Seni Pedhalangan
WAYANG PURWA
DR. PURWADI, M.HUM
JAKARTA
2007
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
DALANG SEBAGAI GURU MASYARAKAT
A. Pengetahuan Tentang Kehidupan
B. Dalang Terkenal Jaman Mataram
C. Waton Pedalangan Kuna
D. Babading Pandawa
E. Wukir Gandamana
F. Aji Darma Batara Surya
G. Pustakaraja Purwa
BAB II
PERLENGKAPAN DAN PIRANTI PERTUNJUKAN
A. Menyimpan Kotak Wayang
B. Tata Cara Simpingan
C. Menjaga Kebersihan Wayang
D. Susunan Lapisan Eblek
E. Mustika Bambang Manungkara
BAB III
WANDA WAYANG PURWA
A. Sumpingan Sebelah Kanan
B. Sumpingan Sebelah Kiri
C. Wayang Dudahan
D. Para Jawata
E. Para Ratu Sabrang
F. Wayang Ricikan
BAB IV
NEGARA, KAHYANGAN DAN KASATRIYAN
A. Para Narendra dan Negara
B. Negara Sabrang
C. Kediaman Para Satriya
D. Pertapaan Para Pandita
E. Kahyangan para Jawata
BAB V
BENTUK WAYANG PURWA
A. Gambaran Tentang Watak
B. Macam-macam Wayang
C. Wayang Kulit di Jaman Islam
D. Candra Sangkala Memet
E. Golongan-Golongan Bentuk Wayang
F. Tentang Mata Wayang
G. Bentuk Hidung Wayang
BAB VI
JENIS-JENIS PEMENTASAN WAYANG
A. Wayang Panggungan
B. Wayang Dugangan dan Ricikan
C. Wayang Buta Prepatan
D. Wayang Sangkuk
E. Ukuran Wayang
F. Wayang Dolanan
BAB VII
PENJELASAN SERAT SASTRAMIRUDA
A. Wayang Ron Tal
B. Wayang Beber
C. Serat Dasanamajarwa
D. Nama Sebutan Pandita
E. Wayang Srambahan
F. Penggolongan Dudahan Wayang
BAB VIII
MENATA WAYANG PURWA
A. Digunakan dalam Hajatan
B. Sumping Sekar Melati
C. Menyumping Cara Pedesaan
D. Menyumping Cara Pesisir
E. Memajang Wayang
BAB IX
PAKEM RADYA PUSTAKA
A. Tata Letak Sebelah Kanan
B. Tata Letak Sebelah Kiri
C. Golongan para Kurawa
D. Golongan Putran
E. Golongan Para Tapa
F. Golongan Patih dan Punggawa
G. Golongan para Danawa
BAB X
PENGETAHUAN TENTANG RICIKAN WAYANG
A. Wayang Ricikan
B. Macam-macam senjata
C. Wayang Katongan
D. Penyumping atau Paniti
E. Posisi Penyumping
F. Sabetan Wayang
BAB XI
DASAR-DASAR ETIKA PEDHALANGAN
A. Keindahan Adiluhung
B. Gapit Wayang
C. Gending untuk Pewayangan
D. Dalang Sejati, Purba Wasesa
E. Pakem Blangkon
BAB XII
LAKON KANOMAN DAN KASEPUHAN
A. Lakon Wetanan
B. Lakon Jejer
C. Bahasa Pedalangan
D. Bahasa Kedaton
E. Bahasa Kasar
F. Kitab-Kitab Pewayangan
G. Lakon-Lakon Pasemon
BAB XIII
PAKEM WAYANG SEBAGAI TUNTUNAN PEDHALANGAN
A. Gelar Ratu Jaman Purwa
B. Silsilah para Pandawa
C. Wayang Jaman Kartasura
D. Wayang Punakawan
E. Wayang dan Kehidupan Manusia
F. Sama, Beda, Dana, Denda
G. Pulung, Wahyu dan Andaru
H. Awal Mula Adanya Wayang Kulit
BAB XV
PEMENTASAN BERBAGAI JENIS WAYANG
A. Wayang Beber Majapahit
B. Wayang Angkrok Sarapada
C. Wayang Geculan Gentong Lodong
D. Wayang Geculan Gonjing Miring
E. Wayang Dagelan Cenguris
F. Tembung dan Tembang Kawi
G. Upacara Keprabon
BAB XVI
PATI BASA DHALANG PURBA
A. Basa Isbat
B. Delapan Golongan Manusia
C. Wayang Sebagai Tontonan
D. Gambaran Wayang Semar
E. Wayang Kyai Jimat
F. Wayang Kyai Kadung
G. Wayang Kyai Dewa Katong
H. Makuta Topong
DAFTAR PUSTAKABIOGRAFI PENULIS
BAB I
DALANG SEBAGAI GURU MASYARAKAT
A. Pengetahuan Tentang Kehidupan
Dalang hanyalah menggambarkan keadaan lelakon saja meskipun kadang
juga melagukannya, tapi intinya adalah harus bisa melestarikan. Dalang itu seperti
guru, semakin banyak pengetahuannya tentang kehidupan, kesusilaan, dan
keutamaan maka akan semakin baik. Kebanyakan dalang itu hanya keturunan.
Yang diperhatikan hanya yang berhubungan dengan pekerjaan. Seperti dagangan,
hanya menuruti keinginan pasar sehingga sering berubah-ubah. Kalau dalang itu
memberi ilmu dan wejangan yang jadi tuntunan. Padahal sesungguhnya dalang itu
adalah guru kesusilaan, tatakrama, keluhuran watak dan budi.
Kewajiban dalang itu harus bisa menerangkan pentingnya pengetahuan
pedalangan yang berhubungan dengan kehidupan serta bagaimana menjalaninya.
Harus bisa mengetahui bermacam-macam pengetahuan pedalangan bab bahasa,
gending, gendeng, kesusilaan, tatakrama, dan subasita. Para dalang harus
mengetahui bermacam-macam cara menghargai pada sesama dalang karena
sangat perlu untuk menumbuhkan rasa persaudaraan. Perbedaan cara memainkan
wayang jangan sampai menjadi kendala, tidak perlu saling menjelekkan cara
masing-masing. Yang lebih penting, pedalangan itu bisa hidup, bisa terasa dalam
hati, jelas dalam memainkan lakon dan dalam menjalankannya agar bisa menjadi
contoh yang baik.
B. Dalang Terkenal Jaman Mataram
Nama-nama para Dalang yang terkenal di Mataram ketika jaman Kanjeng
Susuhunan Sultan Agung Anyakrakusuma ada empat: Ki Widiguna, dalang dari
Bantul, menantu Ki Lebdapura keturunan dalang daleman, dari desa Jodog
Giripura, adalah dalang wayang purwa.
Ki Cermanasa, orang asli dari desa Wanamarta sebelah selatan Majakerta,
Jawa Timur, dalang wayang purwa. Ki Widileksana, orang asli dari desa Bahrawa,
aslinya orang dari Pajang, anak dari Ki Redilata keturunan Ki Citralata, pada
waktu itu kondang sebagai dalang bagong. Ki Tur Krucil, orang asli Kediri,
sebenarnya orang dari Blambangan keturunan dalang Krucil yang bernama Ki
Etur, dalang wayang klitik (wayang kayu).
C. Waton Pedalangan Kuna
Setelah itu Ki Dalang Sandiguna mulai memainkan wayang dengan lakon
Makukuhan, suluknya sesuai, ceritanya jelas, baik dalam memainkan wayang
seirama dengan laras gending, iramanya runtut tidak ada yang salah. Tabuhan
wayang yang tanpa gending, artinya hanya dengan gending playon, yaitu sampak,
srepegan, ayak-ayakan, itu dinamakan beber bango mati.
Cerita jaman para Kurawa itu mungkin cerita yang tersebut dalam serat
Mahabarata yang masih asli, yang tidak terlalu menjelek-jelekkan para Kurawa.
Cerita-cerita kuna tersebut nantinya terbalik 180 derajat, hanya untuk memuji-
muji pada Pandawa padahal sebenarnya Pandawalah yang jelek, Pandawa selalu
dibuat unggul, Kurawa dibuat kalah. Tapi pembalikan tersebut tidak bisa
sempurna seratus persen, masih kelihatan aslinya. Makanya dalam serat
Mahabarta, kalau sedang menceritakan kemenangan Kurawa jadi kelihatan aneh.
Dalam pedalangan, keunggulan para Kurawa itu diceritakan dalam lakon
Caluntang.
Lakon Caluntang Gendrehkemasan rara Temon. Negara Amarta
ditundukkan oleh Sang Hadipati Karna, Pandawa melarikan diri ke negara Wirata.
Negara Dwarawati ditundukkan Prabu Baladewa, lalu sang Prabu Anom
Wisnubrata (Samba) mengungsi ke negara Wirata.
D. Babading Pandawa
Nama para ratu yang membantu Pandawa dalam perang Baratayuda.
1. Prabu Matswapati ratu negara Wirata
2. Prabu Drupada ratu negara Pancalareja
3. Prabu Kresna ratu negara Dwarawati
4. Prabu Kuntiboja ratu negara Mandura
5. Prabu Drestaketu ratu negara Cedi
6. Prabu Pandya ratu negara Mandura Kidul
7. Prabu Rukmi (Bismaka) ratu negara Kumbina
8. Prabu Hiranjawarma ratu negara Dasarna
9. Prabu Setyaki ratu negara Nglesanpura dan bangsa Satwata
10. Prabu Jarasanda ratu negara Manggada dan putranya Jayatsena
11. Ratu negara Kasi mertua Raden Werkudara
Nama para ratu yang membantu para Kurawa dalam perang Baratayuda
1. Prabu Karna ratu negara Wangga (Ngawonggo)
2. Prabu Salya ratu negara Madras (Mandaraka)
3. Prabu Sumarma ratu negara Trigarta
4. Prabu Citranggada ratu negara Kalingga
5. Prabu Bagadatta ratu negara Pradyatista (Sriwantipura)
6. Prabu Burisrawa ratu negara Bahlika, putranya prabu Samadatta
7. Prabu Sinduraja (Jayadrata) ratu negara Sindu
Sedangkan yang menjadi gegedug perang di negara Astina yaitu:
1. Resi Bisma di Tulkanda
2. Resi Durna di Sokalima
3. Haswatama di Sokalima
4. Harya Sangkuni di Plasajenar
5. Prabu Salya di negara Mandaraka
6. Prabu Karna di negara Wangga (Ngawonggo)
7. Prabu Sinduraja (Jayadrata) di negara Sindu tanah Keling.
Sedangkan yang bukan gegedug, artinya perangnya hanya keroyokan saja:
1. Prabu Gardapati ratu negara Kasapta
2. Prabu Wresaya ratu negara Lokapura
Prabu Pratipeya, Prabu Pratipa, Prabu Santyswara dan prabu Hardawalika
raja ular, mereka berperang keroyokan.
Nama tetabuhan yang digunakan sebagai tanda perang di jaman kuna:
1. Gurnang
2. Gubar
3. Puksur
4. Teteg
5. Kendang
6. Bende
7. Gong beri
8. Tong-tonggrit
Kurusetra atau Tegal Kuru
Kurusetra atau Tegalkuru artinya adalah tanah di tengah desa, yaitu tempat
yang dijadikan sebagai ajang perang para Kurawa melawan dan Pandawa.
Nama gelar perang ketika jaman purwa
1. Mangkabyuha yaitu yang dinamakan gelar Supit urang
2. Kagapati yaitu yang dinamakan gelar Garuda nglayang
3. Hardacandra yaitu yang dinamakan gelar Bulan tumanggal
4. Drihanjala yaitu yang dinamakan gelar Emprit aneba
5. Limbungan yaitu yang dinamakan gelar Lulumbungan
6. Diradhameta yaitu yang dinamakan gelar Liman angrok
7. Bajratikna yaitu yang dinamakan gelar Hanggada lungit
8. Padmanaba yaitu yang dinamakan gelar Tunjung Karoban
9. Dumuk angun-angun, yaitu yang dinamakan gelar Banteng ngamuk
10. Naga mangangkang yaitu yang dinamakan gelar naga ngakak
11. Cakraswandana yaitu yang dinamakan gelar Gilingan rata
12. Wukir jaladri yaitu yang dinamakan gelar seganten ardi
13. Samodra pasang yaitu yang dinamakan gelar saganten banjir
14. Durga marusit yaitu yang dinamakan gelar Jurang shidung
Kalasangka (terompet di jaman kuna) dinamakan Dewadata, milik Raden
Harjuna dan ditiup sebagai tanda perang Baratayuda. Ratagotaka, artinya kereta
Gerobak yang ditarik oleh gajah, tunggangan pasukan raseksa (buta).
Nama busana yang dipakai para nata di jaman purwa
1. Makuta ganduwara
2. Bukasri marcukundo
3. Cacantang hendrakala
4. Jajamang hendrakala
5. Dawala talipraba
6. Karawista hendrabajra
7. Calumpring pujangkara
8. Sumping tambara
9. Sangsangan triujung
10. Tebahjaja sulardi
11. Praba kutibajra
12. Kawaca gardawari
13. Padaka gandawari
14. Sengkang bama
15. Binggel walmembuat
16. Gelang bauwarna
17. Karoncong karawali
Itu semua menurut serat Pustakaraja Purwa.
Nama Rasa
1. Sarkara : manis
2. Madura : manis
3. Dura : asin
4. Lawana : asin
5. Lona : pedas
6. Katuka : pedas
7. Kayasa : sepet
8. Amla : kecut
9. Tikta : pahit
E. Wukir Gandamana
Raden Wibisana setelah menjadi ratu di Ngalengkadiraja atau
Ngalengkapura, lalu bergelar bergelar Prabu Wibisana. Negara Ngalengka lalu
diganti namanya menjadi negara Singgelapura. Sang prabu Wibisana memiliki
dua putra, yang tua adalah seorang wanita bernama Dewi Trijata, yang muda laki-
laki bernama raden Bisawarna. Setelah menggantikan menjadi ratu bergelar Prabu
Bisawarna, juga di negara Singgelapura. Dewi Trijata sampai tua ikut dengan kapi
Jembawan atau resi kapi Jembawan yang berpadepokan di wukir Gandamana.
Sang Dewi selalu memohon pada sang Resi untuk mendapat keturunan.
Permohonan sang Resi pada Jawata tulus dari dalam hati, siang dan malam selalu
berdoa supaya segera diberi keturunan. Atas kekuasaan Dewa, permintaan sang
dewi bisa dilaksanakan tetapi dengan syarat harus mengabdi ke negara Astina.
Dewa memerintahkan agar meminta petunjuk pada raja di Astina. Setelah
menghadap ke negara Astina, Sang prabu Pandudewayana melihat sang Retna
Trijata, seketika kasmaran sampai ke dalam hati dan setelah itu terlaksanalah apa
yang menjadi permintaan sang dewi. Setelah mengandung tiga bulan lalu dibawa
kembali ke Gandamadana oleh resi Kapi Jembawan. Setelah tiba saatnya, sang
dewi melahirkan seorang putri perempuan diberi nama dewi Jembawati atau
Endang Jembawati.
Dewi Jembawati masih bersaudara dengan para Pandwa, tapi lain ibu satu
ayah. Dewi Jembawati menikah dengan Kresna yang masih bersaudara, dengan
Wara Sumbadra adalah kakak ipar. Dewi Jembawati itu masih keponakan
Pandudewanata yang merupakan kakak ipar Prabu Bisawarna di Singgelapura.
Makanya dalam lakon Partakrama, permintaan Wara Sumbadra pada prabu
Yudistira, arak-arakan pengantin laki-laki dari Amarta ke Dwarawati, pengantin
laki-laki harus naik Rata Kancana, yaitu kereta keprabon serta panggih panganten
dalam dari domas bale kancana. Sang Prabu Yudistira setelah mendengar
permintaan pengantin putri seperti itu, merasa tidak bisa melaksanakan karena
dirasa kalau negaranya kecil, tidak akan sanggup mewujudkan permintaan
tersebut. Seketika hatinya menjadi putus asa, lalu akan mengurungkan niatnya.
Sang resi Habyasa setelah mengetahui kalau cucunya merasa putus asa tidak
sanggup melaksanakan, ia lalu mencabut perkataan sang cucu tersebut, dalam hati
ia berharap jangan sampai pernikahan itu dibatalkan, bagaimanapun harus
dilaksanakan. Sang resi lalu mengambil alih keinginan cucunya, Prabu Yudistira.
Seketika yang punya hajat mantu negara Amarta, adalah Sang Resi Habyasa,
bekas ratu di Astina yang sudah turun tahta lalu meninggalkan kekuasaan menjadi
pandita di Saptarga, dialah yang yang menyanggupi semua yang jadi bebana
keinginan ratu Dwarawati.
Karena Sang Resi sudah bisa melihat pada apa yang akan terjadi, sang resi
teringat kalau memiliki cucu dewi Jembawati yang sudah diperistri ratu
Dwarawati yaitu yang lahir dari pasangan Prabu Pandudeyana dan Dewi Trujata.
Padahal Dewi Trijata itu adalah kakak Prabu Bisawarna di Ngalengka atau
Singgelapura, negara kaya raya luas jajahannya. Karena terlalu kaya bisa
diibaratkan mempunyai gunung emas, di puncaknya ada perhiasan yang bersinar
seperti sinar Ywang Rawi, negara itu adalah peninggalan paman prabu Dasamuka
dahulu. Makanya sang Eyang Resi Habyasa lalu mengutus cucunya, Harya Sena
(Werkudara) untuk meminjam kereta keprabon bekas tunggangan Prabu Wibisana
ketika menjadi ratu Ngalengka, serta meminjam domas bale kancana, yaitu bale
(rumah besar) bekas untuk penobatan atau kepyakan ketika Raden Wibisana
menjadi ratu Nata oleh Prabu Ramawijaya setelah perang Ngalengka dan bergelar
Prabu Wibisana.
Setelah Prabu Bisawarna mendengar perkataan Harya Sena yang akan
meminjam tunggangan Kaprabon dan Bale kancana dari domas, seketika sang
Prabu menyambut gembira dan mempersilakan Sang Harya Sena segera kembali.
Bale kancana dari domas dibongkar lalu dikirimkan bersama tukang-tukangnya
yang bisa merakitnya kembali dan akan mendirikan bale tadi di Dwarawati.
Perjalanannya dinaikkan perahu baita besar bersama dengan kereta Keprabon,
berjajar-jajar sampai ada banyak perahu dari di Singgelapura ke Dwarawati.
Domas bale kancana itu kalau sudah dirakit atau dipasang akan menjadi
rumah gedung yang besar, rumah yang tiangnya berjumlah 800 buah, mulai dari
blandar dan pangeret diukir dengan warna emas. Rumah yang tiangnya sampai
800 buah itu pasti kalau digambarkan seperti rumah gedung yang sangat besar.
Makanya ratu Dwarawati menginginkannya supaya bisa cukup untuk menerima
para tamu ratu negara manca yang akan menghadiri pernikahan tersebut.
Prabu Pandudewanata masih ipar Prabu Bisawarna, makanya ketka putra
kaponkannya jadi pengantin dan meminjam kereta keprabon, maka segera
diberikan. Sedangkan yang ada di Dwarawati, Dewi Jembawati sebagai pengantin
putri, juga masih keponakan Prabu Bisawarna sendiri, yaitu putra dewi Trijata
dengan Prabu Pandudewanata di Astina.
F. Aji Darma Batara Surya
Dewi Kunti memiliki Aji Darma pemberian Batara Surya. Aji tersebut
kalau dipakai bisa mendatangkan para Dewa yang ada. Dewi Prita putranya
empat, yang tertua bernama raden Suryaputra, ketika akan mengandung, yang
tercipta Batara Surya, maka putranya diberi nama Suryaputra, artinya putra Batara
Surya. Setelah mengandung lagi yang kedua, yang tercipta Batara Darma, maka
setelah lahir diberi nama Darmaputra, artinya putra Batara Darma. Setelah
mengandung lagi yang ketiga, yang tercipta Batara Bayu, maka setelah lahir diberi
nama Bayuputra, artinya putra Batara Bayu. Pada kehamilan yang ke empat, yang
tercipta Batara Hendra, maka putranya yang bungsu diberi nama Hendratanaya,
artinya putra Batara Hendra. Jadi keempat putra tersebut adalah putra dewa-dewa
di Suralaya, jadi besar kekuasaannya. Hendratanaya atau raden Harjuna itu
sebenarnya putra raja dari para dewa, yang bernama Batara Hendra di Suralaya.
Maka ketika akan menikah, keinginan Nata di Dwarawati, yaitu bebana
sebagai sarana upacara panganten yang berbentuk apa saja, yang berasal dari
Suralaya, langsung disanggupi, seperti gamelan Lokononto yang ditabuh para
dewa, bergema di langit, kayu kalpu dewadaru jayadaru, memainkan wayang
diiringi para Bidadari serta seserahan Kerbau Danu berjumlah empat puluh, semua
itu dapat dilaksanakan dengan mudah.
Sang eyang adalah seorang pandita yang waskita sidik ing paningal, sudah
bisa melihat asal mula kejadian dan apa yang akan terjadi. Makanya ia segera
memerintahkan cucunya Raden Harjuna, untuk menghadap ke Kayangan
Cakrakembang untuk meminjam upacara keprabon Kahendran, serta semua
pakaian yang akan dipakai temanten. Sanghyang Hendra setelah mendengar
penuturan kakaknya, Batara Kumajaya, kalau sang putra Harjuna akan menikah
dengan putri Dwarawati yaitu Rara Ireng (Bratajaya) dan meminjam upcara
keprabon, maka segera diberikan karena yang meminta itu adalah sang putra
sendiri.
Akhirnya Sang Parta bisa terlaksana menikah dengan putri Dwarawati,
dewi Wara Sumbadra yang merupakan sepupu tua karena dewi Wara Sumbadra
itu putra Prabu Basudewa di Mandura. Harjuna putra dewi Kunti, dewi Kunti itu
adik Prabu Basudewa.
Bebana Bumi yang memberi adalah paman sendiri, yaitu prabu Bisawarna
dan juga paman dewi Jembawati, istri tua Prabu Kresna di Dwarawati. Bebana
yang dari Kahendran, yang memberikan adalah ayahnya sendiri, karena raden
Hendratanaya atau sang Harjuna itu adalah putra Batara Hendra dengan Dewi
Kunti.
Apalagi Harjuna dan Sembadra itu masih sama-sama titisan dewa, Janaka
itu titisan Batara Wisnu, Batara Wisnu itu prajurit dewa yang kesaktiannya tinggi
tanpa tanding. Dewi Sumbadra titisan Batari Sri Widawati, bidadari di Suralaya.
Makanya sudah pasti kalau Wara Sumbadra itu jadi jodoh sang Harjuna.
Begitulah jika sudah bisa mencari dan mengurutkan, akhirnya bertemu dengan
turunan sendiri, sudah jadi maklum dan tidak mengherankan.
G. Pustakaraja Purwa
Raden Kakrasana ketika datang ke Hargasonya lalu kedatangan Hyang
Brahma, diberi wisik aji balarama yang memiliki daya kekuatan tidak merasa lesu
lupa lapar serta tidak kelelahan selamanya, semua wisik sudah bisa diterima
dalam hatinya. Ia lalu diberi senjata berupa angkus yang mempunyai daya
kekuatan dan diberi senjata alagadara. Alagadara itu berupa bajak yang
menandakan kemakmuran, makanya Prabu Baladewa jadi ratu para petani.
Angkus memiliki daya kekuatan, kekuatannya menyamai gajah ada di
telapak tangan kanan. Kalau sedang digunakan, tangannya lalu terasa berat,
telapak tangannya panas seperti keluar apinya. Makanya Harya Kangsa setelah
ditampar mukanya langsung pecah kepalanya, lalu mati seketika. Senjata
nanggala, bentuknya seperti tombak, seperti gretel cis tapi kecil dan tangkainya
lebih pendek, kalau sekarang seperti stok Komando. Raden Narayana ketika
berguru pada Resi Padmanaba di Padepokan Nguntarayana, Pandita keturunan
Batara Wisnu, adalah seorang pandita yang tinggi ilmunya.
Raden Narayana atau raden Kresna masih putra Narendra, yaitu seorang
pemuda yang hitam mulus perawakannya. Sanghyang Wisnu memberi nasehat
kepada Raden Kresna supaya bisa triwikrama menjadi Kalamercu, buta besar
yang menakutkan dan sangat besar. Pesannya agar menghindari hal-hal tersebut di
bawah ini. Tidak boleh makan segala sesuatu yang tumbuh di bumi. Tidak boleh
memakai busana dari sesuatu yang tumbuh di bumi. Tidak boleh tinggal atau
mnegambil segala sesuatu yang tumbuh di bumi. Kalau bisa mencegah selamanya
maka akan kuat untuk menerima aji balasrewu yang bisa membuat triwikrama.
Lalu diberi sekar Wijayakusuma, kegunaannya adalah bisa menghidupkan
orang mati yang belum sampai waktunya, namun kalau sudah kepastian dari
Pangeran tetap tidak bisa hidup lagi. Diberi senjata Cakra, yaitu Cakra kang bisa
mengeluarkan bermacam-macam pangabaran. Diberi senjata Narayanagopa, bisa
mendatangkan pasukan makhluk halus satu juta banyaknya. Setelah ketiga macam
pusaka itu sudah diterima, lalu diletakkan pada tempatnya sendiri-sendiri. Sekar
Wijayakusuma diletakkan di dalam kepala, keluar dari lesan (bicara/mulut).
Senjata Cakra di dalam dada, keluar dari tangan. Sanata Narayanagopa, di dalam
guwa garba keluar dari di kaki
Setelah raden Kresna sudah bisa menerima semua wejangan sang Resi dan
sudah menerima semua pusaka tadi, sang Resi lalu muksa, menjadi satu jiwa
dengan Raden Kresna. Raden Narayana lalu memakai nama Sri Padmanaba.
Menjelmanya Batara Wisnu terbelah jadi dua, misalnya bunga dan harumnya,
bunganya adalah Sanghyang Wisnu, harumnya memiliki watak seperti Batara
Wisnu. Begitulah cerita dongeng raden Kresna dan resi Padmanaba.
Mustika Air
1. Tirta Mertakamandanu, artinya tempat air kehidupan yang keluar dari
mustika mendung, siapa yang minum tidak akan mati selamanya.
2. Tirta Kaskaya, artinya air hujan yang pertama, bisa digunakan untuk jamu
kuat badan, diminum setiap tengah malam.
Mustika Manik
Cupu Manik Astagina, artinya cupu perhiasan atau cupu berlian yang
mempunyai kegunaan delapan macam, gunanya adalah barang yang dimasukkan
dalam cupu tadi tidak akan habis selamanya. Makanya lalu diisi dengan air
kehidupan, tirta Mertakamandanu. Cupu Retna Linggamanik, adalah cupu yang
digenggam di tangan Sanghyang Kanekaputra sebagai jimat, dinamakan mustika
Linggamanik.
Retna Dumilah berupa perhiasan, yaitu intan atau berlian yang besar
bentuknya, memiliki cahaya seperti nyala lentera. Perhiasan tadi kalau digunakan
bisa menunjukkan keadaan surga dan neraka. Sedangkan kesaktiannya adalah
segala yang diinginkan akan datang serta tidak bisa lapar, yang punya adalah
Sanghyang Nurcahya.
Wit wana Umarewan, atau dinamakan wit Rewan, yaitu pohon ngarang
yang tidak ada daunnya, akarnya jadi sumber kehidupan di bumi, semua isi bumi
yang mati sabelum saatnya, kalau diberi akar pohon Rewan tadi lalu hidup lagi.
Kalau dalam cerita pedalangan dinamakan Latamausadi, yang jadi pusaka para
Dewa. Cupu manik Astagina, tirta Mertakamandanu, serta Latamausadi adalah
sumber kehidupan orang di bumi. Pustaka Darya, yaitu serat yang berisi cerita
sejarah kisah Sanghyang Nurcahya sampai Sanghyang Tunggal yang jadi pusaka
Batara Guru (Manikmaya).
Mustika jamus, berbentuk rontal yang ditulisi, berisi segala kejadian. Resi
Abyasa menjadikan mustika Jamus sebagai pustaka (layang) yang dinamakan
Kalimasada, sebagai tumbak kesengsaraan putra Prabu Pandudewayana nantinya,
lalu diberikan pada cucunya dan diminta untuk mempelajari serta diberitahu
kesaktian pustaka itu, kalau dipakai oleh orang sadu (suci) bisa jadi warastra atau
warahastra, artinya senjata yang sangat sakti.
Sadu artinya sareh atau Pandita. Padahal Prabu Yudistira itu ratu berjiwa
pandhita dan sabar hatinya, makanya Prabu Yudistira ketika perang melawan
prabu Salya pada saat Baratyuda, pustaka Jamus digunakan dan seketika berubah
menjadi senjata berbentuk panah sakti. Setelah Prabu Salya terkena senjata itu lalu
sirna seketika. Candrabirawa, sebuah ajian yang kalau digunakan berbentuk panah
yang memiliki kekuatan bisa mendatangkan bermacam-macam buta yang
berwajah menakutkan. Candrabirawa itu salah satu dari delapan rupa, yaitu dari
kata candra artinya keras atau panas. Bairawa adalah nama Sanghyang Siwah,
yaitu ketika Sanghyang Siwah berganti rupa sampai yang ke delapan yang
berbentuk sangat menakutkan.
BAB II
PERLENGKAPAN DAN PIRANTI PERTUNJUKAN
A. Menyimpan Kotak Wayang
Cara menyimpan wayang kulit agar tetap baik dan kuat sampai bertahun-
tahun adalah sebagai berikut: Mulai dari petinya, yaitu kotak tempat wayang.
Penyimpanannya harus di tempat yang baik. Kotak wayang diberi ganjalan dari
bangku kayu kecil (dingklik) 2 buah tingginya 50 cm, panjangnya sesuai dengan
lebar kotak lalu diletakkan berdampingan untuk mengganjal kotak tadi. Jadi kotak
tidak diletakkan di ubin atau tanah di dalam rumah, kotak tersebut bisa pas di atas
dingklik. Dan lagi, kotak jangan sampai menempel pada tembok atau gebyog di
dalam rumah agar jangan sampai terkena hawa dingin dan menjadi lembab atau
kemasukan hewan-hewan kecil. Tembok atau gebyog itu kalau terkena air hujan
bisa menjadi lembab sehingga hewan-hewan kecil pun menyukainya. Kelembaban
juga menyebabkan jamur sedangkang hewan kecil bisa merusakkan eblek atau
wayang. Maka kotak harus diberi jarak 30 cm, jangan sampai menempel tembok
atau gebyog. Di atas kotak yang sudah tertutup rapat lalu diberi tutup dari kain
perlak yang rapat mengelilingi kotak sesuai dengan besarnya kotak agar bila
terkena air hujan dari atas tidak bisa masuk ke dalam kotak.
Cara mengangin-anginkan wayang kulit adalah sebgai berikut. Sebelum
kotak diambil dari tempat penyimpanan, terlebih dahulu disiapkan tempat untuk
mengangin-anginkan wayang tersebut, jangan sampai tempatnya terlalu panas
atau dingin. Carilah tempat yang kering, sebisa-bisanya tempat tersebut dekat
rumah yang agak tengah jangan sampai terkena sinar matahari langsung. Lalu
rentangkan tali dadung kecil yang kuat, diikatkan pada dua buah saka. Kalau
punya alat untuk menancapkan (tanceban) dari kayu jati, biasanya digunakan
untuk alat nyumping wayang bersama dengan gawangan plangkan kelir. Tempat
menancapkan sumpingan tadi adalah dari kayu jati yang diberi lubang. Lubangnya
mulai dari besar sampai kecil, diurutkan menurut besar kecilnya gapit wayang
yang akan disumping. Semua itu dipersiapkan di dalam jadi bisa mengurangi tali
yang direntangkan dari satu dari dengan dari yang lain tadi. Kalau sudah selesai,
lantai atau mester disapu yang bersih jangan sampai basah atau lembab lalu
digelari tikar pasir yang bersih atau tikar pacar (mendong). Kotak lalu mulai
dibawa ke tempat yang sudah diatur dengan baik tadi, diletakkan yang enak
jangan sampai mengganggu dalam mengangin-anginkan wayang.
Kain perlak penutup kotak diambil lebih dulu, lalu ditaruh di tempat yang
sesuai jangan sampai terkena panas matahari, selain cepat rusak, juga membuatya
menjadi lembab yang tidak baik untuk wayang. Kalau sudah selesai, gembok
kotak lalu dibuka dilanjutkan dengan membuka tutup kotak diletakkan di tempat
yang enak serta jangan sampai mengganggu. Lalu eblek tutup wayang yang paling
atas dibuka, ditumpuk di atas tutup kotak tadi untuk alas wayang yang tidak
memakai tanganan. Kelir diangin-anginkan lebih dulu, dijemur sebentar di terik
matahari tapi jangan sampai terlalu lama. Kalau sudah hangat lalu diangkat serta
dikibaskan lalu dilipat dan digantungkan di tempat yang sejuk dalam teras atau
rumah.
B. Tata Cara Simpingan
Sekarang mulai mengeluarkan wayang. Biasanya yang paling atas adalah
kayon (gunungan), diambil lalu ditumpuk di emblek yang ada di atas tutup kotak
tadi, atau di tempat tanceban kayu yang sudah disediakan tadi. Lalu wayang
bagian sumpingan sebelah kanan mulai dari prabu Tuhuwasesa (Sena jadi ratu
diambil lebih dulu. Tangan wayang yang depan dikaitkan di tali yang
direntangkan tadi, begitu seterusnya sampai sumpingan bagian kanan habis
sampai wayang putran anak kecil (bayen) serta dewa ruci. Kalau sudah sampai
wayang estren diberi sela dari agar kelihatan batas bagian besar dan kecil. Kalau
sudah penuh lalu ke tali di bawahnya, tapi pemasangannya dibuat saling
membelakangi, jadi wayang yang paling kecil bisa berada di bawah Prabu
Tuhuwasesa, wayang sumpingan yang paling besar bagian kanan.
Setelah itu lalu sumpingan bagian kiri, mulai dari danawa Raton
(Kumbakarna) atau prabu Niwatakawaca. Lalu raja danawa muda Buta Ngore
(gendong) Prabu Rahwana (Dasaka) dan seterusnya sampai Pinten Tansen atau
Nangkula dan Sadewa sampai sumpingan kiri habis, penataannya sama seperti
sumpingan kanan yang sudah diangin-anginkan tadi, emblek dikumpulkan jadi
satu lebih dulu.
Selanjutnya wayang dudahan. Diberi nama wayang dudahan artinya
wayang yang tidak pernah disumping, hanya di dalam kotak atau di atas tutup
kotak. sedangkan kalau wayang pedalangan yang pasti ada di atas, di bawah
wayang sumpingan, biasanya adalah wayang ricikan yaitu senjata-senjata wayang,
prampokan, kereta kencana, kuda, gajah, lalu para tapa serta dagelan, serta ada
beberapa yang mencampur dengan sebangsa hewan buruan. Sedangkan wayang
yang mempunyai tangan hidup, mengangin-anginkannya dengan cara dikaitkan
seperti wayang sumpingan di atas tadi.
Setelah itu lalu ambil wayang dugangan, yaitu para Kurawa, para putra
Ngalengka, para punggawa serta patih, semua itu mengangin-anginkannya jadi
satu juga digantung seperti tadi. Para danawa, tumeten, para jawata, para wanara,
cara mengangin-anginkan juga sama. Tumeten sebangsa wayang hewan buruan
yang jarang dipakai seperti babi, harimau, banteng, kerbaudanu, kijang, rusa,
garuda, nagaraja, taksaka, burung, brajut jantan dan betina serta bajubarat
(setanan) penataannya hanya untuk dasar, mengangin-anginkannya hanya cukup
di eblek di atau kayu tanceban tadi. sedangkan wajang yang tangannya mati
seperti Batara Guru, Kayon Gunungan, setanan, brajut, mengangin-anginkannya
cukup ditancapkan di tempat tanceban kayu sampai semua wayang habis
dikeluarkan.
Sekarang membersihkan kotak. Semua alat wayang yang disimpan di
dalam anakan kotak, seperti kepyak, cempala besar dan kecil, sapit blencong,
plintur tali kelir, benang jarum, kain lap, sikat halus, alat untuk membersihkan
kalau ada wayang yang terkena jamur. Kalau wayang di pedesaan biasanya
mempunyai golek, (taledek kayu) untuk penutup cerita, tancep kayon, sebagai
tambahan gambyongan. Semua dibersihkan dan dikeluarkan dari kotak terlebih
dulu.
Kalau semua barang sudah dikeluarkan, kotak wayang baru dibersihkan
sampai bersih, jangan sampai ada hewan merayap yang masuk di dalam kotak
tadi, kotak jangan sampai terkena hawa panas atau dingin. Kalau kotak sudah
bersih lalu diberi alas kardus atau kertas yang tebal agar bisa hangat. Kalau punya
atau bisa mencari, lebih baik kalau diberi bulu laring merak (burung cohong), bulu
tersebut bisa menghangatkan dan semua hewan merayap tidak mau mendatangi.
Kalau tidak ada cukup diberi kapur barus (kamper). Kalau semua alas sudah diatur
dengan baik lalu ditutupi eblek yang sudah dibersihkan, semua alat wayang yang
disimpan di anakan kotak tadi, kalau sudah dibersihkan semua lalu dikembalikan
ke tempatnya jangan sampai ada yang tertinggal. Begitulah cara mengangin-
anginkan wayang kulit agar bisa tetap bagus. Kalau sedang membersihkan
wayang jangan sambil merokok karena abunya bisa jatuh dan mengotori wayang
sehingga wayang menjadi kurang bagus.
C. Menjaga Kebersihan Wayang
Semua wayang yang sudah diangin-anginkan tadi sebelum dimasukkan dalam
kotak sebaiknya diteliti satu persatu, wayang yang gapitnya longgar atau talinya
kurang kuat, dikumpulkan lebih dulu jadi satu. Kalau sudah, tali yang kendor itu
diberi tali lagi dengan benang piser merah yang kuat. Benang dirangkap dua kali
agar kuat jangan sampai kendor. Semua wayang yang kendor talinya harus
diperkuat karena kendornya tali itu sering membuat patahnya gapit, lagi pula
kalau gapit tidak kuat, memegang wayang juga rasanya tidak enak, untuk sabetan
tidak terasa enak serta gerakan benang yang tertarik serta longgarnya gapit itu
akan membuat putusnya tatahan. Apalagi kalau wayang yang ukirannya rumit
seperti ukiran dodot limaran, parang, lapis, dan seterusnya itu mudah putus.
Semua tatahan itu kalau sudah putus akan sulit miripbaikinya, bisanya hanya
diikat benang yang kuat dan lembut atau dari serat sabut kelapa.
Kalau kurang lembut harus dihaluskan, ditambal sambung dengan kulit baru
lalu ditatah lagi menurut tatahan yang lama. Wayang yang ditambal namanya
wayang kasopak. Kalau sudah selesai memberi tali lalu dikembalikan ke
tempatnya lagi urut seperti semula. Selanjutnya ganti memilih wayang yang
terkena jamur, dikumpulkan jadi satu seperti tadi. Wayang yang terkena jamur itu
dibersihkan dengan sikat yang halus dengan pelan-pelan, jangan sampai merusak
cat wayang yang sudah tua. Duluat sampai bersih dan hilang jamurnya. Biasanya
yang terkena jamur itu adalah cat wayang yang berwarna hitam dan merah
sehingga kelihatan bintik-bintik putih. Kalau dilihat dari kejauhan warna wayang
kelihatan lusuh, apalagi kalau didekati kelihatan kotor. Biasanya yang terkena
adalah bagian rambut masuk ke tatahan rambut. Kalau menyikat dan
membersihkan rambut para satria harus lebih hati-hati, jangan sampai
memutuskan seritan rambut atau molor keluar karena tatahan seritan itu untuk
rambut para satria atau putran adalah alusan, bentuknya seperti pir jam yang
panjang. Kalau sampai molor maka akan mudah putus, apalagi kalau yang gelung,
lebih susah lagi. Makanya harus hati-hati. Rambut seritan kalau sampai putus lalu
bolong akan jadi cacat dan kelihatan kurang bagus. Makanya cara perawatan dan
membersihkan harus hati-hati tidak boleh sembarangan.
Kalau jamur itu sudah kelihatan tebal sampai kelihatan hampir putih semua,
cara membersihkannya dengan kain lap yang empuk, dibasahi dengan air hangat
lalu diperas. Setelah itu digunakan untuk mengusap wayang, ditutulkan ke atas cat
yang terkena jamur, kalau sudah kering catnya akan kelihatan memudar, kalau
catnya masih baru akan bersih lagi seperti semula sedangkan kalau catnya sudah
lama tentu kelihatan tergores, lalu dimandikan lagi dengan ancur lempeng (ancur
kripik). Ancur direbus dengan air landa jangkang, memandikannya cukup sekali
saja, sedangkan praos atau pradanya jangan sampai terkena ancur nanti tergores.
Kalau sudah kering wayang akan kelihatan baru dan kembali bersinar. Kalau ada
wayang yang catnya mengelupas sampai banyak sebaiknya digebal, artinya dicuci
dihilangkan catnya, dicuci dengan air dan duluat sampai bersih catnya lalu
ditumpuk dengan barang yang rata, misalnya papan yang rata. Jika wayang kering
jangan sampai kelihatan bergelombang, usahakan agar kerinng dan rata. Kalau
sudah lalu dicat lagi sehingga kelihatan seperti baru. Jadi wayang gebalan itu
artinya wayang lama yang dicat kembali sampai jadi wayang baru lagi.
Selain itu, kalau ada wayang yang terkena minyak blencong, misalnya terkena
tetesan seperti hampir terbakar, jangan sampai dicampur dengan wayang lainnya,
harus disendirikan Karena wayang yang terkena minyak klentik itu selain
kelihatannya kotor juga mudah menumbuhkan jamur dan bisa menjalar ke wayang
lainnya. Cara untuk menghilangkan daerah yang terkena minyak tadi adalah
dengan diusap apu (injet). Kalau sudah sekitar sehari semalam lalu diusap. Catnya
tentu sudah mengelupas lalu dibersihkan, kalau sudah bersih ditambal cat lagi
sesuai dengan yang sudah ada. Kalau yang terkena wajahnya jangan sampai diberi
warna cat wajah nanti kelihatan berbeda dan tidak kurang harmonis. Kalau cat
untuk badan terserah menurut kesesuaian wayang yang rusak tadi. Makanya
dalang serta panyumping itu harus hati-hati dalam merawat wayang karena
wayang yang terkena minyak blencong itu bisanya pulih lagi harus ditambal
catnya lagi.
Ada lagi, sering dalang kalau akan mengeluarkan wayang dengan diambang,
diusapkan di pipi atau di hidung, biasanya wayang yang wajahnya hitam
makasudnya agar kelihatan hitam bersih. Bagi mereka yang belum mengerti
mengatakan kalau dalang itu sedang memberikan kasihnya pada wayang yang
sedang dipegang. Tetapi malah sebaliknya jadi keliru. Wajah orang itu tentu
berminyak, jadi wayang itu seperti diminyaki. Kalau tidak diperhatikan, nanti
kalau sewaktu-waktu ada hawa dingin wajah wayang itu tentu tumbuh jamurnya
berwarna putih. Menurut ahli wayang dan sungging, wajah wayang yang
diusapkan di pipi atau hidung itu tidak baik. Kalau ada wajah wayang yang
kelihatan tergores padahal akan dikeluarkan di kelir, membersihkannya cukup
diusap dengan sapu tangan yang kering sehingga bisa bersih.
Mengangin-anginkan wayang itu kalau musim hujan banyak hawa dingin
yang baik satengah bulan sekali, syukur bisa sepuluh malam sekali itu lebih baik,
sedangkan kalau musim kemarau bisa dua bulan atau sebulan sekali. Semua
wayang yang rusak terkena jamur atau putus tatahannya itu kalau sudah dirawat
atau diperbaiki akan jadi pulih lagi, lalu dikembalikan ke tempat semula seperti
ketika mengambil tadi. Habis sudah bab cara dalam merawat dan membersihkan
wayang yang terkena jamur serta yang putus atau rusak tatahannya.
D. Susunan Lapisan Eblek
Setelah kotak bersih lalu diberi alas kertas yang tebal atau karton, lalu diberi
laring burung merak atau kapur barus sebagai pengusir hewan merayap. Kalau
sudah baik lalu ditumpangi eblek, eblek adalah alas wayang untuk pembatas agar
wayangnya bisa baik penataannya.
Eblek itu dibuat dari deling tipis dan halus lalu dianyam yang lembut, lalu
dibungkus kain atau mori putih. Itulah yang disebut eblek, alat pembatas untuk
menata wayang. Pemasangan eblek dasar yang paling bawah diatur jangan sampai
tidak seimbang, (bawah atas) agar kalau ditumpuk dengan wayang yang lain
jangan sampai bergeser.
Mulai memasukkan wayang dasar. Yang dimaksud wayang dasar itu seperti
hewan buruan (hewan) setanan, brayut laki-laki perempuan beserta anaknya,
wayang yang jarang dipakai, hanya dipakai kalau akan lakon saja baru mengambil
mana yang dibutuhkan. Adapun wayang yang untuk dasar itu karena tatahannya
gayaman dan catnya awak-awakan, kulitnya kebanyakan tebal. Selain agak mudah
pembuatannya, juga termasuk murah harganya, jadi bila rusak tidak kebanyakan
biaya.
Cara penataannya beradu muka, jangan sampai wajah wayang terkena kotak,
nanti bisa melengkung jadi cacat. Apalagi kalau sampai pada wayang yang
hidungnya kecil, kalau sampai bengkok, patah atau mengelupas catnya, wajahnya
kalau dipandang akan jadi jelek, namanya wayang cacat.
Kalau pegangan hewan buruan kelihatan mengganjal lebih baik diambil saja
dari wayang hewan buruan tadi, tapi jangan sampai dicopot pisah dari wayangnya,
hanya dilepas dari palemahan saja lalu diputar sampai bisa rata menumpuknya,
jangan sampai cembung tengah atau miring, nanti wayangnya bergeser. Kalau
sudah rata penataannya lalu ditumpangi dengan wayang para wanara, seperti kera
kacangan, Subali dan Sugriwa beserta para punggawa. Kera yang kecil-kecil ada
di bawah, yang besar untuk tutup ada di atas. Wayang yang kecil disusun
melintang. Kalau sudah habis wayang buruan dan para wanara dan sudah diatur
dengan baik lalu ditutup dengan eblek No. 2.
Selanjutnya ambil wayang para jawata dan para danawa. Penataannya
dicampur jadi satu eblek tetapi dipilih, para jawata yang kecil-kecil lebih dulu,
lalu danawa yang kecil-kecil. Yang kecil penataannya juga melintang, yang besar
sama besar penataannya lurus. Jadi semua wayang yang kecil penataannya harus
ada di bawah, sedangkan yang besar ada di atas sekalian untuk tutup. Penataannya
lurus beradu muka (aben ajeng), penataannya harus rata jangan sampai anggigir
sapi (tinggi di tengah). Penataannya digeser jangan sampai gapitnya menumpang.
Kalau sudah sampai akhir, eblek akan mengenai kotak lalu ditarik mundur sedikit
lalu ditumpangi wayang lagi jadi beradu muka, begitu seterusnya sampai habis.
Menata wayang tangan depan diletakakkan maju, siku depan ditekuk mundur,
telapak tangan diletakkan di atas cetik, sejajar dengan kaki belakang. Tangan
belakang ditekuk maju sejajar pundak, siku ditekuk agak ke bawah, telapak tangan
diletakan di atas cetik kaki belakang. Pegangan tangan disejajarkan dengan gapit
wayang. Begitu seterusnya untuk semua wayang yang memiliki tanganan.
Kalau sudah habis menata wayang para jawata dan para danawa dan sudah
rata penataannya lalu ditumpuk dengan eblek No. 3, sebagai pembatas. Setelah
itu ganti menata wayang para punggawa patih patihan, patih Jawa dan patih
Sabrangan, putra Ngalengkan, serta para kurawa. Penataannya sama seperti yang
disebutkan di atas tadi, yang kecil diatur melintang, yang besar lurus beradu
muka, kalau sudah selesai lalu ditutup eblek lagi, eblek No.4.
Selanjutnya wayang Dagelan, para Tapa serta Ricikan dijadikan satu. Wayang
ricikan yang penataannya selalu ada di atas itu misalnya prampogan Jawa dan
prampogan Danawa, kereta, Kuda tunggangan, gajah, kayon (gunungan) gapuran,
serta senjata, karena itu adalah wayang yang biasanya dipakai dalam setiap lakon.
sedangkan wayang Dagelan yang biasanya ada yaitu Semar, Gareng, Petruk,
Bagong, Togog, Belung, Jantrik, Jangik, Limbuk, Parekan, Emban, Inya. Para
tapa seperti, Pandita Srambahan, Resi Abyasa, dan Pandita Sepuh.
