16
1 STIKes Dharma Husada Bandung FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE DI KLINIK SANITASI UPT PUSKESMAS IBRAHIM ADJIE KECAMATAN BATUNUNGGAL KOTA BANDUNG Dra. Nina Rosliana. MT 1 , Suparni, ST., M.KKK 2 , Siani Mona, S.KM 123 Program Studi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat STIKes Dharma Husada Bandung Jl. Terusan Jakarta No.75 Bandung ABSTRAK Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh masalah lingkungan. Data angka kejadian diare di Ibrahim Adjie tahun 2015 yaitu 1.429 orang. Faktor risiko lingkungan yang dapat mempengauhi diantaranya adalah sumber air bersih, air minum, jamban keluarga, perilaku cuci tangan. Di Kota Bandung fasilitas BAB milik sendiri 76,2%, milik bersama 6,7%, dan fasilitas umum 4,2%. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian diare di Klinik Sanitasi UPT Puskesmas Ibrahim Adjie Kecamatan Batununggal Kota Bandung 2017. Jenis penelitian yang dilakukan adalah survey case control dengan pendekatan retrospektif. Jumlah populasi sebanyak 100 orang terdiri dari 50 sampel kasus dan 50 orang sampel kontrol. Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner yaitu panduan pedoman wawancara klinik sanitasi. Analisis yang digunakan univariat dan bivariat dengan uji chi square. Hasil penelitian m enunjukan bahwa yang tidak memenuhi syarat adalah ; sumber air bersih (72,0%), air minum (72,0%), jamban keluarga (78,0%), dan perilaku cuci tangan (92,0%). Hasil penelitian juga menunjukan adanya hubungan sumber air bersih (p-value 0,003 dan OR 1,2), jamban keluarga (p- value 0,002 dan OR 2,1), air minum (p-value 0,001 dan OR 5,1), perilaku cuci tangan (p-value 0,000 dan OR 4,3) dengan kejadian diare. Saran diharapkan masyarakat mampu berpartisipasi bersama petugas kesehatan dalam pencegahan diare, sehingga angka kejadian diare dapat diturunkan khususnya di wilayah kerja puskesmas Ibrahim Adjie. Kata Kunci : Diare, Klinik Sanitasi, Lingkungan THE ENVIRONMENT RISK FACTORS ASSOCIATED WITH THE INCIDENCE OF DIARRHEA IN SANITATION CLINIC UPT PUSKESMAS IBRAHIM ADJIE DISTRICTS BATUNUNGGAL BANDUNG 2017 Diarrheal disease is still a health problem for the people of Indonesia caused by environmental problems. Data on the incidence of diarrhea in Ibrahim Adjie in 2015 is 1,429 people. Environmental risk factors that can mengengauhi include clean water sources, drinking water, family toilet, handwashing behavior. In Kota Bandung, BAB owns 76.2% of facilities, 6.7% owned by public and 4.2% of public facilities. The purpose of this study is to know the environment risk factors associated with the incidence of diarrhea in Sanitation Clinic UPT Puskesmas Ibrahim Adjie Districts Batununggal Bandung 2017. Type of case survey research with retrospective approach. The total population of 100 people consists of 50 case samples and 50 control samples. The research instrument used is questionnaire. The analysis used univariate and bivariate with chi square test. The results showed that each of them did not meet the requirements of clean water sources (72,0%), drinking water (72,0%), family latrines (78,0%), , handwashing behavior (92,0%). And there are relation of source of clean water (p-value 0,003 and OR 1,2), family toilet (p-value 0,002 and OR 2,1), drinking water (p-value 0,001 and OR 5,1), hand washing behavior with The incidence of diarrhea (p-value 0.000 and OR 4.3). Suggestions are expected by the community to be able to participate with health workers in prevention of diarrhea, so that the incidence of diarrhea can be decreased especially in the ward of Ibrahim Adjie health center.

Jurnal faktor risiko diare pada klinik sanitasi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jurnal faktor risiko diare pada klinik sanitasi

1 STIKes Dharma Husada Bandung

FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE

DI KLINIK SANITASI UPT PUSKESMAS IBRAHIM ADJIE

KECAMATAN BATUNUNGGAL KOTA BANDUNG

Dra. Nina Rosliana. MT1, Suparni, ST., M.KKK2, Siani Mona, S.KM 123Program Studi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat STIKes Dharma Husada Bandung

Jl. Terusan Jakarta No.75 Bandung

ABSTRAK

Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan bagi masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh

masalah lingkungan. Data angka kejadian diare di Ibrahim Adjie tahun 2015 yaitu 1.429 orang. Faktor

risiko lingkungan yang dapat mempengauhi diantaranya adalah sumber air bersih, air minum, jamban

keluarga, perilaku cuci tangan. Di Kota Bandung fasilitas BAB milik sendiri 76,2%, milik bersama

6,7%, dan fasilitas umum 4,2%. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko lingkungan yang

berhubungan dengan kejadian diare di Klinik Sanitasi UPT Puskesmas Ibrahim Adjie Kecamatan

Batununggal Kota Bandung 2017. Jenis penelitian yang dilakukan adalah survey case control dengan

pendekatan retrospektif. Jumlah populasi sebanyak 100 orang terdiri dari 50 sampel kasus dan 50

orang sampel kontrol. Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner yaitu panduan pedoman

wawancara klinik sanitasi. Analisis yang digunakan univariat dan bivariat dengan uji chi square. Hasil

penelitian m enunjukan bahwa yang tidak memenuhi syarat adalah ; sumber air bersih (72,0%), air

minum (72,0%), jamban keluarga (78,0%), dan perilaku cuci tangan (92,0%). Hasil penelitian juga

menunjukan adanya hubungan sumber air bersih (p-value 0,003 dan OR 1,2), jamban keluarga (p-

value 0,002 dan OR 2,1), air minum (p-value 0,001 dan OR 5,1), perilaku cuci tangan (p-value 0,000

dan OR 4,3) dengan kejadian diare. Saran diharapkan masyarakat mampu berpartisipasi bersama

petugas kesehatan dalam pencegahan diare, sehingga angka kejadian diare dapat diturunkan

khususnya di wilayah kerja puskesmas Ibrahim Adjie.

Kata Kunci : Diare, Klinik Sanitasi, Lingkungan

THE ENVIRONMENT RISK FACTORS ASSOCIATED WITH THE INCIDENCE OF

DIARRHEA IN SANITATION CLINIC UPT PUSKESMAS IBRAHIM ADJIE DISTRICTS

BATUNUNGGAL BANDUNG 2017

Diarrheal disease is still a health problem for the people of Indonesia caused by environmental

problems. Data on the incidence of diarrhea in Ibrahim Adjie in 2015 is 1,429 people. Environmental

risk factors that can mengengauhi include clean water sources, drinking water, family toilet,

handwashing behavior. In Kota Bandung, BAB owns 76.2% of facilities, 6.7% owned by public and

4.2% of public facilities. The purpose of this study is to know the environment risk factors associated

with the incidence of diarrhea in Sanitation Clinic UPT Puskesmas Ibrahim Adjie Districts

Batununggal Bandung 2017. Type of case survey research with retrospective approach. The total

population of 100 people consists of 50 case samples and 50 control samples. The research

instrument used is questionnaire. The analysis used univariate and bivariate with chi square test. The

results showed that each of them did not meet the requirements of clean water sources (72,0%),

drinking water (72,0%), family latrines (78,0%), , handwashing behavior (92,0%). And there are

relation of source of clean water (p-value 0,003 and OR 1,2), family toilet (p-value 0,002 and OR

2,1), drinking water (p-value 0,001 and OR 5,1), hand washing behavior with The incidence of

diarrhea (p-value 0.000 and OR 4.3). Suggestions are expected by the community to be able to

participate with health workers in prevention of diarrhea, so that the incidence of diarrhea can be

decreased especially in the ward of Ibrahim Adjie health center.

Page 2: Jurnal faktor risiko diare pada klinik sanitasi

2 STIKes Dharma Husada Bandung

PENDAHULUAN

Kesehatan lingkungan mempengaruhi derajat

kesehatan masyarakat, menurut WHO (World

Health Organization), kesehatan lingkungan

adalah suatu keseimbangan ekologi yang harus

ada antara manusia dan lingkungan agar dapat

menjamin keadaan sehat dari manusia.

Menurut WHO, ruang lingkup kesehatan

lingkungan diantaranya meliputi sumber air

bersih, penyediaan air minum, pengelolaan air

limbah serta jamban keluarga. Sanitasi

merupakan suatu wahana masyarakat dalam

mengatasi masalah kesehatan lingkungan

untuk pemberantasan penyakit risiko berbasis

lingkungan (WHO, 2015)

Masalah kesehatan lingkungan perlu untuk

diperhatikan, karena lingkungan dapat

menyebabkan timbulnya berbagai macam

penyakit. Salah satu program yang

dilaksanakan puskesmas dalam mengatasi

masalah kesehatan lingkungan adalah

pelayanan klinik sanitasi. Ruang lingkup klinik

sanitasi tersebut antara lain mencakup:

perumahan, pengelolaan kotoran manusia,

penyediaan air bersih, pengelolaan sampah,

pengelolaan air kotor (air limbah), sanitasi

tempat-tempat umum dan tempat pengolahan

makanan (Entjang, 2014).

Sanitasi berhubungan dengan kesehatan

lingkungan yang mempengaruhi derajat

kesehatan masyarakat. Buruknya kondisi

sanitasi akan berdampak negatif di banyak

aspek kehidupan,mulai dari turunnya kualitas

lingkungan hidup masyarakat, tercemarnya

sumber air minum bagi masyarakat,

meningkatnya jumlah kejadian diare

(Kemenkes RI, 2015).

Penyakit diare masih merupakan masalah

kesehatan bagi masyarakat Indonesia, karena

morbiditas dan mortalitas-nya yang masih

tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh

Subdit diare, Departemen Kesehatan dari

tahun 2010-2014 kecenderungan insidens naik.

Pada tahun 2010 penyakit Diare 301/ 1000

penduduk, tahun 2011 naik menjadi 374 /1000

penduduk, tahun 2013 naik menjadi 423 /1000

penduduk dan tahun 2014 menjadi 411/1000

penduduk (SDG, 2016).

