Upload
faried-maruf
View
716
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
PENGARUH OSTEOPOROSIS TERHADAP POLA JALAN (GAIT)
PADA LANSIA (MANUSIA LANJUT USIA)
UMUR 65 - 70 TAHUN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2
PENGARUH OSTEOPOROSIS TERHADAP POLA JALAN (GAIT)
PADA LANSIA (MANUSIA LANJUT USIA)
UMUR 65 - 70 TAHUN
A. Pendahuluan
Osteoporosis adalah suatu penyakit tulang metabolik yang ditandai
oleh reduksi kepadatan tulang sehingga mudah terjadi patah tulang.
Osteoporosis terjadi sewaktu kecepatan absorpsi tulang melebihi kecepatan
pembentukan tulang. Tulang yang dibentuk normal, namun jumlahnya terlalu
sedikit sehingga tulang menjadi lemah. Semua tulang dapat mengalami
osteoporosis, walaupun osteoporosis biasanya timbul di tulang-tulang
panggul, paha, pergelangan tangan, dan kolumna vartebralis (Corwin, 2001).
Kita telah mengetahui bahwa kelemahan mental, kerapuhan tulang,
punggung membungkuk, dan berat badan yang menurun sering dianggap hal
normal, sebagai bagian dari ketuaan. Semua ini sebenarnya adalah gejala
penyakit osteoporosis yang bisa dicegah bila diambil tindakan sejak muda.
Jika tidak ditangani, osteoporosis bisa membawa penderitaan, cacat, dan
kematian pada lansia (manusia lanjut usia). Untungnya, sekarang kepedulian
pada osteoporosis di kalangan para dokter dan masyarakat umum meningkat
dan telah ada terobosan penting dalam diagnosis dan penanganannya.
Pengurangan massa tulang akibat penuaan memang gejala biasa,
namun menjadi penyakit bila massa tulang mencapai tingkat yang
membuatnya mudah patah. Pada orang dewasa normal, tulang kuat dan hanya
3
patah bila mengalami trauma berat, misalnya kecelakaan lalu lintas. Dengan
bertambahnya usia dan penyakit tertentu tulang jadi lebih tipis dan rapuh,
sehinga lebih mudah patah. Patahnya tulang karena kerapuhan merupakan
pertanda osteoporosis yang sering terjadi pada pergelangan tangan, tulang
belakang, dan tulang pinggul (Compston, 2002).
Walau paling sering menyerang wanita lansia, osteoporosis bisa
pula menyerang pria dan bisa terjadi pada usia berapa pun. Frekuensi
kejadian osteoporosis di berbagai belahan dunia berbeda, namun yang paling
tinggi di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Osteoporosis lebih banyak
menyerang orang kulit putih dan Asia daripada rang kulit hitam.
Berjalan dan modifikasinya seperti berlari, berjalan cepat
merupakan bagian yang esensial dalam kehidupan sehari-hari. Setiap individu
mempunyai cara berjalan yang unik yang kadang kala merupakan ciri khas
dari individu yang bersangkutan. Namun meski demikian semua pola jalan
mempunyai kesamaan dasar yang bersifat umum. Pola jalan atau gait ialah
cara seseorang berjalan yang dikarakterisasikan oleh ritme, irama (cadence),
langkah, jarak langkah, dan kecepatan.
Gerakan berjalan merupakan gerakan dengan koordinasi tinggi
yang dikontrol oleh susunan saraf pusat, dimana reflek postural mengambil
peranan yang sangat penting. Stimulus afferen berasal dari tumit kaki dengan
asupan impuls propioseptif yang berasal dari anggota gerak bawah, trunkus,
dan leher. Dalam pola jalan yang normal satu siklusnya terdiri dari fase
4
stance (heel strike, mid-stance, push off) dan fase swing (asselerasi, mid-
swing, deselerasi) (Galley dan forster, 2002).
B. Identifikasi Masalah
Analisa pengaruh osteoporosis pada lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70
tahun sampai dengan terjadinya pola jalan (gait) yang salah.
C. Pembatasan Masalah
Mengingat adanya keterbatasan waktu, biaya, tenaga, dan tempat maka
penelitian ini hanya dibatasi pada pengaruh osteoporosis terhadap pola jalan
(gait) terutama pada lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun.
