PAPER ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN
“SUSTAINABLE DEVELOPMENT”
Disusun Oleh:
Gilang Yudha Palagan
240110110053
DEPARTEMEN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2015
SUSTAINABLE DEVELOPMENT
Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota,
bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan" (menurut Brundtland
Report dari PBB, 1987. Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari
Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki
kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi
dan keadilan sosial. (oman)
Banyak laporan PBB, yang terakhir adalah laporan dari KTT Dunia 2005,
yang menjabarkan pembangunan berkelanjutan terdiri dari tiga tiang utama
(ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat.
Untuk sebagian orang, pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan
pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi
dalam jangka panjang, tanpa menghabiskan modal alam. Namun untuk sebagian
orang lain, konsep "pertumbuhan ekonomi" itu sendiri bermasalah, karena
sumberdaya bumi itu sendiri terbatas.
Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada isu-isu
lingkungan. Lebih luas daripada itu, pembangunan berkelanjutan mencakup tiga
lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan
lingkungan. Dokumen-dokumen PBB, terutama dokumen hasil World Summit
2005 menyebut ketiga hal dimensi tersebut saling terkait dan merupakan pilar
pendorong bagi pembangunan berkelanjutan.
Gambar 1. Sustainable Development
(Sumber. Wikipedia.co.id)
Skema pembangunan berkelanjutan:pada titik temu tiga pilar tersebut,
Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh menggali
konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa "...keragaman
budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati bagi
alam". Dengan demikian "pembangunan tidak hanya dipahami sebagai
pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan
intelektual, emosional, moral, dan spiritual". dalam pandangan ini, keragaman
budaya merupakan kebijakan keempat dari lingkup kebijakan pembangunan
berkelanjutan.
Pembangunan Hijau pada umumnya dibedakan dari pembangunan
bekelanjutan, dimana pembangunan Hijau lebih mengutamakan keberlanjutan
lingkungan di atas pertimbangan ekonomi dan budaya. Pendukung Pembangunan
Berkelanjutan berargumen bahwa konsep ini menyediakan konteks bagi
keberlanjutan menyeluruh dimana pemikiran mutakhir dari Pembangunan Hijau
sulit diwujudkan. Sebagai contoh, pembangunan pabrik dengan teknologi
pengolahan limbah mutakhir yang membutuhkan biaya perawatan tinggi sulit
untuk dapat berkelanjutan di wilayah dengan sumber daya keuangan yang
terbatas.
Pada awalnya, perkembangan mengenai pembangunan berkelanjutan ini
dimulai dengan diterbitkannya buku Rachel Carson, dengan judul Silent Spring,
yang diterbitkan pada tahun 1962. Dalam bukunya tersebut, ia menyatakan bahwa
konsep pembangunan berkelanjutan yaitu proses pembangunan atau
perkembangan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa
membahayakan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhannya dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk kehidupan. Sejak
itu, banyak tonggak yang telah menandai perjalanan pembangunan berkelanjutan.
Pada tahun 1972, pembangunan berkelanjutan ini dimasukkan ke dalam
agenda PBB. Ada beberapa kejadian penting yang dapat menjadi catatan penting
pada tahun ini, antara lain yaitu penyelenggaraan UN Conference on the Human
Environment (UNCHE) di Stockholm, Swedia, yang kemudian mendorong
pembentukan beberapa badan perlindungan lingkungan tingkat nasional dan the
UN Environment Programme (UNEP), dimana hari pembukaan konferensi inilah
yang dijadikan tanggal yang selalu diperingati sebagai Hari Lingkungan
Internasional (World Environmental Day) setiap tanggal 5 Juni. Sejak konferensi
Stockholm, terbentuk dua aliran besar pembangunan dalam paradigma
pembangunan di dunia, yaitu kaum developmentalist versus kaum
environmentalist yang sangat berpengaruh selama beberapa dasawarsa.
Perdebatan yang meluas antara kedua aliran pandangan ini tanpa disadari juga
semakin meningkatkan pemahaman, penghayatan, dan kesadaran umat manusia
akan pentingnya lingkungan hidup di seluruh dunia.