Penyakit berbasis lingkungan yaitu Infeksi

Saluran Pernapasan Atas (ISPA), malaria,

Demam Berdarah Dengue (DBD),

Tuberculosis (TB), kecacingan, dan penyakit

kulit dan diare. Penularan penyakit diare

karena infeksi bakteri dan virus biasanya

melalui air minum dan makanan yang

terkontaminasi. Disamping itu jamban

keluarga juga ikut berperan terjadinya diare

karena tanpa jamban masyarakat memilih

buang air besar disembarang tempat. Hal

inilah yang dapat menularkan penyakit diare

melalui media air atau media makanan melalui

lalat (Syarifuddin, dkk. 2012). Banyak faktor

yang secara langsung maupun tidak langsung

menjadi pendorong terjadinya diare yaitu

Penyakit berbasis lingkungan disebabkan oleh

masih buruknya kondisi sanitasi dasar

terutama air bersih dan jamban, yang dapat

memicu terjadinya penyakit diare serta masih

kurangnya rumah yang memenuhi syarat

kesehatan sehingga penyakit diare juga

semakin meningkat.

Persediaan air yang tidak aman dan tingkat

sanitasi yang tidak memadai meningkatkan

penularan penyakit diare (termasuk kolera).

Meskipun hampir 1,9 miliar orang telah

memperoleh akses ke fasilitas sanitasi

meningkat sejak tahun 1990, cakupan global

saat ini diperkirakan hanya 64%. Pada tahun

2015, lebih dari sepertiga dari populasi dunia

(2,5 miliar orang) masih kekurangan akses ke

fasilitas sanitasi yang baik.

Menurut Riskesdas tahun 2013 penyakit

berbasis lingkungan dilihat berdasarkan

media/cara penularannya yaitu melalui udara,

makanan, air, dan vektor. Melalui udara yaitu

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA),

pneumonia, dan TB paru. Melalui vektor yaitu

malaria dan DBD sedangakan melalui

makanan, air dan lainnya yaitu diare

(Riskesdas, 2013).

Penyakit Diare merupakan penyakit endemis

di Indonesia dan juga merupakan penyakit

potensial KLB yang sering disertai dengan

kematian. Diare merupakan penyebab

kematian nomor satu pada bayi 31,4% dan

pada masyarakat 25,2%, pada golongan semua

umur merupakan penyebab kematian yang ke

empat (13,2%), dan angka kematian akibat

ISPA pneumonia pada masyarakat sebesar

1,19%. Pada kelompok bayi angka kematian

lebih tinggi yaitu sebesar 2,89% dibandingkan

pada kelompok umur 1-4 tahun yang sebesar

0,20% (Kemenkes RI, 2015).

Di Jawa Barat 2014 prevalensi pencapaian

sanitasi yang buruk dapat menyebabkan diare

adalah sebesar 90%. Sedangkan prevalensi

askariasis pada tahun 2015 di daerah kumuh

dengan kejadian diare adalah 82,4% sampai

90,6% (Dinkes Jabar, 2015). Data kunjungan

klinik sanitasi yang dilihat dari data 3 tahun

Page 3: Jurnal faktor risiko diare pada klinik sanitasi

3 STIKes Dharma Husada Bandung

terakhir bahwa penyakit diare sebesar 260

orang dengan ditunjukan pada seluruh

kelompok umur yaitu tahun 2013 sebesar 78

orang tahun 2014 sebesar 82 orang dan tahun

2015 menunjukan angka kejadian semakin

tinggi dan meningkat menjadi sebesar 100

orang, oleh karena itu, jika dalam

pemberantasannya hanya menonjolkan aspek

kuratif dan rehabilitatif, tentu tidak akan

maksimal. Dalam memberantas penyakit ini,

yang perlu dilakukan adalah mengubah pola

hidup dan tingkah laku masyarakat dengan

menggencarkan aspek promotif dan preventif

(Puskesmas Ibrahim, Adjie, 2015).

Kota Bandung dilihat berdasarkan data rumah

tangga tahun 2015 menunjukkan kejadian

diare dengan rumah tangga di Kota Bandung

menggunakan fasilitas BAB milik sendiri

76,2%, milik bersama 6,7%, dan fasilitas

umum 4,2% (Dinkes Kota Bandung, 2015).

Ficher (2015) tentang hubungan sanitasi

lingkungan dengan kejadian diare pada anak

usia sekolah di Wilayah Kerja Puskesmas

Bahu Manado. Hasil penelitiannya

menunjukan adanya hubungan antara sanitasi

lingkungan seperti sumber air bersih, air

minum, jamban keluarga, jamban keluarga dan

perilaku cuci tangan dengan kejadian diare

pada anak usia sekolah di Wilayah Kerja

Puskesmas Bahu Manado.

Banyak faktor yang secara langsung maupun

tidak langsung menjadi pendorong terjadinya

diare yaitu faktor lingkungan fisik. Faktor

faktor risiko lingkungan merupakan faktor

yang paling dominan yaitu sarana penyediaan

air bersih dan pengelolaan tinja, kedua faktor

berinteraksi bersama dengan perilaku manusia.

Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena

tercemar kuman diare serta terakumulasi

dengan perilaku manusia yang tidak sehat.

Sedangkan faktor perilaku tidak sehat yang

dapat menyebabkan penyebaran kuman infeksi

dan meningkatkan risiko diare antara lain

adalah buang air besar, tidak membuang tinja

dengan benar, dan masih banyak lingkungan

yang belum mempunyai jamban. Sanitasi

faktor risiko lingkungan yang mendukung

berupa ketersediaan sumber air, ketersediaan

jamban, dapat menurunkan sumber penularan

penyakit yang dapat memicu terjadinya diare.

Rendahnya mutu sanitasi faktor risiko

lingkungan merupakan keadaan potensial

menjadi sumber penularan penyakit diare

(Dwianto, 2010).

Faktor lain yang dapat menyebabkan diare

yaitu pengetahuan ibu dan ketersediaan

jamban mempengaruhi kejadian diare, dimana

pengetahuan yang rendah serta ketersediaan

jamban yang tidak memenuhi syarat

memperbesar kemungkinan kejadian diare.

Pengetahuan yang rendah menyebabkan

seseorang kurang memahami dan mengetahui

sesuatu yang sedang dialaminya, sehingga

tidak mampu melakukan tata laksana

pencegahan diare. Tidak tersedianya jamban

yang memenuhi syarat kesehatan memperbesar

penularan diare yang dapat melalui air atau

serangga yang hinggap di tinja penderita diare

lalu hinggap dimakanan (Notoatmodjo, 2012).

Menurut Hendrik L. Blum (1974), derajat

kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh empat

faktor utama yaitu: faktor lingkungan, perilaku

manusia, pelayanan kesehatan, dan keturunan.

Keempat faktor tersebut saling terkait dengan

beberapa faktor lain, yaitu sumber daya alam,

keseimbangan ekologi, kesehatan mental,

sistem budaya, dan populasi sebagai satu

kesatuan. Lingkungan mempunyai pengaruh

yang besar terhadap derajat kesehatan

masyarakat. Faktor lingkungan meliputi

lingkungan fisik, lingkungan biologik dan

lingkungan sosio kultural. John Gordon

menggambarkan adanya interaksi antara 3

faktor yaitu faktor lingkungan (environment),

pejamu (host) dan penyebab penyakit (agent).

Timbulnya penyakit bila terjadi

ketidakseimbangan di antara ketiga faktor

tersebut, misalnya penyakit terjadi karena

faktor lingkungan yang jelek, atau

berkembangnya kuman penyakit atau daya

tahan tubuh yang rendah untuk melawan

infeksi kuman penyakit (Yankes, 2015)

Penelitian sejenis Muh.Saleh, Lia Hijriani

Rachim, 2014 Tentang Hubungan Kondisi

Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare

Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja

Puskesmas Baranti Kabupaten Sidrap dapat

menyimpulkan bahwa memiliki hubungan

seperti penyediaan air bersih, jamban keluarga

dan saluran air limbah dengan kejadian diare.

Jamban yang tidak bersih bisa menjadi sumber

persebaran bakteri penyebab penyakit diare

Penelitian sejenis lainnya dilakukan oleh

Mung Rahadi (2015) tentang evaluasi sanitasi

lingkungan yang buruk terhadap kejadian diare

pada penelitianya dapat disimoulkan bahwa

tanah, sumber air merupakan penyebab diare.

Klinik sanitasi merupakan salah satu upaya

puskesmas yang dilaksanakan secara integratif

Page 4: Jurnal faktor risiko diare pada klinik sanitasi

4 STIKes Dharma Husada Bandung

terhadap penanganan penyakit-penyakit yang

berhubungan dengan masalah kesehatan.

Pelaksanaan program klinik sanitasi di

puskesmas dapat meningkatkan kuantitas 17–

27% dan kualitas 24% sarana air bersih dan

jamban keluarga (Kemenkes RI, 2015).

Menurut Hasanuddin (2013) bahwa tingginya

kejadian penyakit berbasis lingkungan

disebabkan oleh masih buruknya kondisi

sanitasi dasar terutama air bersih dan jamban,

yang dapat memicu terjadinya penyakit diare

serta masih kurangnya rumah yang memenuhi

syarat kesehatan sehingga penyakit diare juga

semakin meningkat. Penularan penyakit diare

karena infeksi bakteri dan virus biasanya

melalui air minum dan makanan yang

terkontaminasi. Disamping itu jamban

keluarga juga ikut berperan terjadinya diare

karena tanpa jamban masyarakat memilih

buang air besar disembarang tempat.

Menurut data 10 penyakit yang berkunjung ke

klinik sanitasi di Puskesmas Ibrahim Adjie

diketahui yaitu sebagai berikut diare sebanyak

100 orang, TB paru sebanyak 50 orang, ISPA

22 orang, Malaria 12 orang, DBD 8 orang,

Cikungunya 8 orang, Scabies 3 orang, Kulit 3

orang, dan Dermatitis Alergi 2 orang.

Berdasarkan data tersebut merupakan data

terbanyak yaitu pasien yang di rujuk ke klinik

sanitasi diantaranya adalah diare. Puskesmas

Ibrahim Adjie terdiri dari 3 kelurahan yaitu

Kelurahan Kebon Waru, Kelurahan Kebon

Gedang dan Kelurahan Cibangkong, jumlah

penderita diare tahun 2015 adalah sebanyak

1.429 penderita, sedangkan pasien diare yang

di rujuk ke klinik sanitasi yaitu sebanyak 50

orang dan pada penelitian ini yang peneliti

ambil yaitu pasien yang dirujuk ke klinik

sanitasi sebanyak 50 orang.

