4
KERTAS POSISI “ HANYA 8% DARI KAWASAN HUTAN DI BENGKULU, LAMPUNG DAN BANTEN YANG MEMILIKI KEPASTIAN HUKUM “ Sebagian besar kawasan hutan di Bengkulu Lampung dan Banten belum memiliki kepastian hukum. Menngingat hanya 8,4 % kawasan hutan di tiga provinsi yang telah dilakukan penetapan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian luar biasa dalam pengelolaan hutan maupun wilayah kelola masyarakat dalam kawasan hutan. Padahal di sisi lain, di lapangan banyak sekali tutupan hutan yang tersisa dalam kawasan hutan. Sebagai misal, di Lampung dari total 1 juta hektar, hanya 2 ribu hektar atau sekitar 0,24% hutan di Lampung yang telah dilakukan penetapan. Dari luas kawasan hutan yang ada di Lampung kini hanya tersisa ±328.603 ha atau (32,70%) yang masih berhutan. Pembukaan lahan (opening of farm), penebangan liar (illegal logging) dan pemberian izin konsensi untuk perkebunan dan pertambangan adalah penyebab semakin tingginya tingkat kerusakan hutan di Provinsi Lampung. Situasi ini sangat dimungkinkan menjadi pemicu konflik tenurial baik antara masyarakat versus pemerintah, masyarakat versus perusahaan atau pemerintah versus perusahaan terkait ketimpangan distribusi lahan.Hal ini terlihat dengan dikeluarkannya izin kepada perusahaan baik perkebunan skala besar maupun pertambangan yang mencapai lebih dari 100 ribu hektar sementara akses untuk pengelolaan bagi masyarakat hanya ±47.000 ha. “SEBANYAK 24 PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN BENGKULU DAN LAMPUNG MENYEBABKAN TANAH MASYARAKAT MENJADI RUANG KONFLIK” Data Sawit Watch tahun 2012 terdapat 664 konflk antara masyarakat dengan perusahaan. Beberapa penyebab konflik tersebut sangat beragam, baik itu persoalan kompensasi kepada masyarakat yang lahannya diambil, maupun akibat perampasan dan kesewenang-wenangan terhadap akses masyarakat atas sumber daya hutanDi sektor perkebunan, persoalan tersebut sangat menonjol. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Koalisi Anti Mafia Hutan, setidaknya 24 perusahaan perkebunan di Lampung dan Bengkulu selama ini lebih banyak berkonflik dengan masyarakat. Alih-alih memenuhi janji kesejahteraan dari masuknya kegiatan usaha, konflik tersebut bahkan tidak jarang berkaitan dengan perampasan tanah secara sewenang-wenang dan penggunaan aparat untuk melakukan ancaman kekerasan terhadap masyarakat. Tidak hanya konflik, usaha perkebunan itu menghasilkan limbah berbahaya dan mengganggu ruang hidup masyarakat. CONTACT PERSON BENGKULU Akar Foundation: Satria Budhi Pramana (081373559548) WALHI Bengkulu: Sony Taurus (085273762037) Genesis Bengkulu: Supintri Yohar (081373499788) LAMPUNG WALHI Lampung: Alian Setiadi (085279000567) WATALA: Eko Sulistiantoro (081272227437) BANTEN Pattiro Banten: Subhan (087771731277) NASIONAL PWYP Indonesia, WALHI, Auriga, ICW, TuK Indonesia, SPKS, JATAM Nasional, RMI, Epistema Institute Kertas posisi ini disusun oleh Koalisi Anti Mafia Hutan, dipersiapkan dalam Rapat Koordinasi dan Supervisi KPK sektor Kehutanan dan Perkebunan untuk wilayah Bengkulu, Lampung, Banten, 22 April 2015 “MISKINNYA RAKYAT DAN KAYANYA HUTAN”

Miskinnya Rakyat dan Kayanya Hutan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Miskinnya Rakyat dan Kayanya Hutan

