View
0
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
ii
CATATAN REDAKSI
Pembaca Jurnal Administrasi, Manajemen dan Kepemimpinan ( JAMAK )
Waskita yang kami hormati, dewan redaksi telah mengavaluasi terbitan JAMAK
Waskita Volume pertama.
Dalam edisi ini, redaksi menurunkan sembilan naskah di bidang
administrasi, manajemen dan kepemimpinan. Naskah pertama tulisanDr. Rulam
Ahmadi, M.Pd dengan judul Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi
dalam MeningkatkanKwalitas Pelayanan Publik. Naskah kedua tulisan Joko
Isdianto, S.Sos., M.Si dengan judul Technologies and Strategies for Providing
Education Through Open and Distance Learning System at Remote Regions in
Indonesia. Naskah ketiga tulisan Abd. Syakur, S.Sos., S.Pd., M.Pd dengan judul
Analisis Dialek Lokal Sebagai Penanda Identitas Lokal Individu ( Studi
Interlanguage Mahasiswa di Ilmu Administrasi Negara STISOSPOL. Naskah
keempat tulisan Dr. Sigit Wahyudi, Drs., S.E., MM dengan judul Ufoisme
Perilaku Komunikasi dalam Akulturasi Antar Etnis Jawa dan Etnis Madura di
Kab. Malang ( Studi Komunikasi Antar Budaya di Kec. Gedangan Kab. Malang.
Naskah kelima tulisan Dr. Deden Fathurrohman, MPA dengan judul
Administrative Reform in Bureaucracy and Civil Service. Naskah keenam tulisan
Drs. Stef. Alam Sutardjo, M.Si dengan judul Keadilan Hukum dalam Perspektif
Filsafat Hukum. Naskah ketujuh tulisan Dra. Sukarti Arisa Rosita, M.AP dengan
judul Peningkatan Pelayanan Publik Melalui Reformasi Birokrasi dan E-
Governance. Naskah kedelapan tulisan Muh. Agus Syukron, S.Sos., M.Si dengan
judul Pengembangan Kualitas Studi Ilmu Administrasi Publik di Indonesia.
Naskah kesembilan tulisan Drs. Ngatimin, M.Si dengan judul Keberlanjutan
Kesejahteraan Rakyat Indonesia : Menyongsong Pencapaian Millenium
Development Goals (MDGs) Tahun 2015.
Redaksi mengucapkan terima kasih kepada mitra redaksi yang merelakan
waktu dan pemikirannya untuk ikut serta dalam penyempurnaan penulisan naskah
dalam jurnal ini. Redaksi juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu dalam diterbitkannya jurnal ini.
Dengan segala keterbatasan dalam penerbitan jurnal JAMAK WASKITA
Vol. 1, kami dengan terbuka menerima saran dan kritik demi membangun
kesempurnaan pada penerbitan kedua nanti.
Redaksi
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
iii
Catatan Redaksi……………………………………………………………... ii
Daftar Isi ......................................................................................................... iii
Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam
Meningkatkan Kwalitas Pelayanan Publik
Rulam Ahmadi .................................................................................................. 1
Technologies and Strategies for Providing Education Through Open
and Distance Learning System at Remote Regions in Indonesia ( Case
Study at Pontianak, West Kalimantan, Indonesia)
Joko Isdianto .................................................................................................... 8
Analisis Dialek Lokal Sebagai Penanda Identitas Lokal Individu ( Studi
Interlanguage Mahasiswa di Ilmu Administrasi Negara STISOSPOL
“Waskita Dharma” Malang )
Abd. Syakur ...................................................................................................... 15
Ufoisme Perilaku Komunikasi dalam Akulturasi Antar Etnis Jawa dan
Etnis Madura di Kab. Malang ( Studi Komunikasi Antar Budaya di
Kec. Gedangan Kab. Malang
Sigit Wahyudi ................................................................................................... 20
Administrative Reform in Bureaucracy and Civil Service
Deden Fathurrohman ....................................................................................... 26
Keadilan Hukum dalam Perspektif Filsafat Hukum
Stef. Alam Sutardjo........................................................................................... 41
Peningkatan Pelayanan Publik Melalui Reformasi Birokrasi dan E-
Governance
Sukarti Arisa Rosita ......................................................................................... 49
Pengembangan Kualitas Studi Ilmu Administrasi Publik di Indonesia
(Pokok-Pokok Pikiran Menuju Paradigma Baru Ilmu Administrasi
Publik)
Muh. Agus Syukron .......................................................................................... 59
Keberlanjutan Kesejahteraan Rakyat Indonesia : Menyongsong
Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) Tahun 2015
Ngatimin ........................................................................................................... 66
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
1
PENGGUNAAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM
MENINGKATKAN KWALITAS
PELAYANAN PUBLIK Rulam Ahmadi
Dosen Tim Ahli pada Program Studi Administrasi Negara STISOSPOL ―Waskita Dharma‖ Malang
Abstrak
Perubahan sosial belakangan ini semakin cepat dan kompleks. Sesuatu yang semula
diperkirakan tidak akan atau tidak mungkin terjadi atau sulit terjadi, semua itu mulai terjawab.
Yang jauh menjadi dekat, yang lamban menjadi cepat, dan yang berat menjadi ringan telah terjadi
dan seluruh masyarakat mengakuinya. Semua itu terjadi tiada lain karena kemahadahsyatan
perkembangan dan pengguna ilmu dan teknologi (IPTEK), khususnya Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) atau Information and Communication Technology (ICT). Perkembangan TIK
telah memberikan kontribusi yang sangat besar pada berbagai perubahan dan perkembangan dalam
semua sektor pembangunan (kehidupan), antara lain dalam sektor pelayanan publik.
Kata kunci: IPTEK, TIK, Kualitas, Pelayanan Publik
A. Pendahuluan
Jaman sekarang adalah jaman
teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Sebagai jaman informasi dan komunukasi
maka semua orang dan institusi akan mampu
hidup sesuai dengan perkembangan jaman
dan tuntutan-tuntutan baru apabila mampu
beradaptasi melalui proses belajar secara
terus-menerus. Kesadaran telah tumbuh pada
kebanyakan orang bahwa perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi telah
menciptakan perubahan sangat besar dalam
tata kehidupan manusia, termasuk tata
pemerintahan. Perkembangan TIK
menghasilkan hubungan bentuk baru seperti:
G2C (Governmet to Citizen), G2B
(Government to Business), dan G2G
(Government to Government).
Dengan penggunaan TIK maka dalam
waktu singkat dan bahkan bersamaan suatu
peristiwa di mana pun di dunia ini dapat
dinikmati oleh setiap orang di seluruh dunia.
Tidak ada batas waktu dan jarak, seluruh
informasi tentang berbagai peristiwa atau
aktivitas bisa diakses oleh siapa saja dan di
mana saja. Ramo dan Clair (1998) dalam
bukunya ―The System Approach. Fresh
Solutions to Complex Problems through
Science and Practical Common Sense‖
bahwa ―Ini adalah jaman kesadaran bahwa
ilmu dan teknologi sedang mengubah dunia
dengan cepat dan bahwa penemuan ilmu dan
perkembangan teknologi penyajikan daya
potensial bahkan lebih besar dari yang telah
sangat mempengaruhi kehidupan kita selama
ini.‖
TIK bukan hanya sekedar
menyampaikan informasi pada publik,
melainkan memberikan kesempatan pada
masyarakat untuk ambil bagian dalam proses
informasi itu sendiri sebagai perwujudan
adanya partisipasi masyarakat. Yang
terpenting bukan hanya bagaimana
masyarakat mengetahui informasi tentang
keputusan-keputusan (program) pemerintah
yang harus dilaksanakan sebagai tanggung
jawab bersama untuk memenuhi kebutuhan
publik. Masyarakat harus memiliki akses
terhadap semua informasi yang dihajatkan
untuk kepentingan diri mereka sendiri,
terutama mereka yang berada di wilayah
terluar yang cenderung tidak memilik akses
informasi tentang keputusan (program)
pemerintah. Teknologi informasi dan
komunikasi telah memberikan kontribusi
terhadap tersebarluasnya informasi
pembangunan, tetapi kalau masyarakat
hanya menerima informasi sebagai barang
jadi tanpa ikutserta dalam proses keputusan
yang ditetapkan maka informasi yang
diterima masyarakat belum tentu bahagia
apabila apa yang harus dilaksanakan tidak
bersentuhan dengan kepentingan mereka.
B. Pelayanan Publik yang Berkualitas
Penggunaan TIK dalam layanan
publik merupakan salah satu indikator
bahwa layanan yang diberikan itu termasuk
layanan publik yang prima (smart) atau
berkualitas. Pelayanan publik yang
berkualitas atau prima (smart) bukan hanya
merupakan kebutuhan, melainkan sudah
menjadi tuntutan yang tidak bisa diabaikan.
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
2
Sebagaimana dikemukakan oleh Lovelock
(2004:76) bahwa ada 8 suplemen pelayanan
yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Information yaitu proses suatu
pelayanan yang berkualitas dimulai dari
produk dan jasa yang diperlukan oleh
pelanggan. Penyediaan saluran
informasi yang langsung memberikan
kemudahan dalam rangka menjawab
keinginan pelanggan tersebut, adalah
penting.
2) Consultation, setelah memperoleh
informasi yang diinginkan, pelanggan
memerlukan konsultasi baik
menyangkut masalah teknis,
administrasi, biaya. Untuk itu, suatu
organisasi harus menyiapkan sarananya
menyangkut materi konsultasi, tempat
konsultasi, karyawan/petugas yang
melayani, dan waktu untuk konsultasi
secara cuma-cuma.
3) Ordertaking, penilaian pelanggan pada
tiik ini adalah ditekankan pada kualitas
pelayanan yang mengacu pada
kemudahan pengisian aplikasi maupun
administrasi yang tidak berbelit-belit,
fleksibel, biaya murah, dan syarat-syarat
yang ringan.
4) Hospitality, pelanggan yang berurusan
secara langsung akan memberikan
penilaian kepada sikap ramah dan sopan
dari karyawan, ruang tunggu yang
nyaman dan fasilitas lain yang
memadai.
5) Caretaking, variasi latar belakang
pelanggan yang berbeda-beda akan
menuntut pelayanan yang berbeda-beda
pula.
6) Exception, beberapa pelanggan kadang-
kadang menginginkan pengecualian
kualitas pelayanan.
7) Billing, titik rawan berada pada
administrasi pembayaran. Artinya,
pelayanan harus memperhatikan hal-hal
yang berkaitan dengan administrasi
pembayaran, baik menyangkut daftar
isian formulir transaksi, mekanisme
pembayaran hingga keakuratan
perhitungan tagihan.
8) Payment, pada ujung pelayanan harus
disediakan fasilitas pembayaran
berdasarkan pada keinginan pelanggan,
seperti transfer bank, credit card, debet
langsung pada rekening pelanggan.
Berdasarkan pendapat Lovelock di atas
bahwa komponen informasi menduduki poin
pertama di mana publik dapat mengakses
dengan mudah terhadap informasi pelayanan
baik mengenai barang atau jasa. Dengan
penggunaan TIK maka informasi bisa
diakses oleh publik dengan cepat dan
mudah, apalagi jika menggunakan media
internet.
Pandangan lain yang terkait dengan
pelayanan yang berkualitas yang
menyertakan komponen kemudahan akses
informasi dikemukakan oleh Zeithaml et.all.
(dalam Tjiptono, 2002:69) sebagai berikut:
Ada sepuluh dimensi yang saling
melengkapi dan merupakan faktor utama
dalam menentukan kualitas pelayanan.
Kesepuluh dimensi tersebut meliputi:
1) Reliability, mencakup dua hal pokok,
yaitu konsistensi kerja (performance)
dan kemampuan untuk dipercaya
(dependability). Hal saat pertama (right
the first time). Selain itu juga berarti
bahwa perusahaan yang bersangkutan
memenuhi janjinya, misalnya
menyampaikan jasanya sesuai dengan
jadwal yang disepakati.
2) Responsiveness, yaitu kemauan atau
kesiapan para karyawan untuk
memberikan jasa yang dibutuhkan
pelanggan.
3) Competence, artinya setiap orang dalam
suatu perusahaan memiliki keterampilan
dan pengetahuan yang dibutuhkan agar
dapat memberikan jasa tertentu.
4) Acces, meliputi kemudahan untuk
dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti
lokasi fasilitas jasa yang mudah
dijangkau, waktu menunggu yang tidak
terlalu lama, saluran komunikasi
perusahaan yang mudah dihubungi, dan
lain-lain.
5) Courtesy, meliputi sikap sopan santun,
respek, perhatian, dan keramahan yang
dimiliki para contact personnel (seperti
resepsionis, operator telepon dan lain-
lain).
6) Communication, artinya memberikan
informasi kepada pelanggan dalam
bahasa yang dapat mereka pahami, serta
selalu mendengarkan saran dan keluhan
pelanggan.
7) Credibility, yaitu sifat jujur dan dapat
dipercaya. Kredibilitas mencakup nama
perusahaan, reputasi perusahaan,
kareakteristik pribadi, contact
personnel, dan interaksi dengan
pelanggan.
8) Security, yaitu aman dari bahaya,
resiko, atau keragu-raguan. Aspek ini
meliputi keamanan secara fisik
(physical safety), keamanan finansial
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
3
(financial security), dan kerahasiaan
(confidentiality).
9) Understanding/knowing the customer,
yaitu usaha untuk memahami kebutuhan
pelanggan.
10) Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa,
bias berupa fasilitas fisik, peralatan
yang digunakan, representasi fisik dari
jasa (misalnya kartu kredit plastik).
Pada poin 4 dari pandangan Zeithaml di atas
dijelaskan bahwa saluran komunikasi
(informasi) hendaknya mudah dihubungi
oleh publik penerima pelayanan
(konsumen). Pandangan ini memperkuat
begitu tingginya peran TIK dalam rangka
pemberian pelayanan publik yang
berkualitas.
Berdasarkan pemikiran tentang
pelayanan publik yang berkualitas di atas
bahwa salah satu tolok ukur pelayanan
publik yang berkualitas adalah bahwa
pemerintah hendaknya selalu menyampaikan
informasi-informasi pada publik.
Penyampaian informasi yang dibutuhkan
sekarang adalah pelayanan yang tepat dan
cepat. Hal ini akan terwujud apabila
menggunakan Teknologi Informasi dan
Komunikasi. Yang harus memperoleh akses
terhadap informasi baru adalah seluruh
masyarakat Indonesia, sementara masyarakat
Indonesia tersebut di berbagai wilayah
kepuauan dan pedalaman. Dengan kondisi
geografis semacam ini maka pemerntah
perlu menggunakan media yang berskala
luas penggunaan, yakni teknologi informasi
dan komunikasi, misalnya dalam bentuk
website atau email. Dengan media tersebut
maka penyamaian informasi akan tersebar
merata secara luas dan dalam waktu yang
sangat singkat.
Dalam hal penggunaan teknologi
informasi dan komuniikasi oleh suatu
organisasi pada umumnya dilakukan melalui
skenario sebagai berikut (Primosic (1991):
1. Reducing cost, teknologi informasi
untuk mendukung urusan administrasi
intern, agar proses administrasi menjadi
lebih efektif, efisien dan mudah
dikontrol.
2. Leveraging investment, teknologi
informasi digunakan secara tidak
langsung dalam proses menciptakan
produk atau jasa yang ditawarkan
kepada pelangan.
3. Enhancing products and services,
teknologi informasi dipakai secara
langsung dalam proses menciptakan
produk atau jasa yang ditawarkan.
4. Enhancing executive decision making ,
teknologi informasi untuk memperbaiki
kinerja internal organisasi dengan
meningkatkan kualitas pengambilan
keputusan.
5. Reaching the customer, teknologi
informasi untuk meningkatkan
hubungan dengan pelanggan/calon
pelanggan.
Teknologi informasi digunakan
dalam rangka mempercepat proses
penyebaran informsi pada publik. Untuk
mempercepat proses penyebaran informasi
melalui teknologi informasi dan komunikasi
harus mempertimbangkan beberapa hal
sebagaimana dikemukakan oleh Indrajit
(1999) sebagai berikut: 1) Sistem informasi;
2) Teknologi informasi; dan 3) Manajemen
informasi.
C. Organisasi Belajar (Learning
Organization)
Organisasi belajar (learning
organisazation) merupakan salah persyaratan
yang mendukung terwujudnya penggunaan
TIIK dalam Pelayanan Publik. Hanya
organisasi yang terus belajar akan memiliki
wawasan yang luas dan kesadaran yang
lebih tinggi tentang manfaat penggunaan
TIK dalam pembangunan, khususnya dalam
aspek pelayanan publik. Yang dimaksud
dengan organisasi belajar adalah organisasi
yang seantiasa melakukan perubahan dan
perbaikan/peningkatan secara terus -menerus
sehingga bisa beradaptasi dengan segala
perubahan yang terjadi guna mencapai
tujuan yang diinginkan. Dengan konsep lain
bahwa organisasi belajar adalah organisasi
yang individu-individu di dalam organisasi
tersebut baik secara perorangan maupun
kolektif terus melakukan perubahan dan
peningkatan kualitas diri sesuai dengan
bidang profesi (tugas) masing-masing dan
tuntutan publik melalui pelibatan diri dalam
berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan
baik melalui jalur pendidikan formal,
informal, maupun non-formal. Suatu
organisasi dikatakan termasuk organisasi
yang belajar apabila organisasi tersebut
mengalami perubahan dan
perbaikan/peningkatan secara bertahap dan
berkelanjutan.
Mewujudkan organisasi belajar
bukanlah usaha yang mudah karena
berkaitan dengan manusia yang di dalam
dirinya terdapat potensi, kesadaran, minat,
dan motivasi, yang semuanya berpengaruh
pada terjadinya organisasi belajar. Bagi
organisasi yang individu-individu di
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
4
dalamnya tidak menyadari pentingnya
belajar secara terus menerus (lifelong
education/learning) maupun motivasi
belajarnya rendah maka tidak akan terjadi
organisasi belajar. Justeri yang akan terjadi
adalah beban organisasi menjadi berat dan
tidak mampu beradaptasi dengan perubahan
dan tuntutan baru yang terjadi.
Menurut Peter Senge (1995) dalam
Sedarmayanti (2004:176) bahwa istilah
organisasi yang terus belajar mempunyai arti
yang sangat luas, dan dapat berarti banyak
hal bagi banyak orang. Pada umumnya, ini
berarti organisasi yang luwes, tanggap,
adaptif, tidak begitu birokratis dan
sebagainya. Tetapi dalam kaitan ini
sesungguhnya berarti mengembangkan
berbagai kemampuan belajar spesifik, yang
tidak terdapat dalam berbagai organisasi
tradisional. Learning berarti proses di mana
individu mendapat pengetahuan baru dan
wawasan baru untuk mengubah perilaku.
Sebagaimana dikemukakan oleh Marquardt
(1996) bahwa learning organization atau
organiwsasi belajar adalah organisasi yang
terus belajar secara sungguh-sungguh dan
bersama-sama. Kemudian
mentransformasikan dirinya agar dapat
mengoleksi, mengelola dan menggunakan
pengetahuannya secara lebih baik untuk
keberhasilan organisasi. Sedarmayanti
(2004:176) menegaskan bahwa melalui
belajar, individu sebagai anggota organisasi
dapat mencoba hal baru, walaupun dengan
resiko membuat kesalahan, dan belajar dari
kesalahan tersebut. Melalui belajar, akan
dapat mengkreasikan diri, mampu
melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak
dapat dilakukan, dapat mengeksistensikan
diri dalam arti berkreasi mengutarakan ide
baru. Jadi organisasi yang terus belajar
berusaha untuk memperluas kapasitas
berkreasi ke masa depan secara terus
menerus, dalam rangka menempatkan
organisasi tidak pada posisi bertahan, dan
keterpaduan pembelajaran dalam disiplin,
memiliki peran yang sangat penting dalam
peningkatan kinerja.
Organisasi yang terus belajar
memungkinkan terjadinya perluasan
wawasan, timbulnya kesadaran baru,
diperolehnya pengetahuan baru, dan
meningkatnya kualitas diri sehingga
memungkinkan untuk beradaptasi dengan
perkembangan IPTEK, khususnya
penggunaan Teknologi Informasi dan
Komunikasi dalam pelayanan publik.
Dampaknya tentu akan luar biasa, di mana
informasi pembangunan akan tersebar secara
tepat, cepat, dan luas tanpa batas sehingga
seluruh publik bisa mengaksesnya tanpa
terikat dengan waktu dan tempat. Di mana
saja dan kapan saja publik akan memperoleh
informasi terbaru, khususnya informasi yang
berkaitan dengan kepentingan publik. Dan
sebaliknya, organisasi yang muak belajar,
maka organisasi tersebut akan ketinggalan
dan akan ditinggalkan oleh publik, sehingga
organisasi bukan sebagai agen pembaruan
melainkan sebagai agen persoalan. Tinggal
sekarang tergantung pada organisasi
tersebut, apakah mau belajar terus atau
digilas oleh kemjuan.
D. Manfaat Penggunaan TIK dalam
Pelayanan Publik
Ada beberapa manfaat penggunaan
TIK dalam pelayanan public, yang
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Dilihat dari sisi aparatur pemerintah
bahwa dengan menggunakan TIK dapat
meningkatkan efisiensi dan efektifitas
kinerja aparatur Negara atau pelayan
public. Penggunaan TIK menghemat
biaya, namun mampu menjangkau
publik dalam jangkauan yang sangat
luas.
2. Meningkatkan kualitas pelayanan publik
di mana masyarakat dapat mengakses
informasi-informasi terkini secara lelbih
leluas dan tanpa terikat oleh tempat dan
waktu. Pemerintah dan masyarakat
sama-sama memperoleh kemudahan
karena terbantu oleh penggunaan TIK.
3. Penggunaan TIK meningkatkan
kepercayaan publik pada aparatur
karena dengan TIK maka program-
program pembangunan bisa dikontrol
secara terbuka oleh publik. Publik
menjadi percaya bahwa aparatur
(pemerintah) telah menunjukkan
keterbukaan dan transparansi pada
publik sebagai petunjuk terwujudnya
good governance.
4. Memberikan peluang dan kesempatan
pada masyarakat luas untuk mengetahui
sedini mungkin informasi tentang
program-program pelayanan publik
(pembangunan), sehingga mereka
bersiap diri untuk ambil bagian dalam
proses-proses pembangunan.
5. Dengan menggunakan TIK dalam
pelayanan publik menciptakan
lingkungan baru bagi warga mayarakat,
yakni lingkungan atau suasana yang
mendorong masyarakat untuk terus
belajar dan mengetahui sesuatu yang
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
5
baru mengenai kehidupan masyarakat
dan/atau pembangunan.
E. Penerapan Penggunaan TIK dalam
Pelayanan Publik
Untuk menerapkan penggunaan
TIK dalam pelayanan publik memang sangat
sulit untuk diwujudkan di wilayah terluar
atau pedalaman yang prasarananya belum
tersedia, seperti jaringan internet, sementara
di daerah perkotaan perkembangan internet
menjamur bagai jamur di musim hujan.
Inilah yang membuat jarak perkembangan
dan kecepatan arus informasi antara di
wilayah perkotaan dan pedesaan, khuusnya
wilayah terluar sangat lebar. Sehingga
kebanyakan masyarakat di wilayah terluar
itu ketinggalan jauh dibanding masyarakat di
perkotaan. Akibatnya, proses perubahan dan
perkembangan wilayah tersebut ketinggalan
secara terus-menerus. Apabila kondisi
semacam ini terus tidak terpecahkan secara
terencana, terintegrasi, dan berkelanjutan
maka akan memungkinkan mengguncang
stabilitas nasional. Dengan terbatasnya
sarana/prasarana dalam upaya menerapkan
TIK dalam pelayanan publik merupakan
tantangan tersendiri bagi pemerintah. Hal
tersebut merupakan masalah (kebutuhan)
awal yang harus dipecahkan oleh
pemerintah. Langkah awal yang harus
dilakukan antara lain adalah menyediakan
jaringan internet Dalam hal penyediaan
sarana ini pemerintah bisa menempuh
kerjasama dengan para pengusaha apabila
pemerintah (daerah setempat) tidak memiliki
anggaran yang cukup untuk itu. dan
menggugah kesadaran masyarakat untuk
bisa beradatasi dengan perkembangan TIK.
Apabila kebutuhan sarana jaringan internet
sudah ada, itu tidak berarti bahwa penerapan
TIK dalam pelayanan publik langsung
berjalan sebagaimana diharapkan.
Pemerintah masih dihadapkan dengan
tantangan kelanjutan baru, yakni
membangun kesadaran masyarakat tentang
pentingnya untuk beradaptasi dengan
perkembangan TIK sehingga mereka bisa
mengakses setiap informasi yang diunggah
di website. Ada banyak alasan masyarakat
tidak mau menggunakan jeringan internet
dalam rangka memperoleh informasi-
informasi penting tentang pembangunan.
Diantara alasan-alasan tersebut adalah
rendahnya motivasi dan rendahnya
kemampuan mengoperasiikan internet.
Selengkap apapun jaringan internet yang
menyediakan informasi-informasi penting
bagi masyarakat apabila mereka tidak
memiliki motivasi yang tiinggi dan tidak
mau belajar mengoperasikan internet maka
TIK tidak memberikan manfaat apa-apa bagi
masyarakat. Salah satu kelemahan besar bagi
masyarakat bangsa kita adalah lemahnya
mtivasi belajar (membaca), apalagi harus
mengeluarkan uang.
Dalam hal penggunaan TIK dalam
pelayanan publik di berbagai daerah
pemerintah bisa kerjasama dengan berbagai
organisasi/lembaga terkait khususnya
perguruan tinggi melaluitri dharmanya.
Kerjasama dengan perguruan tinggi akan
lebih efisien dan efektif karena SDM-nya
relatif lebih memenuhi syarat. Banyak dosen
dan mahasiswa yang berkemampuan dalam
aktivitas motivasi sosiaol dan juga dalam hal
penggunaan TIK mulai dari mendesain
website/blog hingga upload datanya.
Program penggunaan TIK dalam pelayanan
publik dimasukkan sebagai salah satu
program pengabdian masyarakat yang
dilaksanakan oleh para mahasiswa atau
dosen sehingga ada titik temu antara
program perguruan tinggi dan program
pemerintah (pembangunan).
Apa yang harus dilakukan oleh
pemerintah antara lain adalah: 1)
mempersiapkan dan melatih tenaga-tenaga
di masing-masing birokrasi atau lembaga-
lembaga (dinas-dinas) pemerintahan mulai
dari tingkat desa hingga
perkotaan/kabupaten. Yang dipilih untuk
dilatih adalah bukan sembarang orang,
melainkan mereka yang memiliki minat dan
motivasi terhadap TIK dan siap untuk
menjalankan tugas di bidang pelayanan
publik berbasis TIK. Setiap ada keputusan,
pelaksanaan program, atau perubahan-
perubahan dan perkembangan, bahkan juga
persoalan, yang terjadi maka hal tersebut
harus diinformasikan secepatnya pad
masyarakat. Layanan ini hanya mungkin
dilakukan dengan menggunakan jaringan
internet.
F. Rangkuman
Perkembangan Teknologi Informasi
dan Komunikasi (TIK) telah menciptakan
perubahan-perubahan besar dalam semua
sector pembangunan. TIK telah mampu
meretas sekat-sekat informasi dalam
kehidupan manusia. Tidak ada lagi kendala
waktu dan lokasi, di mana kapan saja dan di
mana saja masyarakat dapat mengakses
informasi yang mereka perlukan.
Penggunaan TIK dalam pelayanan
publik telah membuat kemudahan-
kemudahan baik dari sisi pemerintah dalam
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
6
proses penebaran informasi pembangunan,
dan begitu juga pada sisi masyarakat bahwa
masyarakat memperoleh kemudahan dalam
mengakses informasi-informasi penting
yang telah dipublikasikan oleh pemerintah
melalui media berbasis TIK.
DAFTAR PUSTAKA
Lovelock, Christoper. 1994. Product Plus,
How Product and Service Competitive
Advantage, New York: Graw Hill, Inc.
Ramo, Simon andRobin K. St.Clair. 1998.
The Systems Approach. Fresh Solutions To
Complex Problems Through Combining
Science And Practical Common Sense.
California: KNI, INCORPORATED.
Sedarmayanti. 2004. Good Governance
(Kepemerintahan yang Baik). Bagian Kedua.
Bandung: Mandar Maju
Tjiptono, Fandy. 2002. Manajemen Jasa,
Yogyakarta: Penerbit Andi.
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
7
TECHNOLOGIES AND STRATEGIES FOR PROVIDING EDUCATION
THROUGHOPEN AND DISTANCE LEARNING SYSTEM AT REMOTE REGIONS
IN INDONESIA(CASE STUDY AT PONTIANAK, WEST KALIMANTAN,
INDONESIA)
Joko Isdianto UPBJJ-UT Pontianak
Abstract
As we know that technology helps many people in the world whatever their fields. One of
the main benefit of the technology is the helping distance teaching and learning. Technology here
is the main support for the educational development in the most remote regions in Indonesia.
Many people use the advanced technologies, such as internet, as the main wares of the educational
development. They promote the using of internet in many schools in Indonesia, specially in remote
regions, such as remote regions in Sumatera, Kalimantan, Sulawesi and Papua. Today, most of the
students in such remote regions always have fun in their study with internet as the advanced
technology. Technology has enchaned teaching and learning method in Indonesia, Specially in
remote region. Many Students has used advanced technology, such as computer in the classroom,
new website, interactive key board, Blog and wikis, in this case, Web 2.0 that implemented in the
class, so the students can have much more dialogues, digest dialogues, ideas and brainstorming.
Beside that kinds, wireless michrophone, mobile and digital game, also to be the other alternatives
of the advanced technologies in enchanced teaching and learning sys tem. Distance educational
system by using advanced technologies make the goal of international education system become
more achievable and more accessible to all students. Here, Technology has more contributions to
the enchanced teaching and learning system, like what display in this site:
http://www.slideshare.net/NASuprawoto/penggunaan-internet-dalam-pembelajaran-matematika-
di-sd.
Here, Online tutorial is the most favourable mechanism for providing education through
Open and Distance Learning System all over the world. Online tutorial gives the students so many
things and choices for learning, beginning from the materials of studies, the choices of b ooks
shopping, various literatures at online library, various kind of friends for communicating between
one student to another.
So, Technologies and Online Learning Strategies can provide education through Open
and Distance Learning System at Remote Regions in Indonesia.
Introduction As we know that technology helps
many people in the world whatever their
fields. One of the main benefit of the
technology is the helping distance teaching
and learning. Technology here is the main
support for the educational development in
the most remote regions in Indonesia. Many
people use the advanced technologies, such
as internet, as the main wares of the
educational development. They promote the
using of internet in many schools in
Indonesia, specially in remote regions, such
as remote regions in Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi and Papua. I Observed at West
Kalimantan, Pontianak, Indonesia. Pontianak
is stated at Equator Line, Kalimantan Island,
located at North of Jakarta, Indonesia.
Today, Specially at West
Kalimantan, Most of the Open University‘s
Students always uses the internet materials
facilities. The Most Students of Post
Graduate at Pontianak ODL Unit uses the
online tutorial as their studies materials.
Here, the Datas about the Graduation
Numbers of Post Graduate Students at
Pontianak ODL Unit since 2006-2012 that
using online tutorial materials :
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
8
Sources: Pontianak ODL Unit
From datas above, at Pontianak
ODL unit (study scale 2006-2012), we can
know that The large numbers of Post
Graduate Students at Pontianak ODL unit
could finish their study ―on time‖ (in 3
years). Eventhough, they study with ODL
System by using Indonesia Open University
Website.
The Next, we can know about datas
of Online Tutorial using at Pontianak ODL
Unit, here we are :
DATAS OF ONLINE TUTORIAL USING AT PONTIANAK ODL UNIT
POST GRADUATE PROGRAMS 2006-20012
No Departements Location of Study Number of Students
Percentage of Using ODL ( % )
Final Result of ODL
1 Magister Administrasi
Publik Sintang 120 100 Thesis
Landak 5 100 Thesis
Kapuas Hulu 12 100 Thesis
Bengkayang 26 100 Thesis
2 Magister Manajemen Singkawang 34 100 On Process Thesis
Kapuas Hulu 35 100 Thesis
3 Magister Manajemen
Perikanan Pontianak 13 100 Thesis
Final Total 245
Sources: UPBJJ-UT Pontianak 2012
From the datas above we can know
that all Post Graduate Programme Students
always use the online tutorial facilities and
Indonesia open university website (100%).
Even, They all can finish their thesis till the
end. Eventhough, they learned with ODL.
They all from remotes area at West
Kalimantan, Indonesia.
