@yustinus_esha
Bergelut dan Bergulat Dengan Sampah
Karang Mumus
- Satu Semester Perjalanan Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM -
@yustinus_esha
Bergelut dan BergulatDengan Sampah
KARANG MUMUS
Satu SemesterPerjalanan Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM
Penyusun :@yustinus_esha
Foto :Misman
Desain dan Tata Letak :Basir (Pos Kaos)
Daftar Isi
PrologMembaca Karang Mumus Primadona Yang Merana
Bagian 1Membuka Cakrawala Lewat Media Sosial
Bagian 2Dilirik Oleh Para Pewarta
Bagian 3Bukan Mengarami Lautan, Apalagi Mengecat Langit
Bagian 4Titik Hijau Bukan Kaltim Green
Bagian 5Bocah-Bocah 'Hantu Banyu' Penjaga Sungai Karang Mumus
Bagian 6Menapak Jejak Menjelajah Karang Mumus
Bagian 7Hidup Adalah 'Urunan'
Bagian 8Berwisata dan Eksis Tak Ada Salahnya
Bagian 9Candu Itu Bernama Pangkalan Pungut
EpilogMimpi Yang Mulai Berwujud
PROLOG
Membaca Karang Mumus
Primadona yang Merana
Saya tak tahu seperti apa wajah Sungai Karang Mumus dahulu, sebab saya tak terlahir,
tumbuh dan berkembang di tepiannya. Yang pasti, Sungai Karang Mumus dalam
pengetahuan banyak orang hari ini adalah sungai yang kotor, airnya hitam, berbau dan
dihiasi oleh karnaval aneka sampah.
Karang Mumus juga diidentikan dengan pemukiman yang kumuh, rumah berhimpitan di bibir
sungai. Kondisi yang kemudian menjadi tertuduh utama sebagai penyebab merosotnya
keindahan dan kesehatan Sungai Karang Mumus.
Tidaklah mengherankan jika kemudian pemberitaan dan perbincangan tentang Sungai Karang
Mumus tidak jauh dari tema relokasi yang belum juga usai, kwalitas air sungai yang terus
memburuk dan titik-titik banjir baru di sepanjang alirannya.
Padahal masih ada banyak cerita yang tersimpan di benak sebagian warga Kota Samarinda
tentang Sungai Karang Mumus di masa lalu. Mereka yang dimasa kanak-kanaknya menjadikan
Sungai Karang Mumus sebagai kolam renang pertamanya.
Banyak diantara mereka yang dimasa kecilnya mandi, berenang dan berakrobat dengan terjun
ke Sungai Karang Mumus kini menjadi orang berpangkat dan memegang jabatan di tingkat
Kabupaten/Kota hingga Provinsi di Kalimantan Timur.
Sayangnya cerita tentang air Sungai Karang Mumus yang jernih, lalu lalang perahu membawa
berbagai muatan, batang tempat mandi dan landasan untuk terjun serta menyelam, hijau
pepohonan dan aneka ikan hingga udang tak diteruskan dari generasi ke generasi. Akibatnya
anak-anak, generasi masa kini Kota Samarinda lebih mengenal Sungai Mahakam. Sungai
Mahakam mungkin lebih menarik karena di bebapa titik tepiannya dihiasi dengan aneka
lampion bercahaya di malam hari, figur yang menarik mata, perhatian dan imajinasi.
Kota Samarinda juga lebih memilih mengelar Festival Mahakam ketimbang memilih
nama Karang Mumus sebagai event wisata tahunannya. Padahal Sungai Karang Mumus yang
panjangnya kurang lebih 34,7 km ini yang sesungguhnya milik Kota Samarinda. Barangkali
ada banyak orang yang prihatin terhadap keadaan Sungai Karang Mumus hari ini. Tak sedikit
penelitian juga telah dilakukan oleh para cerdik pandai. Namun hanya sedikit yang mau
bergerak dan memulai untuk menyehatkan kembali Sungai Karang Mumus.
Dan dari antara sedikit yang tergerak itu, lebih sedikit lagi yang mau berjuang dengan gigih
untuk memancing keterlibatan warga Kota Samarinda. Misman adalah salah satu dari yang
sangat sedikit itu. Misman, pegiat seni teater yang juga seorang jurnalis memulai aksi
keprihatinannya semenjak bertahun-tahun lalu. Memunguti aneka sampah yang tak terurai di
permukaan Sungai Karang Mumus.
Aksinya dilandasi oleh ingatan tentang Sungai Karang Mumus di masa kecilnya yang
dihubungkan dengan kondisinya hari ini. Kondisi yang kemudian disimpulkan olehnya
sebagai ketiadaan penghormatan atas sungai sebagai sumber kehidupan.
Secara sederhana dia mengungkapkan permasalahan utama dari Sungai Karang Mumus adalah
kebiasaan masyarakat membuang sampah ke sungai. Maka cara mengatasinya adalah
memungut sampah dari sungai. “Apabila semakin banyak orang memungut sampah di sungai,
maka akan semakin berkurang orang yang membuang sampah ke sungai,” terangnya.
Ini adalah aksi perlawanan dengan metode melakukan hal yang sebaliknya atau dikenal dengan
istilah contra agere. Pembuang sampah ke sungai akan habis jika pemungut sampah di sungai
lebih banyak.
Jadi aksi memungut sampah di sungai adalah perlawanan lewat tindakan, sekaligus sebagai
sebuah pendidikan kepada masyarakat agar memperlakukan dan membuang sampah dengan
baik serta benar.
Misman sadar betul bahwa apa yang dilakukannya mungkin akan menuai pandangan miring
dari masyarakat banyak. Dan benar, terbukti tak sedikit yang menganggapnya gila. Tapi dia tak
peduli dengan semua anggapan itu.
Melalui Basit, Misman dikenalkan kepada Iyau Tupang. Nama terakhir adalah seorang Ketua
RT yang tak kalah gilanya dengan Misman. Iyau selama ini dikenal karena dengan teguh
menjaga Ruang Terbuka Hijau di wilayah yang merupakan otoritasnya, untuk tetap berfungsi
sebagai area resapan air. Pertemuan Misman dan Iyau Tupang bagaikan panci ketemu tutupnya.
Catatan kecil ini merupakan sebuah cerita perjalanan Misman dan Iyau Tupang yang juga
didukung oleh keluarga, kerabat, teman dan rekan seprofesinya dalam mengulirkan Gerakan
Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus.
Kisah ini akan disajikan dalam bentuk Foto Story agar bisa menyajikan fakta secara lebih utuh.
Harapannya kisah ini bisa menjadi bagian dari narasi besar perjalanan Kota Samarinda
sehingga bisa menjadi inspirasi sekaligus pembelajaran untuk siapa saja yang mencintai dan
bangga menjadi bagian dari kota ini.
