Upload
hanifah-habibah
View
240
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
MUTLAQ DAN MUQOYYAD
M A K A L A H
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
”Ulumul Qur’an II ”
Dosen Pengampu :
Afiful Ikhwan, M.Pd.I
Oleh :
ARSITA DEWI
2013471917
PAI – SMT 3
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAMSEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) MUHAMMADIYAH TULUNGAGUNG
OKTOBER 2014
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat –Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul MUTLAQ DAN MUQOYYAD ini
tepat pada waktunya.
Alhamdulillah dengan selesainya makalah ini yang tujuan di susunya adalah untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ummul Qur’an II, oleh karena itu kami mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam(STAI) Muhammadiyah Tulungagung Bpk Nurul
Amin, M.Ag.
2. Dosen pengampu yang memberi bimbingan dalam penyusunan makalah ini,
BapakAfifulIkhwan, M.Pd.
3. Rekan-rekan mahasiswa STAI MUHAMMADIYAH.
4. Teman-teman yang sudah berpartisipasi dalam penyusunan makal ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami tetap
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat menbangun demi sempurnanya makalah ini di masa
yang akan datang. Dan semoga apa yang kami usahakan dalam makalah ini dapat di terima dan
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Tulungagung,Oktober 2014
(Penyusun)
iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ……………………………………………….…..… i
Kata Pengantar …………………………………………………..…. ii
Daftar Isi …………………………………………………..…. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar BelakangMasalah …………………………….. 1
B. RumusanMasalah …………………………………….. 2
C. TujuanMasalah ……………………………………… 2
BAB II PEMBAHASAN
MUTHLAQ DAN MUQOYYAD
A. Pengertian Mutlaq dan Muqoyyad …………………… 3
B. Macam-macam Hukum Muthlaq dan Muqoyyad …… 4
C. Pengaruuh Murtlaq dan Muqoyyad dalam Pengambilan
Hukum ………………………………………..….…… 10
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ……………………………………………… 11
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….….. 12
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Qur’an,
sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam Al-Qur’an tersebut tidak semuanya memberikan
arti atau pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau telusuri, ternyata banyak sekali ayat-
ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam
ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa ternyata ayat-ayat Al-Qur’an itu tidak langsung
menunujukkan pada suatu masalah yang jelas, akan tetapi memerlukan cara untuk menentukan
dalil yang jelas dan dalil yang bersangkutan dengan dalil yang lain.
Perbedaan penemuan hukum (istinbat al-ahkam) terjadi akibat beberapa faktor, baik
internal maupun eksternal. Salah satu faktor penyebab perbedaan tersebut, secara internal, adalah
perbedaan metode ulama Usul dalam memahami makna Nass, Al-Qur’an dan Hadis, melalui
lafaz (turuqu al dilalah al-alfaz)
Oleh karena itu, agar kita semua dapat memahami dan mengetahui hukum atau makna
yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam makalah ini akan dipaparkan sedikit
penjelasan guna menambah pemahaman pembaca mengenai ushul fiqih. Sebagian aspek tersebut
yaitu mengenai Mutlaq dan Muqoyyad, meliputi pengertian, macam-macam hukumnya beserta
hubungannya dengan hukum.
2
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi mutlaq dan muqoyyad ?
2. Sebutkan macam-macam hukum mutlaq dan muqoyyad ?
3. Apa pengaruh mutlaq dan muqoyyad dalam pengambilan hukum ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi Mutlaq dan Muqoyyad.
2. Untuk mengetahui macam-macam hukum mutlaq dan muqoyyad.
3. Untuk mengetahui pengaruh mutlaq dan muqoyyad dalam pengambilan hukum.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mutlaq dan Muqayyad
Mutlaq secara bahasa pecahan dari kata “إطلق” yang bermakna terbuka. Atau di dalam
pengertian yang lain diartikan tidak terbatas1.