Kalau sudah selesai penataannya sama seperti tadi, yang paling atas yaitu
prampogan, sekalian untuk tutup. Kalau wayang yang gapitnya prempak,
sebaiknya dilepas dari wayang saja agar jangan sampai mengganjal nanti akan
membuat cembung tidak bisa rata. Kalau sudah selesai lalu ditutup eblek lagi,
eblek No. 5. Itu semua yang dimaksud wayang dudahan, artinya wayang yang
tidak disumping atau ditata di panggung.
Selanjutnya wayang panggungan atau sumpingan. Yang diatur lebih dulu
adalah bagian sumpingan sebelah kiri. Penataannya dimulai dari wayang yang
paling kecil lebih dulu, yaitu Pinten Tansen, Caranggana, Wisanggeni dan
seterusnya. Bagian wayang kecil itu semua diatur melintang, diurutkan menurut
urutan sumpingannya, kalau sudah sampai wayang raden Setyaki berhenti dulu,
lalu ditutupi eblek No. 6 sebagai pembatas. Kalau diteruskan kurang sesuai nanti
terlalu banyak, biasanya mudah mematahkan gapit. Makanya wayang sumpingan
itu sebaiknya penataannya dibagi dua agar wayang bisa rata tidak bergelombang,
lalu ditutup eblek. Mulai wayang raden Setyaki naik diatur dengan lurus dua sap,
dari atas lebih dulu empat buah diatur dengan beradu muka, lalu di bawahnya
ditumpuk dengan empat buah lagi, sama penataannya juga beradu muka. Kalau
wayang semakin besar, penataannya dikurangi menjadi tiga-tiga. Kalau sudah
sampai prabu Dasamuka penataannya lalu mulai dua-dua, karena kalau tiga sudah
tidak cukup tempatnya. Begitu sampai wayang Danawa Raton (Kumbakarna)
ditumpuk paling atas. Itu hanya cukup dua beradu muka danawa Raton neneman
ngore rambut gimbal (gendong). Kalau sudah rata penataannya lalu ditutup eblek.
Sekarang ganti wayang panggungan yang sebelah kanan atau wayang
sumpingan sebelah kanan. Dimulai dari wayang putran bayen atau anal kecil yang
ada paling belakang, lalu dewa Ruci atau Bodanpaksadanu, lalu wayang putren,
artinya wayang wanita; para putri, para bidadari, para prameswari istri ratu,
Sarpakanaka sampai batari Durga. Setelah habis wayang putren lalu para putran,
yaitu raden Nangkula dan Sadewa, Kuntadewa, Suryaputra, Pamadi, sampai prabu
Kresna, Ramawijaya, Sanghyang Guru, lalu diberi batas eblek lebih dulu. semua
wayang tadi penataannya melintang sedangkan yang agak kelebihan dimiringkan
sedikit biar rata. Setelah itu mulai wayang raden Hanoman, penataannya lurus dari
di atas berjajar empat atau tiga menurut besar kecilnya kotak. Penataannya semua
beradu muka, lalu di bawahnya ditumpangi lagi, juga beradu muka dan seterusnya
sampai prabu Tuhuwasesa., Haryasena jadi ratu, lalu gunungan (kayon) diletakkan
paling atas.
Setelah selesai menata wayang, semua wayang sudah masuk kotak, kelir
wayang yang sudah dilipat sesuai dengan bear-kecilnya eblek lalu ditutupkan
sampai rata jangan sampai naik turun, sekalian untuk tutup agar empuk. Setelah
itu baru ditutup eblek yang paling atas. Di dalam eblek diberi kapur barus untuk
mengusir rengat atau rayap. Kalau sudah semua, baru kotak ditutup rapat dan
disimpan. Sedangkan alat tanceban dan tali yang dipakai tadi disimpan dengan
baik lagi, agar jika sewaktu-waktu akan mengangin-anginkan wayang lagi bisa
digunakan lagi.
Untuk wayang satu kotak, biasanya cukup 11 buah eblek, sedikitnya
disediakan 9 buah saja sudah cukup. Menyimpan wayang itu kalau kurang
ebleknya akan merusakkan wayang. Biasanya lalu banyak wayang yang
melengkung tidak bisa rata, juga sering merusakkan gapit. Kotak itu lalu dibawa
ke tempat penyimpanan, diletakkan di atas dingklik lagi. Maka selesailah sudah,
kotak sudah kembali ke tempat penyimpanan lagi.
E. Mustika Bambang Manungkara
1. Mustika Manihara, kesaktiannya kalau digunakan untuk mengusap semua
makhluk hidup maka akan menjadi berlian, kalau yang diusap adalah
sebangsa tumbuhan akan menjadi kencana (emas), tetapi kalau diusapkan
pada bangsa tumitah maka akan jadi arca batu.
2. Minyak musala, dimasukkan dalam cublak, kesaktiannya kalau diusapkan
pada apa saja akan menjadi arca, atau akan mendapat kemalangan.
3. Batu Marcujiwa, kesaktiannya adalah sebagai kehidupan bangsa siluman
(makhluk halus), kalau ada bangsa siluman yang pingsan lalu diusap
dengan batu Marcujiwa maka akan sembuh.
4. Kantong Karumba, kesaktiannya siapa saja yang membawa kantong
tersebut jadi tidak kelihatan, bisa menghilang.
5. Minyak Pranawa, kesaktiannya kalau diusapkan di mata bisa melihat
segala sesuatu yang tidak tampak, kalau diteteskan di telinga jadi
mendengar pembicaraan yang tidak kelihatan, tapi yang tidak diusap
dengan minyak Pranawa tidak akan bisa melihat.
6. Pecut akar Bayura, yang tumbuh di dunia gelap, kesaktiannya kalau ayun-
ayunkan atau disabetkan pada bangsa siluman, yang kena sabet pasti
kembali jadi manusia.
7. Air akar Bayura, dimasukkan dalam impes seperti tembolok ayam,
kesaktiannya kalau diusapkan di tangan, semua yang dipegang akan jadi
usada (obat) menyembuhkan penyakit.
8. Candu Sakti, jadi kesaktian sebangsa makhluk halus, kesaktiannya bisa
berpindah seketika.
Nama senjata (panah), yang dipakai para perwira unggul ketika jaman purwa
1. Hendrasara, panah yang dipakai raden Lesmanawidagda
2. Harda dadali, yang benar Roda dadali, roda artinya galak, dadali artinya
burung, jadi panah itu berbentuk burung yang galak, makanya dalam
pawayangan digambarkan berbentuk burung terbang, paruhnya setajam
mata panah, dipakai raden Harjuna.
3. Harya Sangkali, yang benar Haryas Sangkali, haryas artinya perhiasan,
Sangkali artinya rantai, jadi mustika panah rantai. Dalam Pustakaraja
disebutkan bahwa panah itu dipakai Raden Harjuna.
4. Saratama atau Sara utama, sara artinya tajam, utama artinya unggul,
maksudnya panah yang sangat tajam, yaitu panah yang dipakai Raden
Harjuna.
5. Mercujiwa, panah yang dipakai raden Janaka
6. Pasopati, panah yang dipakai raden Dananjaya
7. Kunta Druwasa, panah yang dipakai Sang Hadipati Basusena atau sang
Karna. Wijayacapa atau Wijayadanu, biasanya dinamakan panah,
sebenarnya itu bukan panah tetapi nama gandewa yaitu gandewa Kunta
Druwasa tersebut, Hal itu disebutkan dalam layang Pustakaraja.
8. Surawijaya, panah yang dipakai Raden Lesmanawidagda
9. Guwawijaya, panah yang dipakai raden Hindrajit
10. Wimanasara, panah yang dipakai raden Raden Hindrajit
11. Nagapasa, panah yang dipakai raden Hindrajit
12. Kuntabaskara, panah yang dipakai Prabu Danapati
13. Ekaboma, panah yang dipakai Harya Setyaki
14. Narayanagopa, panah yang dipakai Prabu Kresna
15. Cundamani, panah yang dipakai raden Haswatama
16. Bargawarstra, panah yang dipakai raden Werkudara
17. Senjata Barla panah yang dipakai Raden Dursasana
18. Panah Bargawa, panah yang dipakai Ramabargawa, Resi Parasu
19. Panah wulan tumanggil, nama Harjacandra
20. Panah Pangabaran, nama Naracabala, atau panah seribu tanpa gandewa
21. Panah api, bernama Bramastra
22. Panah Garuda, bernama Winanteyastra
23. Panah Bulat, bernama Cakrasaradha
24. Panah Banyu, bernama Sagarahru
25. Lohita artinya berlumur darah atau Lohitamuka artinya bermulut darah,
yaitu Gada yang dipakai raden Hariya Werkudara.
26. Gada Rujakpolo, yang dipakai Harya Setyaki
27. Saratalpa artinya kasur panah, sara artinya panah, talpa artinya kasur, resi
Bisma tidur di atas kasur panah ketika Baratayuda, terkena senjata
pamungkas, tubuhnya sampai berlumur darah.
Arti senjata dibya menurut Serat ‘Babading Pandawa’. Yang disebut senjata
Dibya pemberian Jawata, yang sering disebutkan dalam dalam serat orang Hindu
itu kira-kira hanya berupa daya atau kekuatannya yang bisa mendatangkan apa
yang diinginkan oleh pemiliknya seperti Kapusti saat marah atau saat redanya.
Jadi tidak berupa seperti senjata misalnya panah, keris, pedang dan sebagainya.
Senjata tadi juga bisa diberikan atau dipinjamkan pada orang lain, artinya yang
diberi atau dipinjami diajari cara memakainya atau diberi tahu mantrannya agar
bisa digunakan seperti keinginannya.
Senjata Brahma juga dinamakan Brahmastra itu yang paling sakti,
digambarkan berbentuk panah-panah yang melihat keluar dari gandewanya,
terkadang panah-panah tadi kalau sudah dilepaskan bisa kembali sendiri ke
tempatnya.
Senjata Dibya itu meskipun lebih besar kesaktiannya, sebenarnya tidak
terlalu berguna bagi yang mempunyai karena sangat dilarang digunakan di dunia,
yang kedua, keluarnya hanya untuk meramaikan perang saja, supaya tambah
menakutkan. Jadi bukan senjata pamungkas, kadang-kadang senjata dibya
digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan. Tapi yang lumrah senjata itu adalah
untuk memusnahkan musuh. Selain dari itu, misalnya senjata Dibya benar-benar
memiliki pangaribawa seperti yang diceritakan dalam serat-serat kuna, di dunia ini
tidak ada peperangan sebab siapa yang lebih dulu melepaskan senjata Dibya bisa
memberantas musuh berjuta-juta. Sanghyang Narada memerintahkan sang
Harjuna, semua senjata pemberian Jawata tidak boleh digunakan untuk sehari-
hari, untuk sehari-hari cukup senjata yang biasa saja.
BAB III
WANDA WAYANG PURWA
A. Sumpingan Sebelah Kanan
Nama wayang Nama wanda
1. Prabu Tuhuwasesa
2. Raden Werkudara Mimis
3. Raden Werkudara Lindupanon
4. Raden Werkudara Gurnat
5. Raden Werkudara Lintang
6. Raden Bratasena Mimis
7. Raden Bratasena Gurnat
8. Jagabilawa
9. Raden Gandamana
10. Raden Antareja
11. Raden Gatutkaca Kilat
12. Raden Gatutkaca Tatit
13. Raden Gatutkaca Guntur
14. Raden Gatutkaca Gelap
15. Raden Antasena
16. Raden Hanoman
17. Batara Guru Arca
18. Batara Guru Karna
19. Prabu Kresna Rondon
20. Prabu Kresna Gendreh
21. Prabu Kresna Mawur
22. Prabu Ramawijaya
23. Prabu Parikesit
24. Prabu Yudistira Putut
25. Prabu Yudistira Panukma
26. Raden Harjuna Kancut
27. Raden Harjuna Malatsih
28. Raden Harjuna Kunanti
29. Raden Harjuna Jimat
30. Raden Harjuna Renteng
31. Raden Harjuna Mangu
32. Harjuna brongsong slendangan (srambahan)
33. Raden Pandu
34. Raden Suryaputra
35. Raden Puntadewa Malatsih
36. Raden Puntadewa Kunanti
37. Raden Premadi Panmembuat
38. Raden Premadi Pangasih
39. Raden Premadi Kunanti
40. Premadi sampir slendangan (srambahan)
41. Dewi Jembawati makutan
42. Dewi Sarpakanaka
43. Dewi Arimbi
44. Dewi Banowati Golek
45. Dewi Banowati Berok
46. Dewi Kunti
47. Dewi Hanggendari
48. Dewi Drupadi
49. Dewi Herawati
50. Dewi Banowati nem slendangan
51. Dewi Banowati rimong kasmekan
52. Dewi Sembadra Rangkung
53. Dewi Sembadra Lentreng
54. Dewi Rukmini
55. Dewi Setyobomo
56. Dewi Srikandi Goleng
57. Dewi Srikandi Patrem
58. Dewi Surtikanthi
59. Dewi Jembawati. nem
60. Dewi Dursilawati
61. Dewi Pergiwa
62. Dewi Sitisendari Gandes
63. Dewi Untari
64. Dewi Leskalauti
65. Dewi Rara Ireng Lanceng
66. Dewi Hanjani
67. Dewi Ratih. lanyapan (endel) memakai baju
68. Estren lanyapan 2 buah. Slendangan 1 buah
69. Estren longok 2 buah. Slendangan 1 buah.
70. Estren luruh 2 buah, slendangan 1 buah
71. Bondanpaksadanu (Dewa Ruci)
72. Putran Baji (anak kecil)
B. Sumpingan Sebelah Kiri
No.
1. Buta raton. Makutan Barong
2. Buta raton. Harya Kumbakarna Macan
3. Buta neneman. Pogogan Mendung
4. Buta neneman. Ngore (gendong) Kopek
5. Prabu Dasamuka Bugis
6. Prabu Rahwana Belis
7. Harya Kongso
8. Prabu Bomantara
9. Prabu Bomanarakasura
10. Prabu Baladewa Geger
11. Prabu Baladewa Sembada
12. Prabu Baladewa Kaget
13. Prabu Baladewa Peripeksa
14. Prabu Druyudana Jangkup
15. Prabu Druyudana Jaka
16. Raden Kurupati
17. Raden Kakrasana Kilat
18. Raden Krakasana Sembada
19. Raden Kencaka
20. Raden Penuhenca
21. Raden Seta
22. Raden Utara
23. Raden Wratsangka
24. Raden Hugrasena
25. Prabu Kuntibojo
26. Prabu Basudewa (di Mandura)
27. Prabu Matswapati (di Wirata)
28. Prabu Drestarastra (di Astina)
29. Prabu Drupada (di Pancalareja)
30. Prabu Setyajit (di Ngalesanpura)
31. Prabu Salya (di Mandraka)
32. Prabu Bismaka (di Kumbina)
33. Prabu Radeya (di Petapralaya)
34. Prabu Karna (di Ngowonggo) Lontang
35. Prabu Karna (di Ngowonggo) Bedru
36. Raden Setyaki Mimis
37. Raden Setyaki Akik
38. Raden Setyaki Wisuna
39. Raden Lesmana Mandrakusuma
40. Raden Jadengandura
41. Raden Narayana Geblag
42. Raden Narayana Sembada
43. Raden Narasoma
44. Ratu Sabrang Wok
45. Ratu Sabrang Bagus
46. Patih Suwanda
47. Harya Wibisana
48. Harya Praburukma
49. Raden Rukmarata
50. Raden Rukmara
51. Raden Drestajumna
52. Raden Sombo Banjet
53. Raden Sombo Sebada
54. Raden Sombo Buntit
55. Raden Warsakusuma
56. Raden Partadyumna
57. Raden Pancawala
58. Raden Ongkowijaya Rangkung
59. Raden Ongkowijaya Buntit
60. Raden Sumitra
61. Raden Irawan
62. Raden Wijanarka (bambangan
srambahan)
Miling
63. Bambangan Pengasih
64. Bambangan sampir slendangan.
Srambahan
65. Raden Setyaka
66. Raden Nangkula
67. Raden Sahadewa
68. Raden Wisanggeni
69. Raden Pinten
70. Raden Tansen
71. Raden Tiaranggana
C. Wayang Dudahan
Setelah habis wayang sumpingan kiri serta kanan dilanjutkan dengan
wayang dudahan yang hanya ada dalam kotak. Nama Wayang Putran :
1. Raden Trisirah
2. Raden Trikaya
3. Raden Jaksadewa
4. Raden Dewantaka
5. Raden Narantaka
6. Raden Wilmuka
7. Raden Wisata
8. Raden Rajamala
9. Radem Kartawiyoga
10. Raden Sanga sanga
11. Raden Jujudsuh
12. Raden Hindrajit wanda pantat
Raden Hindrajit wanda cawet
Nama para Kurawa
1. Pandita Druna
2. Patih Harya Sengkuni
3. Raden Dursasana
4. Raden Durmuka
5. Raden Kartamarma
6. Raden Surtayu
7. Raden Surtayuda
8. Raden Citraksa
9. Raden Citraksi
10. Raden Jayadrata
11. Raden Krepa
12. Raden Haswatama
13. Raden Burisrawa wanda pantat
14. Raden Burisrawa wanda cawet
15. Raden Durmagati wanda pocol
16. Raden Durmagati wanda cantuk
Para Patih dan Punggawa
1. Patih Hudawa wanda tandhang
2. Patih Hudawa wanda jaran
3. Patih Pragota (dengan ketu merah) wanda pocol
4. Patih Prabowo (dengan ketu merah) wanda pocol
5. Patih Pragota (dengan rapekan merah) wanda bundel
6. Patih Prabowo (dengan rapekan merah) wanda gembel
7. Patih Tuhayata
8. Patih Hadimanggala
9. Patih Tambakganggeng
10. Patih Handakasumeler
11. Patih Saragupita
12. Patih Nirbita
13. Patih Sucitra
14. Patih Jalasengara
15. Patih Sabrangan memakai baju
16. Patih Sabrangan tanpa baju
17. Punggawa sabrangan gecul memakai baju
18. Punggawa sabrangan tatagan memakai baju
19. Punggawa sabrangan tatagan tanpa baju
20. Punggawa Jodipati Gagakblorok
21. Punggawa Jodipati Dandang minangsi
22. Punggawa Jodipati Podangbinorehan
23. Punggawa Jodipati Jangetinelon
Nama para Tapa dan Pandita
1. Resi Abyasa
2. Resi Santanu
3. Resi Kanwa
4. Resi Bisma
5. Resi Bagaspati
6. Resi Wiraswa
7. Resi Ramabargawa
8. Resi Manumayasa
9. Resi Sakutrem
10. Resi Palasara (8, 9, 10 itu wayangnya cukup dengan wayang srambahan
Harjuna slendangan)
11. Resi Jebawan
12. Cekel Hendralaya
13. Ciptaning (Mintaraga)
14. Putut Jayasemedi
15. Pandita Sepuh (putut)
16. Demang Ontogopo
17. Jagalwakas
Nama para Danawa
1. Buta Panyareng (Cakil) wanda. Kikik (tlakup)
2. Buta Panyareng (Cakil) wanda batang
3. Buta Panyareng (Cakil) wanda naga
4. Buta Panyareng (Cakil) udalan mata kadondongan
5. Buta Pragalba rambut jebolan tiga.
6. Buta Pragalba rambut udalan dengan gruda
7. Buta Pragalba mondolan danawa kuna.
8. Buta Galiyuk (kobis). Semua itu danawa srambahan untuk persiapan
perang kembang menurut lakon.
9. Danawa Terong (congklok)
10. Danawa endog
11. Danawa Rambutgeni
12. Danawa Kenyawandu
13. Danawa gundul, Taliawuk
14. Danawa kepala Babi, Mamangmurka
15. Danawa Alasan laki-laki (raseksa)
16. Danawa Alasan perempuan (raseksi)
Danawa Setragandamayu
1. Danawa Jarameya
2. Danawa Jurumaya (catnya awak awakan loreng seperti harimau)
3. Danawa Rendumaja
4. Danawa Palasiya
5. Taliawuk, juga buta Setragandamayu
Danawa Kiskenda
1. Prabu Maesasura, danawa raton kepala kerbau
2. Patih Lembusura, danawa kepala sapi
3. Jatasura, Badan kerbau kepala danawa.
Dengan punggawa tiga bisa meminjam Danawa Srambahan tadi.
Danawa Pringgadani
1. Raden Prabakesa
2. Raden Brajadenta
3. Raden Brajamusti
4. Raden Brajamingkalpa
5. Raden Brajalamadan (seperti cakil mata kadondongan rambutnya udalan)
6. Kalabendana (seperti danawa endog gundul memakai baju)
Nama Danawa Ngalengka
1. Patih Prahasta
2. Raden Aswanikumba
3. Raden Kumba kumba
4. Wirupaksa
5. Jambumangli
6. Wilkampana
7. Marica
8. Mintragna
9. Sukasrana
10. Wikataksini
11. Tatakaksini
12. Karadusana
13. Wilohitaksa
14. Wiroda
D. Para Jawata
1. Batari Durga, wanda Gidrah (mata satu kadondongan)
2. Batari Durga, wanda Gedrug (mata dua bulat)
3. Batara Narada
4. Batara Brahma
5. Batara Hendra
6. Batara Sambu
7. Batara Bayu
8. Batara Surya
9. Batara Jamadipati
10. Batara Patuk
11. Batara Tamboro
12. Batara Kamajaya
13. Batara Pbaruikan
14. Batara Antaboga
15. Batara Basuki
16. Batara Baruna
17. Batara Gana
18. Batara Singawongsa
19. Batara Cingkarabala
20. Batara Balaupata
Para Wanara
1. Prabu Subali
2. Rabu Sugriwa
3. Raden Jayahanggada
4. Raden Jembawan
5. Kapi Hanila
6. Hapi Hanala
7. Kapi Hendranyanu
8. Kapi Wreksaba
9. Kapi Saraba
10. Kapi Satabali
11. Kapi Gawaksa
12. Kapi Darimuka
Sebangsa Dagelan
1. Semar, wanda ginuk
2. Semar, wanda Dukun
3. Semar, wanda Brebes
4. Semar, wanda Mega (temannya Bagong)
5. Nala Gareng wanda Kancil
6. Nala Gareng wanda Wregul
7. Petruk, wanda Jamblang
8. Petruk, wanda Mesem
9. Petruk, wanda Jlegong
10. Bagong wanda Gembor
11. Bagong wanda Gilut
12. Bagong wanda Ngengkel
13. Togog wanda Burung
14. Togog wanda Goprak
15. Semar – Gareng – Petruk (dengan pakaian seperti dewa, untuk lakon
Lintang Prekacuk)
16. Petruk jadi ratu. Prabu Durginadur
17. Gareng jadi ratu. Prabu Pandubragola
18. Bagong jadi ratu. Prabu Patokol
19. Cantrik Janaloka (cantrik mrabot)
20. Cantrik lumrah
21. Belung (Sarawita)
22. Parekan (Nyai Tumenggung dua buah)
23. Inya wungkuk, gelung melintang
24. Embah, pawongan
25. Cangik
26. Limbuk
27. Paranyai (parekan danawa dua buah)
28. Dewi Clakutana
29. Dewi Retnajuwita
30. Sokasrana
31. Kera kacangan tiga buah
32. Setanan warna-warni 10 buah.
E. Para Ratu Sabrang
1. Prabu Jarasadda
2. Prabu Supala
3. Prabu Supali
4. Prabu Gandarpati
5. Prabu Sridenta
6. Prabu Bagadenta
7. Prabu Kalinggapati
8. Prabu Pratipa
9. Prabu Citradarma
10. Prabu Dasarata
11. Prabu Barata
12. Prabu Janaka
13. Prabu Kartadarma
14. Prabu Danapati
15. Prabu Suryaketu
16. Prabu Candraketu
17. Prabu Banaputra
Para ratu Sabrang cukup 10 buah saja. Para ratu sabrang itu bisa
diwujudkan misalnya seperti di bawah ini.
1. Seperti Gatutkaca dengan makuta.
2. Seperti Gatutkaca dengan makuta topong Karna.
3. Seperti Boma dengan makuta topong Karna.
4. Seperti Baladewa gusen dengan baju.
5. Seperti Boma rapekan pogogan.
6. Seperti Hadipatikarna rapekan mata kadelen.
7. Seperti Druyudana rapekan memakai baju.
8. Seperti Salya rapekan memakai baju.
9. Seperti Drupada rapekan.
10. Seperti Bismaka rapekan makutan.
Semua itu sudah bisa luwes untuk srambahan.
F. Wayang Ricikan
1. Gunungan (kayon)
2. Prampogan prajurit Jawa
3. Prampogan prajurit buta
4. Kuda (tunggangan) – 3 buah
5. Kereta tunggangan ratu
6. Gajah (tunggangan)
7. Gajah alasan
8. Naga raja
9. Sawer tanpa jamang
10. Banteng
11. Maesa – dua buah
12. Harimau putih
13. Harimau kuning – gembong
14. Garuda, burung jamangan
15. Burung jawata
16. Babi
17. Wilmana (raksasa dengan sayap)
18. Rusa
19. Kijang
20. Sawung – 2 buah
21. Brajut laki-laki dan perempuan
22. Kenti hergelek – 2 buah
23. Gelas inuman – 4 buah
24. Serat Kalimasada
25. Rangka duwung
26. Cupu manik
Macam-macam Senjata
1. Keris lurus besar kecil – 4 buah
2. Keris luk besar kecil – 4 buah
3. Panah besar kecil – 4 buah
4. Sarutama, panah kepala burung
5. Nagapasa, panah kepala naga
6. Panah rantai
7. Nanggala 1 buah
8. Cakra 1 buah
9. Gada Rujakpolo 1 buah
10. Bindi 2 buah
11. Patrem, keris kecil 2 buah
12. Denda 1 buah
13. Gandi 1 buah
14. Musala 1 buah
15. Palu 1 buah
16. Paling 1 buah
17. Limpung 1 buah
18. Badama 1 buah
19. Alugara 1 buah
20. Candrasa 1 buah
21. Samoga 1 buah
22. Trisula 1 buah
23. Cis 1 buah
24. Cundrik 1 buah
Nama Senjata Yang dipakai para Linangkung
1. Pulanggeni, keris yang dipakai raden Harjuna
2. Kalanadah, keris yang dipakai raden Harjuna
3. Sarutama, panah yang dipakai raden Harjuna
4. Pasupati, panah yang dipakai raden Harjuna
5. Harjasangkali, panah yang dipakai raden Harjuna
6. Hardadatali, panah yang dipakai raden Harjuna
7. Cundamani, panah milik danghyang Druna diberikan pada putra
Haswatama, selanjutnya dimiliki raden Harjuna setelah selesai perang
baratayuda.
8. Senjata cakra yang dipakai prabu Kresna
9. Cakrabaskara yang dipakai patih Suwanda
10. Senjata Kunta yang dipakai Hadipati Karna
11. Wijayadanu yang dipakai Hadipati Karna (Wijayajapa)
12. Kyai Jalak sangupati, keris yang dipakai Hadipati Karna
13. Kuntabaskara panah yang dipakai Prabu Danapati
14. Bargawastra panah yang dipakai Resi Parasu (Bargawa)
15. Bargawastra panah yang dipakai Harya Sena
16. Gada Rujakpolo yang dipakai Harya Sena
17. Gada Lukitasari yang dipakai Harya Setyaki
18. Nanggala yang dipakai Rabu Baladewa
19. Alugara yang dipakai Prabu Baladewa
20. Nagapasa panah yang dipakai raden Hindrajit
21. Senjata Barla panah yang dipakai Rabu Ramawijaya
22. Hendrasara panah yang dipakai Raden Laksmana
23. Surawijaya panah yang dipakai raden Laksmana
BAB IV
NEGARA, KAHYANGAN DAN KASATRIYAN
A. Para Narendra dan Negara
1. Prabu Danaraja negaranya di Lokapala
2. Prabu Wisrawa negaranya di Lokapala
3. Prabu Sumali negaranya di Ngalengka
4. Prabu Dasamuka negaranya di Ngalengka
5. Prabu Kartawirya negaranya di Maespati
6. Prabu Harjunasasra negaranya di Maespati
7. Prabu Citradarma negaranya di Manggada
8. Prabu Banaputra negaranya di Ngayodyapala
9. Prabu Dasarata negaranya di Ngayodyapala
10. Prabu Barata negaranya di Ngayodyapala
11. Prabu Ramawijaya negaranya di Ngayodyapala
12. Prabu Janaka negaranya di Mantilireja
13. Prabu Maesasura negaranya di Kiskenda
14. Prabu Subali negaranya di Kiskenda
15. Prabu Sugriwa negaranya di Kiskenda
16. Prabu Basumurti negaranya di Wirata
17. Prabu Basukiswara negaranya di Wirata
18. Prabu Matswapati negaranya di Wirata
19. Prabu Partawijaya negaranya di Tabelasuket
20. Prabu Palasara negaranya di Astina
21. Prabu Kresnadipayana negaranya di Astina
22. Prabu Pandudewanata negaranya di Astina
23. Prabu Drestarastra negaranya di Astina
24. Prabu Druyudana negaranya di Astina
25. Prabu Yudistira negaranya di Astina
26. Prabu Parikesit negaranya di Astina
27. Prabu Basukesti negaranya di Mandura
28. Prabu Kuntiboja negaranya di Mandura
29. Prabu Basudewa negaranya di Mandura
30. Prabu Baladewa negaranya di Mandura
31. Prabu Bismaka negaranya di Kumbina
32. Prabu Setyajit negaranya di Ngalesanpura
33. Prabu Kresna negaranya di Dwarawati
34. Prabu Mandratpati negaranya di Mandraka
35. Prabu Salya negaranya di Mandraka
36. Prabu Gandabayu negaranya di Pancalareja
37. Prabu Drupada negaranya di Pancalareja
38. Prabu Karna negaranya di Ngawangga
39. Prabu Yudistira negaranya di Amarta
40. Prabu Bomaranakasura negaranya di Trajustrisna
41. Prabu Arimbamuka negaranya di Pringgadani
42. Prabu Gatutkaca negaranya di Pringgadani
43. Prabu Tuhuwasesa negaranya di Gilingwesi
44. Prabu Niwatakawaca negaranya di Ngimaimantaka
45. Prabu Biswarna negaranya di Singgela
46. Prabu Rajeda negaranya di Petaprelaya
47. Prabu Dewasrani negaranya di Tunggulmalaya
48. Prabu Srimahapunggung negaranya di Mendangkmulan
49. Prabu Palgunadi negaranya di Paranggelung
50. Prabu Jungkugmardeya negaranya di Paranggubarja
51. Prabu Wibisana negaranya di Ngalengka
Kekurangannya tinggal sedikit bisa mencari sendiri, yang disebutkan itu sudah
cukup untuk ancer-ancer.
B. Negara Sabrang
1. negara Jongbarang
2. negara Jongbiraji
3. negara Paranggumiwang
4. negara Di atasangin
5. negara Giyantipura
6. negara Simbarmanyura
7. negara Manimantaka
8. negara Tirtakandasan
9. negara Girikadasar
10. negara Tasikmadu
11. negara Jurangparang
12. negara Garbaruci
13. negara Ngracangkancana
14. negara Cedipura
15. negara Parangkancana
16. negara Tawmenggantungan
17. negara Ngendrapura
18. negara Pulorajapeti
19. negara Pudaksategal
20. negara Selahuma
21. negara Timbultahunan
22. negara Bulukatiga
23. negara Selabentar
24. negara Widarba
25. negara Kandabumi
26. negara Sindula
27. negara Ngawu-awejanganit
28. negara Guwabarong
29. negara Ngmengamenin
30. negara Sriwedari
31. negara Tabelaretna
Selanjutnya bisa mencari sendiri kekurangannya.
C. Kediaman Para Satriya
Nama kediaman Para Kurawa
1. Raden Lesmana Mandrakumara di Suryabinangun.
2. Patih Harya Sengkuni di Plasajenar.
3. Pandita Durna di Sokalima.
4. Dursasana Banjarjungut.
5. Durmuka di Sekarcinde.
6. Durmagati di Sobrahlambangan.
7. Jayadrata di Banakeling.
8. Kartawarna di Banyutinalang.
Nama kediaman para Satria
1. Raden Harjuna di Madukara.
2. Raden Werkudara di Jadipati (Pamenang)
3. Raden Nangkula di Tanjunganom
4. Raden Sahadewa di Bumiratawu
5. Raden Setyaki di Suwalabumi (Nglesanpura)
6. Raden Setyaka di Tambakmas
7. Raden Samba di Paranggaruda
8. Raden Gandamdalam Sawojajar
9. Raden Gatutkaca di Pringgadani
10. Raden Angkawijaya di Plangkawati
11. Raden Antasena di Saptapratala
12. Raden Kencakarupa di itutulan
13. Raden Haryapraburukma di itutulan
14. Raden Kumbakarna di Pangleburgangsa
15. Raden Rukmarata di Cindekembang
16. Raden Burisrawa di Pambutulan
Yang lainnya cukup disebut satria di kadipaten sesuai nama negaranya.
D. Pertapaan Para Pandita
1. Resi Kanumayasa di pertapaan Saptarga (Wukiratawu)
2. Resi Sakutrem di pertapaan Saptarga
3. Resi Palasara di pertapaan Saptarga
4. Resi Abyasa di pertapaan Saptarga
5. Resi Bagaspati di pertapaan Hargabelah
6. Resi Kanwa (Jayawilapa) di pertapaan Yasarata
7. Rsi Hanoman di pertapaan Kendalisada
8. Resi Jembawan di pertapaan Gandamadana
9. Resi Ciptaning di pertapaan Indrakila
10. Resi Sidikwacdalam pertapaan Candipura
11. Resi Santanu di pertapaan Tulkanda
12. Resi Bisma di pertapaan Tulkanda
13. Wasi Jaladara di pertapaan Hargasonya
14. Resi Subali di pertapaan Sonyabambuga
15. Resi Maruta di pertapaan Duksina
Kekurangannya bisa mencari sendiri.
E. Kahyangan para Jawata
1. Sanghyang Guru di Jonggringsalaka
2. Sanghyang Brahma di Hargadhahana
3. Sanghyang Hendra di Kahendran
4. Sanghyang Yamadipati di Hargadumilah
5. Sanghyang Kumajaya di Cakrakembang
6. Sanghyang Wisnu di Nguntarasagara
7. Sanghyang Antaboga di Saptapratala
8. Batara Kala di Nusakambangan
9. Batari durga di Setragandamayit
10. Batara Narada di Sudukmangudal-udal
11. Batari Wilutama di Bulatan.
Nama taman yang ada namanya
1. Taman Sriwedari kepunyaan Prabu Harjunasasra
2. Taman Hargasoka kepunyaan Prabu Dasamuka
3. Taman Maduganda kepunyaan Raden Harjuna
4. Tamn Kadilengeng kepunyaan Prabu Druyudana
5. Taman Merakaca kepunyaan Dewi Srikandi
6. Taman Hargasonya kepunyaan Raden Kakrasana
7. Di Randugumbala pesanggrahan milik Prabu Baladewa
8. Di Glagahtinunu kesatrian milik Raden Brajadenta
9. Di Klampisireng padukuhan milik Kyai Semar
10. Di Petruk di Pecukpacukilan
11. Buta Bregeduwak di Karang Kabutan
12. Para bidadari di Karang Kawidadaren
13. Batara Guru di Balemarcukunda
14. Tempat menghadap para dewa di Balemarakata
15. Alun-alunnya bernama Repatkapanasan
16. Prajurit Dewa namanya Wadra Durandara
17. Kahyangan milik Prabu Kiriti di Tinjomaya
Taman-taman para ratu yang tidak ada namanya cukup disebut di Tamansari
(taman yang asri).
BAB V
BENTUK WAYANG PURWA
A. Gambaran Tentang Watak
Wayang kulit purwa itu menunjukkan gambaran tentang watak jiwa
manusia. Karena kepiawaian para linangkung di jaman kuna dalam mengotak-
atiknya sehingga bisa menunjukkan bentuk yang melebihi pikiran kita, kalau
dilihat akan sangat terasa dalam hati.
Coba kalau akan membuktikan, lihatlah salah satu wayang purwa,
misalnya Janaka atau Gatutkaca, maka tidak akan mirip dengan bentuk corak
manusia. Mulai kepala sampai kaki semua serba panjang, ada yang pantatnya
bulat atau lonjong. Kalau dicat wajah wayang ada yang hitam, merah, merah
muda, putih, biru telur bebek, kuning brom atau prada. Kalau dirasa-rasakan
seperti memakai topeng (kedok). Badan dan wajahnya yang sama dengan yang
tidak sama hampir separuh. Tapi kok kelihatan bagus, bisa kelihatan hidup sampai
dan mempunyai jatmika, seperti mempunyai jiwa.
Dibuat oleh kagum adalah dalam membuat bentuk wayang lalu menjadi
mudah dimengerti oleh setiap orang sampai semua merasa senang. Coba kalau
melihat wayang Kresna, Janaka, Gatutkaca, Werkudara, serta dagelannya Semar,
Gareng, Petruk, kalau wayang keluar dlam lakon apa saja, kalau sedang mendapat
kesusahan para pamirsa juga akan ikut merasa susah, sedangkan kalau sedang
mendapat kemuliaan atau mendapat kanugrahan, para pamirsa akan ikut senang,
rasanya para pamirsa semua ikut mendapat kemuliaan dan keberuntungan. Sampai
begitu dalam masuk ke dalam hati sanubari manusia. Jadi sudah jelas kalau
wayang itu tidak menggambarkan bentuk belaka, di sana hanya menunjukkan
watak tinggi rindahnya budi, yang kasar serta yang halus.
Awal mula wayang kulit bisa jadi bentuk yang indah itu ketika jaman para
wali di Demak, ketika jaman itu sedang gencar-gencarnya agama Islam. Padahal
semua orang yang telah masuk agama Islam itu kalau melihat bentuk berwujud
orang apalagi dipasang untuk keindahan atau disimpan, itu menurut orang
beragama tidak boleh, itu diharamkan. Tontonan wayang itu bagi bangsa Jawa
sudah sangat tertanam sampai ambalung sungsum masuk ke dalam hati, lagipula
tontonan itu bisa untuk alat pendidikan atau penerangan (propaganda) pada rakyat
agar bisa menerima ajaran dan tuntunan yang baik sesuai yang dibutuhkan.
Karena kepandaian para Wali dan para Linangkung di jaman kuna, di
setiap tahun diganti-ganti bentuknya sampai baik sehingga bisa sempurna bentuk
wayang purwa itu sampai bisa hilang sifat manusianya, jadi bisa berujud sampai
sekarang ini. Pada jaman Majapait, wayang purwa bentuknya seperti wayang kulit
di Bali, mengambil gambar bentuk relief di Candi Panataran yang ada di Blitar
(Kediri). Wayang purwa nantinya setelah sempurna pangarang serta
pembuatannya, sudah tidak bisa diubah bentuknya lagi karena namanya sudah
sempurna, artinya sudah tetap pembuatannya.
Kalau kurang percaya cobalah membuktikan sendiri, coba diubah
bentuknya atau badannya, atau kedua-duanya sekalian, bisa memilih sesukanya
mana yang disenangi. Misalnya yang diganti pakaiannya dengan cara orang
sekarang, misalnya Gatutkaca diberi kupluk atau topi pet, memakai celana
(pantalon) dan memakai keris, nanti kalau sudah jadi bentuknya akan jadi
kelihatan lucu. Hanya Dagelan yang bisa luwes digonta-ganti, sedangkan yang
lainnya semua kelihatan kaku.
Misalnya yang diganti adalah Harjuna, wajahnya diganti dengan topeng
miring, jadi hidungnya kelihatan dekat seperti orang tapi leher, pundak dan
tangannya masih kelihatan panjang, nanti akan kelihatan semakin lucu. Kalau
tangan dan pundak belakang tidak dibuat serba panjang tidak enak untuk sabetan,
kalau dibuat serba pendek seperti bentuk manusia miring, tidak bisa dipakai
sabetan, kelihatan kaku tidak bisa lincah.
Jadi sudah jelas barang yang sudah sempurna pembuatannya itu kalau
diubah-ubah malah jadi bubrah, sudah seperti itu itu bentuk wayang purwa sampai
turun-temurun anak cucu kita semua sampai akhir jaman nanti. Kalau ingin
membuat wayang yang berbeda bentuknya jangan merubah bentuk wayang purwa
yang sudah baik dan sudah sempurna pembuatannya tadi, nanti ditertawai orang
banyak dan disebut orang royal, hanya menuruti keinginannya sendiri.
Semua wayang karangan baru itu bisa eksis hanya sesaat saja, setelah
seelsai tidak bisa diceritakan lagi. Begitulah bedanya dengan buatan para
linangkung di jaman kuna. Kalau akan membuat wayang sesuai dengan keadaan
jaman saja, menurut suasana yang sedang terjadi sebaiknya membuat bentuk
sendiri, jangan mengubah barang kuna yang sudah jadi. Lebih baik dibuat
gambaran manusia saja, digambar miring semua, jadi nanti seperti wujud orang.
Kalau dilihat jelas berbeda, tidak akan kacau menamainya. Jadi tidak mengubah
barang yang sudah jadi, yang sudah sempurna tadi. Wayang itu lalu bisa
dinamakan wayang perjuangan, untuk cerita babad perjuangan atau wayang Suluh
untuk penerangan.
B. Macam-macam Wayang
Macam-macam wayang di Surakarta seperti yang ada di bawah ini.
Wayang purwa, menurut cerita serat yang dibuat sejak Prabu Jayabaya
narendra di Kadiri, masih berbentuk ron tal (daun tal), yang dibuat dan digambar
dengan kalam, dimasukkan dalam kandaga (bokor besar). Setiap hari digunakan
sang prabu untuk menceritakan kisah para leluhur pada jaman perang Baratayuda,
para Pandawa melawan Kurawa, perang sesama saudara. Wayang Gedog,
mengambil dari kata kedok (topeng), dipakai untuk menamai wayang yang dibuat
oleh kanjeng Sunan Giri. Itu digunakan untuk menceritakan para ratu Jenggala
sampai di negara Pajajaran habis.
Wayang Madiya, dibuat oleh adalah Kanjeng Gusti Mangkunagara yang
ke IV di Surakarta, untuk menceritakan kisah para ratu setelah perang Baratayuda.
Yaitu jaman Prabu Gendrayana sampai negara Jenggala habis. Wayang Klitik atau
wayang Krucil, klitik artinya kalotakan (mengeluarkan bunyi kayu beradu).
Wayang tersebut dibuat dari kayu krucil mempunyai arti kecil bentuknya, dibuat
oleh Kanjeng Sunan Kudus, jumlahnya hanya 70 buah untuk cerita lakon babad
Pajajaran sampai Majapahit terakhir. Sunan Kudus juga membuat wayang Golek,
dibuat dari kayu diberi badan seperti manusia, jumlahnya juga hanya 70 buah.
Kebanyakan di Cepu dan Bojonagoro dengan memakai cerita lakon menak babad
tanah Arab, misalnya orang Agung Menak dan Marmaya dan seterusnya. Di Jawa
barat juga banyak wayang golek, tapi didandani seperti wayang orang (wayang
orang), untuk cerita lakon jaman purwa. Dagelannya Petruk diganti namannya
menjadi Cepot, kebanyakan terdapat di tanah Priyangan Bandung.
Wayang Dupara, dibuat oleh Danuatmajan juga orang di Solo. Sekarang
wayang diambil di Musium Radyapustaka juga di Solo. Itu wayang untuk cerita
jaman para ratu di Demak sampai di Mataram habis. Wayang Jawa dibuat oleh
Dutadiprajan juga orang Solo. Wayang itu juga untuk cerita babad Demak sampai
Mataram habis, tapi juga dipakai untuk cerita lakon Menak babad negara Arab.
Wayang Menak, dibuat oleh bapak Trunadipa, kyai dukun di kampung Baturana
juga di Solo. Wayang itu hanya untuk cerita Menak anak sampai lakat habis.
Wayangnya ada 350 buah.
Wayang kancil, dibuat oleh orang Tionghoa bernama Bah Bo Liem, ketika
tahun 1925. Wayang kancil digunakan untuk menceritakan kisah dongeng hewan.
Itu baik bagi anak-anak untuk memberi pendidikan dengan cerita dongeng hewan.
Kalau untuk orang tua dongengnya memakai cerita Kancil Krida Martana, isinya
ilmu tentang hidup. Wayang kancil itu sangat bagus banyak leluconnya, itu kalau
dalangnya bisa menjalankannya. Kalau dalangnya belum bisa, artinya belum
pernah melihat dan mempelajari cara-caranya lalu dipaksa saja memainkan
dengan caranya sendiri, biasanya lalu kelihatan tidak bagus karena wayangnya
tanpa tangan, kalau belum bisa akan kelihatan kaku.
Wayang perjuangan, dibuat oleh R.M. Sayid, pada tahun 1944. dinamakan
wayang Sandiwara untuk cerita dongeng yang mengandung ajaran yang baik.
Misalnya cerita dongeng Isin Ngaku Bapa (Malu mengaku Bapak) dan seterusnya.
Setelah tahun 1945 lalu diganti namanya menjadi wayang perjuangan untuk
memperingati jaman perjuangan, jaman Proklamasi kemerdekaan negara kita
Indonesia. Lalu dipakai untuk cerita babad Indonesia mulai jaman penjajahan
Belanda 350 tahun, jaman Jepang 3½ tahun, sampai sekarang.
Sebagian ada yang menyebutnya wayang Suluh karena bentuknya hampir
sama, memang sangat mirip. Bedanya wayang Suluh itu yang memainkan hanya
para pegawai jawatan penerangan saja karena hanya ditujukan untuk alat memberi
penyuluhan kepada rakyat agar mengerti kejadian di dalam negara. Wayang
kancil dan wayang perjuangan lalu dijadikan satu kotak, jumlahnya semua ada
200 buah.
Wayang Purwa itu ketika masih jaman Prabu Jayabaya di Kediri,
bentuknya mengambil pola gambaran relief candi Panataran di dekat Blitar.
Digambar miring di daun tal, yang digunakan untuk itutkisnya adalah tulang daun
aren yang diruncingkan, kalau daun itu sudah kering coretannya akan kelihatan
jelas, begitu sampai sampai jaman Majapahit. Setelah jaman Majapahit lalu
digambar lagi di kertas dialasi dengan kain, digambar satu adegan menurut
lakonnya. Jika sudah satu lakon lalu digulung dan diberi warna. Juru sunggingnya
adalah putranya sendiri bernama raden Sungging Prabangkara, lalu dinamakan
wayang beber. Caya memainkannya yaitu digelar ditancapkan pada pohon pisang
atau deling yang didiberi lubang. Gambar yang digulung itu di kiri kanannya
diberi kayu untuk merentangkannya, panjangnya kira-kira satu depa. Kalau sudah
digelar, Kyai dalang lalu bercerita menurut isi lakon gambar itu. Tapi wayang itu
tidak bisa dipegang karena menempel jadi satu berbentuk gambar, hanya dilihat
saja sambil bercerita, begitu cara memainkan wayang beber pada jaman itu.
Setelah sampai jaman Demak keislaman, bentuk wayang diganti corak
miring serba panjang, sampai hilang bentuk manusianya, hanya tinggal berbentuk
gambar seperti berbentuk manusia. Yang pertama membuat seperti itu adalah Jeng
Sunan Giri. Lalu yang jadi pemimpin wayang adalah Batara Guru diberi sebutan
Girinata, mempunyai maksud Sunan Giri yang nata. Begitu banyak orang yang
mempunyai keinginan untuk mengotak-atik pengetahuan tentang wayang tadi.
Makanya wayang itu bisa jadi barang yang indah, baik dan sangat sesuai untuk
suguhan dalam pertemuan atau untuk pameran. Terlebih lagi kalau dalangnya
memiliki wawasan yang luas, para pamirsa akan merasa mendapatkan ilmu yang
diinginkan, rasanya seperti memasuki sebuah jaman baru. Wayang menurut
tulisan tuan Dr. G. A. J. Hazeu, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh R.
M. Mangkudimedja.
C. Wayang Kulit di Jaman Islam
Pada mulanya wayang yang dibuat dari kulit kerbau adalah ketika
bertahtanya Raden Patah menjadi Sultan Demak pada tahun Jawa 1437 – pada
awalnya bentuk wayang purwa itu seperti wujud manusia, yang digunakan sebagai
contoh adalah gambar relief candi Panataran. Karena dalam agama Islam dilarang
(haram), padahal sang sultan suka sekali pada wayang, makanya para wali lalu
membantu membuat bentuk wayang kulit purwa tadi. Pada waktu itu wayang kulit
belum diukir bagian dalamnya, hanya dihaluskan di bagian luarnya saja. Tangan
wayang masih irisan (kalau sekarang disebut kapangan). Setelah itu lalu diberi cat
dasar dengan tumbukan tulang dicampur dengan ancur agar kelihatan putih, lalu
diberi cat hitam. Yang dipakai adalah warna hitam dari asap jadi lampu baru
berbentuk putih digambari dengan warna hitam lalu diberi tangkai untuk
menancapkan di gadebog atau pada kayu yang diberi lubang.