Today, most of the students in such
remote regions always have fun in their
study with internet as the advanced
technology. Technology has enchaned
teaching and learning method in Indonesia,
Specially in remote region. Many Students
has used advanced technology, such as
computer in the classroom, new website,
interactive key board, Blog and wikis, in
this case, Web 2.0 that implemented in the
class, so the students can have much more
dialogues, digest dialogues, ideas and
brainstorming. Beside that kinds, wireless
michrophone, mobile and digital game, also
to be the other alternatives of the advanced
technologies in enchanced teaching and
learning system. Distance educational
system by using advanced technologies
make the goal of international education
system become more achievable and more
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
9
accessible to all students. Here, Technology
has more contributions to the enchanced
teaching and learning system, like what
display in this site:
http://www.slideshare.net/NASuprawoto/pen
ggunaan-internet-dalam-pembelajaran-
matematika-di-sd.
Datas at Pontianak ODL about Online
materials shows :
DATAS OF ONLINE TUTORIAL MATERIALS USING AT PONTIANAK ODL UNIT, INDONESIA
POST GRADUATE PROGRAMS 2006-20012
No Departements Location of
Study Number of Students
Online Materials Final Result ODL
1 Magister Administrasi Publik Sintang 120
Modul (Printed Learning Materials), Compact Disk, Internet Facilities, Indonesia open university website Thesis
Landak 5
Modul (Printed Learning Materials), Compact Disk,
Internet Facilities, Indonesia open university website Thesis
Kapuas Hulu 12
Modul (Printed Learning Materials), Compact Disk, Internet Facilities Facilities Indonesia open university
website Thesis
Bengkayang 26 Modul (Printed Learning Materials), Compact Disk, Internet Facilities, Indonesia open university website Thesis
2 Magister Manajemen Singkawang 34
Modul (Printed Learning Materials), Compact Disk,
Internet Facilities Facilities, Indonesia open university website
On Process Thesis
Kapuas Hulu 35 Modul (Printed Learning Materials), Compact Disk, Internet Facilities Indonesia open university website Thesis
3
Magister Manajemen
Perikanan Pontianak 13
Modul (Printed Learning Materials), Compact Disk,
Internet Facilities, Indonesia open university website Thesis
4 Magister Manajemen Pendidikan
Modul , Compact Disk, Internet Facilities
Final Total 245
Sources: UPBJJ-UT Pontianak 2012
From Datas above, we can know
about the online software that always be used by Post Graduate Programme Students at Pontianak ODL Unit, Indonesia, easier and simplier for use. So, The Students like to use the website of Indonesia Open University, eventhough they are all seattled at remotes area at West Kalimantan, Indonesia, such as Sintang and Kapuas
Hulu, (Those towns are far away from Pontianak by Aircraft), and
Bengkayang is Frontier / Border area at West Kalimantan. Here, we give the samples of ODL Materials for Hubungan Pusat-Daerah Materials (Centre-Region Government
relationship Lecture).We give the
samples of materials.
:UT-Online HOME
MY COURSES MY PROFILE
SHORTCUTS
Hidupkan Mode Ubah
HUBUNGAN PUSAT DAERAH | BAGAN MINGGUAN
Forum Berita
RAT dan SATWord document
Skip Upcoming Events
UPCOMING EVENTS
There are no upcoming
events
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
10
PENTING bagi mahasisw a yang mengambil MK ISIP4215
Pengantar Statistik SosialWord document
This
w eek 10 JULI - 16 JULI
Inisiasi 1Bacaan
Diskusi 1Forum
"KLIK" REFERENSI DIGITAL HUBUNGAN PUSAT-
DAERAHForum
17 JULI - 23 JULI
Inisiasi 2Bacaan
Diskusi 2Forum
REFERENSI DIGITAL HUBUNGAN PUSAT-DAERAHForum
24 JULI - 30 JULI
Inisiasi 4Bacaan
Diskusi 3Forum
REFERENSI DIGITAL HUBUNGAN PUSAT-DAERAHForum
31 JULI - 6 AGUSTUS
Inisiasi 3Bacaan
Tugas 1
REFERENSI DIGITAL HUBUNGAN PUSAT-DAERAHForum
7 AGUSTUS - 13 AGUSTUS
Inisiasi 5Bacaan
TUGAS 2
REFERENSI DIGITAL HUBUNGAN PUSAT-DAERAHForum
14 AGUSTUS - 20 AGUSTUS
inisiasi 6Bacaan
Diskusi 4Forum
REFERENSI DIGITAL HUBUNGAN PUSAT-DAERAHForum
21 AGUSTUS - 27 AGUSTUS
Inisiasi 7Bacaan
Go to calendar...
New Event... Skip Berita terbaru
BERITA TERBARU
Tambah topik baru...
(Belum ada berita yang
dikirim) Skip Aktif itas lalu
AKTIFITAS LALU
Aktivitas sejak Jumat, 12
Juli 2013, 13:38
laporan lengkap aktif itas
terbaru...
Tidak ada yang baru
sejak Anda terakhir login
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
11
Tugas 3
BERITA PENTING...!!!Forum
REFERENSI DIGITAL HUBUNGAN PUSAT-DAERAHForum
28 AGUSTUS - 3 SEPTEMBER
Inisiasi 8Bacaan
Diskusi 5Forum
BERITA PENTING...!!!Forum
REFRENSI DIGITAL HUBUNGAN PUSAT-DAERAHForum
UT-Online/ IPEM4425.01
HUBUNGAN PUSAT DAERAH
Notes
Tuton Yang Saya Ikuti
IPEM4425.01
Tidak aktif selama lebih dari
Pilih periode
Daftar pengguna
Current role
Semua
Semua peserta: 283
(Keanggotaan tidak dipergunakan selama lebih dari 180 hari akan secara otomatis dikeluarkan dari Tuton)
Nama Depan : Semua A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z Nama akhir : Semua A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
Halaman: (Sebelumnya) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 (Selanjutnya)
GAMBAR PENGGUNA
NAMA DEPANURUTAN BERDASARKAN NAMA DEPAN URUT NAIK / NAMA AKHIRURUTAN
BERDASARKAN NAMA AKHIR URUT NAIK
KOTAURUTAN BERDASARKAN KOTA URUT
NAIK
NEGARAURUTAN BERDASARKAN
NEGARA URUT NAIK
TERAKHIR AKSESURUTAN
BERDASARKAN TERAKHIR AKSES URUT
TURUN
PILIHURUTAN BERDASARKAN
PILIH URUT NAIK
MARTINA HESTIS 014367572 .
66 hari 21 jam
KUSMA 015895191 .
66 hari 22 jam
priyanto - Jakarta Indonesia 67 hari 1 jam
M A S R I 015209284 .
67 hari 3 jam
TEGUH MULYONO 017986724
Tambak Banyumas
Indonesia 68 hari 19 jam
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
12
ULY SUPRAYOGI 018479369 Jakarta Indonesia 68 hari 21 jam
SRI ANDANI FITRIANISYAH 014710925
.
68 hari 22 jam
MUHAMMAD RIDWAN 017231629 Sambas Indonesia 69 hari
WINI NOVITA 016014571 .
69 hari 1 jam
ISILATINA 017082079 .
69 hari 2 jam
ADI PUTRA NOVRIONO 016282568 . Indonesia 69 hari 2 jam
HERU NURFAHMI 018075915 Tegal Indonesia 69 hari 2 jam
ENNY NASIRWAN 015553632 .
69 hari 2 jam
YATTI D OEMANU 014079176 .Kupang Indonesia 69 hari 3 jam
ADY TRI YANDHONO 016148309 . Indonesia 69 hari 5 jam
SIMON BATU PATIONA 018783301
.Lew oleba -
Lembata Indonesia 69 hari 11 jam
ASEP PRAMIADI 016153966 .
69 hari 15 jam
ELAH NURLAELAH 016736962 Batam Indonesia 69 hari 21 jam
RIAN SAPUTRA 016087724
muntok bangka
barat Indonesia 69 hari 21 jam
RIAN DWI SURYA 016133093 tegal Indonesia 69 hari 23 jam
Halaman: (Sebelumnya) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 (Selanjutnya)
Dengan pengguna yang dipilih...
Tampilkan semua 283
Anda login sebagai Joko Isdianto, S.Sos, M.Si Pontianak. (Keluar)
Here, Online tutorial is the most favourable mechanism for providing education through Open and Distance Learning System all over the world, even at remotes Areas, like West Kalimantan. Online tutorial gives the
students so many things and choices for learning, beginning from the materials of studies, the choices of books shopping, various literatures at online library, various kind of friends for
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
13
communicating between one student to another.
The problem solving for overcoming the signal trouble at remote areas for connecting ODL Website at Remote Areas is used to use modem, Blue Tooth, or Wi fi.So, Technologies and Online Learning Strategies can provide education through Open and Distance Learning System at Remote Regions in Indonesia.
REFERENCES
Hamalik Oemar. 1993. Sistem
Pembelajaran Jarak Jauh Dan Pembinaan Ketenagaan, Bandung: Trigenda karya
Kearsley Greg. 2000. Online Education; Learning and Teaching in Cyberspace. Wadsworth Thomson Learning
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.107/U/2001 (2 Juli 2001) tentang ‖Penyelenggaraan Program Pendidikan Tinggi Jarak Jauh‖
Jurnal Online Teknologi Pendidikan, Sustaining Open Education Resources, November 24, 2008
http://www.teknologipendidikan.net/2010/06/05/e-learning-dalam-pendidikan-jarak-jauh/
http://www.slideshare.net/NASuprawoto/penggunaan-internet-dalam-pembelajaran-matematika-di-sd.
http://www.ut.ac.id/mahasiswa-dan-alumni/strategi-belajar.html
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
14
ANALISIS DIALEK LOKAL SEBAGAI PENANDA IDENTITAS LOKAL
INDIVIDU ( STUDIINTERLANGUAGE MAHASISWA DI ILMU
ADMINISTRASI NEGARA STISOSPOL “WASKITA DHARMA” MALANG )
Abd. Syakur Dosen Tetap Yayasan pada STISOSPOL ―Waskita Dharma― Malang
Abstract
An analysis of Dialect is the symbol of individual an identity From the dialect, every
individual did not understand but they have undrestood, in another hands the presence of glowing
present dialect phenomena in the student circles, the identity of every individual becomes
disguised. The students would rather feel more comfortable to use the present dialect than local
dialect. They do this to make the process of social adaptation and adjustment easily.
This reserach has an objective in observing communication experience and understanding
of students in using interlanguage for social and comunication directly in Stisospol “Waskita
Dharma” Malang
The result of this research shows that the students would rather choose to use the present
dialect to be able to adapt and communicate with the surroundings and another student in
Stisospol “Waskita Dharma” Malang the present dialect which is used by the students constituties
the adaptation process with new surroundings. They can jo in into a new group if they use the same
dialect which is considered as superior dialect. Although the informan would rather choose to use
the present dialect than their own local dialect, they still have an understanding about the
existence of local dialect. Dialect is one of our own national culture, so if we do not perpetuate
that our local dialect can be extinct. Key word:Interlanguange, present dialect, local dialect, students Style in accent.
PENDAHULUAN
Fenomena dialek kekinian muncul
di dalam sebuah komunitas, terutama
komunitas anak muda. Berbagai macam
dialek dan bahasa akan terbentuk di dalam
komunitas. Bagi individu yang menjadi
anggota dari komunitas tersebut harus
menyesuaikan dialek dan bahasa yang sudah
digunakan. Individu-individu ini berusaha
untuk menjadikan dialek sebagai alat agar ia
dianggap oleh kelompok lainnya, sehingga
ia bisa dengan leluasa melakukan
komunikasi dan pendekatan-pendekatan
emosional dengan anggota kelompok.
Dialek kekinian lebih sering digunakan
karena dianggap lebih modern dan gaul.
Dalam konteks kekinian, dialek dan bahasa
gaul merupakan dialek bahasa Indonesia
non-formal yang digunakan di suatu daerah
atau komunitas tertentu. Seperti halnya TL -
SL dalam sebuah teori Caique translation.
Bahasa merupakan identitas diri.
Cara sederhana untuk menentukan identitas
kita dan mempengaruhi cara orang lain
memandang kita adalah dengan
menggunakan bahasa. Bahasa sangat penting
bagi pembentukan identitas individu dan
identitas sosial. Setiap partisipan komunikasi
pastimemiliki aksendandialek. Aksen yaitu
istilah yang mengacu padapengucapan,
aksenhanyavariasidalam pengucapanyang
terjadiketika orangberbicara bahasa yang
sama. Ini merupakan akibat dari perbedaan
geografisatau sejarah (Samovar, 2009: 227).
Pelafalan khas yang menjadi ciri seseorang
penduduk dari suatu tempat atau daerah.
Aksen juga lebih gampang disebut sebagai
logat. Aksen bahasa biasanya terkait dengan
wilayah geografis tertentu. Contohnya
seperti di madura dialek ini memiliki
pengucapan yang cukup berbeda dengan
Bahasa Jawa Standar.
Beraneka dialek hidup di dalam
suatu masyarakat, pemakai dialek ini
memungkinkan terjadinya persaingan dalam
upaya menempati tempat istimewa dalam
masyarakat tertentu. Jika masyarakat yang
secara sosial budaya beraneka ragam itu
merupakan kesatuan politis dan geografis,
akan timbul masalah kebahasaan. Masalah
bahasa ini sudah pasti melibatkan
masyarakat tuturnya. Penduduk yang
menggunakan beraneka ragam bahasa atau
dialek secara serempak, memerlukan alat
penghubung yang memungkinkan semua
warga masyarakat dalam satuan politik itu
bergaul dan bekerja sama. Sering kali karena
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
15
sedemikian kompleksnya, pemerintah harus
ikut campur menyelesaikannya. Faktor ini
membuat bahasa menjadi objek yang tidak
terhindarkan dari aneka pilihan politis
(Coulmas 2006:184: Moeliono 1985:1:
Alwasilah 1993:91 dalam Moriyama, 2010:
34).
Dinamika keberagaman dialek
pernah menimbulkan nuansa kekerasan di
Kabupaten Banyuwangi, yaitu orang Using
(Osing) bertempat tinggal sebuah kabupaten
yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa
Timur. Kerumitan seperti itulah yang
akhirnya dapat dipecahkan para pemuda
dalam Kongres Pemuda Indonesia pada
tanggal 28 Oktober 1928 yang mengikrarkan
Sumpah Pemuda, Indonesia mempunyai
bahasa nasional yang mempersatukan
ratusan bahasa dan dialek. Kedudukan dan
fungsi Bahasa Indonesia yaitu sebagai
bahasa nasional, selain itu sebagai lambang
jatidiri bangsa, lambang kebanggaan bangsa,
alat pemersatu bangsa, alat perhubungan
antar budaya dan antar daerah sesuai
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009
tentang bendera, bahasa dan lambang negara
serta lagu kebangsaan. “Bahwa bendera,
bahasa, dan lambang negara, serta lagu
kebangsaan Indonesia merupakan sarana
pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi
bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan
kehormatan negara sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
METODE PENELITIAN
Tipe penelitian yang digunakan
adalah deskriptif kualitatif. Penelitian
kualitatiflebih mungkinuntuk
mengeksplorasiproses daripada hasil. Riset
kualitatifberfokus
padamaknapengalamandengan
mengeksplorasibagaimanaorangmenjelaskan
, menggambarkan, danmetaforamasuk
akaldari sebuah pengalaman.Tujuan dari
penelitiankualitatif lebihdeskriptif
daripadaprediktif. Tujuannya adalah
untukmemahamisecara mendalamsudut
pandangpesertapenelitian.Menyadaribahwa
pemahamansemuadibangun melalui
interpretasi peserta penelitian yang berbeda-
beda dari pengalamanmereka sendiri
dansistem sosialdi manamereka
berinteraksi(Adnan Latief, 2012:26)
Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam (Indepth Interview).
Yaitu cara mengumpulkan data atau
informasi dengan cara langsung bertatap
muka dengan responden agar mendapatkan
data secara lengkap dan mendalam. Subjek
penelitian diminta untuk menceritakan
kembali mengenai teks yang sudah
dikonsumsinya.Karena penelitian ini bersifat
kualitatif, maka pedoman yang digunakan
dalam wawancara adalah tidak berstruktur,
yaitu tidak selalu terpaku pada daftar
pertanyaan yang telah dirancang, tetapi
berkembang sesuai dengan jalannya
wawancara.
Penelitian yang dilakukan dengan
mengembangkan konsep dan menghimpun
fakta mengenai aktivitas komunikasi
mahasiswa Ilmu administrasi Negara dalam
menggunakan dialek kekinian sebagai alat
komunikasinya. Studi ini berusaha
mendeskripsikan pemahaman mahasiswa
terhadap dialek kekinian sebagai media
komunikasi dan menyimpulkan kondisi
dialek kekinian dalam kaitannya sebagai
media komunikasi di wilayah kampus.
Sehingga dapat dirumuskan pola komunikasi
mahasiwa dalam menggunakan dialek
kekinian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Data primer berasal dari hasil observasi dan
wawancara mendalam terhadap subjek
penelitian, yaitu informan I yang berasal dari
Madura, Informan II yang berasal dari
Pasuruan, Informan III yang berasal dari
lumajang dan informan IV berasal dari
Bandung. Ke-4 informan menjadi subjek
penelitian ini karena dalam aktivitas
berkomunikasinya di wilayah kampus dan
sekitarnya menggunakan dialek kekinian
gue-lo, walaupun ada kalanya mereka
menggunakan dialek daerah mereka masing-
masing.
Interpretasi mahasiswa mengenai
dialek lokal dapat dilihat dari bahasa dan
dialek yang digunakan dalam proses
komunikasi sehari-hari di kampus atau
sekitarnya, serta pengetahuan mahasiswa
tentang dialek lokal. Maka, dalam sub bab
ini, penulis membagi menjadi empat
kategori, yaitu (1) Pemahaman Bahasa dan
Dialek, (2) Media Komunikasi, (3) Dialek
Lokal, dan (4) Interaksi Sosial. Untuk
kategori Pemahaman Bahasa dan Dialek
para mahasiswa memberikan pemahaman
tentang bahasa, yaitu suatu simbol yang
disepakati bersama dan memiliki arti
tertentu dan digunakan untuk
berkomunikasi. Sedangkan untuk dialek
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
16
yaitu pengucapan atau pun cara
mempresentasikannya.
Kategori kedua yaitu Media
Komunikasi, terdapat 4 (empat) sub
kategori, yang pertama pemilihan dialek,
keempat mahasiswa ini memilih
menggunakan dialek kekinian sebagai alat
berkomunikasi mereka. Namun mereka yang
merupakan individu pendatang di
kotaMalang, lebih suka menggunakan
Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa sebagai
alat untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Karena dengan menggunakan kedua bahasa
tersebut, mereka dapat menyesuaikan
kepada siapa mereka berkomunikasi. Untuk
sub bab kedua yaitu konteks penyesuaian
dialek sebagai alat komunikasi. Para
mahasiswa memilih menggunakan dialek
Kekinian karena dialek tersebut lebih
banyak menggunakan bahasa Indonesia,
sehingga lebih dimengerti oleh kebanyakan
teman-temannya di kampus. Hal itu mereka
lakukan agar mudah melakukan penyesuaian
untuk masuk ke dalam kelompok barunya.
Untuk sub bab ketiga membahas
tentang pemilihan dialek kekinian yang
dipilih oleh para mahasiswa. Ada 2
mahasiswa yang memilih menggunakan
dialek kekinian sebagai proses penyesuaian
dengan kelompok atau lingkungan baru,
sedangkan 2 yang lain menyebutkan karena
sudah lama dan terbiasa menggunakan
dialek kekinian, sehingga mereka merasa
lebih nyaman menggunakan dialek kekinian.
Dan untuk sub bab terakhir, tentang
pemahaman dialek lokal. Para mahasiswa
menyebutkan bahwa dialek lokal adalah
sesuatu yang dianggap penting karena ciri
kita sebagai seorang individu yang berasal
dari sebuah daerah. Dengan adanya dialek
kedaerahan, kita bisa mengetahui darimana
asal orang yang kita ajak berbicara.
Kategori ketiga yaitu mengenai
pemahaman mahasiswa terhadap dialek
lokal. Di dalam kategori ini dibagi menjadi 3
(tiga) sub bab, yaitu (1) Kepedulian
Penggunaan Dialek Lokal, (2) Keseragaman
Bahasa dan Dialek, (3) Dialek Ideal di
Tengah Dialek Superior. Sub bab pertama
membahas tentang kepedulian mahasiswa
terhadap penggunaan dialek lokal. Salah satu
mahasiswa beranggapan bahwa apabila kita
tidak menggunakan dialek kekinian, maka
akan terjadi hilangnya salah satu
kebudayaan yang dimiliki oleh kita sebagai
warga Negara Indonesia. Sedangkan ketiga
mahasiswa lainnya beranggapan kalau, tidak
masalah apabila mereka tidak menggunakan
dialek lokal mereka sendiri, karena mereka
sebagai individu harus menyesuaikan
dengan siapa mereka berbicara. Namun
keempat mahasiswa ini tidak serta merta
ingin kehilangan salah satu kebudayaan
mereka, yaitu dialek lokal, mereka juga akan
mengajarkan kepada generasi penerus, agar
mereka masih mengetahui keberadaan dialek
lokal dan dapat menggunakan dialek
lokalnya masing-masing untuk
berkomunikasi.
Untuk sub bab kedua, yaitu
keseragaman bahasa dan dialek. Menurut
keempat keseragaman bahasa dan dialek
juga diperlukan karena keseragaman bahasa
dan dialek akan lebih mempermudah
komunikasi antar suku. Asalkan tetap
memahami dan mengerti dialek daerah
masing-masing. Dan sub bab ketiga, tentang
dialek ideal di tengah dialek superior.
Menurut keempat mahasiswa, dialek yang
ideal yang seharusnya digunakan oleh
masyarakat adalah dialek yang dapat
dipahami oleh orang-orang yang ada di kota
besar itu juga, dialek yang sebelumnya
sudah digunakan oleh individu yang ada di
kota tersebut.
Kategori keempat yaitu membahas
tentang interaksi sosial yang dilakukan oleh
mahasiswa sebagai informan. Dalam
kategori ini, dibagi menjadi 4 (empat) sub
bab, yaitu (1) Fenomena Dialek Kekinian,
(2) Sikap Individu Lain Terhadap Dialek
yang digunakan Informan, (3) Kemudahan
dalam Berinteraksi, serta (4) Penyesuaian di
Lingkungan Baru. Sub bab pertama yaitu
pemahaman mahasiswa terhadap fenomena
dialek kekinian, keempatnya mempunyai
pendapat tentang fenomena dialek kekinian
yang sedang marak, mereka beranggapan
bahwa tidak masalah apabila mereka
menggunakan dialek kekinian, karena sudah
ada mindset yang terbangun dari anak-anak
muda jaman sekarang dalam menggunakan
dialek kekinian. Bahwa penggunanaan
dialek kekinian gue-lo sudah bukan hal yang
tabu meskipun mereka tidak berasal bahkan
tidak tinggal di wilayah ibu kota jakarta
yang memang menggunakan dialek kekinian
gue-lo sebagai alat komunikasinya sehari-
hari. Untuk sub bab kedua yaitu sikap
individu lain terhadap dialek yang
digunakan informan (mahasiswa). Para
mahasiswa ini sempat menggunakan dialek
lokalnya masing-masing untuk
berkomunikasi dengan anggota kelompok
atau lingkungannya, lalu pandangan dari
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
17
sekitarnya ada yang suka ada yang biasa
saja. Tetapi ada juga yang tertawa
mendengarkan logat yang mereka gunakan.
Namun, sampai sekarang belum ada yang
menyebut mereka kampungan karena
menggunakan dialek lokal.
Untuk sub bab ketiga, yaitu
kemudahan dalam berinteraksi, keempatnya
sangat setuju ketika mereka menggunakan
dialek kekinian maka kemudahan dalam
berinteraksi mereka dapatkan karena dengan
menggunakan dialek tersebut akan lebih
diterima oleh teman-teman dan akan
membuat semakin dekat dengan teman-
teman sehingga pergaulan akan mudah
dijalani. Dan untu sub bab keempat, yaitu
mengenai penyesuaian mahasiswa di
lingkungan baru. dengan mereka tidak
menggunakan dialek kedaerahannya untuk
berkomunikasi, mereka sedang melakukan
proses penyesuaian dengan keadaan agar
dapat saling memahami satu sama lain di
dalam komunikasi yang sedang terjadi. Para
mahasiswa juga tidak ingin dianggap merasa
kurang gaul apabila tidak menggunakan
dialek kekinian, karena tergantung dengan
konteks dimana ia sedang berkomunikasi.
Proses penyesuaian agar mudah
berkomunikasi, apabila ada yang
menggunakan aku-kamu, maka mereka juga
akan menggunakan aku-kamu. Selain itu,
menggunakan dialek kekinian agar sama
sehingga obrolan juga menjadi lebih enak.
Menurut mereka gaul tidak dilihat dari
dialek apa yang digunakan oleh individu.
Pembahasan
Bahasa dalampenggunaannyatentubersifat
dinamis dandalam setiapbahasayang hidup
terdapat berbagai perbedaan. Penggunaan
bahasasetiappembicaramemiliki
keunikannya masing-masing.Dengan kata
lain,setiap individu memilikidialek
merekasendiri. Namuntiap
individumempunyaibeberapa karakteristik
daricara mereka menggunakanbahasa
denganindividu lain, baik
secarapribadi,lokal, regional, nasional dan
bahkantingkat global. Kitasebagai individu
memang memilikikemampuan untuk
membuatpenilaian tentangindividu
berdasarkanjenisbahasayang mereka
gunakan (Bloomer, 2005: 277).
Setelah melakukan pengumpulan
data dan analisis data maka ditemukan
bahwa mahasiswa yang menggunakan dialek
kekinian ketika mereka berkomunikasi
disebabkan karena ingin beradaptasi dengan
mahasiswa lainnya. Dengan menggunakan
dialek yang sama, yaitu dialek kekinian,
maka proses komunikasi mereka akan
semakin mudah karena adanya penyesuaian
dialek. Disini dapat dilihat bahwa dialek
lokal semakin lama semakin ditinggalkan
oleh masyarakat karena keberadaan dialek
kekinian yang sedang menjadi fenomena di
kalangan mahasiswa pada khususnya.
Hal yang menarik dalam penelitian
ini adalah untuk memenuhi kebutuhannya
yang beranekaragam, seseorang
berkomunikasi dengan individu lain dengan
menggunakan bahasa sebagai alat utamanya.
Artinya, cara dan alat yang paling tepat
untuk menyampaikan maksud ditentukan
oleh aturan-aturan yang berlaku di
masyarakat dan kebudayaan masyarakat
yang bersangkutan. Terkait dengan kajian
bahasa, muncul perbedaaan logat atau yang
biasa disebut dengan dialek. Bahasa maupun
dialek merupakan alat komunikasi yang
secara tidak langsung menjadikan sebagai
identitas diri dari seseorang. Salah satu
caraberpikir tentangbahasayaitu dengan
carasistematis,menggabungkanunit yang
lebih kecilke dalamunit yang lebih
besaruntuk tujuankomunikasi.Sebagai
contoh, kitamenggabungkanbunyi
bahasakita untuk membentuk kata-kata
sesuai dengan aturandari bahasayang kita
gunakan untuk berkomunikasi.
Dengan bahasa, dialek maupun
aksen yang dimiliki oleh tiap-tiap individu
pasti akan memperlihatkan identitasnya
sebagai seorang individu. Identitas adalah
apa yang telah ditinggalkan dari "ras" dan
"kelas" yaitu, sisa-sisa sebuah prinsip
membagi dan memobilisasi yang secara
bertahap menggantikan individu rasional
yang bertindak dan berpikir sebagai sebuah
konsep dan sebagai istilah referensi dan
menunjukkan perang tak pernah berakhir
(Donskis, 2009: 54).
Mahasiswa sekarang lebih nyaman
menunjukkan identitas nasionalnya
dibanding identitas lokalnya. Hal ini mereka
lakukan agar proses adaptasi dan
penyesuaian semakin mudah. Setiap
mahasiswa akan berinteraksi satu sama lain
sepanjang waktu, mereka berbagi pengertian
untuk istilah-istilah dan tindakan-tindakan
tertentu. Maka dari itu, mereka akan
berusaha agar dapat berinteraksi secara terus
menerus. Karena apabila sebuah komunikasi
berhasil maka tujuan dari komunikasi dapat
tercapai juga.
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
18
Keempat mahasiswa yang diteliti
menggunakan dialek kekinian dan dialek
lokal mereka sendiri dalam proses
komunikasinya. Mereka mengakui apabila
tidak menggunakan dialek kekinian maka
mereka akan sulit melakukan penyesuaian
dengan mahasiswa lainnya. Dengan tidak
adanya penyesuaian di dalam proses
komunikasi itu dapat menimbulkan
perbedaan makna antara mahasiswa tersebut
dengan mahasiswa lainnya. Ini berarti
semakin terlihat bahwa dengan munculnya
fenomena dialek kekinian, mahasiswa
akanmencoba menjadi individu lain agar
dapat berinteraksi terus menerus dengan
mahasiswa lainnya.
Simpulan
Dialek merupakan alat yang digunakan
oleh para informan untuk berkomunikasi
dengan individu lainnya. Selain itu, dialek
menjadi ciri identitas individu. Namun,
dialek sudah beralih fungsi dimata para
informan, yaitu sebagai alat untuk
menyesuaikan diri agar dapat diterima oleh
kelompok atau lingkungan baru mereka.
Dalam proses komunikasi, penyesuaian
antar individu sangat diperlukan, karena
dengan begitu, informan yang menjadi
individu baru di dalam sebuah kelompok
dapat diterima. Apabila di dalam kelompok
tersebut, bahasa dan dialek yang digunakan
atau yang sudah tercipta sebelumnya adalah
dialek superior, maka para informan sebagai
pendatang harus ikut menggunakan dialek
tersebut, seperti dialek kekinian sebagai alat
berkomunikasi.
Faktor penyesuaian yang menjadikan
para informan meninggalkan identitasnya
untuk berinteraksi dengan individu lainnya.
Dengan persamaan dialek, maka mereka
beranggapan bahwa akan mudah diterima
oleh individu lain, sehingga menurut
mereka, keseragaman bahasa dan dialek
akan sangat membantu memudahkan setiap
individu yang ingin berinteraksi dengan
individu lain yang berasal dari berbagai
macam daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi
Komunikasi. Surabaya: Prenada Media
Grup.
Devito, Joseph. 1997. Komunikasi Antar
Manusia. Jakata: Karisma Publishing
Group.
Harsyo, 1997. Pengantar Antropologi.
Bandung : Bina Cipta
Koentjaraningrat, 1993. Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia . Jakarta:
Djambatan.
Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar
Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
Latief, Adnan. Metode Penelitian Kualitatif.
Malang : UM Press.
Moriyama, Mikihiro. Manneke Budiman.
(2010). Geliat Bahasa Selaras
Zaman. Perubahan Bahasa-Bahasa
Di Indonesia Pasca-orde Baru.
Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia. Partanto Pius A, Kamus ilmiah populer
indek,1984 Jakarta: Arpola
Saefullah, Ujang. 2007. KAPITA SELEKTA
KOMUNIKASIPendejatan Agama
dan Budaya. Bandung : Simbiosa
Rekatama Media.
.
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
19
UFOISME PERILAKU KOMUNIKASI DALAM AKULTURASI ANTAR ETNIS
JAWA DAN ETNIS MADURA DI KAB. MALANG ( STUDI KOMUNIKASI
ANTAR BUDAYA DI KEC. GEDANGAN KAB. MALANG
Sigit Wahyudi Dosen Tidak Tetap pada STISOSPOL ―Waskita Dharma‖ Malang
Abstrak
Komunikasi termasuk dalam ufoisme dan kebudayaan yang merupakan dua konsep yang
tidak dapat dipisahkan. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan t erletak pada variasi
langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau kelompok sosial.
Pelintasan komunikasi itu menggunakan kode-kode pesan, baik secara verbal maupun nonverbal,
yang secara alamiah selalu digunakan dalam semua konteks interaksi. Pusat perhatian studi
komunikasi dan kebudayan juga meliputi bagaimana menjajaki makna, pola -pola tindakan, dan
bagaimana makna serta pola-pola itu diartikulasikan dalam sebuah kelompok sosial, kelompok
budaya, kelompok politik , proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan
interaksi antarmanusia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, Tipe penelitian yang digunakan
adalah deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatiflebih mungkinuntuk mengeksplorasiproses
daripada hasil. Riset kualitatifberfokus padamaknapengalamandengan
mengeksplorasibagaimanaorangmenjelaskan, menggambarkan, danmetaforamasuk akaldari
sebuah pengalaman.Tujuan dari penelitiankualitatif lebihdeskriptif dari padapredictif (Adnan Latief, 2012:26).
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 5 (lima) pasangan informan, yang
terdiri dan 5 informan etnis pendatang Jawa yang melakukan pernikahan dengan 5 informan
penduduk lokal yang berdomisili di Desa Sumber Rejo dan Desa sumber sari Kecamatan
Gedangan Kabupaten Malang sebagai tempat berlangsungnya proses akulturasi, maka
kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang pada pasangan suami istri yang melakukan
pernikahan beda etnis dan menganalisis prilaku komunikasi yang terjadi didalamnya.
