38
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dalam beberapa tahun terakhir perkembangan industri sagu mengalami pertumbuhan yang sangat pesat sehingga menimbulkan dampak positif dan dampak negatif bagi masyarakat. Dampak positif yaitu meningkatkan devisa negara dan kesejahteraan masyarakat, sedangkan dampak negatif yaitu menimbulkan limbah. Limbah sagu merupakan ampas empulur sagu yang telah diambil patinya. Pada proses pengolahan sagu dihasilkan limbah padat dan limbah cair. Limbah padat sagu berupa ampas sagu, yang terdiri dari serat-serat empulur yang diperoleh dari hasil pemarutan/pemerasan isi batang sagu, sedangkan limbah cair sagu umumnya bersifat asam, berbau busuk dan konsentrasi padatan tinggi (Banu et al, 2006). Apabila limbah cair tersebut langsung dibuang ke perairan sangat berpotensi mencemari lingkungan. Oleh karena itu

Ampas Sagu

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Ampas Sagu

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Dalam beberapa tahun terakhir perkembangan industri sagu mengalami

pertumbuhan yang sangat pesat sehingga menimbulkan dampak positif dan dampak

negatif bagi masyarakat. Dampak positif yaitu meningkatkan devisa negara dan

kesejahteraan masyarakat, sedangkan dampak negatif yaitu menimbulkan limbah.

Limbah sagu merupakan ampas empulur sagu yang telah diambil patinya. Pada

proses pengolahan sagu dihasilkan limbah padat dan limbah cair. Limbah padat sagu

berupa ampas sagu, yang terdiri dari serat-serat empulur yang diperoleh dari hasil

pemarutan/pemerasan isi batang sagu, sedangkan limbah cair sagu umumnya bersifat

asam, berbau busuk dan konsentrasi padatan tinggi (Banu et al, 2006). Apabila

limbah cair tersebut langsung dibuang ke perairan sangat berpotensi mencemari

lingkungan. Oleh karena itu dilakukan pengolahan limbah cair sebelum limbah cair

tersebut dibuang ke perairan (Ahmad, 1992).

Karakteristik padatan dalam limbah cair pabrik sagu memiliki padatan

tersuspensi total (Total Suspended Solid, TSS) senilai 1,405 gr/L yang melebihi kadar

maksimum baku mutu limbah yang ditentukan oleh pemerintah RI melalui KEPMEN

Lingkungan Hidup No.51 Tahun 1995 untuk TSS senilai 0,1 gr/L. TSS yang cukup

tinggi tersebut mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi

penetrasi matahari kedalam badan air, meningkatnya kekeruhan air dan dapat

menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme dan kelarutan oksigen di dalam

perairan (Huda, 2009).

Page 2: Ampas Sagu

2

Tingginya jumlah limbah yang dihasilkan belum dimanfaatkan secara optimal

dan hanya dibiarkan menumpuk di tempat pengolahan tepung sagu. Sampai saat ini

pemanfaatan ampas sagu masih sebagai pakan ternak, selain itu ampas atau limbah

sagu juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar (bioetanol).

Bioetanol (C2H5OH) merupakan salah satu biofuel atau biomassa yang hadir

sebagai bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan dan sifatnya yang

terbarukan yang merupakan bahan bakar alternatif yang diolah dari tumbuhan yang

memiliki keunggulan karena mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18%,

dibandingkan dengan emisi bahan bakar fosil seperti minyak bumi (Anonim, 2007a).

Bioetanol adalah etanol yang diperoleh dari proses fermentasi gula bahan-bahan

berkarbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme. Etanol yang disebut juga

sebagi etil alkohol, mempunyai sifat berupa cairan yang tidak stabil, mudah terbakar

dan tidak berwarna dan merupakan alkohol rantai lurus dengan rumus molekul

C2H5OH. Etanol adalah salah satu bahan bakar alternatif yang dapat diperbaharui,

ramah lingkungan, serta menghasilkan gas emisi karbon yang rendah dibandingkan

dengan bensin atau sejenisnya (sampai 85% lebih rendah). Oleh karena itu, ampas

sagu bisa menjadi salah satu alternatif dalam pemanfaatannya pada pembuatan bahan

bakar (bioetanol).

Ampas sagu (Metroxylon sago) merupakan limbah yang dihasilkan dari

pengolahan sagu, kaya akan karbohidrat dan bahan organik lainnya. Pemanfaatannya

masih terbatas dan biasanya dibuang begitu saja ketempat penampungan atau

kesungai yang ada disekitar daerah penghasil. Oleh karena itu ampas sagu berpotensi

menimbulkan dampak pencemaran lingkungan. Ampas sagu terdiri dari serat-serat

Page 3: Ampas Sagu

3

empulur yang diperoleh dari hasil pemarutan/pemerasan isi batang sagu. Ampas sagu

dapat digunakan untuk berbagai keperluan diantaranya sebagai pakan ternak. Ampas

sagu merupakan limbah padat hasil industri pertanian pengolahan pati sagu yang

tersedia cukup banyak sepanjang tahun, murah dan mudah didapat. Dalam

pengolahan empulur sagu diperoleh 18,5% pati sagu dan 81,5% berupa ampas sagu

(Kiat, 2006).

