Upload
wurdiyanti-yuli-astuti
View
9.027
Download
13
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tgspcrmumumu
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar.
Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat
manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua
kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu
memerlukan tanah. Dan hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa
tanah di dalam masvarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian
antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan wanprestasi[1].
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan,
maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .Ketentuan
mengenai tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
atau yang biasa kita sebut dengan UUPA. Timbulnya sengketa hukum yang
bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-
keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas,
maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian
secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kasus konflik pertanahan seperti sengketa tanah hampir terjadi seluruh
penjuru tanah air indonesia. Setelah diusut dan diteliti semua kasus sengketa
tanah yang terjadi menunjukkan pola sengketa yang sebangun. Berbagai
kasus pertanahan yang menyangkut nasib ribuan warga itu pun dikenal
memakan waktu lama dan terasa menggetirkan dalam proses
penyelesaiannya.
1[]wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 1
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apa pengertian Hukum Agraria?
2. Apa pengertian sengketa tanah?
3. Apa akar konflik pertanahan?
4. Bagaimana tipologi konflik pertanahan?
5. Bagaimana cara penyelesaian konflik pertanahan?
6. Apa saja kendala dalam penyelesaian konflik pertanahan?
7. Apa contoh masalah pertanahan di Indonesia?
8. Bagaimana analisis dalam masalah pertanahan tersebut?
1.3 TUJUAN
Tujuan dari disusunnya makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian Hukum Agraria.
2. Untuk mengetahui pengertian sengketa tanah.
3. Untuk mengetahui akar konflik pertanahan.
4. Untuk mengetahui tipologi konflik pertanahan.
5. Untuk mengetahui cara penyelesaian konflik pertanahan.
6. Untuk mengetahui kendala dalam penyelesaian konflik pertanahan.
7. Untuk mengetahui contoh masalah pertanahan di Indonesia.
8. Untuk mengetahui analisis dalam masalah pertanahan tersebut.
1.4 METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan makalan ini adalah :
a. Studi Kepustakaan, Yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca,
mengkaji dan mempelajari buku-buku, dokumen-dokumen laporan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan
penelitian.
b. Bahan – bahan yang didapatkan melalui Intenet.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 2
1.5 SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan makalah ini di bagi menjadi 3 bab, sebagai berikut :
1. BAB I : PENDAHULUAN, Pada bab ini yang merupakan pendahuluan,
terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
2. BAB II : PEMBAHASAN, Pada bab ini diuraikan menjadi 2 sub bab yaitu
kajian teori dan analisis masaah. Pada bagian kajian teori diuraikan
mengenai pengertian hukum agraria, pengertian sengketa tanah, akar
konflik pertanahan, tipologi konflik pertanahan, cara penyelesaian konflik
pertanahan, dan kendala dalam penyelesaian konflik pertanahan.
Sedangkan pada bagian analisis masalah diuraikan kronologi kasus
meruya selatan, analisis kasus meruya selatan, perspektif kasus meruya
selatan, dan penyelesaian kasus meruya selatan.
3. BAB IV : PENUTUP, Pada bab penutup ini berisikan tentang kesimpulan
dari materi penyelesaian sengketa tanah dan saran atas makalah yang
telah dibuat ini.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KAJIAN TEORI
2.1.1 Pengertian Hukum Agraria
Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasa latin
agre berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti persawahan,
perladangan, pertanian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria berarti
urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, dalam
bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha
pertanian, sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi,
air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung didalamnya.
Hukum agraria secara sempit ialah bidang hukum yang mengatur yang
mengatur mengenai hak-hak penguasaan tanah[2].
Pengertian hukum agraria secara luas adalah sekelompok bidang hukum
yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya
alam tertentu yang meliputi;
Hukum tanah, yaitu bidang hukum yang mengatur penguasaan atas tanah
(permukaan bumi),
Hukum air (hukum pengairan), yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas air,
Hukum pertambangan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas bahan-bahan galian,
Hukum kehutanan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas hutan dan hasil hutan,
Hukum perikanan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air,
2[] Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang di hakinya. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 4
Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa,
yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa.
Pengertian Hukum Agraria Menurut Para Ahli :
Gouw Gioks Siong[3] : hukum agraria merupakan hukum yang identik
dengan tanah, hukum agraria dalam arti yang sempit.
E. Utrecht [4] memberikan pengertian yang sama terhadap hukum agraria
dan hukum tanah. Dia berpendapat bahwa hukum agraria (hukum tanah)
menjadi hukum tata usaha negara.
W.L.G Lemaire membicarakan hukum agraria adalah suatu kelompok
hukum bulat yang meliputi bagian hukum privat maupun bagian hukum
tata negara dan hukum administrasi negara.
Bachsan Mustafa, SH., memberikan pengertian bahwa hukum agraria
adalah sebagai himpunan peraturan yang mengatur bagaimana para
pejabat pemerintah menjalankan tugas di bidang keagrariaan.
Boedi Harsono, memberikan pengertian terhadap hukum agraria bahwa
hukum agraria bukan hanya satu perangkat bidang hukum semata.
Hukum agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum yang
mengatur penguasaan atas berbagai sumber daya alam tertentu yang
termasuk di dalam pengertian agraria.
Azas-azas hukum agraria
Asas nasionalisme
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara
Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh
mempunyai hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak
membedakan antara laki-laki dengan wanita serta sesama warga Negara
baik asli maupun keturunan.
Asas dikuasai oleh Negara
3[]juga dikenal dengan nama Sudargo Gautama, adalah seorang pakar hukum perdata internasional dan hukum antar golongan. Gouw adalah Guru Besar di Fakultas Hukum UI.4[]seorang politikus yang aktif. Ia menjadi anggota PNI dan duduk di DPR. Selain itu ia pernah menjadi penasehat Presiden Soekarno.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 5
Yaitu bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam
yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh
Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (pasal 2 ayat 1
UUPA).
Asas hukum adat yang disaneer
Yaitu bahwa hukum adat yang dipakai sebagai dasar hukum agrarian
adalah hukum adat yang sudah dibersihkan dari segi-segi negatifnya.
Asas fungsi social
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak
boleh bertentangan dengan hak-hak orang lain dan kepentingan umum,
kesusilaan serta keagamaan(pasal 6 UUPA).