D. Rumusan Masalah
Apakah osteoporosis berpengaruh terhadap pola jalan (gait) pada lansia
(manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun ?
E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh osteoporosis terhadap pola jalan (gait) pada
lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun.
5
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui pengaruh osteoporosis terhadap fase stance (heel strike,
mid-stance, push off) dan fase swing (asselerasi, mid-swing, deselerasi).
F. Manfaat Penelitian
1. Sebagai sarana informasi bagi mahasiswa khususnya dan masyarakat
umumnya tentang pengaruh osteoporosis terhadap pola jalan (gait) pada
lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun.
2. Memberikan sumbangan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh
osteoporosis terhadap pola jalan (gait) pada lansia (manusia lanjut usia)
umur 65-70 tahun.
G. Deskripsi Teori
1. Osteoporosis
Tulang adalah struktur hidup, tersusun oleh protein dan mineral
yang terus mengalami penghancuran dan pembentukan kembali. Osteoporosis
biasanya tejadi akibat proses penuaan normal, ketika laju penghancuran
meningkat sedangkan pembentukan kembali menurun, sehingga tulang
menjadi keropos dan rapuh.
Struktur tulang normal terdiri dari lapisan tulang padat (tulang
kortikal) yang mengelilingi lempengan dan serabut tulang (tulang berongga
atau trabekular) yang diselingi sumsum tulang. Ketebalan lapisan luar yang
padat ini berbeda-beda pada setiap bagian rangka, sebagai contoh tulang
6
tengkorak dan tulang anggota tubuh jauh lebih besar di bandingkan tulang
belakang. Kekuatan rangka terutama dihasilkan oleh tulang padat ini, namun
tulang berongga juga ikut berperan penting. Penyusun utama tulang
sesungguhnya adalah protein yang disebut kolagen serta mineral tulang yang
mengandung kalsium.
Tulang adalah jaringan hidup yang harus terus diperbaharui untuk
menjaga kekuatannya. Tulang yang tua selalu dirusak dan digantikan oleh
tulang yang baru dan kuat. Bila proses ini, yang terjadi di permukaan tulang
dan disebut dengan peremajaan tulang, tidak terjadi, rangka kita akan rusak
karena keletihan ketika kita masih muda. Ada tiga jenis sel utama dalam
tulang, yakni osteoklast, yang merusak tulang, osteoblast, yang membentuk
tulang baru, dan osteosit, sel tulang dewasa yang berasal dari osteoblast.
Ketiga sel ini dibentuk dalam sumsum tulang. Osteoklast dan osteoblast
terbentuk setiap saat di bawah pengaruh rangsangan beberapa hormon.
Osteoklast terbentuk dari sel osteoprogenitor dengan pengaruh
rangsangan hormon paratiroid, hormon tiroid, hormon pertumbuhan, vitamin
D, dan ion kalsium. Adapun osteoblast terbentuk dari osteoklast dibawah
rangsangan kalsitonin, hormon pertumbuhan, ion fosfor, dan stres makanik.
Perubahan osteoklast menjadi osteoblast dihambat oleh hormon paratiroid, ion
kalsium, dan glukokortikoid (Dalimartha, 2004).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus-menerus dan dapat
berupa pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang
berubah selama hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangan
7
hormon , faktor makanan, dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu
tulang, dan terjadi akibat adanya aktivitas sel-sel pembentuk tulang
(osteoblast) (Corwin, 2001).
Pada osteoporosis, masa tulang padat dan berongga berkurang.
Menipisnya lapisan tulang padat sangat mengurangi kekuatan tulang dan
meningkatkan kemungkinan patah tulang. Pengurangan massa tulang pada
tulang berongga menyebabkan lempeng dan serabut tulang yang tebal menjadi
tipis dan terputus-putus. Perubahan ini menambah lemahnya tulang
(Compston, 2002).
a. Perubahan Massa Tulang
Massa tulang mengalami perubahan selama hidup melalui tiga
fase, yaitu fase tumbuh, fase konsolidasi, dan fase involusi. Sekitar 90 %
massa tulang dibentuk pada fase tumbuh. Setelah masa pertumbuhan,
pembentukan tulang berhenti sehingga berhenti pula proses pertumbuhan
pemanjangan tulang. Ini berarti, tinggi badan sudah tidak dapat bertambah
(Dalimartha, 2004).
