14
UPACARA KEHAMILAN MASYARAKAT SULAWESI TENGAH “KATIANA” (SUKU PAMONA) Upacara daur hidup dalam komunitas masyarakat Sulawesi Tengah merupakan salah satu bentuk upacara adat yang masih lestari, sebagai wujud realisasi kompleks kelakuan berpola, kompleks ide, dan hasil karya manusia. Sistem upacara daur hidup juga berangkat dari sistem religi masyarakat Sulawesi Tengah. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin mengglobal, upacara daur hidup mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan baik dari sisi substansi maupun fungsi. Hal ini disebabkan adanya kecenderungan pola pikir yang semakin berorientasi praktis, perubahan pandangan, dan keyakinan, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Upacara daur hidup pada masa sekarang ini cenderung mengalami penyederhanaan-penyederhanaan baik sarana maupun prosesinya. Kebanyakan masyarakat pada masa kini sudah tidak lagi mengetahui prosesi lengkap dan tata cara serta sarana yang utuh dalam penyelenggaraan suatu upacara. Oleh karena itu, untuk mengetahui sarana dan prosesi yang lengkap mengenai tata cara dan upacara seputar daur hidup, diperlukan sumber informasi yang mantap. Sulawesi Tengah bagi masyarakat secara keseluruhan, selalu ada upacara. Misalnya dimulai sejak sebelum kelahiran, dalam upacara yang hamil, dan adat dan upacara kelahiran, adat dan upacara sebelum dewasa, adat dan upacara perkawinan dan upacara pemakaman. Dengan begitu

Upacara kehamilan masyarakat sulawesi tengah

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Upacara kehamilan masyarakat sulawesi tengah

UPACARA KEHAMILAN MASYARAKAT SULAWESI TENGAH “KATIANA”

(SUKU PAMONA)

Upacara daur hidup dalam komunitas masyarakat Sulawesi Tengah merupakan

salah satu bentuk upacara adat yang masih lestari, sebagai wujud realisasi kompleks

kelakuan berpola, kompleks ide, dan hasil karya manusia. Sistem upacara daur hidup

juga berangkat dari sistem religi masyarakat Sulawesi Tengah.

Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin mengglobal, upacara daur

hidup mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan baik dari sisi substansi

maupun fungsi. Hal ini disebabkan adanya kecenderungan pola pikir yang semakin

berorientasi praktis, perubahan pandangan, dan keyakinan, serta perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi.

Upacara daur hidup pada masa sekarang ini cenderung mengalami

penyederhanaan-penyederhanaan baik sarana maupun prosesinya. Kebanyakan

masyarakat pada masa kini sudah tidak lagi mengetahui prosesi lengkap dan tata cara

serta sarana yang utuh dalam penyelenggaraan suatu upacara. Oleh karena itu, untuk

mengetahui sarana dan prosesi yang lengkap mengenai tata cara dan upacara seputar daur

hidup, diperlukan sumber informasi yang mantap.

Sulawesi Tengah bagi masyarakat secara keseluruhan, selalu ada upacara.

Misalnya dimulai sejak sebelum kelahiran, dalam upacara yang hamil, dan adat dan

upacara kelahiran, adat dan upacara sebelum dewasa, adat dan upacara perkawinan dan

upacara pemakaman. Dengan begitu banyak upacara ritual transisi dari masa kanak-

kanak sampai dewasa ini sangat unik.

Maksud utama dari pada penyelenggaraan upacara Katiana ini adalah

keselamatan baik untuk kesalamatan ibu, rumah tangga, dan khususnya tertuju kepada

keselamatan bayi di dalam kandungan. Artinya bahwa dengan upacara ini didoakan agar

bayi di dalam kandungan sang ibu dapat tumbuh dengan subur, sempurna, dan tidak

banyak mengganggu kesehatan sang ibu. Di balik upacara tersebut maka secara

psikologis, memberikan pegangan bagi sang ibu dan seluruh sanak kerabat yang dapat

dijadikan pegangan yang kuat selama dalam masa kehamilannya agar tetap tabah dan

kuat menghadapi hal-hal yang cukup kritis dalam kurun waktu 9 bulan itu. Hal ini berarti

suatu dorongan dan motivasi bagi sang ibu agar ketenangan tetap melekat dalam jiwanya

selama masa hamil.

