26
1 PENGARUH OSTEOPOROSIS TERHADAP POLA JALAN (GAIT) PADA LANSIA (MANUSIA LANJUT USIA) UMUR 65 - 70 TAHUN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Osteoporosis terhadap-pola-jalan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

1

PENGARUH OSTEOPOROSIS TERHADAP POLA JALAN (GAIT)

PADA LANSIA (MANUSIA LANJUT USIA)

UMUR 65 - 70 TAHUN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Page 2: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

2

PENGARUH OSTEOPOROSIS TERHADAP POLA JALAN (GAIT)

PADA LANSIA (MANUSIA LANJUT USIA)

UMUR 65 - 70 TAHUN

A. Pendahuluan

Osteoporosis adalah suatu penyakit tulang metabolik yang ditandai

oleh reduksi kepadatan tulang sehingga mudah terjadi patah tulang.

Osteoporosis terjadi sewaktu kecepatan absorpsi tulang melebihi kecepatan

pembentukan tulang. Tulang yang dibentuk normal, namun jumlahnya terlalu

sedikit sehingga tulang menjadi lemah. Semua tulang dapat mengalami

osteoporosis, walaupun osteoporosis biasanya timbul di tulang-tulang

panggul, paha, pergelangan tangan, dan kolumna vartebralis (Corwin, 2001).

Kita telah mengetahui bahwa kelemahan mental, kerapuhan tulang,

punggung membungkuk, dan berat badan yang menurun sering dianggap hal

normal, sebagai bagian dari ketuaan. Semua ini sebenarnya adalah gejala

penyakit osteoporosis yang bisa dicegah bila diambil tindakan sejak muda.

Jika tidak ditangani, osteoporosis bisa membawa penderitaan, cacat, dan

kematian pada lansia (manusia lanjut usia). Untungnya, sekarang kepedulian

pada osteoporosis di kalangan para dokter dan masyarakat umum meningkat

dan telah ada terobosan penting dalam diagnosis dan penanganannya.

Pengurangan massa tulang akibat penuaan memang gejala biasa,

namun menjadi penyakit bila massa tulang mencapai tingkat yang

membuatnya mudah patah. Pada orang dewasa normal, tulang kuat dan hanya

Page 3: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

3

patah bila mengalami trauma berat, misalnya kecelakaan lalu lintas. Dengan

bertambahnya usia dan penyakit tertentu tulang jadi lebih tipis dan rapuh,

sehinga lebih mudah patah. Patahnya tulang karena kerapuhan merupakan

pertanda osteoporosis yang sering terjadi pada pergelangan tangan, tulang

belakang, dan tulang pinggul (Compston, 2002).

Walau paling sering menyerang wanita lansia, osteoporosis bisa

pula menyerang pria dan bisa terjadi pada usia berapa pun. Frekuensi

kejadian osteoporosis di berbagai belahan dunia berbeda, namun yang paling

tinggi di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Osteoporosis lebih banyak

menyerang orang kulit putih dan Asia daripada rang kulit hitam.

Berjalan dan modifikasinya seperti berlari, berjalan cepat

merupakan bagian yang esensial dalam kehidupan sehari-hari. Setiap individu

mempunyai cara berjalan yang unik yang kadang kala merupakan ciri khas

dari individu yang bersangkutan. Namun meski demikian semua pola jalan

mempunyai kesamaan dasar yang bersifat umum. Pola jalan atau gait ialah

cara seseorang berjalan yang dikarakterisasikan oleh ritme, irama (cadence),

langkah, jarak langkah, dan kecepatan.

Gerakan berjalan merupakan gerakan dengan koordinasi tinggi

yang dikontrol oleh susunan saraf pusat, dimana reflek postural mengambil

peranan yang sangat penting. Stimulus afferen berasal dari tumit kaki dengan

asupan impuls propioseptif yang berasal dari anggota gerak bawah, trunkus,

dan leher. Dalam pola jalan yang normal satu siklusnya terdiri dari fase

Page 4: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

4

stance (heel strike, mid-stance, push off) dan fase swing (asselerasi, mid-

swing, deselerasi) (Galley dan forster, 2002).

B. Identifikasi Masalah

Analisa pengaruh osteoporosis pada lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70

tahun sampai dengan terjadinya pola jalan (gait) yang salah.

