Upload
adrian-hartanto-lokaria
View
197
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Mata Kuliah Kebijakan Bisnis Pariwisata
Program Studi Hospitaliti Pariwisata
Jenjang Studi Strata Satu ( S1)
Semester Genap
Makalah Kebijakan Bisnis Pariwisata
KEBIJAKAN ANTISIPASI TERHADAP MASALAH APATHY, IRRITATION, DAN ANTAGONISM DARI MASYARAKAT
TERHADAP WISATAWAN
Disusun oleh
Adrian Hartanto Lokaria ( 1453010008 )
Dosen Pembimbing
Murdomo B, SE, M.Pd
S1 PARIWISATA
SEKOLAH TINGGI PARIWISATA TRISAKTI
JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai, makalah yang dengan judul “KEBIJAKAN ANTISIPASI TERHADAP MASALAH APATI, IRRITATION,
ANTAGONISM DARI MASYARAKAT TERHADAP WISATAWAN” ini dengan
tepat waktu. Makalah ini dibuat oleh penulis untuk memenuhi tugas mata kuliah KEBIJAKAN BISNIS PARIWISATA.
Dalam makalah ini, penulis membahas mengenai sikap perubahan masyarakat
lokal terhadap wisatawan secara linier. Sikap yang mula-mula positif berubah
menjadi semakin negatif seiring dengan pertambahan jumlah wisatawan.. Hal ini
membuat penulis merasa tertarik untuk menggali informasi lebih dalam dan
menuangkannya ke dalam bentuk karya tulis, yaitu makalah.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada dosen yang telah membimbing
penulis dalam menyelesaikan makalah ini dan terima kasih juga penulis ucapkan
kepada orang tua,keluarga dan teman-teman yang telah memberikan motivasi
kepada penulis.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman penulis, masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Jakarta, 15 Mei 2016
Penulis
Dalam hubungan dengan evolusi sikap masyarakat terhadap wisatawan,
Doxey (1976) sudah mengembangkan sebuah kerangka teori yang disebut
irendex (irritation index). Model Irendex dari Doxey ini menggambarkan
perubahan sikap masyarakat lokal terhadap wisatawan secara linier. Sikap yang
mula-mula positif berubah menjadi semakin negatif seiring dengan pertambahan
jumlah wisatawan.
Tahapan-tahapan sikap masyarakat terhadap digambarkan sebagai berikut:
1. Euphoria ; Kedatangan wisatawan diterima dengan baik, dengan sejuta
harapan. Ini terjadi pada fase-fase awal perkembangan pariwisata pada suatu
daerah tujuan wisata, dan umumnya daerah tujuan wisata tersebut belum
mempunyai perencanaan. masyarakat lokal mendukung pembangunan
pariwisata dan mereka siap hidup berdampingan dalam kehidupan sehari-hari
dengan wisatawan. Umumnya masyarakat mengaharpkan dan memperkirakan
akan mendapatkan keuntungan dari pekerjaan baru yang akan didapat,
peningkatan pendapatan, dan peningkatan nilai ekonomi properti yang mereka
miliki. Pada tahap ini hanay sedikit warga yang menentang pariwisata. Tahap
ini cenderung terjadi ketika kondisi ekonomi lokal mengalami stagnasi dan
pariwisata dianggap sebagai sektor yang menawarkan peluang pertumbuhan
ekonomi, atau adanya banyak pengangguran akibat penurunan aktivitas
ekonomi lokal sehingga pariwisata dianggap dapat mengatasi masalah ini.
Dukungan pada tahap ini lebih berfokus pada sisi ekonomi dan kurang
memperhitungakan dampak sosial budayanya.
2. Apathy ; Masyarakat menerima wisatawan sebagai sesuatu yang lumrah, dan
hubungan antara masyarakat dengan wisatawan didominasi oleh hubungan
komersialisasi. Perencanaan yang dilakukan pada daerah tujuan wisata pada
fase ini umumnya hanya menekankan pada aspek pemasaran. pertumbuhan
industri pariwisata mulai mengalami penurunan. Pariwisata yang telah
diterima sebagai sektor yang memacu pertumbuhan ekonomi kawasan tidak
bisa dianggap lagi segala-galanya. Struktur sosial kawasan mulai mengalami
perubahan oleh kedatangan orang baru yang menacari pekerjaan, peranan
keluarga mengalami perubahan karean anggota keluaraganya bekerja di
pariwisata. Kewajaiban pariwisata untuk meningkatkan kondisi ekonomi
masyarakat mulai tidak dapat dirasakan masyarakat secara keseluruhan tetapi
hanya menguntungkan sebagian warga saja. Pada tahap ini mulai tumbuh rasa
apatis akan keberadaan pariwisata.