Adapun Jumlah KK yang menggunakan sarana

air bersih tahun 2015 yang memenuhi syarat

adalah 42%, KK yang menggunakan jamban

sebanyak 42,5 % sedangkan yang

menggunakan 23,52% serta jumlah rumah

sehat adalah 34,12%, sedangkan rumah tangga

yang menggunakan sarana air bersih di

wilayah kerja puskesmas Ibrahim Adjie adalah

59,23%, jamban yang memenuhi syarat

56,47% dan rumah yang mempunyai SPAL

22,60%.

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui

faktor risiko lingkungan dan perilaku yang

berhubungan dengan kejadian diare

diantaranya yaitu penyediaan air bersih,

jamban keluarga dan air minum, perilaku cuci

tangan.

Pelaksanaan Klinik Sanitasi di Puskesmas

Ibrahim Adjie sudah berjalan 6 tahun yaitu

dari tahun 2010-2016, akan tetapi target

pencapaian sasaran untuk masyarakat yang

mandiri, berkualitas dan berdaya saing

diantaranya yaitu meningkatnya akses

pelayanan kesehatan dasar dan rujukan bagi

masyarakat yang bermutu, merata dan

terjangkau dan meningkatnya kesadaran

individu, keluarga dan masyarakat melalui

promosi, pemberdayaan dan penyehatan

lingkungan belum optimal. Target pelayanan

dasar klinik sanitasi dari tahun 2010-2016

hanya sebesar 65%, sedangkan target yang

ingin dicapai di tahun 2018 yaitu sebesar 95%.

Kondisi dan fenomena program klinik sanitasi

yang ada di Puskesmas Ibrahim Adjie yaitu di

kepalai oleh petugas kesehatan lingkungan

dengan sasaran program klinik sanitasi

meliputi: 1) penderita penyakit (pasien) yang

berhubungan dengan masalah kesehatan

lingkungan (yang datang ke puskesmas atau

yang diketemukan di lapangan); 2) masyarakat

umum (klien) yang mempunyai masalah

kesehatan lingkungan (yang datang ke

puskesmas atau yang menemui petugas klinik

sanitasi di lapangan); 3) lingkungan penyebab

masalah bagi penderita/klien dan masyarakat

sekitarnya.

Petugas klinik sanitasi di Ibrahim Adjie

dilaksanakan di dalam gedung dan di luar

gedung puskesmas oleh petugas sanitasi

dibantu oleh petugas kesehatan lain dan

masyarakat, serta kader. Kegiatan dalam

gedung difokuskan pada identifikasi penyakit

yang diderita pasien, kegiatan konseling,

penyuluhan dan membuat perjanjian untuk

kunjungan rumah. Kegiatan di luar gedung

berupa kunjungan rumah. Kegiatan tersebut

meliputi inspeksi sanitasi lingkungan tempat

tinggal pasien, penyuluhan yang lebih terarah

kepada pasien, keluarga dan tetangga sekitar.

Inspeksi sanitasi lingkungan bertujuan untuk

mengetahui faktor risiko lingkungan dan

ketepatan jenis intervensi yang akan

dilakukan.

Berdasarkan studi pendahuluan di Puskesmas

Ibrahim Adjie tahun 2016. Hasil wawancara

terhadap 10 pasien, 6 orang diantaranya tidak

memahami bagaimana cara pencegahan diare

di lingkungan sekitarnya, hal tersebut menurut

pernyataan pasien terhadap pelaksanaan klinik

sanitasi sumber air bersih berasal dari sumur

Page 5: Jurnal faktor risiko diare pada klinik sanitasi

5 STIKes Dharma Husada Bandung

gali yang jaraknya kurang dari 10 meter dari

pengelolaan air limbah dan septik tank,

sehingga keadaan warna dan fisik air bersih

tersebut berwarna kuning dan berbau, selain

itu ada 4 orang lainya menyatakan tidak

mengerti bagaimana melaksanakan kebersihan

dilingkungan sekitarnya dan ada sampah bekas

limbah rumah tangga yang langsung dialirkan

ke sungai disekitar tempat mereka tinggal.

Berdasarkan latar belakang diatas maka

penulis tertarik untuk melakukan penelitian di

tempat tersebut, dengan tentang faktor risiko

lingkungan yang berhubungan dengan

kejadian diare di klinik sanitasi UPT

Puskesmas Ibrahim Adjie Kecamatan

Batununggal Kota Bandung 2017.

METODOLOGI PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah survey

case control, dengan pendekatan retrospektif.

Retrospektif adalah penelitian untuk melihat

faktor risiko akibat yang telah terjadi terhadap

masalah kebelakang, dengan melakukan

pengukuran atau pengamatan pada saat yang

telah terjadi (

Variabel Independen

Variabel independen penelitian ini yaitu faktor

risiko lingkungan yaitu Sumber Air Bersih

(SAB), Jamban Keluarga (JAGA), air minum,

perilaku cuci tangan. Variabel dependen

merupakan variabel yang dipengaruhi atau

yang menjadi akibat, karena adanya variabel

bebas (Sugiyono, 2014). Variabel dependen

penelitian ini yaitu kejadian diare.

Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah data

pasien dilihat dari 3 tahun yang dirujuk di

klinik sanitasi UPT Puskesmas Ibrahim Adjie

dan di rata-ratakan yaitu 100 orang.

Sampel

Pengambilan sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah dengan tekhnik Total

Sampling. Pengambilan sampel dengan Total

Sampling, yaitu di dasarkan pada jumlah

populasi yang kurang dari 100 orang, maka

jumlah sampel yang digunakan pada penelitian

ini yaitu 50 orang kelompok kasus (diare) dan

50 orang kelompok kontrol (tidak diare) yaitu

pasien yang dirujuk ke Klinik Sanitasi. Jadi

jumlah sampel yang digunkan pada penelitian

ini yaitu 100 orang.

Pada penelitian ini pemilihan sampel

menggunakan kriteria :

Kriteria Insklusi

1) Semua responden yang berkunjung ke

Puskesmas dan dirujuk ke Klinik Sanitasi

Puskesmas Ibrahim Adjie

2) Responden yang mempunyai KK dan

bukan penghuni kost di Wilayah Kerja

Puskesmas Ibrahim Adjie

Kriteria Eksklusi

1) Responden yang tidak dirujuk ke Klinik

Sanitasi Puskesmas Ibrahim Adjie

2) Bukan pasien luar wilayah Puskesmas

Ibrahim Adjie

Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat bantu

yang dipilih dan digunakan oleh peneliti untuk

mengumpulkan data. Instrumen pengumpulan

data dalam penelitian ini adalah pengumpulan

data dengan cara menggunakan lembar

kuesioner sesuai dengan SPO (Standar

Prosedur Operasional) klinik sanitasi di

puskesmas. Kuesioner adalah data primer yang

digunakan peneliti untuk mengukur faktor

risiko lingkungan dan perilaku yang

berhubungan dengan kejadian diare meliputi

Sumber Air Bersih (SAB), Jamban Keluarga

(JAGA), air minum, perilaku cuci tangan.

Pada kuesioner ini yang peneliti gunakan yaitu

kuesioner, jadi pada saat pelaksanaan klinik

sanitasi didalam gedung sesuai pedoman

wawancara klinik sanitasi (Yankes, 2015).

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan Dalam penelitian ini

data yang digunakan adalah data primer dan

data sekunder.

Data primer adalah data yang diperoleh dari

pengisian kuesioner sesuai dengan SPO

(Standar Prosedur Operasional) klinik sanitasi

di puskesmas yaitu tentang faktor risiko

lingkungan dan perilaku yang berhubungan

dengan kejadian diare meliputi Sumber Air

Bersih (SAB), Jamban Keluarga (JAGA), air

minum, perilaku cuci tangan.

Data sekunder yaitu data yang sudah ada

meliputi jumlah data pasien yang dilihat dari

data register dengan rujukan pasien ke klinik

sanitasi sebanyak 100 orang. Adapun langkah

– langkah pengumpulan data pada penelitian

ini yaitu sebagai berikut :

Page 6: Jurnal faktor risiko diare pada klinik sanitasi

6 STIKes Dharma Husada Bandung

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Teknik pengolahan data yang telah dilakukan

untuk proses analisis data yaitu Editing data,

Coding (Pengkodean), Data Entry (Pemasukan

Data), Cleaning Data (Pembersihan Data)

Analisis Data

Analisis Univariat

Menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian yaitu

Sumber Air Bersih (SAB), Jamban Keluarga

(JAGA), air minum, perilaku cuci tangan dan

setiap variabel pada analisis ini hanya

menghasilkan distribusi frekuensi dan

persentase dari tiap variabel. Rumus

persentase frekuensi sebagai berikut:

Keterangan :

P : presentase untuk setiap kategori

f : jumlah setiap kategori

N : jumlah total responden

Bivariat

Analisa bivariat bertujuan untuk mengetahui

hubungan antara variabel bebas yaitu Sumber

Air Bersih (SAB), Jamban Keluarga (JAGA),

air minum, perilaku cuci tangan yang

berhubungan dengan variabel terikat yaitu

kejadian diare. Penelitian ini analisis yang

digunakan yaitu uji Chi Square dengan syarat

uji tersebut yaitu data yang didistribusikan

berbentuk nominal dan dilakukan uji Chi-

Square dengan kategori (Nominal) atau

berbentuk angka (Numerik) dan ditentukan

nilai OR nya. (Sugiyono, 2014) dengan

penyajian data dalam bentuk tabel silang.

