Upload
futurum2
View
330
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
www.futurumcorfinan.com
Page 1
Transfer Pricing – Harta/Aset Tak berwujud
(Intangibles1)
Pengantar
Berangkat dari pasal 9 2010 OECD Model Tax Convention on Income and on Capital2
(selanjutnya disebut sebagai OECD Tax Convention)-lah yang mengangkat permasalahan
1 Terdapat beberapa istilah yang didapatkan dalam OECD Transfer Pricing Guideline for Multinational
Enterprises and Tax Administrations (Juli 2010) (selanjutnya disebut sebagai TPG), yaitu “intangible property”, “intellectual property”, “intangible(s)”, namun di sini penulis menggunakan istilah “harta tidak berwujud” mengikuti PER-32/PJ/2011 Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa tanggal 11 November 2011 (selanjutnya disebut sebagai PER-32/PJ/2011). Harta di sini tidak selalu berarti bahwa harta tersebut perlu tercatat atau tidak di pembukuan perusahaan. Isu pengakuan (recognition) maupun pengukuran (measurement) harta tidak berwujud adalah isu yang terpisah dari isu transfer pricing. OECD Transfer Pricing Guideline for Multinational Enterprises and Tax Administrations (Juli 2010) paragraf 6.2 menyebutkan, “For the purposes of this chapter, the term “intangible property” includes rights to use industrial assets such as patents, trademarks, trade names, designs or model”, kalimat, for the purposes of this chapter (terjemahan: untuk keperluan bab ini) sendiri cukup membingungkan, karena timbul kesan, bahwa daftar harta tak berwujud tersebut tidak dapat dipakai dalam bab-bab lainnya dalam TPG 2010. 2 OECD. Model Tax Convention on Income and on Capital (Condensed Version). 22 Juli 2010.
Halaman 27 dan 28.
Sukarnen
DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,
ATAU MENDISTRIBUSIKAN
SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN
INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS
DARI PENULIS
Untuk pertanyaan atau komentar bisa
diposting melalui website
www.futurumcorfinan.com
www.futurumcorfinan.com
Page 2
penetapan atau penentuan harga transfer (selanjutnya disebut sebagai transfer pricing3)
dimana:
isu transfer pricing dikaitkan langsung dengan transaksi-transaksi yang terjadi antara
pihak-pihak berelasi (TPG menggunakan istilah associated enterprises dan bukan
related parties), atau dirujuk sebagai pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa dalam peraturan perpajakan di Indonesia4,5,6), serta
3 PER-32/PJ/2011 Pasal 1 (8) mendefinisikan penentuan harga transfer (transfer pricing) sebagai
penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. 4 Dalam undang-undang perpajakan Indonesia, terdapat dua pasal mengenai apa yang dimaksudkan
dengan adanya hubungan istimewa antara wajib pajak dengan pihak lain, yaitu pasal 18 ayat (4) Undang-undang PPh dan pasal 2 ayat (2) Undang-undang PPN. Selengkapnya dikutip dari kedua pasal tersebut. Pasal 18 ayat (4) UU PPh. Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila: a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Pasal 2 ayat (2) UU PPN. Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap ada apabila:
a. dua atau lebih Pengusaha, langsung atau tidak langsung berada di bawah pemilikan atau penguasaan Pengusaha yang sama, atau
b. Pengusaha yang satu menyertakan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah modal pada Pengusaha yang lain, atau hubungan antara Pengusaha yang menyertakan modalnya sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua pihak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua pihak atau lebih yang disebut terakhir.
5 Bandingkan dengan definisi pihak-pihak berelasi atau mempunyai hubungan istimewa yang cukup
detil dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 7 (revisi 2010) tentang “Pengungkapan Pihak-pihak Berelasi (catatan: yang merupakan adopsi dari International Accounting Standard 24 (2009): Related Party Disclosures) paragraf 09 mendefinisikan pihak-pihak berelasi sebagai orang atau entitas yang terkait dengan entitas tertentu dalam menyiapkan laporan keuangannya (dalam Pernyataan ini dirujuk sebagai “entitas pelapor”). (a) Orang atau anggota keluarga terdekat terkait entitas pelapor jika orang tersebut:
(i) Memiliki pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas pelapor; (ii) Memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor; atau (iii) Personal manajemen kunci entitas pelapor atau entitas induk entitas pelapor.
(b) Suatu entitas terkait dengan entitas pelapor jika memenuhi salah satu hal berikut; (i) Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang sama (artinya
entitas induk, entitas anak dan entitas anak berikutnya terkait dengan entitas lain). (ii) Satu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama bagi entitas lain (atau entitas
asosiasi atau ventura bersama yang merupakan anggota suatu kelompok usaha, dimana entitas lain tersebut adalah anggotanya).
(iii) Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga yang sama. (iv) Satu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas yang lain adalah
entitas asosiasi dari entitas ketiga. (v) Entitas tersebut adalah suatu program imbalan kerja untuk imbalan kerja dari salah satu
entitas pelapor atau entitas yang terkait dengan entitas pelapor. Jika entitas pelaporan adalah entitas yang menyelenggarakan program tersebut, entitas sponsor juga terkait dengan entitas pelapor.
www.futurumcorfinan.com
Page 3
transaksi-transaksi tersebut menimbulkan hubungan komersial atau keuangan
antara pihak-pihak tersebut.
