View
284
Download
4
Category
Preview:
Citation preview
11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia pada hakikatnya selalu membutuhkan orang lain untuk bertahan
hidup. Sejak awal kelahirannya, seorang bayi membutuhkan ibu untuk memenuhi
kebutuhan fisiknya seperti susu, perawatan, kasih sayang dan sebagainya. Seiring
dengan perkembangan diri dan kepribadian manusia, maka kebutuhannya pun
semakin meningkat. Kebutuhan tersebut tidak hanya kebutuhan fisik saja,
melainkan berupa kebutuhan psikis yang menimbulkan hasrat-hasrat lain yang
bersifat individual sehingga mampu memberikan kepuasan bagi dirinya. Dengan
kata lain bahwa kebutuhan biasanya lebih bersifat biologis dan tersampaikan
melalui permintaan, sehingga kebutuhan tersebut akan dapat terpenuhi. Namun
tidak semua hal bisa tersampaikan dengan permintaan. Hal ini menimbulkan
kegelisahan dan rasa kurang dalam diri manusia. Kesenjangan dalam pemenuhan
kebutuhan tersebut tanpa disadari akan menimbulkan hasrat1 dalam diri manusia.
Hasrat yang berasal dari alam bawah sadar inilah yang kemudian akan
menggerakkan kehidupan manusia, sebab pada dasarnya manusia selalu
mengalami kekurangan. Kekurangan-kekurangan ini akan terus berjalan
sepanjang perjalanan kehidupan manusia, sehingga manusia terdorong untuk
senantiasa memenuhi kebutuhannya demi mencapai kepuasan dan keutuhan diri.
1 Hasrat muncul dari ketidakpuasan dan mendorong anda untuk memunculkan permintaan lain.
Lihat Madan Sarup, 2011, Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan
Posmodernisme. Yogyakarta: Jalasutra. h. 25.
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Sarup (2011:26) bahwa manusia
sebagai subjek dianggap kekurangan karena diyakini sebagai fragmen dari sesuatu
yang lebih besar dan primordial. Untuk mencapai pemuasan kebutuhan dan
keinginan ini bisa diwujudkan dengan berbagai hal. Pencapaian yang dilakukan
manusia dalam hidupnya adalah wujud produksi hasrat, misalnya dalam hal
pendidikan, pekerjaan, percintaan dan sebagainya. Salah satu manifestasi dari
hasrat manusia adalah karya sastra, dengan kata lain bahwa pengarang
menghasilkan karya sastra sebagai bentuk pemenuhan atas hasrat dirinya. Maka
dalam hal ini pengarang disebut sebagai subjek yang berkekurangan.
Dalam menulis karya sastra pengarang menghadirkan interaksi para tokoh
yang secara tidak sadar membawa permasalahan kejiwaan mereka dalam karya
sastra. Permasalahan kejiwaan yang tercermin pada tokoh ini disajikan pengarang
lewat bahasa. Bahasa menjadi media ekspresi pengarang dalam menyampaikan
konflik kejiwaan pada karya sastra. Permasalahan kejiwaan ini tentunya
berhubungan erat dengan kajian psikoanalisis, maka di sinilah keterkaitan teks
sastra dengan kajian psikoanalisis.
Seperti di dalam buku kumpulan cerpen Sampan Zulaiha karya Hasan Al
Banna yang berisi empat belas cerpen di antaranya berjudul “Rumah
Amangboru”, “Gokma”, “Parompa Sadun Kiriman Ibu”, “Ijazah”, “Pasar
Jongjong”, “Rabiah”, “Kurik”, “Sampan Zulaiha”, “Pertikaian Firasat”,
“Tiurmaida”, “Horja”, “15 Hari Bulan”, “Ceracau Ompu Gabe”, dan “Hanya
Angin yang Terpahat di Rahang Pintu” menceritakan tentang kehidupan manusia
yang berbeda dengan segala karakter yang dimiliki. Cerpen-cerpen yang ada di
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
dalam Sampan Zulaiha, hampir keseluruhannya menceritakan dinamika
kehidupan manusia yang dihadapkan pada masalah sosial dan persoalan adat.
Hasan Al Banna banyak memuat unsur budaya dan adat istiadat Sumatera Utara di
dalam cerpen-cerpennya, yang dilihat dari perspektif berbeda pula. Cerpen-
cerpen dalam kumpulan cerpen ini sebagian besar menggambarkan munculnya
pemberontakan yang dilakukan tokoh karena ketidakmampuan dalam menghadapi
atau melawan kenyataan yang terjadi, yakni keadaan yang diatur oleh kekuatan
sosial dan adat istiadat.
Hasan Al Banna menggambarkan suasana, emosi dan perasaan dalam
cerpennya dengan begitu rinci, baik melalui dialog para tokoh maupun deskripsi
keadaan yang terjadi. Hasan Al Banna sebagai pengarang cenderung
menggunakan bahasa yang ekspresif dalam menyampaikan keadaan dan peristiwa
di dalam ceritanya. Penggambaran mengenai idealisme, perasaan, dan pandangan
hidup yang disampaikan Hasan melalui tokoh dalam cerpennya seolah memberi
efek psikologis bagi pembaca. Pergulatan emosi pada masing-masing cerita di
dalamnya terlihat begitu menonjol, sehingga bisa dikatakan bahwa kumpulan
cerpen Sampan Zulaiha ini banyak memuat unsur psikologis dan masalah
kepribadian di dalamnya.
Masalah kepribadian tentunya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
individual. Individual menurut Kartono (2005:10) merupakan setiap manusia yang
mempunyai kepribadiannya sendiri yang khas dan tidak identik dengan orang lain.
Sehingga permasalahan kepribadian yang bersifat individual ini tentu berbeda satu
sama lain. Apa yang diceritakan Hasan Al Banna dalam cerpennya tentang
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
permasalahan kehidupan para tokoh ciptaannya bagaimanapun memiliki
hubungan dengan kondisi kejiwaan dan kepribadiannya. Cerpen-cerpen tersebut
menjadi tempat tersimpannya hasrat Hasan Al Banna, sebagaimana diketahui
bahwa apa yang dihasrati oleh manusia akan termanifestasikan dalam bahasa
(yang dalam hal ini adalah karya sastra). Hal inilah yang kemudian akan dikaji
melalui psikoanalisis.
Di antara kajian-kajian psikoanalisis, Jacques Lacan dinilai paling erat
menampilkan analisis yang berkaitan dengan kajian bahasa dan sastra. Seperti
yang dikatakan oleh Sarup (2011: 9) bahwa Lacan membangun teori bahasa yang
lengkap, ia menghubungkan teori bahasanya dengan subjektivitas. Seperti halnya
teori pascastrukturalisme yang dibangun dengan menemukan kelemahan-
kelemahan strukturalisme, psikoanalisis Lacan ini dibangun atas dasar kelemahan-
kelemahan teori Freud. Freud dan Lacan sama-sama menyajikan analisis
kepribadian manusia mulai dari awal kelahirannya sebagai sesuatu yang tidak
dapat dipisahkan dari ibunya, namun keduanya memiliki perbedaan pandangan.
Kebutuhan menyusu di awal perkembangan manusia yang disebut Freud
sebagai “hasrat seksual infantil2” akan mengalami peningkatan pada kebutuhan
lain menjadi hasrat seksualitas. Freud memandang hasrat sebagai energi libidinal
dan cenderung liar, karena berasal dari ketidaksadaran manusia sehingga bisa
membahayakan ego. Namun hasrat dalam pandangan Lacan tidak hanya
bermakna hasrat seksualitas, tetapi keinginan-keinginan lain yang ada dalam diri
2 Lihat Max Milner, 1992, Freud dan Interpretasi Sastra, hlm 108-118.
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
manusia misalnya hasrat ingin memiliki kekayaan, pekerjaan, hasrat menjadi
sukses dan sebagainya.
Lacan menyebut bahwa hasrat bisa berbentuk sebagai hasrat untuk
menjadi dan hasrat untuk memiliki3. Hal ini sejajar dengan pembedaan hasrat oleh
Freud yang menggunakan istilah libido narsistik dan libido anaklitik. Hasrat yang
bersifat naluriah pada manusia ini dalam proses perkembangannya dipengaruhi
konstruksi sosial dari lingkungannya. Hasrat bagi seorang individu menurut Lacan
tidak murni hasratnya sendiri, tetapi merupakan campuran dari hasrat orang lain.
Bagi Lacan, kontrol ego atas id adalah sesuatu yang mustahil.
