TESIS
PENERAPAN HUKUM ACARA PENGADILAN ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
ANDI DEVI YUSRIANA Y P0902211002
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
PENERAPAN HUKUM ACARA PENGADILAN ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
Program Studi
Ilmu Hukum
Disusun dan diajukan oleh :
ANDI DEVI YUSRIANA Y P0902211002
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim…
Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT, Dzat Yang Maha Kuasa,
Pencipta Ilmu dan Pengetahuan, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Shalawat serta salam senantiasa terlantun kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW, keluarga, dan sahabat-sahabatnya serta bagi mereka yang
istiqmah di jalan-Nya, atas limpahan rezeki berupa ilmu pengetahuan dan izin-Nya,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul : Penerapan Hukum
Acara Pengadilan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana.
Penulis sadar walaupun telah banyak masukan, arahan, bimbingan yang
diberikan terutama oleh Komisi Penasihat dalam upaya menyempurnakan tesis ini,
namun tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan. Hal
ini merupakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis, dan bukan
merupakan suatu kesengajaan.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang paling tulus dan dalam teruntuk
orang tua tercinta yang telah menjadi pembimbing dan anutan manusiawiku dalam
mengarungi dan menjalani hidup, walau ikhlas sampai saat ini dan sampai kapanpun
saya tidak mampu memberi sesuatu yang setimpal dengan apa yang telah mereka
berikan.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Prof. Dr.
Muhadar, S.H., M.Si. dan Ibu Dr. Wiwie Heryani, S.H., M.H., sebagai Ketua dan
Anggota Komisi Penasihat, atas luang waktunya yang sangat berharga dalam
membimbing sekaligus memberikan dorongan moril kepada penulis.
Dalam kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua penulis Ibunda Andi Sahriawan
AM, S.H., M.H., dan Ayahanda Andi S Yusuf T, S.H., atas segala pengorbanan,
kasih sayang serta jerih payahnya selama membesarkan dan mendidikku, serta doa
yang senantiasa dipanjatkan hanya semata-mata mengharapkan keberhasilan
penulis.
Terima kasih pula penulis haturkan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Marthen Arie, SH., MH. sebagai Ketua Program Studi S2 Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, atas segala petunjuk
dan bantuannya selama ini kepada penulis.
2. Segenap dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang senantiasa
meluangkan waktunya guna mengajarkan ilmu yang sangat berharga kepada
penulis.
3. Teman-teman pada Program Pascasarjana angkatan 2011 atas kebersamaan
dan keakraban yang telah terjalin.
4. Saudara-saudaraku tersayang Andi Dedi Priyanto, S.H., Andi Nurcahyanti dan
Andi Puspitasari terima kasih atas segala bantuannya, materil maupun inmateril
kepada penulis.
5. Teman-teman Unhy, Anthy, Kak Diana, Kak Darma, Kak Ria, Kak Asdar, Kak
Izoel, Kak Agus n Pak Syam terima kasih atas persahabatan dan bantuan kalian.
6. Staf akademik yang telah membantu kelancaran akademik penulis selama studi
di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
7. Kantor Polres Bone, Kejaksaan Negeri Bone, Pengadilan Negeri Bone dan
Lembaga Pemasyarakatan Bone makasih atas bantuannya telah memberi data
yang penulis butuhkan.
Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu
dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan
yang sifatnya membangun guna perbaikan dan penyempurnaan usulan tesis ini.
Semoga Allah SWT senantiasa membalas pengorbanan tulus yang telah
diberikan dengan segala limpahan Rahmat dan HidayahNya. Akhir kata, semoga
karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua kelak. Amin.
Makassar, Mei 2013
P e n u l i s
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI vi
ABSTRAK viii
ABSTRACT ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 15
C. Tujuan Penelitian 15
D. Manfaat Penelitian 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Anak Nakal 17
B. Pengertian Tindak Pidana Anak 20
C. Batasan Usia Pemidanaan Anak 24
D. Hak-hak Anak yang Melakukan Tindak Pidana 30
E. Perlindungan Anak 38
F. Proses Penyelesaian Perkara Pidana Anak 42
G. Kerangka Pikir 59
H. Definisi Operasional 63
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian 64
B. Lokasi Penelitian 64
C. Populasi dan Sampel 64
D. Jenis dan Sumber Data 65
E. Teknik Pengumpulan Data 65
F. Teknik Analisis Data 66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penerapan Hukum Acara Pengadilan Anak Sebagai Pelaku
Tindak Pidana 67
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Hukum Acara
Pengadilan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana 118
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 147
B. Saran 148
DAFTAR PUSTAKA 150
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi
penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari
pemerintah, dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber daya
manusia yang tangguh serta berkualitas. Berkaitan dengan pembinaan anak
diperlukan sarana dan prasarana hukum yang mengantisipasi segala
permasalahan yang timbul.
Sarana dan prasarana yang dimaksud menyangkut kepentingan anak
maupun yang menyangkut penyimpangan sikap dan perilaku yang menjadikan
anak terpaksa dihadapkan ke muka pengadilan. Mental anak yang masih dalam
tahap pencarian jati diri, kadang mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi
lingkungan di sekitarnya, sehingga jika lingkungan tempat anak berada tersebut
buruk, dapat terpengaruh pada tindakan yang dapat melanggar hukum. Hal itu
tentu saja dapat merugikan dirinya sendiri dan masyarakat. Tidak sedikit tindakan
tersebut akhirnya menyeret mereka berurusan dengan aparat penegak hukum.
Anak merupakan bagian dari masyarakat, mereka mempunyai hak yang
sama dengan masyarakat lain yang harus dilindungi dan dihormati. Setiap
negara dimanapun di dunia ini wajib memberikan perhatian serta perlindungan
yang cukup terhadap hak-hak anak, yang antara lain berupa hak-hak sipil,
ekonomi, sosial dan budaya. Namun sepertinya kedudukan dan hak-hak anak
jika dilihat dari perspektif yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh
pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya dan masih
jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan kepada mereka. Kondisi inipun
dipersulit oleh lemahnya penerapan hukum mengenai hak-hak anak yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat
jaminan dan perlindungan hukum internasional maupun hukum nasional, yang
secara universalpun dilindungi dalam Universal Declaration of Human Right
(UDHR) dan International on Civil and Political Rights (ICPR). Pembedaan
perlakuan terhadap hak asasi anak dengan orang dewasa, diatur dalam
konvensi-konvensi internasional khusus. Sebagaimana diutarakan dalam
Deklarasi Hak-Hak Anak : “…the child, by reasons of his physical and mental
immaturity, needs special safeguards and care, including appropriate legal
protection, before as well as after birth…” Deklarasi Wina tahun 1993 yang
dihasilkan oleh Konferensi Dunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM),
kembali menekankan prinsip “First Call for Children”, yang menekankan
pentingnya upaya-upaya nasional dan internasional untuk memajukan hak-hak
anak atas “survival protection, development and participation.” (Harkristuti
Harkrisnowo, 2002:4).
Di Indonesia telah dibuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya sangat
menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu diratifikasinya
Konvensi Hak Anak (KHA) dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.
Peraturan perundangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia antara
lain Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Secara
substansinya undang-undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak
hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk
beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi,
beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial.
Dibuatnya aturan-aturan tersebut sangat jelas terlihat bahwa negara
sangat memperhatikan dan melindungi hak-hak anak. Hak-hak anak tersebut
wajib dijunjung tinggi oleh setiap orang. Namun sayangnya dalam
pengaplikasiannya masalah penegakan hukum (law enforcement) sering
mengalami hambatan maupun kendala baik yang disebabkan karena faktor
internal maupun faktor eksternal.
Salah satunya adalah dalam sistem pemidanaan yang sampai sekarang
terkadang masih memperlakukan anak-anak yang terlibat sebagai pelaku tindak
pidana itu seperti pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak
ditempatkan dalam posisi sebagai seorang pelaku kejahatan yang patut untuk
mendapatkan hukuman yang sama dengan orang dewasa dan berlaku di
Indonesia.
Padahal pemidanaan itu sendiri lebih berorientasi kepada individu pelaku
atau biasa disebut dengan pertanggungjawaban individual/ personal (Individual
responsibility) dimana pelaku dipandang sebagai individu yang mampu untuk
bertanggung jawab penuh terhadap perbuatan yang dilakukannya, sedangkan
anak merupakan individu yang belum dapat menyadari secara penuh atas
tindakan/perbuatan yang dilakukannya, hal ini disebabkan karena anak
merupakan individu yang belum matang dalam berpikir. Tanpa disadari hal
tersebut tentu saja dapat menimbulkan dampak psikologis yang hebat bagi anak
yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan mental dan jiwa dari si anak
tersebut. Oleh sebab itu dengan memperlakukan anak itu sama dengan orang
dewasa maka dikhawatirkan si anak akan dengan cepat meniru perlakuan dari
orang-orang yang ada di dekatnya.
Kenakalan anak atau dalam istilah asingnya disebut dengan Juvenile
Delinquency. Ada dua hal yang menjadi topik pembicaraan utama yaitu segi
pelanggaran hukumnya dan sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari
norma yang berlaku dan melanggar hukum atau tidak. Juvenile Delinquency
adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum
maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda (Wagiati
Soetodjo, 2006:11).
Ketentuan kejahatan anak atau disebut delikuensi anak diartikan sebagai
bentuk kejahatan yang dilakukan anak dalam title-titel khusus dari bagian KUHP
dan atau tata peraturan perundang-undangan (Maulana Hassan Wadong,
2000:81). Pengadilan anak dibentuk karena dilatarbelakangi sikap keprihatinan
yang melanda Negara-negara Eropa dan Amerika atas tindakan kriminalisasi
yang dilakukan anak dan pemuda yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin
meningkat. Namun perlakuan terhadap pelaku tindak kriminal dewasa, sehingga
diperlukan tindakan perlindungan khusus bagi pelaku kriminal anak-anak.
Pengadilan anak dimaksudkan untuk menanggulangi keadaan yang
kurang menguntungkan bagi anak-anak, dan dalam pelaksanaan proses
peradilan pidana anak tidak boleh diperlakukan sama seperti orang dewasa. Di
Indonesia sendiri dalam rangka mewujudkan suatu peradilan yang benar-benar
memperhatikan kepentingan anak perlu diwujudkan peradilan yang terbatas bagi
anak untuk menjamin kepentingan anak melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak (yang disingkat UU Pengadilan Anak), kemudian
digantikan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (yang disingkat UU SPPA) yang disahkan oleh
Pemerintah pada tanggal 30 Juli 2012 dan berlaku 2 (dua) tahun dari tanggal
disahkannya. Peradilan khusus bagi anak diadakan guna mengatasi
permasalahan tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang masih termasuk
golongan anak-anak, semuanya wajib disidangkan dalam peradilan bagi anak
yang ada pada pengadilan di lingkungan peradilan umum.
UU Pengadilan Anak akan memberikan landasan hukum yang bersifat
nasional untuk perlindungan hukum bagi anak melalui tatanan peradilan anak.
Selain itu UU Pengadilan Anak, yang ditujukan sebagai perangkat hukum yang
lebih mantap dan memadai dalam melaksanakan pembinaan dan memberikan
perlindungan hukum terhadap anak yang bermasalah dengan hukum maupun
penegakan hak-hak anak dan hukum anak untuk mewujudkan prinsip
kepentingan yang terbaik bagi anak (the best interest of the child). Ketentuan
yang ada dalam UU Pengadilan Anak telah sebagian mengacu pada rambu-
rambu semacam ini. Perampasan kemerdekaan misalnya, haruslah dilakukan
hanya sebagai measure of the last resort, hal mana berkenaan dengan hak anak
untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya (Maulana Hassan Wadong, 2000:81).
Anak sebagai individu yang belum dewasa perlu mendapatkan
perlindungan hukum/yuridis (legal protection) agar terjamin kepentingannya
sebagai anggota masyarakat. Masalah penegakan hak-hak anak dan hukum
anak, pada dasarnya sama dengan masalah penegakan hukum secara
keseluruhan. Oleh karena itu, masalah pengimplementasian hukum anak
dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor (Moh. Joni, dkk. 1999:90) :
1. Peraturan hukumnya, yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah hukum tertentu. Dalam hal ini, masalah peraturan hukum tentang hak-hak anak berkenaan dengan : a. Cara pembentukan dan persyaratan yuridis pembentukannya.
b. Materi hukum tersebut apakah telah sesuai dengan semangat, nilai, asas, atau kaidah hukumnya maupun sanksi hukumnya.
c. Peraturan pelaksanaan yang dikehendaki perlu dipersiapkan untuk mencegah kekosongan hukum.
2. Catur wangsa yang meliputi kepolisian (lembaga penyidik), kejaksaan (penuntut), hakim (peradilan), dan pengacara atau advokat. Untuk menegakkan hak-hak anak dan menegakkan hukum anak, menghadapi permasalahan umum yang melanda Indonesia yakni keterbatasan kemampuan para penegak hukum yang memahami hukum anak dan hak-hak anak, kualitas, pendidikan dan keahlian masing-masing aparat penegak hukum, dan kemampuan organisasi dalam menegakkan hukum anak dan hak-hak anak.
3. Budaya hukum masyarakat, yakni struktur sosial dan pandangan kultural yang berlangsung dan diyakini masyarakat dalam menegakkan hukum sebagai sebuah pedoman tingkah laku sehari-hari. Masalah budaya hukum merupakan masalah penting dalam menegakkan hukum di Indonesia yang menyangkut keyakinan masyarakat pada hukum dan para penegak hukum.
4. Masyarakat hukum, yakni tempat bergeraknya hukum dalam kehidupan sehari-hari yang mencakup dengan sejauh mana kepatuhan masyarakat kepada hukum, kepedulian masyarakat untuk menegakkan hukum untuk menuju ketertiban dan kedamaian. Dalam hal penegakan hak-hak anak dalam praktek kehidupan sehari-hari. Hukum anak hanya pedoman yang bisa dijadikan acuan untuk mengarahkan bagaimana masyarakat bertindak jika masalah anak ditemukan.
Pasal 22 UU Pengadilan Anak, terhadap anak nakal hanya dapat
dijatuhkan pidana atau tindakan. Adapun pidana yang dapat dijatuhkan kepada
anak nakal adalah :
(1) Pidana pokok dan pidana tambahan. (2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal adalah :
a. Pidana penjara b. Pidana kurungan c. Pidana denda d. Pidana pengawasan
(3) Selain Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4) Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Ada pembedaan ancaman pidana bagi anak yang ditentukan oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana dalam penjatuhan pidananya
ditentukan paling lama ½ dari ancaman maksimum terhadap orang dewasa,
sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak
diberlakukan terhadap anak-anak. Sanksi yang dijatuhkan terhadap anak dalam
undang-undang juga ditentukan berdasarkan umur, yaitu bagi anak yang
berumur 8 sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan anak yang
telah berusia 12 sampai anak yang belum mencapai umur 18 tahun baru dapat
dijatuhi pidana.
Untuk terciptanya suatu keseimbangan dalam masyarakat diadakan
sanksi. Sanksi tersebut dibentuk dari suatu sistem atau lembaga yang
berwenang untuk menanganinya.
Semua masyarakat mempunyai sistem kelembagaan dalam menangani
kejahatan dan kenakalan, yang merupakan reaksi terhadap terjadinya kejahatan
dan kenakalan. Sistem kelembagaan yang dimaksud adalah kepolisian,
pengadilan, custodial institutions, dan berbagai metode supervise dan
pembinaan petindak pidana dalam masyarakat (misalnya, probation dan parole).
Tujuan dari reaksi terhadap kejahatan dan kenakalan adalah untuk pencegahan
terhadap kejahatan dan kenakalan, serta resosialisasi petindak pidana (Shanty
Dellyana, 1988:57).
Sistem pemidanaan yang berlaku saat ini di Indonesia hanya bertumpu
pada sifat pemidanaannya saja tanpa memperhatikan bagaimana dapat merubah
si anak tersebut menjadi lebih baik. Diberikannya sistem pemidanaan yang
bersifat edukatif, yaitu suatu sistem pemidanaan yang tidak hanya menekankan
dari segi pemidanaannya saja namun lebih kepada bagaimana caranya agar
seorang anak itu bisa dirubah perilakunya menjadi lebih baik dan tidak akan
mengulangi tindakannya tersebut tanpa harus diberikan sanksi badan atau
penjara.
Hal ini dilihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak pada Pasal 17 ayat (1), yaitu setiap anak yang dirampas
kebebasannya berhak untuk :
1. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
2. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, misalnya bimbingan sosial dari pekerjaan sosial, konsultasi dari psikolog dan psikiater atau bantuan dari ahli bahasa.
3. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam bidang tertutup untuk umum.
Seorang pelaku kejahatan yang dilakukan oleh anak akan lebih mudah
pengendaliannya dan perbaikannya daripada seorang pelaku kejahatan yang
dilakukan oleh orang dewasa. Hal ini disebabkan karena taraf perkembangan
anak itu berlainan dengan sifat-sifatnya dan ciri-cirinya, pada usia bayi, remaja
dewasa dan usia lanjut akan berlainan psikis maupun jasmaninya. Sistem
pemidanaan dengan pemberian sanksi pidana yang bersifat edukatif/mendidik
selama ini jarang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia khususnya
oleh hakim. Salah satu contoh sanksi pidana yang bersifat edukatif adalah
pemberian sanksi pidana yang tidak hanya dikembalikan kepada orang tua/wali
atau lingkungannya saja namun sanksi pidana tersebut sifatnya juga mendidik
misalnya dimasukkan ke pondok pesantren bagi pelaku tindak pidana yang
beragama Islam, atau diberikan kepada gereja bagi yang beragama nasrani, dan
lembaga keagamaan lainnya yang sesuai dengan agama yang dipeluk atau
dianutnya.
Sistem pemidanaan individual (individual responsibility) yang digunakan
selama ini adalah upaya penanggulangan kejahatan yang bersifat fragmentair
yaitu hanya melihat upaya pencegahan tersebut dari segi individu/personalnya
saja. Padahal dalam menangani masalah anak ini tidak hanya dilihat dari
penanggulangan individu si anak saja melainkan dilihat dari banyak faktor, salah
satunya adalah membuat bagaimana si anak tidak lagi mengulangi perbuatannya
namun juga memberikan teladan dan pendidikan yang baik kepada si anak.
Hal ini dimaksudkan agar mental spiritual si anak itu lebih terdidik
sehingga perilaku yang menyimpang dari si anak inipun menjadi lebih baik.
Dengan dimasukkannya si anak sebagai pelaku kejahatan ke lembaga
pemasyarakatan bukannya tidak menjamin bahwa si anak tersebut dapat
berubah, namun di dalam lembaga pemasyarakatan tersebut tidak ada masukan
yang lebih bagi perbaikan mental spiritual anak karena mereka diasingkan
bersama-sama dengan para pelaku tindak pidana lain hal ini mengakibatkan
proses pemulihan perilaku si anak untuk menjadi lebih baik sering kali terhambat
yang disebabkan lingkungan dari dalam lembaga pemasyarakatan itu sendiri
yang kurang kondusif.
Tentunya hal ini akan berbeda jika menempatkan si anak pada suatu
lingkungan dimana dia tidak merasa diperlakukan sebagai seorang pelaku tindak
pidana, namun lebih memperlakukan si anak sebagai seorang manusia yang
belum dewasa yang masih belum tahu apa-apa sehingga masih perlu diberikan
bimbingan, pengarahan serta pengajaran mana yang disebut dengan tindakan
baik dan mana yang disebut dengan tindakan buruk. Tentu saja perlakuan yang
diberikan kepada mereka yang terlibat tindak pidana, selama dalam proses
hukum dan pemidanaannya menempatkan mereka sebagai pelaku tindak
kriminal muda yang mempunyai perbedaan karakteristik dengan pelaku tindak
kriminal dewasa.
Sebenarnya sistem pemidanaan yang bersifat edukatif seperti ini bukan
sesuatu yang baru. Di dalam UU Pengadilan Anak sistem pemidanaan yang
bersifat mendidik telah jelas tersirat namun pada pengaplikasiannya hal ini jarang
sekali dilakukan, bahkan tidak jarang anak-anak tersebut ditangani oleh penegak
hukum yang belum begitu profesional untuk menangani kasus-kasus di bidang
anak dan terkadang juga penempatan anak-anak terpidana dicampur dengan
orang dewasa.
Kultur aparat penegak hukum yang demikian, didukung oleh instrumen
regulasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(yang selanjutnya disingkat UU Perlindungan Anak) yang pasal-pasalnya
memberikan legitimasi begitu mudahnya mempidanakan anak. Oleh sebab itu,
KPAI pada tanggal 22 Desember 2009 lalu telah menyampaikan berkas
permohonan Judicial Review UU Pengadilan Anak kepada Mahkamah Konstitusi
untuk menghapus pasal-pasal yang mengkriminialisasi anak, seperti : Pasal 1
tentang definisi anak, Pasal 4 tentang usia pertanggungungjawaban hukum,
Pasal 5 tentang penyidikan, Pasal 22 dan 23 tentang pemidanaan, dan Pasal 31
tentang pemenjaraan. KPAI menunggu putusan Mahkamah Konstitusi tentang
uji materiil tersebut dengan harapan, ke depan Indonesia akan segera
melakukan reformasi peradilan anak sehingga lebih menjamin terselenggaranya
perlindungan anak yang efektif dan tidak ada lagi anak-anak yang dipenjarakan.
Dengan lahirnya UU Pengadilan Anak dan UU Perlindungan Anak
tersebut, tampak bahwa sesungguhnya pemerintah telah bertekad untuk
mewujudkan suatu peradilan anak dan perlindungan bagi anak. Dengan
demikian diharapkan anak yang terkena kasus pelanggaran hukum tidak
dirugikan secara fisik maupun mental. Dalam hal ini UU Pengadilan Anak dan
UU Perlindungan Anak dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum
bagi anak dalam proses acara pidananya.
Selain itu, UU Pengadilan Anak ternyata telah mencabut ketentuan Pasal
45, Pasal 46, dan Pasal 47 KUHP, yang selama ini digunakan dalam menangani
perkara anak, sehingga sekarang ketentuan-ketentuan tersebut sudah tidak
berlaku lagi.
Menurut UU Pengadilan Anak ada dua alternatif tindakan yang dapat
diambil apabila anak yang berumur di bawah 8 tahun melakukan tindak pidana
tertentu, yaitu pertama diserahkan kepada orang tua, wali atau orang tua
asuhnya, jika anak tersebut masih dapat dibina. Kedua, diserahkan kepada
Departemen Sosial jika anak tersebut tidak dapat dibina oleh orang tua, wali atau
orang tua asuhnya.
Namun dalam hal memperhatikan kepentingan anak, hakim dapat
menghendaki diserahkan kepada organisasi sosial kemasyarakatan, seperti
pesantren, panti sosial dan lembaga sosial lainnya dengan memperhatikan
agama si anak yang bersangkutan.
Berkaitan dengan anak-anak yang menjadi korban kekerasan, perspektif
perlindungan anak para aparat penegak hukum masih sangat memprihatinkan
dan belum menunjukkan keberpihakannya terhadap anak. Hal ini ditunjukkan
dengan lambatnya kasus-kasus penanganan kekerasan terhadap anak,
rendahnya vonis pengadilan terhadap para pelaku kekerasan terhadap anak
karena banyak aparat penegak hukum yang tidak menggunakan UU
Perlindungan Anak dalam proses peradilan dimana anak menjadi korban. Kasus
perkawinan dini di Semarang yang melibatkan Syeh Puji sebagai pelaku
misalnya, walaupun pasal-pasal di dalam UU Perlindungan Anak sangat jelas
ketentuan pidananya, namun sampai sekarang persidangan atas kasus tersebut
masih macet di Pengadilan Negeri.
