View
243
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
i
ANALISIS MUSIK VOKAL PADA PERTUNJUKAN MAENA DALAM
PESTA ADAT FALÖWA (PERKAWINAN) MASYARAKAT
NIAS DI KOTA MEDAN
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
NAMA: AUGUSMAN TAFÖNAÖ
NIM: 080707005
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2012
ii
ANALISIS MUSIK VOKAL PADA PERTUNJUKAN MAENA DALAM
PESTA ADAT FALÖWA (PERKAWINAN) MASYARAKAT NIAS
DI KOTA MEDAN
OLEH:
NAMA: AUGUSMAN TAFÖNAÖ
NIM: 080707005
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Drs. Kumalo Tarigan, M.A. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
NIP 19 NIP 196512211991031001
Skripsi ini diajukan kepada Paniti Ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan,
untuk melengkapi salah satui syarat Ujian Sarjana Seni
dalam bidang disiplin Etnomuskologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2012
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam rangka menjalani kehidupannya, manusia melakukan berbagai
upacarayang berkaitan dengan siklus atau pusingan hidupnya/ Di antaranya adalah
upacara menyambut hadirnya janin, seperti halnya tikeban yaitu upacara tujuh bulanan
janin dalam budaya Jawa. Kemudian ketika lahir pun diadakan upacara penyambutan
kelahiran bayi sebagai penerus generasi terdahulu. Kemudian dalam rangkaian ini
dibuat juga upacara pemebrian nama. Setelah itu diadakan lagi upacara memijak tanah
untuk pertama kalinya ia dapat berjalan dan akan menjalani kehidupannya kelak sebagai
apa. Setelah itu dalam beberapa masyarakat di dunia ini ada juga tradisi berkhitan atau
sunatan, termasuk dalam kebudayaan Nias.
Selanjutnya dalam rangkaian siklus hidup ini ada pula upacara perkawinan, yang
berbeda-beda antara setiap suku bangsa, namun ini adalah fenomena yang universal
dalam kebudayaan manusia. Dalam rangkaian upacara perkawinan ini bisa jadi dibagi-
bagi ke dalam beberapa tahapan, seperti meminang, kenduri, menghantar uang mahar,
pengabsahan secara religi, persandingan, dan upacara pasca perkawinan. Demikian pula
yang terjadi dalam kebudayaan Nias. Mereka memiliki upacara perkawinan yang
disebut dengan fangowalu.
Setelah membentuk rumah tangga, mereka akan memperoleh keturunan dan
keturunannya ini mengalami dan menjalani berbagai upacara siklus hidup yang
dilatarbelakangi oleh budaya tersebut. Seterusnya dalam rangka bermasyarakat, manusia
juga melakukan upacara-upacara seperti menjamu para tetangga dan kerabat,melakukan
upacara religi di kediaman atau juga rumah ibadah, dan juga kematian. Upacara
2
kematian ini dalam kebudayaan manusia dipandang sebagai perpindahan dari alam
dunia ini ke alam dunia lain. Dalam kebudayaan manusia dalam menuju alam akhirat
atau alam berikutnya itu, ada yang menyertakan harta benda di samping jenazah yang
dikuburkan, ada pula yang tidak. Namun yang paling umum adalah menyertainya
dengan doa agar si jenazah diterima di sisi Tuhan dengan keadaan yang sebaik-baiknya,
terutama menerima segala kebaikannya semasa hidup dan Tuhan dapat memaafkan
segala dosanya. Demikian juga yang terjadi dalam kebudayaan suku (etnik) Nias.
Orang-orang Nias merupakan salah satu suku dari sekian banyak suku-suku
yang ada di Indonesia, yang berada di bagian barat Sumatera Utara, khususnya di Pulau
Nias dan sekitarnya. Secara rasial atau fisik, etnik Nias ini dapat dikelompokkan ke
dalam ras Mongoloid. Masyarakat Nias pada masa religi Sanömba Adu mempercayai
sistem penggolongan derajat manusia yang disebut bosi. Di dalam bosi ini diatur
tentang kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal dunia.
Namun demikian, salah satu dari urutan bosi ini ialah fangowalu atau pesta
perkawinan. Di dalam persta perkawinan ini ada tahap-tahap yang harus ditempuh
namun ketika dilangsungkannya pesta perkawinan ada sebuah tarian yang dipertunjukan
pada urutan perkawinan ini yaitu maena.
Maena merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional Nias, yang di
dalamnya mengandung seni tari dan nyanyian (musik vokal)/ Tariannya dipolakan
dengan gerakan yang membenmtuk segi empat dan dalam pertunjukannya bermakna
kegembiraan dan kemeriahan suatu acara yang dilangsungkan. Musik vokal adalah
musik yang dihasilkan oleh suara manuasia dimana musik tersebut diiringi alat musik
atau tidak dan penyajiannya dapat dinyanyikan oleh satu orang (solo), maupun dengan
banyak orang (kelompok).
3
Maena tidak terlepas dari tari yang saling mempengaruhi antara nyanyian
dengan tari. Didalam tari ada gerakan, yang gerakannya membentuk segi empat (öfa
sagi) dan kaki membentuk segi tiga (tölu sagi), kedua lengan diayunkan ke depan dan
ke belakang sehingga selama pertunjukan maena gerekan inilah yang terus di ulang-
ulang dari awal hingga berakhirnya pertunjukan. Gerakan pada maena tidak terlalu
banyak dan sangat mudah untuk dipelajari, tetapi pada pertunjukannya harus memiliki
kekompakkan gerakkan tersebut walaupun dikatakan mudah namun dari sekian
banyaknya jumlah penyaji maena ini harus yang diperlukan ialah kekompakkan, selain
itu gerakan maena berputar kearah kiri.
Musik vokal pada maena berupa susunan pantun yang dinyanyikan atau
disuarakan oleh sanutunö1 maena (pemimpin maena) yang dipimpin oleh satu atau dua
orang. Sanutunö maena juga dapat dipimpin oleh satu orang saja namun yang menjadi
pimpinannya ialah seorang perempuan. Apabila sanutunö maena dua orang, maka yang
satu perempuan dan satu lagi laki-laki dan terkadang juga dua-duanya dipimpin oleh
perempuan
Ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh penulis dalam tulisan ini yakni antara
sanutunö maena (pemimpin) dengan sanehe atau ono maena (peserta maena), dimana
sanutunö maena berpisah tempatnya ataupun terkadang juga bisa gabung dengan sanehe
atau ono maena tetapi pada umumnya selalu berpisah. Sanehe (ono maena) merupakan
orang yang menyanyikan syair maena yang bersifat tetap dan terus diulang-ulang oleh
peserta maena setelah sanutunö maena menyanyikan syair yang berupa susunan pantun-
pantun sampai berakhirnya maena tersebut (strophic). Fanutunö maena (syair maena)
yaitu suatu lirik yang dibacakan oleh sanutunö maena (orang yang membacakan syair
maena). Syair maena berisi tentang kegiatan dalam hal ini pesta perkawinan dan syair
1Dalam pengucapan serta penulisan atau pronounsiasi dalam bahasa Nias, seperti diakukan oleh masyarakat Nias, ö dibaca e sama dengan pengucapan huruf e pada kata menganalisis.
4
maena disuarakan oleh orang banyak yang ikut dalam maena yang disebut dengan ono
maena atau fanehe maena (peserta maena). Pada maena tidak dibatasi siapa-siapa saja
yang ikut dalam pertunjukannya laki-laki dan perempuan dapat melakukan tari2 maena
ini. Sanutunö maena dengan sanehe maena saling bersahut-sahutan (call and respons)
dimana ada yang memimpin dan ada koor yang dinyanyikan secara bersamaan oleh
penyaji maena.
Apabila kita melihat bahwa setiap suku bangsa biasanya memiliki istilah
tertentu dalam menyebut musik vokal itu sendiri, sama halnya juga dengan masyarakat
Nias bahwa musik vokal atau nyanyian disebut juga sinunö. Dalam kesenian tradisional,
baik yang tumbuh dari rakyat itu sendiri atau pengaruh dari budaya lain, sehingga
masyarakat itu telah mewarisinya secara turun-temurun dari nenek moyang mereka,
dapat disebut kesenian tradisional. Predikat tradisional bisa diartikan segala sesuatu
yang sesuai tradisi, sesuai dengan kerangka, pola-pola bentuk maupun penerapan yang
selalu berulang-ulang (Sedyawati, 1981:48).
Pesta perkawinan pada masyarakat Nias memiliki beberapa musik vokal
(sinunö) seperti bolihae, fangowai, dan hendri-hendri. Ketiga jenis sinunö ini murni
tidak menggunakan alat musik pengiring--hanya disuarakan oleh suara manusia. Namun
dalam skripsi ini penulis menitikberatkan musik vokal pada maena, dimana maena
dahulunya juga tidak menggunakan alat musik pengiring tetapi karena perubahan zaman
atau karena dalam pertunjukannya bermakna suatu kegembiraan dan sukacita sehingga
digunakan ensambel pengiring yang terdiri dari gong, gondra, faritia, dan ukulele.
Tetapi karena dilihat bahwa dengan menggunakan alat-alat tersebut sangat sulit dalam
penyediaannya, maka berubah dan kebanyakan dengan menggunakan keyboard.
2Menurut Kamus Dewan Edisi Ketiga (2002:1378) tari ialah tarian gerakan badan serta tangan
dan kaki berirama mengikuti rentak music. Dalam kebudayaan masyarakat di dunia ini, berbagai macam penyebutan untuk tari ini. Dalam kebudayaan Batak Toba, Mandailing, dan Angkola disebut dengan tortor. Dalam kebudayaan Karo disebut dengan landek. Kemudian dalam kebudayaan Pakpak disebut dengan tatak. Dalam kebudayaan dunia ada yang menyebutnya dance atau juga dansa.
5
Pada pesta perkawinan ada beberapa bagian musik vokal yang dinyanyikan oleh
sanutunö maena yaitu, (1) fanehe maena wangowai dome (syair yang berisi sapaan
atau ucapan selamat datang). Dalam menyajikannya berisi tentang sapaan karena para
tamu-tamu dari pihak laki-laki sudah datang sehingga disapa lewat sebuah tarian. Tarian
tersebut ialah tarian maena wangowai dome. Pada syair ini yang melakukan atau
melaksakannya ialah pihak perempuan, (2) fanehe maena zowatö (syair yang berisi
sapaan kepada sowatö ). Dalam syair ini keluarga laki-laki menyapa keluarga mempelai
perempuan dengan cara menyajikan tarian. Pada syair ini pihak laki-laki yang
melaksanakannya, (3) fanehe maena wangandrö sokona (syair meminta sokongan dari
pihak laki-laki). Pada syair ini keluarga pihak laki-laki khususnya pengantin laki-laki
wajib memberikan uang,rokok, atau sejenis minuman kepada para ono maena (peserta
maena). Fanutunö maena ini yang melakukannya atau melaksanakannya ialah pihak
perempuan.
Ketiga syair fanehe maena diatas sanutunö maena selalu berpisah dengan para
sanehe maena tetapi terkadang juga sanutunö maena bergabung bersama dengan sanehe
maena. Setiap gerakan yang dilakukan oleh para sanehe maena tidak diikuti oleh
sanutunö maena namun pada umumnya sanutunö maena ikut juga menyanyikan syair
zanehe maena (syair yang dinyanyikan oleh peserta maena).
Pantun maena dibawakan oleh orang yang fasih bertutur bahasa Nias
(amaedola/duma-duma), karena syair-syair semuanya memakai bahasa Nias. Namun
seiring oleh perkembangan peradaban yang canggih dan modern, pantun-pantun maena
yang khas li nono niha (bahasa Nias) sudah banyak menghilang, bahkan banyak
tercampur oleh bahasa Indonesia dalam penuturannya.
6
Menurut Bapak A. Gunawan,3 sanutunö [sanutun∑] maena merupakan orang
yang sangat penting dalam pertunjukan maena karena tanpa sanutunö maena tarian
maena tidak bisa berjalan apabila hanya sanehe maena (peserta maena) saja yang ada.
Itulah menjadi pertanyaan dan yang akan dijawab dalam tulisan ini yaitu seberapa
pentingkah sanutunö maena itu pada pertunjukan maena? Bagaimanakah tata cara
sanutunö maena menyanyikan syair wanutuno maena tesebut?
Kesenian masyarakat Nias sangat banyak dan sangat menarik jika kita teliti lebih
dalam. Namun pada kenyataannya masyarakat pendukungnya tidak begitu
memprioritaskan tentang kesenian tersebut disebabkan karena kurangnya kepedulian
generasi muda orang Nias yang terhadap kebudayaannya. Selain itu juga minat
masyarakat Nias terutama para generasi muda lebih tinggi terhadap lagu-lagu populer
(pop) dibanding dengan lagu-lagu tradisional. Hal ini dapat dilihat dari lagu-lagu
populer Nias semakin lama semakin beredar lewat kaset rekaman (hasil wawancara
penulis dengan A. Gunawan Januari 2012).
Melihat situasi dan kondisi eksistensi kebudayaan (musik) Nias sekarang ini,
maka kecenderungan hilang tanpa didokumentasikan memang dapat terjadi kapan saja
karena kurangnya antusias dan pengetahuan generasi muda masyarakat Nias terhadap
budaya-budaya yang sebelumnya ada. Hal inilah akhirnya dapat mengaburkan bentuk
asli dari tradisi Nias itu sendiri, karena semakin disederhanakan atau dipersingkat
menurut pelaksanaan suatu acara adat, (Elisian Waruwu, 1994:11).
Dalam kutipan ini muncul dibenak penulis bahwa kesenian masyarakat Nias
tidak banyak yang melestarikan keseniannya, hanya sekedar mengetahuinya saja tetapi
tidak dituangkan dalam satu tulisan. Dengan adanya tulisan tentang kesenian
masyarakat Nias, setiap orang yang melihat dan membaca tulisan tersebut dapat
3Seorang aktivis budaya Nias di Kota Medan serta sebagai Pemusik Gereja BNKP di Kota
Medan.
7
memberi inspirasi bahwa kesenian masyarakat Nias sangat banyak dan ada rasa ingin
tahu lebih dalam. Karena pernyataan tersebut penulis memiliki alasan tersendiri
mengapa musik vokal pada maena ditulis dalam satu tulisan yaitu karena kurangnya
masyarakat Nias yang memiliki pengetahuan tentang kesenian masyarakat Nias,
walaupun tahu tetapi tidak di tulis dalam satu tulisan sehingga penulis merasa sebagai
seorang etnomusikolog maka kewajiban penulis untuk menulis tentang salah satu
kesenian tradisional Nias yaitu musik vokal pada maena apalagi penulis merupakan
salah satu orang yang akan melestarikan kesenian tradisional Nias sehingga penting
untuk di kaji dan dituangkan dalam satu tulisan berupa skripsi yang berjudul “Analisis
Musik Vokal pada Pertunjukan Maena Dalam Pesta Adat Falöwa (Perkawinan)
Masyarakat Nias di Kota Medan.”
1.2. Pokok Permasalahan
Aspek yang terkandung dalam musik vokal maena fanehe maena wangowai
dome, fanehe maena zowatö [zowat∑], dan fanehe maena wangandrö sokona yaitu
dapat diteliti seperti struktur teks, fungsi dan kegunaan, juga aspek musikalnya serta
konteks penggunaannya. Namun demikian dalam melakukan penelitian penulis
membatasi dalam dua hal yaitu:
1. Aspek musikalnya, yaitu bagaimana struktur melodi seperti bentuk, unsur-unsur
pola kadensa, kontur, dan unsur-unsur lain yang membentuk melodi pada musik
vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe
maena wangandrö sokona ?
2. Aspek tekstual, yaitu bagaimanakah struktur bahasa serta makna yang tersirat
dalam teks musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena
zowatö, dan fanehe maena wangandrö sokona ?
8
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana struktur teks dan melodi musik vokal maena
fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena
wangandrö sokona dalam pesta perkawinan masyarakat Nias di Kota Medan
2. Untuk mengetahui makna syair yang terkandung dalam musik vokal maena
fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena
wangandrö sokona yang dinyanyikan pada saat pesta perkawinan berlangsung.
3. Sebagai dokumentasi tentang salah satu kebudayaan masyarakat Nias yang dapat
menjadi masukan bagi Departemen Etnomusikologi dimana referensi tentang
kesenian tradisional Nias sangat minim.
1.4. Konsep dan Teori
1.4.1. Konsep
Musik vokal ialah bunyi yang dihasilkan oleh alat ujar manusia seperti mulut,
bibir, lidah, dan kerongkongan yang memiliki irama, nada, ritem, dinamik, melodi dan
mempunyai pola-pola serta aturan untuk menghasilkan bunyi tersebut. Musik vokal
dapat juga dikatakan nyanyian dimana kita dapat berpedoman pada pendapat yang
dikemukakan oleh Poerwadarminta (1985:680), bahwa nyanyian adalah sesuatu yang
berhubungan dengan suara atau bunyi yang berirama yang merupakan alat atau media
untuk menyampaikan maksud seseorang tanpa iringan musik.
Musik vokal atau nyanyian seperti yang kemukakan oleh Poerwadarminta
(1985:680 ) sesuatu yang berhubungan dengan suara atau bunyi. Musik vokal dalam
masyarakat Nias sama dengan Sinunö [sinun∑]. Apabila dikatakaan sinunö (ks) berarti
9
nyanyian yang keluar dari alat ujar manusia tanpa ada iringan musik. Apabila dikatakan
sanunö (kb) berarti orang yang menyanyi. Sedangkan manunö berarti menyanyi (kk).
Maena pada masyarakat pendukungnya mempunyai arti sebagai sebuah tarian
yang memiliki gerak segi empat. Sifamaena (kb) berati orang yang menari maena.
Famaena (kk) berarti menari maena. Famaena menyiratkan makna masyarakat hadir
dan berkumpul disuatu tempat melakukan kegiatan budaya yaitu maena. Padanan dari
kata maena yaitu fanehe maen. fanehe maena berarti syair maena.
Sehingga apabila kita gabungkan kedua kata tersebut diatas makan dapat
dikatakan sinunö maena yang berarti musik vokal atau nyanyian pada tarian maena.
Nyanyian tersebut dalam pembahasan ini dibagi atas tiga bagian yaitu, (1) Fanehe
maena wangowai dome, (2) Fanehe maena wangowai zowatö, dan (3) Fanehe maena
wangandrö sokona.
Maena wangowai dome bagi masyarakat Nias bermakna bahwa ada orang yang
menyambut tamu yang dinamakan Sowatö (keluarga perempuan) mengucapkan selamat
datang kepada keluarga pihak mempelai laki-laki, lalu menyapa mereka dengan tarian
wangowai dome. maena wangowai berarti penghormatan, tome berarti tamu sehingga
musik vokal pada tari ini dapat dikatakan sekelompok orang, keluarga pihak perempuan
menyapa hormat para tamu pihak laki-laki karena sudah tiba di lokasi tempat dimana
pesta perkawinan itu berlangsung.
Demikian juga halnya dengan fanutunö maena wangowai zowatö kebalikan dari
fanutunö maena wangowai dome yaitu sekelompok orang dari pihak laki-laki menyapa
hormat atau memberi penghormatan kepada para sowatö (pihak perempuan). Berbeda
halnya dengan fanutunö maena wangandrö sokona yaitu fanutunö maena dalam
masyarakat Nias berarti syair yang akan dinyanyikan oleh sanutunö maena. wangandrö
berti berarti permintaan. Sedangkan sokona ialah dapat dikatakan memberikan sesuatu
10
berdasarkan kemampuannya yang diberikannya kepada peserta maena. Jadi fanutunö
maena wangandrö sokona berarti keluarga pihak perempuan meminta dukungan, atau
pemberian sukarela dari pihak laki-laki dengan dipertunjukannya tarian ini.
Pertunjukan atau disiplinnya seni pertunjukan adalah satu bidang seni yang
terdiri dari pertunjukan seperti musik, tari, dan teater.
Perkawinan pada masyaraakat Nias merupakan pembentukan suatu keluarga
baru yang bernilai sakral untuk melahirkan keturunan (regenerasi). Kata perkawinan
bagi masyarakat Nias mengandung arti yaiu faelöwa [fael∑wa] atau fangowalu.