Asas kebangsaan atau (demokrasi)
Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa stiap WNI baik asli maupun
keturunan berhak memilik hak atas tanah.
Asas non diskriminasi (tanpa pembedaan)
Yaitu asas yang melandasi hukum Agraria (UUPA).UUPA tidak
membedakan antar sesama WNI baik asli maupun keturunan asing jadi
asas ini tidak membedakan-bedakan keturunan-keturunan anak artinya
bahwa setiap WNI berhak memilik hak atas tanah.
Asas gotong royong
Bahwa segala usaha bersama dalam lapangan agrarian didasarkan
atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam
bentuk koperasi atau dalam bentuk-bentuk gotong royong lainnya, Negara
dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha
bersama dalam lapangan agraria (pasal 12 UUPA).
Asas unifikasi
Hukum agraria disatukan dalam satu UU yang diberlakukan bagi
seluruh WNI, ini berarti hanya satu hukum agraria yang berlaku bagi
seluruh WNI yaitu UUPA.
Asas pemisahan horizontal (horizontale scheidings beginsel)
Yaitu suatu asas yang memisahkan antara pemilikan hak atas tanah
dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya.
Asas ini merupakan kebalikan dari asas vertical (verticale scheidings
beginsel ) atau asas perlekatan yaitu suatu asas yang menyatakan segala
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 6
apa yang melekat pada suatu benda atau yang merupakan satu tubuh
dengan kebendaan itu dianggap menjadi satu dengan benda itu artinya
dalam asas ini tidak ada pemisahan antara pemilikan hak atas tanah
dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya.
2.1.2 Pengertian Sengketa Tanah
Sengketa pertanahan adalah proses interaksi antara dua orang atau lebih
atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atau
objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanah seperti air, tanaman, tambang juga udara yang berada di batas tanah
yang bersangkutan. Sengketa menurut kamus Bahasa Indonesia, berarti
pertentangan atau konflik, konflik dapat terjadi karena adanya pertentangan
antara orang-orang, kelompok-kelompok ataupun organisasi-organisasi.
Winardi berpendapat pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-
individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan
yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum
antara satu dengan yang lain. Adapun tujuan seseorang dalam memperkarakan
sengketa adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan.
Tanah dapat definisikan menurut ilmu pastinya adalah kumpulan tubuh
alam yang menduduki sebagian besar daratan planet bumi, yang mampu
menumbuhkan berbagai tanaman dan sebagai tempat makhluk hidup lainnya
untuk melangsungkan kehidupan. Dapat disimpulkan sengketa tanah
merupakan perebutan hak atas kepemilikan tanah yang jelas maupun karena
kepemilikan tanah yang tidak jelas, dan sengketa tanah terjadi karena ada
sebuah kepentingan dan hak.
Sengketa tanah banyak terjadi karena adanya sebuah benturan
kepentingan antara siapa dengan siapa. Sadar akan pentingnya tanah untuk
tempat tinggal atau kepentingan lainnya menyebabkan tanah yang tidak jelas
kepemilikannya diperebutkan bahkan ada yang sudah jelas kepemilikannya pun
masih ada yang diperebutkan, hal ini terjadi karena masyarakat sadar akan
kepentingan dan haknya, selain itu harga tanah yang semakin meningkat.
Menurut Rusmadi Murad timbulnya sengketa hukum yang bermula dari
pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 7
dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun
kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara
administrasi sesuai dengan ketentuan.
Peraturan yang berlaku kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim /
pengaduan / keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi
kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang
pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut
dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan
adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara
administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari pejabat yang
berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu
keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat
Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan
Nasional. Kasus pertanahan dapat berupa permasalahan status tanah, masalah
kepemilikan,masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak
dan sebagainya.[5]
Menurut Maria S.W. Sumardjono secara garis besar peta permasalahan
tanah dikelompokkan yaitu :
1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan,
proyek perumahan yang ditelantarkan dan lain-lain.
2. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan Landerform[6].
3. Akses-akses penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan.
4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah.
5. Masalah yang berkenaan dengan hak Ulayat[7] masyarakat Hukum
Adat.
2.1.3 Akar Konflik Pertanahan
Akar konflik pertanahan merupakan faktor mendasar yang menyebabkan
timbulnya konflik pertanahan. Akar konflik pertanahan penting untuk
5[] Lihat Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media, 2005.6[]Landreform berasal dari dua kata yaitu “land” yang berarti tanah dan “reform” yang berarti perombakan, dalam hubungan dengan hukum agraria, maksud dan pengertian Landreform adalah perombakan secara mendasar terhadap sistem pemilikan tanah.7[]Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 8
diidentifikasi serta diinventarisasi[8] guna mencari jalan keluar atau bentuk
penyelesaian yang akan dilakukan. Akar permasalahan konflik pertanahan
dalam garis besarnya dapat ditimbulkan oleh hal-hal sebagai berikut :
(1) Konflik kepentingan, yaitu adanya persaingan kepentingan yang terkait
dengan kepentingan substantif, kepentingan prosedural, maupun
kepentingan psikologis.
(2) Konflik struktural, yang disebabkan pola perilaku destruktif[9], kontrol
perilaku sumber daya yang tidak seimbang.
(3) Konflik nilai, karena perbedaan kriteria yang dipergunakan mengevaluasi
gagasan/ perilaku, perbedaan gaya hidup, ideologi atau
agama/kepercayaan.
(4) Konflik hubungan, yang disebabkan karena emosi yang berlebihan,
persepsi yang keliru, komunikasi yang buruk/salah, pengulangan
perilaku yang negatif.
(5) Konflik data, yang disebabkan karena informasi yang tidak lengkap,
informasi yang keliru, pendapat yang berbeda tentang hal-hal yang
relevan, interpretasi data yang berbeda, dan perbedaan prosedur
penilaian.
Penyebab umum timbulnya konflik pertanahan dapat dikelompokkan
dalam dua faktor, yaitu faktor hukum dan faktor non hukum.
a. Faktor Hukum.
Beberapa faktor hukum yang menjadi akar dari konflik pertanahan
belakangan ini antara lain :
1) Tumpang tindih peraturan.
