Upload
pausil-abu
View
440
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
1
WAHYU, NUZUL AL-QUR’AN, DAN TUJUH HURUF
Oleh: PAUSIL : 088142085*
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Mempelajari al-Quran dan Ilmu-ilmunya adalah tanggungjawab
ahlul ilmi. Karena al-Quran merupakan Kalamullah yang sempurna dan
terpelihara, di dalamnya berisi petunjuk dan pelajaran. Di antara yang
berkaitan dengan ilmu al-Quran adalah wahyu. Wahyu merupakan
pemberitahuan Allah kepada hamba-Nya yang terpilih secara rahasia dan
cepat. Wahyu berisi risalah yang membuktikan kenabian dan kerasulan
hamba pilihan Allah. Risalah yang harus disampaikan kepada umatnya
agar menemukan jalan kebenaran menuju kebahagiaan dunia dan
akhirat.Wahyu sangat erat kaitannya dengan nuzul. Karena Nuzul secara
bahasa berarti turun dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
Wahyu turun dari Allah di langit yang tinggi kepada nabi-Nya di bumi.
Nuzul al-Quran yaitu al-Quran turun dari Lauh Mahfuzh ke Baitul
Izzah secara keseluruhan pada malam yang mulia, yakni lailatul Qadr.
Kemudian secara berangsur atau bertahap (Munajjaman) kepada Nabi
saw. kurun waktu lebih kurang 23 tahun.
Keagungan al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab yang
memiliki banyak dialek. Inilah yang menakjubkan bahwa bahasa Arab
adalah bahasa yang sangat fasih, jelas, dan mudah dipahami bagi yang
mempelajarinya. Al-Quran menurut riwayat yang shahih dan banyak dari
golongan sahabat yang meriwayatkannya bahwa ia diturunkan dengan
tujuh huruf.
Dalam makalah ini penulis ingin mengkaji lebih dalam berkaitan
dengan wahyu, nuzul al-Quran, dan al-Quran diturunkan dengan tujuh
huruf.
* Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Ilmu al-Qur’an pada Prodi Pendidikan Bahasa Arab Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, disampaikan pada hari Selasa tanggal 16 September 2014 pukul 10.30 – 12.30 WIB
2
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan makalah ini yaitu:
1. Pengertian wahyu, cara penyampaiannya, kategori wujud wahyu, dan
urgensi mempelajarinya
2. Makna Nuzul al-Quran, tahap turunnya al-Quran, ayat pertama dan
terakhir diturunkan, dan pengulangan pada proses turunnya ayat
3. Pengertian tujuh huruf, dalil diturunkannya al-Quran dengan tujuh
huruf, buktinya dalam al-Quran, pendapat ulama, dan akhir dari al-
Quran tujuh huruf
C. TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini, yaitu:
1. Mengetahui dan memahami pengertian wahyu, cara penyampaiannya,
kategori wujud wahyu, dan urgensi mempelajarinya
2. Mengetahui dan memahami makna Nuzul al-Quran, tahap turunnya al-
Quran, ayat pertama dan terakhir diturunkan, dan pengulangan pada
proses turunnya ayat
3. Mengetahui dan memahami pengertian tujuh huruf, dalil
diturunkannya al-Quran dengan tujuh huruf, buktinya dalam al-Quran,
pendapat ulama, dan akhir dari al-Quran tujuh huruf
II. PEMBAHASAN
A. WAHYU
1. Makna Wahyu Secara Bahasa
Secara etimologi wahyu adalah “al-isharah al-sari’ah” (isyarat
yang cepat), “al-kitabah” (tulisan), “al-maktub” (tertulis), “al-risalah”
(pesan), “al-ilham” (ilham), “al-kalam al-khafi” (perkataan yang bersifat
rahasia) dan setiap sesuatu yang disampaikan kepada orang lain.1
1 Majduddin Muhammad bin Ya’kub al-Fairuzabady, al-Qamus al-Muhith, (Beirut:
Mu’assasah ar-Risalah, 2005), Cet. VIII, hal. 1342
3
Kata wahyu dalam al-Qur’an terdapat sebanyak 78 kali, yaitu 6
kali dalam bentuk kata benda (isim) dan 72 kali dalam bentu kata kerja
(fi’l).2 Kata wahyu memiliki beberapa arti, yaitu sebagai berikut:
a. Ilham naluriah bagi manusia (al-Ilham al-Gharizi li al-insan atau al-
Ilhamu al-Fithri) yaitu yang disampaikan oleh Allah kepada manusia
yang sehat fitrahnya dan bersih jiwanya, seperti ilham kepada ibu
Nabi Musa alaihissalam. Firman Allah:
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari Para rasul.” (QS. al-Qashash: 7)
b. Ilham naluriah bagi binatang (Al-Ilham al-Gharizi li al-Hayawan),
seperti wahyu kepada lebah. Sebagaimana firman Allah dalam al-
Qur’an surat an-Nahl ayat 68:
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",” (QS. An-Nahl: 68)
c. Isyarat yang cepat yakni menyampaikan informasi atau pesan dalam
bentuk lambang atau simbol sehingga penerima bisa memahami
informasi dengan cepat. Sebagaimana Nabi Zakaria mengisyaratkan
kepada kaumnya dalam al-Quran:
2 Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahharasy li Alfazh al-Qur’an al-
Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Cet. II, hal. 746-747
4
“Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” (QS. Maryam: 11)
d. Bisikan dan tipu daya setan untuk menyesatkan manusia,
sebagaimana firman Allah ta’ala:
...
“... Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. al-An’am: 121)
“Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. al-An’am: 121)
e. Perintah Allah kepada para malaikat untuk melaksanakannya.3
3 Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr
al-Hadits, 1990), hal. 32-33
5
“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman"...” (QS. Al-Anfal: 12)
Tulisan (al-Kitabah) atau tertulis (al-Maktub) maksudnya ialah
risalah yang disampaikan dari seseorang kepada yang lainnya.4 Yaitu
pesan (ar-risalah) yang disampaikan oleh Allah kepada para nabi dan
rasul-Nya berupa wahyu.