Wayang yang dibuat miring mengambil bentuk bayangan manusia. Setelah
berbentuk jadi, wayang kelihatan menjadi serba panjang sampai hilang sifat
manusianya. Wayang purwa mulai dibuat dengan wajah, yaitu mulai dengan
mata, telinga, mulut, ketika bertahtanya Raden Trenggana yang bergelar Kanjeng
Sultan Sah Ngalam Akbar yang ke III di Demak ketika tahun Jawa 1477.
Yang memberi perhiasan wayang seperti kelat bau, gelang, karoncong,
anting-anting, badong, jamang, gelung atau ngore, dengan praba serta perhiasan
wayang dengan diwarnai emas, serta pakem lakon wayang serta suluknya. Yang
menambahi adalah Hyang sinuwun Ratu Tunggul di Giri ketika mewakili kraton
Demak, pada tahun Jawa 1478. Mulainya wayang purwa atau wayang kulit purwa
dipahat dengan gayaman ketika Raden Jakatingkir menjadi Sultan di Pajang
bergelar Sultan Hadiwijaya, wayang sudah berpakaian dan hiasan lengkap atau
diatur dengan gayaman tapi tangannya masih irasan, pada tahun Jawa 1505.
Yang menambahi alat memainkan wayang kulit dengan kelir, gedebog
serta blencong itu adalah Kanjeng Sunan Kalijaga.Yang menambah dengan
wayang kera (wanara) adalah Sunan Giri. Yang menambah dengan wayang
ricikan, gajah, kuda, serta prajurit prampokan adalah Sunan Benang.
Kanjeng Sultan Demak (Raden Patah), wayang kayon (Gunungan)
ditancapkan di tengah kelir serta sebagai alat untuk memenggal cerita dan untuk
mengatur sumpingan wayang agar bisa baik enak untuk ditonton. Awal mula
wayang purwa dipahat dengan gempuran, dipahat rambutnya serta dodot kainnya
serta awalnya wayang diberi wanda tapi tangannya masih irasan, yang membuat
adalah kanjeng Panembahan Senapati Ngalaga di Mataram, ketika tahun Jawa
1541.
Awalnya wayang purwa lengannya di-sopak bau dengan cara dikancing
dengan gegel tulang bahu lengan depan belakang, sedangkan para danawa tangan
yang belakang masih irasan, juga wayang Batara Guru sampai sampai sekarang
masih dibuat irasan untuk mengingat buatan Mataram yang pertama kali. Awalnya
ada wayang danawa kedua tangannya di-sopak bau lengan depan belakang itu
yang membuat adalah sinuhun Kanjeng Susuhunan Prabu Hanyakrawati yang
meninggal di Krapyak ketika tahun 1552, yang membuat danawa Panyareng
(Cakil) untuk titimangsa candra sangkala memet Tangan jaksa tinata manusia,
yaitu tahun Jawa 1552.
Hubungan wayang kulit dengan candrasangkala memet adalah menjadi
peringatan titimangsa tahun Jawa ketika membuat dan menambahi bentuk wayang
purwa. Itu diambil dari tulisan peringatan ketika para Nata tanah Jawa ingin
membuat bentuk wayang purwa agar luwes, baik serta lincah jika dimainkan.
D. Candra Sangkala Memet
Ini adalah petikan dari serat asal usul wayang purwa.
1. Wayang Batara Guru dibuat oleh Senapati Mataram yang pertama, setelah
selesai dalam membuat wayang lalu diberi candra sangkala. Dewa dadi
ngecis bumi, ini menunjukkan candrasangkala tahun Jawa 1541 – jadi
sekarang sudah ada 1888 – 1541 = 347 tahun. Atau Ywang Guru dadi
ngecis bumi.
2. Wayang Buta Panyareng (Cakil) dibuat oleh Kanjeng Susuhunan
Anyakrawati seda Krapyak. Setelah selesai dalam membuat wayang lalu
diberi candra sangkala Tangan yaksa satataning janma, menunjukkan
candrasengkala tahun 1552 – jadi sekarang sudah ada 1888 kapendet 1552
= 336 tahun.
3. Wayang Buta Rambutgeni bernama kala Dahdalambuat oleh Sinuhun
Sultan Agung Hanyakrakusuma di Mataram. Setelah selesai dalam
membuat wayang lalu diberi candra sangkala, urubing wayang gumuling
tunggal, menunjukkan candrasangkala tahun 1563 – jadi sekarang sudah
ada 1888 – 1563 = 325.
4. Wayang Batara Guru mengendarai sapi, memakai dodod dengan celana
tanpa slendang, membawa cis, yang membuat Kanjeng Susuhunan
Mangkurat. setelah selesai dalam membuat wayang lalu diberi candra
sangkala Hestining pandita marganing dewa, menunjukkan tahun 1578,
jadi sekarang sudah ada 1888 – 1578 = 310 tahun.
5. Wayang Buta Endog, buta Prepatan, dibuat oleh kanjeng Susuhunan
Mangkurat di Kartasura. Setelah selesai dalam membuat wayang lalu
diberi candra sangkala, buta sirna wayanging janma, menunjukkan tahun
Jawa 1605, jadi sekarang sudah ada 1888 – 1605 = 283 tahun.
6. Wayang Batari Durga bermata satu serta memegang bendera yang
berkibar, dibuat oleh kanjeng Susuhunan Mangkurat pertama di Kartasura.
Setelah selesai dalam membuat wayang lalu diberi candra sangkala warna
ngasta benderaning dewa, yang menunjukkan candrasengkala tahun 1621
– jadi sekarang sudah ada 1888 – 1625 = 267 tahun.
7. Wayang danawa perempuan Kenyawandu, dibuat oleh Kangjeng Pangeran
Hadipati Puger di Kartasura. Setelah selesai dalam membuat wayang lalu
diberi candra sangkala, buta nembah rarasing nata, menunjukkan
candrasangkala tahun 1625 – jadi sekarang sudah ada 1888 – 1625 sudah
ada 263 tahun.
8. Wayang danawa Congklok, yang dimaksud adalah Buta Terong, dibuat
oleh Kangjeng Susuhunan P.B. yang ke II di Kartasura. Setelah selesai
dalam membuat wayang lalu diberi candra sangkala buta lima mangsa
manusia, menunjukkan candrasangkala tahun 1655 – jadi sekarang sudah
ada 1888 – 1655 sudah ada 233 tahun.
Ada lagi candrasangkala Buta Rambut Geni yang dinamakan Jalu buta
tinata ing ratu, tahun 1553 – karena buta Rambut Geni itu tangan dan kakinya
diberi jalu (taji). Ada lagi candrasangkala buta Alasan memegang badana hanya
memakai cawat saja (artinya tanpa badan) menunjukkan candrasangkala wayang
buta ing wana tunggal, tahun 1556.
Ada lagi candrasangkala Batari Durga memakai baju dan sepatu memakai
keris yang dirambati oleh tumbuh-tumbuhan di hutan, candrasangkala Wayang
misik rasaning bidadari, tahun 1965 – dibuat oleh P.B. yang ke II. Ada lagi R.M.
Sayid, juga membuat candrasangkala memet berbentuk gambar wajah wayang
satu kotak dibuat jadi satu berwujud satu gambar. Ini berbeda candrasangkala tapi
suryasangkala artinya tahun masehi, dinamakan obahing tatanan gambar kang
urip, menunjukkan tahun suryasangkala 1956 – yaitu tahun masehi. Itu
menggambarkan berbagai macam kebangsaan yang memiliki satu tekad, seperti
ada yang memerintah lalu berkumpul jadi satu, mari bergotong royong, hidup
rukun di dunia supaya tentram (Persatuan bangsa dapat mencapai perdamaian
dunia). Itulah maksud dari gambar wajah wayang purwa tadi.
E. Golongan-Golongan Bentuk Wayang
Wayang Bokongan
Yang dimaksud wayang bokongan itu wayang yang bentuk pantat dibuat
bulat atau lonjong seperti misalnya Harjuna, Kresna, pantatnya bulat. Kalau
Yudistira dan Drupada pantatnya lonjong.
Wayang Jangkahan
Wayang jangkahan itu ada dua macam, yaitu jangkah wiyar dan jangkah
ciyut. Jangkah wiyar misalnya Gatutkaca, Baladewa, kalau Ongkawijaya dan
Bambangan termasuk jangkah ciyut.
Wayang Dugangan dan Bapangan
Wayang dugangan dan bapangan itu kebanyakan adalah gecul serta gusen,
seperti Pragota, Dursasana, patih Juwalgita, Durmagati, dan seterusnya sejenis
wayang gecul.
Wayang brongsong
Wayang brongsong adalah semua wayang yang wajahnya diwarnai prada
atau dibrom.
Wayang Gendong
Wayang yang rambutnya terurai sampai di punggung, itu yang dimaksud
wayang gendong.
Wayang sampir
Wayang yang memakai slendangan disebut wayang sampir.
Wayang Lanyapan
Wayang lanyapan adalah semua wayang yang nglangak/andangak
(menengadahkan kepala) seperti Samba, Narayana dan sebagainya.
Wayang Longok
Wayang longok seperti Nangkula, Sahadewa, Kresna, semua wayang yang
tidak begitu mendo’ak, itulah yang dimaksud wayang longok.
Wayang Luruh
Wayang luruh adalah semua wayang yang menunduk (tumungkul) seperti
Harjuna, Yudistira, Ongkawijaya dan semua wayang yang menunduk dinamakan
wayang luruh.
Wayang Oyi
Wayang estren (wanita) luruh disebut Oyi.
Wayang Endel
Estren lanyapan disebut Endel.
Wayang Gusen
Wayang gusen, yaitu wayang yang kelihatan gusi dan taringnya.
F. Tentang Mata Wayang
Mata Wayang itu ada tujuh macam:
1. Mata nggabah
Seperti Harjuna, Kresna, Karna, itu matanya gabahan, bentuk mata seperti
gabah (butir padi)
2. Mata kadelen seperti Baladewa, Setyaki, patih Hudawa, bentuk mata
seperti kedelai.
3. Mata kadondongan seperti Kartawarna, Sengkuni, emban Kenyawandu,
bentuk matanya seperti buah kedondong.
4. Mata pananggalan seperti buta Cakil, Batara Narada, Pandita Durna,
bentuk matanya seperti rembulan tanggal satu.
5. Mata kelipan, seperti buta Alasan, Semar, Buta Galiyuk, matanya kelihatan
hanya bulat separuh.
6. Mata telengan, seperti Gatotkaca, Gandamana, Werkudara, Duryudana,
bentuk mata bulat tidak kelihatan kelopaknya.
7. Mata plelengan, seperti Buta Raton, sejenis buta yang kelihatan bulat
matanya, Burisrawa, Hindrajit, bentuk mata bulat kelihatan kelopaknya.
Kalau Togog, Bagong, matanya bernama plolon (artinya mlolo, melotot)
kelihatan bulat besar.
Bedahan Mata Ada Tiga macam:
1. Jaitan
2. Blarak Ngirit
3. Brebes
Bentuk Mata
Bentuk mata itu bisa untuk mengetahui watak wayang.
1. Misalnya wayang yang matanya gabahan luruh seperti Janaka, Bambangan
dan sebagainya, tingkah lakunya halus, tajam, tangguh trampil dalam
berperang.
2. Wayang lanyapan mata gabahan seperti Narayana, Narasoma, Hadipati
Karna dan sebagainya perilakunya tangguh, trengginas, tangkas dalam
perang.
3. Yang matanya kadelen seperti Baladewa, Setyaki, Seta, dan sebagainya
perilakunya tangguh, trengginas.
4. Yang bermata kadondongan seperti Citraksa, Citraksi, Kartawarma dan
sebagainya tindakannya lincah tapi sering berbuat tidak baik.
5. Yang matanya telengan seperti Harya Sena, Antareja, Gatutkaca,
Gandamana perilakunya tangguh, kalau marah menakutkan, kalau sedang
marah sangat berbahaya.
6. Sedangkan wayang bapangan dugangan mempunyai watak sendiri seperti
Dursasana, Pragota, Burisrawa, Darmagati, dan sejenisnya perilakunya suka
memaksa, senangnya gegeculan dan sembrana.
7. Wayang sejenis buta, wataknya menakutkan seperti polah tingkah macan,
mengaum-aum, menubruk kesana-kemari, berani tapi kurang perhitungan.
Wayang Budren
Wayang budren itu wayang yang wajahnya diukir dengan corak modangan
yang menunjukkan corak gambar bulu tubuh atau kumis kelihatan bagus. Wayang
budren itu wajahnya pasti hitam, bentuk hidungnya bentulan, seperti: Gatutkaca,
Bima muda dan tua, Druyudana, Jayadrata, Gandamana, Antasena, Antareja, dan
sebagainya. Wayang budren yang ada hanya di Surakarta, selain wayang
Surakarta hanya diberi kumis dengan cat merah saja.
Wayang Rapekan
Wayang rapekan kebanyakan adalah sebangsa patih dan punggawa seperti
Patih Hudawa, Patih Sangkuni, buta Cakil, buta Pragalba, ada lagi para ratu
sabrangan yang rapekan. Kalau wayangnya lengkap maka ditambah dengan para
Pandawa rapekan sebagai persiapan untuk lakon Cakranagara.
Wayang Bajujag
Wayang bajujag adalah wayang yang tidak bisa diatur besar kecilnya.
Pembuatannya tidak memakai pola, kebanyakan dikumpulkan satu dua, mencicil
dari sedikit asal berwujud wayang, jadi wayangnya campuran sehingga kelihatan
berbeda-beda, hanya mencari sedapatnya asal bisa lengkap. Jadi kalau diatur atau
disumping kelihatan naik turun tidak bisa urut bahunya mulai dari sumpingan
depan sampai belakang, atau palemahanya juga tidak bisa urut.
Wayang Ribig
Kalau wayang ribig berkebalikan dengan wayang bajujag. Wayang ribig
itu wayang yang baik urut, kalau disumping tidak kelihatan naik turun, bisa bagus
urutannya, pundak dan palemahannya.
Wayang Murgan
Ada lagi wayang murgan, aarti mengambil dari kata mirunggan, jadi aarti
wayang tambahan, berbeda wayang yang baku, atau wayang susulan perlu untuk
sambutan, dimaksud wayang murgan.
Wayang Kanteb
Wayang kanteb, semua wayang yang kasutangen artinya kakinya
kepanjangan kurang sesuai dengan badannya.
Wayang Jujudan
Wayang jujudan, semua wayang yang ditambahi ukurannya, jadi lebih
besar dari polanya.
G. Bentuk Hidung Wayang
1. Hidung bentuk Wali Miring, bentuk hidungnya seperti pangot kecil alat
untuk mengukir warangka keris, misalnya wayang Bambangan Janaka,
Kresna, Samba dan lainnya.
2. Hidung bentuk bentulan, bentuk hidungnya seperti pangot kecil, misalnya
Gatutkaca, Gandamana, Werkudara, dan sebagainya
3. Hidung pangotan, bentuknya hidungnya seperti sedangkan pangot,
misalnya Boma, Kangsa, Hindrajit semua yang gusen dan sebagainya.
4. Hidung palokan, bentuk hidungnya seperti isi mangga, misalnya Buta
Raton, Pragalba yang pasti adalah jenis buta.
5. Hidung Bruton, bentuk hidungnya seperti brutu (pantat ayam), misalnya
Bagong, Tumenggung Jolowok, Batara Patuk.
6. Hidung Sumpel, bentuk hidungnya kelihatan menyumpal misalnya Semar,
Limbuk.
7. Hidung Terong Glatik, bentuk hidungnya seperti terong glatik bulat,
misalnya Gareng.
8. Hidung Cempaluk, bentuk hidungnya seperti buah asam yang masih muda,
misalnya Petruk.
9. Hidung Terong Kopek, bentuk hidungnya seperti buha terong, misalnya
Buta Congklok, sampai dinamai Buta Terong karena terbawa bentuk
hidungnya yang seperti buah terong kopek.
10. Hidung pisekan, bentuk hidung kelihatan pesek, misalnya, Togog, Belung,
serta sebangsa Kera.
BAB VI
JENIS-JENIS PEMENTASAN WAYANG
A. Wayang Panggungan
Yang dimaksud wayang panggungan adalah wayang yang ditata
ditancapkan di gadebog sebelah kiri dan kanan tempat duduk dalang kalau sedang
memainkan wayang, atau di sebelah kanan biasanya ditancapkan di gadebog yang
ada di atas tutup kotak wayang, juga diatur dengan bentuk barisan mulai dari yang
besar sampai kecil, sebagai penyeimbang yang sebelah kanan. Sedangkan tempat
kosong yang ada di tengah hanya untuk menancapkan satu buah kayon
(gunungan), gunanya untuk menancapkan wayang yang akan keluar dalam lakon.
Kalau wayangnya banyak kadang-kadang sampai di gadebog yang ada di bawah.
Cara penataannya, wayang itu diurutkan menurut wayang yang sudah
ditentukan penataannya, sedangkan urutan menata wayang panggungan tadi
disebut nyumping, karena bentuk penataannya kalau dilihat dari kejauhan
kelihatan seperti sumping, jadi semua wayang yang keluar ditancapkan di
gadebog dekat dengan kelir tadi disebut wayang panggungan. Kebanyakan adalah
wayang katongan, para ratu atau para satria dengan para putri dan putran,
ditancapkan untuk memperindah kelir, ditempatkan di sebelah kiri dan kanan agar
kelihatan edi peni dan indah jika dilihat.
B. Wayang Dugangan dan Ricikan
Semua wayang punggawa kera dan buta yang tidak ikut disumping disebut
wayang dugangan, kata dugangan diambil dari tingkah laku wayang kalau sedang
dimainkan. Mereka tidak berperang dengan senjata, tapi pasti saling menendang,
saling meninju, dan saling buang. Kalau sudah kalah, yang kalah baru sesumbar
akan menggunakan senjatannya. Itu semua disebut wayang dugangan.
Yang dimaksud wayang ricikan seperti Gunungan (kayon), prampogan,
kereta, senjata (gaman) dan sebangsa buruan. Disebut ricikan karena mengambil
dari kata angracik, sebagai pelengkap untuk memainkan suatu lakon. Wayang
ricikan itu pasti dipakai. Misalnya wayang satu kotak wayang ricikannya kurang
satu seperti Gunungan, Prampogan, Kuda, dan senjata (gaman), tentu tidak akan
bisa untuk dimainkan. Tersebut manfaat wayang ricikan yang sudah pasti dipakai.
C. Wayang Buta Prepatan
Yang dimaksud wayang buta Prepatan itu kebanyakan adalah wayang
Murgan, yaitu wayang susulan, jadi berbeda dengan wayang baku. Kebanyakan
wayang danawa Sangkalan atau wayang buta Cadra sangkala seperti Buta Cakil
(Panyareng), buta Rambutgeni, danawa Emban Kenyawandu, buta Endog, buta
Terong (Cungklok), kalau sekarang ditambahi buta Gombak (Galiyuk atau kobis).
Wayang danawa Prepatan tadi untuk melengkapi lakon ketika ada adegan para
ratu sabrangan. Buta Prepatan tadi dijadikan sebagai utusan, tiga danawa tadi sami
diutus untuk pergi ke tanah Jawa. Wayang danawa yang diperlukan adalah Togog
dan Sarahita sebagai cucuk lampah. Atau diperlukan dalam perang gagal atau
perang kembang, perang kembang artinya perang yang tidak ada yang mati.
Dinamakan danawa Prepatan karena dalam perang, tiga danawa berperang
empat kali, yang pertama buta Cakil perang lalu melarikan diri mencari bantuan.
Yang kedua buta Rambutgeni atau Pragalba, terserah yang mana yang disenangi,
membantu perang sampai mati. Perang yang ketiga buta Galiyuk atau buta Endog
atau buta Terong, salah satu mana yang disenangi, melanjutkan perang sampai
mati. Sedangkan perang yang keempat, buta Cakil kembali lagi maju perang terus
sampai mati. Tersebut yang dimaksud wayang danawa Prepatan.
D. Wayang Sangkuk
Yang dimaksud wayang sangkuk adalah semua wayang yang tidak lurus
bentuknya, jadi mulai pinggang naik agak dibuat maju sedikit, jadi wayangnya
kelihatan agak maju sedikit seperti orang agak bungkuk, jadi kata sangkuk di sini
mempunyai maksud, mulai di pinggang atau naik dibuat agak maju seperti orang
yang agak bungkuk, maksudnya adalah untuk menunjukkan rasa tatakrama, begitu
maksud wayang dibuat sangkuk.
Wayang sangkuk dibuat ketika jaman Sinuhun Sultan Agung
Anyakrakusuma di Mataram, dengan maksud mempunyai rasa kesusilaan dan
tatakrama hanoraga (hanoraga artinya merindahkan diri), ketika tahun candra
1553 – tahun Jawa. Wayang wungkuk kebanyakan adalah wayang kuna, awalnya
wayang dibuang sangkuknya ketika jaman Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B. yang
ke II di Surakarta, yang mengubah bentuknya Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati
Anom yang ke II, bentuk wayang dibuang sangkuknya, ditatah oleh Ki
Cermopangrawit dengan Kyai Gondo. Ketika tahun 1697 wayang sangkuk adalah
kebalikan dari wayang andeteng, wayang andeteng nantinya masih lazim dipakai.
Tentunya tidak terlalu andeteng, hanya sedikit saja. Dibandingkan dengan lainnya,
wayang yang agak andeteng itu kebanyakan logok mempunyai tindak tanduk yang
kelihatan gaib, misalnya; Suryoputro, Hadipati Karna, Ratu Sabrang Bagus,
Bambangan yang tanpa celana panjang. Andeteng maksudnya mempunyai rasa
gaib.
E. Ukuran Wayang
Wayang kaper
Yang dimaksud wayang Kaper itu adalah wayang Purwa tapi dibuat
ukuran kecil. Wayang kaper yang ukurannya besar sendiri, misalnya wayang Buta
Raton atau Werkudara, besarnya hampir sama dengan Kresna atau Harjuna dalam
wayang pedalangan yang umum. Jika diurutkan ke bawah, wayang bambangan
kira-kira sebesar putren kecil, biasanya hanya untuk mainan anak kecil yang
senang dan mempunyai dasar pengetahuan pedalangan.
Yang suka membuat wayang kaper itu biasanya orang yang kaya serta
suka pada tontonan wayang kulit sekalian untuk mendidik putranya. Jadi hanya
karena senang pada wayang kulit sampai tidak terasa mengeluarkan banyak biaya,
hanya untuk menyenangkan hati. Makanya wayang kaper itu kebanyakan komplit
lengkap sampai wayangnya sisa, rangkap-rangkap sampai lebih dari 300an buah
karena tidak mengerti tentang peran masing-masing wayang, hanya menuruti
keinginannya saja.
Wayang Kijangkencanan
Wayang Kijangkencana itu juga termasuk wayang purwa. Yang dimaksud
Kijangkecanan itu adalah nama ukuran wayang atau wayang kencanan, artinya
ukuran sedang, tidak kecil tidak besar, jadi mengambil ukuran tengah. Biasanya
yang besar sendiri dalam wayang kencanan tadi, msialnya wayang Buta Raton
atau Tuhuwasesa yang disumping paling depan, ukuran wayang mengambil
ukuran wayang Gatutkaca dalam pedalangan umum. Begitu seterusnya, disebut
wayang ukuran kencana atau wayang tanggung. Yang suka pada wayang
tanggung itu kebanyakan hanya orang yang kaya serta senang memiliki wayang
purwa.
Maksudnya agar bisa ringan jika dimainkan kyai dalang kalau sedang
memainakn wayang, jangan sampai kelihatan ngoyo dalam memegang wayang
kalau dilihat orang banyak. Begitu maksud dibuatnya wayang tanggung yang
diberi nama Kijangkencanan tadi. Adapun wayang bernama Kijangkencanan
ketika jaman Sinuhun Ratu Tunggul di Giri, ketika tahun candra 1478 tahun Jawa,
diberi candra sangkala memet berupa wayang Dewa Batara Guru mengendarai
sapi andini, salira dwija jadi raja. Itu adalah tahun 1478.
Wayang Pedalangan
Wayang pedalangan artinya ukuran umum (normal biasa) ukuran lumrah
bagi pawayangan pada umumnya yang umum dipakai para dalang kalau akan
memainkan wayang. Jadi yang dimaksud wayang pedalangan adalah wayang
dengan ukuran lumrah, dimana-mana bisa urut ukurannya.
Wayang besar (Gede)
Wayang besar biasanya disebut Jujudan, ditambahi ukurannya menurut
lebarnya palemahan, menurut wayang yang dijujud. Misalnya wayang buta Raton,
yaitu menurut berapa lebarnya palemahan Buta Raton tadi, begitu seterusnya.
Wayang besar itu kalau untuk umum tidak biasa, selain kebesaran juga
kelihatan terlalu besar memenuhi tempat, tidak seimbang dengan keadaan tempat.
Bagi yang memainkan, yaitu dalangnya, juga kelihatan susah keberatan wayang,
makanya tidak lumrah menurut umum. Wayang besar biasanya hanya digunakan
di Kraton, bisa kelihatan komplit selaras dengan keadaan tempat. Kalau sudah
dipajang kelihatan indah. Yang masih ada sekarang hanya tinggal untuk tontonan
di museum Radyapustaka di Surakarta. Jadi wayang besar itu biasanya hanya
untuk di Kraton, agar jika untuk digelar tidak kelihatan kecil dan seimbang
dengan keadaan tempat.
Wayang-wayangan
Yang dimaksud wayang-wayangan itu adalah tiruan wayang, artinya
wayang yang tidak mempunyai wanda. Jadi wayang yang hanya sekedar berwujud
wayang sebagai alat untuk mencari pekerjaan. Wayan-wayangan itu kebanyakan
bajujag tidak bisa rata karena wayang satu kotak isinya bermacam-macam
asalnya, dikumpulkan dari satu dua dan lagi membelinya dari tukang penatah
yang berbeda-beda. Jadi garapannya tentu saja tidak bisa sama, kelihatannya jadi
berwarna-warni. Kebanyakan tatahannya tidak luwes karena tercampur panatah
yang sedang belajar, sedangkan kulitnya juga hanya sedapatnya, tidak mencari
mana yang baik. Artinya, yang tebal kadang terlalu tebal, yang tipis kadang
sampai seperti kertas. Pewarnaannya juga begitu, hanya sekedar kelihatan
gemerlap, catnya hanya memakai ancur kulit bukan ancur lempeng (kripik).
Makanya kalau terkena hawa dingin lalu lengket mudah luntur, tidak bisa
dimandikan, makanya kelihatannya lusuh.
Gapitnya ada yang hitam, ada yang lugasan, tapi kadang ada satu dua yang
diberi gapit tanduk hitam. Adapun wayang yang biasa dipakai itu jumlahnya tidak
banyak, kira-kira hanya 125 buah, juga ada yang kurang dari 110 buah. Sudah
biasa bagi wayang di pedesaan, kadang ada yang menamakan wayang gunung,
karena wayang itu biasanya digunakan untuk mengamen di pedesaan sampai
sampai di pegunungan. Wayang-wayang itu kadang-kadang tercampur dengan
wayang yang baik, artinya wayang yang memang baik yang dibuat oleh para luhur
atau orang di kota yang suka wayang.
Wayang di pedesaan itu malah lebih banyak tersebar, hampir sepanjang
pesisir utara dan selatan yang suka wayang membeli wayang itu. Selain harganya
murah, juga sudah bisa mencukupi untuk mencari penghasilan, sudah bisa untuk
menyangga hidup. Para dalang di pedesaan atau para dalang di pesisir kalau
mengumpulkan wayang hanya dengan membeli dari satu dua mencicil dari
sedikit. Pembayarannya dengan uang sisa jika ada tanggapan, berapa sisanya
menurut kekuatannya sendiri. Tanggapan di pedesaan biasanya harganya murah.
Wayang-wayangan tadi kadang ada yang menatah sendiri untuk segera
melengkapi wayang yang untuk mencari uang. Ada pula yang memakai cara
tukar-menukar wayang segala. Yang kalah bagus menambah uang, makanya
wayangnya kebanyakan tidak bisa runtut, campuran, jadi garis besarnya hanya
mencari lengkap saja.
F. Wayang Dolanan
Wayang dolanan itu wujud dan coraknya hanya sekedar bersifat wayang,
tanpa ukuran. Artinya di sini, besar kecilnya tidak bisa ditentukan sebab tidak ada
polanya, dalam membuat gambar hanya sedapatnya saja asal bisa jadi wayang.
Biasanya dibuat dari kertas karton atau kertas dilem rangkap tiga atau mencari
kertas yang kuat. Pembuatannya ditatah tapi cara panatahnya dirangkap, kalau
kertasnya tipis sering sampai rangkap 10 lembar, jadi setengah kodi. Penjualannya
dengan cara kodian seperti kain. Wayangnya juga dicat tapi hanya empat macam
yaitu merah, hitam, kuning, dan hijau. Pengecatannya ada yang hanya sebelah,
ada yang bolak-balik (kiri kanan), kadang ada yang tangannya masih irasan, juga
sudah ada yang sopakan. Yang tangannya masih irasan wayangnya bertolak
pinggang atau malangkadak, sedangkan yang tangannya sopakan dijahit dengan
benang agal, jadi bisa lebih hidup. Bagian alusan dicat dengan cat pudar, cat ancur
lin (atau ancur lem kayu) ada yang dibrom, diberi gapit seperti tusuk sate,
pegangannya dari bambu yang dibelah terus dipakai menggapit diikat dengan tali
benang, terus diruncingkan dan ditancapkan di gadebog, lurus tanpa lengkung.
Biasanya dijual ke pasar kalau hari pasaran atau di Pasarmalam serta di
Sekaten, begitu seterusnya. Biasanya yang membeli adalah anak dari pedesaan.
Selain harganya murah juga sudah kelihatan bagus. Yang dimaksud wayang
pasaran artinya penjualannya hanya di pasar. Kebanyakan tentu di pasar pedesaan
karena yang senang bermain wayang seperti itu kebanyakan hanya anak di
pedesaan saja.
Wayang bocah angon (anak gembala) itu dibuat dari batang rumput
dondoman yang kuat. Rumput itu dibuat seperti wayang dengan cara yang
bermacam-macam. Kalau sudah jadi lalu dikumpulkan biasnya sebanyak 10 buah,
kalau lebih dari 10 tentu sudah bosan, lalu diguankan sebagai sebagai selingan
waktu menggembala kerbau atau sapi di padang rumput. Ada yang membuat
sambil bercerita, yang sudah jadi lalu dimainkan seperti dalang memainkan
wayang, diberi musik dari mulut saja, ramai terlihat senang bercanda bersama
teman.
Yang dimaksud di sini adalah wayang ketika jaman Kartasura sampai
jaman Demak ketika Raden Patah menjadi ratu di Demak, tapi sudah tidak ada
buktinya. Jadi wayang kuna itu jelas sudah hilang tidak ada wujudnya lagi, hanya
tinggal dalam cerita dongeng saja yang sudah ditulis dalam serat-serat
pengetahuan tentang wayang. Yang masih ada sekarang hanya tinggal wayang
jaman Surakarta, yang bisa tersebar sampai ke seluruh dunia.
Dimana-mana, setiap Kasultanan biasanya mempunyai wayang sendiri.
Bentuk berbeda-beda, disesuaikan dengan daerahnya sendiri. Misalnya wayang
Cirebon, wayang Yogyakarta, wayang Surakarta, semua itu wayang kulit tapi
bentuknya berbeda-beda, mempunyai bentuk sendiri. Makanya wayang di
sepanjang pasisir itu sabagian besar bentuknya tidak beraturan karena tercampur
wayang dari mana-mana, jadi tidak bisa itutlu mengambil bentuk yang sama.
Wayang campuran yaitu wayang dari bermacam-macam tempat dikumpulkan lalu
dicampur jadi satu.
BAB VII
PENJELASAN SERAT SASTRAMIRUDA
A. Wayang Ron Tal
Pohon tal itu bentuknya seperti pohon mangga, daunnya agak kuat serta
panjang dan lebar. Daun itu biasanya digunakan untuk tempat menulis pada jaman
kuna, juga bisa digambari. Daun tersebut kuat disimpan lama. Itulah guna daun tal
ketika jaman kuna sebelum ada kertas. Wayang Ron Tal itu, wayang yang dibuat
dari daun tal, digambar dengan alat berbentuk barang seperti paku besar
diruncingkan atau kalam aren yang gagagnnya diruncingkan. Yang digunakan
untuk pola gambar adalah gambar dari candi Panataran, disalin satu-satu
disamakan dengan bentuk gambar-gambar yang dibutuhkan. Tapi setelah jadi
gambarnya tidak ditatah keluar seperti wayang kulit sekarang. Jadi tidak dicat,
hanya berwujud gambar saja lalu disimpan di kandaga (kotak berukir) sebagai
tempat untuk penyimpanannya. Kalau diambil dan dikeluarkan satu-satu lalu
diceritakan menurut lakonnya, tanpa kelir gadebog kepyak serta blencong, hanya
dengan duduk menghadap kotak sambil melihat gambaran yang keluar dari kotak,
hanya mengambil cerita dongengan babad saja tanpa suluk. Kalau sudah merasa
capek lalu bubar. Adanya wayang Ron Tal ketika jaman Prabu Jayabaya di negara
Mamenang ketika tahun surya 861.
Wayang itu hanya sampai jaman Prabu Suryahamilihur di negara Jenggala.
Setelah pindah kraton ke Pajajaran lalu ada wayang beber, ketika tahun surya
1166 – sedangkan wujud gambar wayang sama seperti manusia, hanya sampai
jaman Majapahit terakhir. Setelah sampai jaman Demak, bentuk wayang diubah
semua menjadi miring, hidung, badan, tangannya serba panjang. Wayang Ron Tal
sekarang sudah tidak ada.
B. Wayang Beber
Wayang beber berbeda dengan wayang yang dipakai mengamen, lalu
beber beber di jalan-jalan itu. Kata beber di sini maksudnya mempunyai digelar,
karena wayang tersebut kalau akan keluar diceritakan lalu digelar agar bisa dilihat
orang banyak, menurut cerita lakon wayang tadi.
Wayang Beber itu hanya berbentuk gambaran wayang purwa atau wayang
Gedog yang digambar di atas kertas. Panjangnya hanya sadepa lebarnya 70 cm, di
kiri kanan diberi alat kayu bulat sebagai untuk merentangkan, lalu ditancapkan di
deling yang dilubangi sebagai gadebognya. Kalau sudah digelar di situ ada
gambaran apa, Ki Dalang lalu menceritakan kisah wayang itu. Kalau Dalangnya
bisa membanyol, meskipun wayangnya tidak bisa digerakkan, yang menonton
akan tetap tertawa karena kelucuan sang dalang.
Wayang beber biasanya hanya untuk ruwatan (Murwakala). Adanya
wayang beber ketika jaman Pajajaran tahun 1166 – tahun surya, sampai Majapahit
terakhir. Setelah jaman Raden Patah menjadi ratu Ratu di Demak tahun 1440 –
tahun candra, wayang beber lalu diganti kulit sampai sekarang ini. Ketika jaman
Demak sampai Mataram, wayang Beber masih dimainkan tapi hanya di kota
pinggiran dan di pedesaan saja.
Wayang beber dibuat dari kertas Jawa (kertas Ponorogo) yang kuat,
warnanya seperti kertas layang-layang. Setelah sudah banyak lawon (kain mori)
lalu diganti semua agar kuat disimpan serta awet. Wayang beber sekarang sudah
tidak dimainkan untuk di umum. Jadi sudah mati, tidak ada, dan lagi tidak setiap
orang punya punya wayang beber tadi. Kebanyakan hanya menyimpan wayang
kulit saja sampai dua atau tiga kotak, jadi terang wayang beber sudah mati tidak
dimainkan lagi.
C. Serat Dasanamajarwa
1. Arti Nama Buta
Buta : artinya besar atau mamak, serta sering mengeroyok dan
merebut.
Danawa : artinya dekat dengan napsu, keturunan Batara Danu
Ditya : artinya orang pilihan, serba bisa.
Raksasa : artinya sebangsa bregasakan (beringas)
Raseksa : artinya Buta laki-laki.
Raseksi : artinya buta wanita atau Diyu.
Wil : artinya angarad atau angeret.
2. Arti Nama Kera
Kera : artinya kaya suara
WRE : artinya bisa anjelih
Kapi : artinya kaya bulu
Wanara : artinya hewan berwujud manusia
Palwaga : artinya serba trampil
Palgasa : artinya serba mengerti
Palwaga : artinya serba cepat
Rewanda : artinya pemimpin suara
Kutila : artinya buruk bentuknya
Kencung : artinya kera wanita
D. Nama Sebutan Pandita
Pandita : artinya pepunden, dijunjung tinggi dimana saja berada.
Dwija : artinya angesti terus lahir batin
Dwijajawara : artinya melakukan dua perkara, yang pertama memuja dewa, yang
kedua meminta keselamatan.
Resi : artinya suci.
Wasista : artinya lebih awas, mengetahui sebelum terjadi
Sayuti : artinya mesu cipta
Pandita : artinya guru besar yang serba putus, wajib disebut panembahan.
Rerehan pandita
1. Ajar : artinya wajib mengajari, juru ajar
2. Wasi : artinya juru pangadilan, menyelesaikan perkara
3. Janggan : artinya yang menjadi juru tulis
4. Manguyu : artinya yang bertugas menabuh genta ketika dalam acara
pemujaan
5. Putut : artinya tukang merawat sanggar palaggatan, atau
bertugas memasang alat sesaji pemujaan.
6. Cekel : artinya tukang juru taneman, atau jagi rumeksa pategilan,
awon baik ada tetanggelanipun cekel.
7. Cantrik : artinya yang bertugas melayani sebarang pekerjaan, atau
suruhan.
8. Uluguntung : artinya lurah kampung, yang bertugas mengatur
semuanya
9. Geluntung : artinya orang sudah memiliki rumah bertiang empat,
pekerjaannya mencari rumut, mengambil kayu atau air.
10. Indung-indung : artinya orang yang sedang mondok, tugasnya mencari
rumput di hutan di sekitar gunung.
Rerehan pandita perempuan
1. dungik : artinya orang pingitan yang akan jadi istri kyai Ajar,
tugasnya bercerita tentang lakon jaman kuna yang bisa
menjadi teladan bagi para perempuan, yang biasanya
cerita dongeng.
2. Mentrik : artinya juru rawat sebarang pakaian, makanan dan
sebagainya.
3. Sontrang : artinya dukun, menghilangkan penyakit atau merawat
putra dan cucu Ki Ajar.
4. Dayang : artinya tukang menebar bunga di sanggar palanggaran.
5. Bidang : artinya menjadi inya yang menyusui putra dan cucu Ki
Ajar.
6. Endang : artinya pesuruh.
7. Kaka-kaka : artinya perempuan yang memasak (koki)
8. Abon-abon : artinya tukang sapu atau tukang cuci, membersihkan
segala sesuatu.
9. Abet-tabet : artinya tukang mengambil air atau mencari sayuran
10.Obatan : artinya perempuan yang menyiapkan sasajen atau
membeli ke pasar.
11.Wiku : artinya petunjuk ilmu pengetahuan.
E. Wayang Srambahan
Jumlah wayang purwa yang umumnya digunakan dalam pedalangan di
Surakarta. Wayang purwa pedalangan yang penting harus memilih wayang yang
luwes untuk srambahan, artinya bisa sumrambah, wayang srambahan bisa
mempunyai nama tiga atau empat. Misalnya wayang Harjuna slendangan bisa
bernama Sakutrem, Kumajaya, Rama Regawa, bisa jadi Palasara. Itulah tujuan
dalang dalam membuat wayang srambahan sampai bermacam-macam beberapa
wayang agar bisa untuk mengurangi jumlah wayang. Sedikit sudah bisa
mencukupi, begitu maksudnya para dalang.
Jumlah pemilihan wayang oleh dalang seperti di bawah itu:
Sumpingan kanan:
1. Kayon (Gunungan)
2. Prabu Tuhuwasesa
3. Raden Wrekudara (kuning)
4. Raden Wrekudara (hitam)
5. Raden Bratasena (kuning)
6. Raden Bratasena (hitam)
7. Raden Gandamana
8. Raden Antareja
9. Raden Gatutkaca (kuning)
10. Raden Gatutkaca (hitam)
11. Raden Antasena
12. Raden Hanoman
13. Batara Guru
14. Prabu Rama (srambahan)
15. Prabu Kresna (kuning)
16. Prabu Kresna (hitam)
17. Prabu Yudistira. Amarta
18. Raden Sakutrem (srambahan)
19. Raden Harjuna
20. Raden Harjuna
21. Raden Harjuna
22. Raden Suryaputra
23. Raden Kuntadewa Amarta
24. Raden Premadi
25. Raden Premadi
26. Kumajaya (Premadi slendangan srambahan)
27. Raden Nangkula
28. Raden Sahadewa
29. Batari Durga
30. Dewi Sarpakanaka (srambahan)
31. Dewi Banowati
32. Dewi Jembawati
33. Dewi Kunti
34. Dewi Dropadi
35. Dewi Sembadra
36. Dewi Srikandi
37. Dewi Setyawati (srambahan)
38. Dewi Ratih (srambahan)
39. Dewi Setyaboma (srambahan)
40. Dewi Pregiwa (srambahan)
41. Dewi Pregiwati (srambahan)
42. Dewi Leskalauti (srambahan)
43. Dewi Anjani
44. Dewi Rara Ireng – Bratajaya
45. Bondanpaksadanu (Dewa ruci)
46. Putran (Bayen)
Sumpingan kiri:
1. Buta Raton makutan (Kumbakarna) srambahan
2. Buta Raton pagogon (Niwatakawaca) srambahan
3. Buta Raton muda ngore (srambahan)
4. Prabu Dasamuka
5. Harya Kangsa (srambahan)
6. Prabu Bomanarakasura (srambahan)
7. Prabu Baladewa
8. Prabu Baladewa
9. Ratu Sewu negara (srambahan)
10. Boma muda pagogon (srambahan)
11. Prabu Druyudanan
12. Raden Kurupati
13. Harya Kencaka
14. Harya Rupakenya
15. Harya Kakrasana
16. Harya Seta
17. Harya Utara
18. Harya Wratsangka (srambahan)
19. Harya Setyaki
20. Prabu Basudewa di Mandura
21. Prabu Kuntiboja (srambahan)
22. Rpabu Matswapati di Wirata
23. Prabu Drupada di Pancalareja (srambahan)
24. Prabu Salya di Mandraka
25. Prabu Bismaka di Kumbina
26. Prabu Setyajit di Nglesanpura (srambahan)
27. Prabu Karna di Ngawangga
28. Ratu Sabrang wok rapekan (srambahan)
29. Prabu Palgunadi (srambahan)
30. Dewa Srani (sabrang bagus srambahan)
31. Raden Haryaprabu Rukma (srambahan)
32. Raden Nayarana
33. Raden Drestajumna (srambahan)
34. Raden Samba
35. Raden Rukmarata
36. Raden Lesmana Mandrakumara
37. Raden Pancawala (srambahan)
38. Raden Wijanarka (srambahan) Bambangan
39. Raden Irawan
40. Raden Ongkawijaya
41. Raden Ongkawijaya
42. Raden Setyaka
43. Raden Pinten
44. Raden Tansen
45. Raden Wisanggeni
46. Raden Caranggana (srambahan)
F. Penggolongan Dudahan Wayang
Para Kurawa
1. Pandita Durna
2. Patih harya Sangkuni
3. Raden Dursasana
4. Raden Durmagati
5. Raden Jayadrata
6. Raden Citraksa
7. Raden Citraksi
8. Raden Kartawarma
9. Raden Burisrawa
10. Wasi Haswatama
Para Jawata dan para tapa
1. Batara Narada
2. Batara Brahma
3. Batara Hendra
4. Batara Yamadipati
5. Batara Patuk
6. Batara Tamboro
7. Batara Surya (srambahan)
8. Pandita Bagus (srambahan)
9. Pandita tua (srambahan)
10. Resi Bisma (srambahan)
11. Resi Abyasa
12. Resi Jembawan
Putran patih dan punggawa
1. Raden Hindrajit
2. Raden Trisirah (srambahan)
3. Raden Rajamala tidak rapekan (srambahan)
4. Patih Hudawa
5. Patih Tuhayata (srambahan)
6. patih Tambakganggeng (srambahan)
7. Patih Pragota rapekan (srambahan)
8. Patih Prabawa rapekan (srambahan)
9. Patih Sabrangan tanpa pakaian (srambahan)
10. Patih Sabrangan dengan pakaian (srambahan)
11. Punggawa Tatagan dengan pakaian (srambahan)
12. Punggawa Geculan Suramendem.
Para danawa
1. Danawa Pragalba
2. Danawa Cakil
3. Danawa Cakil mata kadondongan, ngore
4. Danawa Terong (Congklok)
5. Danawa Galiyuk (gombak)
6. Danawa Rambutgeni
7. Danawa Mondol buta kuna (srambahan)
8. Danawa Kenyawandu, emban
9. Danawa Wanan Laki-laki
10. Danawa Wanan perempuan
11. Danawa Wahmuka (srambahan)
12. Danawa Harimuka (srambahan)
Para wanara
1. Narpati Subali
2. Narpati Sugriwa
3. Raden Jaya Hanggada
4. Kapi Jembawan
5. Kapi Hanila
6. Kapi Hanala
7. Kapi Susena
Sebangsa dagelan
1. Semar
2. Gareng
3. Petruk
4. Bagong
5. Togog
6. Belung
7. Cantrik
8. Cangik
9. Limbuk
10. emban
11. Parekan (nyai tumenggung)
12. Parekan (nyai tumenggung)
13. Oemang Ontagopa
Wayang ricikan
1. Sokosrono (srambahan)
2. Lelepah
3. Ilu-ilu
4. Kepala besar mata lebar
5. Wedon
Wayang ricikan
1. Prampogan (jawa)
2. Prampogan (danawa)
3. Kereta
4. Kuda (Putih)
5. Kuda (hitam)
6. Gajah (Diponggo)
7. Macan
8. Naga (sawer)
9. Banteng
10. Kerbau
11. Burung Garuda
12. Babi
13. Burung Jawata
senjata
1. Gada rujakpolo
2. Bindi
3. Gada
4. Cakra
5. Nawala
6. Cupu
7. Cis
8. Trisula
9. Candrarasa
10. Alu gara
11. Badama
12. Bendo
13. Arit
14. Keris besar
15. Keris luk, Cakil
16. Keris luk
17. Keris lurus Satria
18. Keris lurus
19. Panah luk
20. Panah lurus
21. Panah lurus
Jumlah wayang semua ada 176 buah senjatanya ada 21 buah. Jadi itu jumlah
wayang yang biasanya digunakan dalam pedalangan. Dene jumlah wayang yang
sudah biasanya disebut di depan bisa lebih banyak jumlahnya, semua sampai
berjumlah 370, ini ditambah senjata dan peralatannya 30 buah, semua ada 400
buah, itu belum ditambah yang lain-lain, kalau ditambah kadang-kadang sampai
500 buah. Artinya kalau ditambah misalnya gapura kraton, pohon-pohonan,
bunga-bunugaan di taman, buruan yang kecil-kecil begitu seterusnya. Biasanya
orang membuat wayang itu kalau sudah suka kadang sampai lupa, sampai barang
yang tidak biasanya ada dalam pedalangan pun dibuat wayang. Makanya
wayangnya sampai banyak sekali.
Jika orang sedang suka membuat wayang. Membuat wayang purwa sampai
lengkap serta wandanya semua, yang kuat membuat hanya orang yang kaya serta
sedang suka wayang dan ceritanya. Biasanya malah tidak bisa menjadi dalang,
hanya orang yang sedang suka cerita lakon wayang dan bisa terwujud
keinginannya bisa memainkan wayang. Sedangkan para dalang kebanyakan hanya
secukupnya saja yang penting bisa dimainkan untuk mendalang. Itu bedanya
wayang yang dibuat pedalangan dengan yang dibuat oleh para hartawan yang suka
dengan cerita pedalangan.
BAB VIII
MENATA WAYANG PURWA
A. Digunakan dalam Hajatan
Carannya, yang lebih dulu dipasang yaitu gedebognya, tapakdara
berjumlah empat buah diatur berjajar empat sesuai dengan panjang pendeknya
kelir dilebihkan kurang lebih satu meter. Pada bagian yang dipasang gedebog
yang panjang dulu sebagai tempat untuk para ratu (Katongan). Panjangnya
gadebog kurang lebih ada 6 meteran, kalau kurang bisa disambung disatukan di
tengah pucuk dengan pucuk. sedangkan pangkal gadebog ada di ujung kelir kiri
dan kanan. Lalu ambil gadebog yang satu lagi yang berukuran pendek sekitar lima
meteran, dipasang agak rindah sedikit untuk tempat para patih dan punggawa
yang pada menghadap ratunya. Yang ini agak pendek beda antara 6 cm, lalu
ditancapi tapakdara yang lancip agak pendek. Gadebog lalu dijajar dua, yang
panjang di atas, yang pendek di bawah. Kedua gadebog tadi lalu diikat dengan tali
kecil supaya bisa rapat, rata dan bisa kuat jangan sampai bergoyang. Lalu mulai
menggelar kelir yang akan dipasang, lubang kelir yang akan dipasang kiri dan
kanan lalu dimasuki sligi.