Pada tahun 1975, ada dua kejadian penting yang terjadi, yaitu The
Convention on International Trade in Endangered Species of Flora and Fauna
(CITES) atau Konvensi mengenai Perdagangan Spesies Langka dari Tanaman dan
Hewan mulai diberlakukan atau mengikat dan setahun kemudian, pada tahun
1976, diselenggarakan the UN Conference on Human Settlements yang
merupakan pertemuan tingkat dunia yang pertama yang menghubungkan
lingkungan dan pemukiman manusia.
Pada tahun 1979, Convention on Long-Range Transboundary Air Pollution
atau Konvensi mengenai Polusi Udara Jarak Jauh Lintas Batas Negara diadopsi.
Setahun kemudian, pada tahun 1980, ada beberapa kejadian penting yang tercatat
yaitu peluncuran World Conservation Strategy atau Strategi Konservasi Dunia
oleh the International Union for Conservation of Nature (IUCN), dimana dalam
laporannya pada bagian “menuju ke arah pembangunan berkelanjutan”
mengidentifikasi sebab utama dari perusakan habitat, yaitu kemiskinan, tekanan
populasi, ketidaksetaraan sosial, dan rezim perdagangan termasuk menyerukan
dibentuknya suatu strategi pembangunan internasional yang baru untuk
memperbaiki ketidaksetaraan, dan publikasi laporan Independent Commission on
International Development Issues atau Komisi Independen mengenai Isu-Isu
Pembangunan Internasional yang berjudul North-South: A Programme for
Survival (Brandt Report), yang menyerukan dibentuknya hubungan ekonomi yang
baru antara Utara dan Selatan.
Pada tahun 1986, penyelenggaraan UN Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS) atau Konvensi PBB tentang Hukum Laut diadopsi, dimana konvensi
tersebut mengeluarkan materi-materi pengaturan yang terkait dengan standar
lingkungan dan penerapan aturan-aturan yang terkait dengan pencemaran laut, dan
diberlakukannya The UN World Charter for Nature atau Piagam PBB mengenai
Alam mengadopsi prinsip bahwa setiap bentuk kehidupan adalah unik dan
seharusnya dihargai tanpa memandang kegunaannya bagi umat manusia. Piagam
tersebut menyerukan pemahaman mengenai ketergantungan kita atas sumber daya
alam dan keharusan kita untuk mengontrol kegiatan eksploitasinya.
Pada bulan Desember 1983, Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Sidang
Umumnya membentuk satu komisi yang disebut World Commission on
Environment and Development, disangkat WCED. WCED dibentuk sesuai
resolusi Sidang Umum No.38/161 dan dipimpin oleh Perdana Menteri Gro
Harlem Brundtland dari Norwegia dan Masour Khalid dari Sudan. Dari Indonesia,
yang menjadi anggota adalah Prof. Dr. Emil Salim. Salah satu tugas WCED
adalah menyusun suatu strategi jangka panjang untuk pengembangan lingkungan
menuju pembangunan berkelanjutan di tahun 2000 dan sesudahnya. Setahun
kemudian, pada tahun 1984, diselenggarakannya International Conference on
Environment and Economics atau Konferensi Internasional mengenai Lingkungan
dan Ekonomi oleh OECD yang menyimpulkan bahwa lingkungan dan ekonomi
harus saling memperkuat. Kesimpulan dari konferensi tersebut membantu dalam
pembentukan laporan Our Common Future.
Pada tahun 1985, dalam pertemuan the World Meteorological Society atau
masyarakat meteorologi dunia di Austria pertama kali disebutkan mengenai isu
Climate Change atau perubahan iklim, dimana the UNEP dan the International
Council of Scientific Unions dalam laporannya menyatakan bahwa terjadi
penumpukan karbon dioksida dan “gas rumah kaca” lainnya di atmosfer. Hal
tersebut ditengarai sebagai penyebab pemanasan global. Pada tahun ini juga
ditemukan bahwa ada lubang ozon di Antartika, berdasarkan penelitian dari ahli
Inggris dan Amerika Serikat.
Pada tahun 1987, ada beberapa kejadian penting yang harus dicatat yaitu
diterbitkan laporan dari the World Commission on Environment and Development
(WCED) yang dikenal dengan nama Brundtland Report yang diberi judul Our
Common Future atau Masa Depan Kita Bersama, dimana dalam laporan tersebut
menggabungkan isu-isu sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan dengan solusi
global, termasuk juga mempopulerkan istilah “sustainable development” atau
pembangunan berkelanjutan, dibuatnya pedoman oleh OECD Development
Advisory Committee atau Komite Penasehat Pembangunan OECD untuk
lingkungan dan pembangunan dalam kerangka bantuan kebijakan bilateral, dan
diadopsinya Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer atau
Protokol Montreal mengenai bahan-bahan yang dapat merusak lapisan ozon.