UUPA sebagai induk dari peraturan di bidang sumber daya agraria
lainnya, dalam perjalanannya dibuat beberapa peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan sumber daya agraria tetapi tidak
menempatkan UUPA sebagai undang-undang induknya, bahkan justru
menempatkan UUPA sejajar dengan undang-undang agraria. UUPA
yang mulanya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di
Indonesia menjadi tidak berfungsi dan secara substansial bertentangan
8[] Inventarisasi adalah pendataan atau pengumpulan data.9[] Perilaku destruktif adalah perilaku yang cenderung merusak.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 9
dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral
seperti UU Kehutanan, UU Pokok Pertambangan, UU Transmigrasi
dan lain-lain.
2) Tumpang tindih peradilan.
Pada saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat
menangani suatu konflik pertanahan yaitu peradilan perdata, peradilan
pidana dan peradilan tata usaha negara (TUN)[10]. Dalam bentuk
konflik tertentu, salah satu pihak yang menang secara perdata belum
tentu menang secara pidana (dalam hal konflik disertai tindak pidana).
b. Faktor Non Hukum.
1) Tumpang tindih penggunaan tanah.
Sejalan dengan waktu, pertumbuhan penduduk yang cepat
mengakibatkan jumlah penduduk bertambah, sedangkan produksi
pangan tetap atau mungkin berkurang karena banyak tanah pertanian
yang beralih fungsi. Tidak dapat dihindarkan bahwa dalam sebidang
tanah yang sama dapat timbul kepentingan yang berbeda.
2) Nilai ekonomis tanah tinggi.
3) Kesadaran masyarakat meningkat
Adanya perkembangan global serta peningkatan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi berpengaruh pada peningkatan
kesadaran masyarakat. Pola pikir masyarakat terhadap masyarakat
pun ikut berubah. Terkait tanah sebagai aset pembangunan, maka
muncul perubahan pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah,
yaitu tidak lagi menempatkan tanah sebagai sumber produksi akan
tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk investasi atau komoditas
ekonomi.
4) Tanah tetap, penduduk bertambah
Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat baik melalui kelahiran
maupun migrasi serta urbanisasi, serta jumlah lahan yang tetap,
10[]Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya dan pembentukan lembaga tersebut bertujuan mengkontrol secara yuridis (judicial control) tindakan pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power).
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 10
menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat
tinggi, sehingga setiap jengkal tanah dipertahankan sekuatnya.
5) Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang saling berkaitan. Terbatasnya akses terhadap
tanah merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan dalam kaitan
terbatasnya aset dan sumber daya produktif yang dapat diakses
masyarakat miskin.
Faktor Pendorong Sengketa Tanah menurut Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan
terjadinya sengketa tanah :
1) Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya
adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki
sertifikat masing-masing.
2) Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan
dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian
maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara
ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah,
khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat.
Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi
yang cenderung kapitalistik[11] dan liberalistik[12]. Atas nama
pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik
masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
3) Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti
formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya,
secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh
perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah
11[] Kebijakan ekonomi kapitalistik adalah kebijkana ekonomi yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.12[] Kebijakan ekonomi liberalistik adalah kebijakan ekonomi yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalistik mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 11
membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama
ditelantarkan begitu saja.
Munculnya konflik pertanahan juga diakibatkan adanya gejala-gejala
ketimpangan sosial dan ketimpangan ekonomi terlihat pada pola pemilikan tanah
yang luas oleh perorangan maupun badan hukum. Banyak para pemilik modal
yang berusaha menguasai tanah hingga luasnya jauh melebihi kadar yang
mereka perlukan. Disisi lain banyak dari masyarakat yang memiliki lebih sempit
dari yang diperlukan, atau bahkan tidak punya sama sekali. Selain itu selama
persediaan tanah masih memungkinkan untuk diperoleh/dikuasai dari penduduk
yang menjual tanahnya karena terdesak oleh kebutuhan dan harga tanah yang
diinginkannya, maka pada waktu itu juga pemilik modal menguasainya, yang
lama kelamaan akan menjadi bentuk monopoli tanah yang kian akan menjadi
mahal.
Menurut Aryanto Sutadi (Deputi V BPN-RI), dalam raker BPN-RI Bidang
PPSKP (2010), mengemukakan sumber-sumber konflik tanah meliputi :
- Perubahan status tanah paska kemerdekaan;
- Harga tanah terus meningkat;
- Ketidak adilan penguasaan tanah;
- Rendahnya pemahaman tentang hak tanah;
- Pendaftaran tanah, baru sebagian;
- Mafia pertanahan[13] (swasta/oknum pegawai).
Dikemukakan pula pemicu timbulnya masalah/konflik tanah antara lain :
- Tanah ditelantarkan;
- Perubahan status tanah tanpa dokumen sah;
- Tindak pidana dengan obyek tanah & dokumen;
- Penyimpangan/KKN terutama sisa masa lalu.
2.1.4 Tipologi Konflik Pertanahan
Tipologi konflik pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan atau
13[] Lebih familiar dengan sebutan makelar tanah.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 12
perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani. Tipologi
konflik pertanahan yang ditangani Badan Pertanahan Nasional RI dapat
dikelompokkan menjadi 8 (delapan), terdiri dari masalah yang berkaitan dengan
:
a. Penguasaan dan Pemilikan Tanah, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau
pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu
yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah
dilekati hak oleh pihak tertentu;
b. Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, yaitu perbedaan persepsi, nilai
atau pendapat, kepentingan mengenai proses penetapan hak dan
pendaftaran tanah yang merugikan pihak lain sehingga menimbuikan
anggapan tidak sahnya penetapan atau perijinan di bidang pertanahan;
d. Batas atau letak bidang tanah, yaitu perbedaan pendapat, nilai
kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu
pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan batas;
e. Pengadaan Tanah, yaitu perbedaan pendapat, kepentingan, persepsi atau
nilai mengenai status hak tanah yang perolehannya berasal proses
pengadaan tanah, atau mengenai keabsahan proses, pelaksanaan
pelepasan atau pengadaan tanah dan ganti rugi;
f. Tanah obyek Landreform, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,
kepentingan mengenai prosedur penegasan, status penguasaan dan
pemilikan, proses penetapan ganti rugi, penentuan subyek obyek dan
pembagian tanah obyek Landreform;
g. Tuntutan Ganti Rugi Tanah Partikelir[14], yaitu perbedaan persepsi,
pendapat, kepentingan atau nilai mengenai Keputusan tentang kesediaan
pemerintah untuk memberikan ganti kerugian atas tanah partikelir yang
dilikuidasi[15];
14[]Tanah partikelir adalah tanah yang dimiliki orang-orang swasta Belanda dan orang-orang pribumi yang mendapat hadiah tanah karena dianggap berjasa kepada Belanda. Jenis tanah partikelir ini mulai ada sejak munculnya VOC hingga keluarnya larangan yang diberlakukan oleh Van der Capellen pada tahun 1817. tanah partikelir banyak tersebar di daerah banten, karawang, cirebon, bogor, batavia, dan sebagainya.