KERTAS POSISI

“ HANYA 8% DARI KAWASAN HUTAN DI

BENGKULU, LAMPUNG DAN BANTEN YANG

MEMILIKI KEPASTIAN HUKUM “

Sebagian besar kawasan hutan di Bengkulu Lampung dan Banten belum

memiliki kepastian hukum. Menngingat hanya 8,4 % kawasan hutan di tiga

provinsi yang telah dilakukan penetapan. Hal ini menimbulkan

ketidakpastian luar biasa dalam pengelolaan hutan maupun wilayah kelola

masyarakat dalam kawasan hutan. Padahal di sisi lain, di lapangan banyak

sekali tutupan hutan yang tersisa dalam kawasan hutan. Sebagai misal, di

Lampung dari total 1 juta hektar, hanya 2 ribu hektar atau sekitar 0,24%

hutan di Lampung yang telah dilakukan penetapan. Dari luas kawasan hutan

yang ada di Lampung kini hanya tersisa ±328.603 ha atau (32,70%) yang

masih berhutan. Pembukaan lahan (opening of farm), penebangan liar

(illegal logging) dan pemberian izin konsensi untuk perkebunan dan

pertambangan adalah penyebab semakin tingginya tingkat kerusakan hutan

di Provinsi Lampung. Situasi ini sangat dimungkinkan menjadi pemicu

konflik tenurial baik antara masyarakat versus pemerintah, masyarakat

versus perusahaan atau pemerintah versus perusahaan terkait

ketimpangan distribusi lahan.Hal ini terlihat dengan dikeluarkannya izin

kepada perusahaan baik perkebunan skala besar maupun pertambangan

yang mencapai lebih dari 100 ribu hektar sementara akses untuk

pengelolaan bagi masyarakat hanya ±47.000 ha.

“SEBANYAK 24 PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN

BENGKULU DAN LAMPUNG MENYEBABKAN TANAH MASYARAKAT

MENJADI RUANG KONFLIK”

Data Sawit Watch tahun 2012 terdapat 664 konflk antara masyarakat dengan

perusahaan. Beberapa penyebab konflik tersebut sangat beragam, baik itu

persoalan kompensasi kepada masyarakat yang lahannya diambil, maupun

akibat perampasan dan kesewenang-wenangan terhadap akses masyarakat

atas sumber daya hutanDi sektor perkebunan, persoalan tersebut sangat

menonjol. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Koalisi Anti Mafia Hutan,

setidaknya 24 perusahaan perkebunan di Lampung dan Bengkulu selama ini

lebih banyak berkonflik dengan masyarakat. Alih-alih memenuhi janji

kesejahteraan dari masuknya kegiatan usaha, konflik tersebut bahkan tidak

jarang berkaitan dengan perampasan tanah secara sewenang-wenang dan

penggunaan aparat untuk melakukan ancaman kekerasan terhadap

masyarakat. Tidak hanya konflik, usaha perkebunan itu menghasilkan

limbah berbahaya dan mengganggu ruang hidup masyarakat.

CONTACT PERSON

BENGKULU

Akar Foundation: Satria Budhi Pramana (081373559548)

WALHI Bengkulu: Sony Taurus (085273762037)

Genesis Bengkulu: Supintri Yohar (081373499788)

LAMPUNG

WALHI Lampung: Alian Setiadi (085279000567)

WATALA: Eko Sulistiantoro (081272227437)

BANTEN

Pattiro Banten: Subhan (087771731277)

NASIONAL

PWYP Indonesia, WALHI, Auriga, ICW, TuK Indonesia, SPKS, JATAM Nasional,

RMI, Epistema Institute

Kertas posisi ini disusun oleh Koalisi Anti Mafia Hutan, dipersiapkan dalam Rapat

Koordinasi dan Supervisi KPK sektor Kehutanan dan Perkebunan untuk wilayah

Bengkulu, Lampung, Banten, 22 April 2015

“MISKINNYA RAKYAT DAN KAYANYA HUTAN”

Page 2: Miskinnya Rakyat dan Kayanya Hutan

Lampung

Keberadaan perkebunan kelapa sawit PT Sandabi Indah Lestari di

Kabupaten Seluma, dari awal telah berkonflik dengan masyarakat, bahkan

ketika dikuasai oleh PT. Way Sebayur sejak tahun 1987. Luas hak guna usaha

(HGU) perusahaan perkebunan kelapa sawit ini seluas 2.812 Hektar.