Ampas sagu (Metroxylon sago) merupakan limbah yang dihasilkan dari

pengolahan sagu, kaya akan karbohidrat dan bahan organik lainnya. Pemanfaatannya

masih terbatas dan biasanya dibuang begitu saja ketempat penampungan atau

kesungai yang ada disekitar daerah penghasil. Oleh karena itu ampas sagu berpotensi

menimbulkan dampak pencemaran lingkungan. Ampas sagu terdiri dari serat-serat

empulur yang diperoleh dari hasil pemarutan/pemerasan isi batang sagu.

Ampas sagu dapat digunakan untuk berbagai keperluan diantaranya sebagai

pakan ternak. Industri ekstraksi pati sagu menghasilkan 3 jenis limbah, yaitu residu

selular empulur sagu berserat (ampas), kulit batang sagu (bark), dan air buangan

(wastewater). Pada umumnya, jumlah kulit batang sagu dan ampas sagu berturut-

turut sekitar 26% dan 14% berdasarkan bobot total balak sagu . Limbah ampas dan

kulit batang sagu merupakan bahan lignoselulosa yang sebagian besar tersusun atas

selulosa, hemiselulosa, dan lignin.

Selain sifat fisik tersebut, empulur sagu juga memiliki komponen kimia

seperti yang telah diteliti oleh Safitri et al. (2009), empulur sagu terdiri atas pati

sebanyak 57.25%, serat 31.59% dan memiliki kadar air 11.16%. Fujii et al. (1986)

Page 4: Ampas Sagu

4

telah meneliti komposisi kimia empulur sagu dan membaginya ke dalam tiga bagian,

yaitu empulur bagian luar, bagian tengah dan bagian dalam.

Perlakuan awal (pretreatment) limbah hasil pertanian yang mengandung

lignoselulosa umumnya dilakukan untuk mempermudah terjadinya konversi

enzimatik dari selulosa menjadi glukosa dan gula sederhana lainnya. Banyak metode

pretreatment yang secara terpisah dapat memisahkan dan mendegradasi ikatan dan

bahan yang mengandung lignoselulosa. Seluruh teknologi perlakuan awal yang ada

secara umum bertumpu pada pada prinsip pemanasan material dalam air pada

temperatur 100-200 oC. Perlakuan degradasi/pemecahan dengan uap panas tanpa

penam-bahan asam sebagai katalis telah digunakan untuk pretreatment material

pertanian seperti jerami, tongkol jagung, dan kayu keras. Dalam penelitian ini

dilakukan proses pretreatment untuk mengekstraksi/memisahkan pati dari ampas

sagu yang akan diperoleh pada bagian larutan hasil ekstraksi (ekstrak), dengan

mempertimbangkan selulosa dapat dibebaskan dari ikatan lignoselulosa setelah

pretreatment.

Proses ekstraksi ampas sagu untuk memisahkan bagian pati secara maksimal

dari ampas sagu dapat dilakukan dengan menggunakan panas. Rekayasa proses secara

fisik menggunakan panas (termal), yang diikuti hidrolisis enzimatik untuk jenis bahan

lignoselulosa berpati seperti ampas sagu dikenal sebagai hidrotermal-enzimatik.

Metode hidrolisis hidrotermal-enzimatik ini dilakukan untuk mendapatkan hidrolisat

mengandung gula yang tinggi dari pati ampas sagu. Proses hidrotermal merupakan

pemisahan pati yang sekaligus merupakan proses gelatinisasi pada pati ampas sagu.

Perlakuan pemisahan dan gelatinisasi pati ampas sagu dirancang dengan

Page 5: Ampas Sagu

5

menggunakan panas yang lebih tinggi dari proses gelatinisasi yang umumnya

dilakukan. Perlakuan panas secara fisik (termal) ini akan dapat meningkatkan

pemisahan kandungan pati yang terikat cukup kuat pada bagian lignoselulosa dalam

limbah ampas sagu.

Bagian selulosa dari hasil pretreatment ampas sagu dapat dihidrolisis menjadi

hidrolisat yang mengandung gula. Selulosa dari bagian biomassa limbah pertanian

dapat dikonversi menjadi glukosa dengan menggunakan enzim komersial, tetapi

proses ini mahal. Salah satu penginduksi sintesis selulase adalah selulosa.

Penginduksi ini mempunyai fungsi ganda, dapat bertindak sebagai sumber karbon

untuk pertumbuhan sel dan sebagai penginduksi untuk sintesis selulase. Enzim

selulase yang dihasilkan dapat mengkonversi selulosa ampas sagu yang berlebih

dalam substrat menjadi glukosa. Hidrolisat ampas sagu sebagai hasil proses hidrolisis

ampas sagu baik dari konversi pati ampas sagu pada umumnya, maupun dari proses

konversi bagian selulosa dapat diproduksi menjadi bioetanol. Produksi bioetanol dari

hidrolisat dengan metode hidrolisis yang berbeda dapat memberikan

hasil/produktifitas yang berbeda. Produksi hidrolisat yang mengandung gula akan

memberi nilai tambah dari ampas sagu. Nilai tambah adalah pertambahan nilai yang

terjadi karena suatu komoditias mengalami proses pengolahan, pengangkutan, dan

penyimpanan dalam suatu proses produksi (penggunaan/pemberian input fungsional).