3. Annoyance ; Titik kejenuhan sudah hampir dicapai, dan masyarakat mulai
merasa ternganggu dengan kehadiran wisatawan. Perencanaan umumnya
berusaha meningkatkan prasarana dan sarana, tetapi belum ada usaha
membatasi pertumbuhan.
4. Antagonism ; Masyarakat secara terbuka sudah menunjukkan
ketidaksenangannya, dan melihat wisatawan sebagai sumber masalah. Pada
fase ini perencana baru menyadari pentingnya perencanaan
menyeluruh. tumbuh sejalan dengan semakin meningkatnya perasaan
kehilangan tempat yang secara ttradisional dipergunakan oleh masyarakat
lokal, masyarakat menyalahkan wisatawan atas perubahan ini dengan
pembangunan pariwisata yang tidak terncana dan tidak terkontrol dengan baik.
Ada kecenderungan wisatawan yang datang selama masa euphoria telah
digantikan oleh tipe wisatawan yang datang selama masa euphoria telah
digantikan oleh tipe wisatawan baru yang kurang menghargai kearifan lokal
tetapi fokus pada ketertarikan fisik alam. Masyarakat lokal menunjukkan sikap
antagonis, misalnya melalui menulis surat kepada media massa lokal
mengenai perilaku wisatawan. Jika tidak ada solusi ,mungkin saja masyarakat
akan bertindak agresif dengan melakukan kejahatan. Apalagi jika masyarakat
merasa keberadaan pariwisata tidak memberi manfaat seperti penyerapan
tenaga kerja lokal.
5. Phase yang terakhir dalam analisis Index of Irriatation adalah Antagonism
dimana masyarakat lokal merasa telah terjadi gesekan social secara terbuka
akibat kehadiran para wisatawan dan wisatawan dianggap sebagai penyebab
dari segala permasalahan yang terjadi pada sebuah destinasi. Perencanaan
pada destinasi dilakukan dengan melakukan promosi untuk mengimbangi
menurunnya citra destinasi.
Melihat trend positif dari pertumbuhan pariwisata global, optimisasi
pembangunan pariwisata sebagai sebuah alternatif pembangunan untuk
pengganti sektor agraris dan industri yang cenderung merusak sumber daya
alamiah semakin mendapat sambutan yang lebih meyakinkan.
Munculnya isu pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan adalah
sebagai hal yang dinamis dalam skala industri secara makro melalui
pendekatan strategis dalam perencanaan dan pembangunan sebuah destinasi
pariwisata. Meskipun banyak anggapan bahwa pariwisata adalah sebuah
sektor pembangunan yang kurang merusak lingkungan dibandingkan dengan
industri lainnya, namun jika kehadirannya dalam skala luas akan menimbulkan
kerusakan lingkungan fisik maupun sosial.
Dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata khususnya
pengembangan kawasan wisata atau obyek wisata pada umumnya mengikuti
alur atau siklus kehidupan pariwisata yang lebih dikenal dengan Tourist Area
Life Cycle (TLC) sehingga posisi pariwisata yang akan dikembangkan dapat
diketahui dengan baik dan selanjutnya dapat ditentukan program
pembangunan, pemasaran, dan sasaran dari pembangunan pariwisata tersebut
dapat ditentukan dengan tepat.
Tourist Area Lifecycle
Siklus hidup pariwisata pada umumnya mengacu pada konsep TLC (Butler’s
80, Tourist Area Lifecycle) yang dapat dijabarkan pada (Hypothetical
Evolution of a Tourist Area) sebagai berikut :
1.1. Penemuan (Exploration)
Potensi pariwisata berada pada tahapan identifikasi dan menunjukkan destinasi
memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi daya tarik atau destinasi wisata
karena didukung oleh keindahan alam yang masih alami, daya tarik wisata
alamiah masih sangat asli, pada sisi lainnya telah ada kunjungan wisatawan
dalam jumlah kecil dan mereka masih leluasa dapat bertemu dan
berkomunikasi serta berinteraksi dengan penduduk lokal. Karakteristik ini
cukup untuk dijadikan alasan pengembangan sebuah kawasan menjadi sebuah
destinasi atau daya tarik wisata.