Rumus Uji Chi-Square sebagai berikut :

Keterangan:

x2 : Nilai Chi kuadrat

fo : Frekuensi yang diobservasi

fh : frekuensi yang diharapkan

dimana :

fe =

fe = frekuensi yang diharapkan

∑ f k = jumlah frekuensi pada kolom

∑ fb = jumlah frekuensi pada baris

∑T = jumlah keseluruhan baris atau

kolom

Hasil akhir uji statistik adalah untuk

mengetahui apakah keputusan uji Ho ditolak

atau Ho diterima. Syarat uji chi square adalah

tabel harus menggunakan 2x2, digunakan

tingkat kepercayaan 95%. Ketentuan

pengujian dengan Chi Square adalah jika p

value ≤ alpha (0,05) maka ada hubungan yang

signifikan antara kedua variabel, tetapi jika p

value > alpha (0,05) maka tidak ada hubungan

yang signifikan antara keduanya

(Notoatmodjo, 2010). Hasil uji chie square

menunjukan p-value≤0,05 artinya HO ditolak

yang berarti ada hubungan antara variabel

independen (Sumber Air Bersih (SAB),

Jamban Keluarga (JAGA), air minum, perilaku

cuci tangan) dengan variabel dependen

(kejadian diare)

Pada tabulasi silang 2x2 akan dicari nilai OR

(Odds Ratio) untuk mengetahui ada tidaknya

hubungan antara variabel independen dengan

variabel dependen. Selain itu juga akan

dilakukan uji statistik menggunakan uji Chi-

square untuk mengetahui kemaknaan

hubungannya secara statistik. Uji Chi-square

dipilih sesuai dengan kegunaanya, yaitu untuk

menguji independensi diantara dua variabel,

menguji perbedaan proporsi atau persentase

antara beberapa kelompok data dan juga

digunakan untuk mengetahui hubungan antara

variabel kategorik dengan variabel kategorik.

Odds Ratio (OR) = ad

bc

Interpretasi Odds Ratio:

OR = 1 : tidak ada asosiasi antara faktor

dengan penyakit (tidak ada hubungan)

OR > 1 : ada asosiasi positif antara faktor

risiko dengan penyakit (ada

hubungan/mempertinggi risiko)

OR < 1 : ada sosiasi negatif antara faktor

risiko dengan penyakit (tidak ada

hubungan/mengurangi risiko)

Interval estiment OR ditetapkan pada tingkat

kepercayaan sebesar 95% CI (confident

interval) :

Batas Atas : 95% CI = OR (1+Z/X)

Batas Bawah :05% CI = OR (1-Z/X)

Page 7: Jurnal faktor risiko diare pada klinik sanitasi

7 STIKes Dharma Husada Bandung

Hasil Penelitian

Tabel 4.1 Angka Kejadian Diare Di

Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ibrahim

Adjie Tahun 2017

Kejadian Diare

Kejadian Diare

Diare Tidak Diare

f % f %

Kejadian Diare

Diare 50 100 - -

Tidak Diare - - 50 100

Total 50 100 50 100

Tabel 4.1 diketahui angka kejadian diare Di

Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ibrahim Adjie

Tahun 2017 sebanyak 50 orang dan tidak diare

sebanyak 50 orang

Tabel 4.2 Faktor Risiko Sumber Air Bersih,

Jamban Keluarga, Air Minum, Perilaku

Cuci Tangan Di Wilayah Kerja UPT

Puskesmas Ibrahim Adjie Tahun 2017

Variabel Penelitian Kejadian Diare

Diare Tidak Diare

Sumber Air Bersih (SAB)

MS

14

28,0

30

60,0

TMS 36 72,0 20 40,0

Total 50 100 50 100

Air Minum

MS

14

28,0

31

62,0

TMS 36 72,0 19 38,0

Total 50 100 50 100

Jamban Keluarga (JAGA)

MS

11

22,0

27

54,0

TMS 39 78,0 23 46,0

Total 50 100 50 100

Perilaku Cuci Tangan Ya

4

8,0

20

40,0

Tidak 46 92,0 30 60,0

Total 50 100 50 100

Ket : MS=Memenuhi syarat, TMS=Tidak memenuhi syarat

Tabel 4.2 menunjukan bahwa paling banyak

sumber air minum yang tidak memenuhi syarat

pada angka kejadian diare yaitu sebesar 72,0%

dan pada kelompok tidak diare sebesar 40,0%.

Faktor risiko yang dilihat berdasarkan air

minum yang tidak memenuhi syarat pada

kelompok diare yaitu sebesar 72,0% dan pada

kelompok tidak diare sebesar 38,0%.

Faktor risiko yang dilihat berdasarkan jamban

keluarga yang tidak memenuhi syarat pada

kelompok diare yaitu sebesar 78,0% dan pada

kelompok tidak diare sebanyak 46,0%.

Sedangkan untuk faktor risiko perilaku cuci

tangan menunjukan sebagian besar responden

tidak melakukan cuci tangan yaitu pada

kelompok diare sebesar 92,0% dan pada

kelompok tidak diare sebesar 60,0%.

Tabel 4.3 Hubungan Faktor Risiko Sumber

Air Bersih, Air Minum, Jamban Keluarga,

Perilaku Cuci Tangan Dengan Angka

Kejadian Diare Di Wilayah Kerja UPT

Puskesmas Ibrahim Adjie Tahun 2017

Ket : MS=Memenuhi syarat, TMS=Tidak memenuhi syarat

Tabel 4.3 menunjukan nilai OR 1,2 artinya

responden yang memiliki sumber air bersih

yang tidak memenuhi syarat terkena diare

berisiko lebih besar 1,2 kali lebih besar

dibandingkan dengan responden yang

memiliki sumber air bersih yang memenuhi

syarat, secara statistik didapatkan p-value

0,003 yang dinyatakan signifikan artinya ada

hubungan antara sumber air bersih dengan

kejadian diare.

Tabel 4.3 menunjukan nilai OR 5,1 artinya

responden yang memiliki air minum yang

tidak memenuhi syarat terkena diare berisiko

lebih besar 5,1 kali lebih besar dibandingkan

dengan responden yang memiliki air minum

yang memenuhi syarat, secara statistik

didapatkan p-value 0,001 yang dinyatakan

signifikan artinya ada hubungan antara air

minum dengan kejadian diare.

Tabel 4.3 menunjukan nilai OR 2,1 artinya

responden yang memiliki jamban keluarga

yang tidak memenuhi syarat terkena diare

berisiko lebih besar 2,1 kali lebih besar

dibandingkan dengan responden yang

memiliki jamban keluarga memenuhi syarat,

secara statistik didapatkan p-value 0,002 yang

dinyatakan signifikan artinya ada hubungan

antara jamban keluarga dengan kejadian diare.

Tabel 4.3 menunjukan nilai OR 4,3 artinya

responden yang tidak melakukan cuci tangan

pakai sabun setelah BAB terkena diare

Variabel

Diare Tidak

Diare OR

95

%

CI

P

f % f %

Sumber Air Bersih (SAB)

MS 14 28,0 30 60,0 1,2 1,1

-3,5

0,003

TMS 36 72,0 20 40,0

Air Minum

MS 14 28,0 31 62,0 5,1 4,2

-7,3

0,001

TMS 36 72,0 19 38,0

Jamban Keluarga (JAGA)

MS 11 22,0 27 54,0 2,1 2,2

-2,4

0,002

TMS 39 78,0 23 46,0

Perilaku Cuci Tangan

Ya 4 8,0 20 40,0 4,3 4,2

-8,1

0,000

Tidak 46 92,0 30 60,0

Total 50 100 50 100

Page 8: Jurnal faktor risiko diare pada klinik sanitasi

8 STIKes Dharma Husada Bandung

berisiko lebih besar 4,3 kali dibandingkan

dengan responden yang melakukan cuci

tangan pakai sabun setelah BAB, secara

statistik didapatkan p-value 0,000 yang

dinyatakan signifikan artinya ada hubungan

antara perilaku cuci tangan dengan kejadian

diare.

Tabel 4.4 Nilai Odd Ratio (OR) Variabel OR 95% CI

Sumber air bersih 1,2 1,1-3,5

Air minum 5,1 4,2-7,3

Jamban keluarga 2,1 2,2-2,4

Perilaku cuci tangan 4,3 4,2-8,1

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui nilai OR yang

paling berisiko terhadap angka kejadian diare

yaitu air minum yang didapatkan OR terbesar

5,1 yang artinya pasien yang dirujuk ke klinik

sanitasi dengan air minum yang tidak

memenuhi syarat akan berisiko lebih besar 5.1

terhadap kejadian diare dibandingkan pada

pasien yang memiliki air minum yang

memenuhi syarat.

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang diketahui

bahwa angka kejadian diare Di Wilayah Kerja

UPT Puskesmas Ibrahim Adjie Tahun 2017

sebanyak 50 orang dan tidak diare sebanyak

50 orang. Hal ini pada responden yang

mengalami diare dipengaruhi oleh faktor risiko

lingkungan seperti Sumber Air Bersih (SAB),

Jamban Keluarga (JAGA), dan air minum

yang tidak memenuhi syarat, serta perilaku

resonden dalam melakukan cuci tangan setelah

BAB tidak menggunakan sabun sehingga ia

terkena diare.

Pada dasarnya tingginya angka kejadian diare

merupakan penyakit berbasis lingkungan yag

disebabkan masih buruknya kondisi sanitasi

dasar terutama air bersih dan jamban, yang

dapat memicu terjadinya penyakit diare serta

masih kurangnya rumah yang memenuhi

syarat kesehatan sehingga penyakit diare juga

semakin meningkat. Hal ini diperkuat oleh

hasil Ficher (2015) tentang hubungan sanitasi

lingkungan dengan kejadian diare pada anak

usia sekolah di Wilayah Kerja Puskesmas

Bahu Manado. Hasil penelitiannya

menunjukan adanya hubungan antara sanitasi

lingkungan dengan kejadian diare pada anak

usia sekolah di Wilayah Kerja Puskesmas

Bahu Manado.

Menurut Hasanuddin (2013) menjelaskan

bahwa penularan penyakit diare karena infeksi

bakteri dan virus biasanya melalui air minum

dan makanan yang terkontaminasi. Disamping

itu jamban keluarga juga ikut berperan

terjadinya diare karena tanpa jamban

masyarakat memilih buang air besar

disembarang tempat. Hal inilah yang dapat

menularkan penyakit diare melalui media air

atau media makanan melalui lalat.

Selain itu hasil penelitian di Wilayah Kerja

UPT Puskesmas Ibrahim Adjie Tahun 2017

sebagai berikut :Sebagian besar memperoleh

air bersih dari jetpum, dan besar kemungkinan

jetpum terkontaminasi dengan besi yang

berkarat, sehingga air menjadi berwarna dan

berbau, selain itu sebagian responden tidak

memiliki jamban keluarga, pengelolaan limbah

sisa pemakaian, seperti bekas mencuci dan

mandi di alirkan langsung ke sungai, sehingga

resapan air tanah di lingkungannya menjadi

tercemar.

