24
BAB 7 PEREKONOMIAN DALAM ISLAM Jual beli adalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan jual beli manusia dapat memperoleh keuntungan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, makan sehari-hari, kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan anak-anaknya, bahkan pemenuhan kebutuhan yang sifatnya kurang utama. Pembahasan kita kali tentang konsep perekonomian dalam Islam dan akan dilengkapi dengan pembahasan hukum jual beli dan macam-macam transaksi yang telah diatur oleh hukum Islam. A. Jual Beli 1. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli Jual beli artinya pertukaran barang dengan barang atau barang dengan uang. Beberapa ahli mendefinisikan jual beli sebagai berikut, diantaranya adalah Imam Nawawi dalam kitabnya Al Majmu', mengatakan bahwa jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan. Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni, mengatakan bahwa jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk saling memiliki. Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah tukar menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu. Dasar hukum jual beli adalah sebagai berikut. a. Firman Allah SWT: Artinya: "…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…" (Q.S. Al Baqarah: 275). b. Sunah Nabi Muhammad SAW Pada suatu hari, saat Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik, beliau menjawab, “Seorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” Maksud mabrur dalam hadis itu adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.

Materi bab 7

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Materi bab 7

BAB 7

PEREKONOMIAN DALAM ISLAM

Jual beli adalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Dengan jual beli manusia dapat memperoleh keuntungan untuk mencukupi

kebutuhan hidupnya, makan sehari-hari, kebutuhan rumah tangga, biaya

pendidikan anak-anaknya, bahkan pemenuhan kebutuhan yang sifatnya kurang

utama. Pembahasan kita kali tentang konsep perekonomian dalam Islam dan akan

dilengkapi dengan pembahasan hukum jual beli dan macam-macam transaksi

yang telah diatur oleh hukum Islam.

A. Jual Beli

1. Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli

Jual beli artinya pertukaran barang dengan barang atau barang dengan uang.

Beberapa ahli mendefinisikan jual beli sebagai berikut, diantaranya adalah

Imam Nawawi dalam kitabnya Al Majmu', mengatakan bahwa jual beli

adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan. Ibnu Qudamah

dalam kitabnya Al Mughni, mengatakan bahwa jual beli adalah pertukaran

harta dengan harta untuk saling memiliki. Dari definisi-definisi tersebut

dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah tukar menukar suatu barang

dengan barang yang lain dengan cara tertentu. Dasar hukum jual beli adalah

sebagai berikut.

a. Firman Allah SWT:

Artinya: "…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan

riba…" (Q.S. Al Baqarah: 275).

b. Sunah Nabi Muhammad SAW

Pada suatu hari, saat Nabi SAW ditanya tentang mata pencaharian yang

paling baik, beliau menjawab, “Seorang bekerja dengan tangannya dan

setiap jual beli yang mabrur.” Maksud mabrur dalam hadis itu adalah

jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.

Page 2: Materi bab 7

c. Ijmak para Sahabat

Para ulama telah bersepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan

bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan tanpa bantuan

dari orang lain. Akan tetapi, bantuan barang milik orang lain yang

dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum jual

beli adalah boleh atau mubah.

2. Rukun Jual Beli

Para ulama sepakat bahwa ada empat rukun jual beli.

a. Bai' (penjual), yaitu pihak yang dikenai tuntutan untuk menjual.

b. Musytari (pembeli), yaitu pihak yang menghendaki memiliki sesuatu

dengaN membelinya.

c. Sigat (ijab dan kabul), yaitu transaksi yang dilakukan oleh kedua belah

pihak.

d. Ma'qud 'alaih (benda atau barang), yaitu sesuatu yang menjadi objek

transaksi.

Adapun syarat agar jual beli sah, penjual dan pembeli harus memenuhi

syarat berikut ini.

a. Berakal, supaya seseorang tidak terkecoh.

b. Dilakukan atas kehendak sendiri, bukan dipaksa atau keterpaksaan.

c. Tidak mubazir (boros) sebab harta orang yang mubazir itu di tangan

walinya.

d. Balig (berumur 15 tahun ke atas), bagi anak-anak yang sudah mengerti

boleh melakukan jual beli yang kecil-kecil.

3. Syarat Jual Beli

Secara umum, disyaratkannya jual beli adalah untuk menghindari

pertentangan di antara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang berakad,

dan menghindari jual beli garar (penipuan).

Syarat jual beli meliputi empat hal, yaitu sebagai berikut.

a. Syarat terjadinya akad

Page 3: Materi bab 7

Jual beli batal apabila syarat terjadinya akad tidak terpenuhi. Ini menurut

ulama Hanabilah.

b. Syarat sahnya akad

Syarat terbagi dua, yaitu umum dan khusus.

1) Syarat umum

Yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual beli

yang telah ditetapkan oleh syarak dan terhindar dari kecacatan jual

beli. Misalnya ketidakjelasan, keterpaksaan, pembatasan waktu

dengan waktu, penipuan, kemudaratan, dan persyaratan yang merusak

lainnya.

2) Syarat khusus adalah syarat-syarat yang hanya ada pada barang-barang

tertentu, seperti:

a) barang yang diperjualbelikan harus dapat dipegang;

b) harga awal harus diketahui;

c) serah terima benda dilakukan sebelum berpisah, yaitu pada jual beli

yang ada di tempat;

d) terpenuhi syarat penerimaan;

e) harus seimbang dalam ukuran timbangan, yaitu pada jual beli yang

memakai ukuran atau timbangan;

f) barang yang diperjualbelikan sudah menjadi tanggungjawabnya.

