogenik berdasarkan sejumlah kecil laporan kasus. Spironolakton tidak
dianjurkan karena efek antiandrogenik selama perkembangan janin.2
5. Serotonin2 Receptor Blockers
Ketanserin adalah obat serotonin2-receptor blocking selektif yang menurunkan
tekanan sistolik dan diastolik pada wanita yang tidak hamil dengan hipertensi akut atau
kronis. Tidak ditemukan efek teratogenik pada hewan maupun manusia dan telah
dipelajari terutama di Australia dan Afrika Selatan dalam suatu percobaan kecil, yang
menunjukkan bahwa hal tersebut aman dan berguna dalam pengobatan hipertensi kronis
pada kehamilan, preeklampsia, dan peningkatan hemolysis pada enzim hati, sindrom
trombosit rendah. Ketanserin belum disetujui oleh Food and Drug Administration di
Amerika Serikat.2
6. Direct Vasodilators
Hydralazine selektif melemaskan otot polos arteriol dengan mekanisme yang belum
diketahui. Penggunaan terbesar adalah untuk mengontrol hipertensi berat yang urgent
atau sebagai agen lini ketiga untuk kontrol multidrug hipertensi refrakter. Efektif secara
oral, intramuskular, atau intravena; penggunaan parenteral berguna untuk pengendalian
cepat pada hipertensi berat. Efek samping sebagian besar orang karena vasodilatasi
berlebihan atau aktivasi simpatik dan termasuk sakit kepala, mual, flushing, atau palpitasi.
Hydralazine telah digunakan dalam semua trimester kehamilan, dan data belum
menunjukkan hubungan dengan teratogenik, meskipun trombositopenia neonatal dan
lupus telah dilaporkan. Telah banyak digunakan untuk hipertensi kronis pada trimester
kedua dan ketiga, namun penggunaannya telah digantikan oleh agen dengan lebih
menguntungkan. Untuk hipertensi berat akut dalam kehamilan, intravena hydralazine
telah dikaitkan dengan efek samping maternal dan perinatal lebih tinggi dari labetalol
intravena atau nifedipine oral, seperti hipotensi ibu, bedah sesar, plasental abruptions,
skor Apgar < 7, dan oliguria. Selanjutnya, efek samping yang umum, seperti sakit kepala,
mual, dan muntah, mirip dengan gejala preeklamsia yang memburuk. Efek pada aliran
darah uteroplasenta tidak jelas, mungkin karena variasi dalam tingkat aktivasi refleks
simpatis, dan gawat janin dapat terjadi melalui penurunan tekanan di ibu. Metaanalisis
20
terbaru dari penggunaan hydralazine intravena di hipertensi berat di kehamilan
menyimpulkan bahwa labetalol parenteral atau nifedipine oral sebagai agen lini pertama,
dengan hydralazine sebagai lini kedua. Isosorbide dinitrate, donor NO, telah diteliti dalam
studi kecil hipertensi gestasional dan pasien hamil preeklampsia. Ditemukan bahwa
perfusi tekanan serebral yakin tidak berubah oleh isosorbid dinitrat, meskipun perubahan
signifikan dalam tekanan darah ibu, sehingga menurunkan risiko iskemia dan infark
ketika tekanan darah menurun. Sodium nitroprusside adalah donor NO langsung, yang
nonselektif melemaskan kedua arteriol dan venular otot polos pembuluh darah. Diberikan
hanya dengan terus menerus infus intravena, itu mudah dititrasi karena memiliki onset-
dekat segera tindakan dan durasi efek 3 menit. Metabolisme nitroprusside melepaskan
sianida, yang dapat mencapai tingkat beracun dengan tingkat infus tinggi; sianida
dimetabolisme menjadi thiocyanate dan toksisitas ini biasanya terjadi setelah 24 sampai
48 jam infus kecuali ekskresi yang tertunda karena insufisiensi ginjal. Hal ini jarang
digunakan dalam kehamilan.2,6
7. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors dan Angiotensin Receptor Antagonists
Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACE inhibitor) dan angiotensin receptor
blocking adalah agen kontraindikasi untuk kehamilan pada trimester kedua atau ketiga
kare toksisitas yang terkait dengan berkurangnya perfusi ginjal pada janin. Penggunaan
obat ini dikaitkan dengan fetopathy yang serupa dengan yang didapatkan pada sindrom
Potter (yaitu, agenesis ginjal bilateral), termasuk disgenesis ginjal, oligohidramnion
sebagai akibat dari oliguria janin, hypoplasia calvarial dan paru, keterbatasan
pertumbuhan janin intrauterine, dan gagal ginjal anuric neonatal, yang mengarah ke
kematian janin. Penggunaan angiotensin receptor blocking pada kehamilan juga telah
menyebabkan kematian janin, terutama disebabkan gagal ginjal. Penggunaan ACE
inhibitor dan angiotensin receptor blocking pada trimester pertama harus dihindari.
