Upload
hidayat-muhtar
View
66
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konstitusi adalah Hukum dasar yang di jadikan pegangan dalam penyelengaraan suatu
negara, konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim di sebut undang-undang dasar dan
dapat pula tidak tertulis, undang – undang dasar menempati tata urutan peraturan perundang-
undangan tertinggi dalam negara , dalam konteks institusi negara, konstitusi bermakna permakluman
tertinggi yang menetapkan antara lain pemegang kedaulatan tertinggi , sturktur negara, bentuk negara,
bentuk pemerintahan kekuasaan legislatif, kekuasaan peradilan dan berbagai lembaga negara serta
hak-hak rakyat.1
Dalam penyusunan undang-undang dasar, nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam
masyrakat dan dalam praktek penyelengaraan negara turut mempengaruhi perumusan pada naskah
dengan demikian suasana kebatinan yang menjadi latar belakang filosofi , sosiologis , polittis dan
histori perumusan yuridis suatu ketentuan undang-undang dasar perlu di pahami denganseksama,
untuk dapat mengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat pada pasal –pasal undang-
undang dasar.2
Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi dan paling fundamental sifatnya karena
merupakan sumber legitimasi atau landasan otoritas bentuk –bentuk hukum atau peraturan perundang-
undangan lainya , sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku univeral agar peraturan yang
tingkatanya berada di bawah undang-undang dasar dapat berlaku dan di berlakukan , peraturan itu
tidak boleh bertantangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut .
Pengaturan sedemikian rupa menjadikan dinamika kekuasaan dalam proses penyelengaraan
pemerintahan dan negara dapat di batasi dan di kendalikan sebagaimana mestinya, dengan demikian
paham konstitusionalisme dalam suatu negara merupakan konsep yang seharusnya ada .
Paham konstitusionalisme berawal dari di pergunakanya konstitusi sebagai hukum dalam
penyelengaraan negara, konstitusionalisme mengatur pelaksanaan rule of law ( supremasi hukum )
dalam hubungan individu dengan pemerintahan. Konstitusionalisme menghadirkan situasi yang dapat
memupuk rasa aman, karena adanya pembatasan terhadap wewenang pemerintah yang telah di
tentukan terlebih dahulu , konstitusionalisme mengemban the limited state ( negara terbatas ), agar
penyelengaraan negara dan pemerintahan tidak sewenag-wenang dan hal di maksud dinyatakan serta
di atur secara tegas dalam pasal- pasal konstitusi .1 Pimpinan Mpr dan Tim kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan berbangsa dan bernegara,(jln.jendral Gatot Subroto No 6 jakarta,Sekretariat Jendral MPR RI 2014 ) hal.1172 Ibid 118-119
Menurut jhon alder dan Daniel S.lev paham konstitusionalisme adalah suatu paham negara
terbatas di mana kekuasaan politik resmi di kelilinggi oleh hukum yang akan mengubah kekuasaan
menjadi wewenang yang di tentukan secara hukum , sehingga pada intinya konstitusionalisme adalah
suatu proses hukum yang mengatur masalah pembagian kekuasaan dan wewenang .
Pada prinsipnya paham konstitusionalisme adalah menyangkut prinsip pembatasan
kekuasaan, konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain : pertama
, hubungan antara pemerintah , dengan warga negara dan kedua, hubungan antar lembaga
pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintah lainya . karena itu biasanya isis konstitusi di
maksudkan untuk mengatur tiga hal penting , yaitu menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ
negara ,mengatur hubungan antara lembaga –lembaga negara yang satu dengan lainya dan mengatur
hubungan kekuasaan antara lembaga –lembaga negara dengan warga negara .3
Era reformasi memberikan harapan bagi terjadinya perubahan menuju penyelengaraan negara
yang lebih demokratis , transparan dan memiliki akintabilitas tinggi serta terwujudnya good
governance dan adanya kebebasan berpendapat , semuanya itu di harapakan makin mendekatkan
bangsa pada pencapaian tujuan nasional sebagaimana terdapat dalam pembukaan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Untuk itu gerakan reformasi di harapkan mampu
mendorong perubahan mental bangsa indonesia , baik pemimpin maupun rakyat , sehingga mampu
menjadi bangsa yang menganut dan menunjung tinggi nilai – nilai kebenaran, keadilan kejujuran ,
tangungjawab, persamaan , serta persaudaraan .4
Pada awal reformasi, berkembang dan populer di masyarakat banyak tuntutan reformasi yang
di desakan oleh berbagai komponen bangsa , termasuk mahasiswa dan pemuda , tuntutan itu antara
lain adalah : Amandemen Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Tuntutan perubahan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang di
gulirkan oleh berbagai kalangan masyarakat dan kekuatan sosial politik di dasarkan pada pandangan
bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum cukup memuat landasan
bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat , dan penghormatan HAM.
