22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Al-Quran merupakan pedoman umat Islam yang berisi petunjuk dan tuntunan komprehensif guna mengatur kehidupan di dunia dan akhirat. Ia merupakan kitab otentik dan unik, yang mana redaksi, susunan maupun kandungan maknanya berasal dari wahyu, sehingga ia terpelihara dan terjamin sepanjang zaman. Sulit dibayangkan sekiranya umat Islam tidak memiliki al- Qur’an. Padahal ia adalah umat terakhir, umat yang diutus Allah sebagai saksi atas perbuatan semua manusia, dan umat terbaik yang rasulnya menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Atau sulit dibayangkan sekiranya al- Qur’an yang ada di tangan umat ini bukan berasal dari ‘Tangan’ Zat yang maha mengetahui segala sesuatu yang gaib dan yang zahir. Fenomena al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw ternyata bagaikan magnet yang selalu menarik minat manusia untuk mengkaji dan meneliti kandungan makna dan kebenarannya. Al-Qur’an yang diturunkan atas ‘tujuh huruf’(sab’at ahruf) menjadi polemik pengertiannya di kalangan ulama, polemik ini bermuara pada pengertian satb’ah dan ahruf itu sendiri, dan korelasinya dengan cakupan mushaf Usman. Apa bila orang arab berbeda lahjah dalam pengungkapan sesuatu

Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Al-Quran merupakan pedoman umat Islam yang berisi petunjuk dan tuntunan

komprehensif guna mengatur kehidupan di dunia dan akhirat. Ia merupakan kitab otentik dan

unik, yang mana redaksi, susunan maupun kandungan maknanya berasal dari wahyu,

sehingga ia terpelihara dan terjamin sepanjang zaman.

Sulit dibayangkan sekiranya umat Islam tidak memiliki al-Qur’an. Padahal ia adalah

umat terakhir, umat yang diutus Allah sebagai saksi atas perbuatan semua manusia, dan umat

terbaik yang rasulnya menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Atau sulit

dibayangkan sekiranya al-Qur’an yang ada di tangan umat ini bukan berasal dari ‘Tangan’

Zat yang maha mengetahui segala sesuatu yang gaib dan yang zahir.

Fenomena al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw ternyata

bagaikan magnet yang selalu menarik minat manusia untuk mengkaji dan meneliti kandungan

makna dan kebenarannya. Al-Qur’an yang diturunkan atas ‘tujuh huruf’(sab’at ahruf)

menjadi polemik pengertiannya di kalangan ulama, polemik ini bermuara pada pengertian

satb’ah dan ahruf itu sendiri, dan korelasinya dengan cakupan mushaf Usman. Apa bila orang

arab berbeda lahjah dalam pengungkapan sesuatu makna dengan perbedaan tertentu, maka

Qur'an yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad , menyempurnakan makna

kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf dan wajah qiraah pilihan diantara lahjah-

lahjah itu. Dan ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk membaca ,

menghafal dan memahaminya.

1.2 Rumusan Masalah

a. Apakah yang dimaksud dengan turunnya Al-Qu’an dengan tujuh huruf ?

b. Bagaimana pendapat para ulama mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh

huruf ?

c. Apa hikmah dibalik turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf ?

Page 2: Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf

2

1.3 Tujuan

a. Memiliki pemahaman tentang maksud turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf

b. Mengetahui berbagai pendapat ulama dalam menyikapi turunnya Al-Qur’an

dengan tujuh huruf

c. Mengambil hikmah dari turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf

Page 3: Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf

3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tujuh Huruf

Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab yang jelas. Hal ini adalah suatu yang wajar

karena Al-Qur’an diturunkan ketengah-tengah umat yang berbahasa arab melalui Nabi yang

berbahasa arab sekalipun ini bukan berarti bahwa islam hanya untuk bangsa arab.1

Rasulullah SAW bersabda, “Jibril telah membacakan Al-Quran kepadaku dalam satu

huruf. Aku berulang-ulang membacanya. Selanjutnya aku selalu meminta kepadanya agar

ditambah, sehingga ia menambahnya sampai tujuh huruf. (H.R. Bukhori Muslim). Kemudian,

Rasul SAW berkata: “sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh ahruf ( huruf), maka

baca kamulah mana yang mudah dari padanya”. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan

Muslim).