1.2. Pelibatan (Involvement)
Pada tahap pelibatan, masyarakat lokal mengambil inisiatif dengan
menyediakan berbagai pelayanan jasa untuk para wisatawan yang mulai
menunjukkan tanda-tanda peningkatan dalam beberapa periode. Masyarakat
dan pemerintah lokal sudah mulai melakukan sosialiasi atau periklanan dalam
skala terbatas, pada musim atau bulan atau hari-hari tertentu misalnya pada
liburan sekolah terjadi kunjungan wisatawan dalam jumlah besar, dalam
kondisi ini pemerintah lokal mengambil inisiatif untuk membangun
infrastruktur pariwisata namun masih dalam skala dan jumlah yang terbatas.
1.3. Pengembangan (Development)
Pada tahapan ini, telah terjadi kunjungan wisatawan dalam jumlah
besar dan pemerintah sudah berani mengundang investor nasional atau
internatsional untuk menanamkan modal di kawasan wisata yang akan
dikembangkan. Perusahaan asing (MNC)Multinational company telah
beroperasi dan cenderung mengantikan perusahan lokal yang telah ada, artinya
usaha kecil yang dikelola oleh penduduk lokal mulai tersisih hal ini terjadi
karena adanya tuntutan wisatawan global yang mengharapkan standar mutu
yang lebih baik. Organisasi pariwisata mulai terbentuk dan menjalankan
fungsinya khususnya fungsi promotif yang dilakukan bersama-sama dengan
pemerintah sehingga investor asing mulai tertarik dan memilih destinasi yang
ada sebagai tujuan investasinya.
1.4. Konsolidasi (consolidation)
Pada tahap ini, sektor pariwisata menunjukkan dominasi dalam
struktur ekonomi pada suatu kawasan dan ada kecenderungan dominasi
jaringan international semakin kuat memegang peranannya pada kawasan
wisata atau destinasi tersebut. Kunjungan wisatawan masih menunjukkan
peningkatan yang cukup positif namun telah terjadi persaingan harga diantara
perusahaan sejenis pada industri pariwisata pada kawasan tersebut. Peranan
pemerintah lokal mulai semakin berkurang sehingga diperlukan konsolidasi
untuk melakukan re-organisasional, dan balancing peran dan tugas antara
sektor pemerintah dan swasta.
1.5. Stagnasi (Stagnation)
Pada tahapan ini, angka kunjungan tertinggi telah tercapai dan
beberapa periode menunjukkan angka yang cenderung stagnan. Walaupun
angka kunjungan masih relatif tinggi namun destinasi sebenarnya tidak
menarik lagi bagi wisatawan. Wisatawan yang masih datang adalah mereka
yang termasuk repeater guest atau mereka yang tergolong wisatawan yang
loyal dengan berbagai alasan. Program-program promosi dilakukan dengan
sangat intensif namun usaha untuk mendatangkan wisatawan atau pelanggan
baru sangat sulit terjadi. Pengelolaan destinasi melampui daya dukung
sehingga terjadi hal-hal negatif tentang destinasi seperti kerusakan lingkungan,
maraknya tindakan kriminal, persaingan harga yang tidak sehat pada industri
pariwisata, dan telah terjadi degradasi budaya masyarakat lokal.
1.6. Penurunan atau Peremajaan (Decline/Rejuvenation)
Setelah terjadi Stagnasi, ada dua kemungkinan bisa terjadi pada
kelangsungan sebuah destinasi. Jika tidak dilakukan usaha-usaha keluar dari
tahap stagnasi, besar kemungkinan destinasi ditinggalkan oleh wisatawan dan
mereka akan memilih destinasi lainnya yang dianggap lebih menarik.
Destinasi hanya dikunjungi oleh wisatawan domestik saja itupun hanya ramai
pada akhir pekan dan hari liburan saja. Banyak fasilitas wisata berubah fungsi
menjadi fasilitas selain pariwisata. Jika ingin melanjutkan pariwisata, perlu
dilakukan pertimbangan dengan mengubah pemanfaatan destinasi, mencoba
menyasar pasar baru, mereposisi attraksi wisata ke bentuk lainnya yang lebih
menarik. Jika Manajemen Destinasi memiliki modal yang cukup, atau ada
pihak swasta yang tertarik untuk melakukan penyehatan seperti membangun
atraksi man-made, usaha seperti itu dapat dilakukan, namun semua usaha
belum menjamin terjadinya peremajaan.
