View
257
Download
4
Category
Preview:
Citation preview
19
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN,
DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka dalam disertasi ini, diawali dari teori utama (grand theory)
yaitu teori manajemen sumberdaya manusia, karena konsep-konsep yang
digunakan dalam penelitian ini berakar dari teori tersebut. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kajian pustaka bersifat lintas teori, kombinasi dari teori
perilaku organisasi, manajemen lintas budaya, dan manajemen stratejik sebagai
midle range theory.
Dan sebagai applied theory, penulis menggunakan beberapa teori untuk
mengungkapkan konsepsi mengenai variabel-variabel yang diteliti yaitu nilai-nilai
pribadi (personal values), kompetensi budaya (cultural competence), merek
pribadi (personal branding), dan kepercayaan diri (self-confidence), berdasarkan
pemaparan teoritis dari masing-masing variabel tersebut. Kaitan kajian pustaka
antara grand theory, middle range theory, dan applied theory yang akan digunakan
dalam penelitian ini seperti gambar berikut ini:
20
Grand
Theory Manajemen Sumber Daya Manusia
(Stoner, 2013; Wilson, 2012; Sagala, 2010; Mathis dan Jackson, 2010, Snel, 2010; Mullins, 2005)
Midle
range
theory
Applied
Theory
Gambar 2.1 :Grand Theory, middle range theory dan applied theory
Begitu banyak definisi manajemen, seperti yang diungkapkan Stoner et al
(2013), manajemen adalah proses merencanakan, mengorganisasikan, memimpin,
dan mengendalikan pekerjaan anggota organisasi dan menggunakan semua sumber
daya organisasi untuk mencapai sasaran organisasi yang sudah ditetapkan. Dari
definisi tersebut manajemen memiliki empat unsur yaitu: perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), kepemimpinan (leading), dan pengendalian
(controlling).
Berbeda dengan Robbins (2012; 8) yang menyatakan bahwa manajemen
melibatkan koordinasi dan mengawasi aktivitas kerja orang lain sehingga kegiatan
mereka selesai secara efisien dan efektif.
Perilaku Organisasi
(Kreitner, 2006; Ajzen dan
Fishbein,1980; Schwartz, 1977)
MSDM Strategik
( Amstrong, 2003; Hunger, 2003;
Bakr Ibrahim, 2003; Dessler, 2012;
Wright & Snell, 1992)
Manajemen lintas budaya
Hall (1987); Sitaram (1997)
Prasad (2012)
Nilai-nilai pribadi
(Cai&Shannon, 2012;
Schwartz, 2006;
Schmuck & Vlek,
2003; Herche, 1994;
Kahle, 1983; Rokeach,
1973)
Kompetensi Budaya
Chendan Starosta,
1996; Milton J.
Bennett,1993;
Gudykunts dan Kim,
1992; Purnel, 2002;
Rowley et al, 2010)
Merek Pribadi
(Montoya & Vandehey,
2008;Arruda, 2007;
Griffith et al.2006; Kotler
et al.,2005; Kaputa,
2003;; McNally & Speak,
2003; Tom Peters, 1997)
Kepercayaan diri
MTD Training, 2013; Kasia
Lyczkowska, 2014; Tim
Woodman,Sally Akehurst,
Lew Hardy,Stuart Beattie,
2010; Cristina Georgiana
Safta, 2015; Jacky C.K. han,
MSc, at al.2015; Andrea
Nolan, Tebeje Molla, 2017;
21
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut bahwa manajemen adalah ilmu
dan seni yang digunakan untuk menjalankan fungsinya melalui proses
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, kepemimpinan dan pengendalian
dengan memanfaatkan sumber daya manusia agar tujuan yang telah ditetapkan
dapat tercapai secaraefektif dan efisien.
Sebagai grand theory digunakan ilmu manajemen sumber daya manusia.
Dalam hal ini, beberapa teori manajemen sumber daya manusia sebagai berikut:
Manajemen sumber daya manusia dapat didefinisikan sebagai suatu proses
perencanaan, pengorganisasian, penyusunan staf, penggerakan dan pengawasan,
terhadap pengadaan, pengembangan, dan pemberian kompensasi, pengintegrasian,
pemeliharaan, dan pemisahan tenaga kerja untuk mencapai tujuan organisasi
(Wilson, 2012). Menurut Stoner (2013), manajemen sumber daya manusia adalah
suatu prosedur yang berkelanjutan yang bertujuan untuk memasok suatu organisasi
atau perusahaan dengan orang-orang yang tepat untuk ditempatkan pada posisi dan
jabatan yang tepat pada saat organisasi memerlukannya.
Berbeda dengan Mullins (2005), manajemen sumber daya manusia
dinyatakan sebagai strategi perancangan, pelaksanaan dan pemeliharaan untuk
mengelola manusia untuk kinerja usaha yang optimal termasuk kebijakan
pengembangan dan proses untuk mendukung strategi.
Sementara Riva‟i dan Sagala (2010) menyatakan bahwa manajemen sumber
daya manusia merupakan sistem yang terdiri dari banyak aktivitas interdependen
(saling terkait satu sama lain) yang saling memengaruhi satu sama lain. Sedangkan
22
menurut Mathias dan Jackson (2010) manajemen sumber daya manusia adalah
rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah organsasi untuk memastikan
penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan-tujuan
organisasional.
Pengertian lain menurut Bohlarander dan Snell (2010) menyatakan bahwa
manajemen sumber daya manusia adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana
memberdayakan karyawan dalam perusahaan, membuat pekerjaan, kelompok
kerja, mengembangkan para karyawan yang mempunyai kemampuan,
mengidentifikasi suatu pendekatan untuk dapat mengembangkan kinerja karyawan
dan memberikan imbalan kepada mereka atas usahanya dan bekerja.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen sumber
daya manusia merupakan suatu sistem formal dan proses yang meliputi proses
perencanaan, pengorganisasian, penyusunan staf, penggerakan dan pengawasan,
pengadaan, pengembangan bakat, pemberian kompensasi, pengintegrasian,
pemeliharaan, dan yang saling berkaitan satu sama lain untuk mencapai tujuan
organisasi dengan efektif dan efisien.
Selanjutnya teori yang akan digunakan sebagai perantara (midle range
theory) adalah teori manajemen lintas budaya, teori perilaku organisasi, dan teori
strategi sumber daya manusia.
23
2.1.1 Manajemen Lintas Budaya
Dewasa ini manajemen semakin bersifat multibudaya. Beberapa konsep
definisi manajemen multi budaya menurut Hall (1987) terletak pada komunikasi,
baik melalui kata-kata, benda material, maupun perilaku didasarkan pada informasi
yang sebaik mungkin tentang keragaman budaya tersebut (Elashmawi. F. & Harris,
1996).
Manajemen Lintas Budaya adalah bidang yang cukup baru yang didasarkan
pada teori-teori dan penelitian dari Psikologi Lintas Budaya, Bisnis Internasional,
Perilaku Organisasi, Sumber Daya Manusia, dan Antropologi. Model Farmer-
Richman menyatakan bahwa budaya merupakan variable utama dalam menetukan
efektivitas manajerial dan organisasional.
Model Negandhi-Prasad (2012) yang menyatakan bahwa philosophy of
management adalah merupakan suatu variabel yang bersifat independen dan
cenderung tidak terpengaruh secara langsung oleh aspek budaya. Manajemen lintas
budaya adalah ilmu yang berusaha untuk memahami bagaimana budaya nasional
mempengaruhi praktek manajemen, mengidentifikasi persamaan dan perbedaan
lintas budaya dalam praktek manajemen dan berbagai konteks organisasi, serta
meningkatkan efektivitas dalam manajemen global.
2.1.2 Perilaku Organisasi
Hugo Munsterberg (1863 -1916) dan Mary Parker Folett (1868-1933) adalah
orang yang pertama kali memasukan perilaku dalam konsep manajemen, berupa
24
pemanfaatan psikologi dalam mewujudkan tujuan-tujuan produktivitas sarana
seperti dengan teori-teori manajemen lainnya. Perilaku organisasi terkait dengan
bagaimana memahami dan mengatur orang-orang atau individu dalam sebuah
organisasi.
Kreitner (2006) mengatakan bahwa perilaku organisasi adalah bidang-bidang
interdisipliner yang digunakan untuk memahami dan mengatur sumberdaya
manusia di tempat kerja dengan lebih baik. Beberapa teori tersebut antara lain
Theory of Reasoned Action, Theory of Planned Behavior, dan Norm Activation
Theory (Bechtel dan Churchman, 2002).
Ajzen dan Fishbein (1980) mengemukakan teori tindakan beralasan (theory
of reasoned action) (TRA). Teori ini didasarkan pada asumsi-asumsi: a) bahwa
manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal, b)
bahwa manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada, dan c) bahwa
secara eksplisit maupun implisit manusia memperhitungkan implikasi tindakan
mereka. Secara sederhana teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan
suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya
bahwa orang lain ingin agar orang lain melakukannya.
Theory of Planned Behavior (TPB) atau teori perilaku terencana merupakan
pengembangan lebih lanjut dari TRA. Ajzen (1991) menambahkan konstruk yang
belum ada dalam TRA, yaitu kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral
control). Konstruk ini ditambahkan dalam upaya memahami keterbatasan yang
dimiliki individu dalam rangka melakukan perilaku tertentu.
25
Model teoritik dari Theory of Planned Behavior (perilaku yang
direncanakan) mengandung berbagai variabel yaitu: latar belakang (background
factors), keyakinan perilaku atau behavioral belief, keyakinan normatif (normative
beliefs), norma subjektif (subjective norm), keyakinan yang terkontrol (control
beliefs), persepsi kemampuan mengontrol (perceived behavioral control).
Di dalam kategori latar belakang, Ajzen (1991) memasukkan tiga faktor
yakni personal, sosial, dan informasi. Faktor personal adalah sikap umum
seseorang terhadap sesuatu, sifat kepribadian (personality traits), nilai hidup
(values), emosi, dan kecerdasan yang dimilikinya. Faktor sosial antara lain adalah
usia, jenis kelamin (gender), etnis, pendidikan, penghasilan, dan agama.
Norm Activation Theory dikembangkan oleh Schwartz (1977) untuk
menjelaskan perilaku prososial. Perilaku prolingkungan melekat dengan sikap
altruistic. Norm activation theory berfokus pada pengaruh nilai personal terhadap
sikap seseorang dan terhadap lingkungan. Teori tersebut menyatakan bahwa
tindakan pro lingkungan terjadi karena respon norma personal. Norma personal
(personal norm) dibentuk oleh kesadaran akan konsekuensi dari tindakannnya
(awareness consequences) dan tanggung jawab seseorang akibat dari tindakannya
tersebut (responsibility belief).
2.1.3 Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik
Manajemen sumber daya manusia strategik adalah rumusan mendasar
mengenai pendayaagunaan sumber daya manusia sebagai usaha mempertahankan
26
dan meningkatkan kemampuan terbaik sebuah perusahaan untuk menjadi
kompetitor yang mampu memenangkan dan menguasai pasar melalui tenaga kerja
yang dimilikinya.
Wright & Snell (1994) berpendapat bahwa Manajemen Sumber Daya
Manusia strategik diperlukan dalam kegiatan hubungan manusia yang
terkoordinasi di seluruh berbagai sub fungsi. Sementara Dessler (2012)
menghubungkan manajemen sumber daya manusia dengan peran strategis dan
tujuan dalam rangka meningkatkan kinerja bisnis dan mengembangkan budaya
organisasi dan mendorong inovasi dan fleksibilitas.
Disisi lain Amstrong (2003) menyatakan bahwa manajemen strategis berarti
manajer melihat kemuka pada sesuatu yang akan dicapai di masa yang akan
datang. Sedangkan menurut Hunger (2003), manajemen strategis adalah
serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja
perusahaan dalam jangka panjang. Pendapat A. Bakr Ibrahim dan Kamal Arghyed
(2003) bahwa manajemen strategis adalah proses yang sistematis dan seleksi terus
menerus, melaksanakan, dan mengevaluasi pilihan strategis. Keputusan ini harus
kongruen dengan misi organisasi, tujuan, dan kemampuan internal dan eksternal,
karena mereka akan mengatur ritme untuk seluruh organisasi.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa strategi
manajemen sumber daya manusia adalah cara dalam mengembangkan dan
mengelola keahlian dan kinerja karyawan untuk menunjang keberhasilan
perusahaan yang akan dicapai di masa yang akan datang.
27
2.1.4 Nilai-nilai Pribadi (personal values)
Teori nilai merupakan gabungan dari berbagai bidang keilmuan seperti
filsafat, etika, psikologi, dan manajemen. Istilah nilai di dalam bidang filsafat
dipakai dalam rangka untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya
„keberhargaan‟ (worth) atau „kebaikan‟ (goodness), dan kata kerja yang artinya
merupakan suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan
penilaian (Kaelan, 2004 ; 87). Menururt Max Scheller seorang filsuf Jerman
mengatakan bahwa nilai merupakan suatu kualitas yang tidak tergantung pada
pembawanya, merupakan kualitas apriori atau merupakan yang telah dapat
dirasakan manusia tanpa melalui pengalaman inderawi terlebih dahulu.
Dalam mendalami definisi nilai-nilai, penulis mengadopsi tiga pendapat yaitu
dari Rokeach (1973), Schwartz (1977), dan Hofstede (1984). Definisi nilai
menurut Rokeach (1973), adalah suatu keyakinan yang relatif stabil tentang model-
model perilaku spesifik yang diinginkan dan keadaan akhir eksistensi yang lebih
diinginkan secara pribadi dan sosial dari pada model perilaku atau keadaan akhir
eksistensi yang berlawanan atau sebaliknya. Rokeach memandang nilai sebagai
suatu keyakinan yang relatif stabil dalam perwujudannya dapat dijadikan menjadi
dua kategori yaitu : Nilai instrumental dan nilai terminal.
Nilai sebagai alat atau instrumental dapat bersifat dua macam yaitu sebagai
nilai moral yang berkaitan dengan tingkah laku yang berhubungan intrapersonal
terhadap hati nurani. Sedangkan sebagai nilai kompetensi atau aktualisasi diri
adalah nilai instrumental yang fokusnya lebih bersifat pribadi dan tidak terlalu
28
kelihatan berkaitan langsung dengan moralitas, jika terjadi pelanggaran terhadap
nilai kompetensi akan berakibat adanya perasaan malu karena ketidakmampuan
diri. Aspek yang terkandung didalamnya adalah : ambisius/giat bekerja,
berwawasan luas, mampu, efektif, riang gembira, bersih, berani, memaafkan,
bekerja tuk kesejahteraan orang lain, jujur, imaginatif, dan lain sebagainya.
Rokeach membagi nilai terminal menjadi dua macam; pertama yang bersifat
pribadi yaitu nilai dipusatkan pada diri sendiri dan bersifat sosial yaitu nilai yang
dipusatkan pada masyarakat. Teori ini memiliki kelebihan yaitu : mudah dalam
administrasi penyelenggaraannya dan responden pada umumnya tertarik. Selain itu
teori ini juga memliki kelemahan yaitu prosedur ranking hanya memberikan
informasi tentang kepentingan relatif dari nilai-nilai yang berbeda dan bukan
kepentingan absolut. Rokeach (1973) menyatakan bahwa berdasarkan pengelolaan
sumber daya manusia (SDM), maka nilai-nilai yang dikenal List of value (LOV)
adalah altruistic (nilai melayani), humility (nilai kepatuhan pada otoritas atau
norma yang berlaku), cooperation (nilai kebersamaan atau kemauan untuk bekerja
sama), responsibility (inisiatif dan tanggung jawab), honesty (nilai kejujuran)
dalam menjalankan tugas atau memangku jabatan, dan simplicity (nilai efisiensi)
dalam penggunaan sumber daya.