Pada tahun 1988, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau
panel antarpemerintah mengenai perubahan iklim dibentuk dengan tujuan untuk
mengevaluasi penelitian yang paling terbaru di lapangan terkait dengan ilmu
pengetahuan, teknis, dan sosio-ekonomi. Pada tahun 1990, kejadian penting yang
tercatat yaitu penyelenggaraan UN Summit for Children atau KTT PBB mengenai
anak-anak, pengakuan yang penting mengenai akibat dari lingkungan bagi
generasi yang akan datang.
Pada tahun 1992, diselenggarakan UN Conference on Environment and
Development (UNCED) atau Konferensi PBB mengenai Lingkungan dan
Pembangunan yaitu konferensi khusus tentang lingkungan dan pembangunan
yang dikenal sebagai Earth Summit atau KTT Bumi Pertama di Rio de Jeneiro,
Brazil. Dari sini, terbentuklah United Nations Commission on Sustainable
Development (UNCSD). Setelah itu, pelbagai konferensi dan forum-forum tingkat
dunia secara periodik terus diselenggarakan untuk membahas berbagai masalah
dalam pelaksanaan prinsip pembangunan berkelanjutan di berbagai negara. Dalam
konferensi, kesepakatan yang dicapai terkait dengan rencana aksi Agenda 21 dan
pada konvensi keanekaragaman hayati (the Biological Diversity), konvensi
kerangka kerja perubahan iklim (the Framework Convention on Climate Change)
dan prinsip-prinsip kehutanan yang tidak mengikat.
Pada tahun 1993, diselenggarakan Pertemuan pertama dari the UN
Commission on Sustainable Development, yang diadakan untuk memastikan
tindak lanjut dari UNCED, meningkatkan kerja sama internasional dan
merasionalisasi kapasitas pembuatan keputusan antarpemerintah. Setahun
kemudian, di tahun 1994, beberapa kejadian penting yang tercatat yaitu pendirian
Global Environment Facility yang bertujuan merestrukturisasi miliaran dolar
bantuan untuk memberikan lebih banyak kekuatan membuat keputusan kepada
negara-negara berkembang dan pembentukan Earth Charter Initiative yang baru
telah diluncurkan melalui proses konsultasi yang paling terbuka dan partisipatif
yang pernah dilakukan yang terkait dengan dokumen internasional.
Pada tahun 1995, beberapa kejadian penting yang terjadi yaitu pembentukan
World Trade Organization (WTO), dengan pengakuan secara formal terhadap
hubungan antara perdagangan, lingkungan, dan pembangunan, penyelenggaraan
World Summit for Social Development di Kopenhagen, dimana hal ini adalah
pertama kalinya komunitas internasional mengekspresikan komitmen yang jelas
terkait dengan pemberantasan kemiskinan dan penyelenggaraan Fourth World
Conference on Women di Beijing, dimana dalam negosiasinya diakui bahwa status
wanita telah meningkat, akan tetapi rintangan tetap ada terkait dengan realisasi
hak-hak wanita sebagai hak asasi manusia. Setahun kemudian, pada tahun 1996,
ISO 14001 secara formal diadopsi sebagai standar internasional yang dilakukan
secara sukarela untuk sistem manajemen lingkungan perusahaan. Pada tahun
1999, dilaksanakannya peluncuran Index Berkelanjutan Dow Jones, yang
merupakan alat yang pertama yang dijadikan pedoman bagi investor yang sedang
mencari perusahaan yang menguntungkan yang tetap mengikuti prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan.
