Upload
enchink-qw
View
50
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PPAAUULLOO FFRREEIIRREE
AARRTTII LLAAPPAARR BBAAGGII AANNAAKK SSEEKKOOLLAAHH
LLEEBBIIHH DDEEKKAATT DDEENNGGAANN FFRREEIIRREE,, IINNSSAANN PPEENNDDIIDDIIKKAANN YYAANNGG RRAADDIIKKAALL
Adalah Paulo Freire, pendidik, teolog, humanis, sosialis, dan bahkan dianggap
mesias dunia ketiga (khususnya masyarakat Amerika Latin). Ia tidak hanya seorang
yang kontroversial dengan metode pendidikan revolusionernya. Namun juga sosok
yang sulit diterka. Perkembangan ide-ide kependidikannya dari tiap tahap kehidupan
dan tiap pekerjaan yang dilakoninya cukup menjadikan ia seorang pembebas pejuang
dunia ketiga yang sulit ditebak. Pemikiran kependidikannya selalu mencerminkan
nada gugatan, protes, dan berontak terhadap segala bentuk pendidikan yang telah
mencerabut manusia dari kesadarannya. Freire, bersama para pendahulunya (Hegel
dan Marx) berpikiran bahwa refleksi dan aksi tidak dapat berjalan secara sendiri-
sendiri. Premis ini sedikit banyak menggambarkan bahwa betapa berpengaruhnya tiap
kehidupan dan tiap pekerjaan serta pengalaman dari keluarga dan orang-orang yang
bekerja dengannya terhadap warna pemikiran Freire. Sebab, tidak bisa dipungkiri
bahwa pemikiran Freire selalu muncul dari realitas hidup dan pengalaman keseharian
dirinya dan orang-orang disekitarnya, sehingga wajar jika ia berpemikiran, bahwa
segala bentuk refleksi yang ia lakukan selalu berdasarkan realitas dan upaya untuk
mewujudkannya secara praksis.
Dalam dunia kependidikan, langka sekali orang yang memiliki kepribadian
sepertinya. Freire menjelma sebagai sosok insan kependidikan yang memiliki sifat-
sifat kepribadian radikal, utopis, dapat diraih, kristen, dan kritis yang menggambarkan
dirinya benar-benar berasal dari sikap optimismenya tentang manusia yang
dipandangnya sebagai sebuah sosok yang mampu menjadikan dirinya berkembang
sesuai dengan potensi yang dimiliki tanpa mengabaikan sendi dasar kemanusiaannya.
Latar belakang kehidupan pribadinya dengan cengkeraman kemiskinan yang
melanda negaranya (Brazil), di mana ia hidup dalam budaya penindasan dan
kebudayaan bisu dan pengalaman hidupnya yang akrab dengan kemiskinan dan
kelaparan mendorongnya untuk berjanji akan bekerja di antara kaum miskin dan
mencoba memperbaiki nasib hidup mereka. Ia berkeyakinan bahwa kelak semua laki-
laki dan perempuan dapat sungguh-sungguh menjadi manusiawi dan merdeka
sebagaimana dikehendaki penciptanya. Sikap ini menunjukkan bahwa ia sebenarnya
adalah seorang kristen sejati. Eksistensi dan peran besarnya Freire dalam dunia
pendidikan sebagai salah satu kontributor teori-teori pendidikan menempatkan dirinya
dalam deretan orang-orang yang revolusioner-radikal. Sifat optimismenya sebagai
pendidik, meski dalam pemenjaraan dan pembuangan, kontroversialnya kepribadian
dan revolusionernya metode kependidikannya telah menjadikannya sebagai seorang
pemimpin perjuangan kaum tertindas di dunia ketiga khususnya di Amerika Latin.