C. Pembatasan Masalah

Mengingat adanya keterbatasan waktu, biaya, tenaga, dan tempat maka

penelitian ini hanya dibatasi pada pengaruh osteoporosis terhadap pola jalan

(gait) terutama pada lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun.

D. Rumusan Masalah

Apakah osteoporosis berpengaruh terhadap pola jalan (gait) pada lansia

(manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun ?

E. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh osteoporosis terhadap pola jalan (gait) pada

lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun.

Page 5: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

5

2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui pengaruh osteoporosis terhadap fase stance (heel strike,

mid-stance, push off) dan fase swing (asselerasi, mid-swing, deselerasi).

F. Manfaat Penelitian

1. Sebagai sarana informasi bagi mahasiswa khususnya dan masyarakat

umumnya tentang pengaruh osteoporosis terhadap pola jalan (gait) pada

lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun.

2. Memberikan sumbangan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh

osteoporosis terhadap pola jalan (gait) pada lansia (manusia lanjut usia)

umur 65-70 tahun.

G. Deskripsi Teori

1. Osteoporosis

Tulang adalah struktur hidup, tersusun oleh protein dan mineral

yang terus mengalami penghancuran dan pembentukan kembali. Osteoporosis

biasanya tejadi akibat proses penuaan normal, ketika laju penghancuran

meningkat sedangkan pembentukan kembali menurun, sehingga tulang

menjadi keropos dan rapuh.

Struktur tulang normal terdiri dari lapisan tulang padat (tulang

kortikal) yang mengelilingi lempengan dan serabut tulang (tulang berongga

atau trabekular) yang diselingi sumsum tulang. Ketebalan lapisan luar yang

padat ini berbeda-beda pada setiap bagian rangka, sebagai contoh tulang

Page 6: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

6

tengkorak dan tulang anggota tubuh jauh lebih besar di bandingkan tulang

belakang. Kekuatan rangka terutama dihasilkan oleh tulang padat ini, namun

tulang berongga juga ikut berperan penting. Penyusun utama tulang

sesungguhnya adalah protein yang disebut kolagen serta mineral tulang yang

mengandung kalsium.

Tulang adalah jaringan hidup yang harus terus diperbaharui untuk

menjaga kekuatannya. Tulang yang tua selalu dirusak dan digantikan oleh

tulang yang baru dan kuat. Bila proses ini, yang terjadi di permukaan tulang

dan disebut dengan peremajaan tulang, tidak terjadi, rangka kita akan rusak

karena keletihan ketika kita masih muda. Ada tiga jenis sel utama dalam

tulang, yakni osteoklast, yang merusak tulang, osteoblast, yang membentuk

tulang baru, dan osteosit, sel tulang dewasa yang berasal dari osteoblast.

Ketiga sel ini dibentuk dalam sumsum tulang. Osteoklast dan osteoblast

terbentuk setiap saat di bawah pengaruh rangsangan beberapa hormon.

Osteoklast terbentuk dari sel osteoprogenitor dengan pengaruh

rangsangan hormon paratiroid, hormon tiroid, hormon pertumbuhan, vitamin

D, dan ion kalsium. Adapun osteoblast terbentuk dari osteoklast dibawah

rangsangan kalsitonin, hormon pertumbuhan, ion fosfor, dan stres makanik.

Perubahan osteoklast menjadi osteoblast dihambat oleh hormon paratiroid, ion

kalsium, dan glukokortikoid (Dalimartha, 2004).

Pembentukan tulang berlangsung secara terus-menerus dan dapat

berupa pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang

berubah selama hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangan

Page 7: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

7

hormon , faktor makanan, dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu

tulang, dan terjadi akibat adanya aktivitas sel-sel pembentuk tulang

(osteoblast) (Corwin, 2001).

Pada osteoporosis, masa tulang padat dan berongga berkurang.

Menipisnya lapisan tulang padat sangat mengurangi kekuatan tulang dan

meningkatkan kemungkinan patah tulang. Pengurangan massa tulang pada

tulang berongga menyebabkan lempeng dan serabut tulang yang tebal menjadi

tipis dan terputus-putus. Perubahan ini menambah lemahnya tulang

(Compston, 2002).

a. Perubahan Massa Tulang

Massa tulang mengalami perubahan selama hidup melalui tiga

fase, yaitu fase tumbuh, fase konsolidasi, dan fase involusi. Sekitar 90 %

massa tulang dibentuk pada fase tumbuh. Setelah masa pertumbuhan,

pembentukan tulang berhenti sehingga berhenti pula proses pertumbuhan

pemanjangan tulang. Ini berarti, tinggi badan sudah tidak dapat bertambah

(Dalimartha, 2004).

