Upload
ken-dfsfs
View
97
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah sakit sebagai sarana upaya perbaikan kesehatan yang
melaksanakan pelayanan kesehatan sekaligus sebagai lembaga pendidikan
tenaga kesehatan dan penelitian, ternyata memiliki dampak positif dan negatif
terhadap lingkungan sekitarnya. Rumah sakit dalam menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat, pelayanan
medik, dan pelayanan nonmedik menggunakan teknologi yang dapat
memengaruhi lingkungan sekitarnya (Effendy. 2008)
Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat
memuaskan setiap pemakai jasa layanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan
rata-rata penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan standart dan kode
etik profesi yang telah ditetapkan. Pelayanan keperawatan mempunyai posisi
yang strategis dalam menentukan mutu pelayanan kesehatan dirumah sakit
karena perawat adalah yang paling banyak beriniteraksi dengan pasien (Effendy.
2008)
Dalam memberikan pelayanan keperawatan, perawat juga dituntut
memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik. Komunikasi merupakan bagian
integral dari asuhan keperawatan. Bagi seorang perawat keterampilan
berkomunikasi merupakan critical skill yang harus dimiliki, karena komunikasi
merupakan proses yang dinamis yang digunakan untuk mengumpulkan data
1
pengkajian, memberikan pendidikan atau informasi kesehatan, mempengaruhi
klien untuk mengaplikasikannya dalam hidup, menunjukan caring, memberikan
rasa nyaman, menumbuhkan rasa percaya diri dan menghargai nilai-nilai klien.
Komunikasi yang kurang baik dari perawat akan berdampak buruk yang bisa
menimbulkan kesalahpahaman antara perawat dengan pasien maupun
keluarganya dan pasien tidak puas dengan pelayanan pada proses keperawatan
yang diberikan (Rochim 2009).
Komunikasi dalam keperawatan disebut dengan komunikasi terapeutik.
Terapeutik berhubungan dengan terapi, yang merupakan suatu usaha untuk
memulihkan kesehatan seseorang yang sedang sakit, perawatan penyakit, dan
pengobatan penyakit. Komunikasi terapeutik merupakan teknik verbal dan
nonverbal yang digunakan petugas kesehatan untuk memfokuskan pada
kebutuhan pasien (Maulana, 2009).
Selain itu menurut Hardjana (2007) keterampilan berkomunikasi
merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh seseorang untuk membangun
suatu hubungan, baik itu hubungan yang kompleks maupun hubungan yang
sederhana melalui sapaan atau hanya sekedar senyuman. Pesan verbal dan non
verbal yang dimiliki oleh seseorang menggambarkan secara utuh dirinya,
perasaannya dan apa yang ia sukai dan tidak sukai. Melalui komunikasi seorang
individu dapat bertahan hidup, membangun hubungan dan merasakan
kebahagiaan.
Menurut Caris-Verhallen, de Guijter dan Kerstra (1999, Dalam Liliweri
Alo, 2008) buruknya komunikasi dalam praktek keperawatan merupakan sumber
2
ketidakpuasan pasien. Komunikasi sangat penting untuk membina hubungan
terapeutik perawat-pasien dan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas
pelayanan keperawatan. Berhasil tidaknya komunikasi terapeutik dipengaruhi
oleh beberapa faktor, diantaranya kurangnya pengetahuan dan kemampuan
perawat dalam menerapkan komunikasi terapeutik.
Diindinesia penggunaan komunikasi terapeutik dalam melakukan asuhan
keperawatan sudah banyak diterapkan diberbagai rumah sakit. Namun pada
kesahariannya banyak tenaga kesehatan (perawat) tidak terlalu memperhatikan
penggunaan pada setiap fase hubungan dalam komunikasi terapeutik. Padahal,
jika ditinjau lebih lanjut dalam melakukan tindakan komunikasi sangat lah
penting, khususnya dengan pasien lansia dan ibu hamil yang akan menghadapi
persalinan. Karna dengan pasien ini perawat harus selalu memperhatikan kondisi
psikis nya (Suryani. 2010).
Kehamilan bagi seorang wanita merupakan hal yang membahagiakan
sekaligus menggelisahkan. Dikatakan membahagiakan karena ia akan
memperoleh keturunan sebagai pelengkap dan penyempurna fungsinya sebagai
wanita, namun juga menggelisahkan karena penuh dengan perasaan takut dan
cemas mengenai hal-hal yang buruk yang dapat menimpa dirinya terutama pada
saat proses persalinan. Kecemasan yang dirasakan oleh wanita yang sedang
hamil, akan berdampak pada janin yang dikandungnya. Banyak penelitian yang
membuktikan bahwa pikiran negatif dapat berdampak buruk bagi ibu hamil dan
janin yang dikandungnya (Stanley dan Oberta. Dalam Lestariningsih, 2005),
3
Ibu hamil yang sering kali merasa khawatir bahkan stres memiliki
kecenderungan untuk melahirkan bayi prematur. Hal ini terjadi karena stres dan
kecemasan memicu produksi Cortiotrophin Releasing Hormone (CRH), hormon
ini juga memiliki fungsi sebagai “tanda” bila persalinan akan tiba. Janin dalam
rahim dapat merespon apa yang sedang dirasakan ibunya, seperti detak jantung
ibu. Semakin cepat detak jantung ibu, semakin cepat pula pergerakan janin
dalam rahim. Ibu hamil yang mengalami kecemasan atau stres maka detak
jantung akan meningkat, dan dia akan melahirkan bayi prematur atau lebih kecil
dari bayi normal lainnya bahkan mengalami keguguran (Arief, 2008 ;
Hendersosn. 2006)).
Dukungan perawat sangat diperlukan agar psikis ibu bisa terangkat saat
menjalani proses persalinan. Dengan begitu ibu bisa lebih kuat, nyaman, percaya
diri, dan ringan ketika bersalin. Saat itu, rasa empati perawat pun dapat tumbuh
lebih dalam, sehingga penghargaan terhadap perjuangan ibu bisa tumbuh lebih
sempurna. Walaupun begitu, tidak semua ibu punya mental yang kuat untuk
menghadapi persalinan. Ketika ibu panik dan kesakitan hingga berteriak-teriak,
perawat amat dituntut kesabaran dan ketenangannya untuk tetap menenteramkan
dan mendukung ibu dalam menjalani proses persalinan. Salah satu untuk
mengatasi masalah seperti ini dengan jalan komunikasi terapeutik bidan kepada
ibu yang akan menghadapi proses persalinan (Sundari. 2005).
Selain itu perawat dituntut untuk melakukan komunikasi terapeutik
dalam tindakan kebidanan agar ibu pra persalinan atau keluarganya tahu
tindakan apa yang akan dilakukan pada ibu. Namun pada kenyataannya banyak
4
perawat yang tidak menerapkan komunikasi terapeutik terhadap ibu pra
persalinan. Perawat tersebut tidak lagi memberikan kenyamanan dan motivasi.
Mereka hanya sekedar mengetahui tentang komunikasi terapeutik, pada hal
komunikasi terapeutik memiliki peran yang sangat besar terhadap kenyamanan
ibu sebelum menghadapi persalinan (Tyastuti, 2008).
Perawat yang memiliki keterampilan berkomunikasi secara terapeutik
tidak saja akan mudah menjalin hubungan rasa percaya dengan ibu, mencegah
terjadi masalah legal, memberikan rasa kepuasan profesional dalam pelayanan
kebidanan dan meningkatkan citra profesi kebidanan,tetap yang paling penting
adalah mengamalkan ilmunya untuk memberikan pertolongan terhadap sesama
manusia (Tyastuti, 2008).
Di Indonesia pada saat ini komunikasi terapeutik tentang pra persalinan
sudah dilaksanakan dengan baik. Berbagai cara telah dilakukan misalnya dengan
penyuluhan, pengobatan gratis guna memaksimalkan komunikasi yang berguna
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman ibu sehingga ibu pra persalinan
dapat merasa nyaman untuk menghadapi persalinan (Christina, 2003).
Beberapa penelitian tentang komunikasi terapeutik telah dilakukan
sebelumnya. Diantaranya oleh Cahyono (2010) dampak kurangnya komunikasi
terapeutik bidan terhadap ibu untuk menghadapi proses persalinan diperoleh
bahwa tingkat kecemasan pada ibu hamil untuk menghadapi proses persalinan di
dapat tingkat berat sebesar 30%, tingkat sedang sebesar 55%, tingkat ringan
sebesar 15%, pada penelitian ini telah disarankan agar KIE (komunikasi,
informasi dan edukasi) yang baik dan benar dalam masa kehamilan, dapat
5
diterapkan dan diberikan kepada ibu dan mengikut sertakan peranan orang
terdekat dalam menghadapi persalinan. Pada hasil penelitian lain diruang rawat
inap Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta, didapatkan hasil sudah dilaksanakan
dengan baik namun masih perlu adanya peningkatan pengetahuan dan
keterampilan dalam berkomunikasi dengan klien, karena masih adanya keluhan
dan ketidakpuasan klien terhadap pelayanan keperawatan. (Yahya, 2004).
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sandra (2013) menunjukkan bahwa dari
48 responden dengan komunikasi terapeutik tidak dilakukan perawat, 38 orang
pasien menyatakan tidak puas dengan komunikasi terapeutik perawat.
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh adalah
rumah sakit rujukan di provinsi Aceh. Selain tempat pelayanan kesehatan,
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh juga dijadikan
sebagai tempat pendidikan para calon dokter, perawat, bidan, dan mahasiswa
lain dari berbagai universitas yang ingin melakukan penelitian.