Apabila dikatakan mangowalu (kk) berarti seorang laki-laki yang dikatakan marafule
[marafule] melamar satu orang wanita yang dikatakan ono nihalö dan melakukan suatu
pesta yang dikatakan pesta adat perkawinan. Selanjutnya apabila dikatakan sangowalu
(ks) berarti orang yang melangsungkan pesta perkawinan. Dalam melaksanakan satu
pesta adat perkawinan ada beberapa tahap-tahap yang akan dilakukan sebelumnya
sehingga dapat terlaksana satu upacara dari awal sampai di acara puncaknya yaitu
fangowalu.
1.4.2. Kerangka Teori
Kalau kita memandang dari segi teks dan lagu (melodi) Dananjaya membagi
nyanyian rakyat menjadi dua yaitu: (1) nyanyian rakyat yang lebih mengutamakan
lagunya daripada liriknya, (2) nyanyian rakyat yang lebih mengutamakan liriknya
daripada lagunya (Dananjaya, 1986:145 )
Dalam menganalisis melodi musik vokal maena Malm (1964 :8)
mengemukakan bahwa ada beberapa formula melodi yaitu (1) repetitif yaitu bentuk
nyanyian yang di ulang-ulang, (2) interactive yaitu bentuk nyanyian yang memakai
11
formula melodi yang kecil yang kecenderungan pengulangan-pengulangan keseluruhan
nyanyian, (3) reverting yaitu bentuk nyanyian yang terjadi penguangan pada frase
pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi, (4) strophic yaitu bentuk
nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang sama, (5)
progresif yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan melodi yang
berbeda
Musik vokal juga dapat dilihat dari bentuknya dimana Bruno Nettl (1964:145-
155 ) mengemukakan bahwa dalam pendistribusian suatu musik ada beberapa yang
perlu dilihat yaitu, (1) materi nada, (2) ritem, (3) bentuk, (4) elemen lain seperti timber
dan dinamika.
Pembahasan hubungan teks dengan melodi musik vokal maena fanehe maena
wangowai dome, fanehe maena zowatö, fanehe maena wangandrö sokona digunakan
tulisan Mallm (1977:8) yang mengatakan bahwa jika satu buah not dipakai satu suku
kata disebut silabis, dan jika beberapa buah not dalam satu suku kata disebut
melismatis. Selain itu juga. Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk
menemukan antara aksen dalam ucapan bahasa dengan aksen dalam bahasa musik, serta
untuk melihat reaksi musikal bagi sebuah kata yang dianggap penting dan pewarna
dalam puisi atau pantun (Malm, 1977:18). Demikian halnya juga dengan teks atau syair
musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, fanehe
maena wangandrö sokona memiliki susunan syair yang berbentuk pantun dimana cara
penyajiannya dinyanyikan.
Alan P. Marriam (1964:46) menyebutkan yang perlu dibahas hubungan
linguistik dengan bunyi musik apakah teks mempunyai arti sesuai dengan yang
diucapkan. Pada teks atau syair musik vokal maena fanehe maena wangowai dome,
fanehe maena zowatö, dan fanehe maena wangandrö sokona menghasilkan makna.
12
Makna tersebut ialah sesuatu yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi dari suatu kata
atau teks yang kemudian terbagi menjadi dua bagian yaitu makna konotatif dan makna
denotatif. Makna konotatif ialah makna kata yang terkandung arti tambahan, sedangkan
makna denotatif adalah kata yang tidak mengandung arti tambahan atau disebut dengan
makna yang sebenarnya, ( Groce Kraft, 1991:25).
Pada pembahasan tentang aspek musikologis musik vokal maena fanehe maena
wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena wangandrö sokona
(melodinya) digunakan teori weighted scale Malm (1977:8) dimana ia mengatakan
bahwa dalam mendeskripsikan suatu melodi ada beberapa karekteristik yang harus
diperhatikan yaitu Tangga Nada, Nada Dasar, Wilayah Nada, Interval, Jumlah Nada,
Formula Melodi, Pola-pola Kadensa, Kontur.
1.5 Metode Penelitian
Dalam tulisan ini yang dilakukan oleh penulis ialah dengan melakukan
penelitian deskriptif. Nazir (1983:63) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif ialah
bertujuan untuk mencari fakta-fakta dengan mempelajari masalah-masalah dalam
masyarakat serta tata cara yang belaku dalam masyarakat dengan situasi tertentu yang
berhubungan dengan kegiatan, sifat, sikap, pandangan serta proses dan pengaruh suatu
fenomena. Dengan demikian penelitian ini dilakukan dengan tiga jenis yakni masing –
masing terdiri dari aspek-aspek berikut ini.
1.5.1 Studi Pustaka
Sebagai landasan untuk berfikir dalam tuisan ini penulis melakukan studi
kepustakaan dengan tujuan untuk menambah data atau sumber bacaan seperti Skripsi
yang berjudul “Analsisis Ritmik Famözi Göndra Yang Dipertunjukan Dalam Pesta
13
Perkawinan Masyarakat Nias Di Kota Medan, Analisis Tekstual Dan Musikal Nyanyian
Onang-Onang Dalam Upacara Perkawinan Adat Nagodang Pada Masyarakat Angkola
di Kota Medan”, untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan dalam penulisan dan
menyesuaikan pengamatan dari hasil penelitian lapangan. Di samping itu juga studi
kepustakaan yang dilakukan penulis juga dilakukan untuk menentukan pendekatan
dalam pengumpulan data serta mengetahui informasi tentang geografis daerah
penelitian.
1.5.2. Penelitian Lapangan
Untuk kebutuhan dan kepentingan penulis mengumpulkan data-data informasi,
penulis menentukan lokasi penelitian yaitu di Kota Medan yang terfokus terhadap lokasi
yang merupakan tempat menyelenggarakan pesta perkawinan masyarakat Nias. Dalam
konteks penelitian ini, penulis melakukan kerja lapangan dalam bentuk mengamati
pertunjukan musik vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö,
dan fanehe maena wangandrö sokona yang berlangsung. Mencatat dan merekam tahap-
tahap yang dilakukan terutama dalam pesta perkawinan adat Nias. Untuk mendapatkan
data-data geografis dan etnografi tentang budaya Nias baik yang ada diwilayah budaya
Nias maupun di kota Medan, penulis melakukan studi pustaka dan wawancara kepada
tokoh budaya Nias.
1.5.2.1 Wawancara
Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan dalam penulisan tentang musik
vokal maena fanehe maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena
wangandrö sokona ini, penulis melakukan wawancara kepada orang yang ahli dan
mengetahui tentang musik vokal pada maena. Wawancara adalah satu-satunya teknik
14
yang digunakan untuk memperoleh data tentang kejadian yang dapat diamati sendiri
secara langsung.
Dalam wawancara, penulis melakukan dengan tiga cara yaitu : (1) wawancara
terfokus (focused interview), (2) wawancara bebas (free interview), (3) wawancara
sambil lalu (casual interview) (Koentjaraningrat, 1990:140 ).
1.5.2.2 Observasi
Observasi atau pengamatan merupakan kegiatan untuk melakukan pengukuran
dengan menggunakan indera penglihatan, yang juga berarti tidak melakukan
pertanyaan-pertanyaan.(Soehartono, 1995:69). Selain itu juga Bregt (1989:77)
mengemukakan bahwa observasi adalah suatu metode yang dipakai di samping
wawancara. Metode observasi sangat membantu proses pengumpulan data, di samping
observasi biasa penulis juga melakukan partisipas observasi pada lokasi dimana penulis
meneliti. Metode ini sangat membantu untuk mempererat antara penelitian dengan
informan sehingga informasi dapat diharapkan lebih lancar tanpa dibarengi rasa curiga.
1.5.2.3 Rekaman
Untuk merekam hasil wawancara pada pertunjukan musik vokal maena fanehe
maena wangowai dome, fanehe maena zowatö, dan fanehe maena wangandrö sokona,
penulis menggunakan alat bantu rekam visual yaitu camera digital dengan merek
olympus untuk memotret sebagai dokumentasi gambar dan merekam pertunjukannya
pada tanggal 29 Maret 2012 di Gedung Serba Guna BNKP Hilisawatö.
15
1.5.2.4 Kerja Laboratorium
Untuk pentranskripsian dan penganalisis data serta informasi dilakaukan kerja
laboratorium. Semua data-data yang diperoleh dari lapangan dan studi kepustakaan akan
dianalisis untuk diseleksi sehingga menghasilkan suatu tulisan yang baik dalam
melakukan penelitian. Dengan demikian penulis mengadakan evaluasi ulang, dan
penulis juga terkadang melakukan wawancara dengan pengamatan ulang untuk
memperoleh data yang akurat.
Kerja laboratorium ini semua hasil dari penelitian lapangan baik dari perekaman
visual maupun audio penulis putar dan dengar secara berulang-ulang supaya dapat
dipahami dan dapat di transkripsikan dengan baik dan sesuai dengan fakta-fakta yang
didapat dari lapangan penelitian.
16
BAB II
KEBERADAAN MASYARAKAT NIAS
DI KOTA MEDAN
2.1 Geografis Kota Medan
Secara geografis kota Medan terletak pada 3° 30' – 3° 43' Lintang Utara dan 98°
35' - 98° 44' Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara
dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut. Kota Medan
memiliki luas 26.510 hektar (265,10 km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera
Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki
luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar
(www.wikipedia.com)
Secara administratif, batas wilayah Medan adalah sebagai berikut:
- Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur Batu
(Kabupaten Deli Serdang)
- Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli Serdang)
- Sebelah timur berbatasan dengan kecamtan Percut Sei Tuan dan Tanjung Morawa
(Kabupaten Deli Serdang)
Adapun beberapa kecamatan yang terletak di Kota Medan yaitu antara lain :
Kecamatan Medan helvetia, Kecamatan Medan Barat, Kecamatan Medan Petisah,
Kecamatan Medan Perjuangan, Kecamatan Medan Tembung, Kecamatan Medan Area,
17
Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan Medan Polonia, Kecamatan Medan Selayang,
Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan Amplas,
Kecamatan Medan Denai, Bandar Udara Polonia. Secara geografis Medan didukung
oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu,
Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-
lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan
berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling
memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.
Di samping itu sebagai daerah pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Medan
memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang
dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Posisi
geografis Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam dua kutub
pertumbuhan secara fisik, yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.
Selain itu, untuk mencegah banjir yang terus melanda beberapa wilayah Medan,
pemerintah telah membuat sebuah proyek kanal besar yang lebih dikenal dengan nama
Medan Kanal Timur. Menurut stasiun Polonia pada tahun 2008 suhu udara berkisar
antara 22.9°C-32.8°C dan menurut stasion Sampali antara 23.1°-32,3°C, Kelembaban
udara: 82-84%, Curah hujan 176,08-203,5 mm
2.1.1 Demografi
Populasi Kota Medan didominasikan oleh beberapa suku seperti: Melayu, Jawa,
Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing-Angkola), Nias dan Tionghoa.
Berdasarkan data kependudukan Tahun 2010, penduduk Medan saat ini diperkirakan
telah mencapai 2.712.236 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar dari pria. Sedangkan
penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 566.611 jiwa, yang merupakan
18
penduduk komuter. Dengan demikian Medan merupakan salah satu kota dengan jumlah
penduduk yang besar. Kota Medan terdiri dari 21 Kecamatan dan 151 Kelurahan. Selain
itu, Kota Medan juga merupakan daerah perkotaan yang dihuni oleh berbagai etnis,
dengan latar belakang yang berbeda pula. Kondisi Kota Medan yang heterogen ini,
mengakibatkan banyaknya timbul organisasi-organisasi yang berdasarkan etnis.
2.1.2 Identifikasi Kecamatan Medan Tuntungan
Pada identifikasi tentang Kecamatan Medan Tuntungan ini menjadi pusat
perhatian penulis karena di daerah ini khususnya di daerah Simalingkar perumnas
masyarakat Nias kebanyakan telah lama bermukin didaerah ini terbukti dari organisasi-
organisasi seperti STM serta telah mendirikan gereja yang termasuk gereja besar
dibandingkan dengan daerah-daerah lain dimana masyarakat Nias tinggal di Kota
Medan. Kecamatan Medan Tuntungan adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota
Medan Sumatera Utara, Indonesia . Secara geografis kecamatan ini berbatasan dengan
- Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang,
- Sebelah timur berbatasan dengan Medan Johor,
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang,
- Sebelah utara berbatasan dengan Medan Selayang.
Pada tahun 2010, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 69.447 jiwa. Luasnya
adalah 20,68 km² dan kepadatan penduduknya adalah 3.174,32 jiwa/km². Sebagaian
besar penduduk di kecamatan ini adalah suku-suku pendatang seperti: Tionghoa,
Minang, Batak, Aceh dan Jawa sedangkan suku asli Suku Melayu Deli 40% saja.Yang
terletak di kecamatan ini yaitu, (1) Kebun Binatang Medan, (2) RSU Adam Malik, (3)
RSJ Tuntungan.
19
2.2 Gambaran Umum Budaya Nias
Kabupaten Nias terdiri dari beberapa pulau yang mengelilinginya, pulau kecil
dan pulau besar yang jumlahnya mencapai 131 pulau. Pada awalnya pulau Nias
merupakan pulau yang hanya memiliki satu kabupaten saja. Namun pada saat ini pulau
Nias telah dimekarkan dan dibagi menjadi tiga kabupaten dan satu kotamadya. Pada
awalnya pulau Kota Gunungsitoli merupakan ibukota daripada pulau Nias itu sendiri
akan tetapi dengan adanya pemekaran sesuai dengan otonomi daerah di Indonesia, maka
Kota Gunungsitoli pada saat ini ialah ibukota Nias Utara sekaligus Kotamadya
sedangkan Nias Selatan beribukota Teluk Dalam dan Nias Barat beribukota Mandrehe.
Kabupaten Nias memiliki luas sebesar 5.625 km2 atau 7,26% dari seluruh luas
pulau Sumatera. Pulau Nias terletak di antara 0,120LU – 1,32o LU dan 90o BT - 98o BT.
Pulau Nias berbatasan dengan, (1) Samudera Indonesia di sebelah barat, (2) Pulau
Murshala (kepulauan Tapanuli Tengah) disebelah timur, (3) kepulauan banyak
(Nanggroe Aceh Darrusalam) disebelah utara, dan (4) kepulauan Mentawai (Sumatera
barat) disebelah selatan.
Wilayahnya yang berbukit-bukit dan dataran rendah hanya terdapat di bagian
utara, barat, dan sepanjang pantai serta tepi-tepi hilir sungai. Sebagian besar wilayah
pulau Nias merupakan hutan karena belum adanya penggarapan secara menyeluruh
disebabkan karena kurangnya transportasi dan jauh dari daerah pemukiman, sebagian
lagi sebagai pemukiman dan lahan pertanian. Iklim di pulau Nias sama dengan iklim di
Indonesia yaitu tropis dengan curah hujan yang cukup besar dan berkisar 3000 sampai
4000 mililiter per tahun.
20
2.3 Asal Usul Orang Nias
Pada dasarnya orang Nias yang tinggal di Kota Medan ini tidak terlepas dari
asalnya darimana dan tidak terlepas dari para leluhurnya yaitu asal usul ono niha (orang
Nias). Ono niha termasuk kedalam rumpun melayu yang berasal dari ras Mongoloid
dari daratan Asia di wilayah Hassir, Provinsi Yunan (Hunan), yang diperkirakan
meninggalkan negerinya sekitar 3000 tahun yang lalu. Baermukim disuatu tempat yang
disebut dengan nalawö sia,a mbanua yang kemudian membangun pemukiman baru di
sekitar Gomo, hingga disebut oleh orang Nias sebagai tempat pertama manusia
diturunkan yaitu mbanua niha (Bas Telaumbanua dalam Joni K. Manalu 2000:17).
Menurut S. Zebua (1984) suku Nias berasal dari wilayah Timur Tengah yang kemudian
berpindah kearah timur melalui Semenanjung India dan Birma terus ke pulau Nias.
Menurut Bas Telaumbanua (2000 : 18) kedatangan orang Nias terjadi dua tahap,
yaitu pada abad ketiga masehi dan awal abad keempat masehi. Dimulai dengan
perjalanan rahib Fa Hien dengan rombongannya yang berawal dari Mongol menuju
India untuk menuntut ilmu agama. Setelah itu meneruskan pelayaran menuju Jawa
Dwipa (diperkirakan bisa saja Sumatera, Jawa, atau pulau-pulau lain di Asia tengga).
Saat mereka kembali ke negeri asal mereka, perahu yang mereka tumpangi
diterpa ombak kemudian hancur dan karama. Akan tetapi sebagian penumpangnya
selamat mencapai daratan, menelusuri sungai yang diduga adalah sungai nalawö yang
bermuara di pantai Nias sebelah timur.
Menurut masyarakat Nias, yang dipercayai melalui foklor yang diwariskan
secara turun-temurun melalui tradisi hoho, leluhur orang Nias berasal dari langit.
Awalnya diturunkan tiga orang masing-masing bernama Daeli, Hulu, dan Gösö. Ketiga
orang tersebut turun dalam disebuah tempat yang bernama Gomo dan dari ketiga orang
inilah terlahir orang Nias (ono niha).
21
Menurut cerita tradisional, leluhur orang Nias berasal dari langit dan merupakan
keturunan Dewa yang disebut dengan Lowalangi yang berarti diatas langit. Menurut
mite tersebut asal-usul orang Nias adalah dari tempat yang disebut Sirao, di lapis langit
ke tujuh. Ditempat tersebut tingggallah seorang pria yang memiliki Sembilan orang
anak dan seorang kemenakan yang bernama Luomewöna. Ketika itu timbul niat dalam
diri raja untuk mewariskan kerajaan kepada salah seorang anak ataupun keponakannya.
Raja meminta untuk menunjukkan kebolehan masing-masing menari di atas tombak.
Ternyata ilmu kesaktian yang dimiliki keponakannya lebih tinggi dibandingkan dengan
ilmu kesaktian yang dimiliki oleh Sembilan orang anaknya. Takhta diserahkan kepada
Luomewöna dan Sembilan anaknya diturunkan ke bumi.
Nias yang dikenal sekarang ini sebenarnya bukanlah merupakan bahasa asli ono
niha (orang Nias). Dalam bahasa Nias, orang Nias menyebutnya ono niha (anak
manusia) dan tempat mereka berada sebagai Tanö niha (tanah manusia). Istilah Nias
kemungkinan merupakan istilah yang ditimbulkan semasa penguasa bangsa barat, yang
karena faktor bahasa menyebutkan istilah niha dengan nihas (Nias). Perubahan nama ini
juga terjadi dalam menyebutkan nama-nama berbagai tempat di Nias, seperti Kota
Gunungsitoli yang dalam bahasa dahulu kala disebut luaha. Nama Gunungsitoli
kemungkinan berasal dari kata onozitoli yang merupakan nama suatu daerah di dekat
Gunungsitoli sekarang ini.
Suku Nias menganut sistem patrilineal dalam garis keturunannya. Dalam
perkembangannya mereka membentuk marga (fam) yang sampai sekarang masih tetap
dipakai yang diwarisi oleh oleh laki-laki.
22
2.4 Sistem Religi dan Agama
Zaman dulu sebelum agama Kristen dan Islam masuk di tanah Nias, masyarakat
Nias menganut kepercayaan yang disebut sanömba adu. Yang secara harafiah dapat
diterjemahkan sanömba berarti menyembah, adu berarti patung ukiran yang terbuat dari
kayu atau batu. Jadi, sanömba adu berarti kepercayaan kepada patung-patung buatan
manusia baik berupa kayu maupun batu-batu besar (owe). Adu ditempatkan di osali
börönadu yaitu bangunan sebagai tempat ibadah religi sanömba adu.
Dewa si’ai ialah dewa yang paling tinggi yang diyakini oleh para leluhur orang
Nias dan semua alam semesta ini di kuasai oleh dewa itu. Pada waktu tertentu orang
Nias memberikan sesajian sebagai tanda penghormatan kepada dewa yang orang Nias
yakini itu. Untuk menghormati dewa itu mereka berkumpul dan mengadakan sambua
alahoita atau berkumpul di bawah kayu besar (pohon fosi atau eho). Di bawah pohon itu
mereka melakukan upacara dengan cara mengelilingi pohon besar itu kemudian
menyampaikan apa yang mereka inginkan. Selain dewa si’ai orang Nias juga
mempercayai adanya dewa-dewa lain diantaranya, luo walangi sebagai dewa pencipta
alam semesta, lature sobawi sihönö sebagai dewa pemilik dan penguasa babi, uwu
gere sebagai dewa pelindung, dan penguasa para ere (pemimpin religi sanömba adu),
uwu wakhe sebagai dewa penguasa tanam-tanaman, gözö tuha zangaröfa sebagai dewa
penguasa air.
