BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan pembulian, pola asuh
orangtua, remaja, kerangka berpikir dan hipotesis.
2.1 Pembulian
2.1.1 Definisi Pembulian
Bauman (2008, dalam Indira, 2011) mendefinisikan pembulian
sebagai berikut :
(1) Sebuah perilaku agresif yang ditandai oleh tiga kondisi yang
menentukan yaitu (a) perilaku negatif atau berbahaya yang bertujuan
untuk menyakiti atau mencelakai, (b) perilaku yang dilakukan secara
berulang-ulang selama periode waktu tertentu, dan (c) terdapat
ketidakseimbangan kekuasaan atau kekuatan antara pihak yang terlibat
(Olweus, 1993).
(2) Adanya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang sistematis
(Smith & Sharp, 1994).
(3) Terpaparnya individu secara berulang terhadap interaksi
negatif, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang dilakukan
oleh satu orang atau lebih yang dominan. Bahaya yang terjadi dapat
disebabkan karena perlakuan langsung secara fisik maupun psikis,
dan/atau secara tidak langsung melalui proses penguatan atau
penghindaran oleh penonton kejadian (Twemlow, Fonagy, & Sacco,
2004) (dalam Indira, 2011).
12
13
Sullivan (2000) menambahkan salah satu unsur dari tindakan
pembulian adalah ditinggalkannya pengalaman sakit pada korban, baik
secara fisik maupun psikologis.
Sama halnya dengan pendapat Coloroso (2007), bahwa
pembulian memiliki empat unsur berikut :
1. Ketidakseimbangan kekuatan. Pelaku pembulian bisa saja
orang yang lebih tua, lebih besar dan lebih kuat.Pembulian
bukan perkelahian yang melibatkan dua pihak yang memiliki
kekuatan yang seimbang.
2. Adanya niat untuk menyakiti. Pembulian menyebabkan
adanya tekanan emosional atau luka fisik, atau bahkan
keduanya. Pelaku akan merasa senang ketika melihat korban
tertekan dan terluka.
3. Ancaman agresi lebih lanjut. Pembulian tidak dilakukan hanya
sekali. Pelaku dan korban sama-sama mengetahui bahwa
tindakan pembulian dapat terjadi berulang-ulang.
Jika ketiga unsur di atas terjadi terus-menerus tanpa henti dan
justru meningkat intensitasnya, maka unsur keempat akan muncul, yaitu :
4. Teror. Ketika teror yang dilakukan oleh pelaku telah berhasil
menghantui korban, maka teror bukan hanya menjadi cara
pembulian, tetapi telah menjadi tujuan pembulian. Sekali teror
tercipta, maka pelaku tidaka akan takut akan adanya
pembalasan atau pemberontak dari korban pembulian.
14
Hal ini sejalan dengan pengertian pembulian dari SEJIWA (2008)
bahwa pembulian selalu dilakukan oleh pihak yang lebih kuat, bukan
hanya secara ukuran fisik, tapi bisa juga secara mental. Hal yang paling
penting dari tindakan pembulian adalah perasaan terintimidasi, tidak
senang atau tersakiti yang dirasakan korban harus terwujud. Jika tidak
ada perasaan – perasaan tersebut, maka tindakan tersebut tidak dapat
dikatakan tindakan pembulian.
Berdasarkan temuan-temuan riset yang telah dilakukan peneliti
sebelumnya (dalam SEJIWA, 2008), terdapat tiga pihak yang terlibat
dalam pembulian, antara lain :
1. Pelaku pembulian (bullies). Merupakan pihak utama yang
memicu terciptanya pembulian. Pelaku pembulian juga
merupakan provokator, agresor, sekaligus inisiator dalam
pembulian.
2. Korban pembulian (victims). Korban bukan merupakan pihak
yang pasif dalam pembulian. Sebenarnya, mereka juga turut
memelihara dan menjaga situasi pembulian tetap terjadi
dengan bersikap diam. Sikap diam tersebut dilatarbelakangi
dengan pemikiran apabila ia melaporkan pembulian yang
menimpanya, hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah,
serta kepercayaan dirinya bahwa ia pantas menerima
pembulian tersebut, dan keyakinan bahwa orangtua dan guru
tidak dapat menangani pembulian tersebut.
