Upload
dadang-djokokaryanto
View
410
Download
15
Embed Size (px)
Citation preview
SOSIOLOGI PENDIDIKAN
PENDEKATAN STRUKTURAL FUNGSIONAL DAN SOSIALISASI
DOSEN PENGAMPU:
1. Prof. Dr. Mujiyono Wiryotinoyo,M.Pd
2. Prof. Dr. Rahmat Murbojono, M.Pd
Disusun Oleh:
DADANG DJOKO KARYANTO
P3A116008
PROGRAM DOKTORAL ILMU KEPENDIDIKANUNIVERSITAS JAMBI
2016
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat yang diberikan-Nya sehingga tugas makalah yang berjudul “ Pendekatan Struktural Fungsional dan Sosialisasi” ini dapat terselesaikan.
Pembuatan makalah ini bertujuan sebagai salah satu bahan kajian untuk mata kuliah sosiologi pendidikan pada program Doktoral (S3) Ilmu Kependidikan di Universitas Jambi. Oleh sebab itu semoga makalah ini bisa dipergunakan sebagai bahan diskusi sebagaimana mestinya, mengingat kajian tentang teori struktural fungsional ini sangat penting dipelajari karena kita sebagai bagian dari sistem yang ada di masyarakat.
Penulis berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca, khususnya penulis dan rekan mahasiswa S3 Ilmu Kependidikan, Universitas Jambi.
Jambi, September 2016
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ..............................................................................4
C. Tujuan Penulisan ................................................................................5
D. Batasan Penulisan ............................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 3
A. Teori Struktural Fungsional .............................................................. 3
B.Penerapan Teori Struktural-Fungsional dalam
Pendidikan di Sekolah ....................................................................6
C. Sosialisasi dan Pendidikan ................................................................7
D. Peran Keluarga dalam Sosialisasi ..................................................... 8
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 10
Kesimpulan ........................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena perubahan sosial kehidupan masyarakat cukup kompleks. Fenomena
sosial yang ada seringkali mengacu pada adanya indikasi-indikasi yang rentan sekali
melahirkan perbedaan dan bahkan perselisihan dalam hal persepsi dan interprestasi.
Hal ini dikarenakan persoalan kemanusiaan sangat erat hubungannya dengan perubahan
dan perkembangan sosial.
Manusia senantiasa membutuhkan satu sama lain untuk kelangsungan hidup dan
mempertahankan predikatnya sebagai manusia. Wujud dari itu akan melahirkan
ketergantungan yang pada akhirnya mendatangkan sebuah bentuk kerjasama,
berlangsung dalam rentang waktu yang tak terbatas. Dari interaksi-interaksi tersebut
pada akhirnya akan melahirkan sebuah bentuk masyarakat yang beraneka ragam, baik
dari segi struktur, politik maupun sosialnya. Ini adalah sebuah keniscayaan, karena
sejak kehadirannya, mereka telah dianugerahi gelar sebagai makhluk sosial.
Dalam kerangka premis tersebut, berbagai usaha telah dilakukan, bahkan ada
sebagian yang terkesan berlebihan dalam mengkaji dan mengadakan penelitian sosial.
Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan waktu, sampai saat ini belum selesai
perjalanan menemukan sebuah teori kehidupan sosial yang mapan dan jitu, kendati
telah banyak teori yang kita telah pelajari.
Berangkat dari asumsi diatas, penulis mencoba memberikan informasi melalui
bahasan berikut yang akan menganalisis tentang teori struktural fungsional dan
sosialisasi, serta mencoba mengangkat sisi pendidikan dari teori tersebut.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam kajian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana konsep teori struktural fungsional ?
2. Bagaimana penerapan teori struktural fungsional dalam pendidikan di sekolah?
3. Apa yang dimaksud dengan sosialisasi dan pendidikan?
4. Apa peran keluarga dalam sosialisasi?
4
C. Tujuan Penulisan
Kajian dari makalah ini ditulis guna mengetahui lebih mendalam tentang teori struktural fungsional dan kaitannya dengan pendidikan serta sosialisasi dan peran keluarga dalam sosialisasi.
D. Batasan Penulisan
Masalah dalam kajian pendidikan adalah kompleks. Tidak bisa dipahami dan
dipecahkan dengan dan dari hanya satu sudut pandang atau disiplin. Karena kajian
tersebut sangatlah luas maka dari itu makalah ini membatasi masalah dengan membahas
hanya tentang teori struktural fungsional dan sosialisasi, serta mencoba mengangkat sisi
pendidikan dari teori tersebut .
