View
182
Download
4
Category
Preview:
Citation preview
ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG / في القرض آداباإلسالمي الفقه
Posted on Maret 2, 2012 | 2 Komentar
Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc
DOA AGAR TERBEBAS DARI HUTANG
Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang
namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada
pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada
yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit
rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya
dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang
dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan
untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan
seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam
neraka.
PENGERTIAN HUTANG PIUTANG:
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan
istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti
memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh,
karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang. (Lihat Fiqh
Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili)
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan
harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan
memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan
padanannya. (Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dariMauqif Asy-Syari’ah Min Al-
Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29).
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak
milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari
sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp.
1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan
uang sejumlah satu juta juga.
HUKUM HUTANG PIUTANG:
Hukum Hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang
yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan
adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang
besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah
sebagaimana berikut ini:
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah I: “Siapakah yang mau memberi pinjaman
kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah
akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.
Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi
r pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau
membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan
unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai
Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah sesekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,
“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik
dalam mengembalikan hutang.”(HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-
Ibil(no.2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an Fa Qadha
Khairan Minhu (no.1600)
Nabi r juga bersabda: “Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya
dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (Hadits ini di-hasan-kan
oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389)).
Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma‘ tentang
disyariatkannya hutang piutang (peminjaman).
Adapun hokum berhutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah
sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi r pernah berhutang. (HR. Bukhari IV/608
(no.2305), dan Muslim VI/38 (no.4086)).
Namun meskipun berhutang atau meminta pinjaman itu diperbolehkan dalam syariat
Islam, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal
mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan
ekonomi. Karena hutang, menurut Rasulullah r, merupakan penyebab kesedihan di
malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq,
sebagaimana sabda Rasulullah r: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka
dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasulullah r pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih
meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah r
bersabda: “Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.”
(HR. Muslim).
Bagaimana Islam mengatur berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan
menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:
BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG:
[1]. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman Allah I: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya,
maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan
(apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah
ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu
enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih
dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali
jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak
ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk
dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi
non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih
menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan
salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar
tidak mendatangkan keraguan”. (Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, III/316).
[2]. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau
manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka
hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan
penambahan. Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan
manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para
ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan
syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari
pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan
mencari kompensasi atau keuntungan. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147)
Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun
rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah
dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat
dari Allah ta’ala.
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang
terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan.
(Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat
dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan
rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak
dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan,
inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri,
atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap,
maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. (Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi,
Shalih Al-Fauzan, II/51).
[3]. Kebaikan sepantasnya dibalas dengan kebaikan
Dari Abu Hurairah t, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu)
seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun
berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya,
akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi
(pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah
menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah I membalas dengan setimpal”. Maka Nabi r
bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam
pengembalian (hutang)”.( HR. Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305)
Dari Jabir bin Abdullah t ia berkata: “Aku mendatangi Nabi r di masjid, sedangkan beliau
mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR.
Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394)
[4]. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan
dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka
digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.
Dari Abu Hurairah t, ia berkata bahwa Nabi r bersabda: “Barangsiapa yang mengambil
harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya),
maka Allah I akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk
menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka AllahI akan membinasakannya”.
(HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387)
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena
kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas. Berapa banyak orang yang
berhutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun
memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada
dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang
baik, maka Allah I membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah I melelahkan
badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena
memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana
dengan akhirat yang kekal nan abadi?
[5]. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau
peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan
syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli,
menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda
Nabi: “Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504,
At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan
shahih”).
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang
diharamkan.
[6]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang
yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah
keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah
menjadi permusuhan dan perpecahan.
[7]. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa
pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
Rasulullah r bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya,
hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam
kitab Al-buyu’, dan selainnya).
[8]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas
hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk
memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah t, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia
meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang
agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun
mendatangi Nabi r meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun
tidak mau. Beliau r berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu
Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu
datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau r pun datang lalu duduk
dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak
disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405).
[9]. Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin
tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab
orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia
tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana sabda Nabi r: “Menunda
(pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman”. (HR. Bukhari no.
2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628
dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah t, ia berkata, telah bersabda Rasulullah r: “Sekalipun
aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari
tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang”. (HR Bukhari no. 2390)
[10]. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan
dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
Allah I berfirman: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 280).
Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah r bersabda:
“Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pent),
maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang
kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (Shahih Ibnu Majah no. 1963)
Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang piutang.
Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan
berkah, serta terbebas dari lilitan hutang. Amin.
[Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM, Edisi, Tanggal 15 November 2010]
Pinjam-Meminjam Menurut Tinjauan Al-qur'an dan Sunnah
Pinjam-Meminjam
Menurut Tinjauan Al-qur'an dan Sunnah
A. Muqodimah
Sejarah mencatat, dan kita semua mengetahui betapa susah dan pahitnya hidup
ditengah-tengah negara yang sedang dilanda krisis, diantaranya adalah krisis moral,
keyakinan dan yang tidak kalah pentingnya adalah krisis ekonomi. Setiap individu
berharap serta berangan-rangan, bagaimana bisa hidup berkecukupan dan tidak
kekurangan dari hal-hal yang dibutuhkan. Dan ini merupakan harapan yang sangat
mustahil bisa tercapai. Karena pada hakekatnya manusia itu adalah makhluk sosial
yang membutuhkan bantuan orang lain dan ini tidak dapat dipungkiri.
Manusia hidup erat hubungannya dengan muamalah dengan individu yang lain.
Masing-masing berusaha dengan berbagai upaya, untuk menciptakan suatu kondisi
yang memudahkan keberlangsungan hidupnya. Tentunya didalamnya tidak lepas dari
hubungan timbal balik, tolong menolong diantara sesama, lebih terkusus lagi dalam hal
pinjam meminjam barang. Sehingga manusia sangat mudah mendapatkan barang yang
ia inginkan dan tidak harus membelinya. Karena islam telah mengajarkan umat
manusia untuk bebuat baik dan tolong-menolong diantaranya dalam masalah pinjam
meminjam barang.
Akan tetapi ironisnya, banyak kita jumpai akhir-akhir ini, kalangan yang ingin
memanfaatkan kesempatan ditengah-ditengah kesempitan orang lain. Mereka
membantu dengan meminjami barang dengan motif untuk mendapatkan
keberuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan demikian tidak heran, seandainya
banyak individu yang dirugikan dan merasa dizhalimi. Maka berangkat dari hal ini kami
ingin mengupas dan membahas bagaimana islam memutuskan hal ini?