Kondisi buruk bagi anak ini, dapat berkembang terus dan mempengaruhi
hidupnya lebih lanjut dalam bernegara dan bermasyarakat. Situasi seperti ini
dapat membahayakan negara, padahal maju atau mundurnya suatu bangsa
sangat tergantung bagaimana bangsa itu memperlakukan dan mendidik anak-
anaknya. Oleh karena itu, perlindungan anak perlu mendapat perhatian khusus di
dalam pembangunan bangsa.
Kabupaten Bone merupakan salah satu wilayah di Sulawesi Selatan yang
termasuk Kabupaten yang mempunyai luas dan jumlah penduduk yang tinggi
setelah Kabupaten Bone dibandingkan dengan kabupaten lain di Sulawesi
Selatan yang mempunyai karakteristik dan budaya tersendiri.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis berusaha mengkaji sampai
seberapa jauh penerapan hukum acara pengadilan anak dalam penyelesaian
tindak pidana di Kabupaten Bone.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas masalah perlindungan terhadap anak
sangatlah luas, maka di sini penulis membatasi masalah tersebut khususnya bagi
anak sebagai pelaku tindak pidana, dengan motif dan berbagai saran yang
digunakan, sehingga masalah pokok tersebut dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah penerapan hukum acara pengadilan anak terhadap anak
sebagai pelaku tindak pidana di Kabupaten Bone ?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penerapan hukum acara
pengadilan anak terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di Kabupaten
Bone ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis :
1. Penerapan hukum acara pengadilan anak terhadap anak sebagai pelaku
tindak pidana di Kabupaten Bone.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan hukum acara pengadilan anak
terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana di Kabupaten Bone.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut
:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi dan masukan
bagi pelaksanaan penelitian di bidang yang sama untuk masa mendatang
pada umumnya dan masukan serta sumbangan bagi ilmu pengetahuan
khususnya pada Hukum Acara Perlindungan Anak.
2. Kegunaan Praktis
Memberikan informasi secara ilmiah bagi masyarakat umum sehingga
diharapkan dapat lebih mengetahui dan mengerti tentang hukum acara
pengadilan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, dan dengan adanya
informasi tersebut diharapkan juga dapat menambah pengetahuan bagi
masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Anak Nakal
Anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara
pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita ini jika terikat dalam suatu
ikatan perkawinan lazimnya disebut sebagai suami istri. Anak yang dilahirkan
dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya disebut sebagai anak sah.
Namun ada juga anak yang dilahirkan di luar dari suatu ikatan perkawinan, anak
yang dilahirkan bukan dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya biasanya
disebut sebagai anak tidak sah atau lebih konkritnya biasa disebut sebagai anak
haram jaddah.
Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang
belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang di bawah
umur/keadaan di bawah umur (minderjarig heid/inferiority) atau biasa disebut
juga sebagai anak yang berada di bawah pengawasan wali (minderjarige under
voordij). Pengertian anak itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia
kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan
untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan
untuk menentukan umur anak.
Perbedaan pengertian anak tersebut dapat kita lihat pada tiap aturan
perundang-undangan yang ada pada saat ini. Misalnya pengertian anak menurut
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin
(Abdussalam, 2007:5)
Pengertian anak pada Pasal 1 Convention On The Rights of The Child,
anak diartikan sebagai : “setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali
berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh
sebelumnya”. Yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa
dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu mental, fisik masih belum
dewasa) (Shanty Dellyana dalam Abdussalam, 2007:50).
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia
menjabarkan pengertian tentang anak ialah setiap manusia yang berusia di
bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih
dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Pengertian tersebut hampir sama dengan pengertian anak yang terdapat
di dalam Pasal 1 ayat (1) UU Perlindungan Anak bahwa : “anak adalah
seseorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di
dalam kandungan”.
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak, pengertian anak
adalah : “orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan)
tahun tetapi belum pernah kawin”. Namun hal berbeda ditunjukkan dalam
lapangan Hukum Tata Negara, hak memilih dalam Pemilu misalnya seseorang
dianggap telah mampu bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang
dilakukannya kalau ia sudah mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun. Melihat dari
hal-hal tersebut dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa penetapan batas umur
anak adalah relatif tergantung pada kepentingannya.
Anak nakal menurut Pasal 1 sub 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
yaitu :
a. Anak yang melakukan tindak pidana
Perbuatan yang dikategorikan tindak pidana tersebut tidak terbatas kepada perbuatan yang melanggar perbuatan KUHP saja melainkan juga melanggar peraturan di luar KUHP. Misalnya dalam Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan sebagainya. Terhadap anak yang melakukan tindak pidana ini hakim menjatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan dalam Pasal 23 atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak.
Perbuatan terlarang yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan
hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Peraturan ini misalnya hukum adat atau aturan kesopanan dan kepantasan
dalam masyarakat. Terhadap anak nakal tersebut hakim menjatuhkan
tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997.
B. Pengertian Tindak Pidana Anak
Menurut Pasal 1 butir 2 UU Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan
anak nakal adalah :
1. Anak yang melakukan tindak pidana, atau 2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak,
baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dalam KUHP, jelas terkandung makna bahwa suatu perbuatan pidana
(kejahatan) harus mengandung unsur-unsur (Wagiati Soetodjo, 2006:12) :
1. Adanya perbuatan manusia 2. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum 3. Adanya kesalahan 4. Orang yang berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan.
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan
dengan hukum, yaitu (Purnianti, dkk. 2003:2) :
1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan
oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
2. Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Namun terlalu ekstrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak
disebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya anak-anak memiliki kondisi
kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, agresif
dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu
ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan
kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak seimbang
dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukannya.
Ada beberapa faktor penyebab yang paling mempengaruhi timbulnya
kejahatan anak, yaitu (A. Syamsudin Meliala dkk. 1985:31) :
1. Faktor lingkungan 2. Faktor ekonomi/sosial 3. Faktor psikologis.
Sementara dalam KUHP ditegaskan bahwa :
Seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena adanya kesadaran diri dari yang bersangkutan dan ia juga telah mengerti bahwa perbuatan itu terlarang menurut hukum yang berlaku. Tindakan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anak merupakan
manifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang lain
seperti yang diisyaratkan dalam suatu perbuatan kejahatan yang tercantum
dalam KUHP dimana pelaku harus menyadari akibat dari perbuatannya itu serta
pelaku mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya tersebut.
Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile atau
yang (dalam bahasa Inggris) dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak
muda, sedangkan Deliquency artinya terabaikan/mengabaikan yang kemudian
diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Anonim, 1991:219)
bahwa : “Delikuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan
norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat”.
Suatu perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan
tersebut bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat dimana ia
hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial yang didalamnya terkandung unsur-
unsur anti normatif (Sudarsono, 1991:10)
Pengertian Juvenile Deliquency menurut Kartini Kartono (1992:7) adalah
sebagai berikut :
Juvenile delinquency yaitu perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan
anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang. Sedangkan juvenile deliquency menurut Romli Atmasasmita (1983:40)
adalah :
Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan. Di Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan anak-anak dengan
perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa dibedakan pengertiannya. Suatu
perbuatan tindakan anti sosial yang melanggar hukum pidana, kesusilaan dan
ketertiban umum bila dilakukan oleh seseorang yang berusia di atas 21 tahun
disebut dengan kejahatan (crime), namun jika yang melakukan perbuatan
tersebut adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun maka disebut
dengan kenakalan (Deliquency).
Hal ini yang kemudian muncul sebuah teori oleh Sutherland (Wagiati,
2006:24) yang disebut dengan teori Association Differential yang menyatakan
bahwa :
Anak menjadi delinkuen disebabkan oleh partisipasinya ditengah-tengah suatu lingkungan sosial yang ide dan teknik delinkuen tertentu dijadikan
sebagai sarana yang efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Karena itu semakin luas anak bergaul, semakin intensif relasinya dengan anak nakal, akan menjadi semakin lama pula proses berlangsungnya asosiasi deferential tersebut dan semakin besar pula kemungkinan anak tadi
benar-benar menjadi nakal dan kriminal. Shanty Dellyana (Shanty Dellyana, 1988:56) mengemukakan bahwa :
Anak yang berumur di bawah 7 tahun dianggap tidak mampu untuk mempunyai kehendak jahat (incapable of having the criminal intent),
sedangkan mereka yang berumur antara 7 sampai 14 tahun pada umumnya dianggap mampu untuk mempunyai kehendak jahat, berarti tidak dapat melakukan kejahatan (incapable of crime).
C. Batasan Usia Pemidanaan Anak
Dalam hal pemidanaan anak ada batasan usia minimal dan maksimal
anak tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana. Batas usia anak adalah
pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam status
hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi
seorang subjek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap
perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh anak itu
(Maulana Hassan Wadong, 2000:24).
Dalam menetapkan batasan umur anak, para ahli ilmu jiwa dan beberapa
sarjana mempunyai pandangan serta pendapat yang berbeda-beda.
Aristoteles (384 – 322 SM) membagi masa perkembangan selama 21
tahun dalam tiga septenia (3 periode kali 7 tahun). Pembagian tersebut adalah
sebagai berikut (Bimo Wologito, 1978:6) :
1. 0 - 7 tahun, disebut sebagai masa anak kecil, masa bermain.
2. 7 - 14 tahun, masa anak-anak, masa belajar atau masa sekolah rendah.
3. 14 – 21 tahun, masa remaja atau pubertas, masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa.
Soerjono Soekanto (1982:21) memberikan batasan usia remaja sebagai
berikut :“…yang dapat mencakup anak-anak muda-mudi adalah berkisar antara
usia 13 tahun sampai usia 18 tahun”.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam
penentuan batasan usia anak diperoleh ketidaksamaan antara peraturan
perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan kriteria
masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut. Itu berarti bahwa
seseorang yang usianya telah lebih dari 16 (enam belas) tahun, sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam UU Pengadilan Anak maka ia dapat dikenakan
sanksi pidana sesuai dengan ketentuan pidana yang berlaku bagi orang dewasa.
Namun ketentuan dalam Pasal 45, 46 dan 47 KUHP dinyatakan sudah
tidak berlaku lagi berdasarkan ketentuan Pasal 67 UU Pengadilan Anak.
Sedangkan jika kita tinjau pada batasan anak dalam KUHP sebagai korban
kejahatan seperti yang tercantum dalam BAB XIV Pasal 287, 290, 292, 294 dan
295 KUHP adalah berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun.
Pasal 330 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan
bahwa : “Belum dewasa adalah mereka yang belum dewasa mencapai umur
genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”. Dapat ditarik kesimpulan
makna dari bunyi pasal tersebut adalah bahwa seseorang yang genap berusia 21
(dua puluh satu) tahun dan telah pernah menikah, dianggap telah dewasa atau
cakap berbuat hukum, maka semua akibat dari perbuatan hukum yang dilakukan
ditanggung sepenuhnya oleh yang bersangkutan.
Batasan usia dalam peraturan perundang-undangan jika dilihat dalam
hukum adat di Indonesia akan berbeda. Usia bukanlah menjadi suatu ukuran
seorang anak tersebut sudah dianggap dewasa atau belum. Dalam hukum adat
Indonesia batasan umur untuk disebut anak bersifat pluralistis. Dalam artian
kriteria untuk menyebut bahwa seseorang tidak lagi disebut anak dan telah
dewasa beraneka ragam istilahnya, misalnya : telah “kuat gawe”, “akil baliq”,
“menek bajang”, dan lain sebagainya (Irma Setyowati Soemitro, 1990:16).
Di tiap daerah di Indonesia ukuran kedewasaan seorang anak jika dilihat
dari hukum adatnya akan berbeda-beda, namun secara umum ada beberapa hal
yang bisa dijadikan pedoman untuk mengetahui batasan usia anak.
Menurut ahli hukum Adat R. Soepomo (Lilik Mulyadi, 2005:6)
menyebutkan ciri-ciri ukuran kedewasaan sebagai berikut :
1. Dapat bekerja sendiri. 2. Cakap dan bertanggung jawab dalam masyarakat. 3. Telah menikah. 4. Berusia 21 tahun.
Hal yang sama pun terjadi di negara lain. Jika kita bandingkan dengan
negara lain batasan usia anak tidaklah sama, misalnya di Inggris dan Belanda
batasan usia minimal adalah 12 tahun, di Denmark dan Kamboja umur minimal
15 tahun, Taiwan usia minimal 14 tahun, Philipina, Malaysia dan Singapura batas
minimal adalah 7 tahun. Sedangkan batas usia maksimal 18 tahun yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1995 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sama dengan
Kamboja, Taiwan, Iran dan 27 (duapuluh tujuh) negara bagian di Amerika
Serikat. Batas umur maksimal 17 tahun berlaku di Negara Australia, 6 (enam)
negara pada negara bagian di Amerika Serikat, Philipina, Malaysia dan
Singapura.
Di Indonesia sendiri sejak dibentuk UU Pengadilan Anak, memberikan
batasan yang tegas tentang batas usia pemidanaan anak di Indonesia. Dalam
Pasal 4 disebutkan bahwa :
(1) Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.
(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan dapat diajukan ke sidang pengadilan, setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut tetapi belum mencapai umur 21 tahun, tetap diajukan ke sidang anak.
Jika pelaku kejahatan dilakukan oleh anak di bawah dari batas usia
minimum yang ditentukan atau belum berumur 8 tahun, dalam Pasal 5 UU
Pengadilan Anak ditegaskan bahwa :
(1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik.
(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan.
Jadi ada 2 (dua) alternatif yang dapat diambil yaitu, pertama jika anak
tersebut masih dapat dibina maka diserahkan kepada orang tua, wali atau orang
tua asuhnya, yang kedua adalah diserahkan kepada Departemen Sosial jika
anak tersebut sudah tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua
asuhnya.
Lebih lanjut Lela B Costin (Shanty Dellyana, 1988:56) mengemukakan
bahwa : “Anak-anak yang berumur di bawah 7 tahun, berada di bawah umur
yang dapat dipertanggung-jawabkan dan karenanya tidak dapat dihukum”.
Pengelompokan anak berdasarkan pertimbangan umur sangatlah penting,
mengingat pada tiap tingkatan usia anak berbeda pula tingkat kematangan anak
dalam berpikir sehingga akan berbeda cara memperlakukan anak tersebut, yang
terpenting seseorang tergolong dalam usia anak dalam batas bawah usia
seorang anak, yaitu 0 (nol) tahun batas penuntutan 8 (delapan) tahun sampai
dengan batas atas 18 tahun dan belum pernah kawin.
Pengelompokan ini, dimaksud untuk mengenal secara pasti faktor-faktor
yang menjadi sebab-sebab terjadinya tanggung jawab anak dalam hal-hal berikut
ini (Maulana Hasan Wadong, 2000:26) :
1. Kewenangan bertanggung jawab terhadap anak. 2. Kemampuan untuk melakukan peristiwa hukum. 3. Pelayanan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana. 4. Pengelompokan proses pemeliharaan. 5. Pembinaan yang efektif.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Nomor 1/PUU-VIII/2010, bahwa :
Dalam pertimbangan hukum, anak dapat dikategorikan sebagai “anak nakal” bukan merupakan proses tanpa prosedur dan dapat dijustif ikasi oleh setiap orang. Pemberian kategori anak nakal merupakan justifikasi yang dapat dilakukan melalui sebuah proses peradilan yang standarnya akan ditimbang dan dibuktikan di muka hukum, dengan perubahan batasan usia minimal pertanggungjawaban hukum bagi anak adalah 12 (dua belas) tahun, maka Mahkamah Konstitusi berpendapat hal tersebut membawa implikasi hukum terhadap batas umur minimum bagi anak nakal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak. Oleh karenanya Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa meskipun pasal a quo tidak dimintakan pengujiannya oleh para pemohon, namun pasal a quo merupakan jiwa dan ruh dari UU Pengadilan Anak,
sehingga batas umur minimum juga harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yakni 12 (dua belas) tahun. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (UU SPPA), batas usia yang dapat dipertanggungjawabkan adalah
12 (dua belas) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. Anak yang belum
berusia 12 (dua belas) tahun dan melakukan tindak pidana dapat dikembalikan
ke orang tua atau panti.
Berdasarkan batasan umur di atas, maka ini berarti anak yang melakukan
tindak pidana di bawah umur 12 tahun tidak dapat dituntut dan diajukan ke
depan persidangan. Pada Pasal 20 UU SPPA dan dalam hal tindak pidana
dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan
diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui
batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak.
Batasan dari segi usia akan sangat berpengaruh pada kepentingan hukum
anak yang bersangkutan. Pertanggungjawaban pidana anak diukur dari tingkat
kesesuaian antara kematangan moral dan kejiwaan anak dengan kenakalan
yang dilakukan anak, keadaan kondisi fisik, mental dan sosial anak menjadi
perhatian (Maidin Gultom, 2008:33). Adanya batasan usia dimaksudkan agar ada
perlindungan dan pembinaan bagi anak, karena anak merupakan sumber daya
manusia dan menjadi generasi penerus bangsa.
D. Hak-Hak Anak yang Melakukan Tindak Pidana
Menurut Maulana Hasan Wadong (2000:29) bahwa : “Yang dimaksud
dengan hak, yaitu kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang
(atau badan hukum) karena perhubungan hukum dengan orang lain (badan
hukum lain)”.
Hak-hak anak merupakan salah satu hal terpenting yang tidak boleh kita
lupakan, karena hal itu sebagai suatu bentuk sisi pendekatan untuk melindungi
anak-anak dari masalah hukum. Hak anak itu mempunyai kedudukan yang sama
dengan manusia lain atau subjek hukum lainnya.
Hak anak adalah sesuatu kehendak yang dimiliki oleh anak yang
dilengkapi dengan kekuatan (macht) yang diberikan oleh sistem hukum / tertib
hukum kepada anak yang bersangkutan.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (HAM) Pasal 52 ayat (1) disebutkan bahwa : “Setiap anak berhak atas
perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara”.
Sedangkan pada Pasal 52 ayat (2) menyatakan : “Hak anak adalah hak
asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh
hukum bahkan sejak dalam kandungan”.
Pengaturan lain terhadap perlindungan hak-hak anak tercantum dalam
berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain :
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak untuk
bidang hukum.
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Kesehatan, pada Pasal 1, Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (2), untuk
bidang kesehatan.
3. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) dan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1945 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan
Pengajaran di Sekolah, Pasal 19 dan Pasal 17, untuk bidang
pendidikan.
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
untuk bidang kesejahteraan.
Dalam hukum internasional pun ada tiga instrumen yang penting dalam
melakukan perlindungan terhadap hak-hak anak yang bermasalah dalam bidang
hukum (Children in conflict with the law) yaitu (Maidin Gultom, 2008:51) :
1. The UN Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyadh Guidelines);
2. The UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules);
3. The UN Rules for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty.
Pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tanggal 20
November 1959, mensahkan Deklarasi tentang hak-hak anak. Dalam Deklarasi
ini memuat 10 (sepuluh) asas tentang hak-hak anak, yaitu :
1. Anak berhak menikmati semua hak-haknya sesuai ketentuan yang terkandung dalam deklarasi ini. Setiap anak tanpa pengecualian harus dijamin hak-haknya tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, kebangsaan, tingkatan sosial, kaya miskin, kelahiran atau status lain, baik yang ada pada dirinya maupun pada keluarga.
2. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar menjadikannya mampu untuk mengembangkan diri secara fisik, kejiwaan, moral, spiritual, dan kemasyarakatan dalam situasi yang sehat, normal sesuai dengan kebebasan dan harkatnya. Penuangan tujuan itu ke dalam hukum, kepentingan terbaik atas diri anak harus merupakan pertimbangan utama.
3. Anak sejak dilahirkan berhak akan nama dan kebangsaan. 4. Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh
kembang secara sehat. Untuk ini baik sebelum maupun setelah kelahirannya harus ada perawatan dan perlindungan khusus bagi anak dan ibunya. Anak berhak mendapat gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan.
5. Anak yang cacat fisik, mental, dan lemah kedudukan sosialnya akibat keadaan tertentu harus memperoleh pendidikan, perawatan, dan perlakuan khusus.
6. Agar kepribadian anak tumbuh secara maksimal dan harmonis, ia memerlukan kasih sayang dan pengertian. Sedapat mungkin ia harus dibesarkan di bawah asuhan dan tanggung jawab orang tuanya sendiri, dan bagaimanapun harus diusahakan agar tetap berada dalam suasana yang penuh kasih sayang, sehat jasmani dan rohani. Anak di bawah usia lima tahun tidak dibenarkan terpisah dari ibunya. Masyarakat dan pemerintah yang berwenang berkewajiban memberikan perawatan khusus kepada anak yang tidak memiliki keluarga dan kepada anak yang tidak mampu. Diharapkan agar pemerintah atau pihak lain memberikan bantuan pembiayaan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga besar.
7. Anak berhak mendapatkan pendidikan wajib secara cuma-cuma sekurang-kurangnya di tingkat sekolah dasar. Mereka harus mendapatkan perlindungan yang dapat meningkatkan pengetahuan umumnya, dan yang memungkinkan, atas dasar kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuannya, pendapat pribadinya,
dan perasaan tanggung jawab moral dan sosialnya, sehingga mereka menjadi anggota masyarakat yang berguna. Kepentingan anak haruslah dijadikan pedoman oleh mereka yang bertanggungjawab terhadap pendidikan dan bimbingan anak yang bersangkutan: pertama-tama tanggungjawab tersebut terletak pada orangtua mereka. Anak harus mempunyai kesempatan yang leluasa untuk bermain dan berekreasi yang diarahkan untuk tujuan pendidikan masyarakat dan pemerintah yang berwenang harus berusaha meningkatkan pelaksanaan hak ini.
8. Dalam keadaan apapun anak harus didahulukan dalam menerima perlindungan dan pertolongan.
9. Anak harus dilindungi dari segala bentuk kealpaan, kekerasan, penghisapan. Ia tidak boleh dijadikan subjek perdagangan. Anak tidak boleh bekerja sebelum usia tertentu, ia tidak boleh dilibatkan dalam pekerjaan yang dapat merugikan kesehatan atau pendidikannya, maupun yang dapat mempengaruhi perkembangan tubuh, jiwa dan akhlaknya.
10. Anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi sosial, agama maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya. Mereka harus dibesarkan di dalam semangat penuh pengertian, toleransi dan persahabatan antar bangsa, perdamaian serta persaudaraan semesta dengan penuh kesadaran bahwa tenaga dan bakatnya harus diabdikan kepada sesama manusia.
Hak-hak anak dalam proses peradilan pidana merupakan suatu hasil
interaksi yang saling terkait dan mempengaruhi dengan yang lainnya. Aspek
mental, fisik, sosial, dan ekonomi merupakan faktor yang harus ikut diperhatikan
dalam mengembangkan hak-hak anak. Untuk mendapatkan suatu keadilan,
diperlukan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Demikian juga
halnya dengan pelaksanaan hak dan kewajiban bagi anak yang melakukan
tindak pidana perlu mendapatkan bantuan serta perlindungan hukum agar
tercapai suatu keadilan yang diharapkan. Namun yang kiranya perlu
digarisbawahi bahwa memperlakukan anak harus melihat situasi, kondisi fisik
dan mental, keadaan sosial serta usia dimana pada tiap tingkatan usia anak
mempunyai kemampuan yang berbeda-beda.