Berdasarkan laporan survey Pemda Seluma Nomor 500/122/05/2008 di

Kecamatan Seluma Barat dan Lubuk Sandi, realisasi aktivitas dan

perkembangan perkebunan ini mengidentifikasi aktivitas perusahaan hanya

mengelola produktif seluas 250 Hektar.

Pada tahun 2012, konflik perusahaan dengan masyarakat memuncak

bahkan perusahaan menggusur kebun masyarakat mencapai 30 hektar.

Bahkan 29 orang masyarakat ditangkap dan dipenjara dari desa Lunjuk,

Minggur Sari, Talang Prapat, Air Latak, dan Tumbuan Kecamatan Seluma

Barat dan Lubuk Sandi, karena dituduh menggarap lahan perusahaan PT.

Sandabi Indah Lestari. Permasalahan wilayah kelola masyarakat dan

perkebunan ini masih terjadi sampai sekarang dan menyisakan konflik

dengan 511 kepala keluarga. Pemerintah Daerah tidak peduli bahkan tetap

memperpanjang HGU milik PT. Sandabi Indah. Pemerintah Kabupaten

Seluma merekomendasikan perpanjangan sehingga keluarlah surat BPN

perpanjangan HGU PT. SIL Rayon Kabupaten Seluma Nomor

163/HGU/BPNRI/2014 pada 24 November 2014 atau semasa transisi

pemerintah SBY ke Jokowi, dan HGU perpanjangan milik PT. Sandabi Indah

Lestari seluas 2.812 Hektar melalui HGU No. 100011 tahun 2014.

Boks 1. Tanah Berkonflik, HGU Diperpanjang Diakhir Jabatan

“25 PERUSAHAAN PERKEBUNAN DI BENGKULU DAN LAMPUNG

MERUPAKAN BAGIAN DARI LANDBANKING TAIPAN BESAR

DI INDONESIA”

Perizinan di sektor Perkebunan memberi peluang atas penguasaan lahan

tanpa batas bagi korporasi, terutama yang telah go public. Peraturan

Menteri Pertanian No. 98/2013, yang membatasi total landbank untuk

produksi kelapa sawit 100.000 hektar per perusahaan grup, gagal untuk

membatasi penguasaan korporasi atas lahan di Indonesia. Hal ini karena

perusahaan yang telah go public (terdaftar di bursa saham) dikecualikan dari

peraturan ini.

Tidak ada argumen yang jelas mengapa perusahaan terbuka dikecualikan

dari peraturan ini. Penelitian Transformasi untuk Keadilan – TuK Indonesia

menunjukkan bahwa 21 dari 25 grup bisnis yang dikendalikan oleh para

taipan terbesar di sektor kelapa sawit Indonesia telah beroperasi melalui

perusahaan induk yang terdaftar di bursa saham. Pada tahun 2013

perkebunan kelapa sawit di Indonesia hanya dikuasai oleh 25 grup, di mana

Grup Sinar Mas menguasai lahan terbesar dengan luas 471.100 hektar lahan

yang telah ditanami, diikuti oleh Grup Salim seluas 326.136 hektar, Jardine

Matheson Group seluas 281.378 hektar, sedangkan penguasaan lahan

terkecil dari 25 grup tersebut oleh Grup Tiga Pilar Sejahtera seluas 16.836

hektar.

Fenomena land banking tidaklah sederhana, selain potensi terjadinya

persaingan usaha tidak sehat, pertumbuhan bisnis dan kuasa mereka juga

bisa dikaitkan dengan isu-isu korupsi, penggelapan pajak, transparansi,

penghormatan hak-hak masyarakat dan isu akuntabilitas. Akibatnya usaha-

usaha pekebun skala kecil maupun wilayah kelola masyarakat lainnya lebih

sering kalah bersaing atau bahkan tergusur dan dirampas oleh grup-grup

besar tersebut. Temuan kajian TUK menemukan bahwa setidaknya 25 usaha

perkebunan merupakan bagian dari landbanking 25 taipan besar.