Selain itu di dalamnya terdapat pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir dan membuka
peluang bagi penyelengaraan negara yang otoriter , sentralistik , tetututp , dan KKN yang
menimbulkan kemerosotan kehidupan nasional di berbagai bidang kehidupan .
3 Ibid 119-1204 Pimpinan Mpr dan Tim kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014,Panduan Pemasyarakatn Undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan MPR RI ,(jln.jendral Gatot Subroto No 6 jakarta,Sekretariat Jendral MPR RI 2014 ) hal.5
Tuntutan perubahan Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada era
reformasi tersebut merupakan satu langkah terobosan yang mendasar karena pada era sebelumnya
tidak di kehendaki adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.5
Dalam Perkembangan tuntutan perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 itu menjadi kebutuhan bersama bangsa indonesia, selanjutnya tuntunan itu di wujudkan
secara komperhensif , bertahap , dan sistematis dalam empat kali perubahan undang –undang dasar
negara republik indonesia Tahun 1945 pada emapat sidang MPR sejak taahun 1999 samapai dengan
2002 .
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 yang di lakukan oleh MPR
RI, selain merupakan perwujudan tuntutan reformasi , juga sejalan dengan pidato Ir.Soekarno , ketua
panitia penyusunan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam rapat
panitia persiapan kemerdekaan indonesia ( PPKI ) tangal 18 Agustus 1945.pada kesempatan itu ia
menyatakan antara lain : “Bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar kilta , bahwa barangkali
boleh di katakan pula, inilah Revolutiiegrondwet.nanti kita membuat undang –undang dasar yang
lebih sempurna dan lengkap’’.6
Dalam proses reformasi hukum dewasa ini berbagai kajian ilmiah tentang UUD 1945,
banyak yang melontarkan ide untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945, memang
amandemen tdak di maksudkan untuk menganti sama sekali UUD 1945, akan tetapi merupakan
prosedur penyempurnaan terhadap UUD 1945 tanpa harus langsung mengubah UUD-nya itu sendiri ,
amandemen lebih merupakan perlengkapan dan rincian yang di jadikan lampiran otentik bagi UUD
tersebut , dengan sendirimya amandemen di lakukan dengan melakukan berbagai perubahan pada
pasal-pasal maupun memberikan tambahan – tambahan ,
Suatu hal yang sangat mendasar bagi pentinganya amandemen UUD 1945 adalah tidak
adanya sistim kekuasaan dengan”check and balance” terutama terhadap kekuasaan eksekutif terhadap
UUD 1945 adalah marupakan suatu keharusan , karena hal itu akan mengantarkan bangsa indonesia
ke arah tahapan baru melakukan penataan terhadap ketetanegaraan.
Amandemen terhadap UUD 1945 di lakukan oleh bangsa indonesia sejak tahun 1999 di mana
amandemen pertama di lakukan dengan memberikan tambahan dan perubahan terhdap pasal 9 UUD
1945 , kemudian amandemen ke dua di lakukan pada tahun 2000, amandemen ke tiga di lakukan pada
tahun 2001 , dan amandemen ke empat di lakukan pada tanggal 10 agustus 2002 7.
5 Ibid hal 66 Ibid hal 7-87 Prof.Dr.H.Kaelan,Pendidikan kewarganegaraan,(Paradigma,Yogyakarta,2016),Hal.106-107
Tujuan di lakukan perubahan undang –undang dasar negara republik tahun 1945 untuk :
1. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai tujuan
nasional yang terulang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 dan memperkokoh Negara kesatuan republik indonesia yang
berdasarkan pancasila .
2. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat
serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham
demokrasi .
3. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi
manusia agar sesuai perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat
manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum di cita-citakan
oleh Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Menyempurnakan aturan dasar penyelengaraan negara secara demokratis dan
modern, anatar lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistim saling
mengawasi dan saling megimbangi ( check and balance yang lebih ketat , transparan
dan pembentukan lembaga –lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi
perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman .
5. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstutisional dan kewajiban
negara mewujudkan kesejahtraan sosial , mencerdaskan kehidupan berbangsa dan
bernegara , menegakan etika , moral dan solidaritas bernegara , sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara sejahtra .
6. Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelengaraan negara bagi
eksitensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan
wilayah negara dan pemilihan umum .
7. Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa , sesuai
dengan perkembangan aspirasi , kebutuhan , serta kepentingan bangsa dan negara
indonesia dewasa ini sekaligus mengakomodasi kecenderungan untuk kurun waktu
yang akan datang .
Dasar yuridis perubahan undang –undang dasar negara republik indonesia tahun 1945 adalah :
MPR Melakukan perubahan berpedoman pada ketentuan pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur prosedu perubahan UUD NRI Tahun 1845, naskah
yang menjadi objek perubahan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
yang di tetapkan pada tanggal 18 agustus 1945 dan di berlakukan kembali dengan dekrit presiden
pada tangal 5 juli 1959 serta di lakukan secara aklamasi pada tangal 22 juli 1959 oleh Dewan
Perwakilan Rakyat sebagaimana tercantum dalam Lemabar negara Nomor 75 Tahun 1959 .