Hadits kedua ini berasal dari umar ibn al-khaththaab yang membawa hisyam ibn

hakim ke hadapan Rasul karena membaca surat al-furqon dengan berbagai cara baca dan

Rasul tidak pernah membacanya dengan cara itu kepada umar. Setelah hisyam

memperdengarkan bacaanya kepada Rasul, Rasul berkata: “Demikianlah ia diturunkan” dan

seterusnya menyambungnya dengan sabdanya di atas.2

Ada yang berpendapat bahwa qira’at tujuh identik dengan hadis Nabi Muhammad SAW yang

menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf. Adapun hadis-hadis yang

menunjukkan hal ini adalah sebagai berikut:

أستزيده : أزل فلم فراجعته حروف على جبريل أقرأني صلعم الله رسول قال

) ومسلم ) البخارى روه أحرف سبعة إلى أنتهى حتى ويزيدني

Artinya:

Rasulullah bersabda, “Malaikat Jibril telah membacakan [al-Qur’an] kepadaku atas

beberapa huruf, lalu aku berulang kali meminta kepadanya agar ditambahnya bacaan

1 Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qur’an. hlm. 1292 Al-Zarqani, Muhammad Abd al-‘Azim. hlm. 140-144

Page 4: Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf

4

tersebut, maka Jibril pun menambah bacaan itu sehingga sampai tujuh huruf [macam].”(HR.

Bukhari Muslim).

: تيسر ما فقرإوا إحرف سبعة على إنزل القرأن هذا إن صلعم الله رسول قال

) مسلم . ) و البخرى روه منه

Artinya:

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf

(tujuh  macam bacaan), bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari al-Qur’an.”

(HR. Bukhari Muslim)

Dalam hadis lain dikatakan, “Rasulullah berkata kepadaku [Ubayy bin Ka’ab] “Hai Ubayy,

telah diutus [Jibril] kepadaku untuk membacakan al-Qur’an atas satu huruf, lantas aku

meminta kepadanya agar dimudahkan umatku membacanya, maka [Jibril] berkata, bacalah

al-Qur’an itu atas dua huruf, lalu aku meminta lagi agar dimudahkan umatku membacanya,

maka [Jibril] berkata lagi, bacalah atas tujuh huruf”.”

Dalam sebuah hadis yang panjang juga dijelaskan, dari Umar bin Khattab ia berkata, “Aku

mendengar dari Hisyam bin Hakim membaca surah al-Furqan di masa hidup Rasulullah.

Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum

pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia

shalat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam. Begitu salam aku tarik

selendangnya dan bertanya: Siapakah yang membacakan (mengajarkan bacaan) surah itu

kepadamu? Ia menjawab: Rasulullah yang membacakannya kepadaku. Lalu aku katakan

kepadanya: Dusta kau! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surah yang

aku dengar tadi engkau membacanya (tetapi tidak seperti bacaanmu). Kemudian aku bawa

dia menghadap Rasulullah, dan aku ceritakan kepadanya bahwa aku telah mendengar orang

ini membaca surah al-Furqan dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan

kepadaku, maka Rasulullah berkata: Lepaskan dia, wahai Umar. Bacalah surah tadi wahai

Hisyam! Hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. Maka

kata Rasulullah: Begitulah surah itu diturunkan. Ia berkata lagi: Bacalah, wahai Umar! Lalu

aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Dan katanya

lagi: Sesungguhnya al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan

tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya.”

Page 5: Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf

5

Kejadian serupa juga dialami oleh Ubayy bin Ka’ab, dan Umar pada saat itu beranggapan

bahwa tidak ada seorang pun yang boleh berani mengada-ada membuat silabus sendiri:

semua bacaan sekecil apapun merupakan bacaan yang sesuai dengan apa yang telah diajarkan

oleh Nabi.