Sedangkan menurut Amir Starifuddin yang mengutip beberapa definisi para ulama’ ushul
fiqh, sebagaimana berikut : Mutlaq adalah lafal yang memberi petunjuk terhadap madlul (yang
diberi petunjuk) yang mencakup dalam jenisnya.2
Sedangkan menurut Ibnu Subki memberikan definisi bahwa mutlaq adalah lafadz yang
memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa 3
Contoh dari lafal mutlaq adalah dalam firman Alloh ta’ala (QS. Al mujadilah {58}: 3)
yang menjelaskan tentang kifarat bagi seseorang yang telah melakukan perbuatan zihar terhadap
istrinya:
بة من تحرير رق ظون والذين يظاهرون من نسائهم ث ي عودون لما قالوا ف م و ل ن ي تماا ب ه ق عملون خبير والل با
“....maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu
bercampur...”. (QS. Al mujadilah {58}: 3) .4
Kata roqobah (seorang budak) pada ayat tersebut memberikan pengertian bahwa budak
yang dijadikan kifarat zihar tidak ada pensyaratan tertentu didalam ayat tersebut. Sehingga
hukum ayat di atas berlaku mutlaq untuk budak manapun baik budak yang berprilaku baik
ataupun buruk,muslim ataupun kafir.
Sedangkan definisi Muqoyyad secara sederhana berarti terikat.5 Mukhlis Usman memberikan
definisi tentang muqoyyad sebagaimana uraian yang
1 T im Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal. 990
2 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009), ha 121-122.
3 Firdaus, ushul fiqh (metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensif), jakarta: Zikrul Hakim, 2004
4 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahan , hal 791.
5Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hal 862.
4
dikemukakan oleh imam syafi’i: muqoyyad adalah lafal yang satuan-satuan tertentu yang
dibatasi oleh batasanyang mengurangi keseluruhan jangkauannya.6
Diantara contoh muqayyad adalah firman Alloh ta’ala dalam (QS An-Nisa’ {4}: 92 ) tentang
kifarat bagi seorang yang membunuh tanpa sengaja.
بة مؤمنة فديةر مسلمةر إل هله وترير رق
“Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman......”.(QS An-Nisa’ {4}: 92 )
Didalam ayat tersebut menjelaskan bahwa syarat kifarat seorang pembunuh tanpa sengaja
adalah seorang budak dengan syarat budak tersebut adalah budak mukmin. Sehingga ayat di atas
bersifat mengikat(muqayyad) karena memiliki syarat sebagai sahnya kifarat.
B. Macam-Macam Hukum Mutlaq dan Muqoyyad.
1. Lafal mutlaq dapat digunakan sesuai dengan kemutlakannya.
Kaidahnya: “Mutlaq itu ditetapkan berdasarkan kemutlakannya selama belum ada dalil
yangmembatasinya.”
Contoh:
م ....ومهات نسائ
“…dan ibu-ibu dari istri-istrimu…”(QS. Al-Nisa’ [4]: 23).
Ayat ini mengandung arti mutlaq karena tidak ada kata yang mengikat atau
membatasi kata ibu mertua. Oleh karena itu, ibu mertua tidak boleh dinikahi, baik istrinya
(anak dari ibu mertuanya) itu sudah dicampurinya atau belum.
2. Lafal muqoyyad tetap dinyatakan muqoyyad selama belum ada bukti yang me- mutlaq- kan.
Kaidahnya: “Muqoyyad itu ditetapkan berdasarkan batasannya selama belum ada dalil yang
menyatakan kemutlakannya.”
6 Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah,hal 57.
5
Contoh:
بة من ق تحرير رق ظون ه و والذين يظاهرون من نسائهم ث ي عودون لما قالوا ف م و ل ن ي تماا الل بعملون خبير ن ي ت 3)با ب د فصيام شهرين متتاعي من ق ت ي ماا فمن ل يستطع فإطعام ( فمن ل ي
افرين لك لت ؤمنوا الل وروله ولك حدود الل ولل ينا ر ليمر )مس (4ذا
“ (3) Orang-orang yang menz}ihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (4) Barangsiapa yang tidak mendapatkan
(budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (QS. Al-Mujadalah [58]: 3-4)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kifarat bagi seorang suami yang melakukan zihar
terhadap istrinya adalah memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau kalau
tidak mampu, maka ia harus memberi makan sebanyak 60 orang miskin. Karena ayat ini
telah dibatasi ke mut} lafadznya, maka harus diamalkan hukum muqoyyadnya.