Bagaimanapun, ego merupakan sebuah produk jadi dari id yang terbentuk melalui
mekanisme kesalahan mengenali diri di hadapan cermin pada sebuah fase yang
disebut fase cermin. Lacan berpendapat bahwa pembentukan ego pada anak
terjadi pada tahap cermin, ketika seorang anak mengidentifikasi diri pada
citraannya yang ada di cermin. Adanya dorongan identifikasi tersebut pada anak
merupakan hasrat anak untuk memiliki identitas. Hasrat ini mengacu pada
keutuhan diri yang mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan memiliki diri
yang seutuhnya. Lacan menggunakan istilah Phallus sebagai atribut kekuasaan,
baik laki-laki maupun perempuan. Seperti dijelaskan dalam Sarup, (2011:18)
bahwa Phallus merujuk pada kepenuhan; merupakan penanda keutuhan yang
tidak kita miliki.
3 Lihat Donny Gahral Adian, 2009, Pesona Hasrat dalam Psikoanalisis-Struktural Jacques Lacan:
Refleksi atas Ketegangan antara Hasrat Memiliki dan Hasrat Menjadi. Kata Pengantar dalam
Jacques Lacan, Diskursus dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik-Budaya Psikoanalisis,
Yogyakarta: Jalasutra, h. xIiii.
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
Lacan menyebut bahasa sebagai penanda. Bahasa merupakan prekondisi
bagi tindakan menjadi sadar akan diri sebagai entitas yang berbeda dari yang lain
(Faruk, 2012 :186). Untuk itu Lacan meyakini bahwa psikoanalisis harus dapat
menjadi ilmu bahasa dan tanda karena sifatnya yang secara eksklusif
mempergunakan bahasa dalam analisisnya. Oleh sebab itulah ilmu psikoanalisis
Lacan dapat digunakan dalam menganalisis karya sastra, yang dalam penelitian
ini adalah kumpulan cerpen berjudul Sampan Zulaiha karya Hasan Al Banna.
Maka Hasan Al Banna sebagai pengarang disebut subjek. Sebagai subjek yang
selalu berada dalam kekurangan (lackness) Hasan Al Banna memiliki hasrat
tertentu yang termanifestasikan dalam teks kumpulan cerpen Sampan Zulaiha.
Untuk mengetahui hasrat pengarang tentunya perlu dianalisis metafora-
metafora bahasa di dalam cerpen tersebut. Menurut konsep Lacanian, suatu
penanda selalu menandakan penanda lain; tidak ada kata yang bebas dari
metaforisitas (Sarup, 2011:10). Misalnya penanda “Zulaiha” merupakan metafora
yang menyimbolkan sebuah makna layak dikaji dalam psikoanalisis, demikian
pula dengan penanda-penanda lainnya. Penanda-penanda tersebut diasumsikan
mengandung hasrat pengarang yang tersembunyi dan perlu dikaji melalui
perspektif Lacanian. Hal ini diperkuat dengan asumsi bahwa meskipun sumber
data yang berupa kumpulan cerpen tersebut terdiri dari beberapa cerpen yang
berbeda, namun ditemukan adanya kesamaan-kesamaan tertentu yang membentuk
sebuah garis lurus yang mengacu pada hasrat Hasan Al Banna sebagai subjek
Lacan yang berkekurangan.
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
1. 2 Rumusan Masalah
Setiap manusia memiliki hasrat yang mendorong dirinya untuk melakukan
berbagai hal dalam kehidupan. Namun hasrat-hasrat tersebut tidak pernah
terpenuhi karena manusia selalu merasa kekurangan. Hasrat tersebut pada
akhirnya termanifestasikan lewat bahasa. Hasan Al Banna sebagai pengarang
selalu mencari pemenuhan atas kekurangan diri yang termanifestasikan dalam
karya sastra. Psikoanalisis Lacan membahas hasrat manusia melalui bahasa
(penanda) dengan mekanisme metafora dan metonimia. Dengan demikian
kumpulan cerpen karya Hasan Al Banna berjudul Sampan Zulaiha yang memuat
hasrat-hasrat pengarang yang tersembunyi perlu dikaji dengan perspektif
Lacanian. Maka untuk melihat hasrat-hasrat tersebut akan dilakukan dengan
menjawab permasalahan berikut (1) Bagaimana rangkaian penanda sebagai
manifestasi hasrat dituliskan secara metaforik dan metonimik dalam kumpulan
cerpen Sampan Zulaiha; (2) Bagaimana hasrat pengarang dalam kumpulan cerpen
Sampan Zulaiha.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Teoritis
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penanda-penanda sebagai
manifestasi hasrat secara metaforik dan metonimik dalam kumpulan cerpen
Sampan Zulaiha serta mengungkap hasrat pengarang dalam kumpulan cerpen
Sampan Zulaiha. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan
alternatif penerapan teori sastra mengenai kajian psikoanalisis Lacanian.
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
1.3.2 Tujuan Praktis
Penelitian ini bertujuan untuk memberi sumbangan pemikiran mengenai
hasrat-hasrat subjek dengan berdasarkan pada pendekatan psikoanalisis Lacanian.
Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk memberi sumbangan pemikiran
tentang pembahasan karya sastra melalui bahasa dalam karya sastra dengan
pendekatan psikoanalisis Lacanian. Dengan demikian manusia sebagai subjek
yang selalu merasa berkekurangan mampu mengetahui hasratnya dan pemenuhan
kebutuhan identitasnya dalam lingkungan sosial, budaya dan adat istiadat.
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai kumpulan cerpen Sampan Zulaiha karya Hasan Al
Banna memang belum banyak dilakukan secara khusus, namun dari data-data
yang diperoleh ada beberapa tulisan dan penelitian yang membicarakan tentang
cerpen-cerpennya secara terpisah. Di antaranya penelitian kuantitatif mengenai
keefektifan sebuah model pembelajaran yang dikaitkan dengan kegiatan
menganalisis nilai-nilai moral dalam kumpulan cerpen tersebut. Penelitian ini
ditulis oleh Purba (2010) dengan judul “Efektivitas Model Pembelajaran Latihan
Penelitian Terhadap Kemampuan Menganalisis Nilai-nilai Moral Cerpen Sampan
Zulaiha Karya Hasan Al-Banna Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Tanjung Balai
Tahun Pembelajaran 2010/2011”.
Purba (2010) dalam penelitiannya lebih menekankan pada penerapan
model pembelajaran kepada siswa, bukan pada cerpen Hasan Al-Banna. Cerpen
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
dalam penelitian ini sebagai materi yang akan diajarkan kepada siswa, yakni
melihat nilai-nilai moral yang ada di dalamnya. Dalam penelitian tersebut
dikatakan bahwa Model Latihan Penelitian lebih efektif dibandingkan dengan
metode ekspositori di SMA Negeri 1 Tanjung Balai Tahun Pembelajaran
2010/2011 dalam mengajarkan kemampuan menganalisis nilai-nilai moral cerpen
Sampan Zulaiha. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil nilai rata-rata kelas yang
menggunakan model pembelajaran Latihan Penelitian lebih tinggi yaitu 77,16
daripada nilai rata-rata kelas yang menggunakan metode pembelajaran ekspositori
yaitu 69,16.
Penelitian dengan menggunakan teori psikoanalisis Lacan dilakukan oleh
Halida (2010) dari Universitas Indonesia yang berjudul “Peran Perempuan dalam
Politik Nasional Jepang Kontemporer (1980-1990); Analisis Menurut Tatanan
Simbolik Jacques Lacan”. Penelitian ini membahas peran perempuan dalam
politik nasional Jepang kontemporer yang dianalisis dengan Tatanan Simbolik
psikoanalisis Lacan. Tatanan Simbolik menciptakan aturan sosial dalam ranah
ketidaksadaran manusia. Pada masyarakat Jepang yang patriarki, tatanan simbolik
memperkuat dominasi laki-laki sehingga peran perempuan semakin tersisihkan.
Perempuan dianggap tidak pantas berperan di dalam politik karena politik adalah
wilayah kekuasaan laki-laki. Hal ini mempengaruhi peran perempuan dalam
politik nasional Jepang pada masa kontemporer.
Penelitian karya sastra dengan menggunakan psikoanalisis Lacan juga
pernah ditulis oleh Rengganis (2004) berjudul “Seksualitas Perempuan dalam
Saman dan Larung Karya Ayu Utami: Sebuah Tinjauan Psikoanalisis Lacanian”.
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
Penelitian ini melihat seksualitas subjek-subjek perempuan. Rengganis (2004)
mengatakan bahwa terdapat empat perempuan dengan karakter berbeda yang
menyuarakan seksualitas sebagai subjek perempuan dalam masyarakat, yang
merepresentasikan suara Ayu Utami mengenai subjektivitas perempuan.
