Upload
setyawan-taxtax
View
15.802
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ce recti
Citation preview
REFERAT
KARSINOMA KOLOREKTAL
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Di Susun Oleh :
Sigit Setiawan, S. Ked J500050033
Pembimbing :
dr. Hakimansyah, Sp.B
dr. Haryono, Sp. B
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma Kolorektal adalah istilah yang diberikan kepada karsinoma
yang berkembang pada kolon atau rektum. Kolon dan rektum merupakan bagian
dari saluran pencernaan atau saluran gastrointesinal dimana proses pencernaan
makanan untuk menghasilkan energi bagi tubuh dilakukan dan bahan-bahan yang
tidak berguna lagi (fecal matter/stol) dibuang.
Karsinoma rekti merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas
saluran cerna, lebih 60% tumor kolorektal berasal dari rektum. Salah satu pemicu
kanker rektal adalah masalah nutrisi dan kurang berolah raga. Kanker rektal
merupakan salah satu jenis kanker yang tercatat sebagai penyakit yang paling
mematikan di dunia. Kanker rektal adalah kanker yang menyerang kolon dan
rektum. Namun, penyakit ini bukannya tidak dapat disembuhkan. Jika penderita
telah terdeteksi secara dini, maka kemungkinan untuk sembuh bisa mencapai 50
persen.
Lebih dari 95% karsinoma kolorektal adalah adenokarsinoma. Karsinoma
ini berasal dari sel glandula dari bagian dalam lapisan dinding kolon dan rektum.
Karsinoma kolorektal menempati urutan ke-5 karsinoma terbanyak di Amerika
Utara dan bahkan di seluruh dunia menempati urutan ke-6 dari keganasan yang
paling dominan di dunia oleh survei WHO.
Karsinoma lain yang tumbuh pada kolon dan rektum adalah :
1. Karsinoid tumor
Yang memproduksi hormon yang mengatur perkembangan sel di usus.
2. Tumor Stroma Gastro Intestinal / TSGI
- Berasal dari dinding kolon dari “interstitial cell of Cajal“
- Saat ini TSGI dianggap sebagai tumor maligna meskipun histologinya
terlihat kadang-kadang benigna.
- Dapat ditemukan diseluruh saluran cerna
- Jarang di kolon
3. Limfoma
- Karsinoma sistem imun
- Timbul di nodus limfatikus atau follikel limfe mukosa usus
- Dimulai dari kolon dan rektum
- Dapat dimulai dari organ lain juga
Gejala kanker rektal adalah darah yang menggumpal dalam satu jaringan
cerna, diare atau konstipasi, dan berat badan turun. Selain itu terasa nyeri di
abdomen atau rektum, kejang di rektum, dan kelelahan yang berlanjut.
Setiap waktu, kanker ini bisa menyerang seseorang. Risikonya akan terus
meningkat seiring dengan penambahan usia. Data dari Amerika Serikat dan
Inggris memperlihatkan, orang yang berusia antara 60 sampai 80 tahun berisiko
tiga kali lipat dari kelompok usia lainnya. Mereka yang memiliki riwayat
peradangan saluran cerna seperti kolit usus kronis, tergolong berisiko tinggi untuk
berkembang menjadi kanker kolorektal. Demikian juga dengan mereka yang
memiliki riwayat penyakit kanker tersebut, risiko terkena penyakit ini bisa
menyerang pada kelompok usia mana pun di bawah 60 tahun.
Umumnya penderita datang dalam stadium lanjut, seperti kebanyakan
tumor ganas lainnya; 90% diagnosis karsinoma rekti dapat ditegakkan dengan
colok dubur. Sampai saat ini pembedahan adalah terapi pilihan untuk karsinoma
rekti.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. DEFINISI
Karsinoma Kolorektal, adalah suatu tumor malignan yang muncul dari
jaringan epithelial dari colon atau rectum (Harahap, 2004). Kanker kolorektal
ditujukan pada tumor ganas yang ditemukan di kolon dan rektum. Kolon dan
rektum adalah bagian dari usus besar pada sistem pencernaan yang disebut
juga traktus gastrointestinal. Lebih jelasnya kolon berada di bagian proksimal
usus besar dan rektum di bagian distal sekitar 5-7 cm di atas anus. Kolon dan
rektum merupakan bagian dari saluran pencernaan atau saluran
gastrointestinal di mana fungsinya adalah untuk menghasilkan energi bagi
tubuh dan membuang zat-zat yang tidak berguna.
Kanker merupakan suatu proses pembelahan sel-sel (proliferasi) yang
tidak mengikuti aturan baku proliferasi yang terdapat dalam tubuh (proliferasi
abnormal). Proliferasi ini dibagi atas non-neoplastik dan neoplastik, non-
neoplastik dibagi atas:
a. Hiperplasia adalah proliferasi sel yang berlebihan. Hal ini dapat normal
karena bertujuan untuk perbaikan dalam kondisi fisiologis tertentu
misalnya kehamilan.
b. Hipertrofi adalah peningkatan ukuran sel yang menghasilkan pembesaran
organ tanpa ada pertambahan jumlah sel.
c. Metaplasia adalah perubahan dari satu jenis tipe sel yang membelah
menjadi tipe yang lain, biasanya dalam kelas yang sama tapi kurang
terspesialisasi.
d. Displasia adalah kelainan perkembangan selular, produksi dari sel
abnormal yang mengiringi hiperplasia dan metaplasia. Perubahan yang
termasuk dalam hal ini terdiri dari bertambahnya mitosis, produksi dari sel
abnormal pada jumlah besar dan tendensi untuk tidak teratur.
