HUKUM PEREMPUAN MEMILIH PASANGAN NIKAH DALAM PANDANGAN IMAM ABU l:l(ANIFAH
DAN IMAM SYAFI'I
Oleh
SUK.RON NIM. 0043119162
r~ -----· ~-1 I Pi:Ri')U:3TJIK'%.i"i.\~
1 HIN S\'Aflff ,J/\i(Alffl\ l-·---~~·--~-~----~~-~~-~~.J
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM
FAKULTAS SYARI' AH DAN HUKUM UIN SY ARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1426 H/2005 M
HUKUM PEREMPUAN MEMILIH PASANGAN NIKAH DALAM PANDANGAN IMAM ABU HANIFAH
DAN IMAM SYAFI'I
SKRIP SI Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Smjana Hukum Islmn
Oleh:
SUKRON NIM: 0043119162
Di Bawah Bimbingan
,¥ Prof. Dr. Hj. Chuzaimah Tahi<lo Yanggo, M.A,
NIP: 150 165 267
JURUSAN PERBANDINGAN MAZI-IAB 1-IUKUM PROGRAlVI STUD I PERBANDINGAN MAZI-IAB FIQIH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SY ARIF I-IIDA Y ATULLAI-1
JAKARTA 1426 HI 2005 M
PENGESAHAN PENILAIAN U.JIAN
Skripsi yang berjudul "Hukum Percmpuan Mcmilih Pasangan Nikah dalam
Pandangan Imam Abn Hanifah d1111 Imam Syafi'i" telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada
tanggal 23 Nopember 2005. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada jurusan Perbandingan Mazhab Hukum.
Jakarta, 23 Nopember 2005 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum
Prof. Dr. Hasanudin AF, M.A NIP. 150 050 917
Panitia Ujian Skripsi
Prof. Dr. Hasanudin AF, M.A NIP. 150 050 917
Penguji I Penkr~jiII l J\
~
Syahrul A'dham, M.Ag NIP. 150 299 473
Prof. Dr. Huzaem h Tahido Yanggo, M.A NIP. 150 165 267
KATAPENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada hadirat Allah yang sampai
pada saat ini masih berkenan memberikankesempatan kepacla kita semua khususnya
kepacla penulis m1tuk memperbaiki amal-amaJ yang telah diperbuat, penulis juga
bersyulrnr karena penulis telah dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam
semoga tetap terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW, Sahabat-sahabatnya dan
kepada semua pengikutnya smnpai akhir zan1an.
Penulis merasa balmgia karena telah dapat menyelesaikm1 studi dan
penyelesaian skripsi ini, dengan kata lain penulis tela11 selesai meraih strata satu di
Univ·~rsitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jalcarta. Tentunya kesuksesan yang
penulis raih ini tidak lepas dari dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh
karena itu pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada:
1. Bapak Rektor UIN Syarif Hidayatulla11 Jakarta yaitu bapak Prof. Dr.
Azyumardi Azra, M.A. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menempuh studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak pimpinan Fakultas Sym·i'a11 dan Hukmn llIN Sym·if Hidayatulla11
Jakarta yaitu bapak Prof. Dr. Hasanudin AF, M.A. Yang telah memberi
kesempatan pada penulis untuk menuntut ilmu di Fakultas Syari'ah dau
Hnkun1.
3. Ketua Jurusau Perbandingau Mazhab Hukum Fakultas Syari'ah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengau tulus telah memberikau arahan
dan nasihat kepada penulis selaum penulis menempuh studi
4. Dosen Pembimbing Prof. Dr. Chuzaimah Tahidoh Yanggo, M.A. yaug dengau
ketulusannya beliau memberikau bimbingan dau arahan sehingga kesulitan
dalam penyelesaian skripsi ini dapat diatasi dengau baik.
5. Ayah dan Ibtmda tercinta (I-I. Mustajab dan Hj. Zaitun), pa111an tercinta
(Drs. Mujahidin, M.A dan Drs. Hazam, M.A.), kakak tercinta (Shalihah,
Nurlailal1, Syafi'ah, Taufik, Rukoyah), yang selalu membimbing dan juga
kepada selurul1 fa111ili yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu yang
dengan semangat dan keikhlasanya telal1 memberikan dorongan dan motivasi
baik lahir maupun batin kepada penulis, sehingga penulis selalu terpacu dala111
menempuh dan menyelesaikan kuliah di Uil\f Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Tentw1ya penulis tidak akan lupa mengucapkan terima kasih kepada Sinot
yang selalu membantu dan menemani penulis dalam penyelesaian skripsi ini,
hnmanawan-immanawati IMMAN Cab. Jakarta, Sugawan-sugawati KMSGD,
Ang-yayu I-IIMA-CITA, Didin, Didi, Dewi, Indah, Rukoyah, Echo Cassual,
Achew, Achu Vj. Daniel, Bob dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan
disini satu persatu, yang telah membantu penulis memberikan dorongan dan
dukungan yaug telal1 tulns pada penulis.
Untuk semuanya penulis hanya bisa berdo'a semoga semua jasa dan
kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima oleh Allah SWT dan
dapat balasan yang berlipat ganda Amin.
Oktober-9-2005 M Ramadan-5-1426 H
Pcm.dis
DAFTARISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................ i
DAFTARISI ............................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... I
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 6
D. Metode dan Teknik Penulisan ............................................................. 7
E. Sistematika Penulisan .......................................................................... 8
BAB II DASAR-DASAR UMUM PERNIKAHAN DALAM PERSPEKTIF
HU KUM ISLAM ........................................................................................ I 0
A. Pengertian Pemikahan ......................................................................... 10
B. Dasar Hukum Pemikahan ................................................................... 13
C. Syarat dan Rukun Pernikahan ............................................................. 17
D. Tujuan dan Hikmah Pernikahan .......................................................... 23
BAB III P AND AN GAN IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM SYAFI'I
TERHADAP PEREMPUAN MEMILIH PASANGAN NIKAH ........... 29
A. Menurut Pandanga:n Imam Abu Hanifah ............................................ 29
I. Biografi Imam Abu Hanifah ....................................................... 29
2. Metode Ijtihad Imam Abu Hanifah ............................................. 33
3. Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Perempuan
Memilih Pasangan Nikah ............................................................ 36
B. Menurut Pandangan Iman1 Syafi'i ...................................................... 46
I. Biografi Imam Syafi'i ................................................................... 46
2. Metode Ijtihad Imam Syafi'i ......................................................... 51
3. Pendapat Imam Syafi'i Tentang Perempuan
Memilih Pasangan Nikah .............................................................. 53
BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN PENDAPAT IMAM ABU
HANIFAH DAN IMAM SYAFI'I TENTANG PEREMPUAN
MEMILIH P ASANGAN NIKAH ............................................................ 58
A. Persamaan Pendapat antara Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i
Tentang Perempuan Memilih Pasangan Nikah ................................... 58
B. Perbedaan Pendapat antara Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i
Tentang Perempuan Memilih Pasangan Nikah ................................... 59
C. Analisis Mengenai Persamaan dan Perbedaan Pendapat Imam
Abu Hanifah dan Imam Syafi'i Tentang Perempuan Memilih
Pasangan Nikah ................................................................................... 60
BAB V PENUTUP .................................................................................................. 70
A. Kesimpulan ......................................................................................... 70
B. Saran-Saran ......................................................................................... 71
DAFTARPUSTAKA .................................................................................................. 72
A. Latar Belakang Masalah
BABI
PENDAHULUAN
Dalam pandangan Islam pemikahan itu bukanlah hanya urnsan perdata
semata, bukan pula sekedar nrnsan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah
dan peristiwa agama, oleh karena pemikahan itu dilalrnkan untuk memenuhi
sunah Allah dan sunah Nabi dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan
petunjuk Nabi. 1
Pernikahm1 dalmn Islmn merupakan akad (ikatm1) yang diberkahi lliltara
seorm1g laki-laki dm1 seorllilg perempum1 ym1g menyebabkan keduanya halal
bergaul dan mulai menempuh safari kehidupm1 pm1jm1g yang diwarnai saling
mencintai, saling toleransi, tolong menolong dan saling berkasih sayang. Masing
masing menemukan sakinah, ketentrmnm1, kesejuka11, kemnllilan dan nikmatnya
hidup. Ik:atan syar'i yang Juhur m1tm·a Jaki-laki dan perempuan yang di dalmnnya
tersebm· embun mawaddah ( cinta k:asih), kelembutan, kesejukm1, ketentramm1,
kepercayalli1, saling pengertia11, welas ralunat, dan berhamburan darinya semerbak
kasih sayang serta kebahagiaan. Semua kenikmatlli1 ini dilukisklli1 denglli1 indah
oleh al-Qur'an, yaitu:
1 Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih (Jakarta: Prenada Media, 2003) h. 81
2
;;J ,;; ... .P,, > ,, ... J t _,. J ,, J,, ,.. 0,,.
~ 01 .:.;..:,3 ;:;; ~ ~:, Ql 1:,.;_,<:..;i i;.1:,j1 ~\ ::r. r-s::i Jf,:. 0l .;IJ ::r.:, ~ ,. ,,. ,, ,,. ,, ,. ,,.... ,,
,, ;)>,. ,,..,, ... ,,
0)'µ rJ..il ~0 2.U;~ "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untulanu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderw1g dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian it11 benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir". (QS. Ar-Rum/30: 21)2
Agama Islam mengisyaratkan "nikah" sebagai satu-satunya bentuk hidup
secara berpasangan yang dibenarkan, yang kemudian dianjurkan untuk
dikembangkan dalam pembentuk keluarga.3 Melalui lembaga "nikah", kebutuhan
naluriah yang pokok dari manusia (yang menghamskan dan mendorong adanya
hub1111gan antara pria dan perempuau) tersalurkau secara terhormat sekaligus
memenuhi panggilau watak kemasyaralcatau dari kehidupau mauusia itu sendiri
dan pauggilau moral yang ditegakan oleh agama. Sementara itu, kesejahteraau
keluarga pun alrnn terWl\iud secara simultan, jika dapat dihayati dengan baik
makna dau nilai yang ada dibalik "nikah" itu. 4
Dalam al-Qur'au diisyaratkau bahwa hidup berpasang-pasangan hidup
berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk Allah, tennasuk manusia
sebagaimana firman-Nya dalam surat az-Zariyat ayat 49:
,,. "' ... J ,,, ... 0... 'I>' J
0)~<: Ji~ ~)j (;1;,. •:?- JS' ::r.:, , , ,
"Dari segala sesuatu kami ciptakau berpasang··pasangan supaya kamu mengingat akan kebesarau Allah SWT". (QS. Az-Zariyat'5 l :49).
2 Dr. Moh. Ali Hasyimi, Kepribadian Wanita Mus/imah Menurut al-Qur'an dan al-Hadis (Jakarta : Akademika Pressindo, 1997) h. 125
3 K.H. Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial (Bandung: Mizan 1995) h. 256
"Ibid h. 257
13
3
Dalam surat Yasin ayat 36 dinyatakan :
,. ,. ,. J ,,. ,. 0 ,. .~J ,. 0 ,. "' ,,
0~ 'J ~:,~I~:, ~~'11 :- ;:; ~ L+lS' (1)j'11 ~ ~~1 0~ "Maha snci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semnanya,
baik apa yang ditnmbnhkan dari bnmi dan dari diri mereka manpnn apa yang tidak mereka ketahni''. (QS. Yasin/36:36).
Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah swt berpasang-pasangan inilah
Allah swt menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari
generasi kegenerasi berikntnya sebagaimana tercantum dalam surat an-Nisa
ayat I:
~ "' ,, ,. o,, J ,.,,. "' J" >,,. ,, r 'JG.-) ~ ~:, ~)j ~ ~) 0:1>-1) ~::,. ~ :,,..u1 ~~ 1:,..;1 ~L'.11 ~ ~
,, ,.. ,, " ,, " ,. ,. ,,..,,,,""' /Q ,.µ "'" J,, ,,
~~ ~ 0ts' ..i.11 0~ rb-~ '11:, :'; 0:,i.c.s ~~\ ..'.ill 1_,11:, .I..'...;_:, 1:;.: "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tnhanmu yang telah
menciptakan kamn dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan dari kednanya Allah mengembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak". (QS. An-Nisal4:1).
Hal inipun disebutkan dalam snrat an-Nahl ayat 72:
,. J 0 ' ,, 0 ,,,.
0)'.,£; ~;,, ~1 ::::) 0~j; ~Wl;'I "Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kanrn sendiri dan
menjadikan bagimn dari isteri-isteri kamu itu anak dan cucu-cucu ... ". (QS. AnNahl/16:72).
Islam mengatur manusia dalam hidup be1jodoh-jodohan itu melalui
jenjang perkawinan yang ketentnanya dirumuskan dalam wujnd atnran-aturan
yang disebnt hukum perkawinan dalam. 5
5 Drs. H. Abd. Rahman Ghazaly, M.A., Fiqih Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003) h.
4
Untuk kebaikan dalam kehidupan berumah tangga, kesejahteraan dan
kesenanganya, seyogyanya perempuan memilih dan mempertimbangkan laki-laki
yang akan menjadi suaminya, sehingga ia dapat menentukan apakah laki-laki itu
cocok atau tidak menjadi suaminya.
Ada beberapa motivasi yang mendorong seorang laki-laki memilih
seorang perempuan untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan dan demikian
pula dorongan seorang perempuan untuk memilih laki-laki menjadi pasangan
hidupnya. Yang pokok diantaranya adalah: karena kecantikan seorang wanita atau
kegagahan seorang laki-laki karena kekayaanya; karena kebangsawanannya dan
karena keberagamaannya. Diantara alasan yang banyak itu, maka yang paling
utama dijadikan motivasi adalah karena keberagamaannya. 6
Yang dimaksud dengan keberagamaan di sini adalah komitmen
keagamaannya atau kesungguhannya dalam menjalankan ajaran agamanya. Ini
clijadikan pilihan utama karena itulah yang langgeng. kekayaan suatu ketika dapat
lenyap dan kecantikan suatu ketika dapat puclar demikian pula kedudukan, suatu
ketika akan hilang. 7
Seperti cl al am hadis N abi:
A::K4 °G:,f 0~1 ~1:1;_:,.:J,~ 4j~3 ~c~:, ~~:, ~~~-:i~_:u1 ~ "Dari Abi Hurairah r.a. dari Nabi saw, beliau bersabda: "seorang
perempuan (boleh) dinikahi karena empat ha!: karena hartanya, karena
6 Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih (Jakarta : Prenada Media 2003 ) h. 81 7 Ibid. h. 82
"Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dmvud, (Beirut: Dar lbn Khazm) I 997, h. 372
5
keturunannya, karena kecantikannya dan karena agarnanya. Maka hendaklah kamu dapatkan perempuan yang memiliki agama, (karena jika tidak), binasalal1 kedua tanganmu". (HR. Abu Dawud).
Dalam hal ini -perempuan memilih pasangan nikah- terjadi perbedaan
pendapat antara Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi' i. Perbedaan pendapat
dalan1 masalah tersebut disebabkan berlainan pandangan terhadap keadaan wadah
hukum (perempuan) umpamanya: Gadis, janda, dewasa, dan tidak dewasa.
Empat macam masalah tersebut tidak lepas dari hukum khiyar bagi
wanita. Ketentuan hukum bagi tiap-tiap masalah tersebut juga tidak terlepas dari
perbedaan pendapat antara Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i keadaan-
keadaan tersebut pun perlu diperhatikan karena ia membawa perbedaan
pandangan terhadap perubahan hukum.
Bertitik tolak dari permasalahan di atas, meman.g menarik untuk dikaji,
Karena terjadi perbedaan pendapat antara Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i
dalam masalah hukum khiyar bagi perempuan atau perempuan memilih pasangan
nika11. Untuk itu, inilah yang melatar belakangi penulis untuk mengkaji pendapat
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i tentang perempuan memilih pasangan
nikah.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Bila ditinjau dari segi topik atau judul skripsi ini, maka kajian Skripsi ini
merupakan kajian disiplin ilmu fiqh yang membahas tentang hukum munakahat.