Dari survey awal peneliti yang diperoleh dengan metode wawancara dan
observasi diruang Bersalin Sereune III Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel
Abidin dengan 10 orang pasien yang memeriksakan kehamilannya dirumah sakit
tersebut, 8 diantaranya mengatakan tidak puas dengan pelayanan yang diberikan
perawat. Dari hasil observasi awal peneliti juga melihat, sebagian besar perawat
tidak menjelaskan kepada pasien tentang tindakan medis apa yang akan
dilakukan, akibatnya timbul penolakan dari pasien sendiri untuk menerima
asuhan keperawatan dari perawat tersebut. Jika ditinjau lebih lanjut, banyak hal
yang mengakibatkan hal ini terjadi, salah satunya adalah keterbatasan jumlah
6
perawat yang bertugas diruang rawat inap, akibatnya perawat tidak memiliki
waktu banyak untuk selalu berkomunikasi dengan pasien.
Seharusnya setiap perawat menggunakan setiap fase hubungan dalam
komunikasi terapeutik untuk berkomunikasi dengan pasien. Salah satu tujuan
dari penggunaan komunikasi terapeutik ini untuk menghilangkan paradigma
yang keliru dari pasien. Paradigma sebagian besar pasien, masih menganggap
persalinan itu merupakan pertaruhan hidup dan mati, sehingga wanita yang akan
melahirkan mengalami ketakutan, khususnya takut mati baik bagi dirinya sendiri
ataupun bayi yang akan dilahirkan. Faktor psikis dalam menghadapi persalinan
merupakan faktor yang sangat mempengaruhi lancar tidaknya proses kelahiran
dimana kecemasan atau ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran juga
berpengaruh.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Mengetahui Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik dengan
Tingkat Kecemasan Ibu dalam Menghadapi Persalinan di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
rumusan masalah pokok penelitian ini adalah “Bagaimana Fase Hubungan
Komunikasi Terapeutik dengan Tingkat Kecemasan Ibu dalam Menghadapi
Persalinan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh”
7
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui fase hubungan komunikasi terapeutik dengan tingkat
kecemasan ibu dalam menghadapi persalinan di Rumah Sakit Umum Daerah
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui fase hubungan orientasi komunikasi terapeutik dengan
tingkat kecemasan ibu dalam menghadapi persalinan di rumah sakit
Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
b. Mengetahui fase hubungan kerja komunikasi terapeutik dengan Tingkat
kecemasan ibu dalam menghadapi persalinan di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
c. Mengetahui Fase Hubungan Terminasi Komunikasi Terapeutik Dengan
tingkat kecemasan ibu dalam menghadapi persalinan di Rumah Sakit
Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Rumah Sakit
Dapat menambah pengetahuan dan menjadi pertimbangan pihak rumah sakit
untuk meningkatkan kepuasan pasien terhadap pelayanan dan perawatan yang
diberikan.
2. Bagi Perawat
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi acuan untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perawat dalam menerapkan
8
komunikasi terapeutik ketika melakukan asuhan keperawatan. dan sebagai
bahan masukan kepada perawat sehingga menumbuhkan kesadaran perawat
tentang pentingnya komunikasi terapeutik dalam setiap proses keperawatan
yang dilakukan.
3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
dan mengembangkan penelitian tentang hubungan keterampilan komunikasi
terapeutik dengan Tingkat Kecemasan Ibu Dalam Menghadapi Persalinan
Dirumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dan pedoman untuk
penelitian selanjutnya.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Komunikasi Terapeutik
1. Konsep Komunikasi
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari
bahasa Latin communis yang berarti “sama”, communico, communicatio,
atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah
pertama (communis) adalah istilah yang paling sering sebagai asal usul
komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip.
Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu
pesan dianut secara sama (Mulyana, 2005).
Komunikasi bermula dari sebuah gagasan yang ada pada diri seseorang
yang diolah menjadi sebuah pesan dan disampaikan atau dikirimkan kepada
orang lain dengan menggunakan media tertentu. Dari pesan yang
disampaikan tersebut kemudian terdapat timbal balik berupa tanggapan atau
jawaban dari orang yang menerima pesan tersebut. Dari proses terjadinya
komunikasi itu, secara teknis pelaksanaan, komunikasi dapat dirumuskan
sebagai kegiatan dimana seseorang menyampaikan pesan melalui media
tertentu kepada orang lain dan sesudah menerima pesan serta memahami
sejauh kemampuannya, penerima pesan menyampaikan tanggapan melalui
media tertentu pula kepada orang yang menyampaikan pesan itu kepadanya
(Hardjana. 2007).
10
Secara paradigmatis, komunikasi adalah proses penyampaian suatu
pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah
sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tal
langsung melalui media (Effendy, 2006).
Gerad E. Miler (Dikutip dari Daryanto. 2011) mengemukakan bahwa
komunikasi sebagai situasi situasi yang memungkinkan suatu sumber
mentransmisikan suatu pesan kepada seorang penerima dengan disadari
untuk mempengaruhi perilaku penerima. Proses komunikasi minimal terdiri
dari tiga unsur utama yaitu pengirim pesan, pesan itu sendiri dan target
penerima pesan.
2. Pengertian Komunikasi Terapeutik
Komunikasi dalam keperawatan disebut dengan komunikasi terapeutik,
dalam hal ini komunikasi yang dilakukan oleh seorang perawat pada saat
melakukan intervensi keperawatan harus mampu memberikan khasiat therapi
bagi proses penyembuhan pasien. Oleh karenanya seorang perawat harus
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan aplikatif komunikasi terapeutik
agar kebutuhan dan kepuasan pasien dapat dipenuhi. Komunikasi terapeutik
sebagai kemampuan atau keterampilan perawat untuk membantu klien
beradaptasi terhadap stres, mengatasi gangguan psikologis dan belajar
bagaimana berhubungan dengan orang lain.
Menurut Arwani (2003) komunikasi terapeutik bukan pekerjaan yang
bisa dikesampingkan namun harus direncanakan, disengaja dan merupakan
tindakan profesional. Komunikasi terapeutik merupakan hubungan
11
interpersonal antara perawat dan klien, dalam hubungan ini perawat dan
klien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki
pengalaman emosional klien.
Sedangkan Stuart (2006) menyatakan bahwa hubungan terapeutik
adalah hubungan kerjasama yang ditandai tukar menukar perilaku, perasaan,
pikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim yang terapeutik.
Komunikasi terapeutik merupakan salah satu standar asuhan
keperawatan yang wajib dilaksanakan oleh semua perawat. Komunikasi
adalah komunikasi yang direncanakan dan dilakukan untuk membantu
penyembuhan/pemulihan pasien (Hornby, 1974 dalam Aris 2007).
3. Karakteristik Komunikasi Terapeutik
Ada tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi terapeutik
(Arwani, 2003) yaitu :
a. Genuineness (keikhlasan). Dalam rangka membantu pasien, perawat
harus menyadari tentang nilai, sikap dan perasaan yang dimiliki terhadap
pasien. Tidak selalu mudah melakukan suatu keikhlasan, maka
dibutuhkan pengembangan diri yang dapat dipertimbangkan dilakukan
setiap saat.
b. Empathy (empati). Merupakan perasaan “pemahaman” dan “penerimaan”
perawat pada apa yang dirasakan oleh pasien, dan juga kemampuan
perawat dalam merasakan ”dunia pribadi pasien”. Empati merupakan
sesuatu yang jujur, sensitif, dan tidak dibuat-buat didasarkan atas apa
yang dialami oleh orang lain.
12
c. Warmth (kehangatan). Dengan adanya kehangatan diharapkan perawat
dapat mendorong pasien untuk mengekspresikan apa yang dirasakan
dalam bentuk perbuatan tanpa ada rasa takut disalahkan. Dengan adanya
suasana yang hangat perawat dapat menunjukkan penerimaannya
terhadap keberadaan pasien.
4. Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik
Struktur dalam komunikasi terapeutik menurut Stuart (2006) terdiri dari
empat fase, yaitu
a. Fase Praorientasi
Tahap ini adalah masa persiapan sebelum memulai berhubungan
dengan pasien, tugas perawat pada fase ini yaitu, mengeksplorasi
perasaan, harapan dan kecemasannya. Menganalisa kekuatan dan
kelemahan diri. Dengan analisa diri ia akan terlatih untuk
memaksimalkan dirinya agar bernilai terapeutik bagi pasien, jika merasa
tidak siap maka perlu belajar kembali, diskusi dengan teman kelompok.
Mengumpulkan data tentang pasien, sebagai dasar dalam membuat
rencana interaksi. Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan
diimplementasikan saat bertemu dengan pasien.
b. Fase Orientasi
Menurut Stuart (2006) sangat penting bagi perawat untuk
melaksanakan tahapan ini dengan baik karena tahapan ini merupakan
dasar bagi hubungan antara perawat dengan pasien. Tujuan pelaksanaan
fase orientasi yaitu agar dapat terbina hubungan interpersonal antara
13
perawat dengan pasien. Melalui komunikasi terapeutik, pasien belajar
bagaimana menerima dan diterima orang lain.
c. Fase Kerja
Menurut Stuart (2006) tahap kerja merupakan inti dari keseluruhan
proses komunikasi terapeutik, karena di dalamnya perawat dituntut untuk
membantu dan mendukung pasien untuk menyampaikan perasaan dan
pikirannya dan kemudian menganalisa respons ataupun pesan yang
disampaikan oleh pasien. Dalam tahap ini pula perawat mendengarkan
secara aktif dan dengan penuh perhatian sehingga mampu membantu
pasien untuk mendefinisikan masalah yang sedang dihadapi oleh pasien
dan mencari penyelesaian masalah pasien.
d. Fase Terminasi
Menurut Stuart (2006) tugas perawat dalam tahap ini adalah
melakukan evaluasi subjektif dengan cara menanyakan perasaan klien
setelah beriknteraksi dengan perawat, melakukan kontrak untuk
pertemuan selanjutnya, dan mengakhiri kegiatan dengan cara yang baik.