Kepariwisataan yang berbasis masyarakat hendaknya terkait dengan
usaha bisnis lokal, pembangunan masyarakat, serta pelestarian warisan alam
dan budaya. Hal tersebut sudah sejalan dengan kode etik pariwisata dunia
yang pada dasarnya memiliki keterkaitan dengan pengaturan pelestarian
lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat setempat, perencanaan yang
berorientasi pada perlindungan sumber daya alam dan budaya, hak asasi
manusia, hak dan kewajiban para pelaku pariwisata, pelestarian warisan
budaya, dan globalisasi.
Memang belum semua masalah dapat diatasi, tetapi arah pariwisata
Indonesia sudah jelas. Arah itu disebutkan dalam pernyataan misi tentang
pengembangan kebudayaan dan pariwisata yang antara lain dirumuskan
sebagai berikut:
1. Pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam
pengembangan kebudayaan dan pariwisata nasional.
2. Perlindungan kebudayaan sebagai upaya melestarikan warisan budaya
bangsa.
3. Pengembangan produk pariwisata yang berwawasan lingkungan, bertumpu
pada kebudayaan, peninggalan budaya dan pesona alam lokal yang bernilai
tambah tinggi dan berdaya saing global.
Kita harus mendorong pariwisata yang mendukung aktivitas ekonomi
lokal, dan yang mengambil nilai lingkungan di dalamnya, keduanya
melindungi ekonomi dan menghindari kerusakan lingkungan dan melibatkan
masyarakat lokal secara penuh di sektor pariwisata, tidak hanya
menguntungkan masyarakat dan lingkungan secara umum, tetapi juga
meningkatkan kualitas pengalaman pariwisata.
Pelibatan masyarakat sejak awal kegiatan memungkinkan masyarakat
memiliki kesempatan belajar lebih banyak. Pada awal-awal kegiatan mungkin
“pendamping” sebagai pendamping akan lebih banyak memberikan informasi
atau penjelasan bahkan memberikan contoh langsung. Pada tahap ini
masyarakat lebih banyak belajar namun pada tahap-tahap berikutnya
“pendamping” harus mulai memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
mencoba melakukan sendiri hingga mampu atau bisa. Jika hal ini terjadi maka
di kemudian hari pada saat “pendamping” meninggalkan masyarakat tersebut,
masyarakat sudah mampu untuk melakukannya sendiri atau mandiri.
Prinsip dasar pemberdayaan untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya atau
mandiri:
a. Penyadaran
Untuk dapat maju atau melakukan sesuatu, orang harus dibangunkan
dari tidurnya. Demikian masyarakat juga harus dibangunkan dari “tidur”
keterbelakangannya, dari kehidupannya sehari-hari yang tidak memikirkan
masa depannya. Orang yang pikirannya tertidur merasa tidak mempunyai
masalah, karena mereka tidak memiliki aspirasi dan tujuan-tujuan yang harus
diperjuangkan.
Penyadaran berarti bahwa masyarakat secara keseluruhan menjadi sadar
bahwa mereka mempunyai tujuan-tujuan dan masalah masalah. Masyarakat
yang sadar juga mulai menemukan peluangpeluang dan memanfaatkannya,
menemukan sumberdaya-sumberdaya yang ada di tempat itu yang barangkali
sampai saat ini tak pernah dipikirkan orang.
Masyarakat yang sadar menjadi semakin tajam dalam mengetahui apa yang
sedang terjadi baik di dalam maupun diluar masyarakatnya. Masyarakat
menjadi mampu merumuskan kebutuhan-kebutuh dan aspirasinya.
b. Pelatihan
Pendidikan disini bukan hanya belajar membaca,menulis dan
berhitung, tetapi juga meningkatkan keterampilan-keterampilan bertani,
kerumahtanggaan, industri dan cara menggunakan pupuk. Juga belajar dari
sumber-sumber yang dapat diperoleh untuk mengetahui bagaimana memakai
jasa bank, bagaimana membuka rekening dan memperoleh pinjaman. Belajar
tidak hanya dapat dilakukan melalui sekolah, tapi juga melalui pertemuan-
pertemuan informal dan diskusi-diskusi kelompok tempat mereka
membicarakan masalah-masalah mereka.