15[]Likuidasi adalah liquidation yaitu pembubaran perusahaan oleh likuidator dan sekaligus pemberesan dengan cara melakukan penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, dan
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 13
h. Tanah Ulayat, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan
mengenai status ulayat dan masyarakat hukum adat di atas areal tertentu
baik yang telah diterbitkan hak atas tanah maupun yang belum, akan tetapi
dikuasai oleh pihak lain;
i.Pelaksanaan Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau
pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan
dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur
penerbitan hak atas tanah tertentu.
2.1.5 Cara Penyelesaian Konflik Pertanahan
Secara makro penyebab munculnya kasus-kasus pertanahan tersebut
adalah sangat bervariasi yang antara lain :
Harga tanah yang meningkat dengan cepat.
Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan
kepentingan/haknya.
Iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan
(conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai
contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan
badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang
diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain
dapat diberikan respons/reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan
(masyarakat dan pemerintah), berupa solusi melalui Badan Pertanahan Nasional
dan solusi melalui Badan Peradilan.
1) Solusi penyelesaian sengketa tanah dapat ditempuh melalui 3 cara
yaitu :
A. Solusi melalui BPN
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan /
keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi
penyelesaian sisa harta atau utang di antara para pemilik.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 14
kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara
di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha
Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan
pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu
bidang tanah tersebut.
Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat
penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta
merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk
melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di
bidang pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain mengenai
masalah status tanah, masalah kepemilikan, masalah bukti-bukti
perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya. Setelah
menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat
yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan
penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan
tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah
pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila
data yang disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional
itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan
Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat letak tanah yang
disengketakan.
Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka
selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang
diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan
penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau
badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut
mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah
Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila
dari keyakinannya memang harus distatus quo-kan, dapat dilakukan
pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 15
Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-
150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun
1984.
Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun
1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional
di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar
selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo[16] atau
pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB)
dari Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal
126).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor
Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap
suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan
(sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya
bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan
yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan
(fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat
dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan
Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat
dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik jika
diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini seringkali
Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam
menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling
menghormati pihak-pihak yang bersengketa.
Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah
mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis,
yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan
selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta
yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna.
16[]Status quo adalah membiarkan keadaan yang sekarang seperti keadaan yang sebelumnya.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 16
Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh
Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat
hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum
kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.
Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional
Di Bidang Pertanahan.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No 3 Tahun 1999.
Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang
merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut
langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar
diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan
Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang
bersangkutan.
B. Melalui Badan Peradilan
Apabila penyelesaian melalui musyawarah di antara para pihak
yang bersengketa tidak tercapai, demikian pula apabila penyelesaian
secara sepihak dari Kepala Badan Pertanahan Nasional tidak dapat
diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka penyelesaiannya
harus melalui pengadilan.
Setelah melalui penelitian ternyata Keputusan Tata Usaha Negara
yang diterbitkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional sudah benar
menurut hukum dan sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka
Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat juga mengeluarkan suatu
keputusan yang berisi menolak tuntutan pihak ketiga yang berkeberatan
atas Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh Pejabat
Badan Pertanahan Nasional tersebut. Sebagai konsekuensi dari
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 17
penolakan tersebut berarti Keputusan Tata Usaha Negara yang telah
dikeluarkan tersebut tetap benar dan sah walaupun ada pihak lain yang
mengajukan ke pengadilan setempat.
Sementara menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap, dilarang bagi Pejabat Tata Usaha Negara yang terkait
mengadakan mutasi atas tanah yang bersangkutan (status quo). Oleh
karena itu untuk menghindari terjadinya masalah di kemudian hari yang
menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang berperkara maupun pihak
ketiga, maka kepada Pejabat Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan
yang terkait harus menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang
baik, yaitu untuk melindungi semua pihak yang berkepentingan sambil
menunggu adanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap (in kracht van gewijsde).
Kemudian apabila sudah ada putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum yang pasti, maka Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat melalui Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan mengusulkan
permohonan pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang
Pertanahan yang telah diputuskan tersebut di atas. Permohonan
tersebut harus dilengkapi dengan laporan mengenai semua data yang
menyangkut subjek dan beban yang ada di atas tanah tersebut serta
segala permasalahan yang ada.
Kewenangan administratif permohonan pembatalan suatu Surat
Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah
adalah menjadi kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional
termasuk langkah-langkah kebijaksanaan yang akan diambil berkenaan
dengan adanya suatu putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan.
Semua ini agar diserahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional
untuk menimbang dan mengambil keputusan lebih lanjut.
C. Solusi melalui Mediasi
Selain penyelesaian sengketa, konflik dan perkara melalui
pengadilan/litigasi, di dalam sistem hukum nasional dikenal
penyelesaian sengketa melalui lembaga di luar peradilan sebagaimana
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 18
yang diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase[17] dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Salah satu alternatif penyelesaian sengketa (tanah) adalah melalui
upaya mediasi. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa alternatif
menawarkan cara penyelesaian sengketa yang khas. Karena prosesnya
relatif sederhana, maka waktunya singkat dan biaya dapat ditekan.
Mediasi pada intinya adalah “a process of negotiations facilitated
by a third person who assist disputens to pursue a mutually agreeable
settlement of their conlict.” Sebagai suatu cara penyelesaian sengketa
alternatif, mediasi mempunyai ciri-ciri yakni waktunya singkat,
terstruktur, berorientasi kepada tugas, dan merupakan cara intervensi
yang melibatkan peras serta para pihak secara aktif. Keberhasilan
mediasi ditentukan itikad baik kedua belah pihak untuk bersama-sama
menemukan jalan keluar yang disepakati.