Fase terminasi merupakan tahap akhir komunikasi terapeutik yang
bertujuan untuk meningkatan fungsi dan kemampuan perawat untuk
memuaskan kebutuhan pasien serta mencapai tujuan professional yang
realistis. Fase ini merupakan fase yang sulit dan penting, karena
hubungan saling percaya sudah terbina dan berada pada tingkat optimal.
Perawat dan pasien keduanya merasa kehilangan. Terminasi dapat terjadi
pada saat perawat mengakhiri pada unit tertentu atau saat pasien akan
14
pulang. Perawat dan pasien bersama-sama menunjau kembali proses
keperawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan.
5. Sikap Komunikasi Terapeutik
Menurut Egan (dalam Harnawatiaj, 2008) Ada empat sikap yang dapat
memfasilitasi komunikasi terapeutik, yaitu :
a. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti
menghargai pasien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi
b. Membungkuk kearah pasien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk
mengatakan atau mendengarkan sesuatu
c. Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan
menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi
d. Tetap rileks. Tetap rileks dapat mengontrol keseimbangan antara
ketegangan dan relaksasi
6. Tehnik Komunikasi Terapeutik
Dalam menanggapi pesan yang disampaikan pasien, perawat dapat
menggunakan berbagai teknik komunikasi terapeutik sebagai berikut (Stuart.
2006) :
a. Mendengarkan dengan penuh perhatian
Keterampilan mendengarkan dengan penuh perhatian adalah
dengan pandang pasien ketika sedang berbicara, pertahankan kontak mata
yang memancarkan keinginan untuk mendengarkan, sikap tubuh yang
menunjukkan perhatian dengan tidak menyilangkan kaki atau tangan,
15
anggukkan kepala jika pasien membicarakan hal penting atau
memerlukan umpan balik (Uripni, 2003).
Lebih lanjut Varcarolis (dalam Nurjannah, 2001), dengan
mendengarkan akan menciptakan situasi interpersonal dalam keterlibatan
maksimal yang dianggap aman dan membuat klien merasa bebas.
Pencapaian hasil untuk mendapatkan kondisi nyata dari klien akan lebih
maksimal dan memudahkan perawat dalam menentukan intervensi yang
tepat. Hal ini dikarenakan mendengar secara aktif tidak hanya tekun
mendengarkan orang lain dan menceritakan isi keluhan yang
disampaikan saja, akan tetapi juga perlu dikonfrontasi dengan pesan
nonverbal yang ditampakkan sehingga memungkinkan terjadinya proses
transfer felling antara kode nonverbal klien dengan persepsi perawat.
Nilai-nilai yang ditampilkan menimbulkan kesan bahwa apa yang
disampaikan dan yang ditampilkan itu bermakna dan penting untuk
ditindaklanjuti.
b. Menunjukkan Penerimaan
Menurut Stuart (2006), penerimaan adalah mendukung dan
menerima informasi dengan tingkah laku yang menunjukkan ketertarikan
dan tidak menilai. Dengan sikap tersebut perawat mampu menempatkan
diri pada situasi klien, perawat mengerti perasaan yang dihadapi klien
dengan cara menunjukkan sikap empati terhadap klien.
Menerima berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa
menunjukkan keraguan atau tidak setuju. Tentu saja sebagai perawat kita
16
tidak harus menerima semua prilaku klien. Perawat sebaiknya
menghindarkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang menunjukkan
tidak setuju (Uripni, 2003).
c. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan
Menurut Stuart (2006), tujuan perawat bertanya adalah untuk
mendapatkan informasi yang spesifik mengenai pasien. Paling baik jika
pertanyaan dikaitkan dengan topik yang dibicarakan dan gunakan kata-
kata dalam konteks sosial budaya pasien. Selama pengkajian, ajukan
pertanyaan secara beruntun.
d. Mengulang ucapan pasien dengan menggunakan kata-kata sendiri
Lebih lanjut Stuart (2006), mengungkapkan dengan mengulang
kembali ucapan pasien, perawat memberikan umpan balik sehinga pasien
mengetahui bahwa pesannya dimengerti dan mengharapkan komunikasi
berlanjut. Namun, harus berhati-hati ketika menggunakan metode ini,
karna pengertian bisa rancu jika pengucapan ulang mempunyai arti yang
berbeda.
e. Klarifikasi
Menurut Uripni (2003), klarifikasi dilakukan apabila pesan yang
disampaikan oleh klien belum jelas bagi perawat dan perawat mencoba
memahami situasi yang digambarkan klien. Namun demikian, agar pesan
dapat sampai dengan benar, perawat perlu memberikan contoh yang
konkret dan mudah dimengerti oleh klien dengan memperhatikan pokok
pembicaraan. Demonstrasi terhadap apa yang telah dijelaskan merupakan
bentuk klarifikasi terhadap apa yang telah di ucapkan.
17
f. Memfokuskan
Menurut Stuart (2006), prinsip continuity dan consistency dalam
proses interaksi mengandung arti bahwa pesan yang disampaikan bersifat
konsisten dan berkesinambungan dan tidak menyimpang dari topic dan
tujuan komunikasi yang telah ditetapkan. Teknik memfokuskan ini
merupakan prinsip utama apabila kita ingin mendapatkan pembicaraan
yang serius dengan tingkat pemaknaan yang kuat.
g. Menyampaikan hasil observasi
Stuart (2006), menganjurkan penyampaian hasil observasi kepada
klien apabila terdapat konflik antara verbal dan nonverbal klien, serta saat
tingkah laku verbal dan nonverbal nyata dan tidak biasa ada pada klien.
Penyampaian hasil pengamatan kepada klien diharapkan dapat mengubah
perilaku yang merusak pada diri klien. Perawat menguraikan kesan yang
ditimbulkan oleh isyarat nonverbal klien. Penyampaian hasil pengamatan
perawat sering membuat klien berkomunikasi lebih jelas tanpa harus
bertambah memfokuskan atau mengklarifikasikan pesan.
h. Diam
Tehnik diam (silence) digunakan untuk memberikan kesempatan
pada klien sebelum menjawab pertanyaan perawat. Diam akan
memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisasi
pikiran masing-masing. Tehnik ini memberikan waktu pada klien untuk
berfikir dan menghayati, memperlambat tempo interaksi, sambil perawat
menyampaikan dukungan, pengertian, dan penerimaannya. Diam juga
18
memungkinkan klien untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri dan
berguna pada saat klien harus mengambil keputusan (Stuart. 2006).
i. Refleksi
Refleksi (reflection) adalah mengarahkan kembali ide, perasaan,
pertanyaan, dan isi pembicaraan kepada klien. Hal ini digunakan untuk
memvalidasi pengertian perawat tentang apa yang diucapkan klien dan
menekankan empati, minat, dan penghargaan terhadap klien (Uripni,
2003).
j. Memberi Informasi
Memberikan tambahan informasi merupakan tindakan penyuluhan
kesehatan klien. Tehnik ini sangat membantu dalam mengajarkan
kesehatan atau pendidikan pada klien tentang aspek-aspek yang relevan
dengan perawatan diri dan penyembuhan klien. Informasi yang diberikan
pada klien harus dapat memberikan pengertian dan pemahaman tentang
masalah yang dihadapi klien serta membantu dalam memberikan
alternatif pemecahan masalah (Stuart. 2006).
k. Menyimpulkan
Menyimpulkan (summerizing) adalah tehnik komunikasi yang
membantu klien mengeksplorasi poin penting dari interaksi perawat-
klien. Tehnik ini membantu perawat dan klien untuk memiliki pikiran
dan ide yang sama saat mengakhiri pertemuan. Poin utama dari
menyimpulkan yaitu peninjauan kembali komunikasi yang telah
dilakukan (Stuart. 2006),).
19
l. Mengubah Cara Pandang
Tehnik mengubah cara pandang (refarming) ini digunakan untuk
memberikan cara pandang lain sehingga klien tidak melihat sesuatu atau
masalah dari aspek negatifnya saja. Tehnik ini sangat bermanfaan
terutama ketika klien berfikiran negatif terhadap sesuatu, atau
memandang sesuatu dari sisi negatifnya. Reframing akan membuat klien
mampu melihat apa yang dialaminya dari sisi positif sehingga
memungkinkan klien untuk membuat perencanaan yang lebih baik dalam
mengatasi masalah yang dihadapinya (Stuart. 2006),).
7. Komunikasi Verbal dan Nonverbal
a. Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-
kata, baik lisan maupun tulisan. Komunikasi ini paling banyak dipakai
dalam hubungan antar manusia. Melalui kata-kata, seseorang
mengungkapkan perasaan, emosi, pemikiran, gagasan, atau maksud
mereka, menyampaikan fakta, data, dan informasi serta menjelaskannya,
saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling berdebat, dan bertengkar
(Cangara, 2004). Dasar komunikasi verbal adalah interaksi antara
manusia dan menjadi salah satu cara bagi manusia berkomunikasi secara
lisan atau pikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal
menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas
individual kita.
Cangara (2004) menambahkan komunikasi verbal biasanya lebih
akuran dan tepat waktu. Kata-kata adalah alat atau simbol yang dipakai
20
untuk mengekspresikan ide atau perasaan, membangkitkan respon
emosional, atau menguraikan obyek, observasi dan ingatan. Sering juga
untuk menyampaikan arti yang tersembunyi, dan menguji minat
seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu
memungkinkan tiap individu untuk berespon secara langsung.
b. Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang menggunakan
pesan-pesan nonverbal. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk
melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan
tertulis. Secara teoritis komunikasi nonverbal dan komunikasi verbal
dapat dipisahkan. Namun dalam kenyataannya, kedua jenis komunikasi
ini saling jalin menjalin, saling melengkapi dalam komunikasi yang kita
lakukan sehari-hari (Rakhmat, 2005)
B. Konsep Kecemasan
1. Pengertian kecemasan
Kecemasan adalah perasaan yang tidak jelas tentang keprihatinan dan
khawatir karena ancaman pada sistem nilai atau pola keamanan seseorang.