Rengganis mengatakan bahwa kemampuan individual subjek dalam menyuarakan
seksualitas dipengaruhi oleh pandangan dan sikap subjek mengenai sistem norma,
ajaran dan agama yang cenderung patriarki, serta perilaku dan pandangan seksual
subjek dalam menyuarakan seksualitasnya.
Mengenai hasrat dalam psikoanalisis Lacan dibahas dalam penelitian
Manik (2011) berjudul “Hasrat N Riantiarno dalam Trilogi Cermin: Kajian
Psikoanalisis Lacanian”. Penelitian ini ditujukan untuk melihat hasrat Nano
Riantiarno sebagai pengarang trilogi cermin tersebut. Manik (2011) mengatakan
bahwa manusia sebagai subjek memiliki hasrat untuk memenuhi kekurangan diri.
Namun keinginan untuk kesatuan eksistensial itu tidak mungkin didapat kembali,
sehingga manusia menyerahkan dirinya pada otoritas Yang Simbolik untuk
memberikan yang seolah-olah utuh, yakni identitas. Ia menyimpulkan bahwa
hasrat Nano akan seorang yang jujur, berani, bertanggung jawab, loyal, ulet,
konsisten, pekerja keras, setia dan demokratis diidentifikasi dari citraan ayahnya.
Sedangkan identitas seniman, sutradara dan penulis dari citraan ideal identitas
tersebut adalah anchoring point dari ketidakmenentuan dan ambiguitas diri, dan
tetap tidak mampu memberikan pemenuhan bagi dirinya.
Identitas seniman, sutradara, penulis, laki-laki heteroseksual dan bunuh
diri berada pada hasrat memiliki (anaklitik) dan hasrat menjadi (narsistik),
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
sedangkan hasrat ingin menjadi Nano yang lain adalah dengan menjadi orang
yang menerima dan memberikan kebebasan bagi identitas yang mengalami
stigmatisasi seperti homoseksual, tapol, dan kaum terpinggirkan lainnya oleh yang
Simbolik. Dengan demikian Nano mencari sesuatu yang dapat memberikan
keutuhan dan kepuasan perasaan pada diri yaitu dengan cara produktif dalam
berkarya.
Nenden Lilis A sempat menyebut Hasan Al Banna dalam esainya (2011)
yang berjudul “Geliat Estetika dalam Cerpen-Cerpen Karya Cerpenis Terkini”.
Esai ini menyoroti estetika cerpen yang ditulis oleh cerpenis-cerpenis masa kini
dengan memaparkan pula perkembangan estetika cerpen masa-masa sebelumnya.
Lilis A (2011) mengatakan bahwa pada era reformasi yang terhitung sejak
jatuhnya rezim orde Baru tahun 1998 memang telah menunjukkan fenomena
khusus dalam perkembangan sastra Indonesia. Era keterbukaan pada masa
reformasi telah membawa keberagaman dalam jenis, bentuk, gaya, dan ideologi
yang muncul dalam karya sastra. Hal menonjol yang juga terjadi pada masa ini
adalah kebebasan berkarya serta tergalinya kembali berbagai jenis sastra yang
pada awalnya terpinggirkan, seperti sastra perempuan, sastra lokal, dan sastra
popular, bahkan sastra sebagai bagian dari industri.
Lilis A memfokuskan melihat cerpen masa kini dari cerpen-cerpen yang
dimuat dalam Jurnal Cerpen Indonesia (JCI), yang salah satunya adalah cerpen
Hasan Al Banna. Ia mengatakan bahwa Hasan Al-Banna di dalam cerpennya
menggunakan diksi-diksi yang sangat cermat dan dipilih dengan keseriusan,
misalnya pada cerpennya berjudul Kurik yang dimuat di Jurnal Cerpen Indonesia.
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
Selain itu terdapat pula perubahan sudut pandang yang ada di dalam cerpen ini
dan cerpen-cerpen lain di JCI merupakan estetika baru pada cerpenis terkini.
Menurutnya cerpenis masa kini (setelah era reformasi) cenderung berada
pada keseragaman estetika yang sama dan bahkan masih terpengaruh estetika
masa sebelumnya. Namun cerpen Kurik dinilai mengandung eksplorasi bahasa
yang cukup berhasil dan padu dengan unsur-unsur lainnya. Fenomena lain yang
terjadi menurutnya adalah adanya gejala gagasan dan konflik cerita yang tidak
lagi menjadi sesuatu yang dikedepankan seperti sering dilakukan para pengarang
era sebelumnya. Menurutnya hal ini terjadi karena media-media komunikasi yang
ada akibat abad teknologi informasi dan era keterbukaan yang telah menampung
hal itu sehingga dipandang sebagai kondisi yang biasa. Sementara bahasa dalam
karya sastra yang di dalamnya harusnya penuh dengan daya refleksi menjadi
terlupakan.
Selain itu ada beberapa komentar lain yang membahas cerpen Hasan Al-
Banna dalam esai dan artikel media massa, di antaranya yang ditulis oleh Agus T.
Khaidir berjudul “Menyemai Bunga Cerpen Hasan Al Banna” (Analisa, Minggu,
26 Agustus 2012). Esai ini ditulis untuk menanggapi esai Damiri Mahmud
berjudul “Nihilisme Sampai Sampan Zulaiha” (Minggu, 12 Agustus 2012) yang di
dalamnya mengkritisi cerpen-cerpen Hasan Al-Banna dalam kumpulan cerpen
Sampan Zulaiha. Disebutkan dalam esai tersebut bahwa Mahmud (2012)
mengkritisi, cerpen yang dikumpulkan Hasan cenderung hanya berupaya
mengharu-biru pembaca dengan sangat berlebihan hingga jadi tak logis, dan
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
cenderung tak bermoral lantaran seperti tidak pernah berniat memenangkan sang
protagonis.
Mahmud (2012) menjelaskan tentang adanya kenihilan dan absurditas
yang ditulis Hasan mengenai konflik dalam cerpennya. Namun Khaidir menilai
bahwa tidak ada yang absurd di dalam cerpen Hasan Al-Banna tetapi justru sangat
realis. Ia menyebutkan bahwa ketidakmasukakalan seperti ini (cerpen-cerpen
absurd sejenis Marquez, Kafka dan Camus) tidak muncul dalam cerpen Hasan.
Tiga karakternya justru digiring menjemput kematian dengan cara masing-
masing. Berikutnya Khaidir (2012) mengatakan bahwa Hasan memberi judul
cerpennya Sampan Zulaiha seperti memberi taburan bunga kata, menyamarkan
kematian karakternya yang tragis dengan kalimat cantik. Hasan secara sadar
menempuh jalan berbeda dari jalan para wartawan kriminal. Karena pada
dasarnya peristiwa yang dikedepankan tidak berbeda. Khaidir mengatakan jika
bunga-bunga cerpen itu disemai, Sampan Zulaiha akan sejenis dengan berita yang
barangkali diberi judul: “Gadis Cacat Mati Tenggelam”.
Esai yang khusus membahas buku kumpulan cerpen Sampan Zulaiha juga
dimuat di Harian Haluan Padang, 2 Oktober 2011 oleh Desi Sommalia Gustina
berjudul “Sehimpun Kisah dari Gagasan yang Menyehari”. Esai berisi apresiasi
terhadap kumpulan cerpen tersebut, mengemukakan apa yang menarik dari buku
dan cerpen yang ada di dalamnya. Sedangkan esai yang ditulis oleh Hidayat
Banjar (2011) yang berjudul “Peluncuran“Sampan Zulaiha”; Nonton Perdebatan
dan Kesombongan Akademisi” berisi tentang pandangannya mengenai acara
peluncuran buku kumpulan cerpen Sampan Zulaiha di Taman Budaya Sumatera
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
Utara yang berlangsung pada tanggal 23 April 2011. Banjar mengatakan bahwa
menyaksikan peluncuran kumpulan cerpen Sampan Zulaiha sejatinya adalah
menonton perdebatan dan kesombongan akademisi. Menurutnya Hasan Al Banna
sebagai pengarang tetap arif dan rendah hati dalam menyikapi perdebatan
tersebut. Hasan kokoh pada pendiriannya yang menyebutkan bahwa, “begitu
Sampan Zulaiha diterbitkan dan diluncurkan di kantin Taman Budaya Sumatera
Utara (TBSU), sang ‘sampan’ adalah milik pembaca”. Selain itu menurut Banjar,
buku yang berisikan 15 cerpen Hasan bisa dikatakan menyajikan potret Sumatera
Utara jika pijakannya adalah setting peristiwa dan istilah atau idiom-idiom
(ungkapan-ungkapan) kedaerahan. Hanya saja, sesungguhnya cerpen-cerpen
Hasan menggambarkan problematika manusia secara universal.