B. ANATOMI USUS
1. Anatomi Makroskopis Usus
Usus besar menutupi usus kecil melalui 3 sisi dan berjalan dari
katub ileosekal menuju anus. Diameternya lebih besar dari usus kecil (oleh
karena itu disebut usus besar), tapi lebih pendek. Fungsi utamanya adalah
mengabsorpsi air dari sisa-sisa makanan yang dicerna dan
mengeluarkannya dalam bentuk semisolid.
Pada hampir seluruh panjangnya, usus besar memiliki tiga
keunikan yang tidak terdapat pada organ tubuh lainnya; taenia coli, haustra
dan appendiks epiploica. Kecuali pada bagian ujung terminalnya, bagian
longitudinal dari lapisan otot direduksi menjadi 3 barisan otot polos
disebut taenia coli (artinya pita dari kolon). Adanya variasi dari dinding
usus besar membentuk suatu kantongan yang disebut haustra (artinya
menggambarkan variasi). Dan terakhir sangat jelas adalah appendiks
epiploika, suatu lapisan lemak kecil dari peritonium viseralis yang
menggantung pada permukaan kolon. Kegunaannya belum diketahui.
Kolon memiliki 4 seksi yakni:
1. Seksi pertama adalah kolon asenden. Dimulai dari usus kecil melekat
pada kolon dan naik ke atas menuju bagian kanan dari abdomen.
2. Seksi kedua adalah kolon transversal yang melewati tubuh dari kanan
ke sisi kiri.
3. Seksi ketiga adalah kolon desenden menuju kebawah.
4. Seksi terakhir adalah kolon sigmoid dimana disebut demikian oleh
karena bentuknya yang seperti huruf S. Kolon sigmoid bergabung
dengan rektum, pada akhirnya bergabung dengan anus, atau spingter
tempat feses keluar dari tubuh.
Usus besar memiliki beberapa subdivisi yakni: sekum, appendiks,
kolon, rektum, dan ujung dari anus. Adanya kantong seperti sekum
(artinya ujung buta) yang mulai dari katub ileosekal hingga sisi kanan
fossa iliaka, adalah bagian pertama usus besar. Yang menempel pada
bagian posteromedial dari permukaan adalah bentuk seperti cacing yakni
appendix vermiformis. Appendiks memiliki massa dari jaringan limfe
yang merupakan bagian dari MALT (mucosa associated lymphatic tissue)
memiliki hubungan yang sangat erat dengan sistem imun tubuh. Namun ia
memiliki infrastruktur yang penting yaitu suatu struktur yang memberikan
lokasi ideal bagi bakteri untuk berakumulasi dan berkembang biak.
Masalah yang paling umum pada regio kanan bawah adalah
inflamasi appendiks dan bila pecah akan menjadi peritonitis. Walaupun
gejalanya sangat bervariasi namun nyeri perut kanan bawah adalah yang
paling khas dan perlu diingat bahwa salah satu predisposisi karsinoma
adalah proses infeksi dan inflamasi yang berulang-ulang. Beberapa kasus
dari nyeri di abdomen sering sekali dianggap appendisitis namun ternyata
oleh karena invasi cacing-cacing parasitik yang sering dijumpai pada
penduduk di Amerika Utara yang mengkonsumsi daging setengah matang.
Pada pelvis, setinggi vertebra sakralis ketiga, kolon sigmoid
bergabung dengan rektum, lalu berjalan dari posteroinferior didepan
sakrum. Secara natural orientasi dari rektum diperiksa dengan jari melalui
dinding rektum anterior. Hal ini disebut eksaminasi rektal (rektal = lurus).
Selain itu rektum memiliki kurva lateral tiga buah, dimana di bagian
internal ditampilkan sebagai lapisan transversal disebut katub rektal. Katub
ini memisahkan feses dari flatus, yang menghentikan feses dan membuat
gas saja yang keluar. Bagian anus, yang terakhir dari usus besar terletak
eksternal pada kavum abdominopelvis. Kira-kira 3 cm panjangnya, dengan
saluran anus berawal dari rektum mempenetrasi muskulus levator ani dari
pelvis dan membuka kebagian badan eksterior dari anus. Saluran anal
memiliki dua buah spingter, yaitu spingter internal, tidak disadari
(involuntary) dan spingter ekternal yang terdiri dari otot skeletal.Spingter,
bekerja seperti dompet yang membuka dan menutup anus kecuali pada saat
defekasi.
2. Anatomi Mikroskopis Usus
Dinding dari usus besar berbeda dengan usus kecil. Mukosa kolon
terdiri dari epitel simple columnar kecuali pada saluran anal. Oleh karena
makanan diserap sebelum memasuki usus besar, makanya tidak didapati
plika sirkular, villi dan juga tidak ada sel yang menghasilkan enzim
pencernaan. Namun mukosanya lebih tebal, kriptanya lebih dalam, dan
terdapat sel goblet yang banyak dalam kriptanya. Lubrikasi dihasilkan
oleh sel goblet untuk mempermudah pengeluaran feses dan melindungi
dinding usus dari asam yang mengiritasi dan gas yang dilepaskan dari
bacteria resident di kolon.