3. Hukum mutlaq yang sudah dibatasi. Lafal mutlaq jika telah ditentukan batasannya, maka ia
menjadi muqoyyad.
Kaidahnya: “Lafal mutlaq tidak boleh dinyatakan mutlaq karena telah ada batasan yang
membatasinya.”
Contoh:
.من عد وصية يوصي...
“…sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya…”.(QS. Al-
Nisa’ [4]: 11).
6
Kata wasiat pada ayat ini masih bersifat mutlaq dan tidak ada batasan berapa jumlah
wasiat yang harus dapat dikeluarkan. Kemudian ayat ini dibatasi ketentuannya oleh hadits
yang menyatakan bahwa wasiat yang paling banyak adalah sepertiga dari jumlah harta
warisan yang ada. Dengan demikian, maka hukum mutlaq pada ayat tersebut dibawa kepada
yang muqoyyad. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw.
(لم ارى ومس )رواه البخيرر كب لث لث والث قال الث فإن رول الله
“Wasiat itu adalah sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak” .(HR. Bukhari dan Muslim)
4. Hukum muqoyyad yang telah dihapuskan batasannya. Lafal muqoyyad jika dihadapkan
pada dalil lain yang menghapus ke-muqoyyadan -nya, maka ia menjadi mutlaq.
Kaidahnya: “Muqoyyad tidak akan tetap dikatakan muqoyyad jika ada dalil lain yang
menunjukkan kemutlaqannya”.
Contoh: (QS. Al-Nisa’ [4]: 23).
ت ف حجوركم من م الل رائب م لي ونوا دخلتم بن فل جناح ت دخلتم بن فإن ل م الل نسائ
“…dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya…”.(QS. Al-Nisa’ [4]: 23).
Ayat tersebut menjelaskan tentang keharaman menikahi anak tiri. Hal ini disebabkan
karena anak tiri itu “dalam pemeliharaan” dan ibunya “sudah dicampuri”. Keharaman ini
telah dibatasi oleh dua hal tersebut, namun batasan yang kedua tetap dipandang sebagai
batasan yang muqoyyad sedang batasan pertama hanya sekedar pengikut saja, karena
lazimnya anak tiri itu mengikuti ibu atau ayah tirinya. Bilamana ayah tiri belum mencampuri
ibunya dan telah diceraikan, maka anak tiri tersebut menjadi halal untuk dinikahi, karena
batasan muqoyyadnya telah dihapus sehingga menjadi mutlaq kembali.7
7 Shidiq, Ushul Fiqh ,hal 189
7
Pada prinsipnya, para ulama bersepakat bahwa hukum dari lafal mutlaq itu wajib
diamalkan ke mutlaq annya, selama tidak ada dalil yang membatasi ke mutlaqannya. Begitupun
dengan lafal-lafal muqoyyad yang berlaku ke muqoyyadannya. Namun, pada kasus-kasus
tertentu, terdapat berbagai dalil syara’ dengan lafal yang mutlaq disatu tempat, sedang ditempat
lain menunjukkan muqoyyad. pada permasalahan seperti ini, Hamid Hakim dalam Muhlish
Usman,8 mengatakan bahwa ada empat alternatatif kaidah yang dapat digunakan, yaitu:
a) Hukum dan sebabnya sama, maka yang mutlaq dibawa kepada muqoyyad.
Kaidahnya: “Mutlaq itu dibawa pada muqoyyad jika sebab dan hukumnya sama.”
Contoh: (QS. Al-Maidah’ [5]: 3).
م ولم م الميتة والد لي حر مت
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi…” .(QS. Al-Maidah’ [5]: 3).