Penelitian ini merupakan kajian rekayasa proses produksi hidrolisat yang

mengandung gula dari ampas sagu sebagai substrat produksi bioetanol. Proses

penyediaan hidrolisat dilakukan dari beberapa tahapan proses, diawali dari

Page 6: Ampas Sagu

6

pendekatan metode pretreatment secara fisik-kimiawi karena ampas sagu merupakan

bahan lignoselulosa berpati.

1.2 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian bertujuan untuk mendapatkan hidrolisat yang

mengandung gula dari ampas sagu dengan tingkat konversi pati yang tinggi dalam

produksi bioetanol. Tujuan penelitian secara khusus adalah sebagai berikut:

1. Memanfaatkan hemiselulosa yang terkandung pada limbah sagu sebagai

bahan baku penghasil bioetanol

2. Mendapatkan metode hidrolisis yang terbaik pada bahan berpati dari ampas

sagu untuk penyediaan hidrolisat mengandung gula maksimal sebagai substrat

produksi bioetanol.

3. Mengetahui besarnya kadar gula yang dihasilkan oleh limbah sagu melalui

preatreatment/perlakuan awal.

1.3 Perumusan Masalah

Potensi sagu di Indonesia sangat besar. Sekitar 60% areal sagu dunia terdapat

di Indonesia yang tersebar luas di bagian timur dan barat Indonesia. Pengolahan

limbah sagu menjadi bietanol merupakan salah satu alternatif untuk pencegahan

pembuangan limbah sagu ke perairan di sekitar industri pengolahan sagu. Oleh

karena itu perlu dilakukan penelitian-penelitian untuk pengembangan potensi

tanaman sagu, salah satunya yaitu penelitian tentang pemanfaatan ampas sagu untuk

bahan bakar nabati ( bietanol ).

Page 7: Ampas Sagu

7

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam

meningkatkan nilai ekonomi biomassa limbah sagu dan mengurangi dampak

pencemaran lingkungan secara keseluruhan. Adapun manfaat lain dari hidrolisis

ampas sagu adalah sebagai berikut:

1. Penyediaan energi alternatif (etanol) dengan memanfaatkan ampas sagu.

2. Pengembangan ilmu pengetahuan dengan adanya proses hidrolisis bahan

lignoselulosa berpati menjadi hidrolisat yang mengandung gula dalam

produksi bioetanol.

3. Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan kepada masyarakat di Kabupaten

Selat Panjang.

4. Sebagai sumber informasi dalam pembuatan bioetanol dari limbah sagu atau

ampas sagu bagi masyarakat.

Page 8: Ampas Sagu

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Sagu (Metroxylon sagu, Rottb.)

Tanaman sagu (Metroxylon sagu, Rottb.) termasuk kedalam suku palma yang

batangnya menghasilkan pati. Tanaman sagu banyak terdapat di daerah-daerah rawa

air tawar, rawa bergambut, rawa air payau dengan kadar garam rendah, di sepanjang

aliran sungai, dan di sekitar sumber air. Tanaman sagu di Indonesia yang umumnya

hidup secara liar tersebar luas dari wilayah Barat sampai Timur yaitu di kepulauan

Riau, kepulauan Mentawai, daerah Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Selatan,

Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua Barat.

Sagu mempunyai ciri-ciri dengan tinggi sedang, setelah berbunga mati, akar

berserabut yang ulet, mempunyai akar nafas, batang berdiameter hingga 60 cm,

dengan tinggi hingga 25 m. Batang merupakan tempat penimbunan utama pati yang

dihasilkan melalui proses fotosintesis. Batang terbentuk setelah ada russet berakhir

yaitu setelah berumur 45 bulan dan kemudian membesar dan memanjang dalam

waktu 54 bulan (Flach, 2005).

Sagu (Metroxylon sp.) dikenal sebagai tanaman penghasil karbohidrat.

Sebagai sumber karbohidrat, tanaman sagu memiliki keunggulan dibandingkan

dengan tanaman penghasil karbohidrat lain karena relatif sudah tersedia lahan yang

telah ditanami sehingga dapat langsung dimanfaatkan, berkembang biak dengan

anakan sehingga panen dapat berkelanjutan tanpa melakukan peremajaan ataupun

penanaman ulang, dapat dipanen dan diolah tanpa musim, resiko terkena hama

penyakit tanaman kecil, dan tingkat pemanfaatannya masih sedikit (Bustaman 2008)

Page 9: Ampas Sagu

9

Kandungan karbohidrat di dalam pati sagu sangat tinggi. Bintoro (1999)

menyatakan bahwa kandungan karbohidrat pati sagu lebih tinggi daripada beras.

Haryanto dan Pangloli (1992) menyatakan bahwa sagu sebagai makanan sudah lama

dikenal oleh sebagian masyarakat Indonesia terutama di kawasan yang sawahnya

sedikit. Penduduk Maluku, terutama yang di desa-desa telah lama mengkonsumsi

sagu sebagai bahan makanan pokoknya.