Artikel berjudul “Sampan Zulaiha Berlabuh di Binjai” yang dimuat di
Analisa, 26 Juni 2011ditulis oleh Tanita Liasna, mengemukakan tentang prosesi
peluncuran buku kumpulan cerpen ini yang berlangsung di kota Binjai. Selain itu
Liasna (2011) sempat menelisik sedikit mengenai unsur yang ada di dalam cerpen
Hasan Al-Banna. Menurutnya akhir cerita dalam cerpen yang semuanya berakhir
duka, membuat kesadaran pada manusia, bahwa hidup yang dijalani jaranglah
mulus berjalan. Ada saja batu menyandung menciptakan perih, bahkan kematian
yang tidak terelakkan. Semuanya menyadarkan manusia untuk mensyukuri nikmat
dan menyadari semua pilihan adalah jalan yang harus ditempuh dan tak semuanya
sesuai dengan harap.
Budi Hatees dalam esainya “Secawan dan Air dalam Sastra” (Rebana
Analisa, Minggu, 16 Sep 2012) mempertanyakan kembali mengenai istilah
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
“pelancong” yang disandangkan kepada Hasan, bahwa Hasan Al-Banna adalah
"pelancong" di ranah kultur Sumatra Utara yang heterogen. Menurutnya meski
Hasan yang berasal dari Padangsidempuan, lahir dan tumbuh di lingkungan
masyarakat rural di Kota Padangsidempuan yang heterogen secara antropologi,
Hasan Al Banna adalah keturunan Minangkabau yang oleh masyarakat sekitar
disebut kelompok budaya Daret/ Darek (merupakan perantau dari Minagkabau).
Tetapi Hasan di dalam cerpen-cerpennya memuat keanekaragam kultur yang
menghidupinya dan berasimilasi satu sama lain, membias untuk memperkuat
diaspora Minangkabau di Provinsi Sumatra Utara.
Hatees (2012) tidak menyetujui istilah “pelancong” dilekatkan pada
Hasan. Sebab dalam sedikit cerpen Hasan Al Banna, ia menemukan jati diri orang
Batak dari lingkungan Angkola-Mandailing dan orang Melayu dua dari sekian
banyak kultur yang berkembang di Sumatra Utara. Di dalam cerpen-cerpen itu,
Hasan bicara tentang nilai yang membentuk dunia orang Batak Angkola-
Mandailing, baik dunia ide maupun dunia nyata. Menurut Hatees (2012) Hasan
berhasil membentang berbagai laku manusia Batak Angkola-Mandailing baik
interior, psikis maupun personalitasnya.
1.5 Landasan Teori
Psikoanalisis merupakan salah satu aliran besar dalam sejarah ilmu
pengetahuan manusia karena telah merambah berbagai sektor keilmuan seperti
sastra, sosiologi, filsafat dan kesenian. Pada awalnya psikoanalisis identik dengan
nama Sigmund Freud, sehingga penggunaan istilah psikoanalisis sering
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
disandingkan dengan nama Freud. Namun dalam perkembangannya psikoanalisis
menuai pro-kontra dan mengalami perkembangan sampai kepada psikoanalisis
Lacanian. Terlepas dari berbagai pro dan kontra tersebut, psikoanalisis telah
memberikan sumbangan besar bagi berbagai bidang ilmu. Oleh sebab itu dalam
hal ini perlu dijelaskan sekilas mengenai pandangan Freud tantang psikoanalisis
sebelum berangkat pada teori Lacan.
Disebutkan dalam Semiun (2006:55) bahwa Freud diakui sebagai orang
pertama yang memetakan alam bawah sadar manusia. Freud menemukan
permasalahan kejiwaan mengenai alam bawah sadar secara langsung dari
analisisnya terhadap manusia termasuk dirinya sendiri. Ide-ide pokok Freud
tentang teori kepribadian ini berasal dari pengalamannya dalam merawat pasien-
pasien neurotik. Teori-teori kepribadian ini kemudian berkembang menjadi
psikoanalisis.
Freud mengatakan bahwa tujuan psikoanalisis adalah memperkuat ego,
membuatnya lebih independen dari superego, memperlebar persepsinya,
memperluas organisasinya sehingga ia dapat memiliki bagian-bagian yang segar
dari id (Semiun, 2006:16). Ego yang terdiri dari identitas diri dan kedirian yang
rasional akan mengantisipasi kemunculan id dan menggantikannya saat muncul ke
permukaan. Mengenai psikoanalisis Freud ini, Eagleton (2007:233) menyebutkan
slogan Freud yakni ‘di mana id pernah berada, di situ akan ada ego’. Pengalaman-
pengalaman Freud dalam memberikan terapi kepada pasien neurotiknya memberi
keyakinan dirinya bahwa ketidaksadaran merupakan faktor penentu tingkah laku
yang penting dan dinamik.
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
Freud mengemukakan adanya tiga tingkatan kegiatan mental yakni
ketidaksadaran, keprasadaran dan kesadaran. Isi ketidaksadaran adalah dorongan-
dorongan, keinginan-keinginan, sikap-sikap, perasaan-perasaan, pikiran-pikiran,
atau insting-insting yang tidak dapat dikontrol oleh kemauan, hanya dengan susah
payah ditarik ke dalam kesadaran, tidak terikat oleh hukum-hukum logika dan
tidak dapat dibatasi oleh waktu dan tempat (Semiun, 2006:56). Tingkat pikiran
prasadar berisi semua elemen yang tak sadar, tetapi dapat dengan mudah disadari.
Isi keprasadaran berasal itu sendiri dijelaskan oleh Freud terdiri dari dua sumber,
yakni persepsi sadar dan ketidaksadaran.
Ketidaksadaran merupakan penjelasan untuk makna mimpi-mimpi,
keseleo lidah (salah ucap), simtom-simtom neurotik dan sifat-sifat tertentu dari
sifat pelupa yang dinamakan represi-represi (Semiun, 2006:56). Sedangkan
kesadaran merupakan satu-satunya tingkat kehidupan mental yang secara
langsung tersedia bagi kita. Model struktural tentang mental manusia yang
diperkenalkan Freud, membagi daerah pikiran menjadi tiga agen, yakni id, ego,
dan superego. Bagi Freud, bagian yang sangat primitive dari jiwa adalah id (das
Es), bagian kedua adalah ego (das Ich), serta bagian ketiga superego (das
Uberich) (Semiun, 2006:60).
Id dianggap sebagai sumber utama energi fisiologis yang terungkap pada
dorongan-dorongan hidup dan dorongan-dorongan mati (Semiun, 2006: 63). Id
mudah untuk menuruti dorongan emosi, tidak berdasarkan akal sehat, suka
mengasingkan diri, egois, suka pilih kasih. Tidak adanya organisasi pada id,
sifatnya yang tidak memperhatikan kenyataan harus dijinakkan untuk menjaga
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
kelangsungan hidup. Dengan demikian ego melalui proses sekunder ditugaskan
untuk menjaga dan menyelamatkan diri.
“… Id adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar, disebut
pula libido. Id juga merupakan aspek kepribadian yang paling
“gelap” dalam bawah sadar manusia, berisi insting dan nafsu-nafsu,
tak kenal nilai dan menjadi “energi buta”, karena belum
dikendalikan. Id tidak dapat dimusnahkan, tetapi dapat dikendalikan.
Di dalam tidur, Id terjelma kembali hanya sebagian berwujud
mimpi.” (Suroso, 2009:41-42).
Ego adalah “aku” atau “diri” yang tumbuh dari id pada masa bayi dan
menjadi sumber dari individu untuk berkomunikasi dengan dunia luar (Semiun,
2006:64). Ego harus mempertimbangkan tuntutan-tuntutan dari id dan super-ego
yang bertentangan dan tidak realistik. Perbedaan pokok antara id dan ego adalah
bahwa id hanya mengenal kenyataan subjektif-jiwa, sedangkan ego membedakan
antara hal-hal yang terdapat dalam batin dan hal-hal yang terdapat dalam dunia
luar. Ego bekerja dengan mengikuti prinsip kenyataan dan melalui proses
sekunder. Prinsip kenyataan bertujuan mencegah terjadinya tegangan sampai
ditemukan suatu objek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan, sedangkan proses
sekunder dimaksudkan pada proses berpikir realistis.