Melalui pendidikan, kesadaran masyarakat akan terus berkembang. Perlu
ditekankan bahwa setiap orang dalam masyarakat harus mendapatkan
pendidikan, termasuk orangtua dan kaum wanita. Ide besar yang terkandung di
balik pendidikan kaum miskin adalah bahwa pengetahuan menganggarkan
kekuatan.
c. Pengorganisasian
Agar menjadi kuat dan dapat menentukan nasibnya sendiri, suatu
masyarakat tidak cukup hanya disadarkan dan dilatih keterampilan, tapi juga
harus diorganisir. Organisasi berarti bahwa segala hal dikerjakan dengan cara
yang teratur, ada pembagian tugas di antara individu-individu yang akan
bertanggungjawab terhadap pelaksanaan tugas masing-masing dan ada
kepemimpinan yang tidak hanya terdiri dari beberapa gelintir orang tapi
kepemimpinan di berbagai tingkatan.
d. Pengembangan Kekuatan
Kekuasaan berarti kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Bila
dalam suatu masyarakat tidak ada penyadaran, latihan atau organisasi, orang-
orangnya akan merasa tak berdaya dan tak berkekuatan. Mereka berkata “kami
tidak bisa, kami tidak punya kekuatan”.
e. Membangun Dinamika
Dinamika masyarakat berarti bahwa masyarakat itu sendiri yang
memutuskan dan melaksanakan program-programnya sesuai dengan rencana
yang sudah digariskan dan diputuskan sendiri. Dalam konteks ini keputusan-
keputusan sedapat mungkin harus diambil di dalam masyarakat sendiri, bukan
di luar masyarakat tersebut.
Lebih jauh lagi, keputusan-keputusan harus diambil dari dalam masyarakat
sendiri. Semakin berkurangnya kontrol dari masyarakat terhadap keputusan-
keputusan itu, semakin besarlah bahaya bahwa orang-orang tidak mengetahui
keputusan-keputusan tersebut atau bahkan keputusan-keputusan itu keliru. Hal
prinsip bahwa keputusan harus diambil sedekat mungkin dengan tempat
pelaksanaan atau sasaran.
Pendamping dalam pemberdayaan masyarakat antara lain kabupaten,
Fasilitator Kecamatan, Asisten Fasilitator Kecamatan, Fasilitator Desa, Camat,
atau nama pendamping lainnya. Pada dasarnya siapa saja yang berperan
mendampingi masyarakat dikategorikan sebagai pendamping. Secara garis
besar pendamping masyarakat memiliki tiga peran yaitu pembimbing, enabler,
dan ahli.
Sebagai pembimbing, pendamping memiliki tugas utama yaitu membantu
masyarakat untuk memutuskan/menetapkan tindakan. Di sini pendamping
perlu memberikan banyak informasi kepada masyarakat, agar masyarakat
memiliki pengetahuan yang memadai untuk dapat memilih dan menetapkan
tindakan yang dapat menyelesaikan masalah mereka. Sebagai enabler, dengan
kemampuan fasilitasinya pendamping mendorong masyarakat untuk
mengenali masalah atau kebutuhannya berikut potensinya. Mendorong
masyarakat untuk mengenali kondisinya, menjadi begitu penting karena hal ini
adalah langkah awal untuk memulai kegiatan yang berorientasi pada
peningkatan kemampuan masyarakat. Keterampilan fasilitasi dan komunikasi
sangat dibutuhkan untuk menjalankan peran ini.
Selain itu harus Membina Kerjasama dengan Pemerintah/Masyarakat
secara umum. Kerjasama dengan berbagai institusi menjadi kemutlakan bagi
sekolah dalam upaya mengembangkan sekolah secara optimal, sebab sekolah
adalah lembaga interaksi sosial yang tidak bisa lepas dari masyarakat secara
keseluruhan, khususnya masyarakat disekitarnya. Bentuk kerjasama tersebut
dapat berupa:
o Pemberian dan atau penggunaan fasilitas bersama.
o Pelaksanaan kegiatan peningkatan kemampuan siswa
o Pemanfaatan sumber daya manusia secara mutualism.
Pendekatan ini digunakan untuk menyentuh aspek-aspek kognitif dan
emotif masyarakat agar pemberdaya masyarakat memiliki keleluasaan dalam
berinterkasi sosial, menyatu secara sosial dan membagi pengalaman dengan
masyarakat nelayan. Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh penyuluh
perikanan sebagai pemberdaya masyarakat nelayan dalam mewujudkan
pendekatan sosial budaya ini adalah mengedepankan pikiran, tindakan dan
sikap sebagai berikut :
1. Mewujudkan rasa simpati, empati, dan kepekaan sosial terhadap kehidupan
masyarakat, khususnya peduli pada kesulitan-kesulitan sosial ekonomi yang
mereka hadapi setiap hari.
2. Menempatkan masyarakat sebagai subyek pemberdayaan sosial ekonomi.
3. Mudah beradaptasi secara sosial budaya dan dapat menghargai nilai-nilai
budaya yang hidup dalam masyarakat.