Objek pembahasan fiqh munakahat sangat luas, seperti. nikah, talak, nrju' dan
yang lainya yang berhubungan dengan munalcalmt. Untuk itu kajian ini perlu
6
dibatasi. Penulis dalam hal ini hanya akan menjelaskan tentang perempuan
memilih pasangan nikah dalam pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i.
Perempuan, dalan1 khiyar atau memilih pasangan nikah terjadi perbedaan
pandangan atau pendapat antara Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i.
Perbedaan pendapat dalam masalal1 tersebut disebabkan berlainan pandangan
terhadap keadaan wadah hukum (perempuan) di antaranya: gadis, janda, dewasa
dan tidak dewasa.
Bertitik tolak dari pemmsalahan di atas, masalah pokok yang ingin
dijawab oleh kesimpulan akhir skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
I. Bagaimana pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i tentang masalah
perempuan memilih pasangan nikal1 yang mencakup kriteria empat masalah
tersebut diatas.
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan pandangan Imam Abu I-Ianifal1 dan Imam
Syafi'i tentang masalah perempuan memilih pasangan nikal1.
C. Tujuan Pcnclitian
Tujuan penelitian ini dibedakan menjadi dua macam :
I. Tujuan umnm
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pendapat lman1 Abu
Hanifah dan Imam Syafi'i tentang masalah perempuan memilih pasangan
nikah.
7
2. Tujuan khusus
a. Sebagai salah satu persyaratan dalan1 menyelesaikan program strata satu.
b. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjanah Hukum Islam
pada fakultas syari' ah dan hukum.
c. Untuk mengetahui bagaimana pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi'i tentang perempuan memilih pasangan nikah.
D. Metode dan Telrnik Pennlisan
Pembahasan dalam tulisan ini didasarkan pada penelitian kepustakaan
(library research), penelitian yang berdasarkan pada sumber-sumber tertulis.
Sedangkan metodologi yang digunakan dalam penulisan ini sendiri adalah
metode analitis laitis, Tegasnya, penelitian diawali dengan mencari dan
mengumpulkan bahan-bahan bacaan (literatur) yang berhubungan dengan
penyusunan Skripsi, lalu dilakukan pemahaman dan analisis secara kritis dan
mendalan1 untuk kemudian mengambil kesimpulan dan. menuangkannya dalam
Skripsi ini.
Sedangkan teknik penulisan SkTipsi ini adalah meng,gunakan buku Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang ditulis oleh tim Penyusun dari
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2002.
9
rinci dijelaskan mengenai persamaan dan perbedaan antara Imam Abu Hanifah
dan Imam Syafi' i tentang perempuan memilih pasangan nikah, dan analisis
mengenai persamaan dan perbedaan antara pendapat Imam Abu Hanifa11 dan
Imam Syafi'i tentang perempuan memilih pasangan nikah.
Bab V Penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran. Kemudian
diakhiri dengan daftar pustaka.
8
E. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan Skripsi ini, dibagi menjadi lima bab dan
masing-masing bab memiliki sub pokok-pokok bahasan:
Bab I Pendahuluan, terdiri dari lima sub judul. Dalam bab ini antara lain
dibicarakan tentang Jatar belakang masalah kenapa penulis mengambil penelitian
dengan topik diatas. Selain itu, dibicarakan pula tentang pembatasan dan
perumusan masalah, tttjuan penelitian, metode dan tek:nik penulisan yang
dipergunak:an dalam penulisan skripsi ini dan yang terakhir tentang sistematika
penulisan.
Bab II Dasar-Dasar Umum Pemik:ahan Dalan1 Perspektif Hukum Islam.
Dalam bab ini secara rinci dibicarakan tentang pengmtian pemikahan, dasar
hukum pemikahan, rukun dan syarat sahnya pemikahan, hikmah dan tujuan
pemikahan.
Bab III Pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i terhadap
perempuan memilih pasangan nikah. Dalam bab ini secara rinci dijelaskan tentang
pandangan Imam Abu Hanifah yang meliputi biografi Imam Abu Hanifah,
metode ijtihad Imam Abu Hanifah dan Pendapat Imam Abu Hanifah tentang
perempuan memilih pasangan nik:ah. Selaajutnya menurnt pandangan Imam
Syafi'i yang meliputi biografi Imam Syafi'i, metode ijtihad Imam Syafi'i dan
pendapat Imam Syafi'i tentang perempuan memilih pasar1gan nikah.
Bab IV Persamaan dan perbedaan pendapat Imam Abu Hanifah dan
Imam Syafi'i tentang perempuan mamilih pasangan nikah dalam bab ini secara
BABU
DASAR-DASAR UMUM PERNIKAHAN DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengertian Pernikahan
Mahmud Yunus dalam kamusnya mengatakan bahwa nikah itu dari kata
"nakaha" (~) "yankihu" (~ ) "nakhan" ( ~ ) " "nikahan" (G-\5:; ) yang
. . . I artmya mengaw1111.
Imam al-Kahlani dalan1 kitabnya Subul al-Salam mengatakan bahwa
pernikahan berasal dari kata nikah Cc \5:;) yang menurut bahasa artinya
berkumpul, saling memasukan dan digunakan untuk mii bersetubuh (wathi).
2:1,)i ~ J:.::'{) ,'.YI~\)~\ : ;_;.j CiS:J\ "Nikah menurut bahasa adalah berkumpul, saling memasukan dan dipakai
dalam pengertian bersetubuh".
Pemikahan menurut Islam merupakan akad (ikatan) yang diberkahi antara
seorang lald-laki dm1 perempuan yang menyebabkan keduanya halal bergaul dan
mulai menempuh safari kehidupan panjang yang diwarnai saling mencintai, saling
1• Mahmud Yunus, Kamus arab Indonesia, (Jakarta: Yayasa11 Penyelenggara Penterjemah
Tafsir al-Qw"'an, 1973), cet. ke- 1 h. 467. 2
• Muhamad bin Ismail al-Kahlani, Subulus al-Salam, (Beirut: Dar al-Fikr t.th), juz IIJ, h. 109
1(\
11
toleransi, tolong-menolong dan saling berkasih sayang. Masing-masing
menemukan sakinah, ketentraman, kesejukan, keamanan dan nikmatnya hidup.3
Selanjutnya Imam empat mazhab memberikan pengertian tentang
pernikahan sebagai berikut:
1. Imam Abu Hanifah
41::>0 ~ ~"'oJ)ol ..-,jj Jo.)>':..- -'{ } ,/::t1I ~ '.""-" ~ ~ ..WO. ""''!_ c l.A.;J
"Nikah adalah suatu aqad dengan tujuan memiliki kesenangan secara sengaja".
2. Imam Malik bin Anas
5 _,., ,- ,,_ J ,ii D / ,, "'
_,, '" ' "'· ·'L 1::-0 .. 1 1::._1 :'.u.;;. ~L' is:JI
~17'-'.r.'«->';~ __ er-: ;C _ "Nikah adalah suatu aqad untuk menghalalkan kesenangan Gima') dengan
perempuan yang bukan muhrim dengan sighat nikah".
3. Imam Syafi'i
"Nikah adalah suatu aqad yang mengandung pemilikan "wath'i" dengan menggunakan kata menikahkan atau mengawinkan atau kata lain yang menjadi sinonimnya".
4. Imam Ahmad ibn Hanbal
3. Dr. Moh. Ali Hasyimi, Kepribadian Wanita Muslimah Menurut al-Qur'an dan al-Hadis, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1997) h. 125
4 Abdul Rahman al-Jaziri, a/-Fiqh 'ala Mazhabil Arba 'ah, (Mishr: Maktabah al-Tijarah) 1979, Juz 4, h. 2
5 Ibid, h. 3 6 Ibid 7 Ibid h. 4
12
"Nikah adalah suatu aqad dengan menggunakan lafadz nikah atau kawin untuk manfaat (menikmati) kesenangan".
Dari beberapa pengertian yang di berikan oleh Imam empat mazhab diatas
dapat disimpulkan bahwa nikah adalah aqad antara laki-laki dan perempuan untuk
saling memiliki, bersenang-senang dan hubungan suami istri dalam rangka
membentuk keluarga atau rumah tangga dengan menggunakan kata-kata
menikahkan atau mengawinkan atau dengan kata lain yang semakna dengan
kedua kata tersebut.
Pemikahan dalam Islam sebagai ikatan yang sangat kuat atau Mitsqan
Ghalizan. Di samping itu pemikahan tidak dapat lepas dari unsur mentaati
perintah Alla11 dan melalcsanakanya adalah ibadah. Ikatan pemikahan sebagai
rnitsqan ghalizan dan mentaati perintah Allah bertujuan untuk membina dan
membentuk terwujudnya hubungan ikatan lahir bathin antara laki-laki dan
perempuan sebagai suami istri dalam kehidupan keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan syari' at Islam. 8 Firman Allah swt :
" ,,. " ,.. J ,, 0 ,, _,,. J. 0/ ,.. J. 2 ,,
• l1).i:. \.;~ ~ 0J;.\j ~ Jl ;,--~; ~\ :u:, ~J~\j ~:, ,, ,,. ,, "' ,..
"Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercan1pur) dengan yang Jain sebagai suami-isteri. Dan mereka
(isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu pe1janjian y;mg kuat" (QS. An-Nisa/ 4 :21).
8 Djarnan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama semarang), 1993 Cet. Ke-1, h. 5
13
B. Dasar Hukum Pernikahan
Dasar hukum pernikahan banyak disebutkan dalam al-Qur'an dan al-
Hadis, diantaranya firman Allah swt :
,,. J ... !<,,. " J "' ,,. 0 ,,. ,,. J 0 J ,,0 ~t
0 Jfa-.i, !'""' ~I : o ·:'.-' 0 ~ J! ~L;ll;'I "Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenismu sendiri dan
menjadikan bagi kamu itu anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezeki yang baik-baik maka mengapalcah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Alla11" (QS. An-Nahl / 16 :72).
Dan dari hadis Nabi saw meuyebutkan :
\-=!.. J.\ oljJ) ~ ~ ~". j.:;; rJ ~ ~ C~I "Nika11 adalal1 sunal1ku (agamamu), maka barang siapa mencintai akan
agamaku, maka hendaklah menjalankanya menurut sunahku". (Riwayat Ibn Maj ah).
Di Indonesia, umumnya masyaralcat memandang bahwa hukum asal
melakukan pernikahan ialah mubah, ha! ini banyak dipengaruhi pendapat Ulama
Syafi'iyyah. Sedang menurut Ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah hukum
melangsungkan pernikahan itu sunat. Ulama Dhahiriyah menetapkan wajib bagi
orang muslim untuk melakukan pernikahan seumur hidupnya sekali.
Terlepas dari pendapat Imam mazhab, berdasar nash-nash, baik al-Qur'an
maupun Hadis sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu untuk
melangsungkan pernikahan. Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi
9 al-Hafidz bin Hajar al-Asqolani, Bulughuf Maram, (Indonesia: Daru lkhya), 1992, h. 119
14
orang yang melaksanakan serta tujuan malaksanakanya, maka melakukan
pernikahan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.
I. Wajib
Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untnk nikah
dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak nikah
maka hukum melakukan pemikahan bagi orang tersebm: adalah wajib. 1° Karena
Islam memperingatkan bahwa dengan nikah Allah akan memberikan kepadanya
penghidupan yang berkecnkupan, menghilangkan kcsnkaran-kesukaTan dan
diberikanya kekuatan, yang mampn mengatasi kemiskinan sebagaimana firman
Allah swt:
,; "' ,, ,;} } <> } } " } ..-q '/[
~~ 0:: ill1 :, ~ :"S ol'.;> 1) ~ 0~ ~C~) ;,.s-:~ 0:: ~l'..,ll) ~ ~(\J1 1~1:, " 1;;. • " WI' ~C:::J J
"Dan kawinlah bujang-bujang kamu dan budak laki-Jaki dan perempuan yang telah patut nikah, jika mereka itu muslim maka nanti Allah berikan kecnkupan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas kanmiaNya dan Maha tahu". (QS. an-Nm /24: 32).
Hal ini pun didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap nmslim wajib
menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang. Jika penjagaan diri itu harus
dengan melakukan pernikahan, sedang menjaga diri itu wajib maka hukum
melakukan pernikahan itupun wajib sesuai dengan kaidah
'° Drs. H. Abd Rahman Ghazaly, M.A., Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media) 2003. h. 18-19
15
"Sesuatu yang waj ib tidak sempurna kecuali denganya, maka sesuatu itu hukumnya wajib juga". 11
2.Sunah
Adapun bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan
untuk melangsungkan pernikahan tetapi kalau tidak nikah tidak dikhawatirkan
akan berbuat zina maka hukum malakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah
sunah. 12 Alasan menetapkan lmkum sunah itu ialah dari anjuran al-Qur'an dalam
surat an-Nur ayat 32 :
.... "' ,, ,,) J 0 J ) ,. J ..-Q ....
~~~I;. ~y .1); 1)~ 0\ ~C\) (.-5':~ ~ ~l~I) ~ ~L,;\J1 1~\j ~ .I~ ' ( ilii' r-;-C:J )
"Dan kawinlah bujang-bujang kamu dan budak laki-laki dan perempuan yang telah patut nikah, jika mereka itu muslim maka nanti Allah berikan kecukupan kepada mereka dengan karunianya. Dan Allah Maha Luas karuniaNya dan Maha tahu". (QS.an-Nur /24 : 32).
3. Haram
Seseorang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai
kemampuan se1ia tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
dalam rumah tangga sehingga apabila melangsunf~can pernikahan akan
terlantarlah dirinya dan istrinya maka hukum malakukan pernikahan bagi orang
11 Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, (Jakarta: Sa'adiyah Putra) h. 41 12 Ibid. h.19-20
16
tersebut adalah haram. 13 Dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 195 melarang
orang melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan.
,, J " ,,. J. ; Jo J. ,,.
.... ~pl J~ ~=4G~ lyit tr; ... " ... Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam
kebinasaau ... "(QS. al-Baqara11/2:195).
Termasuk hukumnya haram juga pernikahan bila seseorang nikah dengan
maksud untuk menelantarkan orang lain, masalah perernpuan yang dinikahi itu
tidak diurus, hanya agar perempuan itu tidak dapat nikah dengan orang lain. 14
4.Mubah
Dan dimubahkan bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukan nikah, tetapi apabila tidak melalcukan nikah tidak khawatir akan
berbuat zina dan apabila melalrnkanya juga tidak akan menelantarkan istri. 15
5. Makruh
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan nikah juga
cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidalc
memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak nikah, hanya saja
orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untu1c dapat memenahi kewajiban
suami istri yang baik. 16
13 Ibid h. 20
14 Ibid h. 21 15 Ibid h. 21 16 Ibid h. 21
17
Demikianlah beberapa hukum pernikahan dimana akan berbeda hukumnya
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami.
C. Syarat dan Rukun Pernikahan
46
1. Pengertian Syarat dan Rulmn
Syarat dan rukun dalam Islam merupakan dua ha! yang tidak dapat di
pisahkan antara satu dan yang lainya, karena kebanyakan dari setiap aktifitas
Ibadah yang ada dalam agama Islam senantiasa ada yang nan1anya syarat dan
rukun, sehlngga bisa dibedakan dai-i penge1iian keduanya.
Abdurrahman Ghazali dalam bukunya Fiqh lvfunakahat menyatakan
bahwa syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah tidalmya suatu
pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk daiam rangkaian pekerjaan
itu. 17 Tetapi lebih mudahnya syarat itu adalah suatu ha! yang harus ada dan
terpenuhi sebelum melakukan suatu perbuatan (ibadah) dilaksanakan, seperti
dalam shalat, misalnya wudlu merupakan suatu perbuatan yang dilakukan
sebelum shalat atau dalam pernikahan, calon pengantin laki-laki dan perempuan
harus beragama Islam.
