1. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM MAGISTER ILMU
HUKUM TAHUN 2014 UJIAN AKHIR SEMESTER TEMA : Penegakan Hukum di
Indonesia (kaitannya dengan UU no.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan ) NAMA : Brigita P. Manohara NIM : 1406509901
MATA KULIAH : Sosiologi Hukum JURUSAN : Hukum Pidana No. Kehadiran
: 3 (tiga) PENGAJAR : Dr. Jufrina Rizal, SH, MA Dr. Ratih
Lestarini, SH, MH
2. BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tingginya angka
kecelakaan dan pelanggara aturan oleh para pengguna kendaraan di
jalan raya, membuat pemerintah putar otak untuk mengatasi hal ini.
Salah satu cara yang digunakan adalah dengan menerapkan
Undang-Undang Baru yang isinya memuat sanksi pidana bagi siapa saja
yang melanggar aturan di dalamnya. Adalah Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 yang akhirnya disahkan oleh pemerintah untuk
menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992. Dalam Undang-Undang
yang baru ini, sanksi pidana yang dikenakan berupa kurungan dan
denda yang nominalnya lebih besar jika dibandingkan dengan
Undang-Undang yang asa. Sesuai denagn namanya, maka Undang-Undang
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ini berlaku bagi seluruh
pengguna jalan darat, yakni jalan raya. Beberapa pasal yang
mengalami perubahan sanksi menjadi lebih berat di Undang-Undang
yang baru antara lain1 : Penggunaan helm SNI, selain demi
keselamatan, penggunaannya juga diatur dalam Pasal 57 ayat (2 )dan
Pasal 106 ayat (8). Jika melanggarnya, maka kurungan paling lama
satu bulan dan denda paling banyak Rp.250.000,- akan diberikan
sesuai pasal 291. Sanksi yang sama juga diberikan kepada penumpang
yang dibonceng tanpa helm SNI. Sementara bagi pengendara kendaraan
roda empat atau lebih, kini anda wajib mengenakan sabuk keselamatan
dan emlengkapi kendaran anda dengan ban cadangan, segitiga
pengaman, dongkrak, pembuka roda, helm dan rompi pemantul cahaya
serta perlengkapan P3K. Jika hal itu tidak anda lakukan maka pidana
kurungan paling lama satu bulan dan denda Rp. 250.000,- akan segera
menanti anda sesuai dengan Pasal 278. Terkait konsentrasi dalam
berkendara, pada Undang-Undang yang baru khususnya pasal 283,
mereka yang mengemudikan kendaraannya secara tidak wajar dan
melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh keadaan yang 1 Tak
Mau Disemprit? Kenali UU Lalu Lintas Baru, http://
nasional.kompas.com, diakses pada minggu 7 Desember 2014 pukul
11.30 wib.
3. mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi akan
diancam pidana kurungan tiga bulan dan denda paling banyak Rp.
750.000,-. Anda yang suka memodifikasi kendaraan, tampaknya mesti
memperhatikan pasal 106 mengenai persyaratan teknis dab laik jalan
yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu
penunjuk arah,b alat pemantul cahaya, alat pengukur kecelapat,
knalpot dan kedalaman alur ban , bagi kendaraan roda dua. Sementara
untuk kendaraan roda empat ditambahkan kaca depan, spakbor, bumber,
penggandengan, penempelan, dan penghapus kaca. Jika itu tidak anda
perhatikan maka bukan tidak mungkin Pasal 285 dalam Undang-Undang
tersebut akan mengancam anda dengan pidana kurungan maksimal satu
bulan bagi kendaraan roda dua dan dua bulan bagi kendaraan roda
empat, atau pidana denda maksimal Rp. 250.000,- untuk kendaraan
roda dua dan denda maksimal Rp. 500.000,- bagi kendaraan roda
empat. Ketika akan bepergian ada baiknya memperhatikan kelengkapan
berkendara seperti SIM, dan STNK. Karena jika lupa membawa STNK
atau tanda coba kendaraan baru, Pasal 288 akan mengancam anda
dengan pidana denda Rp.500.000,- atau kurungan paling lama dua
bulan. Sedangkan jika lupa membawa SIM atau SIM dianggap tidak sah,
dalam pasal yang sama mengancam pidana kurungan maksimal satu bulan
dan/atau denda paling banyak Rp.250.000,-. Jika biasanya pengemudi
atau penumpang jarang menggunakan sabuk pengaman, maka sejak
Undang-Undang ini disahkan hal tersebut menjadi suatu kewajiban.
Karena jika hal itu tidak dilakukan maka Pasal 289 bisa membuat
kita haru membayar denda maksimal Rp.250.000,- atau menjalani
pidana kurungan selama satu bulan. Selain aturan diatas, masih ada
beberapa aturan seperti wajib menyalakan lampu utama di siang hari
bagi kendaraan roda dua, wajib menggunakan lampu isyarat ketika
akan membelok atau berputar arah, belok kiri tidak boleh langsung,
tidak boleh balapan di jalanan, wajib menyesuaikan kecepatan dengan
jalur yang digunakan serta aturan lainnya. Jika hal yang telah
diatur itu dilanggar, maka ancaman pidana denda yang bervariasi
hingga Rp. 3juta atau kurungan paling lama satu tahun bisa kita
rasakan.
