SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT) DAN
BIBLIOTHERAPY: STUDI KASUS UNTUK MENGURANGI EMOSI
MARAH PASIEN SKIZOFRENIA
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan
Memperoleh Derajat Gelar Strata 2
Program Studi Magister Psikologi Profesi
Disusun oleh:
Quwwatun Azimah Mustajab
201810500211002
DIREKTORAT PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Januari 2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat Dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis yang berjudul “Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) dan
Bibliotherapy: Studi Kasus untuk Mengurangi Emosi Marah Pasien Skizofrenia”
yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister profesi
psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.
Dalam proses penyelesaian tesis ini, penulis banyak mendapatkan
bimbingan dan petunjuk serta bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Fauzan, M.Pd., selaku Rektor Universitas Muhammadiyah
Malang yang memimpin seluruh civitas akademik Universitas
Muhammadiyah Malang
2. Bapak Prof. Akhsanul In’am, Ph.D., selaku Direktur Pasca Sarjana
Universitas Muhammadiyah Malang dan seluruh civitas akademik
Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang
3. Ibu Dr. Cahyaning Suryaningrum, M.Si., Psikolog., selaku Ketua
Program Studi Magister Psikologi Profesi yang banyak memotivasi
penulis dalam penyelesaian tesis
4. Ibu Assoc. Prof. Dr. Diah Karmiyati, M.Si., Psikolog., selaku dosen
pembimbing I yang telah meluangkan banyak waktu dan pikiran untuk
membantu serta membimbing dan memberikan motivasi untuk
penyelesaian tesis ini
5. Bapak M. Salis Yuniardi, M.Psi., Ph.D., Psikolog., selaku dosen
pembimbing II yang juga banyak memberikan ilmu serta meluangkan
waktu dan pikiran untuk membimbing dalam penyelesaian tesis
ii
6. Seluruh dosen-dosen Magister Psikologi Profesi Universitas
Muhammadiyah Malang yang telah mengajar dan memberikan banyak
ilmu kepada peneliti selama perkuliahan
7. Abah, mama, adik, dan seluruh keluarga lainnya yang selalu
memberikan dukungan dan motivasi dalam setiap karir pendidikan
peneliti hingga meraih gelar magister psikologi profesi
8. Seluruh teman-teman Magister Psikologi Profesi angkatan 2018 yang
telah membantu dan saling memberikan motivasi dalam penyelesaian
tesis
9. Achmad Tajrim Nur, S.STP., yang selalu memberikan semangat dan
motivasi dalam penyelesaian pendidikan peneliti hingga meraih gelar
magister psikologi profesi
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
banyak memberikan bantuan pada peneliti selama penyelesaian tesis
ini.
Semoga Allah memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semuanya
karena tanpa bantuan dari berbagai pihak maka tesis ini tidak akan berjalan lancar
sesuai target. Peneliti menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun, sangat saya harapkan untuk
menciptakan karya yang lebih baik lagi dimasa yang akan datang.
Malang, 19 Desember 2020
Peneliti
Quwwatun Azimah Mustajab
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................………….i
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iv
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................…..v
ABSTRAK........................................................................................................…..vi
ABSTRACT......................................................................................................….vii
LATAR BELAKANG.............................................................................................1
TINJAUAN PUSTAKA
SEFT dan Bibliotherapy dalan Perspektif Islam...............................................5
Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT).............................................7
Bibliotherapy.....................................................................................................8
Emosi Marah............................................................................................….....9
Skizofrenia......................................................................................................10
SEFT, Bibliotherapy, dan Emosi Marah.........................................................12
Kerangka Berpikir...........................................................................................14
Hipotesa Penelitian…………………………………………………………..14
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian.............................................................................................14
Subjek Penelitian.............................................................................................15
Definisi Operasional........................................................................................16
Asesmen dan Metode Asesmen.........................................................……….16
Prosedur Penelitian..........................................................................................17
Analisis Data...................................................................................................21
HASIL PENELITIAN
Hasil Asesmen.................................................................................................21
Analisa Hasil Penelitian..................................................................................24
PEMBAHASAN....................................................................................................29
SIMPULAN DAN IMPLIKASI............................................................................31
REFERENSI..........................................................................................................33
LAMPIRAN……………………………………………………………………...39
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Ilustrasi dari terapi SEFT .....................................................................7
Gambar 2. Kerangka berpikir dalam penelitian........................................…...….14
Gambar 3. Rangkuman hasil terapi..........................................................………28
v
DAFTAR LAMPIRAN
Informed Consent…………………………..…………………………………….40
Jadwal Pemeriksaan dan Intervensi………….…………………………………..41
Panduan Intake Interview……………………..………………………………….42
Hasil Observasi Harian………………………………………………………..…44
Modul SEFT……………………………………………………………………..51
Modul Bibliotherapy……………………………………………………………..58
Hasil Tes WAIS………………………………………………………………….66
Hasil SSCT……………………………………………………………………….74
Hasil Tes Wartegg..………………………………………………………………77
Hasil Tes Grafis…………………………………………………………………..79
Hasil Tes TAT……………………………………………………………………88
Catatan Tugas Bibliotherapy……………………………………………………..95
Hasil Tes Plagiasi………………………………………………………………...97
vi
SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT) DAN
BIBLIOTHERAPY: STUDI KASUS UNTUK MENGURANGI EMOSI
MARAH PASIEN SKIZOFRENIA
Quwwatun Azimah Mustajab
Magister Profesi Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang
Abstrak. Setiap individu wajar memiliki emosi negatif terlebih pada pasien
dengan gangguan jiwa yang memiliki permasalahan psikologis yang kompleks.
Emosi marah yang dipendam mendalam sejak lama mengakibatkan terganggunya
kesehatan fisik dan mental. Penting untuk menurunkan emosi marah sebab dapat
pula memperburuk hubungan dengan orang-orang sekitar. Penelitian ini bertujuan
untuk mengurangi emosi marah pada orangtua pasien skizofrenia sehingga dapat
terciptanya hubungan sosial yang baik antara pasien dan kedua orangtuanya
karena keluarga merupakan lingkungan terdekat pasien. Jenis penelitian
menggunakan single case design yang bersifat non-experimental atau biasa
disebut dengan case study. Subjek dalam penelitian ini berusia 24 tahun berjenis
kelamin laki-laki yang telah didiagnosa mengalami gangguan skizofrenia dengan
periode kekambuhan sebanyak 2 kali. Penanganan yang diberikan adalah spiritual
emotional freedom technique (SEFT) dan bibliotherapy yang disusun sebanyak 9
sesi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya penurunan emosi marah pada
subjek melalui pengukuran numerical rating scale yang sebelumnya emosi marah
berada pada angka 8,5 dan setelah terapi berada pada angka 3.
Kata Kunci: Spiritual emotional freedom technique (seft), bibliotherapy, studi
kasus, emosi marah, dan skizofrenia.
vii
SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT) AND
BIBLIOTHERAPY: A SINGLE CASE STUDY TO REDUCE ANGER OF
THE SCHIZOPHRENIC PATIENT
Quwwatun Azimah Mustajab
Master of Professional Psychology
Muhammadiyah University of Malang
Abstract. It is natural for every individual to have negative emotions, especially
in patients with mental disorders who have complex psychological problems.
Anger that has been buried deep inside for a long time could cause disruption to
physical and mental health. It is crucial to reduce anger since it could worsen the
relationships with people around us. This study aims to reduce anger of parents of
the schizophrenic patient in order to build a good social relationship of the patient
with the parents since family is the patient's closest environment. The type of the
research uses a non-experimental single case design or commonly known as case
study. The subject of this study was a 24 years old man who had been diagnosed
with schizophrenia with a recurrence period of 2 times. The treatments provided
were spiritual emotional freedom technique (SEFT) and bibliotherapy, which
were compiled for 9 sessions. The results showed that there was a decrease in
anger of the subject through the measurement of the numerical rating scale, in
which previously the anger was at 8.5 and after the therapy the anger was at
number 3.
Keywords: Spiritual emotional freedom technique (seft), bibliotherapy, single
case study, anger, and schizophrenic.
1
LATAR BELAKANG
Kesehatan jiwa merupakan masalah yang kerap disepelekan dari dulu hingga
sekarang. Berbagai gerakan untuk meningkatkan kesadaran akan kesehatan jiwa
salah satunya dengan diadakannya hari kesehatan jiwa sedunia atau disebut world
mental health day. Pada hari tersebut, Badan Kesehatan Dunia (WHO) setiap
tahunnya memulihkan cacatan pengidap gangguan kesehatan jiwa termasuk
skizofrenia memiliki 23 juta orang mengalami gangguan jiwa (cnnindonesia.com,
2018). Berdasarkan data yang dikumpulkan di Amerika Serikat bahwa setiap
tahun terdapat 300.000 pasien penderita skizofrenia mengalami episode akut, 25%
diantaranya melakukan percobaan bunuh diri dan 10% berhasil meninggal karena
bunuh diri, sehingga disimpulkan bahwa angka kematian pasien skizofrenia 8 kali
lebih tinggi dari angka kematian individu normal (Prihananto, Hadisaputro, &
Adi, 2018; Yosep, 2007).
Pada umumnya prognosis kesembuhan untuk penderita skizofrenia kurang
membawa kabar gembira dikarenakan sekitar 25% pasien dapat pulih pada
episode awal, 25% tidak dapat pulih, dan 50% berada diantaranya (Arif, 2006).
Namun, penelitian yang mengangkat masalah skizofrenia berkembang dengan
pesat termasuk adanya kemajuan di bidang psikofarmaka yakni obat-obatan anti
skizofrenia telah menjadikan pasien penderita skizofrenia dapat dipulihkan
sehingga dapat berfungsi kembali dalam kehidupan sehari-hari sehingga pasien
skizofrenia tidak perlu lagi disingkirkan dari masyarakat apalagi dipasung
(Hawari, 2014).
Kondisi pasien skizofrenia di Indonesia memprihatinkan terutama sikap
keluarga dan masyarakat. Data yang diperoleh dari Riskesdas (Riset Kesehatan
Dasar) tahun 2018 bahwa individu penderita gangguan jiwa yang dipasung 3
bulan terakhir mencapai 31,1% di perkotaan dan 31,8% di pedesaan (Indrayani &
Wahyudi, 2018). UU nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa terbagi
menjadi 2 kondisi yaitu ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan) dan ODGJ
(Orang Dengan Gangguan Jiwa). ODGJ merupakan individu yang mengalami
gangguan pikiran, perilaku, dan emosi yang termanifestasikan dalam kumpulan
gejala perilaku yang bermakna serta mampu menimbulkan penderitaan dan
2
adanya hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia normal (Indrayani
& Wahyudi, 2018).
Penyebab munculnya simtom skizofrenia yang paling populer saat ini adalah
dari perspektif biologis oleh faktor genetik, kerusakan saraf otak, dan
ketidakseimbangan neurotransmitter (Arif, 2006; Neale, Davison, & Haaga, 1996;
Torrey, 1988). Namun, tidak dipungkiri bahwa penyebab skizofrenia selain faktor
biologis adalah faktor psikologis dan lingkungan yang tidak stabil sehingga
menimbulkan berbagai tekanan pada penderita sebagai pemicu relapse.
Penyebab relapse pada gangguan skizofrenia ditemukan mencakup banyak
aspek namun yang mempengaruhi paling banyak adalah aspek psikologis yang
melibatkan kognisi, afektif, dan perilaku (Nevid, dkk., 2018). Berfokus pada
afektif yang berhubungan dengan emosi yang merupakan perasaan yang muncul
dalam diri terbagi menjadi sedih, gembira, kecewa, benci, marah, semangat, cinta,
dan lainnya (Albin, 1998). Sangat wajar apabila pasien skizofrenia memiliki
masalah emosi yang kompleks termasuk emosi marah yang dipengaruhi oleh masa
lalu. Perasaan yang muncul akan selalu mempengaruhi bagaimana individu
berpikir dan bertindak (Albin, 1998). Oleh karena itu, peneliti berfokus untuk
menangani permasalahan emosi marah pada pasien skizofrenia guna mencegah
relapse atau mengurangi frekuensi kekambuhan setelah diberikan penanganan.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa seseorang yang sedang marah maka
emosi negatif dalam tubuh dapat mempengaruhi kualitas tidur dengan adanya
respon fisiologis membuat orang menjadi sulit tidur (Elga, 2012). Emosi negatif
banyak memunculkan berbagai macam ketidakseimbangan dalam tubuh yang
berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental. Secara psikologis wajar bagi
individu untuk sukar mengungkapkan perasaan marahnya namun akan sangat
menyusahkan apabila emosi marah tersebut terpendam dalam-dalam ataupun
mencoba berpura-pura tidak ingin mengakuinya, hal ini dapat memperburuk
hubungan dengan orang disekitar (Albin, 1998). Penting bagi setiap individu
untuk melepaskan emosi marah yang dirasakan sehingga meningkatkan kesehatan
fisik dan juga mental.
3
Riset penelitian terdahulu untuk mengatasi permasalahan emosi cukup
banyak melalui pendekatan psikologis. Terapi yang paling banyak digunakan
adalah terapi kognitif dan terapi perilaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terapi kognitif dapat mengendalikan emosi dengan baik (Radhitya & Santoso,
2019). Hasil penelitian untuk terapi perilaku juga menunjukkan adanya
peningkatan regulasi emosi dengan terapi relaksasi autogenik pada siswa remaja,
sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi perilaku dapat mengatasi permasalahan
emosi (Fitriani & Alsa, 2015).
Terapi perilaku melalui teknik yoga juga dapat mengatasi permasalahan
emosi marah. Hasil penelitian Kadiyono dan Anmarlina (2016) mengungkapkan
bahwa dengan teknik yoga dapat membantu individu untuk mengelola emosi
marahnya, menenangkan pikiran, dan mengurangi stres. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa terapi suportif dapat meningkatkan manajemen emosi negatif
pada individu yang memiliki pasangan skizofrenia (Mutiara, 2017).
Mengatasi permasalahan emosi yang efektif diterapkan pada pasien
skizofrenia adalah Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT). Penelitian
Rochjani, Mardiyono, dan Arwani (2014) mengungkapkan bahwa terapi SEFT
dapat mengurangi emosi negatif pada pasien dengan skizofrenia. Terapi SEFT
dengan menggunakan pendekatan spiritual cocok diterapkan pada pasien
skizofrenia, menurut hasil penelitian bahwa terapi spiritual dengan melakukan
dzikir, istigfar, dan sholat dapat meredakan emosi marah dan mengurangi gejala
yang muncul pada pasien skizofrenia (Triyani, Dwidiyanti, & Suerni, 2019). Dari
seluruh riset penelitian untuk mengatasi emosi marah, maka peneliti menawarkan
terapi SEFT untuk mengurangi emosi marah pada pasien skizofrenia.
Terapi SEFT adalah metode penanganan terbaru yang dapat menyelesaikan
berbagai masalah pada gangguan psikologis (Anwar & Niagara, 2011). Dalam
penelitian ini menawarkan terapi SEFT untuk mengurangi emosi marah yang ada
pada diri subjek sehingga mengatasi permasalahan yang esensial guna
menciptakan hubungan sosial yang baik bagi pasien skizofrenia terutama
hubungan keluarga mengingat keluarga adalah lingkungan terdekat pasien
skizofrenia.
4
Zainuddin (2009) mengungkapkan bahwa terapi SEFT adalah terapi yang
revolusioner dengan alasan; (1) teknik ini mampu menyelesaikan berbagai
masalah fisik dan emosi, (2) teknik ini telah dibuktikan secara ilmiah oleh lebih
dari 100.000 pengguna dari berbagai negara, (3) teknik ini merupakan teknik
termudah, dapat digunakan oleh semua kalangan seperti anak-anak dan lansia, (4)
selain mudah, teknik ini juga tercepat dikarenakan dapat dirasakan efektivitasnya
setelah terapi dalam waktu hanya 15 menit, (5) karena tanpa menggunakan obat-
obatan atau alat yang beresiko maka teknik ini sangat aman tanpa efek samping,
(6) menggunakan teknik ini sangat gampang sehingga hanya perlu sekali belajar,
(7) tidak ketergantungan dengan terapis karena teknik ini dapat dilakukan sendiri,
(8) dapat digunakan untuk berbagai masalah serta dapat dipraktekkan oleh
siapapun tanpa melihat latar belakang dari orang tersebut (universal), dan (9)
dapat diintegrasikan dengan teknik atau terapi lain dan mampu meningkatkan
efektivitas terapi lain (Anwar & Niagara, 2011).
Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan yang baik pada pasien yang
diberikan terapi SEFT. Pada bidang medis sering kali SEFT diberikan untuk
menurunkan hipertesi pasien disebabkan karena hormon stres pada kortisol dapat
menurun melalui titik akupuntur yang ditekan saat terapi SEFT berdampak
memberikan ketenangan dan rasa rileks (Rofacky & Aini, 2015; Fatmasari,
Widyana, & Budiyani, 2019). Cara kerja terapi SEFT untuk menurunkan emosi
marah dalam diri adalah dengan mengetuk 12 titik akupuntur pada bagian tubuh
dan teknik ini bertujuan untuk membebaskan energi negatif termasuk emosi
marah (Zainuddin, 2006).
Terapi yang cukup baru khususnya untuk menangani kasus psikologis selain
terapi SEFT adalah bibliotherapy. Selain terapi ini dianggap cukup baru,
bibliotherapy juga diklaim memiliki efektivitas yang tinggi dalam menangani
berbagai masalah seperti kognitif dan emosi. Bibliotherapy digunakan untuk
memunculkan insight pada klien untuk membantu mereka mengubah distorsi serta
keyakinan yang maladaptif yang tersimpan sejak lama (Suprapto, 2013).
Bibliotherapy menggunakan media baca untuk memunculkan insight tersebut
serta reaksi afektif setelah membaca dalam terapi ini sangat penting untuk klien
5
dapat memahami permasalahannya (Shechtman, 2009). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bibliotherapy dapat meningkatkan kesehatan serta sikap
optimisme pada pasien yang sedang menjalani perawatan (Anwar, Rejeki,
Khadijah, & Sukaesih, 2019). Bibliotherapy dapat meningkatkan perilaku optimis
pada pasien sehingga pasien mampu dan semangat menghadapi penyakit yang
dideritanya dan permasalahan yang dihadapi oleh pasien.
Bibliotherapy juga mampu meningkatkan pemahaman dan kesadaran
individu dalam masalah yang dihadapi dengan membaca dan mempelajari
kesulitan orang lain melalu bacaan (Solikin, 2015). Hasil penelitian Solikin (2015)
mengungkapkan bahwa bibliotherapy khususnya dapat mengatasi masalah pribadi
yang dilakukan dalam intervensi klinis seperti pada permasalahan kejiwaan dan
kesehatan mental sehingga dapat membantu untuk mempercepat penyembuhan.
Alasan mengintegrasikan terapi SEFT dengan bibliotherapy karena merujuk
pada permasalahan subjek. Peneliti ingin memberikan penanganan yang
mendalam kepada subjek dengan sasaran kognitif dan afektif. Sehingga sasaran
kognitif didapatkan dari bibliotherapy dan untuk sasaran pada afektif diperoleh
dari kedua terapi yang diberikan. Oleh karena itu, peneliti menawarkan terapi
terbaik yakni SEFT dan bibliotherapy untuk mengatasi permasalahan emosi
marah subjek dengan gangguan skizofrenia.
TINJAUAN PUSTAKA
SEFT dan Bibliotherapy dalam Perspektif Islam
Psikologi Islam merupakan mazhab kelima dalam ilmu psikologi semakin
menguat khususnya di Indonesia. Psikologi sebagai ilmu yang membantu individu
dalam menyelesaiakan permasalahan patologis seperti depresi dan berbagai
kecemasan. Pendekatan secara islami untuk menangani penyakit psikologis adalah
memfungsikan akal dan keimanan dengan mengoptimalkan daya nalar secara
objektif dan ilmiah sehingga landasan psikologi islam adalah ayat-ayat Al-Qur’an
dan Al-Hadist yang absah (Bastaman, 2011). Praktik dan pengajaran islam sangat
berpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Hadist Nabi Muhammad SAW. Psikis dalam
6
islam disebut Nafs menunjukkan kepribadian dalam individu yang mencakup qalb
(hati), ruh, aql (akal), dan irada (kehendak) (Haque, 2004).
Proses healing dalam psikoterapi religius menggunakan praktek agama islam
seperti sholat, puasa, dzikir dan membaca ayat-ayat al-Qur’an dalam proses
penyembuhan pada individu yang memiliki patologis (Mar’ati & Chaer, 2016).
Pada beberapa teknik terapi SEFT subjek diminta untuk melakukan tapping
sambil mengucapkan kalimat dzikir untuk mengatasi berbagai permasalahan
psikologis sebagai basis spiritualitas dalam rangkaian terapi SEFT.
