PEMBIMBING :
Dr. Asnominanda, SpTHT-KL
DISUSUN OLEH :
Andrew Budiartha Budisantoso
11. 2008. 082
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUSPAU ANTARIKSA ESNAWAN – HALIM PERDANA KUSUMA
PERIODE 07 DESEMBER 2009 – 09 JANUARI 2010
KATA PENGANTAR
1
Syukur ke hadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmatNya sehingga penyusun
mampu menyelesaikan Tugas referat yang berjudul Gangguan Penciuman ini, dalam rangka
memenuhi tugas kepaniteraan klinik THT FK UKRIDA di RUSPAU Dr.Antariksa Esnawan,
Halim Perdana Kusuma.
Terima kasih penyusun haturkan kepada Dr.Asnominanda, SpTHT-KL atas waktu
dalam membimbing serta ilmu berharga yang Beliau berikan.
Penyusun berharap referat ini dapat memberi sumbangan dalam kemajuan ilmu
THT. Dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Pada akhirnya, penyusun menyadari bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan. Karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penyusun harapkan untuk
perbaikan yang akan datang.
Penyusun
DAFTAR ISI
2
KATA PENGANTAR ……………………………….…………………………………. 2
DAFTAR ISI ……………………………………………………….…………………... 3
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................................. 4
BAB II. ISI
II.1. ANATOMI…………………...…................................................................... 5
II. 2. FISIOLOGI PENCIUMAN.........................................................................7
II. 3. DIAGNOSIS GANGGUAN PENCIUMAN .............................................. 8
II. 4. JENIS GANGGUAN PENCIUMAN
A. HIPOSMIA..............................................................................................9
B. ANOSMIA............................................................................................. 14
C. KAKOSMIA..........................................................................................15
D. DISOSMIA............................................................................................16
E. AGEUSIA..............................................................................................17
F. DISGEUSIA...........................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA …………….……………………………............…….................18
BAB I
PENDAHULUAN
3
Fungsi penghidu dan pengecapan yang normal sangat berperan dalam nutrisi dan penting
untuk mempertahankan gaya hidup yang sehat. Gangguan penciuman umumnya sukar
didiagnosa dan sukar untuk diobati biasanya karena kurangnya pengetahuan pada individu.
Gangguan penciuman bisa sekunder akibat proses perjalanan penyakit atau bisa juga sebagai
keluhan primer .Daya menghidu yang hilang atau berkurang terjadi pada kira-kira 1% dari
mereka yang berusia di bawah 60 tahun dan lebih dari 50 % pada mereka yang berusia lebih dari
60 tahun.
Indera penghidu yang merupakan fungsi nervus olfaktorius (N.I), sangat erat
hubungannya dengan indera pengecap yang dilakukan oleh saraf trigeminus (N.V), karena
seringkali kedua sensoris ini bekerja bersama-sama, sehingga gangguan pada salah satu indera
tersebut biasanya turut mengganggu fungsi indera yang satu lagi. Reseptor organ penghidu
terdapat di regio olfaktorius dihidung bagian sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan
melalui lubang-lubang pada lamina kribrosa os etmoid menuju bulbus olfaktorius didasar fossa
kranii anterior.
Sel penciuman adalah sel saraf bipolar yang terdapat di daerah yang terbentang di atas
dari konka media sampai ke atap, dan daerah septum yang berhadapan. Akson dari sensosel
dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang melalui lamina kribrosa ke dalam
bulbus olfaktorius. Akson dari sel-sel ini membentuk traktus olfaktorius yang menuju ke otak.
BAB II
ISI
4
II.1 ANATOMI
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah adalah
pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, alar nasi, kolumela dan lubang hidung
(nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (Os nasalis), prosesus frontalis os
maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago
alar mayor, beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau
lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
5
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os rnaksila dan os palatum.
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung.
Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior,
yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dan n.oftalmikus (N.V-I).
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada rnukosa olfaktorius di daerah sepertiga
atas hidung.
Cara Pemeriksaan :
· Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau adanya polip atau sekret. Hal ini dapat
mengurangi ketajaman penciuman sehingga mempengaruhi hasil pemeriksaan. (bersihkan sekret
kemudian kalau perlu gunakan dekongestan hidung).
· Zat pengetes yang digunakan adalah zat yang sudah dikenal klien seperti kopi, teh, tembakau,
atau cengkeh. Hindarkan zat yang dapat mengiritasi hidung seperti mentol, amoniak, alkohol
atau cuka.