Masyarakat Nias sejak menghuni pulau Nias (Tanö Niha) memiliki kepercayaan
bahwa arwah-arwah para leluhur orang Nias memiliki kekuatan yang dapat melindung
serta menolong mereka, sehingga mereka menyediakan tempat atau medium untuk para
leluhur itu dengan membuat patung-patung dari batu. Masyarakat Nias juga percaya
akan tempat-tempat tertentu adalah tempat yang keramat, dimana terdapat roh-roh yang
bisa berbuat sesuatu terhadap kehidupan mereka. Sebagai ungkapan rasa hormat mereka
23
terhadap hal tersebut, mereka melakukan sembahyang pada waktu-waktu tertentu
dengan memberikan persembahan-persembahan atau sesajian. Demikianlah
kepercayaan masyarakat Nias sebelum agama Kristen masuk di tanah Nias mulai abad
ke – 19.
Masuknya agama Kristen di Nias yang dibawakan oleh Denninger pada tahun
1865, tepatnya di Kota Gunungsitoli dimana sebelumnya ia telah belajar banyak tentang
Nias juga termasuk bahasa Nias dengan masyarakat Nias perantau di Padang sehingga
ketika dia sampai di Nias, ia tidak asing lagi dan semua telah mengetahui tentang Nias
termasuk bahasanya. Dari merekalah Denninger mempelajari kebiasaan-kebiasan, adat-
istiadat, dan kebudayaan Nias hingga Denninger tertarik untuk dating ke Nias,
mengajarkan agama Kristen ternyata berhasil dan kemudian dilanjutkan oleh Thomas
yang datang tahun 1873. Masa penting dalam pengembangan agama Kristen adalah
antara tahun 1815-1930, antara tahun ini disebut sebagai masa pertobatan total (fangesa
dödö sebua). Pada masa inilah mulai terjadi perubahan sikap, patung-patung mulai di
bakar dan dihancurkan, poligama, sangsi-sangsi hukum adat dengan hukuman badan,
penyembahan patung, penyembahan penyakit melalui fo’ere (dukun) dan sejenisnya
sudah makin berkurang. Hingga kini sebagian besar orang Nias memeluk agama
Kristen, (S. Zebua, 1984 : 62). Setelah penyebaran injuli oleh misionaris ke Tanö Niha,
umat Kristen tumbuh dan berkembang. Khususnya di Kota Medan, masyarakat Nias
diperkirakan berjumlah 25.000 jiwa dihimpun berdasarkan data yang diperoleh dari
berbagai gereja-gereja yang ada di Kota Medan.
Selain agama Kristen, orang Nias juga memeluk agama Islam, dimana mereka
mengikuti ajaran-ajaran Islam dan mereka tidak meneruskan tradisi sanömba adu,
fo’ere, mengadakan sesajian untuk roh-roh leluhur. Masyarakat muslim Nias, umumnya
berintegrasi dengan pemukiman-pemukiman enkapulsari umat Islam, namun demikian
24
mereka tetap memelihara hubungan budaya dengan masyarakat Nias pada umumnya.
Masyarakat muslim Nias ini juga giat melakukan kegiatan ibadah Islam seperti Shalat,
zakat, puasa, wirid yasin, memeperingati isra mi’raj Nabi Muhammad.
2.4 Sistem Pemerintahan Tradisi
Selain sistem religi, masyarakat Nias juga memiliki sistem pemerintahan tradisi
yang dibagi dalam berdasarkan jabatan sebagai berikut yaitu, (1) tuhenöri-tuhe artinya
tunggal dan nöri atau öri artinya kumpulan dari beberapa banua (desa). Tuhenöri dipilih
antara pimpinan banua (desa) yang disebut salawa, (2) salawa artinya yang tinggi.
Salawa ini memimpin satu wilayah yang disebut banua. Jabatan salawa mempunyai
pengertian : fa’atulö (adil), fa’atua-tua (bijaksana), fa’abölö (kuat jasmani dan rohani),
fokhö (kaya atau memiliki cukup harta benda), dan salawa sofu (berwibawa), (3) satua
mbanua artinya penasihat salawa yang terdiri dari tiga orang pemegang jabatan:
tambalinia (wakil atau orang kedua), fahandrona (orang ketiga), dan sidaöfa (orang
keempat).
2.4 Bosi (Tingkat Kehidupan)
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan
kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang
mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias
kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran
pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai
sekarang. Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan
kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus
25
mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih
ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
Pada masa awal religi sanömba [san∑mba] adu, masyarakat Nias mempercayai
sistem penggolongan derajat manusia yang disebut bosi. Sistem penggolongan derajat
manusia berdasarkan tingkat-tingkat kehidupan, dimulai dari janin sampai kehidupan
akhirat.pengertian bosi ini mencakup dua belas tingkat kehidupan. Dalam konteks ini
bosi ini nanti mengarahkan manusia untuk berusaha mencapai tingkat tertinggi, agar
setelah ia mati, akan memperoleh kebahagiaan di dalam tetehöli [teteh∑li] ana’a
(surga).
Adapun kedua belas tingkat derajat manusia atau bosi itu yaitu, (1) fangaruwusi
(memperlihatkan kandungan), (2) tumbu (lahir), (3) famatörö döi (memberi nama), (4)
famoto (sirkumsisi), (5) falöwa (menikah), (6) famedadao omo (mendirikan rumah), (8)
fa’aniha mbanua (memasuki persekutuan desa), (9) famaoli (menjadi anggota adat),
(10) fangai töi (mengambil gelar ), (11) fa’amokhö (kekayaan), (12) meme’e gö mbanua
(menjamu orang sedesa) dan mame’e gö nöri (menjamu orang satu öri),beberapa desa
(Dasa manaö 1998:195-196).
2.5 Kedatangan Orang Nias Di Kota Medan
Seperti halnya dengan suku-suku lain yang ada di nusantara mereka bepergian
dari daerah asal ke daerah lain. Demikian juga halnya dengan orang Nias seiring
berjalannya waktu dan perkembangan zaman, sebagian dari orang Nias pergi dari pulau
Nias dikarenakan berbagai hal, melakukan migrasi keberbagai daerah dengan tujuan dan
kepentingan yang bermacam-macam dan menuju ke daerah-daerah sepert, Tapanuli,
Sumatera Barat, Aceh, Bengkulu, dan bahkan sampai ke Malaysia (Johor, Malaka,
Negeri Sembilan, pulau Pinang), India, dan Madagaskan.
26
Perpindahan jumlah yang besar orang Nias diperkirakan sudah terjadi sejak abad
ke-17 yaitu pada waktu berinteraksi dalam hal perdagangan dengan Arab dan bangsa
Cina serta Hindia belakang. Pada saaat berlangsungnya jalur perdagangan menuju
Baros. Tanö Niha (pulau Nias) menjadi lumbung tempat penyimpanan bahan-bahan
untuk kebutuhan selama berlangsungnya perdagangan di Baros. Nias merupakan daerah
terdekat menuju Baros yang ramai dilayari kapal-kapal dagang dari berbagai daerah
sehingga orang Nias mempunyai peran penting dalam kelangsungan perdagangan waktu
itu seperti menyediakan tenaga kerja yang kuat dan mudah dihimpun, karena karakter
orang Nias ialah menghormati dan patuh pada pemimpinnya. Menjadikannya mudah
diorganisisr sebagai pelaku perdagangan pada zaman itu. Bersamaan dengan itu, orang
Nias mulai mengunjugi daerah-daerah lain seperti Aceh pada waktu pemerintah Raja
Iskandar Muda yang berlangsung pada tahun 1624 hingga 1626. Pada kisaran tahun
tersebut banyak orang Nias dibawa ke Aceh untuk dijadikan prajurit perang dan ada
juga yang dijadikan pekerja atau budak bagi pria, dan wanita di jadikan istri.
Pada waktu membuka perkebunan di Indonesia (Hindia Belanda waktu itu)
banyak pemuda-pemuda Nias yang dipekerjakan di wilayah-wilayah perkebunan di luar
pulau Nias, kemudian menetap dan bergenerasi di wilayah tersebut hinga sekrang.
Masyarakat suku Nias yang tinggal di Kota Medan (dahulunya Sumatera Timur)
diperkirakan dimulai sejak dibukanya onderneming perkebunan tembakau dan
perkebunan karet yang dikenal dengan HVA. Banyak orang Nias bekerja di
perkebunan-perkebunan, pada waktu itu karet menjadi “primadona” oleh orang
Belanda. Sehingga pohon karet oleh orang Nias disebu hafea, yang tak lain adalah
penyebutan lain untuk HVA yang berada di Sumatera Timur. Inilah awalnya dan
sejarahnya masyarakat suku Nias tinggal dan menetap di Kota Medan.
27
Seiring berjalannya waktu, Sumatera Timur kemudian berkembang menjadi
Kota Medan. Orang Nias terus melakukan proses perpindahan atau urbanisasi yang
dahulunya hanya kelompok kecil, semakin lama terbentuk sebuah masyarakat suku
Nias. Hidup berdampingan dengan suku lainnya, hal ini terlihat dari berbagai macam
keterlibatan dalam berbagi dengan masyarakat sekitar dimana saling melakukan
aktifitas budaya masing-masing suku.
2.7 Proses Adaptasi Masyarakat Nias di Kota Medan
Adaptasi masyarakat suku Nias terjadi saat berbaur berbagai macam etnik
lainnya yang ada di Kota Medan, dengan tetap melakukan aktifitas budaya yang mereka
pertahankan keberlangsungannya yang pada akhirnya tercipta Kota Medan yang
multikultural.
Suku Nias merupakan salah satu heterogenitas suku bangsa yang menetap di
Kota Medan. Suku bangsa lain juga merupakan suku yang menetap di Medan terbagi,
(1) suku bangsa tempatan (natif) yaitu suku Melayu (Usman Pelly 1990 : 84), dengan
alas an bahwa suku Melayu pertama sekali bermukim di wilayah teritorial Kota Medan,
(2) suku pendatang antara lain : Batak Toba, Batak Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi,
Pesisir Sibolga, Mandailing. Suku pendatang ini merupakan etnis yang wilayah
teritorialnya paling dekat dengan Kota Medan dan tergolong dalam satu struktur
pemerintahan setingkat propinsi dengan Medan menjadi pusat pemerintahannya. Juga
etnis seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, serta kelompok kecil etnis Nusantara lainnya
serta etnis datang dari luar nusantara seperti etnis yang datang dari Cina, India, dan yang
lain dalam jumlah kecil.
Tibanya orang Nias di Kota Medan dan tinggal menetap dan melakukan aktifitas
budaya dengan berbagai cara. Sistem pemerintahan di Nias saat ini berbentuk kabupaten
28
dan Kotamadya dimana sebelumnya pulau Nias hanya memiliki satu kabupaten saja
namun saat ini pulau Nias telah menajdi empat kabupaten satu Kotamadya sehingga
semakin memudahkan untuk dipahami bagi dari segi kebudayaannya maupun segi
dialek bahasanya.
2.8 Mata Pencaharian
Ketertarikan masyarakat Nias di berbagai macam sumber daya alam yang ada di
Kota Medan baik di kawasan industri, perkantoran maupun disektor lainnya berawal
pada tahun 1960-an dan jumlahnya semakin bertambah. Kedatangan orang Nias di Kota
Medan berlangsung secara berkelompok dan juga secara individual. Para pemuda Nias
melakukan perjalanan (merantau) bersama-sama dengan teman sekampung ke Kota
Medan dengan tujuan untuk mencari pekerjaan. Kelompok ini menyebar keberbagai
wilayah Kota Medan, bekerja di Pabrik, petani, nelayan, tukang becak, karyawan
swasta, bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau TNI / POLRI, buruh lepas
juga ada yang berbaur lewat perkawinan antara orang Nias dengan orang dari etnis lain.
Dengan bertambahnya jumlah orang Nias yang menetap di Kota Medan
menimbulkan keinginan untuk bersatu dalam satu ikatan organisasi dan perkumpulan
orang Nias dalam bentuk organisasi sosial, pendidikan, dan kepemudaan. Pada saat ini
diperkirakan jumlah orang Nias yang tinggal dan menetap di Kota Medan ± 25.000.
yang tersebar dalam wilayah Medan seperti, Daerah Belawan, Perumnas Mandala,
daerah Perumnas Simalingkar, daerah Padang Bulan, daerah Helvetia, serta daerah
lainnya dalam jumlah kecil namun khusus didaerah objek penelitian penulis
diperkirakan berdasarkan hasil yang di kumpulkan penulis dari Kecamatan Medan
Tuntungan ± 8.743 jiwa.
29
2.9 Organisasi Sosial
Organisasi sosial sangat penting dalam kehidupan sehari-sehari, kekerabatan dan
kerja sama sangat menonjol meskipun terpolarisasi dalam paham keagamaan yang
saling berbeda. Orang Nias memakai satu bahasa tunggal, akan tetapi dialeknya agak
berbeda disetiap wilayah namun yang cukup khas dari bahasa Nias adalah huruf vocal
yang mayoritas dalam setiap kata atau kalimat, dan selalu ditandai dengan akhiran huruf
vokal. Ini juga secara tak langsung mempengaruhi adaptasi sosial antara sesame orang
Nias dengan daerah budaya yang berbeda.
Meskipun orang Nias telah berpindah di berbagai tempat akan tetapi secara
individual atau kelompok berusaha untuk tetap mempertahankan warisan budaya para
leluhurnya namun kebudayaan tersebut tidak seutuhnya dipertahankan, akan tetapi
terjadi perubahan, perkembangan sesuai dengan situaai lingkungan dimana kebudayaan
itu dilaksanakan atau tempat dimana ia tinggal.
Kebudayaan Nias dapat dilihat melalui organisasi-organisasi atau perkumpulan-
perkumpulan masyarakat Nias yang ada di Kota Medan. Ada yang membentuk
perkumpulan berdasarkan wilayah dimana asal mereka di pulau Nias seperti Persatuan
Masyarakat Gomo (PERMASGOM), Lahewa, Sirombu, Gidö, Pulau Batu, Teluk
Dalam. Ada juga berdasarkan marga (mado) seperti Persatuan Marga Harefa, Persatuan
Marga Mendröfa, Persatuan Marga Lase, Persatuan Marga Telaumbanua, Persatuan
Marga Zalukhu, Persatuan Marga Larosa, Persatuan Marga Nazara. Selain itu juga
masyarakat Nias juga membentuk perkumpulan berdasarkan dimana mereka tinggal di
Kota Medan berupa Serikat Tolong Menolong (STM), seperti STM Sehati, STM
Faomakhöda, STM Kasih Karunia, STM Saradödö. Ada juga organisasi lain yang
bersifat kepemudaan, gerejawi, pendidikan dan pembanguan juga berdiri di Kota
30
Medan, seperti Gerakan Mahasiswa Nias (GMN), Forum Mahasiswa Nias Peduli Nias
(FORMANISPE), KMN, FORMAN, Komisi pemuda BNKP Hilisawatö.
2.10 Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan yang berlaku di Nias adalah menurut garis keturunan ayah
(patrilineal) dan mado (marga) menjadi perlambang aka nasal dan klasifikasi “keluarga”
seseorang dan selalu maarga (mado) ayah yang ditempatkan dibelakang nama lahir
untuk generasi dibawahnya. Marga-marga yang ada pada masyarakat Nias adalah
Amazihönö,Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwa'ö, Bawö, Bali, Bohalima,
Bu'ulölö, Buaya, Bunawölö, Bulu'aro, Bago, Bawaulu, Bidaya, Bulolo, Baewa Ba'i
menewi Boda hili, Dakhi, Daeli, Dawolo, Daya, Dohare, Dohona, Duha, Duho, Fau,
Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana,Famaugu, Fanaetu, Gaho, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa,
Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Gari, Halawa, Harefa, Haria, Harita,
Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura, Hoya, Harimao, Lafau, Lahagu, Lahömi, Laia,
Luaha, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawölö, Lo'i, Lömbu, Lamölö, Lature,
Luahambowo, lazira, Lawolo,Lawelu, Laweni, lasara,laeru, Löndu go'o, lase, larosa,
Maduwu, Manaö, Maru'ao, Maruhawa, Marulafau, Mendröfa, Mangaraja, Maruabaya,
Möhö, Marundruri,Mölö, Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe, Nadoya, Nduru,
Sadawa, Saoiagö, Sarumaha, Sihönö, Sihura, Sisökhi, Saota, Taföna'ö, Telaumbanua,
Talunohi, Tajira, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö, Warasi, Warae, Wohe,
Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago, Zamili, Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö,
Zidomi, Ziliwu, Ziraluo, Zörömi, Zalögö, Zamago zamauze
31
2.11 Kesenian
Dalam masyarakat Nias memilki beberapa kesenian daerah yang merupakan ciri
khas daeri daerah Nias yaitu seni musik. Adapun alat-alat musik Nias sebagai berikut :
(a) Göndra alat musik membranofon yang dipukul dengan alat pemukul dari rotan. Alat
pemukul ini disebut famo göndra. Alat musik ini selalu digunakan dalam pesta
pernikahan dan juga dipakai sebagai alat musik mengiringi tarian atau lagu. (b) Aramba
(gong), alat musik jenis gong berpencu, teridiri dari gua gong yaitu aramba dan faritia.
Aramba lebih besar dari faritia.fungsi sosialnya adalah untuk memberi berita yang
terjadi di Medan perang, misalnya ada yang meninggal. (c) Tamburu, gendang yang
ukurannya lebih kecil dari göndra dan bagianluarnya tidak diikat oleh rotan tetapi
luarnya dipakukan saja. Tamburu dipukul untuk menyambut atau mengiringi prosesi
pengantin, laug dan tarian. (d) doli-doli adalah xilophon kayu laore berupa bilahan-
bilahan yang diletakkan diatas kaki pemainnya dan dipukul dengan pemukul terbuat
dari kayu. Alat musik ini kadang juga dikatakan gambang. (e) Suling adalah alat musik
tiup terbuat dari bambu (lewuö mbanua). (f) Ndruri dana adalah alat musik jew’s harp,
memiliki satu lidah yang disebut lela.
Selain dari seni musik, masyarakat Nias juga memiliki tari-tarian yaitu, (a) Tari
maena yaitu tari yang biasa dipertunjukkkan dalam acara pesta pernikahan, pesta
owasa, dan juga dilakukan untuk menyambut tetamu terhormat. Tari maena biasanya
dilaksanakan dilapangan terbuka, sejumlah orang bisa saja ikut karena gerakannya tidak
sulit untuk diikuti. Variasi gerakan yang umum dilakukan yaitu kaki membentuk segi
tiga (tölu sagi) dan gerakan kaki membentuk segi empat (öfa sagi). (b) Tari moyo
adalah tarian yang menirukan gerakan burung elang yang sedang terbang. Biasanya
ditarikan oleh wanita. Tari ini digungsikan untuk acara terpenting misalnya penobatan
seseorang menjadi bagsawan. (c) Tari faluaya dan maluaya. Maluaya merupakan tari
32
persatuan sebagai tanda solidaritas sosial dalam rangka menaklukan musuh. Aksinya
menggambarkan sekelompok tentara yang sedang berperang. Property tariannya adalah
pedang (balatu/ekhe), tombak (toho), dan tameng (baluse). (d) Tari Hombo batu atau
lompat batu merupakan tari yang berunsur olah raga latihan perang melompati batu
sebagai simbol budaya megalitikum. Sapaan Ya'ahowu. Dalam budaya Ono Niha (Nias)
terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam
“Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti
Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan
diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan
sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang
bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan
kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan
kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak
terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi
makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam
damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan
untuk pengembangan hidup bersama.
33
BAB III
PENYAJIAN MAENA DALAM KONTEKS PESTA
ADAT PERKAWINAN MASYARKAT NIAS DI KOTA MEDAN
3.1 Gambaran Umum Upacara Perkawinan Adat Nias
Perkawinan (falöwa [fal∑wa]) bagi masyarakat Nias merupakan pembentukan
suatu keluarga baru yang bernlai sacral, untuk melahirkan keturunan (regenerasi).
Dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan adat yang berlaku dan disahkan oleh agama
(pihak gereja bagi yang beragama Kristen), serta memenuhi persyaratan hukum Negara
atau pemerintahan.
Seorang laki-laki yang telah dianggap dewasa atau sudah berumur 18 tahun
dapat dikawinkan dengan seorang gadis yang telah berusia 17 tahun, jika beragama
Kristen terlebih dahulu di baptis dan telah disidik. Kemudian pihak laki-laki
menyelesaikan segala persyaratan adat yang diminta oleh keluarga pengantin wanita
(balaki). Dengan masuknya agama Kristen di Pulau Nias tampak bahwa aturan agama
yang masuk ke pulau Nias sangat mengambil peran penting dalam upacara adat
perkawinan suku Nias.
Jika calon pengantin adalah pemeluk agama Kristen, terlebih dahulu menjalani
proses pemberkatan di gereja yang dipimpin oleh seorang Pendeta sebagai syarat syah
menurut agama kemudian dilanjutkan dengan melangsungkan upacara adat dilokasi
yang telah ditentukan. Kedua hal ini menurut orang Nias harus dilaksanakan sebaga
pertanda bahwa perkawinan dilangsungkan dengan baik.
Sebelum agama Kristen masuk ke pulau Nias, pengesahan lebih menitiberatkan
pada persyaratan adat yang dilakukan di depan ere (datuk / pengetua adat) namun
34
rangkain pelaksanaan pesta perkawinannya sama dengan keadaan setelah Kristen masuk
di Nias.
3.2 Tata Cara Yang Umum Dilakukan
Upacara adat perkawinan masyarkat Nias memiliki struktur hierarki (tingkatan)
yang yang dalam mekanisme perencanaan dan pelaksanaanya tergantung pada bagian
daerah tempat upacara itu dilaksanakan. Mekanisme dan aturan adat Nias bagian utara
berbedan dengan Nias bagian selatan dan bagian barat atau tengah. Masing-masing
mempunyai karakter yang tersendiri. Namun pada masyarakat Nias memiliki kesamana
sesuatu yang umum dilakukan dalam pelaksanaan upacara perkawinan masyarakat Nias
salah satunya yaitu jujuran (böwö) yang dilakukan dalam ritual penentuan yang disebut
fondrako.
3.3 Mahar (Jujuran) Menurut Adat Nias
Mahar (jujuran ) adalah keseluruhan prosedur pernyerahan yang oleh adat telah
ditetapkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sesuai dengan laposan dan
kedudukan sosial masing-masing sebelum seorang laki-laki secara resmi mengambil
seorang perempuan Nias, Hans Daeng (dalam Lola Utama Sitompul, 2009 : 81),
sedangkan menurut Ariyono jujuran merupakan benda-benda berharga yang diberikan
kepada orang tua mempelai perempuan oleh mempelai laki-laki atau kerabatnya. Secara
khusus, menurut adat istiadat pernikahan Nias jujuran (böwö) dalam arti sebenarnya
adalah kasih atau perbuatan baik yang dilakukan seseorang kepada orang lain.
Secara umum menurut adat Nias, mahar (jujuran) dalam masyarakat Nias terdiri
dari kefe (uang kertas), bawi (babi),böra [b∑ra] (beras), firö (uang perak), dan ana’a
(emas). Kelima jenis mahar (jujuran) ini menunjukkan lambang kekayaan yang dimiliki
35
oleh seseorang. Oleh kaarena itu dapat dikatakan bahwa nilai mahar (jujuran) pada
masyarakat Nias adalah merupakan suatu hal penentu utama dalam berlangsungnya
suatu prosese pernikahan.
Pada pelaksanaan pesta perkawinan, besarnya mahar yang diberikan pihak laki-
laki kepada perempuan berkisar antara 30 juta sampai 50 juta, emas, beras 20 karung
dan babi30 ekor. Besar kecilnya mahar yang diberika kepada pihak perempuan juga
dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya keturunan dan tingkat pendidikan serta
pekerjaan seorang perempuan. Jika seorang perempuan mempunyai pekerjaan atau
berasal dari keluarga kaya dan terpandang jumlah mahar bisa mencapai Rp 70 juta
sampai Rp 100 juta. Untuk pendidikan, walaupun pendidikannya tinggi tetapi
perempuan tersebut tidak bekerja, tidak akan mempengeruhi jumlah mahar yang
diberikan. Hal terpenting dalam penentuan jumlah mahar adalah status dan pekerjaan
seorang perempuan.
Di beberapa daerah, dikenal istilah sumange (memberikan sesuatu dengan penuh
rasa hormat) yaitu “salam tangan” yang dilakukan oleh mempelai pria kepada orang-
orang tertentu, yaitu orang-orang yang memilki wewenang untuk memutuskan apakah
pada saat upacara dilangsungkan, mempelai wanitanya boleh diturunkan ke halaman
untuk diserahkan atau tidak. Tak jarang, upacara perkawinan berlangsung lama (dari
pagi hingga malam) hanya karena persoalan sumange tadi dan sumange ini yang paling
menonjol dalam mempersoalkan ini ialah pihak paman dari mempelai wanita. Jika uang
salam tangan tersebut sesuai dengan keinginan penerima, maka serahterima dapat
dilangsungkan.
36
3.4 Sistem Perkawinan Yang Di Anut Masyarakata Nias
3.4.1 Kawin Sedarah
Kawin sedarah merupakan perkawinan antara saudara sepupu jauh (setelah
Sembilan generasi) sebagai hasil keputusan fondrako bonio dan fondrako laraga yaitu,
(1) seorang calon pengantin pria dapat mengawini saudara sepupu jauh setelah
Sembilan generasi, hal ini dimungkinkan agar putra-putri keturunan bangsawan (si ulu
atau balugu) jangan sampai jatuh kepada pihak lain yang derajat bosi berbeda agar
hubungan kekeluargaan yang sudah mulai menjauh dapat menjadi lebih dekat kembali.
Namun sesuai dengan pengalaman penulis perkawinan sedarah juga bukan hanya
dilkukan oleh pihak balugu saja namun orang yang bosinya saling berbeda juga bisa
dilakukan jikalau kedua belah pihak memiliki kecocokan dan sebagaimana pesta
perkawinan pada umumny, (2) seorang pria menikahi putrid pamannya dari pihak
kerabat ibunya, yang lazim disebut sibaya atau uwu. Perkawinan seperti ini disebut
sangawuli ba zibaya atau sangawuli ba nuwu, (3) perkawinan antara sepupu dengan
ketentuan ibu calon pengantin pria bersaudara kandung dengan ibu calon pengantin
wanita, yang disebut dusanai atau gasiwa (pariban dalam istilah lain).
3.4.2 Perkawinan Ganti Tikar
Perkawinan ganti tikar disebut sama lali tufo, terjadi bila seorang istri yang
suaminya telah meninggal dunia, maka saudara kandung dari mendiang suaminya
berhak mengawininya. Demikian sebaliknya, jika seorang suami yang istrinya sudah
meninggal dunia dapat menikhai saudara kandung mendiang istrinya. Hal ini bertujuan
agar hubungan kekerabatan yang terjalin karena perkawinan sebelumnya tetap terjalin
erat.
37
3.5 Perkawinan Adat Menurut Böwö Laraga
Dahulunya wilayah adat suku Nias hanya terdiri dari dua bagian, yakni Nias
selatan dan Nias utara. Namun sekarang dengan terbaginya beberapa kabupaten di pulau
Nias maka semakin nampaklah bagian-bagian budaya pada masing-masing kabupaten.
Tetapi secara umum yang menjadi patokan dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik
masyarakat Nias yang ada di Kota Medan maupun masyarakat di Nias itu sendiri.
Böwö laraga ini merupakan acuan yang mempunyai pengaruh yang paling luas
dalam pelaksanaan upacara adat masyarakat Nias. Sedangkan bagi masyarakat yang
tinggal di Kota Medan, dengan berbaurnya masyarakat dari daerah teritorial dan budaya
yang berlainan sistem atau tata cara menurut böwö laraga ini menjadi acuan yang
kemudian disesuaikan lagi dengan situasi dan kondisi oleh pihak yang malangsungkan
upacara perkawinan. Sama halnya dalam mencari pasangan hidup, dahulunya
perkawinan masyarakat Nias adalah kemauan dari kedua belah pihak atau di jodohkan
dan sebagai anak harus tunduk dan taat kepada orang tuanya. Dalam penentuan mahar
perkawinan seluruhnya di atur oleh orang tua.
3.6 Jenjang Pelaksanaan Pesta Perkawinan
Jenjang yang ditempuh dalam pelaksanaan pesta perkawinan böwö laraga yaitu,
(1) famaigi niha (memilih gadis), keluarga pihak pengantin pria pergi menemui orang
tua calon pengantin wanita. Bila anak gadis hendak dipinang berkenan, maka ditentukan
langkah selanjutnya. Sisini terdapat idiom bahasa / kiasan yang disampaikan oleh
perwakilan pihak pria yaitu:
38
3.6.1 Famaigi Niha ( Memilih Gadis )
Tahap famaigi niha merupakan tahap awal yang dilakukan oleh orang tua Ayah
/ Ibu mempelai laki-laki atau “sese” datang kerumah “barasi” untuk melihat dan
menanyakan gadis calon dari istri anak laki-lakinya. Kemudian setelah melihat maka
orang tua “sese” menemui salah satu keluarga yang dekat dengan keluarga “barasi”
untuk mengutarakan niat mereka untuk datang kerumah “barasi”.
Selama dari perjalanan, Ibu “sese” harus memperhatikan segala sesuatu yang
terjadi di perjalanannya, siapa yang berjumpa dan apa-apa yang dijumpainya sampai
kerumah tujuannya misalnya jika di tengah jalan dia berjumpa dengan seekor anjing
atau anjing sedang menyalak maka maknanya bahwa tujuannya gagal dan tidak baik
seperti kelakuan anjing, tetapi kalau ia berjumpa dengan orang / gadis yang sedang
pulang mengambil air artinya hal ini baik dan kalau selama ia berada dirumah tujuannya
saat membicarakan hal itu dan ada seorang yang bersin ( bohö ) artinya hal itu
hendaknya di tangguhkan saja yaitu berbahaya, tanda-tanda lain seperti apabila
berjumpa dengan ular, anjing sedang berkelahi , jumpa dengan orang membawa api.
Jika Ibu “sese” tadi mempunyai tanda yang baik maka dilangsungkan niatnya
untuk membicarakan tujuannya, setelah putus persetujuan keluarga dapat dia sampaikan
kepada Ibu gadis-Ayah gadis atau “barasii” baru dia pulang, tinggal menunggu balasan
apakah berterima atau tidak sehingga hasil pembicaraan keluarga (Balaki). Bersetuju
baru dikabarkan kepada orang tua “sese”.
Setelah orang tua “sese” mendapat balasan bahwa bersetuju orang tua (balaki)
barulah keluarga-keluarga terdekat “sese” berkumpul dan menanyakan kepada arwah
orang tua ( malaika zatua ) dengan perantaraan seorang “Ere” untuk menyatukan jiwa
kedua anak-anak tersebtu agar kelak menjadi satu keluarga ( fonambatö ) dan merestui
pekerjaan pelaksanaan proses perkawinan dengan selamat.
39
3.6.2 Famaigi Tödö Manu Silatao ( Memeriksa Guratan Jantung Ayam Jantan )
Pelaksanaan pemeriksaan guratan jantung ayam jantan ini dilaksanakan di
rumah “sese” (laki-laki) yang dihadiri oleh keluarga dan orang tua “sese” dengan
menyediakan seekor ayam jantan yang sedang besarnya. Oleh pelakasanaan “Ere”.
Memukul fondahi (alat gendang yang berupa tabuh) dimuka adu zatua (patung berhala)
sambil menuturkan sanjak mantra untuk mencintai petunjuk dari arwah orang tua yang
telah meninggal. Setelah selesai Ere memukul fondahi dan berantara kemudian ayam
disembelih pada lehernya dan darahnya di ambil oleh Ere lalu dipoleskannya pada bibir
adu zatua tadi sebagai penghormatan bagi arwah nenek moyang tersebut. Selanjutnya
Ere membelah dada ayam tadi lalu mengambil jantung dan memeriksa guratannya =
jika terdapat guratannya seperti susunan kaki lipan (ahe galifa) dari ulunnya sampai
kepuncak jantung dan lurus letaknya maka ini menandakan bahwa suami istri itu (sese
dan balaki) serasi dan bahagia, panjang umur dan mempunyai keturunan. Apabila telah
ternyata demikian maka orang tua sese segera mengangkat seseorang (pengantara =
penyampai bicara = telangkai). Yang akan menghubungi penunjuk jalan (samatörö)
dipihak orang tua barasi (gadis).
Seandainya dalam penglihatan Ere guratan jantung ayam tidak baik maka
lanjutan peminangan dibatalkan. Apabila pembicaraan untuk peminangan jadi maka
“SI’O” (pengantar = telangkai) dengan “samatoro” (penunjuk jalan) yang tetap
berunding segala sesuatu hasil perundingan mereka tentang lanjutan pelaksanaan
perkawinan tetap mereka berdua yang menyampaikan kepada kedua belah pihak orang
tua sese dan barasi.
Catatan: Tentang tata cara memeriksa guratan jantung ayam jantan ini pada masa
sekarang telah punah karena desakan agama.
40
3.6.3 Fame’e Laeduru (Menyerahkan Cincin)
Fame’e laeduru disebut juga fanunu manu zamatörö. Upacara pelaksanaan
fame;e laeduru ini boleh di laksanakan dirumah samatörö (penunjuk jalan) dengan
segala keperluan ditanggung oleh keluarga antara lain biaya yang diperlukan dalam
pelaksanaan famae’e laeduru ini ialah : (1) cincin : yang terbuat dari kuningan atau
emas atau perak. Bentuk cincin ini seperti belahan rotan. Cincin ini dibungkus pada
saputangan dan didampingi diikutsertakan sepulu saga, sepuluh gram emas balaki
(perada), dan ½ tambali ziwalu (paun emas muda). Penyerahan emas pendampingan
cincin ini adalah menurut derajat (bosi) orang tua balaki (gadis) : berderajat. (2)
Fanema laeduru = menerima cincin (köla). Fanema laeduru ini dilaksanakan dengan
pemberian jujuran tanda terima kepada si’o dan samatörö beserta keluarga sebesar ½
tambali siwalu paun emas muda.(3). Afo (sekapur sirih) selengkapnya.(4). sakhozi
ziwalu (peleburan emas muda) artinya keperluan babi hidup untuk dimakan bersama
sebesar 2 s/d 4 alisi = 20 kg s/d 40 kg, babi hidup. Setelah lengkap keperluan tersebut
diatas dan berlangsung pertemuan kedua belah pihak orang tua maka oleh salawa hada
(tokoh adat) pada desa si barasi (gadis) menyerahkan dimuka siraha afasi (patung buat
kapas) sebagai penghormatan dan pemberitahuan pada arwah nenek moyang / leluhur.
Pada masa sekarang ini hal itu diganti dengan acara doa pemberkatan dan pemaduan
hidup antar sese (laki-laki) dan barasi (gadis) agar selamat. Selamat sebelum
berlangsungacara perkawinan kelak. Segala keperluan dalam acara ini ditanggung oleh
orang tua sese / laki-laki.
catatan : Dahulu dilaksanakan hal ini oleh Ere tetapi setelah agama berkembang Ere
diganti dengan pengetua adapt (salawa hada) atau pengetua agama dengan berdoa
41
kepada Tuhan yang maha Esa. Setelah berlangsung hal tersebut diatas maka orang tua
barasi / gadis menolak pinangan dari orang lain yang datang.
3.6.4 Fanunu Manu (Upacara Resmi Peminangan)
Pelaksanaan upacara fanunu manu ini adalah salah satu upacara adapt resmi
yang sangat menentukan pelaksanaan peralatan upacara pesta perkawinan kelak, karena
pada saat ini dapat ditentukan berapa besar jujuran yang harus disediakan oeh pihak
sese (laki-laki). Upacara fanunu manu ini dilaksanakan oleh si’o dari pihak laki-laki
dan oleh samatörö dari pihak barasi. Upacara ini dilaksanakan dirumah barasi yang
dihadiri oleh masyarakat kedua belah pihak, tokoh adat, uwu (paman), ibu-ibu isteri
tokoh-tokoh adat.
Tujuan upacara fanunu manu : (1) untuk memperkenalkan si sese (lelaki) kepada
seluruh keluarga barasi (gadis), (2) untuk memperkenalkan si sese (laki-laki) kepada
seluruh penduduk desa si barasi baik anak-anak, orang tua dan pemuda-pemudinya
serta dengan tokoh-tokoh adapt, (3) untuk memperkenalkan si sese kepada paman
barasi,(4) mengesahkan bahwa si sese dan si barasi telah bertunangan da orang tua sese
dan barasi telah berbesan syah, (5) membicarakan besarnya jujuran yang harus dibayar
oleh pihak sese kelak menurut tingkat bosi orang tua barasi dalam masyarakat, (6)
menentukan waktu pelaksanaan pesta perkawinan kelak, disebut “bongi zalawa”.
Keperluan-keperluan yang diperlukan pada upacara fanunu manu (1)Yang disediakan
oleh pihak sese (laki-laki), (2) Afo : Afo dibawa oleh pihak sese beberapa kembut
sirih (bola nafo) yang disebut bola nafo mböwö artinya bola nafo yang diberi berkatan
bola nafo ni diserhkan sese melalui ibu barasi yang selanjutnya diserahkan kepada : (a)
bola nafo untuk nina (soboto = ibu) diterima oleh Ibu barasi, (b) Bola nafo untuk umu
(paman) barasi diterima oleh barasi (c) bola nafo untuk iwa (diterima oleh saudara
42
Ayah barasi ), (d) Bola nafo untuk awe (diterima oleh nenek barasi ) (d) bola nafo
untuk huwa (diterima oleh saudara kakak barasi ), (e) bola nafo untuk si’o / sanatö rö /
sameli (diterima oleh pengantar dan telangkai baik dari pihak sese maupun barasi ) (f)
bola nafo untuk banua (diterima oleh isteri tokoh adapt di desa si barasi) (g) satu
bungkusan besar himpunan jenis nafo yang diserahkan ditengah-tengah ibu-ibu untuk
dimasak sebagai afo biasa, (1) Satu ekor babi hidup 4 alisi (40 kg) untuk keperluan
adapt fanunu manu (diserahkan satu hari sebelum hari fanunu manu), (2) Emas
disediakan sara balaki atau sara siwalu ini ditentukan dengan tingkat derajat (bosi)
kedudukan orang tua barasi pada masyarakat, emas jujuran ini disebut “lambae
daroma” = emas penghormatan pendahuluan dari pada jujuran. Emas ini diterima oleh
“soboto” = orang tua barasi, (3) olöwöta ( bungkusan daging anak babi) yang sudah
dimasak. Bungkusannya mowawino ( seludang pelepah pinang ) yang diisi dengan simbi
dan daging rusuk, daging paha anak alakhaö selengkapnya. Daging babi olöwöta ini
disebut “föfö wangandrö dome” ( pihak sese ) waktu berangkat dari rumahnya
kadangkala juga daging ini diletakkan dalam so’u-so’u ( keranjang yang dibuat dari
susulur / tutura )
3.6.5 Bawi Nisila Hulu ( Babi Dibelah Dua )
Upacara pelaksanaan bawi nisila hulu (babi dibelah dua ) ini dilaksanakan
dirumah barasi yang dihadiri oleh tokoh / pengetua adat dari kedua belah pihak. Kadang
– kadang pelaksanaan bawi nisila hulu ini disertakan pada fanunu manu; karena
mengingat waktu ( mempersingkat waktu ) dimana tujuannya tidak berubah yaitu
mengikat janji pada pertunangan dan dengan ketentuan waktu pelaksanaan pesta kawin /
janji yang dikirakan pada masa pelaksanaan bahwa, (1) Apabila pihak laki-laki yang
mengundurkan diri maka segala jujuran yang telah dibayar hangus dan hilang ( nidou
43
manu ), (2) Apabila pihak gadis yang menyebabkan / menolah maka ianya diwajibkan
membayar ganti rugi pihak sese dua kali lipat. Pada pelaksanaan bawi nisila hulu ini
yang dibutuhkan ialah seekor babi sebesar öfa alisi atau 40 kg dibelah jadi dua yaitu
yang sebelah kepada pihak sese dan sebelah kepada pihak barasi dan kemudian dibagi-
bagi kepada keluarga masing-masing,(3) Setelah siap pembagian ini maka besar jujuran
untuk pelaksanaan pesta kawin selanjutnya dibicarakan beberapa yang sudah dibayar
dan berapa yang masih belum, (4) kemudian ditentukan waktu pesta kawin ( bongi
zalawa ) = bongi nama.
