Upload
chartika-chika
View
1.658
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
TEORI STRATEGI: PERANG DUNIA DAN STRATEGI
Tugas Kelompok 3
Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah Teori Strategi
Oleh:
Desriani
Feronika Sianturi
Hendrini Renola
Hery Wahyudi
Indah Chartika Sari
Purwasandi
Yeni Sari Devi
Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Riau
2012
1. PERANG DINGIN: KAPAN MULAI, KAPAN BERAKHIR DAN PENYEBAB
TERJADINYA
Perang Dingin merupakan sebuah periode di mana terjadi konflik,
ketegangan, dan kompetisi antara Amerika Serikat (beserta sekutunya disebut
Blok Barat) dan Uni Soviet (beserta sekutunya disebut Blok Timur) yang terjadi
antara tahun 1947-1991. Perang Dingin juga dikenal dengan perang ideolagi
antara dua kubu yang awalnya bergabung dalam blok sekutu (Amerika Serikat,
Inggris dan Uni Soviet) untuk menghancurkan blok fasis (Jerman, Jepang dan
Italia).
Dua blok yang bersitegang ini antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet
yang mempunyai perbedaan ideologi, dimana Amerika yang berhaluan kapitalis-
liberal berbeda pandangan dengan Soviet yang menjunjung komunis sebagai
ideologinya. Tidak hanya perang ideologi, penyebab terjadinya Perang Dingin
antara dua kubu ini juga mengalami perseteruan diberbagai bidang seperti militer,
industri, pengembangan teknologi, pertahanan, perlombaan nuklir, persenjataan
dan masih banyak lagi. Karena dua negara ini lebih menganggap mereka masing-
masing mempunyai kekuatan yang besar sebagai negara adikuasa yang dapat
bertarung dan memepertahankan kedaulatan serta ideologi mereka untuk
dikembangkan dan menguasai dunia.
Mengenai mulainya Perang Dingin ini, tidak dapat dielakkan dari
berakhirnya Perang Dunia II. Perseteruan berawal dari perbedaan pandangan
pada Konferensi Pasca Perang Dingin di Postdam tahun 1945. dalam hal ini,
presiden Amerika Harry S. Trauman yang memiliki kebijakan berbeda dengan
presiden sebelumnya yaitu Roosevelt. Trauman menginginkan
diselenggarakannya pemilu yang bebas diseluruh negara di Eropa Timur, Stalin
sebagai pemimpin Uni Soviet saat itu menolak terhadap apa yang dinginkan
Amerika Serikat. Karena Stalin lebih menginginkan keamana militer total di Eropa
Timur untuk kekuatan yang besar dan merasa khawatir bila diadakan pemilu yang
bebas akan membuat hal tersebut tidak tercapai.
Ada beberapa pandangan bahwa Perang Dingin ini memiliki beberapa
periode tentang bagaimana mulai dan berakhirnya perang tersebut. Dimulai pada
periode 1945-1969, dianggap sebagai awal mula terjadinya konflik Amerika-Soviet.
Dalam periode ini, ada dua karakter yaitu: pertama, adanya keprihatinan akan
ambisi rivalnya yang menimbulkkan pesimisme. Kedua, Amerika-dan Soviet
merupakan kekuatan militer yang sangat kuat dan memiliki kemampuan untuk
mengahncurkan musuhnya dengan serangan nuklir. Amerika dan Soviet akhirnya
memeberikan pengaruhnya terhadap negara didunia untuk membentuk
persekutuan, di Amerika dengan NATO (North Atlantic Treaty Organization) yang
dibentuk tahun 1949 dan Sovit dengan membentuk Pakta Warsawa tahun 1955.
Periode kedua pada tahun 1969-1879, pada periode ini kedua blok
mengalami kedekatan dan meredanya ketegangan antara keduanya dengan
terpilihnya Richard Nixon sebagai presiden Amerika dan kesepakatan tersebut
dinamakan Detente. Namun Soviet tidak dapat menahan kesepskatan detente ini
dengan penyerangan yang dilakukan ke Afganistan. Dalam hal ini, Amerika
menentang keras dan melakukan bantuan untuk Afganistan dalam mencapai
kemerdekaan dan membendung komunis, serta mengajak pada persaingan
senjata nuklir yang terjadi pada periode tahun 1979-1985.