· Lakukan pemeriksaan terhadap hidung satu persatu.
· Klien tutup mata, dan minta klien atau pemeriksa menutup salah satu lubang hidung klien,
kemudian klien disuruh mencium salah satu zat pengetes dan ditanya apakah klien mencium bau
sesuatu dan apa yang diciumnya.
· Ulangi untuk lubang hidung yang lainnya.
· Penilaian : normosmi jika klien dapat mengenal semua zat pengetes dengan baik, bila daya
penciuman berkurang disebut hiposmi, jika tidak dapat mencium sama sekali disebut anosmi.
6
II.2 FISIOLOGI PENCIUMAN
Sensasi penghidu diperantarai oleh stimulasi sel reseptor olfaktorius oleh zat - zat kimia
yang mudah menguap. Untuk dapat menstimulasi reseptor olfaktorius, molekul yang terdapat
dalam udara harus mengalir melalui rongga hidung dengan arus udara yang cukup turbulen dan
bersentuhan dengan reseptor. Faktor-faktor yang menentukan efektivitas stimulasi bau meliputi
durasi, volume dan kecepatan menghirup. Tiap sel reseptor olfaktorius merupakan neuron
bipolar sensorik utama.
Dalam rongga hidung rata-rata terdapat lebih dari 100 juta reseptor. Neuron olfaktorius
bersifat unik karena secara terus menerus dihasilkan oleh sel-sel basal yang terletak dibawahnya.
Sel-sel reseptor baru dihasilkan kurang lebih setiap 30-60 hari.
Pada inspirasi dalam, molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius
sehingga sensasi bau bisa tercium. Terdapat beberapa syarat zat-zat yang dapat menyebabkan
perangsangan penghidu yaitu zat-zat harus mudah menguap supaya mudah masuk ke dalam
kavum nasi, zat-zat harus sedikit larut dalam air supaya mudah melalui mukus dan zat-zat harus
mudah larut dalam lemak karena sel-sel rambut olfaktoria dan ujung luar sel-sel olfaktoria terdiri
dari zat lemak.
Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang berada pada
permukaan membran. Molekul bau yang larut dalam mukus akan terikat oleh protein spesifik (G-
PCR). G-protein ini akan terstimulasi dan mengaktivasi enzim Adenyl Siklase. Aktivasi enzim
Adenyl Siklase mempercepat konversi ATP kepada cAMP. Aksi cAMP akan membuka saluran
ion Ca++, sehingga ion Ca++ masuk ke dalam silia menyebabkan membran semakin positif,
terjadi depolarisasi hingga menghasilkan aksi potensial. Aksi potensial pada akson-akson sel
reseptor menghantar sinyal listrik ke glomeruli (bulbus olfaktorius). Di dalam glomerulus, akson
mengadakan kontak dengan dendrit sel-sel mitral. Akson sel-sel mitral kemudiannya menghantar
sinyal ke korteks piriformis (area untuk mengidentifikasi bau), medial amigdala dan korteks
enthoris (berhubungan dengan memori).
II.3 DIAGNOSIS GANGGUAN PENCIUMAN
A. Tanda dan Gejala
Mengetahui awitan dan perkembangan kelainan penciuman dapat menjadi hal yang sangat
penting untuk menegakkan diagnosis etiologik. Anosmia unilateral jarang menjadi keluhan; ia
7
hanya dapat dikenali dengan menguji bau secara terpisah pada masing-masing lubang hidung.
Anosmia bilateral, di lain pihak, membuat pasien mencari pertolongan dokter. Pasien-pasien
anosmik biasanya mengeluhkan hilangnya kemampuan merasa meskipun ambang rasanya
mungkin berada pada kisaran normal. Pada kenyataannya, mereka mengeluhkan hilangnya
deteksi rasa, yang sebagian besar merupakan fungsi dari penciuman.
B. Pemeriksaan Sensorik
Langkah pertama dalam pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat sejauh mana
keberadaan sensasi kualitatif.