Oleh karena itu, tidak boleh menjual barang yang masih berada di

tangan penjual.

c. Syarat Terlaksananya Akad

Syarat terlaksananya akad adalah sebagai berikut.

1) Benda dimiliki oleh aqid (berkuasa untuk akad).

2) Pada benda tidak terdapat milik orang lain. Oleh karena itu, tidak

boleh menjual barang sewaan dan barang gadai karena barang tersebut

bukan miliknya sendiri, kecuali diizinkan oleh pemilik sebenarnya,

yakni jual beli yang ditangguhkan. Berdasarkan syarat terlaksananya

akad dan wakaf (penangguhan), maka jual beli terbagi dua, yaitu jual

beli nafaz dan jual beli mauquf.

Page 4: Materi bab 7

1) Jual beli nafaz adalah jual beli yang dilakukan oleh orang yang telah

memenuhi syarat dan rukun jual beli tersebut dikategorikan sah.

2) Jual beli mauquf adalah jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak

memenuhi nafaz, yakni bukan milik dan tidak kuasa melakukan akad,

seperti jual beli fudul (jual beli milik orang lain, tanpa ada izin). Jika

pemiliknya mengizinkan, maka jual beli fudul dipandang sah.

Sebaliknya, jika pemilik tidak mengizinkan, dipandang batal. Para

ulama berbeda pendapat dalam jual beli fudul ini.

d. Syarat Kepastian

Syarat kepastian hanya ada satu, yaitu akad jual beli harus terlepas atau

terbebas dari

khiar (pilihan) yang berkaitan dengan kedua pihak yang akad dan

menyebabkan batalnya akad.

4. Jual Beli yang Dilarang

Yang dilarang di dalam Islam tentang jual beli sangatlah banyak.

Diterangkan oleh Wahbah al Zuhaili sebab-sebab terlarangnya jual beli.

a. Terlarang sebab ahliah

Orang yang dilarang melakukan transaksi jual beli karena sebab ahliah,

yaitu:

1) orang gila,

2) anak kecil,

3) orang buta,

4) fudul,

5) orang yang terhalang (misal karena kebodohan, bangkrut atau sakit),

dan

6) malja' adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk

menghindar dari perbuatan zalim.

b. Terlarang sebab sigat

Ulama fikih telah sepakat bahwa jual beli yang didasarkan pada keridaan

antara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian antara ijab dan kabul,

berada di satu tempat, dan tidak terpisah oleh suatu pemisah adalah sah.

Page 5: Materi bab 7

Sebaliknya, jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang

tidak sah atau masih diperselisihkan para ulama, seperti macam-macam

jual beli berikut.

1) Jual beli mu'tah adalah jual beli yang sudah disepakati oleh pihak

akad, berkenaan

dengan barang dan harganya, tetapi tidak memakai ijab kabul.

2) Jual beli melalui utusan dan surat. Jual beli semacam ini adalah sah

selama utusan dan surat itu sampai pada tujuan. Jual beli tidak sah bila

yang terjadi adalah sebaliknya.

3) Jual beli dengan syarat atau lisan selama bisa dibaca dan dimengerti.

Jika terjadi sebaliknya, maka jual beli menjadi tidak sah, misalnya

tulisannya kabur dan isyaratnya tidak dapat dipahami.

4) Jual beli barang yang tidak ada di tempat.

5) Jual beli tidak berkesesuaian dengan ijab kabul.

6) Jual beli munjiz (jual beli yang ditangguhkan).

c. Terlarang sebab ma'qud 'alaih (objek akad)

Ma'qud 'alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang

yang berakad,

biasa disebut dengan istilah mabi' (barang jualan), seperti berikut.

1) Jual beli benda yang dikhawatirkan tidak ada barangya.

2) Jual beli yang tidak dapat diserahkan barangnya.

3) Jual beli garar (tipuan) adalah jual beli yang mengandung kesamaran.

Contoh jual beli garar adalah sebagai berikut.

a) Jual beli al hashah, yaitu jual beli dengan menggunakan batu kerikil

atau sejenisnya, dengan cara melemparkan batu tersebut pada benda

yang tidak diketahui zatnya. Ke mana batu itu jatuh maka terjadilah

jual beli.

b) Dharbah al ghawas, yaitu jual beli dari menyelam, barang yang

diperjualbelikan tidak jelas, apa yang didapatkan dari laut ketika

menyelam itulah yang dibayar.

Page 6: Materi bab 7

c) Jual beli al nitaaj, yaitu perjanjian jual beli pada hasil ternak sebelum

dihasilkan, misalnya susu sebelum diperah.

d) Jual beli mulamasah, yaitu jual beli dengan meraba. Contoh:

keharusan membeli pada kain yang diraba tanpa mengetahui keadaan

barangnya.

e) Jual beli mukhadharah, yaitu jual beli benda yang masih hijau, buah

atau biji-bijian yang belum masak. Contoh: kurma yang masih hijau

yang belum ada tanda-tanda masak.

f) Jual beli bulu binatang yang masih di badan.

g) Jual beli munaabadah yaitu jual beli dengan cara berebutan. Contoh:

dua orang calon pembeli melakukan transaksi dengan cara berebut,

barang wajib dibeli walaupun tidak rida.

h) Jual beli muhaaqalah, yaitu membeli buah di kebun dengan sesuatu

yang tertentu.

Contoh: jeruk ditukar dengan gandum.

i) Jual beli muzaabanah, contoh: kurma basah ditukar dengan kurma

kering dengan ukuran yang tidak jelas.

j) Jual beli habalu al habalah, yaitu jual beli binatang yang masih di

perut (yang belum dilahirkan).