Hadis yang berkenaan dengan hal ini sangatlah banyak jumlahnya dan sebagian besar telah

diselidiki oleh Ibn Jarir di dalam pengantar Tafsir-nya. As-Suyuti menyebutkan bahwa hadis-

hadis tersebut diriwayatkan dari dua puluh orang sahabat. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam

menetapkan kemutawatiran hadis mengenai turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf. Hadis

tentang diturunkannya al-Qur’an dalam tujuh huruf ini sendiri memiliki kemiripan dengan

pendapat kitab Talmud tentang turunnya Taurat dengan banyak bahasa dalam waktu yang

sama, namun jelas dia tidak memiliki hubungan sama sekali.

Dengan demikian, jelaslah bahwa tidaklah benar anggapan orang bahwa Qiraat

(macam-macam bacaan) Al-Quran itu diciptakan oleh Nabi Muhammad atau para sahabat,

atau ulama tabi’in yang dipengaruhi oleh dialek bahasa kabilah-kabilah Arab. Dan jelas pula

bahwa macam-macam bacaan Al-Quran itu sudah ada sejak Al-Quran diturunkan. Arti

Sab’atu Ahruf (Tujuh Huruf) dalam hadits di atas mengandung banyak penafsiran dan

pendapat dari kalangan ulama. Hal itu disebabkan karena kata Sab’ah itu sendiri dan kata

Ahruf mempunyai banyak arti. Kata Sab’ah dalam bahasa Arab bisa berarti bilangan tujuh,

dan bisa juga berarti bilangan tak terbatas.

2.2 Pendapat Ulama Tentang Tujuh Huruf

Tidak terdapat nas sarih yang menjelaskan maksud dari sab’at ahruf (tujuh huruf).

Sehingga menjadi hal yang lumrah kalau para ulama,-berdasarkan ijtihadnya masing-masing,

berbeda pendapat dalam menafsirkan pengertiannya. Ibn Hibban al-Busti (w. 354 H)

sebagaimana dikutip al-Suyuti mengatakan bahwa perbedaan ulama dalam masalah ini

sampai tiga puluh lima pendapat.3 Sementara al-Zarqani dalam kitabnya hanya menampilkan

sebelas pendapat secara detail dari perbedaan-perbedaan ulama tersebut. Perbedaan ulama

mengenai pengertian sab’at ahruf ini tidak berasal dari tingkatan kualifikasi mereka atas

hadis-hadis tentang tema dimaksud. Perbedaan itu justru muncul dari lafaz sab’at dan ahruf

3 Al-suyuthi, Jalaludin, op. cit., Jilid I, hlm. 47

Page 6: Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf

6

yang masuk kategori lafaz-lafaz musytarak, yaitu lafaz-lafaz yang mempunyai banyak

kemungkinan arti, sehingga memungkinkan dan mengakomodasi segala jenis penafsiran.

Selain itu juga disebabkan adanya fenomena historis tentang periwayatan bacaan al-Qur’an

yang memang beragam. Berikut ini sebagian dari pendapat-pendapat tersebut:

Pendapat pertama. al-Tabari, dan jumhur ulama fiqh, dan hadis mengartikan sab’at

ahruf sebagai tujuh bentuk bahasa yang berbeda lafalnya, tetapi sama maknanya. Dengan

bahasa lain, sab’at ahruf di sini dapat diartikan tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab tentang

lafaz-lafaz tertentu yang berbeda lafaznya tetapi sama maknanya, seperti lafaz halumma,

qasdi, ta’al, nahwi, dan aqbil. Meskipun kata-kata tersebut berbeda dalam pelafalan namun

maknanya satu, yaitu perintah untuk datang.