Arif Gosita (Shanty Dellyana, 1988:51), berpendapat ada beberapa hak-
hak anak yang perlu diperhatikan dan diperjuangkan pelaksanaannya bersama-
sama yaitu :
1. Sebelum persidangan : a. Hak diperlakukan sebagai yang belum terbukti salah; b. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan tindakan
yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja (ancaman, penganiayaan, cara dan tempat penahanan misalnya).
c. Hak untuk mendapatkan pendamping, penasehat dalam rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan datang dengan prodeo;
d. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan terhadap dirinya (transport, penyuluhan dari yang berwajib).
2. Selama Persidangan : a. Hak mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan dan
kasusnya; b. Hak mendapatkan pendamping, penasehat selama persidangan; c. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar
persidangan mengenai dirinya (transport, perawatan kesehatan); d. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan
yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, cara dan tempat penahanan misalnya).
e. Hak untuk menyatakan pendapat. f. Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang
menimbulkan penderitaan, karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau badan hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP (Pasal 1 ayat 22).
g. Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan/ penghukuman yang positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya.
h. Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya. 3. Setelah persidangan :
a. Hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang manusiawi sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan ide mengenai pemasyarakatan.
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja (berbagai macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan misalnya).
c. Hak untuk tetap dapat berhubungan dengan orang tuanya, keluarganya.
Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan
masyarakat. Hal ini juga merupakan suatu perwujudan adanya keadilan dalam
suatu masyarakat, sehingga dalam melakukan perlindungan terhadap anak hak-
hak anak benar-benar perlu diperhatikan.
Kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan
perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif
yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak (Arif Gosita,
1989:19).
Anak merupakan golongan yang rawan dan dependent sehingga dalam
perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut pengaturan dalam
peraturan perundang-undangan. Faktor pendukung dalam usaha pengembangan
hak-hak anak dalam peradilan pidana adalah (Wagiati Soetodjo, 2006:71) :
1. Dasar pemikiran yang mendukung Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara, ajaran agama, nilai-nilai sosial yang positif mengenai anak, norma-norma (deklarasi hak-hak anak, Undang-Undang Kesejahteraan Anak).
2. Berkembangnya kesadaran bahwa permasalahan anak adalah permasalahan nasional yang harus ditangani sedini mungkin secara bersama-sama, intersektoral, interdisipliner, interdepartemental.
3. Penyuluhan, pembinaan, pendidikan dan pengajaran mengenai anak termasuk pengembangan mata kuliah Hukum Perlindungan Anak, usaha-usaha perlindungan anak, meningkatkan perhatian terhadap kepentingan anak.
4. Pemerintah bersama-sama masyarakat memperluas usaha-usaha nyata dalam menyediakan fasilitas bagi perlindungan anak.
Beberapa faktor penghambat dalam usaha pengembangan hak-hak anak
dalam peradilan pidana, adalah (Wagiati Soetodjo, 2006:72) :
1. Kurang adanya pengertian yang tepat mengenai usaha pembinaan, pengawasan dan pencegahan yang merupakan perwujudan usaha-usaha perlindungan anak.
2. Kurangnya keyakinan hukum bahwa permasalahan anak merupakan suatu permasalahan nasional yang harus ditangani bersama karena merupakan tanggung jawab nasional.
Selanjutnya pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak merumuskan hak-hak anak sebagai berikut :
1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam aturan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan Negara yang baik dan berguna.
3. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
4. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
Pada Pasal 3 UU Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan bahwa
setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak :
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b. dipisahkan dengan orang dewasa; c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. melakukan kegiatan rekreasional; e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir
dan dalam waktu yang paling singkat; h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; i. tidak dipublikasikan identitasnya; j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya
oleh Anak; k. memperoleh advokasi sosial; l. memperoleh kehidupan pribadi; m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; n. memperoleh pendidikan; o. memperoleh pelayanan kesehatan; dan p. memperoleh hak lai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Pasal 4 UU Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan bahwa :
1. Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak: a. mendapat pengurangan masa pidana; b. memperoleh asimilasi; c. memperoleh cuti mengunjungi keluarga; d. memperoleh pembebasan bersyarat; e. memperoleh cuti menjelang bebas; f. memperoleh cuti bersyarat; dan
g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
2. Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Anak yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Perlindungan hukum terhadap anak perlu mendapat perhatian yang
serius. Perlindungan hukum, dalam hal ini mengandung pengertian perlindungan
anak berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku (yang mengatur tentang
Peradilan Pidana Anak), baik sebagai tersangka, terdakwa,
terpidana/narapidana.
E. Perlindungan Anak
Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita
luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan sebagai
sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-
luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani,
jasmani, dan sosial. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh
lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari
betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah
matang pertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya
menggantikan generasi terdahulu.
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk
menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik
fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya
keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak
diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya
dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan
bagi kegiatan perlindungan anak. Gosita (1989:19) mengemukakan bahwa :
Kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak. Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan
memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri,
sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak berakibat negatif.
Perlindungan anak dilaksanakan rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat
yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien. Usaha perlindungan
anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kreativitas, dan hal-hal lain
yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak
terkendali, sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan kemauan
menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu :
1. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi : perlindungan dalam
bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan.
2. Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi : perlindungan dalam
bidang sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan.
Berdasarkan hasil seminar perlindungan anak/remaja oleh Prayuana
Pusat tanggal 30 Mei 1977, terdapat dua perumusan tentang perlindungan anak
(Soemitro, 1990:14) yaitu :
1. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan, pemenuhan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya.
2. Segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0 – 21 tahun,
tidak dan belum pernah nikah, sesuai dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menentukan bahwa :
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang
ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak yang
mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan penelantaran,
agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara
wajar, baik fisik, mental, dan sosialnya (Anonim, 1998:3)
Gosita (1989:52) berpendapat bahwa : “Perlindungan anak adalah suatu
usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya”.
Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung
pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan
kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama
didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang
rawan dan dependent, di samping karena adanya golongan anak-anak yang
mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani,
jasmani maupun sosial.
Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orang tuanya serta
pemerintahnya, maka koordinasi kerjasama perlindungan anak perlu diadakan
dalam rangka mencegah ketidakseimbangan kegiatan perlindungan anak secara
keseluruhan (Gultom, 1997:53).
Sehubungan dengan hal ini, Nusantara (1986:22) mengatakan :
Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya.
F. Proses Penyelesaian Perkara Pidana Anak
Proses penyelesaian perkara pidana anak diatur sangat rinci dalam
KUHAP uang pada prinsipnya memberikan kewenangan tertentu kepada
lembaga untuk melaksanakan sistem, mekanisme aturan serta menjamin hak
tersangka dalam proses pemeriksaan.
Pada kondisi itu, menurut Anthon F.S (2004:82) bahwa peradilan pidana
memiliki kekuasaan yang luar biasa besar, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan dan Lembaga Permasyarakatan (Permasyarakatan Peneliti).
Peradilan pidana merupakan suatu sistem yang bertujuan menanggulangi
kejahatan. Tujuan sistem ini dapat tercapai jika sub-sub system dalam sistem
peradilan pidana adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam kualitas
sebagai penyelidik dan penyidik, Kejaksaan dalam kualitas sebagai penuntut
umum, Pengadilan dalam fungsi dan jabatan sebagai hakim, sub sistem yang
keempat adalah Lembaga Permasyarakatan.
1. Perlindungan dalam Proses Penyidikan
Istilah penyidikan diartikan “serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya” (Pasal 1 ayat (2) KUHAP).
Pada asasnya penyidikan tindak pidana merupakan suatu upaya
penegakan hukum yang bersifat pembatasan atau pengekangan hak asasi
seseorang dalam rangka usaha untuk memulihkan terganggunya
keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum, demi
terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu
penyidikan tindak pidana harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara penegak
hukum yang mempunyai tugas sebagai penyidik tunggal terhadap adanya
suatu persangkaan telah terjadi tindak pidana. Pelaksana tugas penyidikan
dilaksanakan oleh Satuan Reserse yang telah diberi tugas khusus untuk
menyelenggarakan dan melaksanakan fungsi reserse kepolisian.
Meskipun penyidik berasal dari Polri, akan tetapi tidak semua penyidik
Polri dapat melakukan penyidikan terhadap anak. Dalam Pasal 7 ayat (5)
Undang-Undang Pengadilan Anak, dikenal adanya “penyidik anak”. Penyidik
inilah yang berwenang melakukan penyidikan.
Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dijelaskan
bahwa seorang penyidik seharusnya telah berpengalaman sebagai penyidik
tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa serta mempunyai minat,
perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disingkat UU SPPA) yang diundangkan
pada tanggal 30 Juli 2012 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 153. Menurut Pasal 108 UU SPPA bahwa : “Undang-
Undang ini mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun sejak diundangkan”.
Masalah penyidik dalam UU SPPA ditentukan syarat untuk menjadi
penyidik dalam perkara anak dalam Pasal 26 ayat (3) adalah :
1. Telah berpengalaman sebagai penyidik; 2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah
anak; serta 3. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang Peradilan Anak.
Untuk mengetahui bagaimana fase penyelesaian perkara anak dalam
penyidikan, diuraikan sebagai berikut :
1. Penangkapan
Awal proses suatu perkara pidana biasanya dimulai dengan
tindakan penangkapan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak
pidana. Hal tersebut tertuang dalam KUHAP Pasal 16 ayat (2) yang
berbunyi : “Untuk kepentingan penyidikan penyidik berwenang melakukan
penangkapan”
Undang-Undang Pengadilan Anak ternyata tidak mengatur tentang
penangkapan terhadap tersangka anak. Oleh karena itu tindakan
penangkapan tersangka anak berlaku ketentuan KUHAP sebagai
peraturan umumnya (lex specialis derogat lege generalis).
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.
Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta
memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang
menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan
yang dipersangkakan (Pasal 18 ayat (1) KUHAP).
Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat
perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan
tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik
pembantu yang terdekat (Pasal 18 ayat (2) KUHAP).
Pada Pasal 43 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 : dikatakan
penangkapan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan paling lama 1
(satu) hari.
Dalam UU SPPA Pasal 30 ditentukan bahwa :
(1) Penangkapan terhadap Anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam.
(2) Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus Anak.
(3) Dalam hal ruang pelayanan khusus Anak belum ada di wilayah yang bersangkutan, Anak dititipkan di LPKS.
(4) Penangkapan terhadap Anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya.
(5) Biaya bagi setiap Anak yang ditempatkan di LPKS dibebankan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
1) Penahanan
Setelah anak ditangkap, maka selanjutnya anak akan menjalani
masa penahanan. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal
44 ayat (2) dan (3) dijelaskan bahwa, masa penahanan anak adalah
paling lama 20 hari. Apabila pemeriksaan belum selesai penyidik dapat
meminta perpanjangan waktu penahanan kepada penuntut umum
untuk paling lama 10 hari. Jadi jumlah waktu penahanan pada tingkat
penyidikan adalah 30 hari.
Selanjutnya bahwa dalam jangka waktu 30 hari, penyidik sudah
harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada
penuntut umum. Apabila jangka waktu dilampaui dan berkas perkara
belum diserahkan, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan
demi hukum. Penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat
khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tahanan Negara, cabang
Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu.
Dalam UU SPPA Pasal 32 ayat (2) ditentukan bahwa :
(2) Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut : a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih;
dan b. Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman
pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
Batasan waktu wewenang melakukan penahanan bagi anak
yang diduga melakukan tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 32 ayat (2) yang dilakukan oleh penyidik paling lama 7 (tujuh)
hari dapat diperpanjang atas permintaan penyidik kepada Penuntut
Umum (PU) paling lama 8 (delapan) hari. Dengan demikian,
keseluruhan kewenangan penyidik untuk melakukan penahanan
terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana adalah 15 (lima
belas) hari.
2) Pemeriksaan
Ketika tersangka anak telah berada dalam masa penahanan,
maka dilakukanlah pemeriksaan.
Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak Pasal 42 ayat (1)
mewajibkan penyidik anak melakukan pemeriksaan tersangka dalam
suasana kekeluargaan. Pengertian kekeluargaan menurut Undang-
Undang Pengadilan Anak dimaksudkan bahwa dalam menyidik anak
petugas hendaknya memberikan perlakuan yang ramah, tidak
memaksa atau menakuti-nakuti bahkan memukul. Dalam pemeriksaan,
anak tidak boleh mendapat tekanan. Hal ini dimaksudkan agar
pemeriksaan berjalan lancar. Sebab apabila anak merasa takut dalam
menghadapi penyidik, anak akan mengalami kesulitan memberikan
keterangan yang benar dan sejelas-jelasnya.
Selain itu dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka
anak penyidik juga terikat oleh pembimbing kemasyarakatan dalam hal
ini petugas Balai Pemasyarakatan (Bapas). Dalam Pasal 42 ayat (2)
Undang-Undang Pengadilan Anak dinyatakan penyidik mempunyai
kewajiban untuk meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing
kemasyarakatan, karena pembimbing kemasyarakatan tugasnya
membantu memperlancar penyidik dengan membuat laporan
kemasyarakatan harus siap memberikan pertimbangan atau saran
yang diminta penyidik.
Selain memeriksa tersangka anak, maka dalam tahap
pemeriksaan ini juga dilakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi. Hal
ini dilakukan dalam rangka mencari kebenaran di balik perkara
tersebut.
3) Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara
Setelah pemeriksaan terhadap tersangka sudah selesai, maka
langkah selanjutnya adalah menyelesaikan berkas perkara yang
lazimnya dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). BAP
inilah yang akan diserahkan kepada penuntut umum.
Dalam Undang-Undang Pengadilan Anak tidak diatur mengenai
pemberkasan perkara anak, sehingga ketentuan pemberkasan berlaku
ketentuan dalam KUHAP sebagai peraturan umumnya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 8 ayat (2) dan (3)
tentang Hukum Acara Pidana, menyebutkan bahwa penyidik
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Penyerahan
berkas perkara dibagi 2 tahap :
a. Tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara.
b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai maka, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
c. Jika penyidik bukan hanya menyerahkan secara fisik tersangka dan barang buktinya, sebab kedua-duanya akan diajukan ke persidangan pengadilan oleh penuntut umum.
Jadi penyidik bukan hanya menyerahkan berkas perkara saja,
akan tetapi juga menyerahkan secara fisik tersangka dan barang
buktinya, sebab kedua-keduanya akan diajukan ke persidangan
pengadilan oleh penuntut umum.
2. Perlindungan Dalam Proses Penuntutan
Pada dasarnya Undang-Undang Pengadilan Anak menghendaki agar setiap Kejaksaan Negeri memiliki penuntut umum anak untuk menangani perkara anak nakal. Akan tetapi apabila pada suatu kantor Kejaksaan Negeri sementara tidak mempunyai penuntut umum anak, maka menurut Pasal 53 ayat (3) tugas selanjutnya dibebankan kepada Jaksa Penuntut yang sering menangani perkara pidana orang dewasa.
Berkenaan dengan penuntutan terhadap tersangka anak, Pasal 53 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menjelaskan bahwa penuntutan terhadap anak nakal dilakukan oleh penuntut umum, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Ditekankan selanjutnya pada ayat (2) Pasal 53, bahwa penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. Telah berpengalaman sebagai penuntut umum tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa.
b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
Sementara dalam UU SPPA Pasal 41 ayat (2) ditentukan bahwa :
(2) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Telah berpengalaman sebagai penuntut umum; b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah
Anak; dan c. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.
Kewajiban seorang penuntut umum selanjutnya adalah membuat surat
dakwaan sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP. Dalam jangka waktu 25
hari, penuntut umum harus melimpahkan berkas perkara anak kepada
pengadilan negeri.
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas dilampaui dan
perkara belum dilimpahkan ke pengadilan negeri, maka tersangka harus
dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Dalam UU SPPA, dikenal adanya upaya diversi yang merupakan hal
baru dalam undang-undang ini dan tidak dikenal dalam UU Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak. Diversi adalah pengalihan penyelesaian
perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses
peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam
lingkungan sosial secara wajar.
Dalam Pasal 42 UU SPPA ditentukan bahwa :
(1) Penuntut Umum wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(3) Dalam hal proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat penetapan.
(4) Dalam hal diversi gagal, Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.
Dalam UU SPPA ini terlihat perkembangan dalam sistem hukum di
negara kita dengan masuknya keadilan restoratif yang akan digunakan dalam
penyelesaian perkara pidana anak dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga korban/pelaku, serta pihak lain yang terlibat untuk mencari
penyelesaian dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak,
dengan tujuan pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pembalasan.
Selain itu dalam pendekatan keadilan restoratif ini, juga mendorong peran
serta masyarakat agar terlibat dalam penyelesaian perkara anak. Tidak lagi
hanya menyasar pada “anak sebagai pelaku” sebagaimana kesan yang
muncul dalam persepsi masyarakat, tetapi lebih kepada bagaimana mendidik
anak agar dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan
mempertimbangkan kepentingan terbaik untuk anak tentunya. Sesungguhnya
yang dibutuhkan adalah bagaimana mendidik, memperbaiki kerusakan, dan
memulihkan keadaan seperti semula sehingga dapat terbentuknya
kedewasaan pada para pihak untuk waktu ke depannya yang lebih baik.
Sejalan dengan masuknya keadilan restoratif yang diperlukan bagi
penyelesaian perkara pidana anak, maka diperlukan juga diversi yang
dijelaskan dalam UU SPPA dapat digunakan untuk tindak pidana yang
ancamannya di bawah 7 (tujuh) tahun. Diversi ini merupakan poin penting
yang mempunyai tujuan untuk menjauhkan anak dari proses peradilan pidana
dengan cara pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat
(7) UU ini. Dalam pelaksanaan Diversi haruslah memperhatikan beberapa hal
penting sebagai berikut (Pasal 8 ayat (3) UU SPPA) :
1. Mempertimbangkan kepentingan korban; 2. Kesejahteraan dan tanggung jawab anak; 3. Penghindaran stigma negatif; 4. Penghindaran pembalasan; 5. Keharmonisan masyarakat serta kepatutan; 6. Kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam membuat surat dakwaan, yang harus dipedomani oleh penuntut
umum adalah Pasal 143 KUHAP, bahwa surat dakwaan harus memenuhi
syarat formil dan syarat materil. Syarat formil dimaksud yakni nama lengkap,
tempat lahir, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, agama dan
pekerjaan tersangka. Sedangkan syarat materiilnya adalah menyangkut
uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang
didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu
dilakukan.
Surat dakwaan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan dapat dirubah
oleh penuntut umum sebelum pengadilan menetapkan hari sidang.
Perubahan ini dimaksudkan untuk menyempurnakan surat dakwaan.
3. Perlindungan dalam Proses Pengadilan
Formatted: Font: Arial, Not Bold
Formatted: Font: Arial, Not Bold
Formatted: Font: Arial, Not Bold
Formatted: Font: Arial, Not Bold
Formatted: Font: Arial, Not Bold
Formatted: Font: Arial, Not Bold
Formatted: Font: Arial, Not Bold
Pemeriksaan sidang bagi terdakwa anak dilakukan oleh hakim khusus yaitu hakim anak. Pengangkatan hakim anak ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan mempertimbangkan usul dari Ketua Pengadilan Tinggi tempat hakim tersebut tugas.
Syarat utama untuk dapat ditetapkan sebagai hakim anak dalam Pasal 10 Undang-Undang Pengadilan Anak sebagai berikut :
a. Telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
Pasal 43 ayat (2) UU SPPA, menentukan bahwa : Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai hakim dalam perkara anak adalah : a. Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan
umum; b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah
Anak; dan c. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.
Beberapa hal yang merupakan ciri khas persidangan anak nakal sebagai berikut : 1) Pemeriksaan sidang anak dilakukan dengan hakim tunggal (Pasal 11 ayat (1)
Undang-Undang Pengadilan Anak). Hal ini bertujuan agar sidang perkara anak
dapat diselesaikan dengan cepat. Perkara anak yang disidangkan dengan
hakim tunggal adalah perkara yang ancaman hukumannya lima tahun ke
bawah dan pembuktiannya mudah atau tidak sulit. Biasanya perkara yang
dimaksud adalah tindak pidana pencurian, penipuan, penggelapan dan
sebagainya.
Namun apabila tindak pidananya dianggap berat (di atas lima tahun) serta
pembuktiannya sulit, maka berdasarkan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang
Pengadilan Anak, maka perkaranya diperiksa oleh hakim majelis (tidak
tunggal) (Pasal 14 dan Pasal 18 Undang-Undang Pengadilan Anak).
2) Dalam pemeriksaan sidang anak nakal pejabat pemeriksa yaitu, hakim,
penuntut umum dan penasehat hukum tidak memakai toga. Begitupula oleh
seorang panitera pun tidak memakai jas (Pasal 6 Undang-Undang Pengadilan
Anak). Hal ini dimaksudkan agar persidangan tidak berkesan menakutkan.
Selain itu agar dengan pakaian biasa dapat menjadikan persidangan lancar,
dan penuh dengan rasa kekeluargaan.
3) Persidangan bagi anak nakal dilaksanakan secara tertutup. Undang-Undang
Pengadilan Anak Pasal 57 ayat (1) menjelaskan bahwa hakim membuka
persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum. Hal ini sejalan
dengan Pasal 153 ayat (3) KUHAP, bahwa untuk keperluan pemeriksaan,
hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum,
kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
4) Berbeda dengan persidangan biasa, dalam persidangan anak wajib ada
laporan penelitian kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan, sesuai Pasal
56 Undang-Undang Pengadilan Anak. Sebelum sidang dibuka, hakim
memerintahkan kepada pembimbing kemasyarakatan agar menyampaikan
laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan.
Laporan hasil penelitian kemasyarakatan berisi :
a. Data individu anak dan keluarga anak yang bersangkutan.
b. Kesimpulan atau pendapat dari pembimbing kemasyarakatan yang
membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan.
Menurut Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Anak, bahwa
terdakwa selain didampingi oleh penasehat hukum, juga didampingi oleh orang
tua wali, orang tua asuh dan pembimbing kemasyarakatan. Namun tugas masing-
masing berbeda, penasehat hukum mempunyai fungsi membela kepentingan
terdakwa di persidangan. Ia berperan aktif dalam mengungkapkan kebenaran
terhadap perkara yang sedang dihadapi terdakwa.
Dalam UU SPPA, Pasal 1 ayat (19) ditentukan bahwa : “Advokat atau
pemberi bantuan hukum adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik
di dalam maupun di luar pengadilan”, sehingga dalam memberikan bantuan
hukum lebih efektif.
Sedangkan pembimbing kemasyarakatan lebih banyak bersikap pasif. Ia
tidak mempunyai hak untuk membela kepentingan terdakwa. Meskipun demikian
bukan berarti tidak mempunyai hak bicara sama sekali di persidangan. Mereka
mempunyai kesempatan untuk mengemukakan hal-hal yang dianggap
bermanfaat bagi anak (Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak).
4. Perlindungan Anak dalam Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) merupakan tempat atau wadah yang diperuntukkan bagi terpidana atau narapidana dalam menjalani hukuman pidananya. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Pemasyarakatan memberi pengertian bahwa : “Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan”.
Dari pengertian ini, dapat diketahui tentang perincian siapa yang dibina
oleh Lapas, yaitu anak didik pemasyarakatan dan narapidana. Namun lebih
lanjut Undang-Undang Pemasyarakatan tampak memberikan perbedaan
keduanya. Diterangkan bahwa istilah narapidana dipergunakan untuk
terpidana dewasa, sedangkan istilah anak didik pemasyarakatan
diperuntukkan kepada terpidana anak.
Tidak digunakan istilah narapidana untuk anak bertujuan untuk tidak
menyinggung perasaan atau bahkan mensugestikan sesuatu kepada hal
yang tidak menyenangkan bagi anak.