Pati adalah karbohidrat yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk persediaan

bahan makanan. Pati sagu merupakan hasil ekstraksi dari empulur batang sagu

dengan bantuan air secara mekanis maupun tradisional. Pati berbentuk butiran atau

granula yang berwarna putih mengkilat, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa. Pada

dasarnya pati merupakan polimer glukosa dengan ikatan 1,4 α-glukosa. Berbagai

macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai karbonnya (Haryanto

dan Pangloli, 1992). Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang beraneka

ragam, umumnya berbentuk bola atau elips. Pati sagu mengandung sekitar 27%

amilosa dan sekitar 73% amilopektin. Rasio amilosa dan amilopektin akan

mempengaruhi sifat-sifat pati itu sendiri. Apabila kadar amilosa tinggi maka pati akan

bersifat kering, kurang lekat dan cendrung meresap air lebih banyak atau higroskopis

(Wirakartakusumah et al., 1986).

Karakteristik pati sagu (Metroxylon sp.) dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 10: Ampas Sagu

10

Tabel 1. Karakteristik Pati Sagu

Karakterisasi Komposisi (%)

Kadar Pati 82,13

Amilosa 27,75

Amilopektin 72,25

Kadar Serat 0,01

Kadar Air 5,76

Kadar Abu 0,12

Kadar Lemak 0,36

Kadar Protein 0,38

Sumber : Hartoto et al. (2005)

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri

dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut dengan

amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus

dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin memiliki cabang dengan

ikatan α-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 1992).

1.2. Pretreatment ( Perlakuan awal )

Perlakukan awal (pretreatment) limbah hasil pertanian yang mengandung

lignoselulosa perlu dilakukan untuk mendorong mudah terjadinya konversi enzimatik

dari selulosa menjadi glukosa dan gula sederhana lainnya. Pada bahan lignoselulosa

yang mengandung komponen lain (pati), perlakuan awal disamping untuk

membebaskan bahan selulosa dari lignoselulosa juga dipertimbangkan bagian pati

tidak hilang atau rusak sehingga dapat dimanfaatkan untuk keperluan lanjut. Dalam

perlakuan awal ampas sagu yang merupakan suatu bahan lignoselulosa dengan pati

sebagai kandungan terbesarnya, perlakuan awal utamanya mempertimbangkan

Page 11: Ampas Sagu

11

supaya tidak merusak kandungan pati yang ada. Perlakuan awal (pretreatment) pada

ampas sagu juga mempertimbangkan kandungan selulosanya dapat dibebaskan dari

lignin yang melingkupinya dan diperoleh dalam jumlah yang dominan pada residu

ampas sagu yang dihasilkan nantinya. Pada bagian tanaman, lignin ini menjadi

penghalang hidrolisis selulosa karena lignin berperan sebagai pelindung selulosa

terhadap serangan enzim pemecah selulosa (Enari, 1983).

Saat ini teknik perlakuan awal yang dapat dilakukan meliputi: hidrolisis asam,

steam explosion, ammonia fiber expansion, proses oksidasi basah secara basa, dan

perlakuan awal dengan ozone (ozone pretreatment). Steam eksplosion adalah metode

pretreatment yang umum digunakan pada material lignoselulosa dimana suhu yang

biasa digunakan adalah 160-260 oC beberapa menit sebelum material diekspose

ketekanan atmosfir (Sun and Chen 2002). Pada kayu lunak dan jenis material yang

lebih spesifik (ampas sagu, bagas dan lainnya) dapat digunakan suhu steam yang

lebih rendah pada perlakuan. Penambahan atau meresapkan material dengan H2SO4

atau SO2 (0.3 sampai 3% w/w) untuk perlakuan awal, dapat menurunkan waktu dan

temperatur, dimana dengan penurunan temperatur pada waktu yang sama mendorong

meningkatnya recoveri, menurunkan pembentukan dari inhibitor dan memperbaiki

hidrolisis enzimatik (Ballesteros et al. 2006; Varga et al. 2004a; Sassner et al. 2006).

Seluruh teknologi perlakuan awal yang ada secara umum bertumpu pada prinsip

pemanasan material dalam temperatur 100-200 oC. Pretreatment ampas sagu pada

penelitian ini didesain dan direkayasa dengan pertimbangan metode steam explosion

yang biasa digunakan pada material yang mengandung lignoselulosa, menggunakan

Page 12: Ampas Sagu

12

berbagai jenis larutan kimia (akuades, asam, basa dan garam basa) pada suhu yang

diasumsikan tidak merusak pati sagu dalam autoclave.

Beberapa polisakarida biasanya terhidrolisis oleh asam mineral, seperti H2SO4

dan HCl. Selain asam mineral, asam-asam organik seperti asam oksalat, asam

trikloroasetat, dan asam trifluoroasetat juga dapat dimanfaatkan sebagai katalis dalam

proses hidrolisis pati (Tjokroadikoesoemo, 1986). Pada bahan yang berpati, hidrolisis

asam merupakan proses yang dilakukan secara acak dan tidak terpengaruh dengan

adanya ikatan –1,6–glikosidik. Pemotongan rantai pati oleh asam tidak teratur

dibandingkan hasil pemotongan rantai oleh enzim, sehingga hasilnya adalah

campuran antara dekstrin, maltosa dan glukosa (Chaplin dan Bucke, 1990). Hidrolisis

lanjut ampas sagu mengunakan asam (H2SO4 0.25 M) dilakukan untuk penyediaan

hidrolisat yang mengandung gula yang dapat tersedia dan mencukupi bagi

pertumbuhan S. cerevisiae untuk produksi boetanol.