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Teori Struktural Fungsional
Menurut Durkheim, masyarakat adalah sebuah kesatuan di mana di dalamnya terdapat bagian-bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing-masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut seling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. (Hidayat,2014)
Durkhem mengartikan istilah fungsional dalam dua makna. Pertama, fungsional adalah sebuah sistem dari pergerakan penting seperti pencernaan atau respirasi, lalu yang kedua adalah mengacu kepada relasi/keterkaitan dalam pergerakan tersebut termasuk hubungan saling ketergantungan dalam setiap organisme (Jones, 1986:26 dikutip dari Hidayat 2014). Banyak pemikir fungsionalis yang mengacu pemikiran Emile Durkheim percaya bahwa masyarakat dibangun bersama oleh nilai-nilai bersama dan saling ketegantungan sosial-ekonomi. Kalangan fungsionalis juga menjelaskan bahwa selalu ada kemungkinan terjadinya runtuhnya masyarakat jika nilai-nilainya tidak terus-menerus menegaskan kembali dan diturunkan dari satu generasi ke generasi lain. Oleh karena itu, pemeliharaan nilai-nilai adalah ‘fungsi’ penting dari masyarakat. Namun orang tidak selalu mengikuti hati nurani kolektif ini karena mereka secara alami memikirkan diri sendiri dan lebih memilih untuk menjaga kepentingan mereka sendiri dengan mengorbankan orang lain.
Kokohnya masyarakat dalam pandangan Durkheim terjadi karena tegaknya hukum dan berfungsinya sistem pendidikan serta terjadinya sosialisasi utama keluarga. Hukum memang lebih lemah dari dua lembaga sosialisasi yaitu pendidikan dan keluarga. Fungsi yang jauh lebih kuat adalah meresapnya ‘self-control’ bahwa kita semua belajar.
Berikut adalah beberapa tokoh-tokoh fungsionalisme klasik dan fungsionalisme modern:
a. Tokoh fungsionalis klasik
1. Dahrendorf
Dahrendorf mengemukakan bahwa teori fungsionalisme sebagai berikut:
(1) setiap masyakarat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan
stabil.
(2) mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik.
6
(3) setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan sumbangan
pada terpeliharanya masyarakat sebagai suatu sistem;
(4) setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsensus mengenai
nilai dikalangan para anggotanya.
2. Auguste Comte
Tokoh awal teori ini ialah “bapak sosialogi” Auguste Comte. Sumbangan utama
Comte bagi sosiologi adalah pembagian antara statika sosial dan dinamika sosial serta
organisme menampilkan kesalingterkaitan yang erat.
b. Tokoh Fungsionalisme Modern
1. Talcott Parsons
Talcott Parsons merupakan tokoh sosiologi modern yang mengembangkan
analisis Fungsional dan sangat rinci menggunakannya dalam karnya-karyanya. Karya
pertamanya yang memakai analisis fungsional adalah buku The Social System (1951).
Dalam karya berikutnya Parsons secara rinci menguraikan fungsi berbagai struktur bagi
dipertahankannya sistem sosial. (Wahyu, 2006)
Fungsionalisme Struktural Parsons mengenal empat fungsi penting untuk semua
system dan terkenal dengan istilah AGIL. Fungsi-fungsi penting tersebut ialah
Adaptation, Goal Atteinment, Integration, dan Latency.
a. Adaptation ( adaptasi), Sistem tersebut harus menyesuaikan diri dengan
lingkungannya dan setelah itu membuat lingkungan sesuai dengan kebutuhan.
b. Goal Atteinment (Pencapaian tujuan), Sistem tersebut harus mendefenisikan dan
mencapai tujuannya.
c. Integration (integrasi), Sistem tersebut harus mampu mensinergiskan antar
komponen dalam sistem tersebut dan juga ketiga fungsi yang lain (Adaptation,
Goal Atteinment, Latency)
d. Latency( pemeliharaan pola), Sistem tersebut juga harus melengkapi, memelihara
dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang
menciptakan dan menopang motivasi.
Parson mendesain skema AGIL diatas untuk digunakan disemua tingkat dalam
sistem teoritisnya, yaitu: Organisme perilaku ialah sistem tindakan yang melaksanakan
fungsi adaptasi, menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengubah lingkungan
7
eksternal. Sistem kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan
menetapkan tujuan system dan mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk mencapai
tujuan. Sistem Sosial menjalankan fungsi integrasi dengan mengendalikan setiap
komponennya dan sistem kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola.