3. Saksi pembulian (bystander). Saksi berperan dengan dua
cara, yaitu menyoraki dengan aktif serta mendukung pelaku
15
pembulian, atau diam dan bersikap acuh tak acuh. Saksi
pembulian yang aktif menertawakan dan menyoraki korban
pembulian yang sedang dianiaya, sebenarnya telah menjadi
anggota kelompok yang dipimpin oleh pelaku pembulian.
Saksi pembulian memberikan motivasi bagi pelaku pembulian
untuk melancarkan aksinya dan membuatnya semakin
menjadi-jadi. Sedangkan saksi yang diam dan acuh tak acuh,
ia melakukannya karena takut. Karena, jika dia melakukan
intervensi, maka dia akan turut menjadi korban saat itu juga
maupun nanti.
Namun, tidak semua anak dapat dengan mudah dikategorikan
semata-mata sebagai pelaku atau korban dari pembulian. Hasil penelitian
di Amerika Serikat menemukan bahwa 15 sampai 20 persen siswa
merupakan korban pembulian secara rutin (Batsche & Knoff, 1994;
Demaray & Malecki, 2003). Demikian juga, 8 sampai 20 persen siswa
merupakan pelaku pembulian secara rutin (Haynie et al., 2001 dalam
Demaray & Malecki, 2003). Namun, terdapat 4 sampai 7 persen dari
siswa yang mengaku bahwa mereka adalah pelaku maupun korban
pembulian (dalam Demaray & Malecki, 2003).
Schwartz (2000) mengemukakan bahwa terdapat empat kategori
kelompok dari pembulian, antara lain : (1) semata-mata pelaku (pure
bullies), orang atau siswa yang hanya mengintimidasi atau menganiaya
anak lainnya; (2) semata-mata korban (pure victims), orang atau siswa
yang hanya menjadi korban pembulian dari anak lainnya, yang lebih kuat
secara fisik dan/atau psikologis; (3) pelaku maupun korban (bully-victims),
orang atau siswa yang terlibat dalam situasi pembulian dengan menjadi
16
pelaku pembulian bagi korban yang lebih lemah darinya dan juga menjadi
korban pembulian bagi pelaku pembulian yang lebih kuat darinya; dan (4)
bukan pelaku maupun korban (neutral children), orang atau siswa yang
tidak terlibat menjadi pelaku maupun korban pembulian (Dukes, Stein &
Warren, 2007).
2.1.2 Karakteristik Pelaku dan Korban Pembulian
2.1.2.1 Karakteristik Pelaku
Karakteristik dari pelaku pembulian yang khas adalah
dengan adanya perilaku agresi terhadap teman-teman mereka.
Bahkan, perilaku agresi tersebut juga ditujukan terhadap orang
dewasa, baik guru maupun orangtua mereka. Biasanya, pelaku
juga memiliki sikap yang lebih positif terhadap kekerasan dan
lebih sering menggunakan kekerasan dalam kegiatan sehari-
harinya dibandingkan dengan siswa lainnya (Olweus, 1993).
Mereka juga memiliki rasa empati yang rendah terhadap orang
lain, sehingga mereka tidak dapat membayangkan perasaan
orang yang dianiaya atau disiksa oleh mereka (SEJIWA, 2008).
Dalam melakukan perilaku agresi tersebut, pelaku juga merasa
senang saat menyakiti korbannya (Astuti, 2008).