2

No Perusahaan Provinsi Perizinan dan Hak Tipologi Konflik

1 PT. Silva Inhutani (Register 45)

Lampung Hak Guna Usaha Konflik dengan masyarakat

2 PT. Barat Selatan Makmur Investindo

Lampung Hak Guna Usaha Konflik dengan masyarakat

3 PTPN VII (Waykanan) Lampung Hak Guna Usaha Konflik dengan masyarakat

4 PT. Indo Lampung Perkasa (SGC)

Lampung Hak Guna Usaha Konflik dengan masyarakat

5 PT. Swet Indo Lampung (SGC)

Lampung Hak Guna Usaha Konflik dengan masyarakat

6 PT. Desaria Plantation Mining

Bengkulu Hak Guna Usaha Konflik dengan masyarakat

7 PT. Dinamika Selaras Jaya Bengkulu Hak Guna Usaha Konflik dengan masyarakat

8 PT. Jadropa Bengkulu Konflik dengan masyarakat

9 PT. Sinar Bengkulu Selatan Bengkulu Konflik dengan masyarakat

10 PT. Agriandalas Bengkulu Konflik dengan masyarakat

11 PT. Sandabi Indah Lestari Bengkulu Konflik dengan masyarakat

12 PTPN VII Talo Pino Bengkulu Konflik dengan masyarakat

13 PT. Mutiara Sawit Seluma Bengkulu Konflik dengan masyarakat

14 PT. Bio Nusantara Teknologi

Bengkulu Konflik dengan masyarakat

15 PT. Giantara Mulya Pratama

Bengkulu Konflik dengan masyarakat

16 PT. Sarana Mandiri Mukti Bengkulu Konflik dengan masyarakat

17 PT. Sandabi Indah Lestari Bengkulu Konflik dengan masyarakat

18 PT. Grand Jaya Niaga Bengkulu Konflik dengan masyarakat

19 PT. Mukomuko Agro Bengkulu Konflik dengan masyarakat

20 PT. Agricinal Bengkulu Konflik dengan masyarakat

21 PT. DDP Bengkulu Konflik dengan masyarakat

22 PT. Agrecinal Bengkulu Konflik dengan masyarakat

23 PT. Sapta Sentosa Jaya Abadi

Bengkulu Konflik dengan masyarakat

24 PT. Perkebunan dan Dagang Aceh Timur

Bengkulu Konflik dengan masyarakat

No Anak Perusahaan Land bank

(ha)

Luas yang

ditanami (ha)