4. Memperluas interaksi dan pergaulan sosial dengan berbagai pihak agar
memperoleh informasi luas tentang masyarakat.
5. Menjalin komunikasi yang intensif dan terstruktur dengan tokoh-tokoh
masyarakat lokal.
6. Membangun rapor diri yang baik, dengan menghindarkan diri dari konflik
sosial atau personal dan dengan menunjukkan sikap untuk membantu
masyarakat.
Dampak positif dari Partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan
publik antara lain :
a. Masyarakat akan turut merasa bertanggung-jawab terhadap berbagai
kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat,
karena mereka merasa terlibat dalam perumusannya.
b. Mendorong masyarakat untuk ikut serta secara aktif dalam merealisasikan
berbagai kebijakan publik yang telah dirumuskan.
c. Mendorong pihak eksekutif dan legislatif daerah yaitu Pemerintah Daerah
dan DPRD untuk bersikap terbuka, dalam arti bersedia mewadahi,
memfasilitasi, mau mendengar, menampung dan merumuskan berbagai
masukan dari masyarakat dalam perumusan berbagai kebijakan publik di
daerah.
d. Berbagai rumusan kebijakan publik di daerah akan sesuai dengan aspirasi
yang berkembang di masyarakat, sehingga dalam pelaksanaannya akan
mendapat dukungan positif dari masyarakat
Perwujudan bentuk partisipasi masyarakat yang positif terhadap pemerintah
daerah, antara lain:
a. membayar pajak bumi dan bangunan,
b. menjaga kelestarian lingkungan hidup,
c. menyampaikan aspirasi dengan cara santun kepada pemerintah daerah.
d. mematuhi dan melaksanakan peraturan daerah, dan
e. melaksanakan kegiatan keamanan dan ketertiban lingkungan.
Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Kebijakan Publik
Setiap kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah
diupayakan mendapatkan dukungan masyarakat. Partisipasi masyarakat
terhadap kebijakan publik dapat dilakukan melalui empat macam, yaitu: pada
tahap proses pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, pemanfaatan hasil,
dan tahap evaluasi.
a . Partisipasi proses pembuatan kebijakan publik
Dalam proses ini, masyarakat berpartisipasi aktif maupun pasif dalam
pembuatan kebijakan publik. Dengan berpartisipasinya masyarakat dalam
perumusan kebijakan publik dapat menunjukkan adanya kekhasan daerah.
Semakin besarnya masyarakat untuk menentukan nasib sendiri, semakin besar
partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Partisipasi masyarakat dalam tahap ini adalah masyarakat memberikan
masukan atau pertimbangan baik secara lisan atau tertulis kepada pemerintah
daerah. untuk menjadikan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan
publik daerah sebelum ditetapkan. Contoh; Demonstrasi
b. Partisipasi dalam pelaksanaan
Partisipasi ini, merupakan partisipasi yang nyata dalam kehidupan
sehari-hari. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan publik atau
pembangunan, dapat dilakukan dalam kehidupan dalam kehidupan sehari-hari
melalui dengan menyumbangkan tenaga, harta, pikiran, dan lain-lain.
Contoh Partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan adalah; menjga
kebersihan lingkungan apabila terdapat kebijakan daerah menetapkan adanya
wilayah bebas sampah.
c. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil
Masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam menikmati hasil
pembangunan. Masyarakat di daerah harus dapat menikmati hasil
pembangunan secara adil dalam arti mendapatkan pembagian sesuai dengan
pengorbanan yang diberikan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Rendahnya partisipasi untuk menikmati hasil dari sebuah kebijakan
publik dapat menimbulkan sikap tidak puas bagi masyarakat. Akibat belum
meratanya pembangunan dan hasilnya disetiap daerah mendorong kepada
kelompok-kelompok tertentu untuk memisahkan diri dari wilayah NKRI.
d. Partisipasi dalam evaluasi
Partisipasi masyarakat dalam memberikan penilaian terhadap
kebijakan publik merupakan sikap dukungan yang positif terhadap
pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam evaluasi dapat dilakukan dengan
memantau hasil kebijakan publik dan pelaksanaannya.
Pada tahap ini masyarakat harus bersikap kritis terhadap apa-apa yang
sudah ditetapkan atau dilaksanakan oleh pemerintah. Tanpa adanya evaluasi
dari masyarakat bisa terjadi penyimpangan pada pelaksanaan kebijakan
publik. destruktif (menghancurkan), dan juga dengan cara yang santun.
