View
17
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kekerasan (Violence)
Pada saat ini, masalah kekerasan di negeri ini ternyata tidak hanya
milik preman (yang selalu di identikan dengan kekerasan) tetapi juga siswa,
dari tawuran antar sekolah, pacaran dengan kekerasan, dan sebagainya.
Beberapa hal bisa dicermati dalam banyak kasus kekerasan yang mewarnai
dunia pendidikan berkaitan dengan proses belajar sosial.
Menurut Kamus Sosiologi, kekerasan adalah penggunaan kekuatan
fisik secara paksa terhadap orang atau benda (Soekanto, 1999). Di dalam
KUHP, pengertian kekerasan diatur dalam Pasal 89 KUHP yang menyatakan
bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan
menggunakan kekerasan. Secara bahasa, kekerasan (violence) dimaknai
Mansour sebagai serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun
integritas mental psikologis seseorang (dalam Fakih, 1996). Sementara
menurut Galtung, terminologi kekerasan atau violence berasal dari bahasa
latin vis vis yang berarti daya atau kekuatan dan latus yang berarti membawa
sehingga bisa diartikan secara harfiah sebagai daya atau kekuatan untuk
membawa (dalam Warsana, 1992).
Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang
disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan
keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang efisien.
12
Pemberitaan di televisi dan media cetak tentang bagaimana aksi kekerasan dan
akibatnya yang terjadi di berbagai tempat, mungkin saja menyebabkan
terjadinya peniruan perilaku itu oleh para siswa. Observasi langsung para
pelaku kekerasan terhadap kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh
angkatan-angkatan sebelumnya di tahun-tahun yang lalu kemudian ditiru oleh
siswa pada saat ini karena dianggap sebagai solusi efektif dalam memecahkan
suatu masalah. Proses belajar seperti itu dimungkinkan karena pengaruh
penguatan (reinforcement), baik berupa tiadanya punishment maupun reward
(Setyawati, 2010).
Jika siswa mengobservasi bahwa aksi kekerasan yang terjadi di
lingkungan sekolahnya tersebut tidak mendapatkan hukuman (baik oleh
kepala sekolah, guru maupun pihak berwajib), maka aksi yang sama akan
dilakukan oleh siswa di masa sekarang dan akan datang. Tidak ada ketegasan
dalam menerapkan aturan main yang seharusnya menjadi kesepakatan
bersama menimbulkan kecenderungan untuk melakukan kegiatan yang
melawan hukum dan dapat membentuk persepsi yang buruk terhadap
penegakan hukum. Jika siswa percaya bahwa melakukan kekerasan tidak akan
mendapatkan hukuman, maka siswa akan cenderung menggunakan kekerasan
untuk memperjuangkan kepentingannya dan mengaplikasikannya di
kehidupan sehari-hari dalam berinteraksi dengan orang lain sebagai suatu hal
yang tidak lagi tabu. Terutama ketika berinteraksi dengan orang-orang
terdekatnya seperti pacar atau keluarga (Setyawati, 2010).
13
B. Pacaran
Pacaran dapat diartikan sebagai hubungan khusus dengan lawan jenis
yang melukiskan sebuah pola ketertarikan antartubuh yang melibatkan
segenap emosi, jiwa dan raga. Makna asli pacaran berdasarkan etimologinya
adalah persiapan menikah. Menurut Kamus Bahasa Portugis-Brazil pacaran
atau yang lebih dikenal dengan istilah “namoro” adalah suatu kegiatan yang
menyangkut hubungan antar individu untuk mencoba saling menjajagi
perasaan dan atau secara seksual antara dua orang, melalui pertukaran
pengalaman dan hidup bersama guna saling lebih membina kecocokan dalam
berumah tangga (Mustika, 2009).
Menurut Duval dan Miller (1985), pacaran adalah hubungan antara
laki-laki dan perempuan yang diwarnai keintiman. Keduanya terlibat dalam
perasaan cinta dan saling mengakui pasangan sebagai pacar. Adapun
komponen utama dari pacaran diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Bertemu di suatu tempat yang telah ditetapkan bersama untuk berkasih-