Semua makna tersebut tercakup dalam makna “Menyampaikan
informasi secara rahasia, cepat, dan khusus kepada orang yang diarahkan
kepadanya dan dirahasiakan kepada yang lain. Inilah makna asal dari
wahyu, yakni apa yang diturunkan dan disampaikan oleh Allah kepada
para Nabi dan Rasulnya berupa berita-berita gaib dan syariat. Sebagian
mereka ada yang diberi kitab dan ada yang tidak diberi kitab. 5
2. Pengertian Wahyu, dan bedanya dengan instink, gharizah, dan ilham
Secara terminologi, Nuruddin ‘Atar mendefinisikan wahyu adalah
pemberitahuan Allah kepada hamba-Nya yang terpilih secara rahasia dan
cepat.6 Al-Zarqani mendefinisikan bahwa wahyu adalah Allah
memberitahukan kepada hamba pilihan-Nya setiap keinginan yang
muncul dari-Nya berupa hidayah dan ilmu, tetapi dengan cara rahasia
yang lain dari kebiasaan manusia.7 Menurut Muhammad Ra’afat Sa’id,
Allah mewahyukan kepada nabi alaihissalam berupa hukum syari’at dan
sebagainya. Maka yang mewahyukan (al-Muhiy) adalah Allah, yang
menerima wahyu (al-Muhaa ilaih) adalah seorang nabi di antara nabi-
nabi Allah, dan yang diwahyukan (al-Muhaa bih) adalah hukum syari’at
berupa perintah, larangan, berita-berita masa lalu, sekarang, dan akan
4 Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), hal.
672 5 Muhammad Rasyid Ridha. Al-Wahyu al-Muhammady, (Beirut: Mu’assasah ‘Izz ad-Din,
1985), hal. 81-82 6 Nuruddin ‘Atar, ‘Ulum al-Qur’an al-Karim, (Damaskus: Mathba’ah al-Shabl, 1993),
hal. 15 7 Muhammad Abdul Azhim Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al’Qur’an, (Beirut:
Dar al-Kitab al-Arabi, 1990), Juz I, hal. 55
6
datang, membangun prinsip-prinsip aqidah tauhid yang murni,
membentuk akhlak yang mulia, ibadah, dan mu’amalah.8
Berkaitan dengan kitab-kitab samawy wahyu adalah risalah yang
disampaikan oleh Allah kepada nabi dan rasul-Nya. Risalah tersebut
berisi perintah, larangan, hukum, ibadah, mu’amalah, dan lainnya. Bagi
nabi wahyu hanya untuk dirinya, sedangkan rasul wahyu untuk dirinya
dan disampaikan kepada umatnya.
Menurut Ibnu Manzur “Ilham ialah bahwa Allah menanamkan di
dalam jiwa seseorang sesuatu yang dapat mendorongnya untuk
melakukan atau meninggalkan sesuatu, dan ia termasuk jenis wahyu yang
dengannya Allah mengkhususkan siapa saja yang dikehendaki-Nya
diantara hamba-hamba-Nya.”9 Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, ilham
adalah menuangkan suatu pengetahuan ke dalam jiwa yang meminta
supaya dikerjakan oleh yang menerimanya dengan tidak lebih dahulu
dilakukan ijtihad dan menyelidiki hujjah-hujjah agama.10
Perbedaan antara keduanya ialah bahwa ilham adalah perasaan
jiwa yang datang kepada seseorang yang dipilih oleh Allah, sehingga
dengannya seseorang itu terdorong untuk melakukan suatu perbuatan atau
meninggalkannya. Namun orang tersebut tidak mengetahui secara pasti
dari mana datangnya perasaan tersebut. Perasaan itu hamper mirip dengan
perasaan haus, lapar, gundah, senang, dan lainnya. Sedangkan wahyu
adalah suatu pengetahuan yang datang kepada hamba pilihan Allah, dan
ia meyakini bahwa itu adalah wahyu yang datang dari Allah swt.
3. Cara Penyampaian Wahyu Allah kepada Nabi dan Rasul
Nabi Muhammad menerima wahyu dengan cara sebagai berikut:
a. Melalui mimpi yang benar ketika tidur
8 Muhammad Ra’afat Sa’id, Tarekh Nuzul al-Qur’an al-Karim, (al-Jami’ah al-
Munawwifiyyah, 2001), hal. 11 9 Ibnu Manzur al-Afriqiy al-Mishriy, Lisan al-Arab, (Beirut: Daru Shadir, 1879), Jilid
XII, hal. 555 10 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir,
(Semarang: PT Pustaka Rezki Putra, 2000) Cet. III, hal. 16-17
7
Wahyu melalui mimpi yang benar, bisa saja Allah langsung
bertemu dalam mimpi tersebut ataupun Allah mengutus Malaikat.
Sebagaimana terdapat dalam hadis dari ‘Aisyah:
أول ما بدىء به رسول اهللا صلى اهللا عليه و سلم من الوحي الرؤيا الصاحلة
.… ىف النوم“Permulaan wahyu yang pertama kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam mimpi yang benar ketika tidur...”
b. Jibril mendatangi Rasulullah dengan cara rahasia sehingga tidak bisa
dilihat akan tetapi tampak pengaruh perubahan sikap. Jibril
mewahyukan ke hati Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
c. Jibril mendatangi Rasulullah menyerupai seorang laki-laki dan bisa
dilihat dan didengar oleh orang-orang yang hadir, seperti ketika Jibril
bertanya kepada Rasulullah tentang Iman, Islam, dan Ihsan.
d. Jibril mendatangi Rasulullah dalam keadaan ghaib, wahyu diturunkan
kepada Nabi seperti bunyi lonceng. Keadaan ini yang paling berat bagi
Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
e. Jibril mendatangi Rasulullah dalam bentuk yang asli. Hal ini terjadi
dua kali, yaitu di bumi atau di gua hira’ dan satu kali di langit ketika
beliau Mi’raj ke langit ke tujuh.
f. Allah berfirman di balik tabir, seperti yang terjadi pada diri Rasulullah
ketika malam mi’raj setelah menetapkan kewajibah shalat lima waktu.