4. Dalam rangka menerapkan Undang-Undang Lalu Lintas dan
menekan angka pelanggaran terutama jelang Natal dan Tahun Baru,
Polri mengadakan Operasi Zebra 2014 di seluruh wilayah di Indonesia
mulai tanggal 26 November hingga 9 Desember silam. Menariknya dalam
kegiatan ini, tak hanya ratusan namun ribuan orang terjaring
operasi setiap harinya karena pelanggaran beragam. Merujuk tempo.co
dalam sepekan operasi digelar di ibukota Jakarta sebanyak 80.960
kendaraan kena tilang sementara 14.343 pengemudi mendapat teguran.
Angka yang mencengangkan dengan pelanggar dominan adalah sepeda
motor dengan angka 58.012, kemudian terbesar kedua berikutnya yaitu
kendaraan umum2 . Jumlah yang sangat signifikan mengingkat aturan
yang ada sudah diberlakukan sejak 2009 silam, namun ternyata masih
saja ada pelanggar yang jumlahnya tergolong besar. Yang menjadi
ironi berikutnya adalah ketika operasi ini berlangsung terjadi 112
kecelakaan yang menyebabkan 136 korban dimana 24 diantaranya
meninggal dunia. Kebanyakan korban diduga karena ingin menghindari
operasi. Dari gambaran kondisi yang ada, penulis akan menjabarkan
mengenai penegakan hukum kaitannya dengan Undang-Undang No.22 tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tentunya dengan
merujuk pada penyelenggaraan Operasi Zebra yang digelar selama dua
pekan kemarin. Penegakan yang coba dijelaskan nantinya adalah bukan
hanya semata-mata dilihat dari peraturan, yaitu sebagai kelanjutan
logis atau proses logis diciptakannya peraturan hukum, tetapi juga
sebagai keterlibatan manusia dalam proses bekerjanya hukum3 .
Merujuk hal tersebut, maka penulis akan menunjukkan perlunya peran
publik dalam hal ini masyarakat untuk berperan aktif
mensosialisasikan, mengawasi dan menjalankan aturan yang ada agar
penegakan hukum dapat berlangsung efektif dan mencapai tujuan yang
diharapkan dalam pembuatannya. Satjipto Raharjo dalam salah satu
tulisannya mengatakan bahwa4 : perilaku manusia merupakan simbol
dari berhukum secara alami dan otentik.... Berhukum secara tekstual
dapat ambruk (collapse), tetapi degan berhukum alami, otentik dan
melalui perilaku itu. Pada hemat saya berhukum melalui perilaku
itulah yang akan menyelamatkan keteraturan, ketertiban dan
keteraturan dalam masyarakat BAB II 2 Sepekan Operasi Zebra, 80
Ribu Kendaraan Ditilang, http://tempo.co, diakses pada minggu 7
Desember 2014 pukul 11.35 wib 3 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH,
Sosiologi Hukum Perkembangan Merode dan Pilihan Masalah, Yogyakarta
: Genta Publishing, Cetakan kedua tahun 2010, hal 190-191 4 Prof.
Dr. Satjipto Raharjo, SH, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta:
Kompas, 2010, hal 51
5. PEMBAHASAN 2.1 APA ITU HUKUM ? Hukum adalah sisten yang
terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan5
. Hingga saat ini belum ada definisi hukum yang bisa diterima oleh
semua pihak, namun akan dibahas selanjutnya bagaimana sosiologi
melihat hukum itu sendiri melalui penjelasan pakarnya. Salah satu
Pakar Sosiologi tanah air, Prof. Satjipto Raharjo menjelaskan hukum
sebagai teks dan perilaku. Dalam tulisannya ia menjelaskan hukum
sebagai skema merupakan hukum sebagaimana kita jumpai dalam teks
atau perundang- undangan atau hukum yang dirumuskan denagn sengaja
secara rasional. Oleh Satjipto lebih lanjut disampaikan hukum sudah
mengalami pergeseran bentuk, dari yang muncul secara serta-merta
(interactional law) dan yang dibuat serta diundangkan (legislated
law)6 . Ketika hukum sudah berbentuk sebuah teks maka bahasa
menjadi hal yang utama, sehingga hukum dapat didefinisikan sebagai
sesuatu yang berbentuk kebahasaan atau sebuah language game7 .
Dalam upaya untuk membuat hukum tertulis tidaklah sada dengan
memindahkan realitas secara sempurna ke dalam teks, sehingga
terjadi padanan yang sempurna. Membuat hukum tertulis dalam
sosiologi hukum lebih kepada menerjemahkan kenyataan dengan
kalimat8 . Di negara modern seperti sekarang ini, ada sejumlah
karakteristik yang dalam hukum modern, yang diungkapkan Unger dalam
tulisan satjipto, yakni9 : Bersifat publik dikaitkan dengan
kekuasaan terpusat Bersifat positif, merupakan kaidah yang
dipositifkan Bersifat umum, untuk semua golongan dalam masyarakat
Bersifat otonom secara substantif, institusional, metodologis, dan
okupasional. Sementara Nonet seperti dikutip dalam tulisan yang
sama mennggolongkan hukum menurut sifatnya, yaitu hukum koersif,
hukum otono dan hukum responsif. Disampaikan bahwa ketidaksiapan
strukturan dan administratif bisa membuat hukum bersifat koersif
meskipun negara adalah negara hukum. Tetapi karena langkanya 5
Hukum, http://id.m.wikipedia.org, diakses pada minggu 7 Desember
2014 pukul 11.45 wib 6 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 7
7 Ibid 8 Ibid hal 8 9 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal
48
6. tenaga terampil dan administrasi yang baik mebuat hukum
masih lebih banyak harus bertumpupada penggunaan paksaan
(coercion)10 . Mengutip Van den Bergh, Satjipto memaparkan adanya
dua tipe hukum yakni geleerd recht yaitu hukum yang membutuhkan
pembelajaran terlebih dahulu dan sedangkan yang berikutnya adalah
ongeleerd recht yakni hukum yang tidak membutuhkan pembelajaran11 .