kasihan
2. Dilakukan dengan kekasih atau teman lain jenis yang tetap
3. Perilaku menyenangkan yang diinginkan oleh pasangannya yang lain.
Straus (2004) mendefinisikan pacaran sebagai hubungan khusus yang
melibatkan pertemuan untuk berinteraksi sosial dan melakukan aktivitas
bersama-sama dengan maksud yang eksplisit ataupun implisit untuk
melanjutkan hubungan tersebut hingga salah satu pihak mengakhiri atau
sampai beberapa hubungan lain yang lebih berkomitmen dipelihara (misalnya,
14
pertunangan, atau pernikahan). Norma-norma sosial untuk berpacaran dan
perilaku berpacaran sebenarnya berbeda menurut banyak dimensi, yang
meliputi perbedaan individu, ras/ etnis dan perbedaan kelompok sosial
ekonomi, sejarah, dan konteks budaya. Di samping perbedaan-perbedaan ini,
ada juga beberapa persamaan struktural yang melekat; sebagai contoh, sebuah
hubungan khusus biasanya menghabiskan watu dan tenaga dari masing-
masing pihak. Oleh karena itu, proses interaksi sosial yang khas tersebut
kemungkinan akan berlaku terlepas dari apakah hubungan ini diatur oleh
orang tua atau teman, oleh koran atau internet, atau salah satu pihak mulai
mengembangkan hubungan tersebut.
Pada umumnya, siswa yang berpacaran memiliki hubungan yang lebih
intim dari berbagai segi, baik itu komitmen maupun fisik. Keintiman ini
menyebabkan rawannya terjadi perilaku tidak sehat, mulai dari yang ringan
hingga berat seperti seks bebas dan terjadinya dominasi berlebihan dari salah
satu pihak yang berujung pada terjadinya kekerasan dalam pacaran.
C. Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)
1. Definisi Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)
Pada kasus kekerasan dalam pacaran cinta telah membutakan
batas humanisme. Meskipun korban mendapat perlakuan yang tak pantas
dari pasangannya namun selalu saja bersedia memaafkan dan akhirnya
kembali menjalani hubungan yang tak sehat ini. Biasanya pihak-pihak
yang terlibat kekerasan dalam pacaran (KDP) kemudian mengalami
15
disonansi kognitif, mereka tak dapat lagi memakai pandangan yang normal
dalam memaknai pacaran yang sehat. Antara korban dan pelaku telah
timbul suatu ketergantungan yang tak sehat, mereka terlarut dalam
kekerasan yang berselimutkan kasih sayang. Sebagian besar menganggap
bahwa hal tersebut adalah bagian duka yang harus dilaluinya dalam suka
duka sebuah hubungan sehingga persepsi yang timbul pada diri korban
mengenai kekerasan dalam pacaran adalah bentuk kasih sayang yang
berbeda (Arika, 2007).
Menurut Abbot (1992) kekerasan dalam pacaran adalah segala
bentuk tindakan yang mempunyai unsur kekerasan yang meliputi
pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik maupun psikologis
yang terjadi dalam hubungan pacaran. Hal ini dapat dilakukan oleh pria
maupun wanita, bahkan pada pasangan sejenis seperti gay atau lesbi
(Arika, 2007). Meski hubungan pacaran belum diikat pernikahan, ternyata
banyak yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya.
Dari beberapa definisi kekerasan dalam pacaran (KDP) di atas
dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah
perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
termasuk penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan penelantaran
termasuk juga ancaman yang menghasilkan kesengsaraan di dalam lingkup
hubungan pacaran.
16
2. Karakteristik Korban Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)
Adapun karakteristik korban kekerasan dalam pacaran kekerasan
dalam pacaran (KDP) adalah sebagai berikut : (Sugarman, and Hotaling,
1989)
a. Perempuan muda, berusia antara 12 hingga 18 tahun lebih sering
menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh kenalan, teman, atau
pacar dibandingkan perempuan yang lebih tua (Bachman, R; Saltzman,
L.E, 1995).
b. Perempuan yang memiliki teman (peer group) pernah menjadi korban
kekerasan seksual lebih sering menjadi korban kekerasan dalam
pacaran (Gwartney-Gibbs, P. A.; Stockard, J.; and Bohmer, S, 1987).
c. Perempuan yang jarang pergi ke tempat ibadah (Makepeace, J. M,
1987)
d. Perempuan yang memiliki bekas pacar banyak (Gray, H.M.; Foshee,
V, 1997).
e. Perempuan yang sering berpacaran dan perempuan yang pernah
mengalami kekerasan serupa sebelumnya (Agenton, S., 1983).
3. Bentuk-Bentuk Perilaku Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)
Jurnal Perempuan (2002) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk
prilaku dari kekerasan dalam pacaran (KDP) yaitu : (Arieka, 2007)
a. Kekerasan Emosional
Bentuk kekerasan ini biasanya jarang disadari, karena
memang wujudnya tidak kelihatan. Namun sebenarnya, kekerasan ini
17
justru akan menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak
nyaman. Bentuk kekerasan non fisik ini antara lain berupa :
1)Pemberian julukan yang mengandung olok-olok, membuat seseorang
jadi bahan tertawaan, 2) Cemburu yang berlebihan, 3) Membatasi
pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai, 4) Pemerasan
(memaksa meminta uang, meminta barang dan sebagainya), 5)
Mengisolasi/larangan berteman, 6) Larangan bersolek, 7)Larangan
bersikap ramah pada orang lain.
b. Kekerasan Fisik
Bentuk kekerasan fisik ini antara lain berupa :
1) Memukul, 2) Menampar, 3) Menendang, 4) Menjambak rambut
Ini biasanya dilakukan karena pasangannya tidak mau menuruti
kemauannya atau dianggap telah melakukan kesalahan.
c. Kekerasan Seksual
Bentuk kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan
seksual, dan pelecehan seksual, yaitu :
1) Rabaan, 2) Ciuman, 3) Sentuhan yang dilakukan tanpa persetujuan.