Mukosa dari saluran anal sedikit berbeda, pada daerah ini sering
terjadi abrasi. Hal ini bergantung dari lipatan yang panjang yakni anal
columns dan memiliki epitel stratified squamous. Sinus anal berhenti pada
anal columns, mengeluarkan mukus apabila ditekan oleh feses, yang
membantu mengosongkan kanal anal. Garis horizontal yang
menghubungkan bagian margin inferior dari sinus anal disebut linea
pectinate. Mukosa superior pada garis ini disyarafi oleh sensory visceral
fiber dan relatif tidak sensitif pada sakit. Area inferior dari linea ini sangat
sensitif pada rasa sakit, merefleksikan rasa sakit pada serabut somatik
sensorik. Dua buah pleksus superfisial dihubungkan dengan anal canal,
satu dengan anal columns dan lainnya dengan anus. Jika adanya vena yang
mengalami inflamasi, maka akan timbul varikositis disebut hemoroid.
Berbeda dengan regio proksimal usus besar, tidak terdapat haustra
pada rektum dan anal canal. Sejalan dengan kemampuannya
meregenerasikan kontraksi untuk memberikan peran ekspulsif pada
defekasi, otot rektum berkembang sangat baik.
C. FISIOLOGI USUS
1. Motilitas usus besar
Otot usus besar tidaklah aktif untuk waktu yang lama,
kontraksinya lambat dan singkat. Pergerakan yang paling sering tampak
pada kontraksi haustra yang dengan lambat melakukan kontraksi secara
individual selama 30 menit melalui otot polos pada masing-masing
haustra. Pada haustra yang terisi makanan, distensinya menstimulasi otot
untuk berkontraksi yang mendorong isi luminal untuk menuju ke bagian
haustra berikutnya. Pergerakan ini menggabung residu dan membantu
dalam peresapan air.
Pergerakan otot adalah panjang dan lambat namun kuat dalam
kontraksi dimana melalui areal yang panjang dari kolon tiga hingga empat
kali setiap hari dan mendorong isinya ke rektum. Biasanya ini terjadi pada
saat makan atau sesudah makan, mengindikasikan adanya makanan pada
perut dan menimbulkan refleks gastrokolik pada kolon. Serat maupun
bahan lainnya pada diet memperkuat kontraksi kolon dan melembekkan
feses serta membantu kolon seperti pelumas mobil.
Fungsi usus besar adalah menyerap air, vitamin, dan elektrolit,
ekskresi mukus, serta menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya
keluar. Dari 700-1000 ml cairan usus halus yang diterima oleh kolon,
hanya 150-200 ml yang dikeluarkan sebagai feses tiap harinya.
Udara ditelan sewaktu makan, minum, atau menelan ludah.
Oksigen dan CO2 di dalamnya diserap di usus, sedangkan nitrogen
bersama gas hasil pencernaan dan peragian dikeluarkan sebagai flatus.
Jumlah gas dalam usus mencapai 500 ml sehari (De Jong, 2005).
2. Perjalanan Makanan dalam Saluran Cerna
Setelah makan dikunyah dan ditelan, makanan tersebut berjalan
dari esofagus hingga ke lambung. Di lambung, makanan dipecah menjadi
bagian yang lebih sederhana lagi menurut masing-masing unsur kimianya
dan dialirkan ke usus kecil, atau sering disebut “small bowel“. Kata
“kecil“ memberi arti diameter dari usus tersebut, dimana lebih sempit dari
usus besar. Sebenarnya usus kecil merupakan bagian yang paling panjang
dari segmen saluran pencernaan dengan ukuran lebih kurang 20 kaki.
Usus kecil ini memecahkan makanan yang dialirkan dari lambung dan
menyerap sari-sari makanan yang penting bagi tubuh. Pada bagian kanan
bawah abdomen terdapat persambungan menuju usus besar (atau yang
lazimnya disebut “large bowel“atau kolon), suatu organ silindris muskular
dengan panjang 5 kaki. Kolon bagian yang pertama dan terutama dari usus
besar, secara terus-menerus meresap air dan mineral nutrisi dari bahan-
bahan makanan dan menjadi tempat penampungan sementara dari sisa-sisa
makanan yang akan dikeluarkan dari tubuh. Bahan makanan sisa ini
setelah diproses menjadi feses dan menuju rektum, yang merupakan
bagian terakhir seukuran 6 inci dari usus besar. Dari tempat tersebut feses
keluar dari tubuh melewati anus.
3. Flora Bakteri
Walaupun sebagian bakteri yang masuk ke usus besar dari usus
kecil mati oleh lisosim, defensins, HCl dan enzim protein lainnya, namun
beberapa diantaranya masih dapat hidup dan berkembang biak. Kelompok
bakteri ini masuk ke usus besar dan membentuk flora bakteri dan
berkoloni di kolon dan memfermentasikan karbohidrat sisa, melepaskan
asam dan gas (termasuk dimetil sulfida, N2,H2,CH4, CO2) Beberapa gas
ini (dimetil sulfida) sangat bau. Lebih kurang 500 cc gas (flatus)
dihasilkan setiap hari dan dapat semakin banyak apabila banyak
karbohidrat dimakan. Flora ini juga mensintesa vitamin B kompleks dan
vitamin K yang berguna untuk
membentuk protein pembekuan darah.
4. Proses pencernaan yang terjadi pada Usus Besar
Kecuali sejumlah kecil residu yang diambil oleh bakteri, tidak ada
pencernaan lain di usus besar.
Walaupun usus besar menghasilkan vitamin oleh flora bakteri serta
mengambil elektrolit dan air, namun absorpsi bukan fungsi utama dari
organ ini melainkan membentuk propulsi dan mendorong feses keluar dari
tubuh.
Usus besar sangat penting untuk kenyamanan hidup kita, namun
tidaklah fatal bila kolon dibuang misalkan oleh karena karsinoma kolon.