B. Ta'rif Al-Qhordu
Al-qhordu menurut bahasa adalah potongan,[1] sedangkan menurut syar'i adalah
menyerahkan uang kepada orang yang yang bisa memanfaatkannya kemudian ia
meminta kembaliannya sebesar uang tersebut.[2]
Sedangkan menurut Sayid Sabiq Pinjaman adalah harta yang diberikan kreditur
kepada debitur (orang yang meminjam). Kemudian debitur mengembalikan pinjaman
tersebut setelah dirinya mampu untuk mengembalikannya.[3]
Adapun menurut mazhab hanafi, pinjaman ialah harta yang dipinjamkan kepada
orang lain, dengan maksud harta tersebut akan dikembalikan kembali, atau dengan
ungkapan yang lebih tepat pimjaman ialah akad khusus yang disepakati oleh kedua
pihak yaitu antara kreditur (orang yang meminjami) dan debitur (orang yang dipinjami)
dalam masalah barang yang dipinjamkan, yang nantinya akan dikembalikan kembali.
[4]
Contohnya, orang yang membutuhkan uang berkata kepada orang yang layak
dimintai pinjaman "Pinjamkan untukku uang sebesar sekian, atau perabotan, atau
hewan hingga waktu tertentu. Kemudian aku kembalikan kepadamu pada waktunya.
Orang dimintai pinjamanpun memberikan pinjaman uang kepada orang tersebut.
C. Hukum Pinjaman dalam islam
, mengenai pahala orang yang memberikan pinjaman kepada orang lain. Al-
qhordhu disunnahkan bagi pemberi pinjaman berdasarkan dalil berikut. Firman Allah
)11من ذا الذي يقرض الله قرضا حسنا فيضاعفه له وله أجر كريم(
akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan
memperoleh pahala yang banyak." pinjaman yang baik, maka Allah "Siapakah yang
mau meminjamkan kepada Allah (Q.S Al-Hadid: 11)
Rosulullah bersabda,
كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من كرب من نفس عن أخيهسوم القيامة
akan menghilangkan darinya salah satu kesulitan pada hari kiamat."" Barang
siapa menghilangkan salah satu kesulitan dunia dari sauadaranya. Maka Allah
(Diriwayatkan Imam Muslim)
Adapun bagi muqtarid atau peminjam, maka diperbolehkan karena Rosulullah
pernah meminjam onta kepada Abu Bakar Radiyallahu 'anhu dan mengembalikan
dengan onta yang lebih baik. Beliau bersabda,
إن من خير الناس أحسنهم قضاء
"Sesngguhnya manusia yang baik adalah orang yang paling baik
pengembaliannya (utangnya)."(Diriwayatkan oleh Bukhari).
Dan Rosulullah r juga pernah besabda,
رأيت ليلة األسرى بي على باب الجنة مكتوبا الصدقة بعشر أمثالها والقرض بثمانية عشر فقلت: يا جبريل مابال القرض أفضل من
الصدقة ؟ قال ألن السائل يسأل وعنده والمستعرض ال يستعرض إال منحاجة
Ketika malam isra', saya melihat diatas pintu surga tulisan yang berbunyi,
Sedekah itu semisal dengan sepuluh (kebaikan) dan pinjaman itu semisal dengan
delapan belas (kebaikan). Maka saya berkata kepada jibril, "Wahai jibril, mengapa
pahala orang yang meminjamkan sesuatu itu lebih besar dari orang yang bersedekah?"
Jibril menjawab, "Karena orang yang meminta (sedekah) itu, meminta sesuatu
sedangkan dirinya mempunyai sesuatu itu. Sedangkan orang yang berhutang tidaklah
ia berhutang melainkan untuk keperluannya." (Diriwayatkan Ibnu Majah dan Al-baihaqi)
Demikian pula al-qhordu diperbolehkan menurut ijma' kaum muslimin. Kaum
muslimin telah sepakat tentang bolehnya al-qhordu dan hal itu disunnahkan bagi para
kreditur dan hukumnya mubah bagi para debitur berdasarkan dengan dalil-dalil diatas.
Dan Abu darda' pernah berkata mengenai hal ini,
ألن أقرض دينارين ثم يردا ثم أقرضهما أحب إلي من أن أتصدق بهما
"Sungguh dua dinar yang aku pinjamkan (kepada orang lain) kemudian uang
tersebut dikembalikan kepadaku, setelah itu aku meminjamkannya kembali, itu lebih
aku sukai dari pada aku menyedekahkannya."
Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas berkata,
قرض مرتين خير من صدقة مرة
"Meminjamkan sesuatu (kepada orang lain) sebanyak dua kali itu lebih baik
dari pada sedekah yang dilakukan hanya sekali."
Sedangkan menurut mazhab Hambali,
"Sedekah itu lebih utama dari pada meminjamkan sesuatu (kepada orang lain),
maka dari itu tidak dosa bagi yang dipinjami sesuatu kemudian ia tidak
memberikannya.
Diantara hukum pinjaman sebagai berikut:
1. Pinjaman dimiliki dengan diterima. Jadi jika debitur atau peminjam telah menerimanya,
ia memelikinya dan menjadi tanggungannya.
2. Pinjaman boleh sampai batas waktu tertentu. Tapi jika tidak sampai batas waktu
tertentu itu lebih baik karena itu meringankan debitur.
3. Jika barang yang dipinjamkan itu tetap utuh seperti ketika saat dipinjamkan, maka
sikembalikan utuh seperti itu. Naun jika telah mengalami perubahan, kurang atau
bertanbah, maka dikembalikan dengan barang lain sejenisnya. Jika ada dan jika tidak
ada maka dengan uang seharga barang tersebut.
4. Jika pengembalian pinjaman tidak membutuhkan biaya tramportasi. Maka boleh dibayar
ditempat manapun yang diinginkan kreditur jika merepotkan, maka debitur tidaj harus
mengembalikan ditempat lain.
5. Kreditur haram hukumnya mengambil manfaat dari pinjaman dengan penambahan
jumlah pinjaman atau meminta kembalian pinjaman lebih baik atau manfaat lain yang
keluar dari akad perjanjian jika itu semua disyaratkan, atau berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak. Tapi jika penambahan pengembalian pinjaman itu bentuk itikad baik
dari debitur, itu tidak ada salahnya, karena Rosulullah r memberi Abu Bakar unta yang
lebih baik dari unta yang dipinjamnya dan beliau bersabda,
إن من خير الناس أحسنهم قضاء
"Sesungguhnya menusia yang baik adalah orang yang paling baik pengembaliannya
(utangnya)."(Diriwayatkan oleh Bukhari).