Sejalan dengan definisi pembulian yang dipaparkan
sebelumnya, bahwa terdapatnya ketidakseimbangan kekuatan
antara pihak yang terlibat dalam pembulian, maka dapat
dipastikan bahwa pelaku merupakan individu yang dominan
(Sullivan, 2000). Untuk siswa laki-laki, mereka cenderung memiliki
fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan anak laki-laki pada
17
umumnya, terutama korban (Olweus, 1993). Sedangkan untuk
siswa perempuan, mereka cenderung memiliki kontrol atas
tercipta dan terpecahnya sebuah kelompok (cliques) (MacMullin &
Owens, 1995, dalam Sullivan, 2000). Ketidakseimbangan
kekuatan ini digunakan oleh pelaku untuk membuat korban
merasa tertekan (Astuti, 2008). Karakteristik umum lainnya adalah
bahwa pelaku cenderung lebih tua dari korban, yang merupakan
jenis lain dari dominasi (Sullivan, 2000).
2.1.2.2 Karakteristik Korban
Pada korban pembulian (Byrne, 1999) ditemukan bahwa
korban memilik perasaan bersalah, malu, dan gagal karena
mereka tidak dapat mengatasi masalah pembulian mereka (dalam
Sullivan, 2000). Mereka juga sering merasa cemas, tidak bahagia,
serta ketakutan, dan cenderung lebih neurotik dibandingkan anak
lainnya. Smith (1999) menemukan bahwa korban juga cenderung
kurang populer dibandingkan anak-anak lainnya dan lebih senang
menyendiri, terlihat dari kurangnya aktivitas bermain mereka
dengan anak-anak lainnya dan kurang berkembangnya
kemampuan sosial mereka (dalam Sullivan, 2000).
Penelitian lain menunjukkan bahwa anak-anak dapat
diidentifikasi dengan akurat bahwa mereka merupakan korban,
dan biasanya mereka akan terus menjadi korban selama
beberapa tahun, walaupun mereka pindah sekolah (Olweus, 1993
dalam Sullivan, 2000).
18
2.1.3 Jenis-jenis Pembulian
Bauman (2008, dalam Indira, 2011) membagi jenis pembulian
menjadi tiga jenis besar, yaitu :
1. Pembulian terbuka (overt bullying).
Pembulian terbuka lebih mudah untuk disaksikan secara
langsung, dan terdiri dari :
(a) Pembulian secara fisik, merupakan jenis pembulian yang
kasat mata karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku dan
korban pembulian (SEJIWA, 2008). Contoh dari pembulian
secara fisik antara lain menampar, menimpuk, menginjak
kaki, melempar dengan barang, menghukum dengan
menyuruh berlari keliling lapangan, mendorong hingga
jatuh, dan lainnya, serta
(b) Pembulian secara verbal, merupakan jenis pembulian yang
bisa tertangkap oleh indera pendengaran kita (SEJIWA,
2008). Misalnya dengan memberikan nama julukan,
mengancam, menghina, memaki, meneriaki, dan
mempermalukan di hadapan umum.
2. Pembulian tidak langsung (indirect bullying).
Pembulian tipe ini meliputi agresi relasional, dimana bahaya
ditimbulkan oleh pelaku dengan cara menghancurkan
hubungan – hubungan yang dimiliki oleh korban. Misalnya,
pengucilan, menyebarkan gosip dan meminta pujian atau
suatu tindakan tertentu sebagai balas budi dari persahabatan
19
yang diberikan, memandang sinis, serta mencibir. SEJIWA
(2008) mengungkapkan bahwa tipe pembulian ini paling
berbahaya karena tidak tertangkap dengan mata atau telinga
kita, sehingga kita menjadi susah mendeteksi tindakan
pembulian yang terjadi.
3. Pembulian maya (cyber bullying).
Pembulian ini melibatkan penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi seperti surat elektronik, telpon seluler, pesan
pendek (SMS), situs web pribadi yang menghancurkan
reputasi seseorang, dengan maksud untuk mendukung
perilaku menyerang seseorang atau sekelompok orang agar
orang tersebut tersakiti secara berulang kali.
2.1.4 Penyebab Terjadinya Pembulian
Tindakan pembulian tidak hanya disebabkan oleh faktor
tunggal, melainkan disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor
lingkungan, sekolah, keluarga, media, budaya, teman bermain,
dan bahkan pribadi anak itu sendiri (Priyatna, 2010).