Bagian 1
Membuka Cakrawala Lewat Media Sosial
Jorok, itulah bayangan yang terus menghantui Misman setiap kali melihat dan
melewati Sungai Karang Mumus. Bayangan Sungai Karang Mumus yang dipenuhi sampah,
airnya menghitam dan bau membuat tidurnya tak nyenyak.
Sebagai pengiat seni teater dan jurnalis, Misman, pemulis buku tentang Sangkilan (Sandiwara
Tingkilan) dan pengelola tabloid pendidikan tak punya banyak teori tentang restorasi sungai.
Bahwa persoalan di Sungai Karang Mumus berderet dari hulu hingga hilir. Berkelindan antara
perilaku kebijakan, sektor swasta dan masyarakat tentu tak bisa dinafikan. Hanya yang menjadi
perhatian bagi Pak Misman adalah sampah, terutama yang dipermukaan.
Soal siapa yang salah dalam urusan sampah dan limbah, Misman tak mau berteori dan berdebat
panjang-panjang. Buat dia yang bersalah adalah yang membuang sampah, siapapun dan
apapun dia.
Dalam benaknya jika persoalan sampah bisa diatasi, maka akan lebih mudah baik bagi
pemerintah ataupun siapapun untuk menata kembali Sungai Karang Mumus. Namun jika
sampah masih memenuhi badan Sungai Karang Mumus, peralatan apapun yang diterjunkan ke
Sungai Karang Mumus entah untuk mengeruk atau menyedot lumpurnya bakal kesulitan.
Sungai Karang Mumus pantas disebut sebagai supermarket sampah karena keanekaragaman
sesampahan yang dibuang didalamnya. Amat mudah menemukan sekantung atau sekarung
plastik berisi bulu atau usus ayam, bermacam bangkai, pakaian bekas terbungkus rapi, ban,
rangka motor, almari, kursi, televisi, kulkas hingga springbed.
Aneka sampah yang hilir mudik karena pasang surut Sungai Mahakam itu lama kelamaan akan
terkubur didasar, terbenam dalam lumpur. Selain itu Sungai Karang Mumus juga menyimpan
jebakan-jebakan yang berbahaya yaitu tunggul bekas rumah yang tak habis dicabut saat
pembongkaran pemukiman di pinggiran sungai.
Puluhan hingga ratusan foto-foto wajah Sungai Karang Mumus di saat pasang dan surut yang
diupload oleh Pak Misman melalui halaman facebooknya perlahan membuka mata sebagian
warga Kota Samarinda.
Wajah sesungguhnya dari Sungai Karang Mumus yang biasa dipandang sekilas oleh warga
Kota Samarinda kemudian hadir dalam genggaman banyak orang. Bayang-bayang sungai yang
mati fungsi karena sampah kemudian menghantui banyak orang lainnya. Dan dari antara
mereka kemudian banyak yang menyatakan diri untuk mau turun ke Sungai Karang Mumus.
Pilihan publikasi melalui media sosial terbukti ampuh. Misman memperoleh banyak
permintaan pertemanan sehingga apapun yang diposting berada di halaman banyak orang.
Untuk semakin memperluas jangkauan juga dibuat fanpage Gerakan Memungut Sehelai
Sampah SKM dan group Save Karangmumus. Publikasi yang rutin melalui facebook membuat
topik memungut sampah di Sungai Karang Mumus menjadi salah satu topik utama yang
menjadi perbincangan diantara pemakai sosial media di Kota Samarinda dan sekitarnya.
“Selama ini terlalu banyak ceremony untuk urusan bersih-bersih. Sehabis pencanangan atau
penandatanganan dukungan, semua berlalu begitu saja,” ujarnya.
Karena itu Misman memutuskan untuk memulai aksi dengan memungut sampah di Sungai
Karang Mumus. Aktivitas ini sudah dijalankan bertahun-tahun lalu disela-sela kesibukannya.
Pilihannya di jalan sunyi ternyata tidak berdampak terlalu besar.
Mulai September 2015, Misman memakai media sosial (facebook) untuk mulai meng-upload
gambar-gambar sesampahan yang ada di Sungai Karang Mumus. Lewat gambar itu mau
ditunjukkan betapa parah keadaan Sungai Karang Mumus. Sungai ini olehnya diibaratkan
sebagai tempat sampah terpanjang, supermarket sampah terbesar di Kota Samarinda.
Bagian 2
Dilirik Oleh Para Pewarta
Berlatar belakang seni teater dan jurnalistik
membuat Misman akrab serta kerap
berkegiatan dengan para pelaku seni,
pegiat kebudayaan di Taman Budaya dan wartawan
di PWI Kaltim. Kegelisahannya terhadap kondisi
Sungai Karang Mumus dan aktivitas memungut
sampahnya diceritakan pertama-tama di dua
lingkungan ini.
Sahabat dan teman-temannya dari Taman Budaya
dan PWI Kaltim pulalah yang mendukung apa yang
dilakukan oleh Misman. Mereka juga turut turun ke
Sungai Karang Mumus untuk bersama-sama
memungut sampahnya.
Keterlibatan para jurnalis tentu saja bukan hanya turut memungut sampah melainkan juga
memberitakan kegiatan yang dilakukan dan dipelopori oleh Misman itu. Dan semenjak
September 2015 berita tentang aksi memungut sehelai sampah Sungai Karang Mumus silih
berganti muncul di berbagai media. Berbagai macam judul berita tersaji mulai dari akhir tahun
2015 sampai awal tahun 2016 ini di harian Tribun Kaltim, Kaltim Pos, Kalimantan Pos.
Keramaian berita juga ditemukan di media berita online yaitu antarakaltim.com,
kaltim.antaranews.com, news.prokal.co. kaltim.tribunnews.com, mongabay.co.id,
vivaborneo.com, kliksamarinda.com, beritakaltim.com, kaltimnews.com dan lain sebagainya.
Muhammad Ghofar, jurnalis Kantor Berita Antara bisa disebut sebagai pewarta yang paling
rajin menuliskan berita seputar kegiatan memungut sampah di Sungai Karang Mumus. Berita
yang dituliskannya ibarat catatan harian yang menuliskan keterlibatan komunitas-komunitas
dalam Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus.
Sementara itu Achmad Bintoro, jurnalis dari Tribun Kaltim, berkali-kali menulis berita madya
(Feature Berita) yang apik dan mengugah tentang dinamika kerja bakti pungut sampah di
Sungai Karang Mumus terkait dengan perilaku kepemimpinan dan rencana pembangunan baik
di tingkat Provinsi Kaltim maupun Kota Samarinda.
Berkali-kali pula wajah Misman dan Iyau Tupang muncul di layar kaca, lewat TVRI Kaltim,
Kaltim TV, Samarinda TV serta Net TV. Suara Misman menerangkan tentang aksinya di Sungai
Karang Mumus juga berkali diperdengarkan lewat talkshow di berbagai stasiun radio yang ada
di Kota Samarinda.