Karena hal yang mendasarinya adalah bahwa transaksi tersebut terjadi antara pihak-pihak
berelasi, baiknya kita melihat apa yang dimaksudkan oleh OECD dengan pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa tersebut terutama dalam konteks transfer pricing.
Selengkapnya disebutkan dalam pasal 9.1 OECD Tax Convention:
where
a) an enterprise of a Contracting State participates directly or indirectly in the management,
control or capital of an enterprise of the other Contracting State, or
b) the same persons participate directly or indirectly in the management, control or capital of
an enterprise of a Contracting State and an enterprise of the other Contracting State,
Pasal 3 ayat 1d OECD Tax Convention menjelaskan bahwa:
the terms “enterprise of a Contracting State” and “enterprise of the other Contracting State”
mean respectively an enterprise carried on by a resident of a Contracting State and an
enterprise carried on by a resident of the other Contracting State;
Dari bacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan istimewa tersebut dikaitkan
dengan adanya keterlibatan baik langsung atau tidak langsung, suatu perusahaan atau
(vi) Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang diidentifikasi
dalam butir (a). (vii) Orang yang diidentifikasi dalam butir (a) (i) memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas
atau anggota manajemen kunci entitas (atau entitas induk dari entitas). 6 PSAK 7 (revisi 2010) menyebutkan bahwa pihak-pihak berikut bukan sebagai pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa (paragraf 11): (a) Dua entitas hanya karena mereka memiliki direktur atau anggota manajemen kunci yang
sama, atau karena anggota dari manajemen kunci dari satu entitas mempunyai pengaruh signifikan terhadap entitas lain.
(b) Dua venturer hanya karena mereka mengendalikan bersama atas ventura bersama. (c) (i) penyandang dana,
(ii) serikat dagang, (iii) entitas pelayanan publik, dan (iv) departemen dan instansi pemerintah yang tidak mengendalikan, mengendalikan
bersama atau memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor, semata-mata dalam pelaksanaan urusan normal dengan entitas pelapor (meskipun pihak-pihak tersebut dapat membatasi kebebasan suatu entitas atau ikut serta dalam proses pengambilan keputusan).
(d) Pelanggan, pemasok, pemegang hak waralaba (franchise), distributor, atau perwakilan/agen umum dengan siapa entitas mengadakan transaksi usaha dengan volume signifikan, semata-mata karena ketergantungan ekonomis yang diakibatkan oleh keadaan.
Yang menarik tentunya, apakah pihak-pihak di atas yang dikecualikan dari pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dalam konteks PSAK, dapat pula tidak diakui dalam konteks perpajakan.
www.futurumcorfinan.com
Page 4
individual (atau kelompok individual) dalam manajemen, pengendalian atau permodalan
pada pihak lainnya 7 , dan pihak-pihak tersebut merupakan penduduk dari negara yang
berbeda.
Ayat 1 Bagian Komentari Artikel 9 OECD Tax Convention menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut adalah antara
perusahaan induk dengan perusahaan anak (parent and subsidiary companies) dan antar
pihak-pihak yang berada dalam pengendalian bersama (companies under common control)8.
Tentunya pasal 9 ayat (1) di atas dari OECD Tax Convention tidak berhenti hanya pada
definisi pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (associated enterprises), tapi lebih
jauh menyebutkan bahwa:
…and in either case conditions are made or imposed between the two enterprises in their
commercial or financial relations which differ from those which would be made between
independent enterprises, then any profits which would, but for those conditions, have
accrued to one of the enterprises, but, by reason of those conditions, have not so accrued,
may be included in the profits of that enterprise and taxed accordingly.
Jadi dapat ditengarai bahwa karena transaksi-transaksi yang menimbulkan hubungan
komersial atau keuangan terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa,
maka besar kemungkinan ada kondisi-kondisi yang tidak didapatkan pada transaksi (sejenis
(similar)?) lainnya kalau transaksi tersebut terjadi antar pihak-pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa.
7 Kekhususan dari adanya hubungan istimewa tersebut juga diakui dalam PSAK 7 (revisi 2010) terkait
tujuan pengungkapan pihak-pihak berelasi, walaupun hubungan dengan pihak-pihak berelasi merupakan suatu karakteristik (feature) normal dari perdagangan dan bisnis (paragraf 05). Namun karena kegiatan bisnis mereka dilaksanakan melalui entitas anak, ventura bersama dan entitas asosiasi, disimpulkan oleh para akuntan bahwa entitas memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan keuangan dan operasi investee melalui pengendalian, pengendalian bersama atau pengaruh signifikan (paragraf 05), dimana suatu hubungan dengan pihak-pihak berelasi tersebut dapat berpengaruh terhadap laba atau rugi dan posisi keuangan entitas. Pihak-pihak berelasi dapat menyepakati transaksi di mana pihak-pihak yang tidak berelasi tidak dapat melakukannya. Misalnya, entitas yang menjual barang kepada entitas induknya pada harga perolehan, mungkin tidak menjual dengan persyaratan tersebut kepada pelanggan lain. Selain itu, transaksi antara pihak-pihak berelasi mungkin tidak dilakukan dalam jumlah yang sama, seperti dengan pihak-pihak yang tidak berelasi (paragraf 06).