Menurut Priyatna (2010) terdapat 2 faktor yang
memberikan kontribusi kepada seorang anak untuk melakukan
tindakan pembulian.
1. Faktor keluarga
Kurangnya akan kehangatan, pengawasan dan tingkat
kepedulian orangtua yang rendah terhadap anaknya,
20
dianggap memberikan kontribusi dalam perkembangan
anak untuk melakukan tindakan pembulian. Pola asuh
orangtua yang terlalu keras sehingga anak menjadi
akrab dengan suasana yang mengancam, atau
sebaliknya, pola asuh yang terlalu permisif sehingga
anak bebas melakukan tindakan apa saja yang dia
mau, juga dapat mengembangkan perilaku pembulian
pada anak. Dalam bertindak, orangtua yang kerap
member contoh perilaku kekerasan, baik disengaja
atau tidak juga memberikan kesempatan pada anak
untuk mengembangkan perilaku agresifnya sehingga
tidak menutup kemungkinan anak akan menirunya
menjadi tindakan pembulian.
2. Faktor pergaulan
Dalam lingkup pergaulan, tindakan pembulian sering
dilakukan. Biasanya, anak yang suka bergaul dengan
pelaku pembulian atau dengan anak yang suka
kekerasan, cenderung untuk menjadi pelaku pembulian
juga. Pembulian juga sering dilakukan untuk
meningkatkan status sosialnya dalam pergaulan, agar
diakui dan dihargai oleh lingkup pergaulannya.
Faktor lain penyebab pembulian terjadi di sekolah,
dikarenakan pihak sekolah tidak menaruh perhatian pada tindakan
tersebut, juga maraknya contoh perilaku kekerasan di berbagai
21
media yang dikonsumsi oleh anak, seperti televisi, film atau video
game (Priyatna, 2010).
Astuti (2008) mengasumsikan bahwa tindakan pembulian
kerap terjadi di sekolah karena adanya :
1. Perbedaan ekonomi, agama, gender, etnisitas/rasisme
dan kelas sosial.
2. Adanya tradisi senioritas, dimana hal tersebut justru
diperluas oleh siswa sendiri sebagai kejadian yang
bersifat laten. Bagi mereka tradisi senioritas ini
dilakukan untuk hiburan, penyaluran dendam, iri hati,
atau mencari popularitas, melanjutkan tradisi atau
untuk menunjukkan kekuasaan.
3. Keluarga yang tidak rukun.
Kompleksitas masalah keluarga seperti ketidakhadiran
ayah, ibu yang menderita depresi, kurangnya
komunikasi antara orangtua dan anak, perceraian atau
ketidakharmonisan orangtua dan ketidakmampuan
sosial ekonomi merupakan penyebab tindakan agresi
yang signifikan (dalam Magfirah & Rachmawati, 2009).
4. Situasi sekolah yang tidak harmonis dan diskriminatif.
5. Karakter individu atau kelompok, seperti dendam, iri
hati, adanya keinginan untuk menguasai korban
dengan kekuatan fisik atau daya tarik seksual, dan
22
untuk meningkatkan popularitas di antara teman
sepermainannya.
6. Adanya nilai persepsi yang salah atas perilaku korban.
Korban pembulian banyak yang merasa bahwa diri
mereka pantas menerima perlakuan pembulian
tersebut karena anggapan adanya tradisi senioritas
tersebut, sehingga mendiamkan saja perlakuan yang
kerap terjadi berulang kali tersebut dan tidak
melaporkannya kepada pihak sekolah.
2.1.5 Dampak Terhadap Pelaku dan Korban Pembulian
2.1.5.1 Dampak Terhadap Pelaku
Rigby (1996) menemukan bahwa remaja yang
diidentifikasikan sebagai pelaku, memiliki keterlibatan
dalam bentuk-bentuk perilaku antisosial lainnya, seperti
mengutil, bolos, menggambar graffiti dan memiliki masalah
dengan aparat keamanan (polisi) (dalam Sullivan, 2000).