1. Asal-Usul

Page 2: Upacara kehamilan masyarakat sulawesi tengah

Suku Pamona adalah salah satu suku yang berada di Sulawesi Tengah,

Indonesia. Suku Pamona, atau sering juga disebut suku Poso, mendiami hampir

seluruh wilayah kabupaten Poso, Kabupaten Tojo Una-Una, Morowali, bahkan

provinsi Sulawesi Selatan (Luwu Utara), sedangkan sebagian kecil hidup merantau di

berbagai daerah di Indonesia. Jika di suatu daerah terdapat suku Pamona, biasanya

selalu ada Rukun Poso, yaitu wadah perkumpulan orang-orang sesuku untuk

melakukan sesuatu kegiatan di daerah tersebut.

Agama yang dianut hampir seluruh anggota suku ini adalah Kristen. Agama

Kristen masuk daerah sekitar 100 tahun yang lalu dan sampai sekarang diterima

sebagai agama rakyat. Sekarang semua gereja-gereja yang sealiran dengan gereja ini

bernaung dibawah naungan organisasi Gereja Kristen Sulawesi tengah (GKST) yang

berpusat di Tentena, kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.

Sebagian besar masyarakat sehari-hari menggunakan bahasa Pamona (Bare'e)

dan bahasa Indonesia dengan gaya bahasa setempat. Mereka berprofesi sebagai

petani, pegawai negeri, pendeta, wiraswasta, dan lain-lain.

Sesungguhnya suku Pamona tidak identik dengan suku Poso, Karena pada

prinsipnya suku Poso tidak ada, yang ada adalah daerah yang bernama Poso, didiami

oleh suku Pamona. Kata "Poso" sendiri dalam bahasa Pamona berarti "pecah". Asal

nama Poso yang berarti pecah, konon dimulai dari terbentuknya Danau Poso. Konon,

danau Poso terbentuk dari sebuah lempengan tanah berbukit, dimana dibawah

lempengan bukit tersebut terdapat mata air. Disekeliling bukit merupakan dataran

rendah, sehingga aliran air dari pegunungan terkumpul di sekeliling bukit tersebut.

Genangan air tersebut menggerus tanah disekeliling bukit sehingga makin lama air

yang menyisip kedalam tanah, bertemu dengan air yang di dalam perut bumi.

Akibatnya terjadi abrasi yang menjadi penyebab labilnya struktur tanah yang memang

agak berpasir. Lambat laun pinggiran bukit tidak kuat lagi menahan beban bukit yang

di atasnya, sehingga mengakibatkan pecahnya bukit yang terbawah masuk, jatuh

kedalam kubangan mata air di bawah bukit, sehingga membentuk danau kecil. Bagi

masyarakat suku Pamona zaman tersebut kejadian tersebut dituturkan sebagai

pecahnya gunung yang membentuk danau tersebut, sehingga dinamai "Danau Poso"

Danau yang baru terbentuk tersebut, kian lama kian membesar, karena sumber mata

air di pegunungan sekelilingnya mengalir kearah danau baru tersebut. Akibatnya debit

air danau dari waktu ke waktu terus naik, sehingga luas permukaannya menjadi

demikian lebar. Sesuai dengan sifat air yang selalu mencari dataran rendah, maka

Page 3: Upacara kehamilan masyarakat sulawesi tengah

pada ketinggian permukaan tertentu, terbentuklah sebuah sungai yang mengarah ke

pantai laut akibat danau tidak mampu lagi menampung debit air. Karena sungai

tersebut berasal dari danau Poso, maka sungai baru tersebut, dinamai dengan nama

yang sama, yakni Poso (sungai Poso). Muara sungai baru yang terbentuk itu kemudian

didiami oleh sejumlah penduduk, karena di sungai baru tersebut ternyata terdapat

banyak ikan. Kumpulan penduduk pemukim baru itu kemudian menamai kampung

tersebut dengan sebutan yang sama, yakni Poso. Adapun beberapa suku yang

mendiami tanah poso adalah sebagai berikut : 1. Pamona 2. Mori 3. Bada 4. Napu 5.

Tojo Una-una.

