44
PEMBUKTIAN NEUROSAINS MENGENAI EKSISTENSI ALLAH Mario Beauregard, Ph.D. & Denyse O’Leary

The spiritual-brain

  • Upload
    fatuhada

  • View
    1.229

  • Download
    14

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: The spiritual-brain

Pembuktian neurosains mengenai eksistensi allah

Mario Beauregard, Ph.D. & Denyse O’Leary

Page 2: The spiritual-brain

OB 40809001

The Spiritual BrainPembuktian Neurosains Mengenai Eksistensi Allah

Oleh: Mario Beauregard & Denyse O’LearyPenerjemah: Lily Sutrisna

© Edisi Bahasa Indonesia Citta Media LangitBiru, Jakapermai, Bekasi Barat 17145; E-mail: [email protected]

Diterjemahkan dari buku The Spiritual Brain (2007) by Mario Beauregard & Denyse O’Leary; published by arrangement with HarperCollins Publishers, 10 East 53rd Street, New York,

NY 10022.

Diterbitkan oleh:

Penerbit OBOR (Anggota IKAPI)Jl. Gunung Sahari 91, Jakarta 10610

Telp.: (021) 422 2396 (hunting) Fax.: (021) 421 9054

E-mail: [email protected];[email protected]; [email protected]

Website: www.obormedia.com

Cet. 1 – Mei 2009

Editor – St. Notoatmodjo, Yon LesekSetting isi – IAN, Markus M.

Perwajahan – Martinus Ferianto

Hak cipta dilindungi Undang-Undang.Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi

buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit OBOR.

ISBN 13 : 978-979-565-512-1ISBN 10 : 979-565-512-4

Dicetak oleh Percetakan Grafika Mardi Yuana, Bogor.

Page 3: The spiritual-brain

Daftar Isi

Prakata vii

Pendahuluan ix

Menuju Neurosains Spiritual 1

Apakah Program Tuhan Itu Ada? 51

Apakah Modul Tuhan Benar Ada? 71

Kasus Ganjil Helm Tuhan 97

Apakah Pikiran dan Otak Identik? 123

Menuju Sains Pikiran Nonmaterialis 151

Siapa yang Memperoleh Pengalaman Mistikal dan Apa Pemicunya? 219

Apakah Pengalaman Religius, Spiritual, atau Mistikal Mengubah Hidup? 279

Studi Karmelit: Sebuah Arah Baru? 309

Apakah Tuhan Menciptakan Otak, Ataukah Otak Menciptakan Tuhan? 349

Daftar Istilah 357

Catatan Akhir 365

Daftar Pustaka 427

satu

dua

tiga

empat

lima

enam

tujuh

delapan

sembilan

sepuluh

Page 4: The spiritual-brain

vii

Prakata

Terima kasih pada mahasiswa doktoral saya: Johanne Lévesque, Élisabeth Perreau-Linck, dan Vincent Paquette. Riset mereka

tentang pencitraan otak mereka tersaji dalam buku ini.

Terima kasih pada The Natural Sciences and Engineering Research Council of Canada (NSERC), The Metanexus Institute, dan John Templeton Foundation, yang telah memberikan dukungan finansial. Tanpa dukungan tersebut, riset Karmelit ini akan sulit terlaksana.

Susan Arellano, agen literatur kami, pantas mendapatkan ucapan terima kasih kami karena efisiensinya yang begitu tinggi.

Kami ingin berterima kasih pada Eric Brandt, editor kami di HarperOne, atas saran editorialnya yang bijak, juga pada editor produksi Laurie Dunne dan editor bahasa Ann Moru atas keteram-pilan, kesabaran, dan pengertian mereka. Kami juga memuji karya Pierre-Alexandre Lévesque seputar visual otak manusia.

Terakhir, saya berterima kasih pada istri saya Johanne dan anak-anak saya, Audrey dan Marc-Antoine, atas cinta serta pengertian mereka.

—Mario Beauregard

Page 5: The spiritual-brain

viii | THE SPIRITUAL BRAIN

Saya berterima kasih pada ayah saya, John Patrick O’Leary, yang se-panjang hayatnya mempertahankan gagasan pentingnya seputar

peradaban, mendorong saya untuk terjun ke dalam proyek ini dan proyek-proyek sejenis, juga pada ibu saya, Blanche O’Leary, yang tidak pernah sedikit pun mengeluh karena hidup bersama seorang penulis yang sedang bergiat menggarap buku, serta telah memberikan bantuan yang tiada terkira.

—Denyse O’Leary

Page 6: The spiritual-brain

ix

Pendahuluan

Pada awal saya dan mahasiswa doktoral saya Vincent Paquette mempelajari pengalaman spiritual para biarawati Karmelit di

Université de Montréal, kami sadar ada kemungkinan besar motif kami disalahpahami.

Kami harus terlebih dulu meyakinkan mereka betapa kami tidak sedang berupaya membuktikan bahwa pengalaman religius mereka tidak sungguh terjadi, bahwa semua itu hanya delusi, atau bahwa ada yang tidak beres dengan otak mereka. Lalu, kami harus mengubur harapan kaum ateis profesional dan ketakutan para rohaniwan bahwa kami sedang mencoba mengurangi bobot dari pengalaman ini menjadi semacam ”saklar Tuhan” di dalam otak.

Banyak ahli saraf ingin melakukannya. Namun, saya dan Vincent termasuk minoritas—ahli saraf nonmaterialis. Sebagian besar saintis sekarang ini adalah kaum materialis yang percaya bahwa dunia fisik adalah satu-satunya realitas. Semua hal lainnya—pikiran, perasaan, akal budi, dan kehendak bebas—bisa dianggap sebagai materi dan fenomena fisik, tanpa menyingkirkan kemungkinan bahwa peng-alaman religius dan spiritual bukanlah ilusi. Kaum materialis itu ibarat tokoh rekaan Charles Dicken, yaitu Ebeneezer Scrooge, yang menganggap pengalamannya dengan Marley hantu hanya sebagai ”sepotong bistik tak tercerna, seciprat monster, sebongkah keju, sepotong kentang kurang matang”.

Di lain pihak, saya dan Vincent tidak melandaskan riset pada pan-dangan materialis seperti itu. Karena kami bukan materialis, secara prinsip kami tidak meragukan bahwa seorang yang berkontemplasi

Page 7: The spiritual-brain

x | THE SPIRITUAL BRAIN

bisa mengontak realitas di luar dirinya melalui pengalaman mistikal. Bahkan, saya terjun ke dalam neurosains sebagian karena memahami bahwa hal-hal semacam itu bisa sungguh terjadi. Saya dan Vincent hanya ingin tahu apa saja yang berkaitan dengan neural (aktivitas sel saraf) selama pengalaman mistikal terjadi. Dengan adanya dominasi materialisme di dalam neurosains dewasa ini, kami beruntung para biarawati itu memercayai ketulusan kami dan bersedia membantu, dan bahwa Templeton Foundation melihat nilai penting dari pendanaan atas riset kami.

Tentu Anda bisa bertanya, Apakah riset neurosains terhadap para biarawati kontemplatif itu dapat membuktikan bahwa Tuhan ada? Tidak, tetapi riset neurosains bisa—dan sungguh bisa—menunjukkan bahwa kondisi kesadaran mistikal itu nyata ada. Dalam kondisi ini, seorang yang berkontemplasi berpeluang besar mengalami aspek-aspek realitas yang tidak ada di dalam kondisi lainnya. Temuan riset ini menyingkirkan tesis materialis bahwa seorang yang berkontemplasi telah memalsukan atau mengarang pengalamannya. Saya dan Vincent membuktikan pengalaman mistikal juga bersifat kompleks—penemuan yang menantang berbagai penjelasan materialis simplistik seperti ”gen Tuhan”, ”ranah Tuhan”, atau ”saklar Tuhan” di dalam otak kita.

Saya dan Denyse O’Leary, jurnalis dari Toronto, menulis buku ini guna membahas arti penting riset ini, dan secara umum melakukan pendekatan yang lebih neurosaintifik untuk memahami pengalaman religius, spiritual, dan mistikal. Saat ini neurosains bersifat materialis, yakni mengasumsikan bahwa pikiran hanyalah salah satu aktivitas fisik otak. Untuk memahami artinya, pikirkan kalimat sederhana ini: ”Aku menetapkan pikiranku untuk membeli sebuah sepeda” (I made up my mind to buy a bike). Orang tidak akan berkata, ”Aku menetapkan otakku untuk membeli sebuah sepeda” (I made up my brain to buy a bike). Sebaliknya, orang bisa berkata, ”Helm sepeda mencegah kerusakan otak” (Bike helmets prevent brain damage), tetapi ia tidak berkata, ”Helm sepeda mencegah kerusakan pikiran” (Bike helmets prevent mind damage). Namun, kaum materialis menilai perbedaan yang Anda tetapkan antara pikiran sebagai entitas nonmaterialis dan

Page 8: The spiritual-brain

Pendahuluan | xi

otak sebagai organ tubuh, tidak memiliki dasar riil. Pikiran dianggap ilusi belaka yang dihasilkan oleh aktivitas otak. Beberapa materialis bahkan beranggapan Anda tidak boleh menggunakan istilah yang mengimplikasikan bahwa pikiran Anda ada.

Di buku ini, kami ingin menunjukkan bahwa pikiran Anda ada, bahwa pikiran itu bukan sekadar otak. Pikiran dan perasaan Anda tidak dapat disingkirkan atau dijelaskan begitu saja sebagai sinaps-sinaps yang bekerja dan sebagai fenomena fisik. Di dunia yang hanya materi saja ini, ”kehendak bebas (free will)” atau ”pikiran yang mengendalikan materi (mind over matter)” adalah ilusi; tidak ada yang namanya tujuan atau makna, tidak ada ruang untuk Tuhan. Hanya saja, banyak orang telah mengalaminya, dan kami menyajikan bukti bahwa pengalaman itu nyata.

Sebaliknya, kaum materialis berkata bahwa pemikiran-pemikiran semisal makna atau tujuan tidak sesuai dengan realitas; semua itu hanyalah adaptasi demi pertahanan hidup manusia. Lain kata, kalau bukan merupakan evolusi sirkuit-sirkuit di dalam otak, maka semua itu tidak ada. Salah seorang penemu kode genetika, Francis Crick, menulis di buku The Astonishing Hypothesis, ”Bagaimanapun, otak kita yang telah sangat berkembang ini tidak dikembangkan cukup keras untuk mencari kebenaran yang ilmiah, melainkan hanya agar kita cukup terampil bertahan hidup dan menghasilkan keturunan.” Namun, apakah pertanyaan tentang makna dan tujuan hidup itu hanyalah bagian dari pertahanan hidup? Jika pengabaian kecil atas hasil proses intelektual selama ribuan tahun itu terdengar agak kurang meyakinkan, yah, mungkin memang begitu.

Katakanlah, seorang sehat menyumbangkan ginjalnya cuma-cuma pada seorang yang sekarat. Kaum materialis mungkin mencari-cari analogi di seputar tikus mondok, tikus rumah, atau simpanse sebagai cara terbaik untuk memahami motif si donor. Mereka yakin pikiran si donor bisa seutuhnya dijelaskan dengan hipotesis bahwa otaknya ber-kembang (ber-evolusi) dengan amat lambat dan susah payah dari otak makhluk hidup yang setara tikus dan simpanse. Karena itu, pikirannya hanyalah ilusi yang diciptakan oleh aktivitas otak yang kurang berkem-

Page 9: The spiritual-brain

xii | THE SPIRITUAL BRAIN

bang, dan kesadarannya akan situasinya sebenarnya tidak relevan untuk dijadikan penjelasan atas tindakannya.