Akhirnya, perang ini pun berakhir dengan naiknya presiden terpilih Michael
Gorbachev sebagai presiden Soviet dan adanya konflik internal hingga terancam
pada perpecahan. Lalu Gorbachev mengumandangkan politik perestorika, dimana
memberikan kebebasan pada warganya yang sebelumnya dibawah pemerintahan
diktator. Gorbachev mendekatkan diri dengan Amerika, sehingga menghasilkan
perjanjian Jenewa tahun 1988 dan diikuti dengan penarikan pasukan dari
Afganistan dan runtuhnya tembok berlin yang memisahkan Jerman Barat dan
Jerman Timur yang dianggap sebagai berakhirnya perang dingin. Serta
pemisahan negara-negara yang tergabung dengan Uni Soviet untuk memerdekan
diri sebagai tanda runtuhnya komunis dan kemenangan bagi Amerika.
Referensi
http://mediaanakindonesia.wordpress.com/2011/11/06/perang-dingin-antara-blok-
barat-dan-blok-timur/ diakses pada tanggal 27 November 2011
http://duniabaca.com/faktor-penyebab-terjadinya-perang-dingin.html diakses pada
tanggal 27 Novemeber 2011
2. STRATEGY OF CONTAINMENT
Strategy of containment merupakan konsep yang ditawarkan dalam
kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam membendung dominasi Uni Soviet di
saat Perang Dingin. Konsep ini dibuat oleh diplomat Amerika yakni George F.
Kennan pada tanggal 22 Februari 1946. Konsep ini didapatkan dari telegram yang
dikirim oleh Kennan dari Moskow terkait dengan pembagian konsep perjuangan
untuk Amerika yang ditawarkan oleh nya.
Containment policy yang dikeluarkan oleh Amerika berisikan tentang
strategi yang dibuat oleh Amerika untuk membendung dominasi Uni Soviet.
Pembendungan dominasi ini tidak hanya terkait dengan aspek kekuasaan bahkan
juga mencakup aspek ideologi, militer, dan ekonomi. Di dalam aspek militer
containment policy yang terlihat dikeluarkan oleh Amerika yakni peristiwa
intervensi Amerika terkait dengan invasi yang dilakukan oleh Korea Utara
terhadap Korea Selatan yang dilakukan atas persetujuan yang diberikan oleh
Stalin terhadap Kim il Sung pemimpin Korea Utara pada tahun 1950. Selain itu
Amerika juga membentuk suatu aliansi militer di Eropa yakni NATO (north Atlantic
treaty organization) pada tahun 1949 sebagai tandingan pembentukan aliansi
militer yang dibuat oleh Uni Soviet dengan sekutunya yakni pact warsawa.
Di dalam aspek ideologi Amerika terlihat mencoba membendung dominasi
Uni Soviet yang mempunyai ideologi komunis dengan menjalan kan containment
policy sebagai proses penyebarluasan konsep demokrasi yang ditawarkan oleh
Amerika. Sedangkan di dalam aspek ekonomi Amerika mencoba mendominasi
kekuatan Uni Soviet dengan mengidentifikasikan Uni Soviet sebagai musuh yang
terdapat dalam kebijakan marshall plan pada tahun 1946. Pada saat itu, Amerika
yang dipimpin oleh Truman dan Inggris dipimpin oleh Attlee dengan secara
terang-terang menyebutkan Uni Soviet sebagai musuh utama dalam bidang
ekonomi, dan hal ini yang berkembang di kawasan Eropa pada saat itu.
Containment policy menjadi suatu konsep yang layak dipergunakan oleh
Amerika sebagai suatu kebijakan yang efektif dalam membendung dominasi Uni
Soviet. Selama empat puluh tahun Amerika telah menerapkan kebijakan ini
sejalan dengan berlangsungnya Perang Dingin. Sebab itu lah konsep ini wajar
untuk dikaji dalam pemahaman strategi. Kennan menganggap strategi ini
merupakan strategi asimetrik dengan mendeskripsikan pengaplikasian kekuatan
sendiri untuk melawan kekuatan lawan dengan menunjukkan seluruh kemampuan
sendiri untuk melawan kekuatan lawan.
Amerika juga telah menerapkan strategy of containment pada wilayah Asia
untuk menjadi dominan di wilayah tersebut. Amerika mengangkat isu-isu nuklir
dan ekonomi untuk menjalankan strategy of containment nya. Isu ekonomi lebih
dititik beratkan pada kebijakan luar negeri untuk China, sedangkan isu nuklir lebih
ditekankan pada wilayah timur tengah. Contoh perjanjian ataupun kerjasama yang
berisikan strategy of containment dari Amerika ialah : NATO, SEATO, Baghdad
Pact, Middle East Treaty Organization.