3.6.6 Famalua Li ( Pertanyaan Melangsungkan Perkawinan )
Setelah ketentuan bongi zalawa atau bongi nama berangsung beberapa minggu /
bulan maka oleh orang tua pihak sese memperkirakan kemampuan pembiayaan sudah
ada dan cukup maka si’o dari pihaknya disuruh mengadakan kontak bicara dengan
sanemali dipihak gadis meminta persetujuan dan menanyakan perkiraan besarnya
jujuran yang harus dibawa dan bagaimana rencana selanjutnya mengenai waktu dan
persiapan mereka. Ini disebut famangelama ( mengingatkan ). Pada waktu si’o sese
pergi menanyakan ini ia ditemani oleh menantu laki-laki dengan membawa bola nafoi
dan olöwöta yang disebut bungkusan daging anak babi mengingatkan. Pada
pembicaraan pertemuan ini dihadiri oleh keluarga dari ayah gadis yang berhak
menerima bagian dari jujuran. Pada wakktu inilah si’o dari pihak laki-laki dengan gigih
berbicara meminta belas kasihan penurunan dari jumlah jujuran yang sewajarnya
kepada yang berhak menerima yang akhirnya diminta berapa besar jujuran keperluan
saekhu bazimaöchö ( jujuran yang harus dibayar sampai pada peralatan pesta
perkawinan )= böwö soguna maöchö ( dalam hal ini besar jujuran menurut bosi tidak
terlepas yang tetap sebagai jujuran = böwö nisitaigö yawa) yang kemudian dibayar.
44
Setelah sepakat dengan keperluan saekhu bazimaökhö / böwö soguna maökhö maka
beberapa hari kemudian oleh salawa hada ( pengetua adat ) dan si’o dari pihak sese
datang sebanyak ± 5 orang tanpa wanita / ibu-ibu mengadakan upacara famua li di pihak
gadis dihadiri oleh keluarga gads, dan salawa hada dan ibu-ibu keluarga. Untuk
mengesahkan besarnya jujuran yang diminta untuk pesta sehari. Keperluan – keperluan
yang disediakan oleh pihak laki-laki, (1) Afo selengkapnya, (2) Babi untuk
famangelama yaitu daging babi mentah ( yang sudah di asini ) sebanyak dua hia s/d öfa
hie gunua suguhan pada para salawa sebagai ganti famangelama terdahulu, (3) Seekor
babi hidup sebesar öfa alisi, (4) Emas jujuran ( sebagai angsuran ) besarnya diserahkan
pada kesanggupan pihak laki-laki yang nantinya dikurangi dari jumlah keseluruhan
jujuran.
Pihak gadis menyediakan :
1. Seekor anak babi sebesar sara alisi untuk dibawa tome / pihak laki-laki
2. Beras secukupnya untuk dipergunakan hari itu.
Dalam pelaksanaan ini dapat juga berlaku acara fangowai dan untuk mempersingkat
waktubisa saja dimulai dengan acara biasa yang mulai oleh si’o dan seterusnya dengan
penyerahan daging babi famangelama tersebut diatas sambil meyatakan apa maksud dan
tujuan mereka. Setelah berselang pembicaraan kedua belah pihak maka oleh salawa
kedua belah pihak pertama-tama salawa dari pihak gadis mengambil daun kelapa muda
mengeja besarnya jujuran yang harus dibayar menurut bosi ayah si gadis, perhitungan
ini disebut era-era mbulu nohi safusi.
3.6.7 Fangandrö Li Nina ( Meminta Penetapan Hari Dari Pihak Ibu Barasi / Gadis
Ibu barasi dalam pelaksanaan pesta kawin sangat dihargakan dan dihormati
sekali sehingga satu bagian dari paa tekho-tekho mböwö = tingkat jujuran ada untuk ibu
45
barasi yang disebut aya nina dan ia juga yang menentukan kepastian hari pesta
berangsung yang disebut bongi nina atau bongi adulo yang berarti malam atau waktu
yang tidak boleh dilewati dan harus berlangsung suatu acara tersebut.
Yang dibawa oeh sese waktu datang memohon bongi nina / bongi adulo ialah
1. Afo selengkapnya
2. Seekor anak babi fangandrö li nina ( besarnya terserah keikhlasan pihak sese tölu
alisi, öfa alisi atau lebih ).
3. Yang datang ialah sese ( menantu ), si’o dan beberapa orang keluarga terdekat sese.
Yang hadir dari pihak barasi ( gadis ) ialah : Ibu barasi dan ibu-ibu dari keluarga ayah
barasi ( gadis ). Pada saat sekarang ini suguhan yang rahang ( simbi ) dihadapkan
kepada ibu barasi sebagai jamuan kehormatan kepadanya agar ianya menyetujui dan
memastikan hari pesta berlangsung. Perhitungan hari pesta biasanya didasarkan pada
perhitungan bulan dan hari umpamanya : siwalu dohare ( delapan bulan terbit ),
felendrua dohare ( dua belas bulan terbit ) dan seterusnya.
3.6.8 Folohe Fakhe Toho ( Penyerahan Padi Keperluan Pesta Kawin )
Setelah berselang beberapa hari sesudah pertemuan fangandrö li nina maka
penduduk warga desa atau keluarga dari pihak sese datang membawa dan menyerahkan
padi untuk keperluan pesta kawin yang disebut fakhe toho. Rombongan yang membawa
padi tersebut diktahui oleh si’o dari pihak sese dan menyertakan membawa su’a wakhe (
sukatan / takaran padi ) yaitu daging babi mentah yang sudah dibungkus pada upin
pinang besarnya / beratnya dua hie s/d tölu hie ( 3 kg s/d 6 kg ).
Banyaknya fakhe toho yang dibawa adalah berdasakan ketentuan yang diinta
pihak barasi menurut pErembukkan pada waktu femanga manu yang disesuaikan
46
dengan jenjang bosi orang tua barasi : Banyaknya fakhe toho tersebut berdasarkan bosi
:
1. bosi si fitu : Fakhe toho sebanyak 1 zo’e
2. bosi si walu : Fakhe toho sebanyak 2 zo’e
3. bosi si siwa : Fakhe toho sebanyak 4 zo’e
4. bosi si fulu : Fakhe toho sebanyak 6 zo’e
5. bosi si felendrua : Fakhe toho sebanyak 8 zo’e
catatan :
1. 1 zo’e daerah Laraga = 15 Lauru 4 Jumba (120 liter)
2. 1 zo’e daerah Moro’ö = 10 Lauru 5 Jumba (100 liter)
3. 1 zo’e daerah Lahömi = 10 Lauru 5 Jumba (100 liter )
4. 1 zo’e daerah Raya = 6 Lauru 5 Jumba (60 liter )
5. 1 zo’e daerah Yöu = 10 Lauru 4 Jumba (80 liter )
Sesudah siap diukur / disukat / ditukar padi tersebut dan rombongan yang terlah
juga siap makan maka mereka pulang. Sesudah itu padi tadi dibersihkan, ditumbuk oleh
wanita pihak barasi secara beramai-ramai, untuk dijadikan beras yang selanjutnya
dipergunakan pada peralatan pesta kawin berlangsung.
3.6.9 Fame’e ( Pemberian Nasehat Kepada Barasi Calon Pengantin )
Fame’e ialah pemberian nasehat kepada barasi calon pengantin dengan cara
bernalan sambil menangis. Pelaksanaan ini kira-kira satu minggu sebelum hari pesta
belangsung. Yang hadir pada saat fame’e ialah dari pihak Sese ( laki-laki ) calon
pengantin yaitu, (1) si sese ( laki – laki ) calon pengantin, (2) ibu sese tersebut, (3) isteri
abang kandung si sese tersebut, (4) isteri dari saudara kandung ayah si sese. Mereka
inilah datang mendengarkan nasehat yang di tuturkan pada barasi calon pengantin.
47
Yang dibawa pihak sese ialah (1) afo selengkapnya, (2) seekor anak babi sebesar 3 s/d 4
alisi untuk jamuan para ibu-ibu ag memberi nasehat, (3) segala utang / jujuran yang
telah dijanji oleh sese sebelumnya. Yang hadir pada pihak barasi ialah (1) ibu dari
barasi itu sendiri, (2) ibu-ibu isteri dari saudara ayah barasi, (3) istri-istri salawa dan
tokoh adat, (4) ibu-ibu / isteri penduduk desa barasi.
Cara pelaksanaan fame’e
Barasi ( gadis ) calon pengantin yang diberi nasehat oeh ibu-ibu didudukkan
ditengah-tengah pertemuan baru satu persatu ibu-ibu memberi nasehat kepadanya.
Selama berlangsungnya acara fame’e ini gong, gendang dan canang bibunyikan.
Upacara fame’e ini juga disebut juga fangandrö ba dekhemböwö artinya
memberitahukan dan memohon kepada arwah leluhur doa restu melalui dewa jujuran
tekhemböwö dan kepada adu zatua (patung leluhur). Namun sekarang ini jarang
dilakukan karena pengaruh agama.
Setelah nasehat disampaikan kepada barasi maka barasi calon pengantin diajak
menembangkan syair lagu dengan cucuran air mata dan kata-kata yang memilukan hati.
Contoh :
Hu…………….……………………..ina! (Oh………………………mama)
Hana wa mifawu’a ndra’o ba ngaimi ! (Sampai hati memindahkan aku )
Hadia gamuatagu silofaudu he, inagu ! (Apakah ada tingkah lakuku yang tidak
senonoh oh, mama)
Hu ……………….………………….ina ! (Oh ……………………...mama )
Lönisawögu möli-mölimi (Aku tidak pernah mengaihkan pertuahku)
Lö nilalöigu si no mifakhoi he, inagu (Aku tidak pernah mengabaikan nasehatmu
oh, mama.)
Hu……………………………………ina ! (Oh……………………….mama )
48
Ebua sa dödöu bagana’a moroi khögu (Ibu mementingkan emas daripada
anakmu)
Teno ösöndra wangaligu solului halöwöu sa he, inagu! (Ibu telah mendapatkan
pembantu yang lebih dari anakmu ya, mama..)
3.6.10 Famözi Aramba (Memukul Gong)
Setelah pulang sese dan ibunya dari rumah barasi mendengarkan fame’e oleh
orang tua dan keluarga serta warga desa sese berkumpul untuk melksanakan pertemuan
dan permufakatan yang biasa disebut famözi göndra atau fangandrö ba wawöwökha /
siraha wamailo. Tujuan fangandrö yaitu (1) bahwa waktu hari pesta perkawinan tidak
berubah, (2) mengadakan musyawarah diantara saudara kandung ayah sese dan warga
yang disebut famagölö,(3) memberitahu saudara ibu sese (uwu) bahwa pesta kawin
kemanakannya berlangsung,(4) memusyawarahkan apa nama gelar penganten wanita
yang akan datang itu tersebut famatörö döi mbene’ö, (5) melaksanakan famözi aramba
dengan alat musik seperti göndra,aramba,faritia. Famözi aramba ini dilaksanakan
setiap hari semapi selesai pesta perkawinan berlangsung.
3.6.11 Famaola ba nuwu ( memberitahu dan memanggil paman)
Famaola ba nuwu (memberitahu dan memangguk paman ) ini dilaksanakan oleh
orang tua barasi kepada saudara Ibu barasi. Yang dibawa ialah (1) olöwöta (bungkusan
daging anak babi ) yang berisi 4 tue yang disebut juga ösi mbola, (2) seekor babi hidup
sebesar öfa alisi (40 kg ) disebut bawi famaola ba nuwu,(3) ana’a famaola (emas
famaola) sebesar sara siwalu = 10 gram emas 14 karat, (4) fo’ömö ndraono = emas sara
balaki = 10 gram emas 18 karat. Fo’ömö hanya berlaku kepada anak putri sulung dan
bungsu, (5) aya nuwu ( jujuran bagian untuk paman) sebesar : menurut bosi,(6) tefe-tefe
49
idanö (emaas pembercikan air). Setelah selesai acara tersebut diatas maka mereka
pulang tinggu menunggu hari pesta perkawinan berlangsung da diharapkan paman
datang. Pada waktu berangkat, mereka diberikan : (1) sambua löwö-löwö wakhe
(bungkusan nasi ) dengan daging, (2) satu ekor anak babi betina dan seekor ayam
jantan.
Catatan: Jikalau paman nanti pada pesta perkawinan maka yang harus dibawa
oleh paman tersebut ialah, (1) nukha : terdiri dari : u’i (sarung), baju dan lembe
(selendang), (2) payung.
3.6.12 Famaigi bawi ( menengok babi adat pesta kawin )
Menjelang beberapa hari lagi sebelum pesta kawim berlangsung maka
dilaksanakan upacara famaigi bawi walöwa yang telah disiapkan pemeliharaannya oleh
sese. Bawi walöwa ini ada dua ekor yaiut, (1) satu ekor yang disebut bawi zo’ono, yaitu
untuk orang tua barasi dan pamannya,(2) satu ekor yang disebut bawi mbanua yaitu
untuk warga desa kedua belah pihak.
3.6.13 Folau Bawi (Upacara Membawa Babi Bawi Walöwa)
Upacara membawa babi adat (bawi walöwa) ini dilaksanakan dengan tata cara
sebagai berikut yaitu (1) Fesu ( tali pengikat ) kaki dan alogo ditali dulu yang terdiri
dari bahan ono gahalu ( kulit kayu), (2) seluruh warga desa sese berkumpul dirumah
sese baik saawa , tokoh adapt dan ono matua dipilih untuk membawa babi adat tersebut,
(3) sebelum berangkat maka oleh tokoh adat, salawa mendoakan pada arwah leluhur
agar memberkati babi tersebut dan menjauhkan segal mara bahaya di jalan dan selamat
sampai di desa barasi.
50
3.6.14 Falöwa (Pesta Perkawinan).
Setelah pada malamnya acara falau bawi böwö terselenggarakan maka besoknya
adalah hari pesta kawin ( falöwa ). Oleh pihak sese ( laki-laki ) mempersiapkan segala
keperluan untuk datang ke pesta kawin antara lain yang dipersiapkan ialah, (1) segala
keperuan pakaian dan peralatan sese (laki-laki) atau mempelai, (2) uang emas untuk
pelunasn utang pada jujuran, (3) alat musik yang dibunyikan disepanjang perjalan dari
rumah sese kerumah barasi seperti fariti, cucu, (4) pakaian adat para ibu-ibu seperti
ni’ohulaya, ni’otalakhoi baju dan sarung serta perhiasan emas umpamanya balahögö,
saerudalinga,nifato-fato. Baju adat yang dipersiapkan itu adalah berwarna dasar merah
hati, kuning dan hitam yang telah di motif dengan ni’ohulaya dan ni’otalakhoi. Sesudah
segala persiapan langkah dan keperluan lain maka rombongan sese berangkat dengan
terdiri dari : ( 1 ) seluruh warga desa sese, wanita, orangtua dan anak-anak, (2 ) seluruh
tokoh-tokoh adapt dan salawa,(3) Seluruh besan jiran ipar dan menantu di pihak sese,
(4) semua keluarga paman sese, (5) semua kenalan dari desa sekitar desa sese. Setelah
diperkirakan lengkap seluruh para rombongan zangowalu baru berangkat dengan
mengatur letak seperti, (1) dimuka ibu-ibu istri tokoh-tokoh adat dan salawa, (2)
sesudah itu böli gana’a (menantu-menantu yang baru) dan wanita,(3) setelah itu tokoh-
tokoh adat laki-laki dan salawa, (4) sesudah itu regu marafule (mempelai) dengan
didampingin oleh beberapa orang pemuda sebagai pendampingnya dan menjaganya, (5)
sesudah itu regu pemuda-pemudi, (6) sesudah itu regu yang membawa alat musik
seperti faritia dan tambur yang terdiri dari anak-anak setengah baya. Sepanjang jalan
alat musik ini tetap dimainkan atau di bunyikan. Sebelum berangkat rombongan
menyerahkan diri dahulu kepada Tuhan,setelah itu baru höli-höli dan menyusul böli hae
yang dilaksanakan sepanjang perjalanan sampai tiba di halaman tujuan atau di halaman
rumah tempat pesta kawin di selenggarakan.
51
(a) Fanema’ö uwu (pihak paman), pihak uwu/ sibaya datang lebih awal dan tiba
dipintu gerbang halaman di jemput oleh pihak perempuan serta salawa hada dan
kemudian uwu dipersilahkan mengambil tempat di sinata (tempat yang paling
terhormat).
(b) Tome tiba di lokasi pesta juga disambut oleh keluarga pihak pengantin
perempuan. Pada saat kedatang tome ini, mereka melakukan bolihae (syair hoho yang
isinya menyanjung atau mengagungkan pihak perempuan dan juga menyanyikan lagu-
lagu dan doa yang terkandung dalam ajaran agama Kristen).
(c) Fangowai ba fame’e afo (penghormatan dan pemberian sirih), ini
dilaksanakan oleh satua mbanua / salawa hada (laki-laki maupun perempuan) yang
dimulai oleh pihak perempuan dengan syair yang merendah, dan kemudian dilanjutkan
oleh pihak laki-laki / tamu dengan mengagunggungkan pihak perempuan.
(d) Famasao bola zangowalu, disini dengan sangat hati-hati serta hormat,
memberikan seperengkat sirih yang di masukkan kedalam sebuah kantong (bola nafo)
kepada pihak yang berhak yaitu, ina (ibu dari pengantin perempuan), iwa (istiri dari
salah seorang saudara kandung ayah pengantin perempuan), uwu (istri dari pihak
paman), huwa (istri dari kakek), banua (salah seorang istri dari tokoh masyarakat sekitar
dan mempunyai hubungan keluarga dengan pengantin dan Si’o atau penghubung yang
terdiri dari Si’o narö gosali dan Si’o sanöröra lala).
(e) Fanetu huhuo dan fanika gera-era mböwö, ini dilaksanakan oleh para raja
adat / satua mbanua setelah membicarakan tentang hal böwö, maka diputuskan oleh
fangetua huhuo dengan acara pengukuhan berupa höli-höli yang kemudian dilanjutkan
dengan fanotoli mbosi dan berdasarkan ini dijelaskan jumlah jujuran (böwö) yang wajib
dilunasi. Böwö yang sisa ini sesuai dengan falsafah suku Nias yaitu, hönö mböwö no
awai, hönö mböwö so nasa, nila’a yawa bambuatö gosali (bila kelak orang tua dari
52
pihak pentin perempuan meninggal dunia (ahele nasi) atau mendirikan rumah, atau
mengawinkan anak, atau mendirikan satu kampung maka disitulah pengantin laki-laki
ini membayar sisa böwö yang dimaksud). Fanika gera-era mböwö sebagian materinya
yakni nasehat bagi pengantin pria (famotu sangowalu). Juga dijelaskan bagi sanak
keluarga dan para sitenga bö’ö memberitahukan kepadapengantin laki-laki agar
menghormati dan menghargai mereka seumur hidup. Pada saat ini dipergunakan alat
berupa daun kelapa muda (lehe nohi) dan satu tempat air (fanefe idanö) yang dilakukan
oleh seorang satua mbanua (pengetua adat). Dewasa ini pembayaran böwö pada acara
fanika gera-era mböwö sudah mulai langka ditemukan dan dilaksanakan hanya pada
pesta besar yang melakukannya seperti ono duha / ono mbawali (orang yang berada).
(f) Femanga yaitu makan bersama dengan pemberian sumange kepada uwu,
tome, iwa, huwa, banua, sitenga bö’ö undangan, ono alawe / fedono yang
mendapatkan bagian berupa kaki depan babi lengkap sampai kuku (ta’io).