Ia bukanlah sosok konseptor kosong terhadap makna filosofis terhadap setiap
aksi pemikirannya, ia lebih tampil dalam sosok reflektor praksis, dimana setiap hasil
pemikirannya langsung melalui eksperimentasi di lapangan dengan sandaran
filsafatnya pada fakta sejarah yang sekian tahun dialaminya sendiri. Sisi lain yang
unik dan khas dari Freire adalah kejujurannya dalam mengungkapkan dan mengatakan
apa adanya tanpa tedeng aling-aling tentang kondisi kemanusiaan kita yang begitu
memprihatinkan hingga tanpa disadari kita sendiri sering berprilaku tak manusiawi.
Pemikirannya yang selalu menohok pada inti permasalahan dengan pemikiran filsafat
yang shopiscated ke dalam aplikasi persoalan-persoalan kehidupan keseharian, telah
menjadikannya tidak hanya berhenti pada persolan terminologis yang bergerak di aras
permukaan persoalan. Namun dengan metode refleksi-aksinya, ia telah menjadikan
pemikirannya membumi dan membawa perubahan besar dalam menjawab persoalan
kemanusiaan dunia ketiga.
Buku tentang Freire edisi Indonesia yang berjudul Paulo Freire, Kehidupan,
Karya dan Pemikirannya, dan ditulis Denis Collins ini, berisi riwayat hidup pada bab
1 dan pemikiran Freire tentang pendidikan pada bab 2. Tidak ada kritik terhadap
pemikiran Freire, sehingga dalam bab 2 yang berjudul filsafat, Collins seakan hanya
memaparkan filsafat Freire tentang pendidikan yang diarahkan “untuk pembebasan”.
Yang dimaksud Freire dengan pendidikan untuk pembebasan adalah membuat
mereka yang tertindas (istilah yang digunakan Freire) atau terkungkung suatu
keadaan, menjadi merdeka, mandiri, tak terikat dalam keadaan yang mendominasi
dirinya. Atau lebih jelasnya, si tertindas itu bisa meloloskan diri dari dominasi itu.
Sedangkan mereka yang menindas atau mendominasi suasana, dalam proses
“pendidikan untuk pembebasan” itu belajar berdialog dengan si tertindas. Inilah topik
yang dibahas dalam buku tersebut. Yang membuat buku ini berbeda dari buku sejenis
adalah perhatian serius pada pengarahan pendidikan untuk membentuk manusia bebas,
manusia otonom yang menguasai dirinya sendiri, juga bagaimana mengarahkan
pendidikan agar manusia berpikir kritis dan menganggap dirinya sebagai sunjek atas
dunia dan realitas.
Freire tertarik pada pendidikan, saat ia mulai mempertanyakan ketidaksesuaian
antara khotbah di Gereja dengan kenyataan sehari-hari. Ia senang membaca buku
pendidikan, filsafat dan sosiologi pendidikan, walaupun kuliahnya di fakultas hukum
Universitas Recife (hal. 7-9). Ia kemudian menikah dengan Elza Maria Costa
Olievera, guru SD. Buku pertama Freire dalam bidang pendidikan adalah Educaqao
como Pratica da Liberade diterbitkan di Brazil tahun 1967. Terjemahannya dalam
bahasa Inggris muncul tahun 1973, yaitu Education as the Practise of Freedom, dan
buku Pedagogy of the Opressed (1970), dan kemudian Freire selalu dikaitkan dengan
“Pedagogy”. Dan dari sinilah ia mulai mendapatkan perhatian di mana-mana,
termasuk di Indonesia.
Freire melihat adanya kebutuhan pendidikan bagi kaum tertindas. Ide ini
muncul ketika Freire melihat kaum miskan (kaum tertindas) tidak dapat menggunakan
hak suara dalam pemilu karena kaum tersebut buta aksara. Pikiran-bahasa menjadi
kebutuhan inti pendidikan. Pikiran-bahasa Freire adalah suatu kesatuan yang
menggunakan realitas kepada manusia karena pemikiran tidak mungkin tanpa bahasa
dan keduanya tidak mungkin tanpa dunia yang diacu itu. Manusia adalah kombinasi
pikiran dan tindakan untuk memanusiakan sejarah dan kebudayaan.