Menurut Syarifuddin, dkk. (2012) menyatakan

bahwa jamban keluarga juga ikut berperan

terjadinya diare karena tanpa jamban

masyarakat memilih buang air besar

disembarang tempat. Hal inilah yang dapat

menularkan penyakit diare melalui media air

atau media makanan melalui lalat

Persediaan air yang tidak aman dan tingkat

sanitasi yang tidak memadai meningkatkan

penularan penyakit diare (termasuk kolera).

Meskipun hampir 1,9 miliar orang telah

memperoleh akses ke fasilitas sanitasi

meningkat sejak tahun 1990, cakupan global

saat ini diperkirakan hanya 64%. Pada tahun

2015, lebih dari sepertiga dari populasi dunia

(2,5 miliar orang) masih kekurangan akses ke

fasilitas sanitasi yang baik. Upaya-upaya besar

juga akan diperlukan baik di luar 2015 sebagai

tantangan baru untuk dunia yang harus

dihadapi dalam mempertahankan dan

mengukur kemajuan yang berarti, misalnya

memastikan akses ke air minum yang aman

dan sanitasi dasar (WHO, 2015).

Menurut Riskesdas tahun 2013 penyakit

berbasis lingkungan berdasarkan media/cara

penularan melalui udara, makanan, air, dan

vektor. Melalui udara yaitu Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA), pneumonia, dan TB

paru. Melalui vektor yaitu malaria dan DBD

sedangakan melalui makanan, air dan lainnya

yaitu diare (Riskesdas, 2013).

Page 9: Jurnal faktor risiko diare pada klinik sanitasi

9 STIKes Dharma Husada Bandung

Faktor Risiko Sumber Air, Jamban

Keluarga, Air Minum, Perilaku Cuci

Tangan Di Wilayah Kerja UPT Puskesmas

Ibrahim Adjie Tahun 2017

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan

di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ibrahim

Adjie Tahun 2017 menunjukan bahwa paling

banyak sumber air bersih yang tidak

memenuhi syarat pada kejadian diare yaitu

sebesar 72,0% dan pada kelompok tidak diare

sebesar 60,0%. Hal ini dipengaruhi oleh

penyediaan air bersih kebanyakan responden

gunakan yaitu berasal dari jetpum dan jarak

pengelolaan air bersih dilingkungan mereka

sebagian berjarak <10 meter dengan

pencemaran.

Upaya ketersediaan air bersih yang merupakan

milik sendiri dan tidak memenuhi syarat

kesehatan. Air bersih adalah air yang

digunakan untuk keperluan sehari – hari dan

sistem persediaan air bersih perkotaan pada

umumnya tidak terawat dan rusak, sehingga

air mengandung bakteri patogen atau zat-zat

terlarut lainnya dapat berakibat langsung pada

kesehatan. Selain itu Pemukiman yang padat

memungkinkan tercemarnya air sumur oleh

kotoran, karena letak sumur berdekatan

dengan septic tank (WC) atau berdekatan

dengan saluran pembuangan limbah rumah

tangga/pabrik (Sarudji, 2013).

Air yang sehat harus memenuhi beberapa

persyaratan yaitu Air harus jernih atau tidak

keruh. Kekeruhan pada air biasanya

disebabkan oleh adanya butir-butir tanah liat

yang sangat halus. Semakin keruh

menunjukkan semakin banyak butir-butir

tanah dan kotoran yang terkandung di

dalamnya.Tidak berwarna. Air yang berwarna

berarti mengandung bahan-bahan lain

berbahaya bagi kesehatan, misalnya pada air

rawa berwarna kuning, air buangan dari pabrik

, selokan, air sumur yang tercemar dan lain-

lain (Sarudji, 2013).

Kemudian syarat selanjutnya adalah rasanya

tawar. Air yang terasa asam, manis, pahit, atau

asin menunjukan bahwa kualitas air tersebut

tidak baik. Rasa asin disebabkan adanya

garam-garam tertentu yang larut dalam air,

sedangkan rasa asam diakibatkan adanya asam

organik maupun asam anorganik.Tidak berbau.

Air yang baik memiliki ciri tidak berbau bila

dicium dari jauh maupun dari dekat. Air yang

berbau busuk mengandung bahan-bahan

organik yang sedang didekomposisi

(diuraikan) oleh mikroorganisme air (Sarudji,

2013).

Berikut inpeksi sanitasi yang ada di Wilayah

Kerja Puskesmas Ibrahim Adjie sesuai data di

Puskesmas menunjukan syarat IS dapat terlihat

pada grafik sebagai berikut :

Garfik 4.1 Inpeksi Sanitasi Sumber Air

Bersih Di Wilayah Kerja Puskesmas

Ibrahim Adjie

Sumber : Data Skunder IS Wilayah Kerja Puskesmas Ibrahim

Adjie (2015)

Hasil Pemeriksaan Kimia Sumber Air Bersih

yang digunakan penduduk di Wilayah Kerja

Puskesmas Ibrahim Adjie. Berdasarkan

Parameter pH Air dengan rincian yaitu sumur

gali (jutpam), Sumur pompa tangan (SPT) dan

Penampungan Air hujan (PAH) semuanya

tidak memenuhi syarat kimia air yaitu

didapatkan tinggi sebesar 68%, sedang 18%

dan rendah 14%, dari angka tersebut bahwa

sumber air bersih adalah tidak mencapai 100%

yang artinya kurang baik, sehingga Kesadahan

air dapat diakibatkan oleh kandungan ion

kalsium (Ca2+) dan magnesium (Mg2+) . Hal

ini dapat dilihat bila sabun atau deterjen yang

digunakan sukar berbusa dan di bagian dasar

peralatan yang dipergunakan untuk merebus

air terdapat kerak atau endapan. Air sadah

dapat juga mengandung ion-ion Mangan

(Mn2+) dan besi (Fe2+) yang memberikan

rasa anyir pada air dan berbau, serta akan

menimbulkan noda-noda kuning kecoklatan

pada peralatan dan pakaian yang dicuci

(Sarudji, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian di Wilayah Kerja

UPT Puskesmas Ibrahim Adjie Tahun 2017

menunjukan bahwa faktor risiko yang dilihat

berdasarkan air minum yang tidak memenuhi

syarat pada kelompok diare yaitu sebesar

0

10

20

30

40

50

60

70

68

1814

TINGGI SEDANG RENDAH

Page 10: Jurnal faktor risiko diare pada klinik sanitasi

10 STIKes Dharma Husada Bandung

72,0% dan pada kelompok tidak diare sebesar

62,0%. Hal ini pada kelompok kejadian diare

disebabkan oleh air minum yang tercemar

mikroorganisme, karena sebagian responden di

wilayah tersebut air yang digunakan untuk

minum mereka didapatkan dari sumber air

jetpum, besar kemungkinan jetpum yang

digunakan responden terkontaminasi oleh besi

karat, sehingga air berasa dan berbau tapa

dilakukan filter terlebih dahulu. Hasil air

minum sumber jetpum dan air minum yang

digunakan isi ulang.

Berikut hasil IS berdasarkan air minum yang

diperoleh dari data skunder di Puskesmas

Ibrahim Adjie tahun 2015 dapat terlihat pada

grafik sebagai berikut :

Garfik 4.2 Inpeksi Sanitasi Air Minum Di

Wilayah Kerja Puskesmas Ibrahim Adjie

Sumber : Data Skunder IS Wilayah Kerja Puskesmas Ibrahim Adjie (2015)

Pengukuran parameter mikrobiologi : MPN

Coliform uji laboratorium dengan tiga tahap

tes perkiraan, tes penegasan, dan tes lengkap

(complet test). Hasil pemeriksaan laboratorium

berdasarkan MPN Coliform per 100 ml

sampel air yang diperoleh dari kualitas air

bersih dimana MPN Coliform yaitu 0/100 ml

sampel air, terdiri dari sumur gali (jetpum)

tidak memenuhi syarat yaitu MPN Coliform

diatas 0/100 ml dan sumur pompa tangan

(SPT) memenuhi syarat, sumur pompa tangan

(SPT) tidak memenuhi syarat sesuai dengan

pemenkes dimana MPN Coliform yaitu diatas

0/100 ml sampel air. Diketahui uji

laboratorium yang dilakukan puskesmas

Ibrahim Adjie yang dilakukan di Dinkes Kota

Bandung menunjukan Coliform tertinggi

yaitu 75 sedang 17 dan rendah 14.

MPN (Multi Probable Number) Coliform

adalah perkiraan terdekat jumlah bakteri

Coliform dalam 100 cc air. Dan tujuannya

untuk mengetahui berapa jumlah MPN

Coliform dalam 100 ml sampel berdasarkan

Permenkes RI No. 416 / Menkes / Per / IX /

1990 tentang syarat-syarat dan Pengawasan

Kualitas Air Bersih (Kemenkes RI, 2015).

Bakteri Coliform merupakan jasad indikator

di dalam substrat air, bahan makanan, saluran

pencernaan manusia dan sebagainya untuk

kehadiran jasad berbahaya/patogen. Apabila

di dalam makanan tersebut terdapat Coliform

maka makanan atau minuman tersebut secara

mikrobiologis tercemar oleh tinja.

Coliform dapat bertahan hidup di air

tanah dangkal selama lebih dari 2 bulan

(Kemenkes RI, 2015).

Menurut Malem, (2010) air yang baik harus

melewati filter terlebih dahulu yaitu terbuat

dari bahan silica untuk menyaring partikel

kasar. Setelah itu memasuki tabung karbon

aktif untuk menghilangkan bau. Tahap

berikutnya adalah penyaringan air dengan

saringan berukuran 10 mikron kemudian

melalui saringan 1 mikron untuk menahan

bakteri. Air yang keluar dari saringan 1 mikron

dinyatakan telah bebas dari bau dan bakteri,

ditampung pada tabung khusus yang

berukuran lebih kecil dibanding tabung

penampung air baku. Selanjutnya adalah tahap

mematikan bakteri yang memungkinkan masih

tersisa dengan menggunakan ultra violet

ataupun ozonisasi. Akhirnya air melalui

pengisian dimasukkan kedalam botol dan

ditutup .