Pada tahun 2000, UN Millennium Development Goals atau Tujuan
Pembangunan Milenium PBB yang dihasilkan dari pertemuan terbesar pemimpin
dunia yang sepakat untuk menetapkan tujuan yang terikat dengan waktu dan
tujuan yang terukur untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, penyakit, buta
huruf, degradasi lingkungan, dan diskriminasi terhadap wanita, yang akan dicapai
pada tahun 2015 dan dalam tahun yang sama juga mengadopsi Earth Charter
yang diluncurkan pada tanggal 29 Juni 2000, di Den Haag, Belanda, didukung
oleh lebih dari 14.000 individu dan organisasi yang mewakili jutaan orang di
seluruh dunia, namun telah gagal untuk mencapai kesepakatan yang diinginkan
atau adopsi oleh the 2002 World Summit on Sustainable Development atau the UN
General Assembly, dengan Earth Charter Initiative sebagai organisasi yang
mempromosikan misi dari Earth Charter tersebut.
Pada tahun 2001, Konferensi Tingkat Menteri WTO yang Keempat, yang
diadakan di Doha, Qatar, mengakui perhatian atas lingkungan dan pembangunan
dalan deklarasi finalnya. Dan kemudian masih pada tahun yang sama, United
Nations Department for Economic and Social Affairs (UNDESA), bekerja sama
dengan Pemerintah Ghana, Inggris, Denmark, dan UNDP, mengadakan
International Forum on National Sustainable Development Strategies (NSDSs)
pada 7-9 November 2001 di Accra, Ghana. Forum ini diselenggarakan sebagai
persiapan dari World Summit on Sustainable Development (WSSD) yang
diadakan di Johannesburg, Afrika Selatan, pada 26 Agustus hingga 6 September
2002 yang dikenal sebagai Earth Summit 2002.
Kemudian di tahun 2002, tepatnya pada tanggal 26 Agustus - 4 September,
diadakan World Summit on Sustainable Development (WSSD) dengan tema
Economy, Environment, and Society yang diselenggarakan di Johannesburg,
Afrika Selatan. WSSD atau KTT Dunia mengenai Pembangunan Berkelanjutan
tersebut, menandai 10 tahun UNCED. 737 LSM baru dan lebih dari 8.046
perwakilan dari kelompok utama (bisnis, petani, masyarakat adat, pemerintah
daerah, LSM, komunitas ilmu pengetahuan dan teknologi, serikat buruh, dan
wanita) menghadiri KTT Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan di
Johannesburg. Kelompok-kelompok ini mengorganisir diri mereka ke dalam
sekitar 40 kaukus berbasis geografis dan isu. Dalam suasana frustasi karena
kurangnya kemajuan dari pemerintah, KTT mempromosikan “kemitraan” sebagai
pendekatan yang tidak dinegosiasikan terhadap keberlanjutan.
Pada tahun 2005, beberapa kejadian penting yang dicatat yaitu mulai
diberlakukannya Kyoto Protocol yang secara hukum mengikat pihak negara maju
dengan tujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menetapkan
Mekanisme Pembangunan Bersih bagi negara-negara berkembang. Setahun
berikutnya, pada tahun 2006, ada beberapa laporan yang terkait sustainable
development, yaitu Laporan Stern membuat kasus ekonomi yang meyakinkan
bahwa biaya yang dikeluarkan apabila tidak menanggapi perubahan iklim akan
menjadi 20 kali lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk
melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengatasi isu perubahan
iklim tersebut dan laporan NASA bahwa lapisan ozon telah pulih karena peran
dalam mengurangi konsentrasi dari CFCs, dihapuskan berdasarkan Protokol
Montreal.
Pada tahun 2008, Ide mengenai Green Economy atau Ekonomi Hijau mulai
masuk kedalam arus utama. Pemerintahan nasional menginvestasikan sebagian
dari stimulus ekonomi mereka ke dalam aksi-aksi lingkungan, dan ekonomi
rendah karbon dan pertumbuhan hijau menjadi tujuan baru dari perekonomian
masa depan. Masih pada tahun yang sama, pada 10-12 November 2008, atas kerja
sama OECD dan International Transport Forum (ITF) diadakan pula Global
Forum on Sustainable Development dengan tema Transport and Environment in
Globalizing World di Guadalajara, Mexico.
Setahun kemudian, pada tahun 2009, Negosiasi iklim Kopenhagen, dimana
target dan aksi domestik dari emiter besar seperti misalnya Amerika Serikat dan
China memegang peranan utama, akan tetapi proses internasional terus terlihat
sebagai bagian yang penting dalam mengukur apakah aksi-aksi tersebut sesuai
dengan pengurangan global yang diinginkan oleh ilmu pengetahuan. Hasil dari
negosiasi Kopenhagen tidak jelas: prosesnya mungkin sulit tetapi kesepakatan
Kopenhagen itu sendiri merupakan terobosan dalam pengertian melibatkan
negara-negara berkembang.