D. Syarat-syarat dalam meminjam barang
a. Besarnya pijaman harus diketahui dengan takaran, timbangan dan jumlahnya.
b. Sifar pinjaman dan usianya harus diketahui jika dalam bentuk hewan.
c. Pinjaman berasal dari orang yang layak diminta pinjaman. Jadi pinjaman tidak syah dari
orang yang tidak memeliki sesuatu yang bisa dipinjam atau orang yang tidak normal
akalnya.[5]
E. Akad dalam meminjam barang
Akad yang dipakai dalam meminjam barang ialah akad tamlik ( kepemilikan),
maka tidak sempurna akad tersebut melainkan dilakukan oleh orang yang mampu
melakukannya. Dan akad ini dianggap tidak syah, jika tidak ada pelaksanaan ijab dan
qobul antara kreditur dan debitur.
Dengan demikian hubungan pinjam meminjam ini mengharuskan adanya lafadz
ijab dan qobul seperti akad yang dilakukan dalam jual beli dan pemberian. Sedangkan
lafadz yang digunakan ialah lafadz meminjam atau setiap lafadz yang memiliki makna
yang serupa dengannya.[6] Seperti, "Barang ini sekarang menjadi kepemilikanmu dan
suatu saat kamu harus mengembalikannya kepadaku" [7]
F. Hukum menentukan waktu pengembalian
Jumhur fuqoha' berpendapat bahwa tidak diperbolehkan bagi kreditur
menentukan waktu pengembalian barang yang ia pinjamankan. Sedangkan menurut
imam Malik diperbolehkan menentukan waktu pengembaliannya dan harus menetapi
syarat yang sudah ada.[8]
G. Mengambil manfaat dari barang pinjaman
Sesungguhnya adanya pinjam-meminjam tersebut bermaksud untuk mendekatkan
hubungan kesetiakawanan antara sesama muslim dan sebagai bentuk pertolongan
kepada orang-orang yang memang membutuhkan pertolongan. Hal ini bertujuan untuk
mempermudah keberlangsungan hidup diantara sesama muslim, bukan sebagai sarana
untuk mencari atau mengais rezeki apalagi dijadikan sarana untuk memperdayai orang
lain.
Dengan demikian tidak boleh bagi sang peminjam mengembalikan pinjamannya
kepada debitur, melainkan ia harus mengembalikan barang yang ia pinjam sebelumnya
atau mengembalikan dengan barang yang serupa dan tidak menambahnya. Karena ada
sebuah qoidah fikih yang berbunyi,
كل قرض جر نقعا فهو ربا
"Setiap pinjaman yang yang difungsikan untuk mendatangkan manfaat, maka
itu termasuk riba."
Larangan disini bersifat muqayad, artinya setiap manfaat yang ada karena
kesepakatan antara kedua belah pihak dan diketahui bersama. Tapi jika kreditur tidak
mensyaratkan hal tersebut atau tidak memberitahukannya. Maka diperbolehkan bagi
debitur untuk mengembalikan pinjaman tersebut dengan sesuatu yang lebih baik atau
melebihkannya. Dan bagi kreditur tidak mengapa menerima yang demikian itu dan
hukumnya tidak makruh.
Hal ini sebagaimana telah dilakukan rosulullah r kepada Jabir bin Abdullah yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim bahwa Jabir bin Abdullah pernah
berkata,
كان لي على رسول الله حق فقضاني وزداني
"(Ketika itu), Rosulullah r mempunyai hak yang harus dipenuhi terhadap diriku,
kemudian beliau menunaikan hak tersebut dan memberikannya kepadaku dengan
melebihkan (kembaliannya)." (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad). [9]
Dengan demikian pedoman yang dipakai dalam hal ini ialah setiap pinjaman yang
didalamnya diberlakukan syarat, yaitu harus ada tambahan ketika barang
dikembalikan, maka hukumnya haram. Ibnu mundzir pernah berkata, Para ulama telah
sepakat, jika seorang yang kreditur membuat syarat kepada debitur, supaya menambah
pengembalian barang yang ia pinjamkan, maka ini termasuk riba.[10]
Dan hal ini serupa dengan fatwanya Dr.Yusuf Qaradawi, ketika beliau ditanya
tentang seseorang yang memberi pinjaman uang sebanyak seribu dirham kepada orang
lain dan dalam jangka waktu tertentu orang yang berhutang mengembalikan utang itu
sebesar seribu seratus atau seribu dua ratus dirham. Apakah perbuatan ini termasuk
riba?
dan Rosulnya. Dan barang siapa yang bersekutu dalam akad riba ini dia terkutuk
menurut lisan Nabi Muhamad Beliau menjawab, Tidak ada perbedaan antara
emas, perak atau uang kertas. Dalam bermuamalah, uang kertas dalam hal ini
menduduki posisi emas dan perak dalam muamalah, karena itu hukumnya haram bila
dikelola secara riba. Saya tidak melihat adanya alasan untuk meragukan hal ini. Maka
barang siapa mengambil bunga atas uang kertas atau memberi bunga, maka ia telah
memasuki wilayah hukum riba yang diharamkan dan diancam akan diperangi oleh Allah
r yang telah melaknat pemakan hasil riba, yang menulisnya dan yang menjadi saksi.
[11]
H. Ketentuan Barang yang boleh dipinjamkan
Diperbolehkan meminjamkan pakaian dan hewan karena telah ada ketetepan dari
Rosul r, yaitu beliau pernah meminjam onta yang masih muda. Demikian juga barang
yang bisa ditakar dan ditimbang atau barang yang berbentuk barang perniagaan maka
barang tersebut syah atau boleh dipinjamkan kepada orang lain. Bahkan
diperbolehkan pula meminjamkan barang yang berbentuk roti adanon, hal sebagaimana
telah dilakukan oleh Ummul mukminin A'isyah dirinya berkata,
قلت يارسول الله : إن الجيران يستعرضون الخبز والحمير ويردونالزيادة ونقصانا فقال ال بأس إنما ذلك من
مرافق الناس ال يراد به الفضل
Saya berkata kepada Rosululloh r, Wahai Rosulullah, sesungguhnya tetangga
(kita) meminjam roti dan roti yang sudah diadoni, kemudian mereka
mengembalikannya dengan melebihkannya dan mengurangainya? Maka Rosulullah
bersabda, "Tidak mengapa, karena yang demikian itu merupakan bentuk kebersamaan,
bukan berharap sesuatu yang lebih dari (pinjaman tersebut}."[12]
Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali mereka berpendapat,
Setiap barang (harta) yang biasa dijual-belikan dengan cara "Penjualan salam", maka
barang tersebut boleh dipinjamkan. Baik barang tersebut berupa barang yang bisa
ditakar atau ditimbang atau barang yang tidak bisa ditimbang. Contoh dari kedua
macam tersebut seperti, emas, perak, berbagai jenis makanan, barang-barang
perniagaan atau hewan dan semisalnya. Karena Rosulullah r pernah meminjam onta
yang masih berumur masih muda. Padahal onta tersebut tidak bisa ditakar maupun
ditimbang.
