337
SEKOLAH GERAKAN SOSIAL PMII KOMISARIAT SE-JAWA TENGAH “Manifesto Gerakan Sosial; Mengganyang Setan-setan Desa dan Kota” Wonosobo, 7-9 Mei 2010 Diselenggarakan oleh: CC. AGITASI & PROPAGANDA GERAKAN JARINGAN INTI IDEOLOGIS PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA KAUKUS JAWA TENGAH Tahun 2010 Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A.

Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

SEKOLAH GERAKAN SOSIAL PMII KOMISARIAT SE-JAWA TENGAH

“Manifesto Gerakan Sosial; Mengganyang Setan-setan Desa dan Kota”

Wonosobo, 7-9 Mei 2010

Diselenggarakan oleh: CC. AGITASI & PROPAGANDA GERAKAN

JARINGAN INTI IDEOLOGIS PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA

KAUKUS JAWA TENGAH Tahun 2010

Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A.

Page 2: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

2

SEKOLAH GERAKAN SOSIAL PMII KOMISARIAT SE-JAWA TENGAH

“Manifesto Gerakan Sosial;

Mengganyang Setan-setan Desa dan Kota”

Penulis dan Penggagas Gerakan:

Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A. Alumnus Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Alumnus Program Pascasarjana (S.2) Sosiologi FISIPOL UGM Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia-D.I.Yogyakarta

Direktur Institute for Philosophycal and Social Studies (INPHISOS) E-Mail: [email protected] / [email protected]

Website: www.nursayyidsantoso.blogspot.com/ www.sosiologidialektis.wordpress.com

Cp. (0282) 540437 / Hp. 085 647 634 312

Cetakan I, Mei 2010

Penerbit: Eye on The Revolution Press-Yogyakarta

Institute for Philosophycal and Social Studies (INPHISOS)

SEKOLAH GERAKAN SOSIAL PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA

TAHUN 2010

Page 3: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

3

DAFTAR ISI Hand-Out 01: FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PERUBAHAN SOSIAL—4 Hand-Out 02: STRATEGI GERAKAN SOSIAL & KRITIK PEMBANGUNAN—24 Hand-Out 03: NASIONALISME DAN REVOLUSI DALAM PEMIKIRAN POLITIK

SOEKARNO, HATTA, TAN MALAKA DAN SJAHRIR—44

Hand-Out 04: STUDI DASAR IDEOLOGI DUNIA DAN KRITIK IDEOLOGI—55 Hand-Out 05: KRITIK ABSURDITAS NEGARA, REPRESIFITAS &

OTORITARIANISME: KAJIAN PEMIKIRAN GRAMSCI DAN ALTHUSSER—110

Hand-Out 06: PEMIKIRAN TEOLOGI PEMBEBASAN PROGRESSIF DAN GERAKAN ISLAM KIRI—175

Hand-Out 07: ANALISIS GEOEKOSOSPOL DALAM LOGIKA KAPITALISME DAN POSMODERNISME—191

Hand-Out 08: FORMULASI PARADIGMATIK PENDIDIKAN KRITIS—210 Hand-Out 09: IDEOLOGI GENDER, FEMINISME DAN PEMBANGUNAN—239 Hand-Out 10: STRATEGI AGITASI & PROPAGANDA—282 Hand-Out 11: STRATEGI NEGOSIASI & LOBBY—286 Hand-Out 12: STRATEGI & MANAJEMEN AKSI MASSA—298 Hand-Out 13: STRATEGI MOBILISASI & KONSOLIDASI JARINGAN

PRODEM—305 Hand-Out 14: STRATEGI ADVOKASI DASAR—310 Hand-Out 15: STRATEGI COMMUNITY ORGANIZER, IDEOLOGISASI DAN

PEMBASISAN KADER—315

REFERENSI—328 TENTANG PENULIS—338

Page 4: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

4

Hand-Out 01: FILSAFAT & SOSIOLOGI PERUBAHAN SOSIAL

SEBUAH PENGANTAR: RETHINGKING TEORI PERUBAHAN SOSIAL1 Prawacana

Sudah lama dirasakan adanya jurang yang memisahkan antara dunia teoretis dari kalangan akademisi yang membicarakan teori perubahan sosial maupun paradigma pembangunan dan dunia para praktisi perubahan sosial untuk keadilan sosial (social justice) yang bekerja di dalam berbagai aksi maupun proyek perubahan sosial bersama kelompok-kelompok marginal seperti kaum buruh, para petani dan nelayan, perempuan miskin di pedesan, maupun anak jalanan serta masyarakat adat di berbagai daerah. Terdorong oleh keinginan untuk menjembatani dialog antara teori dan praktik perubahan sosial di akar rumput, maka suatu refleksi kritis ini disistematisasikan dan dinarasikan sebagai bahan yang memfasilitasi terjadinya perenungan dan pembangkitan kesadaran kritis para teoritisi maupun praktisi lapangan. Sebagai suatu refleksi, tulisan ini tidak berpretensi menjadi acuan teoretik mengenai teori perubahan sosial. Tulisan ini ditulis karena didorong oleh keinginan untuk membuka ruang dialog kritik ideologi terhadap proses dan teori perubahan sosial, bukan ditulis dari hasil studi akademik dari kalangan universitas, melainkan lebih banyak refleksi dari aksi dan dialog yang panjang dari bahan bacaan yang diperoleh secara tidak sistematik maupun hasil refleksi dari keterlibatan dengan berbagai program bersama rakyat di akar rumput di dunia selatan.

Meskipun demikian, tulisan ini memang tidak dimaksud untuk memberikan uraian teoretik tentang teori perubahan sosial dan pembangunan. Akan tetapi, lebih didasarkan pada refleksi terhadap pengalaman dan pengamatan penulis serta sejumlah aktivis pergerakan sosial di Indonesia, untuk merefleksikan kaitan teori-teori perubahan sosial dan praktik lapangan program-program pemberdayaan mayarakat serta dorongan untuk menghentikan kecenderungan ketimpangan dalam dunia teori sosial dalam pengertian semakin kuatnya monopoli informasi dan pengetahuan oleh kalangan akademisi elitis, yakni mereka yang mempunyai kesempatan luas untuk membaca, membahas, dan mendiskusikan paradigma dan berbagai teori pembangunan di dalam lingkungan universitas, sementara mereka yang bekerja di masyarakat, yakni aktivis sosial dan organisasi sosial kemasyarakatan yang terjun ke masyarakat untuk melakukan aksi sosial, tetapi tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari berbagai teori tersebut di universitas. Dengan demikian, tulisan ini ditulis dengan keinginan ganda. Selain menyediakan bahan bacaan untuk khalayak umum dan aktivis lapangan tentang paradigma dan teori pembangunan, juga didorong oleh suatu semangat untuk merobohkan anggapan bahwa urusan ideologi, paradigma, dan teori perubahan sosial hanya patut dan khusus dibaca, dipahami, dan dikontrol oleh kalangan akademisi dan birokrasi, dan tabu untuk dibaca oleh kalangan masyarakat biasa. Dengan kata lain, tulisan ini melakukan demistifikasi terhadap bahan kajian ilmiah untuk menjembatani jarak antara para aktivis lapangan dan berbagai paradigma dan teori ilmu sosial di univeritas.

1 Sebuah pengantar diadaptasi dan diulas kembali dari, Mansour Faqih, Sesat Pikir Teori

Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Insist Press, Cet. I., 2001) h. 1-16.

Page 5: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

5

Selain itu, semangat penulisan tulisan ini juga didorong oleh adanya gejala timbulnya kerancuan teoretik dan paradigmatik dari banyak aktivis lapangan. Yang dimaksudkan dengan kerancuan teoretik ini adalah persoalan yang dihadapi oleh mereka yang bekerja untuk melakukan perubahan sosial di lapangan, yakni para pekerja sosial masyarakat, baik kalangan aktivis lapangan ornop maupun tokoh keagamaan, yang tanpa disadari telah menggunakan dasar teoretik dan visi ideologis mengenai suatu perubahan sosial yang menjadi landasan dan aktivitas praktis sehari-hari, tetapi sesungguhnya hakekat teori yang sedang dipraktikkannya tersebut secara teoretik bertolak belakang dengan tujuan yang mereka cita-citakan. Dengan demikian, tuntutan akan perlunya pemahaman mengenai paradigma dan berbagai teori perubahan sosial yang mereka jadikan pijakan untuk mengidentifikasi, memahami, dan menangani masalah-masalah kemasyarakatan semakin meningkat. Lemahnya visi ideologi dan teori mengenai perubahan sosial ini juga mempengaruhi metodologi yang diterapkan, seperti bagaimana banyak organisasi sosial menempatkan masyarakat sebagai obyek, padahal sementara itu bercita-cita melakukan pemberdayaan masyarakat. Demikian halnya dalam merencanakan, menyusun, dan menetapkan program pengembangan masyarakat, maupun dalam mengevaluasi kegiatan tersebut. Kegiatannya banyak mencerminkan anti-pemberdayaan masyarakat. Ketidakjelasan visi dan teori ini tidak saja telah melahirkan inkonsistensi antara cita-cita dan teori yang digunakan, tetapi juga telah berakibat menghambat peran atau partisipasi masyarakat dalam perubahan sosial, yakni peranan masyarakat sipil (civil society) sebagai pelaku sejarah utama dalam upaya demokratisasi ekonomi, politik, budaya, gender, serta aspek sosial lainnya.

Gejala kerancuan teoretik ini terlihat dalam bagaimana para aktivis sosial di lapangan mendefinisikan masalah kemasyarakatan dan memandang teori 'mainstream' perubahan sosial pembangunan dewasa ini. Namun demikian, sesungguhnya di kalangan aktivis sosial telah timbul kesadaran akan perlunya secara kritis mempertanyakan kembali paradigma, teori, serta implikasinya terhadap metodologi dan teknik lapangan. Kegairahan di kalangan aktivis sosial untuk memahami berbagai teori politik ekonomi dan perubahan sosial dalam pendidikan politik dan advokasi mendorong penulis untuk segera merampungkan tulisan teori perubahan sosial ini.

Namun demikian, secara garis besar motivasi utama penyusunan tulisan ini didorong untuk memenuhi kebutuhan bacaan teoretis dan memfasilitasi perdebatan teoretik bagi mereka yang bekerja di lapangan. Secara umum tulisan ini merupakan pengkajian teoretis dan mendasar, membahas kerangka ideologi, paradigma, dan teori tentang perubahan sosial, yang diharapkan mampu memacu pembaca untuk merefleksikan kegiatan lapangan mereka dengan berbagai ideologi dan aliran teori perubahan sosial. Selain itu tulisan ini juga merupakan refleksi kritik terhadap posisi teoretik berbagai teori yang dominan tentang perubahan sosial dan pembangunan. Kritik ini diharapkan akan memberikan bekal teoretik bagi pembaca, khususnya yang terlibat dalam proses perubahan sosial dan yang sedang memikirkan paradigma alternatif perubahan sosial. Terakhir, secara khusus tulisan ini disajikan bagi aktivis lapangan untuk mendorong mereka melakukan refleksi dan dialog tentang berbagai teori per-ubahan sosial sebagai bagian dari aktivitas lapangan sehari-hari.

Page 6: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

6

Sebuah Refleksi Teoretik bagi Aktivis Sosial Maksud terutama penyusunan tulisan ini adalah dalam rangka

memfasilitasi para praktisi untuk melakukan refleksi terhadap aksi yang selama ini mereka lakukan di tingkat akar rumput. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa seorang aktivis lapangan atau praktisi perubahan sosial dalam memperjuangkan "social justice", politik dan ekonomi yang demokratis, serta pengembangan masyarakat menuju masyarakat adil sejahtera sangat membutuhkan teori sebagai acuan, refleksi, maupun motivasi. Tugas utama suatu teori sosial pada dasarnya tidak sekedar memberi makna terhadap suatu realitas sosial sehingga memungkinkan lahimya kesadaran dan pemahaman terhadap suatu realitas sosial. Akan tetapi, teori sosial juga bertugas untuk "mengubah realitas sosial" yang dianggapnya bermasalah dan tidak adil sehingga sampai sekarang masalah tersebut masih diperdebatkan. Tanpa disadari setiap pekerja dan aktivis sosial seperti guru, akivis sosial, wartawan, dan pemimpin agama terlibat dalam pertarungan teoretis secara nyata. Pertarungan tersebut berupa penerapan teori dalam kegiatan mereka sehari-hari dan tanpa disadari teori sosial juga memiliki dimensi penerapan. Dengan demikian, penulis berpendirian bahwa tugas ilmu sosial tidak sekedar mencoba memahami suatu realitas sosial, tetapi juga mengubahnya.

Berbagai teori sosial, ekonomi, politik, dan budaya lahir tidak saja dalam rangka pertarungan memberi makna terhadap suatu realitas sosial, tetapi juga berimplikasi pada perubahan sosial karena pada dasamya perubahan sosial dibangun di atas pemahaman teoretik dan suatu teori sangat berpengaruh dalam membentuk suatu program aksi di lapangan. Meskipun pada realitas sosial yang sama, dua teori selalu memberi makna berbeda atau bahkan bertolak belakang dan akibatnya akan membawa perubahan sosial secara berbeda pula. Misalnya saja dalam melihat hubungan 'buruh-majikan' satu teori melihatnya sebagai hubungan yang 'saling menguntungkan', tetapi teori lain justru menganggapnya sebagai hubungan eksploitasi. Atas asumsi teoretik ini, bagaimana suatu perubahan hubungan masa depan antara buruh dan majikan akan diproyeksikan. "Rekayasa sosial" yang oleh satu teori dianggap sebagai keharusan pendekatan, tetapi oleh teori lain justru dianggap sebagai suatu bentuk dominasi dan 'penindasan' dari ilmuwan sosial terhadap masyarakat. Perbedaan asumsi tersebut tidak saja mempengaruhi berbagai metode penelitian dan pendidikan sosial, tetapi juga membawa perbedaan visi dan orientasi hubungan antara ilmuwan sosial dan masyarakat dalam proses perubahan sosial. Dengan demikian, teori sosial membantu aktivis lapangan ataupun pekerja sosial untuk menyadari apa yang mereka lakukan serta kemana dan model apa suatu perubahan sosial akan dituju. Tanpa pemahaman akan teori ilmu sosial, dalam menjalankan program sosial ekonomi di masyarakat, seorang aktivis tidak saja bekerja tanpa visi dan orientasi, tetapi juga bisa melakukan kegiatan yang sesungguhnya bertentangan dengan keyakinannya. Seorang aktivis sosial akan selalu dihadapkan pada pilihan untuk memihak antara status quo dan perubahan; antara pertumbuhan dan keadilan; antara rekayasa sosial dan partisipasi, antara tirani dan demokrasi, dan seterusnya. Dalam kaitan itulah teori sangat membantu memahami relasi sosial secara kritis.

Dalam praktik lapangan, dewasa ini terdapat dua paham teori sosial yang kontradiktif yang melibatkan setiap pekerja sosial, yakni antara teori-teori sosial yang digolongkan pada "teori sosial regulasi" berhadapan dengan teori-teori sosial emansipatori atau juga yang dikenal dengan kritis. Teori sosial

Page 7: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

7

regulasi yang bersemboyan bahwa ilmu sosial harus mengabdi pada stabilitas, pertumbuhan, dan pembangunan, bersifat objektif serta secara politik netral dan bebas nilai. Dalam pandangan ini teori sosial dikontrol oleh teorisi sedangkan masyarakat dilihat hanya sebagai obyek pembangunan mereka. Pandangan teori sosial ini berhasil memunculkan kaidah 'rekayasa sosial' yang menempatkan masyarakat sebagai obyek para ahli, direncanakan, diarahkan, dan dibina untuk berpartisipasi menurut selera yang mengontrol. Teori sosial telah menciptakan birokrasinya: di mana teoretisi memiliki otoritas kebenaran untuk mengarahkan praktisi dan masyarakat. Dalam hubungan ini aktivis sosial lapangan dan masyarakat hanya diletakkan sebagai pekerja sosial tanpa kesadaran ideologis dan teoretis secara kritis.

Sementara itu, bagi aliran kritis tugas ilmu sosial justru melakukan penyadaran kritis masyarakat terhadap sistem dan struktur sosial 'dehumanisasi' yang membunuh kemanusiaan. Gramsci menyebut proses ini sebagaj upaya counter hegemoni. Proses dehumanisasi tersebut terselenggara melalui meka-nisme kekerasan, baik yang fisik dan dipaksakan, maupun melalui cara penjinakan yang halus, yang keduanya bersifat struktural dan sistemik. Artinya, kekerasan dehumanisasi tidak selalu berbentuk jelas dan mudah dikenali. Kemiskinan struktural misalnya, pada dasarnya adalah suatu bentuk kekerasan yang memerlukan analisis untuk menyadarinya. Bahkan, kekerasan sebagian besar terselenggara melalui proses hegemoni, yakni cara pandang, cara berpikir, ideologi, kebudayaan, bahkan 'selera' golongan yang mendominasi telah dipengaruhkan dan diterima oleh golongan yang di dominasi. Dengan begitu kegiatan sosial bukanlah arena netral dan apolitik. Kegiatan sosial tidaklah berada dalam ruang dan masa yang steril, tetapi merupakan kegiatan politik menghadapi sistem dan struktur yang bersifat hegemonik.

Bagi paham kritis, dalam dunia yang secara struktural tidak adil, ilmu sosial yang bertindak tidak memihak, netral, objektif, serta berjarak atau detachment adalah suatu bentuk sikap ketidakadilan tersendiri, atau paling tidak ikut melanggengkan ketidakadilan. Paham ini menolak objektivitas dan netralitas ilmu sosial dengan menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh dan tidak mungkin pernah netral. Oleh karena itu, teori sosial haruslah subjektif, memihak dan penuh atau sarat dengan nilai-nilai demi kepentingan politik dan ekonomi golongan tertentu. Teori ilmu-ilmu sosial, termasuk juga paham kebudayaan dan pandangan keagamaan dalam paradigma kritis ini selalu memihak dan mengabdi demi kepentingan tertentu. Masalahnya, kepada golongan yang mana suatu teori sosial harus mengabdi. Itulah makanya, dalam pandangan ini, teori sosial dan praktik pengabdian masyarakat yang netral dan objektif, sementara masyarakat berada pada suatu sistem dan struktur sosial yang tidak adil dan dalam proses 'dehumanisasi', ilmuwan dan pekerja sosial dianggap menjadi tak bermoral karena ikut melanggengkan ketidakadilan.

Sesungguhnya sudah cukup lama diperdebatkan mengenai masalah objektivitas, hakikat, dan tugas ilmu sosial. Apakah teori sosial dan aktivis sosial harus netral, tidak memihak, ataukah harus mengabdi demi kepentingan tertentu seperti golongan lemah. Namun, dalam perspektif teori sosial kritis, ilmu sosial tidaklah sekedar diabdikan demi kepentingan golongan lemah dan tertindas, tetapi lebih mendasar daripada itu, teori sosial haruslah berperan dalam proses pembangkitan kesadaran kritis, baik yang tertindas maupun yang menindas, terhadap sistem dan struktur sosial yang tidak adil. Teori sosial harus mengabdi pada proses transformasi sosial yakni terciptanya hubungan (struktur) yang baru

Page 8: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

8

dan lebih baik. Dengan kata lain, dalam prespektif teori sosial kritis, ilmu sosial tidaklah sekedar memihak kepada yang tertindas dan yang termarjinalisasi belaka, tetapi lebih berusaha menciptakan ruang yang akan menumbuhkan kesadaran, baik bagi golongan menindas dan yang tertindas untuk menyadari bahwa mereka telah berada dalam sistem sosial yang tidak adil. Teori sosial harus membangkitkan kesadaran kritis. baik bagi yang mendominasi maupun yang didominasi, untuk perubahan menuju terciptanya suatu hubungan (struktur) dan sistem sosial yang secara mendasar lebih baik, yakni suatu sistem masyarakat tanpa eksploitasi, tanpa penindasan, tanpa diskriminasi, dan tanpa kekerasan. Dengan demikian, tugas teori sosial adalah memanusiakan kembali manusia yang telah lama mengalami dehumanisasi, baik yang menindas maupun yang ditindas. Teori Perubahan Sosial dan Teori Pembangunan: Suatu Penjelasan

Umumnya orang beranggapan bahwa pembangunan adalah kata benda netral yang maksudnya adalah suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan proses dan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, infra-struktur masyarakat, dan sebagainya. Dengan pemahaman seperti itu, 'pembangunan' disejajarkan dengan kata "perubahan sosial". Bagi penganut pandangan ini konsep pembangunan adalah berdiri sendiri sehingga membutuhkan keterangan lain, seperti, pembangunan model kapitalisme, pembangunan model sosialisme, ataupun pembangunan model Indonesia, dan seterusnya. Dalam pengertian seperti ini teori pembangunan berarti teori sosial ekonomi yang sangat umum. Pandangan ini menjadi pandangan yang menguasai hampir setiap diskursus mengenai perubahan sosial.

Sementara itu, di lain pihak terdapat suatu pandangan lebih minoritas yang berangkat dari asumsi bahwa kata 'pembangunan' itu sendiri adalah sebuah discourse, suatu pendirian, atau suatu paham, bahkan merupakan suatu ideologi dan teori tertentu tentang perubahan sosial. Dalam pandangan yang disebut terakhir ini konsep pembangunan sendiri bukanlah kata yang bersifat netral, melainkan suatu "aliran" dan keyakinan ideologis dan teoretis serta praktik mengenai perubahan sosial. Dengan demikian, dalam pengertian yang kedua ini pembangunan tidak diartikan sebagai kata benda belaka, tetapi sebagai aliran dari suatu teori perubahan sosial. Bersamaan dengan teori pembangunan terdapat teori-teori perubahan sosial lainnya seperti sosialisme, dependensia, ataupun teori lain. Oleh karena itulah banyak orang menamakan teori pembangunan sebagai pembangunanisme (developmentalism). Dengan demikian pengertian seperi ini menolak teori-teori, seperti teori pembangunan berbasis rakyat, atau teori integrated rural development, atau bahkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan merupakan alternatif dari pembangunanisme, melainkan variasi-variasi lain dari ideologi pembangunanisme.

Oleh karena itu, tulisan ini pada dasarnya lebih memfokuskan pembahasan mengenai seluk-beluk paradigma dan teori perubahan sosial, yakni teori tentang bagaimana suatu masyarakat berubah serta dinamika dan proses sekitar perubahan tersebut. Dengan demikian, teori dan kritik terhadap pem-bangunan yang banyak dibahas dalam tulisan ini nanti, dalam hubungan ini dipahami dan diletakkan sebagai salah satu ideologi dan teori serta salah satu bentuk dari teori perubahan sosial. Dengan kata lain, salah satu dari teori perubahan sosial yang akan dibahas adalah teori pembangunan. Sebagai salah

Page 9: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

9

satu dari berbagai teori perubahan sosial, teori pembangunan, dewasa ini telah menjadi mainstream dan teori yang paling dominan mengenai perubahan sosial. Pembangunan sebagai salah satu teori perubahan sosial adalah fenomena yang luar biasa, karena sebuah gagasan dan teori begitu mendominasi dan mempengaruhi pikiran umat manusia secara global, terutama di bagian dunia yang disebut sebagai "dunia ketiga". Gagasan dan teori pembangunan, bagi banyak orang bahkan mirip 'agama baru' yakni menjanjikan harapan baru untuk memecahkan masalah-masalah kemiskinan dan keterbelakangan bagi berjuta-juta rakyat di dunia ketiga.

Istilah pembangunan atau development tersebut kini telah menyebar dan digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini oleh rakyat di hampir semua negara, khususnya dunia ketiga, dengan setelah diterjemahkannya ke dalam bahasa dengan menggunakan kata yang sesuai dengan bahasa lokal di masing-masing negara. Di negara-negara Amerika Latin, misalnya, kata ini disamakan dengan kata dessarollo. Bahkan, di negara yang belum memiliki bahasa nasional seperti Filipina, misalnya, kata yang digunakan untuk me-lokalkan 'development' adalah dalam tiga bahasa daerah utama, yakni pang-unlad untuk bahasa Tagalok, sedang dalam bahasa Ilongo adalah Pag-uswag, dan dalam bahasa Ilocano menjadi progreso. Di Indonesia, kata development diterjemahkan dengan 'pembangunan'.

Kata 'pembangunan' menjadi diskursus yang dominan di Indonesia erat kaitannya dengan munculnya pemerintahan orde baru. Selain sebagai semboyan mereka, kata 'pembangunan' juga menjadi nama bagi pemerintahan orde baru, hal itu bisa dilihat bahwa nama kabinet sejak pemerintahan orde baru selalu dikaitkan dengan kata 'pembangunan', meskipun kata 'pembangunan' sesungguhnya telah dikenal dan digunakan sejak masa orde lama. Kata pembangunan dalam konteks orde baru, sangat erat kaitannya dengan discourse-development yang dikembangkan oleh negara negara Barat. Uraian berikut mencoba melakukan penyelidikan secara kritis terhadap discourse development, yang menjadi sumber dari diskursus 'pembangunan' di Indonesia. Oleh karena itu, perhatian uraian ini tidaklah mengusahakan tinjauan dari segi bahasa, tetapi mencoba menstudi politik ekonomi dalam permulaan discourse development, dan bagaimana development disebar-serapkan ke dunia ketiga, serta hubungannya dengan diskursus 'pembangunan' di Indonesia sejak pemerintahan militer orde baru, yakni suatu pemerintahan militer selama 32 tahun, yakni sejak militer Indonesia mengambil alih kekuasaan Presiden Sukarno tahun 1967 hingga kejatuhan rezim militer ini oleh suatu revolusi sosial tahun 1998.

Namun, jika dilihat secara lebih mendalam dari pengertian dasarnya, pembangunan merupakan suatu istilah yang dipakai dalam bermacam-macam konteks, dan seringkali digunakan dalam konotasi politik dan ideologi tertentu. Ada banyak kata yang mempunyai persamaan makna dengan kata pembangunan, misalnya perubahan sosial, pertumbuhan, progres, dan modernisasi. Dari kata-kata tersebut hanya istilah perubahan sosial yang memberi makna perubahan ke arah lebih positif. Oleh karena makna pembangunan bergantung pada konteks siapa yang menggunakannya dan untuk kepentingan apa, uraian mengenai pengertian pembangunan akan dilihat dari konteks sejarah bagaimana istilah tersebut dikembangkan.

Page 10: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

10

Pertanyaan dasarnya adalah apakah konsep "pembangunan" itu adalah suatu kategori tersendiri, atau jenis dari suatu yeng lebih besar. Dalam tulisan ini penulis meletakkan pembangunan sebagai suatu teori dibawah payung teori perubahan sosial. Dengan kata lain, salah satu bahasan dalam ilmu-ilmu sosial adalah masalah perubahan sosial. Banyak teori dan dimensi pendekatan perubahan sosial, di antaranya: dimensi evolusi dan revolusi sosialistik dan kapitalistik, dan dimensi-dimensi lainnya. Salah satu teori perubahan sosial tersebut adalah teori pembangunan. Lambat-laun, pembangunan sebagai teori berubah dan menjadi suatu pendekatan dan ideologi, bahkan menjadi suatu paradigma dalam perubahan sosial. Selama orde baru, bahkan pembangunan oleh para birokrat dan akademisi diperlakukan lebih dari sekedar teori perubahan sosial. Selain berhasil menjadi ideologi orde baru, pembangunan juga dinamakan kabinet selama kekuasaan orde baru dibawah presiden Suharto. PARADIGMA DAN PERANNYA DALAM MEMBENTUK TEORI PERUBAHAN SOSIAL2 Prawacana

Sebelum dibahas lebih lanjut pada bagian-bagian berikutnya mengenai berbagai aliran ideologi dan keyakinan serta teori tentang perubahan sosial dan kritik pembangunan, maka terlebih dahulu dalam bagian ini diuraikan dan dijelas-kan mengenai apa latar belakang yang mempengaruhi terbentuknya teori-teori tersebut. Salah satu dari banyak hal yang sangat mempengaruhi dan membentuk suatu teori adalah apa yang dikenal dengan istilah paradigma (paradigm). Untuk itu uraian pada bagian kedua buku ini akan memfokuskan pembahasan untuk memahami apa yang sesungguhnya dimaksud dengan paradigma, mengapa dan bagaimana suatu paradigma terbentuk, serta apa pengaruh paradigma terhadap terbentuknya teori-teori perubahan sosial dan praktik pembangunan. Pembahasan mengenai masalah paradigma ini perlu dilakukan mengingat pentingnya paradigma dalam membentuk dan mempengaruhi teori maupun analisis seseorang. Pada dasarnya tidak ada suatu pandangan atau teori sosial pun yang bersifat netral dan objektif, melainkan salah satunya bergantung pada paradigma yang dipergunakan. Namun, sebelum melangkah lebih lanjut, uraian ini akan dimulai dengan menjawab pertanyaan dasar apa sesungguhnya yang dimaksud dengan paradigma itu?

Paradigma secara sederhana dapat diartikan bagai kacamata atau alat pandang. Namun, pengertian yang lebih akademis dapat dipahami dari beberapa pemikiran yang akan diuraikan berikut. Pada dasarnya, istilah paradigma menjadi sangat terkenal justru setelah Thomas Khun menulis karyanya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution. Dalam buku itu Khun menjelaskan tentang model bagaimana suatu aliran teori ilmu lahir dan berkembang menurutnya disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma, di mana suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang lain. Paradigma diartikan sebagai satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Berkembangnya suatu paradigma erat kaitannya dengan seberapa jauh suatu paradigma mampu melakukan konsolidasi dan mendapat dukungan dari berbagai usaha seperti penelitian, penerbitan, pengembangan, dan penerapan kurikulum oleh masyarakat ilmiah pendukungnya. Oleh karena itu, untuk memahami berkembang maupun runtuhnya suatu teori perubahan

2 Mansour Faqih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Insist Press, Cet. I., 2001) h. 17-43.

Page 11: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

11

sosial dan pembangunan erat kaitannya dengan persoalan yang dihadapi oleh paradigma masing-masing yang menjadi landasan teori tersebut.

Selain Khun, peneliti pemikir lain seperti Patton (1975) juga memberikan pengertian paradigma yang tidak jauh dengan apa yang didefinisikan oleh Khun, yakni sebagai "a world view, a general perspective, a way of breaking down the complexity of the real world"3 Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud paradigma adalah konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, selain dipergunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran. Konstelasi ini dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan kerangka konsepsi dalam memberi makna realitas sosial.4 Paradigma merupakan tempat kita berpijak dalam melihat suatu realitas. Justru kekuatan sebuah paradigma terletak pada kemampuannya membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat sesuatu, apa yang kita anggap masalah, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta apa metode yang kita gunakan dalam meneliti dan berbuat. Paradigma, sebaliknya, mempengaruhi apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin kita ketahui.5 Oleh karena itu, jika ada dua orang melihat suatu realitas sosial yang sama, atau membaca ayat dari sebuah kitab suci yang sama, akan menghasilkan pandangan berbeda, menjatuhkan penilaian dan sikap yang berbeda pula. Paradigma pulalah yang akan mempengaruhi pandangan seseorang tentang apa yang "adil dan yang tidak adil", bahkan paradigma mempengaruhi pandangan seseorang ataupun teori tentang baik buruknya suatu program kegiatan. Misalnya saja hubungan lelaki prempuan pada suatu masyarakat, atau hubungan antara majikan dan buruh, oleh suatu paradigma pemikiran disebutkan sebagai "harmonis saling membantu" dan tidak ada masalah, oleh paradigma yang lain, akan dilihat sebagai hubungan hegemonik, dominasi gender ataupun bahkan dianggap eksploitatif. Dalam hal perbedaan paradigma seperti itu, tidak relevan membicarakan siapa yang salah dan siapa yang benar, karena masing-masing menggunakan alasan, nilai, semangat, dan visi yang berbeda tentang fenomena tersebut.

Oleh karena itu, dominasi suatu paradigma terhadap paradigma yang lain sesungguhnya bukanlah karena urusan "salah atau benar, yakni yang benar akan memenangkan paradigma yang lain. Ritzer (1975) mengungkapkan bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma yang lain lebih disebabkan karena para pendukung paradigma yang menang ini lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan (power) dari pengikut paradigma yang dikalahkan, dan sekali lagi bukan karena paradigma yang menang tersebut lebih benar atau 'lebih baik dari yang dikalahkan".6 Demikian halnya dalam memahami dipilihnya atau diterapkannya suatu aliran teori perubahan sosial maupun pembangunan juga erat kaitannya dengan kekuasaan penganut paradigma perubahan sosial yang bersangkutan untuk memenangkannya. Dengan demikian, dominasi atau

3 Lihat: Michael Quin Patton, Alternative Evaluation Research Paradigm. Grand Forks:

University North Dakota, 1970. 4 Definisi ini meminjam uraian Popkewitz. Lihat Popkewitz, Thomas. Paradigm and Ideology

in Educational Research. New York: Palmer Press, 1984. 5 Thomas Khun (1970) dikenal orang pertama yang membuat terkenal istilah paradigma. Ia

tertarik pada perkembangan dan revolusi ilmu pengetahuan, dengan menganalisis hubungan antara berbagai paradigma dan penelitian ilmiah. Untuk uraian mengenai paradigma lihat: Thomas Kuhn. The Structures of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press, 1970.

6 Lihat Ritzer, "Sociology: A Multiple Paradigm Science" dalam Jumal The American Sociologist No. 10, 1975. hal: 156-157.

Page 12: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

12

berkuasanya suatu teori perubahan sosial ataupun teori pembangunan, adalah lebih karena teori tersebut yang merupakan hasil atau dibentuk oleh suatu paradigma tertentu, ada kaitannya dengan kekuatan dan kekuasaan bagi penganut teori tersebut, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kebenaran teori tersebut. Lantas pertanyaannya mengapa dan bagaimana kita harus memilih satu paradigma atau teori perubahan sosial tertentu?

Meskipun penjelasan Kuhn sangat bermanfaat untuk memahami bagaimana paradigma mempengaruhi terciptanya teori, tetapi penjelasan Kuhn tentang proses pergantian paradigma menurutnya berjalan secara revolusioner. Dengan kata lain, bergantinya suatu paradigma melalui pergantian, paradigma lama mati dan diganti oleh paradigma baru. Penjelasan mengenai pergantian paradigma ini sudah banyak dibantah orang. Dalam kenyataannya telah terjadi berbagai fenomena yang tidak dibayangkan oleh Kuhn dalam teorinya. Pertama telah terjadi pluralitas dan konvergensi teori. Kuhn berpendapat bahwa paradigma akan selalu menggantikan posisi paradigma lama, dan jika tidak, para ilmuwan tidak memiliki kerangka kerja yang mapan. Dalam ilmu alam, pandangan seperti ini memang terjadi. Namun, dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial menunjukkan kecenderungan semakin menguatnya pertikaian antar paradigma, atau bahkan terjadi dialog antara dua paradigma atau lebih pada era yang sama. Bahkan, proses teori pada dasarnya adalah terjadinya saling dialog antar teori dan proses kemampuan teori untuk menyesuaikan diri. Marxisme, misalnya, telah berkembang setelah berdialog dengan semakin canggihnya kapitalisme. Sebaliknya, terjadi penguatan gejala dimana teori-teori sosial yang bersandar pada keyakinan kapitalisme berkembang ke arah penyesuaian diri terhadap kritik. Dalam perkembangan Marxisme, misalnya, perkembangan dan kritik interen terhadap praktik perkembangannya, hal ini menghasilkan masuknya analisis hegemoni kultur dan ideologi dalam Marxisme, sesuatu yang membuat analisis Marxisme saat ini telah bergeser dari pikiran Marx pertama kali yang lebih memfokuskan pada analisis ekonomi. Demikian halnya maraknya perkembangan teologi pembebasan (liberation theology) di Amerika Latin dan tempat-tempat lain adalah suatu adaptasi akibat dari suatu dialog paradigma. Demikian halnya, perkembangan paham dan teori kapitalisme dalam perkembangannya hingga seperti saat ini justru belajar dan mendapat keuntungan dari kritik yang dilakukan oleh teori Marxisme. Kapitalisme sesungguhnya banyak belajar dan menyesuaikan diri karena mendapat kritikan dari Marxisme.

Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apa manfaat dan sikap yang diperlukan dalam memahami paradigma sosial. Pada dasarnya memahami paradigma dan teori perubahan sosial seharusnya tidak sekedar untuk mempelajari dan memahaminya. Suatu teori ataupun paradigma dipelajari dan dipahami dalam rangka menegakkan komitmen untuk suatu proses emansipasi, keadilan sosial dan transformasi sosial. Persoalan pilihan terhadap pardigma dan teori perubahan sosial maupun teori pembangunan pada dasarnya bukanlah karena alasan benar dan salahnya teori tersebut, pilihan suatu teori lebih karena dikaitkan dengan persoalan mana teori yang akan berakibat pada penciptaan emansipasi dan penciptaan hubungan-hubungan dan struktur yang secara mendasar lebih baik. Oleh karena itu, memilih paradigma dan teori perubahan sosial adalah suatu pemihakan dan berdasarkan nilai-nilai tertentu yang dianut. Pertanyaan yang penting diajukan di sini adalah siapa dan dengan tujuan apa sesungguhnya kegiatan dan aksi kita diabdikan? Masalah siapa yang ingin kita

Page 13: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

13

pecahkan melalui aksi dan program kegiatan kita? Jadi, masalahnya bukanlah apakah kita harus memihak, karena pemihakan adalah mustahil untuk dapat dihindarkan bagi semua teori perubahan sosial dan teori pembangunan, tetapi masalahnya adalah kepada siapa atau kepada apa pemihakan tersebut diabdikan.7 Untuk menjawab persoalan ini, diperlukan pemahaman paradigma sosiologi yang menjadi kacamata dan dasar bertindak dibalik setiap teori perubahan sosial maupun pembangunan.

Paradigma-paradigma Ilmu-ilmu Sosial

Untuk memberikan bingkai bagaimana memahami teori perubahan sosial, termasuk di dalamnya teori pembangunan, kita perlu mengenal peta paradigma dalam ilmu sosial. Ada beberapa peta pendekatan yang telah dihasilkan oleh para ahli ilmu sosial. Dalam rangka itu, berikut diuraikan beberapa model paradigma dalam melihat masalah sosial. Pertama adalah model pemetaan paradigma sosial yang diuraikan oleh salah seorang penganut mazhab Frankfurt, terutama Jurgen Habermas. Model pembagian paradigma kedua adalah dengan mengikuti tokoh pemikir pendidikan kritis asal Brazil, Paulo Freire. Sedangkan model ketiga adalah peta paradigma sosiologi yang dibuat oleh Barnel dan Morgan (1979). Ilmu Sosial Paradigma Dominatif Lawan Emansipatoris

Meminjam analisis Habermas yang secara sederhana membagi paradigma ilmu-ilmu sosial menjadi tiga paradigma, dapat digunakan untuk memahami suatu sudut perbedaan paradigma dalam ilmu-ilmu sosial. Habermas pada dasarnya membagi paradigma ilmu sosial dalam pembagian yang secara sederhana dapat dipahami sebagai berikut. Menurutnya ilmu sosial dapat dibedakan menjadi tiga paradigma yang dapat secara sederhana diuraikan sebagai berikut;

Pertama, yang disebutnya sebagai instrumental knowledge. Dalam perspektif paradigma 'instrumental' ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi objeknya. Yang dimaksud Habermas dengan paradigma pengetahuan instrumental ini sesungguhnya adalah paradigma positivisme. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode, dan teknik ilmu alam dalam memahami realitas. Positivisme adalah aliran filsafat yang berakar pada tradisi ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi, melalui metode determinasi, fixed law atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan sifat universal, artinya cocok atau appropriate untuk semua, kapan saja, di mana saja suatu fenomena sosial. Oleh karena itu, mereka percaya babwa riset sosial harus didekati dengan metode ilmiah, yakni obyektivitas, netral, dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat universal, prosedur harus dikuantifikasi dan diverifikasi dengan metode scientific atau ilmiah. Dengan kata lain, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan nilai (values) dalam rangka menuju pemahaman objektif atas realitas sosial.

Sebutan "kaum positivist" berkesan sentimen dan merupakan diskursus yang di dalamnya memuat suatu strategi daripada mengacu pada pengertian

7 Pertanyaan ini kami adaptasi dan pinjam dari Becker, yang membahas tentang pilihan-pilihan dalam paradigma dan teori penelitian. Lihat tulisan Becker, "Whose side are we on? dalam buku yang di edit oleh W.J. Fisltead (Ed.). Qualitative Methodology Chicago: Markham, 1970.

Page 14: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

14

bahasa yang mendalam dan bermanfaat untuk menjelaskan kata positif lawan yang negatif dari konsep itu. Istilah itu digunakan untuk mengacu pada suatu sikap dan pendirian epistemologis tertentu. Positivisme sering dicampur-adukkan dengan 'empirisme' sehingga membuat rancu beberapa pengertian pokoknya. Pendirian epistemologis kaum positivis kalau ditelaah lebih dalam didasarkan pada pendekatan yang digunakan dalam "ilmu alam," atau dengan kata lain, lebih jelas dapat dikatakan bahwa ilmu sosial positivistik, pada dasamya meminjam cara, metodologi, sikap dan visi bagaimana ilmu alam menghadapi objek studi mereka yakni benda dan fenomena alam. Perbedaan utamanya terletak pada istilah yang digunakan dan objek yang dihadapi. Dalam ilmu alam objeknya adalah benda dan fenomena alam, sedangkan positivisme memberlakukan masyarakat atau manusia seperti ilmu alam memperlakukan benda dan fenomen alam. Tatanan sosial dapat dibuktikan kebenarannya melalui penelitian eksperimental, atau laboratorium, meskipun sering terjadi hipotesis keliru yang tak pernah dapat dibuktikan kebenarannya. Kaum verifikasionis (membuktikan kebenaran, dan falsifikasionis (membuktikan kekeliruan) hipotesis tentang tatanan sosial, sependapat bahwa pengetahuan hakikatnya merupakan proses akumulasi di mana pemahaman baru diperoleh sebagai tambahan atas kumpuIan pengetahuan atau penghapusan atas hipotesis salah yang pernah ada.

Dengan pendekatan seperti itu, ilmu sosial dengan paradigma positivisme lebih mensyaratkan sikap-sikap tertentu yang tercermin dalam metodologi dan teknik kajian mereka. Di antara banyak sikap yang kemudian disebutkan sebagai sikap "ilmiah" tersebut adalah bahwa ilmu sosial dan peneliti-an sosial haruslah bersikap netral dan tidak memihak. Selain itu, ilmu sosial bagi paradigma positivisme juga tidak boleh bersifat subjektif, melainkan harus objektif, rasional, tidak boleh emosional, komitmen dan empati. Ilmu sosial juga harus mampu menjaga jarak (detachment) terhadap objek studi dan hasil kajian, bersikap universal, dapat diterapkan di mana saja dan kapan saja.

Untuk memahami lebih lanjut pendirian paradigma positivisme, kita dapat memahaminya melalui pendirian teori-teori anti-positivisme. Meskipun epistemologis kaum antipositivis beragam jenisnya, semuanya tidak menerima berlakunya kaidah-kaidah universalitas, bahwa yang terjadi pada suatu tatanan sosial tertentu tidak secara serta merta akan berlaku pada semua tatanan atau peristiwa sosial. Realitas sosial adalah nisbi, hanya dapat dipahami dari pandangan orang per orang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial tertentu. Mereka menolak kedudukan sebagai 'peneliti dan pengamat' atau pengembang masyarakat ahli luar seperti layaknya kedudukan kaum positivis. Seorang hanya bisa "mengerti" dengan 'memasuki' kerangka pikir orang yang terlibat langsung atau diri mereka sendiri sebagai peserta atau pelaku dalam tindakan. Seseorang hanya mengerti dari sisi dalam, bukan dari luar realitas sosial, betapa pun ahlinya karena ilmu sosial bersifat subjektif, dan menolak anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat ditemukan sebagai pengetahuan objektif.

Kalau kita pelajari secara mendalam, sesungguhnya ada dua tradisi pemikiran besar yang mewamai perkembangan ilmu dan analisis sosial selama lebih dari dua ratus tahun terakhir, yakni pertikaian antara postivisme dan idealisme Jerman. Aliran ini mewakili pandangan yang berusaha menerapkan cara dan bentuk penelitian alam ke dalam pengkajian peristiwa kemanusiaan. Realitas sosial disamakan dengan realitas alam. Dengan meniru kaum realis

Page 15: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

15

dalam ontologinya, epistimologi kaum positivis, pandangan deterministik menge-nai sifat manusia dan nomotetis metodologinya. Sementara itu, lawannya adalah tradisi "idealisme Jerman". Aliran ini menyatakan bahwa realitas tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat indera, tetapi justru pada "ruh" atau gagasan". Oleh karena itu epistiomologi mereka anti-positivis di mana sifat subjektivitas dari peristiwa kemanusiaan lebih penting dan menolak cara dan bentuk penelitian ilmu alam.

Kedua, adalah paradigma interpretative. Latar belakang perkembangan paradigma interpretatif ini dapat ditelusuri dari pergumulan dalam teori ilmu sosial sebelum tahun 1970 ketika telah mulai berkembang suatu tradisi besar terutama di bidang filsafat sosial dengan munculnya fenomenologi, etnometodologi dan teori-teori aksi. Aliran-aliran filsafat sosial ini selain menyatakan pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran sosiologi positivisme. Aliran-aliran ini dapat dipahami dengan baik dengan mengenali perbedaan-perbedaan anggapan dasarnya masing-masing. Aliran hermeneutic knowledge atau juga dikenal dengan paradigma interpretative, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa pengetahuan dan khususnya ilmu-ilmu sosial dan penelitian sosial dalam para-digma ini 'hanya' dimaksud untuk memahami secara sungguh-sungguh. Dasar filsafat paradigma interpretative adalah phenomenology dan hermeneutics, yaitu tradisi filsafat yang lebih menekankan minat yang besar untuk memahami. Semboyan yang terkenal dari tradisi ini adalah "biarkan fakta bicara atas nama dirinya sendiri". Namun dalam paradigma ini pengetahuan tidak dimaksudkan sebagai proses yang membebaskan. Misalnya saja yang termasuk dalam paradigma ini adalah ethnography dalam tradisi kalangan antropolog.

Ketiga, adalah paradigma yang disebut sebagai "paradigma kritik" atau critical/ emancipatory knowledge. Ilmu sosial dalam paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan. Melalui kritik yang mendasar terhadap ilmu sosial yang mendominasi (instrumental knowledge), paradigma kritis ini menganjurkan bahwa ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial tidak boleh dan tidak mungkin bersifat netral. Paradigma kritis memperjuangkan pendekatan yang bersifat holistik, serta menghindari cara berpikir deterministik dan reduksionistik. Oleh sebab itu, mereka selalu melihat realitas sosial dalam perspektif kesejarahan. Paradigma kritis tidak hanya terlibat dalam teori yang spekulatif atau abstrak, tetapi lebih dikaitkan dengan pemihakan dan upaya emansipasi masyarakat dalam pengalaman kehidupan mereka sehari-hari.

Implikasi dari kritik paradigma ini terhadap positivisme menyadarkan kita akan perlunya perenungan tentang moralitas ilmu dan penelitian sosial. Oleh karena teori dan penelitian sosial begitu berpengaruh terhadap praktik perubahan sosial seperti program pembangunan, maka paradigma ilmu dan penelitian sosial adalah faktor penting yang menentukan arah perubahan sosial. ltulah mengapa paradigma kritik selalu mempertanyakan "mengapa rakyat dalam perubahan sosial" selalu diletakkan sebagai passive objects untuk diteliti, dan selalu menjadi objek "rekayasa sosial" bagi penganut positivisme. Positivisme percaya bahwa rakyat tidak mampu memecahkan masalah mereka sendiri. Perubahan sosial harus didesain oleh ahli, perencana yang bukan rakyat, kemudian dilaksanakan oleh para teknisi. Rakyat dalam hal ini dilihat sebagai masalah dan hanya para ahli yang berhak untuk memecahkannya.

Page 16: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

16

Sebaliknya, pandangan paradigma kritik justru menempatkan rakyat sebagai subjek utama perubahan sosial. Rakyat harus diletakkan sebagai pusat proses perubahan dan penciptaan maupun dalam mengontrol pengetahuan mereka. Inilah yang menjadi dasar sumbangan teoretik terhadap perkembangan participatory research. Kritik terhadap positivisme dilontarkan karena pengetahuan tersebut menciptakan dominasi yang irasional dalam masyarakat modern. Ilmu sosial harus mampu memungkinkan setiap orang untuk memberikan partisipasi dan kontribusinya. Pemikiran tersebut mempengaruhi arah ilmu sosial kritis yang menekankan pentingnya subjektivitas manusia, pemihakan dan kesadaran dalam proses membangun teori. Paradigma kritis inilah yang memberikan legitimasi terhadap ilmu sosial pembebasan, yang tadinya dianggap 'tidak ilmiah' tersebut. ltulah sebabnya paradigma kritik sekaligus merupakan kritik terhadap paradigma dominasi dan interpretasi.

Dengan kerangka peta pembagian paradigma seperti itu, kita dapat memahami dan menyadari segenap perkembangan, asumsi, dan konflik antar berbagai teori perubahan sosial dan kritik terhadap teori-teori pembangunan yang menjadi fokus utama pembahasan-pembahasan dalam berbagai uraian pada bagian-bagian berikutnya. Dari Paradigma Reformasi ke Transformasi

Arena perbedaan paradigma yang lain yang juga berpengaruh dalam perkembangan dan kajian teori perubahan sosial dan teori pembangunan adalah dengan meminjam pembagian paradigma yang dikembangkan oleh Paulo Freire. Ketika Freire (1970) menerbitkan buku Pedagogy of the Oppressed yang pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris tahun 1970, umumnya orang menyangka bahwa ia sedang melakukan kritik terhadap dunia pendidikan. Namun, dengan membaca karya Freire lainnya, terutama mendengar dialognya dengan tokoh social movement Amerika Serikat, Miles Horton, yang dibukukan dengan judul We Making the Road by Walking (1990), orang baru sadar bahwa Freire sedang berbicara soal yang lebih luas dari dunia pendidikan yakni mengenai paradigma perubahan sosial. Dia mengakui sangat dipengaruhi oleh Gramsci, seorang pemikir kebudayaan yang radikal yang pertama kali mengupas bahwa sesungguhnya peperangan yang terpenting pada abad modern ini adalah ideologi, yang disebutnya sebagai proses 'hegemony'. Dari situlah orang baru menyadari bahwa Freire sedang membicarakan pendidikan dalam kaitannya dengan struktur dan sistem budaya, ekonomi, dan politik yang lebih luas.

Tugas teori sosial menurut Freire adalah melakukan apa yang disebutnya sebagai conscientizacao atau proses penyadaran terhadap sistem dan struktur yang menindas, yakni suatu sistem dan struktur. Proses dehumanisasi yang membunuh kemanusiaan. Gramsci menyebut proses ini sebagai upaya counter hegemony. Proses dehumaniasi tersebut terselenggara melalui mekanisme kekerasan, baik yang fisik dan dipaksakan, maupun melalui cara penjinakan yang halus, yang keduanya bersifat struktural dan sistemik. Artinya kekerasan dehumanisasi tidak selalu berbentuk jelas dan mudah dikenali. Kemiskinan struktural, misalnya, pada dasarnya adalah suatu bentuk kekerasan yang memerlukan analisis untuk menyadarinya. Bahkan, kekerasan sebagian besar terselenggara melalui proses hegemoni: cara pandang, cara berfikir, ideologi, kebudayaan, bahkan selera, golongan yang mendominasi telah dipengaruhkan dan diterima oleh golongan yang didominasi. Dengan begitu, pendidikan dan ilmu pengetahuan, sebagaimana kesenian, bukanlah arena

Page 17: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

17

netral tentang estetika belaka. Kesenian dan kebudayaan tidaklah berada dalam ruang dan masa yang steril, melainkan dalam sistem dan struktur yang bersifat hegemonik.

Freire (1970) membagi ideologi teori sosial dalam tiga kerangka besar yang didasarkan pada pandangannya terhadap tingkat kesadaran masyarakat.8 Tema pokok gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah "proses memanusiakan manusia kembali". Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, menjadikan masyarakat mengalami proses 'dehumanisasi'. Pendidikan, sebagai bagian dari sistem masyarakat, justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical consciousnees), kesadaran naif (naival consciousnees) dan kesadaran kritis (critical consciousness). Bagaimana kesadaran tersebut dan kaitannya dengan sistem pendidikan dapat secara sederhana diuraikan sebagai berikut.9

Pertama, kesadaran magis, yakni suatu keadaan kesadaran, suatu teori perubahan sosial yang tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja suatu teori yang percaya akan adanya masyarakat miskin yang tidak mampu, kaitan kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih mengarahkan penyebab masalah dan ketakberdayaan masyarakat dengan faktor-faktor di luar manusia, baik natural maupun super natural. Dalam teori perubahan sosial jika proses analisis teori tersebut tidak mampu mengaitkan antara sebab dan musabab suatu masalah sosial, proses analisis teori sosial tersebut dalam perspektif Freirean disebut sebagai teori sosial fatalistik. Suatu teori sosial bisa dikategorikan dalam model pertama ini jika teori yang dimaksud tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap satu permasalahan masyarakat. Masyarakat secara dogmatik menerima 'kebenaran' dari teoretisi sosial tanpa ada mekanisme untuk memahami 'makna' ideologi setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.

Yang kedua adalah apa yang disebutnya sebagai "Kesadaran Naif". Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat 'aspek manusia' sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini 'masalah etika, kreativitas, 'need for achievement' dianggap sebagai penentu dalam perubahan sosial. Jadi, dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi analisis kesadaran ini, adalah disebabkan oleh kesalahan masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki jiwa kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya 'pembangunan', dan seterusnya.10 Oleh karena itu,

8 Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed. New York: Praeger, 1986. 9 Lihat Smith, Themaning of Conscientacao: The Goal of Paulo Freire's Pedagogy Amherst:

Center for International Education, UMASS, 1976. 10 Pemikiran yang bisa dikategorikan dalam analisis ini adalah para penganut modernisasi

dan developmentalisme. Paham modernisasi selanjutnya menjadi aliran yang dominan dalam ilmu-i1mu sosial. Misalnya saja dalam antropologi, pikiran Kuncaraningrat tentang budaya pem-bangunan sangat berpengaruh bagi kalangan akademik dan birokrat. Paham modernisasi juga 'berpengaruh' dalam pemikiran Islam di Indonesia. Adanya yang salah dalam teologi fatalistik yang dianut umat Islam dianggap sebagai penyebab keterbelakangan. Asumsi itu dianut oleh kaum modemis sejak Muhammad Abduh atau Jamaluddin Afgani sampai kelompok pembaharu saat ini seperti Nurcholish Madjid c.s. Lihat: Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta; Bulan

Page 18: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

18

man power development adalah sesuatu yang diharapkan, akan menjadi pemicu perubahan. Teori perubahan sosial dalam konteks ini berarti suatu teori yang tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar, merupakan faktor given dan, oleh sebab itu, tidak perlu dipertanyakan. Tugas teori sosial adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar masyarakat bisa beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Paradigma inilah yang dikategorikan sebagai paradigma perubahan yang bersifat reformatif dan bukanlah paham perubahan yang bersifat transformatif.

Kesadaran ketiga adalah yang disebut sebagai kesadaran kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya dan bagaimana kaitan tersebut berakibat pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam teori perubahan sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi 'ketidakadilan' dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas teori sosial dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar masyarakat terlibat dalam suatu proses dialog "penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik atau lebih adil". Kesadaran ini pula yang disebut sebagai kesadaran transformatif.

Dengan menggunakan paradigma yang dikembangkan Freire ini membantu kita untuk dapat memahami bagaimana logika berbagai teori sosial yang akan dibahas dikembangkan. Dengan demikian, teori modernisasi dan pembangunan serta berbagai teori pendukung setelahnya dalam epistimologi, atau menurut paradigma kesadaran Freire dapat digolongkan dalam kesadaran naif, karena bukan struktur yang lebih dipersoalkan melainkan manusianya dan oleh karenanya bersifat reformatif. Sementara itu, paradigma dan teori perubahan sosial kritik yang dibahas dalam bab berikutnya dalam perspektif Freire dapat digolongkan dalam kesadaran kritis dan merupakan proses perubahan sosial menuju lebih adil yang bersifat transformatif.

Uraian pembagian peta paradigma yang dipinjam dari analisis Freire tersebut, selain dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk memahami dan memetakan teori-teori perubahan sosial dan teori-teori pembangunan, peta paradigma tersebut juga sangat berpengaruh terhadap para praktisi pengembangan masyarakat ataupun pemberdayaan masyarakat di akar rumput. Banyak praktisi pembangunan dalam berhadapan maupun mengembangkan program-programnya di masyarakat dipengaruhi oleh jenis kesadaran yang men-dominasi pemikiran dan analisis para praktisi sehingga sangat berpengaruh terhadap pendekatan maupun metodologi program mereka. Para praktisi pengembangan masyarakat yang mengembangkan program "pemberdayaan masyarakat", tetapi dalam melakukan analisis terhadap "masalah kemiskinan" masyarakat bersandar pada analisis kesadaran naif dan reformatif, akan melahirkan program yang berbeda dengan jika mereka dipengaruhi oleh analisis yang bersandar pada kesadaran kritis untuk transformasi sosial. Bintang, 1978. serta majalah ulasan tentang "Gerakan Pembaharuan Islam" dalam Ulumul Quran tahun 1993.

Page 19: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

19

Paradigma-paradigma Sosiologi Untuk lebih mempertajam pemahaman dan seluk-beluk peta paradigma

yang dapat digunakan untuk memahami teori-teori perubahan sosial dan teori pembangunan, maka perIu juga kita memetakan secara lebih luas paradigma dalam ilmu sosiologi. Untuk itu dalam bagian ini dikemukakan dan disajikan peta paradigma sosiologi yang dikembangkan oleh Burnell dan Morgan (1979). Burnell dan Morgan membuat suatu pemetaan paradigma sosiologi yang dapat membantu kita untuk memahami 'cara pandang' berbagai aliran dan teori ilmu-ilmu sosial. Mereka membantu memecahkan sumber utama keruwetan peta teori ilmu sosial dengan mengajukan peta filsafat dan teori sosial.11 Secara sederhana mereka mengelompokkan teori sosial ke dalam empat kunci paradigma. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan yang berbeda mengenai dunia sosial. Masing-masing pendirian dalam kebenarannya dan melahirkan analisis tentang kehidupan sosial. Sejak tahun 1960-an sesungguhnya telah muncul berbagai aliran pemikiran sosiologi yang dalam perkembangannya justru tidak membantu untuk memperjelas peta paradigma sosiologi. Namun pada awal tahun 1970-an terjadi kebutuhan dalam perdebatan sosiologi mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat seperti halnya terjadi pada tahun 1960-an. Untuk memecahkan kebuntuan itu mereka usulkan untuk menggunakan kembali unsur penting dari perdebatan 1960-an, yakni cara baru dalam menganalisis empat paradigma so-siologi yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: Humanis Radikal, srukturalis radikal, interpretatif dan Fungsionalis. Keempat paradigma itu satu dengan yang lain memiliki pendirian masing-masing, karena memang memiliki dasar pemikiran yang secara mendasar berbeda.

Sifat dan kegunaan empat paradigma tersebut adalah selain untuk memahami dan menganalisis suatu praktik sosial, juga untuk memahami ideologi dibalik suatu teori sosial. Paradigma sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang mendasar yang menentukan kerangka berpikir, asumsi dan cara bekerjanya teori sosial yang menggunakannya. Di dalamnya tersirat kesamaan pandangan yang mengikat sekelompok penganut teori mengenai cara pandang dan cara kerja dan batas-batas pengertian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial menggunakan paradigma tertentu, berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Peta yang digunakan di sini adalah menempatkan empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan meta-teoretis. Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan kerangka berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih menampilkan sentuhan pribadi dibanding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan hal ini sama bobotnya dengan pindah agama. Misalnya, apa yang pernah terjadi pada Karl Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda, yakni perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal Perpindahan ini disebut epistemological break.

11 Burnell, and Morgan, Sociological Paradigms and Organizational Analysis London: Heinemann, 1979.

Page 20: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

20

Paradigma Fungsionalis Paradigma fungsionalisme sesungguhnya merupakan aliran pemikiran

yang paling banyak dianut di dunia. Pandangan fungsionalisme berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar pada pemikiran kaum obyektivis. Pemikiran fungsionalisme sebenarnya merupakan sosiologi kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan, dan hal-hal yang nyata (empirik). Oleh karenanya, kaum fungsionalis cenderung realis dalam pendekatannya, positivis, deterministis dan nomotetis. Rasionalitas lebih diutamakan dalam menjelaskan peristiwa atau realitas sosial. Paradigma ini juga lebih berorientasi pragmatis, artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yang berupa langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mereka lebih mendasarkan pada "filsafat rekayasa sosial” (social engineering) sebagai dasar bagi usaha perubahan sosial, serta menekankan pentingnya cara-cara memelihara, mengendalikan atau mengontrol keteraturan, harmoni, serta stabilitas sosial.

Paradigma ini pada dasamya berusaha menerapkan metode pendekatan pengkajian masalah sosial dan kemanusiaan dengan cara yang digunakan ilmu alam dalam memperlakukan objeknya. Paradigma ini dimulai di Prancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 karena pengaruh karya Comte, Spencer, Durkheim, dan Pareto. Aliran ini berasal dari asumsi bahwa realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat dikenali, dikaji, diukur dengan pendekatan dan menekankan alat seperti yang digunakan dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanika dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial pada dasarnya adalah prinsip yang umumnya digunakan oleh aliran ini. Namun demikian, sejak awal abad ke-20, mulai terjadi pergeseran, terutama setelah dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti pemikiran Max Weber, Geroge Simmel dan George Herbet Mead. Sejak saat itu banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum objektivis dan mulai bersentuhan dengan paradigma interpretatif yang lebih subjektif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser melihat manusia atau masyarakat, suatu pergeseran pandangan menuju para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial.

Pada tahun 1940-an pemikiran sosiologi "perubahan radikal" mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguhpun telah terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsonalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran objektivisme dan realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda atau campuran dalam paham fungsionalis. Paradigma Interpretatif (Fenomenologi)

Paradigma interpretatif sesungguhnya menganut pendirian sosiologi keteraturan seperti halnya fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan pendekatan objektivisme dalam analisis sosialnya sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, yakni mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang

Page 21: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

21

mengamati. Pendekatannya cenderung nominalis, antipositivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya, mereka berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subjektivitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial. Sungguhpun demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kemapanan, kesepakatan, kesetiakawan. Pertentangan, penguasan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka terpengaruh lansung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat hakikat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini yakni mereka yang penganut filsafat fenomenologi antara lain Dilttey, Weber, Husserl, dan Schutz. Paradigma Humanis Radikal

Para penganut humanis radikal pada dasamya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subjektivis yakni berpijak pada kesadaran manusia. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, antipositivis, volunteris dan ideografis. Kaum humanis radikal cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada. Namun demikian, pandangan dasar yang penting bagi humanis radikal adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh supra struktur idiologis di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu, agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan dirinya sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilibat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaimana manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan untuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian, masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka Paulo Freire misalnya dengan analisisnya mengenai tingkatan kesadaran manusia dan usaha untuk melakukan "konsientisasi", yang pada dasarnya membangkitkan kesadaran manusia akan sistem dan struktur penindasan, dapat dikategorikan dalam paradigma humanis radikal. Paradigma Strukturalis Radikal

Penganut paradigma strukturalis radikal seperti kaum humanis radikal memperjuangkan perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang objektivisme. Pendekatan ilmiah yang mereka anut memiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisisnya lebih menekankan pada konflik struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya, pendekatannya cenderung realis, positivis, determinis, dan nomotetis. Kesadaran manusia yang bagi kaum humanis radikal penting, justru oleh mereka dianggap tidak penting. Bagi kaum strukturalis radikal yang lebih penting justru hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan

Page 22: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

22

sosial baru secara menyeluruh. Penganut paradigma strukturalis radikal terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik pada menjelaskan bahwa kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat.

Paradigma strukturalis radikal diilhami oleh pemikiran setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, di samping pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Luis Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru.

Kete

ratu

ran

Suby

ektiv

is

PARADIGMA INTERPRETATIF

(FENOMENOLOGI)

PARADIGMA

FUNGSIONALISME

Keteraturan O

byektivis

SU

BYE

KTI

VIS

Perte

ntan

gan

Su

byek

tivis

PARADIGMA

HUMANIS RADIKAL

PARADIGMA

STRUKTURALIS RADIKAL

Pertentangan O

byektivis

OB

YEK

TIVIS

Diagram 1 Peta Analisis Sosial Barnel & Morgan (1979)

Epilog

Paradigma-paradigma sosiologi tersebut sangat mempengaruhi bagaimana seorang pemikir sosial dalam mengembangkan teori sosial. Misalnya saja, penganut paradigma interpretatif atau sosiologi fenomenologis akan mengembangkan teori perubahan sosial yang sama sekali berbeda dengan penganut fungsionalisme. Penganut aliran fenomenologis, karena dasar filsafatnya adalah mencoba memahami dan mendengarkan kehendak masyarakat, maka perubahan sosial lebih diutamakan ke arah yang dikehendaki oleh masyarakat tersebut. Berbagai metodologi dikembangkan, seperti "etnografi" ataupun "riset observasi", untuk menangkap dan memahami simbol-simbol kehendak masyarakat.

Sementara bagi penganut fungsionalisme yang bersandarkan pada paradigma positivisme, mereka merasa berhak untuk melakukan "rekayasa sosial" sehingga akan berpengaruh ketika mereka berhadapan dengan masyarakat. Masyarakat dalam proses perubahan sosial model positivisme dan rekayasa sosial, ditempatkan sebagai "objek" perubahan. Oleh karenanya, mereka diarahkan, dikontrol, direncanakan, serta dikonstruksi oleh kalangan ilmuwan, birokrat, dan bahkan koordinator program LSM yang menganut paham positivisme tersebut. Mereka memisahkan antara masyarakat sebagai objek perubahan, ilmuwan dan peneliti atau bahkan tenaga lapangan sebagai tenaga-tenaga ilmiah yang objektif, rasional, tidak memihak, dan bebas nilai, dan birokrat atau negara dalam proses perubahan sosial berperan sebagai pengambil-pengambil keputusan. Dengan demikian, proses perubahan sosial penganut paradigma ini, teori perubahan sosialnya bersifat elitis. Demikian halnya, penganut paradigma struktural akan memahami masalah sosial dan mengajukan teori perubahan sosial yang berbeda dibanding teori yang diajukan para

Page 23: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

23

penganut fungsionalis maupun fenomenologis. Bagi para penganut paradigma kritis transformatif, teori perubahan sosial dimaksudkan sebagai proses yang melibatkan korban untuk perubahan transformasi sistem dan struktur menuju ke sistem yang lebih adil. Dengan demikian proses perubahan sosial berwatak subjektif, memihak, tidak netral, dan untuk terciptanya keadilan sosial dan oleh karenanya berwatak populis.

Dengan memahami berbagai peta paradigma perubahan sosial tersebut, akan lebih mudah bagi kita untuk memahami apa motivasi dan dasar pikiran suatu teori perubahan sosial dan pembangunan. Dengan memahami paradigma sosiologi yang dianut oleh pencetusnya, kita juga dapat memahami berbagai metodologi dan pendekatan proyek pembangunan maupun aksi sosial di akar rumput. Hal ini karena, pada dasarnya, metodologi dan teknik program perubahan sosial maupun pembangunan, serta teori-teori perubahan sosial yang dikembangkan oleh seseorang atau suatu organisasi sangat konsisten dalam mengikuti paradigma yang diyakini maupun yang dianutnya. Paradigma sosiologis yang dianut tidak saja mempengaruhi bagaimana suatu teori sosial memberi makna terhadap realitas sosial, tetapi juga mempengaruhi visi dan misi suatu teoti sosial, bahkan mempengaruhi pula penentuan pendekatan ketika seseorang atau suatu organisasi melakukan penelitian serta aksi praktik manajemen pelaksanaan suatu teori sosial dalam bentuk program pengembangan masyarakat ataupun pembangunan, maupun pilihan pendekatan evaluasi terhadap program tersebut.

Page 24: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

24

Hand-Out 02: STRATEGI GERAKAN SOSIAL DAN KRITIK PEMBANGUNAN

REFLEKSI ATAS AGENDA DAN STRATEGI POLITIK; GERAKAN SOSIAL DI INDONESIA PASCA TUMBANGNYA REZIM SOEHARTO Konteks Perubahan di Indonesia

Kita melangsungkan diskusi ini ditengah situasi politik -ekonomi yang memiliki kecendrungan pada arah terciptanya krisis ekonomi dan politik yang semakin parah. Harga-harga bahan pokok semakin membumbung tinggi, kelangkaan minyak dimana-mana, para pejabat semakin terampil dalam melakukan korupsi, defisit anggaran negara yang semakin menganga, hutang pada pihak luar negeri yang semakin melilit dan konflik elit politik pun semakin menjadi-jadi.

Kita pahami betul bahwa situasi seperti ini sesungguhnya telah berlangsung sejak lama. Sudah lebih dari setengah abad Negara Republik Indonesia berdiri dan pembangunan nasional telah dijalankan selama lebih dari 40 tahun, namun penghidupan sosial-ekonomi dan politik massa rakyat tidak juga mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Di tengah kekayaan sumber daya alam yang melimpah, rakyat Indonesia justru masih menghadapi kemiskinan dalam berbagai sektor kehidupannya. Kesempatan untuk memperoleh pekerjaan dan jaminan atas penghidupan yang manusiawi dengan tersedianya lapangan kerja yang mudah diakses semakin sulit diperoleh bagi rakyat kecil, mengakibatkan bertambah banyaknya jumlah pengangguran dari tahun ke tahun. Bagian terbesar dari penduduk miskin Indonesia yang berada di wilayah pedesaan dengan presentasi 63,41% dari jumlah total penduduk Indonesia. Mereka terdiri dari kaum tani, komunitas masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan para pemuda yang hidup di wilayah pedesaan. Konsentrasi penguasaan tanah di tangan sekelompok kecil orang yang memiliki modal besar dan hubungan kuat dengan pihak pemerintah membuat kehidupan kaum tani di wilayah pedesaan samakin mengalami kesulitan (untuk mempertahankan) hidup. Di samping monopoli penguasaan tanah di tangan sekelompok kecil pemilik modal, kaum tani Indonesia juga menghadapi konflik dan sengketa tanah yang seringkali disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan oleh aparat militer, kepolisian dan birokrasi yang berdimensi pelanggaran Hak-hak sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya.

Begitu pula dengan komunitas-komunitas masyarakat adat yang hidup di wilayah-wilayah pedalaman/pegunungan, tidak diakui hak-hak dan kedaulatannya sebagai satuan masyarakat adat yang memiliki sistem sosial, ekonomi-politik, hukum dan budaya tersendiri yang mengatur berbagai segi kehidupan mereka. Klaim sepihak atas wilayah kedaulatan masyarakat adat atas nama kawasan 'hutan negara' masih terus-menerus dijalankan oleh pemerintah bagi pengembangan kawasan-kawasan hutan lindung, konservasi maupun hutan-hutan produksi. Kaum nelayan yang hidup di kawasan pesisir dan wilayah perairan hingga saat ini tidak memperoleh jaminan perlindungan hak-haknya atas wilayah tangkap, sarana produksi dan skema pasar yang menguntungkan nelayan. Praktek-praktek penggunaan Trawl, meskipun secara hukum telah dilarang operasinya dan telah memperoleh perlawanan yang cukup kuat dari nelayan, justru terkesan dibiarkan beroperasi oleh pemerintah untuk memonopoli

Page 25: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

25

wilayah tangkap di kawasan perairan yang pada akhirnya membuat tingkat pendapatan nelayan kecil semakin mengalami kemerosotan.

Pengembangan industri nasional yang bercorak kapitalistik yang dibangun di atas ‘politik upah murah’ benar-benar telah berhasil membawa pemiskinan massal di kalangan kaum buruh Indonesia akibat ketidak-mampuan mereka memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dengan upah yang terlalu rendah. Sistem kerja sub-kontak outsourcing, ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan pembatasan aksi mogok dan kebebasan berorganisasi, telah melucuti penghormatan dan perlindungan hak-hak kaum buruh Indonesia. Besaran atau nominal upah buruh yang telah dikeluarkan di berbagai tingkatan (mulai dari sektoral, kabupaten/Kota, hingga Provinsi) sama sekali jauh dari kebutuhan hidup yang layak, apalagi jika dikaitkan dengan harga barang kebutuhan pokok yang justru selalu mengalami kenaikan dari waktu ke waktu.

Di tengah penderitaan kaum tani, nelayan, masyarakat adat, dan kaum buruh Indonesia, bencana demi bencana silih berganti terjadi, mulai dari tsunami, kelaparan, banjir, tanah longsor, gempa bumi, lumpur panas, flu burung, malnutrisi, demam berdarah, kecelakaan udara-laut-darat dan sebagainya, semakin menambah beban penderitaan rakyat yang memang sudah dimiskinkan secara sosial, ekonomi dan politik. Sebagaimana telah kita saksikan, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini, peristiwa-peristiwa bencana di berbagai daerah yang membawa korban jiwa dan materiil yang tidak sedikit, mengalami peningkatan tiga kali lipat dari masa-masa sebelumnya, tanpa upaya sistematis dan serius dari pemerintah untuk mencari solusi-solusi yang tepat untuk mengatasinya.

Sudah menjadi kesadaran kita bersama bahwa berbagai kenyataan dan persoalan-persoalan tersebut sesungguhnya bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, tapi merupakan hasil dari kebijakan-kebijakan pemerintah di berbagai bidang yang lebih mengabdi pada kepentingan ekonomi neo-liberal dengan mengorbankan kepentingan dan hak-hak rakyat banyak. Paket perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan misalnya, secara sistematis dirancang sedemikian rupa untuk melegalkan sistem kerja out-sourcing, memberi perlindungan dan keuntungan berlipat-ganda kepada investor, mengurangi pendapatan kaum buruh, dan membatasi ruang-gerak kaum buruh untuk memperjuangkan kepentingannya. Contoh paling mutakhir adalah upaya keras pemerintah di dalam merevisi Undang-undang No. 13 tahun 2003 (UUK No.13/2003) karena desakan dari rezim neo-liberal. Di bidang agraria, meskipun upaya amandemen Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 saat ini telah dihentikan untuk sementara waktu oleh pemerintah, namun berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang melegalisasi praktek perampasan sumber-sumber agraria milik rakyat untuk kepentingan modal besar seperti di bidang kehutanan, perkebunan, pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan, sumber daya air, dan seterusnya, masih terus-menerus dipertahankan, bahkan berupaya direvisi kalau dibutuhkan bagi kepentingan modal. Perlindungan pemerintah kepada badan usaha pemilik HGU, HPH, Konsesi Pertambangan yang selama ini telah menyingkirkan rakyat dari wilayah kelolanya, tindakan-tindakan represi terhadap rakyat yang masih terus-menerus dijalankan secara terbuka baik oleh aparat militer, kepolisian, birokrasi maupun dengan menggunakan para militer sipil di berbagai level, mempertanyakan kesungguhan komitmen politik pemerintah di dalam menjalankan Reforma Agraria yang sejati.

Page 26: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

26

Lalu bagaimana kondisi subyektif di kalangan gerakan rakyat di Indonesia di tengah kompleksitas persoalan yang dihadapi massa rakyat yang selama ini gigih memperjuangkan hak-haknya? Sebagaimana telah menjadi pemahaman bersama, kekuatan subyektif gerakan rakyat mengalami penurunan yang cukup tajam semenjak rezim Orde Baru berhasil ditumbangkan tahun 1998 yang lalu. Kenyataan ini tidak dapat dilepaskan dari kesadaran obyektif massa rakyat yang masih cenderung terilusi dengan berbagai sogokan-sogokan reformasi, liberalisasi, demokrasi prosedural, otonomi daerah, dan seterusnya, yang dijajakan dan disodorkan oleh rezim-rezim yang berkuasa pasca pemerintahan Orde Baru. Sekalipun demikian, penurunan (kuantitas dan kualitas) gerakan rakyat tidak patut ditimpakan semata-mata pada kesadaran obyektif massa rakyat yang cenderung terilusi oleh sogokan-sogokan dari rezim yang berkuasa. Ketidak-siapan atau kegagapan kalangan organisasi gerakan rakyat di dalam merespon dan memanfaatkan peluang dari perubahan-perubahan politik yang terjadi begitu cepat pasca tumbangnya rezim Orde Baru, pada level tertentu sesungguhnya telah turut pula memberikan kontribusi pada penurunan tingkat progresifitas gerakan rakyat. Jangankan mempersiapkan diri merespon atau memanfaatkan peluang dari perubahan-perubahan politik yang ada, dalam beberapa tahun belakangan ini kekuatan subyektif gerakan rakyat malahan sibuk dengan agenda organisasi, sektor, dan wilayah masing-masing, bahkan lebih parah lagi, mengalami fragmentasi kekuatan.

Dalam situasi seperti itu, kekhawatiran terhadap perubahan yang mengarah pada suatu keadaan yang disebut oleh Sorensen (1993) sebagai frozen democracies atau demokrasi yang membeku, yakni suatu keadaan dimana arus perubahan menuju masyarakat demokratik tiba di satu titik balik atau mengalami pembusukan. Titik balik itu dapat terjadi manakala: (a) pemerintahan (atau pemerintahan-pemerintahan) baru yang berkuasa tidak mampu melakukan perubahan-perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang mendasar sesuai dengan tuntutan masyarakat – khususnya yang menyangkut kepentingan kaum miskin; (b) pemerintah yang baru gagal untuk menuntaskan sejumlah warisan permasalahan yang akut yang ditinggalkan oleh rezim sebelumnya, seperti kasus-kasus korupsi dan pelanggaran-pelanggaran HAM; (c) tata tertib dan iklim yang kondusif bagi kelangsungan proses demokratisasi gagal untuk diciptakan; dan (d) konsolidasi demokrasi itu sendiri tidak terjadi – yakni praktek-praktek domokrasi tidak berkembang dan tidak menjadi bagian dari budaya politik (Sorensen, 1993).

Alas Pikir dan Tindak Perjuangan Politik Gerakan Sosial

Menghadapi sejumlah situasi yang tengah dihadapi tersebut, sesungguhnya muncul satu pertanyaan penting yang patut kita jawab bersama-sama: Apa yang hendak diperbuat aktor-aktor gerakan sosial di tengah-tengah proses transisi ini? Pertanyaan ini bukan saja relevan dalam konteks waktu dimana saat ini kita sedang berada di tengah-tengah proses transisi menuju demokrasi yang menurut suatu studi yang dipimpin oleh Adam Przeworski – seorang profesor ilmu politik dari Universitas Chicago – yang mengatakan bahwa pada masyarakat-masyarakat yang berada dalam transisi demokrasi akan muncul fenomena-fenomena seperti: berkembangnya ketidakpercayaan politik, skeptisisme, dan sikap apatis yang berhubungan erat dengan pengalaman panjang masyarakat yang hidup di tengah-tengah kediktaktoran, sejarah kekacauan dan keterputusan hubungan-hubungan politik, ingatan-ingatan atas

Page 27: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

27

perilaku manipulatif, dan suatu transmisi nilai-nilai apolitis yang sistematik. Tetapi lebih jauh dari itu adalah budaya gerakan massa yang dapat melahirkan gerakan-gerakan sosial yang berumur panjang telah hilang dalam kehidupan sebagian besar rakyat di negeri ini.

Melalui buku terakhirnya, Bebas dari Neoliberalisme, Mansour Fakih menyampaikan hal-hal yang terkait dengan sejumlah agenda penting gerakan sosial dalam proses transisi yang lebih banyak dipandu oleh faham neoliberalisme ini. Pertama adalah mempertahankan dan merebut kembali negara untuk menjadi pembela hak-hak rakyat dengan memastikan negara untuk menjaga dan melindungi hak ekonomi, budaya, dan sosial, serta mengimplementasikan ratifikasi Konvensi PBB atas Hak Asasi Manusia. Kedua, terus menerus melakukan protes sosial untuk mengubah kebijakan negara dan mencermati kesepakatan negara dengan pasar bebas dan kebijakan neoliberal. Ketiga, PR terbesar dan tersulit yang mesti dihadapi setiap gerakan sosial adalah melakukan pengembangan kapasitas counter discourse and hegemony atas dominasi diskursus neoliberal terhadap demokratisasi, good governance, dan civil society. Kita di Indonesia kini tengah menyaksikan tahap awal perkembangan gerakan sosial melawan kebijakan neoliberal. Kita juga berharap dapat terus mengikuti pertumbuhan gerakan rakyat untuk mendekonstruksi diskursus dominan dari perspektif neoliberal. Termasuk di dalamnya adalah gerakan mendekonstruksi diskursus civil society dan menggantinya dengan ide gerakan sosial melawan kebijakan neoliberal di Indonesia.” (Fakih, 2003:147).

Karena itu, upaya-upaya untuk memperkuat daya ubah gerakan sosial di Indonesia tidak hanya sekedar mengembangkan sejumlah tindakan teknis yang diperlukan untuk kerja-kerja advokasi atau aksi-aksi kolektif itu sendiri, melainkan yang terpenting adalah: (1) bagaimana mengembalikan gerakan sosial ke dalam rel kehidupan politik yang sesungguhnya; dan (2) sebagai implikasinya adalah bagaimana meningkatkan kapasitas berpolitik dari rakyat atau kelompok-kelompok rakyat yang selama ini terpinggirkan. Jadi, gerakan rakyat di Indonesia tidak lagi sekedar diletakkan sebagai upaya untuk mendorong perubahan kebijakan publik atau sekedar terlibat di dalam proses pembentukan kebijakan publik, tetapi menjadi bagian dari manuver-manuver politik kelompok-kelompok rakyat yang selama ini terpinggirkan di dalam ruang-ruang politik untuk menggeser kekuasaan atau tegasnya dapat disebut sebagai ruang-ruang perebutan kekuasaan.

Sehubungan dengan perjuangan politik gerakan sosial, maka konsep umum mengenai kekuasaan itu berkaitan dengan kesadaran struktur peluang politik yang spesifik (hubungan dalam bidang politik), struktur mobilisasi (modal sosial), kerangka budaya (modal simbolik) dan identitas bersama (habitus/disposisi para aktor untuk berpraktik). Sementara itu, kekuatan politik gerakan sosial sendiri sekurang-kurangnya bersumber pada 4 (empat) hal.

Pertama, sumber utama terletak ada pada relasi gerakan dengan aktor-aktor dan institusi kunci dalam bidang politik. Tarrow (1994) melihat bahwa ada stuktur peluang politik yang kompleks dan dinamis yang dimanfaatkan oleh gerakan sosial untuk mencapai tujuan. Gerakan sosial ada dalam konteks politik kerja sama dan kompetisi di dalam masyarakat, yang merefleksikan hubungan formal dan informal diantara dan di dalam organ-organ masyarakat sipil (Della Porta dan Diani 1999). Kedua, kemampuan gerakan sosial untuk memobilisasi individu maupun kelompok dalam masyarakat juga merupakan sumber kekuatan politik lain. Mobilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan infrastruktur sosial

Page 28: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

28

seperti jaringan sosial dan institusi, baik bersifat formal maupun informal. Ketiga, kemampuan gerakan sosial untuk berpartisipasi dalam memperjuangkan arti hak, isu, aktor dan kebijakan. Gerakan sosial pada umumnya berhasil memaknai ketidakadilan dan pelanggaran atas suatu kelayakan berdasarkan budaya yang ada (Zald 1996:226). Kekuatan ini dihadapkan pada suatu kerangka strategis yang aktif dan kompetitif yang terjadi di berbagai arena, baik dalam gerakan sosial itu sendiri maupun diantara aktivis dan otoritas sebagai modal simbolis, yaitu agar diakui sebagai perwakilan resmi suatu kelompok tertentu. Keempat, kekuatannya lainnya terletak pada kemampuan gerakan sosial untuk membangun refleksi identitas diri para aktornya. Partisipasi individual dalam aksi kolektif tidak berdasarkan pada realita yang ada melainkan berdasarkan persepsi dan interpretasi terhadap hal tersebut, dan gerakan sosial itu sendiri berperan aktif dalam membangun serta mengkomunikasikan identitas bersama tersebut. (Melucci 1996). Ini artinya, prinsip-prinsip pengelompokan dan prinsip-prinsip organisasi aksi dalam habitus merupakan sumber utama kekuatan aksi politik secara kolektif (Stokke 2002).

Lantas bagaimana gerakan sosial dapat mengukur maju-mundurnya, kuat-lemahnya dan perkembangan capaian-capaian atas gerakan yang dilakukan? Capaian gerakan tidak sesederhana sebagai produk dari karakteristik dan aktivitas gerakan itu sendiri, tapi lebih dari itu sebagai hasil dari interaksi antara organisasi gerakan sosial , organ-organ yang menjadi target perubahan dan aktor-aktor relevan pada lingkungan yang lebih luas, serta semua perjuangan untuk memperoleh sumberdaya dan cara memanfaatkannya untuk keuntungan mereka dibandingkan yang lain (Paul Burstein et al in the success of political movements; 1995, p.277). Mengukur tingkat sukes gerakan social harus memperhatikan relasi factor-faktor berikut ini: 1) karakteristik gerakan social; 2) karakteristik target gerakan (biasanya agen pemerintah); 3) karakteristik lingkungan ; dan 4) factor-faktor yang berpengaruh pada bekerjanya berbagai sumberdaya yang terlibat (Jenkins 1983a; McAdam 1982). Dalam konteks agenda-agenda politik yang dijalankan gerakan sosial, tingkat kesuksesannya harus didefinisikan dalam bentuk tanggungjawab sistem politk pada organisasi gerakan sosial secara menyeluruh meskipun dapat dicapai setahap demi setahap. Pertama, capaian ’akses’ yaitu kesediaan pemerintahan untuk mendengarkan apa yang menjadi konsern organisasi gerakan social. Kedua, capaian pada tingkatan agenda yaitu kesediaan pemerintahan untuk menempatkan agenda-agenda yang didesakkan organisasi gerakan sosial menjadi agenda-agenda politiknya. Ketiga, capaian kebijakan yaitu pemerintahan mengadopsi kebijakan baru yang mencerminkan berbagai tuntutan gerakan sosial. Keempat, capaian pada level output yaitu pemerintahan secara efektif mengimplementasikan kebijakan baru tersebut. Kelima, capaian pada level impak yaitu implementasi kebijakan baru tersebut memberikan dampak pada perbaikan kehidupan kelompok-kelompok rakyat marjinal yang terlibat dalam gerakan sosial. Keenam, capaian pada level struktur politik yaitu perubahan sistem politik untuk meningkatkan pengaruh gerakan social . Struktur kesempatan politik yang baru ini juga harus memberikan insentif pada aksi-aksi kolektif dan peningkatan posisi tawar gerakan sosial sehingga membuat upaya-upaya represi semakin sulit dan mahal.

Page 29: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

29

Dinamika Perjuangan Politik Gerakan Sosial di Indonesia: Konsolidasi Tak Berujung

Telah menjadi kesadaran aktor-aktor gerakan sosial bahwa buah dari perubahan yang ditandai oleh jatuhnya rezim Soeharto lebih banyak dinikmati oleh aktor dan kekuatan-kekuatan status quo ketimbang membawa perubahan kehidupan bagi rakyat secara keseluruhan. Gerakan sosial di Indonesia, umumnya berpendapat, proses transisi kini dalam bahaya. Demokrasi elektoral telah dibajak oleh elite, dijadikan sebagai kendaraan baru bagi mereka untuk mempertahankan basis kekuasaan lamanya dan melanggengkannya.

Meskipun nampak ada persetujuan pada tataran kesadaran umum tersebut, sesungguhnya kalau ditelusuri lebih lanjut nampak terdapat perbedaan cara pandang yang secara substansial berbeda dalam menyimpulkan betapa masa transisi sedang memburuk. Sebagian kelompok dalam gerakan sosial melihat, persoalan ini terjadi karena piranti penunjang transisi (kelembagaan, reformasi hukum, birokrasi, dan militer) tidak berjalan mulus. Sebabnya, karena itu tadi, demokrasi elektoral telah dibajak oleh elite. Solusinya, bagaimana agar gerakan sosial terus berusaha mendesak para elite (melalui demo atau lobi atau masuk dalam sistem), agar mau bersungguh-sungguh menjalankan amanat reformasi. Dalam kesungguhan ini, sadar tak sadar, mereka telah bersikap sebagai seorang teknokrat dengan posisi yang marjinal.

Gerakan sosial yang lain, memandang defisit demokrasi ini terjadi karena sistem demokrasi yang diadopsi adalah demokrasi borjuis. Kelompok ini melihat, demokrasi elektoral memiliki sisi yang positif yakni, terbukanya sedikit ruang bagi pembangunan dan perluasan gerakan sosial. Tapi, harus disadari sejak awal, demokrasi borjuis ini sangat terbatas yakni, hanya melindungi dan menguntungkan posisi borjuasi. Melanggar batas-batas tersebut, berarti siap berhadapan dengan aparatus kekuasaan. Karena itu, jika gerakan rakyat sudah besar dan kuat, maka demokrasi borjuasi yang terbatas ini harus diganti dengan demokrasi yang sejati yakni, demokrasi yang benar-benar menjadikan rakyat sebagai dasar dan tujuan kekuasaan. Bukan berarti, mereka menolak berpatisipasi dalam arena demokrasi borjuasi tapi, sikap dasarnya tak pernah berubah: ketidakpercayaan pada demokrasi elektoral. Tanpa sadar, kelompok ini terjatuh pada dogmatisme mengenai dikotomi demokrasi borjuis dan demokrasi sejati tanpa batas.

Catatan Kritis

Konsolidasi politik kekuatan-kekuatan status quo telah terbukti berhasil melanggengkan posisi dan dominasinya dalam berbagai relasi politik, ekonomi dan sosial hingga saat ini. Bukti yang cukup kuat adalah dari data penguasaan mereka dalam posisi-posisi kekuasaan mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Kekuatan-kekuatan gerakan rakyat tidak kunjung terkonsolidasi ke dalam agenda politik persatuan. Hal ini lebih banyak disebabkan oleh persoalan psikologis dan kontestansi antar personal di kalangan gerakan sendiri ketimbang tajamnya perbedaan-perbedaan yang lebih bersifat ideologis. Selain itu, konsistensi dalam menjalankan agenda yang telah disepakati sangat lemah. Seringkali dari pertemuan ke pertemuan hanya berputar-putar pada persoalan dan agenda yang sama. Praktek politik elit juga sangat kental ditemukan. Secara umum basis massa rakyat masih ditempatkan sebagai objek mobilisasi politik bukan sebagai pihak penentu arah, agenda dan strategi politik itu sendiri. Dalam konteks ini, pejuangan politik rakyat rakyat terorganisir seharusnya menjadi karakter utama

Page 30: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

30

perjuangan politik gerakan sosial di Indonesia. Dalam menghadapi tantangan dalam medan pertarungan politik, menempatan setiap organisasi gerakan sosial pada sumbu horizontal maupun vertical konsolidasi pembangunan kekuatan politik rakyat. Oleh karena itu, harus diperkuat agenda-agenda untuk memastikan agar organisasi rakyat : (i) Membangun Kekuatan Politiknya dengan indikasi: memiliki platform organisasi yang jelas (agenda-agenda perubahan sosial yang jelas dan terumuskan serta disepakti bersama), memiliki basis massa (konstituen) yang jelas dan makin membesar serta menguat, memiliki protokol yang jelas dalam membangun relasi dan jaringan kerja politik, memiliki sistem kaderisasi dan kepemimpinan yang sistematik, mengembangkan diri sebagai organisasi pembelajaran sosial (social learning organization); dan (ii) Memperbesar Pengaruh dan Dampak Politiknya dengan indikasi sejauhmana pememerintahan secara efektif menjalankan kebijakan-kebijakan baru sesuai dengan yang diperjuangan organisasi-organisasi rakyat dan lebih jauh dari itu terjadi perubahan struktur kekuasaan yang semula dihegemoni kekuatan status quo bergeser pada kekuatan-kekuatan yang pro pada perjuangan rakyat. Protes Sosial dan Reformasi Politik

Reformasi adalah sebuah jargon politik yang sangat populer dalam corpus besar politik Indonesia selama beberapa tahun terakhir, menyusul gelombang krisis ekonomi yang dimulai pada pertengahan Juli 1997. Pada awal 1998 sejumlah intelektual terkemuka mempunyai ortodoksi baru bahwa krisis ekonomi tidak semata disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, tetapi juga oleh faktor-faktor politik. Spesialis Indonesia kenamaan, Andrew MacIntyre (1999) misalnya, memperlihatkan bahwa krisis ekonomi Indonesia disebabkan oleh penyakit institusional yang kronis seperti merosotnya kredibilitas pemerintah di mata publik, sistem politiknya yang tidak demokratis dan mekanisme pembuatan keputusan yang terpusat di tangan Presiden Soeharto. Tidak ada kekuatan institusional pada lembaga kepresidenan yang efektif, dan juga tidak ada lembaga-lembaga maupun aktor-aktor politik yang mampu mempengaruhi—apalagi memveto—pelaksanaan kebijakan yang ditempuh presiden dan memprakarsasi kebijakan alternatif yang lebih fundamental. Oleh karena itu, reformasi politik waktu itu diyakini sebagai kata kunci untuk penyelesaian krisis ekonomi.

Sejumlah intelektual terkemuka waktu itu secara lantang menyuarakan reformasi politik yang secara luas dimaknai sebagai demokratisasi sistem politik. Wacana reformasi semakin meluas di ruang publik, tetapi tidak ada kesepakatan bersama dalam merumuskan agenda reformasi. Elemen-elemen pendukung status quo cenderung bersikap defensif dan tidak mau menerima konsep reformasi yang disuarakan publik. Oleh karena itu yang lebih banyak berbicara adalah parlemen jalanan, sebuah aksi protes sosial di bawah pimpinan mahasiswa dan didukung oleh serpihan oposisi kelas menengah kota. Target utama parlemen jalanan adalah mundurnya Soeharto dari singgasananya, yang diyakini sebagai titik awal reformasi politik yang lebih luas. Karena Soeharto sudah kehabisan legitimasi, maka dia tidak bisa membabi buta menghabisi kekuatan parlemen jalanan dengan tangan-tangan baja militer. Puncak dari protes sosial di tingkat nasional adalah kejatuhan Soeharto di bulan Mei 1998, yang kemudian membawa Indonesia memasuki masa transisi menuju demokrasi.

Page 31: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

31

Ciri khas utama transisi adalah ketidakpastian karena mandulnya lembaga-lembaga politik dan berlanjutnya mobilisasi massa (Guillermo O’Donnel dan Philippe Schmitter, 1986). Jika sebelum Soeharto jatuh, reformasi yang berkobar di seluruh penjuru kota diarahkan pada reformasi politik nasional, maka mobilisasi massa yang menyuarakan reformasi setelah jatuhnya Soeharto mengalami penyebaran ke seluruh pelosok Indonesia. Reformasi politik menjadi komoditas publik sehari-hari. Isu yang disuarakan tidak lagi berskala nasional tetapi berskala lokal. Seperti reformasi awal yang mendesak mundur Soeharto, reformasi politik lokal adalah diawali oleh protes sosial dengan mobilisasi massa.

yang menuntut mundur para pejabat lokal, dari Bupati sampai Kepala Desa. Fenomena ini, menurut reportase Kompas (24/12/1998), merupakan bentuk kebangkitan rakyat pedesaan yang mendadak memperoleh kedaulatan setelah sekian lama hidup mereka sangat tertekan. Seperti halnya gerakan reformasi nasional lewat protes sosial yang dipimpin mahasiswa, semangat reformasi yang berkobar di tingkat lokal tampaknya hendak merombak tatanan politik lama yang tidak adil, dan yang lebih khusus adalah menjatuhkan para pemimpin lokal yang bermasalah atau mengidap penyakit “KKN” (korupsi, kolusi dan nepotisme).

Aksi reformasi yang mengangkat isu “KKN” di tingkat lokal berkobar di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Bupati Bantul, yang terkait dengan pembunuhan seorang wartawan Harian Bernas, Udin, dan juga disangka terlibat KKN dalam proses pemilihan sampai dengan penggunaan dana Inpres Desa Tertinggal (IDT), akhirnya harus lengser berkat aksi reformasi. Di Jawa Tengah, aksi reformasi dilancarkan pada para pejabat yang diduga KKN seperti Sekwilda Jateng, Bupati Klaten, Bupati Magelang, Bupati dan Walikota Tegal, dan sebagainya. Di Jawa Timur, aksi serupa terjadi di Madiun, Malang, Tuban, Lamongan, dan sebagainya. Memang tidak setiap aksi berhasil “mengkudeta” para pejabat seperti Bupati/Walikota, tetapi aksi reformasi yang digelar oleh elemen-elemen masyaralat lokal memperlihatkan semakin menguatnya masyarakat, dan paling tidak mempunyai pengaruh psikologis yang kuat di kalangan elite lokal maupun masyarakat luas. Aksi reformasi telah mempengaruhi wacana publik dan membuat elite-elite lokal dihantui “ketakutan” akan bahaya tindak KKN.

Fenomena protes sosial pada tingkat lokal di Indonesia memang bukan fenomena baru. Jauh sebelum isu reformasi politik berkobar, di banyak daerah telah terjadi protes kaum tani atas penggusuran tanah atau demonstrasi buruh yang menuntut perbaikan hidup mereka. Kasus Kedungombo, Nipah, Cimacan, Nitneo (NTT), Martoba (Sumatera Utara), Jenggawah, dan lain-lain merupakan rangkaian bukti meluasnya protes sosial (petani) atas penggusuran tanah, eksploitasi, dan kesewenang-wenangan rezim Orde Baru. Protes sosial mereka hadir di setiap hari tetapi selalu dapat dipadamkan oleh tangan-tangan baja militer.

Yang relatif baru pada era pasca-Soeharto adalah gelombang protes sosial yang menyebar di hampir daerah, dan setiap protes sosial tidak lagi mengangkat isu-isu kebijakan pemerintah atau penggusuran tanah, tetapi berkobar relatif seragam sebagai gerakan sehari-hari untuk menjatuhkan para pemimpin lokal. Protes sosial rupanya menjadi senjata utama bagi elemen-elemen masyarakat lokal untuk menyuarakan aspirasinya ketika saluran-saluran konvensional seperti partai dan parlemen tidak legitimate di mata publik. Mulai sekarang protes sosial tetap saja menjadi saluran partisipasi yang penting ketika

Page 32: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

32

locus politik mengalami pergeseran dari level nasional ke level lokal. Di satu sisi meluasnya protes sosial merupakan elemen penting gerakan sosial masyarakat sipil untuk memperkuat demokrasi lokal, yakni untuk mengontrol kinerja masyarakat politik dan negara, tetapi di sisi lain protes sosial pada level empirik selalu mengandung kerawanan yang serius seperti terjadinya kekerasan dan kerusuhan sosial. Kekerasan yang muncul dari masyarakat bagaimanapun merupakan bahaya bagi demokrasi, sebagaimana telah dibayangkan oleh para filsuf Yunani Kuno ketika mereka mengkritisi praktik demokrasi pada waktu itu. Reformasi Politik

Reformasi dipahami secara mendasar sebagai bentuk perubahan. Demikian juga dengan revolusi. Tetapi seorang jenderal di Indonesia mengatakan bahwa reformasi dan revolusi tidak berbeda, yakni sebagai perubahan politik secara total. Ia kelihatan phobi dengan istilah reformasi maupun revolusi, dan lebih suka menggunakan istilah pembaharuan secara gradual. Sang jenderal itu tentu saja sangat dihantui oleh ketakutan akan perubahan yang mengancam posisinya. Tetapi orang yang tidak dihantui oleh ketakutan akan perubahan biasa memahami secara berbeda antara reformasi dan revolusi.

Revolusi sering dipahami sebagai perubahan total dan cepat. Revolusi sosial, demikian Theda Skocpol (1979, 1994), adalah perubahan yang cepat dan mendasar dalam masyarakat dan struktur kelas suatu negara; dan revolusi tersebut dibarengi bahkan menyebabkan terjadinya pemberontakan kelas bawah. Revolusi sosial harus dipisahkan dari berbagai jenis konflik dan proses perubahan lainnya, terutama yang disebabkan oleh kombinasi dua kejadian yang timbul secara kebetulan bersamaan; yaitu terjadinya perubahan struktur masyarakat dan pergolakan kelas, serta terjadinya perubahan politik dan perubahan sosial. Pemberontakan misalnya, sekalipun bisa berhasil dengan baik, mungkin saja melibatkan pemberontakan kelas bawah, tetapi tidak menyebabkan timbulnya perubahan struktural. Transformasi sosial—yang hadir dalam bentuk industrialisasi, urbanisasi, moneterisasi, komersialisasi, sekularisasi dan sebagainya—dapat mengubah struktur sosial tanpa harus menimbulkan, atau diakibatkan oleh, pergolakan politik yang tiba-tiba atau perubahan politik yang mendasar. Sedangkan revolusi politik adalah perubahan struktur negara tetapi tidak mengubah struktur sosial, dan revolusi politik tersebut tidak perlu dilakukan melalui konflik kelas.

Berbeda dengan revolusi, makna dan cakupan reformasi hampir tidak pernah dirumuskan secara tegas. Tetapi pembicaraan tentang reformasi biasa merujuk pada gerakan protes Martin Luther dan kawan-kawan terhadap Gereja Katholik pada pertengahan abad ke-16, yang membuahkan pemisahan antara Katholik Ortodoks dan Kristen Protestan. Reformasi yang awalnya digerakkan oleh Luther dimaksukan sebagai perlawanan untuk kebebasan, yaitu kebebasan umat dari peraturan ketat gereja Katholik, kebebasan dari kontrol kependetaan, kebebasan pejabat politik dari campur tangan gereja, kebebasan pendeta lokal dari Paus di Roma. Kaum Protestan membawa teologi reformasi ke dalam teori demokrasi. Karena semua orang berkedudukan sama di hadapan Tuhan, mereka harus berdiri sama di hadapan agen-agen politik Tuhan dalam sebuah negara. Karena Tuhan menjamin kebebasan hakiki manusia untuk hidup, maka negara harus menjamin kebebasan sipil. Negara harus menjamin kebebasan individu untuk berbicara, berkarya, berkumpul dan menjadi penguasa di masyarakat. Negara juga harus mempromosikan dan melindungi kemajekemukan institusi-

Page 33: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

33

institusi sosial, khususnya gereja, sekolah dan keluarga. Negara dan masyarakat harus dibangun atas dasar kontrak sosial dan konstitusi; yang keduanya mencerminkan gagasan-gagasan dan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat, melindungi hak-hak sipil, dan membatasi kekuasaan penguasa. Kekuasaan harus dibagi dan saling kontrol antara eksekutif, legislatis dan yudikatif. Pejabat politik harus dipilih oleh rakyat dan dibatasi oleh hukum. Jika pejabat politik melakukan penyelewenangan mereka pantas diabaikan; jika mereka tetap menyeleweng maka mereka harus dilawan dan diganti dengan kekuatan massa (John Witte, Jr., 1996).

Teologi reformasi Lutherian bagaimanapun telah memberi inspirasi tumbuhnya komunitas gereja yang demokratis pada abad ke-16 sampai ke-17. Gereja Calvin di Inggris dan Amerika misalnya, telah diciptakan sebagai komunitas yang demokratis. Kekuasaan gereja dipilih secara demokratis dan memegang kekuasaan secara terbatas. Hukum-hukum gereja mengalami kodifikasi melalui badan perwakilan publik. Umat gereka sering menggelar pertemuan umum untuk menilai kinerja pejabat (pengurus) gereja dan dengan sengaja merubah doktrin, tata peribadatan dan pemerintahan.

Teologi reformasi Lutherian juga memberi inspirasi bagi reformasi politik yang demokrasi di zaman modern. Para pengikut Luther misalnya mendorong kota-kota di kawasan Skandinavia dan Jerman untuk membentuk undang-undang baru untuk melawan kaum feodal maupun kontrol gereja, menjamin warga sipil dari kejahatan, mendorong toleransi beragama, memperluas program pendidikan publik dan kesejahteraan sosial dan sebagainya. Kaum Calvinis membawa tujuh provinsi bagian utara Belanda ke dalam revolusi melawan raja Spanyol pada tahun 1567. Mereka juga membantu merancang deklarasi kemerdekaan 1581, konfederasi republik Belanda dan kerangka kerja bagi hak-hak sipil dan politik warga negara.

Di zaman modern, teologi reformasi memberi inspirasi bagi studi demokratisasi. Dalam studi demokratisasi, reformasi sering dimaknai sebagai liberalisasi politik yang dikendalikan oleh rezim atau transisi yang diawali oleh insiatif dari atas. Juan Linz (1978) misalnya, memperkenalkan konsep reforma (reformasi) yang dibedakan dengan ruptura (penggulingan). Menurut Linz, reforma adalah jalur transisi dari atas, yaitu ketika penguasa mengambil insiatif untuk memulai transisi antara lain dengan menggelar liberalisasi politik, mengurangi kontrol represifnya, merombak aturan main politik, serta menggelar pemilihan umum yang demokratis untuk mengakhiri rezim otoritarian. Sebaliknya ruptura, menurut Linz, adalah jalur transisi dari bawah yang diawali oleh gelombang aksi massa atau oposisi yang berhasil menggulingkan penguasa.

Reformasi sebagai jalur transisi menuju demokrasi banyak terjadi di sejumlah negara. Kasus paling populer terjadi di Uni Soviet, ketika Mikhail Gorbachev pada tahun 1986 melancarkan perestroika dan glasnots, yang mengakhiri totalitarianisme dan sekaligus mengawali demokratisasi di negeri itu. Di Korea Selatan, Roh Tae Woo—seorang jenderal yang sebelumnya merupakan pendukung otoritarianisme—memulai reformasi setelah berhasil memenangkan pemilihan presiden pada tahun 1987. Di Brazil, reformasi politik tanpa gelombang protes sosial telah diawali oleh liberalisasi politik presiden Ernesto Geisel (seorang jenderal berhaluan moderat) pada tahun 1973. Reformasi yang dirintis oleh Geisel dan penerusnya membuahkan transisi menuju demokrasi setelah digelar pemilihan umum secara demokratis pada tahun 1985.

Page 34: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

34

Keputusan rezim memulai reformasi menuju demokrasi biasanya terjadi karena didasari pertimbangan kelompok elite bahwa kepentingan-kepentingan mereka jangka panjang akan lebih bisa terjamin bila diperjuangkan dalam lingkungan yang demokratis. Tetapi jalur reformasi dari atas umumnya menghasilkan beberapa kecenderungan. Pertama, proses demokratisasi bisa saja dihentikan oleh pemegang kekuasaan karena situasi yang muncul pada masa liberalisasi itu dianggap terlalu mahal biayanya ketimbang biaya represi. Kedua, karena redemokratisasi dari atas itu dikaitkan dengan pemeliharaan kepentingan elite, maka kecenderungan yang terjadi adalah munculnya demokrasi terbatas. Ketiga, kekuatan militer akan terus melakukan usaha-usaha untuk mempertahankan hak-haknya tetap ada dan hal ini sangat menganggu proses redemokratisasi (Alfred Stepan, 1986).

Reformasi tidak sekadar dimaknai sebagai tindakan yang disengaja oleh penguasa, tetapi juga mencakup perubahan dalam konteks kepemerintahan (governance). Menurut Michael Bratton dan Nicholas van de Walle (1994), reformasi politik adalah reformasi atau perubahan kepemerintahan (governance), yang mencakup tiga aspek utama: (1) perubahan sistem kerpartaian dan pemilihan umum yakni amandemen terhadap perangkat peraturan yang menjamin kompetisi aktor-aktor atau partai politik dan partisipasi publik secara bebas; (2) perubahan konstitusional yaitu amandemen terhadap konstitusi yang menghasilkan pembatasan kekuasaan penguasa atau negara; dan (3) perubahan administratif yang menciptakan birokrasi lebih rasional, efisien, fleksibel, dan bertanggung jawab. Rumusan Michael Bratton dan Nicholas van de Walle itu barangkali bisa dimaknai sebagai reformasi total bidang politik, yang menghasilkan perubahan struktur politik (pemerintahan) secara total. Lebih gampangnya, konsepsi itu bisa disebut sebagai “reformasi total”. Konsep “reformasi total” itu berbeda dalam soal derajat dengan konsep “reformasi parsial”. Yang terakhir ini hanya mencakup pergantian pemimpin atau pemerintahan tanpa disertai dengan perubahan politik secara menyeluruh. Merujuk pada Donald Share (1987), konsep “reformasi parsial” itu identik dengan ekstriksi, yakni kejatuhan penguasa (pemimpin) yang diikuti dengan eforia politik. Tentu saja ekstriksi dan eforia ini bukan semata karena kehendak penguasa atau karena konflik elite, tetapi muncul karena kebangkitan rakyat. Dengan kalimat lain, ekstriksi atau “reformasi parsial” adalah kejatuhan penguasa yang diikuti dengan liberalisasi politik. Sedangkan “reformasi total” tidak hanya mencakup kejatuhan penguasa, pergantuan pemerintahan, dan liberalisasi politik, melainkan mencakup perubahan politik secara menyeluruh.

Di Indonesia, istilah “reformasi total” terkait dengan demokratisasi yang mulai populer sejak tahun 1998. Dalam wacana publik, reformasi rupayanya mempunyai dua target: (1) target maksimal yang mencakup pencabutan UU politik, amandemen UUD 1945, penghapusan Dwifungsi ABRI, penghapusan KKN dan penguatan otonomi daerah; dan (2) target minimal yaitu mundurnya Soeharto dari jabatannya. Target maksimal itu secara teoretis identik dengan “reformasi total” atau reformasi sedangkan target minimal identik dengan “reformasi parsial” atau ekstriksi. Yang terjadi ternyata bukanlah reformasi total, melainkan hanya ekstriksi (reformasi parsial), yakni kejatuhan Soeharto yang diikuti dengan pergantian pemerintahan dan liberalisasi politik. Setelah Soeharto jatuh, publik menikmati eforia politik yang luar biasa; mereka bisa meluapkan aspirasi politiknya secara bebas tanpa restriksi dari penguasa.

Page 35: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

35

Dalam arena eforia itu, liberalisasi politik mengalami penyebaran ke seluruh penjuru Indonesia. Elemen-elemen masyarakat lokal langsung meluapkan aspirasinya dengan menggelar protes sosial untuk reformasi politik. Masyarakat bawah tidak begitu peduli dengan konsep reformasi total seperti dibayangkan oleh kaum kelas menengah kota, apalagi reformasi total ini gagal diwujudkan. Dalam wacana lokal di era liberalisasi politik, reformasi sangat populer dimaknai sebagai upaya menjatuhkan pemimpin yang bermasalah. Seorang petani di desa misalnya bisa mengatakan: “Kepala Desa jatuh terkena reformasi”. Apa yang dimaksud dengan reformasi di mata masyarakat lokal sebenarnya hanya terbatas pada reformasi parsial atau ekstriksi. Pemaknaan ini merupakan sesuatu yang menarik, yang perlu dikaji lebih mendalam. Protes Sosial

Definisi “protes sosial” sangat bervarisasi, tergantung pada tempat, waktu dan siapa yang melakukan observasi terhadap fakta. Konsep protes sosial sering tumpang tindih dengan konsep-konsep lainnya seperti pembangkangan, pemberontakan, perilaku kolektif, aksi kolektif, demonstrasi, unjuk rasa, kekerasan sipil, gerakan sosial dan lain-lain. Ahli gerakan sosial terkemuka, Charles Tilly (1981), rupanya lebih suka memakai istilah aksi kolektif ketimbang protes sosial, pembangkangan atau pemberontakan. Beberapa konsep yang terakhir itu, menurut Tilly, mencerminkan pendakwaan terhadap maksud dan posisi politik para aktor dari kacamata pemegang kekuasaan.

Secara substansial aksi kolektif sebenarnya tidak berbeda dengan protes sosial. Keduanya merupakan bentuk tindakan bersama massa untuk menantang (melawan) pemegang kekuasaan. Sydney Tarrow (1994) misalnya, mendefinisikan aksi kolektif sebagai perlawanan bersama oleh rakyat (people) dengan upaya bersama dan solidaritas dalam interaksi yang berlanjut dengan elite, musuh-musuhnya dan pemegang kekuasaan. Aksi kolektif bisa hadir dalam bentuk asosiasi kepentingan, gerakan protes sosial, pemberontakan, pembangkangan, atau revolusi.

Tetapi studi ini lebih menyukai konsep protes sosial ketimbang aksi kolektif, meskipun keduanya bisa saling dipertukarkan. Mengapa? Pertama, dalam masyarakat selalu hadir penguasa dan rakyat yang dikuasai. Represi adalah sumberdaya yang dimiliki oleh penguasa, dan protes atau perlawanan adalah sumberdaya atau senjata milik rakyat (James Scott, 1985). Kedua, dibanding dengan aksi kolektif, protes sosial tampaknya jauh lebih eksplisit, provokatif dan lebih membumi dalam konteks masyarakat lokal di Indonesia. Aksi kolektif barangkali bisa hadir sebagai perlawanan pasif, sedangkan protes sosial adalah perlawanan secara aktif dan terbuka. Ketiga, protes adalah gerakan massa yang lebih jelas, yang tidak semata-mata karena tidak puas atau emosi untuk merusak tatanan sosial-politik, melainkan gerakan yang rasional dan disengaja untuk mengawali perubahan politik.

Di sisi lain, dalam berbagai literatur ditemukan sebuah pemahaman bahwa gerakan sosial tampil tidak sekadar protes, pembangkangan, pemberontakan dan sebagainya. Tetapi teori gerakan sosial “lama” yang sangat reduksionis dan dipengaruhi oleh fungsionalisme struktural sama sekali tidak membedakan dengan tegas perbedaan antara protes sosial dan gerakan sosial. Protes sosial adalah strategi yang inheren dalam gerakan sosial. Gerakan sosial sering dipahami sebagai aksi bersama nonkelembagaan yang memiliki komponen-komponen pasti seperti ideologi, program atau seperangkat tujuan, taktik-taktik untuk mencapai tujuan, dan aktor sebagai pemimpin, serta

Page 36: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

36

menawarkan perubahan atau perlawanan terhadap suatu perubahan dalam masyarakat (Ralph Turner dan Lewis Killian, 1972). Bahkan Herberle (1951) melihat gerakan sosial sebagai bentuk perilaku politik kolektif nonkelembagaan yang secara potensial berbahaya karena mengancam stabilitas cara hidup yang mapan.

Cara pandang yang reduksionis itu dikritisi oleh pendukung “teori baru” gerakan sosial. Para teoritisi baru telah merumuskan kerangka kerja yang memandang gerakan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kelompok atau kepentingan sosial dalam konteks kemasyarakatan yang lebih luas. Touraine (1971), misalnya mencatat bahwa dalam masyarakat pascaindustri, gerakan kelas buruh atau gerakan serikat buruh tidak berada lagi di pusat konflik masyarakat. Kelas buruh, demikian tulis Touraine (1971), bukan lagi pelaku sejarah yang istimewa, bukan karena gerakan buruh lemah atau tunduk kepada strategi partai politik tertentu, ataupun karena pemimpin yang buruk; tetapi lebih dikarenakan penggunaan kekuasaan di dalam perusahaan kapitalis tidak lagi menempatkan seseorang pada pusat sistem ekonomi dan konflik sosialnya.

Teori-teori baru gerakan sosial justru melihat gerakan sosial sebagai usaha untuk menghasilkan transformasi mendasar dalam hakikat praktek politik maupun teori tentang gerakan sosial itu sendiri. Mereka juga menjelaskan bahwa salah satu ciri gerakan sosial baru adalah penolakannya atas analisis sosial yang didasarkan kepada pembagian ruang politik menjadi dua kubu yang saling bertentangan secara tegas (borjuis dan proletar). Dalam situasi baru, keberagaman aktor sosial memapankan kehadiran ruang autonomi mereka dalam lingkungan sosial dan politk yang terfragmentasi. Berdasarkan analisis dan pengamatan mereka, dipahami bahwa untuk menilai dampak gerakan sosial maka gerakan sosial harus dipahami dan ditempatkan dalam konteks proses demokratisasi yang sangat luas. Proses demokratisasi ini merupakan proses transformasi sosial atas aspek-aspek kultural, sosial, ekonomi, dan politik maupun aspek kehidupan lainnya.

Baik mengikuti “teori lama” maupun “teori baru” gerakan sosial, protes sosial tetap merupakan strategi dan taktik yang inheren dalam gerakan sosial. Protes sosial bisa dikatakan sebagai gerakan sosial berskala rendah atau sebagai embrio dari gerakan sosial yang menyeluruh untuk mendorong transformasi (perubahan) sosial. Ini bukan karena setiap gerakan selalu tampil dengan wajah yang keras dan ekstrem, tetapi karena protes sosial merupakan sumberdaya yang utama sebagian besar orang untuk melawan musuh-musuhnya yang mempunyai perlengkapan lebih komplet. Setiap protes sosial pasti mempunyai jaringan sosial rakyat, punya wacana ideologi, dan perjuangan politik.

Lingkaran protes sosial tentu tidak muncul begitu saja sebagai bentuk ekspresi spontan ketidakpuasan atau emosi yang meluap, melainkan mempunyai tahap-tahapan yang sistematis untuk mencapai sasarannya. Smelser menyatakan terdapat enam tahap dalam perkembangan suatu gerakan sosial. Pertama, stuctural conduciveness menunjukkan pada suatu kondisi atau keadaan yang memungkinkan munculnya suatu gerakan sosial, sebagai suatu contoh, masyarakat yang didomonasi oleh kaum pria dimana kaum wanita dieksploitasi dan dijadikan warga kelas dua merupakan suatu kondisi awal bagi munculnya suatu gerakan perempuan. Kedua, structural strain terjadi apabila di dalam masyarakat yang secara struktural telah terkondusife bagi munculnya suatu gerakan, berlangsung perasaan tidak puas dikalangan anggota-

Page 37: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

37

anggotanya. Warga masyarakat dalam hal ini merasakan ketidakpuasannya terhadap kondisi yang ada di sekelilingnya. Ketiga, growth an spread of generalized belief. Pada tahap ini dikalangan anggota masyarakat ditumbuhkan dan disebarkan keyakinan atau kepercayaan yang sifatnya umum. Adapun artinya, kepada anggota masyarakat diyakinkan bahwa kondisi yang ada di sekelilingnya tidak memuaskan dan perlu diadakan perubahan.Keempat, precipitating factors. Tahap ini menunjukkan adanya suatu peristiwa tertentu yang dapat mempercepat dan mengobarkan munculnya suatu gerakan sosial. Tahap ini dapat dinyatakan tahap yang memacu kemunculan suatu gerakan sosial. Kelima, mobilization of participants for action. Tahap ini terjadi setelah berlangsungnya suatu peristiwa yang menyulut sentimen dan rasa solidaritas massa. Dengan adanya peristiwa tersebut maka massa atau anggota masyarakat dibujuk untuk terlibat dalam suatu gerakan. Dalam hal ini peran yang dipunyai pemimpin untuk memobilisir dan mengorganisir massa sangatlah penting. Tanpa adanya pengaruh dari pemimpin terhadap anggota masyarakat untuk bergerak, maka akan mudah sekali rintisan munculnya suatu gerakan sosial dapat digagalkan. Keenam, application of social control. Kontrol sosial pada umumnya dilakukan oleh mereka yang memegang kekuasaan terhadap gerakan. Persoalannya adalah apakah yang ada pada tangan penguasa digunakan untuk menghancurkan gerakan ataukah justru kontrol sosial tadi menjadikan gerakan sosial tersebut semakin berkembang dimana solidaritas pengikut gerakan semakin tinggi.

Merujuk beberapa studi, mulai dari Smelser hingga Charle Tilly (1975) maupun Robert Ted Gurr (1970), setiap protes sosial melawati beberapa tahapan strategis. Tahap pertama, pernyataan spontan tentang ketidakpuasan bersama. Suatu gerakan sosial berawal ketika orang merasa tidak puas terhadap struktur sosial yang ada di sekelilingnya. Sebagian dari mereka kemudian mengelompokkan diri dan menyatakan pandangan tentang ketidak-puasannya. Dalam tahap ini suatu gerakan sosial menampakkan diri sebagai tindakan bersama yang sifatnya spontan. Fungsi yang penting dari tahap pertama ini adalah untuk menarik perhatian massa (publik) yang diharapkan dapat memberikan dukungan untuk berlangsungnya suatu gerakan sosial. Tahap kedua, pemilihan pimpinan gerakan. Tahap ini berawal ketika beberapa individu menyatakan bahwa perubahan sosial yang diusulkan mempunyai kemungkinan besar untuk berhasil. Individu-individu ini biasanya akan berperan sebagai pimpinan dan sebagai pimpinan mereka mulai memberikan arah bagi berlangsungnya gerakan. Fungsi yang penting dari tahap ini adalah diterimanya beberapa individu sebagai pimpinan gerakan.

Tahap ketiga, transformasi tindakan tidak berstruktur menjadi tindakan yang terorganisir. Tahap ini sering disebut sebagai periode pengorganisasian dan perencanaan. Pada tahap ini tindakan yang tidak berstruktur yang terjadi pada tahap pertama ditransformasikan menjadi suatu tindakan yang terorganisir. Sehubungan dengan hal tersebut maka peranan pimpinan gerakan menjadi sangat penting. Pimpinan harus mampu merumuskan tujuan-tujuan antara yang membimbing tercapainya tujuan akhir dari gerakan. Dalam hal ini memang pimpinan gerakan harus melakukan banyak pekerjaan sebelum tindakan yang bersifat spontan dan tidak terorganisir berubah menjadi suatu gerakan sosial yang teratur dan terarah dengan baik. Salah satu tugas para pimpinan gerakan yang penting adalah menjelaskan tujuan yang dicanangkan kepada para

Page 38: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

38

pengikutnya sehingga mereka dapar mengetahui dengan jelas ke arah mana mereka bergerak.

Tahap keempat, konfrontasi dengan “musuh” gerakan. Pada tahap ini suatu gerakan sosial benar-benar dalam puncak keseriusan dan mengajukan tuntutannya dan berusaha sekuat mungkin demi diterimanya tuntutan tadi. Pada periode ini gerakan berada dalam posisi berhadapan dengan “musuhnya”, yaitu fihak-fihak yang mengalami kerugian apabila kondisi “status quo” yang ada diguncang oleh gerakan. Tahap ini dapat merupakan tahap yang relatif singkat apabila gerakan dan “musuhnya” dapat dengan segera menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Akan tetapi dimungkinkan pula tahap ini merupakan periode yang relatif lama dan hal ini dapat berlangsung apabila gerakan dan “musuhnya” sama-sama mempunyai kekuatan yang seimbang dan tidak bersedia menyerah dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Pada tahap ini kedua-belah fihak, gerakan dan musuhnya, berusaha sekuat tenaga untuk melakukan negosiasi dan pemecahan masalah yang dihadapi demi keuntungan masing-masing pihak. Esensi dari tahap ini adalah dapat dinyatakan sebagai periode dimana gerakan berkonfrontasi dengan “musuhnya” dan memaksa “musuhnya” tadi untuk memenuhi tuntutan-tuntutannya.

Tahap kelima, pencapaian hasil. Tahap ini merupakan dimana orang menyaksikan apakah gerakan yang sudah dan tengah berlangsung mampu atau tidak mencapai sasaran tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan berakhirnya suatu gerakan, masyarakat akan mengadaptasi pola tindakan yang baru yang muncul dari persaingan antara gerakan dan “musuhnya”. Jika gerakan sukses biasanya diperlukan waktu yang cukup untuk menyebarluaskan pola tindakan yang baru tadi ke seluruh lapisan masyarakat. Jika gerakan gagal, para partisipan membubarkan diri atau mungkin merumuskan kembali tujuan yang telah ditetapkan dan mencoba meraihnya melalui gerakan yang baru. Protes Sosial dan Reformasi Politik

Reformasi politik dan protes sosial adalah dua isu penting yang sudah lama menjadi perhatian ilmuwan sosial. Studi ini mengajukan argumen bahwa protes sosial dan reformasi politik adalah dua isu yang tidak bisa dipisahkan. Reformasi hampir tidak mungkin dihasilkan oleh tindakan voluntaristik dari penguasa, melainkan selalu diawali dengan protes sosial.

Protes sosial merupakan sebuah aksi kolektif berbasis massa yang berjuang mendesak pemerintah untuk melakukan reformasi politik. Aksi kolektif, demikian tulis Sydney Tarrow (1994), adalah bentuk perjuangan untuk reformasi. Michael Bratton dan Nicolas van de Walle (1992) bahkan menemukan bukti-bukti empirik bahwa reformasi politik di sebagian besar negara di kawasan Afrika hampir tidak diawali oleh insiatif negara, melainkan merupakan bentuk respons negara terhadap gelombang protes massa. Di Indonesia, gelombang reformasi yang meruntuhkan Soeharto dan mengakhiri Orde Baru juga tidak semata karena perubahan politik yang diawali oleh liberalisasi politik atau inisiatif oleh penguasa, melainkan diawali dengan gelombang protes sosial yang berkobar di berbagai kota.

Bagaimana memahami secara konseptual keterkaitan antara protes sosial dan reformasi politik itu? Pemahaman tentang relevansi antara protes sosial dan reformasi politik sering merujuk pada dua pendekatan yang berbeda. Pendekatan yang pertama adalah fungsionalisme struktural. Fungsionalisme cenderung melihat masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem dimana seluruh bagiannya saling bergantung satu sama lain dan bekerjasama guna

Page 39: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

39

menciptakan keseimbangan. Salah satu proposisi penting fungsionalisme adalah akan selalu ada reorganisasi internal karena kebutuhan memperbaiki keseimbangan. Fungsionalisme menekankan kesatuan masyarakat dan apa yang dimiliki bersama oleh anggotanya. Karena itu, fungsionalisme memandang bahwa konflik adalah sesuatu yang harus dihindari karena bisa merusak keseimbangan relasi sosial dan harmoni dalam masyarakat. Protes sosial, sebagai sebuah konflik sosial, bagi fungsionalisme dipandang sebagai perilaku menyimpang, sporadis, spontan, tidak terorganisir, dan untuk merusak tatanan sosial yang sudah terpelihara secara mapan.

Ilmuwan politik terkemuka berhaluan struktural-fungsional, Gabriel Almond (1965), misalnya, memandang bahwa protes atau aksi kolektif adalah perwujudan saluran partisipasi nonkonvensional sporadis, yang dilakukan oleh kelompok kepentingan anomik. Sebagai penganut aliran struktural fungsional, Gabriel Almond menganjurkan bahwa sistem politik yang demokratis bisa dibangun berdasarkan interaksi secara seimbang di antara struktur-struktur politik, fungsi-fungsi sistem politik, dan partisipasi secara konvensional melalui pemilihan umum, partai dan parlemen. Apabila struktur-struktur dan fungsi-fungsi ini berinteraksi secara “seimbang” maka tidak bakal muncul protes sosial jalanan yang sebenarnya akan merusak sistem yang sudah terlembaga.

Tetapi pandangan struktural-fungsional telah kehilangan pengaruh di hadapan teoretisi politik kontemporer karena perspektif yang menekankan keseimbangan itu ternyata tidak bisa menjelaskan mengapa partisipasi politik nonkonvensional merajalela di setiap tempat, termasuk di negara-negara demokrasi yang mapan. Dalam studinya di 21 negara-negara demokrasi maju, Dalton (1995) memperlihatkan bahwa publik mengalami kejenuhan berpartisipasi politik lewat saluran konvensional. Ia misalnya menunjukkan rata-rata perilaku memilih sebesar 82% pada tahun 1960-an, yang kemudian mengalami penurunan menjadi 76% pada tahun 1990-an. Di Amerika Serikat, merosotnya perilaku memilih (turnout voting) dalam pemilihan umum terkait dengan sikap publik yang sinis dan tidak percaya pada sistem politik yang terlembaga. (Pippa Norris, 1999). Aktivisme politik publik telah lama bergeser dari partisipasi konvensional menjadi partisipasi nonkonvensional dalam bentuk protes sosial terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang kontroversial.

Karena gagal memahami meluasnya protes sosial di berbagai negara, pendekatan struktural-fungsional dikritik habis oleh pendekatan konflik. Sebut saja ini pendekatan yang kedua. Pendekatan konflik ini lahir sebagai reaksi keras terhadap fungsionalisme. Teori konflik pada dasarnya mempunyai tiga asumsi dasar. Pertama, rakyat dianggap memiliki sejumlah kepentingan dasar dimana mereka akan berusaha secara keras untuk mememuhinya. Kedua, kekuasaan adalah inti dari struktur sosial dan ini melahirkan perjuangan untuk mendapatkannya. Ketiga, nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan masing-masing, ketimbang sebagai alat mempertahankan indentitas dan menyatukan tujuan masyarakat. Teori konflik berakar pada Marxisme tradisional yang didasarkan pada pendapat mereka bahwa revolusi adalah suatu kebutuhan yang disebabkan oleh memburuknya hubungan produksi yang memunculkan masa krisis ekonomi, depresi dan kehancuran. Berbeda dengan struktural-fungsional, pendekatan konflik melihat bahwa aksi kolektif bukanlah aksi yang spontan, emosional, menyimpang dan merusak sistem, melainkan aksi yang rasional dan dilakukan

Page 40: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

40

secara sadar untuk perubahan politik baik melalui reformasi politik maupun revolusi sosial.

Pemahaman tentang reformasi politik sebagai ekstriksi sangat paralel dengan pemahaman tentang protes sosial. Artinya protes sosial yang digerakkan oleh elemen-elemen masyarakat lokal adalah senjata yang menyebabkan ekstriksi. Tetapi sebagai bentuk-bentuk aksi kolektif, antara protes sosial, gerakan sosial dan bahkan revolusi sangat berbeda dalam hal strategi, durasi, sasaran dan hasil perubahan. Perbedaan ini digambarkan secara gamblang dalam tabel 2. Dalam tabel itu ditegaskan bahwa protes sosial adalah bentuk aksi kolektif yang paralel dengan reformasi politik, gerakan sosial paralel dengan transformasi sosial, dan revolusi sosial adalah bentuk aksi kolektif besar yang menghendaki perubahan mendasar struktur sosial dan politik. Protes sosial adalah perlawanan kolektif terhadap pemerintah yang berjangka pendek dan spontan untuk mencapai sasaran reformasi, yang bisa menghasilkan perubahan kebijakan pemerintah, runtuhnya pemerintahan dan perubahan struktur politik.

Memahami protes sosial bukan sekadar perilaku menyimpang yang

dilakukan secara kolektif oleh kumpulan orang-orang jalanan yang punya mental kerumunan (crowded mental), melainkan sebagai bentuk konflik yang tumbuh dalam konteks sosial masyarakat. Argumen yang pertama ini menampik pandangan fungsionalisme struktural yang selalu menilai protes sebagai perilaku kolektif yang merusak tatanan social yang mapan, dan sebaliknya lebih banyak merujuk pada tradisi Marxis. Akan tetapi konflik dalam protes sosial itu tidak dipahami dalam kerangka teori konflik “lama” yang berpusat pada konflik kelas, melainkan dipahami dalam kerangka teori konflik “baru” yang difokuskan pada konteks konflik antara masyarakat dan negara. Konflik sosial ini tidak dimaksudkan untuk menghancurkan negara seperti dibayangkan oleh Marxisme ortodoks, melainkan sebagai upaya untuk reformasi politik, serta sebgaai embrio gerakan sosial untuk mendorong demokratisasi, mengurangi hegemoni negara di hadapan masyarakat, dan penguatan elemen-elemen masyarakat sipil. Aktor-aktor strategis dalam masyarakat yang terlibat dalam konflik (protes sosial) tidak lagi berpusat pada buruh dan tani, melainkan berpusat pada elemen-elemen kelas menengah perkotaan.

Page 41: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

41

Dalam konteks konflik antara negara dan masyarakat itu pula, Vincent Boudreau (1996) secara menarik membuat dua tipe gerakan sosial. Pertama, adalah tipe “gerakan utara” (di kawasan negara-negara kapitalis-demokratis yang sudah mapan), yang ditandai dengan gerakan menekan dan merubah kebijakan pemerintah. Kedua, adalah tipe “gerakan selatan” (di negara-negara otoriter-kapitalis atau negara-negara kapitalis-demokrasi yang masih bayi) yang umumnya diarahkan untuk mengurangi kontrol negara, memperbesar sumberdaya masyarakat, dan melindungi masyarakat dari dominasi negara.

Di Indonesia, gelombang gerakan sosial dan protes sosial tampaknya bisa dikategorikan sebagai tipe yang kedua ketimbang yang pertama. Tampilnya berbagai organisasi sosial dan meluasnya protes sosial selama dua tahun terakhir merupakan upaya elemen-elemen masyarakat menekan negara (pemerintah) untuk mengawali reformasi, demokratisasi dan penguatan masyarakat sipil. Di negeri ini, selama tiga dasawarsa terakhir, hampir tidak pernah muncul gerakan pemberontakan atau kudeta yang hendak menggantikan penguasa. Gelombang protes sosial yang menjatuhkan penguasa adalah awal dari reformasi politik menuju demokratisasi.

Strategi Gerakan Sosial

Konsep gerakan social dimunculkan tahun 1842 oleh Lorenz von Stein, seorang sarjana Jerman, untuk menggambarkan gerakan sosial proletarian sosialis. Gerakan sosial dikategorikan sebagai gerakan yang dilakukan kelas pekerja atau buruh yang menuntut pembagian kesejahteraan ekonomi yang adil dalam konteks hubungan pekerja dan pemilik modal. Dalam istilah yang lebih strukturalis, gerakan sosial menuntut perubahan sosial yang lebih fundamental tatanan social masyarakat yang dianggap timpang dan tidak adil. Dalam perspektif Marxian, gerakan social diawali dari adanya proses al ienasi dan marginalisasi buruh yang terjadi selama proses industrialisasi. Bagaimana alienasi dan marginalisasi terjadi, dikaitkan dengan proses pemiskinan kerja atau buruh akibat sistem pengupahan yang murah dan cenderung eksploitatif terhadap diri pekerja. Pekerja adalah bagian dari mesin ekonomi atau komoditas produksi sama seperti bahan-baku yang harus ditekan sekecil mungkin cost nya untuk menghasilkan benefits yang sebesar-besarnya bagi pemilik kapaital. Persepsi pemilik modal terhadap pekerja ( force of production) adalah identik dengan mesin produksi (means of production) sehingga menempatkan posisi pekerja secara ekonomi, sosial dan politik sebagai pihak yang dapat dieksploitasi secara fisik untuk menghasilkan keuntungan ekonomi yang besar. Posi si pekerja yang secara ekonomi dan sosial sebagai sub-ordinat pemodal ini mengawali terjadi proses alienasi sosial, ekonomi dan politik diri pekerja dari dunia sekitarnya.

Dalam perspektif strukturalis, mesinisasi pekerja sebagai mesin produksi tidak seb anding dengan upah yang mereka terima namun mereka tidak mampu meningkatkan posisi tawar ekonomi karena pekerja sudah sedemikian tergantung dengan upah yang rendah guna menjamin eksistensi kehidupan mereka. Upah rendah dan kemiskinan menjadi keseharian pekerja dan mereka menerima marginalisasi sebagai hal yang biasa, sehingga muncul istilah a klassse an sich (class in itself) yaitu suatu bentuk penerimaan atas realitas sosial yang mengarah pada terjadinya proses pemiskinan pekerja sebagai bagian dari kehid upan sehari-hari. Konsep yang tepat untuk menggambarkan keadaan demikian adalah kesadaran palsu (false consciousness) yang melingkupi

Page 42: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

42

kesadaran pekerja atas realitas sosial dan ekonomi yang eksploitatif. Dalam konteks teori gerakan sosial, pengubahan kesa daran palsu menuju kesadaran yang sebenarnya ( class for it self) membutuhkan proses penyadaran politik dan mobilisasi politik melalui pembentukan organisasi pekerja yang kuat. Fungsi utama penyadaran dan mobilisasi politik adalah untuk membongkar (unmask) realitas semu (palsu) yang ada dalam konstruksi pemikiran pekerja atas dunia sosial mereka yang tereksplotasi. Fase unmask atas realitas semu (palsu) guna menghasilkan kesadaran yang sebenarnya adalah awal dari terbentuknya suatu gerakan sosial, yang selanjutnya dapat ditahapkan sebagai berikut (Dawson, Gettys 1934) :

1. Unrest, (muncul kekacauan, sikap frustrasi, merasakan ketidakadilan) 2. Excitement, ( menuju pada sublimasi, keinginan yeng mengebu untuk

bertindak menentang) 3. Formalization, (perumusan konsep dan ideologi perjuangan) 4. Institutionalization, (pelembagaan / organisasi pergerakan) 5. Dissolution (akhir dari tujuan)

Menurut perspektif strukturalis, ide tentang gerakan sosial dihubungkan

dengan struktur sosial yang ada seperti adanya ke timpangan dan ketidakadilan seeta perasaan alienasi. Adanya faktor yang saling mengkait dengan struktur sosial diungkapkan Heberly seperti adanya kaitan dengan:

1. Ideologi, keyakinan dan kohesi sosial kelompok 2. Faktor kepentingan psikologi sosial, sen timen dan kebencian/ dendam 3. Struktur internal gerakan sosial, distribusi kekuasaan dan pengaruh intern 4. Strstegi gerakan 5. Fungsi gerakan dalam konteks perubahan sosial yang lebih besar

Sementara itu, Baldridge menghubungkan gerakan sosial dengan

perilaku kolektif yaitu aksi yang dilakukan kelompok terorganisasi untuk memformulasikan adanya perubahan social atau memperjuangkan ide-ide perubahan (Baldridge, 1980:509). Dengan aspek perilaku kolektif, maka gerakan sosial dilihat sebagai reaksi psiko logi atas situasi lingkungan sosial yang dianggap tidak adil oleh kelompok yang melakukan aksi protes dengan tujuan perubahan sosial. Faktor-faktor sosial yang menjadi sebab gerakan adalah aspek diskrepansi atau kesenjangan antara cita-cita/ harapan yang ingin dicapai dengan kenyataan sosial yang ada. Akumulasi diskrepansi menyebabkan frustrasi sosial dan kekecewaan sosial sehingga menumpuk menjadi bentuk kesadaran massa (kolektif) menentang struktur kekuasaan yang dianggap tidak adil. Selanjutnya ia merumuskan ciri-ciri gerakan sosial yaitu:

1. Berorientasi pada kekuasaan, yaitu perjuangan untuk mempengaruhi dan mengontrol sumber-sumber kekuasaan dalam masyarakat

2. Berorientasi pada nilai, yaitu adanya sistem nilai dan menyakinkan publik tentang nilai yang diperjuangkan melalui persuasi dan aksi -aksi protes misalnya yang terjadi di USA gerakan kebebasan perembuan dan gerakan penentangan diskriminasi ras

3. Adanya ekspresif personal, yaitu penemuan jati diri gerakan melalui figur personal yang kuat dan karismatis serta menjadi sentra ide-ide gerakan

4. Resistensi yaitu perlawanan dengan mempromosikan perubahan sosial atau bahkan menentang perubahan yang dipromosikan kelompok lain.

Page 43: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

43

Gerakan sosial dapat diukur dari sejauhmana daya tahan gerakan dalam meng hadapi tekanan-tekanan kelompok luar. Gerakan sosial yang memiliki karakter kuat dalam kepemimpinan, sosialiasasi ide-ide yang mengakar dan strategi merumuskan isu sebagai tema - tema krisis akan mampu bertahan relatif lama. Terkait dengan masalah tersebut suatu gerakan sosial ibarat embrio yang mengalami evolusi dan menghadapi tekanan -tekanan bahkan mendekati kehancuran kalau tidak mampu mengembangkan beberapa tahapan yaitu:

1. Pengembangan gerakan; 2. Agitasi dan kesadaran ideologi gerakan; 3. Adanya ideologi atau keyakinan umum sebagai pemersatu gerakan; 4. Kebutuhan adanya kepemimpinan yang sentral sebagai figur pusat

gerakan; 5. Interpretasi akan situasi sosial yang menyulut gerakan seperti

kemiskinan, ketidakadilan, 6. Konflik akut dalam tubuh kekuasaan dan kondisi-kondisi sosial yang

dianggap opresi dan diskriminasi rasial.

Sementara itu, dalam kaitan sebagai aksi massa kolektivitas, gerakan sosial berbeda dengan misalnya bentuk-bentuk protes sosial walaupun keduanya merupakan perilaku kolektif massa. Hal ini digambarkan oleh Lofland yang mengindentifkaskan tipe -tipe protes sosial sebagai bentuk aksi massa yang terjadi karena munculnya faktor -faktor krisis dalam kehidupan kelompok sosial. Protes sosial dikaitan dengan bentuk penyataan pendapat yang disa mpaikan beramai-ramai yang umumnya berupa pembangkangan, keluhan, keberatan, boikot, pemogokan atau keengganan melakukan sesuatu terhadap kekuasaan dan mengeluarkan deklarasi yang menolak gagasan di muka umum (Lofland, 2003 :2-3). Reaksi protes sosial terhadap keadaan yang dipersepsikan sebagai krisis oleh kelompok protes lebih spontan dan tidak terstruktur sebagaimana sebuah gerakan sosial. Namun demikian, sebuah aksi protes sosial dapat berubah menjadi bentuk aksi gerakan sosial manakala terdapat kondisi-kondisi objektif seperti kondisi makro politik berubah tidak menguntungkan kelompok protes, adanya struktur organsiasi yang permanen ( grassroot) serta ideologi gerakan (Lofland, 2003:27). Menurutnya, ada beberapa varian gerakan protes:

1) Crowd dengan emosi dominan pada aspek kecemasan, ketidakutan, panik, teror, perasaan terancam;

2) Mass dengan emosi dominan pada ekspresi kerusuhan kolektif, frustrasi mendalam, ketidakberdayaan, terdapatnya perasaan kepuasan emosi (( ekstasi) yang meluap-luap, menuju pada kerusuhan (riot) dan hysteria;

3) Public dengan emosi pada pemahaman sentimen umum yang relatif sama;

4) Social movement dengan emosi dominan pada tuntutan perubahan yang didahului pemahaman kolektif akan situasi politik yang tidak normal, krisis, ke mandegan yang merusak tatanan kelompok protes atau gerakan. Berbagai ketidaknormalan tersebut digambarkan sebagai masa-masa sulit dalam politik rasialisme di USA, aksi kaum gettho, gerakan kebebasan peremuan dan separatisme.

Page 44: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

44

Hand-Out 03: NASIONALISME DAN REVOLUSI DALAM PEMIKIRAN POLITIK

SOEKARNO, HATTA, TAN MALAKA DAN SJAHRIR Prawacana

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa "kebenaran politik" (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu "identitas budaya", debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu. Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri.

Dari sinilah cikal bakal tubuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasanya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini. Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan ketentaraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik serta keagamaan, seperti yang dinyatakan di bawah. Para ilmuwan politik biasanya menumpukan penyelidikan mereka kepada nasionalisme yang ekstrem seperti nasional sosialisme, pengasingan dan sebagainya.

Beberapa bentuk dari nasionalisme

Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut. Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudulk Du Contract Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia "Mengenai Kontrak Sosial").

Nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johann Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk "rakyat"). Nasionalisme romantik (juga disebut nasionalisme organik, nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik secara semulajadi ("organik") hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme. Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya "Grimm Bersaudara" yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman.

Page 45: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

45

Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta ras-ras minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok. Kesediaan dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa membuktikan keutuhan budaya Tionghoa. Malah banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Tiongkok sebab persamaan budaya mereka tetapi menolak RRC karena pemerintahan RRT berpaham komunisme.

Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah 'national state' adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme, serta nasionalisme Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Franquisme penulisp-kanan di Spanyol, serta sikap 'Jacobin' terhadap unitaris dan golongan pemusat negeri Perancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgia, yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights) dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau Korsika. Secara sistematis, bila mana nasionalisme kenegaraan itu kuat, akan wujud tarikan yang berkonflik kepada kesetiaan masyarakat, dan terhadap wilayah, seperti nasionalisme Turki dan penindasan kejamnya terhadap nasionalisme Kurdi, pembangkangan di antara pemerintahan pusat yang kuat di Spanyol dan Perancis dengan nasionalisme Basque, Catalan, dan Corsica.

Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di Irlandia semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari agama Hindu.

Namun demikian, bagi kebanyakan kelompok nasionalis agama hanya merupakan simbol dan bukannya motivasi utama kelompok tersebut. Misalnya pada abad ke-18, nasionalisme Irlandia dipimpin oleh mereka yang menganut agama Protestan. Gerakan nasionalis di Irlandia bukannya berjuang untuk memartabatkan teologi semata-mata. Mereka berjuang untuk menegakkan paham yang bersangkut paut dengan Irlandia sebagai sebuah negara merdeka terutamanya budaya Irlandia. Justru itu, nasionalisme kerap dikaitkan dengan kebebasan.

