Upload
hidayat-gayo
View
88
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
hidayat gayo
Citation preview
SETRATEGI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN ACEH TENGAH UNTUK MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
PEMBAHASAN PEMBENTUKAN QANUN(Studi kasus di DPRK Aceh Tengah)
Peroposal
Di
S
U
N
Oleh:
HIDAYAT
100301044
Program Studi: Imu Administrasi Negara
UNIVERSITAS GAJAH PUTIH FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
2014
1
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah penulis persembahkan
kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunianya penulis akhirnya
dapat menyelesaikan Proposal ini, Shalawat dan salam kepangkuan Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya yang telah mengubah
peradaban dari alam kebodohan kealam yang berilmu pengetahuan, Adapun
yang menjadi judul Proposal penulis adalah “SETRATEGI DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN ACEH TENGAH UNTUK
MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN
QANUN.
Dalam penulisan ini, Penulis telah banyak mendapatkan bimbingan
dan bantuan dari berbagai pihak baik langsung atau tidak, Maka pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
Ibu dan (ayah), abang adik kaka beserta sanak pamili semuanya.
Kepada teman teman semuanya ruang C7b yang telah banyak
memberikan saran dalam penulisan peroposal ini.
Dan kepada para dosen-dosen yang telah memberikan banyak teori-teori
tentang bagai mana menyelesaikan peroposal ini.
Takengon, 25 April 2014Penulis
HIDAYAT
2
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan
Pentingya setrategi DPRK dalam meninkatkan Partisipasi masyarakat
untuk pembuatan qanun agar terwujutnya Akutabilatas demi mewujutkan
pemeritahan yang good governance dalam lingkungan Kabupaten Aceh
Tengah berkaitan dengan pokok pokok permasalahan yang di ajukan oleh
penulis dalam penelitian di DPRK Aceh Tengah agar dapat memberikan
keterangan lebih dan menambah wawasan pula bagi penulis sendiri, demi
pembangunan kabupaten aceh tengah.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan ( Pasal 2 ayat (1) huruf h
Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara pembentukan qanun)
merupakan salah satu syarat mutlak dalam era reformasi ini. Pengabaian
terhadap faktor ini telah menyebabkan terjadinya (deviasi) penyimpangan dari
peraturan yang cukup Penting terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu
keseluruhan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itulah
pelibatan dalam proses legislasi atau penyusunan produk hukum wajib
terjadinya pelibatan masyarakat di dalamnya.
Proses pelibatan partisipasi masyarakat dalam implementasi program
Legislasi Daerah terbukti telah berhasil membawa perubahan mendasar
dalam peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Pembangunan hukum
lebih berorientasi pada masyarakat, yang tercermin melalui pengoptimalan
keterlibatan masyarakat dalam rangkaian penyusunan Peraturan Daerah, di
Aceh di kenal dengan Qanun. Ini perlu diyakini oleh aparatur Pemerintah Baik
3
Provinsi maupun Kabupaten/Kota sebagai strategi yang tepat untuk
menggalang memperjuangkan kesadaran masyarakat terhadap ketaatan
pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum.
Qanun dibentuk berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ
pembentuk yang tepat, kesesuaian antar jenis dan materi muatan,
keterlaksanaan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan
keterbukaan.
Dalam penjelasan Qanun Nomor 3 Tahun 2007 disebutkan bahwa untuk
mewujudkan pembangunan hukum dan tertib pemerintahan di Aceh
diperlukan pembentukan peraturan perundang-undangan sejak perencanaan
sampai dengan pengundangan.
Dalam Pasal 1 angka 14 Qanun No.3 Tahun 2007 disebutkan Qanun
Kabupaten/ Kota adalah Peraturan Perundang-undangan sejenis peraturan
daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan
kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh.
Qanun dibentuk berdasarkan asas pembentukan Paraturan Perundang-
undangan yang meliputi kejelasan tujuan, kesesuaian antara jenis dan materi
muatan, keterlaksanaan, kedayagunaan, kehasil gunaan, kejelasan rumusan,
keterbukaan dan keterlibatan publik (Pasal 2 Ayat (1) Qanun Aceh No.3
Tahun 2007). Pembentukan Qanun tersebut tidak boleh bertentangan dengan
syariat Islam, kepentingan umum, qanun lainnya dan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi (Pasal 2 Ayat (2) Qanun Aceh No.3 Tahun 2007).