Buku ini berpandangan: Fakta bahwa otak manusia berkembang me-nunjukkan bahwa pikiran manusia tidak dapat diabaikan dengan cara demikian. Sebaliknya, otak manusia bisa memampukan pikirannya, sedangkan otak tikus mondok tidak bisa (mohon maaf pada spesies tikus mondok). Namun, otak bukanlah pikiran; otak adalah satu organ yang sesuai untuk menghubungkan pikiran dengan seisi alam semesta. Jika diibaratkan, lomba renang Olimpiade membutuhkan sebuah kolam berskala Olimpiade. Namun, kolam itu tidak menciptakan lomba renang Olimpiade; kolam itu hanya membuat lomba itu dapat terlaksana di lokasi tertentu.

Dari sudut pandang materialis, kesadaran pikiran dan kehendak be-bas manusia adalah masalah yang harus dijelaskan. Untuk memahami maknanya, simak komentar saintis kognitif Harvard, Steven Pinker, mengenai kesadaran dalam artikel ”The Mystery of Consciousness” di harian Times (19 Januari 2007). Mengenai dua masalah utama yang dihadapi saintis, ia menulis:

Walau kedua masalah itu belum bisa diselesaikan, para ahli saraf sepakat dalam banyak hal, dan hal yang mereka anggap paling tidak-kontroversial justru dianggap paling mengejutkan oleh orang-orang di luar neurosains. Francis Crick menyebutnya ”the astonishing hypothesis” (hipotesis yang mencengangkan)—gagasan bahwa pikiran, sensasi, sukacita, dan rasa sakit kita sepenuhnya dihasilkan dari aktivitas fisiologis di dalam jaringan otak. Kesadaran tidak berada di dalam jiwa yang menggunakan otak ibarat perangkat PDA (personal digital assistant); kesadaran adalah aktivitas otak.

Karena Pinker sendiri mengakui bahwa tidak satu pun masalah kesadaran itu tuntas atau hampir tuntas, bagaimana ia bisa begitu yakin bahwa kesadaran itu hanyalah ”aktivitas otak” yang mengimplikasikan tidak adanya jiwa?

Salah satu ”kenikmatan” di dalam materialismenya Pinker adalah bahwa pada intinya, keraguan apa pun boleh dilabeli ”tidak ilmiah”. Pelabelan itu menangkal diskusi mengenai nalar-tidaknya material-

Page 10: The spiritual-brain

Pendahuluan | xiii

isme. Jelas, materialisme adalah ”iman” yang tidak akan diragukan oleh banyak intelektualis. Namun, besarnya keraguan mereka sendiri menunjukkan bahwa materialisme bukanlah penjelasan yang tepat mengenai realitas, dan tidak memberikan bukti kuat. Sebuah pembelaan yang baik dapat kita ajukan melawan pandangan yang berseberangan ini, seperti akan ditunjukkan oleh buku ini.

Ya, buku ini—menjauhi tren buku-buku neurosains yang ditujukan bagi pembaca awam—memang mendebat materialisme. Lebih dari itu, buku ini menyajikan bukti bahwa materialisme tidak sahih. Anda akan melihat sendiri bahwa materialisme tidak seindah yang Steven Pinker ingin Anda percayai. Anda hanya dapat mempertahankan keyakinan atas materialisme dengan asumsi [penuh keyakinan] bahwa bukti yang berseberangan dengan apa pun yang Anda baca tentang materialisme pastilah salah.

Sebagai contoh, yang nanti kita bahas, seorang materialis dengan mudahnya lebih memilih untuk percaya—sekalipun tanpa bukti kuat—bahwa para pemimpin spiritual mengalami gejala epilepsi lobus temporal (temporal-lobe epilepsy) ketimbang bahwa mereka memperoleh pengalaman spiritual yang mengilhami orang lain dan diri sendiri. Jika masalahnya terkait dengan spiritualitas, data eksperiensial ini justru mempermalukan materialisme sempit. Itu karena sistem-sistem seperti materialisme akan remuk melawan bukti apa pun yang melawannya. Akibatnya, data yang menentang materialisme akan diabaikan begitu saja oleh banyak saintis. Misalnya, kaum materialis melancarkan perang tiada henti melawan riset psi (penelitian atas pengetahuan atau tindakan yang dilakukan dari jarak tertentu, misalnya persepsi indra keenam, telepati, prakognisi, atau telekinesis) selama puluhan tahun, karena bukti apa pun seputar kesahihan psi, betapapun kecilnya, bakal fatal bagi sistem ideologi mereka. Baru-baru ini misalnya, para skep-tikus menyerang mahasiswa neurosains Sam Harris yang ateis, karena di buku The End of Faith (2004) ia menulis bahwa riset psi mengandung kesahihan. Harris hanya mengikuti bukti, seperti akan kita bahas. Namun karena melakukannya, ia jelas-jelas melanggar prinsip penting materialisme: Ideologi materialis pasti menang melawan bukti.

Page 11: The spiritual-brain

xiv | THE SPIRITUAL BRAIN

Namun, tantangan lain terhadap materialisme masih ada. Kaum materialis harus percaya bahwa pikiran mereka hanya merupakan ilusi yang diciptakan oleh aktivitas otak dan, karenanya, kehendak bebas itu tidak benar-benar ada dan tidak punya andil dalam gangguan mental. Namun, riset-riset nonmaterialis telah jelas-jelas menunjukkan manfaat dari kesehatan mental. Berikut ini adalah beberapa contoh yang dibahas di dalam buku ini.

Neuropsikiater nonmaterialis di UCLA, Jeffrey Schwarts menangani gangguan obsesif-kompulsif—kelainan neuropsikiatris yang ditandai oleh pemikiran yang menyusahkan, memaksa, dan tidak diinginkan—dengan cara membuat para pasiennya memprogram ulang otak mereka. Pikiran mereka mengubah otak mereka.

Begitu juga melalui teknik pencitraan otak, saya dan beberapa ko-lega ahli saraf di Université de Montréal menunjukkan bahwa:

• Wanita dewasa dan gadis remaja dapat mengendalikan respons mereka terhadap pikiran sedih, walau gadis remaja lebih sulit melakukannya;

• Pria yang menonton film erotis cukup mampu mengendalikan respons mereka terhadap film itu, ketika diminta untuk melaku-kannya; dan

• Penderita fobia, misalnya arachnofobia, dapat memprogram ulang otak mereka sehingga rasa takut itu lenyap.

Bukti tentang kendali pikiran terhadap otak sebenarnya sudah diperoleh di dalam penelitian-penelitian ini. ”Pikiran yang mengen-dalikan materi” itu nyata. Kita memiliki kehendak bebas, kesadaran, dan emosi yang, jika dipadukan dengan rasa tujuan dan makna, akan menciptakan perubahan.

Di masa lampau, penjelasan materialis tentang agama dan spirit-ualitas layak untuk sekurang-kurangnya dipertimbangkan. Misalnya, Sigmund Freud berpendapat bahwa kenangan masa kanak-kanak akan sosok seorang bapa membuat orang-orang religius percaya pada Tuhan. Penjelasan Freud gagal karena Kristianitas adalah satu-satunya

Page 12: The spiritual-brain

Pendahuluan | xv

agama besar yang menekankan aspek kebapaan Tuhan. Namun, walau salah, ide Freud tidak konyol. Relasi dengan bapa yang bahagia atau tidak bahagia adalah pengalaman kompleks manusia, yang disertai sejumlah analogi dengan agama. Selain itu, antropolog J.G. Frazer berpendapat bahwa agama-agama modern berasal dari berbagai kultus kesuburan purba yang kemudian dispiritualkan. Sesungguhnya, bukti yang ada lebih merujuk pada pengalaman spiritual sebagai sumber dari berbagai keyakinan dan ritual religius yang muncul belakangan. Namun, ide Frazer tidak bisa dibilang sepele. Ide itu lahir melalui proses pengenalan yang panjang dan mendalam terhadap sistem kepercayaan purba.

Dewasa ini, penjelasan materialis tentang agama dan spiritualitas sudah keterlaluan. Di bawah pengaruh pandangan materialis, media massa populer berlomba-lomba membahas gen kekerasan, gen kege-mukan, gen monogami, gen ketidaksetiaan, dan bahkan gen Tuhan! Pandangan itu kira-kira begini: Para psikolog evolusioner ngotot menjelaskan spiritualitas manusia dan keyakinan akan Tuhan, bahwa manusia goa di zaman purba yang percaya pada realitas supernatural jauh lebih berpeluang mewariskan gen-gen mereka ketimbang manusia goa yang tidak percaya. Kemajuan di bidang genetika dan neurosains telah mendorong sejumlah orang untuk serius mencari gen Tuhan, atau bintik, modul, faktor, atau saklar Tuhan di dalam otak manusia. Pada saat ”helm Tuhan” (sebuah helm mobil salju yang dimodifikasi dengan solenoid untuk merangsang subjek agar mengalami eksistensi Tuhan) di Sudbury, Kanada, menjadi magnet bagi para jurnalis sains pada 1990-an (Dekade Otak), materialisme nyaris dianggap parodi. Walau begitu, kaum materialis terus mencari saklar Tuhan. Dengan segala perbedaan pandangan yang konyol itu, tidak ada yang bisa lolos dari sifat nonmaterialisnya pikiran manusia.

Pada dasarnya, tidak ada yang namanya saklar Tuhan. Seperti ditunjukkan dalam riset terhadap para biarawati Karmelit dan akan dirinci oleh buku ini, pengalaman spiritual adalah pengalaman yang rumit, seperti pengalaman kita dalam hal relasi manusia. Mereka meninggalkan jejak di banyak area otak. Fakta itu sesuai dengan (walau

Page 13: The spiritual-brain

xvi | THE SPIRITUAL BRAIN

tidak dengan sendirinya menunjukkan) pemikiran bahwa orang yang mengalami pengalaman spiritual tersebut mengontak suatu realitas di luar dirinya.

Faktanya, materialisme sudah mentok. Materialisme tidak mena-warkan hipotesis apa pun yang berguna atau bahkan mengembangkan pikiran atau pengalaman spiritual manusia. Ada suatu ranah agung yang tidak dapat dimasuki, apalagi dipelajari melalui materialisme. Namun, kabar baiknya adalah dengan tiadanya materialisme, ada tanda-tanda positif bahwa spiritualitas dapat dimasuki dan dipelajari melalui neurosains modern.

Neurosains nonmaterialis tidak terdorong untuk menolak, mengingkari, menjelaskan, atau mempermasalahkan semua bukti yang menentang materialisme. Ini sangat bagus, karena riset terbaru melahirkan bukti yang kian kuat. Tiga contoh yang dibahas dalam buku ini adalah efek psi, pengalaman dekat-ajal (near death experience/NDE), dan efek plasebo.

Efek psi, seperti yang terlihat dalam fenomena-fenomena seperti persepsi indra keenam (extrasensory perception) dan psikokinesis, memang berkadar rendah, tetapi upaya untuk membuatnya tidak absah telah gagal. Pengalaman dekat-ajal juga kian sering diteliti beberapa tahun belakangan ini, mungkin karena teknik resusitasi telah banyak membuat orang kembali dari kematian dan menceritakan pengalaman mereka. Dengan adanya para saintis seperti Pim van Lommel, Sam Parnia, Peter Fenwick, dan Bruce Greyson, kini kita memiliki basis informasi yang lebih luas. Hasilnya tidak mendukung pandangan materialis tentang pikiran dan kesadaran, sebagaimana Pinker ajukan dalam Times: ”Ketika aktivitas fisiologis otak berhenti, yang diketahui sejauh ini adalah kesadaran orang itu keluar dari keberadaannya.”

Banyak dari kita mungkin belum pernah mengalami efek-efek tak lazim semisal efek psi atau pengalaman dekat-ajal, tetapi kita semua pasti pernah mengalami efek plasebo: Pernahkah Anda pergi ke dokter untuk minta surat keterangan bahwa Anda tidak dapat pergi bekerja karena flu berat—dan tiba-tiba Anda merasa lebih baikan

Page 14: The spiritual-brain

xvii

saat duduk membaca majalah di klinik. Memang memalukan, tetapi mudah dijelaskan: Pikiran menghasilkan pesan untuk memulai proses analgesik atau penyembuhan, ketika Anda menyadari bahwa Anda berada di jalan menuju kesembuhan. Meskipun neurosains materialis telah lama menganggap efek plasebo sebagai masalah, efek ini adalah salah satu fenomena paling gamblang dalam kedokteran. Sementara bagi neurosains nonmaterialis, efek ini adalah efek normal yang bisa memiliki nilai terapeutik besar jika digunakan secara tepat.