4) Jual beli barang najis dan yang terkena najis.

5) Jual beli barang yang tidak jelas (majhul).

6) Jual beli air (Mazhab Zahiriah dan yang lain tidak mengharamkannya).

7) Jual beli barang yang tidak ada di tempat.

8) Jual beli sesuatu yang belum dipegang.

9) Jual beli buah-buahan atau tumbuh-tumbuhan yang belum jelas

buahnya.

d. Terlarang sebab syarak

1) Jual beli riba;

2) Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan;

3) Jual beli barang dari merampas atau malak di jalan;

Page 7: Materi bab 7

4) Jual beli sperma hewan jantan dengan cara mencampurkan hewan

tersebut dengan hewan betina;

5) Jual beli anggur untuk dijadikan khamar;

6) Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain;

7) Jual beli bersyarat.

5. Hikmah Jual Beli

a. Membangkitkan Semangat Kerja

Jual beli mendidik manusia untuk bekerja keras, tidak menjadi pengemis

serta mengharap pemberian orang lain. Sebab sikap meminta-minta akan

menjatuhkan martabat baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah

SWT.

b. Menjadikan Manusia Ingat kepada Allah SWT

Allah SWT adalah Zat Yang Mahakaya dan kepada-Nya lah tempat seluruh

umat manusia memohon rezeki. Dalam berniaga sering orang menggunakan

cara-cara yang curang untuk meraup untung besar. Cara yang curang hanya

akan memperoleh rezeki yang tidak berkah. Sebaliknya, jika dalam berniaga

sesuai dengan syariat-Nya serta profesional, jujur, sabar, tidak menipu, ulet

dan tidak lupa berdoa maka akan memperoleh rezeki yang berkah.

6. Jual Beli yang Benar

Pada dasarnya jual beli adalah proses untuk memiliki harta atau

barang dengan sah secara hukum. Jual beli yang benar adalah jual beli yang

sesuai dengan kehendak syarak yaitu memenuhI persyaratan, rukun jual

beli, dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli. Maka perlu

diperhatikan, agar terjadi jual beli yang benar adalah barang yang dijual

harus terjamin dari kesucian, jangan menjual barang najis, bukan barang

yang rusak, barang harus jelas dan tampak.

B. Khiar

1. Pengertian dan Dasar Khiar

Dalam jual beli, khiar adalah hak memilih salah satu di antara dua hal,

yaitu meneruskan akad jual beli atau mengurungkannya (menarik kembali

jual beli). Khiar bertujuan agar kedua orang yang berjual beli dapat

Page 8: Materi bab 7

memikirkan kemaslahatan masing-masing tentang jual belinya, sehingga

tidak terjadi penyesalan di kemudian hari, lantaran merasa tertipu. Khiar

hukumnya mubah dan disyariatkan dalam agama Islam. Rasulullah SAW

membenarkan praktik khiar melalui hadisnya yang berbunyi:

Artinya: “Bahwa Rasulullah SAW bersabda,'Engkau berhak untuk khiar

dalam tiap-tiap barang yang engkau beli selama tiga hari'.” (H.R. Al-

Baihaqi)

Dari hadis tersebut berarti batas khiar hanya boleh selama tiga hari, lebih

dari itu tidak diperbolehkan. Hal ini tampak pada hadis berikut ini.

Artinya: "Seorang laki-laki membeli seekor unta dari laki-laki lainnya dan

ia mensyaratkan khiar selama empat hari, Rasulullah SAW membatalkan

jual beli tersebut dan bersabda,'khiar adalah tiga

hari'." (H.R. Abdul Razzaq)

2. Macam-Macam Khiar

a. Khiar Majelis

Khiar majelis adalah hak khiar ketika si pembeli dan penjual boleh

memilih antara dua perkara, yakni meneruskan/melangsungkan jual beli

atau membatalkannya selama keduanya masih berada di tempat

berlangsungnya akad jual beli. Khiar majelis diperbolehkan dalam segala

macam jual beli. Khiar majelis biasanya terjadi pada akad yang bersifat

pertukaran, seperti jual beli dan upah-mengupah.

Dasar untuk berlakunya khiar majelis adalah hadis Nabi berikut ini.

Artinya: "Dua orang yang berjual beli, boleh memilih akan meneruskan

jual beli mereka atau tidak, selama keduanya belum berpisah dari tempat

akad." (H.R. Al Bukhari dan Muslim)

Khiar majelis dapat gugur dan tidak berlaku disebabkan hal-hal berikut

ini.

1) Penjual dari pembeli telah memutuskan untuk memilih meneruskan

jual beli atau

membatalkannya.

Page 9: Materi bab 7

2) Penjual dan pembeli sudah berpisah menurut adat kebiasaan.

3) Salah satu atau keduanya meninggal dunia.

b. Khiar Syarat

Khiar syarat adalah khiar yang disyaratkan oleh salah satu pihak

penjual atau pembeli sewaktu berlangsungnya akad jual beli. Misalnya,

kata penjual,"Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat

khiar tiga hari atau kurang dari tiga hari." Khiar syarat dapat dilakukan

dalam segala bentuk jual beli, kecuali barang yang wajib diterima di

tempat jual beli, seperti barang-barang riba. Masa khiar syarat paling

lama hanya tiga hari. Sebagaiman sabda Rasulullah SAW berikut ini.

Artinya: "Engkau boleh khiar dalam segala barang yang engkau telah

beli selama tiga hari tiga malam." (H.R. Ibnu Majah)

c. Khiar 'Aibi (Cacat)

Khiar 'aibi adalah hak pembeli untuk memilih meneruskan jual beli

atau membatalkannya, ketika diketahui barang yang dibelinya ternyata

cacat dan cacat tersebut tidak tampak pada saat berlangsungnya akad.