Penelitian Kahle (1983) sejalan dengan konseptualisasi lain dari nilai-nilai
yang menyederhanakan daftar nilai dari Rokeach untuk sembilan nilai tunggal, dan
diklasifikasikan kedalam tiga kategori yaitu; Nilai Hedonistic (mencari sensasi,
kesenangan dan kebahagiaan dalam hidup, keinginan untuk membangun hubungan
29
yang hangat dengan orang lain), Nilai Empati (harga diri, menghormati orang lain,
mencari keamanan, rasa memiliki), dan Nilai Aktualisasi Diri (pengembangan
pribadi, rasa prestasi).
Pada dasarnya Schwartz mendukung teori Rokeach, dengan
mengelompokkan masing-masing nilainya. Nilai-nilai itu menurut Schwartz
diklasifikasikan ke dalam sejumlah domain-domain motivasional atau tipe-tipe
nilai yang terdiri dari dimensi individualisme versus kolektifisme nampak bahwa
tipe nilai diasumsikan mewakili dimensi nilai individualistik (kekuasaan, prestasi,
hedonism, stimulus, dan arah diri), sementara beberapa tipe nilai yang lain
mewakili dimensi nilai kolektifistik (kebajikan,tradisi, konformitas) dan tipe lain
lagi di anggap mewakili minat campuran (universalisme, keamanan). Schwartz
(2012) menjelaskan bahwa nilai adalah suatu keyakinan yang berkaitan dengan
cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, melampaui situasi spesifik,
sehingga mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan
kejadian-kejadian, serta tersusun berdasarkan derajat kepentingannya. Selanjutnya
Schwartz (2006) mendefinisikan nilai-nilai pribadi penentuan tujuan trans-
situasional yang bervariasi dalam kepentingannya yang berfungsi sebagai prinsip
orang pada kehidupan yang mencakup; Self-enhancement, Openess to change,
Self-transcendence, dan Conservation. Alat ukur tentang nilai yang di susun oleh
Schwartz menggunakan prosedur ranting dan masih dipengaruhi oleh gaya
pengukuran Rokeach dalam memisahkan antara nilai instrumental dan nilai
terminal dan menyajikan tiap nilai dalam satu item.
30
Dalam teori ini ada tiga persyaratan bagi eksistensi manusia sehingga semua
individu dan masyarakat akan responsif terhadapnya yaitu untuk memuaskan
kebutuhan biologis, untuk mencapai interaksi sosial yang terkoordinir, dan untuk
mempertemukan tuntutan institusi untuk mempertahankan hidup dan kesejahteraan
kelompok. Selanjutnya Kamakura dan Mazzon (2010) mengadopsi struktur nilai
dari Schwartz dengan mengelompokkan ke dalam tiga bagian yaitu Achievement
(penghormatan diri, pemenuhan diri), Empaty (hubungan yang hangat, rasa
memiliki), dan Hedonism (kesenangan dan kenikmatan).
Pandangan Hofstede berbeda dengan Rokeach dan Schwartz dalam
mengklasifikasikan nilai-nilai dan mengaitkannya dengan budaya. Menurut
Hofstede nilai merupakan suatu kecenderungan luas untuk lebih menyukai atau
memilih keadaan-keadaan tertentu di banding dengan yang lain. Hofstede secara
universal membagi dimensi-dimensi nilai-nilai budaya meliputi individualisme-
collectivisme, power distance, uncertainty avoidance, dan masculinity. Dimensi
nilai-nilai individualisme mendukung anggotanya untuk otonom, menekankan
tanggung jawab, dan hak-hak pribadinya. Dimensi nilai collectivisme mendukung
anggotanya untuk menyelaraskan tujuan dan kepentingannya kepada kelompok,
bahkan jika perlu mengorbankan diri sendiri demi menjaga harmoni kelompok.
Dimensi power distance adalah derajat ketidaksetaraan dalam kekuasaan (power)
antara individu yang memiliki kekuasaan atau status tinggi dengan yang rendah.
Uncertainty avoidance adalah derajat dimana budaya mengembangkan institusi
dan ritual untuk menyesuaikan dengan kecemasan akibat ketidak pastian dan
31
samar-samar. Masculinity yaitu derajat dimana budaya mendukung perbedaan
gender di antara anggota-anggotanya.
Selanjutnya Hofstede menambahkan Pragmatism (long term orientation) dan
Indulgence (vs. Restraint). Nilai individualism-collectivism oleh Hofstede
didasarkan pada empat aspek yaitu: Keserasian dalam bersosialisasi (social
harmony), Bekerjasama dalam kelompok social (cooperation in social group),
Pengendalian diri dalam hubungan dengan kelompok social (self-control), dan
Membagi pengakuan atas penghargaan (social sharing of recognition).
Mastumoto menyebut power distance dengan istilah perbedaan status yaitu
derajat dimana budaya mempertahankan perbedaan status di antara anggota-
anggotanya. Menurut Charlotte Wittenkamp (2014), bahwa nilai-nilai
mengandung; Embeddedness, Harmony, Egalitarianism, Intellectual Autonomy,
Affective Autonomy, Mastery, Hierarchy. Meglino dan Ravlin (1998)
mendefinisikan nilai sebagai keyakinan tentang diinternalisasi sesuai perilaku, ini
dampak bagaimana seorang individu menafsirkan informasi. Di samping itu,
Posner dan Schmidt (1996) menggambarkan nilai-nilai sebagai inti kepribadian,
mempengaruhi individu dalam membuat pilihan dan cara individu dan organisasi
dalam menginvestasikan waktu dan energi.
Schmuck dan Vlek, (2003) menyatakan bahwa nilai-nilai pribadi
mengandung aspek human-quality yang bersifat psikologis akan mengacu pada
sikap positif (positive attitude) dan nilai-nilai (values) yang dimiliki oleh individu.
Terdapat tiga konsep hubungan nilai pribadi yaitu sebagai karakteristik
32
kepribadian (Triandis et al.,1989) sebagai nilai perbedaan (Schwartz & Bilsky,
1990), dan sebagai penafsiran diri (Markus & Kitayama, 1991). Namun, ruang
lingkup peran masih mengacu pada teori adaptasi sosial (Piner & Kahle, 1984).
Herche, (1994) mengidentifikasi sembilan dimensi nilai pribadi: keamanan, self-
respect, yang dihormati, pemenuhan diri, rasa memiliki, kegembiraan, kesenangan
dan kenikmatan, hubungan yang hangat, dan rasa prestasi. Cai & Shannon (2012)
mengadaptasi model VAM (Value-Attitude-Motivation) dan menegaskan bahwa
ada aliran kausal antara nilai-sikap-perilaku. Sikap identik dengan objek mental
yang spesifik seperti orang, objek dan perilaku, sedangkan nilai lebih umum tanpa
referensi objek tertentu, dan penilaian perilaku etis di tempat kerja (Finegan,
1994).
Gambar 2.2 : Mapping Literatur nilai-nilai pribadi
33
Berdasarkan dari beberapa pendapat tersebut maka dapat dinyatakan
konstruk nilai-nilai pribadi adalah konsepsi perilaku, nilai aktualisasi diri, nilai
empati, nilai hedonistic, nilai kebaikan, nilai kerjasama, dan nilai tanggung jawab
dalam memandang keberadaan dirinya untuk melakukan suatu tindakan baik atau
buruk, baik secara sadar ataupun tidak sadar yang mempengaruhi perilaku
seseorang. Dan indikator nilai-nilai pribadi dalam penelitian ini yang masing-
masing diukur dengan Achievement (penghormatan diri, pemenuhan diri), Empaty
(hubungan yang hangat, rasa memiliki), dan Hedonism (kesenangan dan
kenikmatan), Humility (mematuhi aturan, memegang norma), Cooperation
(kebersamaan, kerjasama), dan Responsibility (inisiatif, tanggung jawab)
2.1.5 Kompetensi Budaya (cultural competence)
Istilah “budaya” mula-mula datang dari disiplin ilmu Antropologi Sosial.
Apa yang tercakup dalam definisi budaya sangatlah luas. Dalam bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah
atau mengerjakan. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam
bahasa Indonesia. Arti budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai
dua pengertian: Pertama, budaya adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal
budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Kedua, budaya
menggunakan pendekatan antropologi berarti keseluruhan pengetahuan manusia
sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta
pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
34
Istilah budaya dapat diartikan sebagai totalitas pola perilaku, kesenian,
kepercayaan, kelembagaan,dan semua produk lain dari karya dan pemikiran
manusia yang mencirikan kondisi suatu masyarakat atau penduduk yang
ditransmisikan bersama (Asmaun Sahlan, 2010). Menurutnya bahwa budaya itu
paling sedikit mempunyai tiga wujud, yaitu kebudayaan sebagai suatu kompleks
ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma; suatu kompleks aktivitas kelakukan
dari manusia dalam masyarakat; dan sebagai benda-benda karya manusia. Tiga
macam wujud budaya diatas, dalam konteks organisasi disebut dengan budaya
organisasi (organizational culture). Dalam konteks perusahaan, diistilahkan
dengan budaya perusahaan (corporate culture), dan pada lembaga
pendidikan/sekolah disebut dengan budaya sekolah (school culture).
Menurut Edward Burnett Tylor (1989), kebudayaan merupakan keseluruhan
yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang
didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Budaya adalah keyakinan dan
perilaku yang diaturkan atau diajarkan manusia kepada generasi berikutnya
(Taylor, 1989). Sedangkan menurut Sir Eduarel Baylor (1871) dalam Andrew dan
Boyle (1995), budaya adalah sesuatu yang kompleks yang mengandung
pengetahuan, kepercaayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan kecakapan lain
yang merupakan kebiasaan manusia sebagai anggota komunikasi setempat. Budaya
adalah faktor lingkungan yang paling efektif dalam perilaku konsumen yang
ditentukan oleh nilai nilai dan keyakinan masyarakat (Assael, 1995).
35
Kebanyakan definisi budaya menekankan transmisi tradisi antargenerasi, cara
hidup, mengkopi perilaku, nilai-nilai, norma, dan keyakinan. (Thompson, 2005).
Guarnaccia dan Ridriguez (1996) mendefinisikan budaya sebagai fenomena yang
dinamis dan kreatif, beberapa aspek yang dimiliki oleh kelompok besar orang dan
aspek lain yang menjadi penciptaan kelompok-kelompok kecil dan individu yang
dihasilkan dari situasi kehidupan tertentu dan sejarah. Howard (1991), menyatakan
bahwa budaya dapat dianggap sebagai komunitas individu dari berbagi pandangan
tertentu tentang dunia dan pusat interpretasi makna kehidupan dan tindakan
mereka. Lopez at al (2006) mendefinisikan budaya sebagai nilai-nilai, keyakinan,
dan praktik kebiasaan bersama oleh kelompok-kelompok yang diidentifikasi oleh
variabel, seperti etnis, gender, dan orientasi seksual. Fakta bahwa budaya
dipelajari, sosial bersama, dan variabel ditekankan dalam banyak definisi
(Betancourt & Lopez, 1993). Arthur (2007), penting untuk mengenali budaya yang
merupakan proses dinamis yang menghubungkan masa lalu ke masa kini dan
dibentuk sebagian oleh konteks sosial, historis, dan politik.
Hubungan bersifat budaya apabila terjadi diantara orang-orang yang berbeda
kebudayaannya (Rich,1974). Hubungan antar budaya adalah komunikasi yang
terjadi dalam suatu kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti
bahasa, nilai-nilai, adat, kebiasaan (Stewart,1974). Hubungan antar budaya adalah
proses pertukaran pikiran dan makna di antara orang-orang yang berbeda
kebudayaannya (Gerhard Maletzke, 1963).
36
Banyak yang berpendapat bahwa wajar untuk membentuk stereotipe, karena
stereotipe membantu kita memahami „budaya asing‟ dimana stereotipe ini
bertindak sebagai template, atau sebagai tipe ideal terhadap sesuatu atau dapat
mengukur apa yang tidak diketahui. Namun ada pendapat lain dengan pandangan
ini, karena dengan membentuk stereotipe membuat kita tidak berperilaku yang
cukup rasional dalam antar budaya dengan alasan utamanya adalah bahwa
stereotipe ini sering terinfeksi oleh prasangka, yang pada gilirannya akan
menyebabkan „otherization‟.(Holliday, Hyde & Kullman; 2004). Charlotte
Wittenkamp (2014) menjelaskan 5 dasar kebudayaan yaitu; sifat orang, hubungan
dengan alam, hubungan dengan orang lain, model aktivitas, dan konsepsi dari
alam. Selanjutnya Sitaram dan Cogdell (1976) berpendapat bahwa lintas budaya
adalah interaksi antara para anggota kebudayaan yang berbeda.
Teori Human Capital (Hashimoto, 1981; Mangan, 1983) memberikan uraian
tentang kondisi bagaimana menciptakan nilai kemanusiaan yang sesuai atau yang
tidak sesuai, dan tidak ada perbedaan individu terhadap kontribusinya bagi
perusahaan. Peran SDM dalam keunggulan kompetitif, mirip dengan Wright et al.
(1994), yang fokus pada karakteristik sumber daya manusia perusahaan, termasuk
semua dari pengetahuan, pengalaman, keterampilan, komitmen karyawan
perusahaan, dan hubungan mereka dengan satu sama lain dan mereka yang di luar
perusahaan.
Dierickx & Cool, (1989) Implikasi dari model ini adalah bahwa sementara
perusahaan mungkin mencapai posisi unggul dalam salah satu dari tiga keunggulan
37
kompetitif yang berkelanjutan membutuhkan posisi unggul. Hal ini disebabkan
tiga alasan. Pertama, nilai bahwa keterampilan dan perilaku dapat menghasilkan
dan mengharuskan mereka dipasangkan bersama-sama (yaitu, tanpa keterampilan,
perilaku tertentu tidak dapat dipamerkan, dan bahwa nilai keterampilan hanya
dapat diwujudkan melalui perilaku dipamerkan.) Kedua, sulit untuk memahami
kumpulan modal manusia suatu perusahaan yang mengandung keterampilan
tingkat tertinggi dan menunjukkan perilaku yang optimal tanpa adanya sistem
manajemen sumber daya manusia yang selaras.
Sementara Jackson et al. (1993) menolak bila kompetensi adalah hal yang
harus dimiliki sebagai bentuk perilaku. Menurut pandangannya kompetensi adalah
pengetahuan (knowledge), keahlian (skill), dan kemampuan (ability) yang
dibutuhkan untuk suatu tugas tertentu.
Pemikiran Hofstede dalam konteks budaya sebagai "pemrograman kolektif
pikiran yang membedakan anggota satu kelompok manusia dari yang lain".
Selanjutnya, Hofstede dan Bond (1988) mengusulkan lima dimensi:
"individualisme/kolektivisme", "maskulinitas/feminitas", "jarak kekuasaan”,
penghindaran ketidakpastian", dan "orientasi orientasi/jangka pendek jangka
panjang". Pada dimensi individualisme/kolektivisme menentukan bagaimana orang
hidup bersama, dan nilai-nilai mereka, dan bagaimana mereka berkomunikasi,
Korea berurutan ke-43 dan Indonesia berurutan ke-47.