Materialisme tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan pen-ting seputar natur manusia dan kurang dapat memberikan jawaban yang mudah dipahami. Materialisme juga telah meyakinkan jutaan orang bahwa mereka tidak perlu mencoba mengembangkan natur spiritual mereka, karena mereka tidak memilikinya.

Beberapa orang menilai bahwa solusinya adalah terus mendukung materialisme dengan lebih diam-diam. Dewasa ini, kaum materialis melancarkan perang ”anti-Tuhan” secara terang-terangan. Karya-karya antiteistik seperti Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (Daniel Dennett), The God Delusion (Richard Dawkins), God: The Failed Hypothesis—How Science Shows that God Does Not Exist (Victor J. Stenger), God Is Not Great (Christopher Hitchens), dan Letters to a Christian Nation (Sam Harris) didukung konferensi seperti ”Beyond Belief” oleh Science Network dan kampanye seperti You-Tube Blasphemy Challenge.

Yang mengagumkan, tidak ada yang baru dalam gagasan mereka. Para filsuf abad ke-18 telah menyampaikannya sejak dahulu dengan maksud yang kurang lebih sama. Memang, karya-karya modern ini telah diperciki berbagai asumsi mengenai psikologi evolusioner—upaya mengasalmuasalkan agama dan spiritualitas dari praktik yang telah memungkinkan segelintir nenek moyang kita di zaman purba Pleistosin untuk mewariskan gen mereka. Namun, nenek moyang kita itu sudah lama tiada, dan tidak banyak yang bisa didapatkan dari disiplin ilmu yang kekurangan subjek. Selain itu, ada banyak penegasan terhadap sifat ilusif dari natur pikiran, kesadaran, dan kehendak bebas, serta ketidakbergunaan sekaligus bahaya spiritualitas.

Page 15: The spiritual-brain

xviii | THE SPIRITUAL BRAIN

Para pakar di pertengahan abad ke-20 meramalkan bahwa perlahan tapi pasti, spiritualitas akan lenyap. Setelah dibanjiri materi, manusia akan berhenti memikirkan Tuhan. Namun, mereka salah. Saat ini, spiritualitas menjadi lebih beraneka ragam dan bertumbuh di seluruh dunia. Vitalitas tersebut menciptakan rasa takut dan spekulasi liar—tetapi yang paling kuat adalah rasa ingin tahu yang mendorong keinginan untuk menyelidiki.

Namun, bagaimana kita bisa menelaah spiritualitas secara ilmiah? Untuk memulainya, kita dapat menemukan kembali warisan non-materialis kita. Warisan itu memang ada, hanya saja sudah lazim diabaikan. Pada kenyataannya, ahli-ahli saraf ternama seperti Charles Sherrington, Wilder Penfield, dan John Eccles bukanlah kaum materialis yang suka mereduksi, dan mereka selalu mengajukan dasar-dasar yang kuat. Dewasa ini, neurosains nonmaterialis ber-kembang subur, terlepas dari segala batasan akibat kesalahpahaman yang telanjur mendarah daging dan, dalam beberapa kasus, akibat kekerasan. Pembaca diimbau untuk menanggapi semua pertanyaan dan bukti yang disajikan dalam buku ini dengan pikiran terbuka. Inilah saat bagi eksplorasi, bukan dogma.

Buku ini akan membahas tiga gagasan penting. Pertama, pendekat-an nonmaterialis terhadap pikiran manusia yang memperhitungkan bukti yang jauh lebih baik daripada pendekatan materialis yang sudah mentok saat ini. Kedua, pendekatan nonmaterialis terhadap pikiran membuahkan manfaat dan penyikapan pada tataran praktis, demikian pula pendekatan terhadap fenomena-fenomena yang tidak sanggup ditangani oleh pendekatan materialis. Terakhir, dan mungkin juga ter-penting bagi banyak pembaca, buku ini menunjukkan bahwa manakala pengalaman spiritual memengaruhi kehidupan, penjelasan yang pa-ling masuk akal dan paling mampu menerangkan semua bukti adalah bahwa setiap orang yang memperoleh pengalaman itu benar-benar mengontak suatu Realitas di luar diri mereka, suatu Realitas yang telah membawa mereka lebih dekat kepada natur sejati dari alam semesta.

—Mario Beauregard Montreal, Kanada, 1 Februari 2007

Page 16: The spiritual-brain

s atu

Menuju Neurosains Spiritual

Juni 2005, konferensi World Summit on Evolution diselenggarakan di Pulau San Cristobal, Kepulauan Galápagos, lepas pantai Ekuador.

Lokasi sederhana Frigatebird Hill dipilih karena di sinilah Charles Darwin pertama kali mendarat pada 1835 untuk menyelidiki ”induk dari segala rahasia”—asal-usul dan natur spesies, termasuk (dan mungkin terutama) spesies manusia.

Kepulauan terpencil di Pasifik ini kemudian menjadi tempat per-hentian bajak laut, pemburu paus, dan pemburu anjing laut, yang membuat bentuk-bentuk kehidupan (life forms) yang pernah dipelajari Darwin nyaris punah. Namun, di bawah perlindungan pemerintah abad ke-20, kepulauan itu menjadi ”kuil” bagi materialisme—keyakinan bah-wa semua bentuk kehidupan, termasuk manusia, hanyalah produk dari kekuatan alam yang buta.1 Menurut pandangan materialis, ”pikiran” kita—jiwa, roh, kehendak bebas—hanyalah ilusi yang tercipta oleh arus listrik di dalam neuron-neuron (sel-sel saraf) otak kita. Menurut zoolog Oxford, Richard Dawkins, alam semesta itu ibarat seorang ”pembuat jam yang buta (a blind watchmaker)”.2

Konferensi di Galápagos itu langsung dielu-elukan sebagai Wood-stock-nya Evolusi. Para saintis yang hadir, ”dedengkotnya teori evo-lusi”,3 sangat memahami peran penting mereka dan signifikansi dari seluruh proses itu. ”Kami tertegun berada di sini,” tulis seorang jurnalis sains, mengenang ketika para hadirin elite tersebut menyimak kisah

Page 17: The spiritual-brain

� | THE SPIRITUAL BRAIN

evolusi yang terkenal itu dengan sikap ”terpesona seperti anak-anak yang sedang menyimak pemaparan ulang sebuah dongeng favorit”.4

Menurut kisah itu, dan mengutip kata-kata salah satu hadirin, manusia hanyalah ”klad (clade) kecil yang aneh”.5 Dan misi pertemuan berikutnya adalah menyampaikan kisah itu ke seluruh dunia.6 Bagai-manapun, dengan memuncaknya ketidaksepakatan dalam pengajaran evolusi, dunia pasti sudah tahu.

Serangkaian Peristiwa Dimana Pikiran Tidak Ada?

Salah satu tokoh penting di dalam konferensi itu adalah filsuf Amerika Daniel Dennett. Dennett yang secara fisik mirip Charles Darwin adalah seorang filsuf pikiran terkemuka. Ia merupakan filsuf favorit bagi orang-orang yang menganggap komputer dapat menyimulasi proses mental manusia. Anehnya, sebagai filsuf pikiran, ia justru ingin meyakinkan dunia bahwa dalam pengertian tradisional, yang namanya pikiran itu tidak ada. Mungkin ia paling dikenal karena mengatakan bahwa ”ide Darwin yang berbahaya” adalah ide terbaik yang pernah dimiliki manusia, karena menjadi akar bagi materialisme. Menurutnya, manusia itu ibarat ”robot besar yang memesona” dan bagusnya lagi:

Jika Anda memiliki jenis proses yang tepat dan ada cukup waktu, Anda dapat menciptakan hal-hal besar yang indah, bahkan hal-hal yang memiliki pikiran, melampaui proses-proses yang secara kasus per kasus terbilang bodoh, tanpa pikiran, sederhana. Sekumpulan peristiwa kecil tanpa pikiran yang terjadi selama jutaan tahun saja dapat menciptakan bukan hanya keteraturan, tetapi juga rancangan; bukan sekadar rancangan, tetapi pikiran, mata, dan otak.7

Dennett bersiteguh bahwa jiwa atau roh tidak berasosiasi dengan otak manusia, unsur supernatural apa pun, atau kehidupan-setelah-kematian. Maka, fokus kariernya adalah menjelaskan bagaimana ”makna, fungsi, dan tujuan bisa ada di dalam suatu dunia yang pada dasarnya tanpa makna dan fungsi”.8 Ia hadir di Galápagos untuk menyatakan pandangan itu.

Page 18: The spiritual-brain

dua

Apakah Program Tuhan Itu Ada?

Spiritualitas berasal dari dalam diri. Benihnya harus sudah ada sejak awal. Dan benih itu menjadi bagian dari gen mereka.1

—Dean Hamer, ahli genetika perilaku

Pada musim panas 2005, keriuhan London Zoo benar-benar mengalahkan pantai. Kebun binatang itu menciptakan sensasi

yang melanda media massa internasional laksana badai. Selama empat hari, 26–29 Agustus 2005, di habitat berhutan Bear Mountain, tiga laki-laki dan empat perempuan Homo sapiens dipertontonkan. Secarik label dipasang: ”PERINGATAN: Manusia di Habitat Alaminya”. Jurubicara kebun binatang, Polly Wills menerangkan bahwa pameran itu ”mengajarkan pada masyarakat bahwa manusia itu tidak lebih dari sekadar primata”.2

Bagaimanapun, para sapiens itu tidak didapatkan oleh kebun binatang tersebut dengan cara biasa. Para pelamar yang tertarik harus bisa melenguhkan 50 kata berbentuk nada suara persuasif. Masing-masing satu orang apoteker, calon aktor, dan penggemar fitnes lolos tes, serta dipertontonkan dengan ”hanya selembar daun ara menutupi aurat”. Ya, aurat. Seorang pengunjung menyatakan kekecewaannya karena para sapiens itu memakai baju renang di bawah daun ara kertas.

Page 19: The spiritual-brain

�� | THE SPIRITUAL BRAIN

Perbedaan lainnya dengan hewan adalah bahwa, setelah mema-merkan bisep dan lekuk tubuh di depan orang banyak [dan sepanjang waktu dilindungi dari kerabat hewan mereka yang buas dengan kawat listrik], para sapiens itu pulang tiap malam—bukan ke sarang dedaunan, melainkan ke apartemen masing-masing. Yang menarik, salah satu peserta berkomentar, ”Banyak orang menganggap derajat manusia berada di atas hewan. Ketika melihat manusia sebagai hewan di sini, mereka jadi agak teringat bahwa kita tidak seistimewa itu.”3

Komentar yang ironis; sesungguhnya aksi publisitas itu hanya bisa terlaksana karena justru sebaliknyalah yang terjadi. Para manusia goa itu dengan sukarela mempertontonkan diri pada manusia lain hanya untuk bersenang-senang dan semoga bisa menunjang karier. Jadi mengapa, tepatnya, kita dibujuk untuk meyakini gagasan bahwa manusia adalah hewan yang sama dengan makhluk tunawicara di dalam kerangkeng lain, yang tidak bisa menulis, tidak bisa menyampaikan pemikiran mereka pada jurnalis, atau (mungkin yang paling jelas) tidak ”pulang” setiap malam?

Ya, secara fisik kita adalah anggota kerajaan hewan yang sama-sama berbagi risiko dan kesempatan. Namun, komentar si peserta (”Kita tidak seistimewa itu”) menunjukkan betapa mengakarnya materialisme filosofis dalam masyarakat. Walau dihadapkan pada perbedaan nyata antara manusia dan para penghuni kebun binatang lainnya, banyak orang berasumsi telah benar-benar melihat persamaannya. Tidak terlalu mengherankan. Dihadapkan pada pilihan antara apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar, banyak orang memilih untuk percaya pada apa yang mereka dengar.