4
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan merupakan landasan yuridis pembentukan
peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Undang-Undang ini memuat secara lengkap pengaturan baik menyangkut
sistem, asas, jenis dan materi muatan, proses pembentukan yang dimulai dari
perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Tertib pembentukan
peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah, diatur
sesuai dengan proses pembentukan dari jenis dan hirarki serta materi muatan
peraturan perundang-undangan (Andi Mattalatta,2007:19).
Dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 menggariskan
materi muatan Qanun adalah seluruh materi muatan dalam rangka:
a. penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan;
b. menampung kondisi khusus daerah; serta
c. penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Dari segi materi muatan, Qanun adalah peraturan yang paling banyak
menanggung beban. Sebagai peraturan terendah dalam hierarki peraturan
perundang-undangan.
Pasal 239 Ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa :
a. Rancangan qanun dapat berasal dari DPRA, Gubernur dan DPRK,
atau Bupati/Walikota.
5
b. Apabila dalam satu masa sidang, DPRA atau Gubernur dan DPRK
atau bupati/walikota menyampaikan rancangan qanun mengenai
materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan qanun
yang disampaikan oleh DPRA/DPRK, sedangkan rancangan qanun
yang disampaikan Gubernur dan Bupati/Walikota digunakan sebagai
bahan untuk dipersandingkan.
c. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan
rancangan qanun yang berasal dari Gubernur dan Bupati/Walikota
diatur dengan qanun.
Untuk melaksanakan ketentuan tersebut maka dikeluarkan Qanun Aceh
Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Qanun, ini
merupakan acuan yang harus diikuti oleh Pemerintah Aceh, Kabupaten/Kota
dalam melahirkan qanun, rancangan qanun atas usulan legislatif atau
eksekutif yang diusulkan dari SKPD, harus melibatkan masyarakat.
Pasal 238 Undang-Undang Pemerintah Aceh menyebutkan bahwa :
a. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan
dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun.
b. Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin
adanya ruang partisipasi publik.
Selain itu penyusunan qanun yang berkualitas dalam Pasal 2 Ayat (1)
Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 disebutkan bahwa qanun dibentuk
berdasarkan asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Asas
pembentukan peraturan perundangan-undangan tersebut meliputi
diantaranya adalah keterbukaan dan keterlibatan publik. Keterlibatan publik
6
dalam proses pembentukan qanun tersebut lebih lanjut dijelaskan dalam
Pasal 23 Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 sebagai berikut:
a. Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin
adanya ruang partisipasi publik
b. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan
dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun.
c. Masyarakat dalam memberi masukan harus menyebutkan identitas
secara lengkap.
d. Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat pokok-
pokok materi yang diusulkan.
e. Masukan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diagendakan dalam rapat penyiapan atau pembahasan rancangan
qanun.
Keterlibatan partisipasi masyarakat dalam pembentukan qanun ini
sesuai dengan yang disebutkan oleh Friedrich Karl von Savigny yang
menyatakan bahwa hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan
berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Hukum bukan merupakan
konsep dalam masyarakat karena hukum tumbuh secara alamiah dalam
pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah seiring perubahan
social (Walter Friedmann,1994:54) Sehingga hukum yang baik adalah hukum
yang hidup dalam masyarakat (living law), dengan kata lain adalah
pembentukan hukum tersebut haruslah dimulai dari bawah (buttom up) yaitu
sesuai dengan aspirasi dari masyarakat melalui ruang partisipasi publik.
7
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan urayan di atas, maka dapat di identifikasikan masalahnya
sebagai berikut:
1. Apakah keterlibatan masyarakat dalam pembentukan rancangan
qanun sudah sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan yang
berlaku?