Perbuatan tanpa persetujuan atau pemaksaan itu biasanya disertai
ancaman akan ditinggalkan, akan menyengsarakan atau ancaman
kekerasan fisik.
18
4. Dampak Perilaku Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)
Menurut Minna (2010) dampak perilaku kekerasan pacaran yang
dilakukan secara emosional adalah sebagai berikut :
a. Menurunnya rasa percaya diri
Agresivitas dalam berkomunikasi seperti: membentak, memaki, tidak
menghargai pendapat korban (disepelekan), melarang bergaul, tidak
pernah diajak diskusi yang sehat, mengancam, maupun melecehkan
akan membuat korban menjadi bahan olok-olokan atau tertawaan bagi
teman-temannya maupun di tempat umum. Hal ini secara otomatis
akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. Korban merasa
minder untuk bergaul terutama ketika memasuki lingkungan yang
baru. Akibatnya, korban terhambat kehidupan sosialnya karena tidak
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan.
b. Meningkatnya rasa cemas Rasa tertekan yang dialami korban secara terus menerus akan
membuatnya memiliki rasa cemas yang berlebihan. Korban dihantui
rasa takut melakukan kesalahan kepada pacarnya. Setiap kali
melakukan aktivitas, korban merasa cemas dan takut hal itu tidak
berkenan di hati pacarnya dan membuat pacarnya marah. Rasa cemas
yang dialami korban secara terus menerus terbawa dalam kehidupan
sehari-hari korban ketika ia bersosialisasi dengan lingkungannya.
Korban menjadi sulit mempercayai orang lain sehingga dalam
kehidupan sosialnya korban sulit bergaul dengan orang lain, lama
kelamaan hal ini akan membuat korban terisolir dari lingkungannya.
c. Menurunnya produktivitas kerja atau prestasi Terbatasnya ruang gerak aktivitas sosial korban akibat kekerasan
dalam pacaran. Pengawasan yang dilakukan pelaku menjadikan korban
terbatas ruang geraknya, termasuk ruang gerak sosialnya. Hal ini
diperparah dengan beberapa perasaan tidak senang yang diungkapkan
pelaku ketika mengetahui beberapa aktivitas pacarnya. Pelaku
mungkin tidak melarangnya, tapi ungkapan tidak senangnya sudah
cukup membuat korban menghentikan aktivitas rutin kegemarannya.
d. Mengalami sakit fisik Koalisi Antikekerasan di Alabama menyebutkan bahwa satu dari tiga
anak mengalami kekerasan fisik selama pacaran usia dini. Bentuknya
seperti mendorong, memukul, mencekik, dan membunuh. Kejahatan
tersebut sangat tertutup karena pihak korban ataupun pelaku tidak
mengakui adanya masalah selama hubungan kencan. Kekerasan fisik
ini dapat berefek psikis pula, seperti menurunnya konsentrasi, perasaan
malu, dan sebagainya.
19
5. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)
Penyebab kekerasan dalam pacaran (KDP) dalam Jurnal
Perempuan tahun 2002, antara lain: (Arieka, 2007)
a. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan Pola asuh orang tua adalah interaksi antara orang tua dengan
anaknya selama mengadakan pengasuhan”. Interaksi ini dapat dilihat
dari beberapa segi antara lain dari cara orang tua memberikan
peraturan dan disiplin, hadiah dan hukuman, juga tanggapan terhadap
keinginan anak. Oleh karena itu orang tua besar sekali andilnya dalam
pembentukan dan perkembangan, baik fisik maupun psikis anak,
terutama konsep diri anak mengingat konsep diri merupakan inti
kepribadian.
Ketika seorang anak memiliki pengalaman menjadi korban
kekerasan pada masa kecil atau menyaksikan tindak kekerasan dalam
keluarganya, sangat berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan juga
ketika dia dewasa
b. Peer group
Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh
kembang manusia. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok
biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi,
nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku
dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya
kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut
peer group.
