Uas sosiologi soal lalu lintas

Embed Size (px)

Citation preview

  1. 1. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM TAHUN 2014 UJIAN AKHIR SEMESTER TEMA : Penegakan Hukum di Indonesia (kaitannya dengan UU no.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ) NAMA : Brigita P. Manohara NIM : 1406509901 MATA KULIAH : Sosiologi Hukum JURUSAN : Hukum Pidana No. Kehadiran : 3 (tiga) PENGAJAR : Dr. Jufrina Rizal, SH, MA Dr. Ratih Lestarini, SH, MH
  2. 2. BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tingginya angka kecelakaan dan pelanggara aturan oleh para pengguna kendaraan di jalan raya, membuat pemerintah putar otak untuk mengatasi hal ini. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan menerapkan Undang-Undang Baru yang isinya memuat sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggar aturan di dalamnya. Adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 yang akhirnya disahkan oleh pemerintah untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992. Dalam Undang-Undang yang baru ini, sanksi pidana yang dikenakan berupa kurungan dan denda yang nominalnya lebih besar jika dibandingkan dengan Undang-Undang yang asa. Sesuai denagn namanya, maka Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ini berlaku bagi seluruh pengguna jalan darat, yakni jalan raya. Beberapa pasal yang mengalami perubahan sanksi menjadi lebih berat di Undang-Undang yang baru antara lain1 : Penggunaan helm SNI, selain demi keselamatan, penggunaannya juga diatur dalam Pasal 57 ayat (2 )dan Pasal 106 ayat (8). Jika melanggarnya, maka kurungan paling lama satu bulan dan denda paling banyak Rp.250.000,- akan diberikan sesuai pasal 291. Sanksi yang sama juga diberikan kepada penumpang yang dibonceng tanpa helm SNI. Sementara bagi pengendara kendaraan roda empat atau lebih, kini anda wajib mengenakan sabuk keselamatan dan emlengkapi kendaran anda dengan ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda, helm dan rompi pemantul cahaya serta perlengkapan P3K. Jika hal itu tidak anda lakukan maka pidana kurungan paling lama satu bulan dan denda Rp. 250.000,- akan segera menanti anda sesuai dengan Pasal 278. Terkait konsentrasi dalam berkendara, pada Undang-Undang yang baru khususnya pasal 283, mereka yang mengemudikan kendaraannya secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh keadaan yang 1 Tak Mau Disemprit? Kenali UU Lalu Lintas Baru, http:// nasional.kompas.com, diakses pada minggu 7 Desember 2014 pukul 11.30 wib.
  3. 3. mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi akan diancam pidana kurungan tiga bulan dan denda paling banyak Rp. 750.000,-. Anda yang suka memodifikasi kendaraan, tampaknya mesti memperhatikan pasal 106 mengenai persyaratan teknis dab laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah,b alat pemantul cahaya, alat pengukur kecelapat, knalpot dan kedalaman alur ban , bagi kendaraan roda dua. Sementara untuk kendaraan roda empat ditambahkan kaca depan, spakbor, bumber, penggandengan, penempelan, dan penghapus kaca. Jika itu tidak anda perhatikan maka bukan tidak mungkin Pasal 285 dalam Undang-Undang tersebut akan mengancam anda dengan pidana kurungan maksimal satu bulan bagi kendaraan roda dua dan dua bulan bagi kendaraan roda empat, atau pidana denda maksimal Rp. 250.000,- untuk kendaraan roda dua dan denda maksimal Rp. 500.000,- bagi kendaraan roda empat. Ketika akan bepergian ada baiknya memperhatikan kelengkapan berkendara seperti SIM, dan STNK. Karena jika lupa membawa STNK atau tanda coba kendaraan baru, Pasal 288 akan mengancam anda dengan pidana denda Rp.500.000,- atau kurungan paling lama dua bulan. Sedangkan jika lupa membawa SIM atau SIM dianggap tidak sah, dalam pasal yang sama mengancam pidana kurungan maksimal satu bulan dan/atau denda paling banyak Rp.250.000,-. Jika biasanya pengemudi atau penumpang jarang menggunakan sabuk pengaman, maka sejak Undang-Undang ini disahkan hal tersebut menjadi suatu kewajiban. Karena jika hal itu tidak dilakukan maka Pasal 289 bisa membuat kita haru membayar denda maksimal Rp.250.000,- atau menjalani pidana kurungan selama satu bulan. Selain aturan diatas, masih ada beberapa aturan seperti wajib menyalakan lampu utama di siang hari bagi kendaraan roda dua, wajib menggunakan lampu isyarat ketika akan membelok atau berputar arah, belok kiri tidak boleh langsung, tidak boleh balapan di jalanan, wajib menyesuaikan kecepatan dengan jalur yang digunakan serta aturan lainnya. Jika hal yang telah diatur itu dilanggar, maka ancaman pidana denda yang bervariasi hingga Rp. 3juta atau kurungan paling lama satu tahun bisa kita rasakan.