Superego adalah bagian moral atau etis dari kepribadian. Superego adalah
perwujudan internal dari nilai-nilai dan cita-cita tradisional masyarakat,
sebagaimana diterangkan orang tua kepada anak dan dilaksanakan dengan cara
memberinya hadiah atau hukuman (Semiun, 2006:66). Super-ego tumbuh dari
ego. Anak menerima norma-norma moral dari orang tua. Norma-norma moral ini
diinternalisasikan melalui identifikasi dengan ayah dan ibu. Superego
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
mencerminkan yang ideal dan yang bukan real, memperjuangkan kesempurnaan
dan bukan kenikmatan. Jadi, Superego berkembang mengontrol dorongan-
dorongan kebutuhan Id, dan berisi nilai-nilai atau evaluatif” (Suroso, 2009:42).
Superego tidak berhubungan dengan dunia luar dan dengan demikian tuntutannya
untuk kesempurnaan tidak realistik.
Berangkat dari pemikiran Freud tersebut, Lacan mengkritisi pandangan-
pandangan Freud dengan mengemukakan teori psikoanalisisnya. Secara umum
Lacan sama sekali tidak menolak konsep psikoanalisis Freudian, tetapi
memodifikasi masalah formasi ego yang memiliki hubungan dengan
ketidaksadaran yang menurutnya sangat krusial. Sebab menurutnya ego adalah
produk dari ketidaksadaran. Psikoanalisis Lacanian dilandasi oleh dua garis besar
pemikiran yakni fenomenologi dan strukturalisme. Fenomonologi menekankan
pada konsep Diri yang bebas; kemudian strukturalisme menekankan pada
determinisme bahasa (Bracher, 2009:299). Dengan dasar tersebut psikoanalisis
Lacan memusatkan perhatian pada konsep diri sebagai subjek, serta menggunakan
pola strukturalisme sebagai cara pembahasannya. Mengenai ontologi Lacan
berbeda idealisme Saussurean, namun lebih memusatkan pada karakteristik
material, dengan memberikan makna yang lebih luas pada ruang lingkup ontologi
psikoanalisisnya4. Hal ini dijelaskan pula dalam Eagleton (2007:237) bahwa apa
4 Far from the Saussurean idealism so often imputed to him, Lacan’s concern for the material
characteristics of signification widens the ontological scope of his psychoanalytic theory, such that
our understanding of what divides the material from the ideal, the present from that which is
represented, is fundamentally disrupted. Tom Eyers, 2011, Lacanian Materialism And The
Question Of The Real, dalam Cosmos and History: The Journal of Natural and Social Philosophy,
vol. 7, no. 1, 2011, h 155-166.
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
yang Lacan lakukan dalam karyanya Ecrits adalah menafsirkan ulang Freud
sambil mempertimbangkan teori wacana strukturalis dan potstrukturalis.
Lacan menunjukkan kesamaan, sekaligus perbedaan, antara
teorinya dan teori Freud tentang struktur kesadaran. Struktur
tersebut terdiri dari tiga unsur, yaitu apa yang disebut Ego oleh
Freud adalah Angancipta (Real) menurut Lacan, Superego bagi
Freud adalah yang Simbolis (Simbolik) menurut Lacan, dan naluri-
naluri dasar primordial yang disebut Id oleh Freud disebut
terSawang (Imajiner) oleh Lacan. Perbedaannya, naluri-naluri dasar
primordial dipandang sebagai hal yang negatif oleh Freud dan
harus ditundukkan demi humanisasi, sedangkan Lacan
menganggapnya positif ibarat halaman kosong yang perlu bagi
deretan huruf dan makna verbalnya meskipun tak terpahami
karenanya dapat membuat cemas (Soetrisno-Van Eymeren,
2011:160)
Jika Freud mengatakan bahwa ego merupakan bagian kepribadian yang
mengontrol dan mengambil keputusan dalam bertindak, maka Lacan menolak ego
sebagai sumber kekuatan psikologis. Ego tidak akan dapat mengendalikan,
menggantikan, bahkan mengenyahkan ketidaksadaran karena sesuangguhnya ego
sendiri merupakan produk ketidaksadaran; otonomi ego adalah ilusi (Lacan,
1977:6). Dengan demikian Lacan tidak menyetujui pandangan Freud tentang
kuasa ego. Menurutnya ego tidak mampu membedakan hasratnya dengan hasrat
orang lain serta cenderung kehilangan dirinya dalam samudra objek-objek
(manusia dan citraan) (Adian, 2009:xxxvi).
Kondisi psikologis manusia terdiri dari alam bawah sadar dan alam sadar.
Seperti dikatakan oleh Bracher (2009:303) yang menyebutkan bahwa manusia
dewasa senantiasa berada di antara sadar (conscious) dan tak sadar (unconscious),
namun ketidaksadaranlah yang lebih sering menyembul dan mimpi merupakan
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
salah satu jalan ketaksadaran tersebut. Lacan menjelaskan bahwa ketidaksadaran
(unconsciousness) atau nirsadar menempati posisi penting dalam bahasan
psikoanalisis. Ketidaksadaran5 tidak lebih dari sebuah tatanan simbolik dari tradisi
linguistik Saussurian. Menurutnya ketidaksadaran sepenuhnya adalah sadar akan
bahasa, dan secara khusus ia terdiri dari struktur bahasa.
Berbeda dengan Freud yang mengatakan bahwa ketidaksadaran sudah
eksis sebelum bahasa memberikan pengaruhnya, Lacan berpandangan bahwa
ketaksadaran terbentuk bersamaan dengan bahasa (Bracher, 2009:303). Menurut
Lacan ranah nirsadar atau alam bawah sadar adalah ranah terstruktur layaknya
bahasa. Ketidaksadaran merupakan suatu struktur yang tersembunyi yang
menyerupai struktur bahasa. Pengetahuan mengenai dunia, mengenai orang-orang
lain dan diri ditentukan oleh bahasa (Faruk, 2008:17). Bahkan ketidaksadaran
hadir bersamaan dengan bahasa. Dengan kata lain, bahasa menunjukkan alam
bawah sadar (unconscious mind) seseorang.
Ditegaskan pula oleh Lacan bahwa bahasa sebagai sistem pengungkapan
tak pernah mampu secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikannya.
Dalam hal ini Lacan memandang adanya jalinan antara psikoanalisis dengan
linguistik. Bagi Lacan ketidaksadaran sebanding dengan struktur pada suatu
bahasa (Faruk, 2008:19). Hal ini terjadi karena formasi-formasi di dalam
5 There can be no “meaning” until a second or “next” signifier is added to a first utterance, S
1, that
only retroactively becomes a signifier (pointing to something else) when a second signifier is
added to it. This second signifier endows the first with a significance it cannot have on its own.
Moreover, this meaning, for psychoanalysis, is not only symbolic, but unconscious. Lihat Juliet
Flower MacCannel, 2008, The Real Imaginary: Lacan’s Joyce. Dalam S 1 : Journal of the Jan
Van Eyck Circle for Lacanian Ideology Critique 1, 2008, h 50.
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
ketidaksadaran dan bahasa diatur oleh mekanisme yang sama, yakni metafora dan
metonimi.
Lacan mempercayai tentang bahasa yang otonom, yakni bahasa yang
terlepas dari makna dan referennya. Kata-kata yang tersusun di dalam bahasa
memiliki berbagai makna yang berbeda dari makna konkretnya. Teori Lacan
menggabungkan gagasan metafora dengan mempertimbangkan penyimpangan
sebagai aspek realitas manusia itu sendiri. Metafora menghubungkan subjek
kepada peristiwa sebenarnya6. Penyimpangan makna ini menggunakan metafora
dan metonimi sebagai alat penyampai pesan di dalam bahasa. Maka untuk
memahami karya sastra adalah dengan melihat bahasa karya sastra tersebut
melalui fenomena metafora dan metonimia.
Bahasa juga merupakan sesuatu yang diadakan secara sosial, sebuah
kebudayaan, larangan-larangan dan hukum-hukum. Dengan tidak disadari seorang
anak dibentuk oleh bahasa dalam perkembangannya. Lacan yakin bahwa subjek
manusia tidak mungkin ada tanpa bahasa, tetapi subjek tidak dapat direduksi
menjadi bahasa (Bracher, 2009:302). Ketika seseorang berbahasa maka ia tengah
mewujudkan diri dengan penanda-penanda. Penanda-penanda adalah satu-satunya
cara subjek itu dapat mewujudkan dirinya (Hill, 2002:29-30).