Sejalan dengan itu Pasal 60 Undang-Undang Pengadilan Anak
menegaskan, bahwa anak didik pemasyarakatan ditempatkan di Lapas anak
yang harus terpisah dengan orang dewasa. Hal ini untuk kepentingan anak
supaya tidak terpengaruh jika dicampur, sehingga perkembangan anak tidak
menjadi gelap bagi masa depannya.
Pada prinsipnya setiap tempat atau kota terdapat Lapas anak, akan
tetapi apabila di suatu tempat belum dibangun, maka anak didik
pemasyarakatan ditempatkan di Lapas, namun penempatannya harus
dipisahkan dengan tempat narapidana dewasa.
Anak yang ditempatkan di Lapas, berhak memperoleh pendidikan dan
latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya serta hak lain berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 60 ayat (2) Undang-
undang Pengadilan Anak).
Dalam Undang-undang Pemasyarakatan dikenal ada 3 (tiga) macam
anak didik pemasyarakatan (Pasal 1 angka (8)) adalah :
a. Anak pidana
b. Anak negara
c. Anak sipil
Dalam UU SPPA, tidak lagi dipakai istilah anak nakal, anak pidana,
anak negara dan anak sipil. Walaupun status berbeda akan tetapi
pembedaan perlakuan sulit dilaksanakan.
G. Kerangka Pikir
Anak adalah suatu potensi tumbuh kembang suatu bangsa di masa
depan. Oleh sebab itu anak patut diberikan pembinaan dan perlindungan secara
khusus oleh negara dan undang-undang untuk menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan sosial. Untuk melaksanakan pembinaan dan
pemberian perlindungan tersebut diperlukan dukungan baik yang menyangkut
kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai oleh
karena itu anak yang melakukan tindak pidana diperlukan pengadilan anak yang
secara khusus menangani kasus anak.
Oleh karena itu sudah seharusnya sistem pemidanaan terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum harus memperhatikan kepentingan anak dan
sesuai dengan standar nilai dan perlakuan sejumlah instrumen nasional maupun
internasional yang berlaku untuk anak. Semua instrumen hukum internasional
dan instrumen hukum nasional ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan
perlindungan hak-hak anak. Indonesia sudah memiliki aturan untuk melindungi,
mensejahterakan dan memenuhi hak-hak anak antara lain Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Namun tampaknya tidak cukup membawa
perubahan yang signifikan bagi nasib dari anak-anak yang berkonflik dengan
hukum, dan apa yang diharapkan pada kenyataan sering tidak dapat terlaksana
dengan baik karena putusan hakim lebih bersifat punitive sehingga merugikan si
anak itu sendiri.
Salah satu alternatif dalam menangani kasus anak dengan menggunakan
diversi dan konsep restorative justice. Konsep restorative justice ini perlu menjadi
bahan pertimbangan dalam penanganan kasus anak karena konsep ini
melibatkan semua pihak dalam rangka untuk perbaikan moral anak agar anak
tidak lagi mengulangi perbuatannya namun anak tidak merasa menjadi seperti
seorang pesakitan sehingga mempengaruhi perkembangan mental anak.
Sistem pemidanaan yang bersifat edukatif harus menjadi prioritas hakim
dalam menjatuhkan putusan. Menempatkan anak pada penjara senantiasa
menjadi pilihan terakhir dan dengan jangka waktu yang sesingkat mungkin.
Menempatkan anak pada lembaga-lembaga yang mempunyai manfaat dan
fungsi sosial serta perbaikan bagi anak itu lebih baik, namun diharapkan
lembaga-lembaga tersebut dapat memberikan perawatan, perlindungan,
pendidikan dan keterampilan khusus yang bersifat mendidik sehingga dapat
berguna dengan tujuan membantu mereka memainkan peran-peran yang secara
sosial konstruktif dan produktif di masyarakat.
Skema Kerangka Pikir
UU No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak
Hukum Acara Pengadilan Anak
sebagai pelaku tindak pidana
Terwujudnya perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku
tindak pidana dalam hukum acara pengadilan anak
Penerapan Hukum Acara Pengadilan Anak :
Faktor yang mempengaruhi penerapan
Hukum Acara Pengadilan Anak :
1. Faktor substansi hukum
2. Faktor kualitas aparat penegak hukum
3. Faktor sarana dan prasarana
4. Faktor budaya hukum/kultur masyarakat
5.
1. Polres Watampone
2. Kejaksaan Negeri Watampone
3. Pengadilan Negeri Watampone
4. Lembaga Pemasyarakatan Watampone
H. Definisi Operasional
1. Hukum acara pengadilan anak adalah keseluruhan proses penyelesaian
perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan
sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
2. Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses penyelesaian perkara
pidana adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar
setiap anak yang terlibat perkara pidana dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik
fisik, mental dan sosial.
3. Substansi hukum adalah materi yang terdapat pada peraturan perundang-
undang yang mengatur masalah anak baik dia sebagai korban maupun
pelaku yang masih perlu mendapat perhatian yang lebih serius dalam rangka
upaya perbaikan materi peraturan perundang-undangan tersebut.
4. Penegak hukum adalah semua aparat yang berwenang menangani tindak
pidana anak yang terwujud dalam criminal justice system (sistem peradilan
pidana) yang saling terkait satu sama lain dalam hal ini kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, pengacara, dan lembaga pemasyarakatan.
5. Sarana dan prasarana adalah sarana dan prasarana yang mempengaruhi
perlindungan hukum terhadap anak dalam proses penyelesaian perkara
pidana.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan hukum acara pengadilan anak, dengan demikian penulis menggunakan pendekatan normatif – empirik, yaitu menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan peradilan anak serta bentuk pelaksanaannya di lapangan.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bone, khususnya pada Polres Watampone, Kejaksaan Negeri Watampone, Pengadilan Negeri Watampone, serta pada Lembaga Pemasyarakatan Watampone. Adapun alasan pemilihan lokasi penelitian ini atas dasar pertimbangan bahwa fokus penelitian secara langsung melibatkan unsur pihak-pihak tersebut di atas.
C. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah polisi yang menangani kasus anak, Jaksa yang pernah menangani kasus anak, hakim yang pernah menangani kasus anak, dan petugas lembaga pemasyarakatan.
Penentuan sampel dilakukan dengan cara non probabilitas. Pengambilan
sampel purposif ditetapkan sebanyak 3 orang yaitu Kanit PPA pada Polres Watampone, 1 orang jaksa pada Kejaksaan Negeri Watampone, 1 orang hakim pada Pengadilan Negeri Watampone, 2 orang petugas Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Bone.
D. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data empirik yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian yang bersumber dari responden atau informan sebagai sumber data. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan, bahan-bahan dokumentasi dari instansi terkait, surat kabar atau bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan materi penelitian ini termasuk peraturan perundang-undangan yang terkait.
E. Teknik Pengumpulan Data
Data primer dan data sekunder baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang diperlukan, dikumpulkan dengan teknik sebagai berikut : 1. Wawancara yaitu pengumpulan data yang dilakukan secara bebas dan/atau
terpampang dalam bentuk tanya jawab dari responden dan informan sebagai
pelengkap (kuesioner) dengan menggunakan pedoman wawancara yang
merupakan instruksi.
2. Pengamatan langsung terhadap situasi dan kondisi di lapangan.
F. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif, yakni analisis yang bersifat mendeskripsikan data yang diperoleh, baik data primer dan data sekunder kemudian diberi penafsiran dan kesimpulan, penulis berusaha menggambarkan hasil penulisan dalam bentuk tanya uraian secara sistematis hingga tiba pada kesimpulan/jawaban atas rumusan masalah.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penerapan Hukum Acara Pengadilan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Telah diuraikan sebelumnya pada latar belakang masalah, bahwa akhir-akhir ini semakin banyak dijumpai anak yang masih di bawah umur melakukan perbuatan yang menyimpang dari norma-norma hukum. Perbuatan mereka ini sudah sangat mengkhawatirkan karena sudah mengarah pada perbuatan pidana.
Demikian halnya di Kabupaten Bone, ternyata cukup banyak anak yang melakukan perbuatan pidana tersebut. Hal ini dapat terlihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 1. Jumlah Pelaku Pidana Anak Tahun 2010 – 2012
No Tahun Jumlah Pelaku
1
2
3
2010
2011
2012
96 orang
74 orang
87 orang
Jumlah 257 orang
Sumber Data : Polres Bone, 2013 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah anak pelaku tindak pidana
tahun dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 adalah sebagai berikut tahun 2010 sebanyak 96 kasus kemudian turun pada tahun 2011 menjadi 74 kasus pada tahun 2012 menjadi 87 orang.
Selanjutnya data di bawah ini menggambarkan jumlah pelaku pidana anak berdasarkan jenis pidana yang dilakukan :
Tabel 2. Jumlah Pelaku Pidana Anak Berdasarkan Jenis Pidana Tahun 2010 – 2012
No Jenis Pidana 2010 2011 2012 Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
8
Pembunuhan
Pencurian
Penganiayaan
Pemerasan
Narkoba
Senjata Tajam
Perkosaan
Pencabulan
1
78
4
3
4
4
1
1
1
54
4
3
4
4
1
3
1
54
7
5
7
4
4
5
3
186
15
11
15
12
6
9
Sumber Data : Polres Bone, 2013
Data tabel 2 di atas menunjukkan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anak semakin bervariasi. Tindak pidana pencurian menduduki peringkat pertama dari jenis pidana yang dilakukan oleh anak. Namun secara kuantitatif mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Sebaliknya, tindak pidana narkotika dan obat terlarang menduduki peringkat kedua dari jenis pidana yang dilakukan oleh anak. Dari tahun ke tahun tampak mengalami peningkatan yang cukup berarti. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan kita karena masalah narkoba ini sudah melanda anak di bawah umur yang merupakan generasi penerus bangsa. Jika hal ini dibiarkan berlanjut, maka akan rusaklah generasi kita di masa depan.
Data tabel 2 di atas, menunjukkan pula adanya sifat kekerasan di kalangan anak-anak. Hal ini ditandai dengan banyaknya kasus penganiayaan (Pasal 351 KUHP) dan senjata tajam yang dilakukan oleh anak. Pengaruh masalah sosial yang mengitari anak sangat kompleks. Kesenjangan sosial, kebosanan serta kejengkelan akibat tekanan hidup dapat menjadi pemicu bagi anak untuk menjadi agresif, berperilaku menyimpang, yang pada akhirnya membuat anak justru melakukan tindak pidana.
Oleh sebab itu dengan semakin bervariasinya perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak, maka dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 diharapkan akan mengurangi/mencegah anak untuk melakukan perbuatan pidana. Namun bagaimanapun juga, karena anak ini telah melakukan perbuatan melanggar hukum, maka demi tegaknya hukum dan demi memberikan rasa aman kepada masyarakat, maka anak yang terlibat pidana ini harus diproses menurut aturan dan hukum yang berlaku.
Berdasarkan dengan data penunjang diatas diketahui bahwa banyak
kuantitas anak yang bermasalah dengan hukum yang harus menjalani proses
peradilan pidana. Di usianya yang masih sangat muda, mereka harus mengalami
proses hukum atas perkara pidana yang demikian panjang dan melelahkan,
mulai dari tahap penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh jaksa, persidangan oleh
hakim dan pelaksanaan putusan hakim. Sejak tahap penyidikan, aparat hukum
telah diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penahanan.
Situasi dalam tahanan memberikan beban mental berlipat bagi si anak, ditambah
lagi tekanan psikologis yang harus dihadapi mereka yang duduk dalam
persidangan sebagai pesakitan.
Penggunaan hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan, hal ini terlihat dari
praktek perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan
hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut
di Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan
normal, seolah-olah eksistensinya tidak dipersoalkan. Persoalan sekarang
adalah garis-garis kebijakan atau pendekatan yang bagaimanakah sebaiknya
ditempuh dalam menggunakan hukum pidana.
Menurut Kanit PPA Polres Bone AIPTU Alimuddin (wawancara tanggal 19
Maret 2013) bahwa : “Sanksi pidana adalah suatu alat atau sarana terbaik yang
tersedia, yang dimiliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar
serta untuk menghadapi ancaman-ancaman”.
Selanjutnya Kanit PPA Polres Bone AIPTU Alimuddin (wawancara tanggal
19 Maret 2013) menyatakan bahwa :
1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana
2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya.
3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancaman apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.
Pendapat tersebut di atas dalam konteks frasa sembarangan dan secara
paksa dalam hukum pidana ditujukan kepada dua hal, yaitu tentang norma
hukum apa yang dilanggar (hukum pidana materiel) dan bagaimana cara
menegakkan hukum terhadap tindakan tersebut (hukum pidana formil) sehingga
dalam menggunakan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan harus
dilakukan dengan hati-hati, karena bukan tidak mungkin penggunaan sanksi
pidana itu akan menjadi semacam "bumerang" bagi tujuan pemidanaan itu
sendiri.
Terkait dengan apa yang akan dikaji dalam tesis ini penulis juga
menekankan pada sarana penal yang telah diberlakukan di Kabupaten Bone saat
ini yaitu pada penerapan sanksi yang menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi di dalam penegakan hukum.
Dalam penerapan sanksi terhadap anak, maka terdapat beberapa teori
yang dapat digunakan sebagai landasan dalam penerapan sanksi pidana yakni :
1. Teori imbalan (absolute/vergeldingstheorie)
Menurut teori ini dasar dari pemberian hukuman harus dicari dari
kejahatan itu sendiri. Dimana karena kejahatan itu telah memberi dan
menimbulkan penderitaan dari orang lain maka sebagai imbalannya
(vergelding) maka si pelaku juga harus diberi penderitaan.
2. Teori maksud atau tujuan (relative/doeltheorie)
Berdasarkan teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan
maksud atau tujuan dari hukuman itu. Dimana dalam teori ini tujuan hukuman
adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan. Dimana terdapat perbedaan
dalam prevensi yakni :
a. Prevensi umum (algemene preventive) hal ini dapat dilakukan dengan
ancaman hukuman, penjatuhan hukuman, dan pelaksanaan hukuman.
b. Spesial prevensi, yakni yang ditujukan kepada orang yang melakukan
kejahatan itu.
3. Teori gabungan (verenigingstheorie)
Pada dasarnya teori gabungan ini adalah gabungan antara teori
imbalan dan teori maksud dan tujuan. Dimana apabila digabungkan maka
pengertian teori gabungan ini adalah mengajarkan bahwa penjatuhan
hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat
dan untuk memperbaiki pribadi si penjahat.
Hukum pidana modern menyatakan bahwa pemidanaan yang diterima
oleh seorang anak yang melakukan perbuatan itu tidak hanya berupa pidana,
akan tetapi juga tindakan yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari
perbuatan-perbuatan yang merugikannya yang sering disebut dengan double
track system, namun dilihat dari latar belakang kemunculan dapat disimpulkan
bahwa ide dasar sistem tersebut adalah kesetaraan antara sanksi pidana dan
sanksi tindakan.
Hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal, yaitu usaha yang
rasional dalam menanggulangi kejahatan, sebab di samping penanggulangan
dengan menggunakan pidana, masih ada cara lain untuk melindungi masyarakat
dari kejahatan.
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah “sistem dalam
suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan”. Berkenaan dengan
istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice system tidak terpisah dari
istilah sistem “the word system conveys an impression of a complex to end”
artinya bahwa kata sistem menunjukkan adanya suatu kesan dari objek yang
komplek lainnya dan berjalan dari awal sampai akhir, oleh karena itu dalam
mewujudkan tujuan sistem tersebut ada empat instansi yang terkait yaitu
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
Keempat komponen tersebut harus bekerja sama secara terpadu
(integrated criminal justice administration). Berproses secara terpadu artinya
bahwa keempat sub sistem ini bekerja sama berhubungan walaupun masing-
masing berdiri sendiri. Polisi selaku penyidik melakukan penyidikan termasuk
penyelidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan
pemeriksaan surat. Jaksa selaku penuntut umum melakukan penuntutan
berdasarkan hasil penyidikan yang disampaikan oleh penyidik. Hakim atas dasar
dakwaan penuntut umum melakukan pemeriksaan dalam sidang pengadilan.
Dalam hal penjatuhan sanksi pidana pada anak yang berhadapan dengan
hukum, ternyata terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam
penjatuhan sanksi pidana. Hal ini mengandung maksud bahwa dalam hal
penjatuhan sanksi pidana, walaupun substansi dan pemenuhan unsur sama
dengan orang dewasa namun pengenaan sanksi pidananya tidak sama dengan
orang dewasa.
Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan
peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan,
persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan dan penyebarluasan. Di antara rangkaian proses di atas ada
proses yang tidak disebutkan secara tegas tetapi mempunyai peran yang sangat
penting yaitu proses pengharmonisasian. Bertolak dari hal tersebut maka
pengharmonisasian merupakan salah satu rangkaian proses pembentukan
peraturan perundang-undangan. Proses pengharmonisasian dimaksudkan agar
tidak terjadi atau mengurangi tumpang tindih peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan perumusan suatu norma atau peraturan perundang-
undangan maka dalam hal ini norma hukum ditetapkan oleh badan hukum yang
berwenang. Sistem peradilan pidana anak (juvenile justice system) adalah segala
unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan anak yang
bermasalah dengan hukum. Menurut Kanit PPA Polres Bone AIPTU Alimuddin
(wawancara tanggal 19 Maret 2013) bahwa :
Unsur tersebut meliputi : Polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Pengadilan anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman dan terakhir institusi penghukuman. Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat
penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya. Kewenangan tersebut
dilengkapi dengan hukum pidana material yang diatur dalam KUHP dan hukum
pidana formal yang diatur dalam KUHAP.
Berbicara mengenai proses peradilan anak yang berhadapan dengan
hukum maka sebelum membahas mengenai hal bagaimana proses peradilan
anak di Kabupaten Bone, maka hendaknya kita membahas mengenai apa
sebenarnya yang dimaksud dengan proses penanganan anak itu sendiri. Proses
peradilan adalah suatu proses yuridis, dimana harus ada kesempatan orang
berdiskusi dan dapat memperjuangkan pendirian tertentu yaitu mengemukakan
kepentingan oleh berbagai macam pihak, mempertimbangkannya dan dimana
keputusan yang diambil tersebut mempunyai motivasi tertentu. Seperti halnya
orang dewasa, anak sebagai pelaku tindak pidana juga akan mengalami proses
hukum yang identik dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana, arti
kata identik di sini mengandung arti ”hampir sama”, yang berbeda hanya lama
serta cara penanganannya.
Menghadapi dan menangani proses peradilan anak nakal, maka hal yang
pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak
dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasi
adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses
penanganannya sehingga hal ini akan akan berpijak ada konsep kesejahteraan
anak dan kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses hukumnya
memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan
yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum.
Menurut Kanit PPA Polres Bone AIPTU Alimuddin (wawancara tanggal 19
Maret 2013) bahwa :
Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional, melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional. Maka, ini berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan. Proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum erat kaitannya
dengan penegakan hukum itu sendiri, dimana dalam sistem peradilan pidana
anak (juvenile justice system). Menurut Barda Nawawi Arief (2006:10) bahwa :
Sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan ”sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana” yang diwujudkan dalam 4 (empat) subsistem yaitu : 1. Kekuasaan penyidikan (oleh Badan/Lembaga Penyidik) 2. Kekuasaan penuntutan (oleh Badan/Lembaga Penuntut Umum) 3. Kekuasaan “mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana” (oleh badan
pengadilan) 4. Kekuasaan pelaksanaan putusan pidana” (oleh Badan/Aparat
Pelaksana/Eksekusi).
Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat
penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya. Kewenangan tersebut
dilengkapi dengan hukum pidana material yang diatur dalam KUHP dan hukum
pidana formal yang diatur dalam KUHAP. Perkembangan terakhir dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat pada
Pasal 5 ayat (1), maka advokat telah mempunyai legitimasi sebagai aparat
penegak hukum dan dapat dimasukkan sebagai salah satu komponen sistem
peradilan pidana.
Hasil penelitian ini tidak terlepas dari adanya peraturan yang memuat
hukum materiil dan formil terkait dengan perkara yang pelakunya anak yaitu tidak
terlepas dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
dimana dalam aturan norma ini dalam kenyataan yang terjadi di Kabupaten Bone
belumlah dapat memenuhi tujuan dari Undang-undang itu sendiri dimana dalam
orientasi ini adalah berorientasi pada ”kepentingan terbaik bagi anak”.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang merupakan ius constitutum
mengenai pengadilan anak saat ini tidak efektif sebagaimana yang digariskan
pada konsiderans dan penjelasan undang-undang itu sendiri, disebabkan pada
undang-undang itu tidak memberikan ruang dan jalan keluar untuk melakukan
diskresi dan diversi kepada hakim setelah melihat penilaian BAPAS. Padahal
diskresi dan diversi merupakan klep pengaman bagi anak-anak pelaku delinkuen
tertentu, untuk terhindar dari proses konvensional sistem peradilan pidana anak
yang lazimnya memiliki dampak negatif terhadap terjadinya stigmatisasi anak.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut pada tataran ius operatum
ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, penegakan hukumnya belum
mampu dilakukan oleh aparat penegak hukum yang profesional membidangi
anak sebagaimana dikehendaki undang-undang itu sendiri. Dalam kajian
kriminologi, stigmatisasi yang dialami anak menjadi faktor pemicu kriminogen
dalam mengulangi kenakalan berikutnya.
Bertolak dari hal tersebut di atas apabila kita lihat dalam ius constitutum
maka di Kabupaten Bone terkait dengan proses penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum adalah berdasarkan dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, dimana sesuai dengan asas “lex spesialis derogat lex
generalis” yaitu aturan khusus mengesampingkan aturan umum sehingga dalam
hal proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum adalah
berlandaskan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
namun sepanjang tidak diatur oleh undang-undang ini maka KUHAP tetap
diberlakukan.
Dalam konteks ini, berbicara tentang mekanisme peradilan pidana sebagai
suatu “proses”, dimana hal ini dimulai dari proses penangkapan, penggeledahan,
penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan serta diakhiri dengan
pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan. Proses (pelaksanaan
penegakan hukum) pidana merupakan suatu bentuk pemeriksaan yang dilakukan
menurut tatacara yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 3 KUHAP).
Undang-undang ini menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka yang
ada dalam proses dimana pelaksanaan dan hak dan kewajiban mereka itu
menjadi intinya proses.
Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan
dimulai semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di
sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut.
Selama proses peradilan tersebut, maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh
hukum yang berlaku dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh
pihak-pihak terkait dengan penyelesaian masalah anak nakal tersebut. Adapun
hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum adalah sebagai berikut :
1. Dalam proses penyidikan
Kekuasaan penyidikan adalah tahap yang paling menentukan dalam
operasionalisasi sistem peradilan pidana terpadu tersebut dalam rangka
tercapainya tujuan dari penegakan hukum pidana, karena pada tahap
penyidikanlah dapat diketahui adanya tersangka suatu peristiwa kejahatan
atau tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku kejahatan atau tindak
pidana tersebut sebelum pelaku kejahatan tersebut pada akhirnya dituntut
dan diadili di pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan
perbuatannya. Tanpa melalui proses atau tahapan penyidikan maka secara
otomatis, tahapan-tahapan selanjutnya dalam proses peradilan pidana yaitu :
tahapan penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan dan tahap
pelaksanaan putusan pidana tidak dapat dilaksanakan (hasil wawancara
dengan Kanit PPA Polres Bone AIPTU Alimuddin (wawancara tanggal 20
Maret 2013). Penyidikan itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik,
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya,
sedangkan ”bukti”, dalam ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti
yang sah dan benda sitaan/barang bukti. Masalah kewenangan dan
ketentuan mengenai ”penyidikan” diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang menjadi dasar hukum pidana formil di Indonesia. Ketentuan mengenai
aparat yang berwenang untuk melakukan penyidikan, selain diatur di dalam
KUHAP, juga diatur di dalam peraturan perundang-undangan lain di luar
KUHAP.