Produksi bioetanol memerlukan hidrolisat dengan kadar gula yang harus

mencukupi sebagai substrat bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroba

Saccharomyces cerevisiae (S. cereviseae) sebagai agen fermentasi. Kadar gula yang

terlalu tinggi pada hidrolisat dapat menjadi substrat inhibitor bagi pertumbuhan S.

cereviseae. Menurut Frazier dan Weshoff (1978), konsentrasi gula yang dibutuhkan

untuk proses fermentasi etanol adalah 10–18%.

1.3. Selulosa

Selulosa adalah polimer dari β-glukosa dengan ikatan β-1-4 antara unit-unit

glukosa. Selulosa terdapat pada kayu, kapas, rami dan tumbuhan lainnya. Selulosa

merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan glukosa yang terikat dengan ikatan β-

Page 13: Ampas Sagu

13

1-4-glikosidik dengan rumus C6H10O5 dan dengan n adalah derajat polimerisasanya.

Struktur kimia inilah yang membuat selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut,

sehingga tidak mudah didegradasi secara kimia ataupun mekanis. Selulosa dalam

tumbuhan terdiri atas bagian yang memiliki struktur kristalin yang teratur, dan bagian

dengan struktur amorf yang tidak terlalu teratur dengan baik. Galur-galur selulosa

tergabung bersama dan membentuk fibril-fibril selulosa. Bentuk ini sebagian besar

bebas dan berinteraksi satu sama lain melalui ikatan hidrogen (Bobleter 1994).

Bagian selulosa yang tidak larut di dalam basa kuat (misalnya, NaOH 18%)

disebut sebagai α-selulosa. Selulosa yang terlarut di dalam larutan ini terendapkan

sebagian pada medium netral, dan endapan ini disebut β- selulosa. Sisa selulosa yang

masih terlarut di dalam larutan basa kuat disebut γ-selulosa (Bobleter 1994). Selulosa

memiliki 3 fasa yaitu α-Cellulose, β-Cellulose dan γ-Cellulose. α-Cellulose adalah

selulosa berantai panjang, tidak larut dalam NaOH, larutan basa kuat dengan DP 600–

1500, dipakai sebagai penduga atau penentu tingkat kemurnian selulosa. β-Cellulose

merupakan selulosa berantai pendek, larut dalam NaOH atau basa kuat dan dapat

mengendap bila dinetralkan sedangkan γ-Cellulose adalah selulosa dengan derajat

polimerisasi lebih kecil dari β selulosa. Selulosa α adalah kualitas selulosa yang

paling tinggi (murni) dan memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku

utama pembuatan propelan dan bahan peledak. Sedangkan selulosa β dan γ digunakan

sebagai bahan baku industri kertas, dan lain sebagainya.

Bentuk polimer ini memungkinkan selulosa saling menumpuk dan terikat

menjadi bentuk serat yang sangat kuat. Panjang molekul selulosa ditentukan oleh

jumlah monomer di dalam polimer (derajat polimerisasi/DP). DP selulosa tergantung

Page 14: Ampas Sagu

14

pada jenis tanaman dan umumnya dalam kisaran 200-27.000 unit glukosa. Selulosa

dapat disenyawakan (esterifikasi) dengan asam anorganik seperti asam nitrat, asam

sulfat, dan asam fosfat. molekul-molekul selulosa yang terdapat pada tiap lapisan

mempunyai susunan arah melingkar yang berbeda. Dinding serat dapat dibedakan

menjadi 2 yaitu dinding primer yang merupakan lapisan paling luar dari serat dan

dinding sekunder yaitu lapisan dibawah dinding primer.

Gambar 1. Skema selulosa

1.4. Hemiselulosa

Hemiselulosa adalah polimer yang tersusun dari unit-unit glukosa, gula

heksosa, gula pentosa. Hemiselulosa ini relatif berantai pendek dan bercabang.

Derajat polimerisasinya jarang mencapai 200. Komponen hemiselulosa pada kayu

daun lebar berbeda dengan kayu daun jarum. Komponen monosakarida yang

menyusun hemiselulosa terdiri atas glukosa, xilosa, galaktosa, mannosa, arabinosa,

rhamnosa dan fukosa (Barnet & Jeronimidis 2003).

Menurut Fengel & Wegener (1995), perbedaan utama hemiselulosa kayu daun

jarum dengan kayu daun lebar adalah jenis dan jumlah gula penyusun

hemiselulosanya. Kayu daun jarum memiliki komponen mannan yang lebih tinggi

sedangkan kayu daun lebar komponen xilan yang lebih tinggi. Contoh hemiselulosa

Page 15: Ampas Sagu

15

pada kayu daun jarum adalah O-asetil-galaktoglukomanan atau biasa disebut

galaktoglukomanan. Sedangkan contoh hemiselulosa pada kayu daun lebar adalah O-

asetil-4-O-metil-glukuronoxilan atau glukuronoxilan.