Individu mungkin dapat mengidentifikasi situasi (misal, persalinan) tetapi
pada kenyataannya ancaman terhadap diri berkaitan dengan khawatir dan
keprihatinan yang terlibat didalam situasi. Situasi tersebut adalah sumber
dari ancaman, tetapi bukan ancaman itu sendiri. (Carpenito. 2007).
21
Menurut Chaplin (2004) kecemasan merupakan perasaan keprihatinan
dan ketakutan akan sesuatu di masa datang tanpa sebab yang khusus. Senada
dengan Chaplin.
Suliswati (2005) menyatakan bahwa kecemasan merupakan respon
individu terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan, dan dialami oleh
semua makhluk hidup dalam kehidupan sehari-hari. Kecemasan merupakan
pengalaman subjektif dari individu dan tidak dapat diobservasi secara
langsung, serta merupakan keadaan emosi tanpa objek yang spesifik.
Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada suatu yang akan terjadi
dengan penyebab tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak
menentu dan tidak berdaya.
Kecemasan merupakan keadaan suasana perasaan yang ditandai oleh
gejala-gejala seperti ketegangan fisik dan kekhawatiran tentang masa depan.
Kecemasan bisa terjadi berupa perasaaan gelisah yang bersifat subjektif, atau
merespon fisiologis yang bersumber di otak dan tercermin dalam bentuk
denyut jantung yang meningkat dan otot yang menegang (Barlow, 2006).
Sedangkan menurut Struart (2006), ansietas adalah kekhawatiran yang
tidak jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan
tidak berdaya. Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus
cemas.
Cemas memiliki dua aspek yakni aspek yang sehat dan aspek
membahayakan, yang bergantung dengan tingkat cemas, lama cemas yang
dialami, dan seberapa baik individu melakukan koping terhadap cemas.
22
Cemas dapat dilihat dalam rentang ringan, sedang, dan berat. Setiap tingkat
menyebabkan perubahan emosional dan fisiologis pada individu (Videbeck,
2008)
2. Jenis-jenis kecemasan
Menurut Freud (dalam Suryabrata, 2002) terdapat tiga macam
kecemasan yaitu:
a. Kecemasan realistis
Kecemasan yang realistis atau rasa takut akan bahaya-bahaya dari
luar. Kedua kecemasan yang lain berasal dari kecemasan realistis ini.
b. Kecemasan neurotis
Kecemasan apabila instink-instink tidak dapat dikendalikan dan
menyebabkan orang berbuat sesuatu yang dapat dihukum. Kecemasan ini
sebenarnya mempunyai dasar dalam realitas, karena dunia sebagaimana
diwakili oleh orang yang memegang kekuasaan, contoh: Kleptomania.
c. Kecemasan moral
Kecemasan moral merupakan kecemasan kata hati. Orang yang super
egonya berkembang dengan baik cenderung akan merasa apabila dia
melakukan atau bahkan berpikir untuk melakukan sesuatu yang
bertentangan norma-norma moral. Kecemasan moral ini juga mempunyai
dasar dalam realitas, karena di masa yang lampau orang telah
mendapatkan hukuman sebagai akibat dari perbuatan yang melangar
kode moral, dan mungkin akan mendapat hukuman lagi, contoh: aborsi.
23
3. Faktor-faktor yang memengaruhi kecemasan
Menurut Freud (dalam Suryabrata, 2002) mengemukakan lima faktor
yang memengaruhi kecemasan, yaitu:
a. Frustrasi
Frustrasi merupakan bentuk rintangan atas aktifitas dengan tujuan
tertentu. Hal ini didukung oleh pernyataan Daradjat (2003) bahwa
frustrasi adalah suatu proses yang menyebabkan individu merasa akan
ada suatu hal yang terjadi dan dapat menghambat terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhannya.
b. Konflik
Konflik terjadi akibat adanya dua kebutuhan atau lebih yang
berlawanan dan harus dipenuhi dalam waktu yang bersamaan. konflik
adalah terdapatnya dua dorongan atau lebih yang saling bertentangan dan
tidak mungkin dipenuhi dalam waktu yang sama.
c. Ancaman
Ancaman adalah adanya bahaya yang harus diperhatikan.
Ditambahkan ancaman merupakan peringatan yang harus diperhatikan
dan diatasi agar suatu hal buruk tidak terjadi atau dapat diatasi.
d. Harga diri
Harga diri adalah suatu penilaian yang dibuat oleh individu
mengenai dirinya sendiri. Harga diri terbentuk karena pengalaman atau
interaksi individu dengan lingkungan, bukan sesuatu yang diturunkan.
24
e. Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kecemasan individu. Lingkungan yang memberikan dukungan terhadap
individu dapat mengurangi tingkat kecemasan individu yang
bersangkutan, dukungan yang dimaksud disebut dengan dukungan sosial
(Effendi, 2005).
Smet (2004) menambahkan faktor lain yang ikut memengaruhi
reaksi individu terhadap tekanan adalah kondisi yang ada dalam diri
individu, diantaranya tingkat pendidikan, usia, serta jenis kelamin.
Berdasarkan uraian dari beberapa tokoh tersebut, dapat disimpulkan
bahwa kecemasan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti tingkat
pendidikan, usia, jenis kelamin, frustrasi, konflik, ancaman, harga diri,
dan lingkungan
4. Tingkatan Kecemasan
Menurut Stuart (2007) tingkatan kecemasan adalah sebagai berikut :
a. Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa
kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lapangan persepsi meningkat dan
individu akan berhati-hati dan waspada. Individu terdorong untuk belajar
tentang hal-hal yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.
b. Kecemasan Sedang
Pada tingkat ini lapangan persepsi terhadap lingkungan menurun.
Individu lebih menfokuskan pada hal penting saat itu dan
mengesampingkan hal lain.
25
c. Kecemasan Berat
Pada kecemasan berat lapangan persepsi menjadi sangat menurun.
Individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal
yang lain. Individu tidak mampu berfikir realistis dan membutuhkan
banyak pengarahan, untuk dapat memusatkan pada area lain.
d. Panik
Pada tingkat ini lapangan persepsi sangat sempit sehingga individu tidak
dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa
walaupun sudah diberi pengarahan/tuntunan. Pada keadaan panik terjadi
peningkatan aktivitas. motorik, menurunnya kemampuan berhubungan
dengan orang lain dan kehilangan pemikiran yang rasional.
5. Karakteristik Kecemasan
Menurut Asmadi (2009), tiap tingkatan kecemasan mempunyai
karakteristik atau manifestasi yang berbeda satu sama lain. Manifestasi
kecemasan yang terjadi bergantung pada kematangan pribadi, pemahaman
dalam menghadapi ketegangan, harga diri, dan mekanisme koping yang
digunakannya.
Tabel 2.1 Tingkat Kecemasan dan Karakteristik. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien
Tingkat Kecemasan Karakteristik
Kecemasan Ringan
a. Berhubungan dengan ketegangan dalam peristiwa sehari-hari, kewaspadaan meningkat, persepsi terhadap lingkungan meningkat, dapat menjadi motivasi positif untuk belajar dan menghasilkan kreativitas.
b. Respons fisiologis: sesekali napas pendek, nadi
26
dan tekanan darah meningkat sedikit, gejala ringan pada lambung, muka berkerut, serta bibir bergetar.
c. Respons kognitif: mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif, dan terangsang untuk melakukan tindakan.
d. Respons perilaku dan emosi: tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, dan suara kadang-kadang meninggi.
Kecemasan Sedang
a. Respons fisiologis: sering napas pendek, nadi ekstra sistol dan tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia diare/ konstipasi, sakit kepala, sering berkemih, dan letih.
b. Respons kognitif: memusatkan perhatiannya pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, lapang persepsi menyempit, dan rangsangan dari luar tidak mampu diterima.
c. Respons perilaku dan emosi: gerakan tersentak- sentak, terlihat lebih tegang, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur, dan perasaan tidak aman.
Kecemasan Berat a. Individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal yang lain.
b. Respons fisiologis: napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan berkelabut, serta tampak tegang
c. Respons kognitif: tidak mampu berpikir berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan / tuntutan, serta lapang persepsi menyempit.
d. Respons perilaku dan emosi: perasaan terancam meningkat dan komunikasi menjadi terganggu (verbalisasi cepat).
Panik a. Respons fisiologis: napas pendek, rasa tercekik dan palpitasi, sakit dada, pucat, hipotensi, serta rendahnya koordinasi motorik.
b. Respons kognitif: gangguan realitas, tidak dapat berpikir logis, persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi, dan ketidakmampuan memahami situasi.
c. Respons perilaku dan emosi: agitasi, mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak-teriak, kehilangan kendali/kontrol diri (aktivitas motorik tidak menentu), perasaan terancam, serta dapat berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan/ atau orang lain.
(Sumber : Asmadi, 2009)
27
a. Rentang Respon Kecemasan
Rentang respon sehat-sakit dapat dipakai untuk menggambarkan respon
adaptif- maladaptif pada kecemasan.
Adaptif <--------------------------------------------------------> Maladaptif
x x x x x
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
b. Skala Kecemasan
Skala menurut Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) terdiri dari 14
item, meliputi :
1) Perasaan cemas : firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah
tersinggung.
2) Ketegangan: merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan
lesu.
3) Ketakutan : takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal
sendiri dan takut pada binatang besar dll.
4) Gangguan tidur : sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari,
tidur tidak pulas dan mimpi buruk.
5) Gangguan kecerdasan : penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit
konsentrasi.
6) Perasaan depresi : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada
hoby, sedih, perasaan tiak menyenangkan sepanjang hari.
7) Gejala somatik : nyeri pada otot-otot dan kaku, geretakan gigi, suara
tidak stabil, dan kedutan otot.
