View
234
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional Indonesia merupakan paradigma pembangunan
yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata baik
secara material maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka salah satu cara yang dapat
ditempuh adalah dengan melaksanakan pembangunan di berbagai bidang
kehidupan. Salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam
pelaksanaan pembangunan nasional adalah sektor ketenagalistrikan.
Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut persediaan dan
pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik.
Pembangunan sektor ketenagalistrikan bertujuan untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna mewujudkan
tujuan pembangunan nasional. Kini listrik merupakan sarana vital yang
dibutuhkan oleh masyarakat, sebab sebagian besar aktivitas kehidupan yang
dilakukan berhubungan dengan listrik. Kebutuhan akan listrik tidak hanya dalam
kegiatan rumah tangga, melainkan meluas hingga kegiatan industri dan
perekonomian. Sehingga dapat dikatakan bahwa listrik kini menjadi sumber
energi utama dalam setiap kegiatan masyarakat.
2
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009
tentang Ketenagalistrikan (selanjutnya disebut UU Ketenagalistrikan), yang
dimaksud dengan tenaga listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang
dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam
keperluan, tetapi tidak meliputi listrik yang dipakai untuk komunikasi,
elektronika, atau isyarat. Tenaga listrik mempunyai peran yang sangat penting
dan strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional maka usaha
penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara dan penyediaannya perlu terus
ditingkatkan sejalan dengan perkembangan pembangunan agar tersedia tenaga
listrik dalam jumlah yang cukup, merata, dan bermutu.
Tenaga listrik mempunyai arti penting bagi negara dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat sehingga penyediaan tenaga listrik harus mendapat
perhatian dari semua pihak yang berkompeten. Pihak-pihak tersebut adalah
pemerintah, badan usaha yang melaksanakan penyediaan tenaga listrik dan
konsumen. Berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 4 UU Ketenagalistrikan, pemerintah
sebagai penyelenggara usaha penyediaan tenaga listrik memberikan
kewenangannya kepada badan usaha milik negara (BUMN) untuk melaksanakan
penyediaan tenaga listrik. Pemerintah mempunyai kewenangan dalam menetapkan
kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga
listrik.
BUMN yang melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik di Indonesia
adalah perusahaan listrik negara atau PT. PLN (Persero). PT. PLN (Persero)
adalah BUMN dengan badan hukum berbentuk persero yang bergerak dalam
3
bidang usaha penyediaan tenaga listrik baik untuk industri maupun rumah tangga.
Maksud dan tujuan PT. PLN (Persero) adalah untuk menyelenggarakan usaha
penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum dalam jumlah dan mutu yang
memadai, serta memupuk keuntungan dan melaksanakan penugasan pemerintah di
bidang ketenagalistrikan dalam rangka menunjang pembangunan dengan
menerapkan prinsip-prinsip Perseroan Terbatas.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN),
Persero atau perusahaan perseroan adalah BUMN yang berbentuk perseroan
terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51
% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia
yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Persero atau perusahaan perseroan
dalam badan usaha milik negara (BUMN) pada prinsipnya sama dengan perseroan
terbatas sebagaimana yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.1
Dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan Pasal 12 UU BUMN ditegaskan bahwa
PT. PLN (Persero) sebagai BUMN yang berbentuk persero bertujuan untuk
mengejar keuntungan. Hal ini sesuai dengan hakikat perseroan menurut Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut
UU Perseroan Terbatas) juga untuk mengejar keuntungan (profit oriented).
Mengingat persero pada dasarnya merupakan perseroan terbatas, semua ketentuan
Undang-Undang Perseroan Terbatas, termasuk pula segala peraturan
1Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, 2012, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, Erlangga,
Jakarta, h. 160.
4
pelaksanaannya berlaku pula bagi persero.2 Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa PT. PLN (Persero) tunduk dengan UU Perseroan Terbatas.