Setelah fase pertumbuhan berhenti, mulai fase konsolidasi yang
berlangsung sekitar 10-15 tahun. Pada fase ini kepadatan tulang bagian
korteks dan trabekular akan bertambah dan mencapai puncaknya pada usia
30-35 tahun. Keadaan ini disebut massa tulang tertinggi/puncak (peak
bone mass). Seseorang yang mempunyai massa tulang tertinggi/puncak
yang tinggi akan mempunyai kekuatan tulang yang cukup bila terjadi
penurunan densitas tulang akibat usia, sakit berat, atau menurunnya
8
produksi seks steroid. Pencapaian massa tulang tertinggi ini ternyata lebih
tinggi pada laki-laki daripada perempuan (Dalimartha, 2004).
Massa tulang tertinggi sangat penting dalam menentukan apakah
seseorang berisiko terkena osteoporosis dikemudian hari. Jika rendah,
sedikit saja massa tulang berkurang bisa berakibat patah tulang (Danielle,
1994).
Untuk jangka waktu tertentu, keadaan massa tulang tetap stabil
sampai akhirnya memasuki fase involusi, yaitu mulai terjadinya
pengurangan massa tulang sesuai dengan pertambahan usia. Pada usia 40-
45 tahun, baik laki-laki maupun perempuan mulai terjadi proses penipisan
masssa tulang yang penyusutannya berkisar 0,3-0,5 % per tahun. Seiring
dengan turunnya kadar hormon estrogen yang terjadi secara fisiologis pada
perempuan maka kehilangan massa tulang akan meningkat 2-3 % per
tahun yang dimulai sejak massa premenapouse dan terus berlangsung
sampai 10-15 tahun setelah menapouse.
Pada usia lanjut, yaitu setelah usia 65 tahun atau usia geriatri,
kehilangan massa tulang tetap terjadi, tetapi dengan kecepatan yang lebih
rendah. Secara keseluruhan, selama hidupnya pada perempuan akan
kehilangan 40-50 % massa tulangnya, sedangkan laki-laki 20-30 %.
Penurunan massa tulang ini ternyata tidak sam di seluruh tulang rangka.
Penurunan yang paling cepat terjadi di tulang telapak tangan (metacarpal),
leher tulang paha (collum femoris), dan ruas tulang belakang (corpus
9
vertebra).Tulang kerangka lainnya juga mengalami proses tersebut, tetapi
berlangsung lebih lambat (Dalimartha, 2004).
b. Penentu Massa Tulang Tertinggi
Faktor-faktor penentu massa tulang tertinggi belum sepenuhnya
dipahami, namun sangat dipengaruhi oleh gen, selain asupan kalsium dan
olahraga yang diperkirakan juga ikut berperan penting. Begitupun dengan
hormon seks. Amenore (tidak mendapat haid), yang disebabkan anoreksia
nervosa atau penyakit lain, akan menurunkan massa tulang tertinggi, selain
ada bukti kuat bahwa penggunaan kontrasepsi oral bisa memperbesar
massa tulang tertinggi.
Berkurangnya massa tulang pada pria dan wanita akibat usia
dimulai sekitar usia 40 tahun sampai akhir hanyat. Sekitar 35 persen tulang
padat (tulang kortikal) dan 50 persen tulang berongga (tulang trabekular)
pada wanita akan hilang, sedangkan pria hanya kehilagan sekitar 2/3 dari
jumlah tersebut.
Wanita kehilangan lebih banyak tulang dibandingkan dengan laki-
laki, karena selama menopause laju berkurangnya tulang meningkat
selama beberapa tahun. Bila sejak semula tulangnya lebih sedikit, laju
pengurangan yang meningkat selama menopause dan usia yang lebih
panjang, maka wanita tersebut lebih berisiko menderita osteoporosis. Pada
umur 80 tahun hampir semua wanita mempunyai massa tulang yang
10
sedemikian kecilnya, sehingga mereka cenderung mengalami patah tulang
bila terjatuh (Compston, 2002).