Salah satu sifat penting dari hukum tertulis adalah pada
kekakuannya (lex dura sed tamen scripta- hukum itu keras/kaku
tetapi begitulah sifat tertulis) sehingga begitu hukum dituliskan
dan menjadi dokumen tertulis maka perhatian bergeser kepada
pengunaannya sebagai dokumen tertulis12 . Puchta dan Von savigny
seperti dikutip oleh Satjipto mengatakan bahwa hukum itu tidak
dibuat secara sengaja tetapi muncul dari dalam masyarakat sendiri,
maka hukum itu akan selalu ada selama masyarakat masih ada dana kan
lenyap seiring dengan punahnya masyarakat13 . Hukum modern yang
identik dengan pencatatan atau tertulis memang tidak dapat
menghindari proses penciptaannya secara rasional tetapi tidak dapat
dipungkiri ada kaidah hukum alami yang tidak dapat tergantikan
secara sempurna, sehingga gukum tertulis ini kerap dikenal dengan
sebutan sebagai hukum yang menggantikan hukum asli atau surrogate.
Rasionalisme hukum dengan cara membuatnya dalam bentuk tertulis
tanpa memperhatikan perilaku manusia mendapat pertentangan dari
Eugen Ehrlich yang menolak hukum sebagai produk artifisial.
Menurutnya hukum yang ada di masyarakat bukan dalam produk
legislasi, produk pengadilan dan produk ilmu14 . Oliver Wendell
Holmes juga menolak hal ini dengan mengatakan bahwa hakikat hukum
adalah pengalaman manusia. Hukum terlalu kompleks untuk diwadahi
dalam skema-skema rasional yang disebutnya a book of mathematics15
. Kaitannya dengan hukum alami yang telah disebutkan sebelumnya
adalah hukum yang hidup di masyarakat, ini erat dengan perilaku
manusia dalam masyarakat tertentu. Hukum sebagai teks itu tidak
akan bisa hidup jika tanpa perantaraan manusia. Karena pada
dasarnya hukum tidak hannya sebagai peraturan (rule) tetapi juga 10
Ibid 11 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 9 12 Ibid 13
Ibid hal 12-13 14 Ibid hal 47 15 Ibid
7. perilaku (behaviour). Dalam kepustakaan sosiologi hukum,
perantaan manusia inilah yang disebutkan sebagai mobilisasi hukum.
Hukum dalam pembuatannya memiliki tujuan yaitu untuk menjaga agar
individu di masyarakat berinteraksi secara bebas tanpa adanya
ganguan; intervensi oleh siapa pun, termasuk negara16 . Hukum
modern memiliki semua kelengkapan dan perlengkapan untuk dapat
bertindak secara jauh lebih keras daripada hukum kuno, mulai dari
badan legislatif, yudikatif, eksekutif, polisi, penjara dan
sebagainya17 Dari penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa hukum
dengan definisi yang masih belum jelas, secara sosiologi dapat
dijelaskan sebagai aturan tertulis yang dalam pembuatannya
berkaitan erat dengan manusia sebagai perantaraan agar hukum itu
dapat hidup. Ia dibuat untuk memberikan kebahagiaan pada masyarakat
agar dapat berinteraksi secara bebas tanpa gangguan dan intervensi
siapa pun melalui kelengkapan dan perlengkapan yang dimilikinya..
Hukum yang bersifat umum jika hanya sebuah teks maka dia hanya diam
tetapi ketika manusia mulai melaksanakannya maka hukum dikatakan
hidup. Mengutip apa yang disampaikan oleh Satjipto18 : hukum
sebagai perilaku muncul secara serta merta atau spontan lewat
interaksi antara para anggota masyarakat sendiri. Disitu masyarakat
sendirilah merupakan pabrik yang memproduksi hukum yaitu melalui
perilaku tersebut. 2.2 HUKUM DAN KETERTIBAN SERTA KEPATUHAN Hukum
sebagai produk dari suatu masyarakat, ia akan cenderung dinamis dan
bergejolak mengikuti perkembangan dari masyarakat dimana hukum itu
berada. Dalam pelaksanaannya ada pasang-surut dari hukum itu
sendiri. Kadang berjalan dengan tenang, tertib tetapi pada masa
tertentu ada ketidaktertiban yang terjadi. Meski hukum dibuat dalam
rangka untuk menimbulkan ketertiban dalam suatu masyarakat namun
dalam keberhasilan yang dihasilkan terkandung bibit kegagalan. Pada
saat keberadaan bibit itu disadari, munculah ungkapan ketertiban
muncul dari ketidaktertiban (orders out from chaos)19 . Cara
berhukum yang selama ini hanya teks books sudah selayaknya dirubah
seperti apa yang diusulkan oleh Nonet dan Selznick. Keduanya
beranggapan bajwa cara berhukum yang berkutat pada kepastian,
sistem, logika, dan peraturan 16 Ibid hal 37 17 Prof. Dr. Satjipto
Raharjo, SH, Op Cit hal 53 18 Ibid hal 16 19 Ibid hal 55
8. sepantasnya berubah agar hukum bisa berfungsi dengan baik.