Usaha penyediaan tenaga listrik merupakan pengadaan tenaga listrik yang
meliputi pembangkitan tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga
listrik, dan penjualan tenaga listrik. Penjualan tenaga listrik adalah kegiatan usaha
penjualan tenaga listrik kepada konsumen. Dalam penjualan tenaga listrik kepada
konsumen terjadi transaksi jual beli tenaga listrik antara PT. PLN (Persero)
dengan konsumen. Jual beli merupakan suatu perjanjian yang dilakukan oleh dua
pihak, dimana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu
kebendaan dan pihak yang lain membayar harga yang telah dijanjikan.
Dalam rangka pelaksanaan jual beli tenaga listrik tersebut, maka akan
terjadi suatu hubungan hukum antara konsumen dengan PT. PLN (Persero).
Hubungan hukum merupakan hubungan yang diatur oleh hukum dan didalamnya
melekat hak dan kewajiban para pihak. Hubungan kewajiban dan hak adalah
keterikatan penjual untuk menyerahkan benda dan memperoleh pembayaran,
keterikatan pembeli untuk membayar harga dan memperoleh benda.3 Oleh karena
itu perlu diadakan suatu perjanjian untuk mengatur hak dan kewajiban para pihak
yang disebut dengan “Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL)” yang
harus ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu pihak PT. PLN (Persero) dan
konsumen.
2Mulhadi, 2010, Hukum Perusahaan, Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, Ghalia
Indonesia, Bogor, h. 168.
3Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 318.
5
SPJBTL telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh pihak PT. PLN (Persero).
Isi dari perjanjian yang berupa hak dan kewajiban para pihak ditentukan secara
sepihak oleh PT. PLN (Persero). Perjanjian yang diterapkan oleh PT. PLN
(Persero) tersebut termasuk dalam perjanjian baku. Hal ini dimaksudkan untuk
membantu kelancaran dalam pelayanan kepada konsumen. Perjanjian baku
merupakan suatu perjanjian yang bentuk dan isinya ditentukan oleh salah satu
pihak. Tumbuh dan berkembangnya perjanjian baku di masyarakat didasarkan
atas efisiensi, baik dari segi waktu maupun biaya, sebab suatu transasksi bisnis
dengan menggunakan perjanjian baku biasanya dilakukan secara berulang-ulang
dan terus menerus.
Oleh karena perjanjian tersebut telah ditetapkan oleh PT. PLN (Persero)
maka konsumen hanya dapat menandatangani saja tanpa harus keberatan dengan
isi perjanjian tersebut. Dengan melakukan penandatangan perjanjian tersebut
maka dapat dikatakan bahwa konsumen telah setuju dengan isi perjanjian.
Sehingga dengan demikian sudah seharusnya konsumen berkewajiban membaca
isi perjanjian atau kontrak tersebut terlebih dahulu sebelum menandatanganinya.
Konsekuensi yuridis dari adanya kewajiban membaca kontrak adalah bahwa pada
prinsipnya para pihak tidak bisa di kemudian hari mengelak untuk melaksanakan
kontrak dengan alasan bahwa dia sebenarnya tidak membaca klausula kontrak
tersebut, atau terjebak dengan klausula kontrak yang bersangkutan.4 Namun
kenyataannya, konsumen tidak mengetahui adanya kewajiban dan konsekuensi
4Munir Fuady, 2003, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 89.
6
tersebut sehingga mereka tanpa berpikir panjang langsung saja menandatangani
perjanjian tersebut.
Dengan adanya perjanjian baku tersebut, pihak PT. PLN (Persero) dapat
mencantumkan ketentuan-ketentuan perjanjian sesuai dengan kemauannya.
Sehingga tidak tertutup kemungkinan dalam perjanjian baku tersebut lebih
mencerminkan kepentingan PT. PLN (Persero) dan mengandung ketentuan-
ketentuan yang memberatkan pihak konsumen, dalam arti kewajiban yang dipikul
konsumen lebih berat jika dibandingkan dengan haknya. Konsumen yang tanpa
berpikir panjang dan langsung menandatangani perjanjian tersebut tentunya tidak
mengetahui mengenai hal tersebut. Hal seperti inilah yang sering menimbulkan
adanya perselisihan di kemudian hari antara PT. konsumen yang telah terikat
perjanjian baku dengan PT. PLN (Persero).