Sebagaimana halnya suku-suku yang lain di Indonesia, suku Pamona

memandang penting lahirnya generasi penerus untuk terus melanjutkan eksistensi

mereka di atas muka bumi. Oleh karena itu, jika ada janin sedang dikandung oleh

salah satu warga Pamona, janin tersebut dijaga dari segala kemungkinan yang kurang

baik dengan mengadakan upacara. Upacara ini disebut "Katiana", yaitu upacara

selamatan pada masa kehamilan. Tujuan upacara ini adalah untuk memohonkan

keselamatan baik untuk keselamatan ibu yang sedang mengandung, rumah tangga,

dan bayi yang berada di dalam kandungan.

Bentuk-bentuk keselamatan yang hendak dicapai dalam upacara ini adalah:

bayi di dalam kandungan sang ibu dapat tumbuh dengan sehat, sempurna, dan tidak

banyak mengganggu kesehatan sang ibu. Di balik upacara tersebut maka secara

psikologis, memberikan pegangan bagi sang ibu dan seluruh sanak kerabat sehingga

tetap tabah dan kuat menghadapi hal-hal yang cukup kritis dalam kurun waktu 9 bulan

mengandung bayi. Hal ini juga berarti suatu dorongan dan motivasi bagi sang ibu

sehingga ketenangan senantiasa melekat dalam jiwanya selama masa kehamilan.

Pelaksanaan upacara Katiana oleh masyarakat suku Pamona merupakan

pengejewantahan dari keyakinan dan pengharapan. Keyakinan akan adanya Dzat yang

menguasai dirinya dan pengharapan agar Dzat yang diyakini tersebut mengabulkan

permohonannya. Sebagai sebuah bentuk ekspresi keyakinan, maka pelaksanaan

upacara yang dilakukan, biasanya merupakan penggabungan hal-hal yang bersifat

sakral dan sosial, walaupun kemudian hal yang bersifat sosial tersebut juga

disakralkan. Pemilihan hari, penggunaan bahan-bahan khusus, tahapan-tahapan

upacara yang diwariskan, dan adanya pantangan yang harus dihindari menunjukkan

pensakralan hal-hal yang bersifat profan. Bagaimana proses pensakralan terjadi dan

Page 4: Upacara kehamilan masyarakat sulawesi tengah

barang apa saja yang dijadikan sakral dalam upacara Katiana akan dijelaskan pada

pembahasan berikut ini.

2. Pelaksana dan Peralatan Upacara

a. Pelaksana

Agar upacara yang dilakukan mencapai hasil yang diinginkan, maka suami

dan istrinya yang sedang hamil menyerahkan sepenuhnya teknis pelaksanaan

kepada ahlinya, yaitu  Topopanuju (dukun). Topopanuju biasanya adalah seorang

perempuan yang berumur lebih dari 50 tahun. Dalam menjalankan tugasnya,

Topopanuju  didampingi oleh tetua kampung, perempuan yang sudah berkeluarga

dari sanak keluarga, dan tokoh adat setempat.

b. Peralatan

Peralatan yang diperlukan untuk mengadakan upacara Katiana diantaranya

adalah:

Seperangkat sirih pinang (tembakau, sirih, kapur, dan gambir).

Gambar Seperangkat Sirih Pinang

Seperangkat piring-piring adat.

Gambar Seperangkat Piring-Piring Adat

Alu, alat tumbuk padi.

Page 5: Upacara kehamilan masyarakat sulawesi tengah

Gambar Alu

Tikar (boru) yang terbuat dari daun pandan.

Gambar Boru

Satu ruas bambu yang diisi dengan air jernih.

Gambar Satu Ruas Bambu

Ruangan upacara yang lantainya terbuat dari bambu.

3. Tempat dan Waktu Upacara

a. Tempat

Tempat untuk melaksanakan upacara Katiana nampaknya dipengaruhi oleh

sistem kekerabatan suku Pamona. Menurut sistem kekerabatan suku Pamona,

ketika seorang laki-laki telah menikahi seorang perempuan, maka laki-laki tersebut

harus tinggal dan menetap di rumah orang tua istrinya. Berdasarkan aturan

tersebut, maka pelaksanaan upacara Katiana juga diselenggarakan di rumah orang

tua istrinya.

b. Waktu

Agar tujuan upacara ini tercapai, maka harus dicari waktu yang baik untuk

menyelenggarakannya. Kesalahan menentukan waktu tidak saja dapat

Page 6: Upacara kehamilan masyarakat sulawesi tengah

menyebabkan tujuan upacara tidak tercapai, tetapi juga dapat mengundang

bencana. Dalam menentukan hari baik, suami-istri yang hendak melaksanakan

upacara Katiana menanyakan kepada Topopanuju. Topopanuju dalam menentukan

hari baik berpedoman pada dua hal, yaitu: umur kandungan dan sinar rembulan.

