View
229
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan hukum dan perundang-undangan telah menciptakan sistem
hukum dan produk hukum yang mengayomi dan memberikan landasan hukum
bagi kegiatan masyarakat dan pembangunan. Kesadaran hukum yang makin
meningkat dan makin lajunya pembangunan menuntut terbentuknya sistem hukum
nasional dan produk hukum yang mendukung dan bersumber pada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan hukum selanjutnya masih perlu
memperhatikan peningkatan kesadaran hukum, peningkatan pelaksanaan
penegakan hukum secara konsisten dan konsekuen, peningkatan aparat hukum
yang berkualitas dan bertanggung jawab, serta penyediaan sarana dan prasarana
pendukung yang memadai.1
Hukum adalah suatu tata perbuatan manusia, “tata perbuatan” mengandung
arti suatu sistem aturan. Hukum bukan satu peraturan semata, seperti kadang-
kadang dikatakan demikian. Hukum adalah seperangkat peraturan yang dipahami
dalam satu kesatuan yang sistemik. Tidak mungkin untuk memahami hakikat
hukum hanya dengan memperhatikan satu peraturan saja. Hubungan yang
mempersatukan berbagai peraturan khusus dari suatu tata hukum perlu dimaknai
agar hakikat dapat dipahami. Hanya atas dasar pemahaman yang jelas tentang
1 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, 2000, hlm. 10.
2
hubungan-hubungan yang membentuk tata hukum tersebut bahwa hakikat hukum
dapat dipahami dengan sempurna.2
Negara adalah suatu organisasi yang memiliki tujuan. Pada konteks negara
Indonesia, tujuan negara tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945,
yang mengidentifikasikan bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang
menganut konsep welfare state (negara kesejahteraan). Sebagai negara hukum
yang mewujudkan kesejahteraan umum, setiap kegiatan di samping harus di
orientasikan pada tujuan yang hendak di capai juga harus berdasarkan dengan
hukum yang berlaku sebagai aturan kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan
kemasyarakatan.3
Pasal 1 ayat (3) Bab I, Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945,
menegaskan bahwa ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’. Artinya bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum
(rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat), dan
pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas). Uraian yang terdapat pada penjelasan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia, mengandung makna bahwa di dalam
Negara Republik Indonesia penyelenggaraan negara tidak boleh dilakukan
berdasarkan atas kekuasaan semata. Penyebutan negara Indonesia berdasar atas
hukum, mengandung pengertian di antaranya hukum harus dapat menampilkan
wibawanya, pertama sebagai sarana untuk mendatangkan ketertiban dan
2 Hans Kelsen, Teori Umum Hukum Dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai
Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 3. 3 Juniarso & Ahmad Sodik, Hukum Administrasi Negara & Kebilakan Pelayanan Publik, Nuansa,
Bandung, 2009, hlm. 11
3
kesejahteraan dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya dengan
keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara kemajuan lahiriah dan kepuasan
batiniah, dan kedua sebagai sarana untuk membangun masyarakat Indonesia
seluruhnya yang berkeadilan.
Untuk mencapai tujuan tersebut dalam melaksanakan tugas pemerintahan
dan pembangunan senantiasa suatu negara memerlukan beberapa unsur
pendukung, salah satunya adalah tersedianya sumber penerimaan yang memadai
dan dapat diandalkan. Sumber-sumber penerimaan ini sangat penting untuk
menjalankan kegiatan dari masing-masing tingkat pemerintahan, karena tanpa
adanya penerimaan yang cukup maka program-program pemerintah tidak akan
berjalan secara maksimal. Semakin luas wilayah, semakin besar jumlah penduduk,
semakin kompleks kebutuhan masyarakat maka akan semakin besar dana yang
diperlukan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan.
Tanah merupakan karunia Tuhan yang Maha Esa dipergunakan dan
dimanfaatkan menurut hak serta kewajiban yang berimbang, antara lain untuk
memenuhi baik bagi kebutuhan pribadi maupun kebutuhan masyarakat. Realisasi
pemenuhan kebutuhan akan tanah itu menurut hukum ditata dalam rangka
hubungan yang serasi dan seimbang antara hak dan kewajiban. Tujuannya agar
terjamin pergaulan hidup yang tertib, aman dan damai serta kehidupan yang
berkeadilan sosial. Eratnya hubungan antara manusia dengan tanah dilihat dari
hubungan antar pribadi, pribadi dengan masyarakat, perorangan dengan badan
4
hukum, tercermin dalam fungsi hak milik atas tanah ditentukan oleh tata susunan
masyarakatnya.4
Tanah merupakan kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai meninggal
dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat hidupnya. secara kosmologis,
tanah adalah tempat manusia tinggal. Tempat dari mana mereka berasal, dan akan
kemana mereka pergi. Dalam hal ini tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial,
kultural dan politik.5
Kepemilikan tanah merupakan sebuah hak asasi manusia yang dilindungi
oleh hukum internasional dan hukum nasional. Dalam hukum internasional,
perlindungan hukum hak milik diatur dalam deklarasi umum Hak Asasi Manusia
Pasal 17 ayat 1, Pasal 17 ayat 2, Pasal 25 ayat 1, dan Pasal 30. Dalam Hukum
Nasional hak milik ini diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28
H ayat (4), dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia. Terkait kepemilikan atas tanah, Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juga menyatakan dengan tegas
tentang hak individu kepemilikan hak atas tanah.6 Ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
memuat perlindungan hukum terhadap rakyat atas tanah, wewenang penggunaan
tanah oleh negara, dan meningkatkan taraf hidup rakyat dalam bidang sosial
4 Eddy Pranjoto WS, Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah Oleh
Peradilan tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan Nasional, CV. Utomo, Bandung, 2008, hlm.