Ini dapat terwujud jika tembok pemisah antara hukum dan sosial
dihilangkan. Karena kedua tokoh tersebut menegaskan bahwa hukum
harus menyerap dan mendapat pencerahan dari ilmu sosial, inilah
yang disebutnya the isolation of legal order. Tokoh lain yang juga
membahas mengenai hal ini adalah David M. Trubek yang menjelaskan
ketidakberhasilan hukum lebih daripada mesti diruntuhkannya tembok
pemisah antara hukum dan sosial, karena dia lebih ekstrem lagi
ketika melontarkan apakah hukum sudah mati? ketika melihat fenomena
hukum tidak bekerja dengan baik dalam masyarakat yang nampak dari
ketidakteraturan. Satjipto dalam tulisannya menyatakan20 : hukum
memang tidak pernah bekerja secara lurus-lurus saja, melainkan
penuh dengan gejolak. Ia tidak berjalan pada asas rule-making,
sebagai cerminan dari keteraturan, melainkan juga rule breaking.
Terkait dengan penyesuaian hukum dengan kondisi sosial masyarakat,
ada kepatuhan dan ketidakpatuhan yang menimbulkan ketertiban dan
sebaliknya. Kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap hukum serta
hubungannya dengan sanksi atau rasa takut terhadap sanksi dikatakan
saling relevant atau memiliki suatu pertalian yang jelas, apabila
aturan hukum dengan sanksi atau dengan perlengkapannya untuk
melakukan tindakan paksaan (polisi, hakim, jaksa atau sebagainya)
sudah diketahui atau dipahami arti dan kegunaannya oleh individu
atau masyarakat yang terlibat dalam hukum itu21 . Perilaku atau
keteraturan dapat dijelaskan sebagai substansi atau hakikat dari
suatu fakta, ettapi di dalam batasan logika (logica terms) tidak
dapat dikatakan bahwa perilaku (yaitu fakta) merupakan bentukan
yang berasal dari hukum(yaitu norma) karena fakta dan norma
merupakan benukan yang bersifat mutually non logic(mutually non
logic derivative)22 . Sistem Hukum pada penerapannya memilki
sebutan yang tidak menyenangkan yaitu sebagai dualisme di dalam
hukum dimana ada kontradiksi antara hukum dalam teori dan hukum
dalam praktek, antara validitas dan efektifitas hukum, serta antara
norma dan fakta. Kontradiksi ini tentunya sering membingungkan tak
hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi mereka yang akan
mempelajarinya. Tetapi yang jelas melalui sosiologi hal ini coba
diuraikan dengan menjelaskan bahwa sosiologi hukum 20 Ibid hal 57
21 Adam Podgorecki, Christopher J. Whelan, Pendekatan Sosiologis
Terhadap Hukum (Sociological Approaches to Law), diterjemahkan oleh
Rnc. Widyaningsih SH, G. Kartasapoetra, Jakarta : Bina Aksara,
1987, hal 256 22 Ibid hal 257
9. melibatkan diri dengan fenomena sosial yang sangat komplek
agar dapat dipahami tidak hanya dengan jalan searah saja23 .
Sehingga ketidakteraturan yang ada merupakan bibit dari keteraturan
yang timbul akibat dari pemerapan hukum tertulis yang ada di
masyarakat. Memang ada disparitas yang cenderung kontradiktif
natara teori hukum dan prakteknya, validitas dan efektifitas hukum,
namun hal tersebut coba dijelaskan oleh sosiologi hukum sebagai
fenomena yang berkaitan erat dengan perilaku manusia sebagai
mobilisator hukum. Undang-undang No. 20 tahun 2009 dibuat dalam
rangka untuk menciptakan keteraturan di jalan. Keteraturan ini
hadir akibat adanya kepatuhan masyarakat pada aturan yang telah
dibuat oleh legislatif bekerja sama dengan eksekutif. Namun
faknyanya justru tingkat ketidakteraturan yang ada tergolong
tinggi. Fenomena ini erat kaitannya dengan manusia sebagai
perantara yang tampaknya belum hidup dengan Undang-undang ini meski
peraturan sudah ada sejak lima tahun yang lalu. Satjipto dalam
bukunya menegaskan24 : hukum dan ketertiban memiliki
karakteristiknya masing-masing yang berujung pada perbedaan antara
keduanya. .... Hukumlah yang menentukan kapan seorang itu ada;
kapan seseorang memiliki sesuatu; bagaimana cara memilikinya dan
setesnya. Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa tanpa hukum segara
sesuatu menjadi tidak ada. Berbeda dengan hukum, ketertiban
memiliki sifat sosiologis, yang lebih melihat realitas dalam
masyarakat. 2.3 HUKUM DAN ATURAN Hukum dan peraturan memiliki
interaksi yang dekat. Hal ini terlihat jelas dari adanya perubahan
sosial yang terjadi dengan sangat cepat. Tetapi hal ini perlu
kajian lebih jauh lagi mengingat belum ada kejelasan menegnai
kedekatan diantara keduanya. Tetapi yang dapat ditunjukkan saat ini
adalah meningkatnya penggunaan hukum sebagai alat legitimasi bagi
ketenangan, dari interfensi yang terjadi akhir-akhir iin dalam area
pribadi dari hubungan sosial bahwa pada tingkatan mikro telah
memberikan efek yang dengan diam-diam meruntuhkan harapan-harapan
sejalan dengan aturan yang sudah inheren atau mapan yang
berasosiasi dengan situasi ini25 . Hukum oleh Prof Jimly
Asshiddiqie dijelaskan sebagasi produk pengambilan keputusan yang
ditetapkan oleh fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum
dengan hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibere), atau
keharusan 23 Ibid hal 259-260 24 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op