Nasionalisme Indonesia

Saat ini banyak pihak yang mulai meragukan nasionalisme dalam diskursus publik, terutama dalam konteks globalisasi, sampai perlu tercetus istilah "pasca nasional-isme". Seringkali nasionalisme dibelenggu oleh dawai romantisme sejarah, sekalipun dilantunkan dengan begitu heroik. Nasionalisme menjadi istilah yang terdengar tanpa kesejukan dan hanya menjadi sebuah retorika politik belaka dengan argumen historistik partial sehingga menutup dirinya untuk diartikulasikan dalam konteks kekinian. Nasionalisme menjadi

Page 46: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

46

sebuah ortodoksi religius ketika ia dibekukan dengan serangkaian ritual dan simbolisasi tertentu yang menghilangkan tujuan awal dari kebangkitan Nasionalisme. Nasionalisme Para Tokoh Bangsa

Ki Hajar Dewantara menulis; “Dalam pendidikan harus senantiasa diingat bahwa kemerdekaan bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelstandig), tidak tergantung pada orag lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijeid, zelfsbeschikking).” Kalau istilah Belanda itu diterjemahkan kedalam jargon yang lebih dikenal sekarang, maka ketiga komponen kemerdekaan itu ialah self-reliance, independence, dan self-determination.

Sukarno lebih menekankan independence, yaitu terlepasnya Indonesia dari penguasaan oleh suatu bangsa dan penguasaan asing. Hatta dan Syahrir lebih menekankan self-reliance yaitu otonomi setiap individu dalam memutuskan apa yang harus dikerjakan. Tan Malaka selepas sekolah guru di Harlem, Belanda, memilih menjadi guru untuk anak-anak para kuli kontrak di perkebunan Deli, melihat kemerdekaan sebagai self-determination, yaitu kesanggupan setiap kelompok sosial menentukan nasibnya sendiri dan tidak menggantungkan peruntungannya pada kelompok sosial lainnya. Perbedaan tekanan itu menjadi lebih jelas kalau dilihat dari hubungan dengan apa yang hendak ditentang. Kemerdekaan sebagai independence secara telak menolak penjajahan. Kemerdekaan sebagai self-reliance membatalkan ketergantugan. Sedangkan kemerdekaan sebagai self-determination menampik segala jenis penindasan dan pembodohan. Para pejuang Indonesia tanpa kenal lelah melawan segala bentuk penindasan dan hegemoni walaupun mereka dibuang dan diasingkan dalam pembuangan di digul dan selanjutnya di Banda Niera (Januari 1935-Januari 1942). Sampai pada saat-saat yang sangat sulit yaitu tatkala keadaan politik pada awal 1946 memaksakan dipindahkannya Ibu Kota RI untuk sementara ke Jogjakarta. Kemerdekaan dan Kebebasan dari ketertindasan.

Kegelisahan kalangan "pasca nasionalisme" dapat dipahami pada saat "nasionalisme" dapat dengan mudah berubah menjadi `fanatisme fasistis'. Nasionalisme juga sering kali "disalah-gunakan" sebagai landasan filosofis untuk memaksakan kehendak pada saat praktek "Nasionalisme" itu dipaksa berdefinisi tunggal. Contohnya pada saat penguasa India menggunakan slogan "Nasionalisme" untuk mengklaim dan mengendalikan Kasmir sejak tahun 1947. Penguasa India menempatkan satu orang tentara untuk tujuh orang penduduk Kasmir. Lebih dari 1 juta pengungsi, tiga perang besar dan ratusan ribu orang terbunuh adalah hasil dari praktek "nasionalisme para penguasa India". Praktek-praktek semacam ini semakin mengaburkan pemaknaan terhadap Nasionalisme hingga Albert Einstein menyebut "nasionalisme" sebagai tidak lebih dari penyakit campak bagi kemanusiaan. Tidak mudah mengurai makna istilah "nasionalisme" secara semantik, mengingat penggunaannya yang bersifat luas yang mengacu pada makna yang berbeda-beda. Istilah "nasionalisme" sering diidentikan dengan istilah bangsa (nation), kebangsaan (nationality), dan negara (state). Namun secara etimologis terlihat bahwa nasionalisme berakar pada bangsa dan meluas pada istilah kebangsaan. Variasi pemaknaan istilah "nasionalisme" bertambah rumit pada saat "nasionalisme" dipermainkan oleh para politikus dan menjadi praktek "gerakan oposisi politik" dalam terminologi John Breuilly.

Page 47: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

47

Dalam studi semantik Guido Zernatto (1944), kata nation berasal dari kata Latin "natio" yang berakar pada kata "nascor" yang berarti 'penulis lahir'. Perkembangan nasionalisme sebagai sebuah konsep yang merepresentasikan sebuah gagasan politik bagaimanapun jauh lebih kompleks dari transformasi semantik yang mewakilinya. Tetapi tampaknya, Zernatto mengambil prinsip `tanah kelahiran' dari pada faktor etnis, agama, ras, bahasa sebagai landasan interpretasi nasionalisme-nya. Kasus Dr. Tio Oen Bik, seorang etnis Tionghoa kelahiran Tuban, yang menyatakan diri sebagai wakil Rakyat Indonesia dalam Brigade Internasional anti fasisme Jenderal Franco dapat mendukung argument bahwa Nasionalisme itu tidak ada kaitannya dengan faktor etnisitas. Menurut Louis L. Snyder istilah "kebangsaan" (nationality) mengacu atau digunakan dalam makna (obyektif atau eksternal) yang kongkrit (bahasa nasional, wilayah, negara, peradaban, dan sejarah), atau dalam makna (subyektif, internal, atau ideal) yang abstrak (kesadaran nasional, atau sentimen).

Penjelasan Snyder lebih jauh dikembangkan oleh Miroslav Hroch-seorang teoritikus politik penting Czech-dalam uriannya tentang faktor-faktor kelahiran sebuah bangsa dan proses nation-building. Hroch menyimpulkan bahwa sebuah kelompok sosial tidak hanya dibentuk oleh kombinasi antara relasi objektif (ekonomi, politik, bahasa, budaya, agama, daerah, sejarah) dan refleksi subjektif dalam kesadaran kolektif. Bagi Hroch terdapat tiga hal yang tak dapat diabaikan dalam proses nation-building yaitu 1. `Ingatan' kolektif akan sejarah bersama, 2. Kedekatan hubungan kebudayaan, 3. Konsepsi kesetaraan dari seluruh anggota kelompok yang terorganisir sebagai civil society. Dengan demikian Nasionalisme itu tidak lahir dengan sendirinya dan bebas dari faktor-faktor pendukung proses kelahiran semangat Nasionalisme. Adanya faktor subjektif dalam membentuk rasa Nasionalisme itu menyulitkan kita untuk menemukan parameter yang sahih untuk mengukur dan menilai kualitas nasionalisme seseorang. Seseorang tak dapat menilai kualitas nasionalisme orang lain serta menjadi "hakim nasionalisme" hanya melalui keseragaman "ritual dan simbol". Agaknya kita hanya perlu menciptakan ruang yang kondusif agar Nasionalisme itu dengan sukarela dirasakan oleh anggota ke-Bangsa-an Indonesia daripada mempertanyakan `kadar Nasionalisme' orang lain, terlebih lagi pada saat Nasionalisme itu disamarkan dan identik dengan rasialisme.

Nasionalisme Kebangsaan Indonesia

Dalam konteks Indonesia, penulis kira, Nasionalisme itu bersifat Nasionalisme-Kebangsaan. Nasionalisme Kebangsaan Indonesia itu berbeda dari etno-race chauvanisme seperti yang dibangun oleh Johann Gottfried von Herder. Ia merupakan pendewasaan dari konsepsi nasionalisme sektarian seperti konsepsi `nasionalisme Jawa' yang dicetuskan oleh Soetatmo Soerjokoesoemo pendiri Komite Nasionalisme Jawa (1918). Nasionalisme Kebangsaan Indonesia juga bukan alat `political legitimacy' untuk praktek `nasionalisme keagamaan' seperti yang dianut oleh Zionis Israel. Ia juga berada di atas diferensiasi ideologi politik.

Tetapi keunikan Nasionalisme Kebangsaan Indonesia adalah sifat yang tidak antagonis terhadap fakta multi-etnik, multi-kultur, multi-agama, multi-lingual. Bhinekka Tunggal Ika dan Pancasila mencegah Nasionalisme Indonesia berubah menjadi Fasisme a la Indonesia. Hal ini dipertegas oleh Bung Karno dalam pidato `Lahirnya Pancasila' dengan mengatakan ".Sila Ke-Bangsaan mengandung unsur kuat Ke-Manusiaan yang adil dan beradab. Oleh karenanya tidak akan

Page 48: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

48

mungkin meluncur ke arah chauvinisme dan menentang pikiran-pikiran rasialisme". Dengan demikian, Nasionalisme Kebangsaan Indonesia membuka pintu bagi siapa saja untuk berpartisipasi membangun negara Republik Indonesia tanpa prejudice rasialis, etnis, agama dan orientasi politik.

Seperti halnya dengan kebangkitan nasionalisme bangsa-bangsa Asia-Afrika lainnya, Nasionalisme Kebangsaan Indonesia adalah kuliminasi inspirasi Kemerdekaan yang bersandar pada akumulasi pengalaman penjajahan (kolonisasi) Eropa dan seharusnya dibumikan pada pengalaman aktual saat ini. Secara esensial Nasionalisme Kebangsaan Indonesia dibentuk berdasarkan suatu differance sebagai bentuk resistensi terhadap dominasi kolonialisme. Sedangkan esensi resistensi terhadap kolonialisme itu hendaknya tidak berhenti pada kolonialisme Eropa dan menisbikan bentuk-bentuk `kolonialisme oleh bangsa sendiri' serta `kolonialisme Eropa dalam bentuk baru'. Refungsionalisasi Nasionalisme yang sarat dengan esensi pembebasan itu akan mencegah Nasionalisme disempitkan hanya menjadi sekedar "ideologi untuk berperang".

Saat ini, ribuan kasus pertikaian komunal yang dilatar-belakangi oleh ketidak-mampuan dalam menerima perbedaan agama dan etnisitas serta ketidak-konsistenan terhadap penegakan hukum positif merupakan penodaan terhadap semangat Nasionalisme Kebangsaan Indonesia. Ironisnya, jargon-jargon "nasionalisme" seringkali dipakai oleh kelompok "juragan-politisi" sebagai alat untuk mendeskreditkan dan memojokan segolongan warga bangsa dengan memanipulasi sejarah dengan tujuan untuk menghilangkan `ingatan kolektif sejarah bersama' di mana peran historis segolongan etnis tertentu dengan sengaja dihapus, merevisi `kedekatan hubungan kebudayaan' yang telah terjalin berabad-abad, dan membentuk konsepsi yang `tidak-setara' antar berbagai golongan masyarakat Indonesia.

Kalau dahulu Nasionalisme Kebangsaan Indonesia berfungsi sebagai landasan pemersatu dan tonggak kelahiran Republik Indonesia dalam konteks melawan kolonialisme klasik maka penulis berharap Nasionalisme Kebangsaan Indonesia saat ini dapat menjadi alat mempertahankan persatuan serta menjadi elemen spiritual dalam kerangka mencari format untuk memperbaiki/membangun Indonesia secara menyeluruh ditengah-tengah tantangan era "global paradox". Benedict Anderson berpendapat bahwa nasionalisme masyarakat pascakolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa. Para elite nasionalis di masyarakat pascakolonial hanya mengimpor bentuk modular. Menegakkan Nasionalisme Indonesia

Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah Proklamasi Kebangsaan Indonesia yang merupakan ikrar tentang eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia yang telah tumbuh puluhan tahun dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Perjuangan bangsa Indonesia tersebut pada tanggal 17 Agustus 1945 mencapai titik kulminasi dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Hal itu membuktikan bahwa nasionalisme Indonesia sudah merupakan faktor penentu perkembangan sejarah Indonesia – sejarah berdirinya negara Republik Indonesia.

Substansi Nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur: Pertama; kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi

Page 49: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

49

Indonesia. Semangat dari dua substansi tersebutlah yang kemudian tercermin dalam Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan dengan jelas dinyatakan “atas nama bangsa Indonesia”, sedang dalam Pembukaan UUD 1945 secara tegas dikatakan, "Segala bentuk penjajahan dan penindasan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Proklamasi Kebangsaan Indonesia tersebut dalam sejarah perkembangannya telah memberi makna yang sangat signifikan bagi nation building dan pemantapan kesadaran nasionalisme Indonesia. Proses pengembangan kesadaran nasionalisme Indonesia dipelopori oleh Bung Karno (terutama) sejak masa mudanya, yang berkeyakinan bahwa hanya dengan ide dan jiwa nasionalismelah sekat-sekat etnik, suku, agama, budaya dan tanah kelahiran bisa ditembus untuk menggalang persatuan perjuangan melawan kolonialisme. Dalam artikel-artikelnya, banyak pidato dan diskusinya masalah nasionalisme dengan gencar diperjuangkan oleh Bung Karno. Bahkan sekat-sekat ideologipun oleh Bung Karno ditebas tanpa ampun demi perjuangan tersebut (baca: “Nasionalisme, Islam dan Marxisme” yang ditulis Bung Karno 1926.).

Berdirinya Republik Indonesia tersebut telah memberi bukti bahwa nation Indonesia beserta kesadaran nasionalismenya tidak hanya eksis, tapi hidup-aktif dalam pengembangan dirinya dan dalam kehidupan masyarakat antar bangsa. Eksistensi nasion dan nasionalisme Indonesia adalah fakta obyektif yang tidak dapat dinegasikan oleh teori-teori atau analisis-analisis apapun. Analisis atau pandangan yang menyimpulkan bahwa “Indonesië bestaat niet” (Indonesia itu tidak ada) dengan alasan kata “Indonesia” berasal dari asing telah mengalami kegagalan, tidak laku dijajakan sebagai wacana untuk memanipulasi nasionalisme Indonesia dan untuk memecah belah bangsa serta integritas NKRI. Suka atau tidak suka, harus diakui keberadaan bangsa Indonesia dengan kesadaran nasionalismenya, dan keberadaan negara Indonesia dengan segala atributnya sebagai suatu fakta yang tidak dapat disangkal oleh siapapun.

Bicara tentang nasionalisme Indonesia, perlu dicatat bahwa kita tidak bisa menerapkan padanan dengan nasionalisme Barat. Sebab nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berpondasi Pancasila. Artinya nasionalisme tersebut bersenyawa dengan keadilan sosial, yang oleh Bung Karno disebut Socio-nasionalisme. Nasionalisme yang demikian ini menghendaki penghargaan, penghormatan, toleransi kepada bangsa/suku bangsa lain. Maka nasionalisme Indonesia berbeda dengan nasionalisme Barat yang bisa menjurus ke sovinisme -- nasionalisme sempit – yang membenci bangsa/sukubangsa lain, menganggap bangsa/sukubangsa sendirilah yang paling bagus, paling unggul dll. sesuai dengan individualisme Barat. Nasionalisme Indonesia sampai tahun 1965 sudah mantap bersemayam di dada bangsa Indonesia. Tahap nation building telah tercapai dan bersiap-siaga untuk menuju ke tahap berikutnya – state building, yang terhambat dan rusak berat dalam perjuangan untuk nation building, perjuangan melawan pemberontakan-pemberontakan dan sisa-sisa kolonialisme. Tapi tahap perjuangan state building ini ternyata terpangkas oleh timbulnya peristiwa G30S dan berdirinya kekuasaan rezim Orde Baru/Jendral Soeharto.

Page 50: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

50

Dewasa ini harus diakui bahwa kesadaran Nasionalisme sedang mengidap banyak masalah berat, yang memerlukan pembenahan secara serius. Kegagalan pembenahannya akan mempunyai dampak terhadap persatuan bangsa dan kesatuan negara Indonesia. Dengan kilas balik ke sejarah lampau, kita melihat jelas bahwa selama Indonesia dalam kekuasaan rezim Orba berlaku tatanan pemerintahan kediktatoran-militer yang anti demokrasi, anti national, anti HAM, anti hukum dan keadilan, yang menumpas ideal nasionalisme Indonesia. Kekuasaan demikian, yang berlangsung selama 32 tahun dan menggunakan pendekatan kekerasan, telah mematikan inisiatif dan kreativitas rakyat, memperbodoh rakyat. Di sisi lain tindakan rezim Orba tersebut menumbuhkan kebencian rakyat mendasar, terutama rakyat luar Jawa yang merasakan kekayaan alamnya dijarah dan kebudayaannya dieliminir. Maka tidaklah salah kalau dikatakan terjadi penjajahan oleh rezim Orba/rezim Soeharto. Kolonialisme Orba ini meskipun hanya 32 tahun (suatu jangka waktu relatif pendek jika dibandingkan dengan penjajahan kolonialisme Belanda) menjajah Indonesia tapi kerusakan yang diakibatkannya telah menimbulkan krisis multi dimensional yang luar biasa, kemelaratan dan kesengsaraan rakyat yang tak terhingga. Dari situasi yang demikian itu rakyat daerah luar Jawa merasakan ketidak adilan yang sangat mendalam, yang mengakibatkan tumbuhnya benih-benih gerakan disintegrasi dalam negara Indonesia. Di samping itu konflik yang bernuansa SARA, mis.: antara suku Dayak dengan suku Madura (di Kalimantan), antara ummat Kristen dengan ummat Islam (di Maluku dan Sulawesi), penganiayaan fisik dan pengrusakan hartabenda etnik Tionghoa (di Jakarta) dll. adalah juga tengara retaknya bangunan nasionalisme Indonesia.

Maka dengan demikian menjadi jelas bahwa sumber keretakan bangunan nasionalisme tersebut, adalah kekuasaan rezim Orde Baru di bawah pimpinan jendral Soeharto. Tanpa mengetahui sumber malapetaka tersebut kita tidak akan bisa dengan tepat memperbaiki/menyehatkan nasionalisme Indonesia yang sedang sakit tersebut. Sedang hujatan-hujatan terhadap “Pusat” tanpa kejelasan Pusat itu siapa, akan mengarah kepada solusi yang keblinger, yang hanya akan memperparah nasionalisme yang sedang sakit dewasa ini. Mengacu pada uraian di atas Pusat harus diartikan kekuasaan rezim Orba (termasuk rezim Habibie). Akan tidak benarlah kalau pemerintahan Gus Dur dan pemerintahan Megawati dimasukkan dalam kategori Pusat yang harus dikutuk seperti rezim Orba. Sebab tanpa menutup kekurangan-kekurangannya pemerintahan Gus Dur dan pemerintahan Megawati adalah pemerintahan reformasi yang terpaksa menerima warisan segala kebobrokan rezim Orba. Kedua pemerintahan tersebut tidak mungkin bisa memperbaiki keadaan negara yang amburadul dewasa ini, bahkan siapa pun yang akan memegang pemerintahan kelak. Kalau mereka bisa mengadakan seberapa pun perbaikan, itu adalah suatu kemajuan dan keberhasilan. Sedang pemlintiran kata “pusat” diidentikkan dengan suku Jawa (sehingga timbul tuduhan dijajah oleh Jawa), jelas hal itu bertujuan untuk menimbulkan rasa ketidaksenangan, permusuhan antara suku non-Jawa terhadap suku Jawa. Jadi kalau kita ingin mencari akar penyebab retaknya ideal nasionalisme Indonesia, tidak boleh tidak kita harus tunjuk hidung pada kekuasaan rezim Orde Baru/Soeharto, yang dengan kejam menjajah dan rakus menjarah kekayaan daerah.

Ada suatu pendapat bahwa nasionalisme rentan terhadap manipulasi (Arief Budiman). Pendapat tersebut tidak salah. Tapi perlu penegasan lebih lanjut, bahwa tidak hanya nasionalisme saja yang rentan manipulasi, pun hukum,

Page 51: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

51

demokrasi, humanisme, keadilan, Pancasila demikian juga. Kerentanan itu harus dipandang sebagai konsekwensi/akibat proses demokrasi yang belum mantap dan budaya orba yang masih eksis di semua lapangan kehidupan. Pengalaman tragedi bangsa dan negara selama 32 tahun dalam kekuasaan rezim orde baru telah membuktikan hal tersebut. Bahkan apa saja bisa dimanipulasi oleh rezim Orde Baru kala itu dengan segala cara termasuk politik kekerasan.

Tapi akan menuju ke kesimpulan sesat apabila kerentanan nasionalisme dikarenakan oleh bentuk negara: negara kesatuan atau negara federal, tanpa menunjukkan raison d’etre sesungguhnya yaitu politik diktatur-fasis penyelenggara negara yang berkuasa saat itu (orde baru). Sebab manakala seseorang tidak mengkaitkan kebobrokan bangsa dan negara ini dengan kekuasan rejim orde baru sebagai sumber penyebabnya, maka kesimpulannya akan tidak jujur dan tidak obyektif. Baik hal itu kebobrokan dalam bidang kehidupan bermasyarkat dan bernegara maupun dalam bidang-bidang khusus – hukum, keadilan HAM, ekonomi, moral/budaya. Dengan demikian, manakala seseorang mempersoalkan bentuk negara kesatuan RI sebagai penyebab rusaknya nasionalisme Indonesia tidak bisa dibenarkan. Dan dari situ, juga tidak dapat dibenarkan solusi pembentukan negara federasi sebagai penyembuh nasionalisme Indonesia yang sedang sakit dewasa ini.

Acuan pada kasus runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia tidaklah bisa membuktikan kebenaran tesis di atas. Pertama-tama, banyak orang dari permulaan tidak melihat bahwa sesungguhnya negara-negara tersebut adalah negara federasi. Bahkan sistem federasi Uni Soviet mempunyai struktur yang paling desentralistik di dunia: Uni Soviet sebagai Negara Federasi, terdiri a.l. negara bagian yang berbentuk federasi juga (misalnya negara bagian Rusia), sedang di dalam struktur beberapa negara-bagian yang lain terdapat republik-otonom, yang semuanya lengkap dengan segala alat perlengkapan negara. Tapi toh Negara Federasi Uni Soviet jatuh berantakan. Dengan demikian solusi pembentukan negara federal dalam kaitannya dengan masalah nasionalisme Indonesia tidak dapat dibenarkan.

Di samping itu masih ada lagi alasan-alasan yang tidak membenarkan solusi pembentukan negara federal di Indonesia: a. Dalam situasi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sangat rawan

dewasa ini (gagasan) pembentukan negara federal sama artinya mengobarkan dan mempercepat proses disintegrasi. Sesungguhnya solusi pembentukaan otonomi luas bagi daerah-daerah sudah tepat sekali, meskipun realisasinya masih menghadapi kendala-kendala yang sangat serius.

b. Dalam membaca peta politik dewasa ini tampak bahwa kekuatan Orde Baru masih utuh di mana-mana, bahkan konsolidasinya makin menguat. Kalau pada era kejayaannya, semboyan “mempertahankan Negara Kesatuan (NKRI)”, semata-mata sebagai taktik untuk mempermudah realisasi strategi kolonialisme terhadap daerah-daerah. Maka dalam era reformasi dewasa ini gagasan pembentukan Negara Federal akan merupakan kesempatan bagus bagi kekuatan Orde Baru untuk mendirikan rezim-rezim Orba di daerah-daerah, sebab mereka memiliki sumber dana dan sumber daya manusia sangat besar.

Page 52: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

52

Dari persoalan-persoalan yang terurai di atas, sampailah pada pertanyaan bagaimana perspektif nasionalisme Indonesia ini. Di kalangan masyarakat timbul pandangan pesimistik, yang menjadi dasar pendorong untuk pembenaran gagasan-gagasan disintegrasi. Tapi di samping itu terdapat pandangan optimistik yang cukup kuat. Penulis yang termasuk dalam golongan terakhir berpendapat, bahwa nasionalisme Indonesia bisa “sehat”, sebab sebagian besar rakyat Indonesia masih teguh jiwa patriotismenya, cinta bangsa dan tanah air Indonesia. Tapi hal itu sulit akan terjadi apabila tidak didasari oleh upaya-upaya serius oleh penyelenggara negara untuk: 1. Pembangunan ekonomi di semua daerah secara merata dan realisasi

otonomi daerah secara luas. 2. Penegakan demokrasi yang tidak anarkhistik, supremasi hukum yang

berkeadilan dan demokratik. 3. Penggalakan kehidupan bersuasana toleransi, aman-damai dan rukun

dalam masyarakat yang multi agama, suku, etnik dan budaya. Kegagalan atas upaya tersebut di atas akan mempercepat berlanjutnya

proses penipisian kesadaran nasionalisme Indonesia, yang akan berakibat semaraknya gerakan disintegrasi bangsa dan negara. Inilah tugas berat pemerintahan Megawati dewasa ini. Tetapi tuntutan yang tidak proporsional terhadap Megawati adalah suatu kecupetan pikir. Sebab sebagai pemerintahan transisional dia tidak mungkin mensukseskan tugas-tugas di atas secara tuntas, dan cepat berhubung kerusakan yang diakibatkan oleh rezim Orba begitu hebat. Mungkin dalam waktu 10 tahun mendatang baru akan tampak hasil yang signifikan. Jadi kalau sekarang ini pemerintahan Megawati sudah “berhasil” menenteramkan kerusuhan-kerusuhan di Maluku, Sulawesi Utara dan Kalimantan Tengah; kalau dia berhasil mengerem laju proses disintegrasi di beberapa daerah, men”stabil”kan ekonomi sudah dapat dikatakan suatu kesuksesan. Maka adalah tugas kita semua untuk membantu pemerintahan Megawati dalam memperbaiki kerusakan-kerusakan negara dewasa ini. Penggoyangan pemerintahan Megawati, apalagi seruan penggulingan terhadapnya, adalah tindakan tidak bertanggung jawab dan berpenyakit kekanak-kanakan (kekiri-kirian), yang akan hanya menguntungkan kekuatan Orde Baru saja yang kini masih kuat bercokol di semua bidang. Memang pemerintahan Megawati memiliki tidak sedikit kekurangan, tapi itu adalah kekurangan obyektif dalam situasi transisi dewasa ini. Jadi strategi dan taktik perjuangan harus disesuaikan dengan peta politik dewasa ini. Tentang Nasionalisme Indonesia

Dalam konteks gerak finansial kapital dalam skala mondial, atau dalam istilah sekarang lebih dikenal sebagai globalisasi, pembicaraan ten-tang masalah nasionalisme seakan sudah menjadi barang usang. Mungkin tepat seperti dilukiskan ilmuwan politik yang mengatakan one's imagined community is another one's prison dalam kritiknya terhadap gagasan masyhur Benedict Anderson imagined community yang gemar dirujuk banyak intelektual Indonesia kini. Dan pernyataan itu tampaknya menjadi amat relevan dalam kaitan dengan meningkatnya gerakan separatisme dan konflik etnis di Indonesia kini. Kenyataan lain menunjukkan, untuk bertahan hidup, para TKI tampaknya tidak terlalu pusing tentang makna nasionalisme seperti digembar-gemborkan para penguasa negeri ini. Tidak dapat dimungkiri, bila hanya sekadar dilihat kondisi obyektif pergaulan

Page 53: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

53

sosial manusia dan perkembangan ekonomi abad ke-21, gagasan nasionalisme menjadi suatu pokok masalah yang sering kontradiktif. Dalam renungan tentang kemerdekaan Republik Indonesia kini, tulisan ini mencoba memahami relevansi gagasan nasionalisme dalam kaitan dengan aspek-aspek kesejarahan orang Indonesia. Gagasan nasionalisme yang berkembang di Indonesia seharusnya tidak dipahami hanya dari sudut perkembangan obyektif semata, tetapi juga dalam ruang politik pembentukan negara republik dan kebutuhan survival sebuah negara baru dalam pergaulan internasional. Tidak dapat dimungkiri, saat terbentuk republik bernama Indonesia, konteks sejarah saat itu menunjukkan beragamnya pikiran dan ideologi manusia Indonesia yang mengambil inspirasi dari gagasan-gagasan religius atau sekuler. Selain itu, kekuatan-kekuatan politik yang ada juga mengusung beragam faham seperti sosialisme, Islam, marhaenisme, dan komunisme, termasuk kelompok-kelompok etnis dan keturunan Tionghoa dan Arab. Situasinya bisa dibayangkan seperti keramaian pasar malam yang menawarkan beragam faham, kepentingan, dan gagasan.

Untuk mempermudah, kita bisa menyebutkan, keragaman itu tidak menghalangi lahirnya kesepakatan bersama membangun suatu negara baru berbentuk republik. Tidak mengherankan bila struktur birokrasi negara yang terbentuk mengambil alih begitu saja struktur negara kolonial. Tetapi, yang jelas, ia bukan replikasi birokrasi kerajaan atau tradisi kesukuan di Indonesia.

Republik Indonesia dibentuk dari institusi yang dilahirkan masyarakat modern. Dengan demikian, bisa disimpulkan, sejarah pembentukan republik tidak menunjukkan keberadaan suatu gagasan nasionalisme Indonesia dalam arti bulat dan utuh. Bukan berarti Sumpah Pemuda tahun 1928 tidak berarti, tetapi makna Indonesia memiliki arti berbeda ketika negara republik dibentuk, dibanding saat pertama kali gagasan itu diikrarkan. Dalam perkembangannya, nasionalisme Indonesia bisa dimengerti dalam konteks internasional saat awal perang dingin. Doktrin Truman mulai diterapkan untuk menghadapi laju komunisme di Eropa, garis komintern dan doktrin Zdanov dalam kaitan dengan gerakan-gerakan radikal di dunia ketiga dan lahirnya negara-negara baru di Asia dan Afrika memasuki dekade tahun 1950-an dan tahun 1960-an.

Perlu disebutkan juga teori tiga dunia yang dipelopori Mao Tse Tung dan Chou En Lai yang membagi kondisi politik internasional dalam blok Barat di bawah Amerika Serikat, blok Timur di bawah Uni Soviet saat itu, dan negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka. Cetusannya dalam konteks historis adalah Konferensi Asia-Afrika dan lahirnya gagasan Non-Blok yang menjadi kekuatan baru di dunia. Kesimpulannya, Indonesia sebagai imagined community terbentuk dari kesadaran politik orang-orang Indonesia saat itu dalam membangun republik baru dan pertarungan dalam politik internasional. Presiden pertama RI Soekarno tidak pernah terlalu pusing membahas apa itu nasionalisme Indonesia. Ia adalah seorang romantik yang mencintai rakyatnya dan mengagumi keragaman budaya Nusantara. Ia tidak merasa tidak Indonesia meski lebih akrab berbahasa Belanda atau Jawa dengan kolega, sahabat, atau saat berpidato di depan massa.

Artinya, para elite politik saat itu tidak mempersoalkan makna nasionalisme dalam konteks identitas seperti yang kini dibayangkan. Seorang antropolog Amerika, James Siegel, menggambarkan ilustrasi menarik tentang tokoh Tan Malaka yang dengan mudah berganti-ganti identitas menjadi orang Tionghoa, Filipina, Melayu, atau petani Jawa. Mungkin orang yang paling romantis saat itu, dalam kaitan dengan nasionalisme Indonesia, adalah

Page 54: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

54

Mohammad Yamin yang mencari jejak sejarah seribu tahun Indonesia yang sudah barang tentu hanya sekadar imajinasi. Nasionalisme lebih merupakan gagasan yang menjadi medium komunikasi politik antara penguasa dan rakyat.

Situasi ini berbeda ketika Orde Baru berkuasa. Struktur politik yang elitis, birokratis, teknokratis menjauhkan rezim itu dengan kehidupan kebanyakan orang. Selain itu, utang budi dan ketergantungan pada bantuan asing yang memapankan politik otoriter membuat rezim itu memiliki mimpi buruk dengan identitasnya. Dalam kondisi itulah gagasan nasionalisme sebagai identitas bagi orang Indonesia mulai ditumbuhkan. Sebuah identitas yang diproduksi dan diberikan oleh negara kepada warga negaranya. Penguasa menggalinya dari "puncak-puncak kebudayaan daerah" atau tradisi-tradisi yang awalnya ditinggalkan para pendiri Republik ini.

Dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, orang Indonesia belajar tentang nasionalisme mulai dari PSPB, PMP, P4, dan lainnya. Tidak ketinggalan pengeramatan "benda-benda pusaka" seperti bendera dan atribut negara, juga baris-berbaris dan upacara rutin. Termasuk juga pembentukan lembaga bahasa yang mengajarkan cara berbahasa yang baik dan benar meski kebanyakan pejabat tinggi saat itu tidak mampu berbicara baik dan benar. Namun, pada sisi lain, pemerintahan Orde Baru juga menumbuhkan sikap rasial yang amat kasar dalam kebijakan-kebijakannya, yang tidak terpikir oleh para peletak dasar negara Republik ini.

Dengan demikian, gagasan-gagasan nasionalisme yang kini berkembang adalah gagasan yang lahir dari pemerintahan yang dihinggapi rasa panik terhadap identitas dan legitimasi mereka di hadapan rakyatnya, selain pemerintahan yang tidak memiliki rasa percaya diri. Tidak mengherankan bagi para intelektual sekarang, pembahasan tentang nasionalisme sering ditanggapi sinis dan skeptis karena gagasan itu tidak lain dari penjelmaan kekuasaan otoriter, dikeramatkan melebihi kitab suci. Peristiwa belakangan ini menunjukkan bukan berarti setelah pemerintahan Orde Baru runtuh, penyakit itu juga hilang. Ilustrasi paling menonjol adalah saat wakil rakyat di MPR mencetuskan istilah "pribumi" dalam salah satu keputusan penting.

Dalam ulasan singkat tentang perkembangan sejarah ini, bisa dilihat dua pengertian tentang nasionalisme Indonesia. Pertama, dan masih berlaku sekarang, gagasan nasionalisme Indonesia yang keramat yang diciptakan negara otoriter, dengan obsesi pada identitas diri (baca: negara). Gagasan yang ada mutlak dan utuh dengan definisi yang jelas. Kedua, gagasan nasionalisme yang cair, dinamis, dan lebih berorientasi sebagai medium komunikasi politik antara penguasa dan rakyat dibanding sebuah identitas keindonesiaan. Mungkin keduanya sudah tidak relevan. Tetapi, adalah naif bila proses sejarah dipalingkan begitu saja dan mengabaikan realitas masyarakat Indonesia kini. Harapannya, generasi sekarang bisa lebih kreatif dan arif dalam memahami diri sebagai bagian imagined community bernama Indonesia.

Page 55: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

55

Hand-Out 04: STUDI DASAR IDEOLOGI DUNIA DAN KRITIK IDEOLOGI

PRAWACANA: PENGANTAR IDEOLOGI 1. Pengertian Ideologi

Pada dasarnya ideologi berasal dari bahasa latin yang terdiri dari dua kata: ideos artinya pemikiran, dan logis artinya logika, ilmu, pengetahuan. Dapatlah didefinisikan ideologi merupakan ilmu mengenai keyakinan dan cita-cita.12 Ideologi merupakan kata ajaib yang menciptakan pemikiran dan semangat hidup diantara manusia terutama kaum muda, khususnya diatara cendekiawan atau intelektual dalam suatu masyarakat.13 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ideologi merupakan rumusan alam pikiran yang terdapat diberbagai subyek atau kelompok masyarakat yang ada, dijadikan dasar untuk direalisasikannya. Dengan demikian, ideologi tidak hanya dimiliki oleh negara, dapat juga berupa keyakinan yang dimiliki oleh suatu organisasi dalam negara, seperti partai politik atau asosiasi politik, kadang hal ini sering disebut subideologi atau bagian dari ideologi. Ideologi juga merupakan mythos yang menjadi political doctrin (doktrin politik) dan political formula (formula politik).14 Ideologi adalah suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam yang dipunyai dan dipegang oleh suatu masyarakat tentang bagaimana cara yang sebaliknya, yaitu secara moral dianggap benar dan adil, mengatur tingkah laku mereka bersama dalam berbagai segi kehidupan duniawi mereka.15 Ideologi juga memiliki arti: konsepsi manusia mengenai politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan untuk diterapkan dalam suatu masyarakat atau negara.16

2. Ideologi dalam Ilmu Sosial

Persoalan ideologi merupakan pusat kajian ilmu sosial.17 Menurut Frans Magnis Suseno,18 ideologi dimaksud sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Dalam konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan.

Istilah ideologi adalah istilah yang seringkali dipergunakan terutama dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga istilah yang sangat tidak jelas. Banyak para ahli yang melihat ketidakjelasan ini berawal dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri. Ideologi dalam pengertian yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan sebagai istilah mengenai sistem nilai, ide, moralitas, interpretasi dunia

12 Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1982) hlm. 7. 13 Ibid., hlm. 145. 14 Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi dan Pengaruhnya

Terhadap Dunia Ketiga (Jakarta: Bumi Aksara, 2007) hlm. 238. 15 Alfian, Pemikian dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1981) hlm. 187. 16 Sukarna, Suatu Studi Ilmu Politik Ideologi (Bandung: Alumni, 1981) hlm. 113. 17 Jorge Lorrain, Konsep Ideologi (Yogyakarta: LKPSM, 1996) hlm. 10. 18 Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1991) hlm. 230.

Page 56: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

56

dan lainnya. Menurut Antonio Gramsci,19 ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya. 3. Logika Dasar Ideologi

Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan20. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan ”sains tentang ide”. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan utama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit. (definisi ideologi Marxisme). Ideologi sama pentingnya dengan silogisme (baca: logika berfikir yang benar) bagi setiap proposisi (dalil atau pernyataan) yang kita buat. Ideologi secara etimologis berarti permulaan. Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang dibangun diatas pemikiran-pemikiran (cabang). Ideologi adalah pemikiran mendasar dan patokan asasi tingkah laku. Dari segi logika Ideologi adalah pemahaman mendasar dan asas setiap peraturan. 4. Proses Kelahiran Ideologi

Tentang bagaimana ideologi lahir, pada dasarnya ideologi terumuskan dengan sejumlah kemungkinan: pertama, ideologi lahir karena diinspirasikan oleh sosok tokoh yang luar biasa, dalam sejarah bangsanya. Ia hadir membawa sekaligus mampu memberikan inspirasi serta pengaruh kuat terhadap orang lain secara luas. Pada keadaan ini, gagasan seseorang yang ‘luar biasa’ itu atas kehendak pelaku dan dukungan pengikut, alam pemikirannya mengenai cita-cita masyarakat yang diperjuangkan dalam gerakan politik diakui dan dirumuskan secara sistematis, telah menjadi ideologi. Ideologi itu lahir dari pemikiran

19 Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hlm. 83.

20 Anthony Downs dalam buku An Economic System of Democracy (New York: Harper & Row, 1957) hlm. 96. mendefinisikan ideologi sebagai “a verbal image of the good society, and of the chief means of constructing such a society.” Menurut Austin Ranney, setiap ideologi adalah seperangkat ide yang saling bertautan secara logis dan memiliki titik beda dengan ideologi lain. Gagasan yang terangkum dalam sebuah ideologi mencakup nilai-nilai (values), visi kemasyarakatan yang ideal (vision of the idel polity), konsep asal-usul manusia (conception of human nature), strategi tindakan (strategies of actions), dan siasat politik (political taktics); lihat Austin Ranney, Governig; An Introduction to Political Science (7th Edition; London: Prentice Hall International, Inc., 1996) hlm. 71-73. Sementara dalam bahasa yang agak lebih sederhana, pranarka menjelaskan ideologi yang menurut hakikat dan sifatnya adalah sebuah pegangan untuk perjuangan; lihat A.M.W. Pranarka, “Pasal 33 UUD 1945: Wawasan Dasar dan Konstruksi Operasionalnya, Suatu Tinjauan Ideologis,”dalam Analisa CSIS, Tahun IV, No. 12, Desember 1986, Penjelasan tentang ideologi-ideologi dunia yang cukup komprehensif; lihat William Ebenstein dan Edwin Fogelman, Isme-isme Dewasa ini, terj. Alex Jemadu (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1994). Lihat catatan kaki dalam A. Effendi Khoirie, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2003) hlm. 22.

Page 57: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

57

seseorang. Kedua, berdasarkan alam pikiran masyarakat, ideologi itu dirumuskan oleh sejumlah orang yang berpegaruh dan merepresentasikan kelompok masyarakat kemudian disepakati sebagai pedoman dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bilaperlu diciptakan mitos-mitos untuk mendapatkan pengakuan legal dan kultural dari masyarakat bersangkutan sehingga mereka tunduk dan meyakini. Ketiga, berdasarkan keyakinan tertentu yang bersifat universal, ideologi itu lahir dan dibawa oleh orang yang diyakini sebagai kehendak Tuhan, dengan pesan untuk melakukan pembebasan dan memberikan bimbingan dalam mengatur kehidupan yang sebenarnya serta konsekuensi moral dikemudian hari yang akan diterima bila melanggarnya. Ideologi ini syarat dengan pesan moral yang sesuai dengan nurani serta dasar primordial manusia. Oleh sebab itu, ideologi yang lahir dari suatu keyakinan Iman dan bersifat universal akan hidup secara permanen tidak akan goyah dan mati. Biasanya ideologi ini lahir diinspirasikan oleh spirit agama.21 Namun demikian, terlepas dengan cara apa dan bagaimana suatu ideologi itu lahir, pada dasarnya ideologi sering disamakan sebagai suatu keyakinan, sebab ia mengandung suatu mitos dan cita-cita yang harus direalisasikan dan memiliki nilai kebenaran. Bagi pengikutnya tidak hanya diakui dan diikuti, lebih dari itu dihayati sebagai sesuatu yang memiliki spirit hidup serta perjuangan dalam menjawab tantangan yang dirasakan.22

5. Dimensi dan Tahapan Ideologi

Ada tiga dimensi yang perlu dipenuhi oleh suatu ideologi agar tetap mampu mempertahankan relevansinya sebagai berikut: pertama, dimensi realitas, adalah kemampuan ideologi untuk mencerminkan realitas dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya. Karena hanya dari situlah anggota masyarakat akan merasa bahwa ideologi itu memang miliknya. Kedua, dimensi idealisme, adalah kemampuan dasar ideologi yang terkandung di dalam nilai-nilai dasar ideologi itu. Ketiga, dimensi fleksibilitas, dimensi ketiga ini menuntut kemampuan ideologi bukan saja untuk melandasi dan meneropong perubahan atas pembaruan masyarakat, tetapi juga sekaligus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan itu.23

Ali Syariati memberikan argumentasi atau pendapatnya bahwa suatu ideologi dalam mengoperasionalisasikan nilai-nilai dalam masyarakat sebagai suatu kebenaran untuk dapat diperjuangkan menjadi keyakinan atau pandangan hidup dalam kolektif masyarakat memiliki tahapan-tahapan sehingga terbentuk sebuah ideologi, ini meliputi: pertama, adalah cara kita melihat dan mengungkapkan alam semesta, eksistensi, dan manusia. Kedua, cara khusus dalam kita memakai dan menilai semua benda dan gagasan atau ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan mental kita, Ketiga, mencakup usulan, metode sebagai pendekatan dan keinginan yang kita manfaatkan untuk mengubah status quo yang kita tidak puas.24 Pada tahap ketiga inilah ideologi mulai menjalankan misinya dengan memberikan para pendukungnya pengarahan, tujuan dan cita-cita serta rencana praktis sebagai dasar perubahan dan kemajuan kondisi sosial yang diharapkan.25

21 Firdaus Syam, op. cit., hlm. 240-241. 22 Ibid., hlm. 241. 23 Ali Syariati, op. cit., hlm. 148. 24 Firdaus Syam, op. cit., hlm. 242. 25 Ali Syariati, op. cit., hlm. 148.

Page 58: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

58

6. Akar Ideologi dari Tiga Pendekatan Filsafat Semenjak masa kelahiran para pemikir di Yunani, Romawi, Kelahiran

kejayaan Yudea-Kristiani, kemudian Islam dan Abad Pencerahan di Eropa Konstruk Filsafat yang melahirkan ideologi-ideologi besar dunia sesungguhnya berakar dari tiga pendekatan filsafat, yakni: Pertama, Filsafat Idealisme (philosophy of idealism), ini mengedepankan faham rasionalisme dan individualisme, yang dalam kehidupan berpolitik telah melahirkan ideologi Liberalisme dan Kapitalisme. Ide yang menjadikan kekuatan dasar menempatkan manusia sebagai pusat di alam semesta (centre of nature), manusia sebagai titik pangkal terjadinya perubahan sejarah. Ini melahirkan faham dalam membangun kehidupan kenegaraan dalam konteks hubungan agama dengan negara adalah terpisah (separation) walau dalam hal-hal ceremonial dan ritual agama masih diberikan peran. Pandangan kehidupan yang berdasar ideologi liberalisme-kapitalisme, melahirkan faham Sekulerisme-Moderat26 dalam mengatur kehidupan politik-kenegaraan.

Kedua, Filsafat Materialisme (philosophy of materialism), ini mengedepankan faham emosionalisme berupa perjuangan kelas dengan kekerasan dan kolektivisme, yang dalam kehidupan berpolitik telah melahirkan ideologi Sosialisme-Komunisme. Materi (ekonomi), yang menjadi kekuatan dasar menempatkan kondisi ekonomi sebagai faktor penentu terjadinya perubahan sejarah. Ini melahirkan faham dalam membangun kehidupan kenegaraan dalam konteks hubungan agama dengan negara adalah dipertentangkan (conflic). Agama dianggap sebagai faktor penghambat, candu bagi masyarakat, karena itu tidak diberikan peran sama sekali. Pandangan kehidupan yang berdasar ideologi Sosialisme-Komunisme melahirkan faham Sekularisme-Radikal27 dalam mengatur kehidupan politik-kenegaraan.

Ketiga, Filsafat Teologisme (philosophy of teologism). Dalam faham ini masih dibagi menjadi dua: 1] faham agama yang menempatkan ajaran Tuhan memegang peran sentral dalam kehidupan politik-kenegaraan, tetapi dalam konstruk politiknya, menjadikan pemuka agama sebagai tokoh yang dikultuskan. 2] faham agama yang memang menempatkan ajaran Tuhan sebagai sumber inspirasi, motivasi dan ekspresi. Ini menempatkan ajaran Tuhan sebagai faktor integratif dan pencerahan. Dalam hubungannya dalam kehidupan politik-kenegaraan, agama sebagai suatu yang suci kekuatannya bukan di pengkultusan dan pemistikan melainkan agama sebagai pembimbing (guidens). Agama dapat didialogkan untuk terlibat sebagai wacana sekaligus sumber etika, moral dan hukum, maka dalam kehidupan politik-kenegaraan itu dapat dikatakan agama bersifat dinamis, dapat disebut pula sebagai filsafat teologisme-dinamis.28

26 Sekulerisme-Moderat melihat agama sebagai urusan pribadi yang berkaitan dengan

masalah-masalah ruhani manusia, dan karena itu tidak boleh mencampuri urusan publik yang berkaitan dengan politik serta menyangkut dunia materi. Dalam Amien Rais, Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta (Bandung: Mizan, 1999) hlm. 124.

27 Sekularisme-Radikal melihat agama sebagai musuh, karena dianggap sebagai perintang kemajuan. Ibid.

28 Firdaus Syam, op. cit., hlm. 242-244.

Page 59: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

59

7. Tiga Kategorisasi Ideologi Secara sederhana, Franz Magnis Suseno29 mengemukakan tiga

kategorisasi ideologi. Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di tata. Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini Franz Magnis-Suseno mencontohkan ideologi Marxisme-Leninisme.

Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya ideologi yang menyuguhkan kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Operasionalisasi dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama. Dengan demikian ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.

Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan bagaimana manusia harus hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi ideologis, karena mendukung tatanan sosial yang ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain. 8. Fungsi dan Faktor Pendukung Ideologi

Ideologi adalah suatu sistem keyakinan yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau bangsa yang bersifat menyeluruh yang mendalam mengenai segala segi kehidupan kenegaraan, kemasyarakatan, dan kebagsaan. Ideologi mengandung kehendak dan cita-cita tentang suatu kehidupan masyarakat yang ideal yang diyakini kebenarannya dan harus diperjuangkan agar terwujud dengan kongkrit. Oleh karena itu ideologi merupakan panduan bagi penganutnya untuk melakukan tindakan-tindakan secara praktis dan strategis untuk mewujudkan kehendak dan cita-cita yang terkandung dalam ideologi tersebut. Ideologi mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut: 1. Fungsi Etis, yaitu sebagai panduan dan sikap serta perilaku kelompok

masyarakat dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. 2. Fungsi Integrasi, yaitu nilai yang menjadi pengikat suatu bangsa atau

masyarakat. 3. Fungsi Kritis, yaitu sebagai ukuran nilai yang dapat digunakan untuk

melakukan kritik terhadap nilai atau keadaan tertentu. 4. Fungsi Praxis, yaitu sebagai acuan dalam memecahkan masalah-masalah

kongkrit.

29 Franz Magnis-Suseno, op. cit., hlm. 232.

Page 60: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

60

5. Fungsi Justifikasi, yaitu ideologi sebagai nilai pembenar atas suatu tindakan atau kebijakan tertentu yang dikeluarkan oleh suatu kelompok tertentu.

Menurut tokoh psyco-analisis Foucault, ideologi menyangkut empat faktor atau hal penting: 1] Ekonomi sebagai basis, 2] Kelas yang berkuasa, 3] Kekuatan repressif, 4] Sesuatu yang berlawanan dengan kebenaran sejati. Menurut Gianfranco, seorang pakar sosiologi ada tiga kekuatan sosial yang mempengaruhi masyarakat: 1] Kekuatan politik, 2] Kekuatan ekonomi, 3] Kekuatan normatif atau ideologi.

KAPITALISME 1. Pengertian Kapitalisme

Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya (Bagus, 1996). Ebenstein (1990) menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek (1978) memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi.

Menurut Ayn Rand (1970), kapitalisme adalah “a social system based on the recognition of individual rights, including property rights, in which all property is privately owned”. (Suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik privat) Heilbroner (1991) secara dinamis menyebut kapitalisme sebagai formasi sosial yang memiliki hakekat tertentu dan logika yang historis-unik. Logika formasi sosial yang dimaksud mengacu pada gerakan-gerakan dan perubahan-perubahan dalam proses-proses kehidupan dan konfigurasi-konfigurasi kelembagaan dari suatu masyarakat. Istilah "formasi sosial" yang diperkenalkan oleh Karl Marx ini juga dipakai oleh Jurgen Habermas. Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebut kapitalisme sebagai salah satu empat formasi sosial (primitif, tradisional, kapitalisme, post-kapitalisme).

2. Sejarah Perkembangan Kapitalisme

Robert E. Lerner dalam Western Civilization (1988) menyebutkan bahwa revolusi komersial dan industri pada dunia modern awal dipengaruhi oleh asumsi-asumsi kapitalisme dan merkantilisme. Direduksi kepada pengertian yang sederhana, kapitalisme adalah sebuah sistem produksi, distribusi, dan pertukaran di mana kekayaan yang terakumulasi diinvestasikan kembali oleh pemilik pribadi untuk memperoleh keuntungan. Kapitalisme adalah sebuah sistem yang didisain untuk mendorong ekspansi komersial melewati batas-batas lokal menuju skala nasional dan internasional. Pengusaha kapitalis mempelajari pola-pola perdagangan internasional, di mana pasar berada dan bagamana memanipulasi pasar untuk keuntungan mereka. Penjelasan Robert Learner ini paralel dengan tudingan Karl Marx bahwa imperialisme adalah kepanjangan tangan dari kapitalisme.

Sistem kapitalisme, menurut Ebenstein (1990), mulai berkembang di Inggris pada abad 18 M dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat laut dan Amerika Utara. Risalah terkenal Adam Smith, yaitu The Wealth of Nations (1776), diakui sebagai tonggak utama kapitalisme klasik yang mengekspresikan gagasan “laissez faire” dalam ekonomi. Bertentangan sekali dengan merkantilisme yaitu adanya intervensi pemerintah dalam urusan negara.

Page 61: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

61

Smith berpendapat bahwa jalan yang terbaik untuk memperoleh kemakmuran adalah dengan membiarkan individu-individu mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri tanpa keterlibatan perusahaan-perusahaan negara (Robert Lerner, 1988). Awal abad 20 kapitalisme harus menghadapi berbagai tekanan dan ketegangan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Munculnya kerajaan-kerajaan industri yang cenderung menjadi birokratis uniform dan terjadinya konsentrasinya pemilikan saham oleh segelintir individu kapitalis memaksa pemerintah (Barat) mengintervensi mekanisme pasar melalui kebijakan-kebijakan seperti undang-undang anti-monopoli, sistem perpajakan, dan jaminan kesejahteraan. Fenomena intervensi negara terhadap sistem pasar dan meningkatnya tanggungjawab pemerintah dalam masalah kesejahteraan sosial dan ekonomi merupakan indikasi terjadinya transformasi kapitalisme. Transformasi ini, menurut Ebenstein, dilakukan agar kapitalisme dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan ekonomi dan sosial. Lahirlah konsep negara kemakmuran (welfare state) yang oleh Ebenstein disebut sebagai "perekonomian campuran" (mixed economy) yang mengkombinasikan inisiatif dan milik swasta dengan tanggungjawab negara untuk kemakmuran sosial.

Habermas memandang transformasi itu sebagai peralihan dari kapitalisme liberal kepada kapitalisme lanjut (late capitalism. organized capitalism, advanced capitalism). Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebutkan bahwa state regulated capitalism (nama lain kapitalisme lanjut) mengacu kepada dua fenomena: (a) terjadinya proses konsentrasi ekonomi seperti korporasi-korporasi nasional dan internasional yang menciptakan struktur pasar oligopolistik, dan (b) intervensi negara dalam pasar. Untuk melegitimasi intervensi negara yang secara esensial kontradiktif dengan kapitalisme liberal, maka menurut Habermas, dilakukan repolitisasi massa, sebagai kebalikan dari depolitisasi massa dalam masyarakat kapitalis liberal. Upaya ini terwujud dalam sistem demokrasi formal. 3. Tiga Asumsi Kapitalisme Menurut Ayn Rand

Ayn Rand dalam Capitalism (1970) menyebutkan tiga asumsi dasar kapitalisme, yaitu: (a) kebebasan individu, (b) kepentingan diri (selfishness), dan (c) pasar bebas. Menurut Rand, kebebasan individu merupakan tiang pokok kapitalisme, karena dengan pengakuan hak alami tersebut individu bebas berpikir, berkarya dan berproduksi untuk keberlangsungan hidupnya. Pada gilirannya, pengakuan institusi hak individu memungkinkan individu untuk memenuhi kepentingan dirinya.

Menurut Rand, manusia hidup pertama-tama untuk dirinya sendiri, bukan untuk kesejahteraan orang lain. Rand menolak keras kolektivisme, altruisme, mistisisme. Konsep dasar bebas Rand merupakan aplikasi sosial dan pandangan epistemologisnya yang natural mekanistik. Terpengaruh oleh gagasan “the invisible hand” dari Smith, pasar bebas dilihat oleh Rand sebagai proses yang senantiasa berkembang dan selalu menuntut yang terbaik atau paling rasional. Smith pernah berkata: “...free marker forces is allowed to balance equitably the distribution of wealth”. (Robert Lerner, 1988).

Page 62: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

62

4. Sistem Perekonomian/ Tata Ekonomi Kapitalisme Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan

secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang, manjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam sistem ini pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam ekonomi. Dalam perekonomian kapitalis setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Semua orang bebas melakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas dengan berbagai cara.

5. Teori Dasar Ekonomi-Kapitalis

Membincarakan dasar teori ekonomi kapitalisme, sosok Adam Smith dengan buku termasyhurnya, The Wealth of Nations, dapat disebut sebagai Bapak Kapitalisme. Dalam membahas teori dasar kapitalisme adalah dengan mengetahui ciri dasar sistem tersebut, yaitu pemaksimalan keuntungan individu melalui kegiatan-kegiatan ekonomi yang dimaksudkan membantu kepentingan publik.

Makna kapitalisme untuk kepentingan publik tersebut, oleh Adam Smith diilustrasikan dengan sangat jelas: “Apa yang kita harapkan untuk makan malam kita tidaklah datang dari keajaiban dari si tukang daging, si pemasak bir atau si tukang roti, melainkan dari apa yang mereka hormati dan kejar sebagai kepentingan pribadi. Malah seseorang umumnya tidak berkeinginan untuk memajukan kepentingan publik dan ia juga tidak tahu sejauh mana ia memiliki andil untuk memajukannya. Yang ia hormati dan ia kejar adalah keuntungan bagi dirinya sendiri. Di sini ia dituntun oleh tangan-tangan yang tak terlihat (the invisible hands) untuk mengejar yang bukan bagian dari kehendak sendiri. Bahwa itu juga bukan merupakan bagian dari masyarakat, itu tidak lantas berarti suatu yang lebih buruk dari masyarakat. Dengan mengejar kepentingan sendiri, ia kerap kali memajukan kepentingan masyarakat lebih efektif dibandingkan dengan jika ia sungguh-sungguh bermaksud memajukannya. Penulis tidak pernah menemukan kebaikan yang dilakukan mereka yang sok berdagang demi kepentingan publik”.30 Penjelasan ilustratif tersebut sebenarnya tidak bermaksud lain kecuali kehendak untuk memaknai kapitalisme dengan memadukan kepentingan individu di satu pihak dan kepentingan publik di pihak yang lain. Dari premis itu ialah bahwa kapitalisme merupakan sebuah sistem ekonomi yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan ekonomi secara individu. Meskipun demikian, orientasi individu tetap merupakan tahapan awal bagi kepentingan publik atau sosial. Motif sosial yang tersembunyi (hidden social motive) yang disebut Smith sebagai the invisible hands.

Kehendak untuk memadukan kepentingan privat dan publik ini selanjutnya dijelaskan bahwa setiap manusia, dengan demikian, dipimpin langsung oleh kepentingan dan tindak tanduk ekonominya. Manusia yang bersangkutanlah yang mengetahui apa kepentingan mereka sesungguhnya. Oleh sebab itu, dialah yang dapat memenuhi kepentingan dengan sebaik-baiknya. Hal ini bukan dimaksudkan untuk mengesampingkan kepentingan bersama, tetapi mereka berfikir bahwa kepentingan bersama ini akan dapat diperhatikan dengan

30 Premis ini di kemukakan Adam Smith dalam The Wealth of Nations pendahuluan dan catatan pinggir oleh Edwin Cannan, New York: The Modern Library, 1973, hlm. 14, 423.

Page 63: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

63

sebaik-baiknya pula apabila setiap individu mendapat kesempatan untuk memenuhi, memuaskan, dan mengekspresikan kepentingannya masing-masing tanpa restriksi.

Setelah ia menulis The Wealth of Nations, Smith sudah mengemukakan dalam Theory of Moral Sentiments sebagai dasar filsafat teori ekonominya. Ia menentang dengan tegas pendapat de Mandeville bahwa privet vice makes public benevit. De Mandeville memandang bahwa kemewahan atau pengejaran keuntungan ekonomi itu dosa, meski dosa itu sendiri diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat. Smith justru melihat sebaliknya, dengan meniru gurunya Francis Hutcheson, ia mengatakan bahwa kebajikan adalah pengendali nafsu dan bukan sebuah antipati yang mutlak. Dalam The Wealth of Nations sendiri, Smith pernah mengatakan bahwa: “The nature and causes of the wealth of nations is what is properly called political economy”. Ini menunjukkan bahwa nama bukunya saja sudah cukup untuk menjelaskan apa sesungguhnya yang menjadi tujuan dari aktifitas ekonomi.31

Mempelajari paradigma dan ide dasar kapitalisme juga bisa dilakukan dengan membuat interpretasi-interpretasi karya Smith seperti yang banyak dilakukan. Kita memahami bahwa masterpiece Smith tersebut sesungguhnya hanya meletakkan gagasan-gagasan cemerlangnya secara umum saja. Sjahrir (1995) menerjemahkan The Wealth of Nations yang membidani lahirnya teori kapitalisme itu dengan membuat rincian sederhana seperti, apa yang harus diproduksi dan dialokasikan, bagaimana cara memproduksi dan mengalokasikan sumber daya, serta bagaimana cara mendistribusikan sumber daya dan hasil produksi.32

Pemahaman lain tentang ide dasar kapitalisme juga diberikan oleh Max Weber33. Ia mendefinisikan kapitalisme sebagai sistem produksi komoditi berdasarkan kerja berupah untuk dijual dan diperdagangkan guna mencari keuntungan. Ciri produksi berdasarkan upah buruh itu merupakan karakter mendasar bagi kapitalisme. Bagi Weber, ciri kapitalisme yang lebih mendasar lagi adalah pada sistem pertukaran di pasar. Sistem di pasar ini menimbulkan konsekuensi logis berupa rasionalisasi yang mengacu pada bagaimana cara meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan kata lain, bagaimana melakukan akumulasi kapital secara terus menerus. Akumulasi kapital itu dimaksudkan untuk melakukan produksi barang atau jasa yang lebih menguntungkan (more profitable). Keuntungan inilah yang secara dominan bagi rasionalitas tekhnologi.

Sedangkan bagi Marx, kapitalisme tidak didefinisikan oleh motif atau orientasi kaum kapitalis. Apapun motif yang mereka sadari, mereka sebenarnya didorong oleh logika sistem ekonomi untuk memupuk modal. Kapitalisme bagi Marx suatu bentuk masyarakat kelas yang distrukturasikan dengan cara khusus di mana manusia diorganisasikan untuk produksi kebutuhan hidup.34

31 L. J. Zimmerman, Sejarah Pendapat-pendapat tentang Ekonomi, Bandung: N.V.

Penerbitan W. Van Hoeve, ‘S-Gravenhage, 1995, hlm. 42-43. Edisi Indonesia dikerjakan oleh K. Siagian. Periksa buku aslinya yang berjudul Geschiedenis Van Het Economisch Denken.

32 Sjahrir, Formasi Mikro-Makro ekonomi Indonesia, Jakarta, UI Press, 1995, hlm. 113-114. 33 Max Weber, The Protestant ethic of Spirit Capitalism, New York, Scribner, 1958, Edisi

Inggrisnya dikerjakan oleh Talcot Parson dengan Pengantar RH Tawney. 34 Pada tahun 1887, muncullah Das Capital-nya Marx yang amat termashur itu. Marx

mengatakan bahwa kapitalisme itu mempunyai ciri mutlak, yakni borjuis dan eksploitasi. Oleh karenanya, begitu Marx, dengan revolusi kekerasanlah pemerintah sosialis harus didirikan. Demi

Page 64: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

64

Sejalan dengan zaman, kapitalisme terus berkembang, bergerak dan beradaptasi dengan sejarah. Jorge Larrain mengemukakan, “Kapitalisme dicirikan oleh dominasi obyek atas subyek, modal atas pekerja, kondisi produksi atas produsen, buruh mati atas buruh hidup. Bahkan menurut Marx, kapitalisme adalah hasil dari praktek reproduksi manusia. Marx menganalisa hal tersebut tidak hanya untuk mengetahui bagaimana sistem itu bekerja dan memproduksi diri sendiri, tetapi juga untuk menunjukkan kondisi yang mampu menggantikannya”.35

Kapitalisme yang dibuat oleh Lorens Bagus, berasal dari bahasa Inggris, capitalism atau kata latin, caput yang berarti kepala. Kapitalisme itu sendiri adalah sistem perekonomian yang menekankan peranan kapital atau modal.36 Poin-poin penting yang bisa dilihat dan biasa digunakan untuk mengartikan kapitalisme adalah: Pertama, kapitalisme adalah ungkapan kapitalisme klasik yang dikaitkan dengan apa yang dimaksud oleh Adam Smith sebagai permainan pasar yang memiliki aturan sendiri. Ia yakin bahwa dengan kompetisi, pekerjaan dari tangan yang tidak kelihatan akan menaikkan harga pada tingkat alamiah dan mendorong tenaga kerja atau modal mengalami pergeseran dari perusahaan yang kurang menguntungkan. Ini berarti kapitalisme merupakan usaha-usaha kompetitif manusia yang akan dengan sendirinya berubah menjadi kepentingan bersama atau kesejahteraan sosial (social welfare). Kedua, kapitalisme merupakan ungkapan Prancis laissez-faire, laissez-passer, yang berarti ‘semaunya’, yang dilekatkan sebagai ungkapan penyifat. Ungkapan laissez-faire menekankan sebuah pandangan bahwa dalam sistem ini, kepentingan ekonomi dibiarkan berjalan sendiri agar perkembangan berlangsung tanpa pengendalian Negara dan dengan regulasi seminimal mungkin. Ketiga, kapitalisme adalah ungkapan Max Weber bahwa ada keterkaitan antara bangkitnya kapitalisme dengan protestanisme. Kapitalisme merupakan bentuk sekuler dari penekanan protestanisme pada Individualisme dan keharusan mengusahakan keselamatan sendiri. 6. Akar Historis Kapitalisme

Sistem perekonomian kapitalisme muncul dan semakin dominan sejak peralihan zaman feodal ke zaman modern. Kapitalisme seperti temuan Karl Marx menjadi sistem yang dipraktekkan di dunia bermula di penghujung abad XIV dan awal abad XV. Kapitalisme sebagai sistem perekonomian dunia terkait erat dengan kolonialisme. Pada zaman kolonialisme ini akumulasi modal yang terkonsentrasi di Eropa (Inggris) didistribusikan ke penjuru dunia, yang menghadirkan segenap kemiskinan di wilayah jajahannya.

Kelahiran kapitalisme ini dibidani oleh tiga tokoh besar, yaitu Martin Luther yang memberi dasar-dasar teosofik, Benjamin Franklin yang memberi dasar-dasar filosofik dan Adam Smith yang memberikan dasar-dasar ekonominya. Martin Luther yang memberi dasar-dasar teosofik adalah seorang Jerman yang melakukan gerakan monumentalnya, 31 Oktober 1571 dengan menempelkan tulisan protesnya di seluruh penjuru Roma. Ia tidak menerima

terjaminnya stabilitas sistem ini, maka ia harus dijaga oleh sistem kepemimpinan yang diktator proletariat.

35 Lihat Jorge Larrain, The Concept of Ideology, Forteword by Tom Bottomore, First Published, Australia: Hotchinson Publishing Group, 1979, versi Indonesia oleh Ngatawi al Zastrouw (editor) dan Ryadi Gunawan (penerjemah), Yogyakarta: LKPSM, 1997, hlm. 55.

36 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 1996, hlm.391.

Page 65: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

65

kenyataan praktik pengampunan dosa yang diberlakukan gereja Roma. Kemudian ia meletakkan ajaran dasarnya, yaitu: “Manusia menurut kodratnya menjadi suram karena dosa-dosanya dan semata-mata lewat perbuatan dan karya yang lebih baik saja mereka dapat menyelamatkan dirinya dari kutukan abadi”. Sedangkan bagi Benjamin Franklin yang memberi dasar-dasar filosofik, mengajak orang untuk bekerja keras mengakumulasi modal atas usahanya sendiri. Kemudian Franklin mengamanatkan: “Waktu adalah Uang”. Bagi Adam Smith yang memberikan dasar-dasar ekonominya dan tarcantum dalam buku An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth Nations, Adam Smith lebih mengkongkretkan spirit kapitalismenya dalam sebuah konsep sebagai mekanisme pasar. Basis folologisnya adalah laissez-faire, laissez-passer. Ia mengatakan bahwa barang langka akan menyebabkan harga barang tersebut menjadi mahal sehingga menjadi sulit didapatkan terutama oleh mereka yang berpenghasilan rendah. Tetapi menurut Smith bahwa yang harus dilihat adalah perilaku produsen. Ketika harga barang mahal, maka keuntungan akan meningkat. Ketika keuntungan yang dijanjikan atas barang tersebut tinggi, maka banyak produsen yang memproduksinya. Sehingga dengan demikian kelangkaan barang tersebut akan terpenuhi dan menjadi murah dan kebutuhan masyarakat akan terpenuhi. Sehingga masalah yang terjadi di masyarakat akan diselesaikan oleh the invisible hands.

Banyak pakar memberikan penjelasan bahwa kapitalisme sebagai sistem perekonomian dunia baru dimulai sejak abad XVI. Menurut Dudley Dillard pada zaman kuno sebenarnya sudah terdapat model-model ekonomi yang merupakan cikal-bakal kapitalisme. Bagi Dillard, kapitalisme tidak saja dipahami sebagai sistem ekonomi pasca abad XVI. Kantong-kantong kapitalisme sebagai cikal-bakal dan ruh kapitalisme justru mulai berkembang diakhir abad pertengahan. Dillard membagi urutan perkembangan kapitalisme menjadi tiga tahapan.37 Secara kronologis dalam tahapan sejarah perkembangannya: Kapitalisme Awal, Kapitalisme Klasik dan Kapitalisme Lanjut.

a. Kapitalisme Awal (1500-1750).

Kapitalisme untuk periode ini masih mendasarkan pada pemenuhan kebutuhan pokok yang ditandai dengan kehadiran industri sandang di Inggris sejak abad XIV sampai abad XVIII. Meski industri sandang tersebut masih menggunakan mesin pemintal yang sangat sederhana, pada gilirannya mampu meningkatkan apa yang disebut sebagai surplus sosial. Seperti dijelaskan Dillar, dalam prakteknya industri sandang mengahadapi banyak problem dan kesulitan. Namun demikian, berbagai kendala tersebut tak mampu menjadi penghalang bagi kesuksesan industri tersebut. Bahkan di beberapa wilayah pelosok Inggris, industri tersebut terus berkembang pesat selama kurun waktu abad XVI sampai XVII. Surplus sosial yang didapatkan terus menerus secara produktif ternyata mampu menjadikan kapitalisme mampu bersaing dengan sistem ekonomi sebelumnya. Kelebihan itu didayagunakan untuk usaha perkapalan, pergudangan, bahan-bahan mentah, barang-barang jadi dan variasi untuk kekayaan yang lain.

37 Sudono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, Proses, Makalah dan Dasar Kebijaksanaan,

Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 1985, hlm. 10.

Page 66: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

66

Perluasan demi perluasan dengan argumentasi produktifitas yang dilakukan selanjutnya mengahdirkan fenomena dramatis dengan munculnya kolonisasi atau imperealisme ke daerah-daerah lain yang tak memiliki keseimbangan produksi. Lebih lanjut pada informasi yang sama, Dillar juga pernah menguraikan bahwa perkembangan kapitalisme pada tahapan ini didukung oleh tiga faktor yang sangat penting yaitu: (1) dukungan agama dengan menanamkan sikap dan karakter kerja keras dan ajuran untuk hidup hemat, (2) hadirnya logam mulia terhadap distribusi pendapatan atas upah, laba dan sewa, serta (3) keikutsertaan Negara dalam membantu membentuk modal untuk berusaha.

Studi Russel, Modes of Productions individu Wolrd History London and New York, Routledge, 1988, menjelaskan bahwa kapitalisme pada fase ini tidak bisa tidak menyebut bahwa Eropa dan Inggris abad ke-12 adalah sebagai lokasi awal perkembangan kapitalisme. Russel menunjuk wilayah perkotaan untuk mencontohkan bahwa saudagar kapitalis menjual barang-barang produksi mereka dalam suatu perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya. Mula-mula mereka hanya menjual barang kepada teman sesama saudagar perjalanan. Kegiatan ini kemudian berkembang menjadi perdagangan publik.

b. Kapitalisme Klasik (1750-1914).

Pada fase ini terjadi pergeseran perilaku para kapitalis yang semula hanya perdagangan publik, ke wilayah yang mempunyai jangkauan lebih luas yaitu industri. Transformasi dari dominasi modal perdagangan ke dominasi modal industri yang seperti itu merupakan ciri Revolusi Industri di Inggris. Perubahan dalam cara menentukan pilihan tekhnologi dan cara berorganisasi berhasil memindahkan industri dari pedesaan ke sentra-sentra perdagangan lama di perkotaan selama Revolusi Industri. Akumulasi kapital yang terus menerus membengkak selama dua atau tiga abad mulai menunjukkan hasil yang baik pada abad XVIII. Penerapan praktis dari ilmu pengetahuan teknis yang tumbuh selama berabad-abad dapat sedikit demi sedikit dilakukan. Kapitalisme mulai menjadi penggerak bagi perubahan tehnologi karena akumulasi modal memungkinkan penggunaan berbagai inovasi.

Tepat pada fase ini kapitalisme mulai meletakkan dasarnya yaitu laissez-faire, laissez-passer sebagai doktrin mutlak Adam Smith. Dillar menerangkan bahwa perkembangan kapitalisme pada fase kedua ini semata-mata menggunakan argumentasi ekonomis. Perkembangan ini tentu saja menjadi parameter keberhasilan bagi kaum borjuis dalam struktur sosial masyarakat. Kesuksesan ekonomis berimbas pada kesuksesan di bidang politik, yaitu hubungan antara kapitalis dan Negara. Proses ini menguntungkan kapitalisme terutama dalam penentuan gaya eksplorasi, eksploitasi dan perluasan daerah kekuasaan sebagai lahan distribusi produksi. Periode kapitalisme klasik erat kaitannya dengan karya Adam Smith An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth Nations (1776) melalaui karya ini terdapat analisa bahwa kapitalisme kuno sudah berakhir dan bergeser menjadi kapitalisme klasik.

Page 67: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

67

c. Kapitalisme Lanjut (Pasca 1914). Kapitalisme lanjut dijelaskan mulai berkembang sejak abad XIX,

tepatnya tahun 1914, Perang Dunia I sebagai momentum utama. Abad XX ditandai oleh perkembangan kapitalisme yang sudah tidak lagi bisa disebut sebagai kapitalisme tradisional. Kapitalisme fase lanjut sebagai peristiwa penting ini ditandai paling tidak oleh tiga momentum. Pertama, pergeseran dominasi modal dari Eropa ke Amerika. Kedua, bangkitnya kesadaran bangsa-bangsa di Asia dan Afrika terhadap kolonialisme Eropa sebagai ekses dari kapitalisme klasik, yang kemudian memanifestasikan kesadaran itu dengan perlawanan. Ketiga, Revolusi Bolzhevik Rusia yang berhasrat meluluhlantakkan institusi fundamental kapitalisme yang berupa pemilikan kapital secara individu atas penguasaan sarana produksi, struktur kelas sosial, bentuk pemerintahan dan kemapanan agama. Dari sana kemudian muncul ideologi tandingan, yaitu komunisme.

Kapitalisme abad XX berhasil tampil meliuk-liuk dengan performance yang selalu bergerak mengadaptasikan kebutuhan umat manusia pada zaman dan situasi lingkungannya. Bagi Daniel Bell,38 fleksibilitas ini sukses membawa kapitalisme sebagai akhir ideologi (The End of Ideology) yang mengantarkan umat manusia tidak hanya menuju gerbang yang penuh pesona ekstasi melainkan juga pada gerbang yang berpeluang besar untuk kehancuran umat manusia.

Budiman (1997: 86) menyebut bahwa kapitalisme seolah menjadi pesolek tanpa tanding dalam merebut perhatian para teoritisi sosial dunia. Salah satu hal yang membuat kapitalisme bertahan adalah kelenturan produk yang ditawarkan. Produk-produk yang disediakan bersifat adaptif dengan zamannya. Citra-citra yang disodorkan tidak pernah dibiarkan begitu saja dan menjadi sebentuk kesombongan ideologis yang menjenuhkan, melainkan disesuaikan dengan berbagai desakan pluralisasi wacana kehidupan. Kapitalisme berhasil tetap bertahan karena ia mampu menghadirkan demokrasi ekonomi dan politik sebagai bentuk keinginan umat manusia yang paling mutakhir, tapi sebatas citra, demokrasi yang semu. Produk kapitalisme yang menggairahkan tersebut dipandang Guy Debord sebagai trap, bahwa saat ini kapitalisme sedang menyiapkan perangkat kebudayaan yang mengantarkan umat manusia pada kondisi komoditi yang final dan melelahkan.39

Produk lain yang ditunjukkan oleh kapitalisme lanjut adalah sedemikian menjamurnya korporasi-korporasi modern. Korporasi sudah tidak lagi bergerak di bidang industri manufaktur, melainkan jasa dan informasi. Ia berusaha mendominasi dunia dengan kecanggihan tekhnologi serta orientasi menghadapi ekonomi global. Ia lazim berbentuk MNC/TNC (MultiNational Corporation/Trans National Corporation). Kehadirannya semakin mempertegas bahwa pelaku

38 Penjelasan ini sekaligus mengawali kajian tentang Kapitalisme fase lanjut atau kapitalisme

mutakhir seperti yang diratapi oleh Daniel Bell. Beberapa kajian dalam poin ini sepenuhnya mengacu ke sana. Untuk memperjelas keterangan ini periksa karya Bell seperti (1) The End of Ideology, New York: Free Press, 1960; (2) The Coming of Post Industrial Society, New York: Penguin Books Edition, 1973; (3) The Cultural Contradictions of Capitalism, New York: Basic Books, 1976. Sedangkan untuk edisi Indonesia, karya Bell ini dapat diperhatikan di Y.B. Mangunwijaya (ed.), Tekhnologi dan Dampak Lingkungannya, Volume II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985; atau Daniel Bell dan Irving Kristol (ed.), Model dan Realita di Dalam Wacana Ekonomi, Dalam Krisis Teori Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1988.

39 Guy Debord, The Society of The Spectacle, seperti dikutip oleh Fredric Jameson, Postmodernism or The Cultural of The Late Capitalism, London, Verso, 1990, hlm. 8.

Page 68: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

68

aktifitas ekonomi sesungguhnya bukanlah institusi Negara, melainkan para pengusaha bermodal besar. Sebab hanya dengan modal mereka bisa melakukan kegiatan ekonomi apa dan di mana saja.

Dengan semakin pentingnya modal, peranan Negara menjadi tereduksi, tapi juga hilang sama sekali. Negara hanya sekedar menjadi aktor pelengkap (Complement Actor) saja dalam percaturan ekonomi dunia, meski dalam beberapa kasus peran Negara tetap dibutuhkan sebagai fasilitator untuk mendukung roda ekonomi yang sedang diputar kapitalis. Inilah yang dinubuat Galbraith dengan mengatakan bahwa korporasi modern menerapkan kekuasaan melalui pemerintahan. Para kapitalis ini tetap membutuhkan keterlibatan Negara untuk memfasilitasi setiap produk yang dipasarkan. Hubungan simbiosis mutualisme ini selanjutnya menjadi karakter dasar dari kapitalisme lanjut. Peristiwa ini menyebabkan para pakar menyebut bahwa kapitalisme lanjut adalah kapitalisme monopoli (monopoly capitalism) atau kapitalisme kroni (crony capitalism).40

Korporasi modern dan Negara menjalin hubungan yang didasarkan pada distribusi kekuasaan dan profit. Hubungan yang berkembang antara korporasi modern dan birokrasi publik, seperti kapitalis yang membuat mobil dan Negara yang membangun jalan raya, kapitalis yang membuat pesawat tempur dengan Negara yang mengendalikan Departemen Udara dan sebagainya.41 Selain hal itu, apa yang diungkap Galbraith sebagai kapitalisme lanjut adalah pemfungsian institusi Negara sebagai jaminan kontrol dari doktrin mekanisme pasar. Bahkan para kapitalis dengan sengaja berani membiayai dan merekayasa Negara. Tujuannya adalah untuk mengatasi kemungkinan terjadinya disintegrasi sistem soaial dalam struktur masyarakat yang diakibatkan oleh kontradiksi-kontradisi dalam tubuh kapitalisme itu sendiri. Asumsi ini diperkuat oleh fakta pertumbuhan industri-industri kapitalisme hingga menciptakan sindroma korporasi-korporasi modern ternyata memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kekuasaan politik.

Dalam hal ini Galbraith memperkuat argumentasinya dengan uraian yang mendalam tentang keterkaitan Negara dalam dimensi politis dan kapitalis dalam dimensi ekonomis. Semakin menguatnya campur tangan institusi Negara ke dalam aktifitas-aktifitas ekonomi acap mendisfungsionalisasikan fungsi dari Negara itu sendiri. Hal itu bisa ditunjukkan dengan merosotnya atensi Negara yang bersangkutan terhadap persoalan-persoalan lain di luar masalah teknis administratif.

Sementara menurut pandangan Clauss Offe dalam Habermas, sejauh kegiatan Negara diarahkan pada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, politik selalu menampilkan sifat negatif yang khas. Politik diarahkan untuk mengatasi disfungsionalitas dan menghindari resiko-resiko yang membahayakan sistem. Politik tidak diupayakan untuk merealisasikan tujuan-tujuan, melainkan pada pemecahan masalah-masalah teknis. Kegiatan Negara dibatasi hanya pada persoalan-persoalan teknis yang bisa dipecahkan secara administratif sehingga

40 Kapitalisme monopoli sebagai bentuk dari kapitalisme fase lanjut seringkali diberi

pengertian yang merujuk pada peran penting dari kolaborasi di tingkat birokrat Negara dan pengusaha kapitalis untuk menguasai lahan produksi yang ditujukan pada kepentingan-kepentingan publik.

41 Lihat John Kenneth Galbraith, The New Industrial State, New York: Mentor Book Paperback Edition, 1972, hlm. 258. Periksa juga Budiman, Op. Cit.

Page 69: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

69

dimensi praksisnya hilang.42 Hubungan faktor politik-kapitalis dengan melakukan kolaborasi adalah cara pandang Keynes, dan persoalan itu susah untuk dihindarkan. Keynes sangat tertarik pada keseluruhan adegan sosial dan politik yang diproduksi secara bersamaan. Ia memandang teori ekonomi sebagai suatu alat kebijakan politik. Ia membelokkan apa yang disebut metode ilmu ekonomi klasik yang bebas nilai untuk melayani tujuan dan target mental, dan untuk itu ia membuat ilmu ekonomi menjadi persoalan politik dengan cara yang berbeda.

Keterkaitan Negara-kapitalis yang ditunjukkan dengan bergesernya mekanisme kapitalisme bisa dipahami dari Negara Amerika. Yang terjadi di Amerika dewasa ini bukanlah paham kapitalisme yang asli yang menganut paham laissez-faire, laissez-passer, melainkan suatu sistem ekonomi yang tetap menggunakan prinsip dasar kapitalisme yang disesuaikan dengan berbagai rambu hukum yang membatasi penguasaan resaources dan konsumsi yang berlebihan, baik secara individual maupun pada tingkat perusahaan.43 Nilai-nilai yang berlaku pada sistem kapitalisme Amerika selalu mempertimbangkan beberapa aspek.

Pertama, asas kebebasan (freedom), dengan pengertian, bebas berkonsumsi dan berinvestasi (free entry individu consumption and investment) serta pembatasan investasi pemerintah sekaligus mengikhtiarkan model politik yang demokratis. Kedua, asas keseimbangan (equality), dengan pengertian, adanya difusi antara kekuatan politik dan ekonomi; adanya bargaining power yang sama untuk produsen dan konsumen serta adanya kesempatan yang sama sekaligus upaya untuk menciptakan pemerataan. Ketiga, asas keadilan (fairness), dengan pengertian, sebuah upaya untuk menghindari praktik yang tidak adil seperti adanya upah buruh yang tidak memenuhi standar; hubungan tuan dan majikan yang eksploitatif dan sebagainya. Oleh karena itu, setiap praktek ekonomi harus dilandasi dengan sikap yang penuh dengan kejujuran dan keterbukaan (full honesty and disclosure). Keempat, asas kesejahteraan (welfare), dengan pengertian, adanya pertimbangan efisiensi alokasi dan produksi. Parameter kesejahteraan bisa diketahui melalui pengawasan pemerintah terhadap stabilitas harga serta upaya untuk menciptakan kondisi ketenagakerjaan yang bersifat full employment. Kesehatan dan keselamatan lingkungan hidup juga mendapat perhatian yang besar. Kelima, asas pertumbuhan berkesinambungan (sustainable growth) yang indikasinya adalah pertumbuhan pendapatan riil dan kemajuan tekhnologi. Ada beberapa kebijaksanaan pemerintah Amerika yang menjadi prioritas dalam menjamin kebesaran kapitalisme. Di antaranya adalah kebijaksanaan yang menjamin terciptanya kompetisi seperti terciptanya UU Anti Trust (Sherman Act and Clayton Act). Tujuannya untuk mencegah persaingan yang tidak sehat diantara pihak yang bersaing. Peraturan ini secara teknis bertujuan untuk menjamin kebebasan dan keamanan dalam berinvestasi (free exit and entry). Kemudian kebijaksanaan yang mengatur ke mana arah kompetisi digerakkan. Pengaturan-

42 Jurgen Hebermas, Ilmu dan Tekhnologi Sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES, 1990, hlm. 76-

77. 43 Dalam banyak hal, pembahasan kapitalisme fase lanjut tidak bisa dilepaskan begitu saja

dari pembahasan tentang sistem ekonomi kapitalisme yang ada di Amerika. Sebab seperti yang sudah dijelaskan terdahulu bahwa salah satu ciri pokok yang mendasari kapitalisme fase lanjut adalah pergeseran modal dari kapitalisme klasik yang didominasi oleh Negara-negara Eropa menuju kapitalisme Amerika. Posisi Amerika sebagai pusat perdagangan dunia (world trade center), dengan demikian, bisa dijadikan referensi dan parameter perkembangan kapitalisme global selanjutnya.

Page 70: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

70

pengaturan ini berfungsi untuk melindungi konsumen dan produsen. Hal itu bisa dilakukan dengan menetapkan etika periklanan dan standarisasi barang-barang dari segi kualitas maupun kuantitas. Perlindungan merk dagang dan hak cipta juga mendapatkan perhatian yang cukup serius. Selain itu, adanya kebijaksanaan yang menjadi jaminan bagi distribusi pendapatan, yakni melalui pajak. Pajak bisa difungsikan sebagai sarana pemerataan, insentif serta regulator untuk mempengaruhi alokasi produksi maupun konsumsi.

Yang penting lagi adalah adanya kebijaksanaan yang mengatur public utility. Ide dasar kapitalisme klasik laissez-faire, laissez passer dan jargon the invisible hand merupakan asas fundamental yang terus-menerus diperbaiki dan digunakan untuk mencirikan kapitalisme. Mereka berpandangan bahwa teori ekonomi secara jelas menunjukkan bahwa mekanisme pasar tidak akan mampu menyelesaikan proses alokasi barang-barang publik seperti hukum, pertahanan dan lingkungan. Padahal barang-barang ini merupakan sesuatu yang vital bagi terjaminnya hidup manusia. Jika mekanisme pasar dibiarkan dengan sendirinya untuk menentukan alokasi barang-barang publiknya, maka penyediaannya akan cenderung lebih kecil dibandingkan dengan permintaan masyarakat (socially desirealible). Karenanya diperlukan peranan pemerintah untuk menyediakannya. Tindakan ini menjamin produksi barang-barang kebutuhan dasar (merit goods) diproduksi pada tingkat optimal secara sosial.44

Suasana lain dari kapitalisme lanjut adalah kompetisi (competition), dan kompetisi dalam kapitalisme Amerika merupakan poin penting dari buku The New Industrial State (1971) yang ditulis Galbraith. Menurutnya, dalam ilmu ekonomi klasik persaingan adalah banyaknya penjual yang memperoleh bagian yang kecil dari pasaran. Galbraith kemudian mengatakan bahwa model persaingan klasik ini sebagian besar sudah lenyap karena banyak pasar yang dikuasai oleh beberapa perusahaan. Galbraith juga mengatakan bahwa dalam perkembangan kapitalisme, timbul institusi yang berusaha mengimbangi kelas kapitalis, yang disebutnya sebagai kekuatan pengimbang (countervailing power). Kekuatan tersebut bisa berupa lembaga konsumen yang mengontrol perilaku dan pengaruh produsen, himpunan buruh yang mengimbangi kekuatan kelas pemilik modal dan kelas manajer. Lembaga pelindung konsumen, pelindung alam serta organisasi-organisasi volunteer lain yang berusaha untuk mempertahankan sekaligus memperjuangkan kepentingan golongan lemah (marginal) dalam masyarakat, yang tentunya mayoritas. Deskripsi awal dengan menyebut Amerika sebagai pusat segala sesuatu untuk mengkaji kapitalisme lanjut harap dimaklumkan mengingat kita tidak bisa menolak bahwa Amerika adalah sentral kapitalisme dunia dari pasca perang dingin atau awal abad XIX sampai detik ini. Namun sample ini bukan serta merta ingin menunjukkan bahwa kapitalisme lanjut hanya terbatas (limited) seperti yang tercermin di Amerika.

Seorang sejarawan peranakan Jepang, Francis Fukuyama, yang kemudian tenar dengan karyanya, The End of History and Last Man, menyatakan bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme Amerika merupakan titik akhir dari perkembangan ideologi manusia.45 Fukuyama menjelaskan bahwa sejarah

44 Ini semakin memperjelas bahwa teori mekanisme pasar tidak bisa dibiarkan sebebas apa yang sudah didoktrinkan dalam teori ekonomi kapitalisme klasik. Pemerintah atau Negara dibutuhkan kehadirannya dalam mengurusai bidang-bidang yang bersangkut-paut dengan kebutuhan publik seperti penjelasan di atas. Dengan demikian, hadirnya Negara sebagai wasit adalah berfungsi untuk mengatur pasar.

45 Lihat Francis Fukuyama, The End of History and Last Man, London: Hamish Hamilton, 1992. bandingkan dengan pandangan-pandangan dalam literatur abad ke-19 yang dikenal sebagai

Page 71: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

71

manusia ini sudah berhenti pada satu titik yang ekstrim, yakni kapitalisme. Karenanya akhir sejarah akan merupakan saat yang menyedihkan. Tatkala keberanian, semangat, imajinasi, idealisme dan humanisme mulai digantikan dengan perhitungan-perhitungan ekonomi yang rasional. Pada saat itu pula manusia akan terjebak pada pemecahan masalah teknis yang tidak ada habis-habisnya. Kapitalisme sibuk merancang kebutuhan konsumen yang bercita rasa melangit. Sehingga Galbraith dalam karya yang sama juga menuturkan bahwa selama paruh terakhir abad ini hampir tidak ada topik lain yang dibahas secara serius dan mendalam kecuali tentang masa depan kapitalisme (The Future of Capitalism).46

Akumulasi modal sekarang tidak sekedar menjadi kebiasaan. Ia telah menjadi sebuah hukum, di balik nuansa ini, tersimpan keniscayaan akan adanya alienasi bagi mereka, para kelompok mayoritas seperti buruh, petani dan perempuan. Kita menyadari bahwa kapitalisme model baru menyimpan keniscayaan atas penindasan kelompok mayoritas. Segitiga konspirasi ala O’Donnel sampai hari ini masih relevan dalam menjelaskan mekanisme ketertindasan struktural rakyat. Secara empiris konspirasi itu dapat dilihat dari bagaimana kebijakan-kebijakan Negara terbentuk atas pengaruh kepentingan TNC.

Tiga pilar neo klasik, TNC/ MNC, World Bank/ IMF, dan WTO berjalan linier, sevisi, setujuan menuju kepentingan yang sama, yakni liberalisasi pasar. Di samping itu ketiga institusi itu adalah kekuatan terbesar dunia abad ini. Sehingga kita tidak pernah menemukan kebijakan internasional yang tanpa memuat kepentingan ketiganya. Kita memang bisa menyadari bahwa kapitalisme lanjut tidak hanya dipahami sesederhana itu. Jika hujatan terpedas hari ini pada kapitalisme diserangkan oleh kelompok Marx dengan asumsi konflik kelas, sesungguhnya saat ini kita juga menyaksikan bagaimana kapitalisme menghadapinya dengan dada terbuka. Cita-cita Marx yang tertuang dalam kata-kata mpenulisrakat tanpa kelas, justru secara mengejutkan, bukan terjadi dalam masyarakat komunisme, melainkan dalam masyarakat kapitalisme. Konsep pilihan publik (public choice) yang mencoba mengagregasikan kebutuhan-kebutuhan individu berhadapan dengan Negara, justru pada akhirnya mampu menciptakan masyarakat tanpa kelas. Maka pada saat kapitalisme, dalam kaitannya dengan Negara, mampu memelihara Negara dengan mengupayakan reinventing government, bukan barang mustahil apabila masyarakat tanpa kelas adalah milik kapitalisme, bukan komunisme. Masyarakat tanpa kelas ternyata gagal dipraktekkan oleh komunisme. Barangkali inilah yang disebut sebagai akhir sejarah itu, threshold capitalism.

abad ideologi (the age of ideology). Bandingkan juga dengan literatur abad ke-20 yang dianggap sebagai abad: (1) Akhir Ideologi (The End of Ideology) karya sosiolog Daniel Bell, (2) Akhir Alam Semesta (The End of Nature) karya Paul MacKiben.

46 Lihat Galbraith, op. cit.

Page 72: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

72

SOSIALISME 1. Pengertian Sosialisme

Sosialisme pada hakekatnya berpangkal pada kepercayaan diri manusia, melahirkan kepercayaan pula bahwa segala penderitaan dan kemelaratan yang dihadapi dapat diusahakan melenyapkannya.47 Penderitaan dan kemelaratan yang diakibatkan pembajakan politik dan ekonomi dimana penguasa dan pengusaha dengan semangat liberal dan kapitalnya, memiliki kekuatan penuh mengatur kaum kebanyakan warga negara, dengan segala keserakahan yang didasarkan rasionalisme dan individualisme itu, mendorong sebagian orang mencari cara baru guna pemecahan masalah sosial tanpa harus dilakukan dengan kekerasan.

George Lansbury, pemimpin partai buruh, menulis dalam bukunya My England (1934), dijelaskan:

“Sosialisme, berarti cinta kasih, kerjasama, dan persaudaraan dalam setiap masalah kemanusiaan merupakan satu-satunya perwujudan dari iman Kristiani. Penulis sungguh yakinapakah orang itu tahu atau tidak, mereka yang setuju dan menerima persaingan dan pertarungan satu dengan yang lain sebagai jalan untuk memperoleh roti setiap hari, sungguh melakukan penghianatan dan tidak menjalankan kehendak Allah.”48 Sosialisme adalah sebuah masyarakat dimana kaum pekerja sendiri yang

menguasai alat-alat produksi dan merencanakan ekonomi secara demokratik; dan semua ini secara internasional. Istilah “sosialisme” atau “sosialis” dapat mengacu ke beberapa hal yang berhubungan: ideologi atau kelompok ideologi. sistem ekonomi. negara. Kata ini mulai digunakan paling tidak sejak awal abad ke-19. Dalam bahasa Inggris, pertama digunakan untuk mengacu kepada pengikut Robert Owen pada tahun 1827. Di Prancis, digunakan untuk mengacu pada pengikut doktrin Saint-Simon pada tahun 1832 dan kemudian oleh Pierre Leroux dan J. Regnaud dalam l'Encyclopedie nouvelle. Penggunaan kata sosialisme sering digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda oleh berbagai kelompok, namun hampir semua sepakat bahwa istilah ini berawal dari pergolakan kaum buruh industri dan buruh tani pada abad ke-19 dan ke-20, yang berdasarkan prinsip solidaritas dan memperjuangkan masyarakat egalitarian, yang dengan sistem ekonomi, menurut mereka, dapat melayani masyarakat banyak, ketimbang hanya segelintir elite.

Sosialisme sebagai ideologi menurut penganut Marxisme (terutama Friedrich Engels), model dan gagasan sosialis dapat dirunut hingga ke awal sejarah manusia, sebagai sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Pada masa Pencerahan di abad ke-18, para pemikir dan penulis revolusioner seperti Marquis de Condorcet, Voltaire, Rousseau, Diderot, abbe de Mably, dan Morelly mengekspresikan ketidakpuasan berbagai lapisan masyarakat di Perancis. Kemudian Sistem Ekonomi dalam sosialisme sebenarnya cukup sederhana. Berpijak pada konsep Marx tentang penghapuskan kepimilikan hak pribadi, prinsip ekonomi sosialisme menekankan agar status kepemilikan swasta dihapuskan dalam beberapa komoditi penting dan kepentingan masyarakat banyak, Seperti Air, Listrik, bahan pangan dll.

47 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat (Bandung: Mizan, 1999) hlm. 188. 48 William Ebenstein & Edwin Fogelman, Isme-isme Dewasa ini, Edisi 9 (Jakarta: Erlangga,

1990) hlm. 220.

Page 73: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

73

Sejumlah pemikir, pakar ekonomi dan sejarah, telah mengemukakan beberapa masalah yang berkaitan dengan teori sosialisme, termasuk di antara mereka adalah antara lain Milton Friedman, Ayn Rand, Ludwig von Mises, Friedrich Hayek, dan Joshua Muravchik. Kritik dan keberatan tentang sosialisme dapat dikelompokkan menjadi kategori berikut: Insentif, Harga, Keuntungan dan kerugian, Hak milik pribadi. Keuntungan dalam anutan sosialisme kekinian telah dimungkinkan. Berhubungan dalam keuangan dari suatu negara sosialis, untuk transaksi atas barang, walaupun bukan terhadap pertanian.

2. Sejarah Kelahiran Sosialisme

Setelah melebarnya penulisp-penulisp ideologi liberalisme dan kapitalisme, maka dunia telah tersebtuh ideologi ini dipenuhi dengan pragmatisme hidup, sikap individualistis, konsumeris, hedonisme, materialisme, dan sekulerisme. Ini telah menimbulkan masalah sosial sampai pada tingkat unit sosial terkecil, seperti melemahkan ikatan emosional dalam keluarga, disorientasi, disorganisasi sosial, pada skala yang besar timbulnya aliansi sosial sebab jauh dari agama dan kepentingan sosial dalam kehidupan sosiali dan ekonomi masyarakat. Lahirlah faham sosialisme. Mereka menentang individu sebagai dasar pribadi, juga kebebasan ekonomi yang perlu melibatkan negara. Faham sosialis mengusahakan indutri negara bukan semata untuk digunakan mencari keuntungan yang melebihi usaha keuntungan kapitalis yang meungkin berhasil, mungkin tida. Akan tetapi untuk penyelenggarakan industri yang lebih demokratis, bermanfaat dan bermartabat, penggunaan mesin yang lebih memperhatikan manusia dan penggunaan hasil kecerdasan manusia yang lebih bijak.49 Lahirlah tokoh-tokoh sosialis, seperti St. Simon (1760-1825), Fourier (1837), Robert Owen (1771-1858), Louis Blane (1813-1882), Bakunin (1814-1876).

3. Sistem Politik Sosialisme

Sosialisme dengan demokrasi, memiliki hubungan yang sangat penting, ia menjadi bagian dari kebijakan sosialis. Sosialisme dalam konteks demokrasi memiliki tujuan dengan inti yang sama, yakni untuk lebih mewujudkan demokrasi dengan memperluas penerapan prinsip-prinsip demokrasi dari hal-hal yang bersifat politis sampai pada yang bersifat non-politis dalam masyarakat. Oleh sebab itu untuk mencapai cita-citanya, sosialis menggunakan cara-cara yang demokratis:

Pertama, sosialisme menolak terminologi proletariat yang menjadi bagian konsep komunisme. Kedua, kepemilikan alat-alat produksi oleh negara harus diusahakan secara perlahan-lahan atau secara bertahap. Ketiga, kaum sosialis menuntut pendirian umum yang demokratis bahwa pencabutan hak milik warga negara harus melalui proses hukum dan warga negara tersebut harus mendapat kompensasi. Keempat, kaum sosialis menolak pengendalian kekuasaan oleh sekelompok minoritas yang mengatasnamakan kekuatan revolusioner.50 Kelima, tidak sependapat bahwa dalam demokrasi hanya ada dua pilihan antara liberalis-kapitalis dan komunisme. Partai-partai yang demokratis tidak menyibukkan dirinya untuk menyelesaikan perjuangan seribu tahun dalam sehari, melainkan

49 Mas’ud An Nadwi, Islam dan Sosialisme (Bandung: Risalah, 1983) hlm. 32-36. 50 Clement Attle, Perdana Menteri Inggris tahun 1945-1951, juga seorang Pemimpin Partai

Buruh 1935-1955, menulis dalam buku The Labour Party in Perspective (1937) bahwa kekuatan partainya bukan bergantung pada kepemimpinan, melainkan kualitas rakyat jelata.

Page 74: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

74

mereka berusaha untuk memecahkan persoalan yang relatif dapat ditangani dan dihindarkan pemecahan kaku yang tidak dapat ditarik kembali.51

4. Sistem Ekonomi Sosialisme

Sosialisme adalah suatu sistem perekonomian yang memberikan kebebasan yang cukup besar kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan ekonomi tetapi dengan campur tangan pemerintah. Pemerintah masuk ke dalam perekonomian untuk mengatur tata kehidupan perekonomian negara serta jenis-jenis perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara seperti air, listrik, telekomunikasi, gas lng, dan lain sebagainya. Dalam sistem ekonomi sosialisme atau sosialis, mekanisme pasar dalam hal permintaan dan penawaran terhadap harga dan kuantitas masih berlaku. Pemerintah mengatur berbagai hal dalam ekonomi untuk menjamin kesejahteraan seluruh masyarakat.

Pada dasarnya sosialisme mewarisi tujuan pokok yang sama dari kapitalisme, yakni melestarikan kesatuan faktor tenaga kerja dan pemilikan. Pada abad ke-17 dan ke-18, saat kapitalisme melewati tahap awal perkembangannya, kesatuan itu menjadi kenyataan. Inggris di zaman John Locke masih hidup dan Amerika di zaman Thomas Jefferson menyaksikan pertanian yang berukuran rata-rata, toko-toko,bengkel hanya dalam skala kecil keluarga saja. Tenaga kerja dan pemilik berada dalam keseiringan. Ancaman utama dalam kesatuan ini justru datang dari negara, yang berusaha untuk menetapkan dan mengatur.

Singkatnya negara memainkan peranan suatu badan yang berkuasa penuh dalam urusan ekonomi. Akan tetapi, tatkala ekonomi kapitalis mengalami kemajuan, tanggungjawab individu dan keluarga dalam urusan kepamilikan alat-alat produksi serta pengaturan tenaga kerja perlahan-lahan digantikan oleh sistem ekonomi dalam mana perusahaan besar mengambil alihfungsi-fungsi tersebut. Ketika bentuk usaha industri tumbuh semakin besar, tanggungjawab tenaga kerja semakin beralih ke tangan masyarakat, sementara pemilikan tetap secara perorangan.52

Isu yang dalam mengembangkan sosialisme di Eropa berkaitan erat dengan masalah ekonomi adalah: Pertama, pemerataan sosial, salah satu kekuatan pendorong, yakni penentangannya terhadap ketimpangan kelas sosial yang diterima oleh negara Eropa (maupun bagian dunia yang lain) dari zaman feodal dimasa lalu.

Kedua, penghapusan kemiskinan. Yakni kemiskinan sebagai akibat dari akumulasi sistem kapitalisme, maka bagi sosialisme; ‘tidak ada hak milik pribadi atas alat-alat produksi, bahwa alat produksi harus menjadi kepemilikan komunal’. Dengan menekankan solidaritas sosial dan kerjasama sebagai sarana untuk mengembangkan ekonomi dan membangun suatu jaringan ikatan sosial dan ekonomi yang kuat guna membantu membentuk kepaduan nasioal. Karena, begitu jauhnya kenyataan ekonomi dan politis telah melahirkan kegagalan.53

51 William Ebenstein & Edwin Fogelman, op. cit., hlm. 210. 52 Ibid., hlm. 217-218. 53 Lyman Tower Sargen, Ideologi-ideologi Politik Kontemporer; Sebuah Analisis Komparatif

(Jakarta: Erlangga, 1987) hlm. 149.

Page 75: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

75

5. Prinsip-prinsip Sosialisme Sosialisme memiliki prinsip-prinsip dalam menegakkan suatu pemerintahan

dan negara dalam mewujudkan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Ini meliputi masalah agama, idealisme etis dan estetis, empirisme febian dan liberalisme. Prinsip-prinsip ideologi sosialisme menurut Sydney Webb sebagaimana dalam bukunya Fabian Esseys (1889) itu, menganggap sosialisme sebagai hasil yang tidak dapat diletakkan dari keberhasilan demokrasi dengan kepastian yang datang secara bertahap (inevitability of gradualness) yang berbeda dengan pandangan Karl Marx tentang kepastian revolusi.54 Prinsip-prinsip ideologi sosialisme adalah sebagai berikut:

Pertama, masalah agama. Dalam pembentukan gerakan sosialis pengaruh agama merupakan yang paling kuat. Menemukan berbagai hal yang berhubungan dengan doktrin keagamaan, sosial dan ekonomi serta banyaknya jumlah sekte keagamaan telah membuktikan betapa adanya berbagai ajaran yang dipegangnya. Hal ini tampak terlihat di Inggris pada masa itu menurut Attle.55 Hal ini karena dulu ada gerakan Kristiani Sosialis yang beranggapan bahwa agama itu harus disosialisasikan dan sosialisme harus dikristianikan.56

Kedua, idealisme etis dan estetis. Ini menjadi sumber sosialisme di Inggris, John Ruskin dan William Morris mengungkapkan ini bukan suatu program politik dan atau ekonomi, tetapi merupakan pemberontakan melawan kemelaratan, kebosanan, dan kemiskinan hidup dibawah kapitalisme industri. Sebagaimana kedua tokoh itu, Charles Dickens dan Thomas Carlyle serta pengarang lainnya yang melihat pengaruh peradaban industri terhadap pribadi seseorang sebagai manusia. Pemberontakan etis dan estetis masa Inggris Victoria merusak rasa percaya diri yang tumbuh pada masa itu. Sebab keraguan itu, dirinya mendapatka banyak sosialis yang positif dapat dikembangkan mengenai langkah demi langkah.57 Ini bukan merupakan program politik dan ekonomi, melainkan pemberontakan dari kehidupan yang kotor dan keadaan masyarakat yang miskin akibat kapitalis industri.58

Ketiga, empirisme fabian. Ini merupakan ciri gerakan sosialis Inggris yang paling khas. Masyarakat fabian didirikan pada tahun 1884, serta mengambil nama seorang Romawi, yakni Quintus Fabius Maximus Cunctator, si “penunda’. Moto awal dari masyarakat itu adalah ‘Engkau harus menunggu saat yang tepat; kalau saat yang tepat itu tiba engkau harus melakukan serangan yang dahsyat, sebab jika tidak, penundaan yang engkau lakukan itu sia-sia dan tidak akan membawa hasil. Tokoh-tokoh dari kalangan ini antara lain George Bernand Shaw, Sydney dan Beatrice Webb, H.G. Wells dan Graham Walls, mereka bukan berasal dari kalangan miskin. Dalam hal politik menghendaki suatu perubahan masyarakat secara konstitusional. Perubahan itu jangan sampai melalui revolusi yang radikal dengan membalikkan struktur politik dengan cara paksa atau kekerasan. Prinsip bahwa tidak mungkin ada kemajuan kecuali kepada kelas

54 Mas’ud An Nadwi, op. cit., hlm. 32-36. 55 Adanya gerakan Sosialis Kristiani yang dipimpin oleh dua orang biarawan, yaitu Fredrick

Maurice dan Charles Kingsley mencapai puncak kejayaannya dalam pertengahan abad kesembilan belas serta menjadi sumber penting untuk perkembangan organisasi kelas buruh serta sosialis kemudian. Prinsip yang menjadi pedoman bagi kalangan Sosialis Kristen adalah konsep yang menandaskan bahwa sosialisme harus dikristenkan dan Kristianitas harus disosialisasikan. Lihat dalam William Ebenstein & Edwin Fogelman, op. cit., hlm. 219-220.

56 Firdaus Syam, op. cit., hlm. 50. 57 William Ebenstein & Edwin Fogelman, op. cit., hlm. 222-223. 58 Ibid.

Page 76: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

76

menengah dan atas ditunjukkan bahwa tuntutan dasar pikiran serta politik sosialis tadi masuk akal dan bersifat adil.59

Keempat, liberalisme. Ini telah menjadi sumber yang semakin penting bagi sosialisme, terutama sejak Partai Liberal merosot peranannya, dan meningkatnya peran oleh Partai Buruh. Dalam sosialisme juga ada kecenderungan berorientasi pada negara, masa dan kolektivitas. Kedua kecenderungan itu masih Sunan Kalijaga menjadi seorang pribadi dan bukan menjadi seorang anggota dalam daftar nasional. Namun demikian, dalam 40 tahun terakhir semakin banyak orang Liberal yang menggabungkan diri dengan Partai Buruh.60 Hal ini penting terutama setelah partai liberal terjadi tidak berarti banyak beralih ke partai buruh. Sebab dalam partai buruhlah, gagasan mereka dapat dikembangkan.61

Oleh sebab itu sosialisme sebagai bentuk kekuatan politik, sosial dan ekonomi sangat berpihak kepada tindakan populis dan untuk rakyat, ini dilakukan berupa pemberian kesempatan kerja, menghapus diskriminasi, memperjuangkan mengenai persamaan hak, memperjuangkan hak-hak pekerja, kerjasama serta menghapuskan persaingan dan mengatur mekanisme ekonomi untuk kepentingan seluruh rakyat.

6. Sosialisme Utopis

Sosialisme Utopis atau Sosialisme Utopia adalah sebuah istilah untuk mendefinisikan awal mula pemikiran sosialisme modern. Para sosialis utopis tidak pernah benar-benar menggunakan ini untuk menyebut diri mereka; istilah "Sosialisme Utopis" awalnya diperkenalkan oleh Karl Marx dan kemudian digunakan oleh pemikir-pemikir sosialis setelahnya, untuk menggambarkan awal kaum sosialis intelektual yang menciptakan hipotetis masa datang dari penganut paham egalitarian dan masyarakat komunal tanpa semata-mata memperhatikan diri mereka sendiri dengan suatu cara dimana komunitas masyarakat seperti itu bisa diciptakan atau diperjuangkan.

Kata utopia sendiri diambil dari kisah pulau Utopia karangan Thomas Moore. Karena Sosialisme utopis ini lebih merupakan sebuah kategori yang luas dibanding sebuah gerakan politik yang spesifik, maka sebenarnya sulit untuk mendefinisikan secara tepat istilah ini. Merujuk kepada beberapa definisi, desinisi sosialisme utopis ini sebaiknya melihat para penulis yang menerbitkan tulisan-tulisan mereka pada masa antara Revolusi Perancis dan pertengahan 1930-an. Definisi lain mengatakan awal mula sosialisme utopis jauh lebih ke masa lalu, dengan mengambil contoh bahwa figur Yesus adalah salah satu diantara penganut sosialisme utopis. Walaupun memang terbuka kemungkinan siapapun yang hidup dalam waktu kapanpun dalam sejarah dapat disebut sebagai seorang

59 Firdaus Syam, op. cit., hlm. 50. 60 Dalam pemilihan umum pasca perang yang diadakan pada tanggal 5 Juli 1945, partai

buruh meraih 394 dari 640 kursi, dengan demikian untuk pertama kalinya dalam sejarah Inggris pemerintahan Partai Buruh dibentuk dengan mayoritas yang mantap di Majelis Rendah. Antara tahun 1900 sampai 1918, partai buruh secara resmi tidak terikat dengan sosialisme, meskipun mereka menghimpun banyak individu yang berhalauan sosialis. Pada tahun 1918, ketika partai itu mengambil sosialisme sebagai programnya, komitmennya kepada nasioalisasi industri hampir penuh. Partai buruh berubah secara drastis pandangannya dan mendorong nasionalisasi hanya kalau secara pragmatis telah terbukti bahwa pemilikan oleh negara akan mendatangkan lebih banyak manfaat bagi kemakmuran negara daripada pemilikan secara perorangan. Lihat dalam William Ebenstein & Edwin Fogelman, op. cit., hlm. 223 & 229.

61 Firdaus Syam, op. cit., hlm. 50.

Page 77: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

77

sosialis utopis, istilah ini lebih sering dipakai terhadap para sosialis utopis yang hidup pada seperempat masa pertama abad 19. Sejak pertengahan abad 19 dan selanjutnya, cabang-cabang sosialisme yang lain jauh melebihi versi utopisnya, baik dalam perkembangan pemikirannya maupun jumlah penganutnya. Para sosialis utopis sangat penting dalam pembentukan pergerakan modern bagi komunitas intentional dan koperasi, techno komunisme.Istilah "sosialisme ilmiah" kadang digunakan oleh para penganut paham Marxisme untuk menguraikan versi sosialisme mereka, terutama untuk tujuan membedakannya dari Sosialisme Utopis dimana telah terdeskripsi dan idealistis (dalam beberapa hal mewakili suatu yang ideal) dan bukan ilmiah, yaitu, yang dibangun melalui pemikiran dan berdasarkan pada ilmu-ilmu sosial.

7. Pemikir Utama Sosialisme Utopis

Robert Owen (1771-1858) adalah seorang pelaku bisnis sukses yang menyumbangkan banyak laba dari bisnisnya demi peningkatan hidup karyawannya. Reputasi dia meningkat ketika dia mendirikan suatu pabrik tekstil di New Lanark, Skotlandia dan memperkenalkan waktu kerja lebih pendek, membangun sekolah untuk anak-anak dan merenovasi rumah-rumah tempat tinggal pegawainya. Ia juga merancang suatu komunitas Owenite yang disebut New Harmony (Keselarasan Baru) di Indiana, AS. Komunitas ini bubar ketika salah satu dari mitra bisnisnya melarikan diri dengan membawa semua laba yang ada. Kontribusi utama Owen bagi pikiran kaum sosialis adalah pandangan tentang dimana perilaku sosial manusia tidaklah tetap atau absolut, dan manusia mempunyai kehendak bebas untuk mengorganisir diri mereka ke dalam segala bentuk masyarakat yg mereka inginkan. Otienne Cabet (1788-1856) dipengaruhi oleh pemikiran Robert Owen. Di dalam bukunya Travel and adventures of Lord William Carisdall in Icaria (1840) ia memaparkan suatu masyarakat komunal idealis. Usaha nya untuk membuatnya kembali (gerakan Icarian) gagal. Charles Fourier (1772-1837) sejauh ini adalah seorang sosialis yang paling utopis. Menolak semua tentang Revolusi Industri dan semua permasalahan yang timbul menyertainya, ia membuat berbagai pendapat fantastis tentang dunia yang ideal yang ia impikan. Selain beberapa kecenderungan yang jelas-jelas tidak sosialis, ia tetap memberi kontribusi berarti bagi gerakan sosialis. Tulisan-tulisannya membantu Karl Marx muda dan membantunya memikirkan teori alienasinya. Fourier juga seorang feminisme radikal.

KOMUNISME 1. Pengertian Komunisme

Komunis mulai populer dipergunakan setelah revolusi di tahun 1830 di Peracis. Suatu gerakan revolusi yang menghendaki perubahan pemerintahan yang bersifat parlementer dan dihapuskannya raja. Istilah komunis, awalnya mengandung dua pengertian. Pertama, ada hubungannya dengan komune (commune) suatu satuan dasar bagi wilayah negara yang berpemerintahan sendiri, dengan negara itu sendiri sebagai federasian komune-komune itu. Kedua, ia menunjukkan milik atau kepunyaan bersama. Pada esensinya adalah sebuah alra berfikir berlandaskan kepada atheisme, yang menjadikan materi sebagai asal segala-galanya. Ditafsirkannya sejarah berdasarkan pertarungan

Page 78: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

78

kelas faktor ekonomi. Karl Marx dan Frederich Engels adalah tokoh utamanya dalam mengembangkan faham ini.62

Komunisme lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme di abad ke-19, yang mana mereka itu mementingkan individu pemilik dan mengesampingkan buruh.Istilah komunisme sering dicampuradukkan dengan Marxisme. Komunisme adalah ideologi yang digunakan partai komunis di seluruh dunia. Racikan ideologi ini berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut “Marxisme-Leninisme”. Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari peran Partai Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh, namun pengorganisasian Buruh hanya dapat berhasil jika bernaung di bawah dominasi partai. Partai membutuhkan peran Politbiro sebagai think-tank. Dapat diringkas perubahan sosial hanya bisa berhasil jika dicetuskan oleh Politbiro. Inilah yang menyebabkan komunisme menjadi "tumpul" dan tidak lagi diminati. Komunisme sebagai anti kapitalisme menggunakan sistem sosialisme sebagai alat kekuasaan, dimana kepemilikan modal atas individu sangat dibatasi.

Prinsip semua adalah milik rakyat dan dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat secara merata. Komunisme sangat membatasi demokrasi pada rakyatnya, dan karenanya komunisme juga disebut anti liberalisme. Secara umum komunisme sangat membatasi agama pada rakyatnya, dengan prinsip agama adalah racun yang membatasi rakyatnya dari pemikiran yang rasional dan nyata. Komunisme sebagai ideologi mulai diterapkan saat meletusnya Revolusi Bolshevik di Rusia tanggal 7 November 1917. Sejak saat itu komunisme diterapkan sebagai sebuah ideologi dan disebarluaskan ke negara lain. Pada tahun 2005 negara yang masih menganut paham komunis adalah Tiongkok, Vietnam, Korea Utara, Kuba dan Laos. 2. Ide Dasar Komunisme

Komunisme masa kini menitik beratkan empat ide: 1] Sekelumit kecil orang hidup dalam kemewahan yang berlimpah, sedangkan kaum pekerja yang teramat banyak jumlahnya bergelimang papa sengsara, 2] Cara untuk merombak ketidakadilan ini adalah dengan jalan melaksanakan sistem sosialis, yaitu sistem dimana alat produksi dikuasai negara dan bukannya oleh pribadi swasta, 3] Pada umumnya, satu-satunya jalan paling praktis untuk melaksanakan sistem sosialis ini adalah lewat revousi kekerasan, 4] Untuk menjaga kelanggengan sistem sosialis harus diatur oleh kediktatoran partai Komunis dalam jangka waktu yang memadai.

Tiga dari ide pertama sudah dicetuskan dengan jelas sebelum Marx, sedangkan ide yang keempat berasal dari gagasan Marx mengenai “diktatur proletariat”, sementara itu lamanya berlaku kediktatoran Soviet sekarang lebih merupakan langkah-Iangkah Lenin dan Stalin daripada gagasan tulisan Marx, Hal ini nampaknya menimbulkan anggapan bahwa pengaruh Marx dalam Komunisme lebih kecil dari kenyataan sebenamya, dan penghagaan orang-orang terhadap tulisantulisannya lebih menyerupai etalase untuk membenarkan sifat “keilmiahan” dari pada ide dan politik yang sudah terlaksana dan diterima.

62 Abu Ridho, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (WAMY, 1999) hlm. 198.

Page 79: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

79

3. Ciri-ciri Inti Masyarakat Komunis Ciri-ciri inti masyarakat komunis adalah; 1] penghapusan hak milik pribadi

atas alat-alat produksi, 2] penghapusan kelas-kelas sosialisme, 3] menghilangnya negara, 4] pengahpusan pembagian kerja. Kelas-kelas tidak perlu dihapus secara khusus sesudah kelas kapitalisme ditiadakan karena kapitalisme sendiri sudah mengahapus semua kelas, sehingga hanya tinggal proletariat. Itulah sebabnya revolusi sosialis tidak akan menghasilkan masyarakat atas dan masyarakat bawah lagi.63 4. Filsafat Perubahan Sosial dalam Manifesto Komunis64

Dalam materialisme dialektik, tindakan adalah yang pertama dan fikiran adalah yang kedua. Aliran ini mengatakan bahwa tak terdapat pengetahuan yang hanya merupakan pemikiran tentang alam; pengetahuan selalu dikaitkan dengan tindakan. Pada zaman dahulu, menurut Marx, para filosof telah menjelaskan alam dengan cara yang berbeda-beda. Kewajiban manusia sekarang adalah untuk mengubah dunia, dan ini adalah tugas dan misi yang bersejarah dari kaum komunis. Dalam melakukan tugas ini, mereka tidak ragu-ragu untuk mengambil tindakan dan menggunakan kekerasan guna mencapai maksud mereka. Sesungguhnya, kebanyakan orang komunis percaya bahwa kekerasan adalah perlu untuk menghilangkan kejahatan dari masyarakat.

Masyarakat, seperti benda-benda lain, selalu dalam proses perubahan. Ia tidak dapat diam (statis) karena meteri itu sedniri bergerak (dinamis). Akan tetapi perubahan atau proses perkembangan itu tidak sederhana, lurus atau linear. Selalu terjadi perubahan-perubahan yang kecil, yang tidak terlihat, dan kelihatannya tidak mengubah watak benda yang berubah itu, sampai terjadilah suatu tahap dimana suatu benda tidak dapat berubah tanpa menjadi benda lain. Pada waktu itu terjadi suatu perubahan yang mendadak. Sebagai contoh, air dipanaskan pelan-pelan, ia menjadi bertambah panas sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya secara mendadak, pada suatu tahap, ia menjadi uap, dan terjadilah perubahan keadaan. Ada perkembangan yang lalu dari perubahan kuantitatif yang sangat kecil dan tidak berarti, kemudian menjadi perubahan yang penting terbuka dan kemudian menjadi perubahan kualitas; terjadi juga suatu perkembangan dimana perubahan kualitatif terjadi dengan lekas dan mendadak, berupa suatu loncatan dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain.65 Begitu juga dalam hubungan ekonomi dari suatu masyarakat dan dalam pertarungan kepentigan antara kelas, situasi revolusioner akan muncul. Jika ditafsirkan dengan cara ini maka materialisme dialektik memberi dasar kepada perjuangan kelas dan tindakan revolusioner.

Pada tahun 1848 Karl Marx dan Freidrich Engels menerbitkan Manifesto Komunis, suatu dokumen yang banyak mempengaruhi gerakan revolusioner. Akhirnya Karl Marx menerbitkan karyanya yang besar, Das Kapital, Jilid pertama terbit pada tahu 1867. Marx membentuk interpretasi ekonomi tentang sejarah, dan interpretasi tersebut telah berpengaruh kuat selama seratus tahun terakhir ini. Bagi Marx faktor ekonomi adalah faktor yang menentukan dalam

63 Franz Magnis-Suseno, Pemikian Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan

Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 2000) hlm. 171. 64 Titus Smith Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, Judul Asli: Living Issues in Philosophy,

Seven Edition, D. Van Nostrand Company, New York, 1979. Penerjemah: Prof. Dr. H.M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) h. 304-306.

65 Joseph Stalin, Dialectical and Historical Materialism (New York: Inter. Publisher, 1950) h. 8.

Page 80: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

80

perkembangan sejarah manusia. Sejarah digambarkan sebagai pertempuran kelas, dimana alat-alat produksi, didistribusi dan pertukaran barang dalam struktur ekonomi dari masyarakat menyebabkan perubahan dalam hubungan kelas, dan ini semua mempengaruhi kebiasaan dalam tradisi politik, sosial, moral dan agama.

Terdapat lima macam sistem produksi, empat macam telah muncul bergantian dalam masyarakat manusia. Sistem kelima diramalkan akan muncul pada hari esok yang dekat, dan sekarang sudah mulai terbentuk. Yang pertama adalah sistem komunisme primitif. Sistem ini adalah tindakan ekonomi yang pertama dan mempunyai ciri-ciri pemilikan benda secara kolektif, hubungan yang damai antar perorangan dan tidak adanya tehnologi. Tingkat kedua adalah sistem produksi kuno yang didasarkan atas perbudakan. Cirinya adalah timbulnya hal milik pribadi, yang terjadi ketika pertanian dan pemeliharaan binatang mengganti perburuan sebagai sarana hidup. Dengan lekas, kelompok aristokrat dan kelas tinggi memperbudak kelompok lain. Pertarungan kepentingan timbul ketika kelompok minoritas menguasai sarana hidup. Tingkatan ketiga adalah tingkatan dimana kelompok-kelompok feodal menguasasi penduduk-penduduk. Pembesar-pembesar feodal menguasai kelebihan hasil para penduduk yghanya dapat hidup secara sangat sederhana.

Pada tingkatan keempat, timbulah sistem borjuis atau kapitalis dengan meningkatnya perdagangan, penciptaan dan pembagian pekerjaan; sistem pabrik menimbulkan industrialis kapitalis, yang memiliki dan mengontrol alat-alat produksi. Si pekerja hanya memiliki kekuatan badan, dan terpaksa menyewakan dirinya. Sebagai giliran tangan menimbulkan masyarakat dengan pengusaha kapitalis.

Sejarah masyarakat mulai pecahnya masyarakat primitif bersama adalah sejarah pertarungan kelas. Selama seratus lima puluh tahun terakhir, kapitalisme industri dengan doktrin self-interest (kepentingan diri sendiri)-nya telah membagi masyarakat menjadi dua kelompok yang bertentangan: borjuis atau kelompok yang memiliki dan proletar atau kaum buruh. Oleh karena kelas yang memiliki menguasai lembaga-lembaga kunci dari masyarakat dan tidak mengizinkan perubahan besar dengan jalan damai, maka jalan keluarnya adalah penggulingan kondisi sosial yang ada dengan kekerasan.

Setelah revolusi, menurut materialisme dialektik dan filsafat komunis, akan terdapat dua tingkat masyarakat. Pertama tingkat peralihan, yaitu periode kediktatoran dari kaum proletar. Dalam waktu tersebut orang mengadakan perubahan sosial yang revolusioner, dan kelas-kelas masyarakat dihilangkan dengan dihilangkannya hak milik pribadi terhadap sarana produksi, distribusi dan pertukaran (excange). Tingkat kedua setelah revolusi adalah tingkat kelima dan tipe terakhir dari sistem produksi. Itu adalah “masyarakat tanpa kelas” atau komunisme murni. Pada tingkatan tersebut bentrokan dan eksploitasi akan telah selesai, dan semua orang, pria dan wanita akan terjamin kehidupannya yang layak. Negara tidak lagi menjadi alat kelas dan dialektik tidak berlaku lagi dalam masyarakat tanpa kelas. Akan terdapat kemerdekaan, persamaan, perdamaian dan rizki pun melimpah. Masyarakat akan menyaksikan realisasi kata-kata: dari setiap orang menurut kemauannya, bagi setiap orang menurut kebutuhannya.

Page 81: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

81

5. Kedudukan Proletariat dalam Komunisme Komunisme adalah doktrin mengenai keadaan bagi kemerdekaan

proletariat.66 Bahwa terwujudkanya komunisme membutuhkan keniscayaan terciptanya proletariat, dan proletariat adalah Proletariat merupakan kelas dalam masyarakat yang hidup hanya dengan menjual tenaga kerjanya dan tidak menarik keuntungan dari mana-mana jenis kapital; kebiluran dan kesengsaraan mereka, hidup dan mati mereka, kewujudan semena-mena mereka bergantung kepada keperluan tenaga pekerja–dan oleh kerana itu, bergantung kepada keadaan perniagaan yang senantiasa berubah, dan ketidak-tentuan persaingan yang tidak terkawal. Proletariat, atau kelas proletariat, merupakan, dalam sekata dua, kelas pekerja abad ke-19.67

Proletariat menjelma semasa revolusi perindustrian, yang berlaku di England pada hujung abad ke-18, dan yang diulangi di setiap negara

66 Diambil dari Prinsip-prinsip Komunisme, oleh Frederick Engels, Ditulis pada Oktober-

November 1847, Dari Selected Works, Jilid1, muka surat 81-97, diterbitkan oleh Penerbit Progress, Moskow; 1969.

67 Marx-Engels, Selected Works; Peking, Penerbit Foreign Languages, 1977. [Mukadimah] Pada tahun 1847, Engels menulis dua program draf untuk Liga Komunis dalam bentuk soalan bersiri, satu pada bulan Jun dan satu pada bulan Oktober. Yang kedua, yang dikenali sebagai Prinsip-prinsip Komunis, diterbitkan buat kali pertama pada tahun 1914. Dokumen Draf Pengakuan Keimanan Komunis yang lebih awal, hanya dijumpai pada tahun 1968. Ia diterbitkan buat kali pertama pada tahun 1969 di Hamburg, dengan empat dokumen yang lain berkaitan dengan kongres pertama Liga Komunis, dalam risalah bertajuk Grundungs Dokumente des Bundes der Kommunisten (Juni bis September 1847) atau Dokumen Pengasas Liga Komunis. Di Kongress Liga Keadilan pada bulan Jun 1847, yang juga merupakan kongres pengasasan Liga Komunis, mereka mengambil keputusan untuk meluluskan sebuah draf ‘pengakuan keimanan’ untuk diperdebatan oleh Liga itu. Dokumen yang dijumpai itu sudah pasti merupakan draf ini. Bandingan di antara dua dokumen itu menunjukkan bahawa Prinsip-prinsip Komunisme merupakan edisi yang disemak. Dalam Prinsip-Prinsip Komunisme, Engels tidak menjawab tiga soalan, dalam dua kes dengan nota ‘tidak berubah’ (bleibt); ini jelasnya merujuk kepada jawapan yang diberi dalam draf awal. Draf baru untuk program ini diusahakan oleh Engels di bawah arahan badan pemimpin Liga Komunis cawangan Paris. Arahan tersebut disetujui selepas kritikan tajam Engels pada 22hb Oktober, 1847 terhadap program draf yang ditulis oleh ‘sosialis benar’ Moses Hess, yang kemudiannya ditolak. Sambil mempertikaikan Prinsip-Prinsip Komunisme sebagai draf awal, Engels menyatakan pendapat beliau, dalam surat kepada Karl Marx bertarikh 23-24hb November 1847, bahwa ia mungkin baik untuk mengetepikan susunan soalan bersiri dan menulis sebuah program dalam bentuk manifesto. “Timbangkanlah Pengakuan Keimanan sedikit. Saya percaya kita harus mengetepikan sususan soalan bersiri dan memanggilkannya: Manifesto Komunis. Kerana sedikit sebanyak sejarah harus dikaitkan dengannya, cara susunannya sekarang tidak berapa sesuai. Saya akan membawa apa yang saya sudah selesaikan dengan saya; ia dalam susunan penceritaan, tetapi tidak ditulis dengan baik, kerana saya menulisnya dengan cepat…” Pada kongres kedua Liga Komunis (9hb November – 8 Disember 1847), Marx dan Engels mempertahankan prinsip-prinsip saintifik komunisme dan diberi tugas menulis program dalam bentuk manifesto untuk Parti Komunis. Dalam menulis manifesto tersebut, pengasas Marxsisme menggunakan kalimah-kalimah yang ditulis dalam Prinsip-prinsip Komunisme. Engels menggunakan ungkapan Manufaktur dan usulan seperti itu, yang telah diterjemahkan sebagai ‘pengeluaran,’ ‘bidang pengeluaran’ dan sebagainya. Engels menggunakan perkataan ini secara benar, untuk menandakan pengeluaran dengan tangan, bukannya pengeluaran kilang, yang Engels memberi nama ‘industri besar.’ Manufaktur berbeda daripada kraftangan (pengeluaran tukang di pekan-pekan Zaman Pertengahan), di mana kraftangan diusahakan oleh artisan bebas. Manufaktur diusahakan oleh pekerja yang bekerja untuk pedagang kapitalis, atau oleh kumpulan tukang kraf yang bekerja di bengkel-bengkel besar yang dimiliki oleh kapitalis. Oleh kerana itu, ia merupakan keadaan peralihan di antara kesatuan tukang (kraftangan) dan cara pengeluaran moden (kapitalis). Dalam karya mereka yang ditulis pada waktu-waktu lain, Marx dan Engels menggantikan ungkapan ‘penjualan tenaga pekerja,’ ‘nilai tenaga pekerja’ dan ‘harga tenaga pekerja’ yang digunakan di sini dengan ungkapan ‘penjualan kuasa tenaga pekerja,’ ‘nilai kuasa tenaga pekerja’ dan ‘harga kuasa tenaga pekerja’ (yang diperkenalkan oleh Marx) yang lebih tepat.

Page 82: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

82

bertamadun di seluruh dunia. Revolusi perindustrian ini dijana oleh penciptaan enjin stim, mesin menenun mekanikal dan pelbagai peralatan mekanikal yang lain. Mesin-mesin ini, yang begitu mahal sekali dan, oleh karena itu, hanya dapat dibeli oleh kapitalis besar, mengubah cara pengeluaran dan mengambil tempat bekas pekerja, kerana mesin-mesin tersebut menghasilkan komoditi yang lebih murah dan lebih baik daripada yang dapat dihasilkan oleh para pekerja dengan roda penenun dan penenun tangan mereka yang tidak memadai. Mesin-mesin tersebut menghadiahkan bidang indutsri ke dalam tangan kapitalis besar dan menghancurkan nilai harta para pekerja (peralatan, alat penenun dan sebagainya). Akibatnya, pihak kapitalis berjaya merangkul kesemuanya dalam tangan mereka dan tidak terdapat apa-apa yang tinggal untuk para pekerja. Ini menandakan pengenalan sistem perkilangan kepada industri tekstil. Selepas dorongan bagi pengenalan mesin-mesin dan sistem perkilangan diberi, sistem ini menjalar dengan pantas ke setiap bidang indutsri yang lain, khususnya pencetakan buku dan pengecapan kain, pembuatan barangan tembikar, dan indutsri logam.

Pekerjaan-pekerjaan semakin dibahagikan di kalangan individu sehingga pekerja yang dahulunya melaksanakan tugas yang menyeleruh, sekarang hanya melaksanakan sebahagian daripada tugas tersebut. Pembahagian tugas ini membenarkan benda-benda dihasilkan dengan lebih cepat dan lebih murah. Ia mengurangkan aktiviti pekerja kepada gerakan mekanikal senang dan beterusan yang dapat dilaksanakan dengan lebih baik oleh mesin-mesin. Dalam cara ini, segala industri tersebut jatuh, satu demi satu, di bawah kekuasaan stim, mesin-mesin dan sistem perkilangan, seperti yang berlaku kepada penenunan dan penganyaman.

Tetapi, pada masa yang sama, bidang-bidang tersebut turut jatuh ke dalam tangan kapitalis besar, dan para pekerja dilucutkan kebebasan mereka. Lama-kelamaan, bukan sahaja pengilangan tulin bahkan juga kraftangan jatuh ke dalam cengkaman sistem perkilangan, apabila kapitalis besar mengambil tempat tukang mahir kecil dengan mendirikan bengkel-bengkel besar, yang lebih menjimatkan dan membenarkan pembahagian tugas yang lebih terperinci.

Begitulah hampir segala jenis pekerjaan diusahakan di kilang-kilang di setiap negara bertamadun-dan, dalam hampir setiap bidang kerja, kraf-tangan dan pengeluaran telah dilintasi. Proses ini telah menghancurkan kelas menengah lama pada tahap yang lebih teruk lagi, khususnya tukang kraftangan kecil-kecilan; ia telah mengubah keadaan pekerja secara menyeluruh; dan dua kelas baru telah diwujudkan yang, secara perlahan-lahan, sedang menelan kelas-kelas yang lain. Ini merupakan: 1] Kelas kapitalis besar yang, di setiap negara bertamadun, memiliki secara eksklusif segala keperluan hidup dan peralatan (mesin-mesin dan kilang-kilang) dan bahan-bahan yang diperlukan untuk penghasilakn keperluan hidup. Ini merupakan kelas borjuas, atau borjuasi. 2] Kelas yang tidak berharta, yang terpaksa menjual tenaga pekerja mereka kepada borjuasi untuk mendapat, secara berbalas, keperluan hidup untuk kesenangan mereka. Mereka diberikan nama kelas proletariat, atau pendek kata, proletariat. 6. Sejarah Perkembangan Komunisme

Rusia, merupakan pusat kegiatan pembaharuan untuk menegakkan negara yang berdasarkan faham komunisme setelah meletusnya Revolusi Bolshevik di tahun 1917. Pada tahun 1919 didirikan Third International atau yang dikenal dengan Komunisme Internasional. Sosialisme-komunis dikenal juga

Page 83: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

83

dengan istilah Boshevism, kelompok ini yang memenangkan puncak revolusi di Rusia di tahun 1917 itu. Sebelumnya pada tahun 1989, setelah berdiri Social Democracy Party yang membuka cakrawala berfikir baru bagi parpenulis Rusia. Rapat kerja yang dilakukan di kota Perlizt dipenuhi dengan tantangan yang tajam sesama mereka, sampai akhirnya kemudian terpecah menjadi dua golongan. Golongan pertama memilih cara kerja memalui cara berjuang yang tidak revolusioner diberi nama Menshevic atau kelompok minoritas. Adapun golongan kedua dengan pengikut mayoritas memilih perjuangan dengan cara revolusioner, kelompok ini disebut Bolshevic. Golongan ini berhasil memegang kekuasaan tertinggi di Rusia dibawah kepemimpinan Lenin, didukung Trotsky68, yang dilanjutkan oleh Stalin, Kruschev, Beznev, Androvov, Chernenko sampai Gorbachev.

7. Sistem Politik Komunisme

Secara teoretis, pemerintahan komunis yang didasarkan ideologinya memperlakukan semua negara bagian mereka, rakyat dan cita-citanya menciptakan masyarakat sama rata-sama rasa. Dalam kenyataannya kekerasan, penyingkiran lawan-lawan, pembuangan, pengasingan, agitasi dan propaganda untuk menghancurkan bagi mereka yang tidak sejalan merupakan tindakan yang biasa dan harus dijalankan dengan cara revolusioner dan radikal. Dengan demikian ideologi komunisme dengan Marxisme-nya cenderung untuk melahirkan sistem politik yang otoriter dan tiranik seperti yang diperlihatkan oleh penguasa Stalin dan Lenin di Rusia, Mao Tse Tung di China, Fidel Castro di Kuba, Rezim Kemer Merah dengan Polpot dan Khi Smpan di Kamboja, Kim Sung di Korea Utara, Afganistan di masa Babrak Karmal. Sejumlah negara dikawasan Eropa Timur yang menjadi satelit Uni Sovyet seperti Hingaria, Bulgaria, Jerman timur, Latvia, Lithuania, Estonia, Rumania, Polandia. Kemudian negara dibawah Konfederasi Rusia yang menjadi Uni Sovyet seperti Georgia, Turkistan, Azerbaijan, Turmikistan, Kazakstan, Armenia. Selain itu negara yang berporos kepada faham Marxis dikawasan Afrika, Asia dan Amerika Latin.

Melalui partai komunis yang menganut single party memegang kekuasaan dengan mutlak-diktator. Rakyat tidak mungkin mengembangkan buah pikirannya, apalagi melakukan partisipasi politik yang berbeda dengan partai komunis yang berkuasa, termasuk untuk mengemukakan kebijaksanaan partai negara.69 Bagaimana Stalin dan Breznev, menumpas sejumlah negara yang menuntut persamaan hak atau keinginan melepaskan diri dari satelit Uni Sovyet seperti Geogia, Rumania, Polandia, Hongaria, Chekoslovakia dan Afganistan di era 1950-an sampai 1970-an.

Dalam membawa misi komunismenya untuk mencapai dan menguasai politik dalam masyarakat maupun negara, kalangan ini bila mungkin membentuk partai politik berupa partai komunis. Dalam struktur politik, negara yang berfaham ideologi komunis menganut sistem komando, hierarkis dari atas, dengan pola yang sentralistik, dan diktatur atas nama proletar, sehingga sering disebut diktatur proletariat. Oleh karena itu dalam mengambil keputusan ada tiga tingkat atau jalur untuk lahirnya suatu kebijakan politik, yakni; 1] Polit Biro (vanguard)

68 Dalam pertarungan perebutan kekuasaan di Rusia sepeninggal Lenin, Trotsky orang

kepercayaan Lenin, pada akhirnya disingkirkan oleh Stalin sebagai penguasa baru Rusia. Trotsky memiliki perbedaan pendapat, disingkirkan dari Dewan Tertinggi Organisasi, kemudian terusir dari negaranya tahun 1928, serta terbunuh di pengasingan.

69 Alfian, Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1982) hlm. 45.

Page 84: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

84

merupakan pimpinan tertinggi dan pemutus, 2] partai atau parlemen, 3] negara terakhir masyarakat. Secara resmi, negara komunis mengaku kemajemukan masyarakat, sebagai realisasinya ada wadah yakni partai. Akan tetapi masyarakat komunis, Marxisme, Leninisme mengajarkan bahwa sosialisme dibentuk dan dipertahankan melalui “Kediktaturan Proletariat.”70 Kediktaturan Proletariat dilakukan melalui partai hanya mungkin melalui kediktaturan Polit Biro. Inilah doktrin Sentralisme Demokrasi.

8. Sistem Perekonomian/ Tata Ekonomi Komunisme

Komunisme adalah suatu sistem perekonomian di mana peran pemerintah sebagai pengatur seluruh sumber-sumber kegiatan perekonomian. Setiap orang tidak diperbolehkan memiliki kekayaan pribadi, sehingga nasib seseorang bisa ditentukan oleh pemerintah. Semua unit bisnis mulai dari yang kecil hingga yang besar dimiliki oleh pemerintah dengan tujuan pemerataan ekonomi dan kebersamaan. Namun tujuan sistem komunis tersebut belum pernah sampai ke tahap yang maju, sehingga banyak negara yang meninggalkan sistem komunisme tersebut.

Lenin dalam melihat kemakmuran ekonomi yang menjadi syarat utama untuk mencapai cita-cita komunis. Ia bersandar kepada tiga prinsip untuk mencapai tujuan tersebut: Pertama, industrialisasi secara pesat, teruatama sekali dengan mengandalkan pembangunan indutri; Kedua, perencanaan menyeluruh degan mengkoordinasikan kehidupan anggota masyarakat secara seksama oleh suatu organisasi tehnik birokratis (kita harus meniru kapitalis); Ketiga, perlembagaan persaingan sebagai cara untuk model dan rangsangan bagi usaha individu dan kolektif, melalui pemberian rangsangan bagi kepentingan pribadi dalam bentuk gaji serta imbalan yang tidak sama, dan insentif material dan jabatan untuk mereka yang ahli secara tehnis dan cakap secara administratif.71

Pada hakikatnya dalam penerapannya, ideologi komunisme dalam satu negara dengan masyarakatnya tercipta bentuk pemerintahan serta sistem politiknya yang diktatur dan otoriter penguasa dan partai terhadap rakyatnya. Dalam bidang ekonomi, telah menciptakan kelas baru antara pemegang kekuasaan dengan rakyat, yakni ditindasnya hak rakyat dalam berkreativitas dibidang ekonomi serta pemilikan. Dibidang sosial budaya telah menciptakan manusia yang tidak lagi memiliki harkat kemanusiaan yang asasi dan universal. 9. Prinsip-prinsip Komunisme

Pertama, yang dimasud dengan ideologi komunisme ialah sistem politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan berdasarkan ajaran Marxisme-Leninisme. Kedua, ideologi komunis yang berasal dari pemikiran Marx memberikan ekspresi harapan. Filsafat Marx yang komunis telah menyadarkan janji penyelamatan sosial.72 Ketiga, orang komunis percaya bahwa historical materialis, sebab mereka memandang soal-soal spiritual hanya sebagai efek sampingan hakikat dari keadaan perkembangan materi termasuk ekonomi. Agama muncul menurut Marx disebabkan adanya perbedaan kelas sosial. Agama menjadi produk perbedaan kelas. Agama merupakan perangkap yang dipasang kelas penguasa untuk menjerat kelas proletariat yang tertindas. Apabila perbedaan kelas itu hilang, maka agama dengan sendirinya akan lenyap sebab pada saat itu

70 Firdaus Syam, op. cit., hlm. 59. 71 Ali Syariati, Kritik Islam atas Marxisme (Bandung: Mizan, 1983) hlm. 139. 72 Sjafruddin Prawiranegara, Agama dan Ideologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1971) hlm. 9.

Page 85: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

85

perangkap (agama) tidak dibutuhkan lagi.73 Komunisme juga tidak menerima pikiran orang lain (distrust of others reasons), penyanggahan terhadap persamaan manusia (denial of human equality), dan interpretasi secara ekonomi sistem terhadap sejarah (economic interpretation of history). Oleh karena itu mereka tak segan-segan melakukan penipuan, pengkhianatan dan pembunuhan untuk melenyapkan lawan-lawannya, meskipun dari anggota partainya sendiri.74 Keempat, karena cara mencapai tujuan, sangat menghalalkan segala cara, sangat menghalalkan kekerasan radikal, revolusioner dan perjuangan kelas, dengan sendirinya etika tingkah laku didasarkan atas kekerasan (code of behavior of violence) serta tidak mengakui pernyataan hak asasi manusia (denial of declaration of human right). Kelima, cita-cita perjuangannya adalah membangun masyarakat tanpa negara, tanpa kelas dengan konsep sama rata-sama rasa, ideologi komunis itu bersifat international dibidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Keenam, pengendalian segala kebijakan berada ditangan segelintir orang yang diebut Polit Biro, dengan sendirinya kebijakan ekonomi juga dilakukan secara tersentral (central economic s ystem) dengan manajemen yang juga secara diktator (dictatoral management) dan pemerintahan yang dikendalikan oleh sejumlah orang yang sedikit (government by the few).75

FASISME 1. Pengertian Fasisme

George Mosse menilai kemunculan fasisme sebagai reaksi terhadap liberalisme dan positivisme76 yang terlihat dari kecenderungannya yang ‘anti-intelektualisme’ (anti intellectualism) dan dogmatisme. Fasisme merupakan manifestasi kekecewaan terhadap kebebasan individual (individual freedom) dan kebebasan berfikir (freedom of thought). Liberalsme dan positivisme, ini agak aneh, membuat individu ‘takut akan kebebasan’. dengan menjadi fasis—menganut fasisme—individu merasa ‘bebas’ setelah melarikan diri dari kebebasan. ia ‘menikmati’ kebebasan justru dalam belenggu kebebasan. Kemuncuan fasisme juga merupakan ekses industrialisasi, modernisasi serta demokratisasi. Kemunculannya merupakan reaksi terhadap berbagai kesenjangan, penderitaan berkepanjangan, rasa ketakutan akan ketiadaan harapan masa depan yang lebih baik. Demokratisasi misalnya dianggap hanya ilusi dan melahirkan dominasi dan hegemoni struktural minoritas terhadap mayoritas, kebebasan anarkis dan lain-lain. Dalam kasus Jerman di masa perang Dunia I dan II, kemunculan fasisme distimulasi oleh anarki sosial yang diakibatkan kekacauan domestik dan politik internasional.

Fasisme ditinjau dari akar-akar pemikirannya tergolong unik. Ia, seperti dikatakan Hayes merupakan percampuran berbagai teori yang paling radikal, reaksioner dan mencakup berbagai gagasan ras, agama, ekonomi, sosial, dan

73 Murtadho Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah Kritik Islam atas Marxisme dan Teori

lainnya, lihat dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembagan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001) h. 292. Kajain mengenai Marxisme dalamperspektif sosiologis dapat dilihat dalam tulisan Ali Syariati, Kritik atas Marxixme dan Aliran Barat Lainnya (Bandung: Mizan, 1982).