1 5 Benhard Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2015,
hlm.1. 6 Ibid., hlm.2
5
ekonomi yang berkaitan dengan tanah, yang keseluruhanya semata-mata ditujukan
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila.7
Pada awal berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria tanah hanya digunakan untuk kepentingan
pertanian, tempat tinggal, dan kepentingan lainnya yang terbatas, maka saat ini
tanah dipergunakan juga untuk kepentingan industri dan perdagangan. Selain itu,
tanah tidak lagi berdimensi sosial budaya, akan tetapi mempunyai dimensi
ekonomi, politik, pertanahan dan keamanan.8
Kebijakan pertanahan di Indonesia berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria yang berbunyi:
Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3), Undang-Undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Wewenang Negara diantaranya menurut Pasal 2 ayat (2) adalah sebagai
berikut:
a. Mengatur dan menyelenggarakan perantukan, penggunaan, penyediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa;
c. Mengatur hubungan hukum antara orang dengan perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa;
7 Muchsin, Imam Koeswahyono, Soimin, Hukum Agraria Indonesia, Refika Aditama, Bandung,
2010, hlm. 3 8 Ibid.,
6
Dengan demikian negara sebagai organisasi kekuasan "mengatur" sehingga
membuat peraturan, kemudian "menyelenggarakan" artinya melaksanakan
(execution) atas penggunaan/peruntukan (use), persediaan (reservation) dan
pemeliharaannya (maintenance) dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya. juga untuk menentukan dan mengatur (menetapkan
dan membuat peraturan-peraturan) hak apa saja yang dapat dikembangkan dari
Hak menguasai dari negara tersebut.9
Di dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Agraria Pasal 20 ayat (1) menyatakan: hak milik adalah turun-menurun, terkuat
dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan, mengingat ketentuan
dalam Pasal 6.10
Bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. 11
Mengacu dari isi Pasal 20 ayat (1) dengan sendirinya kepemilikan tanah oleh
orang-perorangan atau individu mempunyai fungsi sosial. Tanah sebagai faktor
produksi yang utama dalam masyarakat Indonesia, haruslah diletakkan dibawah
kekuasaan Negara. Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan untuk menindas dan
memeras hidup orang lain.12
Untuk itu di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juga mengatur Fungsi Sosial
atas tanah. Ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang
tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanah itu akan dipergunakan (atau tidak
dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu
9 A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung,
2008, hlm. 45 10
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria 11
Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria 12
Umar Said Sugiharto, Suratman, Noorhudha Muchsin, Hukum Pengadaan Tanah, Setara Press,
Malang, 2015, hlm. 12
7
menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan
keadaannya dan sifatnya daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula
bagi masyarakat dan Negara.
Tanah merupakan bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang
yang memiliki batas tertentu. Diatas bidang tanah tersebut terdapat hak atas tanah
baik yang dimilik secara perorangan maupun oleh badan hukum. Pasal 16 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria mengatur tentang hak atas tanah. Konsep hak-hak atas tanah yang
terdapat dalam hukum agraria nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua
bentuk:
1. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat
dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang
mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain
atau ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak
Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).
2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang
bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang,
dan hak menyewa atas tanah pertanian.13
Dalam perjalanan waktu terjadi pergeseran kebijakan pertanahan dari yang
semula berciri populis ke arah kebijakan yang cenderung prokapital yang terjadi
karena pilihan orientasi ke arah kebijakan ekonomi yang pada suatu saat lebih
13
http://www.kompasiana.com/melianawaty/hak-milik-atas-tanah-oleh-
melianawaty_5500006ea333117b6f50f8f1, diakses pada tanggal 1 Mei 2016.
8
cenderung menekankan pada pemerataan dan kemudian bergeser ke arah
pertumbuhan ekonomi, terutama sejak tahun 1970-an.14
Pada awal berlakunya
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
sudah mulai terasa adanya gejala ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah.
Perbandingan antara ketersediaan tanah sebagai sumber daya alam yang langka di
satu sisi, dan pertambahan jumlah penduduk dengan berbagai pemenuhan
kebutuhannya akan tanah di sisi lain, tidak mudah dicari titik temunya. Dengan
perkataan lain akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia itu belum dapat dinikmati oleh setiap orang
disebabkan antara lain karena perbedaan modal dan akses politik.
Ketimpangan dalam kesempatan (akses) untuk memperoleh dan
memanfaatkan tanah itu merupakan dampak dari kebijakan makro ekonomi yang
menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan kegiatan pembangunan
infrastruktur, pariwisata, industri, perumahan, dan lain-lain, kebijakan hukum
pertanahan yang semakin adaptif terhadap mekanisme pasar, dapat dipahami
dalam konteks ideologi neoliberalisme, yang mendorong pemerintah menerapkan
kebijakan yang memberikan peluang pada pasar bebas, untuk membuat keputusan
sosial dan kebijakan yang penting dengan demikian perannegara menjadi
berkurang dan akibatnya perlindungan bagi kelompok secara sosial-ekonomi
lemah menjadi terabaikan.15
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria berusaha meminimalkan ketimpangan dalam akses perolehan dan
14
Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Buku
Kompas, Jakarta, 2009, hlm, 4 15
Widhi Handoko, Kebijakan Hukum Pertanahan, Thafa Media, Yogyakarta, 2014, hlm. 92
9
pemanfaatan tanah itu dengan memuat ketentuan tentang pembatasan pemilikan
dan penguasaan tanah. Hal ini diatur dalam Pasal 7 yang menyatakan bahwa
untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah
yang melampaui batas tidak diperkenankan. Sedangkan pada Pasal 17
menjelaskan mengenai pembatasan maksimum kepemilikan tanah dengan sesuatu
hak yang terdapat pada Pasal 16 akan ditentukan dengan peraturan perundangan,
tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum maka akan diambil
oleh pemerintah dengan ganti kerugian kemudian dibagikan kepada rakyat yang
membutuhkan menurut ketentuan dalam peraturan pemerintah.