Ramainya pemberitaan tidak hanya di media-media mainstreams melainkan juga di media
komunitas. Para pewarta warga (citizen journalist) juga kerap mengunggah berita dalam
bentuk tulisan, foto dan video melalui akun macro dan micro blognya.
Atas kerja-kerja para pewarta ini, isu dan permasalahan Sungai Karang Mumus menjadi
mengemuka mulai dari paruh akhir tahun 2015 hingga paruh awal tahun 2016. Dan para
pewarta tidak hanya menyampaikan kabar berita melalui publikasi di media melainkan juga
turun langsung untuk merasakan bagaimana pengalaman memungut sampah di Sungai Karang
Mumus. Menyampaikan secara lisan kepada para narasumber di lingkungan eksekutif dan
legislatif.
Hasil yang bisa dilihat adalah sumbangan peralatan pungut dalam bentuk perahu dan alat bantu
lainnya dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Kaltim. Walikota Samarinda,
Sjaharie Jaang, sehari setelah pelantikan sebagai Walikota Samarinda periode ke dua juga
melakukan blusukan ke Sungai Karang Mumus sebagai agenda kerja pertamanya.
Namun Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM menjadi 'mengejala' tidak semata karena
pemberitaan para jurnalis dari media mainstream. Pewarta warga atau pewarta komunitas dan
pemakai media sosial mempunyai andil besar dalam memberitakan kegiatan pungut sampah di
Sungai Karang Mumus.
Publikasi di makro/mikro blog dan situs berbagi video/foto bukan hanya mengabarkan tentang
apa yang dilakukan di Sungai Karang Mumus melainkan juga memancing pernyataan untuk
turut serta. Lewat publikasi-publikasi itu dengan gamblang bisa dibaca dan dilihat perihal apa,
siapa dan bagaimana kegiatan memungut sampah di Sungai Karang Mumus.
Apapun yang terkait dengan memungut sampah di Sungai Karang Mumus mulai dari siapa
yang memungut, siapa yang menyumbang, apa yang disumbangkan, kapan, bagaimana
dimanfaatkan dan seterusnya menjadi semacam pemberitahuan, laporan dan
pertanggungjawaban sehingga semua menjadi transparan.
Bagian 3
Bukan Mengarami LautanApalagi Mengecat Langit
etika berbincang tentang pungut sampah di Sungai Karang Mumus sampai dengan
Kakhir tahun 2015 masih banyak suara bernada bukan hanya skeptis namun juga
sinis. Kebanyakan masih memandang aksi ini adalah aksi yang sia-sia.
Bukan sedikit orang yang terang-terangan mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh
Misman dan Iyau Tupang serta beberapa teman lainnya sebagai mengarami lautan. Bahkan
Iyau Tupang mengatakan ada orang yang membuat perumpamaan tentang yang mereka
lakukan sebagai mengecat langit.
Adalah logis ketika banyak orang mengatakan bahwa memungut sampah di Sungai Karang
Mumus adalah kesia-siaan. Sebab satu yang dipungut seribu yang dibuang sehingga tak
sebanding.
Jika diambil dari sisi positif apa yang disampaikan oleh orang barangkali adalah tanda awas.
Jangan sampai pemungut sampah di Sungai Karang Mumus menjadi patah arang, patah
semangat karena setelah sekian lama memungut namun hasilnya tak kelihatan.
Dan memang Misman dan Iyau Tupang sebagai pioner serta kelompok pendukungnya di masa-
masa awal sadar betul bahwa mereka tak akan bisa membersihkan sampah di Sungai Karang
Mumus sendirian.
Maka mereka merumuskan gerakannya sebagai memungut sehelai sampah Sungai Karang
Mumus. Lewat sehelai sampah yang terus dipungut setiap hari, mereka ingin mengarami hati
dan mengecat sanubari warga Kota Samarinda agar tak lagi membuang sampah ke sungai.
Jadi memungut sehelai sampah ditengah lautan sampah tetap punya makna. Ibarat lilin, meski
nyalanya kecil namun jika berada dalam kegelapan, sinarnya tetap akan membawa terang.
Adalah biasa ketika ada sebuah permasalahan yang begitu berat dan kronis lalu muncul inisiatif
untuk mengatasinya dengan langkah yang sangat sederhana, biasa-biasa saja maka muncul
anggapan soal ketikdakmungkinan.
Sudah ada sederet rekomandasi yang berdasar dari berbagai penelitian untuk menyehatkan
kembali Sungai Karang Mumus. Berkali-kali Misman menuliskan status di halaman
facebooknya bahwa kita tak kekurangan cerdik pandai yang paham bagaimana mengatasi
persoalan Sungai Karang Mumus, namun satu hal yang paling penting tidak kita punyai yaitu
bertindak.
Memulai dengan tindakan dan itulah yang kemudian dilakukan oleh Misman yang kemudian
menjadikan area di samping Jembatan Kehewanan sebagai titik pungut. Pertemuannya dengan
Basit dan Iyau Tupang serta Wagimin alias Sugianto, membuat titik pungut ini kemudian
dikembangkan menjadi pangkalan pungut.
Trio pemungut yaitu Misman, Basit dan Iyau yang didukung oleh Sugianto sebagai pengangkut
hasil pungut untuk dibuang ke TPS dengan ketekunan dan keyakinannya mengabaikan semua
pandangan miring dari berbagai pihak atas aksi 'Mengarami Lautan dan Mengecat Langit',
dengan tekun memungut sampah di Sungai Karang Mumus.
Keteladanan tak butuh aksi besar, ajakan tak perlu disampaikan dengan berkoar-koar. Pilihan
jalan sunyi terbukti menarik perhatian sebagaian warga Kota Samarinda. Satu demi satu
berdatangan dan lingkaran kecil pungut sampah di Sungai Karang Mumus semakin membesar.
Hanya saja suara miring masih terdengar sampai sekarang. Nada-nada ketidaksenangan atau
bahkan kecurigaan kerap masih tertangkap. Sempat ada ucapan yang tertangkap di tepian
Sungai Karang Mumus yang mengatakan “Kalau anak sekolah, mahasiswa pasti sukarela, tapi
yang lainnya itu nda mungkin kalau nda makan uang pemerintah,”.
Tindakan baik memang tak otomatis akan memperoleh umpan balik yang baik. Namun
Lukman Djunaedi, PNS yang bertugas di Bandiklat Provinsi Kaltim yang kerap mampir ke
pangkalan pungut memberi kesaksian bahwa selama dia tinggal di Kota Samarinda, Gerakan
Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus ini istimewa karena mampu mengerakkan
kepedulian warga Kota Samarinda tanpa rekayasa sosial dan organisasi yang rumit.