Sebelum melakukan perubahan undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945 ,
MPR dalam sidang istimewa tahun 1998 mencabut Ketetapan MPR nomor IV/MPR/1983 tentang
referendum , yang mengharuskan terlebih dahulu penyelengaraan referendum secara nasional dengan
persayaratan yang sedemikian sulit sebelum sebelum di lakukan perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh MPR.putusan Majelis itu sejalan dengan kehendak untuk
melakukan perubahan undang-undang dasar dasar negara republik indonesia tahun 1945 dengan
mengunakan aturan yang ada di dalam Undang-Undang dasar itu sendiri, yaitu pasal 37 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.8
Tuntunan perubahan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada awal
reformasi terus berkembang, baik oleh masyarakat, pemerintah maupun oleh kekuatan sosial politik
termasuk partai politik. Tuntutan itu kemudian di perjuangkan oleh fraksi –fraksi MPR.9
Tuntutan reformasi yang mengkehendaki agar Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 di ubah adalah : sebenarnya telah di awali dalam sidang istimewa MPR yang
pertama kalinya di selengarakan pada era reformasi tersebut, MPR telah menerbitkan tiga ketetapan,
ketetpan itu memang tidak secara langsung mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, tetapi telah menyentuh muatan Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pertama Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 tentang pencabutan ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1983 tentang Referendum . ketetapan MPR tentang referendum itu menetapkan bahwa
sebelum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945harus di lakukan Referendum nasioanl untuk itu , yang di sertai dengan persayaratan yang
sedemikian rumit .
ke dua ketetapan MPR nomor XII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan presiden dan
wakil presiden indonesia. Ketiga ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi
Manusia , dengan terbitnya ketetapan itu dapat di lihat sebagai penyempurnaan ketentuan mengenai
hak asasi manusia yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, seperti pasal 27: pasal 28: pasal : 29 ayat (2).
Ketiga,Terbitnya ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 , ketetapan MPR Nomor
XIII/MPR/1998, dan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 dapat di katakan sebagai langkah awal
bangsa indonesia dalam melakukan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Republik
Tahun 1945.
8 Majelis permusyawaratan Rakyat, Panduan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ( Sekretariat Jendaral MPR RI, 2014) Hal.12-149 Ibid hal 15.
Setelah terbitnya tiga ketetapan MPR Itu tersebut, kehendak dan kesepakatan untuk
melakukan perubahan undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945 makin mengkristal
di kalangan masyarakat , pemerintah dan kekuatan sosial politik termasuk partai politik.10
Dengan adanya perjalanan perubahan undang –undang Dasar Negara Republik indonesia
tentu memberikan warna baru terhadap tata aturan hukum yang berlaku saat ini,sehingga tata aturan
tersebut di jadikan pijakan untuk mengatur berbagai macam pergaulan hidup manusia termasuk
tentang urusan ketatanegaraan, aturan yang berlaku saat inilah yang di kenal sebagai hukum positif
atau dengan istilah Ius Constitutum, selain itu di dalam hukum juga mengenal istilah Ius
Constituendum yang pada prinsipnya memiliki perbedaan dengan hukum positif.
Ius Constitutum adalah hukum positif suatu negara yaitu hukum yang berlaku dalam suatu
negara pada suatu saat tertentu sebagai contoh : hukum indonesia yang berlaku saat dewasa ini di
namakan ius constitutum atau bersifat hukum fositif, juga di namakan tata hukum di inonesia,
demikian pula hukum di amerika , yang berlaku sekarang, ingris,Rusia, Jepang dan lain-lain.
Ius Constituendum adalah hukum yang di cita-citakan oleh pergaulan hidup dan negara, tetapi
belum merupakan kaidah hukum dalam bentuk undang-undang atau berbagai ketentuan
lain.perbedaan keduanya adalah didsasarkan pada perkembagan sejarah tata hukum tertentu , seperti
di katakan oleh W.L.G Lemdire( 1952 ) nahwa hukum menerbitkan pergaulan hidup manusia suatu
tempat tertentu dan dalam jangka wajtu terbentuk dan akan hilang , jadi bisa di katakan bahwa Ius
Constitutum sekarang adalah Ius Constituendum pada masa lampau .
Oleh purnabi dan purbacaraka dan soerjono soekanto(1980) di tegaskan bahwa perbedaan Ius
Constitutum dan Ius constituendum merupakan suatu abstraksi dari fakta bahwa sesunguhnya segala
sesuatu merupakan suatu proses perkembangan.