8 OECD Tax Convention tidak memberikan definisi atau menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan
pihak-pihak dalam pengendalian bersama. Apabila mengacu ke PSAK No. 38 (revisi 2004) tentang Akuntansi Restrukturisasi Entitas Sepengendali paragraf 06 disebutkan bahwa entitas sepengendali (under common control) adalah pihak (perorangan, perusahaan, atau bentuk entitas lainnya) yang secara langsung atau tidak langsung (melalui satu atau lebih perantara), mengendalikan atau dikendalikan oleh atau berada di bawah pengendalian yang sama.
www.futurumcorfinan.com
Page 5
Jadi adanya hubungan istimewa tersebut patut diduga akan mempengaruhi kondisi-kondisi
yang terkandung dalam transaksi tersebut. Tidak dijelaskan lebih lanjut, apa yang dimaksud
dengan kondisi-kondisi tersebut, namun kalimat dalam paragraf di atas menyiratkan bahwa
kondisi tersebut bagaimanapun mempengaruhi laba (profits) yang dibukukan oleh kedua
belah pihak tersebut, terlepas apakah laba tersebut dibukukan pada tahun terjadinya
transaksi atau pada tahun-tahun berikutnya sesudah terjadinya transaksi. Yang
ditekankan bahwa kondisi tersebut mempengaruhi laba pada akhirnya, dimana bisa saja
pada awalnya ia mempengaruhi laba melalui penentuan harga jual atau nilai penggantian,
tingkat bunga yang dibebankan, tarif royalti, dan sebagainya.
Bagian Komentari atas Artikel 9 menyebutkan bahwa kehadiran Artikel 9 OECD Tax
Convention adalah terkait dapat dilakukannya penyesuaian atas laba yang telah diakui oleh
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut untuk tujuan perpajakan dimana
laba tersebut timbul dari transaksi-transaksi terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha (arm’s length terms).
Namanya laba tentunya timbul dari suatu transaksi, dan transaksi apa-apa saja yang
dicakup dalam paragraf tersebut, tentunya tidak bisa terlepas dari isi Bab III “Taxation of
Income” dan Bab IV “Taxation of Capital” dari OECD Tax Convention, yang mencakup
antara lain laba dari properti tidak bergerak (artikel 6), laba usaha (artikel 7), bunga (artikel
11), royalti (artikel 12), laba dari penjualan aset (artikel 13), laba dari hubungan kerja (artikel
15).
Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang
Mempunyai Hubungan Istimewa tertanggal 6 September 2010, pasal 2 ayat (2) memerinci
transaksi yang dilakukan wajib pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa, dimana dapat mengakibatkan pelaporan jumlah penghasilan dan pengurangan
untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak tidak sesuai dengan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha meliputi antara lain:
a. penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang
tidak berwujud;
b. sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan harta
berwujud maupun harta tidak berwujud;
c. penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan
jasa;
d. alokasi biaya; dan
www.futurumcorfinan.com
Page 6
e. penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan penghasilan
atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk
instrumen keuangan dimaksud.
PER-32/PJ/2011 tentang Perubahan atas PER-43/PJ/2010 di atas pada pasal 2 ayat (2)
justru sudah tidak memberikan rincian transaksi-transaksi apa saja yang dimaksudkan
dalam konteks transfer pricing, tetapi mengganti seluruh pasal 2 ayat (2) di atas menjadi:
Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap
di Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk transaksi yang
dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk
memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain:
a. perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha
tertentu;
b. perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
c. transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas.
Dirjen Pajak tampaknya hanya melihat pada transaksi-transaksi dimana terdapat motivasi
untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak, sesuatu yang justru tidak disebutkan dalam
Artikel 9 2010 OECD Tax Convention. Artikel 9 dari OECD Tax Convention justru lebih
menekankan adanya kondisi-kondisi dalam hubungan komersial atau keuangan yang timbul
dari transaksi dimana adanya hubungan istimewa mempengaruhi kondisi-kondisi tersebut,
kondisi-kondisi mana tidak akan ada kalau tidak ada hubungan istimewa tersebut, inipun
dengan catatan bahwa kondisi-kondisi tersebut mempengaruhi laba dari salah satu atau
kedua belah pihak, yang menjadi objek pemajakan oleh otoritas perpajakan masing-masing
negara. Jadi titik beratnya, apakah transaksi tersebut dilakukan berdasarkan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha, terlepas apakah ada perbedaan tarif pajak atau tidak.
OECD dalam revisi 2010 TPG justru menolak argumen bahwa TPG hanya perlu diterapkan
untuk transaksi yang terjadi dari negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi ke lebih rendah.
Dan konsep TP sendiri adalah neutral.
Lebih lanjut, pasal 9 ayat (2) OECD Tax Convention menyebutkan bahwa:
Where a Contracting State includes in the profits of an enterprise of that State – and taxes
accordingly – profits on which an enterprise of the other Contracting State has been charged
to tax in that other State and the profits so included are profits which would have accrued to
the enterprise of the first-mentioned State if the conditions made between the two
enterprises had been those which would have been between independent enterprises, then
that other State shall make an appropriate adjustment to the amount of the tax charged
www.futurumcorfinan.com
Page 7
therein on those profits. In determining such adjustment, due regard shall be had to the
other provisions of this Convention and the competent authorities of the Contracting States
shall if necessary consult each other.
Dalam konteks Artikel 9 ayat (2) di atas inilah diperlukan metodologi bagaimana melakukan
identifikasi dan menyimpulkan bahwa transaksi-transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa (yang umum dikenal sebagai “controlled transactions”) tidak
dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dan kalau memang telah
terjadi transaksi demikian, maka bagaimana melakukan penyesuian atas laba transaksi
tersebut.