Inisiatif untuk pembebasan harus datang dari kaum tertindas, karena kuam
tertindas yang mengalami beban penindasan dan juga yang mampu memahami makna
penindasan yang mengerikan. Pendidikan kaum tertindas merupakan perjuangan
melawan penindasan dalam konteks interaksi dunia dan manusia, serta proses
berkelanjutan praksis refleksi dan aksi. Faktor penting dalam gerakan pendidikan dan
pembebasan adalah perkembangan kesadaran (conscietization). Freire berupaya untuk
mendobrak proses pendidikan tradisional “sistem bank”, di mana guru menstransfer
pengetahuan kepada murid. Guru berposisi sebagai subyek, sedangkan murid sebagai
obyek. Dalam sistem ini tidak terjadi kmunikasi sebenarnya antara guru dan murid.
Praktek pendidikan seperti ini terefleksikan dalam masyarakat yang tertindas dan
sekaligus memperkuat struktur yang menindas. Pendidikan menjadi alat dominasi
yang dimanfaatkan untuk penjinakan atau penindasan secara sistematik.
Kritik keras Freire pada pendidikan ‘gaya bank’ lebih banyak disebabkan oleh
fragmentasi yang dikandungnya (h.146).Transfer informasi an sich berarti sama saja
dengan menegasikan dialog. Padahal sebagai makhluk sosial, yang namanya
pemikiran subjekl tertentu tentu saja harus diuji, dirangsang dan dihadapkan pada
pemikiran dari subjek lain. Transfer informasi yang ‘semena-mena’ berarti tidak
memperdulikan komunikasi atau intersubjektivitas atau cara manusia mengetahui
sebagai co-intensionalitas. Inilah yang membuat Freire mengatakan bahwa titik tolak
dari pendidikan yang memanusiakan pastilah pemecahan kontradiksi antara guru-
murid. Bagi Freire, pendekatan selain ‘komunikasi dan dialog’ adalah pendekatan
yang mengingkari aspek kreatif. Bahkan hal itu merupakan tindakan yang
melanggengkan penindasan.
Pada awalnya Freire tidak tertarik pada pembebasan buta aksara, tetapi dalam
perjalanan pemikiran pendidikannya, yang ia lakukan justru lebih dari sekedar
pembebasan buta aksara. Melek huruf adalah modal awal guna melawan proses
dehumanisasi. Pembongkaran dehumanisasi ini memberikan kesadaran baru pada
masyarakat, sehingga dehumanisasi mampu dikurangi sedikit demi sedikit dengan
melek huruf. Kata dan bahasa penting menurut Freire, karena dua hal tersebut menjadi
unsur utama dalam praksis refleksi dan aksi.
Di satu pihak Freire memandang manusia berproses, yang berarti manusia
tersebut belum selesai (belum utuh). Lalu bagaimana membentuk manusia yang utuh?
Manusia yang diinginkan adalah manusia yang otonom terhadap diri, realitas dan
dunianya. Di sisi lain, dalam pandangan Freire, humanisasi adalah sebuah gambaran
manusia yang ideal. Manusia ideal adalah manusia tersebut memperolah keutuhan.
Keutuhan yang diperoleh untuk menjadi manusia yang ideal (humanisasi) ini
membutuhkan manusia yang sadar diri. Adanya kesadaran dalam diri manusia itu
diperoleh dengan kebebasan.
***
Formalisasi sistem pendidikan di ruang kelas telah menjadi mainstream
pendidikan modern. Akibat formalisasi itu, parameter keberhasilan sebuah pendidikan
hanya didasarkan pada pencapaian kelulusan yang bertingkat dari pendidikan dasar
sampai perguruan tinggi. Bagi Freire, pendidikan bukan semata-mata persoalan
transfer ilmu atau pengetahuan satu arah (guru ke murid), pendidikan adalah sebuah
proses “mengetahui” yang didasarkan pada subyektivitas untuk mengonstruksi dialog
antar manusia. Proses pendidikan hanya bisa diselenggarakan jika guru memosisikan
sejajar dengan murid. Artinya, guru dan murid adalah subyek yang sama-sama ingin
tahu tentang dunia dan harus mengubahnya agar lebih baik.