74 Ibid. 75 Sukarna, Ideologi (Bandung: Alumni, 1981) hlm. 45, 48 dan 68. 76 Paul Hayes, Fascism (London: George Allen and Unwin Ltd., 1973) hlm. 17., dalam Ahmad

Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembagan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001) hal. 333.

Page 86: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

86

moralitas akar-akar filosofis. Akar-akar fasisme bisa dilacak dalam pemikiran Plato, Aristoteles, Hegel, Rosenberg, Doriot, Farinasi, Gobinau, Sorel, Darwin, Nietzsche, Marinetti, Oswald, Spengler, Chamberlain dan lain-lain.77 Jadi fasisme, memiliki akar-akar intelektual dan filosofis ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Dalam bentuknya yang modern dan kontemporer, dan dalam formatnya yang par exellence terjadi ketika Borneo Mussolini menguasai Italia (1922), Hitler dengan Nazinya mendominasi Jerman (1933) Franco berkuasa di Spanyol (1936), Tenno Heika memerintah Jepang (1930-an) dan Amerika Latin dimasa pemerintahan Juan Peron (1950-an).

Mussolini dan Hitler merupakan tokoh fasisme yang fenomenal. Fasisme merupakan sebuah paham politik yang mengangungkan kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Dalam paham ini, nasionalisme yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat kentara. Kata fasisme diambil dari bahasa Italia, fascio, sendirinya dari bahasa Latin, fascis, yang berarti seikat tangkai-tangkai kayu. Ikatan kayu ini lalu tengahnya ada kapaknya dan pada zaman Kekaisaran Romawi dibawa di depan pejabat tinggi. Fascis ini merupakan simbol daripada kekuasaan pejabat pemerintah. Pada abad ke-20, fasisme muncul di Italia dalam bentuk Benito Mussolini. Sementara itu di Jerman, juga muncul sebuah paham yang masih bisa dihubungkan dengan fasisme, yaitu Nazisme pimpinan Adolf Hitler. Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang ditekankan tidak hanya nasionalisme saja, tetapi bahkan rasialisme dan rasisme yang sangat sangat kuat. Saking kuatnya nasionalisme sampai mereka membantai bangsa-bangsa lain yang dianggap lebih rendah. 2. Konteks Sosial-Psikologis Fasisme

Munculnya fasisme dan komunisme di suatu negara disebabkan karena latar belakang sosial yang berbeda. William Ebenstein mencatat bahwa komunisme pada umumnya lahir dalam masyarakat yang masih terbelakang (underdevelopment societies)78 dengan struktur sosial feodalistik-aristokratik da semi agraris. Komunisme dalam masyarakat demikian, memiliki daya pikat yang kuat terhadap kelas-kelas sosial tertindas. Sehingga komunisme dianggap sebagai ideologi penyelamat dan pemberi harapan akan masa depan yang lebh baik. Dilain fihak fasisme umumnya, dengan pengecualian tertentu, muncul dalam masyarakat yang telah maju (developed countries) dan makmur serta telah mengalami proses industrialisasi dan modernisasi yang pesat serta relatif berhasil mengembangkan tehnologi tinggi (high technology).79

Penelitian empirik membuktikan semakin modern dan semakin pesat masyarakat mengalami industrialisasi, masyarakat itu semakin kurang merasa memiliki (sense of belonging) atas segala sesuatu disekitarnya. Rasa tak memiliki itu mengakibatkan masyarakat industrial dan modern itu dihinggapi rasa frustasi, marah dan merasa tidak aman dalam menghadapi berbagai persoalan hidup dan memiliki watak vandalistik dan destruktif. Kondisi psikologis ini memberikan lahan subur bagi munculnya fasisme. Fasisme juga lahir dalam negara yang mengalami kegagalan demokratisasi. Dengan kata lain, fasisme akan mudah berkembang dalam negara post-democracy,80 negara yang ‘pernah’

77 Paul Hayes, Fascism (London: George Allen and Unwin Ltd., 1973) hlm. 18. 78 William Ebenstein, Today Isms; Communism, Fascism, Capitalism, Socialism (New Jersey:

Prentice-Hall, Inc., 1970) hlm. 121. 79 Ibid. hlm. 121. 80 Ibid.

Page 87: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

87

mengalami demokrasi. Kegagalan proses demokratisasi, yang disebabkan faktor domestik dan internasional, memberikan lahan subur bagi pertumbuhan fasisme. Indikator kegagalan itu diantaranya sentralisasi kekuasaan pada segelintir elit penguasa, terbentuknya monopoli dan oligopoli dibidang ekonomi, besarnya tingkat pengangguran baik dikalangan kelas bawah seperti buruh, petani atau kelas menengah atas seperti cendekiawan, kaum industrialis maupun pemilik modal (kapitalis).

Masyarakat luas kecewa terhadap demokrasi yang dianggap hanya ilusi keadilan politik dan tidak dapat dijadikan standar nilai bagi pembentukan sistem politik-ekonomi yang lebih baik. Kekecewaan itulah yang menyebabkan fasisme memperoleh basis legitimasi dan dukungan luas massa berbagai kalangan industrialis, buruh, petani, cendekiawan, dan perwira militer. Itu berbeda dengan latar belakang struktur sosial politik tempat bekambangnya komunisme. Faham Marxis-Leninis itu cenderung akan berkembang dalam masyarakat pra-demokrasi dengan mayoritas penduduk belum mengalami ‘pendewasaan politik’, struktur sosialnya yang hierarkis-tradisional.

Erich Fromm dalam Escape from Freedom81 menguraikan teori menarik mengenai konteks psikologis fasisme. Ia berteori bahwa ada kaitan erat antara vaiabel-variabel ekonomi dengan variabel psikologis. Karena itu from menolak tesis fasisme semata-mata muncul sebagai akibat determinisme ekonomi, kecenderungan-kecenderungan ekspansif imperealisme-kapitalisme atau penaklukan negara oleh partai tunggal yang didukung kaum industrialis dan The Jungkers. Fromm juga keberatan dengan tesis L. Mumford yang menilai fasisme semata-mata sebuah fenomena psikopatologi yang tidak terkait dengan determinisme ekonomi. Teori psikopatologis memiliki asumsi bahwa fasisme tidak lain merupakan sebuah manifestasi mereka yang mengidap penyakit neurotik (neurotic), kegilaan (madness), dan berkepribadian tidak seimbang (mentally unbalanced).

Berpijak pada kasus Jerman, Fromm berteori bahwa variabel-variabel psikologis fasisme tidak berdiri sendiri sebab ia terbentuk oleh variabel-variabel ekonomi. Nazisme misalnya, memang merupakan masalah ekonomi (dan politik) tapi sepenuhnya bisa difahami bila melihatnya dari pendekatan psikopatologi. Hal terakhir inilah yang dibahas Fromm dalam karyanya diatas. Variabel psikologis itu menurut Fromm adalah keadaan mental yang letih dan pasrah total. Keadaan psikologis ini dialami para pekerja Jerman sesudah Revolusi 1918. Dan pada pasca perang mereka memiliki harapan-harapan besar akan terjadinya perbaikan ekonomi, sosialisme, politik. Tetapi semuanya hancur tahun 1930 akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Krisis itu mengakibatkan penderitaan diluar batas kesanggupan mental kelas pekerja untuk menanggungnya. Akhirnya mereka letih dan pasrah menghadapi persoalan hidup dan merasa kurang percaya (skeptis) terhadap akseptabilitas dan kapabilitas para pemimpin dan semua organisasi politik di Jerman.

81 Erich Fromm, Escape from Freedom (New York: Avon Books, 1965)

Page 88: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

88

3. Latar Belakang Individu dalam Perkembangan Fasisme Menurut Eberstein82 perkembangan fasisme juga dilatarbelakangi oleh

kecenderungan-kecenderungan tertentu dalam kepribadian individu-individu dalam masyarakat. Pertama, kecenderungan individu untuk menyesuaikan diri secara terpaksa dengan cita-cita dan praktik-praktik kuno. Kedua, kepribadian yang kaku secara emosional dan kurang memiliki imajinasi intelektual yang luas dan terbuka. Individu bersangkutan berpandangan ‘inward looking’ dan menilai sesuatu secara hitam putih. Ketiga, individu memiliki watak mementingkan status dan kekuasaan atau pengaruh. Ia merasa dengan memiliki keduanya akan dapat mengatasi berbagai persoalan yang dihadapinya. Keempat, individu tersebut memiliki kecenderungan loyalitasyg kuat pada kelompoknya sendiri. Ia melihat kelompoknya sebagai yang kuat, memiliki kelebihan dan keistimewaan dibandigkan dengan kelompok-kelompok lainnya. Kadang individu seperti itu merasa benar sendiri, yang lainnya salah. Kelima, ia memiliki disiplin dan kepatuhan yang kuat dan cenderung kurang Sunan Kalijaga akan kebebasan dan spontanitas dalam hubungan-hubungan kemanusiaan. 4. Doktrin dan Gagasan Utama Fasisme

Fasisme memiliki gagasan-gagasan dan doktrin-doktrin, sebagaimana diuraikan oleh Hayes83, Ebenstein84, dan Bracher85; doktrin Pertama, adalah gagasan mengenai mitos ras unggul (the myth of race). Konsep keunggulan atau superioritas ras merupakan doktrin sentral fasisme. Menurut fasisme secara rasial manusia tidak sama. Ada ras superior dan ras inferior. Ras superior inilah yang telah ditentukan secara alamiah akan menjadi penguasa atas ras inferior. Mereka berhak untuk memperbudak ras inferior. Atas dasar mitos ras itu Gobineau mengembangkan gagasan anti-egalitarianisme. Masyarakat manusia menurutnya bersifat hierarkis. Ada yang secara alamiah ditakdirkan jadi penguasa dan dikuasai tergantung dari jenis ras apa mereka berasal. Maka menurutnya elit merupakan lapisan sosial yang paling esensial bagi usaha melestarikan masyarakat manusia yang beradab.86

Kedua, doktrin anti-semitisme. Mitos ras itu melahirkan sikap-sikap kebencian mendalam kepada ras lain, khususnya Yahudi. Kebencian itu termanifestasi dalam berbagai bentuk. Dari bentuknya yang paling ‘halus’ seperti sindiran dan caci maki hingga bentuknya yang paling vulgar dan kejam seperti penyiksaan dan pembantaian massal terhadap orang-orang Yahudi. Dalam terminologi Barat, sikap-sikap demikian dinamakan anti-semitisme. Inilah doktrin fasisme kedua yang berkembang pesat di Jerman pada masa perang Dunia I dan II. Bila dilacak akar historis kulturalnya sebenarnya telah berkembang di Eropa sejak ratusan, bahkan ribua tahun yang lalu.

82 Diringkas dari Eberstein, op. cit., hlm. 127-131. Tinjauan psikoanalisis mendalam dan kritis

tentang kepribadian seorang fasis otoriter bisa dibaca dalam T. W. Adorno, The Authoritarian Personality (New York: Harper & Row, 1950).

83 Paul Hayes, Fascism (London: George Allen and Unwin Ltd., 1973). 84 William Ebenstein, Today Isms; Communism, Fascism, Capitalism, Socialism (New Jersey:

Prentice-Hall, Inc., 1970). 85 Karl Dietrich Bracher, The German Dictatorship; The Origins, Structure and Consequences

of National Socialism, Trans. By J. Steinberg (London: Penguin Book, 1988). 86 Paul Hayes, op. cit., hlm. 23.

Page 89: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

89

Berdasarkan kajian Dimont87, Arendt88, Sartre89 dan Stokes90 bisa dikatakan bahwa anti-semitisme telah terjadi ribuan tahun lalu di Mesir ketika Fir’aun berkuasa. Yahudi disiksa dan dijadikan budak, menjadi objek penyiksaan dan diusir ketika Nebukadnezar menguasai Babilonia. Dimasa Imperium Romawi, orang-orang Yahudi mengalami penderitaan berkepanjangan akibat loyalitas mereka diragukan penguasa imperium. Di abad pertengahan, Yahudi juga mengalami penderitaan lahir batin karena mitos dan cerita takhayul yang berkembang pada masa itu menganggap mereka sebagai ‘Penghianat Kristus’ saingan umat Kristen sebagai ‘orang-orang pilihan’ (the chosen people) kaki tangan setan, penyembah-penyembah setan dan hantu yang berwujud manusia.

Ketiga, doktrin totalitarianisme. Giovanni Gentile (1819-…), seorang ideolog fasis menilai fasisme sebagai suatu doktrin totaliter. Artinya, fasisme tidak sekedar suatu istem organisasi politik atau pemerintahan melainkan juga keseluruhan kehendak (will), pemikiran (thought), dan perasaan (feeling) suatu bangsa.91 Jadi watak dasar fasisme menurut Gentile adalah ‘totaliter’, komprehensif dan mencakup semua. Doktrin totalitarianisme dalam fasisme ini memiliki akar-akar intelektualnya dalam gagasan-gagsan Herakleitus, Palto, Aristoteles dan Hegel.

Menurut pemikir Yunani Kuno Herakleitus, totalitarianisme muncul dari kepercayaan bahwa dunia merupakan suatu totalitas. Sesuatu yang ada di dunia ini merupakan bagian integral dari tatanan keseluruhan dan kesatuan. Individu misalnya, hanya akan berarti bila mereka dalam totalitas kolektif individu. Gagasan Plato yang digunakan sebagai dasar perumusan doktrin totalitarianisme fasis adalah teori negara kesatuan, komunisme primitif, etos kemiliteran Sparta, dan kesatuan antara kepentingan individu dengan kepentingan negara. Sumbangan Aristoteles adalah gagasannya tentang negara organik, sistem etika sosial terpadu, pembenaran fisik dan moral terhadap perbudakan manusia oleh manusia. Mengenai yang terakhir Aristoteles menulis bahwa kelas inferior haruslah dijadikan budak bagi kelas superior.92

Hegel merupakan filosof yang gagasannya paling banyak dijadikan sebagai dasar doktrin totalitarianisme fasis. Menilai Hegel dalam meletakkan dasar intelektual totalitarianisme fasis, Karl Popper menyebut Hegel sebagai; “the seminal factors in the rise of totalitarian philosophy and fascist practice” dan “link between totalitarian philosophy of the past and of the present.” Hegel, misalnya kata Karl Popper, telah menemukan kembali gagasan-gagasan Plato tentang pemberontakan dan kebebasan dan akal.93 Menurut Hayes, Hegel telah memperkenalkan pada masyarakat politik dan intelektual Jerman suatu filsafat aneh dan unik yang sepenuhnya bernuansa totalitarianisme. Filsafatnya adalah

87 Lihat Max Dimont, Jews, God and History (The New York: The New York American Library, 1962) juga The Indestructible Jews ((The New York: The New York American Library, 1973).

88 Hannah Arendt, Anti-Semitisme, Part one of the Origins of Totalitarianisme (New York: Harcourt and Brace World. Inc., 1968).

89 Jean Pail Sartre, Anti-Semite and The Jew, Trans. By George J. Backer (New York: Schoker Books, 1972)

90 Roger Stokes, The Jew, Rome and Armageddon (Adelaide Hills Christadelphian Ecclesia, 1987)

91 Hitler dikutip dalam David Coopeman and Walter, Power and Civilizations, Political Thought in The Twetieth Century (New York: Thomas Y. Crowell Company, 1962) hlm. 261.

92 Aristoteles dikutip dalam Hayes, op. cit., hlm. 50. 93 Ibid., hlm. 40. Pemikiran Popper tentang Hegel bisa ditelaah dalam karya karya

monumentalnya, The Open Society and Its Enemiesm vol. II., The High Tide of Propechy Hegel and Marx, The Aftermath (London: Routledge and Keagan Paul, 1962).

Page 90: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

90

suatu pencampuran berbagai gagasan mistisisme, universalisme, aristokratisme, anti-demokrasi dan utilitarianisme. Pencampuran gagasan-gagasan itu, meskipun aneh dan tidak koheren tetap memiliki daya pikat yang kuat bagi penganut fasisme di negara-negara Eropa, khususnya Jerman.94

Doktrin negara totaliter fasis yang berprinsip bahwa negara merupakan pusat dan tujuan akhir eksistensi manusia memiliki akar intelektualnya dalam gagasan kenegaraan Hegel. Filosof Jerman ini mengatakan bahwa keberadaan suatu bangsa, dan tujuan subtansialnya haruslah negara. Maka, negara merupakan dasar dan pusat seluruh unsur-unsur kongkret dalam kehidupan manusia seperti seni, hukum, moral, agama, dan ilmu pengetahuan.95 Disisi lain Hegel juga mengemukakan gagasan negara organis yang diterapkan dalam praktik fasisme di Jerman. Negara organis adalah negara yang tidak memiliki kewajiban moral terhadap individu-individu. Ia bebas melakukan apapun yang dikehendakinya tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara moral kepada siapapun.

Keempat, doktrin tentang elite dan pemimpin. Fasisme percaya bahwa manusia secara alamiah telah ditentukan untuk menjadi penguasa (the ruler) dan yang dikuasai (the ruled). Jadi, ada sebagian manusia yang memiliki kualitas kemanusiaan superior dan yang lainnya tidak memiliki kualitas itu. Pandangan ini merupakan konsep dari ocial destiny dalam fasisme. Menurut doktrin ini massa (rakyat) tidak berhak dan tidak memiliki kemampuan memerintah sebab hanya kelompok elite yang memiliki kualitas itu. Demokrasi, dengan demikian hanyalan ilusi politik yang tak akan pernah terwujud dalam kenyataan. Doktrin ini memiliki akar pemikirannya dalam tradisi intelektual Plato, Aristoteles, Machiavelli, Hobbes, Fichte, Herder, dan Hegel.

Di Jerman, Herder mengkombinasikan gagasan elitisme ini dengan semangat nasionalisme dan penolakan terhadap rasionalisme. Hasilnya adalah sebuah kredo intelektual dan filsafat yang secara berhasil digunakan untuk membangkitkan kesadaran nasionalisme dan kesadaran elite Jerman. Kesadaran itu membuat bangsa Jerman yakin bahwa mereka adalah manusia pilihan yang berhak menguasai dan memerintah dunia. Hegel dilain pihak juga merumuskan premis-premis yang dijadikan alat pembenaran doktrin fasisme ini. Hegel berpendapat bahwa sejarah dunia tidak lain hanyalah sejarah orang-orang besar. Manusia unggul, atau meminjam konsep Hegel heroic leader (pemimpin heroik), yang sebenarnya ‘pencipta’ sejarah kemanusiaan dan peradaban, bukan massa. Doktrin ini berpegaruh da diterima oleh para nasionalis dan fasis Eropa, khususnya di Jerman dan Italia. Mussolini dan Hitler mengakui dipengaruhi oleh konsep ‘heroic leader’ Hegel ini. Pengaruh Hegel ini tampak dalam tulisan Hitler ketika ia menulis bahwa dalampendapat umum, semuanya salah dan semuanya orang besar. Dan, untuk menemukan apa yang benar merupakan tugas orang besar (The Great Man). Orang besar inilah yang mampu mengekspresikan kehendak zamannya, dan pelaksana kehendak itu.

94 Hayes, op. cit., hlm. 45. 95 Ibid., hlm. 45.

Page 91: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

91

ANARKISME Anarkisme atau dieja anarkhisme yaitu suatu paham yang mempercayai

bahwa segala bentuk negara, pemerintahan, dengan kekuasaannya adalah lembaga-lembaga yang menumbuh suburkan penindasan terhadap kehidupan, oleh karena itu negara, pemerintahan, beserta perangkatnya harus dihilangkan/ dihancurkan. Secara spesifik pada sektor ekonomi, politik, dan administratif, Anarki berarti koordinasi dan pengelolaan, tanpa aturan birokrasi yang didefinisikan secara luas sebagai pihak yang superior dalam wilayah ekonomi, politik dan administratif (baik pada ranah publik maupun privat). 1. ETIMOLOGI

Anarkisme berasal dari kata dasar anarki dengan imbuhan isme. Kata anarki merupakan kata serapan dari bahasa Inggris anarchy atau anarchie (Belanda/ Jerman/ Prancis), yang berakar dari kata Yunani anarchos/anarchein. Ini merupakan kata bentukan a (tidak/ tanpa/ nihil/ negasi) yang disisipi n dengan archos/archein (pemerintah/kekuasaan atau pihak yang menerapkan kontrol dan otoritas-secara koersif, represif, termasuk perbudakan dan tirani). Anarchos/ anarchein= tanpa pemerintahan atau pengelolaan dan koordinasi tanpa hubungan memerintah dan diperintah, menguasai dan dikuasai, mengepalai dan dikepalai, mengendalikan dan dikendalikan, dan lain sebagainya. Sedangkan Anarkis berarti orang yang mempercayai dan menganut anarki. Sedangkan isme sendiri berarti paham/ajaran/ideologi.

2. ANARKISME

"Anarkisme adalah sebuah sistem sosialis tanpa pemerintahan. Ia dimulai di antara manusia, dan akan mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama merupakan pergerakan dari manusia" (Peter Kropotkin) "Penghapusan eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan dari kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas" (Errico Malatesta) 2.1. Teori politik

Anarkisme adalah teori politik yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat tanpa hirarkis (baik dalam politik, ekonomi, maupun sosial). Para Anarkis berusaha mempertahankan bahwa anarki, ketiadaan aturan-aturan, adalah sebuah format yang dapat diterapkan dalam sistem sosial dan dapat menciptakan kebebasan individu dan kebersamaan sosial. Anarkis melihat bahwa tujuan akhir dari kebebasan dan kebersamaan sebagai sebuah kerjasama yang saling membangun antara satu dengan yang lainnya. Atau, dalam tulisan Bakunin yang terkenal: "kebebasan tanpa sosialisme adalah ketidakadilan, dan sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan kebrutalan"[1] 2.2. Anarkisme dan kekerasan

Dalam sejarahnya, para anarkis dalam berbagai gerakannya kerap kali menggunakan kekerasan sebagai metode yang cukup ampuh dalam memperjuangkan ide-idenya, seperti para anarkis yang terlibat dalam kelompok Nihilis di Rusia era Tzar, Leon Czolgosz, grup N17 di Yunani. Slogan para anarkis Spanyol pengikutnya Durruti yang berbunyi: Terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selongsong senapan Yang sangat sarat akan penggunaan kekerasan dalam sebuah metode gerakan. Penggunaan kekerasan dalam anarkisme sangat berkaitan erat dengan metode propaganda by the deed,

Page 92: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

92

yaitu metode gerakan dengan menggunakan aksi langsung (perbuatan yang nyata) sebagai jalan yang ditempuh, yang berarti juga melegalkan pengrusakan, kekerasan, maupun penyerangan. Selama hal tersebut ditujukan untuk menyerang kapitalisme ataupun negara. Namun demikian, tidak sedikit juga dari para anarkis yang tidak sepakat untuk menjadikan kekerasan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh. Dalam bukunya What is Communist Anarchist, pemikir anarkis Alexander Berkman menulis:"Anarkisme bukan Bom, ketidakteraturan atau kekacauan. Bukan perampokan dan pembunuhan. Bukan pula sebuah perang di antara yang sedikit melawan semua. Bukan berarti kembali kekehidupan barbarisme atau kondisi yang liar dari manusia. Anarkisme adalah kebalikan dari itu semua. Anarkisme berarti bahwa anda harus bebas. Bahwa tidak ada seorangpun boleh memperbudak anda, menjadi majikan anda, merampok anda, ataupun memaksa anda. Itu berarti bahwa anda harus bebas untuk melakukan apa yang anda mau, memiliki kesempatan untuk memilih jenis kehidupan yang anda mau serta hidup didalamnya tanpa ada yang mengganggu, memiliki persamaan hak, serta hidup dalam perdamaian dan harmoni seperti saudara. Berarti tidak boleh ada perang, kekerasan, monopoli, kemiskinan, penindasan, serta menikmati kesempatan hidup bersama-sama dalam kesetaraan." (Alexander Berkman, What is Communist Anarchist 1870 - 1936).

Dari berbagai selisih paham antar anarkis dalam mendefinisikan suatu ide kekerasan sebagai sebuah metode, kekerasan tetaplah bukan merupakan suatu ide eksklusif milik anarkisme, sehingga anarkisme tidak bisa dikonotasikan sebagai kekerasan, seperti makna tentang anarkisme yang banyak dikutip oleh berbagai media di Indonesia yang berarti sebagai sebuah aksi kekerasan. Karena bagaimanapun kekerasan merupakan suatu pola tingkah laku alamiah manusia yang bisa dilakukan oleh siapa saja dari kalangan apapun.

3. SEJARAH DAN DINAMIKA FILSAFAT ANARKISME

Anarkisme sebagai sebuah ide yang dalam perkembangannya juga menjadi sebuah filsafat yang juga memiliki perkembangan serta dinamika yang cukup menarik. 3.1. Anarkisme dan Marxisme

Marxisme dalam perkembangannya setelah Marx dan Engels berkembang menjadi 3 kekuatan besar ideologi dunia yang menyandarkan dirinya pada pemikiran-pemikiran Marx. Ketiga ideologi itu adalah : (1) Komunisme, yang kemudian dikembangkan oleh Lenin menjadi ideologi Marxisme-Leninisme yang saat ini menjadi pegangan mayoritas kaum komunis sedunia; (2) Sosialisme Demokrat, yang pertama kali dikembangkan oleh Eduard Bernstein dan berkembang di Jerman dan kemudian berkembang menjadi sosialis yang berciri khas Eropa; (3) Neomarxisme dan Gerakan Kiri Baru, yang berkembang sekitar tahun 1965-1975 di universitas-universitas di Eropa. Walaupun demikian, ajaran Marx tidak hanya berkutat pada ketiga aliran besar itu karena banyak sekali sempalan-sempalan yang memakai ajaran Marx sebagai basis ideologi dan perjuangan mereka. Aliran lain yang berkembang serta juga memakai Marx sebagai tolak pikirnya adalah Anarkisme. Walaupun demikian anarkisme dan Marxisme berada dipersimpangan jalan dalam memandang masalah-masalah tertentu. Pertentangan mereka yang paling kelihatan adalah persepsi terhadap negara. Anarkisme percaya bahwa negara mempunyai sisi buruk dalam hal sebagai pemegang monopoli kekuasaan yang bersifat memaksa. Negara hanya

Page 93: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

93

dikuasai oleh kelompok-kelompok elit secara politik dan ekonomi, dan kekuatan elit itu bisa siapa saja dan apa saja termasuk kelas proletar seperti yang diimpikan kaum Marxis. Dan oleh karena itu kekuasaan negara (dengan alasan apapun) harus dihapuskan. Disisi lain, Marxisme memandang negara sebagai suatu organ represif yang merupakan perwujudan kediktatoran salah satu kelas terhadap kelas yang lain. Negara dibutuhkan dalam konteks persiapan revolusi kaum proletar, sehingga negara harus eksis agar masyarakat tanpa kelas dapat diwujudkan. Lagipula, cita-cita kaum Marxis adalah suatu bentuk negara sosialis yang bebas pengkotakan berdasarkan kelas. Selain itu juga, perbedaan kentara antara anarkisme dengan Marxisme dapat dilihat atas penyikapan keduanya dalam seputar isu kelas serta seputar metoda materialisme histories. 3.2. Pierre Joseph Proudhon

Pierre-Joseph Proudhon, adalah pemikir yang mempunyai pengaruh jauh lebih besar terhadap perkembangan anarkisme; seorang penulis yang betul-betul berbakat dan ‘serba tahu’ dan merupakan tokoh yang dapat dibanggakan oleh sosialisme moderen. Proudhon sangat menekuni kehidupan intelektual dan sosial di zamanya, dan kritik-kritik sosialnya didasari oleh pengalaman hidupnya itu. Diantara pemikir-pemikir sosialis di zamannya, dialah yang paling mampu mengerti sebab-sebab penyakit sosial dan juga merupakan seseorang yang mempunyai visi yang sangat luas. Dia mempunyai keyakinan bahwa sebuah evolusi dalam kehidupan intelektual dan sosial menuju ke tingkat yang lebih tinggi harus tidak dibatasi dengan rumus-rumus abstrak. Proudhon melawan pengaruh tradisi Jacobin yang mendominasi pemikiran demokrat-demokrat di Perancis dan kebanyakan sosialis pada saat itu, dan juga pengaruh negara dan kebijaksanaan ekonomi dalam proses alami kemajuan sosial. Baginya, pemberantasan kedua-dua perkembangan yang bersifat seperti kanker tersebut merupakan tugas utama dalam abad kesembilan belas. Proudhon bukanlah seorang komunis. Dia mengecam hak milik sebagai hak untuk mengeksploitasi, tetapi mengakui hak milik umum alat-alat untuk ber produksi, yang akan dipakai oleh kelompok-kelompok industri yang terikat antara satu dengan yang lain dalam kontrak yang bebas; selama hak ini tidak dipakai untuk mengeksploitasi manusia lain dan selama seorang individu dapat menikmati seluruh hasil kerjanya. Jumlah waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk memproduksi sebuah benda menjadi ukuran nilainya dalam pertukaran mutual. Dengan sistem tersebut, kemampuan kapital untuk menjalankan riba dimusnahkan. Jikalau kapital tersedia untuk setiap orang, kapital tersebut tidak lagi menjadi sebuah instrumen yang bisa dipakai untuk mengeksploitasi.

3.3. Internationale pertama (Mikhail Bakunin 1814-1876)

Tokoh utama kaum anarkisme adalah Mikhail Bakunin, seorang bangsawan Rusia yang kemudian sebagian besar hidupnya tinggal di Eropa Barat. Ia memimpin kelompok anarkis dalam konverensi besar kaum Sosialis sedunia (Internasionale I) dan terlibat pertengkaran dan perdebatan besar dengan Marx. Bakunin akhirnya dikeluarkan dari kelompok Marxis mainstream dan perjuangan kaum anarkis dianggap bukan sebagai perjuangan kaum sosialis. Sejak Bakunin, anarkisme identik dengan tindakan yang mengutamakan kekerasan dan pembunuhan sebagai basis perjuangan mereka. Pembunuhan kepala negara, pemboman atas gedung-gedung milik negara, dan perbuatan teroris lainnya dibenarkan oleh anarkhisme sebagai cara untuk menggerakkan

Page 94: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

94

massa untuk memberontak.[2] Mikhail Bakunin merupakan seorang tokoh anarkis yang mempunyai energi revolusi yang dashyat. Bakunin merupakan ‘penganut’ ajaran Proudhon, tetapi mengembanginya ke bidang ekonomi ketika dia dan penulisp kolektivisme dalam First International mengakui hak milik kolektif atas tanah dan alat-alat produksi dan ingin membatasi kekayaan pribadi kepada hasil kerja seseorang. Bakunin juga merupakan anti komunis yang pada saat itu mempunyai karakter yang sangat otoritar. Pada salah satu pidatonya dalam kongres—Perhimpunan Perdamaian dan Kebebasan—di Bern (1868), dia berkata: Penulis bukanlah seorang komunis karena komunisme mempersatukan masyarakat dalam negara dan terserap di dalamnya; karena komunisme akan mengakibatkan konsentrasi kekayaan dalam negara, sedangkan penulis ingin memusnahkan Negara—pemusnahan semua prinsip otoritas dan kenegaraan, yang dalam kemunafikannya ingin membuat manusia bermoral dan berbudaya, tetapi yang sampai sekarang selalu memperbudak, mengeksploitasi dan menghancurkan mereka.

Bakunin dan anarkis-anarkis lain dalam First International percaya bahwa revolusi sudah berada di ambang pintu, dan mengerahkan semua tenaga mereka untuk menyatukan kekuatan revolusioner dan unsur-unsur libertarian di dalam dan di luar First International untuk menjaga agar revolusi tersebut tidak ditunggangi oleh elemen-elemen kediktatoran. Karena itu Bakunin menjadi pencipta gerakan anarkisme moderen. Peter Kropotkin adalah seorang penyokong anarkisme yang memberikan dimensi ilmiah terhadap konsep sosiologi anarkisme.Anarkisme model Bakunin, tidaklah identik dengan kekerasan. Tetapi anarkisme setelah Bakunin kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan yang menjadikan kekerasan sebagai jalur perjuangan mereka. Dan puncaknya adalah timbulnya gerakan baru yang juga menjadikan sosialisme Marx sebagai pandangan hidupnya, yaitu Sindikalisme. gerakan ini menjadikan sosialisme Marx dan anarkisme Bakunin sebagai dasar perjuangan mereka. Bahkan gerakan mereka disebut Anarko-Sindikalisme. 4. VARIAN-VARIAN ANARKISME

Anarkisme, yang besar dan kemudian berbeda jalur dengan Marxisme, bukan merupakan suatu ideologi yang tunggal. Di dalam anarkisme sendiri banyak aliran-aliran pemikiran yang cukup berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan itu terutama dalam hal penekanan dan prioritas pada suatu aspek. Aliran-aliran dan pemikiran-pemikiran yang berbeda di dalam Anarkisme adalah suatu bentuk dari berkembangnya ideologi ini berdasarkan perbedaan latar belakang tokoh, peristiwa-peristiwa tertentu dan tempat/lokasi dimana aliran itu berkembang. 4.1. Anarkisme-kolektif

Kelompok anarkisme-kolektif sering diasosiasikan dengan kelompok anti-otoritarian pimpinan Mikhail Bakunin yang memisahkan diri dari Internationale I. Kelompok ini kemudian membentuk pertemuan sendiri di St. Imier (1872). Disinilah awal perbedaan antara kaum anarkis dengan Marxis, diman sejak saat itu kaum anarkis menempuh jalur perjuangan yang berbeda dengan kaum Marxis. Perbedaan itu terutama dalam hal persepsi terhadap negara. Doktrin utama dari anarkis-kolektif adalah "penghapusan segala bentuk negara" dan "penghapusan hak milik pribadi dalam pengertian proses produksi". Doktrin pertama merupakan terminologi umum anarkisme, tetapi kemudian diberikan penekanan pada istilah "kolektif" oleh Bakunin sebagai perbedaan terhadap ide

Page 95: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

95

negara sosialis yang dihubungkan dengan kaum Marxis. Sedangkan pada doktrin kedua, anarkis-kolektif mengutamakan penghapusan adanya segala bentuk hak milik yang berhubungan dengan proses produksi dan menolak hak milik secara kolektif yang dikontrol oleh kelompok tertentu. Menurut mereka, pekerja seharusnya dibayar berdasarkan jumlah waktu yang mereka kontribusikan pada proses produksi dan bukan "menurut apa yang mereka inginkan". Pada tahun 1880-an, para pendukung anarkis kebanyakan mengadopsi pemikiran anarkisme-komunis, suatu aliran yang berkembang terutama di Italia setelah kematian Bakunin. Ironisnya, label "kolektif" kemudian secara umum sering diasosiasikan dengan konsep Marx tentang negara sosialis. 4.2. Anarkisme komunis (William Godwin)

Ide-ide anarkis bisa ditemui dalam setiap periode sejarah, walaupun masih banyak penelitian yang harus dilakukan dalam bidang ini. Kita menemuinya dalam karya filsuf Tiongkok, Lao-Tse (yang berjudul Arah dan Jalan yang Benar[3].) dan juga filsuf-filsuf Yunani seperti Hedonists [4] dan Cynics[5] dan orang-orang yang mendukung ‘hukum alam’ khususnya Zeno yang menemukan aliran ‘Stoic’ yang berlawanan dengan Plato. Mereka menemukan ekspresi dari ajaran-ajaran Gnostics, Karpocrates di Alexandria dan juga dipengaruhi oleh beberapa aliran Kristen di Zaman Pertengahan di Prancis, Jerman dan Belanda. Hampir semua dari mereka menjadi korban represi. Dalam sejarah reformasi Bohemia, anarkisme ditemui dalam karya Peter Chelciky (The Net of Faith) yang mengadili negara dan gereja seperti yang dilakukan oleh Leo Tolstoy di kemudian hari. Humanis besar lainnya adalah Rabelais yang dalam karyanya menggambarkan kehidupan yang bebas dari semua cengkraman otoritas. Sebagian dari pemrakarsa ideologi libertarian lainnya adalah La Boetie, Sylvan Marechal, dan Diderot. Karya William Godwin yang berjudul ‘Pertanyaan Mengenai Keadilan Politik dan Pengaruhnya Terhadap Moralitas dan Kebahagiaan’, merupakan bagian penting dari sejarah anarkisme kontemporer. Dalam karyanya tersebut Godwin menjadi orang pertama yang memberikan bentuk yang jelas mengenai filsafat anarkisme dan meletakannya dalam konteks proses evolusi sosial pada saat itu. Karya tersebut, boleh kita bilang adalah ‘buah matang’ yang merupakan hasil daripada evolusi yang panjang dalam perkembangan konsep politik dan sosial radikal di Inggris, yang meneruskan tradisi yang dimulai oleh George Buchanan sampai Richard Hooker, Gerard Winstanley, Algernon Sydney, John Locke, Robert Wallace dan John Bellers sampai Jeremy Bentham, Joseph Priestley, Richard Price dan Thomas Paine. Godwin menyadari bahwa sebab-sebab penyakit sosial dapat ditemukan bukanlah dalam bentuk negara tetapi karena adanya negara itu. Pada saat ini, negara hanyalah merupakan karikatur masyarakat, dan manusia yang ada dalam cengkraman negara ini hanyalah merupakan karikatur diri mereka karena manusia-manusia ini digalakkan untuk menyekat ekspresi alami mereka dan untuk melakukan tindakan-tindakan yang merusak akhlaknya. Hanya dengan cara-cara tersebut, manusia dapat dibentuk menjadi hamba yang taat. Ide Godwin mengenai masyarakat tanpa negara mengasumsikan hak sosial untuk semua kekayaan alam dan sosial, dan kegiatan ekonomi akan dijalankan berdasarkan ko-operasi bebas diantara produsen-produsen; dengan idenya, Godwin menjadi penemu Anarkisme Komunis.

Page 96: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

96

Errico Malatesta (1853-1932) Namun demikian, kelompok anarkisme-komunis pertama kali

diformulasikan oleh Carlo Cafiero, Errico Malatesta dan Andrea Costa dari kelompok federasi Italia pada Internasionale I. Pada awalnya kelompok ini (kemudian diikuti oleh anarkis yang lain setelah kematian Bakunin seperti Alexander Berkman, Emma Goldman, dan Peter Kropotkin) bergabung dengan Bakunin menentang kelompok Marxis dalam Internasionale I.Berbeda dengan anarkisme-kolektif yang masih mempertahankan upah buruh berdasarkan kontribusi mereka terhadap produksi, anarkisme-komunis memandang bahwa setiap individu seharusnya bebas memperoleh bagian dari suatu hak milik dalam proses produksi berdasarkan kebutuhan mereka. Kelompok anarkisme-komunis menekankan pada egalitarianism (persamaan), penghapusan hirarki sosial (social hierarchy), penghapusan perbedaan kelas, distribusi kesejahteraan yang merata, penghilangan kapitalisme, serta produksi kolektif berdasarkan kesukarelaan. Negara dan hak milik pribadi adalah hal-hal yang tidak seharusnya eksis dalam anarkisme-komunis. Setiap orang dan kelompok berhak dan bebas untuk berkontribusi pada produksi dan juga untuk memenuhi kebutuhannya berdasarkan pilihannya sendiri. 4.3. Anarko-Sindikalisme

Bendera yang digunakan dalam gerakan Anarko-Sindikalisme.Salah satu aliran yang berkembang cukup subur di dalam lingkungan anarkisme adalah kelompok anarko-sindikalisme. Tokoh yang terkenal dalam kelompok anarko-sindikalisme antara lain Rudolf Rocker, ia juga pernah menjelaskan ide dasar dari pergerakan ini, apa tujuannya, dan kenapa pergerakan ini sangat penting bagi masa depan buruh dalam pamfletnya yang berjudul Anarchosyndicalism pada tahun 1938.[6] Pada awalnya, Bakunin juga adalah salah satu tokoh dalam anarkisme yang gerakan-gerakan buruhnya dapat disamakan dengan orientasi kelompok anarko-sindikalisme, tetapi Bakunin kemudian lebih condong pada anarkisme-kolektif. Anarko-sindikalisme adalah salah satu cabang anarkisme yang lebih menekankan pada gerakan buruh (labour movement). Sindikalisme, dalam bahasa Perancis, berarti ‘trade unionism’. Kelompok ini berpandangan bahwa serikat-serikat buruh (labor unions) mempunyai kekuatan dalam dirinya untuk mewujudkan suatu perubahan sosial secara revolusioner, mengganti kapitalisme serta menghapuskan negara dan diganti dengan masyarakat demokratis yang dikendalikan oleh pekerja. Anarko-sindikalisme juga menolak sistem gaji dan hak milik dalam pengertian produksi. Dari ciri-ciri yang dikemukakan diatas, anarko-sindikalisme sepertinya tidak mempunyai perbedaan dengan kelompok-kelompok anarkisme yang lain. Prinsip-prinsip dasar yang membedakan anarko-sindikalisme dengan kelompok lainnya dalam anarkisme adalah: (1) Solidaritas pekerja (Workers Solidarity); (2) Aksi langsung (direct action); dan (3) Manajemen-mandiri buruh (Workers self-management). 4.4. Anarkisme individualisme

Anarkisme individualisme atau Individual-anarkisme adalah salah satu tradisi filsafat dalam anarkisme yang menekankan pada persamaan kebebasan dan kebebasan individual. Konsep ini umumnya berasal dari liberalisme klasik. Kelompok individual-anarkisme percaya bahwa "hati nurani individu seharusnya tidak boleh dibatasi oleh institusi atau badan-badan kolektif atau otoritas publik".

Page 97: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

97

Karena berasal dari tradisi liberalisme, individual-anarkisme sering disebut juga dengan nama "anarkisme liberal".

Tokoh-tokoh yang terlibat dalam individual-anarkisme antara lain adalah Max Stirner, Josiah Warren, Benjamin Tucker, John Henry Mackay, Fred Woodworth, dan lain-lain. Kebanyakan dari tokoh-tokoh individual-anarkisme berasal dari Amerika Serikat, yang menjadi basis liberalisme. Dan oleh karena itu pandangan mereka terhadap konsep individual-anarkisme kebanyakan dipengaruhi juga oleh alam pemikiran liberalisme.Individual-anarkisme sering juga disebut "anarkisme-egois", karena salah satu tokohnya, Max Stirner, menulis buku "Der Einzige und sein Eigentum" (b.Inggris: The Ego and Its Own / b.Indonesia: Ego dan Miliknya)[7] yang dengan cepat dilupakan, tetapi mengalami kebangkitan lima puluh tahun kemudian, buku tersebut lebih menonjolkan peran individu.Buku Stirner itu pada dasarnya adalah karya filsafat yang menganalisa ketergantungan manusia dengan apa yang dikenal sebagai—kekuasaan yang lebih Tinggi—(higher powers). Dia tidak takut memakai kesimpulan- kesimpulan yang diambil dari hasil survei. Buku tersebut merupakan pembrontakan yang sadar dan sengaja yang tidak menunjukan kehormatan kepada otoritas dan karenanya sangat menarik bagi pemikir mandiri. 4.5. Varian-varian anarkisme lainnya

Selain aliran-aliran yang disebut diatas, masih banyak lagi aliran lain yang memakai pemikiran anarkisme sebagai dasarnya. Antara lain:Post-Anarchism, yang dikembangkan oleh Saul Newman dan merupakan sintesis antara teori anarkisme klasik dan pemikiran post-strukturalis. Anarki pasca-kiri, yang merupakan sintesis antara pemikiran anarkisme dengan gerakan anti-otoritas revolusioner diluar pemikiran “kiri†mainstream. Anarka-Feminisme, yang lebih menekankan pada penolakan pada konsep patriarka yang merupakan perwujudan hirarki kekuasaan. Tokohnya antara lain adalah Emma Goldman. Eko-Anarkisme dan Anarkisme Hijau, yang lebih menekankan pada lingkungan. Anarkisme insureksioner, yang merupakan gerakan anarkis yang menentang segala organisasi anarkis dalam bentuk yang formal, seperti serikat buruh, maupun federasi. Definisi tentang anarkisme insureksioner dijelaskan dalam jurnal Do or Die dan pamflet-pamflet grup Venomous Butterfly yang insureksionis: Adalah suatu bentuk, yang tidak dapat terbakukan dalam satu kubu, serta sangat beragam dalam perspektifnya. Anarkisme Insureksioner bukanlah sebuah solusi ideologis bagi masalah-masalah sosial, dan juga bukan komoditi dalam pasar ideologi yang digelar kapitalisme. Melainkan, ia adalah praktek berkelanjutan yang bertujuan untuk mengakhiri dominasi negara dan berteruskembangnya kapitalisme, yang membutuhkan analisa-analisa dan diskusi-diskusi untuk menjadikannya semakin maju dan berkembang. Menurut sejarahnya, kebanyakan anarkis, kecuali mereka yang percaya bahwa peradaban kapitalisme akan terus berkembang hingga titik kehancurannya sendiri, percaya bahwa sebentuk aktivitas insureksioner dibutuhkan untuk dapat mentransformasikan masyarakat secara radikal. Dalam artian ini, negara harus dipukul mundur dari eksistensinya oleh mereka yang tereksploitasi dan termarjinalkan, dengan demikian para anarkis harus menyerang: menunggu sistem ini melenyap dan menghancurkan dirinya sendiri adalah sebuah kekalahan telak.

Page 98: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

98

5. ANARKISME DAN AGAMA Pada dasarnya, sejak mulai dari Proudhon, Bakunin, Berkman, dan

Malatesta sampai pada kelompok-kelompok anarkis yang lain, anarkisme selalu bersikap skeptik dan anti terhadap institusi agama. Dalam pandangan mereka, institusi keagamaan selalu bersifat hirarki dan mempunyai kekuasaan seperti layaknya negara, dan oleh karena itu harus ditolak. Tetapi dalam agama sendiri (Kristen, Yahudi, Islam, dll) sebenarnya pemikiran akan ‘anarkisme’ dalam pengertian ‘without Ruler’ sudah banyak ditemui. 5.1. Anarkis-Kristen

Dalam agama Kristen, konsep yang dipakai oleh kaum anarkis-kristen adalah berdasarkan konsep bahwa hanya Tuhan yang mempunyai otoritas dan kuasa di dunia ini dan menolak otoritas negara, dan juga gereja, sebagai manifestasi kekuasaan Tuhan. Dari konsep ini kemudian berkembang konsep-konsep yang lain misalnya pasifisme (anti perang), non-violence (anti kekerasan), abolition of state control (penghapusan kontrol negara), dan tax resistance (penolakan membayar pajak). Semuanya itu dalam konteks bahwa kekuasaan negara tidak lagi eksis di bumi dan oleh karena itu harus ditolak. Tokoh-tokoh yang menjadi inspirasi dalam perkembangan gerakan anarkis-kristen antara lain: Soren Kierkegaard, Henry David Thoreau, Nikolai Berdyaev, Leo Tolstoy, dan Adin Ballou.

5.2. Anarkisme dan Islam (Hakim Bey)

Dalam agama Islam, kelompok anarkisme melakukan interpretasi terhadap konsep bahwa Islam adalah agama yang bercirikan penyerahan total terhadap Allah, yang berarti menolak peran otoritas manusia dalam bentuk apapun. Anarkis-Islam menyatakan bahwa hanya Allah yang mempunyai otoritas di bumi ini serta menolak ketaatan terhadap otoritas manusia dalam bentuk fatwa atau imam. Hal ini merupakan elaborasi atas konsep ‘tiada pemaksaan dalam Beragama’. Konsep anarkisme-islam kemudian berkembang menjadi konsep-konsep lainnya yang mempunyai kemiripan dengan ideologi sosialis seperti pandangan terhadap hak milik, penolakan terhadap riba, penolakan terhadap kekerasan dan mengutamakan self-defense, dan lain-lain. Kelompok-kelompok dalam Islam yang sering diasosiasikan dengan anarkisme antara lain : Sufisme dan Kelompok Hashshashin. Salah seorang tokoh muslim anarkis yang berpengaruh yaitu Peter Lamborn Wilson, yang selalu menggunakan nama pena Hakim Bey. Dia mengkombinasikan ajaran sufisme dan neo-pagan dengan anarkisme dan situasionisme. Dia juga merupakan seorang yang terkenal dengan konsepnya Temporary Autonomus Zones[1].Yakoub Islam, seorang anarkis muslim, pada 25 Juni 2005 mempublikasikan Muslim Anarchist Charter (Piagam Muslim Anarkis), yang berbunyi :Tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah utusannya; Tujuan dari hidup ialah untuk membangun sebuah hubungan kasih yang damai dengan Yang Maha Esa melalui pemahaman untuk bertindak sesuai ajaran, wahyu, serta tanda-tandanya di dalam Penciptaannya juga hati manusia; Demi tujuan seperti itu kita harus memiliki komitmen yang kuat untuk mempelajarinya dengan kehendak hati yang bebas, dan secara sadar menolak setiap bentuk kompromi dengan institusi kekuasaan, entah dalam bentukbnya yang yuridis, relijius, sosial, korporatik maupun politis; Demi tujuan seperti itu kita harus aktif di dalam kegiatan merealisasikan keadilan yang bertujuan untuk membangun sebuah komunitas-

Page 99: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

99

komunitas dan masyarakat dimana pembangunan jiwa yang spiritual tidak terbatasi lagi oleh kemiskinan, tirani, dan ketidakpedulian. Muslim Anarchist Charter menolak: Kekuatan fasis yang bertujuan untuk memapankan kebenaran tunggal yang absolut, termasuk patriarki, kerajaan, dan kapitalisme. 6. KRITIK ATAS ANARKISME

Baik secara teori ataupun praktek, anarkisme telah menimbulkan perdebatan dan kritik-kritik atasnya. Beberapa kritik dilontarkan oleh lawan utama dari anarkisme seperti pemerintah. Beberapa kritik lainnya bahkan juga dilontarkan oleh para anarkis sendiri serta ada juga yang muncul dari kalangan kaum kiri otoritarian seperti yang dilontarkan oleh kalangan marxisme. Kritik biasanya dilontarkan sekitar permasalahan idealisme anarkisme yang mustahil dapat diterapkan di dunia nyata, seperti apa yang banyak dipecaya oleh para anarkis mengenai ajaran bahwa manusia pada dasarnya baik dan bisa menggalang solidaritas kemanusiaan untuk kesejahteraan manusia tanpa penindasan oleh sebagiannya yang hal tersebut banyak dibantah oleh para ekonom. Dan juga mengenai ajaran bahwa setiap manusia lahir bebas setara yang juga dibantah oleh para pakar sosiolog.[8] Kritik juga dilontarkan atas penolakan anarkisme terhadap organisasi sentralis seperti pemerintahan kaum buruh, partai revolusioner, dan lain sebagainya, yang dianggap oleh banyak pihak justru akan melemahkan posisi kaum anarkis apabila revolusi terjadi. Hal ini juga yang dituduhkan kepada para anarkis saat revolusi Spanyol terjadi, paska pengambilan kekuasaan oleh kaum proletariat atas rezim fasis yang pada saat itu berkuasa di Spanyol.[9] Catatan Akhir 1. The Political Philosophy of Bakunin, Hal. 269, Mikhail Bakunin 2. Franz Magnis Suseno. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke

Perselisihan Revisionisme, Jakarta, 1999 3. Lao tse, Arah dan Jalan yang Benar. diterjemahkan kedalam bahasa inggris

dari the German of Alexander Ular. Penerbit the Inselbucherei, Leipzig. 4. Salah satu Hedonis awal adalah Cyrenaics (400 SM), yang menggagaskan ide

bahwa seni kehidupan adalah memaksimalkan setiap detik kehidupan untuk kenikmatan yang memuaskan indera dan intelek.

5. Para pengikut Diogenes (400-325 SM), yang mengemukakan filsafat hidup bahwa dengan mereduksi keinginan seseorang sampai pada kebutuhan minimal, disatu sisi memerlukan disiplin diri yang keras, tapi disis lain akan mengantar pada swasembada/ ketidaktergantungan dan kebebasan. Mazhab ini mengalami masa kejayaan pada tahun abad 3 SM dan muncul lagi pada abad 1 M.

6. Anarchosyndicalism oleh Rudolph Rocker diterbitkan kembali pada 7 September 2006

7. Stirner, Max (1907). The Ego and His Own. Diterjemahkan dari bahasa Jerman ke dalam bahasa inggris oleh Steven T. Byington. New York: Benj. R. Tucker

8. Zaro Sastrowardoyo, Anarkisme Sosial 9. Manifesto World Revolution

Page 100: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

100

ANARKISME DAN MARXISME Saat komunisme anarkis dan marxisme adalah dua filsafat politik yang

berbeda, terdapat beberapa kemiripan antara metodologi dan ideologi yang dikembangkan oleh beberapa anarkis dan Marxis, bahkan sejarah keduanya juga saling beririsan. Keduanya berbagi tujuan-tujuan jangka panjang yang serupa (komunisme tanpa negara), musuh politik yang sama (konservatif dan elemen-elemen penulisp kanan), melawan target-target struktural yang sama (kapitalisme dan pemerintahan yang eksis saat ini). Banyak Marxis telah turut berpartisipasi dengan sepenuh hati dalam revolusi-revolusi anarkis, dan banyak anarkis yang juga berlaku demikian dalam revolusi-revolusi Marxis. Tetapi bagaimanapun juga, anarkisme dan Marxisme tetap menyimpan saling ketidaksetujuan yang kuat atas beberapa isu, termasuk di dalamnya peran alamiah negara, struktur kelas dalam masyarakat dan metoda materialisme historis. Dan selain bentuk kerjasama, terjadi juga konflik-konflik berdarah antara para anarkis dan Marxis, seperti yang terjadi dalam represi-represi yang dijalankan oleh para pendukung Uni Soviet melawan para anarkis. 1. ARGUMEN-ARGUMEN SEPUTAR ISU NEGARA

Para ahli ilmu-ilmu politik modern pada umumnya mendefinisikan "negara" sebagai sebuah institusi yang tersentralisir, hirarkis dan berkuasa yang mengembangkan sebuah monopoli atas penggunaan kekuasaan fisik yang terlegitimasi, tak beranjak dari definisi yang awalnya diajukan oleh seorang sosiologis Jerman, Max Weber, dalam esai tahun 1918-nya, Politik-Politik Sebagai sebuah Lapangan Pekerjaan. Definisi ini diterima oleh nyaris semua mazhab-mazhab pemikiran politik modern selain Marxisme, termasuk di dalamnya anarkisme. Marxisme memiliki definisi yang unik tentang negara: negara adalah sebuah organ represi kelas yang satu atas kelas yang lain. Bagi para Marxis, setiap negara secara intrinsik adalah sebuah kediktatoran kelas yang satu atas kelas lainnya. Dengan demikian, dalam teori Marxis dipahami bahwa lenyapnya kelas akan berbarengan dengan lenyapnya negara. Bagaimanapun juga, tetap terdapat pertemuan di antara kedua kubu. Para anarkis percaya bahwa setiap negara secara tak terelakkan akan didominasi oleh elit-elit politik dan ekonomi, yang dengan demikian secara efektif menjadi sebuah organ dominasi politik. Dari sudut yang berbeda, para Marxis percaya bahwa represi kelas yang berhasil selalu mengikutsertakan kapasitas kekerasan yang superior, dan bahwa seluruh masyarakat selain sosialisme dikuasai oleh sebuah kelas minoritas, maka dalam teori Marxis semua negara non-sosialis akan memiliki karakter negara seperti yang diyakini oleh para anarkis. 1.1. Proses Transisi

Teori tentang negara menentukan secara langsung pertanyaan praksis tentang bagaimana transisi menuju masyarakat tanpa negara yang diidam-idamkan baik oleh para anarkis maupun Marxis tersebut mengambil bentuknya. Kaum Marxis percaya bahwa sebuah transisi yang berhasil menuju komunisme, yang jelas berarti masyarakat tanpa negara, akan membutuhkan sebuah represi atas para kapitalis yang apabila dibiarkan tentu akan membangun kembali kekuatannya, dan akan dibutuhkan juga eksistensi negara dalam sebuah bentuk yang dikontrol oleh para pekerjanya. Kaum anarkis menentang "negara pekerja" yang diadvokasikan oleh para Marxis sebagai sesuatu yang tidak logis semenjak sesegera sebuah kelompok mulai memerintah melalui aparatus negara, maka

Page 101: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

101

mereka akan berhenti menjadi pekerja (apabila sebelumnya mereka adalah pekerja) dan dengan demikian akan segera bertransformasi menjadi penindas baru. Kaum anarkis mendukung argumen mereka dengan merujuk pada Uni Soviet yang berkarakter anti demokrasi serta berbagai negara "Marxis" lain, sementara para Marxis mendukung argumen mereka dengan merujuk pada kehancuran revolusi-revolusi yang dipimpin para anarkis semacam dalam Revolusi Meksiko 1910 dan Perang Sipil Spanyol. Dengan demikian, kaum anarkis berusaha untuk "menghancurkan" negara yang eksis saat ini, serta segera menggantikannya dengan konsil-konsil pekerja, sindikat-sindikat atau berbagai metoda organisasional yang desentralis dan non-hirarkis. Kaum Marxis secara kontras, justru berusaha "merebut kekuasaan", yang berarti secara gradual mengambil alih negara borjuis yang eksis saat ini, atau menghancurkan negara yang eksis saat ini melalui sebuah revolusi dan menggantinya dengan sebuah negara baru yang tersentralisir (Leninisme, Trotskyisme, Maoisme) atau melalui sebuah sistem konsil pekerja (Komunisme Konsilis, Marxisme Otonomis). Posisi kaum Marxis melebur ke dalam anarkisme pada akhir spektrumnya, karena kaum anarkis juga saling tidak setuju di antara mereka sendiri tentang bagaimana sebuah sistem konsil pekerja yang demokratis dan memonopoli kekerasan akan dapat dianggap sebagai sebuah struktur negara atau tidak, sementara kaum Marxis bertengkar di antara mereka sendiri sebagian besarnya atas bentuk kediktatoran proletariat. 1.2. Partai Politik

Isu perebutan negara mengarah pada isu tentang keberadaan partai politik, yang juga memisahkan jalan antara kaum anarkis dan Marxis. Kebanyakan kaum Marxis melihat partai politik sebagai sesuatu yang berguna atau bahkan dibutuhkan untuk merebut kekuasaan negara, semenjak mereka kebanyakan melihat bahwa sebuah upaya yang terkoordinasi dan tersentralisirlah yang akan mampu mengalahkan kelas kapitalis dan negara, serta memapankan sebuah badan koordinasi yang mampu mempertahankan revolusi. Partai politik juga menjadi sentral perjuangan semenjak mayoritas kaum Marxis percaya bahwa kesadaran kelas harus disuntikkan ke dalam kelas pekerja, yang seringkali harus dilakukan oleh mereka yang berada di luar kelas tersebut. Tapi bagaimanapun juga, kaum Marxis saling berbeda pendapat tentang apakah sebuah partai revolusioner harus turut serta dalam sebuah pemilu borjuis atau tidak, peran apa yang harus dijalankan pasca revolusi, dan bagaimana ia harus diorganisir. Di sisi lain, para anarkis umumnya menolak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, menolak membentuk sebuah partai politik, semenjak mereka melihat struktur organisasinya yang hirarkis sebagai sebuah kedenderungan otoritarian dan menindas, walaupun toh kebanyakan kaum anarkis juga tak mampu menjawab tentang bagaimana sebuah kesadaran revolusioner dapat dibangkitkan tanpa keberadaan kekuatan kelompok-kelompok pelopor, yang bagi kaum Marxis terwujud melalui partai politik. Bagaimanapun juga perdebatan dan berbagai perbedaan saling berhadap-hadapan, banyak dari mereka, para anarkis, mengorganisir secara politis berdasarkan pada sistem demokrasi langsung dan federalisme dalam upayanya untuk berpartisipasi secara lebih efektif di tengah perjuangan popular dan mendorong rakyat menuju revolusi sosial (dengan memberikan contoh).

Page 102: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

102

1.3. Kekerasan dan Revolusi Pertanyaan praksis lainnya yang berhubungan dekat dengan teori negara

adalah kapan dan sebesar apa kekerasan dapat diterima dalam upayanya untuk meraih kemenangan dalam sebuah revolusi. Para anarkis berargumen bahwa seluruh bentuk negara adalah sesuatu yang tak dapat dilegitimasi lagi karena semuanya bergantung pada kekerasan yang sistematis, dan sementara sebagian dari para anarkis dapat membenarkan saat kekerasan berskala kecil atau pembunuhan terarah atas elit-elit dilakukan berdasarkan atas kebutuhan dalam beberapa kasus (misalnya kampanye "Propaganda by the Deeds"), kekerasan massal melawan rakyat biasa ”sebagaimana yang dipraktekkan oleh Lenin dan Trotsky dalam menumpas pemberontakan Kronstadt dan Makhnovis, oleh Stalin dalam "Pembersihan Besar-Besaran" atau oleh Mao selama "Revolusi Kultural", tak akan pernah dapat diterima dan dibenarkan. Kebanyakan kaum Marxis berargumen bahwa kekerasan berskala besar dapat dibenarkan dan dengan demikian "perang keadilan" adalah sesuatu yang mungkin, setidaknya dalam lingkup terbatas dari pertahanan diri secara kolektif, misalnya dalam melawan sebuah kudeta atau invasi imperialis. Beberapa lainnya (khususnya para Stalinis) berargumen lebih jauh, bahwa tujuan dapat menghalalkan cara, sehingga dalam teorinya, sejumlah apapun kekerasan dan pertumpahan darah akan dapat dibenarkan dalam upayanya untuk menuju komunisme. 2. ARGUMEN-ARGUMEN SEPUTAR ISU KELAS

Analisa-analisa kelas baik dari kaum Marxis ataupun anarkis berdasarkan pada ide bahwa masyarakat terbagi ke dalam berbagai macam "kelas-kelas" yang berbeda, masing-masing memiliki kepentingan yang juga berbeda tergantung pada kondisi materialnya. Kelas-kelas tersebut juga berbeda, bagaimanapun juga, dalam soal di mana mereka menarik garis pemisah di antara mereka. Bagi kaum Marxis, dua kelas yang paling relevan adalah "borjuis" (pemilik alat produksi dan tidak bekerja) dan proletariat (mereka yang tak memiliki alat produksi dan harus bekerja oleh karenanya). Marx percaya bahwa kondisi-kondisi pekerja industri yang unik serta menyejarah akan mendorong mereka untuk mengorganisir diri mereka bersama-sama untuk kemudian mengambil alih peran negara dan alat-alat produksinya dari kelas borjuis, mengkolektivisasinya, serta menciptakan sebuah masyarakat tanpa kelas yang diselenggarakan oleh para proletariat sendiri. Mayoritas para Marxis, merujuk pada analisa-analisa Karl Marx sendiri, mengesampingkan para petani, pemilik alat produksi kecil "borjuis kecil" dan lumpen proletariat ”level terendah dari proletariat, yang biasanya menganggur, miskin, tidak memiliki kemampuan kerja, kriminal dan karakteristik mereka yang paling sering ditemui adalah ketiadaan kesadaran kelas ”sebagai kelompok-kelompok yang tak akan mampu menciptakan revolusi. Analisa kelas kaum anarkis telah mendahului Marxisme dan berkontradiksi dengannya. Kaum anarkis berargumen bahwa bukanlah kelas penguasa secara keseluruhan yang sesungguhnya mengatur jalannya negara, melainkan sekelompok minoritas yang menjadi bagian di dalam kelas penguasa (yang dengan demikian juga mempertahankan kepentingannya), memiliki fokus-fokus mereka sendiri, di antaranya yaitu mempertahankan kekuasaan. Sekelompok minoritas revolusioner yang mengambil alih kekuasaan negara dan memaksakan keinginannya pada rakyat berarti juga tidak berbeda dengan otoritarianisme sekelompok kecil penguasa dalam sistem kapitalisme, yang tentu juga akan segera bertransformasi menjadi sebuah kelas penguasa baru. Hal ini

Page 103: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

103

telah diprediksikan oleh Bakunin jauh sebelum revolusi Oktober di Russia terjadi. Selain itu, para anarkis juga melihat bahwa sebuah revolusi yang sukses tak akan pernah dapat lepas dari dukungan para petani, dan hal ini hanya dapat dilakukan dengan melakukan redistribusi lahan di antara para petani tak bertanah. Dengan demikian jelas bahwa kaum anarkis menolak kepemilikan tanah oleh negara, serta mereka menganggap bahwa kolektivisasi sukarela jauh lebih efisien dan layak didukung (berdasarkan pada kasus perang sipil Spanyol 1936 di mana para anarkis mempopulerkan kolektivisasi lahan, sementara mereka yang sebelumnya telah memiliki lahan sendiri diperbolehkan untuk tetap memilikinya tetapi dilarang menyewa tenaga kerja untuk mengolah lahan tersebut). Beberapa anarkis modern (khususnya para pendukung parekon ekonomi partisipatif) berargumen bahwa kini terdapat tiga kelas yang relevan bagi sebuah perubahan sosial, bukan hanya dua. Secara kasar, mereka adalah kelas pekerja (termasuk di dalamnya setiap orang yang menggunakan tenaga kerjanya dalam memproduksi atau mendistribusikan produk termasuk mereka dalam industri jasa), kelas koordinator (mereka yang pekerjaannya adalah mengkoordinasikan dan memanajemeni para pekerja) dan kaum elit atau kelas pemilik (yang mana pendapatannya diambil atas kemakmuran dan sumber daya). Para anarkis ini menyatakan dengan tegas bahwa Marxisme telah gagal dan akan selalu gagal, karena ia menciptakan sebuah kediktatoran melalui kelas-kelas koordinator dan karenanya juga "kediktatoran proletariat" secara logis menjadi tak mungkin. Perbedaan-perbedaan inti tersebut kemudian memunculkan fakta bahwa para anarkis tidak membeda-bedakan petani, lumpen dan proletariat, melainkan mereka mendefinisikan bahwa mereka yang harus bekerja untuk bertahan hidup adalah kelas pekerja (walaupun terdapat berbagai perbedaan politik dari berbagai sektor sosial yang berbeda dalam kelas pekerja). Selanjutnya, analisa kelas Marxian memiliki konsekuensi tentang bagaimana kaum Marxis memandang gerakan-gerakan pembebasan seperti gerakan perempuan, gerakan masyarakat adat, gerakan minoritas etnis dan gerakan homoseksual. Kaum Marxis mendukung beberapa gerakan pembebasan, tidak hanya karena gerakan tersebut memang harus didukung atas tuntutan dan programnya, melainkan karena gerakan-gerakan tersebut dibutuhkan bagi sebuah revolusi kelas pekerja yang tak akan dapat berhasil tanpa persatuan. Bagaimanapun juga, kaum Marxis percaya bahwa seluruh upaya rakyat yang tertindas dalam membebaskan dirinya sendiri akan gagal kecuali mereka mengorganisir diri dalam garis kelasnya, karena para borjuis yang terdapat dalam setiap gerakan tersebut dalam titik tertentu akan mengkhianati perjuangan, dan di bawah kapitalisme, kekuasaan sosial terpusat pada siapa yang menguasai alat produksi. Para anarkis mengkritisi kaum Marxis karena terlalu memberi prioritas pada perjuangan kelas. Mereka menjelaskan bahwa perubahan arah sejarah, perjuangan antara mereka yang tertindas dan menindas, beroperasi dengan dinamikanya sendiri. Para anarkis melihat gerakan pembebasan rakyat tertindas secara fundamental dapat dilegitimasi, tak peduli apakah itu gerakan proletariat, gerakan petani, atau apapun, tanpa merasa perlu untuk mengkotakkan mereka dalam sebuah skema gerakan khusus bagi revolusi. Walaupun demikian, banyak juga anarkis yang percaya bahwa perjuangan isu tunggal hanya akan membatasi ruang pandang dan gerak, dan karenanya harus selalu melihat sebuah perjuangan dalam kerangka perjuangan yang lebih besar (sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Marxis).

Page 104: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

104

3. ARGUMEN SEPUTAR METODA MATERIALISME HISTORIS Marxisme menggunakan sebuah bentuk analisa perkembangan

masyarakat manusia yang disebut "materialisme historis". Analisa ini menempatkan ide bahwa manusia hidup dalam sebuah dunia material yang terdeterminasi, dan aksi untuk mengubah dunia terdapat dalam batas-batas apa yang memang dapat dicapai sesuai dengan alur kesejarahan. Secara lebih spesifik, relasi produksi yang menjadi basis fundamental sistem ekonomi adalah alat penentu gerak sejarah. Yang menggaris bawahi proses tersebut adalah adanya ide tentang kontradiksi dan pertentangan antar kelas yang secara alamiah membentuk serta menggerakkan kemajuan sosial. Marx mengambil formulasi materialisme historis ini dari sistem filsafat dialektika Hegel. Metoda ini bekerja melalui asumsi bahwa setiap fenomena alam hanya dapat didefinisikan dengan cara mengkontraskannya dengan fenomena lain. Marx dan Engels berargumen bahwa metoda tersebut dapat diaplikasikan pada masyarakat manusia dalam bentuk materialisme historis, sehingga kelas-kelas masyarakat yang ada dapat dipelajari dengan menggunakan kontradiksinya, misalnya, karakteristik majikan hanya dapat dipahami apabila dikontraskan dengan karakteristik pekerja. Sementara mayoritas para anarkis, menggunakan berbagai macam alat analisa sosial, walaupun sebagian anarkis lain melihat materialisme historis ini sangat efektif untuk digunakan sebagai pisau analisa mereka dan melihatnya sebagai sebuah titik pemersatu dalam sebuah perjuangan kelas. Mayoritas anarkis, bahkan juga menganggap bahwa materialisme historis adalah sebuah ilmu palsu yang tak dapat dibuktikan secara universal. Mereka juga menganggap bahwa metoda ini hanya akan mendehumanisasikan analisa-analisa sosial politik dan jelas karenanya menjadi tidak layak digunakan sebagai sebuah metodologi universal. 3.1. Determinisme

Sebuah interpretasi yang simpel dari materialisme historis menyatakan bahwa apabila memang Marxisme benar tentang kelas-kelas yang saling berkontradiksi di bawah beroperasinya sistem kapitalisme, maka sebuah revolusi kelas pekerja tak akan terelakkan lagi. Beberapa Marxis, khususnya mereka para pemimpin Internasional Kedua, meyakini hal ini. Bagaimanapun juga, tingkat di mana revolusi harus dilakukan oleh mereka yang telah sadar akan posisi kelasnya, menjadi sebuah perdebatan tersendiri di kalangan kaum Marxis, yang mana sebagian berpendapat bahwa pernyataan Karl Marx yang terkenal, "Aku bukan seorang Marxis", adalah sebuah penolakan konsep determinisme. Perdebatan ini diperdalam dengan terjadinya Perang Dunia I, saat partai-partai sosial demokrat dari Internasional Kedua mendukung upaya-upaya negara untuk terlibat di dalam perang.

Sementara di sisi lain, para Marxis yang menjadi oposisi perang, seperti Rosa Luxemburg, menyalahkan Internasional Kedua sebagai sebuah "pengkhianatan" atas doktrin sosialisme yang pada gilirannya dianggap hanya berupaya untuk mereformasi negara kapitalis.Sementara sebagaimana mayoritas anarkis menolak metoda dialektika historis materialis, para anarkis tersebut juga tidak memiliki klaim tentang bagaimana sebuah revolusi akan terjadi. Mereka melihat bahwa revolusi dapat terjadi hanya apabila memang masyarakat menghendakinya.

Page 105: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

105

4. ANARKO-KOMUNISME Anarko-Komunisme adalah suatu bentuk dari anarkisme yang

mengajarkan penghapusan negara (atau institusi kenegaraan) dan faham kapitalisme, untuk sebuah jaringan asosiasi sukarela di mana semua orang bebas untuk memenuhi kebutuhannya.Anarko-Komunisme juga dikenal dengan sebutan anarkis komunisme, komunis anarkisme, anarkisme-komunis ataupun komunisme libertarian. Namun, walaupun semua anarkis komunis adalah komunis libertarian, tetapi tidak semua komunis libertarian adalah anarkis (menganut faham anarkisme), misalnya dewan komunis. hal yang membedakan anarko-komunisme dari varian lain dari libertarian komunisme adalah bentuk oposisinya terhadap segala bentuk kekuasaan politik, hirarki dan dominasi. Komunisme bisa tumbuh subur dinegara-negara miskin maupun negara berkembang, namun dengan runtuhnya negara-negara komunis yang kuat menyebabkan faham-faham komunis inipun tidak akan bisa berkembang menjadi besar. 4.1. Internasionale Pertama

Kelompok anarkisme-komunis pertama kali diformulasikan oleh Carlo Cafiero, Errico Malatesta dan Andrea Costa dari kelompok federasi Italia pada Internasionale I. Pada awalnya kelompok ini (kemudian diikuti oleh anarkis yang lain setelah kematian Bakunin seperti Alexander Berkman, Emma Goldman, dan Peter Kropotkin) bergabung dengan Bakunin menentang kelompok Marxis dalam Internasionale I. Berbeda dengan anarkisme-kolektif yang masih mempertahankan upah buruh berdasarkan kontribusi mereka terhadap produksi, anarkisme-komunis memandang bahwa setiap individu seharusnya bebas memperoleh bagian dari suatu hak milik dalam proses produksi berdasarkan kebutuhan mereka. 4.2. Prinsip Dasar

Kelompok anarkisme-komunis menekankan pada egalitarianisme (persamaan), penghapusan hirarki sosial (social hierarchy), penghapusan perbedaan kelas, distribusi kesejahteraan yang merata, penghilangan kapitalisme, serta produksi kolektif berdasarkan kesukarelaan. Negara dan hak milik pribadi adalah hal-hal yang tidak seharusnya eksis dalam anarkisme-komunis. Setiap orang dan kelompok berhak dan bebas untuk berkontribusi pada produksi dan juga untuk memenuhi kebutuhannya berdasarkan pilihannya sendiri.Salah satu hal yang membedakan antara anarkisme-kolektif dengan anarkisme-komunis adalah pandangan mengenai gaji dan upah pekerja.

Anarkisme-komunis berpendapat bahwa tidak ada satu carapun yang dapat mengukur kontribusi seseorang terhadap proses produksi dan ekonomi karena kesejahteraan adalah hasil dari produksi bersama. Sistem ekonomi yang berdasarkan gaji/upah pekerja dan hak milik adalah bentuk penyiksaan negara dan aparaturnya dengan tujuan untuk mempertahankan hak milik pribadi dan juga ketidakseimbangan hubungan ekonomi diantara para pelaku produksi. Selain itu, anarkisme-komunis menolak sistem gaji/upah pekerja dengan dasar filosofi bahwa pada hakikatnya manusia itu "malas" dan "egois". Anarkisme-komunis juga mendukung komunisme (dalam sistem pemikiran Marxisme) dengan penekanan pada penjaminan kebebasan dan juga kesejahteraan bagi setiap orang, dan tidak mendukung komunisme dalam hal yang berhubungan

Page 106: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

106

dengan kekuasaan. Hal inilah yang membuat anarkisme-komunis sering disamakan dengan filsafat egalitarian.

CATATAN: Dengan catatan penting, bahwa dua kubu yang dibahas dalam tulisan ini adalah kecenderungan-kecenderungan dalam anarkisme dan Marxisme klasik. Lihat pula Anarkisme, Marxisme, Komunisme, Marxis Otonomis, Komunis Libertarian. KONSERVATISME

Konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Latin, conservare, melestarikan; "menjaga, memelihara, mengamalkan". Karena berbagai budaya memiliki nilai-nilai yang mapan dan berbeda-beda, kaum konservatif di berbagai kebudayaan mempunyai tujuan yang berbeda-beda pula. Sebagian pihak konservatif berusaha melestarikan status quo, sementara yang lainnya berusaha kembali kepada nilai-nilai dari zaman yang lampau, the status quo ante. Samuel Francis mendefinisikan konservatisme yang otentik sebagai “bertahannya dan penguatan orang-orang tertentu dan ungkapan-ungkapan kebudayaannya yang dilembagakan. Roger Scruton menyebutnya sebagai pelestarian ekologi sosial dan politik penundaan, yang tujuannya adalah mempertahankan, selama mungkin, keberadaan sebagai kehidupan dan kesehatan dari suatu organisme sosial. 1. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN

Konservatisme belum pernah, dan tidak pernah bermaksud menerbitkan risalat-risalat sistematis seperti Leviathan karya Thomas Hobbes atau Two Treatises of Pemerintah karya Locke. Akibatnya, apa artinya menjadi seorang konservatif di masa sekarang seringkali menjadi pokok perdebatan dan topic yang dikaburkan oleh asosiasi dengan bermacam-macam ideologi atau partai politik (dan yang seringkali berlawanan). R.J. White pernah mengatakannya demikian: "Menempatkan konservatisme di dalam botol dengan sebuah label adalah seperti berusaha mengubah atmosfer menjadi cair. Kesulitannya muncul dari sifat konservatisme sendiri. Karena konservatisme lebih merupakan suatu kebiasaan pikiran, cara merasa, cara hidup, daripada sebuah doktrin politik." Meskipun konservatisme adalah suatu pemikiran politik, sejak awal, ia mengandung banyak alur yang kemudian dapat diberi label konservatif, baru pada Masa Penalaran, dan khususnya reaksi terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar Revolusi Perancis pada 1789, konservatisme mulai muncul sebagai suatu sikap atau alur pemikiran yang khas. Banyak orang yang mengusulkan bahwa bangkitnya kecenderungan konservatif sudah terjadi lebih awal, pada masa-masa awal Reformasi, khususnya dalam karya-karya teolog Anglikan yang berpengaruh, Richard Hooker “yang menekankan pengurangan dalam politik demi menciptakan keseimbangan kepentingan-kepentingan menuju keharmonisan sosial dan kebaikan bersama. Namun baru ketika polemic Edmund Burke muncul-Reflections on the Revolution in France-konservatisme memperoleh penyaluran pandangan-pandangannya yang paling berpengaruh.

Edmund Burke (1729-1797) Negarawan Inggris-Irlandia Edmund Burke, yang dengan gigih mengajukan argumen menentang Revolusi Perancis, juga bersimpati dengan sebagian dari tujuan-tujuan Revolusi Amerika. Tradisi konservatif klasik ini seringkali menekankan bahwa konservatisme tidak

Page 107: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

107

mempunyai ideologi, dalam pengertian program utopis, dengan suatu bentuk rancangan umum. Burke mengembangkan gagasan-gagasan ini sebagai reaksi terhadap gagasan 'tercerahkan' tentang suatu masyarakat yang dipimpin oleh nalar yang abstrak. Meskipun ia tidak menggunakan istilah ini, ia mengantisipasi kritik terhadap modernisme, sebuah istilah yang pertama-tama digunakan pada akhir abad ke-19 oleh tokoh konservatif keagamaan Belanda Abraham Kuyper. Burke merasa terganggu oleh Pencerahan, dan sebaliknya menganjurkan nilai tradisi.

Meskipun secara nominal Konservatif, Disraeli bersimpati dengan beberapa tuntutan dari kaum Chartis dan membela aliansi antara kaum bangsawan yang bertanah dengan kelas pekerjaan dalam menghadapi kekuatan kelas menengah yang meningkat. Ia membantu pembentukan kelompok Inggris Muda pada 1842 untuk mempromosikan pandangan bahwa yang kaya harus menggunakan kekuasaan mereka untuk melindungi yang miskin dari eksploitasi oleh kelas menengah. Perubahan Partai Konservatif menjadi suatu organisasi massa modern dipercepat oleh konsep tentang "Demokrasi Tory " yang dihubungkan dengan Lord Randolph Churchill.

Sebuah koalisi Liberal-Konservatif pada masa Perang Dunia I berbarengan dengan bangkitnya Partai Buruh, mempercepat runtuhnya kaum Liberal pada 1920-an. Setelah Perang Dunia II, Partai Konservatif membuat konsesi-konsesi bagi kebijakan-kebijakan sosialis kaum Kiri. Kompromi ini adalah suatu langkah pragmatis untuk memperoleh kembali kekuasaan, tetapi juga sebagai akibat dari sukses-sukses awal dari perencanaan sentral dan kepemilikan negara yang menciptakan suatu consensus lintas-partai. Hal ini dikenal sebagai 'Butskellisme', setelah kebijakan-kebijakan Keynesian yang hampir identik dari Rab Butler atas nama kaum Konservatif, dan Hugh Gaitskell untuk Partai Buruh. Namun demikian, pada 1980-an, di bawah pimpinan Margaret Thatcher, dan pengaruh Sir Keith Joseph, Partai ini kembali ke gagasan-gagasan ekonomi liberal klasik, dan swastanisasi dari banyak perusahaan negara pun diberlakukan. Untuk pembahasan lebih terinci, lihat Sejarah Partai Konservatif. Warisan Thatcher bersifat campuran. Sebagian komentator menyatakan bahwa ia menghancurkan konsensus tradisional dan filosofi Partai, dan, dengan melakukan hal itu, menicptakan suatu situasi di mana public tidak benar-benar tahu nilai-nilai apa yang dipegang oleh Partai. Kini Partai Konservatif sibuk mencoba mencari jati dirinya kembali. 1.1. Eropa

Di bagian-bagian lain dari Eropa, konservatisme arus utama seringkali diwakili oleh partai-partai Kristen Demokrat. Mereka membentuk faksi besar Partai Rakyat Eropa di Parlemen Eropa. Asal-usul partai-partai ini umumnya adalah partai-partai Katolik dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dan ajaran sosial Katolik seringkali menjadi inspirasi awal mereka. Setelah bertahun-tahun, konservatisme pelan-pelan menjadi inspirasi ideologis utama mereka, dan mereka umumnya menjadi kurang Katolik. CDU, partai saudaranya di Bavaria Uni Sosial Kristen (CSU), dan Imbauan Kristen Demokrat (CDA) di Belanda adalah partai-partai Protestan-Katolik.

Di negara-negara Nordik, konservatisme diwakili dalam partai-partai konservatif liberal seperti Partai Moderat di Swedia dan Partai Rakyat Konservatif di Denmark. Secara domestik, partai-partai ini umumnya mendukung kebijakan kebijakan yang berorientasi pasar, dan biasanya memperoleh dukungan dari

Page 108: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

108

komunitas bisnis serta kaum profesional kerah putih. Secara internasional, mereka umumnya mendukung Uni Eropa dan pertahanan yang kuat. Pandangan-pandangan mereka tentang masalah-masalah sosial cenderung lebih liberal daripada, misalnya, Partai Republik Amerika Serikat. Konservatisme sosial di negara-negara Nordik seringkali ditemukan dalam partai-partai Kristen Demokrat mereka. Di beberapa negara Nordik, partai-partai populis penulisp kanan telah memperoleh dukungan sejak 1970-an. Politik mereka telah dipusatkan pada pemotongan pajak, pengurangan imigrasi, dan undang-undang yang lebih keras dan kebijakan-kebijakan ketertiban.

Pada umumnya, orang dapat mengkclaim bahwa kaum konservatif Eropa cenderung untuk lebih moderat dalam berbagai isu sosial dan ekonomi, daripada konservatif Amerika. Mereka cenderung cukup bersahabat dengan tujuan-tujuan negara kesejahteraan, meskipun mereka juga prihatin dengan lingkungan bisnis yang sehat. Namun demikian, beberapa kelompok cenderung lebih mendukung agenda-agenda libertarian atau laissez-faire yang lebih konservaitf, khususnya di bawah pengaruh Thatcherisme. Kelompok-kelompok konservatif Eropa sering memandang diri mereka sebagai pengawal-pengawal prudence, moderasi, pengalaman-pengalaman histories yang sudah teruji, dibandingkan dengan radikalisme dan eksperimen-eksperimen sosial. Persetujuan dari budaya tinggi dan lembaga-lembaga politik yang mapan seperti monarki ditemukan dalam konservatisme Eropa. Kelompok-kelompok konservatif arus utama seringkali adalah pendukung-pendukung gigih Uni Eropa. Namun demikian, orang juga dapat menemukan pula unsur-unsur nasionalisme di banyak negara. 1.2. Tiongkok

Di Tiongkok konservatisme didasarkan pada ajaran-ajaran Kong Hu Cu. Kong Hu Cu yang hidup pada masa kekacauan dan peperangan antara berbagai kerajaan, banyak menulis tentang pentingnya keluarga, kestabilan sosial, dan ketaatan terhadap kekuasaan yang adil. Gagasan-gagasannya terus menyebar di masyarakat Tiongkok. Konservatisme Tiongkok yang tradisional yang diwarnai oleh pemikiran Kong Hu Cu telah muncul kembali pada tahun-tahun belakangan ini, meskipun selama lebih dari setengah abad ditekan oleh pemerintahan Marxis-Leninis yang otoriter.Setelah kematian Mao pada 1976, tiga faksi berebutan untuk menggantikannya: kaum Maois garis keras, yang ingin melanjutkan mobilisasi revolusioner; kaum restorasionis, yang menginginkan Tiongkok kembali ke model komunisme Soviet; dan para pembaharu, yang dipimpin oleh Deng Xiaoping, yang berharap untuk mengurangi peranan ideology dalam pemerintahan dan merombak ekonomi Tiongkok.

Nilai-nilai Tiongkok yang tradisional telah muncul dengan cukup kuat, meskipun lama ditekan oleh rezim komunis yang revolusioner. Saat ini, Partai Komunis Tiongkok dikelola oleh para teknokrat, yang mengusahakan stabilitas dan kemajuan ekonomi, sementara menindas kebebasan berbicara dan agama. Partai dilihat oleh sebagian orang sebagai penerima Mandat Surgawi, sebuah gagasan Tiongkok tradisional. Partai Komunis menjinakkan dirinya sendiri dan tidak lagi secara konsisten menganjurkan teori Marxis yang revolusioner, dan sebaliknya berpegang pada fleksibilitas ideologist teologi yang konsisten dengan ucapan Deng Xiaoping, yakni mencari kebenaran di antara fakta. Cinta tanah air dan kebanggaan nasional telah muncul kembali seperti halnya pula tradisionalisme. Nasionalisme Tiongkok cenderung mengagung-agungkan negara Tiongkok yang sangat tersentralisasi dan kuat. Pemerintah berusaha

Page 109: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

109

untuk memenangkan dan mempertahankan kesetiaan warga negaranya serta orang-orang Tiongkok yang baru-baru ini pindah ke luar negeri. Sebuah buku laris baru-baru ini China Can Say No mengungkapkan sebuah sentiment yang mendukung sebuah cara Tiongkok yang unik yang, dengan terus terang, tidak perlu melibatkan norma-norma Amerika, seperti individualisme dan liberalisme Barat. Selain itu, nasionalisme Tiongkok masih mungkin akan berkembang, karena generasi para pemimpin Tiongkok akan bertumbuh dalam lingkungan yang dipenuh dengan semangat nasionalisme. Sejak 1990-an, telah muncul gerakan neo-konservatif di Tiongkok (tidak ada kaitannya dengan gerakan neo-konservatif di AS).

Page 110: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

110

Hand-Out 05: KRITIK ABSURDITAS NEGARA, REPRESIFITAS & OTORITARIANISME:

KAJIAN PEMIKIRAN GRAMSCI DAN ALTHUSSER Sejarah Dialektika Negara, Masyarakat, dan Pasar di Barat

Konsep individu tidak dapat dipahami dengan baik tanpa memahami masyarakat. Memahami masyarakat tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan negara. Begitu juga melihat bangunan negara tidak dapat dilepaskan dari pasar. Begitulah adanya. Ilmu politik terbentuk berdasarkan konjuntur relasional antar-tiga domain tersebut: masyarakat, negara, dan pasar. Maka, membicarakan individu, masyarakat, negara, dan pasar, sama artinya menelusuri dialektikanya dalam sejarah sosial politik. Dalam literatur sosial, kita akan bertemu dengan apa yang disebut dengan konsep civil society yang sejarah perkembangannya dibentuk dari interaksinya dengan negara dan pasar.

Konsep masyarakat (civil society) merupakan konsep yang lahir dari kesejarahan sosial masyarakat Barat. Karenanya, sebelum melihat "daya rambah" konsep ini di luar basis kesejarahannya, dibutuhkan pemahaman historis-struktural terhadapnya. Artinya, konsep masyarakat akan dipahami beriring dengan konteks sosial atau struktur ekonomi dan politik yang melingkupinya. Dari sana baru kemudian dilihat kapasitas daya rambahnya termasuk jika konsep tersebut dipakai untuk menatap masyarakat Indonesia.

Konsep masyarakat berasal dari sejarah masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara. Berjalan dalam sejarah selama ribuan tahun mulai Yunani Kuno hingga masa paling produktif pembentukannya, yakni masa pencerahan. Kemunculannya diwarnai pergulatan antar basis epistemologis berbeda-beda, saling menyambung dengan pembedaan antara masyarakat dan negara, hingga diferensiasi kulturalnya seperti humanisme, individualisme, dan liberalisme.

Peletak dasarnya adalah Aristoteles (abad k-4 SM) yang merujukkan konsep masyarakat sipil pada polis dan menyebutnya sebagai politike koinonia. Istilah ini menggambarkan masyarakat politik dan etis yang memiliki kesetaraan di hadapan hukum yang berlaku. Aristoteles menyamakan negara dan masyarakat, kumpulan kampung, individu, dan famili. Apa yang sekarang dipahami sebagai masyarakat, olehnya disebut sebaga negara. Oikos dan polis (society dan state) tidak dibedakan.

Cicero, pemikir Rumawi Kuno, memakai istilah societas civilis, yang menekankan peran akal dalam memberi keabsahan kehidupan politik yang diatur hukum. Inilah awal konsep individu yang atomistik, di mana akal tampil sebagai alat kontrol dalam hubungan sosial. Hukum dalam konteks ini adalah hukum universal Rumawi yang mengatasi hukum partikular warganya yang berbasis garis daerah atau keturunan dalam konsep kekuasaannya.

Setelah lama, baru muncul pemikir Katolik, Thomas Aquinas di abad pertengahan/kegelapan, yang ditandai pergulatan tarik menarik antara negara dan gereja. Terjadi benturan antara Paus dan raja-raja daerah soal otoritas raja dan agama. Persoalan yang muncul adalah penentuan mana wilayah publik dan privat. Zaman kegelapan ditandai oleh penindasan akal, kekuasaan absolut, perang salib. Aquinas meletakkan hubungan agama dan negara dalam konsep societas civilis res publika. Konstruksi ini amat mempengaruhi pembentukan masa berikutnya, era renaissance, enlighttenment, sebagai momentum zaman modern.

Page 111: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

111

Pada konteks itulah Niccolo Machiavelli (1469-1527) hadir, yang mencoba membongkar kungkungan gereja dan beralih ke kejayaan masa lalu, yang membawanya pada pemikiran diktatorial. Pemikirannya merupakan suatu anomali dalam perkembangan konsep masyarakat.

Kemudian muncullah masa pencerahan yang memunculkan teori negara modern. Thomas Hobbes (Inggris) dalam Leviathan (1651) mengatakan bahwa keadaan alami (state of nature), sebagai hukum alam kehidupan manusia, adalah kebebasan tanpa batasan apapun. Inilah akar dari perselisihan antar-manusia. Persamaan antar individu hanya pada upaya mempertahankan kebebasan masing-masing individu, yang kemudian melahirkan kontrak sosial untuk melindungi kepentingan kebebasan individu. Masyarakat oleh Hobbes dimaknai sebagai ide normatif mengenai kebebasan dan persamaan warga negara sebagai kesatuan politik. Masyarakat bukan yang membentuk negara, namun masyarakat disatukan dalam kekuasaan negara. Negara dimaknai sebagai kekuasaan absolut yang mengatasi kemelut sosial, yang dalam preferensinya berbentuk kerajaan yang dipimpin raja, dan bukannya Majlis.

John Lock, pemikir Inggris, dengan basis hukum alam, mengatakan keadaan alami adalah keadaan bebas dan terjamin hak-haknya, yang dibatasi oleh hak orang lain. Berbeda dengan Hobbes, untuk menjadi hakim yang tidak dapat ditumpukan pada satu orang sebab cenderung diskriminatif, namun harus ditumpukan pada negara dengan kontrak sosial. Locke di sini sudah membedakan antara masyarakat dan pemerintah, meskipun keduanya dalam konteks monarkhi yang lahir dari kontrak sosial.

Montesqieu (1689-1775), ahli hukum Perancis, setelah keliling Eropa terutama Inggris, menyimpulkan bahwa yang paling berbahaya adalah kekusaan sewenang-wenang. Maka, dibutuhkan kontrol kekuasaan (trias politika), kejelasan hukum, yaitu hukum positif yang berbasis keadilan sebagai kebenaran universal. Dia membedakan masyarakat dan pemerintah sebagai entitas berbeda, yang mengacu pada dua bentuk hukum: civil law (mengatur antara warga dan pemerintah; public/political law (mengatur hubungan antar-warga).

Melalui keduanya, konsep masyarakat menjadi bagian penting diskursus pemikiran politik modern. Konsep kontrak sosial menyambung ke Rousseau (1712-1778). Dalam kondisi alami, manusia amat digerakkan oleh nafsu yang tak terkendali, yang menciptakan keadaan tidak menentu. Untuk menjawab ketidakpastian ini dibutuhkan kontrak sosial, di mana negara adalah persekutuan politik, di mana persamaan muncul bersamaan dengan terjadinya persekutuan antar-kekuatan politik. Tiap sekutu hanya bertanggung jawab pada persekutuan politik ini, sehingga kebebasan individu tidak hilang. Di sinilah lahir konsepnya mengenai kebebasan sipil, kebebasan yang disokong oleh kemauan bersama, yang berbeda dengan konsep kebebasan alami Hobbesian dan Lockean.

Rousseau dengan demikian menolak persetujuan dengan kekerasan. Hukum, baginya, hasil persetujuan yang didasarkan oleh kebebasan bersama, sebab kemauan bersama mengatasi kepentingan individual. Hanya saja, sama seperti Locke, dia menganggap masyarakat sebagai negara (state) dan sekaligus pemerintahan sipil (civil government).

Thomas Paine (1737-1809), pemikir Amerika, melanjutkan pemikiran tentang masyarakat. Menurutnya, masyarakat merupakan kumpulan individu memiliki hak alami yang tidak dapat diambil siapapun, termasuk negara. Negara ada karena legitimasi masyarakat. Namun, Paine juga mengidentikkan political society dan civil society sebagai negara.

Page 112: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

112

Tradisi pemikiran di atas, yang memaknai masyarakat sebagai civilized society, selalu mengidentikkannya, paling tidak dalam prakteknya, dengan political society atau negara. Berikut ini muncul juga tradisi pemikiran yang juga memaknai masyarakat sebagai civilized society, namun mengidentikkannya dengan economic society. Tradisi ini dibangun oleh pemikir pencerahan Skotlandia, Adam Ferguson, David Hume, dan Adam Smith.

Ferguson, dalam buku terkenalnya, An Essay on History of Civil Society (1767), melukiskan perubahan alamiah masyarakat primitif yang khas menuju masyarakat bernegara yang beradab. Industrialisasi yang diikuti komersialisasi produksi menandai cara produksi baru masyarakat. Masyarakat, dalam konstruks sosial ini, menurutnya, menyimpan banyak problem. Proses industrialisasi-komersialisasi produksi menciptakan individualisme, atomisasi manusia, dan akhirnya kesenjangan sosial. Individu dihargai dengan ukuran-ukuran komersial, yang dapat mengakibatkan individu kehilangan spirit publiknya. Bahkan pemerintahan berdasar rule of law tidak memiliki jiwa utuh sebab despotisme telah merasuk sejak awal, bahkan sejak terbentuknya masyarakat. Despotisme yang dimaksud adalah perselingkuhan antara kaum borjuasi dengan raja-raja.

Dari dua tradisi di atas, yang nantinya diperkaya Adam Smith, konsep dominan yang mencoba merajut hubungan masyarakat dan negara adalah teori kontrak sosial. Teori ini dimentahkan oleh kaum utilitarian yang dikomandani Jeremy Bentham (1748-1832) dan JS Mills (1806-1873). Gagasan pokonya adalah bahwa kebahagiaan individu diukur dari rasa susah dan senang. Kepentingannya adalah menggapai rasa senang dalam hidup. Dalam konteks masyarakat, kebahagiaan terletak pada rasa senang mayoritas masyarakat. Dalam teori negara hal ini mereka terjemahkan dalam majelis parlemen yang diukur melalui mayoritas-minoritas yang dalam prosesnya dimungkinkan koalisi yang bisa terus berubah sesuai prioritas dan masalahnya. Hukum, menurut kaum ini, dapat menghancurkan kebebasan individu karenanya harus direformasi terus menerus, yang pada gilirannya menyibukkan kaum ini dengan undang-undang negara.

Pemikiran lain yang menempatkan individu sebagai pusat analisis adalah Adam Smith. Menurutnya, setiap manusia tunduk dan dipimpin oleh kepentingan ekonominya. Kepentingan bersama hanya dapat lahir jika masing-masing individu dapat memenuhi kepentingannya tanpa batasan apapun baik dari masyarakat maupun negara.

Pada saat yang bersamaan, tumbuh gagasan tentang masyarakat di Jerman, yang memiliki perbedaan dengan konstruksi gagasan di atas. Perbedaan utamanya pada sudah adanya pembedaan tegas antara masyarakat dan negara. Pemikiran ini dipengaruhi Immanuel Kant. Menurutnya, masyarakat merupakan realitas berbeda dengan negara. Kesimpulan ini diambil dari pengamatan adanya hukum publik yang mengganti hukum alam. Masyarakat adalah tujuan bersama berdasarkan hukum dan harus dipisahkan dengan kekuasaan absolut. Di sinilah masyarakat dan negara dipisahkan, yang masing-masing memiliki rasionalitasnya sendiri.

Pemikir berikutnya, peletak dasar metode berpikir dialektik, Hegel (1770-1831), keduanya bukan hanya dipisahkan, namun dilihat sebagai entitas yang berlawanan. Hegel memahami masyarakat sebagai economic society, yakni sebagai wilayah privat, dan negara sebagai wilayah atau domain publik. Cita masyarakat beradab secara dialektik pada akhirnya terdapat dalam negara,

Page 113: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

113

sebagai roh absolut, universal, namun pada saat itu Hegel melihat adanya realitas lain yang hidup dalam ruang ekonomi kapitalistik.

Pewaris dialektika Hegel, Marx (1818-1883) memiliki kesimpulan berbeda. Pembedaan antara masyarakat dan negara oleh Marx berakar pada kesenjangan sosial yang ada. Dalam cara produksi kapitalisme, masyarakat terbelah dalam dua kelas: proletar dan borjuis. Negara hanya melayani kaum borjuis, yang dalam teori negara disebut teori negara instrumentalis. Dalam konteks ini, satu-satunya jalan menurutnya adalah dengan merebut negara. Namun, ironisnya, justru dalam tahap inilah secara perlahan konsep negara menghilang dan digantikan dengan masyarakat beradab, yang dalam kamus politiknya disebut dengan masyarakat komunis. Artinya, Marx melihat negara bukan merupakan realitas masyarakat, dan karenanya berbeda, sehingga negara sebagai entitas sosial justru harus dilenyapkan.

Pemikiran ini digeser oleh neomarxis Italia. Jika Marx meletakkan masyarakat dalam domian ekonomi, maka Gramsci (1891-1937), meletakkannya dalam domain politik dan kultural, di mana negara mendominasi dan menghegemoni ruang kesadaran masyarakat. Di sini konsep negaranya sama dengan Marx, sebagai alat penindasan. Hanya saja, negara, sebagai suprastruktur kelembagaan mengusung ideologi yang sangat berpengaruh dan menaklukkan melalui hegemoni. Di sinilah masyarakat berada. Masyarakat dengan demikian, menurutnya, adalah ruang bagi transisi keterpaksaan ke kebebasan di mana negosiasi berlangsung secara terus menerus dalam ruang hegemoni. Lembaga privat sebagai masyarakat tempat berlangsungnya pertarungan hegemoni contohnya adalah sekolah, gereja, parpol, maupun birokrasi, dan produksi simbolik seperti kebudayaan, nilai-nilai, sistem kepercayaan, dan lainnya. Pendek kata, masyarakat adalah medan pertarungan hegemoni.

Pemikir berikutnya adalah Tocqouville, pemikir Perancis, yang melalui bukunya, Demokrasi di Amerika, menunjukkan bagaimana demokrasi didorong melalui civil society. Negara modern, menurutnya, telah membawa peluang despotik yang mengancam dan membatasi kebebasan individu. Maka, dibutuhkan kontrol terhadap negara, dan di sinilah konsep asosiasi independen itu muncul. Melalui ini masing-masing melakukan komunikasi sosial untuk melindungi kebebasan sipil dan kekuasaan negara yang berlebihan. Demokrasi, dengan demikian, dikawal dan ditentukan keberhasilannya oleh keterlibatan aktif masyarakat dalam ranah publik .

Dari penelusuran historis terhadap konsep tentang masyarakat dapat disimpulkan: 1. Keberadaan masyarakat dan negara dipahami sebagai perkembangan

perubahan masyarakat yang mengalami transformasi dari masyarakat feodal ke masyarakat modern. Kompleksitas yang mengiringinya mendorong pembedaan antara masyarakat dan negara. Ini diawali pembedaan sayup-sayup oleh kaum naturalis hingga dipisahkan secara tegas. Di sini masyarakat dapat berarti society, negara, masyarakat ekonomi, dan masyarakat politik.

2. Konsep masyarakat disuntik gagasan penciptaan masyarakat beradab (civilized society) sebagai respons atas menguatnya despotisme negara (politik), respons terhadap industrialisasi (ekonomi), dan respons atas tumbuhnya individualisme yang cenderung ekstrem (sosial).

Page 114: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

114

3. Masyarakat dimaknai sebagai entitas sosial yang antinegara sebagai respons berlebihan terhadap despotisme negara yang tidak ketulungan. Pemikiran Marx berada di garis ini.

4. Konsep masyarakat sebagai kekuatan mandiri untuk pengembangan demokrasi. Konsep masyarakat di sini dimaknai sebagai kekuatan yang harus terlibat dalam proses pengambilan kebijakan publik tanpa berpikir untuk melenyapkan negara, dan atau berpretensi menguasai negara secara langsung dalam kekuasaan, yang termanifestasikan dalam organisasi sosial keagamaan, LSM, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lainnya. Di sinilah perkembangan konsep masyarakat sipil mutakhir berujung.

Formulasi di atas belum usai. Dialektika ketiganya di tengah dunia yang

tunggang langgang (runway world) selalu membuka kemungkinan teorisas-teorisai baru dalam konsep tentang individu, masyarakat, negara dan pasar.

Membaca Sejarah Kolonialisme hingga Kemerdekaan

Membaca sejarah kolonialisme Indonesia sama halnya membaca sejarah kompleksitas. Di sana terdapat heroisme perjuangan, telikung-menelikung, hingga pengkhianatan. Ada sejarah lisan, ada sejarah tertulis. Ada sejarah jatuh bangunnya kerajaan, ada sejarah kolonialisme. Ada sejarah tokoh-tokoh besar, ada sejarah kolektif-masyarakat. Ada yang terkait dengan localitas, ada yang terkait dengan dunia internasional. Mistik dan rasionalitas sejarah berpadu dalam kesejarahan Indonesia. Itulah selintas kesan begitu kita mendengar istilah sejarah kolonialisme Indonesia. Di sini kita hanya akan membaca sejarah kolonialisme dengan unit analisis sejarah ekonomi, sejarah politik, pengetahuan, dan budaya. Inipun secara selintas. Bacaan sejarah ini menjadi dasar untuk merangkai kembali, atau memaknai ulang, apa tugas gerakan mahasiswa secara substansial sekarang.

Penting disadari bahwa membaca sejarah nasional kita (sejarah Indonesia) dalam pengertian sesungguhnya adalah membaca sejarah lokalitas, paling tidak sejarah daerah atau kepulauan. Sebab Indonesia sendiri baru terbentuk sejak kemerdekaan. Kata Indonesia baru muncul di kalangan pergerakan tahun 1920-an. Bahkan kata ini temuan orang asing, bukan bangsa kita. Sebelum itu Indonesia lebih tepat disebut nusantara yang terdiri dari ratusan kerajaan yang masing-masing memiliki kedaulatan politik. Malangnya Nusantara tidak identik dengan Indonesia. Di sinilah, Indonesia mengalami keretakan sejarah serius. Apa yang disebut dengan Indonesia sebenarnya tidak memiliki basis kesejarahan real kecuali semata-mata warisan jajahan Hindia-Belanda. Bukan warisan kerajaan yang pernah hidup di bumi pertiwi ini. Hal ini disebabkan oleh dua sebab, yakni eksternal (masuknya imperialisme dan kolonialisme) dan internal (perpecahan internal berbagai kerajaan nusantara).

Sejarah Ekonomi

Sejarah ekonomi Indonesia adalah sejarah penaklukan-penghisapan. Sejarah eksploitasi dan kolonialistik. Hingga sekarang struktur ekonomi politik kita tidak lain dari warisan struktur ekonomi colonial. Meskipun sejarah Nusantara sebenarnya pernah mengalami kejayaan luar biasa. Ada dua kerajaan besar yang dapat dijadikan acuan. Pertama, kerajaan Sriwijaya yang pernah menguasai Malaka dan Jawa. Sriwijaya menjadi kekuatan dan cermin dari budaya maritime yang sangat besar. Kedua, kerajaan Majapahit yang kemudian

Page 115: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

115

pada tahun 1377 mampu menundukkan Sriwijaya. Kedua kerajaan besar ini pernah menguasai Laos, Myanmar, Malaysia, Singapura, Brunai, dan beberapa daratan Asia Tenggara lainnya. Kekuatan di atas perlahan dihancurkan seiring dengan masuknya kolonialisme dan imperialisme di Indonesia. Tahun 1511 Portugis masuk ke Nusantara dengan mengirim ekspedisi militer setelah dua tahun sebelumnya utusan mereka ditolak oleh Sultan Mahmud Syah di Malaka. Malaka pun jatuh karena factor persenjataan. Mereka, tentara portugis tersebut, merupakan veteran, dan dengan demikian disemangati oleh, perang salib. Misi mereka, seperti diungkap dalam buku sejarah SMP dan SMA, adalah gold (emas/perampasan ekonomi), glory (keagungan/supremasi), dan gospel (gereja/penyebaran agama).

Pada awalnya Portugis hanya melakukan kontak dagang, tidak membuka front terbuka secara politik atau militer, kecuali beberapa, sebagai strategi penetrasi, namun secara perlahan mampu menciptakan ketergantungan ekonomi internal, yang kemudian dipungkasi dengan penguasaan struktur ekonomi. Setelah menguasai Malaka, Portugis meluaskan wilayahnya ke Maluku, Jabar, Jatim (hanya mampu menembus Pasuruan dan Blambangan), Timor, hingga Nusatenggara. Pada fase ini secara politik "Negara-negara nusantara" masih memiliki kadulatan politik, hanya saja struktur ekonominya mulai diambilalih oleh kolonial. Memanfaatkan perpecahan internal kerajaan atau ketegangan antar-kerajaan merupakan strategi yang biasa dipakai, di samping menghancurkan kapal-kapal pedagang Islam dari Arab atau India.

Ekspansi Portugis sempat terganggu dengan hadirnya Spanyol tahun 1921 di Maluku. Dua kapal ekspedisi spanyol yang datang dari Filipina dan Kalimantan Utara melaju menuju Tidore, Bacan, dan Jailolo. Terjadilah persaingan antara Portugis dan spanyol. Karena kalah kekuatan militernya, Spanyol hanya dapat bertahan hingga tahun 1534.

Setelah merdeka dari Spanyol (1581), Belanda mulai masuk dalam struktur ekonomi dan politik nasional. Tepatnya tanggal 23 Juni 1595, empat buah kapal pimpinan cornelis de Houtman tiba di Banten. Tahun 1598 Belanda untuk kedua kalinya mengirimkan 22 kapal ke Banten, dan setahun kemudian berhasil berdagang di Tuban dan daerah Maluku (Banda, Ambon, dan Ternate). Pertarungan pun mulai terjadi. Setahun berikutnya (1600) Portugis membangun basis ekonomi di Jepara dan Timor. Dua tahun kemudian VOC didirikan, sebagai instrument untuk monopoli perdagangan rempah-rempah. Pertarungan mulai mengeras, tahun 1619 Belanda membakar kota Jepara dan pusat dagang Inggris di jepara. Pada tahun 1641 VOC berhasil merebut Malaka dari Portugis. VOC memperluas ekspansi, membakar dan mendirikan pos di Palembang tahun 1659. Belanda secara perlahan mulai menjadi penguasa ekonomi nasional menggeser Portugis. Tanam paksa dan liberalisasi ekonomi yang mendorong penghisapan bukan hanya oleh Belanda tapi juga swasta Belanda, menjadi icon penjajahan ekonomi ini.

Sejarah Politik

Dominasi dan hegemoni ekonomi Belanda, sebagaimana Portugis, mendapatkan perlawanan dari rakyat. Namun karena berbagai sebab banyak perlawanan patah di tengah jalan. Maka, secara perlahan kemudian struktur politik pun dikuasai. Kerajaan-kerajaan yang melakukan perlawanan mulai ditaklukkan. Jayakarta direbut oleh VOC dalam perang tahun 1618-1619 dari

Page 116: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

116

Pangeran Wiyakrama. Maluku Jatuh (1675). Banten Jatuh (1682). Kalimantan (gowa dan Banjar) jatuh (1667). Perlawanan Kaum Sultan Ageng Tirtayasa, Padri, Diponegoro juga dapat dipatahkan, begitu juga dengan perlawanan di Sulawesi Selatan (1907), Kalimantan Selatan (1905), Bali (1909), Aceh, Kerajaan Mataram berhasil dipecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, serta masing-masing terdapat "Negara dalam Negara" yakni Mangkunegaran dan Pakualaman. Jadilah Hindia-Belanda yang kini disebut dengan Indonesia.

Sejarah Pengetahuan

Sebelum struktur politik digenggam oleh Belanda secara total, struktur pengetahuan juga mulai dihegemoni. Politik etis 1901 menandai, dalam kacamata postcolonial, penaklukan medan simbolik dan basis epistemiologis bangsa Indonesia. Lembaga-lembaga pendidikan pribumi seperti pesantren secara perlahan dipinggirkan dan dihancurkan. Rakyat kecil dan miskin dijadikan kelas ketiga sehingga tidak mungkin menikmati sekolah yang menyebabkan mereka terhenti dalam mobilitas social.

Sejarah Budaya

Menyertai proses panjang tersebut, nalar, rasio, dan struktur kesadaran masyarakat dibentuk oleh apa yang disebut dengan feodalisme Jawa. Feodalisme ini dimotori oleh kerajaan-kerajaan yang melahirkan hierarki social dan kultur feudal. Suatu kultur yang membangun logika masyarakat atas dasar tuan-hamba, priyayi-kawulo alit/wong cilik, pemerintah-rakyat, yang secara sistematik menghasilkan budaya antikritik di kalangan penguasa dan hancurnya nalar kritis di masyarakat.

Pembongkaran prematur

Kemerdekaan Indonesia relative mampu membongkar struktur politik, namun bukan dua struktur lainnya, yakni ekonomi dan pengetahuan. Baru decade 50-an struktur ekonomi dapat diambil alih melalui kebijakan nasionalisasi Soekarno. Hanya saja, yang dapat direbut tersebut sebatas struktur ekonomi yang dikuasai colonial. Kelas-kelas social yang ada, yang terbentuk secara histories dan diperkuat dengan kebijakan Belanda, tetap tidak berubah. Mayoritas masyarakat tetap hidup dalam kerangka structural yang sama, pergeserannya hanya terjadi tingkatan Negara.

Formasi tersebut tidak berjalan lama sebab terpatahkan kembali dengan naiknya Orba. Naiknya Orba pada dasarnya mengembalikan kembali struktur colonial secara tuntas dengan kebijakan liberalisasi ekonomi. Dimulailah fase neoimperialisme modern. Praktis watak structural Indonesia dibangun atas dominasi kelas borjuasi asing dan elite nasional terhadap struktur politik, ekonomi, dan pengetahuan. Orba dengan depolitisasi, deideologisasi, dan developmentalisme, menghancurkan kembali untuk kesekian kalinya Indonesia. Krisis ekonomi tahun 1997 menuntaskan dan menyempurnakan penguasaan tersebut melalui pelembagaan neoliberalisme di Indonesia.

Hasilnya? KKN merajalela, hukum dipermainkan, lingkungan rusak, pendidikan kian mahal, dan kemiskinan pun semakin meluas. Menurut Kwik Kian Gie, jumlah masyarakat Indonesia yang hidup dengan uang Rp 1250 perhari berjumlah sekitar 30 juta (Jawapos, 18 Agustus 2004). Jika menggunakan standar Bank Dunia, yakni mereka yang hidup dengan kurang dari 2 dolar perhari, jumlahnya mencapai sekitar 110 juta atau 55% dari seluruh jumlah

Page 117: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

117

penduduk! Bencana Tsunami, menurut Direktur Bank Dunia perwakilan Asia, menambah 1 juta kaum miskin Indonesia, sehingga total berjumlah 110 juta jiwa. Nation-state vs. Globalisme supra-negara

Mengikuti Steger (2002: 13), kerangka analisis tulisan ini akan membedakan istilah globalisasi dan globalisme. Globalisasi adalah proses material dan sosial yang didefinisikan oleh berbagai kalangan secara berbeda-beda dan sering saling bertentangan. Sementara globalisme adalah paket retoris yang berwujud ideologi pasar neoliberal yang memberikan norma, nilai dan makna-makna tertentu terhadap proses globalisasi itu. Sebagai ideologi, globalisme tidak hanya memberikan deskripsi, tetapi juga preskripsi (Petras & Veltmeyer, 2001: 11). Globalisme memberikan acuan-acuan normatif terhadap proses globalisasi. Asumsi-asumsi yang meramalkan menjelangnya senjakala nation-state dan kedaulatan—dalam analisis tulisan ini—karena itu akan dipandang lebih sebagai pernyataan ideologis ketimbang analitis. Sebab, apa yang dilukiskan orang seperti Ohmae dalam The Borderless World (1990) dan The End of The Nation-State (1996) maupun O’Brein dalam Global Financial Integration; The End of Geography (1992)—tidak murni merupakan gambaran tentang—meminjam istilah Giddens (1985: 45)—what went on, tetapi juga what should go on. Mereka tidak hanya melukiskan apa yang tengah terjadi, tetapi lebih dari itu memberikan skema tentang apa yang seharusnya terjadi.

Sebagaimana watak ideologi lainnya, globalisme memiliki tiga ciri khas seperti dikemukakan Ricoeur (1986), yakni distorsi, legitimasi, dan integrasi. Globalisme memberikan gambaran atas realitas sosial yang telah mengalami proses konstruksi, distorsi dan simplifikasi, sehingga realitas yang distrukturkan olehnya pada level sosial dapat berkembang menjadi sebentuk kesadaran palsu. Melalui sistem legitimasi, globalisme memiliki mekanisme pengabsahan atas berbagai kerangka pemikiran dan acuan tindakan yang diajukannya. Dan akhirnya, globalisme memiliki fungsi integratif, yakni menyediakan serangkaian simbol, norma dan citra yang menghimpun dan merekatkan identitas individu ke dalam lingkungan kolektif.

Untuk menghantarkan analisis lebih jauh tentang tendensi-tendensi ideologis globalisme sebagai proses ideasional, akan dinarasikan terlebih dahulu beberapa persoalan utama dalam diskursus globalisasi sebagai proses material (Skema dan struktur pemetaan uraian ini banyak merujuk karya Manfred B. Steger, Globalism: The New Market Ideology, 2002). Globalisasi: Seputar Debat Akademis

Perdebatan seputar isu globalisasi mirip parabel enam orang pelajar buta dengan seekor gajah dalam tradisi Budhisme. Bagi keenam orang pelajar buta—yang belum pernah melihat dan mendengar seperti apakah gerangan bentuk gajah itu—maka yang mereka lakukan untuk memperoleh gambaran mental tentangnya adalah dengan cara menyentuh binatang itu. Orang pertama yang kebetulan menjamah belalainya menyimpulkan bahwa gajah seperi ular. Orang kedua yang menggosok sekujur kaki besarnya menyamakan gajah dengan tiang kasar berukuran besar. Orang ketiga yang membelai ekornya menyatakan kemiripan gajah dengan sikat besar yang berbulu lunak. Orang keempat yang menggenggam gadingnya menyebut gajah seperti lembing besar. Orang kelima yang menyentuh kupingnya yang bergelombang menyakini bahwa gajah adalah binatang seperti kipas. Orang keenam yang meraba-raba daerah antara kaki

Page 118: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

118

depan dan belakang gajah menemukan kesia-siaan dan menuduh koleganya membuat cerita-cerita fantastik tentang sesuatu yang tak ada seraya menegaskan bahwa tak sedikitpun terdapat gambaran buas tentang makhluk itu.

Seperti inilah, menurut Steger, debat akademis seputar wacana globalisasi di lingkungan para sarjana hingga hari ini. Mereka berhenti dan bersikukuh terhadap hasil temuan masing-masing. Atas dasar reputasi kecermatannya, mereka sangat dipercaya para pengikutnya. Sehingga, hal ini berdampak pada keterbelahan di tingkat masing-masing pendukung yang seterusnya berakibat pada kecurigaan dan ketidakpercayaan pada skala yang lebih massif. Pelajaran yang bisa diambil dari parabel ini adalah; pertama, realitas teramat kompleks untuk bisa dipahami sepenuhnya oleh kapasitas manusia yang serba terbatas. Kedua, meskipun masing-masing benar menurut temuannya, namun mereka salah dalam upaya mereduksi keseluruhan realitas dalam temuan parsial mereka. Ketiga, menjaga harmoni dan perdamaian mungkin jauh lebih berharga dari pada bersikeras dengan anggapan superioritas pemahaman mereka atas dunia.

Sebagaimana cerita dalam parabel ini, tidak pernah ada kesepakatan bulat atas definisi globalisasi, kecuali gambaran-gambaran umum seperti “semakin meningkatnya keterkaitan global” (increasing global interconnectedness), intensifikasi hubungan-hubungan sosial berskala dunia dalam tempo yang cepat” (the rapid intensification of worldwide social relation), “pemampatan ruang waktu” (the compression of time and space), “serangkaian proses-proses kompleks yang digerakkan oleh perpaduan pengaruh-pengaruh ekonomi dan politik”, (a complex range of processes driven by mixture of political and economic influences), dan “arus modal, orang dan gagasan yang bergerak cepat dan relatif tanpa hambatan yang melintasi batas-batas nasional” (the swift and relatively unimpeded flow of capital, people, and ideas across national borders) (Steger, 2002: 17-9).

Untuk memperoleh gambaran kontroversi ini, akan diskemakan pemetaan atas wilayah isu yang menjadi concern para ahli. Wilayah isu ini meliputi—meminjam klasifikasi Giddens (1999: 7-8)—teori-teori radikal dan skeptis globalisasi. Teori radikal mendedahkan keniscayaan globalisasi, sementara teori skeptis meragukan kemungkinannya. Beberapa tokoh skeptisis ini bahkan menyebut globalisasi sebagai globaloney (bualan global). Globalisasi sebagai Globaloney

Globalisasi oleh kelompok ini dianggap sebagai konsep yang tidak jelas, kabur dan dilebih-lebihkan. Mereka menganggap bahwa apa yang digulirkan sebagai diskursus globalisasi tak lebih sebagai isapan jempol. Istilah globaloney sendiri diciptakan oleh Bob Fitch untuk menggolongkan argumen-argumen para teoritikus globalisasi yang sifatnya tendensius dan tautologis (Petras & Peltmeyer, 2001: 44). Argumen yang diajukan oleh kelompok ini terpilah dalam tiga golongan besar. Golongan pertama menampik kedayagunaan globalisasi sebagai konsep analitis yang tepat dan memadai. Golongan kedua menunjuk pada watak terbatas proses-proses globalisasi dan meragukan akan lahirnya dunia yang terintegrasi seperti diyakini para pendukung globalisasi. Dalam pandangan golongan ini, istilah globalisasi juga tidak pas dalam melukiskan apa yang sesungguhnya tengah terjadi saat ini. Sedangkan golongan ketiga menampik kebaruan fenomena globalisasi seraya mendukung kecenderungan moderat proses-prosesnya. Mereka yang menyebut globalisasi sebagai proses

Page 119: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

119

kekinian, oleh golongan ini, dianggap gagal melihat gambaran besar dan terjatuh dalam kepicikan kerangka sejarah mereka. Argumen lebih detail masing-masing golongan akan diuraikan di bawah ini.

Golongan Pertama

Golongan ini menolak penggunaan istilah globalisasi sebagai konsep analitis dan memberikan kritik tajam atas kekaburan istilah yang lazim dipakai dalam wacana akademis. Istilah lain yang setaraf derajat kekaburannya namun sering disebut-sebut adalah nasionalisme. Craig Calhoun (1993: 215-6), misalnya, menyatakan bahwa nasionalisme dan istilah-istilah turunannya telah terbukti sangat sulit didefinisikan, sebab nasionalisme adalah gejala beragam, sehingga suatu definisi akan mengabsahkan satu klaim dan menon-absahkan klaim lainnya. Evaluasi yang sama kritisnya diberikan oleh Susan Strange yang menandaskan bahwa globalisasi adalah contoh utama kata-kata kosong yang dipakai dalam wacana akademis untuk menunjuk pada segala sesuatu dari internet hingga hamburger. Begitu juga Linda Weiss yang berkeberatan atas istilah yang menurutnya merupakan gagasan besar namun bertumpu pada fondasi yang rapuh (Steger, 2002: 20). Golongan Kedua

Golongan ini skpetis terhadap proses globalisasi dunia. Mereka menyatakan bahwa globalisasi sejak dari perwatakannya bersifat terbatas. Mereka mementahkan apa yang dikemukakan oleh para teoritikus ekstrim globalisasi bahwa dunia akan terlipat dan menyusut oleh peleburan dunia dalam proses pengintegrasian sejagat. Pandangan ini nampak jelas dalam karya Paul Hirst dan Grahame Thompson. Dalam Globalization in Question (1996, 1999: 2), Hirst dan Thompson menyatakan bahwa globalisasi adalah mitos. Ekonomi dunia saat ini tidak pernah benar-benar bersifat global, sebab aksis perdagangan, investasi dan arus finansial tetap lebih banyak terkonsentrasi pada Tritunggal Eropa, Jepang dan Amerika Utara. Evaluasi yang lebih tajam diberikan oleh Petras dan Veltmeyer. Kedua eksponen ini menampik penggunaan istilah globalisasi untuk menunjuk proses pegintegrasian ekonomi dunia saat ini. Sebab, globalisasi mengandaikan adanya saling ketergantungan antar negara, watak berbagi dalam sistem ekonominya, kebersamaan dalam sejumlah kepentingannya dan distribusi maslahat dalam sistem pertukarannya. Namun, yang terjadi saat ini tidaklah demikian. Apa yang berlangsung dalam tata ekonomi dunia saat ini adalah ekspolitasi dan dominasi negara-negara imperialis dan perusahaan-perusahaan serta perbankan multinasional terhadap negara-negara miskin dan kelas-kelas buruh. Sehingga, menurut keduanya, istilah yang paling pas dipakai untuk melukiskan realitas tata ekonomi dunia saat ini bukanlah globalisasi, melainkan imperialisme (Petras & Veltmeyer, 2001: 29-30).

Baik Hirst dan Thompson maupun Petras dan Veltmeyer sama-sama memfokuskan globalisasi lebih banyak sebagai proses ekonomi. Golongan Ketiga

Golongan ini menepis anggapan kebaruan gejala globalisasi. Globalisasi sering dianggap proses baru yang tidak memiliki preseden dalam sejarah. Perkembangan baru ini sering secara umum dianggap muncul setelah Perang Dunia II, khususnya pada tahun 1960-an (Holton, 1998: 21; Hirst & Thompson, 1996, 1999: 19). Robert Gilpin dalam studi terbarunya mengakui

Page 120: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

120

adanya kecenderungan pengglobalan dunia saat ini, namun ia menegaskan bahwa banyak aspek penting dari globalisasi bukanlah perkembangan baru. Mengutip Krugmann, Gilpin mencatat bahwa ekonomi dunia pada tahun 1990-an terilihat tidak lebih terintegrasi dibandingkan masa sebelum pecahnya Perang Dunia I. Gilpin juga mencatat bahwa globalisasi tenaga kerja jauh lebih besar sebelum PD I dan migrasi internasional justru mengalami penurunan cukup tajam setelah tahun 1918. Karenanya Gilpin mengingatkan pembacanya dalam mengikuti argumen-argumen mereka yang ia sebut sebagai hyper-globalizers (Steger, 2002: 22-3).

Kesan serupa juga nampak dalam pandangan Hirst dan Thompson. Kedua tokoh ini menegaskan bahwa tata ekonomi yang sangat mendunia saat ini bukanlah sesuatu yang tanpa preseden, melainkan suatu konjungtur dari tata ekonomi internasional yang telah mulai ada sejak ekonomi berbasis teknologi industri modern mulai merambah ke seluruh dunia sejak tahun 1860-an. Dalam beberapa hal, menurut Hirst dan Thompson (1996, 1999: 2), ekonomi internasional saat ini lebih tidak terbuka dan terintegrasi dibandingkan dengan ekonomi yang ada pada tahun 1870 hingga 1914. Ekonomi internasional, dilihat dari berbagai segi, lebih terbuka pada masa sebelum tahun 1914 dari pada masa sesudahnya, termasuk masa akhir tahun 1970-an dan seterusnya. Arus perdagangan dan arus modal internasional, baik antara sesama negara-negara industri atau negara industri dengan koloni-koloninya sebelum PD I, jauh lebih menonjol dibandingkan terhadap PDB sekarang. Dan jika pada semua ini ditambahkan migrasi internasional, maka jelaslah bahwa pada awal abad ini ekonomi internasional sudah sangat berkembang, terrbuka dan terintegrasi. Karena itu, ekonomi internasional zaman sekarang bukanlah sesuatu yang tanpa preseden (ibid., hal. 32).

Senafas dengan argumen ini, Petras dan Veltmeyer (2001: 35) mengargumentasikan watak siklis globalisasi. Globalisasi adalah proses yang berkembang secara siklikal dalam sejarah. Tahap awal globalisasi muncul didorong oleh penaklukan penjajahan negara-negara kapitalis merkantilis pada abad ke-15 hingga 18. Namun, berkembangnya proteksionisme dan industri nasional (pada akhir abad ke-18 dan pertengahan abad ke-19) yang merangsang mekarnya industri-industri domestik telah mendorong penurunan relatif arus global sebagai sentral akumulasi. Pada akhir abad ke-19, dorongan terakhir ke arah perkembangan berbasis eksternal mulai bangkit kembali, terkecuali Jerman dan AS. Dua negara yang disebut terakhir memadukan proteksi ketat atas munculnya industri dan ekspansi selektif imperialisme. Globalisasi yang melibatkan doktrin laissez-faire berakhir seiring dengan—dan yang mendorong—terjadinya PD I. Terdapat masa singkat kebangkitan proses ini antara tahun 1920-an hingga terjadinya depresi dunia pada tahun 1929. Bangkitnya kembali globalisasi atau arus kapital internasional dan perdagangan barang antara tahun 1945 hingga 1979 (?) terjadi secara bertahap dan hanya mengalami akselerasi pada penghujung tahun 1980-an. Hingga saat ini, menurut Petras dan Veltmeyer, perdagangan global tidak bertanggung jawab atas sebagian besar barang dan jasa yang menyumbang GNP, bahkan pada masa pertumbuhan cepatnya pada tahun-tahun terakhir ini.

Page 121: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

121

Globalisasi sebagai Proses Ekonomi Meluasnya penekanan sarjana pada dimensi ekonomi globalisasi sebagian

berasal dari perkembangan sejarahnya sebagai subjek studi akademis. Beberapa studi awal mengenai topik ini menjelajahi secara lebih detail bagaimana evolusi pasar dan perusahaan-perusahaan internasional mendorong bentuk intensif kesalingtergantungan global. Kajian-kajian ini menunjuk pada munculnya institusi-institusi internasional seperti EU (European Union) dan NAFTA (North American Free Trade Area) dan blok-blok perdagangan regional lainnya. Globalisasi dari perspektif ekonomi digambarkan sebagai “semakin meningkatnya pertautan ekonomi nasional melalui perdangan, arus finansial dan investasi asing (FDI) oleh perusahaan-perusahaan multinasional” (Gilpin, dikutip dari Steger, 2002: 24). Karena itu, meluasnya aktivitas-aktivitas ekonomi dipandang sebagai aspek utama globalisasi dan merupakan mesin pendorong di balik laju perkembangannya.

Para sarjana yang menggunakan perspektif ekonomi ini memandang globalisasi sebagai gejala nyata yang menandai transformasi dalam hubungan-hubungan dunia. Penegasan mereka memuncak pada anggapan bahwa perubahan quantum dalam hubungan-hubungan manusia mengambil tempat tatkala arus sejumlah besar perdagangan, investasi dan teknologi melintasi batas nasional telah berkembang dari setetes menjadi luapan banjir. Mereka mengusulkan studi globalisasi digeser ke pusat riset sosial ilmiah. Menurut pandangan ini, tugas utama riset ilmiah adalah menyingkap secara lebih dekat perkembangan struktur pasar ekonomi global dan institusi-institusi utamanya.

Studi globalisasi ekonomi biasanya berjangkar di tengah narasi sejarah yang melacak kemunculan gradual ekonomi baru pasca perang hingga ke konferensi Bretton Woods tahun 1944. Di bawah kepemimpinan AS dan Inggris, kekuatan-kekuatan utama ekonomi Barat memutuskan untuk membalik kebijakan proteksionis pada masa perang (1914-1939) menuju perluasan perdagangan internasional. Capaian utama sistem Bretton Woods mencakup liberalisasi terbatas perdagangan dan pembentukan aturan-aturan yang mengikat aktivitas-aktivitas ekonomi internasioanal. Konferensi Bretton Woods juga sepakat menciptakan sistem pertukaran mata uang stabil di mana nilai mata uang masing-masing negara ditetapkan berdasar nilai emas tetap dalam dollar AS. Dalam batas-batas yang dibentangkan ini, setiap negara bebas mengontrol agenda-agenda ekonomi mereka sendiri, termasuk implementasi ekstensif kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare). Konferensi Bretton Woods juga menciptakan fondasi institusional dibentuknya tiga organisasi ekonomi internasional baru. IMF dibentuk untuk mengatur sistem moneter internasional. World Bank pada awalnya dirancang untuk memberi pinjaman pembangunan kembali negara-negara Eropa pasca perang. Mulai tahun 1950-an, tujuannya diperluas untuk mendanai proyek-proyek industrialisasi di berbagai negara dunia ketiga. Pada tahun 1947, GATT menjadi organisasi perdagangan global yang diberi tanggung jawab membuat dan menyokong perjanjian-perjanjian dagang multilateral. Pada tahun 1955, WTO dibentuk sebagai pengganti GATT. Sebagaimana akan ditunjukkan pada uraian berikutnya, baik skema filosofis maupun kebijakan neoliberal dalam badan-badan baru internasional ini menjadi pangkal tolak sengitnya kontroversi ideologis seputar efek globalisasi ekonomi pada akhir tahun 1990-an.

Page 122: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

122

Semasa beroperasinya selama tiga dekade, sistem Bretton Woods menaruh saham besar terhadap terbentuknya apa yang oleh sebagian pengamat disebut sebagai “masa emas kapitalisme terkendali” (golden age of controlled capitalism). Menurut skema sistem ini, mekanisme kontrol negara atas pergerakan kapital internasional memungkinkan terpenuhinya padat kerja (full employment) dan meluasnya kesejahteraan. Meningkatnya upah dan layanan sosial memungkinkan dilestarikannya kompromi tentatif klas di negara-negara kaya di belahan bumi Utara.

Kebanyakan sarjana yang menekankan aspek ekonomi globalisasi melacak percepatan kecenderungan integrasi dunia dalam ekonomi global pada saat tumbangnya sistem Bretton Woods di awal tahun 1970-an. Dalam merespon perubahan-perubahan besar dalam ekonomi dunia yang meruntuhkan daya saing industri berbasis AS, Presiden Richard Nixon pada tahun 1971 memutuskan untuk melepas sistem nilai tukar tetap berdasar emas. Perpaduan antara ide-ide politik baru dan perkembangan-perkembangan ekonomi—membumbungnya inflasi, merosotnya pertumbuhan ekonomi, membengkaknya pengangguran, defisit sektor publik, dua kali krisis minyak dalam satu dekade—mendorong kemenangan spektakuler partai-partai konservatif dalam pemilu di AS dan Inggris. Partai-partai ini mendesakkan gerak neoliberal menuju ekspansi pasar internasional , dinamika yang didukung oleh deregulasi sistem finansial domestik, pelepasan bertahap kontrol kapital dan meningkat tajamnya transaksi-transaksi finansial global.

Selama tahun 1980 dan 1990-an, upaya Inggris-Amerika membangun pasar global tunggal lebih jauh disokong oleh perjanjian menyeluruh liberalisasi perdagangan yang mendongkrak arus sumber-sumber daya ekonomi yang menerjang batas-batas nasional. Terbitnya paradigma neoliberal mendapatkan legitimasinya lebih jauh oleh tumbangnya sistem ekonomi komando di Eropa Timur pada tahun 1989-1991. Membuyarkan konsensus prinsip-prinsip ekonomi Keynesian pasca perang, teori-teori pasar bebas yang dipelopori oleh Friedrich Hayek dan Milton Friedman tampil sebagai ortodoksi ekonomi baru, yang menganjurkan pemupusan negara kesejahteraan, pemangkasan peran-peran pemerintah dan deregulasi ekonomi. Penekanan kuat pada langkah-langkah monetaris untuk menekan laju inflasi mendorong penghapusan skema pada kerja ekonomi Keyneysian dalam rangka membangun pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel. Terlebih lagi, pergeseran dramatis dari ekonomi yang dikuasai negara ke ekonomi yang dikendalikan pasar diiringi oleh inovasi teknologis yang menurunkan biaya transportasi dan komunikasi. Nilai perdangan dunia meningkat tajam dari 57 juta dollar AS pada tahun 1947 ke level menakjubkan yakni 6 triliun dollar AS pada tahun 1990 (Steger, 2000: 24-7).

Paling tidak, terdapat dua aspek penting globalisasi ekonomi, yakni perubahan watak proses produksi dan internasionalisasi transaksi finansial. Sebagian analis menganggap adalah munculnya sistem finansial transnasional yang merupakan ciri utama ekonomi dunia dewasa ini. Proses globalisasi finansial ini mengalami percepatan secara dramatis pada akhir tahun 1980-an ketika pasar modal dan sekuritas di Eropa dan AS dideregulasikan. Liberalisasi perdagangan finansial ini memungkinkan pesatnya mobilitas di antara segmen-segmen industri finansial, dengan restriksi yang lebih sedikit dan tatapan peluang investasi dalam skala global. Lebih jauh, kemajuan dalam pemrosesan data dan teknologi informasi menyumbang pada ledakan pertumbuhan nilai-nilai finansial yang diperdagangkan. Ditopang oleh teknologi komunikasi, para pemburu laba

Page 123: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

123

dan spekulan global menangguk hasil spektakuler dengan cara mengambil keuntungan dari lemahnya sistem regulasi perbankan dan keuangan di pasar-pasar negara berkembang. Pada akhir tahun 1990-an, jumlah yang berkisar hampir dua triliun dollar AS diperdagangkan di pasar mata uang global (ibid., hal. 27).

Sementara penciptaan pasar finansial mewakili aspek krusial globalisasi ekonomi, perkembangan penting lainnya pada tiga dekade terakhir meliputi perubahan watak dalam produksi global. Perusahaan-perusahaan transnasional (TNCs) mengonsolidasikan operasi globalnya dalam pasar kerja dunia yang semakin dideregulasikan. Ketersediaan buruh murah, sumber-sumber daya dan syarat-syarat produksi menguntungkan yang ada di dunia ketiga mempertinggi mobilitas dan keuntungan TNCs. Meliputi 70 persen perdagangan dunia, badan-badan usaha raksasa ini memperluas jangkauan globalnya ketika investasi asing mereka meningkat kurang lebih 15 persen setahun selama periode 1990-an. Kemampuan perusahaan-perusahaan ini untuk menyebar proses manufacturing di berbagai lokasi bumi yang berbeda-beda sering dicatat sebagai tonggak globalisasi ekonomi. Mata rantai komoditas global seperti ini memungkinkan perusahaan-perusahaan besar seperti Nike dan General Motors untuk memproduksi, mendistribusikan dan menjual produk-produk mereka dalam skala global. Nike, misalnya, mensub-kontrakkan 100 persen produksi barangnya kepada 75.000 pekerja di Cina, Korsel, Malaysia dan Thailand.

Sistem produksi transnasional memperbesar daya kapitalisme global untuk meningkatkan kemampuan TNCs dalam menepis pengaruh politis unit-unit perdagangan berbasis nasional dan serikat-serikat pekerja dalam proses bargaining perupahan kolektif.

Globalisasi sebagai Proses Politik

Sebagaimana ditunjukkan kasus TNCs, perspektif ekonomi dalam globalisasi hampir tidak bisa didiskusikan lepas dari analisis proses-proses politik. Perdebatan terbesar dalam globalisasi politik adalah berkenaan dengan nasib negara-bangsa modern. Beberapa pertanyaan awal yang perlu diajukan adalah; pertama, sebab-sebab politik apakah ayang mendorong arus massif kapital, uang dan teknologi melintasi batas-batas teritorial? Kedua, apakah arus ini merupakan tantangan serius terhadap keberdayaan nation-state? Dan ketiga, bagaimanakah dampak munculnya organisasi-organisasi intergovernmental terhadap konsep kedaulatan negara dan bagaimana prospek global governance? Dalam merumuskan jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas, beberapa sarjana terbagai dalam empat kelompok pandangan.

Pertama, mereka yang menganggap bahwa globalisasi merupakan proses yang secara intrinsik berkaitan dengan ekspansi pasar. Secara lebih khusus, kemajuan pesat dalam teknologi komputer dan sistem komunikasi seperti jaringan lintas dunia (world wide web; www) dipandang sebagai kekuatan utama yang bertanggung jawab atas terciptanya pasar global tunggal. Menurut pandangan ini, politik nyaris tanpa daya di hadapan truk besar teknoekonomi yang tak bisa dihalau dan dilawan yang akan melabrak upaya pemerintah mengintroduksi kembali kebijakan dan aturan-aturan yang restriktif. Ekonomi di angggap memiliki logika dalam (inner logic) yang terpisah dan superior terhadap politik. Menurut pandangan ini, kombinasi kepentingan diri ekonomi (economic self-interest) dan inovasi teknologis inilah yang bertanggung jawab menghantarkan fase baru dalam sejarah dunia di mana peran pemerintah

Page 124: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

124

tereduksi di hadapan kekuatan pasar bebas. Negara, menurut eksponen pandangan ini, akan direduksi menjadi “superkonduktor kapitalisme global” (Steger, 2002: 29).

Barangkali, yang paling mewakili kelompok ini adalah Kenichi Ohmae. Perancang strategi bisnis Jepang ini menyatakan bahwa nation-state menjadi tak lagi relevan dalam perkembangan global. Ohmae memproyeksikan keniscayaan munculnya “dunia tanpa tapal batas” (the borderless world) berkat daya dorong kapitalisme. Dari perspektif ekonomi, Ohmae (1996: 42) menandaskan bahwa nation-state telah kehilangan perannya sebagai unit partispasi yang berarti dalam perekonomian global. Sebagaimana pembagian wilayah tak lagi relevan bagi masyarakat manusia, negara tak lagi mampu mendeterminasi arah kehidupan sosial dalam batas-batas wilayah mereka. Negara, oleh pendisiplinan pasar global, semakin kerdil kemampuannya dalam mengontrol nilai tukar dan memproteksi mata uangnya. Dalam jangka panjang, proses-proses globalisasi politik akan mendorong hancurnya teritori sebagai kerangka yang memiliki makna untuk memahami perubahan-perubahan sosial dan politik. Tertib politik masa depan, menurut Ohmae (1990: xi-ii), akan menjadi suatu ekonomi regional yang saling terhubung (interlinked) dengan hampir semua jaringan global yang bekerja menurut prinsip pasar bebas.

Kelompok sarjana kedua menampik anggapan bahwa perubaha-perubahan ekonomi skala besar semata terjadi dalam masyarakat sebagai sesuatu yang alamiah seperti, misalnya, gempa bumi atau angin topan. Melainkan, mereka menyoroti peran sentral politik—khususnya mobilisasi kekuasaan politik yang sukses—dalam menebarkan jaring-jaring diseminasi globalisasi. Pandangan ini berpijak dari filosofi yang menekankan watak keagenan aktif manusia. Jika bentuk globalisasi ekonomi ditentukan oleh politik, maka preferensi politik yang berbeda akan menghasilkan kondisi sosial yang berbeda. Menurut eksponen kelompok ini, akar-akar ekspansi massif ekonomi global tidak terletak baik pada “hukum alamiah pasar” maupun perkembangan teknologi komputer, melainkan pada keputusan politik yang dibuat pemerintah untuk mengangkat restriksi internasional terhadap kapital. Begitu keputusan politik diimplementasikan pada tahun 1980-an, inovasi-inovasi teknologi hadir secara otomatis. Negara dan teritori, menurut pandangan ini, tetap sesuatu yang penting—bahkan dalam konteks global (Steger, 2002: 30).

Kelompok sarjana ini menegaskan tetap masih relevannya unit-unit politik konvensional, yang bekerja dalam formasi nation-state atau global city. Namun, pada saat yang sama, banyak tokoh pandangan ini memahami perkembangan beberapa dekade terakhir secara signifikan membatasi opsi-opsi politik yang terbuka bagi negara, khususnya pada negara-negara berkembang. Jan Art Scholte (dalam Steger, 2002: 30), misalnya menunjukkan bahwa globalisasi merujuk pada proses-proses gradual deteritorialisasi relatif yang melapangkan jalan berkembangnya relasi-relasi supra teritorial di antara manusia. Meski demikian, Scholte menekankan bahwa pemahamannya atas deteritorialisasi tidaklah harus berarti bahwa nation-state tak lagi merupakan kekuatan pengorganisasian yang utama. Negara, dengan dilengkapi kemampuannya meregulasi aktivitas ekonomi, jauh dari menjadi tak berdaya di hadapan bekerjanya kekuatan global. Jika keputusan politik konkret bertanggung jawab terhadap perubahan konteks internasional dalah hal deregulasi, privatisasi dan globalisasi ekonomi dunia, maka keputusan politik yang berbeda akan membawa trend yang berbeda pula. Ringkas kata, pesan inti kelompok akademis ini jelas

Page 125: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

125

dan lugas: politik tetap merupakan kategori penting untuk bisa secara tepat memahami globalisasi.

Kelompok sarjana ketiga memandang globalisasi sebagai dipicu oleh perpaduan faktor-faktor politik dan teknologi. Globalisasi adalah hasil dari kemajuan teknologis dan kebijakan pemerintah dalam meredukasi limitas-limitasi dalam sistem pertukaran internasional. “Globalization’, kata salah seorang penganut paham ini, is the child of both technology and policy” (Nye Jr., 2002: 91). Sementara itu Jhon Gray, sebagaimana dikutip Steger (2002: 31), mengemukakan bahwa globalisasi adalah proses panjang yang dikendalikan oleh teknologi, yang bentuk kontemporernya ditentukan secara politik oleh negara-negara yang paling kuat di dunia. Menurut Gray, adalah tujuan mendasar prakarsa neoliberal Anglo-Amerika untuk merekayasa terbentuknya pasar bebas global. Pembiakan teknologi baru yang cepat dan tak dapat dielakkan ini akan merambah ke seluruh penjuru bumi yang membuat modernisasi masyarakat dunia yang dibimbing oleh teknologi menjadi sebuah “takdir sejarah”. Namun, Gray menegaskan bahwa tak ada negara yang memiliki kekuatan hegemonik yang dapat mewujudkan pasar bebas sejagat. Gray juga memperkirakan bahwa ekonomi dunia akan runtuh tatkala keseimbangannya tak lagi dapat dipertahankan. Karena itu, Gray meramalkan ‘akhir suram’ upaya-upaya politk dewasa ini untuk membangun pasar global tunggal. Perang perdagangan, menurut Gray, akan membuat kerja sama internasional lebih sulit. Ketika laissez faire global runtuh, anarki internasional yang meluas akan merupakan prospek manusia ke depan.

Kelompok sarjana keempat menghampiri globalisasi politik terutama dari perspektif global governance. Representasi kelompok ini menganalisis berbagai peran respon-respon nasional dan multilateral terhadap fragmentasi sistem ekonomi-politik dan arus transnasional yang menerjang melintasi batas-batas nasional. Ilmuwan politik seperti David Held dan Richard Falk dalam tulisan-tulisan mereka mengartikulasikan perlunya global governance sebagai konsekuensi logis proses globalisasi. Keduanya menggambarkan globalisasi sebagai telah mengikis pemerintahan nasional, karena itu juga mereduksi relevansi nation-state. Menurut Held, baik sistem lama kedaulatan nation-state Westphalia maupun sistem global pasca perang yang berpusat pada PBB tidak menawarkan solusi yang memuaskan terhadap berjibunnya tantangan globalisasi politik. Alih-alih, Held menawarkan munculnya bentuk penadbiran demokratis multilapis (a multilayered form of democratic governance) yang berpijak pada cita-cita kosmopolitan Barat, pengaturan hukum internasional dan jaringan luas yang menghubungkan antara berbagai institusi kepemerintahan dan non-kepemerintahan. Held menyebut adanya kecenderungan inheren dalam proses globalisasi yang akan memperkuat lembaga-lembaga supra nasional dan munculnya masyarakat sipil internasional. Dia meramalkan bahwa hak-hak demokratis pada akhirnya akan dilepaskan dari kaitan sempitnya dengan unit-unit teritorial tertentu (Steger, 200: 32-3).