g. Allah mewahyukan secara langsung tanpa perantara malaikat dan tidak
pula dari balik tabir, seperti ketika malam Mi’raj yakni di atas langit
ketika menetapkan kewajiban shalat dan melipatkgandakan kebaikan
menjadi sepuluh kali lipat.11
Empat cara dengan mengeluarkan yang pertama adalah satu
kesatuan, yang keenam, dan ketujuh sebagaimana terdapat dalam
firman Allah:
11 Nuruddin ‘Atar, Op. Cit. hal 16-19
8
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Syura: 51)
4. Kategori Wujud Wahyu kepada Nabi Muhammad saw.
Imam Al-Juwaini sebagaimana diungkapkan oleh Imam As-
Suyuthy mengatakan bahwa, Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. itu terbagi kepada dua, yaitu :
a. Allah berfirman kepada Jibril : “Katakanlah kepada seseorang Nabi
(Muhammad saw.) yang engkau sengaja dikirim kepadanya,
bahwasanya Allah berfirman begini atau menyuruh begitu”. Jibrilpun
paham makna yang disampaikan Tuhan kepadanya, kemudian ia turun
dan mengatakan hal itu kepada Nabi tersebut apa-apa yang dikatakan
Tuhan kepadanya. Akan tetapi ungkapan yang dipergunakan Jibril
bukan merupakan ungkapan Allah sendiri, tetapi maknanya saja yang
dipahaminya dari Allah, sedangkan susunan bahasanya adalah dari
Jibril sendiri.
b. Allah berfirman kepada Jibril, “Bacakanlah kitab ini kepada seseorang
Nabi”. Kemudian Jibrilpun turun menyampaikan pesan itu tanpa
mengubah sedikitpun kalimat demi kalimat yang telah difirmankan
Allah kepadanya. 12
Bagian yang kedua merupakan wahyu Allah yang berupa al-
Quran. Sedangkan bagian yang pertama adalah as-Sunnah, sebab pada
waktu menurunkan wahyu yang berupa as-Sunnah juga sama caranya
dengan menurunkan al-Quran, hanya as-Sunnah maknanya saja yang
12 Jalaluddin al-Suyuthy, Op. Cit., hal. 61
9
diterima dari Allah, sedangkan redaksinya Jibril sendiri yang
menyusunnya.
Dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu yang turunkan kepada
nabi Muhammad saw. adalah wahyu. Al-Qur’an adalah wahyu yakni
lafazh dan maknanya dari Allah dan penyandarannya kepada Allah. al-
Hadits al-Qudsiy adalah wahyu, maknya dari Allah, lafaznya dari Nabi
saw. dan penyandarannya kepada Allah. Sedangkan Al-Hadits an-
Nabawy juga wahyu yang mana maknanya dari Allah, lafazhnya dari
Nabi dan penyandarannya kepada Nabi saw.
5. Urgensi Membahas Wahyu
Pengetahuan tentang wahyu dan segala sesuatu yang berkaitan
dengannya sangat penting untuk dipelajari. Kepentingan ini hakikatnya
tidak hanya untuk kalangan ahli ilmu saja. Namun secara umum untuk
masyarakat luas yang memahami al-Quran sebagai pedoman hidupnya. Di
antara urgensi tersebut ialah:
a. Wahyu adalah bukti kenabian dan kerasulan, dan kenabian itu telah
tertutup dengan diutusnya Muhammad saw. sebagai penutup para nabi
dan rasul.
b. Wahyu tidak lagi diturunkan setelah nabi Muhammad wafat. Oleh
karena itu, apabila ada setelah Nabi Muhammad orang yang
mengatakan dirinya mendapat wahyu, maka dia adalah pendusta.
c. Memahami bahwa wahyu itu tidak hanya al-Quran, tetapi segala
sesuatu yang diberitahukan kepada nabi dan rasul adalah wahyu.
Firman Allah ta’ala:
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. an-Najm: 3-4)
Al-Hafizh Ibn Katsir mengatakan: Beliau saw hanya
mengatakan apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya dan
10
menyampaikannya kepada umat secara sempurna tanpa ada
penambahan dan pengurangan.13 Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu
Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Aku tidak berkata melainkan
kebenaran.”
B. NUZUL AL-QUR”AN
1. Makna Nuzul, dan tanzil, inzal, dalam al-Quran, perbedaan dan
kesamaan
Kata nuzul adalah mashdar dari kata nazala – yanzilu – nuzulan,
yang berarti turun dari yang tinggi ke yang rendah.14 Kata nazala dan
turunannya banyak terdapat dalam al-Quran dalam bentuk yang beragam,
mencapai 44 turunan dalam 295 ayat.15 Sedangkan tanzil dan inzal adalah
mashdar dari kata nazzala dan anzala yang merupakan turunan dari kata
nazala yang ditambah satu huruf.
Perbedaan antara tanzil dan inzal dalam menggambarkan al-Quran
dan malaikat ialah bahwa tanzil bersifat khusus pada satu tempat yang
mana al-Quran diturunkan secara terpisah dari yang lainnya dan sekaligus,
sedangkan inzal berarti umum.16 Yaitu bahwa al-Qur’an diturunkan secara
berangsur-angsur dan terkait dengan waktu dan keadaan. Menurut al-
Jurjaniy, perbedaan antara Inzal dan tanzil adalah bahwa inzal digunakan
untuk (turunnya al-Quran) sekaligus sedangkan tanzil untuk berangsur-
angsur.17
Kata Inzal atau anzala digunakan dalam al-Quran untuk
menunjukkan bahwa al-Quran duturunkan sekaligus dari lauh mahfizh ke
baitul izza pada malam lailatul qadr. Sebagaimana firman Allah ta’alaa:
13 Al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir Jilid VII, terjemahan Abdul Ghofar dan Abu
Ihsan al-Atsari, (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2004), hal. 568 14 Luis Ma’luf, Op. Cit. hal 802 15 Muhammad bin Abdurrahman al-Syayi’, Nuzul al-Qur’an al-Karim, (Riyadh:
Maktabah al-Malk, 1997), hal. 2 16 Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, (Beirut:
Maktabah Nazar Mushthafa al-Baz), Juz I, hal. 631 17 Muhammad bin Abdurrahman al-Syayi’, Op. Cit. hal. 9
11
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. al-Qadr: 1)
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. al-Dukhan: 3)
Sedangkan kata tanzil atau nazzala digunakan untuk menunjukkan
bahwa al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur, firman Allah:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr: 9)
Berkaitan dengan kitab-kitab Allah yang lainnya, kata Nazzal
berarti bahwa al-Quran tidak seperti kitab-kitab samawy lainnya. Al-Quran
sendiri dengan tegas menjelaskan bahwa al-Quran tidak diturunkan seperti
Taurat, Inji, atau Zabur yang diturunkan sekaligus.18 Allah berfirman:
“Dia menurunkan Al kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil,” (QS. Ali Imran: 3)
2. Pengertian Nuzul Al-Qur’an dan kaitan dengan makna wahyu
Al-Zarqani menjelaskan bahwa kata nuzul mempunyai makna dasar
(perpindahan sesuatu dari atas ke bawah) atau (suatu gerak dari atas ke
bawah). Menurutnya, dua batasan tersebut memang tidak layak diberikan
untuk maksud diturunkannya al-Quran oleh Allah, karena keduanya hanya
18 MF. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi al-Quran, (Malang: UIN-Malang Press, 2008),
hal7
12
lebih tepat dan lazim dipergunakan dalam hal yang berkenaan dengan
tempat dan benda atau materi yang mempunyai berat jenis tertentu.