Siapa yang lebih kamu percayai, aku atau matamu?

—Chico Marx, Duck Soup (1933)

Pola pikir materialis semacam ini mewarnai upaya-upaya paling baru untuk memahami spiritualitas. Banyak peneliti mencari spiritualitas di salah satu bagian otak atau gen, atau mungkin di salah satu sejarah hipotetis atau meme (persamaan gen). Lain kata, mereka

Page 20: The spiritual-brain

t ig a

Apakah Modul Tuhan Benar Ada?

Walau sudah jamak diketahui dewasa ini, saya selalu terpesona melihat bahwa segenap kehidupan mental kita—sentimen religius dan bahkan apa yang kita sebut diri pribadi yang terdalam—hanyalah aktivitas bintik-bintik kecil di dalam kepala Anda, di dalam otak Anda. Tak ada yang lain.1

—V.S. Ramachandran, ahli saraf

Sains sangat menakjubkan untuk menjelaskan apa yang sangat menakjubkan untuk dijelaskan dengan sains, tetapi di luar itu, sains cenderung ‘mencari kunci mobilnya di tempat terang’.2

—Jonah Goldberg, Jewish World Review

Dalam novel mencekam karya Mark Salzman, Lying Awake, Suster Yohanes dari Salib menghadapi keputusan sulit. Beberapa

puluh tahun sebelumnya, ia mengisi masa kanak-kanaknya yang minim kepuasan emosional dengan aturan ketat seputar kehening-an, kesederhanaan, dan doa di sebuah biara Karmelit dekat Los Angeles. Kehidupan biara memang memberikan keteraturan dan kedamaian, tetapi tahun-tahun berlalu dengan perasaan kering dan tak terpenuhkan. Suster Yohanes mulai mengalami visiun-visiun (penglihatan-penglihatan) aneh yang ia tuangkan dalam bentuk

Page 21: The spiritual-brain

�� | THE SPIRITUAL BRAIN

tulisan indah dan menghasilkan buku populer Sparrow on a Roof. Buku itu membantu berbagai biaya biara dan bahkan menarik seorang suster lain ke ordo tersebut. Suster Yohanes yang gemuk pendek itu menjadi ”bintang” spiritual, berlimpah dengan karunia.

Namun, seiring munculnya visiun-visiun itu, ia mulai mengalami sakit kepala parah. Awalnya, Suster Yohanes menyambut sakit kepala itu dengan pikiran bahwa ia harus menderita sesuatu sebagai balasan atas kasih Allah. Hanya saja, sakit kepala itu kian parah hingga akhir-nya ia kejang-kejang. Ia berkonsultasi dengan seorang ahli saraf dan mengetahui kebenarannya. Ia mengalami epilepsi lobus temporal (temporal-lobe epilepsy, selanjutnya disebut TLE) akibat tumor kecil di bagian atas telinga kanannya. Ia diberi tahu bahwa:

Epilepsi lobus temporal terkadang menyebabkan perubahan perilaku dan pikiran, bahkan ketika pasien tidak mengalami kejang-kejang. Perubahan-perubahan ini mencakup hipergrafia, peningkatan tetapi juga penyempitan respons emosional, serta minat yang obsesif terhadap agama dan filsafat.3

Suster Yohanes juga diberi tahu bahwa Rasul Paulus dan pendiri Ordo Karmelit, St. Theresia dari Avila, kemungkinan besar adalah penderita TLE.

Tumor itu dapat diangkat dengan mudah, jadi diperkirakan visiun-visiun itu takkan muncul lagi. Hanya saja, apakah visiun itu tidak lebih dari sekadar penyakit? Suster Yohanes menilai bahwa, dari sudut pandang materialis, seluruh hidupnya bisa dianggap sebagai patologi semata, sejenis penyakit mental:

Berdoa sepanjang waktu: hiperreligiositas. Pilihan untuk hidup selibat (tanpa pasangan): hiposeksualitas. Kendali niat melalui kendali tubuh dengan puasa secara teratur: anoreksia. Membuat jurnal spiritual secara terinci: hipergrafia.4

Haruskah Suster Yohanes menyetujui dilakukannya pembedahan yang bakal mengakhiri visiun-visiun itu?

Page 22: The spiritual-brain

empat

Kasus Ganjil Helm Tuhan

Dengan menciptakan perangkat kepala penuh kabel yang meng-hasilkan pengalaman ”religius” pada pemakainya, neuroteolog Michael Persinger di Sudbury, telah menggoyahkan fondasi iman dan sains.1

—Robert Hercz, Saturday Night

Siapa pun yang masih meragukan kemampuan otak untuk meng-hasilkan pengalaman religius hanya perlu mengunjungi ahli saraf Michael Persinger di Laurentian University di kota tambang nikel Sudbury, Ontario. Ia berkata hampir semua orang bisa bertemu Tuhan, hanya dengan memakai helm istimewa buatannya.2

—Bob Holmes, New Scientist

Mr. Dawkins akan berminat untuk mengalami agama pada kali pertama dengan helm buatan Mr. Persinger. Hal ini akan mem-buktikan bahwa akhirnya visiun mistikal dapat dikendalikan oleh sains, dan bukan lagi hasil dari kemurahan hati sesosok entitas supernatural.3

—Raj Persaud, London Daily Telegraph

Apakah ”imam besar” ateisme Inggris, Richard Dawkins, dapat me-nemukan Tuhan hanya dengan memakai helm lobus temporal

yang dibuat di laboratorium neurosains di Kanada? Dawkins terkenal

Page 23: The spiritual-brain

�� | THE SPIRITUAL BRAIN

karena menyebut agama sebagai ”virus pikiran” dan ”kemunduran yang kekanak-kanakan”.4 Tahun 2003, pada sesuatu yang disebut sebagai tes puncak oleh program Horizon-nya BBC, ”God on the Brain”, penghulu ateis (archatheist) itu berusaha mencari Tuhan dengan memakai ”helm Tuhan” buatan ahli saraf Kanada Michael Persinger.

”Akankah Dr. Persinger berhasil, padahal Paus, Uskup Agung Canterbury, dan Dalai Lama telah gagal?” pekik pendukungnya. Program itu merekam sesi-40 menit Dawkins memakai helm Tuhan, di mana lobus temporal-nya dirangsang dengan medan magnet lemah. Dikatakan bahwa peluang terjadinya RSME bagus. Menurut Persinger, 80% orang yang memakai helmnya mengalami sejenis RSME. Tertulis pada naskah ”God on the Brain”:

PROF. RICHARD DAWKINS (University of Oxford): Jika saya beralih memegang keyakinan religius, istri saya mengancam minta cerai. Saya selalu penasaran bagaimana rasanya memperoleh pengalaman mistikal. Saya menanti-nantikan upaya sore ini.

DAWKINS: Saya agak pusing.

NARATOR: Pertama, Dr. Persinger menempelkan sebuah medan magnet pada sisi kanan kepala Richard Dawkins.

DAWKINS: Cukup aneh.

NARATOR: Lalu untuk memperbesar peluang merasakan adanya suatu kehadiran, Dr. Persinger mulai menempelkan medan magnet itu pada kedua sisi kepala.

DAWKINS: Sepertinya napas saya agak tersengal-sengal. Saya tidak tahu ada apa. Kaki kiri seperti bergerak-gerak, kaki kanan berkedut-kedut.

NARATOR: Jadi setelah 40 menit, apakah Richard Dawkins telah dibawa lebih dekat pada Tuhan? 5

Sepertinya tidak. Ia tidak merasakan sesuatu yang tidak lazim dan mengaku ”sangat kecewa”. Ia benar-benar ingin mengalami apa yang orang-orang religius akui telah alami. Persinger menawarkan

Page 24: The spiritual-brain

l im a

Apakah Pikiran dan Otak Identik?

Mempelajari otak berarti mempelajari diri kita sendiri, tetapi dengan suatu cara yang membuat kita menjadi subjek sekaligus objek. Ibaratnya, kita mencoba melihat baik ke dalam dan ke luar jendela secara bersamaan.1

—Greg Peterson, dosen agama

Jika orang harus mempelajari otak sendirian, tanpa mengindah-kan perilaku manusia dan kondisi sadar yang subjektif, ia tidak akan pernah belajar apa pun mengenai kesadaran atau fenomena mental apa pun lainnya.2

—B. Alan Wallace, filsuf pikiran

Tanggal 17 Juli 1990, presiden George H.W. Bush dan Kongres AS mengumumkan era 1990-an sebagai Dekade Otak. Alasan

positif bagi pendanaan publik atas riset otak itu diungkapkan dengan sepatutnya. Namun, sejak awal sudah jelas Bush dan para pendukungnya ingin tahu lebih banyak mengenai otak karena alasan pribadi. Memang pengetahuan yang lebih tepat akan membantu kita memerangi penyakit dan kecanduan, tetapi pengetahuan itu sendiri mahal. Bush berkata:

Otak manusia—sebuah massa sel-sel saraf seberat 3 pound yang mengendalikan aktivitas kita—adalah salah satu keajaiban

Page 25: The spiritual-brain

1�� | THE SPIRITUAL BRAIN

penciptaan yang paling mengagumkan… dan misterius. Sebagai tempat bersemayamnya kecerdasan manusia, penafsir indera-indera, dan pengendali gerakan kita, organ ini senantiasa menggugah rasa ingin tahu para saintis dan kaum awam.3

Pemilihan waktu dekade ini sangat baik. Setelah lebih dari satu abad melakukan riset otak secara sistematik dengan berbagai metode, teknik-teknik baru seperti positron emission tomography (PET) dan magnetic resonance imaging (MRI) memungkinkan para ahli saraf untuk melihat ke dalam otak manusia yang sehat dan berfungsi. Mereka tidak perlu lagi mengandalkan hewan percobaan atau kasus langka kerusakan otak dan pembedahan yang tidak biasa.

Pada intinya, penelitian tentang bagaimana tikus yang rusak-otak menemukan makanan, tidak dapat membantu kita memahami kesadaran manusia. Bahkan penelitian atas manusia yang rusak-otak tidak memberikan gambaran jelas tentang seperti apa sistem yang berfungsi—atau sistem yang telah berhasil memperbaiki dirinya sendiri atau mengatasi suatu masalah—dengan baik itu. Namun, semua itu sedang berubah dengan cepat. Neurosains sedang menjadi isu panas. Pembawa acara televisi Larry King menyebut dekade 1990-an sebagai dekade otak. Tahun 1998, William J. Bennett yang merupakan ”tsar” obat-obatan George H.W. Bush bertanya, ”Apakah ahli saraf adalah Penguasa Alam Semesta yang baru?”4

Neurosains Saat Ini

Otak mengandung 100 miliar sel—hampir sama banyaknya dengan jumlah bintang di galaksi Bima Sakti. Dan tiap-tiap sel dihubungkan oleh sinaps pada 100.000 sel lainnya. Sinaps-sinaps antar-sel terendam dalam hormon dan neurotransmiter yang mengubah transmisi sinyal-sinyal, dan sinaps-sinaps itu terus mewujud dan melarut, melemah dan menguat, sebagai respons terhadap pengalaman baru.5

—John Horgan, Discover

Page 26: The spiritual-brain

enam

Menuju Sains Pikiran Nonmaterialis

Dasar pikiran fundamental saya tentang otak adalah bahwa aktivitasnya—yang terkadang kita sebut ”pikiran”—merupakan konsekuensi dari anatomi dan fisiologinya; tidak lebih.1

—Carl Sagan, astronom dan penulis sains populer

Kita menganggap materialisme-perjanjian sebagai takhayul tanpa fondasi rasional. Kian banyak yang kita pelajari tentang otak, kian jelas kita membedakan antara aktivitas otak dan fenomena mental, dan kian mengagumkan pula aktivitas otak dan fenomena mental itu. Materialisme-perjanjian hanyalah semacam keyakinan religius yang dipegang oleh kaum materialis dogmatik… yang sering merancukan agama mereka dengan sains mereka.2

—John Eccles dan Daniel N. Robinson, The Wonder of Being Human

Dapatkah sains pikiran nonmaterialis menjelaskan fakta-fakta hasil pengamatan, lebih baik daripada sains pikiran materialis?