Beberapa metode sudah tersedia untuk pemeriksaan penciuman :
a. Tes Odor stix – Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang
menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk
memeriksa persepsi bau oleh pasien secara kasar.
b. Tes alkohol 12 inci – Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap bau, tes alkohol 12
inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka dan dipegang pada jarak sekitar
12 inci dari hidung pasien.
c. Scratch and sniff card (Kartu gesek dan cium) – Tersedia scratch and sniff card yang
mengandung 3 bau untuk menguji penciuman secara kasar.
d. The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT) – Tes yang jauh lebih baik
dibanding yang lain adalah UPSIT; ia sangat dianjurkan untuk pemeriksaan pasien dengan
gangguan penciuman. Tes ini menggunakan 40 item pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch
and sniff berkapsul mikro. Sebagai contoh, salah satu itemnya berbunyi “Bau ini paling mirip
seperti bau (a) coklat, (b) pisang, (c) bawang putih, atau (d) jus buah,” dan pasien diharuskan
menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada. Tes ini sangat reliabel (reliabilitas tes-retes
jangka pendek r = 0,95) dan sensitif terhadap perbedaan usia dan jenis kelamin. Tes ini
merupakan penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit penciuman. Orang-
orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya akan mencapai skor pada kisaran 7-19 dari
maksimal 40. Skor rata-rata untuk pasien-pasien anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding
8
yang diperkirakan menurut peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-bauan yang beraksi
melalui rangsangan trigeminal.
2. Langkah ke-dua menentukan ambang deteksi
Setelah dokter menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif, langkah kedua
pada pemeriksaan sensorik adalah menetapkan ambang deteksi untuk bau alkohol feniletil.
Ambang ini ditetapkan menggunakan rangsangan bertingkat. Sensitivitas untuk masing-masing
lubang hidung ditentukan dengan ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil karbinol. Tahanan
hidung juga dapat diukur dengan rinomanometri anterior untuk masing-masing sisi hidung.
II.4 JENIS GANGGUAN PENCIUMAN
A. HIPOSMIA
Etiologi
Hiposmia dapat disebabkan oleh proses-proses patologis di sepanjang jalur olfaktorius.
Kelainan ini dianggap serupa dengan gangguan pendengaran yaitu berupa defek konduktif atau
sensorineural. Pada defek konduktif (transport) terjadi gangguan transmisi stimulus bau menuju
neuroepitel olfaktorius. Pada defek sensorineural prosesnya melibatkan struktur saraf yang lebih
sentral. Secara keseluruhan, penyebab defisit pembauan yang utama adalah penyakit pada rongga
hidung dan/atau sinus, sebelum terjadinya infeksi saluran nafas atas karena virus; dan trauma
kepala.
Defek konduktif
1. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan gangguan pembauan. Kelainannya
meliputi rhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika, akut, atau
toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit mukosa
yang progresif dan seringkali diikuti dengan penurunan fungsi pembauan meski telah dilakukan
intervensi medis, alergis dan pembedahan secara agresif.
2. Adanya massa/tumor dapat menyumbat rongga hidung sehingga menghalangi aliran odorant
ke epitel olfaktorius. Kelainannya meliputi polip nasal (paling sering), inverting papilloma, dan
keganasan.
3. Abnormalitas developmental (misalnya ensefalokel, kista dermoid) juga dapat menyebabkan
9
obstruksi.
4. Pasien pasca laringektomi atau trakheotomi dapat menderita hiposmia karena berkurang
atau tidak adanya aliran udara yang melalui hidung. Pasien anak dengan trakheotomi dan
dipasang kanula pada usia yang sangat muda dan dalam jangka waktu yang lama kadang tetap
menderita gangguan pembauan meski telah dilakukan dekanulasi, hal ini terjadi karena tidak
adanya stimulasi sistem olfaktorius pada usia yang dini.
Defek sentral/sensorineural
1. Proses infeksi/inflamasi menyebabkan defek sentral dan gangguan pada transmisi sinyal.
Kelainannya meliputi infeksi virus (yang merusak neuroepitel), sarkoidosis (mempengaruhi
stuktur saraf), Wegener granulomatosis, dan sklerosis multipel.
2. Penyebab kongenital menyebabkan hilangnya struktur saraf. Kallman syndrome ditandai
oleh anosmia akibat kegagalan ontogenesis struktur olfakorius dan hipogonadisme
hipogonadotropik. Salahsatu penelitian juga menemukan bahwa pada Kallman syndrome tidak
terbentuk VNO.
3. Gangguan endokrin (hipotiroidisme, hipoadrenalisme, DM) berpengaruh pada fungsi
pembauan.