Sementara Schwartz (1996) menyarankan bahwa konservatisme adalah
terkait dengan kolektivisme. Konservatisme adalah jenis nilai tingkat budaya yang
38
berfokus pada nilai-nilai yang mungkin penting dalam masyarakat berdasarkan
hubungan yang harmonis erat, di mana kepentingan orang tidak dilihat sebagai
berbeda dari orang-orang dari kelompok.
Banyak manajer mempunyai pandangan itu karena didukung dengan latar
belakang pengetahuan dalam mempelajari ilmu managemen di negara maju.
Simplification adalah proses yang menunjukkan orientasi yang sama terhadap
kelompok budaya yang berbeda. Sebagai contoh cara manajer Amerika
berinteraksi dengan manajer Inggris sama caranya dia berinteraksi dengan
eksekutif Asia. Di sini, lebih diarahkan pada penyesuaian terhadap keadaan
lingkungan guna menghindari pertentangan atau konflik dalam organisasi .
Kompetensi budaya adalah integrasi dan transformasi pengetahuan tentang
individu dan kelompok orang ke spesifikasi standar, kebijakan, praktik dan sikap
yang digunakan dalam pengaturan budaya yang tepat untuk meningkatkan kualitas
pelayanan, sehingga menghasilkan hasil yang lebih baik. Sementara kompetensi
umum yang penting, ada juga kompetensi lintas-budaya yang unik, keterampilan
dan kemampuan yang diperlukan untuk merespon secara efektif kepada orang-
orang dari berbagai budaya, bahasa, kelas, ras, latar belakang etnis, agama dan
faktor keragaman lainnya (Rowley et al, 2010). Yang terpenting, kompetensi
budaya tidak statis, juga tidak datang secara alami, tetapi membutuhkan re-
learning dan un-learning tentang keragaman budaya.
Inventarisasi kompetensi lintas budaya diidentifikasi oleh para peneliti dan
praktisi (misalnya O'Sullivan, 1999; Taylor, 1994) meliputi aspek-aspek seperti:
39
keterampilan komunikasi; toleransi untuk ambiguitas; kestabilan emosi;
fleksibilitas; kemampuan untuk mengadopsi dual fokus; berfokus pada kedua tugas
dan hubungan; sikap positif terhadap pembelajaran; pengetahuan budaya;
kemampuan untuk berhasil dalam beragam lingkungan. Chen dan Starosta (1996)
menjelaskan kompetensi lintas budaya dapat disajikan sebagai proses tiga bagian
yang mengarah ke'kesadaran budaya', 'kepekaan budaya' dan 'ketangkasan budaya'.
Cultural Awareness (kesadaran budaya), dimana setelah orang belajar sesuatu
tentang budaya lain, mereka tahu bagaimana menyesuaikan perilaku untuk lebih
memenuhi harapan lembaga baru. Cultural Sensitivity (kepekaan budaya), yang
mencakup nilai-nilai dan sikap seperti keterbukaan pikiran, sikap tidak
menghakimi dan relaksasi sosial, untuk memahami nilai budaya yang berbeda dan
lebih peka terhadap isyarat verbal dan non-verbal dari orang-orang dari budaya
lain. Cultural Adroitness (kecerdasan budaya), ketika orang-orang tahu apa yang
harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, mereka akan dapat
berkomunikasi dengan lebih efektif tanpa menyinggung pihak manapun.
Kumagai (2009), menyatakan bahwa kompetensi dapat didefinisikan sebagai
keadaan atau kualitas yang memadai atau berkualitas baik atau syarat penekanan
atau pengetahuan yang memadai atau keterampilan dalam bidang tertentu. Dalam
pendidikan, kompetensi ini sering dikategorikan ke dalam hasil belajar yang
melibatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk memungkinkan
pendekatan pendidikan yang menangani masing-masing daerah. Akibatnya,
kompetensi budaya sering didekati dengan cara yang membatasi tujuannya untuk
40
pengetahuan tentang karakteristik, keyakinan budaya, dan praktek-praktek
kelompok kecil yang berbeda.
Hasil penelitian (Gudykunst et al., 1992) menunjukkan bahwa pengaruh
budaya intelektual terhadap perilaku individu dimediasi oleh nilai-nilai pribadi.
Menurut Adler, ada 5 model langkah transisi ketika menerima budaya asing, yang
ia deskripikan sebagai sebuah pilihan pandangan yang lain mengenai gegar budaya
yaitu: contact, disintegration, reintegration, autonomy, dan independendce.
Perubahan yang lain mengenai model gegar budaya adalah gagasan Gudykunts dan
Kim (2011), yaitu: stress-adaptation dan growth model of cross cultural
adaptation. Kedua model tersebut mengasumsikan bahwa mengenal budaya lain
menyebabkan seseorang mengalami kehancuran psikologi, perpecahan kelompok,
dan kemudian mencapai level yang paling tinggi terhadap pengembangan dan
pematangan individu.
Model selanjutnya dikenal sebagai Bennett‟s model atau model Bennett
(1993). Model ini direpresentasikan oleh sebuah rangkaian kesatuan untuk
meningkatkan kemajuan dalam hal membuat persetujuan dengan budaya yang
berbeda, dengan pandangan etnosentris melalui sebuah langkah pengakuan yang
hebat dan menerima perbedaan, yang disebut ethnorelativism. Tiga tahap
etnosentris adalah penolakan, pertahanan dan pengecilan. Tiga tahap ethnorelativ
adalah penerimaan, adaptasi, dan integrasi.
Model Purnell (2002), model konseptualisasinya berdasarkan beberapa teori
dan basis penelitian diperoleh dari organisasi, administrasi interaktif, teori
41
komunikasi, dan pembangunan keluarga serta antropologi, sosiologi, psikologi,
anatomi dan fisiologi, biologi, ekologi, nutrisi, farmakologi, agama, sejarah,
ekonomi, ilmu politik, dan linguistik. Tujuan atribut budaya sekelompok budaya,
seperti seni dan musik, yang penting dan termasuk sebagai asumsi tersirat.
Karakteristik primer dan sekunder budaya, dikembangkan dan diperluas dari
Hage (1965) variabel dan konsep nonvariabel meliputi kebangsaan, ras, warna,
jenis kelamin, usia, dan afiliasi keagamaan. Dan karakteristik sekunder meliputi
status pendidikan, status sosial ekonomi, pekerjaan, pengalaman militer, keyakinan
politik, perkotaan dibandingkan perumahan pedesaan, identitas pendapatan, status
perkawinan, status orang tua, karakteristik fisik, orientasi seksual, isu gender,
alasan untuk migrasi, dan status imigrasi.
Ikhtisar/warisan termasuk konsep yang berkaitan dengan negara asal, tempat
tinggal saat ini, efek topografi negara asal dan tempat tinggal saat ini, ekonomi,
politik, alasan untuk emigrasi, status pendidikan, dan pekerjaan. Komunikasi
mencakup konsep yang berkaitan dengan bahasa yang dominan dan dialek;
Penggunaan kontekstual bahasa; variasi para-bahasa seperti volume suara, nada,
dan intonasi; dan kesediaan untuk berbagi pikiran dan perasaan. komunikasi
nonverbal seperti penggunaan kontak mata, ekspresi wajah, sentuhan, bahasa
tubuh, praktik menjaga jarak spasial, dan salam diterima; temporalitas dalam hal
masa lalu, sekarang, atau orientasi pandangan dunia masa depan; Jam terhadap
waktu sosial; dan penggunaan nama adalah konsep penting.
42
Peran keluarga dan organisasi meliputi konsep yang berkaitan dengan kepala
peran rumah tangga dan gender; peran keluarga, prioritas-prioritas, dan tugas
perkembangan anak-anak dan remaja; praktek membesarkan anak; dan peran
anggota keluarga tua. Status sosial dan pandangan ke arah gaya hidup alternatif
seperti orang tua tunggal, orientasi seksual, dan perceraian juga termasuk dalam
domain ini. Masalah tenaga kerja termasuk konsep yang berkaitan dengan
otonomi, akulturasi, asimilasi, peran gender, gaya komunikasi etnis,
individualisme, dan praktek perawatan kesehatan dari negara asal.
Keanekaragaman ekologi termasuk variasi asal etnis dan ras seperti warna
kulit dan perbedaan fisik bertubuh tubuh; penyakit genetik, keturunan, endemik,
dan topografi; dan perbedaan dalam bagaimana tubuh memetabolisme obat.
Perilaku berisiko tinggi termasuk penggunaan tembakau, alkohol, dan narkoba;
kurangnya aktivitas fisik; nonuse langkah-langkah keamanan seperti sabuk
pengaman dan helm; dan berisiko tinggi praktek seksual. Nutrisi termasuk
memiliki makanan yang cukup; arti makanan; pilihan makanan, ritual, dan tabu;
dan bagaimana zat makanan dan makanan digunakan selama sakit dan untuk
promosi kesehatan. Kehamilan dan melahirkan praktek termasuk praktek
kesuburan; metode untuk pengendalian kelahiran.
Ritual kematian termasuk bagaimana individu dan pandangan budaya
kematian, ritual dan perilaku untuk mempersiapkan kematian, dan praktik
penguburan, perilaku berkabung juga termasuk dalam domain ini. Spiritualitas
meliputi praktik keagamaan dan penggunaan doa, perilaku yang memberi makna
43
pada kehidupan, dan sumber-sumber individual kekuatan. Praktek perawatan
kesehatan termasuk fokus dari perawatan kesehatan seperti akut atau pencegahan;
kepercayaan tradisional, kepercayaan magis agama, dan bio-medis; tanggung
jawab individu untuk kesehatan; praktek mengobati dirinya; dan pandangan
terhadap penyakit mental, kronisitas, dan donasi organ dan transplantasi. Konsep
praktisi kesehatan termasuk status, penggunaan, dan persepsi penyedia perawatan
kesehatan tradisional, dan gender dari penyedia perawatan kesehatan mungkin
memiliki signifikansi.
Budaya tidak terbatas pada klien dan keluarga; itu termasuk pendidikan,
perawatan kesehatan, dan organisasi profesi. Karena model termasuk masalah
domain tenaga kerja, dapat digunakan untuk menilai budaya organisasi dan budaya
antara staf. budaya organisasi mencerminkan struktur sosial, anteseden historis,
nilai-nilai, tradisi, pengelolaan proses, kebijakan dan prosedur, dan proses evaluasi
yang mengungkapkan sejauh mana keragaman dalam berpikir, merenung, dan
berperilaku didorong atau ditoleransi.
Sebuah komite etik telah menggunakan model untuk melihat kepatuhan dan
kesesuaian perawatan dari perspektif klien-klien dan staf. Seiring jangka fasilitas
perawatan menggunakan model untuk memandu pengembangan rencana
perawatan bagi warga Yahudi mereka karena banyak perawatan non-Yahudi
mendukung penyedia fasilitas tidak menyadari praktek Yahudi Ortodoks.
44
Model penelitian Cheginia F. et al.,(2015) tentang nilai budaya dan merek
yang mengadopsi konstruk merek dari Aaker dan konstruk nilai dari Kahle
sebagaimana dalam gambar berikut :
Gambar 2.3. Model penelitian Cheginia F. et al.,(2015)
Mayoritas penelitian tentang kompetensi budaya telah digunakan sebagai
faktor untuk menjelaskan bagaimana orang menanggapi hidup dalam konteks
multikultural (Betancourt & Lopez, 1993), serta bagaimana individu menanggapi
dalam konteks budaya baru (Kosmitzki, 1996). Dalam penelitian Kitayama dan
Markus (1989) menguji apakah secara teoritis dimensi emosi mendasari dan
bahkan menentukan seberapa sering orang mengalami berbagai emosi dan apakah
frekuensi pengalaman emosional bervariasi dengan construal dominan diri mereka
sebagai independen atau saling tergantung.
Cultural values
Being well respected
Self-fullfillment
Fun and enjoyment in life
Sense of achievement
Self-respect
Warm relationship with others
Brand preferences
Sense of belonging
Security
Excitement
Ruggodences
Sophistication
Competence
Excitement
Sincerity
45
Triandis (1989) menyatakan bahwa bila dibandingkan respon individu publik
dan swasta dari budaya kolektivis dengan orang-orang dari budaya individualis.
Liu (1986) menggambarkan penekanan bahwa orang Cina cenderung
menjadi setia dan baik kepada atasan dan ketaatan kepada mereka, apakah mereka
adalah orang tua, pengusaha, atau pejabat pemerintah. Dia mengklaim bahwa
kebanyakan orang Cina mematuhi dan menghormati aturan tertentu. Kekuatan
identitas budaya memberikan salah satu cara untuk membedakan orang-orang yang
berperilaku dengan cara yang konsisten dengan kecenderungan tingkat-budaya
umum. Implikasi kedua dari studi ini melibatkan pentingnya faktor tingkat-
individu yang memediasi efek variabilitas tingkat-budaya.
Tabel 2.1. Karakteristik budaya 4 negara Indonesia Jepang Korea China
1. Setiap
pembicaraan
tidak langsung
pada konteks.
2. Ramah dan sopan
3. Sangat
menghormati
tamu
4. Kontak fisik lebih
terbuka
5. Hormat kepada
senioritas
6. Hubungan pribadi
relative lama
1. Hubungan antarpribadi relatif
berlangsung lama dan
mempunyai perasaan
keterlibatan yang mendalam
dengan sesama.
2. Komunikasi biasanya implisit
dan tidak langsung pada
konteks.
3. Orang yang mempunyai
otoritas bertanggung jawab
secara pribadi atas tindakan anak
buahnya sehingga menyebabkan
kesetiaan pada atasan dan
bawahan.
4. Persetujuan lebih banyak dibuat
secara lisan daripada tulisan.
5. Orang dalam dan orang luar
(perusahaan) mudah sekali
dibedakan dan biasanya orang
luar tidak dapat mengakses pada
grup inti.
1. Terpaku pada
ajaran
konusianisme
yaitu setia
pada norma,
raja, dan
orang tua
2. Hormat
kepada
senioritas
3. Sangat
membatasi
kontak fisik
4. Ramah, dan
sopan
5. Hubungan
pribadi
relative
singkat
1. Setiap
pembicaraan
langsung
pada
konteks
2. Sangat
hormat
kepada
senioritas
3. Sangat
membatasi
kontak fisik
4. Persetujuan
dibuat
tertulis
5. Tertutup
bagi orang
luar
6. Hubungan
pribadi
relative lama Sumber : Berbagai jurnal internasional (diolah)
46
Gambar 2.4: Mapping literature kompetensi budaya
Penelitian lintas budaya yang dilakukan oleh Devos & Banaji (2005)
menyatakan bahwa Orang African-Americans dan Asian-Americans dinilai
sebagai kurang Amerika dibanding White-Americans. Karena batas antara
kelompok budaya semakin tipis, semakin banyak interaksi, terjadi percampuran.
Contoh: saya orang Jawa-Padang, saya orang Batak-Jawa. Terjadi cultural frame
switching, yaitu individu menampilkan tingkah laku tertentu sesuai dengan konteks
dia berada, mengakses sistem budaya tertentu sesuai tuntutan sosial. Atau terjadi,
cultural reaffirmation effect, identifikasi seseorang semakin kuat terhadap budaya
47
aslinya, mengevaluasi budaya-budaya yang berbeda secara sama, dan menganut
nilai-nilai tradisional budayanya lebih kuat.