Selain itu pengkajian strategy of containment juga menunjukkan bahwa
Amerika tidak perlu menggunakan militer untuk melawan Uni Soviet, cukup
dengan usaha perlawanan melalui teknologi dan ekonomi yang membuat
ketergantungan dan membuat Amerika sebagai pusat dari kekuasaan dunia.
Strategy of Containment juga menunjukkan bahwa penggunaan strategi
merupakan tingkat strategi di level high-cost strategy dan strategy of containment
juga menunjukkan akhir dari konstruksi balance of power yang telah menunjukkan
perbedaan moral dari doktrin Amerika yang terdapat dalam containment policy
dan doktrin Eropa.
Containment policy juga telah diterapkan oleh beberapa presiden Amerika,
seperti woodrow wilson dan reagan. Kebijakan ini berujung pada perlombaan
militer dan ekonomi antara Amerika dan Uni Soviet yang menimbulkan status quo
dan offensive strategy dari kedua negara. Dalam perkembangannya strategy of
containment juga dapat disamakan dengan strategy of disaggregation yang berarti
kebijakan yang berbeda pada saat waktu penggunaannya dan tempat dimana ia
digunakan, akan tetapi tetap memberikan pembagian kumpulan konsepsi strategi
untuk melindungi konfrontasi global. Oleh karena itu esensi dari strategi dapat
terdiri dari campuran dari kerjasama (cooperation), konfrontasi (confrontation), dan
kompetisi (competition).
Referensi
Gray, Colin. S. 2007. War, Peace, and International Relations: An Introduction to
Strateguc History. New York: Routledge.
Papers, Classic Adelphi. 2008. The Evolution of Strategic Thought. New York:
Routledge.
Handel, Michael. I. 2001. Masters of War: Classical Strategic Thought. Frankcass
Publishers: London.
Mahnken, Thomas. G & Joseph A. Maiolo. 2008. Strategic Studies A Reader. New
York: Routledge.
3. STRATEGY OF COUNTERFORCE AND COUNTERVALUES
Ide mengenai kedua strategi ini muncul setelah menilik kembali pada apa
yang terjadi pada perang yang terjadi selama masa perang dunia I dan II dimana
perang yang terjadi menghancurkan segala hal tanpa adanya pilihan target
sasaran. Perang hanya dapat dicegah dan dicegah hanya apabila persenjataan
telah habis. Adalah McNamara yang mencetuskan ide tentang strategi tersebut
yang disampaikan dalam sebuah pidato di Ann Arbor, Michigan pada bulan Juni
1962 mengemukakan bahwa pada saat terjadinya perang antar dua kekuatan
besar, penghancuran memang tidak dapat dihindari, tetapi bagaimanapun juga
seharusnya dibuat suatu pilihan dalam mengakhiri perang selain daripada
penghancuran tanpa batas tersebut. Strategi yang berkembang semasa perang
dingin ini sebenarnya dibuat untuk mengantisipasi jatuhnya korban perang yang
banyak, serta untuk mencegah terjadinya perang secara besar-besaran. Memang
strategi ini bukan hal baru lagi, bahkan sudah pernah diterapkan oleh Raja
Archidamus Sparta untuk melawan Polis Athena, 2400 tahun yang lalu.
Inti dari ide McNamara menyebutkan bahwa penggunaan strategi militer
yang menghancurkan segala hal dianggap sebagai strategi militer yang lebih
konvensional dan hanya berlaku di masa lalu. Tujuan utama serangan militer
dalam perang adalah untuk menghancurkan kekuatan militer lawan, bukan
penduduk sipilnya. Dengan menghancurkan kekuatan militer lawan, maka musuh
tersebut dapat melihat apa yang akan mereka terima jika seandainya menahan
diri atau memilih untuk menyerang kota-kota dari pihak yang melakukan serangan
terhadap instalasi militer mereka. Pemikiran dari McNamara ini kemudian dikenal
sebagai counterforce strategy. Counterforce strategy ini oleh karena sasaran
targetnya tidak untuk menghancurkan kota dikenal juga sebagai no-city strategy.