Karena paparan ACE inhibitor selama trimester pertama tidak dapat dianggap aman,
mungkin yang terbaik untuk wanita memberi nasihat untuk beralih ke agen alternatif
ketika mencoba untuk hamil. Pada mereka yang secara tidak sengaja hamil saat dalam
pengobatan dengan ACE inhibitor atau receptor angiotensin blocking, risiko cacat lahir
meningkat dari 3% menjadi 7%.2
21
2.4 Prinsip Pengobatan pada Gangguan Hipertensi Spesifik pada Kehamilan
Terdapat 4 gangguan hipertensi pada kehamilan, masing-masing dengan fitur
patofisiologis unik yang memiliki implikasi untuk terapi antihipertensi, seperti yang
dijelaskan di bawah ini.
Hipertensi kronis, yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik dan diastolik ≥
140/90 mmHg yang timbul sebelum usia kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang
pertama kali. Tujuan pengobatan adalah untuk mempertahankan tekanan darah pada
tingkat yang mengurangi risiko kardiovaskular dan serebrovaskular ibu.2
Preeklampsia-eklampsia adalah sindrom dengan manifestasi klinis hipertensi onset
baru pada kehamilan yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan
proteinuria. Proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau
sama dengan ≥ 1+ dipstick. Sindrom ini terjadi pada 5% sampai 8% dari seluruh
kehamilan dan dianggap konsekuensi dari kelainan pada pembuluh ibu yang memasok
plasenta, yang menyebabkan perfusi plasenta buruk dan pelepasan faktor menyebabkan
disfungsi endotel luas dengan gambaran klinis sistem multiorgan, seperti hipertensi,
proteinuria, serebral (edema, sakit kepala oksipital, atau kejang) dan disfungsi hati.
Menurunkan tekanan darah sistemik pada hipertensi preeklampsia tidak diyakini untuk
menghilangkan proses patogenik primer, dan obat antihipertensi tidak pernah ditujukan
untuk menyembuhkan atau menghilangkan preeklampsia. Namun demikian, karena
preeklampsia dapat berkembang secara tiba-tiba pada wanita yang sebelumnya
normotensif, pencegahan konsekuensi kardiovaskular dan serebrovaskular sebagai akibat
dari tingginya tekanan darah dengan cepat merupakan tujuan penting dari manajemen
klinis, sehingga sering membutuhkan penggunaan obat antihipertensi dengan bijaksana.2
Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia adalah hipertensi kronik
disertai tanda-tanda preeklampsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria. Prinsip
manajemen sama dengan preeklampsia, meskipun wanita dengan hipertensi kronik
dengan superimposed preeklampsia lebih tinggi kemungkinannya untuk berkembang
menjadi hipertensi berat sehingga membutuhkan beberapa obat antihipertensi.2
Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai
proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan
22
dengan tanda-tanda preeklampsia tetapi tanpa proteinuria. Hipertensi gestasional terjadi
pada 6% kehamilan. Wanita dengan hipertensi gestasional harus dianggap berisiko untuk
preeklampsia, yang dapat berkembang setiap saat. Sekitar 15% sampai 45% wanita
awalnya didiagnosis dengan hipertensi gestasional berkembang menjadi preeklampsia.
Seperti pada hipertensi kronis, obat antihipertensi perlu diberikan dengan tujuan
mencegah risiko ibu dari hipertensi berat. 2
Meskipun semua 4 jenis hipertensi dalam kehamilan dapat menyebabkan komplikasi
maternal dan perinatal, preeklampsia (terlepas dari tingkat tekanan darah) dan hipertensi
berat (terlepas dari jenis hipertensi dalam kehamilan) memiliki risiko tertinggi
berhubungan dengan ibu dan perinatal. Risiko utama untuk ibu adalah solusio plasenta
dan kerusakan target organ. Risiko janin meliputi hambatan pertumbuhan dan
prematuritas.