Held memvisionerkan munculnya demokrasi kosmopolitan yang mencakup elemen-elemen politik sebagai berikut: parlemen global yang terkait dengan wilayah, negara dan lokalitas; piagam hak dan kewajiban-kewajiban baru yang mengikat berbagai wilayah kekuatan ekonomi, sosial dan politik; pemisahan formal antara ekonomi dan politik, sistem hukum global yang saling berkaitan (interlinked) dengan mekanisme penegakannya dari level lokal hingga global.

Page 126: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

126

Senafas dengan visi ini, Falk (1995: 36) juga mengargumentasikan bahwa globalisasi politik akan mendorong kemunculan kekuatan sosial demokratis transnasional yang berjangkar dalam civil society. Falk membedakan “globalisasi dari bawah” (globalization-from below) yang dipimpin rakyat demokratis dari “globalisasi dari atas” (globalization-from above) yang dikendalikan oleh pasar dan perusahaan-perusahaan besar. Falk menganalisis kapasitas aktor-aktor politik dalam menentang dominasi globalisasi neoliberal dalam serangkaian wilayah-wilayah kunci yang mencakup; peran institusi dan rezim internasional, pengaruh media, perubahan watak kewargaan, dan reorientasi aktivitas negara. Falk memberikan tekanan kuat terhadap kapasitas negara dalam mengimplementasikan agenda-agenda kosmopolitan. Sejumlah kritikus penghampiran kedua tokoh ini memustahilkan ide bahwa globalisasi politik akan memicu ke arah perkembangan demokrasi kosmopolitan.

Globalisasi sebagai Proses Kultural

Telaah tentang globalisasi kultural meliputi wilayah isu; akahkah globalisasi akan mendorong keseragaman budaya atau malah justru membiakkan keragaman dan diversitas? Apakah globalisasi akan membuat orang menjadi semakin sama atau tambah berbeda? Kebanyakan pengakaji mendahului jawaban mereka atas pertanyaan ini dengan analisis umum mengenai relasi globalisasi dan perubahan kebudayaan kontemporer. Tomlinson (dalam Steger, 2002: 34) misalnya mendefinisikan globalisasi kultural sebagai “memadatnya jaringan kompleks interkoneksi kultural dan kesalingtergantungan yang menjadi ciri kehidupan sosial modern”. Menurut Tomlinson, arus kultural global dipandu oleh perusahaan-perusahaan media internasional yang menggunakan teknologi komunikasi baru untuk membentuk masyarakat dan identitas. Sebagaimana citra dan gagasan dapat dengan mudah dan cepat tersebar dari satu tempat ke tempat lain, teknologi ini akan berdampak pada cara orang mengalami peristiwa keseharian mereka. Budaya tak lagi terikat pada lokalitas yang tetap seperti kota atau negara, melainkan menyebar dalam jaringan-jaringan global. Interkonektivitas ini didesakkan oleh globalisasi kultural yang menabrak nilai-nilai dan identitas parokial, sebab ia akan menumbangkan pertauatan yang menghubungkan antara kebudayaan dan kepastian lokasi (fixity of location).

Sejumlah sarjana mengargumentasikan bahwa proses globalisasi ini akan melapangkan jalan menuju munculnya kebudayaan global yang dipimpin oleh sistem nilai Anglo-Amerika. Atas dasar ini, beberapa orang memandang globalisasi sebagai proyek Amerikanisasi, yakni terjadinya proses imperialisme kebudayaan Amerika. Ohmae (1996: 15) menyebutnya sebagai California-ization of taste, sementara sosiolog Amerika, George Ritzer (1993), mengistilahkannya dengan McDonaldization of Society. Ritzer, melalui istilah ini, hendak memotret fenomena di mana tradisi siap saji restauran Amerika merambah semakin besar sektor masyarakat Amerika dan seluruh dunia. Tradisi ini sekilas nampak rasional sebagai upaya memenuhi kebutuhan masyarakat dengan cara efisien dan terukur. Namun, dalam jangka panjang, McDonaldisasi menurut Ritzer akan menggiring pada hancurnya keragaman kultural dan proses dehumanisasi hubungan-hubungan sosial.

Assesment yang sama diberikan oleh Benjamin Barber ketika dia menunjuk McWorld sebagai kapitalisme konsumen tanpa sukma (a soulless consumer capitalism) yang secara cepat merombak penduduk sejagat dalam gemulai tradisi pasar yang seragam. Barber (1995: 9) melansir bahwa adanya tendensi

Page 127: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

127

kolonialisasi McWorld telah memicu munculnya resistensi politik dan kultural dalam bentuk “Jihad”—yakni dorongan-dorongan parokial untuk menangkis semua upaya homogenisasi pasar. Disulut oleh amuk etnonasionalisme atau fundamentalisme keagamaan, Jihad mewakili sisi gelap partikulturalisme kultural. Jihad adalah respon ‘fanatik’ terhadap kolonialisme dan imperialisme serta anak-anak kandung ekonomi mereka, kapitalisme dan modernitas.

Sarjana lain menegaskan bahwa globalisasi tidaklah berarti homogenisasi, tetapi munculnya satu bentuk baru keragaman kultural. Roland Robertson misalnya, membuktikan bahwa arus kultural global seringkali justru memunculkan kembali kantung-kantung kebudayaan lokal. Hasilnya bukanlah homogenisasi melainkan glokalisasi, yakni kompleks interaksi global-lokal yang dicirikan oleh saling pinjam kebudayaan. Interaksi ini akan berujung pada perpaduan kompleks antara dorongan-dorongan ke arah homogenisasi dan heterogenisasi. Momentum ini sering juga disebut sebagai hibridisasi atau kreolisasi yang tercermin dalam musik, film, fashion, bahasa dan ekspresi-ekspresi simbolik lainnya. Bukannya terbenam ke dalam pusaran konsumerisme Barat, keragaman dan partikularitas lokal berevolusi ke dalam konstelasi dan wacana kebudayaan baru (Steger, 2002: 36-7; Holton, 1998: 187-195).

Perdebatan tentang globalisasi kultural ini pada akhirnya akan berujung kepada kontroversi panjang seputar apakah abad kita sekarang ini harus dipahami dalam kerangka perluasan modernitas ataukah ia merupakan kondisi baru postmodern yang dicirikan oleh tanggalnya asumsi-asumsi mapan tentang identitas dan pengetahuan? Inilah pertanyaan besar yang melahirkan banyak madzhab dalam ilmu sosial.

Sebagai ikhtisar uraian di atas, akan dirangkumkan beberapa catatan simpul sebagai berikut. Pertama, globalisasi—oleh banyak kalangan—dimaknai dan diberi tekanan secara beragam. Sebagian memberi tekanan pada aspek ekonomi, sebagian pada politik, sebagian pada aspek kultural. Secara ekonomis, globalisasi akan berdampak pada intensitas perhubungan ekonomi dalam skala global yang melintasi batas-batas konvensional negara-bangsa. Secara politik, globalisasi akan melahirkan institusi pengaturan transnasional baru yang akan semakin menisbikan arti kedaulatan negara-bangsa. Dan secara kultural, globalisasi akan menghembuskan arus penyeragaman budaya yang akan mencerabut wajah kebudayaan dari konteks lokasi. Kebudayaan yang dilekati konotasi lokasi seperti kebudayaan daerah, kebudayaan nasional dan seterusnya akan diransak oleh arus kebudayaan sejagat.

Kedua, jika diskemakan, maka tantangan terhadap kedaulatan nation-state dapat dirumuskan demikian: Globalisasi ekonomi akan melahirkan perekonomian global. Perangkat operasional proses ini adalah perusahaan-perusahaan multinasional/transnasional (PMN/PTN), badan-badan regulasi ekonomi transnasional, seperti IMF, World Bank, WTO dan blok-blok ekonomi regional seperti EU (Europe Union), NAFTA, APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) dan seterusnya. Globalisasi politik akan melahirkan prinsip pengaturan transnasional yang mendobrak asas kedaulatan konvensional negara-bangsa. Perangkat operasional proses ini difasilitasi oleh badan-badan internasional seperti PBB dan blok-blok politik regional seperti OSCE (Organization on Security and Cooperation in Europe), OAU (Organization of African Unity), OAS (Organization of American State), dan ARF (ASEAN Regional Forum) (Hurrell, 1995: 331-2). Sementara globalisasi budaya akan melebur dan menyeragamkan kebudayaan manusia dalam corak kebudayaan sejagat. Perangkat operasional

Page 128: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

128

sistem ini dipermudah oleh arus teknologi komunikasi dan informasi yang membuka jalur lalu lintas kebudayaan global menerjang sekat-sekat geografis. Proses ini akan melahirkan homogenisasi dalam apa yang oleh sebagian pengamat disebut sebagai Kalifornia-isasi cita rasa budaya dan McDonaldisasi masyarakat.

Ketiga, arus globalisasi ini akan melahirkan bentuk-bentuk resistensi. Globalisasi ekonomi akan melahirkan perlawanan ekonomi, globalisasi politik akan melahirkan perlawanan politik dan globalisasi budaya akan melahirkan resistensi kultural. Nasionalisme, etnisitas, dan fundamentalisme adalah bagian dari bentuk perlawanan terhadap arus globalisasi. Yang akan diuraikan selanjutnya adalah bagiamana proses globalisasi ini lahir? Siapa aktor dominan di balik proses ini, dan bagaimana doktrin-doktrin ideologis yang mengkerangkai proses perkembangannya? Narasi tulisan ini akan berdiri di belakang argumen bahwa globalisasi bukanlah proses yang secara alamiah natural (naturally given), tetapi—mengikuti Steger (2002: x)— proses yang secara politik dikendalikan oleh hegemoni teori-teori neoliberal Anglo-Amerika. Bagaimanakah asumsi-asumsi dasar teori ini dan apa implikasinya terhadap nasib negara-bangsa? Paparan berikut mencoba membedah akar-akar ideologis globalisme dan dampaknya bagi tata ekonomi politik global. Ideologi Globalisme: Doktrin-doktrin Neoliberal

Dalam mengkaji sub bahasan ini, sikap dasar tulisan ini akan mengikuti argumen bahwa proses globalisasi tidaklah terjadi semata berkat revolusi teknologi dan ekspansi pasar, melainkan lebih terutama karena faktor politik. Yakni peran aktif negara-negara yang menjadi aktor utama dalam sistem internasional dalam mendesakkan kebijakan-kebijakan maupun konstruksi ideologisnya untuk mendorong terjadinya proses itu (lih., Steger, 2002: 9; Mas’oed, 2002: 22). Siapakah aktor utama itu? Bagaimana wujud kebijakannya? Bagaimana pula konstruk ideologinya?

Proses liberalisasi pasar yang terjadi secara massif sejak tahun 1970-an pada dasarnya dikendalikan oleh doktrin neoliberal yang sejak dekade 1940-an telah didesak-desakkan kemunculannya oleh pioner aliran ini, yakni Friedrich Von Hayek dan muridnya Milton Friedman dari Universitas Chicago. Inti ajaran neoliberalisme mencakup: keutamaan pembangunan ekonomi; pentingnya perdagangan bebas untuk merangsang pertumbuhan; pasar bebas tanpa restriksi; pilihan individual; pemangkasan regulasi pemerintah; dan pembelaan atas model pembangunan sosial evolusioner yang berjangkar dari pengalaman Barat yang dapat diterapkan ke seluruh dunia (Steger, 2002: 9).

Ajaran neoliberalisme ini sebenarnya merupakan revitalisasi atas doktrin-doktrin para pemikir liberal klasik seperti Adam Smith (1723-1790), David Ricardo (1772-1823) dan Herbert Spencer (1820-1903). Para tokoh neoliberal yang kemudian terkenal dengan julukan intelektual “Kanan Baru” (New Right) ini menghidupkan kembali ajaran-ajaran lama, namun dalam bingkai dan kemasan baru. Yang mereka lakukan adalah—meminjam istilah Steger—pouring old philosophical wine into new ideological bottles, yakni menuang anggur filsafat lama dalam botol ideologis baru. Keberhasilan Hayek dan Friedman dalam mengembangkan gagasan-gagasannya telah menyulut gelombang pengingkaran massal terhadap paradigma ekonomi Keyneysian. Oleh keberhasilannya, Hayek dan Friedman berturut-turut memenangkan hadial Nobel pada tahun 1974 dan 1976.

Page 129: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

129

Debut neoliberalisme dalam praksis kebijakan publik terjadi sejak tahun 1979 ketika Margareth Tatcher menjadi Perdana Menteri Inggris dan menjalankan revolusi neoliberal di Inggris. Gerakan yang serupa terjadi di Amerika Serikat ketika Ronald Reagan menjadi presiden AS dan mendesakkan revolusi neoliberal di sana. Revolusi neoliberalisme di dua negara besar ini melahirkan julukan Reagan-Tatcherisme yang kemudian juga didukung oleh Kanselir Jerman Helmut Kohl. Dengan dukungan dari ketiga negara yang berpengaruh besar ini, neoliberalisme menyebar ke seluruh dunia melalui berbagai lembaga internasional, terutama yang bobot pengaruh keanggotaannya ditentukan oleh besarnya sumbangan pendanaannya, seperti IMF dan World Bank (Mas’oed, 2002: 6).

Sebagaimana telah dilansir, penyangga utama ajaran neoliberal adalah Anglo-Amerika. Dua negara ini telah mengambil prakarsa penting dalam menguniversalkan doktrin-doktrin neoliberalisme ke seluruh dunia. Atas dasar asumsi bahwa proses globalisasi terjadi tidak semata berkat perkembangan teknologi maupun dorongan intrinsik pasar melainkan lebih karena faktor politik, maka dorongan politik apakah yang menyebabkan kedua negara ini mengambil kebijakan hiper-liberalisasi dan mencampakkan paradigma ekonomi Keyneysian? Sekali lagi, dengan merujuk Mas’oed (2002: 19), akan diketahui bahwa liberalisasi pasar finansial yang digalakkan besar-besar sejak tahun 1970-an dapat berlangsung sebab ia sesuai dengan kepentingan AS sebagai pemain utama dalam sistem kapitalis dunia. Sejarahnya adalah demikian. Bahwa pada akhir 1960-an, AS mengalami peningkatan yang luar biasa dalam defisit anggaran belanja maupun neraca pembayarannya. Hal ini berdampak pada merosotnya status hegemonik AS dalam banyak bidang hubungan internasional. Untuk membangun kembali posisi hegemoniknya, AS pada masa Presiden Nixon melakukan berbagai tindakan. Salah satunya adalah memperluas pasar finansial dengan cara penghapusan kendali atas transaksi devisa.

Mengingat bahwa sejak lama pasar finansial AS jauh lebih menggiurkan para pedagang uang dibanding bursa pasar di Eropa maupun Jepang yang penuh regulasi, maka bisa dimengerti kalau kebijakan baru AS ini mengundang banyak investor asing masuk ke bursa pasar mereka. Dengan latar seperti ini, akan mudah disimpulkan bahwa undangan AS kepada para investor asing itu sebenarnya dalam rangka membiayai defisit anggaran belanja dan neraca pembayarannya. Karena sistem Bretton Woods tidak memungkinkan pelonggaran kendali atas transaksi devisa, maka bisa dimengerti kalau AS pada tahun 1971 segera mencampakkan komitmen Bretton Woods yang ia buat sendiri seperempat abad sebelumnya. Sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) produk Konferensi Bretton Woods yang berlaku sejak 1944 mulai terdesak mundur pada tahun 1971, terlebih ketika pada tahun 1973 banyak negara maju secara gencar mulai mengadopsi sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate).

Salah satu serangan intelektual Kanan Baru terhadap fondasi manajemen makroekonomi Keyneysian adalah bahwa sistem ini dianggap telah mendistorsi mekanisme bekerjanya pasar secara alamiah. Sistem yang mengundang banyak campur tangan negara dalam ekonomi ini dituduh telah menghasilkan membumbungnya angka inflasi di seluruh dunia pada tahun 1970-an. Bagi para intelektual Kanan Baru, adalah inflasi, bukan pengangguran, yang merupakan problem ekonomi kontemporer yang paling mendesak dan mengkhawatirkan (Deane, 1987: 187). Di samping adanya faktor-faktor objektif ekonomi yakni,

Page 130: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

130

membumbungnya inflasi, merosotnya pertumbuhan ekonomi, membengkaknya pengangguran, defisit sektor publik dan terjadinya krisis minyak—kemenangan ide-ide neoliberal terutama dimungkinkan berkat adanya dukungan politik negara Anglo-Amerika. Dari perspektif ini, ide-ide neoliberal yang lebih mengagungkan pasar dari negara mengidap semacam paradoks, problem yang telah lama ditengarai Karl Polanyi. Di satu sisi mereka sangat mempercayai keunggulan pasar dari negara, namun di sisi lain, untuk menghidupkan kembali ide dan implementasi gagasan laissez faire, mereka sangat membutuhkan peranan aktif negara. Dalam karya klasiknya, The Great Transformation, Polanyi (1944, 1957, 2001: 147) menengarai paradoks itu sebagai berikut:

“Thus even those who wished most ardently to free the state from all unnecessary duties, and whose whole philosophy demanded the restriction of state activities, could not but entrust the self-same state with the new powers, organs, and instrument required for the establishment of laissez-faire. This paradox was topped by another. While laissez-faire economy was the product of deliberate State action, subsequent restrictions on laissez-faire started in a spontaneous way. Laissez-faire was planned; planning was not” (cetak miring ditambahkan). (Dengan demikian bahkan orang yang sangat bersemangat menghendaki negara dibebaskan dari semua tugas yang tak perlu, dan mereka yang seluruh filsafatnya menuntut restriksi aktivitas negara, pun mau tak mau harus mengandalkan negara yang sama dengan segenap kekuasaan, organ dan instrumen baru yang diperlukan untuk mewujudkan pasar bebas. Paradoks ini memuncak oleh fakta lain. Bahwa sementara ekonomi pasar bebas adalah produk dari tindakan sengaja Negara, restriksi dalam laissez-faire yang terjadi kemudian bermula dalam cara yang spontan. Laissez-faire itu direncanakan; padahal perencanaan bukanlah (laissez-faire). Meskipun secara konsisten para eksponen neoliberalisme menggempur

manajemen demand Keyneysian, agenda-agenda Kanan Baru justru menyokong peningkatan peran negara dalam perekonomian. Jauh dari tindakan menyingkiri perekonomian, negara justru semakin terlibat aktif dalam ekonomi makro, seperti dalam kebijakan moneter dan suku bunga sebagai respon terhadap fluktuasi nilai tukar dan untuk menarik lebih banyak investasi. Negara-negara di mana ideologi Kanan Baru dominan, seperti Amerika di bawah Ronald Reagan dan Inggris di bawah Margaret Tatcher, justru mengalami peningkatan belanja publik yang dramatis dalam bentuk pengeluaran untuk persenjataan dan pertahanan. Sehingga, para pendukung pasar bebas sebenarnya adalah juga pendukung pengeluaran publik besar-besaran yang—seperti segala macam belanja publik lainnya—di anggap sia-sia dan menyalahgunakan kekuasaan negara dalam tradisi liberal abad ke-19. Oleh karena itu, Sugiono (1999: 147) menyebut bahwa keteguhan ide Kanan Baru untuk mereduksi peran negara sesungguhnya lebih bersifat retoris ketimbang realistis. Ada dua gejala yang bisa dijadikan bukti betapa besarnya peranan negara dalam mendorong proses liberalisasi ini (Mas’oed, 2002: 21-3).

Pertama adalah pembentukan pasar mata uang dollar di Eropa. Pada tahun 1960-an, Inggris dan AS mendukung munculnya pasar Eurodollar di London. Pasar ini memberikan lingkungan offshore yang bebas dari ikatan

Page 131: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

131

pemerintah nasional bagi pertukaran aset finansial yang didenominasi dalam mata uang asing, terutama dollar. Di masa ketika sebagian besar negara di dunia masih menerapkan pengendalian ketat terhadap arus perpindahan kapital, penciptaan pasar finansial Eurodollar merupakan pasar bebas bagi para bankir swasta. Dan pasar ini jelas bertentangan dengan ciri pokok ekonomi-politik dunia sejak berakhirnya Perang Dunia II, yaitu sistem hubungan finansial yang terkendali ketat. Dukungan pemerintah Inggris terhadap pasar Eurodollar sangat penting karena ia memberikan basis fisik bagi pasar itu. Salah satu alasan Inggris mengijinkan beroperasinya pasar bebas dari regulasi adalah keinginan otoritas perbankan negara itu untuk mempertahankan peran London sebagai pusat finansial internasional walaupun ekonomi negara itu tidak lagi mendominasi dunia.

Mengapa Inggris membiarkan pasar itu menggunakan mata uang asing dan bukannya sterling? Kemungkinan adalah karena Inggris ingin tetap mengendalikan penggunaan sterling dalam transaksi internasional demi mempertahankan neraca pembayarannya yang melemah pada masa 1950 dan 1960-an. Dengan mengijinkan para bankir beroperasi dalam mata uang asing, terutama dollar, internasionalisme London bisa dipertahankan tanpa menganggu neraca pembayaran Inggris. Dukungan AS juga penting, sebab bank-bank dan perusahaan-perusahaan AS masih dominan dalam pasar finansial itu. Walaupun cukup punya kekuasaan, pemerintah AS tidak mencegah berbagai bank dan perusahaan itu untuk beroperasi dalam pasar Eurodollar. Mengapa? Ada dua alasan. Pertama, sebagai kompensasi dari ketatnya pengendalian dalam negeri di tahun 1960-an dan kendala akibat undang-undang perbankan yang diciptakan tahun 1930-an, bank-bank dan perusahaan multinasional (PMN) AS menuntut kebebasan untuk beroperasi di luar negeri. Kedua, para pembuat kebijakan AS menyadari bahwa pasar Eurodollar yang bebas dari regulasi bisa meningkatkan daya tarik dollar bagi investor swasta dan bank-bank sentral luar negeri pada saat AS mengalami masalah neraca pembayaran. Dengan kata lain, dukungan terhadap Eurodollar merupakan pengakuan atas kenyataan bahwa tatanan internasional yang lebih liberal bisa membantu pembiayaan defisit AS yang semakin meningkat dan mempertahankan posisi sentralnya dalam sektor finansial di dunia.

Gejala kedua adalah demam liberalisasi yang melanda Eropa dan AS yang semakin mencampakkan sistem Bretton Woods. AS dan Inggris seolah saling berlomba dalam menerapkan kebijakan liberalisasi. AS menghapuskan kendali atas perpindahan kapital pada tahun 1974, sedangkan Inggris tahun 1979. AS menderegulasi New York Stock Exchange tahun 1975 sementara Inggris melakukan liberalisasi dan deregulasi London Stock Exchange pada tahun 1986. Tujuan Inggris adalah meningkatkan daya tarik London sebagai pusat finansial internasional sehingga tidak kalah saing dari New York. Tahun 1980-an, tindakan AS dan Inggris ini diikuti oleh liberalisasi yang dilakukan oleh semua negara industri maju. Akibatnya, sistem Bretton Woods tergeletak kehabisan tenaga karena ditinggalkan oleh negara-negara yang telah sekian tahun menjadi pendukung setianya. Negara-negara itu beralasan bahwa, kalau tidak terlibat aktif dalam trend liberalisasi, mereka khawatir banyak kapital yang footloose akan hengkang lari ke New York atau London yang telah menjadi pusat finansial yang sepenuhnya liberal.

Dua gejala ini telah menjadi cukup bukti bahwa betapa faktor politik, yakni keterlibatan aktif dua negara kunci Anglo-Amerika, menjadi determinan yang

Page 132: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

132

mempengaruhi perubahan-perubahan besar dalam tata ekonomi-politik dunia. Faktor politik ini semakin jelas terlihat ketika negara-negara besar memanipulasi lembaga-lembaga internasional produk Konferensi Bretton Woods dan memberi mereka fungsi dan peranan baru. Yang diubah bukan hanya susunan personalia lembaga-lembaga itu, melainkan juga ideologi, misi dan mandatnya. Misalnya, IMF yang semula hanya berfungsi sebagai clearing house bagi bank-bank sentral nasional dan penjaga stabilitas moneter negara-negara anggotanya, sejak saat itu diberi mandat baru yang lebih luas dengan sarana yang lebih efektif sehingga bisa bertindak sebagai polisi, akuntan, selain sebagai bankir untuk negara-negara anggotanya.

Paparan di atas semakin meneguhkan inti argumen yang ingin ditegaskan skripsi ini, yakni bahwa upaya untuk menyimak doktrin-doktrin neoliberal tidak bisa diletakkan semata dari perspektif analitis, tetapi lebih harus dalam kerangka ideologis. Apakah inti ideologi neoliberalisme? Susan George (2000, dikutip dari Mas’oed, 2002: 5) merumuskan butir-butir doktrin neoliberal yang harus diadopsi sebagai kebijakan negara-negara (berkembang) sebagai berikut:

1. Pasar harus diberi kebebasan untuk membuat keputusan sosial dan politik yang penting.

2. Negara harus secara sukarela mengurangi peranannya dalam ekonomi 3. Perusahaan harus diberi kebebasan total 4. Serikat buruh harus diberangus 5. Proteksi sosial bagi warga negara harus dikurangi.

Sementara pada level internasional, neoliberalisme mengutamakan tiga pendekatan pokok:

1. Perdagangan bebas untuk barang dan jasa. 2. Kebebasan sirkulasi kapital. 3. Kebebasan investasi.

Pada tingkat operasional, skema ideologis ini dijabarkan dalam sperangkat

paket kebijakan ekonomi yang harus diterapkan khususnya oleh negara-negara berkembang. Butir-butir kebijakan neoliberal ini dicetuskan sejak tahun 1990-an dan sering disebut sebagai “Washington Consensus”. Ia terdiri dari sepuluh poin program yang pada mulanya dirancang dan disusun oleh Jhon Williamson, bekas penasehat IMF tahun 1970-an. Sepuluh program ini menjadi paket kebijakan yang harus dilaksanakan oleh negara-negara Dunia Ketiga dalam program reformasi ekonominya (Steger, 2002: 63-4):

1. Jaminan pendisiplinan fiskal dan pengekangan defisit anggaran. 2. Pengurangan belanja-belanja publik, khususnya militer dan administrasi

publik 3. Reformasi pajak, untuk menciptakan sistem dengan basis luas dan

pelaksanaan efektif. 4. Liberalisasi finansial, dengan tingkat suku bunga yang ditentukan pasar 5. Nilai tukar bersaing, untuk menyokong pertumbuhan berbasis ekspor 6. Liberalisasi perdagangan beserta penghapusan ijin impor dan penurunan

tarif. 7. Mendorong investasi asing 8. Privatisasi badan-badan usaha milik negara demi efektivitas manajemen

dan perbaikan performa 9. Deregulasi ekonomi 10. Perlindungan terhadap hak-hak milik.

Page 133: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

133

Dengan landasan normatif ini, dunia dorong menuju proses pengintegrasian global. Mekanisme apa yang dipakai menuju proses ini dan bagaimana nasib negara-bangsa dalam konstelasi wacana demikian? Paparan berikut akan mencoba menjawab pertanyaan itu.

Mekanisme Pengintegrasian Internasional dan Prospek Negara-Bangsa

Dalam risalah yang berjudul The Diminished Nation-State: A Study in the Loss of Economic Power, Vincent Cable melukiskan gencarnya arus mondial yang mendesakkan terbentuknya proses pengintegrasian global. Proses ini digambarkan Cable semakin menyusutkan peran nation-state sebagai kekuatan ekonomi yang signifikan. Cable merumuskan enam mekanisme yang meransak dan mendesakkan proses pengintegrasian internasional saat ini. Enam hal itu adalah mekanisme teknologi; kapital finansial; investasi asing dan perusahaan-perusahaan multinasional; perdagangan barang dan jasa, arus migrasi manusia, dan rezim kebijakan global. Uraian ini akan disarikan dari teks Cable (1995: 25-37) tersebut.

Inovasi Teknologi dan Integrasi Ekonomi Global

Menurut Cable, ada dua kekuatan teknologi utama yang mendorong proses globalisasi. Yang pertama adalah improvisasi alat-alat komunikasi dan transportasi—seperti pesawat terbang, mobil, sepeda motor, kontainerisasi dan seterusnya—yang berdampak pada semakin efektif dan murahnya biaya transportasi. Dan kedua, yang lebih spektakuler, kemajuan teknologi komputer dan teknologi telekomunikasi seperti sistem digital, teknologi satelit dan yang paling mutakhir fiber optics. Inovasi teknologi ini, menurut Cable, berdampak spesifik pada aktivitas ekonomi. Pertama, menurun tajamnya biaya dan juga waktu yang dipakai untuk kegiatan transaksi dan komunikasi. Sehingga, semakin banyak barang dan jasa yang disirkulasikan dan dikompetisikan dalam arus perdagangan internasional. Kedua, sistem komunikasi global memungkinkan perusahaan-perusahaan multinasional mengkoordinasikan kegiatan produksi dan operasi finansial mereka secara efektif menjangkau bidang luas antar negara. Meskipun perusahaan global bukanlah baru, tetapi berkat inovasi teknologi, semakin banyak perusahaan transnasional yang beroperasi melintasi batas-batas antar negara. Dan ketiga, informasi itu sendiri mulai dikomodifikasikan: film, recorder, compact disc, berita-berita televisi, jasa-jasa telekomunikasi, sistem, disain dan pemrograman software dan seterusnya menjadi sesuatu yang menjual (tradable). Keempat, kapital menjadi begitu gesit bergerak dalam bentuk uang, hingga pada titik di mana ia bisa dikonversikan dalam bentuk aset-aset tetap. Kapital Finansial: “Berakhirnya Geografi”

Mengutip O’Brein, uang menurut Cable adalah produk informasi. Hakekat uang adalah informasi yang dibawanya, baik sebagai penyimpan nilai atau medium pertukaran. Karena itu, Richard O’Brein dalam Global Financial Integration: The End of Geography (1992) memulai penjelasannya mengenai bagaimana komputerisasi dan kecanggihan telekomunikasi telah merombak keuangan internasional. Sekarang ini, menurut Cable, terdapat pasar transaksi mata uang global dan segala bentuk sekuritas yang diperdagangkan. Persaingan demikian kuat dan kapital begitu cepat bergerak. Meski demikian, teknologi semata tidak bisa menjelaskan proses integrasi pasar finansial. Ini hanya bisa

Page 134: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

134

terjadi lebih jauh berkat langkah-langkah deregulasi finansial: penghapusan kontrol kapital sejak awal tahun 1970-an; penghapusan kontrol atas tingkat suku bunga dan perlucutan sekat-sekat geografis tradisional untuk merambah ke perbankan dan jasa-jasa finansial negara lain. Kebijakan liberalisasi dan globalisasi finansial ini dimungkinkan oleh adanya dukungan inovasi teknologi.

Pasar finansial global ini, menurut Cable, memiliki implikasi besar terhadap kedaulatan ekonomi sebuah negara. Kapital begitu gesit bergerak sehingga tidak bisa dikendalikan negara. Arus lalu lintas kapital meransak dan merobohkan arti penting geografis sebagai unit pengorganisasian ekonomi. Kapital juga memiliki watak footloose. Sehingga, sebuah negara yang tak menjanjikan banyak keuntungan di bursa pasar finansialnya, akan terancam mengalami pelarian modal (capital outflow) dan depresiasi nilai tukar. Begitu juga, setiap negara yang mencoba menempuh strategi ‘reflasioner’ alternatif dan mengabaikan fundamental pasar finansial (seperti dilakukan rezim sosialis Perancis pada tahun 1980) akan ditikung oleh krisis finansial. Skala perburuan untung kapital yang bisa dimobilisasi di pasar mata uang jauh melebihi apa yang bisa dicapai pemerintah, meski dengan tindakan kolektif. Perdagangan kurs mata uang asing di pusat-pusat finansial dunia telah mencapai lebih dari satu triliun dollar setiap harinya, lima puluh kali lipat lebih banyak dari jumlah perdagangan dunia dan lebih besar dari stok total cadangan nilai tukar asing yang dikuasai semua negara.

Sangat tidak mungkin sekarang ini, menurut Cable, untuk kembali pada kontrol nilai tukar sebagai regulator ekonomi. Sebab, ekonomi yang pasar finansialnya terintegrasi dalam jaringan elektronik tidak akan bisa dikendalikan oleh “kebijakan kertas”. Jika ini dilakukan, maka modal secara massif akan segera menyingkir dan gejala ini tidak bisa dikenai hukum (unpunishable). Bahkan negara-negara Amerika Latin yang tidak begitu terintegrasi secara global—namun berupaya melakukan penyesuaian pada tahun 1980-an namun membiarkan nilai tukarnya mengalami overvalue—diransak pelarian modal secara massif dan tidak bisa dihentikan oleh kontrol atas kurs mata uang mereka. Perubahan telah begitu mendalam, tetapi bagaimana ia berdampak pada fundamental kedaulatan ekonomi? Menurut Cable, yang paling jelas kelihatan adalah negara tak lagi bisa menetapkan nilai tukar nominal mereka melalui kontrol kurs dan juga tidak bisa melawan pergerakan modal yang begitu cepat dengan menggunakan cadangan uang negara.

Pasar mata uang asing, menurut Cable, hanya satu di antara dimensi integrasi pasar finansial global meskipun yang paling dalam dampaknya terhadap kebijakan nasional. Peminjaman bank internasional lintas bangsa kini tumbuh dua kali lebih cepat dari arus perdagangan dunia tiga dekade silam. Bersama munculnya krisis utang, pasar sekuritas berkembang cepat, menggeser arti penting perjanjian sewa pinjam perbankan. Ekuitas lintas negara (cross borders equity) yang berkait dengan sekuritas menanjak dari 200 juta dollar menjadi 20 milyar dollar dalam jangka waktu lima tahun (1983-1987) dan stok sekuritas internasional pada tahun 1988 tumbuh empat kali lipat dari enam tahun sebelumnya (1982) hingga mencapai angka 19,5 triliun dollar. Beberapa tahun terakhir juga menyaksikan pertumbuhan komparatif investasi portofolio di pasar negara-negara berkembang dalam transaksi inovasi finansial lintas negara.

Semua ini memiliki dampak kompleks terhadap nation-state: individu dan perusahaan (dan juga pemerintah) lebih memiliki akses terhadap finansial yang lebih murah, namun setiap negara semakin lebih terbuka terhadap kejutan-

Page 135: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

135

kejutan yang ditransmisikan pasar internasional. Dalam situasi ini, pemerintah nasional bergulat dengan persoalan kontrol atas pasar mata uang (yang sama sekali tak bisa diatur), pasar obligasi (yang sedikit memiliki mekanisme pengaturan diri), dan sistem perbankan multinasional (yang tidak sepenuhnya bisa diatur—yang karena itu—terbuka terhadap, misalnya, skandal BCCI).

Investasi Asing Langsung dan Perusahaan-perusahaan Multinasional

Kekuatan lain pendorong proses globalisasi adalah pesatnya pertumbuhan investasi asing langsung melalui perusahaan-perusahaan transnasional (TNC). Sebagaimana telah disinggung, fenomena ini tidak sama sekali baru. Pada tahun 1913, tidak hanya telah ada perusahaan East India dan Hudson Bay Company, tetapi juga TNC-TNC yang merupakan moyang langsung perusahaan-perusahaan industrial saat ini, terutama perusahaan industri Inggris dan Amerika yang menginvestasikan sahamnya yang cukup signifikan, misalnya dalam pertekstilan, makanan, bahan-bahan kimiawi dan produksi rekayasa teknik, ke luar negeri. Proses ini terus berlanjut hingga pada era perang meski terganggu, misalnya perdagangan, oleh gelombang nasionalisme ekononomi dan instabilitas yang terjadi pada waktu itu. Ada yang memberikan perkiraan kasar bahwa stok investasi asing jatuh dari 9 persen GDP dunia pada tahun 1913 ke kurang dari separuhnya, dan tidak pulih bahkan hingga tahun 1990. Meskipun demikian, berkat dorongan inovasi teknologi komunikasi dan (di luar negara berkembang) oleh kebijakan ekonomi liberal, periode pasca perang menyaksikan ekspansi yang cukup luas. Besaran dan peningkatan proporsi perdagangan internasional ini, menurut Cable, berasal dari investasi asing. Dan perdagangan, sebagai konsekuensinya, lebih bercorak intrafirma dari pada internasional (diperkirakan ekspor manufaktur perdagangan internasional AS dan Jepang lebih di atas 50 persen dan Inggris 80 persen).

Perkembangan TNC sebagai kekuatan ekonomi dunia yang menandai perubahan-perubahan besar dalam watak dan skala investasi asing, baru terjadi pada dekade terakhir. Perubahan dalam watak dan skala TNC ini ditandai oleh beberapa hal. Pertama, beberapa TNC mengembangkan cabang-cabang (yang sering dikenal sebagai perusahaan ‘multidomestik’) yang memiliki jaringan integrasi secara global. Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi komunikasi, perusahaan-perusahaan ini menjalankan koordinasi dan proses produksi yang sangat fleksibel dalam skala dunia. Contohnya adalah perubahan strategi Perusahaan Motor Ford (Ford Motor Company) yang memproduksi mobil global di berbagai wilayah operasi di Eropa dan Amerika. Kedua, pasca tahun 1980-an, ledakan pertumbuhan investasi asing—kira-kira empat ratus persen selama enam tahun—jauh lebih besar dari pertumbuhan sebelumnya, dan tiga kali lebih cepat dari pada pertumbuhan transaksi perdagangan. Kebanyakan modal ini diinvestasikan di Tritunggal AS, Jepang dan Eropa. Kebanyakan di sektor jasa yang melibatkan pengintegrasian jasa-jasa perbankan dan lainnya ke dalam perkonomian global. Ketiga, dalam beberapa tahun terakhir, setelah dekade stagnasi, ada indikasi mengalirnya sejumlah besar kapital ke negara-negara non OECD, berkat dibukanya pasar negara-negara seperti Cina, India, Meksiko, Rusia, Hongaria, Brazil dan Argentina. Sebab pasar-pasar ini secara aktual maupun potensial sangat dinamis dan jarak biaya produksi di lokasi-lokasi tradisional ini sangat besar, maka arus dana di kawasan ini pada masa yang akan datang diperkirakan akan sangat besar.

Page 136: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

136

Bagiamana dampak perkembangan investasi ini terhadap kedaulatan ekonomi nation-state? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, pengikisan identitas dan rasa loyalitas yang diasosiasikan dengan perusahaan-perusahaan nasional. Perusahaan yang pada beberapa tahun silam merupakan milik publik nasional Inggris misalnya—seperti British Gas, British Telecom, British Airways—sekarang telah menjadi perusahaan global yang semakin pupus koneksinya dengan Inggris. Di beberapa negara, seperti Inggris, Kanada, Australia, Belanda, Singapura dan Argentina, isu seputar perusahaan nasional bukan lagi sesuatu yang kontroversial, berbeda di kawasan lain, seperti Perancis, Korea, Jepang dan, pada tingkat tertentu, AS. Namun, banyak perusahaan “global” sebenarnya tak seglobal sebagaimana klaimnya. Ford, misalnya, 80 persen aset tetapnya masih di AS, begitu juga Mc Donalds dan Pepsi yang mayoritas asetnya juga tetap domestik.

Kedua, dominasi TNC dalam arus perdagangan telah merubah makna ekspor dan impor. Apakah yang disebut ekspor AS, misalnya, hanyalah barang yang diproduksi di AS dan di jual ke luar negeri, ataukah mencakup produksi dari cabang-cabang AS yang ada di di Kanada, Meksiko, Eropa atau juga meliputi penjualan kepada perusahaan cabang Jepang yang ada AS? Geografi, dalam konteks ini, menjadi sesuatu yang sangat nisbi. Dalam dunia yang sepenuhnya telah terintegrasi secara global, isu seperti ini, menurut Cable, tak lagi relevan. Tetapi, dalam negara yang mempertahankan beberapa diskresi kebijakan dan kepedulian masyarakat terhadap “sukses” ekonomi nasioanal, persoalan ini terus mendapat perhatian. Namun, jika telah cukup mendapat perhatian, akan semakin nyata bahwa benchmark tradisional tak lagi berguna. AS, misalnya, akan memperoleh surplus besar perdagangan jika operasi perusahaan-perusahaannya yang di luar negeri dimasukkan dalam daftar hitungan. Sebagai rangkuman, dampak MNC/TNC terhadap ekonomi ‘nasional’ ini dirumuskan Scmidth (1995: 79) dalam tigal hal: penyebaran wilayah operasi; hilangnya loyalitas terhadap negara bila seseorang berurusan dengan kerja; dan kemampuannya untuk berkelit dari beban pajak. Tiga hal ini menandai semakin merosotnya peran negara dalam wilayah ekonomi. Perdagangan Barang dan Jasa

Globalisasi perdagangan tidaklah se-spektakuler dan seaman arus kapital. Perdagangan dunia berkembang lebih pesat dari output global pada periode pasca perang (6 persen lawan 3 persen pada periode 1960-1990), meskipun sebagian besar perkembangan ini dinisbatkan kepada dinamika ekspor Asia Timur dan integrasi Eropa Barat. Limit-limit globalisasi dapat secara jelas dilihat di AS, di mana meski keterbukaan ada dalam banyak hal, ekspor hanya sedikit di atas angka 10 persen dari GDP-nya. Banyak negara terdesak pada dua pilihan: melawan liberalisasi perdagangan atau dipinggirkan olehnya. Dalam beberapa sektor—pertanian, tekstil, baja—perdagangan dirancang dan diregulasikan di negara-negara indutri Barat.

Menurut Cable, ada beberapa perubahan kualitatif perdagangan yang berdampak serius terhadap kedaulatan ekonomi. Pertama, segmen-segmen penting dalam perdagangan sekarang ini lebih bercorak intra-industri dari pada interindutri, seturut spesialisasi dalam TNC. Faktor “keuntungan komparatif” berbasis tradisional tak lagi memadai untuk menjelaskan pola perdagangan dunia saat ini. Faktor yang lebih penting, namun masih bisa diperdebatkan,

Page 137: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

137

adalah logika internal spesialisasi TNC. Corak kebijakan yang mengacu pada asumsi ekspor “nasional” dan impor “asing” tak lagi memiliki makna.

Kedua, area perdagangan yang tumbuh pesat adalah sektor jasa yang menembus masyarakat nasional secara lebih dalam dari pada pergerakan barang. Fenomena ini sebagian merefleksikan pertumbuhan jasa yang menyangga proses globalisasi itu sendiri: semakin banyak belanja luar negeri dan pendapatan yang bertumpu pada sektor travel udara dan pelayaran, bisnis asuransi lintas negara dan persebaran perbankan multinasional. Ia juga memperluas area kompetisi internasional ke wilayah-wilayah yang sebelumnya tak memiliki daya jual: jasa konstruksi, konsultasi hukum, konsultasi finansial, perbankan, asuransi, transportasi, periklanan, retail, keperawatan dan cleaning service. Yang paling serius dampaknya secara sosial dan politik adalah dibukanya jasa telekomunikasi dan telemedia bagi kompetisi internasional. Bukanlah kebetulan jika pada tahap akhir Putaran Uruguay, Jack Valenti, wakil Hollywood, merupakan salah satu pelobi AS paling berpengaruh: Hollywood dan CNN sekarang lebih penting dari pada perdagangan General Motors atau United States Steel; dan “ekspor” industri musik Inggris lebih berkembang dari pada industri aerospace. Ini bukan hanya fakta yang mengherankan; ia melukiskan dimensi baru globalisasi perdagangan. Sektor jasa yang diperdagangkan juga bisa membentuk nilai-nilai kultural dengan cara memasok informasi melalui berita, hiburan, dan iklan yang akan berdampak pada tanggalnya identitas bangsa.

Ketiga, pada saat ekonomi lebih terintegrasi melalui perdagangan dan investasi, batas-batas tradisional yang eksplisit dalam perdagangan melenyap. Hambatan-hambatan dalam perdagangan menjadi semakin kabur. Karenanya, menurut Cable, preferensi konsevatif konsumen Jepang terhadap produk-produk Jepang menjadi hambatan terselubung dalam perdagangan (hidden barriers to trade). Dimensi lain semakin mendalamnya proses integrasi antar negara adalah upaya-upaya, global dan regional, untuk melakukan harmonisasi standard. Standard produk yang digunakan antar negara sering berbeda-beda. Perbedaan dalam standar bisa memicu restriksi lalu lintas perdagangan internasional. Penerapan standar yang berlainan antar masing-masing negara dapat menjadi alasan lahirnya bentuk proteksionisme terselubung. Pergerakan Orang

Salah satu aspek yang menyebabkan globalisasi pada masa awalnya lebih maju dari pada sekarang, menurut Cable, adalah terbukanya penerimaan terhadap para pekerja migran. Trend yang terjadi sekarang justru pengetatan restriksi arus migrasi manusia, khususnya para pekerja yang tak berkeahlian ke negara-negara tujuan migrasi seperti AS dan Jepang. Kontrol terhadap migrasi mencerminkan rem nation-state yang masih bertenaga di hadapan kekuatan-kekuatan global. Dua kualifikasi perlu dibuat di sini. Pertama, lepas dari adanya kontrol ketat terhadap arus migrasi, secara legal atau tidak, proses ini menciptakan terbentuknya kelas-kelas minoritas dalam suatu negara yang sebelumnya tak ada seperti di Jerman, Skandinavia, Perancis, negara-negara Teluk, dan bahkan Jepang. Proses ini juga menyumbang pada terciptanya keragaman komposisi masyarakat yang sebelumnya tak demikian seperti Australia, Kanada dan AS. Kedua, restriksi ini terutama diterapkan kepada para pekerja yang tak berkeahlian atau yang tidak memenuhi kualifikasi, dan bukannya kepada para profesional beruang. Sebab, bisnis perjalanan dan

Page 138: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

138

turisme internasional justru bisa menciptakan peluang dan mobilitas di berbagai belahan dunia. Sehingga, pergerakan orang dan migrasi manusia tetap menjadi satu faktor pendorong proses globalisasi dan mendesak surut rasa nasionalisme banyak orang.

Globalisasi dan Rezim-rezim Kebijakan Global

Globalisasi sebagian besar dikendalikan oleh sektor privat. Ia mencerminkan pergeseran lokus pengambilan keputusan, tidak hanya dari nation-state kepada aktor-aktor transnasional, tetapi juga dari pemerintah nasional kepada aktor-aktor privat. Dengan alasan ini, liberalisasi ekonomi dan globalisasi sering bergandeng tangan, seperti dalam melakukan deregulasi sektor finansial, penghapusan kontrol pertukaran asing, dan kebebasan dalam perdagangan. Di tengah proses ini, ada satu faktor yang menarik ke arah berlawanan. Yakni adanya kebajikan-kebajikan publik internasional yang tidak bisa diatasi baik oleh nation-state maupun pasar. Kebajikan publik internasional (international public goods) itu mencakup stabilitas finansial sistemik, aturan main dan penyelesaian sengketa yang dibutuhkan agar tercipta sistem perdagangan dan investasi yang terbuka; kesamaan standar dalam bobot, takaran dan interkoneksi, manajemen jaringan komunikasi global seperti penerbangan, telekomunikasi dan pengaturan jalur laut untuk mencegah kemacetan dan musibah; serta manajemen lingkungan seperti Autartika, atmosfer dan kelautan.

Semua ini menuntut suatu bentuk pembangunan institusional melampaui nation-state. Beberapa institusi ini dapat bekerja sendiri, sebab orang-orang yang terlibat dalam sektor komersial berkepentingan langsung dengan kebajikan-kebajikan publik itu, seperti dalam pasar obligasi (ada Asosiasi Pasar Sekuritas Internasional [International Securities Markets Association]) dan standard industrial (terdapat Organisasi Standard Internasional [International Standards Organization]). Pada beberapa kasus, konstitusi semiotonom nasional menyediakan alat perekat institusional (seperti Bank Sentral dan Bank Penyelesaian Internasional [Bank of International Settlement]). Pada kasus lainnya, terjadi kerja sama partisipasi sektor publik dan privat, seperti dalam Uni Telekomunikasi Internasional. Tetapi, kebanyakan berupa penciptaan kantong-kantong kedaulatan oleh pemerintah melalui institusi-institusi baru (seperti EU dan Organisasi Metereologis Dunia) dan perjanjian obligasi (seperti Traktat Antartik dan Protokol Montreal). Menurut Cable, terdapat banyak sistem penadbiran (governance) yang kompleks namun kaya untuk mengelola globalisasi. Rezim-rezim kebijakan global ini akan mengungkit sebagian besar kekuasaan nation-state.

Pertanyaan yang akan menjadi klimaks dari seluruh uraian di atas adalah apakah dampak dari serangkaian doktrin, paket kebijakan dan mekanisme pengintegrasian internasional ini terhadap nation-state? Ruang apa yang masih tersisa baginya? Cable sendiri, setelah menguraikan kecenderungan di atas, tidak melihat nation-state akan luruh sebagai salah satu aktor penting dalam tata ekonomi politik global. Menurut Cable, adalah optimisme yang kelewat heroik menyatakan bahwa nation-state akan terhempas oleh arus globalisasi kapital. Kata Cable (1995: 39): “it would be heroically optimistic to say that globalization has displaced the mercantilist trade policy-making behavior of nation-state. Even in the much more liberal environment of capital movements, the nation-state retains substansial areas of discretion”.

Page 139: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

139

Meskipun telah ditegaskan bahwa ideologisme neoliberal yang hendak mencerabut negara lebih merupakan retorika ketimbang realita, namun proses internasionalisasi dan globalisasi ini melahirkan dampak serius bagi efektivitas pemerintahan dan wewenang politik negara-bangsa. Di kalangan para analis, sebagaimana dilansir Mas’oed (2002: 8-14), terdapat dua aliran. Aliran pertama menganggap bahwa dampak itu lebih bersifat kendala (constraints), sedangkan aliran kedua beranggapan bahwa proses internasionalisasi dan globalisasi ini benar-benar telah mendorong terjadinya transformasi politik.

Bagi aliran pertama, peningkatan transaksi barang, jasa dan modal secara internasional membuat pemerintah nasional terkendala dalam menentukan dan menjalankan preferensi kebijakannya. Proses internasionalisasi ini sering memaksa pemerintah untuk menarik diri dari kegiatan ekonomi pasar. Begitu juga konsep welfare state yang menempatkan negara sebagai agen pelindung dan penyejahtera warganya—oleh skema neoliberal—harus ditinggalkan. Singkat kata, oleh berbagai aturan dalam transaksi global, negara mengalami restriksi keleluasaan untuk memilih dan menjalankan kebijaknnya. Negara, sebagaimana dicatat Bhagwati (1989: 239), tidak lagi mudah menjalankan kebijakan-kebijakan nasional yang sifatnya autarkis. Namun, aliran ini tidak sampai beranggapan bahwa proses internasionalisasi dan globalisasi akan mendorong tamatnya riwayat nation-state. Negara-bangsa masih bertahan, namun ia mengalami pengerucutan peran.

Aliran kedua menyatakan bahwa proses globalisasi ini sesungguhnya tidak semata berdampak pada keterhambatan perilaku pemerintah, tetapi terjadinya transformasi dan perombakan tata politik di berbagai negara secara lebih menyeluruh. Hal ini terjadi melalui empat mekanisme. Pertama, internasionalisasi akan mendorong pergeseran fungsionalitas, kekuasaan dan kompetensi negara. Kedua, proses ini juga akan mendorong terjadinya perubahan identitas ekonomi politik suatu bangsa, yang pada gilirannya melahirkan transformasi politik. Ketiga, internasionalisasi mendorong penyebaran kekuasaan negara kepada aktor non-negara. Dan keempat, proses ini juga akan menghasilkan reorganisasi wewenang negara.

Pertama, internasionalisasi dan globalisasi akan berdampak kepada semakin cekungnya bidang-bidang wewenang negara. Pendapat ini dinyatakan oleh Susan Strange. Dalam risalah yang berjudul The Defective State, Strange melukiskan bahwa terjadinya perubahan dalam modus-modus transaksi kapital internasional dewasa ini telah menggerogoti keberdayaan nation-state. Negara, dalam lingkungan tata ekonomi-politik baru ini, diibaratkan Strange seperti pohon tua yang mulai keropos, berlubang di tengah-tengahnya yang semakin rapuh dan renta. Namun, ia belum mati. Kata Strange (1995: 57):

“I am not arguing that states themselves are obselet. Collectively they are still the most influential and therefore critical sources of authority in the world system. But they are increasingly becoming hollow, or defective, institution. To outward appearances unchanged, the inner core of their authority in society and over economic transactions within their defined territorial borders is seriously impaired. They are like old trees, hollow in the middle, showing signs of weakness and vulnerability to storm, drought, or disease, yet continuing to grow leaves, new shoots, and branches. Some are clearly more defective in terms of their ability to play their roles in society, further advances in decrepitude, than others. But the structural

Page 140: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

140

forces bringing about the hollowing of state authority are common to all, and it is hard to envisage a reversal of the trends”. (Penulis tidak berpendapat bahwa negara itu sendiri telah usang. Secara kolektif, ia tetap merupakan sumber wewenang yang paling berpengaruh dan juga paling mendesak dalam sistem dunia. Tetapi ia semakin menjadi institusi yang cekung atau rusak. Penampang luarnya tak berubah, tetapi inti pusat otoritasnya dalam masyarakat dan atas transaksi-transaksi ekonomi di dalam tapal batas wilayahnya telah benar-benar rusak. Ia seperti pohon tua, berlubang di tengahnya yang menandakan kerapuhan dan kerentanannya terhadap badai, kekeringan atau penyakit, namun masih terus menumbuhkan daun, tunas dan dahan-dahan baru. Beberapa telah jelas-jelas rusak dalam pengertian kemampuannya dalam memainkan peran di masyarakat, lebih jauh mengalami ketuaan dari pada lainnya.Tetapi, kekuatan struktural yang menyebabkan pencekungan wewenang negara ini telah jamak, dan susah membayangkan akan terjadi trend sebaliknya).

Dengan melakukan liberalisasi perdagangan, deregulasi ekonomi dan

privatisasi perusahaan-perusahaan negara, pemerintahan nasional kehilangan banyak kontrol atas apa yang terjadi di wilayah kekuasaannya atau atas apa yang dilakukan perusahaan multinasional yang beroperasi di luar batas wilayah mereka. Ia juga tak lagi memiliki sumber-sumber daya seperti dahulu untuk dapat menyelesaikan persoalan-persoalan sosial (Schmidth, 1995: 76). Proses internasionalisasi juga akan berdampak pada semakin merosotnya otonomi pemerintahan nasional untuk menetapkan kebijakan moneter yang independen. Pemerintah yang mencoba menerapkan kebijakan moneter independen akan “dihukum” oleh pelaku pasar finansial. Bentuk hukuman itu adalah voting by foot, yakni dipindahkannya kapital ke lokasi-lokasi yang menawarkan kondisi regulasi dan tarif pajak yang lebih menjanjikan.

Kedua, internasionalisasi akan mengubah identitas ekonomi politik sebuah negara. Negara semakin kesulitan untuk merumuskan apa yang biasanya dikenal sebagai “kepentingan nasional”. Perubahan ini terjadi mula-mula berkat proses transnasionalisasi produksi dan kepemilikan. Aliansi antar perusahaan dan kepemilikan semakin menyulitkan upaya untuk mendefinisikan apa yang disebut dengan “perusahaan nasional”. Demikian juga, penanaman modal asing akan mengaburkan istilah “produksi nasional”. Arus transaksi global yang semakin padat juga akan merelatifkan arti penting “pasar nasional”. Pendek kata, wajah ekonomi politik sebuah negara mengalami transformasi. Ruang yang dilekati dengan predikat nasional menjadi sesuatu yang sangat nisbi. Dalam konteks ini, kapital global menyumbang besar pada proses relativisasi geografi.

Ketiga, proses globalisasi akan mencairkan wewenang ke banyak kantong kekuasaan non-negara. Negara-bangsa berbagi kekuasaan dengan aktor-aktor non negara. Aktor-aktor ini seringkali memiliki pengaruh yang sangat efektif dalam mendisiplinkan perilaku negara. Aktor-aktor ini dapat berupa intergovernmental organization, seperti IMF, World Bank, dan WTO, maupun non-governmental organization, seperti Greenpeace, Amnesty Internasional, Human Right Watch dan sebagainya. Aktor-aktor non-negara ini dapat tampil sebagai pusat-pusat otoritas politik baru yang dapat menggerogoti sistem kekuasaan negara-bangsa yang berlaku sejak Perjanjian Westphalia 1648.

Page 141: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

141

Keempat, internasionalisasi berdampak pada perombakan organisasi kekuasaan negara. Geografi kekuasaan negara sedang berubah. Faham mengenai negara yang memiliki klaim kedaulatan eksklusif atas teritori tertentu tengah menghadapi gugatan. Kekuasaan negara sedang direorganisasikan ke dalam bentuk dan susunan baru. Negara tak lagi memonopoli sumber-sumber kekuasaan, tetapi terdistribusi “ke atas” dan “ke bawah”. Kekuasaan negara yang ditarik ke atas itu kemudian membentuk struktur governing supra nasional yang memiliki fungsi-fungsi spesifik seperti WTO, FAO, ILO, World Bank, IMF dan semacamnya. Pada saat yang sama, kekuasaan negara mengalami pencairan sebab dibetot ke bawah oleh aktor-aktor lokal melalui proses desentralisasi dan devolusi.

Menyimak uraian di atas, nampak jelas bahwa nation-state berada dalam tikungan kekuasaan global yang tengah mengancam kedaulatannya. Tetapi, menyatakan bahwa dampak arus globalisasi adalah sama pada setiap negara—mengutip Holton (1998: 81)—adalah asumsi yang menyesatkan. Sebab, dampak globalisasi tidak seragam. Globalisasi tidak selalu memperlemah negara-bangsa. Italia dan Jepang, seperti dicatat Schmidth (1995: 77), adalah di antara contoh dua negara yang justru diperkuat oleh proses globalisasi. Negara-negara bangsa memiliki variasi dalam kapasitas dan kemampuannya menghadapi globalisasi. Dampak globalisasi jelas akan berbeda pada negara kuat—yang menjadi aktor utama dalam panggung ekonomi politik dunia seperti AS atau negara-negara G-7 seperti Jerman dan Jepang—dengan negara-negara terbelakang seperti Bangladesh dan Mozambique. Jika negara-negara kelompok pertama memiliki kapasitas untuk mempengaruhi keputusan organisasi regulator transnasional seperti World Bank dan WTO, maka negara-negara kelompok kedua hanya memiliki sedikit daya tawar dalam setiap proses transaksi global. Di tengah dua kategori negara ini, terdapat negara-negara seperti Malaysia, Indonesia dan Brazil. Negara-negara ini memiliki persoalannya sendiri dalam menghadapai globalisasi, di antaranya adalah jeratan utang.

Karena itu, klaim bahwa globalisasi berbanding lurus dengan runtuhnya negara-bangsa—senafas dengan alur argumentasi yang dibangun kajian ini—sebaiknya lebih dibaca sebagai preskripsi ideologis daripada deskripsi realistis. Sebab, pada banyak kasus, preskripsi ideologis ini lebih banyak dihembuskan ke negara-negara berkembang dan terbelakang, bukan pada negara maju. Pada negara yang disebut terakhir, globalisasi neoliberal tidak berarti tumbangnya negara-bangsa, tetapi justru melahirkan sintesis unik yang diistilahkan Andrew Gamble (1988) sebagai: ekonomi bebas dan negara kuat!

PENYEDERHANAAN NEGARA: Beberapa Aplikasi Untuk Asia Tenggara

Apa yang penulis usulkan didalam Kuliah Wertheim (Wertheim Lectures) ini adalah mengambil beberapa konsep dari pembangunan dalam usaha untuk mengerti beberapa dasar-dasar dari “kegagalan pembangunan yang hebat” dan mengaplikasikan mereka terhadap konteks Asia Tenggara. Penyelidikan yang lebih besar itu berargumen bahwa apa yang penulis sebut sebagai “penyederhanaan negara” akan menjadi berbahaya ketika mereka digabungkan dalam ideology modernis yang menggunakan kekuatan negara untuk secara penuh mengubah kehidupan dari warga negara, biasanya menurut sebuah rencana awal utopis. Rencana-rencana demikian, didesain untuk memperbaiki kondisi manusia, telah mengalami hasil-hasil yang menyedihkan sebagian karena mereka telah menghancurkan pola sosial yang telah lama

Page 142: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

142

berdiri dari masyarakat, pekerjaan dan interaksi dengan alam yang telah menunjukkan dirinya cukup memuaskan dan menggantikan mereka dengan formula ‘semua ukuran sama’ yang menegasikan pengetahuan adaptif local. Penulis percaya bahwa penyelidikan ini memiliki semangat yang senada dengan semangat dan kebebasan kritis yang telah selalu menandai karir intelektual dari Wim Wertheim sehingga memberikan penulis sebuah kesenangan tertentu ketika ia menjadi salah seorang penonton disini. Penulis selalu yakin bahwa kritisismenya akan membantuku untuk memperbaiki langkah-langkah pertama dari usaha yang penulis usahakan hari ini.

Konsep dari kebebasan/kemerdekaan yang digunakan dalam konteks ini lebih dekat dengan konsep kaum anarkis terhadap ‘mutualitas’ (yaitu kerjasama tanpa hirarki- atau setidaknya tanpa hirarki yang dibentuk negara) daripada artian liberal mengenai kemerdekaan. Yaitu penulis tertarik khususnya pada derajat kebebasan relatif dari kuasa negara yang dinikmati oleh unit-unit sosial non-negara seperti rumah tangga, grup hubungan darah (kinship), desa atau tempat hunian (settlement) yang berbeda dari kebebasan pribadi seorang warga-negara. Sebuah ulasan mengenai perbedaan itu akan dibahas.

Bebas, dalam pemikiran liberal klasik, adalah bagian dari kewarganegaraan pribadi. Dalam pandangan ini, bahwa konsep dari warga negara tidak dapat dipikirkan tanpa adanya konsep negara, kebebasan tiap warga negara diciptakan dan diamankan oleh negara. Dibalik pernyataan ini terletak, tentunya, sebuah sejarah perjuangan yang panjang dan berdarah untuk mendapatkan kebebasan pribadi dari negara-negara tirani. Tujuan dari perjuangan ini adalah untuk menciptakan negara yang akan menyembah kebebasan pribadi sebagai hukum dalam prinsip pertamanya dan yang akan menyediakan warga-negaranya lembaga-lembaga yang akan melindungi kebebasan tersebut. Sedikit dari kebebasan seperti ini yang dapat ditemui di Asia Tenggara, bahkan pada ekonomi yang paling modern dan paling terbukapun diwilayah ini.

Ada sebuah logika sejarah yang menghubungkan kebebasan individu yang terkodifikasi dari pemikiran liberal dengan pertumbuhan dari negara. Salah satu kehebatan dari sejarah kebebasan warganegara pribadi vis-a-vis negara adalah bahwa perluasan dari kebebasan telah dibarengi dengan pertumbuhan luas dan berat dari negara. Pertumbuhan ini bisa diukur dalam hal pegawai, anggaran dan instrumen dari koersi. Ia juga bisa diukur dari ekspansi yang luas dari pengetahuan negara mengenai tiap warga-negaranya. Negara menjadi pihak yang ‘mensertifikasi’ kematian dan kelahiran, pernikahan, yang menciptakan wajib militer universal dan daftar pemilih, melakukan survey dimana tiap jengkal tanah diperhitungkan dan dihubungkan dengan pemilikinya yang, biasanya, adalah seorang pembayar pajak.

Apa yang mengherankan para anarkis, dan bukan hanya kaum anarkis, adalah peletakan revolusi-revolusi hebat, yang menjanjikan kebebasan baru disamping dengan pertumbuhan negara. Sehingga, di Prancis, revolusi 1789, 1830 dan 1948 (dimana pemilihan kemanusiaan universal diberlakukan dalam empat-puluh delapan jam) masing-masing telah mengakibatkan negara yang lebih besar yang lebih merasuki, lebih mahal dan lebih hegemonis, sebagian karena ia dipilih secara lebih populer. Negara pasca-revolusioner yang baru yang telah melegislasikan kebebasan individu adalah juga negara yang telah, untuk pertama kalinya, menangani secara sistematis dengan individu bukannya kelompok. Negara absolutis, walau ia sering berusaha untuk menangani

Page 143: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

143

penduduk Perancis, satu per satu melalui kewajiban militer dan pajak, biasanya diharuskan bekerja melalui grup-grup sosial yang sudah ada- masyarakat, gilda, pemda, kepala rumah tangga, orang penting local dan pengikut mereka. Salah satu efek penting dari revolusi adalah untuk menghilangkan, pertama dalam hukum, dan makin sering dalam praktek, banyak dari individu ‘pribadi’ dan unit sosial yang telah berfungsi menjadi penengah antara negara dan individu. Bahwa individu, pada saat ketika ia telah mendapatkan kebebasan tertentu, juga telah menjadi individu yang dibebani dengan kewajiban untuk membayar pajak, untuk mendaftarkan diri untuk wajib militer, dan untuk mematuhi dengan jenis peraturan yang makin meluas yang didesain untuk memperbaiki ‘kesejahteraan umum’.

Karena belum mendapatkan kebebasan pribadi dari negara liberal modern, kebebasan praktis atau operatif dari kebanyakan Asia Tenggara tergantung, sampai derajat tertentu, pada kebebasan relatif dari unit-unit sosial dimana mereka tinggal. Adalah dengan otonomi inilah yang akan penulis bahas. Khususnya, penulis tertarik pada kebebasan relatif dari unit-sosial non-negara dalam menentukan tempat tinggal mereka, bentuk masyarakat mereka, bentuk hak miliki dan produksi mereka dibanding dengan imposisi mandat negara mengenai bentuk tempat tinggal, organisasi sosial, kepemilikan dan produksi.

Penitikberatannya terletak pada ‘penyederhanaan negara’, sebuah istilah yang akan dibahas lebih lanjut dibawah. Orientasi ini mengarahkan perhatian kita pada usaha dari negara modern untuk mengatur subyek/warga-negara dalam cara yang semakin terbaca, seragam dan sehingga lebih gampang untuk dimanipulasi dan dikontrol dari atas. Penyederhanaan Negara

Beberapa bentuk dari pengetahuan dan kontrol membutuhkan penyempitan dari visi. Keuntungan dari visi sempit itu adalah bahwa ia memberi fokus yang lebih jelas terhadap aspek-aspek tertentu yang terbatas dari sebuah realita yang biasanya lebih kompleks dan tidak bisa ditangani. Penyederhanaan ini akan mengakibatkan fenomena yang dibahas berada pada titik pusat dari medan penglihatan jauh lebih dapat dibaca dan sehingga lebih gampang untuk diukur, dikalkulasi dan dimanipulasi secara cermat.

Penemuan dari ilmu kehutanan (scientific forestry) pada akhir abad 18 di Prussia dan Saxony dapat menjadi model dalam proses ini. sementara cerita mengenai ilmu kehutanan (scientific forestry) penting dalam diri sendirinya, penulis berencana untuk menggunakannya disini sebagai sebuah metafora dari bentuk-bentuk pengetahuan dan manipulasi karakteristik dari lembaga-lembaga besar yang memiliki kepentingan yang tajam, dimana negara mungkin adalah contoh yang hebat darinya. Setelah kita bisa melihat bagaimana penyederhanaan, keterbacaan, dan manipulasi beroperasi didalam manajemen kehutanan, kita lalu bisa mengeksplorasi bagaimana optika sejenis diterapkan pada negara modern dari perencanaan kota, pendudukan desa (rural settlement), administrasi tanah dan pertanian. Cerita mengenai Negara dan Ilmu Kehutanan

Negara modern Eropa awal, bahkan sebelum perkembangan dari ilmu kehutanan, melihat hutan mereka khususnya melalui lensa fiscal dari kebutuhan pendapatan. Tentunya ada perhatian-perhatian lainnya seperti kayu sebagai tiang kapal dan galangan kapal, pembangunan negara dan bahan bakar kayu yang cukup guna keamanan ekonomis bagi warga-negaranya tetap diperhatikan

Page 144: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

144

manajemen resmi. Perhatian tambahan ini juga memiliki pengaruh yang kuat terhadap pendapatan negara dan keamanan. Dengan sedikit melebih-lebihkan, bisa disebut bahwa kepentingan mahkota terhadap hutan diselesaikan melalui lensa fiscal menjadi satu angka: yaitu angka pendapatan yang didapatkan dari kayu yang bisa diekstrasikan tiap tahunnya.

Cara paling baik untuk menghargai seberapa jauh penyempitan dari visi ini adalah dengan mengamati apa yang dikeluarkan dari pandangan tersebut. Terletak diluar angka yang mengindikasikan pendapatan yang didapat bukan hanya pohon-pohon sebagai ‘kayu komersil’, merepresentasikan seberapa ribu kaki dari papan sebagai kayu yang dapat dijual dan seberapa ikat kayu bakar yang dijual dengan harga tertentu. Yang hilang tentunya adalah pohon itu sendiri, semak-semak dan tanaman yang memiliki potensi pendapatan negara yang sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Hilang juga adalah aspek-aspek dari pohon- yang juga dimiliki oleh pohon ‘pembawa pendapatan’ – yang mungkin sangat berguna bagi penduduk tapi dimana keuntungannya tidak bisa diubah menjadi tanda bayar fiscal. Disini yang penulis maksud adalah penggunaan dari daun sebagai makanan hewan atau atap rumah, buah-buahan sebagai makanan untuk binatang peliharaan dan manusia, dahan sebagai bahan tempat tidur, pagar dan daun muda, kulit dan akar sebagai obat dan bahan pewarna, getah untuk damar dan selanjutnya. Pohon aslinya dengan kegunaan yang sangat banyak itu digantikan dengan pohon ‘abstrak’ yang merepresentasikan volume dari kayu atau bahan bakar.

Dari pandangan naturalis, hampir semua tidak ada dalam gambaran negara. Hilang mayoritas dari flora, rumput-rumputan, bunga-bunga, lumut, resam, semak-semak, dan tanaman melilit. Hilang juga reptilia, burung, amfibia, dan berbagai macam insekta. Hilang juga kebanyakan dari fauna, kecuali mungkin jenis yang memiliki kepentingan dengan penjaga binatang mahkota.

Dari pandangan antropologis, hampis segala yang berhubungan dengan interaksi manusia dengan hutan juga hilang dari pandangan sempit negara. Kecuali kepentingannya mengenai perburuan liar, yang memang menghalau terhadap klaim negara terhadap pendapatan dalan bentuk kayu atau klaimnya terhadap binatang perburuan mahkota, negara biasanya tidak menghiraukan kegunaan sosial yang luas, kompleks dan telah dinegosiasikan akan hutan untuk memburu dan meramu, makanan binatang, penggalian mineral berharga, perikanan, pembuatan arang, trapping binatang dan pengumpulan makanan juga signifikansinya untuk sihir, keagamaan, tempat pengungsian, dll.

Jika negara yang utiliter tidak mampu melihat hutan sebenarnya daripada sebagai pohon (komersil), jika pandangannya akan hutan bersifat abstrak dan parsial, ia tidak unik dalam hal ini. sebuah level abstraksi dibutuhkan untuk bentuk-bentuk analisis tertentu dan tidak mengherankan bahwa abstraksi dari pejabat negara merefleksikan keutamaan dan kepentingan fiscal pemekerja mereka. Kosa kata yang dipergunakan untuk mengorganisasikan alam biasanya akan menunjukkan kepentingan yang lebih penting dari pengguna manusianya. Bahkan, penggunaan istilah ‘alam’, dalam diskursus utiliternya, digantikan dengan istilah ‘sumber daya alam’ dimana fokusnya terletak pada aspek-aspek alam yang dapat digunakan untuk kebutuhan manusia. Sebuah logika yang mirip yang diekstraksi dari dunia alam yang lebih umum darri flora dan fauna yang memiliki nilai utiliter (biasanya komoditas yang dapat dipasarkan) dan sehingga mereklasifikasi jenis-jenis yang berkompetisi, memangsa, atau mengurangi penghasilan dari jenis yang dihargai. Sehingga tanaman yang berharga berubah

Page 145: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

145

menjadi tanaman pangan, jenis yang berkompetisi dengan mereka direklasifikasikan sebagai tanaman hama dan insekta yang memakan mereka direklasifikasikan sebagai hama. Sehingga pohon yang dihargai menjadi kayu sementara jenis yang berkompetisi dengan mereka menjadi pohon ‘sampah’ atau semak-semak (underbush). Logika yang sama juga berlaku pada fauna. Jenis binatang yang dihargai tinggi menjadi binatang buruan atau ternak sementara binatang yang berkompetisi atau memangsa mereka menjadi predator atau ‘hama’.

Jenis logika abstrak dan utiliter dimana negara, melalui pejabatnya, mengaplikasikan kepada hutan jadi tidak sepenuhnya unik. Apa yang unik mengenainya adalah kesempitan dari visi penglihatannya, derajat elaborasi yang bisa dilimpahkan kepadanya, dan diatas semuanya, seperti yang akan kita lihat, kemampuan khas dari negara untuk memaksakan penglihatannya pada realita itu sendiri dari obyek yang diamatinya.

Ilmu kehutanan dikembangkan dari sekitar 1765-1800, sebagian besar di Prussia dan Saxony. Akhirnya, ia akan menjadi dasar dari teknik manajemen hutan di Prancis, Inggris, A.S. dan diseantero Dunia Ketiga. Kemunculannya tidak bisa dimengerti diluar konteks lebih besar mengenai inisiatif-inisiatif tersentralisir yang dilakukan negara pada masa itu. Bahkan, ilmu kehutanan yang baru ditempatkan dalam sub-disiplin dari ilmu yang disebut “ilmu cameral”- suatu ilmu yang berusaha untuk mereduksi manajemen fiscal dari sebuah kerajaan menjadi sebuah prinsip-prinsip ilmiah yang akan memampukan perencanaan yang sistematis. ilmu kehutanan yang lama biasanya hanya membagi hutan menjadi lahan-lahan yang berluas sama- dengan jumlah lahan sama dengan jumlah tahun dari siklus pertumbuhan yang dikira. Satu lahan dipotong tiap tahun dari dasar asumsi hasil yang sama (dan nilai) dari lahan yang memiliki luas yang sama. Karena peta yang buruk, distribusi tidak merata dari pohon-pohon besar yang paling berharga (hochwald) dan pengukuran cordwood yang tepat, hasilnya sangat tidak memuaskan untuk perencanaan fiscal.

Usaha pertama pada pengukuran yang lebih tepat dilakukan oleh Johann Gottlieb Beckmann pada sebuah lahan sample yang disurvei secara cermat. Berjalan dalam satu garis , beberapa asisten membawa kotak-kota terkompertamentalisasi dengan paku-paku kode yang berwarna yang menunjukkan pada lima kategori kebesaran pohon yang sudah disetujui. Tiap pohon ditandai dengan paku yang pantas sampai seluruh lahan sample telah dipenuhi. Bermulai dengan jumlah paku tertentu, dengan gampang hanya dengan mengurangi jumlah yang ada dari keseluruhan paku yang tadi ada dan mencapai pada sebuah daftar pohon berdasar jenis-kebesaran untuk keseluruhan lahan. Lahan sample telah dipilih secara cermat karena kemampuan representatifnya, sehingga memungkinkan para ilmuan hutan untuk menghitung jumlah kayu dan memberi asumsi harga tertentu, hasil pendapatan dari keseluruhan hutan. Untuk ilmuan kehutanan (Forstwissenschaften) tujuannya selalu untuk ‘menyampaikan kemungkinan terbesar dari volume konstan kayu’.

Usaha untuk cermat dimajukan lebih ketika matematikawan bekerja dari prinsip cone/volume untuk menspefikasi jumlah volume dari kayu yang dapat dijual yang dimiliki oleh sebuah pohon terstandardisasi (Normalbaum). Perhitungan mereka dicek secara empiris dari volume aslinya dari pohon-pohon sample. Hasil final dari perhitungan seperti ini adalah penciptaan dari tabel rinci dengan data-data yang terorganisasi dari kelas-kelas pohon berdasarkan pada kebesaran dan usia pada kondisi-kondisi tertentu pertumbuhan normal dan

Page 146: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

146

pertumbuhan. Referensi pada tabel ini dibarengi dengan tes lapangan memungkinkan para ilmuan kehutanan untuk mengestimasi inventarisasi, pertumbuhan dan hasi dari sebuah hutan tertentu. Dalam hutan yang teratur dan abstrak dari Forstwissenschaften, perhitungan dan pengukuran diutamakan dan tiga kata pentingnya adalah ‘keanekaragaman yang minimum’, ‘lembaran kerja’(balance sheet) dan ‘hasil yang berkelanjutan’(sustained yield).

Hasil dari ilmu kehutanan Jerman dalam teknik-teknik yang distandardisasi untuk menghitung hasil berkelanjutan dari kayu komersil, agar dapat menghitung pendapatan, cukup menakjubkan. Apa yang penting untuk kita adalah langkah logis berikutnya dari manajemen hutan. Langkah itu adalah untuk menciptakan, melalui penyemaian yang hati-hati, penanaman dan pemotongan, sebuah hutan yang akan lebih gampang bagi seorang pejabat kehutanan untuk menghitung, memanipulasi, mengukur dan menilai. Faktanya adalah bahwa ilmu hutan dan geometri, ditambah dengan kekuatan negara, telah memiliki kapasitas untuk mengubah hutan yang asli, tidak teratur dan kacau agar ia lebih mirip dengan kisi teratur administratif melalui tekniknya. Untuk mencapai hal ini, semak-semak dihilangkan, jumlah jenis diturunkan (kadang menjadi mono-kultur), penanaman dilakukan secara bersamaan dan dalam baris-baris lurus untuk lahan yang besar. Praktek-praktek manajemen ini, seperti yang diamati Lowood, ‘menghasilkan sebuah hutan monokultur dan berumur sama sehingga akhirnya mengubah Normalbaum dari abstrak menjadi realita. Hutan jerman menjadi arketip dimana alam yang tidak teratur diimposisikan menjadi konstruk ilmu yang diatur dengan cermat. Tujuan praktis telah menghasilkan utilitarianisme matematikawan, yang tampaknya berakibat pada promosi terhadap kesempurnaan geometris sebagai bukti luar terhadap sebuah hutan yang dikelola dengan bagus; pada nantinya pengaturan pohon yang rasional dan teratur menyediakan kesempatan baru pada pengontrolan alam.’

Tendensinya adalah untuk ‘regimentisasi’ dalam arti paling kerasnya. Pohon-pohon hutan diatur dalam beberapa pangkatan tertentu agar bisa diukur, dihitung, dipotong dan digantikan dengan pangkat dari konskrip yang mirip. Pada batasnya, hutan itu sendiri tidak harus dilihat, ia bisa ‘dibaca’ secara akurat dari tabel dan peta dari departemen kehutanan.

Mimpi utopia dari ilmu kehutanan ini, tentunya, hanyalah logika imanen dari teknik-tekniknya. Ia bukanlah, dan tidak mungkin bisa, pernah direalisasikan dalam prakteknya. Alam dan ‘faktor manusia’ saling mempengaruhi. Tipografi dari lanskap dan kehancuran dari api, badai, epidemi, perubahan iklim, populasi insekta, dan penyakit berkerjasaman untuk menghancurkan pengaturan hutan secara besar-besaran, populasi manusia yang berdekatan dengannya juga terus mengambil binatang, mencuri kayu bakar dan kayu kering, membuat arang dan secara umum menggunakan hutan dalam cara yang akan menghalangi rencana para manajemen kehutanan untuk berhasil. Walau, seperti semua program utopia, ia jauh dari tujuan utamanya, fakta kritisnya adalah bahwa ia telah setengah berhasil dalam mengubah bentuk hutan asli dengan pola-pola desainnya. Fakta diatas kertas, Fakta dilapangan

Hutan para administrator tidak akan pernah bisa menjadi hutan para naturalis. Bahkan juga interaksi ekologis yang berlaku dihutan diketahui, mereka akan mengkonstitusikan sebuah realitas yang begitu kompleks dan beragam sehingga tidak akan memperbolehkan deskripsi yang gampang. Sebuah filter

Page 147: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

147

intelektual dibutuhkan untuk mengurangi kompleksitas menjadi sebuah dimensi yang dapat ditangani disediakan akibat adanya kepentingan negara akan kayu komersil dan penghasilan.

Jika dunia alamiah, bagaimanapun dibentuk oleh penggunaan manusia, tidak dapat ditangani dalam bentuk liarnya untuk dimanipulasi oleh administrative, maka juga pola sosial asli dari interaksi manusia, seperti alam, tidak dapat dimengerti oleh birokrasi dalam bentuk liarnya. Sebuah kasus realistis tetapi hipotetis akan pengaturan kepemilikan tanah bisa membantu untuk mendemonstrasikan mengapa hal ini demikian. Praktek pengaturan pemilikan tanah yang penulis contoh disini semuanya telah penulis temui dalam literature atau dalam pekerjaan lapangan.

Mari kita bayangkan sebuah masyarakat dimana keluarga memiliki hak usufruktuari untuk membagi-bagi tanah pertanian pada musim tumbuh. Tetapi hanya tanaman pangan tertentu yang boleh ditanam dan setiap tujuh tahun tanah usufruktuari dibagi kembali diantara anggota keluarga menurut dari besarnya jumlah keluarga dan jumlah dari orang dewasa yang mampu bekerja. Setelah panen dari tanaman musim utama, semua tanah pertanian diganti menjadi tanah umum kembali dimana setiap keluarga dapat memberi makanan ternaknya dan bahkan menanam tanaman musim kering yang panen dengan cepat. Tanaman liar yang dapat dimakan tumbuh pada marjin dari lapangan, diantara saluran air dan pada bunds yang tersedia bagi mereka yang mengumpulkannya. Pohon yang diketahui telah ditanam bersama dengan buahnya adalah milik dari keluarga yang menanamnya, tidak peduli dimana mereka telah menanamnya. Tetapi, buah yang jatuh dari pohon demikian adalah milik siapapun yang mengumpulkan mereka. Ketika keluarga pemilik pohon merobohkan pohonnya atau roboh akibat angin, batang utama pohonnya menjadi milik keluarga, cabang-cabangnya milik tetangganya, dan bagian atasnya (daun, ranting, tanaman gantung) menjadi milik penduduk yang lebih miskin yang mengambilnya. Kadang, sebagian tanah diberikan untuk digunakan atau disewa oleh janda dengan anak atau pihak yang tergantung dari lelaki yang wajib militer. Hak usufruktari terhadap lahan dan pohon mungkin berbentuk membolehkan/menyewakan (to let) penggunaan kepada siapapun yang tinggal di desa tetapi tidak untuk orang yang berasal dari luar desa kecuali tidak ada anggota masyarakat yang ingin menggunakannya.

Mari juga membayangkan bahwa hak memancing didistribusikan agar siapapun bisa mengambil ikan (dengan jaring, bendungan atau kandang ikan (wier), atau pancingan) dari kanal atau kali. Tapi dilahan usufruk yang tergenang, sementara siapapun boleh mengambil ikan dengan pancingan untuk ikan kecil, ikan besar-diambil biasanya ketika lahan dikeringkan- merupakan milik dari penanam tanaman lahan itu.

Setelah terjadi kegagalan panen, yang mengakibatkan pada kekurangan pangan yang hebat, kebanyakan dari aturan ini diatur kembali. Penduduk yang lebih beruntung diharapkan untuk mengambil tanggung jawab tertentu untuk saudara yang kurang beruntung- dengan membagi lahan mereka, dengan memperkerjakan mereka atau dengan hanya memberi mereka makanan. Jika kekurangan terus terjadi, dewan kepala turunan mungkin akan menginventarisasikan sumber makanan dan memulai ransum harian. Dalam kasus kelaparan parah, perempuan yang telah menikah ke dalam desa tetapi belum menghasilkan anak tidak akan diberi makan dan diharapkan kembali kedesa kelahiran mereka.

Page 148: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

148

Tapi penggambaran ini bisa lebih dielaborasikan; iapun merupakan sebuah penyederhanaan. Tapi ia mampu untuk menyampaikan kompleksitas yang asli dari hubungan kepemilikan dalam konteks dimana pengaturan local yang biasanya digunakan. Untuk mendeskripsikan praktek-praktek umum dalam bentuk seperti ini, bagaikan mereka adalah hukum, merupakan sebuah distorsi yang serius. Mereka lebih baik dimengerti sebagai sebuah tisu praktek yang hidup dan terus dalam keadaan bernegosiasi yang secara terus menerus diadaptasikan terhadap keadaan ekologis dan sosial yang baru- termasuk tentunya, hubungan kekuasaan. Keplastisitisan mereka itulah menjadi sumber terjadinya pengaturan kembali yang kecil yang bisa membawa perubahan pada praktek yang ada.

Bayangkan sebuah sistem hukum positif tertulis yang berusaha untuk merepresentasikan jaringan kompleks relasi hak kepemilikan dan penggunaan tanah. Pikiran akan terbebani oleh bab, sub-bab dan sub-sub bab yang dibutuhkan untuk mereduksi praktek ini menjadi seperangkat tata hukum dimana seorang administrator dapat mengerti, belum lagi mendirikan. Jika dalam prinsip mereka tidak mungkin dikodifikasi, kode yang dihasilkan akan mengorbankan plastisitas dan adaptasi halus dari prakteknya. Hal-hal yang akan mengakibatkan ketidakcocokan dalam praktek terlalu banyak untuk diramalkan apalagi dicantumkan dalam kode regulasi tertentu. Kode itu akan mengakibatkan pembekuan terhadap proses yang hidup. Perubahan dalam kode positif yang bertujuan merefleksikan praktek evolusioner itu, hanya akan merepresentasikan adaptasi yang meloncat-loncat dan mekanistis. Salah satu usaha paling bagus dan paling rumit untuk mendeskripsikan involusi dari praktek penggunaan tanah Asia Tenggara masa awal bisa ditemukan dalam buku Pierre Gourou L’utilisation du sol en Indochine Francaise.

Dan bagaimana dengan desa yang berikutnya dan berikutnya lagi? Pemberi kode hipotetis kita, seberapa pintar dan rajin diapun, akan menemukan bahwa kode yang ditemukan untuk cocok pada satu praktek local tertentu tidak dapat diterapkan pada praktek local lainnya. Tiap desa, dengan sejarahnya tertentu, dengan ekologi yang dimilikinya, dengan pola tanamannya, hubungan darahnya, dan aktivitas ekonominya akan membutuhkan seperangkat regulasi baru. Pada batasnya, akan ada kode legal sebanyak adanya desa.

Secara adminstratif tentunya kebisingan dari regulasi hak milik local yang ada akan menjadi mimpi buruk. Perhatikan bahwa mimpi buruk itu bukanlah mimpi buruk mereka yang menjalani praktek hukum yang sedang direpresentasikan itu tetapi oleh mereka- yaitu oleh pejabat negara- yang menginginkan sebuah kode administrative nasional yang seragam dan homogen. Praktek local sangat gampang diterapkan oleh mereka yang ‘hidup’ dalam kode itu tiap harinya. Detailnya mungkin menimbulkan perdebatan dan jauh dari penyelesaian yang memuaskan semua warga local, tapi familiaritasnya tidak bisa diragukan; penduduk local tidak memiliki kesulitan ketika mereka mencoba mengerti kehalusan dari kode dan menggunakan kefleksibelan darinya untuk kepentingan mereka. Tetapi pejabat negara tidak mungkin diharapkan untuk menerjemahkan dan lalu mengaplikasikan sebuah perangkat baru kode hak milik untuk tiap daerah. Konsep paling utama dari negara modern pun tidak dimungkinkan tanpa rejim kepemilikan yang disederhanakan dan seragam yang dapat dibaca sehingga dapat dimanipulasi dari pusat.

Page 149: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

149

Penggunaan istilah ‘sederhana’ untuk menggambarkan hukum kepemilikan (property) modern, dimana kerumitannya menyediakan pekerjaan bagi sepasukan professional hukum, tampaknya merupakan kesalahan yang besar. Memang kenyataannya bahwa hukum kepemilikan telah menjadi terlalu rumit untuk dimengerti orang awam. Sehingga penggunaan istilah ‘sederhana’ dalam konteks ini adalah relatif sekaligus perspektifal. Penggunaan tanah bebas modern adalah penggunaan tanah melalui mediasi negara sehingga hanya dapat dimengerti oleh mereka yang telah mendapatkan pelatihan yang cukup dan pengertian dari statuta negara yang memungkinkan mereka untuk mengerti. Kesederhanaan dari mereka tidak dapat dimengerti oleh mereka yang tidak dapat mengerti kode yang digunakan, seperti kejelasan relatif dari penggunaan tanah adat bagi para penduduk desa tidak dapat dimengerti oleh orang dari luar.

Kekuatan pendorong mayoritas, walau bukan hanya itu, untuk penciptaan sistem kepemilikan yang sederhana dan dapat dimengerti datang dari kebutuhan untuk format yang dapat diandalkan untuk perpajakan. Disini butuh untuk melihat parallel antara perkembangan dari fiscal kehutanan modern dengan bentuk modern dari pajak kepemilikan tanah. Negara pra-modern sama perhatiannya terhadap pendapatan pajak dengan negara modern. Tapi seperti kehutanan negara pra-modern, teknik dan jangkauan pengaruh negara masih belum seluas kini.

Disini dimana analogi kasar antara manajemen hutan dan kepajakan berhenti. Karena ketidak-adaan informasi yang dapat diandalkan mengenai pendapatan kayu yang berkelanjutan, negara mungkin secara tidak sengaja menyebabkan eksploitasi berlebihan dari sumber dayanya dan mengancam ketersediaan masa depan atau gagal untuk menyadari tingkat pendapatan yang mungkin dipertahankannya. Pohon bukanlah aktor politis sementara penduduk yang terkena pajak dari mahkota sudah tentu merupakan aktor-aktor politik. Mereka menandakan ketidaksenangan mereka dengan kabur dari daerahnya, dengan berbagai bentuk resistansi yang diam dan penghindaran, dan dalam keadaan ekstrem, dengan pemberontakan terbuka. Sebuah format yang dapat diandalkan untuk perpajakan warga negara tergantung bukan hanya pada mengetahui kondisi ekonomi dari mereka saja tapi juga mencoba untuk mengerti macam perpajakan apa yang akan mereka tolak dengan keras.

Langkah selanjutnya yang dicoba diraih oleh semua negara modern, adalah untuk mengukur, mengkodifikasi dan menyederhanakan penggunaan tanah dalam cara yang mirip dengan cara ilmu kehutanan telah melakukan kepada hutan. Solusi dilihat dari sejarahnya, setidaknya untuk negara-negara liberal, umumnya adalah sebuah simplifikasi yang hebat terhadap penggunaan tanah milik pribadi oleh pribadi. Tanah dimiliki oleh seorang individu hukum yang memiliki hak penggunaan yang luas, hak warisan, hak jual dan yang kepemilikannya direpresentsikan oleh suatu kertas kepemilikan (title deed) yang dilindungi melalui institusi hukum dan polisi dari negara. Seperti flora dari hutan direduksi menjadi Normalbaum, maka pengaturan penggunaan tanah yang kompleks dari praktek adat direduksi menjadi title-titel yang menyatakan kepemilikan dan dapat diubah (transferable/warisan dan penjualan). Dalam setting agrarian, negara telah mengubahnya menjadi lanskap administrative yang diselimuti oleh sebuah kisi seragam tanah-tanah homogen, setiap parsel darinya memiliki seorang pemilik legal, yaitu para pembayar pajak. Betapa mudahnya sekarang untuk menilai kepemilikan dan si pemilik seperti ini dari perhitungan luasnya, kelas tanahnya, tanaman pangan yang biasanya ditanam, dan hasil

Page 150: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

150

panen yang diasumsikan daripada untuk mengerti kerumitan kepemilikan umum dan bentuk-bentuk penggunaan tanah yang campur dahulu. Survey cadastral, ‘pendapatan permanen dari tempat tinggal’ (permanent revenue settlement) dan sistem Torrens dari pentitelan tanah di koloni Inggris adalah jenis teknik dimana sebuah ruang fiscal yang disederhanakan dapat dimengerti. Seperti dalam kasus hutan, ia menyediakan cara untuk mengekstraksi sebuah asumsi pendapatan fiscal yang berkelanjutan. Kantor registrasi tanah dan pajaknya adalah kesamaan untuk penggunaan tanah, daripada tabel ilmu kehutanan untuk pertumbuhan dan pendapatan dari kayu.

Jika jaringan dari hak penggunaan tanah adat adalah sebuah bahasa asing yang tidak dapat dimengerti oleh orang luar dan pejabat negara, maka bentuk hak penggunaan tanah pribadi menjadi bahasa asing bagi mereka yang tanahnya sedang diubah kembali itu. Bentuk baru dari hak penggunaan tanah, betapapun disederhanakan dan seragam bagi seorang administrator, telah melempar penduduk desa kedalam dunia dengan benda-benda dan institusi yang tidak dikenalnya: titel kepemilikan tanah, kantor tanah, hukum, pengadilan, ongkos, penilaian, aplikasi, survey cadastral. Mereka menghadapi spesialis kuat yang baru dalam bentuk pejabat distrik, orang pensurvey, pengacara dan hakim yang memiliki hukum-hukum prosedural dan keputusan yang tidak biasa bagi mereka. Salah satu akibat utama dari sistem penggunaan tanah yang baru–bisa juga disebut lebih tepat sebagai tujuan utama darinya–adalah pemetaan dari peta property asli yang dapat terkena pajak yang dapat dimengerti dengan mudah oleh pegawai ataupun pejabat negara yang terlatih. Pada saat yang sama ia telah secara radikal menurunkan nilai dari pengetahuan dan otonomi local. Bentuk-bentuk pengetahuan yang terspesialisasi didukung dengan otorita negara telah secara fundamen mengubah keseimbangan kekuasaan antara lokalitas dengan negara. Dimana hak penggunaan tanah baru adalah sebuah imposisi kolonial–yaitu dimana sistem baru merupakan hal yang tidak biasa, dan diimposisikan oleh penguasa luar menggunakan konteks bahasa dan lembaga yang secara radikal berbeda–maka perubahan tersebut menyediakan kesempatan yang unik bagi mereka yang dapat mengerti misteri dari administrasi hak penggunaan tanah. Sehingga secretaires dan interpretes Vietnam yang berfungsi sebagai penghubung antara pejabat Prancis di Delta Mekong dengan warga Vietnam mereka, mendapatkan posisi yang memungkinkan meraup kekayaan besar. Dengan hanya mengkonsentrasikan untuk membenahi kertas kerja dengan benar–mengenai titel kepemilikan dan ongkos yang pantas – mereka sering menjadi penguasa tanah semalaman bagi sedesa penuh petani yang telah berasumsi bahwa mereka sedang membuka tanah umum yang bebas diambil oleh siapapun. Kadang mereka, tentunya, menggunakan pengetahuan mereka untuk membantu seorang sebangsanya melewati kerumitan hukum baru itu. Apapun perbuatan mereka, penguasaan mereka akan bahasa dari hak penggunaan tanah yang secara khusus dibuat untuk bisa dibaca dan dimengerti oleh administrator, ditambah dengan ketidak-mampuan dari penduduk desa untuk membaca mengenai hak penggunaan tanah yang berada dibawah bagian administrative mereka, maka terjadi sebuah pergeseran fundamen dari hubungan kekuasaan.

Praktek asli dari penggunaan tanah – fakta yang ada dilapangan – tidak dengan gampang berganti secara cepat, pasif atau sepenuhnya terhadap rejim kepemilikan baru. Karena ketidaktentuan dari pendirian hukum dan kepentingan dan nilai praktis dari penduduk desa, seperangkat praktek penggunaan tanah

Page 151: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

151

yang tidak diakui dan/atau illegal terus berlanjut. Bentuk dari pemilikan umum terus berlanjut dalam praktek popular walau sekarang mereka akan dapat diidentifikasikan oleh hukum sebagai pelanggaran (trespassing). Kebiasaan pembatasan jual mungkin berlanjut dipatuhi karena takut sanksi local yang informal, walau tidak diakui dalam hukum. Jika hutan asli tidak pernah menjadi mirip dengan tabel ilmuan hutan yang sederhada dan homogen, lebih-lebih praktek penggunaan tanah asli tidak pernah menjadi mirip dengan property pribadi yang dapat diubah sepanjang rakyat yang diimposisikan olehnya memiliki kepentingan vital yang memaksa mereka untuk menolaknya. Tapi skema baru, berkat kekuatan yang ada dibelakangnya, telah, seperti dalam kasus ilmu kehutanan, makin membentuk praktek hak penggunaan tanah lebih mirip dengan harapan negara. ‘Vos Papier, Monsieur’

Perkataan umum ini, dimana seorang gendarme bertanya pada seorang yang ingin ia tanyai, mengilustrasikan derajat dimana bahkan pertemuan langsung dalam negara modern dapat ditengahi oleh dokumen-dokumen terstandardisasi. Seperti uang kertas, sebagai unit nilai yang abstrak dan seragam telah memperbolehkan pertukaran bertingkat diantara aktor-aktor ekonomi yang tidak mengetahui satu sama lain, maka juga warga negara negara modern telah disimbolkan oleh representasi kertas: akte kelahiran, kartu identitas, kertas hak titel, tax returns, akte kematian, dll.

Sebagai ‘representasi’, kertas-kertas kecil ini mulai, seperti yang akan kita lihat, memiliki kehidupannya sendiri. Pikirkan pengalaman berikut, sesuatu yang cukup sering, dari angkatan bersenjata AS. Seorang rekrut yang baru saja menyelesaikan latihan dasarnya ditugasi oleh atasannya untuk mempersiapkan buku akun regimennya untuk inspeksi bulanan oleh pimpinan divisi. Bukunya ditemukan dalam keadaan yang kacau. Karena ia adalah orang pintar, rekrut menyadari bahwa kevaliditasan dari buku tidak sepenting kepatuhan pada aturan akuntansi militer. Maka ia pastikan bahwa semua angka terhitung dengan benar dan bahwa setiap transaksi direpresentasikan oleh keputusan pembelian dan bon yang benar. Dimana tidak terdapat jejak kertas, ia buatkan, tidak peduli apakah itu terhitung dalam transaksi yang actual. Buku akun yang rapi dan ‘tepat-kertas’ (paper-perfect) dipilih sebagai yang paling baik diantara semua rejimen dalam divisi dan atasannya mendapatkan banyak pujian untuk keteraturan finansial regimen. Memenangkan ‘warna divisi’ tiap bulan untuk akun yang paling rapi sebegitu pentingnya bagi komandan regimen sehingga ia menjanjikan rekrut cuti ‘permanen’ jika ia bisa mengulangi kesuksesannya. Karena sekarang ia telah menguasai penciptaan dari ‘aturan-kertas’ (paper order) dalam buku-buku akun, rekrut berwisata semala empat minggu dari tiap bulan, kembali dua hari sebelum inspeksi dari akun guna menciptakan kembali keajaibannya.

Hal pertama yang harus diperhatikan mengenai negara modern adalah bahwa pejabatnya, karena keharusan, kadang selangkah – dan sering beberapa langkah terpisah dari kontak langsung dengan warga negara. Mereka mengamati dan menilai kehidupan dari masyarakatnya dengan serangkaian langkah penyederhanaan dan penyimpulan gegabah fiksional yang selalu beberapa langkah dari realitas asli yang seharusnya ditangkap oleh abstraksi-abstraksi tersebut. Sehingga tabel para orang kehutanan, walau memiliki kemampuan untuk menyuling fakta individual menjadi pola yang lebih besar, tidak mampu

Page 152: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

152

untuk menangkap (dan tidak dimaksudkan untuk hal itu) keaslian dari hutan dalam keanekaragamannya. Sehingga survei cadastral, surat titel dan kontrak hak penggunaan tanah merupakan representasi yang kasar dan sering menipu dari hak actual yang ada dalam penggunaan tanah. Pejabat-pejabat dari organisasi yang besar tampaknya ‘melihat’ aktifitas manusia dalam hubungannya dengan kepentingannya melalui perkiraan disederhanakan dari dokumen dan statistik: yaitu pendapatan pajak, daftar pembayar pajak, data tanah, pendapatan rata-rata, angka pengangguran, tingkat kematian, perdagangan dan angka-angka produktifitas, kasus kolera pada distrik tertentu. Fakta yang telah distilisasi tentunya merupakan bentuk pengetahuan negara yang memungkinkannya untuk menemukan dan menengahi secara awal dalam epidemi, untuk mengerti tren ekonomi yang akan mempengaruhi kesejahteraan publik dan/atau kekuatan negara dan secara umum untuk membangun kebijakan dengan ketersediaan fakta-fakta penting ditangannya.

Penyederhanaan negara karena sifatnya memiliki karakteristik tertentu. Paling jelas, mereka adalah pengamatan dari aspek-aspek dan hanya aspek-aspek dari kehidupan sosial yang memiliki kepentingan bagi pejabat. Tentunya mereka juga hampir selalu merupakan fakta tertulis atau fakta angka yang direkam dalam dokumen. Ketiga, mereka biasanya adalah fakta statis. Bahkan ketika mereka tampak dinamis, itu adalah hasil dari beberapa pengamatan statis melalui waktu. Contoh, pengamatan mengenai catatan tanah (land record) atau figur pendapatan selama dua atau lebih titik dalam waktu bisa mengungkapkan bertambahnya kesenjangan dalam kepemilikan tanah atau sebuah peningkatan dalam pendapatan tapi tidak akan mengungkapkan bagaimana keadaan baru ini bisa terjadi atau apakah hal ini akan berlanjut. Terakhir, fakta negara yang paling distilisasi adalah fakta agregat. Fakta agregat bisa bersifat tidak personal (contoh, mengenai kepadatan dari jaringan transportasi) atau hanya sekelompok fakta mengenai individu, contoh angka pengangguran, angka buta huruf, pola rumah. Guna kegunaannya, pejabat negara harus mengelompokkan warga negara dalam cara yang memperbolehkan mereka untuk membuat penilaian kolektif.

Fakta yang dapat diagregasikan dan dipresentasikan dalam bentuk angka rata-rata atau distribusi harus secara dipaksa menjadi fakta yang terstandardisasi. Tidak peduli seberapa unik keadaan yang actual dari individu-individu yang membentuk keseluruhan agregat, karena adalah kesamaan dari mereka, atau lebih tepatnya, perbedaan mereka didalam skala atau kontinuum yang terstandardisasi yang mereka tertarik. Sebagai contoh, kehidupan pekerjaan banyak orang sangat kompleks dan dapat berubah dari hari ke hari. Tapi untuk kegunaan statistik resmi memiliki ‘pekerjaan yang mendatangkan keuntungan’ adalah fakta yang terstilisasi, seorang hanya bisa atau tidak bekerja yang mendatangkan keuntungan. Masalah bagaimana mengkategorisasikan banyak kehidupan kerja yang eksotis dalam analisis terakhirnya disisihkan dari kategori yang direfleksikan dalam statistik agregat. Bagi mereka yang mengumpulkan dan menginterpretasikan agregat data demikian bisa mengerti bahwa ada kualitas fiksional dan arbitrer tertentu terhadap setiap kategori yang mereka gunakan – bahwa mereka menyembunyikan banyak dari variasi yang bermasalah. Tapi setelah ditentukan, kategori-kategori tipis ini beroperasi tanpa hambatan dengan anggapan bahwa semua kasus yang diklasifikasikan bersama adalah fakta yang homogen dan seragam. Semua Normalbaueme dalam sasaran kebesaran tertentu disamakan; semua pekerja mobil (jika kita

Page 153: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

153

mengklasifikasikan berdasarkan industri) adalah sama, semua orang Katolik (jika kita mengklasifikasikan kepercayaan agamis) adalah sama.

Sampai kesini penulis telah membuat pernyataan yang langsung, bahkan usang, mengenai penyederhanaan, abstraksi dan standardisasi yang dibutuhkan bagi pengamatan pejabat negara dalam hal sebagian atau semua dari polulasi. Tapi penulis ingin membuat klaim lebih lanjut, yang beranalog dengan yang dibuat mengenai ilmu kehutanan, bahwa negara modern, melalui pejabatnya, berusaha – dengan kesuksesan yang beragam – untuk menciptakan sebuah populasi dengan karakteristik yang terstandar itu yang akan paling gampang untuk dimonitor, dihitung, dinilai dan diatur. Tendensi utopis (imanen) dari negara modern yang terus menerus digagalkan adalah untuk mereduksi realita sosial dibawah yang keos dan tidak teratur menjadi sesuatu yang lebih mirip dengan kisi administrative dari pengamatannya.

Tendensi ini adalah sesuatu yang dimiliki oleh hampir semual organisasi hierarkis yang besar. Seperti kesimpulan Chisholm, dalam mereview literature mengenai koordinasi administrative, ‘skema koordinasi sentral dapat bekerja secara efektif didalam kondisi dimana lingkungan pekerjaan dapat diketahui dan tidak berubah, dimana ia bisa ditangani sebagai sistem tertutup’. Semakin statis, terstandardisasi, dan seragam dari sebuah populasi atau ruang sosial, semakin dapat dibaca ia kepada teknik pejabat negara. Penulis mengusulkan bahwa pejabat negara berusaha untuk mengubah populasi, ruang dan alam dibawah yurisdiksi mereka menjadi sebuah sistem tertutup yang tidak memiliki kejutan-kejutan sehingga mereka bisa dengan baik mengamati dan mengontrol. Alasan bahwa mereka bisa, sampai derajat tertentu, untuk mempertahankan kategorisasi mereka dan memaksakan penyederhanaan mereka, adalah karena negara, diantara semua lembaga lainnya, memiliki kemampuan yang paling baik untuk memaksa memperlakukan orang dalam skema mereka. Jika kamu ingin mempertahankan klaim kamu kepada property asli, kamu diharuskan mempertahankannya melalui sebuah dokumen bernama sebuah akte property dan dalam pengadilan dan tribunal yang telah diciptakan untuk tujuan tersebut. Jika kamu ingin dianggap dalam hukum, kamu harus memiliki dokumen (contoh, akte kelahiran, paspor, KTP) yang diterima oleh pejabat sebagai klaim terhadap kewarga-negaraan. Kategori yang dipergunakan oleh agen negara bukan hanya cara agar lingkungan mereka dapat dibaca/dimengerti; mereka adalah suara otoriter dimana penduduk dipaksa untuk mematuhi.

Beberapa kategori yang dimaklumi (taken for granted) yang sekarang kita secara rutin harus terkena dalam realitas sosial, penulis kira, memiliki asal-usulnya dalam jenis proyek standarsidasi dan legibilitas (dapat dibaca) dari negara. Pikirkan sesuatu yang begitu fundamental seperti praktek pemberian nama. Sampai setidaknya abad ke 14, mayoritas dari orang Eropa tidak memiliki patronim. Nama seorang individu biasanya adalah penggabungan dari nama (jika ia laki-laki) yang diberikannya dengan nama ayahnya. Sehingga untuk kasus Inggris, anak laki-laki William Robertson bisa dipanggin Thomas Williamson (anak dari William) sementara anak dari Thomas bisa dipanggil Harry Thompson (anak dari Thomas). Lihat bahwa nama cucu, dengan sendirinya tidak membawa bukti dari identitas kakeknya, sehingga untuk menelusuri pohon keluarga melalui nama tidak dimungkinkan. Adopsi dari patronim permanen – sebuah proyek yang sebagian besar diciptakan oleh negara berkaitan dengan perpajakan dan warisan – sangat memudahkan legibilitas dari hubungan saudara dan property. Nama

Page 154: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

154

keluarga biasanya arbitrer, misalnya John yang memiliki sebuah gilingan (mill) menjadi, contoh, John Miller, sementara John yang kerjanya membuat roda gerobak (cartwheel) menjadi John Wheelwright dan keturunan laki-lakinya mempertahankan patronim keluarga tidak peduli apapun pekerjaan mereka. Nama akhir yang universal, sesuatu yang tercipta cukup akhir, khususnya diantara orang yang tidak memiliki property, adalah langkah terakhir menuju legibilitas keseluruhan populasi oleh pejabat negara – khususnya pejabat perpajakan. Ini adalah proses yang sedang berlanjut di Asia Tenggara. Seorang bisa, dalam konteks ini, meneliti lebih lanjut spesifikasi standar yang diciptakan oleh negara lainnya yang lebih lanjut memperkuat kapasitas agen negara dalam mengindentifikasikan seorang individu. Disini penciptaan akte kelahiran dan kematian, alamat yang spesifik (yaitu, tidak John-yang-tinggal-di-bukit), KTP, nomor paspor, nomor jaminan sosial. Legibilitas (kemampuan baca oleh negara) demikian memainkan peranan yang kuat tidak hanya dalam perpajakan tapi juga dalam wajib militer, penyelidikan kriminal, dll. Standardisasi dari identities individu berlangsung bersamaan dengan penciptaan ruang yang terstandardisasi dan homogen. Menspesifikasikan hunian sebuah masyarakat (settlement) dengan nama yang resmi dan permanen, menciptakan kotapraja, kabupaten, semua dengan batas-batas yang pasti sehingga semua ruang telah diberi nama, juga merupakan elemen vital dalam formasi-negara – memungkinkan pejabat negara untuk menemukan individu tertentu dalam kisinya.

Sebuah bagian besar dalam pembentukan-negara terdiri dari pemetaan yang komprehensif dari penduduk negara, ruang fisiknya dan sumber daya alamnya. Tanpa pemetaan demikian – dan tanpa simplifikasi, standardisasi, penamaan dan klasifikasi yang memungkinkannya – sebagian dari aktifitas negara modern tidak akan dapat dilakukan.

Strategi negara untuk Kontrol, Pengambil-Alihan (Apropriasi) dan Legibilitas ‘ruang non-negara’ dari dahulu bersifat terbatas dan subversif, termasuk dalam sifat simbolis and praktis. Ruang demikian dan mereka yang tinggal didalamnya telah menjadi symbol khusus akan alam, barbaritas, ketidak-sopanan, ketidak-teraturan, imoralitas, dan ketidak-beragamaan yang berkebalikan dengan budaya, kesopanan, kecanggihan, keteraturan, moralitas, dan ortodoksi bagian pusat yang dapat diukur. Mereka yang tinggal dalam ruang-ruang demikian tentunya melihat permasalahan secara berbeda, dengan mengkontraskan kebebasan mereka, mobilitas, kehormatan dan lain-lain berbeda dengan perbudakan dari mereka dibawah kekuasaan pengadilan. Tidak perlu dielaborasikan bahwa ruang demikian telah menjadi tempat pengungsian bagi pemberontak, bandit dan pengaku raja (princely pretender), sebagian karena mereka telah merepresentasikan masalah yang hampir tidak bisa diselesaikan mengenai kontrol. Karena alasan inilah bahwa penguasa yang ambisius – apakah itu masa pra-kolonial, kolonial atau pasca merdeka – telah mencoba untuk mendapatkan kontrol dari daerah-daerah demikian atau, karena gagal untuk mengontrolnya, mengurangi kebebasan mereka. Prinsip dasar untuk usaha ini adalah sedentarisasi, konsentrasi, keteraturan dan legibilitas. Mungkin versi paling ekstrem dari kebijakan ini dapat dilihat semasa perang Vietnam didalam kebijakan militer A.S. untuk mencoba secara permanen mengsedenterkan penduduk nomaden, menciptakan desa strategis yang direncanakan, dan, akhirnya, dengan menggunakan ‘agen oranye’ untuk mendefoliasi (merontokkan daun) hutan sehingga kontur tanah dapat dibaca dari udara. Ini merupakan versi ambisius dan berteknologi tinggi daripada usaha yang

Page 155: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

155

lebih sederhana melalui jalur-jalur yang sama yang dilakukan oleh Perancis dan kerajaan Vietnam pada jaman lebih dahulu.

Pada akhirnya, penulis berharap untuk menulis sebuah sejarah politis dari hubungan antara penduduk dataran tinggi dan dataran rendah di Burma melalui, secara kasar, garis-garis ini. Tetapi disini penulis memiliki obyektif skematis yang lebih sederhana. Apa yang akan ditulis, penulis harap untuk mengusulkan beberapa cara dimana perspektif seperti demikian dapat menjernihkan beberapa permasalahan akan sejarah dari pola hunian di Asia Tenggara dan dalam usaha negara untuk mengubah bentuk mereka menurut formula yang telah mereka tentukan. Kasus yang telah kami teliti dengan singkat adalah agrikultur perkebunan vs agrikultur lahan sempit (small holders) secara umum, program FELDA (Federal Land Development Administration/ Administrasi Pengembangan Tanah Federal) di Malaysia dan program perumahan Singapura. Perkebunan vs. Tanah Rakyat (lahan sempit/small holder)

Bagaimana kita menjelaskan ketertarikan kolonial terhadap perkebunan daripada pertanian rakyat? Salah satu penjelasan adalah bahwa ditentukan oleh fakta ekonomi yang keras: efisiensi. Hampir semua tanam pangan yang dapat kamu namakan, dengan perkecualian gula, petani kecil dalam sejarah telah mampu untuk menang dalam persaingan dengan produksi berunit besar. Negara-negara kolonial telah berkali-kali menemukan bahwa petani small holders, karena biaya tetap yang kecil dan penggunaan tenaga keluarga yang fleksibel, mampu untuk mengalahkan penjualan perkebunan yang dijalankan oleh negara ataupun swasta.

Keuntungan terbesar dari produksi perkebunan, penulis percaya, adalah ia lebih superior daripada petani berlahan kecil dalam hal pengontrolan dan pengambilan keuntungan (apropriasi). Pada permulaannya terjadinya boom karet, pejabat dan investor Inggris percaya dengan penuh bahwa karet yang diproduksi oleh negara akan lebih efisien dan lebih menguntungkan daripada karet produksi petani lahan kecil karena stok biji yang lebih baik, manajemen ilmiah yang lebih baik, dan penggunaan tenaga kerja. Ketika mereka menemukan bahwa mereka salah, mereka tetap secara sistematis lebih mendukung perkebunan walau mengakibatkan biaya yang tinggi terhadap keseluruhan ekonomi dari koloni. Skema Stevenson yang terkenal di Malaya pada 1930-an adalah usaha jelas-jelasan untuk mempertahankan sector perkebunan dari ekonomi karet dengan membatasi produksi petani berlahan kecil. Tanpanya kebanyakan dari perkebunan akan bangkrut.

Perkebunan tentunya beruntung dari fakta bahwa pejabat kolonial lebih mementingkan kepentingan mereka (yaitu kepentingan seorang sesama warga-negara dan investor metropolitan) daripada kepentingan petani Melayu dan Tionghoa. Tapi keuntungan yang didapatkan dari negara tidak berhenti disini saja. Walaupun mereka adalah produsen karet yang tidak efektif biaya dibanding dengan para petani, mereka adalah unit perpajakan yang lebih gampang diatur. Secara relatif lebih gampang untuk memonitor dan meminta pajak bisnis besar dan dimiliki publik investor daripada sekawanan yang besar dari petani bertanah kecil yang muncul hari ini dan hilang dengan cepatnya dan dimana urusan finansialnya tidak dapat dibaca oleh negara. Kekhususan mereka pada satu jenis tanaman berarti bahwa produksi dan keuntungan mereka dapat dibaca oleh negara. Efisiensi perkebunan sebagai produsen tidak begitu relevan bagi negara daripada efisiensi dimana negara dapat memajak apapun yang mereka hasilkan.

Page 156: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

156

Keuntungan kedua dari produksi perkebunan karet bagi pemerintah adalah bahwa ia secara umum menyediakan bentuk pengawasan residen dan penggunaan tenaga kerja yang tersentralisasi yang lebih gampang untuk kontrol secara politis dan administratif. Merekalah, jika bisa dibilang, ‘komunitas yang lebih bisa dibaca’ daripada kampung Melayu yang memiliki sejarah, pemimpin dan ekonomi campuran tersendiri.

Logika dari legibilitas, pengamatan, dan pendapatan (apropriasi) telah sering menang daripada kriteria efisiensi dalam tempat lain juga. Pertanian kolektif di Uni Soviet adalah kasus yang menarik. Kolektifisasi yang diperintahkan oleh Stalin bermula tidak pada kegagalan produksi tapi pada krisis dari pendapatan negara. Dibawah naungan Kebijakan Ekonomi Baru (NEP) yang dicanangkan pada 1921 – yang merupakan sebuah kemunduran dari metode ekonomi komando masa-masa pasca revolusi perang saudara - produksi telah meluas. Walaupun terjadi perluasan produksi, kegagalan ekonomi Soviet untuk menyediakan barang-barang industri dan konsumsi dimana penduduk rural akan menukarkan ternak dan bahan pangan mereka, menyebabkan terjadinya krisis pendapatan. Keputusan Stalin untuk mengkolektifkan, pada harga apapun, tidak ditujukan pada memperbaiki produksi tetapi untuk menjamin bahwa negara dapat mendapatkan apapun hasil produksi yang dibutuhkannya untuk membiayai program industrialisasi semalaman mereka. Karena ketidak-adaan insentif positif untuk menjual hasil panenan mereka, petani kecil pada masa NEP telah menjadi handal dalam menyembunyikan produksi aktual mereka dalam usaha menghindar dari pengambilan yang dapat menghancurkan mereka sehingga membentuk ekonomi paralel. Keuntungan yang hebat dari kolektifisasi adalah bahwa ia menciptakan unit pertanian administratif yang besar dimana investasinya, pola penanaman, gaji dapat ditentukan oleh penguasa dan dimonitor dan dimana produksi dapat diambili secara langsung dan didistribusikan. Seperti yang dapat dikira orang, produksi jatuh. Tapi negara telah menciptakan sebuah unit pertanian yang baru dan dapat dibaca yang ia kontrol dan dimana bagiannya dari sebuah panen yang semakin berkurang telah diperbesar.

Sebuah logika yang mirip dapat, penulis percaya, diaplikasikan kepada pendirian program tanah federal di Malaysia. Kenapa negara Malaysia memilih untuk membentuk sebuah program hunian yang besar, mahal dan dimonitor oleh birokrat pada tahun 1960-an dan 1970-an ketika tapal batas telah secara aktif dipionerkan oleh gerakan volunteer yang besar. Perantauan pioneer tidak merugikan negara sama sekali dan sejarah menunjukkan bahwa ia mampu menciptakan perkembangan perusahaan rumah tangga dan pemasaran dari tanaman uang (cash crops). Semasa periode kolonial, seperti yang kita sudah lihat, jenis petani berlahan sedang dimana biaya kecil produksi mereka mengancam untuk membangkrutkan sector perkebunan swasta. Sebagai usaha ekonomis, skema karet dan minyak sawit yang besar tidak dapat dibenarkan. Mereka sangat mahal untuk dipertahankan, pengeluaran modal perorang jauh lebih daripada yang mau diinvestasikan seorang pebisnis yang rasional.

Tapi secara politis dan administrative, keuntungan daripada sebuah program yang besar, terencana secara sentral, dan diatur oleh pemerintah berlipat. Pada wakti ketika usaha revolusi dari Partai Komunis Melayu (Malayan Communist Party/MCP) masih segar dalam ingatan penguasa Melayu, hunian yang terencana memiliki keuntungan yang sama daripada desa strategis. Mereka diatur menurut pada pola kisi sederhana yang segera dapat dibaca oleh seorang

Page 157: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

157

administrator dari luar. Tiap hunian tentunya dinomorkan secara berurutan dan para penduduk semua dicatat dan dimonitor lebih dekat daripada daerah tapal batas yang terbuka. Para pioneer dapat dan memang dipilih secara hati-hati berdasarkan usia, kemampuan dan keamanan politis. Pada akhir 1970-an ketika penulis bekerja di negara bagian Kedah, dimana banyak pioneer telah direkrut, semua calon pioneer mengerti bahwa akan lebih menguntungkan jika anda direkomendasikan oleh seorang politisi local yang dekat dengan partai yang berkuasa.

Situasi administrative dan ekonomi daripada penghuni dapat disamakan dengan ‘kota perusahaan’ (company towns) pada masa awal industrialisasi dimana semua bekerja pada pekerjaan yang mirip, dibayar oleh ‘bos’ yang sama dan belanja pada toko perusahaan yang sama. Sampai tanaman perkebunan dapat dipanen, para penghuni dibayar oleh gaji, hasil produksi mereka disalurkan melalui saluran negara dan mereka dapat dipecat pelanggaran yang banyak jenis dari peraturan yang telah ditetapkan oleh pejabat skema. Ketergantungan ekonomis dan kontrol politik langsung berarti bahwa skema seperti ini dapat digunakan untuk menghasilkan pemilih mayoritas kepada partai yang berkuasa. Protes kolektif jarang dan biasanya dapat dihilangkan dengan sanksi-sanksi yang tersedia bagi administrator. Tampaknya hunian FELDA memperbolehkan negara untuk mengontrol tanaman ekspor yang beragam, memonitor produksi dan prosesing, dan menentukan harga produsen untuk menghasilkan pendapatan.

Sentimen publik mengenai program hunian terencana hampir selalu dihalusi oleh retorika mengenai pembangunan yang teratur dan penyediaan pelayanan sosial seperti pendidikan, klinik kesehatan, MCK, dan perumahan yang memuaskan, air bersih dan infrastruktur. Retorika publik bukannya bohong, tapi, diam-diam menyesatkan mengenai cara-cara yang banyak dimana ‘pembangunan teratur’ jenis ini menyediakan cara-cara pengamatan dan kontrol yang tidak akan dapat dilakukan melalui hunian tapal batas yang otonom. Skema FELDA pendeknya adalah versi ‘lembut’ dari ‘desa baru’ yang didirikan oleh Inggris sebagai bagian dari kebijakan konter-perlawanan semasa Darurat Malaysia (Malayan Emergency). Desa model di Etiopia sosialis, desa Ujamaa di Tanzania dapat juga dianalisis melalui garis pemikiran yang sama. Dalam pandangan ekonomis, mereka jarang yang berhasil; dalam kasus Etiopia dan Tanzania, mereka adalah kegagalan fiscal dan produksi yang begitu hebatnya sehingga sebagian besar darinya sudah ditinggalkan. ‘Hasil’ yang didapatkan oleh rejim-rejim yang mendirikannya lebih merupakan hasil kontrol politis dan administratif.

Rencana negara untuk sedentarisasi dan hunian dan produksi terencana jarang berjalan seperti yang diharapkan. Seperti hutan yang ilmiah atau perencanaan kota kisi, hunian seperti demikian sering lolos dari aspirasi untuk menyempurnakan daripada penemu mereka. Cara dimana aktifitas otonom dari subyek pembangunan merusak kisi dari perencana membutuhkan studi berharga yang butuh kehati-hatian. Apa yang sering tidak diperhatikan oleh studi macam itu adalah bahwa aturan sosial yang direncanakan oleh program pembangunan terencana, walaupun ditolak oleh praktek local, berhasil menggantikannya. Bahwa kepentingan politik daripada pembangunan terencana tertelak lebih pada apa yang telah ia gantikan daripada seberapa jauh ia akan menghasilkan apa yang telah diretorikakan.

Page 158: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

158

Pengkonsentrasian penduduk dalam hunian terencana mungkin tidak selalu tercipta dengan apa yang diinginkan oleh perencana negara, tapi ia hampir selalu mengganggu atau menghancurkan masyarakat terdahulunya dimana kohesi mereka didapatkan dari sumber-sumber non-negara. Masyarakat yang digantikan memiliki sejarah yang sering unik dan dalam, bersamaan dengan hubungan sosial, mitologi dan kapasitas untuk beraksi bersama yang disediakan oleh sejarah. Komunitas itu mungkin telah menjadikan bagian dirinya beberapa dasar sosial yang secara sejarah telah menjadi bagian dalamnya: aturan kekeluargaan, hubungan ritual, dialek, etnisitas, agama, dll. Hunian yang didesain oleh negara harus memulai dari awal untuk menciptakan sumber kohesi dan aksi bersama sendiri. Maka sebuah komunitas baru adalah sebuah komunitas yang didemobilisasikan sehingga merupakan sebuah komunitas yang dapat dikontrol dengan gampang dari atas dan luar.

Penulis percaya bahwa logika dari demobilisasi sosial adalah unsur kunci dari fakta pengamatan yang sering terjadi bahwa pada awal terjadinya industrialisasi, peluruhan dari komunitas rural adalah sumber utama dari protes kolektif dibandingkan dengan proletar yang baru terbangun itu, walaupun hal itu bertentangan dengan pikiran Marxis yang standar. Penempatan hunian baru, apakah dipaksakan atau tidak, sering mengeliminasi komunitas awal yang bisa menyediakan titik kohesi dan resistansi, menggantikannya dengan sebuah massa kabur dari pendatang baru. Ironis bahwa jenis populasi seperti ini dan bukannya petani di bocage yang lebih mirip dengan masyarakat sekarung kentang Marx yang dikarakterisasikannya dalam buku Brumaire ke Delapan-Belas.

Untuk mengulas kembali secara singkat keuntungan dari hunian terencana, komunitas yang baru umumnya diatur pada kontur tanah baru dimana sebuah logika administrasi keseluruhan menstipulasikan pola dari hunian masyarakat. Dimana ekonomi atau regimentasi tanaman (seperti dalam monokultur) disimplifikasikan, jangkauan untuk perencanaan akan lebih mudah. Pada batasnya, hubungan property, kerja dan pola perumahan dibuat mudah dibaca oleh penguasa. Perencana, seperti di Brasilia atau di desa-desa Ujamaa, tidak harus berkompromi dengan seperangkat tata atur hidup atau praktek sosial yang sudah ada. Penduduk baru, setidaknya pada permulaannya, jauh lebih tergantung pada otoritas perencana untuk penghidupan dan perumahan mereka. Faktanya, banyak dari mereka mungkin telah dipilih dengan alasan mempermudah kontrol sentral. Dan paling utama, populasi tersebut telah dipindahkan dari komunitas dimana sejarah dan kepentingan mereka secara relatif otonom dari kebijakan negara yang ada dan telah diatur di hunian baru dimana sumber negara sangat penting bagi mereka.

Keberhasilan yang sering digembar-gemborkan oleh pemerintah Singapura dibawah Lee Kuan Yew dalam usahanya merumahkan kembali (rehousing) mayoritas dari penduduk negara kota itu juga harus diperiksa dalam konteks ini juga. Sebagai sebuah keberhasilan rekayasa dan mobilisasi administratif, ia adalah keberhasilan yang menakjubkan. Serta tidak ada keraguan bahwa populasi yang dirumahkan kembali (rehoused) sekarang menikmati sanitasi yang lebih baik, kenyamanan sosial, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Jika berhenti disitu, maka ini hanyalah retorika promosi diri dari negara kota itu secara lumrah dan akan kehilangan keberhasilan hebat dari rekayasa politik dan sosial yang dihasilkan secara bersamaan dengan program perumahan itu. Satu tujuan dalam skema luas dari flat-flat rumah yang

Page 159: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

159

diluncurkan oleh People’s Action Party (PAP) dibawah Lee Kuan Yew adalah khususnya untuk menggantikan bentuk-bentuk hunian lama yang kebanyakan kabur secara politis dan menolak kontrol PAP. Kampung Melayu local didaerah perkotaan bersamaan dengan daerah miskin hunian Tionghoa yang didominasi oleh asosiasi klan local secara khusus ditarget untuk dihilangkan. Tujuannya tidak hanya untuk merumahkan kembali komunitas tersebut in situ tapi adalah untuk memecahkan dan menyebarkan mereka, kekeseluruh proyek perumahan agar mereka tidak bisa bersatu membangun diri lagi. Semua titik oposisi sosial terhadap PAP dihilangkan dan populasi mereka disebar diseantero gedung-gedung bertingkat flat baru.

Pengeliminasian dari lingkungan lama dan penciptaan kembali ruang urban yang terencana baru telah didesain secara khusus agar penduduk yang tersebar dikaitkan dengan PAP. Ditiap flat perumahan, terdapat aktifis PAP yang dapat mengambil alih aspek-aspek kehidupan yang dulunya berada diluar kontrol langsung negara, contoh, rekreasi, kesejahteraan local, olah raga, dan tentunya rumah itu sendiri. Tidak diragukan bahwa populasi lebih baik setelah dirumahkan kembali. Tapi tidak diragukan juga bahwa mereka dirumahkan kembali dalam cara yang didesain untuk memaksimalkan pengamatan dan kontrol politik yang monopolistic dari People’s Action Party. Partai yang berkuasa merumahkan kembali Singapura dan sehingga mendesain secara lebih langsung sebuah populasi yang dapat dibaca dan dengan mudah didominasi.

Sejarah transmigrasi yang disponsor oleh pemerintahan di Indonesia juga dapat dianalisis dalam bentuk ini. Seperti dengan kasus hunian tapal batas Malaysia , transmigrasi telah terjadi secara spontan selama berabad-abad. Apa yang baru adalah usaha yang masif dari dari negara Indonesia yang merdeka untuk menghunikan ratusan ribu orang Jawa dalam hunian yang terencana ke pulau-pulau luar. Selain keuntungan Jakarta dari penciptaan hunian yang terencana dibawah pengawasan yang secara relatif dekat pada bagian perifer, ada juga strategi halus lainnya yang bersifat etnis, yaitu kolonisasi internal yang diusahakan juga.

Penting untuk dicatat bahwa komunitas yang didesain untuk merefleksikan kebutuhan kontrol dan pengawasan dari negara jarang berhasil dengan baik sebagai komunitas orang dari sudut pandang orang yang tinggal didalamnya. Transmigrasi spontan sering lebih berhasil daripada program pemerintah dimana sekian persentase yang banyak dari rekrut pulang kembali, tanpa minta cuti. Ada logika yang terbalik disini. Hunian negara secara umum diatur dalam kisi kotak atau persegi panjang untuk kenyamanan dan kecepatan bagi surveyor. Rumah juga distandarkan untuk alasan yang sama. Peraturan yang mengatur panen, kredit dan pemerintahan dari program mengikuti format ‘semua ukuran’ (semua sama); mereka telah menjadi produk rutinitas birokrasi yang sudah jadi. Tidak mengherankan bahwa kisi administratif yang didesain disini telah melanggar realitas ekologis dari tempat itu, kebutuhan dari berbagai macam keluarga yang berbeda, dan kekhasan dari tiap hunian baru tersebut.

Logika yang dipertanyakan tidak hanya ada di Indonesia, ia ada dimanapun sebuah negara berusaha untuk secara langsung mendesain dan mengimposisikan formula standar untuk kehidupan. Apakah tujuan mereka kontrol politik atau rencana utopis untuk kebahagiaan manusia, program seperti itu hampir selalu menggantikan kompleksitas pengetahuan dan adaptasi local menjadi geometri, standardisasi dan penyederhanaan. Hasil seringnya adalah bahwa komunitas terencana telah gagal bagi penduduk disitu dalam cara-cara

Page 160: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

160

yang fundamental. Sejarah dari desa-desa Ujamaa, pertanian kolektif, Brasilia, Chandigarh, dan desa strategis adalah sejarah mengenai alienasi dan/atau perlawanan. Hasilnya sering adalah kebalikan dari apa yang diharapkan oleh perencana negara. Sebagai contoh, Charles Jenks menandakan akhir simbolis dari ‘modernisme’ pada jam 15:32 tanggal 15 Juli 1972 ketika Pengembangan Perumahan Flat Pruitt-Igoe di St. Louis, yang telah memenangkan penghargaan telah dinyatakan tidak layak huni, dihancurkan dengan dinamit. Dikatakan bahwa flat-flat apartemen yang luas dan bertingkat yang berada dibatas kota Aljir dan kota-kota utama lainnya di negara revolusioner Algeria – karena telah gagal menjadi komunitas manusia sepenuhnya – telah menjadi daerah pusat yang menghasilkan fundamentalis Islam yang paling keras. Di Burma, jika kembali ke Asia Tenggara, gerakan demokratis melawan Jenderal Ne Win dan the State Law and Order Council (SLORC) pada akhir tahun 1980-an sangat kuat didaerah Okalapa diluar Rangoon. Ironisnya, Okapala adlaah sebuah hunian terencana yang dimulai ditahun 1956 oleh pemerintahan Ne Win pertama untuk merumahkan kembali populasi penghuni liar kota Rangoon sendiri. Proyek penghilangan daerah kumuh rejim yang telah gagal telah kembali menghantui mereka setelah 30 tahun kemudian. Kesimpulan

Sebuah konsep mengenai kebebasan yang berdasar secara sejarah di dalam konteks Asia Tenggara butuh sebuah pemikiran mengenai otonomi sosial juga selain mengenai kebebasan individu. Kebebasan dari warga-negara yang relatif bebas di Asia Tenggara telah sangat tergantung pada otonomi mereka dalam hal organisasi sosial, pola perumahan, kehidupan budaya, aktifitas ekonomi dan terutama pergerakan fisik. Zona-zona otonomi ini menyediakan titik-titik bagi kohesi sosial yang memberikan cara bagi masyarakat local untuk menciptakan pengertian-diri sendiri dan cara untuk aksi sosial.

Dalam sejarah, kecenderungan negara adalah untuk mengecilkan marjin dari otonomi. Negara telah melakukan ini dengan berusaha untuk mengekang mobilitas fisik dengan hunian yang diwajibkan (forced settlement) dan dengan alat-alat KTP, survei cadastral, dan sensus yang memungkinkannya untuk memonitor dan mengkontrol gerakan. Ia juga menghasilkan pengekangan dengan menutup ‘hutan umum’ dan ‘tapal-batas yang bebas akses’ (versi modern dari gerakan enclosure dalam sejarah Eropa) dan dengan mendukung dan mendirikan komunitas yang terencana, pertanian yang terencana. Komunitas baru demikian biasanya diatur dalam bentuk yang dapat dibaca, diadministrasi dari atas, mempraktekan kehidupan ekonomi yang sederhana (contoh; tanaman yang monokultur) berbalik dengan kehidupan yang beragam, dimana apropriasi lebih gampang dan populasi tergantung pada cara-cara fundamental dari agen negara dan partai yang memerintah. Lebih dari segalanya, komunitas baru ini menggantikan komunitas yang sudah ada (desa, daerah kumuh, desa pioneer) dimana negara memiliki kontrol yang terbatas. Catatan

1. Kebanyakan dari unit sosial ini sendirinya hirarkis dan arbitrer dan sangat mengekang kebebasan dari individu. Perbedaan yang penting mungkin adalah, melihat dari sejarah, kebanyakan dari grup sosial ini tidak memiliki kekuatan koersif yang kuat sehingga telah secara relatif lebih gampang untuk dihindari dan kabur daripada negara modern.

Page 161: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

161

2. Henry E. Lowood (1991) ‘The Calculating Forrester: Quantification, Cameral Science and the Emergence of Scientific Forrestry Management in Germany’. Tore Frangsmyr, J.L. Heinbron dan Robin E. Rider (eds). The Quantifying Spirit in the 18th Century. Berkeley: University of California Press, hal. 315-342. Masalah berikut kebanyakan diambil dari analisis bagus Lowood.

3. Perkecualian yang paling mengejutkan adalah perhatian kerajaan kepada persediaan ‘binatang buru bangsawan’ (yaitu; rusa, babi hutan, rubah) untuk perburuan sehingga memproteksi habitatnya. Jika orang membayangkan bahwa ini adalah kesukaan kuno pra-modern, coba ingat kepentingan sosial yang sangat besar daripada perbutuan kepada ‘raja-raja’ akhir-akhir ini seperti Erich Honneker dan Tito.

4. Jika ingin mengeksplorasi perubahan budaya dari arti hutan yang luas di Barat, lihat William Pogue Harrison (1992) Forrest: The Shadow of Civilization, Chicago: University of Chicago Press.

5. Yang terakhir ini seperti Prinsip Heisenberg yang terbalik. Daripada mengubah fenomena dengan melakukan pengamatan, maka keadaan fenomena sebelum pengamatan tidak dapat diketahui dalam prinsipnya, pengaruh dari pengamatan dalam kasus ini adalah untuk mengubah fenomena yang ada dalam waktu sehingga ia akan lebih mirip dengan imaji abstrak dan disederhanakan yang telah disajikan lensa (yang diharapkan oleh pengamat).

6. pada akhir abad 17, Colbert telah merencanakan ‘rasionalisasi’ administrasi hutan yang luas untuk menghilangkan ‘pencurian’ dan menghasilkan penghasialan yang lebih dapat dipercaya. Sampai akhir ini, proposal buku Etiene Dralet Traite du regime Forestier meregulasikan lahan (tire-aire) ‘agar pertumbuhannya normal dan gampang dijaga’. Walaupun inisiatif baru ini, tidak banyak yang dihasilkandi Perancis sampai 1820 ketika teknik Jerman baru diimportir. Peter Sahlin, ‘Forest Rites: The War of the Demoiselles’ di Ariege, Perancit (1829-1831)’, paper yang tidak diterbitkan yang dipresentasikan pada Program in Agrarian Studies, Yale University, January, 1992.

7. Lowood, op.cit., h. 338 8. Banyak cara telah dicoba: dengan memotong pohon asli kedalam

potongan kecil-kecil dan mengkompresinkannya guna menentukan volume; memasukan kayu kedalam tong yang tidak diketahui volumenya dan megambahkan dengan memasukkan air untuk menilai volume dari tong yang tidak diisi oleh kayu, dll. Lowood, op.cit., h. 328

9. Lowood, op.cit., h. 314. Lihat juga Harrison, op.cit., h. 122-123. 10. sebagai contoh lihat, buku: Honore de Balzac (1949) Les Paysans, Paris:

Pleiades. E.P. Thompson (1975) Whigs and Hunters: The Origin of the Black Act, New York, Pantheon; Douglas Hay(1975) ‘Poaching on the Cannock Chase’, dalam Douglas Hay, et. Al. (eds) Albion’s Fatal Tree, New York: Pantheon; dan Steven Hahn (1982) ‘Hunting, Fishing and Foraging: Common Rights and Class Relations in Postbellum South’, Radical History Review 26: 37-64. Untuk kasus oposisi Jerman langsng, lihat salah satu artikel Karl Marx yang menghubungkan pencurian dari hutan dengan siklus bisnis dan pengangguran di Rhineland: ditulis oleh Peter Linebaugh (1976) ‘Karl Marx, the Theft of Wood and Working Class

Page 162: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

162

Composition: A Contribution to the Current Debate’, Crime and Social Justice buat musim gugur-dingin: 5-16.

11. Centre d’Etudes de Politique etrangere. Travaux des groupes d’etudes, no penerbitan 14, Paris: Paul Hartmann, 1940.

12. Asumsinya adalah kerajaan ingin memaksimalisasikannya di pendapatan jangka panjang. Sangat biasa tentunya untuk rejim dalam krisis politis dan militer untuk membahayakan masa depan mereka dengan mendapatkan sebanyak mungkin dari hutan dan/atau warga mereka.

13. tidak perlu disebut bahwa homogenisasi telah membantu bagian fiscal dan juga sangat penting bagi komoditas yang memasuki pasar. Sebuah pasar modern tanah hampir tidak dapat dibayangkan dimana setiap property harus mengikuti semua hak tanah dan aturan adat dimana ia berasal.

14. lihat Ian Hacking (1975) The Emergence of Probability: a Philosophical Study of Early Ideas About Probability, Induction and Statistical Inference, Cambridge: Cambridge University Press.

15. ada setidaknya tiga masalh disini. Yang pertama adalah hegemoni dari kategori. Bagaimana orang mengklasifikasikan seseorang bekerja untuk saudaranya yang mungkin memberinya makan, kadang memperbolehkannya menggunakan sebagian tanah untuk dirinya dan kadang membayarnya dalam bahan pangan atau tunai? Pilihannya kadang arbitrer akan bagaimana mengklasifikasi kasus demikian sangat tidak pasti oleh hasil final dimana hanya kategori yang menang akan ada. Masalah kedua, dan sesuatu dimana kita akan kembali, adalah bagaimana kategori – lebih khusus kekuatan negara dibelakan kategoti – membentuk data. Sebagai contoh, semasa resesi 1970-an di A.S. ada kekhawatiran bahwa angka pengangguran sebesar 13 % sangat dibesar-besarkan. Salah satu alasan utama, kata mereka, adalah bahwa banyak yang pengangguran nomina sedang bekerja di ekonomi informal dan tidak mau melaporkan pendapatan atau pekerjaan mereka karena takut dipajak. Orang bisa bilang bahwa dimasa kini dan lalu, sistem fiscal telah memaksa munculnya realita ‘diluar panggung’ yang didesain untuk tidak masuk kedalam bank data. Masalah ketiga adalah bahwa mereka yang mengumpulkan dan menyusuninformasi mungkin memiliki kepentingan yang khusus mengenai data apa yang disajikan. Semasa perang Vietnam pentingnya angka kematian dan ‘desa yang dipasifkan’ sebagai cara sukses konter-pemberontakan telah membuat para komandan menghasilkan angka yang dibesar-besarkan yang membuat senang atasan mereka – dalam jangka pendek – tapi semakin tidak memiliki hubungan dengan fakta dilapangan.

16. Donald Chisholm (1989) Coordination Without Hierarchy: Informal Structures in Multiorganizational systems, Berkeley: University of California Press, h. 10.

17. Tidak hanya Nickolai Gogol dalam buku Dead Souls yang terkejut oleh fakta bahwa kematian fiscal dan kematian fisik bukanlah hal yang sama. Untuk kepentingan pajak, kematian fiscal di Rusia Tsar telah diundur, sehingga sebuah keluarga diharuskan membayar penuh pajak pertahun perkepala yang hidup selama bahkan semenitpun dari porsi tahun fiscal. Ini adalah ironi yang biasa dan menyedihkan dari banyak literature kolonial.

Page 163: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

163

18. dalam film Witness, seorang detektif modern kebingungan ketika ia terjun kedalam komunitas Amish yang tidak memiliki nomor telepon dan nama keluarga yang sedikir. Penulis berutang pengamatan in kepada Benedict Anderson.

19. Akhirnya menyerah, setelah melalui harga politik jangka panjang yang hebat, melalui pekerjaan polisi, penyiksaan dan sebuah jaringan mata-mata local.

20. Rene Descarter (1980) Discourse on Method, diterjemahkan oleh Donald A. Cress, Indianapolis: Hackett Publishing co., h. 6. Dikutip oleh Harrison, Forests, op.cit., h. 111-112, penekanan ditambah.

21. Petersburg adalah contoh yang paling kuat dari ibukota utopia yang direncanakan, sebuah kota Dostoyevsky sebut ‘kota yang paling abstrak dan direncanakan didunia’. Lihat Marshall Beman (1988) All that is solid Melts into Air: The Experience of Modernity, New York: Penguin, Bab 4. Orang Babilonia, Mesir dan tentunya Romawi juga membuat ‘hunian kisi’ (grid settlement). Jauh sebelum masa pencerahan, sudut lurus dilihat sebagai kesuperioritasan budaya. Seperti yang ditulis Sennet, ‘Hippodamus dari Miletus dianggap sebagai perencana kota pertama yang menciptakan kisi-kisi ini sebagai ekspresi kebudayaan; kisi ini mengekspresikan, katanya, rasionalitas dari kehidupan beradab. Dalam usaha pelebaran militer mereka orang Romawi mengelaborasikan kontras antara kemah kaum barbar yang kasar dan tidak berbentuk dengan benteng militer mereka atau disebut castra’ Richard Sennet (1990) The Conscience of the Eye: The Design and Social Life of Cities, New York: Norton, h. 47.

22. lihat buku yang dapat membuka pikiran oleh ilmuan geografi Yi-Fu Tuan (1984) Dominance and Affection, New Haven: Yale University Press.

23. seperti yang dicatat Mark Girouard (1985: 289), ‘rencananya termasuk fasilitas dan lembaga publik seperti taman (khususnya Boid de Boulogne yang besar), rumah sakit, sekolah, kolese, barak, penjara dan sebuah gedung opera baru…’ (Cities and People: A Social and Architectural History, New Haven: Yale University Press). Satu abad kemudian, dihadapan banyak masalah, Robert Moses akan melakukan renovasi yang mirip di New York.

24. lihat Michael Adas (1981) ‘From Avoidance to Confrontation: Peasant Protest in Precolonial and Colonial Southeast Asia’. Comparative Studies in Society and History 23: (2): 217-147.

25. Chandra Muzzafar (1972) Malay: The Protector?, Penang. 26. ini bukan hanya pola Asia Tenggara. Pada akhir abad ke-14 dan pada

abad ke-15, setelah terjadinya wabah besar (black plague) telah mengurangi penduduk Eropa Barat hampir sepertiganya, masalah untuk mendatangkan bekel (serf) sekarang karena datangnya mereka kedaerah yang belum diambil sangat sulit, telah menjadi perhatian utama para bangsawan. Sistem perbudakan dengan daerah tapal batas sangat lemah dalam hal ini. Di Rusia warga kebanyakan dari masa Tsar adalah budak yang melarikan diri. Bisa dibilang bahwa bentuk pekerjaan yang tidak bebas tidak dapat dilaksanakan dalam daerah dengan tapal batas kecuali jika koersi yang cukup dilaksanakan untuk menutup populasi.

Page 164: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

164

27. The Glass Pallace Chronicle of Kings of Burma, diterjemahkan oleh Pe Maung tin dan G.H. Luce di London: Oxford University Press, 1923, h. 177.

28. Pemenang juga menangkap dan membawa perajin, penari, selir dan obyek berharga yang dihargai.

29. kebanyakan dari pola yang sama juga bisa dilihat dibagian-bagian Asia Tenggara semasa pendudukan Jepang pada Perang Dunia ke II. Dengan pengecualian tertentu, seperti orang Cina yang memiliki alasan khusus untuk takut kepada otorita Jepang, kaum elit seing lebih berkonsentrasi pada kota-kota – pada pusat-pusat kekuatan negara – sementara kebanyakan dari penduduk desa bersebar kedaerah perifer. Pentingnya persediaan bahan makanan berarti bahwa, jarang terjadi, produsen penghasil makanan memiliki posisi tawar menawar yang lebih baik daripada kota-kota.