Menjual barang yang cacat tanpa menjelaskan kepada pembeli tentang

cacat tersebut, hukumnya haram. Oleh karena itu, jika di saat akad tidak

diketahui ada cacat pada barang yang dibeli, kemudian setelah akad

diketahui bahwa barang tersebut cacat, pembeli boleH menolak barang

tersebut dan membatalkan jual beli. Hal tersebut telah menjadi milik

ijmak ulama. Dalam sebuah hadis, diriwayatkan sebagai berikut.

Artinya: "Aisyah berkata, 'Bahwasannya seorang laki-laki telah

membeli seorang budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan dia,

kemudian kedapatan bahwa budak itu ada cacatnya, lalu dia adukan

perkaranya kepada Rasulullah, keputusan dari beliau, budak itu

dikembalikan kepada si penjual'." (H.R. Abu Dawud)

3. Praktik Khiar

Ahmad membeli sebuah TV berwarna. Sesudah terjadi akad,

ditemukan cacat, seperti lecetlecet dan speaker tidak berbunyi. Saat barang

belum dibawa pulang maka cacat tersebut masih dalam tanggungan si

Page 10: Materi bab 7

penjual. Artinya, penjual harus menggantinya dengan barang yang tidak

cacat sedikitpun. Jika kedua belah pihak telah terjadi akad dan pembeli

mengetahui cacat setelah dibawa pulang, si pembeli dapat mengembalikan

pada penjual dengan meminta kembali uangnya. Jika pembeli tidak segera

mengembalikan barang yang cacat kepada pemilik toko, berarti ia telah rida

atas cacat barang tersebut. Barang tersebut kemudian dijual kepada pihak

kedua. Jika pihak kedua mengetahui ada cacat pada barang tersebut, ia

berhak meminta ganti rugi, namun tidak berhak mengembalikan barangnya

dengan meminta ganti barang yang baru.

4. Hikmah Khiar

Hikmah dari adanya khiar adalah manusia dididik untuk jujur dan

sabar. Seandainya saja ada kecacatan dalam membeli barang, hendaknya

langsung dikembalikan, tidak perlu marah, memfitnah, atau mencaci maki

atas kesalahan pihak penjual. Bisa jadi si penjual tidak tahu atau tidak

sengaja bahwa barang yang dijualnya cacat. Di sini kita dididik untuk saling

menghargai antara satu dengan lain karena pada hakikatnya kedua pihak

akan memperoleh keuntungan dari akad yang dilakukan.

5. Khiar yang Benar

Setiap orang Islam dalam bermuamalah tidak boleh melakukan

kecurangan, dan harus selalu memikirkan kemaslahatan dalam

melaksanakan khiar dan jual beli. Dengan berbuat curang hanya akan

menjatuhkan martabat diri, baik di hadapan manusia maupun di hadapan

Allah SWT. Setiap pembeli hendaknya waspada terhadap barang yang

dibeli. Jangan segan untuk menanyakan tentang baik buruk barang yang

akan dibeli sehingga tidak ada keraguan dalam memutuskan membeli apa

tidak, melainkan akan dengan mantap dalam mengambil keputusan dan rida.

C. Musaqah, Muzara'ah, dan Mukhabarah

1. Musaqah

Page 11: Materi bab 7

Akad musaqah merupakan peluang bagi orang lain untuk bekerja dan

mendapat hasil dari pekerjaannya dengan cara yang halal dan diridai Allah

SWT. Sedangkan bagi majikan juga merasa sangat terbantu. Islam sangat

menganjurkan musaqah karena memberi manfaat sosial yang sangat tinggi.

a. Pengertian dan Dasar Hukum Musaqah

Musaqah berasal dari kata al-saqa, yaitu seseorang yang bekerja

mengurus pohon anggur, tamar, atau lainnya supaya mendatangkan

kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus

sebagai imbalannya.

Secara istilah, musaqah adalah mempekerjakan manusia untuk

mengurus pohon dengan menyiram dan memeliharanya serta hasil yang

direzekikan Allah SWT dari pohon itu untuk mereka berdua (pendapat

Syekh Syihab ad-Din al-Qalyubi dan Syekh Umarah).

Dasar hukumnya adalah hadis Nabi SAW riwayat Imam Muslim

dari Ibnu Amr, RA bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya,

“Memberikan tanah Khaibar dengan separoh dari penghasilan, baik buah-

buahan maupun pertanian (tanaman).” Pada riwayat lain dinyatakan

bahwa Rasul menyerahkan tanah Khaibar itu kepada Yahudi, untuk

diolah dan modal dari hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi.”

b. Rukun Musaqah

Rukun musaqah meliputi beberapa hal, antara lain sebagai berikut.

1) Antara pemilik kebun dan tukang kebun (penggarap) hendaknya orang

yang samasama berhak bertasaruf (membelanjakan harta keduanya).

2) Kebun dan semua pohon yang berbuah boleh diparokan (bagi hasil),

baik yang berbuah tahunan (satu kali dalam satu tahun) maupun yang

berbuah hanya satu kali kemudian mati, seperti jagung dan padi.

c. Syarat Musaqah

Syarat musaqah adalah sebagai berikut:

1) ahli dalam akad;

2) menjelaskan bagian penggarap;

3) membebaskan pemilik dari pohon;

Page 12: Materi bab 7

4) hasil dari pohon dibagi dua antara pihak-pihak yang melangsungkan

akad sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir. Tidak

disyaratkan untuk menjelaskan mengenai jenis benih, pemilik benih,

kelayakan kebun, serta ketetapan waktu.

d. Hikmah Musaqah

Memberi kesempatan pada orang lain untuk bekerja dan menikmati hasil

kerjanya, sesuai dengan yang dikerjakan. Sementara itu, pemilik

kebun/tanah garapan memberikan kesempatan kerja dan meringankan

kerja bagi dirinya.