Sebagai pelaksanaan Pasal 7 dan Pasal 17 Undang-Undang No 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah diundangkan undang-
Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan luas tanah pertanian.
Undang-undang ini memuat mengenai batas yang diperbolehkan untuk dikuasai
dalam suatu keluarga, tanah pertanian yang dapat dikuasai dengan klasifikasi
daerah kurang padat, cukup padat dan sangat padat. Undang-undang ini juga
mengklasifikasikan jenis tanah yaitu tanah sawah dan tanah kering yang masing-
masing luasnya ditentukan oleh daerah dan jenis tanahnya. Sanksi dapat diberikan
apabila seseorang memiliki tanah pertanian yang melampaui batas maksimal, hal
ini diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun
1960.
Disamping pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah pertanian, dalam
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 disebutkan bahwa
maksimum luas dan jumlah tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya,
10
serta pelaksanaan selanjutnya dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. Amanat Pasal 12 Undang-
Undang Nomor 56 Prp tahun 1960 berkenaan dengan pembatasan maksimum luas
dan jumlah tanah untuk bangunan yang dapat diperoleh orang perorangan belum
berhasil dirumuskan hinga saat ini.
Dengan hadirnya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 6 Tahun 1998
telah membatasi batas penguasahaan dan kepemilikan atas tanah perorangan,
namun atas hal tersebut masih dikesampingkan, dimana seperti yang terjadi di
Kota Pekanbaru masih banyak yang memiliki tanah lebih dari lima bidang yaitu
sebagai berikut:
No Inisial nama Jumlah Bidang
1 AS 7
2 I 6
3 MH 8
4 S 6
5 RI 6
Sumber: Kantor Badan Pertanahan Kota Pekanbaru, 2007
Dari latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang masalah “Implementasi Batas Penguasaan Dan Kepemilikan Atas
Tanah Perorangan Non Pertanian Dalam Perspektif Fungsi Sosial
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 6 Tahun 1998
Tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal”.
11
B. Masalah Pokok
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka masalah
pokok yang diteliti adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Implementasi Batas Penguasaan Dan Kepemilikan Atas
Tanah Perorangan Non Pertanian Dalam Perspektif Fungsi Sosial
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 6 Tahun 1998
Tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal?
2. Bagaimanakah Pengawasan Yang Dilakukan Oleh Kantor Pertanahan Kota
Pekanbaru Terhadap Penguasahaan Dan Kepemilikan Hak Atas Tanah
Dalam Perspektif Fungsi Sosial?
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka penulis
menetapkan suatu tujuan penelitian yaitu:
a. Untuk Mengetahui Implementasi Batas Penguasaan Dan Kepemilikan Atas
Tanah Perorangan Non Pertanian Dalam Perspektif Fungsi Sosial
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 6 Tahun 1998
Tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal.
b. Untuk Mengetahui Pengawasan Yang Dilakukan Oleh Kantor Pertanahan
Kota Pekanbaru Terhadap Penguasahaan Dan Kepemilikan Hak Atas Tanah
Dalam Perspektif Fungsi Sosial.
12
2. Kegunaan Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat membawa manfaat baik pada tataran teoritis
maupun pada hal praktis selain itu bisa melihat manfaatnya antara lain.
a. Manfaat Teoritis.
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa
sumbangan saran dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk
melahirkan berbagai konsep keilmuan yang ada pada gilirannya dapat
memberikan andil bagi perkembangan ilmu hokum khususnya hokum
agrarian.
2. Memberikan masukan kepada instansi terkait untuk melakukan evaluasi
mengenai hal-hal penguasahaan dan kepemilikan hak atas tanah dalam
perspektif fungsi sosial.
b. Manfaat Praktis.
Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan berbagai
permasalahan dan kendala yang timbul dalam penguasaan dan kepemilikan
hak atas tanah.
D. Kerangka Teori.
1. Teori Negara Kesejahteraan
Negara kesejahteraan adalah konsep pemerintahan ketika negara mengambil
peran penting dalam perlindungan dan pengutamaan kesejahteraan ekonomi dan
sosial warga negaranya. Konsep ini didasarkan pada prinsip kesetaraan
kesempatan, distribusi kekayaan yang setara, dan tanggung jawab masyarakat
13
kepada orang-orang yang tidak mampu memenuhi persyaratan minimal untuk
menjalani kehidupan yang layak. Istilah ini secara umum bisa mencakup berbagai
macam organisasi ekonomi dan sosial.
Secara sederhana negara kesejahteraan (welfare state) adalah negara yang
menganut sistem ketatanegaraan yang menitik beratkan pada mementingkan
kesejahteraan warganegaranya. Tujuan dari negara kesejahteraan bukan untuk
menghilangkan perbedaan dalam ekonomi masyarakat, tetapi memperkecil
kesenjangan ekonomi dan semaksimal mungkin menghilangkan kemiskinan
dalam masyarakat.16
Negara kesejahteraan adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis yang
menegaskan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat yang
minimal, bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar
tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajalnya karena
tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Dapat dikatakan bahwa negara
kesejahteraan mengandung unsur sosialisme, mementingkan kesejahteraan di
bidang politik maupun di bidang ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa negara
kesejahteraan mengandung asas kebebasan (liberty), asas kesetaraan hak
(equality) maupun asas persahabatan (fraternity) atau kebersamaan (mutuality).