2. Kendala apa saja yang dihadapi oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten Aceh Tengah terhadap partisipasi masyarakat dalam
proses pembentukan Qanun
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan penulisan Peroposal ini adalah :
1. Untuk mengetahui tentang pelibatan masyarakat terhadap
Pembentukan Qanun
2. Untuk memahami kendala apa saja dalam pelibatan masyarakat
terhadap Pembentukan Qanun
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan,
baik secara teoritis maupun secara praktis:
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dan bahan informasi, guna
mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana SETRATEGI DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN ACEH TENGAH UNTUK
MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBAHASAN
PEMBENTUKAN QANU
8
2. Secara praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan atau dasar pengambilan
keputusan/kebijakan bagi pemerintahan DPRK dalam menentukan implementasi
kebijakan yang diambil guna mendukung dalam Meningkatkan Partisipasi
Masyarakat.
1. memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan
publik,
2. memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga
mengetahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik
3. meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan legislatif
4. efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat
dalam pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan
publik, maka sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi
kebijakan publik dapat dihemat.
1.4. Metodelogi Penulisan
Untuk memperoleh hasil yang tepat, kiranya metodelogi penulisan
menjadi penting. Untuk dalam penyajian peroposal ini, penulis menggunakan
pendekatan/ metodelogi Fiel Reseach dan Library Reasech.
Metode yang di gunakan dalam pengumpulan data penyusunanlaporan
Peroposal ini antara lain:
1. Interview (wawancara)
Peneliti melakukan wawancara. wawancara dengan pihak-pihak yang
terlibat dalam proses pembentukan qanun dalam hal ini terdiri dari Unsur
Bagian Hukum, Sekretariat DPRK atau panitian Legislasi di DPRK,
9
2. Survey (pengamatan)
Selain melakukan Intervie,peneliti juga melakukan pengamatan aktipitas-
aktipitas pembahasan Qanun di DPRK Aceh Tengah terkait masalah
masalah yang timbul di lapangan.
3. Studi dokumentasi
Peneliti juga melakukan Studi Dokumen yaitu mengaitkan antara
sebuahaturan dan ketentuan alur kebijakan yang di tempuh.
1.5. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pihak lain yang dapat
dipakai sebagai bahan pertimbangan yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian ini.
Philipus M. Hadjon mengemukakan konsep partisipasi masyarakat
berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan
pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan peran serta dalam
kegiatan-kegiatan pemerintah. Menurut Philipus M. Hadjon keterbukaan baik
”openheid”(keterbukaan umum) maupun ”openbaar-heid”(keterbukaan kusus)
sangat penting artinya bagi pelaksanaan pemerintah yang baik dan
demokratis. Dengan demikian keterbukaan dipandang sebagai suatu asas
ketatanegaraan mengenai pelaksanaan wewenang secara layak.
10
BAB II
KERANGKA TEORITIS
2.1. Pengertian Strategi
Setrategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan
pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusip sebuah aktivitas dalam
kurun waktu tertentu (Edi Soeharto 2005:17).
Di dalam strategi yang baik terdapat koordinasi tim kerja, memiliki tema,
mengidentifikasi faktor pendukung yang sesuai dengan prinsip-prinsip
pelaksanaan gagasan secara rasional, efisien dalam pendanaan, dan
memiliki taktik untuk mencapai tujuan secara efektif.
Strategi dibedakan dengan taktik yang memiliki ruang lingkup yang lebih
sempit dan waktu yang lebih singkat, walaupun pada umumnya orang sering
kali mencampuradukkan ke dua kata tersebut.
2.2. Pengertian Dewan perawkilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau sering disebut
Dewan Perwakilan Rakyat adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan
rakyat. DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang
dipilih melalui pemilihan umum.
Tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota adalah:
Membentuk Peraturan Daerah Kabupaten/Kotayang dibahas dengan
Bupati/Walikota untuk mendapat persetujuan bersama
Menetapkan APBD Kabupaten/Kotabersama dengan Bupati/Walikota
11
Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dan Peraturan Perundang-undangan lainnya,
Keputusan Bupati/Walikota, APBD Kabupaten/Kota, kebijakan
Pemerintah Daerah dalam melaksanakan program pembangunan
daerah, dan kerjasama internasional di daerah
Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Bupati/Wakil Bupati
atau Walikota/Wakil Walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui
Gubernur
Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota terhadap rencana perjanjian internasional yang
menyangkut kepentingan daerah
Meminta Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)
Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan tugas desentralisasi.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, DPRD Kabupaten/Kota berhak meminta pejabat negara
tingkat Kabupaten/Kota, pejabat pemerintah daerah, badan hukum, atau
warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Jika permintaan ini tidak
dipatuhi, maka dapat dikenakan panggilan paksa (sesuai dengan peraturan
perundang-undangan). Jika panggilan paksa ini tidak dipenuhi tanpa alasan
yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 hari (sesuai
dengan peraturan perundang-undangan).
