8
P P A A U U L L O O F F R R E E I I R R E E A ARTI L LAPAR B BAGI A ANAK S SEKOLAH LEBIH DEKAT DENGAN FREIRE,INSAN PENDIDIKAN YANG RADIKAL Adalah Paulo Freire, pendidik, teolog, humanis, sosialis, dan bahkan dianggap mesias dunia ketiga (khususnya masyarakat Amerika Latin). Ia tidak hanya seorang yang kontroversial dengan metode pendidikan revolusionernya. Namun juga sosok yang sulit diterka. Perkembangan ide-ide kependidikannya dari tiap tahap kehidupan dan tiap pekerjaan yang dilakoninya cukup menjadikan ia seorang pembebas pejuang dunia ketiga yang sulit ditebak. Pemikiran kependidikannya selalu mencerminkan nada gugatan, protes, dan berontak terhadap segala bentuk pendidikan yang telah mencerabut manusia dari kesadarannya. Freire, bersama para pendahulunya (Hegel dan Marx) berpikiran bahwa refleksi dan aksi tidak dapat berjalan secara sendiri- sendiri. Premis ini sedikit banyak menggambarkan bahwa betapa berpengaruhnya tiap kehidupan dan tiap pekerjaan serta pengalaman dari keluarga dan orang-orang yang bekerja dengannya terhadap warna pemikiran Freire. Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa pemikiran Freire selalu muncul dari realitas hidup dan pengalaman keseharian dirinya dan orang-orang disekitarnya, sehingga wajar jika ia berpemikiran, bahwa segala bentuk refleksi yang ia lakukan selalu berdasarkan realitas dan upaya untuk mewujudkannya secara praksis. Dalam dunia kependidikan, langka sekali orang yang memiliki kepribadian sepertinya. Freire menjelma sebagai sosok insan kependidikan yang memiliki sifat- sifat kepribadian radikal, utopis, dapat diraih, kristen, dan kritis yang menggambarkan dirinya benar-benar berasal dari sikap optimismenya tentang manusia yang dipandangnya sebagai sebuah sosok yang mampu menjadikan dirinya berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki tanpa mengabaikan sendi dasar kemanusiaannya. Latar belakang kehidupan pribadinya dengan cengkeraman kemiskinan yang melanda negaranya (Brazil), di mana ia hidup dalam budaya penindasan dan kebudayaan bisu dan pengalaman hidupnya yang akrab dengan kemiskinan dan

paulo freire, i oleh saifullah arif

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: paulo freire, i oleh saifullah arif

PPAAUULLOO FFRREEIIRREE

AARRTTII LLAAPPAARR BBAAGGII AANNAAKK SSEEKKOOLLAAHH

LLEEBBIIHH DDEEKKAATT DDEENNGGAANN FFRREEIIRREE,, IINNSSAANN PPEENNDDIIDDIIKKAANN YYAANNGG RRAADDIIKKAALL

Adalah Paulo Freire, pendidik, teolog, humanis, sosialis, dan bahkan dianggap

mesias dunia ketiga (khususnya masyarakat Amerika Latin). Ia tidak hanya seorang

yang kontroversial dengan metode pendidikan revolusionernya. Namun juga sosok

yang sulit diterka. Perkembangan ide-ide kependidikannya dari tiap tahap kehidupan

dan tiap pekerjaan yang dilakoninya cukup menjadikan ia seorang pembebas pejuang

dunia ketiga yang sulit ditebak. Pemikiran kependidikannya selalu mencerminkan

nada gugatan, protes, dan berontak terhadap segala bentuk pendidikan yang telah

mencerabut manusia dari kesadarannya. Freire, bersama para pendahulunya (Hegel

dan Marx) berpikiran bahwa refleksi dan aksi tidak dapat berjalan secara sendiri-

sendiri. Premis ini sedikit banyak menggambarkan bahwa betapa berpengaruhnya tiap

kehidupan dan tiap pekerjaan serta pengalaman dari keluarga dan orang-orang yang

bekerja dengannya terhadap warna pemikiran Freire. Sebab, tidak bisa dipungkiri

bahwa pemikiran Freire selalu muncul dari realitas hidup dan pengalaman keseharian

dirinya dan orang-orang disekitarnya, sehingga wajar jika ia berpemikiran, bahwa

segala bentuk refleksi yang ia lakukan selalu berdasarkan realitas dan upaya untuk

mewujudkannya secara praksis.