Sedangkan rukun ialah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu peke1jaan (ibadah), dan sesuatu itu ter:masuk dalam rangkaian
17 Drs. H. Abd. Rahman Ghazaly, M.A., Fiqh Muna/what, (Jakarta: Prenada Media) 2003. h.
18
pekerjaan itu. 18 Atau lebih mudahuya rukun itu adalah suatu hal yang harus ada
atau terpenuhi pada saat perbuatan (ibadah) dilaksanakan, seperti dalam shalat,
membaca surat al-Fatihah itu merupakan suatu perbuatan yang dilakukan pada
saat shalat berlangsung atau sepe1ii dalan1 pemikahan harus adanya calon
pengantin laki-laki dan perempuan saat aqad pemikahan berlangsung.
2. Syarat Nikah
Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar bagianya pemikahan. Jika
syarat-syarat terpenuhi maim pernikal1anya adalah sah, dan menimbulkan adanya
segala kewajiban dan hak-hak pernikahan. Syarat-syarat pemikahan diantaranya:
a. Syarat bagi mempelai laki-laki
1 ). Beragama Islam
2). Terang lald-lakinya (bukan banci)
3). Tidak dipal<sa (dengan kemauan sendiri)
4 ). Tidak beristri lebih dari empat
5). Bukan mahramnya bakal istri
6). Tidal( mempunyai istri yang haram dimadu dengan bakal istrinya
7). Mengetahui bakal istrinya tidak haram dinikahi
8). Tidak dalam haji dan urnral1
b. Syarat bagi calon mempelai perempuan
I). Beragama Islam
1& Ibid. h. 45
19
2). Terang perempuanya (tidak banci)
3). Bukan mahram bakal suami
4). Behun pernah disumpah li'an
5). Jelas orangnya
6). Telah memberi izin kepada wali menikahkanya
7). Tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah oleh bakal suaminya. 19
c. Syarat bagi wali nikah
I). Laki-lald
2). Dewasa
3). Mempunyai hak pemikalmn
4 ). Tidak terdapat halangan perwalian20
d. Syarat bagi saksi nilmh
I). Minimal dua orang laki-lald
2). Dapat mengerti mal<Sud aqad nikah
3). Hadir dalam ijab qabul
4 ). Beragan1a Islam
5). Hams dewasa
6). Hams merdeka
7). Hams adil21
19 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, (Jakarta: PT. Dian Katya) 1986. h. 32 20 Ahmad Rafiq, Hukwn !slam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 1998, h. 71 21 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (al-Bayan), h. 51
20
e. Syarat ijab qobul
1 ). Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2). Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai laki-laki
3). Antara ijab dan qobul bersambungan
4). Orang yang berkaitan dengan ijab qobul tidak dalam haji dan umrah
5). Majlis tempat berkumpul para pihak dihadiri minimal empat orang saat itu
6). Antara ijab dan qobul jelas maksudnya
Di dalan1 Islan1 suatu pernikahan hams ada y<mg mendampingi calon
mempelai perempuan yaitu seorang wali dan dua orang saksi, karena wali dan dua
orang saksi tennasuk dalan1 rukun pernikahan yang hams ada selain calon
mempelai laki-laki dan perempuan. Adapun mengenai wali dan saksi akan penulis
terangkan dibawah ini.
Perwalian dalam pernikahan adalah suatu kekuasaan atau wewenang atas
segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempuma, karena
kekurangan tertentu pada orang yang dikuasainya itu, demi kemashlahatanya. 22
Sepe1ti sabda Rasulullah saw :
,, ,, ~ ,,. ,, } ,,
Jt; ~ .&1 ~~ ~1 J ,;:; ~1 J •;°fl ~1 J 23(~Jb y.I olJJ)~J; ~; ct50_~
Artinya : Dari Abu Burdah ra, dari Abi Musa ra,, dari ayalmya ra, beliau berkata: "Rasulullah saw bersabda: tidak ada pernikahan kecuali dengan seorang wali". (HR. Abu Dawud).
22 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakmta: Lentera) 2001, Cet ke-7 h.309
23 Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, (Beimt: Dar Ibnu Kham1), 1997 h. 392-393
21
Sedangkan landasan hukum wali dari al-Qur'an aclalah:
~ ~ 1);.;,J 0f 0 )~! ~:?]1 ~ )~ 0:: ;~:,f ~!t.Sjl 1)~ u 1_;1; ~!1 Qt;
~ !Ji1i'.. "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang
orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin, inginkan kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)". (QS. anNisa /4 : 144).
Menumt pendapat Imam Syafi'i, Maliki, dan Hanbali, jika perempuan
yang baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya
ada pada wali, akan tetapi jika ia janda maka ha! itu ada pada keduanya; wali
tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa persettrjuanya. 24
Al- Quran mengisyaratkan ha! ini dengan finnan-Nya yang ditujnkan
kepada para wali :
;. s ~; 1y;,1:; 1;1 ~1:,jf ::;...,~ 0f J, )',a:; u.; #I fa. ;u1 (. !i;fi., 1;fj ... J );:Jt; . .
"Janganlah kamu (hai para wali) menghalangi mereka (wanita yang telah dicerai) untuk kawin (lagi) dengan bakal suaminya, jika terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang makmf .... (QS. Al-Baqarah /2:232).
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah yang telah baligh clan berakal
sehat boleh memilih sendiri hak mengawinkan, baik ia perawan atau janda. 25
Di Indonesia yang dipakai kebanyakan ialah fikih Imam Syafi'i, jadi
berdasarkan pendapat Iman1 Syafi'i malca yang berhak sebagai wali secara
24 Muhammad jawad Mughniyah, op cit., h. 345 25 Ibid., h. 436
22
bernrutan adalah bapak, kakek, saudara laki-laki sebapak seibu, saudara laki-laki
sebapak saja, saudara laki-laki dari bapak (paman) dan anak laki-laki dari paman.
Apabila urutan wali tersebut berhalangan, maka wali dapat dilakukan oleh
wali hakim.
Tentang saksi dalam pemikahan, menurut Imam Syafi'i harus ada dua
orang saksi yang beragama Islam, sudah dewasa (baligh), berakal, dapat melihat
dan mendengar, adil dan mengerti tujuan pemikahan. Menurut Imam Syafi'i adil
adalah orang yang tidak berdosa besar dan kecil yang keji (suka mencuri, suka
perilaku tidak sopan dan sebagainya). Pendapat ulama lainya, yang dimaksud
dengan adil adalah orang yang takwa dan berpegang teguh kepada adab syara'
artinya yang taat ibadahnya dan menjauhi maksiat.26
3. Rukun Nikah
Rukun nikah merupakan suatu hal yang harus dipenuhi pada saat
melangsungkan pemikahan, diantaranya ialah:
a. Adanya calon suan1i
b. Adanya calon istri
c. Adanya wali nikah
d. Adanya dua orang saksi
e. !jab dan qabul atau akad nikah27
h. 18
26 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Bandar Maju) 1990. h. 88 27 Departeman Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam) 1992.
23
Lima rukun inilah yang selama ini dijadikan landasan hukum bagi orang
orang Islam di Indonesia yang ingin melaksanakan pemikahan secara resmi
(tercatat) di kantor Urusan Agan1a (KUA).
D. Tujuan dan Hikmah Pernikahan
l. Tujuan Pernikahan
Tujuan pemikahan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk
agama dalam rangka mendirikan keuarga yang harmonis, sejahtera dan balmgia.
Harmonis dalam rangka menggm1al(an hak dan kewajihan anggota keluarga;
seja11tera artinya terciptanya ketenangan lahir dan bathin disebabkan terpenuhinya
keperluan hidup lahir dan bathlnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih
sayang antar anggota keluarga. Sedangkan tujuan pernikahan pada mnumnya
adalah untulc memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan lahir bathin menuju
kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat.
Manusia diciptalcan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu
mendapat pemenuhan. Dalan1 pada itu manusia diciptakan oleh Allah SWT U11tuk
mengabdikan dirinya kepada Khalik penciptanya dengan segala aktifitas
hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi manusia yang antara lain keperluan
biologisnya termasulc aktifitas hidup agar manusia menuruti tujuru1 kejadianya,
Allah SWT mengatur hidup mrumsia dengru1 aturan pernikahru1.
Jadi aturan pernikahan menurut Islam merupakan tuntutan agama yang
perlu mendapat perhatian, sehingga tujuru1 melangsungkru1 pernika11an pun
hendaknya ditujukan untulc memenuhi petUl1juk agruna. Sehingga kalau diringkas
24
ada dua tujuan orang melangsungkan pemikahan ialah rnemenuhi nalurinya dan
.1.. • k 28 mememu11 petunJU agama.
Mengenai naluri manusia seperti tersebut pada ayat 14 surat Ali Imran:
J'.d..li:, :\~k, ~'..u1 0-: ~~6::i:\1 ~8k, ~lj :Lll ~· ~lj6''11 ~ ~~ :Jj .~-W1 :-.;.;- ~~;Iii:, t;:U1 ~i;;J1 LG 2,1~~ ~:;Ji:, r~U1:, :~~J1
"Di jadikan indah pada (pandangan) manusia kccintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lab tempat kembali yang baik (surga)".(QS. Ali Imran: 3/14)
Dari ayat ini jelas bahwa manusia mempunyai kecendrungan terhadap
cinta perempuan, cinta anak keturunan dan cinta harta kekayaan. Dalam pada itu
manusia mempunyai fitrah mengenal kepada Tuhan sebagaimana tersebut pada
surat ar-Rum ayat 30:
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".
28 Drs. H. Abd> Rahman Ghazaly, M.A. Fiqh Munakahal ( }akai1a:Prenada Media) 2003 h. 22-23
25
Adapun tujuan pemikahan secara rinci dapat dikemukakan sebagai
berikut:
a. Mendapatkan dan Melangsnngkan Ketnrunan29
Keturunan merupakan sambungan dan penyambung cita-cita, yang apabila
terjadi suatu pemikahan maka akan terbentuklah sebua11 keluarga yang di dalam
keluarga akan dilahirkan ketmunan-keturunan yang akan menjadi generasi
penerus para orang tua sehingga generasi tersebut akan melahirkan generasi lagi
ym1g akan membentuk suatu umat, yaitu umat Nabi Muhammad saw.
Firman Allah dalam surat al-Furqan ayat 74:
"Dm1 orm1g-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami., mmgerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kmni imam bagi orang-orang yang bertakwa".
b. Memennhi Hajat Manusia
Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan menumpahkan
kasih sayang dan sudah menjadi kodrat manusia dan iradat dari Allah menjadikan
makhluknya hidup berjodoh-jodoh.
Firman Allah dalam surat yaasin ayat 36:
. 0J:i~; u ~3 ~· ~, i;f 0-:3 :;,~U1 '- t ~ tJi~ c_133Ui JS;,.<.?~' 0~ "Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasm1gan-pasm1gan semuanya,
baik dari apa ym1g ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dm·i apa yang tidak mereka ketahui".
29 al-Hafidz bin Hajar al-Asqolani, op cit, h. 619
26
c. Memennhi Panggilan Agama
Memenuhi panggilan agama untuk memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan. Pernikahan itu sendiri adalah untuk memenuhi panggilan agama.
t_ lb.::.'.::; ~1:>, \\;' ::4 ~ Ji1 J_,.,,) Jli = Ji1 ,? ) , )""-'-' .:r-1 Ji1 J.,>- c.r-" ,, ,, ,, ,, ,, ,, ..-o ,, 0 .J ,, ,,. ,, ,, ,, o,- ,,,, 0 )
b,. ::.J ;Ji.; 0 '-11., ,.:W :1,,;'. '.'.I 0
.,, ',11 ~' 0 \' '_'ti'· ·1 ;Gi.;' ".:'1~; l'.JI 'C.
< . ~ , r r-'-' ~ , - c;---' r if) !,'.:.~ ~) ~ups. , (.Jr--" < . !'"""''"'"'." r. ( ~~)
Dari Abdullah lbn Mas'ud ra berkata: Rasulullah saw berkata: "Wahai generasi muda, barang siapa diantara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukan pandangan dan memelihara kemaluan dan barang siapa yang tidak mampu hendaknya berpuasa sebab ia dapat rnengendalikanya".(Muttafaq alaih).
d. Menumbnhkan Kesungguhan untuk Bertanggnng Jawab
Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima
kewajiban juga bersungguh-sungguh untuk mernperoleh harta kekayaan yang
halal sehingga bersemangat untuk mencari rizki sebagai bekal hidup untuk diri
dan kekel uargaan.
e. Membersihkan Keturunan31
Yang dimaksudkan membersihkan keturunan adalah agar umat ini ada
yang men gurus dan bertanggung tanggung jawab, karena anak tersebut jelas asal-
usulnya baik itu status anak, oleh karenanya Islam mengharamkan zina dan tidak
mensyari'atkan poliandri, serta menutup segala pintu yang mungkin melahirkan
30 Ibn Hajar al-Asqalani, Bu!ughu! !vfaram, (Indonesia: Daru Ikhya) h. 200
31 Djaman Nur, op cit, h. 28
27
anak diluar pernikahan yang tidak jelas asal-usulnya sehingga anak yang
dilahirkan akan terhorrnat derajatnya.
2. Hikmah Pernikahan
Sungguh arnat jelas bahwa di balik sesuatu pasti ada hikrnahnya. Dalarn
pernikahan misalnya hikrnah yang paling mudah adalah pernikalmn yang terjadi
pada pada makhluk hidup, baik turnbuhan , binatang, rnaupun manusia adalah
untuk keberlangsungan hidup dan perkernbangbilalcan rnakhluk yang
bersangkutan, karena jika pernikahan tidak te1jadi pada rnalchluk hidup maka
dapat dipastikan bahwa keberlangsungan dan perkernbangan kehidupan di dunia
ini tidak akan berlangsung lama dan hilang begitu saja tanpa rneninggalkan bekas
ataupun generasi yang rnelaitjutkanya. Oleh karenai1ya Alla11 menjadikan Adan1
menjadi khalifah dirnuka bw11i ini, sehingga anak-analmya dapat berkembang
biak meramaikai1 dan memakmurkan bmni yang luas ini, al-Qm'an
rnengisyaratkan dalai11 firman Allah swt:
" "' ,.. " J ",,. "' } J «'
\JG,.J ~ ~) ~)j ~ ~J ;~1j ~ ::i.. ~ ~;JJI ;s::) lyZI ~GI ~\,l ,,. ,, ,, " ,.. " ,,. ,..
J ,, ,.. ,.. "' "' ,,.,, ,.. },.. "' "' J,.. " ,..
~) r¥ 0\5' '-UI 0~ ~G..~Ulj ~ 0)oLl <,>~I '-UI l_,.i'lj ·~)I~
"Hai sekaliai1 rnanusia, bertakwala11 kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kainu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah rnemperkembang bial<lrnn laki-lald dan perempuan yang banyak. Dan berta1cwala11 kepada Allah yang dengan (mempergunakan) naina-Nya karnu saling meminta satu saina lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Alla11 selalu menjaga dan mengawasi kamu'.
28
Hikmah lain yang dapat diambil dari sebuah pernikahan adalah bahwa
pernikahan mempakan jalan terbaik untulc membuat anak-anak menjadi mulia,
memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab
yang oleh Islam sangat diperhatikan.
Dengan adanya pernikahan naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh
saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan tumbuh perasaan
nyaman, cinta dan sayang merupakan sifat baik yang menyempurnakan
kemanusiaan seseorang, menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung
jawab anak-anak dalam mencari nafkah demi keluarga yang tengah dipimpinya.
Semangat bekerja akan tumbuh karena dorongan tanggimg jawab dan memikul
k ""b 32 ewaJ! anya.