Tindakan yang dapat dilakukan penyidik adalah penangkapan,
penahanan, mengadakan pemeriksaan di tempat kejadian, melakukan
penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat Berita
Acara Pemeriksaan (BAP), penyitaan, penyimpanan perkara, pelimpahan
perkara. Penyidikan yang diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak harus dipandang sebagaimana layaknya
status dan fungsi seorang penyidik menurut KUHAP.
Penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan
oleh penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala
Kepolisian RI atau pejabat yang ditunjuknya, dimana berdasarkan Pasal 41
ayat (2) yang berbunyi :
Pasal 41 ayat (2) :
Syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah : a. Telah berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang
dilakukan oleh orang dewasa; b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah
anak.
Sedangkan terkait dengan penyidikan anak tersebut haruslah dalam
suasana kekeluargaan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Ayat (1), (2) dan
(3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Pengadilan Anak menyebutkan bahwa :
a. Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan; b. Dalam melakukan penyelidikan terhadap anak nakal, penyidik wajib
meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya;
c. Proses penyidikan terhadap anak nakal wajib dirahasiakan.
Bertolak dari hal tersebut maka pada waktu pemeriksaan terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum tersebut seorang penyidik tidak
memakai seragam atau dinas dan melakukan pendekatan secara efektif, aktif,
dan simpatik.
Berbicara mengenai penyidikan anak maka kita akan berbicara
mengenai kewenangan yang diatur menurut Pasal 5 ayat (2) dan (3) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang berbunyi :
(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Bertolak dari bunyi pasal tersebut terlihat jelas adanya suatu keadaan
yang bersifat kabur, dimana dalam hal ini apakah yang menjadi dasar
legalitas atas tindakan lain yang berupa pengembalian anak yang bermasalah
dengan hukum kepada orang tua atau wali ataupun tindakan pengembalian
kepada pihak Departemen Sosial terhadap anak yang bermasalah dengan
hukum.
Terkait dengan hal tersebut akan sangat bersinggungan dengan
adanya diskresi yang dimiliki oleh pihak penyidik, sehingga dalam hal ini
menimbulkan adanya multitafsir terhadap perumusan pasal tersebut (hasil
wawancara dengan Kanit PPA Polres Bone AIPTU Alimuddin (wawancara
tanggal 19 Maret 2013).
Secara khusus tidak ada ketentuan undang-undang di Indonesia yang
menetapkan standar tindakan lain atau pengalihan (diversi) untuk
pelaksanaan penanganan perkara terhadap anak pelaku tindak pidana oleh
aparat kepolisian, namun demikian berdasarkan kewenangan diskresi yang
diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l yang berbunyi:
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Ayat (2) yang berbunyi : tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat : 1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; 2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan; 3) Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya; 4) Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;
dan 5) Menghormati hak asasi manusia.
Rumusan kewenangan diskresi kepolisian merupakan kewenangan
yang bersumber dari asas kewajiban umum kepolisian (plichtmatigheids
beginsel), yaitu asas yang memberikan kewenangan kepada aparat
kepolisian untuk bertindak ataupun tidak melakukan tindakan apapun
berdasarkan penilaian pribadi sendiri dalam rangka kewajibannya menjaga,
memelihara ketertiban dan menjaga keamanan umum. Keabsahan
kewenangan diskresi kepolisian, didasarkan pada pertimbangan
keperluannya untuk menjalankan tugas kewajibannya dan ini tergantung pada
kemampuan subjektifnya.
Berpijak dari hal tersebut maka akan sangat terkait pula dengan TR
Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Bagi
Kepolisian dan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM.
Penyelenggaraan tugas POLRI, dimana TR ini bersifat arahan untuk menjadi
pedoman dalam pelaksanaan diversi dalam TR ini disebutkan bahwa :
Prinsip diversi yang terdapat dalam konvensi hak-hak anak anak, yaitu suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke alternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut kepentingan anak. Diversi dapat dikembalikan ke orang tua, si anak baik tanpa maupun
disertai peringatan informal/formal, mediasi, musyawarah keluarga pelaku
dan keluarga korban, atau bentuk-bentuk penyelesaian terbaik lainnya yang
sesuai dengan budaya masyarakat setempat.
Secara garis besarnya tugas-tugas penyidikan terdiri dari tugas
menjalankan operasi lapangan dan tugas administrasi hukum. Menurut
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terdapat
tugas-tugas penyidik yang berhubungan dengan tugas yang meliputi :
1. Penangkapan
Wewenang penangkapan dalam menangani anak yang berhadapan
dengan hukum harus pula memperhatikan asas hukum pidana
presumptions of innocence (asas praduga tak bersalah). Kedudukan anak
dalam proses pemeriksaan penyidikan terdapat nuansa yang
menimbulkan hak-hak anak secara khusus yang dapat mengesampingkan
upaya paksa dan tindakan paksa dari proses penyidikan. Kontak awal
antara anak dan polisi harus dihindarkan dalam suasana kekerasan fisik
dan psikis sehingga dalam proses penyidikan terdapat hak-hak anak yang
meliputi (hasil wawancara dengan BRIPKA M. T. Latif, SH. Penyidik Anak
pada Polres Bone, tanggal 20 Maret 2013) :
a. Terhadap keluarga anak sebagai tersangka wajib diberitahukan terlebih dahulu baik melalui surat maupun lisan sebelum proses penangkapan dilakukan.
b. Penangkapan terhadap anak tidak dibolehkan dengan menggunakan alat atau senjata upaya paksa atau wewenang paksa.
c. Tersangka anak harus segera mendapat bantuan hukum secara wajib dan cuma-cuma (dalam penangkapan penyidik penuntut umum harus mengikutsertakan seorang pengacara yang kelak akan menjadi penasehat hukum anak tersebut).
d. Tersangka anak atau orang belum dewasa harus segera mendapatkan proses pemeriksaan.
e. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian sebagai akibat dari kesalahan.
2. Penahanan
Penahanan Anak harus memperhatikan kepentingan yang
menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental,
maupun sosial anak serta mempertimbangkan kepentingan masyarakat
misalnya dengan ditahannya anak akan membuat masyarakat aman dan
tenteram.
Terkait dengan penahanan sama halnya seperti penangkapan,
penahanan tahap pertama terhadap anak juga sama dengan penahanan
terhadap orang dewasa yaitu dilakukan hanya berlaku paling lama 20 (dua
puluh) hari dan apabila belum selesai, atas permintaan penyidik dapat
diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 10
(sepuluh) hari. Dalam waktu 30 (tiga puluh hari), Polri sebagai penyidik
tindak pidana sudah harus menyerahkan berkas perkara yang
bersangkutan kepada Penuntut Umum, apabila jangka waktu tersebut
dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan maka tersangka harus
dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Perbedaan antara penahanan
terhadap anak dengan penahanan orang dewasa terletak di jangka waktu
perpanjangan penahanan apabila proses penyidikan belum selesai. Jika
anak-anak diperpanjang paling lama 10 (sepuluh) hari tapi jika orang
dewasa dapat diperpanjang paling lama 40 (empat puluh) hari. Di samping
itu penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak
di lingkungan Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara
atau di tempat tertentu.
3. Dalam proses penuntutan
Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum khususnya
dalam proses penuntutan dipandang sangat diperlukan untuk
mendapatkan perlindungan hukum terkait dengan hak-hak anak dalam
proses penuntutan yang meliputi (wawancara dengan Kasi Pidum
Kejaksaan Negeri Watampone Abd. Rahman Morra, SH.,MH. tanggal 23
Maret 2013) :
a) Menetapkan masa tahanan terhadap anak cuma pada sudut urgensi pemeriksaan.
b) Membuat dakwaan yang dimengerti oleh anak c) Secepatnya melimpahkan pada Pengadilan Negeri d) Melaksanakan penetapan hakim dengan jiwa dan semangat
pembinaan atau mengadakan rehabilitasi.
4. Dalam proses persidangan
Beberapa hak-hak anak dalam proses persidangan dalam proses
peradilan pidana anak meliputi (hasil wawancara dengan Bintang AL. SH.,
MH. hakim anak pada Pengadilan Negeri Watampone, tanggal 25 Maret
2013) :
a) Hak untuk mendapat penjelasan mengenai tata cara pelaksanaan persidangan pada kasusnya.
b) Hak untuk mendapatkan pendamping, penasehat hukum selama persidangan.
c) Mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan mengenai dirinya.
d) Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan dan menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial.
e) Hak untuk menyatakan pendapat. f) Hak untuk memohon ganti rugi atas perlakuan yang
menimbulkan penderitaan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili dengan alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang-orang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
g) Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan atau penghukuman yang positif dalam artian masih mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya.
h) Melakukan persidangan yang tertutup demi kepentingannya.
Mengenai tata ruang sidang pengadilan anak, belum ditentukan
secara jelas dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, oleh karena itu tata
ruang sidangnya dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 230 ayat (3)
KUHAP, sebagai berikut :
a) Tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari tempat penuntut umum, terdakwa, penasihat hukum dan pengunjung;
b) Tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim ketua sidang;
c) Tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan hakim; d) Tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri depan
dari tempat hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat hukum;
e) Tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di depan tempat hakim;
f) Tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di belakang kursi pemeriksaan;
g) Tempat pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang telah didengar;
h) Bendera nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim dan panji pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja hakim sedangkan lambang negara ditempatkan pada dinding bagian atas di belakang meja hakim;
i) Tempat rohaniawan terletak di sebelah kiri tempat panitera; j) Tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i di atas
diberi tanda pengenal; k) Tempat petugas keamanan di bagian dalam pintu masuk utama
ruang sidang dan di tempat lain yang dianggap perlu.
Bertolak bahwa suatu penanganan anak dalam proses hukumnya
memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta
perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan
perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Perlindungan hukum anak yang berhadapan dengan hukum
kedudukannya sangat penting mengingat dalam mekanisme prosesnya
hal terkait dengan perlindungan anak tidak boleh diabaikan.
Menurut Bintang AL. SH., MH. hakim anak pada Pengadilan Negeri
Watampone, tanggal 25 Maret 2013) bahwa :
Usaha-usaha perlindungan anak ini sebenarnya merupakan suatu tindakan hukum yang mempunyai akibat hukum oleh karena itu perlu adanya jaminan hukum bagi bagi kegiatan perlindungan anak tersebut. Kepastian hukumnya perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. Lebih lanjut dinyatakan bahwa :
Perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum terwujud pada : a) Tidak seorang anak pun dapat menjadi sasaran penyiksaan
atau perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Hukuman mati atau seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak boleh dikenakan pada kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berusia di bawah 18 tahun.
b) Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.
c) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabat manusianya dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan manusia seusianya. Khususnya, setiap anak yang dirampas kemerdekaannya harus dipisahkan dari orang-orang dewasa, kecuali bila dianggap bahwa kepentingan terbaik si anak yang bersangkutan menuntut agar hal ini tidak dilakukan dan anak berhak untuk mempertahankan hubungan dengan keluarganya melalui surat menyurat atau kunjungan-kunjungan, kecuali dalam keadaan-keadaan khusus.
d) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak untuk secepatnya memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain yang layak dan juga menggugat keabsahan perampasan kemerdekaannya di depan pengadilan atau pejabat lain yang berwenang, independen dan tidak memihak dan berhak untuk
dengan segera memperoleh keputusan mengenai tindakan perampasan kemerdekaan tersebut (wawancara tanggal 25 Maret 2013).
Dalam proses peradilan pidana anak harus menggambarkan
adanya jaminan-jaminan khusus bagi anak di bidang anak yang
berhadapan dengan hukum. The Beijing Rules merupakan peraturan-
peraturan standar minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
administrasi peradilan bagi anak yang mengatur tentang sistem peradilan
pidana yang sensitif terhadap anak, aturan ini merupakan aturan standar
yang digunakan apabila seorang anak berhadapan dengan hukum serta
harus menjalani proses peradilan pidana anak itu sendiri.
Masalah proses penanganan terhadap anak yang bermasalah
dengan hukum dalam hal ini perlu untuk sangat diperhatikan terkait
dengan masalah sumber daya manusia (SDM) dari aparat penegak
hukum khususnya dari sub-sistem kepolisian, dimana dalam The Beijing
Rules dalam Rule 12.1 menekankan adanya suatu pendidikan khusus dan
latihan khusus bagi aparat penegak hukum khususnya kepolisian
sehingga dalam hal ini unit polisi khusus yang terdidik dan terlatih
menangani proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum.
5. Proses pelaksanaan pidana
Dalam pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan
dikenal 10 (sepuluh) prinsip pemasyarakatan, yaitu :
1) Ayomi dan berikan bekal agar mereka dapat menjalankan peranan sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna;
2) Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam oleh negara; 3) Berikan bimbingan bukan penyiksaan, supaya mereka
bertobat; 4) Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk
atau lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana; 5) Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, napi dan anak
didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat;
6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat sekedar pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan jawatan atau kepentingan negara sewaktu-waktu saja, pekerjaan di masyarakat dan menunjang usaha peningkatan produksi;
7) Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila;
8) Narapidana dan anak didik sebagai orang tersesat adalah manusia dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia, martabat dan harkatnya sebagai manusia harus dihormati;
9) Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dapat dialami;
10) Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat men-dukung fungsi rehabilitatif, korektif, dan edukatif sistem pemasyarakatan.
Sehubungan dengan hal ini dikenal 10 (sepuluh) wajib Petugas
Pemasyarakatan, yaitu :
1) Menjunjung tinggi hak-hak Warga Binaan Pemasyarakatan; 2) Bersikap welas asih dan tidak sekali-kali menyakiti Warga
Binaan Pemasyarakatan; 3) Berlaku adil terhadap warga binaan pemasyarakatan; 4) Menjaga rahasia pribadi warga binaan pemasyarakatan; 5) Memperhatikan keluhan warga binaan pemasyarakatan; 6) Menjaga rasa keadilan masyarakat; 7) Menjaga kehormatan diri dan menjadi teladan dalam sikap dan
perilaku; 8) Waspada dan peka terhadap kemungkinan adanya ancaman
dan gangguan keamanan; 9) Bersikap sopan tetapi tegas dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat; 10) Menjaga keseimbangan kepentingan
Pembinaan atau bimbingan merupakan sarana yang mendukung
keberhasilan negara menjadikan narapidana menjadi anggota
masyarakat. Lembaga pemasyarakatan berperan dalam pembinaan
narapidana, yang memperlakukan narapidana agar menjadi baik, yang
perlu dibina adalah pribadi narapidana, membangkitkan rasa harga diri
dan mengembangkan rasa tanggungjawab untuk menyesuaikan diri
dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat,
sehingga potensial menjadi manusia yang berpribadi dan bermoral tinggi.
Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan menentukan
bahwa, Pembinaan Anak Pidana dilaksanakan dengan beberapa tahap
pembinaan. Tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terdiri atas 3 (tiga) tahap, yaitu :
1) Tahap awal;
2) Tahap lanjutan;
3) Tahap akhir.
Berkaitan dengan hal ini Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
menentukan :
(1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a meliputi: a. Masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan
paling lama 1 (satu) bulan; b. Perencanaan program pembinaan kepribadian dan
kemandirian; c. Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan
kemandirian; d. Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal.
(2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b meliputi : a. Perencanaan program pembinaan lanjutan; b. Pelaksanaan program pembinaan lanjutan; c. Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan; d. Perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.
(3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c meliputi : a. Perencanaan program integrasi; b. Pelaksanaan program integrasi; c. Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.
(4) Pentahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), (3), ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan.
(5) Dalam Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Kepala Lapas Anak wajib memperhatikan Litmas.
(6) Ketentuan mengenai bentuk dan jenis kegiatan program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pembinaan anak yang terlibat perkara pidana berakhir apabila yang
bersangkutan (hasil wawancara dengan Supeno Djoko Bc. IP., S.H., M.H.
Kepala Lapas tanggal 26 Maret 2013) :
1. Masa pidananya telah habis; 2. Memperoleh pembebasan bersyarat; 3. Memperoleh cuti menjelang bebas; atau 4. Meninggal dunia (Pasal 59 PP No. 31 Tahun 1999).
Pembinaan anak negara dititikberatkan pada pendidikan. Wujud
pembinaan anak negara meliputi (hasil wawancara dengan Supeno Djoko
Bc. IP., S.H., M.H. Kepala Lapas tanggal 26 Maret 2013) :
1. Pendidikan agama dan budi pekerti; 2. Pendidikan umum; 3. Pendidikan kepramukaan; 4. Latihan keterampilan.
Sehubungan dengan pembinaan anak negara ini, menurut Supeno
Djoko Bc. IP., S.H., M.H. (Kepala Lapas tanggal 26 Maret 2013) bahwa :
Pembinaan anak negara pada Lembaga Pemasyarakatan Watampone dilaksanakan sesuai dengan Pasal 23 PP Nomor 31 Tahun 1999 sebagai berikut : (1) Pembinaan bagi anak negara dilaksanakan dengan pentahapan
setiap 6 (enam) bulan. (2) Pembinaan tahap awal bagi Anak Negara dimulai sejak yang
bersangkutan berstatus sebagai anak negara sampai dengan 6 (enam) bulan pertama.
(3) Pembinaan tahap lanjutan dilaksanakan sejak berakhirnya masa pembinaan tahap awal sampai dengan 6 (enam) bulan kedua.
(4) Pembinaan tahap akhir dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan paling lama anak negara yang bersangkutan mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.
(5) Apabila masa pembinaan: (a) Telah lewat 6 (enam) bulan pertama menurut pertimbangan
Tim Pengamat Pemasyarakatan, anak negara yang bersangkutan sudah menunjukkan perkembangan yang baik, pembinaan dapat dilanjutkan dengan program asimilasi;
(b) Telah lewat 6 (enam) bulan kedua menurut pertimbangan Tim Pengamat Kemasyarakatan, anak negara yang
bersangkutan sudah menunjukkan perkembangan yang baik, pembinaan dapat dilanjutkan dengan program integrasi.
(6) Dalam hal anak negara belum memenuhi syarat untuk diberikan program asimilasi atau integrasi, maka pembinaan sebagaimana dimaksud dilanjutkan dengan pembinaan 6 (enam) bulan kedua dan seterusnya sampai Anak Negara yang bersangkutan mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.
Program pembinaan bagi anak sipil disesuaikan dengan
kepentingan pendidikan anak sipil yang bersangkutan (Pasal 26 ayat (1)
PP Nomor 31 Tahun 1999). Jangka waktu pembinaan anak sipil
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sesuai dengan penetapan
pengadilan. Dalam hal diperlukan pembinaan tahap, lanjutan maka
pentahapan program pembinaan bagi anak negara, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 berlaku juga terhadap Anak Sipil (hasil
wawancara dengan Supeno Djoko Bc. IP., S.H., M.H. Kepala Lapas
tanggal 26 Maret 2013). Sehubungan dengan anak sipil ini, Pasal 28
menentukan bahwa anak sipil sewaktu-waktu dapat dikeluarkan dari
Lembaga Pemasyarakatan Anak, berdasarkan penetapan Menteri
Kehakiman atau pejabat yang ditunjuk atas permintaan orang tua, wali
atau orang tua asuh Anak Sipil.
Pembinaan anak sipil berakhir apabila anak sipil yang bersangkutan
(hasil wawancara dengan Supeno Djoko Bc. IP., S.H., M.H. Kepala Lapas
tanggal 27 Maret 2013) :
Masa penempatannya di Lembaga Pemasyarakatan Watampone telah selesai berdasarkan penetapan pengadilan, telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun; dan dikeluarkan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan Watampone berdasarkan alasan tertentu dan meninggal dunia.
Pembinaan pribadi selama waktu tertentu, agar narapidana
kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi dan taat terhadap hukum
yang berlaku di dalam masyarakat. Pembinaan narapidana dipengaruhi
masyarakat luar, yang menerima narapidana menjadi anggotanya. Arah
pembinaan bertujuan (hasil wawancara dengan Arief Guna, Kepala Klien
Anak, tanggal 28 Maret 2013) :
1. Membina pribadi narapidana agar jangan sampai mengulangi kejahatan dalam menaati peraturan hukum;
2. Membina hubungan antara narapidana dengan masyarakat luar, agar dapat berdiri sendiri dan dapat menjadi anggotanya. Untuk menyelenggarakan usaha pembinaan ini diperlukan sarana baik yang bersifat materil, struktural. Usaha-usaha yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana adalah : a. Penyuluhan agama dari departemen agama; b. Penyuluhan hukum dari pihak pengadilan; c. Penataran tentang penghayatan Pancasila.
Lembaga Pemasyarakatan Watampone mengundang para pemuka
agama dalam proses pembinaan narapidana setiap bulan. Salah satu
program pendidikan narapidana, memberikan ceramah yang bersifat
membangun jiwa narapidana. Menurut Arief Guna, Kepala Klien Anak
(wawancara tanggal 28 Maret 2013) bahwa :
Penyuluhan dilakukan oleh Kantor Wilayah Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Propinsi Sulawesi Selatan atau Pengadilan Negeri Watampone sekali sebulan, seperti : 1. Ceramah tentang kesadaran hukum (kadarkum); 2. Membuat suatu kelompok diskusi antar narapidana, yang
membahas hal yang berkaitan dengan hukum; 3. Memberikan pandangan yang bersifat membangun kepada
narapidana setelah habis masa pembinaan.
Jenis-jenis pembinaan narapidana dapat digolongkan atas tiga yaitu
:
1. Pembinaan mental;
2. Pembinaan sosial;
3. Pembinaan keterampilan.
Pembinaan mental dilakukan mengingat terpidana mempunyai pro-
blem seperti perasaan bersalah, merasa diatur, kurang biasa mengontrol
emosi, merasa rendah diri yang diharapkan secara bertahap mempunyai
keseimbangan emosi. Pembinaan mental yang dilakukan adalah (hasil
wawancara dengan Arief Guna, Kepala Klien Anak, tanggal 28 Maret
2013) :
Memberikan pengertian agar dapat menerima dan menangani rasa frustasi dengan wajar, melalui ceramah; memperlihatkan rasa prihatin melalui bimbingan berupa nasihat; merangsang dan menggugah semangat narapidana untuk mengembangkan keahliannya; memberikan kepercayaan kepada narapidana dan menanamkan rasa percaya diri, untuk menghilangkan rasa cemas dan gelisah dengan menekankan pentingnya agama. Pembinaan sosial mengembangkan pribadi dan hidup
kemasyarakatan narapidana. Aktivitas yang dilakukan adalah:
memberikan bimbingan tentang hidup bermasyarakat yang baik dan
memberitahukan norma-norma agama, kesusilaan, etika pergaulan dan
pertemuan dengan keluarga korban; mengadakan surat menyurat untuk
memelihara hubungan batin dengan keluarga dan relasinya; kunjungan
untuk memelihara hubungan yang harmonis dengan keluarga.