Pada ayat ini, kata ـال) دم ) atau darah adalah lafal mutlaq yang tidak diikat oleh sifat
atau syarat apapun. Namun pada ayat lain, dalam firman Allah swt, (QS. Al-An’am[6]: 145)
disebutkan:
م يطعمه إل لى طا ل جد ف ما وحي إل مرما ون ميتة ق وحا و لمو د ن ي ما مس
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.”. , (QS. Al-An’am[6]: 145)
Dalam ayat ini, kata الدم , atau darah diberi sifat dengan masfuh (mengalir). Namun,
hukum dalam kedua ayat ini adalah sama, yaitu sama-sama “haram”. Demikian pula sebab
yang menimbulkan hukumnya juga sama, yaitu “darah”. Oleh karena itu dibawalah yang
mutlaq pada yang muqoyyad, dalam artian; hukum yang dalam lafal mutlaq harus dipahami
menurut yang berlaku pada lafal muqoyyad. Dengan demikian, kata “darah” pada lafal
mutlaq, harus diartikan dengan “darah yang mengalir” sebagaimana yang terdapat pada lafal
muqoyyad. Dari kedua ayat tersebut, terlihat jelas
8 Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah , hal 59-61.
8
bahwa materi dan hukumnya sama, maka selain darah yang mengalir menjadi halal,
misalnya hati atau limpa.
b) Berbeda sebabnya namun sama hukumnya.
Pada permasalahan ini, jumhur syafi’iyyah menyatakan bahwa yang mutlaq dibawa
pada yang muqoyyad. Sedangkan golongan Hanafiyyah dan Malikiyyah mayoritas
menetapkan bahwa hukum mut}laq dan muqoyyad masing-masing tetap pada posisinya.
Kaidahnya: “Mutlaq itu dibawa ke muqoyyad jika sebabnya berbeda.”
Contoh: (QS. Al-Mujadilah [58]: 3) yang menjelaskan bahwa kifarat zihar adalah
memerdekakan budak tanpa ada batasan “mukmin” atau tidak. Sementara pada ayat lain,
dijelaskan bahwa bagi orang yang membunuh dengan tidak sengaja, kifaratnya adalah
memerdekakan budak yang mukmin. Sebagaimana firman Allah: (QS. Al-Nisa’ [4]:92)
بة مؤمنة تحرير رق مؤمنا خطأ ف ت ومن ق
“…Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman...”. (QS. Al-Nisa’ [4]:92).
Kedua ayat diatas berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan budak, sedangkan
sebabnya berlainan, yang pertama karena zihar sementara yang lain karena pembunuhan
tidak sengaja. Al-Syafi’iyyah mengatakan bahwa lafal mutlaq pada kifarat zihar itu harus
dibawa kepada yang muqoyyad tanpa memerlukan dalil lain dengan argumentasi bahwa
Kalamullah itu satu zatnya, tidak berbilang. Karena itu, jika Allah telah menentukan syarat
“iman” dalam kifarat pembunuhan tidak disengaja, berarti ketentuan inipun berlaku pula
pada kifarat zihar, yaitu membebaskan budak yang mukmin. Sementara Hanafiyyah dan
Malikiyyah mengatakan bahwa kifarat zihar ialah sembarang budak.9
c) Berbeda hukum namun sama sebabnya,maka mutlaq dibawa pada muqoyyad.
Kaidahnya: “Mutlaq itu tidak dibawa ke muqoyyad jika yang berbeda hanya hukumnya.”
9 Hanafie, Ushul Fiqh, hal 77.
9
Contoh: kata “tangan” dalam perintah wudhu dan tayammum. Membasuh tangan dalam
perintah wudhu dibatasi sampai dengan siku, sebagaimana firman Allah swt, (QS. Al-
Maidah [5]: 6).
م ي م ويدي ا قمتم إل الصلة فاغسلوا وجوه ا ي ها الذين آمنوا إ : إل المراف
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”.(QS. Al- Maidah [5]: 6).
Dalam perintah tayammum, tidak dijelaskan batasan membasuh tangan, tetapi
berlaku mutlaq. Firman Allah swt, dalam (QS. Al-Nisa’ [4]: 43).
يمموا صعيدا طي با فامسحوا ت م ف م ويدي وجوه
“…maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu…”. (QS. Al-Nisa’ [4]: 43).
Kedua ayat diatas mengandung sebab yang sama yaitu membasuh tangan, tetapi
hukumnya berbeda yaitu membasuh tangan sampai mata siku dalam wudhu dan hanya
menyapu tangan secara mutlaq pada tayammum. Dengan demikian, harus diamalkan secara
masing-masing karena tidak saling membatasi.10
d) Berbeda sebab dan hukumnya, maka mutlaq tidak dibawa pada muqoyyad. Masing-masing
berdiri sendiri.