32 Ibid, h. I 0
BAB III
PANDANGAN IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM SYAFI'I TERHADAP
PEREMPUAN MEMILIH PASANGAN NIK.AH
A. Menurut Pandangan Imam Abu Hanifan
1. Biografi Imam Abu Hanifan
Imam Abu Hanifah nama aslinya adalah Nu'man bin Tsabit bin Zautha, ia
dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 Hijriyah (699 Masehi). Ayahnya
ketunman bangsa Persi (Kabul, Afghanistan), tetapi pada waktn beliau dilahirkan
ayahnya sudah pindah ke Kufah. Dengan demikian Imam .Abu Hanifah bukan
ketnnman Arab asli tetapi keturunan bangsa 'Ajami (selain bangsa Arab). 1
Pada masa kecil beliau menghafal al-Qur'an, sep1~rti dilakukan anak-anak
pada masa itu. Kemudian berguru pada Imam 'Ashim seorang Imam Qira'at
Sab 'ah. Keluarganya adalah keluarga pedagang, oleh karena itu tidak
mengherankan kalau kemudian beliau menjadi pedagang. 2
Imam Abu Hanifah berguru kepada Imam Amir bin Syarbil asy-Sya'bi
yang wafat pada tahun 104 H. beliau sangat memperhatikan Imam Abu Hanifah
karena kecerdasan otaknya. Banyak nasehat-nasehat yang di berikan oleh beliau
kepada Imam Abu Hanifah, diantaranya adalah agar Imam Abu Hanifah rajin
1 Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, (Jakrta: Bulan Bintang), h. 19
2 Ibid
30
belajar ilmu pengetabuan dan mengambil tempat belajar yang tertentu di majlis-
majlis Ulama, para cerdik pandai yang kenan1aan di kala itn.
Nasehat itu diperhatikan dan dilaksanakan oleh Imam Abu Hanifab
dengan sungguh-sungguh, beliau rajin menuntut peng•etabuan yang berkaitan
dengan keagamaan, banyak mendatangi para cerdik pandai dan para ulama
sehingga beliau banyak ilmunya.
Di antara guru-guru beliau yang terkenal adalah asy-Sya'abi dan Hanmmd
bin Abu Sulaiman di Knfab, Hasan Basri di Basrah, Atha bin Abi Rabab di
Mekkah, Sulaiman dan Salim di Madinab. 3
Selain itn masih banyak orang yang pernal1 menjadi gum beliau di
antaranya adalah Imam Muhamad al-Baqir, Imam Adi bin Tsabit, Imam
Abdurrabman bin Harmaz, Imam Alm bin Dinar, Imam 'Ashim bin Najwad,
Imam Salamah bin Kuhail, Imam Mansur bin Mu'tamir, Imam Syu'ban bin
Hajjaj, Imam Qattadab, Imam Rabiah bin Abi Abdi Rahman.4
Imam Abu Hanifab adalab seorang ularna yang mempunyai kepandaian
yang sangat tinggi dalam mempergunakan ilmu rnantiq dan menetapkan hukurn
syara' dengan qiyas dan istihsan. Beliau juga terkenal sebagai seorang yang hati-
hati dalam menerima sesuatu Hadis. 5 Hal itu dikarenakan seluruh masa hidup
beliau dipergunakan untuk belajar dan mengajar. Sehingga bila beliau sedang
3 TM. Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar I/mu Fiqih, (Semarang: Pustaka Rizki Putra) 1997. h. 116
4 Munawar Khalil, op cit., h. 23 5 TM. Hasbi Ash-Shidiqie, op cit., h.116
31
belajar tampak sebagai orang yang haus ilmu dan sebaliknya pada saat beliau
dikelilingi murid-muridnya tampak sebagai sebuah mata air yang tidak kering
keringnya dari hari ke hari.
Pada masa-masa berakhimya kekuasaan Bani Umayah, Yazid bin Umar
bin Hubarah, Amir di Kufah yang memihak kepada Khalifah Marwan bin
Muhamad, Khalifah keturunan Bani Umayah meminta kepada Imam Abu Hanifah
untuk duduk menjabat sebagai Qadhi. Akan tetapi permintaan itu ditolak beliau,
oleh karena itu beliau dituduh tidak setia lagi terhadap Bani Umayah, beliau
ditangkap dan dihukum dera.
Nasib itu terulang pula oleh beliau pada masa pemerintahan Abbasiyal1,
yaitu pada masa pemerintahan Abu Ja'far al-Mansur (754-775 M), yang
memerintah sesudah Abu Abbas as-Saffah, Imam Abu Hanifah menolak pula
jabatan Qadhi yang ditawarkan itu kemudian aldbat penolakan itu beliau
ditangkap, dihulcum, dipenjara dan beliau wafat dalam keadaan menderita di
dalam penjara karena perbuatan si kejam dan si ganas dan dikala itu beliau bernsia
70 tahun.6
Adapun murid-muridnya yang mengembangkan pemikiran Imam Abu
Hanifah yang temiasyhur adalah Abu YusufYa'kub bin Ibral1im (lahir pada tahun
113 H dan wafat pada tahun 183 H), Zufar bin Huzail bin Qais al-Kufi (lahir pada
tahun 110 H dan wafat pada tahun 157 H), Imam Muhan1ad bin Hasan as-
6 Munawar Khalil, op cit., h. 72
32
Syaibani (lahir tahun 132 H dan wafat tahun 189 H), Zufar bin Huzail wafat tahun
158 H dan Hasan bin Ziyad al-Lu'lui al-Kufi Maulana Anshar tidak diketahui
kelahiranya wafat pada tahun 204 H. 7
Adapun kitab yang dihubungkan dengan Imam Abu Hanifah adalah Fiqh
al-Akbar, al- 'Alim wa al-Muta 'alim dan Musnad. Adapun buku-buku lainya
banyak dikarang oleh para muridnya, menurnt para ularna Hanafiyah membagi
masalah-masalah fiqh kepada tiga bagian yaitu yang pertama Masailul Ushul
yang kedua Masailul al-Nawadir dan yang ketiga al-Fatawa wa al- Waqi 'at.8
Imam Muhamad bin Hasan menghimpun Masailul Ushul itu dalam enan1
kitab antara lain: Pertama, Kitab al-Mabshut. Kedua, Kitab al-Jami'ush al-
Shaghir. Ketiga, Kitab as-Sairu al-Kabir. Keempat, Ki1ab As-Sairu al-Shaghir,
Kelima Ki tab Jami 'u al-Kabir dan keenam Kitab az-Ziyadat.
Sedangkan Masailu al-Nawadir adnlah yang diriwayatkan oleh Iman1 Abu
Hanifah dan para sahabat beliau dari kitab lain seperti Kitab Haruniyat dan
Jwjaniyyat dan Kaisaniyyat bagi Imam Muhammad bin Hasan dan Kitab
Mujarrad bagi Imam Hasan bin Ziyad.
Adapun dinamakan al-Fatwa wa al-Waqi'at ialah masalah-masalah
keagamaan yang dari istimbathnya para ulama Mujtahid Madzhab Hanafi yang
datang.
7 Muahamad Abu Zahra, Abu Hanifah Hayatuhu Wa 'Aruhu Wa Fiqhuhu, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t) h. 208.220. 221
' Ibid
33
Madzhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar dan
berkembang ke negara-negara Islam bagian timur. Hal ini berkat Imam Abu
Yusuf yang menjadi Hakim Agung di Baghdad dan berkat duktmgan-dukungan
Khalifah Bani Abbas terhadap madzhab tersebut.9
Pada saat sekarang ini Madzhab Hanafi adalah merupakan madzhab resmi
di Mesir, Syam, Rum dan Irak dan madzhab ini pula yang dianut sebagian besar
penduduk Hindustan (Afghanistan, Turkistan, India) dan Tiongkok. 10
Demikian sekilas tentang Biografi Imam Abu Hanifah di dalam sejarah,
hal ini diambil suatu kesimpulan bahwa pemikiran Imam Abu Hanifah mulai
tersebar di samping berkat beliau juga murid-muridnya, kemudian berkembang
dan banyak pengikutnya sehingga menjadi sebuah madzhab Hanafi. Dengan
demildan madzhab Hanafi cepat tersiar di kalangan masyarakat bahkan dikota
Mesir madzhab Hanafi dijadikan sandaran para Qadhi dalam menentukan hukum.
2. Metode Ijtihad Imam Abu Hanifah
Metode ijtihad yang digunakan oleh Iman1 Abu Hanifah terdapat dalam
bukunya Hasbi ash-Shidiqi mengutip kitab al-Khatib al-Baghdadi dalam tarikhnya
menerangkan bahwa dasar-dasar ijtihad Imam Abu Hanifah sebagai berikut :
~ul ~~ ~ ~\°f ci rL _, ~ Jii1 ~~I ~j.:~ ~f' ;i '.;~\°~ ci ~I ~~<; Qj;,_\
u:, ~ :- : t :; t_~1:, :- :.,. :; :i:,; QJ;:.i "-!~i J~ :.:.,J;:.i .&1 J:;~ ;.t., o} u_,· ,,. ,,. ,. ---- ,,. ... ,,. ,,. ,,. ,,.
9 Ibid 10 Abu Zahrah, op cit., h. 464.
34
"Saya mengambil kitab Allah, maka apabila tidak didapatkan di dalamnya, maka sunah Rasulullah saw. Jika tidak saya ketemukan dalam kitab Allah dan sunah Rasulullah, niscaya saya ambil pendapat sahabat-sahabatnya, saya ambil pendapat yang kehendaki dan saya tinggalkan penclapat yang ticlak saya kehendaki dan saya tidak keluar dari pendapat mereka, adapun apabila urusan itu sudah sampai kepada Ibrahim asy-Sya'bi, ibnu Sirin, al-Hasan, Atha, Said dan Imam Abu Hanifah menyebutkan beberapa orang lagi, maka mereka ih1 orang yang telah berijtihad, karena itu sayapun berijtihad sebagaimana mereka berijtihad".
Di dalam kitab "Abu Hanifah Hayatuhu Waasruhu Adauhu Wqfquhuhu"
Imam Muhammad Abu Zahrah bahwa pegangan Imam Abu Hanifa11 dalam
berijtihad sebagai berikut:
,, ,, ,. ,, ,, 0 ,, J 0 ;;>'JI ,. ,. ... ,.. ,, ,,,.
~) ~ 1j.:1 ;:" .. \ ~) y81 ~IL~ ~ )Di) ~~I 0-: //) ~~ _\;.\ ~ ~I rUS-,, 0 ,. " ,. ,,. ,. 0 ,. "" J ,..
", 0
' "\:;lo ·,~l)\ 1::.. \",o :..0.'.' WJ\" '" \;\,; WJ\ JS; ' 0 lJ\ ", 0 '° "°'\ ~
~ r v cs"" ~ J' - i'.::"' J' - '-" .r' ~ !'"".JY .. ,.. ,, ,. ,. ,, ,, ,, ,, ,, ;;> " o ,.. ,, ,.. Jo J •. ,, ..- ,.. ,, ,.
~~I ~)'.;::Ji ~~\ J'."J; cits") 0~1 ~~ ~ J; C-) ~ ~ tJ 1;~ ~ ,, ,.. ,... 0 ,. "' J ,, " ,, "' J ,.. ,,. ,, c-) ;;;:,1 ~1 ~~~1 J; ~fl ? ~G ~(~1 rl, ~ ~ ~ :~; ~ ~ Fl'..\.;
12~1
"Pendirian Abu Hanifah ialal1 mengambil yang kepercayaan clan lari dari keburukan, memperhatikan muamalah-muamalah manusia dan apa yang telah mendatangkan mashlahat bagi urusan mereka, ia menjalankan urusm1 atas qiyas. Apabila qiyas tidak baik dilakukan, ia melakukan ata:;: istihsm1, selan1a dapat dilakukanya. Apabila ia tidak dapat melakukan, iaptm kembali kepada urf masyarakat clan mengm11alkan Hadits yang terkenal di ijma' ulama. Kemudian ia mengqiyaskan sesuatu kepada Hadits itu selama qiyas masih dapat dilakukan. Kemudian ia kembali kepada istihsan, mana diantaranya yang lebih tepat kemudian kembalilah ia kepadanya."
u TM. Hasbi Ash-Shiddiqie, Pokok-pokok Pegangan Imam M.azhab, (Semarang: Pustaka Rizki Putra) 1997 h. 142-143
12 Abu Zahrah, op cit., h. 23 9
35
Berdasarkan kutipan di atas dapatlah diambil kesimpulan yaitu sebagai
berikut:
a. Dasar hukum Islam menurut Imam Abu Hanifah adalah al-Qur'an, hadis
dan fatwa-fatwa sahabat.
b. Apabila menetapkan hukum syara' yang tidak ditetapkan dalalahnya
secara qath'I dari al-Qur'an atau Hadis, Imam Abu Hanifah selalu
menggunakan ra'yu. Ia sangat selektif dalam menerima Hadis. Imam Abu
Hanifah memperhatikan mu'amalah manusia, adat istiadat serta 'urf.
Beliau berpegang kepada qiyas dan apabila tidakbisa ditetapkan
berdasarkan qiyas, beliau berpegang kepada istihsan selama hal itu dapat
dilakukan. Jika tdak, maka beliau berpegang kepada 'urf. 13
Dalan1 menetapkan hukum, Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan
hukum di Kufah, yang terletak dari Madinah sebagai kota tempat tinggal
Rasulullal1 SAW. Yang banyak mengetahui hadics. Di kufal1 kurang
perbendaharaan hadis. Disamping itu, Kufal1 sebagai kota yang erada di tengah
kebudayaan Persia, kondisi masyarakatnya telah mencapai tingkat peradaban
cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul problema kemasyaralrntan yang
memerlukan penetapan hukumnya, karena problema itu belum pernah te1jadi di
zaman nabi atau zanian sahabat dan tabi'in, maka untk menghadapinya
13 Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, MA., Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta: Logos), 2003 cet. Ill. H. 99
36
memerlukan ijtihad atau ra'yi. Hal inilah penyebab pcrbedaan perkembangan
pemikiran hukum di Kufah (Irak) dengan Madinah (Hijaz). 14
3. Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Perempuan Memilih Pasangan
Nikah.
a. Gadis Dewasa dan Berakal (al-Bikr al-Baligh al-"Aqilah)
Dr. Mahmud Ali al-Sarthawi dalam kitabnya Syarkhu Qanun al-Akhwal
al-Syakhshiyah dalam bah al-Wilayah 'ala al-Bila· al-Balighah al- 'aqilah
mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah, menurut lahir riwayat berpendapat bahwa
bapak tidak berhak mamaksa anak gadisnya yang sudah dewasa dan berakal untuk
menikah dan harus minta izin darinya, malrn jika bapak menikahkan anak
gadisnya yang sudah dewasa dan berakal dengan tanpa izinya maka menyalahi
sunah dan akad nikah tergantung pada kerelaanya. 15
Jadi menurut Imam Abu Hanifal1 bahwa sudah menjadi hak kepada gadis
dewasa dan berakal mengenai dhinya dan menafikan urusan orang lain mengenai
yang berhubungan dengan nikalmya dan menurut umumnya mencakup apa yang
berhubungan dengan memilih pasangan nikalmya.
Adapun perempuan gadis, karena melihat dari segi ia tidak jinak dengan
orang laki-laki dan biasanya malu menegaskan kerelaanya, lebih-lebih langsung
mengenai aqad, malrn syara' mencukupkan dengan sesuatu yang menunjukan
14 Ibid. h. 99-100 15 Dr. Mahmud Ali al-Sarthawi, Syarkhu Qanun a/-Akfnval a/-Syakhsiyah, (Amman: Dar
al-Fikr) 1996 h. 85
37
relanya untuk memberi keringanan baginya. Tetapi ini tidak berarti bahwa syara'
mencabut hak mencampnri langsung mengenai aqad yang telah ada. 16 Yang
demikian itu selama gadis sudah dewasa dan berakal maka hak sepenuhnya ada
ditangan sang gadis mengenai yang berhubungan dengan nikahnya dan menurut
umumnya mencakup apa yang berhubungan dengan memilih pasangan nikahnya.
Sejumlah argumen dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah antara Jain ayat
al-Qur'an:
,,. ,,. ,,. "' ,,.,,. ,,. ;ll.- 0 ,.