“Setelah lubang tambang yang memakan korban dan sampah di Sungai Karang Mumus,
apalagi yang mampu menyatukan warga Kota Samarinda untuk bergerak ?” tanyanya sambil
sambil menyebut persoalan pelik Kota Samarinda, seperti banjir, air bersih dan listrik yang tak
kalah parahnya.
Bagian 4
Titik Hijau Bukan Kaltim Green
Iyau Tupang bukanlah aktivis lingkungan hidup yang
sibuk mengikuti workshop, seminar, lokakarya atau
pertemuan-pertemuan lain yang membahas degradasi
lingkungan hidup. Dia barangkali juga tak paham benar
dokumen-dokumen yang melatari program Kaltim Green.
Tapi yang dia tahu adalah kalau bibit pohon ditanam, maka
harus dijaga agar tetap hidup dan berkembang.
Mari luangkan waktu, menyusuri kawasan tepian Sungai
Karang Mumus utamanya di bantaran sungai yang berhasil
'dibersihkan' dari pemukiman. Area itu kemudian diturap
dan kanan kirinya dijadikan Ruang Terbuka Hijau.
Pada beberapa titik dibuat menjadi taman yang dilengkapi
dengan lantai semen, tempat duduk beton dan pot-pot besar
yang juga terbuat dari semen. Selain yang menjadi taman,
kebanyakan RTH itu kini telah diduduki oleh pedagang,
sebagai tempat berjualan. Ada yang berjualan dari pagi
hingga sore hari, namun ada pula yang mulai berdagang di
sore hingga dini hari. Umumnya yang berdagang memakai
RTH adalah pedagang makanan dan minuman.
Hanya sedikit atau bahkan sejengkal RTH yang bebas dari
aktifitas pedagang. Salah satunya adalah yang berada di
samping Jembatan Kehewanan. Pepohonan yang hijau dan
rindang serta sebagian tanahnya yang tertutup rerumputan
dipertahankan oleh Iyau Tupang untuk tetap bersih dari
aktivitas pedagang serta perilaku lainnya yang membuat
fungsinya terganggu.
Keteguhan Iyau Tupang dan beberapa warga lain di sekitar RTH itu untuk tetap menjaga
fungsinya bukan tak menuai masalah. Tak sedikit orang yang tidak senang kepada mereka
lantaran permintaan ijin untuk berjualan di tempat itu tak dikabulkan.
“Bukan hanya orang sini melainkan juga orang luar yang datang berkali-kali untuk meminta
ijin dan membujuk-bujuk agar diperkenankan berjualan disini,” ujar Iyau Tupang.
Iyau selalu menampik jika dikatakan hebat. Menurutnya apa yang dilakukan hanyalah
menjalankan Tupoksi sebagai Ketua RT. “Ketua RT mempunyai otoritas untuk mengatur
wilayahnya agar lingkungan tetap sehat, aman dan nyaman,” terang Iyau.
Kewenangan inilah yang kemudian kerap tak dijalankan oleh para ketua RT. Pangkalnya Ketua
RT tak berani berhadapan dengan warganya, tidak ingin berkonflik atau punya masalah jika
harus bertindak keras jika ada warga yang bertindak tidak sesuai aturan.
Soal kebersihan dan kecintaan pada lingkungan hidup, Iyau Tupang mempunyai pandangan
yang menarik soal kebiasaan warga membuang sampah. Menurutnya dalam soal bersih-bersih
pengetahuan sebagian warga Kota Samarinda sangat terbatas. “Orang Samarinda ini kalau
membersihkan halaman rumah, sampahnya disapu ke got. Kalau membersihkan dalam rumah
dan dapur, sampahnya dibuang ke sungai,” ujarnya.
Dan Iyau dikenal konsisten dalam menjaga lingkungan yang dipercayakan kepadanya. Tak
segan dia nongkrong di tepi sungai tengah malam atau subuh untuk berpatroli mencegah warga
membuang sampahnya ke sungai.
Pak ketua RT yang nada suaranya pelan saat bercakap-cakap ini sontak bisa meninggi jika
melihat siapapun membuang sampah sembarangan. Dan jika yang diperingatkan melawan atau
tak suka, Iyau pun siap untuk berkelahi.
Tak heran jika kemudian Iyau Tupang kemudian mendapat julukan Penunggu Karang Mumus.
Dan buah perjuangannya sejak tahun 2006, dimana dia bersama beberapa orang mulai
menanam pohon di tepi Sungai Karang Mumus kini mulai terasa. Ruang hijau di sebelah
Jembatan Kehewanan kini menjadi salah satu tempat di tepi Sungai Karang Mumus yang tetap
terpelihara sebagai ruang publik. Ruang yang dijaga tetap untuk kepentingan umum, agar siapa
saja yang singgah, duduk di bawah pohon rindang bisa menikmati semilir angin dan
pemandangan yang menyejukkan.
“Tanah ini punya pemerintah, jadi tidak boleh dipakai untuk kepentingan pribadi, seperti
berjualan misalnya. Salah kalau kita menganggap karena ini tanah pemerintah maka kita bisa
memakai semaunya,” begitu penjelasan yang selalu disampaikan oleh Iyau Tupang.
Bagian 5
Bocah-Bocah 'Hantu Banyu' Penjaga Sungai Karang Mumus
Ari, Nina, Nita, Dea, Kevin, Aldi, Raihan, Fauzan, Agung dan puluhan nama lain
adalah bocah-bocah yang gemar bermain di Sungai Karang Mumus setiap harinya.
Mereka bermain sepeda di pinggirannya, menerbangkan layang-layang atau
sekedar duduk bercengkrama bertukar cerita.
Selepas bermain di pinggiran, sore hari mereka akan menceburkan diri ke air Sungai Karang
Mumus untuk bermandian. Dari atas beton turap mereka terjun ke air dengan aneka gaya.
Sebagian lain yang belum mahir melompat dan berenang akan bermain dengan memakai
pelampung, atau menciprat-cipratkan air di tempat yang dangkal.
Ketika air pasang dari Sungai Mahakam cukup tinggi, beberapa anak akan beraktraksi,
menunjukkan keberanian dengan melompat dari atas jembatan. Mereka berdiri di atas pagar
jembatan dan kemudian melayang, bak terbang dengan ketinggian lebih dari 5 meter sebelum
akhirnya terhempas ke air.
Sebenarnya banyak yang mati heran dengan kelakuan anak-anak tepian Sungai Karang Mumus
yang cuek bebek mandi dan bermain di air sungai yang nampak kotor itu. Sebagian orang pasti
berpikir, jangankan mandi, membayangkan terciprat airnya saja badan sudah terasa gatal-gatal.
Apakah orang tua mereka tak melarang anak-anak itu mandi di Sungai Karang Mumus?.
Sesungguhnya orang tua mereka juga melarang anak-anaknya mandi di Sungai Karang
Mumus. Tak sedikit anak-anak yang ketahuan tengah mandi dan berenang-renang di sungai
langsung dimarahi dan disuruh pulang ke rumah.