Dalam dunia kependidikan, langka sekali orang yang memiliki kepribadian

sepertinya. Freire menjelma sebagai sosok insan kependidikan yang memiliki sifat-

sifat kepribadian radikal, utopis, dapat diraih, kristen, dan kritis yang menggambarkan

dirinya benar-benar berasal dari sikap optimismenya tentang manusia yang

dipandangnya sebagai sebuah sosok yang mampu menjadikan dirinya berkembang

sesuai dengan potensi yang dimiliki tanpa mengabaikan sendi dasar kemanusiaannya.

Latar belakang kehidupan pribadinya dengan cengkeraman kemiskinan yang

melanda negaranya (Brazil), di mana ia hidup dalam budaya penindasan dan

kebudayaan bisu dan pengalaman hidupnya yang akrab dengan kemiskinan dan

Page 2: paulo freire, i oleh saifullah arif

kelaparan mendorongnya untuk berjanji akan bekerja di antara kaum miskin dan

mencoba memperbaiki nasib hidup mereka. Ia berkeyakinan bahwa kelak semua laki-

laki dan perempuan dapat sungguh-sungguh menjadi manusiawi dan merdeka

sebagaimana dikehendaki penciptanya. Sikap ini menunjukkan bahwa ia sebenarnya

adalah seorang kristen sejati. Eksistensi dan peran besarnya Freire dalam dunia

pendidikan sebagai salah satu kontributor teori-teori pendidikan menempatkan dirinya

dalam deretan orang-orang yang revolusioner-radikal. Sifat optimismenya sebagai

pendidik, meski dalam pemenjaraan dan pembuangan, kontroversialnya kepribadian

dan revolusionernya metode kependidikannya telah menjadikannya sebagai seorang

pemimpin perjuangan kaum tertindas di dunia ketiga khususnya di Amerika Latin.

Ia bukanlah sosok konseptor kosong terhadap makna filosofis terhadap setiap

aksi pemikirannya, ia lebih tampil dalam sosok reflektor praksis, dimana setiap hasil

pemikirannya langsung melalui eksperimentasi di lapangan dengan sandaran

filsafatnya pada fakta sejarah yang sekian tahun dialaminya sendiri. Sisi lain yang

unik dan khas dari Freire adalah kejujurannya dalam mengungkapkan dan mengatakan

apa adanya tanpa tedeng aling-aling tentang kondisi kemanusiaan kita yang begitu

memprihatinkan hingga tanpa disadari kita sendiri sering berprilaku tak manusiawi.

Pemikirannya yang selalu menohok pada inti permasalahan dengan pemikiran filsafat

yang shopiscated ke dalam aplikasi persoalan-persoalan kehidupan keseharian, telah

menjadikannya tidak hanya berhenti pada persolan terminologis yang bergerak di aras

permukaan persoalan. Namun dengan metode refleksi-aksinya, ia telah menjadikan

pemikirannya membumi dan membawa perubahan besar dalam menjawab persoalan

kemanusiaan dunia ketiga.

Buku tentang Freire edisi Indonesia yang berjudul Paulo Freire, Kehidupan,

Karya dan Pemikirannya, dan ditulis Denis Collins ini, berisi riwayat hidup pada bab

1 dan pemikiran Freire tentang pendidikan pada bab 2. Tidak ada kritik terhadap

pemikiran Freire, sehingga dalam bab 2 yang berjudul filsafat, Collins seakan hanya

memaparkan filsafat Freire tentang pendidikan yang diarahkan “untuk pembebasan”.

Yang dimaksud Freire dengan pendidikan untuk pembebasan adalah membuat

mereka yang tertindas (istilah yang digunakan Freire) atau terkungkung suatu

keadaan, menjadi merdeka, mandiri, tak terikat dalam keadaan yang mendominasi

dirinya. Atau lebih jelasnya, si tertindas itu bisa meloloskan diri dari dominasi itu.

Sedangkan mereka yang menindas atau mendominasi suasana, dalam proses

“pendidikan untuk pembebasan” itu belajar berdialog dengan si tertindas. Inilah topik

Page 3: paulo freire, i oleh saifullah arif

yang dibahas dalam buku tersebut. Yang membuat buku ini berbeda dari buku sejenis

adalah perhatian serius pada pengarahan pendidikan untuk membentuk manusia bebas,

manusia otonom yang menguasai dirinya sendiri, juga bagaimana mengarahkan

pendidikan agar manusia berpikir kritis dan menganggap dirinya sebagai sunjek atas

dunia dan realitas.