Dengan demikian konstruk kompetensi budaya adalah proses integrasi dan
transformasi sebagian atau seluruh pengetahuan tentang individu dan kelompok
orang ke spesifikasi standar yang disepakati dan digunakan dalam pengaturan
budaya yang tepat untuk meningkatkan kualitas sumberdaya, sehingga
menghasilkan hasil yang lebih baik. Dan indikator kompetensi budaya dalam
penelitian ini masing-masing diukur dengan kesadaran budaya (pemahaman,
pembelajaran), kepekaan budaya (sikap terbuka, nilai-nilai), ketangkasan budaya
(pemenuhan harapan, komunikasi), pengetahuan budaya (lingkungan, peraturan
kerja), keahlian solutif (konstruktif, daya tanggap), dan sikap internalisasi (rasa
memiliki, tujuan bersama).
2.1.6 Merek Pribadi (personal branding)
Sebuah merek adalah suatu simbol, desain, nama, suara, reputasi, emosi,
karyawan, nada, dan banyak lagi yang memisahkan satu hal dari yang lain. Merek
pada tingkat bisnis adalah umum, tetapi sekarang merek menjadi sama pentingnya
pada tingkat pribadi. Kotler (2008) menyatakan bahwa merek adalah istilah, tanda,
simbol, atau rancangan, atau kombinasi hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk
mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk
membedakannya dari produk pesaing. Menurut Kartajaya (2004) Marketing Icon
of Indonesia: Merek merupakan indikator nilai yang ditawarkan kepada
48
pelanggan dan atau aset yag menciptakan value bagi pelanggan dengan
memperkuat loyalitasnya. Menurut Schip Hartman (2011), ada tiga tipe merek
yaitu: Corporate branding, product branding, dan personal branding. Personal
branding telah muncul dari penerapan prinsip-prinsip pemasaran ke lapangan
perekrutan personil (Cable dan Turban, 2001;). Definisi ini konsisten dengan
kategorisasi konsep merek dalam literatur manajemen merek, misalnya MacInnis
(1986) merek dibagi dalam tiga kategori berdasarkan kebutuhan konsumen mereka
antara lain : kebutuhan fungsional, kebutuhan simbolik, dan kebutuhan
pengalaman.
Personal branding dicetuskan pada tahun 1997 oleh Tom Peters dalam
artikelnya Fast Company, Menurut Tom Peters (1997) dalam tulisannya yang
diterbitkan oleh Fast Company yang berjudul “The Brand Called You” menulis
antara lain, “Tidak memandang umur, tidak melihat kedudukan, tidak peduli dalam
bisnis apa kita berada, kita semua harus memahami pentingnya branding. Kita
adalah CEO perusahaan sendiri yang disebut “Me-Inc”. Setiap orang pasti
memiliki sebuah brand tentang dirinya. Saat seseorang menyebut namanya,
tentunya di dalam benaknya akan mendeskripsikan siapa diri anda, seperti apa diri
Anda, apa pekerjaan Anda, hal itulah yang disebut brand. Seperti apa kita ingin
dikenal, kita yang mengatur untuk menampilkan diri kita kepada orang lain dengan
tujuan agar kita dapat dikenal baik oleh orang lain.
Selanjutnya Montoya (2008) mendefiniskan personal branding sebagai
segala sesuatu yang ada pada diri anda yang membedakan dan menjual, seperti
49
pesan anda, pembawaan diri dan taktik pemasaran. Montoya et al. (2002)
menekankan hal mendasar ini dengan mengusulkan 'Hukum Spesialisasi' untuk
personal branding, yang menunjukkan kebutuhan bagi individu untuk fokus pada
satu bidang prestasi atau kemampuan.
Montoya dan Vandehey (2008) menyarankan bahwa dalam membangun
merek harus mencerminkan siapa diri anda, otentik dan tanpa sesuatupun
diharapkan kembali. Personal Branding adalah sesuatu tentang bagaimana
mengambil kendali atas penilaian orang lain terhadap anda sebelum ada pertemuan
langsung dengan anda. Montoya (2003), menunjukkan bahwa merek pribadi
menggambarkan klasik anda; mengungkapkan bahwa kekuatan anda, nilai-nilai,
tujuan dan kepribadian", dan "memberitahu orang siapa anda, apa yang anda
lakukan dan mengapa anda unik. Ini menambah nilai siapa anda, dan memberikan
keunggulan pemasaran kompetitif, dengan meringkas waktu anda "dalam cara
yang menarik dan persuasif".
Kepribadian merek (personality brand) adalah orang yang cenderung lebih
melekatkan diri dengan peran diri dari pada ke perusahaan. Menjadikan diri
mereka lebih otentik, dipercaya dengan layak dan mudah didekati daripada sebuah
perusahaan. (Jane Tabachnick, 2007). Pencitraan kepribadian (personality brand)
dipandang sebagai elemen yang sangat penting untuk pengembangan karier, dan
membantu dengan menyediakan alat yang dibutuhkan seseorang agar dapat
mendefinisikan dirinya dalam hal siapa dirinya? apa yang diperjuangkan, apa yang
membuat dirinya istimewa, dan apa yang membuat dirinya begitu unik? Ada
50
banyak definisi pencitraan kepribadian (Peter, 2007; Hansen, 2007; Montoya,
2005; McNally & Speak, 2003; Arruda, 2007). Dan pada hakekatnya personality
brand tidak jauh berbeda dengan personal barand, dimana personal brand lebih
kepada memfokuskan diri pada eksisitensi diri yang lebih khas dan berbeda dengan
yang lain sehingga dikenal oleh masyarakat luas.
Pandangan Arruda (2003), branding adalah sesuatu yang anda harus hidup
setiap hari untuk menuai keuntungan" dan "Gaya hidup anda adalah refleksi dari
merek pribadi anda dan harus konsisten dengan merek bisnis anda" dan
merangkum arti sebagai: “extract, express and exude” (ekstrak, mengekspresikan
dan memancarkan). Pertama, individu didorong untuk melihat ke dalam diri
mereka untuk menemukan atribut kunci mengidentifikasi mereka: "janji unik dari
nilai". Mereka kemudian membangun menarik 'pribadi pernyataan merek'.
Akhirnya, mereka membuat strategi untuk membuat merek terlihat oleh dunia luar.
Catatan lain tertanam dalam cara dimana personal branding sering dijual sebagai
must have top-up untuk kompetensi teknis. Dimana keterampilan hanya
menyediakan individu yang memiliki kemampuan, ia berpendapat, merek pribadi
menjamin visibilitas mereka.
Kupta (2003) menegaskan bahwa sebuah pencitraan pribadi yang mewakili
serangkaian keahlian, suatu ide cemerlang, sebuah sistem kepercayaan, dan
persamaan nilai yang dianggap menarik oleh orang lain. Dan merek pribadi hanya
boleh dibangun setelah menganalisis pasar dan pesaing seseorang, dan lain-lain
menunjukkan bahwa personal branding harus dikejar dalam ceruk bisnis yang
51
spesifik. Mobray (2009) menjelaskan bahwa personal branding adalah sebuah seni
dalam menarik dan memelihara lebih banyak klien dengan cara membentuk
persepsi publik secara aktif. Artinya adalah bahwa kemampuan menggunakan
atribut-atribut secara bebas yang menunjukkan kemampuan anda dalam mengatur
harapan-harapan yang ingin orang lain terima dalam pertemuannya dengan anda.
Pendapat Schawbel (2010), merek pribadi adalah proses dimana individu dan
pengusaha membedakan diri dan berdiri keluar dari kerumunan dengan
mengidentifikasi dan mengartikulasikan proposisi nilai yang unik mereka, apakah
profesional atau pribadi, dan kemudian memanfaatkan itu di platform dengan
pesan yang konsisten dan gambar untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut Labrecque, Markos, dan Milne (2011), personal branding
diperlukan untuk menangkap dan mempromosikan kekuatan individu dan
keunikan untuk target pemirsa. Morton (2012), menjelaskan bahwa personal
branding telah menjadi cara komunikasi yang efektif antara seseorang dan publik
masing-masing, membedakan mereka dari pesaing mereka berdasarkan nilai-nilai
keunikan dan berbeda. Selanjutnya Morton (2012), menunjukkan bahwa untuk
memulai proses branding, itu perlu untuk mengembangkan sebuah biografi prosesi
yang mencakup pernyataan merek pribadi, yang meliputi visi, tujuan, dan nafsu
yang membantu pengusaha memutuskan apa yang mereka cari.
Kotler et al. (1985) merujuk, dalam satu paragraf pada subjek, untuk
pemasaran individu sebagai 'orang marketing', dan menggunakan 'pemasaran diri'
untuk merujuk tren unik dan baru dimana konsumen menentukan sendiri produk
52
dan merek yang mereka beli. Alasan ungkapan 'pemasaran diri' yang digunakan
daripada 'pemasaran pribadi', karena yang terakhir memiliki konotasi personal
selling, yang memiliki makna yang berbeda dan mapan sendiri, dan karena
'pemasaran pribadi' kadang-kadang digunakan untuk memasukkan pemasaran
individu oleh orang lain.
Personal branding memiliki manfaat dalam hal meningkatkan kuantitas dan
kualitas pemohon (Collins dan Han, 2004) dan kinerja organisasi (Gerhart dan
Scott, 2003). Secara khusus, Lievens dan Highhouse (2003) mendefinisikan peran
atribut sebagai gambaran pekerjaan atau organisasi dalam hal tujuan, mendasar dan
faktual. Atribut simbolis digambarkan sebagai atribut subjektif, abstrak dan tidak
berwujud yang menyampaikan informasi perusahaan simbolis dalam bentuk citra
dan sifat penarikan kesimpulan bahwa pelamar menetapkan untuk organisasi. Dan
melaporkan bahwa dimensi gambar simbolis menyumbang varian tambahan dan
atribut penting dalam memprediksi daya tarik yang dirasakan pekerja. Slaughter et
al. (2004) memfokuskan pada dimensi gambar simbolis dan menjelaskan bahwa
mereka terkait dengan daya tarik organisasi. Selain itu, mereka menemukan bahwa
ciri spesifik diberikan untuk organisasi yang lebih menarik tergantung pada ciri-
ciri kepribadian.
Roffler (2002) merangkum proses dalam hal ini merek untuk orang-orang
adalah tentang menemukan 'ide besar' anda, inti Anda, dan meletakkannya di alam
semesta untuk memenuhi sendiri. Shepherd (2005) melaporkan temuan sebuah
studi yang mencoba untuk mendokumentasikan bagaimana pemasaran professional
53
muda melalui pendekatan pemasaran diri dan personal branding. Suatu bentuk
konflik merek muncul di tempat kerja setiap kali seorang karyawan
memperlihatkan merek pribadi selama pekerjaan mereka yang bertentangan
dengan merek yang didirikan oleh majikan mereka.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Pringle (2004) mencatat, yang
digunakan untuk mendukung merek komersial terkenal, tapi yang bersikeras
melakukannya hanya dengan cara yang berfungsi untuk lebih meningkatkan citra
merek pribadi mereka sendiri. Namun, merek pribadi tidak perlu bertentangan
dengan merek perusahaan. Sebagai alasannya Peters (1999) menunjukkan,
karyawan bisa mendapatkan keuntungan dari mengembangkan sinergi antara
merek pribadi mereka dan merek perusahaan.
McNally & Speak (2009) bahwa garis strategi untuk menyelaraskan nilai-
nilai merek pribadi dengan nilai-nilai merek majikan adalah self-help. Sementara
Montoya (2008) menyatakan bahwa bakat murni saja tidak cukup untuk mencapai
puncak kesuksesan. Sama seperti ekuitas merek mengacu pada nilai berharga dari
nama merek di atas dan melampaui apa yang dibenarkan oleh kualitas yang
diberikan (Holbrook 2001). Jadi pada dasarnya kehidupan kita setiap hari setiap
saat merupakan sebuah proses pembentukan personal branding yang juga berarti
citra diri kita atau "price" kita.
Mengacu pendapat McNally and Speak (2009), mendefinisikan dimensi
merek pribadi dan menegaskan platform merek pribadi meliputi kompetensi,
standar dan gaya yang masing-masing saling berhubungan. Karakteristik dalam
54
pembentukan suatu personal branding adalah layaknya seperti cara kerja merek
bisnis. Terdapat tiga komponen utama yang tergabung menjadi satu, yang
menentukan kekuatan dari suatu personal branding; merek yang khas, merek yang
relevan, merek yang konsisten.
Pendapat Aaker (1999) bahwa atribut simbolik terkait dengan kebutuhan
masyarakat untuk mempertahankan identitas diri mereka, untuk meningkatkan self-
image mereka, atau untuk mengekspresikan diri (keyakinan mereka, sifat dan
kepribadian mereka). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Kaputa (2005), dan Labrecque, L. I., et al. (2011), Lievens, F., et al. (2007),Vallas,
S. P. and E. R. Cummins (2015). Citra diri dapat membangun perilaku (Morhart et
al., 2009; Punjaisri et al., 2009). Organisasi bertanggung jawab untuk menciptakan
citra budaya (brand culture), penyampaian citra visi (sharing brand vision), dan
membangkitkan nilai citra diantara karyawan (Lee et al., 2013).
Berikut adalah model brand commitment dipengaruhi oleh brand knowledge,
psychological contract, dan employee brand fit (Terglav et al., 2016) seperti dalam
gambar dibawah ini.
55
Skala Keempat item pengetahuan citra karyawan diadopsi dari Baumgarth
dan Scmidt (2010), Kimpakorn dan Tocquer (2009), King dan Grace (2010),
merupakan skala original yang mencakup tujuh item dalam mengukur identitas
merek karyawan (brand identity). Peter Montoya (2002), menjelaskan bahwa
personal branding harus memiliki 8 yaitu: hukum Spesialisasi (The Law of
Specialization); Ability, Behavior, Lifestyle, Mission, Product, Profession, Service.
Kepemimpinan (The Law of Leadership), Kepribadian (The Law of Personality),
Perbedaan (The Law of Distinctiveness), The Law of Visibility, Kesatuan (The Law
of Unity), Keteguhan (The Law of Persistence), Nama baik (The Law of Goodwill).
Berbeda dengan Arruda (2003), yang menyatakan bahwa merek pribadi
mengandung arti sebagai: extract, express and exude. Disemsi tersebut juga
berbeda dengan McNally and Speak (2004), yang menjelaskan dimensi merek
pribadi meliputi kompetensi, standar dan gaya yang masing-masing saling
berhubungan. Selanjutnya McNally and Speak menyatakan bahwa komponen
utama yang tergabung menjadi satu, yang menentukan kekuatan dari suatu
personal branding; merek yang khas, merek yang relevan, merek yang konsisten.
Sementara Morton (2012), menunjukkan bahwa untuk memulai proses
branding itu meliputi visi, tujuan, dan nafsu mencapai apa yang dicari. Aaker
(1997) menjelaskan bahwa dimensi merek pribadi meliputi; sincerity (down-to-
earth, honest, wholesome, cheerful), excitement (daring, spirited, imaginative, up-
to-date), competence (reliable, intelligent, successful), sophistication (upper class,
charming), dan ruggedness (outdoorsy, tough).