Demikian bahwa hukum pun merupakan suatu lembaga masyrakat yang senantiasa
mengalami perkembangan , sedemikian rupa, sehingga apa yang di cita-citakan pada saatnya terwujud
menjadi kenyataan, sebaliknya yang sedang berlaku menjadi pudar di telan waktu karena telah tidak
cocok lagi ( mengalami deskrapansi atau kesenjangan anatara Kaidah dan kenyataan sosial).11
Sehingga menurut hemat pribadi penulis bahwa ius constituendum adalah serangkaian hukum
yang di angan-angankan oleh masyarakat dalam mengatur tatanana pergaulan masyarakat dalam
sebuah negara , termasuk di negara indonesia, artinya hukum menajdi acuan di dalam mengatur
tatanan hidup masyarakat, menjadi norma dasar dalam pergaulan serta bersifat mengikat bagi seluruh
elemen bangsa.
Dewasa ini adanya semangat untuk melakukan amandemen tentu sangat di nanti oleh seluruh
elemen bangsa indonesia hal ini di sebabkn dengan adanya perubahan undang-undang dasar negara
republik indonesia maka sangat jelas tentu akan merubah sistim ketatanegaraan bangsa indonesia saat
ini , hal ini dapat di lihat pada masa sebelumnya adanya perubahan Undang-Undang Dasar melahirkan
10 Ibib Hal 20-2211 Dr.Soedjono Dirdjosisworo,Sh,Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta,PT.raja Grafindo persada, 2008 Hal.163-164
Lembaga baru bagi sistim pemerintahan indonesia yang kita kenal sebagai Lembaga Perwakilan,
lembaga perwakilan yang di maksud adalah Dewan Perwakilan Daerah.
Hal ini dapat di lihat dalam amanat undang –undang dasar negara republik indonesia tahun
1945 pada pasal 22C dan 22D . dengan rumusan sebagai berikut :
BAB VIIA
Dewan Perwakilan Daerah
Pasal 22C
(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah di pilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
(2) Anggota perwakilan daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumalah seluruh
anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat .
(3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun .
(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di atur dengan Undang-
Undang.
Dari amanat Undang-undang dasar di atas maka sangat jelas bahwa untuk menjadi anggota
Dewan Perwakilan Daerah sangatlah tidak mudah, menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah harus
berasal dari provinsi yang mengutusnya, di samping itu hal yang perlu di perhatiakan di dalam
menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah proses seleksi menjadi anggota dewan perwakilan
daerah sangatlah sulit karena setiap calon anggota dewan perwakilan daerah harus mampu meraup
suara terbanyak dan di seleksi di luar partai politik sehingga dapat di katakan bahwa untuk menjadi
anggota dewan perwakilan tidaklah mudah. Selain itu pasal yang mengatur tentang Dewan Perwakilan
Daerah dapat di lihat pada pasal sebagai berikut :
Pasal 22D
(1) Dewan Perwakilan dapat mengajukan kepada Dewan perwakilan rakyat rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah , pembentukan
dan pemekaran serta pengabungan daerah , pengelolaansumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainya, serta yang berkaitan dengan perlimpahan keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakakilan daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah , pembentukan dan pemekaran serta
pengabungan daerah , pengelolaansumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya, serta
yang berkaitan dengan perlimpahan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas Rancangan undang-undang angaran
pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak,pendidikan dan agama .
(3) Dewan Perwakilan Daerah melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai : Otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan pengabungan, hubungan pusat
dan daerah pengololaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya, pelaksanaan
angaran pendapatan dan belanja negara, pajak , pendidikan , dan agama , serta menyampaikan
hasil pengawasanya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk
di tindaklanjuti.
(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat di berhentikan dari jabatanya, yang syarat –syarat
dan tata caranya di atur dalam undang-undang.12
Dari uraian di atas maka dengan Adanya amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang mengakomodir dan mengatur tentang lembaga perwakilan dalam hal ini
adalah Dewan Perwakilan Daerah atau yang di singkat dengan DPD maka ini merupakan angin segar
di dalam sisitim lembaga perwakilan artinya adanaya cita untuk dapat melakukan perubahan yang
mengatur tentang kepentingan pusat dan daerah sehingga semua urusan daerah dapat di jalankan
dengan baik.
Di samping itu adanya semangat pembentukan dewan perwakilan semata-mata di maksudkan
untuk mewujudakan check and belance antar lembaga perwakilan sehingga Dewan Perwakilan
Daerah saling mengawasi dan mengimbanggi dalam urusan-urusan yang menyangkut tentang
kebijakan daerah, yang pada prinsipnya di maksudkan agar setiap urusan daerah dapat mudah di
laksanakan dengan baik,
Dewan perwakilan Daerah memiliki peranan yang sangat penting di dalam sistim
ketatanegaraan, adanya kedudukan sebagai lembaga perwakilan yang berasal dari berbagai daerah
sehingga hal ini di maksudkan untuk dapat memberikan warna baru di dalam sistim lembaga
perwakilan yang secara tidak langsung memiliki kedudukan sederajat dengan Dewan Perwakilan
Rakyat, adanya kewenangan yang di berikan dan di jamin oleh konstitusi seharusnya Dewan
Perwakilan Daerah mampu menjadi sebuah lembaga yang ideal di dalam menjalani tugas dan tangung
jawab DPD, misalnya mampu mengakomodir kepentingan rakyat dan daerah di dalam perumusan
kebijakan nasional, mampu memperjuangkan hak-haj rajyat dan daerah sesuai dengan apa yang di
jamin di dalam konstitusi.