2.5 Prinsip Pengobatan Hipertensi Ringan – Sedang pada Kehamilan
Manfaat terapi antihipertensi untuk hipertensi ringan-sedang pada kehamilan belum
ditunjukkan dalam uji klinis. Pada penelitian baru-baru ini termasuk metaanalisis
Cochrane menyimpulkan bahwa terdapat data yang cukup untuk menentukan manfaat
dan risiko pengobatan antihipertensi pada hipertensi ringan-sedang, dengan pengobatan
antihipertensi menurunkan risiko berkembangnya hipertensi berat. Pedoman internasional
untuk pengobatan hipertensi pada kehamilan bervariasi sehubungan dengan ambang batas
memulai pengobatan dan target tekanan darah. Di Amerika Serikat terapi dianjurkan pada
tekanan darah ≥ 160/105 mmHg tanpa target pengobatan, di Kanada terapi diberikan pada
≥ 140/90 mmHg dengan target tekanan diastolik 80 – 90 mmHg, sebuah tinjuan
retrospektif baru-baru ini menunjukkan dari 28 pasien yang menderita stroke
penyebabnya adalah stroke perdarahan arteri dengan rata-rata tekanan darah sistolik
sebelum stroke 159 – 183 mmHg dan 81 – 133 mmHg untuk diastolik.2,3
Saat diagnosisnya adalah preeklampsia, usia kehamilan serta nilai tekanan darah
mempengaruhi penggunaan obat antihipertensi. Pada aterm, wanita dengan preeklampsia
kemungkinan besar dilahirkan, pengobatan hipertensi (kecuali hipertensi berat) dapat
ditunda, dan tekanan darah dapat dievaluasi kembali postpartum. Apabila preeklampsia
23
timbul jauh sebelum kehamilan aterm, pengobatan hipertensi berat diperlukan dan
tekanan darah biasanya aman diturunkan sampai 140/90 mmHg dengan obat
antihipertensi oral. Perlu ditekankan bahwa tidak ada studi yang menunjukkan target
tekanan darah yang aman pada wanita hamil, sebagian besar panduan merekomendasikan
pengobatan sampai tekanan darah yang mendekati nilai protektif melawan kejadian
serebrovaskular atau kardiovaskular, biasanya antara 140 – 155 / 90 – 105 mmHg. Saat
pengobatan antihipertensi digunakan pada pasien preeklampsia, pemantauan janin
membantu untuk mengetahui adanya gawat janin yang dapat terjadi akibat penurunan
perfusi plasenta.2
2.6 Pengobatan Hipertensi Berat pada Kehamilan
Hipertensi berat pada kehamilan didefinisikan sebagai tekanan darah > 160/100
mmHg, hipertensi berat membutuhan pengobatan karena wanita dengan hipertensi berat
memiliki risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan intraserebral, dan pengobatan tersebut
menurunkan menurunkan risiko kematian maternal. Pasien dengan hipertensi
ensefalopati, perdarahan, atau eklampsia membutuhkan pengobatan dengan agen
parenteral untuk menurunkan tekanan arteri rata-rata (2/3 tekanan diastolik + 1/3 tekanan
sistolik) sebesar 25% dalam menit sampai jam, kemudian meurunkan tekanan darah
160/100 mmHg pada jam berikutnya. Dalam mengobati hipertensi berat, penting untuk
menghindari terjadinya hipotensi, karena penurunan yang agresif dapat menyebabkan
gawat janin. Pada wanita dengan preeklampsia, perlu dipertimbangkan untuk memulai
pengobatan dengan dosis yang rendah, karena pada pasien tersebut memiliki risiko untuk
terjadi hipotensi lebih tinggi.2
Hipertensi yang berbahaya dapat menyebabkan perdarahan serebrovaskular dan
hipertensi ensefalopati, dan dapat memicu kejang eklampsia pada wanita dengan
preeklamsia. Komplikasi lain termasuk gagal jantung kongestif dan solusio plasenta.