4. Trauma kepala, operasi otak, atau perdarahan subarakhnoid dapat menyebabkan regangan,
kerusakan atau terpotongnya fila olfaktoria yang halus dan mengakibatkan anosmia.
5. Disfungsi pembauan juga dapat disebabkan oleh toksisitas dari obat-obatan sistemik atau
inhalasi (aminoglikosida, formaldehid). Banyak obat-obatan dan senyawa yang dapat mengubah
sensitivitas bau, diantaranya alkohol, nikotin, bahan terlarut organik, dan pengolesan garam zink
secara langsung.
6. Defisiensi gizi (vitamin A, thiamin, zink) terbukti dapat mempengaruhi pembauan.
7. Jumlah serabut pada bulbus olfaktorius berkurang dengan laju 1% per tahun. Berkurangnya
struktur bulbus olfaktorius ini dapat terjadi sekunder karena berkurangnya sel-sel sensorik pada
mukosa olfaktorius dan penurunan fungsi proses kognitif di susunan saraf pusat.
8. Proses degeneratif pada sistem saraf pusat (penyakit Parkinson, Alzheimer disease, proses
penuaan normal) dapat menyebabkan hiposmia. Pada kasus Alzheimer disease, hilangnya fungsi
pembauan kadang merupakan gejala pertama dari proses penyakitnya. Sejalan dengan proses
penuaan, berkurangnya fungsi pembauan lebih berat daripada fungsi pengecapan, dimana
penurunannya nampak paling menonjol selama usia dekade ketujuh.
10
Walau dahulu pernah dianggap sebagai defek konduktif murni akibat adanya edema mukosa dan
pembentukan polip, rhinosinusitis kronik nampaknya juga menyebabkan kerusakan neuroepitel
disertai hilangnya reseptor olfaktorius yang pemanen melalui upregulated apoptosis.
DIAGNOSIS
Tahapan pertama dalam mendiagnosis adalah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
secara menyeluruh. Pada anamnesis perlu ditanyakan lama keluhan, apakah dirasakan terus-
menerus atau hilang timbul dan apakah unilateral. Selain itu perlu diketahui apakah ada riwayat
trauma, masalah medis lainnya, dan obat-obatan yang diminum.
Pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan lengkap pada telinga, saluran napas bagian atas,
kepala, dan leher. Kelainan pada masing-masing daerah kepala dan leher dapat menyebabkan
disfungsi penciuman. Keberadaan otitis media serosa dapat menunjukkan adanya massa
nasofaring atau peradangan. Pemeriksaan hidung yang seksama untuk mencari massa hidung,
gumpalan darah, polip, dan peradangan membran hidung sangat penting.
Pemeriksaan olfaktorius terbagi dua, yaitu pemeriksaan olfaktorius subjektif dan objektif. Pada
pemeriksaan olfaktorius subjektif, pelbagai bahan diletakkkan di depan hidung penderita secara
terpisah antara kedua lubang hidung sebelum dan setelah dekongesti dari mukosa hidung.
Beberapa jenis substansi digunakan, yaitu yang mempunyai bau yang akan menstimulasi hanya
nervus olfaktorius (kopi, coklat, vanilla, lavender), substansi yang menstimulasi komponen
trigeminal (menthol, asam asetat), serta substansi yang turut mempunyai komponen pengecapan
(kloroform piridine).
Pemeriksaan olfaktorius objektif juga bisa dilakukan menggunakan alat test yang siap pakai,
misalnya Sniffin’ Sticks. Sniffin’ Sticks menggunakan sejumlah stik n-butanol yang berbentuk
seperti pen dan mengandung bau dengan konsentrasi yang berbeda. Melalui penggunaan alat ini,
kemampuan mendeteksi bau, membedakan bau-bau yang berlainan serta kemampuan
mengidentifikasi bau dapat dinilai. Pasien yang dites akan ditutup matanya, kemudian pemeriksa
akan meminta pasien menghidu tiga stik, dimana antara ketiga-tiga stik tersebut hanya satu stik
yang mempunyai bau. Jika pasien tidak bisa mendeteksi sebarang bau atau mengidentifikasi stik
yang salah, maka digunakan stik dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Konsentrasi stik yang
diberikan akan terus meningkat sehingga pasien dapat mengidentifikasi dengan benar paling
11
kurang dua kali. Setelah itu dinilai pada konsentrasi yang mana pasien bisa mendeteksi bau
tersebut dengan benar. Tes ini hanya memerlukan waktu 10 menit dan mudah dilakukan.