Al-Qur’an Surah Yunus ayat 57 Allah SWT telah menurunkan al-Qur’an
yang merupakan pedoman seluruh umat manusia serta sebagai penawar penyakit
dalam jiwa terkhusus bagi orang-orang yang beriman. Dalam surah Qur’an al-
Ankabut (29): 45, Allah juga mengatakan bahwa shalat dapat mencegah manusia
dari perbuatan keji dan mengingat Allah adalah kekuatan manusia yang paling
besar. Dengan mengucapkan kalimat dzikir berarti sedang mengingat Allah yang
juga dilakukan dalam terapi SEFT untuk mengatasi permasalahan psikologis. Hal
ini berarti bahwa terapi SEFT sejalan dengan pandangan syariat islam.
Penanganan kedua dalam penelitian ini adalah bibliotherapy, dimana terapi
ini juga sejalan dengan pandangan islam karena sasaran utama adalah subjek
diminta untuk memunculkan pandangan-pandangan positif dan pikiran yang
positif untuk mengatasi permasalahan psikologis yang dialami. Patologis yang
dialami individu kemudian dirangsang untuk memunculkan pikiran positif untuk
mencapai individu yang sehat secara mental (Khodayarifard, ...., Derakhshan,
2016). Memunculkan pikiran positif untuk mengurangi emosi negatif dalam
penelitian ini melalui bibliotherapy dengan cara subjek diminta untuk membaca
dimana diharapkan dapat memberikan insight pada subjek.
Dalam ayat-ayat al-Qur’an banyak mengemukakan dinamika kepribadian
manusia dimana dapat dijadikan sebagai dasar acuan untuk terapi psikologis.
Selain dalam al-Qur’an banyak keistimewaannya terkhusus pada bidang psikologi
juga dapat bersifat menyembuhkan, kuratif, dan mengarahkan individu untuk
meningkatkan emosi positif (Mar’ati & Chaer, 2016). Secara teoritis kegiatan-
7
kegiatan positif berdasarkan asas islam akan berpotensi menunjang
pengembangan kesehatan mental (Bastaman, 2011).
Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT)
Spiritual Emosional Freedom Technique (SEFT) merupakan terapi psikologi
yang menggabungkan kekuatan spiritual dan teori energy psychology dimana
ditujukan untuk menetralisir emosi negatif (Zainuddin, 2006). Terapi SEFT
dikembangkan dari terapi yang sangat populer diberbagai negara maju seperti di
Amerika yakni Emotional Freedom Technique (EFT) dari Gary Craig. Terapi EFT
dianggap sebagai solusi tercepat dan mudah untuk mengatasi berbagai masalah
fisik dan psikis (Anwar & Niagara, 2011).
Hasil riset menunjukkan bahwa spiritualitas dan doa dapat berpengaruh
terhadap kesehatan fisik dan psikis disebabkan spiritualitas merupakan hal
mendasar antara hamba dan penciptanya (Anwar & Niagara, 2011). Terapi SEFT
tidak membatasi perbedaan agama sehingga kepercayaan apapun dapat diterima
melalui teknik ini. Dapat digambarkan pada bagan sebagai berikut:
Gambar 1. Ilustrasi terapi SEFT
Diuraikan dalam buku Zainuddin (2009) bahwa energy psychology
merupakan sistem energi tubuh yang dimanfaatkan kemudian memperbaiki
kondisi pikiran, emosi, dan perilaku (Anwar & Niagara, 2011). Terapi SEFT ini
bekerja berdasarkan prinsip teknik akupuntur yang kurang lebih akan merangsang
12 titik kunci jalur energi pada tubuh yang berpengaruh pada kesehatan
(Zainuddin, 2006).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi SEFT dapat mereduksi emosi
marah sekaligus individu yang diberika terapi ini dapat memiliki kemampuan
dalam pengendalian emosi marahnya (Sumarna, 2018). Terapi SEFT mampu
menurunkan tingkat agresifitas setelah diterapkan pada remaja yang memiliki
Spiritual Power Energy
Psychology The Amplifying
Effect (ampuh)
8
agresi tinggi (Marwing, 2019). Penelitian lain menunjukkan hasil yang sama,
bahwa setelah diberikan terapi SEFT individu dapat mengurangi tingkat
agresifitasnya (Anggraini, 2019).
Adapun prosedur terapi SEFT yang dikemukakan oleh Zainuddin (2009)
adalah sebagai berikut; 1) the set up bertujuan untuk menetralisir psychological
reversal atau perlawanan psikologis, 2) the tune in adalah memikirkan masalah
yang menyakitkan guna membangkitkan emosi negatif yang akan dihilangkan, 3)
the tapping adalaha mengetuk ringan menggunakan dua jari pada titik-titik
tertentu, 4) nine gamut procedure adalah 9 gerakan untuk merangsang otak bagian
tertentu, dan 5) the tapping again adalah mengulangi tahapan tapping dengan
mengambil nafas panjang kemudian hembuskan (Adawiyah & Ni’matuzahroh,
2016).
Bibliotherapy
Bibliotherapy adalah teknik terapi yang menggunakan buku sebagai sarana
pengobatan. Bibliotherapy didefinisikan sebagai solusi yang tepat dalam
menangani masalah personal individu dengan cara membaca langsung (Webster,
1981; Helina, 2013). Bibliotherapy klinis adalah terapi untuk meningkatkan
kesehatan mental individu melalui penggunaan literatur atau buku dengan cara
individu membaca kemudian mendiskusikan dengan terapis (Pehrsson &
McMillen, 2007). Terapis menggunakan diskusi terarah untuk membantu individu
mengintegrasikan respon kognitif dan afektif terhadap bacaan yang telah
diseleksi.
Bibliotherapy merupakan sarana yang tepat untuk menemukan insight baru,
mendorong klien lebih memahami permasalahan klinis yang dialaminya, dan
dapat menghargai dirinya sendiri (Shechtman, 2009). Dalam terapi ini, reaksi
afektif lebih penting dari pada pemahaman intelektual dalam makna yang tersirat
dalam bacaan (Suprapto, 2013). Bibliotherapy menjadikan seseorang dapat
mempelajari suatu fakta-fakta baru, dapat mengubah sudut pandang masalah, dan
mengubah arah pemikiran masalahnya (Griffin, 1984; Herlina, 2012). Penelitian
Abilash dan Jothimani (2019) mengungkapkan bahwa bibliotherapy dapat
9
mengatasi permasalahan emosional seperti rasa marah, ketakutan, rasa cemas, dan
rasa kurang percaya diri.
Adapun prinsip utama untuk bibliotherapy adalah sebagai berikut, 1) terapis
harus menggunakan material bacaan yang dikenalnya, 2) hindari material bacaan
yang tidak hubungannya dengan permasalahan klien, 3) material bacaan dapat
diterapkan pada masalah klien, namun bacaan tidak harus identik, 4) terapis dapat
mengukur kemampuan membaca klien dan dapat menjadi pengarah dalam
memilih material bacaan yang akan digunakan. Jika klien kurang mampu dalam
membaca maka diperlukan teknik membaca nyaring atau audiovisual, 5) usia
kronologis dan kondisi emosional klien dapat direfleksikan dalam material bacaan
yang digunakan, dan 6) minat membaca merupakan pengarah untuk terapis
memiihkan bahan bacaan.
Emosi Marah
Goleman menjelaskan bahwa individu memiliki emosi dasar yang meliputi
rasa takut, amarah, sedih, dan senang (Baqi, 2015). Emosi marah merupakan salah
satu emosi negatif yang cukup berbahaya karena mampu mempengaruhi fungsi
jantung dan organ-organ tubuh lainnya. Hasil penelitian di Universitas Valencia
oleh Neus Herrero, mengungkapkan bahwa dorongan emosi dapat menghasilkan
perubahan pada sistem saraf otonom yang berfungsi untuk mengontrol repon
kardiovaskular, sistem kelenjar endokrin, serta perubahan pada aktivitas otak di
lobus frontal dan lobus temporal (Elga, 2012). Dapat disimpulkan bahwa emosi
marah benar-benar dapat mempengaruhi kesehatan fisik individu.
Merujuk pada segi psikis, bahwa emosi marah ternyata adalah salah satu
emosi yang dapat menimbulkan rasa tidak enak bagi semua orang (Albin, 1998).
Emosi marah juga dapat menyingkirkan energi-energi positif, dapat membuat
hidup merasa tidak tenang, selalu merasa sakit hati dan tidak puas karena dendam
belum terbalaskan, atau berbagai bentuk kecemasan lainnya yang dapat merusak
suasana hati menjadi buruk (Elga, 2012). Kemarahan adalah perilaku neurotik
yang dapat merugikan anda dan orang lain secara tidak perlu (Hauck, 1993).
10
Kemarahan juga dapat diperoleh karena mengetahui kebohongan orangtua
sebabnya karena orangtua merupakan orang yang membesarkan anak sehingga
kita sebagai anak yang mengamati kegiatan mereka semakin mengetahui bahwa
mereka tampaknya kurang suci (Lake, 1993). Setiap individu baiknya mengurangi
kemarahan yang dirasakannya, perlu membebaskan energi yang terkurung dalam
tubuh (Lake, 1993). Individu yang sehat mental adalah individu yang tidak
pemarah dengan cara menciptakan lingkungan yang nyaman bagi orang
disekitarnya (Hauck, 1993).
Skizofrenia
Skizofrenia merupakan gangguan mental paling berat yang ditandai dengan
adanya gejala positif dan gejala negatif. Adapun gejala positif seperti halusinasi,
delusi, gangguan cara berfikir, gangguan persepsi, dan memiliki pembicaraan
yang kacau; gejala negatif seperti adanya penurunan minat, kemiskinan isi
pembicaraan, memiliki afeksi yang datar, dan terganggunya relasi pribadi
penderita (Fausiah & Widury, 2008). Pasien skizofrenia berkembang pada masa
remaja akhir dan dewasa awal dimasa masa tersebut anak muda dalam pencarian
jalan dari rumah menuju ke dunia luar (Nevid, Rathus, & Greene, 2018; Dobbs,
2010; Tandon, Nasrallah, & Keshavan, 2009).
Gangguan skizofrenia adalah gangguan psikologis yang paling melelahkan
dan membingungkan, disebabkan penyakit ini hampir menyentuh seluruh aspek
kehidupan terlebih lagi membuat pengidap skizofrenia semakin jauh dari
lingkungan sosialnya (Nevid, dkk., 2018). Kebanyakan pasien skizofrenia
memunculkan sikap dan perasaan takut, cemas, salahpaham dengan orang-orang
disekitarnya disebabkan oleh isi pikiran dan emosi pasien skizofrenia terpisah dan
diisi dengan persepsi yang terganggu, stimulus palsu, konsepsi abstrak, dan hal-
hal yang tidak logis (Nevid, dkk., 2018).
Pasien skizofrenia juga kehilangan kemampuan dasarnya seperti tidak ada
intonasi suara, kesulitan memahami emosi orang lain, dan tidak bisa berpikir
jernih (Nevid, dkk., 2018). Gejala yang dialami penderita skizofrenia
menimbulkan perasaan yang berat dalam kemampuan berfikir, memecahkan
11
masalah, afeksi yang terganggu dan relasi yang nyaris terputus dengan orang-
orang disekitarnya sehingga membuat penderita mengalami ketidakmampuan
dalam melanjutkan hidupnya serta terhambatnya produktivitas (Arif, 2006).
Untuk mengambil sebuah diagnosa setidaknya harus ada gejala gangguan
utama seperti delusi, halusinasi, atau inkoherensi isi pembicaraan. Tidak ada
perilaku yang khas ada pada pasien skizofrenia namun secara umum pasien juga
mengalami kemunduran dan fungsi kerja, bersosial, membina pertemanan yang
mendalam, melakukan pekerjaan dengan baik, dan kesulitan menjaga kebersihan
diri. Kriteria diagnostik skizofrenia 295.90 (F20.9) menurut DSM V (APA, 2013)
adalah sebagai berikut:
A. Dua (atau lebih) dari berikut ini, masing-masing hadir untuk porsi
waktu yang signifikan selama periode 1 bulan (atau kurang jika berhasil
ditangani). Setidaknya salah satu dari ini harus (1), (2), atau (3):
1. Delusi
2. Halusinasi
3. Bicara tidak teratur (misalnya, sering keluar jalur atau tidak
koheren)
4. Perilaku katatonik atau sangat tidak teratur.
5. Gejala negatif (yaitu berkurangnya ekspresi emosional atau
penghinaan)
B. Untuk sebagian besar waktu sejak permulaan gangguan, tingkat fungsi
di satu atau lebih bidang utama, seperti pekerjaan, hubungan
antarpribadi, atau perawatan diri, secara nyata berada di bawah tingkat
yang dicapai sebelum permulaan (atau ketika permulaannya pada masa
kanak-kanak atau remaja, ada kegagalan untuk mencapai tingkat fungsi
interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).
C. Tanda-tanda gangguan yang terus-menerus bertahan setidaknya selama
6 bulan. Periode 6 bulan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala
(atau kurang jika berhasil diobati) yang memenuhi Kriteria A (yaitu,
gejala fase aktif) dan dapat mencakup periode gejala prodromal atau
12
residual. Selama periode prodromal atau sisa ini, tanda-tanda gangguan
dapat dimanifestasikan hanya dengan gejala negatif atau dengan dua
atau lebih gejala yang tercantum dalam Kriteria A hadir dalam bentuk
yang dilemahkan (misalnya, keyakinan aneh, pengalaman persepsi yang
tidak biasa).
D. Gangguan skizoafektif dan gangguan depresi atau bipolar dengan
gambaran psikotik telah dikesampingkan karena: (1) tidak ada episode
depresi atau manik mayor yang terjadi bersamaan dengan gejala fase
aktif, atau (2) jika episode suasana hati telah terjadi selama gejala fase
aktif, mereka telah hadir untuk sebagian kecil dari total durasi periode
aktif dan sisa penyakit.
E. Gangguan tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat
(misalnya penyalahgunaan obat, pengobatan) atau kondisi medis
lainnya.
F. Jika ada riwayat gangguan spektrum autisme atau gangguan komunikasi
awal masa kanak-kanak, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya
jika delusi atau halusinasi yang menonjol, selain gejala skizofrenia lain
yang diperlukan, juga ada setidaknya 1 bulan (atau kurang jika berhasil
dirawat).
SEFT, Bibliotherapy dan Emosi Marah
Untuk memperoleh target intervensi yang mendalam dengan sasaran kognitif
dan afektif maka terapi SEFT diintegrasikan dengan bibliotherapy. Pemberian
terapi integrasi diharapkan dapat memberikan hasil yang maksimal dari berbagai
titik permasalahan yang dialami oleh subjek. Adapun alasan memberikan terapi
integrasi karena merujuk pada permasalahan subjek. Hasil screening awal dari
wawancara dan observasi menunjukkan bahwa subjek tidak bisa diberikan terapi
yang langsung dengan sasaran kognitif untuk mengatasi permasalahannya.
Sehingga, subjek dapat diberikan terapi SEFT terlebih dahulu dengan sasaran
afektif untuk mengurangi emosi marahnya kepada orang tunya. Setelah itu, subjek
13
akan diberikan bibliotherapy dengan sasaran kognitif dan afektif untuk mengatasi
permasalahan subjek.
Pasien skizofrenia mengembangkan emosi negatif seperti perasaan marah
kepada orang tuanya sedangkan lingkungan terdekat adalah relasi keluarga.
Penting bagi pasien untuk mengurangi emosi marahnya kepada orangtuanya untuk
menjalin hubungan yang baik serta mengatasi perasaan yang ada dalam diri pasien
yang akan mempengaruhi pikiran dan tindakan (Albin, 1998). Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa mengurangi emosi marah pada pasien skizofrenia
berdampak baik pada perilakunya, pasien menjadi lebih adaptif setelah
menerapkan terapi SEFT (Rochjani, Mardiyono, & Arwani, 2014).
SEFT dapat digunakan untuk mengurangi emosi negatif pada penderita
skizofrenia sehingga pasien dapat berperilaku positif dan mampu kooperatif
(Rochjani, Mardiyono, & Arwani, 2014). Pengalaman masa lalu atau peristiwa
traumatis yang terjadi pada masa kanak-kanak akan tersimpan dalam alam bawah
sadar, kemudian mengakibatkan emosi tidak stabil dan membuat aliran energi
tubuh menjadi tidak lancar sehingga titik inilah yang menjadi pacuan terapi SEFT
untuk mengembalikan aliran energi tubuh kembali berjalan lancar dengan cara
tapping atau mengetuk bagian tubuh tertentu yang bertujuan untuk membebaskan
emosi negatif (Zainuddin, 2006).
Bibliotherapy adalah pendekatan untuk mengatasi masalah emosional,
penyakit mental, dan gangguan psikologis seperti kemarahan, stres, kecemasan,
depresi, kurang kepercayaan diri, dan masalah emosional lainnya (Abilash &
Jothimani, 2019). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa bibliotherapy dapat
diterapkan untuk segala usia membantu menurunkan masalah emosional serta
membantu pasien menghadapi krisis perkembangan yang dialami (Abilash &
Jothimani, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa bibliotherapy bermanfaat dalam
penanganan psikologis khususnya masalah emosional.
14
Kerangka Berpikir
Gambar 2. Kerangka berpikir dalam penelitian
Hipotesa Penelitian
Terdapat penurunan tingkat emosi marah pada orang tua setelah diberikan
terapi spiritual emotional freedom technique (SEFT) dan bibliotherapy pada
pasien skizofrenia
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian single case designs atau
biasa disebut small N-design. Desain penelitian single case design terbagi menjadi
dua, yaitu single case experimental design dimana adanya manipulasi eksperimen
dalam penanganan yang diberikan pada responden dan single case non-
experimental atau dikenal dengan sebutan case study (Shaughnessy, Zechmeister,
& Zechmeister, 2012). Elemen desain dalam penelitian ini menggunakan desain
Emosi
Marah
pada
Orang Tua
Berkurang
Mengurangi
Emosi
Negatif
(Marah)
BIBLIO
Meningkatka
n Pikiran &
Emosi Positif
SEFT
Insight Mengurangi
Pikiran &
Emosi Negatif
15
ABA; A merupakan tahapan sebelum diberikan terapi, B adalah tahapan terapi
atau intervensi, dan tahapan terakhir adalah A follow up atau tindak lanjut
(Kazdin, 1998).
Dalam penelitian ini, penanganan yang diberikan kepada subjek tidak
sepenuhnya dilakukan manipulasi eksperimental, karena beberapa keterbatasan
single case experimental sering menetapkan persyaratan khusus dalam pemberian
treatment sehingga pertimbangan etis dan metodologis desain ini tidak dapat
diterapkan secara luas khususnya dalam situasi klinis (Kazdin, 1992). Oleh karena
itu, desain dalam penelitian ini lebih sesuai menggunakan single case designs
yang bersifat studi kasus non-eksperimental atau sering disebut studi kasus (case
study).
Penelitian studi kasus Kazdin (1998) mengungkapkan bahwa berfokus pada
permasalahan individu, memiliki informasi yang bersifat anekdotal, dan tidak
adanya manipulasi eksperimental (Suryaningrum, 2005). Studi kasus merupakan
penelitian yang deskriptif dan memiliki analisis yang mendalam (Merriam &
Tisdell, 2015). Jenis penelitian studi kasus dalam laporan ini menggunakan studi
kasus instrinsik. Studi kasus instrinsik menurut Stake (1995) dimana peneliti
menginginkan pemahaman yang lebih baik atas kasus khusus yang sedang diteliti
(Prihatsani, Sutyanto, & Hendriyani, 2018). Penggunaan studi kasus tunggal dapat
dilakukan ketika kasus unik yang dapat menambah pemahaman pada peristiwa
tertentu (Yin, 2002; Prihatsani, dkk., 2018).
Subjek Penelitian
Subjek merupakan pasien skizofrenia di RSJ Radjiman Wediodiningrat
Lawang. Subjek telah didiagnosa mengidap gangguan jiwa atau skizofrenia sesuai
kriteria DSM V. Alasan dipilihnya subjek sebagai responden penelitian karena
berdasarkan atas rekomendasi penanggungjawab ruangan tepatnya di Bangsal
Bekisar bahwa diantara pasien lainnya subjek merupakan salah satu yang paling
stabil kesehatan fisiknya, gejala-gejala skizofrenia akut telah berkurang dan
subjek mampu berinteraksi dengan baik. Subjek berumur 24 tahun, berjenis
kelamin laki-laki dengan tinggi 165 cm dan berat badan 120 kg. Subjek telah
16
mengalami relapse sebanyak 2 kali. Teknik pengampilan sampel dengan
menggunakan teknik screening, dimana subjek menunjukkan adanya
permasalahan psikologis, permasalahan yang dialami merupakan salah satu
penyebab terjadinya relapse pada subjek, dan motivasi subjek untuk sembuh
sangat tinggi.
Definisi Operasional
Dalam penelitian ini terdapat variabel terapi SEFT, bibliotherapy dan emosi
marah. SEFT adalah terapi dengan pendekatan spiritual dan psikologis yang
mampu mengatasi permasalahan emosi negatif berupa kemarahan. Bibliotherapy
merupakan intervensi psikologis melalui media bacaan dengan sasaran kognitif
dan afektif yang dapat meningkatkan emosi positif dan dapat mengurangi emosi
negatif setelah membaca. Sedangkan emosi marah merupakan salah satu emosi
dasar yang berbahaya jika dipendam karena dapat mempengaruhi kesehatan fisik
dan psikis dan dapat mempengaruhi pikiran dan tindakan sesuai tingkat
kemarahan yang dialami.