(g) Fametou bene’ö, pada acara ini uwu bertindak untuk menggendong
pengantin perempuan (bene’ö) kemudian didudukkan pada tempat yang sudah
disediakan. Dilanjut dengan penyerahan pengantin perempuan dari orang tua atau sanak
keluarga kepada pihak tome yang diteirma oleh böli gana’a dan kemudian disambut
oleh orang tua dari pengantin laki-laki (satua mbanua) sebagai perwakilandari seluruh
tamu. Ada kalanya acara juga diselingi dengan upacara kebaktian pengukuhan
perkawinan oleh pendeta setempat.
(h) Fame töi mbene’ö, merupakan acara pemberian gelar kepada pengantin
perempuan oleh keluarga laki-laki dengan persetujuan dari pihak uwu. Setelah
mendapat kata sepakat baru lahuhugö sebagai tanda pengesahan, mulai saat ini sebutan
atau panggilan terhadap pengantin perempuan adalah gelar yang baru diberikan
53
kepadanya. Selesai acara ini maka pihak pengantin laki-laki bersama pengantin
perempuan berangkat kerumah pihak laki-laki.
(i) Fame gö mbene’ö atau fame gö nono nihalö Kegiatan ini dilakukan setelah
dua atau tiga hari pesta perkawinan. Pada acara ini pihak perempuan (ibu, saudara-
saudara dan kerabat dekat) pergi kerumah laki-laki untuk melihat keadaan pengantin
peremppuan dengan membawa makanan berupa seekor anak babi, dan makanan
lainnya. Setelah tiba dirumah pihak laki-laki maka pihak perempuan dijamu makan
dengan seekor babi, dan sewaktu berangkat pulang diberikan lagi seekor babi untuk ibu
Orifitö nina biasanya babi tersebut seberat 60 – 70 kg (sazilo) dan kemudian diberikan
uang dengan jumlah tidak ditentukan jumlahnya untuk dibagikan kepada orang yang
ikut pada waktu itu (awö zamasao’ö).
(j) Femanga gahe (famuli nucha), pada kegiatan ini kedua pengantin bersama
keluarga pihak laki-laki datang kerumah orang tua perempuan dengan membawa seekor
babi seberat 25-40 kg, serta membawa sebagian pakaian wanita yang tadinya hanya
dipakai pada pesta bukan menjadi milik sendiri. Setibanya di rumah pihak perempuan
mereka disambut dengan diberi makan soko köli. Pada kesempatan ini kedau pengantin
dan saudara-saudaranya mengunjungi rumah demi rumah dari setiap keluarganya untuk
menerima anak babi maupun ayam untuk dipelihara sebagai bakal dihari yang akan
datang nantinya.
3.7 Pertunjukan Jalannya Maena Dalam Konteks Perkawinan Masyarakat Nias
Untuk melihat fungsi maena dalam konteks upacara perkawinan pada
masyakarakat Nias di Kota Medan, yaitu masyarakat Mandrehe yang merupakan salah
satu kecamatan kabupaten Nias barat, akan lebih mudah mengetahui terlebih dahulu
bagaimana proses dan tahap-tahap upacara adat perkawinan tersebut namun sebelum
54
melihat bagaimana pertunjukannya maena pada pesta perkawinan, penullis menjelaskan
bahwa biasanya di Nias sendiri upacara adat dilaksanakan di rumah pengantin
perempuan dan tidak dengan menggunakan gedung khusus seperti wisma (bagi suku
Batak Toba), jambur (Karo). Hal ini pesta adat perkawinan masyarakat Nias yang
tinggal di Kota Medan bisa juga dilakukan seperti halnya di daerah Nias sendiri namun
dengan dilihat kondisi lingkungan dimana pelaksana upacara adat itu tinggal sangat
tidak memungkikan untuk dilaksanakan upacara adat karena faktor seperti sarana
tempat tinggal kurang memadai (tinggal di cost), sehingga pada pesta adat perkawinan
masyarakat Nias di Kota Medan yang penulis teliti diselenggarakan di gedung serba
guna atau wisma.
Tata cara jalannya upacara pesta adat perkawinan masyarakakat Nias yakni
setelah pemberkatan yang dilangsungkan di gereja, kedua mempelai, kelompok kerabat,
berikut rombongan pengiring tiba dilokasi pesta. Setibanya di lokasi pesta,seorang
protokol atau MC membacakan tata cara saat memasuki gedung. Namun bagi
masyarakat Nias di Kota Medan sebelum masuk, pihak tome (tamu) menyanyikan lagu-
lagu gerejawi dalam bahasa Nias ataupun dengan bahasa Indonesia. Mulai dari
pemberkatan hingga nyanyian gerejawi terasa nilai-nilai ajaran Kristen begitu
mempengeruhi bentuk upacara perkawinan ini, dimana ada fungsi adat yang digantikan
dengan fungsi gereja, yaitu pengesahan oleh kelompok adat yaitu ere digantin dengan
pemberkatan oleh pendeta.
(a) Fora’u tanga (salama-salaman). Setibanya di lokasi pesta pihak laki-laki,
para ibu-ibu dan kerabat keluarga pihak mempelai wanita menyambut mereka dengan
saling bersalam-salaman dengan tujuan menyambut para tamu karena sudah datang.
Pada acara salam-salaman ini kedua mempelai berjalan kedepan dengan ditemi oleh
kedua pendamping mempelai laki-laki dan perempuan, kemudian disusul oleh keluarga,
55
family dan kerabat mempelai laki-laki. Pada saat pihak tamu sampai dilokasi pesta,
pihak pengantin wanita (sowatö) berada di depan menyambut kedatangan mempelai
laki-laki.kemudian setelah selesai salam-salaman, maka kedua mempelai wanita dan
mempelai laki-laki dipersilah untuk duduk dipelaminan. Setelah dipersilahkan untuk
duduk, pihak tome dan pihak sowatö berpisah tempatnya dimana mempelai wanita
berada di posisi sebelah kiri dan mempelai laki-laki berada di sebelah kanan. Masing-
masing elemen upacara terdiri dari: kedua mempelai berada didepan para kerabat dan
tamu undangan. Setelah duduk ditempat masing-masing dilangsungkan tarian faluaya
yang bersifat sebagai hiburan (bukan unsure wajib, sesuai dengan keinginan dan
kondisi). Pada setiap prosesnya dipandu oleh seorang protokol yang menyampaikan
tatatertib upacara dengan menggunakan alat pengeras suara.
(b) Fanunö (nyanyian gereja). Setelah kedua pihak telah dipersilahkan duduk
dan semua kerabat maka diadakan nyanyian pembukaan berupa nyanyian gerejawi
dimana bertujuan bahwa acara akan segera dimulai maka kedua belah pihak
menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa agar pelaksanaan acara ini dapat
berjalan dengan baikyang dipimpin oleh pendeta setempat. setelah acara ini selesai
maka seorang protokal membacakan acara selanjutnya. Pada susunan acara perkawinan
yang penulis teliti ini dilangsungkan berdasarkan kesepakatan kedua pihak. Kemudian
acara fangowai dome dan fangowai zowatö. Pada acara fangowai dome dan faongawi
zowatö ini tidak menggunakan alat musik pengiring dan bukan dalam konteks maena.
(c) Fame’e bola nafo. Pada acara ini pengantin laki-laki dengan sangat berhati-
hati menyerahkan bola nafo kepada ibu-ibu yang telah duduk dibagian depan ditempat
yang telah disediakan yang terdiri dari: ina (ibu dari pengantin perempuan), iwa (istiri
dari salah seorang saudara kandung ayah pengantin perempuan), uwu (istri dari pihak
paman), huwa (istri dari kakek), banua (salah seorang istri dari tokoh masyarakat sekitar
56
dan mempunyai hubungan keluarga dengan pengantin dan Si’o atau penghubung yang
terdiri dari Si’o narö gosali dan Si’o samatörö lala). Pada acara fame’e afo pengantin
laki-laki dalam pemberiannya harus tunduk dan tidak boleh berdiri karena dalam
filsafah orang Nia, pengantin laki-laki merupakan orang yang datang dari bawah
(sanörö tou). Setelah penyerahan bola nafo, maka dipertunjukan maena yang
merupakan bagian dari susunan acara pesta perkawinan. Pada pelaksanaan maena yang
menjadi pembuka pertama ialah pihak perempuan. Dalam pertunjukan maena oleh
pihak perempuan ini, maena yang dibawakan ialah maena wangowai dome. Pada maena
ini seluruh pihak mempelai perempuan melakukan maena. Biasanya dalam pertunjukan
budaya peserta maena adalah orang yang di panggil dari sanggar-sanggar budaya,
namun dalam pesta adat perkawinwan masyarakat Nias ini tidak demikan tetapi yang
menjadi peserta maena ialah orang-orang yang menjadi pelaksana daripada pesta adat
tersebut. Setelah dipertunjukannya maena wangowai dome maka disusul dengan maena
wangowai zowatö yang dilaksanakan oleh pihak laki-laki. Pada pertunjukanya tidak
membatasi seberapa orang yang ikut dalam tarian ini namun tergantung daya tampung
gedung atau halaman lokasi pesta tersebut dilangsungkan.
(d) Femanga (jedah). Pada acara ini pihak paman (uwu/sibaya) merupakan
orang yang paling diharmati dan diberikan kepadanya daging babi yang berupa simbi
dimana menandakan bahwa simbi ini merupakan bagian terhormat yang diberikan
kepada seseorang pada suatu acara. Setelah berakhirnya jedah menjelang beberapa saat
kemudian diteruskan dengan acara maena wangandrö sokono yang bertujuan meminta
saweran atau pemberian pihak laki-laki kepada peserta maena yang dilaksanakan oleh
pihak perempuan.
57
BAB IV
DESKRIPSI DAN ANALISIS
4.1 Tekstual Maena Wangowai Dome , Sowatö, dan Sokona
Dalam mengkaji struktur dan isi tekstual maena wangowai dome, sowato, sokona,
penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Alan P. Merriam dalam bukunya The
Antropology of Music (1964 : 187-189) mengatakan bahwa salah satu sumber dalam
memahami tentang tingkah laku manusia yang berhubungan dengan musik ialah teks dari
nyanyian dimana dalam teks tersebut dapat memberikan kesan kepada orang yang berada di
saat dinyanyikan teks nyanyian tersebut sehingga teks dalam sebuah nyanyian serta musik
sangat perlu dan saling mempengaruhi.
Untuk lebih mudah memahami tentang syair maena penulis memberikan angka
dibelakang setiap bait syair maen agar dalam pembahasan berikutnya tidak membingungkan.
Kemudian antara bait yang satu dengan bait yang lain penulis memberikan tanda bintang (*)
yang berarti mengulangi syair yang telah diberikan tanda bintang. Untuk mengetahui makna
teks maena wangowai dome dapat dilihat sebagai berikut :
Syair Wangowai Dome *Ma’owai ami ma’owai ami badöi maena Kami sapa saudara dalam nyanyian maena Lömazara-zara ami wondra’u tanga Kami tidak menyalam tangan saudara satu persat
Bada taböro tai tabörö taigö döi maena Biarlah kami memulaikan syair maena Heha moto dombua moto dombua helö oya (1) Walaupun hanya satu atau dua kata * Baböi mi’o’aya mi’o’aya maena da’a Dan jangan kalian mengejak kami dalam maena ini Baböi mi’osiwai mi’osiwai naya ia(2) Dan jangan di cueki kalau kami salah * Heha faböi furi faböi furi wewa nia Karena ini sudah menjadi kebiasaan kita Faböi olifu ita olifu baziso föna (3) Marilah kita laksanakan supaya jangan terlupakan * Melö fatutu mi fatutu worau tanga karena kami tidak menyalami saudara semua Dama owai ami ma’owai ami badöi maena (4) biarkan kami menyapa saudara lewat maena ini * Balö sumange mi sumange si’oroi khöma tidak ada kehormatan pemberian kami kepada saudara Lö afo mi nibe,e ma sa si’oroi khöma (5) tidak ada sirih yang kami berikan kepada saudara * Bada ubagi öfa ubagi öfa zi sara biarlah saya membagi empat yang satu Bada ubagi dua ubagi dua zi matonga (6) biarlah saya membagi dua yang setengah * Heha ufamakhawi famakhawi zosou’a walaupun hanya merajut seperti merajut tenun Heha ufamakhawi famakhawi doyo ndraga (7) walau hanya merajut seperti merajut doyo ndraga
58
* +sokomaena ……………………………-ha !! (sato) +sakalitö!!……………………………..-höö !! (sato) +huhugö maena………………………-ha..!!! Hiza memirugi memirugi memisawa Sungguh ketika saudara sekalian sampai Böi mio’aya nomoma sihulö omo tugala (8) Jangan saudara malu-malu di gubuk yang kecil ini * Fondrege khöma sa fondrege wa’atosasa Sungguh keluarga kami keluarga miskin Sowatö talifosömi nira’u ora (9) Pihak perempuan yang saudara lamar * Hiza nono nihalö nihalö böli gana’a Liatlah pengantin wanita Bano afusi mbawa afusi mbawa mondru’a (10) Muka sudah terlihat pucat * Hiza nono nihalö nihalö böli gana’a Lihatlah pengantin wanita Bano ahoe mbawa ahoe bawa aila-aila (11) Muka tampak lelah dan malu-malu * Ha oho khömi tomema sazinörö mbawa Sungguh saudara luar biasa Ata’u khömi tomema zinörö mbetu’a (12) Orang semua segan kepada saudara * Bahe mbambatömi mbambatö nira’u ora Juga mertuamu hai pengantin laki-laki Fondrege wa’alumana ba fa’atosasa.(13) Sungguh keluarga yang tidak mempunyai apa-apa * Andrö omasi-masi si’ai bakha dödöma Makanya hati kami gembira dan sukacita Metohare numönöma umönö salawa (14) Ketika calon menantu dan menghampiri putri kami * A’oi nilau balauru fefu gana’a soya Ia mempunyai banyak harta A’oi nirara’ui nirara’ui gefe töla (15) Ia mampunyai banyak perak dan emas * Hiza numönöma umöno simöi molemba Lihatlah calon menantu kami Bano alawa ia afusi ohöwa-höwa (16) Sangat berwibawa dan menawan * Hiza numönöma umönö simöi molemba Lihatlah calon menantu kami Maedo nono rajo ono rajo Amerika (17) Seperti anak pembesar di Amerika * Hizasa mbarunia baru nia sa baru laka Bajunya yang mengkilat dan bercahaya Bahiza sa dalilehe talilehe farada (18) Dasinya dari emas * Bahiza bahögönia andrö dofi ana’a Lihatlah di kepalanya ada topi dari emas Bahiza bahörö sörömi hörö fadoma (19) Lihatlah kacamatanya kacamata yang mahal * Bahadia badangania badanga mbagi mbölökha Lihat ditangannya disebelah kanan E bate lozi ana’a famaigi luo natesa’a (20) Ia mengenakan jam melihat bulan-bulan yang baik * E bano sa enahöi sa enahöi zamatanga Tak heran juga kami pihak perempuan E ya’ia sa dalifusö talifusö amakhaita (21) Saudaranya orang-orang berjabat * Bada tarege hö tarege hö maena da’a Sampai disitu maena kita ini Bada tatohugö ba maenada sisambua. (22) Biar kita lanjut pada acara maena berikutnya.
Syair Maena Wangowai Zowatö *Data owai zowatö siso fönada Mari kita sapa pihak perempuan yang duduk di hadapan kita Banua Moi sa ba sirami niha Di desa Moi yang sudah maju Soaya lauru khora fanu’a, sokhö afore ira si öfa singa Desa yang mempunyai alat pengukur lauru Timbangan babi yang dinamakan öfa singa
Bada tabörö taigö khöda döi maena Marilah kita memulai syair maena Nalö fakaole ligu dania fasala (1) Kalau tidak salah dan tidak bersilah lidah * Andrö alawa lua mege we’asoma Sungguh malangnya nasib pengantin laki-laki Bano mofanö khömi zimöi molemba (2) Kami terlambat karena dia pergi meminjam uang Karena dia tidak mempunyai uang dan emas * Bawa malali mege khönia ana’a Ia meminjam uang dan emas dengan banyak orang Balö same khönia ga’a ondra’uta(3) Namun tidak ada yang memberikan *
59
La’ila melo khönia mege famu’a Mereka tahu bahwa ia tidak sanggup melunisinya nanti Meno niha khönia börö zilumana (4) Karena dia orang miskin * Meno iraono sambö fangera-ngera Karena pola pikirnya masih belum dewasa Melö satua khönia sanuturu lala (5) Karena tidak ada orang tua yang menuntun jalannya * Ba’oya matalu’i mege mbanua Sungguh banyak desa telah kami lalui Ba’oya matalui mege mbanua duha (5)+ Sungguh banyak desa para bangsawan kami lalui * Masösö hili-hili mege salawa Mendaki gunung yang tinggi Matue ndraso mege börö alo’oa (6) Menuruni lembah yang dalam * Matörö dalu mbade mege sabakha Menyeberang sungai-sungai yang besar Matörö molö mege sihulö ndru’a (7) Mengarungi samudera luas * Oya masofu-sofu mege baniha Kami bertanya-tanya kepada banyak orang Hezo nomo zowatö börö zonuza (8) Dimanakah rumah Sowatö börö zonuza *
Baso ndraono mege sangombakha khöma Dan ada orang yang memberitahukan kami Ya’ia nomo tanö bagambölö lala (9) Ruhamnya berada di sebelah kanan jalan * Hadia zi ugu-ugu si rata-rata Oh apa yang berkumandang itu Ya’ia göndra sifao awö waritia (10) Oh ternyata gendang dan canang yang bagus * Ba hiza memarugi khömi bada’a Saat kami tiba di desa ini A’oi ata’u aila mege ndra’aga (11) Sungguh kami sangat malu dan segan * Noso yawa bazuzu hili nomora Rumahnya berada di atas bukit (mulia) Bano fasui ga’a khöra omo hada (12) Dan dikelilingi oleh rumah-rumah adat indah * Löuwaö otu asara khönia zandrela Sungguh jendela rumahnya yang indah dan banyak Löuwai otu adua khönia mbosi nora (13) Sungguh banyak anak tangga dilewati masuk kerumah * Ba sara wawa khönia hafanöi baora Satu bulan hanya untuk mendaki tangga Löuwaö döfi awena alua sibakha (14) Satu tahun lamanya dijalani masuk ke dalam rumah * Bano fanehe khöra za soso göna Tanamannya yang menghasilkan banyak buah Bano fasui khöra zasoso hambawa (15) Buahnya yang telah masak dan siap dipanen * Bano te oli khöra gurusi hoya Sungguh banyak kursi adat berada dihalaman rumah Ya’ia dadaoma khöra mege salawa (16) Kursi para bangsawan sebelumnya * Bano labe’e föna gurusi sofa Diruang tamu ada kursi yang mewah Andrö dadaoma khöra si möi molemba (17) Sebagai tempat duduk para tamu-tamu yang datang * Afökhö höröda bakile nomora Silau melihat cahaya rumahnya No tonönö nasa haga pelamina (18) Ditambah lagi cerahnya tempat pelaminan * Bano labe’e föna mböli gana’a Telah di dudukkan di depan menantu-menantu mereka Andrö zangowai zamaondragö tomera (19)+ Itulah yang memberi sapaan kepada para tamu-tamu * Lalau maena sifao khöra amaedola Mereka menari beserta syair-syair yang indah Wamaondragö numönö simöi molemba (20) Menjemput pengantin (laki-laki) yang baru tiba * Bada ubato khögu ga’a döi maena Biarlah sampai disitu syair maena kita Ube tahigu ga’a melö u’ila (21) Karena kurang pengetahuan menuturkan syair maena.