2. Robert K. Merton (1968)
Sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah
mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas tentang teori-teori fungsionalisme, ia
adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini.
Mengakui bahwa pendekatan ini (fungsional-struktural) telah membawa kemajuan bagi
pengetahuan sosiologis.
Merton telah mengutip tiga postulat yang ia kutip dari analisa fungsional dan
disempurnakannya, diantaranya ialah :
1. Kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan
dimana seluruh bagian dari system sosial bekerjasama dalam suatu tingkatan
keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik
berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Atas postulat ini Merton
memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari satu masyarakat
adalah bertentangan dengan fakta. Hal ini disebabkan karena dalam kenyataannya dapat
terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu kelompok, tetapi dapat pula bersifat
disfungsional bagi kelompok yang lain.
2. Fungionalisme universal yang menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan
kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif. Terhadap postulat ini
dikatakan bahwa sebetulnya disamping fungsi positif dari sistem sosial terdapat juga
dwifungsi. Beberapa perilaku sosial dapat dikategorikan kedalam bentuk atau sifat
disfungsi ini. Dengan demikian dalam analisis keduanya harus dipertimbangkan.
3. Indispensability yang menyatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap
kebiasaan, ide, objek materiil dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting,
memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting yang
tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan system sebagai keseluruhan. Menurut Merton,
postulat yang kertiga ini masih kabur (dalam artian tak memiliki kejelasan), belum jelas
apakah suatu fungsi merupakan keharusan.
8
Dengan kata lain, Merton memandang bahwa segala pranata sosial yang ada
dalam masyarakat itu bersifat fungsional dalam artian positif dan negatif. Sebagai
contoh: lembaga pendidikan, ini berfungsi dan sangat penting dalam masyarakat,
terutama untuk memajukan kualitas pendidikan di negeri ini. Lembaga pendidikan
memberikan pengajaran dan ilmu-lmu pengetahuan untuk para generasi muda penerus
bangsa. Dalam hal ini, lembaga pendidikan bersifat fungsional, dan menjurus pada
artian yang positif. Kemudian perampok, dan pelaku kriminalitas, pada dasarnya pelaku
kriminalitas selain merugikan masyarakat, juga mempunyai fungsi tersendiri.
Bayangkan saja jika tidak ada pelaku kriminalitas, apa yang akan dikerjakan dan
ditangani oleh para polisi? Otomatis mereka juga tidak mempunyai job untuk
menghasilkan tambahan uang. Meskipun bagi orang yang menjadi korban juga
merupakan suatu kerugian tersendiri. Bagitulah dalam kehidupan masyarakat, memang
saling berkesinambungan, mempunyai suatu akibat dan fungsi-fungsi tersendiri.
2.2 Penerapan Teori Struktural-Fungsional dalam Pendidikan di Sekolah
Dalam buku Manajemen Pendidikan Mutu berbasis Sekolah yang dikeluarkan
oleh Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas (1999:6-
7) diungkapkan beberapa indikator yang menjadi karesteristik dari konsep MPBS
sekaligus merefleksikan peran dan tanggung jawab masing-masing pihak antara lain;
(1) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (2) sekolah memiliki misi dan target mutu
yang ingin dicapai, (3) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, (4) adanya harapan
yang tinggi dari personil sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya, termasuk
siswa) untuk berprestasi, (5) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus
sesuai tuntutan IPTEK, (6) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap
berbagai aspek akademik dan administrative, dan pemanfaatan hasilnya untuk
penyempurnaan dan atau perbaikan mutu, (7) adanya komunikasi dan dukungan insentif
dar orang tua siswa dan masyarakat lainnya.
Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa praktek teori struktural-fungsional
yang mengedepankan integrasi, maka tanggung jawab dan peran masing-masing pihak
harus selalu menjadi prioritas dalam rangka membangun intergrasi solid di sekolah
terutama yang erat kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan .
9
Analisis SWOT (Strengths-Weakness-Opportunities-Threats) merupakan salah
satu metode yang dapat digunakan untuk membantu sekolah mengungkapkan dan
mengidentifikasi permasalahan. Pentingnya analisis SWOT dilakukan agar dapat
diketahui kekuatan dan kelemahan yang melekat dlam lingkungan internal system itu
sendiri, serta peluang dan tantangan yang dating dari lingkungan eksternal system
tersebut. Berbagai hasil studi empirik menunjukkan bahwa suatu manajemen itu akan
berhasil jika mampu mengoptimalkan pemberdayaan dan pemanfaatan kekuatan dan
peluang yang dimilikinya serta mampu meminimalkan intensitas pengaruh faktor
kelemahan dan hambatan disertai upaya untuk memperbaiki atau mengatasinya
(syamsuddin, 2000:5 dalam batubara 2004).