Asesmen dan Metode Asesmen
Asesmen merupakan serangkaian kegiatan pengumpulan data untuk
mengidentifikasi dan mendeskripsikan permasalahan yang dialami serta
menentukan permasalahan yang menjadi fokus terapi, mengetahui penyebab
permasalahan yang terjadi, dan mengetahui kelemahan dan kekuatan responden
(Reynold, 1975; Wiramihardja, 2012). Dalam asesmen diperlukan pembanding
informasi dengan menggunakan instrumen psikologi sehingga data yang diperoleh
bersifat realistis dan objektif. Menurut Murray (1938) asesmen psikologi yang
paling sistematis adalah dengan mengintegrasikan hasil tes psikologi, wawancara,
dan observasi (Wiramihardja, 2012).
Adapun metode asesmen dalam penelitian ini dengan menggunakan beberapa
cara, metode pertama wawancara klinis untuk mendapatkan dan mengumpulkan
informasi mengenai subjek secara mendalam dengan mewaspadai intonasi suara
17
subjek, kecepatan bicara, dan sensitivitas lainnya yang perlu interviewer
perhatikan. Serta wawancara mendalam kepada orang terdekat subjek. Metode
kedua adalah observasi harian untuk mengetahui kondisi subjek dengan
lingkungan sekitarnya serta sebagai pelengkap hasil wawancara.
Selanjutnya penerapan tes psikologis yakni tes intelegensi WAIS (Weschler
Adult Intelligence Scale) untuk mengetahui kapasitas intelektual subjek agar
terapis dapat memprediksi sejauh mana pemahaman subjek terhadap intervensi
yang akan diberikan serta dapat melihat patologis pada subjek. Kemudian tes
inventori, SSCT (Sacks Sentence Completion Test) untuk mengetahui kategori
masalah subjek yang membutuhkan bantuan psikologis.
Tes proyektif menggunakan tes Grafis (DAP, BAUM, dan HTP) untuk
mengungkapkan kepribadian dan self concept subjek secara mendalam. Wartegg
untuk mengetahui struktur dasar kepribadian subjek secara mendalam. Dan
terakhir menggunakan tes TAT (Thematic Appreception Test) untuk mengetahui
kebutuhan yang ada pada diri subjek dengan mengetahui dinamika kepribadian
subjek saat ini sehingga memunculkan tingkah laku tertentu. Tes ini dapat
mendiskripsikan kepribadian subjek
Pengukuran untuk mengetahui menurunnya emosi marah pada subjek dengan
menggunakan penilaian skala rating (rating scale). Menurut Sugiyono (2010) ada
beberapa cara pengukuran menggunakan skala salah satunya adalah rating scale.
Rating scale bersifat lebih fleksibel untuk mengukur persepsi responden terhadap
suatu fenomena seperti mengukur status sosial ekonomi, pengetahuan,
kemampuan, sikap dan lain sebagainya (Sugiyono, 2013). Tipe rating scale yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tipe numerical rating scale dengan
catatannya adalah responden harus jelas dalam mengartikan setiap angka yang
diberikan untuk memberikan hasil pengukuran.
Prosedur Penelitian
1. Tahapan Pra-terapi
a) Membangun rapport dengan subjek bertujuan agar terapis dan subjek
dapat saling mengenal sehingga terbangun hubungan yang nyaman.
18
b) Subjek diminta mengisi informed concent bertujuan untuk mengetahui
kesediaan subjek mengikuti seluruh rangkaian penelitian.
c) Subjek juga diminta untuk mengisi daftar riwayat hidup, ditujukan untuk
mengetahui identitas subjek secara lengkap.
d) Melakukan wawancara dan observasi menggunakan pedoman wawancara
intake interview sebagai asesmen awal menentukan permasalahan subjek
secara mendalam.
e) Melakukan psikotes guna mengetahui sekaligus mengkonfirmasi
kepribadian subjek dan fokus menentukan permasalahan subjek yang
dibutuhkan untuk mendapat bantuan penanganan.
f) Menetapkan dan membuat modul terapi yang sesuai untuk digunakan
kepada subjek dan menetapkan target terapi.
g) Menyusun tingkat kemarahan menggunakan numerical rating scale,
sebagai berikut:
0 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5 7 7,5 8 8,5 9 9,5 10
Tidak marah Marah Sangat marah
Keterangan:
0 : Tidak marah
1 - 3 : Sedikit marah
4 - 6 : Cukup marah
7 - 9 : Marah
10 : Sangat marah
h) Pengenalan rangkaian terapi SEFT dan bibliotherapy secara singkat
berserta tujuan dan target yang akan dicapai dalam terapi.
i) Memberikan kesempatan kepada subjek untuk bertanya sebelum
memulai tahapan selanjutnya.
2. Tahapan Terapi
a) Rangkaian Terapi SEFT
Keseluruhan rangkaian kegiatan terapi SEFT terdiri dari 5 langkah
yakni:
19
1. The Set-Up, langkah ini diawali dengan psychological reversal
atau perlawanan psikologis dengan meyakini permasalahan yang
dihadapi subjek, kemudian mengucapkan kalimat the set-up
words. Kata yang disusun berdasarkan bahasa religius berupa doa
kepasrahan kepada Pencipta Allah SWT, kemudian diikuti
dengan menekan Sore Spot (titik nyeri dibagian dada) atau
mengetuk daerah Karate Chop (mengetuk dengan tiga ujung jari
pada bagian karate chop).
2. The Tune In, Teknik kedua untuk masalah emosi, melakukan
teknik ini dengan cara memikirkan sesuatu atau peristiwa yang
pernah terjadi yang menyakitkan individu guna untuk
membangkitkan emosi negatif untuk kemudian akan dihilangkan
seperti perasaan kecewa, marah, benci, takut dan lain-lain maka
terapis sambil melakukan tapping.
3. The Tapping, Tapping adalah menggunakan dua ujung jari untuk
mengetuk pelan bagian daerah tubuh tertentu sambil melakukan
teknik Tune-In. Adapun 18 titik kunci yang diketuk terapis
disebut The Major Meridians, yakni jika diketuk akan
menetralisir gangguan emosi yang dialami atau rasa sakit yang
dirasakan. Hal ini disebabkan oleh aliran energi tubuh yang
mengalir dengan normal dan seimbang kembali (Zainuddin,
2006).
4. Nine Gamut Procedure, Teknik keempat ini dilakukan untuk
merangsang otak pasien. Setiap gerakan tertentu dimaksudkan
untuk merangsang bagian otak tertentu. Adapun 9 gerakan yang
akan dilakukan sambil men-tapping bagian gamut spot, adalah
sebagai berikut:
1) Menutup mata
20
2) Membuka mata
3) Menggerakkan mata dengan gerakan kuat dari kanan ke bawah
4) Menggerakkan mata dengan gerakan kuat dari kiri ke bawah
5) Memutar bola mata searah jarum jam
6) Memutar bola mata berlawanan arah jarum jam
7) Bergumam (dzikir) selama 3 detik
8) Menghitung 1, 2, 3, 4, 5
9) Bergumam (dzikir) lagi selama 3 detik
5. The Tapping Again, mengulang Teknik Tapping. Setelah
menyelesaikan teknik keempat maka langkah terakhir adalah
mengulang teknik tapping kemudian mengakhiri dengan
mengambil nafas panjang kemudian dihembuskan.
b) Rangkaian Bibliotherapy
Prosedur dalam pelaksanaan bibliotherapy yaitu: (1)
mengenalkan subjek dengan bahan bacaan yang sudah disiapkan, (2)
memberi kesempatan kepada subjek untuk memunculkan insight
setelah membaca, (3) subjek memunculkan gagasan, (4) subjek
mengemukakan pemikiran dan keyakinan yang adaptif setelah
membaca. Alasan menggunakan bibliotherapy dikarenakan subjek
memiliki hobi membaca sehingga terapis menawarkan media baca
untuk mengatasi permasalahan subjek.
Referensi bacaan yang diberikan terapis adalah berjudul
“Kekuatan Memaafkan” dan “Memulai Kembali Hidup” kedua buku
ini berlabel “Chicken Soup for The Soul” yang disusun oleh Newmark
(2019) penerbit Gramedia. Alasan menggunakan bacaan ini karena
didalam buku tersebut terdapat berbagai cerita pendek tentang
21
pengalaman hidup yang mudah dipahami serta terdapat banyak kata
motivasi yang tertulis dalam bacaan.
3. Tahapan Pasca-terapi
Adapun rangkaian tahapan setelah dilaksanakannya terapi adalah
sebagai berikut:
a) Evaluasi perubahan subjek. Peneliti melakukan evaluasi setelah
seluruh rangkaian terapi dihentikan dengan menggunakan metode
wawancara dan rating scale guna melihat perubahan yang terjadi
pada diri subjek.
b) Follow up, peneliti melakukan follow up atau tindak lanjut dalam
jangka waktu satu minggu setelah terminasi dilakukan. Hal ini
bertujuan melihat perubahan subjek setelah tidak melakukan terapi.
Analisis Data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif
dan kuantitatif. Analisis kuantitatif yang dimaksudkan adalah karena dalam
penelitian ini menggunakan angka atau nomor sebagai pengukuran namun
digunakan untuk mendiskripsikan data yang diperoleh dari responden. Data
mentah berupa angka yang diperoleh dari rating scale kemudian ditafsirkan dalam
deskriptif secara kualitatif (Sugiyono, 2010). Dalam penelitian ini akan banyak
menemukan uraian berupa narasi deskriptif yang menceritakan mengenai kasus
bertujuan agar pembaca menjadi paham sepenuhnya yang terjadi dalam kasus
penelitian ini.
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Asesmen
Membahas permasalahan yang dialami subjek dapat menggunakan teori
psikoanalisis sosial yang dikemukakan oleh Karen Horney (1937) bahwa masa
kanak-kanak sangat menentukan pembentukan kepribadian individu (Feist, Feist
22
& Roberts, 2017). Masa kanak-kanak dimana individu membutuhkan kasih
sayang, cinta serta perasaan aman dari orang tua, namun ketika masa tersebut
menjadi pengalaman tragis maka seseorang akan mengembangkan permusuhan
dasar (basic hostility) pada orang tua mereka, maka sebagai akibatnya seseorang
dengan rasa permusuhan akan memunculkan kecemasan dasar (basic anxiety)
pada dirinya (Horney, 1937; Feist, dkk., 2017).
Subjek mengembangkan permusuhan dasar (basic hostility) pada orang
tuanya dengan adanya pengalaman kekerasan fisik dan verbal. Sewaktu masa
kanak-kanak, subjek mendapat kekerasan fisik dari orang tuanya (ayah dan ibu),
subjek merasa tidak mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Subjek mengaku
sering dipukuli oleh ayah dan ibunya. Terkadang bahkan ayah atau ibu memukul
subjek tanpa sebab. Subjek juga pernah dipukul menggunakan gagang sapu
sampai gagang tersebut patah dan penyebab subjek dipukul telah subjek lupakan
namun yakin bahwa masalahnya adalah hal sepele namun dihukum sedemikian
keras. Ayah subjek pernah memasukkan kepala subjek secara paksa kedalam air
dan dilakukan berulang-ulang tanpa penyebab yang jelas pada usia sekitar 2
tahun. Menurut penjelasan ibu subjek, subjek dan saudara-saudaranya juga pernah
dipukul oleh ayahnya karena antara mereka memperebutkan seruling untuk
bermain namun ayah subjek marah dan akhirnya memukul mereka dengan
seruling tersebut sampai berdarah. Subjek mengatakan bahwa tidak seharusnya
memperlakukan anak-anak seperti itu.
Selain itu, hubungan ayah dan ibu subjek tidak harmonis. Menurut
pengamatan subjek bahwa ayahnya kurang memberikan perhatian kepada ibunya
sehingga mencari perhatian dari laki-laki lain dengan cara membuat banyak akun
sosial media dan akhirnya berkenalan dengan banyak laki-laki. Ibu subjek sering
mengirim pesan atau video call dengan banyak laki-laki bahkan dari mancanegara.
Ibu subjek selalu mencurahkan isi hatinya kepada subjek dimana pada saat itu
subjek berusia sekitar 13 tahun dan mengaku belum mampu untuk menerima
semua curahan isi hati ibunya. Subjek mengaku bahwa masalah utama yang
sangat dibencinya adalah perilaku ibunya yang sering komunikasi dengan laki-
laki lain dan ayahnya yang pernah diam-diam mengirimkan uang kepada wanita
lain. Menurut subjek bahwa ini adalah aib, subjek merasa sangat malu karena
23
perilaku ayah dan ibunya. Sifat permusuhan yang subjek kembangkan kemudian
mengakibatkan subjek mengalami kecemasan dasar (basic anxiety).
Berdasarkan hasil tes proyektif, subjek menunjukkan adanya hambatan
dalam menyesuaikan diri dikehidupan sehari-hari, tidak dapat memutuskan
sesuatu, dan kurang memiliki keahlian dalam pemecahan masalah, ketika
dihadapkan oleh tekanan maka subjek kurang mampu menghadapi hambatan yang
ada. Hasil asesmen integrasi tes wartegg dan grafis, subjek menunjukkan perilaku
patologis yaitu terlalu berorientasi pada diri sendiri dan terlalu mengkritik
lingkungan, subjek mudah sensitif, mudah tersinggung, mudah tertekan, adanya
taruma, adanya konflik dan kekecewaan yang dirasakan, banyak unfinish
business, cenderung menarik diri atau memisahkan diri, subjek memiliki lamunan
yang kemana-mana, dan adanya ambisi yang tinggi namun tidak dibarengi dengan
produktifitas yang nyata.
Perilaku patologis lainnya dari hasil tes proyektif dimana subjek
menunjukkan adanya hambatan ketika mengalami masalah/tekanan, subjek
kurang mampu memutuskan sesuatu, dan adanya kendala dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan. Patologis yang nampak dari hasil tes WAIS pada subtes
persamaan, subjek mengerjakan subtes tersebut hampir sempurna sehingga
diinterpretasikan bahwa subjek adalah individu yang “ngeyelan” atau orang yang
tidak mau mengalah dalam berbicara. Teori mengungkapkan bahwa faktor
psikologis memiliki banyak sebab-akibat dan juga interaksi antar faktor biologis,
psikologis, dan lingkungan terutama pada skizofrenia. Sebabnya, karena
gangguan psikologis dan gangguan perilaku abnormal merupakan fenomena yang
rumit sehingga melibatkan beberapa faktor lain (Nevid, dkk., 2018).
Subjek untuk menghadapi berbagai kecemasan yang dialaminya adalah
dengan menjauhi orang-orang yang ada disekitarnya. Horney mengatakan bahwa
ada tiga cara individu untuk melakukan pertahanan diri dengan melakukan: (1)
mendekati orang lain, (2) melawan orang lain, dan (3) menjauhi orang lain
(Horney, 1950; Alwisol, 2012). Seseorang yang normal kemungkinan akan
melakukan ketiga cara tersebut namun beberapa orang juga hanya melakukan
24
salah satunya (Feist, dkk., 2017). Subjek melakukan pertahanan diri dengan
melakukan menjauhi orang lain.
Subjek menjauhi orang lain dengan bersikap menutup diri, memiliki perasaan
terpisah, memiliki kebutuhan akan kebebasan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan
hasil tes TAT yang menunjukkan bahwa subjek menuntut kesempurnaan dan
memiliki perasaan gengsi yang tinggi. Kondisi ini menyebabkan konflik
intrapsikis yang dialami subjek dengan mengembangkan gambaran diri yang
ideal, memiliki pandangan positif terhadap diri sendiri dan meyakini pribadi
mereka saja dan hal ini sesuai dengan hasil tes kepribadian subjek bahwa subjek
lebih berorientasi pada diri sendiri dibanding lingkungannya. Horney (1950)
mengatakan bahwa individu ini menganggap bahwa diri mereka adalah pahlawan,
seorang yang jenius, pecinta yang ulung, dan seorang yang suci (Feist, dkk.,
2017).
B. Analisa Hasil Penelitian
Berdasarkan pada target awal intervensi yaitu mengurangi emosi marah
kepada orang tua melalui terapi SEFT dan bibliotherapy sehingga setelah
menjalani seluruh kegiatan terapi, subjek mampu mengurangi emosi marah
tersebut.
Sesi I: Pemberian SEFT
Adapun beberapa kendala dalam pelaksanaan terapi SEFT pada putaran
pertama adalah awalnya subjek kesulitan untuk mengucapkan kalimat the set-up
word, sampai subjek menghafal kalimat tersebut kemudian dapat berkonsentrasi.
Namun, setelah itu subjek dengan mudah dapat mengikuti instruksi terapis dengan
khusyuk. Terapi dilakukan dengan dua kali putaran, setelah melakukan
pengulangan subjek merasa lebih tenang dan tingkat emosi marah subjek
berkurang dengan skala rating pada 8 yang sebelumnya 8,5.
Sesi II: Pemberian SEFT lanjutan
Pada pertemuan kedua, subjek diberikan terapi SEFT kembali dengan dua
kali putaran. Subjek dengan mudah mengikuti instruksi terapis dibandingkan
25
dengan pertemuan pertama. Respon subjek lebih tenang dan nampak menghayati
seluruh tahapan prosedut terapi SEFT. Hasilnya subjek mampu mengurangi
perasaan marahnya dengan skala rating berada pada angka 7. Hasil terapi SEFT
secara keseluruhan subjek merasa lebih baik dan tingkat emosi marah semakin
berkurang.
Sesi III: Mengenali bahan bacaan dan pemberian tugas SEFT
Pada pertemuan pertama untuk terapi biblio, subjek nampak menikmati
bacaan yang diberikan subjek juga fokus membaca cerita tersebut. Setelah
membaca cerita pertama, terapis dan subjek kemudian berdiskusi dan mengambil
suatu pelajaran dari ceritanya. Subjek terlihat antusias ketika membaca judul
bacaan dan mengatakan “wah bagus mbak”. Setelah menyelesaikan bacaan
pertama subjek nampak sering menarik nafas panjang dan menghembuskan
dengan berat.
Subjek seperti mengingat masa lalunya, memunculkan sedikit kegelisahan,
tarikan nafas yang panjang dan berat, tubuh subjek agak meringkuk dan agak
lama setelah subjek merasa normal kembali dan mau melanjutkan untuk membaca
cerita kedua. Pada saat mendiskusikan cerita, subjek mendengarkan pendapat
terapis dengan baik dan sering menganggukkan kepala pertanda subjek menerima
dan mengerti pendapat terapis. Adapun tugas yang diberikan kepada subjek
adalah menerapkan terapi SEFT secara mandiri.
Sesi IV: Memunculkan insight dan pemberian tugas
Pada sesi kedua untuk bibliotherapy, terapis memberikan kesempatan pada
subjek untuk memunculkan insight dengan cara membuka gagasan baru dari
mendiskusikan isi bacaan bersama terapis. Bacaan pertama subjek berhenti dan
mengatakan “gak mood untuk baca, mau istirahat dulu” lalu menarik nafas
panjang dan bercerita bahwa ayah dan ibunya sering memukulnya sewaktu kecil.
Setiap mendiskusikan cerita dengan terapis, subjek mengangguk dan mengatakan
“iya” tanda subjek menerima dan paham. Setelah diskusi, terapis memberikan
tugas kepada subjek untuk membaca dua cerita dan akan didiskusikan pada
pertemuan selanjutnya.
26
Sesi V: Meningkatkan insight dan pemberian tugas
Subjek menjelaskan bacaan yang paling menurutnya menarik, sambil
tersenyum subjek mengatakan “ini sama dengan kisahku, coba sampean baca
dulu” yakni kisah tentang seorang penderita skizofrenia. Setelah itu subjek
mengatakan “sama kayak saya, saya ya butuh kasih sayang”. Subjek sangat
menunjukkan sikap yang kooperatif dalam proses terapis, subjek membaca
dengan menghayati cerita tokoh utama dan subjek selalu memposisikan dirinya
dalam cerita tersebut dengan baik. Pada sesi selanjutnya subjek tetap mampu
memberikan gagasan pada setiap bacaannya meski dibantu oleh terapis.
Sesi VI: Mempertahankan gagasan baru melalui insight
Pada sesi ini subjek kembali membaca cerita, total yang dibaca berjumlah 4
cerita. Setiap bacaan subjek menandai kalimat yang menurutnya bagus dan dapat
dijadikan kalimat motivasi untuk dirinya. Subjek mengungkapkan setelah
membaca tiga cerita bahwa dirinya akan memaafkan orang lain dan terutama
memaafkan dirinya sendiri sehingga dapat memulai awal yang baru dengan
harapan yang lebih baik. Subjek menunjukkan kepuasan saat selesai membaca
pada sesi ini dan tersenyum dan mengucapkan terimakasih kepada terapis.