Dari paragraf di atas, dapat diketahui bahwa untuk dapat menentukan apakah suatu
transaksi dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, maka prinsip
Arm’s Length (catatan: PER-43/PJ/2010 dan perubahannya PER-32/PJ/2011 menggunakan
istilah Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha) menjadi krusial atau dengan kata lain
menjadi jangkar (anchor) dari keseluruhan isu transfer pricing. Bab 1 TPG khusus
didedikasikan untuk pembahasan prinsip Arm’s Length , suatu standar transfer pricing
internasional yang memperoleh persetujuan dari negara-negara anggota OECD untuk
dipergunakan untuk tujuan perpajakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan
aparatur perpajakan (paragraf 1.1 TPG).
Apabila dibaca kembali Artikel 9 dari OECD Tax Convention, maka dapat dikatakan bahwa
permasalahan transfer pricing dalam konteks prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, tidak
dapat selalu dikaitkan dengan kejahatan perpajakan (tax fraud) atau penghindaran pajak
(tax avoidance), walaupun memang bisa saja kebijakan transfer pricing “dimanfaatkan”
untuk tujuan demikian. Menurut penulis, juga tidak tepat, apabila kebijakan transfer pricing
dikaitkan dengan pemanfaatan perbedaan tarif, sebagaimana disebutkan dalam pasal 2
ayat (2) PER-32/PJ/2011.
Isu transfer pricing hanya terkait kalau kondisi-kondisi tersebut dalam transaksi pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa tidak mencerminkan kekuatan pasar (dan dengan
demikian tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha). Titik. Terlepas
apapun motivasinya, dan apakah objek yang dibicarakan sesuai atau sejalan dengan
pemahaman akuntan, penilai, dan lain-lain.
TPG mengambil pemahaman bahwa apabila transfer pricing tidak mencerminkan kekuatan
pasar dan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, maka hutang pajak dari perusahaan-
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dan pendapatan pajak dari
negara-negara tuan rumah perusahaan-perusahaan tersebut akan dapat terdistorsi, dan
untuk itulah bahwa untuk tujuan perpajakan, laba dari perusahaan-perusahaan yang
www.futurumcorfinan.com
Page 8
mempunyai hubungan istimewa tersebut dapat disesuaikan guna mengkoreksi distorsi
apapun dan memastikan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dapat dipenuhi (paragraf
1.3 TPG). Di sini pihak otoritas perpajakan dimungkinkan untuk melakukan koreksi, atau
dalam Komentari Artikel 9 dari OECD Tax Convention, menggunakan kata “re-writing of the
accounts of associated enterprises” (terjemahan lepas: menulis kembali akun-akun dari
perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa). Dengan kata lain,
penyesuaian atau “re-writing” tersebut tidak diperbolehkan kalau transaksi-transaksi antara
perusahaan-perusahaan tersebut telah terjadi berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha9.
Distorsi yang dimaksud di atas tentunya datang dari berbagai faktor, mengingat level
operasional suatu MNE adalah sedemikian kompleks, sehingga pertimbangan pajak hanya
akan menjadi salah satu faktor didalamnya10.
TPG paragraf 1.4 mengakui adanya faktor-faktor diluar pertimbangan pajak yang mungkin
saja memberikan kontribusi [signifikan] timbulnya distorsi tersebut, faktor regulasi
pemerintah terkait penentuan nilai ekspor-impor (customs valuations), bea anti-dumping,
dan bahkan kontrol atas mata uang dan harga, maupun yang bersifat non-pemerintah, yaitu
yang datang dari kebutuhan arus kas setiap perusahaan yang tergabung dalam suatu
kelompok usaha MNE, yang tentunya beroperasi di berbagai negara, termasuk juga kalau
perusahaan tersebut merupakan perusahaan publik yang tentunya dituntut menunjukkan
kinerja laba yang tinggi. Namun tampaknya TPG tidak membedakan darimana datangnya
distorsi tersebut dan dampaknya terhadap kondisi dalam hubungan komersial atau
keuangan untuk transaksi yang terjadi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa. Yang penting adalah bahwa telah terjadi distorsi yang mempengaruhi transfer
pricing dan ujung-ujungnya mempengaruhi (baca: mendistorsi) laba dari perusahaan-
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa tersebut.
Berarti di sini ada tiga isu yang dapat dibicarakan:
1. Bagaimana mengetahui atau mengidentifikasi kondisi dari suatu transaksi antara
perusahaan-perusahaan terasosiasi tidak dilakukan berdasarkan prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha, yang mengakibatkan atau dapat disimpulkan telah terjadi
distorsi atas laba yang diakui dan dilaporkan oleh masing-masing perusahaan?
2. Kondisi-kondisi seperti apakah yang menimbulkan permasalahan transfer pricing?
3. Bagaimana penyesuaian [atas laba yang terdistorsi tersebut] selayaknya dilakukan?
9 Komentari Artikel 9 paragraf 1 OECD Tax Convention menggunakan kalimat “normal open market
commercial terms (on an arm’s length basis)” – walaupun dalam catatan penulis, tanpa penjelasan lebih lanjut dengan apa yang dimaksudkan dengan kalimat tersebut, memberikan interpretasi yang terlalu luas. 10
Lihat Management Control.
www.futurumcorfinan.com
Page 9
Paragraf 1.6 dari TPG berusaha menjawab pertanyaan pertama di atas.