Kata kunci : Ufoisme, komunikasi, akulturasi etnis
PENDAHULUAN
Komunikasi termasuk dalam
ufoisme dan kebudayaan yang merupakan
dua konsep yang tidak dapat dipisahkan.
Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan
terletak pada variasi langkah dan cara
manusia berkomunikasi melintasi komunitas
manusia atau kelompok sosial. Pelintasan
komunikasi itu menggunakan kode-kode
pesan, baik secara verbal maupun nonverbal,
yang secara alamiah selalu digunakan dalam
semua konteks interaksi. Pusat perhatian
studi komunikasi dan kebudayan juga
meliputi bagaimana menjajaki makna, pola-
pola tindakan, dan bagaimana makna serta
pola-pola itu diartikulasikan dalam sebuah
kelompok sosial, kelompok budaya,
kelompok politik, proses pendidikan, bahkan
lingkungan teknologi yang melibatkan
interaksi antarmanusia.
Seiring berjalannya waktu,
pertumbuhan penduduk di Indonesia
semakin pesat. sebagai Negara yang
memiliki beragam budaya dan kultur yang
berbeda, Indonesia juga terdiri dari suku-
suku yang berbeda di setiap daerah. Dengan
perbedaan tersebut, tak jarang diantara
mereka melakukan akulturasi.
Akulturasi merupakan perpaduan
antara kebudayaan yang berbeda yang
berlangsung dengan damai dan serasi.
Akulturasi atau Culture Contect, sebagai
proses sosial yang timbul bila suatu
kelompok dengan kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur-unsur dari
kebudayaan asing dengan sedemikian rupa
yang lambat laun kebudayaan asing itu
diterima dan diolah sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya keaslian budaya itu
sendiri. Dalam artian yang lebih lugas,
bahwa akulturasi merupakan proses yang
dilakukan oleh masyarakat pendatang untuk
menyesuaikan diri dengan memperoleh
kebudayaan masyarakat setempat.
Dalam akulturasi selalu terjadi
proses penggabungan (fusi budaya) yang
memunculkan kebudayaan baru tanpa
menghilangkan nilai-nilai dari budaya lama
atau budaya asalnya. Sebagaimana
masyarakat setempat memperoleh pola-pola
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
20
budaya lokal lewat komunikasi, begitu pula
dengan seorang transmigran yang
memperoleh pola-pola budaya lokal lewat
komunikasi. George Herbert Mead dalam
filsafat ilmu komunikasi (2007:3)
mengatakan bahwa setiap manusia
mengembangkan konsep dirinya melalui
interaksi dengan orang lain dalam
masyarakat dan itu dilakukan lewat
komunikasi.
Seiring berjalannya waktu, seorang
transmigran akan mengatur dirinya untuk
mengetahui dan diketahui dalam
berhubungan dengan orang lain dan itu
dilakukannya lewat komunikasi. Elvinaro
Ardianto dalam Filsafat Ilmu Komunikasi
(2007:2) mengemukakan bahwa tujuan dasar
komunikasi adalah mengendalikan
lingkungan fisik dan psikologis kita. Lewat
komunikasi kita menyesuaikan diri dan
hubungan dengan lingkungan kita.
Proses akulturasi mengarah kepada
terjadinya asimilasi sebagai proses sosial
yakni suatu proses dimana individu-individu
atau kelompok-kelompok yang sebelumnya
berbeda-beda perhatiannya yang kemudian
mempunyai pandangan yang sama. Dengan
kata lain proses dari dua atau lebih
kebudayaan yang berbeda, tetapi secara
perlahan-lahan menjadi sama. Proses ini
berlangsung dua arah, saling mempengaruhi
dan saling mengisi sehingga membentuk
pola budaya baru. Hal ini berlangsung secara
terus-menerus dan dalam kondisi setaraf
antara individu atau kelompok.
Untuk mempermudah terjadinya
akulturasi, maka kecakapan komunikasi dari
transmigran merupakan hal yang sangat
berpengaruh. Sebagaimana seorang
transmigran pun memperoleh pola-pola
budaya penduduk lokal melalui komunikasi.
Seseorang transmigran akan mengatur
dirinya untuk mngetahui dan diketahui
dalam berhubungan dengan orang lain. Pada
akhirnya, bukan hanya system sosio-budaya
transmigran tetapi juga system sosio-budaya
masyarakat setempat akan mengalami
perubahan sebagai akibat dari kontak
komunikasi antar budaya dalam rentan
waktu yang lama. Malinowski dalam
Kebudayaan dan Lingkungan dalam
Perspektif Antropologi (2000:105)
mengatakan bahwa perubahan kebudayaan
bisa saja disebabkan oleh faktor-faktor dan
kekuatan spontan yang muncul dalam
komunitas atau hal tersebut bisa juga terjadi
melalui kontak dengan kebudayaan yang
berbeda.
Masalah pembauran budaya
merupakan masalah yang sangat kompleks,
sarat akan konflik, yang terkadang berakhir
dengan tejadinya disintegrasi. Dimana
hambatan komunikasi antara dua budaya
seringkali timbul dalam bentuk pebedaan
persepsi terhadap norma-norma budaya,
pola-pola berpikir, struktur budaya, system
budaya serta masalah komunikasi. Demikian
pula halnya di Kecamatan Gedangan yang
memiliki luas 103,62 km2 sebagai unit
pemukiman penduduk setingkat kecamatan
yang secara administratif berada di wilayah
Kabupaten Malang, dengan kapasitas jumlah
penduduk 8.157 jiwa yang sebagian
masyarakatnya berasal dari etnis pendatang
Madura dan Asli Jawa yang bermukim di
Desa Sumber Rejo dan Desa Sumbersari
Kecamatan Gedangan Kabupaten Malang.
Berdasarkan pengamatan tersebut,
penulis mencoba membahas Akulturasi antar
etnis yang ada di Kecamatan Gedangan
khususnya Desa Sumber Rejo dan Desa
SumbersariDimana etnis pendatang Madura
menghadirkan budaya sukunya sehingga
terjadi pembauran budaya dengan Jawa di
Kecamatan Gedangan. Melihat keadaan
seperti ini maka penulis tertarik untuk
melakukan suatu penelitian tentang proses
akulturasi serta faktor-faktor lain yang dapat
mempermudah terjadinya akulturasi yang
mengarah pada asimilasi.
Kerangka Teori
Pada dasarnya prilaku komunikasi
merupakan interaksi dua arah, dimana
seseorang terlibat didalamnya berusaha
menciptakan dan menyampaikan informasi
kepada penerima. Dalam hal ini sumber dan
penerima harus mengformulasikan,
menyampaikan serta menanggapi pesan
tersebut secara jelas, lengkap dan benar.
Dengan demikian prilaku komunikasi tidak
lain dari bagaimana cara melakukan
komunikasi dan sejauh mana hasil yang
mungkin diperoleh dengan cara tersebut.
Perilaku komunikasi dikategorikan
sebagai prilaku yang terjadi dalam
berkomunikasi verbal maupun nonverbal,
yaitu bagaimana pelaku (sumber dan
penerima) mengola dan mentransfer suatu
pesan. Disini sumber seharusnya
mengformulasikan dan menyampaikan pesan
secara jelas, lengkap dan benar. Sementara
pihak yang menerima (penerima) diharapkan
menanggapi pesan seperti apa yang
dimaksud oleh sumber.
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
21
Komunikasi antar budaya bukan
merupakan sesuatu yang baru terjadi.
Semenjak terjadinya pertemuan antara
individu-individu dengan latar belakang
kebudayaan yang berbeda. Sebagai salah
satu studi sistematik, komunikasi antar
budaya membahas mengenai kontak atau
interaksi yang terjadi antara orang-orang
yang memiliki latar belakang kebudayaan
berbeda dan relatif masih baru.
Transmigran yang memasuki suatu
daerah yang memiliki kebudayaan yang
berbeda harus memiliki potensi akulturasi
yang memadai untuk bisa menyesuaikan diri
dengan budaya yang baru agar bisa
mengatur dirinya untuk mengetahui dan
diketahui dalam berhubungan dengan
penduduk setempat.
Dalam akulturasi, proses
komunikasi menjadi hal utama. Hal ini
terjadi melalui identifikasi dan internalisasi
lambang-lambang masyarakat yang
dimasuki oleh seorang individu melalui
proses komunikasi. Individu yang memasuki
budaya baru akan belajar berkomunikasi
dalam berhubungan dengan orang lain.
Kim, dalam Rumondor ( 1995: 18)
mengatakan bahwa komunikasi antar budaya
merajuk pada suatu fenomena komunikasi
dimana para pesertanya masing-masing
memiliki latar belakang budaya yang
berbeda terlibat dalam suatu kontak antara
satu dengan yang lainnya, baik secara
langsung ataupun tidak langsung.
Berdasarkan gambaran diatas,
terlihat jelas bahwa proses komunikasi antar
budaya dapat membantu para pendatang
yang memiliki latar belakang budaya yang
berbeda untuk melakukan interaksi dengan
kebudayaan setempat. Dalam proses
akulturasi harus memiliki interkoneksitas
cara berkomunikasi sehingga dapat tercipta
interaksi yang baik dan dan saling
mendukung.
Menurut Suyono, dalam Rumondor
(1995: 208) akulturasi merupakan
pengambilan atau penerimaan satu atau
beberapa unsur kebudayaan yang berasal
dari pertemuan dua atau beberapa unsur
kebudayaan yang saling berhubungan atau
saling bertemu. Berdasarkan defenisi ini
tampak jelas dituntut adanya saling
pengertian antar kedua kebudayaan tersebut
sehingga akan terjadi proses komunikasi
antarbudaya. Walaupun komunikasi
antarbudaya membahas tentang persamaan
dan perbedaan dalam karakteristik
kebudayaan antar pelaku-pelaku
komunikasi, tetapi perhatian utamanya
adalah proses komunikasi antar individu-
individu dan kelompok-kelompok yang
berbeda kebudayaanya yang mencoba untuk
berinteraksi.
Ada tujuh unsur-unsur kebudayaan
yang dapat disebut sebagai isi pokok dari
setiap kebudayaan didunia yakni:
Bahasa
Sistem Ilmu Pengetahuan
Organisasi sosial
Sistem peralatan hidup dan teknologi
Sistem mata pencaharian hidup
Religi
Kesenian
Untuk menggambarkan proses
akulturasi tersebut, penulis menggunakan 2
model teori yakni:
1. Teori Konvergensi Budaya dari Kincaid
dan Everett M. Rogers.
Dalam teori ini, berbagai kultur bertemu
pada suatu titik dalam hal ini lingkungan
sebagai bentuk hubungan sosial yang
menyatakan bahwa komunikasi sebagai
proses yang memilih kecenderungan
bergerak kearah satu titik temu
(convergence), dengan kata lain komunikasi
adalah suatu proses yang mana orang-orang
atau lebih saling menukar informasi untuk
mencapai kebersamaan pengertian satu sama
lainnya salam situasi dimana mereka
berkomunikasi.
3. Model Komunikasi Antarbudaya
Dalam hubungannya dengan komunikasi
antarbudaya penulis juga menggunakan
proses akulturasi sebagai berikut:
Gambar 1.1
Sumber: Mulyana (1998)
Berdasarkan bagan diatas, model
komunikasi antarbudaya terjadi proses
akulturasi dimana budaya A yaitu etnis
Madura di Kecamatan Gedangan khususnya
Desa Sumber Rejo dan Desa
SumbersariDimana etnis pendatang Madura
yang diwakli oleh suatu segi empat dan
budaya B, yakni etnis pendatang Jawa yang
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
22
diwakili oleh suatu persegi enam. Dari
proses akulturasi tersebut timbul kebudayaan
baru yang merupakan hasil peretemuan
antara budaya A dan budaya B dimana
budaya baru digambarkan dalam bentuk
lingkaran. Penyadian-penyadian balik pesan
antara budaya A dan B dilukiskan oleh
panah-panah yang menhubungkan antara
dua budaya. Panah-panah ini menunjukkan
pesan komunikasi antar dua budaya yang
berbeda. Selanjutnya anak panah budaya A
dan budaya B menuju ke bentuk lingkaran
dimana budaya A dan budaya B bertemu
sehingga terjadi proses akulturasi yang dapat
menimbulkan suatu budaya baru pada
penduduk lokal atau budaya transmigran.
Dari model diatas menunjukkan
bahwa bisa terdapat banyak ragam
perbedaan dan persamaan budaya dalam
komunikasi antar budaya. Komunikasi antar
budaya terjadi dalam bentuk ragam situasi
yakni dari interaksi-interaksi antara orang-
orang yang berbeda budaya.
Dalam komunikasi antarbudaya ada
beberapa hal penting yang harus
dikembangkan yakni, sikap saling mengerti,
menghormati dan menghargai antara satu
budaya dengan budaya yang lainnya. Untuk
mengembangkan sikap saling mengerti
tersebut maka dalam proses akulturasi,
seorang individu atau kelompok sosial harus
berusaha mengembangkan persepsi tidak
atas dasar persepsi budayanya namun
haruslah memahami bagaimana budaya lain
yang sedang dihadapinya dalam melakukan
persepsi.
Berdasarkan uraian diatas, penulis
mencoba menggambarkan proses akulturasi
yang terjadi antara masyarakat pendatang
dengan penduduk asli sebagai berikut:
Gambar 1.2
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif, Tipe penelitian yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif.
Penelitian kualitatiflebih mungkinuntuk
mengeksplorasiproses daripada hasil. Riset
kualitatifberfokus
padamaknapengalamandengan
mengeksplorasibagaimanaorangmenjelaskan
, menggambarkan, danmetaforamasuk
akaldari sebuah pengalaman.Tujuan dari
penelitiankualitatif lebihdeskriptif dari
padapredictif (Adnan Latief, 2012:26)
Aspek Budaya dan Adat Istiadat
Keadaan adat-istiadat di Kecamatan
Gedangan pada dasarnya tidak terlalu
meningkat, dalam artian masyarakat
setempat tidak terlalu fanatik dengan
kebiasaan turun-temurun, walaupun tidak
pula meninggalkannya. Hal tersebut terjadi
seiring masuknya pengaruh dari luar yang
tentunya melalui beberapa pertimbangan
tentang mana yang harus diterima dan yang
mana tidak layak diterima.
Disetiap daerah pasti memiliki
adat-istiadat yang berbeda-beda, beigtu pula
halnya di Kec. Gedangan yang masih saat ini
masih sering dilakukan oleh penduduk
setempat (etnis Madura) seperti acara
“Nyonson”(Membakar Kemenyan) yang
dilakukan para petani sebelum membuka
lahan baru saat berkebun. Para petani di
Madura umumnya memakai cara "tebang
dan bakar" untuk pertanian.
Saat ini, masyarakat Madura terbagi
atas beberapa kelas, yaitu keai (bangsawan
kelas atas), yang menjadi panutan dan oreng
biasa (rakyat biasa), dalam prosesi
penikahan, bila pasangan muda-mudi
Madura bertunangan, keluarga pengantin
membawa apa saja yang dibutuhkan oleh
keluarga perempuanatau keluarga Si gadis.
Etnis Madura pada prakteknya
merupakan Muslim Ahlussunnah
Waljamaah, meskipun kepercayan tradisonal
masih amat penting, terutama kepercayaan
akanNyonson”(Membakar Kemenyan).
Animisme (kepercayaan akan benda-benda
non-manusia memiliki keajaiban yang
luarbiasa dan berefek pada keberhasilan
yang bahasanya menggunakan bahasa
kromo) dianut oleh orang madura asli yang
tau akan hal budaya dengan ufoisme bahasa
yang diadopsi dari kitab barzanji dan yang
lain.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk memperoleh data yang
akurat dan dijamin kualitasnya, maka
sebelum menentukan subyek/informan
penelitian akan dilakukan overview atau
penjajakan terhadap anggota masyarakat
yang dianggap representative memberikan
informasi dengan mengajukan beberapa
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
23
pertanyaan yang terkait permasalahan yang
akan diteliti. Selanjutnya barulah ditentukan
subyek/informan yang akan diteliti.
Informan awal yang dipilih adalah orang yng
dapat membuka jalan untuk menentukan
informan berikutnya dan berhenti apabila
data yang dibutuhkan sudah cukup.
Penelitian ini dilakukan dengan
cara dipilih secara sengaja yakni dianggap
dapat memberikan informasi terhadap
masalah yang akan diteliti, melalui
wawancara secara mendalam dengan total
informan sebanyak 5 pasangan suami istri
yang melakukan perkawinan antar etnis
(etnis Madura dan etnis Jawa) yang
bertempat tinggal di Desa Sumber Rejo dan
Desa sumber sari Kecamatan Gedangan
Kabupaten Malang dengan perincian sebagai
berikut:
Penduduk lokal (Etnis Madura) 5 orang.
Penduduk Pendatang (Etnis Jawa) 5
orang.
Pasangan Informan Pertama
Wawancara:
Ibu berasal Dari Mana:
“ Saya berasal dari Jember, Jawa Timur
dan sudah 19 tahun tepatnya pada tahun
1984 saya datang dan tinggal di Desa
gedangan. Saya datang di desa ini
mengikuti kedua orang tua saya yang
bekerja. Pada saat itu saya masih berusia
lima tahun, ketika orang tua saya bekerja di
sini. Ketika saya menikah dengan bapak,
saya masih berusia 20 tahun. Kami
dijodohkan oleh kedua orang tuakami
karena bapak saya merupakan kawan baik
dari orang tua suami saya semenjak
keluargaku bekerja Saat ini kami dikaruniai
oleh dua orang Putri. Anak pertama kami
berusia 4 tahun dan yang kedua berusia 1
tahun 8 bulan”.
Pasangan Informan Kedua
Ibu Bisa bicara (Ngocak) bahasa
Madura:
“Saya lihat bahasa Madura termasuk
bahasa yang sulit dilafalkan butuh proses
yang lama untuk bisa berkomunikasi dalam
bahasa madura mengenai arti bahasa
madura sudah dapat dimengerti ketika
penduduk disini berkomunikasi dengan
saya. Namu sekrang ini saya sudah bisa
berbahasa jawa tetapi dengan logat jawa
dengan baik”.
Pasangan Informan Ketiga
Bagaimana hubungan ibu disini:
“Hubungan saya dengan penduduk lokal
sangat dekat, bisa dikatakan hubungan
saudara terutama dengan para tetangga dan
warga-warga disini, begitupula dengan
hubungan sosial dimasyarakat”.
Pasangan Informan Keempat
Ibu biasanya bersama siapa?
“Kemana saja kita pergi pasti bertemu
dengan etnis Jawa karena populasi etnis
Jawa di desa ini lebih banyak jika
dibandingkan dengan populasi penduduk
etnis Madura. Hubungan interaksi dan
komunikasi terjadi setiap harinya disekitar
tempat tinggal sesama tetangga, dipasar
yakni komunikasi antara saya sebagai
penjual sembako dan pembeli, diacara pesta
perkawinan, di acara syukuran jika
diundang, diacara arisan sesama ibu
bayangkara, majelis ta‟lim”.
Pasangan Informan Kelima
Bagaimana menurut ibuk adat istiadat
disini:
“Mengenai adat istiadat, sepengetahuan
saya penduduk lokal memiliki budaya yang
berbeda dengan etnis jawa seperti pada
acara perkawinan, sekarang ini masyarakat
pendatang lebih banyak menyesuaikan
dengan penduduk lokal. Seperti pada
perkawinan saya, suami saya yang lebih
banyak menyesuaikan disini”.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan terhadap 5 (lima) pasangan
informan, yang terdiri dan 5 informan etnis
pendatang Jawa yang melakukan pernikahan
dengan 5 informan penduduk lokal yang
berdomisili di Desa Sumber Rejo dan Desa
sumber sari Kecamatan Gedangan
Kabupaten Malang sebagai tempat
berlangsungnya proses akulturasi, maka
kesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian yang pada pasangan suami istri
yang melakukan pernikahan beda etnis dan
menganalisis prilaku komunikasi yang
terjadi didalamnya dapat diuraikan sebagai
berikut:
Proses Akulturasi Antar Etnis Jawa dan
etnis Desa Sumber Rejo dan Desa
sumber sari Kecamatan Gedangan
Kabupaten Malang, apa bila dilihat
secara keseluruhan terdapat adanya
hubungan social yang berbeda pada
tingkat yang baik. Proses akulturasi
ditandai dengan tiga proses yang
mendasar yang ditinjau dari variable
komunikasi yakni proses yang pertama
adalah komunikasi antar personal
(antarpribadi), proses yang kedua,
lingkungan komunikasi, sedangkan
proses yang ketiga adalah komunikasi
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
24
social. Selain ketiga proses tersebut, ada
7 (tujuh) proses yang mendukung proses
akulturasi yaitu bahasa, bersifat terbuka
dan berpikir positif, organisasi sosial,
system peralatam hidup adan teknologi,
system mata pencaharian hidup, religi
serta kesenian.
Prilaku akulturasi antar etnis Jawa
dengan etnis Madura dapat berjalan
dengan baik karena dalam hubungan
antara pribadi mereka terdapat adanya
sifat saling keterbukaan, saling
mendukung serta memiliki sifat positif
dalam pernikahan yang mereka jalani.
Dari kelima pasangan perkawinan yang
melakukan pernikahan beda etnis, dapat
lihat bahwa dengan memiliki sikap
keterbukaan, dukungan dan sikap positif
dalam keluarga, memberikan kontribusi
yang sangat besar dalam menciptakan
kenyamanan komunikasi dalam sebuah
keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi
Komunikasi. Surabaya: Prenada Media
Grup.
Devito, Joseph. 1997. Komunikasi Antar
Manusia. Jakata: Karisma Publishing
Group.
Harsyo, 1997. Pengantar Antropologi.
Bandung : Bina Cipta
Koentjaraningrat, 1993. Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia . Jakarta:
Djambatan.
Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar
Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
Latief, Adnan. Metode Penelitian Kualitatif.
Malang : UM Press.
Saefullah, Ujang. 2007. KAPITA SELEKTA
KOMUNIKASIPendejatan Agama dan
Budaya. Bandung : Simbiosa Rekatama
Media.
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
25
ADMINISTRATIVE REFORM IN BUREAUCRACY AND CIVIL SERVICE
Deden Fathurrohman DPK di perbantukan pada STISOSPOL ―Waskita Dharma‖ Malang
Abstract
It is a common for public organization to make kinds of reform in achieving the goals. One of basic reform in public organization is administrative reform. This reform is mainly in institutional and personal matters. In conceptual term, this reform is just an early step for public organization to challenge its target. However, many countries especially in developing countries still struggle in this step. So, it is very fruitful for us to study on administrative reform due to the existing need for public organization in terms of bureaucratic and civil service reforms. This study analyze and criticize the existing of bureaucracy and civil service reform in some developing countries. In seven Arab countries institutional and personal reform is still in a piecemeal approach rather than systemic or integrative approach. Civil service is still lack of having information to cope and implement the reform released. In addition, Indonesia as one of the developing country is also still struggle for its administrative reform in terms of its bureaucracy and civil service. Barriers in salary, institution and regulation is challenging for next administrative reform. Lack of prioritizing policy and information gap between levels of civil service to make a better administrative reform should be solved on a near future.
Some significant negative matters are still occurred, but we may need time and awareness to go. Good regime, policy from government leadership is a must. Further quality and quantity of bureaucracy and its civil servant is another good thing should exist. Those will be run well if it covered by culture, values and mentality that cope the need for reform.
Key words : Administrative reform, Bureaucracy reform, Civil Service reform, Developing Countries. 1. Introduction
Administrative reform is a
universal claim of contemporary societies,
but strategies of general applicability for
achieving such reforms are far from being
universally defined. It is due to some
differences in coping and implementing this
reform. Background of each developing
country in terms of their cultures, human
resources and other factors are also coloring
this reform. It is valuable to seek how
certain developing countries articulate
approaches and strategies for building
administrative capacities. In developing
nations, administrative reform often is
referred to as modernization and change in
society to effect social and economic
transformation (Farazmand, 2002).
Administrative reform is conceived
of as a deliberate policy and action to alter
organizational structures, processes, and
behavior in order to improve administrative
capacity for efficient and effective
performance. So, reform is based on
institutional capacity of public
organization—a kind of internal
environment reform. The advantage of this
definition is its operational thrust compared
with the view of administrative reform as
‗artificial inducement of adminis trative
transformation against resistance‘ (Caiden,
1969).
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
26
Based on Farazmand notion of
administrative reform, this reform has been
one of the most recurrent activities of
governments the world over. It has been
accentuated by the severity of the problems
faced by the less developed nations. Most of
these nations inherited a colonial legacy with
significant dependency on colonial powers
of the West, and their administrative systems
suffer profound deficiencies. However, not
all developing nations can be categorized in
this way. Many of them went through major
transformations after their independence.
Some of them have achieved significant
development with marked effectiveness;
others have lagged behind and remain
dependent on Western assistance. We can
find that late reform in developing countries
is the real condition that should be overcome
as it should be. Comparing with western
countries is another kind for having good
motivation. (Farazmand, 2002)
Because administrative reform is in
large measure about setting rules for
determining the institutional allocation and
distribution of state positions, bureaucrats
and politicians have a special interest in it.
Bureaucrats are assumed to be wary of
reform imposed by others because it
involves their income, careers and status.
The assumption does not lead to the
proposition that bureaucrats resist all reform,
rather that they will want to exert control
over it. Politicians may be prepared to
advocate administrative reform as a
collective good, but they will also be
interested in the opportunities for political
distribution arising from the control of
positions. Aside from their separate
perspectives, the nature of the relationship
between bureaucrats and politicians is a key
consideration in the supply of administrative
reform (cited from Moon and Ingraham),
and this relationship is in turn affected by
the institutional context. Institutional
analysis generally is concerned with the
effects of different configurations of rules
and norms on the behavior of actors. Martin
Painter, The Politics of Administrative
Reform in East and Southeast Asia: From
Gridlock to Continuous Self-Improvement?
Governance: An International Journal of
Policy, Administration, and Institutions, Vol.
17, No. 3,July 2004 (pp. 361–386).
Majorly, we agree that
administrative reform has been occurring in
most developing countries due to their need
for better government performances. They
need a kind of good objective on their
government structure and function. For this
reasons, most of these countries has tried to
make administrative reform in terms of
structural and personnel reform. However,
implementation of this reform has faced the
tension between political and bureaucrats in
a country. Bureaucrats are assumed to be
wary of reform imposed by others because it
involves their income, careers and status.
The assumption does not lead to the
proposition that bureaucrats resist all reform,
rather that they will want to exert control
over it On the other hand, politician may be
prepared to advocate administrative reform
as a collective good, but they will also be
interested in the opportunities for political
distribution arising from the control of
positions. Aside from their separate
perspectives, the nature of the relationship
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
27
between bureaucrats and politicians is a key
consideration in the supply of administrative
reform. So, the acceleration of
administrative reform is heavily depended
on these two factors rather than the methods
of administrative reform itself.
In developing countries,
administrative reform is generally based on
institutional and human resources reform. I
perceive this is due to the need for effective
and efficient of the organization. I agreed
with what Weber stated that the stage of
public organization in pursuing its objective
is by focusing on institutional need for
effective and efficient before move to
another stage on external environment.
However, in many developing countries
administrative reform can not only be
implemented by releasing regulation,
making capacity building for human
resources development, and consistently
improving those two factors but also need a
great support politically for the parliament
and civil society. Without considering these
factors, administrative reform is just good in
surface but fundamentally can not make in a
reality.
So it is worthwhile to observe and
discuss of the significant role of
Bureaucracy and civil servant for
Administrative reform. Institutional and
human resources are suitable approaches
that will affect environment of
administrative reform. This article will focus
on these two kinds of administrative reform:
Bureaucratic and civil service reform.
2. An Example of Result of
Administrative Reform in Arab
Countries
First, a more realistic approach to
reform can be achieved through employee
involvement. The prevalent, elitist, rigid
approach does not offer employees the
opportunity to actively participate in or
influence change. Soexclusivist have most
practices been that employees are never told
the reasons for change or the rationale for
decisions. We agree with the statement that
administrative reform is not in an empty
space. Involvement from every stakeholder
in steps of reform should be existed.
Second, diagnostic data ought to be
collected and discussed openly to inform or
allow those affected to become involved in
the redesign of activities. Such involvement
through information and feedback
mechanisms results in (a) more constructive
attitudes by employees, and (b)
improvements in the quality of all aspects of
reform because of the greater validity and
completeness of information and analysis.
That is true, in this global era, transparency
and participation from every actors and
institutions are a must. Flowing activities
supported by IT in back up activities can
accelerate the achieving process.
Third, personnel responsible for
defining reform policy, and implementing it,
often receive only minimal educational
preparation before a reform is begun. Lack
of understanding and expertise by those in
command of reform processes results in the
diminished quality and impact of the
changes made. Extensive training
programmes to familiarize employees with
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
28
the new order and to develop necessary
skills are crucial for acceptance and
implementation of reform. The quality of
actors in reform is very important.
Understanding roles and function of every
parts of institution is a leading factors to
achieve the goal.
Fourth, the pronounced support and
commitment of the political leadership is
imperative for the success of reform ideas;
bureaucracy in the societies in question
responds to serious prodding by the political
masters. Consistent commitment from
regime to support and cover the reform is a
significant power. However, the facts are
rather different from the need.
Fifth, incentive systems can replace
the appearance of threatening change by
making clear what benefits and advantages
will result to employees. Motivation is one
thing that still problems in some countries.
So, managing good budgeting and it
priorities can support incentive system for
reform.
Finally, administrative reform in
the seven countries must rest on a systems
perspective rather than a piecemeal approach
to reshaping contemporary institutions and
administrative behaviour. The systems view
considers people, organizations, processes,
interactions and relevant external
environment in the analysis and
prescriptions for change. This may be the
only means available for developing
societies to provide a complete and integral
approach to building administrative capacity
and generating indigenous, exploratory
theories and practices of management. Such
theories and practices cannot be imitative,
but must be independently evolving
(converging or diverging from Western
theories and practices) as their objectives
and criteria dictate. (Jreisat, 1988). I partly
agree with the statement. However,
uniqueness in one side and import concept
in another side sometime has made
confusion for the country to cope with.
3. Regime and Administrative Reform
In 1994, Bowornwathana,
explaining administrative reform stated that
regime type is a significant dimension for
understanding administrative reform. In
countries such as Thailand where there are
shifts back and forth between democratic
rule and bureaucratic governance, the
policies adopted for administrative reform
move from one extreme to the other. No
single reform paradigm can effectively grasp
the fluidity of the situation; consequently, a
multi-paradigmatic perspective is necessary
for comparing administrative reforms during
different regimes.
The many cases considered how
various administrative reform policies can
shift back and forth between bureaucratic
rule and democratic governance. The
phenomenon of regime shifts in unstable
political systems, such as in Thailand, is an
important dimension for understanding the
dynamics of administrative reform.
Contradictory reform policies can be found
between periods of bureaucratic rule and
democratic governance. To understand
administrative reform in such a setting, the
regime-survival paradigm is suggested.
Regime is a very influential factor
in achieving the good reform. It is due to the
power of regime that can make policy to
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
29
support reform or just steering
administrative reform for his political
interest. In many developing countries,
sometime, changing regime means changing
in policy. Former policy from previous
regime will change by the new one. SO, that
is no continuity in grand design and program
for reform.
In Indonesia we can find also that
regime has played a huge role in success or
fail of reform. It is due to the political
interest between elite in regime and the
external force of society and global
environment. Struggling between the need
for artificial and substantial in implementing
reform are the key for the regime to be
considered.
4. Complexity of Bureaucratic reform
Despite criticisms of its inherent
characteristics, bureaucracy remains the
main institution for initiating and
implementing change. Braibanti (1969)
concludes that the primary requisite for
development is a competent bureaucratic
system. Under conditions of a weak private
sector, public bureaucracy is an
indispensable instrument of development.
Hence, reforming bureaucracy remains the
key to successful development,
notwithstanding numerous common
obstacles facing reform from within and
without the bureaucracy.
The dilemma of administrative
reform in these countries resides in the
mediocrity of its results. But an
administrative reform project is difficult to
implement even in Western systems. Since
the 1930s, unheeded administrative
recommendations of various American
presidential commissions far exceed the
number adopted.
Many common obstacles to
administrative reform come from within the
bureaucracy itself. The list may include
resistance of staff and line personnel to
reform ideas, incompatibility with existing
systems, lack of adequate commitment and
support, inadequate skills and insufficient
data. These obstacles contribute to the wide
gap between proposed and executed
administrative change.
Based on the analytical framework,
we are able to examine the reform of the
bureaucracy. A reform, rather than a
revolution, is initiated by the top leadership
aiming to restructure the bureaucracy in
order to improve the efficiency of the
economy. Under the reform, many
bureaucratic agencies must be eliminated,
while other agencies need to be restructured
to provide useful services for private agents
(for instance, investors) in the economy.