Al-Tabari, dan ulama yang sepakat dengannya mendasarkan pendapatnya ini pada

hadis Abu bakrah yang meriwayatkan permintaan Rasulullah kepada Jibril untuk memberikan

alternatif pembacaan al-Qur’an lebih dari satu. Alasan lain adalah hadis Anas yang membaca

Q.S. al-Muzammil (73): 6, dengan bacaan قيال وأقوم وطأ ketika    أشد ditanya tentang

bacaannya tersebut, Anas menjawab bahwa lafaz   أهياء أقوم adalah    أصوب satu arti. 

Begitu pula hadis yang diirwayatkan Ubay ibn Ka’ab yang membaca surat al-Baqarah: 20

dengan tiga variasi bacaan. Namun demikian tidak semua makna mempunyai tujuh lafaz

yang senada dengan makna tersebut. Tetapi semua makna yang bisa diwakili oleh suatu lafaz,

lafaz ini sajalah yang dipakai. Adapun jika ungkapan makna itu bisa diwakili dengan dua

lafaz, maka dua lafaz inilah yang dipakai, begitu seterusnya hingga tujuh lafaz

Riwayat dan dalil-dalil yang dikemukakan di atas tidak hanya dipegangi oleh ulama-

ulama zaman klasik dan pertengahan semacam al-Tabari, Sufyan ibn Uyainah, Ibn Wahb,

Khalaiq, dan al-Tahawi, tetapi diikuti pula oleh penulis-penulis kontemporer semisal Manna’

al-Qattan, Abd al-Mun’im al-Namr, Abd al-Sabur Syahin, Umar Shihab, dan Hasbi ash-

Shiddieqy. umar shihab berkata: “…perbedaan yang dapat diterima hanyalah perbedaan

bahasa yang semakna”4.  Sedangkan T.M. Hasby Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa Al-

Qur’an diturnkan dengan lahjah-lahjah yang biasa dipakai oleh suku quraisy dan suku-suku

lainnya di tanah arab sehingga hasillah bagi Al-Qur’an beberapa macam bunyi lahjah.

Sedangkan lahjah yang biasa dipakai di tanah arab ada tujuh macam5.  Manna’ al-Qattan

4 Syihab, H. Umar, Al-Qur’an Dan Rekayasa Social, hlm. 1515 Ash-shiddieqy, T..M. Hasbi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir. hlm.82-83.

Page 7: Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf

7

misalnya berkata: “Bahwa yang dimaksud dengan huruf-huruf yang tujuh adalah tujuh bahasa

dari bahasa-bahasa Arab tentang makna yang sama”.6 Dalam membangun argumentasi, al-

Tabari tidak hanya mendasarkan kepada teks-teks kitab suci, alasan-alasan rasionalpun ia

pergunakan untuk memperkuat pendapatnya ini. al-Tabari berpendapat bahwa perbedaan

yang terjadi di antara sahabat dalam pembacaan al-Qur’an hanya sebatas perbedaan lafaz

bukan pada perbedaan makna, karena menurutnya tidak mungkin Rasulullah membenarkan

semua yang diperselisihkan sahabat bila yang diperselisihkan itu berkaitan dengan masalah

makna (hukum) seperti mengenai halal-haram, janji dan ancaman, dan sebagainya. Ini

sebagai bukti bahwa perbedaan yang ada hanya pada pelafalan bahasa atau dialek al-Qur’an

yang telah diajarkan Rasulullah kepada para sahabat.

Ibn Kasir mengutip perkataan al-Tahawi dan yang lainnya, “Bahwasanya adanya

tujuh huruf itu adalah sebagai rukhsah (dispensasi) agar orang-orang boleh membaca al-

Qur’an dalam tujuh bahasa”. Hal ini berlaku tatkala kebanyakan orang Islam kesulitan  untuk

membaca dalam bahasa Quraisy dan bacaan Rasulullah, dikarenakan keterbatasan

kemampuan yang dimiliki sebagian umat Islam saat itu. Pendapat kedua, Ibn Qutaibah

menafsirkan sab’at ahruf dengan tujuh bentuk (awjuh) perubahan, yaitu:

1. Perubahan harakat (tanda baca) tetapi makna dan bentuk tulisannya tidak berubah.

2. Perubahan pada kata kerja (fi’il)

3. Perubahan pada lafaz, seperti “nunsyiruha” dengan ra’ dan “nunsyizuha” dengan za’

4. Perubahan dengan pergantian huruf yang berhampiran mahrajnya

5. Perubahan dengan penambahan dan pengurangan kalimat.

6. Perubahan dengan cara mengemudiankan dan mendahulukan.

7. Perubahan dengan penggantian suatu kata dengan kata yang lain.

Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Ibn al-Jazari  dan Qadi Ibn Tayyib.

Bahkan pada substansinya kedua pendapat terakhir ini tidak berbeda dengan penafsiran yang

dikemukakan oleh Ibn Qutaibah7, kecuali dalam hal ungkapan, urutan, dan contohnya. Dalam

hubungannya dengan qira’ah, ketiga pendapat in juga tidak jauh dengan penafsiran yang

dikemukakan al-Razi.  

6 Al-Qaththan, Manna’,Studi Ilmu-Ilmu Quran, hlm. 1627 Al-Suyuti, Jalaludin, Jilid, I, hlm. 47-48

Page 8: Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf

8

Pendapat ketiga, kelompok ini mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf adalah

tujuh bahasa bagi tujuh kabilah Arab. Tujuh bahasa ini adalah tujuh bahasa yang paling fasih

di antara suku-suku Arab, yang terbanyak adalah bahasa Quraisy, Huzail, Saqif, Kinanah,

Tamim, dan Yaman. Pendapat ini dibenarkan oleh al-Baihaqi dan al-Abhari.  

Ibn Mansur al-Azhari (w. 370 H) menyebutkan bahwa pendapat ini sebagai pendapat

yang mukhtar, dengan alasan perkataan Usman ketika menyuruh mereka menulis mushaf,

“Dan sesuatu yang yang kamu perselisihkan antara kamu dan Zaid, maka kamu tulislah

dengan bahasa Quraisy, karena al-Qur’an banyak turun dengan bahasa mereka”.  Dari

penelitian al-Sijistani mengenai bahasa al-Qur’an ternyata ditemukan lebih banyak dari

bahasa-bahasa yang sudah disebutkan di depan, ia menyebutkan sekitar dua puluh delapan

bahasa, sementara Abu Bakr al-Wasiti menyebutkan empat puluh bahasa, termasuk bahasa di

luar rumpun bahasa Arab, seperti Nabat, Barbar, Suryani, Ibrani, dan Qibti.

Pendapat keempat, Qadi ‘Iyad,  dan ulama yang sepakat dengannya menganggap

pengertian sab’at ahruf yang terdapat dalam hadis Nabi sebagai sesuatu yang pelik dan tidak

dapat dipahami makna sebenarnya. Sebab kata ahruf termasuk lafaz musytarak yang secara

literal (harfiyah) dapat berarti ejaan, kata, makna, sisi, ujung, bentuk, bahasa, dan arah.

Sementara kata Sab’ah ada yang mengartikannya tidak dengan bilangan tujuh yang

sebenarnya. Akan tetapi maksudnya hanyalah untuk memberikan kemudahan dan keleluasaan

bagi umat. Sebab kata sab’ah digunakan untuk menunjukkan arti banyak (kasrah) dalam hal

satuan, sebagaimana kata sab’un dalam hal puluhan dan sab’umiyah dalam hal ratusan.

Dengan demikian kata sab’ah (tujuh) di sini tidak dimaksud bilangan tertentu.