Setelah fase pertumbuhan berhenti, mulai fase konsolidasi yang

berlangsung sekitar 10-15 tahun. Pada fase ini kepadatan tulang bagian

korteks dan trabekular akan bertambah dan mencapai puncaknya pada usia

30-35 tahun. Keadaan ini disebut massa tulang tertinggi/puncak (peak

bone mass). Seseorang yang mempunyai massa tulang tertinggi/puncak

yang tinggi akan mempunyai kekuatan tulang yang cukup bila terjadi

penurunan densitas tulang akibat usia, sakit berat, atau menurunnya

Page 8: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

8

produksi seks steroid. Pencapaian massa tulang tertinggi ini ternyata lebih

tinggi pada laki-laki daripada perempuan (Dalimartha, 2004).

Massa tulang tertinggi sangat penting dalam menentukan apakah

seseorang berisiko terkena osteoporosis dikemudian hari. Jika rendah,

sedikit saja massa tulang berkurang bisa berakibat patah tulang (Danielle,

1994).

Untuk jangka waktu tertentu, keadaan massa tulang tetap stabil

sampai akhirnya memasuki fase involusi, yaitu mulai terjadinya

pengurangan massa tulang sesuai dengan pertambahan usia. Pada usia 40-

45 tahun, baik laki-laki maupun perempuan mulai terjadi proses penipisan

masssa tulang yang penyusutannya berkisar 0,3-0,5 % per tahun. Seiring

dengan turunnya kadar hormon estrogen yang terjadi secara fisiologis pada

perempuan maka kehilangan massa tulang akan meningkat 2-3 % per

tahun yang dimulai sejak massa premenapouse dan terus berlangsung

sampai 10-15 tahun setelah menapouse.

Pada usia lanjut, yaitu setelah usia 65 tahun atau usia geriatri,

kehilangan massa tulang tetap terjadi, tetapi dengan kecepatan yang lebih

rendah. Secara keseluruhan, selama hidupnya pada perempuan akan

kehilangan 40-50 % massa tulangnya, sedangkan laki-laki 20-30 %.

Penurunan massa tulang ini ternyata tidak sam di seluruh tulang rangka.

Penurunan yang paling cepat terjadi di tulang telapak tangan (metacarpal),

leher tulang paha (collum femoris), dan ruas tulang belakang (corpus

Page 9: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

9

vertebra).Tulang kerangka lainnya juga mengalami proses tersebut, tetapi

berlangsung lebih lambat (Dalimartha, 2004).

b. Penentu Massa Tulang Tertinggi

Faktor-faktor penentu massa tulang tertinggi belum sepenuhnya

dipahami, namun sangat dipengaruhi oleh gen, selain asupan kalsium dan

olahraga yang diperkirakan juga ikut berperan penting. Begitupun dengan

hormon seks. Amenore (tidak mendapat haid), yang disebabkan anoreksia

nervosa atau penyakit lain, akan menurunkan massa tulang tertinggi, selain

ada bukti kuat bahwa penggunaan kontrasepsi oral bisa memperbesar

massa tulang tertinggi.

Berkurangnya massa tulang pada pria dan wanita akibat usia

dimulai sekitar usia 40 tahun sampai akhir hanyat. Sekitar 35 persen tulang

padat (tulang kortikal) dan 50 persen tulang berongga (tulang trabekular)

pada wanita akan hilang, sedangkan pria hanya kehilagan sekitar 2/3 dari

jumlah tersebut.

Wanita kehilangan lebih banyak tulang dibandingkan dengan laki-

laki, karena selama menopause laju berkurangnya tulang meningkat

selama beberapa tahun. Bila sejak semula tulangnya lebih sedikit, laju

pengurangan yang meningkat selama menopause dan usia yang lebih

panjang, maka wanita tersebut lebih berisiko menderita osteoporosis. Pada

umur 80 tahun hampir semua wanita mempunyai massa tulang yang

Page 10: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

10

sedemikian kecilnya, sehingga mereka cenderung mengalami patah tulang

bila terjatuh (Compston, 2002).