Sesi VII: Klien mengemukakan pemikiran yang adaptif
Selama di rumah subjek banyak membaca buku yang diberikan terapis, saat
bertemu subjek menyerahkan catatan tugasnya kepada terapis. Subjek membaca
cerita sebanyak 22 cerita selama seminggu. Subjek mereview cerita yang ia sukai
dan persis dengan kisah subjek dimana subjek mengharapkan kasih sayang dari
keluarganya terkhusus dari ibu dan ayah subjek. Subjek mengatakan bahwa
merasa lega telah menjalani terapi ini, setelah menjalani proses terapi subjek
merasa antara pikiran dan hati subjek sudah dapat sejalan dan tidak ada konflik
lagi seperti sebelumnya. Subjek merasa lebih tenang dan perasaan gelisah subjek
sudah berkurang. Subjek merasa lebih mampu menerima kondisi dirinya baik
maupun buruk.
27
Sesi VIII: Mempertahankan pemikiran yang adaptif dan terminasi
Sesi terakhir adalah mempertahankan pemikiran yang adaptif yang muncul
setelah melalukan sesi bibliotherapy sebelumnya, subjek memberikan review
tugas bacaan. Subjek memberikan skala rating berada pada angka 3, dimana
berarti tingkat emosi marah subjek pada orang tuanya telah berkurang. Namun,
subjek mengatakan bahwa orang tuanya masih melakukan hal buruk sehingga
subjek kembali merasa marah dan terkadang berada pada tingkat skala 5, seperti
subjek pernah mendapati ibu menelpon dengan pria asal India sedangkan ayah
kedapatan mentransfer uang kepada wanita lain tanpa sepengetahuan ibu subjek.
Sesi IX: Follow up
Sesi tindak lanjut dilakukan dua minggu setelah proses terapi selesai. Subjek
mengungkapkan bahwa dirinya merasa jauh lebih baik dan seperti yang dikatakan
subjek sebelumnya bahwa dirinya sudah mampu menerima keadaan orang tuanya.
Perasaan marah subjek kepada orang tuanya sudah jauh berkurang dan sudah
tidak lagi menyalahkan mereka atas apa yang menimpa dirinya. Subjek juga lebih
akrab dengan ayahnya seperti berangkat ke mesjid bersama ayah ketika tiba waktu
sholat. Perilaku ingin kabur dari rumah juga sudah tidak dirasakan lagi oleh
subjek serta subjek berkegiatan bersih-bersih kamar dan halaman rumah yang
sebelumnya tidak pernah dilakukan.
Hasil bibliotherapy menunjukkan hasil yang signifikan sehingga subjek
merasa pikiran dan hatinya dapat sejalan setelah menjalani terapi ini. Subjek
menunjukkan hasil yang signifikan dengan berkurangnya emosi marah berada
pada angka 3. Setelah menjalani terapi ini subjek mengatakan merasa jauh lebih
baik setelah membaca banyak cerita, pikiran dan hatinya mulai sejalan dan tidak
ada konflik lagi antara dirinya sendiri maupun terkait masalah subjek dengan
kedua orang tuanya. Adapun hasil keseluruhan rangkaian kegiatan intervensi
dapat dilihat pada gambar berikut:
28
Gambar 3. Rangkuman Hasil Terapi
Seluruh kegiatan intervensi yang dilakukan pada subjek untuk menurunkan
emosi marahnya kepada orangtua diukur melalui pengukuran numerical rating
scale. Sebelum diberikan terapi emosi marah subjek berada pada angka 8,5,
kemudian setelah menjalani terapi SEFT sebanyak dua sesi dan masing-masing
sesi SEFT diberikan dua kali putaran akhirnya emosi marah berkurang menjadi 7
dan subjek mengaku setelah melakukan SEFT subjek merasa lebih tenang dan
lebih rileks.
Bibliotherapy diberikan sebanyak 6 sesi dengan total 24 bacaan cerita.
Setelah menjalani seluruh proses terapi subjek menunjukkan penurunan emosi
marah berada pada angka 5 dan subjek mengaku bahwa dirinya merasa lebih baik
setelah membaca banyak cerita yang mirip dengan kisah hidupnya. Subjek juga
mengaku bahwa pikiran dan hatinya sudah tidak mengalami konflik seperti
sebelum terapi, bahwa pikiran dan hatinya sejalan dan subjek merasa lebih baik
dan bisa memaklumi semua perilaku orangtuanya. Untuk tindak lanjut dilakukan
setelah dua minggu menjalani proses terapi dan emosi marah subjek semakin
menurun berada pada angka 3, dimana subjek merasa jauh lebih baik dari
sebelumnya. Subjek dan ayahnya membangun hubungan yang lebih akrab dari
8.5
7
5
3
Pretest Seft Biblio Follow Up
Nu
mer
ical
Rat
ing
Scal
e
Serangkaian Kegiatan Intrervensi
Penurunan Tingkat Emosi Marah
29
sebelumnya, seperti subjek banyak bercerita dengan ayahnya dan juga pergi
beribadah bersama.
Peneliti melakukan tahapan tindak lanjut kembali, setelah satu tahun
diberikan terapi pada tanggal 27 November 2020. Hasil follow up dengan subjek
melalui sosial media bahwa tingkat kemarahan subjek pada orangtua masih berada
pada angka 3. Subjek juga melaporkan bahwa perilaku ibu subjek sudah berhenti
untuk berhubungan dengan pria lain, namun perilaku ayah subjek yang lambat
laun mulai kembali bersikap keras dan berbicara kasar kepada subjek. Subjek
terkadang mulai kesulitan tidur kembali dan merasa tidak nafsu makan.
PEMBAHASAN
Pengalaman traumatis pada masa kanak-kanak subjek dengan orang tuanya
menimbulkan rasa marah yang terpendam lama dalam diri subjek untuk orang
tuanya. Penelitian bertujuan untuk mengurangi emosi marah subjek terhadap
orang tuanya dikarenakan pengalaman traumatis seperti kekerasan verbal dan fisik
yang dialami subjek. Menurut teori SEFT, hal ini yang tersimpan dalam alam
bawah sadar yang dapat mengakibatkan emosi menjadi tidak stabil ketika tumbuh
dewasa dan mempengaruhi dari segi kesehatan fisik dan psikis, sehingga dengan
prinsip akupuntur dalam teknik mengetuk 12 titik pada bagian tubuh dapat
membebaskan emosi negatif dan melancarkan aliran energi dalam tubuh
(Zainuddin, 2006).
Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) adalah terapi yang mampu
mengurangi tingkat emosi negatif termasuk amarah khususnya pada pasien yang
pengidap skizofrenia sehingga berdampak pada perkembangan perilaku positif
(Rochjani, Mardiyono, & Arwani, 2014). Hal ini sejalan dengan hasil intervensi
yang dilakukan dengan terapi SEFT pada pasien skizofrenia untuk menurunkan
emosi marah terhadap orang tua subjek, meski penurunan dapat dikatakan sedikit
namun hasil terapi menunjukkan hasil positif sehingga dapat dilanjutkan pada
tahap terapi selanjutnya.
Intervensi dengan menggunakan SEFT pada pasien penderita skizofrenia
paranoid mampu mengurangi emosi negatif kemudian memunculkan emosi positif
30
sehingga pasien mampu menunjukkan perilaku adaptif dan lebih kooperatif
(Rochjani, dkk., 2014). Emosi negatif termasuk juga dengan perasaan marah yang
dialami seseorang kepada orang lain seperti orang tua. Hasil dari terapi ini
menunjukkan adanya perubahan pada emosi negatif yakni penurunan emosi
marah khususnya pada orangtua subjek melalui teknik tapping yang diterapkan
pada terapi SEFT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi SEFT efektif dalam
mereduksi emosi marah sehingga adanya perubahan intensitas emosi marah
setelah melakukan serangkaian terapi SEFT (Sumarna, 2018).
Terapi menggunakan media literatur dan puisi sebagai penanganan untuk
kasus yang mengalami masalah emosional dan gangguan mental (Herlina, 2013).
Penggunaan media fiksi dalam bibliotherapy akan menunjukkan karakter tokoh
yang tertuang didalam bacaan tersebut yang memiliki masalah serupa dengan
subjek kemudian mengidentifikasi dirinya kedalam tokoh utama kemudian subjek
akan memperoleh kognisi, reaksi emosional, kesadaran diri serta pemahaman diri
mengenai situasi masalah yang dialami tokoh dalam bacaan yang diberikan terapis
(Griffin, 1984; Herlina, 2013).
Bibliotherapy dapat membantu subjek mengatasi masalah yang dihadapinya
manakala dirinya membaca kisah orang lain yang berhasil menghadapi masalah
yang serupa dengan dirinya (Shechtman, 2009). Dalam hal ini, subjek berhasil
memunculkan sudut pandang yang baru dan lebih baik ketika selesai membaca
kisah pada bacaan bibliotherapy ketika selesai membaca kisah anak yang
mengalami gangguan jiwa seperti dirinya.
Hasil analisa penelitian secara kualitatif menunjukkan bahwa bibliotherapy
dapat memberikan sudut pandang baru yang lebih positif dan hal tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah minat baca dari partisipan
(Purwanto, 2015). Hal ini sesuai dengan permasalahan kasus dalam penelitian ini,
dimana partisipan diberikan bibliotherapy sebagai intervensi tambahan
disebabkan subjek memiliki kegemaran membaca.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa bibliotherapy merupakan pendekatan
yang mampu mengatasi masalah emosional, penyakit mental, dan gangguan
psikologis seperti kemarahan, stres, kecemasan, depresi, kurang kepercayaan diri
31
(Abilash & Jothimani, 2019). Dalam penelitian ini juga menunjukkan hal yang
sama bahwa bibliotherapy mampu menurunkan emosi marah pada orangtua yang
dirasakan pasien skizofrenia.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan sebab peneliti tidak melibatkan
orangtua dalam intervensi sehingga tidak mengubah lingkungan eksternal subjek
dimana dapat memungkinkan emosi marah subjek muncul kembali karena sikap
ayah atau ibu yang tidak berubah. Namun dari segala kelemahan, dalam penelitian
ini terbukti bahwa integrasi terapi SEFT dan bibliotherapy dapat menurunkan
tingkat emosi marah subjek pada orangtuanya yang sudah lama terpendam.
Subjek juga memunculkan perubahan perilaku kearah yang lebih positif seperti
subjek semakin akrab dengan ayahnya karena kini subjek sering pergi beribadah
dengan ayahnya.
SIMPULAN DAN IMPLIKASI
Berdasarkan hasil wawancara, pada masa kanak-kanak subjek pernah
mendapat tindak kekerasan fisik dan verbal dari ayah dan ibunya. Hubungan
kedua orang tua subjek juga kurang harmonis. Subjek pernah mendapati ayah dan
ibunya berselingkuh. Hal ini menyebabkan subjek semasa kanak-kanak kurang
mendapatkan rasa cinta dan kasih sayang dari kedua orang tuanya sebagaimana
yang diperlukan dalam perkembangan anak. Subjek memiliki pengalaman
traumatis pada masa kanak-kanaknya sehingga terjalin hubungan yang kurang
baik antara subjek dan orang tuanya.
Hasil tes psikologi menunjukkan adanya hambatan dalam menyesuaikan diri,
kurangnya kemampuan dalam pemecahan masalah, subjek mudah tertekan, dan
adanya permasalahan yang tak selesai dalam diri subjek. Permasalahan yang tak
selesai salah satunya adalah permasalahan subjek dengan orang tuanya dan hasil
tes psikologi menunjukkan bahwa permasalahan utama yang sebaiknya diatasi
adalah unfinished business subjek dengan orang tuanya. Keseluruhan hasil
asesmen menunjukkan bahwa subjek memiliki hubungan yang renggang dengan
orang tuanya mengakibatkan adanya emosi marah yang terpendam sejak lama
dalam diri subjek kepada orang tuanya.
32
Berdasarkan hasil terapi dapat disimpulkan bahwa intervensi integrasi
menggunakan SEFT dan bibliotherapy dapat efektif mengurangi emosi marah
subjek kepada ayah dan ibunya, sebelum intervensi emosi marah subjek berada
pada skala rating angka 8,5 dan kemudian setelah menjalani seluruh proses terapi
maka emosi marah subjek berkurang menjadi angka 3.
Penelitian selanjutnya, orangtua subjek sebaiknya terlibat untuk membantu
menjaga kestabilan emosi dan mental subjek sehingga intervensi yang diberikan
dengan melihat berbagai sudut pandang dapat berhasil dalam jangka waktu yang
lama. Oleh karena itu, peneliti selanjutnya disarankan untuk melibatkan orang tua
subjek dalam intervensi.
33
REFERENSI
Abilash, K., dan Jothimani, T. (2019). Bibliotherapy as a therapeutic approach to
psychological problems. Asian Journal of Multidimensional Research
(AJMR), 8(2), 10-15.
Adawiyah, W., dan Ni’matuzahroh. (2016). Terapi spiritual emotional freedom
technique (seft) untuk menurunkan tingkat stres akademik pada siswa
menengah atas di pondok pesantren. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 4(2),
228-245.
Albin, R. S. (1998). Emosi bagaimana mengenal, menerima dan mengarahkannya.
Yogyakarta: Kanisius.
Alwisol. (2012). Psikologi kepribadian. Malang: UMM Press.
Anggraeni, A., dan Khusumadewi, A. (2017). Penerapan biblioterapi untuk
meningkatkan pemahaman tentang labelling negatif pada siswa kelas VII-D
di SMPN 2 dlanggu-mojokerto. Jurnal BK, 7(3), 256-265.
Anggraini, K. A. (2019). “Efektivitas seft (spiritual emotional freedom technique)
untuk menurunkan perilaku agresi pada remaja”. Tesis. Program Pendidikan
Magister Psikologi Profesi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Surakarta.
Anwar, R., Rejeki, D. S., Khadijah, U. L. S., dan Sukaesih. (2019). Bibliotherapy
dalam menumbuhkan sikap optimis pasien. Berkala Ilmu Perpustakaan dan
Informasi, 15(1), 87-100.
Anwar, Z., dan Niagara, S. T. (2011). “Model terapi seft (spiritual emotional
freedom technique) untuk mengatasi gangguan fobia spesifik”. Laporan
Akhir Penelitian Pengembangan Ipteks. Direktorat Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat. Universitas Muhammadiyah Malang,
Malang.
Arif, Iman Setiadi. (2006). Skizofrenia memahami dinamika keluarga pasien.
Bandung: PT. Refika Aditama.
34
Bastaman, H. D. (2011). Integrasi psikologi dengan islam, menuju psikologi
islam. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Insan Kamil Bekerjasama dengan
Pustaka Belajar.
Carpenter, B. N. (1992). Personal coping (theory, research, and application).
USA: Greenwood Publishing group.
Cnnindonesia.com. (2018). Online web. WHO: 23 juta warga dunia idap
skizofrenia. Diunduh tahun 2018 dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-
hidup/20181010111644-255-337224/who-23-juta-warga-dunia-idap-
skizofrenia
Darmawan, D. (2013). Metode penelitian kuatitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Elga, A. Y. (2012). Jangan suka marah! Memahami dampak-dampak buruk marah
bagi kesehatan. Yogyakarta: Penerbit BUKUBIRU.
Fatmasari, D., Widyana, R., dan Budiyani, K. (2019). Spiritual emotional
freedome technique (seft) untuk menurunkan stress pada pasien hipertensi.
Jurnal Psikologi, 15(1), 10-19.
Fausiah, F. dan Widury, J. (2008). Psikologi abnormal klinis dewasa. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Fitriani, Y. dan Alsa, A. (2015). Relaksasi autogenik untuk meningkatkan regulasi
emosi pada siswa SMP. Gadjah Mada Journal of Professional Psychology,
1(3), 149-162.
Hall, S. C. dan Lindzey, G. (1993). Psikologi kepribadian 1 teori-teori
psikodinamik (klinis). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hauck, P. (1993). Tenangkan diri mengatasi frustasi dan kemarahan. Jakarta:
Penerbit Arcan.
Hawari, D. (2014). Skizofrenia edisi ketiga pendekatan holistik (bpss) bio-psiko-
sosial-spiritual. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Herlina. (2012). Bibliotherapy (terapi melalui buku). EduLib, 2(2), 187-200.
35
Helina. (2013). Bibliotherapy: mengatasi masalah anak dan remaja melalui buku.
Bandung: Pustaka Cendikia Utama.
Indrayani, Y. A., dan Wahyudi, T. (2018). Situasi kesehatan jiwa di indonesia.
InfoDATIN Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Diambil
dari
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/InfoD
atin-Kesehatan-Jiwa.pdf
Jones, S. dan Hayward, P. (2004). Coping with schizophrenia (a guide for
patients, families, and caregivers). England: www.oneworld-
publications.com.
Kadiyono, A. L. dan Anmarlina, F. (2016). Teknik yoga sebagai intervensi dalam
melakukan anger management pada wanita dewasa awal. Jurnal Intervensi
Psikologi, 8(2), 185-201.
Kazdin, A. E. (1992). Research design in clinical psychology second edition.
United States of America: General Psychology Series.
Kazdin, A. E. (1998). Methodological issue & strategies in clinical research.
Washington DC: American Psychological Association.
Khodayarifard, M., Ghobari-Bonab, B., Akbari-Zardkhaneh, S., Zandi S.,
Zamanpour, E., & Derakhshan M. (2016). Positive psychology from islamic
perspective. Int J Behavior Sci, 10(2), 77-83.
Lake, T. (1993). Mengatasi gangguan emosi. Jakarta: Penerbit Arcan.
Magyar-Moe, Jeana, L. (2009). Therapist’s guide to positive psychological
interventions. USA: Academic Press Elsevier Inc.
Mar’ati, R. dan Chaer, M. T. (2016). Pengaruh pembacaan dan pemaknaan ayat-
ayat al-qur’an terhadap penurunan kecemasan pada santriwati.
Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi, 1(1), 30-48.
Marwing, A. (2019). Efektivitas terapi seft (spiritual emotional freedom
technique) terhadap penurunan agresifitas remaja warga binaan lembaga
36
pembinaan khusus anak (lkpa) kelas 1 blitar. Psikoislamika: Jurnal
Psikologi dan Psikologi Islam (JPPI), 16(1), 29-41.
Merriam, S. B., dan Tisdell, E. J. (2015). Qualitative research: A guide to design
and implementation fourth edition. San Fransisco: Jossey-Bass.
Mutiara. (2017). Penerapan terapi suportif untuk meningkatkan manajemen emosi
negatif pada individu yang memiliki pasangan skizofrenia. Jurnal Muara
Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, 1(1), 105-115.
Nevid, J. S., Rathus, S. A., dan Greene, B. (2018). Psikologi abnormal di dunia
yang terus berubah, edisi kesembilan jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Nevid, J. S., Rathus, S. A., dan Greene, B. (2018). Psikologi abnormal di dunia
yang terus berubah, edisi kesembilan jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Newmark, A., dan Anderson, A. (2019). Kekuatan memaafkan (chicken soup for
the soul). Jakarta: PT Gramedia.
Newmark, A., dan Cook, C. (2019). Memulai kembali hidup (chicken soup for the
soul). Jakarta: PT Gramedia.
Pehrsson, D. E., dan McMillen, P. (2007). Bibliotherapy: overview and
implications for counselors. American Counseling Association, 02, 1-2.
Prihananto, D. I., Hadisaputro, S., dan Adi, M. S. (2018). Faktor somatogenik,
psikogenik, sosiogenik yang merupakan faktor risiko kejadian skizofrenia
usia < 25 tahun (studi di kecamatan kepil kabupaten wonosobo). Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Komunitas, 3(2), 68-79.
Prihatsanti, U., Suryanto, dan Hendriani, W. (2018). Menggunakan studi kasus
sebagai metode ilmiah dalam psikologi. Buletin Psikologi, 26(2), 126-136.
Purwanto, E. (2015). Pengaruh bibliotherapy terhadap psychological well-being
perempuan lajang. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 4(1), 1-
26.
Radhitya, T. V. dan Santoso, M. B. (2019). Pengendalian emosi pada remaja
pelaku tindak kriminal di lembaga pemasyarakatan khusus anak (lpka)
bandung. Jurnal Pekerjaan Sosial, 2(2), 219-231.
37
Rochjani, S., Mardiyono, dan Arwani. (2014). Intervensi spiritual emotional
freedom technique (seft) untuk menurunkan kecemasan dan perilaku
kekerasan pada pasien skizofrenia. LINK 10(3), 878-885.
Rofacky, H. F., dan Aini, F. (2015). Pengaruh terapi spiritual emotional freedom
technique (seft) terhadap tekanan darah penderita hipertensi. Jurnal
Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), 10(1), 41-
52.
Shaughnessy, J. J., Zechmeister, E. B., dan Zechmeister J. S. (2012). Metode
penelitian dalam psikologi (research methods in psychology). Jakarta
Selatan: Penerbit Salemba Humanika.
Shechtman, Zipora. (2009). Treating child and adolescent aggression through
bibliotherapy. New York: Springer Science + Business Media.
Solikin, A. (2015). Bibliotherapy sebagai sebuah teknik dalam layanan bimbingan
dan konseling. Anterior Jurnal, 14(2), 154-161.