Alat kelengkapan dan Sekretariat DPRD
Alat kelengkapan DPRD Kabupaten/Kota terdiri atas: Pimpinan, Komisi,
12
Panitia Musyawarah, Badan Kehormatan, Panitia Anggaran, dan alat
kelengkapan lain yang diperlukan.
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DPRD, dibentuk
Sekretariat DPRD Kabupaten/Kota yang personelnya terdiri atas Pegawai
Negeri Sipil. Sekretariat DPRD dipimpin seorang Sekretaris DPRD yang
diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota.
2.2. Pengertian Partisipasi
Istilah partisipasi (participation) seringkali istilah tersebut diasumsikan
hanya sebagai kontribusi financial, material, dan tenaga dalam suatu
program. Kadang juga diberi pengertian sebagai self-help, self reliance,
cooperation dan local autonomy dimana istilah-istilah tersebut kurang
menggambarkan apa yang dimaksud dengan partisipasi itu sendiri. Self-help,
self reliance dan local autonomy menggambarkan kondisi akhir yang
diharapkan dari suatu program yang memakai pendekatan partisipatif.
Cooperation menunjukkan cara bagaimana partisipasi masyarakat
diimplementasikan pada suatu kegiatan atau program (Anwar Sadat
2013.www.google.partisipasi:),
Bank dunia memberikan batasan partisipasi masyarakat sebagai:
1. keterlibatan masyarakat yang terkena dampak pengambilan
keputusan tentang hal-hal yang harus dikerjakan dan cara
mengerjakannya,
2. keterlibatan tersebut berupa kontribusi dari masyarakat
dalam pelaksanaan kegiatan yang telah diputuskan dan
13
3. bersama-sama memamfaatkan hasil program sehingga
masyarakat mendapatkan keuntungan dari program
tersebut.
Dapat disimpulkan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan
hukum adalah; “Suatu proses keterlibatan yang bertanggung jawab dalam
suatu kegiatan yang merupakan suatu unit kegiatan (unit of action) dalam
proses pengambilan keputusan, kontribusi dalam pelaksanaannya dan
pemamfaatan hasil kegiatan, sehingga terjadi peningkatan kemampuan
kelompok tersebut dalam mempertahankan perkembangan yang tercapai
secara mandiri. Dalam pengertian partisipasi tercakup dua sistem dalam
suatu kegiatan. Kedua system adalah system pemerintah yang merupakan
icon pembuat regulasi dan sistem masyarakat dipihak lain.
Kedua pihak secara fungsional sering mempuyai karakteristik dan
pandangan yang sangat berbeda dalam konteks partisipasi. Berdasarkan
pandangan bahwa semua program pengembangan masyarakat adalah sama
dengan pengembangan kelompok masyarakat pedesaan yang miskin (rurar
poor community). Pandangan ini sering ada pada sudut pandang pemerintah
atau provider, partisipasi masyarakat seolah-olah merupakan kewajiban yang
harus diemban oleh masyarakat yang mendapat bantuan. Dalam keadaan
tersebut, masyarakat tidak mempunyai otoritas terhadap kegiatan karena
semuanya telah diatur dan dijadwalkan oleh pemberi kegiatan.
Dipihak lain masyarakat menyatakan bahwa program pengembangan
itu dapat pada siapa saja, tidak peduli apakah kelompok sasaran tersebut
merupakan kelompok masyarakat pedesaan yang miskin atau kelompok
14
masyarakat di kota yang sudah cukup dari segi ekonomi. Pendapat itu
menganggap bahwa partisipasi merupakan hak dari masyarakat (Walter
Friedmann1994. hlm 51-61. ). Masyarakat boleh menggunakan atau tidak
menggunakan “hak” tersebut dalam suatu kegiatan yang diadakan oleh
pemberi kegiatan. Apa bila pemberi kegiatan menginginkan partisipasi
masyarakat, diperlukan pendekatan tertentu untuk mendapatkannya.