Sedangkan al-Quran bukan semacam benda yang memerlukan
tempat perpindahan dari atas ke bawah. Tapi yang benar adalah memahami
bahwa kata nuzul itu bersfat majazi, yakni pengertian nuzul Al-
Qur’an bukan tergambar dalam wujud perpindahannya al-Quran, atau al-
Quran itu turun dari atas ke bawah, tetapi harus dipahami sebagai
pengetahuan bahwa al-Quran telah diberitakan oleh Allah swt. kepada
penghuni langit dan bumi. Di sini terkandung maksud bahwa nuzul harus di
ta’wilkan dengan kata i’lam yang berarti pemberitahuan atau pengajaran.
Maka nuzul Al Qur’an berarti proses pemberitaan atau penyampaian ajaran
Al Qur’an yang terkandung di dalamnya.19
Pendapat ini berkenaan dengan pemahaman wahyu bahwa Allah
menyampaikan risalah kepada nabi-Nya dengan cara rahasia dan cepat.
Sedangkan Nuzul al-Quran yakni turunnya al-Quran dari Lauh Mahfuzh ke
Baitul Izzah secara keseluruhan dan kepada Nabi Muhammad saw. secara
berangsur-angsur.
3. Pengertian Lauh Mahfuz/Imam Mubin, dan Baitul Izzah serta Malaikat
Jibril dalam kaitan pewahyuan atau nuzul al-Quran
Lauh mahfuzh adalah suatu tempat yang merupakan catatan tentang
segala ketentuan dan kepastian Allah. Sebagaimana firman Allah:
“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah al-Quran yang mulia, Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.“ (QS. al-Buruj : 21-22)
Juga diisyaratkan oleh firman Allah Swt :
“Sesungguhnya al-Quran Ini adalah bacaan yang sangat mulia, Pada Kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin.“ (QS. al-Waqi‘ah : 77-80)
19 Muhammad Abdul Azhim al-Zarqaniy, Op. Cit. 37-38
13
Sedangkan Baitul Izzah terdapat di langit dunia, yakni langit yang
paling rendah, di sana tempat beredarnya bintang-bintang. Imam al-Hakim,
al-Baihaqy, dan yang lainnya meriwayatkan dari Sa’id ibn Jubair dari Ibn
Abbas, katanya:
“Al-Quran diturunkan satu kali secara keseluruhan ke langit dunia, di tempat beredarnya bintang-bintang. Allah juga menurunkannya kepada Rasul-Nya saw. sebagian demi sebagian.”
Dari Baitul Izzah malaikat Jibril as. menyampaikannya kepada Nabi
saw. secara berangsur-angsur lebih kurang selama 23 tahun. Sesuai dengan
situasi dan kondisi yang dialami oleh Nabi saw.
4. Nuzul Quran pada malam lailatu Qadar, secara bertahap, dan dengan
bahasa Arab
Para ulama berbeda pendapat tentang tahap penurunan al-Quran.
Dalam hal ini ada tiga pandangan ulama yang berbeda yaitu:
a. Al-Quran diturunkan ke langit dunia pada malam al-Qadar sekaligus,
yakni lengkap dari awal hingga akhirnya. Kemudian diturunkan
berangsur-angsur sesudah itu dalam tempo 20 tahun atau 23 tahun atau
25 tahun, berdasar kepada perselisihan yang terjadi tentang berapa
lama Nabi bermukim di Mekkah sesudah beliau diangkat menjadi
Rasul.
b. Al-Quran ke langit dunia dalam dua puluh kali lailatul Qadar dalam
20 tahun, atau dalam 23 kali lailatul Qadar dalam 23 tahun, atau
dalam 25 kali lailatul Qadar dalam 25 tahun. Pada tiap-tiap malam
diturunkan ke langit dunia sekedar yang hendak diturunkan dalam
tahun itu kepada Muhammad saw. dengan cara berangsur-angsur.
c. Permulaan al-Quran turunnya ialah di malam al-Qadar. Kemudian
diturunkan sesudah itu dengan berangsur-angsur dalam berbagai
waktu.20
20 Ibid., hal. 41-42
14
Berdasarkan uraian di atas pendapat pertama adalah pendapat yang
lebih kuat. Karena al-Quran diturunkan sekaligus dari Lauh Mahfuzh ke
Baitul Izzah pada malam Qadar dan secara berangsur-angsur kepada Nabi
Muhammad saw. selama 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun, tergantung
pendapat ulama tentang berapa lama Rasulullah berdakwah di Mekkah.