Kota-kota musuh itu dipandang sebagai suatu hal yang tidak perlu dihancurkan
secepat mungkin, tetapi harus dipahami sebagai sebuah aset ataupun sandera.
Sesuai dengan prinsip-prinsip dari counterforce strategy, maka perang
ditujukan pada pasukan militer musuh bukan pada kota-kotanya. Dalam hal ini
tampak adanya batasan dalam target operasi militer. Alasan utama melakukan
penyerangan terlebih dahulu pada kekuatan militer musuh adalah untuk
mencegah jangan sampai musuh terlebih dahulu menyerang kekuatan militer
bahkan kota-kota kita. Sementara kota-kota tidak diserang adalah untuk
mengurangi kematian dari kalangan masyarakat sipil. Kota itu sendiri dapat
dijadikan sebagai sandera atau tahanan, menunjukkan pada musuh betapa besar
kerugian yang akan diterima jika menyerang dan juga menunjukkan bahwa
setidaknya musuh masih memiliki tanah dan penduduk jika tidak melawan.
Strategi tersebut hanya akan sukses apabila musuh mampu melihat apa yang
akan terjadi atau yang tidak akan terjadi dalam setiap tindakan yang mereka
ambil, musuh mampu mengontrol kekuatan mereka sendiri, serta dapat juga
melihat pola tindakan kita dan akibat yang mungkin ditimbulkan bagi pihak
mereka.
Pihak yang menerapkan counterforce strategy juga harus memperhatikan
bahwa setelah serangan terhadap kekuatan militer musuh dilakukan, baik itu
pangkalan militer, alat-alat perang, senjata, gudang senjata, dan lain-lainnya,
harus tetap memiliki sisa senjata sehingga memiliki keunggulan dari pihak lawan,
sehingga musuh merasa ketakutan. Senjata yang tidak habis ini juga sebagai
antisipasi terhadap serangan kedua yang mungkin juga akan habis-habisan dan
juga sebagai senjata dalam countervalue strategy jika diperlukan. Kelemahan dari
strategi ini adalah jika pihak lawan merasa takut sehingga melakukan serangan
terlebih dahulu, sehingga kehancuran segala aspek tidak dapat dibatasi.
Strategi yang dapat dikatakan berlawanan dengan counterforce strategy
adalah countervalues strategy. Strategi adalah strategi yang lebih baru yang
muncul kemudian yang melihat tentang pentingnya kehidupan sebuah kota. Kota
dan penduduk sipil menjadi target sasaran dalam countervalues startegi. Oleh
karena target sasaran strategi ini adalah kota maka strategi ini dikenal juga
sebagai countercity strategy. Kota-kota dihancurkan untuk melemahkan upaya
perang dari musuh, menghancurkan dan menyiksa para pimpinan musuh yang
mungkin hidup di kota-kota tersebut, bahkan untuk membalaskan dendam setelah
upaya pencegahan yang sekian lama dilakukan tidak berfungsi sama sekali.
Kedua strategi tampaknya memang tampak memiliki perbedaan yang
mencolok sekali, namun dalam tataran praktis keduanya seperti dua keping uang
logam, McNamara bahkan menyebutnya saling melengkapi. Counterforce strategy
dan countervalue strategy sangat banyak digunakan pada saat perang dingin
antara Amerika Serikat dengan Uni Sovyet terutama sekali dalam hal nuklir.
Referensi
Cronin, Patrick M. Ed. The Evolution of Strategic Thought Classic. London: Taylor
& Francis e-Library. 2008.
Handel, Michael. I. 2001. Masters of War: Classical Strategic Thought. Frankcass
Publishers: London.
4. STRATEGY OF DETERRENCE
Konsep effective deterrence muncul pada era Perang Dingin, karena pada
waktu itu sistem internasional bersifat bipolar yaitu antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet. Kepemilikan nuklir dipandang sebagai sumber power bagi kedua negara.
Walaupun perang terbuka tidak memungkinkan terjadi maka digunakan cara lain
untuk memenangkan persaingan, yakni dengan mempublikasikan kemajuan
masing-masing negara dalam usaha pengembangan nuklir.