Kaidahnya: “Mutlaq tidak dibawa ke muqoyyad jika sebab dan hukumnya berbeda.”
Contoh:
(QS. Al-Maidah [5]: 6) tentang perintah wudhu. Pada ayat tersebut kata “tangan” disebutkan
dengan batasan yaitu sampai siku. Sementara pada ayat lain yang menjelaskan tentang
hukuman potong tangan bagi pencuri yang berlaku mutlaq tanpa menyebutkan batasan.
Firman Allah swt, dalam (QS. Al-Maidah [5]: 38)
10
Shidiq, Ushul Fiqh, hal 191.
10
:والسارق والسارقة فاقطعوا يدي هما
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya …”.(QS. Al-Maidah [5]: 38)
Kedua ayat diatas memiliki sebab dan hukum yang berbeda. Ayat pertama
menyebutkan keharusan mencuci tangan secara muqoyyad sampai siku dalam masalah
wudhu untuk melakukan shalat. Sementara ayat kedua menyebutkan keharusan memotong
tangan secara mutlaq dalam sanksi hukum terhadap pencuri. Dalam hal ini, ulama
bersepakat bahwa kedua ayat ini berlaku sendiri-sendiri, lafal yang mutlaq tetap pada
kemutlaqannya, sementara yang muqoyyad, tetap pada kemuqoyadannya.11
C. Pengaruh Mutlaq dan Muqayyad dalam Pengambilan Hukum.
Didalam keseharian, manusia selalu membutuhkan akan adanya suatu hukum yang
mengatur. Begitu pula dengan islam. Sedangkan hukum islam berlandaskan pada al qur’an dan
sunnah yang belum tentu setiap manusia mengetahui dan mampu mencari sumber dalil suatu
hukum di dalam al qur’an dan sunnah. Sehingga manusia sangat membutuhkan alat atau cara
bagaimana manusia dapat mengambil dalil sebagai landasan hukum.
Para ulama’ yang menekuni bidang tersebut beijma’ untuk mencari cara pengambilan
hukum islam yang sah secara syariat. Diantara cara yang dibuat oleh ulama’ adalah mutlaq dan
muqoyyad.
Sehingga 2 cara tersebut sangatlah penting dan besar pengaruhnya terhadap suatu
masalah. Bahkan sebagaian kalangan ulama’ menjadikan sebagai salah satu syarat pengambilan
hukum. Karena didalamnya seseorang akan tahu penjelasan suatu ayat dan kandungannya
ataupun suatu ayat yang berseberangan dengan ayat lain.
11
Syarifuddin, Ushul Fiqh , hal 128
11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ikatan apa-apa
2. Lafal yang satuan-satuan tertentu yang dibatasi oleh batasanyang mengurangi keseluruhan
jangkauannya
3. Macam –macam hukum muthlaq dan muqayyad :
a. Lafal mutlaq dapat digunakan sesuai dengan kemutlakannya
b. Lafal muqoyyad tetap dinyatakan muqoyyad selama belum ada bukti yang me-
mutlaq- kan.
c. Hukum mutlaq yang sudah dibatasi. Lafal mutlaq jika telah ditentukan batasannya,
maka ia menjadi muqoyyad.
d. Hukum muqoyyad yang telah dihapuskan batasannya. Lafal muqoyyad jika
dihadapkan pada dalil lain yang menghapus ke-muqoyyadan -nya, maka ia menjadi
mutlaq.
12
DAFTAR PUSTAKA
Munawwir,Ahmad Warson.Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), hal. 862.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009),hal.121-122
Syarifuddin, Amir.Ushul Fiqh , hal.128.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahan , hal. 791
Firdaus, ushul fiqh (metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensif), jakarta:
Zikrul Hakim, 2004
Hanafie, Ushul Fiqh, hal. 77
Shidiq, Ushul Fiqh , hal. 189
Shidiq, Ushul Fiqh, hal. 191
Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PusatBahasa, 2008),
hal. 990
Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, hal. 57.
Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah , hal.59-61.