Bahasa Arab adalah bahasa yang paling fasih, paling jelas, paling
luas, dan paling tepat untuk dapat menyampaikan makna yang ada di dalam
jiwa. Oleh karena itu, Al-Quran kitab yang paling mulia diturunkan dengan
bahasa yang paling mulia, kepada Rasul yang paling mulia, melalui utusan
Malaikat yang paling mulia, di bumi yang mulia, dan pada malam yang
paling mulia yaitu malam lailatul Qadar bulan Ramadhan. Oleh karena itu,
al-Qur’an sempurna dari segala aspek, pedoman dan petunjuk bagi
manusia. Diturunkan al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar mudah untuk
dipahami, Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2)
Yakni dengan bahasa Arab yang jelas, Allah swt berfirman:
“Dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. asy-Syu’araa’: 195)
5. Ayat-ayat pertama dan terakhir diturunkan
Berbeda pendapat ulama mengenai ayat yang pertama turun kepada
Nabi Muhammad saw. Menurut Manna’ al-Qaththan ada empat pendapat
yang termasyhur, yaitu:
a. Pendapat yang paling shahih, bahwa ayat yang pertama diturunkan
adalah firman Allah surat al-‘Alaq ayat 1-5. Dalilnya pertama, hadits
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya dari
‘Aisyah:
“Wahyu yang mula-mula terjadi pada Rasulullah saw. adalah mimpi yang benar. Beliau tidak pernah bermimpi kecuali dalam keadaan seperti terang di pagi hari. Kemudian beliau mulai senang menyepi. Beliau menyepi di gua Hira’. Beliau bertahannuts, yaitu beribadah di
15
dalamnya beberapa malam sebelum kembali kepada keluarga dan membawa bekal untuk keperluan. Kemudian beliau kembali kepada Khadijah, lalu membawa bekal untuk keperluan yang sama, sampai datang kebenaran kepada belaiu, saat berada di gua Hira’. Lalu datang kepada beliau malaikat (Jibril) seraya berakata: “Bacalah!”, “Saya (Nabi Muhammad) menjawab: Aku tak dapat membaca, lalu ia memegang dan merangkulku, sampai menimbulkan kepayahan pada diriku, kemudian ia melepaskanku. Lalu ia berkata: “Bacalah!”. Aku menjawab: “Aku tak dapat membaca”. Lalu ia memegangku dan merangkulku untuk kedua kalinya, sampai menimbulkan kepayahan pada diriku, kemudian melepaskanku. Lalu ia berkata lagi: “Bacalah!”. Aku menjawab: “Aku tak dapat membaca”. Lalu ia memegangku dan merangkulku untuk ketiga kalinya, kemudian melepaskanku. Lalu berkata: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakanmu, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah (al-‘Alaq: 1-3). Sebagian riwayat menyebutkan sampai “Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘Alaq: 5) (Sampai akhir hadits yang memang sangat panjang).
Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam
Mustadrak dan al-Baihaqiy dalam al-Dala’il, juga dari ‘Aisyah,
berkata:
“Surat yang pertama diturunkan dari al-Quran adalah “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakanmu (al-‘Alaq: 1)
b. Pendapat yang mengatakan bahwa ayat yang pertama diturunkan
adalah surat al-Muddatstsir. Dalilnya sabda Rasulullah saw.:
“Beberapa hari aku berada di gua Hira’. Lalu sewaktu aku selesai, aku turun. Lalu hendak memasuki tengah lembah. “Riwayat lain menyebutkan bahwa beliau menambahkan: “Kemudian aku dipanggil. Lalu aku melihat ke depan, ke belakang, ke kanan, dan ke kiri. Kemudian aku melihat ke langit. Tiba-tiba, ia (Jibril), riwayat lain menambahkan: “Duduk di kursi, antara langit dan bumi”. Kemudian aku merasa gemetar, lalu aku mendatangi Khadijah. Aku memerintahkan ia agar menyelimutiku. Lalu Allah menurunkan, “Hai orang yang berselimut, berdirilah lalu berilah peringatan.” (al-Muddatstsir: 1-2)
Namun dalam riwayat ini mengandung kemungkinan
menceritakan ayat yang diturunkan pertama kali sesudah terjadi
kekosongan turunnya wahyu untuk beberapa lama. Inilah yang tampak
16
jelas dari riwayat lain yang juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim, dari Abu Salamah dari Jabir: “Sewaktu aku berjalan,
aku mendengar suara dari langit. Lalu aku melihat ke langit. Tiba-tiba,
Malaikat yang mendatangiku di gua Hira’ duduk di atas kursi antara
langit dan bumi. Lalu tubuhku terasa berat, sehingga aku tersungkur.
Aku mendatangi keluarga, lalu berkata: Selimutilah aku, selimutilah
aku. Lalu Allah swt. menurunkan:
، ، ، ،
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah! dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah,” (al-Muddatstsir: 1-5)
c. Pendapat bahwa ayat yang pertama diturunkan adalah surat al-Fatihah.
Mereka mengemukakan pendapat ini berdalil dengan riwayat al-
Baihaqy di dalam al-Dala’il dengan sanadnya sendiri dari Maisarah
Umar ibn Syurahbil, bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada
Khadijah:
“Sesungguhnya aku ketika menyepi sendirian, aku mendengar panggilan. Demi Allah, sungguh aku mengkhawatirkan diriku, bahwa hal itu merupakan sesuatu (yang tidak baik).”
Khadijah menjawab: Hanya Allah-lah tempat berlindung. Tak
mungkin Allah melakukan sesuatu (yang buruk) kepadamu. Karena
engkau benar-benar memberikan amanat, menyambung tali
persaudaraan, dan jujur dalam berbicara. Kemudian sewaktu aBu
Bakar masuk, Khadijah menceritakan peristiwa itu kepadanya dan
berkata: Pergilah bersama Muhammad kepada Waraqah. Lalu
keduanya pergi ke rumah Waraqah dan menceritakan kejadian itu
kepadanya. Nabi saw. berkata: “Ketika aku menyepi sendirian, aku
mendengar panggilan: Hai Muhammad, hai Muhammad. Lalu aku
pergi ke arah berhembusnya angin.” Waraqah berkata: Jangan begitu
17
seharusnya, tetaplah di tempat sampai engkau mendengar apa yang
dikatakannya. Lalu bawalah dan beritahukan kepadaku. Kemudian
sewaktu Nabi Muhammad saw. menyepi, kembali ada yang
memanggil: Hai Muhammad, katakanlah: “Dengan menyebut nama
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi
Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-Fatihah: 1-2), sampai ayat terakhir.
Namun riwayat ini tidak bisa dijadikan dalil bahwa surat al-
Fatihah merupakan yang pertama kali turun. Karena dalam riwayat
tersebut surat al-Fatihah itu diturunkan setelah Nabi Muhammad saw.
menemui Waraqah bin an-Naufal. Sedangkan sebelum ke rumah
Waraqah Nabi telah menerima wahyu. Bisa jadi al-Fatihah turun
setelah surat al-‘Alaq ayat 1-5. Sanad riwayat ini menurut al-Zarqany
gugur atau terputus salah seorang sahabat. Sehingga hadis ini mursal,
dan tidak kuat untuk menasikh dalil yang marfu’.
d. Pendapat bahwa ayat yang pertama turun adalah
“Bismillahirrahmanirrahim”.