56
Kramer (2016) menjelaskan 6 tipe merek pribadi antara lain: (The Alturist)
Altruis adalah individu yang sangat diakui atas komitmen mereka untuk membantu
orang lain. Mereka adalah orang-orang yang tidak hanya mendedikasikan diri
mereka dalam hal tindakan, tetapi juga dengan memperhatikan hubungan pribadi
mereka;
(The Careerist) Karier sejati adalah mereka yang telah menunjukkan
preferensi untuk kemajuan profesional di atas semua pencapaian pribadi lainnya.
Lebih sering dikaitkan dengan jaringan yang berhubungan dengan bisnis, selalu
berbagi informasi yang akan meningkatkan status mereka dalam industri mereka;
(The Hipster) Pencitraan hipster mengacu pada subkultur yang diakui dari
individu progresif yang merangkul individualitas di atas segalanya. Meskipun
sudah ada sejak jaman Jazz, hipster modern biasanya diasosiasikan dengan
generasi muda millennial yang menjauhi tren mainstream. Seorang hipster juga
adalah orang yang suka mencoba hal-hal pertama dan membaginya dengan orang
lain. Hipster dapat mengadopsi aspek altruisme dan karirisme. Bagi mereka,
berbagi dipandang sebagai bagian penting dari keberadaan mereka;
(The Boomerang) Jenis merek bumerang mengacu pada orang yang berbagi
konten dan menghasilkan interaksi hanya untuk menciptakan perselisihan melalui
kontroversi. Dalam banyak kasus, mereka tidak selalu setuju dengan pemilihan
konten untuk menyampaikan informasi untuk potensi yang dilihat sebagai
provokatif;
57
(The Connector) Konektor adalah orang-orang yang membanggakan
kemampuan mereka untuk menyatukan orang. Ini biasanya orang-orang yang
terhubung dengan baik dan secara terbuka menggunakan jaringan mereka untuk
bersatu. Biasanya kreatif, mereka mendapatkan validasi dan kepuasan melalui
orang lain;
(The Selective) Selektif adalah orang yang hanya berbagi informasi dengan
orang-orang tertentu. Mereka biasanya dengan hati-hati menyusun informasi
berdasarkan kebutuhan umum dan kepentingan khalayak target. Mereka dikenal
karena banyak akal.
Pendapat lain tentang karakteristik merek pribadi seseorang meliputi: Kepala
batu (konsisten, target, berani dengan resiko, sulit beradaptasi, dan emosional;
Pengikut (ceria, mudah beradaptasi, labil); Misterius ( tertutup, introfet); Murah
senyum (baik, ceria, mudah beradaptasi, empati); Ambisius (tujuan positif,
menghalalkan segala cara).
Dari beberapa pendapat dan hasil penelitian tersebut, terdapat kesamaan pada
dimensi kompetensi, berbeda atau unik, perilaku, dan khas. Berdasarkan hal
tersebut, maka konstruk merek pribadi adalah usaha membangun merek diri
berdasarkan Kompetensi, Standar, Gaya, Visibilitas, Konsistensi, Relevan, dan
Khas yang dimiliki seorang karyawan. Dan indicator merek pribadi diukur dengan
kompetensi (kreatif, inovatif), Standar (beban kerja, etika), gaya (visioner,
kooperatif), visibilitas (optimism, target kerja), konsistensi (semangat,
58
penyelesaian tugas), relevan (memahami teknologi, memahami lingkungan), khas
(terampil, kepekaan).
Gambar 2.6: Literatur review Personal Branding
2.1.7 Kepercayaan Diri (self-confidence)
Kepercayaan diri atau Self Confidence menurut Neill (2005) adalah sejauh
mana individu punya keyakinan terhadap penilaiannya atas kemampuan dirinya
dan sejauh mana individu bisa merasakan adanya kepantasan untuk berhasil.
Kepercayaan diri atau Self confidence diartikan sebagai perilaku yang membuat
individu memiliki pandangan positif dan realistis mengenai diri mereka sendiri dan
situasi di sekelilingnya. Menurut Bandura (1977), self confidence adalah suatu
59
keyakinan seseorang untuk mampu berperilaku sesuai dengan harapan dan
keinginannya. Pendapat tersebut didukung oleh Hurlock (1999). Sementara
Santrock (1999) berpandangan bahwa kepercayaan diri adalah sebagai harga diri
atau gambaran diri yang merupakan dimensi evaluatif yang menyeluruh dari diri.
Dari definisi diatas dapat didefiniskan bahwa Self Confidence atau
kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya
untuk mengembangkan penilaian positif terhadap diri sendiri dan terhadap
lingkungan atau situasi yang dihadapinya. Kepercayaan diri adalah sebuah kondisi
dimana individu merasa optimis dalam memandang dan menghadapi sesuatu
dalam hidupnya.
Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan kepercayaan diri.
Kepercayaan diri sangat tergantung kepada konsep diri. Konsep diri berasal dan
berkembang sejalan pertumbuhannya, terutama akibat dari hubungan individu
dengan orang lain (Centi,1993). Yang dimaksud dengan orang lain menurut
Calhoun dan Acocella (1990) adalah orang tua, kawan sebaya, dan masyarakat.
Karena orang tua adalah kontak sosial yang paling awal yang dialami oleh
seseorang dan yang paling kuat. Informasi yang diberikan orang tua kepada
anaknya lebih dipercaya dari pada informasi yang diberikan oleh orang lain dan
berlangsung hingga dewasa. Kawan sebaya dimana peran yang diukur dalam
kelompok sebaya sangat berpengaruh terhadap pandangan individu mengenai
dirinya sendiri. Sementara masyarakat sangat mementingkan fakta-fakta yang ada
60
pada seorang anak, siapa bapaknya, ras dan lain-lain sehingga hal ini sangat
berpengaruh terhadap konsep diri yang dimiliki oleh seorang individu.
Dari paparan tentang berbagai hal yang mempengaruhi pengembangan
kepercayaan diri diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kepercayaan diri
merupakan salah satu ciri sifat kepribadian bukan sifat bawaan atau genetik. Tetapi
merupakan sesuatu yang terbentuk dari interaksi dirinya dengan orang lain
terutama keluarga sebagai orang terdekat, setelah itu kelompok sebaya dan
masyarakat dimana orang tinggal. Selain itu usia, jenis kelamin, penampilan fisik
serta frekuensi meraih prestasi merupakan faktor yang mempengaruhi percaya diri.
Gilmer (1978) menambahkan bahwa orang yang mempunyai rasa percaya diri
biasanya memiliki sikap berani menghadapi setiap tantangan dan terbuka terhadap
pengalaman-pengalaman baru, berkat keyakinannya atas kemampuannya sendiri
tersebut. Ciri orang yang percaya diri menurut Waterman (1980) yaitu orang yang
memiliki kemampuan bekerja yang efektif, bertanggungjawab serta terancana
matang dalam mengerjakan tugas dan tujuan masa depan.
Tidak terlalu berbeda dari gambaran diatas Lauster (1978) menyebutkan
ciri dari orang yang percaya diri adalah perasaan atau sikap tidak mementingkan
diri sendiri, cukup toleransi, tidak memerlukan pengakuan orang lain, selalu
optimis dan tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan.
Beberapa ciri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri
yang proporsional menurut (Rini, 2002) diantaranya adalah: percaya akan
kompetensi/ kemampuan diri, tidak terdorong untuk menunjukkan sikap
61
konformis, berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain, punya
pengendalian diri yang baik dan emosinya stabil, memandang keberhasilan atau
kegagalan dari usaha sendiri, mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri
sendiri, orang lain dan situasi diluar dirinya, memiliki harapan yang realistis
terhadap diri sendiri.
Santrock (1999) menyebutkan ada empat cara meningkatkan rasa percaya
diri remaja yaitu : mengidentifikasi penyebab kurang percaya diri dan identifikasi
domain-domain kompetensi diri yang penting, memberi dukungan emosional dan
penerimaan sosial, prestasi, mengatasi masalah. Rini (2002) menjelaskan untuk
menumbuhkan rasa percaya diri yang proporsional dapat dilakukan dengan cara:
evaluasi diri secara objektif, memberi penghargaan yang jujur terhadap diri,
berpikir positif, menggunakan penguatan diri, berani mengambil resiko,
menetapkan tujuan realistis, belajar mensyukuri dan menikmati rahmat Tuhan.
Maka konstruk kepercayaan diri dapat dinyatakan sebagai perilaku individu
yang memiliki pandangan positif, dan realistis terhadap dirinya dan
lingkungannya, sesuai dengan harapan dan keinginannya, sebagai harga diri atau
gambaran diri, dan memiliki sikap evaluatif yang menyeluruh dari dirinya dan
objektif dalam menetapkan tujuan. Dan indicator kepercayaan diri diukur dengan
pandangan positif (adaptasi, mendukung), tujuan yang realistis (motivasi kerja,
hasil kerja), keahlian (kemampuan, penguasaan), harga diri (kehormatan, status),
evaluasi diri (introspeksi, kontribusi).
62
2.2 Posisi Penelitian
Perkembangan konsep pemikiran tentang nilai-nilai pribadi, kompetensi
budaya, merek pribadi, dan kepercayaan diri, sebagaimana dirincikan dalam tabel
berikut :
Tabel 2.2 : Perkembangan konsep Variabel
Literatur
terkini
Perkembangan penelitian
Nilai pribadi Kompetensi budaya Merek pribadi Kepercayaan diri
Tinjauan
literature
Rokeach (1973)
Schwartz (1992)
Kahle (1983)
Hostede (1984)
Schmuck dan
Vlek (2003)
Anana & Nique
(2007)
Kamakura,
Mazzon (2010)
Cai dan Shannon
(2012)
Charlotte
Wittenkamp
(2014)
Sir Eduarel Baylor (1871)
Hage (1965)
Stewart (1974)
Sitaram, Cogdell, Gernard
Maletzke (1963)
Hofstede (1984)
Taylor (1994)
Gudykunts, Kim (1996)
Chendan Starosta (1996)
O‟Sullivan (1999)
Bennett (2000)
Purnell (2002)
Rowley (2010)
Tom Peter (1997)
Aaker (1997)
Holbrook (2001)
McNally and Speak
(2002)
Peter Montoya (2002)
Arruda (2005)
Kotler (2005)
Baumgarth dan Scmidt
(2010)
Schip Hartman (2011)
Lee (2013)
Terglav (2016)
Bandura (1977),
Lauster (1978),
Waterman
(1980)
Calhoun dan
Acocella (1990),
Centi,1993),
Santrock (1999),
Hurlock (1999),
Rini (2002),
Neill (2005)
Konsep
penelitian
saya
Prestasi, Empati,
Hedonis,
Kebaikan,
Kerjasama,
Tanggung Jawab
Kesadaran Budaya,
Kepekaan Budaya,
Kecerdasan Budaya,
Pengetahuan Budaya,
Keahlian Solutif, Sikap
Internalisasi
Kompetensi, Gaya,
Standar, Visibilitas,
Konsistensi, Relevan,
Khas
Pandangan
Positif, Tujuan
Realistis,
Keahlian, Harga
Diri, Evaluasi
Diri
63
Tabel 2.3: Posisi Disertasi dibandingkan dengan penelitian terdahulu
No Nilai-nilai Pribadi
Peneliti Judul Metode Dimensi Hasil Persamaan Perbedaan
1
Kahle, Beatty,
& Homer
(2012)
Brief Alternative
Measurement
Approaches to Consumer
Values : The List
of Values (LOV ) and Values and
Life Style
(VALS) Journal of
Consumer
Research,
Membandingkan
dan kontras dua
metode pengukuran nilai
konsumen:
Daftar Nilai-Nilai (LOV) dan
Nilai dan Gaya
Hidup (VALS).
Set penilaian
LOV dan
VALS
LOV memiliki beberapa
keunggulan
dibandingkan dengan VALS yaitu dalam
domain publik dan
berhubungan lebih dekat dengan perilaku
konsumen
Metode
yang
digunakan dan alat
analisisnya
ANOVA
Dimensi yang
digunakan
dan metode SEM serta
unit
analisisnya 4 negara
2
Durvasula &
Lysonski (2011)
Beyond service attributes : do
personal values
matter ?
Journal of
Services Marketing, 25(1)
Mengkaji bagaimana
pribadi nilai
beroperasi di evaluasi layanan
pendidikan yang
lebih tinggi
Layanan Nilai pribadi,
layanan
Hidup Damai,
layanan
Peran Sosial, layanan
Integrasi
Sosial
Hasil menggambarkan
dampak nilai-nilai
pribadi pada kepuasan dan perilaku hasil
Metode
yang digunakan
yaitu
metode survey
Indikator
yang digunakan
3
Kamakura
&Novak
(1992)
Value-System Segmentation:
Exploring
the Meaning of
LOV
Journal of Consumer
Research, 19(1)
Mengidentifikasi
segmen nilai-
sistem laten yang berasal dari
peringkat item
LOV. segmen
value system
tingkat tinggi
mencerminkan bahwa beberapa
nilai akan
mempengaruhi perilaku individu
Nilai-nilai,
Segmen
nilai-nilai,
pemetaan
Nilai
Menjelaskan prosedur
pemetaan lebih abstrak
karakteristik struktural Pemetaan Nilai Nilai-
sistem segmen
diidentifikasi oleh
Kamakura segmen
sistem nilai.
Metode
yang
digunakan
yaitu
metode
survey dan komparatif
Indikator
yang
digunakan
4 Schwartz
(1994)
Are there
universal aspects in the content
and structure of
values? Journal of Social
Issues, 50
Mengidentifikasi aspek nilai dan
struktur nilai
terhadap etika seseorang
transendensi
diri dan peningkatan
diri
Bahwa nilai pribadi
mempengaruhi etika dari internal didorong
secara konsisten
Metode
yang digunakan
yaitu
metode survey dan
komparatif
Indikator
yang
digunakan
5 Karacaer
(2009)
Effects of
Personal Values on Auditor „ s
Ethical Decisions
: A Comparison of Pakistani and
Turkish Professional
Auditors.
Journal of
Business Ethics,
53-64
Menyelidiki efek
dari nilai-nilai
pribadi pada
etika pengambilan
keputusan
auditor di dua negara, yakni,
Pakistan dan
Turki
Rokeach Value Survey
(RVS), Ethical
Decision
Penelitian ini tidak
menemukan perbedaan yang signifikan antara
nilai rata-rata intensitas
moral di kedua negara.
Di sisi lain,
menemukan perbedaan yang signifikan secara
statistik antara terminal
dan nilai-nilai instrumental auditor.
Studi ini menunjukkan
bahwa persepsi intensitas moral
dipengaruhi penilaian
etis dan niat perilaku
Metode
yang
digunakan yaitu
metode
survey dengan
teknik SEM
Indikator
yang digunakan
64
No Kompetensi Budaya
Peneliti Judul Metode Dimensi Hasil Persamaan Perbedaan
1
Josepha
Campinha-
Bacote (2002)
The Process of
Cultural
Competence in
the Delivery of
Healthcare
Services: A
Model of Care
Proses
melibatkan
integrasi
kompetensi
budaya
kesadaran
budaya,
pengetahuan
budaya,
keterampilan
budaya,
budaya
pertemuan,
dan keinginan
budaya.
Konstruksi
dari
kesadaran
budaya,
pengetahuan
budaya,
keterampilan
budaya,
pertemuan
budaya, dan
keinginan
budaya
memiliki
hubungan
saling
tergantung
satu sama
lain.