Therefore, the top leadership would prefer
not to simply close all indiscriminately. But
the top leadership needs cooperation of
bureaucrats in order to reform. While there
are many reasons why their cooperation is
needed, our model focuses on one in
particular: information imperfection. In our
model, the leadership is unable to observe
directly the productivity of offices and
discern which offices should be closed and
which are to be restructured (Susanto Basu
dan David D. Lee, A, 2000)
Bureaucracy reform significantly
refers to what stated by Arifin (2008) as
follow:
(1) Institution (organization)
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
30
(2) administrative (bussiness process)
(3) Human resources (State Apparatus)
The new development phase of the
Indonesian bureaucracy started after the
downfall of Suharto in May 1998, following
the Asian Financial Crisis in mid 1997
which also marked the onset of the reform
era in Indonesia (reformasi). The extensive
bureaucracy was confronted with a
completely new set of challenges when the
highly centralised regime that had held the
bureaucracy together suddenly disappeared,
and was replaced by a large number of
political parties, entrepreneurs and
influential socio-religious leaders and
stronger civil society (Mietzner 2008).
We agree with these three
bureaucracy reforms that can make good
result. However, commitment of political
leadership is a prerequisite of the reform. So,
the first stage is focusing on the leader
commitment than releasing the reform as
follower stage. Political leadership that
supported the reform is a must. So, all
stakeholders should play roles in assisting
the right track reform.
Indonesia‘s bureaucratic reform is
actually still trying to cope with the gap
between the aims of getting things done
effectively and efficient and bureaucrat‘s
worries of loosing benefits caused by the
reform. The theory emphasizes the
difference between the bureaucracy and
individual bureaucrats. The bureaucracy is
sustained by overlapping generations of
bureaucrats, while the bureaucrats, like
managers of modern corporations, have
interests diverse from that of the
bureaucracy. Thus, agency problems exist
within the bureaucracy. The key to
reforming the bureaucracy is to incentivize
the incumbent bureaucrats either to close or
to restructure their agencies. In this regard,
the reform of the bureaucracy is like a long-
term investment.
The one-time cost is that associated
with dealing with the incumbent bureaucrats.
The benefit is from better institutions that
last for generations. Using this simple
framework, we analyze various strategies of
reform of the bureaucracy. The focus is on a
delegation strategy that grants incumbent
bureaucrats the decision rights to initiate and
to benefit from reform. It involves a
temporary relaxation of monitoring of
bureaucrats. Under certain conditions such a
decentralized strategy of reform can be
successful. An implication of the analysis is
an explanation of why in Indonesia and also
many countries, a surge in corruption co-
exists with reforms. Corruption in these
cases is a result of loosened control of
bureaucrats upon whom the autonomy of
reform is granted. This explanation is in
contrast to conventional views of corruption,
which are concerned with only static
bureaucracy rather then the reform of it.
Indonesia has been struggling with
these kinds of barrier. However,
Government has a great bureaucracy reform
as a road map of it. Indonesia‘s government
has a long terms objective of this reform
from 2005 till 2020. So we have to be
patient and focus on the reform to get a best
result come from the best practice.
As a comparison, here is
description of administrative reform in Arab
countries to consider that reform has been
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
31
implementing in all over the world. Every
country especially in developing countries
has been trying to cope with this kinds of
reform.
5. Civil Service Reform as One of
Indonesia’s Administrative Reform
To adapt to globalization, the
Indonesian government has to improve the
structure of its bureaucracy, both in terms of
enhancing the quality of government
employees and developing a modern and
efficient system. The development of human
resources would improve the quality of
services provided to citizens. This task is
currently especially significant in Indonesia
as the country is confronting a variety of
new developments, such as democratization
and decentralization.
Indonesia has a large number of
civil servants: approximately 3.74 million,
or 1.7% of the 2005 population. This figure
represents a decrease from 1974, during the
early years of the so-called New Order
Government (1966–98), when the ratio was
about 2.1% of the population. These ratios
are similar to those of other countries in the
region, such as India (1.2%), Pakistan
(1.5%), the Philippines (2.1%), and Vietnam
(3.2%) (Schiavo- Campo, 1998).Table 2
shows the number of civil servants at
different levels of government. Recently
there are growth in number of civil servant
in Indonesia. Indonesia‘s civil service
consists of some 4.6 million people. Of this,
about 500,000 are police and military,
leaving some 4 million civilian civil service.
At about 2 percent of the population, this is
small compared to Indonesia‘s South East
Asian Neighbors, although it is about at par
with other low or low-middle income
countries such as China and India. In
addition, a large but unknown number of
civil service workers are not registered as
such.
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
32
Dis tribution of PNS /CPNS Bas ed on Education and s ex Back ground - Mei 2010
Education Male % Female % Total
SD 104.530 4,08 6.286 0,29 110.816
SLTP 132.476 5,17 17.877 0,82 150.353
SLTA 971.663 37,95 721.452 33,21 1.693.115
Diploma 1 29.387 1,15 52.918 2,44 82.305
Diploma 2 270.851 10,58 439.253 20,22 710.104
Diploma 3 195.006 7,62 252.580 11,63 447.586
Diploma 4 7.708 0,30 4.021 0,19 11.729
Strata 1 774.784 30,26 648.454 29,85 1.423.238
Strata 2 66.483 2,60 27.029 1,24 93.512
Strata 3 7.195 0,28 2.519 0,12 9.714
Total 2.560.083 100,00 2.172.389 100,00 4.732.472
Source: National Personnel Agency, 2010
6. Lack of Salary as an Evidence of Civil
Service In Indonesia
At the same time, even though the
number of civil servants in Indonesia is
equivalent to only about 1.7 percent of the
total population, the quality of government
employees is low. This is partly an outcome
of the unattractive salary system. To attract
effective, efficient, and uncorrupt
government employees, they need to be
provided with appropriate salaries and
benefits. Appropriate compensation will not
only have an impact on staff turnover and on
employees‘ productivity and quality of
work, but will also reduce tendencies for
civil servants to engage in corrupt practices.
Salaries for Indonesian civil
servants are determined by the level of
responsibility, the type of job, and the cost
of living. The salary system for government
employees in Indonesia is classified as a
combination scale system, because it
combines the single scale system and the
double scale system. Under a single scale
system, employees at the same rank receive
the same salary regardless of the type of job
and the level of responsibility. Under a
double scale system, salaries are determined
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
33
based on employees‘ level of responsibility
and type of job. Job performance is not
generally taken into account. Under the
combination scale system, some civil
servants might have significantly higher
salaries than their colleagues at the same
rank.
It is the fact that Indonesia‘s salary
structure is moving toward an egalitarian
system, with the result that most of the best
graduates from well-known and high-quality
universities are not keen to become
government employees. Moreover, the low
salaries tend to encourage wrongdoing and
illegal activities, such as accepting bribes
and asking for compensation for services
provided. In Institutional approach, the
UNDP can describe civil service The United
Nations Development Programme (2003)
describes civil service reform as developing
the capacity of the civil service to fulfill its
mandate by addressing such issues as
recruitment, promotion, pay, number of
employees, and performance appraisal, and
this still constitutes the bulk of national
programs concerned with public
administration reform. Civil service reform
has historically focused on the need to
contain the costs of public sector
employment through retrenchment and
restructuring, but has broadened to focus on
the longer-term goal of creating a
government workforce of the right size; with
the appropriate mix of skills; and with the
correct motivation, professional ethos, client
focus, and accountability (United Nations
Development Programme, 2003).
Furthermore, in a report for the
Indonesian government, the World Bank
(2001, p. 10) indicates that ―the civil service
reform strategy should include changes to
the incentive system, size of the civil
service, recruitment, performance
management, remuneration, and probity.‖
Indonesia is planning to launch a number of
promising initiatives in these areas. For
example, pilot reform initiatives are planned
for the ministries of Finance and Education,
including a new merit-based pay initiative
under Teacher Law No. 14/2005. If
successful, these initiatives could be scaled
up to the national level. In addition, an
independent remuneration commission will
advise on pay scales and on modernizing the
pay structure for senior officials; a review of
the legal framework for the civil service is
ongoing; a number of subnational reform
initiatives are taking place in Yogyakarta,
Jembrana in Bali, Solok in West Sumatra,
and elsewhere; and a cabinetlevel unit to
help implement reforms is planned (World
Bank, 2006).
It is very important to the leader to
cope with, since the 1980s, many countries,
including Asian countries, have engaged in
major efforts to promote administrative
reform, focusing on the openness,
transparency, and accountability of
government administration. All countries,
regardless of their economic situation or
stage of development, need good
governance. For some Asian countries this
became particularly important after the 1997
Asian financial and economic crisis.
In Indonesia, following the fall of
the New Order Government in 1998, a
political movement emerged that pursued
reforms in relation to politics, the economy,
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
34
the judicial system, and public
administration. Law no. 22/1999 on
Decentralization and Law no. 43/1999 on
Civil Service Administration opened up
possibilities for public service reform in
Indonesia, but the country still has a long
way to go in relation to having a high-
quality civil service. Since the 1980s, many
countries, including Asian countries, have
engaged in major efforts to promote
administrative reform, focusing on the
openness, transparency, and accountability
of government administration. All countries,
regardless of their economic situation or
stage of development, need good
governance. For some Asian countries this
became particularly important after the 1997
Asian financial and economic crisis.
In Indonesia, following the fall of
the New Order Government in 1998, a
political movement emerged that pursued
reforms in relation to politics, the economy,
the judicial system, and public
administration. Law no. 22/1999 on
Decentralization and Law no. 43/1999 on
Civil Service Administration opened up
possibilities for public service reform in
Indonesia, but the country still has a long
way to go in relation to having a high-
quality civil service. As with any reforms,
strong and determined, since the 1980s,
many countries, including Asian countries,
have engaged in major efforts to promote
administrative reform, focusing on the
openness, transparency, and accountability
of government administration. All countries,
regardless of their economic s ituation or
stage of development, need good
governance. For some Asian countries this
became particularly important after the 1997
Asian financial and economic crisis.
In Indonesia, following the fall of
the New Order Government in 1998, a
political movement emerged that pursued
reforms in relation to politics, the economy,
the judicial system, and public
administration. Law no. 22/1999 on
Decentralization and Law no. 43/1999 on
Civil Service Administration opened up
possibilities for public service reform in
Indonesia, but the country still has a long
way to go in relation to having a high-
quality civil service. As with any reforms,
strong and determined leadership is very
urgent one.
7. Civil Service Organization.
The civil service system is captured
in Laws 8/1974 and its revision of Law
43/99. The civil service is managed by a
civil service board), which keeps all records,
and has to give approval to all appointments
above a certain rank. All changes in the civil
servant‘s position have to be confirmed by a
change letter from BKN. Indonesia‘s civil
service has a dual system of positions. Every
civil servant has a rank (Golongan, ranging
from 1a to 4d) and of position. The positions
can be structural (Eschelon IVb-Ia)—mainly
managerial, although it includes some high-
level advisors, or functional, for instance
lawyer, teacher. There is no formal job
classification in the civil service. Entry ranks
are mainly determined by education level,
and increases in rank are largely driven by
seniority—with a maximum rank depending
on the entry level of the civil servant. Civil
service reforms have lagged behind other
reforms. Four constitutional changes, new
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
35
election laws, decentralization laws, laws on
the independent judiciary, and laws on
anticorruption and the anti-corruption
commission all signify progress on the
―reformasi‖ agenda.
But despite the passage of a new
civil service law in 1999 (Law 43/99) and
decentralization of more than 2/3 of the
central civil servants to the regions, the
structure and values have remained largely
unchanged. The system and philosophy
underpinning the Indonesian civil service is
not only outdated, the performance of the
civil service is sub-standard in a rapidly
changing society.
The key question is not whether the
civil service has the right size compared to
other countries or if the present positions in
the establishment are filled. The recent Civil
Service Census conducted by the Civil
Service Agency (BKN) revealed that there is
an urgency for a thorough review of the
system. The census counted roughly 3.6
million civil servants, but the state budget
operates with slightly less than 4 million. In
other words almost 400,000 civil servants
that were registered on the payroll do not
work for the state. However in 2011, the
number of civil servant has increased to be
4.7 million. What about the budge it? This
could remain more than the number of civil
servant. Reformation is a must to have a
better public personnel size and budgeting.
In September 2011, the government
of Indonesia will release policy reform in
terms of Moratorium Civil servant. The
moratorium will be followed by the signing
of a joint decree between the state minister
for Administrative Reforms and the Finance
and Home Affairs ministers. Recently, in
order to temporarily stop civil workers
recruitment, three ministers signed a Joint
Ministerial Decree (SKB) on the moratorium
on civil servant recruitment at the Vice
Presidential Office. The moratorium will be
effective September 2011 to December 31,
2012 but there would still be exceptions for
selected areas or positions. The number of
civil servants in Indonesia at present is
recorded at 4.7 million, or about 1.98
percent of the country‘s
population.(www.kompas.com, 25 Agustus
2011)
The objective of this policy is to
reduce the government‘s budget for civil
servants‘ salary by 30 to 50 percent. The
current portion is 50 to 70 percent. It is also
to streamline the bloated size of its
4.7 million employee corps as part of its
efforts to improve its bureaucracy‘s
efficiency, effectiveness and productivity.
By this policy— according to Finance
Minister Agus Martowardojo ―the
government wants to have a better control of
the effectiveness of its personnel
expenditure and increase the quality and
productivity of civil servants in accordance
with the criteria of bureaucratic reform.‖
The government will continue to carefully
control on personnel expenditure and focus
on improving the quality of civil servants. If
the required quality and the right corps size
are achieved, the productivity of civil
servants will automatically increase.
Civil servant reform should also be
placed in determining the institution which
administering them. In Indonesia, We still
find that public institutions in charge of civil
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
36
servant affairs unclear. There are two bodies
split the management of the civil service.
The Ministry of Administrative Reform
(MenPan) is responsible for regulations
governing the administration of the country.
It carries out this function mainly through
policy pronouncements and ministerial
decrees which go largely ignored by the rest
of the bureaucracy. The National Civil
Service Agency – Badan Kepegawaian
Nasional (BKN) is formally responsible for
implementing the civil service law by
issuing guidelines on hiring and firing and
promotions, and regulating the size of the
civil service. The Ministry of Finance plays
an important role, as its budget allocations in
effect determine the size of the civil service.
The Ministry of Home Affairs carries a great
deal of weight with decentralized
administrations in their management of the
civil service. In recent time, the government
is still making a process for having Civil
Service Commission for coping the need for
further reform.
8. ChallengesinAdministrative reform
in terms of Bureaucracy and Civil
Service
In many developing countries,
administrative reform especially in
bureaucracy and civil service for decades
ago has been a great effort to achieve.
However, there are some significant barriers
in their on going process. The author agree
with some scholars that administrative
reform in developing countries has been
implementing for such a long time but little
result occurred. These phenomena came to
surface do to lack of awareness of their
actors in political institution and also
executive institution. Administrative reform
actually is a new thing for some developing
countries due to their newly state
independence. They just have administrative
heritage from their colonials.
Further, arguably, it is easy to
change structure and functions of
administrative institutions but no for their
culture, behavior and values. It would need
much more time to adapt new things such as
many reforms come from outside. External
pressures for reform whether that is good for
the developing countries, the result can not
fully achieved. Culture and value of reforms
should firstly be in hand of the actors of the
states then move to their society. So, the
―good of administrative reform‖ can
eventually be achieved but need more time
and good political interest from the elites of
government.
In terms of bureaucratic reform,
there are some good reforms occurring in
many developing countries. Internally,
quality, neutrality, capability and other
bureaucrat capabilities have been
established. However, these indicators have
usually be intervened by the power of
politicians and actors who has power. We
can find also the resistant of some
bureaucrats due to their afraid of loosing
authority that they have as a special power
vis a vis politician and the society.
Other obstacle of bureaucracy
reform is about ―soul of competition‖ for
providing goods and services. They usually
act as the owner of services, citizen is just an
object that depend on them. This paradigm
should eventually eliminated by reform not
revolution. However, accelerating
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
37
bureaucracy for having soul of competition
is by looking to the live of private sector
organization and powerful forces of
globalization. Then elevate by the
responsible actors both politicians and
executive as a good regime.
Many Arabian and Asian countries
have great deals for reforming their
bureaucracy. They focused on institution,
administrative and human resources.
Institution reform has been implemented by
vary. For example, they eager to
downsizing, strengthening and streamlining
organization coped with the need for
effective and efficient objectives. In terms of
business process, they have been
implementing some strategy such as
privatization and partnerships in achieving
bureaucracy goals. Further, reform in human
resources is in very huge efforts by giving
access to training ground, education and
comparative studies. However, those three
will not give a significant impact if the
government leadership does not back up in
terms of policy and program. Further,
government actors should pay more
attention in hindering their vested interest.
Their intervention for political interest will
face the reform in a set back.
Critics to bureaucracy and service
servant reform can be mention in terms of:
1. Ministry concern as leader for reform
2. Demand management and behavior
change. Public services (provided by all
sectors) are universally terrible at
understanding their customers and
shaping their behaviour. So, we have to
pay more concern for this matter.
3. Many have tried and many have failed.
But effecting real change in the way
turning navel-gazing ‗policy-making‘
into real delivery and challenging the
notion of Civil Service ‗independence‘
would be a bold brushstroke that
showed the rest of the sector the
political leader is up for change.
4. Quality and consistency. Localism and a
supply shake-up are important - so is the
citizen expectation of a decent deal from
public services wherever they live.
5. Strategy: I see a lot from the
government that is poorly thought
through in terms of basic strategic
planning. This condition make the
reform is not in the right track.
In Indonesia there are some
significant efforts regarding these three
reforms. Releasing sub ministry for
bureaucracy reform is one significant effort.
Then this ministry has a long terms road
map for reforming bureaucracy. Hopefully,
the reform will always in a right tract and no
change direction do to regime change, as
two years to come Indonesia will have a
great political recruitment.
Civil service reform is a specific
reform as administrative and bureaucracy
reforms have taken place. Many developing
countries as Indonesia, have given a great
effort to reform state human resources.
Starting with the step of recruitment,
training, carrier opportunities, and
retirement, they have done in cycling.
However, they still face significant problems
such as quality and quantity of their civil
servant. In quantity, for example Indonesia,
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
38
the comparison between civil servant and the
society is still imbalance. There are almost
4.8 million civil service that should provide
services to more than 240 million citizens.
Further in quality, there are some lack of
skills and also behavior. Another obstacle is
about the imbalance quality and quantity
between regions. There are some differences
between civil service in west region and east
region of Indonesia. However the very
important thing is that civil service should
be neutral, skillful and have a good salary to
protect them in a negative trap of corruption,
collusion and nepotism as a bad performance
of civil servant for such a long time. Good
skills is not enough, there are more
important matters than skills, those are
moral, ethics and mentality.
9. Conclusion
To sum up, it is generally agreed
that a competent civil service has the
following challenges as characteristics:
it is merit-based and politically neutral;
it is well-structured, ―right-sized‖, and
well-paid;
it is accountable, professional, and
generally free of corruption;
it is relatively autonomous, responsive,
and representative;
it is well-trained, performance-oriented,
and relatively open..
All of these competent factors is
well defined in a blue print. However, in
practice this heavily depends on regime or
political leadership policy and also the civil
society awareness to ask and monitor the
regime to commit to the reform.
Further, if it is not a panacea, but
reform in a best way may run well on the
near future. Linking bureaucracy and civil
service reform to other ongoing public sector
reforms is a win-win agenda. The reform
reaches across government and is a key to
improved service delivery. We also consider
that Indonesia has an aging civil service
population. This provides the opportunity for
right-sizing through smooth retirement
schemes. It also presents opportunities to
start the implementation of transparent
recruitment, tailor job descriptions to tasks,
and rework conditions for incoming civil
servants. However, road map of
administrative reform released by the regime
of reform era in terms of bureaucratic and
personnel reform should be promoted and
keep on going program. There is no instant
policy reform for resulting best
administrative reform. Indonesia Vision on
Road map of bureaucracy reform till 2020
should be supported by all elements to have
a result. Whether occurring in a slow or fast
growth of reform, the phenomena should be
continued. To sum up, many developing
countries have been implementing
administrative reform in terms of their
bureaucracy and civil servant. However, the
reform is in one step behind compared to the
developed countries. It is so called they are
still in Weber‘s stage of reform which focus
on effectiveness and efficiency. It‘s a kind of
a long and winding road of Indonesia‘s
administrative reform.
References:
BidhyaBowornwathana,1994,
Administrative Reform and Regime
Shifts: Reflections on The Thai
Polity, Asian Journal of Public
administration, Vol. 16, No. 2.
December 1994, pp. 152-164
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
39
Blandine Bouniol, 2005, Consultant, and
Catherine Laurent, Senior Public
Sector Management Specialist,
MNSED (November 2005).
Duisburg-EssenJreisat, Jamil E., 1988,
Public Administration and
Development, Vol. 8, 85-97 (1988),
Administrative reform in
developing countries: a comparative
perspective
Farazmand,Ali
(Ed.),2002,AdministrativeReformin
Developing Nations, Praeger
Publishers, The US.
Haidy,Alix,and Lia,
http://www.impower.co.uk/en/five-
challenges-for-genuine-public-
service-reform, the UK.
Downloaded 17 April 2012
Heruanto,Agus. 2007, LOCAL PUBLIC
ADMINISTRATION REFORM:
An Empirical Study of Local
Government Reform in Indonesia
during the Local Autonomy
Implementation (1999-2004)
HADNA, ,
Gesellschaftswissenschaften
Fakultät der Universität
Nick Pearce andChris Nicholson and
Andrew Haldenby,
http://www.ethosjournal.com/home/
item/259-public-service-reform,
Downloaded 17 April 2012
Painter, Martin, 2004, The Politics of
Administrative Reform in East and
Southeast Asia: From Gridlock to
Continuous Self-Improvement?
Governance: An International
Journal of Policy, Administration,
and Institutions, Vol. 17, No.
3,July2004 (pp. 361–386).
Blackwell Publishing, 350 Main
St., Malden
Pelgrims, Christophe, 2007, The Impact of
Politicians on Administrative
Reform Processes? Analyzing the
Introduction and Implementation of
Mandates for Top Civil Servants,
Leading the Future of the Public
Sector: The Third Transatlantic
Dialogue University of Delaware,
Newark, Delaware, USA May 31–
June 2, 2007
Prijono Tjiptoherijanto,2007, Civil Service
Reform in Indonesia ,
International Public Management
Review electronic Journal at
http://www.ipmr.net Volume 8
Issue 2.
Susanto Basu dan David D. Lee, 2000, A
Theory of the Reform of
Bureaucratic Institutions. Jakarta.
United Nations Development Programme,
2003, Publication Report on
Countries reform.
World Bank, 2005, Civil service has so far
shunned change,
http://web.worldbank.org
World Bank, 2006, Indonesia Publication
Report.
www.kompas.com, 25 Agustus 2011
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
40
KEADILAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM
Stef. Alam Sutardjo Ketua STISOSPOL ―Waskita Dharma‖ Malang
Abstract
The effort of up hold the law in create of justice in this state is sleep. Manny presssing case
show the fact, the process of justice has value, in doing his work, the up hold the law can not a s a
justice holder. The judicative of reformation versus oportunism of agency.
Keyword :Up hold law institution, justice
1. PENDAHULUAN
Kasus pemerasan oleh penegak hukum
menunjukkan jalan mewujudkan keadilan di
negeri ini semakin terjal. Terungkapnya
beberapa kasus pemerasan memperjelas
fakta, keadilan dalam proses peradilan ada
harganya. Dalam menjalankan tugasnya,
aparat penegak hukum tidak selalu bisa
berperan sebagai penegak keadilan.
Reformasi peradilan berhadapan dengan
oportunisme aparat.
Perilaku ―memeras‖ sering
diidentifikasikan preman. Polisi, jaksa,
hakim dan pengacara sebagai pilar keadilan
masyarakat sering bertindak melampaui
batas-batas kemanusiaannya. Hal ini
disebabkan oleh hukum dan keadilan yang
bisa dihargai dengan uang. Seberapa besar
uang yang ditukarkan dengan keadilan
mempengaruhi seberapa besar keadilan yang
didapat. Para pencari keadilan akan sulit
mendapat jaminan hukum yang adil bila
dalam saat yang sama tidak memmiliki uang
sebagai alat tukar.
Kini kita ada dalam gejala venalitas
cukup parah. Hukum, politik, birokrasi,
jabatan dan moralitas dihargai dengan uang.
Materialisme menjangkiti semua ranah
kehidupan dan menembus segala hal yang
dulu dipercaya tidak bisa dibeli dengan
uang. Dalam masyarakat sendiri lalu lahir
kata-kata, apa sih yang tidak bisa adilakukan
dengan uang? Masyarakat tahu, berapa
‖harga keadilan‖ bagi pelanggar lalu-lintas,
maling ayam, pengedar narkoba, pemerkosa,
hingga koruptor.
Inilah tantangan terbesar reformasi
peradilan dan sistem hukum kita. Gejala
venalitas sudah menjadi perilaku kehidupan
yang sedikit demi sedikit mulai dianggap
biasa. Gejala venalitas melahirkan ironi pada
hukum kita, yang sering disebut imunitas
(imunity). Seseorang akan merasa kebal
hukum bila memiliki kekuasaan untuk
membelinya. Segala sanksi atas pelanggaran
hukum bisa dibeli karena sudah ada
harganya.
Keadilan menjadi barang dagangan,
dipajang di ―supermarket hukum‖. Para
pencari keadilan yang tidak memiliki
kekuatan untuk membeli hukum akan
menjadi korban. Dalam tradisi hukum ini,
seseorang akan melakukan segala cara untuk
mendapatkan imunitas dan membeli sanksi
atas pelanggaran.
Para penguasa negeri ini sering
berlomba mencari imunitas karena merasa
dirinya memiliki kekuasaan untuk berbuat
segala sesuatu. Mengingat politik sering
berdiri diatas segala keputusan hukum, maka
hukum tidak bisa berada dalam zona netral.
Tentu saja, karena disana terdapat
pertukaran kepentingan.
Kekebalan atas hukum melahirkan
kekebalan yang amat menyebalkan. Praktik
hukum tak ubahnya orang membelah bambu,
injak yang bawah dan selamatkan yang atas.
Para mafia dan ―pialang keadilan‖ mondar-
mandir mencari mangsa.
(www.kompas.com/kompas-
cetak/0601/20/opini/2381567.htm - 40k,
diakses 4 Januari 2014 pkl. 14.00 wib).
2. Kajian Pustaka
Upaya Hukum untuk Mewujudkan
Keadilan di Tengah Reformasi Peradilan
Dalam kehidupan bermasyarakat
sebuah aturan sangat dibutuhkan untuk
mewujudkan ketertiban, keamanan,
ketentraman, serta tercapainya keadilan di
tengah masyarakat. Hal ini merupakan salah
satu fungsi hukum yang harus dikedepankan
secara bersama-sama di setiap sendi
kehidupan umat manusia. Kita tidak hanya
berpegang pada aturan yang yang dibuatoleh
penguasa namun juga harus kembali kepada
nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat.
Kehidupan tidak hanya untuk kepentingan
pribadi namun lebih mengarah kedalam
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
41
aspek bersama atau lebih dikenal dengan
hidup berjama‘ah.
Menurut Benny Susetyo
(http:www.freelist.org/archives/ppi/09-
2005/msg00394.html, diakses 4 januari 2014
pkl. 14.05 wib.), bahwa jual beli perkara
sudah merupakan fakta sosial dan hukum
yang dihadapi dalam reformasi peradilan.
Dalam kondisi demikian, mengembalikan
wibawa hukum tidak bisa hanya dengan
mengganti aparatur. Jauh lebih mendasar
adalah menegasikan semua budaya venalitas
dan upaya imunitas yang dilakukan
segelintir orang di negeri ini. Dalam sistem
hukum yang sehat akan terdapat penegak
hukum yang sehat pula. Dalam sanubari
penegak hukum yang sehat juga ada jiwa
keadilan yang sehat. Akhirnya, tujuan
hukum adalah untuk menciptakan
kemakmuran. Kemakmuran akan tercipta
bila ada keadilan.
Mengadili siapapun yang bersalah
sesuai hukum merupakan langkah awal yang
harus ditempuh agar tidak ada lagi orang
yang mempercayai faktor imunitas.
Menghargai fungsi, peran, dan jati diri yang
dimiliki aparat hukum adalah cara utama
untuk kembali menegakkan supremasi
keadilan dan mengenyahkan moral venalitas
dalam hukum kita.
Agus Riewanto (2007:1)
mengatakan bahwa masalah penegakan
hukum menjadi titik sentral yang diharapkan
mampu menjadi motor penggerak
dimulainya kebangkitan nasional Indonesia
di semua bidang. Negara kita pernah
mempunyai tokoh-tokoh yang penuh
dedikasi berjuang menjadikan negara
bangkit dari belunggu penjajah. Saat ini kita
teramat merindukan lahirnya para penegak
hukum yang memiliki dedikasi seperti para
penggerak lahirnya Boedi Oetomo. Mengapa
demikian? Karena hari-hari ini publik kita
begitu rendah tingkat kepercayaannya
(public distrust) pada institusi hukum karena
tidak mampu menjalankan imperatif hukum
secara serius dan berpegang teguh pada
prinsip-prinsip moral-keadilan.
Tengoklah belakangan ini, hukum
tidak memihak pada keadilan. Bahkan lebih
banyak menyisakan duka dan kekecewaan
publik tatkala melihat proses jalannya
prosedur hukum. Ratusan bahkan ribuan
kasus kejahatan teruma korupsi melibatkan
kekuasaan politik dan uang dilepas begitu
saja (SP-3). Tapi terhadap kasus kejahatan
yang menimpa rakyat jelata dan miskin
relasi uang dan kekuasaan justru diburu
untuk ―dibunuh‖ dengan baju hukum.
Ini menunjukkan sebuah realitas,
bahwa hukum hanya tegas pada rakyat
jelata, tetapi tumpul dan bergeming pada
uang dan kekuasaan. Hukum kita, hari ini
seolah telah mendengungkan lonceng
kematiannya. Persis seperti unkapan Hugo
Black (156), ―there can be no equal justice
where the kind of trial a man gets depen on
the amount of he has‖; (tak akan pernah
tercapai keadilan jika keadilan masih
didasarkan pada besar kecilnya uang yang
didapat).
Hukum berideologi uang juga
mencerminkan betapa institusi hukum
(peradilan) kita tengah mempraktekkan
hukum berideologi uang bukan kebenaran
ilmu, commen sense dan rasa keadilan
masyarakat. Gejala praktek hukum
berideologi uang ini mirip seperti yang
disinyalir olej sosiolog Ignas Kleden (2004)
yang mempopulerkan istilah venalitas
(vernality), yakin gejala dimana uang bisa
digunakan untuk membayar dan membeli
hal-hal secara substansial tak mungkin bisa
dibeli dengan alat tukar uang.
Termasuk membeli hukum dan
keadilan. Hukum dan keadilan amat
bergantung pada uang. Sikap mental
materialisme yang bertumpu pada uang ini,
kini menjadi idiologi para pekerja dan para
pengabdi hukum kita (hakim, jaksa, polisi
dan advokat). Sehingga budaya venalitas ini
terus memasuki ruang-ruang yang dulu
mungkin tak dapat dan tak lazim dibeli
dengan uang. Hukum dan keadilan idealnya
tak bisa dibeli dengan uang, namun
realitasnya uang menjadi alat tukar dan daya
tawar utama.
Wajarlah bila banyak institusi
hukum (peradilan) dalam dan luar negeri
yang mengkritik lemahnya moralitas
lembaga-lembaga hukum kita, salah satunya
dituturkan oleh Price Waterhouse Coopers
dan British Institute of International and
Comparative law, 2001, serta Asian
Development Bank 2002, dalam final Report
of The Governance Audit of The Public
Prosecution Service of The Republic of
Indonesia, yang menuturkan, bahwa institusi
hukum adalah institusi demokrasi Indonesia
yang paling lamban dalam upaya
mereformasi diri.
Di titik inilah membangkitkan
institusi hukum (khususnya peradilan) dari
ketepurukannya memperoleh momentum
tepat dengan pertama-tama mendorong
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
42
aparat hukum (polisi, jaksa, dan hakim) dari
intervensi kekuasaan eksekutif. Karena
harus diakui bahwa lemahnya kinerja aparat
hukum selama ini dalam menuntaskan aneka
bentuk pelanggaran hukum, teruma kasus-
kasus korupsi adalah karena lemahnya dan
tak kuasanya di hadapan uang dan
kekuasaan eksekutif (dari Presiden,
Gubernur hingga Bupati/Walikota). Faktor
inilah yang menyeret institusi ini ke jurang
nestapa, sehingga tak tegas menjalankan
imperatif substansi hukum, yakni keadilan.
Agenda pembaruan berikutnya,
ialah perlunya pengawas internet dan
eksternal di institusi penegakan hukum
(polisi, jaksa, hakim dan advokat), seperti
inspektoral jenderal, komisi Kepolisian
Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan
(Koja), Komisi Yudisial (KY) dan Dewan
Etik Advokat didorong untuk memiliki
keberanian dan ketegasan dalam menindak
para polisi, jaksa, hakim dan advokat
―nakal‖ yang memperjual-belikan hukum
dan keadilan dengan sanksi yang tegas dan
mengikat secara hukum.