Syair Maena Wangandrö Sokona (Saweran) *Mifolala sa la’oda Persilahkan menantu kita da’isoko maenada roko sisaribu sara biar di sawer (memberikan) rokok kepada ono maena lö ma badu roko safusi kami tidak menginginkan rokok yang murah asili guda gara da’ö zomasi dödöma tapi asli gudang garam itulah yang kami inginkan
Data tohu andrö khöda döi maena Mari kita lanjut syair maena kita
60
Data andrö sokona sa khö laoda (1) Biar kita minta sawer (pemberian) dari menantu kita * Bahiza la’oda sino siga-siga Lihatlah menantu kita yang tampan itu Ba’ifazawa ia moroi badadaoma (2) Mulai dia berdiri dan memberikan saweran kepada kita * Tafaigi hörönia molinga-linga Lihatlah matanya bersinar dan bercahaya Tafaigi mboto fatanomo lekawa (3) Lihatlah badannya yang gagah perkasa * Tafaigi mboto fatanomo lekawa Lihatlah badannya yang gagah perkasa Tafaigi nifönia mae wirö ana’a (4) Di giginya penuh dengan perak dan emas * Bano ifake khönia zifatu laowa Dia telah kenakan sepatu perak Bano ifake khönia sole ana’a (5) Dan cangkirnya dari emas * Duhu ia ono zalawa moroi raya Sungguh dia keturunan bangsawan dari selatan Duhu ia ono duha sebua okhöta (6) Sungguh dia keturunan raja yang banyak harta * Andrö omuso-muso bakha dödöda Makanya hati kita bergembira dan bersuka ria Melö simane sa andrö mbambatöda (7) Karena tidak ada menantu kita yang seperti dia * Ato sa mbambatöda sa sioföna Banyak menantu kita sebelumnya Balö same sa khöda andrö farada (8) Tetapi tidak ada yang memberikan kita emas murni * Bahizasa numönöda si awena Dan lihatlah menantu kita yang baru I’ohe rokoda andrö guda gara (9) Dibawanya rokok dan minuman * Irugi zimbonia ba Amerika Asapnya sampai ke negeri Amerika Irugi sau nia ba danö niha (10) Aromanya sampai di pulau Nias * Ba’oi sa ifazaewe khöda gana’a Dia menyawer kita dengan emas yang melimpah Ba’oi sa iduwagö sa gefe töla (11) Dia menuangkan kita uang dan perak * Andrö omuso-muso bakha dödöda Makanya hati kita gembiran dan senang Me’oi faondra ita sa bagolayama (12) Karena kita berkumpul di halaman rumah * Andrö talau laria ba talau maena Makanya kita menari dan berjoged Meno tohare fefu sa’ae domeda (13) Karena para tamu-tamu kita sudah datang * Ndrege da’ö maenada sa ono maena Sampai disini syair maena kita Tatohu ia dania baziso föna (14) Mari kita lanjut di lain hari dan lain waktu.
4.1.1 Penyaji Maena (Ono Maena)
Apabila berbicara tentang penyaji maena, maka terlebih dahulu kita paham tentang
apa yang disebut dengan musisi. Allan P. Merriam (1964 : 123) mengatakan bahwa
seseorang dapat dikatakan musisi apabila dia spesial dalam bermain musik karena dia telah
berlatih dari lingkungan sosial dimana ia berada. Namun pada pertunjukan maena, penyaji
maena dapat juga dikatakan musisi pada saat pertunjukan maenad an ono maena juga
dikatakan musisi karena semua penyaji maena ini ikut menyanyi dan menghasilnya musik
yaitu musik vokal yang dinyanyikan secara bersama-sama. Ono maena (penyaji maena)
ialah orang yang menyanyikan syair maena yang liriknya selalu berulang-ulang sedangkan
61
sanutunö maena ialah pempimpin maena. Ono maena tidak membatasi berapa banyak yang
ikut dalam pertunjukan maena namun tergantung muatan dimana pertunjukan dilngsungkan.
Peserta maena tidak membatasi anak-anak ataupun orang dewasa, laki-laki ataupun
perempuan semuanya bisa memainkan tari ini. Dalam pertunjukan maena dalam pesta adat
perkawinan masyarakat Nias yang melaksanakan atau menjadi pelaku utama dalam
pertunjukannya ialah orang-orang yang ikut pada upacara perkawinan tersebut dalam hal ini
keluarga pihak perempuan dan keluarga laki-laki. Dalam pertunjukan maena yang bukan
dalam konteks perkawinan biasanya didatangkan dari sanggar-sanggar budaya atau dari
sekolah-sekolah kesenian tetapi dalam konteks perkawinan masyarakat Nias pertunjukan
maena tidak didatangkan dari luar tetapi yang melaksanakannya ialah keluarga dan kerabat
kedua pengantin.
4.1.2 Penyajian Maena Wangowai Dome, Sowatö, Sokona
Penyajian maena pada pesta perkawinan masyarakat Nias khususnya masyarakat
Nias bagian barat merupakan hiburan dalam adat dimana pada zaman dahulu pesta
perkawinan Nias biasanya dilangsungkan di tempat terbuka sehingga setiap orang yang
datang dari berbagai daerah atau desa dapat berkumpul dan dapat melakukan aktifitas
budaya dimana pesta perkawinana itu berlangsung. Pada saat itu pula para tamu-tamu yang
datang, undangan serta keluarga berkumpul bersama, jadi penyajian maena ini pada saat itu
sangat diwajibkan pertunjukannya karena dalam urutan acara pesta adat tersebut maena
ialah merupakan bagian dari upacara adat itu sehingga maena dikatakan hiburan dalam adat.
Di berbagai pertunjukan di kota besar ataupun disanggar budaya, maena dipertunjukan
hanya untuk hiburan saja tetapi pada penyajian maena dalam pesta perkawinan ini sangat
mempengaruhi suatu pesta perkawinan karena apabila ditiadakannya maena pada zaman
62
dulu, upacara adat tersebut kurang sah dan kebanyakan para undangan dapat dikatakan
kecewa dengan ditiadakannya maena.
Penulis memberi sebuah ilustrasi dengan ditiadakannya maena dizaman dulu
menurut cerita yang penulis dapatkan dari salah seorang narasumber penulis. Pada zaman
dahulu seorang anak balugu melangsungkan upacara adat perkawinan,biasanya pada
masyarakat Nias pelaksanaan upacara adat dilangsungkan di rumah pengantin perempuan
dan bukan ditempat serba guna atau gedung lainnya. Karena pihak laki-laki ialah merupakan
golongan yang dari bawah “soroi tou” sehingga pada pelaksanaan upacara tersebut wajib
dilaksanakan di rumah pengantin perempuan. Pada pelaksanaan upacara seorang balugu
tadi, urutan adat telah di susun sedemikian rupa namun pada acara tersebut tidak ada
pertunjukan maena sehingga setelah selesai acara tersebut undangan dan kerabat serta
keluarga menyampaikan kekecewaan mereka kepada orang-orang yang tidak datang pada
saat pesta perkawinan tersebut dengan berkata “lö’ami dödöda bawaelöwa balugu da’ö börö
melö maena”. Ini ialah merupakan ungkapan kecewa mereka karena ditiadakannya
pertunjukan maena.
4.2 Struktur Teks
Struktur ialah bagaimana sesuatu disusun, susunan atau bangunan (Poerwadarminta
1976 : 965). Dari aspek tekstualnya struktur dari teks musik vokal maena wangowai dome,
sowatö, wangandrö sokona berbentuk susunan pantun yang mana memiliki pola AA dari
bait yang satu ke bait berikutnya. Demikian juga dengan syair maena yang dinyanyikan
secara berulang-ulang oleh peserta maena berpola AA.
Lihat contoh :
Syair maena yang dinyanyikan secara berulang-ulang oleh peserta maena wangandrö
sokona
63
Mifolala sa la’oda da’isoko maenada Roko sisaribu sara…………A
Lö ma badu roko safusi Asili guda gara da’ö zomasi dödöma……..A
Syair maena yang dinyanyikan secara berulang-ulang oleh peserta maena wangowai dome
Ma’owai ami ma’owai ami badöi maena …………….A
Lömazara-zara ami wondra’u tanga …………………A
Syair maena yang dinyanyikan secara berulang-ulang oleh peserta maena wangowai zowatö
Data owai zowatö siso fönada banua Moi sa ba sirami niha……………..A
Soaya lauru fanu’a, sokhö afore ira si öfa singa………………………..A
Demikian juga halnya dengan syair fanutunö maena yang juga berbentuk dan berpola AA
Lihat contoh :
Heha ufamakhawi famakhawi zosou’a…………………….a
Heha ufamakhawi famakhawi doyo ndraga (7).................a
Hiza memirugi memirugi memisawa……………………….a
Böi mio’aya nomoma sihulö omo tugala (8)………………a
Ba’oya matalu’i mege mbanua ……………………………a
Ba’oya matalui mege mbanua duha (5)…………………...a
Matörö dalu mbade mege sabakha……………………….a
Matörö molö mege sihulö ndru’a (7)…………………….a.
Dalam menyajikan maena yang sedikit sulit ialah syair fanutunö maena dimana harus
pintar berpantun (amaedola) serta mampu berbahasa Nias (li nono niha) dengan baik karena
dalam penyajiannya kebanyakan dengan menggunakan catatan karena pola dan susunannya
yang agak sulit tetapi bagi orang yang fasih dan pintar berpantun (amaedola) dalam bahasa
Nias bisa dengan tidak menggunakan catatan lagi.
Keterikatan maena sebagai hiburan dalam adat perkawinan masyarakat Nias,
menyebabkan rentang waktu yang dipergunakan untuk menyelesaikan nyanyian tersebut
64
untuk satu kesempatan menyanyikannya bersifat relatif karena dalam pertunjukannya
rentang waktu yang diperlukan tergantung situasi dan kondisi para peserta maena, artinya
apabila peserta maena semakin banyak dan ramai maka semakin lama pula waktu yang
diperlukan namun biasanya waktu yang relatif itu dalam pertunjukan maena berkisar antara
5-10 menit atau lebih.
4.3 Makna Teks Musik Vokal Pada Maena
Makna ialah sesuatu yang tersirat dibalik bentuk atau aspek isi dari suatu kata atau
teks kalimat. Teks atau syair yang terdapat pada musik vokal wangowai dome, sowatö,
wangandrö sokona tersebut akan menghasilkan makna. Teks dari ketiga jenis musik vokal
maena tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu makna konotatif dan makna denotatif.
Makna konotatif ialah makna yang terkandung arti tambahan, sedangkan makna denotatif
ialah makna yang tidak mengandung arti tambahan atau disebut dengan makna yang
sebenarnya (Groce Kraft, 1991 : 25).
4.3.1 Makna Teks Musik Vokal Maena Wangowai Dome
Syair maena yang dinyanyikan secara berulang-ulang oleh peserta maena setelah
sanutunö maena menyanyikan syair fanutunö maena dapat dilihat dibawah ini :
Ma’owai ami ma’owai ami badöi maena
Lömazara-zara ami wondra’u tanga
Berdasarkan bentuk analisa penulis, teks nyanyian yang terdapat dalam musik vokal
dalam maena wanwongai dome terdiri dari dua puluh dua bait atau kalimat. Teks dari musik
vokal diatas berbentuk pantun, yang berisikan pembukaan, isi, serta bagian teks penutup.
Pada bait atau kalimat satu sampai empat merupakan pembukaan atau pengantar dari maena
65
tersebut kepada peserta tamu yang datang karena dalam pertunjukan maena itu ia bermaksud
agar memaklumi apabila nantinya ada kesalahan-kesalahan pada pertunjukannya.
Lihat contoh :
Bada taböro tai tabörö taigö döi maean
Heha moto dombua moto dombua helö oya (1)
Baböi mi’o’aya mi’o’aya maena da’a
Baböi mi’osiwai mi’osiwai naya ia (2)
Heha faböi furi faböi furi wewa nia
Faböi olifu ita olifu baziso föna (3)
Kalimat yang keempat sampai ke tujuh merupakan sampiran tentang bagaimana
maena itu di pertunjukan kepada tamu dengan menggunakan kata-kata kiasana.
Lihat contoh :
Bada ubagi öfa ubagi öfa zi sara
Bada ubagi dua ubagi dua zi matonga (6)
Heha ufamakhawi famakhawi zosou’a
Heha ufamakhawi famakhawi doyo ndraga (7)
Yang artinya : Biarkan saya merangkai maena ini seperti merangkai zosou’a (tenun) agar
maena ini berjalan dengan baik dan lancar.
Diantara bait ke tujuh dan kedepalan ada namanya sanuhug ö maena. Sanuhugö
maena ini merupakan salah seorang dari peserta maena meneriaki kata-kata tersebut diatas
dan disoraki oleh peserta maena lainnya. Namun biasanya fanunugö maena ini bisa
ditengah-tengah bait maena dan bisa juga di akhir penghujung fanutunö maena,maksudnya
bisa saja di huhugö (sorakan/sound) pada bait yang ke lima belas, delapan belas atau dua
puluh.
Lihat contoh:
66
+sokomaena ……………………….……………-ha !! (sato)
+sakalitö!!………………………………………..-höö !! (sato)
+huhugö maena…………………………………-ha..!!!
Pada bait delapan sampai bait dua puluh berisi tentang sanjungan pihak perempuan
kepada pihak laki-laki dimana pihak perempuan merendah dan manyanjung tinggi laki-laki
atau para tamu dari mempelai laki-laki.
Lihat salah satu contoh :
Hiza memirugi memirugi memisawa
Böi mio’aya nomoma sihulu omo tugala (8)
Bahe mbambatömi mbambatö nira’u ora
Fondrege wa’alumana ba fa’atosasa.(13)
A’oi nilau balauru fefu gana’a soya
A’oi nirara’ui nirara’ui gefe töla (15)
Hiza numönöma umöno simöi molemba
Bano alawa ia afusi ohöwa-höwa (16)
Hiza numönöma umönö simöi molemba
Maedo nono rajo ono rajo Amerika (17)
Hizasa mbarunia baru nia sa baru laka
Bahiza sa dalilehe talilehe farada (18)
Bahiza bahögönia andrö dofi ana’a
Bahiza bahörö sörömi hörö fadoma (19)
Bahadia badangania badanga mbagi mbölökha
E bate lozi ana’a famaigi luo natesa’a (20)
67
Pada bait yang ke dua puluh dua merupakan penutup dari maena wangowai dome
yang bermaksud sampai disitu maena kita biarlah kita lanjutkan pada maena selanjutnya. Ini
menyiratkan bahwa masih ada maena yang akan dipertunjukan berikutnya yaitu maena
wangowai zowatö.
Lihat contoh:
Bada tarege hö tarege hö maena da’a
Bada tatohugö ba maenada sisambua. (22)
4.3.2 Makna Teks Musik Vokal Maena Wangowai Zowatö
Syair maena yang dinyanyikan secara berulang-ulang oleh peserta maena setelah
sanutunö maena menyanyikan syair fanutunö maena dapat dilihat dibawah ini :
Data owai zowatö siso fönada
Banua Moi sa ba sirami niha
Soaya lauru fanu’a, sokhö afore ira si öfa singa
Sama halnya juga dengan maena wangowai dome, memiliki susunan pembukaan, isi
dan penutup. Pada teks musik vokal wangowai zowatö mempunyai bait yang merupakan
pembukaan yaitu pada bait yang pertama.
Lihat contoh :
Bada tabörö taigö khöda döi maena
Nalö fakaole ligu dania fasala (1)
Bait kedua sampai sampai ke empat merupakan pengantar maena tersebut dimana ia
memberitahukan mengapa pihak perempuan itu terlambat datang berhubung karena
pengantin laki-laki telah pergi mencari uang sebelum berangkat ke pesta adat agar apa yang
diminta oleh pihak perempuan dapat diberikan walaupun itu merupakan pinjaman atau
pemberian dari sanak keluarga laki-laki dan menceritakan apa yang mereka lakukan sebelum
68
berangkat dari rumah pengantin laki-laki kemudian dituturkan syair maena (fanutunö
maena).
Lihat contoh :
Andrö alawa lua mege we’asoma
Bano mofanö khömi zimöi molemba (2)
Bawa malali mege khönia ana’a
Balö same khönia ga’a ondra’uta(3)
La’ila melo khönia mege famu’a
Meno niha khönia börö zilumana (4)
Bait lima sampai delapan merupakan kata-kata merendahkan pihak laki-laki kepada
pihak perempuan alangkah banyaknya perjuangan seorang laki-laki itu mendapatkan
jodohnya pengantin perempuan, ia telah mengarungi samudera yang luas, mendaki gunung
untuk mencari apa yang diminta oleh pihak perempuan kepadanya.
Lihat contoh :
Ba’oya matalu’i mege mbanua
Ba’oya matalui mege mbanua duha (5)
Masösö hili-hili mege salawa
Matue ndraso mege börö alo’oa (6)
Matörö dalu mbade mege sabakha
Matörö molö mege sihulö ndru’a (7)
Oya masofu-sofu mege baniha
Hezo nomo zowatö börö zonuza (8)
Bait ke Sembilan sampai dua puluh berisi tentang sanjungan pihak laki-laki kepada
pihak perempuan, mereka mangagung-agungkan keberadaan keluarga pengantin perempuan
69
dan mengangkat derajat pengantin perempuan itu pada syair fanutunö maena tersebut
walaupun kenyataannya tidak demikian.
Lihat contoh :
Noso yawa bazuzu hili nomora
Bano fasui ga’a khöra omo hada (12)
Löuwaö otu asara khönia zandrela
Löuwai otu adua khönia mbosi nora (13)
Ba sara wawa khönia hafanöi baora
Löuwaö döfi awena alua sibakha (14)
Afökhö höröda bakile nomora
No tonönö nasa haga pelamina (18)
Bano labe’e föna mböli gana’a
Andrö zangowai zamaondragö tomera (19)
Lalau maena sifao khöra amaedola
Wamaondragö numönö simöi molemba (20)
Pada bait yang terakhir merupakan penutup dari syair maena (fanutunö maena)
wangowai zowatö.
Lihat contoh :
Bada ubato khögu ga’a döi maena
Ube tahigu ga’a melö u’ila (21)
4.3.3 Makna Teks Musik Vokal Maena Wangandrö Sokona
Syair maena yang dinyanyikan secara berulang-ulang oleh peserta maena setelah
sanutunö maena menyanyikan syair fanutunö maena dapat dilihat dibawah ini :
Mifolala sa la’oda da’isoko maenada Roko sisaribu sara
70
Lö ma badu roko safusi Asili guda gara da’ö zomasi dödöma
Pada maena wangandrö sokona (saweran) ini berbeda dengan musik vokal
wangowai dome, sowatö dimana isinya tentang meminta saweran kepada pengantin laki-laki
agar diberikan kepada para peserta maena dengan cara menyanyikan nyanyian ini. Di dalam
bait-baitnya berisi tentang sanjungan kepada mempelai laki-laki (marafule). Bait pertama
berisi tentang lanjutan dari maena wangowai dome karena yang melaksanakan maena ini
ialah keluarga pihak perempuan.
Lihat contoh :
Data tohu andrö khöda döi maena
Data andrö sokona sa khö laoda (1)
Pada bait kedua sampai tiga belas berisi tentang sanjungan para ono maena kepada
marafule bahwa marafule merupakan orang gagah perkasa dan orang yang berada, sehingga
karena sanjungan tersebut maka marafule datang dan memberikan sesuatu kepada peserta
maena .
Lihat contoh :
Bahiza la’oda sino siga-siga
Ba’ifazawa ia moroi badadaoma (2)
Tafaigi mboto fatanomo lekawa
Tafaigi nifönia mae wirö ana’a (4)
Bano ifake khönia zifatu laowa
Bano ifake khönia sole ana’a (5)
Duhu ia ono zalawa moroi raya
Duhu ia ono duha sebua okhöta (6)
Ato sa mbambatöda sa sioföna
Balö same sa khöda andrö farada (8)
71
Bahizasa numönöda si awena
I’ohe rokoda andrö guda gara (9)
Irugi zimbonia ba Amerika
Irugi sau nia ba danö niha (10)
Pada bait yang terakhir yaitu keempat belas merupakan penutup dari syair maena
(fanutuno maena ) tersebut menutup maena yang mengatakan bahwa berhentilah sampai
disini maena kita tetapi dilain waktu kita akan lanjutkan lagi.
Lihat contoh :
Ndrege da’ö maenada sa ono maena
Tatohu ia dania baziso föna (14)
Dari ketiga jenis musik vokal dalam maena diatas berdasarkan penjelasan teks dan
penjelasannya, maka dapatlah disimpulkan makna denotatif dan makna konotatif yang
terdapat didalam ketiga musik vokal maena diatas. Setelah penulis melakukan analisis,
terdapat banyak sekali makna denotatif yang tersirat, sedangkan makna konotatif nya hanya
beberapa kalimat saja. Lihat contoh dari syair maena wangowai dome bait ke tujuh,
kedelapan belas, Sembilan belas, dan dua puluh; syair maena wangowai zowatö bait ke dua
belas, tiga belas, empat belas, enam belas dan delapan belas; syair maena wangandrö
sokona bait ke lima, sepuluh, sebelah merupakan makna yang mengandung arti tambahan
(konotatif) yang tidak bisa dijelaskan dengan satu kalimat, sedangkan yang lainnya
merupakan makna denotatf karena merupakan makna yang sebenarnya.