Secara umum keterlibatan masyarakat dalam pengembangan
pariwisata adalah partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat adalah alat
yang berguna untuk memperoleh informasi mengenai keadaan, sikap, harapan,
dan kebutuhan masyarakat karena tanpa kehadiran masyarakat maka program
pengembangan pembangunan akan gagal.
Program pengembangan pariwisata yang dicanangkan oleh
pemerintah haruslah direncanakan dan diorganisasikan dengan baik sebelum
dilakukannya pengawasan berkala. Pengawasan oleh masyarakat terhadap
pengembangan kepariwisataan menentukan baik buruknya suatu wilayah
pariwisata. Keterlibatan masyarakat terhadap pengembangan pariwisata dapat
dilibatkan.
Hal ini juga dikuatkan oleh masih terbatasnya sosialisasi ke
masyarakat tantang industri pariwisata sumbar sehingga menyebabkan:
Pertama; Kurangnya kesadaran masyarakat tentang potensi daerahnya
serta timbulnya ekses negatif atas keberadaan pariwisata dimata sebagian
masyarakat. Tanpa sosialisasi masyarakat kita sesungguhnya tidak menyadari
betapa besar potensi alam kita yang apabila dioptimalkan akan mendatangkan
kesejahteraan. Malah muncul pendapat dikalangan masyarakat bahwa
pariwisata akan menimbulkan akibat negatif bagi budaya dan adat istiadat;
Kedua; tidak adanya rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat
terhadap dunia pariwisata khususnya dalam budaya pelayanan. Akibatnya
buruknya pelayanan menjadi masalah yang tidak pernah terselesaikan. Hal ini
juga disebabkan pemerintah hanya fokus kepada pembangunan fisik berupa
infrastruktur sementara melupakan pembangunan budaya masyarakat terhadap
dunia pelayanan pariwisata (hospitality).
Ketiga; Belum dimilikinya pedoman yang komprehensif dalam upaya
pengembangan strategi/program pembangunan pariwisata berbasis masyarakat
baik dilihat dari aspek kriteria, konsep model (karakteristik daerah) maupun
pedoman, mencakup: produk, market, pedoman, pelatihan SDM dan
perencanaan bisnis (statement operational procedure) menyebabkan
tersendatnya upaya peningkatan peran serta masyarakat di bidang pariwisata.
Peran kearifan lokal sangat besar, wisatwan justru akan sangat
mengahrgai kearifan lokal masyarakat dengan hukum atau sanksi adat.
Misalnya: di lereng merapi larangan menebangi hutan secara liar maka dengan
begitu secara tidak langsung dapat mencegah dampak negatif pariwisata.
Selain itu upacara-upacara khusus keraton yang tidak boleh dipertontonkan
untuk umum.
Pengaruh pariwisata terhadap perekonomian di sekitar obyek wisata
dari segi positifnya adalah dengan adanya pariwisata, banyak warga di sekitar
obyek wisata yang memanfaatkan obyek wisata untuk tempat mencari rezeki.
Pendapatan yang diperoleh sangat bergantung pada banyak tidakanya
pengunjung yang datang ke obyek wisata tersebut. Kebanykan dari warga di
sekitar obyek mancari nafkah dengan berdagang, menjual jasa, mengumpulkan
sampah, dan lain-lain. Dengan adanya pariwisata berarti membuka pula
lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sekitar obyek pariwisata sehingga
dapat membantu pemerintah dalam mengurangi pengangguran yang ada.
Dilihat dari segi negatifnya adalah warga sekitar obyek wisata sangat
tergantung pada pencarian nafkah di obyek wisata dan kadang hal itu
manimbulkan masalah. Contohnya para pedagang kawasan kaliurang tidak
mau berhenti berjualan ketika status gunung merapi di naikan menjadi awas.
Hal ini membahayakan keselamatan dirinya sendiri dan piihak-pihak yang
bertugas.