Studi lain di Amerika menemukan bahwa remaja yang
diidentifikasi sebagai pelaku pembulian pada masa
sekolah, pada usia 30-an berkemungkinan memiliki
catatan kriminal sebesar 25 persen (dalam Sullivan, 2000).
2.1.5.2 Dampak Terhadap Korban
Penelitian menunjukkan bahwa korban cenderung
untuk menerima konsekuensi jangka panjang. Isolasi dan
eksklusi yang sering menyertai intimidasi yang dilakukan
23
pelaku tidak hanya menolak interaksi sosial dan permainan
anak, tetapi juga menyebakan mereka merasa tidak
kompeten dan tidak menarik. Korban sulit untuk
membentuk hubungan yang baik dan cenderung kurang
berhasil dalam pencapaian akademik mereka (Olweus,
1978 dalam Sullivan, 2000).
Dari segi emosional, korban biasanya selalu
merasa ketakutan, terasing, marah, malu, putus asa, tidak
berdaya, sakit, sedih, bodoh, jelek dan tidak berguna. Dari
segi fisik, mereka dapat mengalami patah tulang, patah
gigi, dan lainnya bahkan kerusakan otak permanen akibat
pembulian yang mereka terima (dalam Sullivan, 2000).
2.2 Pola Asuh Orangtua
Pola asuh merujuk pada bagaimana orangtua bersikap disekitar anak –
anaknya. Pola asuh juga ditentukan oleh bagaimana cara orangtua menanggapi
kebutuhan dan tuntutan anak, cara mereka mendisiplikan anak, dan dampak
yang diberikan bagi perkembangan anak selanjutnya (dalam Ijaz & Mahmood,
2009). Mengasuh anak merupakan hal yang universal, tetapi pola pengasuhan
bervariasi dari budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Sebuah cara
bagaimana orangtua mengekspresikan rasa cinta, perhatian, kasih saying dan
control terhadap anaknya mungkin berbeda-beda di setiap keluarga.
Para psikolog banyak memberikan pandangan mengenai pola asuh yang
menghasilkan perkembangan sosial yang tepat bagi remaja. Namun, pandangan
Diana Baumrind yang paling dikenal, Baumrind mengidentifikasi tiga jenis cara
24
menjadi orangtua, yang berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam
perilaku sosial remaja antara lain :
1. Otoriter (Authoritarian)
Pengasuhan dengan gaya yang bersifat menghukum dan membatasi di
mana orangtua sangat berusaha agar remaja mengikuti pengarahan yang
diberikan dan menghormati segala keputusan, pekerjaan dan usaha yang
telah dilakukan orangtua. Orangtua menetapkan batasan-batasan daan
kendali yang tegas terhadap remaja dan kurang memberikan kesempatan
untuk mengkomunikasikan keinginan anak-anaknya secara verbal (dalam
Santrock, 2007).
Orangtua tipe ini juga kurang sensitif, fleksibel dan cenderung membuat
banyak aturan dan batasan pada anak mereka, juga terlalu mengharapkan
kedewasaan, ketaatan serta kepatuhan anak. Sehingga mereka cenderung
memiliki prestasi akademis yang kurang baik, tingkat kepercayaan diri yang
lebih rendah dan menujukkan agresi, serta pengunaan obat-obatan yang
lebih tinggi (Steinberg et al., 1994 dalam Greening, Luebbe, & Stoppelbein,
2010).
Hal ini didukung oleh hasil penelitian Diana Baumrind yang menemukan
bahwa anak yang dididik dengan pola asuh otoritatif sering berperilaku yang
kurang tepat dan kompeten secara sosial, cenderung khawatir mengenai
perbandingan sosial, kurang memiliki inisiatif dan memiliki kemampuan
komunikasi yang buruk (dalam Santrock, 2007).
25
2. Otoritatif (Authoritative)
Pola pengasuhan ini mendorong anak-anak mereka untuk mandiri, tetapi
dengan tetap menetapkan batasan-batasan dan mengendalikan tindakan
mereka. Mereka juga memberikan kesempatan pada anak-anaknya untuk
berdialog secara verbal, sehingga anak memiliki kesempatan untuk
mengutarakan pendapat dan keinginanannya (dalam Santrock, 2007).