Sugiyono. (2010). Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif,
dan r&d. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2013). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan r&d. Bandung:
Alfabeta.
Sumarna. A. (2018). Efektivitas spiritual emotional freedom technique (seft)
dalam mereduksi emosi marah siswa di madrasah tsanawiyah
muhammadiyah gedongtengen. G-COUNS: Jurnal Bimbingan dan
Konseling, 2(2), 1-13.
Suprapto, M. H. (2013). I love my body: efektivitas cognitive behavioral therapy
(CBT) dan bibliotherapy dalam meningkatkan citra tubuh mahasiswi.
Jurnal Gema Aktualita, Vo. 2, No. 1, 7-12.
Suryaningrum, C. (2005). “Terapi kognitif-tingkah laku untuk mengatasi
kecemasan sosial”. Tesis. Pascasarjana Fakultas Psikologi. Universitas
Indonesia. Depok.
38
Triyani, F. A., Dwidiyanti, M., dan Suerni, T. (2019). Gambaran terapi spiritual
pada pasien skizofrenia: Literatur review. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa,
2(1), 19-24.
Watson, D., Clark, L. A., dan Tellegen, A. (1988). Development and validation of
brief measures of positive and negartive affect: the panas scales. Journal of
Personality and Social Psychology, 54(6), 1063-1070.
Wiramihardja, S. A. (2012). Pengantar psikologi klinis (edisi ketiga). Bandung:
PT Refika Aditama.
Zainuddin, A. F. (2006). Spiritual emotional freedom technique (SEFT) for
healing, success, happiness, greatness. Jakarta: Afzan Publishing.
Zakiyyah, M. (2013). Pengatuh terapi spiritual emotional freedom technique (seft)
terhadap penanganan nyeri dismenora. Jurnal Sains Medical 5(2), 66-71.
39
LAMPIRAN
40
41
Jadwal Pemeriksaan dan Jadwal Intervensi
No Hari/tanggal Waktu Kegiatan
1 Senin/ 22 Jui 2019 10.00 - 12.00 Membangun rapport, observasi
13.00 - 15.00 Melihat Rekap Medis
2 Selasa/ 23 Juli 2019 13.00 - 15.00 Informed concent dan
pengisian Riwayat Hidup
3 Rabu/ 24 Juli 2019 09.00 - 12.00 Wawancara dan tes WAIS
4 Kamis/ 25 Juli 2019 09.00 - 11.00 Wawancara dan Tes Grafis
(DAP, BAUM, HTP)
5 Jumat/ 26 Juli 2019 09.00 - 11.00 Wawancara dan Tes TAT
13.00 - 14.30 Tes Wartegg dan SSCT
6 Senin/ 29 Juli 2019 09.00 - 12.00 Pelaksanaan SEFT
7 Selasa/ 30 Juli 2019 09.30 - 11.30 Pemberian SEFT lanjutan
8 Rabu/ 31 Juli 2019 09.00 - 10.00 Sesi 1 bibliotherapy
13.00 - 15.00 Sesi 2 bibliotherapy dan
pemberian tugas
9 Kamis/ 1 Agustus 2019 09.00 - 10.00 Sesi 3 bibliotherapy dan
pemberian tugas
10 Jumat/ 2 Agustus 2019 08.30 - 10.30 Sesi 4 bibliotherapy dan
pemberian tugas
11 Senin/ 5 Agustus 2019 09.00 - 11.00 Sesi 5 bibliotherapy dan
pemberian tugas
12 Senin/ 12 Agustus 2019 10.00 - 12.00 Sesi 6 bibliotherapy dan
terminasi
13 Sabtu/ 17 Agustus 2019 09.00 - 11.30 Follow up
14 Jumat/ 27 November 2020 12.30 - 13.30 Follow up lanjutan
42
Intake Interview
Prosedur Pertanyaan
Identifikasi masalah -Apa yang membawa anda bisa masuk
RSJ?
-Apa yang bisa saya bantu?
-Apa yang mengganggu anda saat ini?
Menganalisa gejala -Kapan dan dimana gejala tersebut
pertama kali muncul?
-Apa yang anda lakukan saat gejala
tersebut muncul?
-Apa yang anda pikirkan saat gejala
tersebut muncul?
-Seberapa sering anda mengalami
masalah ini?
-Apakah masalah ini mempengaruhi
fungsi keseharian anda?
-Berikan rating 1-10 pada skala berapa
anda merasa terganggu dengan masalah
ini?
Menggali informasi tentang latar
belakang
-Bagaimana hubungan anda dengan orang
tua/keluarga?
-Menurut anda, bagaimana lingkungan
RSJ saat pertama kali anda datang?
-
Asesmen keberfungsian -Dalam waktu dekat ini, apakah ada yang
mengganggu anda?
43
-Aktivitas apa saja yang anda biasa
lakukan selama dirawat di RSJ?
-Berapa lama anda biasanya
menghabiskan waktu bersama orang
terkasih?
-Aktivitas apa yang biasa dilakukan
bersama orang terkasih?
-Apakah keluarga pernah menjenguk ke
RSJ?
-Apa hal yang menyenangkan untuk anda
lakukan saat sendiri?
Menentukan tujuan dan memonitor
perubahan
-Apa yang anda harapkan terjadi dalam
hidup anda beberapa tahun yang akan
datang?
44
Observasi Harian
a) Observasi subjek
Hari/ Tanggal Hasil Observasi
Senin/ 22 Juli 2019 Subjek berumur 24 tahun, berjenis kelamin laki-laki dengan
tinggi 165 cm dan berat badan 120 kg. Subjek berkulit
kuning langsat, rambut berwarna hitam dan memiliki brewok
agak tipis. Pertemuan pertama, subjek menunjukkan sikap
yang ramah dan mudah bersahabat dengan para praktikan.
Subjek tertawa saat ada pembicaraan yang lucu, subjek
menjawab dengan jujur ketika ditanya oleh praktikan, dan
subjek juga balik bertanya jika sekiranya ada yang ingin
ditanyakan oleh subjek. Diantara pasien yang lain, subjek AD
yang paling mempunyai koherensi pembicaraan yang baik
dan tidak memiliki mood yang berubah-ubah. Subjek yang
memilih langsung praktikan dengan mengatakan “saya sama
mbaknya aja, karena tanggal lahir kita sama” dengan alasan
seperti itu praktikan tidak akan dapat menolak. Sewaktu
siang hari praktikan kembali ke bangsal untuk melihat rekam
medis pasien, subjek tiba-tiba mendatangi praktikan dan
langsung menarik kursi duduk disebelah praktikan. Subjek
sebanyak tiga kali tiba-tiba sambil duduk memejamkan mata,
dahi berkerut seperti memikirkan sesuatu dan tangannya
dikepal, tidak lama kemudian subjek akan membuka mata
dan melihat kesekelilingnya.
Selasa/ 23 Juli 2019 Setiap harinya ketika praktikan datang ke ruangan, subjek
akan langsung menyambut, bersalaman dan tersenyum
kepada praktikan. Pada saat pengisian informed concent,
praktikan menjelaskan mengenai serangkaian tes yang akan
dijalani, subjek menganggukkan kepalanya pertanda
memahami yang sudah dipaparkan praktikan dan dengan
45
anggukan setuju untuk mengikuti serangkaian tes psikologi.
Dan ketika kesepatakan untuk menjalani terapi subjek juga
mengangguk dan mengatakan “iya”. Ketika pengisian RH
subjek menjawab semua pertanyaan dengan jujur dan akan
menjelaskan ketika praktikan bertanya. Ketika duduk, subjek
nampak sulit menceritakan permasalahannya, nampak berat
untuk memulai bercerita, setelah praktikan memberikan
stimulus baru subjek dapat mulai bercerita dengan memegang
kedua tangannya dan mengatakan “ini sebenarnya aib mbak”
kemudian melanjutkan bercerita mengenai permasalahan
keluarga subjek. Pada saat pertengahan cerita subjek
menghela nafas panjang dan berat. Saat itu subjek sempat
terdiam sejenak, memegang kedua tangannya erat-erat dan
matanya berkaca-kaca. Membuktikan bahwa subjek memiliki
permasalahan yang mendalam dengan orang tuanya.
Praktikan menyentuh pundak subjek, lalu subjek menunduk
dan sesaat kemudian menoleh kearah subjek dan tersenyum
berat.
Rabu/ 24 Juli 2019 Subjek duduk-duduk bersama pasien lain di halaman ruangan
dan ketika praktikan datang subjek langsung berdiri,
tersenyum dan menyalami praktikan. Setelah duduk-duduk
beberapa saat, kemudian melaksanakan pengetesan wais
dengan dilaksanakan selama 1,5 jam. Selama mengerjakan
tes, subjek nampak fokus dalam mendengarkan instruksi dan
ketika menjawab soal. Pada saat subtes mengatur gambar,
ketika mendapatkan potongan gambar yang banyak subjek
mengatakan “wah banyak mbak” namun tetap fokus mencari
jawaban dan menyusun gambar-gambar tersebut. Ketika
ditanya praktikan apakah subjek sudah capek, subjek
mengatakan “tidak, malah enak mbak karena kayak
mengasah otak, soalnya kan jarang-jarang disini gak ada
46
kegiatan”. Saat menyelesaikan masalah, subjek akan
menempuh problem solving sendiri tanpa berdiskusi dengan
orang lain untuk menentukan keputusan yang tepat dalam
penyelesaian masalahnya. Dapat dilihat saat mengerjakan
soal berhitung pada tes WAIS, subjek menyelesaikan
beberapa soal berhitung dengan menggunakan cara sendiri,
hasil yang didapat jawabannya benar namun dalam waktu
yang lama sehingga waktu habis dan subjek mendapatkan
skor nol meski jawabannya benar. Setelah pengerjaan tes
wais subjek mengatakan dia lapar dan praktikan menawarkan
beberapa makanan kecil. Setelah makan dan minum, subjek
langsung ingin melanjutkan tes namun praktikan
menawarkan untuk istirahat beberapa saat setelah
melanjutkan tes inventori. Saat mengerjakan tes WWQ
subjek nampak serius menjawab tes dan akan menjelaskan
ketika praktikan bertanya sesuatu ha yang kurang jelas.
Ketika mengingat atau berpikir saat menjawab pertanyaan,
subjek kebanyakan melihat kearah atas. Praktikan dan subjek
berjalan-jalan sore keliling RSJ sambil mendengarkan musik
favorit subjek. Subjek tampak menikmati alunan musik yang
didengarnya.
Kamis/ 25 Juli 2019 Subjek beraktivitas pagi dengan berolahraga dan berjemur
sambil bercerita ringan dengan praktikan. Sesekali praktikan
memotivasi subjek untuk menurunkan berat badannya dan
subjek dengan serius menanggapi dan sejak hari itu dia giat
berolahraga atau berjalan-jalan sore. Setelah sekitar satu jam,
subjek dan praktikan mengambil posisi duduk yang nyaman
untuk memulai mengerjakan tes grafis. Subjek menawarkan
kepada praktikan untuk memulai tesnya setelah beraktivitas
pagi. Saat mengerjakan tes DAP subjek awalnya menolak
dan tidak mau menggambar orang, namun setelah bertanya
47
lagi dengan mengatakan “tapi orangnya terserah?” dan
praktikan mengiyakan subjek kemudian mau menggambar.
Awal menggambar orang subjek menutupi kertas dengan
menggunakan tangan kirinya seolah-olah praktikan tidak
boleh melihat apa yang digambarnya. Subjek nampak serius
ketika menggambar. Subjek memiliki sikap melindungi
praktikan seperti contoh saat pasien lain yang ingin
memegang tangan praktikan subjek langsung melarang dan
mengatakan “tidak boleh lancang pak, gak sopan” kepada
pasien tersebut. Dan kejadian seperti ini berulang kali terjadi.
Praktikan dan subjek jalan-jalan sore sambil membicarakan
terapi yang akan dijalani selama beberapa hari kedepan.
Subjek nampak serius mendengarkan dan setuju ketika
dimintai pendapat mengenai terapi yang akan dijalani.
Jumat/ 26 Juli 2019 Subjek beraktivitas pagi seperti biasa, berjemur sambil
berbaring di halaman ruangan. Setelah itu subjek
menghampiri dan duduk disebelah praktikan sambil
tersenyum. Subjek mengajak praktikan untuk meakukan
tahapan tes hari ini. Praktikan memberikan instruksi tes TAT,
subjek mendengarkan dengan seksama yang diucapkan oleh
praktikan. Untuk gambar pertama subjek mengingat seluruh
tugasnya, namun untuk kartu kedua dan ketiga subjek
melupakan beberapa tugas dan praktikan kembali membantu
subjek untuk mengingat tugasnya dalam bercerita sehingga
untuk kartu selanjutnya subjek tidak pernah lupa lagi. Subjek
mempunyai kepribadian yang tertutup, lebih sering
memendam sendiri dari pada membicarakannya kepada
orang lain. Setelah beberapa hari, subjek baru mau sedikit
bercerita permasalahan yang dialaminya kepada praktikan.
Meski subjek tidak mau membuka permasalahan yang utama
yang dialaminya seperti masal lalu yang dikatakannya namun
48
tidak ingin bercerita kepada praktikan. Subjek mengatakan
“tapikan tidak semuanya harus diceritakan mbak” dan
tersenyum.
Senin/ 29 Juli 2019 Saat subjek mengerjakan tes wartegg, subjek mendengarkan
instruksi dengan baik, mengerjakan tes dengan cepat dan
fokus. Sesekali subjek juga menutup kertas untuk praktikan
tidak boleh melihat apa yang digambar oleh subjek. Saat
mengerjakan tes SSCT subjek sangat fokus dan jujur dalam
menjawab pertanyaan terbukti bahwa subjek tidak berhenti
dalam menjawab soal meski perawat memanggil subjek
untuk kebutuhan penting pada saat itu, namun subjek
menyelesaikan semua pertanyaan terlebih dahulu, dan seperti
biasa subjek akan menutup kertas dengan tangan kirinya
untuk praktikan tidak boleh melihat apa yang ditulisnya.
Subjek dalam pemeriksaan psikologis sangat kooperatif dan
termasuk cepat dalam mengerjakan berbagai tes psikologi.
Subjek nampak sangat fokus saat mengerjakan tes dan akan
bertanya ketika tidak paham dengan instruksi yang diberikan.
Ketika pemberian biblioterapi subjek nampak antusias ketika
melihat dua buku yang diberikan praktikan dan mengatakan
“wah bagus mbak” kemudian subjek membuka buku
tersebut, praktikan menawarkan untuk memilih bacaan cerita
dengan membaca daftar isinya terlebih dahulu. Kemudian
subjek membaca daftar isi dan memilih bacaan-bacaan yang
sekiranya menarik. Pada saat bacaan pertama tentang konflik
antara anak dan ayah subjek langsung mengatakan “sama,
saya juga paling benci dengan ayah” dan “saya paling benci
ayah dari pada ibu”, subjek mengatakan bahwa ibaratnya
ayah menjadi penghalang bagi dirinya sedangkan ibu hanya
mengikut dibelakang subjek. Setelah menyelesaikan bacaan
pertama subjek nampak sering menarik nafas panjang dan
49
menghembuskan dengan berat, kemudian seperti gelisah, dan
ketika ditanya subjek mengatakan “tidak apa-apa” dan
“istirahat sebentar ya mbak” dan praktikan membiarkan
subjek beberapa saat. Subjek seperti mengingat masa lalunya,
memunculkan sedikit kegelisahan, tarikan nafas yang
panjang dan berat, tubuh subjek agak meringkuk dan agak
lama setelah subjek merasa normal kembali dan mau
melanjutkan untuk membaca. Pada saat mendiskusikan
cerita, subjek mendengarkan pendapat praktikan dengan baik
dan sering menganggukkan kepala pertanda subjek menerima
dan mengerti maksud dari praktikan. Pada terapi sesi kedua,
bacaan pertama subjek berhenti dan mengatakan “gak mood
untuk baca, mau istirahat dulu” lalu menarik nafas panjang
dan bercerita bahwa ibunya sering memukulnya sewaktu
kecil dan ayahnya sering memukulnya sewaktu kecil. Setiap
mendiskusikan cerita dengan praktikan subjek mengangguk
dan mengatakan “iya” tanda subjek menerima dan paham.
Selasa/ 30 Juli 2019 Setelah subjek beraktivitas pagi, subjek dan praktikan masuk
dan duduk di ruang tamu kemudian praktikan menjelaskan
hasil tes wartegg kepada subjek. Subjek mendengarkan
penjelasan praktikan dengan serius dan akan bertanya ketika
tidak paham beberapa istilah yang digunakan praktikan.
Kemudian memasuki sesi terapi selanjutnya adalah mereview
tugas bacaan subjek, subjek menjelaskan bacaan yang paling
menurutnya menarik, sambil tersenyum subjek mengatakan
“ini sama dengan kisahku, coba sampena baca dulu” yakni
kisah tentang skizofrenia. Setelah itu subjek mengatakan
“sama kayak saya, saya ya butuh kasih sayang”. Subjek
sangat menunjukka sikap yang kooperatif, subjek membaca
agak lama dari pada praktikan, subjek membaca dengan
menghayati cerita tokoh utama dan akan memposisikan
50
dirinya dalam cerita tersebut dengan baik. Saat berhubungan
melalui telepon dengan orang tua, amarah subjek meledak-
ledak kepada ibunya, subjek berteriak dan sesekali
mengucapkan kata-kata kasar. Dan ketika saling mengirim
pesan dengan ayah, subjek mengirim pesan seperti
memerintah orang tua dan sedikit tidak sopan dengan ucapan
ketika ayah subjek mengatakan bahwa tidak bisa menjemput
hari ini dikarenakan beliau sakit. Namun subjek merespon
marah kepada orang tuanya sehingga praktikan yang
membujuk subjek untuk meminta maaf kepada orang tuanya.
Subjek jika keinginannya tidak langsung terpenuhi maka
subjek akan marah dengan membentak-bentak. Subjek
mengaku bahwa amarahnya dapat meledak-ledak dengan
membentak siapapun namun tidak pernah melakukan
kekerasan fisik.
Rabu/ 31 Juli 2019 Subjek melakukan aktivitas pagi, kemudian subjek dan
praktikan akan duduk di ruang tamu untuk memulai terapi
dan kemudian membaca. Disela-sela bacaan subjek terlihat
kurang fokus karena menunggu jemputan keluarga.
51
Terapi Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) untuk
Menurunkan Emosi Marah terhadap Orang Tua
pada Pasien Skizofrenia
Quwwatun Azimah Mustajab
Magister Profesi Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Spiritual Emosional Freedom Technique (SEFT) merupakan terapi
psikologi yang menggabungkan kekuatan spiritual dan teori energy
psychology dimana ditujukan untuk melengkapi psikoterapi yang sudah ada
(Zainuddin, 2006). SEFT ini bekerja berdasarkan prinsip teknik akupuntur
yang kurang lebih akan merangsang 12 titik kunci jalur energi pada tubuh
yang berpengaruh pada kesehatan (Zainuddin, 2006).
Pasien skizofrenia dengan mengembangkan emosi negatif seperti
perasaan benci terutama benci pada lingkungan sekitar dimana yang terdekat
merupakan relasi keluarga membutuhkan bantuan untuk menurunkan tingkat
emosi negatif tersebut. Penurunan emosi negatif dan mengubah menjadi
emosi positif dengan cara intervensi SEFT digunakan untuk mengatasi emosi
negatif seseorang. Emosi negatif diubah menjadi emosi positif sehingga
mengubah perilaku menjadi lebih adaptif (Rochjani, Mardiyono, & Arwani,
2014).
SEFT dapat digunakan untuk mengurangi emosi negatif pada penderita
skizofrenia sehingga pasien berperilaku positif dan mampu kooperatif
(Rochjani, Mardiyono, & Arwani, 2014).
52
B. Tujuan
Adapun tujuan dalam pelaksanaan terapi ini adalah untuk mengurangi
perasaan benci pasien terhadap orang tuanya dengan mengganti emosi negatif
menjadi emosi positif sehingga pasien dapat berperilaku positif dan kembali
menjalin relasi yang baik dengan orang tua.
BAB II
PROSEDUR TERAPI
1. The Set-Up
Teknik ini adalah hal pertama yang dilakukan yakni mengucapkan dan
merasakan dengan penuh perasaan, khusyu’, ikhlas dan pasrah. Mengucapkan
kata “Ya Allah, saya memiliki masalah dengan orang tua saya, saya
memendam amarah terhadap mereka karena perilaku kurang baik mereka,
saya ikhlas menerima, saya pasrahkan padaMu sepenuhnya” diulang
sebanyak 3 kali. Teknik ini bertujuan untuk menetralisir psychological
reversal atau disebut perlawanan psikologis yang mana berupa emosi negatif
atau keyakinan alam bawah sadar yang sulit terlepas dari dalam diri.