Penyebab berkurangnya massa tulang akibat usia belum
sepenuhnya dipahami, namun kita tahu bahwa defisiensi estrogen adalah
faktor utama massa tulang berkurang pada wanita. Ketika wanita
memasuki masa menapouse, fungsi ovariumnya menurun, yang
mengurangi produksi dua hormon yaitu estrogen dan progesteron. Salah
satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang
yang normal. Kekurangan hormon estrogen akan mengakibatkan lebih
banyak resorpsi tulang daripada pembentukan tulang. Akibatnya, massa
tulang yang sudah berkurang karena bertambahnya usia, akan diperberat
lagi dengan berkurangnya hormon estrogen setelah menapouse.
Pada banyak orang massa tulang yang berkurang akibat usia bisa
menimbulkan osteoporosis pada usia lanjut. Namun pada kasus tertentu,
fakto-faktor lain memperbesar hilangnya massa tulang sampai di atas batas
normal (Topan, 2005).
c. Jenis-jenis Oteoporosis
Menurut Riggs dan Melton (1983) terdapat dua jenis osteoporosis
yaitu osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder.
11
1) Osteoporosis Primer
Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang terjadi akibat
adanya proses penuaan. Jenis osteoporosis adan dua tipe, yaitu
osteoporosis post menopausal dan osteoporosis senilis.
a) Tipe I (osteoporosis post menopausal)
Osteoporosis ini timbul setelah haid berhenti (menapouse)
sebagai akibat rendahnya hormon estrogen. Pada masa menapouse,
fungsi ovarium menurun sehingga produksi hormon estrogen dan
progesteron juga menurun. Estrogen berperan dalam mineralisasi
tulang dan menghambat resorbsi tulang serta pembentukan
osteoklast melalui penghambatan produksi sitokin. Ketika kadar
hormon estrogen dalam darah menurun, proses pengeroposan
tulang dan pembentukan tulang mengalami ketidakseimbangan.
Pengeroposan tulang menjadi lebih dominan. Oleh karena itu,
diperlukan tambahan hormon estrogen agar kedua proses tersebut
dapat berjalan seimbang (Wirakusumah, 2007).
Tipe osteoporosis ini terjadi pada usia 55-70 tahun. Perlu
diketahui bahwa masa premenapouse (haid berkurang dan tidak
beraturan) mulai umur 45 tahun, masa menapouse sekitar umur 50
tahun, dan masa pascamenapouse sekitar umur 60 tahun. Pada usia
55-70 tahun, perempuan lebih banyak terkena osteoporosis
daripada laki-laki dengan rasio 6: 1 (Dalimartha, 2004).
12
b) Tipe II (osteoporosis senilis pada pria)
Seperti halnya osteoporosis tipe I, pada tipe II juga
disebabkan oleh berkurangnya hormon endokrin, dalam hal ini
hormon tertosteron. Osteoporosis ini timbul pada usia lanjut
dengan usia berkisar 70-85 tahun. Perempuan resikonya 2 kali
lebih besar dari pada laki-laki. Massa tulang berkurang didaerah
korteks dan trabekular. Pada laki-laki timbulnya osteoporosis lebih
lambat karena penurunan hormon seks yang lebih lambat dan
densitas pencak tulang yang di capainya pun lebih tinggi daripada
perempuan.
2) Osteoporosis Sekunder
Osteoporosis sekunder terjadi karena adanya penyakit tertentu
yang dapat mempengaruhi kepadatan massa tulang dan gaya hidup
yang tidak sehat. Contohnya yaitu :
a) Penyakit endokrin : tiroid, hyperparatiroid, hypogonadisme,
b) Penyakit saluran pencernaan yang menyebabkan absorbsi zat gizi
(kalsium, fosfor, vitamin D, dll) menjadi terganggu,
c) Penyakit keganasan (kanker),
d) Konsumsi obat-obatan (kortikosteroid),
e) Gaya hidup tidak sehat (merokok, minum minuman beralkohol,
kurang olah raga, dan lain-lain).
13
d. Gejala dan Tanda-tanda Osteoporosis
Osteoporosis hanya menunjukkan gejala bila ada tulang yang patah
atau fraktur sehingga di istilahkan juga sebagai penyakit silent disease
karena sering tidak memberikan gejala hinga pada akhirnya terjadi patah
(fraktur). Perlu disadari bahwa menurunnya massa tulang tidak
menimbulakn rasa sakit atau gejala lain. Sakit punggung, misalnya, bukan
disebabkan oleh rendahnya massa tulang kecuali bila ada tulang yang
patah.