28
8) Gejala sensori : perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka
merah dan pucat serta merasa lemah.
9) Gejala kardiovaskuler : takikardi, nyeri dada, denyut nadi mengeras
dan detak jantung hilang sekejap.
10) Gejala pernapasan : rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering
menarik napas panjang dan merasa napas pendek.
11) Gejala gastrointestnal: sulit menelan, obstipasi, berat badan
menurun, mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah
makan, perasaan panas diperut.
12) Gejala urogenital : sering kencing, tidak dapat menahan kencing,
aminorea, ereksi lemah atau impotensi
13) Gejala vegetatif : mulut kering, mudah berkeringat, muka merah,
bulu roma berdiri, pusing atau sakit kepala.
14) Prilaku sewaktu wawancara : gelisah jari-jari gemetar, mengkerutkan
dahi atau kening, muka tegang,
6. Teori Kecemasan
Cemas merupakan gejolak emosi seseorang yang berhubungan dengan
sesuatu di luar dirinya dan meknisme diri yang digunakan dalam mengatasi
permasalahan. Menurut Stuart (2006) ada beberapa teori yang menjelaskan
tentang kecemasan, antara lain:
a. Teori Psikoanalisis
Dalam pandangan psikoanalisis, cemas adalah konflik emosional
yang terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Id
29
mewakili dorongan insting dan implus primitif seseorang, sedangkan
superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh
norma-norma budaya seseorang. Ego berfungsi mengetahui tuntutan dari
dalam elemen tersebut, dan fungsi ansietas adalah meningkatkan ego
bahwa ada bahaya.
b. Teori Perilaku
Menurut pandangan perilaku, cemas merupakan produk frustasi yaitu
segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Pakar perilaku lain menganggap cemas sebagai
suatu dorongan untuk belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk
menghindari kepedihan. Peka tentang pembelajaran meyakini bahwa
individu yang terbiasa dalam kehidupan dirinya dihadapkan pada
ketakutan yang berlebih sering menunjukan cemas pada kehidupan
selanjutnya.
c. Teori Biologis
Kajian biologis menujukan bahwa otak mengandung reseptor khusus
untuk benzodiazepine, reseptor ini mungkin memicu cemas.
Penghambatan asam aminobuitrik-gamma neuroregulator (GABA) juga
memungkinkan peran utama dalam mekanisme biologis berhubungan
dengan kecemasan, sebagaimana halnya dengan endorphin. Selain itu
telah dibuktikan bahwa kesehatan umum seseorang mempunyai akibat
nyata sebagai predisposisi terhadap cemas.
30
d. Teori Eksistensi
Kajian keluarga menunjukan bahwa gangguan cemas merupakan hal
yang biasa ditemui dalam suatu keluarga. Adanya tumpang tindih antara
gangguan cemas dan gangguan depresi.
31
BAB III
KERANGKA KONSEP PENELITIAN
A. Kerangka Kerja Penelitian
Kerangka konsep adalah struktur dari suatu konsep dan atau teori yang
diletakkan secara bersama-sama dengan menggunakan skema pada suatu
penelitian. Kerangka konsep merupakan bagian dari kerangka teori yang akan
menjadi panduan dalam pelaksanaan penelitian. Kerangka konsep akan
menjelaskan hubungan atau keterkaitan antara variabel-variabel dalam penelitian
(Notoatmodjo, 2010). Kerangka konsep penelitian ini berbentuk variabel
independen dan variabel dependen. Variabel independen disebut juga dengan
variabel sebab, sedangkan variabel dependen biasa disebut dengan variabel
akibat.
Variabel independen pada penelitian ini adalah komunikasi intrapersonal
(komunikasi terapeutik) yang dikembangkan berdasarkan teori Stuart (2006)
yang mendefinisikan bahwa Fase dalam komunikasi terapeutik terdiri dari Fase
Praorientasi, Fase Orientasi, Fase Kerja Dan Fase Terminasi. Sedangkan yang
menjadi variabel dependen nya adalah tingkat kecemasan yang diukur dengan
menggunakan skala kecemasan menurut Hamilton Anxiety Rating Scale
(HARS).
32
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada skema berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen
Fase Komunikasi Terapeutik
Keterangan :
Area yang diteliti
Area yang tidak diteliti
Skema 3.1 Kerangka Kerja Penelitian
B. Hipotesa Penelitian
1. Hipotesa Mayor
Ho : Tidak Ada Hubungan Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik Dengan
Tingkat Kecemasan Ibu Dalam Menghadapi Persalinan Dirumah Sakit
Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
2. Hipotesa Minor
a. Ho : Tidak Ada Hubungan Fase Hubungan Orientasi Komunikasi
Terapeutik Dengan Tingkat Kecemasan Ibu Dalam Menghadapi
Persalinan Dirumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh
Fase Praorientasi
Fase Terminasi
Fase Kerja
Fase OrintasiTingkat Kecemasan :
Ringan Sedang Berat Panik
33
b. Ho : Tidak Ada Hubungan Fase Hubungan Kerja Komunikasi
Terapeutik Dengan Tingkat Kecemasan Ibu Dalam Menghadapi
Persalinan Dirumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh
c. Ho : Tidak Ada Hubungan Fase Hubungan Terminasi Komunikasi
Terapeutik Dengan Tingkat Kecemasan Ibu Dalam Menghadapi
Persalinan Dirumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh
C. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur Skala Ukur
Hasil Ukur
Variabel independen
Fase Orientasi
Pertemuan pertama perawat dan pasien pada saat akan melakukan kontrak waktu untuk pertemuan selanjutnya
Kuesioner Kuesioner dalam bentuk skala dichotomos choice yang terdiri dari 4 item pernyataan
Ordinal Baik(x ≥ 6,9)
Kurang (x < 6,9)
Fase Kerja Perawat dan pasien bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan pasien. Interaksi merupakan inti dari fase ini
Kuesioner Kuesioner dalam bentuk skala dichotomos choice yang terdiri dari 4 item pernyataan
Ordinal Baik(x ≥ 6,8)
Kurang (x < 6,8)
34
Fase Terminasi
Merupakan tahap akhir dari hubungan terapeutik dimana pasien mengungkapkan respon dari tindakan yang dilakukan perawat.
Kuesioner Kuesioner dalam bentuk skala dichotomos choice yang terdiri dari 4 item pernyataan
Ordinal Baik(x ≥ 6,4)
Kurang (x < 6,4)
Variabel DependenTingkat Kecemasan
Kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya.
Kuesioner Kuesioner dalam bentuk skala Rangking Question yang terdiri dari 14 pernyataan
Ordinal Ringan14-28
Sedang29-42
Berat43-56
35
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif korelatif yaitu penelitian
atau penelaahan hubungan antara dua variabel pada suatu atau sekelompok
subjek (Notoadmojo, 2010). Hal ini dilakukan untuk melihat hubungan
keterampilan komunikasi terapeutik dengan proses penyembuhan pasien diruang
rawat inap rumah sakit umum daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Desain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu suatu penelitian
dimana variabel- variabel diteliti pada waktu yang bersamaan (Notoatmodjo,
2010).
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi merupakan sekelompok subjek yang menjadi objek atau sasaran
penelitian yang memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan konsep
penelitian (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
Ibu hamil trimester III yang datang memeriksakan kehamilan di poliklinik
kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
periode Oktober, November, Desember 2014 yaitu sejumlah 270 orang.
36
2. Sampel
Penentuan jumlah sampel pasien menggunakan rumus Lameshow,
Hosmer, Klar, dan Lwanga (1997, p.54). Pemilihan rumus ini didasarkan
pada asumsi populasi yang dinamis dan tidak homogen.
n =
Keterangan:
n : besarnya sampel
N : besarnya populasi
Z21-α/2 : nilai baku pada distribusi normal, yaitu : 1.654
d2 : presisi absolut kedua sisi proporsi (10%)
Sehingga jumlah sampel adalah :
n =
=
=
= 54.79 dibulatkan menjadi 55 orang pasien (Ibu hamil).
Untuk mencegah kekurangan sampel akibat drop out, jumlah sampel
minimal ditambah 10%, sehingga jumlah sampel maksimal menjadi:
n = 55 + (10%)
= 60.5 dibulatkan menjadi 60 orang pasien (Ibu hamil)
37
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling didasarkan pada pertimbangan jumlah sampel yang dibuat
oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah
diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2010). Adapun kriteria sampel adalah
sebagai berikut:
a. Ibu hamil trimester III yang bersedia menjadi responden
b. Ibu hamil trimester III yang dapat membaca dan menulis
c. Ibu hamil trimester III yang tanpa komplikasi yang mendapat pelayanan di
poliklinik kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh
d. Ibu hamil trimester III yang dapat mengikuti intruksi dengan baik
C. Tempat dan waktu penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Poliklinik Kebidanan Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Pertimbangan kenapa dilakukan
penelitian di tempat tersebut karena : Rumah sakit umum Zainoel Abidin
adalah rumah sakit rujukan tipe A di provinsi Aceh.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 20 – 26 Januari tahun
2016. (Lampiran 1).