Ke

pemilik

an

Taipan Provinsi

1 PT Mitra Puding Mas 4.323 4.031 95% Anglo-Eastern

Plantations

Bengkulu

2 PT Alno Agro Utama 14.202 12.896 90% Anglo-Eastern

Plantations

Bengkulu

3 PT Empat Lawang Agro

Perkasa

14.1 2.882 95% Anglo-Eastern

Plantations

Bengkulu

4 PT Karya Kencana

Sentosa Tiga

16 1.125 95% Anglo-Eastern

Plantations

Bengkulu

5 PT Riau Agrindo Agung 7.2 1.864 95% Anglo-Eastern

Plantations

Bengkulu

6 PTMutiara Sawit

Seluma

1,995 100% Provident Agro Bengkulu

7 PT Nakau 2,654 100% Provident Agro Lampung

8 PT Sumber Indah

Perkasa23,445 100% Golden Agri-

Resources

Lampung

10 PT Bumi Sentosa Abadi 970 100% Tunas Baru

Lampung

Lampung896

11 PT Bangun Nusa Indah

Lampung16,343 100% Tunas Baru

Lampung

Lampung15,851

12 PT Budi Dwiyasa

Perkasa

7,958 100% Tunas Baru

Lampung

Lampung6,968

13 PT Budinusa

Ciptawahana4,001 98% Tunas Baru

Lampung

Lampung3,230

14 PT Adikarya Gemilang 2,972 100% Tunas Baru

Lampung

Lampung1,591

15 PT Bangun

Tatalampung Asri9,870 100% Tunas Baru

Lampung

Lampung8,078

16 PT Agro Muko ANJ Group Bengkulu

17 PT Bangun Nusa Indah

Lampung

Sungai Budi

Group

18 PT Bangun

Tatalampung Asri

Sungai Budi

Group

Lampung

19 PT Budi Dwiyasa

Perkasa

Sungai Budi

Group

Lampung

20 PT Budinusa

Ciptawahana

Sungai Budi

Group

Lampung

21 PT Bumi Sentosa Abadi Sungai Budi

Group

Lampung

22 PT Mutiara Sawit

Seluma

Provident Agro Bengkulu

23 PT Nakau Provident Agro Lampung

24 PT Sumber

Indahperkasa

Sinar Mas Lampung

25 PT Tunas Baru

Lampung

Sungai Budi

Group

Lampung

Page 3: Miskinnya Rakyat dan Kayanya Hutan

Grafik. Total landbank kelapa sawit dari 25 grup bisnis, akhir 2013 (ha)

(TUK-Indonesia)

Gambar di atas menunjukkan luasan lahan kebun kelapa sawit di provinsi-

provinsi di Sumatera yang dikendalikan oleh 25 grup bisnis yang dikuasai

oleh para taipan. Angka ini menunjukkan ukuran landbank milik

perusahaan-perusahaan tersebut dalam hektar (yang sudah dan yang belum

ditanami) dan membandingkan luasan lahan tersebut dengan daerah yang

sudah ditanami kelapa sawit di tiap provinsi (dalam persentase). Saat ini total

luasan lahan Indonesia yang menjadi landbank dari 25 grup bisnis yang

dikendalikan oleh taipan ini sama dengan 51% dari total area yang ditanami

kelapa sawit di Indonesia secara keseluruhan, persentase itu lebih rendah

untuk semua provinsi di Sumatera. Persentase penguasaan tertinggi dapat

ditemukan di Lampung (44%), Sumatera Selatan (40%) dan Bangka-Belitung

(39%). Persentase yang relatif rendah ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa

industri kelapa sawit pertama kali dikembangkan di Sumatera, yang

mungkin berarti bahwa sebagian besar dari landbank kelapa sawit di

Sumatera berada di tangan grup bisnis yang dikendalikan oleh negara dan

grup bisnis yang dikendalikan oleh taipan yang lebih kecil dan pekebun.

“DI LAMPUNG HANYA 6,91% KAWASAN HUTAN YANG DIALOKASIKAN

UNTUK PENGELOLAAN HUTAN SKALA KECIL”

Dengan luasan kawasan hutan mencapai 1 juta hektar, hanya 69 ribu hektar

atau 6,91% kawasan hutan yang dialokasikan untuk pengelolaan hutan bagi

masyarakat kecil sekitar hutan. Sebagian besar di antaranya justru untuk

skala besar. Sebagai misal, 129 ribu di antaranya diberikan kepada

pemegang izin Hutan Tanaman Industri. Dari total 69 ribu hektar, 22 ribu

hektar di antaranya merupakan Hutan Tanaman Rakyat, Hutan

Kemasyarakatan 33 ribu hektar, Hutan Desa 2 ribu, sementara Kemitraan 12

ribu hektar.

Grafik. Pengelolaan Hutan Skala Kecil Di Lampung.

Tumpang Tindih Dalam Kawasan Hutan Sebagai Modus Untuk

Merambah Hutan

Beberapa kegiatan usaha perkebunan juga ditengarai dengan sengaja

mendapatkan lahan di dalam kawasan hutan untuk dikonversi ilegal.

Sebagai misal pada kasus PT Agromuko di Lampung dari ditengari justru

melakukan pembukaan hutan produksi terbatas di Air Manjunto

(Boks PT Agromuko dan Perambahan Air Manjunto).