Secara umum, upacara ini dilakukan ketika kandungan sudah berumur 6 atau 7

bulan, ketika perut sang ibu kelihatan membesar, dan bulan dalam keadaan terang,

yaitu malam tanggal 7 sampai malam tanggal 15 dalam siklus peredaran rembulan.

Pelaksanaan upacara pada saat bulan sedang penuh (bersinar terang) berkaitan

dengan keyakinan bahwa penyelenggaraan upacara pada saat bulan sedang terang

akan menyebabkan masa depan bayi yang akan lahir cerah, tetapi apabila bulan di

langit sudah berkurang (16 sampai dengan 30), maka waktu ini dianggap kurang

baik.

4. Tata Laksana

Salah satu keunikan upacara adat adalah adanya tata-aturan pelaksanaan

upacara yang diwariskan secara turun temurun dan harus dijalankan apa adanya.

Demikian juga dengan upacara ini. Untuk menjamin terlaksananya upacara ini sesuai

dengan tata-aturan yang baku, maka pelaksanaan upacara ini dipandu oleh seorang

Topopanuju. Adapun tata-cara pelaksanaanya adalah sebagai berikut:

a. Ibu yang mengandung (yang diupacarai) mengambil tempat di ruangan upacara,

yaitu di lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Di dampingi oleh suami, seluruh

sanak keluarga (ibu-ibu) baik dari pihak suami maupun dari pihak istri. Dukun

tersebut harus berada di samping ibu yang diupacarai dengan didampingi oleh

tokoh adat setempat, sedangkan lainnya (para undangan) mengambil tempat di

sekitar ruangan upacara bahkan di sekitar rumah. Rumah suku Pamona adalah

rumah panggung.

b. Ibu yang diupacarai tidak diperkenankan memakai baju, rok, dan celana dalam

kecuali memakai sarung yang diikat pada bagian atas buah dada, sedangkan

topopanuju memakai pakaian adat demikian pula tokoh adat yang ada. Alat-alat

perlengkapan upacara seperti seperangkat sirih pinang, seperangkat piring adat,

alu, boru (tikar), ruas bambu yang berisi air jernih, lemon suanggi (sejenis sirih),

dan bunga pinang. Alat-alat perlengkapan tersebut diletakkan di depan sang ibu

yang diupacarai.

Page 7: Upacara kehamilan masyarakat sulawesi tengah

Gambar Ibu yang Diupacarai

c. Setelah segalanya sudah siap maka upacara Katiana dimulai. Topopanuju memulai

mengambil ruas bambu yang berisi air jernih sambil membaca mantra-mantra,

sedangkan seluruh alat-alat perlengkapan upacara lainnya harus ditempatkan di depan

ibu yang diupacarai. Setelah dukun membaca mantra-mantra, maka air yang ada di

dalam bambu itu disiramkan ke kepala sang ibu secara perlahan-lahan sebanyak 7

kali. Bagi yang menyaksikan upacara ini harus mengikutinya dengan khusyuk di

tempat masing-masing. Setelah dukun menyiram air di kepala sang ibu, maka tokoh

adat yang mendampinginya juga mengambil bagian untuk menyiram air di kepala

sang ibu, demikian pula ibu (orang tua yang diupacarai) serta ibu-ibu kerabat lainnya.

Setelah itu upacara puncak dianggap selesai.

Gambar Topopanuju Menyiram Air ke Kepala Sang Ibu

d. Setelah puncak upacara itu selesai, maka biasanya dilanjutkan dengan makan atau

minum-minum. Bagi keluarga bangsawan biasanya makanan yang disajikan cukup

besar karena memotong kerbau, tetapi hal ini tidak mengikat karena dapat saja cukup

dengan minum saja.