  4. 4. Dalam rangka menerapkan Undang-Undang Lalu Lintas dan menekan angka pelanggaran terutama jelang Natal dan Tahun Baru, Polri mengadakan Operasi Zebra 2014 di seluruh wilayah di Indonesia mulai tanggal 26 November hingga 9 Desember silam. Menariknya dalam kegiatan ini, tak hanya ratusan namun ribuan orang terjaring operasi setiap harinya karena pelanggaran beragam. Merujuk tempo.co dalam sepekan operasi digelar di ibukota Jakarta sebanyak 80.960 kendaraan kena tilang sementara 14.343 pengemudi mendapat teguran. Angka yang mencengangkan dengan pelanggar dominan adalah sepeda motor dengan angka 58.012, kemudian terbesar kedua berikutnya yaitu kendaraan umum2 . Jumlah yang sangat signifikan mengingkat aturan yang ada sudah diberlakukan sejak 2009 silam, namun ternyata masih saja ada pelanggar yang jumlahnya tergolong besar. Yang menjadi ironi berikutnya adalah ketika operasi ini berlangsung terjadi 112 kecelakaan yang menyebabkan 136 korban dimana 24 diantaranya meninggal dunia. Kebanyakan korban diduga karena ingin menghindari operasi. Dari gambaran kondisi yang ada, penulis akan menjabarkan mengenai penegakan hukum kaitannya dengan Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tentunya dengan merujuk pada penyelenggaraan Operasi Zebra yang digelar selama dua pekan kemarin. Penegakan yang coba dijelaskan nantinya adalah bukan hanya semata-mata dilihat dari peraturan, yaitu sebagai kelanjutan logis atau proses logis diciptakannya peraturan hukum, tetapi juga sebagai keterlibatan manusia dalam proses bekerjanya hukum3 . Merujuk hal tersebut, maka penulis akan menunjukkan perlunya peran publik dalam hal ini masyarakat untuk berperan aktif mensosialisasikan, mengawasi dan menjalankan aturan yang ada agar penegakan hukum dapat berlangsung efektif dan mencapai tujuan yang diharapkan dalam pembuatannya. Satjipto Raharjo dalam salah satu tulisannya mengatakan bahwa4 : perilaku manusia merupakan simbol dari berhukum secara alami dan otentik.... Berhukum secara tekstual dapat ambruk (collapse), tetapi degan berhukum alami, otentik dan melalui perilaku itu. Pada hemat saya berhukum melalui perilaku itulah yang akan menyelamatkan keteraturan, ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat BAB II 2 Sepekan Operasi Zebra, 80 Ribu Kendaraan Ditilang, http://tempo.co, diakses pada minggu 7 Desember 2014 pukul 11.35 wib 3 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Sosiologi Hukum Perkembangan Merode dan Pilihan Masalah, Yogyakarta : Genta Publishing, Cetakan kedua tahun 2010, hal 190-191 4 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2010, hal 51
  5. 5. PEMBAHASAN 2.1 APA ITU HUKUM ? Hukum adalah sisten yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan5 . Hingga saat ini belum ada definisi hukum yang bisa diterima oleh semua pihak, namun akan dibahas selanjutnya bagaimana sosiologi melihat hukum itu sendiri melalui penjelasan pakarnya. Salah satu Pakar Sosiologi tanah air, Prof. Satjipto Raharjo menjelaskan hukum sebagai teks dan perilaku. Dalam tulisannya ia menjelaskan hukum sebagai skema merupakan hukum sebagaimana kita jumpai dalam teks atau perundang- undangan atau hukum yang dirumuskan denagn sengaja secara rasional. Oleh Satjipto lebih lanjut disampaikan hukum sudah mengalami pergeseran bentuk, dari yang muncul secara serta-merta (interactional law) dan yang dibuat serta diundangkan (legislated law)6 . Ketika hukum sudah berbentuk sebuah teks maka bahasa menjadi hal yang utama, sehingga hukum dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang berbentuk kebahasaan atau sebuah language game7 . Dalam upaya untuk membuat hukum tertulis tidaklah sada dengan memindahkan realitas secara sempurna ke dalam teks, sehingga terjadi padanan yang sempurna. Membuat hukum tertulis dalam sosiologi hukum lebih kepada menerjemahkan kenyataan dengan kalimat8 . Di negara modern seperti sekarang ini, ada sejumlah karakteristik yang dalam hukum modern, yang diungkapkan Unger dalam tulisan satjipto, yakni9 : Bersifat publik dikaitkan dengan kekuasaan terpusat Bersifat positif, merupakan kaidah yang dipositifkan Bersifat umum, untuk semua golongan dalam masyarakat Bersifat otonom secara substantif, institusional, metodologis, dan okupasional. Sementara Nonet seperti dikutip dalam tulisan yang sama mennggolongkan hukum menurut sifatnya, yaitu hukum koersif, hukum otono dan hukum responsif. Disampaikan bahwa ketidaksiapan strukturan dan administratif bisa membuat hukum bersifat koersif meskipun negara adalah negara hukum. Tetapi karena langkanya 5 Hukum, http://id.m.wikipedia.org, diakses pada minggu 7 Desember 2014 pukul 11.45 wib 6 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 7 7 Ibid 8 Ibid hal 8 9 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 48