Karena gejala sisa ini, the National High Blood Pressure Education Program Working
Group (2000) dan the 2013 Task Force merekomendasikan pengobatan untuk
menurunkan tekanan sistolik sampai dengan atau dibawah 160 mmHg dan diastolik
sampai dengan atau dibawah 110 mmHg.3
24
Tiga agen antihipertensi yang paling umum digunakan adalah hydralazine, labetalol,
dan nifedipine. Selama bertahun-tahun, hydralazine parenteral adalah satu-satunya yang
tersedia dari tiga ini. Tetapi ketika labetalol parenteral kemudian diperkenalkan, obat
tersebut dianggap sama efektif untuk digunakan obstetrik. Oral nifedipine sejak itu
memperoleh beberapa popularitas sebagai pengobatan lini pertama untuk hipertensi
gestasional berat.3,7
1. Hydralazine
Obat antihipertensi ini mungkin masih yang paling umum digunakan sebagai agen
antihipertensi di Amerika Serikat untuk pengobatan wanita dengan hipertensi
gestasional berat. Hydralazine diberikan intravena dengan dosis awal 5 mg, dan
diikuti oleh dosis 5 - 10 mg pada interval 15 sampai 20 menit sampai respon yang
memuaskan dicapai. Beberapa batasan dosis total adalah 30 mg per siklus
pengobatan. Target pengobatannya antepartum atau intrapartum adalah penurunan
tekanan darah diastolik 90 - 110 mmHg. Tekanan diastolik yang lebih rendah
memiliki risiko perfusi plasenta. Hydralazine telah terbukti sangat efektif untuk
mencegah pendarahan otak. Onset kerjanya bisa secepat 10 menit. 3
2. Labetalol
Agen antihipertensi efektif intravena ini merupakan α1 dan β-blocker non selektif.
Beberapa lebih suka penggunaannya dibanding hydralazine karena lebih sedikit efek
sampingnya. Sibai (2003) merekomendasikan dosis 20 sampai 40 mg setiap 10
sampai 15 menit yang diperlukan dan dosis maksimum 220 mg per siklus pengobatan.
American College of Obstetricians dan Gynecologists (2012) merekomendasikan
dimulai dengan bolus intravena 20 mg. Jika tidak efektif dalam waktu 10 menit, ini
diikuti oleh 40 mg, kemudian 80 mg setiap 10 menit. Pemberian tidak boleh melebihi
total dosis 220 mg per siklus pengobatan.3
3. Nifedipine
Agen kalsium channel blocking ini telah menjadi populer karena kemanjurannya
untuk mengendalikan hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan akut. The
NHBPEP Working Group (2000) dan the Royal College of Obstetricians and
Gynaecologists (2006) merekomendasikan dosis oral awal 10 mg diulang di 30 menit
25
jika perlu. Nifedipine diberikan sublingual tidak lagi dianjurkan. Percobaan acak yang
membandingkan nifedipine dengan labetalol ditemukan obat tidak definitif unggul
dari yang lain. Namun, nifedipine menurunkan tekanan darah lebih cepat.3
4. Agen Antihipertensi Lainnya
Beberapa obat antihipertensi umumnya tersedia lainnya telah diuji dalam uji klinis
tetapi tidak banyak digunakan. Belfort (1990) menggunakan kalsium antagonis
verapamil melalui infus intravena dengan dosis 5 sampai 10 mg per jam. Tekanan
arteri rata-rata diturunkan sebesar 20 persen. Belfort (1996, 2003) melaporkan bahwa
nimodipine diberikan baik oleh infus atau secara oral efektif untuk menurunkan
tekanan darah pada wanita dengan preeklamsia berat. Bolte (1998, 2001) melaporkan
hasil yang baik pada wanita preeklampsia diberikan ketanserin intravena, sebuah
penghambat reseptor serotonergik selektif (5HT2A). Nitroprusside atau nitrogliserin
direkomendasikan jika tidak ada respon optimal untuk agen lini pertama. Pemberian
dengan dosis 0,25 µg IV/kg/menit, infus; ditingkatkan 0,25 µg IV/kg/5 menit. Sodium
nitroprusside adalah agen vasodilator secara langsung yang poten dan efektif. Sodium
nitroprusside dipecah oleh hemoglobin menjadi sianida dimana terjadinya toksisitas
sianida janin dapat berkembang setelah 4 jam. Keberhasilan pengobatan masih
konsisten dengan pengobatan lini pertama menggunakan hydralazine, labetalol, atau
kombinasi dari dua diberikan berturut-turut, tetapi tidak pernah secara bersamaan.
Terdapat obat antihipertensi eksperimental yang mungkin menjadi berguna untuk
pengobatan preeklampsia. Salah satunya adalah calcitonin gene related peptide
(CGRP), sebuah asam amino-37 vasodilator yang poten. Lainnya adalah antidigoxin
antibody fab (DIF) ditujukan terhadap endogenous digitalis-like factors, juga disebut
steroid kardiotonik (Bagrov, 2008; Lam, 2013).3
5. Diuretik
Diuretik tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah jantung
kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai adalah furosemide. Pemberian
diuretik dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia, memperburuk perfusi
uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin,
dan menurunkan berat janin. 1
26
2.7 Penggunaan Obat Antihipertensi pada Preeklampsia Berat di Indonesia
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Indonesia adalah Nifedipin dengan dosis
10 – 20 mg peroral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam.
Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual karena efek vasodilatasi sangat cepat sehingga
hanya boleh diberikan peroral. Tekanan darah diturunkan secara bertahap: (1) penurunan
awal 25% dari tekanan sistolik (2) tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105 mmHg,
MAP < 125 mmHg.1,10
Nicardipine-HCl : 10 mg dalam 100 atau 250 cc NaCl/RL diberikan secara IV selama
5 menit, bila gagal dalam 1 jam dapat diulang dengan dosis 12,5 mg selama 5 menit. Bila
masih gagal dalam 1 jam, bisa diulangi sekali lagi dengan dosis 15 mg selama 5 menit.10,11
BAB III
KESIMPULAN27
Preeklampsia ialah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan / atau edema akibat dari
kehamilan setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan, bahkan setelah
24 jam postpartum.
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut off) tekanan
darah untuk pemberian antihipertensi. Penggunaan obat antihipertensi pada kehamilan
digunakan untuk mengontrol hipertensi ringan sampai sedang atau untuk mengendalikan
hipertensi berat. Pengelolaan hipertensi pada kehamilan membantu melindungi wanita dari
tekanan darah yang sangat tinggi dan memungkinkan untuk melanjutkan kehamilan,
pertumbuhan dan pematangan janin.
Pada preeklampsia, usia kehamilan serta nilai tekanan darah mempengaruhi penggunaan
obat antihipertensi. Pada aterm, wanita dengan preeklampsia kemungkinan besar dilahirkan,
pengobatan hipertensi (kecuali hipertensi berat) dapat ditunda, dan tekanan darah dapat
dievaluasi kembali postpartum. Perlu ditekankan bahwa tidak ada studi yang menunjukkan
target tekanan darah yang aman pada wanita hamil, sebagian besar panduan
merekomendasikan pengobatan sampai tekanan darah yang mendekati nilai protektif
melawan kejadian serebrovaskular atau kardiovaskular, biasanya antara 140 – 155 / 90 – 105
mmHg. Saat pengobatan antihipertensi digunakan pada pasien preeklampsia, pemantauan
janin membantu untuk mengetahui adanya gawat janin yang dapat terjadi akibat penurunan
perfusi plasenta.
Hipertensi yang berbahaya dapat menyebabkan perdarahan serebrovaskular dan hipertensi
ensefalopati, dan dapat memicu kejang eklampsia pada wanita dengan preeklamsia.
Komplikasi lain termasuk gagal jantung kongestif dan solusio plasenta. Tiga agen
antihipertensi yang paling umum digunakan adalah hydralazine, labetalol, dan nifedipine.
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Indonesia adalah Nifedipin dengan dosis 10 – 20
mg peroral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam.
DAFTAR PUSTAKA
28
1. Angsar MD. Hipertensi dalam kehamilan. [book auth.] Prawirohardjo S. [ed.] Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH, Saifuddin AB. Ilmu Kebidanan. 4 th ed. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwon Prairohardjo, 2014. p. 530-59
2. Update on the use of antihypertensive drugs in pregnancy. American heart association journals. 2008;51: 960-969
3. Cunningham FG, Gant N, et al. Williams Obstetric 24th ed. McGraw-Hill, Medical Publishing Division, 2014. p. 728-70
4. Edmond K. Dewhurt’s textbook of obstetrics & gynaecology 8th ed. Wiley-Blackwell, 2012. p. 101-9
5. Farmakologi dan Terapi. 1995. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. P. 315-342.
6. Turner JA. Diagnosis and management of pre-eclampsia: an update. International journal of women’s health, 2010: 2 237-337
7. Thottumkal VA, Shamnas M. benefits and current use of antihypertensive drugs in trimester of pregnancy. International journal of pharmaceutical science and health care. Issue 3, Vol. 2. April, 2013. p. 7-15
8. Sushrut D, Girija. Labatalol – an emerging first-line drug for pregnancy-induced hypertension. Indian journal of clinical practice, vol. 23, no. 10, 2013. p. 640-1
9. Vidaeff AC, Carroll MC. Acute hypertensive emergencies in pregnancy. BMJ. 1999; 318: 1332-6
10. Barrileaux PS. Hypertension therapy during pregnancy. Clinical Obstetric and Gynecology. 2002;45:22-34
11. Pedoman Penatalaksanaan Hipertensi dalam Kehamilan. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2010. p.11-12
29
Recommended