Kemudian diikuti dengan menekan Sore Spot (titik nyeri dibagian dada) atau
mengetuk daerah Karate Chop (mengetuk dengan tiga ujung jari pada bagian
karate chop). Dapat dilihat pada gambar berikut:
Sore Spot (SS) Karate Chop (KC)
53
2. The Tune-In
Teknik kedua untuk masalah emosi, melakukan teknik ini dengan cara
memikirkan sesuatu atau peristiwa yang pernah terjadi yang menyakitkan
individu guna untuk membangkitkan emosi negatif untuk kemudian akan
dihilangkan seperti perasaan kecewa, marah, benci, takut dan lain-lain.
Kemudian mulut dan hati mengatakan “Ya Allah, saya ikhlas dan saya
pasrahkan kebahagiaanku pada-Mu.” dengan mengatakan hal ini maka
terapis sambil men-tapping.
2. The Tapping
Tapping adalah menggunakan dua ujung jari untuk mengetuk pelan
bagian daerah tubuh tertentu sambil melakukan teknik Tune-In. Adapun titik
kunci yang diketuk terapis disebut The Major Meridians, yakni jika diketuk
akan menetralisir gangguan emosi yang dialami atau rasa sakit yang
dirasakan. Hal ini disebabkan oleh aliran energi tubuh yang mengalir dengan
normal dan seimbang kembali (Zainuddin, 2006). Adapun titik-titik yang
diketuk adalah:
1) CR: Crown
Pada titik dibagian atas kepala
2) EB: Eye brow
Pada titik ujung permulaan alis
54
3) SE: Side of the eye
Tepat diatas tulang samping
mata
4) UE: Under of the eye
Sekitar 2 cm dibawah mata
5) UN: Under the nose
Tepat dibawah hidung
6) CH: Chin
Diantara dagu dan bagian
bawah bibir
7) CB: Collar bone
Diujung tempat bertemunya
tulang dada, collar bone, dan
tulang rusuk pertama
8) UA: Under the arm
Dibawah ketika yang sejajar
dengan puting
9) BN: Bellow nipple
Sekitar 2,5 cm dibawah nipple
10) IH: Inside of hand
Dibagian dalam tangan yang
bebatasan dengan telapak
tangan
11) OH: Outside of hand
Dibagian depan tangan yang
berbatasan dengan pergelangan
55
12) TH: Thumb
Ibu jari disamping luar bagian
bawah kuku
13) IF: Index finger
Jari telunjuk bagian luar bawah
kuku (bagian yang menghadap
ibu jari)
14) MF: Middle finger
Jari tengah bagian luar bawah
kuku (bagian yang menghadap
ibu jari)
15) RF: Ring finger
Jari manis di samping luar
bagian bawah kuku (bagian
yang menghadap ibu jari)
16) BF: Baby finger
Jari kelingking di samping luar
bagian bawah kuku (bagian
yang menghadap ibu jari)
17) KC: Karate chop
Di samping telapak tangan
tepat bagian yang digunakan
untuk mematahkan balok
18) GS: Gamut spot
Diantara ruang tulang jari
kelingking dan jari manis
56
3. Teknik Prosedur 9 Gamut
Teknik keempat ini dilakukan untuk merangsang otak pasien. Setiap
gerakan tertentu dimaksudkan untuk merangsang bagian otak tertentu.
Adapun 9 gerakan yang akan dilakukan sambil men-tapping bagian gamut
spot, adalah sebagai berikut:
10) Menutup mata
11) Membuka mata
12) Menggerakkan mata dengan gerakan kuat dari kanan ke bawah
13) Menggerakkan mata dengan gerakan kuat dari kiri ke bawah
14) Memutar bola mata searah jarum jam
15) Memutar bola mata berlawanan arah jarum jam
16) Bergumam “Subhannallah wala ilahaillallah walahuakbar” selama 3
detik
17) Menghitung 1, 2, 3, 4, 5
18) Bergumam lagi selama 3 detik
4. Mengulang Teknik Tapping
Setelah menyelesaikan tekinik keempat makan langkah terakhir adalah
mengulang teknik tapping kemudian mengakhiri dengan mengambil nafas
panjang kemudian dihembuskan.
57
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, W., dan Ni’matuzahroh. (2016). Terapi spiritual emotional freedom
technique (seft) untuk menurunkan tingkat stres akademik pada siswa
menengah atas di pondok pesantren. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 4(2),
228-245.
Rochjani, S., Mardiyono, dan Arwani. (2014). Intervensi spiritual emotional
freedom technique (seft) untuk menurunkan kecemasan dan perilaku
kekerasan pada pasien skizofrenia. LINK 10(3), 878-885.
Zainuddin, A. F. (2006). Spiritual emotional freedom technique (SEFT) for
healing, success, happiness, greatness. Jakarta: Afzan Publishing.
Zakiyyah, M. (2013). Pengatuh terapi spiritual emotional freedom technique (seft)
terhadap penanganan nyeri dismenora. Jurnal Sains Medical 5(2), 66-71.
58
Bibliotherapy untuk Mengurangi Emosi Marah
terhadap Orang Tua pada Subjek Skizofrenia
Quwwatun Azimah Mustajab
Magister Profesi Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bibliotherapy adalah teknik terapi yang menggunakan buku sebagai sarana
pengobatan. Bibliotherapy didefinisikan sebagai solusi yang tepat dalam
menangani masalah personal individu dengan cara membaca langsung (Webster,
1981; Herlina, 2013). Bibliotherapy klinis adalah terapi untuk meningkatkan
kesehatan mental individu melalui penggunaan literatur atau buku dengan cara
individu membaca kemudian mendiskusikan dengan terapis (Pehrsson &
McMillen, 2007). Terapis menggunakan diskusi terarah untuk membantu individu
mengintegrasikan respon kognitif dan afektif terhadap bacaan yang telah
diseleksi.
Terapi ini digunakan untuk memunculkan insight pada klien untuk membantu
mereka mengubah distorsi serta keyakinan yang maladaptif yang tersimpan sejak
lama (Suprapto, 2013). Bibliotherapy merupakan sarana yang tepat untuk
menemukan insight baru, mendorong klien lebih memahami permasalahan klinis
yang dialaminya, dan dapat menghargai dirinya sendiri (Shechtman, 2009). Dalam
terapi ini, reaksi afektif lebih penting dari pada pemahaman intelektual dalam
makna yang tersirat dalam bacaan (Suprapto, 2013). Adapun prinsip-prinsip
utama untuk bibliotherapy adalah sebagai berikut (Pardeck & Pardeck, 1986;
Herlina, 2013):
59
1) Terapis harus menggunakan material bacaan yang dikenalnya
2) Hindari material bacaan yang tidak hubungannya dengan permasalahan
klien
3) Material bacaan dapat diterapkan pada masalah klien, namun bacaan tidak
harus identik
4) Terapis dapat mengukur kemampuan membaca klien dan dapat menjadi
pengarah dalam memilih material bacaan yang akan digunakan. Jika klien
kurang mampu dalam membaca maka diperlukan teknik membaca
nyaring atau audiovisual.
5) Usia kronologis dan kondisi emosional klien dapat direfleksikan dalam
material bacaan yang digunakan.
6) Minat membaca merupakan pengarah untuk terapis memiihkan bahan
bacaan
Dari hasil tes intelegensi subjek memiliki IQ kategori rata-rata dengan
interpretasi bahwa subjek mampu melakukan tugas kesehariannya dengan baik
secara mandiri. Secara keseluruhan subjek memiliki kemampuan verbal yang baik
sehingga dapat dikatakan bahwa kriteria subjek sesuai dengan syarat pemberian
terapi biblio. Dengan memunculkan insight dan membuat keyakinan yang lebih
adaptif dengan sarana bacaan yang akan diberikan pada saat terapi.
B. Tujuan
Adapun tujuan dalam pemberian terapi ini adalah untuk memunculkan
insight terhadap permasalahan yang subjek alami terkait rasa kebencian
terhadap orang tua sehingga subjek dapat memahami kondisi orang tuanya
dan akhirnya subjek dapat berdamai dengan perasaan yang subjek
kembangkan kepada orang tuanya dan subjek dapat membuat keyakinan yang
adaptif terhadap orang tuanya.
60
BAB II
PROSEDUR TERAPI
Fase : SESI 1
Waktu : 2 - 3 jam
Tujuan : Mengakrabkan subjek dengan bahan bacaan yang sudah
disiapkan terapis dan mengajak klien merenungkan serta
mendiskusikan bacaan yang telah dibaca.
Target : 3 - 4 bacaan
Langkah Kegiatan :
a. Pembukaan
1) Penerimaan secara terbuka pada klien dan mengucapkan terima kasih telah
datang ke tempat terapi
2) Berdoa sebelum memulai terapi
3) Membangun rapport pada klien seperti menanyakan kabar dan lain
sebagainya
4) Menyampaikan tujuan terapi untuk mengurangi perasaan benci terhadap
orang tua sehingga dapat berdamai antara fikiran dan perasaan subjek
khususnya terhadap orang tua.
5) Menyampaikan langkah-langkah terapi dan kesepakatan pertemuan
b. Kegiatan
1) Klien membaca daftar pustaka buku yang dibawa terapis
2) Terapis menjelaskan buku tersebut
3) Memulai bacaan
4) Klien merenungkan bacaan yang telah dibaca
5) Mendiskusikan dengan klien setiap satu bacaan selesai
c. Penutup
1) Terapis dan klien menyepakati waktu untuk kembali bertemu pada sesi
selanjutnya
2) Terapis mengucapkan terima kasih atas waktu dan kerjasama klien
61
3) Berdoa sebelum mengakhiri sesi terapi
Fase : SESI 2
Waktu : 2 - 3 jam
Tujuan : Memberi kesempatan pada klien untuk memunculkan
insight dengan cara membuka gagasan baru dari pemikiran
klien melalui diskusi isi bacaan
Target : 3 - 4 bacaan
Langkah kegiatan :
a. Pembukaan
1) Penerimaan secara terbuka pada klien dan mengucapkan terima kasih telah
datang ke tempat terapi
2) Berdoa sebelum memulai terapi
3) Membangun rapport pada klien seperti menanyakan kabar dan lain
sebagainya
b. Kegiatan
1) Memulai bacaan
2) Klien memberikan gagasan terhadap bacaan
3) Mendiskusikan dengan klien setiap selesai satu bacaan
4) Pemberian tugas dengan minimal 2 bacaan
c. Penutup
1) Terapis dan klien menyepakati waktu untuk kembali bertemu pada sesi
selanjutnya
2) Terapis mengucapkan terima kasih atas waktu dan kerjasama klien
3) Berdoa sebelum mengakhiri sesi terapi
Fase : SESI 3
Waktu : 2 - 3 jam
62
Tujuan : Meningkatkan insight pada klien dengan cara
memberikan gagasan baru dari pemikiran klien dari setiap
bacaan
Target : 3 - 4 bacaan
Langkah kegiatan :
a. Pembukaan
1) Penerimaan secara terbuka pada klien dan mengucapkan terima kasih telah
datang ke tempat terapi
2) Berdoa sebelum memulai terapi
3) Menanyakan kabar dan lain sebagainya
b. Kegiatan
1) Review tugas yang diberikan pada pertemuan sebelumnya
2) Mendiskusikan tugas hasil bacaan klien
3) Memulai membaca
4) Kien memberikan gagasan terhadap bacaan
5) Mendiskusikan dengan klien setiap selesai satu bacaan
6) Pemberian tugas pada klien minimal 3 bacaan
c. Penutup
1) Kesepakatan untuk pertemuan selanjutnya
2) Terapis mengucapkan terima kasih atas waktu dan kerjasama klien
3) Berdoa sebelum mengakhiri sesi terapi
Fase : SESI 4
Waktu : 2 - 3 jam
Tujuan : Meningkatkan insight pada klien dengan cara
memberikan gagasan baru dari pemikiran klien dari setiap
bacaan
Target : 4 - 5 bacaan
Langkah kegiatan :
a. Pembukaan
63
1) Penerimaan secara terbuka pada klien dan mengucapkan terima kasih telah
datang ke tempat terapi
2) Berdoa sebelum memulai terapi
3) Menanyakan kabar dan lain sebagainya
b. Kegiatan
1) Review tugas yang diberikan terapis
2) Memulai bacaan
3) Klien memberikan gagasan terhadap bacaan
4) Mendiskusikan hasil bacaan dengan terapis
5) Pemberian tugas di rumah
c. Penutup
1) Kesepakatan untuk pertemuan selanjutnya
2) Terapis mengucapkan terima kasih atas waktu dan kerjasama klien
3) Berdoa sebelum mengakhiri sesi terapi
Fase : SESI 5
Waktu : 2 - 3 jam
Tujuan : Memberikan pengetahuan baru pada klien dari bacaan dan
melatih klien untuk mengemukakan pemikiran yang adaptif
terhadap orang tuanya
Target : 4 - 5 bacaan
Langkah kegiatan :
a. Pembukaan
1) Penerimaan secara terbuka pada klien dan mengucapkan terima kasih
telah datang ke tempat terapi
2) Berdoa sebelum memulai terapi
3) Menanyakan kabar dan lain sebagainya
b. Kegiatan
1) Review tugas yang diberikan terapis
64
2) Mendiskusikan bacaan klien
3) Memberikan pengetahuan baru terhadap bacaan
4) Klien mencba mengemukakan pemikirannya terhadap orang tuanya
sekarang
5) Menanyakan perasaan klien saat ini
6) Pemberian tugas di rumah
c. Penutup
1) Kesepakatan untuk pertemuan selanjutnya
2) Terapis mengucapkan terima kasih atas waktu dan kerjasama klien
3) Berdoa sebelum mengakhiri sesi terapi
Fase : SESI 6
Waktu : 2 - 3 jam
Tujuan : Memunculkan keyakinan yang adaptif pada klien dari bacaan
yang telah dibaca dan terminasi
Target : 5 bacaan
a. Pembukaan
1) Penerimaan secara terbuka pada klien dan mengucapkan terima kasih
telah datang ke tempat terapi
2) Berdoa sebelum memulai terapi
3) Menanyakan kabar dan lain sebagainya
b. Kegiatan
1) Review tugas yang diberikan terapis
2) Mendiskusikan hasil bacaan klien
3) Klien mencoba mengemukakan keyakinan barunya yang positif terhadap
orang tuanya sekarang
4) Menanyakan perasaan klien setelah melakukan biblioterapi
5) Klien memberikan skala 1 - 10 sebelum terapi dan sesudah terapi
6) Menyimpulkan kegiatan terapi dari awal sampai akhir
65
c. Penutup
1) Terminasi
2) Terapis mengucapkan terima kasih atas waktu dan kerjasama klien
3) Berdoa sebelum mengakhiri sesi terapi
Referensi
Anggraeni, A., dan Khusumadewi, A. (2017). Penerapan biblioterapi untuk
meningkatkan pemahaman tentang labelling negatif pada siswa kelas VII-D
di SMPN 2 dlanggu-mojokerto. Jurnal BK, 7(3), 256-265.
Helina. (2013). Bibliotherapy: mengatasi masalah anak dan remaja melalui buku.
Bandung: Pustaka Cendikia Utama.
Pehrsson, D. E., dan McMillen, P. (2007). Bibliotherapy: overview and
implications for counselors. American Counseling Association, 02, 1-2.
Shechtman, Zipora. (2009). Treating child and adolescent aggression through
bibliotherapy. New York: Springer Science + Business Media.
Suprapto, M. H. (2013). I love my body: efektivitas cognitive behavioral therapy
(CBT) dan bibliotherapy dalam meningkatkan citra tubuh mahasiswi.
Jurnal Gema Aktualita, Vo. 2, No. 1, 7-12.
66
HASIL TES WAIS
Observasi saat tes
Klien ketika diawal pengetesan tampak bersemangat untuk menjawab soal yang
akan diberikan. Subjek menerima instruksi yang praktikan berikan dengan baik.
Subjek akan bertanya langsung jika kurang mengerti apa yang praktikan jelaskan.
Subjek nampak antusias saat mengerjakan sub tes performance khususnya pada
rancangan balok. Saat tes berlangsung ada sedikit gangguan berupa bisingan dari
pemotong rumput halaman bangsal dan praktikan menawarkan untuk berhenti
sejenak namun subjek menolak untuk jeda dan ingin melanjutkan tes meski ada
sedikit gangguan. Praktikan terkadang menanyakan apakah subjek lelah dalam
proses tes namun subjek mengatakan tidak karena alasan senang berfikir dan
seperti mengasah otak kembali saat menjawab beberapa sub tes.
Ringkasan hasil tes
TES WAIS
Tes Verbal Angka
Kasar
Angka
Skala
Angka
Skala
Umur
Tes Performance Angka
Kasar
Angka
Skala
Angka
Skala
Umur
1. Informasi
17 11 7. Simbol Angka 50 9
2. Pengertian 16 9 8. Melengkapi
Gambar
8 7
3. Berhitung 8 7 9. Rancangan
Balok
38 11
4. Persamaan 22 15 10. Mengatur
Gambar
26 11
5. Rentang Angka 12 11 11. Merakit
Obyek
24 7
6. Perbendaharaan
Kata
56 12
Angka Skala Verbal
65 Angka Skala Performance 45
IQ Angka Verbal
105 (Rata-rata) IQ Angka Performance 93 (Rata-rata)
Angka Skala Total:
110
IQ Total:
100 (Rata-rata)
67
Norma IQ menurut Wechsler
˃ 130 : Very Superior 80 – 89 : Rata-rata bawah
120 – 129 : Superior 66 – 79 : Borderline
111 – 119 : Rata-rata atas ˂ 65 : Retardasi mental
90 – 110 : Rata-rata
IQ Original (OIQ)
𝐼𝑄 𝑂𝑟𝑖𝑔𝑖𝑛𝑎𝑙 =informasi + persamaan + rancbalok
3 𝑋 10
1083,123103
37
3
111511
MD LOSS
a. Level I
Full Scale IQ
FIQ = Skala Verbal + Skala Performance
= 65 + 45
= 110 (tabel IQ = 100)
Berdasarkan pada hasil tes WAIS diperoleh skor IQ skala lengkap sebesar
110, yang berarti subjek memiliki IQ sebesar 100, dengan hasil tersebut subjek
termasuk dalam kategori rata-rata. Kategori rata-rata artinya individu mampu
melakukan tugas-tugas kesehariannya dengan baik dan mandiri.
b. Level II
Berdasarkan hasil tes WAIS diperoleh skor IQ skala performance sebesar 93
dimana skor tersebut klien termasuk dalam kategori rata-rata, dan skor IQ skala
3,1410042
4236
100)4117911(
)4117911()277911(
100'
'
x
x
xtHoldDon
tHoldDonHold
68
verbal adalah 105 dimana skor tersebut subjek termasuk dalam kategori rata-rata.
Perbedaan antara IQ verbal dan performance subjek adalah 12, hal ini ditunjukkan
dengan skor skala performance lebih rendah 12 angka dari skor skala verbal, yang
artinya normal.
Pada skala verbal skor yang menonjol diantara yang lainnya ialah pada
subtes persamaan dan yang paling rendah adalah pada subtes berhitung. Pada
skala performance skor yang paling menonjol adalah pada subtes rancangan balok
dan mengatur gambar sedangkan paling rendah yaitu pada subtes simbol angka.
Profil Wais
Verbal
Skala Verbal : 65
Mean : 65/6 = 10,8
SD : 10,8/4 = 2,7
½ SD : 2,7/2 = 1,35
Tes Verbal Angka Skala Profil Keterangan
1. Informasi 11 +1/2 C
2. Pengertian 9 -1/2 C
3. Berhitung 7 -1 K
4. Persamaan 15 +2 SB
5. Rentangan Angka 11 +1/2 C
6. Perbendaharaan Kata 12 +1/2 C
-½
+2
+1
-2
-1
0 +½
12,15 5,4 8,1 9,45 10,8 16,2 13,5
69
Performance
Skala Performance : 45
Mean : 45/5 = 9
SD : 9/4 = 2,25
½ SD : 2,25/2 = 1,125
Tes Performance Angka Skala Profil Keterangan
7. Simbol Angka 9 0 C
8. Melengkapi Gambar 7 -1/2 C
9. Rancangan Balok 11 +1 B
10. Mengatur Gambar 11 +1 B
11. Merakit Objek 7 -1/2 C
-½
+2
+1
-2
-1
0 +½
10,13 4,5 6,75 7,86 9 13,5 11,25
70
c. Level III
Dengan membandingkan beberapa subtes maka didapatkan beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kekuatan
Beberapa subtes yang tergolong sangat baik adalah sebagai berikut:
Pada tes verbal adalah persamaan
Pada hasil tes ini klien sangat mampu dalam mencari kesamaan
dari suatu benda yang berbeda menjadikan sebuah informasi yang
baru. Klien mempunyai konsep abstraksi yang sangat baik.
Pada tes performance adalah mengatur gambar dan rancangan
balok
Klien memiliki kemampuan analisis yang baik, klien mampu
memahami secara keseluruhan informasi yang didapatkannya serta
klien memiliki kepekaan situasi mampu memahami pengalaman
sehari-hari. Klien memiliki visual motorik yang baik.