30. ada geografi logistik yang cukup sederhana disini. Mengumpulkan pajak, jika hal lain dalam keadaan sama, dari populasi yang padat yang dekat kepada pusat kekuasaan negara jauh lebih efisien daripada mengumpulkan surplus (dalam bentuk barang atau kerja) darip populasi yang tersebar jauh dari pusat kekuatan negara. Transportasi dari teknologi adalah factor penghalang yang kuat. Dalam Eropa pra-industri, bawa gandum lebih dari 20 mil atau lebih akan merugi. Pada jarak seperti itu kuda atau sapi yang mengangkutnya akan harus diberi makan (lebih dari ransum biasa mereka) sebanyak gandum yang dibawa. Banteng tidak mungkin lebih efisien walau mereka mungkin dapat mencari dengan sendirinya sebagian makanan mereka. Masalahnya adalah harga apropriasi akan meningkat secara eksponensial dengan kejauhan mereka dari pusat meningkat. Ini membantu untuk menjelaskan skala dari kerajaan dalam (kraton), kepentingan dari transportasi air, kecendrungan dari perdagangan jarak jauh untuk membawa sedikit barang rapuh, ketiadaan relatif dari kerajaan stabil didaerah potong-bakar dimana populasinya tersebar dan pentingnya dasar pertanian sawah dengan populasi yang padat dan produktif untuk pembentukan negara.

31. perkataan Leach yang penih dalam Edmund Leach (1960) ‘The Frontiers of Burma’, Comparative Studies in Society and History, h. 49-68.

32. perubahan dalam teknologi telah memodifikasi pola ini. Sehingga pertemuan kereta dan jalan sehing menggantikan hulu sungia atau pelabuhan alami. Sehingga lokasi dari batu-bara, bauksit, atau biji besi bisa menggantikan lokasi dari batu-batu berharga, perak dan emas sebagai pusat-pusat geografis yang kuat.

33. orang berfikir lebih pada perkataan orang afgan pada konteks ini: ‘Pajak memakan lembah; kehormatan memakan bukit’.

34. tebu harus diperas secepatnya setelah ia dipotong agar tidak rugi akibat evaporasi dan fermentasi. Pabrik pemeras yang besar, masalah transportasi dan reduksi jumlah melalui prosesing menyediakan semacam penghalang (bottleneck) yang alami yang memungkinkan pemiliki dari pabrik pemeras untuk mengontrol produksi secara langsung atau melalui kontrak penyewaan yang mengikat. Dibandingkan dengan kopi, tembakau, teh, karet, minyak kelapa sawit, dll. Produksi tersentralisir unik pada tebu.

Page 165: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

165

35. Sehingga pengamatan Samuel Huntington yang kurang moral tapi secara sosiologis benar semasa perang Vietnam adalah bahwa pemboman massif kepada pedesaan dan pembentukan hunian pengungsi akibatnya pada bagian luar dari kota-kota utama menyediakan banyak keuntungan bagi mereka yang ingin untuk mempengaruhi dan memobilisasi para pemilih. Mereka yang berada ditempat pengungsian, ia pikir, lebih gampang dimanipulasi daripada mereka yang masih tinggal didaerah rural. Logika yang implicit terlihat dengan jelas: lebih banyak bom yang dijatuhkan pada daerah rural akan menyediakan lebih banyak kesempatan bagi A.S. dan sekutunya diSaigon untuk mendominasi kompetisi politis yang damai yang didahului oleh ‘Siap-siap untuk Kompetisi Politis di Vietnam Selatan’ (circa 1970-am), Southeast Asia Development Advisory Group of the Asia Society.

36. Bahaya bagi negara adalah bahwa semua permasalahan dihunian semacam inn menjadi sebuah perlawanan politik antara penghuni dnegan otorita. Dalam isu seperti gaji, sewa rumah, hak tanah yang biasanya akan terjadi antara dua pribadi, dengan negara hanya dibagian pinggir. Tapi dalam konteks ini telah dipolitisasikan menjadi perlawanan antara negara dengan para penghuni.

37. Literature yang berhubung dengan topik ini sangat luas. Dua kontribusi yang penting adalah Jane Jacob (1964) The Death and Life of Great American Cities, New York, Vintage; dan Paul Richards (1985) Indigenous Agricultural Revolution: Ecology and Food Production in West Africa, London: Hutchison.

38. Dikutip dalam David Harvey (1989) The Condition of Post-Modernity: An Enquiry into the Origin of Cultural Change, Oxford: Basil Blackwell, h. 40.

39. Mungkin faktor pembatas yang paling kuat adalah bersifat fiscal. Ketidak efisienan ekonomi dari kebanyakan program dan kegagalannya menyediakan penghasilan ekonomi telah membatasi dengan sangat ambisi dari negara. Dimana keadaan fiscal sangat terbatas, seperti di Birma, kepura-puraan akan masyarakat dan ekonomi Birma yang terencana setipis kertas. Dimana keadaan dan kemampuan lebih banyak, seperti di Singapura, campur tangan negara lebih terasa dan efektif.

PEMIKIRAN POLITlK ANTONIO GRAMSCI (1891-1937) Prawacana

Delapan tahun pasca kelahiran Benito Amilcare Andrea Musollini (1883), tepatnya tanggal 22 lanuari 1891 disebuah kota kecil Ales, propinsi Cagliari Sardinia, telah lahir seorang Antonio Gramsci. la merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara, ayahnya (Fransesco Gramsci) hanyalah seorang pegawai disebuah kantor panitera daerah di Ghilarza dan Giuseppina Marcias. Pada tahun 1897, tepat di usianya yang keenam tahun, ayahnya diskors dari pekerjaannya tanpa dibayar, atas tuduhan penyimpangan adminstrasi. Setahun kemudian dia didakwa bersalah atas korupsi, namun motivasi sebenarnya adalah oposisinya terhadap partai politik yang berkuasa di daerahnya, sebab korupsi sudah menjadi wabah yang menjalar dan merupakan tipe umum masyarakat Italia saat itu.

Page 166: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

166

Ditengah himpitan ekonomi keluarganya, gangguan kesehatan yang diderita Gramsci kecil makin menambah pemlasalahan. la menderita cacat tulang belakang yang memaksanya untuk berada ditempat tidur dalam waktu yang lumayan lama. Saat beranjak dewasa tubuhnya bungkuk dan sulit berjalan tegak. Ia tumbuh dengan tekanan psikologis, introvert dan paranoid pada penyangga tubuhnya. Diusianya yang ketujuh (l898), Gramsci kecil mulai memasuki masa pendidikan dasamya di Ghilarza, namun ditahun l903 ia terpaksa meninggalkan sekolahnya dan bekerja selama dua tahun pada kantor panitera setempat setempat guna menopang ekonomi keluarganya. Kebebasan ayahnya memungkinkan gramsci kecil untuk menyambung kembali studinya yang sempat terputus di kota tetangga Santulussurgiu, hingga pada tahun l908 ia berhasil menyelesaikan studinya dan meneruskan studi pada liceo senior di Cagliari. Adalah Genarro, seorang sosialis militan yang Juga kakaknya yang memperkenalkan Gramsci pada dunia politik. Sejak l906, Genarro mulai mengirim brosur tentang sosialisme pada adiknya. Ketertarikan Gramsci pada bacaan dan aktivitas kelompok sosialisme bahkan berlanjut hingga ia masuk dunia perkuliahan lewat beasiswa yang didapatnya( l9ll). Ketertarikan tersebut mendorongnya untuk bergabung dengan Partai Sosialis Italia di tahun l9l3. Pada tahun l9l4 Gramsci menulis artikel pertamanya bagi surat kabar sosialis II Grido del Popolo, dua tahun kemudian ia mulai bekerja sebagai jurnalis bagi surat kabar Partai Sosialis A vanti, serta menulis untuk II Grido del Popolo. Saat terjadi perpecahan di tubuh partai Sosialis italia, yang kemudian disusul dengan berdirinya Partai Komunis Italia, Gramsci terpilih sebagi pengurus pusat. Seiring dengan berjalannya waktu, perjalanan kehidupan Gramsci sebagai aktivis semakin menunjukkan arah pembentukan kepribadian sebagai aktifis dan minatnya untuk menekuni bidang media massa, kebudayaan, dan kritik ideologi semakin kokoh. Gramsci semakin tertarik mendalami bidang pengembangan pemikiran dan konsepsi ideologi kritik dan counter terhadap ideologi dominan yang dikembangkan oleh negara. Perjalanannya ini mengantarkannya menjadi pemimpin mingguan terbitan kaum sosialis yang sangat disegani di Turin ordine Nouvo (l9l9).

Pada tahun l922-l924, Gramsci mendarat di Rusia, ia datang sebagai anggota ekskutif komintern internasional komunis. Di sana ia menghabiskan waktu beberapa bulan, ia juga telibat aktif dalam berbagai macam perdebatan, diskusi, serta menelorkan pemikran-pemikiran kritisnya tentang sosialisme. Gramsci akhimya kembali ke Italia dan kemudian terpilih sebagai anggota parlemen Italia dari Partai Komunis (l924). Tahun l926 adalah tahun yang paling memilukan dalam perjalanan kehidupan Gramsci sebagai aktifis, namun tahun itu juga yang merupakan awal tahun yang membuatnya menjadi pemikir kritis yang besar hingga sekarang. Ia ditahan dan dijatuhi hukuman 20 tahun oleh rezim fasis Mushollini karena dituduh sebagai provokator. Dalam kehidupannya di penjara, berbekal sisa tenaga yang terus digerogoti oleh penyakit yang dideritanya, Gramsci memulai aktifias penulisan pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan cemerlangnya, ia juga banyak berdiskusi dengan para tahanan yang juga tokoh-tokoh komunis. Gramsci akhimya meninggal di kamar penjaranya karena mengalami pendarahan otak (27 april l937), namun gagasan revoluisioner Gramsci berhasil diselundupkan oleh Tatiana yang kemudian dikirimkan ke Moskow, dan sampai saat ini gagasan cemerlang Gramsci telah memberikan sumbangsih yang begitu berarti bagi perkembangan pemikiran dan teori perubahan sosial.

Page 167: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

167

Konsep Hegemoni Gramsci “Mengapa dan bagaimana negara modern bisa mendapatkan konsensus

atas kekuasaannya terhadap masyarakat”. Salah satu pandangan Gramsci yang cukup dominan adalah pandangannya tentang hegemoni yang merupakan ide sentral, orisinil dalam teori sosial dan filsafatnya. Gramsci pemah mengatakan bahwa 'jilsafat yang sejati bukan merupakan cabang kajian yang terisolasi, tetapi dalam dirinya sendiri mengandung seluruh anasir fundamental yang dibutuhkan untuk mengkonstruksi konsepsi tentang dunia yang total dan integral dan segala hal yang dibutuhkan untuk mewujudkan organisasi mmyarakat politik yang integral dalam kehidupan manusia'. (Gramsci, "Selections from Prison Notebooks", l933) Dasar epistemologi gramsci tentang hegemoni didasarkan pada kesadaran. Suatu keyakinan baru yang dimasukkan secara terselubung, pembiasaan maupun dengan doktrinasi kedalam atmosfer kesadaran kolektif-massif, yang kemudian memunculkan kesadaran yang relatif barul4. Hegemoni merupakan kondisi sosial dalam semua aspek kenyataan sosial yang didominasi atau disokong oleh kelas tertentu, hal yang demikian ini telah terkonstruk dengan sendirinya pada kesadaran dan pengetahuan masyarakat. Pandangan gramsci tentang hegemoni berangkat dari pandangannya bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas dibawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Hegemoni menegasikan hubungan dominasi dengan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Jika memang demikian halnya, maka hegemoni adalah suatu organisasi konsensus yang standar keberhasilannya ditentukan oleh kesepakatan yang diciptakan.

Konsep hegemoni gramsci ini diambil secara dialektis melalui dikotomi tradisional yang berkarakteristik pemikiran Italia, yakni dari Machiavelli (force), Pareto (Consent), serta Lenin (Strategy). Hegemoni merujuk pada pengertian tentang situasi sosial-politik yang dalam terminologi gramsci disebut 'momen', dimana filsafat dan praktik sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang. Dominasi merupakan konsep dari relitas yang menyebar dalam masyarakat melalui lembaga dan manifestasi perorangan, hal tersebut dapat berbentuk moralitas, adat, budaya, religi, prinsip politik, dan semua relasi sosial, terutama dari kalangan intelektual. Dalam hal ini Gramsci mencoba memperluas pengertian hegemoni sehingga tidak hanya menjelaskan relasi antar kelas-kelas politik (rulling class/ ruled class), akan tetapi relasi-relasi sosial yang lebih luas, seperti relasi gender, ras, agama bahkan gaya hidup.

Konsep 'hegemoni' tidak hanya berkaitan dengan dominasi politik, berupa 'kekuatan' (jorce), tetapijuga dengan dominasi lewat budaya, termasuk dominasi bahasa. Di dalam sebuah sistem kekuasaan tidak hanya diperlukan 'kekuatan' (senjata, militer), tetapi diperlukan juga 'penerimaan publik' (public consent) yang diperoleh lewat mekanisme kepemimpinan kultural

Antonio gramsci juga membedakan antara dominasi (kekerasan) dengan kepemimpinan moral dan intelektual "suatu kelompok sosial, bisa, bahkan harus, menjalankan kepemimpinan sebelum merebut kekuasaan pemerintahan (hal ini jelas merupakan salah satu sarat utama untuk memperoleh kekuasaan tersebut); kesiapan itu pada gilirannya menjadi sangat penting ketika kelompok itu menjalankan kekuasaan, bahkan seandainya kekuasaan tetap berada ditangan kelompok, mereka harus tetap memimpin". Makna strategi (sebagaimana menurut Lenin) diubah oleh Gramsci menjadi sebuah konsep hegemoni yang, seperti halnya konsep Marxis tentang kekuatan dan hubungan produksi, kelas

Page 168: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

168

dan negara, menjadi sarana dalam memahami masyarakat dengan tujuan untuk mengubahnya.

Teori hegemoni Gramsci pada dasamya merupakan kritik terselubung terhadap reduksionisme dan essensialism yang melekat pada penganut Marxisme maupun pemikiran non-Marxisme, yakni konsep yang mereduksi dan menganggap essensi terhadap suatu entiti tertentu sebagai satu-satunya kebenaran mutlak.ex; perselisihan tafsiran konsep seputar basic (ekonomi) dan super struktur (ideologi, politik, pendidikan, budaya), dimana tafsiran ortodoks Marxisme percaya bahwa basic ekonomi menentukan superstucture. Akibatnya sosialisme direduksi menjadi gerakan ekonomisme, dan bahkan perjuangan kelas direduksi menjadi hanya kelas ekonomi, sehingga gerakan itu hanya gerakan buruh, dan mengabaikan gerakan lainnya.

Salah satu prinsip lain hegemoni adalah kemampuan sebuah kelas untuk menyuarakan kepentingan kelompok sosial lainnya atas nama dirinya sendiri. Ada dua cara penyuaraan ini yang sangat berbeda: pertama, kepentingan-kepentingan kelompok ini diserap untuk menetralisimya agar tidak berkembang lebih jauh serta dapat diterima kalangan publik. Salah satu kunci memenangkan penerimaan publik adalah melalui penciptaan mekanisme commonsense. Yakni, pandangan umum bahwa sebuah gagasan dari kelompok hegemonis itu alamiah sifatnya,bukan ideologis.

Hubungan kekuasaan

Menurut Herbert Rosinski, kekuasaan merupakan suatu fenomena yang berhubungan dengan esensi manusia, yakni sebagai karakteristik yang khas dalam posisinya terhadap alamo Keberadaan manUSla merupakan suatu mahluk yang spesifik karena meskipun dia diperlengkapi dengan kemapuan-kemampuan biologis, tetapi Lenin tidak sepakat dengan Marx bahwa untuk menuju sosialisme hams menunggu matangnya kapitalisme yang akan memunculkan revolusi proletar secara alamiah. Bagi Lenin, revolusi tidak hams ditunggu, tapi hams diusahakan dan direkayasa. Untuk itulah maka Lenin tidak segan menggunakan kekuatan bersenjata guna mewujudkan revolusi.

Dengan demikian, Lenin mengugurkan pemikiran Marx, bahwa revolusi tergantung dari proses ekonomi. Bagi Lenin, revolusi hanya tergantung dari proses politik yang akan dilakukan (Sosialisme Marx dimata revisionis). Kehidupan manusia tidak sepenuhnya diprogram oleh keberadaan biologisnya. Dalam hal ini manusia mempunyai kemampuan untuk bertindak (action). Rosinski juga menyebut manusia sebagai Homo Agent, yaitu mahluk yang mempunyai self programming. Dengan pengertian yang luas, kekuasaan merupakan kemampuan manusia untuk berbuat sesuatu yang lain dan yang lain. Inilah yang menurut Giafranco Poggi disebut sebagai homo Potens. Bagi Poggi, kekuasaan merupakan sifat kritis dalam hubungan antara manusia dengan alamo Dalam hal kekuasaan sosial, Poggi juga sependapat dengan Max Weber yang mendefinisikan kekuasaan sebagai suatu kemungkinan dalam rangka hubungan-hubungan sosial untuk melaksanakan keinginan seseorang, sungguhpun terdapat tantangan, dan tidak tergantung kepada dasar-dasar dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.

Catatan penting gramsci mengenai kekuasaan berangkat dari pernyataan bahwa tingkat perkembangan suatu kekuatan material produksi menjadi dasar bagi munculnya berbagai kelas sosial, yang masing-masing mempunyai kelas khusus dalam produksi. Dalam hal ini Gramsci mencoba

Page 169: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

169

menganalisa mengenai hubungan berbagai kekuatan politik. Disini Gramsci membaginya pada tiga fase perkembangan kesadaran politik kolektif dan organisasi. Dua fase pertama adalah fase ekonomi-korporasi, sedang yang ketiga adalah fase hegemonik. Fase ekonomi-korpoarsi lebih didasari oleh adanya tuntutan persamaan hak, kepentingan bersama semua kelas, akan tetapi masih dalam batasan bidang ekonomi. Sedangkan fase ketiga adalah tahapan pertarungan ideologiideologi yang ada hingga salah satunya, ataupun persekutuan ideologi tersebut dapat memenangi dan menyatukan tujuan ekonomi, politik, moral, intelektual, sehingga perjuangan berlangsung pada aras universal, bukan lagi sekedar korporasi. Hal yang demikian ini, pada akhirnya dapat menciptakan hegemoni kelompok sosial yang kuat atas kelompok lain yang ada dibawahnya. Bagi Gramsci, suatu kelas akan menjadi hegemoni jika mampu melewati fase korporasinya, dan berhasil menyatukan kepentingan kelas dan kelas sosial lain dengan kepentingan sendiri, serta berhasil menjadi representasi penuh dari kekuatan sosial yang ada.

Nasional-kerakyatan

Bagi Gramsci, suatu kelas tidak akan akan mampu mencapai kepemimpinan nasional, dan menjadi kelas yang hegemonik, jika mereka masih bersifat eksklusif, membatasi diri pada kepentingan kelasnya. Disini, mereka dituntut untuk menampung dan mempertimbangkan aspirasi dan perjuangan dari kelas-kelas dibawahnya, ataupun dari orang-orang yang tidak mempunyai karakter kelas. Dalam hal ini, Gramsci menjelaskan peran yang menentukan yang dimainkan oleh Jacobin dalam menciptakan bangsa prancis, ia menekankan watak kerakyatan dari hegemoni yang mereka bangun, mengorganisir kehendak kolektif nasional-rakyat, dan mendirikan negara-negara modern. Dalam situasi yang demikian ini, hegemoni tak lagi hanya mempunya dimensi kelas, tetapi juga mempunyai dimensi nasional-kerakyatan. Penyatuan berbagai perjuangan dan gerakan dalam prosesnya tidak terlepas dari perubahan pandangan dan kesadaran masyarakat yang terlibat, yang menurut Gramsci, terlibat dalam reformasi moral dan intelektual. Gagasan nasional-kerakyatan mungkin paling tepat dan akan mudah dipahami sebagai penjelasan akan suatu bentuk dari 'blok historis, antara aspirasi nasional dengan aspirasi rakyat dalam sebuah formasi dimana kaum intelektual memainkan peran perantara penting didalamnya.

Revolusi Pasif

Perbedaan yang mencolok antara revolusi pranClS dan risorgimento italia mendorong Gramsci untuk mengembangkan konsep revolusi pasif (Passive revolution). Dalam revolusi prancis, Jacobin mampu memobilisir rakyat untuk melakukan perjuangan revolusioner dengan cara mendukung tuntutan kaum tani dan membangun aliansi dengan mereka. Apa yang dilakukan oleh Jacobin sangat berbeda dengan apa yang dilakuakn oleh Cavour dan Partai Moderat dalam penyatuan Italia dan naiknya kaum borjuis pada puncak kekuasaan yang sarna sekali tidak melibatkan perjuangan rakyat. Mereka hanya menggunakan negara piedmont dengan tentara, serta kerajaan dengan birokrasinya. Tidak ada upaya untuk mengkoordinasikan tuntutan ataupun kepentingan-kepentingan kaum buruh, tani ataupun kelas-kelas dibawahnya.

Page 170: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

170

Risorgimento mengambil bentuk 'revolusi dari atas', yang digerakkan melalui agen negara piedmont. Strategi kaum borjuis italia ini mempunyai karakter revolusi pasif, dimana kelompok moderat hanya membangun hegemoni mereka melaui partai aksi, tidak mencoba membangun hegemoni atas kaum tani, buruh, dan mayoritas penduduk. Dalam revolusi pasif, negara mempunyai peran yang sangat signifikan, dimana negara manggantikan peran kelompok sosial dalam memimpin perjuangan pembaruan. Hal ini berarti negara telah menggantikan, bahkan telah merebut hegemoni kelas ataupun kelompok tertentu. Upaya penjinakan rakyat pada masa risorgimento juga tidak dapat berjalan dengan baik, bahkan rakyat cenderung herois, seperti yang terjadi di kota Milan dan Roma tahun l848-l849 dan ekspedisi Garibaldi ke Sisilia tahun l860. Menurut Gramsci, revolusi pasif dalam risorgimento tidak mempunyai kualitas nasional-kerakyatan. Dalam hal ini, kaum borjuis Italia hanya mampu mencapai tingkat hegemoni yang terbatas. Bagi Gramsci, munculnya fasisme pada tahun l920-an di. Italia juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah risorgimento.

Konsep revolusi pasif masih dapat diperluas sehingga mencakup revolusi sosialis disamping revolusi borjuis. Dalam transisi menuju sosialisme ini, strategi kelas pekerja harus mempunyai karakter revolusi anti-pasif (anti-passive revolution), yang dibangun dengan memperluas jaringan perjuangan kelas dan demokrasi kerakyatan dengan tujuan memobilisasi seluruh lapisan masyarakat dalam memnperjuangkan reformasi demokrasi. Tentunya strategi anti-pasif ini masih membutuhkan analisa yang mendalam terhadap masyarakat sipil, pembagian wilayah perjuangan kelas, dan demokrasi kerakyatan. Masyarakat Sipil, Negara, dan Watak Kekuasaan

Masyarakat sipil adalah suatu wadah perjuangan kelas dan perjuangan demokrasi kerakyatan, dengan kata lain, masyarakat sipil juga memberikan kesempatan bagi kelompok sosial yang dominan untuk mengatur konsensus dan hegemoni. Bagi kelompokkelompok sosial yang lebih rendah (subordinate), masyarakat sipil juga merupakan wadah bagi mereka dalam menyusun perlawanan dan membangun hegemoni altematif-hegemoni tandingan (Counter hegemony).

Gramsci juga membedakan masyarakat sipil dengan masyarakat politik: "apa yang bisa kita lakukan, untuk saat ini, adalah menyatukan dua 'tingkat' suprastruktur utama; yang pertama bisa disebut 'masyarakat sipil', yaitu bagian dari kelompok yang disebut 'private', dan kedua 'masyarakat politik' atau 'negara '. Keduanya disatu sisi, memiliki fungsi-fungsi 'hegemoni' yang dilakukan oleh kelompok dominan dalam masyarakat, dan, disisi lain, juga mempunyai fungsi-fungsi 'dominasi langsung' yang dilakukan oleh negara dan pemerintahan 'hukum’. Masyarakat sipil disini mencakup semua apa yang disebut dengan organisasi swasta (private) seperti gereja, serikat dagang, partai politik, dan asosiasi budaya yang berbeda dari proses produksi dan aparat negara. Namun gramsci memisahkan salah satu perangkat lembaga-lembaga tersebut dari organisasi masyarakat sipil, yakni aparat yang membentuk negara, hal ini karena mereka dinilai mempunyai monopoli yang bersifat koersif.

Dalam beberapa paragraf dalam prison Notebooks Gramsci juga mengatakan bahwa masyarakat sipil adalah masyarakat etika atau moral, karena dalam masyarakat sipil-Iah hegemoni kelas dominan dibangun melalui mekanisme perjuangan politik dan ideologis. Istilah masyarakat politik dipakai Gramsci bagi hubungan-hubungan koersif yang terwujud dalam berbagai lembaga Negara - angkatan bersenjata, polisi, lembaga hukum, dan penjara,

Page 171: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

171

semua departemen yang mengurusi pajak, keuangan, perdagangan, industri, keamanan, sosial, dll, yang tergantung pada upaya akhir dari efektifitas monopoli negara dalam melakukan tindakan koersif. Dalam konteks yang demikian ini, aparat negara memegang peranan yang begitu dominan dalam menciptakan kesepakatan.

Gramsci juga menilai bahwa negara merupakan suatu kompleks dari aktifitas praktis dan teoritis dimana kelas penguasa tidak hanya mempertahankan dominasinya namun juga memperoleh persetujuan dari kelompok lain yang berada dibawah kekuasaannya. Hal ini sejalan dengan pernyataannya yang mengatakan bahwa negara adalah masyarakat sipil ditambah dengan masyarakat politik. Dengan kata lain, hegemoni yang dilindungi tameng koersif. Gramsci menyebutnya negara integral yang dipertentangkan dengan negara dalam arti umum, yang kadang disebut juga 'negara sebagai pemerintahan' (stato-governo) disamping istilah 'masyarakat politik'. Gramsci mencoba membedakan antara masyarakat sipil (wilayah hegemoni) dan Negara (wilayah koersif), Gramsci juga menggunakan negara dalam arti umum dan negara dalam arti kekuasaan.

Hubungan sosial dari masyarakat sipil adalah hubungan kekuasaan seperti halnya hubungan koersif negara, walaupun dengan cara yang berbeda. Kekuasaan dijalankan oleh kelas hegemoni atas kelas-kelas yang dikuasainya disamping kekuasaan negara yang menjalankan dominasinya dalam negara. Kekuasaannya menjelma dalam aparat koersif negara yang tersebar dalam masyarakat sipil. Marxisme klasik, termasuk Leninisme, memandang bahwa kekuasaan itu terpusat pada negara dan berada dibawah control penuh kelas pemilik modal. Watak kekuasan pun masih sarna dengan sebelumnya ; kekuasaan masih berada dalam genggaman negara. Namun, konsep Gramsci tentang negara integral menunjukkan arah yang berbeda dalam menjelaskan watak kekuasaan yang dianggapnya sebagai 'hegemoni yang dilapisi kekerasan,. Baginya, kekuasaan hams dipahami sebagai suatu hubungan. Termasuk hubungan so sial dalam masyarakat sipil dalam membentuk masyarakat sipil, demikian juga aparat negara yang bersifat koersif. Gramsci menginginkan kekuasaan ini merata kedalam selumh lapisan masyarakat sipil agar tercapai tingkat hegemoni yang kuat dalam masyarakat sipil.

Memahami pentingnya studi Gramsci mengenai hegemoni

Tulisan-tulisan Gramsci mengenai hegemoni menjadi menarik karena sebelum Gramsci, konsep hegemoni belumlah menjadi konsep yang sentral dalam teori sosial marxis (Konsep yang menjadi fokus perhatian serius gramsci). Saya mengutip bahwa ada beberapa hal yang menarik dan mempengaruhi Gramsci dalam pandangannya mengenai hegemoni, diantaranya: 1) Konsep Gramsci mengenai negara dan hegemoni, 2) Pengaruh historis Italia pada masa itu terhadap pandangan Gramsci mengenai hegemoni, 3) Penafsiran Gramsci mengenai metode Marx terhadap negara dan hegemoni, 4) Pandangan Gramsci yang memiliki perbedaan dengan pandangan Marxist lainnya mengenai hegemoni.

Dalam perjalanannya, Gramsci dimunculkan sebagai pemikir kuat mengenai hegemoni karena pada metode marxisme, negara dan hegemoni belumlah tersistematisasi. Konsepsi Marxis tentang kontrol negara sering diambil dari kritik Marx terhadap Hegel, namun ada beberapa dasar teoritis dari Marx yang dapat dijadikan basis argumentasinya terhadap kontrol negara. Marx

Page 172: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

172

memandang kondisi material dari masyarakat sebagai basis dari struktur sosial dan kesadaran manusia. Maka, bentuk negara pun muncul dari hubungan produksi, dan bukan dari keinginan manusia untuk berkolektif. Sebuah formulasi yang kontras dari apa yang di sebutkan Hegel, suatu bentuk negara “rasional” yang di bangun atas dasar hubungan etis dan harmoni yang ada dalam elemen-elemen masyarakat.

Marx yang menolak pernyataan bahwa negara merupakan kesepakatan dari seluruh masyarakat menyebutkan identifikasinya terhadap negara kapitalis sebagai suatu masyarakat klas, yang didominasi oleh borjuis, karenannya negara pada keadaan itu merupakan ekspresi politik dari klas dominan. Dan seperti apa yang di terjemahkan lenin dari metode marx tersebut, negara merupakan kekuatan pengatur kelas. Gramsci memaparkan bagaimana konsep marx tentang kontrol negara tidak berjalan baik di eropa barat. Gramsci memakai konsep hegemoni untuk menjabarkan dan menganalisa bagaimana masyarakat kapitalis modern diorganisir. Menurutnya , kaum borjuis inggris telah relatif sukses memimpin hegemoni pada masyarakat sipil, pada negara dan ekonomi. Walaupun secara kontras, para borjuis italia selatan tidak dapat menjalankan konsep hegemoni di Italia.

Oleh karena itu hegemoni negara haruslah dipahami dari analisis terhadap kelas dominan dalam suatu negara. Seluruh aspeknya haruslah diperhatikan, sebagai kekuatan (force) lalu ditambah persetujuan (consent). Lebih lanjut, hegemoni menurut Gramsci merujuk pada pengertian tentang situasi sosial politik, dalam terminologinya disebut ‘momen’ dimana filsafat dan praktek sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang: dominasi merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga dan manifestasi perorangan. Pengaruh dari ‘spirit’ ini membentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik dan semua relasi sosial, terutama dari intelektual. Hegemoni selalu berhubungan dengan penyusunan kekuatan negara sebagai kelas diktator.

Negara dan Hegemoni menurut Gramsci

Perlu ditegaskan kembali bahwa upaya teoritis yang dilakukan leh Gramsci merupakan produk dari pencarian hubungan antara teori dan praktek dalam Marxisme. Konsep Gramsci sebagai seorang Marxis tentangnegaradan hegemoni merupakan bagian dari praktek revolusioner yang dilakukannya. Ia mengadopsi dikotomi tradisional secara dialektekis dari Niccolo Machiavelli hingga Pareto dan sebagian lagi ia ambil dari Lenin. Pada kenyataanya Gramsci “menggodok” konsep hegemoni guna menjawab pertanyaan-pertanyaannya pada masa itu. Tentang kegagalan kaum proletariat barat yang gagal menciptakan “revolusi bolshevik II” sehingga di perlukannya negara integral atau di perluas dan kondisi politik italia yang “menurutnya” memerlukan revolusi. Hegemoni dalam bahasa Yunani kuno disebut “eugemonia”, sebagaimana di kemukakan encyclopedia britanica. dalam prakteknya di Yunani, “eugemonia” di terapkan untuk menunjukan dominasi posisi yang di klaim oleh negara-negara kota. Hegemoni menebalkan makna sebuah kepemimpinan dari suatu negara tertentu yang bukan hanya sebuah negara kota dengan negara yang lain yang berhubungan secara longgar maupun ketat terintegreasi dalam negara pemimpin. Dalam konteks politik internasional, perang dingin antara amerika serikat dan Uni Sovyet merupakan perjuangan untuk menjadi kekuatan hegemonik dunia.

Page 173: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

173

Konsep hegemoni Gramsci dapat di elaborasikan dari argumennya tetang basis da supremasi kelas:

Supremasi sebuah kelompok mewujudkan diri dalam dua hal cara, sebagai “dominasi” dan sebagai “kepemimpinan intelektual dan moral”, dan di satu pihak, sebuah kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk menghancurkan atau menundukan mereka, bahkan mungkin menggunakan kekuatan bersanjata; di lain pihak, kelompok-kelompok memimpin kelompok kerabat atau sekutu mereka. Sebuah kelompok sosial dapat dan bahkan harus sudah menerapkan “kepemimpinan” sebelum memenangkan kekuasaan kepemerintahan (kepemimpinan tersebut merupakan syarat-syarat utama untuk mendapatkan kekuasaan semacam itu). Kelompok sosial tersebut kemudian menjadi dominan ketika dia mempraktekan kekuasaan, tapi bahkan bila ia sudah memegang kekuasaan penuh di tangannya, dia masih harus “memimpin” juga. (Gramsci, 1976; 57-58) Kutipan diatas jelas menunjukan suatu totalitas yang didukung oleh

kesatuan dua konsep: kepemimpinan (direction) dan dominasi (dominance). Hubungan kedua konsep ini menyiratkan tiga hal: 1. Dominasi dijalankan atas seluruh musuh dan kepemimpinan dilakukan atas

segenap sekutu-sekutu 2. Kepemimpinan adalah suatu prakondisi untuk menaklukan aparatur negara,

atau dalam artian sempit adalah kekuasaan pemerintahan. 3. Sekali kekuasaan negara dapat dicapai maka dua aspek supremasi klas ini,

baik pengarahan atau dominasi tetap berlanjut. Hegemoni juga merujuk pada kedudukan ideologis satu atau lebih

kelompok atau kelas dalam masyarakat sipil yang lebih tinggi dari yang lainnya. Kapitalisme bertahan karena kaum buruh menerima keadaan umum ini, dominasi budaya borjuis membuat penggunaan kekuatan politik tak perlu untuk mempertahankan kekuasaan. Sehingga massa harus di bebaskan dari keterpesonaan pada hegemoni budaya kelas kapitalis sebelum perlawanan yang berhasil terhadap negara bisa terjadi.

Lebih lanjut, ada hal-hal yang di simpulkan oleh gramsci sekitar masalah hegemoni: 1. Hegemoni kelas yang berkuasa terhadap eklas yang dikuasai, sesungguhnya

di bangun oleh konsensus bersama, yaitu tentang penerimaan spontan psikologis tantang penerimaan sosiopolitis atau aspek-aspek aturan yang lain.

2. Taylorisme: hegemoni terhadap kaum pekerja, dimana pekerja di jadikan “mesin” yang ber-sistem automatis dengan segala keistimewaannya. Maka manusia di hubungkan dengan faktor produksi dan efisiensi, yang nantinya akan mengurangi “solidaritas buruh”.

3. Negara Integral: perpaduan dari negara yang di pimpin oleh sekelompok masyarakat politik dan dan kedaulatan civil society, dengan solusi penyatuan alat-alat kekerasan (means of coercion) dan alat pendirian kepemimpinan hegemonis (means of establishing hegemonic leadership), seperti agama, pendidikan, media dan lain-lain.

Page 174: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

174

Negara (masyarakat politik) Masyarakat sipil Kediktatoran Hegemoni Aparat pemaksaan (polisi,

administrasi, birokrasi dll) Aparat hegemoni (kebudayaan,

politik, ekonomi) Pemerintahan (negara dalam arti

sempit) Negara dalam arti integral

Negara sebagai aparat kekuasaan

Negara sebagai organiser persetujuan

Dominasi Kepemimpinan Akan Selalu Ada Hegemoni

Changes in the international economic structure are two kinds; changes within a structure and changes of structure. Changes within a structure occur within specific categories. A hegemonic leaders willingness and ability to stabilize the international economy, for exemple, is affected as its relative size increase or decrease, even though it may remain in a position of hegemony. More important, changes of structure occur where any middle-or large sized nation changed category. Thedecline of hegemonic leader into a opportunist, the rise of protectionist free into a spoiler, etc. like two hegemony: united kingdom until 1912 and united states, 1945-1965. Pernyataan Gilpin diatas menggambarkan adanya pergeseran lempeng

politik dalam politik inter nasional yang selalu bergerak, seperti pergeseran hegemoni antara inggris dan Amerika. Hegemoni merupakan sesuatu hal yang tidak dapat di hindari oleh politik internasional, konflik internasional selalu melahirkan kekuatan besar yang akan menjadi “hegemonic power”. Hanya saja hegemoni seperti apa yang lebih sedikit merugikanatau bahkan menguntungkan.

Hegemoni yang terjadi pada masa perang dingin merupakan contoh dari hegemoni bipolar yang terjadi lebih dari satu kekuatan hegemon. Penyebaran kekuatan dan pengaruh, menyentuh titik intensitas tertinggi diantara negara Amerika dan Uni Sovyet. Yang jika di biarkan maka akan mencapai titik klimaks berupa perang besar antara kedua negara dan blok sekutunya. Kekurangan hegemoni ini ialah negara-negara kecil menjadi pion simbol-simbol unjuk pengaruh antara negara yang sedang memperebutkan kekuatan hegemoni. Seperti apa yang terjadi di Vietnam, selain negara tersebut terbelah menjadi dua. Bencana kemanusiaan pun terjadi karena kedua senjata berusaha unjuk kekuatan senjata melalui perang ini. Namun jika hanya ada satu kekuatan negara hegemoni, maka hal yang jauh lebih buruk akan segera terjadi. Saat kekuatan hegemon tak memiliki lagi rival seimbang maka kekuatan hegemon ini semakin sewenang-wenang. Kebijakan luar negeri yang dekstruktif dengan menggunakan dua kekuatan hegemon, seperti yang di sebutkan Gramsci:

1. Means of Coercion: senjata 2. Means of Establishing hegemonic leadership: media

Bahkan kebijakan yang nyata-nyata sewenang-wenang tidak lagi dapat di kontrol dan di gugat karena tidak adanya pihak opositor yang berani bertindak nyata. Sepertiyang terjadi pada Amerika serikat yang melakukan Agresi militer ke negara Irak tanpa alasan yang dapat di buktikan, Menduduki afganistan dan mendukung kekejaman negara tidak beradab “Israel” dalam penyerangannya ke Libanon.

Page 175: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

175

Hand-Out 06: PEMIKIRAN TEOLOGI PEMBEBASAN PROGRESSIF

DAN GERAKAN ISLAM KIRI Prawacana

Identifikasi “kiri” dan “kanan” dalam dunia pemikiran selalu dikaitkan dengan karakteristik dari wacana yang dikembangkan. Karakteristik dari wacana kiri antara lain adalah bersifat revolusioner, radikal, anti-kemapanan, solidaritas terhadap minoritas dan kaum tertindas, baik ketertindasan secara fisik maupun nonfisik (pemikiran). Sedangkan wacana “kanan” biasanya pro-status quo, berpihak kepada mayoritas, tidak revolusioner dan tidak radikal (lihat Hassan Hanafi, al-Din wa al-Tsaurah, Jilid VII, 1989). Wacana “kanan” yang melekat pada agama mengantarkan Karl Marx untuk mengatakan bahwa agama itu candu (opium).

“Kiri” pada mulanya merupakan sebuah istilah politik yang berarti resistensi, kritisisme serta menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Dengan menggunakan parameter tersebut, wacana kiri sebenarnya bisa memasuki seluruh aspek sosial kemanusiaan, karenanya “kiri” juga menjadi terminologi ilmu-ilmu kemanusiaan secara umum sebagaimana dalam psikologi ada pemikiran psikologi kiri Freud, dalam filsafat ada filsafat kiri Hegel dan sebagainya.

Dalam tradisi keilmuan Islam hal yang sama juga terjadi. Dalam konsepsi teologis, Mu'tazilah kiri dan Asy'ariyah kanan. Dalam filsafat terdapat filsafat rasionalisme-naturalistik Ibnu Rusyd yang kiri dan filsafat iluminasi-emanasi al-Farabi dan Ibnu Sina kanan. Dalam Fiqih (hukum Islam), Mazhab Maliki yang berbasis pada prinsip al-maslabat al-mursalah adalah kiri dan fiqih normatif Hanafiyah adalah kanan. Dalam sejarah Islam, peristiwa fitnat al-kubra, Ali bin Abi Thalib adalah kiri dan Mu’awiyah kanan, Husein bin Ali kiri dan Yazid bin Mu'awiyah kanan. Syi’ah adalah kiri dan Sunni kanan, demikian seterusnya (Hassan Hanafi, al-Yasar al-Islami, 1981). Meskipun pemikiran Hassan Hanafi tersebut masih mungkin untuk dikritik, namun yang jelas, dalam konteks sosiologi pengetahuan, “kiri” telah menjadi istilah akademis tanpa potensi politik.

Dalam perspektif demikian, wacana kiri akan selalu hadir dalam kondisi di mana masyarakat berada di bawah kekuasaan yang hegemonik, menindas dan otoriter. Kehadiran wacana kiri paling tidak membawa empat misi penting: pertama, mengobarkan semangat perlawanan terhadap apa saja yang dianggap menindas; Kedua, berupaya membebaskan manusia dari keterkungkungan; Ketiga, memberi landasan paradigmatik terhadap berbagai gerakan perlawanan; Keempat, pemihakan terhadap masyarakat kecil, tertindas, lemah dan terpinggirkan.

Harus diakui, dalam konteks kehidupan modern, semangat radikal-revolusioner tersebut adalah prototipe dari marxisme. Hal itu bisa dimaklumi, karena Karl Marx dengan teori “pertentangan antarkelasnya” seolah menjadi inspirator bangkitnya kaum proletar (kaum tertindas) untuk melawan kaum borjuis (penindas) dalam pengertian yang sangat luas. Atas dasar itu tidak mengherankan jika semangat marxisme dijadikan sebagai “maskot” dari wacana kiri itu. Dalam perspektif demikian, wacana kiri dalam pemikiran keagamaan (Islam) yang belakangan begitu marak, juga disemangati oleh pemikiran marxisme, yaitu semangat untuk melakukan pembebasan dari berbagai macam bentuk ketertindasan.

Page 176: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

176

Harus diakui, pemikiran Karl Marx yang memang merupakan respons terhadap sistem kapitalisme pada zamannya, terasa lebih membumi karena menggunakan “bahasa bumi”, sedangkan agama (Islam) yang menggunakan “bahasa langit” tidak bisa secara langsung menyentuh aspek sosial manusia, sehingga secara spesifik perlu ditafsirkan menjadi bahasa bumi. Pada tingkat penafsiran inilah, agama yang semestinya mempunyai fungsi pembebasan justru berubah menjadi sebaliknya, pengekangan melalui proses ortodoksi.

Proses ortodoksi dalam pemahaman keagamaan telah mereduksi semangat liberalisme agama. Dalam konteks Islam, kehadiran Islam sebenarnya merupakan sebuah revolusi yang selama berabad-abad telah berperan secara signifikan dalam kehidupan manusia. Sejarah membuktikan, Islam telah menjadi penanda (signifier) perubahan dalam semua aspek kehidupan, bukan saja teologi tetapi juga sosial dan ekonomi. Namun demikian, setelah Nabi Muhammad SAW meninggal terjadi perebutan kekuasaan yang berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompok sehingga perjalanan sejarah menunjukkan grafik menurun. Yang tampak kemudian adalah agama yang cenderung status quo, tidak memihak kaum tertindas, bahkan melanggengkan adanya penindasan. Karenanya, Islam kehilangan daya gerak revolusionernya (revolutionary striking force) sampai sedemikian jauh.

Wacana kiri menawarkan antitesis terhadap pemahaman keagamaan yang tidak memihak kaum lemah tersebut dengan cara menggali kembali nilai-nilai revolusioner di dalam teologi. Dalam konteks Islam, Asghar Ali Engineer (1999) mengatakan bahwa hal tersebut paling tidak dilantasi tiga alasan.

Pertama, Islam, terutama teologi Islam, yang selama ini berkembang telah kehilangan relevansinya dengan konteks sosial yang ada. Kedua, teologi itu pasti mengalami demistified dari apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Islam. Ketiga, mengembalikan seperti semula komitmen Islam terhadap terciptanya keadilan sosio-ekonomi dan terhadap golongan masyarakat lemah.

Wacana kiri tampil dengan berbagai macam tema. Dalam teologi misalnya muncul semangat teologi pembebasan (theology of liberation) yang pada mulanya muncul dalam dunia Kristen. Semangat dari teologi ini adalah membebaskan manusia dari berbagai macam bentuk keterbelengguan sebagaimana semangat revolusioner yang ada dalam semua agama. Seandainya Marx masih hidup, agama yang mempunyai semangat revolusioner untuk membebaskan masyarakat dari ketertindasan semacam ini tidak mungkin akan dikatakan candu.

Di sinilah ada titik temu antara agama (Islam) dengan marxisme. Namun harus ditegaskan, afinitas itu terjadi pada tingkat analisis sosial, tidak pada dasar filsafatnya. Dasar filsafat agama dengan marxisme berbeda, jika yang pertama lebih menekankan pada aspek transendensi (wahyu) dan teosentris, sedangkan yang kedua didasarkan pada “materialisme historis” dan bersifat antroposentris. Perbedaan dasar filsafat ternyata tidak menjadi penghalang, adanya titik temu pada tingkat analisis sosial, yaitu kesamaan semangat pembebasan. Pun pada tingkat semangat pembebasan ini juga terjadi perbedaan. Jika semangat pembebasan marxisme sangat materialistik, duniawi, sosial; sedang agama semangat pembebasannya tidak hanya pada aspek material, tetapi juga pembebasan secara spiritual. Namun, sayangnya, selama ini agama terlalu menekankan pada pembebasan spiritual dan kurang peduli pada pembebasan yang bersifat sosial material. Di situlah marxisme mampu memberi perhatian pada wilayah yang selama ini diabaikan oleh agama.

Page 177: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

177

Ada pekerjaan besar yang harus dilakukan para agamawan jika ingin mengembalikan semangat revolusioner agama, yaitu menjadikan agama sebagai proses liberalisasi. Proses liberalisasi ini meniscayakan tiga syarat penting. Pertama, membebaskan diri dari keterikatan teks agama secara berlebihan. Hal ini bukan berarti teks agama menjadi tidak penting, tetapi teks agama harus dilihat sebagai jalan untuk mencari inspirasi pembebasan.

Kedua, melepaskan diri dari kungkungan tradisi dalam pengertian luas, termasuk tradisi pemikiran keagamaan yang tidak memihak pada kaum tertindas. Ketiga, melepaskan diri dari kungkungan sejarah yang menjadikan kita sulit untuk melakukan ekspresi secara liberal terhadap agama. Tiga hal tersebut sepintas memang tidak realistis, tetapi itulah prasyarat penting yang harus dilakukan. Apakah kaum agamawan sanggup melakukan itu? Biar sejarah yang akan menguji. Kiri Islam Hassan Hanafi

Kiri Islam Hassan Hanafi Merupakan Bentuk Kritik atas Problem Modernitas di Dunia Ketiga. Kazuo Shimogaki, pemerhati Timur Tengah asal Jepang, merasa terpesona pada pemikiran Hassan Hanafi dengan Kiri Islamnya. Kiri Islam berupaya menggali dan mewujudkan makna revolusioner dari agama, sebagai konsekuensi dari keberpihakannya kepada rakyat yang lemah dan tertindas (al-mustadl`afîn).

Sehingga ia mendapatkan tempatnya tersendiri dalam konstelasi “pemikiran-pemikiran alternatif”. “Kiri Islam bukanlah Islam yang berbaju Marxisme, karena itu menafikan makna revolusioner dari Islam sendiri. Ia juga tidak berarti bentuk eklektik antara Marxisme dengan Islam, karena hal demikian hanya menunjukkan bentuk pemikiran yang tercerabut dari akar, tanpa pertautan yang erat dengan realitas kaum muslimin. Namun jelas, Kiri Islam akan mengusik kemapanan: kemapanan politik dan agama.” Demikian tegas Kazuo Shimogaki dalam bukunya, yang diterjemahkan LKIS Yogyakarta: Kiri Islam Antara Modernisme dan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi. Buku tersebut diterjemahkan dari judul aslinya: Between Modernity and Postmmodernity The Islamic Left and Dr Hassan Hanafi’s Though: A Critical Reading.

Radikalitas, progresivitas, kontekstual, dan resistensi yang menggelora terhadap arus hegemoni peradaban Barat, adalah nuansa-nuansa Kiri Islam yang segera menggeliatkan Shimogaki pada arus baru “dekonstruksi peradaban” yang dewasa ini sangat deras mengalir dan dikenal luas sebagai gelombang “posmodernisme”. Yaitu rangkaian tendensi teoritik dalam berbagai bidang, baik seni maupun pengetahuan, untuk membongkar “aporia” peradaban modern yang dibangun di atas landasan humanisme dan rasionalisme dalam pikiran manusia dan membunyikan bias kekerasan erosentrisme-imperialistik dalam wacana modernisme. Menurut Kazuo, Hassan Hanafi meskipun menolak dan mengkritik Barat, namun ia tak pelak lagi, terhadap ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme, dan pencerahan yang telah mempengaruhi pemikirannya. Lanjut Shimogaki, Hassan Hanafi tergolong seorang modernis-liberal, seperti Luthfi al-Sayyid, Thâha Husain, dan al-Aqqâd. Salah satu keprihatinan utama Hassan Hanafi adalah bagaimana melanjutkan proyek yang didesain untuk membuat dunia Islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Lanjut Shimogaki, kita dapat menengarai tiga wajah dalam rangka memantapkan posisi pemikirannya dalam dunia Islam, terutama dalam kaitannya dengan Kiri Islam.

Page 178: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

178

Wajah pertama, peranannya sebagai seorang revolusioner. Wajah kedua, sebagai figur seorang reformis tradisi intelektual Islam klasik, seperti Muhammad Abduh. Wajah ketiga, sebagai penerus gerakan al-Afghani (1838-1896), yaitu dalam hal perjuangan melawan imperialisme kultural Barat dan penyatuan dunia Islam. Sebagai seorang reformis pemikiran Islam, Hanafi mengunggulkan satu bagian dari khazanah klasik yang berbasis pada rasionalisme, dan ia tidak kompatibel dengan posmodernisme. Ini menurut Kazuo menjadi problem serius dalam pemikiran Hanafi. Dalam hal kritik terhadap Barat, meskipun Hassan hanafi secara langsung dan bersemangat mengkritik Barat, namun menurut Kazuo, ia tidak pernah mendefinisikannya secara tuntas. Tapi itu, sangat dapat dimengerti, karena Barat bagi Hanafi adalah sebuah entitas negara-negara atau entitas politik yang terkait dengan imperialisme. Dengan demikian dalam pandangan Kiri Islam, Barat adalah sebuah agregat dari suatu kawasan, rakyat, peradaban, masyarakat, dan politik yang terkait dengan penjajahan. Ia menegaskan bahwa salah satu tugas Kiri Islam adalah mengembalikan Barat pada batas alamiahnya. Ini tidak berarti mengembalikan “Barat” secara geografis, tetapi menghalau segala pengaruh kultural Barat yang merasuk ke dalam rusuk umat Islam dan bangsa-bangsa muslim.

Sekilas tentang Munculnya Kiri Islam Kemunculan Kiri Islam diawali dengan jurnal berkalanya Hassan hanafi, berjudul al-Yasâr al-Islâmî: Kitâbât fî al-Nahdlah al-Islâmiyyah (Kiri Islam: Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Di dalamnya didiskusikan beberapa isu penting berkaitan dengan Kebangkitan Islam. Dapat dikatakan, secara singkat Kiri Islam bertopang pada 3 (tiga) pilar untuk kebangkitan Islam: mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan kesatuan umat. Pilar pertama, revitalitas khazanah Islam klasik. Hassan Hanafi menekankan perlunya rasionalisme untuk merevitalisasi khazanah Islam itu. Rasionalisme, menurutnya, merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan serta memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Kedua, perlunya menantang peradaban Barat. Untuk ini, ia mengusulkan dan mengusung “Oksidentalisme” sebagai jawaban “Orientalisme” dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat. Ketiga, analisis atas realitas dunia Islam. Untuk hal ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nashsh), dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri. Menurut Hassan Hanafi, dunia Islam kini sedang menghadapi 3 (tiga) ancaman: yaitu (1) imperialisme, zionisme, dan kapitalisme dari luar; (2) kemiskinan; (3) ketertindasan dan keterbelakangan dari dalam. Kiri Islam berfokus pada problem-problem era ini. Dengan demikian, Kiri Islam relevan diterapkan. Menurut Hassan Hanafi, ada beberapa kecenderungan yang penting didiskusikan bagi masa depan dunia Arab-Islam. Pertama, adanya kecenderungan kooptasi agama oleh kekuasaan, dan praktik keagamaan diubah menjadi semata-mata ritus. Kedua, liberialisme, --di mana adalah subjek Hassan Hanafi. Ketiga, kecenderungan Marx yang bertujuan memapankan suatu partai yang berjuang melawan kolonialisme, telah menciptakan dampak-dampak tertentu, tapi belum cukup untuk membuka kemungkinan berkembangnya khazanah intelektual muslim. Keempat, kecenderungan revolusioner terakhir telah membawa banyak perubahan fundamental dalam struktur sosial dan kebudayaan Arab-Islam, tapi perubahan ini tidak mempengaruhi kesadaran massa muslim.

Page 179: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

179

Oleh kerena itu, tujuan Kiri Islam adalah mengatasi kecenderungan-kecenderungan itu dan merealisasikan tujuan-tujuannya, termasuk revolusi nasional yang berbasis pada prinsip revolusi sosial melalui khazanah intelektual umat. Menurut Shimogaki, dapat disimpulkan bahwa kemunculan sebuah jurnal baru, seperti Kiri Islam itu, tepat waktu untuk mempengaruhi dunia Arab Islam.

Di bab I buku ini, kazuo melihat kerangka metodologis Islam dan Posmodernisme. Kiri Islam berpandangan Tauhid, baik dalam hubungan vertikal, maupun horizontal. Dalam hubungan antara Tuhan dan dunia adalah hubungan antara Pencipta dan yang diciptakan, jadi hubungan sebab dan akibat penciptaaan, bukan seperti sinar terhadap lampu atau kesadaran manusia terhadap manusia. Dalam hal ini, keberadaan manusia menjadi sangat relatif di hadapan Tuhan, dan setiap manusia diciptakan langsung mempunyai hubungan dengan Tuhan. Mengenai yang kedua, pandangan dunia Tauhid, dalam kehidupan sosial muslim adalah bahwa seluruh aspek kehidupan sosial Islam harus diintegrasikan ke dalam “jaringan relasional Islam”. Jaringan ini diderivasikan dari pandangan dunia Tauhid, yang mencakup aspek-aspek keagamaan dan keduniawian, spiritual dan materiil, sosial dan individual. Jaringan relasional ini bisa diuji melalui ibadah (lima pilar kewajiban Islam) yang diatur oleh syari’at Islam, yakni: syahadat, shalat, shaum (puasa), zakat, dan haji.

Singkatnya, pandangan tauhid tidak memisahkan antara materi dan jiwa. Segala sesuatu dipersatukan dalam zat yang transendental Tuhan. Semuanya sama di hadapan-Nya. Menurut Kazuo, pandangan Tauhid juga sebuah pandangan relasional. Dengan pandangan relasional ini, ulama menjadi penjaga agar syariat selalu mengatur seluruh aspek kehidupan msulim yang berkenaan dengan lima pilar yang diatur syariat. Meskipun kelima hal itu merupakan kewajiban “keagamaan” namun tindakan kaum muslim tidak terbatas pada aspek kehidupan spiritual individu, tetapi mencakup aspek-aspek fisik, sosial, bahkan ekonomi dan politik setiap muslim.

Kekuasaan Barat telah merasuk kuat di dunia Islam. Dalam hal ini, menurut Kazuo Shimogaki, “Kiri Islam adalah salah satu bentuk perlawanan. Kita mesti membacanya dari sudut pandangan ini”. Tegasnya. Menurut Kazuo, karena adanya konfrontasi antara dunia Islam dan Barat, dan perlawanan yang dihasilkan, metode analisis Hassan Hanafi tidak lagi mempunyai pijakan relasional, meski ia menyerukan Revolusi Tauhid, yang secara teoritik justeru relasional. Menurutnya, “Jika Hassan Hanafi menerapkan suatu metode relasional, khususnya dalam membangun ilmu sosial baru dan mengkaji peradaban barat, niscaya sarjana Muslim lain akan dapat menemukan perspektif baru dalam kajian pandangan dunia Tauhid. Tidak hanya itu, ia akan memperoleh tanggapan positif dari kalangan posmodernis di Barat”. Agama dan Demokrasi96

Pada saat ini tampak hubungan erat antara agama dan proses demokratisasi. Di mana-mana gerakan agama secara aktif mendorong upaya penegakan demokrasi. Don Helder Camara, seorang uskup agung Brazil menggerakkan kekuatan rakyat untuk memperjuangkan demokrasi selama belasan tahun dengan menghadapi tuduhan bahwa ia condong kepada Komunisme. Ia bahkan dikenal sebagai dengan julukan “Uskup Merah” karena pemihakannya kepada gerakan rakyat. Terkenal ucapannya: “Kalau saya

96 Diambil dari buku Spritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat, Dian Interfidei, Jogjakarta, 1994.

Page 180: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

180

mengumpulkan makanan untuk orang kecil, saya disebut orang suci, tetapi kalau saya mempertanyakan sebab kemiskinan rakyat kecil itu, dengan segera saya disebut komunis”. Vinoba Bhave, orang suci Hindu yang berjalan kaki menjelajahi anak benua India di tahun-tahun 1950-an dan 1960-an tanpa alas kaki, meminta kerelaan kaum yang bertanah luas untuk secara suka rela membagikan sebagian tanah mereka kepada kaum miskin tak bertanah, dengan demikian membangun demokrasi ekonomi. Sulak Civaraksa, pemimpin kaum awam Budha di Thailand, pernah diancam hukuman mati karena memperjuangkan kebebasan berbicara termasuk mengritik dan mempertanyakan kedudukan raja. Hanya berkat camput tangan tokoh-tokoh dunia seperti Margaret Thatcher ia dapat terhindar dari eksekusi hukuman mati.

Di Indonesia pun demikian pula halnya. Para pemimpin gerakan agama silih berganti memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari penjajahan dan kemudian memperjuangkan demokrasi, ketika sistem pemerintahan semakin lama menjadi semakin otoriter. Berbagai kegiatan dikembangkan di kalangan agama untuk merintis di tingkat paling bawah, penumbuhan masyarakat yang demokratis. Dari mulai masalah kebebasan berpendapat dan berserikat hingga masalah pencemaran lingkungan secara massif, gerakan agama langsung terlibat dalam upaya penegakan demokrasi. Banyak lembaga keagamaan berkiprah untuk meneliti dan mengkaji asal-usul pemerintahan yang tidak sepenuhnya demokratik yang secara eufemistik disebut “demokrasi Pancasila”, yang menjadi pola hidup bangsa Indonesia saat ini. Tidak kurang pula banyaknya lembaga atau kelompok keagamaan yang langsung menerapkan pola-pola demokratis dalam program-program rintisan mereka di bidang pengembangan masyarakat (community development)

Dari itu semua, tampaknya hubungan antara agama dan demokrasi seolah-olah berkembang mulus, dan dengan sendirinya tampak seolah-olah agama berperan transformatif bagi kehidupan masyarakat. Dalam kenyataan, perkembangan yang terjadi tidak mendukung anggapan seperti itu. Seorang pemuka agama seperti Romo Mangunwijaya, dalam kegigihannya memperjuangkan kepentingan hakiki rakyat Kedung Ombo akan dihadapi dan dikecam oleh banyak pemuka-pemuka agama lainnya, baik yang seagama maupun tidak. Seorang pemikir yang bertolak dari sudut pandang agamanya seperti Dr. Nurcholish Madjid yang meminta persamaan derajat bagi semua agama, akan dihadapi oleh demikian banyak pemikir seagama yang justru ingin menegakkan ekslusifitas agama mereka atas agama-agama lain. Ibu Gedong Oka, yang menganut prinsip-prinsip Mahatma Gandhi dan karenanya menolak sistem kasta dalam masyarakat Hindu di Bali, tentu mendapat tantangan keras dari kemapanan agamanya sendiri. Maka demikian halnya, dinamika intern agama-agama di dunia menunjukkan perbenturan keras antara mereka yang ingin melakukan transformasi kehidupan masyarakat dari titik tolak keagamaan, dan mereka yang mempertahankan status quo keadaan dengan segala daya upaya. Bagi mereka, restu negara menjadi tolok ukur keberhasilan mengelola kehidupan beragama. Sangat sulit untuk mereka pahami, bahwa ada seorang Thomas Moore yang atas dasar keyakinan agamanya tidak mau melegitimasikan perceraian raja dan permaisurinya serta merestui perkawinan barunya. Bahkan hati mereka pun tidak tergetar ketika melihat Martin Luther King Jr memimpin demonstrasi tanpa kekerasan, guna hak-hak politik orang-orang berkulit hitam di Amerika Serikat dalam tahun-tahun 1960-an. Mereka tidak mengerti, mengapa

Page 181: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

181

harus dilakukan tindakan “menganggu ketentraman hidup umat beragama”, apalagi sampai harus berhadapan dengan kekuasaan negara.

Kalaupun ada perubahan yang mereka kehendaki, maka hal itu haruslah dilakukan secara karitatif, yatu dengan tekanan diberikan pada kegiatan santunan yang diharapkan nantinya akan memperbaiki nasib orang kecil secara berangsur-angsur. Perubahan sistem kemasyarakatan bukanlah menjadi agenda kiprah mereka, melainkan “upaya memperbaiki sistem pemerintahan dari dalam”. Bahkan sebenarnya pendapat kedua inilah yang lebih dominan di kalangan umat beragama, dan boleh dikata pendapat yang umum berlaku. Diperlukan waktu sangat panjang bagi seorang pembaharu untuk dapat mewujudkan masyarakat yag dicita-citakannya, seperti kasus para agamawan berkulit hitam di Amerika Serikat dan sekarang Afrika Selatan, para Mulla di Iran dan Mahatma Gandhi di India.

Salah satu sebab yang menghambat kiprah demokratisasi di kalangan lembaga dan kelompok keagamaan adalah perbedaan hakekat dasar dan nilai-nilai dasar yang dianut keduanya. Sebuah agama senantiasa bertitik tolak dari pandangan normatif yang diajarkan Kitab Sucinya. Ini berarti hanya ada satu jenis kebenaran yang dapat diterima sebuah agama, yaitu kebenaran ajarannya sendiri. Apalagi kalau hal-hal normatif itu dituangkan dalam bentuk hukum agama (syari’ah) dalam Islam dan hukum kanon di kalangan gereja Katolik. Hukum agama itu bersifat abadi, karena ia dilandaskan Kitab Suci yang abadi pula. Mengubah hukum agama berarti pula membatasi keabadian Kitab Suci, dan dengan sendirinya mengusik mutlaknya kebenaran yang dibawakan agama yang bersangkutan. Bahwa kaum muslimin telah berhasil mengembangkan teori hukum agama (ushul fiqh, legal theory) dan akidah hukum agama (qawa’idul fiqh, legal maxism) tidak menutup kenyataan bahwa antara syari’ah dan demokrasi memang terdapat perbedaan yang esensial.

Demokrasi, sebaliknya dari ajaran agama, justru membuka peluang seluas-luasnya bagi perubahan nilai oleh masyarakat, dan dengan demikian justru dapat mengancam nilai-nilai abadi yang terkandung dalam agama. Masalah perceraian bagai gereja Katolik Roma dan masalah perpindahan agama ke agama lain dalam Islam adalah sesuatau yang tidak pernah dapat dipecahkan tanpa mengancam sifat abadi dari kebenaran yang dibawakan masing-masing agama itu. Perceraian merusak kesucian perkawinan yang telah diberkati oleh Tuhan dalam pandangan gereja Katolik, dan dengan sendirinya hak warga negara untuk melakukan perceraian melalui perundang-undangan negara merupakan merupakan tantangan kepada konsep yang diyakini gereja. Berpindah agama ke agama lain dalam hukum Islam berarti penolakan (riddah, apostasy) kepada kebenaran konsep Allah sebagai Zat Yang Maha Besar (konsep tauhid), karenanya tidak dapat dibenarkan dan pelakunya diancam hukuman mati. Sedangkan demokrasi dalam hal ini justru berpendapat sebaliknya. Keyakinan akan kebenaran merupakan hak individual warga masyarakat dan dengan demikian justru harus ditegakkan dengan konsekuensi adanya hak bagi warga negara untuk berpindah agama. Inilah sebabnya mengapa sarjana terkemuka Mahmud Mohammed Thaha menjalani hukuman gantung di Sudan belasan tahun lalu ketika ia menyuarakan hak berpindah agama itu, dengan menolak “keharusan” melalukan jihad bagi kaum muslimin.

Demokrasi menyamakan derajat dan kedudukan semua warga negara di muka undang-undang dengan tidak memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin dan bahasa ibu. Sedangkan tiap agama tentu lebih dahulu cenderung

Page 182: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

182

untuk mencari perbedaan atas dasar hal tersebut di atas, minimal perbedaan agama dan keyakinan. Karenaya sejak lahirnya setiap agama memiliki kekhususan (unikum)nya sendiri, yang secara mendasar harus ditundukkan kepada kepentingan bersama seluruh bangsa, apalagi diinginkan agama tersebut dapat menjunjung demokrasi. Jelaslah dengan demikian, bahwa fungsi transformatif yang dibawakan oleh agama bagi demokratisasi kehidupan masyarakat, harus bermula dari transformasi intern masing-masing agama. Transformasi ekstern yang tidak bertumpu pada transformasi intern di lingkungan lembaga atau kelompok keagamaan itu hanyalah merupakan sesuatu yang dangkal dan temporer saja, seperti dengan “demokratis”-nya Pakistan sebagai negara di tahun-tahun 1950-an.

Untuk dapat melakukan transforamsi intern itu, agama harus merumuskan kembali pandangan-pandangannya mengenai martabat manusia, kesejajaran kedudukan semua manusia di muka undang-undang dan solidaritas hakiki antara sesama umat manusia. Melalui upaya ini, tiap agama dapat berintegrasi dengan keyakinan-keyakinan lain dalam bentuk pencapaian sejumlah nilai-nilai dasar universal yang akan mendudukkan hubungan antaragama pada sebuah tataran baru. Tataran baru itu adalah tahap pelayanan agama kepada warga masyarakat tanpa pandang bulu dalam bentuknya yang paling konkrit seperti penanggulangan kemiskinan, penegakan kedaulatan hukum dan kebebasan menyatakan pendapat. Apabila sebuah agama telah memasuki tataran itu, barulah ia berfungsi melakukan pembebasan (tahrir, liberation).

Jelaslah dari apa yang dikemukakan di atas bahwa agama dapat memberikan sumbangan bagi proses demokratisasi, manakala ia sendiri berwatak membebaskan. Fungsi pembebasan agama atas kehidupan masyarakat itu tidak dapat dilakukan setengah-setengah, karena pada hakikatnya, transfornasi kehidupan haruslah bersifat tuntas. “Demokrasi” dalam praktik bernegara di Pakistan dewasa ini sepintas lalu tampak terpenuhi dengan pemberian jatah sejumlah kursi di parlemen kepada kaum Ahmadiyah. Tapi “jatah” tersebut menutup kemungkinan bagi tiap warga negara Pakistan yang menganut paham Ahmadiyah untuk mendapatkan hak yang sama dalam merebut jabatan tertinggi di negeri itu, yaitu jabatan presiden. Pengingkaran hak tersebut menjadikan klaim Pakistan sebagai negara demokrasi terasa kosong, karena ia berarti pengingkaran hak yang sama bagi semua warga negara yang berkiprah dalam pemerintahan. Pandangan yang sama tentang tiadanya hak bagi warga negara non-muslim untuk menjadi kepala negara di negari kita saat ini, juga merupakan pelangaran terhadap undang-undang dasar kita sendiri , di samping pegingkaran terhadap demokrasi. Pandangan seperti itu berarti melebihkan kedudukan sebuah agama, dalam hal ini Islam yang menjadi agama mayoritas penduduk, atas agama-agama lain dan dengan demikian melanggar prinsip demokrasi yang terkandung baik dalam pembukaan maupun pasal 29 ayat 2 UUD 1945.

Pandangan atau kecenderungan melebihkan kedudukan sebuah agama atas agama-agama lain seperti dicontohkan di atas, sebenarnya merupakan bagian dari pandangan bahwa agama tersebut haruslah menjadi dasar negara. Karena kita semua sudah sepakat pada tanggal 18 Agustus 1945 untuk menghilangkan Piagam Jakarta dari pembukaan UUD 1945 yang berarti menjadikan negeri ini bukan sebuah negara Islam, dengan sendirinya pandangan di atas tidak selayaknya diberlakukan terus. Kalau kita memang benar-benar jujur

Page 183: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

183

kepada Pancasila dan UUD 1945, maka sebagai konsekuensinya hal-hal yang melebihkan sebuah agama atas agama-agama yang lain harus dihilangkan dalam pengelolaan kehidupan bernegara kita. Kenyataan bahwa pandangan di atas masih diikuti oleh mayoritas lembaga dan kelompok Islam di negeri kita dewasa ini menunjukkan bahwa agama tersebut belum dapat berfungsi sebagai pendorong tegaknya demokrasi di Indonesia.

Apabila prinsip tidak melebihkan kedudukan sebuah agama atas agama-agama lain itu diterima, dengan sendirinya harus ditolak pula kecenderungan legal-formalisme di kalangan para penganut agama maupun dalam kehidupan bernegara. Anggapan bahwa hukum Islam dan hukum gereja harus diberlakukan oleh negara melalui pengundangan (taqnin, legislasi) ajaran agama tersebut pada hakikatnya merupakan pengingkaran terhadap semangat dan bunyi UUD kita. Ia merupakan pengingkaran hakikat demokrasi yang ingin kita tegakkan di negeri ini, karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama mayoritas menjadi warga negara kelas dua. Dalam keadaan demikian, persamaan kedudukan semua warga negara di muka undang-undang tidak tercapai. Pada titik ini kita akan memasuki tahap yang rumit dalam pemikiran kita yaitu menyangkut hukum perkawinan dan pengaturan keluarga (al-Ahwal al-Syakhsiyah, personal law).

Saat ini kita memiliki dua buah undang-undang yang mengatur hal itu, yaitu Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Pengadilan Agama. Masih dapatkah Indonesia menjadi masyrakat demokratis dengan membiarkan kedua unadng-undang tersebut berfungsi? Jawabnya ternyata tidak sesederhana seperti yang kita bayangkan semula. Di satu pihak, memang harus dilakukan pilihan, antara penyelenggaraan perkawinan secara Islam atau secara Barat (dengan demikian secara Judeo-Kristiani karena pada hakikatnya tidak ada “aturan universal” dalam hal ini) bagi kaum muslimin di negeri ini. Namun di pihak lain terjadi perbedaan terhadap sesama warga negara, yang pada hakikatnya berarti pengingkaran terhadap persamaan kedudukan bagi semua warga negara di muka undang-undang yang menjadi esensi demokrasi. Apalagi kalau pelaksanaan Undang-undang Perkawinan itu dilakukan oleh sebuah pengadilan terpisah, seperti pengadilan agama yang berarti perlakuan berlebih kapada kaum muslimin. Di sini kita lalu terjebak dalam sebuah dilema yang tidak mudah untuk dijawab. Bila diandaikan Undang-undang Perkawinan memeliki keabsahan mutlak masih harus dipertanyakan absahnya lembaga peradilan yang menanganinya. Di India, perkawinan, perceraian dan pembagian waris dilakukan menurut agama penggugat dalam hal ini hukum agama mazhab Hanafi bagi kaum muslim Sunni dan teks fatawa Alamgiri bagi kaum muslim Syi’i, namun pelaksanaannya dilakukan oleh pengadilan negeri dengan hakim yang dapat berbeda agamanya dari agama yang dipeluk penggugat. Demikian pula, perkawinan antara para pemeluk agama yang saling berbeda juga diatur atas dasar persamaan kedudukan di muka undang-undang itu.

Jelaslah dengan demikian, bahwa hubungan antara agama dan demokrasi tidak sesederhana yang kita duga semula, karena di dalamnya masih ada hal-hal dilematik yang menjadi daerah kelabu yang tidak jelas hitam putihnya. Kenyataan ini mengharuskan kita untuk melakukan telaah lebih jauh, guna memperoleh gambaran lebih rinci tentang hubungan antara agama dan demokrasi itu sendiri.

Page 184: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

184

Pemikiran ke-Islaman di Indonesia Pemikiran ke-Islaman di Indonesia semakin ramai dan hiruk-pikuk. Lihat

saja, di sana-sini muncul sekian istilah yang seolah-olah menjadi icon bagi suatu mazhab atau bangunan konseptual pemikiran keislaman yang komprehensif. Di sini dapat dituliskan, mulai dari Islam TradisionaI, Modernis, Neomodernis, Fundamentalis, Aiternatif, Rasional, Transformatif, Inklusif, Pluralis, hingga Islam Kiri, Liberal, Post-Puritan, dan Post-Tradisionalis. Bagi yang tidak memahami aspek kesejarahan dialektika Islam di Indonesia niscaya akan kebingungan memetakan, apalagi, menangkap tesis-tesis penting setiap pemikiran di atas.

Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, bagaimana membaca fenomena di atas, atau apa arti penting dari fenomena di atas? Tulisan ini, sebagai selingan atas formulasi pemikiran Islam Progresif-Transformatif, akan mencoba membaea secara singkat dengan (atau justru tidak) sikap kritis terhadap berbagai diskursus keislaman di atas. Ukuran yang dipakai di sini, dengan meminjam istilah Ignas Kleden, adalah relevansi intelektual dan sosial. Artinya, setiap pemikiran akan diuji apakah memiliki relevansi intelektual dan relevansi sosial, atau tidak. Yang dimaksud dengan relevansi intelektual adalah sejauh mana sebuah gagasan memiliki koherensi internal (tidak ta'arudh) dan sejauh mana mampu mempertahankan asumsi-asumsi dasarnya. Sedangkan yang dimaksud dengan relevansi sosial adalah sejauh mana sebuah gagasan mampu menjawab kebutuhan objektif problematik sosial yang dihadapi oleh Indonesia. Mengapa Indonesia? Sebab kita hidup di Indonesia, bukan di Amerika, Eropa, Arab, Afrika, atau di alam malakut dan jabarut.

Islam Tradisional Istilah ini biasanya dilekatkan ke bangunan keislaman komunitas

tradisional, yang sering diasosiasikan dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Istilah ini sendiri sesungguhnya bukan label yang diciptakan sendiri oleh mereka, namun dilekatkan oleh aktor di luar diri mereka, entah peneliti, atau organisasi keagamaan lain. Secara sederhana kata tradisional mengacu ke suatu adat kebiasaan. Tradisi bermakna kebiasaan yang terus menerus direproduksi dan dilembagakan oleh masyarakat. Tradisional adalah kata sifat dari sesuatu, sehingga tradisional berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan tradisi kebiasaan tadi. Dalam teori politik, faham yang memegang teguh tradisi disebut dengan tradisionalisme. Dalam dataran itu, tradisionalisme memiliki makna pejoratif sebab dikarakterisasikan sebagai komunitas yang konservatif.

Dalam konteks pemikiran keislaman, Islam tradisional, jika itu mengacu ke NU-tempo dulu, mendefinisikan dirinya sebagai pemikiran keislaman yang dari sisi pemikiran kalam mengacu ke kalam Asy'ari dan Al-Maturidi, dari sisi hukum Islam membatasi diri pada nzazahibul ar-ba'ah, dan dari sisi tasawuf mistik, mengacu ke Al-Ghozali dan AI-Junaidi. Kalangan Iuar mendefinisikan sebagai corak ke-Islaman yang bercampur baur dengan budaya masyarakat setempat seperti Jawa. Ciri khas pemikiran tradisional adalah menundukkan realitas di bawah teks dan manifestasi sosialnya nampak dalam berbagai kegiatan ritual keagamaan seperti ziarah, khaul, dan lainnya. Namun teks yang dimaksud lebih mengacu, meski tidak secara mutlak, ke kitab-kitab yang sering disebut dengan kutulrul mu'tabarah. Kitab kitab Taqrib, Mu'in, l'anah, Wahhab, al-Mahalli, Mughnil Muhtaj, Bughyah, Asybah, Syarqowi, Jami'ul Jawami', Majmu', Jalalain, Ummul Barahin, Ihya', Hikam, untuk sekedar menyebut contoh, adalah referensi kuncinya.

Page 185: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

185

Islam Modernis Sama dengan istilah tradisional, Islam Modernis juga terkait erat dengan

pengertian sosiologis dan epistemologis. Secara sosiologis, lahir dari kalangan masyarakat perkotaan, atau katakanlah kelas menengah ke atas. Secara historis, dapat dipandang sebagai antitesa terhadap praktek keberagamaan kaum tradisional yang dipandang menyimpang. Secara kelembagaan sering diasosiasikan dengan Muhammadiyah dan Persis. Istilah ini mengacu pada makna dasar kata modern itu sendiri. Yang sering diidentikkan dengan pembaharuan (modernisasi) alias rasionalisasi. Di Barat istilah Kiri dapat dilacak sejak renaissance yang mendeklarasikan kedaulatan manusia sebagai subjek yang otonom, menolak dominasi rezim kebenaran gereja, dan menumpukan akaI sebagai basis paling otoritatif. Modernisasi di Barat berjalan seiring dengan industrialisasi atau perkembangan kapitalisme.

Qalam konteks keislaman, makna modern setidak-tidaknya mengacu ke dua hal. Pertama, pada teknologisasi infrastruktur pendidikan seperti ruang kelas termasuk sistem pembelajaran model kelas. Kedua, berbeda dengan renaissance yang meneraikan agama, maka di sini yang dieraikan adalah epistemologi model kitab kuning. Sebagai gantinya, langsung kembali ke teks otentik Islam: Al Qur' an dan Hadits. Menolak kewajiban bermazhab, dan lumayan anti terhadap berbagai budaya lokal secara antropologis-sosiologis tidak bertolak dari teks. Islam Neomodermis

Istilah ini dilekatkan pada pemikir Islam asal Pakistan, Fazlur Rahman. Kata neo di sini rnengacu ke seruan untuk menengok kembali ke warisan Islam klasik. Menurut aliran ini, pembaharuan pemikiran Islam harus berbasiskan pada warisan Islam klasik yang dipandang sangat kaya. Pembasisan ini akan memperkokoh bangunan pemikiran keislaman modern sebab berakar secara kukuh pada khazanah keislaman itu sendiri. Jika dilihat dalam optik Kuhnian, epistemologi yang dibangun merupakan epistemologi yang bukan diskontinuitas dengan epsiteme masa lalu. Di Indonesia aliran ini dibawa oleh pentolan Paramadina, Nurcholish Madjid. Intinya adalah apresiasi terhadap masa lalu bukanlah apresiasi terhadap kebudayaan atau tradisi, namun mengacu ke sejarah pemikiran Islam global (dunia) seperti Ibn Shina, Ibn Thufail, Ibn Rusyd, dan lainnya.

Islam Fundamentalis Istilah ini memiliki kesamaan dengan istilah tradisional, dalam arti tidak

diciptakan oleh komunitas rnereka, namun diciptakan oleh entitas di Iuar dirinya sendiri. Dalam sosiologi agama, istilah ini berasal dari sejarah pemikiran Kristen. Dalam kalangan Kristen istilah ini berarti penolakan terhadap penafsiran bibel yang tidak lafdhiyyah. Introduksi perangkat hermeneutik atau interpretasi non-tekstual ditolak sebab dipandang akan mengancam kemurnian ajaran. Di kemudian hari istilah ini mengglobal namun dengan pemaknaan negatif. Fundamentalisme diidentikkan dengan radikalisme, keras, galak, dan lainnya.

Islam Liberal

Istilah Liberal merupakan istilah yang sudah mapan dalam teori dan filsafat politik. Dalam literatur filsafat politik, liberalisme merupakan salah satu varian dari libertarianisme, yang merupakan teori politik sayap kanan.

Page 186: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

186

Liberalisme merupakan teori politik sayap kanan yang menerima kebebasan pasar, yang berbeda, misalnya, dengan sayap lainnya, anarkisme. Sargent mendefinisikan libertarianisme sebagai "an ideology that wants radically reduced role for government. Kaum libertarian, menurut Will Kymlicka, berjuang untuk mempertahankan kebebasan pasar, dan menuntut pembatasan penggunaan negara dalam kebijakan sosial. Mereka percaya bahwa kebebasan pasar merupakan instrumen yang mendorong tercapainya faidah maksimal dan yang mampu melindungi kebebasan-kebebasaan politik dan sipil. Pada tingkatan yang radikal, misalnya, mereka menolak mekanisme kebijakan pajak untuk mewujudkan keadilan distribusi.

Dalam filsafat politik dikenal dua liberalisme: liberalisme klasik dan liberalisme modem. Liberalisme klasik pada awalnya merupakan suatu ideologi kelas menengah Eropa yang menuntut reformasi sosiaI pada awal abad ke-19. Tokoh-tokohnya adalah Thomas Hobes, John Locke, Montesquie Rousseou, dan Adam Smith dengan konsep kund tentang Social con track. Kemudian Jeremy Bentham, James Mill, dengan konsep kunci utilitarianisrne. Sedangkan liberalisme modern, sambil mempertahankan berbagai pandangan liberalisme klasik tentang manusia, ekonomi, dan negara, juga mendorong demokratisasi negara, yang mucnul pada akhir abad 19, dan awal abad 21. Tokoh utamanya di antaranya adalah John Stuart Mill (1806-1873), T. H. Green (1836-1882), L. T. Hobhouse (1864-1929), John Maynard Keynes (1883-1946), William Beveridge (1879-1963).

Sedangkan liberalisme merupakan suatu pandangan filsafat yang mempercayai kernampuan rnanusia untuk rnenggunakan rasionya untuk menggerakkan reformasi sosial, cenderung menerima perubahan, bahkan tak dapat ditawar-tawar, walaupun dapat dikendalikan, dan memperjuangkan kebebasan berkehendak manusia.

Tinjauan singkat di atas menunjukkan bahwa pandangan-pandangan liberal menyangkut setidaknya manusia, ekonomi, dan politik (negara). Manusia dipercaya sebagai makhluk rasional, dan menumpukan keputusan manusia pada rasionalitasnya. Secara ekonomi mengambil posisi pada pasar bebas, dan secara politik mendukung negara demokratis prosedural. Apa yang dirumuskan oleh intelektual liberal merupakan jawaban terhadap persoalan sosial yang ada. Persoalan itu di antaranya adalah nalar rnanusia yang ditundukkan oleh otoritas di luar akal seperti budaya, agama, mitos, dan lainnya, kondisi politik yang otoritarians karena bertumpu pada kekuasaaan yang absolut, dan kondisi ekonomi yang penuh dengan penyelewengan seperti KKN yang menggejala secara rnassif. Dengan kata lain, pemikiran bercorak liberal adakah pemikiran yang pro··akal budi (akal bebas), pasar bebas, pemisahan agama dan negara (sekularisasi), perlindungan individu (kebebasan individu), dan lainnya.

Pemahaman akan konteks liberal dalam teori politik di atas akan mempermudah dalam memahami makna Islam liberal. Secara sederhana hanya akan diuraikan dua islamolog yang sama-sama menggunakan istilah liberal, yaitu Leonard Binder dan Kurzman. Binderme-examine pararelisme antara liberalisme Barat dan liberalisme Islam. Dalam penelitiannya, dia menyimpulkan liberalisme memiliki akar-akar otentis dalam Islam, bahkan dalam diri tokoh yang dianggap fundamentalis seperti Sayyid Quthb. Dalam pemikiran politik (siyasy) liberalisme Islam ini merujuk pada pemikiran politik Al Abdurraziq, Tariq Al Bishri, yang berkesimpulan ten tang tiadanya konsep negara dalam Islam.

Page 187: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

187

Selain konsep itu, yang dijadikan unit analisis lainnya adalah tentang toleransi, dan rasionalisrne. Toleransi ini dikaitkan dengan toleransi beragarna, dalam arti kebebasan memeluk agama, suatu doktrin yang juga diakui kalangan fundamentalis. Toleransi ini membuka peluang untuk terbentuknya suatu komunitas politik yang lebih luas, terciptanya suatu koeksistensi. Hanya saja toleransi ini terbatas dalam agama itu sendiri, dantidak dalam kaitan dengan politik. Filsafat liberal mengakui keberadaan pluralisme keagamaan, bahkan ateisme, namun tidak menjadikan salah satu nilai atau aliran agama sebagai basis nilai. Seluruh kebijakan publik ditentukan keabsahannya bukan oleh legitimasi teks, namun oleh rasionalitas kebijakan.

Sedangkan rasionalisme dalam liberalisme Islam dikaitkan dengan cara pandang terhadap teks. Kitab suci dianggap sebagai teks yang bebas ditafsirkan sesuai dengan rasionalitas manusia. Akal tidak secara hitam putih ditundukkan oleh teks. Namun teks secara dialektik memiliki relasi dengan entitas di luar dirinya. Ini dikontraskan dengan pandangan tradisionalis yang melihat teks secara harfiah-verbal, menganggap pemallaman agama sebagai suatu kebenaran mutlak, melihat agama bukan sebagai suatu tafsiran atau pendapat.

Ketiga wacana ini sebangun dengan liberalisme. Liberalisme dengan tegas memisahkan agama dengan politik dan membangun budaya toleransi dalam heterogenitas masyarakat. Agama dipandang sebagai urusan pribadi, dan selama tidak menganeam kebebasan-kebebasan politik masyarakat, negara tidak boleh mencampuri urusan tersebut.

Sedangkan Charles Kurzman meng-examine liberalisme Islam dengan tradisi Islam sendiri. Dengan konteks intelektual seperti im, Kurzman memetakan tiga varian utama Islam Liberal. Pertama, Syariah Liberal, yakni suatu varian yang meyakini bahwa sikap liberal sebagai suatu wacana yang didukung secara eksplisit oleh syariah. Kedua, Islam Liberal dalam pengertian kaum muslim bebas mengadaptasi nilai-nilai liberal dalam halhal yang oleh syariah diberikan kepada wewenang akal budi manusia. Ketiga, syariah yang bersifat ilahiah ditujukan bagi berbagai penafsiran Islam yang beragam.

Dengan kerangka itu, ia mengkarakterisasikan Islam liberal dengan enam tesis dasar, yaitu: penentangan terhadap teokrasi (against theocracy ) yang diwakili oleh Ali Abd al-Raziq, Muhammad Khalafullah, Taleqani, dan AI-Asmawi); prodemokrasi (democracy) yang diwakili oleh Muhammad Natsir, SM Zafar, Mehdi Bazargan, Dimasangeay A. Pundato, Ghannouchi, dan Sadek Jawad Sulaiman); pro hak-hak perempuan (rights for women) yang diwakiIi oleh Nazera Zein-ed-Din, Benazir Bhutto, Fatima Memisi, Amina Wadud-Muhsin, dan M. Syahrur; pro hak-hak non-muslim (rights of non-Muslim) yang diwakili oleh Humayun Kabir, Chandra Muzaffar, Mohammed TaIbi, AIi Hulae, dan Rasmir Mahmuteehajic); kebebasan berpikir (freedom of thaught), yang diwakili oleh Syariati, Qaradhawi, Arkoun, Soroush, An-Nairn, Ajijola, dan Abdul Karim Soroush); dan gagasan tentang kemajuan (progress) yang diwakili oleh Iqbal, Mahmud Thaha, Nureholish madjid, Mamadiou Dia, Fazlur Raman, dan Shabbir Akhtar). Islam Kiri/ Kiri Islam

Sebagaimana liberal, istilah kiri juga sudah baku dalam teori politik. Implikasinya terjadi tarik menarik apakah yang dimaksud dengan Islam kiri adalah aspek-aspek kiri dalam Islam, ataukah kiri/sosialisme yang diramu dengan religiusitas, atau tesis-tesis kiri yang pararel dengan Islam. Hassan

Page 188: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

188

Hanafie, deklarator manifesto Al-Yasar Al-Islamy, menolak kiri Islam sebagai Islam yang ditafsirkan dalam konteks marxisme, marxisme yang ditafsirkan dalam konteks Islam. Dengan kata lain, Islam dalam dirinya memiliki aspek-aspek sosialistik yang bahkan sangat revolusioner.

DaIam wacana sosial istilah kiri atau sosialis dikarakterisasikan oleh Tony Fizgeraald: rationalist, scientific, optimistic; promotes and criticises industrial modernity; benefits of modernity to be Shared by all; to be built upon the most advanced forms of capitalism; assumes that the social conditions that determine character are alterable, dan; historicises the self-interested liberal individual

Dalam wilayah pemikiran politik kontemporer Islam baik di dunia Arab maupun non-Arab, cukup banyak para aktifis dan pemikir yang dapat dikelompokkan dalam sayap ini, atau setidak-tidaknya dekat dengan kelompok ini.Misalnya, Salamah Musa, Tahtawi, ShamayyiJ, Fuad Mursi (mesir), Abdallah Laroui (maroko), Abdul Khaleq Mahgoub (Sudan), (Mesir), Aziz Al-haji (Iraq), Ben Bella, Ahmad ben saleh (Tunisia), Qathafi, Syari'ati (Iran), Cokro (Indonesia), Farid Farid (Afrika Selatan), dan lainnya.

Untuk memahami secara agak utuh gagasan Kiri Islam harus mengacu setidak-tidaknya ke Hassan Hanafie, atau Farid Essack. Pemikiran Kiri Islam Hanafie, menurut Isa Boullata, bertumpu pada telaah kritis sejarah sosial Islam, hermeneutika teks, dan tafsir sosial kontemporer dalam optik neomarxian, meskipun Hanifie sendiri menolak analisis ini. Dengan kerangka itu, Hanafie menyodorkan rekonstruksi Tasawwuf, rethiriking tauhid, dan revitalisasi turats. Intinya adalah bagaimana memaknai Islam sebagai kekuatan pembebas atau Islam revolusioner.

Sedangkan Esack mendefinisikan teologi pembebasan AI Qur' an sebagai "sesuatu yang bekerja ke arah pembebasan agama dari struktur serta ide sosial, politik, dan religius yang berdasarkan pada ketundukkan yang tidak kritis dan pembebasan seluruh masyarakat dari semua bentuk ketidakadilan dan eksploitasi ras, gender, kelas, dan agama". Dengan perspektif hermeneutika Al Qur' an, Esack menggunakan takwa dan tauhid, manusia dan kaum tertindas, keadilan dan perjuangan (jihad), sebagai kunci-kunci dalam memahami pesan inti dari Al Qur' an.

AI-Qur’an selalu mengaitkan taqwa dengan iman kepada Tuhan (OS Yunus:10: 63; Al-naml, 27:53; Fushshilat,41:18, pencapaiannya sebagai tujuan ibadah kepada-Nya (AI Baqarah,2: 21), dan secara signifikan mengaitkan taqwa dengan interaksi sosial dan perhatian pada sesama yang lain seperti saling berbagai (OS AI-IaiJ,92: 5; AI-A'raf,7: 152-3) menepati janji (QS Ali "imran, 3: 76; AI-A'raf, 7: 52, dan amal baik (QS Ali Imran, 32: 172; Al Nisa, 4:126; Al Maidah, 5:93; AI Nahl, 16:127, dan melawankan orang bertaqwa dengan orang yang selalu mengejar keuntungan sesaat di dunia ( QS An-Nisa, 4:77; AI-An'am,6:32: Yusuf, 12:57), Esack mengatakan bahwa taqwa memiliki tiga konsekeunsi: pembebasan penafsiran dari nafsu pribadi dan prasangka (sekaligus tidak menggunakan tuduhan nafsu dan dzan untuk menutupi kecenderungan ideologis dan upaya menyingkirkan opini orang lain); terjadinya keseimbangan estetik dan spirirtual penafsir; dan membawa penfasir dalam wilayah dialektika personal dan transformasi sosial politik.

Taqwa adalah antitesis penipuan diri, yang mendorong seseorang , suatu pergerakan, atau pemerintah yakin bahwa ia masa berjuang untuk rakyat. Pamaknaan ini, dengan mengaitkan taqwa dengan prinsip keadilan, kebebasan,

Page 189: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

189

kejujuran, dan integritas, akan meminimilkan jumIah teks yang dapat dimanipulasi demi kepentingan pribadi maupun ideologi sempit. Tauhid dengan demikian tidak dimaknai dalam konteks teologis yang ahistoris, namun seialu dikaitkan dengan realitas sosial Dengan pijakan seperti ini, baginya, juga adalah syirk, memisahkan teologi dengan analisis sosial.

Konsep lain dari pemikiran Esack yang penting adalah ten tang "mustadh'afien", istilah yang hampir sejajar dengan kaum tertindas dalam tradisi marxis. Mustadh'afien dikontraskan dengan kaum mustakbirun (05 AI Nahl,16:22; Al Mu'minun, 23:67; Luqman:31:7), mala (aristokrasi atau penguasa) (05 Hud, 11:27,28; Al Mu'minun, 23:24-33); Al Syu'ara,26: 34; kaum mutrofun --orang yang hidup mewah--; QS Saba',34:34; AIZukhruf,43:23). Istilah itu menunjukkan bahwa kondisi ketertindasan bukanlah sesuatu yang alamiah, namun terdapat sebab struktural yang melibatkan tangan-tangan manusia, atau dengan kata lain terdapat sekelompok manusia yang harus bertanggung jawab atas kondisi ketertinadasan tersebut.

Islam Alternatif, Rasional, Inklusif.

Selain yang di atas, juga dikenal istilah Islam altematif, Islam rasional, Islam inklusif, Islam pluralis, Islam post-tradisional, dan Islam post-puritan, dan Islam progresif-transformatif. Keterbatasan tempt memaksa tulisan ini untuk tidak mereview secara agak panjang, namun singkat. Islam alternatif mengacu pada sebuah tulisan karya Jalaluddin Rakhmat, terbitan Mizan, Islam rasional mengacu ke seorang rasionalis dari lAIN Jakarta, Harun Nasution, yang menulis tulisan dengan judul Islam rasional. Islam inklusif merupakan gagasan yang juga belum lama lahir di Indonesia, intinya suatu pemikiran yang tidak melakukan truth-claim, mengapresiasi pemikiran keislaman di luar dirinya, dan bersedia berdialog dengan mereka. Biasanya dilawankan dengan Islam "garis keras" yang memahami Islam secara amat ketat. Tulisan yang mengusung wacana ini, salah satunya, adalah lslam Inklusis karya Alwi Shihab.

Berbeda dengan Islam inklusif, Islam pluralis, sebagaimana dikatakan deklaratornya, Budi Munawar-Rahman, dalam tulisannya Islam Pluralis (Paramadina), lebih maju daripada Islam Inklusif. Islam ini, katanya, hanya sebatas apresiatif, namun secara diam-diam masih menganggap kebenaran hanya ada dalam Islam. Berbeda dengan itu, Islam Pluralis sampai pada suatu kesimpulan teologis bahwa kebenaran bukan hanya merekah dalam teks-teks otentik Islam, narnun dalam tradisi agama lain pun terdapat kebenaran. Mengakui jalan keselamatan di luar syarat-syarat formal keislaman. Mirip filsafat perenial.

Islam post-trad, yang digagas kalangan muda NU, mencoba untuk menjawab kebuntuan-kebuntuan Islam tradisional, modernis, maupun neomodernis. Padaintinya tidak lagi memegang tradisi secara membabi buta, namun dengan kritis. Dengan kata lain, tradisi pun terbuka untuk diekslusikan. Post-trad mencoba memaknai postmodernisme (fakta sosial kapitalisme advance) maupun poststrukturalis (perkembangan mutakhir filsafat bahasa), dari optik tradisi. Dalam gerakan sosial, tradisi dijadikan landasan atau pijakan gerakan ideologis. Berbeda dengan neomodernisme, tradisi yang dimaksud di sini bukan hanya warisan pemikiran Islam klasik, namun juga tradisi budaya lokal suatu daerah. Di sinilah titik penting bedanya. Istilah post-puritan pertama kali dicetuskan oleh intelektual Muharnmadiyyah, Dr. Abdul Munir Mulkhan. Iswah ini pararel dengan post-dogmatik. Pada intinya mencoba untuk keluar dari belenggu

Page 190: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

190

ketetatan dalam memahami teks. Dalam bidang kebudayaan digagas ikhtiyar untuk "rujuk" terhadap budaya lokaI. Latar belakangnya adalah bahwa kesenian adalah ekspresi estetik alias keindahan, dan keindahan dalam Islam merupakan salah satu term sentral. Karena itu berkesenian adalah bagian dari ibadah. Selain itu, disadari bahwa pola puritanisrne yang selama ini dipegang ikut bertanggung jawab atas musnahnya sekian budaya atau kesenian rakyat lokal. Atas nama teks, berbagai kesenian rakyat itu dihancurkan, sehingga, setelah menyadari sebagai kekeliruan sejarah, melakukan rujuk kebudayaan.

Catatan Tambahan Menurut Hassan Hanafi, dalam otobiografinya, al-ushuliyyah al-

islamiyyah, kemunculan sekian istilah di atas bukan ahistoris. Hal yang sama juga terjadi di Barat. Para teolog, dalam pergulatannya antara teks dan konstruksi sosial, melahirkan sekian formula teologi. Disebutnya, antara lain, lahut al-tsaury (teologi pembebasan), lalmt al-taqoddumy (teologi progresif) lalmt at-tahrier (teologi pembebasan), harakah nthban as-syabab (gerakan pendeta muda), bahkan hingga yang amat kontroversial lahut mautil ilah (teologi kematian tuhan). Epistemologi kesemuanya, dalam bahasa Guterrez, adalah "critical reflection on the reality in the light of christianity."

l'tibar seperti apa yang bisa diambil dari narasi Hanafie di atas? Sarna dengan mukaddimah di atas, untuk menguji atau mengkaitkan setiap pemikiran dengan relevansi sosial dan intelektual. Dengan optik ini, kita menjadi tahu bahwa aliran pemikiran Islam yang cukup merniliki fondasi lengkap hanyalah Islam tradisional, modernis, neomodernis, Islam liberal, dan Islam Kiri di luar itu masih kabur dan belum jelas struktur pemikirannya .

Persoalan mendasar kedua adalah apakah bangunan pemikiran keislaman di atas mampu menjawab kebutuhan objektif masyarakat Indonesia alias memiliki relevansi sosial, atau sebaliknya? Alhasil ternyata tidak cukup memadahi. Persoalan kontemporer sekarang adalah ketertinggalan masyarakat baik dari sisi pendidikan, kesehatan, kesadaran, dan neoimperialisme dalam wujud eksplotasi kapitalisme global Problematik ini menghadirkan penindasan struktural yang kejam dan tak berperikemanusiaan, merusak lingkungan, dan menciptakan kesenjangan yang kian lebar baik dalam level lokal, nasional, maupun global.

Islam tradisional sibuk dengan bahtsul masailnya (hakim pengetuk palu yang hanya bicara hitam-putih), Islam modernis, noe-modernis, dan juga Islam liberal terperangkap agenda kapitalisme global. Tesis-tesis besar dalam Islam liberal adalah tesis yang pararel dengan pemikiran dan praktik sosial dari neoliberalisme. Kelemahan paling mendasar dari Islam liberal adalah mengkontradiksikan ketidakadilan sosial atau keterbelakangan semata-mata pada kontradiksi internal suatu masyarakat. Artinya, gagal melihat struktur global sebagai bagian penting akar permasalahan sosial objektif. Bagaimana dengan Kiri Islam? Kiri Islam memang revolusioner, memiliki relevansi intelektual dan sosial yang kuat, hanya saja diragukan praksisnya dalam konteks gerakan sosial di Indonesia. Kiri Islam belum tuntas bicara soal stratak, atau tahapan-tahapan kerjanya, sehingga melahirkan kekosongan-kekosongan praktik revolusioner. Dengan kata lain, lahirnya berbagai istilah di atad lebih merupakan "kegenitan intelektual," atau bahkan justru "fashion" intelektual yang menjadi bagian dari subsistem produksi dan konsumsi ekonomi, ketimbang jihad, ijtihad, dan mujahadah, serius untuk menjawab tantangan sejarah.

Page 191: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

191

Hand-Out 07: ANALISIS GEOEKOSOSPOL DALAM LOGIKA KAPITALISME

DAN POSMODERNISME

Napak Tilas Ekonomi Politik Orde Baru Keberadaan rezim Orde Baru tidak lepas dari pergulatan dan

pertarungan perebutan kekuasaan politik ditingkat global. Eric Nordlinger (1990) menyebut Keberadaan Orde Baru tidak lepas dari kudeta berdarah (disguised of coup) tahun 1965 yang disponsori negara-negara kapitalis untuk membendung perkembangan komunisme di Asia. Krisis ekonomi yang melanda rezim Orde Lama di bawah bendera “Nasionalisme-Sosialisme-Komunisme” (Nasakom) Soekarno, melahirkan secara prematur bayi tirani Orde Baru yang dibidani oleh agen-agen kapitalis. Tapi, bayi prematur ini akhirnya tumbuh menjadi bayi normal karena asuhan “tangan-tangan ajaib” negara kapitalis yang selalu memberinya makanan dan susu bergizi produksi mereka.

Orde Baru membangun kembali Indonesia yang tercabik krisis yang diwarnai kebangkrutan ekonomi dengan tingkat inflasi mencapai 650 persen dan pergolakan politik berdarah-darah dengan bantuan dukungan negara-negara kapitalis. Satu-satunya program pemulihan ekonomi yang yang dicanangkan pada masa awal pemerintahan Orde Baru adalah kebijakan menarik investor untuk mengalirkan modalnya ke Indonesia, bahkan dengan menerima semua persyaratan yang mereka tetapkan untuk merangsang mereka agar mau menanamkan investasi. Karenanya tak heran kalau tahun-tahun pertama berkuasanya Orde Baru ditandai dengan aturan dan kebijakan yang semuanya ditetapkan oleh IMF, Bank Dunia, USAID, dan konsultan asing yang pro paham kapitalis. Alternatif ini menjadi pilihan praktis para ekonom Orde Baru untuk bisa segera keluar dari krisis dengan membuka diri pada investasi dan modal asing sebanyak-banyaknya.97 Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Mochtar Mas'oed (1989), tentang bagaimana perjuangan dan upaya Orde Baru untuk mencari dukungan dana guna membiayai pembangunannya, bahkan sampai harus meminta-minta kepada negara-negara kreditor agar Indonesia diberi pinjaman utang. Apa yang menjadi cita-cita dari rezim sebelumnya tentang konsep “berdikari,” sama sekali diabaikan.98 Persoalan riil yang dihadapi pemerintah Orde Baru adalah bagaimana mencari sebanyak mungkin dana-dana pinjaman untuk membiayai defisit anggaran belanja negara.99

97 Ada dua pilihan rezim Orde Baru pada masa-masa awal pembangunannya, pertama, membangun koalisi dengan sebuah partai politik dan dengan demikian memungkinkan bekerjanya sistem politik yang mendorong partisipasi rakyat; kedua, mereformasi kerangka konstitusional yang ada sedemikian rupa guna menciptakan satu kesepakatan baru. Dan Soeharto menolak pilihan pertama karena strategi itu bertentangan dengan kebijakan ekonominya yang berorientasi ke luar, sementara partai-partai itu adalah kebanyakan pendukung usahawan pribumi. Soeharto meyakini keberhasilan program pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan yang cepat telah dijamin oleh modal asing, perusahaan-perusahaan negara yang diaktifkan kembali, dan para pengusaha dalam negeri yang memiliki koneksi internasional, serta Angkatan Darat. Soeharto menganggap pengusaha pribumi tidak bisa diharapkan untuk memberi jaminan semacam itu, sehingga dukungan mereka tidak dibutuhkan. Untuk lebih jelasnya lihat Mochtar Mas’oed, 1989, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta: Pustaka LP3ES, hlm. 128 dst.

98 Dalam menentang pendekatan ‘kembali dengan Barat,’ Presiden Soekarno dalam pidatonya 1 September 1966 memperingatkan bahwa, “nilai kemerdekaan yang paling tinggi adalah berdiri di atas kaki sendiri,” dan karena itu tidak boleh “meminta-minta” dalam usaha merehabilitasi ekonomi. FEER, 15 September 1966, dalam Mochtar Mas’oed, 1989, ibid., hlm. 79.

99 Dalam mencari sumber pendanaan baik untuk menggerakkan roda perekonomian nasional yang hampir ambruk oleh krisis yang menyebabkan tingginya tingkat inflasi yang

Page 192: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

192

Setidaknya ada tiga teori yang dijadikan pedoman kalangan intelektual Orde Baru tentang perlunya prioritas pembangunan ekonomi daripada pembangunan politik.100 Pertama, mereka percaya dengan hipotesa Seymour M Lipset (1963: 2) bahwa, demokrasi politik didahului oleh pembangunan ekonomi. Hanya bangsa-bangsa yang telah mengalami pembangunan ekonomi tingkat tinggilah yang berhasil mencapai demokrasi liberal tingkat tinggi. Kedua, adalah pendapat Daniel Bell tentang “berakhirnya ideologi.” Pada dasarnya kemajuan-kemajuan teknologi telah membawa pembangunan ekonomi di Barat berhasil memecahkan masalah yang dihadapinya selama revolusi industri. Dan bangsa-bangsa Barat sekarang melihat politik yang didasarkan pada ideologi sebagai sesuatu yang ketinggalan jaman. Bahkan Bell menyatakan bahwa, politik masa kini adalah politik berdasarkan konsensus atau kesepakatan.

Ketiga, argumen yang diajukan Samuel P Huntington tentang akibat-akibat yang berbahaya dari mobilisasi sosial yang tidak terkendali dan pentingnya negara-negara yang kurang berkembang untuk terlibat langsung dalam pembangunan. karenanya, hal terpenting dari pendapat Huntington adalah perlunya pelembagaan politik. Agar dapat bertahan, pemerintah negara-negara baru harus mampu menyalurkan tuntutan rakyat terhadap partisipasi politik secara tertib.101 Jadi pada paruh kedua 1960-an, kaum intelektual yang mendukung Orde Baru telah memiliki suatu dasar teoretis yang utuh untuk mengajukan suatu jenis politik baru yang bisa mendukung pembangunan ekonomi, yang “bebas dari konflik ideologis” serta didasarkan atas pragmatisme, rasionalitas, ketertiban, dan keahlian praktis.

Sebagai negara Dunia Ketiga yang mencapai kemerdekaannya pasca Perang Dunia II, keberadaan Indonesia dalam melaksanakan pembangunan tidak lepas dari campur tangan pemerintah. Logika negara pembangunan Menurut Gerschenkron (1962), semakin terlambat suatu negara melakukan proses industrialisasi, maka semakin diperlukan campur tangan negara dalam proses pembangunannya. Artinya, jalan yang ditempuh negara industri generasi pertama (AS dan Eropa Barat) yang melakukan industrialisasi berbeda dengan negara-negara yang menyusul belakangan (Jerman, Jepang, Rusia, dan Asia Timur). Selain peran negara yang makin besar, jumlah modal yang harus dikumpulkan juga makin besar guna melakukan industrialisasi. Pada negara industri generasi pertama, proses industrialisasi membutuhkan modal relatif kecil sehingga dapat dijalankan oleh swasta, tanpa campur tangan negara. Pada negara industri generasi berikutnya, modal yang dibutuhkan makin besar

mencapai 650 persen maupun untuk menutup defisit anggaran negara akibat utang yang sudah mencapai 3,1 milyar dollar AS dan sudah akan jatuh tempo sebesar 727,7 juta dollar AS, maka secara ekonomis pilihan untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang melimpah di Indonesia guna mendapatkan cash flow besar dalam waktu singkat adalah pilihan yang menguntungkan bagi rezim Orde Baru. Hal ini tercermin dalam peraturan yang melegalisasi eksploitasi kekayaan alam, seperti dalam UU No. 5/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan UU No.11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.

100 Dalam menjalankan roda pemerintahan selama berkuasa, Orde Baru selalu berlindung di balik landasan konstitusi untuk memperoleh legitimasi yang sah dan kuat dalam membuat keputusan. Begitu juga dalam pembangunan ekonomi yang lebih bercorak kapitalistik dengan orientasi mengejar pertumbuhan setinggi-tingginya melalui penetrasi modal asing. Orde Baru pun melakukan hal serupa dengan melakukan reformasi hukum yang bersifat instumental terhadap ekonomi untuk membuka diri bagi pembangunan kapitalisme seperti membuat peraturan mengenai Penanaman Modal Asing (UU No.1/1967) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 8/1968).

101 Samuel P Huntington, 1965, ‘Political Development and Political Decay,’ World Politics, 17,3 (April) dalam Mochtar Mas’oed, 1989, loc.cit., hlm. 137.

Page 193: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

193

sehingga negara terlibat proses industrialisasi. Keterlibatan negara dalam proses pembangunan ekonomi industri inilah yang disebut dengan model negara pembangunan (model of developmental state). Negara lalu terjun langsung dalam proses-proses ekonomi, seperti melakukan akumulasi kapital baik domestik maupun asing, mendirikan perusahaan-perusahaan negara, mendorong terciptanya kelas pengusaha, dan melakukan regulasi aktif di sektor fiskal, finansial, moneter, dan perdagangan. Inilah yang membedakan antara lahirnya kapitalisme di Eropa Barat dengan kapitalisme di Indonesia. Jika kapitalisme yang tumbuh di Eropa Barat murni dari swasta (pure capitalism), maka kapitalisme di Indonesia berasal dari bentukan dan sokongan negara (state-sponsored capitalism).102

Konsekuensinya dari pilihan ini adalah, kelas menengah yang amat diperlukan bagi tumbuhnya demokrasi tidak pernah lahir. Yang terbentuk justru adalah sekumpulan konglomerat atau pengusaha yang amat tergantung pada proteksi, patronase, dan subsidi negara. Oleh Kunio, gejala yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di sebagian besar negara-negara Asia Tenggara ini dinamakan dengan kapitalisme semu atau erzatz capitalism.103

Dalam konteks kapitalisme semu, terjadi persekutuan segitiga antara modal asing, negara, pengusaha domestik, serta di back-up kelompok militer sebagai kekuatan represi. Persekutuan yang oleh Peter Evans (1986) dinamakan tripple alliance ini diwujudkan dengan proyek-proyek kontrak karya seperti Freeport, Caltex, dan proyek-proyek industri strategis lain. Pada gilirannya aliansi segitiga ini amat merugikan rakyat karena sarat dengan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, suntikan modal asing hanya dialokasikan pada proyek-proyek “mercusuar” yang tidak mempunyai keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang dibutuhkan untuk membangun fondasi perekonomian rakyat (rentier capitalism). Pertanyaannya kemudian adalah mengapa aliansi segitiga ini berlangsung mulus, tanpa gejolak politik kelompok elite? Menurut Walden Bello (1998) ada tiga alasan. Pertama, para investor asing yang membawa modal besar dan mencari lahan untuk produksi menciptakan lapangan dan kesempatan kerja. Kedua, para teknokrat negara bersikap represif terhadap rakyat demi stabilitas politik. Ketiga, elite ekonomi menganggap, akumulasi kapital secara cepat merupakan strategi yang bisa menciptakan kemakmuran dan pertumbuhan secara cepat.104 Interaksi Ekonomi Politik Orde Baru

Perjalanan ekonomi politik Orde Baru selama 32 tahun diwarnai oleh bagaimana modal dan kekuasaan saling berinteraksi.105 Proses interaksi antara

102 Lihat Agus Subagyo, ‘Mengurai Gagalnya Negara Pembangunan,’ Kompas Cyber Media, 2002.

103 Lebih jelasnya lihat Yoshihara Kunio, 1990, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta: Pustaka LP3ES.

104 Agus Subagyo, 2002, op.cit. 105 Ada tiga kelompok yang terlibat dalam pengambilan kebijakan pembangunan ekonomi

semasa awal Orde Baru. Ketiga kelompok itu adalah, kelompok teknokrat, kelompok intervensionis, dan kroni kapitalis. Kelompok teknokrat dimotori “Mafia Berkeley” terdiri atas para ekonom yang berorientasi pada bekerjanya mekanisme pasar dengan baik, sementara kelompok intervensionis terdiri dari banyak orang dengan latar belakang yang berbeda namun mementingkan perlunya pemerintah melakukan intervensi atau proteksi dengan alasan nasionalisme ekonomi murni, maupun dengan tujuan kepentingan kelompok/individu. Termasuk kelompok ini adalah lembaga-lembaga seperti Pertamina yang pada saat oil boom sangat aktif berperan melakukan investasi besar-besaran di berbagai bidang yang bukan merupakan bisnis inti (core-business), Habibie dan

Page 194: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

194

modal dan kekuasaan tersebut menimbulkan fluktuasi dan distorsi ekonomi yang berdampak pada ketidakjelasan arah pembangunan dan rapuhnya basis fundamental ekonomi Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh dominannya intervensi tiga jajaran lembaga negara dalam struktur kekuasaan dalam menentukan arah kebijakan ekonomi nasional, yaitu lembaga kepresidenan, militer, dan birokrasi (R William Liddle, 1985). Semasa Orde Baru, militer memang terlihat memenangkan kekuatan ekonomi-politik baik dari tingkat nasional sampai tingkat regional, bahkan disemua lini jajaran birokrasi dipegang oleh militer dari tingkat presiden sampai kepala desa. Tetapi perlu dicatat bahwa, kekuatan ekonomi birokrat militer diperoleh bukan dengan modal pribadi, melainkan lebih didasarkan kepada kekuasaan birokrasi yang memungkinkan akses untuk menguasai pasar. Richard Robison (1990: 38) menjelaskan bahwa, komandan-komandan militer melakukan kontrol pengamanan terhadap berbagai bidang strategis dari aparatus negara yang mencakup departemen pemerintahan, kredit, dan kontrak. Para pejabat yang menduduki posisi strategis yang secara ekonomis dipegang oleh para pejabat militer, memanfaatkan sumber daya jabatan dan kekuasaannya untuk memperbesar kekayaan pribadi. Mereka menggunakan kekuasaan tersebut untuk mengalokasikan lisensi, konsesi, kredit, monopoli, kontrak, bahkan menilep dana pembangunan bantuan asing yang diperoleh dengan mengemis dan menjual kemiskinan rakyat.106

Dengan posisi-posisi strategis tersebut, para politiko birokrat membangun kekayaan pribadi para individu pemegang jabatan kekuasaan (Robison, 1982: 7). Pengelolaan keputusan penting dan mendasar seperti strategi ekonomi berada di tangan birokrasi—khususnya presiden—dan bukan dalam parlemen atau partai politik. Inilah yang oleh Robison disebut kelas “kapitalis birokrat,” yang awal titik singgung mereka dalam ekonomi memang terjadi melalui korupsi, ekonomi rente, dan bisnis mark up, yang kemudian mencoba mentransformasikan dirinya sebagai wiraswasta yang mengakumulasikan kapital untuk investasi yang produktif (Basri, 2001: 34).

Di samping itu watak patrimonialisme dimana keputusan ekonomi politik dibuat lebih untuk kepentingan pribadi birokrat yang memegang kekuasaan, membuat setiap keputusan ekonomi politik dibuat mengikuti filosofi patron-client: pengusaha yang berhasil adalah pengusaha yang memiliki hubungan pribadi dengan pembuat keputusan. Akhirnya, kebijakan yang muncul merupakan kebijakan yang menguntungkan keduanya.107 Dengan pencampuran antara kekuasan politik dan otoritas birokrasi, sektor-sektor strategis dipakai aparatus negara sebagai barang jarahan, membagi-bagikan pada klan mereka atas departemen-departemen yang mengontrol perdagangan dan kebijakan ekonomi, bank-bank, juga perusahaan-perusahaan negara sebagai sapi perahan untuk kawan-kawan, kelompok pengusaha pribumi yang dipayungi oleh Ginandjar Kartasasmita, dan lain sebagainya. Kroni kapitalis tak lain adalah sekelompok pengusaha atau kroni dari penguasa—termasuk keluarga Soeharto—yang lebih mementingkan keuntungan perusahaannya dari kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah. Kroni kapitalis selalu terlibat dalam setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan pemerintah sebagai parasit ekonomi yang menghisap dan membebani setiap transaksi. Untuk lebih jelasnya lihat Anton H. Gunawan, ‘Mengkaji Pengalaman Masa Lalu dan Menggagas Masa Depan,’ St. Kartono (ed.), 2000, Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, Jakarta: Penerbit Kompas, hlm. 13-14.

106 Bank Dunia memperkirakan tak kurang dari 30 persen dari dana pembangunan bantuan asing yang diterima pemerintah Indonesia selama dua dekade telah menguap tanpa ketahuan rimbanya karena korupsi yang meluas di lingkungan birokrasi dari atas sampai ke bawah.

107 Muhammad Chatib Basri, ‘Antara Marx dan Schindler: Perihal Modal dan Kekuasaan di Indonesia,’ dalam Kiri di Asia, Jurnal Yayasan Kalam, 2001, hlm. 31.

Page 195: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

195

akumulasi kapital. Munculnya kapitalisme kroni misalnya, kerap dijelaskan dalam kerangka pendekatan patrimonial.108 Melalui hubungan-hubungan khusus dengan para elite politik dalam pemerintahan, beberapa pengusaha berhasil memperoleh banyak kemudahan hak-hak monopoli, duopoli, atau oligopoli.109 Itulah kenapa fondasi ekonomi Indonesia sangat rapuh dan keropos karena gerak laju investasi produktif yang ada dibiayai dengan uang haram hasil kejahatan korupsi.

Begitu dalam dan luasnya pengaruh patronase ekonomi-politik yang ditancapkan oleh kuku-kuku Orde Baru dalam berbagai sektor strategis yang menjadi sendi-sendi perekonian Indonesia hingga membuat fundamental ekonomi Indonesia menjadi keropos. Dalam investigasi yang dilakukan oleh para koresponden majalah Time pasca terjadinya krisis moneter 1997 yang menumbangkan rezim otoriter Orde Baru, menemukan indikasi bahwa sekurang-kurangnya 73 milyar dollar transaksi bisnis melewati tangan-tangan keluarga Soeharto—baik lewat yayasan-yayasan110 maupun lewat perusahaan-perusahaan yang dibentuk—antara tahun 1996-1998. Sebagian besar transaksi itu berasal dari pertambangan, perkayuan, dan komoditi-komoditi dari industri perminyakan. Meski krisis keuangan di Indonesia telah menurunkan jumlah kekayaan tersebut, tapi bukti mengindikasikan bahwa Soeharto dan enam anaknya tetap memiliki kekayaan $ 15 milyar dollar tunai dari saham-saham modal perusahaan, real estete, perhiasan, dan benda-benda seni.

108 Soeharto membuat fondasi untuk kekayaan keluarganya dengan menciptakan sistem

patron yang berskala nasional yang mampu mempertahankannya dalam kekuasaan selama 32 tahun. Anak-anaknya, pada gilirannya memfungsikan kedekatan dengan Presiden kedalam peranan calo (perantara) untuk pembelian dan penjualan dari produk-produk minyak, plastik, senjata, bagian-bagian pesawat terbang dan petrokimia yang dimiliki pemerintah. Mereka memegang monopoli pada distribusi dan impor komoditi-komoditi utama. Mereka mendapatkan pinjaman dengan bunga rendah melalui kerja sama dengan bankir-bankir, yang seringkali takut untuk menanyakan pembayaran kembali. Bahkan dalam laporan majalah Time mengenai harta jarahan keluarga Soeharto, enam anak Soeharto memiliki saham dalam jumlah signifikan sekurang-kurangnya di 546 perusahaan dengan total cash flow mencapai 15 milyar dollar, dan kekayaan luar negeri mereka mencakup ratusan perusahaan yang tersebar dari Amerika ke Uzbekistan, Belanda, Nigeria, dan Vanuatu.

109 Chaniago (2001: 28 dst) mencatat bahkan sejak 1968 misalnya, hak impor cengkeh hanya diberikan kepada dua pengusaha, yaitu Liem Sioe Liong dan Probosutedjo. Keistimewaan lain yang diterima Liem Sioe Liong adalah hak monopoli pemasaran terigu di wilayah Indonesia bagian Barat yang terkenal di bawah bendera PT Bogasari Flour Mills. Keistimewaan ini tidak lepas dari politik balas jasa yang pernah dilakukannya ketika menjadi pemasok barang-barang kebutuhan tentara Divisi Diponegoro di akhir tahun 1940-an di mana Soeharto pernah menjadi panglima. Sedangkan pemberian privilese pada Probosutedjo tidak lepas dari hubungan darah sebagai adik tiri Soeharto. Nama lain yang cukup kental adalah Mohammad Hasan (The Kian Seng, atau yang lebih dikenal dengan Bob Hasan) yang mendapat konsesi dibeberapa bidang usaha, antara lain sebagai pemasok bijih besi PT Krakatau Steel, Pemasok barang-barang keperluan industri minyak lepas pantai, dan konsesi hak pengusahaan hutan.

110 Dengan berkedok yayasan amal yang menyalurkan layanan sosial seperti untuk membiayai sejumlah besar rumah sakit, sekolah, dan Masjid, yayasan-yayasan yang didirikan Soeharto—George J Aditjondro menemukan 105 yayasan yang dibentuk Soeharto, istri, anak, dan kerabat dekatnya, empat di antaranya adalah yang terbesar yaitu Dharmais, Supersemar, Dakab, dan Amalbakti Muslim Pancasila—merupakan salah satu sumber penting untuk mengeruk dana raksasa tidak resmi untuk mendanai investasi proyek-proyek Soeharto, anak-anak, dan kroninya, maupun untuk membiayai mesin yang menjadi kendaraan politiknya, yaitu Golkar. Mantan Jaksa Agung saat Habibie berkuasa, Soedjono, melakukan penyelidikan atas yayasan-yayasan yang dikuasai Soeharto menemukan bahwa salah satu yayasan terbesar, Supersemar, telah menyebarkan 84 persen dananya pada sasaran yang tidak diketahui, termasuk pinjaman kepada perusahaan milik anak-anak dan teman-teman Soeharto. Lihat Time edisi 24 Mei 1999.

Page 196: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

196

Dibidang kehutanan, David W. Brown (1999: 14) mensinyalir adanya kecurangan dan permainan kotor dari terkonsentrasinya kepemilikan konsesi kayu pada lima perusahaan HPH terbesar,111 dengan kesanggupan beberapa perusahaan untuk memberikan saham atau posisi-posisi penting di berbagai perusahaan konsesi kepada anggota keluarga Soeharto sebagai imbalan atas fasilitas dan izin yang diberikan kepada mereka (lihat tabel 3). Imbalan yang mereka berikan tidak cuma pembagian saham dan kedudukan penting di perusahaan-perusahaan tersebut, bahkan PT Barito Pacific (Prajogo Pangestu) sejak tahun 1991 telah membantu Soeharto mencapai ambisinya menjadi pemain dan wasit dalam dunia percaturan bisnis keuangan di Indonesia dengan menyediakan dana sekitar US$ 220 juta untuk memberi jaminan bagi Bank Duta—bank yang dimiliki oleh Nusamba (Nusantara Ampera Bhakti), perusahaan yang 80 persen sahamnya dikuasai tiga yayasan besar Soeharto—dan juga membantu Soeharto dengan memberikan jaminan kepada grup Astra ketika perusahaan itu nyaris ambruk akibat permainan valas.

Di bidang pertambangan, perusahaan holding milik keluarga Soeharto, Nusantara Ampera Bhakti (Nusamba)112 sebagaimana dituturkan Schwarz (1994), menguasai pabrik lempeng timah di Indonesia. Perusahaan ini juga menguasai monopoli bisnis asuransi kerugian di sektor perminyakan yang sangat menguntungkan, yang pendapatan per tahunnya mencapai US$ 120 juta melalui perusahaan afiliasi Nusamba, yakni Tugu Pratama Indo. Di samping itu, perusahaan ini juga menguasai 10 persen saham dalam kontrak produksi Unocol di dua blok pantai Kalimantan Timur, di mana Pertamina memperkirakan bahwa selama Soeharto berkuasa, mereka telah melakukan sebanyak 159 kontrak karya dengan perusahaan milik keluarga dan teman dekat Soeharto. Lewat perusahaan Nusamba pula, Soeharto memperoleh 4,7 persen saham dari perusahaan Freeport Indonesia yang mengeksploitasi tembaga dan emas di Irian Barat dan termasuk perusahaan tambang terbesar di dunia. Bob Hasan dan Hutomo Mandala Putra, alias Tommy, bersama-sama menguasai jaringan bisnis yang cukup besar, yakni monopoli impor minyak mentah dan hasil bahan bakar yang dilakukan oleh Perta Oil Marketing, di mana kedua orang itu menguasai saham 50 persen, sementara sisanya dikuasai Pertamina.113

Di samping melalui kontrak-kontrak pemerintah yang menguntungkan karena akses kekuasaan yang dimiliki, keluarga Soeharto juga melakukan tindakan represi, kekerasan, dan pelanggaran HAM berat dalam membesarkan bisnisnya. Ketika Soeharto ingin membangun peternakan sapi modern (ranch) di Tapos Jawa Barat tahun 1971, ia merampas tanah lebih dari 751 ha yang dihuni

111 Tak kurang dari 62 juta hektar areal hutan Indonesia dibabat dan dijarah oleh

perusahaan-perusahaan pemegang HPH yang dilegalkan rezim Orde Baru dengan UU No.5/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK) sebagai jalan pintas mengeruk devisa. Kebijakan eksploitatif ini berdampak pada hancurnya kekayaan ekosistem hutan tropis Indonesia dan menyebabkan punahnya masyarakat adat yang hidup dari hutan-hutan yang dibabat tersebut karena terusir dari habitat hidup mereka.

112 Perusahaan ini dipimpin Bob Hasan dengan 10 persen saham, Sigit Harjojudanto 10 Persen, dan sisanya (80 persen) dikuasai tiga yayasan sosial yang dibentuk Soeharto, Dharmais, Supersemar, dan Dakab (Time, 1999: 22).

113 Lihat David W Brown, 1999, Ketagihan Rente: Distribusi Korporasi dan Spesial Sumber Daya Hutan Indonesia; Implikasi bagi Kelestarian Hutan dan Kebijakan Pemerintah, Jakarta: DFIF. hlm. 18-19. Bandingkan juga dengan riset George J. Aditjondro yang berusaha menelusuri kekayaan keluarga Soeharto dan para kroninya serta kekayaan yayasan yang dibentuknya dalam Adili Soeharto: Upaya Mengungkap Kekayaan Keluarga dan Yayasan Soeharto, yang bisa diperoleh lewat akses situs di internet.

Page 197: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

197

oleh 5 desa tanpa ganti rugi. Pada tahun yang sama Soeharto juga mengusir sekitar 500-an keluarga dari tanah mereka ketika istrinya, Ny. Tien Soeharto, berencana membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Begitu juga ketika PT Bandung Asri Mulia yang sebagian sahamnya dimiliki anak-anak Soeharto merampas tanah petani Cimacan pada tahun 1987 untuk dijadikan Lapangan Golf Cibodas dan kawasan wisata. 114

Banyak cerita sama. Di tahun 1996 sebuah perusahaan milik Tommy merampas tanah penduduk desa di Bali seluas 650 hektar untuk resort. Perusahaan itu sebenarnya hanya memperoleh izin untuk 130 ha, yang kemudian diperluas secara ilegal, demikian menurut Sonny Qodri, ketua LBH Bali. Penduduk yang menolak untuk menandatangani perjanjian menjual tanah, diintimidasi, dipukuli, dan sering direndam dalam air sebatas leher. Dan selama 32 tahun rezim Orde Baru berkuasa, tak terhingga jumlah yang menjadi korban kekerasan pembangunan yang dilakukan.

Argumentasi negara kekuasaan yang mementingkan patronase ekonomi seperti diuraikan di atas, terkadang mental ketika keadaan ekonomi memburuk dan memaksa ekonomi mengikuti kemauan pasar (baca: modal). Di sini kebijakan ekonomi yang merupakan representasi teknokrat dengan program ekonomi liberal dan propasar dianggap sebagai dewa penolong yang menyelamatkan ekonomi nasional dari parasit ekonomi yang mendistorsi pasar. Para teknokrat Orde Baru yang dimotori oleh “Mafia Berkeley” meletakkan dasar bagi bekerjanya mekanisme pasar bebas dengan melakukan sejumlah deregulasi sektor moneter dan fiskal dengan membuat tiga pilar utama untuk menopang pembangunan ekonomi Indonesia. Ketiga pilar itu adalah, kebijakan anggaran berimbang,115 pembukaan ekonomi Indonesia bagi arus modal asing,116 dan kebijakan lalu lintas devisa bebas.117 Inilah kemudian yang memunculkan kebijakan yang bersifat “tambal sulam,” yang menjadi ciri tersendiri yang membuat roda perekonomian Indonesia tidak ubahnya seperti memaksa sebuah lokomotif tua berjalan di atas bantalan-bantalan rel yang seharusnya perlu diperbaiki terlebih dahulu sebelum rel menuju tempat pemberhentian berikutnya yang juga masih akan dibangun (Chaniago,

114 Untuk lebih memahami kasus ini, baca hasil penelitian Dianto Bachriadi dan Anton Lucas

dalam Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan yang diterbitkan oleh Pustaka Gramedia.

115 Konsep ‘kebijakan angaran berimbang’ adalah proses pembohongan publik yang dilakukan rezim Orde Baru karena pada dasarnya anggaran APBN selalu mengalami defisit. Dan untuk menyeimbangkan defisit tersebut, pemerintah menutupnya dengan pinjaman dan utang luar negeri yang jumlahnya kian membengkak. Lihat Ary Arryman, ‘Momentum untuk Keluar dari Perangkap Utang Luar Negeri,’ dalam Roem Topatimasang (Ed.), 1999, Hutang itu Hutang, Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar, hlm. 174.

116 Sritua Arif (1998) misalnya menyebut data neraca pembayaran tahun 1973-1990, bahwa arus masuk investasi asing ke Indonesia secara kumulatif sebesar 5,8 miliar dollar AS sedangkan nilai keuntungan kumulatif investasi asing yang direpatriasi ke luar negeri mencapai 58,9 miliar dollar AS. Ini berarti setiap satu dollar yang dimasukkan investor asing ke Indonesia telah diikuti oleh mengalirnya sumber keuangan dalam nilai sepuluh kali lipat dari ekonomi Indonesia.

117 Kebijakan ini ternyata justru malah memberi kontribusi signifikan terhadap pembengkakan utang luar negeri di Indonesia, terjadinya pelarian modal asing, dan instabilitas nilai tukar mata uang karena spekulasi. Selama periode 1970-1980, dalam catatannya Mubarik Ahmad (1993), secara kumulatif sebesar 9,4 miliar dollar AS atau sekitar 51 persen dari pertambahan utang luar negeri Indonesia yang nilainya sebesar 18,26 miliar dollar AS, telah digunakan untuk membiayai pelarian modal. Dan selama periode 1980-1991 sebesar 11,17 miliar dollar AS atau 42 persen dari pertambahan utang luar negeri Indonesia juga telah digunakan untuk membiayai pelarian modal.

Page 198: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

198

2001). Dengan ibarat seperti itu, Indonesia selalu menyelesaikan dua persoalan sekaligus di setiap etape perjalanan pembangunannya. Pertama, adalah mengganti ruas-ruas yang dirusak oleh para parasit ekonomi politik agar perjalanan dapat sampai ke stasiun tujuan; kedua, adalah desakan untuk membangun ruas-ruas baru untuk melayani tuntutan ekonomi global yang semakin liberal. Proses tarik-menarik ini menimbulkan distorsi pasar yang serius dan berakhir dengan krisis ekonomi pada medio tahun 1997.

Mungkin karena itulah, sulit sekali menyimpulkan satu pola kebijakan Orde Baru yang bersifat ideologis, sebagaiman dikemukakan Mohammad Chatib Basri (2001: 37-38):

“Saya menduga aspek perdebatan ideologis dalam kebijakan ekonomi di Indonesia belum matang benar. Yang terjadi sebenarnya hanyalah satu proses keputusan ekonomis rasional tentang pilihan kebijakan yang paling menguntungkan bagi legitimasi pemerintah Orde Baru. Menguntungkan di sini harus diterjemahkan dalam arti memiliki biaya ekonomi dan politik yang paling murah. Dalam konteks ini, negara menjadi pragmatis dalam menjalankan kebijakan ekonominya. Di satu sisi negara bisa menjadi wahana bagi akumulasi modal, tetapi di sisi lain negara juga berangkat dari satu kepentingan mempertahankan legitimasi politik.”

Dengan kata lain, peran ideologis muncul sebagai akibat dari pilihan kebijakan dan bukan merupakan sebab. Yang terjadi hanyalah sebuah upaya mempertahankan legitimasi Orde Baru—pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inflasi yang rendah—dengan biaya politik dan ekonomi yang paling murah, dan tarik-menarik kelompok kepentingan dalam pilihan kebijakan. Jika peran kelompok interventionist menguat, maka harga kebijakan yang propasar menjadi mahal dan pilihan kebijakan akan menuju kepada intervensi pemerintah. Sedangkan di masa krisis, ketika peran kelompok propasar menguat, maka harga intervensi pemerintah menjadi mahal, dan pilihan beralih kepada kebijakan yang propasar. Di sini tidak terlihat bagaimana bingkai ideologi berperan, karena kenyataan yang terjadi hanyalah mempertahankan legitimasi rezim dengan pelbagai alasan ideologis. Dengan kata lain, persoalannya liberal atau bukan liberal, tetapi seberapa jauh kelompok “kapitalis kroni” dengan ekonomi rentenya serta legitimasi politik Orde Baru dalam posisi terancam. Jika ada ancaman, kita akan mendengar seruan antiliberalisme, jika posisi kapitalis kroni membaik, kita akan mendengar perlunya privatisasi dan deregulasi. Semuanya kemudian seperti membantu kita membentuk satu mosaik: soalnya bukan pada liberal atau proteksionis, kapitalis atau sosialis, tetapi lebih kepada kebijakan ekonomi yang hyper-pragmatis dan demi mempertahankan status quo.118 Nasib Kaum Miskin di Era Globalisasi

Meskipun menunjukkan prestasi yang luar biasa—ditandai dengan angka pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen per tahun dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu newly industrial economics—sistem ekonomi yang dibangun rezim Orde Baru ternyata menyimpan berbagai macam kebobrokan yang mendehumanisasikan dan menyengsarakan kehidupan rakyat kecil. Strategi kebijakan pembangunan ekonomi yang hanya berorientasi pada tingginya angka

118 Muhammad Chatib Basri, 2001, “Antara Marx dan Schindler: Perihal Modal dan Kekuasaan di Indonesia,” dalam Jurnal Yayasan Kalam, hlm. 38-44.

Page 199: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

199

pertumbuhan ekonomi yang digerogoti oleh parasit ekonomi rente (rent seek) para kroni, ternyata tidak hanya menimbulkan akibat samping yang serius dalam perekonomian masyarakat perkotaan saja, tetapi juga merembet pada sistem perekonomian dan sistem politik nasional. Dalam lingkup ekonomi nasional, strategi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan menimbulkan ketimpangan di berbagai aspek kehidupan antara lain: ketimpangan penyebaran aset di kalangan swasta, ketimpangan ekonomi antarsektor, kesenjangan antarwilayah, ketimpangan antarsubwilayah, ketimpangan antargolongan sosial ekonomi, ketimpangan pembangunan diri manusia Indonesia, dan ketimpangan kota-desa. Sementara dibidang politik, bersamaan melebarnya berbagai macam kesenjangan sosial-ekonomi tersebut menjadi bom waktu yang siap meledak setiap saat (Chaniago, 2001: 10).

Pembangunan memang telah menciptakan berbagai macam kemajuan yang mengagumkan. Setiap tahun terus bertambah pusat-pusat perbelanjaan yang menjamur di setiap kota besar, bandar udara modern dengan toko bebas cukai yang dipadati barang, jalan-jalan tol yang dipenuhi mobil-mobil model terbaru yang membawa orang dari bandara ke hotel-hotel berbintang lima yang mewah, gedung-gedung perkantoran dan apartemen mewah yang menjulang di setiap ruas jalan protokol. Makin banyak pula rumah-rumah besar lagi mewah ber-AC dan dipenuhi perlengkapan perabotan modern lainnya. Semua itu adalah penampilan depan dari pembangunan, dan merupakan ‘tugu keberuntungan’ sejumlah kecil orang yang telah diuntungkan oleh pembangunan itu. Tapi di balik itu semua, ada pula kenyataan lain yang mengenaskan. Di belakang kemegahan dan kemewahan pembangunan, terdapat berjuta-juta orang yang menjalani hidupnya dalam kemiskinan yang tidak manusiawi sebagaimana tampak di sudut-sudut gang kecil kota Jakarta yang kumuh. Banyak di antara mereka yang menjadi korban dari menyelusupnya pembangunan ke dalam kehidupan mereka. Karena adanya proyek pembangunan, sekumpulan manusia yang jumlahnya mengagetkan telah terusir keluar dari rumah, kampung halaman, dan masyarakat mereka, yang tadinya telah berhasil memberikan suatu kehidupan yang sederhana namun bermartabat bagi mereka.

Bendungan, proyek kehutanan, dan banyak investasi lainnya yang didanai Bank Dunia dan badan-badan bantuan asing dengan mengatasnamakan ‘pembangunan,’ telah mengacaubalaukan kehidupan mereka, karena tujuan-tujuan yang hanya menguntungkan elite penguasa dan orang yang memang telah kaya raya. David C Korten (2002: 6-7) mengingatkan bahwa, usaha yang tidak henti-hentinya dalam mengejar pertumbuhan ekonomi telah mempercepat kehancuran sistem pendukung kehidupan yang ada di planet ini, memperhebat persaingan dalam memperebutkan sumber daya, memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin, dan menggerogoti nilai-nilai dalam hubungan keluarga dan masyarakat.

Beragam penjelasan muncul berusaha menganalisa penyebab terjadinya krisis yang menghantam Indonesia. Pertama, krisis finansial yang disebabkan oleh rapuhnya kebijakan makro. Analisa ini didasarkan pada model Krugman (1979) yakni model yang melihat krisis pada balance of payment (depresiasi uang, jatuhnya nilai tukar) yang dipicu oleh ekspansi kredit domestik bank sentral yang tidak konsisten dalam menetapkan nilai tukar. Kedua, terjadinya financial panic—sebuah argumen yang mulanya dikemukakan oleh Dybvig-Diamond (1983)—yakni kepanikan nasabah bank yang mengakibatkan ketidakseimbangan dalam pasar uang dari peminjam.

Page 200: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

200

Ketiga, adalah penjelasan yang umumnya diyakini paling dekat dengan krisis, yakni moral hazard crysis yang mulanya dikembangkan oleh Akerlof dan Romer (1996). Model ini percaya bahwa suatu krisis akan terjadi karena suatu alasan ketidakjujuran, yakni ketika bank-bank dapat meminjam dana negara hanya berdasarkan garansi liabilitas bank publik secara implisit maupun eksplisit. IMF sendiri percaya bahwa krisis yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh faktor moral hazard.

Keempat, penjelasan dari teori bubble collapse atau model gelembung pecah yang dinisbatkan oleh Blanchard (1983). Menurut model ini, krisis terjadi ketika para spekulator banyak membeli aset finansial di atas harga (fundamental value) dalam rangka mencari keuntungan. Dalam waktu singkat seringkali memang gelembung-gelembung itu membesar, tapi pada akhirnya gelembung balon tersebut akan meletus juga. Penjelasan ini cukup relevan untuk menjelaskan penyebab terjadinya krisis moneter jika kita menengok ke belakang tentang bagaimana sempitnya basis ekonomi akibat terkonsentrasi ke tangan para kroni yang tumbuh menjadi konglomerat, sistem perbankan yang keropos, dan sistem keuangan yang dililit utang sebagai salah satu fundamental ekonomi Indonesia, serta munculnya sektor ‘ekonomi baru’ yang difasilitasi pemerintah untuk tumbuh menjadi ‘macan kertas’ sejak akhir 1980-an. Sektor ekonomi baru tersebut adalah sektor properti dan sektor infrastuktur yang memanfaatkan lokasi dan ruang-ruang strategis bagi mobilitas publik. Sebelum sektor properti dan sektor infrastruktur tersebut menghantarkan Indonesia ke jurang krisis, oleh pemerintah sektor ini dianggap sebagai mukjizat ekonomi dalam mencapai angka pertumbuhan.

Lebih jauh, Korten (2002: 67) melihat pemasukan yang besar dari mata uang luar negeri dengan cepat sekali mencetuskan gelembung-gelembung keuangan yang berkembang dalam permainan saham dan real estate, dan suatu pertumbuhan yang cepat dalam impor dan penjualan barang-barang konsumsi mewah, sehingga menciptakan sebuah khayalan kemakmuran ekonomi yang tidak ada hubungannya dengan suatu pertambahan dalam hasil produktif yang sesungguhnya. Gelembung-gelembung yang semakin berkembang itu lalu menarik lebih banyak lagi uang, yang kebanyakan diciptakan oleh bank-bank internasional yang menerbitkan utang yang diperoleh karena aset-aset yang digelembungkan. Karena hasil keuntungan yang diperoleh dari investasi industri dan pertanian yang produktif tidak dapat bersaing dengan keuntungan dari spekulasi saham dan real estate, maka semakin cepat investasi asing masuk ke dalam sebuah negara, maka semakin cepat pula uang yang benar-benar mengalir keluar dari sektor-sektornya yang produktif, untuk ikut serta dalam spekulasi itu. Dampak dari dianutnya model pembangunan seperti ini adalah munculnya sektor baru yang komoditasnya bersifat nontraded—meliputi sektor properti yang menghasilkan komoditas berupa tanah, gedung apartemen mewah, gedung perkantoran, perumahan, lapangan golf, reklamasi pantai—yang hanya menciptakan gelembung ekonomi dan sangat rentan terhadap permainan spekulasi. Dalam fase kehancuran, para investor bergegas menarik uang mereka keluar untuk mengantisipasi keambrukan, harga saham real estate jatuh, bank-bank dan lembaga-lembaga utang lainnya dibiarkan begitu saja dengan sejumlah besar daftar utang yang tidak dapat ditagih, dan kehancuran keuangan mengancam, karena likuiditas telah kering.

Page 201: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

201

Tumbangnya rezim otoriter Orde Baru yang pembangunan ekonominya bercorak hyper-pragmatis dan hanya mengejar angka pertumbuhan oleh krisis moneter pada medio 1997 menjadi sebuah penanda baru bagi kehidupan masyarakat di Indonesia. Dalam aroma euforia ekonomi-politik yang menghiasai setiap wajah rakyat di Indonesia, kita semua merayakan kejatuhan rezim diktator yang penuh ketidakadilan ini dengan suka cita. Pada masa Orde Baru berkuasa, kita mendapati betapa hegemoni dan dominasi negara mencengkeram sangat kuat segala aspek kehidupan bermasyarakat. Negara mendapat kesempatan untuk memiliki kekuasaan mengelola dan mengontrol sepenuhnya urusan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dasar negara. Namun amanat tersebut ternyata telah dikhianati dan diselewengkan sehingga mengakibatkan proses dehumanisasi dan kesengsaraan sebagian besar rakyat. Penggusuran, pencaplokan tanah demi untuk pembangunan serta berbagai pemaksaan program pembangunan seperti program KB, program pertanian maupun berbagai program kesehatan telah mengakibatkan jutaan rakyat menderita. Namun pada tahun 1997 model ‘kapitalisme negara’ ini akhirnya mengalami keruntuhan, dimana salah satu sebabnya adalah akibat ditenggelamkan oleh kekuatan neoliberalisme global.

Namun ironisnya, runtuhnya pembangunan dan paham state-led development, tidak ditangisi oleh rakyat sama sekali. Bahkan banyak bukti yang menunjukkan bahwa rakyat justru ikut merendahkan dan memasung kewenangan negara, institusi yang seharusnya menjadi pelindung rakyat sendiri. Rakyat sudah sangat marah dan trauma oleh kesewenang-wenangan aparat negara yang ditunjukkan rezim Orde Baru selama 32 tahun. Rakyat sudah muak dengan janji dan retorika pembangunan untuk mensejahterakan dan melindungi kepentingan rakyat, namun kenyatannya justru pembangunan menjadikan rakyat sebagai korban pembangunan. Pembangunan bagi rakyat tidak lebih dari penggusuran tanah demi untuk pembangunan proyek-proyek mercusuar, penangkapan, penghilangan paksa, dan pembunuhan.

Runtuhnya paham state-led development dan krisis yang dialami negara, justru dirayakan oleh rakyat sebagai kemenangan. Paham neoliberalisme segera menggantikan model pembangunanisme yang telah membawa bencana bagi rakyat. Namun kegembiraan rakyat ternyata tidak berlangsung lama. Harapan akan berakhirnya penderitaan yang disebabkan oleh hegemoni dan dominasi negara buyar. Bukan kebahagiaan yang didapat, tapi justru kehidupan rakyat miskin tambah berat ketika pemerintah mengadopsi paham neoliberalisme. Terlebih-lebih sejak negara kita menjadi anggota WTO sekaligus menjadi pasien IMF.