Penyebab berkurangnya massa tulang akibat usia belum

sepenuhnya dipahami, namun kita tahu bahwa defisiensi estrogen adalah

faktor utama massa tulang berkurang pada wanita. Ketika wanita

memasuki masa menapouse, fungsi ovariumnya menurun, yang

mengurangi produksi dua hormon yaitu estrogen dan progesteron. Salah

satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang

yang normal. Kekurangan hormon estrogen akan mengakibatkan lebih

banyak resorpsi tulang daripada pembentukan tulang. Akibatnya, massa

tulang yang sudah berkurang karena bertambahnya usia, akan diperberat

lagi dengan berkurangnya hormon estrogen setelah menapouse.

Pada banyak orang massa tulang yang berkurang akibat usia bisa

menimbulkan osteoporosis pada usia lanjut. Namun pada kasus tertentu,

fakto-faktor lain memperbesar hilangnya massa tulang sampai di atas batas

normal (Topan, 2005).

c. Jenis-jenis Oteoporosis

Menurut Riggs dan Melton (1983) terdapat dua jenis osteoporosis

yaitu osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder.

Page 11: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

11

1) Osteoporosis Primer

Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang terjadi akibat

adanya proses penuaan. Jenis osteoporosis adan dua tipe, yaitu

osteoporosis post menopausal dan osteoporosis senilis.

a) Tipe I (osteoporosis post menopausal)

Osteoporosis ini timbul setelah haid berhenti (menapouse)

sebagai akibat rendahnya hormon estrogen. Pada masa menapouse,

fungsi ovarium menurun sehingga produksi hormon estrogen dan

progesteron juga menurun. Estrogen berperan dalam mineralisasi

tulang dan menghambat resorbsi tulang serta pembentukan

osteoklast melalui penghambatan produksi sitokin. Ketika kadar

hormon estrogen dalam darah menurun, proses pengeroposan

tulang dan pembentukan tulang mengalami ketidakseimbangan.

Pengeroposan tulang menjadi lebih dominan. Oleh karena itu,

diperlukan tambahan hormon estrogen agar kedua proses tersebut

dapat berjalan seimbang (Wirakusumah, 2007).

Tipe osteoporosis ini terjadi pada usia 55-70 tahun. Perlu

diketahui bahwa masa premenapouse (haid berkurang dan tidak

beraturan) mulai umur 45 tahun, masa menapouse sekitar umur 50

tahun, dan masa pascamenapouse sekitar umur 60 tahun. Pada usia

55-70 tahun, perempuan lebih banyak terkena osteoporosis

daripada laki-laki dengan rasio 6: 1 (Dalimartha, 2004).

Page 12: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

12

b) Tipe II (osteoporosis senilis pada pria)

Seperti halnya osteoporosis tipe I, pada tipe II juga

disebabkan oleh berkurangnya hormon endokrin, dalam hal ini

hormon tertosteron. Osteoporosis ini timbul pada usia lanjut

dengan usia berkisar 70-85 tahun. Perempuan resikonya 2 kali

lebih besar dari pada laki-laki. Massa tulang berkurang didaerah

korteks dan trabekular. Pada laki-laki timbulnya osteoporosis lebih

lambat karena penurunan hormon seks yang lebih lambat dan

densitas pencak tulang yang di capainya pun lebih tinggi daripada

perempuan.

2) Osteoporosis Sekunder

Osteoporosis sekunder terjadi karena adanya penyakit tertentu

yang dapat mempengaruhi kepadatan massa tulang dan gaya hidup

yang tidak sehat. Contohnya yaitu :

a) Penyakit endokrin : tiroid, hyperparatiroid, hypogonadisme,

b) Penyakit saluran pencernaan yang menyebabkan absorbsi zat gizi

(kalsium, fosfor, vitamin D, dll) menjadi terganggu,

c) Penyakit keganasan (kanker),

d) Konsumsi obat-obatan (kortikosteroid),

e) Gaya hidup tidak sehat (merokok, minum minuman beralkohol,

kurang olah raga, dan lain-lain).

Page 13: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

13

d. Gejala dan Tanda-tanda Osteoporosis

Osteoporosis hanya menunjukkan gejala bila ada tulang yang patah

atau fraktur sehingga di istilahkan juga sebagai penyakit silent disease

karena sering tidak memberikan gejala hinga pada akhirnya terjadi patah

(fraktur). Perlu disadari bahwa menurunnya massa tulang tidak

menimbulakn rasa sakit atau gejala lain. Sakit punggung, misalnya, bukan

disebabkan oleh rendahnya massa tulang kecuali bila ada tulang yang

patah.