2. Muzara'ah

Muzara'ah disyariatkan Islam dengan tujuan memberi kesempatan kepada

orang lain, agar dapat menikmati kekayaan yang ada pada orang lain dengan

ketentuan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan antara dua belah pihak.

a. Pengertian dan Dasar Hukum Muzara'ah

Muzara'ah berasal dari bahasa Arab yang berarti menumbuhkan. Secara

istilah para ulama fikih mendefinisikan sebagai berikut.

1) Syekh Ibrahim Al-Bajuri berpendapat bahwa muzara'ah adalah pekerja

mengelola sawah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan

modal dari pemilik tanah.

2) Ulama Malikiyah berpendapat muzara'ah adalah bersekutu dalam

akad.

3) Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pemilik tanah menyerahkan

tanahnya kepada orang lain untuk ditanami dan yang bekerja diberi

bibit. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa

muzara'ah adalah pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang

lain untuk dikelola dengan bagi hasil, yakni seperdua, sepertiga, atau

lebih yang benihnya dari petani. Dasar hukum diperbolehkannya

muzara'ah adalah hadis Nabi yang artinya, “Sesungguhnya Nabi SAW

menyatakan tidak mengharamkan bermuzara'ah, bahkan beliau

menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain,

Page 13: Materi bab 7

dengan katanya, 'barang siapa yang memiliki tanah maka hendaklah

ditanami atau diberikan'.”

b. Rukun dan Sifat Akad Muzara'ah

Ada perbedaan pendapat mengenai rukun muzara'ah di antara para

ulama.

1) Ulama Hanabilah berpendapat rukun muzara'ah yaitu ijab dan kabul.

Boleh dilakukan dengan lafal apa saja yang menunjukkan adanya ijab

dan kabul. Bahkan muzara'ah sah dilafalkan dengan ijarah.

2) Ulama Hanafiah berpendapat rukun muzara'ah ada empat, yaitu tanah,

perbuatan pekerja, modal, dan alat-alat untuk menanam.

Setiap muslim yang akan melaksanakan akad muzara'ah, harus

mengetahui syaratsyarat muzara'ah, antara lain sebagai berikut.

1) 'Aqidain, yakni harus berakal;

2) Tanaman, yakni disyaratkan adanya penentuan jenis tanaman apa

saja yang akan ditanam;

3) Perolehan hasil dari tanaman, yaitu:

a)bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (prosentase

ketika akad);

b) hasil adalah milik bersama;

c) bagian antara amil dan malik adalah dari satu jenis barang yang

sama;

d) bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui;

e) tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang maklum.

4) Tanah yang akan ditanami, yaitu tanah tersebut dapat ditanami dan

diketahui batasbatasnya;

5) Waktu, syaratnya adalah:

a) waktunya telah ditentukan,

b) waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman dimaksud,

seperti menanam padi waktunya kurang lebih 4 bulan

(tergantung teknologi yang dipakainya) atau menurut kebiasaan

setempat, dan

Page 14: Materi bab 7

c) waktu tersebut memungkinkan kedua belah pihak hidup menurut

kebiasaan.

6) Alat-alat muzara'ah disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya

dibebankan kepada pemilik tanah.

c. Hikmah Muzara'ah

Bumi diciptakan untuk kepentingan manusia, maka manusialah

yang harus mengolahnya, menanaminya dengan berbagai jenis tanaman

untuk kepentingannya juga sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT

atas segala karunia-Nya. Maka sangat penting bagi manusia untuk

menuntut ilmu tentang pertanian agar lebih maksimal mendapatkan

manfaat dari bumi yang diolahnya dengan cara bertani.

Muzara'ah menjadikan pemilik tanah dan penggarap tanah

bersinergi untuk sama-sama mendapatkan bagian atas apa yang sudah

disumbangkan kedua belah pihak dengan penuh keikhlasan dan rida atas

dasar saling tolong-menolong dan percaya sehingga saling

menguntungkan tidak saling merugikan.

3. Mukhabarah

Mukhabarah adalah akad yang sama dengan muzara'ah baik dalam

dasar hukum, syarat, dan rukunnya. Keduanya masih sama-sama dalam

perdebatan para ulama. Ada sebagian yang membolehkan dan ada sebagian

yang tidak membolehkan. Namun, dilihat dari manfaat yang diambil dari

kedua akad tersebut maka secara syarak boleh dilakukan sepanjang tidak

ada maksud mencari keuntungan untuk diri sendiri dan mempekerjakan

orang lain tanpa diberi upah sedikitpun dari hasil kerjanya.

Perbedaan antara mukhabarah dan muzara'ah terletak dalam hal benih

yang akan ditanam apakah benih menjadi tanggungan pemilik tanah atau

menjadi tanggungan penggarap. Dalam akad muzara'ah, pihak penggarap

Page 15: Materi bab 7

adalah yang menyediakan benih, sedangkan pada akad mukhabarah, pemilik

tanah adalah pihak yang menyiapkan benih.

Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam akad mukhabarah, antara

lain:

a. para akid adalah mereka yang sudah cukup dewasa;

b. usahakan penggarap adalah seagama;

c. tanah garapan betul-betul dapat menghasilkan dan menguntungkan;

d. akad harus jelas, tidak boleh ada keraguan dan kecurangan. Apabila perlu

ditulis atau dicatat untuk menghindari kelupaan, terutama batas waktu

akad, jenis benih yang akan ditanam, berapa bagian masing-masing dari

penghasilan, kapan penyerahan tanah dan benih, dan dibuat perjanjian

kerja sama yang saling menguntungkan.

e. kesepakatan penggunaan alat untuk bekerja, memakai alat tradisional atau

memakai alat modern. Hal itu perlu disebutkan karena menyangkut biaya

yang dikeluarkan oleh masingmasing adalah berbeda.

Beberapa hikmah mukhabarah, adalah sebagai berikut.

a. Membuka peluang kerja.

b. Mendidik manusia agar lebih memahami tentang ilmu pertanian dan kerja

profesional.

c. Saling menghargai antara pemilik tanah dan penggarap tanah sangat

mulia dan diridai Allah SWT.

d. Memberi pelajaran agar manusia rajin bekerja.

D. Syirkah

Dalam rangka untuk saling memenuhi kebutuhan hidupnya maka Islam

memberi sarana dengan adanya akad syirkah. Ini penting karena tidak mungkin

manusia dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa ada pihak lain.

1. Pengertian Syirkah

Secara bahasa syirkah artinya percampuran. Dalam hal ini adalah

bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya tanpa dapat

dibedakan antara keduanya. Menurut istilah para fukaha, syirkah adalah

Page 16: Materi bab 7

kerja sama untuk mendayagunakan (tasaruf) harta yang dimiliki dua orang

secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan

kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun

masing-masing memiliki hak untuk bertasaruf.

Jadi, dapat dipahami bahwa syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau

lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung

bersama.

Adapun dasar hukumnya adalah sebagai berikut.

a. Al-Qur’an Surah An-Nisaa ayat 12

Artinya: “... Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang

maka mereka bersamasama (bersekutu) dalam bagian yang seperti itu...”

(Q.S. An-Nisaa/4 : 12)

b. Sunah Nabi Muhammad SAW

Artinya: Allah taala berfirman, 'Aku pihak ketiga dari dua orang yang

berserikat selagi masing- masing dari keduanya tidak mengkhianati yang

lain. Jika salah seorang dari keduanya mengkhianati yang lain, aku

keluar dari keduanya'.” (H.R. Abu Dawud)

2. Macam-Macam Syirkah (Kerja Sama)

Ada dua macam syirkah, yaitu milk dan 'uqud.

a. Syirkah milk

Syirkah milk adalah kerja sama dua orang atau lebih yang memiliki

barang tanpa adanya akad syirkah. Kerja sama ini meliputi dua macam.

1) Syirkah milk ikhtiyar

Adalah kerja sama yang muncul karena adanya kontrak dua orang

yang bersekutu.

Misalnya dua orang yang membeli, memberi, atau berwasiat tentang

sesuatu dan

keduanya menerima, maka jadilah pembeli, yang diberi, dan yang

diberi wasiat bersekutu

di antara keduanya, yakni kerja sama milik.

2) Syirkah milk al-jabr

Page 17: Materi bab 7

Adalah kerja sama yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih yang

bukan

didasarkan atas perbuatan keduanya (secara paksa). Misal, dua orang

mewariskan

sesuatu maka yang diberi waris menjadi sekutu mereka.

b. Syirkah 'Uqud

Syirkah 'uqud merupakan bentuk transaksi yang terjadi antara dua orang

atau lebih

bersekutu dalam harta dan keuntungannya. Syirkah ini mempunyai empat

bentuk.

1) Syirkah 'Inan

Adalah persekutuan atau kerja sama antara dua orang dalam harta

milik untuk berdagang secara bersama-sama dan membagi laba atau

kerugian bersama-sama. Kerja sama ini boleh dilakukan oleh umat

Islam. Modal dan pengolahannya tidak harus sama. Masing-masing

pemodal dapat berbeda, yang satu bisa lebih besar dari yang lainnya.

Begitu juga dalam menikmati hasil bisa berbeda, bisa banyak, dan bisa

sedikit sesuai dengan persetujuan yang mereka buat bersama.

2) Syirkah Mufawadah

Adalah transaksi dua orang atau lebih untuk berserikat dengan syarat

memiliki kesamaan dalam jumlah modal, penentuan keuntungan,

pengelolaan, dan agama yang dianut. Ulama membolehkan kerja sama

ini dengan syarat persamaan modal. Jika tidak sama maka batal.

3) Syirkah Wujuh

Adalah kerja sama dua pemimpin dalam pandangan masyarakat tanpa

modal, untuk membeli barang secara tidak kontan (kredit) dan akan

menjualnya secara kontan. Kemudian keuntungan yang diperoleh

dibagi di antara mereka dengan syarat tertentu. Kerja sama seperti ini

menimbulkan perbedaan pendapat. Ada ulama yang membolehkan,

ada yang tidak membolehkan.

Page 18: Materi bab 7

a) Pendapat yang tidak membolehkan adalah kalangan dari ulama

Malikiyah, Syafi'iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah. Mereka beralasan

bahwa kerja sama ini sangat rentan terhadap penipuan karena tidak

dibatasi oleh pekerjaan tertentu.

b) Pendapat yang membolehkan adalah ulama dari kalangan

Hanafiyah, Hambaliyah, dan Zaidiyah. Mereka beralasan bahwa kerja

sama (syirkah wujuh) telah mengandung unsur adanya perwakilan dari

seorang kepada partnernya dalam

penjualan dan pembelian.