Pendapat kelima, Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf adalah

qira’at sab’ah. Ada yang menegaskannya dengan tujuh qira’ah dari tujuh sahabat Nabi, yaitu

Abu Bakr, Umar, Usman, ‘Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, dan Ubay Ibn Ka’ab,8 dan adapula

pula yang menghubungkannya dengan qira’ah tujuh yang populer.9

Ibn al-Jazari mengemukakan bahwa sesungguhnya pendapat ini tidak diucapkan oleh

seorangpun dari ulama-ulama, hanya pendapat ini merupakan perkataan yang memberatkan

ulama dari dulu dalam menceritakan, membantah, dan menyalahkannya. Pendapat ini adalah

suatu sangkaan orang-orang awam yang bodoh, tidak lain. Sesungguhnya mereka mendengar

8 Al-Suyuti, Jalaludin, Jilid, I, hlm. 509 Al-Suyuti, Jalaludin, Jilid, I, hlm. 82

Page 9: Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf

9

turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf dan tujuh riwayat, maka kemudian mereka

menghayalkan hal tersebut.

Hasbi ash-Shiddieqy menilai bahwa pendapat yang menyatakan bahwa sab’at ahruf

sebagai sab’at qira’ah merupakan pendapat yang lemah. Pernyatan Hasbi ini memang

beralasan, sebab sekalipun tujuh ahli qira’ah itu sangat berpengaruh dalam pembacaan ayat-

ayat al-Qur’an, namun masih ada ahli qira’ah lain  yang digunakan juga qira’ahnya.

Qira’ah mutawatirah yang masyhur di kalangan umat Islam, tidak hanya qira’ah

sab’ah. Dikenal pula qira’ah sittah, qira’ah asyrah, qira’ah ihda asyrah. Dengan demikian

pendapat ini tidak diakui, karena tidak ada seorang ulamapun yang sepakat dengan pendapat

ini.

2.3 Perbedaan Ahruf Sab’ah Dengan Qira’at Sab’ah

1. Pengertian Qira’at

Lafal Qira’at adalah bentuk jamak dari Qira’ah yang merupakan bentuk

masdar dari Fi’il Madi Qara’a. Menurut bahasa qira’ah artinya becaan, para ahli

mengemukakan menurut istilah secara berbeda-beda.

a. Ibn Al Jarazi , mengemukakan bahwa qira’at merupakan pengetahuan

tentang cara-cara mengucapkan kalimat-kalimat Al Qur’an dan

perbedaannya.

b. Al Shabani, mengemukakan bahwa Al Qur’an oleh seorang imam qara

yang berbeda dengan (bacaan imam) lainnya.

2. Latar Belakang Adanya Perbedaan Qira’at

Orang yang pertama menyusun Qira’at adalah salah satu kitab Abu Ubaid Al-

Qosim Ibn Salam (wafat tahun 244 H). Beliau telah mengumpulkan para imam qira’at

dengan bacaannya masing-masing, para toko lain yang turut melopori lahirnya ilmu

Qira’at adalah Abu Hatim Al-sijistany, Abu Ja’far al-Thabary dan Ismail al-Qodhi.

Qira’at ini terus berkembang hingga sampailah pada Abu Bakar Ahmad Ibn Musa Ibn

Page 10: Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf

10

Abbas Ibn mujahid yang terkenal dengan panggilan Ibn Mujahid (wafat tahun 324 H)

di Bagdad. Beliaulah yang menyusun dan mengumpulkan Qira’ah sa’bah atau tujuh

Qira’at dari tujuh imam yangdikenal di Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Syam.

Para tujuh imam dari Qari tersebut adalah :

1) Ibn Amir

Nama lengkapnya Abdullah aal-Yashubi yang merupakan seorang Qodhi di

Damaskus pada masa pemerintahan Ibn Abd al-Malik. Beliau berasal dari kalangan

tabi’in yang belajar Qira’at dari al-Mughirah Ibn Abi Syihab al-Mahzumi, Usman bin

Affan dan Rsulullah SAW. Beliau wafat tahun 118 H Damaskus. Muridnya yang

terkenal dalam Qira’at yaitu Hisyam dan Ibn Szakwan.

2) Ibn Katsir

Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdullah Ibn Kastir Al-Dary al-Makky.

Beliau adalah imam Qira’at di Mekkah dari kalangan tabi’in. Yang pernah hidup

bersama sahabat Sbdullah Ibn Zubair, Abu Ayyub al-Anshari dan Annas Ibn Malik.