Pembinaan keterampilan bertujuan untuk memupuk dan
mengembangkan bakat yang dimiliki narapidana, sehingga
memperoleh keahlian dan keterampilan. Aktivitas yang dilakukan
adalah: menyelenggarakan kursus pengetahuan (pemberantasan buta
huruf), kursus persamaan sekolah dasar; latihan fisik untuk
memelihara kesehatan jasmani dan rohani seperti senam pagi; latihan
kesenian seperti seni musik
Melihat beberapa pemaparan di atas terkait dengan proses peradilan anak
di Kabupaten Bone maka dalam hal ini kita dapat mengkajinya yaitu di dalam
beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Pengadilan Anak terkait dengan
permasalahan anak terdapat beberapa pengaplikasian dari aturan internasional
pada hakekatnya telah diadopsi dalam aturan hukum positif kita, namun adopsi
tersebut belum sepenuhnya dilakukan di Kabupaten Bone sehingga dalam hal
proses penanganan anak di Kabupaten Bone, masih terdapat kendala-kendala
dalam pelaksanaannya antara lain yaitu (hasil wawancara dengan Kanit PPA
Polres Bone AIPTU Alimuddin, tanggal 25 Maret 2013) :
1. Masalah tentang legalitas apa yang dipakai penyidik untuk melakukan tindakan lain berupa pengembalian anak kepada orang tua/wali ataupun pengembalian anak kepada Departemen Sosial terhadap anak yang bermasalah dengan hukum yang dalam normanya belum dijelaskan secara tegas dan eksplisit sehingga menimbulkan keadaan suatu norma yang bersifat kabur serta menimbulkan suatu keadaan yang multitafsir, dimana setelah dikaji secara akademis maka masalah dasar legitimasi terkait dengan proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum maka ada beberapa landasan legitimasi dalam penggunaan diversi ataupun tindakan lain yang dapat diambil oleh penyidik
2. Masalah diversi sangat penting untuk diperhatikan dalam penanganan anak pelaku delinkuen oleh sebab itu maka pengaturan secara khusus mengenai diversi sangatlah diperlukan untuk pembangunan hukum ke depannya, oleh karena itu diversi dapat menghindarkan anak dari proses stigmatisasi yang lazimnya terjadi dalam proses penanganan anak lewat sistem peradilan pidana anak sehingga dalam hal penanganan proses anak yang berhadapan dengan hukum diharapkan ke depannya dapat ditangani dengan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kedudukan anak.
Bertolak dari pemaparan di atas tersebut, maka berdasarkan penelitian
normatif yang dilakukan oleh penulis dalam tesis ini terkait dengan adanya
kekaburan norma tersebut adalah menemukan solusi yang tepat guna untuk
penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.
Menurut hasil wawancara dengan Ketua KPAI Kabupaten Bone Dra. A.
Ratnawati, M.Si (wawancara tanggal 11 Juli 2013) bahwa :
Salah satu solusi yang dapat dilakukan terhadap kekaburan norma adalah dengan melakukan suatu penafsiran (interpretasi) terhadap hukum tersebut dalam hal ini : 1. Interpretasi bahasa. 2. Historis undang-undang. 3. Sistematis. 4. Kemasyarakatan.
Kekaburan norma dari legalitas dari penyidik untuk menentukan tindakan
lain berupa pengembalian anak kepada orang tua/wali ataupun pengembalian
anak kepada Departemen Sosial terhadap anak yang bermasalah dengan hukum
yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak dapat dipergunakan interpretasi bahasa yaitu dalam konteks tata bahasa
yang dimaksud tersebut menekankan pada penyidik sebagai aparat penegak
hukum yang memiliki suatu kewenangan atau diskresi dalam penanganan proses
sistem peradilan pidana anak yang berhadapan dengan hukum dapat
menggunakan tindakan lain dalam proses penanganan anak. Bertolak dari hal
dapat dipergunakan interpretasi historis dari perundang-undangan tentang
Pengadilan Anak tersebut dimana Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah
penjelmaan salah satu konvensi internasional tentang anak khususnya The
Beijing Rules sehingga dalam hal ini legalitas dalam melakukan tindakan lain
berupa pengembalian anak kepada orang tua/wali ataupun pengembalian anak
kepada Departemen Sosial oleh aparat penegak hukum.
Peradilan anak terbentuk sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak. Dengan berlakunya undang-undang tersebut
mulai tanggal 03 Januari 1998, maka tata cara persidangan maupun penjatuhan
hukuman dilaksanakan berlandaskan undang-undang tersebut. Memang jauh
sebelum dibentuknya Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut, pengadilan
negeri telah menyidangkan berbagai perkara pidana yang terdakwanya anak
dengan menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP dan KUHAP.
Menurut Soedarto (1981:79) bahwa :
Sejak tahun lima puluhan perhatian ke arah terwujudnya pengadilan anak telah timbul di mana-mana. Di samping itu beberapa hakim telah dikirim ke luar negeri untuk mempelajari penyelenggaraan pengadilan anak. Di beberapa pengadilan negeri telah ditunjuk hakim-hakim tertentu mengadili
perkara-perkara yang terdakwanya adalah anak-anak, dengan tidak terlalu menyimpang dari acara yang berlaku bagi orang-orang dewasa. Menurut Bintang, AL, hakim pada Pengadilan Negeri Watampone
(wawancara tanggal 27 Maret 2013) bahwa : “Pengadilan anak meliputi segala
aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan
anak”.
Secara harfiah, peradilan anak terdiri dari dua kata yaitu kata peradilan
dan anak. Menurut kamus Bahasa Indonesia, peradilan berarti segala sesuatu
mengenai pengadilan. Bertolak dari hal tersebut maka peradilan merupakan
peristiwa atau kejadian atau hal-hal yang terjadi mengenai perkara di pengadilan.
Secara sempit, peradilan adalah hal-hal yang menyangkut hukum acara yang
hendak mempertahankan materiilnya. Sedangkan secara luas adalah kejadian-
kejadian atau hal-hal yang terjadi dengan suatu perkara termasuk proses
penerapan hukum acara dalam mempertahankan materiilnya (Agung Wahyono
dkk, 1993:14)
Secara yuridis, peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang
berbentuk badan peradilan, dan dalam kegiatannya melibatkan lembaga
pengadilan, kejaksaan, kepolisian, bantuan hukum, untuk memberikan
perlindungan dan keadilan bagi setiap warga Indonesia.
Menurut Sudikno Mertokusumo (Agung Wahyono, dkk. 1993:51) bahwa :
Peradilan adalah suatu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, yang fungsinya dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apapun atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah “eigenrichting”.
Menurut Bintang, AL (hakim pada Pengadilan Negeri Watampone,
wawancara tanggal 27 Maret 2013) bahwa :
Fungsi peradilan anak pada umumnya adalah tidak berbeda dengan peradilan lainnya yaitu menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, namun untuk peradilan anak perkara yang ditangani khusus menyangkut perkara anak. Pemberian perlakuan khusus dalam rangka menjamin pertumbuhan fisik serta mental anak sebagai generasi penerus yang harus diperhatikan masa depannya, dimana dalam hal ini untuk memberikan suatu keadilan, hakim melakukan berbagai tindakan dengan menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya. Hakim dalam mengadili berusaha menegakkan kembali hukum yang
dilanggar, oleh karena itu biasa dikatakan bahwa hakim atau pengadilan adalah
penegak hukum. Pengadilan dalam mengadili harus berdasarkan hukum yang
berlaku meliputi hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Bertolak dari
hal tersebut maka dalam pelaksanaannya, fungsi tersebut dijalankan oleh
pejabat-pejabat khusus peradilan anak, dengan kata lain, fungsi tersebut tidak
akan tercapai tanpa adanya pemegang peran yaitu pejabat-pejabat peradilan.
Bertolak dari hal tersebut maka tujuan peradilan anak, bukanlah semata-
mata mengutamakan pidananya saja sebagai unsur utama, melainkan
perlindungan bagi masa depan anak adalah sasaran yang hendak dicapai oleh
peradilan anak.
Tujuan peradilan bukan hanya menyatakan terbukti tidaknya suatu
peristiwa konkrit dan kemudian menjatuhkan putusan saja, melainkan
menyelesaikan perkara. Putusan itu harus menuntaskan perkara, jangan sampai
putusan itu tidak dapat dilaksanakan atau bahkan menimbulkan perkara atau
masalah baru, dimana mengingat bahwa anak harus mendapat perlindungan dan
oleh karena itu perlu mendapat perhatian dan perlakuan khusus pula, maka
dalam peradilan anak ini janganlah hanya dititikberatkan kepada terbukti tidaknya
perbuatan atau pelanggaran yang dilakukan si anak semata-mata tetapi harus
lebih diperhatikan dan dipertimbangkan latar belakang dan sebab-sebab serta
motivasi pelanggaran atau perbuatan yang dilakukan oleh si anak dan apa
kemungkinan akibat putusan itu bagi si anak demi masa depan si anak.
Bertolak dari hal tersebut, maka melalui peradilan anak diharapkan
adanya suatu perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak serta
pencegahan terjadinya pengulangan kejahatan anak melalui tindakan pengadilan
yang konstruktif. Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum pada
prinsipnya terkait dengan tujuan dan dasar pemikirannya adalah untuk
mengutamakan kesejahteraan anak. Sasaran utama dalam tujuan ini merupakan
fokus utama dalam sistem hukum yang menangani pelanggaran anak khususnya
dalam sistem hukum yang mengikuti model peradilan pidana harus lebih
menekankan atau mengutamakan kesejahteraan anak.
Sasaran kedua adalah menyangkut prinsip proporsionalitas dimana dalam
hal ini merupakan alat untuk mengekang sanksi yang lebih menghukum dalam
arti hanya membalas semata-mata. Bertolak dari aturan tersebut apabila dasar
pemikiran dan tujuan peradilan anak difokuskan pada kesejahteraan anak maka
berpijak kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak, proses peradilan anak juga haruslah dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangan anak secara wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial
sehingga dari pendekatan yang berorientasi pada kesejahteraan atau
kepentingan anak diperlukan pula pendekatan secara khusus dalam proses
penanganan anak yang bermasalah dengan hukum. Hal ini berarti bahwa
diperlukan adanya perhatian khusus, pertimbangan khusus, pelayanan khusus,
dan perlakuan khusus dalam penanganan anak yang bermasalah dengan hukum
tersebut.
Dunia hukum dalam beberapa tahun ini telah mengalami reformasi cara
pandang dalam penanganan anak yang melakukan kenakalan dan perbuatan
melanggar hukum. Banyak negara yang mulai meninggalkan mekanisme
peradilan anak yang bersifat represif dikarenakan kegagalan sistem tersebut
untuk memperbaiki tingkah laku dan mengurangi tingkat kriminalitas yang
dilakukan oleh anak.
Para pakar hukum dan pembuat kebijakan mulai memikirkan alternatif
solusi yang lebih tepat dalam penanganan anak dengan memberikan perhatian
lebih untuk melibatkan mereka secara langsung (reintegrasi dan rehabilitasi)
dalam penyelesaian masalah, berbeda dengan cara penanganan orang dewasa.
Hal ini dikarenakan peningkatan kesadaran bahwa anak bukanlah miniatur orang
dewasa. Masa anak-anak adalah periode yang rentan dalam kondisi kejiwaan
dimana anak belum mandiri, belum memiliki kesadaran penuh, kepribadian
belum stabil atau belum terbentuk secara utuh, dengan kata lain keadaan
psikologinya masih labil, tidak independen, dan gampang terpengaruh.
Kondisi demikian menyebabkan adanya suatu perbuatan yang dilakukan
oleh anak tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan oleh anak itu sendiri,
karena anak sebagai pelaku bukanlah sebagai pelaku murni akan tetapi juga
sebagai korban. Anak tidak seharusnya dihadapkan pada sistem peradilan jika
ada yang lebih baik demi kepentingan terbaik bagi anak untuk menangani
perbuatan anak yang melanggar hukum.
Kesadaran untuk menjadikan peradilan pidana sebagai langkah terakhir
untuk menangani anak berhadapan dengan hukum tercermin dari konvensi yang
disepakati oleh negara-negara di dunia. Anak yang melakukan pelanggaran
hukum atau melakukan tindakan kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain
di luar diri anak. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh
proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para
ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan
mengeluarkan (remove) seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau
melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan
alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak.
Dalam proses pemidanaan, mengenai berat ringannya pidana yang akan
dijatuhkan tergantung dari pendirian dan penilaian hakim. Oleh karena itu dalam
menjatuhkan pidana kepada anak, hakim wajib mempertimbangkan berbagai
keadaan yang dapat melatarbelakangi anak untuk melakukan tindak pidana.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa faktor usia, pendidikan dan ekonomi
keluarga, juga turut mempengaruhi anak-anak di Kabupaten Bone untuk
melakukan suatu tindak pidana. Hal ini dapat digambarkan pada tabel sebagai
berikut :
Tabel 3 Gambaran anak pelaku tindak pidana berdasarkan golongan umur di Kabupaten Bone Tahun 2010 – 2012
No Umur Frekwensi Persentase (%)
1 12 tahun - 0
2 13 tahun - 0
3 14 tahun - 0
4 15 tahun 29 11
5 16 tahun 71 28
6 17 tahun 80 31
7 18 tahun 77 30
Jumlah 257 100
Sumber Data : Pengadilan Negeri Bone, 2013 Angka jumlah anak pelaku tindak pidana pada tabel di atas, menunjukkan
bahwa dari 257 anak yang terlibat perkara pidana, terdapat 29 orang (11%)
berusia 15 tahun, 71 orang (28%) yang berusia 16 tahun, 80 orang (31%) yang
berusia 17 tahun dan 77 orang (30%) yang berusia 18 tahun. Dengan demikian
maka pada kurun waktu 2010 – 2012 tindak pidana yang dilakukan oleh anak di
Kabupaten Bone lebih banyak dilakukan oleh mereka yang berusia 17 tahun.
Menurut penulis, penyebab angka kejahatan yang tinggi pada anak-anak yang
berumur 17 tahun adalah karena pada usia tersebut seorang anak mulai
mengalami masa transisi dari remaja menuju dewasa, masa dimana seorang
anak membutuhkan bimbingan dari orang tua. Jika anak kurang mendapat
perhatian dan bimbingan, maka besar kemungkinan anak tersebut akan mencari
perhatian di tempat lain, yang bisa saja memberikan dampak negatif bagi anak
itu sendiri.
Selanjutnya tentang tingkat pendidikan narapidana anak di Kabupaten
Bone dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4 Gambaran anak pelaku tindak pidana berdasarkan tingkat pendidikan di Kabupaten Bone Tahun 2010 – 2012
No Tingkat Pendidikan Frekwensi Persentase (%)
1 Sekolah Dasar (SD) 0 0
2 Sekolah Menengah Pertama (SMP)
10 4
3 Sekolah Menengah Atas (SMA)
247 96
Jumlah 257 100
Sumber Data : Pengadilan Negeri Bone, 2013
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 257 anak yang terlibat dalam
perkara pidana di Kabupaten Bone, terdapat 10 orang (4%) yang
berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan 247 orang (96%)
yang berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pada tingkat Sekolah Menengah Atas anak cenderung
mulai mendapatkan hal yang baru yang diakibatkan oleh pergaulan dengan
teman-teman mereka yang karakternya hampir sama yakni peralihan dari
kanak-kanak ke remaja sehingga tidak tertutup kemungkinan muncul tindakan
yang cenderung negatif.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa selain faktor usia
dan tingkat pendidikan, faktor latar belakang ekonomi keluarga juga turut
mempengaruhi anak dalam melakukan kejahatan. Hal tersebut dapat dilihat
pada tabel di bawah ini :
Tabel 5 Gambaran tentang jenis pekerjaan orang tua anak pelaku tindak pidana di Kabupaten Bone Tahun 2010 – 2012
No Pekerjaan Orang Tua Frekwensi Persentase (%)
1 PNS 10 4
2 Petani 40 16
3 Wiraswasta 35 14
4 Karyawan 35 14
5 Supir 69 27
6 Buruh 58 23
Jumlah 257 100
Sumber Data : Pengadilan Negeri Bone, 2013 Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 257 orang anak yang terlibat
perkara pidana, 10 orang (4%) yang orang tuanya merupakan pegawai negeri
sipil, 40 orang (16%) orang tuanya berprofesi sebagai petani, 35 orang (14%)
orang tuanya berprofesi sebagai wiraswasta, 35 orang (14%) yang mata
pencaharian orang tuanya adalah sopir dan 58 orang (23%) yang orang
tuanya bekerja sebagai buruh.
Dari tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya ekonomi
keluarga anak yang terlibat perkara pidana berada pada tingkat ekonomi yang
kurang mampu atau pas-pasan. Hal ini ikut berpengaruh terhadap
pemenuhan kebutuhan dan permintaan terpidana anak yang kurang
dikabulkan sehingga dapat menimbulkan konflik dalam jiwanya maka akan
dapat mengakibatkan frustasi dan cenderung narapidana anak terdorong
untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan masyarakat.
Dengan memperhatikan faktor-faktor di atas, hakim seharusnya dapat
menjatuhkan putusan yang lebih mengedepankan kesejahteraan anak,
karena seberat apapun tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak,
anak tetaplah anak, bukan orang dewasa.
Hal ini sesuai dengan pendapat Dra. A. Ratnawati, M.Si (Ketua KPAI
Kabupaten Bone) bahwa :
Mereka masih membutuhkan bimbingan dan perlindungan dari orang tua dan keluarga. Akan tetapi dalam kenyataannya, hakim Pengadilan Negeri Bone dalam menjatuhkan putusannya, masih mengedepankan penjatuhan pidana penjara dari pada sanksi lainnya dalam hal ini sanksi tindakan yang lebih mengedepankan aspek pembinaannya daripada aspek pemberian efek jeranya. Sampai saat ini hakim Pengadilan Negeri Bone lebih cenderung
memberikan sanksi pidana penjara dibandingkan dengan sanksi pidana lain
yang terdapat dalam Pasal 23 UU Pengadilan Anak. Hal ini dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 6 Gambaran tentang penjatuhan sanksi terhadap anak pelaku tindak pidana di Kabupaten Bone Tahun 2010 – 2012
No Jenis Sanksi Frekwensi Persentase (%)
1 Penjara 147 57
2 Tindakan
Diserahkan kepada orang tua/wali
Diserahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja
110
-
43
-
Jumlah 257 100
Sumber Data : Pengadilan Negeri Bone, 2013 Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 257 orang anak yang terlibat
perkara pidana, 147 orang (57%) yang dikenakan sanksi penjara dan 110
orang (43%) anak pelaku tindak pidana yang dijatuhi sanksi tindakan. Bentuk
sanksi tindakan yang dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri Bone adalah
pengembalian kepada orang tua/wali anak yang berhadapan dengan hukum
tersebut. Masih banyaknya jumlah putusan yang menjatuhkan pidana penjara
pada anak yang berhadapan dengan hukum tentu saja tidak memperhatikan
Pasal 16 ayat (3) UU Perlindungan Anak bahwa :
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Hakim dalam memutus perkara pidana anak selain harus
memperhatikan aspek yuridis juga harus memperhatikan aspek non yuridis
sebagai bahan pertimbangan hakim dalam pembuatan suatu keputusan
khususnya yang berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana, jenis
pidana dan berat ringannya pidana yang dijatuhkan terhadap anak.
Adapun aspek non yuridis tersebut antara lain adalah aspek sosiologis,
psikologis, kriminologis dimana ketiga aspek tersebut merupakan aspek yang
saling terkait yang membantu hakim untuk menganalisis secara obyektif dan
realistis sehingga pemahaman mengenai aspek-aspek non yuridis dalam
hubungan dengan pelaku tindak pidana anak di samping sangat relevan, juga
menjadi penting bagi seorang hakim ketika ia menangani perkara tentang
pidana anak, sehingga putusannya akan menjadi lebih adil dan tepat.
Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial
mengapa seorang anak melakukan suatu tindak pidana, aspek psikologis
berguna untuk mengkaji aspek psikologis anak pada saat anak melakukan
suatu tindak pidana dan setelah menjalani pidana sedangkan aspek
kriminologi diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seorang anak melakukan
tindak pidana dan bagaimana sikap serta perilaku anak yang melakukan
tindak pidana, dengan demikian hakim diharapkan dapat memberikan
putusan yang adil sesuai dengan kebutuhan anak.
Selain itu, menurut Bintang, AL., SH., MH. Bintang, AL (hakim pada
Pengadilan Negeri Watampone, wawancara tanggal 27 Maret 2013) bahwa :
Penjatuhan pidana penjara menimbulkan dampak negatif dan kerugian khususnya terhadap terpidana anak, adapun dampak dari penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan diantaranya adalah : 1) Anak akan terpisah dari keluarganya sehingga akan berdampak
pada gangguan terhadap gangguan hubungan keluarga seperti terlalu singkatnya dalam memberikan pendidikan, pengarahan, bimbingan yang positif dari orang tua terhadap terpidana anak.
2) Anak menjadi lebih ahli tentang kejahatan, hal ini dikarenakan adanya pengaruh yang didapat dari terpidana lainnya dimana hal ini membuka kemungkinan bagi terpidana untuk mempelajari perilaku kriminal terpidana lainnya sehingga anak akan menjadi lebih ahli tentang kejahatan.
3) Anak tersebut diberi cap oleh masyarakat, dimana masyarakat memandang para kriminal bukanlah sebagai orang yang bersifat jahat tetapi mereka adalah individu-individu yang sebelumnya
pernah berstatus jahat sebagai pemberian sistem peradilan pidana maupun masyarakat luas.
4) Masyarakat menolak kehadiran mantan terpidana anak, terkait dengan stigma yang diberikan masyarakat dimana anak yang pernah menjalani hukuman penjara maka anak tersebut tetap disebut sebagai anak yang nakal dan memiliki perangai buruk sehingga masyarakat menolak kehadirannya sebab masyarakat khawatir kalau anak tersebut akan mengulangi kejahatan sama dan akan memberikan pelajaran yang tidak baik terhadap anak-anak yang lain, padahal belum tentu demikian adanya.
5) Masa depan anak menjadi lebih suram dan pada kenyataannya anak yang telah dijatuhi pidana penjara mereka justru tidak menjadi lebih baik dari sebelumnya tetapi justru akan melakukan kembali tindak pidana, maka dari sini dapat dikatakan bahwa ternyata penjatuhan pidana penjara tidaklah efektif dalam upaya menanggulangi kejahatan yang terjadi justru menimbulkan dampak-dampak yang merugikan bagi anak.
Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa : 1) Agar anak tersebut sadar dan bertanggungjawab atas perbuatan
hukum yang dilakukannya. Dalam hal ini orang tua masih bisa memberikan nasehat,bimbingan dan motivasi kepada terpidana anak dan di dalam Lapas juga akan diberikan pendidikan khusus terhadap pidana anak.
2) Di dalam Lapas sel anak dan orang dewasa terpisah maka dari itu kecil kemungkinan bisa terpengaruh apalagi dari pihak Lapas telah memberikan pendidikan dan pelajaran agama agar anak tersebut dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya.
3) Masyarakat memandang para kriminal bukanlah sebagai orang yang bersifat jahat tetapi mereka adalah individu yang pernah berstatus terpidana anak.
4) Dalam hal ini masyarakat tidak seharusnya menolak kehadiran terpidana anak. Karena tidak selamanya terpidana anak yang keluar dari penjara akan memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Karena di dalam penjara anak telah diberikan pelatihan khusus dan pelajaran agama yang baik.
5) Hakim sebelum menjatuhkan putusan pidana penjara harus melihat hak-hak anak dan dilihat dari Pasal 16 ayat (3) UU Perlindungan Anak bahwa penangkapan,penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Dan tidak selamanya masa depan anak yang keluar dari penjara akan lebih suram sebab selama berada di penjara anak telah diberikan pelatihan khusus yang dapat mengembangkan potensi yang ada di dalam diri mereka.