Beberapa anak bahkan mengatakan
kalau guru-guru mereka di sekolah juga
memarahi mereka kalau ketahuan
mandi-mandi di Sungai Karang Mumus.
Tapi itulah anak-anak yang selalu
tertarik dengan air . Mereka kerap kali
tak peduli dan waspada tentang bahaya
atau resiko yang ada di balik air itu.
Ambil contoh saja soal lubang-lubang
tambang batubara yang tersebar di
seluruh penjuru Kota Samarinda.
Lubang bekas tambang batubara itu oleh anak-anak dianggap sebagai danau dan kolam renang.
Airnya yang nampak tenang dan membiru di tengah hari, selalu menarik anak-anak untuk
menceburkan diri di dalamnya. Akibatnya sudah puluhan anak-anak kehilangan nyawa di
lubang bekas tambang itu.
Kita tentu tak bisa menyalahkan anak-anak yang tak waspada dengan resiko atau bahaya
sebuah tempat yang menjadi tempat bermain mereka. Pun juga orang tua yang tentu saja tak
bisa mengawasi anaknya selama 24 jam penuh.
Seperti anak-anak di tepi Sungai Karang Mumus yang berani mengambil resiko dimarahi oleh
orang tua, kakak, kakek atau neneknya karena mandi di Sungai Karang Mumus. Bagi mereka
kesenangan bermain di dalam air Sungai Karang Mumus lebih mengembirakan dan bisa
menutup rasa khawatir kalau-kalau ketahuan.
Pada sisi lain, anak-anak yang kerap bermain dan bermandian di Sungai Karang Mumus ini
kemudian menjadi teman setia bagi para pengerak Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai
Karang Mumus. Mereka kerap bertemu dan berinteraksi sehingga saling mempengaruhi.
Anak-anak ini kemudian menjadi corong yang keras, mereka akan berteriak mengingatkan kala
ada siapa saja yang membuang sampah sembarangan. Mereka juga akan bercerita kalau tadi
ada om ini atau om itu yang membuang sampah ke sungai.
“Om… mungut kah om,” begitu mereka sering berteriak jika ada Misman, Iyau dan teman-
teman lainnya yang dikenali sering memungut sampah di Sungai Karang Mumus.
Memungut sampah di Sungai Karang Mumus ternyata menyenangkan untuk mereka. APalagi
kemudian Iyau atau teman lainnya kemudian memberi bonus, mengajak anak-anak itu
berperahu meski hanya menyeberang dari satu sisi sungai ke sisi lainnya.
Diatas perahu biasanya mereka akan menyanyikan lagu :
Yuk ayuk kawan, menjaga lingkungan.
Membuang sampah, janganlah ke sungai.
Sungai kita, milik bersama.
Jangan, jangan kotori.
Bersihnya, jagai.
Lagu yang diciptakan secara spontan oleh Laila Lila - Ibu Guru yang sebelumnya mengajar di
SMA Negeri 2 Samarinda sebelum pindah ke Lampung – menjadi pengingat untuk anak-anak
tepian Sungai Karang Mumus dan sekaligus ajakan bagi orang lain untuk menjaga sungai,
karena sungai adalah milik bersama.
Bagian 6
Menapak Jejak Menjelajah Karang Mumus
Bermula dari lingkaran kecil yang berasal dari keluarga, kenalan dan sahabat,
dukungan terhadap aksi pungut sampah di Sungai Karang Mumus perlahan
membesar. Mulai berdatangan orang dan kelompok yang sebelumnya tak kenal
Misman, Basit atau Iyau.
Di halaman media sosial kerap muncul komentar yang mengapresiasi kegiatan ini dan
kemudian menyatakan siap ikut turun atau bergabung. Foto-foto yang diupload oleh Misman
lewat accout facebooknya membuka mata banyak orang tentang apa yang sebenarnya tengah
terjadi di sepanjang aliran Sungai Karang Mumus yang selama ini hanya dilihat pintas lalu.
Ada daftar panjang baik perorangan maupun kelompok yang tergerak untuk turut memungut
sampah di Sungai Karang Mumus. Sebut saja dari tingkat pendidikan yang dimulai oleh anak-
anak PAUD Raudahul Jannah dan TK Islam Alfallah. Lalu anak pramuka dari SDK 3, SMP
Kosgoro, SMP Negeri 17 dan SMK Negeri 2 serta SMK Muhammadiyah. Kemudian ada juga
kelompok alumni dari SMEA Pembina angkatan 1979 dan alumni SMA Negeri 1.
Barisan pemungut juga datang dari Universitas Mulawarman, Widyagama, Institut Agama
Islam Negeri Samarinda, STIKES Muhammadiyah, Politeknik Negeri Samarinda.
Ada yang datang dengan membawa nama fakultas seperti FUAD IAIN, FH Widayagama, FPK
(sosek) Umul, FHI Unmul, ada yang membawa nama organisasi seperti Maflopa, Sylva,
Himalaya, Kophi, Gempa, Himpunan Mahasiswa Kesehatan. Namun banyak pula yang datang
tak membawa nama apa-apa.
Berbagai komunitas juga telah terlibat dalam Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM, mulai
dari kelompok supporter bola yaitu Bonek Borneo 1927, Pusamania, Komunitas Wirausaha
Samarinda, Komunitas Jelajah, Komunitas Jejak Buaya, Komunitas Mancing Mania, Orang
Indonesia, Yicam, Bproid, Bubuhan Kopi Samarinda, Gusdurian dan lain sebagainya.
Masih banyak kelompok-kelompok dengan berbagai latar belakang yang datang memungut
sampah di Sungai Karang Mumus. Dari berbagai kelompok itu, beberapa diantaranya meski
tidak terjadwal secara menetap telah datang berulang atau bahkan bisa dikatakan rutin untuk
memungut sampah di Sungai Karang Mumus tanpa memperdulikan apakah sungai sedang
surut atau tengah pasang.
Kerja Bakti di Sungai Karang Mumus ini tidak diperintahkan oleh siapapun. Kelompok atau
komunitas itu tergerak oleh ajakan yang disampaikan lewat gambar-gambar yang
disebarluaskan melalui halaman media sosial. Kegiatan memungut sampah di Sungai Karang
Mumus pantas disebut sebagai kerja bakti, karena sungguh merupakan kerja yang nyata-nyata
ditujukan untuk membaktikan diri untuk kepentingan bersama yaitu menyehatkan sungai.
Mereka yang datang kebanyakan tidak tinggal di sekitar Sungai Karang Mumus dan barangkali
juga tidak terkena dampak langsung oleh bersih tidaknya Sungai Karang Mumus. Tetapi
mereka rela berkotor-kotor, terkena cipratan air yang bau, mencium dan menyentuh sampah
yang mungkin saja menjijikkan.