Asas persahabatan atau kebersarnaan dapat disamakan dengan asas kekeluargaan
atau gotong royong.
Pada hakikatnya, negara yang menganut paham kesejahteraan modern
(welfare state modern), juga merupakan negara hukum modern atau negara
16
http://hadiwahono.blogspot.com/2013/06/negara-kesejahteraan.html diakses pada tanggal 20
Mei 2016.
14
hukum dalam arti materil yang selanjutnya dikenal dengan negara kesejahteraan
modern. Konsep negara kesejahteraan ini lahir sebgai reaksi terhadap gagalnya
konsep negara hukum liberal dalam mewujudkan kesejahteraan warganya. Ajaran
negara hukum liberal berpandangan bahwa fungsi negara harus dibatasi secara
minimal, sehingga kebebasan penguasa untuk melakukan tindakan sewenang-
wenang.
Konsep negara kesejahteraan, selain mengharuskan setiap tindakan negara
berdasarkan hukum, juga negara diberikan tugas dan tanggung jawab untuk
mensejahterakan masyarakat. Ciri-ciri negara kejahteraan adalah sebagai berikut:
1. Dalam Negara Kesejahteraan yang diutamakan adalah terjaminnya hak-hak
asasi sosial ekonomi rakyat.
2. Pertimbangan-pertimbangan efisiensi dan manajemen lebih diutamakan
daripada pembagian kekuasaan yang berorientasi politis, sehingga peranan
eksekutif lebih besar daripada legislatif.
3. Hak milik tidak bersifat mutlak
4. Negara tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan atau sekedar
penjagaan malam, melainkan negara turut serta dalam usaha-usaha sosial
dan ekonomi.
5. Kaidah-kaidah hukum administrasi semakin banyak mengatur sosial,
ekonomi dan membebankan kewajiban tertentu kepada warga negara.
6. Peranan hukum publik condong mendesak hukum privat, sebagai
konsekuensi semakin luasnya peranan negara.
15
7. Lebih bersifat negara hukum materil yang mengutamakan keadilan yang
materil pula.
Konsep hukum negara kesejahteraan dalam perkembangannya dibedakan
antara negara kesejahteraan terdiferensiasi (diferensiated welfare state) biasanya
disebut sebagai negara kesejahteraan (welfare state) saja dan negara kesejahteraan
yang terintegritasi (integrated welfare state) dengan negara koorporatis
(coorporatist welfare state) sebagai pengembangan yang pertama. Konsep negara
kesejahteraan yang terdiferensiasi di dominasi oleh negara-negara yang menganut
sistem ekonomi pasar bebas dan sistem politik plural. Dalam konteks ini,
kelompok-kelompok kepentingan bersaing satu sama lain dalam berjuang
mempengaruhi keputusan politik. Usaha kesejahteraan sosial dipisahkan dari
ekonomi, dan usaha kesejahteraan sosial yang dilakukan negara tersebut menjadi
bidang yang otonom. Sebaliknya konsep negara kesejahteraan yang terintegrasi,
di dominasi oleh negara dengan sistem politik dan ekonomi yang disebut
koorporatisme. Dalam negara koorporasi, pemerintah bekerja sama dengan
komunitas bisnis dan serikat pekerja dalam mengatur ekonomi dan
mengintergrasikan kesejahteraan sosial ke dalam kebijakan ekonomi sosial yang
menyeluruh. Idealnya Indonesia masuk ke dalam katagori negara kesejahteraan
yang kooporasi, karena didasarkan pada tujuan negara yang terdapat pada Alinea
IV pembukaan UUD 1945 yang menekankan pada tanggung jawab negara
terhadap kesejahteraan rakyat.
16
b. Teori Negara Hukum
Teori Negara hukum sebenarnya secara historis muncul pada abad ke-19,
Namun sejak abad ke-17 gagasan, cita-cita atau pemikiran mengenai negara
hukum di dunia barat telah mendahului keberadaan negara hukum itu sendiri.
Gagasan tesebut mendapat dorongan yang kuat akibat renaissance dan reformasi
sebagai reaksi atas kekuasaan raja yang absolut (absolutisme). Pencetus teori
murni tentang hukum atau ajaran murni tentang hukum (The pure theory of law),
Hans Kelsen mengakui bahwa hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor politis,
sosiologis, filosofis, dan sebagainya. Teori Kelsen merupakan normwissenschaff,
yang hanya mau melihat hukum sebagai kaidah yang dijadikan objek ilmu hukum.
Dalam kepustakaan, ditemukan lima konsep negara hukum yaitu:
1. Nomokrasi Islam (menurut Alquran dan Sunnah)
2. Rechtsstaat
3. The rule of law
4. Socialist legality
5. Negara Hukum Pancasila.17
Ciri sebuah negara hukum (rechsstaat) antara lain adalah adanya
perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau pembagian
kekuasaan, pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
(wertmatigheid Van Bestuur), dan peradilan administrasi dalam perselisihan. The
rule of law, menurut A.V. Dicey memiliki beberapa arti yaitu:
17
Benhard Limbong, Op.Cit. hlm. 18
17
1. Supremacy of law (supremasi hukum yang meniadakan kesewenang-
wenangan, artinya seseorang hanya boleh dihukum juga melanggar hukum).
2. Equality before the law (kedudukan yang sama di depan hukum bagi rakyat
biasa maupun bukan jika melanggar hukum).