Karena ketetapan yang dipakai dalam hal ini ialah setiap barang yang biasa
dijualkan belikan dengan penjualan salam yang memiliki sifat dan wujud yang jelas,
maka barang tersebut boleh dipinjamkan. Sedangkan barang yang termasuk dalam
katagori ini yang tidak boleh untuk dipinjamkan adalah barang yang berbentuk mutiara
atau yang semisalnya. Maka barang ini tidak boleh dipinjamkan, karena suatu saat akan
dikembalikan kembali.[13] Dan Abu Hurairah pernah berkata, Tidak boleh
meminjamkan barang yang tidak bisa ditakar dan ditimbang, karena barang tersebut
tidak ada yang serupa bentuknya, seperti mutiara.
Sedangkan pinjaman yang berbentuk anak adam ataun manusia, mengenai hal
ini Imam Ahmad pernah berkata, "Hukumnya makruh meminjamnya, dan larangan
disini bersifat makruh tanzih." Sedangkan Al-Muzani dan Ibnu Juraij membolehkannya.
Adapun Al-Qhodi memilih atau mengambil pendapat yang pertama, yaitu hukumnya
makruh tanzih meminjam anak adam atau manusia.
Referensi :
1. Al Munawir
2. Minhajul Muslim
3. Fiqh Sunnah
4. Al Mughni
5. Fatwa – Fatwa Yusuf Qhardawi
6. Fiqh Islami
7. Al Mughni
1. KEUTAMAAN QIRADH (PINJAM MEMINJAM)
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan di antara sekian
banyak kesusahan dunia dari seorang muslim, niscaya Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan dari
sekian banyak kesusahan hari kiamat; barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang didera kesulitan,
niscaya Allah memberi kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya
selama hamba tersebut selalu menolong saudaranya.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 1888, Muslim IV: 2047 no:
2699, Tirmidzi IV: 265 no: 4015, ‘Aunul Ma’bud XIII: 289 no: 4925).
Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada orang muslim
yang lain dua kali, melainkan pinjaman itu (berkedudukan) seperti shadaqah sekali.”(Hasan: Irwa-ul Ghalil no: 1389
dan Ibnu Majah II: 812 no: 2430).
2. PERINGATAN KERAS TENTANG HUTANG
Dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah saw, bahwa Beliau bersabda, “Barangsiapa yang rohnya
berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong,
(kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan hutang.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1956, Ibnu Majah II: 806
no: 2412, Tirmidzi III: 68 no: 1621).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jiwa orang mukmin bergantung pada hutangnya hingga
dilunasi.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 6779 al-Misykah no: 2915 dan Tirmidzi II: 270 no: 1084).
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang
satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi
Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1985, Ibnu Majah II: 807 no: 2414).
Dari Abu Qatadah ra bahwasannya Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau
mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal. Kemudian
berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah,
apakah dosa-dosaku akan terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah saw kepadanya “Ya, jika engkau gugur di jalan
Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah
bersabda: “Melainkan hutang, karena sesungguhnya Jibril ’alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku.” (Shahih:
Irwa-ul Ghalil no: 1197, Muslim III; 1501 no: 1885, Tirmidzi III: 127 no: 1765 dan Nasa’i VI: 34).
3. ORANG YANG MENGAMBIL HARTA ORANG LAIN DENGAN NIAT HENDAK DIBAYAR ATAU
DIRUSAKNYA
Dari Abi Hurairah ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Barangsiapa mengambil harta orang lain dengan niat hendak
menunaikannya, niscaya Allah akan menunaikannya, dan barang siapa yang mengambilnya dengan niat hendak
merusaknya, niscaya Allah akan merusakkan dirinya.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 598 dan Fathul Bari V: 53 no:
2387).
Dari Syu’aib bin Amr, ia berkata: Shuhaibul Khair ra telah bercerita kepada kami, dari Rasulullah saw, bahwasannya
Beliau bersabda, “Setiap orang yang menerima pinjaman dan ia bertekad untuk tidak membayarnya, niscaya ia
bertemu Allah (kelak) sebagai pencuri.” (Hasan Shahih: Shahihul Ibnu Majah no: 1954 dan Ibnu Majah II: 805 no:
2410).
4. PERINTAH MELUNASI HUTANG
Allah swt berfirman :
“Sesunguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS An-Nisaa’: 58).
5. MEMBAYAR DENGAN BAIK
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Adalah Nabi saw pernah mempunyai tanggungan berupa unta yang berumur satu
tahun kepada seorang laki-laki. Kemudian ia datang menemui Nabi saw lalu menagihnya. Maka Beliau bersabda
kepada para Shahabat, “Bayar (hutangku) kepadanya.” Kemudian mereka mencari unta yang berusia setahun,
ternyata tidak mendapatkannya, melainkan yang lebih tua. Kemudian Beliau bersabda, “Bayarkanlah
kepadanya.” Lalu jawab laki-laki itu, “Engkau membayar (hutangmu) kepadaku (dengan lebih sempurna), niscaya
Allah menyempurnakan karunia-Nya kepadamu.” Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya orang yang terbaik di antara
kamu adalah orang yang terbaik di antara kamu dalam membayar hutang.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 225, Fathul Bari
IV: 58 no: 2393, Muslim III: 1225 no: 1601, Nasa’i VII: 291 dan Tirmidzi II: 389 no: 1330 secara ringkas).
Dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata, “Saya pernah menemui Nabi saw di dalam masjid Mis’ar berkata, “Saya
berpendapat dia (Jabir) berkata: Di waktu shalat dhuha, kemudian Rasulullah bersabda, “Shalatlah dua raka’at.” Dan
Rasulullah pernah mempunyai tanggungan hutang kepadaku, lalu Rasulullah membayar lebih kepadaku.” (Shahih:
Fathul Bari V: 59 no: 2394, ‘Aunul Manusia’bud IX: 197 no: 3331 kalimat terakhir saja).
Dari Isma’il bin Ibrahim bin Abdullah bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi dari bapaknya dari datuknya, bahwa Nabi saw
pernah meminjam uang kepadanya pada waktu perang Hunain sebesar tiga puluh atau empat puluh ribu. Tatkala
Beliau tiba (di Madinah), Beliau membayarnya kepadanya. Kemudian Nabi saw bersabda kepadanya, “Mudah-
mudahan Allah memberi barakah kepadamu pada keluarga dan harta kekayaanmu; karena sesungguhnya
pembayaran hutang itu hanyalah pelunasan dan ucapan syukur alhamdulillah.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 1968
dan Ibnu Majah II: 809 no: 2424, dan Nasa’i VII: 314).
6. MENAGIH HUTANG DENGAN SOPAN
Dari Ibnu Umar dan Aisyah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa menuntut haknya, maka tuntutlah
dengan cara yang baik, baik ia membayar ataupun tidak bayar.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1965 dan Ibnu
Majah II: 809 no: 2421).
7. MEMBERI TANGGUH KEPADA ORANG YANG KESULITAN
Allah swt berfirman:
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan,
menshadaqahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah:
280)
Dari Hudzaifah ra, ia berkata: Saya pernah mendengar Nabi saw bersabda, “Telah meninggal dunia seorang laki-
laki.” Kemudian ia ditanya, “Apakah yang pernah engkau katakan (perbuat) dahulu?” Jawab Beliau, “Saya pernah
berjual beli dengan orang-orang, lalu saya menagih hutang kepada orang yang berkelapangan dan memberi
kelonggaran kepada orang berada dalam kesempitan, maka diampunilah dosa-dosanya.” (Shahih: Shahih Ibnu
Majah no: 1963 dan Fathul Bari V: 58 no: 2391).
Dari Abul Yusri, sahabat Nabi saw, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dalam
naungan-Nya (pada hari kiamat), maka hendaklah memberi tangguh kepada orang yang berada dalam kesempitan
atau bebaskan darinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1963 dan Ibnu Majah II: 808 no: 2419).
8. PENUNDAAN ORANG MAMPU ADALAH ZHALIM
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Penundaan orang yang mampu adalah suatu
kezhaliman.” (Muttfaaqun ’alaih: Fathul Bari V: 61 no: 2400, Muslim III: 1197 no: 1564 ‘Aunul Ma’bud IX: 195 no:
3329, Tirmidzi II: 386 no: 1323, Nasa’I VII: 317 dan Ibnu Majah II: 803 no: 2403).
9. BOLEH MEMENJARAKAN ORANG YANG ENGGAN MELUNASI HUTANG PADAHAL MAMPU
Dari Amr bin asy-Syuraid dari bapaknya Rasulullah saw bersabda, “Penundaan orang yang mampu (membayar)
dapat menghalalkan kehormatannya dan pemberian sanksi kepadanya.” (Hasan: Shahih Nasa’i no: 4373, Nasa’i VII:
317, Ibnu Majah II: 811 no: 2427, ‘Aunul Ma’bud X: 56 no: 3611 dan Bukhari secara mu’allaq lihat Fathul Bari V: 62).
10. SETIAP PINJAMAN YANG MENDATANGKAN MANFA’AT ADALAH RIBA
Dari Abu Buraidah (bin Abi Musa), ia bercerita, “Saya pernah datang di Madinah, lalu bertemu dengan Abdullah bin
Salam. Kemudian ia berkata kepadaku, “Marilah pergi bersamaku ke rumahku, saya akan memberimu minum
dengan sebuah gelas yang pernah dipakai minum Rasulullah saw dan kamu bisa shalat di sebuah masjid yang
Beliau pernah shalat padanya.” Kemudian aku pergi bersamanya (ke rumahnya), lalu (di sana) ia memberiku minum
dengan minuman yang dicampur tepung gandum dan memberiku makan dengan tamar, dan aku shalat di masjidnya.
Kemudian ia menyatakan kepadaku, “Sesungguhnya engkau berada di tempat di mana praktik riba merajalela, dan di
antara pintu-pintu riba adalah seorang di antara kamu yang memberi pinjaman (kepada orang lain) sampai batas
waktu (tertentu), kemudian apabila batas waktunya sudah tiba, orang yang menerima pinjaman itu datang kepadanya
dengan membawa sekeranjang (makanan) sebagai hadiah, maka hendaklah engkau menghindar dari sekeranjang
(makanan) itu dan apa yang ada di dalamnya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 235 dan Baihaqi V: 349).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-
Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-
Sunnah), hlm. 694 - 702.
Syubhat Seputar Pinjam Meminjam RibawiKategori: Majalah AsySyariah Edisi 029
(ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari)
Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib z secara marfu’:
¢ا ر£ب ف¤ه¥و¤ ¦ف¤ع¤ة¢ م¤ن ج¤ر§ ̈ض ق¤ر¦ ¥ل© ك
“Setiap pinjaman yang membawa manfaat keuntungan adalah riba.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Haris ibnu Abi Usamah (dalam Musnad-nya,
1/500 no. 437, pen.) dan di dalam sanadnya ada seorang rawi yang gugur periwayatannya (saqith). Dan hadits ini
memiliki syahid (pendukung) yang dhaif pula dari Fadhalah bin ‘Ubaid yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (di dalam
As-Sunanul Kubra, 5/350 dan Ma’rifatus Sunan wal Atsar, 4/391, pen.). Pendukung lainnya adalah hadits mauquf,
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Salam z((lihat Bulughul Maram, Kitabul Buyu’, Bab As-Salam wal
Qardh war Rahn, hadits no. 812, -pen).” Al-Hafizh juga mengatakan dalam At-Talkhish (3/997): “Dalam sanad hadits
ini ada Sawar ibnu Mush’ab, dia adalah rawi yang matruk (yang ditinggalkan haditsnya).”
Hadits ini didhaifkan pula oleh Ibnul Mulaqqin dalam Khulashah Al-Badrul Munir (2/78), Abdul Haq di dalam Al-
Ahkam, Ibnu Abdil Hadi dalam At-Tanqih (3/192) dan Al-Imam Al-Albani t dalam Irwa`ul Ghalil (5/236, hadits no.