Peter Oakley dan David Marsden menyimpulkan bahwa banyaknya
variasi dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat disebabkan oleh setiap
batasan menonjolkan dimensi yang berbeda dari partisipasi masyarakat. Satu
pendapat menyatakan bahwa jika ada keterlibatan dari masyarakat,
bagaimanapun bentuk dan prosesnya, maka dikatakan bahwa masyarakat
telah berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Hal itu memang tidak keliru
tetapi masih kurang tepat karena hanya melihat aspek kuantitatif dari
partisipasi. Implementasi pendapat itu sering berupa mobilisasi sumber daya
masyarakat dalam suatu kegiatan tanpa masyarakat tahu apa tujuan kegiatan
tersebut dan keuntungan apa yang akan diperoleh dengan keterlibatannya.
Batasan lain menyatakan bahwa secara konseptual, partisipasi terjadi
apabila telah ada pembangian ulang kekuasaan (redistribution of power)
dalam menentukan pelaksanaan kegiatan tersebut antara penyedia kegiatan
(provider) dengan masyarakat. Namun ada juga yang mengatakan bahwa
wewenang dalam pengambilan keputusan hanyalah salah satu komponen
dari yang disebut sebagai partisipasi. Kontribusi tenaga kerja, material dan
finansial juga merupakan komponen dari partisipasi di samping komponen
lain (Uphoof & Cohen, 1979).
15
Ann Seidman Robert B mengemukakan Konsep Teori Responsif
berkaitan dengan Partisipasi masyarakat. Beliau mengemukakan
bahwa;”pihak-pihak yang dipengaruhi oleh suatu keputusan yang ditetapkan
the stakholders (pihak yang mempunyai kepentingan) memiliki kesempatan
seluas-luasnya untuk memberikan masukan, kritik dan mengambil bagian
dalam pembuatan keputusan-keputusan pemerintah.
Pengertian partisipasi tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian
partisipasi politik yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington dan Joan M.
Nelson yaitu bahwa partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang
bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi
pembuatan keputusan oleh pemerintah.
Philipus M. Hadjon mengemukakan konsep partisipasi masyarakat
berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan
pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan peran serta dalam
kegiatan-kegiatan pemerintah. Menurut Philipus M. Hadjon keterbukaan baik
”openheid” maupun ”openbaar-heid” sangat penting artinya bagi pelaksanaan
pemerintah yang baik dan demokratis. Dengan demikian keterbukaan
dipandang sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai pelaksanaan
wewenang secara layak.
Konsep partisipasi terkait dengan konsep demokrasi, sebagaimana
dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon bahwa sekitar tahun 1960-an muncul
suatu konsep demokrasi yang disebut demokrasi partisipasi. Dalam konsep
ini rakyat mempunyai hak untuk ikut memutuskan dalam proses pengambilan
keputusan pemerintahan. Dalam konsep demokrasi, asas keterbukaan datau
16
partisipasi merupakan salah satu syarat minimum sebagaimana dikemukakan
oleh Burkens dalam bukunya yang berjudul ”Beginselen van de
democratische reschsstaat” yang intinya.
1. pada dasarnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
pemilihanyang bebas dan rahasia;
2. pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;
3. setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;
4. badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan keputusan
melalui sarana ”mede beslissing-recht” (hak untuk ikut memutuskan
dan atau melalui wewenang pengawas);
5. asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat
keputusan yang terbuka;
6. dihormatinya hak-hak kaum minoritas;
Menurut Sad Dian Utomo mamfaat partisipasi masyarakat dalam pembuatan
kebijakan publik, termasuk dalam pembuatan Perda adalah:
5. memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan
publik,
6. memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga
mengetahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik
7. meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan legislatif
8. efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat
dalam pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan
publik, maka sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi
kebijakan publik dapat dihemat.