Pendapat yang mengeluarkan pendapat ini berdalil dengan
riwayat yang ditakhrij oleh al-Wahidiy dengan sanadnya sendiri dari
Ikrimah dan al-Hasan, keduanya berkata: Yang mula-mula diturunkan
adalah : Bismillahirrahmanirrahim dan awal surat al-‘Alaq.
Penggunaan dalil ini tertolak dengan dua alasan: pertama, hadits itu
mursal, seperti hadis sebelumnya, sehingga tidak bisa menggoyahkan
yang marfu’. Kedua, bahwa Basmallah biasanya memang turun
mengawali setiap surat, kecuali surat yang dikecualikan. Dengan
demikian posisinya merupakan sesuatu yang turun bersama surat al-
‘Alaq yang diturunkan, sehingga tidak tepat menyebutnya sebagai
yang pertama diturunkan secara mandiri.21
Adapun surat dan ayat yang terakhir diturunkan kepada Rasulullah
saw., ulama juga berbeda pendapat. Namun semuanya perpegang kepada
21 Muhammad Abdul Azhim al-Zarqaniy, Op. Cit., hal. 37-38
18
atsar sahabat, karena memang tidak ada hadits yang marfu’ mengenai hal
ini.
Pertama, mengatakan bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah
firman Allah swt: “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. (QS. Al-Baqarah: 281)
Riwayat yang mengatakan demikian adalah yang ditakhrij oleh
Imam Nasa’iy melalui Ikrimah dari Ibn Abbas. Setelah ayat ini turun nabi
saw. masih hidup selama sembilan malam.
Kedua, ayat yang terakhir diturunkan adalah firman Allah swt.
surat al-Baqarah ayat 278:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 278)
Riwayat ini ditakhrij oleh Imam al-Bukhari dari Ibn Abbas dan al-
Baihaqiy dari Ibn Umar.
Ketiga, ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat tentang utang
piutang, yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 282, yakni sampai pada
Firman-Nya:
“...dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282) Ayat ini merupakan ayat yang terpanjang, riwayatnya ditakhrij
oleh Ibn Jarir dari Sa’id ibn al-Musayyab.
Keempat, ayat yang terakhir diturunkan adalah firman Allah swt.
surat Ali Imran:
19
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." (QS. Ali Imran: 195)
Riwayat ini ditakhrij oleh Ibn Marduyah melalui Mujahid dari
Ummu Salamah.
Kelima, bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah:
“Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa: 93)
Riwayat ini ditakhrij oleh Imam Bukhari dan yang lainnya dari Ibn
Abbas, katanya: ayat ini merupakan ayat terakhir dan tidak dinasakh oleh
sesuatu pun.
Keenam, ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat:
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah.” (QS. An-Nisa: 176)
20
Pendapat ini berpegang pada riwayat Imam Bukhari dan Imam
Muslim dari al-Barra’ Ibn Azib, bahwa ia berkata: ayat yang terakhir
diturunkan adalah surat an-Nisa’ ayat 176.
Ketujuh, bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah pada surat al-
Ma’idah. Pendapat ini berhujjah pada riwayat Imam Tirmidziy dan al-
Hakim dari ‘Aisyah ra.
Kedelapan, bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah akhir surat
“Bara’ah”, diriwayatkan oleh al-Hakim dan Ibn Marduyah dari Ubay ibn
Ka’ab.
Kesembilan, bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat pada
surat al-Kahfi, yaitu firman Allah swt.:
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".” (QS. Al-Kahfi: 110)
Riwayat ini ditakhrij oleh Ibn Jarir dari Mu’awiyyah ibn Abi
Sufyan.
Kesepuluh, bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah pada surat:
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,” (QS. An-Nashr: 1)
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibn Abbas. Akan tetapi surat
ini merupakan yang terakhir turun mengenai isyarat akan kewafatan Nabi
saw.
Kesebelas, ayat yang terakhir turun adalah firman Allah swt.:
21
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3)
Pendapat ini berhujjah karena ayat ini menerangkan bahwa telah
sempurnanya agama dan cukupnya nikmat Allah, dengan sempurnanya
agama berarti sempuna juga hukum syari’at. Namun ayat ini diturunkan
ketika hari ‘Arafah haji Wada’ tahun ke 10 H. Sedangkan Rasulullah wafat
setelah ayat itu turun kira-kira 80 malam.22
Dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling kuat tentang ayat
yang terakhir diturunkan adalah menurut pendapat yang pertama. Karena
dalam riwayat tersebut ditegaskan dengan lamanya Rasulullah hidup
setelah ayat itu turun, yakni 9 malam. Sedangkan dalam riwayat-riwayat
yang lain tidak disebutkan, kecuali riwayat yang terakhir. Namun terlalu
lama disbanding pendapat yang pertama, yakni 80 malam.
6. Pengulangan pada proses turunnya ayat atau surat
Pengulangan (al-tikrar) turunnya ayat atau surat dalam al-Quran
adalah untuk pengagungan dan peringatan. Pengulangan pada ayat atau
surat yaitu diturunkan secara berulang, seperti surat al-Fatihah diturunkan
dua kali. Satu kali di Mekkah, selainnya di Madinah. 23
C. TUJUH HURUF (AHRUF SAB’AH)
1. Pengertian tujuh huruf (Sab’ah Ahruf)
Kata sab’ah atau tujuh di sini dipahami sebagian ulama dengan
makna jumlah bilangan yang sebenarnya dan merupakan batas akhir.