Mengenai penjatuhan sanksi pidana penjara terhadap anak, Bintang,
AL (hakim pada Pengadilan Negeri Watampone, wawancara tanggal 27 Maret
2013) bahwa :
Penjatuhan sanksi pidana penjara pada anak nakal, itu karena kasus atau perbuatannya yang dianggap perlu adanya sanksi pidana karena meresahkan masyarakat, orang tua/wali atau orang tua asuhnya tidak sanggup lagi untuk mendidik anak tersebut, kemudian dalam memutus perkara, hakim mengalami kesulitan mengeluarkan putusan yang tidak bersifat penal ini dikarenakan adanya ketidaksamaan persepsi aparat penegak hukum dalam menerapkan sanksi. Memperhatikan alasan hakim yang demikian maka sebelum
menjatuhkan sanksi pidana penjara terhadap anak hakim sebaiknya
mengetahui pentingnya perlindungan hak-hak anak, karena anak merupakan
generasi penerus bangsa. Pada dasarnya peradilan pidana anak juga untuk
melakukan koreksi dan rehabilitasi sehingga cepat atau lambat anak dapat
kembali ke kehidupan masyarakat normal dan bukan untuk mengakhiri
harapan dan potensi masa depannya. Selain itu hakim tidak serta merta harus
memenjarakan anak.
Tindakan yang tepat dan bijaksana adalah penjatuhan pidana terhadap
anak sesuai dengan apa yang si anak butuhkan, dengan tidak
mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang berlaku demi
terjaminnya hak dan perlindungan anak.
Selanjutnya agar hakim dapat memberikan sanksi pidana yang tepat
terhadap anak yang terlibat perkara pidana, maka kehadiran orang tua/wali
atau orang tua asuh pada saat persidangan sangatlah penting. Hal ini
dimaksudkan agar hakim dapat mendengarkan secara langsung keterangan
tentang keadaan si anak dari orang tuanya agar dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan, akan tetapi apabila
keberadaan orang tua/wali atau orang tua asuhnya tidak diketahui atau anak
tersebut merupakan anak jalanan atau terlantar, maka hakim dalam penilaian
terhadap anak sifatnya subjektif yang berarti hakim dalam melihat kasus-
kasusnya memakai keyakinan atau hati nurani hakim sendiri dalam
menjatuhkan putusan.
Penjatuhan penjara ini menunjukkan pidana hanya dipandang sebagai
usaha untuk menanggulangi kejahatan, bahkan terlihat adanya pandangan
pemidanaan dipandang sebagai pembalasan. Hal ini dapat diketahui dari
dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara secara umum
dalam hal-hal yang memberatkan setiap perkara anak berhadapan dengan
hukum adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak cukup meresahkan
masyarakat.
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan Hukum Acara Pengadilan
Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Kabupaten Bone,
dapat dijelaskan tentang adanya beberapa faktor yang mempengaruhi
penerapan hukum acara pengadilan anak yang dilakukan oleh penegak hukum
yaitu :
1. Substansi Hukum
Sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia pada umumnya dan
pengadilan anak khususnya memiliki peranan yang penting dalam menjaga
wibawa hukum. Namun demikian dalam kenyataannya bukan berarti
pengadilan anak terlepas dari adanya permasalahan yang dihadapi dalam
rangka penerapan hukum acara pidana anak yang berhadapan dengan
hukum.
Permasalahan proses pengadilan terhadap anak terutama bersumber
dari Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak itu
sendiri. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 yang telah mencabut pasal 45,
46 dan 47 KUHP yang mengatur straf modus dan straf sort tentang sistem
pemidanaan untuk anak yang bertujuan semata-mata untuk kepentingan anak
(the best interest of child) sehingga tercapai perlindungan dan menghindari
stigmatisasi pada anak dalam menjalani proses pidana ternyata setelah
berjalan lebih dari satu dasawarsa dalam prakteknya tidak dapat memenuhi
tujuan akhir dari undang-undang tersebut.
Ketidakberhasilan kalau tidak mau disebut sebagai kegagalan ini
diakibatkan karena undang-undang ini lebih menonjolkan pendekatan yuridis
formal yang menutup upaya diskresi maupun diversi dalam mencari solusi
perkara anak berhadapan dengan hukum, padahal diskresi maupun diversi
inilah yang merupakan roh agar tujuan akhir Undang-Undang Nomor .3 tahun
1997 tentang Pengadilan Anak tercapai.
Pada tingkat penuntutan, upaya diversi tidak dapat dilakukan karena
lembaga penuntutan tidak memiliki kewenangan diskresioner. Sedangkan
pada tingkatan pengadilan diversi terbatas pada tindakan pengadilan untuk
tidak menjatuhkan pidana penjara atau kurungan. Untuk itu perlu adanya
pengaturan tentang upaya diversi secara jelas baik pada tingkat kepolisian,
kejaksaan maupun pengadilan. Shingga aparat kepolisian tidak
menggunakannya kewenangannya itu sekehendak hatinya, tetapi
berlandaskan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
Tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan
dan penahanan terhadap anak nakal. Dalam prakteknya penangkapan
terhadap anak nakal disamakan dengan orang dewasa. Yang membedakan
hanya jangka waktu penahanan terhadap anak lebih singkat dari orang
dewasa. Perlunya pengaturan secara jelas terhadap penangkapan dan
penahanan terhadap anak agar lebih memberikan perlindungan yang
maksimal terhadap anak dan terhindar dari perlakuan-perlakuan yang salah
dari aparat penegak hukum.
Permasalahan selanjutnya yang dialami oleh penegak hukum
berkaitan dengan istilah anak berhadapan dengan hukum yang dipergunakan
dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak
membedakan penyebutan anak yang berhadapan dengan hukum di setiap
tingkatan pemeriksaan, dalam arti anak yang berhadapan dengan hukum
menurut undang-undang ini disebut dengan “anak berhadapan dengan
hukum” . Penyebutan ini tentunya sudah merupakan masalah tersendiri
karena stigmatisasi sudah dimulai saat pemeriksaan.
Secara psikologis anak akan memproteksi diri apabila bersalah
sehingga dengan pelabelan anak berhadapan dengan hukum yang
disangkakan pada anak yang belum tentu bersalah akan memungkinkan anak
yang berhadapan dengan hukum secara pribadi melindungi diri sendiri
dengan memberikan keterangan yang bohong selama proses persidangan.
Selain itu dalam suatu proses persidangan akan kesulitan menggali
kebenaran.
Kondisi seperti ini mengakibatkan tujuan dari pemidanaan tidak akan
tercapai dan akan memberikan suatu persepsi yang menyatakan bahwa
pengadilan tidak merupakan suatu institusi yang digunakan sebagai sarana
untuk mendapatkan keadilan namun digunakan sebagai sarana untuk
menghukum. Jika dikaji lebih jauh mengenai persepsi anak berhadapan
dengan hukum, dengan adanya pencitraan (labelling) anak sebagai suatu
bagian anak berhadapan dengan hukum maka akan tercipta cara pandang
dari anak bahwa dia adalah anak berhadapan dengan hukum dan tidak
mungkin lagi orang lain mau mengerti bahwa dia sebenarnya adalah anak
baik yang sedang berusaha untuk mendapatkan hak dan melakukan
kewajibannya namun berhadapan dengan hukum.
Apabila anak sudah berpikir demikian dalam memandang dirinya maka
dalam suatu peradilan anak, kondisi ini akan berpengaruh pada hakim (anak)
dalam penjatuhan sanksi. Pemberian pandangan anak yang berhadapan
dengan hukum sebagai anak berhadapan dengan hukum tentunya menjadi
suatu problematika sendiri yang dialami hakim dalam penjatuhan sanksi
pidana. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya suatu pencitraan yang
menganggap bahwa anak tersebut merupakan anak berhadapan dengan
hukum dan oleh karenanya layak mendapatkan sanksi tanpa menghiraukan
adanya pendapat-pendapat lain di luar hasil pemeriksaan anak. Pandangan
ini tentulah memberikan suatu dampak yang tidak baik dalam kehidupan anak
tersebut karena dapat menjadikan anak terhambat perkembangan jiwanya.
Pemberian label anak nakal kepada anak yang berhadapan dengan
hukum akan memberikan suatu stigmatisasi buruk terhadap anak. Hal ini
dikarenakan beban psikologis selama proses persidangan yang selalu
menyebut anak nakal dapat membawa akibat gangguan psikologi anak baik
selama proses persidangan maupun setelah menjalani putusan. Hal lain dari
sudut substansi hukum adalah kurangnya jenis pemidanaan turut mendukung
problematika yuridis terhadap penjatuhan pidana. Hal ini merupakan suatu
permasalahan yang menyangkut mengenai penjatuhan sanksi pidana dalam
rangka pemenuhan tujuan pemidanaan. Problematika yuridis yang
menyangkut mengenai jenis pemidanaan sudah barang tentu menjadi suatu
hal yang semakin membuat putusan hakim menjadi lebih dilematik dalam hal
penjatuhan pidana karena terbatasnya pilihan sanksi yang dianggap sesuai
dengan anak nakal.
Ancaman pidana maksimal telah dibedakan, akan tetapi ancaman
pidana minimal tidak diatur, hal ini mengakibatkan tertutupnya hakim
menjatuhkan pidana sesuai tujuan terbaik, dimana tidak ada pilihan hakim
menjatuhkan pidana di bawah minimal ancaman yang telah ditentukan.
Hal lain adalah dicabutnya Pasal 45,46 dan 47 KUHP menyebabkan
jenis pemidanaan terhadap anak menjadi semakin berat. Dengan dicabutnya
Pasal 45, 46 dan 47 KUHP justru dirasakan mengakibatkan pidana terhadap
anak nakal terasa lebih berat karena pasal-pasal ini merupakan pedoman
pemidanaan dalam KUHP yang terkait dengan ketentuan Pasal 10 s/d Pasal
43 KUHP. Ditambah lagi adanya ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997, mengakibatkan pidana bersyarat hanya dimungkinkan
terhadap pidana penjara. Ketentuan ini telah mendorong hakim menjatuhkan
pidana penjara dibandingkan bentuk sanksi yang lain.
Perbedaan terpidana anak dan orang dewasa yaitu hak-hak anak yang
berhadapan dengan hukum berbeda halnya dengan hak-hak orang dewasa
yang berhadapan dengan hukum. Hal ini disebabkan tingkat kecakapan
seorang anak berbeda dengan tingkat kecakapan orang dewasa, mental anak
dan orang dewasa berbeda,
2. Faktor kualitas aparat penegak hukum
Faktor penegak hukum sangat mempengaruhi tindakan dan perilaku
penegak hukum dalam upaya penerapan hukum acara dimana anak sebagai
pelaku tindak pidana. Masyarakat sering mengeluh atas kinerja para penegak
hukum dalam penanganan tindak pidana pada umumnya dengan berbagai
alasan, antara lain terlalu lamban/santai, tidak proaktif dalam menangani
laporan yang dilaporkan masyarakat hingga kepada kualitas personil penegak
hukum yang tidak baik dalam menangani perkara yang sedang diproses.
Berdasarkan pada hasil penelitian bahwa kualitas atau kemampuan
penegak hukum yang diharapkan oleh masyarakat adalah terselenggaranya
profesional, efektif, efisien dan modern yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Profesional
Wujud dari profesional yaitu pelaksanaan tugas yang didasari oleh
etika profesi sehingga terselenggara secara tertib, ilmiah dan santun.
b. Efektif
Kemampuan melaksanakan tugas dan mencapai sasaran yang
dipilih secara tepat dalam waktu yang singkat dan energi (daya dan dana
yang sekecil-kecilnya (hemat dan sukses).
c. Efisien
Kemampuan melaksanakan tugas dengan benar dan
terselesaikannya sesuai dengan ketentuan yang ada seperti yang
diinginkan.
d. Modern
Berpikir maju, strategis dan atau mencapai hasil dengan bantuan
berbagai peralatan/teknologi mutakhir sehingga semua terselesaikan
secara efektif, efisien dan profesional.
Dari hasil penelitian dan pengamatan tindakan dan perilaku
penyidik/penyidik pembantu dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana
anak di Polres Bone dapat dijelaskan bahwa dengan melihat kemampuan dan
cara kerja penyidik/penyidik pembantu anak dalam setiap proses penyidikan
tindak pidana anak bila dikaitkan dengan pendidikan yang beraneka ragam
mereka peroleh serta dengan sarana, prasarana dan dana yang minimal,
ditambah lagi dengan tidak dapat terpenuhinya persyaratan sebagai penyidik
anak, maka penyidikan tindak pidana anak sebagaimana diharapkan
masyarakat untuk bertindak profesional efektif, efisien, profesional dan
modern belum dapat diwujudkan oleh penyidik/penyidik pembantu anak.
Penyidik/penyidik pembantu anak yang melakukan penyidikan tindak
pidana anak maupun ketentuan perundang-undangan di bidang anak, karena
sampai saat ini belum pernah ada pendidikan kejuruan di bidang anak
maupun pemberian pengetahuan hukum acara pidana anak sebagaimana
yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak.
Pendidikan kejuruan yang diberikan kepada penyidik/penyidik
pembantu khususnya di bidang anak diharapkan dapat diterapkan oleh
penyidik anak dalam melakukan penyidikan anak secara baik dan benar
tanpa ada lagi pelanggaran terhadap anak. Dengan demikian, pendidikan
kejuruan khusus anak diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
penyidik/penyidik pembantu pidana anak dalam melaksanakan penyidikan
tindak pidana anak.
Jumlah penyidik/penyidik pembantu anak juga turut mempengaruhi
tindakan dan perilaku penyidik/penyidik pembantu dalam penyidikan tindak
pidana anak. Dengan jumlah penyidik/penyidik pembantu yang cukup
diharapkan dapat memberikan pelayanan, pengayoman dan perlindungan
terhadap masyarakat dengan cepat dan baik sebagaimana yang diharapkan
masyarakat.
Adanya tindakan diskresi sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 5
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimana bila
anak belum berusia 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana maka
anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan. Bila menurut pemeriksaan
penyidik anak berpendapat bahwa anak tersebut masih dapat dibina oleh
orang tuanya maka penyidik anak akan menyerahkan anak tersebut kepada
orang tuanya. Begitu juga misalnya jika hasil dari pemeriksaan bahwa anak
tersebut tidak dapat dibina lagi maka penyidik anak akan menyerahkan
kepada negara setelah mendengar pertimbangan dan saran dari pembimbing
kemasyarakatan.
Pemberian motivasi kepada penyidik/penyidik pembantu anak turut
mempengaruhi tindakan dan perilaku penyidik/penyidik pembantu tersebut
dalam penyidikan tindak pidana anak. Pemberian motivasi kerja kepada para
penyidik/penyidik pembantu banyak ditentukan oleh peranan pimpinan.
Dalam hal memberi motivasi, seorang pemimpin tidak hanya semata-mata
memacu dan memberikan semangat semata tetapi dari sisi lain juga harus
diperhatikan tentang kebutuhan dan kehidupan pribadi para personilnya. Hal
ini merupakan suatu terobosan agar, permasalahan yang ada pada diri
penyidik/penyidik pembantu tidak larut dalam penyidikan tindak pidana anak.
Faktor mental penyidik/penyidik pembantu juga ikut mempengaruhi
tindakan dan perilaku penyidik/penyidik pembantu anak dalam proses
penyidikan tindak pidana anak. Mental penyidik/penyidik pembantu anak yang
tangguh memegang peranan penting dalam proses penyidikan tindak pidana
anak. Meskipun faktor-faktor yang mempengaruhi lainnya dapat diatasi tanpa
didukung dengan mental yang tangguh terdapat kecenderungan akan terjadi
tindakan-tindakan atau perilaku yang menyimpang. Hal ini dapat diyakini
karena seorang penyidik/penyidik pembantu bukanlah benda mati yang hidup
yang setiap hari dapat berubah dan terpengaruh oleh situasi dan kondisi yang
dihadapinya, khususnya dalam pemenuhan kebutuhannya.
Selain itu faktor ekonomi penyidik/penyidik pembantu anak juga sangat
mempengaruhi jalannya setiap proses penyidikan yang dilakukan oleh
penyidik anak. Bilamana situasi ekonomi di rumah dalam keadaan tenang dan
masih dapat diatasi maka tindakan penyidik anak biasanya masih dapat
dikendalikan. Selain itu tindakan yang dilakukan penyidik diharapkan juga
tidak dapat melukai perasaan apalagi melakukan tindakan yang bersifat
melawan hukum.
Jaksa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem peradilan
pidana anak dan memegang peranan yang sangat strategis karena memiliki
tugas dan kewenangan sejak awal proses peradilan sampai pada penjatuhan
sanksi pidana dalam peradilan anak. Lingkup pekerjaan yang diemban oleh
institusi kejaksaan adalah mulai dari proses awal peradilan pidana anak
hingga proses akhir peradilan yaitu penjatuhan sanksi atas tindak pidana
yang dilakukan oleh anak. Oleh karena tugas dan kewenangan jaksa yang
dimaksud maka dalam upaya perlindungan anak berdasarkan UU Pengadilan
Anak dan UU Perlindungan Anak dapat dilakukan oleh jaksa, walaupun jaksa
dalam melaksanakan kewenangannya akan bersinggungan dengan tugas
dan kewenangan instansi lain yaitu hakim di pengadilan. Mengingat tugas dan
kewenangan jaksa yang meliputi setiap proses dalam peradilan anak, maka
jaksa seharusnya memegang peranan dalam upaya perlindungan di peradilan
anak sesuai dengan tuntunan UU Perlindungan Anak. Dalam proses
penuntutan, upaya perlindungan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa
dapat dilakukan oleh jaksa, walaupun jaksa memiliki tugas untuk melindungi
hak-hak individu yang menderita kerugian atas tindak pidana yang dilakukan
oleh anak tetapi jaksa juga dalam kapasitas sebagai aparat penegak hukum
yang diberi tugas dan wewenang oleh negara untuk menegakkan hukum
demi keadilan, harus melindungi kepentingan masyarakat secara luas
termasuk terpidana anak.
Untuk dapat menangani suatu perkara tindak pidana anak, maka
seorang jaksa haruslah telah berpengalaman menangani tindak pidana yang
dilakukan oleh orang dewasa dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan
memahami masalah anak sebagaimana yang disebutkan dalam UU
Pengadilan Anak.
Hasil penelitian di Kejaksaan Negeri Bone, menunjukkan bahwa dalam
menangani perkara pidana anak, peranan jaksa dalam hal perlindungan anak
pada tahap penuntutan dapat dikatakan tidak berfungsi sebagaimana yang
diharapkan menurut ketentuan UU Perlindungan Anak karena semua kasus
yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dalam menuntut anak di Pengadilan
Negeri Bone cenderung menuntut anak dengan pidana penjara. Sikap dan
pandangan jaksa untuk tetap memilih jenis sanksi pidana penjara
menunjukkan bahwa jaksa tidak mencerminkan perlindungan hukum terhadap
anak yang terlibat perkara pidana.
Sistem pemeriksaan pada peradilan anak. Pemeriksaan anak nakal di
sidang anak yang tidak berbeda dengan pemeriksaan perkara orang dewasa
telah menempatkan anak sebagai obyek pemeriksaan karena anak diletakkan
di tengah yang menjadi pusat perhatian. Pemeriksaan anak yang ada mau
tidak mau telah menempatkan anak nakal berhadap-hadapan langsung
dengan para saksi. Anak dikonfrontir langsung dengan para saksi, padahal
saksi kebanyakan yang lebih dominan terdiri dari orang dewasa. Hal ini
tentunya mengakibatkan anak nakal akan berada dalam tekanan tersendiri
sehingga tidak mendapat perlindungan dari sistem pemeriksaan yang ada.
Dalam rangka penjatuhan sanksi dalam suatu proses peradilan pidana,
hakim mengalami masalah yang berkaitan dengan prosedur pelaksanaan
sidang. Dalam pelaksanaan sidang, prosedur persidangan menjadi suatu hal
yang harus dilakukan dan tidak dapat dikesampingkan meskipun hal tersebut
sebagai upaya melakukan tindakan terbaik untuk anak nakal. Hal ini
mengandung arti bahwa dalam hal penjatuhan sanksi, hakim dapat
melakukan suatu kesalahan namun akan tidak dapat dimaafkan jika hakim
meninggalkan prosedur persidangan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bintang AL. SH., MH. hakim
anak pada Pengadilan Negeri Watampone (wawancara tanggal 26 Maret
2013) bahwa :
Dalam menjatuhkan sanksi, hakim mempertimbangkan jenis tindak pidana yang dilakukan anak, hal-hal yang memberatkan dan
meringankan di samping melihat hasil penelitian masyarakat, penjatuhan sanksi penjara menurut saya tidak bertentangan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, alasannya prinsip kepentingan terbaik bagi anak tidak dapat diartikan membebaskan anak dari tanggung jawabnya, karena sanksi penjara dapat memberi efek jera agar anak tidak lagi mengulangi perbuatannya, terutama bagi anak yang hampir mencapai umur 18 tahun yang akibatnya membahayakan atau sangat merugikan korban. Bagi anak yang dijatuhi sanksi pidana kurang dari 6 (enam) bulan, menurut saya manfaatnya untuk memberikan efek jera dan rasa keadilan bagi korban. Dalam hal pemahaman hakim terhadap anak turut menjadi suatu
kendala. Hal ini dikarenakan jika hakim anak tidak memahami kondisi anak
dalam perspektif perlindungan anak dan kesejahteraan anak serta pengadilan
anak maka hakim akan terjebak penerapan yang sama sistem peradilan
pidana anak seperti peradilan pidana untuk orang dewasa.
Lebih lanjut dikatakan oleh Bintang AL. SH., MH. (hakim anak pada
Pengadilan Negeri Watampone, wawancara tanggal 25 Maret 2013) bahwa :
Mengenai alternatif sanksi berupa sanksi tindakan bagi anak yang dijatuhi pidana kurang dari 6 (enam) bulan, hakim menyatakan dimungkinkan dijatuhkan sanksi tindakan, tetapi hanya diberikan pada anak yang akibat perbuatannya tidak berbahaya, tidak sangat merugikan korban dan anak tersebut berusia di bawah 15 tahun. Ada kesulitan yang dihadapi hakim bila menjatuhkan sanksi tindakan yakni orang tua anak yang melakukan tindak pidana keberatan, jika anaknya diserahkan ke negara atau ditempatkan di Dinas Sosial. Penegakan hukum yang benar dan adil harus bertitik tolak dari postulat
peradaban, kemasyarakatan, kepatutan. Hanya penegakan hukum yang
mengandung nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan dan kepatutan yang
dapat mencapai kebenaran dan keadilan. Setiap penegakan hukum bertitik
tolak dari nilai-nilai peradaban, kemanusiaan, dan kepatutan, mendekati
kebenaran dan keadilan. Penegakan hukum bukan semata-mata
menegakkan peraturan perundang-undangan dan hukum saja, tetapi harus
ditujukan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, hal ini dilatarbelakangi
bahwa sesuatu yang sesuai dengan nilai-nilai peradaban dan kemanusiaan
dan kepatutan, pasti mengandung nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Dimana
keadilan yang hakiki ialah nilai-nilai yang sesuai dengan kemanusiaan,
peradaban dan kepatutan. Setiap nilai kemanusiaan, peradaban dan
kepatutan yang sesuai dengan keadaan tempat, lingkungan dan waktu
dimana masyarakat yang bersangkutan hidup dalam hal ini di Kabupaten
Bone, oleh anggota masyarakat dirasakan benar-benar tepat dan adil.
3. Faktor sarana dan prasarana
Para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya dilengkapi
berbagai sarana dan fasilitas berupa penyediaan fasilitas-fasilitas untuk
mendukung pelaksanaan tugasnya. Fasilitas yang disediakan antara lain
berupa peraturan perundang-undangan, petunjuk lapangan, petunjuk teknis
maupun peralatan dan perlengkapan (alat komunikasi, alat khusus,
kendaraan bermotor) dan lain sebagainya. Demikian halnya dengan jumlah
anggaran organisasi dan personil meskipun dengan jumlah yang terbatas.