Sejarah terulang kembali sebagaimana setback kehidupan masyarakat kita. Kehidupan kita mungkin mundur ratusan tahun lalu di mana kekautan feonalisme mencengkeram kuat sendi-sendi rakyat kecil. Rakyat kecil ditindas dan dipaksa membayar upeti kepada kaum bangsawan dan mereka mendapatkan jaminan rasa aman dari tentara kerajaan. Namun setelah datangnya kaum penjajah Belanda, penindasan berganda pun terjadi, dimana kaum penjajah menekan kaum bangsawan untuk memberi upeti kepada mereka, dan kaum bangsawan kemduian mencekik leher rakyat kecil sampai mati.

Page 202: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

202

Sejarah tentang hancurnya dan kegagalan pembangunan di Indonesia dan juga ekonomi negara-negara Dunia Ketiga lainnya tak bisa dipisahkan dari andil lembaga-lembaga keuangan internasional IMF dan Bank Dunia.119 Banyak kalangan akademik dan para pakar yang menuding resep IMF untuk Meksiko, Argentina, Thailand, dan Indonesia justru memperburuk krisis ekonomi yang terjadi di negara-negara tersebut. Sebab IMF menyarankan kebijakan moneter yang sangat ketat dan kenaikan pajak, sementara yang diperlukan untuk menggerakkan ekonomi yang mengalami krisis adalah menlonggarkan likuiditas dan menurunkan tarif pajak.

Sebelumnya, mantan wakil presiden bank dunia dan pemenang hadiah nobel ekonomi untuk tahun 2001, Prof Joseph E Stiglitz, bahkan secara keras mengkritik bahwa obat IMF justru semakin memperdalam krisis ekonomi di Asia. Stiglitz melakukan evaluasi kritis terhadap rendahnya efektivitas program IMF dan lemahnya profesionalisme IMF dalam menangani kasus negara berkembang. IMF tak ubahnya seperti seorang dokter pada abad pertengahan yang tak peduli apa pun penyakit yang diderita pasiennya, pokoknya pengobatannya adalah tempelkan lintah untuk menghisap habis darah kotor yang masih tersisa dalam tubuh si pesakitan. Dalam rangka menghemat sumber daya agar mampu membayar kembali utang-utang mereka kepada bank-bank tersebut, pemerintah negara-negara pengutang ditekan sedemikian rupa oleh IMF agar memotong anggaran bagi program-program kesejahteraan sosial dan kredit-kredit yang disubsidikan kepada para petani.

Bahkan dengan semakin terpusatnya kekuasaan yang semakin hebat ke tangan korporasi global dan lembaga-lembaga keuangan telah melucuti pemerintah—baik yang demokratis maupun yang tidak—dari kemampuannya untuk menempatkan prioritas ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam kerangka kepentingan umum yang lebih luas sebagaimana yang telah diamanatkan konstitusi dasar.

SEJARAH GEO POLITIK & GEO EKONOMI NASIONAL-INTERNASIONAL TATANAN EKONOMI-POLITIK INDONESIA

Jalan panjang yang telah ditempuh bangsa Indonesia untuk mewujudkan tatanan ekonomi yang lebih adil dan mensejahterakan seluruh rakyat, dapat dikatakan berawal dengan mencari alternatif terhadap ekonomi liberal zaman kolonial (1830-1870). Sebagai diketahui sistem kapitalisme Eropa meluas ke Benua Asia dan Afrika dalam wujud kolonialisme, sesuai dengan sifat kapitalisme yang ekspansif. Pertimbangan ekonomi-politik ekspansi tersebut ialah guna menguasai sumber-sumber kekayaan alam, tenaga murah dan pasaran yang sangat potensial karena ratusan juta penduduk, serta kesediaan tanah yang luas. (E. Wallerstein, 1974, Rutgers, 1937).

Disamping terjadinya eksploitasi tenaga kerja manusia (J. C. Breman, 1987) yang sudah melampaui batas-batas perikemanusiaan, meluasnya ekonomi uang ke dalam masyarakat pedesaan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat tersebut, sehingga ketergantungan dari perekonomian kita semakin

119 Lahir sebagai sepasang kembar siam dari Bretton Woods, New Hamspire, Juli 1944, IMF dan Bank Dunia ditugaskan bekerja sama menggalang ekonomi dunia setelah diporak-poranda perang dunia II. IMF bertugas menciptakan stabilitas ekonomi global, sedangkan Bank Dunia bertugas membiayai pembangunan. Namun, dengan paket kebijakan ekonomi “Consensus Washington,” keduanya malah bahu-membahu mengusung paham neoliberalisme dan neokolonialisme di muka bumi, tulis peraih nobel ekonomi 2001 Joseph E Stiglitz dalam Globalization and Its Discontent.

Page 203: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

203

kuat. Terhadap eksploitasi petani dan buruh perkebunan tadi, sejak awal abad ke-20 mulai timbul oposisi kaum sosialis di Belanda yang kemudian berpengaruh kepada golongan-golongan Belanda–Hindia juga “Politik Etnik” (1900) mulai diterapkan dengan memberikan pelayanan kesehatan umum yang lebih baik, memperluas kesempatan menempuh pendidikan, serta memberikan otonomi desa yang lebih besar (1906).

Di jajaran birokrasi Hindia–Belanda yang dipimpin oleh orang-orang Belanda juga, untungnya terdapat tokoh-tokoh yang progresif juga dan ajaran-ajaran sosial demokrat memasuki masyarakat kita (Rutgers, 1937). Perluasan kesempatan pendidikan membuka peluang bagi putera-puteri pribumi untuk mengenal dasar-dasar Demokrasi Barat yang memang tumbuh bersamaan dengan Liberalisme dan Kapitalisme. Tetapi di Eropa pengendalian “Kapitalisme dini” (vroeg-kapitalisme) sudah mulai menjelang abad ke-19, dan kaum sosial-demokrat diseluruh Eropa Barat memegang peranan penting dalam usaha ke arah membangun suatu negara sejahtera (welfare state).

Lebih-lebih setelah perang dunia pertama (1914 – 1918) dan krisis ekonomi dunia (1930) politisi dan pakar ekonomi Barat semakin yakin bahwa pemerintah mempunyai peranan penting dalam turut mengawasi perputaran roda ekonomi, apabila kesejahteraan rakyat ingin diciptakan secara merata. Sistem hukum, baik yang membatasi monopoli dan oligopoli, maupun yang mengatur hak buruh dan kewajiban para pemodal dikembangkan, agar segi-segi negatif kapitalisme dapat ditiadakan, atau paling tidak dikurangi dampaknya. Bangkitnya Nasionalisme

Sebenarnya bangkitnya Nasionalisme terjadi di seluruh Asia, sejalan dengan perkembangan di Eropa tadi. Gerakan dipimpin oleh para cendekiawan di India, Tiongkok, Jepang, Asia Tenggara dan sebagainya, yang memahami Demokrasi, dan terlebih setelah perang Jepang–Rusia (1904 – 1905) yang untuk pertama kali dalam sejarah dimenangkan oleh satu bangsa Asia. Kesadaran inilah yang kemudian bagaikan angin taufan, mengembus di seluruh benua Asia dan menumbuhkan partai-partai nasional (Congres Party, Kuomintang, Sarekat Islam dan lain-lain). Nasionalisme yang mencari alternatif kehidupan politik, ekonomi dan sosial tersebut hampir diseluruh daerah jajahan di Asia sedikit banyak merangkul sosialisme (Tjondrongoro, 1996, Wertheim, 1959).

Lebih khusus di Indonesia (Blumbergerm, 1931, Rutgers, 1937) pendekar-pendekar nasional kita seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ir. Maruto Darusman, Syahrir dan masih lebih banyak lagi menggali nilai-nilai keadilan, kesamarataan, kesejahteraan rakyat dan sebagainya karena suatu proses yang mengakar terhadap penjajahan dan ketidakadilan. Pengaruh sosialisme tersebut secara paling jelas dikemukakan oleh Bung Karno dalam pidatonya mengenai Marhaenisme (1957) dan kemudian bahkan dijadikan kebijaksanaan : Sosialisme ala Indonesia. Unsur-unsur tersebut di atas yang dimuat dalam UUD 1945 maupun berbagai UU antara lain No. 5/1960 tercermin dari kebijaksanaan sampai 1965.

Setelah perkembangan ekonomi tidak mampu melahirkan kesejahteraan yang diidamkan, dan masalah pertanahan juga tak berhasil dipecahkan, dicarilah jalan keluar yang lain. Sistem ekonomi yang antara 1958 – 1965 cendderung tertutup untuk modal asing dibuka kembali dan dengan ketenangan/stabilitas politik tatanan ekonomi dapat diatur kembali dengan bantuan Bank Dunia dan negara-negara di luar blok Sosisalis. Pertumbuhan ekonomi meningkat juga

Page 204: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

204

karena sektor swasta diberi peluang lebih besar disamping BUMN, tetapi dalam periode Orde Baru setelah kita menghadapi pasaran dunia yang semakin terbuka ternyata BUMN semakin tidak sffisien dan kurang mampu menunjang kesejahteraan yang lebih merata. BUMN yang dimodali pemerintah mampu menumbuhkan suatu lapisan menengah, tetapi seberapa jauh mereka juga menunjang perusahaan-perusahaan yang lebih kecil dan sehat masih sangat dipertanyakan. PERPOLITIKAN UNTUK MENDUKUNG EKONOMI ALTERNATIF120

“The discipline (of economics) become progressively more narrow at precisely the moment when the problems demanded broader, more political, and social insights”121 Kutipan ini adalah keluhan seorang ilmuwan ekonomi senior yang jengkel terhadap kecenderungan “myopic” dalam disiplin ilmunya. Yaitu, ketika masyarakat sedang memerlukan jawaban yang melibatkan berbagai dimensi kehidupan, ilmuwan ekonomi datang dengan resep ekonomis-teknis. Ketika dihadapkan pada persoalan pengangguran dan kemiskinan yang semakin meluas, yang diajukan adalah usulan pembenahan mekanisme pasar. Seolah-olah, kalau mekanisme pasar berlangsung bebas dari gangguan campur tangan pemerintah, maka semua persoalan itu akan dengan mudah diselesaikan.

Untuk memahami konteks kejengkelan itu kita perlu menengok kembali perdebatan yang selama ini berlangsung antara dua kubu pendekatan: liberal neoklasik dan ekonomi-politik. Yang pertama adalah pendekatan (teoritis-cum-ideologis) yang mendominasi wacana mengenai pembangunan ekonomi di kalangan pemerintah Indonesia, terutama sejak Orde Baru. Sedangkan yang kedua adalah yang berkembang di kalangan oposisi. Liberalisme Neo-Klasik versus Ekonomi-Politik Klasik

Menurut pendukung pendekatan liberal neo-klasik (yang sejak 1980-an dikenal juga dengan nama “neo-liberalisme”), isyu pokok yang ditangani ilmu ekonomi adalah bagaimana menciptakan atau meningkatkan kekayaan atau kemakmuran materiil. Karena itu, pembangunan ekonomi adalah upaya akumulasi kapital; yang keberhasilannya diukur dengan produk nasional bruto tahunan. Dalam proses itu, semua yang membantu akumulasi kapital harus digalakkan; yang tidak membantu dipersilahkan minggir.

Bagaimana cara mencapai tujuan itu? Proses akumulasi kapital itu diorganisasikan melalui mekanisme transaksi atau pertukaran dalam pasar. Dengan demikian, ilmu ekonomi berkembang menjadi ilmu pertukaran. Yang menjadi pusat perhatian adalah kegiatan produktif yang melalui transaksi pasar, sedangkan yang tidak melalui transaksi pasar tidak dianggap penting. Akibatnya, hasil kerja petani yang menanam padi untuk dikonsumsi sendiri tidak dicatat sebagai kegiatan ekonomi, dan tidak termasuk dalam perhitungan produk domestik bruto, karena tidak melibatkan transaksi pasar. Begitu juga, hasil kerja wanita yang produktif dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga tidak dihargai

120 Dr. Mohtar Mas'oed: Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (ISIPOL),

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Makalah disampaikan pada Seminar "Pembangunan Alternatif di Indonesia" ISEI Cabang Yogyakarta dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 12 Agustus 2002.

121Abert O. Hirschman, Essays in Trespassing: Economics to Politics and Beyond (Cambridge: Cambridge University Press, 1981). hal. v.

Page 205: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

205

dalam perhitungan haril kerja nasional itu karena, sekali lagi, tidak melibatkan transaksi pasar.

Bagaimana karakter metodologi yang dikembangkan dalam ilmu ekonomi liberal? Yang menonjol adalah positivisme dan saintisme. Metodologi ini mendukung cara pandang yang memusat pada persoalan materiil, yang empirik dan kasat-indera; mengutamakan variable yang bisa diukur (“Yang tidak terukur, tidak bisa dianalisis”). Akibatnya, banyak persoalan penting yang bersifat normatif diabaikan. Bahkan pendukung metodologi ini cenderung bersikap netral terhadap nilai-nilai etika dan moral, seperti keadilan. Karena itu, tidak mengherankan kalau persoalan pokok yang dibahas oleh para pembuat kebijakan yang berpikir atas dasar ilmu pengetahuan positivistik itu adalah persoalan bagaimana “memperbesar kue nasional”. Terutama bagaimana meningkatkan kekayaan dan kemakmuran materiil melalui penggalakan transaksi di pasar. Yaitu, akumulasi kapital melalui pasar. Dan ukuran keberhasilannya juga berujud prestasi dalam mendoronf pertumbuhan kapital.

Ideologi yang mendasari ilmu ekonomi liberal itu juga mengajukan asumsi khas tentang hakeket manusia. Yaitu, manusia dipandang semata-mata sebagai “makhluk ekonomi” yang berperilaku seperti “utility-maximizing machine” (mesin yang berfungsi memaksimalkan keuntungan) dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Manusia dianggap banya akan bergerak kalau kepadanya ditunjukkan “iming-iming” yang sifatnya materiil. Karena itu sering muncul anggapan bahwa asal perutnya kenyang orang akan mudah diatur. Inilah yang mendasari munculnya kebijakan publik yang dalam praktek membanjiri warga masyarakat dengan kepuasan materiil, dengan harapan kepuasan itu akan menimbulkan ketenangan. Yang dilupakan adalah perilaku manusia tidak hanya dituntun oleh rasionalitas, tetapi juba oleh filantrofi, moralitas dan pertimbangan etika.

Terakhir, pendekatan liberal neo-klasik itu juga mengembangkan sikap yang khas mengenai organisasi dan lembaga sosial. Seperti sudah tersirat di atas, lembaga sosial yang paling diutamakan adalah pasar, sedangkan organisasi dan lembaga sosial lain dianggap “given”. Yang paling penting adalah mekanisme pasar. Karena itu, mereka yang memiliki modal dan melibatkan diri dalam kegiatan pasar akan menentukan apa yang akan terjadi dalam proses ekonomi. Apa peran negara? Negara berperan mendefinisikan dan melindungi hak milik dan menciptakan lingkungan yang mendukung bekerjanya pasar.

Yang menarik adalah pandangan kaum ekonom liberal mengenai keluarga. Dalam ideologi ini, keluarga (rumah tangga) dipandang sebagai lembaga sosial yang berperan ganda. Pertama, sebagai rumah tangga yang berfungsi sebagai mesin yang diprogram untuk memaksimalkan kepuasan dengan mengkonsumsi barang yang diproduksi secara massal oleh perusahaan (yang juga berperan sebagai mesin yang diprogram untuk memaksimalkan keuntungan). Karena itu tiap hari rumah tangga kita dibombardir dengan iklan yang menawarkan berbagai jenis barang dan jasa yang seringkali tidak jelas manfaatnya. Semakin getol rumah tangga mengkonsumsi barang dan jasa itu, semakin “maju” ekonomi itu, demikian argumennya.

Kedua, rumah tangga juga berfungsi sebagai produsen input abstrak yang disebut “tenaga kerja”. Cara menyebut tenaga kerja dengan sebutan “sumberdaya manusia” juga memuat unsur ideologi kapitalistik itu. Istilah ini sebenarnya muncul dalam lingkungan pabrik. Di sana bisa ditemui mesin (sumberdaya fisik) dan manusia yang menanganinya (sumberdaya manusia).

Page 206: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

206

Status keduanya pada dasarnya disamakan, yaitu sebagai sumberdaya. Karena itu upaya memenuhi keperluan buruh seringkali berujud upaya memenuhi kebutuhan manusia ssebagai sumberdaya, bukan sebagai manusia utuh. Sebagai sumberdaya, manusia memerlukan ketrampilan, lapangan kerja, upah minimum yang memadai, dan sebagainya. Karena semata-mata dipandang sebagai sumberdaya, bukan sebagai manusia utuh, ia dianggap tidak memerlukan pemenuhan hak sebagai manusia utuh, misalnya hak untuk berserikat dan hak-hak lain demi pengembangan identitas dirinya.

Sementara itu, di sisi lain, ada pendekatan alternatif yang sebenarnya memiliki akar sejarah yang lebih jauh ke belakang, dengan argumen yang bertentangan dengan gagasan di atas, yang disebut “ekonomi-politik klasik”. Yang menjadi fokus perhatian pendekatan ini bukanhanya bagaimana kemakmuran ditingkatkan, tetapi juga bagaimana produksi dan konsumsi itulah yang sangat menentukan “who get what, when, how and how much”. Persoalan yang hanya bisa dipahami melalui pendekatan yang menggabungkan ekonomi debgab dimensi-simensi sosial lainnya.

Berbeda dengan pendekatan liberal, ekonomi-politik mengandalkan metodologi yang mempertimbangkan nilai-nilai etika dan moral. Melalui metode impretivis dan instrokpetif, ekonomi politik mempelajari bukan hanya bagaimana mambuat individu menjadi makmur, tetapi yang lebih penting adalah menemukan penyelesaian bagi masalah kemiskinan dan perbaikan kondisi hidup manusia.

Mengenai hakekat manusia, pendukung pendekatan ekonomi-politik klasik yakin bahwa perilaku manusia tidak hanya dituntun oleh rasionalitas, tetapi juga oleh filantrofi, moralitas dan pertimbangan etika. Kepentingan manusia tidak hanya memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi juga diimbangi dengan rasa tanggungjawab sosial. Pasar, menurut pendekatan ekonomi-politik, bukan lembaga sosial yang paling penting. Banyak proses produksi yang ditentukan oleh lembaga-lembaga sosial lain, seperti keluarga dan birokrasi. Di Indonesia, misalnya, proses produksi beras, gula, baja, semen, mobil, dan berbagai produk penting lain tidak bertumpu pada mekanisme pasar. Di masa Orde Baru, beberapa melalui keputusan birokratik; beberapa yang lain melalui pertemuan keluarga presiden. Karena itu, yang diutamakan oleh pendekatan ekonomi-politik adalah peran lembaga sosial dan politik, kekuasaan, dan manifesto sosio-kultural dalam kehidupan ekonomi. Dalam praktek, lembaga-lembaga itu memang sering dipakai oleh banyak orang untuk memproduksi kemakmuran.

Dalam konteks perdebatan dikotomis di atas, karya ilmiah yang berjudul “A Development Alternative for Indonesia” yang ditulis Prof. Mubyarto dan Prof Daniel Bromley mencerminkan keberpihakan pada yang kedua. Pertama, analisis dalam tulisan itu memusatkan pada masalah pengorganisasian sosial-politik proses produksi. Seperti dikatakan oleh kedua ilmuwan itu:

It is our contention that development will be sustainable if and only if it leads to new settings and circumstances that will enhance the emergence and persistence of new economic opportunities for the large mass of individuals … (Such) new policies ….represent the conscious modification in the specifics of prevailing economic institutions. Such innovations in the public policy always bring together a consideration of three essential elements __ethics, economics, and the law.122

122 Mubyarto dan Daniel W. Bromley, A Development Alternative for Indonesia (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2002), hal. 9

Page 207: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

207

Mengikuti logika argumen di atas. Yang diperlukan oleh para usahawan menengah dan kecil, petani plasma, buruh, dan berbagai aktor lain dalam perekonomian rakyat adalah suatu “enabling setting” yang memungkinkan mereka untuk berkembang. “Setting” itu bisa berujud kebijakan politik, ekonomi maupun hukum. Kedua, tulisan ini juga mengembangkan argumen dan diwarnai oleh isyu normatif. Persoalan etika ditekankan. Peroalan keadilan dijadikan ukuran pokok dan dibahas dengan penuh empati. Sebagai bagian dari proklamasi kelahiran Pusat Studi Ekonomi Pancasila, tulisan itu jelas mengungkapkan kecenderungan normatifnya, yaitu pemihakan pada ekonomi kerakyatan. Ketiga, analisis dalam tulisan ini adalah buah dari olah pikir yang eklektik, bersedia memanfaatkan metodologi dan metode yang relevan. Penulis tulisan itu memanfaatkan kerangka analisis sosiologis, antropologis, filsafat, politik, dan disiplin sosial lain dengan terbuka. Seperti dikatakan oleh Prof. Sartono Kartodirdjo dalam “Introduction” tulisan itu: “Instead of studying the new economics (Mubyarto) is pleading strongly for the study of economic with a multi-dimensional approach”.123 Dari “exchange” ke “sharing”

Pertanyaannya adalah mekanisme dan tindakan politik apa yang bisa mendukung keberhasilan reformasi ekonomi menurut jalan “ekonomi kerakyatan” yang digagas Pak Muby itu? Kenyataan menunjukkan bahwa para aktor dan mekanisme politik Indonesia masih belum bisa memahami gagasan itu. Mundurnya Prof. Mubyarto dan Prof. Dawam Rahardjo dari panitia ad hoc di MPR menunjukkan hal itu. Ilmuwan dan praktisi ilmu politik perlu dibantu mengembangkan konsep, teori, kebijakan dan lembaga-lembaga yang sesuai dengan tujuan penciptaan ekonomi kerakyatan itu.

Salah satunya adalah membongkar kembali konseptualisasi tentang politik dan ekonomi sebagai transaksi pertukaran. Praktek bisnis umumnya terdiri dari transaksi seperti itu: yaitu, A memberikan sesuatu pada B dan menerima sesuatu dari B sebagai balasan yang nilainya setara. Ini disebut “exchange” dengan hasil nol (zero-sum). Tetapi kalau A memberikan sesuatu pada B, tetapi si A tidak kehilangan sesuatu yang diberikan itu, maka yang terjadi bukan transaksi “exchange”, tetapi suatu proses “sharing” yang bisa punya implikasi “positive-sum”. Inilah yang terjadi dalam hal sumberdaya informasi. Berbeda dengan sumberdaya lain, yang berkurang kalau diberikan pada pihak lain, sumberdaya informasi justru semakin membesar kitika disebar pada pihak lain.

Sayangnya, ilmuwan politik maupun ilmuwan ekonomi belum mengembangkan teori untuk menjelaskan atau memikirkan tentang ekonomi dunia yang sebagian besar terdiri-dari transaksi “sharing”. Ilmuwan politik juga belum menghasilkan teori tentang implikasi dari “a politics of sharing a plentiful resource” (seperti informasi) yang sangat berbeda dengan “a politics of allocating scarce resources”.

Yang kita perlukan adalah lembaga dan perspektif yang lebih luas yang memusatkan perhatian pada persoalan kemiskinan dan ketimpangan. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga kemiskinan di seluruh dunia dan ketimpangan antar-bangsa. Inilah yang harus menjadi pusat perhatian ilmu politik dan ilmu ekonomi, kalau kita ingin membuatnya relevan bagi persoalan masa kini.

123 Ibid., hal. 5.

Page 208: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

208

KILAS BALIK KETERPURUKAN INDONESIA: ANALISA EKONOMI-POLITIK124

Sejarah ekonomi bangsa selama masa penjajahan 3,5 abad menggambarkan eksploitasi sistem kapitalisme liberal atas ekonomi rakyat yang berakibat pada pemiskinan dan distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat yang sangat pincang. Struktur sosial ekonomi yang tak berkeadilan sosial ini, melalui tekad luhur proklamasi kemerdekaan, hendak diubah menjadi masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Dengan warisan sistem ekonomi dualistik dan sistem sosial-budaya pluralistik, bangsa Indonesia membangun melalui “eksperimen” sistem sosialis dan sistem kapitalis dalam suasana sistem ekonomi global yang bernaluri pemangsa (predator). Eksperimen pertama berupa sistem ekonomi sosialis (1959-66) gagal karena tidak sesuai dengan moral Pancasila dan pluralisme bangsa, sedangkan eksperimen kedua yang “demokratis” berdasar sistem kapitalisme pasar bebas (1966 – 1998) kebablasan karena paham internasional liberalisme cum neoliberalisme makin agresif menguasai ekonomi Indonesia dalam semangat globalisasi yang garang. Krisis moneter yang menyerang ekonomi Indonesia tahun 1997 merontokkan sektor perbankan-modern yang keropos karena sektor yang kapitalistik ini terlalu mengandalkan pada modal asing. Utang-utang luar negeri yang makin besar, baik utang pemerintah maupun swasta, makin menyulitkan ekonomi Indonesia karena resep-resep penyehatan ekonomi dari ajaran ekonomi Neoklasik seperti Dana Moneter Internasional (IMF) tidak saja tidak menguatkan, tetapi justru melemahkan daya tahan ekonomi rakyat. Sektor ekonomi rakyat sendiri khususnya di luar Jawa menunjukkan daya tahan sangat tinggi menghadapi krisis moneter yang berkepanjangan. Ekonomi Rakyat yang tahan banting telah menyelamatkan ekonomi nasional dari ancaman kebangkrutan.

Krisis sosial dan krisis politik yang mengancam keutuhan bangsa karena meledak bersamaan dengan krisis moneter 1997 bertambah parah karena selama lebih dari 3 dekade sistem pemerintahan yang sentralistik telah mematikan daya kreasi daerah dan masyarakat di daerah-daerah. Desentralisasi dan Otonomi Daerah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat daerah dalam pembangunan ekonomi, sosial-budaya, dan politik daerah, menghadapi hambatan dari kepentingan-kepentingan ekonomi angkuh dan mapan baik di pusat maupun di daerah. Ekonomi Rakyat di daerah-daerah dalam pengembangannya memerlukan dukungan modal, yang selama bertahun-tahun mengarus ke pusat karena sistem perbankan sentralistik. Modal dari daerah makin deras mengalir ke pusat selama krisis moneter. Undang-undang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah dikembangkan melalui kelembagaan ekonomi dan keuangan mikro, dan peningkatan kepastian usaha di

124 Gagasan dasar Seminar Ekonomi Rakyat di Jakarta selama 6 bulan sejak 22 Januari

hingga 2 Juli 2002, diselenggarakan oleh Pusat P3R-YAE (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Perekonomian Rakyat-Yayasan Agro Ekonomika), Komisi Ilmu-ilmu Sosial – AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia), Bina Swadaya Perhepi (Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, ISI (Ikatan Sosiologi Indonesia), Gema PKM (Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia).

Page 209: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

209

daerah-daerah. Kepastian usaha-usaha di daerah ditingkatkan melalui pengembangan sistem keuangan Syariah dan sistem jaminan sosial untuk penanggulangan kemiskinan, dan pengembangan program-program santunan sosial, kesehatan, dan pendidikan.

Krisis Moneter juga menciptakan suasana ketergantungan ekonomi Indonesia pada kekuatan kapitalis luar negeri, lebih-lebih melalui cara-cara pengobatan Dana Moneter Internasional (IMF) yang tidak mempercayai serta mempertimbangkan kekuatan ekonomi rakyat dalam negeri khususnya di daerah-daerah. Kebijakan, program, dan teori-teori ekonomi yang menjadi dasar penyusunannya didasarkan pada model-model pembangunan Neoklasik Amerika yang agresif tanpa mempertimbangkan kondisi nyata masyarakat plural di Indonesia. Pakar-pakar ekonomi yang angkuh, yang terlalu percaya pada model-model teoritik-abstrak, berpikir dan bekerja secara eksklusif tanpa merasa memerlukan bantuan pakar-pakar non-ekonomi seperti sosiologi, ilmu-ilmu budaya, dan etika. Strategi pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan makro dengan mengabaikan pemerataan dan keadilan telah secara rata-rata menaikkan peringkat ekonomi Indonesia dari negara miskin ke peringkat negara berpendapatan menengah, namun disertai distribusi pendapatan dan kekayaan yang timpang, dan kemiskinan yang luas. Reformasi ekonomi, politik, sosial-budaya, dan moral, membuka jalan pada reformasi total mengatasi berbagai kesenjangan sosial-ekonomi yang makin merisaukan antara mereka yang kaya dan mereka yang miskin, antara daerah-daerah yang maju seperti Jawa dan daerah-daerah luar Jawa yang tertinggal.

Kemerosotan Etika Pembangunan khususnya di bidang hukum dan bisnis modern berkaitan erat dengan pemaksaan dipatuhinya aturan main global yang masih asing dan sulit dipenuhi perusahaan-perusahaan nasional. Aturan main globalisasi dengan paham Neoliberal yang garang terutama berasal dari ajaran “Konsensus Washington” telah menyudutkan peranan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) merupakan jalan pintas para pelaku bisnis untuk memenangkan persaingan secara tidak bermoral yang merasuk pada birokrasi yang berciri semi-feodal. Etika Ekonomi Rakyat yang jujur, demokratis, dan terbuka, yang menekankan pada tindakan bersama (collective action) dan kerjasama (cooperation), merupakan kunci penyehatan dan pemulihan ekonomi nasional dari kondisi krisis yang berkepanjangan. Inilah moral pembangunan nasional yang percaya pada kekuatan dan ketahanan ekonomi bangsa sendiri.

Page 210: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

210

Hand-Out 08: FORMULASI PARADIGMATIK PENDIDIKAN KRITIS:

Melacak Narasi Sistem Pendidikan Nasional dalam Transformasi Struktural-Neoliberalisme dan Membongkar Nalar Pendidikan

Kapitalistik, Doktriner & Politik-Tiranik BAGIAN I Prawacana: Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan

Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan oleh masyarakat agar dapat bersosialisasi dan beradaptasi dalam budaya yang mereka anut. Pendidikan menjadi salah satu bentuk usaha untuk mempertahankan eksistensi kehidupan dan budaya manusia. Dengan kata lain pendidikan adalah salah satu strategi budaya manusia untuk mempertahankan eksistensi kehidupan mereka. Hubungan antara individu, masyarakat dan negara pada dasarnya merupakan hubungan yang tidak berimbang. Diantara hubungan ketiga komponen tersebut, individu memiliki posisi yang paling lemah. Negara mempunyai kekuasaan yang sah dan dijamin oleh hak monopolinya untuk menggunakan kekerasan baik secara fisik maupun secara administratif. Masyarakat juga memiliki kedudukan yang unggul terhadap individu karena masyarakat dapat menguasai individu lewat kekuatan dominasi dalam ekonomi, maupun lewat kekuatan hegemoni dalam kebudayaan. Dipandang dari sisi epistemologis manusia merupakan makhluk berakal yang dapat menggunakan pikirannya dengan bebas untuk mencari kebenaran dalam pengetahuannya (truth). Dan dari sisi etis manusia adalah makhluk yang memiliki hati nurani yang memungkinkannya mencapai kebenaran dalam sikap, keputusan dan tindakan-tindakannya (rightness).

Menelaah posisi manusia menurut filsafat Freire bertolak dari kehidupan nyata, bahwa di dunia ini sebagian besar manusia menderita sedemikian rupa, sedangkan sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara yang tidak adil dan yang menikmati ini justru bagian minoritas ummat manusia. Dilihat dari segi jumlah saja ini menunjukkan bahwa keadaan tersebut mempelihatkan kondisi yang tidak beribang dan tidak adil. Persoalan itu yang disebut Freire sebagai ‘situasi penindasan’. Bagi Freire situasi penindasan apapun nama dan alasannya adalah tidak manusiawi dan menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Dehumanisasi bersifat ganda, dalam pengertian, terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum penindas. Keduanya menyalahi kodrat manusia sejati. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, karena mereka dibuat tak berdaya dan dibenamkan dalam ‘kebudayaan bisu’ (submerged in the culture of silence). Adapun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakekat keberadaan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi sesamanya.

Selanjutnya, untuk menganalisis rekonstruksi paradigma pendidikan nasional saya berusaha mengurai kembali akar masalah pada level internasional, khususnya dalam analisa kritik-ekonomi politik, hal ini berkaitan dengan kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan. Globalisasi dan krisis masyarakat kapitalisme menjadi ancaman serius yang berimplikasi kuat dalam dunia pendidikan, yang juga saya akan urai lebih lanjut. Kita juga harus mengembalikan pendidikan pada hakikatnya sesuai dengan visi dan misi nilai-nilai kemanusiaan secara universal.

Page 211: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

211

Tiga Fase Imperialisme: Implikasinya terhadap Kapitalisasi Pendidikan Untuk mengawali proses diskusi dan berbicara mengenai pendidikan

dalam perspektif ekonomi-politik, maka menurut hemat penulis perlu diuraikan mulai dari akar masalahnya. Berikut ini penulis uraikan sejarah imperialisme yang dipaparkan oleh Noam Chomsky,125 dan selanjutnya penulis kaitkan dengan logika terjadinya proses sistemik dalam perspektif ekonomi-politik yang kemudian terjadi kapitalisasi pendidikan dalam era neo-liberalisme. Menurut Noam Chomsky, bahwa sepanjang beberapa dekade imperialisme telah menjadi bahan perdebatan serius diantara kalangan pemikir dan para pegiat gerakan revolusioner. Beberapa pemikir seperti Hannah Arendt, Eric J. Hobsbawm dan Vladimir Lenin adalah diantara orang-orang yang tercatat sebagai pemikir-pemikir yang meneorisasikan imperialisme. Seorang penggerak revolusi Rusia, Vladimir Ilyich mengaitkan antara imperialisme dengan perkembangan kapitalisme. Bagi Lenin, imperialisme adalah tahapan terkini yang tak terelakkan dalam logika perkembangan kapitalisme. Imperialisme lahir dari suatu krisis kapitalisme dari suatu negeri. Agar keluar dari krisis periodiknya, kapitalisme harus keluar untuk mencari pasar baru, mengekspansi batas-batas negara-bangsa untuk mencari lahan, tenaga kerja, dan bahan-bahan mentah untuk produksi kapitalis yang lebih murah. Dalam pandangan Lenin, imperialisme dicikan oleh lima hal, pertama, konsentrasi kapital, baik dalam bentuk konglomerasi maupun monopoli; kedua, meleburnya kekuasaan kapital finans, industri dan birokrasi; ketiga, ekspor kapital dalam bentuk investasi-investasi industrial, keempat, pembagian ekonomi dunia oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan korporasi transnasional melalui kartel internasional; kelima, pembagian politik dunia oleh negara-negara maju. Meskipun teori Lenin banyak dikritik, tetapi ia telah meletakkan bangunan teori imperialisme yang penting dalam perdebatan selanjutnya, utamanya pengaitannya dengan kapitalisme dan perkembangan kapital finans.

Pendekatan Lenin atas imperialisme ini salah satunya dikritik oleh Samir Amin, seorang Marxis berkebangsaan Mesir. Bagi Samir Amin, imperialisme bukan merupakan tahap, melainkan inheren dalam setiap ekspansi kapitalisme. Sepanjang sejarahnya imperialisme telah memasuki dua fase dan sedang memasuki fase yang ketiga.

Fase pertama terjadi pada masa ekspansi kapital Eropa Atlantis yang menghancurkan benua Amerika. Dua aktor utamanya adalah Spanyol dan Inggris. Hasil yang terjadi akibat dari penaklukan kolonialis ini adalah hancurnya peradaban Indian, terjadinya Hispano-Kristenisasi, dan genosida total atas masyarakat Indian, dimana negara Amerika Serikat berdiri diatasnya. Penaklukan ini masih dibumbui oleh kehendak untuk memperadabkan ‘dunia lain’ dengan dalih agama. Imperialisasi tahap pertama ini pada akhirnya melahirkan sejumlah perlawanan seperti pemberontakan kaum budak di Haiti, serta revolusi Meksiko dan Kuba.

Fase kedua terjadi pada masa revolusi industri Inggris yang berujung pada penaklukan Asia dan Afrika. Penundukan kolonial ini berupaya untuk berupaya untuk mencari dan membuka ‘pasar baru’ bagi perdagangan Eropa. Cecil Jhon Rhodes adalah salah satu figur pendukung gagasan kolonialisme ini, dengan menyatakan bahwa kolonialisme Inggris di Afrika akan menyebabkan ekonomi Inggris bangkit kembali dan menghindarkan revolusi sosial di dalam

125 Noam Chomsky, Neo Imperalisme Amerika Serikat (Yogyakarta: Resist Book, 2008) h. vii-x.

Page 212: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

212

negeri. Imperialisme fase kedua ini berakibat pada membesarnya jurang ketidakadilan sosio-ekonomi yang terus dihadapi oleh dunia hingga kini. Jika pada tahun 1800-an rasio ketidaksetaraan adalah dua berbanding satu, maka sejak terjadinya kolonilaisme hingga saat ini rasio ketidaksetaraan ini menjadi enampuluh berbanding satu, dengan sekitar 20% dari penduduk dunia yang bisa mengambil keuntungan dari sistem yang terjadi saat ini. Sementara 80% lainnya hidup dalam ketidakpastian dan ketidaksamaan sosio-ekonomi secara persisten. Imperialisme fase kedua ini menghasilkan perang-perang dunia besar antar kekuatan imperialis untuk mempertahankan koloninya. Namun juga mengahsilkan berbagai perlawanan yang terus menentang proyek-proyek imperialis, seperti lahirnya revolusi sosialis di Rusia dan China, dan tumbuhnya berbagai revolusi pembebasan nasional di negara-negara Asia dan Afrika.

Kemerdekaan negara-negara di kawasan Asia dan Afrika tersebut tidak lantas menghancurkan sistem imperialis itu sendiri. Kekuatan-kekuatan imperialis, yang diantaranya merupakan kekuatan kolonialis lama seperti Belanda, Inggris dan Perancis serta negara kapitalis baru yang muncul pada Abad ke-19 seperti Jerman, Amerika Serikat dan Jepang, tidak terlalu sulit untuk beradaptasi dengan ‘situasi baru’ ini. Kaum imperealis ini segera mengubah pandangan tradisionalnya bahwa pertumbuhan kapitalis mereka sangat tergantung dari berapa besar wilayah koloni yang mereka ekspansi. Dengan keunggulan yang dimiliki sebagai negara yang maju, kaya-raya dan memiliki sumber daya manusia serta tehnologi yang tinggi, mereka segera mengubah modus dominasinya menjadi imperialisme baru, imperialisme tanpa koloni.

Saat ini sedang memasuki fase imperialisme ketiga yang ditandai oleh runtuhnya sistem Soviet dan rezim-rezim nasionalis-populis di Dunia Ketiga. Pada dasarnya, tujuan dari imperealisme fase ini masih sama dengan fase-fase sebelumnya, yaitu untuk mengukuhkan dominasi kapital, memperluas dan mengekspansi pasar baru, menjarah sumber daya agraria, dan melakukan supereksploitasi pada tenaga kerja di negara-negara pinggiran. Berbagai wacana ideologis disiapkan untuk megukuhkan hegemoni imperialisme tahap ketiga ini, diataranya dengan menggembar-gemborkan demokrasi, humanitarianisme, hak asasi manusia, pasar bebas dan kesejahteraan, pemerintahan yang bersih dan baik. Tetapi wacana-wacana ini dikerjakan oleh model standar ganda dan hanya dilakukan demi mempermulus akumulasi kapital oleh negara-negara maju pada negara-negara pinggiran.

Fase ketiga ini juga berhadapan dengan suatu zaman yang dicirikan oleh terjadinya persenyawaan yang halus antara menguatnya kekuasaan ekonomi korporasi dengan globalisasi teknologi informasi dan pengetahuan. Berbagai fenomena globalisasi seperti: meningkatnya kekuasaan perusahaan-perusahaan multinasional dan perdagangan global, revolusi informasi dan ilmu pengetahuan, serta munculnya masyarakat yang berbasis jaringan (network sosiety), menguatnya peranan-peranan lembaga keuangan internasional, serta zona-zona perdagangan bebas yang melampaui negara-bangsa, membuat para teoretisi tidak bersepaham satu sama lain dalam memandang tatanan global pada zaman ini. Sebagian mendefinisikan tatanan global ini dengan cara pandang baru, sembari mendeklarasikan suatu zaman ‘pos-imperealis’. Sementara yang lain berpendapat bahwa imperialisme tak pernah berakhir, hanya memakai modus baru dengan motif lama yang tetap sama. Seperti anggur lama yang dituangkan dalam botol baru.

Page 213: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

213

Dalam perspektif ekonomi-politik imperialisme ini berkaitan erat dengan sejarah perkembangan kapitalisme dan proses panjang transformasi masyarakat dari masyarakat feodal ke masyarakat modern, atau sering disebut dengan era globalisasi. Globalisasi inilah yang kemudia berdampak pada proses kapitalisme pendidikan. Globalisasi dan Sejarah Ekonomi Internasional

Globalisasi kegiatan ekonomi dan persoalan pengelolaannya sering dianggap baru muncul setelah Perang Dunia II, khususnya pada tahun 1960-an. Masa sesudah tahun 1960-an adalah masa munculnya perusahaan multinasional (MNC) dan berkembangnya perdagangan internasional. Kemudian, setelah sistem nilai tukar setengah-tetap Bretton Woods ditinggalkan pada tahun 1971-1973, investasi dalam bentuk surat-surat berharga internasional dan pemberian kredit oleh bank mulai berkembang dengan cepat, seiring dengan meluasnya pasar modal ke seluruh dunia, yang menambah rumit hubungan ekonomi internasional dan membuka jalan bagi globalisasi ekonomi dunia yang terintegrasi dan saling tergantung.

Sejarah meluasnya kegiatan perusahaan ke seluruh dunia adalah sejarah yang teramat panjang, dan bukannya baru dimulai pada tahun 1960. kegiatan dagang, misalnya, telah ada sejak zaman peradaban kuno, tetapi pada Abad Pertengahan, barulah di Eropa, muncul kegiatan dagang yang teratur lintas Negara, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang sifatnya korporasi swasta, meski seringkali mendapat dukungan dan bantuan yang besar dari pemerintahannya. Pada abad ke-14, para pedagang petualang memperdagangkan wol dan tekstil yang dihasilkan Inggris ke Belanda, Belgia, Luxemburg, dan Negara-negara lain. Selain itu, di Italia, perusahaan-perusahaan dagang dan bank-bank memainkan peran penting dalam kegiatan perdagangan ke seluruh dunia pada masa-masa awal Renaissance. Pada akhir abad ke-14, di Italia, ada sekitar 150 bank yang sudah melakukan kegiatan di berbagai Negara (Duning, 1993, hlm. 97-98). Dalam abad ke-17 dan ke-18 dukungan oleh Negara meluas dengan berdirinya perusahaan-perusahaan dagang besar kolonial, seperti Dutch East India Company, British East India Company, Muscovy Company, Royal Africa Company dan Hudson Bay Company. Semua perusahaan ini mempelopori perdagangan berskala besar di wilayah yang kelak menjadi wilayah jajahan yang penting.

Tetapi, penyebaran industri ke seluruh dunialah, sebagai akibat dari revolusi industri, yang paling dekat dengan perusahaan multinasional di zaman modern. Di sini peranan perusahaan Inggris sebagai perusahaan multinasional pertama penghasil barang pabrik tampak jelas. Mula-mula Amerika Utara dan Amerika Selatan membuka peluang untuk penanaman modal yang paling menguntungkan, disusul kemudian oleh Afrika & Australia. Muncul perdebatan apakah “investasi kolonial” dapat dianggap pendahulu penanaman modal asing, tetapi yang pasti produksi untuk pasar lokal mulai dengan cara ini. Perkembangan teknik & organisasi setelah tahun 1870-an memungkinkan berbagai jenis barang yang sama dapat dihasilkan di dalam & di luar negeri oleh perusahaan yang sama, eksplorasi & pengelolaan bahan tambang & bahan baku lainnya juga menarik penanaman modal asing dalam jumlah besar (Dunning, 1993, Bab 5).

Page 214: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

214

Namun, salah satu masalah dengan klasifikasi yang berlaku surut seperti itu adalah konsep model “penanaman modal asing” di satu pihak (ada pengendalian dari luar) dan investasi “potofolio” di pihak lain (jual beli surat berharga yang diterbitkan lembaga luar negeri untuk mendapat keuntungan tanpa ikut serta mengendalikan atau mengelola) baru pada tahun 1960-an muncul, bersamaan dengan munculnya istilah MNC (multinational corporation). Meski tidak ada klasifikasi data yang konsisten, pada umumnya disepakati, MNC sudah ada dalam ekonomi dunia setelah pertengahan abad ke-19 dan berdiri kokoh tidak lama sebelum Perang Dunia I. kegiatan bisnis intenasional tumbuh pesat pada tahun 1920-an ketika perusahaan multinasioanl yang benar-benar terdiversifikasi dan terintegrasi kokoh, tetapi kemudian menurun selama masa depresi tahun 1930-an, hancur lebur karena perang pada tahun 1940-an, dan bangkit kembali setelah tahun 1950.126

Sejarah bangsa-bangsa adalah sejarah perang berbasis kepentingan ekonomi. Perang meliputi perang senjata, perang ekonomi, dan perang budaya. Perang senjata adalah perangnya antar Negara penjajah dalam memperebutkan daerah jajahan yang kaya sumberdaya alam. Perang yang demikian adalah perwujudan dari kerakusan sistem kapitalisme-kolonialisme dalam akumulasi modal melalui peperangan, akibatnya adalah Negara-negara terjajah bangkit rasa nasionalismenya melawan penjajah dan melahirkan Negara-negara merdeka, yang lazim disebut Negara Sedang Berkembang (NSB).127

Kapitalisme sebagai suatu sistem dunia bermula pada akhir abad 15 dan awal abad 16 ketika orang-orang Eropa yang menguasai pengetahuan pelayaran jarak jauh, menghambur keluar dari sudut kecil dunia mereka dan mengarungi tujuh lautan, untuk melanklukan, merampas dan berniaga. Sejak itu kapitalisme terdiri dari dua bagian yang berbeda tajam: di satu pihak ada sejumlah kecil Negara-negara dominan yang memeras, dan di pihak lain, dengan jauh lebih besar Negara-negara yang dikuasai dan diperas. Keduanya terjalin secara tak terpisahkan dan tidak ada kejadian dalam kedua Negara itu yang dapat dimengerti jika dilihat terpisah dari sistem itu yang menjadi sebuah keharusan. Penting untuk menekankan bahwa hal itu benar, baik untuk “kapitalisme modern”, dalam arti sistem kapitalisme masa kini, maupun ketika ia masih merupakan kapitalisme merkantilis dari masa sebelum revolusi industri.128

Seperti sejarah yang mengalir mengikuti perubahan zaman, pola eksploitasi kapitalisme internasional pun mengalami perubahan wujud eksploitasinya. Pada awal abad ke-16 di Inggris terjadi revolusi industri yang memacu laju perkembangan kapitalisme awal. Proses ini didorong lagi oleh munculnya revolusi Prancis pada tahun 1789, yaitu revolusi yang mengakhiri hegemoni kaum feodal di Eropa Barat dan mendorong matangnya kekuasan kaum borjuis. Di tangan para borjuis Eropalah kapitalisme mulai menanamkan kuku eksploitasinya sampai ujung dunia.

Ketika di Eropa Barat terjadi over-produksi akibat maraknya industrialisasi, maka yang kemudian harus dilakukan oleh Negara-negara Eropa adalah ekspansi ke daerah-daerah terbelakang seperti Asia, Afrika, Pasifik dan

126 Paul Hirst & Grahame Thompson, Globalisasi adalah Mitos (Jakarta: YOI, 2001) h. 31-

34. 127 Lihat P. Darsono, dalam Globalisasi Suatu Strategi Penjajahan Bentuk Baru,

http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2006-november/000189.htm. 128 Paul M Sweezy, “Kapitalisme Modern”, dalam Kapitalisme: Dulu dan Sekarang:

Kumpulan Karangan dari berbagai sumber asing (Jakarta: LP3ES, 1987) h. 5

Page 215: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

215

Amerika. Maka lahirlah pembagian kekuasaan atas wilayah-wilayah tersebut untuk memasarkan hasil industri dari Eropa dan juga untuk mengambil bahan-bahan mentah bagi kepentingan industrialisasi di Eropa. Daerah-daerah ini adalah daerah-daerah yang ketika itu belum mengalami proses perubahan sejarah masyarakat seperti Eropa Barat zaman itu. Karena perubahan kepentingan pula, maka dua Perang Dunia dihasilkan oleh kepentingan kapitalisme internasional, Perang Dunia Pertama pada tahun 1918-1939 dan kemudian Perang Dunia Kedua pada tahun 1940-1945 adalah sejarah nyata di mana kapitalisme Vs kapitalisme berperang untuk menanamkan pengaruhnya terhadap wilayah-wilayah jajahannya. Jadi perang yang dilakukan antara Blok Sekutu dan Blok Fasis adalah perang antara dua kapitalis yang ingin melebarkan sayap eksploitasinya terhadap Negara-negara dunia ketiga.

James Petras mengatakan bahwa globalisasi telah dimulai pada abad 15, yaitu sejak mulai berkembangnya kapitalisme yang ditandai dengan ekspansi, penaklukan dan penghisapan Negara-negara di Asia, Afrika, Amerika Latin dan bahkan Amerika Utara dan Australia oleh kekaisaran global pada waktu itu, Spanyol dan Portugis. Karena itulah globalisasi selalu diasosiasikan dengan imperialisme, yaitu hubungan global yang didasarkan pada akumulasi untuk Eropa, penghisapan dunia ketiga untuk akumulasi dunia pertama. Menururt Pieterse, globalisasi dimulai sejak 1950-an. Menurut Marx dimulai 1500-an dengan tema kapitalisme modern. Wallerstein mencatat mulai 1500-an dengan tema sistem dunia baru. Robertson menilai globalisasi mulai 1870-1920-an dengan tema multidimensional, Giddens tahun 1800-an dengan tema modernitas, dan Tomilson tahun 1960-an dengan tema planetarisasi budaya.129

Sementara Scholte, menyatakan bahwa globalisasi berlangsung sejak tahun 1960-an, hal ini telah membantu memperluas jangkauan dalam tiga komodifikasi dalam tiga wilayah. Pertama, konsumerisme yang terhubungkan dengan produk-produk global yang diperluas oleh kapitalisme industri. Kedua, pertumbuhan lembaga-lembaga yang beroperasi dalam lingkup global (supra territorial) seperti global banking dan global securities sehingga memperluas jangkauan modal uang. Ketiga, globalisasi telah mendorong perluasan komodifikasi dalam wilayah baru yang melibatkan informasi dan komunikasi sebagai akibatnya, item-item software komputer dan telepon panggil telah menjadi objek akumulasi.130

Sebenarnya sejak Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) berdiri pada tahun 1944 serta GATT (sekarang WTO) pada tahun 1947, praktis dunia sudah memasuki globalisasi ekonomi, karena masalah pembangunan menjadi tanggung jawab internasional. Bank Dunia mengucurkan dana pinjaman berbunga rendah bagi proyek-proyek pembangunan di berbagai Negara untuk memajukan ekonominya, sedangkan IMF memberikan pinjaman bagi Negara-negara yang mengalami kesulitan dalam neraca pembayaran luar negeri dan GATT berfungsi untuk mengatur perdagangan global.

Pada fase pasca PD II, strategi ekonomi politik yang dilancarkan oleh AS dan para sekutunya adalah strategi Developmentalisme131

129 Jan Nederveen Pieterse, “Globalization as Hybridization”, individu Mike Featherstone et all. Edt, Global Modernities (London: Sage Publications, 1995) h. 47.

130 Budi Winarno, “Ekonomi Global dan Krisis Demokrasi”, dalam Jurnal Hubungan Internasional, Edisi 1, Februari 2004, h. 7.

131 Dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan menjadi pembangunanisme. Developmen-talisme adalah sebuah istilah ekonomi-politik. Sebuah konsep atau kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang dicetuskan pada masa Presiden Harry S Truman pada tahun

Page 216: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

216

(pembangunanisme), untuk mengamankan investasi modalnya, kapitalisme internasional memberikan dukungan bagi orang-orang kuat di sejumlah negara dunia ketiga yang berasal dari jajaran militernya. Di Amerika Latin kita jumpai sejumlah regime yang dipimpin oleh militer (otoriter), di Asia Tenggara dan Selatan juga dijumpai regime otoriter yang kebanyakan dipimpin oleh militer. Militer pada zaman ini adalah anak emas yang dibesarkan oleh kapitalisme dengan tujuan mengamankan investasi modal. Pada fase ini (1960-1970-an)132 dekolonisasi ditawarkan pada sejumlah Negara-negara jajahan Eropa Barat dan Amerika Serikat di Asia, Afrika dan Pasifik serta sebagian Negara-negara Amerika Latin.

Setelah perang dingin berakhir, komunis runtuh, Uni Sovyet pudar dan blok komunisme hancur, secara riil AS menghadapi musuh barunya: Negara-negara Eropa. Kelompok politik dan ekonomi ini telah menjadi musuh baru AS, sebab di satu sisi mereka memang mempunyai kemampuan untuk menyaingi AS dalam perdagangan dunia. Di sisi lain, Negara-negara Eropa itu telah mulai bergerak untuk menggabungkan Negara-negara Eropa Timur ke dalam Uni Eropa setelah Negara-negara itu berpindah dari sosialisme ke sistem kapitalisme.

Pergeseran dan perubahan konstelasi politik internasional itu telah mendorong AS untuk mengumumkan kelahiran Tata Dunia Baru. Prinsip utama Tata Dunia Baru di bidang ekonomi, tak lain adalah perdagangan bebas dan pasar bebas. Prinsip ini dimaksudkan untuk menjamin terbukanya pasar dunia bagi perdagangan dan pendapatan AS. Untuk mewujudkan strategi ekonominya ini, AS berupaya memperlemah dan memperlambat gerak pasar bersama Eropa dengan membentuk blok-blok perdagangan baru, menghidupkan kesepakatan-kesepakatan lama dan mengaktifkan kembali, mendirikan NAFTA yang beranggotakan Canada, AS, dan Mexiko dan juga, membentuk APEC.

Pada bulan November 1992, atas undangan Presiden Clinton, telah diadakan pertemuan puncak untuk membentuk organisasi kerjasama ekonomi bagi Negara-negara Asia Pasifik itu (APEC). Pendirian organisasi ini bertujuan untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas, membuka pasar-pasar, dan menekan bea masuk. Pendiriannya tidak dimaksudkan untuk mewujudkan kesatuan ekonomi dan mata uang sebagaimana pasar bersama Eropa. Pendirian APEC justru untuk tetap mengamankan pasar Asia Pasifik bagi AS dari persaingannya dengan pasar bersama Eropa.

AS melihat bahwa Uni Eropa merupakan saingan kuat untuk menantang dan menyaingi AS di bidang ekonomi. Alasan-alasan AS itu adalah: Pertama, kesatuan Eropa secara politik dan ekonomi. Kedua, Eropa memiliki kemampuan bersaing di bidang perdagangan, sebab Eropa mempunyai kemampuan tinggi dalam produksi barang dan jasa. Ketiga, setelah berakhirnya perang dingin dan hancurnya Uni Sovyet, lenyaplah momok komunisme yang sebelumnya digunakan AS untuk mengancam Eropa. Eropa seluruhnya lalu berkonsentrasi dan bersiap-siap dengan serius untuk terjun ke dalam kancah ekonomi internasional. Diantara persiapan Eropa nampak dari fakta bahwa seluruh Eropa yang merupakan Negara-negara industri yang produktif telah menghilangkan

1949 untuk menjawab berbagai permasalahan kemiskinan atau keterbelakangan (Underdevelopment) yang terjadi di Negara-negara dunia ketiga, sekaligus sebagai alat ideologi untuk membendung sosialisme.

132 Fase di mana dekolonisasi ditawarkan bagi dunia ketiga dan terjadi proses eksploitasi kapitalisme dari yang bersifat kolonilistik kepada fase yang bersifat lunak

Page 217: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

217

hambatan bea masuk di antara mereka, membuka tapal batas Negara masing-masing untuk memudahkan pemindahan tenaga kerja, dan berusaha mewujudkan kesatuan mata uang. Hal ini kemudian mendorong Eropa untuk memasuki pasar-pasar di Asia dan Afrika, di samping faktor utama bahwa Eropa memang mempunyai kapabilitas untuk bersaing dalam pasar bebas. Di samping itu AS terdorong pula untuk memperkokoh pasarnya di Asia dan Eropa dengan membentuk kelompok-kelompok ekonomi seperti APEC. Dan AS pun dalam hal ini telah sukses pula menunggangi WTO (World Trade Orgazation) untuk semakin melicinkan jalannya menguasai ekonomi dunia.

APEC mulai muncul ke permukaan sejak tahun 1989 atas prakarsa Australia. APEC menghimpun 17 negara yang berasal dari tiga benua; AS, Canada, Mexiko, Australia, Selandia Baru, RRC, Jepang, Hongkong, Papua Nugini, Taiwan, Brunei, Malaysia, Indonesia, Singapura, Philipina, Korea Selatan, dan Thailand. Organisasi ekonomi internasional ini menggabungkan keanggotaan dua kelompok ekonomi besar, yaitu NAFTA yang beranggotakan Negara-negara Amerika Utara, dan ASEAN yang beranggotakan Negara-negara Asia Tenggara.

Negara-negara anggota APEC menguasai 40 % dari keseluruhan volume perdagangan dunia, sekaligus merupakan pasar yang jumlah konsumennya mencapai lebih dari 1 milyar jiwa. Dari seluruh penjelasan tersebut, nampak bahwa AS telah berhasil mencapai target-targetnya untuk merealisasikan prinsip-prinsip yang menjadi landasan ekonominya. AS nampak terus mengembangkan dan membangunnya hingga stabil dan mantap, bahkan menjadikan prinsip-prinsipnya itu sebagai realitas global yang tidak bisa dihindari lagi. Akan tetapi, terwujud dan terbukanya pasar bebas secara internasional itu, niscaya akan menambah semangat untuk bersaing secara internasional pula. Di samping itu, produksi melimpah dari banyak Negara dan blok ekonomi akan terus melestarikan sikap saling bersaing, mendominasi, dan menguasai, yang didukung oleh kekuatan militer dan perluasan pengaruh untuk melindungi penimbunan-penimbunan produk yang melimpah.

Dalam analisis Friedman, dunia saat ini adalah dalam era globalisasi kedua, yang dimulai sejak tahun 1989 setelah AS, Inggris dkk, memenangkan perang dingin. Jadi setelah era perang dingin itulah tonggak globalisasi dengan tahapan yang lebih massif. Globalisasi kedua hakikatnya adalah suatu proses dunia menjadi satu atap di bawah hegemoni dan dominasi pemenang perang dingin. Negara-negara dunia ketiga atau Negara-negara sedang berkembang mau tidak mau harus menerima kenyataan yang demikian, yaitu menjadi bawahan AS dkk. Thomas L Friedman menyatakan bahwa globalisasi diberi makna modernitas (the lexus) di mana masyarakat harus berpersepsi fungsional melalui solidaritas organik133 yaitu menempatkan manusia (bangsa) sebagai fungsi manusia lain (bangsa lain) untuk mencapai tujuannya. Lawan dari the lexus (modernisasi) adalah the olive tree yaitu masyarakat yang berpersepsi mistis, di mana mereka merasa menikmati hidup dalam kungkungan tradisi. The lexus adalah symbol dari Negara-negara maju (Canada, AS, Jerman, Italia, Perancis, dan Inggris) dan the olive tree adalah symbol dari negara-negara sosialis dan Negara-negara sedang berkembang. The olive tree harus menyesuaikan diri dengan the lexus, jika mereka ingin tetap eksis.134

133 Istilah yang digunakan Talcot Person. 134 Thomas L. Friedman, The Lexus and The Oleive Tree (London: Harper Collins Pub.,

2000) h. 31

Page 218: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

218

Globalisasi kedua ini ditandai oleh lahirnya revolusi tekhnologi, revolusi telekomunikasi, dan revolusi informasi. Ketiga revolusi itu mengakibatkan biaya produksi kapitalis rendah dan kapital bisa menjelajah dunia tanpa kendala sehingga kapital dan komoditi Negara-negara maju (the lexus) dapat menguasai dunia. Bagi dunia kedua (blok sosialis) dan dunia ketiga harus menerima kenyataan ini. Anthony Giddens, bahkan mengatakan jika globalisasi yang ditopang oleh revolusi tekhnologi komunikasi tersebut tidak hanya baru, melainkan revolusioner.135

Akhirnya, globalisasi adalah bentuk baru hegemoni ekonomi, legitimasi baru terhadap pasar, kompetisi dan profit. Setelah dekolonisasi dan runtuhnya blok sosialis, globalisasi menjadi bentuk baru hegemoni atas nama pasar bebas, revolusi informasi, dunia sebagai satu dunia dan lain sebagainya. Akhir sejarah juga merupakan legitimasi baru kapitalisme setelah runtuhnya komunisme, seolah-olah sejarah berhenti dan waktunya habis. Revolusi informasi merupakan dalih baru untuk menyatukan dunia atas nama tekhnologi komunikasi baru, dunia sebagai satu desa dan hukum pasar.136

Globalisasi dan Krisis Masyarakat Kapitalisme

Dampak perkembangan konstelasi politik-ekonomi internasional adalah efek globalisasi yang telah masuk ke segala sendi kehidupan manusia di dunia internasional. Dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan telah timbul berbagai masalah. Ternyata perkembangan ilmu pengetahuan tidak mampu mengatasi, jurang yang besar antara Negara kaya dan miskin, masyarakat marginal, kelaparan, kemiskinan internasional, dan masalah perkembangan indigeneous technology di dunia ketiga.137 Jelaslah bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, dinamik yang menguasai jurusan-jurusan pertumbuhannya serta pilihan-pilihan masalahnya seperti juga tekhnologi, tidak berdiri sendiri, merupakan bagian dari sistem sosial, lengkap dengan tujuan-tujuan, kepentingan, prioritas, serta sistem nilainya.138 Oleh karena itu pilihan tekhnologi tidak boleh diambil hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan mengenai implikasi sosialnya.139

Dalam hal ini ilmu pengetahuan dalam bidang tekhnologi informasi memberikan pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan globalisasi dan pada akhirnya menimbulkan krisis di masyarakat kapitalisme. Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang masyarakat kapitalisme, penulis paparkan lebih mendetail perihal relasi Negara, globalisasi dan logika neo-liberalisme. Karena paham tersebut merupakan sebuah ideologi sebagai dampak dari krisis kapitalisme. Dan tentunya seluruh sistem sosial.

Globalisasi yang diperjuangkan oleh aktor-aktor globalisasi yakni perusahaan-perusahaan transnasional (TNC, Trans-National Corporations) dan Bank Dunia/IMF melalui kesepakatan yang dibuat di World Trade Organization (WTO, Organisasi Perdagangan Dunia) sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideologi yang dikenal dengan sebutan “neo-liberlisme”. Neo-liberalisme pada

135 Anthony Giddens, Run Way World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita (Jakarta: Gramedia, 2000) h. 5

136 Hasan Hanafi, Cakrawala Baru Peradaban Global: Revolusi Islam Untuk Globalisme, Pluralisme, Egalitarianisme Antar Peradaban (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003) h. 69

137 Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Pilihan Karangan tentang Agama Kebudayaan Sejarah dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1984) h. 277.

138 Ibid. 139 Ibid, h. 282.

Page 219: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

219

dasarnya tidak ada bedanya dengan liberalisme. Para penganut neo-liberlisme percaya bahwa pertumbuhan ekonomi adalah hasil normal “kompetisi bebas”. Mereka percaya bahwa ‘pasar bebas” itu efisien, dan cara yang tepat untuk mengalokasikan sumberdaya alam yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia. Harga barang dan jasa menjadi indikator apakah sumberdaya telah habis atau masih banyak. Kalau harga murah, berarti persediaan memadai. Harga mahal artinya produksinya mulai langka. Harga tinggi maka orang akan menanam modal ke sana. Oleh sebab itu, harga menjadi tanda apa yang harus diproduksi. Itulah alasan mengapa neo-liberalisme tidak ingin pemerintah ikut campur tangan dalam ekonomi. “Serahkan saja pada mekanisme dan hukum pasar”, demikian keyakinan mereka. Keputusan individual atas interes pribadi diharapkan mendapat bimbingan dari invisible hand (tangan yang tidak tampak), sehingga masyarakat akan mendapat berkah dari ribuan keputusan individual tersebut. Kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang tersebut pada akhirnya akan trickle down (menetes ke bawah) kepada anggota masyarakat yang lain. Oleh karena itu sedikit orang tersebut perlu difasilitasi dan dilindungi. Kalau perlu jangan dipajaki.

Krisis berkepanjangan yang menimpa kapitalisme awal abad 19, yang berdampak depresi ekonomi 1930-an berakibat tenggelamnya paham liberalisme. Pendulum beralih memperbesar pemerintah sejak Roosevelt dengan “New Deal” tahun 1935. Tetapi dalam perjalanan kapitalisme, di akhir abad 20 pertumbuhan dan akumulasi kapital menjadi lambat. Kapitalisme memerlukan strategi baru untuk mempercepat pertumbuhan dan akumulasi kapital. Strategi yang ditempuh adalah menyingkirkan segenap rintangan investasi dan pasar bebas, dengan memberlakukan perlindungan hak milik intelektual, good governance (pemerintahan yang baik), penghapusan subsidi dan program proteksi rakyat, deregulasi, penguatan civil society, program anti-korupsi, dan lain sebagainya. Untuk itu diperlukan suatu tatanan perdagangan global, dan sejak itulah gagasan globalisasi dimunculkan. Dengan demikian globalisasi pada dasarnya berpijak pada kebangkitan kembali paham liberalisme, suatu paham yang dikenal sebagai neo-liberalisme. Neo-liberalisme sesungguhnya ditandai dengan kebijakan pasar bebas, yang mendorong perusahaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas tanggungjawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrat dan “parasit” pemerintah, yang tidak akan pernah mampu meskipun dikembangkan. Aturan dasar kaum neo-liberal adalah “Liberalisasikan perdagangan dan keuangan”, “Biarkan pasar menentukan harga”, “Akhiri inflasi, Stabilisasi ekonomi-makro, dan privatisasi”, “Pemerintah harus menyingkir dari menghalangi jalan”. Paham inilah yang saat ini mengglobal dengan mengembangkan “consensus” yang dipaksakan yang dikenal dengan “Globalisasi”, sehingga terciptalah suatu tata dunia. Arsitek tata dunia ini ditetapkan dalam apa yang dikenal “The Neo-Liberal Washington Consensus”, yang terdiri dari para pembela ekonomi swasta terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar yang mengontrol dan menguasai ekonomi internasional dan memiliki kekuasaan untuk mendominasi informasi kebijakan dalam membentuk opini publik.

Pokok-pokok pendirian neo-liberal meliputi, pertama, bebaskan perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah, misalnya jauhkan pemerintah dari campur tangan di bidang perburuhan, investasi, harga serta biarkan perusahaan itu mangatur diri sendiri untuk tumbuh dengan menyediakan kawasan pertumbuhan. Kedua, hentikan subsidi Negara kepada rakyat karena

Page 220: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

220

bertentangan dengan prinsip pasar dan persaingan bebas. Negara harus melakukan swastanisasi semua perusahaan Negara, karena perusahaan Negara dibuat untuk melaksanakan subsidi Negara pada rakyat. Ini juga menghambat persaingan bebas. Ketiga, hapuskan ideologi “kesejahteraan bersama” dan pemilikan komunal seperti yang masih banyak dianut oleh masyarakat “tradisional” karena menghalangi pertumbuhan. Serahkan manajemen sumberdaya alam kepada ahlinya, bukan kepada masyarakat “tradisional” (sebutan bagi masyarakat adaptif) yang tidak mampu mengelola sumberdaya alam secara efisien dan efektif. Dari Imperialisme, Globalisme ke Kapitalisme Pendidikan

Pendidikan dimaknai oleh banyak pakar sebagai institusi untuk mendidik generasi manusia dengan berbagai disiplin ilmu. Peradaban manusia juga tidak terlepas dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dunia akan berubah menjadi maju atau bahkan mengalami kemunduran tergantung pada penguasaan pengetahuan. Dilihat dari aspek historis pendidikan di Indonesia adalah warisan kolonial belanda yang sampai sekarang watak pendidikan Indonesia masih tercerabut dari akar tradisi. Untuk menata kembali butuh sistem pendidikan yang jelas, dan yang paling vital adalah bagaimana merumuskan paradigma. Belum lagi terkait dengan kebijakan pemerintah saat ini, kebijakan belum berpihak kepada masyakat yang belum mampu. Hegemoni negara tentu sangat bersinggungan dengan kebijakan pendidikan, sehingga kekuasaan dan pendidikan harus dipisahkan dari mata rantai kepentingan politik sesaat.

Kemajuan peradaban yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi berimplikasi pada moralitas manusia. Efek globalisasi misalnya telah merambah berbagai sektor kehidupan manusia, mulai dari alat komunikasi, transportasi, dunia maya, dan kecanggihan teknologi lainnya. Globalisasi telah berdampak pada mainstream bahwa manusia harus bisa mengendalikan teknologi. Globalisasi ditandai dengan ketersinggungan antara negara, pasar atau sistem ekonomi global dan masyarakat sipil. Kalau diurai maka persoalan pendidikan Indonesia tidak hanya masalah penataan kurikulum, profesionalitas guru, out-put lembaga pendidikan, paradigma pendidikan, dan persoalan internal penyelenggaraan lembaga pendidikan lainnya. Tapi lebih dari itu ada faktor eksternal yang juga sangat berpengaruh pada pendidikan Indonesia yaitu persoalan rakyat miskin sehingga tidak mampu sekolah, disorientasi kebijakan pemerintah, pendidikan market oriented, relasi kekuasaan negara, dan pusaran arus globalisasi.

Rumusan paradigma pendidikan tentu jangan sampai lemah karena terseret arus globalisasi. Sehingga tidak mengorbankan nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan dengan memaksa out-put untuk diterjunkan ke dunia pasar kerja. Karena globalisasi tidak bisa dibendung maka sikap kita adalah harus berdapasi secara arif tanpa harus menolaknya. Kekuasaan negara yang berkolaborasi dengan kekuatan ekonomi global inilah yang menimbulkan dampak negatif dalam segala sektor negara termasuk dalam hal ini adalah dunia pendidikan.

Dehumanisasi oleh Rasionalitas Globalisasi

Manusia akan menjadi mekanistik karena harus menjalankan seluruh alat tehnologi. Teknologi tentu memudahkan kehidupan manusia tetapi dampak negatif yang timbul seringkali tidak sebanding dengan manfaatnya. Pusaran arus

Page 221: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

221

kapitalisme global yang bersumbu pada kekuatan pasar eropa tentu akan semakin mengendorkan kekuatan ekonomi negara-negara miskin dan berkembang. Berangkat dari refleksi tersebut kebijakan pendidikan harus kembali pada norma etik dengan beradaptasi atas fenomena global kekinian. Out put pendidikan harus memiliki moralitas tinggi, kepekaan sosial, menjunjung harkat dan martabat negara, dan ikut menentukan arah peradaban manusia.

Globalisasi merupakan suatu proses yang dinamis dari berbagai sektor dalam sejarah manusia. Aktor penting dalam proses ini terjadi pada akhir Perang Dunia II dengan lahirnya Brettonwood System, demikian pula muncul kerjasama bantuan internasional dalam bantuan sesudah perang dalam membangun kembali negara-negara yang hancur seperti eropa. Di Eropa dikenal rancangan kembali dalam bentuk Marshal Plan oleh Amerika Serikat. Di negara-negara Asia terjadi perubahan dalam integrasi tata ekonomi kolonial ke tata sistem ekonomi industri. Keseluruhannya telah menimbulkan munculnya perdagangan global yang kemudian terikat dalam perjanjian-perjanjian multilateral, maka munculah lembaga-lembaga internasional seperti International Monetary Fund (IMF). Demikian juga Bank Dunia yang merupakan sumber dana dari pembangunan internasional. Dengan demikian proses globalisasi terus merasuk dalam pelbagai bentuk kehidupan manusia, politik, ekonomi, sosial budaya dan pembangunan manusia (human development).140

Tinjauan perspektif Kellner dari sudut pandang teori sosial kritis bahwa; globalisasi melibatkan pasar kapitalis dan seperangkat relasi sosial dan aliran komoditas, kapital, teknologi, ide-ide, bentuk-bentuk kultur dan penduduk yang melewati batas nasional via jaringan masyarakat global, transmutasi teknologi dan kapital bekerjasama menciptakan dunia baru yang menglobal dan saling menghubung. Revolusi teknologi yang menghasilkan jaringan komunikasi komputer, transportasi dan pertukaran merupakan pra-anggaran (presupposition) dari ekonomi global, bersama dengan perluasan sistem pasar kapitalis dunia yang menarik lebih banyak area dunia dan ruang produksi, perdagangan dan konsumsi kedalam orbitnya.141

Ketersinggungan globalisasi dengan sektor pendidikan telah mengakibatkan pergeseran paradigma. Ini terlihat dari mayoritas lembaga pendidikan berkompetisi menghasilkan out-put yang siap kerja (baca: berorientasi pasar) tentu cara pandang ini telah keluar dari nilai-nilai pendidikan. Kebutuhan pasar adalah tenaga kerja yang ahli atau mempunyai skill untuk mengoperasikan teknologi industri. Manusia menjadi mekanistik dan telah tercerabut dari harkat kemanusiaanya karena telah teralienasi, tereksploitasi dan terasing dari nilai-nilai humanisme.

140 AsiaDHRRA, h. 301-308. Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Umat Manusia,

lihat Antony Giddens, Runaway World (terjemah, 2001, Dunia yang Lepas Kendali). Lihat H.A.R Tilaar, Kukuasaan dan Pendidikan, Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, (Magelang: Indonesiatera, Cet. I., 2003) h.190.

141 Kellner, Theorizing Globalization, Sociological Theory, 2002 dalam George Ritzer—Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media, Cet. III., 2005) h. 590.

Page 222: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

222

BAGIAN II Pembajakan Sistemik Pendidikan Nasional oleh Pasar, Negara dan Rektorat142

Salah satu isu living issue global dan nasional adalah soal pendidikan. Setiap tahun selalu muncul isu pendidikan. Kontroversi pun merebak. Hal ini tidak lepas dari perkembangan nasional. Kecenderungan internasional juga demikian. Terjadi pergeseran filsafat dan paradigma pendidikan seiring terjadinya pergeseran formasi sosial. Salah satu perkembangan terpenting yang kemudian menjadi medan makna perjuangan mahasiswa adalah proses integrasi pendidikan secara total dalam sistem kapitalisme. Artinya, pendidikan bukan sekedar proses social yang seolah bebas nilai. Namun sarat dengan muatan ekonomi politik yang strategis. Kajian kebudayaan menyebutnya sebagai bagian dari manifestasi komodifikasi kapitalisme. Disebut total sebab dalam kerangka tersebut, bukan hanya terjadi komodifikasi ilmu (Lyotard: 1997): Menemukan pergeseran bahwa universitas sekarang bukan lagi mementingkan penemuan apakah sesuatu itu benar atau tidak, melainkan apakah sesuatu itu berguna/ dapat dijual atau tidak, namun juga pendidikan berjalan di atas logika bisnis. Proses inilah yang menghantarkan pendidikan memproduksi nalar instrumental (Habermas), maupun rasionalitas teknologis (Marcuse).

Maka, tidak heran jika Susan Strange, ahli ekonomi politik, menyebut bahwa salah satu pilar dari empat pilar kapitalisme adalah knowledge structure. Mesin produski pengetahuan tiada lain institusi-institusi pendidikan. Sekali dikonsolidasikan, universitas, seperti dikatakan seorang ahli pembangunan, menentukan persepsi dan realitas social. Inilah yang dipergoki kalangan poststrukturalis yang dengan jitu menelanjangi relasi kuasa pengetahuan. Setiap pengetahuan selalu mengandaikan relasi kuasa tertentu. Sebab pengetahuan berkaitan dengan subjek yang menyusun, menyebarkan, dan merepreduksi pengetahuan yang sarat dengan kepentingan kekuasaan. Di sinilah pendidikan sebagai instrumen transformasi sosial, atau, dalam bahasa Chiko Mendez, sebagai “awal pergerakan” menjadi realisme utopis. Pada logika inilah, dan, jika mengikuti mereka, logika pasar, mahasiswa sebagai salah satu stakeholder pendidikan, wacana dan praktek otonomi pendidikan (BHMN), seharusnya dibaca. Pembacaan ini akan diletakkan dalam konteks pergeseran di tingkatan global dan nasional.

Melacak Konteks Global

Konteks ekonomi politik global sudah dibahas dalam sesi pertama, karenanya tulisan ini hanya akan fokus dalam konteks pendidikannya. Dalam bahasa akademik, pendidikan juga menjadi entitas social yang globalized. Karenanya, memahami carut marut pendidikan nasional juga tidak lepas dari anarki structural global. Transformasi structural dalam dataran ekonomi dan politik secara tak terelakkan mempengaruhi dunia pendidikan. Kaitannya adalah transformasi ekonomi mempengaruhi struktur pasar tenaga kerja global. Tenaga

142 Disarikan dan diuraikan kembali dari Muhammad Mustafid, BHMN: Pembajakan

Sistematik Pasar, Negara dan Rektorat, Makalah yang dipresentasikan pada acara Seminar dan Lokakarya Nasional: “Membongkar Realitas Pendidikan Indonesia”, ISTA, 24-27 Juli 2004.

Page 223: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

223

kerja global (yang dalam bahasa globalisasi disebut mendorong pergerakan orang) berkaitan dengan terutama institusi pendidikan tinggi.143

Pertama, transformasi aktivitas industri (sector sekunder) menuju sector tersier membutuhkan bukan hanya kualifikasi tenaga kerja yang terampil, tapi menguasai system teknologi baru yang dipakai secara luas dunia profesional. Penguasaan teknologi ini penting untuk mempercepat pengambilan keputusan dengan akurasi tinggi. Kedua, proses neoliberalisasi telah meningkatkan mobilitas pasar tenaga kerja yang berkualitas. Gejala ini telah meningkatkan kompetisi tenaga kerja luar biasa. Ketiga, bersatunya kekuatan ekonomi dan politik Eropa meningkatkan arus kerja sama dalam berbagai bidang. Pendidikan akan menjadi jantung riset untuk inovasi-inovasi ekonomi, social, dan politik. Keempat, proses neoliberalisasi berdampak pada menunrunnya peran nation-state yang pada gilirannya mengurangi investasi sector-sektor strategis janka panjang seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan system pensiun. Keempat proses tersebut mendorong pendidikan di Eropa semakin kian terprivatisasi, hingga menuju proses individualisasi.

Melacak Konteks Nasional

Konteks politik kebijakan otonomi pendidikan (No.61/1999) adalah pemerintahan Habibie. Artinya, periode tersebut merupakan periode transisional pasca lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenannya. Konteks ini dipahami fase transformasi struktural dari kapitalisme berbasis negara (state-led-development) ke fase neoliberalisme yang ditandai oleh tidak dilibatkannya lagi negara sebagai “aktor” akumulasi modal. Artinya transformasi struktural neoliberal didorong bukan hanya dalam wilayah ekonomi politik, namun juga dalam konteks pendidikan. Pergeseran kelembagaan ekonomi politik neoliberal relatif terkonsolidir, sedangkan di tingkatan aktor politik Habibie mendapatkan serangan kuat terhadap legitimasi politik kepemimpinannya.

Konteks ekonomi saat itu adalah masih dalam fase recovery ekonomi akibat krisis moneter yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Namun karena paradigma recovery ekonomi yang dipakai adalah neoliberal, bukannya populis, atau sosialistik, maka pinjaman hutang kepada lembaga keuangan internasional (IMF/ WB) tak terelakkan. Pada saat yang sama, sejak tahun 1997 dan tahun berikutnya, adalah periode jatuh tempo hutang-hutang, baik swasta maupun pemerintah. Pada saat yang sama kurs rupiah masih anjlok. Hal ini berdampak pertama, terkurasnya atau bangkrutnya keuangan negara, kedua, terjadinya proses perampokan aset-aset rakyat melalui mekanisme yang disebut dengan debt-to-equity-swap.

Secara garis besar, persoalan ekonomi Indonesia terkait dengan dua hal besar. Pertama, neoliberalisasi di Indonesia (privatisasi, swastanisasi, deregulasi, pencabutan subsidi), dan Kedua, aspek internal (domestic affairs) yang berkaitan dengan hal di atas. Proses neoliberalisasi di Indonesia sebenarnya sudah didorong sejak lama, bahkan sejak tumbangnya ORLA. Hanya saja ekstensifikasi dan intensifikasi neoliberalisasi di Indonesia memuncak

143 Transformasi ini untuk memenuhi kualifikasi lulusan perguruan tinggi agar dapat

berkompetisi secara global. Maka, di Eropa pun terjadi restrukturisasi pendidikan tinggi yang didorong oleh empat stimulus (Jurgen Rosemann dan Andrea Peresthu).

Page 224: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

224

setelah krisis 1997, yang menjadikan Indonesia negara neoliberal, bahkan lebih liberal di bidang pertanian ketimbang Jepang atau Amerika Serikat.144

Pada pra-reformasi, ekonomi Indonesia diatur dengan managemen Keynesian. Andrew Macintyre (disertasinya, 1990), yang mengkaji bisnis tekstil, farmasi, dan asuransi, di Indonesia berhasil memberikan konfigurasi ekonomi Indonesia. Dalam bidang tekstil, konfigurasinya dibangun atas dasar pilar buruh yang murah (bahkan lebih murah dibanding China dan India), monopoli impor barang-barang modal, dan perselingkuhan dengan elite politik. Sementara Indonesia, pada saat itu, di bidang farmasi konfigurasinya didominasi oleh mekanisme penentuasn harga pasar, system distribusi, margin keuntungan yang tinggi yang dipungut jaringan distribusi. Dengan mekanisme ini, beaya pengobatan Indonesia termasuk termahal di dunia setelah jerman dan swiss.

Hanya saja, mahalnya beaya tersebut diiringi mirahnya produk farmasi di Indonesia. Kondisi tersebut jelas kurang menguntungkan bagi kerangka kerja kapitalisme. Maka, kemudian, didorong operasi untuk melakukan transformasi structural ekonomi Indonesia. Inilah transformasi neoliberal di Indonesia. Hasilnya, berbagai kebijakan protektif, perselingkuhan, berbagai perilaku pencarian rente, disapu habis oleh angin neoliberal. Kontradiksi internal, persaingan internal, dan tuntutan akumulasi modal menjadi variable penggeraknya. Pasca-reformasi kemudian dilembagakan dalam bentuk berbagai privtaisasi, swastanisasi, deregulasi, hingga pencabutan subsidi.145

Memahami Konsep Badan Hukum Milik Negara

BHMN, yang sering juga disebut sebagai “otonomi pendidikan” secara normatif dianggap sebagai pemberian lebih luas kepada perguruan tinggi untuk mengelola dan menata sumberdaya secara mandiri. Dengan otonomi, perguruan tinggi diberi kebebasan untuk menyusun program, struktur organisasi, manajemen, kurikulum, SDM, hingga infrastrukturnya. Universitas, misalnya, berhak menyusun kurikulum tanpa terbebani dengan kurikulum nasional, mengangkat pegawai, membentuk fakultas atau sebaliknya, menghapus suatu fakultas.146 Konsekuensi pemberian otonomi, subsidi pemerintah berkurang, dari 65% persen menjadi hanya sekitar 35%. Bantuan pemerintah ini disebut dengan blockgrand. Jika dulu dana SPP, misalnya, disetor dulu ke negara, kemudian untuk mengucurkannya menunggu proposal dari pemerintah, sekarang dana tersebut dikelola secara mandiri. Sisa kekurangannya dibebankan kepada

144 Proses tersebut dipicu oleh krisis financial global yang mengikuti aliran global capital.

Dalam aliran financial yang anarkis ini, Negara yang ditinggalkan modal akan mengalami krisis. Dan inilah yang terjadi di Indonesia. Banyak penjelasan terhadap krisis tersebut. Salah satu penjelasan adalah penjelasan ekonomi politik. Penjelasan ekonomi politik berarti memberikan penekanan pada peranan semua kekuatan (power)/segala hal baik proses social maupun kelembagaan, termasuk kekuatan ekonomi maupun elite yang berpengaruh dalam pengambilan kebijakan ekonomi (Todaro, 1994:4).

145 Apabila dua konteks tersebut kita racik maka konteks politik otonomi pendidikan adalah, kebutuhan objektif mengkonsolidir kekuatan untuk menghadapi serangan terhadap legitimasi politik kekuasaan di satu sisi, dan kebangkrutan keuangan negara sebagai dampak pembusukan internal dan masa transisional neoliberal di Indonesia. Perjumpaan dua titik kepentingan inilah yang menjadi basis sosial material otonomi pendidikan.

146 Dengan adanya BHMN ini terjadi perubahan kelembagaan pada Universitas. Sebelumnya, PT merupakan institusi di bawah Departemen Nasional, sekarang menjadi institusi mandiri yang berhak untuk melakukan perbuatan hukum seperti badan hukum lainnya. Struktur organisasinya terdiri dari Majelis Wali Amanat (MWA/board of Trustee), Dewan Audit dan Akademik, Senat Akademik, dan lembaga-lembaga lainnya.

Page 225: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

225

mahasiswa, bantuan-bantuan, dan usaha-usaha bisnis universitas. Di titik inilah kemudian universitas diberi peluang untuk menyelenggarakan kegiatan bisnis yang berorientasi profit. Hanya saja, dalam hal kegiatan bisnis dibatasi oleh pasal 2 PP 61/99 dengan sifat nirlaba (semua keuntungan dikembalikan lagi kepada fungsi utama perguruan tinggi). Bisnis yang dilakukan universitas ini tidak berada dalam struktur organisasi universitas, namun di bawah sayap bisnisnya.

Membongkar Nalar Otonomi Pendidikan

Pertama, Nalar Kolonial/ Imperial/ Pasar. Nalar ini hendak meletakkan pendidikan sebagai ladang akumulasi keuangan, proses produksi dan reproduksi sosial terjadi, strategi kebudayaan dalam pertarungan hegemoni, yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu bentuk objektifikasi kesadaran sosial yang terdesain. Nalar ini mengubah secara radikal sejarah pendidikan secara kelembagaan sebagai kekuatan transformatif menjadi secara personal atau sekelompok elite dengan keasyikan persetubuhannya dengan realitas yang memproduksi komodifikasi dan fetisisme pendidikan.

Kedua, Nalar Negara. Otonomi pendidikan merefleksikan kegagalan negara menjalankan tugasnya kepada warga negara. Pendidikan merupakan hak sipil yang harus dipenuhi warga negara. Kegagalan ini merupakan hasil dari proses panjang pembusukan struktural Orba dan sapuan neoliberalisme yang memporakporandakan struktur ekonomi politik yang tidak memadahi lagi menjamin kebebasan pasar. Respons terhadap kondisi tersebut, dalam konteks pendidikan, melahirkan otonomi pendidikan untuk memperingan beban keuangan negara. Strategi ini di-launching dengan konstruksi politik wacana untuk mencegah pemborosan anggaran, himpitan keuangan negara yang tengah kolaps, serta untuk menjawab tantangan globalisasi. Inilah nalar negara. Negara hendak mengatakan bahwa kondisi objektif negara tidak memungkinkan lagi memberikan subsidi pendidikan kepada rakyat. Atas dasar itu secara cantik logikanya dilanjutkan dengan mengatakan bahwa beban dana pendidikan harus dipikul bersama masyarakat. Inilah nalar tak terkatakan negara di balik otonomi pendidikan.

Ketiga, Nalar Rektorat. Salah satu institusi yang tidak terlepas dari proses pelembagaan otonomi pendidikan adalah rektorat. Bahkan dalam prosesnya, institusi ini yang mendesain konstruksi otonomi pendidikan. Nalar rektorat bertumpu pada tiga hal: 1] Keharusan universitas melakukan transformasi internal untuk menjawab tantangan globalisasi. 2] Memahami kondisi keuangan negara yang pada saat ini masih kedodoran. 3] Yang paling memahami dan berkompeten atas konsep otonomi pendidikan adalah mereka. Ini tercermin dalam proses perumusan yang tidak melibatkan seluruh civitas akademika seperti mahasiswa secara signifikan.

Keempat, Nalar Masyarakat. Pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara. Untuk meningkatkan harkat dan martabatnya masyarakat percaya pendidikan merupakan jalan terbaik. Pada titik ini nalar masyarakat dapat dibagi dua. 1] Nalar yang memandang pendidikan sebagai genesis transformasi sosial tanpa melihat arus dan gerak struktural di balik proses pendidikan, serta masih melihat pendidikann sebagai kewajiban mereka untuk memenuhinya. Nalar ini terbentuk melalui proses panjang secara sistemtik. 2] Nalar yang melihat secara kritis pada substansi pendidikan dan soal tanggung jawab negara dalam pendidikan. Dalam optik ini, substansi pendidikan sebenarnya instrumen kapitalisasi, dan jika diletakkan dalam konteks

Page 226: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

226

trasnformasi sosial, pendidikan hanya akan memperkukuh struktur sosial kolonial.147

Analisis Akar Masalah Keterpurukan Pendidikan: Perspektif Ekonomi-Politik

Dengan melihat paparan di atas, menjadi jelas bahwa pendidikan menjadi arena pertarungan antara negara, pasar, dan masyarakat. Pertarungan ini menghasilkan konfigurasi negara-pasar vis-à-vis masyarakat. Negara bersekutu dengan kekuatan pasar untuk menjadikan pendidikan sebagai komodifikasi kapitalisme.

Masyarakat sendiri pada dasarnya telah lama menuntut otonomi pendidikan. Sebab selama ini pendidikan sudah terlalu jauh dipakai sebagai instrumen mempertahankan kekuasaan. Penetrasi negara dalam pendidikan, misalnya, terlihat dalam proyek ideologisasi melalui penataran P4, PMP, kewiraan, dan campur tangan negara dalam berbagai proses kebijakan kampus. Instrumentalisasi tersebut menjadi bagian dari lokus perjuangan mahasiswa.

Desakan tuntutan otonomi ini kemudian dengan licik “dibajak” oleh negara dengan konsep Badan Hukum Milik Negara. Dengan konsep BHMN ini, negara memang memberikan otonomi relatif terhadap universitas, namun sebatas dalam hal-hal administratif dan manajerial. Hanya saja, dalam waktu bersamaan, dalam kanal otonomi itulah diselipkan agenda ekonomi politik tersembunyi dengan mendorong “otonomi keuangan”. Sekalipun demikian, secara politik, pemerintah masih tidak mau melepaskan kontrol politiknya terhadap pendidikan. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa pemerintah, melalui mendiknas, memiliki saham atau suara 35% dalam majelis wali amanat, lembaga yang secara politik berwenang menentukan rektor (pasal 14 (3) PP 61/99). Alasan bahwa itu bagian dari upaya pemerintah untuk mengontrol agar tidak terjerumus di luar kewenangannya, merupakan alasam ahistoris, dan semakin menegaskan bahwa pemerintah tidak mempercayai masyarakat sebagai kekuatan kontrol. Sejarah menunjukkan gurita kekuasaan negara dalam pendidikan tidak pernah bermakna sebagai kontrol untuk menjaga kebebasan akademik dan politik di kampus.

Alasan negara bahwa negara tidak memiliki dana untuk membiarkan subsidi pendidikan hanyalah alasan akal-akalan dari negara. Argumentasi tersebut runtuh baik di tingkatan teoretik maupun praksis. Secara teoretik, BHMN merupakan implikasi tak terelakkan dari otonomi pendidikan, sedangkan otonomi pendidikan merupakan implikasi dari konstruksi Letter of Intent IMF yang mengharuskan pemerintah memangkas subsidi sosial. Artinya, kebijakan otonomi pendidikan merupakan strategi diskursif untuk menyembunyikan maksud tersembunyinya, yakni menaikkan beaya pendidikan. Implikasi realnya: semakin banyak rakyat yang tidak dapat menikmati pendidikan.

Pencabutan subsidi pendidikan pada dasarnya hanya mengurangi tidak lebih dari 20 trlyun. Bandingkan dengan data berikut ini: bahwa menurut Kwik Kian Gie, pertahun uang negara yang dikorup-dirampas sebesar 444 trilyun

147 Shiraishi mengatakan: Lahirnya pendidikan Barat di Indonesia tidak hanya sekuler,

namun ia masuk dalam tatanan kolonial yang terbagi secara rasial dan linguistik, serta terpusat secara politik. Dalam pendidikan Barat ini, semakin tinggi sekolah seseorang, maka semakin dekat ia dengan pusat-pusat kota dunia kolonial. Dengan demikian, kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang pantas semakin terbuka, namun akan semakin terhisap dalam cara hidup generasi tuanya kolonial. (Shiraishi,1997: 36).

Page 227: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

227

rupiah (dengan rincian 90 trlyun berasal dari ikan, pasir, dan kayu yang dimaling, 240 trilyun pajak yang dibayarkan tetapi tidak masuk ke kas Negara, 40 trilyun subsidi perbankan yang muspro, 74 trilyun kebocoran APBN). Jumlah tersebut berarti lebih besar dari keseluruhan APBN tahun 2003. Transparancy International pada tahun 2003 memberikan ranking sebagai Negara terkorup ke 122 dari 133 (paling korup). Artinya, persoalannya sebenarnya bukan pada ketidakmampuan negara secara objektif untuk memberikan pendidikan murah bagi rakyat, namun soal keberpihakan politik.

Dari berbagai logika di atas, terbangun rasionalitas dalam otonomi pendidikan: tantangan global memang real, dan karenanya harus direspons secara memadahi. Dunia pendidikan memegang kunci dalam konteks ini. Efiesiensi, akuntabilitas, transparansi dalam pengelolaan pendidikan juga merupakan keharusan tak terelakkan. Jika otonomi pendidikan diletakkan dalam konteks ini, maka hal itu memang merupakan kebutuhan real. Hanya saja dua tuntutan di atas menjadi naif dan menipu jika kemudian diterjemahkan dalam konteks otonomi keuangan. Pemaknaan ini manipulatif dan justru berbahaya bagi masa depan bangsa jika melihat problem real bangsa Indonesia. Kebijakan ini mengeksekusi hak rakyat akan pendidikan.

Dengan demikian, Konsep otonomi pendidikan atau BHMN harus direstrukturusasi secara radikal. Radikalisasi tersebut mencaku pada aspek perluasan konsep otonomi akademik dan politik yang melibatkan bukan hanya kalangan elite perguruan tinggi, namun juga mahasiswa dan elemen perguruan tinggi lainnya, dan pada saat yang sama soal subsdidi keuangan tetap menjadi tanggung jawab negara (pengekslusian konsep otonomi keuangan dalam otonomi pendidikan). Otonomi terlalu sempit jika dimaknai dalam konteks manajerial dan administratif, namun juga harus menyenuh soal desain kurikulum yang pararel dengan basis sosial, metode kuliah, membangun relasi demokratik dalam kampus dan lainnya. Hanya dengan Radikalisasi tersebut persoalan real pendidikan Indonesia dapat direspons.

Ketidakjelasan basis filsafat dan paradigma pendidikan Indonesia sehingga berkali-kali mengalami reorientasi yang tidak penah jelas. Dimulai pada awal kemerdekaan dengan krikulum 1947, kemudian kurikulum 1964, kemudian berganti lagi pada kurkulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum mutakhir yang disebut kurikulum berbasis kompetensi (2004).

Problem pada dalam sumber daya pendidikan Indonesia Menurut Depdiknas, kekurangan guru secara nasional mencapai angka 427.903 orang, sementara dalam APBN tahun 2004 hanya dialokasikan dana untuk mengangkat guru Bantu sejumlah 80.000 orang. Sementara menurut versi ketua PGRI, Mohammad Surya (kompas, 17 Desember 2003), guru yang tersedia hanya berjumlah sekitar 2,2 juta, pada saat yang sama jumlah yang dibutuhkan mencapai dua kali lipatnya, dan setiap tahun sekitar 2000 guru memasuki masa pensiun. Problematika pendidikan Indonesia di atas masih diperparah dengan berbagai belenggu idoelogis yang berasal dari kultur feudal ratusan tahun hingga yang secara sistematik dilembagakan dalam system pendidikan. Berbagai belenggu di atas, misalnya, ideology neoliberal yang mensubordinasikan pendidikan dalam kepentingan akumulasi modal, ideology militerisme yang secara sistemik menyeregamkan mulai cara berpakaian sampai cara berpikir peserta didik, ideologi positifistik yang tidak berakar dalam dunia batin masyarakat Indonesia, menjadikan pendidikan gagal sebagai instrumen transformasi sosial.

Page 228: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

228

BAGIAN III Pendidikan Demokratis vis-à-vis Pendidikan Indoktrinasi

Belajar dari analisis Noam Chomsky148 dari kondisi pendidikan pada sebuah negara, bahwa ada aparatus ‘ideologis’ yang digunakan oleh kelas berkuasa untuk menanamkan hegemoni dan ideologi kelasnya pada seluruh warga negara sehingga nilai-nilai, pandangan hidup, sistem kapitalisme diterima sebagai wajar dan normal. Jalur pertama dari aparatus ideologis yang digunakan adalah pendidikan. Di sebuah negara, jauh dari gambaran demokratis yang selama ini dicitrakan, pendidikan digunakan sebagai media untuk menanamkan kesadaran palsu, dan diciptakan sebagai institusi-institusi yang bertanggungjawab untuk mengindoktrinasi anak-anak muda.

Hal ini dilakukan sejak bangkitnya gerakan-gerakan kerakyatan yang menentang imperialisme, menuntut hak-hak sipil-politik, dan perlindungan ekonomi serta ekologi pada tahun 60-70an. Sebagai cara untuk membendung gerakan-gerakan rakyat itu, maka pemerintah Amerika Serikat mendirikan komisi Trilateral yang berfungsi “untuk menanamkan kepatuhan, untuk menghalangi kemungkinan lahirnya pemikiran yag mandiri, dan [dengan demikian] sekolah memainkan suatu peran kepranataan (institutional role) dalam suatu sistem kontrol dan koersi”. Komisi Trilateral, menurut Chomsky, ini bertugas untuk mencari cara-cara yang efektif untuk mempertahankan hegemoni barat dan dominasi elit-elit berkuasa sembari terus mengkondisikan agar kalangan kelas menengah yang terdiri dari ilmuwan, para profesional dan kelas menengah, melalui sistem pengkajian terus menerus mendakwahkan mitos tentang kebajikan.

Merefleksikan gagasan Noam Chomsky bahwa hakikat pendidikan mestinya adalah untuk menstimulasi ‘kesadaran kritis’ dan mengajarkan peserta didik menemukan kebenaran bagi dirinya sendiri. Kemudian Chomsky berpendapat bahwa hakikat pendidikan mestinya adalah bukan untuk menanamkan kepatuhan, melainkan untuk mendidik manusia dalam kemerdekaan, kesetaraan kebersamaan dan kerjasama, agar dapat tercapai tujuan-tujuan bersama yang telah disepakati secara demokratis. Dengan mengutip ungkapan indah Bertrand Russell, Chomsky mengatakan bahwa tujuan pendidikan yang sejati mestinya adalah: ‘Untuk memahami nilai-nilai selain dari dominasi, untuk menciptakan warga-negara-warga negara dari suatu komunitas yang merdeka, untuk mendorong terciptanya suatu kombinasi antara kewarganegaraan yang bebas dan kreativitas individual’ (B. Russell).

Ada dua hal yang terjadi akibat dari pengingkaran atas pendidikan yang demokratik dan setara. Pertama, kalangan kelas menengah dan terdidik tidak membiasan dirinya dengan model pendidikan kritis yang berupaya membongkar segala macam kekuasaan dan hegemoni. Dengan bertumpu pada kemampuan tehnik, maka model pendidikan tak diajarkan untuk membangun kesadaran kritis, membingkar kekuasaan dan membangun kemanusiaan. Kedua, dan sebagai akibat sampingannya, institusi negara menjelmakan dirinya sebagai sebuah negara imperialis utama yang berhak untuk mendikte, mendisiplinkan dan ‘memperadabkan negara lain dan warga negara. Model pendidikan doktriner yang bersenyawa dengan politik aristokratik pada dasarnya telah memiliki

148 Noam Chomsky pada awalnya menjelaskan kondisi pendidikan di Amerika Serikat yang

dianggapnya sebagai pendidikan doktiner dan tidak demokratis. Pemikiran Chomsky ini kemudian penulis disarikan dan diuraikan kembali dengan konteks yang lebih universal, termasuk kondisi pendidikan di Indonesia. Diadaptasi oleh penulis dari Noam Chomsky, op. cit., h. xvi-xix.

Page 229: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

229

preseden lama dalam sejarah negara. Gabungan dari pendidikan yang doktriner dan politik tiranik itu pada akhirnya menghasilkan suatu tipe kultur sosial dan politik yang terjinakkan. Hal inilah yang memungkinkan ketiadaan perlawanan dari kalangan terdidik, malahan tak mengherankan jika kalangan kelas terdidik itu justru berbondong-bondong mendukung resim kelas berkuasa yang secara rutin menyerukan demokrasi, hak asasi manusia, dan multilateralisme, dan bungkam seribu bahasa jika kelas berkuasa itu pula melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan demokrasi.

Diskursus Pendidikan dan Kekuasaan

Akar tradisi kehidupan bangsa Indonesia adalah negara maritim dan negara agraris. Karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat kaya sehingga banyak negara yang sudah maju berusaha untuk mengekspoitasi kekayaan. Kolonialiasme dan imperealisme dengan dalih akumulasi kapital telah membawa dampak keterbelakangan masyarakat Indonesia.

Setelah mengalami trauma yang berkepanjangan Indonesia berusaha bangkit merekonstruksi seluruh sistem tata negara dalam berbagai sektor. Yang menjadi persoalan kemudian adalah apakah masyarakat sipil dilibatkan menjadi penentu kebijakan. Sehingga formulasi kebijakan negara yang diimplementasikan dalam kehidupan publik merepresentasikan kepentingan komunitas sipil. Hal ini menjadi persoalan serius untuk diapresiasi karena seringkali watak hegemonik dan represif negara masih menjadi karakter.

Jelasnya bahwa masyarakat sipil yang selalu dijadikan objek pemerintah, masyakakat Indonesia tidak ditempatkan dalam diskursus liberal kebebasan—berkumpul, berpendapat, berorganisasi, berekspresi terutama pada rezim Orde Baru. Proses depolitisasi sebagai praktek hegemonik rezim yang berwatak otoritarian-birokratik telah efektif melemahkan kritisisme dan progressifitas masyarakat sipil. Govermentaly tidak memahami negara dan masyarakat sipil dalam pengertian oposisi biner, yang selalu bertentangan satu sama lain dan berusaha saling melemahkan pengaruh pihak lain.149

Rose dan Miller, dalam Political Power Beyond the State: Problematic of Government, menjelaskan makna kekuasaan, sebagaimana disitir oleh Simon Philpott:

Kekuasaan bukanlah persoalan menerangkan belenggu pada warga negara dengan tujuan ‘membuat’ mereka mampu mengemban bentuk kebebasan yang terkontrol. Otonomi personal bukanlah antitesis dari kekuasaan politik, melainkan merupakan istilah kunci dari praktik kekuasaan politik, karena sebagian besar individu hanya menjadi subyek kekuasaan tetapi juga berperan menjalankan operasi kekuasaan itu.150 Ketika praktik kekuasaan berimplikasi pada pendidikan maka akan

berdampak pada pemenfaatan intitusi pendidikan sebagai alat untuk melanggengkan status penguasa. Hal ini pernah terjadi ketika rezim Orde Baru

149 Simon Philpott, Meruntuhkan Indonesia, Politik Postkolonial dan Otoritarianisme,

(Yogyakarta: LKiS, Cet. I., 2003) h. 244. 150 Rose dan Miller, Political Power Beyond the State: Problematic of Government, dalam

Britis Journal of Sociology, Vol. 43, No. 2., Juni dalam Simon Philpott, Meruntuhkan Indonesia, Politik Postkolonial dan Otoritarianisme, (Yogyakarta: LKiS, Cet. I., 2003) h. 245.

Page 230: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

230

berkuasa. Maka ada empat persoalan yang muncul anatara lain; 1) domestifikasi dan stupidifikasi pendidikan, 2) Indoktrinasi, 3) demokrasi dalam pendidikan, 4) integrasi sosial.151

Selain telikungan kekuasaan negara pendidikan di Indonesia juga dihadapkan pada krisis multidimensi. Multi krisis yang ditandai dengan timbulnya konflik, ketegangan, dan aksi kekerasan antar kelompok sosial, etnis, suku dan agama dan antar partai politik seperti yang terjadi berbagai belahan nusantara telah membawa kerugian yang terhingga terhadap pendidikan nasional.152

Visi dan Orientasi Pendidikan Nasional153

Dieksplorasi secara kritis oleh Thomas Hidya Tjaya tentang visi dan orientasi pendidikan berkaitan dengan sejarah filsafat pendidikan, pertama-tama, pendidikan dengan gaya skolastik cenderung bersifat abstrak dan spekulatif, sedangkan pendidikan humanistik bersifat praktis. Kemudian, pendidikan skolastik berfokus pada pengejaran kebenaran obyektif, sedangkan pendidikan humanistik, dengan fokus pada bahasa dan retorika, pada akhirnya lebih berorientasi pada usaha untuk mengabdi masyarakat banyak. Dalam zaman Renaissance memang terdapat debat besar antara kedua gerakan dan kultur pendidikan ini yang, karena keterbatasan ruang, tentu saja tidak dapat dibahas di sini. Yang akan penulis lakukan adalah memberikan beberapa butir refleksi atas visi dan orientasi pendidikan mereka, yang kiranya dapat membantu kita memikirkan visi pendidikan di Indonesia.

Pertama, orientasi untuk mencari kebenaran. Keinginan untuk mendapatkan kebenaran, baik yang bersifat filosofis, saintifik, maupun religius, inilah yang mendorong para tokoh skolastik untuk mencari tahu dan mengumpulkan berbagai macam teks serta menyusun ensiklopedi. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa mencari kebenaran adalah tugas utama dan layak (proper) bagi seorang manusia. Di antara makhluk yang ada, hanya manusialah yang memiliki akal budi, yang memungkinkannya untuk berpikir, mendapatkan pengetahuan, dan menemukan kebenaran. Pendidikan merupakan sarana bagi manusia untuk mewariskan kebenaran yang sudah ditemukan dalam sejarah manusia kepada generasi berikutnya. Yang patut direfleksikan di sini adalah apakah seluruh sistem dan program pendidikan kita memang diarahkan kepada usaha pencarian kebenaran. Adalah tantangan besar bagi para pendidik untuk menanamkan dalam diri siswa keberanian untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran. Sangatlah berbahaya kalau sistem, program, dan orientasi pendidikan di negeri kita dikompromikan oleh motif-motif politik atau ekonomi. Yang terjadi adalah, seperti sudah banyak dikeluhkan, pembodohan masyarakat.

Kedua, kemandirian dan profesionalitas. Baik tradisi skolastisisme maupun humansime berakar pada teks. Dalam program pendidikan mereka, peserta didik diajar untuk menafsirkan dan memberi komentar. Yang ditekankan di sini, seperti pada seorang master, adalah kemandirian dan profesionalitas

151 H.A.R Tilaar, Kukuasaan dan Pendidikan, Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural,

(Magelang: Indonesiatera, Cet. I., 2003) h.90. 152 Darmaningtiyas, Pendidikan Pada dan Setelah Krisis, Evaluasi Pendidikan di Masa

Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I., 1999) h. 145-146. 153 Disarikan dari tulisan Thomas Hidya Tjaya, Mencari Orientasi Pendidikan; Sebuah

Perspektif Historis. Staf Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Dimuat dalam harian Kompas, Rabu, 04 Februari 2004

Page 231: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

231

dalam mengungkapkan pandangan pribadi. Metode pendidikan yang menekankan pada sekadar hafalan dan ketepatan menjawab sesuai dengan petunjuk jawaban yang ada jelas tidak mendukung pendidikan ke arah kemandirian. Cara semacam itu tidak merangsang siswa untuk berpikir sendiri dan tidak mempersiapkan mereka untuk membangun pendapat pribadi secara rasional dan bertanggung jawab. Bagaimanapun, pada akhirnya orang harus diajar untuk memberikan jawaban dan membuat keputusan sendiri, tidak melulu merujuk pada perintah dan petunjuk guru atau atasan.

Ketiga, pengabdian kepada publik. Para tokoh humanis yakin bahwa pendidikan pada akhirnya harus mengarahkan peserta didik pada pengabdian kepada masyarakat banyak. Alasannya adalah setiap manusia adalah makhluk sosial, yang secara hakiki terikat pada manusia lainnya; ia dilahirkan tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain juga. Menerapkan visi pendidikan yang demikian memang tidak mudah, terlebih ketika pendidikan ditempuh sekadar untuk mendapatkan gelar akademik dan dikejar supaya dapat membantu mendapatkan pekerjaan yang baik. Motif ekonomi pada peserta didik dalam mengejar pendidikan pada akhirnya hanya akan menyuburkan individualisme dalam masyarakat. Tantangannya di sini adalah menumbuhkan dalam diri siswa rasa keterikatan dengan negara dan masyarakat supaya selalu ada keinginan untuk memperbaiki situasi negara. Di tengah merosotnya nilai nasionalisme di negeri yang hampir masuk jurang karena korupsi ini, orientasi pelayanan kepada orang banyak patut mendapat perhatian serius.

Keempat, pendidikan hati. Berlainan dengan pendidikan skolastik yang cenderung menekankan pendidikan kognitif dan memuaskan rasa ingin tahu, pendidikan humanistik sangat memerhatikan pendidikan hati. Hal ini terlihat dalam penekanannya pada retorika sebagai sebuah metode untuk menggerakkan hati orang dan mengarahkannya pada tindakan positif. Dalam pendidikan humanistik peserta didik lebih banyak diajak untuk meningkatkan keterampilan dan mengungkapkan diri dalam bahasa dan seni. Visi pendidikan yang memadai, selain memuat dimensi kognitif, tentunya harus juga mencakup dimensi afektif dan psikomotorik agar ada keseimbangan. Keputusan yang kita buat pada akhirnya haruslah didasarkan pada pertimbangan hati dan tidak sekadar pertimbangan murni rasional belaka.

Kelima, tekanan pada dimensi moral. Pendidikan humanistik secara hakiki menekankan cara-cara untuk hidup dengan baik (bene vivere). Oleh karena itu, pendidikan moral memegang peranan penting. Bersama dengan metode retorika, metode pendidikan ini dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian peserta didik dan supaya mereka akhirnya sungguh mencintai keutamaan (virtue) dan membenci kejahatan (vice). Bagi para tokoh humanis, pendidikan mestinya membuat orang menjadi lebih bermoral dan bukan sekadar menjadi lebih pandai. Maka dalam kerangka pendidikan mereka, kasus STPDN yang menyangkut kekerasan dan penganiayaan terhadap sesama calon pemimpin rakyat merupakan hal yang sangat memalukan, terlebih karena mereka adalah calon-calon pengabdi rakyat yang semestinya memegang moralitas tinggi. Kegagalan mereka untuk menghormati hak dan martabat rekan-rekannya tentunya menimbulkan pertanyaan besar mengenai kepantasan mereka menjadi pemimpin rakyat.

Page 232: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

232

Habermas: Kririk Ideologi atas Kurikulum Emansipatoris Karya awal Habermas berada pada tradisi kritik Mahzab Frankfurt yang

didasarkan pada prinsip fundamental keadilan sosial, dukungan terhadap kesetaraan sosial, penciptaan dan pemeliharaan kepentingan umum, serta komitmen pada pencapaian masyarakat demokratis. Habermas mendefinisikan ideologi sebagai ‘penindasan terhadap kepentingan umum’ dimana sistem atau kelompok yang berkuasa beroperasi dengan cara-cara yang rasional yang lemah. Kririk ideologi merupakan kritik terhadap cara kerja kekuasaan dan dominasi cara kerja yang tidak sah dalam masyarakat kapitalis.

Teori kritik Habermas154 mengusulkan agenda pendidikan dan memiliki metodologinya sendiri terutama kritik ideologi dan riset aksi. Habermas berpendapat kritik ideologi dijalankan pada empat tahap; Pertama, deskripasi dan interpretasi situasi yang ada penyelidikan hermeneutik (menggunakan pendekatan vestehem dari paradigma interpretatif dari Max Weber). Kedua, penerapan nalar, kritik dengan melibatkan individu dan kelompok atas pandangan dan praktik mereka akibat distorsi ideologis. Ketiga, Penyusunan agenda untuk mengubah situasi-menuju masyarakat egaliter. Keempat, evaluasi terhadap pencapaian situasi baru dan egalitarian yang telah terwujud.

Tiga kepentingan pembentuk pengetahuan dapat menghasilkan tiga rancangan kurikuium; Pertama, pandangan rasionalis dan behaviorisj yaitu kurikulum sebagai produk, menunjukkan kepentingan teknis, sehingga menghasilkan kurikulum birokratis. Kedua, Pandangan humanistic, interpretative dan pragmatis, yaitu kurikulum sebagai praktik, pendekatan proses dengan hermenetik curriculum project untuk mewujudkan kepentingan hermenetik. Ketiga, pandangan eksistensial dan kritik ideoiogy, yaitu ‘kurikulum sebagai praksis’, mewujudkan kepentingan emansipatoris. Kepentingan emansipatoris rnempermasalahkan kurikulum melalui riset aksi. Kurikulum merupakan wiiayah pertarungan ideologi. Dari pemaparan tersebut jelaslah melacak epistemologi pendidikan menjadi diskursus penting dalam menggali dan merumuskan arah gerak perubahan kebijakan pendidikan yang berihak pada kaum lemah. Usaha strukturasi (struturation) yaitu penataan relasi-relasi sosial lintas ruang dan waktu harus menjadi agenda propaganda utama. Sebagaimana dikatakan oleh Anthony Gidden, maka sangat perlu perlu diciptakan kesadaran diskursif (discursive consciousness) yaitu ekspresi verbal oleh aktor-aktor perubahan pemikiran dari gerakan sosial atas tindakan individu dan masyarakat.

Hakikat Mengajar: Membiarkan Anak Belajar!

Belajar berarti membuat segala sesuatu yang kita jawab menjadi hakikat-hakikat yang menunjukkan dirinya sendiri pada kita setiap saat. Mengajar lebih sulit dari pada belajar, karena apa yang dituntut dari mengajar: membiarkan belajar! Belajar bagi sebagian anak di lembaga pendidikan adalah aktivitas yang membosankan dan menyebalkan. Alasannya bisa karena cara mengajar yang monoton, tidak ada metodologi yang variatif, didominasi peran guru yang selalu ceramah, atau guru yang selalu marah bila si anak bermain sendiri. Pengalaman penulis saat mengajar, baik itu anak didik tingkat menengah ataupun mahasiswa, mereka butuh ruang ekspresi, berpendapat dan mengkritik pada saat proses belajar. Kenyataan ini membuktikan bahwa pada hakikatnya anak didik dan

154 Palmer, Joy A., 50 Pemikir Pendidikan (Yogyakarta: Jendela, Cet. I., 2003).

Page 233: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

233

realitas sosial juga menjadi sumber belajar. Maka, harus menjadi kesadaran bahwa guru bukan satu-satunya sumber pengetahuan.

Sejalan dengan testimoni Heidegger, ia melihat proses belajar sebagai masalah yang sangat mendesak dan bersifat pastisipatoris, yang memerlukan keterlibatan penuh pelajar (learner) dan tentunya bukan sesuatu yang dapat ditanamkan dari luar melalui proses yang sangat didaktis. Menurutnya, proses belajar juga tidak dilakukan dalam pengertian tercapainya sekumpulan tujuan proses belajar rinci yang sudah ditetapkan sebelumnya sebagaimana ditentukan dalam kurikulum nasional. Guru harus membiarkan anak didiknya belajar, bukan memaksakan proses itu kepadanya. Tindakan itu akan membuat proses belajar bersifat pasif, interpretasinya bisa jadi sangat jauh dari kebenaran. Jadi peran guru tidak lebih sebagai fasilitator atau teman belajar. Proses pendidikan saat ini tidak lebih dari memperoleh ketrampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan kapitalisme global, bukan mendapat pengetahuan yang murni untuk pengetahuan itu sendiri. Maka, kebaikan pendidikan (human proper) terutama berkenaan dengan nilai dan makna yang kita peroleh dari pendidikan, bagaimana anak didik merasakannya seharusnya mempengaruhi pandangan dan tindakan mereka. Serta konsepsi anak didik baik sebagai individu yang bertanggungjawab maupun sebagai anggota dalam lingkungan manusia (human condition). Konsepsi pendidikan semacam itulah yang disebut pendidikan yang transformatif. Yaitu, model pendidikan yang kooperatif terhadap segenap kemampuan anak untuk menuju proses berfikir yang lebih bebas dan kreatif. Model pendidikan ini menghargai potensi yang ada pada setiap individu. Artinya, potensi-potensi individu itu tidak dimatikan dengan berbagai bentuk penyeragaman dan sanksi-sanksi, tetapi biarkan tumbuh dan berkembang secara wajar dan manusiawi.

Pendidikan transformatif menjelaskan adanya relasi sosial yang timpang, menindas, mendominasi dan mengeksploitasi. Relasi-relasi tersebut harus diubah agar menjadi setara, saling menghargai dan memiliki kepekaan. Dalam pelaksanaannya, anak didik tidak dijejali kurikulum yang dipaket oleh pemerintah, tetapi anak didik diajak untuk memahami realitas hidupnya. Realitas itu kemudian menjadi sumber inspirasi dan kreatifitas anak didik dalam membangun visinya. Model pendidikan semacam ini tidak menjadikan anak didik menjadi bejana kosong yang harus terus diisi (bangking concept of education), seperti dikritik oleh Paulo Freire, melainkan mengajak anak didik secara kritis mempertanyakan realitas yang terjadi disekeliling mereka.

Agar kualitas proses belajar ini tercapai dibutuhkan suatu konsep guru-murid yang secara kualitatif berbeda dengan konsep yang sebagian besar masih dipakai sekarang ini. Alih-alih hubungan guru-murid dibayangkan sebagai wahana untuk menyampaikan (baca: memberikan) pengetahuan dan ketrampilan yang sudah ditentukan sebelumnya dimana guru ataupun murid dapat dianggap bertanggungjawab (accountable), hubungan itu harus menjadi ruang dialektika terbuka yang secara terus menerus dalam proses belajar. Peran guru hakikatnya adalah sebagai “peran yang secara empatik menantang” (emphatetic challenging), karena mensyaratkan guru untuk lebih reseptif, yaitu kepekaan guru untuk menerima ide-ide baru. Guru tersebut disyaratkan untuk menjalin hubungan yang simpatik dengan anak didik—namun bukan dengan cara menuruti kehendak dan dengan demikian mematikan hubungan ini—tetapi lebih memicu semangat dan menantang dalam pengertian apa yang harus ditawarkan

Page 234: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

234

mata pelajaran, apa “yang ada” (on the move) dalam mata pelajaran itu, dan apa yang mungkin menjadi persoalan penting bagi anak didik dalam hubungan ini.

Keterbukaan dan saling percaya merupakan karakter yang sangat menentukan, dimana guru menerima pemikiran atau menantang pemikiran anak didik dengan mendengarkan apa yang dipikirkan anak didik dalam belajar. Dengan proses belajar yang dialogis tentu tidak akan terjadi kekerasan dan pemaksaan kepada anak didik dalam belajar. Seperti refleksi kritis Neil, ia mengatakan; saya percaya bahwa memaksakan apapun dengan kekuasaan adalah salah. Seorang anak seharusnya tidak melakukan apapun sampai ia mampu berpendapat—pendapatnya sendiri—bahwa itulah yang harus dilakukan (A.S. Neil, Summerhill, 1968, hal 111).

Keterbukaan itu menyangkut terhadap segala aspek baru untuk memberikan peluang kepada anak didik dalam menumbuhkan sikap menghormati keberagaman (pluralitas), sebuah sikap yang menjadi dasar objektivitas anak didik dalam memahami pengetahuan. Fenomena pengembangan metodologi pembelajan saat ini sangat variatif, namun menurut hemat penulis metode-metode tersebut belumlah efektif untuk diaplikasikan dalam proses belajar. Karena keasikan belajar bagi anak tidak hanya ditentukan oleh metode dan fasilitas yang lengkap, tetapi juga kesempatan yang lebih banyak untuk bertanya dan mengkritik dalam upaya mengeksplorasi pengentahuan.

Kenyataan ini hendaknya memberikan kesadaran guru bahwa pendidikan bukan hanya menyampaikan nilai (transfer of value) atau menyampaikan pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi juga mampu menciptakan pengetahuan-pengetahuan baru dari realitas disekeliling anak didik dalam sebuah institusi sekolah.

Visi Pendidikan di Era Globalisasi

Dalam sebuah penelitiah ilmiah Human Recource Development in the Globalization Era, Vision, Mission, and Programs of Action for Education and Training Toward 2020 H.A.R Tilaar, menjelaskan tentang program aksi menyeluruh dalam menghadapi gelombang globalisasi. Empat kekuatan yang perlu dicermati pendidikan nasional; 1) kerjasama regional dan internasional, 2) demokrasi dan peningkatan kesadaran HAM serta pemberdayaan masyarakat (social empowerment), 3) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, 4) identitas bangsa dan internasionalisme.155

Orientasi kebijakan negara yang mengendepankan ideologi developmentalisme telah menyeret masyarakat ke jurang kemiskinan, betapa tidak infrastruktur yang dibangun tentu hanya diperuntukkan bagi mereka yang kaya. Jarak (detachment) kelas sosial si kaya dan si miskin semakin jelas terlihat dari akses masyarakat kecil terhadap perlindungan hukum. Produk hukum hanya untuk melindungan pada pemegang modal. Implikasi pada dunia pendidikan adalah bahwa sekolah juga dijadikan ajang bisnis. Pendidikan semakin mahal dengan dalih fasilitas tehnologi canggih yang butuh modal hanya sebagai servis pendidikan.

Perubahan paradigma pendidikan atas campur tangan negara dalam pendidikan dalam arus globalisasi dapat dianalisa sebagai berikut:

155 H.A.R Tilaar, Human Recource Development in the Globalization Era, Vision, Mission, and Programs of Action for Education and Training Toward 2020 Jakarta 1997, dalam H.A.R. Tilaar, op. cit., h.199.

Page 235: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

235

Diagram 1 Pola Perubahan Paradigma Pendidikan (H.A.R. Tilaar, 2003)156

Peran Negara Masa lalu Masa depan Pemerataan Berorientasi target Berorientasi kualitas Kualitas Dicapai melalui evaluasi

dan strandarisasi semu melalui ujian terpusat dan kurikulum baku yang bersifat nasional

Sebagai prioritas utama sesuai dengan kebutuhan daerah

Proses Tercapainya target kuatitatif

Tercapainya target kualitatif

Metodologi Indoktrinasi Dialogis Manajemen Negara dan birokrasinya

memegang pernan sentral Manajemen berpusat pada institusi sekolah

Supervisi Pelaku utama Pemerintah sebagai patner Perubahan sosial

Terarah dan opresif Demokratis dan berangkat dari arus bawah

Demokrasi Menekan kehidupan demokrasi yang terbatas pada prosedur

Perubahan tingkah laku demokrasi secara subtantif

Perkembangan sosial ekonomi masyarakat

Tidak menjadi bahan pertimbangan penyusunan kurikulum

Komponen pokok penyusunan kurikulum

Perkembangan nilai moral dan agama

Ditentukan oleh pemerintah pusat

Berakat dari budaya dan agama setempat

Nasionalisme Pemaksaan dari pemerintah dan bersifat formalistis mengabaikan identitas daerah

Pendekatan multikultural

Pendanaan Sebagai alat melestarikan kekuasaan pemerintah

Selektif sebagai pemersatu nasional pemeratan demi kualitas pendidikan

Pelaksanaan pendidikan dasar 9-12 tahun

Ditentukan secara terpusat Sesuai dengan kondisi sosial ekonomi daerah

Reparadigmatisasi Pendidikan di Era Global

Ignas Kleden memberikan analisa kritis bahwa pendidikan nasional. Pertama, harus menciptakan masyarakat yang mempunyai kemampuan berfikir logis dan bertindak logis. Kedua, pendidikan humaniora harus dibedakan dari ilmu-ilmu humaiora dalam pengertian epistemologis, sehingga pendidikan humaniora menekankan kualitas-kualitas manusiawi dari peserta didik. Ketiga,

156 Analisa ini diadaptasi dari H.A.R. Tilaar, Ibid., h.155-156.

Page 236: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

236

pendidikan bukan hanya menciptakan orang dengan keahlian, tetapi orang-orang dengan kemampuan belajar tinggi.157

Tanpa mengabaikan otoritas negara dan arus globalisasi yang terus menggerus kekuatan masyarakat sipil, sistem pendidikan Indonesia harus merobah fundamen paradigma pendidikan. Pertama, perlu penataan sistem pendidikan yang beradaptasi dengan kekuatan global. Kedua, penegakan supremasi hukum dan kedaulatan politik nasional demi menciptakan kondusifitas segala sektor kehidupan, demokrasi, agama, pendidikan, sosial, politik, ekonomi, budaya, hankam. Ketiga, paradigma pendidikan untuk semua kalangan—education for all—dan pendidikan sepanjang hidup—long life education—harus menjadi mainstream kebijakan pendidikan nasional.

Pendidikan Revolusioner: Melawan Kapitalisme

Pendidikan revolusioner harus dipandu oleh filosofi pendidikan revolusioner. Sasaran pendidikan harus mengenali dan mengakui keterkaitan timbal balik antara kehidupan sosial dengan pendidikan. Pendidikan revolusioner harus menyikapi perkembangan masyarakat kapitalis. Pendidikan harus memposisikan dirinya sebagai alat kritik egalitarian dan anti-otoritarian kontemporer terhadap perkembangan wacana pendidikan dan masyarakat. Zaman dimana sekolah murah tampaknya memang sudah usai. Bahkan keinginan untuk menjadi guru yang manusiawi kini menjadi suatu keinginan yang tidak realistis. Hanya beberapa gelintir sekolah yang memberikan imbalan ‘manusiawi’ pada profesi guru. Jika diusut lebih jauh, komersialisasi pendidikan bersinggungan erat dengan tatanan serta pergeseran formasi kelas sosial yang berlangsung saat ini; formasi sosial yang meluluhlantakkan struktur dan sistem sosial yang lama. Termasuk didalamnya adalah dunia pendidikan. Dunia pendidikan adalah lingkaran yang berisi aktor-aktor yang mengalami perubahan sosial besar. Dunia harus sujud sepenuhnya pada demokrasi liberal yang saat ini menguasai arena kehidupan sosial. Tatanan ekonomi global ini yang menyebabkan kapitalisasi pendidikan.

Mengenai kapitalisme, kritik Karl Marx terhadap kapitalisme tidak hanya ditujukan kepada distribusi kekayaan, tetapi kapitalisme dipandang melanggengkan buruh menjadi terpaksa, teralienasi dan tidak bermakna, sehingga transformasi manusia menjadi ‘sebuah barang aneh yang timpang’. Emansipasi keterasingan manusia dalam masyarakat kapitalisme adalah usaha bagaimana menemukan hakekat manusia yang terhegemoni ideologi kapitalisme yang mengeksploitasi hakekat dan mengasingkan manusia. Menurut Franz Magnis Suseno ciri masyarakat modern adalah (1) Masyarakat berdasar industrialisasi dan perubahan total gaya hidup, (2) lahirnya masyarakat infomasi yang tidak tergantung alam, (3) Terjadi pertarungan ideologi, politik, budaya dan ekonomi modernisasi atau globalisasi hakekatnya bukan hanya perubahan institusional-melainkan juga perubahan kesadaran manusia. Problem modernitas menimbulkan budaya materialisme, konsumerisme, kriminalitas, pelecehan seksual, permisif, hedonisme dan tindakan asusila lainnya. Globalisasi telah memunculkan-masyarakat mekanis-masyarakat global yang pluralistik dan kapitalistik.

157 Ignas Kleden, Masyarakat dan Negara, Sebuah Persoalan, (Magelang: Indonesiatera,

Cet, I., 2004) h. 150.

Page 237: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

237

Globalisasi dan modernisme mempunyai kaitan erat dengan kapitalisme pendidikan, dimana pendidikan dijadikan ajang akumulasi modal, dan menjadi ajang bisnis elit-elit pendidikan. Maka tidak heran kalau banyak muncul lembaga pendidikan yang berorientasi pasar (market oriented). Seiring berkembangnya pasar modal, maka semakin tinggi pula kebutuhan tenaga kerja. Dan yang paling efektif untuk menghasilkan tenaga kerja pasar adalah lembaga pendidikan. Pada titik inilah lembaga pendidikan telah kehilangan ruh dan mengalami disorientasi paradigmatik dimana pendidikan seharusnya berperan sebagai medan transormasi sosial bukan sebagai alat reproduksi sosial. Masyarakat pasar global dengan perangkat industri dan perdagangan bebas menantikan out put pendidikan yang sesuai dengan kompetensi dalam berbagai bidang kerja.

Tantangan ekonomi liberal telah berdampak pada; pertama, semua negara terpacu untuk membuka pasar dan mecabut semua subsidi yang memiliki tujuan perlindungan. Pasar yang dibuka ini diharapkan akan memacu suatu negara untuk berkompetisi secara terus menerus. Kedua, melakukan privatisasi terhadap sektor publik. Pemerintah mulai dilucuti agar tidak melakukan kontrol, tetapi membiarkan sektor swasta untuk mengambil alih. Keyakinan ketiga, bahwa sistem ekonomi liberal menempatkan Negara sebagai penjamin bagi kelangsungan sistem ekonomi pasar. Terobosan ini bermula pada pencopotan semua layanan publik, namun lama kelamaan menjadi upaya untuk melakukan kapitalisasi atas semua bentuk layanan publik. Termasuk dalam hal ini pendidikan yang dulunya berorientasi pada pencerahan sekarang berorientasi pasar.

Posisi pendidikan dalam masyarakat global seharusnya melakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology kearah tranformasi sosial. Dan tujuan pendidikan adalah menciptakan ‘manusia ideologis’ yaitu manusia yang mempunyai kesadaran kritis. Manusia saat ini telah diberangus oleh perkembangan teknologi yang menciptakan kesadaran semu. Manusia menjadi sangat tergantung terhadap kemudahan-kemudahan teknologi. Secara terus-menerus manusia menjadi budak kapitalisme. Masyarakat modern adalah masyarakat yang mekanis dan statis, dimana manusia telah manusia rakus mengkonsumsi produk-produk industri.

Epilog: Refleksi & Aksi Pendidikan Kritis

Melalui tulisan ini penulis sadar bahwa dunia pendidikan telah terlihat wajah buramnya. Pendidikan telah tercerabut dari makna filosofisnya. Guru kemudian menjadi sosok yang berwajah letih. Dan si murid menjadi makhluk yang antusias melakukan kekerasan, teralienasi dari fitrahnya. Mereka menjadi mangsa dunia industri dengan melahap semua produk yang disodorkan oleh iklan. Kompetisi dan globalisasi telah menciutkan dunia dari jangkaun manusia. Semua manusia modern saling berkopentjsj melakukan akumulasi modal. Maka tak heran sekolah ibarat perusahaan katering yang menyediakan layanan menu enak dan siap antar untuk memenuhi kebutuhan perut. Semua sekolah berlomba untuk memberikan fasilitas yang lengkap, karena sekolah harus beradabtasi dengan iklim global.

Maka sekarang sudah saatnya melakukan aktualisasi issu pendidikan sebagai alat perlawanan dan transformasi sosial termasuk bagaimana merealisasikan pendidikan murah untuk rakyat. Langkah alternatif gerakan sosial yang bisa dilakukan adalah pertama; mendorong kemandirian politik para pendidik. Artinya para pendidik harus tanggap secara kritis setiap kebijakan

Page 238: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

238

politik yang diambil oleh pemerintah yang berdampak pada sektor pendidikan. Kedua, membentuk organ independent yang mengusung issue-issue pendidikan. Dalam konteks ini sekolah bukan hanya sebagai tempat belajar tetapi juga berperan dalam kerja-kerja pengorganisasian. Ketiga, penentuan basis ideologi gerakan yang mengikat organ itu sendiri. Dalam konteks penguatan basis ideologi inilah serangkaian prinsip pedagogi yang demokratis, partisipatoris, anti diskriminasi pada semua struktur pendidikan. Keempat; menghadirkan sekolah alternatif yang memungkinkan proses idelogisasi untuk mengusung gerakan sosial. Konteks pengalaman politik inilah yang menjadikan sekolah sebagai kawah pendidikan bagi seorang aktivis sosial.

Sekolah seharusnya menjadi tempat mengenal realitas sosial. Realitas dalam konteks sosial adalah realitas yang harus selalu dipertanyakan. Realitas yang harus diubah dengan pikiran dan tindakan nyata. Pendidikan merupakan instrument yang laten untuk melawan sistem yang tidak adil dan menindas. Pendidikan harus dijadikan ruang mediasi transformasi sosial menuju formasi sosial yang menjamin tatanan sosial yang lebih adil. Maka, realitas sosial sesunggunya memerlukan perlawanan besar dan panjang.

Page 239: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

239

Hand-Out 09: IDEOLOGI GENDER, FEMINISME DAN PEMBANGUNAN

IDEOLOGI GENDER Prawacana

Konsep penting yang harus dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender (konstruksi sosial). Pemahaman terhadap perbedaan antara konsep seks dengan gender sangat diperlukan untuk melakukan analisis dan memahami persoalan-persoalan mengenai ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena adanya kaitan antara perbedaan gender (gender difference) dan ketidakadilan gender (gender inequlities) dengan struktur keadilan masyarakat seeara lebih luas.

Pemahaman alas konsep gender sangat diperlukan mengingat dari konsep ini telah melahirkan suatu analisis gender. Analisis gender juga ikut mempertajam analisis kritis yang sudah ada. Misalnya analisis kelas yang dikembangkan oleh Karl Marx ketika melakukan kritik terhadap sistem kapitalisme. Demikian halnya dengan analisis kritis lain seperti analisis hegemoni ideologi dan kultural yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, merupakan kritik terhadap kelas yang dianggap sangat sempit. Dalam bidang epistemologi dan riset misalnya analisis kritis (critical theory) dan penganut mazhab Frankfurt yang memuatkan perhatian kepada perkembangan akhir masyarakat kapitalisme dan dominasi epistemologi positivisme terutama kurang mendasar justru karena tidak ada pertanyaan tentang gender dalam kritiknya. Lahirnya epistemologi feminis dan riset feminis adalah penyempumaan dari kritis mazhab Frankfurt dengan adanya pertanyaan gender. Demikian pula analisis diskursus (discourse analysis) yang berangkat dari pemikiran Foucault dan Althusser yaitu merupakan kritik atas semangat reduksionisme dan anti pluralisme dari keseluruhan analisis di bawah pengaruh zaman modernisme.

Perbedaan anatomi biologis utara laki-laki dan perempuan cukup jelas, akan telapi efek yang timbul akibat perbedaan jenis kelamin inilah menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin seeara biologi (seks) melahirkan seperangkat konsep budaya. Interprelasi budaya lerhadap jenis kelamin inilah yang disebut gender. Sesugguhnya atribut dan beban gender tidak mesti ditentukan oleh analisis biologis. Jadi dapat dibedakan antara pemilikan penis dan vagina sebagai peristiwa sosial budaya dan pemilikan penis dan vagina sebagai peristiwa biologis. Yang pertama dapat disebut alat kelamin biologi (physical genital) dan yang kedua dapal disebut alat kelamin budaya (cultural genital). Secara biologis, alat kelamin adalah kontruksi biologis karena bagian anatomi tubuh seseorang, yang tidak langsung terkait dengan keadaan sosial budaya masyarakal (gender less). Akan tetapi seeara budaya, alat jenis kelamin menjadi faktor paling penting dalam melegitimasikan atribut gender Seseorang. Begitu atribut jenis kelamin kelihatan, maka pada saat itu kontruksi badaya mulai terbentuk. Atribut ini juga senantiasa digunakan untuk menentukan hubungan relasi gender, seperti pembagian fungsi, peran dan stalus dalam masyankat.

Aksesori yang membedakan antara bayi laki-Iaki dan perempuan adalah atribut gender (gender atribute). Jika atribut gender sudah jelas, misalnya seorang anak mempunyai penis, maka ia dikonsepsikan sebagai anak laki-laki. Ia diberikan pakaian dengan motif dan bentuk sebagaimana layaknya anak laki-laki

Page 240: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

240

lain. Jika mempunyai vagina, maka ia dikonsepsikan sebagai anak perempuan. Ia diberikan pakaian dengan motif dan bentuk sebagaimana layaknya anak perempuan lain. Kekhususan inilah yang melekat kepada diri anak tersebut yang kemudian disebut dengan identitas gender (gender identity). Begitu anak dilahirkan bukan saja dijemput dengan idenlitas budaya tetapi juga nilai budaya, antara laki-laki dan perempuan memiliki peran badaya yang berbeda dalam masyarakat. Perbedaan peran budaya ini ini biasanya diistilahkan dengan beban gender (gender Assignment). Pola pembenar beban gender dalam lintsan budaya masyarakal (cross cultural society) lebih banyak mengacu pada jenis kelamin (sex)

Di dalam suatu negara yang masyarakatnya kental dengan nilai-nilai budaya dan teratama nilai-nilai ajaran agama Islam, merupakan suatu konsekuensi logis, apabila nilai-nilai tersebut menjadi sumber dari pembuatan berbagai produk hukum atau peraturan perundang-undangan. Hal ini juga berlaku terhadap nilai pembagian peran aturan laki-laki dan perempuan (baca: suami dan istri). Di dalam hukum Indonesia, kita mengenal sebuah undang--undang yang sangat strategis mengantar masalah pembagian peran ini, yakni undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974, yang dalam pasalnya, antara lain pasal 31 dan 34 disebutkan, pria adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu ramah tangga. Selanjutnya, suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala kemampuannya, sementara istri wajib mengantar ramah tangga sebaik-baiknya. Jadi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya bisa ditinjau dari aspek sosial budaya, agama, polilik, hukum, dan aspek lain yang melingkupi sendi kehidupan manusia. Keberadaan budaya masyarakat inilah yang harus dinetralisisir dari segala bentuk kekerasan, sub-ordinasi dan marginalisasi terhadap hak asasi dan kehendak perempuan. Sehingga nantinya dalam proses transformasi sosial out-putnya akan terwujud masyarakat yang adi1 dan berperikemanusiaan.

Pengertian Gender Kata "Gender" berasal dari bahasa Inggris "gender" berarti "jenis

kelamin". Dalam Webter New World Dictionary, gender diartikan sebagai "perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku".

Di dalam Women Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membut pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Hilany M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex and Gender, an Introduction mengatakan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural ecpectations for women and men), Pendapat ini sejalan dengan pendapat umumnya kaum feminis seperli Linda L. Lindsey, yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-Iaki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (what A given society difines as masculine or feminine is a component of gender).

HT. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-Iaki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.

Page 241: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

241

Elaine Showalter mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstrukli sosial budaya. Ia menekankannya sebagai konsep analisis (an analytic concept) yang dapat digunakan untuk menunjukkan sesuatu.

Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita dengan ejaan "gender". Gender diartikan sebagai "interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian karya yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.

Dari berbagli definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentilikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis.

Konsep gender yakni suatu hal yang melekat pada kaum laki-laki alan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural sejarah perbedaan gender (gender difference) antara manum jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu, terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosia1iasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosil dan kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara.

Perbedaan Sex dan Gender

Gender secara umum digunakan unttuk mengidentikasi perbedaan laki--laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sedangkan sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis. Istilah sex berkonsentrasi pada aspek biologis seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormone dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sementara gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial budaya, psikologis dan aspek-aspek non biologis lainnya.

Secara fisik biologis, laki-laki dan perempuan tidak saja dibedakan oleh identitas jenis kelamin, bentuk dan anatomi biologi lainnya, melainkan juga komposisi kimia dalam tubuh. Perbedaan yang terakhir ini menimbulkan akibal-akibat fisik biologis seperti laki-laki yang mempunyai suara lebih besar, berkumis, berjenggot, pinggul lebih ramping dan dada yang datar. Sementara perempuan mempunyai suara lebih bening, buah dada menonjol, pinggul umumnya lebih besar dan organ reproduksi yang amat berbeda dengan laki-laki. Implikasi Perbedaan Biologis Terhadap Manusia

Anatomi biologis dan kompotisi kimia tubuh manusia memiliki beberapa keunggulan sebagaimana dapat dilihat dalam perilaku manusia. Potensi keunggulan ini menjadikan manusia sebagai penguasa di kaumi (khalifah fil Ard).

Perbedaan anatomi biologis dan komposisi kimia dalam tubuh oleh sejumlah ilmuwan dianggap berpengaruh pada perkembangan emosional dan kapasitas intelektual masing-masing urgen, misalnya, mengidentifikasi perbedaan emosional dan intelektual antara laki-laki dan perempuan yaitu:

Page 242: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

242

Laki-Iaki (Masculine) Perempuan (Feminine) Sangat agresif Tidak selalu agresif Obyektif Subyektif Lebih logis Kurang logis Kompetitif Kurang kompetitif Mendunia Konsentrasi dirumah

Kalangan feminis dan ilmuwan Marxis menolak anggapan diatas dan menyebutnya hanya sebagai bentuk stereotipe gender. Mereka membantah adanya skematisasi perilaku manusia berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Perbedaan anatomi tubuh dan genetika antara laki-laki dan perempuan didominisir dan dipolitisir terlalu jauh sehingga seolah-olah secara subtansial perempuan lebih rendah dari pada laki-laki.

Anggapan bahwa laki-laki 1ebih kuat, lebih cerdas, dan emosional, lebih stabil, sementara perempuan lemah, kurang cerdas dan emosinal, kurang stabil hanyalah stereotipe gender. Para feminis menunjuk beberapa faktor yang dianggap sebagai agen pemasyarakatan (“agent of civilization”) stereotip gender, antara lain penganut bahwa susana keluarga, kehidupan ekonomi dan susana sosial politik.

Namun yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender (gender inequelities) bagi kaum laki-laki terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan yakni: marginnalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau dalam pelabelan negatif kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.

Uraian berikut membahas secara lebih rinci masing-masing kelidakadilan gender (gender inequalities), sbb:

Gender dan Marginalisasi Perempuan

Proses marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan. sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya; penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi, namun adalah satu bentuk pemiskinan, disebabkan oleh gender. Ada beberapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme protes marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan gender tersebut. Dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.

Banyak studi telah dilakukan dalam rangka membahas program pembangunan pemerintah yang menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan. Misalnya program adanya pangan atau revolusi hijau (green revolution) secara otonomi telah menyingkirkan kaum perempuan dan pekerjaannya sehingga memiaskinkan mereka. Di Jawa misalnya, program revolusi hijau dengan memperkenatkan jenil padi unggul yang timbul lebih rendah, dan pendekatan panen dengan sistem tebang menggunakan bibit tidak lagi memungkinkan pemanenan menggunakan ani-ani padahal alat tersebut melekat dan digunakan oleh kaum perempuan. Akibatnya banyak kaum perempuan miskin di dan termarginalkan yakni semakin miskin dan tersingkir

Page 243: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

243

karena tidak mendapatkan pekerjaan disawah padi musim panen. Berarti program revolusi hijau dirancang tanpa mempertimbankan aspek gender.

Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, tetapi rugi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur atau bahkan bangsa. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat-istiadat maupun tafsir keagamaan misalnya banyak di antara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali. Sebagian tafsir keagamaan memberi hak waris setengah dari hak waris laki-laki terhadap kaum perempuan. Gender dan Subordinasi

Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.

Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu. Di Jawa, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan ke dapur juga. Bahkan pemerintah pernah memiliki peraturan bahwa jika suami akan pergi belajar (jauh dari keluarga), dia bisa mengambil keputusan sendiri. Sedangkan bagi istri yang hendak tugas belajar ke luar negeri harus seizin suami. Dalam rumah tangga, masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas, dan harus mengambil kepulusan untuk menyekolahkan anak-anaknya, maka anak-anak laki akan mendapatkan prioritas utama. Praktis/ perbuatan seperti itu sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil. Gender dan Stereotipe

Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya, stereotipe aelalu merugikan dan menimbulkan kelidakadilan. Stereotipe yang diberikan kepada suatu suku bangsa tertentu misalnya Yahudi di Barat, Cina dan Asia Tenggara, telah merugikan suku bangsa tersebut. Salah satu garis stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan yang bersumber dari penandaan (stereotipe) yang dilakukan pada mereka. Misalnya penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka tiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat berkecenderungan menyalahkan korbannya. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali bila pendidikan kaum perempuan dinomorduakan. Stereotipe terhadap kaum perempuan ini terjadi di mana-mana. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasan masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe tersebut.

Page 244: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

244

Gender dan Kekerasan Kekerasan (violence) adalah serangan atau invansi (assault) terhadap

fisik maupun integritas mental pslikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarya berawal dari berbagai sumber, namun jelas satu kekerasan terhadap satu jenis ke1amin tertentu yang disebabkan oleh bias gender ini. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related violence. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Banyak maestrim dan bentuk kejahatan yang bila dikategorikan sebagai kekerasan gender, di antaranya:

Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, terrnamk dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi di rumah tangga (domestic violence), termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (cild abuse). Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan. Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggerakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Kelima, kekerasan dalam bentuk propaganda pornografi adalah jenis kekerasan lain terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk jenis kekerasan non-fisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan obyek demikian juga dengan seseorang. Keenam, kekerasan dalam bentuk sterilisasi dalam Keluarga berencana (enforced sterilization). Keluarga berencana di banyak tempat temyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Ketujuh, adalah jenis kekerasan terselubung (molestion), yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dari berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan seperli ini sering terjadi di tempat pekerjaan ataupun di tempat umum, seperti dalam bus. Kedelapan, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan di masyarakat yakni yang dikenal dengan pelecehan seksual atau sexual and emotional harrasment.