4) Syirkah Abdan

Adalah kerja sama dua orang atau lebih untuk menerima suatu

pekerjaan yang akan dikerjakan secara bersama-sama. Kemudian,

keuntungan dibagi antara keduanya dengan menetapkan persyaratan

tertentu. Contoh: kerja sama dua orang penjahit dan tukang besi.

3. Syarat dan Rukun Syirkah

Menurut Hanafiyah, syarat-syarat syirkah ada empat, sebagai berikut.

a. Segala yang berkaitan dengan bentuk syirkah, baik dengan harta atau

yang lain. Ada dua syarat di dalamnya, yaitu:

1) yang berkenaan dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat

diterima sebagai perwalian;

2) yang berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan

harus jelas dan dapat diketahui dua pihak, misalnya, setengah dan

sepertiga.

b. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta), terdapat dua perkara

yang harus dipenuhi.

1) Modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah uang (alat

pembayaran).

2) Yang dijadikan modal (harta pokok) ada ketika akad syirkah

dilakukan, baik jumlahnyasama maupun berbeda.

c. Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadah, disyaratkan sebagai

berikut.

Page 19: Materi bab 7

1) Modal harus sama;

2) Bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah (jaminan);

3) Bagi yang dijadikan objek akad disyariatkan syirkah umum, yakni

pada semua jenis jual beli atau perdagangan.

d. Syarat yang bertalian dengan syirkah 'inan sama dengan syarat-syarat

syirkah mufawadah.

Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang

melakukan akad adalah merdeka, balig, dan pandai. Rukun syirkah menurut

ulama Hanafiyah ada dua, yaitu ijab dan kabul.

4. Hikmah Syirkah

Hikmah syirkah adalah sebagai berikut.

a. Menggalang kerja sama untuk saling menguntungkan antara pihak-pihak

yang bersyirkah;

b Membantu meluaskan ruang rezeki karena tidak merugikan secara

ekonomi.

E. Murabahah, Mudharabah, dan Salam

1. Murabahah

Akar kata dari murabahah adalah 'ribh' yang artinya profit atau laba. Transaksi

al-murabahah adalah transaksi jual beli dengan harga pokok yang ditambah

dengan keuntungan (laba) di mana harga pokok dan laba dari pihak penjual

diketahui oleh pihak pembelinya.

a. Praktik transaksi murabahah pada bank syariah.

Nasabah berjanji akan membeli komoditi dari bank syariah dengan

menggunakan akad

wa'ad (janji). Lalu bank mewakilkan pembelian komoditi tersebut kepada

nasabah menggunakan akad wakalah. Dengan akad wakalah itu, nasabah

pergi ke supplier/dealer/developer untuk membeli komoditi atas nama bank.

Setelah bank mendapatkan barang yang dibelinya lewat nasabah, lalu bank

menjualnya kembali kepada nasabah dengan menggunakan akad

murabahah.

Page 20: Materi bab 7

b. Hal-hal yang dilarang dalam transaksi perbankan syariah yang

menggunakan akad almurabahah

1) Transaksi bay al-murabahah hanya diperbolehkan untuk transaksi jual

beli barang atau komoditi tidak untuk penambahan modal atau digunakan

untuk modal kerja. Untuk modal kerja bisa menggunakan akad lain

seperti mudharabah (bagi hasil) dan musyarakah (kemitraan, bagi hasil,

dan bagi rugi), bukan akad murabahah.

2) Nasabah menggunakan dana pinjaman dari bank dengan akad murabahah

untuk di

gunakan pada keperluannya yang lain, bukan untuk membeli komoditi

dari bank. Padahal jelas sekali akad bay al-murabahah adalah akad jual

beli di mana bank syariah bertindak sebagai pihak penjual.

3) Bank menjual komoditi kepada nasabah sebelum bank memiliki komoditi

tersebut. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip ekonomi syariah di mana

bank sebagai pihak penjual harus sudah memiliki barang yang hendak

dijualnya kepada pihak pembeli.

4) Bank dan nasabah melakukan perjanjian akad murabahah pada saat

nasabah sudah

membeli komoditi dari pihak lain. Seharusnya nasabah membeli

komoditi dari bank

pada saat akad berlangsung. Bukannya membeli barang pada pihak lain

dan mendapatkan pinjaman pembayarannya dari pihak bank. Dalam hal

ini transaksinya sama dengan memberi pinjaman dengan imbalan bunga

(riba) pada Bank Konvensional.

5) Murabahah tidak boleh di roll-over, karena prinsip murabahah adalah jual

beli, bukan pinjaman berbasis bunga.

6) Nasabah tidak boleh dikenakan sanksi untuk late or default payment,

karena sekali lagi transaksi murabahah adalah prinsip syariah

berdasarkan jual beli, bukan pinjaman dengan imbalan bunga. Kalau

memang nasabahnya dengan sengaja memanfaatkan kondisi seperti ini,

maka bank syariah dapat mengenakan sanksi berupa denda atas

Page 21: Materi bab 7

keterlambatan pembayaran kepada nasabah, dan harus menyalurkan

pendapatan dari pembayaran denda tersebut kepada Badan Zakat.

7) Pemberlakuan praktik da wa ta'ajjal,

Atau pemberian diskon pada nasabah yang rajin membayar cicilannya

sebelum jatuh tempo. Sebagian besar ulama melarang praktik ini kalau

diskon tersebut dikaitkan dengan waktu pembayaran yang dipercepat,

dengan alasan ada indikasi riba, di mana

riba terjadi ketika satu pihak diuntungkan dan pihak yang lain di rugikan.