Freire tertarik pada pendidikan, saat ia mulai mempertanyakan ketidaksesuaian

antara khotbah di Gereja dengan kenyataan sehari-hari. Ia senang membaca buku

pendidikan, filsafat dan sosiologi pendidikan, walaupun kuliahnya di fakultas hukum

Universitas Recife (hal. 7-9). Ia kemudian menikah dengan Elza Maria Costa

Olievera, guru SD. Buku pertama Freire dalam bidang pendidikan adalah Educaqao

como Pratica da Liberade diterbitkan di Brazil tahun 1967. Terjemahannya dalam

bahasa Inggris muncul tahun 1973, yaitu Education as the Practise of Freedom, dan

buku Pedagogy of the Opressed (1970), dan kemudian Freire selalu dikaitkan dengan

“Pedagogy”. Dan dari sinilah ia mulai mendapatkan perhatian di mana-mana,

termasuk di Indonesia.

Freire melihat adanya kebutuhan pendidikan bagi kaum tertindas. Ide ini

muncul ketika Freire melihat kaum miskan (kaum tertindas) tidak dapat menggunakan

hak suara dalam pemilu karena kaum tersebut buta aksara. Pikiran-bahasa menjadi

kebutuhan inti pendidikan. Pikiran-bahasa Freire adalah suatu kesatuan yang

menggunakan realitas kepada manusia karena pemikiran tidak mungkin tanpa bahasa

dan keduanya tidak mungkin tanpa dunia yang diacu itu. Manusia adalah kombinasi

pikiran dan tindakan untuk memanusiakan sejarah dan kebudayaan.

Inisiatif untuk pembebasan harus datang dari kaum tertindas, karena kuam

tertindas yang mengalami beban penindasan dan juga yang mampu memahami makna

penindasan yang mengerikan. Pendidikan kaum tertindas merupakan perjuangan

melawan penindasan dalam konteks interaksi dunia dan manusia, serta proses

berkelanjutan praksis refleksi dan aksi. Faktor penting dalam gerakan pendidikan dan

pembebasan adalah perkembangan kesadaran (conscietization). Freire berupaya untuk

mendobrak proses pendidikan tradisional “sistem bank”, di mana guru menstransfer

pengetahuan kepada murid. Guru berposisi sebagai subyek, sedangkan murid sebagai

obyek. Dalam sistem ini tidak terjadi kmunikasi sebenarnya antara guru dan murid.

Praktek pendidikan seperti ini terefleksikan dalam masyarakat yang tertindas dan

sekaligus memperkuat struktur yang menindas. Pendidikan menjadi alat dominasi

yang dimanfaatkan untuk penjinakan atau penindasan secara sistematik.

Page 4: paulo freire, i oleh saifullah arif

Kritik keras Freire pada pendidikan ‘gaya bank’ lebih banyak disebabkan oleh

fragmentasi yang dikandungnya (h.146).Transfer informasi an sich berarti sama saja

dengan menegasikan dialog. Padahal sebagai makhluk sosial, yang namanya

pemikiran subjekl tertentu tentu saja harus diuji, dirangsang dan dihadapkan pada

pemikiran dari subjek lain. Transfer informasi yang ‘semena-mena’ berarti tidak

memperdulikan komunikasi atau intersubjektivitas atau cara manusia mengetahui

sebagai co-intensionalitas. Inilah yang membuat Freire mengatakan bahwa titik tolak

dari pendidikan yang memanusiakan pastilah pemecahan kontradiksi antara guru-

murid. Bagi Freire, pendekatan selain ‘komunikasi dan dialog’ adalah pendekatan

yang mengingkari aspek kreatif. Bahkan hal itu merupakan tindakan yang

melanggengkan penindasan.

Pada awalnya Freire tidak tertarik pada pembebasan buta aksara, tetapi dalam

perjalanan pemikiran pendidikannya, yang ia lakukan justru lebih dari sekedar

pembebasan buta aksara. Melek huruf adalah modal awal guna melawan proses

dehumanisasi. Pembongkaran dehumanisasi ini memberikan kesadaran baru pada

masyarakat, sehingga dehumanisasi mampu dikurangi sedikit demi sedikit dengan

melek huruf. Kata dan bahasa penting menurut Freire, karena dua hal tersebut menjadi

unsur utama dalam praksis refleksi dan aksi.