4.4 Penggunaan dan Fungsi Musik Vokal Maena
Dalam membahas penggunaaan (uses) dan fungsi (function) musik vokal maena,
penulis menggunakan teori Merriam tentang penggunaan dan fungsi musik. Yang dimaksud
dengan penggunaan menurut Merriam (1964 : 210) yaitu dalam situasi bagaimana musik itu
72
digunakan (uses) dan untuk alasan apa dan apa tujuan musik itu dipertunjukan. Dengan
demikan penggunaan mengacu kepada situasi dimana musik itu digunakan dalam tindakan
manusia. Sedangkan fungsi menyangkut terhadap alasan apa pemakaian musik dan dalam
arti luas sejauh mana dapat dilayaninya.
Untuk membahas penggunaan dan fungsi musik vokal maena dalam pesta adat
perkawinan masyarakat Nias penulis mengacu pada pendapat Merriam (1964 : 219-227)
yang menjelaskan sepuluh fungsi musik antara lain : (1) sebagai hiburan,(2) sebagai
perlambang, (3) sebagai media komunikasi, (4) sebagai estetis, (5) sebagai reaksi jasmani,
(6) sebagai pengungkapan emosional, (7) sebagai pengintegrasian masyarakat, (8) sebagai
kesinambungan masyarakat, (9) sebagai pengesahan lembaga-lembaga sosial, serta (10)
fungsi musik yang berkaitan dengan norma-norma sosial.
Dengan memperhatikan kesepuluh teori Alan P. Merriam tersebut, maka musik
vokal maena hanya mengandung enam fungsi dari teori tersebut. Fungsi-fungsi tersebut
ialah ;
a. Fungsi Hiburan
Sebagai fungsi hiburan, musik vokal maena banyak dipertunjukan di luar dari
upacara adat perkawinan masyarakat Nias yang dalam pertunjukannya untuk
menghibur para tamu-tamu terhormat, pembesar yang datang sedangkan didalam
pesta adat perkawinan maena merupakan hiburan dalam adat.
b. Fungsi pengungkapan emosional
Syair dari maena yang dinyanyikan oleh ono maena merupakan ungkapan perasaan
bahagia dan gembira saat dinyanyikan nyanyian dalam maena tersebut.
c. Fungsi penghayatan estetis
Syair yang di bacakan atau dinyanyikan oleh sanutunö maena terkandung kata-kata
yang indah, dengan pantun-pantun (amaedola) dalam bahasa Nias.
73
d. Fungsi Komunikasi
Sebagai fungsi komunikasi syair dari musik vokal maena mengandung pesan kepada
kedua belah pihak bahwa saling sanjung – menyanjung dan memuji keluarga kedua
mempelai.
e. Fungsi Kesinambungan Kebudayaan
Maena merupakan kesenian dan tradisi dari masyarakat Nias yang merupakan cirri
khas kebudayaan masyarakat Nias.
f. Fungsi Pengesahan Lembaga-Lembaga Sosial
Dengan dipertunjukannya maena dalam pesta adat masyarakat Nias, menandakan
bahwa upacara perkawinan tersebut telah sah dan disaksikan oleh banyak orang
sehingga senang keluarga kedua belah pihak sehingga kegembiraan tersebut di
sahkan dengan diadakannya maena.
4.5 Kajian Musikal
Dalam mengkaji musikal ini bertujuan untuk keperluan analisis (musik), sehingga
dalam proses ini penulis dapat mempelajari aspek-aspek musikal yang terdapat dalam
nyanyian maena dalam pesta adat perkawinan masyarakat Nias. Sebelum melakukan
pentranskripsian, penulis terlebih dahulu mendengarkan kaset rekaman maena secara
berulang-ulang dengan seksama serta mencoba menirukannya, menentukan bagian
strukturnya dan menulis notasi dengan suatu pola tertentu, menetapkan nada-nada yang
dihasilkan dan menuliskannya secara teliti, setelah pentranskripsian selesai penulis
melakukan pengecekan kembali.
Penulisan notasi dalam transkripsi ini penulis berorientasi kepada sistem penulisan
not balok (notasi balok barat) karena sampai saat belum ditemukan notasi yang tepat dalam
menuliskan musik Nias. Disisi lain notasi barat sudah lazim dikenal dikalangan dunia musik
74
maka secara umum telah dikenal masyarakat luas. Alas an lain penulis memakai sistem
notasi ini karena dalam penganalisaan penulis memperoleh kemudahan seperti penulisan
gerak melodi (kontur) baik naik ataupun menurun penulis dapat melihat dengan jelas, begitu
juga penganalisaan yang lain seperti nada-nada modal, interval, dan frasa.
Untuk mengetahui musikal musik vokal maena penulis menggunakan pendapat
Bruno Nettl (1964 : 98) tentang dua pendekatan untuk menganalisis suatu musik yaitu, (1)
kita dapat menganalisa dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, (2) kita dapat menulis
diatas kerta apa yang kita dengar lalu mendeskripsikan apa yang kita lihat. Sebagai
kebutuhan analisis pentranskripsian, penulis menggunakan pendekatan deskriptif, yaitu
bagaiamana suatu pertunjukan tersebut disajikan dari apa yang kita dengar yang kemudian
kita transkripsikan. Untuk mentranskripsikan musik vokal maena penulis mengacu
penulisan dalam bentuk notasi barat kedalam garis paranada. Penggunaan notasi ini akan
mempermudah dalam kerja analisis, sehingga dapat menentukan tinggi rendahnya nada-nada
yang dihasilkan. Garis paranada tersebut mempunyai lima garis dan empat spasi serta satu
garis pembantu dengan cleff (kunci) yang disebut kunci G, seperti berikut ini :
Sebagai bentuk tanda istrahat yang tertera dibawah ini menandakan tidak ada nada/melodi
yang terdengar. Lamanya tanda istrahat sama nilainya dengan nada musik barat.
Berikut keterangan tanda istrahat yang dihasilkan :
75
4.6 Analisis Musikal
Untuk menganalisis struktur melodi musik vokal maena, penulis berpedoman pada
teori Malm (1977 : 8) tentang delapan unsur melodi yang dapat digunakan untuk
menganalisis suatu lagu/nyanyian yaitu :(a) Scale (tangga nada),(b) Tone (nada dasar),(c)
Range (wilayah nada),(d) Frequency of notes (jumlah nada-nada), (e) Prevalent interval
(interval yang dipakai), (f) Cadence patterns (pola-pola kadensa), (g) Melodic Formulas
(formula-formula melodi), (h) Contour (kontur)
4.6.1 Tangga Nada (Scale)
Tangga nada atau nada modal yang dimaksud dalam tulisan ini adalah nada-nada
yang mendasari untuk menentukan tangga nada pada ketiga nyanyian maena dalam pesta
adat perkawinan masyarakat Nias. Walaupun ini sebagai nada modal, pada dasarnya tangga
nada ini selalu mempunyai kesamaan dalam tangga nada pengertian umum, karena
mempunyai struktur interval yang baku. Sedangkan yang dimaksud penulis dalam tulisan ini
adalah nada yang sifatnya praktis, dimana metode ini didasari dari distribusi nada-nada yang
terdapat dalam ketiga nyanyian diatas.
76
Tangga nada pada nyanyian wangowai zowatö
Tangga nada pada nyanyian wangowai dome
Tangga nada pada nyanyian wangadrö sokona
4.6.2 Nada dasar
Pada ketiga nyanyian maena yang dipertunjukan pada pesta adat masyarakat Nias
oleh keluarga Arisman Mendröfa memiliki metronome yang berbeda-beda dimana pada
nyanyian maena wangowai dome berkecapatan 110 pulsa permenit atau satu pulsa sama
dengan satu detik. Nyanyian wangowai zowatö berkecepatan 103/menit sedangkan pada
nyanyian wangandrö sokona berkecepatan 104/menit. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah pentranskripsian dan memperoleh hasil transkrip yang akurat.
Dalam transkrip ini penulis membuat penulisan dalam pentranskripsian, maka :
a. Nyanyian wangowai zowatö yang penulis dapat dalam bentuk video nada asli/nada
dasarnya Fis, ditransposisikan menjadi G (1#)
b. Nyanyian wangowai dome nada asli/nada dasarnya Es, ditransposisikan menjadi D
(2#)
77
c. Nyanyian wangandrö sokona nada dasar/nada aslinya Es, penulis mentransposisikan
menjadi D (2#).
Sesuai dengan penjelasan diatas penulis menggunakan pendekatan yang dilakukan
oleh Bruno Nettl dalam buku “Theory and Method in Etnomusicology” sebagai berikut :
a. Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang sering dipakai dan nada
mana yang jarang dipakai dalam komposisi tersebut.
b. Kadang-kadang nada yang ritmisnya besar dianggap nada-nada dasar, biarpun jarang
dipakai.
c. Nada yang dipakai awal/akhir komposisi dianggap mempunyai fungsi penting dalam
tonalitas tersebut.
d. Nada yang menduduki posisi paling rendah dalam tangga nada ataupun posisi
ditengah-tengah dapat dianggap penting.
e. Interval-interval yang terdapat antara nada kadang-kadang dipakai sebagai patokan,
misalnya sebuah komposisi yang digunakan bersama okftafnya sedangkan lainnya
tidak menggunakan oktaf.
f. Adanya tekanan nada ritmis dari simbol nada juga bisa dipakai sebagai patokan
tonalitas.
Untuk menyamakan pendekatan oleh Nettl dalam menentukan nada dasar, maka
penulis menyusun tabel frekuensi pemakaian nada berdasarkan durasi ritmis dari nyanyian
maena pada saat pesta adat perkawinan masyarakat Nias di Kota Medan adalah sebagai
berikut
78
4.6.3 Wilayah Nada
Wilayah nada (range) merupakan pengukuran antara nada terendah sampai nada
yang tertinggi, yang diukur dengan satuan cent, laras, atau interval. Berdasarkan nada-nada
yang telah tersusun, maka dalam nyanyian maena dalam pesta adat perkawinan masyarakat
Nias terlihat bahwa ketiga jenis nyanyian tersebut memilihi wilayah nada yang berbeda
yakni maena wangowai zowatö wilayah nadanya dari nada D sampai ke nada G’, maena
wangowai Dome wilayah nadanya dari nada cis sampai ke nada G, maena wangandrö
sokona wilayah nadanya dari nada Cis sampai ke nada D’.
4.6.4 Jumlah Pemakaian Nada
Jumlah pemakaian nada pada masing – masing syair maena terdiri atas :
Jumlah pemakaian nada pada syair maena wangowai Dome
No Nama Interval Jumlah X Jumlah
1 D 6
21
126
2 E 8 168
3 F# 10 210
4 G 1 21
5 C# 1 21
Jumlah pemakaian nada pada syair maena wangowai zowatö
No Nama Interval Jumlah X Jumlah
1 G 16 22
352
2 A 10 220
79
3 B 9 198
4 C 2 44
5 E 2 44
Jumlah pemakaian nada pada syair maena wangandrö sokona
No Nama Interval Jumlah X Jumlah
1 D 15
14
210
2 E 5 70
3 F# 14 196
4 G 6 84
5 A 16 224
6 B 1 14
4.6.5 Interval
Interval ialah jarak antara satu nada ke nada lainnya (berikutnya, naik ataupun turun).
Sebelum penulis membuat dalam bentuk tabel penulis terlebih dahulu menjelaskan bahwa
pada setiap bait syair fanutunö maena masing-masing berbeda jumlah baitnya sesuai dengan
hasil penelitian dilapangan dimana syair maena wangowai dome terdiri atas 22 bait, sowatö
terdiri atas 21 bait sedangkan maena wangowai zowatö terdiri atas 14 bait. Pada bait-bait
tersebut unsur musikalnya berupa pengulangan-pengulangan sehingga pada
pengelompokkan penulis hanya melakukan analisis musikal pada satu bait kemudian
dikalikan dengan jumlah bait-bait syair tersebut. Interval yang digunakan dalam teks
nyanyian maena yang di pertunjukan pada pesta adat perkawinan Arisman Mendröfa dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel Interval Syair Maena Wangowai Dome
80
No Nama Interval Jumlah X Jumlah
1 1 Perfect 14
21
294
2 2 Mayor 6 126
3 2 Minor 4 84
4 3 Mayor 2 42
Tabel Interval Syair Maena Wangowai Zowatö
No Nama Interval Jumlah X Jumlah
1 1 Perfect 18
22
378
2 2 Mayor 16 352
3 2 Minor 3 66
4 3 Mayor 3 66
5 3 Minor 3 66
6 4 Perfect 2 44
Tabel Interval Syair Maena Wangandrö sokona
No Nama Interval Jumlah X Jumlah
1 1 Perfect 17
14
238
2 2 Mayor 20 280
3 2 Minor 6 84
4 3 Mayor 7 98
5 3 Minor 18 252
6 4 Perfect 4 56
7 5P 2 28
81
4.6.6 Kadensa
Kadensa (Cadence) yang dimaksud dalam tulisan ini berpedoman dengan pendapat
Malm (1964 : 8 ) yaitu penggarapan nada-nada pada akhir setiap bentuk melodi. Adapun
bentuk melodi yang ada pada teks/syair maena yakni :
Maena wangowai dome
Maena wangowai zowatö
Maena wangandrö sokona
4.6.7 Formula Melodi
Menurut Malm (1964 :8) ada beberapa formula melodi yaitu (1) repetitif yaitu
bentuk nyanyian yang di ulang-ulang, (2) interactive yaitu bentuk nyanyian yang memakai
formula melodi yang kecil yang kecenderungan pengulangan-pengulangan keseluruhan
nyanyian, (3) reverting yaitu bentuk nyanyian yang terjadi penguangan pada frase pertama
setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi, (4) strophic yaitu bentuk nyanyian
yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang sama, (5) progresif yaitu
bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan melodi yang berbeda. Jika
dikaitkan dengan pendapat Malm tersebut, maka bentuk nyanyian pada maena lebih
cenderung pada bagian yang ketiga dan pertama yaitu stropic dan repetitive.
82
4.6.8 Kontur
Kontur ialah garis molodi dalam sebuah lagu. Ada beberapa jenis kontur menurut
pendapat Malm (1964 : 8) yaitu (1) Accending yaitu garis melodi yang sifatnya menaik dari
nada yang rendah ke nada yang lebih tinggi, (2) descending yaitu garis melodi yang sifatnya
menurun dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah, (3) pendulous yaitu garsi
melodi yang sifatnya melengkung dari nada yang rendah ke nada yang lebih tinggi, kemudia
kembali ke nada yang lebih rendah, atau sebaliknya dari nada yang lebih tinggi ke nada
yang yang lebih rendah kembali ke nada yang lebih tinggi, (4) terraced yaitu garis melodi
yang sifatnya berjenjang (seperti anak tangga) dari nada yang rendah ke nada yang lebih
tinggi, kemudian bergerak sejajar, kemudian bergerak ke nada yang lebih tinggi lagi yang
akhrinya berbentuk sepeti anak tangga,(5) statis yaitu garis melodi yang sifatnya tetap
bergerak dalm ruang lingku yang berbatas/datar.
Berdasarkan pembahasan jenis kontur diatas maka penulis mengambil kesimpulan
bahwa ketiga jenis nyanyian pada maena memiliki kontur yang berbeda-beda yaitu pada
maena wangowai dome kontur melodinya termasuk statis – accending, sedangkan pada
maena wangowai zowatö dan maena wangandrö sokona yaitu accending.
83
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Nyanyian maena adalah salah satu nyanyian yang bersifat tradisi,karena nyanyian ini
secara turun temurun dinyanyikan dari generasi ke generasi walaupun syairnya berubah-
ubah tetapi maknanya tetap sama yaitu menyanjung pihak perempuan serta pihak laki-laki
dengan cara mempertunjukan maena khususnya dalam pesta adat perkawinan masyarakat
Nias yang ada di Kota Medan.
Dalam pesta adat perkawinan yang dilakukan masyarakat Nias di Kota Medan,
penyajian nyanyian maena biasanya dinyanyikan atau dipertunjukan sebagai pelengkap
jalannya proses adat perkawinan tersebut. Syair maena (fanutunö maena) tidak mempunyai
teks yang pasti, melainkan diciptakan oleh orang yang fasih atau pintar bahasa Nias (li nono
niha).
Selain itu dilihat dari aspek tekstualnya struktur dari teks musik vokal maena
wangowai dome, sowatö, wangandrö sokona berbentuk susunan pantun yang mana memiliki
pola AA dari bait yang satu ke bait berikutnya. Demikian juga dengan syair maena yang
dinyanyikan secara berulang-ulang oleh peserta maena berpola AA.
Kemudian dilihat dari segi fungsinya, nyanyian maena mempunyai beberapa fungsi
yaitu sebagai fungsi hiburan, musik vokal maena banyak dipertunjukan di luar dari upacara
adat perkawinan masyarakat Nias yang dalam pertunjukannya untuk menghibur para tamu-
tamu terhormat, pembesar yang datang sedangkan didalam pesta adat perkawinan maena
merupakan hiburan dalam adat, fungsi pengungkapan emosional,fungsi penghayatan estetis,
sebagai fungsi komunikasi syair dari musik vokal maena mengandung pesan kepada kedua
84
belah pihak bahwa saling sanjung – menyanjung dan memuji keluarga kedua mempelai,
fungsi Kesinambungan Kebudayaan, fungsi Pengesahan Lembaga-Lembaga Sosial.
Ketiga nyanyian maena yang dibahas pada bab sebelumnya memiliki tangga nada
yang berbeda dimana pada maena wangowai zowatö memiliki tangga nada
septagonis(terdiri dari tujuh nada) yaitu D-E-F#-G-A-B-C-D-E- F#-G’, pada maena
wangowai dome memiliki tangga nada pentatonis (lima nada) yaitu C#-D-E-F#-G,
sedangkan pada maena wangandrö sokona memiliki nada
5.2 Saran
Nias adalah salah satu suku yang ada di nusantara yang sejak dahulu kaya dengan
aktifitas budayanya. Salah satunya ialah upacara perkawinan yang didalamnya terdapat
pertunjukan maena. Akan tetapi, dengan adanya pengaruh dari budaya barat atau
percampuran budaya Nias dengan budaya lain sehingga sebagian nilai-nilai budaya tersebut
hilang dari nilai-nilai budaya aslinya. Dalam tulisan ini penulis mempunyai beberapa saran
kepada pembaca lainnya diluar dari etnis Nias, yaitu menyarankan agar nyanyian maena
tetapi dipertahankan eksistensinya dan merasakan bahwa hal ini merupakan salah satu
kekayaan budaya yang dijadikan milik bersama, sehingga setiap etnis yang ada di seluruh
Indonesia tetap hidup dan terus berkembang.
85
DAFTAR PUSTAKA Dananjaya, James, 1986. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta:
Grafiti Pers. Gulö, W. 1997. Nias : Injili – Budaya – SDM. Salatiga.Universitas Kristen Salatiga. Kamus Dewan, 2002. Kuala Lumpur: Dewan bahasa dan Pustaka. Koentjaraningrat. 1986. Pengnantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Gramedia, Laia, Bamböwö.1983. Solidaritas Kekeluargaan Dalam Salah Satu Masyarakat Desa di
Nias:Jakarta. Gadjah Mada University Press.
Malm, William P. 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey, Englewood Cliffs: Prentice Hall.
Merriam, Alan P. 1964. The Anthropologi of Music. Chicago: Northwestern University
Press. Nettl, Bruno. 1964. Theory and method in ethnomusicology. New York. Perwadarminta (ed.), 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Sedyawati, Edy, 1981. Tari: Tinjauan dari Berbagai Segi. Jakarta: Pustaka Jaya. Soehartono, 1995. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia. Takari, Muhammad. Frida Deliana, Fadlin, Torang Naiborhu, Arifni Netriroza, dan
Heristina Dewi. 2008. Masyarakat Kesenian di Indonesia. Medan: Studi Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.
Zebua, HS.1985.Kumpulan Catatan Upacara Perkawinan Daerah Nias. Gunungsitloli:
Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten Nias Sumatera Utara.
Recommended