1398).
Ketahuilah, setiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan teranggap riba. Salah satu argumentasinya
adalah hadits di atas. Namun karena haditsnya dhaif, tentunya kita tidak boleh memakainya sebagai hujjah. Hanya
saja makna hadits di atas terpakai, diperkuat oleh ushul syariat dan telah dinukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) para
ulama dalam masalah ini. Sebagaimana dinukilkan oleh Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi t (dan yang lainnya) bahwa
setiap pinjam meminjam yang di dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan, penambahan kualitas ataupun
kuantitas, termasuk riba. Pinjam meminjam pada asalnya adalah perbuatan kebaikan di mana seseorang
memberikan kepada yang lain suatu barang atau uang, untuk nantinya dikembalikan yang sama pada waktu yang
telah disepakati. Namun manakala ada penambahan dalam pengembalian atau dikembalikan dengan sesuatu yang
lebih bagus/baik, terjadilah riba. (Al-Muhalla bil Atsar, 6/348, dan dalam Maratibul Ijtima’, hal. 165)
Dalam hal ini ada beberapa syubhat yang beredar di tengah kaum muslimin yang sengaja disebarkan oleh ahlus
syubhat yang dipandang tokoh oleh sebagian orang. Kami nukilkan secara ringkas beberapa syubhat tersebut berikut
jawabannya dari kitab Syarhul Buyu’ war Riba Min Kitabid Darari (hal. 146-148) yang ditulis guru kami Asy-Syaikh
Abdurrahman bin ‘Umar bin Mar’i Al-’Adnani hafizhahullah.
Beliau hafizhahullah menyatakan ada pihak-pihak yang tidak menganggap riba pinjam meminjam (qardh) yang
memberi faedah. Dalam hal ini mereka menggunakan dua sudut pandang:
Pertama: Riba yang diharamkan hanyalah riba jahiliah, yaitu riba dalam hutang piutang. Misalnya, seseorang
menghutangi orang lain dengan perjanjian akan dibayar dalam tempo tertentu, namun ternyata sampai tempo yang
ditentukan orang yang berhutang belum melunasinya. Akibatnya si pemberi piutang memberi denda dengan jumlah
tertentu yang harus dibayarkan bersama hutang, sehingga bertambahlah jumlah hutang dari orang yang berhutang
tersebut (istilahnya: engkau bayar sekarang atau hutangmu bertambah).
Adapun pembayaran tambahan yang telah disebutkan (dipersyaratkan) di awal akad pinjam meminjam, mereka
mengatakan bahwa itu bukan riba yang diharamkan.
Mereka yang berpendapat seperti ini di antaranya Muhammad Rasyid Ridha penulis Tafsir Al-Manar dan murid
Muhammad Abduh, serta diikuti oleh ‘Abdurrazzaq As-Sanhawuri, seorang “pakar” hukum di masa ini. Mereka
menguatkan pendapat mereka dengan beberapa dalil/perkara berikut ini:
1. Gambaran riba jahiliah yang ayat-ayat Al-Qur`an diturunkan tentangnya hanyalah berupa ‘engkau bayar
sekarang (ketika sudah jatuh tempo) atau hutangmu bertambah’.
Jawaban terhadap dalil mereka ini adalah:
a. Hal ini tidak bisa diterima, karena sebenarnya riba jahiliah itu memiliki dua bentuk:
Bentuk pertama: Bentuk yang masyhur yaitu ‘engkau bayar sekarang (ketika sudah jatuh tempo) atau hutangmu
bertambah’
Bentuk kedua: Penetapan adanya tambahan pembayaran/pengembalian (ziyadah) dari jumlah yang semestinya
dibayarkan sejak di awal akad. Bentuk seperti ini adalah riba jahiliah, disebutkan dalam Ahkamul Qur`an (1/563-564)
karya Al-Imam Al-Jashshash.
b. Kalaupun dianggap bahwa ayat-ayat tentang riba yang ada dalam surah Al-Baqarah hanya mencakup bentuk
yang pertama, namun sebenarnya ayat tersebut juga bisa dijadikan sebagai dalil akan haramnya ziyadah yang
dipersyaratkan di awal akad. Karena kedua bentuk ini sama-sama menerima ziyadah hanya bila telah jatuh tempo.
c. Ziyadah yang dipersyaratkan dalam akad hutang piutang khususnya pada mata uang (dinar/emas dan
dirham/perak) serta yang serupa dengan keduanya sebagai alat pembayaran seperti uang kertas, memang tidak
dinyatakan keharamannya oleh ayat-ayat yang berbicara tentang riba. Namun demikian, pengharamannya
disebutkan dalam As-Sunnah.
Untuk lebih jelasnya perhatikanlah contoh berikut ini: Bila seseorang datang ke bank lalu berkata, “Berikan pinjaman
kepada saya sebesar Rp. 100.000,-.” Pihak bank mengatakan, “Kami akan memenuhi permintaan anda namun kami
catat dalam pembukuan kami jumlah Rp. 120.000,- sampai akhir tahun.”
Memang ayat-ayat tentang riba tidak menunjukkan keharaman bentuk seperti ini, namun hadits-hadits Nabi n
menunjukkan secara jelas keharamannya. Dalam hadits tentang enam macam barang yang terkena hukum riba
disebutkan:
ف¤ق¤د¦ د¤اد¤ ¤ز¦ ت اس¦ و£¤ أ اد¤ ز¤ ف¤م¤ن¦ ¤د̈، £ي ب ¤د¢ا ي ¦̈ل، £م£ث ب ¢ ¦ًال م£ث ، ¦ِح£ ¦م£ل £ال ب ¦ِح¥ ¦م£ل و¤ال §م¦ر£ £الت ب §م¦ر¥ و¤الت ¦ر£ ع£ي £الش§ ب ¦ر¥ ع£ي ِ و¤الش§ ¥ر® ¦ب £ال ب ¥ر© ¦ب و¤ال ¦ف£ض§ة£ £ال ب ¦ف£ض§ة¥ و¤ال £الذ§َه¤ب£ ب الذ§َه¤ب¥
ب¤ى ر¦¤ أ
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr (satu jenis gandum) dengan burr, sya’ir (satu jenis gandum juga)
dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, harus sama timbangannya, dan tangan dengan
tangan (serah terima di tempat). Barangsiapa menambah atau minta tambah berarti dia jatuh dalam riba.” (HR.