Di satu pihak Freire memandang manusia berproses, yang berarti manusia

tersebut belum selesai (belum utuh). Lalu bagaimana membentuk manusia yang utuh?

Manusia yang diinginkan adalah manusia yang otonom terhadap diri, realitas dan

dunianya. Di sisi lain, dalam pandangan Freire, humanisasi adalah sebuah gambaran

manusia yang ideal. Manusia ideal adalah manusia tersebut memperolah keutuhan.

Keutuhan yang diperoleh untuk menjadi manusia yang ideal (humanisasi) ini

membutuhkan manusia yang sadar diri. Adanya kesadaran dalam diri manusia itu

diperoleh dengan kebebasan.

***

Formalisasi sistem pendidikan di ruang kelas telah menjadi mainstream

pendidikan modern. Akibat formalisasi itu, parameter keberhasilan sebuah pendidikan

hanya didasarkan pada pencapaian kelulusan yang bertingkat dari pendidikan dasar

sampai perguruan tinggi. Bagi Freire, pendidikan bukan semata-mata persoalan

transfer ilmu atau pengetahuan satu arah (guru ke murid), pendidikan adalah sebuah

proses “mengetahui” yang didasarkan pada subyektivitas untuk mengonstruksi dialog

antar manusia. Proses pendidikan hanya bisa diselenggarakan jika guru memosisikan

Page 5: paulo freire, i oleh saifullah arif

sejajar dengan murid. Artinya, guru dan murid adalah subyek yang sama-sama ingin

tahu tentang dunia dan harus mengubahnya agar lebih baik.

Freire menekankan perlunya metode pendidikan kritis-dialogis bagi

masyarakat miskin, tertindas, dan bodoh. Dalam masyarakat yang terbelakanga dan

tertindas, diperlukan sebuah model pendidikan yang mendorong perubahan sifat

seseorang agar berwatak demokratis. Jadi, pendidikan dilakukan tidak hanya untuk

mengatasi buta huruf, tetapi juga untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang

demokrasi. Ia telah mencobanya lewat sebuah metode alfabetisasi yang menyajikan

kata-kata generatif (seperti gubuk, sumur, bajak, kumuh dan sekolah). Lewat metode

ini, orang-orang miskin yang menjadi peserta pendidian dapat belajar membaca dan

mengeja dengan cepat. Kata-kata generatif tersebut sekaligus menunjukkan situasi

kehidupan nyata manusia dalam hubungan dengan dunia sekitar. Selanjutnya diskusi

berkembang ke tema-tema kehidupan yang harus dipecahkan oleh orang-orang itu;

kelaparan, ketergantungan, pengangguran dan sebagainya.

Terpengaruh oleh Marx. Mao, Marcuse, Fanon, Lukacs dan Althusser, analisis

sejarah dan budaya yang tampak dari pemikiran Freire menjadi antidominasi.

Walaupun demikian, filsafat kependidikannya tidak pernah mengarah kepada aliran

manapun. Pemikiran Freire mengarah dari pengalaman hidupnya, sehingga ia

berkesimpulan bahwa pendidikan harus mengarah kepada pembebasan manusia.

Keyakinan Freire itu pula yang memunculkan tuduhan-tuduhan bahwa ia adalah

seorang idealis, komunis, “teolog yang menyamar”, fenomenolog, bahkan

eksistensialis. Ia sangat mementingkan dialog berlandaskan kesadaran kritis karena

manusia memiliki fitrah sebagai subyek yang mandiri, Sebagai seorang subyek,

manusia diberi kekuatan untuk berinteraksi dengan obyek (dunia). Saat subyektivitas

dan obyektivitas disatukan melalui tindakan-tindakan autentik yang mentransformasi

dunia, manusia menjadi pencipta dan pengarang sejarah. Freire memang

memfokuskan perhatiannya pada masalah kesadaran kritis-reflektif (conscientizacao).

FFRREEIIRREE DDAANN AARRTTII LLAAPPAARR BBAAGGII AANNAAKK SSEEKKOOLLAAHH

Dalam dua bulan, September-Oktober, Pustaka Pelajar Yogyakarta telah

melakukan dua penerbitan yang cukup penting bagi studi pengayaan tentang Paulo

Freire, baik yang ditulis sendiri maupun orang lain. Setelah terjemahan atas buku

Freire The Politic of Education: Culture, Power and Liberation (Politik Pendidikan:

Page 6: paulo freire, i oleh saifullah arif

Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, September 1999), buku yang ditulis Denis

Collins ini, setidaknya, semakin memperkaya perbendaharaan buku-buku tentang

Freire dan pendidikan di Indonesia. Kontribusi penting yang bisa kita rasakan adalah

bahwa buku ini hadir melengkapi kuatnya perbincangan tentang pendidikan di

Indonesia. Dan buku Dennis Collins ini, secara singkat mengajak pembacanya untuk

mengenal siapa sesungguhnya Freire, terutama kehidupan, karya dan pemikirannya.