Sejalan dengan penyataan lain bahwa pola asuh otoritatif cenderung
fleksibel, sensitif, bersikap hangat dan mengasuh anaknya. Sehingga
orangtua dapat meningkatkan kemandirian anaknya, namun tetap
menekankan tuntutan wajar pada mereka (Steinberg et al., 1994 dalam
Greening, Luebbe, & Stoppelbein, 2010).
Anak-anak yang diasuh dengan pola asuh otoritatif cenderung
menunjukkan prestasi akademis dan perilaku yang baik, memiliki hubungan
dengan teman sebaya yang akrab (Steinberg et al., 1994 dalam Greening,
Luebbe, & Stoppelbein, 2010). Mereka juga tumbuh menjadi remaja yang
kompeten secara sosial, mandiri, percaya diri, dan memiliki harga diri yang
tinggi, serta bertanggung jawab secara sosial (dalam Santrock, 2007).
3. Permisif (Permissive)
Umumnya, dengan pengasuhan ini orangtua tidak berusaha mengontrol
anaknya, membiarkan anak - anak untuk mengatur aktivitasnya sendiri, dan
tidak menuntut anak - anak untuk mematuhi standar peraturan yang
ditetapkan oleh orangtua. Orangtua dengan pengasuhan sifat permisif
biasanya tidak menggunakan hukuman atau kekerasan dalam mengasuh
anak (Baumrind, 1966).
26
Belakangan ini, para ahli perkembangan berpendapat bahwa pengasuhan
bersifat permisif terdiri dari dua macam yaitu bersifat permisif memanjakan
dan bersifat permisif tidak peduli (Maccoby & Martin, 1983, dalam Santrock
2003).
a. Pengasuhan permisif-memanjakan
Merupakan suatu pola di mana orangtua sangat terlibat dengan
remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka.
Orangtua permisif-memanjakan mengijikan anak melakukan apa yang
mereka inginkan. Akibatnya, anak memiliki masalah dengan
ketidakmampuan sosialnya, karena tidak belajar bagaimana
mengendalikan perilaku mereka dan selalu berharap mendapatkan apa
yang mereka inginkan.
b. Pengasuhan permisif-tidak peduli
Merupakan suatu pola di mana si orangtua sangat tidak ikut campur
dalam kehidupan anak. Sehingga anak memiliki masalah dengan
pengendalian diri dan tidak dapat menangani kebebasannya dengan baik.
2.3 Remaja
Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata Latin yaitu adolescere
yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1990). Remaja
mempunyai arti yang cukup luas, seperti pandangan Piaget (dalam Hurlock,
1990) bahwa masa remaja merupakan usia dimana individu berintegrasi dengan
masyarakat dewasa, dimana anak merasa berada pada tingkat yang sama
(dalam masalah hak) dengan orang yang lebih tua. Dengan kata lain, masa
remaja merupakan masa perkembangan transisi antara anak dan dewasa yang
27
mencakup perubahan biologis, sosial, dan kognitif. Pada tahun 1974, World
Health Organization (WHO) memberikan batas usia 10 – 20 tahun sebagai
batasan usia remaja dengan dua bagian yaitu usia 10 – 14 tahun sebagai remaja
awal, dan remaja akhir dengan usia 15 – 20 tahun (Sarwono, 2002). Sedangkan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan usia 15 – 24 tahun sebagai
usia remaja. Hurlock (1990) memberikan batasan usia remaja pada rentang usia
13 tahun hingga 18 tahun, yang merupakan usia matang secara hukum. Di
Indonesia sendiri, rentang usia remaja berada pada rentang 11 – 24 tahun
(Sarwono, 2000) dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa usia 11 tahun anak
sudah mengalami tanda-tanda perkembangan seksual sekunder (fisik) dan batas
usia 24 merupakan batas maksimal anak menggantungkan diri pada orangtua
seecara adat/tradisi. Dalam penelitian ini batasan usia yang digunakan mulai dari
15 tahun dengan asumsi usia anak masuk SMA hingga usia 18 tahun.