INTERPRETASI & TINDAKAN LANJUT
Hiposmia yang hilang timbul dan bervariasi derajatnya dapat disebabkan oleh rhinitis vasomotor,
rhinitis alergi atau sinusitis.Keluhan ini dapat hilang bila penyebabnya diobati.Pada polip nasi,
tumor hidung rhinitis kronis spesifik (rhinitis atrofi, sifilis, lepra, skleroma, tuberkulosis) terjadi
hiposmia akibat dari sumbatan, yang akan hilang bila penyakitnya diobati.
Rinitis medikamentosa akibat dari pemakaian obat tetes hidung menyebabkan hiposmia atau
anosmia yang akan sembuh bila pemakaian obat-obatan penyebabnya dihentikan.
Tumor n.olfaktorius bentuknya mirip polip nasi. Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaaan
histologi dan diterapi dengan pembedahan.
Faktor usia lanjut dapat menyebabkan berkurang atau hilangnya daya penghidu, terutamanya
tidak mampu menghidu zat yang berbentuk gas. Kelainan ini tidak dapat diobati.
Trauma kepala ringan atau berat dapat menimbulkan anosmia. Trauma dapat mengenai daerah
oksipital atau frontal. Pada pascatrauma, dapat terjadi parosmia, yaitu penciuman bau sangat
berbeda dengan yang seharusnya dan biasanya tercium bau yang tidak enak dan kadang-kadang
sensasi bau ini timbul secara spontan. Kelainan penghidu ini mungkin dapat sembuh, yang akan
terjadi dalam beberapa minggu setelah trauma. Bila setelah tiga bulan tidak membaik, berarti
prognosisnya buruk.
Tumor intrakranial yang menekan n.olfaktorius mula-mula akan menaikkan ambang penghidu
dan mungkin akan menimbulkan masa kelelahan penghidu yang makin lama makin memanjang.
Osteomata atau meningiomata di dasar tengkorak atau sinus paranasalis dapat menimbulkan
anosmia unilateral. Tumor lobus frontal selain menyebabkan gangguan penghidu sering juga
disertai dengan gejala lain, yaitu gangguan penglihatan, sakit kepala dan kadang-kadang kejang
lokal.
Epilepsi lobus temporal dapat didahului oleh aura penghidu. Seringkali halusinasi bau yang
timbul adalah bau busuk atau bau sesuatu yang terbakar, jarang yang bau wangi. Gejala ini tidak
menetap.
Kelainan psikologik seperti rendah diri mungkin menyebabkan merasa bau badan atau bau napas
sendiri. Pasien setelah diperiksa, bila ternyata tidak ada kelainan perlu diyakinkan dan
12
dihilangkan gangguan psikologiknya. Kelainan psikiatrik seperti depresi, skizofrenia atau
demensia senilis dapat menimbulkan halusinasi bau. Kasus demikian perlu dirujuk ke seorang
psikiater.
Kadang-kadang ada keluhan hilangnya penghidu pada pasien hysteria atau berpura-pura
(malingering) pascaoperasi hidung atau trauma. Bila diperiksa biasanya pasien mengatakan tidak
dapat mendeteksi ammonia.
TERAPI
A. Hiposmia Konduktif
Terapi bagi pasien-pasien dengan kurang penciuman hantaran akibat rinitis alergi, rinitis dan
sinusitis bakterial, polip, neoplasma, dan kelainan-kelainan struktural pada rongga hidung dapat
dilakukan secara rasional dan dengan kemungkinan perbaikan yang tinggi. Terapi berikut ini
seringkali efektif dalam memulihkan sensasi terhadap bau yaitu pengelolaan alergi, terapi
antibiotik, terapi glukokortikoid sistemik dan topikal dan operasi untuk polip nasal, deviasi
septum nasal, dan sinusitis hiperplastik kronik.
B. Hiposmia Sensorineural
Tidak ada terapi dengan kemanjuran yang telah terbukti bagi kurang penciuman sensorineural.
Untungnya, penyembuhan spontan sering terjadi. Sebagian dokter menganjurkan terapi zink dan
vitamin. Defisiensi zink yang mencolok tidak diragukan lagi dapat menyebabkan kehilangan dan
gangguan sensasi bau, namun bukan merupakan masalah klinis kecuali di daerah-daerah
geografik yang sangat kekurangan. Terapi vitamin sebagian besar dalam bentuk vitamin A.