Xilan tersusun dari ikatan xilosida. Xilan yang terdiri atas gugus-gugus ikatan

asam uronat dan xilosa sangat tahan terhadap hidrolisis, sedangkan gugus asetil

mudah dihidrolisis oleh asam dan sangat efektif diekstraks dengan alkali. Dalam

teknologi pulping kraft, gugus asetil ini terdegradasi bersama lignin (Sjostrom, 1995).

Hemiselulosa dapat dihidrolisis dengan menggunakan pelarut asam maupun

basa menghasilkan gula sederhana seperti glukosa, manosa, xilosa, dan galaktosa.

Beberapa enzim yang diketahui bisa mendegradasi hemiselulosa antara lain endo-1,4-

β-D-xylanase (xilanase) dan endo-1,4-β-D-mannase (mannase). Enzim-

enzimpendegradasi hemiselulosa tersebut dihasilkan dari jamur seperti

Trichodermaspp. dan Aspergillus spp. Bakteri yang dilaporkan penghasil xilanase

adalah Bacillus spp. dan Streptomyces spp: (Saddler 1993).

Page 16: Ampas Sagu

16

Gambar 2. Struktur Kimia Gula Hemiselulosa ( Fengel & Wegener, 1995 )

1.5. Lignin

Lignin adalah polimer tri-dimensional phenylphropanoid yang dihubungkan

dengan beberapa ikatan berbeda antara karbon ke karbon dan beberapa ikatan lain

antara unit phenylprophane yang tidak mudah dihidrolisis. Lignin terdapat di

antara sel-sel dan dalam dinding sel serta berfungsi sebagai perekat

untuk pengikat sel-sel agar tetap bersama. Keberadaan lignin dalam

dinding sel sangat erat hubungannya dengan selulosa yang berfungsi

untuk memberikan ketegaran pada sel, berpengaruh dalam

memperkecil perubahan dimensi sehubungan dengan perubahan air

kayu dan mengurangi degradasi terhadap selulosa. Konsentrasi lignin

tertinggi terdapat dalam lamella tengah dan akan semakin mengecil

pada lapisan dinding sekunder (Sjostrom 1995).

Page 17: Ampas Sagu

17

Berdasarkan strukturnya, lignin terbagi atas dua tipe yaitu lignin guaiasil dan

lignin guaiasil-siringil. Lignin guaiasil terdapat pada kayu daun jarum. Kayu daun

jarum tersusun dari sekitar 90% guaiasil dan 10% p-kumaril alkohol. Lignin guaiasil-

siringil terdapat pada kayu daun lebar yang tersusun dari guaisil dan siringil dengan

prazat koniferil alcohol dan sinapil alkohol dengan nisbah 4:1 sampai 1:2 (Gullichsen

& Paulapuro 2000).

Gambar 3. Unit pembentuk Lignin ( Eaton & Hale, 1993 )

Page 18: Ampas Sagu

18

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian, Fakultas

Pertanian, Universitas Riau pada bulan Agustus sampai Desember 2013.

3.2. Bahan dan Alat

3.2.1. Bahan

Dalam penelitian Pretreatment Dan Hidrolisis Ampas Sagu Menggunakan Asam

Sulfat Untuk Perolehan Monomer Gula Pada Produksi Bioetanol ampas sagu yang

digunakan didatangkan langsung dari Selat Panjang, Kabupaten Meranti Riau.

Aquadest yang beraasal langsung dari Laboratorium Dasar Teknik Kimia,

Universiatas Riau. H2SO4 dengan jenis yang bersal dari Laboratorium Analisis

Teknologi Hasil Pertanian. Reagen Nelson Semogyi yang digunakan untuk

menganalisa monomer gula pada hidrolisat ampas sagu. Cara pembuatan Reagen

Nelson Semogyi dan analisanya dapat dilihat pada lampiran A.1. Zat-zat Reagen

Nelson Semogyi diperoleh dari Laboratorium Dasar Teknik Kimia, kecuali

Ammuniummolibdat yang berasal dari Laboratorium Uji Pangan, Fakultas Perikanan,

Universitas Riau.

3.2.2. Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini secara garis besar dapat di bagi

menjadi tiga golongan. Pertama, alat yang digunakan untuk pretreatment ampas sagu

Page 19: Ampas Sagu

19

yang terdiri dari reaktor hidrolisis berupa autoclave serta peralatan pendukung yang

terdiri dari pH meter, heater, thermometer digital, breaker glass, kertas saring dan

timbangan analitik. Kedua, alat yang digunakan untuk analisis yaitu Spektofotometer.

Ketiga, alat untuk menganalisa furtural yang terdiri dari labu takar (100 ml dan 50

ml), pipet volum (10 ml dan 2 ml), labu erlemeyer serta kelengkapan pendukung

lainnnya.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan

variasi perlakuan Konsentrasi Asam sulfat (A) 4 taraf dan pengambilan sampel

dilakukan pada waktu (T) 4 taraf dan pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali,

sehingga unit percobaaan menjadi 4x4x3 = 48 unit percobaan.

Ampas sagu dihidrolisa pada variasi variable konsentrasi larutan H2SO4 (0.25

M, 0.3 M, 0.35 M dan 0.4 M) dan waktu reaksi 30, 60, 90, dan 120 menit. Sedangkan

variable konstan yaitu nisbah ampas sagu (padatan) dan pelarut sebesar 1 : 20 dan

temperatur hidrolisa pada titik 1100C.