Menurut konsep bahasa Lacanian, suatu penanda selalu menandakan
penanda lain; tidak ada kata yang bebas dari metaforisitas (metafora adalah
penanda yang menandakan penanda lain) (Sarup, 2011:10). Dalam hal ini Lacan
6 Lacanian theory incorporates this notion of metaphors by considering distortion as an aspect of
human reality itself. Metaphors link the subject to the “original” event. Andre Nusselder, 2009,
Interface Fantasy: a Lacanian Cyborg Ontology. England: The MIT Press Cambridge, h 16.
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33
berbicara tentang glissement (keterpelesetan, ketergelinciran) dalam mata rantai
penandaan, dari penanda yang satu ke penanda yang lain. Bahasa selalu tidak
mampu menjelaskan sebuah makna secara utuh, karena bahasa dapat dimaknai
dengan berbagai pemaknaan. Bahasa disebut Lacan sebagai penanda. Sebuah
penanda bisa dipahami dan dijelaskan melalui kata lain, maka bahasa merupakan
rangkaian penanda-penanda yang tidak pernah selesai. Dengan demikian bahwa
bahasa selalu terbuka, ia membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan
makna lain.
Di dalam sebuah penanda terdapat penanda lain dan petanda atau makna
sebuah penanda tersebar dalam mata rantai penanda, bukan hanya ada pada satu
penanda saja. Sehingga makna dalam sebuah kata tidak akan pernah selesai,
karena di dalam petanda adalah penanda, di dalam makna itu sendiri sebenarnya
adalah konsep atau kata. Misalnya: kata “meja” merupakan penanda yang
menandai konsep meja. Makna “meja” yang merupakan “benda yang terbuat dari
kayu, memiliki empat kaki dan digunakan untuk belajar, dst..” merupakan
rangkaian dari penanda, dan penanda pasti menandakan petanda lain, sehingga
makna “meja” tidak akan pernah selesai. Ia tidak bisa terdefinisikan secara
absolut, ia tidak penuh. Itulah sebabnya mengapa dikatakan terbuka.
Roman Jakobson (dalam Kurniasih, 2009: 303), seorang tokoh formalis
Rusia mengatakan bahwa terdapat dua operasi utama dalam bahasa manusia yang
keduanya bersifat simbolik, yaitu metafora (substitusi suatu tanda oleh tanda
lainnya karena adanya kesamaan) dan metonimi (asosiasi satu tanda oleh tanda
lainnya). Lacan mengikuti Jakobson yang menggunakan mekanisme metafora dan
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
34
metonimia dalam memahami bahasa, namun pandangan yang dikemukakan Lacan
memiliki perbedaan dengan Jacobson. Jika Jakobson menghubungkan metonimi
dengan kondensasi dan penggantian serta metafora pada identifikasi dan
simbolisme, maka bagi Lacan menghubungkan metafora sebagai kondensasi serta
metonimi sebagai penggantian. Hal ini dijelaskan oleh Jakobson (dalam Evans,
1996: 116) bahwa whereas for Jakobson, metonymy is linked to both displacement
and condensation, and metaphor to identification and symbolism, Lacan links
metaphor to condensation and metonymy to displacement.
Metafora mencoba menjelaskan sesuatu dengan membandingkannya
dengan sesuatu yang lain namun tidak menggunakan kata ‘seperti’, ‘bagaikan’
dan sebagainya. Metaphor is usually defined as a trope in which one thing is
described by comparing it to another, but without directly asserting a comparison
(Evans, 1996: 115). Hal ini senada dengan yang dijelaskan oleh Verhaar
(1978:129) yang mengungkapkan bahwa metafora terbentuk karena adanya
penyimpangan makna kepada sesuatu referen yang lain, yang sesungguhnya tidak
sama. Maka secara definitif metafora merupakan sarana untuk memahami dan
mengalami sesuatu hal melalui pemaknaan hal yang lain (Lakoff dan Johnson,
1980: 8). Sedangkan metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti
menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Dengan demikian,
metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk
menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.
Metonymy is usually defined as a trope in which a term is used to
denote an object which it does not literally refer to, but with which
it is closely linked. This link may be one of physical contiguity (such
as when ‘thirty sails’ means ‘thirty boats’), but not necessarily
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
35
(such as when ‘I haven’t read Shakespeare’ means ‘I haven’t read
anything written by Shakespeare’) (Evans, 1996: 117).
Menurut Halley (1980:139) dalam penciptaan metafora, bahasa yang
digunakan tergantung pada lingkungan sosial dan budaya. Maka untuk
mengetahui makna sebenarnya dari sebuah metafora, harus diketahui konteks dan
budaya dimana metafora tersebut muncul. Daerah-daerah yang memiliki budaya
yang berbeda akan memiliki metafora yang berbeda pula. Hal ini senada dengan
yang dikatakan oleh Lyons (1996:280-281) bahwa untuk mengetahui apakah
suatu ungkapan hanya bermakna harfiah saja atau bermakna metaforis dibutuhkan
konteks dan situasi pembicaraan. Misalnya “kalimat Mika adalah seekor ular
betina”, bisa dimaknai berbeda tergantung pada konteks pembicaraan.
Lacan mengatakan berkat kemampuan metaforis manusia, kata dapat
menyampaikan pelbagai macam makna dan kita dapat menggunakan kata untuk
menyampaikan sesuatu yang berbeda dengan makna konkretnya (Sarup, 2011:8).
Dengan demikian untuk menganalisis bahasa yang disampaikan manusia
dilakukan dengan mekanisme metafora dan metonimia. Hal ini dikarenakan
bahwa manusia senantiasa berada diantara sadar (conscious) dan tak sadar
(unconscious). Ketaksadaran cenderung muncul dalam bentuk mimpi sebagai
bentuk simbolik dari keinginan tak sadar. Dalam hal ini ketaksadaran menutupi,
menghaluskan, dan menyimpangkan makna-makna, sehingga mimpi menjadi
teks-teks simbolik. Inilah yang menjadi dasar dari yang dikatakan Lacan bahwa
ketaksadaran terstruktur seperti bahasa, karena mekanismenya serupa dengan
metafora dan metonimia.
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
36
Lacan membagi perkembangan manusia (Kompleks Oedipus) ke dalam
beberapa fase sesuai dengan perkembangan bahasa. Fase-fase tersebut adalah
tananan real (alam sebelum ada bahasa), tatanan imajiner (alam fantasi/imajinasi
atau alam ketika bahasa belum tertata), dan tatanan simbolik (alam ketika bahasa
sudah tertata). Tananan simbolik merupakan fase di mana subyek telah
“terinstalasi” dengan baik dalam ranah Simbolik kebudayaan, di mana subyek
telah memperoleh predikat Oedipus (sang subyek dewasa). Namun Lacan
memahami Oedipus dalam pengertian bahasa, bukan dalam pengertian tubuh, dan
bahwa tidak ada tubuh sebelum bahasa ada (Sarup, 2011:32).
Pada fase pra-oedipal yang bekerja pada tatanan real, Lacan berpendapat
bahwa bayi merupakan “gumpalan” (mass) yang tak dapat dipisahkan dari ibunya;
tak ada perbedaan antara diri dan ibu; bahkan tak ada perbedaan antara bayi
dengan siapapun. Yang ada hanyalah kebutuhan, dan benda-benda yang
memuaskan kebutuhan tersebut. Fase ini merupakan ranah Real, dimana ide state
of nature mengemuka. Pada tatanan ini bayi belum menemukan dirinya. Bayi dan
ibu satu kesatuan dan yang ada hanyalah kebutuhan, sehingga disebut dengan
konsep need. Dalam ranah ini yang ada hanyalah kepenuhan dan kelengkapan
dimana tidak ada kebutuhan yang tidak terpuaskan, semua kebutuhan terpenuhi
karena kebutuhan bersifat fisiologis. Maka tidak ada pula ketiadaan, kehilangan,
atau kekurangan sehingga bahasa tidak dibutuhkan.
Fase cermin termasuk dalam tatanan imajiner. Dorongan yang muncul
dalam tatanan imajiner ini disebut Lacan dengan istilah demand. Jika need selalu
dipenuhi, maka demand adalah dorongan yang tidak dapat dipenuhi. Seorang anak
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
37
mampu membedakan dirinya dengan objek sekitar namun belum mampu
membedakan benda lain. Pada fase cermin yang bekerja pada tatanan imajiner,
ada beberapa hal penting yang terjadi, antara lain adalah saat bayi menyadari
keterpisahannya dengan sang ibu. Struktur imajiner merupakan dunia pra-oedipal.