Cit hal 232 25 Ibid hal 274 - 275
10. (obligatere), ataupun kebolehan (premittere)26 . Keputusan
yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract) biasanya
bersifat mengatur (regeling) sedangkan yang bersifat individual dan
konkret dapat merupakan keputusan yang bersifat atau berisi
penetapan administratif (beschikking) ataupun keputusan yang berupa
vonnis hakim yang lazim disebuut putusan27 . Produk pengaturan
(regeling) dapat berupa statute dan enachment. Statute
diklasifikasikan menjadi lima kelompok, yaitu28 : General : berlaku
bagi segenap warga Local : hanya berlaku terbatas pada daerah
tertentu Personal : berlaku untuk individu tertentu meskipun saat
ini jarang ditemui Public : one of which judicial notice is taken
Private : required to be pleaded and proved by the party seeking to
take the advantage of it. Lebih lanjut, dijelaskan adanya empat
kategori peraturan tertulis yang mendapat perhatian penting dalam
tulisan Prof. Jimly, yakni : Peraturan perundangan yang bersifat
umum yaitu berlaku umum bagi siapa saja dan bersifat abstrak karena
tidak menunjuk kepada hal, peristiwa, atau kasus konkret yang sudah
ada sebelum peraturan diterapkan. Peraturan perundangan yang
bersifat khusus karena kekhususan subjek yang diaturnya Peraturan
perundang-undangn yang bersifat khusus karena kekhususan wilayah
berlakunya Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena
daya ikat materinya. Dari penjelasan yang ada diatas, Undang-Undang
Nomor 22 tahun 2009 merupakan Undang-Undang yang bersifat umum dan
berlaku bagi siapa saja di negara Indonesia. Dalam pelaksanaannya,
Undang-undang tidak dipandag sebagai kegiatan yang steril dan
mutlak otonom karena dalam pembuatannya ada tujuan sosial, memiliki
dampak sosial dan tentunya juga mengalami intervensi sosial29 .
Lebih lanjut disampaikan, Undang-undang merupakan suatu seni, yaitu
seni untuk menemukan cara 26 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH,
Perihal Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006, hal 9 27
Ibid hal 10 28 Ibid hal 17 29 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op
Cit hal 137
11. guna mewujudkan The true good community (Jeremy Bentham).
Ukuran serta format yang digunakan dalam menyusun Undang-Undang
buakn lagi semata-mata rasionalistas, logika, prosedur dan yang
sebangsanya, emlainkan entri sosiologis. Ke dalam entri itu
dimasukkan masalah30 : Asal usul sosial Undang-Undang Mengungkap
motif di belakang pembuatan Undang-Undang Melihat pembuatan
Undang-Undang sebagai endapan konflik kekuatan dan kepentingan
dalam masyarakatnya Susunan dari badan pembuat Undnag-Undang dan
implikasi sosiologisnya Membahas hubungan antara kualitas dan
jumlah Undang-undang yang dibuat dnegan lingkungan sosial dalam
suatu periode tertentu Sasaran perilaku yang ingin diatur atau
diubah Akibat baik yang dikehendaki maupun yang tidak . Agar produk
Undang-Undang yang diberlakukan bisa hidup dimasyarakat, Pound
menyarankan agat lebih memperhatikan efektivitas undang-undang
daripada membicarakan legalitas, dan struktur logisnya semata31 .
Kehadiran hukum sebagai suatu instrumen kebijaksanaan (policy) dari
suatu badan tententu kerap dianggap sebagai instrumentasi dari
putusan atau keinginan politik yang oleh Trubek disampaikan bahwa
hukum adalah satu purposive human action32 . Oleh Schuyt,
undang-undang merupakan pelembagaan konflik sosial. Dengan
memindahkan konflik ke dalam Undang-Undang maka Undang-undang juga
sekaligus sebagai sarana penyelesaian konflik. Jika dikaitkan
dengan Undang-Undang No. 22 tahun 2009, perlu diperhatikan
efektivitasnya mengingat masih ada banyak pelanggaran yang
ditemukan ketika dilakukan oleh operasi zebra. Sementara sebagai
sebuah kebijaksanaan, undang-undang ini memang merupakan
pelembagaan sosial dari masalah lalu lintas yang terjadi.
Diharapkan memang keberadaan Undang-Undang ini bisa menyelesaikan
banyak masalah di jalan raya, khususnya mengenai kecelakaan yang
angkanya dari tahun ke tahun masih tinggi. Apalagi angka kematian
di jalan akibat kecelakaan juga tergolong tinggi, sehingga timbul
pernyataan maut mengintai di jalanan. 30 Ibid 31 Ibid hal 138 32
Ibid hal 139
12. Undang-undang dapat dilihat sebagai dokumen yang menuntun
proses dan perilaku dalam masyarakat. Kelebihan ini disebut
legalitas dan legitimasi yang biasanya hanya diberikan kepada
undang-undang sebagai dokumen yang dihasilkan kekuasaan legislatif
sebagai satu-satunya badan dalam negara modern yang diberi
kewenangan membuat undang-undang33 . Dalam optik sosiologis, badan
pembuat Undang-Undang tidak lagi dilihat sebagai pabrik
Undang-Undang atau hukum tetapi medan dimana berlaga berbagai
kepentingan dan kekuatan yang ada dalam masyarakat34 . Pembuat
undang-undang modern bukansekadar merumuskan materi secara baku
dengan semua rambu yuridisnya tetapi membuat putusan politik
terlebih dahulu. Dalam merumuskan putusan itulah konfigurasi
kekuatan dalam badan pembuat Undang-undang menjadi penting.