Ini penting dilakukan sebab
pengawasan tanpa diiringi dengan
keberanian memberi sanksi sama maknanya
dengan pengawasan ―banci‖. Kendati untuk
menuju kearah keberanian komisi ini untuk
melakukan proyek reformasi institusi hukum
harus diiringi dengn kontrol masyarakat sipil
dan media massa secara intensif.
Yang tak kalah pentingnya dari
agenda kebangkitan dalam penegakan
hukum ini adalah mendorong reformasi
moral. Karena menurut Harkristuti (2004)
reformasi hukum jauh lebih utama bila
dimulai dari reformasi moral, ketimbang
peraturan dan pengawasan verbal. Karena
itu, maka aneka komisi itu dan masyarakat
sipil perlu terus mendorong lahirnya
keteladanan moral dari pimpinan puncak
institusi hukum (Kapolri, Jaksa Agung, dan
Ketua MA).
Cara ini diharapkan akan meretas
ke polisi, jaksa dan hakim di tingkat lebih
rendah (Provinsi, Kabupaten/Kota, dan
Kecamatan). Sehingga publik dapat segera
menjumpai aparat-aparat hukum yang
profesional dan bermoral di semua ranah
publik (desa dan kota). Bangkitnya aparat
hukum dari perilaku buruknya, akan
mencerminkan kebangkitan penegakan
hukum dan kelak lamban tapi pasti
rakyatpun akan segera bangkit untuk
mempercayai (trusty) aparat hukum dalam
mengawal geraknnya roda keadilan.
Disinilah ditemukan relevansi kebangkitan
nasional dengan kebangkitan penegakan
hukum di negeri ini.
(http://www.ham.go.id/index_HAM.asp?me
nu=artikel&id=911, diakses 4 januari 2014
pkl.14.30 wib).
Upaya Pencapaian Keadilan sebagai
Tujuan Hukum dalam Perspektif Filsafat
Hukum
Satjipto Rahardjo (13/02/2007:1)
mengatakan dalam jagat hukum, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan
Agung, Markas Besar Kepolisian Negeri RI
tampak bagai bangunan besar yang
menjulang tinggi. Namun, dalam jagat
ketertiban, semua mengerut menjadi kecil.
Para Hakim Agung, Jaksa Agung, Kepala
Polri menyusut menjadi manusia kecil.
Dalam jagat hukum, hukum tampak perkasa
melalui kekuasaanya untuk membuat
peraturan, menyuruh orang patuh, dan
menghukum mereka yang tidak mematuhi
hukum. Dia sudah hegemonial. Yang ingin
dikatakan adalah dalam jagat ketertiban,
hukum hanya menempati satu sudut kecil,
bersama berbagai kekuasaan normatif yang
lain. Jagat ketertiban lebih luas dan alami
serta tidak hanya dihuni hukum atau orde
hukum. Karena jagat ketertiban juga
meliputi jagat keadilan. Lagi-lagi, orde
hukum tidak memonopoli keadilan. Hukum,
pada dasarnya hanya menghasilkan keadilan
formal atau legal, tetapi belum tentu
keadilan substansial. Keadilan substansial
bisa muncul dan diberikan di banyak tempat
lain, tidak (hanya) di pengadilan negara.
Maka, meski bernegara hukum, kita
dihadapkan jagat ketertiban dan jagat
keadilan yang jauh lebih luas dan
substansial. Meski demikian, harus diakui,
orde hukum memiliki banyak kelebihan,
seperti legalitas, birokrasi, fasilitas
pendukung, dan aparat profesional. Meski
demikian, dalam jagat ketertiban, hukum
harus berkompetisi dengan berbagai
kekuatan normatif lain yang menghuni jagat
ketertiban yang sama.
Dalam masa-masa krisis ketertiban
seperti sekarang, kita pantas memberi
perhatian terhadap fenomena itu. Kendati
Indonesia adalah sebuah negara hukum, itu
tidak sekaligus berarti hukum memonopoli
kekuasaan. Para ekonom mengatakan, dalam
krisis yang melanda Indonesia sejak akhir
tahun 1998, institut ekonomi yang besar dan
formal, seperti perbankan dan industri
mengalami pukulan berat, tetapi ―ekonomi
rakyat‖, ―ekonomi gurem‖, justru tidak.
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
43
Institut-institut inilah yang justru yang tetap
berjalan dan membuat Indonesia bertahan
(survive).
Apa yang terjadi dalam ekonomi,
mutatus mutandis, juga terjadi dalam
hukum. Jika hukum dibaca media, orang
bisa berkesimpulan, Indonesia sudah ambruk
(collapse). Negeri ini sudah berubah menjadi
belantara karena suatu kehidupan yang
penuh ketertiban berubah menjadi medan
yang kacau (chaotic). Jika orang tidak puas
terhadap suatu keputusan, pengadilan
dirusak. Diruang sidang kadang sudah
disiapkan barisan yang akan mengintimidasi
hakim yang berani menghukum terdakwa.
Suatu keputusan yang sudah baik, dengan
berbagai alasan, akan dimintakan banding
dan jika belum puas, dimintakan kasasi.
Akhir-akhir ini, media
menyuguhkan ―perseteruan‖ antar sesama
lembaga pengadilan. KPK, Tim Tastipikor,
yang dengan semangat tinggi melawan
korupsi, digugat eksistensinya, ingin
dirobohkan. Konflik antara MA dan Komisi
Yudisial menjadi konflik terbuka dan lain-
lain lagi. Mengapa Indonesia tidak ambruk?
Karena rakyat diam-diam menyadari, ia
tidak dapat hidup dalam kekacauan dan
karena itu tidak mau negara hukum dan orde
hukum ini ambruk. Inilah ―kekuatan gaib‖
yang menopang kelangsungan hidup
Indonesia hingga kini. Meski hukum dan
lembaga hukum berantakan, rakyat masih
percaya kepada orde hukum. Maka, selama
rakyat masih menaruh kepercayaan keadaan
akan ―baik-baik saja‖. Jadi kini hukum
bukan berjalan karena ia adalah hukum dan
karena itu harus dipatuhi, tetapi karena
rakyat masih memiliki kepercayaan (trust).
Disaat rakyat masih memiliki
kepercayaan terhadap hukum untuk
mencapai keadilan, ternyata ditemukan
permainan uang (venalitas) dimana-mana,
termasuk di pengadilan, kejaksaan,
kepolisian, dan dunia advokat. Dengan
padat, Sebastian Pompe (2005)
menyimpulkan, hal-hal yang yang baik dan
mulia dalam hukum pada masa lalu kini
telah merosot. Menurut Pompe, yang
melakukan penelitian lumayan cermat,
kemerosotan itu digambarkan melalui kata-
kata courage turned to ccowardice,
capability to incompetence, integrity to
structural corruption, and respect to
contempt. Konstatasi Pompe hanya dapat
dilawan dengan mengajukan bukti-bukti
nyata yang sebaliknya dan ini rasanya sulit .
(http://www.reformasihukum.org/konten.ph
p?nama=pemilu&op=detail_politik-
pemilu&id= 129, diakses 5 januari 2014
pkl.10.30 wib).
Oleh karena, keadilan merupakan
salah satu tujuan hukum yang paling banyak
dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah
filsafat hukum. Telah disebutkan
sebelumnya, bahwa tujuan hukum memang
tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian
hukum dan kemanfaatan. Idealnya, hukum
memang harus mengakomodasikan
ketiganya. Putusan hakim, misalnya, sedapat
mungkin merupakan resultante dari
ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada
yang berpendapat, diantara tiga tujuan
hukum itu, keadilan merupakan tujuan
hukum yang paling penting, bahkan ada
yang berpendapat merupakan tujuan hukum
satu-satunya (Darmodiharjo & Shidarta
2004:155). Oleh karena itu, pencapaian
keadilan juga diperlukan produk hukum
yang bisa dilaksanakan oleh aparat penegak
hukum dan institusi hukum (peradilan) serta
masyarakat dengan baik.
Jadi, pembuatan suatu produk
hukum menurut Zulhesni (2005:1), tidak
hanya memandang dari segi yuridisnya saja.
Artinya pembentukan sebuah produk hukum
yang harus ditetapkan namun juga harus
memandang aspek filosofis dan aspek
sosiologis. Kedua aspek ini, tentu bertujuan
supaya hukum mengakar serta diterima oleh
masyarakat. Pertimbangan terhadap aspek
filosofis dan aspek sosiologis akan mendapat
respon hukum dari masyarakat, mereka tidak
akan memandang hukum sebagai
kepentingan, namun masyarakat akan
menyadari makna dari kebutuhan hukum
tersebut.
Produk hukum responsif adalah
produk hukum yang mencerminkan rasa
keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.
Dalam proses pembuatannya memberikan
peranan besar dan partisipasi penuh
kelompok-kelompok sosial atau individu
dalam masyarakat. Hasilnya akan bersifat
respon terhadap kepentingan seluruh
elemen, baik dari segi masyarakat ataupun
dari segi penegak hukum. Hasil dari produk
hukum tersebut mengakomodir kepentingan
rakyat dan penguasanya. Prinsip check and
balance akan selalu tumbuh terhadap
dinamika kehidupan masyarakat.
Lawan dari hukum responsif adalah
produk hukum konservatif atau hukum
responsif yang merupakan produk hukum
yang isinya mencerminkan visi sosial elit
politik, lebih mencerminkan keinginan
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
44
pemerintah, bersifat positif instrumentalis,
yakni menjadi alat pelaksana idiologi dari
program negara. Berlawanan dengan hukum
responsif, hukum konservatif lebih tertutup
terhadap tuntutan-tuntutan kelompok
maupun individu-individu dalam
masyarakat. Dalam pembuatannya peranan
dan partisipasi masyarakat relatif kecil
(Moh. Mahfud dalam Zulhesni, 2005:1).
Dalam realita masyarakat Indonesia
pembentukan produk hukum konservati
relatif lebih mudah dan lebih gampang
dilakukan. Walaupun dalam pensahannya
mendapat pertentangan ataupun melalui
perdepatan panjang yang akhirnya lahir
produk hukum dalam bentuk konservatif.
Kenyataan ini akan menimbulkan reaksi dari
yang merasa deskriminasi terhadap kelahiran
sebuah produk hukum tersebut. Atau ada
juga produk hukum yang bertentangan
dengan produk hukum yang ada diatasnya.
Hal ini sudah banyak terjadi di Indonesia,
kasus-kasus judicial review merupakan bukti
nyata terhadap adanya sebuah aturan yang
dianggap diskriminasi atau peraturan
tersebut bertentangan dengan peraturan yang
ada diatasnya, pengajuan judial review
terhadap peraturan yang lebih rendah apabila
bertentangan dengan peraturan dengan yang
lebih tinggi merupakan salah satu bukti
lahirnya produk hukum yang konservatif.
Polemik bahwa produk hukum
tersebut merupakan produk hukum
konservatif terlihat bahwa hukum itu
berpihak pada kelompok tertentu atau
kepada kepentingan tertentu, artinya
terjadinya aturan yang berlaku dalam
masyarakat bukan atas kehendak atau
keinginan dari masyarakat namun lebih
tertuju terhadap kepentingan politik dari
para pembuat aturan tersebut maka lahirlah
apa yang dinamakan produk hukum
konservatif. Salah satu produk hukum yang
juga dianggap konservatif adalah undang-
undang terorisme dimana ini
mengesampingkan azas-azas hukum yang
lain serta mengesampingkan Hak Asasi
Manusia.
Untuk mengkalkulasikan apakah
produk hukum tersebut responsif atau
konservatif, ada indikator yang bisa dipakai
dalam penilaian sebuah produk hukum
tersebut. Penilaian yang dipakai adalah
proses pembuatannya, sifat hukumnya,
fungsi hukumnya, fungsi hukum dan
kemungkinan penafsiran terhadap pasal-
pasal dari produk hukum terssebut. Produk
hukum yang berkarakter responsif proses
pembuatanya bersifat partisipasif, yakni
mengundang sebanyak-banyaknya
partisipasi semua elemen masyarakat, baik
dari segi individu, ataupun kelompok
masyarakat. Kemudian dilihat dari fungsi
hukum yang berkarakter responsif tersebut
harus bersifat aspiratif yang bersumber dari
keinginan atau kehendak dari masyarakat,
produk hukum tersebut bukan kehendak dari
penguasa untuk melegitimasikan
kekuasaannya. Sehingga fungsi hukum bisa
menjadi nilai yang telah terkristal dalam
masyarakat.
Kemudian dilihat dari segi
penafsiran produk hukum yang berkarakter
responsif tersebut biasanya memberikan
sedikit peluang bagi pemerintah untuk
membuat penafsiran sendiri melalui berbagai
peraturan pelaksana dan peluang yang
sempit itupun hanya berlaku untuk hal yang
bersifat teknis, bukan dalam sifat pengaturan
yang bertentangan dengan aturan yang ada
diatasnya.
Pembangunan hukum responsif ini
harus disertakan dengan masyarakat yang
responsif pula. Karena pilar utama dari
penegakan hukum ada dalam diri
masyarakat. Masyarakat responsif adalah
masyarakat atau komunitas yang lebih
tanggap terhadap tuntutan warganya dan
mau mendengarkan keluhan serta keinginan-
keinginan warganya. Masyarakat jenis
responsif ini adalah masyarakat yang dalam
mengungkap dan menegakkan nilai-nilai
sosialnya, tujuan-tujuannya, kepentingan-
kepentingannya tidak dilakukan dengan
melalui cara paksaan akan tetapi cenderung
dilakukan dengan cara penyebarluasan
informasi, pengetahuan dan komunikasi.
Konsekwensinya, dalam memecah masalah-
masalah sosial, politik, ekonomi, budaya,
dan hankamnya terutama dilakukan dengan
cara-cara persuasif dan dengan memberikan
dorongan, bukannya unjuk kekuasaan atau
bahkan melembagakan budaya kekerasan.
Kenyataan ini menunjukkan betapa
pentingnya pembangunan hukum responsif
harus diiringi dengan masyarakat responsif.
Tuntutan untuk mengagendakan
urgensi pembangunan hukum responsif,
tersebut secara teoritas juga dilandasi oleh
suatu asumsi bahwa hukum, selain dapat
dipergunakan sebagai tool ofsocial control
juga seharusnya dipergunakan sebagai tool
of social engeneering yang akan menuntun
perubahan-perubahan sosial dan cita hukum
masyarakat bersangkutan. (M. Abdul
Kholiq, Jurnal Hukum dan Keadilan) Dalam
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
45
perspektif konstitusional misalnya, hukum
responsif yang aspiratif dalam arti
mengakomodir segala kepentingan
masyarakat banyak dan dengan demikian
juga berarti bahwa hukum tersebut bersifat
melindungi (sosial defence), menemukan
legitimasinya dalam UUD 1945.
Bahwa sesungguhnya pada
pembukaan UUD 1945 dalam konteksnya
dengan hukum mengandung empat nilai
dasar yang merupakan law frame yang harus
diperhatikan dalam pembangunan hukum di
Indonesia. Pertama, hukum itu berwatak
melindungi (mengayomi) dan bukan sekedar
berisi muatan norma imperatif (memerintah)
begitu saja. Kedua, hukum itu mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Keadilan
sosial disini bukan semata-mata sebagai
tujuan, akan tetapi sekaligus sebagai
pegangan yang konkrit dalam membuat
peraturan hukum. Ketiga, hukum itu adalah
dari rakyat dan mengandung sifat
kerakyatan. Keempat, hukum adalah
pernyataan kesusilaan dan moralitas yang
tinggi baik dalam peraturan maupun dalam
pelaksanaannya sebagaimana diajarkan
didalam ajaran agama dan adat rakyat kita
(M. Abdul Kholik). Keseiringan antara nilai
hukum dengan keadaan masyarakat
menjadikan hukum tersebut berpihak serta
melindungi masyarakat. Maka untuk
tercapainya sebuah keadilan akan lebih
mudah.
Dalam mencapai tatanan hukum
responsif ini paradikma hukum kita juga
harus diubah. Tujuannya adalah agar
kepentingan politik sesaat tidak selalu
ditonjolkan, yang terjadi dalam era reformasi
sekarang ini adalah bahwa pembuatan
sebuah produk hukum akan selalu
ditonjolkan kepentingan politik. Makanya
untuk membangun sebuah produk hukum
yang responsif arah perpolitikan Indonesia
harus disertai dengan politik bermoral
dengan tujuan kebersamaan untuk
masyarakat. Kalau selama ini banyak partai
politik yang menonjolkan kepentingan
partainya maka masa yang akan datang arah
politik tersebut lebih menjurus terhadap
kepentingan rakyat. Karena kita sadari
bahwa hukum merupakan produk dari
politik, kalau politiknya baik maka akan
menghasilkan produk hukum yang baik,
kalau politiknya buruk akan melahirkan
produk hukum yang akan menyengsarakan
rakyat.
Untuk masa yang akan datang
dalam proses perubahan serta reformasi
yang kita hadapi peran masyarakat sangat
dibutuhkan untuk menegakkan hukum,
apalagi saat ini banyak para elit politik yang
mengatasnamakan rakyat namun untungnya
adalah untuk elit politik sendiri, mudah-
mudahan kita membangun responsif demi
kepentingan bersama. Apabila pembangunan
huku responsif terwujud maka budaya
hukum masyarakat akan datang dengan
sendirinya. Karena dengan produk hukum
yang dihasilkan secara responsif maka
lahirnya aturan itu adalah kehendak bersama
masyarakat bukan kehendak dari para
pembuat kebijakan.
(http://freelist.org/archives/ppi/09-
2005/msg00394.html, diakses 4 Januari
2014 pkl.14.05 wib).
Oleh karena itu, upaya pencapaian
keadilan yang didukung oleh masyarakat,
aparat penegak hukum dan peradilan yang
melaksanakan produk hukum dengan baik
dapat dilakukan dengan cara melaksanakan
dua prinsip keadilan. Seperti yang dipaparka
oleh Rawls (dalam Darmodiharjo &
Shidarta, 2004 : 164-165) bahwa
kecenderungan manusia untuk
mementingkan diri sendiri merupakan
kendala utama mencari prinsip-prinsip
keadilan itu. Apabila dapat menempatkan
diri pada posisi asli itu, manusia akan
sampai pada dua prinsip keadilan yang
paling mendasar, sebagai berikut.
Prinsip kebebasan yang sama sebesar-
besarnya (principle of greatest equal
liberty). Menurut prinsip ini setiap
orang mempunyai hak yang sama atas
seluruh keuntungan masyarakat.
Prinsip ini tidak menghalangi orang
untuk mencari keuntungan pribadi
asalkan kegiatan itu tetap
menguntungkan semua pihak. Huijbers
memberi contoh, apabila dengan
kegiatan pribadi saya dapat
memperoleh keuntungan 100, dan
jumlah itu, teman saya mendapat 20,
sedangkan saya 80, maka hal itu tetap
dianggap adil. Lebih baik kita semua
mendapat untung daripada tidak ada
untung sama sekali. Priyono menyebut
beberapa prinsip kebebasan dalam hal
ini adalah kebebasan untuk berperan
serta dalam kehidupan politik (hak
bersuara, hak mencalonkan diri dalam
pemilihan); kebebasan bebicara
(termasuk kebebasan pers); kebebasan
berkeyakinan (termasuk berkeyakinan
agama); kebebasan menjadi diri sendiri
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
46
(person); hak untuk mempertahankan
milik pribadi;
Prinsip ketidaksamaan, yang
menyatakan situasi perbedaan sosisal
ekonomi) harus diberikan aturan
sedemikian rupa sehingga paling
menguntungkan golongan masyarakat
yang paling lemah (paling tidak
mendapat peluang untuk mencapai
prospek kesejahteraan, pendapatan, dan
otoritas). Rumusan prinsip kedua ini
sesungguhnya merupakan gabungan
dari dua prinsip, yaitu prinsip
perbedaan (difference principle) dan
persamaan yang adil atas kesempatan
(the principle of fair equality of
opportunity).
Berdasarkan prinsip kebebasan dan
prinsip ketidaksamaan tersebut maka hakim
harus memberikan putusan terhadap suatu
perkara yang benar-benar adil sehingga
penegakan keadilan tercipta. Keadilan
(Gultom, 2003:31 dalam Henuk) diartikan
sebagai suatu kondisi dimana setiap orang
bisa melaksanakan hak dan kewajiban
secara, bertanggung-jawab dan bermanfaat.
Konsepsi keadilan berakar dari kondisi
masyarakat yang diinginkan. Secara analitis,
keadilan dapat dibagi dalam komponen
proseduril dan substantif, atau keadilan
formil dan keadilan materiil. Komponen
prosedural atau keadilan formil,
berhubungan dengan gaya sistem hukum,
seperti ―rule of law” dan negara hukum
(rechsstaat), sedangkan komponen
substantif atau keadaan materiil menyangkut
hak-hak sosial dan menandai penataan
politik, ekonomi di dalam masyarakat.
Oleh karena itu, hukum memiliki
tujuan untuk mewujudkan tertib masyarakat
yang damai dan adil. Jika ketertiban umum
harus merupakan ketertiban hukum, maka
ketertiban umum itu haruslah merupakan
suatu keadaan tertib yang adil, sesuai
pengertian keadilan sebagai substansi dari
tertib hukum dan ketertiban hukum,
sehingga fungsi utama dari hukum pada
akhirnya adalah untuk menegakkan
keadilan. Adil tidak adilnya hhukum
ditentukan oleh sikap yang diambil terhadap
hubungan antara hukum dan keadilan.
Pelaksanaan hukum dan penerapan hukum
yang adil mengandung arti yang sama bagi
setiap orang dan yang berjalan sesuai dengan
peraturan dan asas-asas hukum, ini
tergantung pada struktur sosial yang adil,
yaitu masyarakat yang ciri khasnya tidak
terdapat perbedaan kekuasaan yang besar
dan yang tidak diatur oleh hukum, dalam
aneka ragam bentuk dan variasinya
(Kusumah, 1981:26 & 126 dalam Henuk).
Jadi, penegak hukum diharapkan
oleh masyarakat mampu menjembatani
idealisme equality before the law menjadi
terwujud dalam realitas, artinya suatu kaidah
normatif yang menjadi muatan dalam
perundang-undangan dan diandalkan
menjadi kekuatan perekayasa di tengah
masyarakat menuntut kompetensi penegak
hukum yang melaksanakannya secara jujur
dan terbuka (trial and fair). Penegakkan
hukum yang benar dan adil harus bertitik
tolak dari postulat peradilan,
kemasyarakatan, kepatutan. Hanya
penegakan hukum yang mengandung nilai-
nilai peradapan dan kemanusian dan
kepatutan yang dapat mencapai kebenaran
(trust) dan keadilan (justice). Penegakan
hukum bukan semata-mata menegakkan
perturan perundang-undangan dan hukum
saja, tetapi harus ditujukan untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan (to
enforce the truth and justice), alasannya
adalah sesuatu yang legal (wetmatig) belum
tentu rechvaardig (justice); sesuatu yang
rechmatig (lawful) belum tentu rechvaardig
(justice). Akan tetapi sesuatu yang sesuai
dengan nilai-nilai peradapan dan
kemanusian dan kepatutan, pasti
mengandung nilai-nilai kebenaran dan
keadilan (Harapan, 1997: 421-422 dalam
Henuk,
http://www.freelists.org/archives/ppi/07-
2006/msg00302.html, diakses Sabtu, 5
Januari 2008 pkl.10.35 wib).
Kesimpulan
Berdasarkan paparan diatas dapat
disimpulkan, sebagai berikut: (1) Jual beli
perkara sudah merupakan fakta sosial dan
hukum yang dihadapi dalam reformasi
peradilan. Dalam kondisi demikian,
mengembalikan wibawa hukum tidak bisa
hanya dengan mengganti aparatur. Jauh
lebik mendasar adalah menegasikan semua
budaya venalitas dan upaya imunitas yang
dilakukan segelintir orang; (3) Karena itu,
membangkitkan intitusi hukum (khususnya
peradilan) dari keterpurukannya dengan cara
mendorong aparat hukum (polisi, jaksa dan
hakim) dari intervensi kekuasaan eksekutif;
(4) Jadi, keadilan merupakan salah satu
tujuan hukum yang paling banyak
dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah
filsafat hukum sehingga tujuan hukum
memang tidak hanya keadilan, tapi juga
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
47
kepastian hukum dan kemanfaatan; (5)
Berdasarkan prinsip kebebasan dan prinsip
ketidaksamaan maka hakim harus
memberikan putusan terhadap suatu perkara
yang benar-benar adil sehingga penegakan
keadilan tercipta.
Daftar Rujukan
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, 2004.
Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa
dan Bagaimana Filsafat
HukumIndonesia. Cetakan kelima.
Jakarta: SUN.
Intenet
Henuk, Yusuf Leonard.
(http://www.freelists.org/archive/pp
i/07-2006/msg00302.html, diakses
5 Januari 2014 pkl.10.35 wib).
Rahardjo, Satjipto. 13-12-2007. Dalam
Jagat Ketertiban.
(http://www.reformasihukum.org/k
onten.php?nama=pemilu&op=detail
_politik_pemilu&id=129, diakses 5
Januari 2014 pkl.10.30 wib).
Riewanto, Agust. 20 Mei 2007.
SuaraPembaharuan. Kebangkitan
dalam Penegakan Hukum-Refleksi
Hari Kebangkitan Nasional.
(http://www.ham.go.id/index_HAM
.asp?menu=artikel&id=911, diakses
4 Januari 2014 pkl.14.30 wib).
Susetyo, Benny. Venalitas dan Harga
Sebuah Keadilan.
(www.kompas.com/kompas-
cetak/0601/20/opini/2381567.htm -
40k, diakses 4 Januari 2014 pkl
14.00 wib).
Zulhesni. Selasa, 20 September 2005.
Produk Hukum dan Keadilan
Masyarakat.
(http://www.freelists.org/archive/pp
i/09-2005/msg00394.html, diakses
4 Januari 2014 pkl.14.5 wib).
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
48
PENINGKATAN PELAYANAN PUBLIK MELALUI REFORMASI BIROKRASI
DAN E-GOVERNANCE
Sukarti Arisa Rosita DPK di perbantukan pada STISOSPOL ―Waskita Dharma‖ Malang
Abatrak
Salah satu fungsi penyelengaraan pemerintahan yang dilakukan oleh aparatur
pemerintahan adalah pelayanan publik. Pada dasarnya penerapan ketatapemerintahan yang baik
adalah pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat. Untuk mencapai kecita -cita ideal
tersebut di pemerintahan perlu memperbaiki sistim birokrasi yang ada. Karena selama ini birokrasi
cenderung tidak seperti apa yang dihrapkan. Birokasi yang ada tidak bisa menciptakan efisiensi
dan efektifitas kerja, sehingga birokrasi sering dianggap menjadi pengambat untuk mencapai
tujuanpemerintahan. Pelayanan tertentu dibuat dan yang tidak kalah penting ialah hak untuk
didengar dan diperhatikan pendapat-pendapatnya. Namun, amat disayangkan sejumlah hak
pentimg ini, sering hanya ada dalam atas kertas. Di kebanyakan negara sedang berkembang (tak
terkecuali indonesia) hak-hak itu justru kerap ditelikung oleh birokrasi, bahkan dikebiri.
Kata kunci :pelayanan publik, reformasi birokrasi, e-governance
1. Pendahuluan
Pemerintahan di seluruh dunia pada
saat ini mengahdapi ―tekanan‖ dari berbagi
pihak untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik dan meningkatkan
partisipasi aktif dalam pemberian informasi
bagi masyarakat serta di tuntut untuk labih
efektif. Hal tersebut menyababkan
pemerintahan berbasis elektronik (e-
governance) semakin berperan penting bagi
semua pengambilan keputusan.
Pemerintahan Tradisional (traditional
government) yang identik denagn paper-
basedadministratian mulai ditingkatkan.
Transformasi tradisional government
menjadi elektronic government (e-
government) menjadi salah satu isu
kebijakan publik yang sangat dibicarakan
saat ini. Di Indonesia e-government baru
dimulai dengan inisiatif yang dicanangkan
beberapa tahun lalu. Tulisan ini mencoba
membahas definisi dan tujuan e-government
dan memberikan contoh praktek/kaidah
terbaik (best practice) yang telah dilakukan
oleh negara-negara di Eropa yang cukup
maju dalam penerapan e-government-nya.
Tantangan dan langkah yang harus di ambil
pemerintah di era globalisasi akan menadi
simpulan dalam tulisan ini.
Pengertian Pelayanan Publik
Kantor Pelayanan PAN, ―segala
bentuk pelayanan sektor publik yang
dilaksanakan aparat pemerintahan dalam
bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dan
peruturan perundang-undanagan‖.
Komisi Hukum Nasional : ―suatu
kejiwaan yang diberi oleh kontitusi atau
undang-undang kepada Pemerintahan untuk
memenuhi hak-hak dasar warga Negara atau
penduduk atas suatu pelayanan (publik)‖.
Standar Mutu Pelayanan Publik
Dalam arti yang seluas-luasnya,
peran penting yang dimainkan oleh para
penguna jasa pelayanan publik dalam rangka
menyempumakan kualitas pelayanan publik
dapat kita kategorikan sebagai upaya
pemberdayaan masyarakat (empowering
society). Sebagai mana barang,
jasa/pelayanan itu adalah merupakan sesuatu
yang dihasilakan artinya, ia adalah sesuatu
produk. Pelayanan di sektor publik
umumnya memiliki dimensi kualitatif, sebab
lahir dari rahim sisitem politik. Kendati
sukar unruk merumuskan dan mengukurnya
diantaranya karena sarat dengan nilai-nilai
politik dan ideologi sebernarnya telah ada
konsensus diantara para pakar bahwa pada
akhirnya hal itu akan ditentukan oleh para
penguna jasa pelayanan itu sendiri. Sesbab,
satu-satunya ukuran atas kuatitas pelayanan
publik adalah apakah ia
memberikankepuasan tertentu pada diri
konsumen. Maka kualitas kata Jackson dan
Palmer (1992:49), ialah persepsi konsumen
terhadap ciri-ciri dan yampil tertentu yang
dianggap ada pada sebuah pelayanan, dan
nilai-nilai yang mereka (konsumen) berikan
pada ciri-ciri dan tampilan tersebut. Jadi,
sebagi sebuah konsep, kkualitas pada
hakikatnya merupakan sesuatu nilai yang
dilihat dari sudut pandang mereka yang
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
49
dilayani, bukan hasil rekayasa dari mereka
yang memberikan pelayanan (Jackson and
Palmer, 1992:50). Salah satu tolak ukur bagi
pelayanan publlik yang baik ( good service)
dengan demikian adalah the ability to meet
the needs of each individual served (Matgon
and Bacon, 1996:361-362).
Pemerintahan dalam menjalankan
peranan sebagai abdi masyarakat atau
pelayan terhadap kepentinagn publik sudah
sewajarnya dan buhkan seharusnya
merupakan suatu keharusan apabila
mempunyai standard mutu bagi peranya itu,
namun standar mutu pelayanan publik ini
belum banyak ditetapkan instansi
pemerintahan oleh karena itu dalam rangka
peningkatan pelayanan publik berikut ini
adalah standar mutu pelayanan publik yang
diungkapkan oleh PP Otoda Universitas
Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya
Malang; (1) sistem dan prosedur pelayanan;
(2) waktu penyelesaian; (3) biaya; (4)
produk dan mutu; (5) sarana dan prasarana;
(6) kopetensi, sikap, perilaku pelayanan; (7)
jenis dan alsesbilitas pelayanan; (8)
konsistensi.
Indikator penyelengaraan
kepemerintahan yang baik (good
governance) ditentukan oleh
terselenggaranya kualitas mutu pelayanan
publik secara efektif, efisiwn, trasparan dan
akuntavel ( Retna Ngesti pratiwi, 2005).
Kualitas pelayanan publik
dipengaruhi oleh banyak faktor. Bebrapa
faktor dominan yang bisa disebutkan adalah.
Kebijakan publik ini adalah faktor yang
akan memepengaruhi lembaga
pelayanan publik dari segi sumber
keuanagan, teknologi dan sumber daya
organisasi lainya untuk sebuah lemabag
pelayanan publik.
Karateristik dan lingkungan dari
masyarakat itu sendiri. Karateristik yang
dimaksud berkaitan dengan tingakt
pendidikan, tingaktan pendapatan,
besaran masyarakat, heterogenitas,
konfigurasi serta nilai-nilai dan norma-
norma. Selain itu, faktor lingkuangan
seperti sisitem politik, pers yang bebas
atau tingkatan kesulitan dalam
mengases lembaga layanan publik, juga
merupakan faktor-faktor yang akan
mempengaruhi kualitas pelayanan
publik.
Kontrol pemerintahan terhadap
penyedia layanan publik.
Kepuasan masyarakat terhadap
pelayanan publik ialah sangat erat kaitanya
terhadap standar mutu pelayanan publik.