2.3 Sosialisasi dan Pendidikan
Sosialisasi adalah proses dimana seorang individu belajar dan menginternalisasi
norma dan nilai sepanjang hidupnya dalam masyarakat mana dia berada, dan
membangun identitas sosialnya. Dalam pandangan Durkheim sekaligus menekankan
bahwa pendidikan terdiri dari beberapa metode sosialisasi kepada generasi muda.
Pendidikan menjadi sebuah alat sosialisasi kepada anak-anak dan generasi muda untuk
menjadikan mereka sebagai bagian dari kehidupan sosial. Sosialisasi dilakukan sebagai
aktivitas yang sadar dan sukarela dilakukan oleh generasi sebelumnya terhadap yang
lebih muda. Pendidikan dirumah dilakukan untuk membentuk kepribadian anak.
Dengan kata lain menurut Durkhem, hal tersebut sebagai proses konstruksi anak yang
berorientasi, dimana, agar nantinya akan bisa berguna sesuai dengan peran sosialnya
serta bisa menempati posisi sosial di masyarakat.
Durkheim memberikan tiga karakteristik pendidikan. Pertama, pendidikan
merupakan wadah untuk mendapatkan peran sosial. Hal itu karena dalam pendidikan
memungkinkan terjadinya kontak antara seorang individu dengan masyarakat. Kontak
tersebut mengakibatkan terjadinya adaptasi individu tersebut dengan lingkungan di
mana dia tinggal sehingga dapat membentuk karakter dan memainkan peran yang
berguna di masyarakat. Sosialisasi yang baik adalah mempersiapkan peran sosial
seorang individu di masyarakat.
Kedua, pendidikan sebagai sebuah metode sosialisasi orang dewasa kepada
generasi muda. Ketiga, pendidikan sebagai metafora hipnosis. Durkheim mengunakan
10
metafora hipnosis untuk menekankan kekuatan tindakan pendidikan. Ada dua dimensi
dalam hipnosis yaitu dimensi pasif yang menunjuk pada kurangnya resistensi dari
subjek terhipnosis gagasan. Seorang individu mentransmisikan gagasan tersebut kepada
masyarakat. Dimensi kedua adalah ototritas yang berada di bawah kewenangan hipnosis
yang memiliki kewenangan untuk menunjukkan penolakan untuk mematuhi bahkan
tidak dibayangkan bahwa perbuatan tersebut harus dilakukan. Sesuatu yang harus
dilihat saat ia menunjukkan bahwa tidak bisa sebaliknya. Dalam pandangan Durkheim,
kedua kondisi tersebut terpenuhi dalam hubungan antara guru dan anak. Anak secara
alami dalam keadaan pasif cukup sebanding dengan yang artifisial yang ditempatkan
terhipnotis.
2.4 Peran Keluarga dalam Sosialisasi
Menurut Durkheim, keluarga memiliki peran penting dalam membentuk kondisi
sosial, psikologis, moral dan emosi seorang anak. Jika sebuah keluarga baik, maka
moral anak pun akan baik. Relasi sosial keluarga didasarkan pada hubungan pribadi
yang intim dan sederhana tidak berdasarkan keuntungan ekonomis. Hubungan sosial
sederhana ini dapat membentuk anak dalam kehidupan sosial.
Proses sosialisasi tidak terbatas pada efek praktik pendidikan, yaitu tindakan
eksplisit dan spesifik oleh orang tua untuk mendidik anak-anak mereka dengan cara
tertentu. Pemikiran dan karakter anak pun dipengaruhi oleh tindakan-tindakan kecil
yang tervjadi setiap saat baik di sekolah maupun di rumah.