3.4. Prosedur penelitian

Secara garis besar prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari

dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap penelitian.

3.4.1. Tahap Persiapan

1. Mengurangi kandungan air pada ampas sagu melalui proses pengeringan serta

menghitung kandungan air yang terdapat pada bahan baku.

2. Mencari konsentrasi dan waktu optimum terhadap perolehan kadar glukosa.

Page 20: Ampas Sagu

Ampas Sagu

Larutan Asam Sulfat

Padatan (Lignin)Hidrolisat (Selulosa)

Cairan

Padatan Sisa (Hemiselulosa)

Padatan

PENGENDAPAN

PENYARINGAN

PEMASAKAN

20

3.4.2. Tahap Penelitian

Tahapan penelitian pretreatment ampas sagu menggunakan pelarut H2SO4

dilakukan menurut metode yang telah dikembangkan Parajo dkk. (1993), skema

penelitian ditampilkan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Skema Pretreatment Biomassa (Parajo dkk, 1993)

Tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :

Page 21: Ampas Sagu

21

1. Ampas sagu sebanyak 5 gram dan larutan H2SO4 (berdasarkan variasi

konsentrasi) dimasukkan kedalam reactor hidrolisis atau autoclave.

2. Ampas sagu yang telah diolah disaring menggunakan kertas saring. Hasil dari

penyaringan diperoleh ampas sagu/padatan sisa dan cairan hasil pemasakan.

3. Padatan sisa dibuang sedangkan cairan hasil pemasakan diendapkan selama 1

malam. Hasil dari pengendapan akan terbentuk 2 lapisan (fasa) yaitu hidrolisat

(bagian atas) dan padatan (bagian bawah)

4. Perolehan hidrolisat dianalisa konsentrasi glukosa dan furtural.

5. Penelitian diulangi untuk variasi konsetrasi H2SO4.

6. Pengambilan sampel dilakukan pada 30, 60, 90, dan 120 menit.

3.5. Analisa Data

3.5.1. Kadar glukosa

Hidrolisat merupakan hemiselulosa yang diperoleh dari cairan hasil

pemasakan. Kandungan glukosa dalam hemiselulosa dapat dianalisa dengan metode

Nelson-Semogyi dan menggunakan alat Spektofotometer Sinar Tampak pada panjang

gelombang 590 nm yang diperoleh saat penentuan panjang gelombang optimum

(lampiran B). sebelumnya dibuat terlebih dahulu kurva kalibrasi larutan standar

sehingga diperoleh perasamaan yang menghubungkan antara absorban dan

konsentrasi glukosa. Kandungan glukosa pada hidrolisat dapat diketahui dengan cara

menghubungkan persamaan yang diperoleh terhadap absorban yang tercatat

Spektofotometer Sinar Tampak (Alexander, R.R, 1993). Analisa konsentrasi glukosa

dilakukan di Laboratorium Uji Teknik Kimia, Universitas Riau.

3.5.2. Rendemen

Page 22: Ampas Sagu

22

Rendemen merupakan rasio antara bahan setelah pengeringan dengan bahan

sebelum dikeringkan Dikalikan dengan 100 persen.

3.5.3. Kadar air

Penentuan kadar air mengancu pada sudarmajdji dkk (1997), sampel sebanyak

2 gram dimasukkan ke dalam cawan poreslin yang telah diketahui beratnya

(sebelumnya cawan porselin yang digunakan terlebih dahulu dikeringkan dalam oven

pada suhu lebih kurang 1000C selama 10 menit). Sampel beserta cawan dekiering kan

dalam oven pada suhu 1000C selama 3 jam dalam kondisi konstan. Selanjutnya

didinginkan selama 20 menit dalam desikator, setelah ditimbang. Sampel beserta

wadah yang telah ditimbang dimasukkan kembali ke dalam oven selama 1 jam pada

suhu lebih kurang 1000C, lalu didinginkan dalam desikator selama 20 menit dan di

timbang. Perlakuan ini diulang sampai tercapai berat konstan (selisih penimbangan

berturut-turut kurang dari 0,2 mg), kadar air dihitung dengan rumus :

kadar air (% )= penguranganberatberat sampel

x100 %

Page 23: Ampas Sagu

23

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, R.R, 1993, Basic Biochemichal Methods, Ed.2, WILEY-LISS, Inc., New York.

Ahmad, A., 1992, Kinerja Bioreaktor Unggun Fluidisasi Anaerobik Dua Tahap dalam Mengolah Limbah Cair Industri Minyak Kelapa Sawit, Laporan Magang Pusat Antar Universitas-Bioteknologi ITB, Bandung.

Ballesteros M, Olivia JM, Negro MJ, Manzavais P, Ballesteros I. 2006. Ethanol from Lignocellulosic Materials by A Simmultaneous Saccharification and Fermentation Process (SPS) With Kyuveromyces maxianus CECT 10875. Process BioChemystry 39 (12) 1843-1848.

Banu, J.R., S. Kaliappan dan D. Beck, 2006, Treatment of Sago Wastewater Using Hybrid Anaerobic Reactor, Chemical Engineering Journal, Volume 41, No. 1, 56-62.