Bermanfaatnya fasilitas yang telah tersedia senantiasa tergantung
pada pemakaiannya, apabila pemakai tidak memberikan fasilitas maka akan
mungkin terjadi hambatan dalam pelaksanaan tugasnya. Dalam hal ini ada
dua hal yang perlu mendapatkan perhatian yakni keperluan atau kebutuhan
yang bertitik tolak pada segi individual dan adanya kekurangan-kekurangan
yang bertolak pada segi sistemnya.
Suatu organisasi tanpa didukung dengan penyediaan sarana dan
prasarana penyidikan yang memadai maka pelaksanaannya tidak akan
berjalan dengan baik. Demikian pula dengan jumlah dan kondisi serta fasilitas
yang ada.
Kondisi sarana dan fasilitas yang diberikan oleh dinas pada saat ini
sangat terbatas atau kurang memadai kalaupun ada kondisinya sudah tidak
layak. Hal inilah yang turut membuat proses hukum terhadap anak akan
semakin lama dan dikhawatirkan akan dapat membuat mental anak sendiri
menjadi turun.
Hal ini diakui oleh Kanit PPA Polres Bone AIPTU Alimuddin
(wawancara tanggal 25 Maret 2013) menyatakan bahwa :
Sarana dan prasarana yang ada di Kabupaten Bone belum mendukung terciptanya perlindungan hukum terhadap anak misalnya, belum terdapatnya lembaga pemasyarakatan anak, ruangan khusus penyidikan anak, namun proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum harus tetap dilanjutkan guna penegakan hukum. Dalam proses hukum acara pidana anak sangat diperlukan dana dan
anggaran. Hal ini tidak menutup kemungkinan terhadap proses acara pidana
anak karena tanpa adanya dana maka akan sulit ditentukan apakah proses
tersebut akan selesai dengan cepat dan tuntas. Selain itu, tanpa adanya dana
dan anggaran akan membuka peluang bagi para penegak hukum melakukan
perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari aturan-aturan hukum yang
seharusnya ditegakkan.
Dalam penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasar pada kekuasaan semata
(machtstaat). Pernyataan tersebut bukan dimaksudkan sebagai sekedar
sebuah slogan tertulis belaka tetapi merupakan suatu kebulatan tekad bangsa
yang harus diwujudkan menjadi kenyataan.
Rendahnya kesadaran hukum bukan hanya ada pada masyarakat,
akan tetapi juga kesadaran hukum para aparat/penguasa. Hal ini ditandai
dengan masih banyaknya aparat penegak hukum yang belum menguasai
peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya hukum acara pidana
anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengadilan Anak.
Dengan demikian masih ditemukan tindakan penganiayaan dan
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh para penegak hukum
khusus dalam proses penyidikan anak. Kanit PPA Polres Bone AIPTU
Alimuddin (wawancara tanggal 25 Maret 2013) menyatakan bahwa :
Membudayakan kesadaran hukum sebaiknya dilakukan dengan moral dan etika yang tinggi serta tenggang rasa yang mendalam sehingga tujuan penyuluhan hukum dapat mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat. Terciptanya kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat apabila
setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajiban
sebagai warga negara. Adanya kesadaran hukum yang tinggi di dalam
masyarakat dan pada aparat penegak hukum itu sendiri diharapkan tindak
pidana anak yang sebenarnya tidak boleh terjadi. Bilamana masing-masing
orang tua, wali atau orang tua asuh peduli terhadap perkembangan mental,
fisik dan sosial si anak sehingga anak tidak melakukan perbuatan tercela.
Apalagi perbuatan yang dapat merendahkan martabat bangsa Indonesia.
Salah satu tujuan dari hukum adalah menertibkan masyarakat dan
mencapai ketentraman. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu
masyarakat dapat mempengaruhi upaya penegakan hukum tersebut.
Perkembangan dunia yang begitu cepat dalam era globalisasi serta
persaingan dan tantangan antar bangsa demikian ketatnya sehingga
peningkatan sumber daya manusia perlu ditingkatkan seoptimal mungkin.
Salah satu peningkatan kualitas sumber daya manusia di Kabupaten
Bone adalah dengan pendidikan/penyuluhan mengenai hukum yang berlaku
di Kabupaten Bone. Pembangunan sumber daya manusia dimaksud, yaitu
pembangunan kesadaran hukum masyarakat Indonesia agar menjadi
manusia sadar dan taat hukum. Secara hukum tingkat pendidikan dan
kesadaran hukum masyarakat Kabupaten Bone tanpa membedakan pria dan
wanita. Oleh karena itu, penyuluhan hukum perlu dilaksanakan secara
berkesinambungan dan terpadu baik oleh pemerintah maupun oleh swasta.
Penyuluhan hukum mempunyai arti yang sangat penting terutama
dalam suatu masyarakat yang sedang membangun. Bila kita melihat kepada
tindak pidana yang dilakukan oleh anak secara brutal, sadis dalam tawuran
maupun pemerkosaan serta penggunaan narkotika hal ini menunjukkan akan
rendahnya kesadaran hukum yang dimiliki oleh masyarakat, khususnya
pengawasan dari pihak orang tua atau wali.
4. Faktor budaya hukum
Faktor kebudayaan juga turut mempengaruhi tindakan dan perilaku
penyidik/penyidik pembantu anak dalam penyidikan tindak pidana anak.
Kultur bangsa Indonesia khususnya masyarakat Kabupaten Bone adalah
saling memaafkan dan selalu berusaha kembali pada keadaan keseimbangan
apabila ada goncangan terhadap hal-hal yang mengganggu adanya
keseimbangan. Tanpa terkecuali atas adanya suatu perbuatan pidana
maupun perbuatan yang dilarang untuk anak yang telah dilakukan anak yang
berhadapan dengan hukum.
Budaya ini harus dikembangkan dalam berhukum, untuk itu tindakan
penegak hukum mengatasi permasalahan dalam rangka pelaksanaan hukum
acara pidana terhadap anak yang berhadapan dengan hukum harus juga
mencerminkan budaya ini. Hakim harus mendorong agar baik korban,
terdakwa maupun masyarakat menyelesaikan kasus anak sesuai dengan
kultur yang berlaku di Kabupaten Bone.
Budaya saling memaafkan dan selalu kembali kepada keseimbangan
akan mengurangi bahkan menghilangkan stigmatisasi terhadap anak. Lebih
lanjut anak yang berhadapan dengan hukum akan dipandang sebagai bagian
yang merupakan pribadi dalam masyarakat yang perlu mendapat
pengayoman. Jika demikian peran penegak hukum di sini diharapkan
sebagai jembatan/mediator dalam suatu hukum acara pidana anak. Hal ini
dimaksudkan agar antara korban, pelaku dan masyarakat sama-sama
mendapatkan manfaat dan keadilan.
Kultur kebersamaan antar para penegak hukum, memiliki suatu
persepsi yang sama dalam memandang anak sebagai suatu pelaku sekaligus
korban juga perlu dikembangkan. Hal ini diharapkan akan menciptakan
persepsi yang sama bahwa anak yang berhadapan dengan hukum tidak
selamanya anak nakal namun dapat pula anak tersebut merupakan korban
dari lingkungan yang perlu untuk dilindungi demi kepentingan bangsa dan
negara.
Terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak di Kabupaten
Bone, maka dalam orientasi tersebut yaitu apabila suatu tatanan hukum
khususnya mengenai pengadilan anak apabila dikaji dalam konsep fakta yang
ada serta dianggap kurang atau tidak memiliki tujuan baik secara universal
(internasional) dan nasional maka pada hakekatnya diperlukan suatu
pemikiran atau konsep bersifat progresif sehingga penanganan terhadap
anak yang bermasalah dengan hukum khususnya terkait dengan proses
peradilan pidana yang dilaluinya sehingga diharapkan sesuai dengan
instrumen internasional dan nasional mengenai konsep perlindungan anak
sehingga tidak akan menimbulkan kerugian fisik ataupun mental bagi pelaku
anak yang bermasalah dengan hukum.
Pengadilan anak dimaksudkan untuk menanggulangi keadaan yang
kurang menguntungkan bagi anak-anak, dan dalam pelaksanaan proses
peradilan pidana anak tidak boleh diperlakukan sama seperti orang dewasa.
Di Kabupaten Bone dalam rangka mewujudkan suatu peradilan yang benar-
benar memperhatikan kepentingan anak perlu diwujudkan peradilan yang
terbatas bagi anak untuk menjamin kepentingan anak melalui Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Anak sebagai individu yang belum dewasa perlu mendapatkan
perlindungan hukum atau yuridis (legal protection) agar terjamin
kepentingannya sebagai anggota masyarakat. Masalah penegakan hak-hak
anak dan hukum anak, pada dasarnya sama dengan masalah penegakan
hukum secara keseluruhan.
Menurut Bintang AL. SH., MH. (hakim anak pada Pengadilan Negeri
Watampone, tanggal 25 Maret 2013) bahwa :
Budaya hukum masyarakat, yakni struktur sosial dan pandangan kultural masyarakat yang berlangsung dan diyakini masyarakat dalam menegakkan hukum sebagai sebuah pedoman tingkah laku sehari-hari. Masalah budaya hukum merupakan masalah penting dalam menegakkan hukum terhadap anak di Kabupaten Bone, yang menyangkut keyakinan hakim dan masyarakat pada hukum. Masyarakat Bone adalah masyarakat yang masih memegang teguh budaya Bugis, sehingga dalam kehidupan sosialnya juga dipengaruhi oleh budaya Bugis termasuk juga bagaimana penerapan hukumnya banyak dipengaruhi oleh budaya Bugis yang dianut sampai sekarang, karena dianggap masih sesuai dengan kondisi dan rasa keadilan masyarakat. Pola-pola tindakan dan perilaku penyidik/penyidik pembantu anak
merupakan suatu cara untuk dapat melakukan penyidikan tindak pidana
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yang menjadi landasan
terbentuknya kebudayaan dalam pendidikan tindak pidana. Teknik dan taktik
penyidikan tindak pidana sudah merupakan budaya yang berlaku dalam
setiap penyidikan baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif.
Penyidikan dengan menggunakan cara-cara negatif berupa tindakan
kekerasan dilakukan dalam penyidikan khususnya dalam tahap
penangkapan, penahanan dan pemeriksaan. Tindakan kekerasan yang
dilakukan terhadap tersangka anak kelihatannya sudah menjadi budaya bagi
penyidik/penyidik pembantu yang berkeinginan menghalalkan segala cara
untuk menyelesaikan penyelidikan suatu perkara.
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap tindakan dan
perilaku penyidik/penyidik pembantu anak di Polres Bone, budaya kekerasan
dalam penyidikan anak tidak pernah dilakukan oleh penyidik/penyidik
pembantu. Hal ini dilakukan dalam rangka melakukan suatu amanat yang
tercantum dalam perundang-undangan yang berlaku misalnya undang-
undang perlindungan anak, undang-undang kesejahteraan anak, hak asasi
manusia dan lain sebagainya. Namun tindakan ini juga harus tetap
memperhatikan hukum acara pidana dan tujuan penyidikan.
Dalam melakukan proses pemeriksaan tindak pidana penyidik/penyidik
pembantu anak tidak dapat melakukan tindakan semena-mena dan menurut
kemauannya sendiri tetapi harus berdasarkan pada norma-norma maupun
peraturan-peraturan yang telah ditentukan.
Prosedur pemeriksaan dalam proses penyidikan tindak pidana di
Kabupaten Bone telah ditentukan berdasarkan hukum acara pidana yang
ditetapkan didalam KUHAP sebagai hukum formalnya sedangkan hukum
materiilnya mengacu pada Undang-Undang Pengadilan Anak. Selain
berpedoman pada hal tersebut di atas, para penegak hukum juga
berpedoman pada norma-norma tertulis yang berlaku dalam masyarakat
maupun kebiasaan yang berlaku dalam lingkungan penegak hukum.
Hal yang paling perlu mendapat pengawasan dan pengendalian dari
pimpinan adalah erat kaitannya dengan target waktu penyelesaian berkas
perkara dan kewenangan penyidik untuk menahan tersangka anak yang telah
diatur dalam Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yang menegaskan bahwa penyidik anak dapat menahan
paling lama 20 hari. Jangka waktu penahanan tersebut sama dengan yang
ditetapkan dalam hukum acara pidana (KUHAP) dan apabila pemeriksaan
belum selesai penyidik anak dapat meminta perpanjangan penahanan
kepada penuntut umum untuk paling lama 10 hari. Jumlah hari perpanjangan
itu lebih sedikit dibanding Pasal 24 ayat (2) KUHAP yang menetapkan selama
40 hari.
Bilamana terjadi suatu tindak pidana maka pengawasan secara
internal secara langsung dilakukan oleh atasan penyidik. Sedangkan kendali
pengawasan setiap proses penyidikan tindak pidana berada pada Kepala Unit
Reskrim dan Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak.
Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti, diperoleh
keterangan dari Kanit PPA Polres Bone AIPTU Alimuddin (wawancara
tanggal 25 Maret 2013) terutama terkait dengan penahanan tersangka anak
adalah sebagai berikut :
Pengawasan penyidikan tindak pidana anak dengan tindak pidana lainnya pada dasarnya sama. Namun dalam tindak pidana anak maka pengawasannya harus lebih diperhatikan terutama masalah penahanan. Tindakan-tindakan yang saya lakukan adalah di saat akan
dilakukan penyidikan maka saya selalu menekankan kepada penyidik/penyidik pembantu tentang lamanya penahanan dan jangan sampai melewati batas waktu yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Pengadilan Anak. Selanjutnya melakukan pengecekan tahanan melalui buku kontrol tahanan termasuk perkembangan hasil penyidikan dengan membuat laporan dan atau nota dinas. Dengan demikian, bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Kanit PPA
terhadap penyidikan kasus anak yaitu lebih menekankan kepada
penyidik/penyidik pembantu tentang batas waktu penahanan terhadap anak,
dengan cara melakukan pengecekan tahanan melalui buku kontrol tahanan.
Selain itu, adanya kewajiban bagi penyidik/penyidik pembantu untuk
melaporkan setiap perkembangan hasil penyidikan kasus yang ditanganinya.
Selain itu, salah satu upaya pimpinan dalam rangka melaksanakan
fungsi pengawasan terhadap proses penyidikan tindak pidana anak yaitu
dengan cara mengeluarkan suatu kebijakan dengan memberikan target waktu
penyelesaian penyidikan untuk kasus berat paling lama 14 (empat belas) hari
sedangkan kasus ringan maksimal 7 (tujuh) hari sudah harus dikirim ke
Penuntut Umum.
Kebijakan tersebut didasarkan pada pengalaman-pengalaman yang
dapat dijadikan pedoman dalam proses penyidikan tindak pidana dan
dianggap efektif untuk melaksanakan pengawasan. Kebijaksanaan tersebut
selain dapat meningkatkan penyelesaian perkara pidana, tetapi juga
merupakan beban bagi penyidik pembantu untuk mencapai target waktu
penyelesaian perkara pidana yang ditangani. Karena dalam penyelesaian
perkara pidana tersebut, penyidik/penyidik pembantu dihadapkan pada
kendala-kendala baik dari kemampuan sumber daya manusia, mengenai
taktik dan teknis penyidikan maupun dukungan sarana dan prasarana seperti
yang telah dijelaskan di atas.
Manifestasi bentuk pengawasan dalam proses pemeriksaan tersangka
dan saksi tahap penyidikan bahwa pemeriksaan tersangka atau saksi hanya
dapat dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu atas perintah atasan
penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) poin g dan Pasal 8 ayat
(1) dengan tetap memperhatikan dan berpedoman pada asas-asas yang
dilakukan dalam KUHAP.
Dalam mengatasi permasalahan terhadap penerapan hukum acara pidana
terhadap anak di Kabupaten Bone di masa yang akan datang, maka perlu
adanya perhatian sebagai berikut :
1. Substansi Undang Undang tentang Pengadilan Anak diformulasikan dengan
memandang anak tidak hanya sebagai pelaku akan tetapi juga sebagai
korban.
2. Adanya diversi dan diskresi
3. Memandang bahwa peradilan anak digunakan sebagai sarana pemulihan
antara pelaku, korban dan masyarakat. Sehingga hal ini akan menekankan
bahwa peradilan restoratif digunakan sebagai sarana peradilan bagi anak.
4. Sinkronisasi antara penegak hukum terutama antara hakim dan jaksa
merupakan suatu hal yang penting sehingga hakim dan jaksa memiliki
pandangan yang sama mengenai penjatuhan sanksi pidana terhadap anak
pelaku tindak pidana. Dalam rangka penjatuhan sanksi pidana, hakim dan
jaksa diperlukan kesamaan pemikiran bahwa dalam menjatuhkan sanksi pada
anak nakal bukan sebagai upaya menghukum tetapi digunakan sebagai
sarana pemulihan (restorative) antara pelaku, korban dan masyarakat.
5. Kultur budaya hukum masyarakat Bugis Bone yang kental dengan budaya
saling memaafkan, menghargai dan menghormati dapat dijadikan sebagai
suatu sarana bagi para penegak hukum dalam mengatasi permasalahan
dalam penerapan hukum acara pidana anak. Hal ini diupayakan agar terbina
suatu keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat terutama dalam kaitan
dengan penanganan perkara anak.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Penerapan hukum acara pengadilan anak terhadap anak sebagai pelaku
tindak pidana di Kabupaten Bone belum dapat terlaksana dengan baik. Hal ini
dikarenakan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum di
Kabupaten Bone belum memahami apa yang menjadi tujuan dan dasar
pemikiran proses hukum acara pidana anak yang prioritas utamanya
kesejahteraan anak. Sasaran utama dalam tujuan ini merupakan fokus utama
dalam sistem hukum yang menangani pelanggaran anak khususnya dalam
sistem hukum yang mengikuti model peradilan pidana harus lebih
menekankan atau mengutamakan kesejahteraan anak. Prinsip
proporsionalitas dimana dalam hal ini merupakan alat untuk mengekang
sanksi yang lebih menghukum dalam arti hanya membalas semata-mata.
Bertolak dari aturan tersebut apabila dasar pemikiran dan tujuan peradilan
anak difokuskan pada kesejahteraan anak maka berpijak kepada Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, proses peradilan
anak juga haruslah dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak
secara wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial sehingga dari
pendekatan yang berorientasi pada kesejahteraan atau kepentingan anak
diperlukan pula pendekatan secara khusus dalam proses penanganan anak
yang bermasalah dengan hukum. Hal ini berarti bahwa diperlukan adanya
perhatian khusus, pertimbangan khusus, pelayanan khusus, dan perlakuan
khusus dalam penanganan anak yang bermasalah dengan hukum tersebut.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan hukum acara pidana terhadap
anak pelaku tindak pidana di Kabupaten Bone adalah lemahnya substansi
hukum, kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum di bidang peradilan
anak, masih terbatasnya sarana dan prasarana pembinaan anak serta
budaya hukum masyarakat.
B. Saran
1. Diharapkan dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak
sebaiknya hakim dapat lebih memperhatikan dan mengedepankan prinsip
perlindungan hukum terhadap anak, oleh karena itu dalam rangka menunjang
kinerjanya maka diharapkan agar meningkatkan pengembangan profesional,
meningkatkan perbaikan penampilan, meningkatkan perbaikan perilaku dan
mengembangkan karir.
2. Diharapkan kepada semua pihak dalam sistem peradilan pidana anak untuk
menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat
menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan
diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.
Pada akhirnya, proses ini harus bertujuan pada terciptanya keadilan
restorative bagi anak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam. 2007. Hukum Perlindungan Anak. Jakarta, Restu Agung.
Achmad Ali. 1998. Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. Yasrif Watampone,
Jakarta. Agung Wahyono & Ny. Siti Rahayu. 1993. Tinjauan tentang Peradilan Anak di
Indonesia. Jakarta, Sinar Grafika.
Arif Gosita. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta, Akademi Pressindo,
Jakarta.
A. Syamsudin Meliala dan E.Sumaryono. 1985. Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari Psikologis dan Hukum. Yogyakarta, Liberty.
Anonim. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka. Bagir Manan. 2008. Restorative Justice (Suatu Perkenalan) dalam Refleksi
Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir. Jakarta,
Perum Percetakan Negara RI.
Barda Nawawi Arief. 2006. Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Bimo Wologito. 1978. Kenakalan Remaja (Juvenile Deliquency). Yogyakarta,
Fakultas Psikologi UGM. Chairul Huda. 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Kencana Prenada Media.
Harkristuti Harkrisnowo. 2002. Tantangan dan Agenda Hak-Hak Anak. Jakarta,
Newsletter Komisi Hukum Nasional. Edisi Februari.
Irma Setyowati Soemitro. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta, Bumi
Aksara.
Kartini Kartono. 1992. Pathologi Sosial, Kenakalan Remaja. Jakarta, Rajawali Pers.
Lawrence Friedman. 2009. Sistem Hukum (Perspektif Ilmu Sosial). Penerjemah M.
Khozim. Nusa Media Bandung.
Leden Marpaung. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta.
Lilik Mulyadi. 2005. Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahannya. Bandung, Mandar Maju.
Maidin Gultom. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Bandung, PT Refika Aditama.
Mardjono Reksodiputro. 1997. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia). Jakarta.
Maulana Hassan Wadong. 2000. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta, Grasindo.
Moh. Joni dan Zulchaini Z. Tanamas. 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak.
Bandung, PT Citra Aditya Bakti.
O.C. Kaligis. 2006. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana. Bandung, PT. Alumni.
Paulus Hadisuprapto. 2008. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya. Malang, Bayumedia Publishing.
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk. 2003. Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia,
UNICEF, Indonesia.
Romli Atmasasmita. 1983. Problem Kenakalan Anak-anak Remaja. Bandung,
Armico.
. 1996. Sistem Peradilan Pidana. Bandung, Bina Cipta.
, 2010. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Bandung, Bina
Cipta.
Satjipto Rahardjo. 2006. Membedah Hukum Progresif. Penerbit Kompas, Jakarta,
Shanty Dellyana. 1988. Wanita dan Anak di Mata Hukum. Yogyakarta, Liberty.
Soedirdjo. 1985. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana. Jakarta, Akademika
Presindo.
Soerjono Soekanto. 1982. Sebab Musabab dan Pemecahannya Remaja dan Masalahnya. Yogyakarta, Kanisius.
Subur Tjahjono. 2011. Identifikasi Hukum Progresif Di Indonesia. Serial Online Juli
30, 2011, availaible from : URL: http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif Di Indonesia
Sudarsono. 1991. Kenakalan Remaja. Jakarta, Rineka Cipta.
Sudarto. 1981. Pengertian dan Ruang Lingkup Peradilan Anak. Bandung, Bina
Cipta.
Syahmin, AK. 1999. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta, Sinar Grafika.
Wagiati Soetodjo. 2006. Hukum Pidana Anak. Bandung, PT Refika Aditama,
W.La Patra, 1978, Analyzing of Criminal Justice System,Lexington Books, hal.9935
Y. Bambang Mulyono. 1984. Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja dan Penanggulangannya. Yogyakarta, Kanisius.
Sumber lain :
www.kpai.go.id
www.antara.co.id/arc/2011/17
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
Keppres Nomor 36 tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak.
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM
Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor : 166 A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor : 148 A/A/JA/12/2009, Nomor : B/45/XII/2009, Nomor : M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, Nomor : 10/PRS-2/KPTS/2009, Nomor : 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Nomor 1/PUU-VIII/2010.
TR Kabareskrim No. 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Bagi Kepolisian