Patah tulang akibat osteoporosis menimbulkan sakit dan kecacatan.

Pada sebagian kasus keadaan ini akan dirasakan sepanjang hayat, namun

pada kasus lain lambat laun akan hilang atau membaik (Topan, 2005).

Keluhan dan tanda yang sering dijumpai pada pasien osteoporosis

sebagi berikut:

1) Nyeri pada tulang

Rasa nyeri yang timbul pada osteoporosis bisa akut maupun

kronik. Rasa nyeri akut berasal dari tulang atau periosteum akibat

fraktur yang baru terjadi. Adapun rasa nyeri kronik berasal dari

jaringan lunak akibat teregangnya ligamentum dan otot karena adanya

deformitas.

2) Berkurangnya tinggi badan

Penyusutan tinggi badan terjadi akibat adanya komfresi fraktur

di ruas tulang belakang. Biasanya disertai dengan gejala nyeri hebat

selama beberapa hari sampai beberapa bulan atau tanpa gejala apapun

Page 14: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

14

(asimptomatis). Tinggi badan makin lama semakin pendek karena

beberapa kali terjadi fraktur di beberapa tempat pada ruas tulang

belakan. Tinggi badan akan menjadi lebih pendek daripada panjang

rentangan kedua lengan. Pada keadaan normal, kedua ukuran ini sama.

Panjang rentangan kedua lengan diukur dari ujung jari tengah tangan

kanan melintasi dada ke ujung jari tengah tangan kiri.

3) Tubuh bungkuk (kifosis)

Deformitas atau kelainan bentuk tulang belakang bisa

terjadi akibat kompresi fraktur. Punggung yang bungkuk disebut

dengan kifosis.

2. Pola Jalan (Gait)

Menurut Jones Kim (1996) menyatakan bahwa yang dimaksud

dengan pola jalan ialah gerakan tubuh dari satu tempat ke tempat berikutnya

dan merupakan aktivitas siklikal dimana kaki bergerak bergantian berulang-

ulang seiring dengan perpindahan pusat gravitasi tubuh terhadap bidang

horizontal dengan arah tertentu dan kecepatan tertentu. Sedangkan berjalan

merupakan aktivitas resiprokal yang terkoordinasi dengan baik yang

menggambarkan sebuah pola baku tertentu.

Pada dasarnya fungsi tungkai adalah untuk ambulasi (berjalan).

Dalam keadaan normal bila seseorang berjalan, maka pada tungkai terjadi

beberapa peristiwa yang dalam biomekanika dikenal dengan istilah Fase

Page 15: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

15

(”Phase”).Pada prinsipnya siklus berjalan normal dibagi menjadi dua fase

yaitu:

1) Stance Phase (Fase Menumpu), terdiri dari:

a. Heel strike, yaitu saat dimana tumit menyentuh atau bertumpu pada

lantai.

b. Mid Stance, yaitu saat dimana seluruh telapak kaki menyentuh atau

bertumpu pada lantai.

c. Push-off, yaitu saat dimana hanya sebagian depan dari kaki (jari-jari)

sajayang menyentuh atau atau bertumpu pada lantai.

2) Swing Phase (Fase Mengayun atau Melayang), terdiri dari:

a. Asselerasi, yaitu saat dimana sudut kaki baru terangkat.

b. Mid-swing, yaitu saat dimana kaki dari tungkai yang menganyun

berada tepat disamping tungkai yang menyanggga.

c. Deselerasi, yaitu saat dimana sendi lutut bergerak kearah ekstensi yang

diakhiri hingga sesaat sebelum tumit menyentuh lantai.

Apabila seseorang mengalami kelainan/gangguan/kerusakan baik

pada otot tungkai, tulang pembentuk tungkai maupun persendian yang ada

pada tungkai maka fungsi tungkai untuk berjalan akan mengalami gangguan.

Dengan kata lain, sebagian atau seluruh dari fase jalan akan mengalami

gangguan atau bahkan hilang sama sekali.