Menggunakan
metode survey dengan teknik
analisis
ANOVA, kesamaan
pada indikator
kesadaran,
pengetahuan,
dan
keterampilan budaya
Indikator
yang
digunakan
dan
dimensi
pertemuan
dan
keinginan
2 Larry Purnell,
(2002)
The Purnell
Model for
Cultural
Competence
Konsep meta-
paradigma,
dan skala
kompetensi
budaya.
Karena model
memiliki
skema
dikombina
sikan dengan
pengorganisas
ian
framework
12 domain
yang terdiri
atas
pengorganisas
ian
kerangka
secara singkat
bersama
dengan
primer dan
karakteristik
sekunder
budaya, yang
menentukan
macam-
macam nilai,
keyakinan,
dan praktik
warisan
budaya
individu.
The Purnell
Model dalam
menentukan nilai dan
pentingnya
model untuk profesi
kesehatan di
masa depan. bagaimana
masing-
masing profesi
kesehatan
dapat menggunakan
model dan menerapkan
konsep-
konsep dalam praktek.
Metode yang
digunakan
yaitu survey
dengan
teknik
analisis
ANOVA
Dimensi
yang
digunakan
serta
indikatorny
a berbeda
3
Stephanie M.
Reich·Jennife
r A. Reich
(2006)
Cultural Competence in
Interdisciplinary
Collaborations: A Method for
Respecting
Diversity in Research
Partnerships
Membandingka
n antar budaya
menggunakan
ANOVA
Keahlian
budaya,
adaptasi
budaya
Keahlian dan pemahaman
serta adaptasi
budaya yang diterapkan
dapat
mendorong kompetensi
budaya
Menggunakan
metode survey dengan teknik
analisis
ANOVA
Dimensi
dan
indicator
yang
digunakan
4
Arthur L.
Whaley and
King E. Davis
(2007)
Cultural Competence and
Evidence-Based
Practice in Mental Health
Services
A Complementary Perspective
Menggunakan metode survey
dengan teknik
analisis ANOVA
Pemahaman budaya, obyek
observasi pada
pelayanan kesehatan
Persepsi positif
terhadap jasa
pelayanan antar budaya bagi
pelayanan
kesehatan
Menggunakan metode survey
dengan teknik
analisis ANOVA
Dimensi dan
indicator
yang digunakan
serta unit
observasinya
65
5
Arno K.
Kumagai,
MD, and
Monica L.
Lypson, MD
(2009)
Beyond Cultural
Competence:
Critical
Consciousness,
Social Justice,
and
Multicultural
Education
Menggunakan
metode
survey
dengan teknik
analisis
regresi
Sikap
consensus,
keadilan
sosial
Kompetensi
budaya dapat
berjalan baik
dengan
konsesnsus
dan perlakuan
yang adil bagi
budaya lain
Menggunakan metode survey
Metode
SEM, dimensi dan
indikatornya
6
Joseph R.
Betancourt,
MD,
MPH,
Alexander R.
Green, MD,
J. Emilio
Carrillo, MD,
MPHd,
Owusu
Ananeh-
Firempon
(2003)
Defining Cultural
Competence:
A Practical
Framework for
Addressing
Racial/Ethnic
Disparities
in Health and
Health Care
Menggunakan
metode
survey
dengan teknik
analisis
ANOVA
Latar
belakang
budaya, ras,
gender
Kompetensi
budaya dapat
menghilangka
n diskriminasi
ras, etnik, dan
gender
Menggunakan
metode survey
dengan teknik analisis
ANOVA
Metode
SEM,
dimensi dan
indikatornya
7
Marcia I.
Wells EdD,
RN (2015)
Beyond Cultural
Competence: A
Model for
Individual and
Institutional
Cultural
Development
Menggunakan
metode
survey
dengan teknik
analisis
regresi
Kurikulum,
nilai individu,
budaya
lembaga
Kompetensi
budaya dapat
dilakukan
melalui nilai
individu dan
budaya
lembaga
Menggunakan
metode survey
Metode
SEM dan
dimensi
8
Elizabeth M.
Vera
Suzette L.
Speight
(2003)
Multicultural
Competence,
Social Justice,
and Counseling
Psychology:
Expanding Our
Roles
Menggunakan
metode
survey
dengan teknik
analisis SEM
Media,
keadilan
social,
disiplin
Kompetensi
budaya
dipengaruhi
oleh media
yang
digunakan,
perlakuan adil
dan displin
pegawai
Menggunakan
metode survey
dengan teknik analisis SEM
Dimensi
dan
indikator
9
Elizabeth
Mackenzie
Risa Lavizzo-
Moure (1996)
Cultural
Competence:
Essential
Measurements of
Quality for
Managed Care
Organizations
Menggunakan
metode
survey
dengan teknik
analisis
ANOVA
Kualita hidup,
harapan,
tanggung
jawab
Kompetensi
budaya
dipengaruhi
oleh kualitas
hidup,
tanggung
jawab dan
harapan
pegawai
Menggunakan
metode survey dengan
Menggunak
an metode
survey
dengan
teknik
analisis
SEM
10
Melanie
Tervalon, Jann Murray-García
(1998)
Cultural Humility
Versus Cultural
Competence: A Critical Distinction
in Defining
Physician Training Outcomes in
Multicultural
Education
Menggunakan
metode survey dengan teknik
analisis regresi
Harapan,
prsepsi dan
pendidikan
Persepsi terhadap
kesehatan dan
tingkat
pendidikan akan
meningkatkan
persepsi yang baik
terhadap
kompetensi
budaya
Menggunakan metode survey
Menggunakan metode
survey
dengan teknik
analisis SEM
66
No Merek Pribadi
Peneliti Judul Metode Dimensi Hasil Persamaan
Perbedaan
1 Tom
Peters
(1997)
The brand called you”,
FastCompany, 10,
pp.83-8?. Pink, D.
(2001) Free Agent
Nation: How
America‟s new
independent workers
are transforming the
way we live
Menggunakan
uji beda dalam
menguji
masing-masing
karyawan
Tanda
perbedaan
Semakin berbeda
dan unik seseorang
akan memberikan
nilai keunggulan
Mengguna
kan
metode
survey
dengan
teknik
analisis
SEM
Dimensi
dan
indicator
yang
digunakan
2 McNally
& Speak
(2002)
Be your own brand.
American Salesman,
47
Menggunakan
regresi untuk
mencari
pengaruh
variable
Kompeten
si, gaya,
standar
Kompetensi akan
mempengaruhi
kualitas kerja, gaya
dapat mencirikan
cara kerja yang
baik, dan standar
kerja yang
melebihi
persepsinya
Dimensi
yang
digunakan
, metode
survey
dengan
teknik
analisis
SEM
Indikator
yang
digunakan
3 Peter
Montoya
(2002)
The Personal branding
Phenomenon,
Nashville,
VaughanPrinting
Menggunakan
metode SEM
untuk
menentukan
pengaruhnya
Spesialisasi
kepribadian perbedaan,
nama baik,
visibility
Keunggulan
bersaing dapat
dipengaruhi oleh
faktor kepribadian
pegawai, keahlian
yang dimiliki,
keunikan dan
visibility
Mengguna
kan
metode
survey,
dimensi
yang
digunakan
Mengguna
kan teknik
analisis
SEM
4
Raluca
Ioana
Vosloban
(2014)
Employee‟s personal
branding as a
competitive advantage
– a managerial
approach
The International
Journal of
management Science
and Information
Technology
Penelitian ini kualitatif
eksploratif
menggunakan semi-terstruktur
wawancara
mendalam, Penelitian ini
dilakukan di antara 12
manajer dan
supervisor dari perusahaan
swasta yang
berbeda di Bucharest dari
sektor bisnis
yang berbeda.
bersosialisasi, optimis,
berdedikasi
bertanggung jawab,
efisien,
berorientasi hasil,
termotivasi untuk
mencapai
tujuan,
hormat,
pikiran
terbuka
studi eksplorasi ini
menunjukkan
personal branding karyawan dan
bagaimana
dapat menjadi keuntungan
kompetitif untuk menjadi
performa baik dan
memiliki citra positif, dan
merek pribadi mereka
berkontribusi bagi pertumbuhan
perusahaan,
Mengguna
kan
metode
survey
Teknik
analisis
SEM dan
Dimensi
yang
digunakan
5 Laura
Patterson
(2010)
Using a Personal Brand to Create a Competitive
Advantage
Vision edge marketing
Kualitatif dengan
interview yang mendalam
terhadap
penduduk Amerika
pedalaman.
Mengkomu
nikasikan, mengelola,
dan
mengendalikan merek
pribadi
Bahwa untuk
berkembang, baik
dalam pekerjaan
tradisional atau
lingkungan non-
tradisional, mereka
Menggunak
an metode
survey
Teknik analisis
SEM dan
Dimensi yang
digunakan
67
harus memiliki
pemahaman
tentang nilai dan
merek pribadi
mereka dapat
mengkomunikasik
an merek pribadi
kepada orang lain.
Memahami,
mengendalikan
dan mengelola
merek pribadi
mereka menjadi
keunggulan
kompetitif.
No Kepercayaan Diri
Peneliti Judul Metode Dimensi Hasil Persamaan Perbedaan
1
MTD
Training
(2013)
Personal
confidence and
motivation
Pengujian
terhadap teori
kepercayaan
diri dan
pengembang
annya
Kompetensi
dan
penjaminan
diri
Kepercayaan diri
merupakan hal
yang sangat
penting dalam
recovery
keterbatasan,
mengembalikan
kondisi semula,
dan merubah
pengalaman hidup
lebih baik
Menggunakan
metode survey
Teknik
analisis
SEM dan
Dimensi
yang
digunakan
2
Kasia
Lyczkowska
(2014)
Self-confidence
at work
Pengujian
terhadap teori
kepercayaan
diri melalui
imajinasi
psikologi
Visualisasi
yang kuat,
Disiplin diri
melakukan
dari kekuatan
diri,
keyakinan
diri (self
efficacy),
bahasa tubuh,
merencanaka
n tujuan.
Komunikasi
internal dan
eksternal
Rendahnya
kepercayaan diri
diikuti oleh nilai
negative atau
terbatasnya
gambaran diri,
oleh karena itu
menciptakan
sesuatu yang
baru dengan
gambaran diri
yang positif
melalui
visualisasi akan
meningkatkan
kepercayaan diri
Menggunakan
metode survey
Teknik
analisis
SEM dan
Dimensi
yang
digunakan
3
Tim
Woodman,S
ally
Akehurst,
Lew Hardy,
, Stuart
Beattie
(2010)
Self-confidence
and
performance: A
little self-doubt
helps
nakhoda ahli,
kepercayaan
diri
berkurang
melalui
kombinasi
tugas (yaitu,
perubahan
tali) dan
Kinerja,
waktu reaksi
Penurunan yang
signifikan dalam
kepercayaan diri
dan peningkatan
yang signifikan
dalam perfor-
Mance dari praktek
persaingan untuk
kelompok
Menggunakan
metode survey
Teknik
analisis
SEM dan
Dimensi
yang
digunakan
68
tuntutan
kompetitif.
On-tugas
usaha
diukur
melalui
waktu reaksi
verbal untuk
penyelidikan
pendengaran.
eksperimen saja.
Tidak ada efek
upaya signifikan
yang
mengungkapkan.
Beberapa keraguan
diri bisa
mendapatkan
keuntungan
kinerja, yang
diterima secara
luas
hubungan linear
positif antara
kepercayaan diri
dan kinerja.
4 Lisa Tsu i
(1998)
Th e Effects of
Gender ,
Education , and
P ersonal Skills
Self-Confidence
on Income in
Business
Management
Membanding
kan
kepercayaan
diri dan
pendapatan
antara laki-
laki dan
perempuan,
dan metode
regresi
Kepercayaa
diri sosial
Menemukan
bahwa setelah
mengendalikan
jam bekerja, latar
belakang
pendidikan, dan
kepercayaan diri
dalam
keterampilan
seorang, laki-laki
masih menerima
gaji yang lebih
tinggi dari pada
wanita.
Menggunaka
n metode
survey
Teknik
analisis
SEM dan
Dimensi
yang
digunakan
5
Cristina
Georgiana
Safta (2015)
Career Decisions – a Test of Courage,
Responsibility and Self-Confidence in
Teenagers
Menggunakan metode survey
dengan teknik analisis
ANOVA
Tanggung
jawab, keyakinan diri
Tanggung jawab dan keyakinan diri akan
meningkatkan kepercayaan diri
remaja
Menggunakan
metode survey
Teknik
analisis
SEM dan
Dimensi
yang
digunakan
6
Roland Be‟ ´
Nabou and Jean Tirole
(2002)
Self-Confidence
and Personal
Motivation
Menggunakan
metode survey dengan teknik
analisis regresi
Harapan, kepercayaan
Kepercayaan diri
karyawan
dipengaruhi secara positif oleh harapan
dan kepercayaan
karyawan
Menggunakan
metode survey
Teknik
analisis SEM
dan Dimensi
yang
digunakan
7 Andrea Nolan, Tebeje Molla
(2017)
Teacher
confidence and
professional
capital
Menggunakan
metode survey dengan teknik
analisis
ANOVA
Keahlian,
keyakinan
Kepercayaan diri
karyawan dipengaruhi oleh
keahlian dan
keyakinan
Menggunakan
metode survey
Teknik
analisis
SEM dan
Dimensi
yang
digunakan
8
Šárka
Hošková-
Mayerová
(2014)
The Effect of
Language Preparation on
Communication
Skills and Growth of
Students´ self-
Confidence
Menggunakan
metode survey dengan teknik
analisis
ANOVA
Bahasa,
komunikasi,
keahlian
Kepercayaan diri
seseorang
dipengaruhi oleh
bahasa, keahlian
dan komunikasi
yang digunakan
Menggunakan
metode survey
Teknik
analisis
SEM dan
Dimensi
yang
digunakan
69
9
Samane
Jahanbakhsh
(M.A.),,
Farhad
Jomehri
(Ph.D.),
Adis
Kraskian
Mujembari
(Ph.D.)
(2015)
The Comparison
of Women‟s
Self Confidence
in Base of
Gender
Role
Menggunaka
n metode
survey
dengan
teknik
analisis
komparatif
Kesetaraan,
keadilan,
keahlian
Tidak ada
perbedaan gender
dalam kepercayaan
diri yang
dipengaruhi oleh
keadilan dan
keahlian yang
dimiliki
Menggunakan
metode survey
Teknik
analisis
SEM dan
Dimensi
yang
digunakan
10
Jacky C.K.
Chan, MSc,
at al. (2015)
The Chinese
Student
Satisfaction and
Self-Confidence
Scale Is Reliable
and Valid
Menggunaka
n metode
survey
dengan
teknik
analisis
regresi
Menggunaka
n metode
survey
dengan
teknik
analisis
ANOVA
Menggunakan
metode survey
dengan teknik
analisis ANOVA
Menggunakan
metode survey
Teknik
analisis
SEM dan
Dimensi
yang
digunakan
11
Vullioud
C.,at al.