.... :?- k.jj ~~ ,_;... J:~ 0:: ~ ~; lli 4..il1 0~ Artinya : "Kemudian jika si suami menceraikannya (sesudah cerai yang
kedua) maim perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia nikah dengan suami yang lain .... " (QS. Al-Baqarah ayat 230)
0 ,,. ,, ,,. 0,,.,,. } ,,,,. ,, ,,. ,,. ,,. ,. ,,. "' ""'" ,,
.. ·~ J'.;.:J~ ;. G ~; IY,1) 1;~ ~ljji ~ 0\ :;. µ lli ~.t;,.l ~ .L'...JI ~ b~j Artinya : "Apabila kamu menceraikan istri-istrimu Ialu habis iddahnya,
maka janganlah kamu menghalangi mereka kawin Jagi dengan bakal suaminya apabila terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma'ruf'. (QS. AlBaqarah 232)
· '~· l\., ~ '·•( · •.I:; L:,.j 0 ('o\~ • (' ill~:\:.._[~ fr l'.U .... J )r-'"'. ~ c,I ,_,.- • r--~ c = ~ if"" ;, .... ,.. ,,. ,..,, ,.. ,, ,,.
Artinya : "Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut." (QS. Al-Baqarah ayat 234).
Menurut Imam Abu Hanifah, ayat-ayat diatas menunjukan bahwa pelaku
nikah adalah perempuan sendiri. Jadi bukan walinya dan apa yang ia kerjakan
pada dilinya menurut yang makruf adalah keluar dari padanya dan terjadi akibat-
16 Prof. Dr. Syaikh Mahmud Syaltut, Prof. Syaikh M. Ali as-Says, Perbandingan Mazhab dalam masalah Fiqh, (Jakmta: Bulm1 Bintang) 1991 cet. Ke-6 h. 116-117
38
akibat dari padanya tanpa tergantung pada izin wali dan tidak dengan
pelaksanaanya oleh wali. Hal ini juga di tegaskan oleh hadis Nabi antara lain:
" • ,.. ·"' ,.. ,.. ,.. "' ,.. A, "' ' ,, "' ,.. ,, '
~J ~ ~ J_;-1 :. :+ Ju fL) ~ .\ill lSl.'.,o :ill\ Jj'..,~ 01 ~Q; .). ~I~ :; 17 > ·" ~ " " <r1'"-' olJJ)·l~~ 45~'.J /\£.J ~I)
"Perempuan janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya. Perempuan gadis di minta izinya dan izinya adalah diamnya". (HR. Muslim).
Meskipun konteks ayat al-Qur'an maupun Hadis nabi tersebut teijadi pada
kasus janda, tetapi pendapat ini mengemukakan argumen analogi (qiyas). Yaitu
bahwa gadis dewasa dan berakal (al-Balighah al- 'aqilah) sebenamya sama
dengan janda. Kesan1aanya terletak pada sisi kesewasaanya. Jadi bukan pada
status gadis atau jandanya. Kedewasaanya seseorang memugkinkan dirinya untuk
menyampaikan secara eksplisit tentang sesuatu yang ada didalam hati atau
pikiranya. Ia juga dapat mengerjakan sesuatu secara terbuka tidak malu-malu.
Oleh karena ha! ini, malca gadis dewasa dapat di samakan dengan perempuan
janda. 18
Pada sisi lain, pendapat ini mengatakan bahwa gadis dewasa dianggap
memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum yang
berhubungan dengan tradsaksi-tradsalcsi keuangan, seperti perdagangan dan
sebagainya. Ini merupakan pandangan yang disepalcati para ulama. Oleh karena
17 Ibn Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram (Indonesia: Daru Ihya). H. 205
18 K.H. Husein Muhammad, Fiqih Perempuan (Yogyakarta: LkiS), h. 84
39
itu adalah logis jika dia juga dapat melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan
dengan urusan pribadinya. 19 Khususnya me:ngenai nikahnya dan memilih
pasangan nikahnya.
Hadis lain dari Ibnu Abbas:
,;..-- ,, ,,,, :J> ,,. A <1> ~ ; ,, 0 " <1>.- A ,,
01 '..:,~ ...\.; rx-:, ~ .ill\ ~ ~\ J:,.'...~ ::..ii 1:,..<; ~/;;,. 01 t.t. .ill\ ~~ '/'y,. ~\ .; 20
(> Jb y.I ,1JJ) (. f " .. ) ~ ~1 j,,, :s?I u,~:;,j i;. /2" ~) i.P-~j U.t{i
"Dari Ibnu Abbas ra, bahwa seorang gadis datang kepada Rasulullah menerangkan bahwa ayahnya telah menikahkanya sedang di tidak setuju; maka Rasulullah saw memberikan kepadanya hak khiyar (memilih).(HR. Abu Dawud)
Hadis Ibnu Abbas ini jelas menunjukan bahwa rasul menerima pengaduan
seorang gadis yang dinikahkan oleh ayahnya tanpa persetujuanya, pemberian hak
khiyar oleh rasul kepada gadis tersebut dan penolakan ra.sul terhadap pernikahan
yang dilakukan oleh ayah si gadis adalah tegas dikarenakan tidak adanya
persetujuan dari gadis tesebut. Dengan kata lain, gadis itu tidak suka pada laki-
laki pilihan ayahnya.21 Hadis ini menunjukan bahwa ayah tidak sah. menikahkan
gadisnya tanpa persetujuanya (izinya). Dan menunjukan bahwa hak khiyar
(memilih) pasangan nikah ada sepenuhnya ada ditangan si gadis.
Pemikiran lain yang menjadi pertimbangan pendapat ini adalah tujuan
pernikahan. Tujuan pernikahan memiliki dua sisi. Primer dan sekunder. Tujuan
19 Ibid. h. 84-85 20 Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, (Bairut: Dar Ibn Khazm) l 997 h. 398 21 Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML, Fiqh Perbandingan Pernikahan, (Jakarta: Pustaka
Firdaus) Juni 2003. cet I. h. 212
40
primer (utama) dari sebuah pernikahan adalah hubugan seksual dan kemandirian.
Sedangkan tujuan sekunder adalah hubungan kekerabatan atau kekeluargaan.
Tujuan primer adalah menjadi hak perempuan sendiri, sedangkan tujuan sekunder
bisa melibatkan hubungan perempuan itu dengan keluarganya. 22
Dan nikah yang dimaksudkan oleh Iman1 Abu Hanifah dan golongan
Hanafiah dengan kata mereka "Bahwa perempuan itu bertindak mengenai haknya
sejati, sedang dia berwenang karena dia berakal dan dapat membedakan." Oleh
karena itu ia mempunyai hak bertindak mengenai harta dan memilih suami, dan
diminta wali menikahkanya hanya untuk tidak dikatakan kepadanya tidak punya
malu.23
Atas dasar itu semu14 maka hak untuk memilih pasangan nikah dan
melakukan pernikahan merupakan hak pribadi gadis dcwasa. Pernikahan yang
dilakukan oleh wali yakni yang ijabnya diucapkan okh wali dinyatakan sah,
manakala telah mendapatkan persetujuan dar:i calon mempelai perempuan
tersebut. Bahkan pernikahan yang dilakukan oleh wali ini menurut pendapat ini,
di pandang sunah, baik dan berpahala.
b. Gadis belmn dewasa (al-Bikr al-Shaghirah)
Menurut Imam Abu Hanifah, wali boleh menikal1kan anak gadisnya yang
belun1 dewasa (al-Biler al-Shaghirah) walaupun tidak rela atau tanpa izinya.
Tetapi dengan syarat harus se-kufu' (laki-laki yang sebanding dalam kedudukan,
22 KH. Husein Muhamad, Loe cit
23 Prof. Dr. Syaikh Mahmoud Syaltout, Prof. Syailch M. Ali as-Says, Op cit., h. I I 9
41
tingkat social dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan) dan dengan mahar
mitsil (rnahaT yang diukur dengan mahar yang pemah diterima oleh keluarga
terdekat, dengan rnengingat status sosial)24 Jadi menurut Imam Abu Hanifah
permpuan gadis yang masih kecil tidak mempunyai hak untuk memilih
pasangannya karena perempuan tersebut belurn dewasa. Belum dewasa menurut
Imam Abu Hanifah adalah apabila perempuan tersebut belum baligh.
Sejumlah argumen yang dikernukakan antara lain :mrat at-talak ayat 4
'c:;_,J)) ~ rJ JWI) ~(~ill~~ ~"._,1 01 ~c...; ~"' ~1 0--~ JWI) ,, ,. ,. ,, ,, ,, ,, ,. ,. ,,. ,, ,,. ,. ,.
1;,.; 0 ;.f ~ j F Ji1 ~ :;) ~..;. ~ 0f ~f JC.DI ,,,. ,, ,, ,.
"Dan mereka yang telah putus haidnya dari istri-istrimu kalau karnu ragu, maka iddah mereka adalah tiga bulan. Demikian juga rnereka yang tidak haid dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandunganya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah menjadikan baginya kemudahan dalam. urusan ". (QS at-Talak: 65/4).
Ayat ini menjelaskan bahwa iddah perempuan yang sudah putus darah
haidnya dan perempuan yang belum haid adalah tiga bulan.
Memnut pendapat ini, gadis yang masih kecil (belum dewasa) temasuk
dalam golongan perempuan yang belum liaid.
Adanya iddah menunjukan adanya talak yang didahului oleh
persetubuhan, adanya talak memmjukan adanya alrnd nikah dan hal ini
menunjukan sahnya akad nikah gadis yang belum haid karena ia masih kecil.25
Juga Hadis "Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bnld1ari dan Muslim :
24 Dr.Mahmud Ali al-Sarthawi, Op cit., h. 84 25 Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML., Op cit., h. 199-200
42
,,. ,, ,,, " ~ :;> ,,. ;, ,,
CJ.;-~(_, ~ ~ 8; ~J ~JY rL) 9P .:iii ~ ~I 01 ~ .:iii ~~~ ~V;.:;. 26 ,, ,
(>J>y.I olJ_;) 1:0
~ ;~ ~;J ~ 2 8; ~J 9" "Dari 'Aisyah ra bahwa Rasulullah saw menikahinya dikala ia dalam usia enam tahun dan ia diserahkan kepada rasul ketika berusia sembilanm talmn dan ia tinggal bersama rasul selama sembilan tahun". (HR. Abi Dawud).
Jelaslah bagi kita bahwa usia enam tahun atau tujuh tahun adalah belum
dewasa dan belum dapat disetubuhi memuut adat kebiasaim.
Pristiwa pernikahan Rasul dengan Si ti 'Aisyah dalam unmr demikian itu
tidak dipandang sebagai khusushiyah bagi Rasul tanpa dalil; karena jika ada dalil
khusushiyah, niscaya tidak akan terjadi pernikahan Qudamah bin Mi'un dengan
Zuber yang baru lahir dan pernikahan Umar bin Khattab dengan putri Sayyidina
Ali yang masih kecil, yang bernanm Ummu Kulstum.27
Dan menurut rasio, setiap ada kesempatan untuk rnendapatkan jodoh yang
sekufu', tidaklah wajar seorang wali melepaskan kesempatan itu, karena wali
harus mengutamakan kemashlahatan anak gadisnya, apalagi jika wali itu adalah
ayahnya yang merupakan satu-satunya orang yang banyak mengetahui dan
. kn 28 menyantum ana ya.
26 Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar lbn Hazm) 1997 juz U h. 410
27 Ibid., h. 199-200
28 Ibid., h. 200
43
c. Janda Dcwasa (al-Tsayyib al-Balighah al-'Aqilall)
Menurut Imam Abu Hanifah dan bahkan dalam ha! ini tidak ada perbedaan
pendapat antara fuqaha, bahwa janda dewasa tidak ada seorang pun yang berhak
untuk menikahkan dengan tanpa izinnya.29
Sedangkan menurut hanafiah mengatakan bahwa perempuan dewasa (al-
balighah) baik gadis maupunjanda, tidak ada seorang pw1 berhak memaksa untuk
menikahkan, karena pernikahan bergantung padanya.30
Jadi menurut Imam Abu Hanifah dan Hanafiah, sudah menjadi hak kepada
janda yang dewasa (tsayib al-balighah) mengenai dirinya dan menafikan urusan
orang lain mengenai yang berhubungan dengan nikahnya dan menurnt umumnya
mencakup apa yang berhubungan dengan memilih calon suaminya.
Dan inilah yang dimaksudkan oleh Imam Abu Hanifah dan Hanafiah
dengan kata mereka : "Bahwa perempuan dewasa itu bertindak mengenai haknya
sejati, sedang dia berwenang karena itu ia mempunyai hak bertindak mengenai
memilih suami atau pasangan nikah dan diminta wali mengawinkanya hanya
untnk tidak dikatakan kepadanya tidak punya malu.31
29 Dr. Mahmud Ali Al-Sarthawi., op cit, h. 85 30 Abd. Rahman al-Jaziri, al-Fiqh 'ala al-Mazdahib al-Arba 'a, (Beirut: Dar al-Fikr) juz IV. h.
36 31 Prof. Dr. Syaikh Mahmoud Syaltout, Prof. Syaikh M. Ali as-Says, foe cit.
44
Sejumlah argumen dikemukakan oleh pendapat ini antara lain :
1) Hadis dari Ibn Abbas
"Dari Ibn Abbas rasulullah saw bersabda : tidak hak perintah bagi wali terhadap janda ..... "(HR. Abu Dawud)
2) Hadis dari Ibn Abbas
4-J) ::_,.. ~ J_;.\ ~ \J\: rL J "-# Jli1 ~ 11 Jy J JU: JU :_,.t:;.<- ;1 .j-33
. (>J>y.I olJ.J)
:Dari Ibn Abbas berkata : Rasulullah saw bersabda : jan.da itu lebih berhak dari terhadap dirinya dari pada walinya ..... "(HR. Abu Dawud)
3) Hadis dari Abd Ralunan
, -, ~jj LA.t;1 01 a_,.JL,a.;'jl tli>- ...:.-.;; ~~ .f, J.,i)l,a_;'jl.i; 0i <$!1 ~) er-)I ~ .:/
~~ ~) j ~i QjJ.; r.L J o.J.;- 11 ~ 11 cly .J ~l~, ~i G.;. fJ ~ ~) 34
(>yy.1 olJ.J)
"Dari Abd Rahman dan Mujami' kedua anaknya Yazid al-Anshariyah, dari Khansa binti Khidzam al-Anshariyah sesungguhnya bapaknya memaksa menikahkan, kemudian datang Rasulullah saw dan dia menccritakan kejadian itu kepada Rasul, maka Rasulullah menolak pernikahan itu".(HR. Abu Dawud)
Dari ketiga hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa perempuan janda
lebih berhak mengenai ditinya dan mengenai pern.ikahanya dan menurnt
32 Abi Dawud Sulaiman, op cit., juz II h. 400 33 Ibid. h. 399 34 Ibid. h. 400
r~ .. --."·~--~-........ -... ..,,~--~ .... ,,,, ........... "~~-.. ~·~'"'·=, I Pfl~fJ'\ft'i:"'''W r . -· <. '~i rl ;:'\ t'·-F•l
1
II UiN SYl\HJF NIUAYftl!l' f ti'·' rn1111':i''" I ' ' ' ·~L,,,.."i:j, t>t"t,,1}?.}\IT1i'\ J
' -~--~~---...,-------~----··"--.---·~-.. ~"~" .. •~·-·-~ '
45
umumnya mencakup mengenai yang berhubungan dengan memilih pasangan
nikah.
e. Janda belnm dewasa (tsayib al-shaghirall)
Menurut Imam Abu Hanifah, ayah mempunyai hak ijbar (paksa) untuk
menikahkan anaknya yang sudahjanda dan belum dewasa.35
Sedangkan al-Mawardi dsalarn kitabnya al-Khawi al-Kubro mengatakan,
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tiap-tiap wali mempw1yai hak untuk
menikahkan janda yang belum dewasa. Jika pernikahan tersebut dilangstmgkan
oleh ayah, malrn perempuan tersebut tidak mempunyai hak khiyar sesudah
dewasa. Akan tetapi, jika pernikahan tersebut dilangsw1gkm1 oleh wali selain
ayah, maka perempuan tersebut mempunyai hak khiyar pada waktu ia dewasa.36
Berarti dalam ha! ini, perempuan janda yang belum dewasa tidak
mempunyai hale mengenai urusan nikalmya dan mengenai memilih pasangan
nikal1, dikarenakm1 ia belum dewasa.