38
D. Alat Pengumpulan Data
1. Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diinginkan sesuai dengan tujuan
penelitian, penulis menggunakan dua format kuesioner yang mengacu pada
tinjauan kepustakaan dan kerangka konsep yang dikembangkan sendiri oleh
peneliti yaitu :
a. Bagian A merupakan data demografi responden, meliputi:, no responden,
umur, pendidikan.dan pekerjaan,
b. Bagian B merupakan pernyataan yang diajukan untuk variabel independen
yaitu fase hubungan komunikasi terapeutik dengan kriteria penilaian yang
digunakan adalah untuk pernyataan positif, skor yang diberikan yaitu dua
(2) untuk jawaban ya dan satu (1) untuk jawaban tidak.
c. Bagian C merupakan pernyataan yang diajukan untuk variabel dependen
yaitu tingkat kecemasan ibu dalam menghadapi persalinan yang terdiri dari
14 item pertanyaan. Yang dikembangkan oleh HARS. Dengan kriteria
penilaian masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka skore
antara 0-4, yang artinya adalah sebagai berikut :
0 = Tidak ada gejala
1 = Gejala ringan (1 dari gejala yang ada)
2 = Gejala sedang (Separuh dari gejala yang ada)
3 = Gejala berat (lebih dari separuh gejala yang ada)
4 = Gejala berat (semua gejala ada)
39
Masing-masing nilai (skor) dari ke 14 kelompok gejala tersebut
dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat
kecemasan seseorang, yaitu :
< 14 : Tidak ada kecemasan
14 – 28 : Kecemasang ringan
29 – 42 : Kecemasan sedang
43 – 56 : Kecemasan berat
E. Uji Coba Instrumen
Sebelum melakukan penelitian, penulis melakukan uji coba instrument
yang bertujuan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas daftar kuesioner yang
telah disusun
1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-
benar mengukur apa yang diukur. Untuk mengetahui apakah kuesioner yang
disusun tersebut mampu mengukur apa yang hendak diukur, maka perlu diuji
dengan uji korelasi antara skors (nilai) tiap item-item (pertanyaan) dengan
skors total kuesioner tersebut. Bila semua pertanyaan itu mempunyai korelasi
yang bermakna (contruct validity). Apabila kuesioner tersebut telah memiliki
validitas konstruk, berarti semua item (pertanyaan) yang ada di dalam
kuesioner tersebut mengukur konsep yang diukur (Notoatmodjo, 2010).
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan
40
sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran
dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur
yang sama (Notoadmodjo, 2010). Dengan menggunakan program computer
(SPSS), maka nilai reliabilitas dapat langsung dihitung dan hasilnya
menunjukkan bahwa kuesioner tersebut reliabel. Uji reliabilitas ini dilakukan
pada pasien di rumah sakit yang tidak diambil sebagai sampel.
F. Tehnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
penyebaran lembaran kuesioner, adapun prosedur pengumpulan data sebagai
berikut:
1. Tahap Persiapan Pengumpulan Data
Tahap persiapan pengumpulan data dilakukan dengan mendapatkan izin
dari Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala, kemudian
mendapatkan izin dari Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh.
2. Tahap Pengumpulan Data
Setelah mendapatkan izin dari Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh. Penelitian dilakukan dengan tahap seperti berikut :
a. Peneliti mendatangi calon responden, lalu memperkenalkan diri serta
menjelaskan tentang tujuan dan proses pengisian kuesioner. Peneliti juga
menjelaskan bahwa penelitian ini tidak berisiko bagi responden dan
kerahasiaan catatan mengenai data responden dijaga dengan benar dan
41
data-data yang diperoleh hanya akan digunakan untuk kepentingan
penelitian.
b. Kemudian peneliti memeriksa kelengkapan kuesioner yang akan
diberikan kepada responden dan mengisi kode pada No.Responden dan
tanggal pada lembar kuesioner.
c. Meminta persetujuan responden dan apabila responden setuju maka
responden menandatangani pada lembar persetujuan
d. Peneliti menjelaskan kepada rseponden tentang petunjuk pengisian
kuisioner.
e. Setelah selesai, peneliti melakukan pengecekan terhadap kelengkapan
dari pengisian jawaban kuisioner.
f. Peneliti juga akan meminta bantua dua orang enumerator untuk
melakukan wawancara terpimpin kepada responden yang akan mengisi
kuisionernya, setelah sebelumnya peneliti menjelaskan terlebih dahulu
kepada enumerator tentang prosedur pengisian kuisioner dalam penelitian
ini.
g. Setelah data terkumpul, penulis melaporkan kembali kepada pimpinan
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin untuk mendapatkan surat
keterangan selesai melakukan penelitian.
G. Pengolahan Data
Setelah data diperoleh, maka selanjutnya data tersebut diolah melalui
beberapa tahap sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010) :
42
1. Editing
Setelah pengumpulan data, hasil kuisioner harus dilakukan
penyuntingan terlebih dahulu. Secara umum, editing adalah kegiatan untuk
pengecekan dan perbaikan isian kuisioner kembali. yang meliputi
kelengkapan identitas responden dan memastikan semua item pernyataan
kuesioner sudah diisi secara lengkap.
2. Coding
Setelah semua kuisioner diedit atau disunting, kemudian dilakukan
pengkodean atau coding. Kode ini sangat berguna dalam entry data.
3. Processing
Semua data (jawaban responden) yang telah diberi kode, dimasukkan ke
dalam software computer. Software yang paling sering digunakan adalah
SPSS for windows
4. Cleaning
Setelah data di entry, maka perlu dilakukan pengecekan kembali, untuk
melihat kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan
dan kemudian dikoreksi.
H. Analisa Data
Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa univariat dan
bivariat. Berikut penjelasannya.
1. Analisa Univariat
Analisa ini digunakan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan
presentase dari tiap variabel dan subvariabel yang diteliti. Data yang
43
dikumpulkan akan diolah secara komputerisasi dengan kategori jenjang
ordinal maka akan ditentukan rata-rata atau mean dari variabel penelitian
melalui rumus yang dikemukakan oleh (Budiarto, 2001)
=
Keterangan:
= nilai rata-rata
= Jumlah keseluruhan nilai responden
n = Jumlah sampel
Kemudian ditentukan persentasi perolehan untuk tiap-tiap kategori
dengan menggunakan rumus berikut:
P = x 100%
Keterangan:
P = Persentase
fi = Frekwensi teramati
n= Jumlah responden (sampel)
2. Analisa Bivariat
Setelah dilakukan analisis univariat, hasilnya akan diketahui
karakteristik atau distribusi setiap variabel, dan dapat dilanjutkan analisis
bivariat. Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo, 2010, p.183).
Perhitungan statistic untuk analisa variabel penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan program komputer yaitu dengan menggunakan
program Statistik Service Solution (SPSS) yang di interprestasikan dalam
44
nilai non probabilitas (p value) maka akan dilakukan analisa silang. Analisa
bivariat dalam penelitian ini dilakukan dengan uji chi square.
Menurut Hastono (2007, p.125) terdapat beberapa aturan yang
berlaku pada uji Chi- square, yaitu:
a. Bila pada tabel 2x2 dijumpai nilai Expected (harapan) kurang dari 5,
maka angka yang digunakan adalah “Fisher’s Exact Test”.
b. Bila tabel 2x2, dan tidak ada nilai E < 5, maka angka yang digunakan
adalah “Continuity Correction”.
c. Bila tabelnya lebih dari 2x2, misalnya 3x2, 3x3 dan sebagainya, maka
angka yang digunakan “Pearson Chi-square”.
d. Bila Chi-square digunakan untuk keperluan yang lebih spesifik,
misalnya analisis stratifikasi pada bidang epidemiologi dan juga untuk
mengetahui hubungan linier dua variabel kategorik, maka digunakan
“Likelihood Ratio” dan “Linear-by-Linear Assciation”.
45
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Data Demografi Responden
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 20-26 Januari 2016 di Poliklinik
Kebidanan RSUDZA Banda Aceh. Jumlah sampel yang dikumpulkan sebanyak
60 orang responden dari 270 jumlah total ibu hamil trimester III yang datang
memeriksakan kehamilan di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun
2016. Untuk lebih jelasnya, data demografi tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Tabel 5.1Distribusi Sampel Berdasarkan Data Demografi Responden di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016
No Variabel Frekuensi Persentase1. Umur
- 20 – 30 tahun- 31 – 40 tahun- 41 – 50 tahun
20364
33,360,006,7
Jumlah 60 1003. Pendidikan Terakhir
- SMP- SMA- D-III- S-1/S-2
635127
10,058,320,011,7
Jumlah 60 1003. Pekerjaan
- IRT- PNS- Pegawai Swasta- Wiraswasta
2415165
40,025,026,708,3
Jumlah 60 100Data Penelitian tahun 2016
46
Berdasarkan Tabel 5.1 di atas, dapat diketahui bahwa dari 60 orang
responden, sebagian besar berumur diantara rentang 31-40, yaitu sebanyak 36
orang (60%). Pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh para responden
sebagian besarnya adalah SMA, yaitu sebanyak 35 orang (58,3%). Sedangkan
sebagian besar pekerjaan responden adalah IRT, yaitu sebanyak 24 orang (40%).
B. Hasil Penelitian
1. Analisa Univariat
1) Fase Orientasi
Tabel 5.2Distribusi Sampel Berdasarkan Fase Orientasi di Poliklinik
Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016
Fase Orientasi n %BaikKurang baik
4119
68,331,7
Jumlah 60 100Data Penelitian tahun 2016
Berdasarkan Tabel 5.2 di atas dapat dilihat sebagian besar fase
orientasi berada pada kategori baik, yaitu sebanyak 41 orang (68,3%).
2) Fase Kerja
Tabel 5.3Distribusi Sampel Berdasarkan Fase Kerja di Poliklinik
Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016
Fase Kerja n %Baik Kurang baik
4020
66,733,3
Jumlah 60 100Data Penelitian tahun 2016
47
Berdasarkan Tabel 5.3 di atas dapat dilihat sebagian besar fase
kerja berada pada kategori baik, yaitu sebanyak 40 orang responden
(66,7%).
3) Fase Terminasi
Tabel 5.4Distribusi Sampel Berdasarkan Fase Terminasi di Poliklinik
Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016
Fase Terminasi n %
BaikKurang baik
2832
46,753,3
Jumlah 60 100Data Penelitian tahun 2016
Berdasarkan Tabel 5.4 di atas dapat dilihat bahwa fase terminasi
berada pada kategori kurang baik, yaitu sebanyak 32 orang (53.3%).