Muslim no. 1587)
Bila pihak bank memberikan pinjaman Rp. 100.000,- kepada orang tersebut namun dicatat jumlahnya Rp. 120.000,-
hingga waktu setahun, berarti pihak yang berhutang dan yang memberi piutang tidak berpegang dengan dua
ketetapan yang disebutkan dalam hadits di atas yaitu: ¨د¤ £ي ب ¤د¢ا ي ¦̈ل، £م£ث ب ¢ ¦ًال harus sama timbangannya dan tangan) م£ث
dengan tangan (serah terima di tempat). Mereka yang melakukan muamalah seperti ini berarti telah mengumpulkan
dua macam riba, riba fadhl dan riba nasi`ah.
2. Menurut mereka, riba jahiliah dilarang karena mengambil ziyadah dari pokok harta (yang dipinjamkan). Hal itu
terjadi karena tertundanya pembayaran hutang kepada pihak yang memberi piutang, bukan disebabkan ingin
memberikan kemanfaatan kepada si pemberi hutang.
Dijawab: Sebab yang disebutkan ini juga ada pada akad pinjam meminjam yang mensyaratkan pembayaran
tambahan (ziyadah).
3. Muhammad Rasyid Ridha berdalil juga dari sisi bahasa. Ia berkata, “Huruf alif dan lam
adalah lil-’ahd, sehingga riba yang dilarang dan dicerca adalah riba yang dikenal, dimaklumi dan diketahui kalangan
orang-orang jahiliah yaitu ‘engkau bayar (ketika sudah jatuh tempo) atau hutangmu bertambah’.
Dijawab: Kalaulah dianggap alif dan lam yang ada pada kata riba tersebut lil-’ahd, yakni Rabb kita menyebutkan
(dalam ayat) keharaman riba atas sesuatu yang tertentu yang biasa dilakukan orang-orang jahiliah, maka As-Sunnah
telah menyebutkan keharaman bentuk riba yang lain (tidak hanya yang disebutkan dalam ayat Al-Qur`an). Sehingga
lafadz riba menjadi sebuah hakikat syariat di mana didudukkan pada seluruh bentuk riba. Apalagi memang di antara
mereka ada yang mengatakan, “Riba adalah lafadz yang global, penafsirannya disebutkan dalam As-Sunnah.”
4. Muhammad Rasyid Ridha juga berdalil dengan akal. Ia berkata, “Ancaman yang keras dan cercaan yang
demikian menikam tidaklah mungkin diberikan kecuali kepadadosa-dosa yang besar. Bila ada seseorang menukar 1
real perak dengan 4 real perak dengan serah terima yang ditunda sampai waktu tertentu, apakah bisa diterima oleh
akal bahwa perbuatan seperti ini dikenakan ancaman yang disebutkan dalam ayat-ayat yang melarang riba berupa
diperangi oleh Allah l dan Rasul-Nya? Yang bisa diterima oleh akal hanyalah bila bentuknya seperti bentuk yang awal
yaitu ‘engkau bayar (ketika sudah jatuh tempo) atau hutangmu bertambah’.
Jawabannya: Menggunakan akal dan pendapat dalam perkara yang telah disebutkan nash-nya secara syar’i adalah
sesuatu yang sia-sia. Sungguh keumuman dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah telah mencakup hal yang ditolak
tersebut.
5. Muhammad Rasyid Ridha pun berdalil bahwa riba jahiliah adalah riba yang menyebabkan kerusakan,
kemudaratan, meruntuhkan rumah-rumah, dan memutuskan silaturahim.
Dijawab: Mensyaratkan tambahan pembayaran/pengembalian di awal akad justru lebih besar dan lebih tampak
kezalimannya daripada tambahan yang ditetapkan setelah jatuh tempo. Karena dalam riba jahiliah, seseorang
memberi satu pinjaman kepada orang lain untuk dikembalikan dalam tempo sebulan misalnya. Ketika telah jatuh
tempo, orang yang meminjamkan berkata kepada pihak yang dipinjami, “Engkau bayar sekarang atau hutangmu
bertambah (didenda).” Sehingga persyaratan tambahan di awal akad tentunya lebih tampak dan lebih jelas
kezalimannya.
Kemudian, apa yang dianggap masuk akal oleh Muhammad Rasyid Ridha justru bertentangan dengan nash dan
tidak sepantasnya ditanyakan “Mengapa?” dan “Bagaimana?” kepada nash. Karena Allah l berfirman:
¤ا ¤َط¤ع¦ن و¤أ ¤ا م£ع¦ن س¤ ¥وا ¤ق¥ول ي ¤ن¦ أ ¤ه¥م¦ ¦ن ¤ي ب ¥م¤ ¤ح¦ك £ي ل £ه£ ول س¥ و¤ر¤ الله£ ¤ى £ل إ د¥ع¥وا £ذ¤ا إ £ين¤ ¦م¥ْؤ¦م£ن ال ق¤و¦ل¤ ¤ان¤ ك §م¤ا £ن إ
“Hanyalah ucapan kaum mukminin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Allah dan Rasul-Nya
menghukumi (memutuskan perkara) di antara mereka, mereka akan mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat’.” (An-
Nur: 51)
6. Muhammad Rasyid Ridha berargumen dengan ucapan-ucapan ulama untuk membatasi riba yang dilarang
hanyalah ‘engkau bayar atau hutangmu bertambah’. Di antara ulama yang disebutkannya adalah Malik, Ath-Thabari,
Al-Qurthubi, Ath-Thahawi, Asy-Syathibi, Ibnu Rusyd, Al-Mawardi, An-Nawawi, dan Ibnu Hajar Al-Haitsami.
Jawabannya: Dalam hal ini ada perbedaan antara membatasi bentuk dengan membatasi hukum. Tatkala ulama yang
disebutkan di atas menyebutkan hal itu, yang mereka maukan adalah menerangkan tentang riba yang masyhur dan
dikenal/dimaklumi yaitu riba ‘engkau bayar atau hutangmu bertambah’. Bukanlah maksud mereka untuk membatasi
hukum riba hanya pada bentuk seperti ini. Beda halnya dengan apa yang dipegangi oleh Muhammad Rasyid Ridha.
Dan ketahuilah, pada sebagian ucapan ulama yang disebutkan justru didapatkan bantahan terhadap pendapat
Muhammad Rasyid Ridha, di mana mereka menyatakan bahwa ini adalah bentuk riba jahiliah dan Nabi n telah
menerangkan bentuk-bentuk riba lain yang diharamkan seperti riba fadhl dan riba nasi`ah.