35 Dr. Mahmud Ali al-Sarthwi, Syarkhu Qanun al-Akhwal al-Syakhshiyyah, (Amman: Dar alFikr) l 996 h. 84
36 Abi Hasan al-Mawardi, al-Khawi al-Kubro, (Beirut: Dar al-Kutb al-'Alamiah) h. 66
46
B. Menurut Pandangan Imam Syafi'i
1. Biografi Imam Syafi'i
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin abbas bin
Utsman bin Syafi'i bin saib bin Abu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthaiib bin
Abdi manafbin Qushai.37
Abdul Manaf bin Qushai yangmenjadi nenek ke-9 dari Imam Syafi'i
adalah Abdul manafbin Qushai nenek yang ke-4 dari nabi Muhammad Saw.
TeranglaI1 bahwa dalan1 silsilaI1 ini imam Syafi'i senenek dengan Nabi
Muhammad Saw.
Adapun ibunya adalah keturunan FatimaI1 binti Rasul Saw bin aI-Hasim
bin Husain Ali bin Abi Thalib (paman Nabi).
Sirajuddin Abbas dalam bukunya "SejaraI1 dan Keagungan Imam Syafi'i
mengemukakan bahwa ada dua kejadian penting sekitar kelahiran Imam Syafi'i
b . b .k 38 se agm en ut :
Sewaktu Imam Syafi'i dalmn kandungan, ibunya bermimpi bahwa sebuah
bintang telah keluar dari perutnya dan terns naik membwnbung tinggi,
kemudian bintang itu pecah bercerai dan berserakan menerangi daerah-daerah
sekelilingnya dan ahli mimpi menta'birkan ia akan melahirkan seorang putra
yang ilmunya aimn meliputi seluruli jagad.
37 Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi'i, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah)l99l h. !3-14
38 Ibid
47
Sepanjang zaman sejarah pada hari Imam Syafi'i dilahirkan itu, meninggal
dunia dua orang ulama besar, seorang di Baghdad (Irak) yaitu Imam Abu
Hanifah Nu'man bin Tsabit (pembangun Mazhab Hanafi) dan yang seorang
lagi di Mekah, yaitu Imam Ibnu Jurej al-Makky, Mufti Hijaz ketika itu, ahli
firasat mengatakan sesuatu pertanda bahwa yang Iahir ini akan menggantikan
yang meninggal dalam ilmu dan kepintaran.
Berdasarkan kutipan diatas, bahwa banyak orang mengomentari
berdasarkan kejadian-kejadian yang dialami oleh Ibu Imam Syafi'i melalui mimpi
dan meninggalnya kedua tokoh ketika ia lahir, maka mereka menyatalrnn bahwa
sang bayi itu akan menjadi pemimpin dan ulama dimuka bumi ini.
Ketika barn berusia dua tahun, Syafi'i kecil dibawa ibunya ke Makkah.
Dalam asuhan ibunya ia dibekali pendidikan, sehingga pada umur 7 tahun sudah
dapat menghafal al-Qur'an. Ia mempelajari al-qur'an pada Ismail ibn Qastantin,
Qari' kota Makkah. Sebuah riwayat mengatakan, bahwa Syafi'i pemah hatam al
Qur'an dalan1 bulan Ramadhan sebanyak 60 kali.
Imam Syafi'i pergi dari Makkah menuju suatu dusun Bani Huzail untuk
mempelajari bahasa Arab karena di sana terdapat pengajar-pengajar bahasa Arab
yang fasih dan asli. Imam Syafi'i tinggal di Huzail selanm kurang Iebih 10 tahun.
Di sana ia belajaT sastra Arab sampai mahir dan banyak menghafal syi'ir-syi'ir
dari Imru'u al-Qais, Zuhair dan Jarir. Dengan mempelajari sastra Arab, ia
terdorong untuk memal1ami kandungan al-qur'an yang berbahasa arab yang fasih,
48
asli dan mumi. Imam Syafi'i menjadi orang terpercaya dalam soal syi'ir-syi'ir
Huzail.
Sebelum menekuni Hadis dan Fiqih, Imam Syafi'i terarik pada puisi, syi'ir
dan sajak bahasa Arab. Ia belajar Hadis dari Imam Malik di Madinah. Dalam usia
13 tahun ia telah dapat menghapal al-Muwattha. Sebelumnya Imam Syafi'i
pemah belajar Hadis kepada Sufyan Ibn 'Uyainah salah seorang altli Hadis di
Makkah.39
Dari perjalanan studinya ketika di Mekkah dia berguru kepada Imam
Muslim bin Khalid, Imam Ibrahim bin Said, Imam Sufyan bin Uyainah.40 Dan
ketika di Madinah ia belajar kepada Imam Malik bin Anas (pembangun Mazhab
Maliki), Abdul Aziz bin Muhanunad bin ad-Darndi dan Abdullah bin Nafi,41
ketika di Y aman adalah Muthraf bin Mazin, Hisyam bin Abi Yusuf Qadli Syiria,
Umam bin Abi Salamah (pembangun Mazdhab Auza'i), Yahya bin Hasan
(pembangun Madhab al-Laitsi), kemudian ketika beliau di Irak bergurn kepada
Waki' bin JaiTah, Hammad bin Usmai1, Ismail bin Ulyah, Abdul Wahab bin
Abdul Majid, Muhanunad bin Hasai1 bin Qadli bin Yusuf.
Tahun 195 H. Syafi'i pergi ke Baghdad dan menetap di sana selama 2
tahun setelah itu ia kembali lagi ke Malckah. Pada tahun 198 H pergi ke Mesir dan
39 Prof. Dr. Huzaimah Tahido Yanggo, op cit., h. 122
•IO Ibid, h. 172
41 Sirajuddin Abbas, Op cit, h. I 18
50
Imam Syafi'i berpendirian dan penuh keyakinan bahwa Allah SWT
menciptakan segenap makhluknya tentu dengan persediaan yang cukup dan pasti
dibe1ikan kepada segenap makhluknya.46
b. Murid-Murid dan Karya-Karya Imam Syafi'i
Adapun murid-murid Imam Syafi'i ketika beliau berada di Irak (Baghdad)
adalah Abi Ali Hasan as-Shabah az-Za'faran (w. 260 H), Husein bin Ali Karabisi
(w. 240 H), Imam Ahmad bin Hanbal (w. 240 H), Abu Tsir al-Kalabi (w. 240 H),
Ishak bin Rahuya (w. 277 H), Rabi bin Sulaiman al-Muradi (w. 270 H), Abdullah
bin Zubair al-Hurnaidi (w. 219 H) dan lain-lain.47
Ketika di Mesir murid-murid Imam Syafi'i antara lain: Rabi' bin Sulaiman
al-Muradi datang bersama Imam Syafi'i dari Baghdad Clan Abdullah bin Zubair
al-Buwathi (w. 232H), al-Muzani (w. 264 H), Rabi' bin Sulaiman al-Jizi (w. 256
H) dan lain-lain.48
Dengan perantaraan murid-murid beliaulal1 ilmu pengetahuanya tersebar
dan terkenal ke seluruh pelosok dunia Islam pada umunmya. Dan sesudah ulama-
ulama fiqih angkatan baru yang melanjutkan perkemhangan dan penyebaran
mazdhah beliau.
Menurut Abu Bakar al-Baihaki dalam kitab Ahkam al-Qur 'an, bal1wa
karya Imam Syafi'i culrnp banyak, baik dalam bentuk risalal1 maupun dalam
46 Ibid, h. 183-184 47 Sirajuddin Abbas, op cit., h. 139 48 Ibid, h.140-141
51
bentuk kitab. Al-Qdhi Imam Abu Hasan Ibn Muhammad al-Maruzy mengatakan
bahwa Imam Syafi'i menyusun 113 buah kitab tentang Tafsir, Fiqh clan Adab.
Kitab-kitab karya Imam Syafi'i sendiri, di antaranya seperti al-Umm clan
al-Risa/ah. Kitab al-Umm berisi masalah-masalah fiqh yang dibahas berdasarkan
pokok-pokok pikiran Imam Syafi'i dalam al-Risa/ah. Selanjutnya kitab al-Risa/ah
adalah kitab yang pe1tama dikm·ang Iman1 Syafi 'i. kitab ini ditulis atas perrnintaan
Abd. Rahman Ibn Mahdy di Makkah, karena Abd.Ralrman meminta kepada beliau
agar menuliskan suatu kitab yang mencalrnp ilmu tentang mti al-Qur'an, Nasikh
clan Mm1sukb serta Hadis nabi.
2. Metode Ijtihad Imam Syafi'i
Imam Syafi'i menerangkan bal1wa kitabnya m·-Rfaalah tentang dasar-dasar
ijtihadnya, sebagai berikut: 49
" " " " " " ,, "' ,, ,; ,. ,,.. .J " ,, ,, ,. ,, "' ,, ,,
J- ;_;.JI r-LJI ~J r-LJI ~ 0-o lll ~?llj l]u;_ ,;;. ~ J:,a; 01 1J.;1 J;..lJ ~ 01 ~ ,. ,, ,, ,, ,.. ,, ,, ,. ,, ,, ,, ,, .,, ,.. ? ,..
0 " ;<J 0
(f'~Jlj ~ C.~lj ~lj ~~\ Artinya: tidak boleh seorang menyatakm1 dalam hukum sesuatu halal clan
haram kecuali ada pengetahuanya tentang itu, penetahuanya itu adalah dari alQur'an, Hadits, Ijma' clan Qias.
Selanjutnya beliau menambahkan bahwa:
" ,, J ,.. ,. ,, ,.J " ,. ,, ,, ,, ,, ,.
LlJL, ~ '• C,t., ~ ~ ;;:::..J( u\.iSJL, ~ :W: ~GJ\ Jt.; <f -. ; t'• ~ ;; " . j •· • ; . ,,
G :,I y8" e 1: !:'."o;t; 1' 1' ,,
"Imam Syafi'i berkata: Maka sunguh-sungguh aku tetapkm1 hukum dengan al-Qu'an clan Sunnah{karena keduanya asal} maka (jika tidak ada keduanya)
49 Imam Syafi'i, al-Risalah.fi al-I/mi Ushu/, (Libanon: al-Ilmuah) h. 39
52
bagaimana aku menentukan hukum deengan Ijma'? kemudian bagaimana aku menentukan hukum dengan Qiyas? Maka aku tegakan keduanya bersama ldtab d h" 50 an sunna .
Kutipan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. al-Qur'an dan al-Sunnah
Imam Syafi'i memandang al-Qur'an dan Sunnah berada dalam satu
martabat. Beliau menetapkan Sunnah sejajar dengan al-Qur'an, karena
menurut beliau, Sunnah itu menjelaskan al-Qur'an kecuali Hadis ahad
tidak sama nilainya dengan al-Qur'an dan Hadis Mutawatir.
b. Ijma'
Imam Syafi'i mengatakan bahwa ijma' adalah hujjah dan ia menempatkan
ijma' ini sesudah al-Qur'an dan al-Sunnah sebehnn Qiyas. Iman1 Syafi'i
menerima ijma' sebagai hujjah dalam masalah-masalah yang tidak
diterangkan dalam al-Qur'an dan Sunah. Ijma' rnenurut pendapat Imam
Syafi'i adalah ijma' ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan
ijma' suatu negeri saja dan bukan pula ijma' kamn tertentu saja. Namun
Imam Syafi'i mengakui bahwa ijma' sahabat merupakan ijma' yang paling
lrnat.
c. Qiyas
Imam Syafi 'i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil keempat setelah
al-Qur'an, Surmah, Ijma' dalam menempatkan hukum. 51
50 Imam Syafi'i, al-Risa/ah, (Beirut: Dar al-Fikr) h. 598
132
53
Dengan demikian uraian diatas dapatlah dilihat bahwa Imam Syafi'i secara
tidak langsung menolak metode Imam Abu Hanifah yang didominasi penggunaan
ra'yunya dengan metode ijtihad Ihtihsan. Akan tetapi terlihat lebih selektif
terhadap hadits yang dalam ha! ini berbeda dengan Imam Maliki yang didominasi
oleh penggunaan hadits secara utuh dari tradisi Madinah. Namun pebedaan ini
sangatlah wajar didasarkan pada pengalaman keilmuan dari kedua kubu mazhab
sebelumnya.
3. Pendapat Imam Syafi'i Tentang Hukum Perempuan Memilih Pasangan
Nikah
a. Perempuan Gadis
Imam Syafi'i menurut lahir riwayat berpendapat bahwa, sesungguhnya
bagi wali mujbir (ayah) boleh (clan sah) menikahkan analk: gadisnya yang dewasa
(al-bikr al-balighah al- 'aqilah) walaupun tanpa izinya sama sepe1ti gadis yang
belum dewasa ( al-bikr al-shaghirah ). 52
Abi Ishak Ibrahim asy-Syirazi dalam kitabnya al-.Muhadzab fl al-Fiqh al-
Imam asy-Syqfi 'i mengatakan bahwa, ayah dan kakek boleh menikahkan
perempuan gadis walaupun tanpa izinya atau tidak rela, baik perempuan gadis
yang belum dewasa maupun yang sudah dewasa. 53
51 Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta: Logos), h.
52 Dr. Mahmud Ali al-Sarthawi, op cit., h. 86 53 Abi Ishak Ibrahim asy-Syafi'i, al-Muhadzab Fi al-Fiqh al-Imam asy-Syafi'i, (Beirut: Dar
al-Fikr), juz II. H. 37
54
Jadi menurut Imam Syafi'i, ayah boleh menikahkan anak gadisnya baik
yang dewasa maupw1 yang belum dewasa. Dan redaksi "tanpa izinya"
menunjukan bahwa ayah boleh memaksakan anak gadisnya untuk dinikahkan.
Berarti dalam ha! ini, ayah lebih berhak mengenai yang berhubungan dengan
nikahnya dan menurut umumnya mencakup mengenai yang berlmbungan dengan
memilih pasangan nikah.54
Seperti hadis yang di riwayatkan oleh lbn Abbas.
,,;~,,J~2...-oJJ.(--i.-,,!!l.-o ,.c,_~,_";./"'
~>IJ 0>\i.....i r""\J ls) J .:.r' ~ J>-1 ~I: JI.' ~) .y_,, ~ .s.JI ,)\ V"Y,. 011 0" ,,. ,. ,, ,. ,. ,, ~
ss Cr-1-' ,1JJ) ~c:.:, "Dari lbn Abbas, Nabi saw bersabda : janda lebih berhak terhadap dirinya
dari pada walinya dan gadis diminta izinya dan izinya adalah diamnya.(HR. Muslim)
Hadis Ibn Abbas tersebut menerangkan kepada kita bahwa perempuan itu
ada dua golongan. Pertama janda kedua gadis. Kekuasaan ayah selaku wali
terhadap kedua golongan ini tidak sama. Permulaan hadis tersebut menegaskan
bahwa janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya. Maflmm
mukhalafalmya menw1jukan bahwa ayah lebih berhak terhadap diri gadisnya. Dan
meminta izin itu hukumnya sw1al1 bukan wajib. 56
54 Dr. Mahmud Ali al-Sarthawi, Joe cit
55 Ibn Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram (Indonesia: Dam Ikhya) h. 205
56 Prof. KH. Ibrahim Hasen, LML, op cit., h. 207
55
Akan tetapi mazhab Syafi'i, tidak menganggap hak ijbar sebagai bentuk
pemaksaan terhadap perempuan. Ijbar lebih diartikan sebagai bentuk tanggung
jawab seorang ayah terhadap anak perempuannya,dianggap belum pengalaman
dalam memilih pasangan hidup. Karenanya, sebelum hak ijbar diberlakukan harus
dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
I) Tidak ada pemmsuhan perempuan yang akan dinikahkan terhadap calon
suammya.