Sligi itu terbuat dari kayu jati yang dibuat bulat panjangnya menurut lebar
kelir yang sebelah dilebihkan 25 cm. Yang di bawah diruncingkan supaya
gampang menancap di gadebog sedangkan yang di atas rata. Yang rata
dimasukkan pada blandar kelir. Blandar itu dibuat dari bambu wulung dilubangi
kiri kanan. Panjangnya menurut panjang kelir dilebihkan 40 cm di satu sisi. Cara
merentangkan kelir itu harus dua orang, memegangi sligi kiri kanan. Sligi yang
rata dimasukkan ke lubang blandar kiri dan kanan, lalu diangkat bersama-sama
dan ditumpangkan di gadebog atas, lalu direntangkan yang sama kencang. Sligi
yang lancip di kiri dan kanan lalu ditancapkan ke gadebog secara bersama-sama.
Kelir sudah kelihatan terbentang menancap di gadebog, lalu blandar kelir diikat
dengan tali kecil pada tiang rumah kiri dan kanan, yang kuat jangan sampai rubuh
kalau tersenggol-senggol orang atau bocah. Karena kalau nanggap wayang pasti
banyak bocah yang menonton di sana. Makanya pemasangan kelir harus kuat.
sekarang kelir bagian palemahan di bawah ditancapkan di gadebog
paseban yang sebelah atas mulai dari kanan ke kiri. Cara menancapkannya adalah
dengan diselipkan supaya kalau tertarik ke atas jangan sampai gampang copot.
Lalu ganti platet kelir yang ada di atas ditarik dengan tali pluntur atau tali kecil
yang kuat jangan sampai gampang putus. Tapi pluntur itu diikat di blandar kelir
yang pas ditancapkan sligi, lalu ditarik ke bawah dimasukkan dalam platet mulai
dari sebelah kanan dahulu. Pluntur lalu dikaitkan di blandar kelir lalu ditarik ke
bawah dimasukkan di platet lagi, ditarik ke atas diikatkan pada blandar, ditarik ke
bawah. Begitu berulang-ulang sampai di platet yang terakhir di sebelah kiri lalu
diikat yang kencang. Merentangkan kelir harus kencang dan rata, jangan sampai
kendor kelihatan bergelayut. Kelir jika kendor pemasangannya, untuk memainkan
wayang tidak enak. Bagi yang menonton kurang bagus. Makanya pemasangan
kelir itu sebisa mungkin kelihatan terentang bersih dan kelihatan rata, serta agat
sedikit mayat. Sekarang pemasangan kelir sudah selesai. Kotak tempat wayang
segera diletakkan di sebelah kiri, dirapatkan dengan gadebog tempat wayang yang
di bawah, kotak lalu dibuka tutupnya diletakkan di sebelah kanan, bersebelahan
dengan kotak yang ada di sebelah kiri tadi.
Sekarang ganti memasang tali atau rantai yang akan digunakan untuk
menggantung blencong lampu wayang. Tali atau rantai itu diikat di blandar
rumah. Blencong lalu digantungkan. Untuk mengukur jauh dekatnya dengan kelir
kira-kira dua jengkal lebih 45 cm dengan nyala blencong sedangkan dari atas
blencong digantungkan antara dua jengkal, diukur dari atas kepala dalang kalau
sudah duduk dibawah kelir. Duduknya dalang itu tidak berada persis di bawah
blencong tapi agak mundur sedikit agar wajah Ki dalang jangan sampai tersorot
oleh nyala blencong itu karena kalau sampai tersorot nyala blencong maka akan
silau penglihatannya pada wayang wayang.
B. Sumping Sekar Melati
Meyumping wayang kulit dengan benar tidak gampang. Nyumping artinya
dari kata sumping misalnya asesumping sekar melati, yaitu sepasang kembang
melati diselipkan di telinga (daun telinga kiri dan kanan), harus memilih bunga
yang besarnya sama dan sesuai dengan telinga. Tersebut arti kata sumping,
membuat agar agar bisa kelihatan seimbang jiia dilihat dari tengah-tengah.
Begitu juga menyumping wayang, yaitu menjajarkan wayang yang
ditancapkan di gadebog urut dari yang besar sampai yang kecil, pemasangan
wayang yang besar agak jauh dari kelir sedangkan wayang yang ukuran sedang
menempel di kelir, ditancapkan di gadebog atas, kiri dan kanan. Cara
mengaturnya harus dibuat sama supaya kalau dilihat bisa kelihatan timbang,
jangan sampai kelihatan berat sebelah. Jika wayangnya banyak yang tersisa,
disumping pada gadebog yang sebelah bawah, juga diurutkan seperti yang sudah
selesai disumping di sebelah atas tadi. Cara penataan kiri dan kanan dibuat sama,
jangan sampai kelihatan tidak seimbang jika dilihat. Jadi intinya kembali pada
kata sumping tersebut, harus imbang kiri dan kanan. Penataannya supaya
kelihatan rapi, urut bahu wayang yang besar terus diurutkan sampai wayang yang
kecil. Di sebelah kiri dan kanan wayang yang disumping tersebut di tengah diberi
sela untuk tempat wayang jika dalang sudah mulai memainkan wayang. Sela
tempat tadi lebarnya antara 180 cm, lebih lebar yang sebelah kiri. Sebelum
wayang mulai main, kayon (gunungan) ditancapkan di tengah kelir dulu. Cara
menancapkan wayang semua harus pas dengan palemahan kelir, kalau terlalu
dalam menancapkannya disebut kungkum, kalau terlalu ke atas disebut terbang,
makanya palemahan wayang harus bisa menumpang pas dengan palemahan kelir.
Cara penataan wayang itu yang paling atas pasti gunungan (kayon), lalu
wayang sumpingan sebelah kanan. Wayang yang paling besar yaitu Prabu
Tuhuwasesa (Werkudara jadi ratu) ditata sebagai wayang sumpingan sebelah
kanan. Kayon diambil dulu lalu ditancapkan di gadebog paseban atas di tengah
kelir pas dengan palemahan kelir. Kalau belum untuk menancapkan rapat dengan
kelir supaya kelihatan rajin. Lalu wayang bagian sumpingan kanan diambil
sekaligus dengan ebleknya keluar dari kotak lalu ditumpuk di atas tutup kotak
yang ada di sebelah kanan tempat duduk tempat duduk dalang, lalu diambil satu-
satu urut dari atas, Wayang yang paling besar pada sumpingan kanan yaitu Prabu
Tuhuwasesa (Werkudara jadi ratu) ditancapkan di dagebog atas. Terakhir, kelir
sebelah kanan agak keluar sedikit, lalu Wrekudara yang badannya gemblengan
(prada kuning), lalu Wrekudara yang badannya hitam. Begitu seterusnya sampai
putran dan putren, sampai Dewa Ruci dan putran bocah kecil habis. Cara
penataannya jangan sampai ditancapkan miring lurus, yang ada di depan sendiri
agak miring sedikit. Kalau sudah ada lima wayang yang ditancapkan, baru dibuat
agak miring lurus sampai habis. Semua wajah wayang diatur supaya kelihatan
jelas satu-persatu, supaya gampang memilih wayang jika sewaktu-waktu
dibutuhkan oleh dalang, serta bahu wayang dibuat urut mulai dari depan sampai
habis. Palemahan wayang menumpang di palemahan kelir, diurutkan yang rapi
jangan sampai kelihatan naik turun. Maksudnya agar wajah wayang terlihat jelas
sehingga memudahkan memilih wayang. Menancapkan wayang harus dikira-kira
agar bisa kuat jangan sampai terlalu dalam atau terlalu dangkal. Kalau terlalu
dalam menancapkannya nanti sewaktu-waktu dibutuhkan susah diambil, kalau
terlalu dangkal, kalau kelir itu tersenggol bergerak karena sabetan wayang atau
tersenggol bocah, wayangnya bisa ambruk sehingga kurang baik atau bisa
merusakkan wayang.
Kalau menyumping wayang sebelah kanan sudah selesai, ganti yang
sebelah kiri. Cara penataannya juga sama seperti sebelah kanan. Bedanya kalau
yang sebelah kiri yang ada paling depan adalah buta Raton yang biasa dinamakan
Kumbakarna terus disambung buta Raton muda, lalu Dasamuka seterusnya
sampai wayang yang kecil yaitu Caranggana atau Pinten dan Tansen. Semua
tangan wayang diatur ngapurancang agar jangan sampai kelihatan terlalu panjang
pegangan tangannya. Cara menancapkan wayang disusun agar kelihatan rapi asri
dipandang. Kiri dan kanan kalau dipandang kelihatan timbang, itulah yang
dinamakan nyumping wayang. Tinggi rindahnya pemasangan gadebog paseban
yang bawah hampir sama dengan bibir kotak wayang, kalau sampai terlalu ke atas
nanti nyangklak, tidak enak untuk sabetan wayang, kalau terlalu rindah wayang
kelihatan amblas juga kurang bagus. Maka agar pas, yang dipakai untuk
mengukur adalah bibir kotak wayang.
C. Menyumping Cara Pedesaan
Tata cara menyumping wayang cara pedesaan sama saja, hanya bedanya
yang pasti, kadang terselip wayang yang tidak pantas disumping ikut disumping
sehingga mengotori yang ditonton. Biasanya wayang di pedesaan itu kalau
wayangnya lengkap, kadang-kadang ada wayang buta Raton kepala Kerbau
(Maesasura) dan buta kepala sapi (Lembusura) dan ada lagi dewa kepala Gajah
(Batara Ganesa) dan buta Balasrewu (Triwikrama) serta Petruk jadi ratu (Prabu
Gurdinadur). Itu semua digolongkan wayang katongan sedangkan wayang yang
besar-besar itu ikut disumping sehingga membuat kacau dan kurang pantas.
Sehabis melihat wayang yang bagus di sumpingan sebelah kanan, setelah ganti
melihat sumpingan sebelah kiri lalu melihat bentuk kang menyolok mata yaitu
bentuk kepala hewan kelihatan menyembul bercampur dengan wayang yang
berwujud manusia di sumpingan. Apalagi melihat hidung Petruk menutupi mulut
Dasamuka. Itu namanya tidak bisa timbang dengan yang ditonton. Memang benar
menurut waton wayang, yang disumping itu golongan wayang katongan dan
putran. Tapi kalau wayang tersebut tidak pantas dan kurang sesuai maka tidak
perlu diikutkan dalam sumpingan, nanti malah merusak pandangan. Dan lagi ada
wayang kera Sugriwa dan Subali yang juga sering diikutkan dalam sumpingan, itu
juga kurang bagus.
Intinya harus dipilihi mana wayang yang sekira pantas dan sesuai jadi
tontonan dalam sumpingan tersebut. Kalau hanya menuruti wayang wayang
katongan dan putran yang harus disumping, nanti akan ada wayang Kurawa ikut
dalam sumpingan. Kurawa yang ikut dalam sumpingan itu hanya Prabu
Duryudana dan putranya Lesmana Mandrakumara. Sedangkan wayang kera yang
pantas ikut disumping itu hanya satu Hanoman, diletakkan di sumpingan kanan.
Resi Parasu wayangnya besar sama dengan Jagal Bilawa, juga kurang pantas jika
diikutkan dalam sumpingan karena rambutnya mengembang dan kelihatan
pahanya yang tanpa celana. Itulah yang membuat kurang pantas menjadi tontonan.
Jadi semua wayang yang kelihatan aneh jangan sampai diikutkan dalam
sumpingan, sebaiknya dicampur dengan wayang dudahan saja. Urutan tatanan
menyumping wayang purwa bisa dilihat dalam serat Bau Warna Wayang jilid
satu, di sana sudah ada keterangan jelas dengan wanda-wanda wayang purwa
lengkap.
D. Menyumping Cara Pesisir
Caranya sama dengan sumpingan cara pedesaan, bedanya, ada yang sangat
menyimpang sehingga membuat kurang enak ditonton yaitu setelah menyumping
wayang kiri dan kanan lalu di atas kepala wayang sumpingan yang sebelah kanan
disisipi wayang Batara Guru, sumpingan sebelah kiri disisipi Batari Durga. Semua
seperti berada di atas kepala wayang yang disumping di sebelah kiri dan kanan
tadi. Kalau menurut kesesuaian dan keindahan kurang baik karena menbuat kotor
tontonan. Barang yang sudah diatur dengan rapi dan kelihatan bersih, malah
ditambahi barang yang aneh di atas kepala wayang sumpingan, terlebih lagi
Batara Guru yang mengendarai sapi, jadi kelihatan ada sapi di atas kepala. Yang
seperti tersebut harus dipikirkan jangan hanya dipikir bahwa itu adalah wayang
yang ada dalam satu kotak ternyata malah menghilangkan keindahan tontonan
Begitulah jika orang tidak mengerti pada keindahan tontonan, terlebih jika
wayangnya banyak dan lebih lengkap, kadang-kadang mempunyai wayang
Sanghyang Wenang dan Sanghyang Tunggal, lalu kelihatan sumpingannya terlihat
tidak rata. Wayang yang digunakan dalam pasamuan apa saja, itu sebenarnya
hanya untuk meramaikan suasana, jadi tontonan yang kelihatan indah dan menarik
hati.
Maka di sini disampaikan bahwa tidak gampang menata wayang
sumpingan, harus bisa membuat tontonan yang rapi dan bisa memperlihatkan
keindahan wayang, bisa memilih mana wayang yang patut jadi tontonan dalam
sumpingan agar kelihatan enak dipandang karena wayang ketika dipakai main
oleh Ki Dalang atau sebelumnya akan jadi tontonan para priyayi yang hadir dan
menyaksikan permainan Ki Dalang tersebut. Selain melihat kepiawaian Ki Dalang
juga melihat keindahan tontonan wayang yang dijajar di kelir sebagai pemanis
acara tadi. Kalau ada tamu yang senang pada bentuk wayang tadi malah kadang-
kadang sampai lama bertanya pada penyumping. Kadang bertanya ini wayang dari
mana, milik siapa kok kelihatan bagus, pastinya yang punya tahu dan suka pada
keindahan kagunan Jawa sehingga bisa menyesuaikan bentuk dengan
keindahannya. Sebaliknya jika penataannya kurang baik, kelihatan naik turun dan
banyak wayang yang tidak patut diikutkan dalam sumpingan, lalu kelihatan aneh
dilihat, wayangnya lalu kelihatan remeh. Dalam seni kebudayaan lalu tidak ada
harganya karena kurang bisa menempatkan wayang jika akan digunakan untuk
hajatan. Ada lagi menyumping wayang kayonnya ada tiga (gunungan) yaitu yang
ditancapkan di tengah satu, sedangkan yang dua ditancapkan di sebelah kiri satu,
di sebelah kanan satu, ini memperlihatkan jika yang punya wayang sedang senang
pada bentuk ukiran wayang yang kelihatan rumit, lalu ingin membuat gunungan
sampai tiga jumlahnya. Setelah wayang digunakan lalu diikutkan semua sekalian
dipamerkan pada para tamu, supaya bisa dilihat oleh para tamu.
Gunungan tiga dibuat tiga macam, ada yang bentuk kolaman dan ada yang
bentuk gapuran, di sebaliknya dicat berbeda-beda, jadi tiga macam. Ada yang
merah menggambarkan nyala api, ada yang dicat abu-abu menggambarkan awan
dan ada yang dicat biru muda bergaris putih menggambarkan air atau angin.
Begtersebut maksud yang punya wayang. Ada lagi wayang gunungan yang dicat
bolak-balok sama, tanpa dicat nyala api. Itu adalah gunungan yang hanya untuk
wayang kayu, yaitu wayang klitik atau wayang golek di tanah Pasundan, karena
wayang kayu itu tanpa kelir jadi jika dilihat dari depan atau dari belakang bisa
kelihatan sama.
Kalau sumpingan wayang kayonnya ada dua, yang satu pasti ditancapkan
di tengah sedangkan satunnya lagi ditancapkan di sebelah kiri. Itu akan membuat
tontonan kelihatan berat sebelah, setelah melihat tontonan besar sampai yang
kecil, kiri dan kanan sudah kelihatan timbang, di tengah lalu ada bentuk cembung
satu yaitu gunungan, itu sudah baik malah ditambah di sebelah kiri ada gunungan
satu lagi sehingga menjadi kurang enak dilihat.
Repotnya memasang sumpingan kayon tiga atau dua yaitu kalau akan
gapuran. Srinata kembali ke istana dan berhenti di depan bangsal Srimanganti.
Kayon yang ada di tengah tadi akan susah mau ditancapkan di mana. Kalau
ditumpuk jadi satu akan kelihatan berjejal, tidak enak dilihat. Sedangkan jika ada
dua gunungan, susahnya adalah ketika perang ampyak, perang prajurit prampogan
yang akan meratakan jalan, yang digunakan untuk menggambarkan hutan dan
semak-semak juga gunungan itu lagi. Kayon yang ada di tengah akan lalu
ditancapkan di sumpingan yang sebelah kanan. sedangkan yang kiri pasti yang
akan dijadikan hutan dan semak tadi. Kalau sudah ditancapkan semua, prampogan
akan kelihatan ada di tengah-tengah seperti diapit gunungan, jadi seperti ada
dalam jurang di tengah-tengah gunung. Kalau sudah dimainkan akan kelihatan
goncang, menghilangkan keindahan tontonan dan memenuhi tempat, kelir jadi
kurang luas karena penuh dengan wayang yang besar-besar menutupi tontonan
yang lain. Sebaiknya kayon (gunungan) itu cukup satu saja sudah cukup, jadi
tidak kelihatan memenuhi tempat.
E. Memajang Wayang
Menurut pedalangan di Surakarta, menata wayang sumpingan itu sudah
ditentukan karena wayangnya hanya mengambil wayang yang bisa digunakan
untuk lakon apa saja. Jadi tidak perlu terlalu banyak memajang wayang. Kalau
kebanyakan lebih baik dijadikan dua kotak sedangkan yang sudah-sudah, biasanya
wayang gunungan cukup hanya satu saja serta dicat seperti pada umumnya, yaitu
di sebaliknya digambar nyala api. Karena itu biasanya dalam cerita pedalangan
kalau sedang terjadi kebakaran atau menggambarkan kawah Candradimuka, yang
digunakan adalah bentuk gambar nyala api tersebut.
Adanya gunungan atau yang dinamakan Kayon itu ketika sabelum jaman
Kartasura, kebanyakan adalah bentuk kolaman yang hanya menggambarkan
bentuk seisi hutan, pepohonan yang mempunyai buah dan bunga, sampai dengan
hewan buruan, yaitu buruan darat, ari dan burung. Yang seperti itu dinamakan
kayon Kolaman. Setelah jaman Kartasura, Kanjeng Susuhunan P.B. II membuat
wayang klitik yang terbuat dari kayu mirit, dibuat oleh Pangeran Ratu Pekik.
Setelah jadi disebut wayang krucil, oleh orang banyak disebut wayang klitik, lalu
diberi candra sangkala memet berupa wayang gunungan, di tengah digambar pintu
gapura, di kiri kanannya dijaga raksasa yang membawa gada. Diberi candra
sangkala Gapura Lima Retuning Bumi, yaitu tahun 1659.
Jadi wayang gunungan yang memakai gambaran gapura itu adanya ketika
jaman Kartasura dan digunakan dalam wayang Krucil. Bolak-balik gambarnya
sama karena wayang kayu itu tanpa kelir dan banyak dimainkan pada waktu siang
hari. Sampai sekarang banyak wayang purwa pada dengan Kayon (gunungan)
berbentuk gapuran, sedangkan yang bentuk kolaman semakin berkurang.
BAB IX
PAKEM RADYA PUSTAKA
A. Tata Letak Sebelah Kanan
1. Prabu Tuhuwasesa
2. Raden Wrekudara wanda mimis, hitam
3. Raden Wrekudara wanda lindupanon
4. Raden Wrekudara wanda gurnat
5. Raden Wrekudara wanda lintang, hitam
6. Raden Bratasena wanda mimis, hitam
7. Raden Bratasena wanda gurnat
8. Jagal Abilawa (Balawa)
9. Raden Gatutkaca wanda kilat
10. Raden Gatutkaca wanda guntur
11. Raden Gatutkaca wanda tatit, hitam
12. Raden Gatutkaca wanda gelap, hitam
13. Raden Antareja
14. Raden Antasena
15. Raden Hanoman
16. Prabu Kresna wanda rondon
17. Prabu Kresna wanda mawur
18. Prabu Kresna wanda wanda gendreh
19. Prabu Harjunasasrabau
20. Prabu Ramawijaya
21. Prabu Pandudewanata
22. Prabu Parikesit (Dipayana)
23. Bagawan Palasara
24. Prabu Yudistira, wanda putut
25. Prabu Yudistira wanda panuksma
26. Raden Harjuna wanda kanyut
27. Raden Harjuna wanda jimat
28. Raden Harjuna wanda kunanti
29. Raden Harjuna wanda malatasih
30. Raden Harjuna wanda renteng
31. Raden Harjuna brongsong, wajahnya prada srambahan
32. Raden Harjuna sampir (slendangan) srambahan
33. Raden Puntadewa wanda malatsih
34. Raden Puntadewa wanda kunanti
35. Raden Suryaputra
36. Raden Madubranta
37. Raden Pandu
38. Raden Ramabadra
39. Raden Ramalesmana
40. Raden Premadi, wanda panmembuat
41. Raden Premadi, wanda pengasih
42. Raden Premadi wanda kunanti
43. Raden Premadi, sampir (slendangan) srambahan
44. Raden Nangkula
45. Raden Sahadewa
46. Dewi Jembawati, makutan
47. Dewi Sarpakanaka
48. Dewi Arimbi
49. Dewi Banowati, wanda berok
50. Dewi Banowati wanda golek
51. Dewi Kunti
52. Dewi Anggendari
53. Dewi Drupadi
54. Dewi Herawati
55. Dewi Banowati, muda rimong kasemekan (kemben)
56. Dewi Banowati muda slendangan
57. Dewi Sembodro, wanda rangkung
58. Dewi Sembodro, lentreng
59. Dewi Rukmini
60. Dewi Setyaboma
61. Dewi Srikandi, wanda goleng
62. Dewi Srikandi, wanda patrem
63. Dewi Pregiwa
64. Dewi Surtikanthi
65. Dew Jembawati gelung ukel
66. Dewi Dursilawati
67. Dewi Sitisendari wanda gandes
68. Dewi Utari
69. Dewi Laksakalauti
70. Dewi Laraireng wanda lanceng
71. Estren endel lanyapan untuk silihan
72. Estren Endel slendangan untuk silihan
73. Estren longok untuk silihan
74. Estren Luruh (oyi) untuk silihan
75. Estren Luruh (oyi) Selendangan untuk silihan
76. Estren Longok slendangan untuk silihan
77. Dewi Rukmini nom
78. Dewi Setyaboma nom
79. Dewi Hanjani
80. Dewi Mustakaweni
81. Bondan Paksajandu (Dewa Ruci)
82. Putran bocah kecil.
B. Tata Letak Sebelah Kiri
1. Buta Raton srambahan (Kumbakarna) wanda barong
2. Buta Raton srambahan (Kumbakarna) wanda macan
3. Prabu Niwatakawaca wanda mendung
4. Buta raton jamang gruda pogogan wanda kopek
5. Prabu Dasamuka (Rahwana) wanda bugis
6. Prabu Dasamuka (Rahwana) wanda bengis
7. Prabu bomantara Boma kuna sepuh
8. Prabu Bomanarakasura
9. Prabu Baladewa, wanda paripeksa
10. Prabu Baladewa, wanda sembada
11. Prabu Baladewa, wanda kaget
12. Prabu Baladewa, wanda geger
13. Prabu Sridenta
14. Prabu Duryudana wanda jangkung
15. Prabu Duryudana wanda jaka
16. Raden Kurupati
17. Raden Kakrasana, wanda kilat
18. Raden Kakrasana, wanda sembada
19. Prabu Basuketi
20. Prabu Kuntiboja
21. Prabu Basudewa
22. Prabu Matswapati
23. Prabu Drestarata
24. Prabu Drupada
25. Prabu Salya
26. Prabu Bismaka
27. Prabu Setyajit
28. Prabu Radeya
29. Prabu Karna, wanda bedru
30. Prabu Karna, wanda lontang
31. Raden Yadengandura
32. Raden Hugrasena
33. Raden Durgandana
34. Raden Sodo, Basudewa ketika muda
35. Raden Sucira, Drupada ketika muda
36. Harya Setyaki wanda mimis
37. Harya Setyaki wanda wisuna
38. Harya Setyaki wanda kakik
39. Ratu Sabrang Wok Prabu Partasudarma
40. Ratu Sabrang bagus (Prabu Dewasrani)
41. Harya Wibisana
42. Harya Prabu Rukma
43. Patih Suwanda
44. Raden Rukmarata
45. Raden Rukmara
46. Raden Drestajumna
47. Raden Gunadewa
48. Raden Warsakusuma
49. Raden Narasoma
50. Raden Narayana, wanda geblag
51. Raden Narayana, wanda sembada
52. Raden Samba wanda buntit
53. Raden Samba wanda sembada
54. Raden Samba wanda geblag
55. Raden Partajumna
56. Raden Pancawala
57. Raden Lesmana Mandrakumara
58. Raden Ongkawijaya wanda bangkung
59. Raden Ongkawijaya wanda buntit
60. Raden Sumitra
61. Raden Irawan
62. Raden Dewabrata
63. Raden Kresnadipayana
64. Raden Wijanarka wanda pengasih
65. Raden Wijanarka wanda miling
66. Raden Bisdengancara
67. Raden Wisanggeni
68. Raden Setyaka
69. Raden Caranggana
70. Raden Pinten
71. Raden Tansen
Wayang yang namanya tidak disebutkan dalam sumpingan kiri dan kanan di atas,
hanya digolongkan wayang dudahan meskipun wayang tadi katongan atau putran,
hanya termasuk golongan wayang dudahan saja.
C. Golongan para Kurawa
1. Pandita Druna, ada dua, yang satu keton, satunnya rambut gondel
2. Patih Sengkuni, ada dua, yang satu ketu batik, satunya ketu Karna
3. Raden Dursasana
4. Raden Durjana
5. Raden Durmuka
6. Raden Jayawikata
7. Raden Jayadrata
8. Raden Durmagari, wanda pocol ketu udeng batik
9. Raden Durmagati, wanda cawet pogog udalan
10. Raden Citraksa
11. Raden Citraksi
12. Raden Carucitra
13. Raden Surtayu
14. Raden Surtayuda
15. Raden Kartamarma
16. Raden Haswatama
17. Raden Burisrawa wanda pantat rapekan
18. Raden Burisrawa wanda cantuk kampuh jangkahan
19. Resi Krepa
D. Golongan Putran
1. Raden Harya Kincaka
2. Raden Rupakinca
3. Raden Seta
4. Raden Wratsangka
5. Raden Utara
6. Raden Gandamana
7. Raden Rajamaka artinya juru (jago) berkelahi
8. Raden Kangsa
9. Raden Ulmuka
10. Raden Yuyutsuh
11. Raden Danurwenda
12. Raden Sangasanga
13. Raden Dwara
14. Raden Kartapiyoga
15. Raden Hindrajit, wanda cawet
16. Raden Hindrajit, wanda pantat
17. Raden Trisirah
18. Raden Trikaya
19. Raden Dewantaka
20. Raden Yaksadewa
21. Raden Narantaka
E. Golongan Para Tapa
1. Resi Kanwa
2. Resi Habiyasa
3. Resi Bisma
4. Resi Santanu
5. Resi Sapwani
6. Resi Ramabargawa
7. Resi Bagaspati
8. Resi Wiraswa
9. Resi Kanumayasa
10. Sri Bagawan Baladewa
11. Bagawan Sumali
12. Bagawan Dupara
13. Bagawan Ciptaning (Mintaraga)
14. Bagawan Kapi Jembawan
15. Cekel Hendralaya
16. Putut Jayasemedi
17. Pandita Sepuh (Tuwa)
18. Demang Ontogopa
19. Jagal Walakas
Keterangan:
Mulai Raden Kaniyasa (Kanumayasa) sampai Harjuna (Janaka) semua adalah
wayang bokongan. Makanya kalau wayangnya kurang bisa meminjam wayang
Janaka dan Premadi. Lebih baik lagi kalau punya Janaka slendang dan Premadi
sampir atau Harjuna brongsong wajah kuning prada, itu yang bisa digunakan
untuk menggambarkan Resi Kanumayasa dan Sakutrem serta Sakri, jika cerita
pedalangan sampai sampai Janaka yang berwenang memiliki minyak
jayengkatong. Makanya kalau sedang bersedih hati lalu membuat gara-gara.
Setelah selesai perang kembang dan mulai akan berjalan dengan patet sendon
abimanyon. Kalau para putran raden Janaka semua, wayangnya jangkahan dan
tidak mempunyai minyak jayengkatong, tidak bisa memakai gara-gara, lagi pula
patetnya jingking. Setelah tiba cucunya raden Janaka yaitu raden Parikesit,
wayangnya kembali bokongan lagi.
F. Golongan Patih dan Punggawa
1. Patih Hudawa wanda tandhang
2. Patih Hudawa wanda jaran
3. Patih Pragota wanda pacel ketu merah
4. Patih Pragota wanda bundel rapekan
5. Patih Prabawa wanda pancol ketu merah
6. Patih Prabawa wanda gembel rapekan
7. Patih Saragupita (Yadawangsa)
8. Patih Tuhayata
9. Patih Nirbita
10. Patih Drastaketu
11. Patih Hadimanggala
12. Patih Handakasumeler
13. Patih Jayayatna
14. Patih Tambakganggeng
15. Patih Sucitra patih Madukara
16. Patih Jalasengara
17. Patih Sabrangan dengan baju
18. Patih Sabrangan tanpa baju
19. Punggawa tatagan dengan baju
20. Punggawa tatagan tanpa baju
21. Punggawa geculan dengan baju
22. Punggawa geculan tanpa baju
23. Patih Baratkatiga bala Jadipati
24. Raden Gagakblorok karan bala biti
25. Raden Dandangminangsi, bala biti
26. Raden Podangbinorehan, bala biti
27. Raden Jangetkinencang bala biti
28. Harya Bimana, jaman Wirata tua
29. Harya Bisana jaman Wirata tua
30. Harya Bilawa Patih santana Astina pada jamannya
31. Harya Basgawa, Palasara sampai prabu Pandudewanata
32. Harya Banduwangka
G. Golongan Para Dewa
1. Batara Guru wanda karna
2. Batara Guru wanda arca
3. Batari Durga wanda gedrug
4. Batari Durga wanda gidrah
5. Batara Narada
6. Batara Sambu
7. Batara Brahma
8. Batara Hendra
9. Batara Bayu
10. Batara Wisnu
11. Batara Mahadewa
12. Batara Yamadipati
13. Batara Kumajaya
14. Batara Surya
15. Batara Antaboga
16. Batara Kuwera
17. Batara Patuk
18. Batara Tamboro
19. Batara Basuki
20. Batara Pbaruikan (Srita)
21. Batara Cingkaralaba (buta)
22. Batara Balaupata (buta)
23. Batara Citrasena
24. Batara Citrarata
25. Sanghyang Baruna badannya gajah
26. Sanghyang Ganesa kepala gajah
27. Sanghyang Bandawangganala badannya penyu
G. Golongan para Danawa
1. Buta Raton muda gendong (Suratimantra), wanda mendung
2. Buta Raton muda gendong (Suratimantra), wanda kopek
3. Buta Panyareng (Cakil), wanda manyore
4. Buta Panyareng (Cakil), wanda batang
5. Buta Panyareng (Cakil), wanda naga mata kadondongan
6. Buta Punggawa mondol rambut bundel
7. Buta Punggawa Pragalba rambut jebolan
8. Buta Punggawa Pragalba jamang gruda
9. Buta Punggawa Galiyuk (Kobis) gombak
10. Buta Punggawa Endog buta gundul hidungnya bulat
11. Buta Punggawa Congklok (buta Terong)
12. Buta Punggawa Yuyurumping
13. Buta Mamangmurka, kepala babi
14. Buta Punuk dengan kuku seperti Bima
15. Buta Alasan laki-laki, Kala Raseksa
16. Buta Alasan perempuan, Kala Raseksi
17. Buta Emban Kenyawandu
18. Buta Rambutgeni Kala Dahana
Golongan buta Pringgodani
1. Raden Prabakesa
2. Raden Brajadenta
3. Raden Brajamusti
4. Raden Brajalamadan
5. Raden Brajamingkalpa
6. Raden Kalabendana
7. Raden Trembaka
8. Raden Trembuku
Golongan buta Setragandamayit
1. Buta Taliawuk, buta pangon
2. Buta Jarameya semua buta gundul, badan loreng
3. Buta Rindumaya seperti macan
4. Buta Niramaya
5. Buta Pulasiya, badannya putih loreng seperti macan
Golongan buta Kiskenda
1. Prabu Maesasura, semua berwujud buta, kepalanya bertanduk
2. Harya Jatasura besar taringnya
3. Patih Lembusura
4. Buta Punggawa kepala macan
5. Buta punggawa kepala gajah
Golongan buta Ngalengka
Yang harus ada jumlahnya 8, sedangkan yang lain cukup meminjam buta
punggawa srambahan saja.
1. Patih Prahasta
2. Raden Aswanikumba
3. Raden Kumbakumba
4. Dewi Sarpakanaka
5. Buta Punggawa Wirupaksa
6. Buta punggawa Mintrakna
7. Buta punggawa Sukasrana
8. Buta punggawa Wikataksini
Para ratu sabrangan cukup ada 10 macam saja yaitu yang dinamakan
wayang murgan srambahan, wayang ini biasanya ikut disumping. Bentuk wayang
yang digunakan untuk mewujudkan para ratu Sabrangan yaitu wayang murgan,
misalnya seperti disebutkan di bawah ini.
1. Wajahnya seperti Gatutkaca dengan makuta, hitam, jengkar
2. Wajahnya seperti Gatutkaca dengan topong Karna
3. Wajahnya seperti Boma dengan topong gusen
4. Wajahnya seperti Baladewa gusen dengan baju
5. Wajahnya seperti Boma rapekan dengan topong Karna praban
6. Wajahnya seperti Hadipatikarna rapekan mata kadelen
7. Wajahnya seperti Druyudana rapekan memakai baju, yang dinamakan
Prabu Sridenta
8. Wajahnya seperti Salya rapekan memakai baju
9. Wajahnya seperti Drupada rapekan praban
10. Wajahnya seperti Bismaka rapekan memakai baju
Nama-nama Ratu Sabrang
1. Prabu Jarasadda
2. Prabu Supala
3. Prabu Supali
4. Prabu Gardapati
5. Prabu Bagadenta
6. Prabu Sridenta
7. Prabu Kalinggapati
8. Prabu Pratipa
9. Prabu Citradarma
10. Prabu Dasarata
11. Prabu Barata
12. Prabu Janaka
13. Prabu Kartadarma
14. Prabu Danapati
15. Prabu Suryaketu
16. Prabu Candraketu
17. Prabu Banaputra
18. Prabu Bisawarna
Para Wanara cukup 15 buah
1. Prabu Subali
2. Prabu Sugriwa
3. Dewi Anjani
4. Raden Subali
5. Raden Sugriwa
6. Raden Jaya Hanggada
7. Raden Hanila
8. Kapi Jembawan
9. Kapi Hanala
10. Kapi Susena
11. Kapi Satabali
12. Kapi Saraba
13. Kapi Winata
14. Kapi Menda
15. Kapi Hedrajanu
Golongan dagelan
1. Semar wanda ginuk
2. Semar wanda dukun
3. Semar wanda brebes
4. Semar wanda mega temannya Bagong
5. Semar memakai cara wanita
6. Semar memakai cara dewa, lakon lintang prekacuk
7. Nala Gareng wanda wregul
8. Nala Gareng wanda kancil
9. Nala Gareng memakai cara wanita
10. Nala Gareng memakai cara dewa
11. Nala Gareng memakai cara ratu lakon Pandupragola
12. Petruk wanda mesem
13. Petruk wanda dlegong (jlegong)
14. Petruk wanda jamblang
15. Petruk memakai cara wanita
16. Petruk memakai cara dewa
17. Petruk memakai cara ratu, Prabu Gurdinadur
18. Bagong wanda gembor
19. Bagong wanda gilut
20. Bagong wanda ngengkel
21. Bagong memakai cara ratu, Prabu Patokol
22. Togog wanda goprak
23. Togog wanda burung
24. Saraita
25. Cantrik
26. Cantrik Janaloka
27. Cangik
28. Limbuk
29. Dewi Clekutana
30. Retna Juwita
31. Pawongan Emban gemuk
32. Pawongan inya gelung melintang
33. Parekan nyai tumenggung
34. Parekan nyai tumenggung, 2 buah
35. Pawongan, ceti
36. Pawongan, ceti, jumlah 2 buah
37. Parekan buta
38. Parekan buta, 2 buah
39. Emban Wungkuk
40. Kera kacangan kecil-kecil 8 buah
41. Macam-macam Setanan jumlahnya 9 buah.
Wayang yang tidak bisa diwujudkan itu hanya mulai Sanghyang Tunggal ke atas
sampai Sanghyang Nurcahya karena Sanghyang Tunggal sidah memberi perintah
pada Manikmaya (Batara Guru) begini katanya, “He Manikmaya ketahuilah,
adanya aku ini adalah adamu.” Batara Guru sendiri tidak bisa melihat wujud
bapaknya, maka cukup berbentuk suara Kyai Dalang saja.
BAB X
PENGETAHUAN TENTANG RICIKAN WAYANG
A. Wayang Ricikan
1. Gunungan, kayon, menggambarkan nyala api
2. Kayon gurda pepohonan gede
3. Prampogan pasukan manusia
4. Prampogan pasukan buta (yaksa)
5. Kereta, jumlah 2 buah
6. Kuda hitam besar1, kuda putih ukuran sedang 1, kuda kecil 1, kuda
geculan kepala sopakan 1, jumlahnya jadi 4 buah.
7. Gajah putih dan gajah klawu (abu-abu) jumlahnya 2 buah
8. Naga Raja makutan Ywang Antaboga
9. Naga Geni jamang pogogan gruda kecil (perempuan)
10. Sawer Ula besar
11. Macan Gembong dan macan putih 2 buah
12. Burung Garuda, Wilmuka buta dengan sayap Wilmana burung besar
tunggangan Boma 3 buah.
13. Banteng
14. Kerbau 2 buah
15. Kijang 2 buah
16. Rusa 2 buah
17. Babi
18. Burung Dewata
19. Burung kecil jumlah 4 buah
20. Minarda ikan besar
21. Kepiting besar 2 buah
22. Tikus 2 buah
23. Kodok 2 buah
24. Kelelawar 2 buah
25. Kendela 2 buah
26. Kalajengking 2 buah
27. Ayam Jago 2 buah
28. Brayut laki-laki dan wanita ditemani anak kecil jadi jumlahnya 3 buah
29. Nyamuk 2 buah
30. Serat kalimasada
31. Surat iber-iber
32. Ergelek (kenti) 2 buah
33. Kendi pratala 2 buah
34. Gelas minuman 4 buah
35. Rangka keris
36. Sumbul
Buah-buahan yang dijadikan bentuk wayang untuk pedalangan
1. Nanas
2. Ketimun
3. Semangka
4. Jeruk gulung
5. Manggis
6. Jeruk kecil
7. Kelapa
8. Jambu seikat
9. Blimbing
B. Macam-macam senjata
1. Keris lurus kecil bagus bentuknya, ada 2 buah
2. Keris besar kecil, ada 4 buah
3. Keris luk kecil bagus bentuknya, ada 2 buah
4. Keris luk besar kecil bentuknya, ada 4 buah
5. Panah kecil untuk perempuan, ada 2 buah
6. Panah kecil untuk laki-laki, ada 2 buah
7. Panah kepala burung, Sarotama, ada 1 buah
8. Panah Nagapasa ada 1 buah
9. Panah rantai ada 1 buah
10. Nanggala, seperti cis kecil pendek
11. Alugara (alu besar)
12. Denda
13. Cakra dengan deder (cakra baswara)
14. Gada Lukitasari gada besar
15. Gada Rujak polo gada sedang
16. Bindi gada lumrah jumlah 2 buah
17. Limpung musala
18. Candrasa
19. Badama
20. Cakra
21. Cis
22. Cundrik
23. Tlempak
24. Kudi
25. Arit
26. Petel
C. Wayang Katongan
Wayang Panggungan. Yaitu wayang Yang dijajar di kiri dan kanan paseban,
ditancapkan di gadebog atas, di tengah ditancapkan wayang gunungan yang
dinamakan wayang panggungan, sedangkan penataannya dinamakan
menyumping.
Wayang katongan. Yang disebut wayang katongan yaitu wayang para ratu
yang di panggung sumpingan kiri dan kanan, sedangkan yang dinamakan wayang
pranakan yaitu semua wayang putra ratu atau putra satria, yang ikut dijajar di
sumpingan kiri dan kanan paseban tersebut.
Wayang Dugangan. Semua wayang punggawa kera dan buta yang tidak ikut
disumping, termasuk wayang dugangan. Wayang Ricikan. yang dinamakan
wayang ricikan yaitu wayang kayon (gunungan), prampogan, kereta, kuda gajah
serta senjata. Wayang Dagelan. Yang dinamakan wayang dagelan yaitu wayang
yang berwujud buta kecil tanpa badan, orang banyak menamakannya wayang
setanan. kalau sedang memainkan lakon wayang dengan wadubarat anggoda.
Pengambilan kata wayang dagelan tadi artinya buta tanggung. Tapi ada sejeis
wayang pembantu dinamakan punakwan (wulucumbu) Semar, Gareng Petruk, dan
ada lagi Cantrik, Cangik, Limbuk, Togog, Sarahita termasuk golongan wayang
dagelan.
Wayang gusen. Yang dinamakan wayang gusen yaitu wayang yang terbuka
mulutnya seperti Dursasana, Hindrajit dan lain sebagainya. Sedangkan Sengkuni,
Pandita Durna, Kartawarma dan sebagainya itu dinamakan gusen tanggung,
artinya wayang gusen tadi wayang yang kelihatan gusinya, kelihatan meringis.
Wayang Liyepan. Yang dinamakan wayang liyepan dan wayang lanyapan,
wayang pantelengan, menurut pada bentuk mata. Satu mata liyepan, dua mata
pantelengan. Wayang yang matanya liyepan untuk wayang nglangak dinamakan
lanyapan. Wayang yang matanya pantelengan dibuat jadi mata kadondongan,
menurut kebutuhannya sendiri. Kata liyep artinya ruruh, seperti Harjuna dan lain-
lain sesama wayang tumungkul. Kata lanyapan yaitu wayang kebanyakan, seperti:
Samba, Rukmarata, Wisanggeni dan wayang yang nglangak.
Wayang kantep. Semua wayang yang bertangan dan kaki kepanjangan
kurang seimbang dengan badannya dinamakan kanteb, dari kata orang jatuh
terduduk disebut kanteb, pasti kakinya selonjor. Wayang kanteb itu kebanyakan
tanpa pola. Wayang murgan. Wayang yang dibuat tanpa pola misalnya Harjuna
tua, wandanya tidak menurut Jimat, Mangu, Kancut, maka dinamakan murgan.
Diambil dari kata mirunggan artinya menyendiri keluar dari adat yang sudah
kaprah. Misalnya orang membatik tanpa pola dinamakan ngrujag.
Wayang Srambahan. Yaitu semua wayang yang luwes lincah untuk
pinjaman dalam lakon apa saja, seperti wayang Gatutkaca dengan makuta bisa
digunakan untuk ratu Sabrangan; wayang Harjuna ditambah dengan slendang,
bisa dipinjam jadi Sakutrem, Palasara, Partadewa dan lain-lain, ada lagi Premadi
sampir, wayang baku ditambah sandang jadi kelihatan berubah dari pola wayang
yang pertama. Wayang srambahan itu banyak sasahnya. Sebangsa wayang
dudahan punggawa dan patih-patihan itu hampir semua bisa dinamakan wayang
srambahan. Tapi ada wayang buta prepatan, yaitu wayang candra sangkala memet
yang juga dinamakan wayang srambahan yaitu wayang buta punggawa yang bisa
luwes untuk pinjaman dalam cerita lakon apa saja, pasti jadi punggawa para ratu
Sabrangan apa saja untuk dijadikan utusan.
Wayang buta prepatan. Yaitu wayang buta candra sangkala tersebut,
pertama buta Panyareng umumnya disebut Buta Cakil, kedua buta rambut geni,
ketiga buta endog, keempat buta gombak (buta galiyuk) untuk melengkapi jika
ada lakon ratu Buta atau ratu Sabrang, sebagai utusan (caraka). Teman Togog dan
Sarahita. Atau digunakan untuk perang kembang, arti perang kembang adalah
perang kebanyakan orang terbunuh, hanya sebagai cara kematian caraka.
Wayang jujudan. Yang dinamakan wayang jujudan yaitu semua wayang
yang ditambah ukurannya jadi lebih besar dari polanya. Wayang pedalangan.
Yang dinamakan wayang pedalangan itu adalah wayang-wayang yang pasti
digunakan para dalang sedangkan ukuran wayang tidak besar atau tidak kecil,
ukurannya sedang enak dipakai semalam suntuk tidak merasa lelah. Jadi sudah
termasuk ukuran umum, diakai oleh para dalang. Wayang ribig. Yang dinamakan
wayang ribig yaitu wayang yang bentuknya turut-runtut, kalau disumping tidak
kelihatan naik turun, bahu dan palemahannya bisa rajin. Dari wayang yang besar
sampai yang kecil kelihatan enak dipandang. Wayang bajujag. Yang dinamakan
wayang bajujag yaitu wayang yang tidak ukurannya tidak tetap ukurannya.
Wayang dibuat tanpa pola atau meninggalkan pola.
Ketika bertahtanya Sinuwun Kanjeng Susuhunan P.B. IX di Surakarta,
waktu itu Kanjeng Pangeran Hadipati Harya Mangkunagara yang ke IV,
meminjam wayang purwa pada kraton lalu diberi wayang purwa Kyai Kadung
yaitu wayang yang hanya untuk lakon Rama, akan digunakan untuk wayangan.
Ketika itu banyak para dalang yang merasa terlalu berat karena wayangnya
kebesaran lalu menumbuhkan keinginan kanjeng pangeran untuk membuat
wayang, kebetulan di Mangkunagaran belum punya wayang purwa. Wandanya
seperti Kyai Kadung, ukurannya diperkecil serta badannya disesuaikan. Dewa-
dewanya hampir semua memakai makuta dan topong, bajunya dibuat pendek, jadi
tidak memakai jubah, bawahannya memakai kain rapekan pingirnya sembulihan.
Sedangkan Batara Kumajaya masiha tetap dengan gelung seperti Premadi, hanya
Batara Surya dan Patuk Tamboro yang masih tetap tidak berubah bentuknya.
Wayang itu dibuat dua perangkat yaitu jadi dua kotak, lengkap wandanya.
Dagelan yang satu golongan disebut Kyai Sebet pangkat I, cirinya ada di
palemahan yang diberi warna bendera Belanda, merah putih biru M.N.I.
sedangkan sisa wayang disebut jadi Kyai Sebet pangkat II, dasarnya cat M.N. II
prada. Ketika itu tahun 1793 dengan candrasangkala Mantri Trusta Mumuji di
Gusti, menunjukkan tahun 1793. Jadi menurut ukuran besar kecilnya wayang,
Kyai Sebet itu masih lebih besar dibandingkan dengan wayang pedalangan pada
umumnya.
D. Penyumping atau Paniti
Panyumping itu pekerjaannya menata wayang kulit jika akan dimainkan
Ki dalang dalam suatu hajatan, misalnya dalam pernikahan dan lain-lain.
Tugasnya mengatur wayang dalam tarub (rumah atau gedung). Menatanya harus
diatur agar serasi ditonton karena wayang kulit kalau digunakan untuk
memperindah acara harus bisa kelihatan rapi asri jika dipandang membuat senang.
Karena wayang kulit itu kalau sudah selesai ditata akan mewujudkan seni
keindahan kebudayaan Jawa asli, cara menata gamelan juga harus di tempat yang
tepat jangan sampai menutupi yang lain.
Kewajiban panyumping wayang kulit itu jika sudah selesai penataannya
harus bisa memasang blencong lampu wayang. Jika sudah dibersihkan lalu
dipasangi sumbu tali (uceng-uceng). Pemasangan sumbu jangan sampai terlalu
kuat karena jika sudah diisi minyak akan medok, kalau ditarik dengan sapit jadi
susah sehingga nyala apinya tidak bagus, tidak bisa terang, lebih sering surut
nyalanya, yang terbakar hanya sumbunya saja, minyaknya tidak. Makanya jadi
sering kelihatan hitam.