Sehingga melalui perubahan Undang-undag dasar negara republik indonesia tahun 1945
melahirkan sebuah lembaga baru dalam struktur ketatanegaraan indonesia , yakni Dewan Perwakilan
Daerah.dengan kehadiran DPD dalam sisitim perwakilan indonesia , DPR harusnya di dukung dan di
perkuat oleh DPD , di mana DPR sebagai lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham politik
rakyat sebagai pemegang kedaulatan , sedangkan DPD merupakan Lembaga untuk meningkatkan
agresi dan akomodasi kepentingan daerah-daerah serta keanekaragaman aspirasi daerah dalam
perumusan kebijakan nasional yang brkaitan dengan negara dan daerah- daerah , selain itu untuk
mencapai percepatan demokrasi , pembangunana dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang
untuk mewujudkan kesejahtraan rakyat. maka dengan adanya DPD akan memberikan sebuah sistim
check and belance artinya sistim saling mengawasi dan mengimbangi antar cabang kekuasaan negara
12 Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,atau yang di singkat dengan UUD NRI Tahun 1945, Bab VII A Dewan Perwakilan Daerah Pasal 22C,22D.
dan antar lembaga legislatif sendiri di dalam sistim ketatanegaraan, tetapi realita yang terjadi di dalam
perkembangan sistim lembaga perwakilan dalam hal ini DPD justru kewenangan dan fungsi DPD
sebagai penyalur keanekaragaman aspirasi daerah tidak dapat di jalankan seutuhnya hal ini di
sebababkan adanya kewenangan dan fungsi DPD yang masih sangat lemah di dalam bidang legislasi ,
anggaran, pengawasan ,dan pertimbangan, Dari uraian di atas maka penulis melakukan penilitian
dengan judul “ IUS CONSTITUENDUM KEWENANGAN DAN FUNGSI DPD MELALUI
AMANDEMEN KE V UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945’’
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kewenangan dan fungsi DPD Hasil amandemen Ke IV Tahun 1999-2002
2. Bagaimana Ius Constituendum kewenangan dan fungsi melalui amandemen ke V.
1.3 Tujuan Penilitian
1. Untuk Mengetahui dan menganalisis kewenangan dan Fungsi DPD hasil amandemen ke
IV tahun 1999-2002.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis Ius Constituendum Kewenangan dan fungsi DPD
melalui amandemen ke V.
1.4 Manfaat Penilitian
Gambaran mengenai tujuan- tujuan di atas, dapat di simpulkan bahwapenilitian ini di
harapakan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
1. Secara teoritis penilitian ini bermanfaat sebagai bahan pemikiran yang dapat di jadikan
sebagai sumber referensi atau evaluasi mengenai kewenangan dan fungsi DPD hasil
amandemen ke IV tahun 1999-2002.
2. Secara praktis penilitian ini bermanfaat sebagai bahan informasi dan pengembangan ilmu
pengetahuan bagi peniliti di bidang hukum, mahasiswa dan berbagai pihak yang melakukan
penilitian menyangkut Ius Constituendum kewenangan dan fungsi DPD terhadap gagasan
amandemen ke V Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia .
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Lembaga Negara
Lembaga negara bukan merupakan sebuah konsep yang secara terminologis
memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam kepustakaan Inggris, lembaga negara disebut
dengan menggunakan istilah political institution, sedangkan dalam terminologi bahasa
Belanda terdapat istilah staat organen.13 Di Indonesia, dikenal beberapa istilah yaitu: lembaga
negara, badan negara, organ negara dan alat pelengkap negara yang tak jarang istilah itu
saling dipertukarkan satu sama lain.
Dalam hal peristilahan Jimly mengemukakan bahwa istilah lembaga, organ, badan,
dan alat perlengkapan itu seringkali dianggap identik dan karena itu sering saling
dipertukarkan. Akan tetapi, satu sama lain sebenarnya dapat dan memang perlu dibedakan,
sehingga tidak membingungkan. Untuk memahaminya secara tepat, maka perlu mengetahui
persis apa yang dimaksud dengan kewenangan dan fungsi. Sebagai contoh, Jimly
mengemukakan misalnya di dalam Dewan Perwakilan Rakyat ada badan kehormatan, tetapi
di dalam Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dapat dibentuk Dewan Kehormatan.