2) Tidak ada permusuhan perempuan tersebut terhadap ayahnya (wali
mujbir).
3) Calon suan1i haruslah orang yang sekufu (sebanding).
4) Maskawin (mahar) harus tidak kurang dari mitsil, yakni maskawin
perempuan lain yang setara.
5) Caton suami di duga tidak akan melakukan perbuatan atau tindakan yang
akan menyakiti perempuan tersebut. 57
b. Perempuan Janela
Abi Ishak Ibrahim asy-Syirazi dalam kitabnya al-.Muhadzab fl al-Fiqh al-
Imam asy-Syqfi 'i mengatakan ba11wa, perempuan janda yang dewasa dan berakal
(tsayib al-balighah al- 'aqilah) tidak boleh seorang pun menika11kanya kecuali
dengan izinya. 58 Seperti hadis yang menceritakan "peristiwa Khansa" perempuan
57 H. Samsul Ma'arif, M. Ag, Fiqh Progresif, (Jkarta: FKKU Press), 2003 h. 166-167 58 Abi Ishak Ibrahim al-Syirazi, foe cit
56
janda yang dinikahkan oleh ayahnya sedangkan ia tidak setuju, kemudian
pemikahan tersebut di batalkan oleh Rasul. Hadis tersebm adalah :
1"1 Jr~ :.:..,;t,;,.j, ::.u_~ CJ, fi ~ ~::, t.p..)j L•t;l 01 '\!J\..,a.;'ll r1.i>. ...:;.;; <L= er 59
(""""\.. J.IJ , y y.IJ .M--1 o\JJ) ~~ ~) j ;!~; :.:_,jjj ~ J ~ J_,o "Dali Khansa binti Khidzam al-Anshatiyah sesungguhnya bapaknya
memaksa menikahkan, kemudian datang Rasulullah saw dan dia mencetitakan kejadian itu kepada Rasul, maka Rasul menolak pemikahan itu". (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah).
Hadis ini menunjukan bahwa, masalah pernikahan dan yang berhubungan
dengan memilih calon suami adalah hak sepenulmya perempuanjanda.
Kemudian Abi Ishak melanjutkan, apabila perempuan janda tersebut
be I um dewasa (tsayib al-shaghirah ), tidak boleh menikahkanya sampai dia
dewasa dan dimintai izinnya60
Dan di tegaskan oleh al-Mawardi dalam kitabnya al-Khawi al-Kubro fl al-
Fiqh madzhab a.1y-Syafi 'i bahwa, tidak boleh memaksakan perempuan janda
untuk menikah kecuali dengan pilihal1!1ya sendiri dan hams ada izil111yz yang
jelas.61
Begitupun al-Mawardi mengatakan bahwa, janda yang belum dewasa tidak
seorang pun dari wali-walinya baik bapak maupun yang lairmya untuk
59 Ibn Hajar al-Asqalani, op cit., h. 207-208 60 Ibid 61 Al-Mawardi, op cit., h.66
57
menikahkaimya dan harus ada izinnya. Kemudian jika menikahkaimya sebelum
dewasa baik dengan izin ataupun tidak maka nikah tersebut batal. 62
Dan juga Imam Syafi'i berpendapat bahwa ayah tidak boleh menikahkan
anaknya yang sudahjanda dan belum dewasa dengan tanpa izinnnya.
Dengan mengainbil argumen dari keumuman hadis Nabi :
"Jai1da lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya dan gactis diminta izinnya dan izinnya adalah diainnya. (HR. Musi im)
Imam Syafi'i melihat hadis ini dianggap masih umum, tidak membedakan
antara janda yai1g dewasa dan belum dewasa. Jadi antara janda yang dewasa dan
tidak dewasa keduanya sama tidak boleh dinikahkan dengan tai1pa izinya. (HR.
Muslim) 64
Jadi, perempuan janda baik yang dewasa maupun tidak dewasa
mempunyai hak sepenuhnya mengenai masalah pernikahan dan mengenai
memilih pasangan nikah.
62 Ibid
63 Ibn Hajar al-Asqalani, op cit., h. 205
M Dr. Mahmud Ali al-Sarthawi, op cit.,h. 84
BAB IV
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA IMAM ABU
HANIFAH DAN IMAM SYAFI'I TENTANG PEREMPUAN MEMILIH
PASANGAN NIKAH
A. Persama1m pendapat antara Imam Abu Hanifah dim Imam Syafi'i tentang
Perempuan Memilih Pasangan uikah.
Dalam ha! ini, apakah perempuan mempunyai hak atau tidak mengenai
memilih pasangan nikahnya, di temukan adanya persamaan pendapat antara Imam
Abu Hanifah dan Imam Syafi'i antara Iain:
I. Iman1 Abu Hanifah dan Imam Syafi'i sama-sama ayah boleh memaksakan
anak gadisnya yang belum dewasa (al-bikr al-shaghirah) untuk di nikahkan,
walaupun tanpa izinya (tidak rela). Berarti dalam ha! ini, keduanya
berpendapat bahwa, gadis yang belum dewasa (al-bikr al-shaghirah) tidak
berhak atas nikahnya dan mengenai yang berhubw1gan memilih pasangan
nikah. Karena yang berhak adalah walinya.
2. Imam Abu Hanifal1 dan Imam Syafi'i sama-sama tidal' membolehkan
seorang pun untuk menikahkan janda dewasa dengan tanpa izinya. Berarti
dalam hal ini, keduanya berpendapat bahwa janda dewasa berhak atas
nikahnya dan mengenai yang berhubungan dengan memilih pasangan nikal1.
perempnan memilih pasangan nikah.
Sedangkan perbedaan pendapat m1tara kednanya, dapat ditemukan sebagai
berikut:
1. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, ayah tidak boleh memaksakan anak
gadisnya yang sudah dewasa (al-bikr al-balighah) untuk dinikahkan dengan
tanpa izinya. Berarti menurut Imam Abu Hanifah, gadis dewasa mempunyai
hak sepenuhnya mengenai urusan nikah dan mengenai yang berhubungan
dengan memilih pasangan nikah. Sedangkan Imam Syafi' i berpandapat, ayah
boleh menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa (al-bikr al-balighah)
walaupun tm1pa izinya (tidak rela). Berarti menurut lmam Syafi'i gadis ym1g
sudah dewasa tidak berhak mengenai nikah dan mengenai urusan yang
berhubungan dengan memilih pasangan nika11. Karena yang berhak dalam hal
ini adalah walinya.
2. Imam Abu Hm1ifah berpendapat bahwa, ayah boleh menika11ka11 anaknya
ym1g janda dan belun1 dewasa (tsayib al-shaghirah). Berarti menurut Immn
Abu Hanifah perempuan jm1da yang beltll11 dewasa tidak berhak mengenai
nikahnya dan mengenai yang berhubungan dengan memilih pasangan nika11.
Sedfillgkan Imam Syafi'i berpa11dapat bahwa, ayah tidak boleh menikahkan
anaknya yang sudah jm1da dan belun1 dewasa (tsayib al-shaghirah) dengfill
tanpa izinya. Berarti menurut Imam Syafi'i jfillda yang belum dewasa berhak
60
sepenuhnya mengenai urusan nikah dan mengenai yang berhubungan dengan
memilih pasangan nikah.
C. Analisis Mengenai Persamaan dan Perbedaan Penda11at Imam Abu Hanifah
dan Imam Syafi'i
Dalam ha! ini, penulis mencoba menganalisis pendapat Imam Abu
Ha11ifah dan Imam Syafi'i. yang me11jadi titik fokus analisis adalah; mengapa
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i terjadi persamaan dan perbedaan pendapat
mengenai hukum perempuan memilih pasangan nikah?
Setelah membaca dan memahami pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi'i. te1jadinya persamaan dan perbedaan pendapat tersebut, di karenakan
Imam Abu Hanifah melihat perempuan dari sisi kedewasaannya. Kedewasaan
menurut Imam Abu Hanifah di ulrnr dari apakah perempuan tersebut sudah baligh
atau belum. Sehingga, apabila perempuan tersebut sudah dewasa baik gadis atau
janda, maka tidak seorangpun berhak untuk menikahkan dengan tanpa izinya.
Berarti, menurut Imam Abu Hanifah perempuan dewasa baik gadis atau janda
berhak sepenuhnya mengenai nikahnya dan menurut unrnnmya mencakup
mengenai yang berhubungan dengan memilih pasa11gan nikah. Akan tetapi,
apabila perempuan tersebut belun1 dewasa baik gadis atau janda, maim perempuan
tersebut tidak berhak mengenai nikalmya dan mencakup mengenai yang
berhubungan dengan memilih pasangan nikahnya.
61
Karena, bagi Imam Abu Hanifah perempuan dewasa di anggap memiliki
kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum yang berhubungan
dengan transaksi-transaksi keuangan, seperti perdagangan dan sebagainya. Oleh
karena itu adalah logis jika dia juga dapat melakukan tindakan-tindakan yang
berhubungan dengan urusan pribadinya.1 Khususnya mengenai yang berhubungan
dengan nikahnya dan memilih pasangan nikahnya.
Sedangakan Imam Syafi'i melihat perempuan dari statusnya, apakah
perempuan statusnya gadis atau janda. Apabila perempuan tersebut statusnya
gadis, maka wali (ayah) boleh memaksakan (hak ijbar) anak gadisnya w1tuk di
nikahkan walaupun tanpa izinya. Berarti, menurut Imam Syafi'i perempuan gadis
tidak mempunyai hak mengenai masalah nikahnya dan menurut mnumnya
mencakup mengenai yang berhubw1gan dengan memilih pasangan nikahnya.
Sedangkan kalau perempuan janda, tidak seorangpun berhak menikahkannya
dengan tanpa izinya. Berarti, menurut Iman1 Syafi'i perernpuan janda mempunyai
hak sepenuhnya mengenai nikahnya dan memilih pasangan nikalmya.
Karena, bagi Imam syafi'i, perempuan gadis dianggap belwn I tidak
memiliki kemampuan atau lemah untuk be1iindak sendiri.2 Dan dianggap belum
pengalaman dalam memilih pasangan nikah.3 Oleh karenanya, hak ijbar
1 KH. Husein Muhamad, Fiqh Perempuan, (Yogyaka1ta: LKiS), 2001 h. 84 2 Ibid. h. 80 3 H. Samsul ma'arif M.Ag. et.all., Fiqh Progresif, (Jakarta: FKKU Press), h.166
62
dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan atau tanggung jawab ayah terhadap
anaknya.4
Sehingga menurut hemat penulis, ketika Imam Abu Hanifah melihat
perempuan dari sisi kedewasaan dan Imam Syafi'i melihatnya dari status
perempuan gadis atau janda, maka terjadi persamaan dan perbedaan pendapat
antara Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i. Persamaannya antara lain:
Pertama, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i memberikan hukum yang
sama terhadap perempuan gadis yang belum dewasa (al-Bikr al-Shaghirah),
bahwa gadis yang belum dewasa tidak berhak mengenai urusan nikahnya dan
menurut umumnya yang berhubungan dengan memilih pasangan nikahnya.
Keduanya menggtmakan dalil yang sama di antaranya :
a. al-Qur'an surat at-Talak ayat 4
0u_/, ~ rJ JWI) ;,_:..f ~ill ~':W ~~1 01~e.;0· ~1 0--~ JWI) ,, ,, "' ,.. ,, ,, ,.. ,.. ,.. ,. ,, ,, ,, ,,
. 1;.,; ~;f 0:: j ~ Ji1 <}ti:;:,~;. ~ 0f ~f ~Cti1 "Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusmmya".
Ayat ini menjelaskan bahwa iddah perempum1 yang sudah putus darah
haidnya dan perempuan yang belU111 haid adalah tiga bulan.dab adanya iddah
menunjukan adanya talak yang didalmluai oleh pemikahan, adanya talak
4 KR Husein Muhammad, Loe cit
63
menunjukan adanya akad nikah. Kemudia gadis yang masih kecil (al-Bikr al-
Shaghirah) termasuk dalam golongan perempuan yang haid. Hal ini menmtjukan
sahnya akad nikah gadis yang belum haid karena belum dewasa dan tanpa izinya.
b. Hadis Aisyah yang di riwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim
,, ,. ... ,,, ' ~ ,, ..\ ,.
:.:J;.'.>1) ~ ~ ~ ~J ~JY ~ J ~ .!JI J- ~I :JI ~ .!JI ~~ ~!.<- :;. 5 ,.,, ),, .. ., - ~;,.. .. ,,. ,, l> " J. .. ,. ,, ,,",,
(>J>y.I olJ.J) ~ o~ ~'J ~ ~ ~ <i:J ~ "Dari 'Aisyah ra bahwa Rasulullah saw menikahinya dikala ia dalam usia
enam tahm1 dan ia diserahkan kepada rasul ketika bernsia sembilamn tahun dan ia
tinggal bersama rasul selama sembilan tahun".
Jelaslah bagi kita bahwa usia enam tahun atau ttuuh tahun adalah belum
dewasa dan belum dapat disetubuhi menurnt adat kebiasmm.
Peristiwa pernikal1an Rasul dengan Siti 'Aisyah dalam umm demikian itu
tidak dipandang sebagai khusushiyah bagi Rasul tanpa dalil; karena jika ada dalil
khusushiyah, niscaya tidal( akan te1jadi pernikalian Qudamah bin Mi'un dengan
Zuber yang barn lahir dan pernikahan Umar bin Kliattab dengan putri Sayyidina
Ali yang masih kecil, yang bernama Ummu Kulstunl
Menurut Ibrahim Bosen dalam bukunya Fiqh Perbandingan MasalaI1
Pernikahan menyatakan bahwa, pendapat tersebut sejalan dengan rasio dan
dengan nas ayat yang menjadi pegangan tersebut, yaitu adanya iddal1 karena
adanya persetubuhan. Adanya persetubuhan menmtjukan gadis itu telaI1
5 Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud(Beirut: Dar lbn Hazm) 1997 juz II h. 4!0
64
menginjak batas usia yang kuat untuk di setubuhi. Tegasnya, tanpa adanya
persetubuhan tentulah tidak ada iddah. 6
Akan tetapi, In1an1 Abu Hanifah memperbolehkan wali menikahkan anak
gadisnya yang belum dewasa karena dia belum dewasa. Artinya, belum cakap
untuk bertindak sendiri mengenai yang berhubungan dengan nikah dan yang
berhubungan dengan memilih pasangan nikah. Jadi, Imam Abu Hanifah
memandangnya dari sisi kedewasaan. Kedewasaan menurut Imam Abu Hanifah
dari baliglmya perempuan.
Ini bisa dilihat ketika Imam Abu Hanifah tidak memperbolehkan wali
menikahkan gadis dewasa (al-Bikr al-Shaghirah) danjanda dewasa dengan tanpa
izinya, karena bagi Iman1 Abu Hanifah gadis dewasa dan janda dewasa di anggap
memilild kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukmn yang
berhubungan dengan transaksi-transaksi keuangan seperti perdagangan. Oleh
karena itu, adalah logis jika dia juga dapat melakukan tindakan-tindakan yang
berkaitan dengan urusan pribadinya. Khususnya masalah pernikahan dan
mengenai yang berhubm1gan dengan memilih pasangan ni'.kah.
Sedangkan Imam Syafi'i memand<mgnya karena statusnya gadis atau
keprawanan yang masih utuh dan bukan karena belurn dewasa sebagaimana
menurut Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa ayah mempunyai hak ijbar
terhadap janda yang belum dewasa.
6 Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML., Fiqh Perbandingan Masa/ah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus) h. 200
65
Ini bisa dilihat ketika Imam Syafi'i tidak memperbolehkan seorangpun
untuk menikahkan janda baik yang dewasa maupun y<mg belum dewasa. Dan
diperkuat oleh argumen Imam Syafi'i pada keumuman Hadis nabi :
0 0 ; "f 0 0 0 ; ,. ,,,.