Sejak tahun 2006 PT Agromuko melakukan perambahan di HPT Air

Manjunto Reg.62 seluas 1.215 Ha, Lokasi perambahanyang dilakukan

di lokasi perkebunan PT Agromuko, sungai Sei Betung, di sekitar

koordinat S: 02.33.58.9 E: 101.21.34.9 Desa Penarik Kec. Penarik Kab.

Mukomuko. Prov. Bengkulu. Pada tahun 2008 Dishut kabupaten

Mukomuko memetakan Kebun PT Agromuko yang masuk kawasan

seluasan +/- 1.215 Ha.

Perambahan yang dilakukan oleh perusahaan PT Agromuko ini tidak

dilakukan penindakan hukum oleh pemerintah daerah, bahkan

difasilitasi untuk pelepasan kawasan hutan. Sehingga pada tahun

2012 melalui SK. Menhut 784, lokasi perambahan PT Agromuko

dikeluarkan dari kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) menjadi

Hutan Produksi Konfersi (HPK). Perambahan yang dilakukan oleh

perusahaan perkebunan besar di Mukomuko ini melanggar UU 41

tahun 1999 tentang kehutanan.

Boks 2. PT Agromuko dan Perambahan Air Manjunto.

“PENUNJUKAN SEPIHAK KAWASAN HUTAN DAN PERLUASAN

WILAYAH KONSERVASI TANPA PERSETUJUAN MASYARAKAT LOKAL

DAN ADAT MENYEMPITKAN LAHAN KELOLA

MASYARAKAT DI BANTEN”

Penunjukan sepihak dua taman nasional di Provinsi Banten oleh

pemerintah telah menyingkirkan masyarakat adat dan lokal yang telah

lama mengelola lahan hutan. Penyingkiran masyarakat Kasepuhan sudah

dimulai sejak penetapan wilayah Halimun sebagai cagar alam di zaman

kolonial Belanda. Kawasan hutan itu berubah statusnya menjadi hutan

produksi yang dikelola Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Statusnya

berubah kembali menjadi Taman Nasional Gunung Halimun (SK Menhut

No. 282/Kpts-II/1992). Tanpa ada konsultasi dan bahkan pemberitahuan

kepada masyarakat, Taman Nasional Gunung Halimun yang semula hanya

40.000 hektar diperluas menjadi 113.357 hektar dengan didasarkan pada

SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003.

Padahal di dalam kawasan konservasi itu sudah hidup 52 kelompok

masyarakat hukum adat yang dikenal sebagai Kasepuhan yang sudah lama

mendiami daerah tersebut. Penunjukan sepihak dan perluasan wilayah

konservasi telah membatasi masyarakat adat Kasepuhan dalam

mengelola lahannya sesuai dengan pengetahuan lokal dan turun temurun

itu. hasil pemetaan partisipatif yang difasilitasi RMI dan AMAN hingga

tahun 2014, menyebutkan sekitar 18.055,263 ha merupakan wilayah adat

yang di klaim masuk ke dalam wilayah TNGHS. Luas wilayah adat ini masih

bersifat sementara mengingat masih ada Kasepuhan yang belum

dipetakan wilayah adatnya.

Namun, bukan hanya wilayah konservasi yang membatasi gerak

Masyarakat Kasepuhan ini, terdapat juga Perhutani yang mengelola hutan

produksi, beberapa ijin pertambangan dan perkebunan yang tumpang

tindih dengan wilayah adat Kasepuhan. Peta di bawah ini memperlihatkan

tumpang tindih antara wilayah Kasepuhan dengan wilayah konservasi dan

konsesi pengelolaan lahan yang berada di Provinsi Banten dan Jawa Barat.