Kupuasan masyarakat adalah ujung akhir
dari setiap pelayanan publik adalah adanya
kepuasan masyarakat sebagai penerima
pelayanan pemerintah. Indek kepuasan
masyarakat (IKM) adalah sebagai berikut:
(1) kesederhanan prosedur; (2) kesesuaian
persyaratan; (3) kejelasan petugas
pelayanan; (4) kedisiplinan petugas
pelayanan; (5) kejelasan wewenang dan
tangung jawab; (6) keahlian dan ketrampilan
petugas; (7) kecepatan pelayanan; (8)
keadilan mendapatkan dan ketrampilan
petugas; (9) kesopanan dan keramahan; (10)
kewajaran biaya pelayanan; (11) kepastian
biaya; (12) kepastian jadwal pelayanan; (13)
kenyamanan lingkunan; (14) keamanan
pelayanan.
Cakupan Pelayanan Publik
Secara konseptual,
penyalalnggaraan pelayanan publik yang
ideal mengakomodasi: (1) partisispasi
masyarakat (publik participation); (2)
kontrol masyarakat (pablic control); (3)
dukungan masyarakat (public support); (4)
respon masyarakat (public respon).
Administrasi dan pelayanan publik
merupakan hak masyarakat, yang pada
dasarnya (prinsisp ini diambil dari pasal 41
the charter of fundamental right of european
union).
Memperoleh penanganan unsur-
usurnya secera tidak memihak, adil dan
dalam waktu yang wajar.
Hak untuk didengar sebellum tindakan
individual apapaun yang akan
merugikan dirinya diputuskan.
Hak atas akses untuk memperoleh
berkas milik pribadi dengan tetap
menghormati kepentinganya yang sah
atas kerahasiaan dan atas kerahasiaan
prefesionalitasnya.
Kewajiban pihak administrasi negara
untuk memberikan alasan-aslasan yang
melandasi keputusanya.
Memperoleh ganti rugi yang timbul
oleh lembaga atau aparatur
pemerintahan dalam menjalankan
tugasnya.
Berdasarkan asumsi diatas
pelayanan publik berarti tidak hanya
meliputi pelayanan administrasi umum,
tetapi meluas pada kebutuhan penyelesaian
sengketa oleh badan-badan peradilan,
perlindungan hukum, pemenuhan kebutuhan
akan hak-hak dasar seperti pendidikan,
kesehatan lingkuan hidup yang sehat, dan
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
50
lainya lebih luas pelayanan publik akan
meningkatkan investasi, pertumbuhan
ekonomi dan lapangan kerja (Sunaryati
Hartono, 2003:35). Pelayan publik dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu:
Pelayanan publik yang bersifat umum,
yaitu yang diberikan kepada siapa saja
yang membutuhkan pelayanan diberikan
oleh instansi publik yang diberikan
wewenang untuk itu, yang antara lain
meliputi: (a) pelayanan publik untuk
memperoleh dokumen pribadi yang
dapat berupa dokumen tentang jati diri
dan atau status seseorang dan dokumen
tentang pembuktian pemilikan
mengenai pemberian perijinan untuk
kegiatan ekonomi pribadi atau
kelompok.
Pelayanan publik yang bersifat khusus
yang timbul karenan adanya suatu
hubungan hukum yang bersifatnya
khusus di antaranya instansi publik
tertentu dengan publik tertentu. (Sri
Redjeki Hartono, 2003.)
Tujuan Pelayanan Publik
Melalui pelayanan publik yang baik
akan mewujudkan pemerintahan yang
baik.
Pelayanan publik yang baik sulit
diwujudkan pada pemerintahan yang
tidak demokratis, korup, dan tidak
memiliki kapasitas mewujudkan good
governance.
Sejumlah Masalah Dalam Pelayanan
Publik
Berdasarkan hasil setudi salah
satu kajian komisi hukum nasional mengenai
prosedur penyampaian keluhan publik‘,
diketahui bahwa permasalahn pelayanan
publik di Indonesia disebabkan oleh tidak
adanya standar minimum kualitas pelayanan
yang harus diberikan oleh setiap paratur
pemerintahan dalam menjalakan tugas dan
fungsinya. Beberapa peraturan perundang-
undangan Indonesia telah mengatur tentang
tugas dan tanggung jawab publik, namaun
tidak ada ssatu perundang-undangan tertentu
yang seccara khusus mengatur mengenai
pelayanan publik yang berisi ketentuan
minimum yang harus dipatuti dan dipenuhi
oleh instansi pelayanan publik.
Dilihat dari prespektif
governance, kelamahan yang paling
menonjol dalam birokasi pemerintahan
daerah adalah karaternya yang rule drive
atau rule following. Karater birokrasi
pemerintahan seperti ini jelas tidak cocok
dengan iklim kopetensi dan semangat
pengedepanan kepentingan publik dalam
program pelayanan publik. Ini tak lain
karenan sejak Indonesia merdeka hingga
sekarang. Akibatnya, implementasi
kebijakan pelayanan publik yang dijalankan
selama ini, selain berkecenderungan terlalu
birokratis, monoton (seragam) dan tidak
prefesional, adalah tidak kosisiten dan
kurang responsif terhadap opini publik
daerah. Pemerintahan daerah masa depan
jelas memebutuhkan birokrat-birokrat
daerah yang inovatif, mampu
mengimplememntasikan program-program
pelayanan publik secara kreatif seraya terus
mencari upaya solusi baru secara efisien.
Oleh karena itu perlu segera
diintroduksi sisitem peleyanan publik model
bisnis yang berorientasi pada kepentingan
konsumen dan memperluas akses mereka
pada sisitem pelayanan yang dikembangkan.
Hal yang disebut terakhir bisa dilakukan
dengan mempublikasikan rencana-rencana
kerja dan laporan-lapporan tentang kinerja
intansi secara teratur, membangun sistem
one stop service guna menyederhanakan
prosedur pengurusan berbagai perijinan atau
surat-surat (lihat Kingsley, 1996:13). Akan
ideal kalau hal itu bisa dibarengi dengan
surve yang mengatur derajad kepuasan
secara teratur dan dilakukan oleh sebuah
instansi yang independen.
PP Otoda Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya menyatakan bahwa
adanya beberapa masalah dalam pelayanan
publik, diantaranya adalah : (1) tidak adanya
insentif melakukan kebaikan; (2) buruknya
diskresi/inisiatif; (3) tingginya tingkat
ketergantungan kepada petunjuk pimpinan;
(4) budaya paternalis menempatkan
pimpinan sebagai prioritas; (5) rendahnya
etos kerja (nyambut gawe ngoyo-ngoyo
bayarane gak mundak, dipangan seminggu
entek).
Berkaitan dengan kinerja birokrasi
kita, secara mendasar masih terdapat
bebrapa masalah mendasar, sehingga
terkesan bahwa pengunjung tahun ini antara
lain.
Mentalitas mayoritas aparat birokrasi
belum berorientasi pada pelayanan
publik. Kondisi ini disebabkan masih
kuatnya mentalitas aparat publik yang
lain, sementara aparat publik yang baru
belum mampu mengubah budaya kerja
di unit kerjanya.
Pemerintah pusat belum ‗ikhsan‘
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
51
memberikan keleluasan pada birokrat
didaerah dalam upaya memacu
perkembangan daerahnya. Pada kasus
ini, pemerintah pusat slalu memonitor
dan menyupervisi perda-perda di tingkat
daerah. Nampaknya, pemerintah pusat
masih was-was dengan perkembangan
ditingkat daerah. Hal ini sangat kentara
sekalli saat kita mengamati polemik
seputar kewenangan Irwandi Yusuf dan
M. Nazar dalam pilkada gubernur
Nangroe Aceh Darusalam (NAD).
Birokrasi kurang berfungsi karena
peryataan visi dan misi yang tidak
konsisten. Daerah kurang mampu
membuat prioritas dalam mengekplorasi
potensi daerah. Akibatnya birokrasinya
kurang terfokus dalam memberikan
pelayanan publik.
Kepemimpinan birokrat yang lemah.
Birokrat di era reformasi cenderung
lentur seiring dengan demokratisasi
dalam masyarakat. Dengan demikian
gaya kepemimpinan tetap berperan di
sini. Kepemimpinan para birokrat kita
masih mengunakan konsep lama,
kurang fleksibel. Akibatnya, mesin
birokrasi juga kurang berfungsi dengan
baik.
Birokrasi di daerah masih berorientasi
ke dalam (jago kandang) sehingga
belum terbuka untuk bersaing dengan
daerah lain melalui inovasi, sehingga
memiliki nilai tambah. Problem
birokrasi seperti ini akan menghambat
kemajuan di daerah. Persaingan dengan
mengedpankan potensi yang dimiliki
daerah menjadi pemicu dan pemicu bagi
calan investor masih mengeluhkan
regulasi dan birokrasi dalam hal
perizinan yang dinilia amat merepotkan.
Upaya Meningkatkan Pelayanan Publik
Melalui Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi menjadikan
bagian penting dalam mewujudkan
pemerintahan yang baik dalam upaya
peningkatan pemerintahan yang baik dalam
upaya peningkatan kualitas pelayanan publik
dan pemberantas korupsi secara terarah,
sisitematis dan terpadu. ―selain itu reformasi
birokrasi harus dijalankan dengan
meningkatkan budaya kerja serta
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
para penyelengara negara terhadap prinsip-
prinsip pemerintahan yang baik,‖ (A.A. Gde
Agung, 2007:11)
Memang kita sudah sering
mendengar propaganda yang dilancarkan
oleh pemerintahan orde baru maupun
pemerintahan transisional Habibie yang
kurang lebih baik berkaitan dengan
reformasi birokrasi pelayanan publik,
bebrapa contoh, misalnya: kampanya
tentang pendayagunaan aparatur negara yang
bersih dan berwibawa, perang melawan
ekonomi biaya tinggi, gerakan efisiensi
nasional, gerakan penegakan disiplin
nasional, pelayanan prima (Surat Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
No. 6 tahun 1995) dan yang mutakhir
penyelengaraan negara yang bersih dan
bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (TAP
MPR RJ No.XI /MPR/1998). Namun, sejauh
ini, kesemua itu berupa retorika politik,
belum berdampak nyata pada publik karena
belum ada tindakan yang serius untuk
mengimplementasikanya. Lemahnya
institusi masyarakat madani semisal adanaya
lembaga konsumen bebas, di barengi dengan
lemahnya law enforcement yang bisa
berperan efektif dalam melindungi
kepentingan situasi di sektor pelayanan
publik, di tanah air kita. Kita sering
mendengar, membaca surat-surat pembaca
di berbagai surat kabar dan bahkan
menyelesaikan sendiri betapa masih
rendahnya respon birokrasi terhadap
kerugian-kerugian yang diketahui publik dan
konsumen. Padahal, dalam penentuan
kualitas suatu pelayanan publik apakah ia
bagus ataukah buruk hanyalah publik yang
dilayani itulah yang sesungguhnya dapat
menilai. Konsumen pula yang dapat menilai
dengan tepat bagaimana kinerja pelayanan
publik yang telah diberikan kepada mereka
(Clarke and Steward, 1987:34)
Beberapa peryaratan untuk
mendukung reformasi tersebut adalah
(Philipus M Hadjon, 1993:55): (1) berbasis
pada kedaulatan rakyat, dimana terdapat
ruang bagi rakyat untuk dapat berpartisipasi
dalam proses pengambilan politik yang
berorientasi pada konsesus rakyat; (2)
pembentukan kelembagaan yang sesuai
dengan kebutuhan, potensi, kondisi objektif,
dan karater sosial ekonomi dan budaya
rakyat; (3) perimbagan kekuasaan dalam
hubungan antara lembaga yang dapat
melakukan ceck dan balance; (4) pembagian
wewenang yang jelas diantara bidang-bidang
pemerintahan yang sesuai dengan tugas dan
fumgsinya, namun memiliki sinergi satu
dengan yang lian; (5) fungsi managemen
pemerintahan yang berdasrkan pada
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
52
rasionalitas, objeyektifitas, efektifitas,
efisiensi dan tranparansi; (6) lembaga
legislatif yang dapat
meningkatkankemampuanya dalam hal
melakukan fungsi kontrol, legislatif dan
perumusan kebijkan pemerintah; (7)
kemampuan lembaga legislatif untuk
menjalankan fungsi kontrol terhadap
eksekutif, dan fungsi legislasi yang
senantiasa didasarkan pada pemahaman dan
pengakuan terhadap heterogenitas dan
aspirasi rakyat; (8) visi, misi dan tujuanyang
jelas dalam menetapkan strategi kebijakan
pemerintah yang rasponsive terhadap
perubahan rakyat; (9) penetapan prinsip
akutabilitas dalam penyelengaraan
pemerintahan.
Beberapa persyaratan tersebut
dapat dijadikan sebagai parameter politik
dalam penyelengaraan pelayanan publik,
dimana harus ada perubahan paradigma
bahwa orientasi kerja birokrasi tidak lagi
pada organisasi tetapi kepada kebutuhan dan
kesejahteraan rakyat atau publik.
Akuntabilitas dan transparansi
pelayanan publik adalah hal yang sangat
penting dalam menyelengarakan pelayanan
publik, hal ini juga sangat penting dilakukan
dalam rangka menjalankan reformasi
birokrasi., Hendardi dari pengimpunan
Bantuan Hukum Indonesia (PHBI) dengan
makalah ―transparasi dan akuntabilitas
dalam negera Demokrasi Modern‖ pada
lokakarya ―Akuntabilitas Publik dan Ornop;
Isu dan Pelaksanaanya‖ di Yogyakarta
tanggal 14 Novembar 2001 mengatakan
bahwa setelah orde baru runtuh, kosa kata
―trasparansi‖ dan ―akuntabilitas publik‖
mulai dikenal dalam sistem kenegaraan kita.
Masyarakat mulai turut aktif mengontrol
pejabat penyelangaranan negara. Gelombang
reformasi tahun 1998 membuka ruang
kekuasaan negara, sehingga kini dapat
diakses oleh masyarakat. Didalam paham
negara hanya dapat bejalan efektif bila
program dan kebijakan pemerintah
dipaparkan secara transparan. Dengan
demikian rakyat dapat secara langsung dan
nyata menuntut pertanggungjawaban atau
akuntabilitas publik para penyalengara
negara, misalnya melalui pemberian pers
yang bebas dan pembentukan opini publik
pengembangan hukum untuk meningkatkan
pelayanan publik tidak lepas dari upaya
reformasi administrasi. Pelayanan publik
tidak hanya sepenuhnya diandalkan pada
adanya suatu peraturan perundang-undangan
yang menjadi landasan hukumnya, akan
tetapi perlu dilakukan reformasi administrasi
yang bermuara pada pembenahan birokrasi.
Reformasi administrasi meliputi: (1)
reformasi administrasi ditujukan untuk
memperbaiki birokrasi; (2) reformasi
birokrasi berkaitan dengan inovasi; (3)
perbaikan atas efisien dan efektifitas
pelayanan publik merupakan tujuan dari
reformasi administrasi; (4) urgrnsi reformasi
dijustifikasi dengan kebutuhan untuk
mengatasi ketidakpastian dan perubahan
dalam lingkungan organisasi (Mark Turner
and David Hulme, 1997:105).
Perilaku birokrasi dalam
memberikan pelayanan publik juga menjadi
perhatian utama dalam memperbaiki kinerja
pelayanan. Prinsip penting adalah adanya
akuntabilitas dan transparasi dalam
penyelenggaraan fungsi tersebut. Beberapa
persyaratan untuk mendukung reformasi
tersebut adalah: (1) berbasis pada kedaulatan
rakyat, dimana terdapat ruang bagi rakyat
untuk dapat berpartisipasi dalam proses
pengambilan kebijakan politik yang
berorientasi pada konsesus rakyat; (2)
pembentukan kelembagaan yang sesuai
dengan kebutuhan, potensi, kondisi objektif,
dan karakter sosial ekonomi dan budaya
rakyat; (3) perimbangan kekuasaan dalam
hubungan antara lembaga yang dapat
melakukan cek dan balance; (4) pembagian
kewenangan yang jelas diantara bidang-
bidang pemerintahan yang sesuai dengan
tugas dan fungsinya, namun memiliki sinergi
satu dengan lainya; (5) fungsi managemen
pemerintahan yang berdasarkan pada
rasionalitas, objektifitas, efektifitas, dan
transparasi; (6) kelembagaan legislatif yang
dapat meningkatkan kemampuanya dalam
hal melakukan fungsi kontrol, legislasi dan
perumusan kebijakan pemerintah; (7)
kemampuan lembaga untuk menjalankan
fungsi kontrol terhadap eksekutif, dan
legislasi yang sangat senantiasa didasarkan
pada pemahaman dan pengakuan terhadap
heterogenitas dan aspirasi rakyat; (8) visi,
misi, dan tujuan yang jelas dalam
menetapkan stategi kebijakan pemerintahan
yang responsive terhadap perubahan rakyat;
(9) penerapan prinsip akuntabilitas dalam
penyelengaraan pemerintahan.
Salah satu isu sentral yang sering
berkembang akhir-akhir ini adalah
bagaimana pemerintah dan lembaga
penyedia layanan publik (public
serviceprovider) maupun bersikap lebih
akuntabel terhadap masyarakat berkaitan
dengan pelayanan yang diberikanya. Jadi,
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
53
sebagai mana yang tercermin dari uraian di
atas, maka bisa mendenefisikan bahwa
akuntabilitas adalah kekuatan pengendali
yang mampu menciptakan dorongan
terhadap seluruh stakeholder yang terlibat
dan bertanggung jawab terhadap pelayanan
publik, serta untuk meyakinkan bahwa
proses produksi dan jasa berlangsung sesuai
dengan yang diinginkan.
Sektor pelayanan publik
berkembang dengan pesat, baik dalam arti
skala produksinya maupun diversitasnya.
Perkembangan ini tentu tidak bisa terlepas
dari adanya permintaan masyarakat yang
juga semakain meningkat. Imbas dari
perkembangan yang demikian pesat itu
adalah lehirnya kebutuhan baru yang tidak
akan bisa dikelola dengan baik oleh sisitem
akuntabilitas publik yang trasional. Sistem
akuntabilitas publik yang tradisional hanya
mengendalikan hubungan formal antara
legislatif, birokrasi pemerintahan dengan
lembaga penyedia layanan publik itu sendiri.
Dalam sistim akuntabilitas publik
yang modern, kontrol pemerintahan terhadap
lembaga penyedia layanan publik (berupa
sistim kontrol dan insentif) diperkuat dengan
dorongan dan kemempuan masyarakat
(public‟s willingness and ability) untuk
menemukan sumber-sumber pasokan
alternatif (exit) atau untuk mengelola protes
atau pressure (voice) apabila mereka merasa
tidak puas terhadap layanan yang ada.
Pendekatan akuntabilitas publik
menekankan pada hubungan-hubungan yang
terjadi antara tiga entitas masyarakat yang
selanjutnya disebut sebagai stakeholder.
Tiga entitas masyarakat tersebut adalah :
Pemimpinan pemerintahan dan
legislatif, sebagai pembuat kebijkan
publik sekaligus melakukan kontrol
hierarki untuk penyediaan layanan
publik itu sendiri. Dalam praktek sehari-
hari, kedua lembaga ini berfungsi
sebagai perencanaan sekaligus
pengawasan dan beroperasinya lembaga
pelayanan umum.
Lemabaga pelayanan umum, yaitu
lemabaga yang biasanya berbentuk
memproduksi dan menyediakan jasa
bagi masyarakat umum.
Masyarakat itu sendiri, baik sebagai
pemilik lembaga tersebut maupu
sebagai pengunan jasa yang diberikan
oleh lembaga pelayanan publik.
Upaya Meningkatkan Pelayanan Publik
Melalui E-Governance
Electronic government adalah
pemanfaatan teknologi secara optimal
kedalam pemerintahan, meliputi pengolahan
data, pengolahan informasi, sistem
manajegen dan proses kerja secara elektronis
dengan maksud agar pelayanan publik dapat
di akses secara mudah dan murah oleh
masyarakat di seluruh wilayah Republik
Indonesia. Penerapan e-government akan
meningkatkan transparasi, akuntabilitas dan
peran serta masyarakat dalam pembentukan
hukum, pelayanan hukum, dan penegakan
hukum karena mekanisme dan prosedur
menjadi sebih jelas, dan penegakan hukkum
karena mekanisme dan prosedur menjadi
lebih jelas. Hal ini dapat menjadi alat untuk
mengurangi praktek-praktek korupsi, kalusi
dan nepotisme di dalam pembangunan
bidang hukum. Namun sukses tidaknya
implementasi e-government tergantung pada
kemitraan antara pemerintahan, masyarakat
dan sektor swata, oleh karana itu fokus
penerapan e-government di arahkan pada
upaya peningkatan layanan pemerintahan
kepada kemitraan kepada masyarakat
sehingga masyarakat dapat memperoleh
akses keseluruh layanan pemerintahan dari
satu lokasi secara efektif dan efisien. (Retna
Ngesti Pratiwi, 2005:15)
Berdasarakan information
communikation and teknologi (ICT) adalh
merupakan salah satu solusi memperbaiki
birokrasi, untuk mencapai
ketatapemerintahan yang baik.
Dilikngkungan pemerintahan ICT dengan
sistem e-government, merupakan bentuk
manfaat teknologi informasi untuk
mendukung aktivitas-aktivitas pemerintahan,
maupun yang penting untuk memberikan
pelyanan yang prima dari pemerintah untuk
masyarakat. Semua aktivitas e-government
untuk mendukung terciptanya pemerintahan
yang bersih, transparan dan berwibawa.
Selain itu e-government
menjanjikan suatu hasil kerja efisien,
partisipasi pasip berkeadilan, demokrasi dan
yang terpenting lagi adalah Transparancy
dan accuntabillity, hal ini merupakan unsur
penting dalam ssitem aparatur negara
modern, yang dilandasi oleh derajat
rasionalisme yang tinggi. Pemerintah sendiri
sudah menyadari bahwa e-gov penting
dalam repormasi birokrasi dengan harapan
akan memberikan pelayanan yang lebih baik
kepada masyarakat, namun untuk
penerapanya memang tak mudah, karena
memerlukan proses tahapan seperti halnya
meningkatkan hasil kerja birokrasi.
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
54
Definisi dari Word Bank, e-
government adalah pengunaan teknologi
informasi oleh pemerintah (seperti : Wide
Area Network, internet dan mobile
computing) yang memungkinkan pemerintah
untuk mentransformasikan hubungan dengan
masyarakat, dunia bisnis dan pihak yang
berkepentingan. (www.wrodbank.org) dalam
prakteknya, e-government adalah pengunaan
internet untuk melaksanakan urusan
pemerintahan dan penyediaan pelayanan
publik yang lebih dan cara yang berorientasi
pada pelayanan masyarakat.
Secara ringkas tujuh yang dicapai
dengan implementasi e-governmen adalah
untuk menciptakan customer online dan
bukan in-line e-governmen bertujuan
memberikan pelayanan tanpa adanya
investasi pegawai instansi publik dan sistem
antrian yang panjang hanya untuk
mendapatkan suatu pelayanan yang
sederhana. Selain itu e-governmen juga
bertujuan untuk mendukung good
governmen. Pengunaan teknologi yang
mempermudahkan masyarakat untuk
mengakses informasi dapat mengurangi
korupsi dengan cara meningkatkan
transparan dan akuntabilitas lembaga publik.
e-governmen dapat memperluas partisipasi
publik dimana masyarakat dimungkinkan
untuk trlibat aktif dalam pengambilan
keputusan/kebijakan oleh pemerintah. e-
governmen juga diharapkan dapat
memperbaiki produktifitas dan efisiensi
birokrasi serta meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Adapun konsep dari e-governmen
adalah menciptakan interaksi yang ramah,
nyaman, transparan dan murah antara
pemerintah dan masyarakat (G2C –
government to citizens), pemerintah dan
perusahaan bisnis (G2B-government to
business enterptinship) dan hibungan antara
pemerintah (G2B-inter-agency relationship).
Inisiatif e-government di endonesia
telah diperkenalkan melalui intruksi
Presiden No. 6 tahun 2001 tanggal 24 April
2001 tentang Telekomunikasi, Media dan
Informatika yang menyatakan bahwa aparat
pemerintah harus mengunakan teknelogi
telematika untuk mendukung good
governance dan mempercepat proses
demokrasi. Lebih jauh lagi, e-government
wajib dikenalkan untuk tujuan yang berbeda
di kantor-kantor pemerintahan. Administrasi
publik adalah saslah satu area di internet
dapat digunakan untuk memnyediakan akses
bagi semua masyarakat yang berupa
pelayanan yang mendasar dan
mensimplefikasikan hubungan antara
masyarakat dan pemerintah.
E-government dengan menyediakan
pelayanan melalui internet dapat dibagi
dalam beberapa tinkatan yaitu penyediaan
informasi, interaksi satu arah, interaksi dua
arah dan transaksi yang berarti pelayanan
elektronik secara penuh. Interaksi satu arah
bisa berupa fasilitas men-download formulir
yang dibutuhkan. Pemrosesan/pengumpulan
formulir secara online merupakan contoh
interaksi dua arah. Sedangkan pelayanan
elektronik penuh berupa pengambilan
keputusan dan pembayaran (delivery).
Berdasarkan fakta yang ada pelaksanaan e-
government di Indonesia sebagian besar
barulah pada tahap publikasi situs oleh
pemerintahan atau baru pada tahap
pemberian informasi. Data Maret 2002
menunjukakan 369 kantor pemerintahan
telah membuka situs mereka. Akan tetapi 24
% dari situs tersebut gagal untuk
mempertahankan kelangsungan waktu
operasi karena anggaran yang terbatas. Saat
ini hanya 85 situs yang beroperasi dengan
pilihan yang lengkap ( Jakartapost, 15
januari 2003). Akan tetapi perlu digaris
bawahi bahwa e-government bukan hanya
sekedar publikasi situs oleh pemerintah.
Pemberian pelyanan sampai dengan tahap
full-electronic delivery servie perlu
diupayakan.
Situs-situs institusi publik di
Indonesia selain dapat diakses secara
langsung dapat diakses melalui entry point
lembaga publik Indonesia
www.indonesia.go.id yang merupakan
parpol nasional Indonesia. Dari situs ini
memperoleh informasi pengunjung juga
dapat mengakses secara langsung beberapa
situs institusi publik dan media. Beberapa
contoh implementasi e-governmant yang
mendominasi di seluruh dunia saat ini
berupa pelayanan pendaftaran warga negara
antara lain pendaftaran kelahiran,
pernikahan dan penggantian alamat,
perhitungan pajak (pajak penghasilan, pajak
perusahaan dan custom duties), pendaftaran
bisnis, perizinan kendaraaan dan sebagainya.
Sebagai studi komparatif, dapat
kita simak penerapan e-governmant di
negara-negara Uni Eropa. Uni Eropa
merupakan salah satu komunikasi yang telah
merencanakan e-government dengan sukses.
Hanya Canada, Singpura dan amerika yang
telah menggungguli Uni Eropa dalam area e-
government. Uni Erupa sendiri telah
memiliki official website yang cukup
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
55
modern dimana setiap masyarakat dapat
mengakses informasi terbaru dan kebijakan
serta dasar hukuam kebijakan pemerintah
tersebut. Pada waktu-waktu tertentu
masyarakat bahkan dapar berinteraksi
langsung dengan para pengambil keputusan
melalui fasilitas chatting
(www.europa.eu.int). Dengan parpolnya
yang sangat besar kapasitasnya, para warga
dapat melamar pekerjaan serta magang di
instansi tersebut. Masih bannyak lag fasilitas
yang diberikan melalui parpolnya. Untuk
memotivasi public service dalam
melaksanakan e-government, Europe
awards (www.e-europeawards.org) yang
dilaksanakan dalam rangka memfasilitasi
sharing experience dan mutual learning
antara anggota Uni Eropa. Selain itu e-
government di Erupa juga ditampilkan
dengan memberikan fasilatas akses langsung
ke parpol pemerintahan negara anggota dan
negara aplikan serta negara Eropa lainya.
Contoh best practice yang terdapat
dibelanda antara administrasi bea cukai yang
dapat dilakukan secara online sehingga
dapat dikontrol dan mengurangi kasus suap.
Di Inggris para warga negaranya dapat
melakukan aplikasi dan pembaharuan paspor
secara online. Sedangkan di Prancis,
pembayaran pembayaran kembali biaya
dikeluarkan untuk biaya pengobatan oleh
perusahaan asuransi telah dapat dilakukan
secara online. Pemerintahan daerah Bonn di
jerman saat ini menyediakan peleyanan
online berupa pendaftaran Taman Kanak-
Kanak. Melalui parpol online-nya
masyarakat dapat memperoleh informasi
mengenai seluruh TK di kota itu dan orang
tua murid dapat mendaftarkan secara
langsung untuk dihubungi melalui telepon.
Pemeran benchmarking process
dan best dissemination Uni Erupa telah
membuahkan hasil yang cukup fantastis.
Berdasarkan servei yang dilakukan oleh Cap
Gemini Ernest & Young terhadap penerapan
e-government di Eropa diperoleh bahwa 5
Negara (Denmark, Prancis, Italia, Swedia
dan Finlandia) telah berhasil menerapkan
pelayanan elektronik secara penuh untuk
beberapa jenis pelayanan seperti pajak
pendapatan. Survei tersebut juga
menunjukaan bahwa 86% pelyaan publik di
Uni Eropa telah tesedia secara online.
Selain itu suksesnya e-
government di Eropa merupakan kontrabusi
kebijakan publik yang sesuai denagn
karakteristik e-government itu sendiri. Soft
policy berupa kebijakan open method
coordination pada e-government Eropa yang
mulai dengan visi yang luas dan diikuti
dengan disemination, proses benchmarking,
monitoring berkala, evaluasi dan review
secara pasangan dan diorganisir sebagai
proses pembelajaran muatan terbukti sukses
dalam rangka melaksanakan e-government
di Eropa.
Mencermati uraian di atas dan
memperhatikan kondisi yang ada, penerapan
e-government di indonesia menghadapi
beberpa tantangan khususnya yang dihadapi
oleh organisasi pemerintah. Salah satu
diantaranya adalah masalah sumber daya
manusia yang belum memadai. Penerapan e-
government di indonesia menghadapi
beberapa tantangan khususnya yang
dihadapi oleh organisasi pemerintah. Salah
satu diantaranya adalah masalah sumber
daya manusia yang belum memadai.
Penerpan e-government di kantor-kantor
publik perlu didukung oleh pegawai yang
mengerti mengenai teknologi. Yang juga
didukuang oleh pegawai yang mengerti
mengenai teknologi. Yang juga diperlukan
adalah pegawai yang mau belajar dan
mampu menanggapi perubahan (manage
change). Teknologi informasi berubah
secara cepat sehingga kemauan belajar pun
dituntut untuk memiliki setiap pegawai
lembaga publik. Selain itu penerapan e-
goverment memerlukan perubahandalam
organisasi dan dukungan ketrampilan baru.
Uni Eropa sebagai salah satu komunikasi
yang telah berhasil menerapan e-
government- nya mendefinisikan e-
government bukan hanya sekedar pengunaan
teknologi informasi melalinkan ―pengunaan
teknologi informasi yang juga
dikombinasikan dengan perubahan
organisasi dan ketrampilan baru dalam
rangka memperbaiki pelayanan publik dan
proses demokrasi dan mendukung kebijakan
publik‖. Organisasi pemerintahan indonesia
perlu di tata ulang untuk menerapkan e-
government secara efektif. KKN yang
membudaya mempengaruhi kesiapan dalam
mempermudah akses publik melalui
informasi. Jika KKN tidak dientaskan
terlebih dahulu akan ada oknum yang akan
mempergunakan kesempatan dengan
mempersulit mendapatkan informasi.
Budaya korupsi perlu dihilangkan dalam
rangka meningkatkan pelayanan sehingga
kemudahan yang dicapai dengan e-
government dapat disediakan dengan tidak
menimbulkan ongkos ekonomi yang lebih
tinggi yang harus dibayar masyarakat.
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
56
Perlunya diciptakan budaya yang
menomorsatukan masyarakat dan budaya
melayani. Dengan kata lain e-government is
not just about technology but change of
culture.
Infrastruktur yang belum
memadai termasuk kekuranganya tempat
akses umum merupakan tantangan yang lain.
Penyediaan pelayanan melalui e-government
perlu didukung oleh tingkat penetrasi
internet yang tinggi baik dari rumah tangga
ataupun kios (stand) umum. Sebagai
gambaran pada tahun 2001 penetrasi internet
baru mencapai 1,9 juta penduduk atau
7,6persen dari total populasi indonesia. Pada
tahun 2002 dengan 667.000 jumlah pelangga
internet dan 4.500.000 pengunan komputer
dan telepun, persepsi pengunan internet di
indonesia sangat rendah. Tingkat penetasian
yang rendah ini juga merupakan suatu
kendala ( Asosiasi Penyelanggaraan Jasa
Internet Indonesia/APJII).
Sebagai perbandingan di Erupa,
walaupun belum merata di semua negara
Eropa, beberapa negara seperti Belanda,
Swedia dan Denmark internet akses pada
rumah tangga telah mencapai 60% persen
dimana rata-rata internet rumah tangga di 15
negara Uni Eropa sekitar 40%. Sementara
penetrasia intenet secara keseluruhan di Uni
Erupa telah mencapai 40,4% pada jini 2002
(Eurobarometer). Tidak dapat disangkal
bahwa angka-angka tersebut telah
memuluskan jalanuntuk suksesnya
implementasi e-government di Eropa.