Tapi semua itu mereka abaikan demi satu tujuan yaitu menjadikan Sungai Karang Mumus
kembali sehat, sehingga kembali menjadi kebanggaan Kota Samarinda, halaman depan rumah
kita bersama.
Bagian 7
Hidup Adalah 'Urunan'
Pada masa-masa awal 'teror' Misman di media sosial selain foto-foto yang
menampakkan betapa joroknya sampah Sungai Karang Mumus, Misman
kerap mem-posting foto memungut sampah tanpa sarung tangan dan alat
bantu pencegahan dini lainnya.
Hal ini kemudian menimbulkan
keprihatinan, salah satunya dari sebuah
account facebook Posko PMI Kutai
Kartanegara yang memberikan saran
agar pemungut sampah memakai alat
pengaman untuk pencegahan atau
kewaspadaan dini.
Sungai Karang Mumus, air dan
sampahnya bukan hanya kotor
melainkan juga sudah membusuk.
Tidak saja meninggalkan bau di telapak
tangan namun juga berpotensi untuk
menimbulkan gatal-gatal jika tak
dilindungi dengan kaos tangan.
Saran ini diterima baik oleh Misman yang meyadari bahwa Sungai Karang
Mumus bukan hanya jorok melainkan juga berbahaya. Bahaya karena dasarnya
banyak menyimpan pecahan kaca, tunggul kayu yang tajam, paku, kawat dan lain-
lain yang bisa membuat luka jika kaki tak beralas.
Dan admin Posko PMI Kutai Kartanegara yang kemudian diketahui bernama Devi,
bukan hanya memberikan saran namun juga meluangkan waktu untuk datang ke lokasi pungut
sampah yang rute jalannya tak dikuasai untuk memberikan bantuan berupa sarung tangan,
masker dan kantong plastik.
Bantuan ini menjadi pintu pembuka partisipasi untuk mendukung aksi pungut sehelai sampah
yang kemudian dinamai dengan Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus.
Partisipasi warga tidak hanya diwujudkan dengan datang dan ikut memungut melainkan juga
memberi aneka sumbangan yang diperlukan oleh Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai
Karang Mumus.
Mulai saat itu, Misman kemudian memberanikan diri untuk menuliskan dalam status di
halaman facebooknya, fanpage maupun grup apa-apa saja yang diperlukan untuk membuat
memungut sampah di Sungai Karang Mumus semakin efektif dan berdaya jangkau luas.
Dan biasanya tak lama setelah dituliskan muncul tanggapan atau kesediaan. Kesediaan yang
tidak selalu diungkapkan di media sosial melainkan melalui komunikasi privat dengan
Misman, sebab tak semua penyumbang mau untuk disebutkan namanya.
Tadinya memungut sampah hanya bisa dilakukan di pinggiran sungai, sampah yang
mengambang di tengah sungai sulit untuk dijangkau. Namun kemudian masalah itu bisa diatasi
dengan bantuan perahu dari H. Saefuddin Zuhri, anggota DPRD Kaltim.
Kemudian Andi Harun yang juga anggota DPRD Kaltim juga memberikan bantuan berupa
perlengkapan pungut berupa jaket pelampung, helm, jaring, garuk, sepatu bot dan tali nilon.
Dan perlengkapan pungut semakin lengkap karena H Saefuddin Zuhri kembali memberi
bantuan berupa jaket pelampung, gerobak, sepatu bot dan tong sampah.
Sumbangan kantong plastik didapat kembali dari Ahmad Maskuri dan Merry Effendy, lalu
Yuhadi juga menyumbangkan tali nilon, garuk dan sarung tangan. Iving A Chevny juga
menyumbangkan sepatu bot.
Jumlah perahu untuk memungut kemudian bertambah dengan bantuan dari Alumni SMEA
Pembina angkatan 1979, Dan upaya memungut dengan perahu bisa semakin jauh
jangkauannya dengan bantuan mesin perahu dari Alumni SMA Negeri 1 angkatan tahun 1997.
Dukungan armada perahu juga diberikan oleh H Hasanuddin, warga Sidomulyo yang
mempersilahkan perahunya untuk digunakan jika sedang tidak dipakai olehnya.
Bantuan lain yang tidak kalah pentingnya adalah materi kampanye dan edukasi dalam berbagai
bentuk seperti spanduk, leaflet, foto booth dan kaos yang baik diminta maupun tidak, selalu
disanggupi oleh Basir, pemilik Pos Kaos.
Dengan berbagai bantuan itu, kegiatan memungut sampah di Sungai Karang Mumus menjadi
berkembang hingga kemudian muncul istilah Pangkalan Pungut.
Dan pangkalan pungut semakin lengkap dengan kehadiran Posko Pangkalan Pungut, Gerakan
Memungut Sehelai Sampah SKM dalam bentuk tenda besi beratap yang merupakan
sumbangan dari Ros Pandawangi Amir.
Bantuan sebenarnya tidak hanya diberikan kepada Gerakan, melainkan juga kepada Sugianto
yang dengan setia membantu mengangkut hasil pungutan yang telah dikemas ke TPS. Bantuan
diberikan berbagai pihak ke Sugianto baik dalam bentuk uang maupun barang kebutuhan
pokok yang semakin meringankan beban hidupnya. Sugianto, pemulung yang tinggal di bawah
Jembatan Kehewanan ini juga pernah kehilangan gerobaknya. Syukurlah kemudian anda yang
kembali membantu menebus gerobak bekas sehigga bisa kembali mengais rejeki dan
membantu mengangkat sampah hasil pungutan dari Sungai Karang Mumus.
Masih banyak sumbangan lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan penyumbangnya
juga banyak yang tak ingin disebutkan. Semua ini menjadi sebuah kegembiraan bagi para
pengerak Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM, karena gerakan ini menjadi wadah kerja
bakti sekaligus gotong royong bagi warga Kota Samarinda sebagai satu keluarga.
Bagian 8
Berwisata dan Eksis Tak Ada Salahnya
Ganas” begitu istilah Iyau Tupang untuk menyebut perorangan atau kelompok yang
datang memungut sampah tanpa ragu-ragu, berani kotor, tak peduli air pasang atau
surut dan mengangkat semua yang patut diangkat dari sungai.
Dan tidak semua yang datang ke Sungai Karang Mumus masuk dalam kategori yang disebut
oleh Iyau Tupang itu. Tak sedikit yang datang dengan kekuatan besar, namun yang memungut
hanya sebagian kecil. Ada pula yang datang memilih waktu, yaitu saat Sungai Karang Mumus
pasang sehingga bisa berperahu.
Memungut sampah dengan berperahu memang
menjadi sebuah daya tarik tersendiri. Mungkin
berperahu di Sungai Karang Mumus adalah sebuah
cerita baru. Cerita yang jauh lebih menarik daripada
lampion di tepian Sungai Mahakam.