Diri ingin menyatu dengan apa yang ia persepsi sebagai Yang Lain (Sarup,
2011:31). Pada saat kebutuhan sang bayi tidak langsung terpenuhi seperti pada
fase pra-oedipal, bayi akan menyadari bahwa ternyata dirinya tidak menyatu
dengan ibu sebagai objek pemuas kebutuhannya. Hal ini membuat sang bayi
merasa kehilangan, kekurangan, dan ingin menyatu kembali dengan ibu. Bayi
mulai menyadari bahwa ternyata ada “yang lain” (ibu dan orang lain) yang utuh.
Namun demikian, bayi masih belum mempunyai konsep tentang “diri”-nya. Hal
ini membawa bayi pada hal penting berikutnya, yaitu bergesernya konsep
kebutuhan menjadi permintaan.
Fase cermin merupakan fase di mana terjadi proses identifikasi diri pada
bayi. Dalam tahap ini, subjek dicabut dari relasi dengan hasratnya sendiri dan
diinternalisasikan dengan hasrat baru: identitas (Hartono:2007:2). Hasrat untuk
memiliki identitas mendorong ego untuk meyakini dirinya sebagai objek.
Keyakinan ini membuatnya melihat dirinya sebagai objek dari hasrat orang lain.
Identifikasi menurut Lacan adalah suatu transformasi yang terjadi pada benak
subjek saat ia membayangkan suatu citra. Pada saat anak melihat dirinya di
cermin dan ibu mengatakan, “itu kamu!” maka anak akan mengalami
kesalahpahaman (misrecognition) terhadap ego ideal. Anak menganggap diri yang
ada di cermin adalah dirinya, padahal itu hanyalah bayangan dirinya. Selain itu,
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
38
Lacan (dalam Faruk, 2012:190) juga menjelaskan bahwa orang tidak akan
memperoleh citra dirinya yang stabil karena orang mengetahui dirinya melalui
respon orang lain dan dalam mencoba memahami respon orang lain itu, orang
akan mungkin melakukan misinterpretasi dan karenanya juga salah mengenali
dirinya sendiri (misrekognisi).
Pada fase cermin ini, bayi hanya mempunyai konsep tentang dirinya.
Bayangan di cermin merupakan ‘ego ideal’ yang sempurna, utuh, sama seperti
“yang lain”. Lacan mengatakan bahwa salah-menegerti (méconnaissance)
terhadap ego ideal yang dianggap diri oleh si bayi merupakan kompensasi bagi
perasaan kehilangan keutuhan dan kesempurnaan saat ia belum berpisah dengan
ibu sebagai objek pemuasnya. Dengan gagasan itu bayi merasa terpuaskan.
Namun bayi benar-benar mendapatkan kata ilusif “aku” untuk menandai ego
idealnya (identitas barunya) saat ia telah memasuki fase Oedipal.
Menurut Lacan pembentukan ego yang pertama atau ego primordial terjadi
pada tahap cermin. Pada tahap ini anak mengidentifikasikan dirinya pada citraan
yang ada di cermin. Dorongan pada anak yang mempersepsikan bahwa citraan di
cermin adalah dirinya merupakan hasrat anak untuk memiliki identitas. Momen
ini akan terus bekerja pada setiap rentang kehidupan manusia. Maka bisa
disebutkan bahwa bagi Lacan, ego atau “Aku” (sesuatu yang dirujuk sebagai
‘diri’) hanyalah ilusi. Ia adalah produk dari hasrat itu sendiri. Ego terbentuk
melalui hasrat untuk memiliki identitas, sehingga ego merupakan sesuatu yang
imajiner. Diri dalam makna ego pada tatanan imajiner adalah ego yang mencintai
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
39
dirinya sebagai suatu kesatuan organ yang utuh dan lengkap atau ego yang
narsistik.
You know that the process of his physiological maturation allows
the subject at given moment in his history, to integrated effectively
his motor functions, and to gain access to a real mastery of his
body. Except the subject becomes aware of his body as a totality
prior to this particular moment, albeit in a correlative manner.
That is what i insist upon my theory of the mirror stage – the sight
alone of the whole form of the human body gives the subject an
imaginary mastery over his body, one which is premature in
relation to a real mastery (Lacan, 1953-2954: 79).
Memasuki fase Oedipal pada tatanan Simbolik, sang anak harus
mengalami kastrasi (keterpisahan) dengan ibunya. Ibu dipandang sebagai liyan
karena ibu dianggap bukan lagi sebagai kesatuan dirinya, dan tahap ini anak ingin
menyatu dengan ibunya. Pada tahap ini keterpisahan anak diperparah dengan
masuknya ayah sebagai Liyan Simbolik. Lacan melihat penanda paternal, apa
yang ia sebut “Atas-Nama-Ayah”, sebagai faktor terpenting baik dalam sejarah
subjek maupun organisasi wilayah simbolik yang lebih luas (Sarup, 2011:29).
Dalam hal ini ayah memiliki kuasa atas diri dan ibunya. Konsep struktur simbolik
Lacanian merupakan upaya menciptakan mediasi antara analisis libidinal dari
kategori linguistik, dengan kata lain untuk menyediakan skema transkode yang
memungkinkan kita membahas keduanya dalam kerangka konseptual yang umum
(Sarup, 2011:32).
Konsep-konsep tersebut bagi Lacan bekerja pada bahasa, yang dalam
penelitian ini untuk menemukan hasrat-hasrat yang termanifestasi pada bahasa.
Individu cenderung tidak bisa membedakan campuran antara hasrat dirinya dan
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
40
hasrat orang lain. Hasrat memiliki identitas mendorong ego untuk meyakini
dirinya sebagai objek. Keyakinan ini membuatnya melihat sebagai hasrat orang
lain, menghasrati dirinya dengan hasrat yang sama (Adian, 2009: xxxvi). Dengan
kata lain bahwa hasrat bersifat manusiawi dan sulit untuk dijelaskan. Percampuran
hasrat diri dengan orang lain inipun disebutkan oleh Hill (2006:65) bahwa hasrat
manusia menemukan maknanya dalam hasrat orang lain bukan karena orang lain
memegang kunci untuk menuju objek yang diingini, tetapi karena objek utama
hasrat adalah pengakuan dari orang lain.
Hasrat adalah apa yang tidak dapat dispesifikkan permintaan (Eagleton,
2007: 24). Hasrat merupakan kodrat manusia yang selalu berada dalam
kekurangan. Kekurangan eksistensial memicu dua jenis hasrat, yakni hasrat
memiliki (identitas) dan hasrat untuk menjadi. Bracher (2009:30) menguraikan
kembali menurut Lacan apabila kedua hasrat disandingkan dengan sebuah
diskursus, hasrat dapat bermanifestasi dalam empat hal, yakni:
(1) Hasrat narsistik pasif. Seseorang bisa berhasrat untuk menjadi
objek cinta dari Liyan (atau kekaguman, atau idealisasi, atau
pengakuan); (2) Hasrat narsistik aktif. Seseorang bisa berhasrat
untuk menjadi Liyan–hasrat dimana identifikasi merupakan satu
bentuk tertentu, sedangkan cinta atau pemujaan merupakan bentuk
Liyan lagi; (3) Hasrat anaklitik aktif. Seseorang bisa berhasrat untuk
memiliki Liyan sebagai cara untuk mendapatkan kepuasan; (4)
Hasrat anaklitik pasif. Seseorang bisa berhasrat untuk menjadi hasrat
orang lain atau dimiliki Liyan sebagai objek dari sumber kepuasan
Liyan.
Sementara Adian (2009: xiiii) menyimpulkan bahwa hasrat memiliki
bekerja pada ranah pengalaman Imajiner dan Simbolik, ranah pengalaman yang
memberi rasa keutuhan pada kekurangan primordial yang selalu membayangi
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
41
sang subjek. Sedangkan hasrat menjadi bekerja pada ranah pengalaman Yang
Real, praideologis dan nonmakna. Dengan kata lain hasrat memiliki berujung
pada simbolisasi, sedangkan hasrat untuk menjadi berujung pada desimbolisasi.
Dengan kata lain bahwa hasrat berhubungan dengan ketiga ranah atau tatanan
yang disebut Lacan dengan Real, Imajiner dan Simbolik. Lacan menjelaskannya
dengan perpotongan lingkaran sebagai berikut.
Toward the end of his twenty-third seminar, Lacan makes the
critical, even revolutionary discovery of an ego that is no longer
bounded by the form of the circle, no longer defined as and by the
two-dimensional imaginary barrier it erects (unsustainably)
between itself and the twinned hostilities of the real (the id
and/orthe social order). But a form of ego that no longer defends
itself with the armor of the symbolic or that escapes into the
comforting fantasy of the circle (of imaginary enclosure) is an ego
that has opened itself to the real through the imaginary: a newform
of “ego” which Lacan pictures no longer as a vacant circle but as
a set of open“brackets” (MacCannel, 2008: 55).