Namun, sebagian dari ulama klasik mengizinkan praktik ini, tetapi

kebanyakan dari para ulama juga menolak 'da wa ta'ajjal' ini diterapkan

termasuk para ulama-ulama dari pengikut golongan empat mazhab, yaitu:

Maliki, Hanafi, Safi'i dan Hambali.

2. Mudarabah

Mudarabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di

mana pemilik modal (shahibul amal) mempercayakan sejumlah modal

kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini

menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik

modal dan keahlian dari pengelola.

Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal

dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus

bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi

akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal.

Sedangkan shahibul maal diharapkan untuk mengelola modal dengan cara

tertentu untuk menciptakan laba yang optimal.

a. Tipe Mudarabah

1) Mudarabah mutlaqah, di mana shahibul maal memberikan

keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk

mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik

dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk

melakukan pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal

yang sehat (uruf).

Page 22: Materi bab 7

2) Mudarabah muqayyadah, di mana pemilik dana menentukan syarat

dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut

dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha, dan sebagainya.

b. Keistimewaan Mudarabah

1) Berdasarkan prinsip bagi hasil dan bagi risiko.

a) Keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati

sebelumnya.

b) Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan

pengelola tidak

memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan.

2) Pemilik dana tidak diperbolehkan mencampuri pengelolaan bisnis

sehari-hari.

3. Salam

a. Pengertian Salam

As-Salam dinamai juga As-Salaf ialah suatu akad jual beli antara

dua orang atau lebih, dan barang yang akan dijual belum ada wujudnya

tetapi ciri-ciri atau kriterianya, baik kualitas dan kuantitasnya, besar dan

kecilnya, timbangannya, dan lain sebagainya telah disepakati. Sedangkan

pembayarannya dilakukan pada saat terjadi transaksi. Seperti A memesan

sebuah almari pakaian kepada B, dengan ukuran, kualitas kayu, warna cat

telah ditentukan B menerima pesanan A dengan harga tertentu dan

pembayarannya dilakukan oleh A secara kontan pada saat terjadinya

transaksi.

Dengan demikian, salam merupakan jual beli pesanan dari calon

pembeli dengan pembayaran kontan dan hutang bagi calon penjual,

karena barangnya baru berupa pesanan dan akan diserahkan sesuai

dengan kesepakatan kedua pihak. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW,

bersabda:

Artinya: “Dari Ibnu Abbas RA ia berkata: Nabi SAW tiba di Madinah

dan orang-orang (Madinah) meminjamkan buah-buahan satu tahun dan

Page 23: Materi bab 7

dua tahun, maka beliau bersabda: “Bagi siapa yang meminjamkan

(mengutangkan) buah-buahan, maka hendaklah ia mengutangkan

dengan takaran dan timbangan yang jelas dan sampai batas waktu yang

jelas.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hadis di atas oleh para ulama dijadikan dasar kebolehan jual beli salam.

b. Rukun dan Syarat Salam

1) Rukun Salam

a) penjual (muslam ‘alaih)

b) pembeli (muslam atau rabbus salam)

c) barang (muslam fih) dan harga atau modal (ra’sul mal)

d) sigat (akad)

2) Syarat-Syarat Salam

a) Uang hendaknya dibayar pada saat terjadi transaksi atau di majlis

akad, berarti

pembayaran dilakukan terlebih dahulu.

b) Barang menjadi utang atau tanggungan penjual dan diberikan kepada

pembeli sesuai dengan kesepakatan, baik mengenai waktunya maupun

tempatnya.

c) Barang itu hendaknya jelas kriterianya, baik ukuran, kualitas, jenis,

timbangan dan lain sebagainya sesuai dengan jenis barang yang dijual.

Dengan kriteria tersebut dapat dibedakan antara satu barang dengan

barang lain, sehingga tidak terdapat keraguan yang dapat menyebabkan

perselisihan antara keduanya (penjual dan pembeli).

c. Hukum Jual Beli Salam

Para ulama sepakat bahwa jual beli salam hukumnya boleh selama rukun

dan syaratnya terpenuhi dan tidak terjadi garar (penipuan). Dasar hukum

yang dijadikan pegangan selain nas seperti telah disebutkan di atas

adalah bahwa jual beli salam mengandung unsur-unsur kemaslahatan dan

hikmah yang dibutuhkan oleh manusia.

d. Hikmah Salam

Di antara hikmah jual beli salam ialah seperti berikut ini.

Page 24: Materi bab 7

1) Terpenuhinya kebutuhan. Setiap orang mempunyai kebutuhan dan

kemampuan yang berbeda dengan orang lain. Ada di antara mereka,

misalnya A mempunyai cukup uang tetapi tidak memiliki barang yang

dia perlukan. Sementara ada orang lain, misalnya B memiliki

kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan A namun tidak mempunyai

modal untuk mewujudkannya. Dalam keadaan seperti ini, A bisa

memesan barang yang ia perlukan dengan terlebih dahulu membayar

harga pesanan sesuai dengan kesepakatan, dan B, dengan modal yang ia

terima bisa bekerja untuk memenuhi permintaan A. Dengan demikian,

kebutuhan kedua belah pihak terpenuhi.

2) Adanya asas tolong-menolong. Dengan terpenuhinya kebutuhan

masing-masing seperti digambarkan di atas, berarti A telah menolong B

sehingga dia bekerja dan memanfaatkan keahliannya, B telah menolong

A karena dia dapat memenuhi kebutuhan A. Asas tolongmenolong ini

merupakan ciri manusia sebagai makhluk sosial dan sangat dianjurkan

oleh agama.