Sebaliknya jika sampai terlalu longgar juga tidak baik, serignkali sampai
kehabisan sumbu, jika ditarik sumbunya terlalu mudah lepas, mintaknya akan
menetes ke bawah membuat susah dalang karena sering terkena tetesan minyak.
Apa lagi jika minyak itu sampai menetesi wayang akan menjadi cacat dan meruak
wayang. Wayang kulit kalau sampai terkena minyak akan rusak catnya, lau
gampang terkena jamur, wayangnya lalu kelihatan lusuh catnya. Makanya harus
bisa mengira-ira agar pemasangan sumbu blencong tadi baik. Mempersiapkan
wayang yang akan dipakai oleh Ki dalang dalam lakon yang akan dimainkan.
Sebelum wayang dipakai, panyumping harus meminta keterangan dulu pada Kyai
dalang tentang lakon apa yang akan dimainkan dan apa wayang yang akan keluar
nanti.
Jika sudah mendapat keterangan tentang wayang yang dibutuhkan oleh
dalang, panyumping lalu mulai menata wayang dan mulai dirakit, dipilih wayang
yang akan digunakan diletakkan di tempat yang tepat supaya gampang dilihat oleh
Ki dalang. Sedangkan wayang katongan (yaitu ratu) yang akan keluar pertama
diletakkan dalam sumpingan kanan ditancapkan dalam gadebog paseban sebelah
bawah misalnya Prabu Kresna atau Prabu Yudistira, disesuaikan dengan lakonnya.
Katongan di sebelah kiri juga ditancapkan sekalian, misalnya Prabu Baladewa
atau sang adipati Karna ditancapkan di sebelah kiri di paseban bawah. Kalau
sudah lalu patih-patihan punggawa dan putran yang akan dipakai cukup
diletakkan dalam eblek di atas tutup kotak, sedangkan yang ada dalam kotak yaitu
para punggawa patih dan buta prepat atau para putran yang tidak termasuk dalam
sumpingan diatur dengan urut. Buta dengan buta, punggawa manusia dengan
manusia, jangan dicampur agar tidak bingung kalau akan mengambil wayang
yang dibutuhkan. Tersebut yang dinamakan ndapuk yaitu menyiapkan wayang
yang dibutuhkan oleh Ki dalang menurut lakonnya. Wayang yang tidak
dibutuhkan diletakkan dalam kotak bawah diberi pembatas eblek, karena wayang
itu tidak akan keluar untuk lakon, tidak perlu diubah nanti malah rusak dan
kelihatan berserakan.
E. Posisi Penyumping
Jika dalang sudah mulai memainkan wayang, panyumping lalu duduk di
sebelah kiri satu, di sebelah kanan satu. Panyumping itu sebaiknya dua orang,
yang kiri duduk di kiri dalang dibatasi kotak untuk membantu Ki dalang kalau
membutuhkan wayang yang ada di sumpingan sebelah kiri dan jauh dari si dalang,
sedangkan yang ada sebelah kanan dalang duduk di kanan dalang dibatasi tutup
kotak, tugasnya membantu mengambilkan wayang yang ada di sumpingan sebelah
kanan yang kira-kira Ki dalang tidak sampai mengambilnya.
Cara mengambil wayang dalam sumpingan itu harus hati-hati jangan
sembarangan. Wayang mana yang dibutuhkan, misalnya wayang Premadi.
Dimana tempat wayang putran Premadi tadi, cara mengambilnya yang benar yang
harus dibuka dulu belakangnya baru mengambil gapit wayang Premadi dengan
tangannya diringkas jangan sampai menyangkut wayang yang lain lalu ditarik
pelan-pelan dengan memperhatikan bahunya, menyangkut atau tidak. Jika
sekiranya sudah tidak menyangkut maka mulai ditarik lagi. Begitu seterusnya cara
mengambil wayang dalam sumpingan, jadi jangan dipaksa asal mengambil saja.
Ada dalang yang tidak mengerti cara jadi panyumping wayang padahal
dalang itu sudah kondang dan laris, lincah memegang dan menyabet wayang tapi
tidak bisa mengambil wayang dalam sumpingan dengan benar, mengambilnya
hanya sembarangan saja. Wayang diambil dengan berjongkok lalu dipegang
kepalanya ditarik ke atas. Cara seperti itu salah, belum tahu apesnya wayang.
Semua kepala wayang yang ada di sumpingan itu semua mudah rusak, ada
wayang yang makutan (topongan), ada yang gelung. Ukirannya seritan
melengkung bulat dan ada yang jungkungan (pogogan) gruda atas, ada yang
gelung keling. Itu semua ukirannya serba rumit dan kulitnya pasti tipis rata, gapit
yang paling atas yang jatuh di kepala wayang itu pasti tipis, sampai ada yang sama
dengan lidi, tarkadang kalau kurang ada ada yang disambung. Tersebut kalau cara
mengambil wayang ditarik dari atas kurang baik. Kadang bisa mematahkan gapit
bagian kepala atau memutuskan tatahan wayang yang rumti rumit tadi. Terlebih
lagi jika sampai pada wayang yang gelungnya ditatah seritan, itu yang paling
rapuh. Misalnya wayang Janaka atau Gatutkaca rambutnya ditatah seritan, kalau
wayang baru kultinya masih kuat, tapi kalau wayang lama atau wayang kuna pasti
sudah rapuh karena sudah sangat kering, kulitnya jadi getas gampang putus,
begitu juga gapitnya.
Panyumping yang mengambil wayang dengan berdiri atau berkongkok itu
dinamakan diksura (tidak tahu tatakrama). Itu kurang baik, tidak bisa menghargai
pada wayangnya, hanyadianggap seperti barang remeh saja, padahal wayang yang
ada di sumpingan itu adalah bentuk para ratu dan para satria. Kalau cara
mengambil sesuka hati maka seperti menghina.
Makanya panyumping yang mengambil wayang dengan berdiri atau
jongkok dinamakan diksura. Wayang jikia sudah digelar dalam keramaian pasti
banyak para tamu yang hadir, duduk melihat wayang yang sudah dipasang rapi
beserta gamelannya sekaligus. Setelah itu melihat Ki dalang memainkan wayang.
Padahal tamu tersebut bermacam-macam pangkatnya ada yang tinggi ada yang
rendah, sampai penonton yang ada di luar juga datang menonton. Jika melihat
panyumping yang sembarangan akan membuat kurang baik dipandang dan
mengganggu tontonan yang adi luhung tersebut. Sebaiknya mengambil wayang
itu dengan duduk saja, apa wayang yang dibutuhkan oleh Ki dalang.
Jika panyumping yang ada kanan dalang, meletakkan wayang di atas tutup
kotak kanan dalang, gapitnya diaturkan pada Ki dalang. Jadi kalau dalang akan
mengambil jangan sampai memegang kepala wayang. Panyumping yang ada
sebelah kiri, meletakkan wayang dalam kotak jangan sampai terbalik, begitu
seterusnya.
Jadi dalam wayang itu jika sudah mulai main jangan sampai ada orang
yang kelihatan bersliweran di depan pagelaran tersebut, jadi panyumping boleh
berdiri di belakang dalang itu hanya jika akan menambah minyak lampu blencong
saja (lampu wayang).
F. Sabetan Wayang
Ada lagi jika dalang akan memainkan wayang, di atas kotak diletakkan
eblek melintang di atas kotak, lalu diletakkan wayang sampai kelihatan
menumpuk. Itu tidak baik, jika dilihat jadi kotor. Kebanyakan melakukannya
adalah dalang di pedesaan yang meniru cara pesisir. Sedangkan di Yogyakarta
caranya juga seperti itu. Wayang yang berada di atas eblek itu akan digunakan
dalang dalam sabetan wayang yang akan perang dilempar-lemparkan, biasanya
lalu menyangkut dengan yang ada di atas eblek tersebut. Malah ada yang kadang
terkena siku sehingga mematahkan pegangan tangan wayang. Jadi panyumping
dalam melayani dalang semalam harus bisa hafal wayang apa saja yang pasti ada
dalam lakon dan harus bisa mengetahui apa wayang yang dibutuhkan oleh Ki
Dalang menurut lakon juga harus ingat pada wayang yang sudah tidak akan keluar
lagi dan segera disingkirkan jangan sampai mengganggu wayang yang masih
digunakan dalam lakon, cerita wayang semalam tersebut diletakkan dicampur
dengan wayang dudahan yang tidak termasuk dalam lakon tadi.
Meletakkan senjata wayang yang jelas satu-persatu, jangan hanya asal
diletakkan saja. Perlu dipilih senjata yang pasti digunakan, disiapkan di tempat
yang gampang mengambil sewaktu-waktu dalang membutuhkan. Jadi
panyumping harus bisa mengatur wayang pada saat acara karena itu adalah untuk
pameran, harus kelihatan rapi rajin dan bisa menimbulkan kaindahan yang adi
luhung, jangan sampai mengecewakan. Begtersebut pekerjaan panyumping. Kalau
di kraton Surakarta yang punya kewajiban adalah abdi dalem Lembisana, yaitu
abdi dalem yang pekerjaannya merawat bermacam-macam wayang kulit, ia
tinggal dalam gedung Lembisana.
BAB XI
DASAR-DASAR ETIKA PEDHALANGAN
A. Keindahan Adiluhung
Cara dalang dalam memainkan wayang sabisa-bisanya ingat pada
keindahan yang adi luhung, hati-hati memegang wayang dan bisa menghargai seni
wayang, jangan terburu-buru nanti malah bisa dianggap meremehkan seni
kebudayaan kita sudah dianggap adi luhung. Dalang harus bisa menghargai
wayang karena sandang pangan dalang itu adalah karena bermain wayang dengan
tetabuhan semalam suntuk. Jadi kalau memperlakukan wayang-wayang dengan
seenaknya sendiri itu kurang baik, kadang-kadang ada dalang yang menmainkan
wayang dengan dilempar-lemparkan ke udara, ada yang sampai dijungkirbalikkan
supaya dianggap sabetan gaya baru, sehingga banyak anak kecil yang melihat
bersorka-sorak dan merasa baik permainannya. Yang seperti itu masih termasuk
dalang bocah, masih suka disoraki anak kecil, masih belum bisa menghargai
budaya yang adi luhung. Kalau caranya seperti tersebut, dalam semalam
memainkan wayang, pasti ada satu atau dua wayang yang gapitnya patah karena
gapit dari tanduk itu rapuh, kalau wayang yang gapitnya dari bilah bambu itu kuat.
Kebanyakan wayang dengan gapit seperti itu hanya wayang di pedesaan dan
pesisir, yang biasanya dinamakan wayang barangan, hanya untuk sekedar untuk
mencari nafkah. Jadi tidak memikirkan tentang seni keindahan, hanya untuk
mencukupi kebutuhan.
Kalau yang dimainakan adalah wayang yang bagus dan rumit ukirannya
dengan dipoles prada emas, dengan gapit dari tanduk putih dan pilihan, yang
punya teliti pada garapan, wayang yang nantinya akan banyak dimiliki oleh
priyayi yang kaya dan senang pada wayang maka siallah mereka jika dalang
dalang yang memainkan hanya seenaknya saja, memakai cara memainkan wayang
di pedesaan tersebut, tidak bisa membedakan baik buruk barang, semua dianggap
sama.
Begitulah model dalang gaya baru sekarang ini, banyak yang merusakkan
wayang dan belum bisa menghargai seni karya juru tatah wayang dan juru
panyungging. Makanya jadi dalang itu tidak gampang, harus cinta pada wayang
siapa saja dan bisa menghargai, sopan santun dalam memainkan wayang, jangan
meremehkan wayang. Jika terjebak memainkan wayang di tempat yang biasanya
hanya seadanya, jangan merasa kecewa hatinya, harus bisa memainkan sama
dengan wayangnya orang kaya yang serba baik. Jadi jika ada dalang memainkan
wayang dengan dijungkirbalikkan atau dilempar-lemparkan supaya bisa kelihatan
berpindah tempat atau kelihatan melompat, itu bukan cara dalang memainkan
wayang.
Dalang seperti itu jika tidak punya wayang sendiri, biasanya kalau mencari
sewaan wayang jadi sulit, para priyayi yang punya wayang tidak akan
menyewakannya karena pasti ada wayang yang rusak, yang pasti gapitnya akan
putus pas di pinggang wayang. Makanya banyak yang tidak mau menyewakan
wayang pada dalang yang seperti itu.
Tatacara dalang mengambil dan menancapkan wayang harus dengan
tangan kanan, tangan kiri hanya diam saja. Jika tangan kiri ikut menancapkan
dinamakan diksura dan lagi jika tiba wayang yang besar biasanya kurang dalam
menancapkannya, wayangnya kadang masih bergoyang akan rubuh karena kurang
dalam menancapkannya. Jika sampai terlalu dalam juga kurang baik, susah
mencabutnya. Maka kalau tangan kanan harus bisa mengira-ira dangkal atau
dalamnya dalam menancapkan wayang. Kalau mengeluarkan wayang dalam
pakeliran harus bisa mengira-ira lebar sempitnya paseban, jangan sampai
kelihatan memenuhi tempat dan jelas penataannya, muka wayang supaya bisa
kelihatan satu-satu, jadi bisa menyebutkan nama wayang satu persatu.
Menata wayang dalam paseban harus ingat pada besar kecilnya wayang.
Misalnya menata wayang Kraton Ngalengka yang besar-besar, cukup 6 buah saja.
Penataannya yang baik, kalau butuh agak banyak boleh sampai 8 buah, misalnya
wayang yang besar dikurangi Kumbakarna. Jika sampai pada wayang yang
ukurannya sedang misalnya sabrangan Boma beserta pasukan manusia, itu cukup
8 buah. Jika wayangnya kecil bisa dikira-kira sendiri bagaimana agar baik dilihat.
Selama dalang memainkan wayang itu sabisa mungkin sambil menata dan
mempersiapkan wayang yang akan keluar selanjutnya. Caranya sambil
menceritakan suatu adegan wayang apa saja, bisa sambil mempersiapkan wayang
yang akan dibutuhkan, jangan hanya mengandalkan pada panyumping (pembantu)
saja.
Dalang juga harus tahu tentang keapesan wayang. Kalau menumpuk
wayang jangan melintang nanti bisa mematahkan gapit, meletakkan wayang diatur
agar rata kelihatan tergelar rapi. Kalau sampai wayang tadi asal meletakkannya
akan bingung mengambilnya. Mengambil wayang jangan sampai diseret nanti
tangannya tersangkut dan kadang-kadang membuat putusnya sambungan tangan
atau lepas dari sambungan. Kadang kala ada yang sampai memutuskan pegangan
tanganan, lepas talinya dari telapak tangan wayang. Cara mengambilnya harus
dibuka satu-satu. Kalau sudah ketemu wayang yang dibutuhkan lalu dipegang
gapitnya, ditarik ke bawah sambil maju dan diringkas tangannya dengan
memperhatikan wajah wayang jangan sampai ada yang tertekuk hidungnya nanti
bisa membuat cacat wayang.
B. Gapit Wayang
Wayang yang wajahnya dicat hitam kalau terlipat tidak terlalu kelihatan
cacatnya, tapi kalau yang wajahnya merah muda (puru) atau putih, brom (prada)
dan wayang yang sejenisnya biasanya kelihatan jelas bergaris atau rusak catnya.
Itulah sebabnya mengapa memainkan wayang jangan sampai gapitnya
melengkung, begitu juga menancapkan jangan sampai gapit tadi terlipat.
Pegangan dari tanduk itu mudah patah karena rapuh, berbeda dengan gapit bambu
atau penjalinPatahnya gapit itu biasanya di bagian pinggang wayang karena disitu
adalah tempat gubahan gapit.
Jika menancapkan wayang jangan sampai terlalu dekat dengan kelir, nanti
kalau dilihat dari belakang kelir akan kelihatan seperti patung (arca) diam tidak
bergerak, hitam dan tidak hidup. Wayang ditancapkan agak miring sedikit, yang
menempel di kelir hanya wajah wayang sampai telapak kaki yang depan. Jadi
kalau tersorot sinar lampu blencong, bayangannya bisa kelihatan bergerak, kalau
dipandang dari belakang kelir kelihatan seperti punya nyawa. Kalau menancapkan
wayang terlalu tinggi dinamakan wayangnya dinamakan mabur karena tidak
menyentuh tanah. Kalau terlalu dalam menancapkannya dinamakan kungkum,
kalau menancapkan wayang yang di depan jangan sampai terlalu menunduk, nanti
dinamakan nlosor, bagaimana sebaiknya saja. Menancapkan wayang yang di
depan, kepuh dodot yang pas pinggang diatur supaya jatuh di atas palemahan agak
ke atas sedikit. Jadi seperti orang yang sedang duduk bersila duduk menghadap
ratunya, atau pada wayang kang ada di depannya.
Kalau menyabet wayang jangan sampai bersangkutan, seperlunya saja
jangan sampai diulang-ulang malah jadi ruwet. Kalau sampai ruwet yang melihat
dari belakang kelir akan merasa pusing kepala karena melihat kelebat sana kelebat
sini tanpa arti. Memang tidak gampang memainkan wayang dalam pakeliran tadi.
Makanya harus lincah memegang wayang, jangan sampai terlepas pegangannya.
Begitulah cara merawat wayang yang dinamakan anggulawentah wayang, jadi
harus senang dan cinta pada wayang apa saja. Memainkannya harus teliti hati-hati,
dan bagi orang asing agar bisa menghargai pada kagunan yang adi luhung tadi.
Dalam memainkan wayang, kalau menceritakan lakon wayang jangan
sampai keluar dari kelir, harus apa adanya watak wayang yang ada dalam lakon
sesuai lakon yang dimainkan yaitu cerita wayang purwa ketika jaman dahulu.
Jangan sampai dibelokkan dengan lelakon jaman sekarang, nanti akan membuat
kacau anggapan para tamu dan para penonton, sehingga dinamakan tanpa waton.
Jangan suka membicarakan wayang sampai memakai nama para tamu dan
penonton. Ya kalau hatinya berkenan, kalau tidak nanti malah membuat salah
paham tidak baik jadinya. Jangan suka membicarakan keadaan keadaan jaman
sekarang. Benar atau salah itu bukan kewajiban dalang memainkan wayang.
Jangan sampai mau menerima kalau ada priyayi yang titip rembug apa saja supaya
dimasukkan dalam pembicaraan wayang yang dirasa bisa pas. Itu tidak baik, nanti
dinamakan dalang corong (trompet) jadi tukang propaganda dan bisa jadi cacat
membuat isi cerita pedalangan tidak cocok dengan cerita lakon ketika jaman
purwa. Intinya adalah dalang memainkan wayang semalam itu yang dibicarakan
hanya cerita lakon wayang ketika jaman purwa saja dan sesuai wayangnya. Kalau
wayangnya madya, ya jamannya jaman madya, kalau wayang gedog ya jaman
Jenggala dan seterusnya. Karena umumnya kebanyakan digunakan untuk
memainkan wayang itu adalah wayang purwa, jadi jangan sampai melenceng dari
bentuk barang yang sudah ada. lagi pula kalau bicara jangan sampai rusuh atau
saru, kalau sampai terdengar para putra-putri yang melihat di belakang kelir
kurang baik.
Kalau memukul kotak jangan terlalu sering, kalau membuat jarak
pemukulan yang jelas mengikuti ucapan wayang atau kalau wayang yang lain
perlu menyahut untuk menjawab pertanyaan atau ucapannya tadi jadi ada sela
tidak membuat bingung teman-teman niyaga yang menabuh gamelan. Pernah ada
kejadian, niyaga ingin meminta singgetan patet. Sudah mengambil rebab dan
digesek ternyata wayang masih berbicara dan diselingi suara ketukan kotak. Yang
mendengarkan jadi bingung, tidak mengerti ucapan wayang malah bising dengan
suara kotak dipukul tanpa arti. Intinya harus bisa menerapkan, memukul kotak
yang tepat jangan sampai mengganggu ucapan wayang dan keinginan niyaga.
Kalau cerita harus yang jelas jadi bisa dirasakan, jangan hanya asal bicara
seperti menghafal dan jangan sampai diulang-ulang, malah ada yang salah ucap.
Begitulah, apa yan dirasa baik malah sebaliknya, tidak ada orang yang
memperhatikan, hanya dianggap seperti burung mengoceh saja. Makanya harus
hati-hati, kalau cerita yang jelas dan turut jadi enak didengarkan dan tidak perlu
terburu-buru. Kalau tidak mengerti bahasa dan kata jangan berani memberi arti,
nanit keliru maknanya. Kalau ada kata yang sudah jadi jangan berani mengubah
atau ngotak atik, nanti malah berbeda maknanya. Lebih baik dibaca apa bunyinya
saja dan jangan sampai berganti kalimat. Makanya dalang harus hawicitra, Mardi
basa, Mardi kawi itulah modal untuk jadi dalang.
C. Gending untuk Pewayangan
Dalam memainkan wayang jangan sampai menoleh kesana kemari kalau
tidak ada perlu yang penting dan jangan sampai sok pintar. Lebih tumungkul
(menunduk). Yang dimaksud tumungkul di sini bukan menundukkan muka
melihat ke bawah, tapi menundukkan hati, menjadi satu dengan permainan
wayang. Satu lagi, jangan sampai bersandar pada kotak, duduk yang tegak jangan
membungkuk, kalau bersuara nanti tidak bisa kuat napasnya. Kalau sedang
ngepyak (memukul kepyak) duduknya agak miring ke kiri sedikit. Ada dalang
yang memukul kepyak dengan tungkai kaki, maksudnya supaya bisa terasa
mantap keras suaranya sampai kotaknya bergeser dari tempatnya. Yang seperti itu
salah karena kelihatan kasar, cara seperti itu dinamakan kepyakan cara pedesaan,
hanya asal suaranya keras saja sampai mengalahkan gamelan, itu kurang baik.
Harus disesuaikan dengan laras gamelan, jadi bisa enak didengarkan. Intinya
harus bisa menerapkan pada dirinya sendiri jangan sampai kelihatan kurang baik,
nanti dinamakan diksura, tidak mengerti udanagara. Dalang dalam memainkan
wayang pasti banyak tamu-tamu yang hadir untuk melihat dan memperhatikan
cerita serta piwulang dalang dalam memainkan wayang semalam suntuk itu. Tamu
kebanyakan itu ada bermacam-macam, ada orang asing yang punya pengetahuan
luas melebihi si dalang, malah ada dalang yang datang untuk melihat cara
memainkan wayang. Makanya tidak gampang jadi dalang.
Kalau sudah laris dan kondang jangan sombong meremehkan temannya
mencari makan, lalu kurang menghormati niyaga. Apa ada dalang memainkan
wayang tanpa tabuhan, jadinya tidak bagus. Tersebut semua ajaran yang menjadi
wewaler dalang. Kalau memainkan gending untuk pewayangan itu harus ingat
pada bentuk wayang, wayang dugangan, alusan, bapangan, atau wayang dagelan,
juga sedang memainkan adegan apa dan dimana tempatnya. Misalnya kalau di
Dwarawati gendingnya karawitan, kalau di Astina Kabor. Itu sudah ada
ketentuannya sendiri-sendiri. Jengkar dari di pasewaan atau cukup ayak-ayakan
saja, kalau sudah sampai depan gapura terus dilagukan pangjangmas. Itu sudah
menjadi ketentuan, jangan sampai gendingnya diganti gleyong karena gending
Gleyong itu gending yang digunakan dalam bubaran resepsi, jadi bukan gending
wayangan. Kalau kadatonan gendingnya Titipati atau Damarkeli itu sudah baik,
jangan Semaradana atau Pangkur kebar, itu gending untuk tari kiprahan yaitu tari
Gambyong.
Jadi tidak tepat kalau diterapkan dalam pakeliran wayang serta jangan
memainkan gending Bedayan dalam pakeliran, itu tidak selaras dengan
pewayangan, hanya untuk digunakan ketika Limbuk dan Cangik menari saja. Lagi
pula kalau masih sore memainkan gending gobyog itu kurang baik. Itulah yang
dinamakan tidak bisa menerapkan karawitan untuk wayang purwa. Gending-
gending untuk pewayangan itu sudah ada sendiri, sudah diciptakan oleh empu-
empu yang ahli gending pewayangan. Jadi kita itu hanya cukup melestarikan saja
jangan sampai diganti dengan gending baru yang sedang in sekarang ini. Itu tidak
cocok dalam pewayangan karena ini wayangan, bukan klenengan mana suka.
Jangan sampai dicampur aduk, nanti membuat kacau, sudha ada ketentuannya
sendiri-sendiri. Kalau sampai berlarut-larut namanya merusak seni kebudayaan
kita.
D. Dalang Sejati, Purba Wasesa
Macam-macam dalang sudah ada namanya sendiri-sendiri, yaitu lima
macam:
1. Dalang Sejati.
Kalau memainkan wayang, semua lakon pewayangan berisi pendidikan yang
baik untuk contoh para penonton. Yang diceritakan dalam lakon wayang
berisi ilmu kebatinan, wejangan sangkan pnama dumadi sampai kesejatian.
Jadi memberi terang pada para penonton yang masih hatinya masih merasa
gelap, memberi wejangan tentang hidup manusia agar bisa menuju
kasempurnan. Jadi lahir dan batin itu bisa seia sekata, luar dan dalam menuju
pada tindakan yang baik, jangan sampai manusia itu melenceng menuruti
keinginan sendiri. Itulh yang dinamakan Dalang sejati.
2. Dalang Purba
Dalang ini kalau memainkan wayang dengan cerita yang isinya bermacam-
macam, yaitu cerita lakon wayang yang bisa digunakan untuk bekal hidup
manusia sehari-hari. Lahir dan batin mneuju kesempurnaan. Makanya cara
memberi petunjuk hanya dengan kata yang halus-halus, sebagai wejangan
pada para penonton sampai masuk ke dalam hati, meskipun sudah selesai
wayangnya tapi merasa masih menerima wejangan Ki Dalang tersebut. Itulah
yang dinamakan dalang purba, artinya dalang yang sudah bisa merasakan
rasa kasar halusnya manusia.
3. Dalang Wasesa
Dalang wasesa kalau memainkan wayang sudah mahir, cara menceritakan
wayang sampai bisa seperti hidup karena pandainya membuat kata-kata,
sampai bisa membuat para penonton ikut merasa prihatin kalau wayang
sedang prihatin, seperti benar-benar ikut susah. Begitu seterusnya, karena
kepandaian memainkan dan melagukan segala tingkah laku wayang, seperti
itulah yang dinamakan dalang wasesa, artinya sudah bisa menguasai
pakeliran.
4. Dalang Guna
Kepandaiannya menjalankan pakeliran hanya menurut pada cerita yang pasti
disenangi oleh penonton saja. Ceritanya kosong, tidak ada wejangan hanya
sekedar ramai saja dan kelihatan pandai memainkan wayang, jadi bisanya
baru memainkan wayang sambil diiringi tetabuhan semalam suntuk, sekalian
menunggu rumah. Caranya hanya seperti orang bermain wayang lugu,
ceritanya tanpa isi, kalau memilih lakon pasti mencari lakon kebanyakan
perangnya, sedikit gending dan ceritanya. Memilih lakon kebanyakan
perangnya jadi gamelannya kebanyakan hanya gending sampak srepegan dan
ayak-ayakan. Semalam hanya isi tiga gending, bisa dinamakan beber bango
mati. Makanya memilih kebanyakan keluar wayang, dalam semalam jangan
sampai kehabisan lakon.
5. Dalang Wikalpa
Cara memainkan wayang hanya menurut isi pakem, semua pengetahuan bab
pedalangan. Ceritanya hanya pas apa adanya saja, menurut ajaran ketika
belajar jadi dalang ketika sekolah dalam sekolah pedalangan. Jadi hanya
seperti meniru saja, itu yang dinamakan latihan mendalang, menirukan cara
dalang memainkan wayang semalam. Itu yang dinamakan dalang wikalpa.
E. Pakem Blangkon
Yang dinamakan pakem blangkon itu seperti ini.
Pakem artinya ketentuan, yaitu wewaton; Blangkon artinya tetap, tidak
berubah. Jadi pakem blangkon itu adalah ketentuan pedalangan yang sudah
ditetapkan serta diatur menurut adat tatacara di kerajaan jawa, sebagai pedoman
para dalang jika memainkan wayang.
Jadi cara menata pakeliran menurut pada adat tatacara kraton Jawa, dan
disesuaikan dengan caranya sendiri-sendiri. Sebagai contoh, misalnya kalau
menurut pedalangan cara Surakarta, setiap lakon pertama Kraton Jawa, dimana
negaranya dan siapa ratunya, ucapan cerita janturan pasti dengan cara praja
Surakarta yaitu keadaan negara dan kemakmuran negara disampaikan dalam
cerita. negara panjang-punjung pasir wukir loh jinawi: begitu seterusnya, dan
pasti disesuaikan dengan upakarti Surakarta, lalu gapuran, sang nata keluar dari
istana dan berhenti di Srimanganti. Terus kadatonan, sang nata duduh bersama
prameswari. Terus disambung di Paseban jaba, di Pagelaran, bubaran,
membubarkan pasukan, begitu seterusnya.
Kalau cara Yogyakarta hampir sama, hanya bedanya kalau sampai laras
sanga pasti diselingi gara-gara sebagai banyolan, mengeluarkan dagelan. Jadi
yang disebut di atas tadi yang dinamakan pakem blangkon, aturan dalang kalau
memainkan wayang. Makanya kalau ada dalang memainkan wayang sampai
keluar dari pakem, artinya meninggalkan pakem, meskipun laris dan banyak orang
yang suka, tetap saja kurang baik karena tidak menurut pakem dan meninggalkan
waton pedalangan.
Pedalangan itu sudah dibagi, ada wewaton sendiri-sendiri. Kalau dalang
wayang purwa yang dimainkan wayang purwa, wayangnya juga purwa,
gamelannya slendro, gending suluk patet slendro, begitu seterusnya.
BAB XII
LAKON KANOMAN DAN KASEPUHAN
A. Lakon Wetanan
Yang dinamakan lakon wetanan itu adanya di Kanoman, yaitu di kadipaten
sedangkan yang dinamakan kulonan itu adanya di dalam Kasepuhan, kraton.
Bedanya lakon wetanan dan kulonan itu sebenarnya masih menjadi satu,
sedangkan grebanya lebih banyak lakon wetanan karena banyak lakon carangan
(anggitan). Adanya lakon seperti itu karena lakon wetanan itu ketika jaman
Mataram ditundukkan, Nyai Panjangmas melarikan diri ke timur.
Memainkan wayangnya menggunakan dagelan Semar ditemani Bagong,
sedangkan lakonnya dibuat ramai, banyak keluarnya wayang dan banyak
perangnya (sabetan) supaya kelihatan panjang ceritanya, cerita dan ucapan
wayang dikurangi jangan sampai kehabisan cerita dalam memainkan wayang
semalam itu karena yang memainkan adalah wanita, yang sudah terbiasa
menunggui suaminya memainkan wayang kalau sedang mendalang, yaitu Kyai
Panjangmas.
Jadi memainkan wayang hanya karena terbiasa menunggui dan melihat
kalau suaminya bekerja memainkan wayang. Sedangkan lakon kulonan untuk di
kasepuhan dimainkan oleh Kyai Panjangmas setelah runtuhnya Negara Mataram.
Di Kedu ke barat sampai batas Cirebon sampai tanah Pasundan. Cara Kyai
Panjangmas memainkan wayang dengan menggunakan dagelan Semar, Gareng
dan Petruk. Makanya sampai sekarang kalau Yogyakarta ke barat sampai
Banyumas, dagelannya kebanyakan hanya Semar, Gareng dan Petruk. Setelah
sampai jaman baru ini lalu ditambah dengan Bagong, sedangkan kalau Pacitan ke
timur sampai Pasuruhan, orang-orang di sana kebanyakan sudah terbiasa dengan
Semar dan Bagong, sedangkan Bagong kalau di daerah wetanan dinamakan
Mangundiwangsa.
B. Lakon Jejer
Lakon jejer itu cerita yang dimainkan di rumah beberapa malam. Misalnya
memainkan wayang tiga malam, lakon yang dimainkan masih kelanjutan dari
lakon yang sudah dimainkan pada malam sebelumnya, misalnya lakon
Partakrama, selanjutnya lakon Srikandi Maguru Manah, lalu Sembadra Larung,
begitu seterusnya. Jadi seperti cerita seri. Itulah yang dinamakan lakon jejer.
Lakon carang kadapur yaitu lakon jejer satu lakon, lalu disambung lakon
carangan yaitu lakon jejer yang pendek. Lalu disambung carangan tapi masih satu
cerita, bisa selesai dalam semalam. Artinya masih satu cerita, itu yang dinamakan
lakon carang kadapur. Lakon carangan, terpisah dengan lakon jejer serta tidak
ada lakon selanjutnya lagi jadi sudah habis. Dimainkan di rumah semalam sudah
bisa tamat.
Gamelan yang digunakan dalam pedalangan wayang kulit. Pada umumnya
gamelan untuk pedalangan itu hanya mengambil seperlunya untuk tetabuhan
wayang yaitu hanya mengambil sebagian klenengan lengkap sesuai wayangnya.
Kalau wayang purwa gamelannya laras slendro, kalau wayang Madya atau gedog,
gamelannya laras pelog dan barang, hanya mengambil sebagian klenengan
lengkap jadi tidak memakai bonangan serta tanpa gong besar. Gongnya hanya
cukup dengan gong suwukan saja, saron dua buah sebagai ganti bonang. Hanya
dibuat seperti itu sudah dipikirkan oleh para ahli karawitan yang sudah mumpuni
dalam pedalangan serta gending-gendingnya sekalian sudah disesuaikan dengan
bentuknya wayangnya. Jadi tidak hanya asal gending, asal gending baru kelihatan
bagus lalu dimainkan dalam pakeliran karena dianggap baik. Tidak tahunya malah
merusak pewayangan. Kalau gamelan tadi didengar dari kejauhan atau didengar
suaranya dalam radio dinamakan tetabuhan tarian (tari-tarian) atau tabuhan
wayang orang. Meskipun sama-sama tetabuhan wayang tapi ada bedanya, yaitu
tetabuhan wayang yang berhubungan dengan tarian karena wayang orang
dimainkan dengan tarian serta gendingnya tidak genap, hanya diambil yang cocok
dengan tariannya, gamelannya slendro dan pelog genap (komplit) bonangan, kalau
tari Langendriyan gamelannya hanya slendro, slendro lengkap bonangan
(komplit). Jadi kalau wayang kulit diberi cara begitu tidak pantas, namanya tidak
bisa menempatkan pada keluhuran kebudayaan kita.
C. Bahasa Pedalangan
Bahasa dalam pedalangan itu sudah diatur dan diracik oleh para ahli
bahasa yang sudah mumpuni dalam bahasa dan kasusastraan dan disesuaikan
dengan isi cerita pedalangan. Meskipun bahasa pedalangan itu campuran tapi
sudah diolah oleh para ahli bahasa supaya bahasa tadi bisa hidup dan enak
pengucapan kata-katanya. Kalau diterapkan dalam pedalangan bisa gampang
dimengerti oleh umum yang mendengarkan.
Para dalang yang belum mengerti pada bahasa dan kata-kata yang sudah
disusun dalam pedalangan, yang dinamakan tembung dadi, itu jangan sekali-kali
merubah, menambahi atau mengurangi, terlebih lagi sampai memberi arti kalau
belum bisa melebihi pengetahuan para pujangga yang disebut di atas tadi. Lebih
baik dibaca atau dihafalkan sampai hapal di luar kepala, diucapkan apa adanya
saja.
Kata-kata tadi kalau diotak-atik lalu diartikan dengan kata jarwa dosok
tidak bisa cocok, malah membingungkan, artinya berbeda dengan yang
diinginkan. Kebanyakan dalang sekarang senang mengubah dan mengganti,
mengartikan kata-kata pedalangan yang sudah dinamakan tembung dadi atau
hidup tersebut. Mengartikannya diputus-putus, maksudnya supaya benar
mengartikannya, tapi pada akhirnya malah membuat bingung. Lagi pula semua
nama negara, tempat dan pedesaan, pagunungan, pertapaan, kayangan, di jaman
purwa itu tidak bisa dibuat dengan bahasa inggil, nanti malah ucapannya berbeda.
Dalam pedalangan sudah ada artinya sendiri, yang sudah cocok dengan keinginan.
Misalnya di negara Astina, di Gajahoyo; mengapa dinamakan Astina, maksudnya
Dwipangga sirna ing Gajahoyo, yaitu kerajaan Dwipangga, begitu seterusnya.
Lagi pula kalau sedang membahasakan wayang supaya dengan bahasa Jawa yang
murni jangan sampai dicampuri bahasa Indonesia atau bahasa asing.
D. Bahasa Kedaton
Bahasa kadaton Krama Ngoko Bahasa Indonesia
hulun sampeyan Aku Aku
Henggeh Inggih Hiya Ya
Neda Sumangga Ayo, mara Ayo
Rereh Kendel Leren Istirahat
Roboyo Mengko Pantes, aku Pantas, aku
Kadimana Kados pundi Kapriye Bagaimana
Kapatedan Diberi Diwenehi Diberi
Memiliki Memiliki Duwe Punya
Wenten Wonten Ana Ada
Warahen Sampeyan
sanjangi
Tuturana Dinasehati
Wawi Suwawi Ayo Ayo
Punapi Punapa Apa Apa
Para Sampeyan Kowe Kamu, engkau
Pakenira Sampeyan Kowe Kamu, engkau
Manira Kula Aku dak Aku
Meninga Melihat Weruh Melihat
Meksih Taksih Isih Masih
Beneh Sanes Bedha seje Berbeda
Benten Sanes Beda Berbeda
Boja Boten Ora Tidak
Contohnya:
Prabu Druyudana berkata pada patih Sangkuni:
“Paman harya, boja jadi guguping ati pakenira, manira timbali maring
pasewakan, paman.” Sanghyang Guru ke Batara Narada: “Henggeh, marma
handika ulun piji, robojo kang mawa gara-gara palibaya kalimput.” Begitu
seterusnya.
Bahasa madya
1. Prehpun Priye Bagaimana
2. Wikana Embuh (kilap) Entah
3. Makoten mangkene Seperti ini
4. Melih Maneh Lagi
5. Mengke Mengko Nanti
6. Mawon Bae Saja
7. Ngrika Kana Di sana
8. Nika Ika Itu
9. Ture Jarene Katanya
10. Gale Nika Itu
11. Samang Kowe Kamu, engkau
12. Siyen Biyen Dulu
13. Dawek Ayo, enya Ayo
14. Empun Uwis Sudah
15. Engga Enya Ini
16. Onten Ana Ada
17. Ndika Kowe Kamu, engkau
18. Kriyin Disik Dulu
Contohnya:
Semar: “Ndika niku keprehpun ndara, wong butane galak ngoten kok diumbar
mawon, mboknggih empun enggal di uwisi.”
Kala Pragalba: “Neda adi sambung-sambung obor, pada budal.”
Sinauran: “Enggeh, ndaweg-ndaweg.”
Begitu seterusnya.
E. Bahasa Kasar
Basa kasar
1. Ambadog Mangan Makan
2. Anyaplok Mangan Makan
3. Anguntal Mangan Makan
4. Endas Sirah Kepala
5. Gundul Sirah Kepala
6. Andublong Ngising Buang air besar
7. Andodol Susuker
8. Kaplak Tuwa Tua
9. Gerang Tuwa Tua
10. Daplok Tuwa Tua
11. Congor Cangkem Mulut
12. Cocot cangkem Mulut
13. Cokor Tangan Tangan
14. Nracak Kurang ajar Kurang ajar
15. Edan Gingsir owah Gila
16. Pecus Bisa, saged Bisa
17. Jengos Bisa, saged Bisa
18. Anjibus Cumbana
19. Nyilit Cumbana
20. Gedohan Wateg
21. Anjejeli Aweh pangan Memberi makan
22. Inding Pipih, kempitan
23. Cendeng Sanak
24. Gobog Kuping Telinga
25. Ngecipris Calatu Cerewet
26. Ngokop Minum Minum
27. Waduk Perut Perut
28. Cungkur Irung Hidung
29. Micek Turu Tidur
30. Ngringkel Turu Tidur
31. Anjintel Turu Tidur
32. Mleding Turu Tidur
33. Modar Mati Mati
34. Anjelag Ngapusi Bohong
35. Pelus Planangan Alat vital laki-laki
36. Cemimik pawadonan Alat vital wanita
37. Andableg Ora ngrewes Kepala batu
38. Andableg Ora dirasakake Tidak dirasakan
Contohnya
Orang marah: “E, bocah dituturi wong tuwa ora ngrewes, mung ndableg
bae.”
Orang bertengkar: “O, wong nracak kurang ajar nyandak gundul tanpa
amit, wong edan ane.” Begitu seterusnya. Yang lainnya cukup dengan bahasa
krama inggil dan bahasa lumrah tapi jangan sampai tercampur dengan bahasa
Indonesia atau bahasa asing. Pujian untuk ratu atau negara banyak jenisnya. Dari
yang lengkap sampai yang hanya untuk kesenangan, sering digunakan dalam
cerita pedalangan. Contohnya seperti ini: Pujian untuk Negara.
Swuh rep data tita ana: Anenggih wau kocapa, nagari pundi ingkang
kaeka adi dasa purwa. Eka: sawiji, adi: linuwih, dasa: sapuluh, purwa: kawitan.
Sanajan kathah titahing Dewa kang kasangga pratiwi, kaungkulan ing akasa,
kapit ing samodra, kathah kang anggana raras, boten wonten kados nagari ing
Mandraka. Mila kinarya bebuka, kocap ngari satus tan angsal kekalih, sewu tan
antuk sadasa. Dasar nagari panjang apunjung, pasir wukir, loh jinawi, gemah
ripah, karta raharja, panjang dwa pocapane, punjung luhur kawibawane, Pasir
samodra, awukir gunung dasar nagari angungkuraken pagunungan,
angeringaken pasabinan, anengenaken bengawan, angajengaken bandaran
ageng, loh: tulus kang sarwa tinandur, ajinawi: murah ingkang tinuku, gemah:
katandha ingkang laku dagang rinten dalu lumampah tan ana pedote, datan
wonten sangsayanireng margi, aripah: katandha ingkang tepung cukit adu taritis
sking gemah harjaning nagari. Karta: Katandha kawula ing padhusunan ingkang
lampah tetanen, angingu kebo, sapi, bebek, ayam tana cinancangan yen rina sami
aglar aneng pangonan, wancining dalu wngsul marang kandang asowang-
sowang, sangking kalising durjana juti. Raharja: dening tebih parang muka,
tuwin abdi Mantri Bupati tan wonten lampah cecengilan atut rukun anggonira
ngangkat ngangkat karyaning ratu, mila nagari ing Mandraka keringan ing
ngatmaja praja, dasar negara Mandraka gede obore, padang jagade, duwur
kukuse adoh kuncnama, boten ing tanah Jawi kemawon, sameskipun tanah sbrang
kathah ingkang asuwita.
Contoh pujian untuk ratu: Wenang dipun ucapaken jejuluking Narendra
ing Mandraka. Prabu Narasoma: ratu sareh marang dasih Salya: ratu wiyar
cecawanganing panggalih, Mandradipa: Ratu linuwih, Mandrakeswara,
langkung luhur, Somadenta: tutut ing gading. Pranyata Sri Bupati ing Mandraka
ambeg pinandita. Mila katah praja nungkul arais tanpa pinukul ing yuda,
sangking kungkulan pambekaning ratu. Dene Sri Bupati ing Mandraka agung
danane, paring sandang wong kawudan, suka teken wong kalunyon, asung
kudung ing kapanasen, paring pangan ing janma kaluwen, karya sukaning
prihatin. Tuhu tan kena winanti danane Sinuhun ing Mandraka, yen ta
ginunggunga wiyaring jajahan luhuring keprabon tuwin pambekaning ratu,
sadalu tan wonten pedote. Pinunggel ingkang murweng kawi Sinigeg. Yang
disebut di atas tadi dinamakan bahasa dan tembung jadi, yaitu sudah diatur dengan
baik kata-katanya sehingga enak didengarkan.
F. Kitab-Kitab Pewayangan
Serat Mahabarata itu berisi sejarah yang berisi 18 cerita lakon, yaitu yang
dinamakan Parwa. Di tanah Hindu dan di tanah Jawa, untuk kasusastran Jawa
kuna, sampai sekarang bisa menemukan sembilan parwa: 1. Adiparwa, 2.
Soboparwa, 3. Wirataparwa, 4. Udyagaparwa, 5. Bhismoparwa. sedangkan yang
empat atau empat parwa itu adalah Parwa-parwa kecil yang terakhir.
Parwa-parwa Jawa kuna ditulis dengan cara disalin untuk naskah atau
karangan pendek, sedangkan bahasa kawinya disalin dengan teliti, tapi parwa-
parwa tersebut bisa diringkas isinya, kebanyakan untuk mengisi dalam
pedalangan, seperti cerita Mahabarata ada dalam cerita pedalangan dengan cerita
lakon.
Parwa-parwa Jawa kuna terkenal ketika abad yang ke 11. semua parwa-
parwa tadi diambil dari naskah Mahabarata asli, masih ditulis dengan bahasa
Kawi yang ditulis sabelum tahun 1000 Masehi, sehingga tidak diketahui siapa
pengarang parwa-parwa tersebut. Literatur yang berasal dari Hindia berisi cerita
Mahabarata yang serupa, isinya empat parwa, yaitu:
1. Adiparwa
2. Soboparwa
3. Wirataparwa
4. Bhismoparwa
Selain keempat parwa besar tersebut, juga ada empat parwa kecil yang
terakhir. Kakawin yang perlu diketahui ada dua, yaitu: Cerita Harjuna Wiwaha,
karangan Empu Kanwa tahun 1030. Cerita Baratayuda, karangan dua bersaudara,
yaitu Empu Sedah dengan Empu Panuluh, ketika tahun 1157, isi cerita buku itu
dengan dilagukan tembang macapat sesuai cerita lakon. Isi cerita dengan tembang
macapat tersebut memuji ratu-ratu yaitu Prabu Jayabaya dan Erlangga, yang
ketika itu berkeraton di tanah Jawa Timur.
Empu Sedah dan Empu Panuluh itu pujangga kasusastran Jawa kuna.
Empu Panuluh itu yang menyelesaikan tulisan Baratayuda yang dimulai oleh
Empu Sedah. Kakawin itu menggambarkan perang saudara antara dua negara,
yaitu Kediri dan Jenggala. Juga menulis Gatutkaca Sraya dan Hariwangsa, pada
jaman Prabu Jayabaya. Dalam serat kawi Smaradahana ditulis pada abad yang ke
12, serat itu menceritakan lakon Prabu Kameswara. Sutasoma adalah buku tulisan
Budha yang sudah ditemukan dalam kasusastran Jawa, yaitu serat yang berisi
cerita Gatutkaca Sraya, Kresnayana dan Hariwangsa.
Serat cerita Ramayana itu karangan Empu Yogiswara, kemungkinan
berasal dari Jawa Tengah ketika tahun 925, isi cerita Harjunawijaya dan
Sumanasantaka. Cerita Ramayana karangan Jayadipuran tidak mengambil dari
Ramayana Kawi karangan pujangga Walmiki, juga tidak mengambil dari Harjuna-
Sasrabahu. Itulah tulisan baku serat kuna yang sering diambil untuk cerita lakon
wayang purwa ada dalam cerita pedalangan, yang digunakan sebagai dasar cerita
lakon wayang.
G. Lakon-Lakon Pasemon
1. Lakon Swargabandang. Dibuat oleh Panembahan Senapati Mataram,
sebagai peringatan ketika Mangir runtuh (Babad Mangir)
2. Lakon Rajamala, dibuat oleh Panembahan Senapati Mataram, sebagai
peringatan matinya Harja Panangsang, di Jipangpanolan.
3. Lakon Mustakaweni sampai Petruk Dadi Ratu, sebagai peringatan PBI
sinuhun Pakubuwana yang ke satu.
4. Lakon Gilingwesi, Werkudara Dadi Ratu, dibuat P.B. yang ke III, sebagai
peringatan runtuhnya Kraton Kartasura.
5. Lakon Wijanarka, dibuat P.B. yang ke III sebagai peringatan P.B. yang ke
II kembali dari Panaraga setelah diambil menantu oleh Anom Besari.
6. Lakon Suryaputra Maling, dibuat oleh P.B. yang ke III sebagai peringatan
pencuriannya pangeran Singasari.
7. Lakon Kresna Kembang, dibuat P.B. yang ke IV pasemon ratu Pambayun
bersama dengan R.M.H Natawijaya.