Pembuatan Undang-Undang sebagai suatu purposeful human action
mempunyai tujuan atau sasaran yang ingin dicapai melalui pekerjaan
tersebut35 . Undang-Undang No.22 tahun 2009 yang merupakan
pembaharuan dari Undang-undang lalu lintas yang ada sebelumnya
memiliki tujuan untuk lebi menertibkan masyarakat ketika berada di
jalan raya. Banyaknya pelanggaran yang terjadi menjadi bahasan
utama dalam pembuatannya. Hal ini nampak dari detail isi
undang-undang yang dibuat demi mencapai tujuan tertib berlalu
lintas dan zero accident di jalan raya. Undang-undang memiliki
aspek statis dan dinamis, sebagai tatanan dinamis merupakan proses
yang bergerak secara dinamis dan cair (fluid)36 . Dicontohkan ada
undang-undang lalu lintas yang merupakan generasi terdahulu dari
Undang-undang no.20 tahun 2009. Undang-undang no.14 tahun 1992
tergolong nyaris lengkap namun pelaksanaannya kurang memuaskan.
Karena masih banyak pelanggaran yang terjadi di jalanan, meski ada
undang-undang lalu lintas tetap berjalan terus. Melihat kondisi
ini, Satjipto mengatakan37 : undang-undang memiliki dinamika
sendiri yang tidak selalu bisa dibayangkan dan diantisipasi
pembuatnya sendiri. ia menjadi seperti itu karena sejak dilepaskan
ke masyarakat yang bermain bukan lagi otoritas pembuat hukum ,
tetapi interaksi antara hukum dan kondisi nyata yang 33 Prof. Dr.
Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 126 34 Prof. Dr. Satjipto Raharjo,
SH, Op Cit hal 141 35 Ibid hal 143 36 Prof. Dr. Satjipto Raharjo,
SH, Op Cit hal 128 37 Ibid hal 128
13. tersedia. Juga dengan masyarakat atau lebih tepat kekuatan
dalam masyarakat 2.4 HUKUM DAN INSTITUSI Institusi adalah suatu
sistem hubungan sosial yang menciptakan keteraturan dengan
mendefinisikan dan membagikan peran yang saling berhubungan di
dalam institusi. Pihak yang ada dalam institusi nebenoati dan
menjalankan perannya masing- masing sehingga mengetahui apa yang
diharapkan orang darinya dan apa yag dapat diharapkannya dari orang
lain38 . Institusi tersusun dari nilai, kaidah, peran dan
organisasi. Dijelaskan kemudian bahwa terdapat pertingkatan yang
terdiri 39 : tingkat makro : masyarakat terdiri dari berbagai
institusi yang melayani kebutuhan masyarakat seperti ekonomi,
politik dan hukum; tingkat meso : susunan internal dari
masing-msing institusi pada tingkat makro, institusi hukum di
tingkat ii antara lain pengadilan, advokat dan kepolisian; dan
tingkat mikro : bicara mengeai bekerjanya peran dalam suatu
institusi hukum. Guna membuat institusi menjadi mapan, maka
dilakukanlah upaya yang disebut institusionalisasi. Sayangnya dalam
negara berkembang pada umumnya ada persoalan tentang bagaimana
membuat hukum memiliki otonomi dan otoritas yang cukup agar mampu
menjalankan fungsinya dengan baik. Sejak kepolisian merupakan
sebuah institusi, maka ada masalah pembagian dan susunan peran
dalan institusi kepolisian. Ada pula masalah pengorganisasian
kepolisian ketika menjalankan fungsinya. Sesuai dengan ketentuan
yang ada, polisi memiliki fungsi menjamin dan menjaga ketentraman
masyarakat. Jika dikaitkan dnegan polisi sebagai institusi hukum,
maka lembaga ini mengemban fungsi untuk mengontrol masyarakat agar
tercipta ketertiban dan keteraturan, tentunya ini dilakukan dengan
menegakkan hukum. Meningkatnya beban pekerjaan pada institusi
kepolisian berdampak pula pada kinerja pengadilan. Hal inilah yang
menurut Lawrence Friedman seperti dikutip oleh Satjipto Raharjo,
dilakukan sejumlah kebijaksanaan, antara lain40 : ekspansi sistem
peradilan penanganan secara rutin dan masa terhadap sengketan di
bidang komersil 38 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit hal 82-83
39 Ibid 40 Ibid hal 88
14. penangaan masalah yang sama di luar pengadilan penggunaan
dan perluasan penggunaan kebijaksanaan demi penyelesaian yang
bertujuan untuk mengendalikan arus masuk perkara pengembangan
mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien di luar sistem
peradilan yang berlaku pengundangan peraturan atau pengembangan
peraturan oleh pengadilan dengan tujuan menimbulkan efek agar pihak
yang ingin berperkara menjadi enggan dan tidak menggunakan jasa
penagdilan efek tersebut juga ingin dicapai dengan cara
meningkatkan ongkos perkara sedemikian tingginya sehingga cukup
untuk menurunkan masuknya arus perkara. Dalam upaya untuk
melaksanakan tugasnya, institusi hukum dalam hal ini polisi,