Salah satu perselisihan yang terjadi antara konsumen dengan PT. PLN
(Persero) dalam jual beli tenaga listrik adalah berkaitan dengan pelanggaran
pemakaian tenaga listrik yang dilakukan oleh konsumen. Apabila terjadi kelainan
atau pelanggaran dalam pemakaian tenaga listrik yaitu adanya ketidaksesuaian
dalam penggunaan daya sehingga menyebabkan pembayaran listrik tidak menentu
setiap bulannya, maka PT. PLN (Persero) akan mengirimkan petugasnya untuk
melakukan pemeriksaan di tempat konsumen. Kelainan dalam pemakaian tenaga
listrik dapat dikarenakan adanya kesengajaan dari pihak konsumen atau adanya
gangguan pada meter PLN yang berada di tempat konsumen.
7
Adanya gangguan pada meter PLN mengakibatkan kekurangan pada
beban tagihan listrik yang digunakan sehingga pembayaran listrik yang dilakukan
konsumen tidak sesuai dengan tenaga listrik yang digunakan. Kekurangan beban
tagihan listrik ini akhirnya dibebankan kepada konsumen dengan cara membayar
tagihan susulan sesuai dengan perjanjian. Dalam perjanjian, besarnya tagihan
susulan ditetapkan sesuai dengan besarnya kekurangan tagihan maksimum 6 bulan
pemakaian.
Namun di sisi lain, PT. PLN (Persero) justru menagih tagihan susulan
kepada konsumen tidak sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian, melainkan
mengacu pada kebijakan dalam keputusan direksi PT. PLN (Persero) yang baru
ada setelah perjanjian tersebut diadakan. Dalam kebijakan tersebut, tagihan
susulan ditagih sepenuhnya sesuai dengan kekurangan tagihan yang tercatat oleh
PT. PLN (Persero). Pengenaan tagihan susulan dalam kebijakan tersebut lebih
memberatkan dan merugikan konsumen, apalagi jika konsumen tersebut
menggunakan energi listrik dengan jumlah yang besar dan kelainan tersebut telah
berlangsung lebih dari 6 bulan.
Dengan demikian diperlukan cara penyelesaian yang tepat untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara konsumen dengan PT. PLN
(Persero). Di samping itu, perlu juga untuk dibahas lebih dalam mengenai
kedudukan konsumen dan PT. PLN (Persero) dalam perjanjian jual beli tenaga
listrik. Berdasarkan permasalahan tersebut maka disusunlah skripsi dengan judul:
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM
8
PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA LISTRIK DENGAN PT. PLN
(PERSERO)”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut diatas dapat dikemukakan rumusan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kedudukan konsumen dan PT. PLN (Persero) dalam perjanjian
jual beli tenaga listrik?
2. Bagaimanakah penyelesaian perselisihan antara konsumen dengan PT. PLN
(Persero) berkaitan dengan jual beli tenaga listrik ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari terjadinya penyimpangan pembahasan penelitian ini,
maka ruang pembahasannya disesuaikan dengan rumusan masalah seperti yang
telah diuraikan diatas. Hal yang akan dibahas adalah sebatas kedudukan
konsumen dan PT. PLN (Persero) dalam perjanjian jual beli tenaga listrik dan
penyelesaian perselisihan antara konsumen dan PT. PLN (Persero) berkaitan
dengan jual beli tenaga listrik.
Dalam pembahasan pertama akan membahas mengenai kedudukan
konsumen dan PT. PLN (Persero) dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.
Selanjutnya pembahasan kedua membahas mengenai cara penyelesaian
perselisihan antara konsumen dengan PT. PLN (Persero) berkaitan dengan jual
beli tenaga listrik. Pembahasan kedua ini mengacu pada perselisihan yang pernah
terjadi di PT. PLN (Persero) dan penyelesaian yang digunakan PT. PLN dalam
menyelesaikan perselisihan tersebut.