Terbatasnya infrastruktur juga berhubungan
dengan terbatasnya anggaran pemerintah dan
maslah sosial lain seperti pemerataan dan
kependudukan. Keterbatasan pemerintah
untuk penyediaan tempat akses gratis bagi
masyarakat menjadi hambatan dalam
penyediaan pelayanan e-government secara
optimal.
Menghadapi tantangan diatas.
Pemerimtah kiranya perlu melakukan upaya
peningkatan kualitas SDM. Perlu diadakan
pelatihan bagi para pegawai pemerintah
mengenai teknologi. Karena teknologi
berubah secara cepat maka para
pegawaiperlu disiapkan juga dengan mental
yang mau belajar dan tanggap mengenai
perubahan. Sehubungan dengan mental
kendali kultural (cultural barriers) yang ada,
kesipan indonesia untuk menrapkan e-
government tergantung pada komitmen dari
pegawai publik untuk membangi informasi
serta memperlukan masyarakat seperti
―pelangan‖. Indonesia juga perlu menata
ulang organisasinya yang antara lain dapat
dilakukan secara berthap mengapus praktik
KKN yang berkontribusi pada kendala
budala dalam rangka pelaksanaan e-
government. Oknum-okknum yang
mengunakan kesempatan dengan mepersulit
mendapatkan informasi yang perlu dicegah.
Selain hal tesebut diatas perlu juga kiranya
dikaji atau policy di Indonesia. Kebijakan
untuk mengimplementasikan e-government
perlu suatu keseragaman dasar
hukum/maupun landasan pelaksanan yang
jelas. Selain kebijakan tersebut perlu
ditetapkan lebih lanjut dasar
hukum/petunjuk teknis penerapan e-
government atau cyber law.
Keuntungan yang diperloeh dari
e-goverment bukan hanya sekedar
menyediakan pelayana online tetapi lebih
luas dari pada itu, karena kinerja sektor
publik juga berkontribusi pada kemajuan
ekonomi dan sosial suatu negara. Di era
globalisasi penerapan e-government penting
karena telah memodernisasi pemerintah
publik di seluruh dunia dan juga hubungan
antara pemerintahan atau negara. Sebagai
tambahan selain contoh di Uni Eropa,
beberpa negara di Asia bahkan telah
mengunakan e-government –nya dalam
melaksanakan hubungan bilateral mereka.
Sajalan dengan tujuan yang ingin dicapai
cepat atau lambat Indonesia dituntut untuk
dapat menerapkan e-government. Pada saat
ini e-government merupaka suatu keharusan
dalam rangka menciptakan pelayanan publik
yang lebih baik.
Kesimpulan
Ditengah berbagai masalah dan
rintangan yang dihadapi pemerintah harus
menemukan pemecahannya agar tercipta
pelayanan publik yang lebih baik. Oleh
karena itu, kunci dari peningkatan kualitas
pelayanan publik adalah melalui reformasi
birokrasi, diantaranya adalah : (1) perlu
perubahan kultur yaitu, perubahan kultur
atasan-bawahan, penguasa-rakyat perlu
diubah kearah kesetaraan yang masing-
masing memiliki hak dan tanggung jawab
berdasarkan konstitusi dan peraturan
perundang-undangan; (2) organisasi
pelayanan yang bermutu dengan
menyelengarajan pelayanan publik (public
services); (3) sumber daya yang terampil dan
etis, aparat direkrut dari mereka yang tampil,
responsif, etis, bermoral agar menjadi
pelayanan yang visioner dan ahli; (4)
infratruktur yang memadahi dengan
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
57
pelayanan tidak bermutu bisa disebabkan
infratruktur yang buruk, infratruktur bagi
yang cacat, gagasan e-government menjadi
pilihan yang strategi; (5) sisitem dan
prosedur yang efektif, dengan sisitem
pelayanan satu atap perlu dievaluasi, karena
masih banyak keluhan, upaya perbaikan
perlu dilakukan melalui sistem dan prosedur
pelayanan dengan semangat
―debirokratisasi‖; (6) harus ada perubahan
paradikma bahwa orientasi kerja birokrasi
tidak lagi pada organisasi tetapi kepada
kebutuhan dan kesejahteraan rakyat,
penyelangaraan pelayanan publik tidak
hanya dapat digantungkan pada peraturan
perundangan semata; (7) perlunya peraturan
yang tegas terhadap pelyanan publik,
jaminan hukum, terwujudnya kontrol,
terwujudnya akuntabilitas, terwujudnya
transparasi, mencagah perilaku karup; (8)
penanganan kaluhan, perlu ditentukan
melalui peraturan perundang-undangan
bahwa semua kantor pemerintah wajib
menyusun tata cara trasparan tentang
pengajuan pengaduan oleh masyarakat,
apabila terjadi kesalahan, kekeliruan dan
keterlambatan dalam pemberian pelayanan
publik oleh kantor-kantor pemerintah, serta
masyarakat dijamin haknya untuk
melakukan kontral atas pengaduanya dan
berhak menyampaikan keberatan atas
perubahan dari pengaduan.
Daftar Rujukan
A.A Dde Agung. 2007. Di Mengwi, Jumat,
sambutan tertulis dalam apel
peringatan HUT ke-35 Kopri 12
Januari 2007.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia /APJII. Data
Penggunaan Internet di Indonesia
pada tahun 2001 dan 2002.
Clarke, M. And J Steward. 1992. Public
Service Orientation-Developing
the Approach, Local Goverment
Policy Making 13,4 : 23-4
Dwivedi, O.P. 1999. Governance and
Administration in South
Asia.Dalam Bureucracy and The
Alternatives in World Perspective,
Keith Henderson. O.P. Dwivedi
(eds). London : Macmillan Press
Ltd.
Hendardi. 2001. Transparansi dan
Akuntabilitas dalam Negara
Demokrasi Modern. Makalah
pada lokakarya Akuntabilitas
Publik dan Ornop : Isu dan
Pelaksanaanna di Yogyakarta
tanggal 14 November 2001.
Jackson, P.M. dan B. Palmer, 1992.
Developing Performance
Monitoring In Public Sector
Organizations; A Management
Guide. The Management Centre,
University of Leicester.
Kingsley, G. Thomas. 1996. Perspectives on
Devolution. APA Journal.
Autumn.
M. Hadjon, Philipus et. All. Pengantar
Hukum Administrasi Indonesia
(Introduction to the
Administration Law). Gajah Mada
University : Yogyakarta, 1993.
Mark, Turner and David Hulme.
Governance, Administrasi and
Development: Making the State
Work. Mc Millan Press Ltd:
London, 1997). 1st ed. Paage.
106.
Morgan, Douglas and Kelly B. Bacon. 1996.
What Middles Managers Do In
Local Govermant Stewardship of
the Public Trush and the Limits of
Reinventing Goverment Public
Administration Review.
July/August, vol. 56, No. 4.
Hartono, Sri Redjeki. Mei 2003. Aspek
Keperdataan Pada Pelayanan
Publik . Disampaikan dalam
seminar RUU Pelayanan Publik
yang di selenggarakan oleh
Kementrian Pendayagunaan
Aparatur Negara.
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
58
PENGEMBANGAN KUALITAS STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK DI
INDONESIA (POKOK-POKOK PIKIRAN MENUJU PARADIGMA BARU ILMU
ADMINISTRASI PUBLIK)
Muh. Agus Syukron DPK di perbantukan pada STISOSPOL ―Waskita Dharma‖ Malang
Abstract
This paper wants to build a construction of a new paradigm in the study of th e science of
public administration.Discussion of a new paradigm of public administration science essentially
evaluative and projections.Evaluation is needed to assess the system, curriculum, teaching
methods, and competencies are applied over the years.Whi le projections directed towards the
achievement of the implementation of the system and pattern learning/learning outcomes in the
university with the development of the situation, whether that is happening in the present or in
anticipation of future conditions.
Specifically, there are three topics that are relevant and logical according to the author to
put forward in this paper.Highlights are: first, the characteristics of the science of public
administration, and second, the development of the public administration discipline in Indonesia,
and the third, a new paradigm of public administration science studies. Key word: Administrative Science, paradigms, competencies.
1.Pendahuluan
Karakteristik Ilmu Administrasi Publik
Ilmu Administrasi Publik, menurut
David H. Rosenbloom (1998) didefinisikan
sebagai berikut: ―Public Administration is
the use of managerial, legal and political
theories and practices to fulfill the
legislative, legal and political Government
mandates for the provision of leguratory and
service functions to the societyas a whole or
part of it”. Transliterasi secara bebas kira-
kira artinya Ilmu Admnistrasi Publik sebagai
fungsi atau aktifitas pemerintah yang
mengurus kepentingan negara. Dengan
demikian tujuan dari adminstrasi publik
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakat. Dalam
mencapai tujuan tersebut peranan aparatur
negara/pejabat publik menjadi salah faktor
yang sangat menentukan. Pengertian ilmu
adminstrasi publik yang diajukan oleh
Rosenbloom di atas lebih mengarah pada
pendekatan atau aliran positivisme.
Sementara itu, menurut Stillman
(1982: 30) menggambarkan gerakan ilmu
adminstrasi publik sebagai berikut: ―Bored
with the dry realism of the postwar
behavioralists, in search of new intellectual
foundations for Public Adminstration,
caught up in the egalitarian anthusiasms of
the moment, and concern with the „excessive
abuse‟ of bureaucratic authority in Vietnam
and elsewhere, The New Public
Adminstrationsts wanted to make a fresh
beginning for the field. Although the essays
contained in the Minnowbrook Perspective
seems looslely linked with one another, even
at time contradictory, there was evidence of
common themes of participation, concensus,
decentralization, trust, and even love of
mankind. However, the essence of their
weltanschauung was perhaps best capture in
two the words of one author, H. George
Frederickson: social equity.‖
Pandangan Osborne dan Gaebler
(1993) lebih menarik lagi dimana mereka
mencoba ―menemukan kembali pemerintah‘.
Mereka menggambarkannya sebagai berikut:
(1) Catalytic Government: Steering rather
than Rowing; (2) Community-Owned
Government: Empowering rather than
Serving; (3) Competitive Government:
Injecting Competition into Service Delivery;
(4) Mission-Driven Government:
Trasforming Rules-Driven Organization; (5)
Result-Oriented Government: Funding
Outcomes, Not Inputs; (6) Costumer-Driven
Government: Meeting the Needs of the
Customer, Not the Bureaucracy; (7)
Enterprising Government: Earning rather
than Spending; (8) Anticipatory
Government: Prevention rather than Cure;
(9) Decentralized Government: from
Hierarchy to Participation and Teamwork;
(10) Market-Oriented Government:
Leveraging Change Through the Market .
Meskipun mereka mengetengahkan konsep
‗entrepreneurial government‘, tapi mereka
tidak sependapat dengan pandangan bahwa
pemerintah harus dikelola seperti bisnis,
tidak juga menganggap penting besar-
kecilnya pemerintah, tetapi bagaimana
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
59
berfungsinya. Ia mengemukakan sepuluh
pendekatan, yang salah satunya adalah
empowering atau pemberdayaan, yang dapat
dikatakan revolusioner yang mana
pemerintah dianjurkan untuk
mentransformasikan sebagaian kewenangan
yang dimilikinya kepada masyarakat dari
pada ‗sangat sibuk‘ memberikan pelayanan
publik.
Oleh sebab itu, kajian atau studi
yang diterapkan dalam bidang administrasi
publik memerlukan integrasi pendekatan
―scientific‖ (empiris-positifistik) dan
pendekatan ―humaniora‖. Beberapa
pandangan lain yang dikemukakan para ahli
ilmu administrasi publik (Ostrom,1973;
Uveges, 1982; Waldo, 1992; Tjokrowinoto,
1993; Lester, 2000; Mustopadidjaja, 2003)
dapat diringkas secara umum, ilmu
administrasi publik memiliki tiga
karakteristik sebagai berikut:
Pertama, Ilmu Administrasi Publik
merupakan ilmu pengetahuan sosial yang
bersifat interdisipliner dan memiliki ruang
lingkup konteks kajian yang luas
menyangkut beragam aspek sosial, politik,
kebijakan, budaya, ekonomi, dan dampak
ekologi/lingkungan dari kehidupan manusia.
Tataran analisisnya juga bervariasi, dari
tataran personal, komunitas dan organisasi,
masyarakat (nation) sampai pada lingkup
internasional/global. Oleh sebab itu,
pendekatan yang diterapkan terhadap ilmu
administrasi public bersifat pula
interdispliner. Pemikiran-pemikiran teoritis
yang diajukan dalam ilmu administrasi
publik- berasal dan relevan dengan- berbagai
disiplin keilmuan lain misalnya sosiologi,
antropologi, komunikasi, psikologi, politik,
sastra-humaniora, hukum, ekonomi, dan
environment atau dapat juga berkaitan
dengan ilmu eksakta.
Kedua, Ilmu administrasi negara
bukan hanya ilmu pengetahuan pure-science
tetapi juga merupakan pengetahuan applied-
science yang dibutuhkan kelompok praktisi.
Ilmu administrasi negara juga menjelaskan
tentang seni dan prioritas kepentingan dalam
rangka mempertajam scientific validity dan
meningkatkan relevansi bagi perumusan
kebijakan (policy relevance). Mulai dari
kepentingan personal, kelompok/organisasi,
privat/swasta sampai pada kepentingan
bangsa dan negara (nation-state). Harapan
kita kajian ilmu administrasi negara mampu
menghasilkan professional di banyak bidang
yang berkaitan dengan masalah public
interest.
Ketiga, perkembangan teknologi
dan globalisasi, khususnya implementasi tata
kelola pemerintahan (governance) yang
menuntut kecepatan, keakuratan dan
ketepatan pengambilan keputusan
kepentingan publik dengan sekian luas
kondisi geografis dan kompleksitas public
goods – merupakan sekian kali dari kajian
utamanya. Ilmu administrasi publik perlu
menciptakan perangkat yang mampu
menjamin pencapaian public satisfaction,
baik perangkat software ataupun hardware-
nya.
Perspektif dan paradigma yang
diterapkan dalam ilmu administrasi publik
sebagaimana disiplin keilmuan yang lain,
juga beragam. Berdasarkan metode dan
logika penjelasannya, terdapat 6 (enam)
perspektif yang mendasari teori dalam ilmu
administrasi publik. Keenam perspektif
tersebut adalah: ‗human relation‟, decision
making‟, „system theory‟, „behaviour‟,
„kontigensi‟, and „bureaucratic analysis‟.
Ragam perspektif ini berkembang dari
bermacam-macam titik perhatian state of the
art Ilmu administrasi publik dan tantangan-
tantangan yang timbul sesuai dengan
perkembangan masyarakat sebagai respon
konseptual tantangan tersebut (Henry, 1995;
Frederickson, 1980; Montgomery, et al.,
1988; Osborne & Gaebler, 1993 dan lain-
lainnya).
Berdasarkan metodolgi
penelitiannya, mengadopsi dari pemikiran
Guba (1994) terdapat tiga paradigm:
Classical Paradigm, Critical Paradigm, dan
Contructivism Pardigma. Paradigma klasik
merupakan gabungan antara paradigm
‗positivism‟ dan ‗post-positivism‟, bersifat
intervensi, yakni melakukan pengujian
hipotesis dalam struktur hypothetico-
deductive method melalui eksperimen atau
survei eksplanatif dengan analisis
kuantitatif. Dengan demikian obyektifitas,
validitas, dan reliablitas diutamakan dalam
paradigma ini. Paradigma Kritis lebih
berorientasi ‗partisipative‟, dalam arti
mengutamakan analisis komprehensif,
kontekstual dan peneliti berperan sebagai
partisipan. Paradigma ketiga, kontruksitisme
menuntut peneliti dan subyek yang diteliti
perlu ada empati dan interaksi agar mampu
merekontruksi realitas yang diteliti melalui
metode kualitatif seperti pengamatan
partisipan (participant observation). Dari
uraian di atas dapat dikatakan bahwa ilmu
adminstrasi publik pada prinsipnya
merupakan salah satu disiplin ilmu social
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
60
yang bersifat multi perspektif atau
paradigma.
Perkembangan Adminstrasi Publik
(Negara) Di Indonesia
Perkembangan disiplin ilmu
administrasi publik di Indonesia dapat dibagi
dalam dua tahapan, yaitu masa lalu dan masa
sekarang dengan perkiraan perkembangan di
masa datang. Dengan pembagian tahapan
waktu yang demikian bukan dimaksudkan
untuk memisah-misahkan pembahasan topik
ini secara dikotomis, tujuannya adalah
mempermudah kajian sesuai sistematika
pentahapan kurun waktu tersebut.
Membahas Ilmu administrasi publik
selalu berkaitan dengan pembahasan tentang
struktur, proses dan sumber daya manusia.
Ketiga pilar tersebut pada kurun waktu yang
telah dikemukakan mempunyai nilai
filosofis dan pragmatis yang tidak sama dan
sangat terpengaruh oleh aspek-aspek
ekonomi, sosial, politik, lingkungan/ekologi,
behavior, yang bergerak dinamis dan
flutuatif. Dalam Uraian ini masa lampau
diuraikan dalam kurun berbeda yaitu: (1)
Awal kemerdekaan hingga tahun1960-an;
dan (2) Orde Baru hingga akhir tahun 1990-
an.
Pada masa awal kemerdekaan,
sebelum Tahun 1958, yaitu tahun berdirinya
Lembaga Administrasi Negara (LAN),
disiplin ilmu Administrasi publik (d/h
adminstrasi negara) belum banyak dikenal
masyarakat. Masa itu orientasi Negara masih
pekat dengan nilai politik, memperkokoh
argumentasi dan eksistensi bagi republic
yang baru merdeka baik di dalam maupun
luar negeri dengan konsolidasi potensi-
potensi nasional yang serba terbatas.
Mungkin salah satu factor
Indonesia terlambat membenahi system
administrasi negaranya adalah kenyataan
bahwa aspek-aspek kehidupan nasional yang
dikemukakan baru dapat ditinjau dari aspek
politisnya saja, heavy terhadap ―outward-
looking politics‖. Sedang aspek manajerial
dan legal-nya belum banyak dikaji tokoh-
tokoh nasional dan pemikir kenegaraan kita,
suatu aspek yang sebenarnya memuat lebih
‟insightful‟ isu-isu mengenai keadilan,
kesejahteraan dan pemberdayaan
masyarakat. Pemikiran pada masa itu lebih
terkonsentrasi pada pembebasan bangsa dari
imperialism dengan semua dampak
negatifnya.
Kesulitan-kesulitan dan masalah
yang timbul karena pemahaman yang
dikotomis dan cenderung mengabaikan
aspek manajerial dan legal menimbulkan
serunya pertarungan di arena politik yang
sampai sekarang kita rasakan. Prinsip
―separation of powers‖ yang mampu
memudahkan proses ―check and balances‖
kelembagaan, bukannya melaksanakan
prinsip-prinsip ― distribution of power‖
dimana proses pengawasan sulit ditegakkan
secara transparan dan proporsional. Dalam
administrasi negara, ketiga mandate
pemerintah (eksekutif, legislatif, dan
yudikatif) yang diamanatkan konstitusi
adalah memberikan fungsi-fungsi
pengaturan dan pemberdayaan masyarakat.
Bila aspek manajerial dalam
administrasi negara membahas secara detail
baik fisik, mental ataupun spiritualnya, maka
aspek legal dalam administrasi negara,
memberikan orientasi keadilan dalam
pencapaian tujuan negara melalui
pemerintahannya. Tanpa perspektif dan
orientasi keadilan maka rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi, dan
pembayar pajak yang taat, akan merasa
dicederai dan membongkar kepercayaan
kepada kepemimpinan nasional di semua
tingkatan pemerintahan.
Keterlambatan pengembangan
sumber daya manusia pada awal
kemerdekaan medapatkan jawaban pada
fase kedua pembangunan nasional, antara
Tahun 1970-an sampai menjelang awal abad
ke-21, sekalipun banyak dijumpai
ketimpangan-ketimpangan yang berlebihan.
Pembanguna fisik, infrastruktur
perekonomian, sosial, dan pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat menjadi
fenomena pembangunan pada masa ini.
Pembangunan periode ini sudah
berlandaskan prinsip-prinsip manajerial,
legal, dan judisial, hal ini terlihat dalam
Sistem Administrasi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (SANKRI) dengan
sistem pembangunan nasional berdasar
REPELITA (rencana pembangunan lima
tahun) dengan dampak positif dan
negatifnya, dilanjutkan dengan sistem
adminstrasi negara era rformasi dengan
sistem pembangunan PROPENAS-RPJP
(program pembangunan nasiona/rencana
pembangunan jangka panjang).
Pada Era reformasi yang sedang
dijalankan, kita ditantang dengan adanya
dampak perubahan paradigm berpikir dalam
pembangunan nasioal: penegakan supremasi
hokum, pemerataan kesejahteraan sosial,
pemberdayaan masyarakat, integritas dan
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
61
nilai-nilai etika kebangsaan, dan
menegakkan nilai-nila demokrasi para elit
politik dan elit negara. Tantangan etrsebut
timbul sejalan dengan maikn pesatnya ilmu
pengetahuan termasuk ilmu adminstrasi
publik di seluru tanah air.
Tantangan dan Strategi Pengembangan
Ilmu Administrasi Publik
Perkembangan pendidikan tinggi
ilmu administrasi publik di Indonesia relatif
telah menunjukkan situasi yang
menggembirakan dengan semakin
bertambahnya lembaga-lembaga atau
jurusan ilmu administrasi yang sekaligus
sebagai refleksi kebutuhan perangkat
keilmuan administrasi publik di masyarakat.
Peningkatan kuantitas ini perlu disertai
peningkatan sarana akademis yang memadai
serta orientasi kurikulum yang sesuia dengan
kebutuhan nyata dunia kerja.
Hal ini akan menegaskan eksistensi
sebuah lembaga pendidikan tinggi yang
tidak semata bertumpu pada kiprah ilmu,
teknologi ataupun seni, juga pada sumber
kehidupan dan kearifan yang member
energy bagi setiap dinamika pendidikan
yang lebih bermakna, berbudaya, dan
memiliki keadaban. Beberapa kondisi yang
masih menjadi tantangan akademis antara
lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Tenaga Pengajar
Ketersediaan tenaga pengajar tetap,
baik dalam hal jumlah ataupun tingkat
pendidikan dan bidang keahliannya, meski
relatif baik, tapi dirasakan masih kurang dari
kebutuhan dengan rasio mahasiswanya.
Perlu mendorong seluruh tenaga pengajar
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S3
atau minimal bergelar Magister Administrasi
Publik atau Administrative Science,
sementara ini keahlian dari para pengajar
kebanyakan masih bersifat umum (generalis)
tidak memiliki keahlian spesialisasi tertentu.
2. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum Pendidikan administrasi
publik yang berlaku umumnya relevansinya
minim dengan perkembangan kemajuan di
bidang ilmu, profesi dan teknologi informasi
yang terjadi. Laporan kegiatan Konferensi
Adminstrasi Negara V Tahun2012 yang
diselenggarakan di UNIBRAW Malang,
diperoleh gambaran bahwa bidang-bidang
studi administrasi publik yang
diselenggarakan umumnya masih bertumpu
pada kajian-kajian administrasi yang
konvensional antara lain teori adminstrasi,
organisasi, pemerintahan, dan pembangunan.
Sementara kajian tentang profesi pejabat
publik, studi kebijakan, e-governance,
policy environment, anggaran publik, kajian
perundangan pemerintahan dan praktek
keahlian di bidang kehumasan masih belum
mendapat porsi yang wajar bahkan ada yang
belum menyelenggarakan. Bobot kurikulum
khusunya untuk jenjang S-1 yang berlaku
sekarang ini masih terlalu umum dan bersifat
teoritis, sementara untuk mata kuliah
keahlian masih sangat kurang.
Ketersediaan tenaga
ahli/professional dan ‗sarana praktikum‘
yang memadai dapat menjadi kendala untuk
segera mengakhiri lemahnya bobot
kurikulum studi administrasi publik. Untuk
perguruan tinggi di kota-kota besar masalah
di atas dapat dicarikan solusi dengan
membentuk kerjasama dengan korporasi
privat atau lembaga lain yang kompeten
karena pusat pemerintahan dan
industri/ekonomi masih terpusat. Namun,
bagi perguruan tinggi di daerah, upaya ini
memiliki tingkat kompleksitas masalah
karena kondisi lingkungannya yang sangat
kurang mendukung.
Komposisi materi kurikulum studi
administrasi publik seyogyanya berimbang,
untuk lebih meningkatkan mutu lulusan dan
menciptakan daya saing pasar. Komposisi
kurikulum pendidikan administrasi publik
yang relevan untuk jenjang Diploma (D3),
S1, S2, dan S3 adalah sebagai berikut:
Jenjang Landasan
Teoritis-
Metodologis
Landasan
Terapan-
praktis
D3 20-30% 70-80%
S1 50-60% 40-50%
S2 70-80% 20-30%
S3 100% -
Komposisi kurikulum di atas
sebagai sarana menuju capaian pembelajaran
dan menghasilkan sarjana-sarjana yang tidak
hanya pandai dalam teori dan metodologi,
juga memperoleh pengetahuan dan keahlian
yang memadai pada satu bidang profesi
sector publik akan dapat tercapai.
3. ProduktifitasKeilmuan
Beberapa uraian di atas, sulit untuk
kita menghindar dari kesimpulan bahwa
banyak hal yang harus kita lakukan untuk
memperkuat ilmu administrasi publik di
Indonesia, dalam upaya untuk mengejar
perkembangan dan kemajuan pendidikan
ilmu administrasi publik di dunia. Hal ini
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
62
sangat penting, karena pendidikan ilmu
administrasi publik besar pengaruhnya
terhadap pemikiran, pengembangan, dan
pelaksanaan administrasi publik pada
prakteknya (birokrasi Indonesia yang besar,
untuk melayani wilayahnya luas dan
penduduknya banyak).
Minimnya literatur mengenai
administrasi di Indonesia, baik terjemahan,
apalagi yang bersumber pada Indonesia,
banyak menghambat laju intelektual dan
produktifitas para pendidik dan penelitinya
untuk menulis. Akibatnya, sumber rujukan
kuliah, umumnya buku-buku teks asing
(dalam bahasa inggris dan sedikit mahasiswa
yang mampu berbahasa asing) atau hanya
mengandalkan diktat-diktat terbatas (jadi
mahasiswa/sarjana ‗diktator‘) belum juga
harganya yang relatif mahal. Bahkan
dibandingkan dengan disiplin ilmu sosial
lain, saya melihat diskusi-diskusi ilmiah di
bidang ilmu administrasi masih sedikit
dilakukan di Indonesia.
Barangkali perlu dibentuk banyak
wadah menampung pemikir-pemikir,
ilmuwan dan pakar pendidikan ilmu
administrasi publik untuk bersama-sama
memikirkan pola pengembangan pendidikan
tinggi ilmu administrasi, semacam
Minnowbrook Conference-nya Indonesia.
Ilmuwan administrasi perlu di dorong untuk
intensif dan fokus pada pengembangan
kajian keilmuannya dengan memberi
tunjangan yang layak (bukan hanya upah
buruh saja yang layak) untuk mencegah
mereka meluangkan waktu dengan ‗ngamen‟
atau ‗ngobyek‟ di luar kampus karena secara
finansial lebih menguntungkan.
4. Jaringan Kerjasama
Ilmu administrasi publik merupakan
salah satu disiplin ilmu sosial yang bersifat
multidisipliner, tetapi dialog antar disiplin
keilmuan, bahkan antar sesame pendukung
keilmuan sejenis masih jarang dilakukan. Di
era globalisasi sekarang ini, perguruan tinggi
hendaknya menjalin erat kerjasama dengan
institusi privat, pemerintah, swadaya
masyarakat baik dalam maupun luar negeri.
Kerjasama penyelenggaraan program
pendidikan bersama dengan perguruan tinggi
luar negeri dalam bentuk ‗joinededucational
program‟, ‗twinning program‟, ‗kelas
internasional, atau penerbitan karya ilmiah
bersama menjadi penting untuk dilakukan
perintisan.
5. Penulisan Skripsi
Keharusan penulisan skripsi bagi
peserta didik calon sarjana strata satu (S-1)
juga sebaiknya ditinjau kembali. Mengingat
para mahasiswa setelah menyelesaikan
studinya bebas memilih profesinya menjadi
tenaga pengajar dan peneliti atau menjadi
praktisi di bidang keahlian tertentu di luar
dunia akademik baik di sector pemerintah
atau swasta. Bagi mereka jalur skripsi,
meskipun bukan jaminan, mungkin tepat
bagi mereka yang berminat ungin menjadi
tenaga pengajar akademis atau peneliti.
Sementara bagi mereka yang akan memilih
bidang praktis di luar kedua profesi tadi
lebih baik jika diberikan alternative untuk
menyelesaikan kesarjanaannya tanpa harus
melalui jalur skripsi (sering pula sebab
berbagai faktor penyusunan skripsi
memerlukan waktu lebih dari 2 semester).
6. Bidang Kekhususan/Spesialisasi
sebagai Penguat Identitas
Program pendidikan ilmu
adminstrasi publik yang diselenggarakan
suatu prguruan tinggi selayaknya memiliki
karakteristik tertentu yangmenjadi
penguatan identitasnya sendiri. Identitas
yang dimaksud adalah adanya fokus kajian
spesialisasi terhadap salah satu atau dua
bidang studi yang sesuai dengan kondisi
lingkungan atau membuat pembedaan
dengan perguruan tinggi yang (tentu saja
bukan sekedar asal beda). Misalnya,
Universitas Indonesia Jakarta terkenal kuat
untuk kajian policy studies-nya, Universitas
Gajah Mada Yogyakarta terkenal dengan
kajian administrasi pembangunannya,
Universitas Brawijaya Malang terkenal
dengan kajian otonomi daerahnya, ataupun
beberapa universitas/perguruan tinggi swasta
yang lain ada memiliki keunggulan dalan
kajian ilmu pemerintahan, kajian anggaran
publik dan sebagainya. Identitas semacam
ini belum tampak menonjol pada sebagian
besar perguruan tinggi di Indonesia.
Konsekuensi logis dari problem
tersebut, kualitas lulusan adminitrasi publik
hanya sarjana dengan kompetensi ‗makro-
mini‘, yang berpengetahuan umum tentang
banyak hal tapi artikulatif, hanya permukaan
saja, tidak memiliki keahlian khusus dan
sedikit sekali yang familiar dengan aplikasi
teknologi dan manfaatnya. Contohnya,
seorang dikategorikan menjadi sarjana
Adminstrasi publik plus jika ia memiliki
kemampuan di bidang kajian pemerintahan
daerah serta mempunyai pengetahuan
penunjang yang memadai di bidang
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
63
keuangan/anggaran (APBN/APBD) atau
teknologi informatika, atau public speaking
atau suatu bidang lain spesifik lainnya.
Implikasinya mahasiswa ilmu
administrasi publik dapat disarankan untuk
mengambil mata kuliah aplikatif adminstrasi
publik secara memadai sesuai dengan minat
dan proyeksi profesi yang akan ditujunya
pasca studi, dengan demikian mereka
memiliki kepercayaan diri untuk
berkompetisi di pasaran kerja.
7. Feodalisme dalam Proses
Pembelajaran
Sikap-sikap dan praktek-praktek
feodalisme dalam proses pembelajaran
masih ditemui di sebagian besar perguruan
tinggi kita, PTN maupun PTS. Beberapa
indikasinya antara lain:
Dosen enggan atau tidak mau
dikritik, disanggah, atau dikomentari oleh
para mahasiswanya tentang pemikiran-
pemikirannya atau asumsi-asumsi yang
dikemukakannya. Mahasiswa lebih banyak
dipaksa mengikuti laur berpikir sang dosen
karena dianggap ‗yang benar‘. Akibatnya
pemikiran-pemikiran alternatif untuk
memunculkan kreatifitas dan kebebasan
akademik menjadi lemah.
Dosen membuat ‗jarak komunikasi‘
dengan mahasiswanya, berorientasi
formalistic daripada menumbuhkan
komunikasi informal dan memunculkan
dialog-dialog yang setara.
Dosen yang kurang obyektif dalam
memberikan penilaian terhadap hasil kerja
atau karya tulis mahasiswa, sangat irit dalam
memberikan nilai dengan berpegang pada
adagium: angka 100 hanya untuk Tuhan,
angka 90 untuk Dosen, dan maskimum 80
untuk mahasiswa yang terpintar. Akibatnya
rentetan nilai B dan C adalah nilai-nilai yang
lumrah dibaca di Kartu Hasil Studi (KHS)
mahasiswa di akhir semester.
Dosen enggan memberikan
kesepakatan tentang kontrak perkuliahan dan
memberikan semua bahan rujukan/referensi
yang dipergunakannya kepada mahasiswa di
awal perkuliahan/pembelajaran.