17
Sesuai dengan negara hukum, (Ibid, Riset Kebijakan Publik Paham
Unsyiah, 2009. hlm.4)maka partisipasi masayarakat dalam penyusunan
Perda/qanun mesti diatur secara jelas dalam suatu aturan tertentu. Menurut
Bagir Manan sendi utama negara hukum adalah hukum merupakan sumber
tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan mekanisme
hubungan hukum antara negara dan masyarakat ataun antar anggota
masyarakat yang satu dengan yang lain. Hukum mempunyai dua pengertian
yakni hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
2.3. Mekanisme Partisipasi Masyarakat
Dalam BAB VI Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 Pasal 23 dijelaskan
bahwa berikut :
1. Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin
adanya ruang partisipasi publik.
2. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan
dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan Qanun.
3. Masyarakat dalam memberikan masukan harus menyebutkan identitas
secara lengkap
4. Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membuat pokok-pokok
materi yang diusulkan
5. Masukan dari masyarakat sebagimana dimaksud pada ayat (2)
diagendakan dalam rapat penyiapan atau pembahasan rancangan
qanun.
Sterategi pelibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya diatur
sebagai berikut (Pasal 25 ayat (1)) :
18
a. pada fase penyiapan prarancangan qanun oleh pemrakarsa pada
masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 atau oleh Anggota/ Komisi/Gabungan
Komisi/ Panitia Legislasi DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19;
b. pada fase pembahasan oleh Tim Asistensi yang dibentuk oleh
Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17
melalui forum rapat dengar pendapat;
c. pada fase pelaksanaan seminar akademik, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12;
d. pada fase pembahasan oleh DPRA/DPRK, sesuai dengan mekanisme
yang ditetapkan dalam Tata Tertib DPRA/DPRK.
Lebih lanjut ayat (2) menjelaskan: mekanisme pelibatan dan
partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
antara lain melalui Forum Seminar, Lokakarya, Fokus Grup Diskusi, Rapat
Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan bentuk-bentuk penjaringan aspirasi
publik lainnya.
Mekanisme pelibatan dan partisipasi masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi penyebaran draft pra rancangan qanun dan
jadwal pembahasan kepada masyarakat.(Pasal 25 ayat (3) Qanu Aceh No.3
Tahun 2007)
Masa Partisipasi masyarakat ditetapkan dalam jadwal kegiatan pada
setiap fase penyiapan dan pembahasan pra rancangan qanun/rancangan
qanun (Pasal 25 ayat (4) Qanu Aceh No.3 Tahun 2007).
19
Masukan yang diberikan oleh masyarakat melalui mekanisme
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25 paling lama 7
(tujuh) hari sejak dilakukan penyebarluasan sudah harus disampaikan
kepada DPRA/DPRK atau Gubernur/Bupati/Walikota untuk menjadi bahan
pertimbangan dalam penyempurnaan materi rancangan qanun (Pasal 26
Qanun Aceh No.3 Tahun 2007).
20
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mengkaji Setrategi DPRK untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembuatan Qanun.
3.2 Lokasi Atau Objek Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan pada Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten Aceh Tengah. Sedangkan objek penelitian ini para Angota dewan
perwakilan patai politik dilingkungan DPRK Aceh Tengah.
3.3 Pendekatan penelitian
Jenis pendekatan yang di pakai dengan mengunakan pendekatan
penelitian kualitatif, Sugiono (2010), Data kualitatif adalah data yang
berbentuk kata, Kalimat, Skema dan Gambaran. Suharsimi Arikunto (2006),
Mengemukakan bahwa ,namun demikian tidak berati bahwa dalam penelitian
kualitatif ini peneliti sama sekali tidak diperbolehkan mengunakan angka.
Dalam hal tertentu misalnya menyebutkan jumlah anggota keluarga,
Banyaknya biaya yang di keluarkan untuk belanja. Yang tidak tepat adalah
apabila mengumpulkan data dan penapsirannya Peneliti menggunakan
Rumus-rumus statistik.