Artinya, yang mana yang lebih luas dan yang mana yang lebih sempit dari istilah dewan,
badan, dan lembaga sangat tergantung konteks pengertian yang dimaksud di dalamnya. Yang
penting untuk dibedakan apakah lembaga atau badan itu merupakan lembaga yang dibentuk
oleh dan untuk negara atau oleh dan untuk masyarakat.14
13 Firmansyah Arifin, et.al., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, (Jakarta; Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2005), hlm. 29.
14 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara pasca Reformasi (Jakarta; Setjen dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm. 31-32.
Dalam Kamus Hukum, yang ditulis oleh Andi Hamzah15, lembaga negara diartikan
sebagai badan atau organisasi kenegaraan. Sedangkan dalam kamus Dictionary of Law,
Institution diartikan sebagai (1) an organisation or society set up for particular purpose
(sebuah organisasi atau perkumpulan yang dibentuk untuk tujuan tertentu), dan (2) building
for a special purpose (bangunan yang dibentuk untuk tujuan tertentu).16
Menurut Hans Kelsen, bahwa siapapun yang menjalankan fungsi yang ditetapkan oleh
tatanan hukum merupakan sebuah organ. Lebih lanjut dikatakan bahwa parlemen yang
menetapkan undang-undang dan warga negara yang memilih para wakilnya melalui
pemilihan umumnya sama-sama merupakan organ dalam arti luas. Demikian pula hakim
yang mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan hukuman tersebut
di lembaga pemasyarakatan, juga merupakan organ negara.17 pendek kata, dalam pengertian
yang luas ini organ negara itu identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan
tertentu dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan publik atau
pejabat umum (public offices) dan pejabat publik (publik officials).18
Selain itu, Hans Kelsen juga mengemukakan adanya pengertian organ negara dalam
arti yang sempit, yaitu pengertian organ dalam arti materil. Individu dikatakan organ negara
hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum yang tertentu.19
Secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga negara atau alat-alat kelengkapan
negara selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan
secara aktual dijelaskan oleh Sri Soemantri, lembaga-lembaga itu hanya membentuk suatu
15 Andi Hamzah, Kamus Hukum, dikutip dalam Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen..., op.cit., hlm. 53.
16 P.H. Collin, Dictionary of Law, dikutip dalam Gunawan A. Tauda, ibid.17 Dikutip dalam Jimly Asshiddiqie, Perkembangan..., op.cit., hlm. 32.18 Ibid.19 Ibid., hlm. 32.
kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan
fungsi negara, yang ia istilahkan sebagai actual governmental mechanism.20
Dalam setiap pembicaraan tentang organisasi negara, terdapat dua unsur pokok yang
saling berkaitan, yaitu organ, dan functie. Organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan
functie adalah isinya. Organ adalah bentuknya, sedangkan functie adalah gerakan wadah itu
sesuai maksud pembentukannya.
Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-
organ yang dimaksud ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebut
secara eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ negara yang disebut baik
namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih
rendah.
Jika kita menelisik pada teori klasik, yaitu trias politica yang dikemukakan oleh
Montesquieu bahwa tercermin ada tiga lembaga kekuasaan, yaitu lembaga legislatif
(pembentuk hukum atau undang-undang negara), lembaga eksekutif (penerapan hukum sipil),
dan lembaga yudikatif (pelaksana sistem peradilan). Namun oleh Jimly Asshiddiqie21
dikatakan bahwa teori trias politica yang diidealkan oleh Montesquie ini jelas tidak relevan
lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi
tersebut hanya berurusan secara ekslusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan
tersebut. Kenyataan dewasa menunjukan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak
mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling
mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances.
2.2. Demokrasi dan kedaulatan rakyat
Banyaknya negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi meski dengan
definisi dan kriteria masing-masing negara, namun harus diakui sampai sekarang istilah
demokrasi itu sudah menjadi bahasa umum yang menunjuk kepada pengertian sistem politik
20 Sri Soemantri, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, dikutip dalam Gunawan A. Tauda, Komisi Negara Independen..., op.cit., hlm. 54.
21 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi..., op.cit., hlm 32-33.
yang diidealkan dimana-mana. Padahal dulunya, pada zaman Yunani kuno dari mana istilah
demokrasi itu pada awalnya berasal, istilah demokrasi memiliki konatasi yang buruk.