Sejarah Perencanaan Pembangunan Indonesia
1. Orde Lama
Pada era Orde Lama, masa pemerintahan presiden Soekarno antara tahun
1959-1967, pembangunan dicanangkan oleh MPR Sementara (MPRS) yang
menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional:
TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik
Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara
TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola
Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969,
Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman
Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
Dengan dasar perencanaan tersebut membuka peluang dalam melakukan
pembangunan Indonesia yang diawali dengan babak baru dalam mencipatakan
iklim Indonesia yang lebih kondusip, damai, dan sejahtera. Proses mengrehablitasi
dan merekontruksi yang di amanatkan oleh MPRS ini diutamakan dalam
melakukan perubahan perekonomian untuk mendorong pembangunan nasional
yang telah didera oleh kemiskinan dan kerugian pasca penjajahan Belanda.
Pada tahun 1947 Perencanaan pembangunan di Indonesia diawali dengan
lahirnya “Panitia Pemikir Siasat Ekonomi”. Perencanaan pembangunan 1947 ini
masih mengutamakan bidang ekonomi mengingat urgensi yang ada pada waktu
itu (meskipun di dalamnya tidak mengabaikan sama sekali masalah-masalah
nonekonomi khususnya masalah sosial-ekonomi, masalah perburuhan, aset Hindia
Belanda, prasarana dan lain lain yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial).
Tanpa perencanaan semacam itu maka cita-cita utama untuk “merubah ekonomi
kolonial menjadi ekonomi nasional” tidak akan dengan sendirinya dapat terwujud.
Apalagi jika tidak diperkuat oleh Undang-Undang yang baku pada masa itu.
Sekitar tahun 1960 sampai 1965 proses sistem perencanaan pembangunan
mulai tersndat-sendat dengan kondisi politik yang masih sangat labil telah
menyebabkan tidak cukupnya perhatian diberikan pada upaya pembangunan
untuk memperbaiki kesejahtraan rakyat.
Pada masa ini perekonomian Indonesia berada pada titik yang paling suram.
Persediaan beras menipis sementara pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk
mengimpor beras serta memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Harga barang
membubung tinggi, yang tercermin dari laju inflasi yang samapai 650 persen
ditahun 1966. keadaan plitik tidak menentu dan terus menerus bergejolak
sehingga proses pembangunan Indonesia kembali terabaikan sampai akhirnya
muncul gerakan pemberontak G-30-S/PKI, dan berakir dengan tumbangnya
kekuasaan presiden Soekarno.
2.Orde Baru
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai Komunis
Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani
sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil
segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno
sebagai Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah
Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media pemberian wewenang
kepada Soeharto secara penuh.
Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional
dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu
diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional.
Pada era Orde Baru ini, pemerintahan Soeharto menegaskan bahwa
kerdaulatan dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian
dalam bidang sosial budaya. Tekad ini tidak akan bisa terwujud tanpa melakukan
upaya-upaya restrukturisasi di bidang politik (menegakkan kedaulatan rakyat,
menghapus feodalisme, menjaga keutuhan teritorial Indonesia serta melaksanakan
politik bebas aktif), restrukturisasi di bidang ekonomi (menghilangkan
ketimpangan ekonomi peninggalan sistem ekonomi kolonial, menghindarkan
neokapitalisme dan neokolonialisme dalam wujudnya yang canggih, menegakkan
sistem ekonomi berdikari tanpa mengingkari interdependensi global) dan
restrukturisasi sosial budaya (nation and character building, berdasar Bhinneka
Tunggal Ika dan Pancasila serta menghapuskan budaya inlander).
Pada masa ini juga proses pembangunan nasional terus digarap untuk dapat
meningkatkan kapasitas masyarakat dan menciptakan lapangan kerja. Pendapatan
perkapita juga meningkata dibandingkan dengan masa orde lama.