Penelitian kualitatif memiliki karateristik dengan mendeskripsikan
suatu keadaan yang sebenarnya, Tetapi laporannya bukan sekedar
berbentuk laporan suatu kejadian tanpa suatu interpretasi ilmiah. Tipe
penelitian ini menyajikan suatu gambar yang terperinci tentang satu situasi
khusus, setting sosial atau hubungan, yang digunakan jika ada pengetahuan
21
atau imformasi tentang gejala sosial yang akan diselidiki atau
dipermasalahkan. Pengetahuan tersebut diperoleh dari survey literature,
Laporan hasil penelitian atau dari hasil studi eksplorasi.
3.4 Sumber data
Sugiyono, (2003).Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai
setting, berbagai sumber,berbagai dan cara. Bila dilihat dari sumber datanya,
Maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber
skunder.
a. Data primer
Merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara
langsung dari nara sumber. Adapun penentuan narasumber dalam penelitian
ini dengan mengunakan metode purposive sampling yaitu narasumber atau
orang yang diwawancara adalah orang yang dianggap paham atau mengerti
atau mengetahui tentang masalah yang diteliti. Dalam hal ini di ambil 3 orang
di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan dewan para pegawai Negeri dan
Non pegawai Negri lingkuan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh
Tengah.
b. Data skunder
Data skunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh
peneliti secara tidak langsung, melalui media perantara. Sumber data dari
penelitian ini berasal dari literatur-literatur seperti buku-buku, jurnal-jurnal
penelitian, makalah-makalah, surat kabar, penelitian penelitian sebelumnya
maupun data yang telah disediakan oleh pihak lain yang bersangkutan.
22
3.5. Informan
Di dalam penelitian ini yang menjadi informan penulis adalah sebagai berikut:
1. Ibu kasubit bidang HukumDPR Kabupaten Aceh Tengah.
2. Staf Bagian Kepala bagian persidangan DPR Kabupaten Aceh
Tengah
3. Badan legislasi DPR Kabupaten Aceh Tengah.
3.6. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat dan relevansi dengan topik
penelitian, Maka penulis mempergunakan teknik pengumpulan data sebagai
berikut :
a. Observasi
Arikunto, Suharsimi (2010). Metode observasi dilakukan dengan cara
melakukan pengamatan secara langsung terhadap fenomena yang akan
diteliti. Dimana pengamatan atau pemusatan perhatian terhadap obyek
dengan menggunakan seluruh alat indera. Jadi mengobservasi dapat
dilakukan melalui Penglihatan, Penciuman, Pendengaran, dan Pengecap”.
Sehingga peneliti melakukan pengamatan langsung di lingkungan Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Tengah.
b. Wawancara
Arikunto, Suharsimi, (2010). Metode ini dilakukan dengan percakapan
oleh dua orang atau lebih yang diperoleh jawaban. Wawancara adalah
percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua
pihak, yaitu pewawancara dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban
atas pertanyaan itu”.
23
Tekhnik wawancara menjadi pengumpulan data yang utama dalam
penelitian ini, karena informasi yang diperoleh dapat lebih mendalam sebab
peneliti mempunyai peluang lebih luas untuk mengembangkan lebih jauh
informasi yang diperoleh dan karena melalui tehknik wawancara peneliti
mempunyai peluang untuk dapat memahami setrategi dewan perwakilan
rakyat dalam meningkatkan partisipasi masyarakat untuk pembuatan dan
pembahasan qanun Kabupaten Aceh Tengah.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan cara untuk memperoleh sejumlah data dari
DPRK serta penganalisisan peraturan, nilai, dan catatan tentang, Setrategi
DPRK untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembauatan
Qanun Kabupaten Aceh Tengah sehingga menambah keakuratan dalam
pengumpulan data.
3.7. Teknik Analisa Data
Miles dan Michael Huberman (1992). Analisis data penelitian bersifat
berkelanjutan dan dikembangkan sepanjang program. Analisis data
dilaksanakan mulai penetapan masalah, Pengumpulan data dan setelah data
terkempul, Dengan menetapkan masalah penelitian, Peneliti sudah
melakukan analisis terhadap permasalahan tersebut dalam berbagai
perspektif teori dan metode yang digunakan yakni metode alur. Analisis
dalam penelitian ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara
bersamaan, yaitu :
24
1. Reduksi data, Yang artinya sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan data kasar yang
muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.