Pada titik ini, kita dapat menjelaskan beberapa aspek pandangan nonmaterialis tentang pikiran. Walau tidak satu pun pandangan saat ini yang dapat menjawab semua pertanyaan, pandangan nonmaterialis

Page 27: The spiritual-brain

1�� | THE SPIRITUAL BRAIN

setidaknya dapat menjelaskan aspek-aspek pengalaman manusia yang kita ketahui, yang—sebagaimana kita lihat—tidak dapat dijelaskan dan sering diingkari oleh pandangan materialis.

Misalnya, pandangan nonmaterialis dapat menjelaskan riset neuroimaging yang memperlihatkan subjek manusia dalam tindakan mengatur emosi diri dengan berkonsentrasi pada emosi itu. Hal itu dapat menjelaskan efek plasebo (pil gula yang menyembuhkan pasien, jika si pasien yakin pil itu adalah obat mujarab). Pandangan nonmaterialis juga dapat memberikan penjelasan ilmiah atas berbagai fenomena membingungkan yang diabaikan oleh pandangan materialis. Pertama adalah psi, kemampuan beberapa manusia untuk terus meraih angka di atas rata-rata dalam penelitian terarah mengenai pengaruh mental terhadap berbagai peristiwa. Kedua adalah pernyataan, yang secara mengejutkan kerap dijumpai pada pasien trauma atau pasien bedah, bahwa mereka mengalami suatu keawasan (kesadaran) mistikal yang mengubah hidup, ketika mereka berada dalam kondisi tidak sadar.

Jika suatu pandangan nonmaterialis benar, pandangan itu pasti berguna di bidang terapan semisal kedokteran. Mari kita lihat beberapa buktinya.

Neurosains Nonmaterialis di Dalam Kedokteran

Otak selalu melakukan sesuatu yang berangkat dari gangguan-gangguan tidak sadar.3

—Daniel Dennet, filsuf materialis

Sudah tiba waktunya bagi sains untuk menghadapi implikasi serius dari fakta bahwa aktivitas mental yang diarahkan dan dikehendaki dapat mengubah fungsi otak secara jelas dan sistematis.4

—Jeffrey M. Schwartz, psikiater

Pendekatan nonmaterialis atas pikiran bukan hanya bisa di-pertahankan secara filsafat; pendekatan itu juga penting untuk

Page 28: The spiritual-brain

tu j uh

Siapa yang Memperoleh Pengalaman Mistikal dan

Apa Pemicunya?

Studi mistikal—betapapun sederhananya, dan membawa apa yang dibawa oleh musik atau puisi, tetapi dengan tingkatan yang jauh lebih tinggi, yaitu suatu sukacita ganjil di mana kita seolah-olah dibawa mendekat pada Sang Sumber—pada akhirnya berada di ambang rahasia yang selama ini kita coba ungkap. Simbol-simbol yang digunakan, kata-kata aktual yang dipakai, ketika kita analisis, tidak cukup untuk menjelaskan efek semacam itu. Malahan, pesan-pesan dari diri transendental entitas lain yang terbangun, justru membangunkan diri kita yang lebih dalam.1

—William James, psikolog perintis di Amerika

Mistisisme termasuk kata yang paling disalahgunakan dalam ko-sakata populer. Lebih dari seabad yang lalu, psikolog William

James berkomentar bahwa kata mistisisme adalah julukan kejam yang dikenakan pada ”opini mana pun yang kita anggap tidak jelas, terlalu luas, sentimental, serta tanpa dasar fakta dan logika.”2 Lebih buruk lagi, menurut peneliti mistisisme Inggris Evelyn Underhill, mistisisme dianggap sebagai ”pembenaran untuk segala jenis okultisme

Page 29: The spiritual-brain

��0 | THE SPIRITUAL BRAIN

(kepercayaan kepada kekuatan gaib, red.), transendentalisme rapuh, simbolisme hambar, sentimentalitas religius atau estetik, dan metafisika yang buruk. Di sisi lain, kata ini digunakan dengan bebas sebagai hinaan oleh mereka yang mengkritik semua itu.”3

Jadi, apa sejatinya mistisisme itu? Untungnya abad lalu, sejumlah ilmuwan nonmistikus mulai mempelajarinya dengan serius.

Mistisisme Sebagai Jalan Pengenalan

Manfaat dari mengalihkan kemanusiaan kepada persepsi yang tepat tentang dunia adalah sukacita dari menemukan natur mental Alam Semesta. Kita tidak tahu apa yang diimplikasikan oleh natur mental ini, tetapi—hebatnya—implikasi tersebut benar adanya.4

—Richard Conn Henry, fisikawan

Pakar mistisisme pertengahan abad ke-20, W.T. Stace (1886–1967), bertanya-tanya apa ada kerancuan karakteristik khayali antara ”berkabut” dan ”mistisisme”. Kata mistisisme berasal dari kata Yunani (muo) yang artinya ”menutupi”. Kabut menutupi, karena menghalangi penglihatan. Dalam pengertian itu, tidak ada yang berkabut tentang mistisisme.5 Mistikus serius akan mencari akses menuju level-level kesadaran yang ”tertutup” dalam kehidupan sehari-hari. Atau, mung-kin lebih cocok disebut terabaikan ketimbang tertutup. Level-level kesadaran yang tidak membantu kita berkembang dalam karier atau relasi cenderung tidak digunakan. Kita tidak akan tahu apakah akses menuju level-level ini dapat mengubah kita.

Bagaimanapun, mengutip kalimat G.K. Chesterton, sesuatu yang secara kontradiktif banyak tidak diakui pasti memiliki beberapa nilai positif. Jadi, apa sesungguhnya mistisisme itu? Stace menjelaskan:

Yang paling penting—karakteristik utama yang diamini oleh semua pengalaman mistikal yang sudah berkembang penuh, dan yang pada analisis terakhir sifatnya final dan berfungsi untuk membedakannya dari pengalaman jenis lain—adalah bahwa pengalaman itu

Page 30: The spiritual-brain

del a pan

Apakah Pengalaman Religius, Spiritual, atau Mistikal

Mengubah Hidup?

Jadi, apa bukti eksperimental bahwa Tuhan itu buruk untuk Anda? Menurut Dawkins, telah diterima luas dalam komunitas ilmiah bahwa agama melumpuhkan manusia, mengurangi potensi pertahanan hidup dan kesehatan. Walau begitu, riset empiris baru-baru ini menunjukkan adanya interaksi positif antara agama dan kesehatan. Bahwa ada jenis-jenis patologis dari keyakinan religius memang sudah diketahui; walau begitu, hal ini tidak menafikan perkiraan yang biasanya positif tentang pengaruh agama terhadap kesehatan mental, yang mengemuka dalam studi-studi berbasis bukti.1

—Alister McGrath, teolog

Diwarnai gegap-gempita, direktur Center for Cognitive Studies di Tufts University, Daniel Dennett, menerbitkan buku Breaking the

Spell: Religion as a Natural Phenomenon (2006). Pembahasannya tentang psikologi evolusioner dan meme disambut dengan puja-puji2 dan ratap-kutuk. Namun, ada perbedaan menarik dari apa yang mungkin terjadi satu dekade silam. Tentu saja, ia dikecam oleh kalangan sayap kanan. Misalnya, editor buku Adam Kirsch menantangnya di New York Sun:

Page 31: The spiritual-brain

��0 | THE SPIRITUAL BRAIN

Pada inti agama yang sistematis, entah orang menerima atau menolaknya, ada kebenaran bahwa pengalaman metafisik merupakan bagian dari kehidupan manusia. Laporan memadai apa pun tentang agama harus bermula dari fakta fenomenologis ini. Karena Mr. Dennet mengabaikannya, memperlakukan agama sebaik-baiknya sebagai pengisi waktu orang bodoh, dan seburuk-buruknya sebagai sebuah sel penahan bagi kaum fanatik, ia tidak pernah benar-benar menemukan apa yang menurutnya ia tuliskan.3

Namun, dalam sebuah titik balik yang mengejutkan, upaya Dennett juga mengundang kritik dari sumber yang seharusnya jadi sekutunya. Ia dikecam dari sayap kiri. Leon Wieseltier, editor sastra The New Republic, menyebut karyanya sebagai ”evo-psychobabble” (omong kosong psikologi evolusioner—red.): ”Akhirnya nanti, penyangkalannya terhadap agama adalah penyangkalan terhadap filsafat…. Kesimpulan yang diambil oleh buku dangkal dan memuji diri sendiri ini adalah bahwa ada banyak mantera yang perlu dipatahkan.”4

Begitu juga pada 2006, pakar materialisme Inggris Richard Dawkins memproduseri sebuah program televisi istimewa di Channel 4 tentang agama, The Root of All Evil? Dawkins menyatakan ketercengangannya bahwa agama memperoleh pijakan pada abad ke-21, dan menghubung-kannya dengan fakta bahwa para orangtua dan guru menyampaikan keyakinan mereka pada anak-anak tentang Realitas Utama.

Lagi-lagi, dalam Dawkins diserang dari sayap kiri dan sayap kanan. Roger Scruton mengkritik Dawkins dalam Spectator, bahwa…

…lompatan iman itu sendiri—penyerahan hidup ke dalam pelayanan Tuhan—adalah lompatan yang melampaui batas rasionalitas. Ini tidak membuatnya tidak rasional, seperti halnya jatuh cinta itu tidak rasional. Sebaliknya, ini adalah penyerahan hati pada sebuah keyakinan, dan merupakan tawaran bagi kasih, kedamaian, dan pengampunan yang juga dicari oleh Dawkins, karena ia, seperti halnya kita semua, diciptakan seperti itu.5

Namun, Madeleine Bunting, dari Guardian yang sayap kiri, tidak semurah hati Scruton. Mencemooh upaya TV Dawkins sebagai

Page 32: The spiritual-brain

s embi l an

Studi Karmelit: Sebuah Arah Baru?

Lebih dari disiplin-disiplin ilmu lainnya, neurosains berada di titik temu antara filsafat modern dan sains. Jangan beri peluang pada siapa pun untuk memanfaatkan neurosains guna mendukung pandangan transenden terhadap dunia.1

—Zvani Rossetti, ahli saraf, menentang kuliah Dalai Lama

Riset ini adalah kunci pertama bagi topik baru, dan Anda memang tidak bisa menghasilkan sains yang sempurna dalam kesempatan pertama. Anda ingin tahu tentang sesuatu, dan justru mengacaukannya. Itulah sains pada kesempatan pertama; Anda mengacaukannya.2

—Robert Wyman, neurobiolog, mendukung kuliah Dalai Lama

Keyakinan saya untuk menjelajahi ranah sains terletak pada keyakinan saya bahwa seperti halnya di dalam sains, demikian pula di dalam Buddhisme, pemahaman akan natur realitas dicari dengan menggunakan sarana-sarana investigasi analitis.3

—Dalai Lama, The Universe in a Single Atom

Dalam newsletter musim semi 2005, Society for Neuroscience (komunitas neurosains) menyampaikan kabar menarik untuk pertemuan

Page 33: The spiritual-brain

�10 | THE SPIRITUAL BRAIN

tahunan 2005 mendatang di Washington D.C.. Dalai Lama bersedia menjadi pembicara untuk pertama kalinya dalam mata kuliah tahunan ”Dialogues Between Neuroscience and Society”.