Kesadaran dan ketakutan terhadap dampak negatif dari penggunaan
senjata nuklir menyebabkan Amerika Serikat mengubah kebijakan strategis yang
digunakan sebagai bentuk pertahanan terhadap Uni Soviet yang secara timeline
dibagi menjadi tiga, yakni compellence (1945-1962), mutual deterrence (1962-
1983) dan defense (1983-1993). Konsep compellence diartikan sebagai
pemaksaan. Dalam konteks militer berarti pemaksaan terhadap pihak lawan untuk
menghentikan tindakan pihak lawan tersebut. Hal yang mengakhiri kebijakan
strategis ini adalah Amerika Serikat dan Uni Soviet hampir terlibat di dalam perang
nuklir berskala besar di Kuba. Akan tetapi strategi yang diterapkan Amerika
Serikat membuat kedua negara tersebut berpikir dua kali dan hal inilah yang
akhirnya juga mempengaruhi perubahan strategi Amerika Serikat dari
compellence menuju deterrence.
Deterrence, berasal dari kata deterrent yang diartikan sebagai penolakan
atau pencegahan. Menurut Wittkopf, deterrence adalah salah satu kebijakan
strategis yang muncul setelah Perang Dunia II yang ditandai dengan pengeboman
di Hiroshima dan Nagasaki Jepang oleh Amerika Serikat dan adanya perubahan
daerah internasional balance of power menjadi balance of terror. Sedangkan
menurut Patrick M. Morgan dalam bukunya Deterrence Now (2003), deterrence
adalah sebuah praktek lama dalam politik internasional dan reaksi wilayah lainnya.
Konsep ini merupakan strategi militer yang berkembang pada era Perang Dingin,
sekaligus digunakan sebagai sebuah strategi pada masa Perang Dingin dan
merupakan sebuah kondisi dimana para aktor superpower saling melakukan
pencegahan dalam perang formal yang frontal, yaitu dengan dimilikinya senjata
pemusnah massal, senjata nuklir, oleh para aktor superpower (Amerika Serikat
dan Uni Soviet).
Kebijakan strategis Amerika Serikat ini berlangsung pada masa pasca
Krisis Kuba hingga pada tahun 1983, dimana pada saat itu presiden Ronald
Reagan menganut paham pertahanan. Pada strategi ini nuklir tidak lagi digunakan
secara nyata untuk memaksa lawan mengubah perilakunya, senjata hanya dipakai
untuk menakut-nakuti lawan agar lawan berharap senjata tersebut tidak sampai
digunakan. Perubahan strategi Amerika Serikat ini merupakan suatu bukti nyata
bahwa nuklir tidak lagi bisa digunakan untuk mengancam lawan untuk merubah
perilakunya. Dengan menggunakan taktik extended deterrence, kedua negara
dapat melindungi wilayah masing-masing. Tindakan yang dilakukan oleh Amerika
Serikat di kawasan Eropa dengan menempatkan pasukan militer dan persenjataan
nuklir semakin meningkatkan intensitas perlombaan senjata.
Dampak dari penerapan konsep deterrence yang telah dilakukan oleh
Amerika Serikat dan Uni Soviet yaitu konsep deterrence telah memberikan
dampak positif terhadap terciptanya keamanan nasional negara-negara tersebut
serta berperan besar dalam menciptakan keamanan dunia. Kekuatan nuklir yang
dimiliki oleh kedua negara tidak pernah benar-benar digunakan untuk saling
menyerang, bahkan sampai saat ini. Hal ini disebabkan masing-masing pihak
merasa bahwa tidak akan mendapatkan keuntungan dari segi politik maupun
militer, sebaliknya akan sama-sama mengalami kehancuran jika persenjataan
nuklir tersebut digunakan untuk saling menyerang. Jadi, pada dasarnya kekuatan
nuklir Amerika Serikat dan Uni Soviet hanya sebagai alat untuk menciptakan efek
psikologis masing-masing pihak untuk tidak melakukan first strike (serangan
pertama), sehingga tidak terjadi perang terbuka.
Referensi
Long, Austin G. 2008. From Cold War to Long War: Lessons From Six Decades of
Rand Deterrence Research.
David G. Coleman and Joseph M. Siracusa. 2006. Real-World Nuclear Deterrence:
The Making of International Strategy.
5. STRATEGY OF FLEXIBLE RESPONSE
Strategi ini pertama kali muncul atas ide John F. Kennedy di tahun 1960-an.