pengadilan, dan advokat memiliki peran tersendiri sesuai dengan
fungsi masing- masing. Tentunya perlu sinergi antara seluruh elemen
sistem peradilan ini agar tercipta kemapanan institusi yang
berdampak pada ketertiban dan keteraturan di masyarakat sesuai
dengan cita-cita hukum. Kaitannya dengan Undang-Undang No.22 tahun
2009, institusi polisi dan pengadilan memiliki peran yang sangat
besar karena polisi yang menegakkan hukum di masyarakat dan
kemudian berkas perkaranya langsung disidangkan ke pengadilan guna
menjatuhkan sanksi pidana yang sesuai dengan pelanggaran yang
dilakuakn dalam Undang-Undang terkait. Tetapi memang perlu
dilakukan sejumlah kebijakan baru seperti menerapkan operasi zebra
ini secara berkala tidak kemudian hanya sekali dalam jangka waktu
panjang. Hal ini dilakukan guna mencegah terjadinya beban pekerjaan
yang berlebih pada pengadilan. Karena dalam pengamatan yang lebih
dekat, Satjipto menjelaskan ada sejumlah pekerjaan yang dilakukan
oleh institusi pengadilan, ia menyatakan : pengadilan merupakan
institusi yang melakukan banyak pekerjaan daripada sekedar
mengadili (adjudication) saja. Disini dapat dikemukakan bahwa
mengadilan menjadi tempat untuk pemrosesan administratif; record
keeping ; upacara perubahan status; penyelesaian dengan negosiasi;
mediasi; arbitrasi; menjadi medan pertempuran (welfare).41 2.5
PENEGAKAN HUKUM (kaitannya dengan UU no.22 tahun 2009) Penegakan
hukum buka merupakan suatu tindakan yang pasti yaitu menerapkan
hukum terhadap suatu kejadian, yang dapat diibaratkan menarik garis
lurus 41 Ibid hal 190
15. antara dua titik. Menegakkan hukum merupakan aktivitas
subsumsi otomat dimana hukum dilihat sebagai variabel yang jelas
dan pasti, namun dalam kenyataannya ia mengandung pilihan dan
kemingkinan oleh karena dihadapkan pada kenyataan yang kompleks.
Satjipto menggolongkan penegakan hukum ke dalam dua kategori besar,
yakni : kelanjutan logis atau proses logis diciptakannya peraturan
hukum sebagai keterlibatan manusia dalam proses bekerjanya hukum.
Secara dominan, penegakan hukum atau yang dikenal denagn law
enforcement merupakan suatu proses logis yang mengikuti kehadiran
suatu peraturan hukum. Penegakan hukum yang dituliskan dalam
peraturan dan sistem kerap diterima dengan tidak kritis, kreatif
dan inovatif. Kultur penegakan hukum seperti ini oleh Satjipro
Raharjo dinilai tidak benar42 . Terkait hal ini, dijelaskan ada
sejumlah alasan mengapa hal itu tidak benar, yaitu43 : hukum yang
dijalankan sebenarnya berwatak liberal dan memiliki kultur liberal.
Ini menyebabkan keuntungan bagi sejumlah kecil orang dan
penderitaan banyak orang guna mengatasi ketidakseimbangan dan
ketidakadilan bsa dilakukan langkah tegas (affirmative action).
Langkah tegas ini dapat dilakukan dengan menciptakan kultur
penegakan hukum yang disebut kultur kolektif. Dalam kultur ini
unsur penegakan hukum tidak lagi berjalan individual tetapi
didorong bersatu dengan tujuan tunggal mencapai kesejahteraan
masyarakat dengan hukum yang berkeadilan. Penegakan hukum dilakukan
oleh institusi yang diberi kewenangan untuk itu yakni polisi,
jaksa, pejabat pemerintahan lainnya. Sejak hukum memiliki kandungan
perintah dan pemaksaan maka hukum membutuhkan banuan untuk
mewujudkan perintah. Karena ia tidak akan ada artinya jika
perintahnya tidak dilaksanakan. Oleh Donald Black seperti dikuti
Satjipto Raharjo, dimensi keterlibatan manusia dalam hukum
dinamakan mobilisasi hukum44 . penegakan hukum melibatkan effort,
memeras energi, pikiran dan keberanian menjelajahi lorong lain an
secara progresif menguji batas kemampuan hukum. Hukum bukan hanya
teks, dibaliknya menyimpan kekuatan45 . 42 Prof. Dr. Satjipto
Raharjo, SH, Op Cit hal 133 43 Ibid hal 134 44 Prof. Dr. Satjipto
Raharjo, SH, Op Cit hal 192 45 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op
Cit hal 173
16. Kekuatan besar dibelakang hukum adalah negara. Menurut
tatanan UUD RI 1945, untuk menjamin penegakan hukum yang
berkeadilan, terdapat sejumlah sendi konstitusional yang wajib
diperhatikan, yakni 46 : sendi negara berdasarkan konstitusi dan
negara berdasarkan hukum dari sisi penegakan hukum negara
berdasarkan konstitusi dan negara berdasarkan atas hukum
menghendaki suatu kekuasaan peradilan yang merdeka lepas dari
pengaruh pemerintah atau kekuasaan lain yang akan menyimpangkan
hakim dari kewajiban menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran.