Terminal ileum dapat disambung dengan dinding abdominal yang disebut
ileostomi dan residu makanan langsung menunju kantong yang
ditempatkan pada dinding abdominal.
5. Defekasi
Rektum biasanya kosong, namun ketika feses dipaksakan
kedalamnya oleh dorongan otot kolon, hal ini melebarkan dinding rektum
dengan menginisiasi refleks defekasi. Pada batang otak terdapat pusat
defekasi di mana dengan dimediasi oleh refleks parasimpatis menimbulkan
kontraksi dinding kolon sigmoid, rektum dan relaksasi anal spingter. Feses
didorong ke saluran anal, signalnya disampaikan ke otak dimana timbul
pengiriman sinyal “disadari” ke otot spingter anal untuk membuka atau
menutup saat feses keluar. Bila defekasi terlambat maka refleks ini
berhenti beberapa saat dan mulai kembali sehingga menimbulkan
dorongan defekasi yang lama-kelamaan tidak dapat dihindari lagi (Guyton,
2005).
D. ANGKA KEJADIAN
Di USA Ca kolorektal merupakan kanker gastrointestinal yang paling
sering terjadi dan nomer dua sebagai penyebab kematian di negara
berkembang. Tahun 2005, diperkirakan ada 145,290 kasus baru kanker
kolorektal di USA, 104,950 kasus terjadi di kolon dan 40,340 kasus di rektal.
Pada 56,300 kasus dilaporkan berhubungan dengan kematian, 47.700 kasus
Ca kolon dan 8,600 kasus Ca rectal. Ca kolorektal merupakan 11 % dari
kejadian kematian dari semua jenis kanker.
Diseluruh dunia dilaporkan lebih dari 940,000 kasus baru dan terjadi
kematian pada hampir 500,000 kasus tiap tahunnya. (World Health
Organization, 2003). Menurut data di RS Kanker Dharmais pada tahun 1995-
2002, kanker rektal menempati urutan keenam dari 10 jenis kanker dari
pasien yang dirawat di sana. Kanker rektal tercatat sebagai penyakit yang
paling mematikan di dunia selain jenis kanker lainnya. Namun,
perkembangan teknologi dan juga adanya pendeteksian dini memungkinkan
untuk disembuhkan sebesar 50 persen, bahkan bisa dicegah.
Insidensi karsinoma kolon di Indonesia cukup tinggi, demikian juga
angka kematiannya. Insiden pada pria sebanding dengan wanita, dan lebih
banyak pada orang muda. Sekitar 75% ditemukan di rektosigmoid (De Jong,
2005).
Dari seluruh pasien kanker rektal, 90% berumur lebih dari 50 tahun.
Hanya 5% pasien berusia kurang dari 40 tahun. Di negara barat, laki – laki
memiliki insidensi terbanyak mengidap kanker rektal dibanding wanita
dengan rasio bervariasi dari 8:7 - 9:5.
E. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Banyak faktor dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker rektal,
diantaranya adalah :
Diet tinggi lemak, rendah serat
Usia lebih dari 50 tahun
Riwayat pribadi mengidap adenoma atau adenokarsinoma kolorektal
mempunyai resiko lebih besar 3 kali lipat.
Riwayat keluarga satu tingkat generasi dengan riwayat kanker kolorektal
mempunyai resiko lebih besar 3 kali lipat.
Familial polyposis coli, Gardner syndrome, dan Turcot syndrome, pada
semua pasien ini tanpa dilakukan kolektomi dapat berkembang menjadi
kanker rektal
Resiko sedikit meningkat pada pasien Juvenile polyposis syndrome,
Peutz-Jeghers syndrome, dan Muir syndrome.
Terjadi pada 50 % pasien Kanker kolorektal Herediter nonpolyposis
Inflammatory bowel disease
Kolitis Ulseratif (resiko 30 % setelah berumur 25 tahun)
Crohn disease, berisiko 4 sampai 10 kali lipat.
F. PATOFISIOLOGI
Umumnya tumor kolorektal adalah adenokarsinoma yang berkembang
dari polyp adenoma. Insidensi tumor dari kolon kanan meningkat, meskipun
umumnya masih terjadi di rektum dan kolon sigmoid. Pertumbuhan tumor
secara tipikal tidak terdeteksi, menimbulkan beberapa gejala. Pada saat timbul
gejala, penyakit mungkin sudah menyebar kedalam lapisan lebih dalam dari
jaringan usus dan oragan-organ yang berdekatan. Kanker kolorektal
menyebar dengan perluasan langsung ke sekeliling permukaan usus,
submukosa, dan dinding luar usus. Struktur yang berdekatan, seperti hepar,
kurvatura mayor lambung, duodenum, usus halus, pankreas, limpa, saluran
genitourinary, dan dinding abdominal juga dapat dikenai oleh perluasan.
Metastasis ke kelenjar getah bening regional sering berasal dari penyebaran
tumor. Tanda ini tidak selalu terjadi, bisa saja kelenjar yang jauh sudah
dikenai namun kelenjar regional masih normal (Way, 1994). Sel-sel kaner
dari tumor primer dapat juga menyebar melalui sistem limpatik atau sistem
sirkulasi ke area sekunder seperti hepar, paru-paru, otak, tulang, dan ginjal.
“Penyemaian” dari tumor ke area lain dari rongga peritoneal dapat terjadi bila
tumor meluas melalui serosa atau selama pemotongan pembedahan.