Hal tersebut ditunjukkan pada tahun 1962 dengan diperkenalkannya strategi
flexible rensponse, yang kemudian diresmikan pada 1967 dengan disetujuinya MC
14/3. Strategi ini ditetapkan dalam MC 14/3 yang pada intinya dibentuk untuk
menghadapi dan menghalangi penggunaan nuklir dan strategi serangan nuklir
yang memungkinkan terjadinya berbagai serangan dalam berbagai level. Strategi
ini didasari atas rasa skeptis Kennedy atas kebijakan Massive Retaliation
(pembalasan besar-besaran) oleh Dwight Eisenhower.
Dalam strateginya, Kennedy berusaha menekankan bahwa perang tidak
hanya dapat dihentikan dan dimenangkan dengan kekuatan militer sebesar-
besarnya, namun dapat lebih berpotensi dan efektif apabila perang tersebut
dilakukan dengan taktik, strategi dan konvensional. Dengan kata lain, Kennedy
juga berusaha menekankan bahwa penguasaan perang juga tak hanya dapat
dilakukan dengan kekerasan/ penyerangan langsung, tetapi juga terdapat jenis-
jenis perang lainnya yang beragam, bertahap, namun juga mampu mengalahkan
lawan. Kennedy percaya bahwa strategi flexible response ini akan memberikan
kapabilitas bagi AS untuk memberikan respon maupun agresinya keseluruh
spektrum perang atau mengendalikan dua atau lebih perang secara bersamaan
(two and half war), dan tidak hanya terpaku kepada focus pengembangan dan
rencana senjata nuklir. Strategi flexible response ini bagi Kennedy merupakan
penawaran yang memang sangat dibutuhkan oleh AS, karena pada saat itu, AS
tengah berada pada situasi penyerangan oleh dua perang regional besar dan
perang brushfire kecil. Namun, strategi flexible response sebagai kredibilitas dan
postur kekuasaan AS juga dalam ini harus mampu untuk menawarkan
pengendalian dan penguasaan perdamaian. Kennedy dalam hal ini juga
mengatakan bahwa melakukan serangan langsung, terutama penggunaan nuklir,
justru tidak akan menghentikan perang, tetapi malah memunculkan perlombaan
senjata, dan hal ini sebenarnya tidak layak secara politis. Pada intinya strategi
flexible response dirancang sebagai sarana untuk memberikan otoritas politik
NATO dengan menawarkan berbagai pilihan militer yang dapat dilakukan untuk
melawan setiap bentuk agresi militer terkait aliansi.
Strategi flexible response juga dibicarakan oleh Robert McNamara dalam
pidatonya pada tahun 1962 di University of Michigan. McNamara dalam pidatonya
tersebut mengumumkan bahwa AS harus lebih menahan diri diawal perang nuklir.
Sisakan kekuatan, dan tak harus mengeluarkan kekuatan dan serangan yang
sama dengan yang diluncurkan musuh. Dalam hal ini McNamara berusaha
menekankan kepada pembatasan kerusakan di pihak AS dengan
mengembangkan strategi-strategi terpisah untuk menghadapi musuh, yakni
simpan kekuatan-kekuatan inti di bagian akhir peperangan atau sebagai status
siaga permanen. Oleh sebab itu serangan nuklir sebaiknya digunakan sebagai
strategi akhir, atau strategi yang digunakan apabila tak ada pilihan lain (seperti ;
situasi apabila musuh telah menggunakan serangan nuklir terlebih dahulu)..
Strategi flexible response salah satunya tercermin dalam pengembangan
strategic triad. Strategi pengembangan strategis ini dilakukan melalui
pengembangan tiga kekuatan besar AS pada tahun 1960, yakni ; ICBM, SLBM,
dan Pemboman Strategis (strategic bombers). Kekuatan-kekuatan tersebut
memiliki perbedaan kelebihan dan kekurangan yang saling memenuhi satu sama
lain. Flexible Response dalam hal ini, mencakup 3 unsur tahapan, yakni; 1)
Perlindungan langsung (direct defense), 2) Eskalasi disengaja (Deliberate
escalation), dan 3) Respon nuklir umum (General nuclear response). Direct
Defense (perlindungan langsung) diarahkan untuk tujuan mengalahkan aggressor
dan mencegahnya berhasil mencapai tujuannya dalam konflik. Umumnya, ini
dianggap sebagai level konvensional, yang harus diarahkan untuk mencegah
terjadinya kegagalan atau untuk menghentikkan serangan lawan. Deliberate
Escalation (Eskalasi disengaja), merupakan strategi yang bertujuan untuk
menciptakan ketidakpastian bagi penyerang dan untuk membuat balasan
pencapaian tujuan dan sasarannya tidak diterima. General Nuclear Weapons
(serangan nuklir umum), strategi ini digunakan apabila kedua opsi sebelumnya
gagal atau serangan nuklir telah diluncurkan oleh pihak musuh. Strategi ini pada
intinya digunakan untuk menghadapi pihak musuh dengan menggunakan senjata
nuklir secara strategis dan taktis.