.JL.4> 4];~:, ~ ~ 0;,d ~\) '~:, 0; 4-:~ J_;-1 ;.;'11 Iman1 Syafi'i melihat hadis ini dianggap masih UJnun1, tidak membedakan
antara janda yang dewasa dan bellll11 dewasa. Jadi antara janda yang dewasa dan tidak dewasa keduanya sama tidak boleh dinikahkan dengan tanpa izinya.
Kedua, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i sama-sama tidak
memperbolehkan seorangpun untuk menikahkan pada janda dewasa dengan tanpa
izinya. Keduanya sama-sama menggunakan argumen hadis yang di riwayatkan
oleh Ibn Abbas dan Hadis yang menceritakan "pristiwa Khansa", perempuan
janda yang di nikahkan oleh ayalmya. Sedangkan ia tidak sttrju, kemudian
pemikahan tersebut di batalkan oleh Rasul. Hadis tersebwt adalah :
~) 0; ~, :~~ J;.-1 r.; lll =r-L J .y;:. Ji1 ~ Ji1 J_,...., .J Ju :Jud~ ~1 ~ 7 (~ oljJ)
"Dari lbn Abbas berkata : Rasulullah saw bersabd:a : janda itu lebih berhak dari terhadap dirinya dari pada walinya ..... "(HR. Muslim)
' ,.. ,, ,, ,,. ,.. ,,,,, ,., ,. :;, ,.
.Ji\ J_,....,~ :.::. ... n_;;__; ,~;, °..::..J,p ~ ~J ~)j U.t;'I 01 "'1JL~'/I i\j_,,,_ ~ •L..;,.. cf' 8 (> Jb y.I olJJ) ~~ ~J;;) ~~~ :.:_, j.Ji rL J .Y,:. ~
"Dari Khansa binti Khidzam al-Anshariyah sesunggulmya bapaknya memaksa menikahkan, kemudian datang Rasulullah saw dan dia menceritakan kejadian itu kepada Rasul, maka Rasul menolak pernikahan itu". (HR.Abu Dawud)
7 Ibn Hajar Asqalani, Bulughul Maram (Indonesia; Daru Ikhya) h. 205
8 Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar Ibn Khazm) 1997 h. 398
66
Menurnt hemat penulis hadis ini sangat jelas menunjukan bahwa, masalah
pemikahan dan yang berhubungan dengan memilih pasangan nikah adalah
sepenuhnya hak perempuan janda. Hanya saja, kalau Imam Abu Hanifah
memandang hadis tersebut menunjukan kepada janda yang dewasa, karena bagi
Imam Abu Hanifah hanya janda yang dewasa yang berhak mengenai masalah
nikahnya dan mengenai yang berhubungan dengan masalah memilih pasangan
nikah. Dan ini bisa dilihat ketika Imam Abu Hanifah memberikan hukum kepada
perempuan janda yang belum dewasa, bahwa perempuan janda tidal< berhak atas
nikahnya dan mengenai yang berhubungan dengan memilih pasangan nikahnya.
Sedangakan Imam Syafi'i memandang hadis tersebut masih umum, oleh
karena itu bisa mencakup janda yang dewasa maupun belum. Karena bagi Imam
Syafi'i yang menjadi ukuran berhaknya perempuan mengenai masalal1 nikahnya
dan yang berhubungan dengan masalah memilih pasangan nikah adalal1 statusnya.
Yaitu janda. Dan ini juga bisa dilihat ketika Imam Syafi'i memberikan hukum
kepada gadis yang dewasa mauptm belwn dewasa, bahwa keduanya tidak berhak
mengenai nikahnya dan mengenai memilih pasangan nikah.
Selanjutnya mengenai perbedaan pendapat keduanya antara lain: Pertama,
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, ayah tidak boleh memaksakan anak
gadisnya yang sudah dewasa (al-bikr al-balighah) untuk dinikallkan dengan
tanpa izinya. Berarti menurnt Imam Abu Hanifah, gadis dewasa mempunyai hak
sepenuhnya mengenai urnsan nikah dan mengenai yang berhubungan dengan
67
memilih pasangan nikah. Karena bagi Imam Abu Hanifah, yang menjadi ukuran
berhaknya perempuan mengenai masalah nikahnya adalah kedewasaan.
Ini bisa dilihat, ketika Imam Abu Hanifah memberi hukum kepada
perempuan gadis dan perempuan janda yang belum dewasa. Keduru1ya, menurut
Imam Abu Hanifah tidak berhak mengenai masalah nikalmya dan mengenai yang
berhubungru1 dengan memilih pasangan nikahnya. Karena keduallya belum
dewasa atau belum cakap mengenai urnsan pribadinya dan lebih khusus mengenai
urusru1 nikahnya dan mengenai memilih pasru1gan nikahnya.
Sejumlah argumen dikemukakan oleh Imam Abu Hru1ifah alltara lain ayat
al-Qur'an:
,,. "' ,,. J; ,,.,, ,,. ..,,,. " ,,.
.... ~::;<. k-)j ~ J>- ~.; 0-- ~ J-7 lli ~ 0~ ,,. ,,. ,.. ,,.
Artinya : "Kemudian jika si suami menceraikallnya (sesudah cerai yang kedua) maka perempuall itu tidak halal lagi baginya hingga dia nikah dengan suami yang lain .... " (QS. Al-Baqarah ayat 230)
... J J~I; ~ l',.'.pl) l~l ~l)jf ~ jf Y, µ LJi ~£;,.( ~ ;Lll ~ !~Jb I~[, ,,. ,,. ,,. ,,. ,,.
Artinya : "Apabila krunu menceraikall istri-istrirnu lalu habis iddahnya, maka jangalllah kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila terdapat kerelaan diru1tru·a mereka dengall cara yru1g ma'rnf'. (QS. AlBaqarah 232)
" " } ,,. " ,,. } ,,. ,,.,,. "' ,,. ,,. ,, ,,. ,,.
.... J J;.:.it; ~I J' ~ ~ ~ (:L~ lli ~i J.-4 1~~- ... ,,. ,,. ,, ,, ,,. ,,. /
Artinya : "Kemudia11 apabila telah habis iddalmya, maka tiada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yru1g patut." (QS. Al-Baqarah ayat 234).
68
Hal ini juga di tegaskan oleh hadis Nabi antara lain:
" ) ... -"',.. ; ... "' ,, J, "' ' ... "' ,,. '
~J ~ ~ :;,-1 :. :•II: JLO ~J ~ .&1 cs'C.o 01 J'.,'..~ 01 V'~ J. .&1~ :J-> " £ " " cr-L .... ol)..>). \~ _,s:::.:, 41~;:, )~~<;ii:,
"Perempuan janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya. Perempuan gadis di minta izinya dan izinya adalah diamnya". (HR. Muslim)9
Meskipun konteks ayat al-Qur'an maupun Hadis nabi tersebut terjadi pada
kasus janda, tetapi pendapat ini mengemukakan argumen analogi (qiyas). Yaitu
bahwa gadis dewasa dan berakal (al-Balighah al- 'aqilah) sebenarnya sama
dengan janda. Kesamaanya terletak pada sisi kedewasaannya. Jadi bukan pada
status gadis atau jandanya. Kedewasaanya seseorang memugkinkan dirinya untuk
menyampaikan secara eksplisit tentang sesuatu yang ada didalam hati atau
pikiranya. Ia juga dapat menge1jal'an sesuatu secara terbuka tidal.: malu-malu.
Oleh karena ha! ini, malca gadis dewasa dapat di samakan dengan perempuan
janda. 10
Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat, ayah boleh menikahkan anak
gadisnya yang sudah dewasa (al-bikr al-balighah) walaupun tanpa izinya (tidak
rela). Berarti menurut Imam Syafi'i gadis yang sudah dewasa tidak berhak
mengenai nikah dan mengenai urusan yang berhub1mgan dengan memilih
pasangan nikah. Karena yang berhak dalam hal ini adalah walinya. Karena bagi
9 lbn Hajar Asqalani, Bu/ughul Maram (Indonesia: Daru lkhya) 11. 205
10 KH. Husein Muhamad, foe cit
69
Imam Syafi'i perempuan gadis belum pengalaman nikah dan dianggap belum I
tidak memiliki keman1puan atau lemah untuk bertindak s1endiri. Jadi Imam Syafi'i
dalam ha! ini yang menjadi uknran adalah status perempuan (gadis atau janda).
Ini bisa dilihat ketika Imam Syafi'i memberi hukum kepada janda baik
yang dewasa maupun belum dewasa. Bahwa, janda baik yang dewasa maupun
belum dewasa berhak sepenuhnya mengenai nrusan nikah dan memilih pasangan
nikah.
Kedua, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, ayah boleh menikahkan
anaknya yang janda dan belum dewasa (tsayib al-shaghirah). Berarti mennrut
Imam Abu Hanifah perempuan janda yang belum dewasa tidak berhak mengenai
nikahnya dan mengenai yang berhubungan dengan memilih pasangan nikah.
Sedangkan Imam Syafi'i berpandapat bahwa, ayah tidak boleh menikahkan
anaknya yang sudah janda dan belum dewasa (tsayib al-shaghirah) dengan tanpa
izinya. Berarti mennrut Iman1 Syafi'i janda yang belum dewasa berhak
sepenuhnya mengenai nrusan nikah dan mengenai yang berhubungan dengan
memilih pasangan nikah.
Tei:jadinya perbedaan tersebut di karenakan Imam Abu Hanifah melihat
karena jru1da tersebut belum dewasa. Karena janda belum dewasa tidak cakap
untulc bertindak mengenai nrusan pribadinya. Khususnnya mengenai urusan nikah
dilll mengenai memilih pasru1gan nikah. Sedilllgkan Imam Syafi'i melihat kru·ena
status jandru1ya. Kru·ena janda sudah be1pengalru11ru1 menikah.
A. Kesimpulan
BABV
PENUTUP
Dari pembahasan skripsi yang saya uraikan, pokok atau inti
pembahasanya adalah mengenai hukum perernpuan memilih pasangan nikah
menurut Imam Abu Hanifah dan l!nan1 Syafi'i, dan dapat di simpulkan sebagai
berikut:
l. Bagi Imam Abu Hanifah, berhak atau tidaknya perempuan memilih pasangan
nikahnya di ukur dari kedewasaan. Kedewasaan menurut Imam Abu Hanifah,
di ukur dari sisi apakah perempuan tersebut sudah baligh atau belmn. Maka
apabila perempuan itu gadis atau janda kalau dia sudah dewasa, maka
mengenai urusan nikah dan mengenai memilih pasangan nikalmya adalah hak
sepenuhnya perempuan tersebut. Dan apabila perempuan itu gadis atau janda
tetapi keduanya belmn dewasa, maka tidak berhak a1:as urusan nikahnya dan
mengenai yang berhubungan dengan memilih pasangan nikanya. Karena yang
berhak adalal1 walinya
2. Sedangkan bagi Imam Syafi'i, berhak atau tidaknya perempuan memilih
pasangan nikah di ukur dari apakal1 perempuan itu gadis atau janda. Maka
apabila perempuan tersebut gadis baik yang dewasa atau yru1g belmn dewasa,
maka yang berhak mengenai urusan nikah dru1 memilih pasangru1 nikah adalah
walinya, karena perempuan tersebut belmn ada pengalan1an menikah.
71
Sedangkan apabila perempuan tersebut janda baik yang dewasa atau belum
dewasa. Maka yang berhak mengenai urusan nikah dan memilih pasangan
nikah adalah hak sepenulmya perempuan janda.
B. Saran-Saran
Slaipsi ini jauh dari kesempurnaan sebagai sebuah karya ilmiah, apalagi
yang dibahas menyangkut pendapat Iman1 Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, tetapi
terlepas dari ha! itn penulis mencoba memberikan saran:
I. Imam Abu Hanifal1 memberikan hukum perempuan memilih pasangan nikah
dengan melihat dari sisi kedewasaan dan Imam Syafi'i me!ihatnya dari status
gadis, mungkin itn merupalcan batasan minimal yang dilakukan oleh keduanya
dengan mempertimbangakan realitas perempuan pada waktn itu. Sehingga
pendapat keduanya mungkin menjadi mashlahat pada waktn itu, tetapi tidak
dimungkinkan mashlahat untuk masa berikutnya.
2. Realitas masyarakat pada zaman Imam Abu Hanifah Dan Imam Syafi'i
berbeda dengan realitas masyarakat modern sekarang, dimana anak
perempuan mempunyai peluang besar untuk rnengenal dunia lain yang
ditawarkan orang tuanya. Si gadis mungkin mempunyai prinsip hidup dan
pilihan yang berbeda dengan orang tuanya, termasuk dalam pilihan
pernikahan. Oleh karena itu, menurut pennlis akan lebih mashlahat kalau
orang tua hanya menununjukan bukan menentukan pilihan pasangan nikah .
.Jadi hak menentukan sepenuhnya ada pada tangan perempuan.
DAFT AR PUST AKA
al-Qur'an al-Karim,
Abbas, Sirajuddin, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syaji 'i, Jakarta: Pustaka Tarbiyahl 991
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, Jakarta: PT. Dian Karya, 1986
al-Asqolani, al-Hafidz bin Hajar, Bulughul Maram, An bani Riyadh: al-Ma'arif, 1992, Juz. Ke-3
Departeman Agama Rl, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam 1992 <..---
Departemen Agama Rl, Topik Inti Kurikulum Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam Fakultas Syari 'ah Jakarta : Depag. RJ 1998
Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqih Munakahat, Jakarta : Prenada Media, 2003 L
Hadikusm11a, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Bandar Maju 1990 ~
Hasyimi, Moh. Ali, Kepribadian Wanita Muslimah Menurut al-Qur 'an dan al-Hadis Jakarta : Akademika Pressindo, 1997
Hosen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan Pernikahan, Jakarta: Pm;taka Firdaus, Jmli 2003. cet 1
al-Jaziri, Abd. Rahman, al-Fiqh 'ala Mazdahib al-Arba 'a, Beirut: Dar al-Fikr juz IV
al-Kahlani, Muhamad bin Ismail, Subulus al-Salam, Bandm1g: Dahl1111, t.th, juz III,
KI1alil, Munawar, Biografi Empat Serangkai Imam 1\!fadzhab, Jakarta: Bulan Bintang
Ma'arif, Samsul, et.all, Fiqh Progresif, Jakarta: FKKU Press, 2003
al-Mawardi, Abi Hasan, al-Khawi al-Kubro, Beirut: Dar al-Kutb al-'Alamial1
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, Jalcarta: Lentera 2001, Cet ke-7
Muhamad, Husein, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LkiS, Apdl 2001, cet ke-1
73
Muhdlor, A. Zuhdi, Memahami Hukum Perkawinan, al-Bayan
Nur, Djaman, Fiqh Afunakahat; Semarang: Dina Utama Semarang, 1993 Cet. Ke-I ,_,
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998
al-Sarthawi, Mahmud Ali, Syarkhu Qanun al-Akhwal al-Syakhsiyah, Amman: Dar alFila" 1996
Ash-Shiddiqie, Hasbi Pengantar flmu Fiqih, Semarang: Pustaka Rizki Putra 1997
_____ ,, Hasbi Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra 1997
Sulaiman, Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar Ibnu Khazm, 1997
asy-Syafi'i, Abi Ishak Ibrahim, al-Muhadzab Fi al-Fiqh al-Imam asy-Syaji 'i, Beirut: Dar al-Fikr, juz II
Syafi'i, Iman1, al-Risa/ah, Beirut: Dar al-Fikr
____ _, al-Risalahfi al-Ilmi Ushul, Libanon: al-Ilmiah
Syaltut, Syaikh Malnnud, as-Says, Ali, Perbandingan Mazhab dalam masalah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang 1991 cet. Ke-6
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih Jakarta: Prenada Media, 2003
Y afie, Ali, Menggagas Fiqih Sosial, Bandung : Mizan 1995
Yunus, Mallmoud, Kamus arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Pente1jemah Tafsir al-Qur' an, 1973
Zahra, Muallan1ad Abu, Abu Hanifah Hayatuhu Wa 'Aruhu Wa Fiqhuhu, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t
i---·--""""--··-·-·~-··-·-----~---··· 1
I mN sviwm~