9
1.4 Orisinalitas Penelitian
Sepanjang yang diketahui belum ada penelitian sejenis yang meneliti
mengenai masalah sebagaimana dicantumkan dalam rumusan masalah yang
diangkat. Untuk penelitian sejenis yang serupa dengan penelitian yang diajukan
dijabarkan dalam tabel berikut ini :
NO. SKRIPSI JUDUL RUMUSAN MASALAH
1. Komang Ayu
Diah Mega
Lena, 2011,
Universitas
Udayana,
Denpasar
Perlindungan
Hukum Bagi
Konsumen Atas
Pembelian Pulsa Isi
Ulang Elektronik
1. Siapakah yang
harus bertanggung
jawab atas
ketidaksampaian
pulsa kepada
telpon seluler
konsumen sebagai
pengguna jasa?
2. Upaya apa yang
dapat dilakukan
oleh konsumen
atas kerugian yang
timbul akibat
ketidaksampaian
pulsa kepada
telpon seluler
konsumen?
10
2. I Wayan Adi
Sumiarta, 2012,
Universitas
Udayana,
Denpasar
Perlindungan
Hukum Terhadap
Konsumen Kartu
Halo Dalam
Perjanjian Baku
Berlangganan Jasa
Telekomunikasi
Seluler Pasca Bayar
1. Upaya apakah
yang dapat
dilakukan oleh
konsumen
pelanggan kartu
halo apabila
mengalami
kerugian dalam
berlangganan jasa
telekomunikasi
seluler pasca
bayar?
2. Bagaimanakah
tanggung jawab
pelaku usaha jasa
telekomunikasi
seluler pasca bayar
kartu halo terhadap
kerugian
konsumen dengan
adanya perjanjian
baku?
11
Perbedaan penelitian ini dengan kedua penelitian di atas terletak pada
lokasi penelitian. Pada penelitian ini dilakukan di PT. PLN (Persero) berbeda
dengan kedua penelitian diatas. Selain itu, perbedaan lainnya terletak pada
permasalahan yang diangkat. Dalam penelitian pertama mengangkat
permasalahan mengenai ketidaksampaian pulsa dalam pembelian pulsa isi ulang
elektronik dan penelitian kedua mengangkat permasalahan mengenai perjanjian
baku berlangganan jasa telekomunikasi seluler pasca bayar. Sedangkan penelitian
ini mengangkat permasalahan mengenai kedudukan konsumen dan PT. PLN
(Persero) dalam perjanjian jual beli tenaga listrik dan cara penyelesaian
perselisihan antara konsumen dengan PT. PLN (Persero) dalam jual beli tenaga
listrik.
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini meliputi tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang
bersifat khusus, yaitu :
1.5.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari disusunnya penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kedudukan konsumen dan PT. PLN (Persero) dalam
perjanjian jual beli tenaga listrik.
2. Untuk mengetahui cara penyelesaian perselisihan antara konsumen dengan
PT. PLN (Persero) berkaitan dengan jual beli tenaga listrik.
12
1.5.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu :
1. Untuk memahami kedudukan konsumen dan PT. PLN (Persero) dalam
perjanjian jual beli tenaga listrik.
2. Untuk memahami cara penyelesaian perselisihan antara konsumen dengan PT.
PLN (Persero) berkaitan dengan jual beli tenaga listrik.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran atau ide dan manfaat positif bagi perkembangan ilmu
hukum pada umumnya dan khususnya dalam hukum perlindungan konsumen dan
hukum perikatan.
1.6.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan berupa masukan bagi PT. PLN (Persero) dan pelanggan PT. PLN
(Persero) yang dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan di saat adanya
perselisihan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini yakni
mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen dalam perjanjian jual beli
tenaga listrik dengan PT. PLN (Persero). Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat
dijadikan bahan atau sumber bagi penelitian berikutnya yang mengangkat
permasalahan serupa dengan penelitian ini.
13
1.7 Landasan Teori
Konsumen merupakan pemakai atau pengguna suatu barang atau jasa baik
bagi kepentingan sendiri maupun bagi kepentingan orang lain. Secara yuridis
formal pengertian konsumen dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya
disebut UU Perlindungan Konsumen) yang menyebutkan bahwa “konsumen
adalah setiap orang, pemakai barang dan/atau jasa, yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.”
Selain dalam UU Perlindungan Konsumen, pengertian konsumen juga
dimuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya dissebut UU Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat), yaitu pada ketentuan Pasal
1 huruf o yang menyebutkan bahwa “konsumen adalah setiap pemakai dan/atau
pengguna barang dan/atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk
kepentingan pihak lain”.