  6. 6. tenaga terampil dan administrasi yang baik mebuat hukum masih lebih banyak harus bertumpupada penggunaan paksaan (coercion)10 . Mengutip Van den Bergh, Satjipto memaparkan adanya dua tipe hukum yakni geleerd recht yaitu hukum yang membutuhkan pembelajaran terlebih dahulu dan sedangkan yang berikutnya adalah ongeleerd recht yakni hukum yang tidak membutuhkan pembelajaran11 . Salah satu sifat penting dari hukum tertulis adalah pada kekakuannya (lex dura sed tamen scripta- hukum itu keras/kaku tetapi begitulah sifat tertulis) sehingga begitu hukum dituliskan dan menjadi dokumen tertulis maka perhatian bergeser kepada pengunaannya sebagai dokumen tertulis12 . Puchta dan Von savigny seperti dikutip oleh Satjipto mengatakan bahwa hukum itu tidak dibuat secara sengaja tetapi muncul dari dalam masyarakat sendiri, maka hukum itu akan selalu ada selama masyarakat masih ada dana kan lenyap seiring dengan punahnya masyarakat13 . Hukum modern yang identik dengan pencatatan atau tertulis memang tidak dapat menghindari proses penciptaannya secara rasional tetapi tidak dapat dipungkiri ada kaidah hukum alami yang tidak dapat tergantikan secara sempurna, sehingga gukum tertulis ini kerap dikenal dengan sebutan sebagai hukum yang menggantikan hukum asli atau surrogate. Rasionalisme hukum dengan cara membuatnya dalam bentuk tertulis tanpa memperhatikan perilaku manusia mendapat pertentangan dari Eugen Ehrlich yang menolak hukum sebagai produk artifisial. Menurutnya hukum yang ada di masyarakat bukan dalam produk legislasi, produk pengadilan dan produk ilmu14 . Oliver Wendell Holmes juga menolak hal ini dengan mengatakan bahwa hakikat hukum adalah pengalaman manusia. Hukum terlalu kompleks untuk diwadahi dalam skema-skema rasional yang disebutnya a book of mathematics15 . Kaitannya dengan hukum alami yang telah disebutkan sebelumnya adalah hukum yang hidup di masyarakat, ini erat dengan perilaku manusia dalam masyarakat tertentu. Hukum sebagai teks itu tidak akan bisa hidup jika tanpa perantaraan manusia. Karena pada dasarnya hukum tidak hannya sebagai peraturan (rule) tetapi juga 10 Ibid 11 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 9 12 Ibid 13 Ibid hal 12-13 14 Ibid hal 47 15 Ibid
  7. 7. perilaku (behaviour). Dalam kepustakaan sosiologi hukum, perantaan manusia inilah yang disebutkan sebagai mobilisasi hukum. Hukum dalam pembuatannya memiliki tujuan yaitu untuk menjaga agar individu di masyarakat berinteraksi secara bebas tanpa adanya ganguan; intervensi oleh siapa pun, termasuk negara16 . Hukum modern memiliki semua kelengkapan dan perlengkapan untuk dapat bertindak secara jauh lebih keras daripada hukum kuno, mulai dari badan legislatif, yudikatif, eksekutif, polisi, penjara dan sebagainya17 Dari penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa hukum dengan definisi yang masih belum jelas, secara sosiologi dapat dijelaskan sebagai aturan tertulis yang dalam pembuatannya berkaitan erat dengan manusia sebagai perantaraan agar hukum itu dapat hidup. Ia dibuat untuk memberikan kebahagiaan pada masyarakat agar dapat berinteraksi secara bebas tanpa gangguan dan intervensi siapa pun melalui kelengkapan dan perlengkapan yang dimilikinya.. Hukum yang bersifat umum jika hanya sebuah teks maka dia hanya diam tetapi ketika manusia mulai melaksanakannya maka hukum dikatakan hidup. Mengutip apa yang disampaikan oleh Satjipto18 : hukum sebagai perilaku muncul secara serta merta atau spontan lewat interaksi antara para anggota masyarakat sendiri. Disitu masyarakat sendirilah merupakan pabrik yang memproduksi hukum yaitu melalui perilaku tersebut. 2.2 HUKUM DAN KETERTIBAN SERTA KEPATUHAN Hukum sebagai produk dari suatu masyarakat, ia akan cenderung dinamis dan bergejolak mengikuti perkembangan dari masyarakat dimana hukum itu berada. Dalam pelaksanaannya ada pasang-surut dari hukum itu sendiri. Kadang berjalan dengan tenang, tertib tetapi pada masa tertentu ada ketidaktertiban yang terjadi. Meski hukum dibuat dalam rangka untuk menimbulkan ketertiban dalam suatu masyarakat namun dalam keberhasilan yang dihasilkan terkandung bibit kegagalan. Pada saat keberadaan bibit itu disadari, munculah ungkapan ketertiban muncul dari ketidaktertiban (orders out from chaos)19 . Cara berhukum yang selama ini hanya teks books sudah selayaknya dirubah seperti apa yang diusulkan oleh Nonet dan Selznick. Keduanya beranggapan bajwa cara berhukum yang berkutat pada kepastian, sistem, logika, dan peraturan 16 Ibid hal 37 17 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 53 18 Ibid hal 16 19 Ibid hal 55