Awalnya sebagai nodul, kanker usus sering tanpa gejala hingga tahap
lanjut. Karena pola pertumbuhan lamban, 5 sampai 15 tahun sebelum muncul
gejala (Way, 1994). Manifestasi tergantung pada lokasi, tipe dan perluasan,
dan komplikasi. Perdarahan sering sebagai manifestasi yang membawa klien
datang berobat. Gejala awal yang lain sering terjadi perubahan kebiasaan
buang air besar, diarrhea atau konstipasi. Karekteristik lanjut adalah nyeri,
anorexia, dan kehilangan berat badan. Mungkin dapat teraba massa di
abdomen atau rektum. Biasanya klien tampak anemis akibat dari perdarahan.
Prognosis kanker kolon tergantung pada stadium penyakit saat
terdeteksi dan penanganannya. sebanyak 75 % klien kanker kolorektal
mampu bertahan hidup selama 5 tahun. Daya tahan hidup buruk / lebih
rendah pada usia dewasa tua (Hazzard et al., 1994).
Komplikasi primer dihubungkan dengan kanker kolorektal : (1)
obstruksi usus diikuti dengan penyempitan lumen akibat lesi; (2) perforasi
dari dinding usus oleh tumor, diikuti kontaminasi dari rongga peritoneal oleh
isi usus; (3) perluasan langsung tumor ke organ-organ yang berdekatan.
G. GEJALA KLINIS
Gejala klinis karsinoma pada kolon kiri berbeda dengan kolon kanan.
Karsinoma kolon kiri sering bersifat skirotik sehingga lebih banyak
menimbulkan stenosis dan obstruksi, terlebih karena feses sudah menjadi
padat. Pada karsinoma kolon kanan jarang terjadi stenosis dan feses masih
cairsehingga tidak ada faktor obstruksi.
Gejala dan tanda dini karsinoma kolorektal tidak ada. Umumnya
gejala pertama timbul karena penyulit, yaitu gangguan faal usus, obstruksi,
perdarahan atau akibat penyebaran.
Karsinoma kolon kiri dan rektum menyebabkan perubahan pola
defekasi, seperti konstipasi atau defekasi dengan tanesmi. Makin ke distal
letak tumor, feses makin menipis, atau seperti kotoran kambing, atau lebih
cair di sertai darah atau lendir. Tenesmi merupakan geala yang biasa didapat
pada karsinoma rektum. Perdarahan akut jarang dialami, demikian juga nyeri
di daerah panggul berupa tanda penyakit lanjut. Bila pada obstruksi penderita
merasa lega saat flatus (De Jong, 2005).
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektal antara lain
ialah :
Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu
darah segar maupun yang berwarna hitam.
Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar benar kosong
saat BAB
Feses yang lebih kecil dari biasanya
Keluhan tidak nyama pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa
penuh pada perut atau nyeri
Penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya
Mual dan muntah,
Rasa letih dan lesu
Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri
pada daerah gluteus.
H. PEMERIKSAAN
Tumor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi perut, bila
teraba menunjukan keadaan sudah lanjut. Massa dalam sigmoid lebih jelas
teraba daripada massa di bagian lain kolon.
Karena kanker kolorektal sering berkembang lamban dan penanganan
stadium awal sangat dibutuhkan, maka organisasi kanker Amerika
merekaomendasikan prosedur skreening rutin bagi deteksi awal penyakit.
Rekomendasinya sebagai berikut :
1. Pemeriksaan rektal tuse untuk semua orang usia lebih dari 40 tahun.
2. Test Guaiac untuk pemeriksaan darah feces bagi usia lebih dari 50 tahun.
3. Sigmoideskopi tiap 3 – 5 tahun untuk tiap orang usia lebih dari 50 tahun.
Pemeriksaan colok dubur pada Ca Rekti
I. DIAGNOSIS
Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, colok dubur, dan rektosigmoidkopi atau foto kolon dengan
kontras ganda (De Jong, 2005).
Pasien dengan praduga kanker kolorektal dapat dilakukan prosedur
diagnostik lanjut untuk pemeriksaan fisik. Test laboratorium, radiography,
dan biopsy untuk memastikan.
Test laboratorium yang dianjurkan sebagai berikut :
1. Jumlah sel-sel darah untuk evaluasi anemia. Anemia mikrositik, ditandai
dengan sel-sel darah merah yang kecil, tanpa terlihat penyebab adalah
indikasi umum untuk test diagnostik selanjutnya untuk menemukan
kepastian kanker kolorektal.
2. Test Guaiac pada feces untuk mendeteksi bekuan darah di dalam feces,
karena semua kanker kolorektal mengalami perdarahan intermitten.
3. CEA (carcinoembryogenic antigen) adalah ditemukannya glikoprotein di
membran sel pada banyak jaringan, termasuk kanker kolorektal. Antigen
ini dapat dideteksi oleh radioimmunoassay dari serum atau cairan tubuh
lainnya dan sekresi. Karena test ini tidak spesifik bagi kanker kolorektal
dan positif pada lebih dari separuh pasien dengan lokalisasi penyakit, ini
tidak termasuk dalam skreening atau test diagnostik dalam pengobatan
penyakit. Ini terutama digunakan sebagai prediktor pada prognosis
postoperative dan untuk deteksi kekambuhan mengikuti pemotongan
pembedahan (Way, 1994).
4. Pemeriksaan kimia darah alkaline phosphatase dan kadar bilirubin dapat
meninggi, indikasi telah mengenai hepar. Test laboratorium lainnya
meliputi serum protein, kalsium, dan kreatinin.