Beliau wafat tahun 291 H, muridnya yang terkenal adalah Al-Bazy (wafat tahun 250

H) dan Qunbul (wafat tahun 291 H).

3) Ashim Al-Khufy

Nama lengkapnya ‘Ashim Ibn Abi Al-Nujud M. Asadi disebut juga Ibn

Bahdalan dan nama panggilannya adalah Abu Bakar, beliau seorang tabi’in yang

wafat sekitar tahun 127-128 H di Kuffah. Kedua perawinya yang terkenal adalah

Syu’ban (wafat tahun 193 H) dan Hafsah (wafat tahun 180 H).

4) Abu Amr

Nama lengkapnya Abu Amr Zabban Ibn A’la Ibn Ammar al-Bashti yang

sering juga dipanggil Yahya. Beliau seorang guru besar pada rawi yang wafat di

Kuffah pada tahun 154 H.

5) Hamzah al-Kufy

Nama lengkapnya Hamzah Ibn Habib Ibn Imarah al-Zayyat al-Fardh al-

Thaimi yang sering dipanggil Ibn Imarah. Beliau berasal dari kalangan hamba sahaya

ikrimah Ibn Robbi’ Mthaimi yang wafat di Hawan pada masa khalifah Abu Ja’far al-

Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya yang terkenal adalah khalaf (wafat tahun 229

H) dan Khallat (wafat tahun 220 H).

6) Imam Nafi

Page 11: Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf

11

Nama lengkapnya Abu Ruwaim Nafi Ibn Abd Al-Rahman Ibn Abi Na’im al-

Laisry. Beliau berasal dari Isfahan dan wafat di Madinah pad tahun 169 H. Perawinya

adalah Qolum (wafat tahun 220 H) dan Warassy (wafat tahun 197 H).

7) Al-Kisaiy

Nama lengkapnya Ali Ibn Hamzah. Selain imam Qori beliau terkenal juga

sebagai imam nahwu golongan Kufah. Nama panggilannya Abu al-Hasan dan sering

juga disebut Kisaiy karena sewaktu berihram beliau memakai kisa. Beliau wafat pada

tahun 189 H di Ronbawyan yaitu sebuah desa di negeri Roy dalam perjalanan menuju

Khurasan bersama al-Rasyid. Perawinya yang terkenal adalah Abd al-Haris (wafat

tahun 242 h) dan Al-Dury (wafat tahun 246 H).

3. Syarat-Syarat Qira’at Yang Mukhobar Dan Jenisnya

Syarat-syarat Qira’at yang muktabar :

Qira’at harus sesuai dengan bahasa Arab, walaupun hanya dalam satu segi.

Qira’at harus sesuai dengan tulisan (rasm) Usmany, sekalipun hanya dalam

satu sisi.

Qira’at shahih sanadnya.

Jenis-jenisnya berdasarkan Qira’at yang shahih sanadnya :

Mutawatir yaitu Qiraan yang diriwayatkan dan diterima oleh sejumlah banyak

orang.

Masyhur yaitu Qiraan dengan sanadnya yang shahih, namun jumlah

periwayatannya tidak sampai sebanyak mutawatir.

Ahad yaitu Qiraan yang sanadnya shahih.

4. Membuat Analis Tentang Al-Qur’an di Turunkan Dalam Tujuh Huruf dan

Relevansinya Dengan Qira’at

Sejak dibukukannya Qira’at sab’ah oleh imam Mujahid, orang-orang

beranggapan bahwa yang dimaksud hadits Muhammad Saw. Yang menyatakan

diturunkannya Al Qur’an atas Sab’ah Ahruf (tujuh huruf) adalah qiraan sab’ah

yang dinukil dari imam tujuh yang terkenal dikalangan Qori. Anggapan seperti

keliru, karena kedua istilah ini meiliki pengertian dan hakikat yang berbeda.