Sedangkan Kata al-ahruf adalah bentuk jamak dari kata huruf. Lafal ahruf
22 Muhammad Ra’afat Sa’id, Op. Cit., hal. 51-54 23 Badaruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an,
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1971), hal. 29
22
ini memiliki banyak arti sesuai dengan konteks penggunaanya. Bisa berarti
tepi sesuatu, puncak, satu huruf ejaan, bahasa, wajh (bentuk) dan
sebagainya. Dari pengertian ini dapat kita ketahui bahwa makna tujuh
huruf ini masih sangat samar, oleh karena itu para ulama pun saling
memberikan pendapatnya.24
Berdasarkan kriteria kelonggaran daan kemudahan, al-Quran
diturunkan dengan tujuh huruf untuk kelonggaran dan kemudahan bagi
pembaca untuk membacanya berdasarkan tujuh wajah, membacanya
dengan huruf mana saja yang ia inginkan.25
2. Landasan/dalil hadits tentang turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf
(Ahruf Saba’ah)
Terdapat sejumlah riwayat yang secara jelas menyebutkan bahwa
al-Quran diturunkan dalam tujuh huruf (sab’ah ahruf). Riwayatnya
dinyatakan kuat dan bersumber dari para sahabat terkemuka yang
jumlahnya cukup banyak, bahkan jumlahnya sekitar 40 orang.26 Di
antaranya Ubai bin Ka’ab, Anas bin Malik Hudzaifah bin Yaman, Abdullah
bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, dan lain-lain. Berikut riwayat yang
paling masyhur tentang tujuh huruf adalah:
: سّلم قال رسول اهللا صّلى اهللا عليه و : عن ابن عّباس رضي اهللا عنهما انّه قال
اقرأين جربيل على حرف فراجعته فلم أزل أستزيده ويزيدىن حّىت إنتهى إىل سبعة
أحرفٍ
“Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Jibril membacakan kepadaku denagn satu huruf, kemudian aku mengulanginya (setelah itu) senantiasa aku meminta tambah dan ia pun menambahiku samapai dengan tujuh huruf.” (HR. Bukhari dan Muslim)
24 Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qura’an I, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hal.
153 25 Al-Zarqany, Op. Cit., hal. 164 26 Jalaluddin as-Suyuthy, Op. Cit., hal. 105
23
على سبعة أحرف أنزلإّن هذا القرأن : ّمث قال رسول اهللا صّلى اهللا عليه وسّلم
فا قرأ وا ما تيّسر منه“Kemudian bersabda Rasulullah saw.: Sesungguhnya Al-Quran itu diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah yang paling mudah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits kedua ini berasal dari Umar bin Khattab yang membawa
Hisyam bin Hakim ke hadapan Rasulullah karena membaca surat al-Furqan
dengan cara baca yang tidak pernah diajarkan Rasulullah kepadanya.
Hisyam pun memperdengarkan bacaanya kepada Rasulullah, beliau
berkata: “demikianlah ia diturunkan” dan seterusnya menyambung dengan
sabdanya di atas.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa turunnya al-Quran dalam tujuh huruf
berakar dari hadist-hadits Rasulullah yang sangat banyak diriwayatkan oleh
para sahabat.
3. Bukti adanya al-Quran turun dalam tujuh huruf
Firman Allah swt:
Bisa dibaca ألمانا�م dengan bentuk jamak, dan dibaca ألمانتهم dengan
bentuk mufrad.
Ini dibaca dengan me-nashab-kan kata ربنا karena menjadi munada dan
dengan membaca باعد dalam bentuk amar, atau tepatnya fi’il doa. Juga
dibaca ربنا بعد dengan membaca rafa’ ربنا menjadi mubtada’ dan بعد dalam bentuk madhiy, menjadi khabar mubtada’.
24
4. Pendapat ulama tentang makna al-Qur’an turun dalam tujuh huruf
Terdapat perbedaan pendapat ulama dalam memahami al-Qur’an
diturunkan dengan tujuh huruf. Ibnu Hibban berkata: “Terjadi perbedaan
pendapat ahli ilmu tentang al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf
mencapai 35 pendapat,” di antaranya yaitu:27
a. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh
huruf adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa yang ada di Arab dalam
satu makna.
b. Tujuh huruf itu adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa yang terdapat di
Arab yang mana al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa-
bahasa tersebut.
c. Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa tujuh huruf itu adalah tujuh
bentuk, yakni al-amr, an-Nahy, al-Wa’ad, al-Wa’iid, al-Jadl, al-
Qashash, dan al-Mitsal.
d. Ada yang berpendapat bahwa tujuh huruf itu adalah tujuh bentuk
perubahan yang terjadi perbedaan di dalamnya, yaitu:
1) Perbedaan isim-isim pada mufrad, mudzakkar, dan cabang-
cabangnya yaitu tatsniyah, jama’, dan ta’nits. Misalnya Firman
Allah:
)٨: املزمنون(و الذين هم ألمانا�م و عهدهم راعون
Dibaca li amanatihim dengan jama’ dan li amanatihim dengan
mufrad.
2) Perbedaan dalam I’rab, seperti firman Allah:
)٣١: يوسف(ما هذا بشرا
Umumnya membaca dengan nashab, yang mana ma beramal
seperti amalan laisa yaitu bahasa penduduk hijaz dan al-Quran
diturunkan dengan bahasa tersebut. Ibnu Mas’ud membaca basyar
27 Manna’ Khalil al-Qaththan, Op. Cit., hal. 158-162
25
dengan rafa’, yang merupakan bahasa bani Tamim. Maka mereka
tidak mengamalkan ma sebagaimana amalan laisa
3) Perbedaan dalam tashrif
4) Perbedaan dalam taqdim dan takhir
5) Perbedaan dalam Ibdal
6) Perbedaan dalam penambahan dan pengurangan
7) Perbedaan dialek (lahjah) seperti bacaan tafkhim (tebal) dan tarqiq
(tipis), imalah, izhar, dan idgham. Seperti membaca imalah dan
tidak imalah yang terdapat pada surat an-Nazi’at: 15
Dibaca dengan meng-imalah-kan kata أتى dan موسى Pendapat ini
dipegang oleh Ibnu Qutahibah Imam ar-Razi, al-Zarqani, Ibnu
Jazari. Subhi Shalih juga mengikuti pendapat ini dan mengatakan
bahwa pendapat inilah yang paling mendekati kebenaran, terutama
berbedaan yang terjadi pada lahjah (dialek). Karena ia
menonjolkan hikamh besar yang terkandung di dalam hadis
Rasulullah saw. mengenai turunnnya al-Quran tujuh huruf.
Disinilah terdapat hal-hal yang meringankan dan memudahkan
umat Isalm yang terdiri dari berbagai kabilah dialek yang berbeda-
beda.28
e. Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa tujuh huruf itu adalah jumlahnya
tujuh
f. Pendapat yang lainnya bahwa tujuh huruf yaitu Qiraat yang tujuh.
5. Akhir dari al-Qur’an tujuh huruf
Berbeda pendapat ulama tentang akhir dari al-Qur’an tujuh huruf.