Sendi kerakyatan dan demokrasi Rakyat dapat secara terbuka menilai
sejauh mana penerapan dan penegakan hukum sesuai atau menyimpang
dari tata nilai, pandangan dan kebutuhan masyarakat. Penilaian akan
mejamin dinamika hukum, baik dalam penyesuaian penerapan maupun
pembaharuan. Sendi kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia Sendi penyelenggaraan pemerintahan menurut
asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik Pemerintah berperan
besar untuk memberdayakan masyarakat dalam segala lapangan
kehidupan. Pemerintah memiliki fungsi dalam melayani masyarakat,
ini dikaitkan pula dengan fungsi pengawasan atau kendali
(pemerintah sebagai penajga keamanan dan ketertiban) Dalam proses
untuk menjaga keamanan dan ketertiban, pemerintah memiliki alat
kelengkapan yakni kepolisian. Guna menjalankan tugasnya untuk
memobilisasi hukum, oleh Donald Black disampaikan bahwa polisi
dipengaruhi variabel 47 : Intelegensia hukum Adanya peraturan
Diskresi Perubahan hukum Tentunya bukan pekerjaan mudah, dengan
jumlah yang terbatas, polisi mengamankan masyarakat yang
perbandingannya makin besar. Hal ini kembali mengingatkan kita akan
pentingnya peran publik dalam upaya penegakan hukum. Kesadaran ini
didorong 46 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta :
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional, 2000, hal 153 47 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op Cit
hal 193
17. oleh kesadaran akan kemampuan hukum yang terbatas dan
masyarakat yang ternyata menyimpan kekuatan otonom untuk melindungi
dan menata diri sendiri48 . Memang bukan suatu pekerjaan mudah
untuk membuat masyarakat berpartisipasi dalam hal ini. Tetapi hal
ini patut segera dilakukan mengingat kekuatan otonom masyarakat
memiliki pengaruh besar dalam memulihkan hukum sebagai institusi
yang bermartabat dan membuat bangsa ini sejahtera serta bahagia.
Undang-Undang No.20 tahun 2009 yang ditegakkan dalam operasi zebra
2014 memang merupaka upaya untuk membangun kesadaran masyarakat
mengenai hukum sebagai aturan yang dibuat demi kesejahteraan
bersama. Ini adalah salah satu cara membangun kepatuhan hukum di
masyarakat. Penjelasan yang diberikan ketika operasi ini
berlangsung ialah contoh nyata. Dalam bukunya, Satjipto menjelaskan
teori kepatuhan sebagai berikut : kepatuhan merupakan fungsi dari
peraturan, mengabaikan kompleksitas tersebut diatas, khususnya
dalam hubungan dengan masyarakat yang menjadi sasaran dari
pengaturan. Masyarakat tidak merupakan entitas homogen, melainkan
sebaliknya BAB III KESIMPULAN Masalah lalu lintas merupakan salah
satu masalah yang menjadi pekerjaan rumah besar bagi negara ini.
Bagaimana tidak, meski sudah dibuat aturan jelas dan telah
diundangkan namun masih saja ada banyak pelanggarn yang terjadi.
Undang-undang No.20 tahun 2009 yang dibuat guna menekan angka
kecelakaan yang menimbulkan banyak korban jiwa sepertinya belum
hidup dimasyarakat. Hal ini nampak dari banyaknya pelanggaran yang
terjadi ketika operasi zebra 2014 dilaksanakan serentak di tanah
air selama dua pekan kemarin. 48 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Op
Cit hal 209
18. Kegiatan operasi zebra yang dilaksanakan merupakan salah
satu upaya penegakan hukum demi menciptakan ketertiban di
masyarakat khususnya dalam berlalu lintas. Polisi sebagai institusi
penegak hukum bekerja sama dengan TNI mencoba membumikan aturan ini
agar masyarakat bisa hidup bersama dengan aturan yang ada. Bukan
suatu hal mudah untuk membuat hukum tertulis ini berinteraksi
dengan masyarakat, sehingga perlu dilakukan kegiatan serupa secara
rutin agar masyarakat kenal dan melaksanakannya bukan lagi atas
dasar ketakutan akibat daya paksa sanksi pidana yang ada
didalamnya, namun lebih kepada kesadaran hukum demi ketertiban dan
keselamatan bersama. Pada hakikatnya seperti apa yang disampaikan
oleh Van Doorn dan dikutip Satjipto Raharjo bahwa : hukum adalah
skema yang dibuat untuk menata perilaku manusia, tetapi manusia
cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan baginya. Ini
disebabkan faktor pengalaman, pendidikan, tradisi dan lain-lain
yang mempengaruhi dan membentuk perilakunya Donald Black menegaskan
dalam pernyataan yang juga dikutip oleh Satjipto Raharjo : hukum
sebagai teks itu diam dan hanya melalui perantaraan manusialah ia
menjadi hidup DAFTAR PUSTAKA Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH,
Sosiologi Hukum Perkembangan Merode dan Pilihan Masalah, Yogyakarta
: Genta Publishing, Cetakan kedua tahun 2010 Prof. Dr. Satjipto
Raharjo, SH, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia Sebuah
Pendekatan Lintas Disiplin, Yogyakarta : Genta Publishing, Cetakan
kedua tahun 2009 Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH, Penegakan Hukum
Progresif, Jakarta: Kompas, 2010 Adam Podgorecki, Christopher J.
Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum (Sociological
Approaches to Law), diterjemahkan oleh Rnc. Widyaningsih SH, G.
Kartasapoetra, Jakarta : Bina Aksara, 1987, hal 256
19. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Perihal Undang-Undang,
Jakarta : Konstitusi Press, 2006 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH,
Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia , Jakarta : Konstitusi
Press, 2006 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta :
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional, 2000 Tak Mau Disemprit? Kenali UU Lalu Lintas Baru,
http:// nasional.kompas.com, diakses pada minggu 7 Desember 2014
pukul 11.30 wib Sepekan Operasi Zebra, 80 Ribu Kendaraan Ditilang,
http://tempo.co, diakses pada minggu 7 Desember 2014 pukul 11.35
wib Hukum, http://id.m.wikipedia.org, diakses pada minggu 7
Desember 2014 pukul 11.45 wib UU no.22 tahn 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, http://hubdat.dephub.go.id, diakses pada
minggu 7 Desember 2014 pukul 12.00 wib