Referensi:
Wilson, John B. (1998). "Chapter XII: Flexible Response". Maneuver and
Firepower: The Evolution of Divisions and Sperate Brigades. United States Army
Center of Military History. CMH Pub 60-14. Dalam
http://www.globalsecurity.org/wmd/library/report/1986/LLE.htm (mengutip)
6. STRATEGY OF MUTUAL ASSURED DESTRUCTION
Mutually Assured Destruction atau MAD merupakan sebuah doktrin strategi
militer dalam penggunaan senjata nuklir dalam skala besar dengan dua sisi yang
bertentangan yang secara efektif menghasilkan penghancuran baik di sisi
penyerang maupun sisi yang bertahan. MAD berdasarkan pada Teori
Penangkalan dimana penyebaran teknologi persenjataan merupakan esensi untuk
mengancam musuh dengan tujuan untuk mencegah pihak lawan menggunakan
senjata yang sama. Doktrin MAD berasumsi bahwa tiap pihak memiliki
persenjataan nuklir untuk menghancurkan pihak lainnya, perkiraan mengenai hasil
dari peningkatan penyerangan secara total akan menyebabkan penghancuran.
Oleh karena itu, secara umum diasumsikan bahwa nuklir akan menyebabkan
perang nuklir dalam skala besar yang akan membawa dunia kedalam kehancuran.
Meskipun demikian, hal tersebut bukanlah termasuk asumsi kritik terhadap doktrin
MAD. Asumsi-asumsi doktrin MAD di satu sisi akan menantang untuk melakukan
serangan pertama karena di sisi lain akan melakukan peringatan (fail-deadly) atau
dengan serangan kedua yang mengakibatkan kehancuran di kedua belah pihak.
Col Alan J. Parrington dalam tulisannya yang berjudul Mutual Assured
Destruction Revisited: Strategic Doctrine in Question menyatakan bahwa,”MAD is
a product of the 1950s’ US doctrine of massive retaliation, and despite attempts to
redefine it in contemporary terms like flexible response and nuclear deterrence, it
has remained the central theme of American defense planning for well over three
decades”. 1 Pada tahun 1960-an Departemen Pertahanan Amerika Serikat
menerima MAD sebagai sebuah doktrin strategi yang kemudian berpengaruh
signifikan dalam perencanaan-perencanaan dan teknologi. Meskipun begitu, MAD
tidak pernah benar-benar dipraktikkan sebagai doktrin strategi Amerika Serikat.
Doktrin MAD pertama kali diaplikasikan pada waktu-waktu awal dimulainya
Perang Dingin (1940-1990-an) dimana Doktrin MAD dipandang sebagai strategi
yag dapat mencegah konflik dalam skala yang besar secara langsung antara
Amerika Serikat dan Uni Soviet ketika mereka menjadi dua kubu yang berbeda
1 Parrington, Col Alan J, Mutual Assured Destruction Revisited: Strategic Doctrine in Question,hlm.6. dalam
http://www.airpower.au.af.mil/airchronicles/apj/apj97/win97/parrin.pdf diakses pada 29 November 2011.
ideologi. Pada awal tahun 1990-an Perang Dingin berakhir, Doktrin Mutually
Assured Destruction (MAD) masih tetap dipertahankan. Penggunaan Doktrin MAD
sebagai bagian dari doktrin strategi Amerika Serikat dan Uni Soviet dipadang
bahwa perang nuklir dapat dicegah jika kedua pihak menilai dapat bertahan dalam
pertukaran fungsi dan peran nuklir dalam skala besar. Sejak kredibilitas ancaman
dijadikan sebagai jaminan, tiap-tiap pihak telah menginvestasikan substansi utama
dari gudang-gudang senjata nuklir mereka bahkan jika mereka tidak bermaksud
untuk menggunakannya.
Bruno Tertrais dalam tulisannya yang berjudul Destruction Assuree: The
Origin and Development of French Nuclear Strategy 1945-1981 menyatakan
bahwa,”In fact, assured destruction emerged almost as an accident”.2 Menurutnya
MAD muncul karena adanya hubungan diatara beberapa era yang berbeda.