Kesemuanya ini dicapai dalam blueprint nasional atau rencana
pembangunan nasional. Itulah sebabnya di jaman orde lama kita memiliki
rencana-rencana pembangunan lima tahun (Depernas) dan kemudian memiliki
pula Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan-Tahun (Bappenas). Di
jaman orde baru kita mempunyai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
I, Repelita II, Repelita III, Repelita IV, Repelita V,dan Repelita VII (Bappenas).
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis
moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus
memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus
memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus
meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan
munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh
mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan
reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12
Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat
mahasiswa Universitas Trisakti. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut
kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”.
Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan
mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu
juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU
Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli,
dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa
terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet
Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur
dari jabatannya
3. Reformasi
Setelah terjadi berbagai goncangan ditanah air dan berbagai tekanan rakyat
kepada presiden Soeharto, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan
jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai
berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor
perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Selain itu pada masa ini juga memberi kebebasan dalam menyampaikan
pendapat, partisipasi masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari
munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat
bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping
kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers.
Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan
Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP).
Dengan hadirnya reformasi pembangunan dapat di kontrol langsung oleh
rakyat, dan kebijakan pembangunanpun didasari demokrasi yang bebunyi dari,
oleh dan untuk rakyat, sehingga dengan dasar ini partisipasi rakyat tidak
terkekang seperti pada masa orde baru,kehidupan perekonomian Indonesia dapat
didorong oleh siap saja.
Selain pemabangunan nasional pada masa ini juga ditekankan kepada hak
daerah dan masyarakatnya dalam menentukan daerahnya masing-masing,
sehingga pembangunan daerah sangat diutamakan sebagaimana dicantumkan
dalam Undang-Undang no 32/2004,Undang-Undang 33/2004, Undang-Undang
18/2001 Untuk pemerintahan Aceh, Undang-Undang 21/2001 Untuk Papua.
Keempat undang-undang ini mencerminkan keseriusan pusat dalam melimpahkan
wewenangnya kepada pemerintah dan rakyat di daerah agar daerah dapat
menentukan pembangunan yang sesuai ratyatnya inginkan.
Tahap Implementasi: pra-1987, UU 4/1982 dan periode 1987 – 1993, PP No.
29/1986.
AMDAL mulai diterapkan di Indonesia secara formal pada tahun 1982 melalui
penerapan Undang Undang nomor 4/1982 namun belum dilaksanakan secara luas
karena belum adanya pedoman pelaksanaan yang lebih rinci walaupun pada
periode ini sudah ada yang melakukan studi AMDAL sebagai pemenuhan
persyaratan bantuan luar negeri dan permintaan lembaga donor. Pada periode ini
implementasi AMDAL masih terbatas karena masih kurangnya pemahaman
AMDAL oleh para stakeholder. Barulah pada tahun 1986 ketika Peraturan
Pemerintah nomor 29/1986 tentang AMDAL mulai diberlakukan, AMDAL secara
sistematis mulai dilaksanakan dan bahkan cenderung sangat ekstensif karena
banyak sekali kegiatan yang diwajibkan menyusun AMDAL dan melakukan
evaluasi lingkungan melalui Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan,
SEMDAL. Dapat dilihat bahwa pengenalam AMDAL di Indonesia pada tahun
1980an merupakan suatu hasil perkembangan kepedulian lingkungan secara
internasional sebagai imbas dari Konferensi Stockholm. Hal ini didorong pula
oleh bantuan program dari Pemerintah Kanada dalam penyusunan perangkat
peraturan AMDAL sejak tahun 1983 (BAPEDAL & EMDI, 1994: 29). Berbagai
panduan disusun untuk melaksanakan AMDAL termasuk panduan teknis dari
berbagai instansi sektoral. Namun demikian koordinasi antar lembaga pelaksana
AMDAL belum demikian terjalin dengan baik pada periode ini. Demikian pula
Sekretariat dan Komisi AMDAL sebagai badan yang melakukan proses
administrasi dan mengkaji secara teknis belum terlalu berkembang.
Tahap Pengembangan: antara 1993 – 2000, PP No. 51/1993.