Sosialisasi bisa melalui sistem mentalitas dan sistem ide yang ada di setiap
individu. Sistem ide bisa berupa sentimen dan praktik-praktik yang di ekspresikan
dalam diri kita. Pendidikan bisa melanggengkan homogenitas yang ada di antara
anggota masyarakat engan menanamkan dalam pikiran anak hubungan dasar yang
diperllukan oleh kehidupan di masyarakat. Melalui pendidikan juga, seseorang bisa
barubah dari makhluk individu (Individual beings) menjadi makhluk sosial (social
beings). Melalui pendidikan, individu belajar bagaimana untuk hidup dalam masyarakat
yang bertujuan memahami jumlahnya, aturan, norma dan spasi agar menjadi makhluk
sosial. Oleh karena itu pendidikan memiliki peran penting. Sosialisasi merupakan
sebuah mediasi utama untuk menciptakan integritas kolektif yang memberikan
implikasi pada pendidikan di masyarakat. Di dalamnya menjadi perhatian dan tanngung
11
jawab utama dari keluarga, negara, dan sekolah dalam transpformasi anak-anak menjadi
masyarakat dewasa (Haecht, 2006:22 di kutip dari Hidayat, 2014).
Kekuatan moral dalam proses sosial sangatlah penting karena itu berkontribusi
pada tingkat perkembangan masyarakat. Masyarakat bergerak ke arah positif dengan
diwarnai lahirnya generasi baru. Generasi baru perlu ditanamkan sistem mentalitas dan
sistem ide sebagai suatu generasi baru. Sosialisasi merupakan proses permanen yang
memungkinkan generasi baru bisa manjadi bagian dari masyarakat, sementara itu
generasi tua memiliki peran dan tanggung jawab untuk mengajarkan kepada anak-anak
muda tentang kehidupan sosial. Dengan kata lain, akan tercipta transmisi kebudayaan di
dalam masyarakat.
Disetiap masyarakat selalu mengadopsi pendidikan untuk menyesuaikan dengan
nilai dan tujuannya. Sistem pendidikan berkontribusi untuk eksistensi sebuah
masyarakat melalui kurikulum yang diajarkan di sekolah, sehingga murid-murid akan
dipersiapkan untuk menantisipasi kondisi di masa yang akan datang. Dengan kata lain
pendidikan melalui praktik kurikulum di sekolah akan menghasilkan individu dewasa
yang ideal untuk masyarakat.
Ada dua hal penting mengenai pendidikan, yaitu, pertama, pendidikan
merupakan sebuah alat sosialisasi kepada generasi muda. Kedua, pendidikan dan
sosialisasi saling berkaitan secara permanen dan tidak bisa dipisahkan satu dengan
lainnya (Beloni, 2007 dalam Hidayat 2014).
Yang membedakan antara individu dengan hewan adalah pendidikan. Karena
hewan tidak mewariskan apa pun untuk keturunannya. Walaupun misalnya ibu burung
mengajarkan anaknya terbang dari sarangnya. Tetapi sebenarnya walaupun tidak
diajarkan, anak burung bis menemukan sendiri karena disertai dengan mekanisme
naluriah didirikan saat lahir. Lain dengan manusia dimana semua keterampilan tidak
dapat ditularkan dari satu generasi ke generasi lain dengan cara faktor keturunan,
kecuali melalui pendidikan. Pendidikan berarti bahwa keterampilan individu tidak turun
temurun, tetapi ditanamkan melalui pendidikan.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Teori Struktural fungsional adalah teori yang membahas tentang stratifikasi
dan peranan (fungsi) yang ada didalam masyarakat. Teori ini menjelaskan bagaimana
struktur yang ada itu berinteraksi dan berfungsi sesuai dengan peranan masing-masing
lembaga tersebut dengan mengedepankan integrasi, Sehigga jika terjadi konflik sosial
maka akan dengan mudah diselesaikan.
Pendidikan dalam teori ini bisa dikatakan bahwa setiap strukturisasi jika
berfungsi sesuai dengan stratifikasi yang diperankan maka akan membentuk lembaga-
lembaga yang paradigmatis untuk mendidik masyarakat istiqama dan menjadi panutan.
Artinya, fungionaris yang ada pada lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsi serta
peranannya yang sesuai oleh aturan-aturan yang ada dalam masyarakat.
Selain itu, sistem sosial mempunyai bagian yang saling berhubungan,
misalnya, status suami, istri, dan anak yang saling berhubungan sehingga membentuk
lembaga yang kita kenal sebagai keluarga. Pendidikan dalam lembaga keluarga sangat
kental dan jelas yang menjadikan suami sebagai kepala keluarga bertanggung jawab
penuh dan menjadi panutan keluarganya dengan peranannya mencari nafkah buat
keluarga.
13
Daftar Pustaka
Hidayat, Rahmat, (2014), Sosiologi Pendidikan Emile Durkheim. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Batubara, Muhyi, (2004), Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press
Wahyu, 2006, sosiologi pendidikan, retrieved on http://ikhsansindu.blogspot.co.id/2012/11/pendidikan-dalam-analisis-teori.html
14