By seeking to adjust profits by reference to the conditions which would have obtained
between independent enterprises in comparable transactions and comparable
circumstances (i.e. in “comparable uncontrolled transactions”), the arm’s length principle
follows the approach of treating the members of an MNE group as operating as separate
entities rather than as inseparable parts of a single unified business. Because the separate
entity approach treats the members of an MNE group as if they were independent entities,
attention is focused on the nature of the transactions between those members and on
whether the conditions thereof differ from the conditions that would be obtained in
comparable uncontrolled transactions. Such an analysis of the controlled and
uncontrolled transactions, which is referred to as a “comparability analysis”, is at the
heart of the application of the arm’s length principle.
Jadi anchor dari penerapan prinsip arm’s length adalah analisa kesebandingan.
Hal di atas sejalan dengan pasal 1 no. 7 dari PER-32 yang mendefinisikan analisis
kesebandingan sebagai:
Analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dan melakukan identifikasi atas
perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
Terkait hal ke-dua, kondisi-kondisi tersebut tentunya tidak selalu terkait dengan penentuan
harga. Namun sebagaimana telah disebutkan di atas, kondisi-kondisi tersebut yang
memungkinkan pihak otoritas pajak “re-write” (menulis kembali) akun-akun dari perusahaan-
perusahaan terasosiasi tersebut, tentunya sejauh hal tersebut memiliki implikasi terhadap
penentuan laba dan hutang pajak yang terkait.
Hal ini terkait secara langsung dengan pertanyaan nomor 3, dimana pada akhirnya, dari
analisis kesebandingan tersebut tentunya diharapkan atau memungkinkan pihak otoritas
perpajakan dan wajib pajak menentukan jumlah laba yang sudah sewajarnya terjadi
berdasarkan prinsip arm’s length, karena penyesuaian tersebut akan selalu mengenai
“kuantifikasi” dari “re-writing” akun-akun tersebut. Dalam bahasa TPG, besarnya
penyesuaian atas laba dan hutang pajak, adalah (paragraf 1.3):
OECD member countries consider that an appropriate adjustment is achieved by
establishing the conditions of the commercial and financial relations that they would expect
www.futurumcorfinan.com
Page 10
to find between independent enterprises in comparable transactions under comparable
circumstances.
Penggunaan kata “Re-writing” akun-akun perusahaan-perusahaan terasosiasi
mengindikasikan bahwa penyesuaian tidak selalu langsung terkait dengan laba-rugi, tapi
bisa secara tidak langsung. Misalnya, terkait pinjaman dari entitas terasosiasi (misalnya
entitas induk) yang diperlakukan sebagai semacam uang muka setoran modal untuk tujuan
perpajakan, sehingga dengan demikian, pembayaran bunga yang dilakukan oleh entitas
anak ke entitas induk diperlakukan sebagai dividen dan bukan sebagai beban bunga dalam
laporan keuangan entitas anak. Namun, dapat dipertanyakan apakah hal ini termasuk dalam
isu transfer pricing. Menurut penulis, hal ini sewajarnya tidak masuk dalam konteks transfer
pricing, karena yang dapat diperbandingkan selayaknya tingkat bunga apakah sudah
mengikuti prinsip arm’s length, dan bukannya membandingkan perlakuan pokok pinjaman
apakah sebagai pinjaman atau uang muka setoran modal.
Karena menyangkut penyesuaian atas laba dan transaksi yang ada menyangkut transaksi
lintas negara, maka ada kemungkinan terjadi pemajakan ganda. Sebagai contoh, PT ABC di
Indonesia membayar royalti sebesar 5% dari penjualan ke CDE Pte. Ltd di Singapura.
Dalam pemeriksaan pajak, tarif royalti yang diakui oleh pihak fiskus, adalah sebesar 1%,
sehingga hutang pajak PT ABC meningkat. Dari contoh ini, pihak CDE Ptd. Ltd. di
Singapura telah melaporkan pendapatannya menggunakan tarif royalti yang diterimanya
sebesar 5%, padahal tarif royalti yang diakui oleh pihak fiskus di Indonesia hanya 1%. Di
sini, tampak terjadi pemajakan ganda, karena secara logisnya, pihak CDE Ptd. Ltd.
dimungkinkan untuk melaporkan revisi atas pendapatan royaltinya menggunakan tarif 1%
dan bukan 5%.
Namun yang menarik dalam paragraf 6 dari Komentari Artikel 9, disebutkan bahwa
It should be noted, however, that an adjustment is not automatically to be made in State B
simply because the profits in State A have been increased; the adjustment is due only if
State B considers that the figure of adjusted profits correctly reflects what the profits would
have been if the transactions had been at arm’s length………State B is therefore committed
to make an adjustment of the profits of the affiliated company only if it considers that the
adjustment made in State A is justified both in principle and as regards the amount.
Jadi CDE Pte. Ltd. masih perlu melakukan telaah untuk menentukan apakah tarif royalti 1%
yang diakui oleh fiskus PT ABC sudah mencerminkan prinsip arm’s length, kalau memang
tidak, belum tentu CDE Pte. Ltd. perlu melakukan koreksi atas pelaporan pendapatan
royaltinya.
www.futurumcorfinan.com
Page 11
Paragraf 7 mengakui bahwa tidak terdapat metode yang disebutkan mengenai bagaimana
penyesuaian perlu dilakukan oleh CDE Pte. Ltd. Para negara anggota OECD menggunakan
metode-metode yang berbeda-beda dan Contracting States diberikan keleluasaaan untuk
menyetujuinya secara bilateral terkait aturan khusus yang dapat ditambahkan ke dalam P3B
mereka.