Menurut Hurlock (1990) banyak faktor yang mempengaruhi remaja dalam
bersikap dengan lingkungannya, terutama dengan teman sebayanya. Salah satu
faktor yang paling mempengaruhi adalah keluarga, dalam hal ini adalah pola
asuh orangtua yang diterapkan pada remaja di rumah.
28
2.4 Kerangka Berpikir
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
Perilaku kekerasan anak-anak di Indonesia, khususnya pembulian masih
marak terjadi dan terus meningkat. Hal ini diperkuat oleh data dari KPA yang
menemukan bahwa aksi pembulian di sekolah telah terjadi sebanyak 472 kasus
pada tahun 2009 (“Ruang Eksekusi,” 2009). Pembulian tersebut justru muncul
dalam format-format yang telah dilegalkan oleh instansi pendidikan yang
bersangkutan, seperti Masa Orientasi Siswa (MOS), acara regenerarisasi
kegiatan ekstrakurikuler, atau bentuk-bentuk acara lainnya, yang tidak pernah
disadari menjadi ajang pembulian (“Awas Bullying”, 2007). Dalam acara MOS,
regenerarisasi, Latihan Dasar Kepemimpinan Sekolah (LDKS) banyak
menerapkan sistem senioritas yang kental. Survei yang dilakukan oleh Plan
Indonesia dan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) pada 2008 mencatat bahwa 67,9
persen siswa SMA mengaku bahwa ada tindak kekerasan yang terjadi di sekolah
mereka, dengan 43,7 persen pelakukanya adalah sesama siswa (“Young
Hearts,” 2010).
Semata-mata PelakuOtoritatif
Otoriter
Permisif
(memanjakan & mengabaikan)
Semata-mata Korban
Pelaku maupun Korban
Bukan Pelaku maupun Korban
29
Salah satu karakteristik dari perilaku pembulian adalah adanya perilaku
agresi yang membuat pelaku senang untuk menyakiti korbannya (Rigby, 1996
dalam Astuti, 2008). Faktor penyebab agresi yang pertama adalah rasa frustrasi
yang menimbulkan kemarahan dan memicu seseorang untuk melakukan
tindakan agresi kepada orang lain, yang merujuk pada perilaku pembulian.
Pada remaja, rasa frustasi dapat muncul karena adanya tekanan dari
orangtua yang menginginkan anaknya tunduk dan patuh dalam sikap pola asuh
otoriter mereka (Sarwono, 2002 dalam Fortuna 2008). Santrock (2007)
menjabarkan bahwa orangtua otoriter menetapkan batasan-batasan dan kedali
tegas terhadap anak mereka, serta kurang memberikan peluang untuk berdialog
secara verbal. Mereka cenderung mengeluarkan kalimat perintah seperti,
“Lakukan menurut perintahku atau tidak sama sekali. Tidak ada diskusi!”
Orangtua dengan pola asuh otoriter juga menerapkan pola asuh dengan
kekerasan dan memberikan sesuatu yang bersifat menghukum (Smith & Myron-
Wilson, 1998 dalam Ahmed & Braithwaite, 2004). Sesuai dengan pendapat
Farrington (2000) bahwa pola asuh orangtua memiliki kemungkinan berkorelasi
dengan perilaku pembulian pada anak, sehingga anak yang berasal dari
keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter, cenderung menjadi pelaku
pembulian (Smith & Myron-Wilson, 1998 dalam Ahmed & Braithwaite, 2004).