Paradigma Baru Pendidikan Ilmu
Administrasi Publik
Perkembangan kondisi internal dan
eksternal yang berkaitan dengan bidang
ilmu, profesi, dan teknologi informasi baik
dalam skala regional, nasional maupun
global serta era reformasi yang berlangsung
lebih dari satu decade ini membawa
implikasi perlunya pembenahan dan
penataan kembali pendidikan ilmu
administrasi publik di perguruan tinggi kita.
Paradigma baru perlu segera diterapkan,
suatu paradigma yang merujuk pada
pengelolaan dan system kurikulum
pendidikan ilmu adminstrasi publik yang
memiliki karakteristik sebagai berikut:
Kurikulum Ilmu Administrasi
publik yang dirancang memperhatikan 3
(tiga) dimensi yang saling terkait dan
merupakan satu kesatuan yakni Ilmu
Administrasi publik sebagai ilmu, profesi
dan teknologi. Perencanaan kurikulum ilmu
Administrasi publik pada dasarnya bersifat
fleksibel dan bersifat lintas disipliner dengan
pemilahan area kompetensi/spesialisasi
(major-minor) mengantisipasi
perkembangan atau dinamika pasar.
Komposisi kurikulum ilmu Administrasi
publik berorientasi aspek teoritis -
metodologis dan terapan-praktis secara
proporsional sesuai jenjang atau tingkat
penyelenggaran pendidikan.
Program pendidikan ilmu
Administrasi publik yang diselenggarakan
suatu perguruan tinggi memiliki program
atau area spesialisasi tertentu yang dapat
memperkuat identitas serta daya saing
dengan perguruan tinggi yang lain. Area
spesialisasi Administrasi publik yang dipilih
sesuai dengan karakter lingkungan sekitar
dan bukan sekedar pembeda belaka.
Penulisan Skripsi bukan merupakan
keharusan, hanya suatu alternative bagi
mahasiswa untuk mendapat gelar
kesarjanannya. Pemilihan alternative jalur:
skripsi dan non-skripsi. Bagi mahasiswa
yang menempuh jalur skripsi dapat
diberikan apresiasi akademis yang mampu
menunjang aktifitas akademiknya kelak.
Rekrutmen tenaga pengajar
akademis harus bersifat transparan dan
demokratis. Praktek-praktek ‗inbreeding‘
yang mengutamkan lulusan sendiri
(almamater) sebaiknya mulai ditinggalkan,
lintas disipliner dan memiliki kompetensi
ilmu dan profesinya.
Jaringan kerjasama dengan berbagai
pihak dalam dan luar negeri sangat penting
dalam penyeleprogram pendidikan. .
Kerjasama penyelenggaraan program
pendidikan bersama dengan perguruan tinggi
luar negeri dalam bentuk ‗joinededucational
program‟, ‗twinning program‟, ‗kelas
internasional, atau penerbitan karya ilmiah
dan sebagainya.
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
64
DAFTAR PUSTAKA
Djabar, Sally Abdul. 2003. Perkembangan
dan Peran Ilmu Administrasi Dalam
Pembangunan Nasional di Sektor
Publik. Makalah Simposium
Nasional Ilmu Administrasi.
Univeritas Brawijaya. Malang.
Lester, James P. dan Joseph Stewart, Jr.
2000. Public Policy. Wadsworth.
Stamford USA.
Montgomery, John D. dan Willian J. Shiffin.
1988. Bureacrats and People:
Grassroots Participation in The
Third World Development. John
Hopkins University Press.
Baltimore.
Mustopadidjaja, AR. 2003. Dimensi-
Dimensi Pokok Sistem Administrasi
Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Overview Buku I
SANKRI: Prinsip-prinsip
Penyelenggaraan Negara. LAN RI.
Duta Pertiwi Foundation. Jakarta.
Osborne, David dan Ted Gaebler. 1993.
Reinventing Government: Hoe the
Entrepreneurial Spirits is
Transforming the Public Sector.
Penguin. New York.
Osborne, David dan Ted Gaebler ,1996.
Mewirausahakan Birokrasi:
Mentransformasikan Semangat
Wirausaha ke Dalam Sektor Publik.
Abdul Rosyid (terj.), Pustaka
Binaman Pressindo. Jakarta.
Ostrom, Vincent. 1973. The Intelectual
Crisis in American Public
Administration. University of
Alabama Press. Alabama.
Rosenbloom, David H. 1998. Public
Administration, The McGraw-Hill
Companies Inc. New York.
Stilman II, Richard J. 1982. The Changing
Patterns of Public Administrations
Theory in America, dalam Joseph
A. Uveges, Jr. (ed.), Public
Administration: History and Theory
in Contemporary Perspective,
Marcel Dekker, Inc. New York.
Tjokrowinoto, Moeljarto. 1993. State of the
Art Ilmu Administrasi Negara.
Makalah Lokakarya Perkembangan
Teori-teori Ilmu Politik . Asosiasi
Ilmu Politik Indonesia. Bogor.
Waldo, Dwight. The Enterprise of Public
Adminstration: A Summary View.
Chandler & Sharp Publisher, Inc.
California.
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
65
KEBERLANJUTAN KESEJAHTERAAN RAKYAT INDONESIA :
MENYONGSONG PENCAPAIAN MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS
(MDGs) TAHUN 2015
Ngatimin Dosen Tetap Yayasan pada Ilmu Administrasi di STISOSPOL ―Waskita Dharma‖
Malang
Abstract
Millenium Development Goals (MDGs) are eight goals of development in response to
global problems, to be achieved by 2015.We recognize that the MDGs are quantifiable targets
global poverty and other dimensions of poverty, such as hunger, disease, basic infrastructure
(water supply, housing / residential) gender equality, education and the environment.
Deadline set by the UN Millennium Declaration by 2015 requires the commitment of all
stakeholders of the Indonesian nation.Meanwhile, the problem of the global financial crisis,
natural disasters, climate change, and public official corruption and accountability are all factors
that need consideration as well as other issues related to the development gap between regions in
different parts of Indonesia. Key word: MDGs, Indonesia, poverty.
1. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, menciptakan struktur baru,
yaitu struktur global. Struktur tersebut akan
mengakibatkan semua bangsa di dunia
termasuk Indonesia, mau tidak mau akan
terlibat dalam suatu tatanan global yang
seragam, pola hubungan dan pergaulan yang
seragam khususnya dibidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Aspek Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang
semakin pesat terutama teknologi
komunikasi dan transportasi, menyebabkan
isu-isu global tersebut menjadi semakin
cepat menyebar dan menerpa pada berbagai
tatanan, baik tatanan politik, ekonomi, sosial
budaya maupun pertahanan keamanan.
Dengan kata lain globalisasi yang
ditunjang dengan pesat ilmu pengetahuan
dan teknologi telah menjadikan dunia
menjadi transparan tanpa mengenal batas -
batas negara. Dengan perkembangan
teknologi yang begitu pesat, masyarakat
dunia khususnya masyarakat Indonesia terus
berubah sejalan dengan perkembangan
teknologi, dari masyarakat pertanian ke
masyarakat industri dan berlanjut ke
masyarakat paska-industri yang serba
teknologis, walaupun kualitas sumber daya
manusia (SDM) masih tetap yang utama.
Mengutip pendapat Scholte (2000),
Bahagijo mengemukakan bahwa globalisasi
merupakan fenomena berwajah majemuk
dan sering diidentifikasi dengan: 1.
Internationalisasi, yaitu hubungan antar
negara, meluasnya arus perdagangan dan
penanaman modal; 2. Liberalisasi,
pencabutan pembatasan-pembatasan untuk
membuka ekonomi tanpa pagar (borderless
world) dalam hambatan perdagangan,
pembatsasan keluar masuk mata uang,
kendali devisa dan ijin masuk suatu negara
(visa); 3. Universalisasi, yaitu ragam hidup
seperti McDonaldzation, ragam kendaraan
dan sejenisnya ke seluruh penjuru dunia; 4.
Westernisasi atau americanization, yaitu
ragam hidup model budaya barat atau
amerika; 5. de-teritorialisasi yaitu
perubahan-perubahan geografi sehingga
ruang sosial dalam perbatasan, tempat dan
distance menjadi berubah.
Herry-Priyono (2006) berpendapat
bahwa terdapat 3 (tiga) lapis definisi
globalisasi. Lapis pertama, globalisasi
sebagai transformasi kondisi spasial-
temporal kehidupan. Hidup yang kita alami
mengandaikan ruang (space) dan waktu
(times). Fakta ini berarti bahwa jika terjadi
perubahan pengelolaan tata ruang-waktu,
maka terjadi pula transformasi
pengorganisasian hidup. Misalnya, bila
sebuah berita yang dikirim dari Jakarta
kepada komunitas di Papua tidak lagi
membutuhkan waktu 30 hari (100 tahun
yang yalu) atau selama 7 hari (melalui pos
surat), tetapi akan hanya butuh waktu 1
menit melalui telepon, maka disini akan
terjadi perubahan dalam koordinasi interaksi
manusia. Ahli geografi, David Harvey,
menyebutnya sebagai gejala ‖pemadatan
ruang-waktu‖ atau ‖pengerutan dunia‖.
Sedangkan Anthony Giddens, sosiolog-
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
66
politik, menyebut globalisasi lapis pertama
ini sebagai ‖aksi dari kejauhan‖.
Lapis kedua, globalisasi sebagai
transformasi lingkup cara pandang, cara
berpikir, cara merasa dan cara mendekati
persoalan. Isi dan perasaan kita tidak hanya
diisi dan dipengaruhi oleh peristiwa yang
terjadi dalam lingkup hidup dimana kita
berada, tetapi juga diisi dan dipengaruhi oleh
variasi peristiwa yang terjadi di belahan lain
dunia. Setiap waktu kita akan melakukan
apresiasi dan sortir transformasi perilaku
budaya, ekonomi, politik, hukum dan bisnis
global.
Lapis ketiga, Globalisasi sebagai
transformasi modus tindakan dan praktik.
Iniliah lapis arti globalisasi yangbanyak
ditampilkan secara intens oleh pelaku
kepentingan (stakeholder), pejabat publik
dan dalam citra di media. Gejala yang
muncul dari interaksi yang makin intensif
dalam perdagangan, transaksi finansial,
media, transkultural, transportasi, teknologi,
informasi, kebebasan dan hak asasi manusia,
politik gender, kesehatan dan pendidikan,
serta harmonisasi kebijakan dan
implementasi untuk mencapai tujuan
bersama yaitu kesejahteraan bersama
merupakan linkage process yang makin erat
di semua aspek kehidupan dalam skala
global.
MILLENIUM DEVELOPMENT GOALs
(MDGs): Merangkai Komitmen Dunia
Globalisasi menghendaki peristiwa
kerjasama internasional terhadap masalah
ekonomi, sosial, kemanusiaan dan
penghormatan hak asasi manusia dan
kebebasan untuk semua, suatu hubungan
kerjasama berdasarkan kesetaraan dan
penentuan nasib sendiri serta untuk
mewujudkan perdamaian dan keamanan
global. Dorongan atau kehendak untuk
menciptakan kerjasama dan increasing
socio-economic dependencies dituangkan
melalui serangkaian peristiwa konferensi
dunia yang dimulai sejak awal 1990-an
hingga disepakatinya suatu Deklarasi
Milenium yang diadopsi oleh 189 negara
dan ditandatangani oleh 147 kepala negara
saat United Nation (UN) Millenium Summit
pada September 2000 dan dipertegas lagi
pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) para
pemimpin dunia di New York tanggal 22-24
September 2008 (Tabel 1).
Butir kesepakatan deklarasi
millenium antara lain memuat: 1. Penguatan
solidaritas dan langkah konkrit untuk
pembangunan dan pengurangan kemiskinan,
termasuk bagi pencapaian MDGs; 2.
Penguatan komitmen terhadap hak asasi
manusia, demokratisasi, tata pemerintahan
yang baik, perdamaian, dan lingkungan
hidup; 3. Penegakan kembali nilai-nilai
fundamental hubungan internasional:
Kemerdekaan, Kesetaraan, Solidaritas,
Toleransi, Penghargaan kepada Alam dan
Tanggung Jawab Bersama; dan 4.
Memastikan manfaat positif dari globalisasi
bagi masyrakat dunia, dan kebijakan global
terkait kepentingan negara berkembang
(development countries) dan aspirasi mereka
didengar dalam formulasi dan
implementasinya.
Mengutip UN Millenium
Declaration 2000 dikatakan bahwa ‖... no
individual and no nation must be denied the
opportunity to benefit from development.
The equal rights and opportuinities must be
assured. Men and women have the right to
live their lives with dignity, free from hunger
and from the fear of violence, oppression
and injustice‖ (www.endpoverty millenium
campagne.org).
Tabel 1.
KTT dan Konferensi Dunia Dekade 1990-an
1990 World Conference on Basic
Education for All, World Summit
for Children
1992 UN Conference on Environment
and Development
1993 World Conference on Human
Rights
1994 International Conference on
Polulation and Development
1995 Fourth World Conference on
Women
1995 World Summit for Social
Development
2000 Third UN Conference on the
LDCs
Sumber: Siahaan (2009)
MDGs merupakan gerakan dan
kampanye global yang tujuan akhirnnya
adalah pengentasan kemiskinan pada tahun
2015 untuk mewujudkan pembangunan yang
mensejahterakan terutama pada negara-
negara berkembang. Terdapat 8 (delapan)
agenda pokok yang menjadi target dari
kampanye tujuan pembangunan milenium
(MDGs) ini yaitu: 1. Memberantas
Kemiskinan dan Kelaparan; 2. Pendidikan
Dasar untuk semua; 3. Kesetaraan Gender;
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
67
4. Menurunkan Angka Kematian Anak; 5.
Meningkatkan Kesehatan Ibu; 6.
Pemberantasan Penyakit Malaria dan
Tuberkulosis (TB); 7. Memulihkan
Kelestarian Hidup; dan 8. Kemitraan bagi
Pembangunan.
Sejarah dan perkembangan
pembangunan di Indonesia sebenarnya telah
meratifikasi hampir semua persoalan yang
menjadi agenda MDGs, dari delapan butir
kampanye MDGs tidak ada satupun yang
lepas dari rencana-rencana pembangunan
nasional mulai dari konsep Garis -garis Besar
Haluan Negara (GBHN) dengan tahapan
REPELITA-nya di era Orde Baru atau
Program Pembangunan Nasional
(PROPENAS) dengan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) di era
reformasi sekarang ini, dengan kata lain,
boleh disebut bahwa konsep baru dari
program MDGs sebenarnya telah pula
menjadi agenda prioritas pembangunan
nasional bangsa Indonesia sejak deklarasi
kemerdekaan.
Setiap bangsa dan negara
menyadari bahwa interaksi global tidak
memungkinkan mereka menghindar,
sebagaimana dikemukakan bahwa linkage
process mengakibatkan semua negara harus
redefining and remaining cultural
differences sebab tantangan MDGs saling
terkait sehingga upaya pencapaian salah
tujuan akan mendekatkan pencapaian tujuan
yang lain dengan pendekatan lebih holistik,
sasaran yang konkrit, terukur dan kuantitatif,
serta memiliki komitmen global yang kuat.
MDGs merupakan momentum untuk fokus
menata ulang kebijakan pembangunan yang
mensejahterakan rakyat, percepatan
penanggulangan kemiskinan, dan
menegakkan konsistensi keadilan dan hak
asasi manusia.
PENCAPAIAN MDGs DI INDONES IA
Dalam proses pembangunan di
Indonesia selama dua dekade terakhir pasca-
reformasi tahun 1998 kita telah banyak
mendapatkan pengalaman, secara umum
dapat digambarkan munculnya 3 (tiga)
gejala perkembangan yang sangat
mempengaruhi eksistensi tingkat
kesejahteraan manusia Indonesia.
Pertama, penetrasi ekonomi yang
lebih maju ke dalam perekonomian bangsa.
Penetrasi itu disambut dengan membuka
perekonomian kita sehingga perekonomian
Indonesia terintegrasi dengan perekonomian
dunia. Hal ini menumbuhkan proses
internasionalisasi pasar dan komoditi yang
mempengaruhi sikap dan cara hidup
masyarakat Indonesia.
Gejala kedua, terjadinya
perkembangan yang tidak seimbang antara
sektor-sektor ekonomi dan daerah-daerah
ekonomi. Faktor yang menentukan adalah
tersedianya tenaga kerja. Modal yang masuk
ke Indonesia mengarah pada daerah-daerah
konsentrasi tersedianya tenaga kerja.
Demikian pula investasi mengarah pada
pasar, yaitu pada sektor-sektor yang
mempunyai daya dukung tenaga beli. Situasi
ini menimbulkan disaparitas atau
kesenjangan pertumbuhan ekonomi di antara
sektor masyarakat dan daerah yang berujung
mempengaruhi eksistensi relatif manusia. Di
sini terdapat segmen-segmen ekonomi yang
sudah berkembang dan belum mengalami
perkembangan sehingga menimbulkan
potensi konflik dalam hubungan sosial.
Gejala ketiga, terjadinya proses
penyisihan (exclutionary process) manusia
dari kegiatan ekonomi. Ini disebabkan
karena penggunaan teknologi modern yang
mampu menghemat tenaga kerja,yaitu demi
efisiensi ekonomi. Padahal, di sisi lain,
pertumbuhan penduduk yang pesat tidak
terhindarkan karena justifikasi sosial bahwa
tiap anggota keluarga merupakan aset dan
faktor produksi yang dapat menghasilkan
dan meningkatkan pendapatan rumah
tangga.
Pencapaian cita-cita negara yang
sejahtera (welfarestate) menuntut komitmen
negara dan rakyat Indonsia dengan segenap
infrastruktur kewenangan yang dimiliki
supaya dapat hidup sejajar bersama dengan
negara maju (developed countries). Target
dan indikator MDGs seharusnya dapat terus
diadopsi dalam perencanaan pembangunan
nasiona dan sektoral sampai di tingkat
pemerintah kota/kabupaten.
Peran masyarakat sipil
(stakeholder) dan penguatan hak masyarakat
dalam menyuarakan tantangan dan restorasi
kebijakan publik sangat penting dan
dibutuhkan untuk melakukan kontrol atas
kinerja pemerintah untuk mewujudkan
pencapaian agenda MDGs. Berbagai
kampanye dan advokasi bersama pemerintah
dan pemangku kepentingan perlu
ditingkatkan secara berkala terutama
berkaitan dengan isu public hearing
musyawarah rencana pembangunan pusat-
daerah
(MUSRENBANGNAS/MUSRENBANGDA
), kampanye penanggulangan kemiskinan,
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
68
kesehatan isu dan anak, pemenuhan
pendidikan dasar, calon legislatif perempuan
(gender), penghargaan kepada inisatif swasta
dalam merintis Corporate Social
Responsibility (CSR) dan pemerintah
kota/kabupaten yang memiliki komitmen
dan inovasi kebijakan yang mengadopsi
nilai-nilai MDGs, dialog lintas agama
tentang pencapaian MDGs.
Tabel 2.
Pencapaian MDGs di Beberapa Negara
MDG & Indikator Indonesia Vietnam India Thailand Philippines
Population (pop growth) 231.6(1.3) 87.4(1.4) 1.169(1.6) 63.9(0.8) 88.0(2.1)
1. $1/day poverty 7.5 2.2 34.3 2.0 14.8
2. Primary enrollment 98.4 87.8 94.2 100.0 92.0
Reaching Grade 5 79.5 92.1 73.0 Na 70.4
3. Gendery primary 1.0 0.9 1.0 1.0 1.0
Literacy rates 98.9 93.9 82.1 98.2 94.4
Seats in Nat Parlianment 18(2009) 27.3 8.3 8.7 15.3
4. Under-5 Mortality 34 27 76 8 32
Immunization Coverage 72 93 59 96 92
5. MMR 420 150 450 110 230
6. HIV prevalence 0.2 0.5 0.3 1.4 0.1
TBC prevalence 253 225 299 198 432
7. Forest Cover 48.8 39.7 22. 8 28.4 24.0
CO2 Emissions 1.69 1.18 1.20 4.28 0.97
Water access 80 92 89 98 93
8. Internet User (per 100) 4.7 17.2 10.7 13.1 5.9
Sumber: Siahaan (2009)
Kemajuan berarti dicapai oleh
pemerintah Indonesia dalam upaya
pengentasan kemiskinan seperti dapat dilihat
pada tabel 2, dengan indikator pendapatan
perkapita rata-rata US$1 per hari penurunan
prosentase jumlah penduduk miskin menjadi
7,5% pada tahun 2008 dari angka 20.6%
pada Tahun 1990. Apabila indikator US$1
per hari diasumsikan masih terlalu rendah
maka data yang diperoleh jumlah garis
kemiskinan masih berkisar di angka 49%
pada Tahun 2008 dengan pendapatan
perkapita US$2.
Sementara jika melihat isu upaya
peningkatan keselamatan ibu saat
melahirkan, data yang diperoleh
menunjukkan masih perlu upaya serius dari
sektor berwenang dengan menunjuk bahwa
data Asian Development Bank (ADB) angka
kematian Ibu (MMR) naik menjadi 420
orang per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2009, padahal Tahun 2007 sempat
menunjukkan prestasi penurunan angka
MMR menjadi 228 orang dari Tahun
2002/2003 yang sebesar 307 per 100.000
kelahiran hidup.
Prosentase perempuan Indonesia
menghadapi resiko kematian sebenarnya
bisa dikatakan lebih tinggi, berkisar 2-6 kali
dari perempuan di Vietnam, Thailand dan
Pilipina bila melihat teknis penanganan
proses persalinan kelahiran yang baru berada
di level 72% proses persalinan yang dibantu
atau didampingi oleh tenaga terlatih.
Angka kematian bayi pada Tahun
2015 diperkirakan akan mencapai target
sejumlah 32 anak per 1.000 kelahiran hidup,
jika melihat perkembangan angka kematian
bayi yang berjumlah 97 anak per 1.000
kelahiran hidup pada Tahun 1990 yang telah
turun menjadi 34 anak pada Tahun 2007.
Selanjutnya, kita juga dapat
menganalisis bahwa perhatian negara pada
peningkatan anggaran sektor kesehatan
masih sangat kecil bila diperbandingkan
dengan beberapa negara berkembang di
kawasan Asia Tenggara pun bahkan kita
masih jauh dengan komitmen Timor Leste di
sektor pengeluaran negara bagi kesehatan
publik ini. Anggaran sebagian negara di
Asia bagi sektor kesehatan masing-masing
negara adalah Timur Leste 8.8% dari
GDPnya, Thailand 2.2%, Vietnam 1.5%,
Philipina 1.4%, sedangkan India dan
Indonesia dengan potrnsi penduduk dan
sumber dayanya masih membutuhkan
alokasi anggaran yang lebih besar untuk
waktu-waktu mendatang karena masing-
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
69
masing baru mencapai 0.9% dan 1.0% dari
GDP untuk anggaran sektor kesehatan
publiknya. Langkah-langkah strategis dan
politik anggaran untuk sektor kesehatan
publik tampaknya masih perlu
diperjuangkan pada masa datang karena
faktor kesehatan sangat berpengaruh
terhadap aktifitas sosial-ekonomi
masyarakat secara keseluruhan (Diagram 1).
Diagram 1.
Sumber: Siahaan (2009), diolah
TANTANGAN DAN STRATEGI
NASIONAL-DAERAH PENCAPAIAN
MDGs
Keberhasilan dan keberlanjutan
pencapaian sasaran MDGs di Indonesia yang
masih tertinggal dibandingkan negara-
negara berkembang lainnya, khususnya di
kawasan Asia Tenggara membutuhkan kerja
lebih keras mengingat seluruh aspek sumber
daya yang disyaratkan terhadap pencapaian
MDGs tersebut bagi Indonesia sangalah
potensial. Perencanaan dan pengorganisasian
sumber daya dan potensi yang dimiliki
hendaknya dilaksanakan dengan riset
terprogram dan didukung pola
kepemimpinan nasional yang mampu
senantiasa mengarahkan pendulum target
MDGs sesuai batas yang diinginkan yaitu,
pengentasan kemisikinan pada Tahun 2015
medatang.
Beberapa tantangan besar yang
secara simultan dihadapi oleh Bangsa
Indonesia dan berpotensi menahan atau
bahkan membalikkan kemajuan yang telah
diraih dalam mewujudkan keberhasilan
pencapaian target MDGs antara lain:
1. Efektifitas sinergi/koordinasi
kelembagaan sosial-politik, karena
mengingat hampir seluruh kebijakan,
institusi pusat-daerah, aggaran yang
diperlukan telah dirancangdan
ditetapkan dan bahkan lebih dari cukup;
2. Adaptasi dalam perencanaan dan politik
anggaran, target dan indikator MDGs
masih perlu kosistensi pengawasan
sebagai ukuran kinerja dan akuntabilitas
pejabat publik, khususnya pada
pelayanan publik lokal (pemerintah
kota/kabupaten);
3. Situasi global dan gerakan ekonomi
transnasional juga perlu dicermati oleh
para pengambil kebijakan negara,
seperti: Perubahan iklim, krisis pangan,
krisis energi, krisis keuangan, dan
bencana alam;
4. Persoalan lain dan sangat mendesak,
yaitu tingkat penyelewengan kekuasaan
dan anggaran (korupsi yang akut) yang
melibatkan hampir seluruh institusi
penyelenggara pemerintahan baik di
eksekutif, legislatif dan yudikatif;
5. Peningkatan pendataan indikator per
sektoral atas program pembangunan
daerah baik yang telah berjalan sejak
dahulu ataupun yang khusus
dikembangkan bagi pencapaian MDGs;
6. Revitalisasi institusi pelayanan dasar
yang sudah menurun dan optimasliasi
yang telah berjalan baik, proses
anggaran, pengadaan barang dan jasa
dan sistem audit dana publik (APBN
dan APBD) harus dikawal untuk
meminimalkan praktek korupsi dan
mewujudkan akuntabilitas publik yang
dapat diharapkan meningkatkan
kredibiltas pemerintah.
Pemetaan persoalan dan tantangan
besar yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia
emberikan penyadaran pada kita bahwa
mewujudkan keberhasilan pencapaian
MDGs Di Tahun 2015 mendatang
diperlukan suatu strategi percepatan dengan
memperkuat komitmen nasional tentang
sasaran dan target MDGs di Indonesia.
Komitmen nasional MDGs harus
diterjemahkan dalam rencana aksi yang
ditindaklanjuti oleh anggaran yang ‖pro-
poor‖, berbasis kinerja dan berkelanjutan,
fokus pada program pemecahan masalah
yang terintegrasi (bukan hanya proyek-
proyek sektoral).
Pro-poor tidak berarti menekan
pertumbuhan, pro-poor budget tidaklah
selalu berarti peningkatan anggaran
pengeluaran publik, tapi diprioritaskan bagi
program pemberdayaan masyarakat miskin.
Prioritas pembangunan juga ditujukan
kepada wilayah yang masih tertinggal,
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
70
dengan investasi publik yang dirancang
khusus untuk menghilangkan kesenjangan
sosial-ekonomi.
Target dan indikator MDGs dapat
digunakan sebagai referensi dan sasaran
akhir dari riset atau simulasi implementasi
kebijakan publik, seperti apa alternatif
kebijakan yang tersedia agar prosentase
penduduk miskin bisa turun di kisaran 1
(satu) persen per tahun antara 2013-2015,
berapa investasi publik yang dibutuhkan,
dan seterusnya.
Selanjutnya perlu dipikirkan pula
penguatan peran masyarakat sipil dan
kapasitas akademisi, wilayah Indonesia ini
begitu luas dan variatif dalam tantangan
MDGs. Hak masyarakat dalam proses
pembangunan dan pengetahuan harus terus
diperkuat kesadaran dan kapasitasnya
(Setiawan, 2003). Lembaga swadaya
masyarakat dan agen-agen perantara lain
(universitas, organisasi profesi, organisasi
masyarakat/ormas) perlu konsisten
melakukan advokasi pada kelompok-
kelompok masyarakat yangbelum kuat dan
cenderung diabaikan haknya dalam
mewujudkan Program MDGs, endpoverty
2015 millenium campaign.
Perhatian partisipasi masyarakat
sipil dan akademisi perlu diakomodasi pada
problem-problem seperti ragam kebijakan
dan program dengan konteks lokalitas untuk
akselerasi pencapaian MDGs sangat
dibutuhkan. Misalnya, tantangan Wilayah
Papua adalah memerangi penyebaran
HIV/AIDS dan distribusi ketenagaan sektor
kesehatan disamping diversifikasi ekonomi
lokal sedangkan fokus pemerintahan Jakarta
adalah mengahadapi tantangan kemacetan,
banjir, lingkungan hidup, dan kemiskinan
perkotaan. Demikian juga upaya
pemantauan berkala terhadap kinerja
pelayanan dasar seperti pelayanan
kesehatan, pendidikan, hak asasi manusia
(ibu dan anak) dan lainnya yang masih jauh
dari memuaskan.
Pengetahuan, monitoring
tools/instruments, sistem dan lainnya
termasuk kemampuan analisis dapat
difasilitasi oleh masyarakat sipil dan
akademisi, dimana hasilnya dapat
dimanfaatkan sebagai bahan evaluasi
kebijakan dan program yang harus direspon
oleh pemerintah dan DPR/DPRD.
PENUTUP
Gelombang globalisasi membawa
akibat dalam tata kehidupan manusia, dalam
tingkah laku, dalam sistem nilai yang
berlaku, saling menguatnya hubungan antar
negara yang berarti semakin memperkuat
ketergantungan pada sektor politik,
keamanan, sosial-ekonomi, lingkungan
hidup, demokratisasi global, dan hak asasi
manusia. Linkage process tersebut
mempunyai dampak positif dan dampak
negatif. Hubungan-hubungan internasional
tersebut menciptakan pula berbagai isu atau
agenda baru untuk membentuk tata kelola
dunia baru, global governance, yang
mengatur tata cara dan kesepakatan interaksi
antar negara.
MDGs merupakan salah satu
serangkaian keputusan global governance
yang ingin diwujudkan oleh setiap negara
berdasarkan kapasitas dan prioritas
pembangunannya. Pencapaian MDGs di
Indonesia memiliki kecenderungan yang
lemah dibandingkan pencapaian yang
diperoleh negara-negara berkembang
lainnya. Penguatan kapasitas dan komitmen
institusi/kelembagaan pemerintahan,
swadaya masyarakat, organisasi sosial untuk
mendukung keberhasilan pencapaian target 8
butir tujuan pembangunan milenium/MDGs
pada Tahun 2015.
Peran negara harus terpusat pada 3
(tiga) ide pokok untuk mewujudkan
pencapaian delapan butir target MDGs yaitu,
pertama, negara harus menjamin hak hidup
setiap individu dan keluarga pendapatan
minimum/pencapaian kebutuhan hidp layak;
kedua, negara harus memberi perlindungan
sosial jika individu dan keluarga dalam
situasi sulit, misalnya usia lanjut, sakit atau
menganggur; dan ketiga, semua warga
negara berhak mendapatkan akses pelayanan
sosial dasar seprti pendidikan, kesehatan
pemenuhan gizi (balita), sanitasi, dan air
bersih.
DAFTAR PUSTAKA
Bahagijo, Sugeng dan Darmawan
Triwibowo. 2006. Globalisasi,
Defisit Pengetahuan dan Indonesia,
Jurnal Hukum Jentera, Jakarta.
Hara, A. Eby. 2005. Nasionalisme
Indonesia: Dari Nasinalisme Lokal
ke Nasionalisme Kosmopolit.
Jurnal Politika. Volume 1, No.2.
Herry-Priyono, B. 2006. ‖Proyek Indonesia
dalam Globalisasi: Mencari
Terobosan dalam Hak Asasi
Ekonomi‖ dalam Irfan Nasution
dan Ronny Agustinus, Restorasi
Pancasila: Mendamaikan Politik
JAMAK WASKITA Volume 1 No. 1 / April 2014
71
Identitas dan Modernitas, Brighten
Press, Jakarta.
Jones, Howard. 1990. Social Welfare in
Third World Development.
MacMillan: London.
Knowles, James C. 2000. A Look at Poverty
in the Developing Countries of
Asia. Asia-Pasific Population and
Policy Review. No.52.
Mkandawire, Thandikadan Virginia
Rodrigues. 2000. Globalization and
Social Development after
Copenhagen. Geneva: United
Nations Research Institute for
Social Development.
Moore, Mick. 2000. States, Social Policies
and Globalizations: Arguing on the
Right Terrain? IDS Bulletin. 31 (4),
p. 21-31.
Salim, Emil. 1985. Menuju Tinggal Landas
Tahun 2000. Dalam A. Rifai Hasan
(ed.). Tinjauan Kritis Tentang
Pembangunan. LSAF. Jakarta
Setiawan, Bobi B. 2003. Hak Masyarakat
dalam Penyusunan dan
Implementasi Kebijakan Tata
Ruang. Makalah Seminar Nasional
Proses Penyusunan dan
Implementasi Tata Ruang. Pusat
Studi Planologi FT Unissula.
Semarang.
Siahaan, Wilson. 2009. Tujuan
Pembangunan Milenium (MDGs).
Makalah Simposium Nasional
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu
Kesejahteraan Sosial FISIP
Universitas Indonesia. Jakarta.
Recommended