Pertimbangan Khusus terkait Aset takberwujud
Setelah dibicarakan prinsip arm’s length di atas dalam konteks Artikel 9 OECD Convention,
kita akan melanjutkan dengan aset takberwujud, karena dari bagian di atas beberapa
konsep inti dari TPG:
Analisis kesebandingan yang menjadi anchor dalam penerapan prinsip arm’s length
Penyesuaian atas laba dari perusahaan-perusahaan terasosiasi tersebut.
Aset takberwujud (TPG Guideline menggunakan istilah yang berbeda-beda) mendapat
perhatian khusus pada saat penyusunan TPG, sehingga diberikan bab khusus dalam
pembahasannya yaitu Bab VI, yang terdiri dari 39 paragraf. Namun sebelum membicarakan
aset takberwujud, penulis ingin mengulas sedikit TPG sebagai latar belakangnya.
TPG Juli 2010 adalah suatu revisi yang cukup signifikan terhadap OECD Report Transfer
Pricing and Multinational Enterprises (1979), dimana dalam perkembangannya TPG telah
mendapat tambahan dan modifikasi/pemutakhiran pada tahun 2008 dan 2010, yaitu
terutama untuk
Bab IV “Administrative Approaches to Avoiding and Resolving Transfer Pricing
Disputes” pada tahun 2008,
Bab I (“The Arm’s Length Principle”), Bab II (“Transfer Pricing Methods”) dan Bab III
(“Comparability Analysis”) pada tahun 2010, dan
dimasukkannya panduan baru atas Bab IX (“Transfer Pricing Aspects of Business
Restructurings”) pada tahun 2010.
Walaupun sudah banyak dilengkapi dengan tambahan dan modifikasi atas bab-bab di atas,
namun berbagai kalangan pemerhati, pemerintah dan wajib pajak, tetap melihat bahwa
tetap belum terdapat suatu panduan internasional yang cukup memadai terkait isu-isu
transfer pricing untuk intangibles, yaitu yang berhubungan dengan 3 (tiga) hal berikut ini:
Definisi,
Identifikasi, dan
Penilaian intangibles
www.futurumcorfinan.com
Page 12
Concern di atas juga ditambah dengan bahwa Bab VI TPG terkait pertimbangan-
pertimbangan tertentu untuk properti tak berwujud dan Bab VIII TPG terkait panduan untuk
cost contribution arrangements berasal dari tahun 1995-1997, yang tentunya dapat
diperkirakan dengan perkembangan transaksi bisnis dan praktik-praktik transfer pricing yang
makin rumit, semakin urgen dilakukan.
Namun demikian, perlu kita kembali melihat bahwa banyak isu-isu transfer pricing yang
sebenarnya sudah dicakup dalam revisi TPG 2010 dan cukup relevan untuk transaksi-
transaksi melibatkan intangible. Misalnya:
1) Bab II berisi panduan untuk pemilihan metode transfer pricing yang paling tepat sesuai
situasi yang ada, yaitu paragraf 2.1 – 2.11.
Pada dasarnya ada 2 (dua) metode yang dapat digunakan untuk menentukan apakah
kondisi-kondisi yang terdapat dalam hubungan komersial atau keuangan antara pihak-pihak
berelasi (associated enterprises) konsisten dengan prinsip arms’ length. Dua metode
tersebut adalah:
Metode Transaksi Tradisional (traditional transactional methods) yang terdiri dari:
Comparable Uncontrolled Price Method/CUP Method
Resale Price Method
Cost Plus Method
Metode Laba Transaksional (Transactional Profit Methods), yang terdiri dari:
Transactional Net Margin Method
Transactional Profit Split Method
Pemilihan suatu metode transfer pricing selalu bertujuan untuk menemukan metode yang
paling tepat untuk situasi tertentu (paragraf 2.2). Ini merupakan suatu pendekatan yang
berbeda dibandingkan pendekatan sebelumnya yang memilih preferensi untuk metode-
metode tertentu.
Dalam proses pemilihan metode yang paling tepat, wajib memperhitungkan:
a. Kekuatan dan kelemahan masing-masing metode yang diakui oleh OECD;
b. Kecocokan metode terkait dengan sifat dari transaksi terkendali (controlled
transaction), yang ditentukan terutama melalui analisa fungsional;
c. Ketersediaan informasi terandal (terutama atas transaksi pembanding yang tidak
terkendali) yang diperlukan untuk menerapkan metode dan/atau metode lainnya
yang dipilih;
www.futurumcorfinan.com
Page 13
d. Derajat kesebandingan antara transaksi yang terkendali dan tidak terkendali,
termasuk keandalan penyesuaian kesebandingan yang mungkin diperlukan untuk
mengeliminasi perbedaan material antara keduanya.
Paragraf 2.2 bahkan mengingatkan bahwa tidak ada satupun metode yang cocok untuk
setiap situasi, dan tidak perlu pula dibuktikan bahwa suatu metode tertentu tidak cocok
dalam kondisi-kondisi tertentu.
Paragraf 2.3 menyebutkan bahwa metode transaksi tradisional dianggap sebagai metode
yang paling langsung dapat digunakan untuk menentukan apakah kondisi-kondisi dalam
satu relasi komersial dan keuangan diantara perusahaan-perusahaan berelasi (associated
enterprises) merupakan arm’s length. Namun paragraf 2.4 mengingatkan bahwa terdapat
situasi-situasi tertentu dimana metode laba transaksional didapatkan lebih tepat
dibandingkan dengan metode transaksi tradisional. Misalnya:
dalam situasi dimana masing-masing pihak melakukan kontribusi yang unik dan
bernilai dalam kaitannya dengan transaksi yang terkendali, atau dimana pihak-pihak
yang ada terlibat dalam aktivitas yang sangat terintegrasi, akan memungkinkan
metode pembagian laba transaksional lebih tepat dibandingkan metode satu sisi.