Demokrasi (demos+cratos atau demos+kratien) dibayangkan orang sebagai pemerintahan
oleh semua orang yang merupakan kebalikan dari konsep pemerintahan oleh satu orang
(autocracy). Baik otokrasi maupun demokrasi menurut pengertian umum di zaman yunani
kuno sama-sama buruknya. Oleh karena itu yang di idealkan adalah plutokrasi (pluto+cracy),
yaitu pemerintahan oleh banyak orang, bukan hanya dikendalikan oleh satu orang, tetapi
banyaknya orang itu tidak berarti semua orang ikut memerintah, sehingga keadaan menjadi
kacau dan tidak terkendali.22
Kedaulatan rakyat (popular sovereignty) dimaksudkan kekuasaan rakyat sebagai
imbangan terhadap kekuasaan penguasa tunggal atau yang berkuasa. Dalam hal ini ditarik
garis pemisah yang tajam antara rakyat yang diperintah disatu pihak dan penguasa-penguasa
masyarakat sebagai pemerintahan di lain pihak. Yang benar berdaulat dalam hubungan ini
ialah rakyat yang diperintah.23
Dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai
pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.24 Rakyatlah yang
menentukan corak dan cara pemerintahan diselenggarakan. Rakyatlah yang menentukan
tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan pemerintahannya itu. Dalam praktek, sering
dijumpai bahwa di negara yang jumlah penduduknya sedikit dan ukuran wilayahnya tidak
begitu luas saja pun, kedaulatan rakyat itu tidak dapat berjalan secara penuh. Apalagi di
negara-negara yang jumlah penduduknya banyak dan dengan wilayah yang sangat luas, dapat
dikatakan tidak mungkin untuk menghimpun pendapat rakyat seorang demi seorang dalam
menentukan jalannya suatu pemerintahan. Lagipula, dalam masyarakat modern seperti
sekarang ini, tingkat kecerdasan warga yang tidak merata dan dengan tingkat spesialisasi
antar sektor pekerjaan yang cenderung berkembang semakin tajam. Akibatnya kedaulatan
rakyat tidak dapat dilakukan secara murni. Kompleksitas keadaan menghendaki bahwa
kedaulatan rakyat itu dilaksanakan dengan melalui sistem perwakilan (representation).
Di indonesia sendiri, di dalam UUD 1945 menganut ajaran kedaulatan rakyat
sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945, khususnya setelah 22 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi... op.,cit. Hlm. 116.23 Muh. Kusnardi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara, dikutip dalam Ni’matul Huda, Ilmu Negara, cetakan
ketiga, ( Jakarta, Rajawali Pers, 2011), hlm. 188. 24 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cetakan kelima
(Jakarta; Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI, 1983), hlm. 328.
dilakukannya perubahan UUD 1945 di tahun 2001 (1-9 November 2001), perubahan terjadi
secara mendasar pada pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yang sebelumnya berbunyi “Kedaulatan di
tangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, berubah
menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar”. Rumusan baru ini justru merupakan penjabaran langsung dari alinea ke IV
pembukaan UUD 1945. Rumusan yang sebelumnya yang menyatakan bahwa kedaulatan ada
di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR justru telah mereduksi paham
kedaulatan rakyat itu menjadi kedaulatan negara.
Perubahan ketentuan tersebut oleh Ni’matul Huda dikatakan telah mengalihkan
negara Indonesia dari sistem MPR kepada sistem kedaulatan rakyat yang diatur melalui UUD
1945. UUD 1945-lah yang menjadi dasar dan rujukan utama dalam menjalankan kedaulatan
rakyat. UUD-lah yang menentukan bagian-bagian dari kedaulatan rakyat yang
pelaksanaannya diserahkan kepada badan/lembaga yang keberadaan, wewenang, tugas, dan
fungsinya ditentukan oleh UUD 1945 itu, serta bagian mana yang langsung dilaksanakan oleh
rakyat, artinya tidak diserahkan kepada badan/lembaga manapun, dimana langsung
dilaksanakan oleh rakyat itu sendiri melalui pemilu25.
Kedaulatan rakyat indonesia yang diselenggarakan secara langsung dan melalui
sistem perwakilan. Secara langsung kedaulatan rakyat diwujudkan dalam tiga cabang
kekuasaan yang tercermin dalam Mejelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai pemegang kewenangan legislatif,
Presiden dan wakil Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi sebagai pelakasana kekuasaan kehakiman. Dalam menentukan
kebijakan pokok pemerintah dan mengatur ketentuan-ketentuan hukum berupa Undang-
undang Dasar dan Undang-Undang (fungsi Legislasi), serta dalam menjalankan fungsi
pengawasan (fungsi kontrol) terhadap jalannya pemerintahan, pelembagaan kedaulatan rakyat
itu disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu melalui Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah. Di daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota, pelembagaan kedaulatan
rakyat itu juga disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
25Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, cetakan keenam ( Jakarta, Rajawali Pers, 2012), hlm. 97.
Secara konseptual sistem perwakilan sekalipun terdapat perbedaan makna dalam
sistem perwakilan antara delegates dan trustees, dimana delegates itu dimaknai bahwa para
wakil semata-mata hanya mengikuti apa yang menjadi pilihan dari konstituen, sedangkan
trustees dimaknai bahwa para wakil mencoba bertindak atas nama para wakil sebagaimana
para wakil itu memahami permasalahan yang dihadapi oleh konstituen26. Sekalipun terjadi
perdebatan makna tersebut, Kacung Marijan menyatakan tidak perlu membenturkannya, dan
memperbincangkan perwakilan, sebenarnya bukan sekedar pada relasi antara kelompok wakil
dan terwakil. Paling tidak ada empat hal ketika memperbincangkan konsep perwakilan.