Cerita lakon-lakon wayang tersebut di atas, itulah yang dinamakan lakon
pasemon, peringatan keadaan kehidupan, digambarkan dalam pawayangan untuk
dimainkan dalam pakeliran. Jadi asal ceritanya memang dari kenyataan kehidupan
manusia yang sebenarnya, jadi bukan dongeng yang digambarkan dalam
pakeliran. Makanya lalu dinamakan cerita lakon pasemon. Cerita lakon wayang
purwa, kebanyakan adalah karya para empu ahli kasusastran jaman kuna, yaitu
ketika jaman Prabu Jayabaya di Kedhiri.
1. Lakon Wahanapurwa, yaitu pertemuan Dewi Gandawati atau Dewi Lara
Amis, karangan Empu Tapawangkeng di Mamenang.
2. Lakon Suktinawyasa, bertahtanya Prabu Kresnadipayana sampai menjadi
begawan di Saptarga dengan julukan sang Maharsi Begawan Abyasa. Cerita
karangan Empu Wijayaka di Mamenang.
3. Lakon Gorowongso, cerita karangan Empu Barandang.
4. Lakon Kumbayana, cerita karangan Empu Braradya.
5. Lakon Bimabungkus, cerita karangan Empu Ragarunti
6. Lakon Muksane Prabu Pandu, cerita karangan Empu Mayangga
7. Lakon Drestanagara (Drestarasta) menjadi ratu sampai turun tahta, cerita
karangan Empu Widyatmaka.
8. Lakon Kurumaka, alap-alapan Dursilawati, cerita karangan Empu Mujwa.
9. Lakon Bale Sagala-gala cerita karangan Empu Salukat Karmajaya.
10. Lakon Hambaralaya sampai Jaladara rabi Werdiningsih, cerita karangan
Empu Purusaka.
11. Lakon Krida Kresna, cerita karangan Empu Jaruwaya.
12. Lakon Alap-alapan Surtikanthi, cerita karangan Empu Mudra.
13. Lakon Dewa Budha, Sanghyang Guru jadi ratu di Medangkamulan awal,
sampai berpindah kota ke Wukir Mahendra (Gunung Lawu) dan membuat
kraton Kaswargan, cerita karangan Empu Padma di Mamenang.
Lakon-lakon tersebut kebanyakan karangan para Empu ahli kasusastran di
Mamenang ketika jaman Prabu Jayabaya di Kediri. Ceritanya bagus sampai
masuk ke dalam hati, tidak berbeda jauh dengan lakon Dewa Ruci dan Harjuna
Wiwaha. Serat Jitabsara isinya menceritakan awal mula terjadinya dunia dan
seisinya, sampai kesempurnaan hidup lalu disambung dengan serat Paramayoga
yang sudah disiapkan, diurutkan oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga
ahli kasusastran di Surakarta.
Serat Paramayoga, isinya kisah Sanghyang Nurcahya sampai kisah para
dewa-dewa sejak di tanah Hindu sampai mengungsi ke pulau Jawa, lamanya
sampai 25 tahun, lalu pada kembali lagi ke tanah Hindia. Ketika berada di pulau
Jawa membuat kerajaan, makanya sampai sekarang orang-orang di pulau Jawa
masih banyak menceritakan ceritanya, dan masih percaya pada dewa-dewa
tersebut sampai bisa memindah cerita-cerita tadi sebagai isi dalam lakon wayang
purwa sampai jaman sekarang, sekaligus sebagai pengingat pada para leluhur
jaman dahulu.
Serat Pustaka Raja purwa, sebagai kelanjutan dari Serat Paramayoga
tersebut di atas. Isi Serat Pustaka Raja Purwa tersebut semua adalah para empu-
empu ahli kasusastran ketika jaman Prabu Jayabaya menjadi raja di negara Kediri
ketika tahun surya 853, tahun candra 879. Serat Pustaka Raja bagian ke 4,
bernama serat Gorowongso karangan empu Barandang, pada tahun surya 853,
tahun candra 879. Serat Pustaka Raja bagian ke 6 bernama serat Wandalaksana,
karangan empu Ragarunting di Mamenang atas perintah Sang Prabu Jayabaya
pada tahun surya 853, tahun candra 879. Serat Pustaka Raja bab yang ke 6, bagian
ke 4, bernama serat Hariwanda karangan empu Panuluh di Mamenang pada tahun
surya 853, tahun candra 879. Serat Pustaka Raja bab yang ke 6 bagian ke 5
bernama serat Parapatra karangan empu Yogiswara di Mamenang pada tahun
surya 853, tahun candra 879. Serat Pustaka Raja bab yang ke 7 bernama serat
Suktinawyasa karangan empu Wijayaka ketika tahun 853, tahun candra 879. Serat
Pustaka Raja bab yang ke 7 adalah penjelasan serat Mahapatra, dibagi dalam 8
lakon, bagian ke satu dinamakan serat Wahanyapurwa, karangan empu
Tapawangkeng di Mamenang, ketika tahun surya 853, tahun candra 879. Ada lagi
serat Mahadarma, juga serat karangan para empu kasusastran Jawa ketika jaman
Prabu Jayabaya di Kediri, isi serat-serat tersebut menceritakan kisah para dewa
ketika ngejawantah menjadi ratu di bumi sampai bisa menurunkan manusia yang
menjadi ratu sampai di jaman sekarang.
Isi serat Pustaka Raja itu hanya seperti cerita dongeng ketika jaman dulu,
yang berisi wejangan-wejangan yang bisa dijadikan contoh tentang baik dan
buruk kehidupan manusia di dunia ini. Jadi kalau hanya dilihat isi dongengnya
saja itu tidak bisa dijadikan cerita dalam pakeliran wayang purwa. Raja purwa
sudah diurutkan oleh seorang Pujangga ahli kasusastran di negara Surakarta
Hadiningrat, diurutkan mulai dari jilid 1 sampai jilid 15. sedangkan yang sudah
pernah dicetak menjadi buku baru sampai jilid 10 sedangkan sisanya kebanyakan
masih dalam bentuk tulisan tangan, bisa dinamakan carikan.
BAB XIII
PAKEM WAYANG SEBAGAI TUNTUNAN PEDHALANGAN
A. Gelar Ratu Jaman Purwa
Di Campalareja:
1. Prabu Gandabayu
2. Prabu Drupada (Sucitra)
Di Mandaraka:
1. Prabu Mandukumara
2. Prabu Madrakiswara
3. Prabu Naradatta
4. Prabu Salya, Narasoma, Somadanta, Mandradipa, Mandrakeswara
5. Prabu Nangkula dan Sahadewa menjadi ratu setelah mempunyai putra raden
Keswara
6. Prabu Kesrawa sudah jaman Madya
Di Kumbina:
1. Prabu Bismana (Hiraniyaka) atau prabu Rukmana
Di Lesanpura:
1. Prabu Setyajit (Hekawama), atau prabu Hugrasena
2. Prabu Wresniwira (Setyaki), Bimakunting, Sarayuda, Sinisuta, Ekaboma,
Yaduwresni.
3. Prabu Sangasanga
Di Mandura:
1. Prabu Kuntiboja
2. Prabu Basudewa (Balarama)
3. Prabu Baladewa, Kakrasana, Basukiyana Wasi Jaladara, Kusumawalikita
4. Prabu Hudara, jaman madya
Di Ngawangga (Wangga):
1. Prabu Dhasta
2. Prabu Turila
3. Prabu Hadirata
4. Prabu Karna, Basusena, Suryaputra, Radeya, Kuntibojanata
Di Dwarawati:
1. Prabu Kresna, Wisnumurti, Sribatara Harimurti, Narayana, Janardana,
Danardana, Narayana, Basudewa putra.
Di Amarta:
1. Prabu Yudistira, Darmakusuma, Darmawangsa, Darmakusuma,
Darmawangsa, Darmaraja, Kuntadewa, Gunatalikrama, Dwijakangka
Di Trajutisna:
1. Prabu Bomantara
2. Prabu Bomanarakaswara
3. Rpabu Satija Mahija, Mahitalasuta
4. Prabu Hantariya
Di Wirata:
1. Prabu Basurata
2. Prabu Basupati
3. Prabu Basumurti
4. Prabu Basukesti
5. Prabu Basukeswara
6. Prabu Basuketi (Wasupati)
7. Prabu Matswapati, Durgandana, Wirateswara, Matswanata, Baswendra
Di Astina:
1. Prabu Hastimurti, Basusena, Hastima
2. Prabu Wasanta, Dewamurti
3. Prabu Pratipa
4. Prabu Dwipakiswara, Palasara
5. Prabu Santanumurti raja pandita bagawan
6. Prabu Citranggada
7. Prabu Citrawirya
8. Prabu Kresna Dwipayana, Abyasa, Dewayana, Rancakaprawa,
Sutiknaprawa, Wijasa
9. Prabu Pandudewanata, Dewayana, Gandawastra, Darmaraja
10. Prabu Drestarata, Drestanagara, Drestarastra.
11. Prabu Suyudana, Druyudana, Duryudana, Kurupati, Jayapitana,
Hanggendarisuta
12. Prabu Yudistira, Darmakusuma, Gunatalikrama, Darmawangsa,
Dwijakangka, Darmaputra.
13. Prabu Parikesit, Dipayana, Darmasarana, Mahabarata, jaman Purwa akhir
14. Prabu Yugiswara, Yudayana, Baswara, jaman Madya.
Di Lokapala:
1. Prabu Deradhana, Deroddana
2. Prabu Danurdana
3. Prabu Karda
4. Prabu Lokawana
5. Prabu Wisrawa
6. Prabu Wisrawana, Danaraja, Danapati
Di Maespati:
1. Prabu Heriya
2. Prabu Kartawirya
3. Prabu Harjunasasrabahu
Prabu Harjunawijaya
4. Prabu Rurya
5. Prabu Partawirya
Di Manggada:
1. Prabu Jisis
2. Prabu Citradarma
3. Prabu Citranggada
Di Ngayodyapala:
1. Prabu Banapati
2. Prabu Banaputra
3. Prabu Dasarata
4. Prabu Ramawijaya, Ramabadra, Ramaregawa, Dasarati
5. Prabu Barata
6. Prabu Ramawijaya
7. Prabu Ramabatlawa
Di Mantih:
1. Prabu Danuja
2. Prabu Danupati
3. Prabu Janaka
Di Ngalengka, Raja Ditya:
1. Prabu Brahmanaraja
2. Prabu Banjarjali
3. Prabu Jatimurti
4. Prabu Brahmanakanda
5. Prabu Getahbankuda
6. Prabu Brahmanatama
7. Prabu Puksara
8. Prabu Malyawan
9. Prabu Sumali
10. Prabu Dasamuka, Rahwana
11. Prabu Wibisana, manusia
Di Ngima-Imantaka, Raja Yaksa
1. Prabu Niwatakawaca, Nirbita
2. Prabu Niladatikawaca
3. Prabu Niraddakawaca
4. Prabu Drawakawaca (Hardawalika)
5. Prabu Druwayana, jaman madya
6. Prabu Sarsihawa
7. Prabu Merusupadma
8. Prabu Martiki
Nama Arah dan Tempat
1. Purwa = timur
2. Narasunya = barat daya
3. Untara = utara
4. Nurwitri = timur laut
5. Pracima = barat
6. Byabya = tenggara
7. Raksira = selatan
8. Kaneya = barat laut
9. Gagana = atas
10. Patala = bawah
Cahaya Matahari
1. Arkasuta = sinar matahari
2. Harjamaya = cahaya matahari
3. Kastuba = merahnya matahari
4. Suryaja = terbitnya matahari
Nama Sitinggil
1. Siti luhur
2. Siti bentar
3. Sewayana
4. Mangunturtangkil
5. Manguntaraya
6. Balerungga
7. Lemah duwur
8. Bacira
9. Baciraja
10. Birasana
Nama Kahyangan
1. Jonggringsalaka kayangan Batara Guru
2. Parewarna kayangan Batara Guru
3. Giriloka kayangan Batara Guru
4. Suduk udal-udal kayangan Batara Naradda
5. Nusakambangan kayangan Batara Kala (Berawa)
6. Setragandamayu kayangan Batari Durga, hyang Pramoni
7. Semaralaya kayangan Batari Durga, hyang Pramuni
8. Semarapada kayangan Batari Durga, hyang Pramoni
9. Swargaloka kayangan Batari Durga, hyang Pramoni
10. Janaloka kayangan Batari Durga, hyang Pramoni
Nama kahyangan para Jawata
11. Hendraloka kayangan Batara Hendra
12. Hendrabawana kayangan Batara Hendra
13. Hariloka kayangan Batara Hendra
14. Harbawana kayangan Batara Hendra
15. Hariwanda kayangan Batara Hendra
16. Hamaraloka kayangan Batara Hendra
17. Nirayapada kayangan Batara Hendra
18. Suranadi kayangan Batara Hendra
19. Suralaya kayangan Batara Hendra
20. Surabawana kayangan Batara Kumajaya
21. Cakrakembang kayangan Batara Kumajaya
22. Cakrapura kayangan Batara Kumajaya
23. Kadewatan kayangan Batara Kumajaya
24. Kamuksapada kayangan Batara Kumajaya
25. Triloka kayangan Batara Kumajaya
26. Sunyapuri kayangan Batara Kumajaya
27. Gargadhahana kayangan Batara Brahma
28. Hargadumilah kayangan Batara Yamadipati
29. Nguntasagara kayangan Batara Wisnu
30. Saptapratala kayangan Batara Antaboga
31. Bulatan kayangan Batari Wilutama
B. Silsilah para Pandawa
1. Prabu Yudistira menikah dengan Raja putri di negara Pancalareja bernama
Dewi Dropadi, memiliki putra satu laki-laki bernama raden Pancawala, itu
yang disebutkan dalam pedalangan. Dewi Dropadi itu sebenarnya seorang
putri yan diperistri lima orang, yaitu Pandawa. Dari kelima orang tersebut,
dewi Drupadi bisa memiliki anak lima jumlahnya dinamakan pancaputra,
artinya jejaka lima, tapi dalam pedalangan yang sering disebut hanya satu
bernama raden Pancawala, sedangkan putra yang empat tidak disebutkan
dalam pedalangan.
2. Prabu Yudistira menikah dengan Raja putri di negara Sibi bernama dewi
Dewika, berputra satu laki-laki dengan nama Raden Yodeya, itu juga
jarang disebutkan dalam pedalangan.
3. Harya Sena menikah dengan putra Batara Antaboga di Sapta pratala yang
bernama Dewi Nagagini, memiliki seorang putra laki-laki bernama Raden
Antasena (Antareja).
4. Harya Sena menikah dengan saudara Raden Ditya Arimbamuka di negara
Pringgadani bernama Detyaksi Arimbi atau dewi Arimbi, berputra satu
laki-laki bernama Raden Tutuka atau raden Gatutkaca.
5. Harya Sena menikah dengan putra Raja di negara Kasi bernama Dewi
Balandara, berputra satu laki-laki bernama Raden Serbaga, dalam
pedalangan jaran diceritakan, hanya kalau memainkan lakon Irawan
Maling, dia menjadi teman raden Irawan di taman Kadilengeng Astina, itu
yang dinamakan lakon Irawan bakna.
Bentuk wayang Harya Serbaga itu seperti Antasena rambutnya ngore
udhal tiga.
Raden Harjuna memiliki tujuh orang putra:
1. Harya Sumitra, dari istri paminggir (selir) bernama Niken Rarasati
2. Harya Abimanyu dari istri padmi bernama Dewi Sumbadra
3. Harya Irawan dari istri padmi bernama Dewi Hulupi
4. Harya Wijanarka dari istri padmi bernama Dewi Gandawati
5. Dewi Pregiwa dari istri padmi bernama Dewi Manohara
6. Harya Wilogata dari istri padmi bernama Endang Manikara
7. Harya Caranggana dari istri padmi bernama Endang Maeswara
Ketujuh putra tersebut sudah termasuk dalam sejarah, sedangkan kalau ada
Bambangan dan putri atau endang lagi yang termasuk dalam cerita pedalangan, itu
hanya pinjaman saja untuk menggenapkan cerita lakon tambahan yaitu yang
dinamakan lakon carangan.
Harya Nangkula menikah dengan putri dari negara Cedhi bernama dewi
Karenuwati, berputra satu laki-laki bernama raden Niramitra, tidak diceritakan
dalam pedalangan.
Harya Sahadewa menikah dengan putri dari negara Madras putra Prabu
Jutiman, bernama dewi Wijaya, berputra satu dengan nama raden Suharta, tidak
diceritakan dalam Pedalangan.
C. Wayang Jaman Kartasura
Sebelum jaman Kartasura, wayang Gatutkaca itu hanya cukup berbentuk
wayang buta kecil. Hanya berbentuk seperti itu karena disesuaikan menurut
sejarahnya. Ketika dewi Arimbi sudah menjadi istri Sang Harya Sena lalu
memiliki satu anak berbentuk buta kecil, Harya Sena lalu memerintahkan pada
sang istri agar sang putra segera dibawa pulang ke Pringgadani. Putranya diberi
nama jaka Tutuka. Kalau ada keperluan, para Pandawa baru akan dipanggil. Dewi
Arimbi merestuinya. Sang bagus segera dibawa pulang ke kerajaannya. Raden
tutuka ketika masih kecil senang berkumpul dengan buta-buta (raksasa) makanya
dia bisa terbang karena buta Pringgadani itu besar maupun kecil semua bisa
terbang. Lagi pula sang bagus itu lincah sekali kalau perang pada waktu malam,
kekuatannya menakutkan melebihi semua Raksasa, juga memiliki taring. Kalau
sudah mau menggigit musuhnya tidak tanggung-tanggung, pasti sampai mati.
Siang dan malam selalu diajari oleh paman-pamannya, duajari bermacam-macam
aji-jayakawijayan, dinamakan disiram dengan banyu gege.
Setelah hampir perang Baratayuda sang bagus dipanggil. Waktu itu
umutnya baru 15 tahun tapi badannya sudah kelihatan besar seperti bapaknya, jadi
bisa mengimbangi musuh. Akhirnya, ketika sang bagus berhadapan dengan Sang
Hadipati Karna, ia lalu tiwas terkena senjata dibya kyai Kuntadruwasa. Wayang
buta kecil yang menggambarkan jaka Tutuka tersebut setelah jaman Kartasura,
atas ijin dalem sinuhun Kanjeng Susuhunan, wayang Jaka Tutuka tersebut lalu
diganti, disesuaikan dengan bentuk Sang Harya Sena, jadi supaya bisa mirip
dengan si bapak, tapi agak kecil sedikit. Sebagai polanya mengambil wayang
Antareja, lalu ditambahi pakaiannya yaitu ditambah dengan praba, wanda tatit,
karena kalau perang gerakannya lincah dan diberi nama Gatutkaca, artinya tempat
keteguhan, sejak lahir sudah tidak mempan tapak paluning pandhe sisaning
gurenda atau kebal.
Wayang Gatutkaca lalu bisa berbentuk bagus dan bregas dilihat, serta
lengkap badannya seperti ratu. Makanya dalam satu kotak kelihatan paling bregas,
seperti wayang Baladewa, genap badan dan tatahannya. Wayang Gatutkaca itu
diwarnai hitam bagus, apa lagi kalau digembleng, badannya diwarnai prada emas
akan semakin bagus. Sedangkan wayang dewa-dewa diberi pakaian panjag
memakai keris, kakinya memakai sepatu. Hanya Batara Guru dan Batari Durga
yang tidak boleh diganti karena merupakan wayang candra sangkala memet, kalau
sampai ditambahi atau dikurangi arti tahunnya akan berubah. Begitu lah yang
menjadi keinginan dalem Ingkang sinuhun Kanjeng Susuhunan di Kartasura
ketika tahun candra 1621)
D. Wayang Punakawan
Ketika jaman Mataram yang menjadi ratu adalah Hingkang sinuhun
Kanjeng Susuhunan Prabu Hanyakrawati yang wafat di Krapyak. Beliau punya
keinginan untuk membuat bentuk wayang purwa ditambah dengan wayang
dagelan untuk melengkapi, agar para dalang kalau sedang memainkan wayang
tidak kekurangan lalucon (banyolan). Yang pertama adalah adanya Semar,
Bagong, dan cantrik pawongan (emban).
Sedangkan yang dibuat baru sebagai tambahan, yaitu berwujud wayang:
1. Petruk
2. Gareng
3. Cenguris
4. Togog
5. Sarawita
6. Limbuk
7. Cangik
8. Dewi Clekutana
9. Retna Juwita
10. Parekan Buta
11. Cantrik Janaloka
12. Semar Gareng, Petruk berpakaian perempuan
13. Pawongan gelung melintang
14. Gareng, Petruk, Bagong, memakai cara ratu.
15. Kethek kacangan, ketika tahun candra 1552.
Wayang Bagong
Bagong itu terjadi dari bayangan Batara Ismaya, yaitu Ywang Ismaya
ketika diperintahkan oleh sang rama Sanghyang Tunggal untuk jadi pengurus
keturunan Resi Kanumanasa sampai Sang Harjuna. Dia lalu diberi teman yang
diciptakan dari bayangan Sang Ismaya. Bayangan tersebut lalu berbentuk wujud
bulat gemuk matanya lebar, mulut juga lebar, bibirnya menggantung memakai
gombak. Bisa menjadi wujud seperti itu memang sudah kehendak Ywang Kang
Murbeng Pasthi, sebagai teman Batara Manik Maya (Batara Guru).
Bagong itu artinya dengan gombak, ketika jaman dahulu, setiap bocah
kecil banyak yang digombak supaya awet muda seperti bocah kecil. Begitu arti
diadakannya wayang Bagong, asalnya dari kata bagong atau gombak.
Wayang Semar
Semar itu dewa yang berbadan manusia, berbentuk semamar
membingungkan, laki-laki bukan, wanita pun bukan, cebol badannya hitam
gemuk bulat, tidak muda tidak tua, di kepalanya ada kuncung jadi kelihatan
seperti bocah, makanya dia punya ciri seebntar-sebentar pasti menangis, senang
menangis, susah juga menangis karena selamanya tidak tahu senang dan tidak
tahu susah. Jadi sudah tidak ada bedanya. Warnanya hitam berarti tetap tidak
berubah (langgeng), menjadi ratu di jagad Sunyaruri, yaitu di alam sunyi. Kalau
memperlihatkan diri di bumi hanya jadi tuwagana, yaitu jadi pamong keturunan
Sang Manik Maya.
Munculnya Semar di bumi itu ketika jaman raden Kaniyasa atau Resi
Kanumanasa, pandita yang ada di Saptarga. Pada waktu itu, di sana ada orang
cebol yang sedang berlari karena dikejar dua ekor macan akan memangsanya,
orang tersebut bernama Semarasanta, lalu ditolong oleh sang resi. Macan diruwat
dengan senjata lalu berubah menjadi dua bidadari, yang tua bernama Dewi
Kanastren jadi jodoh Semarasanta, sedangkan yang muda bernama Dewi
Retnawati, jadi istri Sang Resi Kanumayasa. Semarasanta lalu nyantrik pada sang
resi dan dipanggil Janggan Semarasanta. Sang Janggan Semarasanta itu lalu jadi
pamong keturunan sang resi Kanumayasa, hanya sampai para Pandawa Raden
Harjuna. Sedangkan kalau ada putra raden Janaka dan diikuti oleh Semar itu
hanya silihan saja sebagai teman supaya bisa meramaikan pakeliran.
Kalau menurut sejarah, para satria yang boleh dirawat oleh Semar itu
hanya satria yang kuat tapanya, sering didatangi para Dewa serta yang besar
baktinya pada Dewa dan sering dimintai bantuan kalau para dewa mendapat
keruwetan, didatangi musuh dari mercapada dan merusak Kayangan, yaitu hanya
para satria yang kuat tapanya tersebut yang bisa menolong para Dewa.
Makanya dalam pedalangan, wayang yang boleh memakai gara-gara itu
hanya Resi Kanumayasa sampai Sang Harjuna, semua wayang berwujud
bokongan. Kalau sudah selesai perang kembang suluknya sendon Abimanyon,
sedangkan cakepan apalan dengan Elayana. Kalau para Bambangan putra siapa
saja, itu tidak boleh dengan gara-gara karena sudah kurang kuat tapannya, kalau
sudah selesai perang kembang suluknya patet jengking sedangkan cakepan apalan
dengan Tunjung bang trate. Jadi kalau begitu, seharuasnya ada dagelan sendiri
untuk teman Bambangan putra Sang Harjuna tadi. Kalau wayang gedog cerita
Panji sudah ada sendiri-sendiri, kalau Panji tua, yaitu raden Hinokartapati, yang
jadi temannya adalah dagelan Bancak dan Doyok. Sedangkan kalau Panji muda,
yaitu raden Sinombredapa, yang jadi temannya dagelan Sebul dan Palet.
Gelar Semar di kayangan:
1. Batara Ismaya
2. Batara Tejamaya
3. Batara Jagadwungku
4. Sanghyang Jatiwasesa
5. Sanghyang Suryakanta
Dalam pertapaan:
1. Kaki Janggan Semarasanta
2. Kaki Badranaya
3. Kaki Nayantaka
Dalam kraton atau di kasatrian:
1. Kyai Lurah Semar
2. Kyai Lurah Badranaya
Di Klampisireng:
Disebut Kyai Dudha Manangmunung
Ywang Wisesa memberikan manik astagina pada Danghyang Semarasanta, kang
memiliki delapan kesaktian:
1. Tidak merasa lapar
2. Tidak merasa ngantuk
3. Tidak merasa jatuh cinta
4. Tidak merasa sedih
5. Tidak merasa lelah
6. Tidak merasa sakit
7. Tidak merasa panas
8. Tidak merasa dingin
Manik astagina disuruh mengikatkan di rambut yang ada di kuncung.
Wejangan Sanghyang Tunggal
Nantinya akan ada 3 macam orang seperti dulu yaitu:
1. Wong biksu, artinya tanpa pusar dan tanpa ubun-ubun
2. Wong Bibima, artinya satu hati tanpa ketinggalan (Werkudara)
3. Wong Tibawarna, artinya orang yang tidak mempan senjata, yaitu selamat
dari senjata tajam, gecul marucul kuwarisan, sluman slumun slamet.
Ketahuilah itu semua sebenarnya adalah wujud diriku, itu hanya jika aku
bertemu denganmu, engkau aku beri ilham sebagai pertanda paesan ini,
perhatikanlah sela antara alisku. Dan lagi pesanku padamu, kalau ada orang yang
ubun-ubunanya bercahaya seperti cahaya matahari dan bulan, itulah wujud
kakakmu si Ismaya, meskipun orang tadi jelek, janganlah engkau ragu, semua
keinginannya laksanakanlah, karena keinginan itu pasti sudah diketahui.
E. Wayang dan Kehidupan Manusia
Wayang itu sangat disukai orang, peribahasanya sampai ambalung
sungsum, apa lagi yang merasa memiliki seperti bangsa kita sendiri di Indonesia.
Kalau wayang bangsa Tionghoa bernama wayang Potehi, kalau bangsa Eropa ada
wayang Boneka dinamakan Popenkas. Jadi kalau begitu bangsa-bangsa itu
memiliki wayang sendiri-sendiri.
Wayang itu merupakan buatan manusia, sesuai dengan keadaan yang
membuat sendiri-sendiri sebagai gambaran kehidupan manusia atau leluhurnya,
gambar yang menjelaskan adanya tingkatan kehidupan yaitu nista, madya, utama,
agar bisa menjadi contoh yang baik. Jadi wayang itu digunakan untuk memberi
gambaran dalam menerapkan bermacam-macam lakon tadi, karena lakon manusia
itu memang bermacam-macam. Intinya untuk memperjelas adanya dasar waton
nista madya utama agar bisa terang, supaya jangan sampai keliru
menempatkannya, tempat kenistaan bisa digambarkan wujudnya, juga untuk
menunjukkan dan memperjelas tentang kebaikan, karena kalau keburukan tidak
ditunjukkan, hanya disimpan saja jadi tidak bisa seimbang adanya buruk dan baik,
yaitu nistha madya utama. Semua itu sudah tergelar atas kehendak sang Maha
kuasa sebagai penyeimbang budi, pikiran, supaya bisa mengerti keadaan yang
sebenarnya. Mana yang harus dipilih dan yang bakal dilakoni itu diserahkan pada
yang bakal menjalani.
Untuk yang akan menjalani, pasti sebisanya memilih yang baik, yaitu
utama, kalau tidak bisa samadya, pilihan kanistan sebisan mungkin dihindari.
Manusia pada umumnya ingin pada kebaikan, maka kisah wayang itu banyak
yang bisa masuk sampai ke hati yang terdalam.
Pekerjaan praktek (teknik), serta pengetahuan pedalangan yang digunakan
utnuk memperjelas gambaran lakon tersebut yang baku adalah: satu, janturan
(cerita), dua, gendhing kakawin, tiga, banyol (lelucon), empat, sabetan. Meskipun
hanya empat tapi cakupannya sangat luas. Seperti janturan dalam sebuah cerita itu
sudah mencakup parama basa serta hawi crita, mengku basa, serta cerita para
leluhur itu jadi kebudayaan bangsa yang juga sangat penting. Kalau bisa jelas dan
tepat dalam menerapkannya, pasti bisa menghidupkan rasa kemuliaan. Makanya
dalam wayang, kata-kata dan isi itu lebih penting, kalau kata-katanya kosong
tanpa isi rasa atau keliru dalam menerapkan maka akan kurang baik.
1. Menceritakan itu intinya juga dalam bahasa, meskipun bisa dengan
menhafalkan kata-kata dan kalimat semua cerita, kalau mengerti unggah-
ungguh dalam kata pasti akan lebih meresap dalam.
2. Gending kekawin itu intinya adalah lagu suara, tembang atau gendeng,
sedangkan gendhing itu perpaduan suara gamelan, untuk menggambarkan
keadaan lahir batin, serta keadaan kebudayaan. Yang lebih penting adalah
untuk merekatkan tali persaudaraan, jadi wayang itu hanya jadi alat untuk
menghidupkan pakeliran. Tapi sebenarnya gendhing, gendheng itu memang
memiliki nilai kebudayaan sendiri dan perlu dilestarikan.
3. Banyolan itu intinya untuk menyenangkan hati agar gembira, jangan
sampai tegagn atau susah. Jangan sampai hanya senang-senang, atau susah
saja. Kalau keadaan tanpa banyolan, kesenangan, hanya tegang melulu
tentu akan cepat putus asa, tidak kuat menjalani kehidupan. Jadi banyolan
itu bukan hanya lelucon tanpa arti, intinya adalah guyonan untuk
menyenangkan hati. Makanya wayang alusan, kasaran, atau dalam lakon
apa saja bisa membuat tertawa, asal bisa menerapkan sopan santun.
Wayang dagelan dibuat hanya untuk melengkapi aneka warna wujud
wayang lalu diselaraskan dengan wayang yang lain, hanya untuk banyolan.
4. Sabetan itu kelincahan memainkan wayang, supaya kelihatan asri, edi, peni,
bisa menghidupkan wayang seperti benar-benar hidup. Jadi wayang serta
kawruh pedalangan itu berisi beberapa kebudayaan. Yang lebih penting,
perlu sekali dirawat dan dilestarikan.
Janggan Semarasanta
Batara Ismaya berputra Batara Wungku atau Wungkuam (Bongkokan),
Batara Wungkuam berputra bentuk manusia cebol gemuk pendek hitam kulitnya
dinamakan Semarasanta, yang tinggal di Padepokan Pujangkara, Desa Padukuhan
Ki Semarasanta tersebut, manusia cebol hitam gemuk pendek yang raganya sering
dimasuki eyangnya, Batara Ismaya, batara Semar, yaitu Dewa yang merasuk
dalam raga orang yang bernama Semarasanta tersebut untuk menjadi pamong trah
resi Kanumanasa sampai raden Harjuna. Jadi sampai enam keturunan sampai
udeg-udeg dari sang resi Kanumanasa. Orang bernama Semarasanta itu lalu
diperintahkan ngenger (ikut) nyantrik di Saptarga lalu diberi sebutan Janggan dan
bernama Janggan Semarasanta. Kalau sedang marah pada para dewa lalu dirasuki
oleh eyangnya, Batara Semar (Ismaya). Makanya wayang yang menggambarkan
Batara Ismaya atau Semar itu tidak ada, yang kelihatan di Bumi itu hanya badan
wadag manusia bernama Janggan Semarasanta tersebut. Setelah lama lalu dinamai
Semar, Semarasanta lalu hilang tidak pernah diceritakan. Manusia yang berbentuk
cebol hitam gemuk pendek tersebut lalu katelah jadi disebut Kyai lurah Semar.
Ismaya itu artinya cahaya hitam, makanya dalam pewayangan, wayang
Semar itu kebanyakan badannya dicat hitam, itu sudah cocok dengan dongengan,
kalau Ismaya itu artinya cahaya hitam. Kalau ada wayang Semar badannya tidak
hitam itu meskipun bagaimana tetap kurang sesuai dengan keadaan Ismaya
tersebut.
Ketika nyantrik di Saptarga, yang jadi teman Semarasanta adalah Putut
Supawala, Putut Supawala itu berwujud kera putih seperti Raden Senggana
(Hanoman), keduanya sangat dekat dengan Sang Resi dan diberi tugas menjaga
keselamatan di Pertapaan.
Nama-nama Gajah
1. Brajamuka = gajah untuk perang
2. Gajaksa = gajah besar
3. Gajah Hendra = ratu gajah
4. Gajah pati = ratu gajah
5. Gajah Hendriya = gajah ngamuk
6. Rajamuka = gajah yang ditunggangi ratu
7. Hesti = gajah yang ditunggangi ratu
8. Hanjana = gajah yang ditunggangi ratu
9. Diponggo = gajah yang ditunggangi ratu
10. Dirada = gajah yang ditunggangi ratu
11. Dwipo = gajah yang ditunggangi ratu
12. Dwiratyana = gajah yang ditunggangi ratu
13. Helawana = gajah yang ditunggangi ratu
14. Samaja = gajah yang ditunggangi ratu
15. Liman = gajah yang ditunggangi ratu
16. Matengga = gajah yang ditunggangi ratu
17. Gatamuka = gajah yang ditunggangi ratu
Nama-nama Macan
1. Kiswari atau Kesari = macan
2. Durma atau Durga = macan
3. Saradula atau Sardula = macan
4. Salimba atau Harimau = macan
5. Singa atau Singha = macan
6. Bragalba atau Pragalba = macan
7. Mregapati atau Mregadipa = macan
8. Mong atau monga = macan
9. Macan mengaum bernama Singanabda
10. Anak Macan bernama Wikridita
11. Ratu macan bernama Singapati atau Singantaka
12. Macan yang terjadi dari manusia bernama Narasinga
13. Harimba = macan
14. Harima atau harimong atau Rimong artinya macan
Nama-nama Ular
1. Antaboga = dewa ular
2. Nagabendana = pembesar ular
3. Nagaraja = ratu ular
4. Nagapati Ratu ular
5. Nagabasuki = ratu ula
6. Nagabanda = ular besar
7. Bujangga = ular besar
8. Hardiwalika = ular besar
9. Anta = ular besar
10. Naga = ular besar
11. Taksaka = ular
12. Sarpa = ular
13. Sawer = ular
14. Haliman = ular
Nama Kuda
1. Undakan
2. Haswa
3. Kuda
4. Kudaka
5. Kalengki
6. Kapal
7. Wajik
8. Turangga
9. Gedong
10. Swaninda
11. Prasita
12. Kuda
Nama Babi
1. Andapan
2. Durgangsa
3. Uweg
4. Wraha
5. Demalung
6. Jantaka
7. Sungkara
8. Jubris
9. Wijung
10. Wegang
11. Bagkwi
Nama Banteng
1. Handaka
2. Angun-angun
3. Sarawa
4. Jawida
5. Gurisa
6. Gawaksa
7. Gawindra
8. Grendaka
Nama Anjing
1. Segawon
2. Anjing
3. Wreka
4. Bugel
5. Srenggala
6. Cika
7. Kuwaka
Nama kuda
1. Undakan = tunggangan
2. Gedog = gegedug, sesama hewan yang paling unggul
3. Swa = kuda kinasih, yaitu tunggangan
4. Kapal = lanteh bisa mengerti pada ajaran
5. Kuda = bisa berputar
6. Jaran = unjaran, dalam gedog sendirian tanpa teman
7. Turangga, tuhurangga, tura artinya halus, angga badan, artinya lemah
badanya.
8. Wajik artinya wijik.
Nama gajah
1. Gajah = banyak tingkah, tempatnya dalam hutan
2. Hasti (Hesti) = kalau ditunggangi
3. Dirada = kalau sedang marah atau gajah meta
4. Dwirada = memiliki taring dua, dwi dua, radda gigi yaitu memiliki dua
gading.
5. Waniti = kalau diberi pakaian
6. Matengga = kalau sedang bercengkrama
7. Samaja = kalau dibawa perang
8. Gajamuka = gajah mengamuk, atau gajah kalau ditunggangi oleh buta,
atau gajah pengarep
9. Brajamuka = gajah mengamuk dengan senjata, atau kalau bertarung
10. Gatamuka = kalau akan kawin karena gantha kelihatan besar.
11. Liman = Seperti memiliki lima kaki, karena belalainya bisa menyentuh
tanah
Nama babi
1. Babi = warnanya hitam
2. Waraha = saronggot, babi itu senjatanya adalah saronggot, yaitu dua buah
taring
3. Sungkara = senangnya merapat, sung artinya merapat, kara artinya
membuat, kalau sudah berani hanya modal tekat.
4. Genjik = babi kecil, cara berjalannya tangkas karena badannya belum
besar jadi masih serba trampil.
Nama macan
1. Singa = bisa mengaong
2. Singha = bisa mengaong
3. Mong = bisa mengaong
4. Jagur = macan yang sedang mendekam
5. Margapati = rinaket ratu
6. Macan, yang benar matyan = mancia, yaitu mengaum
7. Keswari = serba bulu
8. Harimong = meramong, warnanya merah dengan loreng
9. Saradula = semuanya tajam, seperti gigi dan siungnya, lidahnya seperti
parut, cakar kukunya lancip.
Nama banteng
1. Banteng = benting
2. Gardaka = kaya napsu
3. Handaka = badannya seperti sapi
4. Angun-angun = banteng yang kuat
5. Sikandana = banteng jantan
6. Sikandini = banteng betina
7. Griksa = getapan, karena sangat berani tanpa rasa takut, kalau marah harus
mengamuk.
8. Garaksa = menakutkan, setiap melihat segala sesuatu harus mengejar dan
mengamuk, apa lagi kalau terluka akan keluar keberaniannya sampai mati.
Nama bedati (Gerobak)
Untuk membawa barang atau tunggangan pasukan yang membawa alat perang
dan makanan prajurit.
1. Bedati = gerobak yang ditarik sapi betina
2. Senang = gerobak yang ditarik sapi jantan
3. Manggra = gerobak yang ditarik Banteng
4. Salamuka = gerobak yang ditarik kerbau jantan dan betina
5. Hastapada = gerobak yang ditarik kerbau jantan
6. Sambira = gerobak yang ditarik banteng bersuara
7. Westi = gerobak yang ditarik banteng betina (jawa)
8. Camakantu = gerobak yang ditarik orang laki-laki dan wanita
9. Dudula = gerobak kalau ditarik Kuda betina
10. Sisikunwaninda = gerobak yang ditarik dua ekor kuda
11. Sisirat ancak anda = gerobak yang ditarik empat kuda
12. Gegendik = gerobak yang ditarik kambing besar
13. Sekutuk = gerobak yang ditarik anjing besar
14. Calita = gerobak yang ditarik kijang ujung
15. Salikna = gerobak yang ditarik kuda tutul
16. Gabrata = gerobak yang ditarik macan, jadi tunggangan buta
17. Gotaka = gerobak yang diberi gerbong, biasanya ditarik gajah karena lebih
berat.
Nama sungai
1. Banawi (Banawe) = kumpulan air
2. Bangawan, yang benar banawan = jalan air, Ban = air, awan = jalan
3. Kali = dialiri, dialiri air
4. Lepen, yang benar lepwen, lep = aliran, wen = tempat air
5. Ci artinya tempat bersuci
6. Narmada, yang benar naharmodho = berisi air
Nama bunga
1. sekar = yang sedang mekar
2. kembang = kalau sedang dihisap madunya oleh kumbang
3. kusuma = kalau sedang harum baunya
4. padma = bunga yang sedang harum baunya masih berisi madu
5. puspa = dirangkai, diatur ditarik-tarik dan diselang-seling tempatnya.
6. sari = serba baik, yaitu ketika sedang mekar dan berbau harum
7. puspita = bunga yang sedang berwarna kuning, yaitu ketika akan mekar
Nama daun
1. Ron = untuk kerimbunan pohonnya
2. rodohon = daun yang subur
3. Godhong = sebagai peneduh, yaitu peneduh pada pohonnya
4. patra = sahantara, daun jadi tanda hidupnya pohon, pohonnya gemuk dan
kurus dilihat dari daunnya
5. ujungan, itu kata krama desa, ingin membahasakan ujo (hijau) dari wujud
daun yang hijau.
Nama tunjung bunga teratai
1. pakaja = kalau bunganya mekar dalam air
2. kumuda = kalau bunganya mekar dalam air
3. kamuda = kalau kehabisan air
4. terate = kalau mekar di balekambang
5. saroja = kalau berada di daratan
6. sadengan = kalau tumbuh di batu
7. tunjung = kalau sudah berwujud pohonnya
8. midemah = kalau bunganya mekar pada waktu malam
9. singli = kalau bunganya akan rontok
10. saroparuka = kalau rontok, gugur
11. sarasidiya = kalau bunganya medem
Nama Hewan yang dipakai sebagai Nama Para Petinggi di Jaman Kuna
1. Matswapati = ratu ikan
2. Basudewa = tokek unggul atau Bidho linuwih
3. Bisawarna = tokek
4. Narasinga = orang berbadan macan
5. Jayadimurti = kesaktian cicak
6. Handakawulung = banteng liar
7. Hayamwuruk = kokok ayam
8. Hundhakan Sastramiruda = kuda melompat menghindari panah
9. Kidangwalakas = kijang yang larinya cepat
10. Kebokanigara = kembang hewan aduan
11. Kebokenanga = kembang hewan aduan
12. Kebomenggah = kerbau kanggeg
13. Sawunggaling = jago emas, atau jago patohan
14. Siungwanara = taring kera
15. Singaprana = watak macan
16. Lembuhamiluhur = yang asalnya luhur
17. Lembuhamijaya = hewan yang kuat
18. Lembumangarang = hewan yang membuat tertarik
19. Lembugelap = pasemon untuk putra yang dilupakan
20. Kudapanolih = kuda yang patut ditonton
21. Maesatandreman = kerbau palen
22. Mundingsari = kembang kerbau
23. Mundingwangi = kembang kerbau
24. Gajahmada = gelar gajah
25. Gatayu = tempatnya kabaikan
26. Gagakbahni = berbadan geni
27. Gagakpranala = panas hati
28. Gagakpranawa = terang hati
29. Banyakwide = banyak (angsa) dikurung
30. Bondankejawan = berbadan kadal
31. Bankudasari = kerbau pelen
32. Kijangwiracapa = kijang dipanah gandewa bisa lolos
33. Kudalaleyan = kuda = kuda, laleyan = pagar bata
F. Sama, Beda, Dana, Denda
1. Sama, maksudnya: kalau memberi sesuatu dalam suatu acara jangan
sampai menjadikan iri hati
2. Beda, maksudnya: kalau memerintah pasukannya, yang senang dengan
cara keras jangan dengan cara halus, sedangkan yang senang cara halus
jangan dengan cara kasar, nanti bisa mengecewakan.
3. Dana, maksudnya: kalau ada pasukan yang baik berilah penghargaan
supaya mempengaruhi teman-temannya
4. Denda, maksudnya: kalau menjatuhkan hukuman harus adil, meskipun
sentana, warga, kalau salah harus dihukum supaya orang lain jadi takut.
Ambeg patih: Guna, Kaya, Sura
1. Guna = kaya ilmu
2. Kaya = bisa mengeluarkan hasil, memperluas jajahan
3. Sura = berani
Tentang kaluwihan (kelebihan)
1. Kaluwihan, lebih dari rata-rata, berada di depan, bisa mancala putra
mancala putri.
2. Kasekten, sakti mandraguna
3. Kasantika, olah kekuatan badan
4. Kasudiran, berani tiada tara
5. Kaprawiran, menjalankan tugas prajurit, menang dan utama
6. Kadigdayan, lebih unggul dari sesamanya, orang digdaya yang tidak
mempan senjata tapak paluning pandhe sisaning gurenda.
7. Kanuragan, honorogro (hanaraga) seperti satria Dananjaya
8. Kasunyatan, kuat bertapa seperti tapa pandita
9. Kasempurnan, ilmu yang tinggi, melihat hidup mati.
G. Pulung, Wahyu dan Andaru
Pulung, warnanya biru bersinar hijau, terbuat dari campuran cahaya manik-
manik emas dan tembaga. Pulung itu akan membuat daya kehidupan, tapi yang
dijatuhi adalah orang yang welas asih. Untuk menjadi welas asih harus dilakukan
dengan tapabrata, yang seperti tiu disebut mempercepat jatuhnya pulung. Jika
memilikinya akan disenangi orang banyak.
Wahyu, warnanya putih bersinar hijau, dari campuran manik-manik emas
dan salaka. Wahyu itu akan membuat daya kehidupan, tapi yang dicari adalah
orang yang Rila, Legawa, Temen, Narima.
Karilan tariman, legawan, katemenan itu harus dilakukan dengan tapabrata,
yang seperti tiu disebut mempercepat jatuhnya wahyu. Jika memilikinya akan
disenangi orang banyak.
Andaru, Warnanya kuning bersinar amarakata, terjadi dari campuran
maning-manik emas, tembaga dan timah. Andaru akan membuat kehidupan, tapi
yang dicari adalah bangsa yang amardi brana (kekayaan).
Datangnya cipta marta, Mardi brana, akan terjad dengan tapabrata, yang
seperti itu akan mempercepat jatuhnya Andaru. Jika memilikinya akan disenangi
orang banyak.
Teluhbraja, warnanya merah bersinar biru, terjadi dari campuran cahaya
besi, timah, tembaga dan belerang. Teluhbraja akan membuat kehidupan, tetapi
yang diikuti adalah bangsa yang dengki, jahil, iri. Untuk mendapatkannya dengan
tapabrata. Hal tersebut akan mempercepat jatuhnya Teluhbraja. Jika memilikinya
akan dimusuhi orang banyak.
Guntur, warnanya ungu sirat dadu, terjadi dari campuran cahaya besi,
tembaga, garam dan belerang. Guntur akan jadi daya kehidupan tapi yang diikuti
adalah yang angkaramurka. Untuk mempercepat jatuhnya dengan cara tapabrata.
Yang memiliki akan dibenci oleh sesamanya.
Kelima bab tersebut di atas, kalau dalam bahasa arab dinamakan Darajat,
sedangkan kalau dalam bahasa Belanda dinamakan Meteor. Wahyu memiliki
watak dan kadudukan sendiri-sendiri serta memiliki daya kekuatan sendiri-sendiri,
semua wahyu tersebut, wujudnya hanya berupa warna cahaya bersinar, sedangkan
nama wahyu sesuai dengan warna cahaya kang bersinar tersebut.
Agar cepat menurunkan wahyu harus disertai dengan tapabrata. Tapi
semua wahyu tersebut memiliki daya kekuatan dan watak sendiri-sendiri, jadi
kalau daya watak tersebut tidak sesuai tidak bisa jatuh pada orang itu, jadi wahyu
tersebut akan emncari dimana bisa manunggal dan selaras.
Jadi kalau ada manusia yang memiliki dasar watak kelakuan baik serta
budinya baik, tambah lagi ia adalah orang yang Rila, Legawa, Temen, Anarima,
dan menjalankan tapabrata, pasti segera menerima wahyu karena sudah sesuai
dengan watak wahyu tersebut, wahyunya lalu ikut karena merasa cocok. Begitu
seterusnya, menurut dasar watak si wahyu tersebut. Jadi sebenarnya sama-sama
saling mencari, mencari yang sama watak dan dasarnya.
Mungkin cerita di bawah ini bisa dijadikan contoh, bisa untuk
membedakan mana yang dinamakan derajat baik dan yang buruk, karena baik dan
buruk itu memiliki wahyu sendiri-sendiri. Makanya keadaan dunia ini, kehidupan
manusia tidak ada yang tentram, wahyu berjalan mengelilingi bumi, entah dimana
jatuhnya mencari orang yang sama wataknya. Itulah sebabnya paperangan di
dunia ini berganti-ganti tempat, berebut tempat dan pangan, menuruti angkara
murka wahyu Guntur, yang menyusup pada manusia yang memiliki dasar watak
yang cocok dan sesuai dengan si wahyu Guntur tersebut.
Salah satu wahyu tersebut kalau sudah menyatu pada manusia, terlihat
hanya melalui kata-kata, siapa orangnya yang sudah dijatuhi wahyu semua kata-
katanya pasti dituruti orang lain.