3. The Constitution based of individual right (terbentuknya hak-hak manusia
oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan).18
Keputusan dalam pertemuan para ahli hukum di bangkok tahun 1965 yang
diselenggarakan oleh International Commission of Jurists memperluas makna
atau syarat rule of law sebagai berikut:
1. Adanya perlindungan Konstitusional.
2. Adanya kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3. Pemilihan umum yang bebas.
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
5. Kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroperasi
6. Pendidikan warga negara (civil education).19
Indonesia Negara yang berlandaskan pada hukum atau disebut Negara
hukum20
. Negara Hukum dimana hakekatnya hukum dituntut lebih tinggi dari
kekuasaan, Negara harus melaksanakan roda pemerintahan berdasarkan aturan
yang dibuat. Negara hukum atau the rule of law yang hendak diperjuangkan di
negeri ini ialah suatu Negara hukum dalam artian materil (the rule of just law)
bertujuan untuk menyelengarakan kesejahteraan umum jasmaniah dan rohaniah,
18
Ibid. hlm. 19 19
Ibid. 20
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Negara Indonesia Adalah Negara
Hukum”.
18
berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang benar dan adil, sehingga hak-hak dasar
warga Negara betul-betul dihormati (to respect), dilindungi (to protect) dan
terpenuhi (to fulfil).21
Secara sederhana pengertian negara hukum adalah negara yang
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Konsep
Negara Hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri diatas hukum yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya. Ada beberapa tipe negara hukum,
yaitu: negara polisi, negara hukum liberal, negara hukum formal, dan negara
hukum material. Tiap tipe negara memiliki kelemahan dan kekurangan yang
berbeda-beda. Negara hukum polisi memiliki kekurangan dengan bentuk
pemerintahan yang monarki absolute sehingga raja dan rakyat memiliki
kekuasaan yang tidak seimbang. Negara polisi sudah tidak ada pada zaman
sekarang. Negara hukum liberal memiliki kekurangan yaitu adanya asas ekonomi
persaingan bebas yang lebih menguntungkan pihak yang kuat. Hal ini dikarenakan
negara bersifat pasif, semua diserahkan kepada swasta sehingga yang kaya makin
kaya dan yang miskin makin miskin. Negara hukum formal memiliki kekurangan
yaitu pemerintahan menjadi kaku karena semua harus berdasarkan undang-
undang. Reaksi dari bentuk negara hukum formal ini membentuk negara hukum
materiil yang merupakan kelanjutan dari negara hukum itu sendiri. Ada satu
kelebihannya, yaitu penguasa diperbolehkan bertindak menyimpang dari undang-
undang dalam hal mendesak demi kepentingan warga negara (asas opportunitas)
21
Hariono, dkk, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, Setara Press, Malang, 2013, hlm.
5
19
sehingga pemerintahan menjadi luwes dan fleksibel. Kekuranannya yaitu resiko
dari pemerintahan yang luwes dan fleksibel.
Sedangkan kiblat negara hukum sendiri ada dua, yaitu: rechstaats dan rule
of law. Reechstaat (eropa continental) memiliki 4 konsep menurut Stahl. Pertama,
pengakuan dan perlindungan HAM. Kedua, negara berdasar trias politika. Ketiga,
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Keempat, peradilan
administrasi negara dalam perselisihan. Sedangkan rule of the law (Anglo Saxon)
menurut A.V.Dicey memiliki tiga konsep, yaitu: supremacy of the law, equality
before the law, dan human rights. Perbedaan keduanya adalah adanya peradilan
administrasi dalam rechtstaats sedangkan di rule of law tidak ada. Adanya
equality before the law dalam rule of law sedangkan di rechstaats tidak ada.22
Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa negara hukum yang
bertopang pada sistem demokrasi pada pokoknya mengidealkan suatu mekanisme
bahwa negara hukum itu haruslah demokratis, dan negara demokrasi itu haruslah
didasarkan atas hukum. Menurutnya, dalam perspektif yang bersifat horizontal
gagasan demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy)
mengandung 4 (empat) prinsip pokok, yaitu:
1) Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama;
2) Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas;
3) Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; dan
4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan
yang ditaati bersama dalam konteks kehidupan bernegara, dimana terkait
22
http://wiwitna.blogspot.com/2013/03/konsep-negara-hukum-dan-ham.html, diakses pada tanggal
25 Mei 2016.
20
pula dimensi-dimensi kekuasaan yang bersifat vertikal antar institusi
negara dengan warga negara. 23
Teori keadilan dikembangkan oleh Plato, Hans Kelsen, H.L.a Hart, Jhon
Stuart Mill dan jhon Rawls. Plato mengemukakan tentang esensi keadilan yang
dikaitkan deangan kemanfaatan. la mengemukakan bahwa keadilan mempunyai
hubungan yang baik dan adil ditentukan oleh pernyataan bahwa yang belakangan
menjadi bermanfaat dan berguna hanya apabila sebelumnya dimanfaatkan ; yang
menyatakan bahwa gagasan tentang keadilan menghasilkan satu-satunya nilai dari
gagasan kebaikan. Konsep keadilan yang dikemukakan plato erat kaitannya
dengan kemanfaatan. Sesuatu yang bermanfaat apabila sesuai dengan kebaikan.
Jhon Stuart Mill menyajikan tentang teori keadilan. la mengemukakan
bahwa tidak ada teori keadilan yang bisa dipisahkan dari tuntutan kemanfaatan.
Keadilan adalah istilah yang diberikan kepada aturan-aturan yang melindungi
klaim-klaim yang dianggap esensial bagi kesejahteraan masyarakat, klaim-klaim
untuk memegang janji diperlakukan dengan setara, dan sebagainya.