Tak mengherankan jika kemudian banyak yang asyik
berfoto-foto di perahu ketimbang memungut sampah
yang mengapung di Sungai Karang Mumus.
Namun kesukaan berperahu sebenarnya bukan hanya
berasal dari mereka yang datang bukan dari sekitar
Sungai Karang Mumus. Anak-anak yang tinggal di
sekitar sungai dan tiap hari bermain di Sungai Karang
Mumus, juga suka berperahu. Mereka kerap merayu
Iyau Tupang agar memperbolehkan mereka turut dalam
perahu untuk membawa kantong-kantong yang penuh
dengan sampah ke sisi seberang Sungai Karang
Mumus.
Misman dan Iyau memaklumi jika ada yang datang
untuk bersenang-senang. Rasa senang adalah pintu masuk untuk kemudian mencintai sehingga
timbul keinginan untuk turut merawat Sungai Karang Mumus.
Sungai Karang Mumus adalah asset berharga Kota Samarinda. “Balikpapan punya pantai,
Samarinda punya sungai,” begitu sering diucapkan oleh Misman. Ucapan ini mengandung arti
bahwa Sungai Karang Mumus berpotensi untuk menjadi lokasi wisata. Hal senada pernah
diucapkan oleh Safruddin Pernyata, Kepala Badan Diklat Provinsi Kaltim yang datang
bersama dengan Komunitas Jelajah untuk memungut sampah di Sungai Karang Mumus. “Jika
Karang Mumus bersih dan kanan kirinya mulai ditumbuhi pepopohan, ini bisa menjadi tempat
wisata khas Kota Samarinda,” ujarnya yakin.
Wisata memang mempunyai spektrum yang luas, maka memungut sampahpun
bisa menjadi sebuah wisata. Sebab wisata adalah soal pengalaman yang
menyenangkan, sensasi yang tidak biasa, hal-hal yang tidak dirasakan
atau dilakukan setiap harinya. Dan berperahu sambil memungut
sampah di Sungai Karang Mumus bisa memenuhi kebutuhan itu.
Berperahu di Sungai Karang Mumus adalah daya tarik.
Terbukti, beberapa kelompok yang menghubungi Iyau
Tupang untuk ikut memungut, kerap kali bertanya soal waktu
yang tepat. Yang dimaksudkan dengan waktu yang tepat
adalah saat ada air pasang dari Sungai Mahakam, sehingga
kegiatan memungut dilakukan dengan menaiki perahu.
Dan minggu-minggu terakhir di bulan Februari 2016, sudah ada
kelompok yang sengaja datang untuk berwisata di Sungai Karang
Mumus. Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM tidak menangani
layanan ini melainkan hanya menghubungkan dengan warga yang
mempunyai perahu bermesin.
Wisata tidak akan menjadi usaha dari gerakan melainkan akan dipakai sebagai upaya untuk
memberdayakan warga setempat. Jika wisata ini berkembang maka masyarakat sekitar Posko
Pangkalan Pungut akan memperoleh pendapatan karena sungai. Jika semakin banyak orang
beroleh pendapatan dari sungai, maka mereka akan turut pula merawat sungai, karena sungai
memberikan pendapatan yang berkelanjutan.
Banyaknya orang yang datang ke Posko Pangkalan Pungut juga akan mendatangkan
keuntungan bagi para pedagang, pemilik warung, toko dan penjual makanan minuman
serta gorengan yang berada di seberang jalan. Mereka yang berkunjung dan memungut
sampah di Sungai Karang Mumus akan membeli makanan, minuman dan kebutuhan
lain di warung atau toko yang berada di sekitar posko.
Bagian 9
Candu Itu Bernama Pangkalan Pungut
Ada sebuah kepercayaan yang masih terus diceritakan hingga sekarang bahwa siapapun yang
datang ke Samarinda dan minum air Sungai Mahakam pasti akan kembali lagi. Entah dari mana
munculnya kepercayaan itu dan apakah sekarang ada yang berani meminum air Sungai
Mahakam secara langsung?. Mungkin tidak ada lagi.
Entah cerita atau kepercayaan mistis apa yang berkembang di sepanjang Sungai Karang
Mumus?. Atau apakah Sungai Karang Mumus menyimpan magnet yang akan membuat orang
kembali lagi ketika sudah menginjak lumpurnya atau terkena cipratan airnya?.
Di luar dugaan banyak orang, magnet Sungai Karang Mumus hari ini adalah sebuah ruang yang
disebut dengan Pangkalan Pungut. Pangkalan Pungut adalah sebuah tempat yang menjadi pusat
kegiatan Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM. Letaknya di sebelah Jembatan
Kehewanan, Jalan Abdul Muthalib, Samarinda.
Aneh bin ajaib, memungut sampah yang terkadang baunya bikin muntah malah menjadi sebuah
daya tarik. Daya tarik yang kemudian membuat lingkaran mereka yang pernah datang dan
memungut menjadi semakin besar.
Ada kelompok mahasiswa yang awalnya datang sekitar 5 – 7 orang, kelompok yang kerap
disebut oleh Misman sebagai Mahasiswa HI Unmul.
Kelompok ini rutin memungut seusai kesibukan mengikuti kuliah. Dan
lama kelamaan menularkan kebiasaannya kepada rekan-rekan lainnya
hingga kemudian rombongan pemungutnya menjadi puluhan orang.
Apa yag kemudian membuat orang yang telah datang kemudian ingin
kembali, entah kembali memungut, berperahu atau sekedar duduk-
duduk di tepian, memandang aliran air yang terkadang surut atau
pasang. Duduk bercengkerama dengan bocah-bocah dan kemudian
menyaksikan tingkah laku mereka kala bermandi-mandian di sungai.
Mungkin suasana tepian sungai di sekitar pangkalan pungut memang
berbeda. Puluhan pohon rindang tertata rapi, tanahnya tertutup rumput
meski tak penuh namun cukup untuk meneduhkan hati. Duduk di beton
turap di bawah keteduhan pohon yang rindang ditimpali deru suara
mesin kendaraan yang lewat dan sesekali lengking serta gemuruh
mesin kapal juga perahu yang lewat adalah elegi yang merindukan.
Dan yang kembali datang bukan saja mereka yang memungut, melainkan mereka yang
memberi. Para donator, orang baik hati, juga terus memberi secara berulang untuk mendukung
pungut sampah di Sungai Karang Mumus. Misalnya di hari Minggu yang biasa ada banyak
orang datang, sekardus minuman bersoda dan sekantung makanan kecil berkali diantarkan.
Iyau Tupang pernah mengatakan kalau kita bekerja dengan hati maka akan diberi kekuatan.
Dan mereka yang mengerakkan Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM adalah orang yang
diberi kekuatan, untuk menjaga niat dengan terus memungut secara konsisten tak peduli apa
kata orang.
Konsistensi inilah yang kemudian dilihat oleh banyak orang lain sebagai sebuah keteladanan.