  8. 8. sepantasnya berubah agar hukum bisa berfungsi dengan baik. Ini dapat terwujud jika tembok pemisah antara hukum dan sosial dihilangkan. Karena kedua tokoh tersebut menegaskan bahwa hukum harus menyerap dan mendapat pencerahan dari ilmu sosial, inilah yang disebutnya the isolation of legal order. Tokoh lain yang juga membahas mengenai hal ini adalah David M. Trubek yang menjelaskan ketidakberhasilan hukum lebih daripada mesti diruntuhkannya tembok pemisah antara hukum dan sosial, karena dia lebih ekstrem lagi ketika melontarkan apakah hukum sudah mati? ketika melihat fenomena hukum tidak bekerja dengan baik dalam masyarakat yang nampak dari ketidakteraturan. Satjipto dalam tulisannya menyatakan20 : hukum memang tidak pernah bekerja secara lurus-lurus saja, melainkan penuh dengan gejolak. Ia tidak berjalan pada asas rule-making, sebagai cerminan dari keteraturan, melainkan juga rule breaking. Terkait dengan penyesuaian hukum dengan kondisi sosial masyarakat, ada kepatuhan dan ketidakpatuhan yang menimbulkan ketertiban dan sebaliknya. Kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap hukum serta hubungannya dengan sanksi atau rasa takut terhadap sanksi dikatakan saling relevant atau memiliki suatu pertalian yang jelas, apabila aturan hukum dengan sanksi atau dengan perlengkapannya untuk melakukan tindakan paksaan (polisi, hakim, jaksa atau sebagainya) sudah diketahui atau dipahami arti dan kegunaannya oleh individu atau masyarakat yang terlibat dalam hukum itu21 . Perilaku atau keteraturan dapat dijelaskan sebagai substansi atau hakikat dari suatu fakta, ettapi di dalam batasan logika (logica terms) tidak dapat dikatakan bahwa perilaku (yaitu fakta) merupakan bentukan yang berasal dari hukum(yaitu norma) karena fakta dan norma merupakan benukan yang bersifat mutually non logic(mutually non logic derivative)22 . Sistem Hukum pada penerapannya memilki sebutan yang tidak menyenangkan yaitu sebagai dualisme di dalam hukum dimana ada kontradiksi antara hukum dalam teori dan hukum dalam praktek, antara validitas dan efektifitas hukum, serta antara norma dan fakta. Kontradiksi ini tentunya sering membingungkan tak hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi mereka yang akan mempelajarinya. Tetapi yang jelas melalui sosiologi hal ini coba diuraikan dengan menjelaskan bahwa sosiologi hukum 20 Ibid hal 57 21 Adam Podgorecki, Christopher J. Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum (Sociological Approaches to Law), diterjemahkan oleh Rnc. Widyaningsih SH, G. Kartasapoetra, Jakarta : Bina Aksara, 1987, hal 256 22 Ibid hal 257
  9. 9. melibatkan diri dengan fenomena sosial yang sangat komplek agar dapat dipahami tidak hanya dengan jalan searah saja23 . Sehingga ketidakteraturan yang ada merupakan bibit dari keteraturan yang timbul akibat dari pemerapan hukum tertulis yang ada di masyarakat. Memang ada disparitas yang cenderung kontradiktif natara teori hukum dan prakteknya, validitas dan efektifitas hukum, namun hal tersebut coba dijelaskan oleh sosiologi hukum sebagai fenomena yang berkaitan erat dengan perilaku manusia sebagai mobilisator hukum. Undang-undang No. 20 tahun 2009 dibuat dalam rangka untuk menciptakan keteraturan di jalan. Keteraturan ini hadir akibat adanya kepatuhan masyarakat pada aturan yang telah dibuat oleh legislatif bekerja sama dengan eksekutif. Namun faknyanya justru tingkat ketidakteraturan yang ada tergolong tinggi. Fenomena ini erat kaitannya dengan manusia sebagai perantara yang tampaknya belum hidup dengan Undang-undang ini meski peraturan sudah ada sejak lima tahun yang lalu. Satjipto dalam bukunya menegaskan24 : hukum dan ketertiban memiliki karakteristiknya masing-masing yang berujung pada perbedaan antara keduanya. .... Hukumlah yang menentukan kapan seorang itu ada; kapan seseorang memiliki sesuatu; bagaimana cara memilikinya dan setesnya. Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa tanpa hukum segara sesuatu menjadi tidak ada. Berbeda dengan hukum, ketertiban memiliki sifat sosiologis, yang lebih melihat realitas dalam masyarakat. 2.3 HUKUM DAN ATURAN Hukum dan peraturan memiliki interaksi yang dekat. Hal ini terlihat jelas dari adanya perubahan sosial yang terjadi dengan sangat cepat. Tetapi hal ini perlu kajian lebih jauh lagi mengingat belum ada kejelasan menegnai kedekatan diantara keduanya. Tetapi yang dapat ditunjukkan saat ini adalah meningkatnya penggunaan hukum sebagai alat legitimasi bagi ketenangan, dari interfensi yang terjadi akhir-akhir iin dalam area pribadi dari hubungan sosial bahwa pada tingkatan mikro telah memberikan efek yang dengan diam-diam meruntuhkan harapan-harapan sejalan dengan aturan yang sudah inheren atau mapan yang berasosiasi dengan situasi ini25 . Hukum oleh Prof Jimly Asshiddiqie dijelaskan sebagasi produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum dengan hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibere), atau keharusan 23 Ibid hal 259-260 24 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 232 25 Ibid hal 274 - 275