Dalai Lama mendukung studi ilmiah mengenai kesadaran. Ini tidak mengejutkan karena kaum Buddhis telah mengolah topik ini selama dua setengah milenium.4 Lama yang sekarang selalu tertarik pada sains; ia menikmati persahabatan dengan orang-orang termasyhur seperti filsuf sains Karl Popper serta fisikawan Carl von Weizsäcker dan David Bohm. Dengan penuh semangat ia menerima alat-alat bantu riset neurosains yang baru. Ia juga turut mendirikan dan bertindak sebagai ketua kehormatan Mind and Life Institute, yang mensponsori riset neurosains dan dialog mendalam antara Buddhisme dan sains. Ia bahkan mendorong para bikkhunya untuk bersedia menjadi subjek riset. Tampaknya lama berusia 70 tahun ini merupakan pilihan yang tepat untuk membawakan kuliah neurosains dan masyarakat.

Protes politis sudah diperkirakan bakal muncul. Dalai Lama, yang menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada 1989, bukan hanya merupakan pemimpin Buddhisme Tibet, tetapi juga tokoh penting yang dihormati dalam gerakan pemerdekaan Tibet dari Tiongkok. (Ia melarikan diri dari tentara Tiongkok pada 1959 dan sejak itu berdiam di India.) Namun, presiden komunitas itu, Carol Barnes, dilanda gelombang protes yang tidak sekadar berbau politis.

Sejumlah ahli saraf mendesak komunitas itu untuk menghapus kuliah tersebut, membatalkan studi neurosains seputar meditasi Buddhisme karena dinilai ”tidak lebih dari omong kosong belaka”.5 Sebuah petisi diajukan:

Sungguh ironis melihat para ahli saraf menyediakan forum bagi pengesahan terselubung atas seorang pemimpin religius yang keabsahannya bergantung pada reinkarnasi—doktrin yang ber-tentangan dengan landasan utama neurosains. Dalai Lama (yang sekarang) dengan jelas-jelas menyatakan keterpisahan antara pikiran dan tubuh, yang penting bagi diakuinya Dalai Lama sebagai seorang pemimpin religius dan politik.6

Page 34: The spiritual-brain

s e puluh

Apakah Tuhan Menciptakan Otak, Ataukah Otak Menciptakan Tuhan?

Emosi terindah yang dapat kita alami adalah yang mistikal. Ini merupakan inti dari semua seni dan sains. Orang yang tidak memiliki emosi ini, yang tidak bisa lagi bertanya-tanya serta tertegun kagum, sama saja sudah mati.1

—Albert Einstein, fisikawan

Sebagaimana telah kita baca di buku ini, para ahli saraf dan filsuf materialis berpendapat bahwa pikiran, kesadaran, dan diri adalah

produk-samping dari berbagai proses elektrikal dan kimiawi otak, dan bahwa RSME ”bukanlah apa-apa kecuali” kondisi otak atau delusi yang diciptakan oleh aktivitas neural. Dengan demikian, mereka percaya bahwa tidak ada sumber spiritual bagi RSME—artinya, me-reka menganggap otak manusialah yang menciptakan pengalam-an-pengalaman ini, dan seiring melakukannya, otak manusialah yang menciptakan Tuhan. Karena buku ini menyajikan sanggahan atas pandangan-pandangan seperti itu, adil rasanya jika kini saya memaparkan pandangan saya sendiri.

Sudah kita lihat bahwa RSME dan korelasi-korelasi neuralnya bukan merupakan bukti langsung dari eksistensi Tuhan dan dunia

Page 35: The spiritual-brain

��0 | THE SPIRITUAL BRAIN

spiritual. Kemungkinan besar tidak ada yang dapat menyajikan bukti semacam itu pada seseorang yang memang bertekad menyangkal eksistensi Tuhan dan dunia spiritual. Bagaimanapun, mengungkap bahwa kondisi otak tertentu ada hubungannya dengan RSME tidak menunjukkan bahwa pengalaman tersebut ”sekadar” kondisi otak biasa. Dan fakta bahwa RSME mengandung unsur-unsur neural bukan berarti pengalaman itu hanyalah ilusi. Pikiran dan emosi juga diasosiasikan dengan beberapa area dan sirkuit otak tertentu, tetapi hanya kaum materialis radikal yang akan berkata semua itu merupakan ilusi hanya karena memiliki pijakan neural.

Neurosains materialis tidak bisa mereduksi pikiran, kesadaran, diri, dan RSME menjadi ”sekadar neurobiologi”. Saya pikir bukti yang ada mendukung pandangan bahwa mereka yang mengalami RSME sungguh mengontak suatu ”kuasa” di luar diri mereka yang riil-objektif.

Besar kemungkinan, bahkan hampir pasti, laporan-laporan lama ini (tentang pengalaman mistikal), yang diungkapkan dalam konteks perwahyuan supernatural, pada dasarnya merupakan pengalaman puncak manusia yang sepenuhnya alami, dari jenis yang bisa dengan mudahnya diuji pada masa kini.2

—Abraham Maslow, psikolog

Natur Psikologis Manusia

Impuls transendental untuk berhubungan dengan Tuhan dan dunia spiritual mencerminkan salah satu kuasa paling mendasar dan kuat dalam diri Homo sapiens. Karena itu, RSME menunjuk pada suatu dimensi fundamental dari eksistensi manusia. Pengalaman tersebut berada di jantung agama-agama besar dunia. Tak heran, RSME sering dilaporkan terjadi di banyak budaya.3 Misalnya, jajak pendapat Gallup tahun 19904 yang meneliti fenomena RSME pada populasi dewasa Amerika mengungkapkan bahwa lebih dari separuh (54%) responden menjawab ya untuk pertanyaan: Pernahkah Anda menyadari,

Page 36: The spiritual-brain

���

Daftar Pustaka

AAftanas, L. I., A.A. Varlamov, S.V. Pavlov, V.P. Makhnev, dan N.V. Reva. ”Affective Picture Processing: Event-Related Synchronization Within Individually Defined Human Theta band Is Modulated by Valence Dimension”. Neuroscience Letters 303 (2001): 115–118.

Alper, Matthew. The ”God” Part of the Brain: A Scientific Interpretation of Human Spirituality and God. New York: Rogue, 2001.

Antony, M.M., dan R.P. Swinson. ”Specific Phobia”. Dalam M.M. Antony dan R.P. Swinson, editor, Phobic Disorder and Panic in Adults: A Guide to Assessment and Treatment. Washington, D.C. : American Psychological Association, 2000, hlm. 79–104.

Arzy, S., M. Idel, T. Landis, dan O. Blanke. ”Why Have Revelation Occurred on Mountains? Linking Mystical Experiences and Cognitive Neuroscience”. Medical Hypotheses 65 (2005): hlm. 841–845.

Aunger, Robert C., ed. Darwinizing Culture: The Status of Memetics as a Science. Oxford: Oxford Univ. Press, 2001.

Bandura, A. ”Social Cognitive Theory: An Agentic Perspective”. Annual Review of Psychology 52 (2001): hlm. 1–26.

Beauregard, M., J. Levésque, dan P. Bourgouin. ”Neural Correlates of Conscious Self-Regulation of Emotion”. Journal of Neuroscience 21(2001): RC165 (1–6).

Beauregard, M., J. Levésque, dan V. Paquette. ”Neural Basis of Conscious and Voluntary Self-Regulation of Emotion”. Dalam M. Beauregard, ed., Consciousness, Emotional Self-Regulation and the Brain. Amsterdam: John Benjamins, 2004, hlm. 163–194.

Beauregard, M., V. Paquette, M. Poulliot, dan J. Levésque. ”The Neurobiology of the Mystical Experience: A Quantitative EEG Study”. Society for Neuroscience 34th Annual Meeting, 23–27 October, 2004. San Diego, CA.

Bell, J.S. Speakable and Unspeakable in Quantum Mechanics. Cambridge: Cambridge Univ. Press, 2004.

Benson H., J.A. Dusek, B.Sherwood, P. Lam, C.F. Bethea, W. Carpenter, S. Levitsky, P.C. Hill, D.W. Clem, Jr., M.K. Jain, D. Drumel, S.L. Kopecky, P.S. Mueller, D. Marek, S. Rollins, dan P.L. Hibberd. ”Study of the Therapeutic Effects of Intercessory Prayer (STEP) in Cardiac Bypass Patients: A Multicenter Randomized Trial of Uncertainty and Certainty of Receiving Intercessory Prayer”. American Heart Journal 151.4 (April 2006): hlm. 934–942.

Page 37: The spiritual-brain

��� | THE SPIRITUAL BRAIN

Benson, Herbert, dan Marg Stark, Timeless Medicine: The Power and Biology of Belief. New York, Scribner, 1996.

Berdyaev, Nicolas”.Freedom from Fear”. Times of India, 8 February, 2007.

Berger, Peter. The Desecularization of the World. Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1999.

Bibby, Reginald. The Poverty and Potential of Religion in Canada. Toronto: Irwin, 1987.

Blanke, O., S. Ortigue, T. Landis, dan M. Seeck. ”Stimulating Illusory Own-Body Perceptions: The Part of the Brain That Can Induce Out-of-Body Experiences Has Been Located”. Nature 419 (2002): hlm. 269–270.

Bloom, Howard. The Lucifer Principle: A Scientific Expedition into the Forces of History. New York: Atlantic Monthly Press, 1995.

Blum, Deborah. Sex on the Brain: The Biological Differences Between Men and Women. New York: Viking, Penguin, 1997.

Bobrow, Robert S. ”Paranormal Phenomena in the Medical Literature: Sufficient Smoke to Warrant a Search for Fire”. Medical Hypotheses 60.6 (2003): hlm. 864–868.

Boswell, James. Life of Johnson. Diedit oleh R.W. Chapman dan J.D. Fleeman. Edisi lengkap. Oxford: Oxford Univ. Press, 1998, hlm. 929.

Boyer, Pascal. Religion Explained: The Evolutionary Origins of Religious Thought. New York: Basic Books, 2001.

Brodie, Richard. Virus of the Mind: The New Science of the Meme. Seattle: Integral Press, 1996.

Brody, A.L., S. Saxena, P. Stoessel, L.A. Gillies, L.A. Fairbanks, S. Alborzian, M.E. Phelps, S.C. Huang, H.M. Wu, M.L. Ho, M.K. Ho, S.C. Au, K. Maidment, dan I.R. Baxter, Jr. ”Regional Brain Metabolic Changes in Patients with Major Depression Treated with Either Paroxetine or Interpersonal Therapy: Preliminary Findings”. Archives of General Psychiatry 58 (2001): hlm. 631–640.

Brown, Geoffrey. Minds, Brains and Machines. New York: St. Martin’s Press, 1989.

Buchanan, Mark. ”Charity Begins at Homo sapiens”. New Scientist, 12 Maret, 2005.

Bucke, R.M. Cosmic Consciousness: A Study in the Evolution of the Human Mind. New Hyde park, NY: Univ. Books, 1961. Aslinya diterbitkan pada 1901.

Buller, D.J. ”Evolutionary Psychology: The Emperor’s New Paradigm”. Trends in Cognitive Science 9.6 (Juni 2005): hlm. 277–283.

Byrd, R.C. ”Positive Therapeutic Effects of Intercessory Prayer in a Coronary Care Unit Population”. Southern Medical Journal 81.7 (Juli 1988): hlm. 826–829.

Cairn-Smith, A.G. Seven Clues to the Origin of Life. Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1985.

Changeux, Jean-Pierre. Neuronal Man: The Biology of Mind. Diterjemahkan oleh Laurence Garey. New York: Oxford Univ. Press, 1985.

Cheyne, J.A. ”The Ominous Numinous: Sensed Presence and ‘Other’ Hallucinations”. Journal of Consciousness Studies 8, no. 5–7 (2001).

Churchland, Patricia Smith, Brain-Wise: Studies in Neurophilosophy. Cambridge, MA: MIT Press, 2002.

Cotton, Ian. The Hallelujah Revolution: The Rise of the New Christians. London, Prometheus, 1996.