Pertama, Perang Dunia II dimana Amerika Serikat dan Uni Soviet muncul sebagai
negara yang sangat berbahaya dan bersalah atas terjadinya Perang Korea dan
Perang Vietnam. Kedua, pasca Perang Dunia II adanya kecenderungan terhadap
perencanaan pertahanan dengan mengandalkan senjata-senjata nuklir.
Referensi
Parrington, Col Alan J, Mutual Assured Destruction Revisited: Strategic Doctrine in
Question, hlm.6. dalam
http://www.airpower.au.af.mil/airchronicles/apj/apj97/win97/parrin.pdf diakses
pada 29 November 2011.
Tertrais, Bruno, “Destruction Assure: The Origin and Development of French
Nuclear Strategy 1945-1981, hlm.146. dalam
http://www.strategicstudiesinstitute.army.mil/pdffiles/pub585.pdf diakses pada 29
November 2011.
7. STRATEGY OF MASSIVE RETALIATION
2 Tertrais, Bruno, “Destruction Assure: The Origin and Development of French Nuclear Strategy 1945-1981,
hlm.146. dalam http://www.strategicstudiesinstitute.army.mil/pdffiles/pub585.pdf diakses pada 29 November
2011.
Ide ini pertama kali dicetuskan oleh Robert S. McNamara pada
Departemen Pertahanan Amerika Serikat (DOD) dengan tujuan menghindari
ketergantungan Amerika Serikat terhadap nuklir pasca Perang Dunia II dalam
penciptaan dan poliferasi bom nuklir. Tujuannya untuk memajukan teknologi
dalam persenjataan konvensional yang terfokus pada peningkatan ukuran dan
mobilitas tentara. Adanya pergeseran pendapat dalam DOD yang disebut dengan
“pembalasan besar” dalam hal ini berupa strategi pencegahan yang didasarkan
pada pengunaan teknologi nuklir yang merupakan ancaman fundamental untuk
kepentingan militer dalam menjaga keseimbangan dalam kekuatan dunia untuk
mencapai perdamaian global. Peran Departemen Pertahanan sangat
bertentangan terhadap usaha pencegahan dan ketergantungan senjata nuklir
dalam mewujudkan Amerika Serikat yang lebih aman.
Usaha yang dilakukan Amerika Serikat dalam mempraktekkan
brinkmanship yang melukiskan keinginan untuk mengejar tujuan Amerika Serikat
hingga batas perang dengan mengancam musuhnya menggunakan senjata nuklir .
Praktek itu merupakan bagian dari strategi Amerika Serikat yang disebut massive
retaliation (pembalasan besar-besaran). Praktek brinkmanship dan massive
retaliation ini mencemaskan Uni Soviet. Konsep massive retaliation yang
dilakukan pada tahun 1950 atau dan strategi marritim pada tahun 1980. Salah
satu pertimbangan yang dapat menyatakan bahwa kekuatan strategis Amerika
Serikat masih mengancam Uni Soviet membuat Amerika Serikat kehilangan target
dalam penerapan ancaman sehingga tidak ada lagi pembalasan besar-besaran
(massive retaliation) dalam agresi lokal karena tujuan Amerika Serikat hanya
untuk membuat Rusia berhati-hati. Hal ini disebabkan ketakutan Amerika Serikat
terhadap Rusia yang dipandang akan meluncurkan serangan nuklir ke Amerika
Serikat.
Pembelaan dari Eropa mulai berubah sejak militer Amerika Serikat
khususnya NATO yang secara strategi dan taktis harus meperhatikan keamanan
Eropa . Sehingga dapat kita tarik kesimpulan hal ini berawal dari Amerika Serikat
dan Uni Soviet telah menjadi kekuatan nuklir pertama yang berlomba untuk saling
mengungguli. Hal tersebut menyebabkan perubahan sikap perang mulai dari
bentrokan militer konvensional yang melibatkan tank dan pesawat-pesawat
tempur hingga menjadi adu strategi nuklir. Kedua negara ini tidak lagi berperang
karena adanya perbedan ideologi akan tetapi berubah menjadi persaingan dalam
perkembangan strategi-strategi senjata nuklir.
Referensi
Papers, Classic Adelphi. 2008. The Evolution of Strategic Thought. New York:
Routledge.