  10. 10. (obligatere), ataupun kebolehan (premittere)26 . Keputusan yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract) biasanya bersifat mengatur (regeling) sedangkan yang bersifat individual dan konkret dapat merupakan keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking) ataupun keputusan yang berupa vonnis hakim yang lazim disebuut putusan27 . Produk pengaturan (regeling) dapat berupa statute dan enachment. Statute diklasifikasikan menjadi lima kelompok, yaitu28 : General : berlaku bagi segenap warga Local : hanya berlaku terbatas pada daerah tertentu Personal : berlaku untuk individu tertentu meskipun saat ini jarang ditemui Public : one of which judicial notice is taken Private : required to be pleaded and proved by the party seeking to take the advantage of it. Lebih lanjut, dijelaskan adanya empat kategori peraturan tertulis yang mendapat perhatian penting dalam tulisan Prof. Jimly, yakni : Peraturan perundangan yang bersifat umum yaitu berlaku umum bagi siapa saja dan bersifat abstrak karena tidak menunjuk kepada hal, peristiwa, atau kasus konkret yang sudah ada sebelum peraturan diterapkan. Peraturan perundangan yang bersifat khusus karena kekhususan subjek yang diaturnya Peraturan perundang-undangn yang bersifat khusus karena kekhususan wilayah berlakunya Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena daya ikat materinya. Dari penjelasan yang ada diatas, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 merupakan Undang-Undang yang bersifat umum dan berlaku bagi siapa saja di negara Indonesia. Dalam pelaksanaannya, Undang-undang tidak dipandag sebagai kegiatan yang steril dan mutlak otonom karena dalam pembuatannya ada tujuan sosial, memiliki dampak sosial dan tentunya juga mengalami intervensi sosial29 . Lebih lanjut disampaikan, Undang-undang merupakan suatu seni, yaitu seni untuk menemukan cara 26 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Perihal Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006, hal 9 27 Ibid hal 10 28 Ibid hal 17 29 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 137
  11. 11. guna mewujudkan The true good community (Jeremy Bentham). Ukuran serta format yang digunakan dalam menyusun Undang-Undang buakn lagi semata-mata rasionalistas, logika, prosedur dan yang sebangsanya, emlainkan entri sosiologis. Ke dalam entri itu dimasukkan masalah30 : Asal usul sosial Undang-Undang Mengungkap motif di belakang pembuatan Undang-Undang Melihat pembuatan Undang-Undang sebagai endapan konflik kekuatan dan kepentingan dalam masyarakatnya Susunan dari badan pembuat Undnag-Undang dan implikasi sosiologisnya Membahas hubungan antara kualitas dan jumlah Undang-undang yang dibuat dnegan lingkungan sosial dalam suatu periode tertentu Sasaran perilaku yang ingin diatur atau diubah Akibat baik yang dikehendaki maupun yang tidak . Agar produk Undang-Undang yang diberlakukan bisa hidup dimasyarakat, Pound menyarankan agat lebih memperhatikan efektivitas undang-undang daripada membicarakan legalitas, dan struktur logisnya semata31 . Kehadiran hukum sebagai suatu instrumen kebijaksanaan (policy) dari suatu badan tententu kerap dianggap sebagai instrumentasi dari putusan atau keinginan politik yang oleh Trubek disampaikan bahwa hukum adalah satu purposive human action32 . Oleh Schuyt, undang-undang merupakan pelembagaan konflik sosial. Dengan memindahkan konflik ke dalam Undang-Undang maka Undang-undang juga sekaligus sebagai sarana penyelesaian konflik. Jika dikaitkan dengan Undang-Undang No. 22 tahun 2009, perlu diperhatikan efektivitasnya mengingat masih ada banyak pelanggaran yang ditemukan ketika dilakukan oleh operasi zebra. Sementara sebagai sebuah kebijaksanaan, undang-undang ini memang merupakan pelembagaan sosial dari masalah lalu lintas yang terjadi. Diharapkan memang keberadaan Undang-Undang ini bisa menyelesaikan banyak masalah di jalan raya, khususnya mengenai kecelakaan yang angkanya dari tahun ke tahun masih tinggi. Apalagi angka kematian di jalan akibat kecelakaan juga tergolong tinggi, sehingga timbul pernyataan maut mengintai di jalanan. 30 Ibid 31 Ibid hal 138 32 Ibid hal 139