2. Dalam Taraf Rata-rata
Beberapa subtes klien yang tergolong cukup adalah sebagai berikut:
Pada skala verbal
Informasi
Wawasan yang dimiliki klien tergolong baik, ingatan
jangka panjang dan kemampuan mengelola ingatan klien
tergolong baik. Klien menunjukkan adanya upaya
berprestasi yang cukup ditunjang pengetahuannya yang
bersifat schoolastik.
Pengertian
Pada subtes ini klien dalam kategori cukup dalam
pemahamannya dapat menganalisa informasi yang diterima
subjek.
Perbendaharan kata
71
Klien memiliki kemampuan yang cukup dalam respon
verbalnya serta kosa kata yang dimiliki klien cukup banyak
dapat disesuaikan dengan pendidikan subjek.
Rentang angka
Klien cukup mampu dalam berpikir abstrak serta
kemampuan visual spasial penalaran klien juga cukup
untuk memecahkan masalah.
Pada skala performance
Simbol angka
Visual motorik yang dimiliki klien tergolong cukup baik,
dan klien memiliki kemampuan copying yang baik. Mampu
menerima informasi yang baru kemudian menirukannya
secara cepat.
Merakit objek
Klien cukup mampu menggabungkan serta paham akan
stimulus yang diberikan serta merangkai informasi itu
menjadi pemahaman yang utuh. Klien memiliki
perencanaan masa depan yang cukup baik
Melengkapi gambar
Kepekaan klien terhadap suatu hal juga dapat dianggap
kurang melalui tes ini yang mana mengungkap keahlian
klien dalam menentukan masalah sebenarnya yang terjadi
pada diri klien. Klien memiliki kemampuan yang kurang
dalam melihat sesuatu yang salah dalam stimulus tertentu.
Klien kurang mampu menentukan pemecahan masalah
yang dihadapinya.
3. Kelemahan
Beberapa kelemahan pada subtes yang dikerjakan oleh klien sebagai
berikut:
Skala verbal adalah
72
Berhitung
Klien kurang dalam kemampuan berhitung dengan makna
bahwa klien kurang akan kontak realitasnya dan lebih
dominan dengan fantasi. Klien kurang mampu dalam
berpikir logis.
d. Level IV
Kemampuan klien hampir bisa dikatakan terbagi dalam semua kategori
cukup, sangat baik dan kurang yang terbagi dalam beberapa kategori hanya
pada satu subtes yang klien mendapatkan skor sangat tinggi. Pada subtes
verbal, klien mendapatkan skor tertinggi pada subtes persamaan klien memiliki
katergori sangat baik, hal ini mengindikasikan bahwa klien menunjukan konsep
abstraksi yang baik dan menunjukkan adanya konsep verbal yang baik. Klien
juga mempunyai kemampuan insight yang baik dengan diberikan stimulus
tertentu klien mampu menangkap makna yang ingin disampaikan dari stimulus
yang didapatkan klien. Dan klien mampu menyadari setiap kesalahan yang
telah dibuat klien dengan cara intropeksi diri yang baik. Sedangkan pada subtes
performance klien baik pada subtes rancangan balok dan mengatur gambar,
yang artinya klien bagus dalam kemampuan persepsi pada visual motor-ruang
dan memiliki kemampuan berkonsentrasi yang baik. Klien memiliki
kemampuan antisipasi dalam kejadian yang tidak diinginkan klien dan
memiliki intelegensi sosial yang tinggi.
e. Level V
Selama proses tes berlangsung, klien dapat mengerjakannya dengan cukup
tenang dan fokus ketika klien menjawab soal, dan jika klien tidak dapat
menjawab maka klien akan mengatakan “tidak tahu” atau “pas”. Meskipun
demikian klien telah mengerahkan pengetahuannya untuk menjawab soal-soal
yang diberikan. Klien juga selalu berusaha untuk menjawab pertanyaan
dengan benar dan selalu membenarkan secara cepat jika dikiranya jawaban
73
yang diberikan klien salah. Hal ini menunjukkan bahwa klien mengerjakan
soal dengan maksimal.
Klien AD ketika mengerjakan subtes berhitung menjawab pertanyaan
dengan benar namun dalam waktu yang lama sehingga tetap diskoring nol
karena waktu yang dianggap habis karena subjek menyelesaikan soal
berhitung dengan cara sendiri bukan dengan cara yang telah dipelajari di
sekolah. Pada subtes melengkapi gambar klien tampak serius mencari sesuatu
yang hilang namun selalu salah dalam mencari jawaban yang benar, dan
secara cepat klien menjawab tanpa banyak berpikir untuk mencari kesalahan.
Dapat dikatakan bahwa klien kurang mampu dalam menentukan kesalahan
dalam suatu permasalahan yang dihadapinya dan secara cepat menilai sesuatu
tanpa berpikir panjang.
74
HASIL SSCT
I. Sikap terhadap ibu (14,29,44,59)
Rating : 2 + 2 + 0 + 2 = 6/4 = 1,5
Interpretasi : Subjek menganggap ibunya adalah sosok yang jahat dan
memiliki perbedaan yang jauh dengan subjek. Subjek
mengungkapkan bahwa ibunya penghalang bagi dirinya.
II. Sikap terhadap ayah (1,16,31,46)
Rating : 0 + 1 + 2 + 2 = 5/4 = 1,25
Interpretasi : Subjek nampak tidak dekat dengan ayah dan subjek tidak
mengetahui banyak hal tentang ayahnya. Namun, subjek
mengembangkan rasa benci terhadap ayahnya dikarenakan
relasi yang buruk antara subjek dan ayah.
III. Sikap terhadap kehidupan keluarga (12,27,42,57)
Rating : 2 + 2 + 2 + 2 = 8/4 = 2
Interpretasi : Subjek memiliki gambaran yang sangat buruk mengenai
keluarga sehingga subjek mengungkapkan hal yang tidak baik
untuk keluarganya. Dan dalam hal ini perlu perhatian dan
bantuan secara psikologis.
IV. Sikap terhadap wanita (10,25,40,55)
Rating : 0 + 1 + 2 + 2 = 5/4 = 1,25
Interpretasi : Subjek memiliki gambaran bahwa wanita secara fisik adalah
cantik namun memiliki pandangan yang kurang baik dalam
sikap wanita.
V. Sikap terhadap hubungan heteroseks (11,26,41,56)
Rating : 2 + 0 + 0 + 1 = 3/4 = 0,75
Interpretasi : Subjek membutuhkan jalinan hubungan kasih sayang dengan
lawan jenis.
75
VI. Sikap terhadap teman-teman dan kenalan (8,23,38,53)
Rating : 0 + 2 + 2 + 1 = 5/4 = 1,25
Interpretasi : Subjek memiliki keinginan untuk bersosial namun relasi
sosial yang subjek miliki kurang baik dengan anggapan subjek
yang terkadang negatif.
VII. Sikap terhadap pimpinan di sekolah/pekerjaan (6,21,36,51)
Rating : 2 + 0 + 0 + 1 = 3/4 = 0,75
Interpretasi : Subjek memiliki kehidupan di sekolah yang baik.
VIII. Sikap terhadap bawahan (4,19,34,49)
Rating : 1 + 0 + 1 + 0 = 2/4 = 0,5
Interpretasi : Subjek memiliki sikap pemimpin yang baik dan akan
memperhatikan kesejahteraan karyawannya.
IX. Sikap terhadap teman sekerja (13,28,43,58)
Rating : 1 + 0 + 0 + 1 = 2/4 = 0,5
Interpretasi : Subjek memiliki relasi yang baik dengan rekan kerja sehingga
dalam dunia pekerjaan subjek dianggap mampu.
X. Ketakutan-ketakutan (7,22,37,52)
Rating : 2 + 2 + 2 + 2 = 8/4 = 2
Interpretasi : Subjek memiliki ketakutan akan hantu, gelap, dan lain
sebagainya dimana subjek tidak mampu bercerita kepada orang
lain mengenai ketakutannya, dengan ketakutan yang dialami
subjek merasa terganggu.
XI. Rasa bersalah/ berdosa (15,30,45,60)
Rating : 0 + 2 + 2 + 2 = 6/4 = 1, 5
Interpretasi : Subjek mengembangkan rasa bersalah sepenuhnya pada dirinya
atas apa yang terjadi pada subjek saat ini
76
XII. Sikap terhadap kemampuan diri sendiri (2,17,32,47)
Rating : 2 + x + 1 + 1 = 4/4 = 1
Interpretasi : Subjek tidak memiliki kemampuan pemecahan masalah yang
baik dengan bersikap menghindar dan diam ketika tertimpa
masalah.
XIII. Sikap terhadap masa lalu (9,24,39,54)
Rating : 1 + 2 + 2 + 0 = 5/4 = 1,25
Interpretasi : Subjek memiliki pengalaman yang indah saat masa kecil namun
juga memiliki bagian-bagian peristiwa trauma sehingga subjek
menggambarkan sikap terhadap masa lalu tidak dominan.
XIV. Sikap terhadap masa depan (5,20,35,50)
Rating : 2 + 1 + 2 + 1 = 6/4 = 1,5
Interpretasi : Subjek memiliki sikap pesimis terhadap masa depannya namun
tetap memiliki rencana untuk melanjutkan kehidupan subjek.
XV. Cita-cita (3,18,33,48)
Rating : 1 + 2 + 2 + 0 = 5/4 = 1,25
Interpretasi : Subjek memiliki keinginan yang abstrak untuk pencapaian masa
depannya, tidak mempunyai cita-cita yang spesifik untuk diraih.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil tes SSCT subjek membutuhkan bantuan secara psikologis
pada bagian sikap terhadap ibu, kehidupan keluarga subjek, ketakutan-ketakutan
subjek, dan sikap terhadap masa depan. Namun, pada aspek keluarga yang
menjadi prioritas untuk pemberian penanganan secara prikologis yang akan
mencakup aspek ibu dan ayah. Subjek memiliki pandangan yang sangat buruk
mengenai gambaran keluarganya.
77
HASIL TES WARTEGG
Skema Kepribadian
Adapun skema kepribadian terbagi atas empat dimensi fungsi dasar
kepribadian yakni emosi, imajinasi, intelektual, dan keinginan beraktivitas. Dan
masing-masing dimensi terdiri atas dua aspek. Adapun pembagiannya adalah
sebagai berikut:
1. Emotion : Open X Seclusive
2. Imagination : Combinate X Creative
3. Intelect : Practical X Speculative
4. Activity : Dinamic X Controled
Berdasarkan hasil tes wartegg subjek untuk skema kepribadian dimensi emosi
adalah cenderung lebih tinggi seclusive yang berarti bahwa subjek cenderung
berorientasi pada diri sendiri dibanding dengan lingkungannya. Subjek cenderung
melihat sudut pandang dari sikap pribadi dan subjek mudah menjadi sangat
sensitif dan merasa depresi. Dimensi imajinasi subjek sangat dominan pada aspek
kreatif dimana subjek menyukai hal-hal mistis, abstrak, filosofis dan emosional.
Subjek kurang dalam hubungan dengan kontak realitasnya dan memiliki
hambatan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya adalah dimensi intelektual dengan dominan pada aspek practical
dengan arti bahwa subjek memiliki pola pikir yang teratur dan bertindak atas
dasar persepsi atau observasi. Serta subjek lebih berorientasi pada fakta, hal-hal
yang konkrit dan penalaran induktif. Untuk dimensi keinginan beraktivitas subjek
seimbang antara aspek dinamis dan aktivitas yang terkontrol, yang berarti subjek
menyukai hal-hal baru dalam aktivitasnya namun juga menyukai hal-hal yang
terkontrol dengan membuat perencanaan sebelum bertindak.
78
Tingkat Adekuasi Alasan
Gambar 1 2 3 4 5
Gambar 1 √ Subjek mampu mengikuti stimulus
dan menjadikan sebagai bagian
utama dalam gambar sehingga
subjek berarti mampu dengan
mudah dalam menyesuaikan diri
Gambar 2 √ Subjek memiliki fleksibilitas yang
cukup ketika berinteraksi dengan
orang lain
Gambar 3 √ Subjek memiliki ambisi yang kuat
terhadap apa yang ingin dia capai
Gambar 4 √ Subjek kurang memiliki keahlian
dalam hal pemecahan masalah serta
pola pikir yang abstrak (sulit
dipahami oleh orang pada
umumnya)
Gambar 5 √ Ketika subjek dihadapkan oleh
hambatan, subjek kurang mampu
untuk melewati hambatan yang ada
Gambar 6 √ Subjek merespon seadanya dengan
arti subjek memiliki pola pikir yang
sulit dipahami.
Gambar 7 √ Subjek merespon stimulus seadanya,
menggambar sesuatu yang abstrak.
Menandakan subjek kurang dewasa
dalam menghadapi kehidupannya
Gambar 8 √ Subjek mampu mengikuti stimulus
yang tersedia dengan arti bahwa
subjek memiliki kemampuan
bersosial yang baik.
79
HASIL TES GRAFIS
A. BAUM
Observasi
Subjek mendengarkan instruksi praktikan dengan baik sambil menganggukan
kepala tanda subjek mengerti dan paham instruksi yang diberikan. Saat
mengerjakan tes subjek menggambar batang pohon terlebih dahulu, kemudian
tanah namun tidak menggambar akar, kemudian mahkota dan menggambar
dahan disertai dengan buah yang sangat banyak . Subjek sama sekali tidak
menggunakan penghapus meski praktikan sudah menawarkan. Setelah
menyelesaikan gambar, subjek kemudian langsung memberikan hasil tesnya
dan tersenyum kepada praktikan dan mengatakan bahwa pohon yang
digambarnya adalah bentuk dari harapan subjek dan ingin mewujudkan pohon
tersebut seperti yang subjek lihat melalui video dari luar negeri.
Interpretasi Struktur dan Bentuk
Aspek Deskripsi Indikasi
Ukuran Ukuran gambar normal
2/3 dari ukuran kertas
Proporsi antara batang
dan mahkota seimbang
Normal
Penempatan Proporsi gambar lebih
cenderung ke kiri
- Menekankan unsur ego
- Kehidupan yang
berkaitan dengan
perasaan sensitive,
rasa ego yang kuat
Karakteristik Garis Tekanan garis normal Normal, artinya individu
memiliki cukup kekuatan
untuk mencapai sesuatu
Urutan Menggambar Individu menggambar
dimulai dari batang, lalu
mahkota, lalu ke akar,
dan menggambar ranting
serta buah
Normal
Shading Tidak ada shading Normal
Hapusan Tidak ada hapusan Normal
80
Interpretasi Isi
Aspek Deskripsi Indikasi
Akar Tidak digambar
Pangkal
Batang / Stembasis
Base of trunk
Pangkal batang terbuka
ujungnya
- Serba ingin tahu
- Tidak terang tujuannya
- Tidak dapat
memutuskan sesuatu
- Tidak tahu mengikat diri
- Daya cipta kurang
- Mudah marah
- Kurang stabil
- Sugestible
Batang Permukaan batang
digambar tekstur atau
contour yang berbentuk
coretan tajam
Adanya kemauan keras
tanpa mengindahkan
perasaan sesama manusia.
Pukulan yang keras, sikap
keras dan terlalu ditekan
dapat mengakibatkan
individu patah. Individu
mempunyai daya kritik
yang tajam pedas
terhadap lingkungan.
Menunjukkan sikap
bawel, ngomel, dan galak.
Mudah tersinggung,
kasar, kejam, reaksi
cepat, mudah marah, dan
pengkritik.
Bentuk batang menonjol Adanya trauma atau
kesukaran yang dirasakan
subjek
Dahan Dahan-dahan yang
dipotong
- Menunjukkan
perkembangan dalam segi
psikis
- Ada trauma, konflik,
kekecewaan, banyak
unfinish business
- Segi positifnya, subjek
memiliki aktifitas kuat
dan ada inisiatif serta
kemauan yang besar
Dahan tidak teratur Reaktif, gelisah dan
mudah kacau
Mahkota Mahkota yang tertutup
digambar dengan batang
yang proporsional
pendek dan mahkta lebih
Adanya suatu
kepercayaan pada diri
sendiri, kebutuhan akan
fulfilment, ambisi,
81
besar kebanggaan, sibuk sendiri
dan mengagumi sendiri
Mahkota berombak
seperti awan
Jiwanya hidup dan mudah
bergaul
Mahkota tertutup dan
bergelombang
- Aktifitas dan sikap
sibuk tanpa
menunjukkan suatu
struktur tertentu tidak
punya efek keluar,
lamunan yang
mengarah kemana-
kemana
- Tampak stabil,
memiliki
keseimbangan sikap
sosial akan tetapi tidak
produktif.
- Pasif dan suka
menikmati keadaan
Pohon Pohon dengan buah Individu yang selalu
ingin pretasinya dilihat
oleh orang lain.
Menunjukkan
kemampuan mengawasi
dan tidak adanya daya
tahan atau keuletan
(persistance)
Kesimpulan
Subjek adalah individu yang menekan ego yang kuat dalam dirinya, subjek
memiliki perasaan yang sensitif, mudah menyerap dan kemudian
memikirkan apa yang orang lain katakan dan juga rasa ego yang kuat
namun direpres. Subjek juga memiliki trauma yang mendalam,
mengecewakan, adanya konflik, dan banyak masa lalu subjek yang tidak
terselesaikan. Subjek tergolong kepribadian yang introvert dalam artian
perasaan yang mendalam dan mudah tertekan. Subjek memiliki sikap
bawel, ngomel, dan galak atau mudah marah. Subjek juga termasuk rang
yang mudah tersinggung, kasar, kejam, respon cepat, dan pengkritik yang
82
tajam terhadap lingkungan. Subjek memiiki keinginan yang tinggi namun
dibarengi dengan sikap pasif dan rendahnya produktifitas.
B. DRAW A PERSON (DAP)
Observasi
Saat mengerjakan tes, subjek mendengarkan intsruksi dengan baik dan
sebelum mengerjakan subjek bertanya apakah boleh menggambar dua orang
atau tidak. Subjek tidak menggunakan penghapus yang telah disediakan oleh
praktikan. Subjek menggambar dengan lancar tanpa ragu-ragu. Subjek
nampak antusias saat mengerjakan tes.
Kesan Umum (Interpretasi Kesan)
Pada tes DAP subjek menggambar sosok seperti hero dalam fantasi subjek
namun subjek berkeinginan untuk mewujudkan apa yang digambarnya.
Berumur 28 tahun dan mempunyai kekuatan super seperti super hero yang ada
dalam film-film. Berjenis kelamin laki-laki.
Interpretasi Struktur dan Bentuk
Aspek Deskripsi Indikasi
Tema Fantasi menggambar
seperti sosok hero
(pahlawan)
Identifikasi diri terlihat
dalam fantasi.
Gambar robot Depersonalisasi dan
merasa dikuasai oleh
kekuatan-kekuatan luar
(Hammer)
Aksi atau Gerakan Tentang kekuatan dan
petualangan
Adanya impuls suatu
gerakan yang
mempunyai keinginan
kuat ke arah
penyelesaian dan
kekuasaan tetapi terikat
fantasi.
Ukuran dan Penempatan Gambar besar dan
proporsional namun
lokasi gambar berada
diatas dan sebelah kiri
Individu jika
menghadapi tugas
cenderung agresif dan
mempunyai tendensi
ekspansif. Menunjukkan
adanya orientasi pada
diri sendiri, berfantasi,
83
memandang rendah
orang lain, tendensi
kurang yakin akan
dirinya, dikuasai emosi,
menekankan masa lalu,
impulsif, depresi banyak
frustasi, introvert dan
banyak dikendalikan
oleh unconsciousness.
Karakteristik Garis Tidak konsisten Kurang dapat
menyesuaikan diri
Sikap badan/ posture Sikap tubuh yang kaku Merasa adanya
himpitan, bersifat
menahan sesuatu dan
kekurangan ketegasan
diri (Hammer)
Usia 28 tahun Menunjukkan
identifikasi dengan
bayangan orang tua
Distorsi Tidak ada Normal
Shading Tidak ada shading Normal
Hapusan Tidak ada hapusan Normal
Interpretasi Isi
Aspek Deskripsi Indikasi
JENIS KELAMIN Laki-laki Normal, sesuai
dengan jenis
kelamin subjek
KEPALA Digambar dengan
proporsi yang
seimbang antara
tubuh dan kaki
Normal
BAGIAN WAJAH
(FACIAL
FEATURES)
Tidak digambar
atau seperti
bertopeng
Perasaan yang
berhati-hati, suka
rahasia, dan
kemungkinan
merasa
depersosialisasi
dan keasingan
diri. Depresif,
tidak mengakui
kenyataan,
tertekan secara
84
neurotis, dan
kurangnya
dorongan
berprestasi.
CONTACT
FEATURES
Lengan Lengan dengan
garis tebal
Perasaan
menghukum
Tangan dan jari Jari-jari tangan
digambar kurang
dari lima
Ketergantungan,
merasa tidak
berdaya, merasa
membutuhkan
pertolongan
Jari digambar
tangan yang kuat
Agresif dan
energik
(Anderson-
Machover)
Penekanan pada
siku dan
persendian atau
persambungan
tangan
Schizoid dan
schizoprenik
(Machover) dan
pre-okupasi
somatik
(Anderson-
Machover)
Kaki (legs and
foot)
Kaki digambar
besar
Adanya
kebutuhan yang
besar akan rasa
aman dan butuh
banyak dorongan.