Page 38: The spiritual-brain

Daftar Pustaka | ���

Crick, Francis. The Astonishing Hypothesis: The Scientific Search for the Soul. New York: Simon & Schuster, Touchstone, 1995.

Dawkins, Richard. The Selfish Gene. New York: Oxford Univ. Press, 1989.

De la Fuente-Fernández, R., Thomas J. Ruth, Vesna Rossi, Michael Schulzer, Donald B. Calne, dan A.J. Stoessl. ”Expectant and Dopamine Release: Mechanism of the Placebo Effect in Parkinson’s Disease”. Science 293 (10 Agustus 2001): hlm. 1164–1166.

Decety, J. ”Do Imagined and Executed Action Share the Same Substrate?” Brain Research: Cognitive Brain Research 3 (1996): hlm. 87–93.

Dembski, William A. No Free Lunch: Why Specified Complexity Cannot Be Purchased Without Intelligence. Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2002.

Dennett, Daniel C. Kinds of Minds: Toward an Understanding of Consciousness. New York: Basic Books, 1996.

Denton, Michael J. Nature’s Destiny: How the Laws of Biology Reveal Purpose in the Universe. New York: Free Press, 1998.

D’Espagnat, Bernard. Reality and the Physicist: Knowledge, Duration, and the Quantum World. Cambridge: Cambridge Univ. Press, 1989. Aslinya diterbitkan dalam bahasa Prancis sebagai Une Incertaine realite.

Devinsky, O. ”Religious Experiences and Epilepsy”. Epilepsy & Behavior 4 (2003): hlm. 76–77.

Dewhurst, K. dan A.W. Beard. ”Sudden Religious Conversions in Temporal Lobe Epilepsy”. Epilepsy & Behavior 4 (2003).

Eccles, Sir John, dan Daniel N. Robinson. The Wonder of Being Human: Our Brain and Our Mind. New York: Free Press, 1984.

Edelman, Gerald M. dan Giulio Tononi. A Universe of Consciousness: How Matter Becomes Imagination. New York: Basic Books, 2000.

Felician, O., M. Ceccaldi, M. Didic, C. Thinus-Blanc, dan M. Poncet. ”Pointing to Body Parts: A Double Dissociation Study”. Neuropsychologia 41 (2003): hlm. 1307–1316.

Felten, David L. dan Ralph E. Józefowics. Netter’s Atlas of Human Neuroscience. Teterboro, NJ: Icon Learning Systems, 2003.

Ferris, Timothy. A State-of-the-Universe(s) Report. New York: Simon & Schuster, Touchstone, 1997.

Flory, Richard W. ”Promoting a Secular Standard: Secularization and Modern Journalism, 1870–1930”. Dalam Christian Smith, ed., The Secular Revolution: Power, Interest, and Conflict in the Secualrization of American Public Life. Berkeley dan Los Angeles: Univ. of California Press, 2003.

Frazer, James George. The Golden Bough. Diedit oleh Mary Douglas. Diringkaskan oleh Sabine McCormack. London: Macmillan, 1978.

Gellman, Jerome. ”Mysticism”. Dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy. Diedit oleh Edward N. Zalta. Musim semi 2005. http://plato.stanford.edu/archives/spr2005/entries/mysticism/.

Giovannoli, Joseph. The Biology of Belief: How Our Biology Biases Our Beliefs and Perceptions. New York: Rosetta, 2000.

Page 39: The spiritual-brain

��0 | THE SPIRITUAL BRAIN

Gonzales, Guillermo, dan Jay W. Richards. Privileged Planet: How Our Place in the Cosmos Is Designed for Discovery. Washington, DC: Regnery, 2004.

Gorman, J. M., J. M. Kent, G. M. Sullivan, dan J.D. Kaplan. ”Neuroanatomical Hypothesis of Panic Disorder, Revised”. American Journal of Psychiatry 157 (2000): hlm. 493–505.

Granqvist, Pehr, Mats Fredrikson, Dan Larhammer, Marcus Larsson, dan Sven Valind. ”Sensed presence and mystical experiences are predicted by suggestibility, not by application of transcranial magnetic fields”. Neuroscience Letters, doi:10.1016/j. Neulet.2004.10.057 (2004).

Grant, George. Lament for a Nation: The Defeat of Canada Nationalism. Don Mills: Oxford Univ. Press Kanada, 1970.

Greyson, Bruce dan Nancy E. Bush. ”Distressing Near-Death Experiences”. Psychiatry 55.1 (Februari 1992): hlm. 95–110.

Gross, Francis L., Jr. bersama Toni L. Gross. The Making of a Mystic: Seasons in the Life of Teresa of Avila. Albany: State Univ. of New York Press, 1993.

Grossman, N. ”Who’s Afraid of Life After Death?” Journal of Near-Death Studies 21.1 (Musim gugur 2002).

Halgren E., R.D. Walter, D.G. Cherlow, dan P.H. Crandall. ”Mental Phenomena Evoked by Electrical Stimulation of the Human Hippocampal Formation and Amygdala”. Brain 101.1 (1978): hlm. 83–117.

Hamer, Dean. The God Gene: How Faith Is Hardwired into Our Genes. New York: Doubleday, 2004.

Hanscomb, Alice dan Liz Hughes. Epilepsy. London: Ward Lock, 1995.

Hansen, B.A., dan E. Brodtkorb. ”Partial Epilepsy with ‘Ecstatic’ Seizures”. Epilepsy & Behaviour 4 (2003): hlm. 667–673.

Hardy, Alister. The Spiritual Nature of Man. Oxford: Clarendon, 1979.

Harris, Sam. The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason. New York: Norton, 2004.

Harris, William S., Manohar Gowda, Jerry W. Kolb, Christopher P. Strychaz, James L. Hacek, Phillip G. Jones, Alan Forker, James H. O’Keefe, dan Ben D. McCallister. ”A Randomized, Controlled Trial of the Effects of Remote, Intercessory Prayer on Outcomes in Patients Admitted to the Coronary Care Unit”. Archives of Internal Medicine 159 (1999): hlm. 2273–2278.

Harth, Erich. The Creative Loop: How the Brain Makes a Mind. Reading, MA: Addison-Wesley, 1993.

Hawkings, Stephen. The Illustrated A Brief History of Time. Rev. ed. New York: Bantam, 1996.

Hawkley, L., dan J. Cacioppo. ”Loneliness Is a Unique Predictor of Age-Related Differences in Systolic Blood Pressure”. Psychology and Aging 21.1 (Maret 2006): hlm. 152–164.

Helm H.M., J.C. Hays, E.P. Flint, H.G. Koenig, dan D.G. Blazer. ”Does Private Religious Activity Prolong Survival: A Six-Year Follow-up Study of 3.851 Older Adults”. Journals of Gerontology. Series A, Biological and Medical Sciences. 55 (2000): hlm. M400–405.

Page 40: The spiritual-brain

Daftar Pustaka | ��1

Hobson, J. Allan. The Chemistry of Conscious States: How the Brain Changes Its Mind. Boston: Little, Brown, 1994.

Hofstadter, Douglas R., dan Daniel C. Dennett. The Mind’s I: Fantasies and Reflections on Self and Soul. New York: Basic Books, 2000.

Hooper, Judith, dan Dick Teresi. The 3-Pound Universe. New York: Macmillan, 1986.

Horgan, John. The Undiscovered Mind: How the Human Brain Defies Replication, Medication and Explanation. New York: Free Press, 1999.

Hróbjartsson, A., dan P. Götzsche. ”Is the Placebo Powerless? An Analysis of Clinical Trials Comparing Placebo with No Treatment”. New England Journal of Medicine 344, no. 21 (24 Mei 2001).

Hughes, J.R. ”Emperor Napoleon Bonaparte: Did He Have Seizures? Psychogenic or Epileptic or Both?” Epilepsy & Behavior 4 (2003): hlm. 793–796.

________, ”Dictator Perpetuus: Julius Caesar: Did He Have Seizures? If So, What Was the Etiology?” Epilepsy & Behavior 5 (2004): hlm. 756–764.

________, ‘Alexander of Macedon: The Greatest Warrior of All Times: Did He Have Seizures? Epilepsy & Behavior 5 (2004): hlm. 765–767.

_________, ”Did All Those Famous People Really Have Epilepsy?” Epilepsy & Behavior 6 (2005): hlm. 115–139.

_________, ”A Reappraisal of the Possible Seizures of Vincent van Gogh”. Epilepsy & Behavior 6 (2005): hlm. 504–510.

_________, ”The Idiosyncratic Aspects of the Epilepsy of Fyodor Dostoevsky”. Epilepsy & Behavior 7 (2006): hlm. 531.

Huxley, Aldous. The Perennial Philosophy. New York: Harper and Brothers, 1945.

______, The Doors of Perception. New York: Harper & Row, 1954.

Ingram, Jay. The Theatre of the Mind: Raising the Curtain on Consciousness. Toronto: HarperCollins, 2005.

Isaacson, Walter. ”In Search of the Real Bill Gates”. Time, 5 January 1997.

James, William. The Varieties of Religious Experience. New York: Random House, 1902.

Jeans, J. The Mysterious Universe. London: AMS Press, 1933.

Johnson, Phillip E. Darwin on Trials. Downer’s Grove, IL: InterVarsity Press, 1993.

Kimura, Doreen. Sex and Cognition. Cambridge, MA: MIT Press, 2000.

Kubota, Y., W. Sato, M. Toichi, T. Murai, T. Okada, A. Hayashi, dan A. Sengoku. ”Frontal Midline Theta Rythm Is Correlated with Cardiac Autonomic Activities During the Performance of an Attention Demanding Meditation Procedure”. Brain Research: Cognitive Brain Research 11.2 (2001): hlm. 281–287.

Kuhn, Thomas. The Structure of Scientific Revolution. Ed. Ke-2. Chicago: Univ. of Chicago Press, 1970.

Larson, Edward J., dan Larry Witham. ”Leading Scientists Still Rejects God”. Nature 394 (1998): hlm. 313.

Levésque, J., F. Eugene, Y. Joanette, V. Paquette, M. Boualem, G. Beaudoin, J-M. Leroux, P. Bourgouin, dan M. Beauregard. ”Neural Circuitry Underlying Voluntary Suppression of Sadness”. Biological Psychatry 53 (2003): hlm. 502–510.

Page 41: The spiritual-brain

��� | THE SPIRITUAL BRAIN

Levésque, J., F. Eugene, Y. Joanette, B. Mensour,G. Beaudoin, J-M. Leroux, P. Bourgouin, dan M. Beauregard. ”Neural Basis of Emotional Self-Regulation in Childhood”. Neuroscience 129 (2004): hlm. 361–369.

Levin, Jeff, dan Harold G. Koenig, ed. Faith, Medicine, and Science: A Fetschrift in Honor of Dr. David B. Larson. York: New Haworth, 2005.

Lewis, C.S. The Abolition of Man. London: Collins, 1978.

Lewis, C.S. The Four Loves. Glasgow: William Collins Sons & Co., [1960] 1979, hlm. 67.

Lewis, C.S. The Problem of Pain. New York: Simon & Schuster, Touchstone, 1996.

Lusting, Abigail, Robert J. Richards, dan Michael Ruse. Darwinian Heresies. Cambridge, MA: Cambridge Univ. Press, 2004.

Lutz Antoine, Lawrence L. Greischar, Nancy B. Rawlings, Matthieu Ricard, dan Richard J. Davidson. ”Long-Term Meditators Self-Induce High-Amplitude Gamma Synchrony During Mental Practice”. Proceedings of the National Academy of Sciences, USA 101, no. 46 (16 November 2004): hlm. 16369–16373.

Malin, Shimon. Nature Loves to Hide: Quantum Physics and the Nature of Reality, a Western Perspective. Oxford: Oxford Univ. Press, 2001.

Marks, Jonathan, What It Means to Be 98 Percent Chimpanzee: Apes, People, and Their Genes. Berkeley dan Los Angeles: Univ. of California Press, 2002.