Paulo Freire lahir pada 19 September 1921 di Recife, kota pelabuhan di timur

laut Brazil. Dia berasal dari keluarga kelas menengah, tapi orang tuanya mengalami

kesulitan finansial pada masa depresi berat. Situasi seperti itulah, salah satunya, yang

membuat Freire, menyadari arti lapar bagi anak sekolah dasar. Pada saat yang sama,

tentu ia adalah orang yang sangat peduli pada masalah-masalah kemiskinan, orang

miskin dan perjuangannya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan pendidikan.

Untuk mengenalnya lebih jauh, Collins memulainya dengan pertanyaan

bagaimana seseorang bisa menjelaskan sikap optimisme Paulo Freire. Seperti

dijelaskan di awal buku ini, bahwa sikap-sikap yang radikal, utopis, dapat diraih,

Kristen kritis, yang menancap pada diri Freire adalah sikap yang menjelaskan

optimismenya tentang manusia. Namun mesti juga dicatat bahwa optimisme yang ia

maksud bukan merupakan optimisme yang berangkat dari suatu idealisme historis.

Dari pelbagai tulisannya dapat diketahui bahwa apa yang diajarkan Freire adalah agar

manusia mampu mendidik dan memerdekakan dirinya sendiri, berjuang untuk bebas

dengan cara menjadi historis dan tidak dengan cara yang lain. Ia yakin betul bahwa

suatu saat nanti, semua manusia, laki-laki maupun perempuan, akan dapat menjadi

manusiawi dan merdeka sebagaimana dikehendaki oleh Penciptanya.

Meski dalam situasi pembuangan, pemenjaraan dan kemiskinan, Freire tetap

saja bersikap optimis, dan memandang bahwa kehidupan adalah sebuah optimisme.

Freire adalah salah satu dari sekian banyak pemimpin umat yang sangat kuat dalam

upayanya untuk memperjuangkan pengentasan kemiskinan dan penindasan atas harkat

kemanusiaan. Seperti yang ditunjukkan Collins, sebenarnya hal yang luar biasa dari

Frere bukan semata-mata kontroversi yang muncul dalam debat-debat tentang metode

pendidikannya yang revolusioner, namun justru perkembangan ide kependidikannya.

Senada Hegel dan Marx, baginya refleksi dan aksi tidak dijalankan secara terpisah.

Berasal dari situasi yang penuh dengan penindasan, maka aksi yang ia lakukan

adalah aksi bagaimana memperjuangkan diri dan rakyatnya agar tidak tertindas lagi.

Kritik-kritiknya pada pendidikan tradisional melahirkan sebuah gagasan penting,

Page 7: paulo freire, i oleh saifullah arif

yakni bagaimana agar pendidikan lebih bersifat humanistik (manusiawi). Sebab hanya

dengan pendidikan yang mementingkan pembebasan dan pemerdekaan orang per

orang-lah, maka penindasan dapat dihilangkan. Sementara, bagi Freire, pendidikan

tradisional, di samping tidak menampakkan unsur pemerdekaan itu, ia juga jauh dari

humanisme.

Brazil mengalami pergolakan yang dahsyat di awal tahun 1960-an. Pelbagai

gerakan sosial tumbuh bersamaan dengan hadirnya golongan sosialis, komunis,

mahasiswa, buruh, golongan populis dan militan Kristen (h.9). Situasi yang terjadi

bersamaan dengan pergolakan-pergolakan itu adalah menjamurnya orang buta aksara

di masyarakat pedesaan yang miskin. Inilah salah satu kejadian yang menarik minat

Freire untuk melakukan pemberantasan dan ‘menghidupkan’ mereka kembali agar

suara-suara mereka mampu mengakses isu-isu yang lebih besar di Brazil.

Freire memperkenalkan perlunya pendidikan bagi kaum tertindas. Bagi Freire,

pendidikan adalah jalan untuk menuju pembebasan yang permanen (h.39). Pendidikan

model ini dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah masa di mana manusia

menjadi sadar akan pembebasan mereka dan melalui praksis merubah keadaan itu.