Dalam situasi dimana tidak terdapat atau sangat terbatas ketersediaan informasi
margin kotor pihak ketiga yang andal yang tersedia untuk publik, metode transaksi
tradisional bisa jadi menjadi sulit untuk diterapkan dalam kasus selain kasus dimana
terdapat pembanding internal, dan metode laba transaksional mungkin merupakan
metode yang paling tepat terkait ketersediaan informasi.
Dalam catatan penulis, munculnya paragraf 2.3 dan 2.4 justru memperkuat mitos bahwa
transaksi-transaksi yang melibatkan intangible, kecenderungannya adalah menggunakan
metode pembagian laba, mengingat beberapa karakteristik intangible sebagaimana
disebutkan dibawah ini:
Namun paragraf 2.5 mengingatkan bahwa tidak tepat untuk langsung menggunakan metode
laba transaksional hanya semata-mata bahwa data terkait transaksi tidak terkendali
(uncontrolled transactions) tidak atau sulit untuk diperoleh atau tidak lengkap dalam satu
atau lebih hal.
Paragraf 2.6 menyebutkan bahwa metode-metode berdasarkan laba dapat diterima hanya
sepanjang metode-metode tersebut compatible dengan pasal 9 dari OECD Model Tax
Convention.
Sebagaimana dijelaskan dalam Transfer Pricing and Intangibles: Scope of the OECD
Project, yang diterbitkan oleh OECD pada bulan Januari 2011, OECD telah menyelesaikan
www.futurumcorfinan.com
Page 14
dalam tahun 2010 suatu revisi besar atas Transfer Pricing Guidelines (disingkat TPG),
termasuk suatu revisi panduan atas kesebandingan dan metode pembagian laba, yang
tercakup dalam Bab I – III, serta suatu pengembangan panduan baru atas aspek transfer
pricing dari restrukturisasi bisnis di dalam bab tersendiri, yaitu Bab IX. Dalam proses revisi
TPG tahun 2010 tersebut, isu-isu transfer pricing terkait intangibles diidentifikasi sebagai
suatu area yang menjadi perhatian bagi pihak pemerintah dan wajib pajak, terkait panduan
internasional yang tidak memadai, terutama terkait dengan definisi, identifikasi dan valuasi
dari intangible untuk tujuan transfer pricing.
Bab VI TPG memuat pertimbangan-pertimbangan khusus untuk intangible property dan Bab
VIII memuat panduan untuk cost contribution arrangements. Kedua bab ini dikembangkan
pada tahun 1995 – 1997 dan dengan demikian diperlukan pemutakhiran untuk dapat
menjawab semua isu-isu transfer pricing yang berkembang dalam transaksi-transaksi bisnis
saat ini dan praktik-praktik transfer pricing.
Banyak isu yang dibicarakan dalam revisi tahun 2010 atas TPG adalah relevan untuk
transaksi-transaksi intangibles, terutama Bab II yang berisi panduan untuk bagaimana
memilih metode transfer pricing yang paling tepat untuk situasi kasus tertentu (paragraf 2.1
– 2.11) dan panduan yang diperluas terkait penerapan metode bagi laba dimana kedua
belah pihak dalam suatu transaksi memberikan kontribusi intangible yang unik dan bernilai
(paragraf 2.108 – 2.145). Bab IX memberikan panduan baru terkait risiko (paragraf 9.10 –
9.47) dan pengalihan intangible (paragraf 9.80 -9.92). Panduan lainnya dapat ditemukan
pada Bab II terkait dengan penerapan metode margin neto transaksional, Bab III terkait
dengan analisa kesebandingan, dan dalam Bab IX terkait restrukturisasi bisnis.
Namun demikian, sejumlah isu spesifik terkait intangible tetap belum terjawab dalam revisi
tahun 2010 atas TPG. Terdapat kesulitan signifikan saat ini untuk pihak wajib pajak dan
pemerintah, tentang perlakuan intangibles untuk tujuan transfer pricing. Kesulitan ini
mengarah pada banyaknya sengketa di bidang transfer pricing yang cukup rumit dan
melibatkan jumlah yang signifikan, serta timbulnya risiko pemajakan ganda. OECD percaya
bahwa perlu dikembangkan suatu panduan internasional berbasis kesepakatan atau
consensus dan lebih jelas (dibandingkan dengan apa yang sudah dituangkan dalam TPG
saat ini) terhadap aspek transfer pricing atas intangibles akan dapat membatasi
ketidakpastian dan risiko-risiko di atas. Committee on Fiscal Affairs memutuskan untuk
memulai pada tahun 2011 suatu projek baru terkait aspek transfer pricing dari intangibles.
Diharapkan ini akan mengarah kepada pemutakhiran Bab VI TPG dan kemungkinan Bab
VIII.
www.futurumcorfinan.com
Page 15
Pekerjaan ini akan dilaksanakan oleh Working Party No. 6 dari Committee on Fiscal Affairs
on the Taxation of Multinational Enterprises, melalui Special Session on the Transfer Pricing
Aspects of Intangibles.