Hans kelsen menyajikan esensi keadilan adalah sebuah kualitas yang
mungkin, tetapi bukan harus dari sebuah tatanan sosial yang menuntun terciptanya
hubungan timbal balik diantara sesama manusia. Baru setelah itu ia merupakan
sebuah bentuk kebaikan manusia, karena memang manusia itu adil bilamana
perilakunya sesuai dengan norma-norma tatanan sosial yang seharusnya memang
adil. Maksud tatanan sosial yang adil adalah bahwa peraturan itu menuntun
perilaku manusia dalam menciptakan kondisi yang memuaskan bagi semua
23
Muntoha, Demokrasi Dan Negara Hukum, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta No. 3 Vol. 16 Juli 2009, hlm. 387-388
21
manusia dengan kata lain bahwa supaya semua orang bisa merasa bahagia dalam
peraturan tersebut.
John Rawls menyajikan tentang konsep keadilan sosial merupakan prinsip
kebijaksanaan rasional yang diterapkan pada konsep kesejahteraan agregratif
(hasil pengumpulan kelompok). Subjek utama keadilan sosial adalah struktur
masyarakat, atau lebih tepatnya cara-cara lembaga-lembaga sosial utama
mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian
keurungan dari keija sarna sosial. Program penegakan keadialn yang berdimensi
kerakyatan harus memperhatikan dua prinsip keadilan yaitu memberi hak dan
kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan
yang sama bagi setiap orang dan mampu mengatur kembali kesenjangan sosial
ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberikan keuntungan yang bersifat
timbal balik bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok
beruntung.24
c. Hak Penguasaan Tanah
Pengertian tanah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:
1. Permukaan bumi atau bumi yang diatas sekali
2. Keadaan bumi di suatu tempat, permukaan bumi yang diberi batas.
3. Permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa yang diperintah
suatu negara atau menjadi daerah negara.25
24
Salim HS, Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan Teori hukum pada Penelitian Desertasi dan
Tesis Buku Kedua, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2014, hml. 31 25
Departemen Pendidikan dan Kebudayan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1991, hml 1001
22
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria mendefenisikan tanah
sebagai berikut" Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang
disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Dengan demikian jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah
permukaan bumi (Ayat 1) sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian
tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang
dan lebar.26
Pengertian penguasaan dan menguasai atas tanah dapat dipakai dalam arti
fisik juga dalam arti yuridis. Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi
oleh hukum dan umumnya memberikan kewenangan kepada pemegang hak untuk
menguasai secara fisik tanah yang di haki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis
yang biarpun memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang di haki
secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain.27
Hak Penguasaan atas tanah dalam UUPA diatur dan sekaligus ditetapkan
tata jenjang atau hirarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah
nasional yaitu :
1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak menguasai
atas bangsa yang tertinggi, beraspek perdata dan public.
2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata
beraspek public.
26
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Universitas Trisakti, Jakarta, 2013, hlm. 18 27
Ibid, hlm. 24
23
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3 Beraspek
perdata dan Publik.
4. Hak-hak perorangan/individual semuanya beraspek perdata, terdiri atas :
a. Hak-hak atas tanah sebagai hak individual yang semuanya secara
langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang
disebut dalam Pasal 16 dan 53
b. Wakaf, yaitu hak milik yang sudah diwakafkan dalam Pasal 25, 33, 39,
dan 51
c. Hak jaminan atas tanah yang disebut hak tanggungan dalam Pasal 25,
33, 39, dan 51.
Hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang
terbatas, berdasar dari UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 telah memberikan landasan
bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kekuasaan Negara yang ada didalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 adalah untuk mengatur pengelolaan fungsi
bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung didalamnya. Pada
Pasal 4 ayat (1) UUPA menentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang
dapat diberikan pada orang baik sendiri atau bersama atau badan hukum, atas
dasar Pasal 2 jo Pasal 4 ayat (1) UUPA Negara mengatur adanya bermacam-
24
macam hak-hak atas tanah dalam Pasal 16 ayat (l).28
Pasal 16 ayat (1) UUPA
menyebutkan bahwa hak-hak atas tanah adalah :
a. Hak Milik
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai
e. Hak Sewa
f. Hak Membuka Tanah
g. Hak Menguasai Hasil Hutan
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagaimana yang disebut dalam Pasal 53 UUPA.
Dalam konsep Undang-Undang Pokok Agraria, tanah di seluruh wilayah
Indonesia bukanlah milik Negara Republik Indonesia, melainkan adalah hak milik
seluruh Bangsa Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA
bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan nasional.
Atas dasar hak menguasai dari Negara itu, ditentukan adanya macam-
macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang-orang lain serta badan hukum (Pasal 4 ayat (1) UUPA). Selanjutnya
dalam Pasal 4 ayat 2 UUPA menyebutkan bahwa hak atas tanah memberikan
wewenang kepada yang berhak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari
tanah yang dihakinya.
28
Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, Alumni,
Bandung, 1993, hlm. 5
25
Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan
atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang
dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan
isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembedaan
diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.29
Subjek hak menguasai dari negara adalah Negara Republik Indonesia
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia. Hak menguasai dari
negara meliputi semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia naik tanah-tanah
yang tidak atau belum maupun sudah dihaki dengan hak-hak perorangan. Menurut
UUPA, tanah-tanah di Indonesia sejah tahun 1960 dibedakan atas tanah negara
dan tanah hak. Tanah negara maksudnya adalah tanah-tanah yang diatasnya belum
diletakkan dengan sesuatu hak perseorangan hingga negara memiliki kekuasaan
yang bersifat langsung atas tanah-tanah tersebut. Sebaliknya tanah hak adalah
tanah-tanah yang telah dikuasai dengan sesuatu hak perorangan seperti hak milik,
hak guna bangunan, dan sebagainya. Hingga kekuasaan negara atas tanah yang
bersangkutan menjadi tidak langsung dan dibatasi oleh hak luas atau sempitnya
hak perorangan yang berlaku atas tanah tersebut. Jadi, terdapat dua pengertian
mengenai tanah negara ini, yaitu tanah negara dalam arti luas dan tanah negara
dalam arti sempit.