Barnett JR, Jeronimidis G. 2003. Wood Quality and Its Biological Basis. United Kingdom: Blackwell Publishing, Ltd.

Bintoro, H. M. H. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu sebagai Penghasil Bahan Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 70 hal.

Bobleter O. 1994. Hydrothermal degradation of polymers derived from plants. Prog Polym Sci 19:797-841.

Bustaman, S. 2008. Strategi pengembangan Bio-etanol berbasis sagu di Maluku. Perspektif (7) 2, Desember 2008. Hal 65 79. Balai Besar Pengkajian Teknologi Pertanian Bogor.

Chaplin MF, Bucke C. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press. New York.

Eaton RA, Hale MDC. 1993. Wood: Decay, Pests and Protection. London: Chapman and Hall.

Fengel D, Wegener G. 1985. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Hardjono S, Soenardi P, penerjemah; Yogyakarta: Penerbit Universitas Gajah Mada. Terjemahan dari: Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions.

Flach M. 2005. Yield Portensial of the Sago Palm its Realisation . Paper of the International Sago Symposium in Kuching , Malaysia.

Frazier WC, Westhoff DC. 1978. Food Microbiology. Tata Mc.Graw-Hill Publ.Co.Ltd. New York.

Fujii S, Kishihara S, Komoto M. 1986. Studies on improvement of sago starch quality. Di dalam: Protect mankind from hunger, and the earth from

devastation. Proceeding 3rdInternational sago symposium; Tokyo, 20-23 Mei 1986. Jepang: The Sago Palm Society. hlm 186-192.

Page 24: Ampas Sagu

24

Gullichsen J, Paulapuro H. 2000. Forest Products Chemistry. Paper Making Science and Technology. Book 3. Helsinki: Finish Paper Engineers’ Association and TAPPI.

Hartoto, L., A. Suryani dan E. Hambali. 2005. Rekayasa Proses Produksi Asam Polilaktat (PLA) dari Pati Sagu sebagai Bahan Baku Utama Plastik Biodegradable. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, IPB, Bogor.

Haryanto, B. dan P. Pangloli. 1992. Potensi Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta.

Haygreen JG dan JL Bowyer. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu Suatu Pengantar. Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Huda, T., 2009, Hubungan antara Total Suspended Solid dengan Turbidity dan Dissolved Oxygen, http://thorik.staff.uii.ac.id/2009/08/23/hubungan-antara-total-suspended-solid-dengan- turbidity-dan-dissolved-oxygen/,10 Oktober 2011.

Kiat, L.J., 2006., Preparation and Characterization of Carboxymethyl Sago Waste and Its Hydrogel, Universitas Putra Malaysia, (Thesis).

Komarayati,Sri Prihandana, 2007, Bioetanol Ubi kayu Bahan Bakar Masa Depan, Agromedia, Jakarta.

Parajo, J.C, J.L Alonso, D. Vaquez, (1993) On the behaviour of lignin and hemicellulose during acetosov processing, Bioresource Technology, 46, 233-240.

Pardosi, D. (2008). Pembutan Selulosa Bakteri dalam Medium Air Kelapa Melalui Penambahan Sukrosa, Kitosan dan Gliserol Menggunakan Acetobacter xylinum. Tesis Fakultas MIPA USU. hal. 7.

Saddler JN. 1993. Bioconversion of Forest and Agricultural Plant Residues. United Kingdom: C.A.B. International.

Safitri R, Surosos L, Supitasari NS, Suyanto, Wulandari AP, Andayaningsih P, Haska N. 2009. Pengaruh berbagai konsentrasi asam sulfat dan enzim pada hidrolisis tepung empulur batang sagu (Metroxylon sagu rottb.), kombinasi hidrolisis kimiawi dan enzimatis terhadap kandungan gula pereduksi. Di dalam: Biomass Utilization for Alternative Energy and Chemicals. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia; Bandung, 23 Apr 2009. Bandung: Perhimpunan Teknik Kimia Indonesia. hlm 314-321.

Sassner P, Galbe M. Zacchi G. 2006. Bioethanol Production Based on Simultaneous Saccharification and Fermentation of Steam-Pretreated Salix at High Dry-Materr Content. Enzyme Microb Technol 39: 756-762.

Sjostrom E. 1995. Kimia Kayu: Dasar-dasar dan Penggunaan. Edisi kedua. Terjemahan. Yogyakarta: Gadja Mada University Press.

Sudarmajdji,S.,B Harrono dan Suhardi, 1997, Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan Dan Pertanian, Liberty, Yogyakarta.

Tjokroadikoesoemo P. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Gramedia. Jakarta.

Page 25: Ampas Sagu

25

Varga E, Reczey K, Zacchi G. 2004. Optimization of Steam Pretreatment of Corn Stover to Enhance Enzymatic Digestibility. Appl Biochem Biotechnol 113-116: 509-523.

Wirakartakusumah MA, Thenawidjaja M, Jennie BSL, Wardoyo R, Sastrodipuro D, Nuraida L, Nurtama B. 1986. Isolasi dan Karakterisasi Enzim dari Aspergillus niger serta Pemanfaatan dalam Pembangunan industry gula cair. Penelitian no. 66/PSSR/DPPM?621?1985, Direktorat pembinaan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidilkan tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Winarno F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.