Pada dasarnya proyek ini tidak bermaksud untuk membuka kembali isu-isu yang telah
diselesaikan pada revisi tahun 2010 atas TPG, tetapi lebih kepada mengembangkan
panduan atas isu-isu yang spesifik terkait intangibles yang memang perlu diperbaharui.
Proyek ini akan terkait dengan pemeriksaan atas aspek transfer pricing dari transaksi-
transaksi yang melibatkan intangibles antara perusahaan-perusahaan berelasi (associated
enterprises), yaitu dalam konteks Artikel 9 dari OECD Model Tax Convention.
Area-area spesifik teridentifikasi untuk pekerjaan lebih lanjut mencakup:
1. Kerangka analisa isu-isu transfer pricing terkait intangibles
2. Aspek definisi dari intangibles
3. Kategori spesifik dari intangibles mencakup aktivitas R&D, perbedaan antara transfer
intangible dengan jasa (service), marketing intangibles, intangibles lainnya dan atribut
bisnis
4. Transfer intangible, mencakup identifikasi suatu transfer intangible dan bentuknya, isu-
isu re-karakteristik
5. Hak suatu perusahaan untuk turut serta dalam bagi imbal hasil dari suatu intangible
yang tidak ia miliki (own).
6. Cost contribution arrangement.
7. Penilaian, mencakup panduan umum untuk pemilihan metode transfer pricing yang
paling tepat, dari penerapan lima metode yang diakui OECD, dan untuk kesebandingan;
metode penilaian keuangan; agregasi/penggabungan intangible (unit of account vs unit
of valuation?) untuk tujuan penilaian; penilaian yang sangat tidak pasti, dan aspek-
aspek lainnya.
Diharapkan bahwa dapat dikembangkan suatu kerangka untuk menganalisa isu-isu transfer
pricing terkait intangible, yang kurang lebih mirip dengan paragraf 3.4 TPG.
Pada bulan pertengahan tahun 2012, Organization for Economic Co-Operation and
Development (OECD) Centre for Tax Policy and Administration telah menerbitkan suatu draf
untuk diskusi (Discussion Draft) berjudul “Revision of the Special Considerations for
Intangibles in Chapter VI of the OECD Transfer Pricing Guidelines and Related Provisions”
(disingkat DD Revisi). Dibandingkan dengan Bab VI OECD Transfer Pricing Guidelines for
Multinational Enterprises and Tax Administrations (Juli 2010) (disingkat TPG) terkait
“Special Considerations for Intangible Property” (Pertimbangan Khusus untuk Properti Tak
www.futurumcorfinan.com
Page 16
Berwujud) sebanyak 14 halaman, maka draf diskusi sebanyak 60 halaman, tampak ada
perkembangan yang signifikan terkait topik ini.
Di sini penulis ingin membagi tulisan menjadi tiga bagian:
Bagian pertama, akan membicarakan latar belakang munculnya DD Revisi, yang akan
banyak membicarakan isi dokumen OECD berjudul “Transfer Pricing and Intangibles: Scope
of the OECD Project”, yang diterbitkan pada bulan Januari 2011. Dokumen Januari 2011
menurut penulis perlu didiskusikan karena dalam dokumen termuat hal-hal yang menjadi
perhatian OECD dan bagian-bagian mana dalam TPG yang akan di-update di kemudian hari
atau menjadi masukan dari para komentator mengenai ruang lingkup (scoping paper).
Bagian kedua dan ketiga, akan membicarakan isi DD Revisi.
Tulisan pertama ini adalah yang dimuat dalam ITR Edisi _______.
Pasal 9 dari OECD Model Tax Convention11 mengatur soal Associated Enterprises,
Dimana:
a) Suatu perusahaan dari a Contracting State turut berpartisipasi secara langsung atau
tidak langsung dalam manajemen, pengendalian atau permodalan dari suatu
perusahaan dari Negara Yang Memiliki Kontrak Lainnya, atau
b) Orang-orang yang sama turut berpartisipasi secara langsung atau tidak langsung
dalam manajemen, pengendalian atau permodalan dari suatu perusahaan dari
Negara yang Memiliki Kontrak dan suatu perusahaan yang ada di Negara Yang
Memiliki Kontrak Lainnya.
Dan dalam kondisi-kondisi kejadian yang dibuat atau di-impose diantara dua perusahaan
dalam hubungan komersial atau keuangan yang akan berbeda dari situasi yang akan terjadi
diantara perusahaan-perusahaan independen, maka laba manapun yang, tetapi karena
kondisi tersebut, akan terjadi pada salah satu perusahaan-perusahaan, tetapi, karena
alasan kondisi-kondisi tersebut, tidak terjadi, dapat termasuk pada laba dari perusahaan
tersebut, dan dipajaki.
Ketika suatu Negara Yang Memiliki Kontrak memasukkan laba dari suatu perusahaan dari
Negara tersebut dan dipajaki, - laba
11
xxx
www.futurumcorfinan.com
Page 17
Disclaimer
This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as of the date of
writing and are subject to change. The information and analysis contained in this publication have
been compiled or arrived at from sources believed to be reliable but FUTURUM does not make any
representation as to their accuracy or completeness and does not accept liability for any loss arising
from the use hereof. This material has been prepared for general informational purposes only and is
not intended to be relied upon as accounting, tax, or other professional advice. Please refer to your
advisors for specific advice.
This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written permission of the
authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post it at www.futurumcorfinan.com
© FUTURUM. All Rights Reserved