29
Ibid., hlm. 38.
26
d. Kepemilikan Tanah dan Fungsi Sosial
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang
disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksud disini bukan mengatur tanah
dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu
tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi
disebutkan dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu atas dasar
hak menguasa dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-
sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Dengan demikian,
jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi,
sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang
berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Sedangkan ruang
dalam pengertian yuridis, yang berbatas, berdimensi tiga, yaitu panjang, lebar dan
tinggi.30
Dalam usianya yang semakin bertambah, undang-undang pokok Agraria
telah memberikan dukungan dalam pembangunan, khususnya yang berhubungan
dengan tanah. Namun UUPA juga menunjukkan kelemahan dalam kelengkapan
isi dan rumusnya. Kelemahan UUPA tersebut, pada masa orde baru telah
dimamfaatkan dengan memberikan tafsiran yang menyimpang dari asas dan
tujuan ketentuan yang bersangkutan.31
30
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 10. 31
Bernhard Limbong, Hukum Agraria Nasional, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012, hlm. 1
27
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA), didalam penjelasan umum angka I yang menyatakan
bahwa: demikianlah maka pada pokoknya tujuan Undang-Undang Pokok Agraria
adalah:32
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional, yang
akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan
keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka menuju
masyarakat yang adil dan makmur.
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan.
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-
hak tanah bagi rakyat seluruhnya.
Hak milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuhi, dimana diatas tanah
tersebut mereka dibolehkan untuk mengusahakan segala tanaman dan mendirikan
bangunan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku, yang
mana hanya warga Negara Indonesialah yang boleh mempunyai hak milik.33
Hak
milik atas tanah sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 16 ayat 1 tersebut
apabila dilihat dari proses terjadinya maka dapat dibagi daiam beberapa
kemungkinan yaitu, karena:34
1. Konversi dari tanah-tanah ex : Eigendom
2. Konversi tanah-tanah ex : hukum adat
3. Hak milik berdasarkan ketentuan Landreform
32
Ramli Zein, Hak pengelolaan dalam Sistem UUPA, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 5. 33
Soedaryo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 2 34
A.P Parlindungan, Op.,Cit, hlm. 74-75.
28
4. Hak milik berdasarkan suatu surat keputusan dari Menteri daiam Negeri cq.
Dirjen Agraria dan dari Kantor Agraria Provinsi vide peraturan Menteri
daiam Negeri No.6/1972 dan SK. 59/DDA/1970
5. Hak milik yang menurut pasal 4 Peraturan Menteri dalam Negeri No. 1
tahun 1977 yaitu hak yang berasal dari hak pengelolaan
6. Dalam hal sesuatu hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat tidak
mempunyai bukti hak atau bukti-bukti haknya kurang sempurna, maka
dapat ditempuh prosedur pengakuan/penegasan hak vide Menteri dalam
Negeri No. 2 tahun 1972.
Hak milik atas tanah juga merupakan hak asasi dari seseorang sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 28 H amandemen ke II tahun 2000 UUD 1945 bahwa
setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Hal ini merupakan
sebagai pengakuan dari hak milik atas tanah sebagai hak asasi manusia dengan
harapan:
1. Hak milik adalah hak absolut yang dapat dipertahankan terhadap siapapun
juga.
2. Hak milik adalah hak atas kebendaan atas tanah tertinggi dan merupakan
hak sentral dari hukum benda
3. Sebagai hak absolut hak milik mempunyai fungsi sosial.
4. Sebagai hak milik atas tanah mengandung aspek fungsi sosial sebagaimana
29
yang diatur dalam pasal 6 UUPA.35
Memperhatikan bahwa hak milik atas tanah merupakan hak yang dapat
dipertahankan terhadap siapapun juga, maka setiap pemegang hak milik atas tanah
tersebut diwajibkan untuk mendaftarkan tanahnya kepada instansi yang
berwenang, dengan tujuan untuk mendapatkan alas hak dan legalitas serta
kepastian hukum sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 19 ayat 1 UUPA
kepastian hukum yang dijamin itu meliputi kepastian mengenai:
1. Letak, batas dan luas tanah
2. Status tanah dan orang yang berhak atas tanah
3. Pemberian surat berupa sertifikat.
Begitu juga halnya dengan hak milik secara tegas telah disebutkan dalam
Pasal 23 UUPA bahwa:
1. Hak milik demikan pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya
dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan yang dimaksud
dalam Pasal 19.
2. Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak
tersebut.36
35
Asian Noor, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran Hak
Azasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2006, hlm. 5 36
Pasal 23 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960
30
E. Konsep Operasional
Untuk memberi arah dan memudahkan memahami maksud dari judul atau
ruang lingkup dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk memberi batasan
dari istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana
yang sudah disusun secara matang dan terperinci.37
Dalam penelitian ini
implementasi tersebut adalah implementasi batas penguasaan dan kepemilikan
atas tanah perorangan dalam perspektif fungsi sosial.
Batas adalah ketentuan yang tidak boleh dilampaui.