Aria S. Hutagalung (2005) menegaskan mediasi memberikan
kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan dan upaya
penentuan hasil akhir perundingan dicapai menurut kesepakatan
bersama tanpa tekanan atau paksaan. Dengan demikian, solusi yang
dihasilkan mengarah kepada win-win solution. Upaya untuk mencapai
win-win solution ditentukan oleh beberapa faktor di antaranya proses
pendekatan yang obyektif terhadap sumber sengketa lebih dapat
diterima oleh pihak-pihak dan memberikan hasil yang saling
menguntungkan dengan catatan bahwa pendekatan itu harus
menitikberatkan pada kepentingan yang menjadi sumber konflik.
Selain itu, faktor kemampuan yang seimbang dalam proses
negosiasi atau musyawarah. Perbedaan kemampuan tawar menawar
akan menyebabkan adanya penekanan oleh pihak yang satu terhadap
yang lainnya.
Pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi mempunyai
kelebihan dari segi biaya, waktu, dan pikiran bila dibandingkan dengan
berperkara di muka pengadilan, di samping itu kurangnya kepercayaan
atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala administratif yang
17[] Arbitrase adalah adalah salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa dimana para pihak menyerahkan kewenangan kepada kepada pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk memberikan putusan.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 19
melingkupinya membuat lembaga pengadilan merupakan pilihan terakhir
untuk penyelesaian sengketa.
Maria SW.Sumardjono (2005) menyatakan segi positif mediasi
sekaligus dapat menjadi segi negatif, dalam arti keberhasilan mediasi
semata-mata tergantung pada itikad baik para pihak untuk menaati
kesepakatan bersama tersebut karena hasil akhir mediasi tidak dapat
dimintakan penguatan kepada pengadilan. Supaya kesepakatan dapat
dilaksanakan (final and binding) seyogyanya para pihak mencantumkan
kesepakatan tersebut dalam bentuk perjanjian tertulis yang tunduk pada
prinsip-prinsip umum perjanjian.
Mengingat bahwa bangsa Indonesia terkenal dengan penyelesaian
masalah melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, kiranya
pemanfaatan lembaga mediasi dapat merupakan alternatif yang
berdampak positif untuk penyelesaian sengketa pertanahan.
2) Strategi penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan.
Agar penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan dapat
diwujudkan dan agenda kebijakan BPN RI dapat dilaksanakan untuk
mencapai sasaran strategis yang diinginkan, maka dirumuskan strategi
sebagai berikut :
a. Memantapkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kedeputian Bidang
Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan dengan
membangun standar mekanisme dan prosedur operasional pengkajian
dan penanganan sengketa pertanahan;
b. Mengintensifkan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara
pertanahan melalui mediasi dengan mendasarkan pada kajian akar
permasalahan;
c. Membangun sistem basis data dan sistem informasi kasus pertanahan
yang valid guna mendukung percepatan penanganan dan penyelesaian
sengketa, konflik dan perkara pertanahan secara sistematis;
d. Memprakarsai terwujudnya konsep strategis penyelesaian sengketa,
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 20
konflik dan perkara pertanahan dengan melibatkan pakar, akademisi
serta Pengamat Agraria;
e. Meningkatkan kualitas dan profesionalisme sumber daya manusia di
lingkungan Kedeputian Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa
dan Konflik Pertanahan.
3) Prinsip Win-win Solution.
Badan Pertanahan Nasional RI sebagai lembaga yang melaksanakan
tugas pemerintahan di bidang pertanahan berkewajiban untuk
menyelesaikan konflik pertanahan yang ada di Indonesia. Badan
Pertanahan Nasional dalam menyelesaikan setiap konflik pertanahan di
Indonesia berpedoman pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
RI No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan
Kasus Pertanahan dengan mengedepankan prinsip win-win solution.
Win-win Solution adalah situasi di mana kedua belah pihak yang
berselisih (berkonflik) sama-sama merasa diuntungkan dalam suatu
transaksi atau kesepakatan dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan.
BPN sebagai mediator dan mencari jalan tengah yang mengakomodasi
keadilan para pihak yang bersengketa. Dalam semangat win-win solution,
penyelesaian sengketa tidak semata-mata didasarkan pada siapa yang
memiliki sertifikat. Dalam banyak kasus, misalnya, seringkali penyelesaian
sengketa mengabaikan eksistensi masyarakat lokal yang bertahun-tahun,
dari generasi ke generasi telah menempati satu wilayah dan mengolah
tanah di wilayah tersebut. Masyarakat kalah oleh investor yang baru datang
dan memiliki sertifikat atas tanah di wilayah itu.
Dalam konsep win-win solution, seandainya investor memiliki
sertifikat hak milik, mereka tidak bisa langsung menang atas rakyat karena
rakyat dilindungi oleh Pasal 33 UUD 1945, meskipun rakyat tersebut tidak
memiliki sertifikat. Pasal 33 UUD 1945 menyiratkan bahwa rakyat memiliki
hak atas tanah dan kekayaan alam di dalamnya. Konsep win-win solution
adalah cara yang membuat derajat rakyat semakin tinggi karena rakyat
dalam cara itu tidak dapat serta merta dikalahkan. Dengan konsep ini,
rakyat harus mendayagunakan kemampuannya. BPN dalam hal ini hanya
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 21
hanya mediator yang dituntut untuk independen, dan tidak berpihak pada
kedua belah pihak. Namun penyelesaian konflik pertanahan dalam konsep
win-win solution tergantung pada para pihak yang berkonflik. Win-win
solution adalah upaya untuk mempermudah akomodasi[18] dari beragam
kepentingan yang bersengketa agar tidak jatuh konflik yang memakan
korban dan merugikan kedua belah pihak.
2.1.6 Kendala dalam Penyelesaian Konflik Pertanahan
Aryanto Sutadi mengungkapkan mengenai kendala penyelesaian
masalah/konflik/perkara, antara lain :
- Tumpang tindih peraturan timbulkan keraguan petugas dan berakibat
ketidakpastian hukum;
- Benturan sistem peradilan tanah : TUN –Perdata[19]-Pidana[20],
menjadikan perkara tidak selesai tuntas;
- Prosedur peraturan yang menghambat mekanisme menjadikan
petugas/pejabat ragu mengambil keputusan;
- Keraguan petugas/pejabat akibat trauma dilapor pidana dan diproses
pidana;
- IKMN [21], asset Pemerintah yang tidak ada alas hak tanah dipaksakan
dipertahankan;
- Penyimpangan oknum masa lalu yang tidak dikoreksi berakibat menjadi
sumber konflik;
- Vonis Hakim yang inkonsisten menjadi argument yang bersengketa dan
kasus bertele-tele tanpa akhir;
- Sikap Pengadilan : terima tiap gugatan, tak dapat menolak bukti meski
bukti cacat hukum.