Penduduk di sekitar obyek wisata pada umunya yang memperolah
pendapatan yang tinggi adalah investor-investor yang menanamkan modalnya
disekitar obyek wisata. Masyarakat sekitar obyek wisata hanya sebagai
pedaganng, pencari barang bekas, atau pegawai di tempat investor. Investor
mendapatkan tanah di sekitar obyek wisata dari membeli pada masyarakat
sekitar obyek wisata. Masyarakat sekitar tidak memikirkan jauh kedepan dan
lebih memilih menjual tanah pada para investor yang berakibat merugikan
masyarakat sekitar dikemudian hari. Tentu saja bekerja di tempat investor atau
sekedar berdagang, maka hasil yang diperoleh pun relatif kecil untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Perekonomian negara yang cenderung aktif berpartisipasi dalam
bidang pariwisata secara normal dapat mengikuti setiap keuntungan nasional
dari masing-masing proyek baik itu besar maupun kecil yang dicapai dari
wisatawan. Negara hendaknya memikirkan hasil-hasil ekonomis kebijakan
pariwisatanya bagi industri pariwisata dengan tujuan pokok harus
mendatangkan manfaat bagi perekonomian secara keseluruhan atau
perkembangan suatu daerah tertentu yang diperlukan untuk keserasian
nasional dari pada hanya sekedar keuntungan cepat dari sesuatu proyek khusus
atau bagi unsur-unsur tertentu.
Berikut dijelaskan pula tentang kebijaksanaan peningkatan dan pengembangan
pariwisata yang pada dasarnya kebijaksanaan ini lebih banyak diarahkan dan
ditekankan dalam rangka mengambil langkah-langkah penyelenggaraan
beberapa kegiatan yang antara lain meliputi :
1. Meningkatkan pemahaman seluruh lapisan masyarakat terhadap manfaat
pariwisata dalam pembangunan.
2. Meningkatkan citra dan mutu pelayanan pariwisata nasional.
3. Meningkatkan penyelenggaraan promosi wisata pariwisata Indonesia di luar
negeri.
4. Memberi pengarahan dan petunjuk dalam pengembangan kepariwisataan
dalam ruang lingkup nasional.
5. Mengadakan koordinasi dengan departemen terkait, lembaga-lembaga
pemerintah, pemerintah daerah, pihak swasta nasional dan organisasi
masyarakat untuk menyerasikan langkah dalam perencanaan dan
pengembangan pariwisata di Indonesia.
Fungsi lain yang penting bagi negara dalam pariwisata yaitu mengawasi
standar dan kualitas jasa-jasa wisata baik melalui Organisasi Pariwisata
Nasional maupun departemen yang lain. Hal ini berkaitan erat dengan tugas
negara untuk mengamati bahwa citra pariwisata negaranya meningkat maju.
Perluasan pengawasan yang demikian adalah sebagian dari kebijakan
pariwisata nasional yang harus diungkapkan dalam ketentuan-ketentuan
hukum agar berbagai badan usaha pariwisata baik milik negara, swasta dan
asing dapat melihat secara jelas tempat mereka berada dan memperbaiki
mereka sebagaimana mestinya.
PENUTUP
Kesimpulan
Pariwisata yang menjadi devisa negara sudah seharusnya maju dan
mampu bersaing, tugas dari masyarakat seharusnya bisa dalam memenuhi
kebutuhan wisatawan dalam berwisata didaerahnya, memang proses ini tidak
bisa cepat tapi dibutuhkan kesadaran masyarakat yang masih apatis dan ego
terhadap wisatawan, dimana itu bisa berdampak buruk bagi pariwisata
Indonesia sehingga bisa menurun wisatawan domestik maupun mancanegara
yang mau berkunjung ke Indonesia.
Saran
Saran dari penulis, semoga semua sektor pariwisata bisa membatu
masyarakat dengan memberikan penyuluhan tentang sadar wisata agar bisa
menjadi masyarakat yang ramah dan peduli terhadap lingkungan dan
wisatawan. Sehingga Indonesia menjadi negara dengan kunjungan terbanyak
tiap tahunnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2004. Paradigma Wisata Budaya yang Lestari. Jakarta.
Butler, R. W. 1980. “The Concept of a Tourism Area Life Cycle of Evolution: Implications for Management of Resources.” The Canadian Geographer 24(1), p. 8.
Direktorat Jenderal Kebudayaan. 2000. Strategi Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Gamal Suwantoro, Dasar-Dasar Pariwisata, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, BPFE, Yogyakarta, 1998.
Koentjaraninggrat (Ed.).. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: 1985
Nyoman Pendit S. Wisata Konvensi, Potensi Gede Bisnis Besar, Gramedia, Jakarta, 1999.
R.G. Soekadijo, Anatomi Pariwisata, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000.
Rahardjo, Supratikno. 2004. Menelusuri Budaya Pariwisata di Indonesia. Jakarta.
http://www.budpar.go.id/asp/index.asp
http://www.kompasiana.com/rafans/woc-dan-permasalahan-di-bunaken_54fedcdda33311d97750f8f5