Kaki ditonjolkan
memakai sepatu
Tendensi infaktil
Kaki ditonjolkan
memakai sepatu
Tendensi infaktil,
kurang stabilnya
emosi subjek
MISCELANEOUS
BODY FEATURES
Tubuh (the trunk) Garis tubuh yang
diberi garis-garis
tambahan
Kepribadian yang
eksplosif
(ketidakmantapan
emosional)
85
Leher Leher ditutupi
dengan krah baju
Melakukan
kontrol intektual
terhadap impuls-
impuls atau
dorongan-
dorongannya
Pundak Pundak satu sisi
tak seimbang
dengan bagian
lainnya
Tidak adanya
keseimbangan
emosi, konflik
pada peran
seksualitas
Lebar dan besar Merasa mampu
dan hal normal
pada orang
dewasa
PAKAIAN Pakaian digambar Seluruh tubuh Normal atau hal
biasa
Pakaian militer
pada gambaran
laki-laki
Keinginan untuk
status yang lebih
tinggi atau besar
dan keinginan
untuk diakui lebih
dari pada
perasaan subjek
yuang dimilikinya
sekarang
(Hammer)
Kesimpulan
Subjek memiliki ketidakstabilan emosi, mudah cemas, frustasi, dan adanya
kecenderungan depresi. Hal ini menjadikan subjek membutuhkan
pertolongan, subjek membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang
sekitar terutama orang tua, perasaan tidak berdaya dan ada kekacauan
dalam diri subjek. Subjek menganggap bahwa adanya faktor orang tua
sebagai katarsis. Subjek mempunyai pemikiran-pemikiran fantasi yang
mengindikasi ketidakmatangan dalam diri subjek.
C. HOUSE TREE PERSON (HTP)
1. Observasi
Tes DAP dilaksanakan pada Jumat 26 Juli 2019 di ruangan bekisar RSJ
Lawang. Selama proses pelaksanaan tes nampak serius menggambar dan
permuaan menggambar rumah, pohon, lalu orang. Subjek mengerjakan tes
HTP ini dalam waktu yang singkat yakni kurang dari 10 menit.
86
2. Interpretasi Berdasarkan Tanda-tanda Khusus
Detail yang mencolok :
Gambar orang yang digambar kecil, stick person, dan berjumlah satu
orang, yang menggambarkan bahwa subjek merupakan individu yang
dirinya kurang berperan dalam keluarga, merasa dirinya kurang dipercaya,
kurang diperhatikan oleh orang tua, dan kurang berharga. Adapun detail
yang ada dalam gambar adalah orang yang digambar subjek dalam bentuk
kaki diatas dan tangan dibawah seolah-olah sedang bermain jungkir balik.
Interpretasi Struktur dan Bentuk
Aspek Deskripsi Indikasi
Karakteristik Garis Cenderung tipis dan
terputus
Adanya kecemasan
dalam diri subjek,
perasaan ragu-ragu
Shading Tidak ada shading Normal
Hapusan Tidak ada hapusan Normal
Interpretasi Berdasarkan Hubungan Gambar Rumah, Pohon, dan
Orang
Aspek Deskripsi Indikasi
Penempatan Orang Orang berada didekat
dengan rumah
Terikat atau perindungan
atau lebih dekat dengan
pihak ibunya.
Ukuran Ukuran orang lebih kecil
dari pada rumah
Dirinya kurang berperan
didalam rumah, kurang
dipercaya, kurang
perhatian, merasa kurang
berharga
Interpretasi Per Komponen
Aspek Deskripsi Indikasi
RUMAH Kesan Umum
(mood, tingkat
kehangatan,
aksebilitas,
ukuran)
Cenderung lebih
kecil dibanding
pohon
Ayah lebih besar
peranannya
dibanding ibu
Dinding Dinding digambar
bagus tanpa
keursakan
Normal
87
Pintu Pintu yang
tertutup
Kurang adanya
penerimaan dari
ibu
POHON Kesan Umum
(Hubungan antara
orang dengan
lingkungan
sekitarnya)
Besar dan
dominance
Ayah
menunjukkan
sikap yang
otoriter,
menguasai, galak,
kurang memberi
kesempatan, dll.
ORANG Kesan Umum Orang digambar
kecil
Dirinya kurang
berperan dalam
keluarga, merasa
dirinya kurang
dipercaya, kurang
diperhatikan,
kurang berharga
Melakukan
sesuatu yang tidak
ada hubungannya
dengan kegiatan
keluarga
Tekanan lebih
besar pada
keadaan di luar
keluarganya
Pembanding kesan
umum gambar
orang di HTP
dengan DAP
Pada HTP orang
digambar sangat
kecil dan berupa
stick person
Kurangnya
peranan subjek
pada lingkungan
keluarga
3. Kesimpulan
Secara umum peranan kedua orang tua subjek dilingkungan keluarga
kurang, peranan keduanya antara ayah atau ibu kurang baik. Namun,
subjek memiliki kecemasan pada dirinya. Perasaan kurang perhatian,
ketidakberhargaan, kurang dapat dipercaya untuk melakukan hal tertentu,
merasa bahwa orang tua menganggap subjek tidak mampu, serta fungsi
dirinya yang kabur dalam keluarga membuat subjek mengalami kecemasan
dalam dirinya.
88
Hasil Tes TAT
a) Hasil Observasi
Subjek tampak antusias dengan tes ini dan tampak enjoy saat
menceritakan kartu-kartu yang diberikan praktikan. Dan beberapa kartu
yang diberikan memberikan komentar seperti mengatakan “medeni,
serem, gambarnya serem” pada kartu 4 dan mengatakan “agak sulit ini”
pada kartu 9GF. Untuk kartu pertama, subjek masih diingatkan akan
tugasnya menceritakan gambar, namun untuk kartu selanjutnya subjek
sudah bisa mengingat sendiri tugasnya dalam menceritakan gambar.
Dimenit ke 8 berjalannya tes, subjek mengatakan “banyak sekali mba”
pada saat ingin memberikan kartu ke 6. Klien banyak mengabaikan
beberapa bagian dalam gambar seperti kartu pertama, klien mengabaikan
biola.
b) Interpretasi Tes TAT
No
Kartu
RT Respon Tema
Deskriptif
Tema
Interpretatif
Tema
Diagnostik
1 32’’ Ini dia sebelumnya
mungkin anak
sekolah ya, terus
banyak PR terus dia
saat ini dia pusing
teralu banyak PR
mungkin terus yang
terjadi setelahnya dia
stres mungkin dan
mengurung diri tidak
mau sekolah lagi dan
itu, akhir ceritanya
dia tidak mau sekolah
lagi mengurung diri.
Perasaannya pusing
terlalu banyak PR.
Anak
sekolahan
yang sudah
pulang dari
sekolahnya
Jika anak
sekolah dan
memperoleh
tugas atau PR
maka akan
pusing
Somatisasi
Dia pusing
karena terlalu
banyak tugas
sekolah
Jika anak
pusing maka
akan stress
dan
mengurung
diri
Withdrawl
Dia
mengurung
diri dan tidak
mau sekolah
lagi
Jika anak
mengurung
diri dan tidak
mau sekolah
Need
autonomy
(Kebebasan
)
2 120’’ Ini sebelumnya
ceritanya orang yang
perkotaan yang
mungkin disibukkan
dengan aktivitas yang
terlalu sibuk seperti
aktivitas perkantoran
mungkin dia kan
seorang pelajar ini
Orang
perkotaan
yang
disibukkan
oleh
pekerjaan
kantor, dia
sehari-hari
dikantor
Jika orang
perkotaan
jenuh dengan
aktivitas
kantor maka
pindah ke desa
Need
change,
travel, and
adventure
89
mungkin dia sehari-
harinya di kantor dan
udah jenuh hiruk-
pikuk di perkotaan
kemudian dia hidup
tenang bertani,
beternak dan
menjalani hidup yang
lebih tenang dan
setalah itu ya mereka
hidup bahagia dengan
tenang dan yang
kehidupan di
pedesaan.
jenuh
Kemudian dia
pindah ke
desa bertani,
beternak
menjalani
hidup yang
tenang
Jika pindah ke
desa maka
mereka
menjadi
bertani dan
beternak
Need
pasivity
Mereka hidup
bahagia
dengan
tenang di
pedesaan
Jika mereka
sudah pindah
maka akan
menjadi hidup
bahagia
dengan tenang
Need
sentience
(epicurean)
3BM 70’’ Sebelumnya ini
mungkin dia remaja
yang masih labil gitu,
terus sekarang saat ini
dia stress teralu
banyak kan
kondisinya belum
stabilkan, belum
menemukan jati
dirinya terus stres dia
harus berbuat apa dan
dia merasa sedih
terpukul mungkin
stres dan yang terjadi
setelahnya dia
setelahnya dia ini,
mungkin ya jadi
menarik diri dari
lingkungan hidup,
lingkungan sekitar,
dan dia jadi anti
sosial.
Remaja yang
masih labil
dalam masa
pubertas,
masih dalam
pencarian jati
diri
Jika remaja
dengan masa
pubertas
masih labil
stress maka
tidak tahu
harus berbuat
apa
Press
claustrum
Remaja
tersebut stress
sedangkan
kondisi masih
belum stabil
dan tidak tau
harus berbuat
apa, dia sedih
Jika remaja
tidak tahu
berbuat apa
maka akan
merasa sedih
dan terpukul
Press
affiction
Kemudian dia
menarik diri
akhirnya dari
lingkunganny
a dan menjadi
anti sosial
Jika sedih dan
merasa
terpukul maka
akan menarik
diri dan
menjadi anti
sosial
Press
affiction
4 66’’ Mungkin dia laki-laki
ini yang terkenal
rupawan banyak
digemari wanita dan
saat ini dia mungkin
Laki-laki
yang tampan
banyak
digemari
perempuan
Jika laki-laki
tampan maka
akan digemari
banyak wanita
Need sex
90
mau diajak berbuat
tidak semestinya,
tidak senonoh, tidak
sewajarnya suami
istri, tapi dia laki-laki
ini menolak tapi yang
perempuan ini
memaksa mungkin,
dan yang terjadi
setelahnya yang
perempuan jadi benci
sama laki-laki ini tapi
laki-laki ini tidak
peduli gitu, wanita ini
pengin menggauli
pria ini, pria ini mau
menjaga martabat
dirinya. Akhirnya
wanita ini dendam
bahkan mungkin
berbuat diluar akal
sehat mungkin
membunuh si pria
kira-kira.
Perempuan
tersebut
mengajak
laki-laki itu
untuk
berhubungan
badan namun
lelakinya
menolak dan
tidak peduli
karena ingin
menjaga
kehormatanny
a
Jika
perempuan
ingin
berhubungan
dengan pria
tersebut maka
laki-laki
menolak
karena ingin
menjaga
kehormatanya
Press sex
Akhirnya
perempuan
tersebut
dendam dan
ingin
membunuh
laki-laki itu
Jika
perempuan
ditolak maka
akan dendam
dan
membunuh
Need
agression
(fisik,
sosial)
6 BM 53’’ Dia sebelumnya
mungkin ini ibu dan
anak yang mengalami
konflik mengalami
perdebatan yang
begitu sengit yang
terjadi saat ini mereka
saling berdiam diri
tidak mau berbicara
satu sama lain, terus
yang terjadi
setelahnya mereka
sadar dan pikirannya
menjadi lebih tenang
dan akhirnya kembali
akur lagi. Perasaanya
mungkin jengkel
saling ingin menang
sendiri. Ya
Ibu dan anak
yang
mengalami
konflik dan
berdebat tidak
saling ingin
menang
sendiri
Jika ibu dan
anak
mengalami
konflik maka
akan berdebat
hebat dan
tidak ada yang
mengalah
Press
agression
(Emosional
, verbal)
Need
agression
(emotional
dan verbal)
Saat itu
mereka saling
berdiam satu
sama lain
tidak mau
berbicara
Jika mereka
berdebat hebat
maka akhirnya
mereka
berdiam tidak
ada mau
berbicara
Press
rejection
Kemudian
mereka sadar
dan pikiran
mereka
menjadi
tenang dan
akhirnya
Jika mereka
berdiam maka
dengan
sendirinya
sadar dan
kembali akur
Need
nurturance
91
kembali akur
7GF 120’’ Ini menurut
pandanganku ya,
mungkin ini, tapi
masih kecil apa ya,
(kartu dicermati)
kejadian sebelumnya
anak kecil ini
mungkin masih
dibawah umur ya
bertindak tidak
sewajarnya mungkin
mengakibatkan dia
hamil dan punya anak
terus terjadi saat ini
mungkin dia sudah
melahirkan anaknya
ini terus si ibu ini
dengan bingungnya
dan harus berbuat apa
menatap cucunya ini
terus si anak ini
terlihat seperti
terpukul gitu, terus
akhirnya yang terjadi
setelahnya ya dia
menghidupi anaknya
sendiri. Perasaanya
terpukul ini di anak
yang punya bayi.
Udah
Anak
dibawah
umur yang
bertindak
tidak
sewajarnya
akhirnya
hamil
Jika anak usia
belia berbuat
tidak
sewajarnya
maka akan
hamil
Press
affiction
Anak tersebut
akhirnya
sudah
melahirkan
dan ibunya
bingung tak
tahu harus
berbuat apa
untuk
cucunya dan
perasaan si
anak terpukul
Jika anak
hamil maka
akan merasa
terpukul dan
ibu akan
bingung
menatap
cucunya
Press
agression
(emotional
dan verbal)
Akhirnya
anak tersebut
menghidupi
bayinya
sendiri
Jika anak
merasa
terpukul maka
anak
menghidupi
bayinya
seorang diri
Need
counteracti
on, Need
nurturance
8BM 126’’ Bentar ya, tapi kok
ada yang terpotong
ya, masa perang tapi
bukan perang ini, ini
mungkin apa ya,
kalau aku sempat
berpikir ini korban
perang tapi ini ada
yang terputus
tangannya, mungkin
Seseorang
yang kurang
perhatian dan
kurang kasih
sayang dari
orangtua dan
sering
mengalami
penyiksaan
dimasa kecil
Jika seseorang
yang kurang
kasih sayang
dari
orangtuanya
maka akan
mengalami
penyiksaan
Press
agression
(fisik,
sosial)
92
ini, kejadian
sebelumnya, tokoh
utamanya ini kan,
mungkin ini dia
seorang yang kurang
perhatian, kurang
kasih sayang dari
orang tua mungkin,
terus kemudian sering
mengalami
penyiksaan dalam
masa kecilnya,
sehingga dia setelah
ini dewasa ini
menjadi psikopat gitu,
pembunuh orang dan
mencincang-cincang
memutilasi dan yang
terjadi setelahnya si
pria ini ya tetap bebas
membunuh orang
sesuka hatinya tidak
sadar diri dalam
meluapkan emosi
dendam waktu
kecilnya itu disiksa
dalam kehidupannya
itu. Untuk meluapkan
rasa dendamnya
ketika masih kecil itu,
udah. Perasaannya dia
puas, ada kepuasan
dalam dirinya ketika
bisa menyiksa orang.
Ketika
dewasa
menjadi
psikopat,
membunuh
dan
memutilasi
korbannya
Jika
mengalami
penyiksaan
masa kecil
maka akan
menjadi
psikopat dan
membunuh
banyak korban
Need
agression
(fisik,
asosial)
Pria tersebut
akhirnya
bebas
membunuh
orang sesuka
hatinya
dengan
perasaan puas
meluapkan
emosinya
tidak
sadarkan diri
Jika
membunuh
orang sesuka
hati maka
akan muncul
perasaan puas
Need
punishing
9GF 133’’ Agak sulit ini, agak
sulit, hmmm (agak
lama) mungkin
kejadian sebelumnya
si cewek yang terlihat
berlari ini dia selalu
hidupnya selalu
dikekang tidak bisa
Wanita yang
berlari
hidupnya
selalu
dikekang
tidak bisa
berbuat apa-
apa
Jika wanita
dikekang
maka tidak
akan bisa
berbuat apa-
apa
Press
claustrum
93
bebas berbuat apa
yang dia inginkan
terus kejadian saat ini
wanita ini berlari dari
rumah, kabur dari
rumah, terus tapi diiat
oleh saudaranya yang
sedang apa ini,
mungkin ingin
membawakan sesuatu
untuk saudaranya
yang kabur dari
rumah itu tadi, dan
selanjutnya ini dia si
anak yang kabur dari
rumah tadi dicari-cari
dan tidak pernah
kembali ke rumah
lagi dan si adek
sebenarnya tau tapi
dia berdiam diri tidak
mau memberi tau
kepada yang lain.
Perasaanya yang lari
ini mungkin perasaan
dia sedih.
Sehingga
kabur dari
rumah dan
adiknya
melihat
kejadian
tersebut dan
bermaksud
untuk
membawakan
sesuatu untuk
kakaknya
Jika wanita
tidak bisa
berbuat apa-
apa maka akan
kabur dari
rumah dan
adiknya
mengejarnya
untuk
membawakan
sesuatu
Need
autonomy
(kebebasan
)
Need
nurturance
Akhirnya
wanita
tersebut
berhasil kabur
dan tidak
pernah pulang
lagi ke rumah
meski
orangtua
mencari-
carinya
Jika berhasil
kabur maka
tidak akan
pernah
kembali ke
rumah lagi
meski
perasaannya
sedih
Need
autonomy
(kebebasan
)
10 69’’ Mungkin kejadian
sebelumnya ini si
anak ini telah lama
hilang dan si ibu
mencari-cari dan
setelah kejadian saat
ini mereka bertemu
kembali dan saling
berpelukan saling
meluapkan emosi
setelah kehilangan,
meluapkan emosi rasa
kangennya gitu,
berpelukan gitu, dan
perasaannya sangat
terharu sedih,
bahagia, campur-aduk
gitu, dan lega gitu,
kejadian setelahnya
mereka hidup
bahagia.
Anak yang
telah lama
hilang dan ibu
mencari-cari
anaknya
Jika anak
hilang maka
ibu akan
mencari-cari
Need
autonomy
(kebebasan
), Need
nurturance
Setelah
bertemu saat
ini mereka
berpelukan
dan
meluapkan
rasa rindu
Jika anak
kembali maka
akan saling
berpelukan
meluapkan
rasa rindu
Need
nurturance
Akhirnya
mereka hidup
bahagia
Setelah
bertemu maka
akan hidup
bahagia
Need
nurturance
94
13
MF
68’’ Mungkin ini kejadian
sebelumnya, si yang
terbujur kaku
mungkin ini dia istri
si laki-laki ini,
mengidap penyakit
keras, penyakit yang
kronis tidak dapat
disembuhkan dan
kejadian saat ini si
istri tidak bisa
ditolong lagi dan
meninggal dunia, dan
si laki-laki ini
meratapi kepergian
istrinya, dan kejadian
setelahnya menjadi
pendiam dan
termenung, selalu
termenung tidak
pernah bebicara, tidak
mau berbicara dan
jadi stress gitu,
menjadi pendiam
selamanya gitu.
Istri yang
terbaring
sakit,
mengidap
penyakit
kronis tidak
dapat
disembuhkan
Jika istri sakit
maka tidak
dapat
disembuhkan
Press
affiction
Istri
meninggal
dunia dan
meratapi
kepergian
istrinya
Jika istri
meninggal
dunia maka
suami akan
sedih
Press loss
Suami
menjadi
pendiam dan
termenung,
tidak mau
bicara dan
stres.
Jika suami
sedih maka
akan stress
dan menjadi
pendiam
selamanya
Press
affiction
c) Kesimpulan
Subjek ketika punya masalah dan sedang mengalami stres atau
banyak pikiran maka akan beralih menjadi sakit fisik seperti pusing,
diare, susah tidur dan lain sebagainya. Dapat diindikasi bahwa subjek
mempunyai kebutuhan akan menerima perhatian atau memberikan
simpati kepada orang lain dalam bentuk tindakan bukan hanya ucapan
kasih sayang. Subjek mempunyai kebutuhan akan memperbaiki sesuatu
hal yang telah rusak. Selain itu, kebutuhan lain yang dominan adalah
kebutuhan akan menghukum, melukai, atau bahkan membunuh untuk
membalaskan dendam terhadap hinaan yang tidak seharusnya didapatkan
subjek.
Subjek mempunyai keinginan untuk melepaskan diri dari segala
yang dapat menghambat keinginan subjek seperti saat subjek
menceritakan bahwa dirinya ingin sekali pergi merantau karena dianggap
akan jauh dari rumah, jauh dari orang tuanya yang selama ini selalu
mengekang dan membatasi subjek. Subjek banyak mengalami
kemalangan dan penderitaan. Subjek juga berkeinginan menolak sesuatu
atau ide-ide yang bertentangan dengan minatnya. Dan subjek kehilangan
seseorang yang dicintai dalam hidupnya sehingga terakhir kali relapse
dan akhirnya rawat inap di RSJ.
95
96
97