Patah tulang akibat osteoporosis menimbulkan sakit dan kecacatan.
Pada sebagian kasus keadaan ini akan dirasakan sepanjang hayat, namun
pada kasus lain lambat laun akan hilang atau membaik (Topan, 2005).
Keluhan dan tanda yang sering dijumpai pada pasien osteoporosis
sebagi berikut:
1) Nyeri pada tulang
Rasa nyeri yang timbul pada osteoporosis bisa akut maupun
kronik. Rasa nyeri akut berasal dari tulang atau periosteum akibat
fraktur yang baru terjadi. Adapun rasa nyeri kronik berasal dari
jaringan lunak akibat teregangnya ligamentum dan otot karena adanya
deformitas.
2) Berkurangnya tinggi badan
Penyusutan tinggi badan terjadi akibat adanya komfresi fraktur
di ruas tulang belakang. Biasanya disertai dengan gejala nyeri hebat
selama beberapa hari sampai beberapa bulan atau tanpa gejala apapun
14
(asimptomatis). Tinggi badan makin lama semakin pendek karena
beberapa kali terjadi fraktur di beberapa tempat pada ruas tulang
belakan. Tinggi badan akan menjadi lebih pendek daripada panjang
rentangan kedua lengan. Pada keadaan normal, kedua ukuran ini sama.
Panjang rentangan kedua lengan diukur dari ujung jari tengah tangan
kanan melintasi dada ke ujung jari tengah tangan kiri.
3) Tubuh bungkuk (kifosis)
Deformitas atau kelainan bentuk tulang belakang bisa
terjadi akibat kompresi fraktur. Punggung yang bungkuk disebut
dengan kifosis.
2. Pola Jalan (Gait)
Menurut Jones Kim (1996) menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan pola jalan ialah gerakan tubuh dari satu tempat ke tempat berikutnya
dan merupakan aktivitas siklikal dimana kaki bergerak bergantian berulang-
ulang seiring dengan perpindahan pusat gravitasi tubuh terhadap bidang
horizontal dengan arah tertentu dan kecepatan tertentu. Sedangkan berjalan
merupakan aktivitas resiprokal yang terkoordinasi dengan baik yang
menggambarkan sebuah pola baku tertentu.
Pada dasarnya fungsi tungkai adalah untuk ambulasi (berjalan).
Dalam keadaan normal bila seseorang berjalan, maka pada tungkai terjadi
beberapa peristiwa yang dalam biomekanika dikenal dengan istilah Fase
15
(”Phase”).Pada prinsipnya siklus berjalan normal dibagi menjadi dua fase
yaitu:
1) Stance Phase (Fase Menumpu), terdiri dari:
a. Heel strike, yaitu saat dimana tumit menyentuh atau bertumpu pada
lantai.
b. Mid Stance, yaitu saat dimana seluruh telapak kaki menyentuh atau
bertumpu pada lantai.
c. Push-off, yaitu saat dimana hanya sebagian depan dari kaki (jari-jari)
sajayang menyentuh atau atau bertumpu pada lantai.
2) Swing Phase (Fase Mengayun atau Melayang), terdiri dari:
a. Asselerasi, yaitu saat dimana sudut kaki baru terangkat.
b. Mid-swing, yaitu saat dimana kaki dari tungkai yang menganyun
berada tepat disamping tungkai yang menyanggga.
c. Deselerasi, yaitu saat dimana sendi lutut bergerak kearah ekstensi yang
diakhiri hingga sesaat sebelum tumit menyentuh lantai.
Apabila seseorang mengalami kelainan/gangguan/kerusakan baik
pada otot tungkai, tulang pembentuk tungkai maupun persendian yang ada
pada tungkai maka fungsi tungkai untuk berjalan akan mengalami gangguan.
Dengan kata lain, sebagian atau seluruh dari fase jalan akan mengalami
gangguan atau bahkan hilang sama sekali.