Tahap ini memberi penekanan pada penyederhanaan proses AMDAL sejalan
dengan deregulasi birokrasi pemerintahan. Muatan deregulasi mencakup
penghilangan proses SEMDAL dan pengenalan berbagai pendekatan dalam proses
AMDAL (proyek tunggal, terpadu, kawasan, dan regional). Dengan hilangnya
proses SEMDAL, beban kerja instansi yang melaksanakan AMDAL menjadi
lebih proporsional, demikian pula jumlah kegiatan wajib AMDAL menjadi lebih
sedikit dan lebih tepat sasaran. Menurut laporan Bapedal (2000) terdapat sekitar
7.000 dokumen yang diproses hingga awal tahun 2000 atau 4.507 dokumen yang
dinilai pada kurun waktu 1993 hingga 1997. Pada masa ini pula institusi Bapedal
mulai beroperasi dengan baik dan memiliki otoritas untuk pentaatan AMDAL dan
pengawasan kualitas dari dokumen yang dihasilkan. Hal yang cukup menarik
pada periode ini adalah diperkenalkannya berbagai pendekatan studi AMDAL
yang semula hanya dikenal melalui pendekatan proyek (seperti di negara asalnya).
Pada periode ini paling tidak terdapat empat pendekatan dalam studi AMDAL
yaitu AMDAL proyek, regional, kawasan, dan terpadu. Dengan pendekatan ini
diharapkan proses AMDAL menjadi lebih efektif dan berbagai isu seperti dampak
kumulatif atau dampak yang lebih strategis dapat diantisipasi.
Tahap Perbaikan (Refi nement): pasca-2000, UU 23/1997 dan PP No.
27/1999.
Tahap ini memberikan penekanan pada prosedur pelibatan masyarakat,
sentralisasi kewenangan dari sektoral kepada Bapedal dan redesentralisasi
pelaksanaan AMDAL kepada pemerintah daerah (propinsi) serta adanya
pendekatan AMDAL lintas batas. Periode ini ditandai dengan pembubaran Komisi
Penilai AMDAL di departemen sektoral dan pemusatan pelaksanaan AMDAL
oleh Bapedal. Bapedal mendistribusikan kewenangan AMDAL ini ke tingkat
propinsi. Dari sisi positif dapat dikatakan bahwa penilaian AMDAL diharapkan
menjadi lebih obyektif dan tidak bias dengan kepentingan pembangunan oleh
instansi sektoral. Di samping itu, desentralisasi kewenangan AMDAL ke tingkat
propinsi menunjukkan berjalannya prinsip akuntabilitas daerah dalam
pembangunan berkelanjutan. Dari sisi negatif dapat dikatakan bahwa perubahan
ini menghilangkan sumber daya manusia AMDAL di departemen sektoral dan
menurunkan perhatian lingkungan oleh instansi teknis pelaksana pembangunan
fisik. Dari sisi kemajuan sistem AMDAL, selain pendekatan lintas batas, periode
ini juga mengenalkan mekanisme pelibatan masyarakat yang lebih intensif di
dalam proses AMDAL. Demikian pula proses AMDAL menjadi lebih sederhana
dan kegiatan wajib AMDAL menjadi lebih sedikit dan proporsional hanya untuk
rencana kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting. Namun
demikian, pada masa ini terdapat kemunduran yang sangat berarti karena
perubahan kondisi politik di tanah air. Institusi Bapedal yang menjadi ujung
tombak pelaksanaan AMDAL dibubarkan pada tahun 2002 dan fungsi tugasnya
digabungkan ke dalam KLH. 14 Di sisi lain, kebijakan otonomi daerah telah
memberikan kewenangan pemerintahan seluas-luasnya kepada tingka kabupaten
dan kota. Hal ini termasuk kewenangan untuk proses AMDAL. Dikatakan
kemunduran karena pelaksanaan AMDAL oleh pemerintah kabupaten dan kota
tidak dipersiapkan secara matang secara peraturan atau pun secara teknis. Sebagai
bukti, hingga saat ini Peraturan Pemerintah nomor 27/1999 hanya memberikan
kewenangan proses AMDAL hingga tingkat propinsi.
Tahap Revitalisasi AMDAL: setelah 2004-2007.