Sedangkan pengertian pelaku usaha dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka
3 UU Perlindungan Konsumen, yaitu “pelaku usaha adalah setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi”.
14
Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan
Konsumen, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Aspek
perlindungan terhadap konsumen menitik beratkan pada cara mempertahankan
hak-hak konsumen dari gangguan pihak lain. Dalam Pasal 4 UU Perlindungan
Konsumen terdapat sembilan hak yang dimiliki konsumen, yaitu :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hakhak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan
lainnya.
Dari sembilan hak konsumen tersebut, masalah kenyamanan, keamanan dan
keselamatan merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan
konsumen.5
5Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 30.
15
Disamping itu, sebagai konsekuensi dari hak konsumen, maka kepada
pelaku usaha dibebankan kewajiban-kewajiban untuk memenuhi hak-hak
konsumen tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut termuat dalam Pasal 7 UU
Perlindungan Konsumen, yaitu :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta
tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barangdan/atau
jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Dalam konsumen dan pelaku usaha melakukan hubungan hukum yang
bersifat keperdataan tidak terlepas dari adanya perjanjian. Berdasarkan Pasal 1313
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata),
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian dapat dilakukan secara lisan dan
dapat dilakukan secara tertulis.6 Setiap perjanjian yang dibuat secara sah akan
mengakibatkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban.
6I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-
Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana Univesity Press, Denpasar,
h. 28.
16
Terdapat asas perjanjian yang digunakan sebagai dasar dan acuan dalam
mengadakan suatu perjanjian. Salah satunya adalah asas keseimbangan para pihak
dalam perjanjian. Asas keseimbangan mengacu pada kedudukan para pihak yang
sama atau setara. Dengan adanya keseimbangan kedudukan, maka para pihak
dapat menentukan hak dan kewajibannya sesuai dengan kepentingan masing-
masing pihak. Ahmadi Miru dalam disertasinya yang berjudul “Prinsip-Prinsip
Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia”, menyatakan bahwa
keseimbangan antara konsumen-produsen dapat dicapai dengan meningkatkan
perlindungan terhadap konsumen karena posisi konsumen lebih kuat
dibandingkan konsumen.7
Hubungan antara konsumen dan pelaku usaha pada dasarnya merupakan
hubungan hukum yang berbentuk perjanjian timbal balik, seperti perjanjian jual
beli. Jual beli adalah suatu perjanjian, dimana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain untuk membayar harga
benda yang telah diperjanjikan.8 Dalam prakteknya, bentuk dari perjanjian jual
beli sering dibakukan oleh pelaku usaha dalam mengadakan hubungan jual beli
dengan konsumen. Perjanjian tersebut diistilahkan sebagai perjanjian baku
(standart contract) dan perjanjian tersebut belum diatur dalam KUH Perdata.
Pengertian perjanjian baku menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah
perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Sutan
Remi Sjahdeini mengartikan perjanjian baku sebagai perjanjian yang hampir
7 Agus Yudha Hernoko, 2013, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, Kencana, Jakarta, h. 28.
8Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 317.
17
seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada
dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta
perubahan.9 Perjanjian baku lahir dari kebutuhan akan efisiensi dan efektivitas
kerja. Tujuan dibuatnya perjanjian baku untuk memberikan kemudahan
(kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan.10
Dalam perjanjian baku terdapat klausula-klausula yang telah ditetapkan
oleh salah satu pihak tanpa melalui perundingan dengan pihak-pihak lainnya.
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU Perlindungan Konsumen yang dimaksud
dengan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang
telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat
dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
1.8 Metode Penelitian
Dalam penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah ini tidak akan
melepaskan diri dari suatu metode penelitian. Hal ini dimaksudkan agar karya
tulis tersebut dapat memenuhi syarat-syarat dari suatu karya ilmiah. Adapun
metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah:
1.8.1 Jenis Penelitian
Penelitian hukum dibedakan dalam dua macam yaitu penelitian hukum
normatif dan penelitian hukum empiris. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian hukum empiris. Jenis penelitian ini pada dasarnya merupakan penelitian
9Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 139.