Freire menekankan perlunya metode pendidikan kritis-dialogis bagi
masyarakat miskin, tertindas, dan bodoh. Dalam masyarakat yang terbelakanga dan
tertindas, diperlukan sebuah model pendidikan yang mendorong perubahan sifat
seseorang agar berwatak demokratis. Jadi, pendidikan dilakukan tidak hanya untuk
mengatasi buta huruf, tetapi juga untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang
demokrasi. Ia telah mencobanya lewat sebuah metode alfabetisasi yang menyajikan
kata-kata generatif (seperti gubuk, sumur, bajak, kumuh dan sekolah). Lewat metode
ini, orang-orang miskin yang menjadi peserta pendidian dapat belajar membaca dan
mengeja dengan cepat. Kata-kata generatif tersebut sekaligus menunjukkan situasi
kehidupan nyata manusia dalam hubungan dengan dunia sekitar. Selanjutnya diskusi
berkembang ke tema-tema kehidupan yang harus dipecahkan oleh orang-orang itu;
kelaparan, ketergantungan, pengangguran dan sebagainya.
Terpengaruh oleh Marx. Mao, Marcuse, Fanon, Lukacs dan Althusser, analisis
sejarah dan budaya yang tampak dari pemikiran Freire menjadi antidominasi.
Walaupun demikian, filsafat kependidikannya tidak pernah mengarah kepada aliran
manapun. Pemikiran Freire mengarah dari pengalaman hidupnya, sehingga ia
berkesimpulan bahwa pendidikan harus mengarah kepada pembebasan manusia.
Keyakinan Freire itu pula yang memunculkan tuduhan-tuduhan bahwa ia adalah
seorang idealis, komunis, “teolog yang menyamar”, fenomenolog, bahkan
eksistensialis. Ia sangat mementingkan dialog berlandaskan kesadaran kritis karena
manusia memiliki fitrah sebagai subyek yang mandiri, Sebagai seorang subyek,
manusia diberi kekuatan untuk berinteraksi dengan obyek (dunia). Saat subyektivitas
dan obyektivitas disatukan melalui tindakan-tindakan autentik yang mentransformasi
dunia, manusia menjadi pencipta dan pengarang sejarah. Freire memang
memfokuskan perhatiannya pada masalah kesadaran kritis-reflektif (conscientizacao).
FFRREEIIRREE DDAANN AARRTTII LLAAPPAARR BBAAGGII AANNAAKK SSEEKKOOLLAAHH
Dalam dua bulan, September-Oktober, Pustaka Pelajar Yogyakarta telah
melakukan dua penerbitan yang cukup penting bagi studi pengayaan tentang Paulo
Freire, baik yang ditulis sendiri maupun orang lain. Setelah terjemahan atas buku
Freire The Politic of Education: Culture, Power and Liberation (Politik Pendidikan:
Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, September 1999), buku yang ditulis Denis
Collins ini, setidaknya, semakin memperkaya perbendaharaan buku-buku tentang
Freire dan pendidikan di Indonesia. Kontribusi penting yang bisa kita rasakan adalah
bahwa buku ini hadir melengkapi kuatnya perbincangan tentang pendidikan di
Indonesia. Dan buku Dennis Collins ini, secara singkat mengajak pembacanya untuk
mengenal siapa sesungguhnya Freire, terutama kehidupan, karya dan pemikirannya.
Paulo Freire lahir pada 19 September 1921 di Recife, kota pelabuhan di timur
laut Brazil. Dia berasal dari keluarga kelas menengah, tapi orang tuanya mengalami
kesulitan finansial pada masa depresi berat. Situasi seperti itulah, salah satunya, yang
membuat Freire, menyadari arti lapar bagi anak sekolah dasar. Pada saat yang sama,
tentu ia adalah orang yang sangat peduli pada masalah-masalah kemiskinan, orang
miskin dan perjuangannya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan pendidikan.