5. Barium enema sering digunakan untuk deteksi atau konfirmasi ada
tidaknya dan lokasi tumor. Bila medium kontras seperti barium
dimasukkan kedalam usus bagian bawah, kanker tampak sebagai massa
mengisi lumen usus, konstriksi, atau gangguan pengisian. Dinding usus
terfiksir oleh tumor, dan pola mukosa normal hilang. Meskipun
pemeriksaan ini berguna untuk tumor kolon, sinar-X tidak nyata dalam
mendeteksi rektum (Way,1994).
6. X-ray dada untuk deteksi metastase tumor ke paru-paru
7. CT (computed tomography) scan, magnetic resonance imaging (MRI),
atau pemeriksaan ultrasonic dapat digunakan untuk mengkaji apakah
sudah mengenai organ lain melalui perluasan langsung atau dari
metastase tumor.
8. Endoskopi (sigmoidoscopy atau colonoscopy) adalah test diagnostik
utama digunakan untuk mendeteksi dan melihat tumor. Sekalian
dilakukan biopsy jaringan. Sigmoidoskopi fleksibel dapat mendeteksi 50
% sampai 65 % dari kanker kolorektal. Pemeriksaan enndoskopi dari
kolonoskopi direkomendasikan untuk mengetahui lokasi dan biopsy lesi
pada klien dengan perdarahan rektum. Bila kolonoskopi dilakukan dan
visualisasi sekum, barium enema mungkin tidak dibutuhkan. Tumor dapat
tampak membesar, merah, ulseratif sentral, seperti penyakit divertikula,
ulseratif kolitis, dan penyakit Crohn’s (Harahap, 2004).
J. STADIUM
Ketika diagnosis rectal cancer sudah dipastikan, maka dilakukan
prosedur untuk menetukan stadium tumor. Hal ini termasuk computed
tomography scan (CT scan) dada, abdomen, dan pelvis, complete blood count
(CBC), tes fungsi hepar dan ginjal, urinanalysis, dan pengukuran tumor
marker CEA (carcino embryonic antigen).
Tujuan dari penentuan stadium penyakit ini ialah untuk mengetahui
perluasan dan lokasi tumor untuk menentukan terapi yang tepat dan
menentukan prognosis. Stadium penyait pada kanker rektal hampir mirip
dengan stadium pada kanker kolon. Awalnya, terdapat Duke's classification
system, yang menempatkan klanker dalam 3 kategori stadium A, B dan C.
sistem ini kemudian dimodofikasi oleh Astler-Coller menjadi 4 stadium
(Stadium D), lalu dimodifikasi lagi tahun 1978 oleh Gunderson & Sosin.
Pada perkembangan selanjutnya, The American Joint Committee on
Cancer (AJCC) memperkenalkan TNM staging system, yang menempatkan
kanker menjadi satu dalam 4 stadium (Stadium I-IV).
1. Stadium 0
Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam
rektum.yaitu pada mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.
2. Stadium I
Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan
muskularis dan melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak
menyebar kebagian terluar dinding rektum ataupun keluar dari rektum.
Disebut juga Dukes A rectal cancer.
3. Stadium II
Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat
namun tidak menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.
4. Stadium III
Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tedak
menyebar kebagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.
5. Stadium IV
Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati,
paru, atau ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer.
Stadium Ca Recti I-IV
CT Staging System for Rectal Cancer
Stadium Deskripsi T1 Intraluminal polypoid mass; no thickening of bowel wall T2 Thickened rectal wall >6 mm; no perirectal extension T3a Thickened rectal wall plus invasion of adjacent muscle or
organs T3b Thickened rectal wall plus invasion of pelvic side wall or
abdominal wall T4 Distant metastases, usually liver or adrenal Modified from Thoeni (Radiology, 1981)
TNM/Modified Dukes Classification System
TNM Stadium
Modified Dukes Stadium
Deskripsi
T1 N0 M0 A Limited to submucosa T2 N0 M0 B1 Limited to muscularis propria T3 N0 M0 B2 Transmural extension T2 N1 M0 C1 T2, enlarged mesenteric nodes T3 N1 M0 C2 T3, enlarged mesenteric nodes T4 C2 Invasion of adjacent organs Any T, M1 D Distant metastases present Modified from the American Joint Committee on Cancer (1997)
K. PENATALAKSANAAN
Operasi merupakan terapi utama untuk kuratif, namun bila sudah
dijumpai penyebaran tumor maka pengobatan hanya bersifat operasi paliatif
untuk mencegah obstruksi, perforasi dan perdarahan.Tujuan ideal penanganan
karsinoma adalah eradikasi keganasan dengan preservasi fungsi anatomi dan
fisologi. Kriteria untuk menetukan jenis tindakan adalah letak tumor, jenis
kelamin dan kondisi penderita.
1. Tumor yang berjarak <5cm dari anal verge dilakukan eksisi abdomino
perineal.
2. Tumor yang berjarak 5-10 cm dari anal verge tindakan yang dapat
dilakukan:
abdomino anal pull through resection
abdomino sacral resection
anterior resection dengan menggunakan sirkular stapler untuk
anastomose
3. Tumor yang berjarak 10-16,5 cm dari anal verge dilakukan reseksi
anterior standar.
Pada tumor yang kecil dan masih terlokalisir, reseksi sudah
mencukupi untuk kuratif. Pertimbangan untuk melakukan reseksi atau tidak
pada karsinoma rektal tidak hanya kuratif tetapi juga paliatif seperti elektro
koagulasi dan eksisi lokal, fulgurasi, endokaviti irradiasi atau braki terapi.