Penyediaan air bersih selain kuantitasnya,

kualitasnya pun harus memenuhi standar yang

berlaku. Karena air baku belum tentu

memenuhi standar, maka dilakukan

pengolahan air untuk memenuhi standar air

minum. Pengolahan air minum dapat sangat

sederhana sampai sangat kompleks tergantung

kualitas air bakunya. Apabila air bakunya baik,

maka mungkin tidak diperlukan pengolahan

sama sekali. Apabila hanya ada kontaminan

kuman, maka disinfeksi saja sudah cukup,

tetapi apabila air baku semakin buruk

kualitasnya maka pengolahan harus lengkap

(Slamet, 2012).

Faktor risiko yang dilihat berdasarkan jamban

keluarga di Wilayah Kerja UPT Puskesmas

Ibrahim Adjie Tahun 2017 menunjukan bahwa

yang tidak memenuhi syarat pada kelompok

diare yaitu sebesar 78,0% dan pada kelompok

10

60

110

16075

1714

TINGGI SEDANG RENDAH

Page 11: Jurnal faktor risiko diare pada klinik sanitasi

11 STIKes Dharma Husada Bandung

tidak diare sebanyak 54,0%. Sebagian

responden yang mengalami diare karena di

rumah mereka tidak ada toilet secara khusus

dan kebanyakan kamar mandi bersatu dengan

WC, sehingga WC tersebut berbau dan

virusnya terinfeksi pada manusia disekitarnya.

Hal ini diketahui dari pernyataan responden

yang data ke klinik sanitasi dan kemudian

dilakukan konseling kepada pasien, tenaga

kesehatan lingkungan menggunakan panduan

konseling. Jamban tidak ada septik tenk

pembuangan kotoranya memalui selokan di

alirkan langsung ke sungai.

Hal ini tidak memenuhi syarat karena jamban

adalah sutu rungan yang mempunyai fungsi

pembunagna kotoran manusia yang terdiri atas

tempat jongkok dengan syarat jamban sehat

yakni tidak mencemari tanah di sekitarnya,

mudah dibersihkan dan aman digunakan,

dilengkapi dinding dan atap pelindung,

penerangan dan ventilasi cukup, lantai kedap

air dan luas ruangan memadai, tersedianya air

dan alat pembersih, kotoran manusia tidak di

jamah oleh lalat, serta jamban tidak

menimbulkan sarang nyamuk (Kemenkes RI,

2014).

Faktor risiko perilaku cuci tangan menunjukan

di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ibrahim

Adjie Tahun 2017 sebagian besar responden

tidak melakukan cuci tangan yaitu pada

kelompok diare sebesar 92,0% dan pada

kelompok tidak diare sebesar 60,0%. Hal ini

dipengaruhi oleh perilaku cuci tangan tidak

pakai sabun dan cici tangan yang tidak benar

seperti tidak melakukan 7 langkah syarat untuk

melakukan cuci tangan yang baik diantaranya,

menggunakan sabun pada telapak tangan

secara rata, gosok sela-sela jari tangan dengan

tangan kanan dan sebaliknya, kemudian

menggosok pada bagian kedua telapak tangan

dan sela-sela jari dengan cara tangan saling

mengunci dan dilakukan ibu jari kiri berputar

dalam genggaman tangan kanan dan lakukan

sebaliknya dan yang terakhir, gosok dengan

memutar ujung jari ditelapak tangan kiri dan

sebaliknya.

Mencuci tangan adalah salah satu tindakan

sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari

jemari dengan menggunakan air ataupun

cairan lainnya oleh manusia dengan tujuan

untuk menjadi bersih, berikut diketahui data IS

yang diperoleh dari data skunder di klinik

sanitasi Puskesmas Ibrahim Adjie dapat

terlihat pada grafik sebagai berikut:

Garfik 4.3 Inpeksi Sanitasi CTPS Di

Wilayah Kerja Puskesmas Ibrahim Adjie

Sumber : Data Skunder IS Wilayah Kerja Puskesmas

Ibrahim Adjie (2015)

Berdasarkan data grafik IS klinik sanitasi di

Puskesmas Ibrahim Adjie diketahui bahwa

perilaku cuci tangan yang tidak melakukan

cuci tangan setelah BAB tertingginya yaitu

sebanyak 10 orang, sedang 8 orang dan 5

orang rendah. Hal tersebut sebgaian responden

tidak memiliki kebiasaan tidak cuci tangan

pakai sabun setelah BAB. Pada dasarnya cuci

tangan dengan sabun secara konsisten dapat

mengurangi diare.

Menurut WHO (2013) CTPS yang benar

adalah memerlukan sabun dan sedikit air

mengalir. Air mengalir dari kran bukan

keharusan, yang penting air mengalir dari

sebuah wadah bisa berupa botol, kaleng,

ember tinggi, gentong, jerigen, atau gayung.

Tangan yang basah disabuni, digosok-gosok

bagian telapak maupun punggungnya,

terutama di bawah kuku minimal 20 detik.

Bilas dengan air mengalir dan keringkan

dengan kain bersih atau kibas-kibaskan di

udara. Pemerintah masih perlu memberi

perhatian terkait dengan penyediaan sarana

cuci tangan di tempat umum termasuk sekolah,

kalau dimungkinkan pemerintah membuat

peraturan yang mewajibkan adanya sarana

cuci tangan untuk tempat-tempat umum.

Hubungan Faktor Risiko Sumber Air

Bersih Dengan Angka Kejadian Diare Di

Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ibrahim

Adjie Tahun 2017

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan nilai

OR 1,2 artinya responden yang memiliki

sumber air bersih yang tidak memenuhi syarat

terkena diare berisiko lebih besar 1,2 kali lebih

besar dibandingkan dengan responden yang

0

2

4

6

8

10

10

8

5

TINGGI SEDANG RENDAH

Page 12: Jurnal faktor risiko diare pada klinik sanitasi

12 STIKes Dharma Husada Bandung

memiliki sumber air bersih yang memenuhi

syarat, secara statistik didapatkan p-value

0,003 yang dinyatakan signifikan artinya ada

hubungan antara sumber air bersih dengan

kejadian diare. Hal ini sebagian responden

diare yang dirujuk ke klinik sanitasi di wilayah

puskesmas Ibrahim Adjie yaitu diakibatkan

dari jarak sumber air dengan pencemaran

kurang dari sepuluh meter sehingga resapan air

bersih yang digunakan penduduk tercemar

oleh bakteri yang berdampak pada diare.

Menurut peraturan Menteri Kesehatan No.

416/Menkes/Per/IX/2008 menyatakan bahwa

jarak antara septic tank dengan sumber air

merupakan salah satu faktor kunci dalam

menyebabkan tercemar atau tidaknya sumber

air tanah. Adapun syarat-syarat dan

Pengawasan Air Minum dan Petunjuk Teknis

Menteri Perumahan Rakyat tentang

Pembangunan PSU di Kawasan Siap Bangun

dan Lingkungan Siap Bangun (kasiba/lisiba)

menyaratkan yaitu jarak antara septic tank

dengan sumber air tanah minimal 10 meter.,

bila mata air harus terlindungi dan tertutup,

sumber air dan tempat penampungan air harus

tertutup, Tidak ada limbah dan sampah di

sekitar sumber air. Penyediaan air untuk

rumah tangga bisa tergolong penyediaan air

bersih dan bisa juga penyediaan air minum.

Rumah tangga yang mencukupi kebutuhan

airnya dari sumur atau sumber-sumber lainnya

termasuk penyediaan air bersih.

Salah satu upaya ketersediaan air bersih yang

dikonsumsi merupakan milik sendiri dan harus

memenuhi syarat kesehatan diantaranya Air

bersih dan dapat digunakan untuk keperluan

sehari – hari dan akan menjadi air minum

setelah dimasak lebih dahulu, air minum

sendiri diartikan sebagai air yang kualitasnya

memenuhi syarat – syarat kesehatan dan dapat

diminum, sehingga air yang memenuhi syarat

tidak menimbulkan penyakit yaitu diare

(Sarudji, 2013).

Penyakit diare merupakan penyakit berbasis

lingkungan yang berisiko terhadap bagian

kalangan manusia, oleh karena itu tenaga

kesehatan harus memberikan konseling.

Konseling adalah hubungan komunikasi antara

Tenaga Kesehatan Lingkungan dengan Pasien

yang bertujuan untuk mengenali dan

memecahkan masalah kesehatan lingkungan

yang dihadapi, dalam Konseling, pengambilan

keputusan adalah tanggung jawab Pasien. Pada

waktu Tenaga Kesehatan Lingkungan

membantu Pasien terjadi langkah-langkah

komunikasi secara timbal balik yang saling

berkaitan (komunikasi interpersonal) untuk

membantu Pasien membuat keputusan, Karena

tugas pertama Tenaga Kesehatan Lingkungan

adalah menciptakan hubungan dengan Pasien,

dengan menunjukkan perhatian dan

penerimaan melalui tingkah laku verbal dan

non verbal yang akan mempengaruhi

keberhasilan pertemuan tersebut. Konseling

tidak semata-mata dialog, melainkan juga

proses sadar yang memberdayakan orang agar

mampu mengendalikan hidupnya dan

bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya.

Hubungan Faktor risiko Jamban Keluarga

Dengan Angka Kejadian Diare Di Wilayah

Kerja UPT Puskesmas Ibrahim Adjie

Tahun 2017

Berdasarkan hasil penelitian bahwa

menunjukan nilai OR 2,1 artinya responden

yang memiliki jamban keluarga yang tidak

memenuhi syarat terkena diare berisiko lebih

besar 2,1 kali lebih besar dibandingkan dengan

responden yang memiliki jamban keluarga

memenuhi syarat, secara statistik didapatkan

p-value 0,002 yang dinyatakan signifikan

artinya ada hubungan antara jamban keluarga

dengan kejadian diare. Hal ini sebagian

responden di wilayah Puskesmas Ibrahim

Adjie rata-rata tidak mempunyai septik tank

artinya pengelolaan air bekas mandi, cuci dan

air limbah lansung dialirkan ke sungai dan

sungai tercemar bakteri, sehingga dapat

mencemari tanah di sekitarnya dan

menimbulkan diare.

Pada dasarnya pengelolaan tinja yang

memenuhi syarat kesehatan bertujuan untuk

mengisolasi tinja sedemikian rupa sehingga

dapat mencegah terjadinya penularan penyakit

yang di sebabkan oleh tinja dari penderita

kepada orang sehat. Pengelolaan tinja yang

tidak memenuhi syarat kesehatan dapat

menimbulkan penyakit pada manusia seperti

penyakit kolera, typhus, diare, cacingan serta

penyakit saluran pencernaan (Warsito, 2013).