Penguasahaan dan kepemilikan tanah adalah hubungan hukum antara
orang-perorang, kelompok orang, atau badan hukum dengan tanah sebagaimana
dimaksud dalam UUPA. 38
Fungsi sosial tanah adalah fungsi tanah bermanfaat bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan yang mempunyai maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan
Negara.
Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru adalah kantor yang melaksanaan tugas
pemerintahan di bidang pertanahan di Kota Pekanbaru.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metodologi yang dianggap
paling sesuai dengan keadaan objek penelitian ini, sebagai berikut :
37
Kamus Hukum, Citra Kumbara, Bandung, 2008, 221 38
http://djitshhum.blogspot.com. Arti penguasaan dan kepemilikan tanah, diakses pada tanggal 28
Juli 2017
31
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Dilihat dari jenisnya maka penelitian ini dapat digolongkan kepada
penelitian observasional research yaitu dengan cara survey, artinya peneliti
langsung mengadakan penelitian pada lokasi tempat penelitian. Sedangkan dilihat
dari sifat penelitian ini bersifat deskriptif yaitu menggambarkan dan menulis fakta
yang diteliti dilapangan tentang implementasi batas penguasaan dan kepemilikan
atas tanah perorangan non pertanian dalam perspektif fungsi sosial berdasarkan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 6 Tahun 1998 Tentang Pemberian
Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal.
2. Objek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah tentang batas penguasaan dan kepemilikan
atas tanah perorangan dalam perspektif fungsi sosial pada Kantor Pertanahan Kota
Pekanbaru.
3. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru, alasan
untuk meneliti ini dikarenakan ingin mengetahui batas penguasaan dan
kepemilikan atas tanah perorangan non pertanian dalam perspektif fungsi sosial
pada Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru.
32
4. Populasi dan Sampel
Populasi adalah sekumpulan objek yang hendak diteliti berdasarkan lokasi
penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.39
sampel adalah sebagian dari
populasi yang dapat mewakili keseluruhan objek penelitian untuk mempermudah
peneliti dalam menemukan dalam penelitian. Untuk tercapainya maksud dan
tujuan penelitian ini, maka yang menjadi populasi dan sampel dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Kepala Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru Sebanyak 1 Orang
2. Kasubsi Penetapan Hak Atas Tanah Sebanyak 1 Orang
3. Pemilik Atas Tanah Sebanyak 18 Orang.
Tabel I.1
Populasi dan Sampel
No Jenis Populasi Subjek
Persentase Populasi Sampel
1. Kepala Kantor Pertanahan Kota
Pekanbaru -
1 100%
2. Kasubsi Penetapan Hak Atas
Tanah -
1 100%
3. Pemilik Atas Tanah 18 18 100%
Jumlah 18 orang 20 orang 100%
Sumber : Data Lapangan, 2016
Sehubungan dengan jumlah populasi tersebut, dalam penelitian ini data
yang diambil mempergunakan teknik sensus dikarenakan sampelnya sedikit.
5. Data dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini pada dasarnya dapat dibedakan
atas dua jenis data yaitu :
39
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 44.
33
1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden mengenai:
a. Implementasi Batas Penguasaan Dan Kepemilikan Atas Tanah
Perorangan Non Pertanian Dalam Perspektif Fungsi Sosial Berdasarkan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 6 Tahun 1998 Tentang
Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal.
b. Pengawasan Yang Dilakukan Oleh Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru
Terhadap Penguasahaan Dan Kepemilikan Hak Atas Tanah Dalam
Perspektif Fungsi Sosial.
2. Data Sekunder, ialah data yang didapat dari bahan-bahan bacaan maupun
literatur panduan, berupa:
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria
c. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 6 Tahun 1998 Tentang
Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal
d. Sumber-sumber pendukung lain baik dalam bentuk tulisan atau laporan
yang telah disusun dalam daftar maupun yang telah dibukukan yang ada
kaitanya dengan penelitian ini.
6. Alat Pengumpulan Data.
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka alat
pengumpul data yang dipergunakan adalah
a. Wawancara dengan mengadakan tanya jawab secara langsung yang
peneliti lakukan dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru dan
34
Kasubsi Penetapan Hak Atas Tanah, guna mendapatkan informasi dan
penjelasan berkenaan dengan permasalahan yang diteliti berdasarkan
pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.
b. Kuesioner adalah berupa pengumpulan data melalui daftar pertanyaan
yang diajukan secara tertulis pada responden untuk mendapatkan jawaban
atau tanggapan dan informasi yang diperlukan oleh peneliti, hal ini
dilakukan dengan penyebaran angket
7. Analisis Data
Data yang diperoleh dari kuisioner dan wawancara kemudian penulis
kumpulkan dan dklarifikasikan menurut bentuk dan sifatnya. Setelah terkumpul
kemudian diolah secara persentase. Setelah diolah kemudian disajikan dalam
bentuk tabel dan uraian kalimat. Selanjutnya dianalisis dan dihubungkan dengan
teori dan pendapat para ahli serta peraturan perundang-undang berlaku.
8. Penarikan Kesimpulan.
Metode penarikan kesimpulan akhir secara induktif yaitu dari keadaan
yang khusus kepada hal yang umum. Yang termasuk dalam kesimpulan yang
khusus adalah peraturan perundang-undangan serta peraturan daerah yang
disesuaikan pada lokasi tempat peneliti melakukan dalam penelitian baik berupa
subjek dan objek penelitian sedangkan dalam kesimpulan secara umum adalah
analisis yang dapat dihubungkan dengan teori dan pendapat para ahli yang
terutang kedalam tinjauan kepustakaan.
Recommended