Hasrat narsistik pasif dari tatanan Simbolik melibatkan harapan bahwa
Liyan yang Simbolik, otoritas puncak atau sumber makna yang dibentuk oleh
tatanan Simbolik- dengan cara tertentu mencintai subjek, yaitu menilai,
memelihara, mengenali, atau hanya memikirkan si subjek saja (Bracher, 2009:33).
Hasrat ini mengacu pada rasa untuk diakui dan dicintai oleh Liyan yang Simbolik.
Misalnya seorang wanita yang ingin kelihatan lebih cantik, menarik dan cerdas
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
42
agar dicintai oleh pria yang dicintainya. Atau seseorang yang rajin beribadah,
menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, dan nilai-nilai positif agar dicintai oleh
Tuhan sebagai Liyan Yang Simbolik.
Hasrat narsistik pasif dengan demikian akan berhubungan langsung
dengan hasrat narsistik aktif. Hasrat narsistik pasif untuk mendapatkan pengakuan
dan penerimaan oleh Liyan yang bersifat Simbolik, sering meminta hasrat
narsistik aktif untuk mengidentifikasikan diri dengan Liyan yang bersifat
Simbolik sampai sejauh bisa mengejawantahkan penanda-penanda tertentu yang
dengan bangga berada pada sistem yang membentuk Liyan ini (Bracher, 2009:38).
Untuk mencapai kepenuhan diri demi mendapatkan cinta Liyan, subjek harus
mengakuisisi penanda-penanda tertentu yang menjadi citra ideal. Dengan
memiliki penanda-penanda tersebut maka subjek akan merasa utuh. Hasrat
narsistik aktif lebih mengacu pada proses identifikasi akan sebuah citra tertentu,
yakni penanda ‘cantik’, ‘menarik’, ‘cerdas’ dan sebagainya yang merupakan citra
ideal dari seorang wanita yang dicintai.
Hasrat memiliki secara umum timbul sebagai rasa kesenangan dan
kepuasan tertentu. Hasrat anaklitik aktif dalam tatanan Simbolik melibatkan hasrat
untuk memiliki sebagai cara pemuasan diri, suatu objek yang mengejawantahkan
penanda tertentu (Bracher, 2009:42). Hasrat ini berhubungan dengan hasrat
narsistik aktif, karena berhubungan dengan penanda yang dihasrati Liyan.
Pengejawantahan penanda-penanda tersebut dalam wujud tertentu akan
mempengaruhi kepuasan diri subjek. Misalnya pengejawantahan penanda ‘cantik’
sebagai ‘wanita yang menggunakan dandanan tebal dan seksi’ atau wanita ‘yang
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
43
memiliki hati yang bersih dan tulus sehingga memancarkan kecantikan dari
dalam’.
Sedangkan hasrat anaklitik pasif merupakan keinginan untuk memiliki
penanda tertentu yang dihasrati oleh Liyan, agar dihasrati oleh Liyan. Hasrat
dalam bentuk tatanan Simbolik anaklitik pasif terkait dengan hasrat subjek untuk
dihasrati oleh tatanan Simbolik sebagai pembawa salah satu penanda utama
(Bracher, 2009:43). Hasrat ini hampir sama dengan hasrat narsistik aktif, tetapi
bedanya yakni pada hasrat anaklitik pasif ini yang dihasrati subjek adalah hasrat
Liyan itu sendiri, agar subjek dihasrati oleh Liyannya.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Data dan Sumber Data
Adapun yang menjadi sumber data penelitian adalah buku kumpulan
cerpen Sampan Zulaiha karya Hasan Al Banna. Data penelitian ini terdiri dari
data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah teks-teks
yang terdapat di dalam buku kumpulan cerpen Sampan Zulaiha. Teks yang
dijadikan data penelitian ini merupakan teks yang relevan dengan analisis
penelitian. Sedangkan data sekunder yang berfungsi untuk memperkaya dan
mempertajam analisis mengenai latar belakang kehidupan pengarang diperoleh
dari karya tulis, jurnal, majalah, koran, dan sebagainya.
Penelitian ini dibedakan atas dua objek yaitu objek formal dan material.
Objek formal berkaitan dengan sudut pandang yang digunakan dalam usaha
penelitian untuk memahami objek material, sedangkan objek material berkaitan
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
44
dengan materi penelitian, wilayah penelitian, dan lapangan penelitian. Objek
material penelitian ini adalah pengarang kumpulan cerpen Sampan Zulaiha,
sedangkan objek formalnya adalah hasrat diri sebagai subjek yang dilihat dengan
perspektif Lacanian.
1.6.2 Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber data penelitian yang berupa teks yakni buku
kumpulan cerpen Sampan Zulaiha karya Hasan Al Banna, maka pengumpulan
data dalam penelitian ini menggunakan metode simak. Metode simak merupakan
metode yang digunakan dalam penelitian bahasa dengan cara menyimak
penggunaan bahasa pada objek yang diteliti (Sudaryanto, 1993:132). Adapun
langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data penelitian ini antara
lain: 1) menyimak data secara intensif dan berulang-ulang; 2) melakukan
penyeleksian data; 3) mencatat data-data yang dinilai relevan; 4) melakukan
analisis data sesuai dengan teori; 5) menyusun laporan penelitian.
1.6.3 Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode Psikoanalisis
Lacanian, yang berasumsi bahwa proses pembentukan diri dan identitas subjek
(manusia) dipengaruhi oleh alam bawah sadar, yakni ketaksadaran yang
terstruktur seperti bahasa melalui mekanisme metafora dan metonimi. Dengan
demikian untuk mengidentifikasi hasrat pengarang dalam kumpulan cerpen
Sampan Zulaiha, secara umum analisis dilakukan dengan 1) mengidentifikasi
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
45
bahasa (teks sastra) sebagai manifestasi hasrat subjek; 2) mengidentifikasi hasrat
subjek (pengarang). Dua langkah analisis secara umum ini kemudian akan dibagi
menjadi beberapa langkah khusus.
Mengidentifikasi bahasa (teks sastra) merupakan kegiatan awal dengan
menganalisis teks dalam kumpulan cerpen Sampan Zulaiha yang berupa
rangkaian penanda-penanda. Identifikasi bahasa sebagai manifestasi hasrat subjek,
dilakukan dengan 1) mengumpulkan penanda-penanda utama dalam teks; 2)
pemaknaan penanda berdasarkan mekanisme metafora dan metonimi; 3)
menganalisis hubungan antara penanda dengan penanda-penanda lain. Setelah
diketahui hubungan dan makna yang tersembunyi dalam rangkaian penanda-
penanda di dalam teks Sampan Zulaiha, maka akan dilihat hubungannya dengan
hasrat pengarang.
Tahap identifikasi hasrat subjek merupakan kegiatan analisis yang
mencari hasrat-hasrat tersembunyi dari penanda-penanda kumpulan cerpen
Sampan Zulaiha, yang sebelumnya telah dianalisis melalui mekanisme metafora
dan metonimia. Identifikasi ini dilakukan dengan 1) mengidentifikasi hasrat
subjek dari sudut pandang tokoh; 2) mengidentifikasi rasa kurang (lack) dan
kehilangan subjek yang menyebabkan adanya permintaan dan hasrat; 3) analisis
objek a sebagai objek yang diinginkan; 4) penentuan hasrat menjadi dan hasrat
memiliki subjek. Dengan dilakukannya identifikasi-identifikasi hasrat melalui
bahasa pengarang tersebut maka akan diketahui hasrat pengarang dalam kumpulan
cerpen Sampan Zulaiha.
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
46
1.7 Sistematika Penulisan
Penelitian yang berjudul ‘‘Hasrat Tokoh dalam Kumpulan Cerpen Sampan
Zulaiha: Perspektif Lacanian’’ ini terdiri dari empat bab. Bab I berisi latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,
metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II membahas mengenai
rangkaian penanda sebagai metafora dan metonimia, sedangkan Bab III
membahas hasrat pengarang dalam kumpulan cerpen Sampan Zulaiha. Bab IV
merupakan kesimpulan hasil analisis dari penelitian terhadap hasrat pengarang
dalam kumpulan cerpen Sampan Zulaiha.
HASRAT PENGARANG DALAM KUMPULAN CERPEN SAMPAN ZULAIHA: PERSPEKTIF LACANIANWahyu Wiji AstutiUniversitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Recommended