Oleh karena masing-masing peristiwa dari fase jalan melibatkan

sendi serta kerja otot dari otot yang berbeda, maka hanya dari observasi

Page 16: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

16

terhadap pola jalan seseorang, terkadang kita sudah dapat menentukan letak

kerusakan/gangguan/kelainan yang dialami orang tersebut.

a. Parameter Pola Jalan (Gait) Normal

1) Lebar base (bidang tumpu) yaitu 5-10 cm (2-4 inchi)

2) Panjang langkah yaitu 35-45 cm, tetapi tergantung dari usia, jenis

kelamin, dan tinggi bada atau panjang tungkai.

3) Center Of Graviti (COG) pada orang normal yaitu pada Linea mediana

( 2 cm dari Lumbal 2).

4) Rotasi pelvis pada saat fase swing ≤ 40º.

5) Pada saat berjalan semua tungkai dalam keadaan fleksi kecuali pada

saat heel stike posisi tungkai dalam keadaan ekstensi.

6) Pergeseran columna vertebralis (pelvis dan trunk) yaitu 1 inchi

7) Jumlah langkah permenit yaitu ± 90-120 langkah/menit.

b. Elemen Gerakan Pola Jalan (Gait) Normal

1) Kepala tegak.

2) Shoulder sejajar.

3) Trunk vertikal.

4) Lengan terayun (kecepatan rata-rata).

5) Langkah sama panjang (sinkron dengan waktu).

6) Posisi badan vertikal .

Page 17: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

17

c. Faktor essensial yang diperlukan dalam pola jalan normal adalah :

1. Tubuh dapat berdiri tegak sedang berat badan tersangga secara merata

pada kedua anggota gerak bawah.

2. Tubuh dapat disangga oleh satu tungkai secara bergantian saat tungkai

yang satu terayun kedepan.

3. Komponen gerak yang diperlukan untuk berjalan tersedia dan dapat

dikoordinasikan.

Galley dan Forster (1982), Kaplan (1986) menyatakan ada 6 faktor

determinan dalam hubungannya dengan proses berjalan, yaitu :

1. Rotasi Pelvis

Rotasi pelvis ialah gerakan pelvis pada bidang transversal, dimana saat

mengayun terjadi rotasi kedepan sebesar 40 dan selama fase stance terjadi

rotasi ke belakang sebesar 40.

2. Tilting pelvis

Tilting pelvis terjadi pada bidang frontal dengan besaran 50

dengan arah

kaudal. Hilangnya tilting pelvis akan mempengaruhi titik gravitasi tubuh

atau center of gravity.

3. Fleksi lutut

Lutut akan mengalami ekstensi penuh menjelang heel strike (initial

contact) pada saat foot flat (loading respon) terjadi fleksi 150

dan terus

dipertahankan dalam posisi fleksi selama mid-stance. Fleksi lutut terjadi

dua kali selama fase stance. Lutut akan ekstensi saat heel off (terminal

stance) dan fleksi lagi saat toe off (pre-swing).

Page 18: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

18

4. Gerakan kaki dan pergelangan kaki

Saat heel strike (initial contact) pergelangan kaki akan dorsi fleksi

kemudian plantar fleksi dan dorsi fleksi lagi saat foot flat (loading respon),

kemudian melakukan plantar fleksi lagi sewaktu heel off (terminal stance)

dan toe off (pre-swing).

5. Hubungan antara lutut dan pergelangan kaki.

Perubahan yang terjadi pada pergelangan kaki sewaktu berjalan

dikoordinir oleh pergerakan sendi lutut.

6. Gerakan lateral pelvis

Gerakan lateral pelvis ini terjadi pada bidang frontal berupa gerakan dari

sisi ke sisi yang akan berpengaruh terhadap posisi tungkai sewaktu

menerima berat badan.

Saat berjalan normal, ketika pelvis berotasi kedepan akan

mengakibatkan trunkus bagian bawah akan berotasi dengan arah yang

sama sedang trunkus bagian atas, gelang bahu dan lengan akan berotasi ke

arah yang berlawanan. Dengan cara demikian tubuh akan bergerak

kedepan tanpa menimbulkan gerakan pada daerah kepala. Gerak resiprokal

antara Anggota Gerak Bawah dan Anggota Gerak Atas berlangsung secara

ritmis.