2. Penyajian data (display data) dilakukan dengan menggunakan
bentuk teks naratif, Dan
3. Penarikan kesimpulan serta verifikasi.
3.7.Jadwal Penelitian
Penelitian ini di lakukan pada bulan………… 2014 pada lingkungan
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Tenggah.
25
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),
Gunung Agung, Jakarta, 2002,
Afrizal tjoetra dkk, Modul untuk Perancangan Qanun, Merancang Qanun,
Merancang Pembaharuan Aceh,
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar metodologi Penelitian Hukum, PT.
Raja Gravindo Persada, Jakarta, 2006
Bagir Manan, Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menurut UUD
1945, Pustaka Sinar Harapan , Jakarta, 1994,
Daud Gaurauf, Belajar Politik Bersama Masyarakat: Membangun demokrasi
Menuju Masyarakat Partisipasif, JeMP dan Pekab Wonoso, 2002
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara , Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Jakarta,
Edisi ketiga 1993,
Khairani dkk, Riset Analisis Kebijakan Publik, Pusham UNSYIAH, 2009
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, Proses dan
Pembentukannya, Kanisius: Yogyakarta, 2007
Arikunto, Suharsimi. (2010) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,
(Rineka Cipta, Jakarta). Hal 25.
Matthew B. Milles dan A Michael Huberman,(1992). Metode Penelitian.
Kualitatif. Hal 35.
26
B. Karya Ilmiah dan Artikel di Internet
Andi Mattalatta, Sambutan Lokakarya Menuju Tata Kelola Pemerintahan yang
Baik (Good Governance) Melalui Peningkatan Kompetensi Aparatur
Pemerintahan Daerah Dalam Tertib Pembentukan Peraturan Daerah,
Jakarta 19-21 November 2007
Ni Made Ari Yuliartini Griadhi dan Anak Agung Sri Utari, Partisipasi
Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah, Artilel Imiah: Kertha
Patrika, Vol 33 No.1 Januari 2008
Anwar Sadat, Masyarakat dalam Penyusunan Produk Hukum, www.google,
partisipasi, 5 Nopember 2009
Rudi Ismawan, Partisipasi Masyarakat dalam Penetepan Kebijakan Daerah,
www.google, 4 Nopember 2009
D. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir kalinya dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
27
Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan
Qanun
Kutipan
Pasal 2 ayat (1) huruf h Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang
tata cara pembentukan qanun
2 Khairani dkk, Riset Analisis Kebijakan Publik, Pusham Unsyiah,
2009, Hlm.16
3. Ibid.
Andi Mattalatta, Sambutan Lokakarya Menuju Tata Kelola Pemerintahan
yang Baik (Good Governance) Melalui Peningkatan Kompetensi Aparatur
Pemerintahan Daerah Dalam Tertib Pembentukan Peraturan Daerah,
Jakarta 19-21 November 2007.
Walter Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan
Problema Keadilan (Susunan II). Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada. 1994.
hlm 51-61.
Anwar Sadat, Masyarakat dalam penyusunan produk
hukum,www.google. partisipasi masyarakat, 5 Nopember 2009
Rifkin, Primary Health Care: on Measuring Partisipation, Social
Science and Medicine, 1988, Hlm.931-940
Arnstein, Shery R, A Ladder of Citizen Participation, Amerikan
Institutet of Planners Journal, 1969, Hlm. 20.
]Rudi Ismawan, Partisipasi masyarakat dalam penetuan kebijakan
daerah, www. Google, 4 Nopember 2009
28
Ni Made Ari Yuliartini Griadi dan Agung Sri Utami, Partisipasi
Masyarakat dalam Pembenntukan Peraturan Daerah, Hlm. 3. Artikel Ilmiah:
Kertha Patrika Vo.33 No.1 Januari 2008
Edi Soeharto, Analisis Kebijakan Publik Panduan Praktis Pengkaji
Masalah dan Kebijakan social, Alfa Beta Bandung, 2005, Hlm. 13
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undagan, Proses dan
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007, Hlm. 262-265
29