Beberapa pilihan pada penderita berisiko tinggi operasi dapat dilakukan
laparoskopi, eksternal beam radiation, elektrokoagulasi, contact radiotherapy,
ablasi laser, eksisi lokal dan stent endoskopi. Sebelum melakukan tindakan
operasi harus terlebih dahulu dinilai keadaan umum dan toleransi operasi
serta ekstensi dan penyebaran tumor. Pada eksisi radikal rektum harus
diusahakan pengangkatan mesorektum dan kelenjar limfa sekitarnya.
Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker kolorektal. Satu-
satunya kemungkinan terapi kuratif adalah tindak bedah. Tujuan utama tindak
bedah ialah memperlancar saluran cerna, baik bersifat kuratif maupun non
kuratif. Beberapa adalah terapi standar dan beberapa lagi masih diuji dalam
penelitian klinis. Terapi standar untuk kanker rektal yang digunakan antara
lain ialah :
1. Pembedahan
Pemotongan bedah pada tumor, kolon yang berdekatan, dan
kelenjar getah bening yang berdekatan adalah penanganan pilihan untuk
kanker kolorektal. Penanganan pembedahan bervariasi dari pengrusakan
tumor oleh laser photokoagulasi selama endoskopi sampai pemotongan
abdominoperineal (APR = abdominoperineal resection) dengan
colostomy permanen. Bila memungkinkan, spingkter anal dipertahankan
dan hidari kolostomy (Way, 1994).
Laser photokoagulasi digunakan sangat kecil, usus diberi sorotan
sinar untuk pemanasan langsung jaringan didalamnya. Panas oleh laser
umumnya dapat digunakan untuk merusak tumor kecil. Juga digunakan
untuk bedah palliatif atau tumor lanjut untuk mengangkat sumbatan.
Laser photokoagulasi dapat dibentuk berupa endoskopik dan digunakan
untuk klien yang tidak mampu / tidak toleransi untuk dilakukan bedah
mayor.
Penanganan bedah lain untuk yang kecil, lokalisasi tumor termasuk
pemotongan lokal dan fulguration. Prosedur ini juga dapat dilakukan
selama endoskopi, dengan mengeluarkan jarum untuk bedah abdomen.
Eksisi local dapat digunakan untuk mengangkat pengerasan di rectum
berisi tumor kecil, yang differensiasi baik, lesi polipoid yang mobile /
bergerak bebas. Fulguration atau elektrokoagulasi digunakan untuk
mengurangi ukuran tumor yang besar bagi klien yang risiko pembedahan
jelek. Prosedur ini umumnya dilakukan anesthesia umum dan dapat
dilakukan bertahap (Way, 1994).
Banyak klien dengan kanker kolorektal dilakukan pemotongan
bedah dari kolon dengan anastomosis dari sisa usus sebagai prosedur
pengobatan. Penyebaran ke kelenjar getah bening regional dibedakan
untuk dipotong bila berisi lesi metastasis (Way, 1994). Sering tumor di
bagian asending, transverse, desending, dan colon sigmoid dapat
dipotong. Tumor pada rektum biasanya ditangani dengan pemotongan
abdominoperineal dimana kolon sigmoid, rektum, dan anus diangkat
melalui insisi abdominal dan insisi perineal. Kolostomy sigmoid
permanen dilakukan untuk memfasilitasi pengeluaran feses.
Pemotongan bedah usus dapat dikombinasi dengan kolostomy
untuk pengeluaran isi usus / feses. Kolostomy adalah membuat ostomi
di kolon. Dibentuk bila usus tersumbat oleh tumor, sebagai pemeriksaan
sementara untuk mendukung penyembuhan dari anastomoses, atau
sebagai pengeluaran feces permanen bila kolon bagian distal dan rektum
diangkat / dibuang. Kolostomy diberi nama berdasarkan : asending
kolostomi, trasverse kolostomi, desending kolostomi, dan sigmoid
kolostomi.
Kolostomi sigmoid sering permanen, sebagian dilakukan untuk
kanker rektum. Biasanya dilakukan selama reseksi / pemotongan
abdominoperineal. Prosedur ini meliputi pengangkatan kolon sigmoid,
rektum, dan anus melalui insisi perineal dan abdominal. Saluran anal
ditutup, dan stoma dibentuk dari kolon sigmoid proximal. Stoma
berlokasi di bagian bawah kuandran kiri abdomen. Bila colostomi
double barrel, dibentuk dua stoma yang berpisah. Colon bagian distal
tidak diangkat, tetapi dibuat saluran bebas / bypass. Stoma proximal
yang fungsional, mengalirkan feces ke dinding abdomen. Stoma distal
berlokasi dekat dengan stoma ptoximal, atau di akhir dari bagian tengah
insisi. Disebut juga mukus fistula, stoma distal mengeluarkan mukus dari
colon distal. Dapat dibalut dengan balutan kasa 4 X 4 inci. Colostomi
double barrel dapat diindikasikan untuk kasus trauma, tumor, atau
peradangan, dan dapat sementara atau permanen.
Dalam prosedur emergensi digunakan untuk mengatasi sumbatan
usus atau perforasi yang disebut colostomi “transverse loop”. Selama
prosedur, loop dari colon transverse dibawa keluar dari dinding
abdominal dan didigantungkan diatas tangkai atau jembatan plastik, yang
mencegah loop terlepas dari belakang ke dalam rongga abdomen. Stoma
loop dapat dibuka pada saat bedah atau beberapa hari kemudian cukup di
tempat tidur pasien. Jembatan dapat di buka dalam 1 – 2 minggu.