Page 12: Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf

12

Oleh karena itu, Abu Al-Abbas Ibn Ammar (wafat tahun 430 H), seorang Muari

besar. Mencela keras Ibn Mujahid dan mengatakan bahwa usaha itu akan

menimbulkan sangkaan bahwa Qira’at yang tujuh itulah yang dimaksud oleh

Hadits. Dia mengatakan bahwa alangkah baiknya kalau dikumpulkan itu kurang

atau lebih dari tujuh, supaya hilang dari kesamaran itu, Ash Shiddiqie (1972;133).

Sekalipun ilmu Qira’at ini lahir dari kandungan sab’ah ahruf, namun keberadaan

sab’ah ahruf secara mutlak lebih umum ketimbang Qira’at sab’ah.

2.4 Hikmah Al-Qur’an Turun Dengan Tujuh Huruf

Hikmah yang dapat diambil dengan kejadian turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf

adalah sebagai berikut:

1. Mempermudah ummat Islam khususnya bangsa Arab yang dituruni Al-Qur’an

sedangkan mereka memiliki beberapa dialeks (lahjah) meskipun mereka bisa

disatukan oleh sifat ke-Arabannya.

2. Sebagai mukjizat al-Qur’an dari sisi lughawi (bahasa) bagi bangsa Arab. Karena

beragamnya dialek diantara suku-suku Arab.

3. Mukjizat al-Qur’an dari segi makna dan penggalian hokum. Karena berubahnya

bentuk lafaz dalah sebagaian huruf akan menghasilkan produk hukum yang dapat

berlaku dalam setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha dalam istinbat

(penyimpulan hokum) dan ijtihad berhujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf

ini.10

4. Menyatukan ummat Islam dalam satu bahasa yang disatukan dengan bahasa

Quraisy yang tersusun dari berbagai bahasa pilihan dikalangan suku-suku bangsa

Arab yang berkunjung ke Makkah pada musim haji dan lainnya.

10 Al-Qaththan, Manna’, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,  hlm. 248

Page 13: Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf

13

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa jumhur ulama dalam masalah ini

cenderung mengambil jalan akomodatif, dengan tidak membenarkan pendapat yang

menyatakan mushaf Usmani hanya memuat satu huruf, juga tidak membenarkan pendapat

Page 14: Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf

14

yang menyatakan bahwa mushaf Usmani sudah mencakup keseluruhan sab’at ahruf. Dari

pandangan ini jumhur terlihat ambivalen, di mana pada satu sisi mereka tidak membenarkan

pendapat yang menyatakan bahwa mushaf Usmani telah mencover keseluruhan sab’at ahruf,

ini berarti ada bagian dari sab’at ahruf yang dihilangkan, namun pada sisi lain mereka juga

tidak membenarkan pendapat al-Tabari yang menyatakan bahwa mushaf Usmani hanya

memuat satu huruf saja. Padahal argumentasi al-Tabari mengenai permasalahan ini selaras

dan dapat dipertanggung jawabkan secara historis.

Dari sini dapat dipahami bahwa turunnya al-Qur’an dalam berbagai variasi bacaan

(sab’at ahruf), sifatnya kontekstual dan bukan suatu yang normatif. Hal ini dapat diketahui

dari konteks turunnya di Madinah yang awalnya berfungsi sebagai keringanan dan

kemudahan bagi umat Islam yang saat itu terdiri dari berbagai kabilah dengan beragam

bahasa dan dialek, yang hal itu tidak terjadi di Mekkah karena umat Islam masih minoritas

dan tidak butuh pada adanya variasi bacaan al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Suyuti, Jalalal-Din. al-Itqan fi‘Ulum al-Qur’an. jilid I Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Al-Qaththan, Manna’, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Litera AntarNusa, Bogor, 1992

Akaha, Abduh Zulfidar. al-Qur’an dan al-Qira’at. Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 1996.

Page 15: Turunnya al qur'an dengan tujuh huruf

15

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

Syihab, H. Umar, Al-Quran Dan Rekayasa Social, Pustaka kartini, Jakarta, 1990

Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996