Namun, penelitian mengenai pola asuh orangtua yang yang terkait
dengan bagaimana seorang anak menjadi korban pembulian masih memuat
banyak hasil yang bertentangan. Temuan lain menunjukkan bahwa pola asuh
permisif cenderung menjadikan anak kesulitan dalam membatasi perilaku agresif
mereka, sehingga mengembangkan mereka menjadi pelaku pembulian (Miller et
al, 2002 dalam Georgiou, 2008). Pola asuh permisif terdiri dari dua macam yaitu
permisif yang bersifat memanjakan dan permisif yang bersifat mengabaikan
30
(Maccoby & Martin, 1983 dalam Santrock, 2003). Pola asuh permisif
memanjakan membiarkan anaknya melakukan apapun yang mereka inginkan,
tanpa memberikan kendali terhadap mereka. Sehingga, pada saat remaja
mereka tidak pernah belajar untuk mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu
berharap agar keinginannya dituruti. Orangtua yang mengasuh dengan pola ini,
memiliki pemikiran bahwa dengan kombinasi sedikitnya pembatasan yang
diberikan dan kelekatan yang terjadi, akan menghasilkan remaja yang percaya
diri. Namun, pengasuhan ini justru berkaian dengan rendahnya kompetensi
sosial remaja, khususnya dalam pengendalian diri (Santrock, 2007).
Serupa dengan permisif bersifat memanjakan, pola asuh permisif bersifat
mengabaikan juga menghasilkan remaja yang tidak kompeten secara sosial,
tidak menyikapi kebebasan dengan baik dan memiliki pengendalian diri yang
buruk. Remaja yang diasuh dengan pola asuh permisif bersifat mengabaikan
merasa bahwa hal-hal lain dalam kehidupan orangtuanya lebih penting dari
dirinya, sehingga kebutuhan akan perhatian dari orangtuanya tidak pernah
terpenuhi (Santrock, 2007). Orangtua yang menerapkan pola asuh ini bahkan
tidak bisa menjawab pertanyaan mengenai dimana keberadaan dan apa
kegiatan anaknya (Santrock, 2003).
Dengan tidak adanya pengawasan, batasan kendali dan perhatian dari
orangtua yang menerapkan sistem pola asuh permisif, memiliki kemungkinan
pada anak remaja mereka untuk mengembangkan perilaku agresif mereka dan
melakukan tindakan pembulian.
Bertolak belakang dengan penelitian sebelumnya, peneliti lain
menemukan bahwa pola asuh orangtua yang permisif memprediksi anak
cenderung menjadi korban pembulian, dan pola asuh orangtua yang otoriter
31
memprediksi anak cenderung menjadi pelaku pembulian (Baldry & Farrington,
2000; Kaufmann et al, 2000, dalam Georgiou, 2008).
Rican, Klicperova dan Koucka (1993) mengamati bahwa anak-anak yang
diasuh oleh orangtua dengan pola pengasuhan otoritatif dengan mendukung
kemandirian dan otonomi anaknya, cenderung kurang terlibat dalam perilaku
pembulian (Ahmed & Braithwaite, 2004). Orangtua dengan pola pengasuhan ini
memberikan kesempatan berdialog secara verbal dan bersikap hangat. Seperti
contoh (Santrock, 2007) mengenai bagaimana seorang ayah dengan pola asuh
otoritatif berbicara dengan anak remajanya secara terbuka, “Kamu tahu bahwa
kamu seharusnya tidak melakukan itu. Sekarang mari kita bicarakan bagaimana
caranya agar kamu mampu menangani situasi macam ini dengan lebih baik.”
Para remaja yang diasuh dengan pola pengasuhan otoritatif biasanya mandiri
dan memiliki tanggung jawab sosial yang baik (Santrock, 2007). Reuter & Conger
(1995) juga menyatakan bahwa orangtua otoritatif mencapai keseimbangan yang
baik antara pengendalian, otonomi, pemberian peluang kepada remajanya untuk
mengembangkan kemandirian sambil memberikan standar, batasan, dan
bimbingan yang diperlukan oleh anak-anak mereka (Santrock, 2007).
Dengan demikian, berdasarkan sumber literatur di atas menunjukkan
bahwa adanya hubungan antara satu pola asuh yang spesifik dengan satu
kecenderungan perilaku pelaku-korban pembulian. Saat ini, peneliti ingin melihat
hubungan secara integratif antara pola asuh dengan kecenderungan perilaku
pelaku-korban pembulian.