10Ibid, h. 139.
18
perbandingan antara ideal hukum, das sollen dengan realitas hukum, das sein.11
Penelitian hukum empiris merupakan penelitian hukum yang merumuskan
fenomena hukum mengenai adanya kesenjangan antara norma dengan perilaku
masyarakat. Dalam penelitian hukum empiris, hukum dikonsepkan sebagai gejala
empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan nyata. Penelitian hukum empiris
dilakukan dengan meneliti hukum baik mengenai prosesnya, interaksinya,
penerapannya ataupun pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Dalam penelitian ini akan menggunakan beberapa jenis pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan fakta (The Fact Approach)
b. Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach)
Pendekatan fakta didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari data-data
di lapangan yang berkaitan dengan permasalahan. Pendekatan perundang-
undangan adalah pendekatan yang didasarkan pada hukum positif di Indonesia,
yakni berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
1.8.3 Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yakni menggambarkan suatu keadaan atau
gejala tertentu dan menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan
gejala lainnya dimasyarakat. Dalam penelitian ini akan menggambarkan
perlindungan hukum terhadap konsumen dalam perjanjian jual beli tenaga listrik
dengan PT. PLN (Persero).
11
Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodologi Peneltian Hukum Empiris Murni Sebuah
Alternatif, Universitas Trisakti, Jakarta, h. 43.
19
1.8.4 Data dan Sumber Data
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya
baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak
resmi yang kemudian diolah oleh peneliti.12
Dalam penelitian ini, data primer
diperoleh dengan melakukan penelitian secara langsung di PT. PLN (Persero)
Distribusi Bali dan PT. PLN (Persero) Distribusi Bali Area Bali Selatan.
Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan
pustaka.13
Data sekunder dapat dibagi menjadi :
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang memiliki kekuatan
hukum mengikat. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain :
a. Undang-Undang Dasar 1945;
b. Kitab Undang-Undang Hukum;
c. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan;
d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
f. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
g. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara;
12
Zainudin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 106.
13Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 12.
20
h. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
i. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
2. Bahan hukum sekunder; yakni bahan hukum yang menjelaskan mengenai
bahan hukum primer seperti hasil penelitian hukum, hasil karya ilmiah,
literature-literatur yang ditulis para ahli yang relevan dengan rumusan masalah
yang dibahas dalam penelitian ini.
3. Bahan hukum tertier; yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus,
ensiklopedia, kamus hukum, bahan dari internet.
1.8.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik studi dokumen dan teknik wawancara. Teknik studi dokumen
menggunakan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian
yakni perlindungan hukum terhadap konsumen dalam perjanjian jual beli tenaga
listrik dengan PT. PLN (Persero).
Sedangkan teknik wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang telah dirancang sebelumnya kepada responden dan/atau informan
untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan permasalahan.
1.8.6 Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Dalam penelitian ini, digunakan teknik penentuan sampel penelitian non-
probabilitas atau non-random sampling. Teknik non-probabilitas tidak ada
ketentuan yang pasti berapa sampel harus diambil agar dapat mewakili
21
populasinya. Dalam hal penentuan sample ini, untuk menentukan sampel akan
digunakan bentuk Purposive Sampling yakni menarik sampel berdasarkan tujuan
tertentu yang mana sampel yang dipilih dikarenakan telah memenuhi kriteria dan
sifat populasinya, yang dalam penelitian ini mampu memberikan data terkait
tulisan.
1.8.7 Pengolahan dan Analisis Data
Dalam penelitian ini pengolahan dan analisis data dilakukan secara
kualitatif. Dalam pengolahan dan analisis data secara kualitatif yaitu dengan
menghubungkan antara data yang diperoleh di lapangan dengan permasalahan
terkait. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif maka data yang diperoleh akan
disajikan dengan secara deskriptif kualitatif dan sistematis. Hal tersebut
dimaksudkan dengan menganalisis data yang didapat dikaitkan dengan teori-teori
dalam landasan teoritis kemudian disajikan secara mendetail dan tersusun untuk
merampungkan tulisan ini.
Recommended