(2016)
Confidence as
an Expression of
Commitment:
Why Misplaced
Expressions of
Confidence
Backfire
Menggunaka
n metode
survey
dengan
teknik
analisis
ANOVA
Komitmen,
tempat kerja,
kebebasan
ekspresi
Kepercayaan diri
karyawan
dipengaruhi secara
positif oleh
komitmen dan
kebebasan
berekspresi di
tempat kerja
Menggunakan
metode survey
Teknik
analisis
SEM dan
Dimensi
yang
digunakan
Berdasarkan hasil penelitian para ahli antara lain keyakinan mereka bahwa
nilai-nilai pribadi secara langsung mempengaruhi perilaku (seperti Fraj &
Martinez, 2006; Henry, 1986; dan Humayun & Hasnu, 2009), melihat nilai-nilai
sebagai motivasi utama bahwa orang-orang langsung memiliki disposisi perilaku
tertentu. Tapi aliran lain melihat nilai-nilai pribadi mempengaruhi perilaku melalui
konstruk sikap (seperti Anana & Nique, 2007), (Cai & Shannon, 2012), dan
(Y. Kim, 2011). Urutan nilai-sikap-perilaku yang dikenal sebagai pendekatan VAB
(Value-Attitude-Behavior). Orang-orang cenderung untuk mengekspresikan
nilainya dengan memiliki sikap positif terhadap objek atau perilaku yang
mendukung pencapaian nilai (Fraj & Martinez, 2006).
70
Namun, hanya segelintir penelitian telah memfokuskan pada pengaruh nilai
kerja (Mitchell & Scott, 1990) dan nilai-nilai pribadi (Barnett & Karson, 1987)
dalam praktik bisnis. Berarti bahwa nilai-nilai pribadi merupakan pengaruh dari
internal yang didorong secara konsisten yang lebih mungkin untuk melakukan
keputusan bisnis yang etis. Dan skenario etis (Sawyer & Ball, 1981). Banyak teori
dan peneliti percaya bahwa hirarki nilai-nilai pribadi terorganisir sesuai dengan
kepentingan relatif mereka untuk individu (Locke, 1991). Konstruk lain yang
diyakini memiliki hubungan yang signifikan dengan nilai pribadi adalah adopsi
inovasi. Alasan kemudahan adopsi ini dijelaskan oleh hubungan yang mendekati
antara nilai-nilai dan kerentanan pengaruh interpersonal (Anne & David, 2005).
Dalam penelitian lintas budaya ditemukan bahwa pelaksanaan dan penguasaan
yang dilakukan dimediasi hubungan keadilan-komitmen (justice-commitment) dan
prosedur keadilan-kepercayaan (justice-trust). Perbandingan antara negara-negara
yang menunjukkan perbedaan lintas budaya yang terbatas. (Zhou Jiang, Paul J.
Gollan, Goedon Brooks, 2015)
Sampai saat ini, penelitian tentang personal branding masih relatif langka.
Bukti empiris telah menemukan bahwa berbagai praktik perekrutan awal dapat
digunakan untuk eksternal memasarkan merek (Collins dan Stevens, 2002) dan
bahwa personal branding memiliki manfaat dalam hal meningkatkan kuantitas dan
kualitas pemohon (Collins dan Han, 2004). Berdasarkan beberapa hasil penelitian
terdahulu dapat dikatakan bahwa nilai-nilai pribadi dapat mempengaruhi perilaku
dari internal yang didorong secara konsisten yang fokus pada pengembangan
71
keahlian khusus untuk meningkatkan keterampilan tertentu dan kualitas diri
karyawan. Walaupun ada perbedaan kecenderungan dalam konteks budaya, namun
dapat mendorong peningkatan kinerja karyawan. Jika demikian, bila nilai-nilai
pribadi baik, maka kompetensi budaya dalam lintas budaya akan baik, sehingga
mendorong pembentukan merek pribadi yang baik, dan berdampak terhadap
peningkatan kepercayaan diri karyawan.
Berdasarkan beberapa literatur dan bukti empiris dari penelitian terdahulu,
maka penelitian tentang nilai-nilai pribadi dan kompetensi budaya ada kesamaan
dengan Schwartz, Sarath. N. and Cathy.O.S. (2001), Kahle, Beatty, & Homer
(2012) yaitu pada dimensi variabel yang digunakan. Namun ada perbedaan dalam
hal unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 4 negara yaitu Jepang,
Korea, China, dan Indonesai. Sementara untuk variabel kompetensi budaya, merek
pribadi, dan kepercayaan diri, ada kesamaan dimensi yang digunakan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Bennett, Purnell, Kaputa (2012), Peter Montoya
(2002), McNally & Speak (2002), pada dimensi kompetensi, gaya, standar, nilai,
langka, visibilitas, konsistensi, namun juga ada perbedaan dalam hal metode yang
digunakan, yaitu dalam penelitian ini menggunakan metode campuran dan metode
komparatif Kruskall Walls dengan unit analisisnya yaitu tenaga kerja lokal dan
asing pada perusahaan modal asing.
Salah satu atau beberapa variabel sama dengan variabel yang diuji oleh
peneliti sebelumnya, namun dilakukan pada unit analisis yang berbeda dan
dengan metode penelitian yang berbeda serta dengan komposisi susunan
72
variabel yang berbeda, dengan pengembangan dimensi, indikator, dan
paradigma penelitian yang berbeda.
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan yaitu metode campuran dengan
unit analisis tenaga kerja asing dan tenaga kerja lokal di provinsi Banten Indonesia.
Dan juga perbedaan variabel dan dimensi yang mempengaruhi kepercayaan diri
seorang karyawan, yaitu dipengaruhi secara langsung oleh nilai-nilai pribadi dan
kompetensi budaya, dan juga dipengaruhi melalui variable personal branding, baik
tenaga kerja lokal maupun tenaga kerja asing.
State of the art dalam penelitian ini adalah bahwa tingkat kepercayaan diri
seorang karyawan dipengaruhi secara langsung oleh nilai-nilai pribadi dan
kompetensi budaya, dan secara tidak langsung melalui merek pribadi, baik
karyawan lokal maupun karyawan asing. Dengan demikian penulis berkeyakinan
bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sehingga memiliki
orisinalitas yang tinggi. Sehingga diharapkan penelitian ini menghasilkan novelty
berupa model integrasi merek pribadi dalam meningkatkan kepercayaan diri.
Berdasarkan pertimbangan pemetaan antara teori dan metode penelitian,
dimana dalam disertasi secara teori variabel penelitian, penulis sudah
melakukan pengembangan pembentukan konstruk, dimensi, maupun indikator
dalam variabel penelitian agar lebih cocok dengan kondisi empirik unit
analisis.
Penulis berkeyakinan untuk padanan teori dalam penelitian ini
berkategori inovasi, demikian pula halnya dengan metode penelitian yang
73
digunakan dalam hal ini penulis mencoba mengkombinasikan anatar metode
kuantitatif dengan metode kualitatif secara komprehensip dengan metode yang
relatif masih jarang digunakan peneliti sebelumnya, serta atas dasar
pertimbangan hasil dari penelitian ini dalam bentuk novelty yang sejauh ini
penulis menelusuri kajian sebelumnya, maka novelty yang penulis susun
dalam kategori temuan disertasi ini merupakan kategori Inovasi.
2.3 Kerangka Pemikiran
Menurut Fiber Luce (1991) hakikat studi lintas budaya adalah studi
komparatif yang bertujuan membandingkan variabel budaya tertentu dan
konsekuensi atau akibat dari pengaruh kebudayaan, dari dua konteks kebudayaan
atau lebih. Cai & Shannon (2012) mengadaptasi model VAM (Value-Attitude-
Motivation) dan menegaskan bahwa ada aliran kausal antara nilai-sikap-perilaku.
Kerangka dasar penelitian ini adalah bahwa kepercayaan diri seseorang sangat
dipengaruhi oleh sikap, pikiran positif, berani menghadapi resiko, yang
mencerminkan nilai-nilai pribadi seseorang. Dan juga bagaimana pandangan
seseorang terhadap kompetensi budaya yang dipahaminya sehingga membentuk
merek pribadi yang unik dengan kompetensi yang dimilikinya.
2.3.1 Keterkaitan Nilai-nilai Pribadi dengan Kepercayaan Diri
Nolan (2017), menemukan bahwa keuntungan kepercayaan diri peserta
selaras dengan pengembangan para profesional yang meliputi akuisisi pengetahuan
dan keterampilan (modal manusia), partisipasi dalam jaringan komunitas
74
pembelajaran kolaboratif (modal sosial), dan kemampuan untuk menjalankan hak
profesional (modal keputusan). Kerangka konsep yang menarik dari penelitian
Hargreaves dan Fullan (2012) yang berkaitan dengan modal profesionalisme guru
yang meliputi tiga modal dasar yaitu; manusia (subjek pengantar pengetahuan),
sosial (interaksi dan partisipasi masyarakat) dan keputusan (komitmen dengan
profesi), yang menggambarkan keterkaitan antara perkuliahan profesional,
profesionalisme guru, dan rasa percaya diri guru. Umumnya profesi ditandai
dengan self regulation, pengetahuan khusus, dan kepatuhan terhadap kode etik
yang dirumuskan oleh anggota.
Pemikiran Dierking dan Fox (2012), terdapat tiga cara untuk menganalisis
data kualitatif keyakinan guru, yaitu; mencatat laporan adanya kepastian dalam
praktek profesional, menyoroti suara percaya diri sebagai hasil dari pengetahuan
dan sasaran keterampilan, dan mengidentifikasi langsung laporan kepercayaan kata
sebagai bagian dari hasil belajar. Lavié (2006) menyatakan bahwa masyarakat
profesional menyoroti sifat sosial dari pembelajaran mereka yang ditandai dengan
penyelidikan kolektif, nilai-nilai bersama, dan yang mendukung dan kolaboratif
budaya belajar.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa nilai-
nilai pribadi yang meliputi Achievement, Empaty, Hedonism, Humility,
Cooperation, dan responsibility dapat meningkatkan kepercayaan diri karyawan.
75
Gambar 2.7: Keterkaitan Nilai-nilai pribadi dengan kepercayaan diri
2.3.2 Keterkaitan Nilai-nilai Pribadi dengan Merek Pribadi
Podsakoff et al., (2000) menjelaskan bahwa perilaku menolong, sportivitas,
loyalitas organisasi, kepatuhan organisasi, inisiatif individu, civic virtue dan
pengembangan diri. Beliau juga menambahkan bahwa pengembangan diri
termasuk perilaku sukarela pada tujuan meningkatkan pengetahuan, keterampilan,
dan kemampuan. Posner dan Schmidt (1996) dikutip dalam (Karacaer, 2009)
menggambarkan nilai-nilai sebagai inti kepribadian, mempengaruhi individu
dalam membuat pilihan dan cara individu dan organisasi dalam menginvestasikan
waktu dan energi. Karyawan dipengaruhi secara berbeda oleh persepsi keadilan
tergantung pada orientasi nilai mereka (Fischer & Smith, 2006 ).
Model keterkaitan personal branding bahwa karakter dan kecocokan dari
relasi merupakan faktor yang mempengaruhi sikap dalam pembelian merek produk
dan terjadinya pembelian dipengaruhi oleh nilai personal. Selanjutnya hasil
penelitian Labrecque, L. I., et al. (2011) menyatakan bahwa personal branding
melalui media online sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai diri seseorang dalam
Nilai-nilai Pribadi
(Personal values)
Prestasi (Achievement),
Empati (Empaty),
Hedonis (Hedonism),
Kebaikan (Humility),
Kerjasama (Cooperation),
Tanggung jawab (Responsibility)
Kepercayaan Diri
(Self-confidence)
Pandangan positif,
Tujuan yang realistis,
Harapan,
Harga diri
Evaluasi diri
76
memberikan gambaran dari apa yang diungkapkannya melalui internet. Merek
pribadi otentik mencerminkan kode moral dan perilaku dari ambisi pribadi dan
selalu harus menyampaikan apa yang menjanjikan menurut Rampersad (2009).
Jika demikian, maka dapat dinyatakan bahwa bila nilai-nilai pribadi dapat
ditingkatkan melalui Achievement, Empaty, Hedonism, Humility, Cooperation, dan
Responsibility, maka akan dapat meningkatkan pembentukan merek pribadi dalam
hal kompetensi, standar, visibilitas, konsistensi, relevan, khas, dan gaya unik
karyawan dalam perusahaan.
Gambar 2.8: Keterkaitan Nilai-nilai pribadi dengan Merek pribadi
2.3.3 Keterkaitan kompetensi Budaya dengan Kepercayaan Diri
Kompetensi yang menghasilkan sumber daya yang diperlukan bagi individu
untuk survive bagi kelompok dan lembaga dalam mencapai tujuan mereka.
Sebagaimana didefinisikan di sini, nilai-nilai diri menekankan kompetensi dalam
hal standar budaya yang berlaku, sehingga memperoleh persetujuan sosial.
(Ambisius, sukses, mampu, berpengaruh, cerdas, harga diri, pengakuan sosial).
Nilai-nilai Pribadi
(Personal values)
Prestasi (Achievement),
Empati (Empaty),
Hedonis (Hedonism),
Kebaikan (Humility),
Kerjasama (Cooperation),
Tanggung jawab (Responsibility)
Merek Pribadi
(Personal Branding) Kompetensi,
Standar,
Visibilitas,
Konsistensi,
Relevan,
Khas,
dan Gaya unik
77
Menurut Samovar dan Porter (1976) hubungan yang terjadi berkisar pada
perbandingan perilaku dengan menunjukkan persamaan dan perbedaan persepsi
dari pengalaman, peran lingkungan sosial dan fisik; kognisi yang terdiri dari unsur-
unsur khusus kebudayaan, proses bahasa dan cara berpikir; sosialisasi; kepribadian
seperti tipe-tipe budaya pribadi yang mempengaruhi etos, tipologi karakter atau
watak bangsa. Penempatan kompetensi dalam keahlian lintas budaya pada level
yang terpisah dengan keahlian dan spesailisasi yang lain. Pandangan ini
mengakuisisi kompetensi lintas budaya pada bagian pelatihan dan supervisi dengan
pengalaman yang sama (Ridley, 1985).
Penelitian empiris mendukung dua hipotesis yang saling bertentangan nilai
dalam keragaman (Cox & Blake, 1991). Beberapa penelitian mendukung
pandangan bahwa tenaga kerja heterogenitas meningkatkan kinerja melalui
penggunaan tingkat keterampilan yang lebih tinggi, perspektif dan kemampuan
pemecahan masalah (McLeod, Lobel, & Cox, 1996) dan melihat perbedaan-
perbedaan agregat akan menghambat kinerja dengan mengurangi integrasi sosial
(Jackson et al. 1993) dan komunikasi informal (Smith et al., 2008).
Jika demikian, maka kompetensi budaya yang meliputi kesadaran budaya,
kepekaan budaya, kecerdasan budaya, pengetahuan budaya, keahlian solutif, dan
sikap internalisasi, dapat meningkatkan kepercayaan diri tenaga kerja dalam
bekerja.
78
Gambar 2.9: Keterkaitan Kompetensi Budaya dengan Kepercayaan Diri
2.3.4 Keterkaitan Kompetensi Budaya dengan Merek Pribadi
Secara umum, semua pengaruh eksternal cenderung beroperasi melalui
kognisi intern individu (Malhotra & Galletta, 2005). Secara khusus, pengaruh
eksternal yang pertama diproyeksikan antarmuka interior seseorang dan pada
gilirannya menjalani pengaruh mekanisme kognitif internal yang belum
ditampilkan sebagai perilaku eksternal. Seperti diungkapkan oleh banyak
penelitian, orang-orang dari berbagai bangsa biasanya memegang mekanisme
kognitif beragam dipengaruhi oleh norma-norma budaya nasional, sebagai
anteseden kepercayaan individu dan nilai-nilai mempengaruhi perilaku karyawan
tertentu dan niat (Srite & Karahanna, 2006).