Ada beberapa bentuk yang bisa dikategorikan pelecehan seksual, diantaranya adalah: Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar kepada seseorang dengan

cara dirasakan dengan sangat sensitif. Menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor. Menginterogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya

atau kehidupan pribadinya. Meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja

atau untuk mendapatkan promosi atau janji-janji lainnya. Menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau tanpa

seizin dari yang bersangkutan.

Page 245: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

245

Gender dan Beban Kerja (Double Burden) Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara

dan rajin serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan. Manifestasi ketidakadilan gender dalam bentuk margina1isasi ekonomi, subordinasi, kekerasan, stereotipe dan beban kerja tersebut terjadi di berbagai tingkatan. Pertama, manifestasi ketidakadilan gender tersebut teljadi di tingkat negara. Kedua, manifestasi ketidakadilan gender terjadi di tempat kerja, organisasi, maupun dunia pendidikan. Ketiga, manifestasi ketidakadilan gender juga terjadi pada adapt-istiadat, masyarakat di banyak kelompok etnik, dalam kultur suku-suku atau dalam tradisi keagamaan. Perpektif Teori Gender

Dalam studi gender dikenal beberapa teori yang cukup berpengaruh dalam menjelaskan latar belakang perbedaan dan persamaan peran gender laki-laki dan perempuan, antara lain sebagai berikut:

1. Teon Psikoanalisa/ Identifikasi

Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (18561939). Teori ini mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian seseorang tersusun atu tiga struktur. Pertama, id, sebagai pembawaan sifat-sifat fisik biologis seseorang sejak lahir, termasuk nafau seksual dan insting yang cenderung selalu agresif. Kedua, ego, bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan agresif dari id. Ego berusaha mengatur antara keinginan subyektif individual dan tuntutan obyektif realitas sosia. Ketiga, super ego, berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian, berupaya mewujudkan kesempurnaan hidup, lebih dari sekedar mencari kesenangan dan kepuasan.

2. Teori Funsionalis Struktural

Teori ini berangkat dariuumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut didalam masyarakat. Sebenamya teori struktura1is dan teori fangsionalis dibedakan oleh beberapa ah1i, seperti Hilany M. Lips dan SA. Shield. Teori strukturalis lebih condong ke persoalan sosiologis, sedangkan teori fungsionalis lebih condong ke persoalan psikoiogs. R. Dahrendolf, salah seorang pendukung teori ini, meringkaskan prinsip-prinsip teori ini: Suatu masyarakat adalah suatu kesatuan dari berbagai bagian. Sistem-sistem sosial senantiesa terpelihara karena mempunyai perangkat

mekanisme kontrol. Ada bagian-bagian yang tidak berfungsi tetapi bagian-bagian itu dapat

dipelihara dengan sendirinya atau hal itu melembaga dalam waktu yang cukup lama.

Perubahan terjadi secara berangsur-angsur. Integrasi sosial dicapai melalui persepakatan mayoritas anggota

masyarakat terhadap seperangkat nilai. Sistem nilai adalah bagian yang paling stabil di dalam suatu sistem masyarakat.

Page 246: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

246

3. Teori Konflik Dalam soal gender, teori konflik diidentikkan dengan teoti Marx karena

begitu kuat pengaruh Karl Marx di dalamnya. Teon ini berangkat dari usmsi bahwa dalam susunan di dalam suatu masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan. Siapa yang memiliki dan menguaai smber-sumber produksi dan distribusi merekalah yang memiliki peluang untuk memainkan peran utama di dalamnya.

Marx yang kemudian dilengkapi oleh Friedrich Engels mengemukakan satu gagasan menarik bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan, tidak disebabkan oleh perbedaan sosioiogis, tetapi merupakan bagian dari penindasan, dari kelas yang berkumpil dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga (family). Hubungan suami dan istri tidak ubahnya dengan hubungan proletar dan borjuis, hamba dan tuan, pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain, ketimpangan gender dalam masyarakat bukan karena faktor biologis atau pemberian Tuhan (divine creation), tetapi karena konstruksi masyarakat (social contribution).

4. Teori-teori Feminis

Pandangan feminis terhadap perbedaan peran gender laki-laki dan perempuan secara umum dapat dikategorikan kepada tiga kelompok sebagai berikut: a. Feminisme Liberal

Tokoh aliran ini antara lain Margaret Faller (1810-1850), Harrief Martineau (1802-1876), Anglina Grimke (1792-1873), dan Susan Anthony (1820-1906). Dasar pemikiran kelompok ini adalah semua manusia laki-laki dan perempuan, diterapkan seimbang dan serari dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. b. Feminisme Marxis-Solialis

Aliran ini mulai berkembang di Jerman dan Rusia dengan menampilkan beberapa tokohnya, seperti Clara Zefkir (1857-1933) dan Rosa Luxemburg (1871-1919). Berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin ini sesunggubnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam. c. Feminisme Radikal

AliIan ini mulai muncul di awal abad ke-19 dengan mengangkat isu besar, menggugat semua lembaga yang dianggap merugikan perempuan, karena term ini jelas-jelas menguntungkan laki-laki Lebih dari itu, di antara kaum feminis radikal ada yang lebih ekstrim, tidak hanya menuntut persamaan hak dengan laki-laki tetapi juga persamaan seksual, dalam arti kepuasan seksual juga diperoleh dari sesama perempuan sehingga mentolelir praktek lesbian. d. Teori Sosio-Biologis

Teori ini dikembangkan oleh Pierre Van Den Berghe, Lionel Tiger dan Robin Fox dan intinya bahwa semua pengaman peran jenis kelamin tercermin dari “biogram” dasar yang diwarnai manusia modern dari nenek moyang primat dan hominid mereka. Integritas keunggulan laki-Iaki tidak saja ditentukan oleh factor biologis tetapi juga elaborasi kebudayaan atau biogram manusia. Teori ini disebut “bio-sosial” karena melibatkan faktor biologis dan sosiaI dalam menjelaskan relasi gender.

Page 247: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

247

Kodrat Perempuan dalam Islam Kodrat berasaI dari bahasa Arab qadara/qadira,- yaqduru/ yaqdiru -

qudratan, Da1am kamus Munjid fi al-lughah Wal al-A'Iam, kata ini diartikan dengan qawiyyun 'ala as-syai (kuasa mengerjakan senatu), ja’alajhu 'ala miqdarih (membagi sesuatu menurut porsinya), atau qashshara (memendekkan/membatasi). Dari akar kata qadara/ qadira ini juga lahir kata taqdir (qaddra-yuqaddira - taqdir).

Bagaimana sesungguhnya pandangan Islam (a-Qur'an dan Hadits) dalam menempatkan perbedan jenis kelamin daIam konsep pranata sosial. Catatan sejarah tentang kedudukan dalam struktur sosial, khususnya masyarakat Arab pra-Islam sangat memprihatinkan. Perempuan dipandang tidak lebih dari "obyek", perlakuan seks kaum laki-Iaki dan dianggap sebagai beban dalam strata sosial. Itulah sebabnya, dalam budaya masyarakat Arab ketika itu bukan sesuatu yang naif untuk "menyingkirkan" perempuan dalam kehidupan dan pergaulan mereka. Tidak segan-segan mereka membunuh, bahkan mengubur anak perempuan mereka. AI-Qur'an sendiri secara langsung menyinggung hal ini dan menyindir mereka yang berpikiran picik yang menganggap anak, khususnya perempuan, hanya sebagai beban sosial dan ekonomi.

QS. Al-An'am (16): 151: … Dan janganlah kamu membubuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dam kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yag tampak diataranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membubuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahaminya”.

Islam mengakui adanya perbedaan (distintion) antara laki-Iaki dan perempuan, bukan pembedaan (discrimination). Perbedaan tersebut didasarkan atas kondisi fisik biologis perempuan yang ditakdirkan berbeda dengan laki-laki., namun perbedaan itu tidak dimaksudkan untuk memuliakan yang satu dan merendahkan yang lainnya.

Dalam Islam, kaum perempuan juga memperoleh berbagai hak sebagaimana halnya kawan laki-laki.

a. Hak-Hak Dalam Bidang Politik.

Tidak ditemukan ayat/hadits yang melarang kaum perempuan untuk akill dalam dunia polilik. Hal ini terdapat dalam QS. &I-Taubah (9): 71, QS. al-Mumtahanah (160): 12.

b. Hak-hak dalam Memilih Pekerjaan. Memilih pekerjaan bagi perempuan juga tak ada larangan baik itu di dalam atau di luar rumah, baik secara mandiri atau secara kolektif, baik di lembaga pemerintah atau swasta. Selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan dan tetap memelihara agamanya, serta tetap menghindari dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.

c. Hak memperoleh pekerjaan. Kalimat pertama yang diturunkan daIam Al-Qur'an adalah kalimat perintah, yaitu perintah untuk membaca (iqra'). Perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan tidak hanya bagi kaum laki-Iaki lelapi juga perempuan "menuntut ilmu pengetahuan difardlukan kepada kaum Muslim laki-Iaki dan perempuan".

Page 248: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

248

FEMINISME Sejarah Gelombang Pertama

Feminisme158 sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.

Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, The Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama. Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.

Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!´

Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.

158 Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.

Page 249: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

249

Gelombang Kedua Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya

negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan.

Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.

Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga. Meliputi Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras dan budaya. Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme. Mohanty membongkar beberapa peneliti feminis barat yang menjebak perempuan sebagai obyek. Dan Bell Hooks mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitan anglo-white-american-feminism karena tidak mampu mengakomodir kehadiran black-female dalam kelahirannya.

Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks "all women". Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai Subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih. Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu.

Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial.

Perkembangan di Amerika Serikat

Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih

Page 250: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

250

setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang

Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.

Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia. Pada 1975, "Gender, development, dan equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan jender atau gender mainstreaming melanda dunia.

Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif. Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).

Page 251: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

251

Aliran Feminisme 1. Feminisme liberal

Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.

Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki. Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.

Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

2. Feminisme Radikal

Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".

Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau

Page 252: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

252

pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). 3. Feminisme Post-modern

Ide Posmo-menurut anggapan mereka-ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

4. Feminisme anarkis

Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.

5. Feminisme Marxis

Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.

6. Feminisme sosialis

Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah

Page 253: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

253

peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

7. Feminisme postkolonial

Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.” TEORI-TEORI FEMINIS TENTANG PEMBANGUNAN Prawacana

Banyak isu yang diangkat oleh para teoretikus Marxis dan Poststrukturalis, dengan tema seperti kemajuan, modernitas, pembangunan, dan pencerahan, bersamaan dengan isu-isu lainnya seperti relasi-relasi gender, telah juga diangkat oleh para feminis. Pada gelombang pertama aktivisme dan politik feminis, sebagai sebuah gerakan terorganisir yang dimulai pada paruh akhir abad ke-19, pengecualian perempuan dari hak pilih mengungkapkan alam modern dan alam demokrasi politik yang parsial dan bias. Pada gelombang kedua aktivisme dan teori feminis, sepanjang tahun 1960-an, kapitalisme ditentang sebagai sesuatu hal yang bias, diskriminatif, dan tidak jujur. Gelombang ketiga, yang dimulai pada tahuan 1990-an sering diasosiasikan sebagai pintu masuk dari ide-ide post-struktural dan posmodern, sebagai feminisme yang lebih berbeda. Sepanjang gelombang-gelombang kedua dan ketiga, ketertarikan para feminis pada isu ketidaksetaraan, kemiskinan, dan relasi-relasi gender memproduksi tubuh yang signifikan terhadap ide-ide kritis mengenai pembangunan, dan isu-isu yang diangkat oleh para feminis secara secara signifikan berdampak pada agensi-agensi internasional yang mengurusi masalah-masalah pembangunan–menuju pada hal yang lebih luas bahwa teori feminis tentang pembangunan sekarang membentuk sistem konsep-konsep, wacana-wacana, dan praktik-praktik yang diakui.

Politik Feminis Tentang Pembangunan

Praktik feminis kontemporer diantara para aktivis dan akademisi telah secara partikular dipengaruhi oleh debat-debat yang dimulai oleh perempuan kulit berwarna dunia pertama dan perempuan ketiga mulai pada akhir tahun 1970-an. Sebagai pernyataan awal dari perkumpulan Combahee River (1984) mempertanyakan ide atau gagasan tentang identitas perempuan pada umumnya sebagai sebuah basis strategi politik. Para penyair dan pengarang, terutama Bell Hooks dan Audre Lordre, mengkritisi gerakan perempuan karena

Page 254: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

254

mengesampingkan (isu-isu tentang) perbedaan seksual, rasial, dan kelas. Karya-karya Chandra Mohanty (1991a, 1991b) dan Adrianne Rich (1986) menandai suatu gerak dari politik feminis dengan identitas umum-semisal lingkaran persaudaraan, dengan asumsi-asumsinya tentang opresi terstruktur terhadap semua perempuan–kepada lokasi politik feminis, yang menteoretisasi bahwa para perempuan adalah subjek bagi sekumpulan opresi tertentu dan kemudian bahwa seluruh perempuan muncul dengan identitas partikular daripada identitas generik. Gerakan-gerakan perempuan menjadi terikat melalui jaringan-jaringan menuju sesuatu yang erat kaitannya dengan praktik politik pada umumnya, tapi tidak lebih lama dipersatukan oleh suatu kepercayaan dalam karakteristik-karakteristik universal atau dipimpin oleh perempuan Barat yang progresif dalam gerak menuju pada emansipasi global. Secara khusus, Lorde, Mohanty, dan lainnya menyebut hal tersebut sebagai pergantian dramatis dalam praktik politik kolektif dan dalam pendirian para perempuan di Dunia Ketiga.

PBB selama sepuluh tahun kemajuan perempuan (1975-1985) memacu pertumbuhan kelompok-kelompok feminis secara mendunia (E. Friedman 1995; Miles 1996). Sebagai hasil dari tekanan dari gerakan feminis, secara virtual setiap organisasi pembangunan membangun beberapa proyek dan program untuk meningkatkan posisi perempuan dalam lingkup ekonomi dan sosial. Asumsi yang hampir menyeluruh dibelakang proyek-proyek ini adalah bahwa permasalahan perempuan bersumber pada terbatasnya ruang partisipasi (perempuan) dimana sebaliknya disana proses pertumbuhan ekonomi cenderung membaik. Ide liberal yang progressive adalah meningkatkan partisipasi perempuan dan juga meningkatkan pembagian dan akses mereka terhadap sumberdaya, kesempatan kerja, dan pendapatan dalam rangka memberikan efek dramatis terhadap perbaikan kondisi hidup mereka. Pada akir tahun 1970-an, beberapa studi mendokumentasikan fakta-fakta tentang kehidupan-kehidupan perempuan, seperti jumlah buruh perempuan yang tak diupah sebagaimana mestinya, semantara pada waktu yang sama, studi kualitatif in-depth melihat peranan perempuan pada komunitas-komunitas lokal. Sebagai hasilnya, rangkuman berikut yang disusun oleh PBB adalah:

Perempuan adalah setengah dari populasi penduduk dunia Melakukan dua pertiga dari jam-jam kerja diseluruh dunia Mendapatkan sepersepuluh pemasukan (income) di dunia Memiliki hanya seperseratus properti di dunia

Namun, sepanjang PBB mengumungkan kepada para perempuan akan

posisi mereka yang sebenarnya tambah parah, dalam hal penurunan akses terhadap sumber daya, nutrisi, dan pendidikan, dan dalam hal beban kerja yang semakin meningkat. Kegagalan ini mendramatisasi batasan kemanjuran dari pendekatan integrasionis, dan meradikalisasi studi tentang perempuan dan (and) pembangunan (Sen dan Grown 1987). Pada konferensi internasional tahunan perempuan yang diadakan di Meksiko 1975, dan di konferensi perempuan pertengahan dekade yang diadakan di Kopenhagen 1980, perdebatan panas memuncak seputar isu-isu yang relevan mengenai teori-teori feminis. Pada konferensi perempuan dan (and) pembangunan yang diadakan di Nairobi pada 1985, para perempuan Dunia Ketiga, sebagai mayoritas peserta, mendefinisikan isu-isu pokok, sementara hampir semua yang diorganisasikan dan didiskusikan hanya berkutat pada pertemuan-pertemuan alternatif selain program resmi PBB. Forum alternatif Nairobi menarik minat para perempuan untuk mendiskusikan

Page 255: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

255

kondisi-kondisi perempuan; tema utama dialamatkan pada kekerasan bias gender, pengesampigan perempuan dari kontrol terhadap sumber daya-sumber daya vita, feminisasi kemiskinan, dan keinginan untuk pendekatan-pendekatan radikal yang mempertanyakan struktur-struktur yang ada dalam masyarakat. Feminisme bergeser dari yang umumnya kepentingan para perempuan Eropa untuk suatu gerakan yag heterogen, menuju pada definisi yang lebih meluas merefleksikan keterlibatan yang lebih baik melalui organisasi-organisasi regional di negara-negara dunia ketiga.

Pada permulaan tahun 1980-an perempuan Dunia Ketiga mengemukakan teori-teori baru pembangunan yang merangkul feminisme, sementara konferensi-konferensi perempuan tentang pemberdayaan perempuan sebagai agen-agen, daripada melihat mereka sebagai masalah-masalah, dari pembangunan (Bunch dan Carillo 1990). Sebuah kejadian kunci adalah pendanaan DAWN (Development Alternatives with Women for a New Era) di Bangladore, India, pada 1984. Pengalaman-pengalaman organisasi akar rumput yang dipimpin oleh para pediri organisasi ini untuk menghubungkan aktivitas-aktivitas mikrolevel kepada perspektif-perspektif makrolevel atas pembangunan:

Pengalaman-pengalaman yang dirasakan setiap hari oleh para perempuan miskin Dunia Ketiga dalam perjuangan mereka untuk meyakinkan kelangsungan hidup secara mendasar bagi keluarga-keluarga mereka dan diri mereka sendiri...menyediakan lensa terjelas untuk memahami proses-proses pembangunan. Dan ini adalah aspirasi merka dan perjuagan-perjuagan untuk masa depan yang bebas dari opresi-opresi ganda dari gender, ras, dan nasion yang dapat membentuk basis bagi visi-visi dan strategi-strategi baru yang dunia inginkan (Sen dan Grown 1987: 9-10). Berdasarkan riset dan debat yang intensif, DAWN memproduksi kerja

sebagai strategi-strategi pembagnuan alternatif yang sangat mempengaruhi riset dan aktivisme di lapangan. Pada dasrnya, kelompok tersebut berargumentasi bahwa pendekatan-pendekatan alternatif jangka pendek untuk meningkatkan kesempatan kerja perempuan tidak efektif kecuali jika mereka dikombinasikan dengan strategi-strategi jangka panjang untuk mendirikan kembali kontrol penduduk (terutama perempuan) terhadap keputusan-keputusan ekonomid yang membentuk kehidupan mereka: “suara perempuan harus memasuki definisi pembangunan dan membuat pilihan-pilihan kebijakan” (Sen dan Grown 1987: 82). Kecenderungan sejak kemudian telah harus untuk menguatkan suara-suara Dunia Ketiga dan untu mempromosikan “pendekatan pemberdayaan” untuk pembangunan perempuan. Pada konferensi perempuan dunia keempat tahun 1995 di Beijing, Platform Aksi adalah tentang hak-hak perempuan: hak-hak pendidikan, makanan, kesehatan, kekuatan politis yang lebih baik, dan bebas dari kekerasan (Bunch, et al. 1995).

Para perempuan di Dunia Ketiga telah mengorganisir diri untuk menghindari ancaman-ancaman dalam bidang ekonomi, lingkungan, hukum, budaya dan fisik, dan juga menentang bentuk-bentuk kediktatoran, militerisme, fundamentalisme, ketergantungan ekonomi, dan kekerasan terhdap perempuan. Gerakan-gerakan perempuan tidak secara penting diorganisir kedalam agenda-agenda feminis, tapi mereka benar-benar mempromosikan perspektif-perspektif perempuan: semisal, masuknya gerakan Chipko didaerah-daerah Himalaya, Gerakan Sabuk Hijau di Kenya, asosiasi Pekerja Perempuan Swamandiri di

Page 256: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

256

India, Pergerakan Para Ibu Hilang di Amerika (Miles 1996: 86). Terus meningkat, beberapa kelompok mengusulkan feminisme-feminisme kultural tertentu sebagai basis-basis politik mereka. Namun, feminis-feminis dunia meneruskan kesatuan isu-isu seputar keadilan ekonomi, hak-hak manusia, dan degradasi lingkungan, ide tentang kesatuan melalui diversitas.

Feminisme Sosialis

Telah sejak lama bahwa ada garis lurus antara feminisme dan sosialisme. Namun banyak perspektif-perspektif feminis sayap kiri justruk dimulai dengan memberikan kritik terhadap Marxisme. Feminis-feminis sosialis menyerang defisiensi-defisiensi dalam Marxisme klasik – yaitu analisisnya yang mengabaikan aktivitas-aktivitas dan relasi-relasi fundamental mengenai eksistensi perempuan – namun banyak juga yang melanjutkan mengagumi bentuk pemahaman materialisme historis dan apa yang di janjikan dalam misi pembebasan Marxisme. Feminis-feminis Sosialis scara khusus telah mengkritik penekanan Marxisme klasik atas ekonomi dan kebungkaman relatif mereka dalam menyuarakan perempuan (mitchell 1966). Teoretikus feminis awal, Heide Hartman (1984), berpendapat bahwa categori-categori analitis Marxisme “buta-sex,” dimana penyebab-penyebab ketidaksetaraan gender (dominasi laki-laki terhadap perempuan) luput dari perhatian sepanjang analisis Marxisme struktural terhadap ketidaksetaraan kelas (dominasi kelas yang berkuasa terhadap para pekerja). Dia menginginkan analisis khusus dari seorang feminis untuk membongkar karakter sistematis ketidakstaraan gender. Dia juga mengkritisi analisis feminis pada umumnya yang kurang materialis dan historis. Namun analisis Marxis, terutama identifikasi patriarki sebagai suatu struktur sosial dan historis, harus dihapuskan jika kita ingin mengerti bagaimana perkembangan masyarakat kapitalis barat dan keadaan sulit perempuan didalamnya” (Hartmenn 1984: 3).

Perhatian utama feminisme sosialis telas melibatkan penteorisasian kembali signifikansi kerja wanita. Juliet Mitchell (1966), dan Universitas Cambridge, membedakan antara beberapa struktur yang mengafeksi kondisi perempuan − produksi, reproduksi, sosialisasi, dan seksualitas−dengan ruang-ruang kerja wanita, dimana yang pertama adalah ruang ekonomi nondomestik, dan kedua adalah perannya sebagai Istri dan sekaligus Ibu. Masing-masing memiliki kontrdiksi-kontradiksi dan dinamika yang berbeda, tapi kesemuanya membntuk kesatuan dalam pengalaman perempuan, dalam gambaran-gambaran keluarga secara seksual, reproduktif, dan mensosialisasikan fungsi-fungsi dominan. Kerja domestik prempuan dirumah dan keluarga membuat relasi yang berbeda terhadap alat-alat produksi yang dimiliki oleh laki-laki. Aktivitas-aktivitas ini, perawatan dan reproduksi merupakan beban tambahan (berlawanan) dalam relasi produksi. Mariarosa Dalla Costa (1973) menekankan kualitas hidup dan relasi-relasi dalam kerja domestik sebagai pendeterminasian tempat perempuan dalam masyarakat tidak peduli dalam lingkungan tempat atau kelas. Para isteri adalah para pekerja yang tereksploitasi, dimana surplus digunakan secara tidak langsung oleh para suami sebagai instrumen opresi. Dibawah kapitalisme, Dalla Costa berpendapat, para perempuan menjadi budak dari budak upahan.

Dalam feminisme sosialis, sebagaimana debandingkan dengan Marxisme, penekanannya ditempatkan pada pembagian kerja secara seksual atau tipe-tipe praksis seksual yang berbeda (diinterpretasikan secara luas) sebagai basis-basis perbedaan-perbedaan fisik dan psikologis antara laki-laki dan perempuan. Para

Page 257: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

257

perempuan dilihat sebagaimana terkonstitusikan oleh relasi-relasi sosial yang mereka jalani dan tipe-tipe kerja yang mereka lakukan. Dimulai dengan gagasan Marxis terhadap produksi untuk pemuasan kebutuhan-kebutuhan, feminisme sosialis berpendapat bahwa kebutuhan mengasuh dan membesarkan anak adalah sama pentingnya dengan kebutuhan-kebutuhan material (makanan dan tempat tinggal). Jadi, demikian juga halnya dengan kebutuhan pemuasan hasrat seksual dan pemeliharaan emosional. Semua kebutuhan ini menginginkan adanya (biasanya perempuan) pekerja. Perjuangan gender terhadap aktivitas reproduktif sangat fundamental, namun sering diabaikan oleh teori Marxis tradisional. Teori-teori feminis sosialis mengelaborasi beberapa implikasi posisi mendasar ini. Nancy Chodorow (1978), seorang sosiolog Universitas Barkeley di California, berpendapat bahwa maskulinitas dan feminitas dikonstruksikan dalam keluarga, terutama dalam hubungan antara anak-anak dan Ibunya. Anak-anak laki-laki tumbuh dan mendapatkan orientasi kelelakian mereka ketika mulai diadaptasikan kepada kerja didalam atau diluar rumah; anak-anak perempuan tumbuh menjadi perempuan dewasa dengan cara diadaptasikan kepada kerja emosional didalam atau diluar rumah. Relasi-relasi antara ekonomi, prokreasi, dan dominasi laki-laki dikonseptualisasikan oleh Ann Ferguson and Nacy Forlbre sebagai “produksi seks-affektif,” serangkaian aktivitas spesifik dan historis yang membatasi opsi-opsi dan renumerasi perempuan. Para feminis sosialis pada umumnya menteorisasikan aktivitas-aktivitas prokreatif dan produksi ruang publik sebagai interdependen mutual, yang mana tidak ada salah satu yang saling mendeterminasi satu sama lain, daripada yang publik mendeterminasi yang privat. Distingsi publik/privat, pemikiran para femnis sosialis, merasionalisasikan eksploitasi para perempuan. Pada umumnya ide bahwa para perempuan melakukan kerja yang tidak dibayar dalam mereproduksi kekuatan kerja sebagai suatu bentuk subsidi kapital, sama baiknya dengan kerja langsung untuk kapital sebagai buruh-buruh pabrik atau penghasil-[enghasil komonitas. Kemudian para perempuan sangat dieksploitasi oleh kelas pekerja.

Dua kecenderungan muncul dari pernyataan-pernyataan kritis seperti ini. Pertama, ada beberapa yang berharap untuk mengembangkan ide-ide Marxian sebagai arahan dalam memikirkan (kondisi) para perempuan (Vogel 1983). Pernyataan Hartmann bahwa Marx dan Engels sevara analitis buta-seks hanya sepertiganya saja yang benar: Engels telah mengusahakan satu matanya setengah terbuka. Dalam pernyataan umumnya yang sama seperti yang dikutip sebelumnya (dalam Bab 4), Engels berkata:

Menurut konspsi materialistik, faktor yang menentukan dalam sejarah adalah, dalam contoh final, produksi dan reproduksi kehidupan secara tidak langsung. Ini, sekali lagi, adalah suatu karakter yang berlipat ganda: pada satu sisi, produksi alat-alat (means) eksistensi, untuk makanan, pakaian, dan tempat tinggal dan perkakas (tools) penting untuk produksi tersebut; pada sisi lainnya, produksi umat manusia itu sendiri, perkembangbiakan spesies. Organisasi sosial dimana orang-orang pada epos partikular historis dan kehidupan partikular pedesaan ditentukan oleh kedua produksi tersebut: melalui panggung perkembangan kerja pada satu sisi dan keluarga pada sisi yang lain (1972 ed: 71-72).

Page 258: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

258

Engels berpendapat bahwa perkembangan produksi diasosiasikan dengan peningkatan properti swasta, pertukaran, perbedaan-perbedaan kekayaan, antagonisme kelas, dan relasi-relasi seksual; posisi perempuan secara secara relatif bagi laki-laki yang diperburuk dengan datangnya masyarakat kelas. Dalam sebuah elaborasi yang signifikan terhadap wawasan ini, dua antropolog Mona Etienne dan Eleanor Leacock (1981) memperdebatkan kepentingan primer dari relasi-relasi sosial untuk memahami ketidaksetaraan seksual dan sosio-ekonimik dan hirarki-hirarki. Dalam pendapat merek, asal-usul semua ketidak setaraan ini tak dapat dipungkiri lagi terikat satu sama lain. Mereka mengembangkan suatu kerangka kerja historis untuk mempertimbangkan relasi-relasi sosio-ekonomik dan hirarki-hirarki seksual dengan mendefinisikan tipe-tipe relasi produksi:

1. Relasi-relasi egeliterian diantara hamir semua pemburu-peramau dan banyak masyarakat holtikultural, sebagai bagian yang mana wanita memiliki otonomi, peran-peran ekonomik yang berama, dan kekuatan untuk mengambil keputusan.

2. Ketidaksetaraan dalam masarakat tribal berpangkat (ranking) yang diatributkan berdasarkan pertumbuhan perdagangan, spesialisasi, dan reorganisasi relasi-relasi produksi. Secara partikular, suatu sektor publik ekonomi yang menaruh perhatian pada produksi untuk akumulasi dan perdagangan dibedakan dari rumah tangga privat atau sektor garis keturunan yang menyangkut produksi untuk subsistensi dan pembagian. Tanggung jawan para laki-laki dalam berburu dan perang sering menggiring nya secara lagsung kedalam perdagangan dan relasi-relasi politis eksternal, dan perkembangan ruang publik ini mendesak posisi wanita.

3. Relasi-relasi yang terstratifikasi dalam masyarakat-masyarakat pra-industrial diman rumah tangga partriarkis menjadi unit independen, dan kerja perempuan selanjutnya diprivatisasi.

4. Pengeksploitasian dalam masyarakat kapitalis industrial dimana penaklukkan oran-orang pada umumnya dipararelkan dengan penaklukkan perempuan secara spesial (Etienne dan Leacock 1980: 8-16).

Poin pertama analisis historis ini tidak sedang memformulasikan detail-

detail ketidaksetaraan gender, tapi melihat mata rantai hubungan mode-mode produksi dengan bentuk-bentuk sosial relasi-relasi gender. Tidak hanya memulai untuk menteorisasikan transisi dari relasi-relasi egaliter awal ke dominasi laki-laki belakangan, pemaparan diatas menghilangkan mitos bahwa peremapuan telah (secara natural) selalu menjadi subordinat dari laki-laki.

Kedua, bagaimanapun juga, beberapa feminis memiliki masalah dengan ragam kerja karena kelihatannya, menurut mereka, analisis Marxis tradisional terlalu sederhana dalam memformulasikan teori, mengabaikan beban ganda dan keletihan perempuan selama ini. Alih-alih, beberapa fefeminis Marxis memproklamirkan bahwa sangat penting untuk melakukan analisis kategori-kategori baru untuk “partriarki.” Kemudian, Hartmann (1984: 14) mendefinisikan partriarki sebagai “seperangkat relasi-relasi antara laki-laki, yang memiliki basis material, dan yang, secara hirarkis, memapankan atau menciptakan interdependensi dan solidaritas diantara para laki-laki sehingga membuat mereka dapat mendominasi perempuan.” Basis material partriarki menjadi dasar kontrol

Page 259: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

259

laki-laki atas kekuatan kerja perempuan. Kontrol ini dipelihara dengan mengeksklusikan permpuan dari akses terhadap sumber-sumber daya produktif yang esensial. Disini potensial analitis terletak pada penghubungan institusi-institusi sosial yang mengkoersi dan melegitimasi relasi-relasi kekuatan yang tidak setara dengan proses-proses personal psikologi dan kesadaran melalui mana orang-orang, terutama perempuan, menerima dan merasionalisasikan posisi-posisi mereka dalam masyarakat.

Kemajuan-kemajuan signifikan kemudian dibuat oleh para feminis dalam memperluas konsepsi Marxian terhadap reproduksi material kehidupan. Teori-teori feminis sosialis tentang pembangunan memberi penekanan pada produksi dan reproduksi sebagai aspek-aspek yang tidak bisa dipisahkan dalam membangun eksistensi, dan kemudian sebagai bagian-bagian signifikan yang ekual dalam teori pembangunan. Konsepsi lebih luas mengenai pembangunan mengalamatkan gender sebaik relasi-relasi kelas, kerja-kerja perempuan dalam ruang domestik dan publik, membesarkan anak dan sosialisasi, dan keluarga sebagai lokus khusus reproduksi. Pada umumnya proses-proses produktif dan reproduktif sejarah manusia terjadi pada waktu bersamaan dan dalam lokasi geografis yang sama − sebagai aspek-aspek pembeda yang terlihat jelas pada jalan kehidupan secara menyeluruh. Baru-baru ini, dan “pembangunan” yang semakin meningkat, aspek-aspek yang beragam terpisah kedalam ruang-ruang sosial dan spasial yang berbeda. Ruang-ruang ini terikat secara bersamaan dengan relasi-relasi ketidaksetaraan dan dominasi. Keseluruhan sistem surplus produksi ditanggung oleh para pekerja wnita yang tidak dibayar. Ideologi-ideologi, yang menawarkan banyak pemahaman (sophisticated), melegitimasi sistem sistem eksploitatif ini sebagai sesuatu yang alamiah (“para wanita selalu sebagai seks yang lebih lemah). Pembangunan kemudian adalah determinasi-gender sama halnya dengan sebuah proses kelas. Tentunya, gender dan kelas berinterseksi untuk menyusun spesifikasi-spesifikasi proses pembangunan. Kontradiksi-kontradiksi antara aspek-aspek yang beragam dari proses kehidupan ini telah menjadi kekuatan penggerak perubahan sosial masyarakat. Masyarakat-masyarakat yang didomiasi secara kelas dan gender, yang dikarakterisasikan oleh eksploitasi, dominasi,dan kondisi-kondisi kehidupan yang tidak ekual, berkembang dalam bentuk-bentuk yang bias dan berbeda. Feminis sosialis percaya seluruhnya perbedaan bentuk-bentuk atau kondisi-kondisi pembangunan berdasarkan atas transformasi relasi-relasi gender. Feminisme sosialis tetap berkomitmen pada perhatian Marxis terhadap kreasi historis dan sosial alam manusia dalam suatu proses yang meliputi gender, ras, etnisitas, dan distingsi-distingsi lainnya, layaknya kelas itu sendiri. Feminisme sosialis menuntut demokrasi reproduktif, termasuk kontrol kolektif dan parsipatoris terhadap keluarga dan keputusan-keputusan prokreatif, sedemikian juga dengan kontrol terhadap produksi komoditas.

Epistemologi Feminis

Beberapa pertanyaan mengenai epistemologi, banyak yang menguraikan bahwa awal mulanya adalah 1970-an sampai permulaan 1980-an, menjadi fokus utama perhatian para peminis pada pertengahan hingga akhir 1980-an. Secara partikular, ide-ide Pencerahan mengenai akal budi (reason), kemajuan, dan emansipasi menggarisbawahi perkembangan modern yang dipelajari oleh feminis, sedemikian juga halnya dengan poststruktural, kritisisme. Dalam The man of Reason Genevieve Lloyd (1984), seorang profesor filsafat di Universitas

Page 260: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

260

New South Wales, Australia, berpendapat bahwa ideal rasionalitas yang berkembang pada abad ke tujuh belas oleh Descartes, Spinoza, dan ahli filsafat lainnya dikarakterisasikan sebagai “kelaki-lakian,” yaitu bahwa pembicaraan para ahli filsafat tentang idela-ideal “manusia” sebenarnya merupakan pembicaraan tentang ideal-ideal “kedewasaan lelaki” (Manhood). Filsuf Abad ke tujuh belas Rene Descartes memisahkan pemikiran (akal budi) yang cerah dan penuh pemahaman (distinct), yang dia atributkan kepada para laki-laki, dari kemampuan (emosi-emosi) sensual dan imajinatif, yang dia atributkan kepada perempuan. Spinoza berpikir bahwa emosi-emosi dalam pernyataan-pernyataan orisinal mereka, semisal nafsu-nafsu, merupakan persepsi-persepsi yang membingungkan dalam memahami realitas yang dapat ditransformasikan kedalam emosi-emosi intelektual melalui pemahaman objektif seorang manusia/laki-laki yang kuat mengenai universalitas dan kebutuhan transhistoris. Selama periode Pencerahan, nafsu dan ketidakrasionalan pada umumnya dilihat secara lebih positif, sebagai asal muasal (mata air) tindakan, Lloyd berpendapat. Namun mereka tidak ditransendensikan, atau ditransformasikan, melalui medium akal budi, menuju mode-mode pemikiran yang “lebih tinggi.” Romantisisme abad ke 19, Lloyd berpendapat, sekali lagi merevaluasi nafsu-nfsu, tapi menempatkan perempuan pada satu tumpuan, meninggalkan keutuhan “Manusia akal budi,” mengawetkan dan tentunya mengabsahkan dikotomi modern antara akal dan perasaan. Dalam disafeksi feminis poststruktual dia menemukan tidak hanya kritisisme gagasan Pencerahan bahwa seluruh masalah dapat diselesaikan secara aktual melalui kemajuan akal, tapi ide yang lebih radikal bahwa banyak masalah sebenarnya bermuasal-muasal dari akal (laki-laki) itu sendiri.

Dalam sebuah argumen yang pararel, Sandra Harding, seorang profesor filsafat Universitas Delaware, berpendapat bahwa kritisisme ilmiah feminis bergerak dari suatu posisi yang semata-mata olmu pengetahuan yang maju, kepada suatu transformasi dasar-dasar ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang difavoritkan berdasarkan nilainya:

Posisi feminis radikal berkeyakinan bahwa epistemologi, metafisika, etika, dan politik bentuk-bentuk ilmu alam yang dominan adalah androsentris (berpusat pada lelaki) dan saling mendukung secara mutual; yang meskipun keyakinan kultural Barat tertanam secara mendalam dalam kemajuan intrinsik ilmu alam, ilmu alam sekaran melayani secara primer kecenderungan-kecenderungan sosial regresif; dan bahwa struktur sosial ilmu alam, kebanyakan aplikasi dan teknologinya, mode-mode pendefinisian masalah-masalah riset dan perancangan eksperimen-eksperimen, cara-caranya membangun dan mencari makna-makna, tidak hanyak seksis tapi juga rasis, klasis, dan koersif secara kultural. Dalam analisis mereka tentang bgaimana simbolisme gender, pembagian kerja secara seksual berdasarkan gender, dan konstruksi identitas gender individual telah mengafeksi sejarah dan filsafat ilmu alam, para pemikir feminis telah menantang aturan-aturan sosial dan intlektual pada fondasi mereka yang sebenarnya (1986: 9) Kebenaran-kebenaran metodologis dan transedental yang diambil supaya

bersifat inklusif kemanusiaan membawa penanda-penanda gender, kelas, ras, dan budaya. Teknik-teknik kritik sastra, sekarang bekerja untuk “membaca ilmu alam sebagai sebuah teks,” mengungkapkan makna-makna sosial tersembunyi

Page 261: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

261

terhadap klaim-klaim dan praktik-praktik yang dianggap bebas-nilai. Epistemologi-epistemologi feminis meletakkan basis pemahaman alternatif terhadap ragam pengalaman untuk mengubur keyakinan-keyakinan yang dihormati sebagai ilmu pengetahuan. Kritik-kritik ilmiah feminis tersebut, harding berkata, menantang identitas personal kepada inti pra-Rasionalnya.

Harding menguraikan tiga perangkat pendirian feminis secara epistemologis terhadap ilmu alam: empirisme feminis berpendapat bahwa kesetiaan yang lebih tegas kapada norma-norma penelitian yang ada oleh ilmuwan-ilmuwan perempuan dapat membenarkan bias-bias sosial dalam ilmu alam; teori sudut pandang feminis, berasal dari pemikiran Hegelian dan Marxian, benpendapat bahwa dominasi laki-laki mengakibatkan secara parsial, pemahaman-pemahaman jahat, padahal posisi wanita yang ditaklukkan secara potensial memberikan pemahaman yang lebih lengkap; posmodernisme feminis menantang asumsi-asumsi universal dua posisi yang berbeda, menekankan keretakan identitas yang retak yang diciptakan oleh kehidupan modern dan alam teoretisasi yang multipel. Harding bertanya apakah para feminis seharusnya menyerah mencoba mengadakan satu cerita feminis yang benar akan realitas ketika berkonfrontasi dengan aliansi-aliansi kuat antara ilmu alam, dan seksis, proyek-proyek sosial rasis. Dia menyimpulkan bahwa gagasan-gagasan epistemologis feminis memiliki permasalahannya sendiri dan tendensi-tendensi yang saling berkontradiksi, namun kritisisme feminis telah meningkatkan pemahaman androposentrime dalam ilmu alam (Harding 1986: 29).

Namun bahkan sebagaimana kemapanan posisi-posisi ini, keseluruhan proyek feminis (Barat) diarahkan tentang oleh kritik pedas dari para perempuan kulit bewarna, lesbian, dan perempuan dunia ketiga. Bagi Audre Lodre, seorang sarjana lesbi berkulit hitam, feminis mengklaim bahwa seluruh perempuan mengalami opresi hanya karena mereka perempuan yang tidak menyukai benda-benda partriarki yang beragam, dan (laki-laki) menghiraukan bagaimana benda-benda yang serupa dapat berguna bagi sesama wanita. Menurut Lorde, perbedaan-perbedaan diantara perempuan seharusnya dilihat sebagai kantung kekuatan − mereka adalah, dia berkata, “polaritas-polaritas diantara mana kreativitas dapat berpijar seperti sebuah dialektika” (Lorde 1981: 99). Tanpa komunitas, pikirnya, tidak akan ada kebebasan. Tapi komunitas tidak dimaksudkan untuk menghasilkan perbedaan-perbedaa, tidak juga bermuatan “pretensi patetis” bahwa perbedaan-perbedaan diantara perempuan tidak bisa eksis. Kegagalan para feminis akademis untuk menghormati perbedaan sebagai sebuah kekuatan adalah sebuah kegagalan untuk meraih melebihi pelajaran patriarkis − “Membagi dan menjajah” − yang, bagi Lorde, telah harus ditransformasikan kedalam “Menegaskan dan memberdayakan.”

Gagasan Norde tentang tempat pengetahuan, yaitu, diferensial-diferensial dalam kekuatan untuk menteorikan perbedaan, diekspresikan dengan kekuatan partikular oleh para perempuan Dunia Ketiga. Trinh Minh-ha (1989) berpikir bahwa perbedaan seharusnya tidak didefinisikan oleh seks dominan, terlebih lagi hal tersebut boleh jadi didominasi oleh budaya (Barat) dominan. Dibawah perlindungan “kartografi-kartografi perjuangan” Chandra Mohanty (1991a, 1991b), dari Universitas Oberlin, secara kritis memeriksa beberapa tulisan feminis yang memproduksi “wanita Dunia Ketiga” sebagai suatu subjek yang singular, monolitis sebagai konsekuensi dari apa yang ia sebut sebagai “kolonisasi diskursif.” Disini ia bermaksud untuk melihat appropriasi dan kodifikasi ilmu pengetahuan dan pengetahuan melalui kategori-kategori analitis yang

Page 262: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

262

membawa kepentingan-kepentingan feminis yang diartikulasikan Barat sebagai referensi primer mereka. Bagi Mohanty, kolonisasi menyiratkan suatu relasi dominasi struktural yang melibatkan yang mensupresi heterogenitas subjek-subjek Dunia Ketiga. Para penulis feminis “secara diskursif mengkolonisasi heterogenitas-heterogenitas materil dan historis kehidupan perempuan di dunia ketiga, dengan demikian memproduksi/merepresentasi suatu komposit, ‘perempuan dunia ketiga’ yang singular −sebuah imej yang tampak dikonstruksi secara arbitrer, tapi bagaimanapun juga membawa bersamanya tanda tangan otoritas wacana humanis Barat” (Mohanty 1991b: 53). Kebanyakan karya feminis akan para perempuan Dunia Ketiga, katanya, dikarakterisasikan oleh asumsi-asumsi privilese dan universalitas etnosentris, dan tidak cukup sadar-diri tentang efek-efek ilmu pengetahuan Barat. Analisis-analisis berdasarkan atas lintas budaya singular, gagasan-gagasan partriarki monolitis atau dominasi laki-laki menggiring kepada gagasan reduktif yang serupa mengenai “perbedaan Dunia Ketiga,” sebuah opresi sistematis terhadap perempuan yang ia sendiri mengolah kekuatan opresif. Mohanty menemukan kesamaan-kesamaan yang tidak ditunjukkan antara posisi-posisi feminis tersebut dan proyek humanisme Barat pada umumnya. Humanisme melibatkan penyembuhan “Timur” dan “Perempuan” sebagai Yang Lain dalam logika biner dimana istilah pertama (Identitas, Universalitas, Kebenaran), yang pada faktanya bersifat skunder dan derivatif, adalah terlalu privilese, dan penjajahan, istilah kedua (perbedaan, temporalitas, eror), yang pada faktanya bersifat primer yang origninatif − hanya karena Perempuan dan Timur didefinisikan sebagai pereiferal atau Yang Lain dapat membuat Manusia Barat mrepresentasikan dirinya sendiri sebgai pusat atau Sama. Sebagaimana Mohanty menguraikannya, “bukanlah pusat yang mendeterminasi periferi, namun periferilah yang, dalam keterbatasannya, mendeterminasi pusat” (1991b: 73-74). Para teoretikus feminis poststruktural Prancis, seperti Julia Kristeva (1980) dan Helene Cixious (1980), telah mendekonstruksi antrofomisme laten dalam wacana Barat; Mohanty menyarankan strategi pararel, antrofomisme latent dalam tulisan feminis mengenai prempuan Dunia Ketiga.

Pernyataan Mohanty yang dihasilakan dari sebuah posisi feminisme ‘Other’ sangat mengacaukan mode wacana feminis yang sedang berlaku, yang telah mengambil bentuk posisi-posisi persaingan politis dalam alam dunia yang diasumsikan secara kebarat-baratan dan privilese. Gagasan suatu gerakan perempuan singular progressif mulai dipertanyakan secara secara tajam dan tegas. Juga, sebagaimana era 1980-an telah beralih kepada era 1990-an, tekanan penuh dari gerakan perempuan posmoderen dalam filsafat dan teori sosial mulai mengafeksi teori feminis. Feminisme posmoderen menemukan akal budi modern yang menormalisasi, barat, prejudis maskulin yang “pencerahan” telah mewujud dalam rasionalisme ilmiah yang menjajah. Para feminis posmodern berpendapat bahwa akal budi melahirkan kalim-klaim kebenaran yang diasumsikan secara opresif, universal, dan dogmatis dengan mengoposisi subjek pengetahuan maskulin terhadap objek terjajah (biasanya feminin) yang dikuasai. Bagi beberapa feminis, Pencerahan dan feminisme dioposisi secara prinsipil; karena yang lain, masalahnya belum begitu jelas. Jane Flax (1990: 42), seorang profesor ilmu politik di Universitas Harvard, menetapkan bahwa teori feminis mestinya berada pada ranah filsafat posmodern: “gagasan-gagasan feminis tentang diri, pengetahuan, dan kebenaran adalah terlalu kontradiktif terhadap apa saja yang berisi kategori-kategori Pencerahan. Jalan menuju pada

Page 263: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

263

masa depan feminis tidak boleh tidur nyaman dalam revival atau appropriasi konsep-konsep pencerahan mengenai orang atau pengetahuan.” Beberapa teori feminis tersebut mulai merasakan motto Pencerahan “beranilah menggunakan akalmu sendiri” (kant), yang tersisa dalam perasaan diri gender yang berakar dan pada muslihat diri. Kecurigaan menyebar bahwa seluruh klaim transendental merefleksikan dan mereifikasi pengalaman sekelompok kecil orang saja, yang mayoritas adalah laki-laki Barat kulit putih.

Posisi-posisi tersebut, menyambut posmodernisme dengan “antusiasme,” diserang balik oleh teoretikus sosial feminis lainnya yang masih menemukan hal-hal potensial dalam kritik humanisme Barat (Johnson 1994). Kemudian Kristine Di Stefano (1990) berpendapat bahwa feminisme secara kuat, jika bersifat ambivalen, dilokasikan dalam etos-etos modernis dengan penekanannya pada kepentingan gender. Klaim-kalaim feminis dalam perlawanannya terhadap posmodernisme adalah bahwa:

1. Posmodernisme mengekspresikan sebuah kontituensi (putih, laki-laki privilese Barat industrial) yang telah memiliki Pencerahan untuk dirinya sendiri dan bahwa (mereka) sekarang telah siap dan bersedia untuk mempermasalahkan warisan tersebut melalui penelitian kritis.

2. Objek-objek upaya posmodernisme yang berbeda secara kritis dan dekonstruktif telah menjadi kreasi-kreasi konstituensi yang sama secara spesifik dan parsial (dimuali dari Sokrates, Plato, Aristoteles).

3. Teori mainstream Posmodernisme (Derrida, Lyotard, Rorty, foucault) telah mengomentari secara membabi-buta dan tidak sensitif terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang gender dalam pembacaannya akan sejarah, politik, dan budaya.

4. Proyek posmodern, jika diadopsi secara serius oleh para feminis, akan membuat kemiripan dari kesatuan politik feminis menjadi mustahil.

Kemudian banyak para feminis kiri mendorong skeptisisme akan kritisisme anti-Pencerahan. Luce Irigaray (1985) bertanya, Apakah posmodernisme merupakan tipu muslihat partriarki? Nancy Hartsock (1985) berkata bahwa posmodernisme muncul untuk membela kelompok-kelompok marjinal, tapi dia menemukan posmodernisme hanya mengganggu daripada menolong; teori-teori posmodern hanya memberikan sedikit petumjuk, dan parahnya hanya semata-mata merekapitulasi efek-efek teori-teori pencerahan.

Banyak teoretikus feminis, seperti Flax dan Di Stefano, bersikap ambivalent dalam memilih antara modernisme dan posmodern. Bagaimanapun juga, daripada berusaha untuk meyelesaikan ambivalensi ini (dengan memfavoritkan satu sisi daripada yang lain), Sandra Harding (1990: 86) berpendapat bahwa “ambivalensi tersebut agaknya lebih kuat dan prisipil” − yang berarti, dia memperdebatkan kesadaran diri dan ambivalensi yang diartikulasikan secara teoretis ketegangan-ketegangan dan kontradiksi-kontradiksi dalam dunia yang dihuni oleh para feminis. Meskipun begitu, Harding berkesimpulan, feminisme berdiri berpijak pada Pencerahan dalam kepercayaannya bahwa teori-teori yang lebih maju berkontribusi terhadap progress sosial. Dia berpendapat bahwa penyelidikan feminis dapat memproduksi representasi-representasi yang sedikit parsial tanpa memaksakan ketercukupan mereka secara absolut, universal, atau abadi. Kedua teoretikus feminis ilmiah dan kritikus feminis posmodern tersebut “berdiri dengan satu kaki diatas modernitas dan satunya lagi di ranah yang lain” (Harding 1990: 100). Dia berpikir bahwa feminisme membutuhkan kedua agenda-agenda Pencerahan dan posmodersn.

Page 264: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

264

Berada pada posisi antara, Donna Haraway (1991), dari Universitas Santa Cruz di California, memperdebatkan penggunaan doktrin objektivitas feminis yang dia sebut sebagai “pengetahuan-pengetahuan yang disituasikan.” Dalam konsepsi ini, objektivitas dicermati sebagai perwujudan partikular dan spesifik, dan bukan visi transenden yang palsu: “Hanya visi objektif yang menjanjikan perspektif-perspektif parsial....Objektivitas feminis adalah tentang lokasi yang dibatasi dan pengetahuan yang disituasikan, bukan tentang transendensi dan pemisahan subjek dan objek. Dalam cara ini kita boleh jadi bertanya-tanya apakah yang kita pelajari untuk tahu” (Haraway 1991: 190). Menurut haraway, feminisme berusaha untuk menteorisasikan dasar-dasar untuk mempercayai posisi berdiri yang menguntungkan bagi mereka yang kalah (dilihat dari perferi dan kedalaman). Pengaturan posisi mereka yang kalah ini tidak juga bebas dari kritik, tapi kelihatan lebih disukai karena mereka setidaknya menunda kekritisan, inti pengetahuan interpretatif (dalam hal ini kita melihat sisa-sisa dari sudut pandang feminis). Pertanyaanya, bagi haraway, adalah Bagaimana caranya melihat dari bawah? Pengaturan posisi yang disukai tersebut adalah sama menunjukkan sikap bermusuhannya seperti relativisme sebagaimana ia menginginkan adanya totalisasi dan visi tunggal. Alternatifnya adalah pengetahuan kritis, bisa diatur-tempatkan, dan parsial yang menopang jaringan-jaringan koneksi dalam politik dan perbincangan epistemologi, padahal relativisme adalah tidak dimana-mana, namun mengkalim berada dimana-mana (sebuah “trik yang licik”). Bersama para feminis lainnya, Haraway memperdebatkan sebuah praktik bojektivitas yang memprivilese-kan kontestasi, dekonstruksi, konstruksi, koneksi-koneksi berjaringan, transformasi, dan pemposisian secara mobil, dan ketidakberpihakan yang bernafsu:

Saya menentang politik dan epistemologi lokasi, pemposisian, dan pensituasian, dimana parsialitas dan bukan universalitas adalah kondisi dari yang didengarkan untuk membuat klaim-klaim pengetahuan rasional. Mereka adalah klaim-klaim atas kehidupan khalayak: penglihatan dari tubuh, selalu sebuah tubuh yang menstruktur dan terstruktur yang kompleks dan kontradiktif, melawan penglihatan dari atas, dari tidak dimana-mana, dari simplisitas. Hanya tipuan licik yang dilarang (Haraway 1991: 195). Jadi jalan satu-satunya untuk menemukan visi yang lebih luas adalah

dengan berada pada suatu tempat (cf. “berpikir lokal” pada bab 5). Pertanyaan ilmiah feminis berkisar pada objektivitas sebagaimana rasionalitas yang diposisikan. Imej-nya dihasilkan dari menghubungkan pandangan-pandangan parsial dan suara-suara yang terputus kedalam sebuah posisi subjek kolektif, serangkaian pandangan dari suatu tempat. Kritisisme Feminis atas Teori Pembangunan

Serangan feminis ke jantung epistemologi modern, bersamaan dengan pertumbuhan dan diferensiasi pemikiran feminis radikal dan sosialis secara umum, membawa kepada pemeriksaan kembali teori pembangunan secara kritis sebagai perusahaan maskulinis. Dalam sebuah contoh terkemuka, Catherine Scott (1995), seorang profesor ilmu politik di Perguruan Tinggi Agenes Scott melihat teori ketergantungan dan modernisasi yang mengkonseptualisasikan tema-tema seperti modernitas, pembangunan, percaya kepada diri sendiri, dan

Page 265: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

265

revolusi dalam sebuah visi yang diinformasikan oleh pra pendudukan dan konsepsi-konsepsi gender; perluasan terhadap kebijakan-kebijakan dominan dan praktik-praktik agensi internasional dan pemerintahan revolusioner adalah sama. Dalam teori modernisasi, Scott (1995: 5) berargumen, modernitas dan sebuah ruang publik yang didominasi laki-laki, kelihatan menonjol, dan rasional dikontraskan dengan yang “difeminisasi,” masyarakat tradisonal yang tertinggal, sementara prestasi modernitas dilihat sebagai pertarungan kekuasaan dengan feminin dalam menuju “kedewasaan.” Dalam modernisasi, pembangunan menghendaki kemunculan manusia industrial yang rasional, reseptif terhadap ide-ide baru, punctual, optimistik, dan universalistik, dengan pembagian kerja yang ditentukan di dalam pemerintahan modern yang efisien dan memiliki mekanisme dominasi dan kekuasaannya yang baru. Bagi Scot, model universal dari proses modernisasi pada faktanya berdasarkan pada sebuah versi modernitas maskulin yang sering diidealisasi. Dalam pendekatan ini, para wanita secara bergantian menjadi tidak kelihatan, terancam secara paternalistik, atau digunakan untuk “tes lakmus” untuk menentukan derajat keterbelakangan suatu negara. Modernisasi membutuhkan manusia-manusia yang bisa bergerak dengan sendirinya untuk meninggalkan rumah tangga, mengabaikan tradisi, dan mengasumsikan tempat mereka diantara para manusia yang rasional. Perempuan dan rumah tangga dipahami sebagai bagian dari masa lalu, merepresentasikan pandangan dunia yang berbahaya bahwa alam tidak dapat diubah dan orang-orang tidak memiliki kekuatan untuk mengontrolnya. Modernisasi melibatkan subordinasi tradisi, alam, dan feminin. Bagi Scott, teori-teori modernisasi juga mereplikasikan dikotomi publik/private yang mencolok dalam pikiran Barat: ruang privat dan perempuan bersifat inferior dan derivatif atau komplementer yang terbaik terhadap ruang publik dan laki-laki.

Teori ketergantungan menentang modernisasi sebagai representasi kapitalisme dan intensifikasi eksploitasi. Scott berpendapat bahwa ketengantung, dalam versi Amerika-nya, tidak menantang gagasan kapitalisme yang secara inheren progressif dan dinamik selekasnya memungkinkan sebuah akhir dari persyaratan-persyaratan kebutuhan material yang menekan. Sebagaimana Marx dengan gagasannya menganai Asia yang tidak berubah, teoretikus ketergantungan melihat formasi-formasi sosial prakapitalis sebagai pembangunan yang otonom di wilayah periferi. Namun teori ketergantungan, menurutnya, memberikan oposisi dikotomis teori modernisasi antara ruang produksi sosial yang rasional dan privat, dunia prakapitalis dalam sebuah logika biner antara pusat dan periferi. Teori ketergantungan juga memotret industrialisasi ruang publik sebagai paradigma pembangunan ekonomi dengan mana struktur-struktur sosial prakapitalis sebagai penghalang. Teori ketergantungan berbagi dengan marxisme definisi pembangunan sebagai penguasaan dan transformasi alam, memusatkan konseptualisasi perjuangan sosial seputar aktivitas produktif, mengecualikan perjuangan antara laki-laki dan perampuan, dan mempertahankan (secara implisit) gagasan-gagasan alam sebagai feminin.

Scott bahwa teoretikus modernisasi dan ketergantungan dapat belajar banyak dari pembacaan kembali ide-ide mereka secara kritis. Hal ini dapat mengarah kepada pertimbangan kembali makna modernisasi, industrialisasi, kerja, dan pembangunan. Pembacaan kembali memperkenankan teori pembangunan ditempatkan dalam krisis afeksi teori sosial Barat dalam mempertanyakan secara mendalam pokok-pokok teori; dikotomis maskulinis;

Page 266: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

266

seperti modern dan trasional, pusat dan periferi, Dunia Pertama dan Ketiga; dan aturan teori dalam menegakkan kategori-kategori esensialis yang memungkinkan dominasi. Scott menawarkan teori posisi berdiri feminis sebagai perspektif. Hal ini memungkinkan sensitivitas terhadap kelangsungan jalan struktur kekuasaan sistemik yang memiliki posibilitas untuk penulisan kembali makna pembangunan dalam rangka supa orang bisa tetap melanjutkan usaha-usaha untuk merealisasikan aspirasi mreka. Perempuan, Pembangunan, Teori

Dalam respon terhadap kritisisme tersebut, para aktivis feminis dan pembangunan melakukan serangkaian usaha untuk mereformulasikan teori. Isu utama adalah: Dengan banyaknya tanggungan kerja perempuan, jika bukan hampir semuanya, di Dunia Ketiga, kenapa mreka diekslusikan dari teori pembangunan, dan apa perbedaan yang terjadi jika teori direformulasikan ke pusat disekitar pengalaman-pengalaman perempuan dan relasi-relasi gender? Menempatkan relasi-relasi gender apa pusat teorisasi, teoretikus feminsi pembangunan berpendapat, mereorientasikan wacana pembangunan. Area-area tradisional yang menjadi perhatian pembangunan dilihat dari suatu titik yang menguntungkan yang berbeda dimana aspek-aspek yang sbelumnya diperlakukan secara marginal menjadi (sebagai gantinya) fokus perhatian yang utama − sebagai contoh, industrialisasi di Dunia Ketiga mempekerjakan bukan buruh (yang diasumsikan sebagai laki-laki) tapi para pekerja perempuan, sedangkan relasi-relasi gender, yang sebelumnya dikesamping, menjadi esensial untuk memahami aktivitas produktif. Sebagai konsekuensinya, aspek-aspek baru tentang pembangunan menajdi fokus; semisal, sektor-sektor ekonomi informal dan rural, ruang reproduktif sebagai komponen vital pembangunan, atau relasi-relasi antara produksi dan reproduksi. Para pendukung pandangan baru ini mengklaim bahwa ini merupakan lebih daripada sekedar perubahan dalam teori pembangunan: teori ini secara aktual memajukan atau mentranformasikan teori sebelumnya.

Untuk menjadikannya lebih konkret, kita sebaiknya memikirkan kembali pembangunan dari posisi teori sudut pandang feminis yang diuraikan secara garis besar dalam Uang, Seks, Kekuasaan oleh Nancy Hartsock (1985), profesor ilmu politik Universitas Washington. Dalam karya Hartsock, teori sudut pandang feminis memposisikan serangkaian level realitas, dimana level yang lebih dalam termasuk dan menjelaskan permukaan-permukaan atau penampakan-penampakan. Teori sudut pandang feminis memperkuat kemungkinan-kemungkinan pembebasan yang diwujudkan dalam pengalaman perempuan. Sudut pandang feminis bertalian dengan sudut pandang kelas pekerja, namun perlu dicermati secara seksama, karena secara partikular perempuan hampir melakukan semua kerja termasuk juga reproduksi kekuatan buruh. Kontak buruh laki-laki dengan alamnya diluar pabrik dimediasi oleh perempuan; namun perempuan memiliki pengalaman yang lebih mendalam akan alam. Bagi Hartsock, pengalaman perempuan dalam reproduksi merepresentasikan kesatuan dengan alam yang melampaui pengalaman proletar akan perubahan material/metabolis. Keibuan menghasilkan konstruksi eksistensi perempuan yang berpusat pada nexus relasional yang kompleks dan berfokus pada tubuh perempuan. Pengalaman manusia (laki-laki) dikarakterisasikan oleh dualitas konkret melawan abstrak yang berasal dari pemisahan antara kehidupan rumah tangga dan publik. Dualisme maskulin tersebut menandai teori sosial

Page 267: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

267

phallosentris, sebuah sistem duslisme hirarkis (abstrak/konkret, pikiran/tubuh, budaya/alam, statis/berubah, Dunia Pertama/Dunia Ketiga, dsb). Berdasarkan perbandingan:

Konstruksi diri perempuan dalam relasinya dengan yang lain membawa kepada arah yang berlawanan − terhadap oposisi kepada dualisme apapun; penilaian tentang yang konkret, kehidupan sehari-hari; rasa pengertian akan berbagai keterhubungan dan keberlanjutan dengan orang lain dan dengan dunia natural. Jika kehidupan material menstrukturasi kesadaran, eksistensi prempuan didefinisikan secara relasional, pengalaman keterbatasan tantangan tubuh dan aktivitas yang mentransformasikan objek-objek fisik fisik dan manusia seharusnya diharapkan sehingga membuat pandangan dunia yang dikotomis menjadi asing. (Hartsock 1985: 242)

Teori sudut pandang feminis, pikir Hartsock, seharusnya didasrkan pada

komunalitas dalam pengalaman-pengalaman perempuan, tapi ia tidak jelas atau berdasrkan bukti/keterangan diri sendiri − ia menginginkan pembacaan ulang, pengembangan dan penyebarluasan. Namun, bagi Hartsock, aktivitas kehidupan perempuan secara spesifik membentuk basis materialisme feminis dan, kita bisa secara spesifik menambahkan, sebuah teori pembangunan feminis. Mengeneralisasi kemungkinan-kemungkinan terkini dalam aktivitas kehidupan perempuan terhadap keseluruhan sistem sosial bisa meningkatkan untuk pertama kalinya dalam sejarah daripada (sekedar) pemisahan dan oposisi” (Hartsock 1985: 247). Menyambut hangat hal ini, para feminis sosialis ingin mereformulasikan pembangunan dalam suatu cara yang mengkombinasikan, daripada memisahkan, kehidupan sehari-hari dan dimensi sosialnya, seluruh aktivitas produktif yang dipertimbangkan sebagai sebuah totalitas daripada terbagi-bagi kedalam tipe-tipe hirarkis, dan relasi-relasi dengan alam yang ditempatkan pada jantung keputusan atas apa, dan berapa banyak, untuk memproduksi.

Interaksi antara teori feminis dan pembangunan telah mengambil lima bentuk utama dalam literatur: Perempuan dalam Pembagnunan (WID); Perempuan dan Pembangunan (WAD); Gender dan Pembangunan (GAD); Perempuan, Lingkungan, Alternatif-Alternatif untuk Pembangunan (WED); dan Posmodern dan Pembangunan (PAD) (Rathgeber 1990; Young 1992) Visvanathan et. Al 1997). Masing-masing trend ini didiskusikan dibawah istilah-istilah asli mereka, posisi dalam teori-teori feminis dan pembangunan, penggarisbawahan asumsi-asumsi, strategi-strategi, dan permasalahan mereka.

Perempuan dalam Pembangunan (WID)

Mazhab in berasal dari publikasi Esther Boserup Women dalam Pembangunan Ekonomi (1970), analisi awal oleh feminis awal tentang pembagian kerja secara seksual di dunia ketiga dan relasinya terhadap dampak negatif strategi-strategi pembangunan atas perempuan. Boserup berargumen bahwa perempuan di masyarakat agrikultul memiliki status sebagai penghasil makanan. Proses modernisasi, yang diawasi oleh otoritas kolonial yang diilhami gagasan Barat akan pembagian kerja secara seksual, menempatkan teknologi-teknologi baru dibawah kontrol laki-laki, yang kemudian memarginalisasi perempuan, mereduksi status mereka, dan merendahkan kekuatan dan

Page 268: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

268

pendapatan mereka. Modernisasi tidak akan progresif dengan sendirinya. Bagaimanapun juga, kebijakan-kebijakan yang lebih mencerahkan yang dilakukan oleh agensi-agensi pemerintah nasional bisa mengkoreksi kesalahan-kesalahan ini. Sebagaimana Jane Jaquette (1990: 55) berkata: “Sedikit panduan dalam karya Boserup membantu mendefinisikan arena baru pembuatan kebijakan dan menandai area baru keahlian profesional. Amerika serikat dan negra-negara lain yang menjadi donor utama dalam bantuan pembangunan menganmbil beberapa langkah untuk mempromosikan integrasi perempuan dalam proses pembangunan.”

Istilah “Perempuan dalam Pembangunan” pertama kali digunakan oleh Komite Perempuan Washington, DC, pada bab Masyarakat untuk Pembangunan Internasional sebagai sebuah strategi untuk menarik perhatian perempuan Dunia Ketiga (Rathgeber 1990: 490). Di Amerika Serikat, Amandemen Percy terhadap Akta Bantuan Luar Negeri tahun 1973 menyita perhatian khusus terhadap proyek-proyek yang mengintegrasikam perempuan kedalam usaha ekonomi nasional di negara-negara lain, dengan demikian meningkatkan status dan membantu usaha pembangunan. Sebuah “kantor Perempuan dalam Pembangunan” didirikan dalam organisasi U.S AID tahun 1977. Kantor ini memfokuskan layanan pada sebuah jaringan peneliti dan praktisi di beberapa universitas, lembaga-lembaga riset (Semisal , the International Center for Research on Women), dan donor-donor besar yang tertarik pada pembangunan (yang mana Ford Foundation tampak menonjol). Juga, setelah tahun 1975 Konferensi Perempuan Internasional di Meksiko, PBB mendirikan UNIFEM (Program Bantuan PBB untuk Perempuan), sebagi cara untuk menjangkau para perempuan termiskin diseluruh dunia. Ketika ditanyai apa yang paling mereka inginkan, para perempuan menjawab pendapatan untk menyokong anak-anak dan diri mereka sendiri (Snyder 1995). Sekarang ini, ide utama telah sedang membawa perempuan kedaam proses pembangunan (Mueller 1987). WID menerima pemberlakuan teroi modernisasi sewaktu-waktu − yaitu, pembangunan sebagai proses linear pertumbuhan ekonomi. Argumen modernisasi adalah bahwa perbedaan antara modern dan tradisional berasal dari kurangnya kontak. Pengaplikasian ide ini terhadap perempuan, para teoretikus WID berargumen bahwa perempuan Dunia Ketiga tertinggal dalam proses pembangunan; kate Young (1993) menyebut ini sebagai pengakuan “invisibilitas” perempuan. Pada pertengahan tahun 1970 agensi-agensi donor mengimplementasikan “program-program intervensi melalui transfer teknologi, perpanjangan kredit dan pelayanan yang akan memperbaiki beban berat perempuan” (Rathgeber 1990: 491).

Caroline Moser (1993) telah mencatat lima variasi dalam aliran WID yang merefleksikan perubahan-perubahan dalam kebijakan-kebijakan agensi-agensi pembangunan barat: 1. “Pendekatan Kesejahteraan” terutama tahun 1970 yang berfokus pada

aturan-aturan reproduktif prempuan dan hubungannya dengan isu-isu populasi, dengan program-program yang menginisiasikan kontrol kelahiran; Chowdrey (1995) berargumen bahwa pendekatan ini mengilustrasikan representasi WID perempuan “Dunia Ketiga” sebagai zenana (dunia domestik, privat).

2. “Pendekatan Ekuitas” yang merefleksikan tuntutan-tuntutan akan kesetaraan yang datang dari Dekade PBB untuk Perempuan. Hal ini menimbulkan resistensi dari laki-laki.

Page 269: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

269

3. “Pendekatan Anti-Kemiskinan” yang berfokus pada perempuan yang siap kerja atau memiliki akses terhadap aktivitas-aktivitas yang menghasilkan pendapatan (income); Chowdry (1995) menunjuk bahw aperempuan masih dianggap sebagai penghuni ruang domestik dan privat, dikecualikan dari urusan-urrusan politik dan ekonomi masyarakat.

4. “Pendekatan Efisiensi” yang bekerja sama dengan program-program penyesuaian struktural IMF dan menekankan partisipasi perempuan dalam ekonomi yang direstrukturisasi baru-baru ini.

5. “Pendekatan Pemberdayaan” yang merefleksiakan tulisan-tulisan feminis Dunia Ketiga, pengorganisasian grassroot, dan keinginan perempuan untuk mentransformasikan hukum dan struktur melalui pendekatan bottom-up.

Dalam seluruh pendekatan ini perempuan direpresentasikan sebagai

korban. Chowdry (1995: 26) berargumen bahwa WID, sebagai diimplementasikan oleh agensi-agensi pembangunan internasional, berawal dari dua wacana modernis yaitu wacana kolonial, dan wacana liberal atas pasar. Wacana kolonial menghomogenisasi dan mengesensialisasi orang-orang Dunia Ketiga, terutama dengan menggunakan imej “perempuan miskin/lemah.” Wacana liberal mempromosikan pasar bebas, pemilihan secara sukarela, dan individualisme, yang melemahkan perempuan Dunia Ketiga. WID mengaliansikan dirinya dengan feminisme liberal, meskipun ia juga menggunakan imej perempuan miskin sewaktu-waktu untuk mengevokasi simpati dan mendapatkan pendanaan. Banyak praktisi WID merupkan para feminis yang berpendidikan tinggi; dalam WID pandangan feminis liberal akan rasionalistas dan pemberdayaan diri secara individual berlaku. Ada penekanan atas “model-model aturan” atau “perempuan terkemuka yang mendapatkan penghargaan sosial dalam ruang publik” (Young 1993: 129). WID cenderung menerima struktur-struktur sosial dan kekuasaan yang eksis, yang bekerja sama dengan mereka untuk pemberdayaan. Oleh karenanya pembagian kerja secara seksual diterima apa adanya atau sebagai sesuatu yang natural tanpa menterorisasikan bagaimana perempuan diopresi oleh laki-laki. Aspek-aspek ideologis gender, responsibilitas yang tidak ekual antara laki-laki dan perempuan, dan ninali yang tidak ekual yang ditempatkan pada aktivitas-aktivitas laki-laki dan perempuan sepenuhnya diabaikan.

Sebagai sebuah pendekatan ahistoris, WID tidak mempertimbangkan beberapa hal yang mempengaruhi perempuan seperti kelas, ras, atau budaya. Fokus ekslusif WID atas perempuan dan penhindarannya terhadap relasi-relasi gender menjadikannya sebagai analisis yang dangkal. WID menekankan kemiskinan dan bukan opresi; terlebih lagi, kemiskinan tidak dilihat sebagai outcome opresi laki-laki terhadap perempuan. Karenanya strategi-strategi pembangunan yang didasarkan pada WID akan cacat, lebih parah lagi membatasi kemampuan mereka membawa perubahan. WID fokus semata-mata aspek produktif (secara formal) kerja wanita, mengabaikan atau menghilangkan aktivitas-aktivitas reproduktif. Berkaca pada teori modernisasi, pembangunan dalam WID dilihat sebagai pertumbuhan ekonomi yang hanya dapat terjadi (secara formal) dalam aktivitas produktif. Hal ini membawa kepada analisis parsial tentang peran-peran dan relasi-relasi perempuan. Semisal, akivitas-aktivitas yang disokong oleh WID menyediakan kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan penghasilanb (income) yang baik, namun WID tidak menawarkan strategi apapun untuk mereduksi beban tugas-tugas rumah tangga

Page 270: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

270

atau meningkatkan teknologi reproduktif. WID mengadopsi pendekatan nonkonfrontasional yang hanya setengah hati dalam menyelesaikan subordinasi dan opresi terhadap perempuan. Penekanannya pada kemiskinan juga menciptakan pemisahan tuntutan/permintaan antara para feminis Dunia Pertama dan para feminis Dunia Ketiga sebagaimana WID terlibat dengan kebutuhan2 para perempuan “diluar sana” di negara-negara maju, sementara para teoretikus feminis sendiri tetap menjadi bagian dari budaya Barat − dengan begitu sebuah bentuk maternal baru, tatapan yang memilukan. Lebih umum lagi, telah ada pelalaian dalam mempertanyakan keseluruhan asumsi dan tujuan paradigma pembangunan dominan dari teori modernisasi (Rathgeber 1990; Young 1993).

Para feminis posmodern mengklaim bahwa para teoretikus dan praktisi yang bekerja dala aliran WID cenderung merepresentasikan para perempuan Dunia Ketiga sebagai terbelakang, mudah disakiti (karena lemah), dan membutuhkan pertolongan dari Dunia Pertama. Jane Parpart, dari Universitas Dalhouise, dan Marianne Marchand, dari Perguruan tinggi Middlebury (1995: 16), berargumen bahwa “Wacana WID telah secara general membantu perkembangan praktik-praktik yang mengabaikan perbedaan, pengetahuan lokal, dan keahlian khusus (lokal) sementara ia melegitimasi solusi-solusi asing dalam penyelesaian permasalahan para perempuan di Selatan.” Kritik Postruktural WID yang terkemuka datang dari Adelle Muller (1987). Memakai gagasan-gagasan Foucault (1980a) tentang koneksi-koneksi antara kekuasaan dan pengetahuan, dan ide-ide Dorothy Smith tentang konstruksi sosial realitas dokumenter, Muller menyimpulkan bahwa prosedur-prosedur dokumenter yang digunakan oleh program-program WID berfungsi untuk memindahkan kontrol dari setting Dunia Ketiga menuju pada markas besar agensi pembangunan yang berpusat di Washington, Otawa, dan Geneva. Pembangunan didefiniskan sebagai masalah teknis yang membutuhkan metodologi-metodologi handal yang hanya tersedia di Dunia Pertama. Laporan perempuan Dunia Ketiga ditulis dalam sebuah bahasa polis yang setuju dengan praktik-praktik agensi-agensi pembangunan yang sedang berlangsung. “Pengintegrasian perempuan kedalam pembangunan” pada dasarnya melibatkan pembelajaran untuk bicara bahasa kebijakan birokratis. Penemuan utama Meueller (1987: 2) adalah bahwa hal tersebut ”jauh dari apa yang disebut kekuatan pembebas dalam gerakan perempuan sedunia, wacana Perempuan dalam Pembangunan diproduksi dalam dan masuk kedalam prosedur-prosedur instirusi Pembangunan dalam rangka mengatur danmengatur divisi-divisi hirarkis tatanan dunia kapitalis.” Sebagai respon terhadap keterbatasan teoretis, politis, dan praktis, dan masih banyak lagi, sebuah paradigma baru membuka diri kepada kiri (the left), Perempuan dan Pembangunan.

Perempuan dan Pembangunan

Pendekatan WID beragumen abahwa perempuan seharusnya dibawa kepada modernisasi. Perspektif WAD berargumen bahawa perempuan telah selalu menjadi bagian dari proses pembangunan dan bahwa sebenarnya yang justru membuat mereka miskin adalah hubungan mereka dengan modernisasi itu sendiri. WAD menawarkan pendekatan terhadap underdevelopment yang sedikit banyak berasal dari teori ketergantungan dan neo-Marxis. Isu-isu seperti asal-usul partriarki, intensifikasi partriarki melalui penyebaran kapitalisme, dan analisis Engels (1945 ed) tentang meningkatnya properti privat (sepanjang revolusi agrikultural dan domestifikasi hewan) membentuk latar belakang historis bagi

Page 271: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

271

aliran pemikiran ini (Bandarage 1984; Mies 1986). Rathgeber (1990) menyatakan bahwa perspektif WAD berfokus kepada relasi-relasi antara laki-laki dan perempuan. Perempuan selalu memainkan perenan penting dalam ekonomi di masyarakat mereka sebagai aktor yang produktif sekaligus reproduktif. Tepatnya ketika perempuan terintegrasi dengan kapitalisme global-lah marjinalisasi dan opresi itu terjadi, semisal, perempuan digunakan sebagai buruh murah oleh korporasi-korporasi multinasional dalam zona-zona produksi barang ekspor.

Disini analisis klasik tentang pembagian kerja internasional dipresentasikan oleh Maria Mies (1986). Menurut Mies, Sosiolog Jerman, perkembangan historis pembagian kerja (sistem spesialisasi dalam tipe-tipe kerja) adalah sebuah proses yang kejam, partriarkis dimana kelas tertentu manusia (laki-laki), melalui kebaikan senjatan dan kesejahteraan, membangun hubungan eksploitatif dengan perempuan, kelas-kelas lain, dan penduduk lain. Akumulasi kekayaan yang cepat memproduksi konsepsi progres yang menjadikan pemuasan kebutuhan-kebutuhan subsistensi komunitas tampak terbelakang dan ketinggalan jaman. Sang predator, pembagian kerja secara partriarkal didasrkan pada pemisahan dan subordinasi umat manusia, laki-laki dari perempuan, atau penduduk lokal dari orang asing, yang meluas meliputi pemisahan manusia (laki-laki) dari alam. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi keuatan-kekuatan produktif utama melalui mana manusia (laki-laki) dapat mengemasipasi diri mereka sendiri dari perempuan dan alam. Dibawah pembagian kerja secara internasional yang baru yang dibentuk oleh industrialiasi parsial negara-negara Dunia Ketiga terpilih sejak tahun 1970-an, pemanfaatan manusia yang mudah dikendalikan (docile), buruh perempuan yang murah (ibu rumah tangga daripada pekerja), di Dunia Ketiga berhubungan dengan menipulasi perempuan sebagai konsumen di Dunia Pertama. Oleh kerena itu strategi feminis untuk pembebasan seharusnya membidik pada abolisi total seluruh relasi kemajuan (progress) retrogessif ini; akhir eksploitasi perempuan dan alam oleh manusia (laki-laki), akhir eksploitasi negara-negara kolono oleh Dunia Pertama, dan kelas-kelas oleh para elit. Secara partikular Mies mengembangkan konsepsi feminis tentang buruh yang mengambil modelnya bukan pada laki-laki yang bekerja berdasarkan upah (bukan gaji), namun ibu, yang selalu mengerjakan beban berat dan sekaligus menikmati. Bagi para Ibu, keberlangsungan kerja sebagai peasant dan artisant berhubungan dengan produksi langsung kehidupan dengan segera, daripada semata-mata memproduksi benda-benda dan kekayaan. Konsepsi feminis tentang buruh juga diorientasikan kepada sebuah konsepsi waktu dimana kerja, kegembiraan, dan istirahat adalah saling berselingan dan berkeseimbangan. Kerja dapat menjadi interaksi langsung dan sensual dengan alam, zat-zat organik, dan organisme yang hidup, namun juga perlu bagi penduduk yang melakukannya dan bagi mereka yang ada disekitarnya; hal ini bertujuan membawa secara bersamaan proses produksi dan konsumsi kedalam satu daerah. Keseluruhan kuantitas dalam ekonomi alternatif ini bisa mencukupi diri sendiri.

Naila kabeer (1994) membedakan antara dua kelompok dalam aliran WAD. Feminisme ketergantungan menggunakan kerangka kerja feminis-Marxis tradisional dan melihat ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan yang dihasilkan oleh ekonomi global yang lebih besar; analisis ini memperluas kritikan WAD terhadap teori pembangunan mainstream. Yang kedua yang berfokus pada partriarki kapitalis global dan kekerasan oleh laki-laki” beraliansi dengan feminisme radikal, yang melihat bahwa gender harus lebih diutamakan daripada

Page 272: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

272

kelas. Jaringan internasional para peneliti perempuan Dunia Ketiga DAWN sebagian besar memakai perspektif WAD.

Dalam sebuah dokumen riset utama yang diproduksi oleh DAWN, Gita Sen dan Caren Grown (1987) berargumen bahwa perspektif perempuan yang miskin/lemah dan diopresi memberikan sudut pandang yang kuat untuk menguji efek-efek program-program dan strategi-strategi pembangunan. Ini dikarenakan para perempuyan yang mengalami opresi mengerti tentang kemiskinan, namun para perempuan yang kerjanya dinilai rendah bagaimanapun juga sifatnya vital terhadap reproduksi sosial. Pengalaman-pengalaman dengan pertumbuhan ekonomi tersebut dideterminasi oleh gender dan kelas. Struktur ekonomi dan politk yang ada, sering merupakan warisan dominasi koonial, sering menunjukkan ketidaksetaraan antara nasion, kelas, gender, dan kelompok etnis. konflik-konflik fundamental muncul antara ekonomi kesejahteraan dan proses pembangunan mainstream perempuan. Karena pertumbuhan ekonomi berbahay terhadap kebutuhan para penduduk miskin dan kebutuhan dasar dimarjinalkan dari struktur produksi dominan, usaha untuk survival menjadi sangat sulit:

Sistem-sistem dominasi laki-laki pada satu sisi, menyangkal atau membatasi akses (perempuan) terhadap sumberdaya ekonomi dan partisipasi politik, dan pada sisi lainnya, membebankan pembagian kerja secara seksual yang mengalokasikan mereka tugas-tugas yang berat, padat karya, namun miskin penghargaan baik didalam maupun diluar rumah, tidak ubahnya dengan menanggung jam kerja terpanjang. Kemudian program-program pembangunan memiliki efek-efek negatif, hal ini dirasakan secara akut oleh para perempuan (Sen dan Grown 1987: 26). Perempuan dikontrol melalui kererasan seksual. Sebagai contoh, ruang-

ruang publik secara fisik didominasi oleh laki-laki, mempersulit perempuan untuk membangun kehidupan di sektor formal (“publik”). Pendidikan modern dan media masa mengekalkan stereotip-stereotip yang bias seks. Serangkaian krisis yang saling berhubungan (meningkatnya kemiskinan, krisis makanan (pangan), kekacauan finansial, degradasi lingkungan, tekanan demografis) memperparah masalah yang ada, sehingga mayoritas penduduk dunia kesulitan untuk bertahan hidup. Daripada menyalurkan sumberdaya kedalam program-program anti kemiskinan, dan mereduksi beban subordinasi gender, bangsa-bangsa memiliterisasi sementara agensi-agensi donor mengekspresikan keputusasaan dan kurangnya perhatian. Agensi-agensi seperti Bank Dunia tidak menekankan perhatiannya pada kebutuhan-kebutuhan secara mendasar, namun malah mendukung penyesuaian struktural (structural adjustment).

Perbandingannya, pendekatan yang dimulai dari perspektif perempuan miskin Dunia Ketiga (dalam versi teori sudut pandang feminis) akan mereorientasikan analisis pembangunan kepada aspek-aspek kritis penggunaan dan penyalahgunaan sumberdaya, untuk mendominasi buruh perempuan dalam hal pemenuhan kebutuhan, dengan fokus perhatian pada kemiskinan dan ketidaksetaraan, dan memberikan kemungkinan-kemungkinan baru dalam memberdayakan perempuan (ada banyak contoh usaha-usaha pengorganisiran para perempuan miskin yang bekerja secara mandiri). Pendekatan kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimotori oleh agensi-agensi seperti Bank Dunia tahun 1970-an melibatkan pinjaman untuk daerah-daerah urban dan pelayanan-pelayanan, social forestry, dan bantuan untuk para petani kecil, namun hanya

Page 273: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

273

dibawah metodologi komersialisasi dan integrasi pasar, dan dalam konteks ketidaksetaraan, yang membawa kepada pembusukan permasalahan-permasalahan yang semestinya diselesaikan. Program pembangunan menggunakan pendekatan top-down untuk identifikasi proyek, perencanaan, dan impelementasi. Menurut Sen da Grown (1987: 40-41), kebijakan-kebijakan harus diorientasikan untuk mempertemukan kebutuhan-kebutuhan dasar penduduk. Mereka menganggap absennya partisipasi lokal bukan hanya tida demokratis namun juga tidak efisien. Pendekatan “penintegrasian perempuan dalam pembangunan” yang digunakan sepanjang Dekade PBB untuk Perempuan mempunyai beberapa cacat yang mendasar, tidak hanya karena kesulitan-kesulitan dalam mengatasi sikap atau pandangan dan prasangka kultural yang telah mendarah daging, tapi juga karena alam dari program-program pembangunan dalam mana perempuan diintegrasikan. Sen dan Grown berargumen bahwa “pendekatan-pendekatan amelioratif jangka-pendek untuk memperbaiki kesempatan-kesempatan kerja perempuan tidak efektif kecuali jika mereka dikombinasikan dengan strategistrategi jangka panjang untuk membangun kembali kontrol penduduk − terutama perempuan − terhadap keputusan-keputusan ekonomi yang membentuk kehidupan mereka.” Melalui yang terakhir tadi mereka bermaksud untuk menghancurkan struktur ketidaksetaraan antara gender dan kelas dan merencanakan perubahan-perubahan untuk mereorientasikan produksi untuk mempertemukannya dengan kebutuhan-kebutuhan mereka yang miskin. Hal ini berarti liberasi nasional, sebuah pergeseran dari orientasi ekspor yang untuk memenuhi kebutuhan internal, yang mereduksi anggaran militer, dan mengontrol korporasi-korporasi multinasional − yaitu, lebih kepada transformasi sosial daripada penyesuaian struktural.

Meskipun demikian, berdasarkan kritik Eva rathgeber (1990), dari Pusat Riset Pembangunan Internasional di Ottawa, Kanada, WAD mengabaikan relasi sosial gender dalam kelas dan tidak secara lengkap mempertimbangkan variasi-variasi partriarki dalam mode-mode produksi yang berbeda dan bagaimana hal ini berdampak pada perempuan. Daripada partriarki, pendekatan WAD menekankan relasi-relasi perempuan dalam struktur-struktur ketidaksetaraan kelas secara internasional. Kabeer (1994) berpendapat bahwa para Marxis yang bekerja dalam aliran ini kurang memberikan perhatian pada reproduksi. Juga, ketika datang kreasi dan implementasi proyek-proyek pembangunan, para kritikus mengkalim bahwa WAD, seperti WID cenderung mengelompokan perempuan secara bersama-sama tanpa memberikan banyak perhatian pada ras, kelas, atau etnisitas − namun, kita boleh menambahkan, hal ini mengabaikan penekanan Sen dan Grown yang jelas atas para perempuan miskin. Juga ada kesulitan dalam merubah struktur-struktur fundamental. Kabeer (1994) berpendapat bahwa para marxis dan feminis ketergantungan mengambil posisi berdiri yang tidak berkompromi yang mencegah mereka dalam membuat perubahan-perubahan efektif dan relaistis. Lebih jauh lagi, kritikus poststruktural melihat analisis-analisis Sen dan Grown (1987) yang menguniversalisasikan pembagian kerja secara seksual Barat dan mempekerjakan kategori-kategori seperti “buruh” dan “produksi” berakar dari budaya modernitas kapitalis yang tidak setara dalam mendeskripsikan masyarakat-masyarakat “lain.” Konsep-konsep tersebut diabstraksikan dari pengalaman-pengalaman historis Manusia Barat yang merepresi tidak hanya perempuan, tapi juga masyarakat “lain.” Para feminis yang menggunakan paradigma marxis belum mengatasi batasan-batasan

Page 274: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

274

ini. Secara luas paradigma ini merepresi, mendistorsi, dan mengaburkan banyak aspek eksistensi perempuan. Tambahan lagi, Sen dan Grown dikatakan mengkonstruksi para perempuan miskin dunia Ketida dalam imej-diri feminisme yang narsisistik. Daripada melindungi “para perempuan miskin Dunia Ketiga,” dianjurkan bahwa supaya kita harus belajar untuk belajar dari mereka, yang berarti mengapresiasi keluasan heterogenitas dilapangan. Para feminis Dunia Pertama seharusnya belajar untuk berhenti merasa privilese sebagai prempuan (Spivak 1988: 135-136). Konsekuensinya visi-visi alternatif Sen dan Grown dinyatakan terjerumus dalam pemikiran Androsentris Barat; mereka gagal menyediakan alternatif sejati untuk pembangunan mainstream (Hirsman 1995).

Gender dan Pembangunan

Pada mulanya perspektif WAD berawal dari para perempuan yang bekerja di Institute Studi Pembangunan, Universitas Sussex tahun 1970-an. Kelompok feminis ini tertarik dalam menganalisa pokok permasalahan dari relasi-relasi gender antara laki-laki dan prermpuan. Mereka pada awalnya melihatnya dari analisis-analisis Amrxis tentang perubahan sosial dan analisis-analisis feminis tentang partriarki (Young 1993: 134). GAD berbeda dari WID dalam konseptualisasinya tentang pembagian kerja secara seksual. Sementara WID cenderung menerima pembagian kerja secara seksual, namun berargumen bahwa nilai lebih seharusnya ditempatkan pada tugas-tugas yang dijalankan wanita, GAD menolak pemabagian kerja secara seksual, karena menurutnya hal tersebut merupakan sebuah sistem dimana laki-laki dan prempuan menjadi saling tergantung (dependen) satu sama lain, dan menyimpulkan bahwa alokasi tugas-tugas seharusnya diubah. Karya/kerja DAWN juga sangat memberikan kontribusi terhadap pendekatan GAD (Chowdry 1995; Rathgeber 1990).

Bagaimanapun juga, dalam pendekatan GAD, relasi-relasi gender daripada “Perempuan” menjadi kategori analitis utama, sementara sejumlah asumsi-asumsi yang diabaikan oleh WID dan WAD dieksplorasi secara lebih mendalam. Sebagai contoh, GAD berpendapat bahwa perempuan bukan merupakan sebuah kelompok yang homogen, namun dibagi berdasarkan kelas, ras, dan kepercayaan. Aturan-aturan perempuan dalam masyarakat seharusnya tidak dilihat sebagai otonom terhadap relasi-relasi gender. Ini menjadi suatu cara pandang terhadap struktur-struktur dan proses-proses yang memberikan perbaikan terhadap posisi perempuan yang kurang menguntungkan. Ketidakberuntungan datang dati ideologi global yang pervasif mengenai superioritas laki-laki; laki-laki memiliki kontrol terhadap perempuan. Kate Young (1993: 134-135), direktur eksekutif Kaum Perempuan Seluruh Dunia, berkata bahwa GAD adalah sebuah pendekatan holistik dimana gender diasumsikan sebagai prinsip hirarki sosial pokok yang membentuk sebuah orde; bentuk-bentuk kebudayaan tententu mengenai ketidaksetaraan dan pemisahan yang terjadi, dan gender diinterrelasikan dewngan hirarki yang dikreasikan secara sosial dan menyeluruh ini. Konsekuensinya, gender harus diakui sebgai bagian dari sistem internasional yang lebih luas. Sebagai contoh, kapitalisme menggunakan relasi-relasi gender untuk memproduksi cadangan buruh, sementara buruh perempuan rumah tangga yang tidak dibayar merupakan suatu cara korporasi-korporasi global untuk menciptkan kekayaan.

Ketika datang praktik pembangunan, GAD dilihat sebagai sebuah pintu masuk bagi perempuan sebagai aktor-aktor sosial diantara struktur-struktur constraint yang lebih luas:

Page 275: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

275

Oleh karena itu penting adanya untuk mengalisis bagaimana tekanan-tekanan lainnya ini (poitis, religius, rasial, dan ekonomis) berinterseksi dan mendinamiskan relasi-relasi gender, yang memprovokasi dalam beberapa hal respon-respon struktural daripada individul untuk memproduksi konfigurasi-kongurasi rasional yang bisa menjadi penekanan kembali bentuk-bentuk lama atau malah menjadi sesuatu yang baru. Sebagai gantinya, respon-respon individual boleh memanfaatkan momentum dan masifikasi yang menggiring mereka kepada suatu perubahan struktural (Young 1993: 139). Tidak seperti WID dan WAD, GAD melihat menganggap negara sebagai

aktor penting yang mempromosikan emansipasi perempuan. Rathgeber (1990) berpendapat bahwa GAD telah melangkah lebih jauh daripada WID atau WAD dalam mempertanyakan struktur-struktur politik, ekonomi, sosial yang mendasar. Hal ini menjadikan rekomendasi-rekomendasinya sulit untuk diimplementasikan, karena mereka tergantung pada perubahan struktural secara signifikan. Bagaimanapun juga, Kabeer (1994) berpendapat bahwa GAD juga membuka strategi-strategi untuk intervensi feminis. Pendekatan multivarian GAD membedakan antara kapitalisme, partriarki, dan rasisme, dan memungkinkan feminisme untk mengidentifikasikan tempat-tempat dalam kebijakan-kebijakan resmi untuk intervensi-intervensi strategis. Sementara beberapa memandang strategi-strategi ini penting bagi feminis untuk merespon kebutuhan-kebutuhan para perempuan miskin (Visvanathan 1997: 24), yang lainnya berpendapat bahwa GAD tidak bisa melepaskan dirinya dari tendensi-tendensi feminis, namun tetap mengesensialisasikan para perempuan miskin: Si miskin, perempuan Selatan yang rentan adalah sebuha imej yang kuat, dan adopsi gampangannya terhadap kedua teoretikus dan praktisi mainstream & pembangunan alternatif dapat dimengerti....Namun imej yang sebenarnya ini memperkuat dan mempertahankan wacana modernitas sangat esensial bagi hegemoni dan praktik-praktik pembangunan Utara. (Parpart dan Marchand 1995: 16-17).

Fokus pada imej dan wacana yang berawal dari pengaruh ide-ide posstruktural dan posmodern atas perdebatan tentang gender. Namun, sebelum kita mendiskusikan posmodernisme, kita kembali terlebih dahulu pada cabang penting pendekatan-pendekatan WAD dan GAD, sesuatu yang lebih berfokus pada relasi-relasi antara perempuan, pembangunan, dan lingkungan alam.

Perempuan, Lingkungan, dan Pembangunan

Perspektif ini bermula padatahun 1970-an sebagaimana para feminis menggambarkan hubunga pararel antara kontrol laki-laki terhadap alam dan kontrol laki-laki terhadap perempuan dan mengkoneksikan ilmu pengetahuan maskulin dan industrialisasi dengan perusakan-perusakan kesehatan ekologis planet ini. Carolyn Merchant (1980) melacak akar-akar dilema pembangunan dunia terhadap dunia luas yang dikembangkan oleh para penemu ilmu-ilmu pengetahuan modern (Francis Bacon, rene Descartes, Isaac Newton) yang mengkonseptualisasi realitas sebagai mesin daripada sebagai organisme yang hidup. Dia berpendapat bahwa konseptualisasi ini membawa dampak pada matinya alam sebagai makhluk hidup dan akselerasi eksploitasi manusia dan sumberdaya alam atas nama budaya dan kemajuan. Demikian juga, para ekofeminis yang tertarik pada Dunia Ketiga kontemporer, seperti Vandana Shiva

Page 276: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

276

dan Maria Mies, mengadopsi perspektif feminis radikal atas eksploitasi alam. Shiva (1989) berpendapat bahwa ilmu alam (pengetahuan) dan pembangunan bukan merupakan kategori-kategori universal namun lebih merupakan proyek-proyek spesial partriarki Barat yang sedang membunuh alam. Aktivitas pembangunan di Dunia Ketiga yang dilapisi oleh paradigma-paradigma ilmu pengetahuan dan ekonomi yang diciptakan oleh Barat, ideologi bias gender atas komunitas-komunitas yang sebelumnya (dianggap) terbenam dalam budaya-budaya berbeda dengan relasi-relasi dengan alam natural yang sama sekali berbeda. Sebagai korban kekerasan pembangunan partriarkis, perempuan menentang “pembangunan” untuk memproteksi alam dan mencadangkan makanan mereka:

Para perempuan India telah berada digaris depan dalam perjuangan-perjuangan ekologis untuk mengkonservasi hutan-hutan, tanah dan air. Mreka telah menantang konsep Barat tentang alam, sebagai sebuah objek eksploitasi dan telah memproteksi diri mereka sebgai Prakriti, kekuatan yang hidup yang menyokong kehidupan. Mereka menantang konsep Barat tentang produksi profit dan akumulasi kapital dengan konsep mereka sendiri tentang ekonomi sebgai produksi makanan dan pemuasan kebutuhan. Ilmu pengetahuan yang tidak menghargai keinginan-keinginan alam dan sebuah pembangunan yang tidak menghargai kebutuhan-kebutuhan penduduk tidak dapat dipungkiri lagi mengancam survival (Shiva 1989: xvii). Perjuangan ekologis secara simultan membebaskan alam dari eksploitasi

yang membabi-buta dan perempuan dari marginalisasi yang tak kenal batas. Dalam sebuah analisis tentang efek-efek Revolusi Hijau di daerah Punjab, perbatasan India-Pakistan, Shiva berpendapat bahwa asumsi alam sebgai sumber kelangkaan, dengan teknologi sebagai sumber yang mengkompensasikan keberlimpahan, menciptakan disrupsi-disrupsi ekologis dan kultural yang berakhir pada kerusakan tanah, panen-panen yang digerogoti pestisida, bencana-bencana tanah longsor, petani-petani yang hidup tidak berkecukupan, dan tingkat-tingkat konflik dan kekerasan yang belum pernah ditemui sebelumnya.

Menurut Diane Rocheleau, Barbara Thomas-Slayter, dan Esther Wangari (1996), para teoretikus pembangunan universitas Clark, ada beberapa perbedaan gender yang nyata dalam pengelaman-pengalaman adalam dan tangggung jawab lingkungan yand diderivasi dari biology namun dari konstruksi-konstruksi sosial gender yang berbeda dengan kelas, ras, dan tempat. Mereka melihat sarjana feminis lingkungan mengambil sejumlah bentuk. Beberapa aliran pemikiran, seperti feminisme sosialis, tidak setuju dengan pelukisan-pelukisan secara biologis terhadap perempuan sebagai pengasuh (nurturer), dan melihat perempuan dan lingkungan lebih dalam hal aturan-aturan reproduktif dan produktif di negara-negara berkembang. Sebagai contoh, Bina Agarwal (1991) berargumen bahwa para perempuan di India menjadi aktif bukan karena beberapa relasi “natural” dengan lingkungan (sebgaimana halnya Shiva) namun karena mereka menderita secara gender tertentu dari destruksi lingkungan. Para feminis tersebut keluar dari penekanan pemahaman ekologi secara kultural dan politis menuju pada kontrol yang tidak seimbang atas sembur daya (Peet dan Wtts 1996), namun memperlakukan gender sebagai sebuah variabel kritis dalam

Page 277: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

277

interaksi dengan kelas, ras, dan faktor-faktor lain yang membentuk proses-proses perubahan ekologis. Tiga tema dikelompokkan kedalam ekologi politis feminis: pengetahuan yang tergenderkan, yang direfleksikan dalam ilmu pengetahuan yang baru tumbuh tentang survival dalam rumah yang sehat, tempat kerja, dan ekosistem; hak-hak lingkungan yang tergenderkan, termasuk properti, sumberdaya, dan ruang; dan politik lingkungan yang tergenderkan, terutama keterlibatan perempuan dalam perjuangan-perjuangan kolektif terhadap sumberdaya-sumberdaya natural dan isu-isu lingkungan.

“Sustainable Development” menjadi isu sentral dalam perspektif WED. Gagasan ini menghubungkan ide-ide ekuitas antar generasi, mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan ekonomi dan lingkungan untuk memelihara/menghemat sumberdaya yang tidak terbarukan, dan mereduksi limbah dan polusi industrialisasi. ‘Sustainable development’ dilihat sebagai kesempatan untuk menantang Pembangunan = ekuasi Pertumbuhan ekonomi dari perspektif sebuah metodologi feminis. Ini artinya mendiferensiasikan feminisme bahkan dari gagasan-gagasan ekonomi dan pembangunan alternatif lainnya. Kemudian, menurut Wendi Harcourt (1994), alternatif “ilmu ekonomi real-life”, yang menginginkan ekspansi gagasan pembangunan untuk menanggulangi degradasi lingkungan, kemiskinan, dan partisipasi, masih menginginkan demistifikasi untuk menyingkap seksismenya. Sebagai contoh, ilmu ekonomi dalam bentuk model-model-model matematis bersifat reduksionis dan tidak cukup untuk mengekspresikan ambiguitas dan kontradiksi-kontradiksi dalam proses-proses yang kompleks. Bagai Harcort, juga, “ilmu ekonomi people-centered,” sebuah serangan atas kepentingan-sendiri, sebuah ilmu ekonomi untuk menjadikan dunia lebih baik, advokasi pembangunan dan investasi skala lokal penduduk, bermula dari, sebuah sudut pandang Eropasentris, adalah sebuah model universal (dengan variasi-variasi), dan menggunakan residu-residu (“investasi pada penduduk”) bahasa pertumbuhan ekonomi. Demikian juga, posdevelopmentalisme mengidealisasi relasi-relasi masyarakat tradisional dengan alam dan terlalu pesimistik, yang melihat tidak bergunanya modernitas Barat, padahal nyatanya kita harus berhadapan dengan kontradiksi-kontradiksi sebuah proses dimana tak dapat dipungkiri lagi kita telah terbenam didalamnya. Harcourt mendukung karya tentang budaya, ekonomi, dan modernisasi yang menunjukkan keretakan budaya-budaya oleh industrialisasi (Mazlish 1991). Hampir sama Frederique Apffel-Marglin dan Steven Marglin (1990), dari Perguruan Tinggi Smith, melihat ilmu ekonomi sebagai bagian sebuah episteme (sistem ide-ide dan wacana) berdasarkan logika dan rasionalitas yang dipisahkan dari konteks (logika instrumental kalkulasi); techne pengetahuan dengan pembandingan yang ditanamkan dalam praktik dan diperoleh melalui proses dalam sebuah komunitas; namun sivilisasi Barat hanya mengganggap episteme sebagai pengetahuan yang murni. Bagi para feminis, pergantian historis techne dengan episteme di Barat dan proses kontemporer penggantian kontemporer di Dunia Ketiga merendahkan wanita yang mengasuh (nurturing), dan keberlangsungan lingkungan. Ekonomi pembangunan Barat, dengan devaluasi alamnya, dan kegagalannya memperlakukan kebudayaan-kebudayaan lain secara bermartabat, dapat belajar dari mode-mode organisasi sosial lainnya daripada selalau mengasumsikan superioritas.

Page 278: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

278

Posmodernisme dan Pembangunan Perspektif PAD bereaksi terhadap titik singgung kontroversial dari kritik-

kritik poststruktural dan posmodern kedalam teori feminis denga menanyakan apakah feminisme posmodern yang lebih aksesibel dan terpolitisasi memiliki relevansi dalam permasalahan-permasalah yang dihadapi para perempuan masyarakat Dunia Ketiga. Perspektif PAD mengkritisi pandangan GAD sebagai merepresentasikan para perempuan Dunia Ketiga sebagai “lain” atau adalam kasus WID, menggunakan tiga imej, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai objek seks, dan perempuan sebagai makhluk yang terasing. Para feminis posmodern menemukan bahwa pandangan WID yang tertanam dalam wacana kolonial/neokolonial dan yang diabadikan dalam wacana liberal terhadap pasar, keduanya memperlemah perempuan. Secara partikular seruan bagi para teoretikus PAD adalah penekanan posmodernisme akan perbedaaan, yang menyediakan ruang bagi suara-suara yang dimarginalkan (hooks 1984), atau mengacaukan representasi perempuan Selatan sebagai ‘lain’ yang tidak berbeda (Mohanty 1991). Juga, kritik posmodern terhadap subjek kebenaran menyarankan aliansi antara posmodernisme dan feminisme berdasarkan kritik umum episteme modernis. Secara spesifik, kritik-kritik posmodern yang mempertanyakan kepastian kajian-kajian pembangunan Eurosentris, dan yang mengkritisi pembisuan pengetahuan lokal dengan propagasi keahlian Barat, relevan untuk pembangunan perempuan. Beberapa tema yang datang dari pertemuan antara feminisme, posmodernisme, dan pembangunan termasuk: sebuah kritik kolonial dan konstruksi kontemporer perempuan “Dunia Ketiga” − apa yang Apffel-Marglin sebut sebagai “orientalisme feminis”; dekontruksi yang meningkat atas wacana pembangunan, yang memperlemah perempuan miskin secara partikular; recovery pengetahuan dan suara-suara perempuan; selebrasi perbedaan dan identitas ganda; dan sebuah fokus pada dialog konsultatif antara para praktisi pembangunan dan “klien-klien” mereka.

Sebuah contoh boleh jadi dokontruksi Jane Partpart (1995) terhadap “ahli” pembangunan, yaitu, orang dengan pengetahuan spesial dan teknis mengenai dunia modern, menurut pendapat Parpart, tertanam dalam pemikiran Pencaerahan Barat, dengan spesialisasi pengetahuannya − semisal, ekonomi pembangunan, sebagai “ilmu pengetahuan kemajuan ekonomi.” Namun feminisme posmodern juga dikenal, secara ekstrem, dapat menghalangi aksi kolektif diantara perempuan, sementara jargon tulisan posmodern yang tak dapt ditembus adalh sebuah rintangan yang tak dapat diatasi bagi penduduk yang terjerumus dalam buta-huruf dan krisis ekonomi (Parpart dan Marchand 1995). Daripada meolak pembangunan secara bersamaan, kebanyakan feminis posmodrn dalam hal ini menyadari permsalahan-permasalahan riil yang dihadapi oleh para perempuan miskin dan keinginan untuk mengalamantkan isu-isu pembangunan. Mereka menyukai pendekatan “yang menerima dan mengerti perbedaan dan kekuasaan wacana, dan yang membantu pengembangan dialog yang terbuka dan konsultatif yang dapat memberdayakan para perempuan Selatan untuk mengertikulasikan keinginan-keinginan dan agenda-agenda mereka (Parpart dan Marchand 1995: 19).

Page 279: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

279

WID Perempuan dalam Pembangunan

Teori modernisasi liberal Restrukturisasi program-program

pembangunan, Kesejahteraan, hak kekayaan, anti-kemiskinan,

pemberdayaan efisiensi

WAD Perempuan dan Pembangunan

Feminisme Sosialis Pembangunan Alternatif

Ketergantungan, Kapitalisme Global, Partriarki

GAD Gender dan Pembangunan

Feminisme Radikal Emasnsipasi Wanita

Kapitalisme, Partriarki, Rasisme

Kritik

Apa yang membedakan perspektif feminis terhadap proses pembangunan?

Pembangunan sebagai sebuah praktik yang disadari, seperangkat kebijakan, merubah relasi-relasi perempuan terhdap laki-laki, yang menggeser sumberdaya dari wilayah kontrol laki-laki, yang menjadikan perempuan lebih rentan terhadap malapetaka, apakah itu secara natural atau sosial pada titik ia bermula. Sebagaimana sarjana feminis memperdalam, berusaha untuk menggambarkan sebab-sebab permasalahan ini demikian juga berhenti mempertimbangkan defisiensi-defisiensi dalam distribusi keuntungan material, untuk kemudian mengarah kepada ketidaksetaraan dalam kontrol terhadap sumber daya produktif, untuk kemudian menyerang androsentrisme, yang berpangkal dari ide-ide kultural Barat tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Carolyn Merchant (1980: 11) berkata bahwa teori feminis membuat masyarakat menjadi kacau balau. Dan pada pengamatan pertama kritik feminis terhadap pembangunan nampak memandang dunia secara terbalik, melihat yang normal sebagai tidak normal, yang patut dipuji sebagai yang patut dibenci, dan yang terlihat wajar sebagai tidak wajar. Dalam perasaan ini, kritisisme dari sudut pandang feminis cenderung membalikkan tren dominan, bergerak dalam mendukung antitesis, melihat apapun sebagai oposisi. Jadi “kebijakan pembangunan” yang diinspirasikan feminis (jika istilah-istilahnya tidak kontradiktif) akan melihat burh produktif sebagai kerja reproduktif.

Namun hal ini akan menyiratkan semata-mata kebalikannya sebagaimana kontribusi feminisme terhadap teori pembangunan. Terlebih lagi hal ini sedang melaju secara tidak pantas perspektif-perspektif feminis yang berubah-ubah (dari WID ke PAD). Pandangan teoretis yang berasal dari pemikiran tentang pengalaman-pengalaman kelompok-kelompok masyarkat tertentu, dan sejarah-sejarah ini adalah jauh melebihi reaksi-reaksi feminis terhadap dominasi laki-lai di

WED Perempuan, Lingkungan, dan

Pembangunan Ekologi politis Feminis

Pembangunan Berkelanjutan Pengetahuan Gender, hak-hak, & Politik

PAD Posmodernisme dan Pembangunan

Feminisme Posmodern Pascapembangunan, Pembangunan

yang Berbeda, Representasi, Wacana, Pengetahuan Lokal

Page 280: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

280

Barat. Sebagaimana pemikiran feminis berubah, dibawah tekanan konstan dari kritik dan counterkritik, percobaan-percobaan secara meluas dilakukan untuk mengenali, dan bahkan berpikir dari, pengalaman-pengalaman penduduk dunia yang berbeda-beda (terutama dari kelompok-kelompok perempuan yang berbeda-beda), dari pengalaman-pengalaman, yang respeknya sama pada satu sisi, dan yang respeknya tidak bisa disamakan pada sisi yang lain. Tidak bisa disamakan maksudnya adalah bahwa para teoretikus perempuan Barat tidak boleh hanya membalikkan keterpusatan-pada laki-laki (male-centeredness) ala Barat, tapi lebih pada keharusan untuk menemukan hal-hal yang baru. Lebih penting lagi, pembalikan ala perempuan Barat bukan satu tradisi dalam pemikiran kritis feminis. Ada sebuah dunia pengalaman-pengalaman yang berbeda yang menunggu untuk dikenali, digambarkan, dikritisi, namun juga diapresiasi. Demikian juga, intervensi-intervensi terhadap proses pembangunan mempunyai banyak bentuk, beberapa diantaranya ada yang sama namun ada juga yang tidak bisa disamakan, satu sama lain, sehingga “feminisme global” dikatakan ‘terbaik’ jika ia merupakan sebuah jaringan toleransi, namun dikatakan ‘terburuk’ jika ia merupakan pertengkaran yang tidak berisi sama sekali. Maksudnya adalah bahwa “pembangunan” seharusnya memahami sebagaimana reproduksi yang berpusat pada perbaikan mempunyai banyak bentuk yang beragam dimana kontinuitas atau kesamaan proyek akan mempersulit, dalam beberapa hal, tidak akan mungkin (impossible). Bahkan kata “proyek” atau “perbaikan” menyiratkan, ketaatan kepada perspektif PAD, pembaptisan kedalam pemikiran Barat, keterjebakan pada imaginasi oleh tema-tema kemajuan (progress) Barat. Bagi yang lain, dalam aliran WAD sebagai contoh, pembaptisan kedalam pemikiran Barat melibatkan interaksi antar tradisi, sehingga perjuangan-perjuangan anti-kolonial (dirumah dan dikoloni-koloni) adalah juga bagian-bagian tema kemajuan (progress) “Barat”. Apakah tema-tema emansipatoris dan pembangunan suatu hal yang umum bagi para penduduk yang diopresi? Dan apakah mungkin untuk mensintesiskan perbedaan dan persamaan melalui suatu dialektika yang tidak menyelami perbedaan dalam persamaan? Kita berpikir bahwa hal seperti ini dicoba oleh posisi WAD dalam pembangunaisme feminis. Kita menemukan bahwa kritisisme WAD terlalu berlebihan, dan ingin wacana ini dikembalikan kepada agenda yang diatur oleh Sen dan Grown (1987) − yang meretakkan struktur ketidaksetaraan; mereorientasikan produksi untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan para penduduk miskin; yang mengkombinasikan perbaikan-[erbaikan tidak langsung, amelioratif dengan strategi-strategi jangka-panjang yang membangun kontrol perempuan atas keputusan-keputusan − tema-tema yang kita angkat lagi dalam bab kesimpulan, yang berasal dari sebuah sosialisme feminis.

Bagaimanapun juga, sementara membaca literatur terbaru tentang feminisme dan pembangunan, kita tidak bisa tidak harus mencatat keragu-raguan dari ide-ide yang diekspresikan, tendensi untuk mengulangi beberapa tema yang mapan, alam kesimpulan yang tidak lengkap. Secara virtual keseluruhan wacana perempuan dan pembangunan terdiri dari esay-esay, yang kebanyakan berupa studi kasus yang mengeksemplifikasi tema-tema general yang jarang atau belum pernah dinyatakan. Secara partikular ini merupakan kasus dengan proposal-proposal konkret untuk perubahan; studi-studi yang meneriakkan beberapa proposal mengenai apa yang harus dilakukan pada akhir dari situasi-situasi keputus-asaan dimana mereka sebaiknya mengusulkan, atau menyebutnya (secara aman) “penelitian lanjutan.” Secara sekilas, permasalahan

Page 281: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

281

meliputi reluktansi feminis untuk “berbicara untuk yang lain” tidak hanya menyangkut resep dari para perempuan Barat untuk para perempuan non-Barat mengenai apa yang mereka harus lakukan demi perubahan, namun juga (resep) dari para perempuan elit non-Barat bagi para perempuan petani kecil (peasant) non-barat. Namun inti permasalahannya lebih kepada “berbicara untuk yang lain.” Pemikiran feminis, ekstremnya, meliputi restrukturisasi imaginasi untuk berpikir dalam cara-cara yang sama sekal baru. Tapi bagaimana cara-cara baru pemikiran (bisa) berimaginasi ketika imaginasi itu sendiri telah terstruktur, apakah dengan proses pendidikan yang didominasi laki-laki, atau secara negatif oleh kritik-kritik androsentrisme dalam ilmu pengetahuan, teori, dan budaya.

Page 282: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

282

Hand-Out 10: STRATEGI AGITASI & PROPAGANDA

Pengantar Istilah agitasi, propaganda, dan retorika atau orang sering menyebutnya

AGITOP (Agitasi, Orasi dan Propaganda) adalah bagian dari “cara” berkomunikasi. Sebetulnya ada banyak cara berkomunikasi lainya seperti penerangan, jurnalistik, humas, publisitas, pameran, dll. Seperti apa yang menjadi tujuan umum dari komunikasi maka AGITOP ditujukan juga untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku orang lain seperti yang diharapkan oleh komunikator (pengirim pesan).

Karena terkait masalah perilaku individu dalam situasi sosial, AGITOP tidak lepas dari masalah psikologi sosial. AGITOP akan menjadi efektif apabila disertai dengan pemahaman atas faktor-faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi sikap, maupun perilaku individu maupun kelompok. Faktor internal seperti kepribadian, sistem nilai, motivasi, serta sikap terhadap sesuatu yang ada disekitarnya, sedangkan secara eksternal dipengaruhi oleh sistem nilai yang hidup ditengah masyarakat, kondisi lingkungan alam, tata ruang dan kondisi sosial ekonomi.

AGITOP menjadi penting bagi organisasi masyarakat (ormas) maupun partai politik (parpol) hingga perusahaan komersial sekalipun karena menyangkut upaya-upaya untuk mecapai kemenangan maupun mempengaruhi sikap, pendapat maupun perilaku dari pihak-pihak lain baik itu pihak musuh (politik, ideologi, saingan bisnis), pihak netral maupun kawan. Bagi ormas atau Parpol, muara dari AGITOP ditujukan bagi sasaran pencapaian ke arah cita-cita perubahan sosial dari ideologi ormas, atau parpol yang bersangkutan.

Seorang Komunikator (agitator, propagandator, ataupun orator) yang baik, setidak-tidaknya harus mengerti unsur-unsur dasar komunikasi. Pakar komunikasi Harold Lasswell (1972) menyebutnya dalam pertanyaan: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect ?. (Siapa mengatakan apa melalui apa untuk siapa dan pengaruhnya apa ?). Siapa (Komunikator), mengatakan apa (Pesan), melalui apa (Media), untuk siapa (komunikan/penerima pesan), pengaruhnya apa (efek). Analisa yang mendalam terhadap unsur-unsur komunikasi diatas juga akan turut mempertajam strategi komunikasi bagi sebuah organisasi. Agitasi

Dalam makna denotatifnya, agitasi berarti hasutan kepada orang banyak untuk mengadakan huru-hara, pemberontakan dan lain sebagainya. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh tokoh/aktivis partai politik, ormas dan lain sebagainya dalam sesi pidato maupun tulisan. Dalam praktek, dikarenakan kegiatan agitasi yang cenderung “menghasut” maka seringkali disebut sebagai kegiatan “provokasi” atau sebagai perbuatan untuk membangkitkan kemarahan. Bentuk agitasi sebetulnya bisa dilakukan secara individual maupun dalam basis kelompok (massa). Beberapa perilaku kolektif yang dapat dijadikan sebagai pemicu dalam proses agitasi adalah :

1. Perbedaan kepentingan, seperti misalnya isu SARA (Suku, Agama, Ras). Perbedaan kepentingan ini bisa menjadi titik awal keresahan masyarakat yang dapat dipicu dalam proses agitasi

Page 283: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

283

2. Ketegangan sosial, ketegangan sosial biasanya timbul sebagai pertentangan antar kelompok baik wilayah, antar suku, agama, maupun pertentangan antara pemerintah dengan rakyat.

3. Tumbuh dan menyebarnya keyakinan untuk melakukan aksi, ketika kelompok merasa dirugikan oleh kelompok lainya, memungkinkan timbul dendam kesumat dalam dirinya. Hal ini bisa menimbulkan keyakinan untuk dapat melakukan suatu aksi bersama;

Dalam politik, ketiga perilaku kolektif diatas akan menjadi ledakan sosial

apabila ada faktor penggerak (provokator)nya. Misalnya ketidakpuasan rakyat kecil terhadap kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada mereka juga bisa menjadi sebuah alat pemicu yang efektif untuk mendongkel sebuah rezim. Dalam tahap selanjutnya, mobilisasi massa akan terbentuk apabila ledakan sosial yang muncul dapat memancing solidaritas massa. Hingga pada eskalasi tertentu mebisa munculkan kondisi collaps.

Dalam proses agitasi pemahaman perilaku massa menjadi penting. Agar agitasi dapat dilakukan secara efektif maka perlu diperhatikan sifat orang-orang dalam kelompok(massa) seperti ; massa yang cenderung tidak rasional, mudah tersugesti, emosional, lebih berani mengambil resiko, tidak bermoral. Kemampuan seorang agitator untuk mengontrol emosi massa menjadi kunci dari keberhasilan proses agitasi massa. Sedangkan pendekatan hubungan interpersonal merupakan kunci sukses dalam agitasi individu. Propaganda

Propaganda sendiri berarti penerangan ( paham, pendapat, dsb) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang lain agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu. Kegiatan propaganda ini banyak dipakai oleh berbagai macam organisasi baik itu orgnisasi massa, parpol, hingga perusahaan yang berorientasi profit sekalipun baik kepada kawan, lawan maupun pihak netral. Propaganda juga merupakan inti dari kegiatan perang urat syaraf (nerve warfare) baik itu berupa perang ideologi, politik, ide, kata-kata, kecerdasan, dll. Kegiatan propaganda menurut bentuknya seringkali digolongkan dalam dua jenis, yaitu propaganda terbuka dan tertutup. Propaganda terbuka ini dilakukan dengan mengungkapkan sumber, kegiatan dan tujuannya secara terbuka. Sebaliknya, propaganda tertutup dilakukan dengan menyembunyikan sumber kegiatan dan tujuannya.

Para pakar organisasi menggolongkan 3 (tiga) jenis model propaganda. Menurut William E Daugherty, ada 3 (tiga) jenis propaganda :

1. Propaganda putih (white propaganda ), yaitu propaganda yang diketahui sumbernya secara jelas, atau sering disebut sebagai propaganda terbuka. Misalnya propaganda secara terang-terangan melalui media massa. Biasanya propaganda terbuka ini juga dibalas dengan propaganda dari pihak lainya (counter propaganda).

2. Propaganda Hitam (black propaganda), yaitu propaganda yang menyebutkan sumbernya tapi bukan sumber yang sebenarnya. Sifatnya terselubung sehingga alamat yang dituju sebagai sumbernya tidak jelas.

3. Propaganda abu-abu (gray propaganda), yaitu propaganda yang mengaburkan proses indentifikasi sumbernya.

Page 284: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

284

Penerbit Harcourt, Brace and Company menyebarkan publikasi berjudul The Fine Art of Propaganda atau yang sering disebut sebagai the Device of Propaganda (muslihat propaganda) yang terdiri dari 7 (tujuh) jenis propaganda sebagai berikut :

1. Penggunaan nama ejekan, yaitu memberikan nama-nama ejekan kepada suatu ide, kepercayaan, jabatan, kelompok bangsa, ras dll agar khalayak menolak atau mencercanya tanpa mengkaji kebenaranya.

2. Penggunaan kata-kata muluk, yaitu memberikan istilah muluk dengan tujuan agar khalayak menerima dan menyetujuinya tanpa upaya memeriksa kebenaranya.

3. Pengalihan, yaitu dengan menggunakan otoritas atau prestise yang mengandung nilai kehormatan yang dialihkan kepada sesuatu agar khalayak menerimanya.

4. Pengutipan, yaitu dilakukan dengan cara mengutip kata-kata orang terkenal mengenai baik tidaknya suatu ide atau produk, dengan tujuan agar publik mengikutinya.

5. Perendahan diri, yaitu teknik propaganda untuk memikat simpati khalayak dengan meyakinkan bahwa seseorang dan gagasannya itu baik.

6. Pemalsuan, yaitu dilakukan dengan cara menutup-nutupi hal-hal yang faktual atau sesungguhnya dengan mengemukakan bukti-bukti palsu sehingga khalayak terkecoh.

7. Hura-hura, yaitu propaganda dengan melakukan ajakan khalayak secara beramai-ramai menyetujui suatu gagasan atau program dengan terlebih dahulu meyakinkan bahwa yang lainya telah menyetujui.

Seperti halnya komunikasi lainya maka ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam melakukan propaganda : 1. Siapa yang dijadikan sasaran propaganda, kawan, lawan, atau pihak

netral 2. Media apa yang akan dipergunakan, surat kabar, radio, majalah, televisi,

sms, buku, film, pamlet, poster dll. Untuk musuh misalnya melalui desas-desus dan pihak netral dengan negosiasi atau diplomasi

3. Pesan apa yang akan disebarkan 4. Apa yang menjadi tujuan dari propaganda, misalnya ketakutan ,

kekacauan, ketidakpercayaan dsb. Retorika

Retorika menurut arti katanya adalah ilmu bicara (rhetorica). Menurut Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren adalah seni penggunaan bahasa secara efektif. Namun sebagian besar pakar komunikasi mengartikan retorika tidak hanya menyangkut pidato (public speaking), tapi juga termasuk seni menulis. Menurut A. Hitler hakekat retorika adalah senjata psikis untuk untuk memelihara massa dalam keadaan perbudakan psikis.

Retorika sebagai seni berbicara sudah dipelajari sejak abad ke lima sebelum masehi, yaitu sejak kaum Sophis di Yunani mengajarkan pengetahuan mengenai politik dan pemerintahan dengan penekanan utama dalam kemampuan berpidato. Georgias (480-370 SM) sebagai tokoh aliran Sophisme menyatakan kebenaran suatu pendapat hanya dapat dibuktikan jika tercapai kemenangan dalam pembicaraan.

Page 285: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

285

Namun karena dalam praktek retorika lebih cenderung dimaksudkan untuk memutarbalikan fakta demi kemenangan, maka Plato mendirikan akademia sebagai proses pencarian kebenaran dengan pengembangan thesa dan antithesa. Menurut Plato sendiri retorika bertujuan untuk memberikan kemampuan menggunakan bahasa yang sempurna dan merupakan jalan bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan dalam terutama dalam bidang politik.

Menurut Effendy, dengan mencontohkan pada figur Bung Karno, seorang orator politik yang baik setidak-tidaknya harus memiliki tiga prasyarat sebagai berikut : Ethos, kredibilitas sumber. Pathos, menunjukan imbauan emosional. Logos, menunjukan imbauan logis. Menurut teori, setidaknya ada empat bagian dalam pidato :

1. Exordium (kepala), adalah bagian pendahuluan. Fungsinya sebagai pengantar ke arah pokok persoalan yang akan dibahas dan sebagai upaya untuk menyiapkan mental para hadirin. Yang terpenting adalah membangkitkan perhatian. Beberapa cara untuk mengundang perhatian adalah sebagai berikut : Mengemukakan kutipan, mengajukan pertanyaan, menyajikan ilustasi yang spesifik, memberikan fakta yang mengejutkan, menyajikan hal yang mengundang rasa manusiawi, mengetengahkan pengalaman yang ganjil. Tentu dari sekian cara tersebut juga harus disesuaikan dengan latar belakang kebudayaan dan pendidikan.

2. Protesis (Punggung), adalah bagian pokok pembahasan yang ditampilkan dengan terlebih dahulu mengemukakan latar belakangnya.

3. Argumenta (Perut), adalah batang tubuh dari pidato yang merupakan satu kesatuan dengan punggung atau pokok pembahasan. Argumenta adalah alasan yang mendukung hal-hal yang dikemukakanpada bagian protesis.

4. Conclusio( ekor), adalah bagian akhir dari naskah pidato yang merupakan kesimpulan dari uraian keseluruhan sebelumnya. Konklusia adalah merupakan sebuah penegasan , hasil pertimbangan yang mengandung justifikasi si orator. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun conclusio : jangan mengemukankan fakta baru, jangan menggunakan kata-kata mubazir, jangan menampilkan hal-hal yang menimbulkan antiklimaks.

Pidato dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan teks dan

tanpa teks. Namun semuanya harus tetap dipersiapkan dengan baik. Pepatah tua mengatakan “Qui ascendit sine labore, desendit sine honore” (siapa yang naik tanpa kerja, akan turun tanpa penghormatan”.

Page 286: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

286

Hand-Out 11: STRATEGI NEGOSIASI & LOBBY

Teknik Negosiasi Untuk Sukses Seringkali orang awam akan menangkap kesan bahwa negosiasi

merupakan istilah lain untuk mengatakan “keterlibatan dalam konflik”. Namun menurut Oxford Dictionary negosiasi didefinisikan sebagai: “pembicaran dengan orang lain dengan maksud untuk mencapai kompromi atau kesepakatan, untuk mengatur atau mengemukakan.” Istilah-istilah lain kerap digunakan pada proses ini seperti: pertawaran, tawar-menawar, perundingan, perantaraan atau barter. Dengan kata lain negosiasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu keadaan yang dapat diterima kedua belah pihak. Negosiasi diperlukan ketika kepentingan seseorang atau suatu kelompok tergantung pada perbuatan orang atau kelompok lain yang juga memiliki kepentingan-kepentingan tersebut harus dicapai dengan jalan mengadakan kerjasama. Negosiasi adalah pertemuan antara du pihak dengan tujuan mencapai kesepakatan atas pokok-pokok masalah yang :

1. Penting dalam pandangan kedua belah pihak 2. Dapat menimbulkan konflik di antara kedua belah pihak 3. Membutuhkan kerjasama kedua belah pihak untuk mencapainya.

Dalam konteks bisnis/ kerja, negosiasi terjadi secara ajeg antara: 1. Majikan dan karyawan [upah, fasilitas] 2. Duta penjualan dengan pembeli di seputar harga dan kontrak 3. Departemen sehubungan dengan alokasi sumber daya

Negosiasi tidaklah untuk mencari pemenang dan pecundang; dalam setiap negosiasi terdapat kesempatan untuk menggunakan kemampuan sosial dan komunikasi efektif dan kreatif untuk membawa kedua belah pihak ke arah hasil yang positif bagi kepentingan bersama. Berdasarkan uraian singkat di atas, bisa dikatakan bahwa negosiasi memiliki sejumlah karakteristik utama, yaitu:

1. Senantiasa melibatkan orang – baik sebagai individual, perwakilan organisasi atau perusahaan, sendiri atau dalam kelompok;

2. Menggunakan cara-cara pertukaran sesuatu –baik berupa tawar menawar (bargain) maupun tukar menukar (barter);

3. Negosiasi biasanya menyangkut hal-hal di masa depan atau sesuatu yang belum terjadi dan kita inginkan terjadi;

4. Ujung dari negosiasi adalah adanya kesepakatan yang diambil oleh kedua belah pihak, meskipun kesepakatan itu misalnya kedua belah pihak sepakat untuk tidak sepakat.

5. Hampir selalu berbentuk tatap-muka –yang menggunakan bahasa lisan, gerak tubuh maupun ekspresi wajah;

6. Memiliki ancaman terjadinya atau di dalamnya mengandung konflik yang terjadi mulai dari awal sampai terjadi kesepakatan dalam akhir negosiasi;

Walau mengandung konflik, lobby atau negosiasi sejatinya merupakan

cara yang paling efektif untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik atau perbedaan kepentingan. Dengan mengembangkan kemampuan lobby dan negosiasi, setiap pihak bisa mendapatkan apa yang dibutuhkannya tanpa harus melakukan cara-cara ekstrim, seperti perang, pemaksaan, atau perebutan.

Page 287: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

287

Secara umum, suatu proses lobby atau negosiasi akan menghasilkan 4 kemungkinan:

1. Kuadran Kalah-kalah (Menghindari konflik). Kuadran keempat ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Kita tidak memaksakan keinginan kita dan sebaliknya tidak terlalu menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dikuasai pihak lain. Cara ini sebetulnya hanya bisa kita lakukan untuk potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting. Jadi agar tidak menjadi beban dalam pikiran atau kehidupan kita, sebaiknya memang setiap potensi konflik harus dapat segera diselesaikan

2. Kuadran Menang-kalah (Persaingan). Kuadran kedua ini memastikan bahwa kita memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya kita menggunakan kekuasaan atau pengaruh kita untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut kita yang keluar sebagai pemenangnya. Biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau kompetisi di antara kedua pihak. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah, sehingga sebaiknya hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tegas.

3. Kuadran Kalah-menang (Mengakomodasi). Agak berbeda dengan kuadran kedua, kuadran ketiga yaitu kita kalah – mereka menang ini berarti kita berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya ini kita gunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang kita inginkan. Mengalah dalam hal ini bukan berarti kita kalah, tetapi kita menciptakan suasana untuk memungkinkan penyelesaian yang paripurna terhadap konflik yang timbul antara kedua pihak. Mengalah memiliki esensi kebesaran jiwa dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk juga mau mengakomodasi kepentingan kita sehingga selanjutnya kita bersama bisa menuju ke kuadran pertama.

4. Menang-menang (Kolaborasi). Kuadran pertama ini disebut dengan gaya manajemen kolaborasi atau bekerja sama. Tujuan kita adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya. Proses ini memerlukan komitmen yang besar dari kedua pihak untuk menyelesaikannya dan dapat menumbuhkan hubungan jangka panjang yang kokoh. Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut.

Page 288: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

288

Pentingnya Sikap Terhadap Perselisihan Dan Konflik

Negosiator yang berhasil memiliki sikap yang positif. Mereka dapat memandang konflik sebagai sesuatu yang normal dan konstruktif. Ketrampilan yang mereka gunakan untuk memecahkan konflik bukanlah “sulap”. Ketrampilan tsb dapat dipelajari. Sikap kita selalu penting, dan ini terutama berlaku dalam bernegosiasi. SIKAP mempengaruhi sasaran kita, dan sasaran mengendalikan cara orang bernegosiasi. Cara kita bernegosiasi menentukan hasilnya. Mengembangkan Filosofi Sama-Sama Menang Dalam Negosiasi

Masing-masing pihak di dalam suatu negosiasi tentu ingin menang. Negosiasi yang berhasil berakhir dengan sesuatu yang dibutuhkan oleh kedua pihak. Setiap kali seorang negosiator mengancangi suatu situasi pertawaran dengan gagasan, “ Saya harus menang, dan benar-benar tidak peduli tentang pihak lawan”, maka bencana pun sudah diambang pintu. Konsep negosiasi sama-sama menang tidak sekadar didasarkan pada pertimbangan etika. Pihak yang mengakhiri suatu negosiasi dengan perasaan bahwa ia telah tertipu mungkin berusaha membalas dendam belakangan.

Negosiasi sama-sama menang secara sederhana adalah “bisnis yang baik”. Ketika pihak-pihak yang berkepentingan di dalam suatu perjanjian merasa puas dengan hasilnya, mereka akan berusaha membuat perjanjian itu berhasil, tidak sebaliknya. Mereka pun akan bersedia untuk bekerja sama satu sama lain pada masa datang. Barangkali anda bertanya, “Bagaimana saya bisa menang di dalam suatu negosiasi bila saya membolehkan pihak lawan juga memenuhi kebutuhan mereka?”. Jawaban pertanyaan ini terletak pada kenyataan bahwa orang yang berbeda mempunyai kebutuhan yang berbeda.

Bagi sebagian orang, kata kompromi mempunyai maknayang negatif. Bagi yang lain, kata ini menggambarkan prinsip beri/ terima yang perlu dalam kehidupan sehari-hari. Umumnya tidak mungkin untuk mendapatkan sesuatu secara gratis – tampaknya selalu ada harga atau konsesi yang harus dibuat untuk menerima apa yang anda inginkan. Kata kompromi secara sederhana berarti membuat dan/ atau menerima konsesi [kelonggaran]. Keberhasilan negosiasi pada intinya dapat ditingkatkan dengan sudut pandang pendekatan yang tepat. Bagian-bagian berikut memberikan tuntunan yang memadai di bawah sub-sub judul :

Page 289: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

289

a) Pokok masalah yang dinegosiasikan Waspadai adanya beberapa konteks dimana negosiasi tidak tepat untuk

diadakan : 1. Menegosiasikan syarat-syarat perdagangan yang telah ditentukan oleh

perusahaan dengan aturan yang tegas 2. Menegosiasikan pokok-pokok yang mengabaikan peraturan mengenai

diskriminasi ras, jenis kelamin, atau diskriminasi lainnya. 3. Menegosiasikan prosedur dan tata-tertib perusahaan 4. Menegosiasikan keputusan perusahaan yang telah diumumkan. 5. Mengadakan negosiasi ketika semua pihak tidak hadir

b) Persiapan negosiasi Setelah memastikan persoalan yang dapat Anda negosiasikan, maka

selanjutnya adalah menentukkan apa yang Anda ingin capai, dan dengan siapa, pada setiap tahap negosiasi. Kenalilah tujuan-tujuan Anda, faktor-faktor yang sangat penting, dan hal-hal yang dapat Anda relakan dalam kondisi tertentu. Hanya setelah Anda menentukkan sasaran Anda, maka dapat dimulai mempersiapkan negosiasi. Dengan waktu yang Anda miliki, usahakanlah untuk mengetahui sebanyak-banyaknya tentang pihak lain :

1. Apakah dia independen atau bagian dari suatu tim? 2. Apakah dia memiliki wewenang untuk membuat keputusan tanpa harus

mengadakan rujukan balik? 3. Jenis orang seperti apakah dia? 4. Bagaimana tingkat pengalamannya sebagai seorang negosiator? 5. Jenis pendekatan apa yang mungkin digunakan untuk mencapai hasil

terbaik? 6. Apakah kepentingan-kepentingannya, dan dengan urutan prioritas yang

bagaimana? 7. Perilaku seperti apa yang dapat Anda harapkan dari orang tersebut?

c) Mencapai suasana yang tepat Suasana diciptakan dalam waktu yang sangat singkat : beberapa detik

atau menit. Suasana dipengaruhi oleh hubungan antara pihak-pihak pada waktu lampau, harapan mereka saat ini, sikap persepsi, dan keahlian yang mereka miliki dalam bernegosiasi. Suasana dipengaruhi oleh konteksi pertemuan, lokasi, penataan tempat duduk, tingkat formalitas, penataan ‘domestik’. Pada periode ice-breaking, Anda hendaknya berupaya untuk menciptakan suasana yang hangat, bersahabat, penuh kerja sama, dan praktis. Komunikasi verbal maupun non verbal [spt kontak mata] yang bersahabat dapat membantu menciptakan kondisi yang membuat orang-orang termotivasi untuk bekerja sama ; demikian pula sebalinya.

d) Taktik-Taktik Negosiasi

Negosiator yang berpengalaman akan mencari kerjasama dalam topik-topik yang netral; negosiator yang mencari kekuasaan, akan berusaha untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan Anda, serta prioritas dan perhatian Anda. Setelah menentukan tujuan-tujuan Anda, strategi dan kekuatan relatif tawar menawar Anda, pendekatan apa yang Anda ingin gunakan dalam proses negosiasi? Taktik-taktik apa yang akan Anda gunakan?

Page 290: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

290

1. Apakah Anda membuka dengan mengajukan permintaan-permintaan Anda terlebih dahulu atau belakangan?

2. Bagaimana Anda mengambil inisiatif? a. dengan bersiteguh atau tidak mau berkompromi? b. Dengan mengajukan argumen yang kuat, bersungguh-sungguh

untuk mencapai hasil yang adil? 3. Rencana cadangan apa yang Anda miliki untuk menghadapi hal-hal yang

tidak diharapkan? Menghentikan negosiasi? Kembali pada unsur pokok untuk mendapatkan tuntunan? Menyetujui, tetapi kemudian tidak menepati kesepakatan tersebut? Apakah konsekuensi dari setiap tindakan ini dalam jangka pendek/ dalam jangka panjang, dalam kaitan dengan kredibilitas Anda dan kekuatan tawar menawar pihak lain?

4. Apakah yang Anda ketahui mengenai individu-individu dalam tim lain? Kekuatan dan kelemahan mereka? Kepribadian mereka? Apakah mereka memilih gaya tertentu yang dapat Anda serang?

5. Bagaimana kemahiran mereka dalam menggertak? Bagaimana dengan kemahiran Anda sendiri? Apakah gertakan merupakan taktik yang bermanfaat dalam situasi tertentu?

6. Apakah Anda yakin dapat membedakan antara fakta, opini, asumsi, dan rumor? Akankah pihak lain menerima fakta-fakta yang Anda miliki?

7. Bagaimana Anda dapat menjual keuntungan-keuntungan proposal Anda dengan sebaik-baiknya?

8. Bagaimana Anda dapat menjelaskan dengan sebaik-baiknya konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan apabila pihak lain menolak usul Anda?

9. Bagaimana Anda menangani kelemahan proposal/ argumen Anda? 10. Apakah argumen Anda masuk akal / logis, atau lebih bersifat emosional?

Atau di antara keduanya? Dimana Anda dapat menggunakan salah satu argumen di atas dengan sebaik-baiknya.

11. Kapan saat terbaik untuk mengajukan proposal Anda? Bagaimana agar Anda dapat menggunakan waktu yang tersedia dengan sebaik-baiknya?

12. Dimana Anda ingin negosiasi tersebut diadakan? Dikandang sendiri? Di kandang mereka [lawan]? Di tempat netral?

13. Siapakah yang Anda inginkan untuk memimpin pertemuan? Anda atau mereka?

14. Bagaimana seharusnya tingkat realitas permintaan pertama Anda? Anda ingin mengajukan suatu permintaan pembukaan? atau menggunakan pendekatan problem solving ?

15. Pada tahap apa sebaiknya Anda memberikan informasi? atau menahannya?

16. Apakah Anda memiliki kemampuan teknis/ know how dalam menegosiasikan pokok-pokok persoalan secara efektif? di mana Anda dapat memperoleh dukungan dalam bidang tersebut, jika perlu?

17. Apakah Anda memiliki kemampuan sosial dalam mengelola hubungan Anda dengan pihak lain?

Berkali-kali laporan media massa dipenuhi dengan berita-berita

emosional, seperti negosiasi mengalami ‘jalan buntu’/ deadlock , tuntutan-tuntutan, walk-out, dsb. Situasi-situasi semacam itu sebagian besar terjadi karena pihak-pihak yang bernegosiasi bersikeras menyatakan dan

Page 291: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

291

mempertahankan posisi mereka, jelas, dalam situasi demikian negosiasi sama sekali tidak akan mencapai kemajuan. Pendirian ini lebih sering disertai kepentingan pihak-pihak yang dilalaikan, dengan hasil kesepakatan akhir yang tidak memuaskan pihak manapun. Oleh karena itu, golden rule dalam bernegosiasi adalah selalu menegosiasikan kepentingan bukan pendirian [position]; jangan mengambil suatu pendirian kecuali jika hal itu bermanfaat bagi kepentingan-kepentingan tsb. Bukan tujuan-tujuan pribadi anda dalam negosiasi – Anda adalah seorang duta bukan seorang individu.

e) Gaya-gaya negosiasi

Dalam gaya negosiasi dapat dijelaskan dalam dua dimensi, yaitu arah dan kekuatan. 1) Arah berbicara tentang cara kita menangani informasi.

1. Mendorong [push] : memberi informasi, mengajukan usul, melalaikan kontribusi orang lain, mengkritik, bertindak sebagai pengganggu – semua taktik yang berlaku tergantung sifat dan konteks negosiasi.

2. Menarik [pull] : mengajukan pertanyaan untuk mendapatkan informasi, meminta saran, memastikan pemahaman, meminta kejelasan, menyatakan perasaan kita.

2) Kekuatan berbicara tentang keluwesan kita untuk beranjak dari kedudukan kita yang semula.

1. Bersikap keras : kita ingin menang berapapun harganya, tidak akan mengalah atau mundur, tidak akan menerima tawaran apapun. Kita mengejar sasaran yang tinggi

2. Bersikap lunak : kita mengalah, ragu-ragu, sulit untuk berkata tidak, menyesuaikan diri –sasaran yang kita kejar rendah. Kita dapat mengambil sikap keras dalam beberapa persoalan dan bersikap lunak dalam persoalan-persoalan yang lain : hal ini memberikan petunjuk jelas mengenai hasil yang menjadi prioritas.

f) Mencari penyelesaian

Dalam mencari penyelesaian, tujuan Anda hendaknya agar kedua pihak memperoleh kemenangan, atau seburuk-buruknya dinyatakan seri. Analogi berikut ini adalah contoh pilihan-pilihannya.

1. KALAH/ KALAH Singkirkan kue tsb agar tidak satu pihakpun mendapatkannya.

2. MENANG/ KALAH Berikan kue tsb kepada salah satu pihak atau iris dengan tidak sama rata.

3. SERI Iris kue tsb tepat di tengah-tengah 4. MENANG/ MENANG Buat dua buah kue atau buat kue yang jauh lebih

besar.

Temukan dulu kepentingan yang sama, baru kemudian mencari kepentingan yang saling bersaing dengan metode berikut :

1. Ciptakan suasana yang memampukan kedua pihak untuk sebanyak mungkin mengemukakan buah pikiran yang relevan bagia suatu pemecahan.

2. Hindari penilaian dini sehingga semua buah pikiran telah dikemukakan. 3. Pusatkan perhatian pada masalah, bukan pada pribadi yang terlibat.