Oleh karena masing-masing peristiwa dari fase jalan melibatkan
sendi serta kerja otot dari otot yang berbeda, maka hanya dari observasi
16
terhadap pola jalan seseorang, terkadang kita sudah dapat menentukan letak
kerusakan/gangguan/kelainan yang dialami orang tersebut.
a. Parameter Pola Jalan (Gait) Normal
1) Lebar base (bidang tumpu) yaitu 5-10 cm (2-4 inchi)
2) Panjang langkah yaitu 35-45 cm, tetapi tergantung dari usia, jenis
kelamin, dan tinggi bada atau panjang tungkai.
3) Center Of Graviti (COG) pada orang normal yaitu pada Linea mediana
( 2 cm dari Lumbal 2).
4) Rotasi pelvis pada saat fase swing ≤ 40º.
5) Pada saat berjalan semua tungkai dalam keadaan fleksi kecuali pada
saat heel stike posisi tungkai dalam keadaan ekstensi.
6) Pergeseran columna vertebralis (pelvis dan trunk) yaitu 1 inchi
7) Jumlah langkah permenit yaitu ± 90-120 langkah/menit.
b. Elemen Gerakan Pola Jalan (Gait) Normal
1) Kepala tegak.
2) Shoulder sejajar.
3) Trunk vertikal.
4) Lengan terayun (kecepatan rata-rata).
5) Langkah sama panjang (sinkron dengan waktu).
6) Posisi badan vertikal .
17
c. Faktor essensial yang diperlukan dalam pola jalan normal adalah :
1. Tubuh dapat berdiri tegak sedang berat badan tersangga secara merata
pada kedua anggota gerak bawah.
2. Tubuh dapat disangga oleh satu tungkai secara bergantian saat tungkai
yang satu terayun kedepan.
3. Komponen gerak yang diperlukan untuk berjalan tersedia dan dapat
dikoordinasikan.
Galley dan Forster (1982), Kaplan (1986) menyatakan ada 6 faktor
determinan dalam hubungannya dengan proses berjalan, yaitu :
1. Rotasi Pelvis
Rotasi pelvis ialah gerakan pelvis pada bidang transversal, dimana saat
mengayun terjadi rotasi kedepan sebesar 40 dan selama fase stance terjadi
rotasi ke belakang sebesar 40.
2. Tilting pelvis
Tilting pelvis terjadi pada bidang frontal dengan besaran 50
dengan arah
kaudal. Hilangnya tilting pelvis akan mempengaruhi titik gravitasi tubuh
atau center of gravity.
3. Fleksi lutut
Lutut akan mengalami ekstensi penuh menjelang heel strike (initial
contact) pada saat foot flat (loading respon) terjadi fleksi 150
dan terus
dipertahankan dalam posisi fleksi selama mid-stance. Fleksi lutut terjadi
dua kali selama fase stance. Lutut akan ekstensi saat heel off (terminal
stance) dan fleksi lagi saat toe off (pre-swing).
18
4. Gerakan kaki dan pergelangan kaki
Saat heel strike (initial contact) pergelangan kaki akan dorsi fleksi
kemudian plantar fleksi dan dorsi fleksi lagi saat foot flat (loading respon),
kemudian melakukan plantar fleksi lagi sewaktu heel off (terminal stance)
dan toe off (pre-swing).
5. Hubungan antara lutut dan pergelangan kaki.
Perubahan yang terjadi pada pergelangan kaki sewaktu berjalan
dikoordinir oleh pergerakan sendi lutut.
6. Gerakan lateral pelvis
Gerakan lateral pelvis ini terjadi pada bidang frontal berupa gerakan dari
sisi ke sisi yang akan berpengaruh terhadap posisi tungkai sewaktu
menerima berat badan.
Saat berjalan normal, ketika pelvis berotasi kedepan akan
mengakibatkan trunkus bagian bawah akan berotasi dengan arah yang
sama sedang trunkus bagian atas, gelang bahu dan lengan akan berotasi ke
arah yang berlawanan. Dengan cara demikian tubuh akan bergerak
kedepan tanpa menimbulkan gerakan pada daerah kepala. Gerak resiprokal
antara Anggota Gerak Bawah dan Anggota Gerak Atas berlangsung secara
ritmis.