Untuk mengenalnya lebih jauh, Collins memulainya dengan pertanyaan
bagaimana seseorang bisa menjelaskan sikap optimisme Paulo Freire. Seperti
dijelaskan di awal buku ini, bahwa sikap-sikap yang radikal, utopis, dapat diraih,
Kristen kritis, yang menancap pada diri Freire adalah sikap yang menjelaskan
optimismenya tentang manusia. Namun mesti juga dicatat bahwa optimisme yang ia
maksud bukan merupakan optimisme yang berangkat dari suatu idealisme historis.
Dari pelbagai tulisannya dapat diketahui bahwa apa yang diajarkan Freire adalah agar
manusia mampu mendidik dan memerdekakan dirinya sendiri, berjuang untuk bebas
dengan cara menjadi historis dan tidak dengan cara yang lain. Ia yakin betul bahwa
suatu saat nanti, semua manusia, laki-laki maupun perempuan, akan dapat menjadi
manusiawi dan merdeka sebagaimana dikehendaki oleh Penciptanya.
Meski dalam situasi pembuangan, pemenjaraan dan kemiskinan, Freire tetap
saja bersikap optimis, dan memandang bahwa kehidupan adalah sebuah optimisme.
Freire adalah salah satu dari sekian banyak pemimpin umat yang sangat kuat dalam
upayanya untuk memperjuangkan pengentasan kemiskinan dan penindasan atas harkat
kemanusiaan. Seperti yang ditunjukkan Collins, sebenarnya hal yang luar biasa dari
Frere bukan semata-mata kontroversi yang muncul dalam debat-debat tentang metode
pendidikannya yang revolusioner, namun justru perkembangan ide kependidikannya.
Senada Hegel dan Marx, baginya refleksi dan aksi tidak dijalankan secara terpisah.
Berasal dari situasi yang penuh dengan penindasan, maka aksi yang ia lakukan
adalah aksi bagaimana memperjuangkan diri dan rakyatnya agar tidak tertindas lagi.
Kritik-kritiknya pada pendidikan tradisional melahirkan sebuah gagasan penting,
yakni bagaimana agar pendidikan lebih bersifat humanistik (manusiawi). Sebab hanya
dengan pendidikan yang mementingkan pembebasan dan pemerdekaan orang per
orang-lah, maka penindasan dapat dihilangkan. Sementara, bagi Freire, pendidikan
tradisional, di samping tidak menampakkan unsur pemerdekaan itu, ia juga jauh dari
humanisme.
Brazil mengalami pergolakan yang dahsyat di awal tahun 1960-an. Pelbagai
gerakan sosial tumbuh bersamaan dengan hadirnya golongan sosialis, komunis,
mahasiswa, buruh, golongan populis dan militan Kristen (h.9). Situasi yang terjadi
bersamaan dengan pergolakan-pergolakan itu adalah menjamurnya orang buta aksara
di masyarakat pedesaan yang miskin. Inilah salah satu kejadian yang menarik minat
Freire untuk melakukan pemberantasan dan ‘menghidupkan’ mereka kembali agar
suara-suara mereka mampu mengakses isu-isu yang lebih besar di Brazil.
Freire memperkenalkan perlunya pendidikan bagi kaum tertindas. Bagi Freire,
pendidikan adalah jalan untuk menuju pembebasan yang permanen (h.39). Pendidikan
model ini dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah masa di mana manusia
menjadi sadar akan pembebasan mereka dan melalui praksis merubah keadaan itu.
Tahap kedua dibangun di atas tahap yang pertama dan merupakan proses tindakan
kultural yang membebaskan.