Kedua: Membatasi riba hanya dalam jual beli saja. Adapun dalam pinjam meminjam, riba (qardh) tidaklah berlaku.
Mereka berdalil sebagaimana berikut:
1. Ayat-ayat riba menyebutkan secara global dan ditafsirkan oleh hadits-hadits Rasulullah n. Namun dalam hadits
tersebut hanya disebutkan jual beli dan tidak ada penyebutan qardh.
Jawabannya: Telah disebutkan adanya ijma’ (kesepakatan ulama) tentang berlakunya riba dalam qardh.
2. Mereka berdalil dengan penukilan dari fuqaha dan ulama Hanafiah yang membatasi riba hanya dalam jual beli.
Jawabannya: Telah disebutkan penukilan yang lain dari ulama dan fuqaha tersebut tentang penetapan adanya riba
dalam qardh sebagaimana dalam jual beli.
3. Mereka berdalil bahwa sebagian fuqaha Hanafiah menjadikan qardh sebagai analogi dari berderma, sehingga
tidak terjadi riba di dalamnya. Karena yang namanya riba hanya berlangsung pada sesuatu yang di dalamnya ada
penggantian.
Jawabannya: Para fuqaha tersebut walaupun mereka menjadikan qardh sebagai perbuatan derma pada awalnya,
namun pada akhirnya mereka menjadikannya perlu penggantian, yang berarti riba bisa terjadi di dalamnya. Mereka
menyatakan hal ini secara jelas.
Adapun ucapan mereka bahwa qardh adalah berderma, bila memang tujuannya untuk memberikan manfaat dan
berbuat baik. Sedangkan qardh yang disyaratkan adanya ziyadah di dalamnya maka maksud atau tujuannya adalah
meminta penggantian. Adanya syarat ‘minta tambah’ ini menjadikan muamalah tersebut sama dengan jual beli,
bukan lagi semata-mata qardh. Karena qardh hanyalah ditegakkan untuk tujuan berbuat ihsan dan memberi manfaat
bagi yang dipinjami. Beda halnya dengan qardh yang ada syarat ‘minta tambah’. Qardh yang seperti ini bukan
bertujuan berbuat ihsan dan memberi manfaat tapi tujuannya meminta ganti, mendapat untung dan ziyadah.
4. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya pengembalian dengan tambahan dalam
masalah qardh, seperti hadits:
ق¤ض¤اء¢ ¥م¦ ¥ك ن ¤ح¦س¤ أ ¥م¦ ك ¦ر¥ ي خ¤
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik pembayarannya.”
Jawabannya: Hadits seperti ini dibawa pemahamannya kepada qardh yang tidak ada persyaratan minta tambah
dalam pengembalian. Sebagaimana orang yang meminjamkan telah berbuat ihsan kepada orang yang dipinjami,
maka disyariatkan pula bagi orang yang dipinjami untuk berbuat ihsan kepada orang yang meminjamkan. Allah l
berfirman:
ان¥ £ح¦س¤ ¦ِإل ا § £ال إ ان£ £ح¦س¤ ¦ِإل ا اء¥ ج¤ز¤ َه¤ل¦
“Tidaklah balasan kebaikan (perbuatan ihsan) melainkan kebaikan pula (perbuatan ihsan pula).” (Ar-Rahman: 60)
Maka hal ini masuk dalam permasalahan membalas kebaikan dengan kebaikan pula.
Demikian beberapa syubhat yang ada dalam pinjam meminjam (qardh) yang mengandung unsur riba. Sebagai akhir,
bagus sekali untuk kita nukilkan di sini nasihat dari Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Alu Fauzan hafizhahullah.
Beliau berkata, “Wajib bagi seorang muslim untuk memerhatikan dan berhati-hati dari qardh (pinjam meminjam) yang
mensyaratkan adanya tambahan. Hendaklah ia mengikhlaskan niatnya dalam qardh tersebut dan juga dalam
melakukan amal shalih yang lain. Karena tujuan dari qardh ini bukanlah untuk menambah harta secara hakiki, namun
hanyalah untuk menambah harta secara maknawi yaitu taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah l dengan
memenuhi hajat orang-orang yang membutuhkan dan hanya menginginkan pengembalian yang sesuai dengan
besarnya pinjaman (tanpa ada syarat minta tambah atau syarat mendapatkan kemanfaatan lainnya, pent.). Bila yang
seperti ini menjadi tujuan dalam qardh niscaya Allah l akan menurunkan barakah (keberkahan),
penambahan/pertumbuhan dan kebaikan pada harta.” (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiyyah, 2/53)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Al-Imam Ash-Shan’ani berkata: “Hadits ini tidak ditemukan dalam Shahih Al-Bukhari pada bab Al-Istiqradh. Al-
Hafizh juga tidak menisbahkannya kepada Al-Bukhari dalam kitabnya At-Talkhish…. Seandainya hadits ini ada dalam
Shahih Al-Bukhari, tentu beliau tidak akan menghilangkan penisbahannya kepada Al-Bukhari.” (Subulus Salam, 3/82)
2 Nama lengkapnya Sawar ibnu Mush’ab Al-Hamdani Al-Kufi Abu Abdillah Al-A’ma Al Mu`adzdzin. Al-Bukhari
mengatakan bahwa dia munkarul hadits. An-Nasa`i dan yang selainnya mengatakan bahwa dia matruk. Sedangkan
Abu Dawud mengatakan bahwa dia adalah rawi yang tidak bisa dipercaya. (Mizanul I’tidal, 3/343)
3 Sama saja baik minta tambah (ziyadah) di sini dinamakan keuntungan, faedah, hadiah, atau berupa izin
menempati sebuah rumah bagi yang meminjamkan atau izin mengendarai mobil sekalipun selama ziyadah, hadiah,
ataupun manfaat ini diberikan sebagai persyaratan. Demikian dinyatakan oleh Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan
Alu Fauzan hafizhahullah dalam kitab beliau Al-Mulakhkhash Al-Fiqhiyyah (2/52).
4 Al-Hafizh Abul Hasan Ibnul Qaththan t: “Para ulama bersepakat bahwa persyaratan pengembalian hutang dengan
tambahan atau yang lebih baik daripada pinjaman tersebut adalah perkara yang haram, tidak dihalalkan.” (Al-Iqna’ fi
Masa`il Al-Ijma’, 2/196)
Demikian pula Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, dan Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma’.
Recommended