18[] Akomodasi adalah usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan dengan tujuan tercapainya kestabilan dan keharmonisan dalam kehidupan. Akomodasi merupakan bentuk penyelesaian tanpa mengorbankan salah satu pihak. 19[] Hukum perdata (biasa dikenal dengan hukum privat )adalah hukum atau ketentuan yang mengatur hak-hak,kewajiban,serta kepentingan antar individu dalam masyarakat..Hukum perdata biasa menangani kasus yang bersifat privat atau pribadi seperti hukum keluarga, hukum harta kekayaan, hukum benda, hukum perikatan dan hukum waris.Tujuannya adalah untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara kedua individu tersebut.20[]Hukum Pidana adalah Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana.21[] Kependekan dari Inventarisasi Kekayaan Milik Negara.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 22
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 23
2.2 ANALISIS MASALAH
2.2.1 Kronologis Kasus
Sengketa tanah meruya selatan (jakarta barat) antara warga (H. Djuhri bin
H. Geni, Yahya bin H. Geni, dan Muh.Yatim Tugono) dengan PT.Portanigra [22]
pada tahun 1972 – 1973 dan pada putusan MA dimenangkan oleh PT.
Portanigra. Tetapi proses eksekusi tanah dilakukan baru tahun 2007 yang hak
atas tanahnya sudah milik warga sekarang tinggal di meruya yang sudah
mempunyai sertifikat tanah asli seperti girik.
Kasus sengketa tanah meruya ini tidak luput dari pemberitaan media
hingga DPR pun turun tangan dalam masalah ini. Selama ini warga meruya
yang menempati tanah meruya sekarang tidak merasa punya sengketa dengan
pihak manapun. Bahkan tidak juga membeli tanah dari PT Portanigra,namun
tiba-tiba saja kawasan itu yang ditempati hampir 5000 kepala keluarga atau
sekitar 21.000 warga akan dieksekusi berdasarkan putusan MA. Tidak hanya
tanah milik warga, tanah milk negara yang di atasnya terdapat fasilitas umum
dan fasilitas sosialpun masuk dalam rencana eksekusi. Hal ini dikarenakan
sengketa yang terjadi 30 tahun lalu, tetapi baru dilakukan eksekusinya tahun
2007, dimana warga meruya sekarang mempunyai sertifikat tanah asli yang
dikeluarkan pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Disini
terbukti adanya ketidaksinkronan dan kesemrawutan hukum pertanahan
indonesia yang dengan mudahnya mengeluarkan sertifikat tanah yang masih
bersengketa. Kasus sengketa tanah ini berawal pada kasus penjualan tanah
meruya dulu antara PT. Portanigra dan H Djuhri cs berawal dari jual beli tanah
tanah seluas 44 Ha pada 1972 dan 1973.
Ternyata H Djuhri cs ingkar janji dengan menjual lagi tanahnya kepada
pihak lain sehingga mereka dituntut secara pidana (1984) dan digugat secara
perdata (1996). Sengketa tanah yang dimulai sejak lebih dari 30 tahun yang
lampau bukanlah kurun waktu singkat. Selama itu sudah banyak yang berubah
dan berkembang, baik penghuni, lingkungan sekitar, institusi terkait yang
menangani, pasti personelnya sudah silih berganti. Warga merasa memiliki hak
dan ataupun kewenangan atas tanah Meruya tersebut. Mereka merasa telah
22[] Perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 24
menjalankan tugas dengan baik seperti membayar PBB atas kepemilikannya
dan tidak mau disalahkan, tidak ingin kehilangan hak miliknya.
Situasi dan kondisi lapangan pada 1972 tentunya berbeda sama sekali
dengan sekarang. Cara-cara melakukan penilaian dan mengambil langkah-
langkah penindakan 30 tahun yang lalu pada saat ini telah banyak berubah.
Paradigma masa lalu bahwa warga banyak yang belum memiliki sertifikat akan
berhadapan dengan program sertifikasi yang memberi kemudahan dalam
memperoleh sertifikat tanah. Dalam hal ini terlihat kesemrawutan hukum
pertanahan oleh aparat pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Tanah (BPN)
yang bisa menerbitkan sertifikat pada tanah yang masih bersengketa.
Selain itu, PT. Portanigra yang tidak serius dalam kasus sengketa tanah ini.
PT. Portanigra yang menang dalam putusan MA pada tahun 1996 tidak
langsung mengeksekusi tanahnya, baru 11 tahun kemudian yakni tahun 2007
baru melaksanakan eksekusi tanahnya yang lahan sudah di tempati warga
meruya sekarang dengan sertifikat tanah asli. Dengan kata lain di sengketa
meruya ada mafia tanah yang terlibat. Penyelesaian kasus sengketa tanah
meruya : Pihak PT. Portanigra bernegoisasi dengan warga yang dihasilkan
adalah pemilik kuasa yakni PT. Portanigra mengikhlaskan tanahnya yang sudah
di warga sebelum tahun 1997 yang memiliki sertifikat tanah asli. Warga yang
menampati tanahnya tahun 1997 keatas tidak bisa diukur kecuali mereka
mempunyai surat jual-beli tanah dengan pemilik sebelumnya. Keputusan dari
pengadilan negeri Jakarta Barat bahwa PT. Portanigra hanya bisa mengelola
lahan kosong sehingga tidak menggangu warga dan kampus Mercu Buana,
sedangkan Meruya Residence lebih tenang karena sudah membeli langsung
hak kepemilikan tanah ke PortaNigra.