Keteladanan yang mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama. Tekun memungut
sampah, menjadi berarti tanpa menyombongkan diri.
Memungut sampah di Sungai Karang Mumus tentu saja bukanlah aktivitas yang nyaman.
Namun mungkin banyak yang merasa, mengambil sampah di sungai bersama dengan Gerakan
Memungut Sehelai Sampah SKM adalah sesuatu yang membuat hati nyaman. Oleh karenanya
tak perlu heran jika kemudian banyak diantaranya yang datang berulang serta terus mengajak
orang lain lainnya sehingga lingkaran menjadi semakin membesar.
EPILOG
Mimpi Yang Mulai Berwujud
nam bulan sudah perjalanan dari Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang
EMumus telah bergulir. Perjalanan yang dimulai dari jalan sunyi oleh Pak Misman,
yang kemudian bertemu dengan Pak Iyau Tupang dan Pak Sugianto telah menebar
virus pungut sampah.
Virus telah menular sehingga banyak orang berani kotor dengan datang dan memungut sampah
di Sungai Karang Mumus. Ada yang datang sendirian, ada pula yang datang ramai-ramai
dengan rombongan.
Pilihan strategi publikasi melalui media sosial (facebook) yang dilakukan oleh Pak Misman
adalah langkah yang tepat untuk mengugah kepedulian warga Kota Samarinda atas kondisi
Sungai Karang Mumus yang merana.
“Saya sengaja memotret hal-hal yang mengerikan di Sungai Karang Mumus dan meng-upload
di facebook, agar orang lihat betapa joroknya sungai kita ini,” ujarnya.
Awalnya banyak orang yang skeptis bahkan sinis dalam menanggapi apa yang dipublikasikan
oleh Pak Misman di halaman facebooknya. Bukan hanya bermacam sindiran melainkan juga
tuduhan diarahkan pada upaya Pak Misman untuk membersihkan Sungai Karang Mumus.
Ada yang menganggap sebagai pahlawan kesiangan, tukang pamer, ada pamrih di masa depan
dan lain sebagainya. Tak sedikit pula yang mengatakan itu sia-sia belaka dan tak menjawab
permasalahan yang sesungguhnya.
“Ada banyak orang pintar di Samarinda, mereka punya semua jawaban atas persoalan Sungai
Karang Mumus. Dan saya tak mau memperdebatkan hal itu, lebih baik saya bertindak,”
katanya memahfumi semua anggapan miring dari banyak orang atas aksi pungut sampah di
Sungai Karang Mumus.
Dari bincang-bincang di masa awal Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang
Mumus mulai dikenal, ada beberapa hal yang diungkapkan oleh Pak Misman :
Ÿ Gerakan ini dimulai sebagai upaya
pendidikan agar masyarakat Kota
Samarinda tak lagi membuang ke sungai.
Karena tak ada kekuatan yang bisa
menyuarakan atau memperingatkan
masyarakat secara efektif. Maka
memungut merupakan sebuah cara untuk
mengingatkan dan apabila semakin
banyak orang memungut maka semakin
sedikit yang membuang.
Ÿ Gerakan ini membutuhkan berbagai peralatan untuk dipakai oleh siapapun yang memungut
agar tetap aman dan bisa memungut bukan hanya di pinggir melainkan juga ditengah
sungai. Peralatan yang dibutuhkan antara lain adalah kantong plastik, sarung tangan,
masker, sepatu boot, perahu dan mesinnya.
Ÿ Gerakan ini membutuhkan posko, tempat untuk berkumpul dan menyimpan segala macam
peralatan yang dipakai untuk memungut sampah. Keberadaan posko akan memudahkan
siapapun yang ingin berpartisipasi tanpa menunggu kehadiran orang tertentu yang
dipercayakan untuk menjaga atau menyimpannya.
Ÿ Gerakan ini adalah gerakan yang terbuka, setiap orang atau kelompok bisa mengorganisir
diri mereka sendiri untuk memungut sampah di Sungai Karang Mumus.
Ÿ Gerakan ini berharap kelak warga Kota Samarinda akan kembali menyadari bahwa Sungai
Karang Mumus adalah asset dan kekayaan yang berharga. Jika Sungai Karang Mumus
kembali sehat maka akan bisa dikembangkan menjadi lokasi wisata yang unik atau khas
Kota Samarinda.
Enam bulan perjalanan Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus telah
menunjukkan bahwa apa yang menjadi keinginan dan impian dari para pengeraknya satu demi
satu mulai kelihatan.
Kini sekurangnya Gerakan Memungut Sehelai Sampah SKM telah memiliki perahu dan mesin,
alat-alat bantu untuk memungut, posko sebagai titik pertemuan dan partisipasi dari berbagai
kelompok dalam memungut sampah di Sungai Karang Mumus.
Ÿ Langkah Misman yang awalnya banyak dicemooh, dipandang sebelah mata atau bahkan
dicurigai punya niat tersembunyi, perlahan bertumbuh menjadi sebuah gerakan. Gerakan
yang berpotensi untuk terus membesar, sehingga tak salah jika muncul harapan baru akan
tumbuhnya pangkalan-pangkalan pungut lainnya di sepanjang aliran Sungai Karang
Mumus.
@yustinus_esha
Sociocultural & Enviromental Networker's
Kontributor : mongabay.co.id dan Blogger : ceritakota.info
“Gerakan ini bisa disebut sebagai gerakan besar karena dilakukan oleh masyarakat,”
begitu disampaikan oleh Syafruddin Pernyata, Kepala Badan Diklat Provinsi Kaltim
pada suatu sore di tepian Sungai Karang Mumus saat menyertai Komunitas Jelajah
bekerja bakti memungut sampah.
Catatan kecil ini adalah bagian dari menjaga roh gerakan itu dan juga sebagai upaya
untuk merespon keinginan Misman 'menyelamatkan' foto-foto yang diambil olehnya
dalam bentuk album atau cetakan.
Keinginan ini disampaikan saat kumpul-kumpul di Warung Sanggar seberang
pangkalan pungut bersama Iyau Tupang, Lukman Djunaedi, Ade Fadli dan Yustinus
Sapto Hardjanto. Ditemani segelas air tebu, es teh dan kopi hitam serta aneka
gorengan, mereka bersepakat untuk segera mewujudkannya sebagai peringatan satu
semester perjalanan Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus.
Dan jika kini keinginan itu bisa digengam, dilihat dan dibaca ini merupakan
sumbangsih dari kawan kita Basir (Pos Kaos) yang langsung mengatakan “Iya”
ketika diminta mendesain dan mengatur tata letaknya.
Semoga, catatan dan dokumentasi kecil dalam bentuk “Foto Story” ini mampu
menjadi sebuah narasi kecil dari narasi besar perjalanan Kota Samarinda dan
warganya dalam berinteraksi dengan Sungai Karang Mumus.