4) Tingkat Kecemasan
Tabel 5.5Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Kecemasan di Poliklinik
Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016
Tingkat Kecemasan n %
RinganSedangBerat
32199
53,331,715,0
Jumlah 60 100Data Penelitian tahun 2016
Berdasarkan Tabel 5.5 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar
tingkat kecemasan responden berada pada kategori ringan, yaitu
sebanyak, yaitu 32 orang (53,3%).
48
2. Analisa Bivariat
a. Hubungan Fase Orientasi dengan Tingkat Kecemasan
Tabulasi silang hubungan antara fase orientasi dengan tingkat
kecemasan di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016,
dapat dilihat di bawah ini:
Tabel 5.6Hubungan antara Fase Orientasi dengan Tingkat Kecemasan di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016
Fase Orientasi
Tingkat Kecemasan
n % PRingan Sedang Berat
n % n % n %
Baik 23 56,1 17 41,5 1 2,4 41 100
0,000Kurang baik 9 47,4 2 10,5 8 42,1 19 100
Jumlah 32 53,3 19 31,7 9 15,0 60 100
Dari data Tabel 5.6 di atas dapat dilihat bahwa dari 41 orang
responden yang menyatakan fase orientasinya baik, terdapat 23 orang
(56,1%) yang tingkat kecemasannya berada pada kategori ringan, dan
hanya 1 orang (2,4%) yang berada pada kategori berat. Sedangkan dari 19
orang responden yang menyatakan fase orientasinya kurang baik, terdapat
9 orang (47,4%) yang tingkat kecemasannya berada pada kategori ringan,
dan 8 orang (42,1%) berada pada kategori berat. Selanjutnya berdasarkan
nilai signifikan p-value diperoleh nilai sebesar 0,000 yang berarti lebih
kecil dari a-value (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara fase orientasi dengan tingkat kecemasan di Poliklinik
Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016.
49
b. Hubungan Fase Kerja dengan Tingkat Kecemasan
Tabulasi silang hubungan antara fase kerja dengan tingkat
kecemasan di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016,
dapat dilihat di bawah ini:
Tabel 5.7Hubungan antara Fase Orientasi dengan Tingkat Kecemasan di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016
Fase Kerja
Tingkat Kecemasan
n % PRingan Sedang Berat
n % n % n %
Baik 26 65,0 11 27,5 3 7,5 40 100
0,016Kurang baik 6 30,0 8 40,0 6 30,0 20 100
Jumlah 32 53,3 19 31,7 9 15,0 60 100
Dari data Tabel 5.7 di atas dapat dilihat bahwa dari 40 orang
responden yang menyatakan fase kerjanya baik, terdapat 26 orang
(65,1%) yang tingkat kecemasannya berada pada kategori ringan, dan
hanya 3 orang (7,5%) yang berada pada kategori berat. Sedangkan dari 20
orang responden yang menyatakan fase kerjanya kurang baik, terdapat 6
orang (30%) yang tingkat kecemasannya berada pada kategori ringan, dan
6 orang (30%) berada pada kategori berat. Selanjutnya berdasarkan nilai
signifikan p-value diperoleh nilai sebesar 0,016 yang berarti lebih kecil
dari a-value (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara fase kerja dengan tingkat kecemasan di Poliklinik
Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016.
50
c. Hubungan Fase Terminasi dengan Tingkat Kecemasan
Tabulasi silang hubungan antara fase terminasi dengan tingkat
kecemasan di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016,
dapat dilihat di bawah ini:
Tabel 5.8Hubungan antara Fase Orientasi dengan Tingkat Kecemasan di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016
Fase Terminasi
Tingkat Kecemasan
N % PRingan Sedang Berat
n % n % n %
Baik 20 71,4 5 17,9 3 10,7 28 100
0,000Kurang baik 12 37,5 14 43,8 6 18,8 32 100
Jumlah 32 53,3 19 31,7 9 15,0 60 100
Dari data Tabel 5.8 di atas dapat dilihat bahwa dari 28 orang
responden yang menyatakan fase terminasinya baik, terdapat 20 orang
(71,4%) yang tingkat kecemasannya berada pada kategori ringan, dan
hanya 3 orang (10,7%) yang berada pada kategori berat. Sedangkan dari
32 orang responden yang menyatakan fase terminasinya kurang baik,
terdapat 12 orang (37,5%) yang tingkat kecemasannya berada pada
kategori ringan, dan 6 orang (18,8%) berada pada kategori berat.
Selanjutnya berdasarkan nilai signifikan p-value diperoleh nilai sebesar
0,030 yang berarti lebih kecil dari a-value (0,05). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara fase terminasi dengan tingkat
kecemasan di Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016.
51
C. Pembahasan
1. Hubungan Fase Orientasi dengan Tingkat Kecemasan
Berdasarkan hasil pengolahan data di atas, diketahui bahwa ada
hubungan antara fase orientasi dengan tingkat kecemasan. Hubungan ini juga
dapat dilihat pada Tabel 5.6 dimana dari 41 orang responden yang
menyatakan fase orientasinya baik terdapat 23 orang (56,1%) yang tingkat
kecemasannya berada pada kategori ringan, dan hanya 1 orang (2,4%) saja
yang tingkat kecemasannya berada pada kategori berat.
Namun, hal sebaliknya dapat dilihat pada responden yang menyatakan
fase orientasinya kurang baik, dimana tingkat kecemasan responden juga
meningkat, dari 19 orang responden terdapat 8 orang (42,1%) atau hampir
setengahnya yang tingkat kecemasannya berada kategori berat, hubungan ini
juga diperkuat dengan hasil uji statistik chi-square dengan nilai p-value
(0,000) yang berarti lebih kecil dari a-value (0,05).
Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Purwandita
Anggarini dan Lutfi Nurdian Asnindari (2012), dengan judul ”Hubungan
Persepsi Pasien Tentang Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan
Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di Ruang Flamboyan RSUD Muntilan
Yogyakarta, yang mana pada variabel fase orientasi memiliki hubungan yang
signifikan dengan tingkat kecemasan pasien (p = 0,000).
Fase orientasi ini dimulai pada saat bertemu pertama kali dengan
klien. Pada saat pertama kali bertemu dengan klien fase ini digunakan
perawat untuk berkenalan dengan klien dan merupakan langkah awal dalam
membina hubungan saling percaya. Tugas utama perawat pada tahap ini
52
adalah memberikan situasi lingkungan yang peka dan menunjukkan
penerimaan, serta membantu klien dalam mengekspresikan perasaan dan
pikirannya.
Menurut Stuart (2006), fase orientasi atau perkenalan merupakan fase
yang dilakukan perawat pada saat pertama kali bertemu atau kontak dengan
klien. Tahap perkenalan dilaksanakan setiap kali pertemuan dengan klien
dilakukan. Tujuan dalam tahap ini adalah memvalidasi keakuratan data dan
rencana yang telah dibuat sesuai dengan keadaan klien saat ini, serta
mengevaluasi hasil tindakan yang telah lalu.
Pada fase ini salah satu tugas perawat membina hubungan saling
percaya, menunjukkan sikap penerimaan dan komunikasi terbuka. Untuk
membina hubungan saling percaya perawat harus bersikap terbuka, jujur,
ihklas, menerima klien apa danya, menepati janji, dan menghargai klien.
Dalam hal ini, peneliti berasumsi bahwa fase orientasi ini merupakan
fase paling penting dalam komunikasi terapeutik, karena fase ini awal dari
membentuk kesan pada diri pasien, awal dari kesan pasien yang baik akan
menetukan sikap pasien pada tahap selanjutnya. Pasien yang sudah menaruh
rasa kepercayaan kepada perawat akan merasa nyaman dalam menghadapi
tindakan pengobatan dan perawatan selanjutnya.
2. Hubungan Fase Kerja dengan Tingkat Kecemasan
Berdasarkan hasil pengolahan data di atas, diketahui bahwa ada
hubungan antara fase kerja dengan tingkat kecemasan. Hubungan ini juga
dapat dilihat pada Tabel 5.7 dimana dari 40 orang responden yang
53
menyatakan fase kerjanya baik terdapat 26 orang (65%) yang tingkat
kecemasannya berada pada kategori ringan, dan hanya 3 orang (7,5%) saja
yang tingkat kecemasannya berada pada kategori berat.
Namun, hal sebaliknya dapat dilihat pada responden yang menyatakan
fase kerjanya kurang baik, dimana tingkat kecemasan responden juga
meningkat, dari 20 orang responden terdapat 6 orang (30%) yang tingkat
kecemasannya berada kategori berat, hubungan ini juga diperkuat dengan
hasil uji statistik chi-square dengan nilai p-value (0,000) yang berarti lebih
kecil dari a-value (0,05).
Hasil penelitian sejenis yang peneliti temukan adalah penelitian yang
dilakukan Atmawati (2010) yang berjudul ”Hubungan Komunikasi
Terapeutik Perawat dengan Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di RSUD
Setjonegoro Kabupaten Wonosobo”, dimana terdapat hubungan yang
signifikan antara fase kerja dengan tingkat kecemasan pasien (p = 0,001).
Stuart (2006) mengatakan bahwa fase kerja merupakan inti dari
keseluruhan proses komunikasi terapeutik. Fase kerja merupakan inti dari
hubungan perawat dan klien yang terkait erat dengan pelaksanaan rencana
tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang
dicapai. Pada fase kerja ini perawat perlu meningkatkan interaksi dan
mengembangkan faktor fungsional dari komunikasi terapeutik yang
dilakukan. Meningkatkan interaksi sosial dengan cara meningkatkan sikap
penerimaan satu sama lain untuk mengatasi kecemasan, atau dengan
menggunakan teknik komunikasi terapeutik sebagai cara pemecahan dan
dalam mengembangkan hubungan kerja sama.