Sejalan dengan hasil penelitian Wibowo,

(2014) Berdasarkan hasil penelitiannya bahwa

jenis tempat pembuangan tinja yang terbanyak

digunakan pada kelompok kasus adalah jenis

leher angsa (68,3%), sedangkan 7,9%

menggunakan jenis plengsengan dan 23,8%

tidak memiliki jamban

Berdasarkan jenisnya jamban yang sehat untuk

daerah perkotaan, apabila memenuhi

persyaratan-persyaratan sebagai berikut yaitu

Page 13: Jurnal faktor risiko diare pada klinik sanitasi

13 STIKes Dharma Husada Bandung

Tidak mengotori permukaan tanah disekeliling

jamban tersebut., tidak mengotori air

permukaan di sekitarnya, tidak mengotori air

tanah di sekitarnya, tidak dapat terjangkau

oleh serangga terutama lalat, kecoak, dan

binatang-binatang lainnya, tidak menimbulkan

bau, mudah digunakan dan dipelihara,

sederhana desainnya dan murah juga dapat

diterima oleh pemakainya (Notoatmodjo,

2012)

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan

oleh peneliti sesuai dengan pedoman

wawancara klinik sanitasi di Puskesmas

Ibrahim Adjie menunjukan sebagian

responden yang berada di wilayah kerja

Puskesmas Ibrahim Adjie tidak septik tank

dalam jamban keluarga, saat ini. Upaya

mereka dalam pengelolaan limbah rumah

tangga langsung dialirkan ke sungai, sehingga

resapan tanah disekitarnya tercemar dan

berbau. Oleh karena itu petugas kesehatan

dapat memebrikan konseling pada setiap

pasien rujukan ke klinik sanitasi. Pelaksanaan,

tenaga kesehatan lingkungan menggali

data/informasi kepada pasien atau

keluarganya, sebagai berikut: 1. umum, berupa

data individu/keluarga dan data lingkungan; 2.

khusus, meliputi: identifikasi

prilaku/kebiasaan; identifikasi kondisi kualitas

kesehatan lingkungan; dugaan penyebab; dan

saran dan rencana tindak lanjut.

Hubungan Faktor risiko Air Minum

Dengan Angka Kejadian Diare Di Wilayah

Kerja UPT Puskesmas Ibrahim Adjie

Tahun 2017

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan

bahwa menunjukan nilai OR 5.1 artinya

responden yang memiliki air minum yang

tidak memenuhi syarat terkena diare berisiko

lebih besar 5.1 kali lebih besar dibandingkan

dengan responden yang memiliki air minum

memenuhi syarat, secara statistik didapatkan

p-value 0,001 yang dinyatakan signifikan

artinya ada hubungan antara air minum dengan

kejadian diare.

Hal ini disebabkan oleh banyaknya responden

di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ibrahim

Adjie Tahun 2017 bahwa dari sebagian

responden menggunakan sumber air minum

dari jetpum dan tanpa ada filterisasi atau

penyaringan terlebih dahulu, sehingga ada

jumlah zat kimia yang terlarut dalam air

seperti karbon dioksida atau oksigen dalam air

aloi (campuran logam) dan mineral tertentu.

Menurut World Health Organization (2012)

merekomendasikan bahwa air minum harus

mengandung magnesium dan kalsium dengan

konsentrasi minimum 10 mg/l dan 20 mg/l.

Sedangkan menurut Menkes RI tentang baku

mutu air minum menyatakan bahwa air minum

mengandung maksimal magnesium 30 mg/l,

kalisum 75 mg/l, besi 0,1 mg/l, klorida 200

mg/l, dengan kesdahan minimal 5 mg/l.

Mineral merupakan bagian dari tubuh dan

memegang peranan penting dalam

pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat

sel, jaringan, organ, maupun fungsi tubuh

secara berlainan. Terlalu sedikit atau terlalu

banyak mengkonsumsi mineral tertentu dapat

menyebabkan gangguan gizi. Mineral

digolongkan ke dalam mineral makro dan

mineral mikro. Mineral makro adalah mineral

yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih

dari 100 mg sehari, sedangkan mineral mikro

dibutuhkan kurang dari 100 mg sehari. Yang

termasuk mineral makro antara lain: natrium,

klorida, kalium, kalsium, fosfor, dan

magnesium, sedangkan yang termasuk mineral

mikro antara lain: besi, mangan dan tembaga

(Kristanti, 2010).

Standar kualitas air yang dinilai/ diamati

adalah kualitas airnya meliputi: kualitas fisik; (

tidak berasa, tidak berbau dan tidak berwarna/

jernih), kualitas bakteri; kelas kualitas Total

Coli Form; A. baik ( 50), B cukup baik (51-

100), C kurang (101-1000), D amat kurang

(1001-2400), dan E sangat amat kurang

(2400), kelas kualitas Coli tinja; memenuhi

syarat ( 50 = bukan perpipaan , < 0 =

perpipaan , tidak memenuhi syarat ( = 51 =

bukan perpipaan , = 1 = perpipaan ), Parasit

dan Virus ( ada/ tidak ada), kualitas kimia; ada

zat lain yang mengganggu kesehatan, Fe, Mn,

Zn dan lain-lain

Kualitas fisik dan lingkungan sekitar sarana air

bersihnya yaitu dengan penilaian/ pengamatan

inspeksi sanitasi sering dipakai dalam

menentukan standar kualitas fisik dan

lingkungan sekitar sarana air bersih, dan

hasilnya berdasarkan IS di dapat tingkat resiko

pencemaran (rendah, sedang, tinggi dan amat

tinggi) yang dapat menunjukan adanya tingkat

pencemaran sumber air oleh limbah

organik/non organik sehinggga menurunkan

kualitas air dan merupakan kriteria adanya

mikroorganisme lain yang dapat

membahayakan kesehatan, terutama penyakit

Diare.

Page 14: Jurnal faktor risiko diare pada klinik sanitasi

14 STIKes Dharma Husada Bandung

Sehingga dibuktikan oleh hasil penelitian di

wilayah Ibrahim Adjie pada kelompok diare

lebih dominan berhubungan dari air minum

yaitu sangat bermakna terhadap kejadian diare,

sehingga penelitian ini dapat

direkomendasikan kepada tenaga kesehatan

untuk menindaklanjuti dengan cara

memberikan intervensi kepada responden

untuk memberikan penyuluhan tentang

kesehatan dan kualitas air minum yang

memenuhi syarat diantaranya air tidak berbau,

berasa dan mengandung mineral yang tinggi,

agar kejadian diare tidak terulang.

Menurut hasil pengamatan yang dilakukan

oleh peneliti secara langsung menggunakan

pedoman wawancara klinik sanitas di Ibrahim

Adjie, bahwa sebagian mereka yang di rujuk

ke klinik sanitasi menyatakan air minum yang

digunakan oleh mereka yaitu bersumber dari

jetpum, air minum yang digunakan yaitu

dengan cara isi ulang tanpa dimasak air minum

terlebih dahulu, karena belum tentu terjamin

kehyginisan dalam air tersebut dan dibuktikan

dari hasil pemeriksaan depot air minum di

wilayah puskesmas Ibrahim Adjie menunjukan

tidak baik, yaitu dilihat dari pemeriksaan

bakteriologis air minum mengandung kadar

Coliform ada 75% . Sumber air baku yang

mengandung Coliform , tidak memenuhi

syarat sesuai Peraturan Menteri Kesehatan

No.416/Menkes/Per/ IX/1990 kadar

maksimum yang diperbolehkan adalah

0MPN/100 mL sampel.

Pengukuran kualitas bakteriologis air minum

isi ulang dilakukan berdasarkan observasi di

Puskesmas Ibrahim Adji dan kemudian

dilakukan uji laboratorium bakteriologis

keberadaan Coliform dengan metode most

probable number (MPN) dengan standar

Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor:

492/MENKES/PER/IV/2010 tentang

persyaratan kualitas air minum yang

menyatakan bahwa di dalam 100 mL

sampel air minum yang diperiksa tidak boleh

mengandung Coliform , jadi harus nol/100

mL air sehingga bila kualitas bakteriologi air

minum ≤0 MPN/100 mL berarti air minum

tersebut memenuhi syarat (MS). Apabila air

minum >0MPN/100 mL berarti air minum

tersebut tidak memenuhi syarat (TMS)

(Kemenkes RI, 2015)

Dapat disimpulkan bahwa Air Minum dengan

isi ulang di Wilayah Puskesmas Ibrahim Adji

dinyatakan tidak Memenuhi Syarat (MS) dan

air minum mengandung mengandung Coliform

sebesar 75% . Oleh karena itu seorang petugas

konseling harus dapat menciptakan hubungan

dengan pasien/klien, dengan menunjukkan

perhatian dan penerimaan melalui tingkah laku

verbal dan non verbal yang akan

mempengaruhi keberhasilan pertemuan

tersebut. Tujuan diadakannya konseling di

klinik sanitasi adalah: Menyediakan dukungan

teknis bagi mereka yang mempunyai masalah

kesehatan lingkungan dan penyakit berbasis

lingkungan. Mencegah penularan penyakit

berbasis lingkungan, misalnya malaria, demam

berdarah dengue (DBD), TB paru, ISPA, diare,

penyakit kulit dan lain-lain. Meningkatkan

pengetahuan, kemampuan dan keterampilan

klien/pasien untuk menggali potensi dan

sumber daya serta pelayanan kesehatan yang

dapat membantu klien memecahkan masalah

kesehatan lingkungan dan penyakit berbasis

lingkungan yang mereka hadapi (Yankes,

2015).

Hubungan Faktor risiko Perilaku Cuci

Tangan Dengan Angka Kejadian Diare Di

Wilayah Kerja UPT Puskesmas Ibrahim

Adjie Tahun 2017

Berdasarkan hasil penelitian bahwa

menunjukan nilai OR 4,3 artinya responden

yang tidak melakukan cuci tangan pakai sabun

setelah BAB terkena diare berisiko lebih besar

4,3 kali dibandingkan dengan responden yang

melakukan cuci tangan pakai sabun setelah

BAB, secara statistik didapatkan p-value 0,000

yang dinyatakan signifikan artinya ada

hubungan antara perilaku cuci tangan dengan

kejadian diare. Hal ini pada pasien diare yang

di rujuk ke klinik sanitasi menganggap bahwa

sebagian dari masyarakat menganggap CTPS

tidak penting, mereka tidak cuci tangan pakai

sabun setelah BAB, ketika tangan berbau,

berminyak dan kotor.