Pada kebanyakan orang sewaktu berjalan jarak antara kedua kaki

berkisar kurang lebih 7,5 cm, panjang langkah 35-40 cm. Panjang langkah

pada setiap orang berbeda-beda tergantung dari usia, jenis kelamin, dan

tinggi badan. Arah dan bagian dalam kaki selalu mendekati garis lurus,

Page 19: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

19

sehingga berjalan akan sangat ekonomis dipandang dari aspek penggunaan

energi.

H. Kerangka Berfikir

Dengan semakin berkembangnya zaman yang sangat cepat,

menuntut orang untuk bekerja cepat pula, untuk memenuhi tuntutan hidupnya.

Tuntutan hidup dapat menimbulkan beberapa masalah kesehatan yang

mengakibatkan sikap kerja yang salah, sikap kerja yang dapat menimbulkan

cidera pada jaringan lunak, tulang maupun saraf.

Penderitaan dan cacat yang disebabkan oleh osteoporosis menjadi

masalah kesehatan dalam populasi lansia di dunia barat, osteoporosis juga

merupakan penyebab kematian penting bagi lansia. Penurunan aktivitas fisik

ikut berperan menimbulkan osteoporosis.

Kadar

Estrogen

Wanita Pria

Kadar

Testosteron

Osteoporosis

Lansia

Page 20: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

20

I. Kerangka Konsep

Osteoporosis pada lansia terutama pada wanita menapouse dapat

mempermudah terjadinya patah tulang terutama pada daerah pergelangan,

tulang belakang, dan pinggul, namun bisa pula terjadi pada bagian lain

terutama panggul dan lengan atas.

Pola jalan

(Gait)

Kecacatan

Lansia

Osteoporosis

Pola Jalan (gait)

Stance phase Swing phase

- Heal strike

- Mid-stance

- Push off

- Asselerasi

- Mid-swing

- Deselerasi

Page 21: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

21

J. Hipotesis

Dalam suatu penelitian, hipotesis merupakan jawaban sementara

terhadap penelitiaan atau dugaan yang sifatnya sementara yang kebenarannya

akan dibuktikan pada penelitian tersebut. Hipotesis dari penelitian ini adalah

ada pengaruh antara osteoporosis terhadap pola jalan (gait) pada lansia

(manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun.

K. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitan

Terdapat beberapa jenis penelitian, antara lain adalah penelitian

kuantitatif dan penelitian kualitatif.

a. Penelitian kuantitatif, adalah penelitian dengan maksud memperoleh

data yang berbentuk angka, atau data kualitatif yang diangkakan

(Sugiyono, 2003).

b. Penelitian kualitatif, adalah data yang berbentuk kata, kalimat, skema

dan gambar. Data kualitatif adalah data yang berbentuk angka atau

data kualitatif yang diangkakan (skoring) (Sugiyono, 2003).

Berdasarkan teori tersebut di atas maka dapat diambil

pengertian bahwa penelitian kuantitatif dan kualitatif dilakukan untuk

mendapatkan data yang sesuai dengan metode yang rasional.

Berdasarkan pada judul yang dikemukakan maka jenis

penelitian ini adalah jenis penelitian kuantitatif (crossecsional), di

mana data yanga diperoleh dari sampel populasi penelitian kemudian

Page 22: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

22

dianalisis sesuai dengan metode statistik yang digunakan lalu

diinterpretasikan.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Surakarta. Sedang

lokasi penelitian adalah di Rumah Sakit Orthopedi DR. Soeharso

Surakarta yang beralamat di Jl. Jendral Ahmad Yani Pabelan Kartasura

Surakarta.

3. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau

subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk di pelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugiyono, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah

semua kelompok senam osteoporosis yang ada di Surakarta.

4. Cara Pengambilan Sampel

Sampel adalah sebagian yang di ambil dari keseluruhan obyek

yang dianggap mewakili seluruh populasi (Notoadmodjo, 2003). Sampel

dalam penelitian ini adalah kelompok senam osteoporosis yang ada di

Rumah Sakit Orthopedi DR. Soeharso Surakarta. Sedangkan tekhnik

pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Non-

random sampling (purposive random sampling).

Page 23: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

23

L. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh

peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan

hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga

lebih mudah diolah. Variasi jenis instrumen penelitian adalah angket, cek lis

(chek list) atau daftar tentang pedoman wawancara dan pedoman pengamatan.

Instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting yaitu Valid dan

Reliabel.

a. Uji Validitas

Hasil suatu penelitian dikatakan valid apabila terdapat kesamaan

data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek

yang diteliti. Instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa

yang yang diinginkan, dan mampu mengungkapkan data dari variabel

yang diteliti secaratepat. Tinggi rendahnya validitas instrumen

menunjukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari

gambaran yang tentang variabel yang dimaksud (Sugiyono, 2005).

b. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah istilah untuk menunjukkan sejauh mana suatu

hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulang dua kali

atau lebih. Pengukuran reliabilitas bertujuan untuk mengetahui keajegan

instrumen atau data yang diteliti (Suharsimi, 2003).

Page 24: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

24

1. Variabel Penelitian

a. Variabel Independen / Variabel Bebas

Yaitu variabel yang merupakan rangsangan untuk

mempengaruhi variabel yang lain. Yang menjadi variabel independen

adalah Osteoporosis.

b. Variabel Dependen / Variabel Terikat

Yaitu suatu jawaban atas hasil dari perilaku yang dirangsang.

Dalam hal ini yang menjadi variabel dependen adalah Pola jalan (gait).

2. Definisi Konseptual

Osteoporosis tidak terjadi dengan serta merta, penyakit ini

biasanya berkembang dalam beberapa dekade, di pengaruhi oleh seberapa

banyak massa tulang yang dimiliki pada awal usia dewasa. Kita

membangun massa tulang hingga kira-kira berusia 20 hingga 30 tahun dan

kemudian mempertahankannya hingga usia kira-kira 50 tahun untuk

wanita dan 70 tahun untuk pria.

3. Definisi Operasional

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai dengan

rendahnya massa tulang dan terjadinya perubahan mikroarsitektur jaringan

tulang sehinga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Osteoporosis yang

merupakan penyakit metabolik tulang disebut juga penyakit tulang rapuh

atau tulang keropos. Osteoporosis diistilahkan juga sebagai penyakit silent

disease karena sering tidak memberikan gejala hingga pada akhirnya

terjadi fraktur atau patah tulang.

Page 25: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

25

Pola jalan ialah gerakan tubuh dari satu tempat ke tempat

berikutnya dan merupakan aktivitas siklikal dimana kaki bergerak

bergantian berulang-ulang seiring dengan perpindahan pusat gravitasi

tubuh terhadap bidang horizontal dengan arah tertentu dan kecepatan

tertentu. Sedangkan berjalan merupakan aktivitas resiprokal yang

terkoordinasi dengan baik yang menggambarkan sebuah pola baku

tertentu.

M. Tekhnik Analisa Data

1. Deskripsi Data

a. Primer : Kuisioner

b. Sekunder : Observasi dan dokumentasi

2. Hipotesa Statistik

Ho : Ada pengaruh antara osteoporosis terhadap pola jalan (gait) pada

lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun.

Ha : Tidak ada pengaruh antara osteoporosis terhadap pola jalan (gait)

pada lansia (manusia lanjut usia) umur 65-70 tahun.

3. Uji Statistik

Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji beda

lebih dari dua sampel terpisah (one way anova) kemudian masing-masing

data dianalisis menggunakan SPSS versi 13.0.

Page 26: Osteoporosis terhadap-pola-jalan

26

DAFTAR PUSTAKA

Wirakusumah, Emma. 2007. Mencegah Osteoporosis Lengkap dengan 39 Jus dan

38 Resep Makanan. Jakarta: Penebar Plus.

Dalimarta, Setiawan. 2007. Resep Tumbuhan Obat Untuk Penderita

Osteoporosisi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Corwin. Elizabet. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administrasi Alfabeta. Jakarta.

Subagyo, Pangestudan Djarwanto. 19997. Statistik Induktif. Yogyakarta : BPFE.

Moleong, L.J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatatif. Bandung: Penerbit

Remaja Karya.

Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.

Jakarta: Rineka Cipta.

Sherwood, Lauralee. 2007. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.

Andrew, A. 1998. Geriatric Physical Therapi. Philadelpia: Guccione Mosby.

Susan, J. G . 2003. Dasar- Dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik. Yogyakarta:

Hipokrates.

Sidharta, Priguna. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.

Chusid, J.G. 1999. Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Lane, Nancy. 2001. Lebih Lengkap Dengan Osteoporosis. Jakarta: PT

Rajagrafindo Persada.

Compston, Juliet. 2002. Osteoporosis. Jakarta: Dian Rakyat.