Pada kebanyakan orang sewaktu berjalan jarak antara kedua kaki
berkisar kurang lebih 7,5 cm, panjang langkah 35-40 cm. Panjang langkah
pada setiap orang berbeda-beda tergantung dari usia, jenis kelamin, dan
tinggi badan. Arah dan bagian dalam kaki selalu mendekati garis lurus,
19
sehingga berjalan akan sangat ekonomis dipandang dari aspek penggunaan
energi.
H. Kerangka Berfikir
Dengan semakin berkembangnya zaman yang sangat cepat,
menuntut orang untuk bekerja cepat pula, untuk memenuhi tuntutan hidupnya.
Tuntutan hidup dapat menimbulkan beberapa masalah kesehatan yang
mengakibatkan sikap kerja yang salah, sikap kerja yang dapat menimbulkan
cidera pada jaringan lunak, tulang maupun saraf.
Penderitaan dan cacat yang disebabkan oleh osteoporosis menjadi
masalah kesehatan dalam populasi lansia di dunia barat, osteoporosis juga
merupakan penyebab kematian penting bagi lansia. Penurunan aktivitas fisik
ikut berperan menimbulkan osteoporosis.
Kadar
Estrogen
Wanita Pria
Kadar
Testosteron
Osteoporosis
Lansia
20
I. Kerangka Konsep
Osteoporosis pada lansia terutama pada wanita menapouse dapat
mempermudah terjadinya patah tulang terutama pada daerah pergelangan,
tulang belakang, dan pinggul, namun bisa pula terjadi pada bagian lain
terutama panggul dan lengan atas.
Pola jalan
(Gait)
Kecacatan
Lansia
Osteoporosis
Pola Jalan (gait)
Stance phase Swing phase
- Heal strike
- Mid-stance
- Push off
- Asselerasi
- Mid-swing
- Deselerasi
21
J. Hipotesis
Dalam suatu penelitian, hipotesis merupakan jawaban sementara
terhadap penelitiaan atau dugaan yang sifatnya sementara yang kebenarannya
akan dibuktikan pada penelitian tersebut. Hipotesis dari penelitian ini adalah
ada pengaruh antara osteoporosis terhadap pola jalan (gait) pada lansia
(manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun.
K. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitan
Terdapat beberapa jenis penelitian, antara lain adalah penelitian
kuantitatif dan penelitian kualitatif.
a. Penelitian kuantitatif, adalah penelitian dengan maksud memperoleh
data yang berbentuk angka, atau data kualitatif yang diangkakan
(Sugiyono, 2003).
b. Penelitian kualitatif, adalah data yang berbentuk kata, kalimat, skema
dan gambar. Data kualitatif adalah data yang berbentuk angka atau
data kualitatif yang diangkakan (skoring) (Sugiyono, 2003).
Berdasarkan teori tersebut di atas maka dapat diambil
pengertian bahwa penelitian kuantitatif dan kualitatif dilakukan untuk
mendapatkan data yang sesuai dengan metode yang rasional.
Berdasarkan pada judul yang dikemukakan maka jenis
penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif (crossecsional), di
mana data yanga diperoleh dari sampel populasi penelitian kemudian
22
dianalisis sesuai dengan metode statistik yang digunakan lalu
diinterpretasikan.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Surakarta. Sedang
lokasi penelitian adalah di Rumah Sakit Orthopedi DR. Soeharso
Surakarta yang beralamat di Jl. Jendral Ahmad Yani Pabelan Kartasura
Surakarta.
3. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau
subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk di pelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah
semua kelompok senam osteoporosis yang ada di Surakarta.
4. Cara Pengambilan Sampel
Sampel adalah sebagian yang di ambil dari keseluruhan obyek
yang dianggap mewakili seluruh populasi (Notoadmodjo, 2003). Sampel
dalam penelitian ini adalah kelompok senam osteoporosis yang ada di
Rumah Sakit Orthopedi DR. Soeharso Surakarta. Sedangkan tekhnik
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Non-
random sampling (purposive random sampling).
23
L. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh
peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan
hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga
lebih mudah diolah. Variasi jenis instrumen penelitian adalah angket, cek lis
(chek list) atau daftar tentang pedoman wawancara dan pedoman pengamatan.
Instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting yaitu Valid dan
Reliabel.
a. Uji Validitas
Hasil suatu penelitian dikatakan valid apabila terdapat kesamaan
data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek
yang diteliti. Instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa
yang yang diinginkan, dan mampu mengungkapkan data dari variabel
yang diteliti secaratepat. Tinggi rendahnya validitas instrumen
menunjukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari
gambaran yang tentang variabel yang dimaksud (Sugiyono, 2005).
b. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah istilah untuk menunjukkan sejauh mana suatu
hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulang dua kali
atau lebih. Pengukuran reliabilitas bertujuan untuk mengetahui keajegan
instrumen atau data yang diteliti (Suharsimi, 2003).
24
1. Variabel Penelitian
a. Variabel Independen / Variabel Bebas
Yaitu variabel yang merupakan rangsangan untuk
mempengaruhi variabel yang lain. Yang menjadi variabel independen
adalah Osteoporosis.
b. Variabel Dependen / Variabel Terikat
Yaitu suatu jawaban atas hasil dari perilaku yang dirangsang.
Dalam hal ini yang menjadi variabel dependen adalah Pola jalan (gait).
2. Definisi Konseptual
Osteoporosis tidak terjadi dengan serta merta, penyakit ini
biasanya berkembang dalam beberapa dekade, di pengaruhi oleh seberapa
banyak massa tulang yang dimiliki pada awal usia dewasa. Kita
membangun massa tulang hingga kira-kira berusia 20 hingga 30 tahun dan
kemudian mempertahankannya hingga usia kira-kira 50 tahun untuk
wanita dan 70 tahun untuk pria.
3. Definisi Operasional
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai dengan
rendahnya massa tulang dan terjadinya perubahan mikroarsitektur jaringan
tulang sehinga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Osteoporosis yang
merupakan penyakit metabolik tulang disebut juga penyakit tulang rapuh
atau tulang keropos. Osteoporosis diistilahkan juga sebagai penyakit silent
disease karena sering tidak memberikan gejala hingga pada akhirnya
terjadi fraktur atau patah tulang.
25
Pola jalan ialah gerakan tubuh dari satu tempat ke tempat
berikutnya dan merupakan aktivitas siklikal dimana kaki bergerak
bergantian berulang-ulang seiring dengan perpindahan pusat gravitasi
tubuh terhadap bidang horizontal dengan arah tertentu dan kecepatan
tertentu. Sedangkan berjalan merupakan aktivitas resiprokal yang
terkoordinasi dengan baik yang menggambarkan sebuah pola baku
tertentu.
M. Tekhnik Analisa Data
1. Deskripsi Data
a. Primer : Kuisioner
b. Sekunder : Observasi dan dokumentasi
2. Hipotesa Statistik
Ho : Ada pengaruh antara osteoporosis terhadap pola jalan (gait) pada
lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun.
Ha : Tidak ada pengaruh antara osteoporosis terhadap pola jalan (gait)
pada lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun.
3. Uji Statistik
Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji beda
lebih dari dua sampel terpisah (one way anova) kemudian masing-masing
data dianalisis menggunakan SPSS versi 13.0.
26
DAFTAR PUSTAKA
Wirakusumah, Emma. 2007. Mencegah Osteoporosis Lengkap dengan 39 Jus dan
38 Resep Makanan. Jakarta: Penebar Plus.
Dalimarta, Setiawan. 2007. Resep Tumbuhan Obat Untuk Penderita
Osteoporosisi. Jakarta: Penebar Swadaya.
Corwin. Elizabet. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administrasi Alfabeta. Jakarta.
Subagyo, Pangestudan Djarwanto. 19997. Statistik Induktif. Yogyakarta : BPFE.
Moleong, L.J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatatif. Bandung: Penerbit
Remaja Karya.
Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Sherwood, Lauralee. 2007. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
Andrew, A. 1998. Geriatric Physical Therapi. Philadelpia: Guccione Mosby.
Susan, J. G . 2003. Dasar- Dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik. Yogyakarta:
Hipokrates.
Sidharta, Priguna. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Chusid, J.G. 1999. Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lane, Nancy. 2001. Lebih Lengkap Dengan Osteoporosis. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Compston, Juliet. 2002. Osteoporosis. Jakarta: Dian Rakyat.