788,907

413,138

363,227

342,850

304,468

257,469225,254

206,513200,000

192,716

186,535

185,199

164,956

162,741

144,923

139,038

120,748

102,90295,608

92,899

82,50082,307

78,70167,804

65,718

Pa

lm O

il L

an

db

an

k (

tho

usa

nd

he

cta

res)

100

200

300

400

500

600

700

0

Aceh

Nort

h Sum

atera

Riau

West

Sum

atera

Jam

bi

Bengkulu

South S

umate

ra

Bangka-Belit

ung

Lampung

Wilmar Group

Triputra Group

Tiga Pilar Sejahtera Group

Tanjung Lingga Group

Surya Dumai Group

Sungai Budi Group

Sinar Mas Group

Sampoerna Agro Group

Salim Group

Royal Golden Eagle Group

Provident Agro Group

Musim Mas Group

Kencana Agri Group

Jardine Matheson Group

IOI Group

Harita Group

Gozco Group

Genting Group

DSN Group

Darmex Agro Group

BW Plantation Group

Batu Kawan Group

Bakrie Group

Austindo Group

Anglo-Eastern Group

Sinar Mas Group

Jardine Mathson Group

Salim Group

Triputra Group

Surya Dumai Group

Wilmar Group

Musim Mas Group

Harita Group

Darmex Agro Group

Kencana Agri Group

Sampoerna Agro Group

DSN Group

Royal Golden Eagle Group

Genting Group

Batu Kawan Group

Austindo Group

Anglo-Eastern Group

Bakrie Group

BW Plantation Group

Tiga Pilar Sejahtera Group

IOI Group

Sunga Budi Group

TanjungLingga Group

Gozco Group

Provident Agro Group

HD

2.109 HTR

22.000

HKM

33.591,15

Kemitraan Kehutanan

12.500

3

Page 4: Miskinnya Rakyat dan Kayanya Hutan

Tercatat setidaknya 34 konflik terjadi di Kawasan Halimun. Seluas 20,6 % dari wilayah yang berkonflik itu diperebutkan oleh masyarakat

dan Perum Perhutani. Kemudian 70,6 %, konflik terjadi antara masyarakat dengan Taman Nasional/Kementerian Kehutanan. Sisanya

adalah konflik antar masyarakat dengan perkebunan dan konflik horizontal antar masyarakat sendiri. Selain dengan masyarakat adat,

konflik juga menyulitkan kehidupan masyarakat lokal. Tercatat 108 desa, 314 kampung berada di wilayah yang diklaim sebagai Taman

Nasional Gunung Halimun dan Salak.Masyarakat Desa Legon Pakis juga mengalami masalah yang sama, ketika wilayah kelolanya tiba-

tiba ditunjuk sebagai kawasan konservasi bernama Taman Nasional Ujung Kulon. Penunjukan itu menyebabkan mereka terbatasi haknya

dalam mengelola lahannya. Mereka bahkan tidak bisa menanam padi dan pihak Taman Nasional menentukan sepihak tanaman apa yang

boleh ditanam di Desa Legon Pakis.

PETA OVERLAY PROVINSI BANTEN DAN JAWA BARAT

4

REKOMENDASI

Berdasarkan kondisi tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera dan Koalisi Anti Mafia Hutan menuntut:

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Pemerintah Daerah menyelesaikan pengukuhan kawasan hutan dengan

cara yang partisipatif dan memperhatikan hak-hak masyarakat atas hutan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Pertanian terkait melakukan audit perizinandan kinerjanya

terhadap seluruh kegiatan usaha perkebunan dan kehutanan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Pertanian beserta Pemerintah Daerah untuk menyelesaikan

konflik dengan masyarakat.

Aparat Penegak Hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pejabat Penyidik Negeri Sipil (PPNS) agar menilisik

dugaan tindak pidana kehutanan dan korupsi khususnya terhadap korporasi.

Pemerintah Kabupaten Lebak dan Kabupaten Lebong hendaknya mempercepat proses penyusunan Peraturan Daerah

pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Kasepuhan dengan tidak melupakan pemetaan dan penetapan wilayah adatnya.

1

2

3

4

5

HPK

HPT

HP

HLKSAPALKSAPA

Kawasan HutanKeterangan :Serapan Kasepuhan CicarucubBatas Wilayah Adat

Konsesi Tambang

Batas Administrasi Desa