2.2.2 Analisis Kasus
Proses sengketa tanah untuk mencari keadilan yang berlangsung 30 tahun
lalu tidak menghasilkan keadilan yang diharapkan, bahkan justru menimbulkan
ketidakadilan baru. Sehingga tidak ada penanggung jawab tunggal untuk
disalahkan kecuali berlarut-larutnya waktu sehingga problema baru
bermunculan.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 25
Putusan pengadilan seharusnya dapat dilaksanakan dengan cara-cara
mudah, sederhana, dan mengikutsertakan institusi terkait. Sistem peradilan
Indonesia memiliki asas yang menyatakan bahwa proses peradilan dilaksanakan
dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Putusan yang jelas-jelas sulit atau
tidak bisa dilaksanakan dapat mencederai kredibilitas lembaga peradilan.
Pihak ketiga yakni warga yang menempati tanah tersebut dengan sertifikat
tanah yang asli harus beriktikad baik (apalagi tidak tahu sama sekali mengenai
adanya sengketa) seharusnya memperoleh pertimbangan hukum. Jangan
sampai mereka menjadi korban atau dikorbankan sebab dapat menimbulkan
gejolak serta problem kemasyarakatan yang sifatnya bukan sekedar
keperdataan.
Perlu dilakukan penelitian apakah prosedur pembebasan tanah pada saat
itu telah sesuai ketentuan, siapakah yang membayar pajak (PBB) atas tanah
sengketa. Juga dilakukan penyelesaian atas tanah sengketa yang akan
dieksekusi apabila ternyata telah menjadi sarana umum: sekolah, lapangan bola,
perkantoran, puskesmas, ataupun kompleks pertokoan.
Pemerintah daerah dan BPN dalam pengeluaran sertifikat Hak Milik
terutama pemberian setifikat dalam jumlah massal seharusnya benar – benar
memperhatikan aspek – aspek apakah orang yang bersangkutan sudah sesuai
menerima hak untuk memiliki sertifikat Hak Milik atau belum. Hal ini berkaitan
dengan dampak pemberian sertifikat Hak Milik kepada orang yang tidak
semestinya. Dalam kasus ini, sesusai putusan MA seharusnya sertifikat Hak
Milik jatuh kepada PT. Portanigra. Mengingat pencabutan sertifikat Hak Milik
tidak mudah dan memerlukan waktu yang lama.
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari kasus sengketa tanah di Meruya.
PT. Portanigra sebagai perusahaan developer melakukan kesalahan karena
tidak melakukan transaksi beli tanah sesuai aturan dan tidak mengurus sertifikat
pasca transaksi. Melalui kesalahan yang dilakukan PT. Portanigra dapat diambil
pelajaran bahwa sertifikat sangat penting sebagai bukti kepemilikan tanah.
Warga Meruya juga ikut melakukan kesalahan karena mereka tidak berhati-hati
dalam membeli tanah. Oleh karena itu, penting bagi kita mengetahui status
kepemilikan dan kondisi tanah secara detail. Lembaga pemerintahan seperti
BPN dan Mahkamah Agung juga melakukan kesalahan dalam mengambil
keputusan. BPN mengeluarkan sertifikat atas tanah bersengketa dan MA
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 26
memenangkan gugatan PT. Portanigra tanpa mempertimbangkan kelengkapan
bukti kepemilikan tanah yang dimiliki PT. Portanigra. Dalam kondisi ini, MA
hanya memandang sisi formalitas hukum antara individu atau komunitas dengan
tanah semata sehingga putusan bertentangan dengan rasa keadilan
masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk melakukan
pembenahan di lembaga pemerintahan.
2.2.3 Perspektif Kasus Meruya
1) Perspektif Legal
Kasus Meruya sebenarnya adalah persoalan pidana antara PT
Portanigra dengan Djuhri CS. PT Portanigra yang dalam hal ini dirugikan
dengan penipuan yang dilakukan Djuhri CS dalam proses pengambil alihan
lahan di Meruya. Secara legal, tanah yang dibeli Portanigra dari Djuhri CS
belum beralih karena dasar hukum atas tanah tersebut, dalam hal ini girik [23]
dinyatakan palsu oleh pengadilan pidana dan berdasarkan putusan
pengadilan negeri dimusnahkan.
Selain itu, dalam proses peralihan hak atas tanah, Portanigra sebagai
suatu badan hukum, masih harus melakukan proses peralihan hak atas tanah
tersebut. Jadi selama proses tersebut belum selesai, maka Portanigra belum
dapat disebut sebagai pemilik secara yuridis atas tanah tersebut.
2) Perspektif Yurisdiksi
Putusan Mahkamah Agung utk melakukan eksekusi tanah di Meruya
memang patut dipertanyakan karena penerbitan sertifikat tanah adalah
putusan dari BPN (pejabat negara). jadi, yang dapat mempertanyakan
sertifikat tersebut adalah peradilan Tata Usaha Negara. Seharusnya putusan
dari MA adalah memaksa Djuhri CS utk mengganti kerugian akibat penipuan
yang dilakukannnya dan bukan menyerahkan tanah yang menjadi objek jual
beli pada awalnya. terlebih secara hukum proses peralihan hak atas tanah
tersebut belum terjadi. Atau setidaknya tidak ada dokumen hukum yang
menunjukkan hal tersebut.
3) Perspektif Politik
23[]Tanah girik adalah tanah yang diakui secara adat namun belum bersertifikat dan belum terdaftar di Badan Pertanahan Nasional ( BPN )
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 27
Kasus Meruya memang cukup menarik terutama dari sisi momen
politisnya. Pertama, rencana eksekusi baru dilakukan pada masa
pemerintahan SBY karena menurut isu yang beredar, pemerintah saat ini
sudah bisa menjamin kepastian hukum. Kedua, rencana eksekusi juga terjadi
berdekatan dengan rencana pergantian gubernur DKI Jakarta. Hal ini
tentunya menjadi konsumsi politik yang menarik dari para calon gubernur.
Ketiga, disaat pembenahan korupsi menjadi sorotan publik, lembaga keadilan
kembali menjadi pembuktian bahwa uang bisa merubah keputusan.
2.2.4 Penyelesaian Kasus
Penyelesaian kasus sengketa tanah di Meruya harus dilakukan melalui
pengadilan yang berkeadilan. Keadilan diartikan sebagai suatu seimbang , tidak
berat sebelah atau tidak memihak. Berarti, azas keadilan harus terpenuhi
diantara pihak yang bersengketa yang meliputi azas quality before the law[24] ,
azas equal protection on the law[25], dan Azas equal justice under the law[26].