Freire percaya bahwa pendidikan yang memanusiakan adalah pendidikan yang
dialogis. Suatu investigasi bersama-sama yang terus-menerus yang dilakukan oleh
para murid yang mengakui bahwa ‘mengetahui’ adalah proses yang tak pernah
berakhir. ‘Mengetahui’ adalah sebuah proses, bukan tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Proses ini juga mesti didukung oleh para guru yang menyadari bahwa sebenarnya dia
adalah murid juga. Dengan demikian, dialektika terus berlangsung. Pendidikan yang
menafikan dialog ditunjukkan dengan adanya penaklukan, pembagian dan pengaturan
rakyat, manipulasi oleh kaum elit dan invasi kultural yang hanya mendidik orang
menjadi objek perilaku maupun objek pikir. Hanya saja, tidak seperti Marxisme yang
tampak amat-sangat dogmatis, Freire sungguh percaya bahwa penghormatan kepada
rakyat dan dialog terbuka dapat menuntun ke sebuah dunia lain yang lebih manusiawi
dan lebih adil. Dari sini kita bisa melihat betapa penting dan kuatnya Freire
menekankan ‘dialog’ dalam banyak idenya. Tanpa dialog, sesuatu akan bergerak
menjadi otoriterianisme yang tentu saja tidak manusiawi dan menindas.
Untuk menghindari hal itu, maka sifat kritis kesadaran yang reflektif harus
diarahkan pada dekonstruksi posisi guru-murid yang selama ini ada, yakni guru adalah
subjek yang tahu dan murid adalah subjek yang harus tahu. Guru-murid harus
berusaha untuk mengetahui secara bersama-sama dengan tujuan untuk
mentransformasikan dunia. Ini juga merupakan salah satu hal yang membedakan
antara konsepsi Freire dengan teman sejawatnya, Ivan Illich maupun Everett Reimer,
yang terkenal sebagai ‘pemikir anti sekolah’. Freire dengan jelas dan tegas, sangat
tampak bahwa pemikiran-pemikirannya lebih berorientasi pada perubahan sosial
(h.134). Baginya, pendidikan adalah alat yang paling penting untuk mencapai
transformasi-transformasi sosial.
Buku yang ditulis Denis Collins ini, seorang direktur pendidikan di California
Province of the Lesuit merupakan hasil penelitian di Ohio State University
Washington D.C., dan Mexico City. Meski kecil namun nampaknya sanggup
menghadirkan kehidupan, karya dan gagasan-gagasan Freire. Juga, meski hanya
disistematisasikan hanya menjadi dua bagian, namun per bagian yang ada tampak kuat
menonjolkan kata-kata: “dialog, pembebasan, anti penindasan, dan pelbagai idiom
humanisme yang lain”. Teori-teori pendidikannya tersusun secara sistematis, sehingga
tepat bagi pembaca pemula yang ingin berusaha mengenal Freire. Buku ini merupakan
‘jalan pintas’ untuk memahami gagasan-gagasan Freire. Termasuk bagaimana ia
menekankan pada upaya meningkatkan kesadaran-konsientisasi (conscietization)
kaum tertindas.
Setelah kita memahami bahwa pendidikan mesti humanistik, maka pada saat
yang sama kita akan bisa menyimpulkan, seperti apa yang pernah dialami Freire
dalam sejarah hidupnya, bahwa pertama-tama untuk menghindari penindasan adalah
berperang melawan ‘kelaparan dalam pendidikan’. Seperti lazimnya buku-buku
terjemahan yang lain, buku ini sepintas sepertinya mengalami nasib yang sama, yakni
sulit dipahami karena ketidakmampuan pembaca untuk berempati langsung dengan
realitas yang diasumsikan Freire, di Amerika Latin. Namun kesulitan ini akan segera
teratasi jika kita tidak membacanya secara sepotong-sepotong. Harus utuh. Sehingga
di akhir membaca, kita sudah merasakan kehendak Freire yang jujur untuk
memerdekakan manusia-manusia yang tertindas. (Hasanuddin Wachid dan Saiful
Arif).
* Beberapa poin dari book review ini pernah dimuat di harian Jawa Pos.