Lopez at al (2006) menyatakan bahwa kompetensi budaya merupakan
seperangkat keahlian pemecahan masalah yang meliputi; kemampuan mengenali
dan memahami dinamika antara heritage dan adaptasi perilaku budaya,
kemampuan menggunakan pengetahuan dalam memahami heritage dan tantangan
adaptasi penilaian budaya yang efektif, dan internalisasi.
Kompetensi Budaya
(Cultural Competence)
Kesadaran budaya,
Kepekaan budaya,
Ketangkasan budaya,
Pengetahuan budaya,
Keahlian solutif,
dan Sikap internalisasi.
Pandangan positif, Tujuan yang realistis,
Harapan,
Harga diri
Evaluasi diri
Kepercayaan Diri
(Self-confidence)
79
Ditemukan juga beberapa dimensi merek pribadi yang memeiliki arti yang
sama di Jepang dan Amerika; seperti: sincerity, excitement, competence, dan
sophistication (ketulusan, kegembiraan, kompetensi, dan kecanggihan). (Schwartz,
1994). Penelitian yang mendukung bahwa orientasi budaya tertentu dipenuhi
dengan konsep merek pribadi, seperti keunikan, sesuatu yang abstrak yang
berkaitan dengan merek (Torelli, Ozsomer, Carvalho, Keh, & Maehle, 2012, hal.
92). Triandis, (1989) menyatakan “the vertical individualist” seperti konsep merek
yang menampilkan self-enhancement tapi bukan menampilkan keterbukaan
(openness).
Secara khusus, Erdem dan Swait (1998) menjelaskan kerangka di negara
yang mewakili dimensi budaya yang berbeda dan beberapa perbedaan antar
negara. Lebih khusus, mereka mengeksplorasi perbedaan dalam merek sebagai
sinyal cara beroperasi di negara-negara dan menghubungkan perbedaan tersebut
kepada orientasi budaya konsumen. Budaya individualisme yang tinggi cenderung
mencari variasi dan pengalaman hedonistik, sedangkan budaya kolektivisme yang
tinggi lebih berkorelasi dengan konformitas dan perilaku kelompok. Sementara
menurut Gregory, Munch, dan Peterson (2002) adalah hubungan nilai-sikap.
Roth (1995) dalam hipotesisnya menemukan bahwa budaya kolektivisme
dalam mempertimbangkan merek yang memperkuat keanggotaan kelompok dan
afiliasi yang lebih menarik, sedangkan budaya individualistis mendukung merek
yang memperkuat kemandirian mereka dan memberikan kepuasan individu.
Penelitian terdahulu juga menunjukkan hubungan pemilihan merek terhadap
80
beberapa dimensi budaya (seperti: Cray and Mallory 1998). Terutama penelitian
Hofstede‟s (1984) pengaruh kerja sistem nilai mengidentifikasi tiga aspek budaya
yang berakitan dengan merek pribadi yaitu; collectivism/individualism, uncertainty
avoidance, and power distance, value–attitude relationships (Peterson 2002).
Aguirre & Rodriguez (2014) menyatakan bahwa budaya memegang peran
dalam persepsi merek pribadi. Bukti empiris awal menunjukkan hubungan positif
antara kesesuaian merek pribadi dengan merek konsumen di seluruh budaya, tapi
hubungan yang paling kuat adalah dimoderasi oleh orientasi budaya (Lam et al.,
2002). Penelitian tersebut bahwa konsumen dalam konteks berbeda secara budaya
mengidentifikasi merek terkait ciri-ciri kepribadian yang berbeda (Aaker, 1999;
Benet-Martinez, & Garolera. 2001).
Lam et al., 2012 menyatakan bahwa orientasi budaya tertentu beresonansi
dengan konsep merek tertentu, seperti “unik”. Matzler, K., et al., (2016); konsep
merek merepresentasikan peningkatan diri, tapi tidak menggambarkan
keterbukaan. Orientasi jangka panjang adalah karakteristik budaya Cina yang
paling luar biasa, yang alasan moralitas dan etika standar di masyarakat Cina
(Tsui, 2001). Norma-norma Amerika hanya menekankan kemampuan pribadi,
kontribusi, dan kesetaraan (Hofstede, 2005). Rajagopal (2009) melaporkan
beberapa faktor yang paling penting untuk merek yang kuat dalam posisi strategis,
salah satunya adalah nilai-nilai budaya. Banyak para ahli juga telah menguji
pengaruh nilai-nilai budaya pada kesadaran merek dan sampai pada suatu
81
kesimpulan bahwa nilai-nilai memiliki pengaruh yang signifikan (Paasovaara et
al.,2012).
Berdasarkan beberapa bukti empiris tersebut dapat disimpulkan bahwa
konsep kompetensi budaya dalam hal ini adalah kesadaran budaya, kepekaan
budaya, kecerdasan budaya, pengetahuan budaya, keahlian solutif, dan kikap
internalisasi, yang dikorelasikan dengan merek pribadi. Jika demikian, bila
kompetensi budaya meningkat perannya melalui kesadaran budaya, kepekaan
budaya, kekecerdasan budaya, pengetahuan budaya, keahlian solutif, dan sikap
internalisasi, maka akan mendorong dalam pembentukan merek pribadi yang baik.
Gambar 2.10: Keterkaitan Kompetensi Budaya dengan Merek Pribadi
2.3.5 Keterkaitan Nilai-nilai Pribadi dengan Kompetensi Budaya
Peran ciri-ciri kepribadian dalam perilaku dan nilai-nilai yang berhubungan
dengan pekerjaan telah mendapat perhatian baru selama dekade terakhir (Garrod,
2005), membandingkan skala gabungan dari nilai-nilai lintas Negara (Schwartz,
2007), efek dari nilai-nilai pada sikap dan perilaku di tingkat individu (Fischer &
Kompetensi Budaya
(Cultural Competence)
Kesadaran budaya,
Kepekaan budaya,
Ketangkasan budaya,
Pengetahuan budaya,
Keahlian solutif,
dan Sikap internalisasi.
Kompetensi,
Standar,
Visibilitas,
Konsistensi,
Relevan,
Khas,
dan Gaya unik
Merek Pribadi
(Personal Branding)
82
Smith, 2006), nilai individu baik di dalam dan di masyarakat mungkin memiliki
prioritas nilai yang sangat berbeda yang mencerminkan warisan mereka,
pengalaman pribadi, tingkat sosial-ekonomi, dan akulturasi (Schwartz & Bardi,
2001).
Nilai-nilai dapat memengaruhi bagaimana memandang individu dan
menafsirkan situasi tertentu dan pentingnya dia memberikan itu (Schwartz, Sagiv,
& Boehnke, 2000). Inkonsistensi ini telah menyebabkan kesimpulan bahwa
keragaman di tempat kerja tidak akan ditemukan untuk meningkatkan kinerja
perusahaan sampai peneliti memperoleh pemahaman tentang faktor-faktor
kontekstual yang relevan (Williams & O'Reilly, 1998).
Hofstede dan Bond (1988), mengemukakan dimensi budaya dari nilai
menggunakan data dari Rokeach (1973) tentang survei nilai. Mereka mengamati
fungsi nilai yang terdiri dari keselamatan dan kehidupan yang menarik yang
berhubungan dengan dimensi individualisme pada tingkat budaya. Schwartz
(1996) menegaskan bahwa nilai-nilai tingkat budaya terkait dengan komunikasi
lintas budaya.
Satu studi menemukan bahwa keragaman ras berhubungan positif dengan
kinerja perusahaan dalam konteks pertumbuhan dan peningkatan strategis
(Richard, 2000). Kecenderungan globalisasi ekonomi mendesak interaksi terus-
menerus antara bangsa-bangsa yang berbeda, yang pada gilirannya
mengintensifkan konflik multicultural dalam berbagi pengetahuan dan manajemen
(Hofstede & Bond,1988). Hofstede (1994) mendalilkan bahwa budaya Barat
83
mempunyai nilai-nilai yang tidak sesuai dengan budaya Timur, yaitu
individualisme, sekulerisme, dan hedonisme (Siany dan Catur, 2009).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai-nilai pribadi yang meliputi
Achievement, Empaty, Hedonism, Humility, Cooperation, dan Responsibility akan
meningkatkan kompetensi budaya bagi karyawan menjadi baik.
Gambar 2.11: Keterkaitan Nilai-nilai Pribadi dengan Kompetensi Budaya
2.3.6 Keterkaitan Merek Pribadi dengan Kepercayaan Diri
Merek pribadi didasarkan atas nilai-nilai kehidupan anda dan memiliki
relevansi tinggi terhadap siapa sesungguhnya diri anda. Personal branding akan
membuat semua orang memandang anda secara berbeda dan unik. Orang mungkin
akan lupa dengan wajah anda, namun “merek pribadi‟ anda akan selalu diingat
orang lain. Konsistensi merupakan prasyarat utama dari personal branding yang
kuat. (McNally & Speak, 2002).
Mahnert dan Torres, (2007) menjelaskan bahwa internal merek didefinisikan
sebagai seperangkat kegiatan strategis dari suatu perusahaan untuk menyediakan
Nilai-nilai Pribadi
(personal values)
Prestasi (Achievement),
Empati (Empaty),
Hedonis (Hedonism),
Kebaikan (Humility),
Kerjasama (Cooperation),
Tanggung jawab (Responsibility)
Kesadaran budaya,
Kepekaan budaya,
Ketangkasan budaya,
Pengetahuan budaya,
Keahlian solutif,
dan Sikap internalisasi.
Kompetensi Budaya
(Cultural Competence)
84
dan menjamin intelektual dan emosional karyawan. Matanda & Ndubisi, (2013)
menyatakan dalam tinjauan literatur, internal merek telah diteliti di bawah tiga
dimensi; Keterlibatan sumber daya, Komunikasi Internal & Training.
Gambar 2.12: The role of teacher professional learning in developing teacher
professionalism and teacher confidence. (A. Nolan, T. Molla, 2017)
Berbagai penelitian telah menggarisbawahi konsep kecocokan orang dalam
organisasi, yang mengacu pada kompatibilitas antara karyawan yang memiliki
nilai-nilai pribadi, dan nilai-nilai organisasi dan merek menurut persepsi karyawan.
Ketika ada kesesuaian lengkap antara nilai-nilai organisasi dan nilai-nilai merek
individu karyawan, karyawan mengembangkan tingkat tinggi identifikasi dengan
nilai-nilai merek dan akan lebih termotivasi dan berkomitmen untuk menjadi duta
merek mereka (Khan, 2009).
Merek pribadi dapat membangun perilaku (Morhart et al., 2009; Punjaisri et
al., 2009). Ketika nilai merek organisasi tertanam dan mengakar dalam benak
karyawan, maka akan mendukung keunggulan bersaing bagi pelayanan organisasi
(Wallace et al., 2013). Organisasi bertanggung jawab untuk menciptakan merek
Teacher Confidence
Teacher
professionalism
Professional Capital : Human Capital Social Capital Decisional Capital
Teacher Professional
learning
85
budaya (brand culture), penyampaian citra visi (sharing brand vision), dan
membangkitkan nilai merek diantara karyawan (Lee et al., 2013).
Kegiatan yang efektif dan komunikasi yang konsisten bahwa refleksi
identitas merek; dapat memungkinkan karyawan untuk mendapatkaan pengetahuan
merek (brand knowledge) dan memahami merek; dapat mempererat ikatan
psikologis antara organisasi dengan individu karyawan; mendorong karyawan
kedalam nilai merek (Terglav et al., 2016). Bagi perushaan untuk mencapai
keunggulan bersaing di pasar, dibutuhkan suatu inovasi. Inovasi yang original
diperoleh dari kreativitas, originalitas dibentuk dari diversity. Diversity datang dari
sebuah kontribusi karyawan yang memiliki keunikan yang mampu mencapai
tujuan perusahaan.(Hromada, 2013).
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Wang & Chang (2005)
menemukan bahwa elemen intelktual capital berpengaruh langsung terhadap
kinerja dengan pengecualian human capital. Human capital tidak langsung
mempengaruhi kinerja tapi melalui tiga elemen lain yaitu; modal inovasi
(innovation capital), modal proses (process capital), dan modal pelanggan
(customer capital).
Menurut Miles dan Mangold (2005), merek pribadi karyawan merupakan
sumber keunggulan kompetitif strategis dan karyawan akan mencari hubungan-
hubungan kerja yang berinvestasi dalam pertumbuhan pribadi mereka (Schweitzer
& Lyons, 2008). Hill dan Conger (2008), yang bertujuan untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang membedakan sukses dari kurang berhasil di pasar negara
86
berkembang, dan analisis pertama mengungkapkan empat faktor: merek,
kesempatan, tujuan, dan budaya. Pengembangan individu setiap karyawan
merupakan aspek kunci sehubungan dengan membangun merek pribadi. Semakin
banyak karyawan yang ahli, semakin besar keuntungan kompetitif perusahaan.
Selain itu, seorang karyawan dengan merek pribadi yang kuat akan selalu
kompetitif, performa dan secara signifikan berkontribusi terhadap citra perusahaan
dan kinerja. (Raluca Ioana Vosloban 2014).
Jika demikian, maka apabila merek pribadi karyawan yang berkitan dengan
kompetensi, gaya, dan standar kerja karyawan, visibilitas, konsistensi, relevan, dan
khas dapat meningkatkan kepercayaan diri karyawan.
Gambar 2.13: Keterkaitan Merek pribadi dengan Kepercayaan diri
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka dapat digambarkan
paradigma penelitiannya sebagai berikut :
Merek Pribadi
(personal branding)
Kompetensi,
Standar,
Visibilitas,
Konsistensi,
Relevan,
Khas,
dan Gaya unik
Pandangan positif, Tujuan yang realistis,
Harapan,
Harga diri
Evaluasi diri
Kepercayaan Diri
(Self confidence)
87
Gambar 2.14 : Paradigma penelitian
2.4 Hipotesis
Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka pemikiran diatas, maka hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Persepsi diri masing-masing tenaga kerja dan persepsi sebaliknya terhadap
yang lain tentang nilai-nilai pribadi, kompetensi budaya, merek pribadi, dan
kepercayaan diri pada perusahaan modal asing di provinsi Banten.
2. Terdapat perbedaan nilai-nilai pribadi, kompetensi budaya, merek pribadi, dan
kepercayaan diri diantara tenaga kerja asing dengan tenaga kerja lokal pada
perusahaan modal asing di provinsi Banten.
3. Terdapat perbedaan model korelasi nilai-nilai pribadi dengan kompetensi
budaya antara tenaga kerja asing dan tenaga kerja lokal pada perusahaan
modal asing di Provinsi Banten.
Kompetensi
Budaya
Nilai-nilai Pribadi
Merek Pribadi Kepercayaan
Diri
88
4. Terdapat perbedaan model pengaruh nilai-nilai pribadi dan kompetensi budaya
baik secara simultan maupun parsial terhadap merek pribadi antara tenaga
kerja asing dan tenaga kerja lokal pada perusahaan modal asing di Provinsi
Banten.
5. Terdapat perbedaan model pengaruh nilai-nilai pribadi dan kompetensi budaya
terhadap kepercayaan diri melalui merek pribadi antara tenaga kerja asing dan
tenaga kerja lokal pada perusahaan modal asing di Provinsi Banten.
Recommended