Bila azas keadilan tidak terpenuhi maka penyelesaiannya akan berlarut-
larut seperti yang terjadi dalam kasus Meruya, dimana warga tidak memperolah
persamaan hak berupa pengakuan kepemilikan tanah saat Mahkamah Agung
memenangkan gugatan PT. Portanigra. Dalam kasus sengketa tanah diperlukan
peran serta pemerintah untuk menyelesaikannya dengan akal sehat dan
menggunakan kaidah berpikir tepat dan logis. Kaidah berpikir tepat dan logis
merupakan cara berpikir sesuai tahap-tahap penalaran atau kegiatan akal budi.
Prinsip akal budi secara aspek mental meliputi pengertian (concept), putusan
(judgement) dan penyimpulan (reasoning). Sebagai langkah awal, pemerintah
sebagai penengah harus mengetahui permasalahannya secara detail dengan
melekukan penelitian lebih lanjut mengenai status kepemilikan tanah. Kemudian
pemerintah mengkaitkan antara hukum dengan fakta yang ada dan
menyimpulkan kepemilikan atas tanah di Meruya. Kaidah berpikir logis sangat
penting dilakukan agar hasil keputusannya dapat diterima oleh kedua belah
pihak.
24[] Azas qulity before the law yaitu azas persamaan hak dan derajat di muka hukum.25[]Azas equal protection on the law yaitu azas yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat perlindungan yang sama oleh hukum.26[]Azas equal justice under the law yaitu azas yang menyatakan bahwa tiap orang mendapat perlakuan yang sama di bawah hukum.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 28
Akhirnya, pihak PT. Portanigra bernegoisasi dengan warga yang
dihasilkan adalah pemilik kuasa yakni PT. Portanigra mengikhlaskan tanahnya
yang sudah di warga sebelum tahun 1997 yang memiliki sertifikat tanah asli.
Warga yang menampati tanahnya tahun 1997 keatas tidak bisa diukur kecuali
mereka mempunyai surat jual-beli tanah dengan pemilik sebelumnya.
Keputusan dari pengadilan negeri Jakarta Barat bahwa PT. Portanigra
hanya bisa mengelola lahan kosong sehingga tidak menggangu warga dan
kampus Mercu Buana, sedangkan Meruya Residence lebih tenang karena
sudah membeli langsung hak kepemilikan tanah ke PortaNigra.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 29
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya sepertinya
merupakan konflik laten dan pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar
kalaupun tidak bisa disebut, hampir seluruhnya bukan hanya individual, namun
melibatkan tataran komunal maka boleh dibayangkan bagaimana hebatnya
bom waktu yang akan meledak jika kasus-kasus sengketa tanah tersebut tidak
segera mendapatkan penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang
berpihak pada kepentingan rakyat.
Ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah,
diantaranya yaitu sistem administrasi pertanahan terutama dalam hal sertifikasi
tanah yang tidak beres, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata dan
legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal
(sertifikat) tanpa memperhatikan produktivitas tanah.
Berdasarkan Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional di Bidang Pertanahan, pada dasarnya memberi kewenangan untuk
menjalankan reforma agraria yang besar kepada pemerintah daerah untuk
menuntaskan masalah-masalah agraria secara serius.
3.2 SARAN
Banyaknya permasalahan pertanahan yang melibatkan masyarakat
dengan masyarakat, masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat
dengan pemerintah yang kerap berujung pada dirugikannya salah satu pihak
dirasakan perlu dilakukan penyelesaian sengketa alternatif (PSA). Saat ini di
Indonesia belum ada langkah PSA, selama ini permasalahan sengketa
pertanahan selalu di selesaikan di pengadilan dimana biasanya dalam proses
pengadilan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya cukup mahal
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 30
dan tidak bisa langsung di eksekusi. Sehingga sebelum berkas perkara masuk
ke pengadilan perlu dibuat mekanisme PSA. Diantaranya membuat lembaga
mediasi dan membuat arbitrase pertanahan, dimana lembaga mediasi bertugas
mempertemukan pihak-pihak bersengketa, sedangkan arbitrase mempunyai
tugas untuk melakukan penyelesaian di luar pengadilan tetapi berkas berada di
pengadilan.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 31
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1960, Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria.
Anonim, 2011, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan
Kasus Pertanahan.
Harsono, Boedi. 2005. Hukum Agaria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria,isi dan pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
Maria, Rita R. 2000. Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Maria, SW Sumardjono. 2009. Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Sarjita., 2009, Paradigma Moral Penyelesaian Konflik dan Sengketa Pertanahan,
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta.
Sumarto, SH, M.Eng, 2012, Penanganan dan Penyelesaian Konflik Pertanahan
dengan Prinsip Win Win Solution Oleh Badan Pertanahan Nasional RI.
Disampaikan pada Diklat Penanganan Konflik Pertanahan Kementerian
Dalam Negeri di Hotel Jayakarta,Tanggal 19 September 2012.
Urip, Santoso. 2005. Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada
Media.
Sumber Internet :
BPN Kabupaten Tasikmalaya, Luas Lingkup Penyebab timbulnya masalahtanah dan
http://kab-tasikmalaya.bpn.go.id/Propinsi/Jawa-Barat/Kabupaten-
Tasikmalaya/Artikel/Luas-Lingkup-Penyebab-Timbulnya-Masalah-Tanah-
Dan-.aspx. Diakses pada tanggal 4 Desember 2013.
Fauzie, 2012, Penenganan Sengketa Konflik Pertanahan di Indonesia.
http://fauzie6961.blog.esaunggul.ac.id/2012/05/23/penanganan-sengketa-
konflik-dan-perkara-pertanahan-di-indonesia/. Diakses pada tanggal 4
Desember 2013.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 32
FIA S.AJI (KANWIL BPN GORONTALO), 2007, Penyelesaian Sengketa
Pertanahan, http://fiaji.blogspot.com/2007/09/penyelesaian-sengketa-
pertanahan-fia-s.html. Diakses pada tanggal 4 Desember 2013.
Hanifah Nurrahmi, 2012, Contoh Kasus Sengketa Tanah Meruya,
http://hanifahnurrahmi.blogspot.com/2012/04/contoh-kasus-sengketa-tanah-
meruya.html. Diakses pada tanggal 4 Desember 2013.
Masalah Pertanahan di Meruya Selatan 33