Para praktisi AMDAL menyadari masih banyaknya kekurangan di dalam sistem
pengelolaan lingkungan, termasuk di dalam sistem AMDAL. Untuk itu terdapat
keinginan untuk meningkatkan beberapa hal seperti adanya wacana akan perlunya
undang-undang AMDAL tersendiri (seperti NEPA) yang memberikan klausal
sanksi hukum yang jelas terhadap pelanggar proses AMDAL, reformasi
mekanisme AMDAL, pengaturan wewenang proses AMDAL sejalan dengan
revisi UU Pemerintahan Daerah dan perlunya perangkat pengelolaan lingkungan
lainnya pendukung AMDAL (Kajian Lingkungan Strategis KLS, Kajian Risiko
Lingkungan KRL atau Environmental Risk Assessment ERA, Sistem Manajemen
Lingkungan SML atau Environmental Management System EMS, Audit
Lingkungan) di dalam perangkat pencegahan. Hal ini bermuara pada perubahan
UU Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 23/1997) yang hingga saat ini masih
dibahas. Tendensi yang ada saat ini adalah bahwa kewenangan AMDAL tetap
didistribusikan hingga tingkat pemerintah kabupaten dan kota. Sementara itu,
perdebatan untuk pemberian sanksi hukum masih terus bergulir untuk
dicantumkan dalam Rancangan Undang Undang Lingkungan Hidup yang baru.
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang AMDAL pun sedang dikaji dan disusun.
Beberapa ide seperti penyederhanaan proses AMDAL (lebih cepat) dan perubahan
mekanisme AMDAL masih terus dikaji untuk perubahan ke arah yang lebih baik.
Pengaruh Pembangunan Berkelanjutan Bagi AMDAL
Pembangunan yang terus meningkat di segala bidang, khususnya
pembangunan di bidang industri, semakin meningkatkan pula jumlah limbah yang
dihasilkan termasuk yang berbahaya dan beracun yang dapat membahayakan
lingkungan dan kesehatan manusia. Untuk mencegah timbulnya pencemaran
lingkungan dan bahaya terhadap kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya,
limbah bahan berbahaya dan beracun harus dikelola secara khusus agar dapat
dihilangkan atau dikurangi sifat bahayanya.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas telah mendorong Pemerintah
untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
1994 tanggal 30 April 1994 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 26,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3551) yang kemudian
direvisi dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3595). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1994 ini kembali
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 31) dan terakhir diperbaharui kembali melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang.
Dasar hukum dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini antara lain
adalah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1982 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) sebagaimana
kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699,
mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 19 September 1997) serta Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara tahun
1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274).
Lingkungan hidup didefenisikan oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982
sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Sedangkan
yang dimaksud dengan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan pengawasan, dan
pengendalian lingkungan hidup.
Inti masalah lingkungan hidup adalah hubungan timbal balik antara makhluk
hidup (organisme) dengan lingkungannya yang bersifat organik maupun
anorganik yang juga merupakan inti permasalahan bidang kajian ekologi.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah oleh Pasal 3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup
diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas
manfaat dan bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kata-kata “pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup” sebagaimana tercantum dalam tujuan tersebut di atas merupakan “kata
kunci” (key words) dalam rangka melaksanakan pembangunan dewasa ini
maupun di masa yang akan datang. (Koesnadi Hardjasoemantri, 1990: 127).
Istilah “pembangunan berkelanjutan yang berwawasan Lingkungan”
merupakan suatu terjemahan bebas dari istilah “sustainable development” yang
menggambarkan adanya saling ketergantungan antara pelestarian dan
pembangunan. Istilah ini untuk pertama kalinya mulai diperkenalkan oleh The
World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan pada
tahun 1980 yang menekankan bahwa kemanusiaan, yang merupakan bagian dalam
alam, tidak mempunyai masa depan kecuali bila alam dan sumber daya alam
dilestarikan. Dokumen ini menegaskan bahwa pelestarian tidak dapat dicapai
tanpa dibarengi pembangunan untuk memerangi kemiskinan dan kesengsaraan
ratusan juta umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Sustainable Development. Wikipedia.co.id (diakses pada 7 Maret
2015 pukul 21.00 WIB)
Asshiddiqie, Jimly. Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Bahan Ajar Pelatihan Penilaian AMDAL (Pusdiklat Kementerian Negara
Lingkungan.Hidup) 2009
Noor, Azamul Fadhly. 2007. Pembangunan dan Masalah Lingkungan Hidup.
https://azamul.wordpress.com/2007/06/07/pembangunan-dan-masalah-
lingkungan-hidup/ (diakses pada 7 Maret 2015 pukul 21.00 WIB)
Recommended