Apakah masih ada dalam mushaf hari ini atau tidak. Ulama fikih, ulama
Qira’at, dan Mutakallimin berpendapat bahwa seluruh huruf ini (tujuh
28 Subhi al-Shalih, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayiin,
1977), Cet. X, hal. 104-105
26
huruf) ada dalam mushaf Utsmaniy. Ulama salaf, khalaf dan para imam
kaum muslimin berpendapat bahwa dalam mushaf utsmaniy mencakup apa
yang terkandung dalam rasamnya tujuh huruf saja. Al-Thabari dan para
pengikutnya berpendapat bahwa mushaf Utsmani hanya mencakup satu
huruf dari tujuh huruf yang dengannya al-Quran diturunnkan. Dengan
alasan bahwa al-Quran yang mencakup tujuh huruf hanya berlaku pada
masa Rasulullah saw. saja, kemudian pada masa Utsman dihapus enam
dialek berdasarkan ijma’ para ulama.29
III. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas tentang wahyu, nuzul al-Quran, dan nuzul
al-Quran dengan tujuh huruf, pemakalah dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Secara bahasa wahyu mengandung dua istilah yaitu rahasia (khafa’) dan
cepat (sari’ah), jadi secara bahasa wahyu adalah pemberitahuan allah
kepada hamba-Nya dengan cara rahasia dan cepat. Wahyu menurut istilah
adalah pemberitahuan Allah kepada hamba pilihan-Nya sebagai bukti
kenabiannya berupa risalah yang berisi kebenaran.
2. Wahyu sama-sama petunjuk dan ilmu dari Allah, namun wahyu sebagai
tanda kenabian dan rasul, sedangkan ilham untuk hamba pilihan Allah
selain nabi dan rasul.
3. Nuzul al-Quran tidak bisa dipahami secara ma’nawy tetapi mesti dipahami
secara majazy. Karena al-Quran yang diturunkan bukanlah benda yang
berisi satuan isi atau berat. Sedang kata Nuzul menurut al-Zarqany berarti
turun dari satu tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
4. Al-Qur’an turun secara sekaligus dari Lauh Mahfuzh ke Baitul Izzah pada
malam Qadar bulan Ramadhan. Kemudian diturunkan oleh Malaikat Jibril
as. kepada Nabi saw. secara berangsur-angsur lebih kurang 23 tahun.
29 Muhammad Ali al-Shobuniy, Op. Cit., hal 52
27
5. Menurut pendapat shahih dan kuat bahwa surat dan ayat yang pertama
diturunkan adalah surat al-‘Alaq ayat 1-3. Sedang ayat yang terakhir
diturunkan adalah surat al-Baqarah ayat 281
6. Di antara ayat dan surat ada yang diturunkan berulang-ulang yakni terjadi
dua kali. Seperti surat al-Ikhlas diturunkan di Mekkah untuk membantah
orang-orang kafir Quraisy, dan di Madinah untuk membantah orang
yahudi.
7. Terdapat banyak riwayat yang kuat bahkan ada yang mengatakan
mutawatir tentang turunnya al-Quran dengan tujuh huruf. Bahkan sampai
lebih kurang 40 sahabat yang meriwayatkan haditsnya.
8. Terjadi perbedaan pendapat ulama dalam memahami makna al-Quran
diturunkan dengan tujuh huruf.
9. Ulama Fikih, Qira’at, dan Mutakallimin sepakat bahwa huruf yang tujuh
itu masih terdapat dalam mushaf utsmaniy. Sedangkan al-Zarqany
berpendapat bahwa tujuh huruf itu hanya berlaku di zaman Rasulullah
saja, pada masa Utsman telah dihapuskan enam dialek yang lainnya
berdasarkan kesepakatan ulama, dan hanya berpedoman kepada dialek
Quraisy saja.
B. KRITIK DAN SARAN
Sepanjang uraian makalah yang penulis paparkan di atas, penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan dan banyak kesalah.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan dari
pembaca agar makalah ini lebih baik di masa yang akan datang. Sebagai
bahan perbandingan dan menambah wawasan bagi pembaca, penulis
menyarankan untuk meneliti lebih jauh dan mendalam ke buku-buku ulama
yang berkaitan dengan al-Qur’an dan Ilmu-ilmunya. Hanya kepada Allah
penulis memohon, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
28
DAFTAR KEPUSTAKAAN
al-Baqi, Muhammad Fu’ad ‘Abd, al-Mu’jam al-Mufahharasy li Alfazh al-Qur’an
al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Cet. II
al-Fairuzabady, Majduddin Muhammad bin Ya’kub, al-Qamus al-Muhith, (Beirut:
Mu’assasah ar-Risalah, 2005), Cet. VIII
Al-Husain bin Muhammad, Abu al-Qasim, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an,
(Beirut: Maktabah Nazar Mushthafa al-Baz), Juz I
al-Mishriy, Ibnu Manzur al-Afriqiy, Lisan al-Arab, (Beirut: Daru Shadir, 1879),
Jilid XII
al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Mansyurat al-
‘Ashr al-Hadits, 1990)
al-Shalih, Subhi, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayiin,
1977), Cet. X
Al-Shobuniy, Muhammad Ali, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Pakistan: Maktabah
al-Busyra, 2011) Cet. II
Al-Syayi’, Muhammad bin Abdurrahman, Nuzul al-Qur’an al-Karim, (Riyadh:
Maktabah al-Malk, 1997)
Al-Zarkasyi, Badaruddin Muhammad bin Abdullah, al-Burhan fi ‘Ulum al-
Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1971)
Al-Zarqani, Muhammad Abdul Azhim, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al’Qur’an,
(Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1990), Juz I
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir, (Semarang: PT Pustaka Rezki Putra, 2000) Cet. III
‘Atar, Nuruddin, ‘Ulum al-Qur’an al-Karim, (Damaskus: Mathba’ah al-Shabl,
1993)
Ma’luf, Luis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986)
Ridha, Muhammad Rasyid, Al-Wahyu al-Muhammady, (Beirut: Mu’assasah ‘Izz
ad-Din, 1985)
Sa’id, Muhammad Ra’afat, Tarekh Nuzul al-Qur’an al-Karim, (al-Jami’ah al-
Munawwifiyyah, 2001)
Umar, Nasaruddin, Ulumul Qur’an Mengungkap Makna-makna Tersembunyi al-
Qur’an, (Jakarta: al-Ghazali Center, 1020)
Zenrif, MF., Sintesis Paradigma Studi al-Quran, (Malang: UIN-Malang Press,
2008)