Kolostomi loop transverse biasanya sementara / tidak permanen.
Pada prosedur Hartmann, prosedur colostomi sementara, bagian
distal dari colon ditempatkan di kiri dan diawasi untuk ditutup kembali.
Kolostomi sementara dapat dibentuk bila usus istirahat atau dibutuhkan
penyembuhan, seperti pemotongan tumor atau peradangan pada usus.
Juga dibentuk akibat injuri traumatik pada colon, seperti luka tembak.
Bedah penyambungan kembali atau anastomosa dari bagian kolon tidak
dilakukan segera karena kolonisasi bakteri berat dari luka kolon tidak
diikuti penyembuhan sempurna dari anastomosa. Berkisar 3 – 6 bulan
diikuti kolostomi sementara, kolostomi ditutup dan dibentuk anastomosa
colon (Harahap, 2004).
2. Radioterapi
Terapi radiasi sering digunakan sebagai tambahan dari
pengangkatan bedah dari tumor usus. Bagi kanker rektal yang kecil,
intrakavitari, eksternal, atau implantasi radiasi dapat dengan atau tanpa
eksisi bedah dari tumor. Radiasi preoperative diberikan bagi klien dengan
tumor besar sampai lengkap pengangkatan. Bila terapi radiasi megavoltase
digunakan, kemungkinan dalam kombinasi dengan kemoterapi, karsinoma
rektal berkurang ukurannya, sel-sel jaringan limpatik regional dibunuh,
dan kekambuhan lamban atau tidak kambuh sama sekali (Berkow &
Fletcher, 1992; way, 1994). Terapi radiasi megavoltase juga dapat
digunakan postoperatif untuk mengurangi risiko kekambuhan dan untuk
mengurangi nyeri. Lesi yang terfiksir luas tidak diangkat dapat ditangani
dengan mengurangi pemisah / hambatan dan memperlambat
berkembangnya kanker.
3. Kemoterapi
Agen-agen kemoterapi, seperti levamisole oral dan intravenous
fluorouracil (5-FU), juga digunakan postoperatif sebagai terapi ajuvan
untuk kanker kolorektal. Bila dikombinasi dengan terapi radiasi, kontrol
pemberian kemoterapi lokal dan survive bagi klien dengan stadium II dan
III dengan tumor rektum. Keunggulan bagi kanker kolon adalah bersih,
tetapi kemoterapi dapat digunakan untuk menolong mengurangi
penyebaran ke hepar dan mencegah kekambuhan. Leucovorin dapat juga
diberikan dengan 5-FU untuk meningkatkan efek antitumor (Harahap,
2004).
4. Terapi Terkini
Metode pengobatan yang sedang dikembangkan pada dekade
terakhir ini adalah:
a. Target Terapi: memblokade pertumbuhan pembuluh darah ke daerah
tumor
b. Terapi Gen
c. Modifikasi biologi dan kemoterapi: thymidy-late synthasedan 5 fluoro
urasil
d. Extra corporal transcutaneuse aplication: ultrasonografi intensitas tinggi
e. Imunoterapi: Interleukin Limfokin-2 dan Alpa Interferon (Surya, 2005).
L. PROGNOSIS
Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah
sebagai berikut :
Stadium I - 72%
Stadium II - 54%
Stadium III - 39%
Stadium IV - 7%
50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa
kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering
terjadi. Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama
setelah operasi. Faktor – faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi
termasuk kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemapuan untuk
memperoleh batas - batas negatif tumor.
Tumor poorly differentiated mempunyai prognosis lebih buruk
dibandingkan dengan well differentiated. Bila dijumpai gambaran agresif
berupa ”signet ring cell” dan karsinoma musinus prognosis juga buruk.
Rekurensi lokal setelah operasi reseksi dilaporkan mencapai 3-32%
penderita. Beberapa faktor seperti letak tumor, penetrasi dinding usus,
keterlibatan kelenjar limfa, perforasi rektum pada saat diseksi dan diferensiasi
tumor diduga sebagai faktor yang mempengaruhi rekurensi lokal.
BAB III
KESIMPULAN
Karsinoma rektal berasal dari epitel hampir sama dengan neoplasma
kolon, jenis terbanyak adalah adenokarsinoma. Umumnya didahului oleh kondisi
pramaligna seperti adenomatous, villous polyp, familial adenomatous polyposis
dan kolitis ulseratif.
Karsinoma kolorektal masih merupakan penyebab kematian kedua untuk
kanker terutama di Amerika Serikat. Skrening awal untuk mengarahkan diagnosa
Karsinoma kolorektal penting dilakukan untuk meningkatkan survivalnya.
Skrening awal yang dapat dilakukan yaitu: pemeriksaan darah samar di feses,
sigmodoskopi, kombinasi darah samar feses dan sigmoidoskopi, kolonoskopi,
dobel kontras barium enema.
Penyebab pasti karsinoma rektal belum diketahui, diduga dipengaruhi
beberapa komponen genetik dan faktor lingkungan. TNM Sistem Dikonversikan
Kedalam Duke’s Sistem yaitu :
Stadium I TNM = Duke’s A
Stadium II TNM = Duke’s B
Stadium III TNM = Duke’s C
Stadium IV TNM = Duke’s D
Sejak 1997 Diberlakukan Modifikasi Oleh AJCC
Operasi merupakan terapi utama untuk kuratif, namun bila sudah dijumpai
penyebaran tumor maka pengobatan hanya bersifat operasi paliatif untuk
mencegah obstruksi, perforasi dan perdarahan.