  12. 12. Undang-undang dapat dilihat sebagai dokumen yang menuntun proses dan perilaku dalam masyarakat. Kelebihan ini disebut legalitas dan legitimasi yang biasanya hanya diberikan kepada undang-undang sebagai dokumen yang dihasilkan kekuasaan legislatif sebagai satu-satunya badan dalam negara modern yang diberi kewenangan membuat undang-undang33 . Dalam optik sosiologis, badan pembuat Undang-Undang tidak lagi dilihat sebagai pabrik Undang-Undang atau hukum tetapi medan dimana berlaga berbagai kepentingan dan kekuatan yang ada dalam masyarakat34 . Pembuat undang-undang modern bukansekadar merumuskan materi secara baku dengan semua rambu yuridisnya tetapi membuat putusan politik terlebih dahulu. Dalam merumuskan putusan itulah konfigurasi kekuatan dalam badan pembuat Undang-undang menjadi penting. Pembuatan Undang-Undang sebagai suatu purposeful human action mempunyai tujuan atau sasaran yang ingin dicapai melalui pekerjaan tersebut35 . Undang-Undang No.22 tahun 2009 yang merupakan pembaharuan dari Undang-undang lalu lintas yang ada sebelumnya memiliki tujuan untuk lebi menertibkan masyarakat ketika berada di jalan raya. Banyaknya pelanggaran yang terjadi menjadi bahasan utama dalam pembuatannya. Hal ini nampak dari detail isi undang-undang yang dibuat demi mencapai tujuan tertib berlalu lintas dan zero accident di jalan raya. Undang-undang memiliki aspek statis dan dinamis, sebagai tatanan dinamis merupakan proses yang bergerak secara dinamis dan cair (fluid)36 . Dicontohkan ada undang-undang lalu lintas yang merupakan generasi terdahulu dari Undang-undang no.20 tahun 2009. Undang-undang no.14 tahun 1992 tergolong nyaris lengkap namun pelaksanaannya kurang memuaskan. Karena masih banyak pelanggaran yang terjadi di jalanan, meski ada undang-undang lalu lintas tetap berjalan terus. Melihat kondisi ini, Satjipto mengatakan37 : undang-undang memiliki dinamika sendiri yang tidak selalu bisa dibayangkan dan diantisipasi pembuatnya sendiri. ia menjadi seperti itu karena sejak dilepaskan ke masyarakat yang bermain bukan lagi otoritas pembuat hukum , tetapi interaksi antara hukum dan kondisi nyata yang 33 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 126 34 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 141 35 Ibid hal 143 36 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 128 37 Ibid hal 128
  13. 13. tersedia. Juga dengan masyarakat atau lebih tepat kekuatan dalam masyarakat 2.4 HUKUM DAN INSTITUSI Institusi adalah suatu sistem hubungan sosial yang menciptakan keteraturan dengan mendefinisikan dan membagikan peran yang saling berhubungan di dalam institusi. Pihak yang ada dalam institusi nebenoati dan menjalankan perannya masing- masing sehingga mengetahui apa yang diharapkan orang darinya dan apa yag dapat diharapkannya dari orang lain38 . Institusi tersusun dari nilai, kaidah, peran dan organisasi. Dijelaskan kemudian bahwa terdapat pertingkatan yang terdiri 39 : tingkat makro : masyarakat terdiri dari berbagai institusi yang melayani kebutuhan masyarakat seperti ekonomi, politik dan hukum; tingkat meso : susunan internal dari masing-msing institusi pada tingkat makro, institusi hukum di tingkat ii antara lain pengadilan, advokat dan kepolisian; dan tingkat mikro : bicara mengeai bekerjanya peran dalam suatu institusi hukum. Guna membuat institusi menjadi mapan, maka dilakukanlah upaya yang disebut institusionalisasi. Sayangnya dalam negara berkembang pada umumnya ada persoalan tentang bagaimana membuat hukum memiliki otonomi dan otoritas yang cukup agar mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Sejak kepolisian merupakan sebuah institusi, maka ada masalah pembagian dan susunan peran dalan institusi kepolisian. Ada pula masalah pengorganisasian kepolisian ketika menjalankan fungsinya. Sesuai dengan ketentuan yang ada, polisi memiliki fungsi menjamin dan menjaga ketentraman masyarakat. Jika dikaitkan dnegan polisi sebagai institusi hukum, maka lembaga ini mengemban fungsi untuk mengontrol masyarakat agar tercipta ketertiban dan keteraturan, tentunya ini dilakukan dengan menegakkan hukum. Meningkatnya beban pekerjaan pada institusi kepolisian berdampak pula pada kinerja pengadilan. Hal inilah yang menurut Lawrence Friedman seperti dikutip oleh Satjipto Raharjo, dilakukan sejumlah kebijaksanaan, antara lain40 : ekspansi sistem peradilan penanganan secara rutin dan masa terhadap sengketan di bidang komersil 38 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 82-83 39 Ibid 40 Ibid hal 88
  14. 14. penangaan masalah yang sama di luar pengadilan penggunaan dan perluasan penggunaan kebijaksanaan demi penyelesaian yang bertujuan untuk mengendalikan arus masuk perkara pengembangan mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien di luar sistem peradilan yang berlaku pengundangan peraturan atau pengembangan peraturan oleh pengadilan dengan tujuan menimbulkan efek agar pihak yang ingin berperkara menjadi enggan dan tidak menggunakan jasa penagdilan efek tersebut juga ingin dicapai dengan cara meningkatkan ongkos perkara sedemikian tingginya sehingga cukup untuk menurunkan masuknya arus perkara. Dalam upaya untuk melaksanakan tugasnya, institusi hukum dalam hal ini polisi, pengadilan, dan advokat memiliki peran tersendiri sesuai dengan fungsi masing- masing. Tentunya perlu sinergi antara seluruh elemen sistem peradilan ini agar tercipta kemapanan institusi yang berdampak pada ketertiban dan keteraturan di masyarakat sesuai dengan cita-cita hukum. Kaitannya dengan Undang-Undang