54
Pada fase ini perawat juga bertugas mengembangkan atau
meningkatkan faktor fungsional komunikasi terapeutik dengan melanjutkan
pengkajian dan evaluasi masalah yang ada, meningkatkan komunikasi klien
dan mengurangi ketergantungan klien pada perawat, dan mempertahankan
tujuan yang telah disepakati dan mengambil tindakan berdasarkan masalah
yang ada.
Dalam hal ini peneliti berasumsi bahwa fase ini merupakan lanjutan
dari fase sebelumnya. Jika fase seblumnya baik, maka pada fase ini semuanya
juga akan berjalan dengan baik. Hubungan saling percaya yang tecipta pada
fase sebelumnya akan membuat kerjasama pada fase ini akan berjalan dengan
baik pula. Selanjutnya kerjasama yang baik ini akan membuat pasien merasa
nyaman. Karena perawat behasil mengeksplorasi stressor yang terjadi pada
pasien dengan tepat.
3. Hubungan Fase Terminasi dengan Tingkat kecemasan
Berdasarkan hasil pengolahan data di atas, diketahui bahwa ada
hubungan antara fase kerja dengan tingkat kecemasan. Hubungan ini juga
dapat dilihat pada Tabel 5.8 dimana dari 28 orang responden yang
menyatakan fase terminasinya baik terdapat 20 orang (71,4%) yang tingkat
kecemasannya berada pada kategori ringan, dan hanya 3 orang (10,7%) saja
yang tingkat kecemasannya berada pada kategori berat.
Namun, hal sebaliknya dapat dilihat pada responden yang menyatakan
fase terminasinya kurang baik, dimana tingkat kecemasan responden juga
meningkat, dari 32 orang responden terdapat 6 orang (18,8%) yang tingkat
55
kecemasannya berada kategori berat, hubungan ini juga diperkuat dengan
hasil uji statistik chi-square dengan nilai p-value (0,030) yang berarti lebih
kecil dari a-value (0,05).
Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Purwandita
Anggarini dan Lutfi Nurdian Asnindari (2012), dengan judul ”Hubungan
Persepsi Pasien Tentang Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan
Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi di Ruang Flamboyan RSUD Muntilan
Yogyakarta, yang mana pada variabel fase terminasi memiliki hubungan yang
signifikan dengan tingkat kecemasan pasien (p = 0,000).
Fase terminasi ini merupakan fase yang terakhir dari pertemuan
perawat dan pasie, namun fase ini merupakan fase yang sulit dan juga sangat
penting, karena hubungan saling percaya sudah terbina dan berada pada
tingkat optimal. Perawat dan klien keduanya merasa kehilangan. Terminasi
dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau saat
klien akan pulang. Perawat dan klien bersama-sama meninjau kembali proses
keperawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan. Untuk melalui fase ini
dengan sukses dan bernilai terapeutik, perawat menggunakan konsep
kehilangan.
Fase terminasi ini merupakan fase yang terakhir dari pertemuan
perawat dan pasie, namun fase ini merupakan fase yang sulit dan juga sangat
penting, karena hubungan saling percaya sudah terbina dan berada pada
tingkat optimal. Perawat dan klien keduanya merasa kehilangan. Terminasi
dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau saat
klien akan pulang. Perawat dan klien bersama-sama meninjau kembali proses
56
keperawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan. Untuk melalui fase ini
dengan sukses dan bernilai terapeutik, perawat menggunakan konsep
kehilangan.
Stuart (2006) mengatakan bahwa terminasi merupakan akhir dari
pertemuan perawat dan klien. Tahap terminasi dibagi dua yaitu terminasi
sementara dan terminasi akhir. Terminasi sementara adalah akhir dari tiap
pertemuan perawat dan klien, setelah hal ini dilakukan perawat dan klien
masih akan bertemu kembali pada waktu yang berbeda sesuai dengan kontrak
waktu yang telah disepakati bersama. Sedangkan terminasi akhir dilakukan
oleh perawat setelah menyelesaikan seluruh proses keperawatan.
Salah satu tugas perawat pada fase ini adalah kesepakatan tindak
lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindak lanjut yang disepakati
harus relevan dengan interaksi yang baru saja dilakukan atau dengan interaksi
yang akan dilakukan selanjutnya. Tindak lanjut dievaluasi dalam tahap
orientasi pada pertemuan berikutnya.
Dalam hal ini peneliti berasumsi bahwa meskipun pada fase terminasi
ini merupakan fase terakhir dari pertemuan antara perawat dan pasien, namun
fase ini merupakan fase yang sulit dan juga sangat penting, karena hubungan
saling percaya sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Perawat dan
klien keduanya merasa kehilangan. Fase ini juga penting untuk kesepakatan
tindak lanjut, sehingga pada pertemuan lanjutan, pasien tidak merasa takut
atau cemas lagi.
57
D. Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini hanya meneliti fase demi fase dari komunikas terapeutik saja,
serta hubungannya dengan tingkat kecemasan pasien. Fase-fase tersebut juga
didapat hanya dari satu pihak, yaitu persepsi responden tanpa melihat
tindakan nyata di lapangan. Oleh karena itu untuk mengotimalkan hasil
penelitian, variabel tambahan seperti perbandingan observasi dan persepsi
responden juga dapat digunakan.
2. Penelitian melibatkan subyek penelitian dalam jumlah terbatas, yakni
sebanyak 60 orang, sehingga hasilnya belum dapat digeneralisasikan pada
kelompok subyek dengan jumlah yang besar.
58
1
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Ada hubungan antara fase orientasi dengan tingkat kecemasan di
Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016.
2. Ada hubungan antara fase kerja dengan tingkat kecemasan di Poliklinik
Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016.
3. Ada hubungan antara fase terminasi dengan tingkat kecemasan di
Poliklinik Kebidanan RSUDZA Banda Aceh Tahun 2016.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka disarankan
beberapa hal seperti di bawah ini :
1. Bagi responden yang memiliki persepsi yang baik dan tingkat kecemasan
ringan untuk tetap dipertahankan, sedangkan untuk responden yang
memiliki persepsi yang kurang baik disarankan untuk lebih banyak berdo’a
dan lebih berfikir positif agar memiliki persepsi yang baik dan tingkat
kecemasan yang ringan sehingga tindakan operasi bisa berjalan dengan
lancar sampai fase pemulihan.
2. Diharapkan pada petugas kesehatan khususnya perawat yang memberikan
perawatan agar lebih memperhatikan komunikasinya terhadap pasien agar
pasien mempunyai persepsi yang baik tentang pelaksanaan komunikasi
59
2
terapeutik perawat, sehingga dapat menurunkan kecemasan pasien yang
akan menjalani operasi.
3. Bagi peneliti lain diharapkan untuk dapat melakukan penelitian yang lebih
spesifik, dengan faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan tingkat
kecemasan perawat seperti faktor traumatik, pengalaman, dan faktor-faktor
lain yang dianggap sesuai.
60
3
DAFTAR PUSTAKA
Arief, N. (2008). Kehamilan dan Kelahiran Sehat. Yogyakarta: DianlokaAris. (2007). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana
Arwani. (2003). Komunikasi Dalam Keperawatan. Jakarta : EGC
Asmadi, (2009). Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan Aplikasi KebutuhanDasar Klien. Jakarta : Salemba Medika.
Barlow, D. H. 2006. Psikologi Abnormal. Alih Bahasa: Linggawati Haryanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Cangara, H. (2004). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Carpenito. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC
Chaplin, J.P. (2004). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Effendy. N (2008). Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC
Effendy. (2006). Hubungan Komunikasi Masyarakat. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Efendy, (2005). Kiat Sukses Menghadapi Operasi. Yogyakarta: Sahabat Setia.
Hardjana, M. (2007). Komunikasi Intrapersonal Dan Interpersonal yogyakarta : Kanisius
Harnawatiaj. (2008). Konsep Diri. Jakarta : Rineka Cipta
Henderson, C. (2006). Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta : EGC
Lestariningsih, S. (2005). Berpikir Positif Sejalan. Ayahbunda. Jakarta: PT. Aspirasi Pemuda.
Liliweri, A. (2008). Dasar Dasar Komunikasi Kesehatan. Yogyakarta : Pustaka Belajar
Maulana. (2009). Promosi Kesehatan. Jakarta : EGC
61
4
Mulyana, (2005). Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Notoatmodjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Nurjannah, (2001). Hubungan Terapeutik Perawat dan Klien.Yogyakarta: CV. Media Pressindo.
Nursalam. (2011). Manajemen Keperawatan. Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta: Salemba Medika.
Rakhmat. (2005). Psikologi Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Rochim, S. (2009). Teori Komunikasi, Ragam Dan Aplikasi. Bandung : Rineka Cipta
Sandra. (2013). Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat Dengan Kepuasan Pasien Di Ruang Instalasi Rawat Inap Non Bedah (Penyakit Dalam Pria Dan Wanita) Rsup Dr. M. Djamil Padang Tahun 2013. Skripsi Tidak dipublikasikan
Smet, B. (2004). Psikologi Kesehatan. Jakarta: GramediaStuart, Gail, (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC,
Stuard G. W. ( 2006). Buku saku keperawaran jiwa. Edisi 5. Jakarta : EGC.
Suliswati, (2005), Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC
Sundari, S. (2005). Kesehatan Mental dalam Kehidupan. Jakarta: Rineka Cipta
Suryabrata, S. (2002). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo PersadaTyastuti. Siti. (2008). Komunikasi & Konseling dalam Pelayanan Kebidanan.
Jakarta: Fitrimaya
Uripni, (2003). Komunikasi Kebidanan. Jakarta : EGC
Yahya, I.F. (2004). Faktor-faktor yang berhubungan dengan efektifitas komunikasi terapeutik perawat pelaksana di ruang rawat inap RS. Sumber Waras Jakarta. Skripsi
Videbeck, (2008). Buku Ajar Keperawatanj Jiwa. Jakarta : EGC
62
5