Degenerasi epitel akibat defisiensi vitamin A dapat menyebabkan anosmia, namun defisiensi
vitamin A bukanlah masalah klinis yang sering ditemukan di negara-negara barat. Pajanan pada
rokok dan bahan-bahan kimia beracun di udara yang lain dapat menyebabkan metaplasia epitel
penciuman. Penyembuhan spontan dapat terjadi bila faktor pencetusnya dihilangkan; karenanya,
konseling pasien sangat membantu pada kasus-kasus ini.
PROGNOSIS
Prognosis hiposmia sebagian besar bergantung pada etiologinya. Hiposmia akibat obstruksi yang
13
disebabkan oleh polip, neoplasma, pembengkakan mukosa, atau deviasi septum dapat
disembuhkan. Bila sumbatan tadi dihilangkan, kemampuan penciuman semestinya kembali.
Sebagian besar pasien yang kehilangan indra penciumannya selama menderita infeksi saluran
napas bagian atas sembuh sempurna kemampuan penciumannya; namun, sebagian kecil pasien
tak pernah sembuh setelah gejala-gejala ISPA lainnya membaik.
Trauma kepala di daerah frontal paling sering menyebabkan hiposmia, meskipun anosmia total
lima kali lebih sering terjadi pada benturan terhadap oksipital. Penyembuhan fungsi penciuman
setelah cedera kepala traumatik hanyalah 10% dan kualitas kemampuan penciuman setelah
perbaikan biasanya buruk. Pajanan terhadap racun-racun seperti rokok dapat menyebabkan
metaplasia epitel penciuman. Penyembuhan dapat terjadi dengan menghilangkan bahan
penyebabnya.
B. ANOSMIA
Anosmia adalah ketidakmampuan penciuman/ penghidu sebagian atau total kehilangan
sensasi penciuman. Anosmia terjadi akibat obstruksi saluran kelenjar hidung atau kerusakan
syaraf. Anosmia biasanya disebabkan proses natural dari penuaan ataupun kebanyakan karena
common cold (influenza), anosmia dapat juga disebabkan karena setelah operasi kepala atau
alergi akut atau kronik. Banyak obat-obatan yang dapat mengubah kemampuan penghidu.
Sensasi penghidu menghilang karena kelainan seperti tumor osteoma atau meningioma, sinus
nasal atau operasi otak. Dapat juga disebakan karena defisiensi zinc/ seng. Rokok tobacco
adalah konsentrasi terbanyak dari polusi yang dapat menyebabkan seorang menderita
anosmia. Faktor siklus hormonal atau gangguan dental juga dapat menyebabkan anosmia.
Anosmia dapat juga terjadi karena beberapa bagian otak yang mengalami gangguan fungsi.
Gejala Klinis
Dengan hilangnya sensasi penciuman dapat juga menyebabkan kehilangan sensasi pengecap.
Penyimpangan fungsi penciuman dan pengecap menyebabkan nafsu makan berkurang,
penderita tidak dapat membedakan rasa.
Diagnosis
14
Untuk mengerti apa penyebab dari permasalahannya penting untuk anamnesa
menanyakan riwayat penyakit dan keluhan. Ukuran kuantitatif spesifik dari fungsi penciuman
perlu dilakukan tes, berupa “tes scratch and shiff” untuk mengevaluasi indera penciuman.
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior untuk melihat apakah terdapat
kelainan obstruksi hidung, perubahan mukosa hidung, tanda-tanda infeksi dan adanya tumor.
Pemeriksaan penunjang, dengan pemeriksaan penghidu sederhana. Pasien dicoba untuk
menghidu alkohol, kopi, minyak wangi dan skatol (feses), kemudian amoniak untuk
merangsang N. Trigeminus bukan N. Olfaktorius.
Penatalaksanaan
Pengobatan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kehilangan sensasi penciuman
antara lain; antihistamin apabila diindikasikan pada penderita alergi. Berhenti merokok dapat
meningkatkan fungsi penciuman.
Koreksi operasi yang memblok fisik dan mencegah kelebihan dapat digunakan dekongestan
nasal dapat membantu. Suplemen zinc kadang-kadang direkomendasikan. Anosmia akibat
proses degenerasi tidak ada pengobatannya. Kerusakan N. Olfaktorius akibat infeksi virus
prognosisnya buruk, karena tidak dapat diobati.