Pengetahuan tentang wahyu tersebut agar bisa digunakan sebagai contoh, agar
bisa melihat perbedaan watak-watak si wahyu tersebut, bahwa mereka memiliki
daya sendiri-sendiri serta bisa digunakan sebagai pedoman kalau akan membuat
atau mengarang lakon yang berisi cerita tentang wahyu. Misalnya yang sudah ada
saja, yaitu lakon Wahyu Cakraningrat, itu artinya wahyu mengelilingi jagad,
Cakra artinya bulat, rat artinya jagad, jadi isi cerita tentang mengelilingi jagad,
yaitu jaman purwa yang akan berganti dengan jaman madya. Sebenarnya cerita itu
berisi tentang penitisan Batara Cakraningrat pada raden Ongkawijaya serta Batari
Widayat pada batari Untari, lalu memiliki putra Raden Parikesit. Jadi sebenarnya
adalah tentang penitisan batara dan batari tersebut, lalu dinamai lakon Wahyu
Cakraningrat atau Wahyu Widayat.
Ada lagi lakon yang dinamakan Wahyu Makutarama yaitu ajaran Prabu Rama
pada Raden Wibisana tentang kewajiban-kewajiban menjadi ratu, harus memiliki
watak delapan perkara yang dinamakan wulang Hastabrata, hasta artinya
delapan, brata artinya laku, jadi harus bisa melakukan watak delapan perkara
yang dinamakan laku Hastabrata tersebut. Dinamakan wahyu, sebenarnya karena
ketika raden Harjuna berada dalam hutan Kutarunggu tapabrata, lalu menerima
wangsit dari dewa, kalau ia akan menerima ajaran yang dipakai Sri Batara Rama,
yang dinamakan Hastabrata atau ajaran yang menjadi makuta Sri Batara Rama
ketika menjadi ratu nata di negara Ngayodyapala, sedangkan yang kuat untuk
menerima ajaran itu hanya Sang Parta.
Makanya ketika sang Hanoman terkena siku Sang Maharasi dan membuat
susah Sang Hadipati Karna, lalu diperintahkan oleh sang Maharsi supaya
menemui sang tapa yang ada di tengah hutan Kutarunggu untuk datang ke
pertapaan. Dialah satria yang bisa menghilangkan kegelapan hati Sang Prabu
Karna. Sang Harjuna lalu digendong sang Hanoman, dibawa terbang ke atas
menuju pertapaan Swelagiri. Setelah diberi wejangan oleh sang Maharsi lalu
diberi senjata kuntadruwasa milik Sang Karna. Setelah menerima senjata, senjata
itu akan dikembalikan pada Sang Karna. Jadi keinginan Sang Harjuna itu hanya
ingin memberi pertolongan pada orang yang sedang kesusahan hatinya.
Ada lagi lakon tentang wahyu yang agak mirip dengan keadaan tentang
wahyu, yaitu lakon lahirnya Abimanyu. Ketika itu sang Harya Bima (Werkudara)
sedang bertapa meminta pada Dewa supaya diberi wahyu keraton. Setelah sudah
waktunya maka doa itu diterima Dewa, pada waktu malam ketika sudah sepi
orang, ada sebuah warna cahya bersinar dari langit berbentuk bulat besarnya
seperti buah waluh bokor, cahayanya terang lalu jatuh di depan Sang Harya Bima.
Ketika ditubruk ternyata cahsya tersebut meloncat lalu berkari. Ketika dikejar
cahaya yang bersinar tersebut lari menuju kasatrian Madukara. Ketika itu, sang
dewi Wara Sumbadra sedang hamil tua, sudah saatnya melahirkan. Cahaya yang
melompat itu jatuh di kamar Sang Dewi Wara Sembadra, seketika itu jabang bayi
lalu lahir laki-laki. Ketika Sang Bima sampai di dekat rumah itu ia kaget
mendengar suara bayi lahir, Sang Bima merasa kecewa. Singkat kata, Sang Bima
lalu menggugat sang Harjuna. Sri Kresna lalu memberi tahu bahwa wahyu kraton
jatuh pada si jabang bayi, sedangkan yang bisa melihat hanya sang Harya Bima
sendiri, yaitu sebagai saksinya. Jabang bayi lalu diambil putra oleh Sang Bima
dan diberi nama Abimanyu, yaitu mengambil dari nama Sang Bima sedikit,
karena yang bisa melihat wahyu danbisa segera turun, kang melakukan tapabrata
adalah Sang Harya Bima. Jabang bayi lalu digendong Sang Bima, dipeluk
langsung diam tidak menangis. Itu yang dinmakan lakon Bima kopek, lakon itu
tadi banyak miripnya dengan bab wahyu tersebut. Abimanyu, Abi artinya tidak
memiliki rasa takut, Manyu artinya galak, jadi maksudnya adalah orang yang
galak tanpa takut.
Jadi kalau ada dalang yang membuat lakon dengan nama cerita wahyu,
lalu diwujudkan dengan bentuk barang atau hewan atau wujud manusia, itu salah
karena yang dinamakan wahyu itu hanya berupa warna cahaya bersinar, jadi tidak
bisa dipegang dengan tangan, lagi pula tidak bisa untuk rebutan.
Orang yang menonton wayang ada yang menangis serta prihatin hatinya
meskipun sudah tahu kalau yang ditonton itu hanya bentuk kulit yang diukir
menjadi bentuk manusia, bisa bergerak dan berbicara. Yang menonton wayang
hanya seperti manusia yang mengagungkan keduniawian yang serba nikmat, lalu
tiba-tiba tersadar bahwa semua itu hanyalah bayangan yang datang seperti
siluman dan pergi seperti bermain sulap saja.
Tindakan manusia yang seperti itu bisa dimisalkan seperti orang yang
menonton wayang. Sudah tahu kalau wayang itu kulit yang dipahat dan diukir
seperti manusia dan dijalankan oleh dalang, ada yang berkata-kata ada yang
tertawa senang dan ada yang menangis, gerakannya menurut pada keinginan Ki
dalang. Meskipun begitu tetap dianggap sebagai kanyatan. Begitulah manusia
yang masih terlena oleh keinginan-keinginan dunia. Sebenarnya yang tampak di
jagad ini bisa dinamakan siluman.
Prabu Basumurti berputra Raden Basusena, lalu dijadikan ratu di Gajahoya
diberi nama prabu Hastimurti atau prabu Jatimurti. ‘Desa Gajahoya itu asalnya
dulu adalah bekas eyangnya kanjeng ibu ketika akan dinikahi oleh gajah putih,
lalu meminta untuk dibuatkan rumah kencana sembilan buah. Gajah putih
menyanggupinya, tapi sang eyang lari dan bertemu dengan sang eyang dan
dijadikn istri, lalu memiliki putra dirimu. Jadi engkau ini yang mewarisinya.’
Prabu Hastimurti (Jatimurti) berputra raden Wasanta. Setelah menjadi ratu
bergelar Prabu Pratipa atau Prabu Ewamurti, negara Gajahoya diganti namanya
menjadi negara Astina atau Hastinapura, begitulah awal mulanya ada negara
bernama Astina.
Hasti, artinya gajah, julukan salah seorang ratu keturunan Barata yaitu
Prabu Hasti yang membuat negara Hastinapura.
H. Awal Mula Adanya Wayang Kulit
Tentang awal mula adanya wayang kulit sebenarnya ketika jaman Prabu
Jayabaya menjadi ratu di Kediri, sudah ditatah berwujud wayang jadi bukan pada
jaman Demak. Para wali membuat wayang berbentuk-rupa warnanya, sebenarnya
ada yang ditiru sebagai polanya karena ada yang dijadikan dasar sebagai saksi. Itu
menurut serat Harjuna Wiwaha karangan Empu Kanwa di Mamenang Kediri, ada
kalimat yang bunyinya seperti tertulis di bawah ini:
Tiyang aningali ringgit punika lajeng wonten ingkang nangis,
sumlengeren sarta prihatos ing manahipun, sanajan sampun sumerep eyn ingkang
tinonton wau wantahipun namung wacucal ingukir tinatah kadapur tiyang saged
solah bawa sarta wicanten, ingkang ningali ringgit wau upaminipun namung
kados dene tiyang ingkang angangsa-angsa dhateng kadonyan ingkang sarwa
kanikmatan, temahan ing sakala kataliweng ing manah, mboten sumerep manawi
punika wayang ingkang wedalipun kados siluman, utawi lugunipun namung
kadoas sulapan kemawon. Sejatosipun wayang punika mobah mosik wicanten,
gumujeng, suka, wonten ingkang nangis lan prihatos, ebahipun manut
pikajengipun Ki dhalang ingkang nglampahaken wayang punika wau.
Artinya:
‘Orang melihat wayang lalu ada yang menangis serta ikut prihatin dalam
hati meskipun sudah tahu kalau yang ditonton itu hanyalah berwujud kulit diukir
dan ditatah dibentuk seperti orang, bisa bergerak dan berbicara. Yang menonton
wayang hanya seperti manusia yang mengagungkan keduniawian yang serba
nikmat, lalu tiba-tiba tersadar bahwa semua itu hanyalah bayangan yang datang
seperti siluman dan pergi seperti bermain sulap saja. Sebenarnya wayang itu
bergerak dan berbicara, tertawa, suka, ada yang menangis, bergerak menurut
kehendak Ki dalang yang menjalankan wayang tadi.’
Jadi kalau begitu sudah jelas, adanya wayang kulit itu ketika jaman Sang
Prabu Jayabaya di Kediri (Jawa Timur).
Wayang kayu berasal dari Jawa Timur, umumnya yang memiliki adalah
rakyat di pedesaan dan di pagunungan, sedangkan jumlah wayangnya tidak
banyak, hanya mengambil seperlunya saja, asal cukup untuk memainkan wayang,
kurang lebih hanya ada 40 buah. Gunanya untuk mencari pangan ketika masa
paceklik, ketika orang tani tidak menggarap sawahnya karena krisis air dan belum
ada hujan. Jadi kebanyakan mencari pekerjaan lain, ada yang menjadi buruh ke
kota, sedangkan yang punya gamelan, tetabuhan, jogedan, reyok, serta ada yang
mengamen wayang, mereka pergi ke kota untuk mengamen mencari uang untuk
menyambung umur. Makanya mencari wayang yang lincah mudah dibawa, yang
cocok hanya wayang kayu tersebut karena wayang kayu itu tanpa kelir,
membawanya ringan serta gamelannya hanya berupa: 1. kendang, 2. saron wilah
sembilan, 3. kempul laras enam, 4. ketuk, 5. kenong laras enam, laras slendro.
Cukup dilakukan oleh lima atau orang enam orang, dan lagi kotaknya kecil enteng
dibawa karena wayang kayu itu wayangnya kecil-kecil tidak seperti wayang kulit
purwa yang wayangnya besar. Makanya wayang kayu sampai dinamakan wayang
krucil karena kelihatan kecil-kecil bentuknya. Dinamakan juga wayang klitik
karena dibuat dari kayu, jadi kalau sedang disusun berbunyi kelotakan.
Membuat wayang kayu harus memilih kayu yang kuat padat seratnya, dan
yang empuk jika kena alat tukang, yang baik yaitu mentaos dan kayu kemiri, dan
harus bisa memilih kayu yang tidak gampang dimkan rayap, jadi bisa kuat
disimpan selama-lamanya tidak rusak dimakan rayap tersebut.
Wayang kayu itu banyak macam serta golong-golongannya, ada wayang
kayu purwa dan juga wayang kayu gedog, jadi bukan hanya wayang kayu untuk
cerita Damarwulan babad Majapahit saja.
Wayang golek dibuat dari kayu, sedangkan pembuatannya direka wujud
manusia, maka dinamakan wayang Boneka, jadi tidak dibuat gepeng seperti
wayang Krucil. Wayang tersebut lalu diberi pakaian seperti manusia, wayangnya
diberi pakaian, laki-laki wanita hampir sama, mulai dari pinggang ke bawah diberi
kain batik yang dibuat seperti sarung sebesar ukuran tangan orang agar bisa
masuk untuk memegang tangkai wayang tersebut. Ki dalam dalam memegang
wayang tangannya tidak kelihatankarena tertutup oleh kain sarung wayang
tersebut. Wayang tersebut kepala dan badannya dipisah, lalu disambung dengan
tangkai wayang, ditancapkan di leher yang menjadi satu dengan kepala wayang,
lalu dimasukkan ke badann wayang yang sampai pantat dilebihkan sepanjang satu
genggaman tangan orang sebagai pegangan. Kalau sudah selesai lalu ditancapkan
di gadebog sehingga kelihatan seperti banyak orang yang sedang duduk berjajar.
Maka lalu dinamakan wayang Tengul, dari bentuknya yang kelihatan pating
pantungul. Wayang golek itu kebanyakan dibuat lebih besar kepalanya, tidak
seimbang dengan badannya dan tanpa kaki, kalau ditancapkan kelihatan seperti
orang duduk kelihatan pendek tidak ada pantatnya, jadi seperti orang jatuh
terduduk.
Wayang Tengul itu kebanyakan dari daerah Kudus, Pati sampai Rembang
dan Cepu. Yang dimainkan cerita orang Agung di Kuparman, bernama cerita
Menak, sedangkan kalau wayang Golek kebanyakan di daerah Jawa Barat
(Priyangan), diberi busana seperti wayang orang dan ceritanya juga dengan lakon
wayang purwa. Kalau dimainkan tanpa kelir, sebaiknya dimainkan pada waktu
siang, kalau malam wayangnya kelihatan silau terkena cahaya lampu, karena
kebanyakan wayang dicat minyak. Maka sebaiknya dimainkan hanya pada waktu
siang saja.
Yang dinamakan wayang candra sangkala itu adalah wayang yang
digunakan sebagai tanda waktu ketika pembuatan wayang kulit.
Wayang berupa Gunungan di sebaliknya bergambar nyala api, itu jadi
candra sangkala yang berbunyi: Geni jadi Sucining Jagad. Jadi menunjukkan
tahun candra 1443 ketika jaman Demak pertama, yang menambahi Sunan
Kalijaga.
Wayang berbentuk Batara Guru, naik lembu Handini, yang membuat
Kangjeng Susuhunan Ratu Tunggul di Giri ketika menjadi wakil di Demak.
Candrasangkala yang berbunyi: Salira Dwija jadi Raja, menunjukkan tahun
candra 1478, digunakan dalam wayang purwa kijangkencanan.
Wayang berbentuk Batara Guru, membawa cis tangkainya dililit naga, yang
membuat juga Kangjeng susuhunan Ratu Tunggul di Giri, sebagai tanda ketika
membuat wayang Gedog. Candrasangkala yang berbunyi: Gegamaning Naga
Kanaryeng Dewa, menunjukkan tahun candra 1485, dalam wayang gedog batara
Guru tidak naik sapi.
Wayang berbentuk Batara Guru, menapak di tanah, dodotnya seperti
memakai sarung membawa cis, yang membuat kangjeng Panembahan Senapati di
Ngalaga, di negara Mataram, jadi candra sangkala yang berbunyi: Dewa jadi
ngecis bumi, menunjukkan tahun candra 1541, digunakan dalam wayang purwa.
Wayang berbentuk Buta Panyareng (buta Cakil) artinya buta murgan
(mirunggan), yang membuat Ingkang sinuhun Prabu Anyakrawati di Mataram,
jadi candra sangkala yang berbunyi: Tangan yaksa satataning janma,
menunjukkan tahun candra 1552.
Wayang berbentuk Buta Prepatan, di kakinya ada taji, rambutnya gimbal
diurai, kebanyakan orang menyebutknya buta Rambutgeni sebab dicat merah
muda dengan warna merah sampai rambutnya. Yang membuat kangjeng Sinuhun
Sultan Agung Anyakra Kusuma di Mataram, jadi candra sangkala yang berbunyi:
Jalu buta tinata di ratu, menunjukkan tahun candra 1553.
Wayang berbentuk buta alasan, hanya memakai cawat dan memegang
badama, badannya dicat abu-abu, yang membuat Kangjeng Susuhunan Mangkurat
di Mataram yang dimakamkan di Tegalarum, jadi candra sangkala yang berbunyi:
Wayang buta ing wana tunggal, menunjukkan tahun candra 1556.
Wayang berbentuk batari Durga naik batu gilang, ditumbuhi tumbuhan
merambat, juga dibuat oeh Kangjeng Susuhunan Mangkurat yang dimakamkan di
Tegalarum, sebagai tanda ketika membuat wayang gedog, jadi tidak bisa
digunakan dalam wayang purwa, jadi candra sangkala yang berbunyi: Watu
Tunggangane buta Bidadari, menunjukkan tahun candra 1571.
Wayang berbentuk buta gundul, lehernya pendek hidungnya bulat seperti
terong glatik, matanya hanya satu. Badan buta tanpa leher jadi gemuk kelihatan
bulat, dalam pedalangan dinamakan Buta Endog. Yang membuat Kangjeng
Susuhunan Mangkurat putra sinuhun di Tegalarum, jadi candra sangkala yang
berbunyi: Marga sirna wayanging raja, menunjukkan tahun candra: 1605.
Wayang berbentuk buta wanita memakai pakaian buta wayang laki-laki,
matanya satu tangannya dua, dinamakan buta Kenyawandu. Yang membuat
Kangjeng Pangeran Puger di Kartasura, jadi candra sangkala yang berbunyi: Buta
nembah rasa Tunggal yaitu menunjukkan tahun candra 1625.
Wayang berbentuk buta mata satu hidungnya seperti terong kopek dan
membawa keris. Dalam pedalangan dinamakan buta Congklok atau yang lumrah
disebut Buta Terong. Yang membuat adalah Kanjeng Susuhunan P.B. II di
Kartasura, jadi candra sangkala yang berbunyi, Buto lima ngoyag Durga,
menunjukkan tahun candra 1655.
Wayang berbentuk Batari Durga, memakai baju dan sepatu dan membawa
keris, dirambati tumbuh-tumbuhan hutan, yang membuat Kanjeng susuhunan
P.B.II ketika membuat wayang gedog dan diberi nama Kyai Banjet, jadi candra
sangkala yang berbunyi: Wayang Misik Rasaning Bidadari, menunjukkan tahun
candra 1656. Digunakan dalam wayang gedog, tidak boleh digunakan untuk
wayang purwa.
Wayang berbentuk Gunungan, di bagian tengah bawah bergambar pintu
gapura, di kiri dan kanan ada gambar buta memanggul gada, yang membuat
Kanjeng Susuhunan P.B.II di Kartasura ketika membuat wayang klitik (Krucil)
yang dibuat dari kayu, milik Pangeran Ratu Pekik di Surabaya untuk lakon
Damarwulan. Setelah jadi disebut wayang Krucil atau kyai Krucil, wayang itu
sampai sekarang masih ada di kraton Surakarta tapi wayang tersebut sudah rusak
tidak bisa dimainkan lagi. Wayang gunungan yang tersebut di atas jadi candra
sangkala yang berbunyi: Gapura lima retuning bumi, yaitu menunjukkan tahun
candra 1659. Gunungan tersebut digambar gapura, yang ditiru adalah bentuk
gapura Candi Bajang Ratu di Trowulan Majaagung, sebagai pengingat kalau
wayang Krucil itu ceritanya adalah Damarwulan ketika jaman Majapahit, jadi
cocok dengan sejarah. Gunungan tersebut hanya digunakan dalam wayang krucil,
bukan untuk wayang purwa karena asal wayang krucil itu dari Jawa Timur. Pada
waktu itu yang punya adalah Pangeran Ratu Pekik di Surabaya, jadi asalnya pola
wayang tadi yang tiniru dari Jawa Timur.
Jadi wayang-wayang yang digunakan dalam candra sangkala itu jangan
sampai diubah nanti jadi berbeda maksudnya. Bentuk gambar yang sudah jadi
tersebut jangan sampai ditambahi atau dikurangi karena merupakan penanda
waktu ketika para linangkung yang membuatnya. Untuk menyempurnakan bentuk
wayang-wayang kulit, sejak masih berbentuk sederhana sampai sekarang.
Kesempurnaan manusia sama seperti cacat Sanghyang Guru. Sanghyang
Guru memiliki empat cacat sebagai jadi perlambang hidup. Yang pertama adalah
putih belang, yang kedua memiliki taring seperti raksasa, yang ketiga kakinya
apus pepes, yang keempat tangannya siwah. Jadi ada empat arti agar orang dalam
lengkap dalam menjalankan perintah. Diberi empat macam kegelapan hati, yaitu
Apes, Rusak, Lali, Murka, itu tidak bisa dihindari, sudah jadi ketentuan orang
hidup di dunia ini, akan hilang kalau sudah sampai waktunya. Orang yang berilmu
akan bisa mengatasi keempat perkara yang merusak budi tersebut, dikembalikan
pada asalnya supaya bisa sempurna seperti dulu.
BAB XV
PEMENTASAN BERBAGAI JENIS WAYANG
A. Wayang Beber Majapahit
Wayang beber itu bisa dinamakan gambar wayang yang terbuat dari kertas
atau mori (kain putih), digambar wayang sesuai lakonnya. Bentuk cerita lakon
wayang hanya satu cerita atau satu adegan. Sedangkan yang paling pertama
dinamakan satu jejeran, jadi dalam satu lakon sampai ada sekitar enambelas
adegan yang dibagi empat, empat adegan digulung jadi satu. Jadi satu lakon ada
empat gulung dimasukkan peti panjang yang menjadi kotak Wayang beber
tersebut. Contohnya adalah lakon Tumenggungan, Kyai Tumenggung Conacani
kedatangan Dewi Sekartaji serta gambar keadaan pasar gede di Tumenggungan,
ada orang mengamen terbang (kentrung) sampai membuat kagum orang satu
pasar, yang mengamen yaitu Jaka Kembang Kuning lalu pingsan di atas sang
Dewi. Ada gambar yang menjadi titimangsa tahun candra berupa gambar seorang
wanita menyalakan api untuk memasak kue serabi, lalu didekati oleh seorang laki-
laki, yaitu tukang juru menangkap ikan yang akan menjual ikannya di pasar itu.
Karena masih pagi dan udaranya dingin, dia lalu mendekati sekalian ikut
menghangatkan diri. Karena masih sepi belum banyak orang, yang ada hanya
penjual serabi yang sedang memasak serabi tersebut, lalu bersenda gurau sampai
kebablasan. Makanya lalu digunakan untuk candra sangkala tahun candra yang
berbunyi: Gawe srabi jinamah ing wong, menunjukkan tahun candra 1614.
Asal mula wayang beber yang berisi lakon Jaka Kembang Kuning itu dari
desa Karangtalun, Kaluhuran, Bangunsari, kacamatan Danareja, kabupaten
Pacitan, Jawa Timur. Sekarang, yang memiliki wayang beber tersebut bernama
Pak Sarnen yang berdukuh di desa Karangtalun, yaitu yang jadi dalang wayang
beber, yang bisa memainkan cerita wayang kang lakon Jaka Kembang Kuning
tersebut. Menurut dongeng Pak Sarnen, sesuai cerita kakek neneknya yang
menceritakannya sendiri, sejak ada orang bernama Ki Naladrema, yaitu orang dari
desa Gedompol di bawah Pring Kuku, menerima anugerah dari ratu Majapahit,
Prabu Brawijaya karena bisa menyembuhkan sakit putri Sang Prabu lalu diberi
anugerah berupa gulungan kertas yang berisi gambar wayang satu lakon, turun-
temurun bisa mencukupi dalam mencari sandang pangan. Ki Naladrema lalu
didongengi isi kisah Jaka Kembang Kuning itu supaya diperhatikan, bisa untuk
mengamen di pedesaan dengan membawa gambar wayang yang berisi cerita kisah
Jaka Kembang Kuning tersebut. Lama-lama lalu bisa baik menceritakan, lalu
sampai bisa jadi dalang wayang Beber yang kondang di pedesaan. Lalu terus
bersambung sampai keturunanya bisa menjadi dalang wayang beber tersebut.
Ketika sampai Pak Sarnen sekarang, sudah ada sembilan turunan dari Ki
Naladrema tersebut. Dalam cerita gambar dongeng Jaka Kembang Kuning
tersebut, ada punakawan pengikut Ki Jaka dua orang yang satu bernama
Naladrema, satunya bernama Tawangalun, mengambil nama orang yang
menerima anugerah tersebut, orang yang bernama Naladrema dari desa
Karangtalun untuk nama kedua punakawan itu. Naladrema dan Tawangalun.
Nama desa Karangtalun dijadikan nama manusia mnejadi Tawangalun, adalah
sebagai peringatan. Kalau menurut cerita Panji, kedua panakawan tersebut
bernama Jarodeh dan Prasanta.
Kalau menurut tahun candrasangkala memet seperti yang disebut di atas,
tidak bisa cocok dengan tahun candra ketika jaman Majapahit. Cocoknya dengan
wayang candrasangkala yang lain, yaitu ditemukan ketika jaman Kartasura saja,
ketika Kangjeng Susuhunan Mangkurat pertama berada di Kartasura membuat
wayang Buta Endog yang jadi candra sangkala berbunyi Buta sirna wayanging
janma, tahun candra 1605. Jadi hanya termasuk semasa dengan wayang Buta
Endog tersebut, malah masih lebih tua Buta Endog beda sembilan tahun.
Wayang beber yang diceritakan oleh Pak Sarnen, kalau memang
pemberian dari Prabu Brawijaya di Majapahit yang diberikan pada Ki Naladrema
sebagai anugerah karena bisa menyembuhkan sakit putrinya, itu salah, karena
tidak cocok dengan candra-sangkala yang ada dalam gambar wayang tersebut.
Wayang beber lakon Jaka Kembang Kuning itu dibuat pada tahun jawa 1614,
sudah masuk jaman Kartasura, yang menjadi ratu adalah Kangjeng Susuhunan
Mangkurat. Pada waktu itu ia membuat wayang beber pada tahun 1614, jadi beda
9 tahun, lebih tua buta Endog. Jadi wayang beber Jaka Kembang Kuning itu yang
benar dibuat di Kartasura, bukan berasal dari jaman Majapahit.
B. Wayang Angkrok Sarapada
Dinamakan wayang angkro karena yang diniru sebagai pola adalah dari
mainan anak yang terbuat dari kardus atau kertas tebal, digunting seperti gambar
manusia, kepala sampai leher dipisah dibuat sendiri, badannya dibuat sendiri,
bahu dan tangannya dibuat sendiri, paha dan kakinya juga dipisah sendiri-sendiri.
Kalau sudah selesai dicat dengan wenter atau tinta merah dan hitam atau
hijau, terserah pada pembuatnya. Lalu disambung-sambung digandeng menjadi
satu menjadi bentuk manusia, badannya diberi bilah bambu, leher, bahu dan paha
disambung dengan benang. Kalau benangnya ditarik, kepala sampai tangan dan
kaki bisa bergerak seperti manusia. Mainan bocah berupa angkrok itu kebanyakan
dijual kalau sedang ada keramaian di pedesaan atau kalau ada wayang yang
sedang ditanggap di pedesaan. Lama-lama ada seorang dalang yang
memperhatikan dolanan angkrok tersebut lalu ditiru dibuat wayang. Cara
pemisahannya sama, hanya bedanya adalah cara dalam memasang pegangan.
Kalau wayang Sarapada kakinya depan dan belakang diberi pegangan sendiri-
sendiri untuk ditancapkan di gadebog sendiri-sendiri, tangannya juga diberi
pegangan sendiri. Tangan depan bertangkai satu sedangkan tangan belakang
bertangkai dua agar bisa digunakan untuk menjepit tombak, karena Sarapada
adalah seorang prajurit panumbak, kalau menombak sangat tepat, setiap keluar
pasti memegang tumbak. Kepalanya diberi tangkai panjang sampai di bawah sama
seperti tangkai tangan untuk menggerakkan supaya kalau sedang menombak bisa
bergerak mengangguk-angguk. Wayang ini terbuat dari kulit yang ditatah serta
dicat tidak berbeda dengan wayang lainnya.
Wayang Sarapada itu keluar ketika perang ampyak, yaitu prajurit
prampogan yang sedang meratakan jalan masuk sampai ke hutan di pinggir
pedesaan, banyak tanah yang tinggi atau jurang yang tidak terlalu dalam diratakan
oleh prajurit prampogan dan dibuat jalan, makanya seringkali ada macan yang
keluar lalu mengamuk atau babi yang berani menerobos barisan, yaitu babi
warokan yang tebal kulitnya dan berani mati sehingga bisa membubarkan para
prajurit. Dalam cerita pedalangan itu lalu ada seorang abdi dalem gamel bernama
Mas lurah Sarapada, di desanya ber nama Ki Cekruktruna. Karena kepandaiannya
memanah lalu dinaikkan pangkatnya dan bernama Kyai Demang Matangyuda,
sudah tua dan agak aneh, memakai ikat kepala batik kawung, sumping kembang
regulo merah, di ikat kelapanya diberi dicunduki bunga ceplok piring putih,
alisnya pinidih anjait, kumis tipis, sudah ompong agak kempot, janggutnya
ditumbuhi jenggot yang jarang-jarang, berkalung sapu tangan, bajunya bergaris
gandariya, lengan pendek sampai bau kalinting, kainnya ceplok berikat pinggang
lurik, membawa keris dengan rangka gayaman kayu timaha dengan sonder sutra
merah. Lipatan kain diselempangkan di warangka sehingga kelihatan singset,
celananya mekao berwarna hitam, dipotong berbentuk tapak belo. Seperti itulah
wujud Ki lurah Sarapada kalau sedang ikut dalam lakon pajang pesisir, dengan
pakaian keprajuritan.
Sarapada kalau keluar dalam peperangan yang pasti musuhnya hanya babi,
kalau musuh macan agak jarang, karena hutan yang dekat dengan desa itu
kebanyakan hanya babi yang merusak tanaman petani. Kalau mulai perang
gendingnya godril, jadi cocok dengan lagu geculan.
Sarapada kalau perang yang pasti menombak babi memiliki arti hanya
untuk selingan untuk menyenangkan anak-anak yang menonton wayang pada
waktu sore sekitar jam sebelas malam. Wayangan itu kalau masih sore
kebanyakan dipenuhi anak-anak, mereka ramai sekali sampai tidak bisa
mendengarkan cerita Ki dalang. Makanya ketika sudah agak malam dimainkan
lakon perang wayang geculan untuk melayani bocah-bocah tersebut, kalau sudah
selesai perang ampyak, Sarapada membunuh babi lalu berhenti ganti adegan di
negara sabrang siapa ratunya dan di mana kerajaannya sesuai lakon. Bocah-bocah
lalu bubar pulang karena sudah banyak yang mengantuk.
Makanya dalang itu biasa melakukannya karena kalau kebanyakan bocah,
sang dalang akan merasa sedih, ceritanya tidak bisa didengarkan. Saparada
menombak babi itu maksudnya untuk membuang jengkel, untuk membuang sebel
Ki dalang karena terganggu ramainya bocah-bocah tersebut. Setelah Sarapada
keluar, bocah-bocah lalu bubaran, hanya tinggal orang-orang tua yang
memperhatikan ceritanya Ki Dalang. Wayang Sarapada itu, kebanyakan
dimainkan di pedesaan, kalau sekarang sudah merata di desa atau di kota sama
saja.
C. Wayang Geculan Gentong Lodong
Wayang geculan digunakna hanya untuk perang gagal, untuk di pedesaan
untuk menyenangkan bocah-bocah dan para muda yang belum terlalu senang
memperhatikan wayang. Hanya senang melihat lelucon dalang dalam memainkan
wayang dan mengeluarkan wayang geculan untuk selingan dalam perang gagal,
sebagai lelucon untuk menyenangkan bocah-bocah.
Untuk menyenangkan bocah-bocah tersebut diambilkan wayang geculan
berupa wayang Punggawa Sabrangan berpangkat Tumenggung dengan nama
Tumenggung Surumedem atau Patratholo. Ada lagi yang bernama
Murtijetemirun, kalau kurang panjang namanya ditambahi Rumrumarum
Retnahilawa, agar bocah-bocah banyak yang tertawa. Lalu barisan dari Jawa,
umumnya yang jadi silihan adalah para punggawa pangkat Tumenggung, wayang
kang pasti jadi silihan adalah patih Pragota, namun kalau wayangnya lengkap
sudah ada wayangnya sendiri.
Biasanya, menurut dalang cara pedesaan yang digunakan untuk perang
gagal itu adalah pasukan manusia melawan pasukan manusia untuk mengeluarkan
geculan tersebut. Sampai ada lakon Sabrangan Ratu Buta, juga dibuat dengan
pasukan manusia. Pasukan buta hanya untuk persediaan perang kembang. Yang
seperti itu sebenarnya keliru, tapi sudah jadi umum dan tidak bisa diubah. Dalang
kalau kurang bisa membuat anak-anak senang lalu kurang laku di pedesaan.
Wayang geculan berupa wayang bapangan pocol sebagai geculan lelucon bocah,
mereka menamainya Gentonglodong. Wujud wayangnya gemuk matanya besar,
wataknya sok tampan, percaya diri, senang dipuji, tidak merasa kalau wajahnya
jelek.
Tapi ada baiknya juga, kalau digoda wanita gampang kelaur uangnya,
kalau berjalan tangannya memegang lipatan kain, tangan kanan membawa sapu
tangan sutra, harumnya mneyebar jika sering dikibaskan, kalau bicara seperti
mengguman, senang bercanda, berdiri bertolak pinggang, sering berkaca, tidak
berpisah dengan cermin kecil di tangan kiri, sebentar-sebentar bercermin melihat
kalau-kalau wajahnya ada cacat. Begitulah watak wayang geculan
Gentonglodong. Sedangkan bentuk wayang yang digunakan sebagai pola
mengambil dari wayang Gedog wadyabala Bugis, yang agak banyak miripnya
dengan Srengganisura. Dalam wayang purwa tidak ada wayang yang berbentuk
seperti itu, kebanyakan hanya ditemukna hanya dalam wayang Gedog, jadi
termasuk wayang tambahan saja untuk wayang geculan.
D. Wayang Geculan Gonjing Miring
Wayang geculan bala rucah, bernama Ki Bekel Gonjingmiring, kalau
bocah-bocah di pedesaan menamainya Pakcepok atau Bambng Pakcepok. Wujud
wayangnya senang menghina, matanya sipit hidung pesek, ikat kepala jebehan
gadung mlati warna hijau, mondolan besar, jadi abdi dalem gamel, juru tunggu
kuda tunggangan patih Hudawa. Bentuk wayang yang seperti itu tidak ada dalam
wayang purwa, ini hanya termasuk wayang tambahan lagi untuk geculan kalau
sedang perang gagal saja. Hanya untuk perang musuh lawan Tumenggung
Suramedem (Gentonglodong), sehingga bisa timbang sama-sama wayang geculan.
Perangnya mulanya hanya saling mengejek, terus jadi berkelahi, dibanting jatuh
terlentang lalu geculan Sabrang kalah dan mundur. Bentuk wayang Pakcepok itu
yang digunakan sebagai pola adalah wayang wadyabala Bugis pasukan Prabu
Klana, wayang Gedog, Daeng Markising.
Ketika jaman Kangjeng Susuhunan P.B. yang ke-sepuluh di Surakarta,
banyak abdi dalem dalang dan para dalang yang tinggal di kota. Datang murid-
murid di sekolah pedalangan yang sudah pandai-pandai memainkan wayang.
Kalau memainkan wayang di dalam kota Sala, tidak ada yang menjalankan perang
gagalan dan mengeluarkan wayang geculan tersebut. Setiap ada yang menjalankan
pasti dalang dari di pedesaan yang ditanggap di kota, kebanyakan memainkan
wayang di pecinan. Wayang geculan tersebut leluconya kebanyakan blangkon,
berulang kali dimainkan tetap sama, gonta ganti dalang tetap sama cara
memainkannya. Awalnya pasti saling mengejek, itu tidak berubah. Makanya
sampai banyak bocah-bocah yang sering melihat sampai hafal dan bisa
menirukan.
Wayang Semar wanda mega itu ditemani Bagong wanda gembor, lalu
ditambahi Cenguris. Jadi ada tiga macam. Cara seperti ini sudah ditetapkan
menurut tatanan kawruh pedalangan di Surakarta. Semula wajib menjalankan
lakon wetanan, tapi lama-lama lalu tanpa Cenguris, hanya tinggal Semar dan
Bagong saja, makanya wayang Cenguris lalu jadi tenggelam, jarang dilihat oleh
orang banyak.
Bentuk Wayang Semar wanda mega itu kecil kelihatan bulat badannya,
dahinya berlipat agak nonong, kelopak mata kelihatan tebal, mata menyipit karena
sering menangis, hidung sumpel, mulut kecil, wajah bulat, kumis tipis, wajah
bulatnya diberi bedak putih kelihatan menor, daun telunganya agak lebar
cocoknya memakai giwang lombok, cebol gemuk badannya, hitam kulitnya,
tangan menunjuk, wataknya kaya pitutur, tangan yang satu terbuka. Kainnya
ceplok dikapai agak tersingkap sehingga kelihatan pantatnya sedikit agar kalau
berjalan jangan sampai ribet, ikat pinggang tampar dililitkan bersama dengan sutra
merah kembang kuncung agak menunduk, menandakan kalau wataknya masih
seperti bocah kecil yang masih suka menangis. Kalau tidak seperti itu bukan
Semar wanda mega, mulut kecil mungil kalau berbicara dengan suara kecil agak
panjang, senang memerintah dan senang memberi petuah.
Wayang Semar wanda brebes itu ditemani oleh Bagong wanda gilut, lalu
ditambah dengan Cenguris, jadi ada tiga. Yang wajib menjalankan adalah abdi
dalem dalang Kanoman Kadipaten yang memainkan lakon wetanan yang sudah
menjadi kawruh tatanan pedalangan di Surakarta.
Bentuk Semar wanda brebes kepalanya dempak agak setengah kuncung
naik ke atas, wataknya kagetan karena agak kurang pendengarannya, dahinya
berlipat nonong pereng, mata rembes sering keluar air matanya, alisnya turun,
hidung sumpel, mulut terbuka agak lebar dengan bibir tebal, wajah bulat lebar di
bawah, dicat prada kuning (brom), badannya hitam gemuk pendek, jalannya maju
mundur sambil mengusap air matanya, kalau sudah mau jalan dengan cepat lalu
menabrak temannya karena matanya silau terhalang oleh air mata yang keluar,
kalau berbicara keras agak mendo’ak kepalanya, suka marah, banyak barang yang
tidak sesuai keinginannya. Kebiasaannya adalah sebentar-sebentar mengusap
mata, suka marah, lebih pantas kalau tangannya memegang sapu tangan, tangan
yang menunjuk, yang kiri terbuka dari kesukaannya marah dan banyak yang tidak
sesuai hatinya. Karena Bagong wanda gilut itu suka membangkang dan selalu
mengomel, kain ceplok kotak-kotak dipakai agak ketat, makanya jalannya megol-
megol maju mundur, ikat pinggang tali sonder sutra jingga dengan kembang
dilingkarkan di cetik. Kalau tidak seperti itu bukan Semar wanda brebes.
Wayang Bagong wanda gembor adalah teman Semar wanda mega,
wayang Semar dan Bagong itu termasuk wayang yang paling tua diantara para
wayang dagelan. Dalam layang Pustakaraja jilid enam, sudah disebutkan ketika
Janggan Semarasanta diperintahkan jadi pamong keturunan Kanumayasa dan
Wisnu pada akhir jaman purwa, yaitu hanya sampai Raden Harjuna. Oleh eyang
buyut Sanghyang Tunggal diberi teman yang dicipta dari bayangan Janggan
Semarasanta sendiri, lalu menjadi bocah gombak, yang dinamakan Bagong.
Begitulah yang disebutkan dalam cerita layang kuna. Serat Pustakaraja itu
tidak menceritakan adanya Gareng dan Petruk, jadi wayang Gareng dan Petruk
tersebut diciptakan ketika jaman Mataram saja.
Bagong wanda Gembor itu bentuknya paling besar dibanding dengan
Bagong yang lainnya, kepalanya besar memakai gombak, dahinya lebar agak
cunong, matanya bulat besar, hidung besar seperti pantat ayam, mulut lebar, bibir
memble sampai menutupi setengah janggutnya, giginya kelihatan satu
menyembul, mukanya lebar dicat warna prada emas, tubuhnya pendek, badan
gemuk, suara dalam tenggorokan, kalau berkata keras. Dia punya kebiasaan hak-
hek, wataknya kurang ajar. Kain kawung tanpa lipatan dipakai seperti sarung
dengan ikat pinggang sutra jingga, kaitnya dari kuningan, keris dengan rangka
gayaman, kalau berjalan megal-megol, senang meloncat-loncat membuat kaget
temannya, menandakan bahwa orang itu kurang ajar, kalau dimarahi tidak
memperhatikan, kiri kanan tangannya tebakan, kukunya panjang senang
menggaruk-garuk, makanya sudah pantas jadi teman Semar wanda mega. Yang
seperti itu sudah jadi watak Bagong wanda Gembor, senang berteriak-teriak
dengan suara keras. Kalau tidak begitu bukan Bagong wanda Gembor.
Wayang Bagong wanda gilut memiliki kepala dempak dengan gombak,
meskipun sudah tua kelihatan seperti bocah, sebab yang disenangi hanya bergaul
dengan bocah-bocah satu desa. Dahinya lebar mata bulat besar, kalau berjongkok
seperti kerbau, alis sebaris kumis tipis, hidung kecil seperti pantat ayam, mulut
lebar, bibir tebal menggantung sampai menutupi separuh janggut, kalau bersuara
di tenggorokan, kalau bicara menggerundel seperti orang yang sedang makan ikan
yang alot, giginya satu menyembul di depan kalau bicara ikut bergerak tidak bisa
lepas, kalau dilihat seperti sedang memakan permen. Lehernya pendek,
kebiasaannya howak-howek, daun telinga lebar, kalau dinasehati tidak pernah
memperhatikan. Badannya gemuk pendek, memakai kain batik ngombak banyu,
dipakai seperti sarung tanpa lipatan. Kalau berjalan megal-megol seperti orang
tersandung, kalau mengikuti temannya lalu kainnya diangkat dan berjalan dengan
cepat. Ikat pinggangnya sutra jingga membawa wedhung, tangan kiri kanan
terbuka kelihatan kukunya yang panjang-panjang, kalau berkelahi mencakar-
cakar. Wayang Bagong wanda Gilut itu besarnya sama dengan Togog, pantasnya
kalau badannya dicat sawo matang, wajahnya dicat prada emas (brom).
Bagong wanda gilut paling baik dipasangkan dengan Semar wanda brebes,
karena Semar wanda brebes itu selain agak kurang pendengaran, juga senang
marah-marah, kalau bicara keras, sedangkan Bagong gilut tidak pernah
memperhatikan perkataan orang, kalau bicara kebiasaannya sambil menepuk
temannya. Kalau tidak begitu bukan Bagong wanda gilut.
Wayang Bagong wanda ngengkel itu bentuk wayangnya agak kecil karena
biasanya digunakan untuk menambahi keluarnya dagelan Semar, Gareng dan
Petruk. Jaman sekarang sudah jadi kebiasaan dalang senang memainkan dagelan
sampai empat macam. Pada mulanya yang ditiru adalah dalang pesisir Tegal,
Pekalongan ke timur sampai Semarang, lama-lama jadi semakin banyak. Kalau
dalam kraton Surakarta sudah dibagi sendiri-sendiri, kalau abdi dalem dalang di
kasepuhan kraton memainkan dagelan Semar, Gareng dan Petruk, sedangkan
kalau dalang Kanoman Kadipaten memainkan Semar Bagong dan Cenguris.
Hal tersebut sudah diatur oleh para ahli seni pada jaman Mataram sampai
jaman Surakarta, karena menjadi titimangsa runtuhnya Mantarm, berpisahnya
Nyai Panjangmas dengan Kyai Panjangmas, menjadi peringatan sejarah kraton
Surakarta.
Bagong wanda ngengkel kepalanya agak kecil, rambut sedikit digombak
kelihatan naik ke atas, dahinya lebar, alis tipis mata lebar hidung seperti pantat
ayam. Mulutnya lebar seperti tersenyum, bibir menggantung menutupi separuh
janggut, mukanya lebar daun telinga agak kecil, lehernya pendek seperti bayi,
janggut hampir menempel di dada, di punggungnya kelihatan ada punuk,
badannya gemuk bulat, memakai kalung gobog. Wataknya keras kepala tidak mau
kalah bicara, maunya dibilang pandai tapi kalau bicara sering keliru kalimatnya,
makanya malah jadi salah bunyinya membuat bingung yang mendengarkan
kecuali temannya yang sudah biasa. Kainnya batik bermotif ngombak banyu
melengkung-lengkung, sesuai dengan watak dan gayanya. Kalau berjalan
melenggak-lenggok. Kainnya yang tidak lebar dililitkan tanpa lipatan, kalau
berjongkok lalu kelihatan pantatnya. Memakai ikat pinggang sutra jingga,
membawa keris dengan rangka gayaman kalawija sampai pundhak, tangan kiri
kanan terbuka dengan kuku kelihatan panjang-panjang. Kalau tidak begitu bukan
Bagong wanda ngengkel.
Bagong itu kalau di Banyumas namanya Bawor, sedangkan kalau di tanah
timur namanya Mangundiwangsa.
Bagong yang yang seperti itu pada jaman sekarang jadi teman Semar,
Gareng dan Petruk, tapi yang pasti kalah adalah Gareng karena tidak mendapat
tempat, habis untuk bersahut-sahutan lelucon antara Bagong dengan Petruk.
Menurut pedalangan cara Kraton Surakarta, keluarnya dagelan itu dibatasi hanya
mulai keluarnya Bambangan prepatan sampai kerajaan yang dituju saja, setelah itu
tidak diceritakan lagi, artinya sudah habis tidak keluar lagi, hanya tinggal
meneruskan lakon yang sampai bubar. Kalau ada dagelan ikut keluar padahal
tidak sesuai dengan lakon lalu ikut menyela dalam paperangan, itu dinamakan
ngrusuhi. Dagelan itu tidak boleh berpisah dengan orang yang diikuti, kalau pisah
tidak akan diceritakan lagijangan sampai meninggalkan cerita lakon yang sudah
ditentukan.
E. Wayang Dagelan Cenguris
Wayang dagelan Cenguris pada jaman sekarang sudah tidak ada, banyak
dalang yang belum pernah melihat bentuknya. Padahal sebenarnya wayang ini
adalah wayang yang menjadi teman Semar dan Bagong, yang punya kewajiban
menjadi abdi dalem dalang Kanoman Kadipaten.
Yang diambil sebagai pola adalah dagelan dalam wayang Gedog untuk
melengkapi sebagai teman Semar Bagong tersebut, sedangkan ukurannya sama
dengan Belung (Saraita). Wajah wayang Cenguris itu kepalanya kecil rambut
keriting dahi cunong hidung sumpel, mulutnya lebar, bibir atas tebal, alis tipis
mata mendelik kumisnya sedikit, memelihara jenggot tapi jarang, jakunnya
menonjol nyangga tenggok, daun telinga lebar memakai sumping kembang,
lehernya panjang bahu brojol, badan kecil tapi perutnya besar seperti anak
cacingan, pantatnya besar melintang, paha pendek kaki besar, tangan kanannya
menunjuk, yang kiri menggenggam kelihatan kukunya seperti tangan Bima. Kain
ceplok kawung kembangan dipakai tanpa lipatan, ikat pinggang sutra kembang
dengan sonder sutra jingga diselempangkan di rangka ladrang, membawa wedung
pertanda kalau abdi punakawan satria tanah Jawa, memakai kalung gobog diikat
dengan merjan merah. Badannya kelihatan seperti angsa, kalau bicara gagap
seperti Gareng, kebiasaannya wak-wek seperti bebek, kalau tertawa dengan
menutup mulutnya. Tapi ada kelebihannya juga, kalau menyanyikan tembang
suaranya bagus. Kalau berjalan megal-megol seperti angsa, wataknya mengalah
tapi kata-katanya benar. Pasangannya adalah Bagong wanda gembor atau gilut
dan Bagong wanda ngengkel, mana salah satu yang disenangi.
Wayang dagelan Cenguris ada dua macam, mana yang disenangi bisa
memilih sesukanya. Bentuk kepalanya kecil bulat dengan iket kembangan
berwarna hijau dengan mondolan besar menggantung, memakai sumping
kembang warna putih seperti bunganya pengantin baru, dahi kelihatan lebar, mata
sipit seperti sebutir padi, alisnya kelihatan sebaris, hidung mancung panjang,
bibirnya tebal mulut menganga seperti tersenyum, kumis tipis janggut
menggantung ditumbuhi jenggot, daun telinga sedang, jakun nyangga tenggok,
leher panjang bahu brojol memakai kalung gobog diikat merjan merah, kopek
menggantung di atas perut yang buncit seperti bocah cacingan, pantat besar
melintang pahanya pendek dan kaki besar. Kalau berjalan seperti angsa, tangan
kanan menunjuk yang kiri terbuka. Kain batik ceplok jambangan dipakai tanpa
lipatan, dengan ikat pinggang sutra hijau, sonder merah motif bunga, membwa
keris rangka ladrang serta pedang sabet rangka kayu trembalo, pantas kalau jadi
abdi kalawija yang menjadi kelangenan satria di tanah Jawa sebagai wulucumbu
teman dalam perjalanan, sebagai slamuran (penyamaran), teman bernyanyi
sepanjang jalan karena memang suaranya bagus, lagunya berisi bermacam-macam
ajaran yang bisa menjadi contoh. Wataknya suka membelok tapi pandai berbicara,
kalau tertawa ahjis hih hih hih hih, kebiasaannya menutupi mulut, suaranya seperti
Petruk.