Hasil penelitian oleh kemitraan pemerintah

dan swasta tentang CTPS menunjukkan bahwa

pengetahuan masyarakat tentang CTPS sudah

tinggi, namun praktik di lapangan masih

rendah. (Mikail, 2011). Tangan adalah bagian

tubuh kita yang paling banyak tercemar

kotoran dan bibit penyakit. Ketika memegang

sesuatu, dan berjabat tangan, tentu ada bibit

penyakit yang melekat pada kulit tangan kita.

Telur cacing, virus, kuman dan parasit yang

mencemari tangan, akan tertelan jika kita tidak

mencuci tangan dulu sebelum makan atau

memegang makanan. Dengan cara demikian

Page 15: Jurnal faktor risiko diare pada klinik sanitasi

15 STIKes Dharma Husada Bandung

umumnya penyakit cacing menulari tubuh kita.

Di samping itu, bibit penyakit juga dapat

melekat pada tangan kita setelah memegang

uang, memegang pintu kamar mandi,

memegang gagang telepon umum, memegang

mainan, dan bagian-bagian di tempat umum

(Potter & Perry, 2012).

Melalui tangan kita sendiri segala bibit

penyakit itu juga bisa memasuki mulut, lubang

hidung, mata, atau liang telinga, Karena

kebiasaan memasukkan jari ke hidung,

mengucek mata, mengorek liang telinga,

bukan pada waktu yang tepat (pada saat tangan

kotor), dan ketika jari belum dibasuh (belum

cuci tangan).

Penelitian yang dilakukan oleh Adisasmito

(2007) dengan melakukan studi literatur

penelitian seputar diare, mengatakan bahwa

faktor risiko diare bisa dilihat dari tiga faktor,

yaitu: faktor lingkungan (sarana air bersih dan

jamban); faktor risiko ibu (kurang

pengetahuan, perilaku dan hygiene ibu) dan

faktor risiko anak (faktor gizi dan pemberian

ASI ekslusif). Data SDKI tahun 2007 juga

mengatakan bahwa anak yang tinggal di

daerah tanpa adanya sarana air bersih dan

menggunakan fasilitas kakus di sungai/danau

mempunyai prevalensi diare paling tinggi

(Depkes, 2011).

Sejalan dengan penelitian Burton (2011)

menunjukkan bahwa cuci tangan dengan

menggunakan sabun lebih efektif dalam

memindahkan kuman dibandingkan dengan

cuci tangan hanya dengan mengggunakan air

saja.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian telah dilakukan di

UPT Puskesmas Ibrahim Adjie Kecamatan

Batununggal tentang faktor risiko lingkungan

yang berhubungan dengan kejadian diare di

klinik sanitasi dapat disimpulkan sebagai

berikut :

1. Angka kejadian diare di Wilayah Kerja UPT

Puskesmas Ibrahim Adjie tahun 2017

didapatkan 50 orang dan tidak diare

sebanyak 50 orang.

2. Menunjukan faktor risiko sumber air bersih

paling banyak yang tidak memenuhi syarat

pada angka kejadian diare yaitu sebesar

72,0%, air minum sebesar 72,0%, jamban

keluarga sebesar 78,0%, dan faktor risiko

perilaku cuci tangan sebesar 92,0%

3. Terdapat hubungan antara sumber air bersih

dengan kejadian diare (p-value 0,003 dan OR

1,2);

4. Terdapat hubungan antara air minum dengan

kejadian diare (p-value 0,001 dan OR 5,1);

5. Terdapat hubungan antara jamban keluarga

dengan kejadian diare (p-value 0,002 dan OR

2,1);

6. Terdapat hubungan antara perilaku cuci

tangan dengan kejadian diare (p-value 0,000

dan OR 4,3).

Sumber air bersih di wilayah kerja UPT

Puskesmas Ibrahim Adjie tidak memenuhi

syarat yaitu jarak sumber air bersih dengan

pencemaran kurang dari 10 meter, jamban

keluarga tidak mempunyai septik tank dan

langsung dialirkan ke sungai didapatkan

sebagian responden bahwa tidak mempunyai

jamban keluarga dan bekas mandi, bekas

cuci dll, air minum sebagian responden

berasal dari sumber air bersih jetpum dengan

cara isi ulang dan perilaku cuci tangan tidak

menggunakan sabun ketika atau sesudah

BAB. Dari 5 faktor risiko yang tertinggi

adalah dilihat dari nilai OR sebesar 5.1 yaitu

air minum dengan cara isi ulang tidak

dimasak, dan didukung dengan data skunder

pemeriksaan laboratorium pemeriksaan

bakteriologis Colifrom tertinggi

Saran

1. Berpartisifasi bersaama petugas kesehatan

dalam menyediakan sarana air bersih jauh

dari sumber pencemaran.

2. Tenaga kesehatan harus memberikan

konseling setiap hari diruang Klinik

Sanitasi untuk mengatasi masalah

Kesehatan Lingkungan yang dihadapi

masyarakat dan kunjungan rumah apabila

ditemukan permasalahan yang harus

segera ditangani.

3. Dapat menjadikan referensi tambahan

ilmu pengetahuan serta dimanfaatkan

untuk pengembangan ilmu peminatan

kesehatan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth, Buku Ajar

Keperawatan Medikal Bedah. EGC :

Jakarta 2014

Burton, 2011. Perilaku mencuci tangan pada

kejadian diare.

Depkes, 2011. Prevalensi Diare Dan Tanpa

Adanya Sarana Air Bersih. Departemen

Kesehatan Republik Indonesia. 2011

Page 16: Jurnal faktor risiko diare pada klinik sanitasi

16 STIKes Dharma Husada Bandung

Dinkes Jabar. Data Kejadian Diare 2015

Enjang, Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung. 2014

Ficher Tambuwun, Amatus, Yudi Ismanto,

Wico Silolonga, 2015 tentang

Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan

Kejadian Diare Pada Anak Usia Sekolah

Di Wilayah Kerja Puskesmas Bahu

Manado

Fiesta, Surya & Irnawati, Hubungan kondisi

lingkungan perumahan dengan kejadian

diare. .jurnal.usu.ac.id/index.php/lkk

/article/download/3282/1609.2012

Iranto, 2014. Studi Kualitas Air Beberapa

Mata Air di Sekitar Bedugul. Jakarta :

EGC.

Johnston, 2015. Gerakan Nasional Cuci

Tangan Pakai Sabun.

Kemenkes RI, Tentang Pelaksanaan dan

pedoman Klinik Sanitasi. Kementrian

Kesehatan RI. 2014

Kemenkes RI, Tentang Pelaksanaan dan

pedoman Klinik Sanitasi. Kementrian

Kesehatan RI. 2015

Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran. Edisi

Ketiga. Jilid II. Jakarta : Media

Aesculapius. 2014

Malem, 2010. Faktor risiko kejadian diare

berbasis lingkungan. Jakarta : EGC.

Mikail, 2011. Mikail, B.. Kebisaan cuci tangan

masih rendah. http://health

.kompas.Cuci.Tangan.Masih.Rendah.

Diunduh 2017

Muh.Saleh, Lia Hijriani Rachim, 2014

Tentang Hubungan Kondisi Sanitasi

Lingkungan Dengan Kejadian Diare

Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja

Puskesmas Baranti Kabupaten Sidrap

Mung Rahadi, Lilis Sulistyorini, Satya

Haksama up Evaluation of

Environmental Sanitation Hygiene

Program in Prevention of Diarrhea

Incidence in The Working Area of

Kolaka District Health Office

Noer, Buku Ajar Ilmu Penyakit. Jakarta :

EGC. 2013

Notoatmodjo, 2012. Pendidikan dan Perilaku

Kesehatan.Jakarta. Rhineka Cipta

Nursalam, Konsep Dan Penerapan Metodologi

Penelitian Ilmu keperawatan. Edisi 2.

Jakarta : Salemba Medika. 2014.

Oksfriani Jufri Sumampouw, Soemarno, Sri

Andarini, Endang Sriwahyuni, 2014

tentang Environmental risk factors of

diarrhea in the coastal communities of

Manado city

Potter & Perry, 2012. Buku Ajar

Fundamental Keperawatan :

Konsep, Proses, dan Praktik.Edisi

4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata

Komalasari,dkk.Jakarta:EGC.

Riskesdas, 2013. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Departemen

Kesehatan, Republik Indonesia.

Sarudji, 2006. Manajemen Berbasis

Lingkungan Solusi Mencegah. Penerbit

buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Silvia. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-

Proses Penyakit. Buku 2 Edisi Jakarta :

EGC. 2010

Simanjuntak, 2013. Sarana Jamban Keluarga,

Gramedia . Jakarta.

Slamet, 2012. Kesehatan Lingkungan.

Yogyakarta Gajah Mada Pres.

Sugiyono, 2014. Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.

Alfabeta.

Suharyono, Diare Akut, Jakarta : Gramedia.

2013

Syarifuddin, dkk. Pendidikan Jasmani dan

Kesehatan. Jakarta. : Depdikbud. 2012

Syarifuddin, Hasanuddin Ishak, Arifin

Seweng. Tentang Hubungan

Pelaksanaan Klinik Sanitasi Dengan

Kejadian Diare Di Kabupaten Takalar

Warsito, 2013. Program Pemberantasan Diare.

Semarang

WHO. Data tentang Kejadian Penyakit

Berbasis Lingkungan. 2013

Wibowo 2014. Hubungan Sanitasi Lingkungan

Rumah Tangga Dengan Kejadian Diare

Di Wilayah Kerja Puskesmas Wajo

Kecamatan Murhum Kota Baubau

Wibowo, 2015. Hubungan Sanitasi

Lingkungan Rumah Tangga Dengan

Kejadian Diare Di Wilayah Kerja

Puskesmas Kalimantan.

Wong. Pengkajian pada anak diare. Jakarta :

EGC. 2014

Yankes, 2015. Pedoman Klinik Sanitasi.

Pelayanan Kesehatan Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.