No.22 tahun 2009, institusi polisi dan pengadilan memiliki peran yang sangat besar karena polisi yang menegakkan hukum di masyarakat dan kemudian berkas perkaranya langsung disidangkan ke pengadilan guna menjatuhkan sanksi pidana yang sesuai dengan pelanggaran yang dilakuakn dalam Undang-Undang terkait. Tetapi memang perlu dilakukan sejumlah kebijakan baru seperti menerapkan operasi zebra ini secara berkala tidak kemudian hanya sekali dalam jangka waktu panjang. Hal ini dilakukan guna mencegah terjadinya beban pekerjaan yang berlebih pada pengadilan. Karena dalam pengamatan yang lebih dekat, Satjipto menjelaskan ada sejumlah pekerjaan yang dilakukan oleh institusi pengadilan, ia menyatakan : pengadilan merupakan institusi yang melakukan banyak pekerjaan daripada sekedar mengadili (adjudication) saja. Disini dapat dikemukakan bahwa mengadilan menjadi tempat untuk pemrosesan administratif; record keeping ; upacara perubahan status; penyelesaian dengan negosiasi; mediasi; arbitrasi; menjadi medan pertempuran (welfare).41 2.5 PENEGAKAN HUKUM (kaitannya dengan UU no.22 tahun 2009) Penegakan hukum buka merupakan suatu tindakan yang pasti yaitu menerapkan hukum terhadap suatu kejadian, yang dapat diibaratkan menarik garis lurus 41 Ibid hal 190
  15. 15. antara dua titik. Menegakkan hukum merupakan aktivitas subsumsi otomat dimana hukum dilihat sebagai variabel yang jelas dan pasti, namun dalam kenyataannya ia mengandung pilihan dan kemingkinan oleh karena dihadapkan pada kenyataan yang kompleks. Satjipto menggolongkan penegakan hukum ke dalam dua kategori besar, yakni : kelanjutan logis atau proses logis diciptakannya peraturan hukum sebagai keterlibatan manusia dalam proses bekerjanya hukum. Secara dominan, penegakan hukum atau yang dikenal denagn law enforcement merupakan suatu proses logis yang mengikuti kehadiran suatu peraturan hukum. Penegakan hukum yang dituliskan dalam peraturan dan sistem kerap diterima dengan tidak kritis, kreatif dan inovatif. Kultur penegakan hukum seperti ini oleh Satjipro Raharjo dinilai tidak benar42 . Terkait hal ini, dijelaskan ada sejumlah alasan mengapa hal itu tidak benar, yaitu43 : hukum yang dijalankan sebenarnya berwatak liberal dan memiliki kultur liberal. Ini menyebabkan keuntungan bagi sejumlah kecil orang dan penderitaan banyak orang guna mengatasi ketidakseimbangan dan ketidakadilan bsa dilakukan langkah tegas (affirmative action). Langkah tegas ini dapat dilakukan dengan menciptakan kultur penegakan hukum yang disebut kultur kolektif. Dalam kultur ini unsur penegakan hukum tidak lagi berjalan individual tetapi didorong bersatu dengan tujuan tunggal mencapai kesejahteraan masyarakat dengan hukum yang berkeadilan. Penegakan hukum dilakukan oleh institusi yang diberi kewenangan untuk itu yakni polisi, jaksa, pejabat pemerintahan lainnya. Sejak hukum memiliki kandungan perintah dan pemaksaan maka hukum membutuhkan banuan untuk mewujudkan perintah. Karena ia tidak akan ada artinya jika perintahnya tidak dilaksanakan. Oleh Donald Black seperti dikuti Satjipto Raharjo, dimensi keterlibatan manusia dalam hukum dinamakan mobilisasi hukum44 . penegakan hukum melibatkan effort, memeras energi, pikiran dan keberanian menjelajahi lorong lain an secara progresif menguji batas kemampuan hukum. Hukum bukan hanya teks, dibaliknya menyimpan kekuatan45 . 42 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 133 43 Ibid hal 134 44 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 192 45 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 173
  16. 16. Kekuatan besar dibelakang hukum adalah negara. Menurut tatanan UUD RI 1945, untuk menjamin penegakan hukum yang berkeadilan, terdapat sejumlah sendi konstitusional yang wajib diperhatikan, yakni 46 : sendi negara berdasarkan konstitusi dan negara berdasarkan hukum dari sisi penegakan hukum negara berdasarkan konstitusi dan negara berdasarkan atas hukum menghendaki suatu kekuasaan peradilan yang merdeka lepas dari pengaruh pemerintah atau kekuasaan lain yang akan menyimpangkan hakim dari kewajiban menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran. Sendi kerakyatan dan demokrasi Rakyat dapat secara terbuka menilai sejauh mana penerapan dan penegakan hukum sesuai atau menyimpang dari tata nilai, pandangan dan kebutuhan masyarakat. Penilaian akan mejamin dinamika hukum, baik dalam penyesuaian penerapan maupun pembaharuan. Sendi kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Sendi penyelenggaraan pemerintahan menurut asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik Pemerintah berperan besar untuk memberdayakan masyarakat dalam segala lapangan kehidupan. Pemerintah memiliki fungsi dalam melayani masyarakat, ini dikaitkan pula dengan fungsi pengawasan atau kendali (pemerintah sebagai penajga keamanan dan ketertiban) Dalam proses untuk menjaga keamanan dan ketertiban, pemerintah memiliki alat kelengkapan yakni kepolisian. Guna menjalankan tugasnya untuk memobilisasi hukum, oleh Donald Black disampaikan bahwa polisi dipengaruhi variabel 47 : Intelegensia hukum Adanya peraturan Diskresi Perubahan hukum Tentunya bukan pekerjaan mudah, dengan jumlah yang terbatas, polisi mengamankan masyarakat yang perbandingannya makin besar. Hal ini kembali mengingatkan kita akan pentingnya peran publik dalam upaya penegakan hukum. Kesadaran ini didorong 46 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000, hal 153 47 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 193