Page 8: Upacara kehamilan masyarakat sulawesi tengah

Gambar Pemotongan Kerbau

5. Pantangan-pantangan yang harus dihindari

Untuk menjaga nilai-nilai sakral, biasanya di dalam upacara-upacara adat

terdapat bermacam-macam pantangan. Pantangan adalah segala sesuatu yang harus

dihindari agar pelaksanaan upacara benar-benar memberikan manfaat bagi yang

melaksanakannya.

Dalam upacara Katiana ada dua jenis pantangan: pantangan bersifat khusus

dan pantangan bersifat umum. Pantangan bersifat khusus adalah pantangan yang tidak

boleh dilakukan oleh suami-istri yang sedang mengadakan upacara. Adapun

pantangan-pantangan tersebut diantaranya adalah: tidak boleh marah-marah (harus

selalu merasa gembira), tidak boleh memotong/menyembelih binatang apapun juga,

tidak boleh mengejek orang cacat, dan ibu yang diupacarai harus selalu membawa

lemon suanggi.  Lemon suanggi adalah sejenis sirih diberikan oleh Topopanuju ketika

dilaksanakan upacara Katiana, dan dipercayai sebagai alat penolak bahaya, penolak

gangguan setan atau gangguan makhluk halus, dan gangguan-gangguan lainnya.

Sedangkan pantangan yang bersifat umum adalah pantangan-pantangan yang

tidak boleh dilakukan oleh keluarga dan peserta upacara. Di antara pantangan-

pantangan tersebut adalah:  semua benda yang bergantung harus diturunkan; belanga

yang tertutup harus dibuka; tikba yang tertelungkup harus dibuka; peserta upacara

harus membuka cincin, gelang, dan rantai; dan semua yang mengikat dirinya harus

dilonggarkan.

Masyarakat suku Pamona meyakini bahwa apabila pantangan-pantangan

tersebut dilanggar, maka akan menimbulkan akibat-akibat bagi sang ibu yang

mengandung, bayi yang dikandung dan keluarganya. Hal buruk yang dapat terjadi jika

pantangan dilanggar, diantaranya adalah: susah melahirkan, lahir cacat, dan sang ibu

atau keluarganya mendapat musibah.

A. Makna yang terkandung dalam upacara Katiana

Page 9: Upacara kehamilan masyarakat sulawesi tengah

Dalam upacara Katiana, terdapat banyak nilai luhur yang sepatutnya kita

renungkan dan cermati sehingga kita dapat mengambil hikmahnya. Di antara nilai-nilai

tersebut adalah: nilai religius atau keyakinan, nilai budaya, dan nilai sosial. Nilai religius

dapat dilihat pada pelaksanaan upacara itu sendiri yang diadaptasi dari agama Kristen.

Upacara Katiana merupakan cara masyarakat suku Pamona untuk memohon kepada

Tuhan agar mereka dikaruniai anak yang baik, proses kelahirannya lancar, dan

keluarganya terhindar dari mara bahaya. Nilai-nilai religius dapat juga dilihat pada

pembacaan mantra-mantra dan doa-doa selama berlangsungnya upacara. Selain itu, nilai

ini juga dapat dilihat dalam kepatuhan untuk tidak melanggar pantangan-pantangan.

Nilai sosial dapat dilihat pada keterlibatan berbagai lapisan masyarakat dalam

upacara Katiana tanpa memandang status sosialnya. Keterlibatan Topopanuju, tokoh-

tokoh adat, sanak keluarga baik yang bertempat tinggal dekat maupun jauh, ibu-ibu

rumah tangga di desa setempat, dan para sesepuh desa merupakan ekspresi dari nilai-

nilai sosial yang dianut oleh masyarakat suku Pamona.

Nilai budaya dapat dilihat diantaranya pada: Sirih Pinang, alu, dan air. Sirih

pinang merupakan lambang kesucian, lambang pergaulan, lambang menjalin-hubungan

kekerabatan, dan mempererat tali silaturahmi. Lambang alu mengandung pesan bahwa

manusia harus bekerja, dan air yang digunakan dalam upacara ini merupakan harapan

agar dalam proses kelahiran akan lancar seperti air mengalir. Keberadaan pantangan-

pantangan dalam upacara Katiana, selain bernilai keyakinan, juga merupakan cara

masyarakat suku Pamona untuk mewariskan, melembagakan, dan mengekalkan

tradisinya.