Maslow, Abraham. Religious Aspects of Peak-Experiences. New York: Harper & Row, 1970.

May, Gerald G. The Dark Night of the Soul. San Francisco: HarperSanFrancisco, 2004.

McGrath, Alister. Dawkins’s God: Genes, Memes, and the Meaning of Life. Oxford: Blackwell, 2005.

McGreal, Wilfrid. John of the Cross. London: HarperCollins, 1996.

McRae, C., E. Cherin, T.G. Yamazaki, G. Diem, A.H. Vo, D. Russel, J.H. Ellgring dkk. ”Effects of Perceived Treatment on Quality of Life and Medical Outcomes in a Double-Blind Placebo Surgery Trial”. Archives of General Psychiatry 61 (2004): ha;. 412–420.

Merton, Robert K. ”Science and the Social Order”. Philosophy of Science 5 no. 3 (Juli 1938): hlm. 321–337.

Midgeley, Mary. The Myths We Live By. London: Routledge, 2003.

Minsky, Marvin. Society of Mind. New York: Simon & Schuster, 1988, hlm. 306.

Mitcham, Carl, dan Alois Huning, ed. Philosophy and Technology II: Information Technology and Computers in Theory and Practice. Vol. 2, Hasil terseleksi dari suatu Konferensi Internasional yang diadakan di New York, 3–7 September, 1983, dan diorganisir oleh Philosophy & Technology Studies Center of the Polytechnic Institute of New York bersama Society for Philosophy and Technology. New York: Springer, 1986, hlm. 169.

Morse, M., dan P. Perry, Transformed by the Light. New York: Ballantine, 1992.

Neggers, S. F., R.H. Van der Lubbe, N.F. Ramsey, dan A. Postma. ”Interactions Between Ego- and Allocentric Neuronal Representations of Space”. Neuroimage (2006).

Page 42: The spiritual-brain

Daftar Pustaka | ���

Newberg, A., A. Alai, M. Baime, M. Pourdehnad, J. Santana, dan E.G. D’Aquili. ”The Measurement of Regional Cerebral Blood Flow During the Comlex Cognitive Task of Meditation: A Preliminary SPECT Study”. Psychiatry Research: Neuroimaging 106 (2001): hlm. 113–122.

Newberg, A., M. Pourdehnad, A. Alavi, dan E.G. D’Aquili. ”Cerebral Blood Flow During Meditative Prayer: Preliminary Findings and Methodological Issues”. Perceptual and Motor Skills 97 (2003): hlm. 625–630.

Newberg, Andrew, Eugene D’Aquili, dan Vincent Rause. Why God Won’t Go Away: Brain Science and the Biology of Belief. New York: Ballantine, 2001.

O’Leary, Denyse. By Design or By Chance? The Growing Controversy on the Origins of Life in the Universe. Minneapolis: Ausburg, 2004.

Ornstein, Robert. The Evolution of Consciousness: The Origins of the Way We Think. New York: Simon & Schuster, 1991.

_______, The Right Mind: Making Sense of the Hemispheres. New york: Harcourt, Brace, 1997.

Otto, Rudolf. The Idea of the Holy. Diterjemahkan oleh John W. Harvey. London: Oxford Univ. Press, 1971.

Paquette, V., J. Levésque, B. Mensour, J-M Leroux, G. Beaudoin, P. Bourgouin, dan M. Beauregard. ”Change the Mind and You Change the Brain: Effects of Cognitive-Behavioral Therapy on the Neural Correlates of Spider Phobia”. Neuroimage 18.2 (Februari 2003): hlm. 401–409.

Pargament, Kenneth I., H.G. Koenig, N. Tarakeshwar, J. Hahn. ”Religious Struggle as a Predictor of Mortality Among Medically Ill Elderly Patients”. Archives of Internal Medicine 161 (13/27 Agustus 2001): hlm. 1881–1885.

Parnia, S. dan P. Fenwick. ”Near-Death Experiences in Cardiac Arrest: Visions of a Dying Brain or Visions of a New Science of Consciousness”. Resuscitation 52 (2002): hlm. 5–11.

Peacock, Judith. Epilepsy. Mankato, MN: Capstone, 2000.

Pelletier, M., A. Bouthillier, J. Levésque, S. Carrier, C. Breault, V. Paquette, B. Mensour, J-M Leroux, G. Beaudoin, P. Bourgouin, dan M. Beauregard. ”Separate Neural Circuits for Primary Emotions? Brain Activity During Self-Induced Sadness and Happiness in Professional Actors”. Neuroreport 14.8 (11 Juni 2003): hlm. 1111–1116.

Penfield, Wilder. Second Thoughts: Science, the Arts, and the Spirit. Toronto: McClelland and Stewart, 1970.

Persinger, M. ”Religious and Mystical Experience as Artifacts of Temporal-Lobe Function: A General Hypothesis”. Perceptual and Motor Skills 57 (1983): hlm. 1255–1262.

Persinger, M.A., dan F. Healey. ”Experimental Facilitation of the Sensed Presence: Possible Intercalation Between the Hemispheres Induced by Complex Magnetic Fields”. Journal of Nervous and Mental Diseases 190 (2002): hlm. 533–541.

Pettit, Paul. ”When Burial Begins”. British Archaeology 66 (Agustus 2002).

Pinker, Steven. How the Mind Works. New York: Norton, 1997.

Page 43: The spiritual-brain

��� | THE SPIRITUAL BRAIN

Radin, Dean. The Conscious Universe: The Scientific Truth of Psychic Phenomena. San Francisco: HarperSanFrancisco, 2007.

Ramachandran, V.S., dan Sandra Blakeslee. Phantoms in the Brain: Probing the Mystery of the Human Mind. New York: Morrow, 1998.

Ratzsch, Del. The Battle of Beginnings: Why Neither Side Is Winning the Creation-Evolution Debate. Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1996.

Restak, Richard. The Brain Has a Mind of Its Own: Insight from a Practicing Neurologist. New York: Harmony, 1991.

Ring, K., dan M. Lawrence. ”Further Evidence for Veridical Perception During Near-Death Experiences”. Journal of Near-Death Studies 11.4 (1993): hlm. 223–229.

Rohrbach, Peter-Thomas. Journey to Carith: The Story of the Carmelite Order. Garden City, NY: Doubleday, 1966.

Rose, Hilary, dan Steven Rose. Alas, Poor Darwin: Arguments Against Evolutionary Psychology. London: Random House, Vintage, 2001.

Ruse, Michael. The Evolution Wars: A Guide to the Debate. Santa Barbara, CA: ABC-CLIO, 2000.

Russel, Bertrand. ”Quotes on Determinism”, The Society of Natural Science, http://www.determinism.com/quotes.shtml (diakses 27 Mei 2007).

Sabom, Michael. Light and Death: One Doctor’s Fascinating Account of Near-Death Experiences. Grand Rapids, MI: Zondervan, 1998.

Sagan, Carl. The Dragons of Eden: Speculations on the Nature of Human Intelligence. New York: Random House, 1977.

_______, The Demon Haunted World: Science as a Candle in the Dark. New York: Ballantine, 1996.

Salzman, Mark. Lying Awake. New York: Knopf, 2000.

Saver, J. L., dan John Rabin. ”The Neural Substrates of Religious Experience”. Journal of Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences 9 (1997): hlm. 498–510.

Sawyer, Robert J. The Terminal Experiments. New York: HarperCollins, 1995.

Schwartz, J.M., H. Stapp, dan M. Beauregard. ”Quantum Theory in Neuroscience and Psychology: A Neurophysical Model of Mind/Brain Interaction”. Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences 360 (2005): hlm. 1309–1327.

Schwartz, Jeffrey M., dan Sharon Begley. The Mind and the Brain: Neuroplasticity and the Power of Mental Force. New York: HarperCollins, Regan Books, 2003.

Searle, John R. Mind: A Brief Introduction. Oxford: Oxford Univ. Press, 2004.

Smith, A., dan C. Tart. ”Cosmic Consciousness Experience and Psychedelic Experiences: A First-Person Comparison”. Journal of Consciousness Studies 5, no. 1 (1998): hlm. 97–107.

Soeling, Casper, dan Eckert Voland. ”Toward an Evolutionary Psychology of Religiosity”. Neuroendocrinology Letters, Human Ethology & Evolutionary Psychology 23, suppl. 4 (Desember 2002).

Spiegel, Herbert, dan David Spiegel. Trance and Treatment: Clinical Use of Hypnosis. New York, Basic Books: 1978.

Page 44: The spiritual-brain

Daftar Pustaka | ���

Spilka, B., B. Hunsberger, R. Gorsuch, dan R.W. Hood, Jr. The Psychology of Religion: An Empirical Approach. Ed. Ke-3. New York: Guilford, 2003.

Stace, W.T. The Teachings of the Mystics. New York: Macmillan, 1960.

Stove, David. Darwinian Fairytales. Aldershot, UK: Avebury, 1995.

Takahashi, T., T. Murata, T. Hamada, M. Omori, H. Kosaka, M. Kikuchi, H. Yoshida, dan Y. Wada. ”Changes in EEG and Autonomic Nervous Activity During Meditation and Their Association with Personality Traits”. International Journal of Psychophysiology 55.2 (Februari 2005): hlm. 199–207.

Temple, R. ”Implications of Effects in Placebo Groups”. Journal of the National Cancer Institute 95, no. 1, 2–3 (1 Januari 2003).

Teresa of Avila. The Interior Castle. Diterjemahkan oleh Mirabai Starr. New York: Riverhead, 2003.

Tierney, Patrick. Darkness in El Dorado: How Scientists and Journalists Devastated the Amazon. New York: Norton, 2000.

Underhill, Evelyn. Mysticism: A Study in the Nature and Development of Man’s Spiritual Consciousness. New York: New American Library/Meridian, 1974.

Van Lommel, P. ”About the Continuity of Our Consciousness”. Dalam Brain Death and Disorders of Consciousness. Diedit oleh Calixto Machado dan D. Alan Shewmon. New York: Kluwer Academic/Plenum, 2004.

Vercors [Jean Bruller], You Shall Know Them. Diterjemahkan oleh Rita Barisse dari aslinya Les Animaux Denatures. Toronto: McClelland & Stewart, 1953.

Wackermann, Jiøí, Christian Seiter, Holger Keibel, dan Harald Wallach. ”Correlations Between Brain Electrical Activities of Two Spatially Separated Human Subjects”. Neuroscience Letters 336 (2003): hlm. 60–64.

Wager, Tor D., James K. Rilling, Edward E. Smith, Alex Sokolik, Kenneth L. Casey, Richard J. Davidson, Stephen M. Kosslyn, Robert M. Rose, dan Jonathan D. Cohen. ”Placebo Induced Changes in fMRI in the Anticipation and Experience of Pain”. Science 303, no. 5661 (20 Februari 2004): hlm. 1162–1167.

Wallace, B. Alan. The Taboo of Subjectivity: Toward a New Science of Consciousness. Oxford: Oxford Univ. Press, 2000.

Wallach, Harald, dan Stefan Schmidt. ”Repairing Plato’s Life Boat with Ockham’s Razor: The Important Function of Research in Anomalies for Consciousness Studies”. Journal of Consciousness Studies 12, no. 2 (2005): hlm. 52–70.

Wildman, Derek E., Monica Uddin, Guozhen Liu, Lawrence I. Grossman, dan Morris Goodman. ”Implications of Natural Selection in Shaping 99.4% Nonsynonymous DNA Identity Between Human and Chimpanzees: Enlarging Genus Homo”. Proceedings of the National Academy of Sciences 100 (2003): hlm. 7181–7188.

Wilson, David Sloan. Darwin’s Cathedral: Evolution, Religion, and the Nature of Society. Chicago: Univ. of Chicago Press, 2002.

Wilson, Edward O. Sociobiology. Ed. Ringkas. Cambridge, MA: Harvard Univ. Press, 1980.

_______, Consilience: The Unity of Knowledge. New York: Random House, 1998.[]