  17. 17. oleh kesadaran akan kemampuan hukum yang terbatas dan masyarakat yang ternyata menyimpan kekuatan otonom untuk melindungi dan menata diri sendiri48 . Memang bukan suatu pekerjaan mudah untuk membuat masyarakat berpartisipasi dalam hal ini. Tetapi hal ini patut segera dilakukan mengingat kekuatan otonom masyarakat memiliki pengaruh besar dalam memulihkan hukum sebagai institusi yang bermartabat dan membuat bangsa ini sejahtera serta bahagia. Undang-Undang No.20 tahun 2009 yang ditegakkan dalam operasi zebra 2014 memang merupaka upaya untuk membangun kesadaran masyarakat mengenai hukum sebagai aturan yang dibuat demi kesejahteraan bersama. Ini adalah salah satu cara membangun kepatuhan hukum di masyarakat. Penjelasan yang diberikan ketika operasi ini berlangsung ialah contoh nyata. Dalam bukunya, Satjipto menjelaskan teori kepatuhan sebagai berikut : kepatuhan merupakan fungsi dari peraturan, mengabaikan kompleksitas tersebut diatas, khususnya dalam hubungan dengan masyarakat yang menjadi sasaran dari pengaturan. Masyarakat tidak merupakan entitas homogen, melainkan sebaliknya BAB III KESIMPULAN Masalah lalu lintas merupakan salah satu masalah yang menjadi pekerjaan rumah besar bagi negara ini. Bagaimana tidak, meski sudah dibuat aturan jelas dan telah diundangkan namun masih saja ada banyak pelanggarn yang terjadi. Undang-undang No.20 tahun 2009 yang dibuat guna menekan angka kecelakaan yang menimbulkan banyak korban jiwa sepertinya belum hidup dimasyarakat. Hal ini nampak dari banyaknya pelanggaran yang terjadi ketika operasi zebra 2014 dilaksanakan serentak di tanah air selama dua pekan kemarin. 48 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 209
  18. 18. Kegiatan operasi zebra yang dilaksanakan merupakan salah satu upaya penegakan hukum demi menciptakan ketertiban di masyarakat khususnya dalam berlalu lintas. Polisi sebagai institusi penegak hukum bekerja sama dengan TNI mencoba membumikan aturan ini agar masyarakat bisa hidup bersama dengan aturan yang ada. Bukan suatu hal mudah untuk membuat hukum tertulis ini berinteraksi dengan masyarakat, sehingga perlu dilakukan kegiatan serupa secara rutin agar masyarakat kenal dan melaksanakannya bukan lagi atas dasar ketakutan akibat daya paksa sanksi pidana yang ada didalamnya, namun lebih kepada kesadaran hukum demi ketertiban dan keselamatan bersama. Pada hakikatnya seperti apa yang disampaikan oleh Van Doorn dan dikutip Satjipto Raharjo bahwa : hukum adalah skema yang dibuat untuk menata perilaku manusia, tetapi manusia cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan baginya. Ini disebabkan faktor pengalaman, pendidikan, tradisi dan lain-lain yang mempengaruhi dan membentuk perilakunya Donald Black menegaskan dalam pernyataan yang juga dikutip oleh Satjipto Raharjo : hukum sebagai teks itu diam dan hanya melalui perantaraan manusialah ia menjadi hidup DAFTAR PUSTAKA Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Sosiologi Hukum Perkembangan Merode dan Pilihan Masalah, Yogyakarta : Genta Publishing, Cetakan kedua tahun 2010 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin, Yogyakarta : Genta Publishing, Cetakan kedua tahun 2009 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2010 Adam Podgorecki, Christopher J. Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum (Sociological Approaches to Law), diterjemahkan oleh Rnc. Widyaningsih SH, G. Kartasapoetra, Jakarta : Bina Aksara, 1987, hal 256
  19. 19. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Perihal Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia , Jakarta : Konstitusi Press, 2006 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000 Tak Mau Disemprit? Kenali UU Lalu Lintas Baru, http:// nasional.kompas.com, diakses pada minggu 7 Desember 2014 pukul 11.30 wib Sepekan Operasi Zebra, 80 Ribu Kendaraan Ditilang, http://tempo.co, diakses pada minggu 7 Desember 2014 pukul 11.35 wib Hukum, http://id.m.wikipedia.org, diakses pada minggu 7 Desember 2014 pukul 11.45 wib UU no.22 tahn 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, http://hubdat.dephub.go.id, diakses pada minggu 7 Desember 2014 pukul 12.00 wib