Yang dipakai sebagai pola adalah dagelan wayang Gedog yang dibuat
untuk melengkapi adanya Semar Bagong tersebut, kalau ada wayang gedhog yang
bernama Jangkung, artinya luk telu (tiga lekukan), wayang tersebut kalau
ditelungkupkan ada tiga bagian yang cembung, yaitu pantat, pundak dan kepala,
sedangkan keris yang berbentuk jangkung itu luknya hanya tiga. Begitulah
wayang Cenguris yang berbentuk wanda jangkung sedangkan yang satunya
bentuk wanda mentog.
F. Tembung dan Tembang Kawi
Swuh rep data pitana, itu bukan tembang japa atau do’a, itu hanya
tembang bituwah yaitu pipiridan dari isi Serat Mahabarata, pada bagian Adiparwa,
purwaka itu lengkapnya adalah: Sawise sirep. Sidem mung awang uwung. Nuli
ana jaman tumitah kahanan wiwitaning sarwa tumutuh yaiku ing donya iki,
kalimat itu lalu oleh para dalang diringkas menjadi: Swuh rep data pitana
tersebut, tapi sebenarnya berbunyi Swuh rep ndata atita ana. Swuh artinya sirna,
sunyi sepi tidak ada apa-apa, rep artinya dingin. Ndata artinya Lah, Ta artinya
begitu. Atita artinya setelah. Ana artinya ada, keadaan serba tumbuh. Kata ini
sebagai awal pembuka cerita wayang purwa karena cerita ini mengambil dari
Serat Adiparwa.
Dan ada lagi, Swuh rep data pitana, anenggih wau kang kaeka adi dasa
purwa. Swuh = sirna atau lebur, rep = sirep, Swuh rep = sirna sirep. Itu adalah
mantra, yaitu mantra dalang yang memiliki arti Sirna semua tidak ada apa-apa,
yang ada hanya aku, hidup dalang sejati, atau si dalang itu sendiri. Data pitana =
sigegan, anenggih wau = tadi, atau yaitu. Kang kaeka adi dasa parwa, artinya
ringkasan yang digunakan sebagai permulaan cerita. Eka =satu, adi = baik, dasa =
sepuluh, purwa = awal. Yaitu sebagai permulaan cerita tersebut, misalnya
jumlahnya sepuluh tapi hanya satu yang adi atau baik, yaitu yang paling baik
untuk cerita, maka dipilih untuk membuka cerita wayang purwa. Sebetbyar, yang
benar Seg Pet Byar = Rep Pet Byar, yaitu keadaan yang menggambarkan suasana
sunyi sepi lalu muncul dunia.
Kata-kata kawi yang dipakai dalam pedalangan
Antawacana : adalah suara dalang yang bisa membedakan suara
wayang satu-persatu, jangan sampai ada yang sama
suaranya seperti misalnya suara Bima harus berbeda
dengan Gatutkaca, Harjuna jangan seperti Bambangan,
begitu seterusnya.
Hawicarita : orang yang hafal pada cerita, sejarah, atau lakon
wayang yang sudah disebutkan dalam pakem apa
adanya bisa disebutkan.
Bandawala : Perang sendirian, keinginan untuk perang satu lawan
satu tanpa bantuan
Bandawalapati : perang sendirian sampai mati
Bandayuda : perang, berkelahi satu lawan satu
Barduwak : nama senjata pada jaman kuna
Buta Barduwak : buta yang memakai senjata Barduwak
Bregedaba : nama neraka
Bukur pangarip-arip : nama surga
Bala Kusawa : pasukan darat, Wadyabala daratan
Bagna : tidak ada, Irawan bagna, Irawan hilang tidak ada
Badawangganala : dewa para penyu
Bajobarat : buta, makhluk halus pasukan Batari Durga
Bayudanda : pengiring senjata, pasukan yang menjaga senjata
Brajatiksna : satu gelar, bahasa sanskerta Wadjra
Baledeg, tiksna : Panas atau tajam, jadi maksudnya gelar tadi tajam
seperti baledeg.
Baratayuda, yudabrata : perang para keturunan Barata
Gandareya : putra Dewi Gandari yaitu Duryudana
Gandari : Gendari atau Hanggendari, istri prabu Destarata ibu
para korawa, putri prabu Subala ratu di Gandara, prabu
Subala atau prabu Tisnawa ratu di Plasajenar, dewi
Gendari saudara tua Sangkuni, Adipati di Gendara yaitu
Sangkuni.
Naracabala : Buta bala yang kecil atau Bala Danawa Arahan, Bala
Brakasakan, jumlahnya ribuan bisa dinamakan panah
pangabaran.
Subadra : Sembadra = nikmat linuwih, istri sang Harjuna
Wijayakusuma : bunga sang pemenang, nama salah satu bunga yang
memiliki kekuasaan lebih besar. Ada yang menyebut
bahwa Wijayakusuma tadi berupa Serat atau Jimat yang
tertulis milik prabu Sri Batara Kresna di Dwarawati.
Punjul ing apapak : lebih dari orang kebanyakan
Kajugilan : hatinya tidak baik
Bengis, wengis : gampang berkata-kata buruk dan ringan tangan, bisa
dinamakan mara mulut mara tangan.
Kata tersebut yang pasti untuk janturan ketika Gapuran, yaitu yang
berbunyi irung jinara trusing kuping den ingoni Bremara lan Bremari, yaiku
kombang lanang lan kombang wadon. Kalau sampai keliru menjadi Bremana
Bremani itu salah, makanya harus teliti dalam mengartikan kata-kata bahasa kawi.
G. Upacara Keprabon
Ketika jaman kraton Jenggala, yang menjadi ratu adalah Prabu Lembu
Amiluhur yang menambahi alat keprabon yang akan digunakan pada hari
pasewakan, dipinjam oleh para ceti yaitu berbentuk barang yang berbentuk hewan
yang terbuat dari kancana (emas).
Hardawalika, bulubekti dari kerajaan di Makasar, yaitu Angsa emas,
tubuh angsa kepala Sarag. Kijang Kancana, bulubekti dari kerajaan di Wandan.
Sawunggaling, bulubekti dari kerajaan Aceh, bentuknya seperti ayam hutan yang
terbuat dari emas. Rusa Mas, yang terbuat dari emas murni. Gajah mas, bulubekti
dari kerajaan Palembang. Banyakdalang, bulubekti dari kerajaan Siyem. Kutuk
Kancana, bulubekti dari kerajaan Banjarmas Borneo. Kacu mas, modangan,
berupa bumbung emas dan tutup emas. Kebut lar badak, atau Laring Merak,
sepasang. Kebut lar burung Dewata satu.
Semua barang upacara yang berbentuk hewan yang terbuat dari emas itu
gunanya hanya untuk tempat anggi-anggi, yaitu berupa mustika (mesail) seperti
akik dan lain sebagainya. Makanya semua bulubekti terbuat dari emas untuk
menghias keraton, sebagai tanda kalau sang prabu membawahi kraton-kraton di
tanah sabrang. Itu ada sampai sekarang.
BAB XVI
PATI BASA DHALANG PURBA
A. Basa Isbat
Menurut serat Pati bahasa halaman 39
1. Rangka manjing curiga = rangka masuk ke dalam keris: raga menutupi hawa
2. Kodok ngemuli lenge = katak menutupi sarangnya: badan menutupi hawa
3. Kayu gurda rumambat ing wit sembukan = kayu gurda merambat pada
pohon sembukan: hidupnya raga dari nyawa
4. Lumpuh ngideri jagad = lumpuh mengelilingi bumi: Baleatma, tempatnya di
hati
5. Kuda ngrap ing pandengan = Baleatma, tempatnya di hati
6. Cebol anggayuh lintang = orang cebol menggapai bintang: Baleatma,
tempatnya di hati
7. Senteg pisan anigasi = Baleatma, tempatnya di hati
8. Gigiring punglu = Baleatma, tempatnya di hati
9. Tanggal pisan kapurnaman = purnama tanggal satu: Baleatma, tempatnya di
hati
10. Wuta tuduh marga = orang buta menunjukkan jalan: Baleatma, tempatnya di
hati
11. Galihing kangkung = kosong atau hawa
12. Isine wuluh wong-wang = kosong atau hawa
13. Tapake kuntul ngalayang = jejak burung kuntul yang terbang: udara
14. Susuh angin dimana enggone = dimanakah sarang angin?: min kibaril warit
15. Kusuma Hanjrah di tawang = sumusuping atma
16. Pinda kombang mangajap tawang sepi = sumusuping atma
17. Bumi pinetak = isbat
18. Amek geni adedamar = isbat
19. Wong ngangsu pikulan warih = isbat
20. Banyu kinum = isbat
21. Srengenge pine = isbat
22. Dahana murup binakar = isbat
23. Pawana tiniyup = isbat
24. Miyarsa tanpa karna = mendengar tanpa telinga: Allah
25. Berkata tanpa lathi = berkata tanpa lidah: Allah
26. Tumingal tanpa netra = melihat tanpa mata: Allah
27. Angganda tanpa grana = mencium tanpa hidung: Allah
28. Eka kuda ngrap di pandengan = kuda berderap di depan mata: Bale atma
29. Dwi kombang angeleng di tawang = kumbang bersarang di langit:
sumusuping atma
30. Tri sapi nusu mring pedete = sapi menyusu pada anaknya: raga hidup dari
nyawa
31. Catur warjita sumengkeng arga = raga hidup dari nyawa
32. Panca baita amot samodra = kapal membawa samudra: raga hidup dari
nyawa
33. Sat welut ngeleng aneng tawang = belut bersarang di langit: raga hidup dari
nyawa
34. Sapta wong ngangsu pikulan warih = orang mencari air dengan pikulan
warih: isbat
35. Hasta apek geni adedamar = isbat
36. Nawa jroning gelap ada padang = di dalam gelap ada terang: sekarat
37. Dasa usume wastra gumelar = mati
38. Kebo gerang anyabrang segara asat = kerbau besar menyeberang lautan
kering
39. Kayu sidaguri growong ambane sapagagan = kayu sidaguri berlubang
sebesar pegagan
40. Waluh pugag (pogog) = menyentuh langit
41. Wit bamban kang ana tambine
42. Tuntut sagoci gedene = bunga pisang sebesar goci
Selanjutnya kumpulan isbat tersebut bisa digunakan untuk cangkriman.
Cangkriman:
Ada beduk yang bunyinya nguwung sampai setahun lamanya, bahan yang
digunakan untuk beduk adalah kayu sidaguri yang berlubang sepegagan, kulitnya
adalah kulit kerbau gerang yang menyeberang lautan kering, talinya adalah akar
wuluh pogog yang sampai langit, pasaknya adalah tambi pohon bamban,
pemukulnya dari tuntut yang besarnya satu goci.
Jawi Kanda 1909 no. 129, katandhan: Bocah ladak.
B. Delapan Golongan Manusia
1. Candala = orang yang mempunyai penyakit parah (barah) atau miskin
sekali, kalau dalam bahasa kawi Candala = bengis, kalau dalam bahasa
Jawa candala = ala, buruk, seperti Hasta Sabda, Basa, Candala.
2. Reksasa atau raseksa, yaitu kuli, kalau dalam bahasa kawi reseksa = buta
3. Kriya = tukang
4. Sudra = masyarakat bawah atau petani
5. Daniswara = saudagar, dalam bahasa kawi daniswara = kaya
6. Danuja = prajurit, dalam bahasa kawi danuja = satria unggul
7. Satria = priyayi
8. Brahmana = pujangga atau dukun = pandita laki-laki
Ilmu, artinya petunjuk, wejangan dari ilmu yang bisa menerangi segalanya.
Ilham, artinya petunjuk atau wejangan baik yang tidak melalui perantara guru,
langsung dari Gusti Allah sendiri. Kalimpadan, artinya pandai karena budinya
Kalantipan, artinya tajamnya hati untuk berbuat baik. Kagunan, dalam pekerjaan,
seperti kagunan itu tidak hanya untuk mencukupi nafkah saja, juga bisa untuk
mengangkat derajat. Putus, pandai karena ajaran dari guru Gupit mandragini atau
mandragini, artinya Tlaga kolaman, yang benar mandakini, jadi anggupit
mandakini, artinya rumah = gedung di bale kambang. Jadi kalau begitu artinya
Rumah gedung yang berada di tengah kolam. Maka sebaiknya tidak usah
diucapkan dengan kata: ing dalem Prabasuyasa kalurus pananggap ler wetan,
Sang Dayintaji lenggah ingadep para ceti sami ampil-ampil upacaranng
keprabon.
C. Wayang Sebagai Tontonan
Kalau begitu sudah jelas dalam lempengan-lempengan tembaga yang
sering menyebutkan kata (H) Aringgit, tapi kata tadi tidak berhubungan dengan
yang lain, belum jelas untuk disesuaikan dengan keadaan wayang tersebut.
Meskipun kalau melihat dalam serat-serat kuna seperti yang sudah dijelaskan di
atas, sudah jelas sekali kalau adanya wayang di tanah Jawa adalah ketika abad
yang ke-9 pada tahun Belanda, meskipun pada waktu itu keadaan wayang masih
sangat sederhana.
Selain yang tersebut dalam lempengan tembaga yang belum begitu jelas
tersebut, kalau yang disebutkan dalam serat-serat kuna yang sudah dijelaskan di
atas dihimpun menjadi satu seperti tersebut di bawah ini.
1. Pertama, ketika jaman Prabu Erlangga, tahun isaka 950, sama dengan
mulai abad yang ke-11 tahun Belanda, di Kraton Kedhiri pada waktu itu
sedang makmur, sudah ada tontonan wayang.
2. Yang ke-2, wayang tersebut terbuat dari kulit yang ditatah (kulit diukir)
serta dimainkan di balik layar, yang menceritakan lakon dan berkata-kata
adalah orang yang memainkan wayang itu.
3. Yang yang ke-3, pada waktu itu adanya wayang memang sudah kuna, yang
menulis serat Tantupanggelaran sampai bisa mengatakan kalau adanya
wayang tadi adalah ketika para Dewa masih ngejawantah di bumi.
4. Yang yang ke-4, pada waktu itu wayang sudah biasa jadi tontonan serta
kesenangan orang banyak, sampai para pangarang menyanjungnya dalam
serat-serat yang mereka buat.
5. Yang yang ke-5, mungkin pada waktu itu, tapi yang pasti pada tahun
Belanda kang yang ke-12, tontonan wayang tersebut sudah memakai
tetabuhan yang bernama tudung saron kemanak dan lain sebagainya.
6. Yang yang ke-6, cerita wayang bisa menyentuh hati para penonton,
makanya kemungkinan pada jaman dulu sudah ada bermacam-macam
wayang.
Kalau dilihat dari segi kelumrahan, tontonan wayang pada jaman itu, kalau
memang benar merupakan kemajuan orang-orang Jawa pada waktu itu, juga
misalnya wayang tadi belum terlalu lama, sudah pasti belum bisa seperti sekarang.
Jadi sudah jelas kalau adanya wayang sudah sabelum tahun isaka 950. Selain
orang Jawa, di seluruh tanah Nusantara (Indonesia) banyak orang yang senang
pada wayang kulit, ada uga di beberapa tempat seperti: Bali, Sumatera, Borneo,
tapi semua memiliki nama sendiri tapi masih merupakan pengaruh dari Jawa.
Awalnya orang-orang Jawa yang membawa ke sana, apa lagi pasti tidak ada yang
menentang kalau ada yang mengatakan bahwa yang membuat wayang kulit
terlebih dahulu adalah orang Jawa. Mungkin orang-orang jawa melihat wayang itu
dari bangsa Hindu. Pada jaman kuna, bangsa-bangsa itu sudah bergaul dengan
bangsa Jawa yaitu Cina dan bangsa Siam, sedangkan kedua bangsa tersebut
mempunyai tontonan wayang.
Perintah Sanghyang Wisesa pada Maya
Heh, Maya, jangan khawatir dalam hatimu.
Maya: itu artinya hitam. Wujudmu hitam itu sebenarnya adalah samaran,
artinya:
Yang ada itu sebenarnya tidak ada
Yang sebenarnya ada ternyata bukan
Yang bukan ternyata iya
Yang berani hatinya hilang keberaninannya karena takut keliru
Maya, kau kujuluki Batara Semar atau Batara Ismaya, turunlah ke bumi,
berkraton di bumi ketujuh. Kau kuberi mustika manik asta-gina yang memiliki
delapan kelebihan yaitu:
1. Tan kenaning luwe = tidak pernah merasa lapar selamanya
2. Tan kenaning arip = tidak pernah merasa ngantuk selamanya
3. Tan kenaning asmara = tidak pernah merasa jatuh cinta selamanya
4. Tan kenaning sungkawa = senang susah sama saja (tentram)
5. Tan kenaning sayah = tidak pernah merasa capai
6. Tan kenaning lara = sehat selamanya
7. Tan kenaning panas = tidak pernah merasa panas
8. Tan kenaning atis = tidak pernah merasa dingin
Manik astagina letakkanlah dalam ikatan rambut yang ada di ubun-ubun
(kuncung). Kata-kata Sanghyang Tunggal pada putranya, Ismaya: He, putraku,
Ismaya, engkau adalah penyamaran atas kekuasaanku, jadi engkau tidak kuijinkan
menjadi ratu manusia di dunia, engkau hanya aku perbolehkan menjadi ratu di
jagad sunyaruri saja, (alam kosong), kalau engkau memperlihatkan diri di dunia
hanya aku ijinkan menjadi orang tua yang merawat keturunan adikmu si
Manikmaya.
Sebenarnya tidak ada bedanya di dunia dan di jagad sunyaruri, aku akan
menuruti apa saja yang engkau minta. Engkau aku beri sebutan Batara Ismaya
atau Batara Iswara atau Batara Samara atau Batara Semar atau Sanghyang Jagad
Wungku atau Sanghyang Jatiwisesa, atau Sanghang Suryakanta.
Sanghyang Tunggal lalu menciptakan jodoh Batara Ismaya, seketika itu
diperbolehkan oleh Gusti Allah, tidak berapa lama ada perempuan ayu wajahnya
datang bernama Dewi Sanggani, putra Sanghyang Hening (Wening). Sanghyang
Hening itu adalah kakak Sanghyang Tunggal, Sanghyang Tunggal bergelar
Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal berkata pada Dewi Sanggani kalau akan
dijodohkan dengan saudara sepupunya sendiri yang bernama Batara Ismaya yang
hitam dan jelek wajahnya, sang dewi hanya berkata terserah.
Sanghyang Wenang berkata pada Batara Ismaya, He, putraku Ismaya,
Sanggani itu aku jadikan jodohmu, jadi dia itu adalah kakakmu sepupu, dan
engkau tetap menjadi ratu di jagad sunyaruri.
Batara Ismaya lalu diberi wejangan kasantikan lalu diperintahkan
berangkat dengan istrinya. Batara Ismaya berkata mengiyakan lalu melesat
dengan sang istri tidak kelihatan lagi. (Serat Paramayoga halaman 47).
Batara Ismaya berputra sepuluh yang lahir dari dewi Sanggani
Putra Batara Ismaya seperti yang disebut di bawah ini.
1. Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan
2. Batara Siwah
3. Batara Wrahaspati
4. Batara Yamadipati
5. Batara Surya
6. Batara Candra
7. Batara Kuwera
8. Batara Tamburu
9. Batara Kamajaya
10. Dewi Sarmanasiti
Putra yang pertama yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang
Bongkokan, berputra berbentuk manusia cebol gemuk pendek bulat hitam
kulitnya, manusia tersebut diturunkan ke dunia bernama Semarasanta, jadi
merupakan cucunya sendiri. Semarasanta itu manusia yang menjadi wujud Batara
Ismaya atau Batara Samara atau Batara Semar untuk menyamar ketika turun ke
bumi. Semarasanta ikut dengan Resi Manumanasa di Saptarga, selain menjadi ipar
sang Resi juga sekalian menjadi pamong keturunan sang Resi. Semarasnata
memiliki jodoh bidadari bernama Dewi Kanastren. Karena Semarasanta sering
didatangi sang eyang, Batara Semar, dan menjadi satu jiwa, lalu oleh orang
banyak dinamai Kyai Lurah Semar atau kaki Badranaya.
Semarasanta dalam pawayangan bentuknya seperti wayang Semar,
padahal sebenarnya wujud tersebut adalah cucu Batara Semar atau Batara Ismaya
yang bernama Semarasanta tersebut. Jadi kalau begitu di bumi itu sebenarnya
tidak bentuk Batara Ismaya, yang ada adalah manusia yang jadi tempat menitis
Batara Ismaya kalau sedang turun ke bumi, lalu jadi dinamai Kyai Lurah Semar.
Makanya Batara Ismaya wujud sebenarnya dalam pewayangan tidak ada,
yang berwujud manusia bernama Semarasanta itu adalah bentuk jasmani Batara
Ismaya atau Batara Semar. Karena Batara Ismaya itu manusia halus yang
berbentuk cahaya hitam, maka tidak bisa diwujudkan dalam pawayangan. Hitam
artinya gelap tidak kelihatan. Seperti disebutkan di depan, yang ada sebenarnya
tidak ada, yang sebenarnya ada ternyata bukan, yang bukan ternyata iya, yang
berani hatinya hilang keberaniannya takut kalau keliru.
Putra Batara Ismaya yang ke-9 menjadi kakak anak bungsu bernama
Batara Kamajaya. Menurut ceritanya, batara Kamajaya itu ketampanannya
mnegalahkan semua Dewa di Kayangan, tidak ada yang menyamai. Dalam sejarah
Kenabian, sebagai perbandingannya adalah Nabi Yusup, tidak ada yang
menyamai.
Batara Resi Soma putranya yang pertama seorang putri bernama Dewi
Ratih. Menurut ceritanya, dewi Ratih itu adalah seorang putri yang paling cantik,
sampai mengalahkan semua bidadari di Kayangan, tidak ada yang bisa menyamai
kecantikannya. Batari Ratih tersebut menjadi istri Batara Kamajaya.
D. Gambaran Wayang Semar
Kalau menurut cerita sejarah, Batara Ismaya atau Batara Semar itu hanya
berbentuk manusia halus yang bercahaya hitam serta mempunyai daya manik
astagina yang memiliki khasiat delapan perkara yang diikatkan dalam kuncung
yang merupakan pemberian sang ayah Sanghyang Wenang atau Sanghyang
Tunggal.
Tapi kalau menurut sejarahnya, seharusnya tidak bisa diwujudkan dalam
gambar karena itu hanya berbentuk cahaya yang berwarna hitam, artinya tidak
kelihatan. Kalau akan turun ke bumi lalu menitis pada cucunya yang bernama
Semarasanta yaitu seorang manusia yang berbadan cebol gemuk pendek bulat
hitam kulitnya. Jadi hanya manusia yang bernama Semarasanta inilah yang bisa
kelihatan oleh para manusia di bumi ini.
Jadi kalau membuat gambar wayang Semar dengan bentuk orang cebol
gemuk pendek bulat hitam kulitnya, itu sudah bisa mirip dengan ceritanya. Tapi
kalau ada wayang Semar dibuat dengan sakit mata, hidungnya pilek kelihatan ada
ingusnya, itu sebenarnya salah karena Semar sudah terkena daya khasiat mustika
manik astagina yang membuatnya terbebas dari segala jenis penyakit. Jadi harus
digambarkan dengan wujud sehat, tidak kena penyakit meskipun yang berbentuk
Semar itu adalah Semarasanta, tapi ia sudah kena daya khasiat manik astagina,
jadi harus bebas dari penyakit. Begitulah seperti yang disebutkan dalam sejarah.
Jadi memang benar para linuwih sarjana pada waktu itu, dalam
menggambarkan wayang dengan diberi wanda, sebagai pasemon wayang. Semar
wanda brebes, kata brebes di sini maksudnya bukan sakit brebes (selalu keluar air
dari mata), jadi kalau diwujudkan dengan penyakit rembes itu salah, yang
dimaksudkan brebes di sini artinya selalu mengeluarkan air mata karena kurang
tidur, makanya matanya sampai mengeluarkan air mata mengalir sampai pipi.
Sedangkan hidung sumpel itu jangan sampai ditambahi ingus nanti jadi
kelihatan kotor serta di pucuk kuncung dibuat agak cembung karena itu adalah
tempat menyimpan manik astagina. Jadi kalau dibuat nantinya bisa cocok dengan
sejarah, menurut cerita Batara Ismaya.
Dewa dan pandita dibuat memakai baju
Wayang dewa dengan baju, sepatu serta slendangan. Wayang pandita
dengan baju dan slendangan tanpa sepatu. Ketika panjenenganipun kanjeng
Susuhunan Mangkurat di Kartasura membuat wayang purwa, polanya dibuat di
Mataram atas keinginan dalem susuhunan, ia ingin membuat wayang para dewa
yang memakai baju panjang dinamakan baju jubah, serta memakai sepatu dan
slendangan.
Mengapa wayang para dewa-dewa dibuat begitu? Sebab menurut cerita,
wayang dewa itu menggambarkan wujud manusia halus, artinya antara bumi dan
langit. Jadi Dewa itu tidak menapak di bumi ini, hanya melayang berwujud
bayangan saja yang ada di antara bumi dan langit. Jadi kalau akan menemui para
manusia di bumi tidak bisa bersentuhan karena dewa itu hanya kelihatan seperti
bayangan saja.
Maka atas pemikiran dalem kang Sinuhun Kangjeng Susuhunan, wayang
para dewa tersebut lalu diwujudkan memakai sepatu, baju jubah, dan slendangan.
Dengan sepatu itu artinya sudah tidak menapak tanah karena sudah terhalang
sepatu tersebut, baju jubah slendangan maksudnya di sini untuk membedakan
dewa dengan manusia jangan sampai kelihatan sama.
Hanya ada dua dewa yang tidak boleh diubah bentuknya yaitu wayang
Dewa Batara Guru dan wayang bidadari Batari Durga karena wayang itu
merupakan peringatan asal mulanya. Wayang dewa tersebut tidak memakai baju
dan sepatu, tetap seperti aslinya berbentuk Batara Guru dan Batari Durga.
Wayang pandita dengan baju jubah, slendangan tanpa sepatu, dibuat
seperti itu karena wayang para pandita itu masih mewujudkan gambaran manusia
yaitu manusia yang telah diterima tapanya, jadi masih berwujud manusia yang
hidupnya menapak di bumi ini, bisa bersentuhan dengan sesama manusia.
Makanya digambarkan tanpa sepatu, artinya masih pada menyentuh tanah seperti
lumrahnya manusia.
Wayang pandita jaman itu bajunya jubah dibuat lurus, jadi tidak dibuat
terbuka dan terbalik seperti baju jubah para dewa, untuk membedakan dewa dan
manusia karena wayang dewa dan pandita itu kelihatan hampir sama rupanya.
Makanya para linuwih pada waktu itu memikirkan bagaimana supaya bisa
kelihatan berbeda rupanya, kalau wayang pandita terbuat tanpa sepatu, baju
jubahnya melambai seperti tertiup angin karena semua yang berwujud halus itu
dianggap seperti angin. Begitulah keinginan para linuwih pada jaman itu, adanya
wayang tersebut pada tahun candra 1605 jaman Kartasura.
Ketika kanjeng Pangeran Hadipati Puger di Kartasura membuat wayang
purwa yang menjadi pola wayang di Mataram, membuat bentuk wayang
sabrangan liyepan dan telengan yang memakai baju, wayang katongan yang
liyepan memakai gelung supit urang dan kancing garuda sinangga praba, hanya
wajahnya ditambahi brewok memakai baju sikepan gedog. Baju sikepan gedog itu
baju panjang sampai menutupi pantat, membawa keris rangka ladrang yang dikait
dengan baju yang seharusnya menutup pantat tersebut sehingga kelihatan bajunya
tersibak di bagian belakang disangkutkan pada rangka keris. Masih tetap kelihatan
wayang bokongan dengan memakai keris rangka gayaman, celana cinde panjang
dengan kroncong kaki, orang banyak menamai wayang tersebut Ratu Sabrang
wok, karena bentuknya bagus tapi emmiliki brewok yang memenuhi janggut.
Wayang tersebut termasuk wayang tambahan atau srambahan untuk melengkapi
lakon.
Wayang katongan telengan memakai makuta topong ketu serta jamang
gruda sinangga praba, memakai baju sikepan, sisa baju dikaitkan di kepuh
sehingga kelihatan terbalik, wujud wayang tersebut dugangan, celana panjng
dikancing dengan kroncong. Wayang itu termasuk wayang tambahan untuk
srambahan melengkapi cerita lakon. Begitu seterusnya, sampai patih dan anak
buahnya. Kalau wayang patihan dibuat memakai jamang gruda, rambut terurai,
memakai baju membawa keris rangka ladrang untuk mengaitkan sisa baju sikepan
jadi kelihatan terbalik, rapekan, celana panjang. Patih dan punggawa hampir
sama, bedanya kalau punggawa celananya pendek. Semuanya itu tidak memakai
uncal badong.
Kalau wayang buta prepatan bentuknya sama apa adanya, hanya ditambah
memakai baju. Wayang ini adanya hanya di kraton. Wayang di luar kraton pada
umumnya tidak mempunyai wayang Buta Prepatan yang memakai baju tersebut.
Makanya wayang bagian Sabrangan mulai katongan sampai prajuritnya dibuat
dengan baju, atau memakai baju untuk membedakan para katongan di tanah Jawa
bersama seluruh prajuritnya, wayangnya tidak memakai baju. Ada lagi wayang
yang memakai baju tapi lengannya pendek hanya sampai di bahu, memakai kelat
bau. Itu adalah wayang dari Pesisir, lalu ditiru untuk melengkapi. Pada awalnya,
wayang seperti itu dibuat di Pugeran ketika jaman Kartasura dengan titimangsa
tahun candra 1625.
E. Wayang Kyai Jimat
Kang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana yang ke IV di Surakarta,
yang disebut Ingkang Sinuhun Bagus atau P.B. IV di Surakarta, ingin membuat
wayang purwa dengan pola menurut kyai mangu. Wayang Kyai Mangu yang
dijadikan pola itu dibuat oleh Kangjeng Gusti Pangeran Hadipati Anom yang ke
II di Surakarta.
Ketika membuatnya, wayang purwa dijadikan dua lakon atau dua
perangkat, yang selesai lebih dulu diberi nama Kyai Mangu, sedangkan yang
selesai belakangan diberi nama Kyai Kanyut, ketika tahun candra 1697. Setelah
sampai jaman ingkang Sinuwun P.B. yang ke IV di Surakarta membuat wayang
purwa dengan pola mengambil wayang Kyai Mangu tersebut, busana para putri
dibuat indah serta dijujud satu palemahan, wanda wayang rangkap-rangkap,
wayang katongan diberi busana dengan makuta, yang menata Cemapangrawit dan
Kyai Gondo bersama temannya. Setelah selesai jadi satu kotak, diberi nama Kyai
Jimat. Candrasangkalanya berbunyi, Yaksa sikara angrik panggah, menunjukkan
angka tahun candra 1725.
F. Wayang Kyai Kadung
Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan P.B. yang ke IV lalu punya
keinginan membuat wayang purwa lagi. Yang dijadikan pola (contoh) adalah
wayang Kyai Kanyut. Kalau wayang Kyai Jimat, polanya mengambil dari Kyai
Mangu, ketika membuat wayang Kyai Kadung polanya mengambil Kyai Kanyut.
Wayang itu dibuat dijujud palemahannya, badanya seperti Kyai Jimat, wayang
wanitanya ditambah sehingga besarnya pantas. Wayang putren katongan ada yang
memakai makuta topong serta makuta topong ketu, dibuat kelihatan pantas dan
selaras. Wanda wayang juga rangkap-rangkap, yang menatah Cremapangrawit
bersama teman-temannya. Setelah selesai diberi nama Kyai Kadung.
Wayang Kyai Kadung itu yang ditambah besar dan tingginya itu hanya
wayang wanita, yaitu para putri dan semua wayang wanita, sedangkan wayang
lainnya semua masih tetap tidak berubah seperti polanya. Wayang Kyai Kadung
milik kanjeng susuhunan tersebut membuat kagum banyak orang, wayang yang
sudah ditambah ukurannya itu masih kelihatan lincah seperti ketika belum
ditambah. Dibuat candrasangkala Wayang loro sabdaning Nata, menunjukkan
tahun candra 1726.
Wayang tersebut sebagai pengingat, di sana ada wayang berbentuk Buta
Raton tangannya disopak depan belakang jadi hidup semua, memakai makuta
topong ketu, badannya merah muda, sedangkan besarnya wayang langkah ukur
(luar biasa), jadi hanya untuk sumpingan kiri saja. Candra sangkala pada wayang
Kyai Jimat yang berbunyi, Yaksa sikara angrik panggah, kalau disesuaikan
dengan bentuk Buta Raton, memang ada banyak miripnya, malah bisa jadi
wayang buta candra sangkala. Tapi hanya ada untuk wayang Kyai Jimat, tidak ada
wayang kyai Kadung karena beda tahunnya atau karena keliru meletakkan saja
lalu keliru sampai sekarang.
Di Kraton Surakarta ada wayang purwa milik dalem sinuhun jumlahnya
ada tiga kotak yang diberi nama Kyai Jimat, Kyai Kadung serta Kyai Kanyut.
Wayang tiga kotak tersebut besar kecilnya wayang semua sama, jadi kalau tidak
mengerti dan teliti pada wanda dan pasemon wayang akan susah membedakannya.
Misalnya sampai tercampur akan susah mnegembalikannya karena wayang
tersebut mengambil polanya sama, yaitu dari pola Kyai Mangu dan Kyai Kanyut.
Wayang kyai kanyut itu dari pecahan pola Kyai Mangu, jadi bentuk dan
besar kecilnya wayang tidak ada bedanya. Setelah dipisah jadi dua kotak lalu
diberi nama sendiri-sendiri, tidak berbeda dengan wayang yang tersebut di atas
tadi. Setelah jadi tiga kotak, lalu diberi nama sendiri-sendiri yaitu Kyai Jimat,
Kyai Kadung serta Kyai Kanyut. Hanya ada beda sedikit, kalau wayang Kyai
Kadung, wayang wanitanya agak besar dan sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan wayang wanita lainnya. Tapi kalau masih sulit membedakannya, maka
untuk memudahkan lalu dibuat tanda dengan diberi wayang kang berbentuk
manjila, yaitu berupa wayang Buta Raton dengan makuta topong ketu, disopak
tangannya depan dan belakang, besarnya luar biasa. Itu digunakan sebagai tanda
kalau wayang tersebut adalah Kyai Kadung, maka lalu diberi candra sangkala
Wayang loro sabdaning nata, selesai dibuat pada tahun candra 1726.
Diberi candra sangkala Wayang loro sabdaning nata, itu cocok dengan
pembuatan wayang purwa, karena ingkang Sinuwuh P.B. yang ke IV itu dalam
membuat wayang purwa hanya bisa jadi dua kotak, yang selesai dulu diberi nama
Kyai Jimat, lalu yang selesai setelahnya diberi nama Kyai Kadung.
G. Wayang Kyai Dewa Katong
Ingkang sinuhun Kangjeng Susuhunan P.B. yang ke IV di Surakarta, lalu
membuat lagi wayang kulit gedog untuk cerita Panji. Polanya dibuat dari
Kartasura yang bernama Kyai Banjet, bentuk wayang dan busana wayang ketika
itu dibuat bagus, penatahnya Cremapangrawit beserta teman-temannya serta ada
panatah bernama Sodongso di Desa Pala, dipanggil dan diperintahkan untuk
menatah Batara Guru wanda Krena (Karna). Atas kehendak dalem ingkang
Sinuhun lalu membuat wayang ricikan dan wayang dagelan, setelah selesai jadi
satu kotak. Wayang ricikan satu kotak tersebut untuk melengkapi wayang kyai-
kyai empat kotak sebelunya, jika sewaktu-waktu digunakan untuk wayangan
tinggal memilih saja apa yang dibutuhkan, di sana sudah sisa lengkap campur jadi
satu.
Dalam membuat wayang gedog tadi, wandanya wayang purwa rangkap-
rangkap, setelah selesai jadi satu kotak diberi nama Kyai Dewakatong,
candrasangkala Tanpa guna pandita di praja, menunjukkan tahun candra 1730
dibuat oleh P.B yang ke IV di Surakarta.
H. Makuta Topong
Makuta itu artinya topong, sedangkan topong itu artinya makuta. Jadi
sama, hanya beda katanya saja. Kalau makuta topong ketu, artinya makutanya
seperti Ketu, contoh misalnya wayang yang memakai makuta Topong Ketu yaitu
Sang Hadipati Karna sedangkan wayang yang memakai Makuta Topong yaitu
Prabu Kresna. Kalau yang belum mengerti, lebih mudahnya sering dinamakan
makuta papak atau pendek. Yang dinamakan karawista, adalah berbentuk makuta
kanigara atau kuluk kanigara yang sudah biasa dipakai oleh pengantin laki-laki
jaman sekarang.
Yang dinamakan karawista, yaitu emas pipih lebarnya sekitar 8 mili yang
dilingkarkan pada kuluk melingkar tepung gelang, yang jatuh di atas ditarik ke
atas dikancing dengan nyamat kuluk, jadi bentuk kuluk kelihatan ada perhiasan
emas melingkar, itu yang dinamakan karawista. Kalau ketu polos tanpa apa-apa.
Adanya wayang-wayang Kyai yang diceritakan dalam serat Sastramiruda
tersebut adalah seperti ini. Keadaan wayang-wayang itu, bentuk wayang-wayang
Kyai tersebut semua sama Hanya saja wayang-wayang Kyai tersebut diangin-
anginannya dengan hitungan hari yang sudah ditentukan yaitu hari Anggara kasih
(selasa kliwon) Wuku Dukut atau Mandasiya. Hari itulah saat untuk mengangin-
anginkan wayang Kyai tersebut, mengambil salah satun wayang Kyai, yang mana
yang tiba gilirsn untuk diangin-anginkan lalu dikeluarkan dari gedung Lembisana,
dibawa ke sasana Indrawina, dan diangin-anginkan di sana.
Sebelum di sasana Indrawina, wayang-wayang kyai tersebut diangin-
anginkan di teras Metelan. Itu hanya disesuaikan dari asal pembuatan wayang-
wayang tersebut. Ketika membuat pada waktu itu, karena panjenengan Ingkang
sinuhun dalam membuat wayang-wayang tersebut di teras Metelan, menatah dan
menyungging juga di teras Metelan, maka kalau setiap saat ingkang sinuhun
dalem akan melihat atau punya keinginan untuk mengubahnya bisa mendekat dan
seringkali panjenengan ingkang sinuhun menunggui pembuatannya. Begitulah
menurut cerita para sepuh yang ada di gedung Lembisana.
Wayang gunungan artinya tiruan gunung, bentuknya kelihatan lancip
seperti tumpeng, makanya orang banyak menamainya gunungan karena bentuknya
mirip gunung. Di dalam wayang gunungan kelihatan ada gambar pohon besar
hanya satu, di bawahnya kelihatan ada akarnya yang menacap dalam ke tanah
menandakan kekuatan gunung jangan sampai membuat tanah longsor. Dibawa
akar pohon besar tadi ada gambar berbentuk kolam kelihatan ada airnya yang
bening, di dalam air kelihatan ikan yang berenang tiga ekor, maksudnya adalah
kehidupan itu adalah dari trimurti, yaitu terjadi dari sari-sarin kehidupan api, air
dan angin. Di kanan kiri kolam kelihatan ada gambar seperti sayap burung yang
sedang mengepak, menggambarkan wujud tumbuhan sebangsa pandan yang
tumbuh kelihatan segar hidup disekitar kolam tersebut. Di bawah kolam kelihatan
gambar naik turun, yang mewujudkan gambar gunung-gunung dan jurang
kelihatan seperti berada di bawah gunung tersebut.
Makanya dinamai kayon, di dalam wayang gunungan ditatah gambar
pepohonan besar yang kelihatan subur daunnya, di cabangnya yang atas
dihinggapi sebangsa burung seperti: yang pasti tergambar adalah burung merak
dan ayam hutan, lalu hewan sebangsa monyet (lutung) lalu di bawahnya sebangsa
hewan kaki empat yang ada di daratan. Di sana ada gambaran yang wajahnya
seperti kijang berhadap-hadapan, atau sering digambar macan berhadap-hadapan
dengan banteng, serta pohonnya dililit ular. Di tengah-tengah pohon ada bentuk
gambar banaspati, yaitu yang menggambarkan hutan besar kelihatan angker, tidak
bisa dimasuki manusia. Maka wayang gunungan yang berisi gambar seperti itu
lalu dinamakan Kayon Blumbangan, karena yang ada di gambar itu kelihatan ada
bentuk pepohonan besar yang menaungi kolam, atau bisa juga dinamakan kayon
alas-alasan.
Wayang gunungan dicat dua warna, yang sebelah menggambarkan bentuk
hutan sedangkan yang sebelah berupa gambar nyala api. Yang digambar berupa
nyala api itu merupakan titimangsa pembuatan wayang gunungan tersebut, yang
membuat adalah Sunan Kalijaga pada jaman Demak pertama, menunjukkan
candra sangkala memet yang berbunyi, Geni dadi sucining jagad, menunjukkan
tahun candra 1443.
Wayang gunungan disebut kayon, sedangkan isi wayang gunungan ditatah
gambar pohon besar yang subur daunnya. Karena berbentuk seperti itu maka lalu
dinamakan kayon.
Kayun artinya karep, kehendak, yaitu menggambarkan kalau kehendak
manusia itu tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan. Wayang gunungan itu
bentuknya ada satu, isinya diganti-ganti, namnya masih tetap wayang gunungan.
Tapi kalau sudah dipegang oleh dalang maka akan menggambarkan macam-
macam menurut keinginan dalang dalam memainkan wayang. Kalau masih
tertancap di tengah kelir sabelum dalang memulai memainkan wayang, misalnya
kalau orang akan membaca pasti melihat sampulnya dulu, itulah yang dinamakan
purwa pada, artinya bagian awal. Kayon masih tertancap tegak dalam gadebog di
tengah kelir. Setelah itu yang ditancapkan sekitar jam satu malam, sebagai tanda
untuk meminta ganti laras sanga, itu yang dinamakan madya pada (bagian
tengah), kayon ditancapkan pada gadebog bawah tidak terlalu tegak. Lalu kayon
yang ditancapkan di tengah-tengah wayang berdiri tegak di sebelah kiri seperti
ketika belum mulai, ditancapkan di gadebog atas, itu dinamakan wasana pada,
artinya bagian terakhir jam enam pagi dinamakan tanceb kayon, untuk memberi
tanda kalau sudah selesai memainkan wayang.
Ada lagi yang digunakan untuk pemenggal cerita, dinamakan saksana
pada, artinya memainkan cerita yang berbeda tapi masih satu lakon, yaitu ganti
adegan beda nagara. Selain itu ada lagi wayang gunungan yang dimainkan oleh
dalang, juga dengan maksud kalau digerak-gerakkan dari kanan ke kiri itu
menunjukkan kalau ada angin, sedangkan kalau hanya ujung kayon saja yang
ditempelkan di kelir lalu diangkat dan ditempelkan di tengah-tengah kelir agak ke
kiri sedikit, jangan sampai tertutup blencong, itu memberi tanda pada para niyaga
meminta berhenti menabuh gamelan. Dalang lalu suluk patet kedhu, kalau sudah
tiba selesai patet tersebut, kayon baru ditancapkan. Cara menancapkannya agak
serong ke kanan, itu yang dinamakan Saksana Pada, lalu ganti adegan tapi masih
satu lakon.
Kalau ditancapkan di sebelah kanan tegak dekat dengan wayang
sumpingan kanan, wayang katongan ditancapkan di sebelah kiri menghadap ke
kanan di belakang ada wayang parekan ngapurancang, itu menunjukkan gapura
kraton Srimanganti, artinya pintu untuk metunggu, dalam pedalangan disebut
gapuran. Kalau ditancapkan di sebelah kiri dekat dengan wayang sumpingan
sebelah kiri berhadap-hadapan dengan wayang prampogan, itu menunjukkan
tempat yang jarang dijamah manusia, kelihatan rimbun naik turun, maka lalu
diratakan, dalam pedalangan dinamakan perang ampyak.
Yen digerakkan meliuk-liuk dari kanan ke kiri, kalau kencang menujukkan
angin besar, kalau diputar berarti angin kencang dengan topan, kalau pelan
jalannya menunjukkan angin, ketika memutar kayon tidak boleh menempel kelir.
Kalau dirubuhkan menunjukkan aliran air, kalau hanya rubuh saja menunjukkan
tanah longsor, kalau rubuh disertai berputar menunjukkan pepohonan besar
ambruk.
Yang pasti, gerkan-gerakan kayon yang dimainkan oleh dalang itu semua
memiliki makna menurut kebutuhan dalang dalam memainkan wayang. Maka
wayang gunungan lalu dinamakan kayun, artinya kehendak, untuk melengkapi
kebutuhan dalang dalam menceritakan lakon wayang. Tapi menggerak-gerakan
kayon tidak boleh sekehendak sendiri, harus menurut tatacara yang sudah
ditetapkan dalam pedalangan. Begitulah Filsafat wayang gunungan yang
dinamakan Kayun.
Ada lagi wayang gunungan, di bawah pohon besar diberi gambar rumah
sebagai gapura, di kiri dan kanannya digambar buta mambawa gada atau pedang
dan tameng, itu menunjukkan reca gupala sebagai pemanis gapura, menunjukkan
Batara Cingkarabala dan Balaupata yang sedang menjaga pintu Selamatangkep.
Mulut buta menganga, ukir-ukiran tatahan gapura sebagai batas tontonan, kalau
wayang gunungan itu menunjukkan gambar dua rupa, yang sebelah atas
menunjukkan gambar negara dan kratonnya. Begitulah maksud wayang gunungan
kang menggunakan gambar rumah dan gapura, maka lalu dinamakan kayon
Gapuran.
Wayang gunungan dengan gambar gapura itu dibuat oleh kanjeng
susuhunan P.B. yang ke II di Kartasura, ketika membuat wayang Krucil yang
terbuat dari kayu, sedangkan wayang ricikan yaitu gunungan sebangsa buruan dan
senjata yang dibuat masih kulit, setelah selesai wayang gunungan yang
menggunakan gambar gapura itu sebagai tanda, jadi titimangsa pembuatan
wayang krucil yaitu candra sangkala memet yang berbunyi, Gapura lima retuning
bumi, menunjukkan tahun Jawa 1659.
Jadi wayang gunungan ada dua macam, yang dulu berwujud kayon
Blumbangan, juga bisa dinamakan kayon alas-alasan dibuat pada jaman Demak
pertama serta memakai gambar nyala api sehingga menjadi candra sangkala tahun
jawa 1443. Sedangkan yang terakhir berbentuk kayon Gapuran, dibuat pada jaman
Kartasura, jadi candra sangkala tahun Jawa 1659.
Setelah dilihat orang banyak, wayang gunungan dengan gambar gapura
diapit dua buta membawa gada atau pedang tameng itu kelihatan bagus, lalu
sampai sekarang banyak wayang purwa memakai kayon Gapuran, sedangkan
yang berbentuk Blumbangan berkurang, sudah jarang ada.
Wayang gunungan pada waktu itu mengambil pola meniru gambar
pepohonan yang dinambar dalam wayang beber. Dalam wayang beber, di kiri dan
kanan gambar tersebut pasti ada gambar pepohonan yang kelihatan seperti
bertumpuk-tumpuk, dedaunan pohon itu digambar melingkar seperti pembatas,
sebagai batas jangan sampai kelihatan bertumpuk dengan pohon lainnya. Kalau
dipandang supaya kelihatan pisah, bisa berbeda dengan gambar lainnya. Itulah
yang menjadi pola wayang gunungan, gambar pepohonan besar di bawahnya
disambung gambar air dengan pembatas seperti gambar kolam, di dalamnya
digambar ikan berenang, jelas kalau itu isi air karena dihuni ikan. Di kiri dan
kanan kelihatan gunug-gunung dengan pepohonan yang menunjukkan naik
turunnya pagunungan, lalu dibatasi melingkar tepung gelang, jadi seperti bentuk
gunung. Maka lalu dinamakan wayang gunungan blumbangan karena di tengah-
tengah ada gambar kolam yang ada di bawah pohon besar.
Gunanya untuk menandai pergantian cerita yang akan dimainkan oleh Ki
Dalang. Akhirnya selesai sudah penulisan buku ini, semoga bisa menjadi
tambahan dalam seni kebudayaan kita Jawa Kanthi seneng trusing ati, titimangsa
30 Mei 1972.