Page 292: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

292

4. Ketahui apa yang hendak Anda capai. 5. Jangang menanggapi pertanyaan-pertanyaan retoris yang dimanfaatkan

untuk mendukung kedudukan, bukan untuk mengemukakan kepentingan.

g) Situasi fall back Sering terjadi dalam negosiasi pihak-pihak yang terlibat tidak mencapai

kemajuan dalam negosiasi, betapapun besar keinginan kedua pihak untuk mencapai suatu solusi. Maka Anda perlu mempersiapkan dan menerapkan BATNA [suatu situasi dimana Anda berada dalam posisi harus mencapai kesepakatan, dan mitra Anda menyadari hal tsb]. BATNA = BEST ALTERNATIF TO A NEGOSIATED AGREEMENT atau Alternatif Terbaik untuk Mencapai Kesepakatan melalui Negosiasi [Fisher dan Urg, Getting to Yes, Hutchinson]. Dengan adanya BATNA, anda mungkin tertolong untuk meneruskan negosiasi secara felksibel yaitu :

1. Mengetahui alternatif terbaik dari kegagalan mencapai kepentingan utama Anda.

2. Memperkirakan nilai BATNA Anda dalam hubungan dengan tawaran terbaik yang ada.

3. Contoh : Dalam negosiasi harga dengan seorang pembeli, Anda disiapkan [dan diijinkan] untuk memberikan rabat hingga 20 % harga yang ditawarkan. Anda membuka penjualan dengan rabat 10 %, yang segera ditolak, dan ditawar 30 %. Sebenarnya, pihak lain bersedia menerima 10 %, namun Anda tidak mengetahui hal itu. Di sini terjadi tumpang tindih posisi fall back, jadi hasil optimal jatuh dalam taksiran realistis kedua pihak mengenai kesepakatan yang dapat dicapai dan hasil antara 15 % hingga 20 % dapat disepakati.Besar rabat yang akhirnya disepakati tergantung pada :

4. Kelihaian penjual maupun pembeli dalam bernegosiasi 5. Berapa banyak yang dibutuhkan penjual untuk melepaskan penjualan. 6. Tingkat desakan kebutuhan pembeli terhadap barang tsb. Menaksir posisi

fall back

h) Perilaku dalam negosiasi Dalam negosiasi seringkali kita berhadapan dengan dengan orang-

orang yang lebih suka mempertahankan pendirian yang kaku, dengan gaya garis keras, tanpa menyadari adanya alternatif yang lebih efektif. Jika hal ini terjadi, petunjuk berikut perlu Anda perhatikan :

1. Pertahankan pendekatan yang sopan dan profesional 2. Jangan membalas perilaku yang tidak menyenangkan 3. Terus menegosiasikan kepentingan Anda, sambil bertanya tentang

alasan pendirian mereka dan cobalah untuk memperlihatkan kelemahan pendirian mereka dengan diskusi yang logis dan masuk akal.

4. Mintalah pandangan dan kritikan terhadap pendirian Anda, sarankan lawan Anda untuk mencoba melihat situasi dari sudut pandang Anda.

5. Pusatkan pada permasalahan yang sedang dibahas 6. Jangan tanggapi serangan yang bersifat pribadi dan tidak masuk akal

dengan tetap berdiam diri. 7. Mintalah kriteria, alasan-alasan, data-data pendukung, kesimpulan atau

petunjuk yang obyektif.

Page 293: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

293

8. Perlihatkan antusiasme Anda untuk suatu solusi yang adil dan ungkapkan kembali kesediaan Anda untuk mencapai dan menyetujui kriteria yang obyektif.

9. Perhatikan tanda-tanda adanya kerjasama dan beri dukungan, sambutan, pujian, dan kepastian bahwa kerjasama akan menjadi pusat perhatian Anda.

10. Secara periodik buatlah ringkasan bidang-bidang yang telah mencapai kesepakatan, dengan memperlihatkan antusiasme Anda pada langkah-langkah yang telah berhasil membawa kesepakatan.

11. Jangan menanggapi trik-trik berikut : Serangan terhadap pribadi, nama orang, dll Komentar-komentar yang menyesatkan, rumor, dan kebenaran

yang tidak utuh. Pertanyaan-pertanyaan retoris Hal-hal yang menyerempet bahaya Tuntutan yang tinggi dan mustahil Sarkasme Upaya-upaya untuk membuat Anda stress Diperkenalkannya pada menit terakhir orang baru yang

berwenang membuat keputusan, setelah sebelumnya Anda mendapat penjelasan bahwa Anda tengah bernegosiasi dengan pembuat keputusan.

12. Jika semua upaya gagal, bersiaplah untuk menunda diskusi. Gunakan waktu penundaaan untuk:

Menurunkan ketegangan Mempelajari kembali pokok-pokok yang telah disetujui dan item-

item yang belum dibahas Mempelajari kembali situasi negosiasi Mengamati lebih lanjut mitra negosiasi Anda. Mencari persetujuan atau otorisasi lebih lanjut yang mungkin

Anda butuhkan.

j) Mengakhiri Negosiasi Untuk memantau perkembangan negosiasi, hal-hal berikut perlu

diperhatikan Apakah semua pihak memahami dengan jelas apa yang telah disepakati? Apakah semua pihak berkomitmen terhadap kesepakatan tsb? Apakah diperlukan pertemuan lain untuk membahas pokok-pokok yang

kecil [atau yang besar? kapan? Bagaimana perasaan kedua pihak terhadap kesepakatan yang telah

dibuat? Apakah dirasa adil? Apakah kita puas? Apakah justru kita saling mengecam? Saling

mempertahankan pendirian ? kecewa? Tahapan-tahapan Negosiasi

Pada dasarnya negosiasi adalah cara bagaimana kita mengenali, mengelola dan mengendalikan emosi kita dan emosi pihak lain. Di sinilah seringkali banyak di antara kita tidak menyadari bahwa negosiasi sebenarnya lebih banyak melibatkan apa yang ada di dalam hati atau jiwa seseorang. Ini seperti gambaran sebuah gunung es, di mana puncak yang kelihatan merupakan

Page 294: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

294

hal-hal yang formal, tuntutan yang dinyatakan dengan jelas, kebijakan atau prosedur perusahaan, maupun hubungan atau relasi bisnis yang didasarkan pada hitungan untung rugi.

Sedangkan yang sering dilupakan dalam proses negosiasi adalah hal-hal yang tidak kelihatan, seperti misalnya hasrat, keinginan, perasaan, nilai-nilai maupun keyakinan yang dianut oleh individual yang terlibat dalam konflik atau yang terlibat dalam proses negosiasi. Hal-hal yang di dalam inilah justru seringkali menjadi kunci terciptanya negosiasi yang sukses dan efektif. Negosiasi sebenarnya melibatkan tiga hal pokok yang kami sebut sebagai Negotiation Triangle, yaitu terdiri dari HEART (yaitu karakter atau apa yang ada di dalam kita yang menjadi dasar dalam kita melakukan negosiasi), HEAD (yaitu metoda atau teknik-teknik yang kita gunakan dalam melakukan negosiasi), HANDS (yaitu kebiasaan-kebiasaan dan perilaku kita dalam melakukan negosiasi yang semakin menunjukkan jam terbang kita menuju keunggulan atau keahlian dalam bernegosiasi).

Jadi sebenarnya tidaklah cukup melakukan negosiasi hanya berdasarkan hal-hal formal, kebijakan dan prosedur, atau teknik-teknik dalam negosiasi. Justru kita perlu menggunakan ketiga komponen tersebut yaitu: karakter, metoda dan perilaku. Dalam banyak hal, negosiasi justru tidak terselesaikan di meja perundingan atau meja rapat formal, tetapi justru dalam suasana yang lebih informal dan relaks, di mana kedua pihak berbicara dengan hati dan memanfaatkan sisi kemanusiaan pihak lainnya. Karena pada dasarnya selain hal-hal formal yang ada dalam proses negosiasi, setiap manusia memiliki keinginan, hasrat, perasaan, nilai-nilai dan keyakinan yang menjadi dasar bagi setiap langkah pengambilan keputusan yang dilakukannya. Langkah-langkah bernegosiasi

Persiapan. Langkah pertama dalam melakukan negosiasi adalah langkah persiapan. Tahap ini sangat penting karena persiapan yang baik merupakan fondasi yang kokoh bagi negosiasi yang akan kita lakukan. Hal tersebut akan memberikan rasa percaya diri yang kita butuhkan dalam melakukan negosiasi. Yang pertama harus kita lakukan dalam langkah persiapan adalah menentukan secara jelas apa yang ingin kita capai dalam negosiasi. Tujuan ini harus jelas dan terukur, sehingga kita bisa membangun ruang untuk bernegosiasi. Tanpa tujuan yang terukur, kita tidak memiliki pegangan untuk melakukan tawar-menawar atau berkompromi dengan pihak lainnya.

Kedua, kenali karakter dan latar belakang lawan negosiasi kita. Gali informasi sebanyak mungkin mengenai siapa dia/mereka, kekuatan dan kelemahannya, apa tujuan atau kepentingannya. Tujuan yang jelas dan terukur disertai pengetahuan atas lawan negosiasi akan memudahkan kita menyusun elemen ketiga, yaitu beberapa alternatif skenario. Menyusun alternatif ini penting dilakukan agar kita selalu tanggap menghadapi berbagai kemungkinan situasi. Dalam hal ini, menyangkut juga apa tawaran maksimum dan minimum yang bisa kita berikan sesuai tujuan kita. Hal terakhir yang tak kalah pentingnya adalah kesiapan mental kita. Usahakan kita dalam kondisi relaks dan tidak tegang. Cara yang paling mudah adalah dengan melakukan relaksasi. Bagi kita yang menguasai teknik pemrograman kembali bawah sadar (subconscious reprogramming) kita dapat melakukan latihan negosiasi dalam pikiran bawah sadar kita, sehingga setelah melakukannya berkali-kali secara mental, kita menjadi lebih siap dan percaya diri.

Page 295: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

295

Pembukaan. Mengawali sebuah negosiasi tidaklah semudah yang kita bayangkan. Kita harus mampu menciptakan atmosfir atau suasana yang tepat sebelum proses negosiasi dimulai. Untuk mengawali sebuah negosiasi dengan baik dan benar, kita perlu memiliki rasa percaya diri, ketenangan, dan kejelasan dari tujuan kita melakukan negosiasi. Ada tiga sikap yang perlu kita kembangkan dalam mengawali negosiasi yaitu: pleasant (menyenangkan), assertive (tegas, tidak plin-plan), dan firm (teguh dalam pendirian). Senyum juga salah satu hal yang kita perlukan dalam mengawali sebuah negosiasi, sehingga hal tersebut akan memberikan perasaan nyaman dan terbuka bagi kedua pihak. Berikut ada beberapa tips dalam mengawali sebuah negosiasi: a. Jangan memegang apa pun di tangan kanan anda ketika memasuki ruangan

negosiasi; b. Ulurkan tangan untuk berjabat tangan terlebih dulu; c. Jabat tangan dengan tegas dan singkat; d. Berikan senyum dan katakan sesuatu yang pas untuk mengawali

pembicaraan. Selanjutnya dalam pembicaraan awal, mulailah dengan membangun

common ground, yaitu sesuatu yang menjadi kesamaan antar kedua pihak dan dapat dijadikan landasan bahwa pada dasarnya selain memiliki perbedaan, kedua pihak memiliki beberapa kesamaan yang dapat dijadikan dasar untuk membangun rasa percaya. Memulai proses negosiasi. Langkah pertama dalam memulai proses negosiasi adalah menyampaikan (proposing) apa yang menjadi keinginan atau tuntutan kita. Yang perlu diperhatikan dalam proses penyampaian tujuan kita tersebut adalah: a. Tunggu saat yang tepat bagi kedua pihak untuk memulai pembicaraan pada

materi pokok negosiasi; b. Sampaikan pokok-pokok keinginan atau tuntutan pihak anda secara jelas,

singkat dan penuh percaya diri; c. Tekankan bahwa anda atau organisasi anda berkeinginan untuk mencapai

suatu kesepakatan dengan mereka; d. Sediakan ruang untuk manuver atau tawar-menawar dalam negosiasi, jangan

membuat hanya dua pilihan ya atau tidak; e. Sampaikan bahwa ”jika anda memberi kami itu, kami akan memberi anda ini–

if you’ll give us this, we’ll give you that.” Sehingga mereka mengerti dengan jelas apa yang harus mereka berikan sebagai kompensasi dari apa yang akan kita berikan.

f. Hal kedua dalam tahap permulaan proses negosiasi adalah mendengarkan dengan efektif apa yang ditawarkan atau yang menjadi tuntutan pihak lain. Mendengar dengan efektif memerlukan kebiasaan dan teknik-teknik tertentu. Seperti misalnya bagaimana mengartikan gerakan tubuh dan ekspresi wajah pembicara. Usahakan selalu membangun kontak mata dengan pembicara dan kita berada dalam kondisi yang relaks namun penuh perhatian.

Zona Tawar Menawar (The Bargaining Zone). Dalam proses inti dari negosiasi, yaitu proses tawar menawar, kita perlu mengetahui apa itu The Bargaining Zone (TBZ). TBZ adalah suatu wilayah ruang yang dibatasi oleh harga penawaran pihak penjual (Seller’s Opening Price) dan Tawaran awal oleh pembeli (Buyer’s Opening Offer). Di antara kedua titik tersebut terdapat Buyer’s Ideal Offer, Buyer’s Realistic Price dan Buyer’s Highest Price pada sisi pembeli dan Seller’s Ideal Price, Seller’s Realistic Price dan Seller’s Lowest Price pada

Page 296: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

296

sisi pembeli. Kesepakatan kedua belah pihak yang paling baik adalah terjadi di dalam wilayah yang disebut Final Offer Zone yang dibatasi oleh Seller’s Realistic Price dan Buyer’s Realistic Price. Biasanya kesepakatan terjadi ketika terdapat suatu overlap antara pembeli dan penjual dalam wilayah Final Offer Zone. Menurut G. Richards Shell, ada tiga macam tipe negosiator dalam etika penawaran yaitu: Poker school, Idealist School, dan Pragmatist School. The “It’s a Game” Poker School Orang yang mempunyai pandangan poker school memandang bahwa

negosiasi adalah sebuah permainan dengan aturan pasti. Bertindak sesuai aturan dianggap etis sedangkan apabila bertindak sebaliknya dianggap tidak etis

Orang yang berpandangan tersebut terkadang mengijinkan cara – cara curang dalam memenangkan negosiasi asal cara – cara tersebut tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan.

Orang yang memiliki pandangan “poker school” memiliki tiga masalah pokok yaitu: (1) Mereka beranggapan bahwa penawaran dengan cara mengancam adalah sebuah permainan (2) Semua orang dianggap memiliki aturan yang sama (setiap orang dianggap akan melakukan hal yang sama), (3) Aturan tersebut dianggap bertentangan dengan sebuah aturan yurisdiksi tunggal yang berlaku (Aturan apapun akan diabaikan jika bertentangan dengan satu aturan pokok negosiasi: MENANG!).

The “Do the Right Thing Even If It Hurts” Idealist School. Orang yang mempunyai pandangan Idealis berpendapat bahwa proses

penawaran adalah salah satu aspek kehidupan sosial bukan sebuah aktivitas spesial dengan keunikannya sendiri dalam membuat aturan.

Seorang idealis tidak akan mengijinkan penggunaan cara – cara curang walaupun tidak melanggar aturan dalam sebuah negosiasi.

Seorang idealis dalam melakukan suatu negosiasi mendasarkan pandangannya pada filosofi dan agama yang dianut.

Seorang idealis mengijinkan anggapan bahwa kecurangan pada negosiasi akan menurunkan moralitas dan kepercayaan dengan teman, menghilangkan rasa tanggung jawab pada orang lain, dsb.

Seorang idealist sangat tidak menyetujui bahwa sebuah negosiasi dianggap sebagai permainan. Negosiasi adalah sesuatu hal yang dianggap serius dan memiliki konsekuensi pada masa yang akan datang.

Seorang idealis juga menganggap bahwa seorang poker school dianggap predator yang akan mematikan lawannya dan egois karena lebih mementingkan dirinya sendiri. The “ WhaT Goes Around Comes Around” Pragmatist School.

Karakter orang seperti ini masih menyadari tentang tidak etisnya sebuah kecurangan dalam bernegosiasi tetapi pada situasi tertentu dia tetap melakukannya karena dianggap tidak melanggar aturan.

Mereka lebih sering melakukan dan mengijinkan kebohongan sebagai salah satu trik negosiasi dibanding seorang idealis.

Ada lima cara yang dilakukan seorang pragmatisme untuk memblok dan menghindari bencana untuk melindungi kepentingan mereka, yaitu: (1) Menyatakan bahwa pertanyaan itu di luar batas; (2) Menjawab dengan pertanyaan yang berbeda; (3) Menghindar dari pertanyaan tersebut; (4) Memberi pertanyaan pada diri anda sendiri; (5) Mengubah subyek dari pertanyaan tersebut.

Page 297: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

297

Membangun Kesepakatan. Babak terakhir dalam proses negosiasi adalah membangun kesepakatan dan menutup negosiasi. Ketika tercapai kesepakatan biasanya kedua pihak melakukan jabat tangan sebagai tanda bahwa kesepakatan (deal or agreement) telah dicapai dan kedua pihak memiliki komitmen untuk melaksanakannya. Yang perlu kita ketahui dalam negosiasi tidak akan pernah tercapai kesepakatan kalau sejak awal masing-masing atau salah satu pihak tidak memiliki niat untuk mencapai kesepakatan. Kesepakatan harus dibangun dari keinginan atau niat dari kedua belah pihak, sehingga kita tidak bertepuk sebelah tangan. Karena itu, penting sekali dalam awal-awal negosiasi kita memahami dan mengetahui sikap dari pihak lain, melalui apa yang disampaikan secara lisan, bahasa gerak tubuh maupun ekspresi wajah. Karena jika sejak awal salah satu pihak ada yang tidak memiliki niat atau keinginan untuk mencapai kesepakatan, maka hal tersebut berarti membuang waktu dan energi kita. Untuk itu perlu dicari jalan lain, seperti misalnya: conciliation, mediation dan arbitration melalui pihak ketiga.

Page 298: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

298

Hand-Out 12: STRATEGI & MANAJEMEN AKSI MASSA

KOMUNIKASI POLITIK Adalah proses penyampaian politik dari komunikator kepada komunikan.

Komunikasi politik dapat terjadi secara intern, ekstern , horisontal, vertikal. Tujuan komunikasi politik adalah mengkomunikasikan kehendak, kepentingan, tuntutan, aspirasi, nilai-nilai. JENJANG DAN JENIS KOMUNIKASI POLITIK

Jenjang komunikasi politik terdiri dari: komunikasi politik vertikal dan horisontal dan dilihat dari jenisnya komunikasi politik internal dan eksternal. TEORI KOMUNIKASI POLITIK 1. Teori Jarum Suntik hipodermik/ teori peluru. Mempunyai asumsi bahwa

khalayak atau penerima tidak berdaya. Dalam organisasi militer, birokrasi tero ini sangat efektif digunakan. Bentuk kegiatannya antara lain; indoktrinasi, perintah, instruksi, dll.

2. Teori Khalayak Kepala Batu (The ordinate audience). Mempunyai asumsi bahwa khalayak sangat cerdas, kuat dan kritis. Khalayak melakukan reaksi keras, protes, pembangkangan dan penolakan, maka yang dilakukan adalah dengan persuasif.

3. Teori Empati dan Hemofili. Mempunyai asumsi bahwa khalayak dijasikan sahabat. Empati adalah kemampuan menempatkan diri pada orang lain, seedangkan hemofili adalah kemampuan menciptakan kebersamaan (fisik dan mental). Kegiatan yang paling sesuai dengan teori ini adalah lobbiying atau komunikasi antar pribadi.

4. Teori komunikasi non-verbal. Mempunyai asumsi bahwa bertindak sama dengan berkomunikasi. Kegiatan dalam teori ini; pakaian, panji-panji, umbul-umbul, spanduk dll.

BENTUK KOMUNIKASI POLITIK 1. Dialog, Diskusi, Pelatihan Kader, Forum Interaktif. 2. Agitasi, Propaganda, Perang Urat Syaraf. 3. Komunikasi Politik Dua Arah. (public understanding, public convidence,

image building) 4. Kampanye (informaif, edukatif, persuasif, koersif) EFEKTIFITAS KOMUNIKASI POLITIK 1. Memberikan pengaruh pola pikir massa, dengan komunikasi politik yang

efektif. 2. Menyusun pesan politik secara taktis; AIDDA:

a. Attention (perhatian). b. Interest (kepentingan) c. Desire (hasrat, keinginan) d. Decision (keputusan) e. Action (tindakan)

3. Sifat komunikasi politik; informative, edukatif, persuasif, instruktif. 4. Kesiapan psikologis massa. 5. Kredibilitas komunikator.

Page 299: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

299

TEHNIK ORASI POLITIK 1. Orasi politik adalah kemampuan menyamoaikan gagasan dimuka umum

(public speking/ retorika dengan melakukan Persiapan tehnis, fisik, mental. 2. Memenuhi public speaing yang baik;

a. pengetahuan b. penguasaan tema pokok c. kepercayaan publik d. semangat e. motivasi

3. Langkah yang harus disiapkan; a. perkiraan situasi dan kondisi khalayak b. pilihan materi dan logika urutan pidato/ orasi c. garis besar pidato

4. Hal-hal yang mempengaruhi; a. penampilan/ performance b. kata-kata yang lugas, jelas dan ritme yang tepat c. memastikan khalayak mendengar pesan

5. Hambatan dalam orasi; a. bahasa yang berbeda dengan khalayak b. massa/ suasana yang tidak terkondisikan

PENGERTIAN AKSI MASSA

Aksi massa adalah suatu metode perjuangan yang mengandalkan kekuatan massa dalam menekan pemerintah/pengusaha untuk mencabut atau memberlakukan kebijakan yang tidak dikehendaki massa. Aksi massa merupakan bentuk perjuangan aktif dalam rangka merubah kebijakan yang tidak sesuai dengan kehendak massa, oleh karena aksi massa mengambil bentuk yang paling dekat dengan dinamika sosial yang berjalan dalam masyarakat. LATAR BELAKANG PSIKO-SOSIOLOGIS AKSI MASSA

Dorongan terpokok yang melahirkan aksi massa adalah keinginan massa akan perubahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa demonstrasi mahasiswa, aksi rakyat, dan gerakan lain dari kelompok kepentingan dalam rangka mewujudkan mimpi perubahan. Manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan mendasar yang harus mendapatkan pemenuhannya. Secara sosiologis ada tiga kategori kebutuhan: 1] Kebutuhan biologis/primer, yaitu kebutuhan manusia terhadap hal-hal yang berkaitan langsung dengan jasmani manusia. Tergolong kebutuhan ini adalah makanan dan minuman, pakaian, bernafas dan istirahat, dan lain-lain. 2] Tergolong kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan yang mendukung terpenuhinya kebutuhan biologis/primer. Tergolong kedalam kebutuhan ini adalah pendidikan, rekreasi, komunikasi, hubungan sosial, dan lain-lain. 3] Kebutuhan spiritual, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang menyangkut kerinduan manusia akan hal-hal yang bersifat kerohanian, supranatural, dan metafisik. Misalnya kebutuhan akan shalat, kebaktian, klenteng, dan lain-lain. Semua kebutuhan teersebut bisa dituntut sesuai dengan tuntutan yang didiskusikan sebelum melakukan aksi.

Setiap manusia memiliki ketiga jenis kebutuhan tersebut, karenanya dalam pemenuhannya harus diatur supaya tidak terjadi penumpukan dan benturan. Peraturan mutlak diperlukan untuk tujuan keseimbangan dalam masyarakat. Peraturan atau hukumlah yang menentukan batasan antara hak dan

Page 300: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

300

kewajiban antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Dalam kehidupan sosial pranata diperlukan untuk mengatur tata kehidupan antar manusia dalam masyarakat. Pranata sosial menjadi kebutuhan bersama dan karena itu pula harus disepakati bersama serta dilaksanakan secara konsisten secara bersama-sama pula. Namun demikian, walaupun perwakilan yang duduk pada institusi (trias politika dalam istilah Montesqueu) dipilih rakyat, tidak mustahil dapat terhindar dari penyimpangan terhadap aturan-aturan, membuat aturan untuk kepentingannya sendiri dan kelompoknya, mempertahankan kelangsungan kekuasaan dan mempertahankan status quo. Kelemahan utama dari sistem demokrasi adalah fasifnya rakyat dalam kebijakan, seolah rakyat hanya terlibat dalam pemilihan umum semata. Kehilangan kepercayaan terhadap institusi pemerintah inilah yang menimbulkan jalan lain perjuangan aspirasi, yaitu jalan ekstra parlementer yang sering mengambil bentuk aksi massa atau demonstrasi.

BENTUK-BENTUK AKSI MASSA Aksi massa dikenal dalam berbagai bentuk sesuai dengan target dan

sasaran aksi. Di lihat dari aktivitas, aksi massa dibedakan dalam dua bentuk, yaitu aksi aksi statis dan aksi dinamis. Aksi statis adalah aksi massa yang dilakukan pada satu titik tertentu dari awal hingga aksi berakhir. Aksi dinamis adalah aksi yang dimulai dari titik kumpul tertentu lalu berpindah sesuai dengan sasaran aksi: 1] Rapat akbar, 2] Rally/ long march, 3] Mimbar bebas, 4] Panggung kesenian, dll. Hampir tidak ada aksi massa yang berjalan spontan. Umumnya aksi massa dipersipkan secara matang, mulai dari kekuatan massa yang akan terlibat, perangkat aksi, isu dan tuntutan serta institusi yang dituju. TAHAPAN-TAHAPAN AKSI MASSA Persiapan

Gagasan untuk melakukan aksi massa biasanya lahir dari adanya syarat objektif bahwa isntitusi/lembaga berwenang tidak tanggap terhadap persoalan yang dihadapi rakyat. Oleh karena itu diperlukan adanya tekanan (pressure) massa untuk mendorong persoalan rakyat menjadi perdebatan luas dan terbuka di intra parlemen maupun dimuka pendapat umum (public opinion) di luar parlemen. Semua hal yang berkaitan dengan tekanan mengandalkan kekuatan massa harus dipersiapkan sehingga dapat berjalan optimal. Persiapan aksi massa berjalan dalam lingkaran-lingkaran diskusi yang diorientasikan mampu memunculkan:

Isu/ Tuntutan Isu atau tuntutan yang akan diangkat dalam aksi massa harus

dibicarakan dan diperdebatkan. Penentuan isu sangat penting karena akan memberi batasan gerak secara keseluruhan dari proses aksi massa di lapangan. Prakondisi aksi

Prakondisi aksi adalah aktivitas yang dilakukan sebelum aksi massa berlangsung. Pra kondisi tersebut biasanya dalam bentuk aksi penyebaran selebaran, penempelan poster, grafiti action, dst. Tujuan pra kondisi aksi adalah untuk mensosialisasikan rencana aksi massa beserta isu/tuntutannya, serta memanaskan situasi pada sasaran kampanye atau sasaran aksi.

Page 301: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

301

Perangkat aksi massa Perangkat aksi adalah mbagian kerja partisipan aksi massa. Perangkat

aksi massa disesuaikan dengan kebutuhan, biasanya diperlukan perangkat sebagai berikut: 1. Koordinator Umum. Pemimpin umum dan penanggungjawab umum massa

aksi. Kordum berfungsi sebagai pengendali utama jalannya aksi. Semua panitia aksi harus tunduk pada keputusan kordum saat aksi berjalan.

2. Koordinator lapangan. Korlap bertugas memimpin aksi di lapangan, berhak memberikan instruksi kepada peserta aksi/ massa. Keputusan untuk memulai ataupun membubarkan/mengakhiri aksi massa ditentukan oleh korlap. Korlap hendaknya orang yang mempunyai kemampuan agitasi, propaganda, orasi dan komunikatif.

3. Wakil koordinator lapangan. Wakorlap adalah pembantu korlap di lapangan dan berfungsi sama dengan korlap.

4. Divisi Acara. Divisi acara bertugas menyusun acara yang berlangsung pada saat aksi massa dan bertugas mengatur dan mengemas jalannya acara agar massa tidak jenuh. Termasuk mencatat kronologi aksi.

5. Orator. Orator adalah orang yang bertugas menyampaikan tuntutan-tuntutan aksi massa dalam bahasa orasi, serta menjadi agitator yang membakar semangat massa.

6. Humas dan Jaringan Aksi. Perangkat aksi yang bertugas menyebarkan seluas-luasnya perihal aksi massa kepada pihak-pihak berkepentingan, terutama pers.

7. Negosiator, berfungsi sesuai dengan target dan sasaran aksi. Misalnya pendudukan gedung DPR/DPRD sementara target tersebut tidak dapat tercapai karena dihalangi aparat keamanan, maka negosiator dapat mendatangi komandannya dan melakukan negosiasi agar target aksi dapat tercapai. Karenanya seorang negosiator hendaknya memiliki kemampuan diplomasi.

8. Mobilisator. Bertugas memobilisasi massa, menyerukan kepada massa untuk bergabung pada aksi massa yang akan digelar. Kerja mobilisasi massa berlangsung sebelum aksi dilaksanakan.

9. Kurir. Berfungsi sebaga penghubung ketika sebuah aksi massa tidak bisa dipastikan hanya dimanfaatkan oleh satu komite aksi atau kelompok saja. Bisa jadi pada saat bersamaan komite aksi lainnya sedang menggelar aksi massa, menuju sasaran yang sama. Oleh karena karena itu untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman diperlukan fungsi kurir untuk menghubungkan kedua atau lebih komite aksi yang menggelar acara yang sama. Selain itu kurir juga berfungsi menjembatani komi aksi-komite aksi agar terjadi penyatuan massa atau aliansi taktis di lapangan. Dalam hal ini kurir bertugas memberikan laporan pada korlap perihal aksi massa yang dilakukan komite aksi lain.

10. Advokasi. Perbenturan antara kedua massa dengan aparat keamanan perlu dihindari, akan tetapi jika hal itu terjadi dan berakhir dengan penangkapan terhadap aktivis massa diperlukan peran tim advokasi yang bertugas membela dan memberikan perlindungan hukum terhadap korban.

11. Asisten teritorial/ keamanan/ sweaper/ dinamisator lapangan. Sering terjadi aksi masa radikal menjadi aksi massa anarkis karena emosi terpancing untuk melakukan tindakan destruktif. Antisipasi, terhadap kecenderungan semacam ini dilakukan dengan melengkapi aksi massa

Page 302: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

302

dengan perangkat asisten teritorial (aster). Aster atau disebut juga keamanan atau sweaper bertugas mencegah terjadinya penyusupan oleh pihak luar yang bertujuan memperkeruh suasana. Tugasnya mengamati kondisi massa. Selain itu juga aster berfungsi mengagitasi massa dengan yel-yel dan lagu-lagu perjuangan agar aksi massa tetap tampil semangat.

12. Logistic dan medical rescue. Perangkat logistic bertugas menyediakan perlengkapan-perlengkapan fisik yang diperlukan dalam aksi massa seperti spanduk, poster, selebaran, pengeras suara, dan pernyataan sikap. Sedangkan medical rescue bertugas menyediakan obat-obatan dan memberikan bantan p3k terhadap masa yang kesehatan fisiknya terganggu ketika aksi massa berlangsung.

13. Dokumentasi. Divisi ini bertugas mengabadikan penyelenggaraan aksi massa dalam bentuk gambar atau dalam bentuk tulisan kronologi.

14. Sentral informasi. Sentral informasi adalah nomor telepon yang dijaga oleh seseorang yang bertugas mendapatkan dan memberikan informasi tentang kondisi masa, situasi lapangan, sampai dengan informasi-informasi lainya.

KELENGKAPAN AKSI MASSA

Selain kelengkapan struktur berupa perangkat aksi massa, dibutuhkan pula kelengkapan material yang berupa instrumen aksi massa. 1. Poster adalah kertas ukuran lebar yang bertuliskan tuntutan aksi massa

dipermukaanya. Poster berisi tuntutan aksi yang ditulis tebal dengan spidol atau cat agar jelas dibaca oleh massa ditulis dengan singkat dan jelas.

2. Spanduk adalah bentangan kain yang ditulis tuntutan-tuntutan atau nama komite aksi yang sedang menggelar aksi massa.

3. Selebaran adalah lembaran kertas yang memuat informasi agitasi dan propaganda kepada massa yang lebih luas agar memberikan dukungan terhadap aksi massa.

4. Pengeras suara adalah perangkat keras elektronika yang berfungsi memperbesa suara.

5. Pernyataan sikap/ statemen adalah pernyataan tertulis yang memberikan gambaran sikap massa terhadap satu kebijakan satu institusi/perorangan dibacakan dibagian akhir proses aksi massa. Penyusunannya dilakukan oleh humas atau dvisi logistik.

6. Rute Aksi, harus dipersiapkan dan dipahami semuruh massa aksi. NAMA KOMITE AKSI/ ORGAN TAKTIS

Aksi massa meskipun bersifat temporer, tetap membutuhkan nama sebagai identitas pelaksana kegiatan. Nama komite aksi harus ditentukan, baik melalui perdebatan pada saat persiapan aksi massa. Apalagi kalau aksi massa merupakan tindakan bersama dari beberapa kelompok/orgaisasi, nama komite mutlak dibutuhkan agar tidak terjadi klaim dan kesalahpahaman antar organisasi. Nama awal komite aksi yang lazim dipakai untuk mengidentifikasi diri massa, sebagai berikut: Forum, Front, Barisan, Persatuan, Kesatuan, Solidaritas, Jaringan, Aliansi, Koalisi, Gerakan, Pergerakan, Himpunan, Serikat, Komite, Liga, Gabungan, Asosiasi, Dewan...dsb.

Page 303: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

303

LANGKAH TAKTIS SELANJUTNYA Semua nama diatas sebenarnya mempuyai hakekat yang satu bahwa

komite aksi yang sedang menyelenggarakan aksi massa mempunyai basis massa yang solid, bersatu, maju, dan tidak dapat dpecah oleh kekuatan dari luar organisasi komite bersangkutan. Namun demikian komite aksi yang profesional persoalan nama sudah tidak menjadi hal penting yang perlu dibicarakan apalagi diperdebatkan, karena hanya akan memakan waktu yang sia-sia saja. Beberapa organisasi yang namanya sudah populer dan mapan tak perlu merumuskan nama komite aksi karena hal yang demikian tidak lagi menjadi kebutuhan.

1. Massa persiapan aksi. Kehadiran massa dalam jumlah yang massif dalam aksi massa merupakan faktor yang menentukan keberhasilan aksi massa. Semakin besar kemampuan aksi suatu komite aksi dalam hal mobilisasi massa untuk memberikan support akan semakin memberikan kontribusi positif terhadap aksi massa. Maka pada tahap persiapan aksi massa dipersiapkan perangkat aksi/divisi khusus bekerja memobilisasi sebelum aksi berlangsung.

2. Target aksi. Target aksi adalah tujuan-tujuan minimal dan maksimal yang akan diraih dalam aksi massa tersebut. Misalnya aksi massa dengan target membangun persatuan dan solidaritas target mengkampanyekan isu/tuntutan, target memenangkan tuntutan dll.

3. Sasaran dan waktu. Mobilisasi massa akan diarahkan kemana senantiasa dibicarakan dalam pra aksi massa. Instansi atau lokasi yang dituju disesuaikan dengan isu isi tuntutan yang diangkat. Oleh karena itu ditentukan pula metode aksi massa yang diterapkan: rally dari satu titik awal menuju sasaran atau massa langsung memobilisasi kesasaran tujuan. Sasaran aksi massa adalah institusi perwakilan rakyat atau institusi lain yang relevan dengan tuntutan massa . misalnya : tuntutan aksi massa tentang pencabutan dwi fungsi ABRI/TNI maka sasaran yang relevan untuk tuntutan tersebut adalah instansi militer. Sedangkan waktu aksi ditentukan berdasarkan kebutuhan yang paling mungkin dengan segala pertimbangan seperi basis massa, sasaran aksi massa, jika basis massa direncanakan mahasiswa, maka aksi diselenggarakan pada hari libu mahasiswa, begitu pula dengan sasaran kantor-kantor pemerintah indonesia aktif dari senin hingga jumat dari pukul 08.00 hingga pukul 14.00 maka aksi tidak menarik jika dilaksanakan diluar waktu tersebut misalnya pada hari sabtu dan minggu dan tanggal merah lainya.momentum aksi massa yang jelas sangat menentukan. Aksi pada satu momentum bersejarah akan membuka kembali memori massa akan satu peristiwa yang tidak dihendaki terjadi oleh semua. Maka momentum dapat dibagi 2 yaitu: a) Momentum yang dibuat sendiri (ourself made momentum).

Momentum pengajuan tuntutan terhadap pemerintah untuk mencabut atau mengukuhkan kebijakan saat tertentu yang tidak ada basis materialnya pada massa lalu, bahwa pernah terjadi suatu peristiwa penting yang diketahui orang banyak pada hari atau tanggal yang bersangkutan.

b) Momentum yang disediakan(privided momentum). Yaitu saat penyelenggaraan aksi massa yang dipaskan dengan memperingati satu kejadian pada masa silam. Misalny aksi massa buruh pada tanggal 1 mei memperingati hari buruh sedunia. Aksi massa yang

Page 304: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

304

dilaksanakan pada momentum yang disediakan ini akan dapat mengingatkan kembali massa luas kepada peristiwa yang tragis atau bahkan monumental yang pernah terjadi pada masa lalu.

PELAKSANAAN AKSI MASSA/ DEMONSTRASI

Pada saat aksi massa dilakukan, segala tindakan massa di setting sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan para perangkat yang telah diberi tugas. Semua bekerja sesuai dengan tugas yang telah disepakati bersama dalam persiapan sebelum aksi massa digelar penyimpangan terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat bersama akan dikoreksi pada saat forum evaluasi diadakan. EVALUASI

Evaluasi adalah tahap akhir dari rangkaian aksi massa. Merupakan forum atau wadah tempat mengoreksi kesalahan-kesalahan atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dilapangan yang sebenarnya tidak sesuai dengan setting aksi massa yang telah disepakati bersama. Evaluasi ini berfungsi melahirka ide-ide baru yang dapat membagun struktur pemikiran alternatif terhadap pola aksi yang telah dilaksanakan oleh komite aksi.dialektika pola aksi massa justru dapat terungkap ketika evaluasi terhadap pelaksanaan aksi masa digelar. Aksi massa atau sering disebut demontsrasi telah marak di indonesia sejak periode akhir kejayaan rejim soeharto. Fenomena aksi massa ini tidaklah lahir secara spontanitas belaka, kemunculanya lebi dilatar belakangi oleh latar belakang sosiologis dan psikologis massa yang tidak puas terhadap keadaan sosial yang meligkupinya. Keadaan sosial tersebut disebabkan oleh sistem sosial, ekonomi, politik dan kompleksitas siste yang lain. LANGKAH TAKTIS ADVOKASI 1. MENGUPAYAKAN ADANYA KPEMIMPINAN ORGANISASI YANG KUAT 2. MELAKUKAN INVESTIGASI ISU YANG MENDESAK 3. PEMBACAAN, ANALISIS DATA ATAU ISU/ PENCARIAN DAN PENELITIAN

FAKTA 4. MERUMUSKAN STRATEGI DINAMIS

a. Statement missi (Mission statement) b. Tujuan dan sasaran advokasi c. Rancangan stragi dan tindakan d. Rencana aksi (plan of actions)

5. MENCARI DUKUNGAN YANG BESAR DARI KONSTITUEN ATAU KELOMPOK PENDUKUNG

6. MOBILISASI DAN AKSI YANG TERLIBAT a. Pertemuan para pembuat keputusan b. Pertemuan para pelanggar HAM c. Interview media massa d. Public Hearing e. Public Meeting f. Parlementary Hearing g. Kesaksian Pengadilan h. Pengajuan Petisi i. Boikot, Pawai Protes, Aksi Massa

Page 305: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

305

Hand-Out 13: STRATEGI MOBILISASI & KONSOLIDASI JARINGAN PRODEM

Transisi Tanpa Reformasi Total Kajian-kajian tentang masa peralihan dari era otoritarianisme ke era

demokrasi (liberalisasi), atau juga lazim disebut sebagai masa transisi menunjukkan, pada akhirnya transisi selalu bermuara pada salah satu dari dua kutub ekstrim yang saling bertentangan: demokrasi di satu sisi, atau rezim otoriter di sisi lain. Jika dalam masa peralihan dari rezim otoriter sebelumnya dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah yang menggantikannya, yaitu adanya pelembagaan demokrasi, terbukanya saluran bagi kaum oposisi, adanya kebebasan sipil, dan terlaksananya rule of law, niscaya transisi akan bermuara pada demokrasi.

Namun sebaliknya, kalau pemerintah di era transisi gagal mengelola dinamika yang berkembang, dapat dipastikan, yang terjadi kemudian adalah involusi demokrasi. Pada situasi yang demikian, peluang jatuhnya transisi kembali ke dalam pelukan otoritarianisme semakin terbuka lebar. Bangsa Indonesia saat ini sedang berada dalam persimpangan jalan paling menentukan arah transisi. Apakah transisi akan kandas di tengah jalan, lantas tenggelam oleh gempuran otoritarianisme, ataukah transisi akan berujung pada lahirnya sebuah tatanan baru yang lebih demokratis sekarang ini tengah menghadapi tantangan dan ujian. Tantangan pertama adalah dipakainya pendekatan ‘elektoralisme’ oleh kelompok reformis dalam mendorong demokratisasi. Jika pendekatan ini yang digunakan, maka demokrasi hanyalah sekedar sebuah sistem dimana elit politik memperoleh kekuasaan untuk memerintah melalui satu pertarungan kompetitif guna mendapatkan suara rakyat. Meskipun dalam konsep demokrasi minimalis ini pada tingkat tertentu juga mengakui adanya kebebasan organisasi dan institusi sipil agar kompetisi menjadi lebih bermakna. Tetapi dalam konsep minimalis semacam ini biasanya tidak begitu menaruh perhatian pada konsep-konsep kebebasan tersebut maupun menyertakannya dalam ukuran-ukuran aktual demokrasi. Tak heran jika demokrasi semacam ini kerap didefinisikan sekedar sebagai sebuah rezim penyelenggara pemilihan-pemilihan umum.

Konsep semacam ini sebenarnya sangat beresiko menimbulkan apa yang disebut oleh Terry Karl dengan ‘kekeliruan elektoral’. Konsep demokrasi –meminjam istilah Diamond-- yang cacat ini mengistimewakan pemilu di atas dimensi-dimensi lain, dan mengabaikan kemungkinan-kemungkinan yang bisa ditimbulkan oleh pemilu multipartai, misalnya terpinggirkannya hak-hak sebagian masyarakat untuk dapat ikut bersaing memperebutkan kekuasaan dan menciptakan arena-arena pembuatan kebijakan penting yang berada di luar kendali para pejabat terpilih. Artinya, tidak mustahil dengan Pemilu yang kompetitif pun akan lahir apa yang diistilahkan Olle Tornquist (1999) sebagai ‘demokrasi kaum penjahat’. Dalam bentuk seperti ini demokrasi hanya akan terjadi secara formal, namun tidak diiringi dengan partisipasi rakyat yang sungguhsungguh dalam pemilu dan dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Ancaman munculnya ‘demokrasi kaum penjahat’ ini di Indonesia merupakan hal yang cukup serius. Karena benih-benih ‘demokrasi kaum penjahat’ di Indonesia telah ditanamkan secara dalam terutama dalam masa pemerintahan Soeharto dan diperluas lagi di era reformasi. Tanda-tanda ‘demokrasi kaum penjahat’ semakin kelihatan jelas akhir-akhir ini. Sebagai contoh adalah adanya kesenjangan yang sangat lebar antara elit partai dengan konstituennya dan

Page 306: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

306

seringnya terjadi manipulasi suara rakyat demi kepentingan serta ambisi orang atau sekelompok orang yang bercokol di tubuh partai.

Padahal kalau ditengok lagi ke belakang, yaitu ketika angin reformasi pertama kali dihembuskan, yang dimaksud dengan reformasi bukanlah semata-mata pergantian top leader dan pengisian serta rotasi jabatan-jabatan strategis semata. Kata reformasi mengandung muatan tuntutan programatik agar dilakukan perubahan secara sistemik atau sering disebut dengan istilah reformasi total. Hal inilah yang kemudian tidak dipahami atau justru dimanipulasi oleh para elit. Makna reformasi menjadi semakin menyempit dan demikian merosot, yakni dilihat dalam kerangka pergantian figur kepemimpinan nasional melalui prosedur demokrasi formal, dengan sedikit bonus pada penggunaan sistem multipartai sebagai wujud kebebasan beserikat dan berorganisasi.

Ironisnya, Pemilu pertama di era reformasi sama sekali tidak mencerminkan watak atau kehendak reformasi. Meskipun dalam Pemilu 1999 menggunakan sistem multipartai, isu tentang akuntabilitas wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif hampir-hampir tidak tersentuh dan tidak ada perdebatan yang cukup berarti mengenai hal ini. Dua kelemahan mendasar Pemilu 1999 adalah pertama, suatu undang-undang tentang pemilu baru dapat dikatakan menambah akuntabilitas sistem perwakilan proporsional apabila ada cara yang menghubungkan seorang wakil rakyat secara langsung dengan konstituennya. Undang-Undang yang mengatur Pemilu 1999 tidak pernah mengatur tentang hal ini. Yang terjadi justru para anggota MPR dan DPR periode 1999 – 2005 masih dipilih oleh pemimpin partai di tingkat nasional, sehingga akuntabilitas para wakil rakyat sangat tergantung kepada akuntabilitas pemimpin partai tersebut. Kedua, belum ada perubahan yang mendasar mengenai hubungan legislatifeksekutif. Meskipun sudah dilakukan amandemen terhadap konstitusi pada Agustus 2000, namun hal itu hanya sedikit memperkuat posisi DPR dan MPR secara relatif terhadap presiden, namun tetap tidak mengubah karakter UUD 1945 yang masih mempertahankan sistem setengah presidensiil dan setengah parlementer. Artinya, tidak ada perbedaan yang cukup substansial antara Pemilu 1999 dengan Pemilu-Pemilu sebelumnya. Keterjebakan pada strategi ‘elektoralisme’ ini pula yang kemudian membuat kelompok-kelompok pro demokrasi semakin terfragmentasi dan gagal dalam melakukan konsolidasi demokrasi. Akibatnya, pasca tumbangnya Soeharto, praktis tidak ada kelompok pro demokrasi dan reformasi yang mampu menghadapi kekuatan-kekuatan politik lama. Bahkan sebagian diantara mereka masuk perangkap dan semakin terkooptasi oleh kekuatan lama tersebut. Padahal idealnya sebelum masuk ke dalam arena prosedural-elektoral, kelompok-kelompok yang waktu itu mengusung dan memenangkan reformasi terlebih dahulu harus memenangkan pertarungan di lini pertama, yaitu membuat garis demarkasi yang jelas dengan kelompok pro status quo. Dengan demikian ada evaluasi dan ‘penghakiman’ terhadap rezim sebelumnya. Tanpa itu, batas antara benarsalah, baik-buruk, agenda reformasi-bukan agenda reformasi, menjadi sangat kabur. Setelah tahap ini selesai dilakukan dan tercipta garis batas yang jelas, diantara sesama kelompok reformis harusnya menyepakati agenda-agenda reformasi yang hendak diusung bersama, termasuk di dalamnya adalah menciptakan arena baru sebagai ajang kompetisi dan pembentukan pemerintahan yang legitimate. Ketika agenda reformasi belum disepakati kemudian melompat masuk ke dalam arena pemilu (demokrasi prosedural-elektoral), maka persaingan dan konflikpun menjadi semakin meluas.

Page 307: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

307

Pertarungan atau konflik tidak hanya terjadi antara kelompok pro demokrasi melawan pro status quo saja, tapi juga terjadi sesama kelompok pro demokrasi sendiri. Masuknya kelompok pengusung demokrasi ke dalam arena Pemilu inilah yang kemudian membuat transisi demokrasi di Indonesia semakin rentan dan berliku. Pertarungan di lini pertama belum tuntas, kelompok pro demokrasi dan reformasi sudah disibukkan dengan pertarungan di lini kedua yang mempertemukan antar kekuatan pro demokrasi dan reformasi sendiri. Dan nyatanya, pertarungan memperebutan jabatan-jabatan politik strategis di lini kedua ini jauh lebih seru dan mendebarkan dibandingkan dengan konflik di lini pertama. Tengok saja misalnya manuver “Poros Tengah” yang dimotori Amien Rais, yang kemudian berhasil menggalang dukungan bagi Gus Dur untuk naik ke kursi RI 1. Persaingan menjadi semakin atraktif dan akrobatik ketika Bulog Gate dan Brunei Gate mencuat ke permukaan. Padahal jika dikaji lebih dalam lagi, manuvermanuver politik yang waktu itu dilakukan oleh para elit politik sama sekali tidak mempunyai signifikasi terhadap agenda demokratisasi. Puncak dari peristiwa politik yang kontra produktif terhadap demokrasi ini adalah jatuhnya Gus Dur dari kursi Presiden yang kemudian digantikan oleh Megawati, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden. Sejak saat itulah sebenarnya reformasi sudah lenyap ditelan pragmatisme elit politik yang senang berebut kekuasaan.

Ancaman dan tantangan yang kedua muncul dari bangkitnya kekuatan Orbais di panggung politik dengan memanfaatkan prosedur demokrasi formal. Bahkan terkesan, kaum Orbais ini semakin percaya diri memanfaatkan panggung yang ada untuk melakukan konsolidasi ekonomi-politik merebut jabatan-jabatan strategis kekuasaan. Tilik misalnya Ajakan R. Hartono, Ketua Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) untuk menjadi antek Soeharto pada saat kampanyenya di Jogjakarta beberapa waktu lalu. Dua atau tiga tahun lalu, rasanya mustahil orang akan dengan bangga mengatakan dirinya antek Soeharto, apalagi sampai memprovokasi orang lain menjadi antek Soeharto. Nampaknya Hartono menganggap masyarakat Indonesia sudah menderita amnesia sehingga dengan percaya diri dia mengajak masyarakat menjadi antek Soeharto. Dia menganggap masyarakat lupa bahwa Soeharto adalah pemimpin paling korup, sekaligus salah satu simbol diktator di dunia. Kegagalan partai-partai politik dan aktor-aktor politik baru dalam melakukan konsolidasi ekonomi politik pasca tumbangnya Soeharto nampaknya adalah sumber munculnya distrust masyarakat kepada partai politik dan aktor-aktor politik baru. Inilah yang kemudian dimanipulasi sedemikian rupa oleh kelompok Orbais sebagai kegagalan demokrasi, dengan mewacanakan klaim bahwa masa Orde Baru adalah masa kejayaan bangsa Indonesia. Sebuah pembodohan yang luar biasa! Bayangkan, selama 32 tahun terbukti Orde Baru telah gagal melakukan distribusi ekonomi untuk kesejahteraan rakyat.

Sektor ekonomi pada masa Orde Baru dikuasai oleh para konglomerat daripada oleh pelaku industri kecil dan menengah. Pada masa Orde Baru pula hutang pemerintah mencapai mencapai US$ 65,5 miliar dan swasta sebesar US$ 72,2 miliar. Warisan kebobrokan sistem peradilan di Indonesia sampai hari inipun adalah warisan Orde Baru yang selama masa kekuasaannya membiarkan praktek peradilan dikuasai oleh para mafia. Keadilan dalam situasi seperti ini jelas menjadi milik mereka yang berduit daripada berpihak pada rasa keadilan itu sendiri. Tiga poin di atas hanya sekedar contoh betapa sebenarnya Orde Baru yang dipimpin Soeharto telah melakukan perusakan luar biasa terhadap sistem sosial politik di Indonesia, dimana dampaknya masih bisa dirasakan sampai

Page 308: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

308

sekarang. Ajakan yang dilakukan Hartono untuk kembali pada jaman Orba berarti sama dengan mengajak bangsa Indonesia kembali pada era hutang, era konglomerat, era otoriter, era pembatasan terhadap kebebasan berbicara dan berorganisasi, serta era represi militer Pemilu sebagai Momentum Konsolidasi Demokrasi

Dua ancaman di atas agaknya sudah cukup dipakai sebagai titik tolak untuk segera melakukan penataan ulang agenda-agenda demokratisasi. Apalagi, hasil Pemilu Legislatif memperlihatkan semakin kaburnya harapan akan terjadi transformasi politik yang signifikan mendorong demokratisasi. PDI Perjuangan dan Golkar sebagai dua partai pemenang Pemilu 1999 terbukti gagal melakukan transformasi politik dan melaksanakan tugas dasar mereka sebagai partai politik, yaitu mengartikulasikan serta mengagregasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Celakanya, dua partai ini pula yang tampil sebagai pemenang pada Pemilu 2004. Jika Pemilu bisa membangkitkan kekuatan-kekuatan lama ke atas panggung politik formal dengan memanfaatkan prosedur demokrasi, maka seharusnya Pemilu juga bisa dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan pro demokrasi untuk mengkonsolidasikan diri, baik itu yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Karena logikanya Pemilu adalah centrum dari rotasi dan sirkulasi elit penguasa, upaya-upaya politik dalam bentuk pembentukan aliansi, koalisi, dan sebagainya merupakan strategi yang tak terhindarkan. Cara-cara seperti itulah yang kemudian diharapkan akan efektif menjauhkan mereka yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat dari kesempatan menyelewengkan kekuasaannya. Pemilihan Presiden yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat ini adalah momentum bagi kelompok pro demokrasi untuk mengkonsolidasikan diri. Kalau pada Pemilu Legislatif kemarin kekuatan-kekuatan politik demokratik gagal melakukan transformasi dan pendidikan politik kepada masyarakat sehingga tidak ada perubahan konfigurasi politik, adalah sebuah keniscayaan jika pada Pemilu Presiden mendatang perlu segera dilakukan konsolidasi yang melibatkan aktor-aktor politik, partai-partai politik, dan organisasi-organisasi sipil demokratik yang lebih luas. Isu strategis yang dapat diusung pada konteks ini misalnya adalah menghadang bangkitnya kekuatan Neo Orde Baru. Yang dimaksud dengan Neo Orba disini bukan semata-mata tersimbolkan pada partaipartai politik yang dulu nyata-nyata mendukung Orba dan partai-partai politik yang berisi antek-antek Soeharto. Yang dimaksud dengan Neo Orba dalam hal ini adalah semua aktor dan kekuatan-kekuatan politik yang mempunyai kesamaan watak, budaya, serta metode politik persis dengan Orde Baru. Menghadang bangkitnya Neo Orba ini merupakan agenda penting yang tidak bisa diremehkan sebagai strategi mengawal transisi demokrasi. Karena faktanya, transisi membutuhkan kepemimpinan kuat yang mampu mengambil jarak dengan kekuatan-kekuatan lama. Terbukti di Indonesia ketika transisi dipimpin oleh figur yang sangat lemah dan tidak memiliki skill leadership memadai, yang terjadi kemudian adalah negara menjadi semakin keropos dan tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Sehingga sering muncul pertanyaan tentang arti penting keberadaan negara bagi masyarakat. Pemimpin yang kuat juga berarti pemimpin yang mampu mengambil jarak dengan kekuatan-kekuatan lama. Sehingga proses pelanggaran dan kejahatan ekonomi politik di masa lalu dapat diselesaikan melalui jalur hukum secara adil.

Dalam jangka panjang, skenario konsolidasi bisa dipersiapkan untuk mengantisipasi kemungkinan makin kuatnya dominasi kekuatan-kekuatan Neo

Page 309: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

309

Orba di aras demokrasi formal. Pertama, berbicara tentang demokrasi juga berbicara chek and balances, adanya kontrol terhadap kekuasaan. Jikalau kekuatan Neo Orba ini tidak lagi terbendung, maka pembangunan oposisi di tingkat parlemen dengan memanfaatkan instrumen-instrumen demokrasi formal yang ada merupakan sebuah keharusan atau wajib hukumnya bagi partai-partai politik pro demokrasi. Tugas utama oposisi di parlemen ini adalah membelejeti semua bentuk kecurangan dan manipulasi yang berlangsung di tingkat parlemen. Tindak kecurangan dan manipulasi itu secara terus menerus harus dikomunikasikan kepada publik sebagai bagian dari pendidikan dan transformasi politik. Kedua, sejalan dengan pembangunan oposisi di tingkat parlemen, di tingkat ekstra parlementer harus terbangun organisasi-organisasi masyarakat sipil yang kuat, yang mampu mendukung sekaligus mengontrol semua proses politik yang berlangsung di parlemen. Antara gerakan di tingkat parlemen dan ekstra parlemen harus tercipta komunikasi politik yang sehat dan saling mendukung. Manipulasi dan klaim biasanya muncul ketika komunikasi politik tidak berjalan dengan baik dan timpang. Tuntutan dan tawaran program yang disuarakan oleh gerakan ekstra parlementer harus segera ditangkap oleh oposisi di parlemen. Sebaliknya, gerakan ekstra parlementer harus juga memberikan dukungan ketika kaum oposisi di parlemen memperjuangkan tuntutan yang disuarakan oleh kekuatan ekstra parlementer. Model komunikasi politik yang sehat semacam ini selain mendinamisasikan serta mensolidkan konsolidasi demokrasi, sekaligus sebagai pembangunan fatsoen politik baru di Indonesia. Karena komunikasi politik yang berlangsung di Indonesia belakangan ini selalu berporos pada money politic, sangat pragmatis dan mengabaikan moral serta etika demokrasi.

Pada konteks ini maka penting dilakukan distribusi peran di dalam kelompok pro demokrasi. Peran mereka yang bergerak di civil society tentu saja berbeda dengan mereka yang berada dalam political society. Yang terpenting, ada satu muara dan titik yang hendak dituju bersama. Ibarat membangun sebuah rumah, maka harus ada tukang batu, tukang kayu, tukang cat, dan sebagainya, dimana masing-masing mempunyai tugas dan peran yang berbeda, namun saling mendukung antara satu dengan yang lain. Selain membangun relasi antara gerakan ekstra parlementer dengan oposisi di tingkat parlemen, demokratisasi bisa dilakukan dengan membumikan demokrasi sehingga demokrasi dapat terinstitusionalisasi dan menjadi bagian dari hidup sehari-hari. Institusionalisasi demokrasi ini harus tertransformasikan kepada masyarakat luas dengan baik. Pengalaman selama tiga puluh dua tahun di bawah rezim otoriter Orde Baru, membuat masyarakat buta terhadap politik. Dalam pemahaman masyarakat, Pemilu adalah satu-satunya instrumen demokrasi yang ada. Pasca Pemilu, masyarakat tidak pernah tahu bagaiman kontrol terhadap pemeritahan dilakukan. Maklum, selama tiga puluh dua tahun masyarakat telah dibutakan dari politik oleh rezim. Selama Orde Baru rezim selalu memanipulasi Pemilu sebagai satu-satunya arena berdemokrasi –secara hiperbol disebut dengan pesta demokrasi. Pasca Pemilu masyarakat tidak diperbolehkan berdemokrasi. Ruang dan waktu yang tersedia untuk memperbincangkan politik serta merta ditutup ketika pemilu sudah usai. Sehingga masyarakat benar-benar buta dengan banyaknya alternatif sarana berdemokrasi, termasuk bahwa demokrasi sebenarnya adalah kehidupan sehari-hari itu sendiri, bukan melulu yang berlangsung di aras formal.

Page 310: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

310

Hand-Out 14: STRATEGI ADVOKASI DASAR

Banyak orang masih menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-

kerja pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai advokasi. Seolah-olah, advokasi merupakan urusan sekaligus monopoli dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata.

Pandangan semacam itu bukan selamanya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Mungkin pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari padanan kata advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat yang tak lain memang berarti pengacara hukum atau pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada kata advocate dalam pengertian bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan menjadi lebih luas.

Misalnya saja dalam kamus bahasa Inggris yang disusun oleh Prof. Wojowasito, Alm., Guru Besar IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang) yang diterbitkan sejak tahun 1980, kata advocate dalam bahasa Inggris dapat bermakna macam-macam. Avocate bisa berarti menganjurkan, memajukan (to promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa diartikan melakukan ‘perubahan’ secara terorganisir dan sistematis.

Menurut Mansour Faqih, Alm., dkk, advokasi adalah usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental). Julie Stirling mendefinisikan advokasi sebagai serangkaian tindakan yang berproses atau kampanye yang terencana/terarah untuk mempengaruhi orang lain yang hasil akhirnya adalah untuk merubah kebijakan publik. Sedangkan menurut Sheila Espine-Villaluz, advokasi diartikan sebagai aksi strategis dan terpadu yang dilakukan perorangan dan kelompok untuk memasukkan suatu masalah (isu) kedalam agenda kebijakan, mendorong para pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan membangun basis dukungan atas kebijakan publik yang diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dari berbagai pengertian advokasi diatas, kita dapat membagi penjelasan itu atas empat bagian, yakni aktor atau pelaku, strategi, ruang lingkup dan tujuan. Mengingat advokasi dalam perkembangannya digunakan untuk berbagai macam kepentingan, maka advokasi dalam pembahasan ini tak lain adalah advokasi yang bertujuan memperjuangkan keadilan sosial. Dengan kata lain, advokasi yang dirumuskan merupakan praktek perjuangan secara sistematis dalam rangka mendorong terwujudnya keadilan sosial melalui perubahan atau perumusan kebijakan publik. Meminjam bahasa Mansour Faqih, advokasi yang dimaksud adalah advokasi keadilan sosial.

Penegasan ini penting untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman yang akan berujung pada kesalahan menerapkan strategi dan tujuan. Bagaimanapun banyak lembaga atau organisasi yang merasa prihatin dengan kenyataan sosial, kemudian mengupayakan sesuatu, namun pada akhirnya terjebak pada kesalahan dalam mendiagnosa masalah. Misalnya saja organisasi yang berjuang memberantas kemiskinan yang menggunakan pendekatan sedekah (charity) belaka dengan membagi-bagi uang dan sebagainya tanpa pernah mempertanyakan apa yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin.

Page 311: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

311

Membantu orang yang sedang dalam kesulitan/kemiskinan dengan sedekah memang tidak salah, bahkan dianjurkan. Namun tindakan itu tidak strategis karena tidak dapat menyelesaikan persoalan kemiskinan. Dengan kata lain, sedekah merupakan tindakan yang hanya menyelesaikan akibat, bukan sebab. Demikian halnya dengan masalah-masalah lain yang menyangkut harkat hidup orang banyak, khususnya masalah-masalah yang terkait dengan keadilan sosial. Mengapa Kebijakan?

Sesungguhnya masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat merupakan dampak dari hubungan dan tarik-menarik kepentingan antara tiga aktor/pelaku governance, yakni negara, swasta dan masyarakat. Ketika hubungan itu berjalan tidak seimbang, biasanya terjadi karena ada persekongkolan antara negara dan swasta, maka dapat dipastikan akan lahir kebijakan-kebijakan korup yang sangat merugikan masyarakat. Ruang lingkup kebijakan publik itu sendiri meliputi peraturan (rules), regulasi, standarisasi, Undang-Undang, pernyataan dan Instruksi (Decree) yang memiliki fungsi sebagai norma umum, standar etika maupun sanksi.

Satu bentuk produk kebijakan yang merugikan masyarakat luas misalnya saja kebijakan Pemerintah Megawati mengeluarkan Inpres No. 8 Tahun 2002 mengenai Release and Discharge (R&D) yang membebaskan sekaligus memberikan jaminan tidak akan dituntut secara hukum bagi para konglomerat pengguna BLBI yang telah melunasi utang mereka. Kebijakan ini sungguh konyol dan merugikan masyarakat luas karena pemerintah sama sekali tidak memperhatikan dimensi pidana korupsi, adanya moral hazard, pelanggaran prinsip prudential dalam berbagai kasus BLBI. Pemerintah menganggap kasus BLBI hanya merupakan perkara perdata utang-piutang saja. Padahal dana negara (baca: masyarakat) yang digunakan untuk BLBI mencapai Rp 600 triliun. Di sisi lain, Pemerintah SBY telah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM dengan mencabut subsidi BBM bagi masyarakat miskin karena subsidi dianggap membebani anggaran negara. Berapa anggaran yang dibutuhkan untuk mensubsidi BBM? Menurut Menko Perekonomian, Aburizal Bakrie, mencapai Rp 69 Triliun dengan asumsi harga minyak dunia per barel adalah US$ 37. Coba bandingan dengan dana BLBI yang dipakai untuk ‘mensubsidi’ para konglomerat perbankan yang mencapai Rp 600 triliun.

Kebijakan yang mengantarkan pada terciptanya situasi ketidakadilan, kerusakan dan kemiskinan tidak hanya berdimensi nasional, namun juga menjadi masalah di tingkat lokal. Misalnya saja kebijakan penyusunan APBD yang telah disahkan dalam Perda di beberapa daerah banyak diprotes warga. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, dari sisi perimbangan, dana yang dialokasikan untuk belanja rutin jauh lebih tinggi dibandingkan dengan belanja publik. Kedua, kebutuhan akan belanja publik seringkali tidak ada kaitannya langsung dengan kebutuhan real masyarakat sehingga rawan dikorupsi. Kasus korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, terutama yang menyangkut pembelian kapal, pesawat, helikopter yang saat ini sedang ramai diperbincangkan merupakan salah satu contoh kecil betapa alokasi anggaran untuk belanja publik seringkali tidak mengacu pada kebutuhan konkret masyarakat. Ketiga, anggaran untuk menopang operasional eksekutif dan legislatif kerap kali tidak masuk akal karena alokasinya sangat besar.

Page 312: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

312

Dari beberapa contoh kasus diatas, kita dapat melihat secara jelas bahwa akar masalah yang menjadi penyebab kerugian bagi masyarakat luas adalah karena adanya kebijakan. Dengan demikian, advokasi sesungguhnya adalah mempersoalkan ketidakadilan struktural dan sistematis yang tersembunyi di balik suatu kebijakan, undang-undang atau peraturan yang berlaku. Maka melakukan advokasi juga mempersoalkan hal-hal yang berada di balik suatu kebijakan, secara tidak langsung mulai mencurigai adanya bibit ketidakadilan yang tersembunyi dibalik suatu kebijakan resmi.

Oleh karena itu, tujuan dari advokasi keadilan sosial adalah bagaimana mengupayakan/mendorong lahirnya sebuah kebijakan publik yang adil, bagaimana merubah kebijakan publik yang tidak adil dan bagaimana mempertahankan kebijakan yang sudah adil dengan suatu strategi. Sebuah kebijakan publik tidak akan pernah dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas. Walaupun dalam proses pembuatan kebijakan publik terdapat wakil rakyat, tapi hal itu tidak akan pernah menjamin bahwa kepentingan rakyat akan menjadi prioritas. Hal ini karena aktor perumus dan pembuat kebijakan memiliki logika kekuasaan dan kepentingan sendiri untuk beroperasi. Apalagi jika ruang publik dalam kehidupan politik tidak mendapatkan jaminan dalam sistem dan konstitusi. Agar kebijakan publik tidak menjadi alat yang justru meminggirkan kepentingan publik, karena digunakan sebagai alat kekuasaan sebuah bangsa untuk melakukan/melegitimasi perbuatan-perbuatan korup dan manipulatif bagi kepentingan segelintir orang, kebijakan publik harus selalu bersinggungan dengan konsep demokrasi. Artinya kebijakan publik tidak sekedar disusun atau dirancang oleh para pakar dan elit penguasa yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat banyak, melainkan harus menoleh pada opini publik yang beredar. Demokratis atau tidaknya perumusan kebijakan publik yang telah dilakukan akan sangat tergantung dari luas atau tidaknya ruang publik sendiri. Oleh karenanya, perluasan ruang publik dengan melakukan reformasi konstitusional yang mengarahkan pada transparansi dan keterbukaan yang lebih besar dalam proses politik yang ada pada sebuah negara harus dilakukan. Advokasi: Kerangka Analisis, Kerangka Kerja dan Kerangka Jaringan

Mengingat advokasi merupakan kegiatan atau usaha untuk memperbaiki/merubah kebijakan publik sesuai dengan kehendak mereka yang mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut, maka menjadi penting untuk memahami apa sesungguhnya kebijakan publik itu. Salah satu kerangka analisis yang berguna untuk memahami suatu kebijakan publik adalah dengan melihat sebuah kebijakan itu sebagai suatu sistem hukum. Secara teoritis, sistem hukum mengacu pada tiga hal:

Pertama, isi hukum (content of law) yakni uraian atau penjabaran tertulis dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk UU, PP, Keppres dan lain sebagainya atau karena adanya ‘kesepakatan umum’ (konvensi) tidak tertulis yang dititikberatkan pada naskah (teks) hukum tertulis atau aspek tekstual dari sistem hukum yang berlaku. Kedua, tata laksana hukum (structure of law) yang merupakan seperangkat kelembagaan dan pelaksana dari isi hukum yang berlaku. Dalam pengertian ini tercakup lembaga-lembaga hukum (pengadilan, penjara, birokrasi, partai politik dll) dan para aparat pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara, polisi, tentara, pejabat pemerintah, anggota parlemen).

Page 313: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

313

Ketiga adalah budaya hukum (culture of law) yakni persepsi, pemahaman, sikap penerimaan, praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran, penafsiran terhadap dua aspek hukum diatas, isi dan tata-laksana hukum. Oleh karena itu idealnya suatu kegiatan atau program advokasi harus mencakup sasaran perubahan ketiga-tiganya. Dengan demikian, suatu kegiatan advokasi yang baik adalah yang secara sengaja dan sistematis didesain untuk mendesakkan terjadinya perubahan, baik dalam isi, tata-laksana maupun budaya hukum yang berlaku. Perubahan itu tidak harus selalu terjadi dalam waktu yang bersamaan, namun bisa saja bertahap atau berjenjang dari satu aspek hukum tersebut yang dianggap merupakan titik-tolak paling menentukan.

Untuk melakukan advokasi pada tiga aspek hukum diatas, perlu dilakukan pendekatan yang berbeda mengingat ketiga aspek hukum tersebut dihasilkan oleh proses-proses yang memiliki kekhasan tersendiri. Oleh karena itu, menurut Roem, kegiatan advokasi harus mempertimbangkan dan menempuh proses-proses yang disesuaikan sebagai berikut: Proses-proses legislasi dan juridiksi, yakni kegiatan pengajuan usul, konsep, penyusunan academic draft hingga praktek litigasi untuk melakukan judicial review, class action, legal standing untuk meninjau ulang isi hukum sekaligus membentuk preseden yang dapat mempengaruhi keputusan-keputusan hukum selanjutnya.

Proses-proses politik dan birokrasi, yakni suatu upaya atau kegiatan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana peraturan melalui berbagai strategi, mulai dari lobi, negoisasi, mediasi, tawar menawar, kolaborasi dan sebagainya.

Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi, yakni suatu kegiatan untuk membentuk pendapat umum dan pengertian yang lebih luas melalui kampanye, siaran pers, unjuk rasa, boikot, pengorganisasian basis, pendidikan politik, diskusi publik, seminar, pelatihan dan sebagainya. Untuk membentuk opini publik yang baik, dalam pengertian mampu menggerakkan sekaligus menyentuh perasaan terdalam khalayak ramai, keahlian dan ketrampilan untuk mengolah, mengemas isu melalui berbagai teknik, sentuhan artistik sangat dibutuhkan.

Mengingat advokasi merupakan pekerjaan yang memiliki skala cukup besar (karena sasaran perubahan ada tiga aspek), maka satu hal yang sangat menentukan keberhasilan advokasi adalah pada strategi membentuk jaringan kerja advokasi atau jaringan kerja organisasi. Pasalnya kegiatan advokasi adalah pekerjaan multidimensi, sehingga dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak dengan spesifikasi keahlian yang berbeda dalam satu koordinasi yang sistematis dan terpadu. Sebagai catatan, tidak ada satu organisasipun yang dapat melakukan sendiri kegiatan advokasi tanpa ada jaringan atau dukungan dari kelompok lainnya. Justru semakin besar keterlibatan berbagai pihak, akan semakin kuat tekanan yang dapat diberikan dan semakin mudah kegiatan advokasi dilakukan.

Untuk membentuk jaringan organisasi advokasi yang kuat, dibutuhkan bentuk-bentuk jaringan yang memadai. Sekurang-kurangnya terdapat tiga bentuk jaringan organisasi advokasi yang satu sama lainnya memiliki fungsi dan peranan advokasi yang berbeda, namun berada pada garis koordinasi dan target yang sama.

Pertama, jaringan kerja garis depan (front lines) yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk menjadi juru bicara organisasi, melakukan lobi, melibatkan diri dalam aksi yuridis dan legislasi serta penggalangan lingkar sekutu (aliansi). Tentunya pihak-pihak yang hendak terlibat dalam kegiatan

Page 314: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

314

advokasi jaringan kerja garis depan setidaknya harus memiliki teknik dan ketrampilan untuk melakukan tugas dan fungsi jaringan ini.

Kedua, jaringan kerja basis yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan kerja-kerja pengorganisasian, membangun basis massa, pendidikan politik kader, mobilisasi aksi dan membentuk lingkar inti.

Ketiga, jaringan kerja pendukung yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk mendukung kerja-kerja advokasi dengan cara mengupayakan dukungan logistic, dana, informasi, data dan akses. Berhasil atau tidaknya advokasi yang kita lakukan sangat tergantung dari penyusunan strategi yang kita buat. Oleh karena itu dalam menyusun strategi advokasi harus mempertimbangkan beberapa aspek penting yang sangat menentukan keberhasilan advokasi. Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut:

Pertama, bahwa dalam advokasi kita harus menentukan target yang jelas. Maksudnya kita harus menentukan kebijakan publik macam apa yang akan kita ubah. Apakah itu UU, Perda atau produk hukum lainnya.

Kedua, kita juga harus menentukan prioritas mengingat tidak semua kebijakan bisa diubah dalam waktu yang cepat. Karena itu, kita harus menentukan prioritas mana dari masalah dan kebijakan yang akan diubah.

Ketiga, realistis. Artinya bahwa kita tidak mungkin dapat mengubah seluruh kebijakan public. Oleh karena itu kita harus menentukan pada sisi-sisi yang mana kebijakan itu harus dirubah. Misalnya pada bagian pelaksanaan kebijakan, pengawasan kebijakan atau yang lainnya.

Keempat, batas waktu yang jelas. Alokasi waktu yang jelas akan menuntun kita dalam melakukan tahap-tahap kegiatan advokasi, kapan dimulai dan kapan akan selesai.

Kelima, dukungan logistik. Dukungan sumber daya manusia dan dana sangat dibutuhkan dalam melakukan kegiatan advokasi.

Keenam, analisa ancaman dan peluang.

Page 315: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

315

Hand-Out 15: STRATEGI COMMUNITY ORGANIZER,

IDEOLOGISASI DAN PEMBASISAN KADER Pengantar

Masyarakat telah mempunyai organisasi sejak lama atau sejak kelembagaan masyarakat mulai terbentuk. Masyarakat membentuk organisasi kemasyarakatan karena hubungan sosial yang mengatur segala kehidupan secara komunal. Relasi sosial yang menjadi dasar pembentukan masyarakat biasanya dicerminkan ke dalam bentuk ikatan kerabatan atau mengenai tata aturan kehidupan bermasyarakat dalam sebuah kawasan. Tata aturan yang mengatur kehidupan masyarakat jarang sekali tertulis, mengingat tata aturan yang berlaku biasanya diturunkan dari generasi ke generasi melalui tuturkata. Ada beberapa masyarakat yang sudah mengenal budaya tulis menuangkan tata aturan ke dalam bentuk tulisan yang sampai sekarang masih berlaku.

Tata aturan organisasi masyarakat yang menjadi kesepakatan bersama seluruh masyarakat , lebih dikenal dengan hukum yang di dalam hukum memuat aturan – aturan tentang tata cara kehidupan masyarakat . Selama ini, hukum lah yang mengatur tata cara berorganisasi masyarakat dan telah menjadi garis besar pedoman untuk mengatur semuanya. Walaupun perkembangan jaman menuju arah modernisasi, masih banyak sekali hukum yang berlaku sebagai aturan dalam masyarakat di Indonesia.

Dalam arus modernisasi, beberapa permasalahan penting yang dihadapi masyarakat saat sangat beragam, mulai dari kebijakan pemerintah, pemodal besar dan tak jarang dari dalam internal masyarakat itu sendiri. Bahkan tak jarang, masyarakat telah mengikuti arus modernisasi sehingga beberapa aturan kehidupan masyarakat yang tertuang dalam hukum telah banyak yang ditinggalkan dan dianggap sebagai hal yang ketinggalan jaman. Beberapa kasus atau masalah yang dihadapi masyarakat tidak hanya berasal dari pemerintah atau penguasa yang menerapkan pola kebijakan yang menegasikan (menganggap tiadanya) masyarakat , hingga kekakayaan alam yang ada di dalam kawasan masyarakat telah dieksploitasi habis demi keuntungan sesaat. Perkembangan selanjutnya, muncul konflik perebutan sumber daya alam antara masyarakat melawan investor yang biasanya bekerja sama dengan pemerintah atau penguasa. Di Indonesia, ketika program pembangunan nasional dicanangkan dan dilakukan secara menyeluruh di seluruh pelosok daerah, keadaan masyarakat tidak semakin berkualitas kehidupannya, tetapi semakin menurun. Bahkan untuk menikmati sumber daya alam yang telah secara turun temurun dikelola, mereka terasing dan terusir dari lingkungannya.

Secara garis besar, kendala yang dihadapi oleh organisasi masyarakat bisa dikategorikan menjadi dua, secara internal dan eksternal. Kendala internal yang dihadapi adalah pembangunan organisasi ke dalam masyarakat sendiri. Kendala ini sering kali muncul karena organisasi masyarakat selalu mengalamai perpecahan ke dalam dan organisasi yang dibangun tidak sistematis. Masalah yang lain adalah mengenai proses demokratisasi dalam mengambil kesepakatan – kesepakatan di dalam organisasi sendiri masih bersifat elitis di sebagian besar kelompok masyarakat . Akibat dari kekurangan ini, organisasi masyarakat sering dimanfaatkan oleh pemodal besar dan penguasa untuk kepentingannya. Permasalahan eksternal lebih disebabkan oleh kekuatan lawan yang tangguh sehingga masyarakat merasa kebingungan untuk menghadapinya.

Page 316: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

316

Permasalahan lain yang sering kali muncul kaitannya dengan permasalahan eksternal adalah ketidak tahuan atau tata cara mempertahankan kepentingan masyarakat jika menghadapi permasalahan yang sifatnya lokal (minimal tingkat Kabupaten) dan menyeluruh secara nasional.

Untuk mengatasi permasalahan internal dan eksternal, maka beberapa langkah yang harus dilakukan adalah melakukan pengorganisasian rakyat, khususnya mengenai organisasi masyarakat dalam melakukan perjuangan secara internal dan eksternal. Secara internal, masyarakat harus membangun sebuah organisasi yang solid dan melakukan pendidikan organisasi kepada seluruh warga. Sedangkan secara eksternal, secara organisasional masyarakat harus satu suara dalam memperjuangkan kepentingan tingkat lokal maupun tingkat nasional secara bersama – sama.

Dalam draft modul pengorganisasian masyarakat akan membahas tentang organisasi, pengorganisasian dan peran seorang Community Organiser (CO) masyarakat . Tujuan dari pembuatan modul adalah seorang Community Organiser (CO) mampu mengetahui, memahami dan melakukan kerja – kerja pengorganisasian pada masyarakat , baik secara internal maupun eksternal. Dalam melakukan penulisan, penulis masih banyak mengalamai keterbatasan – keterbatasan, khususnya mengenai informasi dan perkembangan masyarakat kekikinian. Demi menambah kesempurnaan modul ini, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Pengertian Organisasi

Kita bisa mengibaratkan sapu lidi seperti sebuah organisasi. Apabila setiap lidi diikat bersama – sama dan berubah menjadi sebuah sapu lidi, akan mempunyai kekuatan karena ikatan tersebut. Bila masing - masing lidi tidak disatukan ke dalam sebuah ikatan, maka lidi – lidi tersebut akan lemah, tidak memiliki kekuatan dan mudah sekali dipatahkan. Tetapi bila setiap lidi diikat menjadi satu, ia adalah alat yang efektif untuk membersihkan kotoran.

Seperti masyarakat , musuh selalu menghendaki organisasi terpecah, sehingga masyarakat tidak bisa secara efektif menyingkirkan penindasan, pemerasan dan kebijakan yang mereka buat. Jika masyarakat terorganisir dan mempunyai persatuan yang kuat seperti sapu lidi, maka kita bisa bergerak menyapu kotoran – kotoran dan persoalan – persoalan masyarakat . Hanya dengan jalan berorganisasi, masyarakat bisa menunjukkan tenaga dan kekuatan persatuan – persatuan masyarakat yang tertindas untuk mencapai tujuan masyarakat yang demokratis, bebas dan sejahtera. Organisasi Masyarakat

Organisasi masyarakat merupakan kekuatan yang memperjuangkan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam melakukan perjuangan kepentingan masyarakat , organisasi masyarakat tidak akan henti – hentinya sampai kapanpun. Sebab, musuh – musuh masyarakat juga tidak akan henti – hentinya dalam melakukan penindasan terhadap masyarakat . Bentuk organisasi masyarakat biasanya sudah terdapat dalam tata aturan hukum yang berlaku. Bisa berbentuk paguyuban, , atau kesukuan. Bentuk organisasi masyarakat bisa sangat fleksibel dalam mengikuti tata aturan hukum yang berlaku dalam setiap daerah masing – masing dan tidak ada kriteria khusus yang mengaturnya. Kepemimpinan yang berlaku juga demikian, sangat beragam. Hampir semua masyarakat mempunyai ciri yang khas dalam melakukan

Page 317: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

317

kepemimpinannya. Pada prinsipnya, setiap organisasi mayarakat mempuyai bentuk yang berbeda, kepemimpinan yang berbeda, tetapi semuanya tetap dalam satu tujuan membangun kepentingan bersama masyarakat . Landasan dan Tujuan Organisasi Masyarakat

Landasan filosofis dari kebutuhan untuk melakukan pengorganisasian masyarakat adalah pemberdayaan. Karena pada dasarnya masyarakat sendiri yang seharusnya berdaya dan menjadi penentu dalam melakukan perubahan sosial. Perubahan sosial yang dimaksud adalah perubahan yang mendasar dari kondisi ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Dalam konteks masyarakat , perubahan sosial juga menyangkut multidemensional. Dalam demensi ekonomi seringkali ‘dimimpikan’ terbentuknya kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat . Dalam segi politik selalu diinginkan keleluasaan dan kebebasan bagi masyarakat untuk berpartisipasi, berkompetisi serta diakui hak-hak sipil dan politiknya. Sedangkan dalam sisi budaya, dirasakan ada keinginan untuk mengekspresikan kearifan kebudayaan lokal. Prinsip – Prinsip Dasar Organisasi Masyarakat

Dalam organisasi masyarakat , ada beberapa prinsip – prinsip dasar yang bisa digunakan dalam menjalankan organisasi. Prinsip dasar ini bisa juga menyesuaikan kearifan budaya lokal yang ada. Bila dalam kehidupan sehari – hari berorganisasi masyarakat sudah ditemukan hal – hal yang baik, maka tidak perlu ditekankan untuk dirubah, tetap dipelihara sebagai persoalan pokok yang tetap dijadikan dasar pijakan, biasanya menyangkut etika tata cara berkehidupan sosial secara organisasional dalam masyarakat . Beberapa kriteria dasar atau prinsip dasar yang dimiliki oleh organisasi masyarakat adalah : Kepemimpinan

Prinsip kepemimpinan organisasi masyarakat dituntut mempunyai watak demokratis, artinya setiap bentuk kepemimpinan harus didasarkan dan diarahkan pada prinsip – prinsip demokrasi. Beberpa prinsip demokrasi yang dilakukan dalam melakukan kepemimpinan organisasi adalah : Trust

Trust atau Kepercayaan adalah melukiskan relasi antar anggota organisasi. Relasi kepercayaan merupakan faktor pokok dalam membangun sebuah organisasi. Dalam masyarakat , kepercayaan merupakan bagian dari relasi sosial yang tak pernah lepas dalam kehidupan sehari – hari. Untuk menjaga keharmonisan organisasi masyarakat , kepercayaan yang ada harus tetap dipertahankan mulai dari anggota yang paling bawah (warga masyarakat ) sampai tingkat pemimpin organisasi masyarakat . Kepercayaan yang kuat antar warga masyarakat dalam membangun organisasi masyarakat akan mampu menjauhkan organisasi ke dalam perpecahan. Aspiratif

Prinsip aspirasi adalah menggambarkan perwakilan kepentingan dalam sebuah organisasi. Prinsip aspirasi yang dimaksud adalah setiap keputusan yang diambil oleh sebuah organisasi masyarakat harus mengakomodir kepentingan seluruh warga, sehingga setiap keputusan yang diambil merupakan bentuk dari

Page 318: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

318

penampilan kepentingan umum seluruh warga masyarakat . Begitu pula keputusan – keputusan yang dijalankan dalam organisasi secara bersama diputuskan atas dan didasarkan pada kepentingan umum. Kasus yang sering terjadi adalah para pemimpin organisasi masyarakat mengambil keputusan atau kebijakan secara tertutup pada tingkatan pengurus atau berdasarkan pada keputusan beberapa warga saja. Kebiasaan buruk ini masih sering dilakukan. Sebisa mungkin hal ini dihindarkan. Maka dalam setiap organisasi masyarakat , para pemimpin hendaknya selalu memiliki sikap aspiratif dalam mengambil setiap kebijakan atau keputusan organisasi.

Partisipasi

Partisipasi dalam sebuah organisasi menggambarkan keterlibatan dari keaktifan seluruh warga masyarakat dalam berorganisasi. Partisipasi tidak hanya dilakukan oleh pemimpin organisasi saja, melainkan seluruh warga masyarakat .Seluruh warga masyarakat dituntut partisipasi aktif dalam setiap pengambilan keputusan. Dalam hal ini, bentuk partisipasi sebisa mungkin berasal dari dua arah, pemimpin dan warga masyarakat . Kebiasaan buruk pelaksanaan partisipasi dalam organisasi masyarakat selama ini adalah penekanan partisipasi dalam level pelaksanaan kegiatan, sementara partisipasi pada level perencanaan masih tetap didominasi oleh elite-elite pemimpin. Dua tahap partisipasi yang lain, monitoring dan evaluasi, hampir tidak pernah dilaksanakan oleh warga masyarakat . Oleh karena itu, setiap kegiatan perencanaan di masyarakat sebisanya difokuskan pada deseminasi wacana-wacana baru kepada warga masyarakat , dan sekaligus mendorong mereka untuk berpartisipasi aktif dalam setiap aktivitas kehidupan masyarakat .

Transparansi

Prinsip transparansi menekankan bahwa setiap keputusan atau kebijakan dalam sebuah organisasi mempunyai sifat transparan. Artinya setiap warga masyarakat berhak mengetahui seluruh kepentingan organisasi tanpa ada sedikitpun sesuatu yang disembunyikan. Tujuan dari transparansi adalah organisasi mempunyai kepentingan yang jelas dan diketahui oleh seluruh warga masyarakat , sehingga keputusan atau kebijakan yang diambil merupakan bentuk dari perwakilan kepentingan keseluruhan warga masyarakat . Selain itu, prinsip transparansi merupakan bentuk dari manajement organisasi yang bersih dan terhindar dari kepentingan – kepentingan individu. Pada implementasi kegiatan organisasi masyarakat , bentuk – bentuk transparansi biasanya tercermin dalam setiap aktivitas organisasi, mulai dari perencanaan kegiatan hingga sampai pada monitoring dan evaluasi. Kebiasaan buruk dalam organisasi masyarakat dalam hal transparansi sebenarnya bukan saja dalam sistem pengambilan keputusan atau kebijakan, tetapi pada prinsip – prinsip kebijakan pengelolaan anggaran organisasi sering terjadi. Kasus tidak transparansi dalam penggunaan anggaran dalam sebuah organisasi adlah merupakan awal yang baik bagi kehancuran sebuah organisasi. Kasus ini sering terjadi pada setiap organisasi, untuk itu sebisa mungkin transparansi penggunaan anggaran harus dilakukan setia organisasi masyarakat.

Page 319: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

319

Akuntabilitas publik Setiap keputusan atau kebijakan dari organisasi dituntut untuk dapat

dipertanggung jawabkan kepada semua warga masyarakat . Prinsip akuntabilitas publik menekankan bahwa organisasi yang ada dapat mempertanggngjawabkan semua aktivitas yang telah dilakukan selama dalam pereode tertentu. Pertanggungjawaban ini mencerminkan organisasi mampu bertangungg jawab atas keputusan atau kebijakan yang telah diambilnya sesuai dengan amanat yang diberikan oleh seluruh warga masyarakat dalam mewujudkan kepentingan bersama. Pertanggungjawaban dalam setiap organisasi bisa dilakukan pada setiap pertemuan atau rapat – rapat yang dilakukan oleh organisasi, biasanya dilakukan dalam rapat umum organisasi masyarakat yang dihadiri oleh seluruh warga. Pertanggungjawaban dalam sebuah organisasi selain bertujuan pelaporan kegiatan, juga mempunyai tujuan lain yang lebih penting yaitu semua warga masyarakat semakin menambah percaya pada organisasi.

Akses Kontrol

Setiap organisasi masyarakat mempunyai mekanisme kontrol. Mekanisme kontrol bertujuan untuk mengontrol kenierja organisasi masyarakat agar lebih responsibel dan bertanggung jawab atas kepentingan seluruh warga masyarakat. Kontrol yang tepat biasanya dilakukan dalam sebuah organisasi masyarakat bila ditemukan penyimpangan–penyimpangan arah dan tujuan organisasi. Selain itu, kontrol bisa dilakukan bila terjadi praktik-praktik manipulasi atau KKN secara brutal yang dilakukan oleh pengurus organisasi masyarakat. Kontrol terhadap organisasi masyarakat bisa dilakukan kapan saja bila mayoritas warga masyarakat menghendakinya. Kontrol bisa dilakukan juga dalam rapat – rapat atau pertemuan rutin yang dilakukan oleh organisasi masyarakat . Rapat anggota luar biasa dapat dilakukan bila terjadi penyimpangan arah dan tujuan organisasi, terjadinya praktek – praktek manipulasi atau KKN yang terjadi mengancam organisasi. Mekanisme kontrol biasanya diatur dan ditetapkan oleh organisasi masyarakat dalam kesepakatan bersama serta dituangkan dalam aturan dasar yang berlaku.

Prinsip Persatuan dan Kesatuan

Proses pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi masyarakat , khususnya ketika di tengah – tengah warga masyarakat , segala pandangan dan pikiran yang muncul akan berada dalam satu garis politik yang memperjuangkan kepentingan warga masyarakat. Tetapi, dalam praktek perjuangan, bisa terjadi perbedaan – perbedaan. Perbedaan dalam suatu organisasi masyarakat adalah hal yang sangat wajar dan sehat; pengungkapan pandangan dan diskusi secara terbuka mengenai kebijakan organisasi harus dijamin dalam organisasi masyarakat. Walaupun demikian, iklim demokrasi ini belum tentu menjamin keselamatan dan keutuhan organisasi masyarakat dari ancaman unsur – unsur kecenderungan perpecahan. Bahaya perpecahan merupakan salah satu ancaman dari dalam, yang bisa menggerogoti kesetiaan warga terhadap perjuangan organisasi masyarakat . Untuk mensikapi dan mencegah secara dini setiap munculnya unsur perpecahan sekecil apapun yang bertujuan memecah belah organisasi masyarakat , maka penegakan disiplin organisasi harus mutlak dilakukan.

Page 320: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

320

Prinsip Kemandirian Prinsip kemandirian dalam sebuah organisasi masyarakat mutak

dilakukan, terutama ketka melakukan pekerjaan – pekerjaan penting di tengah – tengah warga masyarakat. Dalam menghadapi setiap permasalahan, organisasi masyarakat dituntut untuk secara cepat dan tepat menjawab kebutuhan perjuangan organisasi masyarakat . Setiap organisasi masyarakat mempunyai kemandirian dalam menjawab persoalan – persoalan lokal tanpa harus tergantung dari pihak – pihak lain. Pertanggungjawaban organisasi atas apa yang telah dikerjakannya bisa dilakukan dalam pertemuan – pertemua organisasi. Dalam pelaksanaan di lapangan, keluawesan dan kreativitas merupakan unsur pokok yang dituntut ada pada setiap diri warga masyarakat . Pengorganisasian Masyarakat

Proses membangun organisasi masyarakat disebut pngorganisasian masyarakat . Pengorganisasian dalam masyarakat mungkin bagi sebagian warga merupakan istilah yang baru, tetapi konsep ini sudah dikenal luas di kalangan organisasi umum yang lain. Pengorganisasian bisa menjadi kebutuhan ketika realitas kehidupan sosial masyarakat sudah berkembang sedemikian kompleksnya, sehingga sebuah usaha tidak bisa dilakukan secara individual lagi (warga-perwargaan) melainkan harus menjadi usaha bersama dalam bentuk kelompok. Dengan demikian, pada pengertian yang paling sederhana, Konsep serba bersama ini merupakan batas pembeda antara upaya pengorganisasian masyarakat dengan upaya perwargaan maupun strategi menyerahkan segala sesuatunya pada pemimpin yang sudah pasti dilakukan secara individual.

Dalam membangun organisasi masyarakat ada beberapa penekanan dan pemisahan secara manajemen pengorganisasiannya. Pemisahan manajemen pengorganisasian ditujukan untuk mengahadapi permasalahan – permasalahan yang muncul di tingkatan masyarakat . Permasalahan yang muncul bisa dibedakan dalam dua hal, secara internal dan eksternal. Begitu pula cara membangun organisasi masyarakat dengan internal dan eksternal dengan harapan organisasi mampu mengatasi dua persoalan ini secara baik. Landasan & Tujuan pengorganisasian Landasan Pengorganisasian

Landasan filosofis dari kebutuhan untuk membangun organisasi adalah membangun kepentigan secara bersama – sama pada seluruh masyarakat , karena masyarakat sendiri yang seharusnya berdaya dan menjadi penentu dalam melakukan perubahan sosial. Perubahan sosial yang dimaksud adalah perubahan yang mendasar dari kondisi ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Dalam konteks masyarakat , perubahan sosial juga menyangkut multidemensional. Dalam demensi ekonomi seringkali ‘dimimpikan’ terbentuknya kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat . Dalam segi politik selalu diinginkan keleluasaan dan kebebasan bagi masyarakat untuk berpartisipasi, berkompetisi serta diakui hak-hak sipil dan politiknya. Sedangkan dalam sisi budaya, dirasakan ada keinginan untuk mengekspresikan kearifan kebudayaan lokal. Landasan filosofis pengorganisasian lainnya adalah melakukan adalah pemberdayaan. Karena pada dasarnya masyarakat sendiri yang seharusnya berdaya dan menjadi penentu dalam melakukan perubahan sosial. Pengorganisasian masyarakat bertujuan agar masyarakat menjadi penggagas, pemrakarsa,

Page 321: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

321

pendiri, penggerak utama sekaligus penentu dan pengendali kegiatan-kegiatan perubahan sosial yang ada dalam organisasi masyarakat .

Tujuan Pengorganisasian

Pengorganisasian dalam sebuah organisasi masyarakat ditujukan untuk membangun dan mengembangkan organisasi. Pengorganisasian mempunyai peranan yang luar biasa bagi organisasi secara internal dan eksternal. Secara internal tujuan pengorganisasian adalah membangun organisasi masyarakat . Secara eksternal tujuan pengorganisasian adalah membangun jaringan antar organisasi masyarakat untuk menghadapi masalah – masalah bersama atau lebih ditujukan untuk membangun kekuatan bersama yang lebih besar lagi. Selain itu, tujuan pengorganisasian adalah mnyelesaikan konflik – konflik atau masalah masalah yang terjadi di tengah warga masyarakat yang setiap saat muncul dan harus segera diselesaikan untuk menuju perubahan sosial yang lebih baik.

Manfaat Melakukan Pengorganisasian

Mengorganisir diri punya manfaat janorganisir diri punya manfaat janalam jangka pendek, mengorganisir diri adalah suatu alat effektif untuk membuat sesuatu terlaksana; memperbaiki pelayanan pada masyarakat, termasuk pelayanan dalam bidang ekonomi (modal-teknologi), menurunkan beban pajak, memastika jaminan lapangan kerja, perubahan kebijakan di tingkat masyarakat atau di luar , memperbaiki pelayanan angkutan umum dan kesehatan, melindungi lingkungan hidup dan alam sekitarnya, serta sebagainya. Intinya, banyak diantara masalah keseharian yang kita hadapi saat ini dapat dipecahkan dan dirubah dengan cara mengorganisir diri.

Mengorgansir diri juga punya manfaat jangka panjang yang mungkin jauh lebih penting. Melalui proses-proses pengorganisasian, masyarakat bisa belajar sesuatu yang baru tentang diri sendiri. Masyarakat akan menemukan bahwa harga diri dan martabat mereka selama ini selalu diabaikan dan diperdayakan. Dengan pengorganisasian, masyarakat , warga dapat menemukan bahwa kehormatan dan kedaulatan mereka selama ini justru tidak dihargai karena ketiadaan kepercayaan diri di antara warga masyarakat sendiri. Warga masyarakat dengan demikian akan mulai belajar bagaimana caranya mendayagunakan semua potensi, kemampuan dan ketrampilan yang mereka miliki dalam proses-proses pengorganisasian; bagiamana bekerja bersama dengan warga lain, menyatakan pendapat dan sikap mereka secara terbuka, mempengaruhi kebijakan resmi, menghadapi lawan atau musuh bersama. Akhirnya, melalui pengorganisasian, masyarakat mulai mengenal dan menemukan diri mereka sendiri. Warga masyarakat akan bisa menemukan siapa mereka sebenarnya selama ini, berasal dari mana, seperti apa latar belakang mereka, sejarah mereka, cikal-bakal mereka, akar budaya mereka serta kepentingan bersama mereka. Warga masyarakat akan menemukan kembali sesuatu yang bermakna dalam lingkungan keluarga mereka, kelompok suku atau bahasa asal mereka yang memberi mereka kembali martabat dan kekuatan baru.

Page 322: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

322

Kerja Pengorganisasian (pengorganisiran) Salah satu kerja penting dari pengorganisasian adalah

pengorganisiran. Hal menakjubkan dalam keseluruhan proses mengorganisir adalah tenyata hal itu dapat dilakukan oleh siapa saja. Pengorganisiran seringkali dikesankan sulit atau bahkan musykil. Tetapi dalam kenyataannnya, mengorganisir adalah suatu proses yang sebenarnya tidak ruwet. Itu tergantungan pada ketrampilan dasar yang sebagian besarnya sebenarnya sudah dimiliki oleh masyarakat dalam kadar yang sama dan memadai. Salah stau contoh yang cukup relevan dengan hal ini adalah ketrampilan sehari-hari untuk hidup bersama yang sudah dimiliki oleh masyarakat . Pelembagaan kerja bersama sudah terwujudkan ke dalam berbagai macam kerja organisasi asli seperti “upacara ”, “gotong – royong”, dan sebagian. Memang tidak ada resep serba jadi dalam proses pengorganisiran, ada beberapa langkah tertentu yang perlu dilakukan dalam keadaan tertentu pula. Tetapi semua langkah itu sebenarnya sederhana dan mudah dipelajari oleh warga sekalipun. Dengan demikian, semua warga dapat mengorganisir. Semua warga dapat belajar tentang asas-asas pengorganisasian. Tidak ada yang lebih hebat dibandingkan dengan yang lain. Mengapa Warga Mengorganisir Diri atau Menolak untuk itu?

Warga-warga masyarakat mengorganisir diri karena beberapa alasan yang mungkin berbeda. Adakalanya diperlukan pendekatan agar alasan yang beragam itu bisa dijadikan satu landasan untuk menghimpun diri bersama-sama. Dengan demikian salah satu landasan awal dari upaya mengorganisir diri adalah tersedianya landasan bersama (common platform), baik berupa nilai, institusi dan mekanisme bersama. Misalnya, pengorganisasian harus jelas visi dan misi yang ingin dicapai dari upaya pengorganisasian itu. Visi dan Misi itulah kemudian diturunkan ke dalam strategi dan program yang bisa menjawab kebutuhan anggota secara lebih jelas. Mengapa sebagian warga tidak mengorganisir diri ? Tidak semua warga yang mempunyai masalah lantas mengorganisir diri. Beberapa warga akan tetap berkutat mencoba menyelesaikannya sendirian, meskipun sudah terbukti berkali-kali gagal atau kurang berhasil. Ada banyak alasan mengapa warga menolak berhimpun dengan warga lain: ada sebagin warga pengorganisasian merupakan hal baru, merasa cemas karena akan dimintai sesuatu atau melakukan sesuatu yang mereka yakini belum pasti, takut dimintai pertanggungjawaban atau menyatakan pendapatnya di depan umum. Alasan lain adalah takut pada apa yang bakal terjadi jika pengorganisasi itu nanti sudah berjalan, mereka akan mendapatkan tantangan, rintangan ataupun akibat-akibat lain yang dirasakan memberatkan. Karena alasan-alasan tersebut di atas menyebabkan banyak warga lebih memilih untuk menggunakan cara-cara pemecahan persoalan secara perwargaan, terhadap banyak persoalan yang sebnarnya dirasakan oleh banyak warga. Dimana melakukan Kerja – Kerja Pengorganisasian

Tempat terbaik untuk untuk memulai suatu pengorganisasian adalah suatu pengorganisasian adalah berada, dengan warga-warga yang ada di sekitar anda, tentang masalah yang memang oleh warga diprihatinkan bersama, tentang sesuatu yang oleh warga masyarakat menginginkan terjadi perubahan atasnya. Mulailah dengan bekerja dan hidup bersama warga, warga masyarakat

Page 323: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

323

seperti anda juga, mereka yang membagi minat dan perhatian yang sama dengan anda dan yang lainnya. Pengorganisasian tidak perlu merupakan sesuatu yang serba besar pada awal mulanya, jika ingin berhasil. Pengorganisasian bisa dimulai dari sebuah kelompok yang kecil. Apa yang harus Kita Kerjakan dalam Pengorganisasian ?

Langkah Pertama, salah satu yang bisa dilakukan adalah mempelajari situasi sosial kemasyarakatan di masing-masing. sebagai entitas politik, ekonomi bisa dipilah berdasarkan kategori; region (dusun – ), profesi (petani-pengrajin-pengusaha), ataupun kekerabatan (trah). Di sebuah masyarakat yang meletakkan konteks kewilayahan sebagai sesuatu yang penting, maka pengorganisasian bisa menggunakan pemilihan regional yang berbasisikan dusun. Demikianpula apabila, basis pengorganisasian lebih tepat menggunakan kreteri profesi maka strategi yang dipilih bisa menyesuaikan dengan keadaan sosial tersebut.

Langkah Kedua, pengorganisasian juga seharusnya memperhatikan titik masuk institusional (kelembagaan). Pertanyaan yang relevan adalah apakah upaya pengorganisasian dilakukan dengan menggunakan lembaga-lembaga yang sudah ada, seperti kelompok masyarakat , assosiasi lembaga ekonomi atau lembaga lain resmi yang seringkali dalam pembentukannya ‘dibidani’ oleh pemerintah. Atau upaya pengorganisasian dilakukan dengan membentuk wadah baru sama sekali. Tentu saja kedua jalan itu mempunyai sejumlah kelebihan dan kelemahan. Kelebihan penggunaan lembaga yang sudah ada adalah relatif tersedianya prasarana dan sarana bagi kerja-kerja pengorganisasian. Kelamahan jalan ini adalah bentuknya yang sangat kaku karena diin dari atas. Sedangkan jalan pembentukan wadah baru mempunyai kelebihan karena relatif lebih mandiri dan partispatif namun mempunyai kelemahan yang bersumber dari belum terlembaganya mekanisme organisasi sehingga bersifat trial and error.

Langkah Ketiga, melakukan dan memperkuat kerja-kerja basis. Yang dimaksud dengan kerja-kerja basis adalah kerja-kerja yang dilakukan oleh kelompok inti (yang mengorganisir diri terus menerus) secara internal berupa;

1. Upaya membangun basis warga masyarakat (melakukan rekruitmen dan pendekatan pada komunitas yang senasib agar mau bergabung dalam pengorganisasian).

2. Pendidikan pada anggota mengenai visi, misi, dan kepentingan bersama dari organisasi masyarakat .

3. Merumuskan strategi untuk memperjuangkan kepentingan bersama organisasi masyarakat .

Membangun Jaringan

Untuk mencapai tujuan bersama, sebuah pengorganisasian memerlukan keterlibatan banyak pihak dengan berbagai spesifikasi yang berbeda dalam suatu koordinasi yang terpadu dan sistematis. Tidak ada satupun organisasi yang mampu mencapi tujuannya tanpa bantuan dari pihak-pihak lain yang juga mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama. Semakin banyak warga masyarakat /organisasi menyuarakan hal yang sama maka, semakin kuat kepercayaan bagi timbulnya perubahan yang diinginkan. Hal ini secara sederhana disebut sebagai kebutuhan untuk membangun jaringan.

Page 324: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

324

Secara garis besarnya kerja-kerja jaringan dapat dipilah menjadi tiga bentuk: 1. Kerja Basis. Kerja basis merupakan kerja yang dilakukan oleh kelompok inti

(pengorganisir) dengan melakukan langkah-langkah; membangun basis masa, pendidikan dan perumusan strategi.

2. Kerja Pendukung. Kerja pendukung ini dilakukan oleh kelompok-kelompok sekutu yang menyediakan jaringan dana, logistik, informasi data dan akses. Kelompok sekutu bisa berasal dari kalangan LSM, kelompok intelektual/ akademisi, Lembaga pendana (donor) dan kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai komitmen terhadap persoalan yang diperjuangkan.

3. Kerja Garis Depan. Kerja garis depan dilakukan terutama berkaitan dengan advokasi kebijakan, mobilisasi massa, mempeluas jaringan sekutu, lobbi dan melaksanakan fungsi juru runding. Kerja-kerja garis depan bisa dilakukan oleh kelompok organisasi/invidual yang memiliki keahlian dan ketrampilan tentang hal ini.

4. Dengan pembagian tugas maka akan terbentuk jaringan yang terdiri dari individu dan kelompok yang bersedia membantu warga dalam melakukan perubahan sosial, baik melalui strategi advokasi, maupun penguatan komunitas basis. Akhirnya, pembangunan jaringan merupakan salah satu cara untuk menambah “kawan”, sekaligus emngurangi “lawan” dalam memperjuangkan perubahan yang diinginkan.

Community Organiser (CO)

Seorang tua yang sedemikian tekun menggali gunung bersama anak – anaknya untuk menyingkirkannya, sehingga Tuhan merasa kasihan lalu mengirim dewa untuk membantunya. Maka seorang organiser berkata ; “Yang membantu organisasi rakyat mengalahkan ketidakadilan adalah rakyat itu sendiri, bukan dewa yang dikirimkan Tuhan. Rakyat itu memiliki tenaga kreatif yang tiada habisnya, semakin ditindas, rakyat semakin perkasa. Yang tertimbun lama, pasti akan meledak dengan cepat”.

Menjadi seorang organiser bukanlah hal yang mudah dilakukan oleh setiap orang. Di dalam masyarakat , mereka tidak mengenal organiser, yang mereka kenal adalah orang yang mempunyai kecakapan atau keahlian yang luar biasa, bahkan dalam beberapa hal, pandangan masyarakat terhadap seorang organiser adalah dewa yang turun ke bumi sebagai wakil Tuhan. Masyarakat seringkali menuntut sesuatu yang lebih banyak dari organiser, mulai persoalan kecil hingga persoalan yang besar yang terjadi di tengah – tengah masyarakat. Misalkan persoalan bagaimana menyelesaikan konflik internal rumah tangga, sampai konflik antar masyarakat , atau konflik yang lebih besar seperti perebutan SDA (Sumber Daya Alam) dengan investor. Oleh karena itu, sebagai seorang organiser masyarakat , minimal dituntut mempunyai kemampuan standar dan kemampuan khusus baik secara teoritik mengenai masyarakat , skill ataupun pengalaman praksis di lapangan.

Memang berbeda tugas seorang organiser masyarakat bila dibandingkan dengan pejabat pemerintahan, atau bila dibandingkan dengan seorang tokoh masyarakat sekalipun. Sorang organiser bisa menjadi tokoh sekaligus pejabat di sebuah organisasi masyarakat . Tetapi seorang pejabat pemerintahan dan tokoh masyarakat belum tentu mempunyai kemampuan sebagai seorang organiser. Syarat moral praxis harus dimiliki oleh seorang

Page 325: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

325

organiser, dimana kemampuan memahami teoritik dari ilmu – ilmu perubahan sosial diterapkan dengan sepenuh hati dan direfleksikan kembali menjadi sebuah teoritik lagi dan di aplikasikan kembali ke tengah – tengah masyarakat , begitu seterusnya, dialektis dan dinamis. Seringkali seorang organiser masyarakat terjebak dengan perannya sendiri ketika gagal mentranformasikan keilmuan dan keterampilan yang dimilikinya kepada warga masyarakat . Kegagalan ini biasanya disebabkan peran organiser semakin tahun tidak semakin berkurang, tetapi tetap menciptakan ketergantungan kepada masyarakat yang diorganisirnya. Namun sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai CO, lebih baik kitau tinjau dahulu mulai dari awal tentang CO. CO (Community Organizer)

Definisi CO saat ini cukup beragam. Banyak organisasi atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menggunakan istilah ini untuk kepentingan dan tujuan dari organisasinya dan mereka menyebutnya dengan istilah organiser, kader, pendamping dan sebagainya kepada petugas yang dikirimkan ke tengah – tengah masyarakat . Namun secara garis besar, definisi CO atau Community Organizer adalah orang atau sekelompok orang dari organisasi tertentu yang dikirimkan ke tengah – tengah masyarakat atau komunitas untuk melaksanakan tugas – tugas dari sebuah organisasi dalam membangun gerakan sosial dalam konteks perubahan sosial yang lebih baik. CO bisa berasal dari mana saja. Dari sebuah organisasi atau bahkan dari kalangan masyarakat biasa. Namun secara garis besar, CO berasal orang atau anggota organisasi yang mempunyai kemampuan kompleks dalam membangun sebuah kesadaran sosial di masyarakat atau di komunitas yang menjadi basis pengorganisirannya. Seperti yang disebutkan dalam pengantar, sebelum terjun ditengah masyarakat atau komunitas yang menjadi basis pengorganisirannya, CO biasanya dibekali dengan keahlian khusus berupa teoritik atau skill standar yang ditujukan untuk kepentingan oranisasi yang mengirimya. Biasanya kemampuan CO dibedakan menjadi 2 bagian ; kemampuan atau kecakapan standar (umum) dan kemapuan khusus sesuai bidangnya atau sesuai kepentingannya. Misalnya, materi standar umum CO diberikan kepada setiap orang yang menjadi CO sebagai bekal kemampuan atau kecakapan umum. Sedangkan materi khusus diberikan kepada CO yang bertugas untuk kepentingan khusus. Misalnya ; CO yang akan diterjunkan ke komunitas buruh, tani, masyarakat , good governance atau sektor lainnya biasanya mendapatkan materi tambahan di bidang tersebut. Bagaimana dan dimana CO bekerja

CO bekerja tentunya ditengah – tengah masyarakat yang menjadi basis pengorganisirannya sesuai dengan kepentingan atau issu yang diamanatkan oleh organisasinya. Secara umum ada 4 tahapan cara CO bekerja ditengah – tengah masyarakat atau komunitas.

a. Perception (persepsi tentang masyarakat atau komunitas) Artinya : ketika seorang CO baru memasuki tahap awal terjun ke tengah – tengah masyarakat atau komunitas, maka yang dilakukan adalah mempelajari semua hal yang ada. Tahap ini biasanya disebut investigasi. Tujuannya adalah mempelajari keadaan obyektif dan subyektif yang ada untuk kemudian

Page 326: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

326

dilanjutkan dengan melakukan pendataan. Hasil data ini kemudian dibuat pemetaan masalah dan menentukan hubungan atau relasi antar individu ataupun kelompok yang bermasalah atau berkonflik. Cara ini biasanya dilakukan dengan wawancara, atau hanya obrolan biasa, bahkan hanya mendatangi segerombolan komunitas yang selalu ramai, pasar, atau tempat orang berkumpul misalnya. Dalam tahap ini, seorang CO harus bisa menentukan : 1. Tema – tema pokok (Generative Themes) 2. Relasi – relasi sosial yang ada. Selain itu, seorang CO harus selalu menjaga hubungan dengan pihak luar untuk mengetahui semua perkembangan dan informasi yang ada mengenai daerah masyarakat yang akan diorganisirnya. Hal – hal yang harus dijaga pada tahapan ini adalah CO tetap merasa sebagai orang luar (bila berasal dari luar komunitas masyarakat ) yang belum mengetahui apa – apa tentang masyarakat yang akan diorganisir. Tetapi biasanya, kendala yang dihadapi seorang CO adalah dia merasa paling mengerti dan mengenai permasalahan yang ada, serta berusaha cepat untuk menyimpulkannya, atau bisa saja seorang CO merasa orang yang paling ahli dalam menentukan semua masalah yang ada di daerah basis yang diorganisirnya atau dalam istilah pengorganisasian dikenal dengan “Don’t going native” (jangan sok pribumi) b. Summarization (meringkas gagasan dalam sebuah laporan) Artinya ; Setelah semua data – data terkumpul, maka analisis terhadap data yang ada mulai dilakukan pada tahap ini. Tujuannya ; untuk menentukan prioritas masalah atau issu strategis yang menjadi milik bersama untuk diolah lebih lanjut. Pada tahapan inilah seorang CO dituntut untuk menguasai teori analisa sosial, yang merupakan gabungan dari berbagai disiplin ilmu untuk merumuskan masalah dan mencari prioritas masalah untuk diselesaikan. Beberapa hal yang harus dijaga pada tahapan ini adalah seorang CO tetap menjaga persepsi masyarakat dalam sebuah analisis sosial yang obyektif (berdasarkan fakta). Prinsip awalnya adalah “Don’t going native” atau jangan sok pribumi. Yang dikhawatirkan adalah seorang CO akan larut dengan mengidealkan masyarakat tersebut dan terjebak menjadi Romantic terhadap komunitas tersebut. c. Authorization (otoritas pengambilan keputusan) Artinya ; pada tahapan ini segala keputusan yang akan dilakukan oleh seorang CO beserta organisasi masyarakat yang ada harus dikonsultasikan kepada organisasi yang lebih tinggi, dengan catatan ada organisasi di atasnya yang mengontrol pekerjaan CO dan organisasi masyarakat . Tujuan konsultasi adalah untuk mengontrol segala tindakan ataupun keputusan yang dilakukan oleh CO di lapangan agar tidak menyimpang dari tata aturan organisasi yang telah menjadi kesepakatan. Hal – hal yang selalu dilanggar oleh seorang CO biasanya tidak suka mengkonsultasikan masalah yang dihadapi di lapangan dengan organisasi yang di atasnya. Beberapa hal yang sering dijadikan alasan adalah CO telah mampu mengerjakan semua dengan seorang diri, tanpa perlu bantuan organisasi, atau seorang CO takut akan kritikan organisasi di atasnya dan sesama CO.

Page 327: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

327

d. Implementation (pelaksanaan keputusan) Artinya ; setiap keputusan yang dirangkum dan diusulkan oleh organisasi masyarakat atau komunitas yang kemudian masuk ke organisasi tertinggi, setelah melaui proses pengambilan keputusan dikembalikan lagi kepada CO dan masyarakat atau komunitas untuk dilaksanakan. Tujuannya adalah masyarakat atau komunitas yang diorganisir atau organisasi lokal merasa usulan dan saran yang telah diajukan dapat diakomodasi dan merasa tidak ditinggalkan dalam melakukan segala keputusan dan kesepakatan di lapangan.

Keempat tahapan ini perlu dilakukan berulang – ulang dengan tujuan semakin tepat, hidup dan kaya. Selain itu, cara kerja seperti ini, menghindari seorang CO atau pemimpin dalam organisasi tidak bersikap otoriter, khususnya dalam pengambilan keputusan. Selain itu, cara kerja sistem ini menghindari seorang. CO bekerja adventurer (petualang, suka berspekulasi). Penutup Dalam memahami sebuah organisasi masyarakat , kita tidak akan terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Seorang CO (Community Organiser) dalam membangun organisasi masyarakat selain dituntut menguasai materi pengorganisasian, juga dituntut untuk memahami khasanah kearifan budaya lokal masyarakat yang menjadi basis pengorganisirannya. Sering kali seorang CO mengabaikan permasalahan ini sehingga berakibat kegagalan dalam membangun organisasi masyarakat . Realitas sosial dalam lingkungan bekerjanya seorang CO adalah faktor lain sebagai media mengasah kemampuan. Pengalaman praksis di lapangan merupakan guru yang terbaik bagi seorang CO dalam menjalankan sebuah pengorganisasian rakyat. Untuk itu, dalam memahami isi modul ini diharapkan CO masyarakat mampu melengkapi sendiri dengan berbagai pengalaman dalam melakukan pengorganisasian.

Page 328: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

328

REFERENSI

Mannheim, Karl, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik (Yogyakarta: Kanisius, 1993).

Friedrich Engels, The Origin Of The Family, Private Property And The State, Zurich, 1884

Elie Halevy, Histoire du Socialisme Europen. Paris, Gallimard, 1937 Market Socialism: the debate among socialists, ed. Bertell Ollman (1998) G.D.H. Cole, History of Socialist Thought, in 7 volumes, Macmillan and St.

Martin's Press (1965), John Weinstein, Long Detour: The History and Future of the American Left,

Westview Press, 2003, Leo Panitch, Renewing Socialism: Democracy, Strategy, and Imagination.

Michael Harrington, Socialism, New York: Bantam, 1972 Edmund Wilson, To the Finland Station: A Study in the Writing and Acting of

History, Garden City, NY: Doubleday, 1940. Albert Fried, Ronald Sanders, eds., Socialist Thought: A Documentary History,

Garden City, NY: Doubleday Anchor, 1964. Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1982) Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi dan

Pengaruhnya Terhadap Dunia Ketiga (Jakarta: Bumi Aksara, 2007) Alfian, Pemikian dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1981) Sukarna, Suatu Studi Ilmu Politik Ideologi (Bandung: Alumni, 1981) Jorge Lorrain, Konsep Ideologi (Yogyakarta: LKPSM, 1996) Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1991) Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1999) Anthony Downs, An Economic System of Democracy (New York: Harper & Row,

1957) Austin Ranney, Governig; An Introduction to Political Science (7th Edition;

London: Prentice Hall International, Inc., 1996) A.M.W. Pranarka, “Pasal 33 UUD 1945: Wawasan Dasar dan Konstruksi

Operasionalnya, Suatu Tinjauan Ideologis,”dalam Analisa CSIS, Tahun IV, No. 12, Desember 1986

William Ebenstein dan Edwin Fogelman, Isme-isme Dewasa ini, terj. Alex Jemadu (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1994).

A. Effendi Khoirie, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2003)

Amien Rais, Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta (Bandung: Mizan, 1999) Adam Smith dalam The Wealth of Nations pendahuluan dan catatan pinggir oleh

Edwin Cannan, New York: The Modern Library, 1973 L. J. Zimmerman, Sejarah Pendapat-pendapat tentang Ekonomi, Bandung: N.V.

Penerbitan W. Van Hoeve, ‘S-Gravenhage, 1995. Edisi Indonesia dikerjakan oleh K. Siagian. Periksa buku aslinya yang berjudul Geschiedenis Van Het Economisch Denken.

Sjahrir, Formasi Mikro-Makro ekonomi Indonesia, Jakarta, UI Press, 1995 Max Weber, The Protestant ethic of Spirit Capitalism, New York, Scribner, 1958,

Edisi Inggrisnya dikerjakan oleh Talcot Parson dengan Pengantar RH Tawney.

Page 329: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

329

Jorge Larrain, The Concept of Ideology, Forteword by Tom Bottomore, First Published, Australia: Hotchinson Publishing Group, 1979, versi Indonesia oleh Ngatawi al Zastrouw (editor) dan Ryadi Gunawan (penerjemah), Yogyakarta: LKPSM, 1997

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 1996 Sudono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, Proses, Makalah dan Dasar

Kebijaksanaan, Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 1985 Daniel Bell, (1) The End of Ideology, New York: Free Press, 1960; (2) The

Coming of Post Industrial Society, New York: Penguin Books Edition, 1973; (3) The Cultural Contradictions of Capitalism, New York: Basic Books, 1976.

Y.B. Mangunwijaya (ed.), Tekhnologi dan Dampak Lingkungannya, Volume II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985;

Daniel Bell dan Irving Kristol (ed.), Model dan Realita di Dalam Wacana Ekonomi, Dalam Krisis Teori Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1988.

Guy Debord, The Society of The Spectacle, seperti dikutip oleh Fredric Jameson, Postmodernism or The Cultural of The Late Capitalism, London, Verso, 1990

John Kenneth Galbraith, The New Industrial State, New York: Mentor Book Paperback Edition, 1972

Jurgen Hebermas, Ilmu dan Tekhnologi Sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES, 1990 Francis Fukuyama, The End of History and Last Man, London: Hamish Hamilton,

1992. Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat (Bandung: Mizan, 1999) Mas’ud An Nadwi, Islam dan Sosialisme (Bandung: Risalah, 1983) Clement Attle, Perdana Menteri Inggris tahun 1945-1951, juga seorang

Pemimpin Partai Buruh 1935-1955, menulis dalam buku The Labour Party in Perspective (1937)

Lyman Tower Sargen, Ideologi-ideologi Politik Kontemporer; Sebuah Analisis Komparatif (Jakarta: Erlangga, 1987)

Abu Ridho, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (WAMY, 1999) Franz Magnis-Suseno, Pemikian Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke

Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 2000) Titus Smith Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, Judul Asli: Living Issues in

Philosophy, Seven Edition, D. Van Nostrand Company, New York, 1979. Penerjemah: Prof. Dr. H.M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)

Joseph Stalin, Dialectical and Historical Materialism (New York: Inter. Publisher, 1950)

Frederick Engels, Prinsip-prinsip Komunisme Ditulis pada Oktober-November 1847, Dari Selected Works, Jilid1, muka surat 81-97, diterbitkan oleh Penerbit Progress, Moskow; 1969.

Marx-Engels, Selected Works; Peking, Penerbit Foreign Languages, 1977. Alfian, Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1982) Ali Syariati, Kritik Islam atas Marxisme (Bandung: Mizan, 1983) Sjafruddin Prawiranegara, Agama dan Ideologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1971) Murtadho Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah Kritik Islam atas Marxisme dan

Teori lainnya, lihat dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembagan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001)

Page 330: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

330

Ali Syariati, Kritik atas Marxixme dan Aliran Barat Lainnya (Bandung: Mizan, 1982).

Sukarna, Ideologi (Bandung: Alumni, 1981) hlm. 45, 48 dan 68. Paul Hayes, Fascism (London: George Allen and Unwin Ltd., 1973) Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembagan Pemikiran

Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001)

Paul Hayes, Fascism (London: George Allen and Unwin Ltd., 1973) William Ebenstein, Today Isms; Communism, Fascism, Capitalism, Socialism

(New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1970) Erich Fromm, Escape from Freedom (New York: Avon Books, 1965) T. W. Adorno, The Authoritarian Personality (New York: Harper & Row, 1950). Paul Hayes, Fascism (London: George Allen and Unwin Ltd., 1973). Karl Dietrich Bracher, The German Dictatorship; The Origins, Structure and

Consequences of National Socialism, Trans. By J. Steinberg (London: Penguin Book, 1988).

Max Dimont, Jews, God and History (The New York: The New York American Library, 1962) juga The Indestructible Jews ((The New York: The New York American Library, 1973).

Hannah Arendt, Anti-Semitisme, Part one of the Origins of Totalitarianisme (New York: Harcourt and Brace World. Inc., 1968).

Jean Pail Sartre, Anti-Semite and The Jew, Trans. By George J. Backer (New York: Schoker Books, 1972)

Roger Stokes, The Jew, Rome and Armageddon (Adelaide Hills Christadelphian Ecclesia, 1987)

Hitler dikutip dalam David Coopeman and Walter, Power and Civilizations, Political Thought in The Twetieth Century (New York: Thomas Y. Crowell Company, 1962).

Karl Popper, The Open Society and Its Enemiesm vol. II., The High Tide of Propechy Hegel and Marx, The Aftermath (London: Routledge and Keagan Paul, 1962).

Anarchism. A Documentary History of Libertarian Ideas. Volume One: From Anarchy to Anarchism (300CE to 1939) Robert Graham, editor. Black Rose Books, Montreal and London 2005.

Anarchism, George Woodcock (Penguin Books, 1962) (For many years the classic introduction, until in part superseded by Harper's Anarchy: A Graphic Guide)

Anarchy: A Graphic Guide, Clifford Harper (Camden Press, 1987) (An excellent overview, updating Woodcock's classic, and beautifully illustrated throughout by Harper's woodcut-style artwork)

The Anarchist Reader, George Woodcock (Ed.) (Fontana/Collins 1977) (An anthology of writings from anarchist thinkers and activists including Proudhon, Kropotkin, Bakunin, Bookchin, Goldman, and many others.)

The Dispossessed, Ursula K. Le Guin (a 1974 science fiction novel that takes place on a planet with an anarchist society; winner of both the Hugo and Nebula Awards for best novel.)

Barker, John H. Individualism and Community: The State in Marx and Early Anarchism (Individualisme dan Komunitas: Negara dalam pandangan Marx dan Anarkisme Klasik). New York: Greenwood Press, 1986.

Page 331: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

331

D'Agostino, Anthony. Marxism and the Russian Anarchists (Marxisme dan Kaum Anarkis Rusia). San Francisco: Germinal Press, 1977.

Dolgoff, Sam (ed.). Bakunin on Anarchism (Bakunin dalam Anarkisme). Montreal: Black Rose Books, 2002.

Paul Thomas, Karl Marx and the Anarchists (Karl Marx dan Kaum Anarkis). London: Routledge, 1985.

Vincent, K. Steven. Between Marxism and Anarchism: Benoit Malon and French Reformist Socialism (Antara Marxisme dan Anarkisme:Benoit Malon dan Kaum Sosialis Reformis Perancis). Berkeley: University of California Press, 1992.

Barber, Benjamin, 1995, Jihad Vs. Mc World, Times Books, Random House Bhagwati, Jagdish N, “Nation-state in International Framework: An Economist’s

Perspective” dalam Alternatives XIV (1989), hh. 231-244 Cable, Vincent, “The Diminished Nation-state: A Study in the Loss of Economic

Power”, dalam Daedalus, Spring (1995), Vol. 124 No.2, hh. 23-53 Calhoun, Craig, “Nationalism and Ethnicity” dalam Annual Review of Sociology,

19 (1993) Deane, Phyllis, 1987, The State and Economic System: An Introduction th the

History of Political Economy, Oxford: Oxford Universuty Press Falk, Richard, 1995, On Humane Governance; Toward a New Global Politics,

The Pennsylvania State University Press, University Park, Pennsylvania Gramsci, Antonio, Selection from the Prison Notebooks, NY, International

Publisher, 1971. Gramsci, Antonio, Letter from Prison, London, 1975 Gramsci, Antonio, A Gramsci Reader, Diunting oleh David Forgacs dkk., 1988. Gramsci, Antonio, Sejarah & Budaya, Surabaya, Pustaka Promethea, Cet. I.,

2000. Giddens, Anthony, Jalan Ketiga, Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta,

Gramedia, 1999. Giddens, Anthony, Runway World, Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan

Kita, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003. Giddens, Anthony, Kapitalisme & Teori Sosial Modern, Jakarta, UI Press, 1986. Gill, Richard T., Evolution of Modern Economics, New Delhi: Prentice-Hall of

India Private Ltd., 1972 Grant, Ted & Woods Alan, Melawan Imperealisme, Yogyakarta,Sumbu, 2001. Galbraith, Kenneth, The New Industrial State, New York: Mentor Book Paperback

Edition, 1972 Galbraith, J.K. & Nicole Solinger, 1979, Almost Everyone Guide to Economics,

Chicago: Bantam Books Galtung, J., “A Structural Theory of Imperealism”, Journal of Peace Research

1971, Garner, Robert, 1998, Environmental Politics, London: University of Leicester,

MacMillan Press ltd. Gutierres, Gustavo, The Truth Shall Make You Free, Cofrontations, New York,

Orbis Book, 1991 Gamble, Andrew, 1988, The Economy and the Strong State: The Politics of

Tatcherism, London Macmillan Giddens, Anthony, 1985, The Nation-State and Violence; Volume Two of

Contemporary Critique of Historical Materialism, Polity Press

Page 332: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

332

______, 1999, Runaway World; How Globalisation is Reshaping Our Lives, Profile Books

Hirst, Paul & Grahame Thompson, 1996, 1999, Globalization in Question: The International Economy an d the Possibilities of Governance, Polity Press, 2nd edition

Holton, Robert J, 1998, Globalization and Nation-State, Macmillan Press Ltd Hurrel, Andrew, “Explaining the Resurgence of Regionalism in World Politics”,

dalam Review of International Studies (1995), 21, hh. 331-358 Mas’oed, Mohtar, 2002, Tantangan Internasional dan Keterbatasan Nasional:

Analisis Ekonomi-Politik tentang Globalisasi Neo-Liberal, Pidato Pebgukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan

Nye Jr., Jospeh S., 2002, The Paradox of American Power; Why the World’s Only Super Power Can’t Go it Alone, Oxford University Press

O’Brien, Richard, 1992, Global Financial Integration: The End of Geography, London, Chatham House/Pinter

Ohmae, Kenichi, 1990, The Borderless World; Power and Strategy in the Interlinked Economy, Harper Business

______,1996, The End of the Nation-State; The Rise of Regional Economies, HarperCollins Publisher

Petras, James & Veltmeyer, 2001, Globalization Unmasked, Imperalisme in 21st Century,

Polanyi, Karl, 1944, 1957, 2001, The Great Transformation; The Political and Economic Orogins of Our Time, Beacon Press, Boston, 2nd paperback edition

Schmidth, Vivien A, “The New World Order, Incorporated: The Rise of Business and the Decline of the Nation-state”, dalam Daedalus, Spring (1995), Vol. 124 No.2, hh.75-106

Steger, Manfred B., 2002, Globalism: The New Market Ideology, Sugiono, Muhadi, 1999, Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia

Ketiga, Pustaka Pelajar Strange, Susan,1995 “The Defective State”, dalam Daedalus, Spring 1995, Vol.

124 No.2, hh. 55-74 AsiaDHRRA, h. 301-308. Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Umat

Manusia, lihat Antony Giddens, Runaway World (terjemah, 2001, Dunia yang Lepas Kendali). dalam H.A.R Tilaar, Kukuasaan dan Pendidikan, Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, (Magelang: Indonesiatera, Cet. I., 2003).

Arif, Saiful, Menolak Pembagunanisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I., 2000).

Arendt, Hannah, Pembangunan Ekonomi, Studi Tentang Sejarah Pemikiran (Jakarta: LP3ES, 1991).

Adelman dan Morris, C., Economics Growth and Social Equaity in Developing Countries (Standford: Standford University Press, 1973).

Budiman, Arif, Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: Gramedia, Cet. IV., 2000).

Bauman, Zygmunt, Globalization: the Human Qonsequences (NY: Columbia Univ. Press, 1998).

Beck, Ulrich, What is Globalization? (Cambridge: Polity Press, 2000).

Page 333: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

333

Bell, Daniel, The Cultural Contradictions of Capitalism (New York: Basic Books, 1976).

Chomsky, Noam, Neo Imperalisme Amerika Serikat (Yogyakarta: Resist Book, 2008)

Clements, Kevin, Teori Pembangunan dari Kiri ke Kanan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).

Darsono, P., dalam Globalisasi Suatu Strategi Penjajahan Bentuk Baru, http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2006-november/000189.htm.

Darmaningtiyas, Pendidikan Pada dan Setelah Krisis, Evaluasi Pendidikan di Masa Krisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I., 1999)

Escobar, M., Sekolah Kapitalisme yang Licik (Yogyakarta: LKiS, Cet. III., 2001). Friedman, Thomas L., The Lexus and The Oleive Tree (London: Harper Collins

Publisher, 2000) Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: LP3ES, Cet. III., 2000). _____, Pedagogi Pengharapan, Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas

(Yogyakarta:, Kanisius, Cet. I., 2001). _____, Pendidikan Sebagai Proses (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,. I., 2001). _____, & Ira shor, Menjadi Guru Merdeka (Yogyakarta: LKiS, Cet. I., 2001). Faqih, Mansour, Sesat Pikir Teori Pembangunan & Globalisasi (Yogyakarta:

Insist, 2001). Fukuyama, Francis, The End of History and Last Man (London: Hamish Hamilton,

1992). Giddens, Anthony, Run Way World: Bagaimana Globalisasi Merombak

Kehidupan Kita (Jakarta: Gramedia, 2000). _____, Jalan Ketiga, Pembaruan Demokrasi Sosial (Jakarta: Gramedia, 1999). _____, Kapitalisme & Teori Sosial Modern (Jakarta: UI Press, 1986). Grant, Woods Alan & Ted, Melawan Imperealisme (Yogyakarta: Sumbu, 2001). Hirst, Paul & Thompson, Grahame, Globalisasi adalah Mitos (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2001). Hanafi, Hasan, Cakrawala Baru Peradaban Global: Revolusi Islam Untuk

Globalisme, Pluralisme, Egalitarianisme Antar Peradaban (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003).

Hebermas, Jurgen, Ilmu dan Tekhnologi Sebagai Ideologi (Jakarta: LP3ES, Tahun 1990).

Jhamtani, Hira, Ancaman Globalisasi & Imperealisme Lingkungan (Yogyakarta: Insist, 2003).

Jameson, Fredric, Postmodernism or The Cultural of The Late Capitalism (London: Verso, 1990).

Salmi, Jamil, Kekerasan dan Kapitalisme, Pendekatan Baru dalam Melihat HAM (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).

Kristeva, Nur Sayyid Satoso, Manifesto Wacana Kiri: Membentuk Solidaritas Organik (Modul Pelatihan Basis, PMII, Tahun 2005).

Kellner, Theorizing Globalization, Sociological Theory, 2002 dalam George Ritzer—Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media, Cet. III., 2005).

Komaruddin, Pengantar untuk Memahami Pembangunan (Bandung: Angkasa, 1985).

Kuncaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas & Pembangunan (Jakarta, Gramedia,1997).

Page 334: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

334

Kunio, Yoshihara, Kapitalisme Semu di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1990). Khoor, Martin, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan (Yogyakarta:

Cindelaras, 2002). Kleden, Ignas, Masyarakat dan Negara, Sebuah Persoalan, (Magelang:

Indonesiatera, Cet, I., 2004). Larrain, J., Theories of Development, Capitalism, Colonialism & Dependensy,

(Dalas Brewely, 1989). Miller, dan Rose, Political Power Beyond the State: Problematic of Government,

dalam Britis Journal of Sociology, Vol. 43, No. 2., Juni dalam Simon Philpott, Meruntuhkan Indonesia, Politik Postkolonial dan Otoritarianisme, (Yogyakarta: LKiS, Cet. I., 2003).

Mustafid, Muhammad, BHMN: Pembajakan Sistematik Pasar, Negara dan Rektorat, Makalah yang dipresentasikan pada acara Seminar dan Lokakarya Nasional: “Membongkar Realitas Pendidikan Indonesia”, ISTA, 24-27 Juli 2004.

Mander, Jerry, Debi Barker & David Korten, Globalisasi Membantu Kaum Miskin, dalam Globalisasi Kemiskinan & Ketimpangan (Yogyakarta: Cindelaras, 2003).

Nugroho, Heru, Negara, Pasar dan Keadilan Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).

Naim, Ngainun, Rekonstruksi Pendidikan Nasional; Membangun Paradigma yang Mencerahkan (Yogyakarta: Teras, 2009).

Pieterse, Jan Nederveen, “Globalization as Hybridization”, individu Mike Featherstone et all. Edt, Global Modernities (London: Sage Publications, 1995).

Palmer, Joy A., 50 Pemikir Pendidikan (Yogyakarta: Jendela, Cet. I., 2003). Philpott, Simon, Meruntuhkan Indonesia, Politik Postkolonial dan Otoritarianisme,

(Yogyakarta: LKiS, Cet. I., 2003). Piliang, Yasraf Amir, Sebuah Dunia Yang Menakutkan Mesin-mesin Kekarasan

dalam Jagat Raya Chaos (Bandung: Mizan, 2001). Ritzer, George & Goodman, Douglas J., Teori Sosiologi Modern (Jakarta:

Prenada, 2005). Sweezy, Paul M., “Kapitalisme Modern”, dalam Kapitalisme: Dulu dan Sekarang:

Kumpulan Karangan dari berbagai sumber asing (Jakarta: LP3ES, 1987).

Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Pilihan Karangan tentang Agama Kebudayaan Sejarah dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1984).

_____, Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan Dunia Ketiga (Yogyakarta, PLP2M, 1984).

Strahm, H. Rudolf, Kemiskinan Dunia Ketiga, Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1999).

Smith, Adam, The Wealth of Nations (New York: 1937). Sritua, Arif, Pembangunaisme dan Ekonomi Indonesia, Pemberdayaan Rakyat

dalam Arus Globalisasi (Bandung: CPSM, Cet. I., 1998). Tilaar, H.A.R., Kekuasaan dan Pendidikan, Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi

Kultural, (Magelang: Indonesiatera, Cet. I., 2003).. _____, Human Recource Development in the Globalization Era, Vision, Mission,

and Programs of Action for Education and Training Toward 2020 Jakarta

Page 335: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

335

1997, dalam H.A.R Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, (Magelang: Indonesiatera, Cet. I., 2003).

Tjaya, Thomas Hidya, Mencari Orientasi Pendidikan; Sebuah Perspektif Historis. Staf Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Dimuat dalam harian Kompas, Rabu, 04 Februari 2004.

Topatimasang, Roem, Sekolah Itu Candu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Insist, 2001).

Winarno, Budi, “Ekonomi Global dan Krisis Demokrasi”, dalam Jurnal Hubungan Internasional, Edisi 1, Februari 2004.

Wahono, Francis, Kapitalisme Pendidikan ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). Weber, Max, The Protestan Ethics and The Spirit of Capitalism ( London: Univin

Hymn, 1990). Al-Jabiri, M. Abed, Al-Aql Al-Siyasi Al-Arabi: Muhadidah wa Tajalliyatuh (Nalar

Politik Arab: Faktor-faktor Penentu & Manifestasinya), Beirut, Markaz Dirasah Al-Wihdah Al-Arabiyah, 1995.

_____, Post Tradsionalisme Islam, Yogyakarta, LKiS, 2000. Arif, Saiful, Menolak Pembagunanisme, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet. I.,

2000. Arendt, Hannah, Pembangunan Ekonomi, Studi Tentang Sejarah Pemikiran,

Jakarta, LP3ES, 1991 Anderson, Benedict (2008) Imagined Communities; Komunitas-komunitas

Terbayang, Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar. Ashcroft, B. Griffiths, G. dan Tiffin, H. (ed.) (1995) The Post-Colonial Studies

Reader, London: Routledge. Brooks, Ann (2008) Posfeminisme & Cultural Studies, Yogyakarta: Jalasutra. Butler, J. dan Scott, J.W. (ed.) Feminists Theorise the Political, London/ NY:

Routledge. Barton, Greg, (ed.), Radikalisme Tradisional, Yogyakarta, LKiS, 1999. Baidhawy, Zakiyuddin, (ed.), Wacana Teologi Feminis, Perspektif Agama,

Geografis & Teori-teori, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet.I., 1997. Budiman, Arif, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta, Gramedia, Cet. IV.,

2000. _____, State And Development, Jakarta, Yayasan Padi & Kapas, 1991. Binder, Leonard, Islamic Liberalism, Chicago, 1988 Clements, Kevin, Teori Pembangunan dari Kiri ke Kanan, Yogyakarta, PP, 1997. El-Sadawi, Nawal, Perempuan dalam Budaya Pratriarki, Yogyakarta, Pustaka

Pelajar,Cet.I., 2001. _____, Kabar Dari Penjara, Yogyakarta, Tarawang, Cet. I., 2000. Engineer, Asghar Ali, Islam and Liberation Theology: Essai on Libetive Elements

individu Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999. Esack, Farid, Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme,

Bandung, Kelompok Penerbit Mizan, 2000. Feillard, Andre, NU vis-à-vis Negara, Yogyakarta, LKiS, 1999. Faqih, Mansour, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka

Pelajar, 1996. _____, Menggeser Konsepsi Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta, PP,

1996. _____, Sesat Pikir Teori Pembangunan & Globalisasi, INSIST, 2001. Giddens, Anthony, Jalan Ketiga, Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta,

Gramedia, 1999.

Page 336: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

336

_____, Kapitalisme & Teori Sosial Modern, Jakarta, UI Press, 1986. Gunew, S. dan Yeatman, A. (ed.) (1993) Feminism and The Politics of

Defference, NSW: Allen & Unwin. Hanafi, Hasan, Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah, (Dari Teologi Ke Revolusi) Vol. I-

IV., Kairo, Maktabah, Madbuli, 1988. _____, Dirasat Falsafiyah, Maktabatu Al-Anjalu al-Misriyyah, Qahira, 1987. _____, Kiri Islam dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme &

Postmodernisme, Telaah Kritis atas Pemikiran Hasan Hanafi, yK, LKiS, 1993.

_____, Al-Turats wa al-Tajdid, Mauqifuna min al-Turats al-Qadim, Al-Muassasah al-Jami’iyyah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, Beirut, Cet. IV., 1992.

_____, Perlunya Oksidentalisme, Jurnal Ulumul Qur’an, No.5-6, Vol. IV, 1994. Hutcheon, L. (1995) ‘Circling the Downspout of Empire: Post-Colonialism and

Posmodernism’ Hum, M. (1989) The Dictionary of Feminist Theory, Hemel Hemstead: Simon &

Schuster. Khun, Thomas S., The Structure of Scientivic Revolutions, Chicago, The

Universityof Chicago Press, 1970. Komaruddin, Pengantar untuk Memahami Pembangunan, Bandung, Angkasa,

1985. Kuncaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas & Pembangunan, Jakarta, Gmd, Cet.

XVIII., 1997. Kunio, Yoshihara, Kapitalisme Semu di Asia Tenggara, Jakarta, LP3ES, 1990. Lauretis, Teresa de (1984) Alice Doesn’t: Feminism, Semiotics, Cinema,

Bloommington: Indiana University Press. Lowy, Michae,l Teologi Pembebasan, Yogyakarta, INSIST, 1999. Larrain, J., Theories of Development, Capitalism, Colonialism & Dependensy,

Dalas Brewely, 1989. Mohanty, C.T. (1995) ‘Under Western Eyes; Feminis Scholarship and Colonial

Discourse’ McRobbie, A. (1994) Posmodernism & Popular Culture, London/NY: Routledge. Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin & Peradaban, Jakarta, Paramadina, 1992. Marcus, Lies M.i Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual & Kontekstual,

Jakarta, INIS, 1993. Maguire, Pat, Women in Development: An- Alternative Analysis, Amherst MA:

Center for Iternational Education. tt. Mosse, Julia Cleves, Gender & Pembangunan, Terjemah Hartian Sulawati,

Yogyakarta, 1996. Marcuse, Herbert, The Critical Spirit: Essay in Honor of Herbert Marcuse, Boston,

1967. Nasr, Sayyid Husein, Knowledge & the Sacred, Suhail Academi, Lahore,

Pakistan, 1998. _____, Three Moslem Seges: Avicenna Shuhrawadi—Ibnu Arabi, Harvard

University Press, Cambridge, 1964. _____, Tradition Islam in the Modern World, Foundation for Traditional Studies,

Kuala Lumpur, 1978. Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah, Analisis Perbandingan,

Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1972. Pambudi, Himawani S. dkk., Pendidikan Politik Perempuan Pedesaan,

Yogyakarta, Kp4 LAPPERA, Cet. I., 2003.

Page 337: Buku Panduan Sekolah Gerakan Sosial

337

Popper, Karl, The Open Society and Its Enemies, 2 Jilid, G. Rotledge, London, 1945.

Parry, B. (1995) ‘Problem in Current Theoriest of Colonial Discourse (1987) Ritzer, George & Goodman, Douglas J., (2005) Modern Theory of Socology, 6th

Edition, McGraw-Hill 2003, [Terj]. Jakarta: Kencana. Spivak, Gayatri Chakravorty (1992) ‘French Feminism Revisited: Ethic and

Politic,’ _____, (1985a) ‘Can the Subaltern Speak?: Speculation on Widow Sacrifice’

Wedge 7 (8) (Musim Dingin/ Musim Semi. hal. 120-130 _____, (1985b) ‘The Rani of Simur ‘ dalam F. Barker (ed.) Europe and Its Oyhers

vol. 1. Proceeding of the Essex Gnference on the Sociology of Literature July 1984, Colchester, University of Essex.

_____, (1986) ‘Imperealism and Sexual Difference’, Oxford Literary Review 8 Saputra, Asep Sabar, Dekonstruksi Paradigma Kritis Komunitas Tradisional,

Jakarta, PB PMII, Cet.I., 2000. Sanit, Arbi, Pergolakan Melawan Kekuasaan, Gerakan Mahasiswa Antara Aksi

Moral & Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar & INSIST, 1999. Saptari, Ratna, Perempuan, Kerja & Perubahan Sosial, Jakarta, Pustaka Utama

Grafiti, 1997. Soedjatmoko, Etika Pembebasan, LP3ES, Jakarta, 1988. _____, dkk., Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan Dunia Ketiga,

Yogyakarta, PLP2M, Cet. I., 1984. Sritua, Arif, Pembangunaisme dan Ekonomi Indonesia, Pemberdayaan Rakyat

dalam Arus Globalisasi, Bandung CPSM, Cet. I., 1998. Strahm, H. Rudolf, Kemiskinan Dunia Ketiga, Menelaah Kegagalan

Pembangunan di Negara Berkembang, Jakarta, Pustaka Cidesindo, 1999.

Trinh, T. Minh-ha (1989) Woman, Native Other: Writing Poscoloniality and Feminism, Bloomington: Indiana University Press.

Umar, Nasarudin, Argumen Keseteraan Gender Perspektif Al-Qur’an, (Seri Disertasi), Jakarta, Paramadina, Cet. I., 1999.

van Bruinessen, Martin, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, & Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta, LKiS, Cet.II., 1996.

Wahid, Abdurahman, Konsep-Konsep Keadilan, dalam B. Munawar Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta, Para, 1994.

Weber, Max, The Protestan Ethics and The Spirit of Capitalism, Univin, Hymn, London, 1990.