C. KAKOSMIA
Definisi
Gangguan penghidu/penciuman akibat gangguan psikis/ kejiwaan adanya halusinasi bau.
Etiologi
Dapat ditemukan pada epilepsi unsinatus, lobus temporalis, Kelainan psikologik & rendah diri,
Kelainan psikiatrik, Depresi, Psikosis
Gejala
Pada pasien epilepsi lobus temporal dapat didahului oleh aura penghidu. Seringkali halusinasi
bau yang timbul adalah bau busuk atau bau sesuatu yang terbakar, jarang bau yang wangi.
Gejala ini tidak menetap. Kelainan psikopatologik seperti rendah diri mungkin menyebabkan
merasa bau badan atau bau napas sendiri. Kelainan psikiatrik seperti depresi, skizofren atau
15
demensia senilis dapat menimbulkan halusinasi bau.
Diagnosis
Gangguan berlangsung singkat, 1 hari sampai dengan kurang 1 bulan. Gejala bisa memenuhi
atau tidak memenuhi kriteria skizofrenia
Gangguan timbul akibat respons terhadap stresor psikososial yang parah atau nyata tidak disertai
gangguan mood atau gangguan oleh karena zat.
Penatalaksanaan
Pemeriksaan perlindungan pasien terhadap hal-hal yang membahayakan diri dan orang lain.
Pada pasien yang setelah diperiksa ternyata tidak ada kelainan perlu diyakinkan dan
dihilangkan gangguan psikologiknya.
Pada pasien yang terdiagnosa mengalami gangguan psikologis, dapat dirujuk ke psikiatri.
D. DISOSMIA
Disosmia adalah berubahnya penciuman yang menyebabkan penderita merasa mencium bau
yang tidak enak.
Disosmia bisa disebabkan oleh:
- Infeksi di dalam sinus
- Kerusakan parsial pada saraf olfaktorius
- Kebersihan mlut yang jelek, sehingga terjadi infeksi mulut yang berbau tidak enak dan tercium
oleh hidung
- Depresi.
Beberapa penderita kejang yang penyebabnya berasal dari bagian otak yang merasakan bau
(saraf olfaktorius) akan mencium bau yang tidak menyenangkan (halusinasi olfaktori). Hal ini
merupakan bagian dari kejang, bukan merupakan disosmia.
E. AGEUSIA
Ageusia merupakan berkurangnya atau hilangnya pengecapan.
16
Penyebabnya adalah berbagai keadaan yang mempengaruhi lidah:
- Mulut yang sangat kering
- Perokok berat
- Terapi penyinaran pada kepala dan leher
- Efek samping dari obat (misalnya vinkristin-obat antikanker atau amitriptilin-obat antidepresi).
F. DISGEUSIA
Disgeusia adalah berubahnya pengecapan.
Penyebabnya bisa berupa:
- Luka bakar pada lidah (bisa menyebabkan kerusakan sementara pada jonjot-jonjot pengecap)
- Bell's palsy (bisa menyebabkan berkurangnya pengecapan pada salah satu sisi lidah)
- Depresi.
DAFTAR PUSTAKA
17
1. Leopold DA, Holbrook EN, Disorder of Taste and Smell, 2006, Available from :
www.emedicine/disorderoftasteandsmell.html
2. Lalwani AK, Mafong DD, Olfactory Dysfungtion. In: Lalwani AK editor. a Lange
Madical Book Current Diagnosis & Treament In Otolaryngology Head and Neck
Surgery.64 Th ed. New York: Mc Graw Hill, 2004 ; p.239-243.
3. Doty RL, Deems DA, Olfactory Function and Dysfunction In : Bailey BJ, Calhoun KH,
Healy GB et al Editors. Texbooks Bailey Head and Neck Surgery Otolaryngology. 3 th
ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins, 2001; p.246-260.
4. www.medicastore.com
5. http://thtkl.wordpress.com
6. Soepardi EA, Iskandar N, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga – Hidung –Tenggorok –
Kepala leher, 2001, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
7. Adams, Boeis, Higler, Buku Ajar Penyakit THT BOIES, Edisi ke – 6, 1997, Penerbit
Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
8. Clinical Policy Bulletin : Smell and Taste Disorder,Diagnosis, 2007,
Available from : http://www.aetna.com/cpb/medical/data
18