Pertama, adalah adanya sekelompok orang yang mewakili, yang termanifestasi ke dalam
bentuk lembaga perwakilan, organisasi, gerakan, dan lembaga-lembaga negara yang lain.
Kedua, adanya sekelompok orang yang diwakili, seperti konstituen dan klien. Ketiga, adanya
sesuatu yang diwakili seperti pendapat, kepentingan, dan perspektif. Terakhir adalah konteks
politik di mana perwakilan itu berlangsung27.
Dengan kata lain bahwa, di Indonesia yang juga menganut sistem perwakilan yang
diantaranya adalah MPR, DPR, DPD merupakan pelembagaan kedaulatan rakyat, sebab
kedaulatan rakyat tersebut tidaklah dapat dilaksanakan secara murni bukan saja di Indonesia,
tapi juga di negara-negara lainnya. Karena kedaulatan itu tidak dapat dilaksanakan secara
langsung oleh rakyat, maka diperlukan MPR, DPR, dan DPD yang merupakan jelmaan dari
seluruh rakyat Indonesia. Tetapi, proses penentuan aturan dalam membentuk dan mengisi
lembaga perwakilan bukanlah sebuah proses yang semata-mata bersifat formal-legalistik atau
yuridis, melainkan merupakan proses politik di mana kepentingan merupakan penentu utama.
Sebab bicara tentang politik selalu berhubungan dengan kepentingan (interest).
2.3 Pentinganya Sistem Bikameral dalam sistem Perwakilan Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa sistem bikameral sering dikaitkan dengan keberadaan
dua kamar dalam parlemen. Dalam sistem bikameral, adanya dua kamar tersebut
dimaksudkan agar dapat menjalankan mekanisme check and balance dalam parlemen
Indonesia.
Hal itu tidak dapat terlepas dari tuntutan reformasi. Salah satu gagasan perubahan
yang ketika itu ditawarkan adalah usulan sistem dan mekanisme check and balances di dalam
sistem politik dan ketatanegaraan. Usulan ini menjadi penting artinya karena selama era orde
sebelumnya dapat diakatakan bahwa check and balances itu tidak ada. Dalam kaitan dengan
26 Kacung Marijan, op.,cit. Hlm. 39.27 Ibid., hlm. 41
itu pula diajukan gagasan perubahan terhadap sistem parlemen dari supremasi MPR yang
terdiri dari tiga unsur (DPR, Utusan Daerah, Utusan Golongan) menjadi parlemen sistem
bikameral (dua kamar). Dengan diadopsinya sistem bikameral juga, yang mengharuskan
adanya dua kamar yang memiliki kekuatan yang seimbang, hal itu pula menegaskan
kepentingan yang diwakili oleh kamar-kamar tersebut. jika DPR yang merupakan kamar yang
satu mewakili partai politik yang dipilih langsung oleh rakyat, maka DPD yang merupakan
kamar lainnya konteksnya mewakili Daerah yang dipilih secara langsung pula.
Perlu di ingat bahwa dalam pengertian konsep sistem bikameral, dua-duanya
mempunyai hak kewajiban, tanggung jawab dan peranan, serta fungsi yang sama. Dua-
duanya berhak mengusahakan dan menginisiatifkan Undang-Undang28. Atau paling tidak
kamar yang lain memiliki hak veto terhadap kamar lain jika kamar tersebut tersebut
membentuk UU yang tidak sesuai dengan harapan dari kamar lainnya.
Lebih jauh Maswadi Rauf mengatakan pentingnya sistem strong bikameral ini, sebab
bagi Indonesia bicameralisme yang strong ini sebuah kebutuhan yang sangat mendesak,
mengingat beragamnya masyarakat kita dengan berbagai macam kepentingan sehingga
bicameralisme yang kuat ini dimaksudkan untuk bisa memperjuangkan lebih baik aspirasi
kepentingan yang berkembang di berbagai daerah, sehingga bicameralisme yang kuat ini bisa
dianggap merupakan bagian dari usaha untuk memperkuat negara kesauan.29 Oleh karenya
perlunya memberikan kewenangan yang besar terhadap DPD, karena DPD merupakan
lembaga yang diperuntukan bagi penyaluran kepentingan daerah. Sebab selama orde baru
telah terjadi kekecewaan daerah terhadap pengelolaan hubungan pusat dan daerah. Oleh
sebab itu demi kepentingan daerah, DPD harus diberikan kewenangan yang setara dengan
DPR.
28 Pernyataan Afan Gaffar dalam rapat PAH 1 BP MPR ke 13. Lihat B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia.(Yogyakarta; Universitas Atma Jaya, 2009), hlm. 186.
29 Ibid., hlm. 190
BAB III
METODE PENILITIAN
3.1. Tipologi dan Pendekatan Penilitian