Tahap kedua dibangun di atas tahap yang pertama dan merupakan proses tindakan

kultural yang membebaskan.

Freire percaya bahwa pendidikan yang memanusiakan adalah pendidikan yang

dialogis. Suatu investigasi bersama-sama yang terus-menerus yang dilakukan oleh

para murid yang mengakui bahwa ‘mengetahui’ adalah proses yang tak pernah

berakhir. ‘Mengetahui’ adalah sebuah proses, bukan tujuan dari pendidikan itu sendiri.

Proses ini juga mesti didukung oleh para guru yang menyadari bahwa sebenarnya dia

adalah murid juga. Dengan demikian, dialektika terus berlangsung. Pendidikan yang

menafikan dialog ditunjukkan dengan adanya penaklukan, pembagian dan pengaturan

rakyat, manipulasi oleh kaum elit dan invasi kultural yang hanya mendidik orang

menjadi objek perilaku maupun objek pikir. Hanya saja, tidak seperti Marxisme yang

tampak amat-sangat dogmatis, Freire sungguh percaya bahwa penghormatan kepada

rakyat dan dialog terbuka dapat menuntun ke sebuah dunia lain yang lebih manusiawi

dan lebih adil. Dari sini kita bisa melihat betapa penting dan kuatnya Freire

menekankan ‘dialog’ dalam banyak idenya. Tanpa dialog, sesuatu akan bergerak

menjadi otoriterianisme yang tentu saja tidak manusiawi dan menindas.

Untuk menghindari hal itu, maka sifat kritis kesadaran yang reflektif harus

diarahkan pada dekonstruksi posisi guru-murid yang selama ini ada, yakni guru adalah

Page 8: paulo freire, i oleh saifullah arif

subjek yang tahu dan murid adalah subjek yang harus tahu. Guru-murid harus

berusaha untuk mengetahui secara bersama-sama dengan tujuan untuk

mentransformasikan dunia. Ini juga merupakan salah satu hal yang membedakan

antara konsepsi Freire dengan teman sejawatnya, Ivan Illich maupun Everett Reimer,

yang terkenal sebagai ‘pemikir anti sekolah’. Freire dengan jelas dan tegas, sangat

tampak bahwa pemikiran-pemikirannya lebih berorientasi pada perubahan sosial

(h.134). Baginya, pendidikan adalah alat yang paling penting untuk mencapai

transformasi-transformasi sosial.

Buku yang ditulis Denis Collins ini, seorang direktur pendidikan di California

Province of the Lesuit merupakan hasil penelitian di Ohio State University

Washington D.C., dan Mexico City. Meski kecil namun nampaknya sanggup

menghadirkan kehidupan, karya dan gagasan-gagasan Freire. Juga, meski hanya

disistematisasikan hanya menjadi dua bagian, namun per bagian yang ada tampak kuat

menonjolkan kata-kata: “dialog, pembebasan, anti penindasan, dan pelbagai idiom

humanisme yang lain”. Teori-teori pendidikannya tersusun secara sistematis, sehingga

tepat bagi pembaca pemula yang ingin berusaha mengenal Freire. Buku ini merupakan

‘jalan pintas’ untuk memahami gagasan-gagasan Freire. Termasuk bagaimana ia

menekankan pada upaya meningkatkan kesadaran-konsientisasi (conscietization)

kaum tertindas.

Setelah kita memahami bahwa pendidikan mesti humanistik, maka pada saat

yang sama kita akan bisa menyimpulkan, seperti apa yang pernah dialami Freire

dalam sejarah hidupnya, bahwa pertama-tama untuk menghindari penindasan adalah

berperang melawan ‘kelaparan dalam pendidikan’. Seperti lazimnya buku-buku

terjemahan yang lain, buku ini sepintas sepertinya mengalami nasib yang sama, yakni

sulit dipahami karena ketidakmampuan pembaca untuk berempati langsung dengan

realitas yang diasumsikan Freire, di Amerika Latin. Namun kesulitan ini akan segera

teratasi jika kita tidak membacanya secara sepotong-sepotong. Harus utuh. Sehingga

di akhir membaca, kita sudah merasakan kehendak Freire yang jujur untuk

memerdekakan manusia-manusia yang tertindas. (Hasanuddin Wachid dan Saiful

Arif).

* Beberapa poin dari book review ini pernah dimuat di harian Jawa Pos.