Teman sebaya memang memiliki pengaruh yang besar dalam
memberikan kontribusi semakin tingginya angka kekerasan antar
pasangan. Berteman dengan teman yang sering terlibat kekerasan dapat
meningkatkan resiko terlibat kekerasan dengan pasangannya.
c. Media massa Media massa sedikit banyak juga memberikan kontribusi
terhadap munculnya perilaku agresif terhadap pasangan. Tayangan
kekerasan yang sering muncul dalam program siaran televisi maupun
adegan sensual dalam film tertentu dapat memicu tindakan kekerasan
terhadap pasangan dalam hubungan pacaran.
Tingkat kekerasan pada remaja di Indonesia, entah itu tawuran,
pemerasan antar teman, ataupun kekerasan terhadap pasangan rawan
terjadi pada tingkat pelajar SMP ke atas. Banyaknya memori
kekerasan yang tersimpan di otak, membuat para remaja ini bersifat
sangat permisif bahkan terkadang sangat agresif terhadap kekerasan
yang terjadi dilingkungannya.
20
d. Kepribadian Salah satu akar kekerasan adalah karena faktor kepribadian.
Pada gangguan jiwa ada yang diistilahkan dengan gangguan
kepribadian. Salah satunya adalah gangguan kepribadian dengan pola
agresif. Orang yang mengalami gangguan kepribadian pola agresif ini
dicirikan dengan tingkah laku yang mudah tersinggung dan destruktif
bila keinginannya tidak tercapai atau bila menghadapi situasi yang
menyebabkannya menjadi frustrasi.
Selain gangguan kepribadian, tingkah laku kekerasan juga
terjadi karena adanya kepribadian status. Kepribadian status adalah
kepribadian yang dimiliki oleh seseorang berkaitan dengan statusnya.
Kepribadian status ini seringkali berbeda bahkan sangat berbeda
dengan kepribadian asli dari orang yang bersangkutan. Peristiwa
kekerasan yang menimpa para pasangan kekasih oleh kekasihnya
sendiri adalah contoh dari kepribadian status tersebut. Pada kehidupan
sehari-hari mungkin para remaja yang melakukan tindak kekerasan ini
tidak pernah melakukan hal yang sama kepada orang lain. Status
sebagai pacar menyebabkannya berperilaku keras terhadap pacarnya.
e. Peran jenis kelamin Pada banyak kasus, korban kekerasan dalam pacaran adalah
perempuan. Hal ini terkait dengan aspek sosio budaya yang
menanamkan peran jenis kelamin yang membedakan laki-laki dan
perempuan. Laki-laki dituntut untuk memiliki citra maskulin dan
macho, sedangkan perempuan feminim dan lemah gemulai. Laki-laki
juga dipandang wajar jika agresif, sedangkan perempuan diharapkan
untuk mengekang agresifitasnya. Walaupun kesetaraan jender sudah
marak dibicarakan, namun masih terdapat pandangan di masyarakat
akan superioritas maskulin yang diidentikkan dengan laki-laki.
Dari uraian di atas tampak bahwa faktor-faktor sosial seperti pola
asuh dan lingkungan keluarga, peer group, media massa, dan pembagian
peran menurut jenis kelamin adalah faktor dominan yang menyebabkan
terjadinya kekerasan dalam pacaran disamping faktor yang lain yaitu
kepribadian individu. Dan pada dasarnya kepribadian individu terbentuk
dari lingkungan sosialnya. Dari penyebab-penyebab kekerasan dalam
pacaran tersebut pada akhirnya akan menimbulkan dampak fisik dan psikis
yang mempengaruhi kehidupan sosial pelaku dan korban.
21
D. Konseling Kelompok Behavioristik
1. Konsep Dasar Teori Behavioral
Terapi perilaku adalah penerapan aneka ragam teknik dan
prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Terapi ini
menyertakan penerapan yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada
pengubahan perilaku ke arah cara-cara yang adaptif. Dalam konsep
behavioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat
diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar.
Pada dasarnya, terapi perilaku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh
perilaku baru, penghapusan perilaku yang maladatif, serta memperkuat
dan mempertahankan perilaku yang diinginkan.(Corey, 2007).
Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh
lingkungan sosial budayanya. Segenap perilaku manusia itu dipelajari.
Para behaviorist mengemukakan teori belajar: bagaimana belajar terjadi
sebagai hasil dari pengaruh lingkungan. Bandura memberikan 3 (tiga)
konsep penting yang menjelaskan bagaimana teori belajar sosial
mempengaruhi pembelajaran Miller (dalam Kusumadewi, 2009 ):
a. Belajar melalui observasi atau pengamatan bukan semata-mata sekedar meniru perilaku orang lain. Seorang anak dapat membangun perilaku
baru secara simbolis dengan mendengarkan orang lain atau hanya
dengan membaca. Perilaku overt (yang dapat dilihat/diobservasi)
bahkan tidak begitu diperlukan agar pembelajaran dapat terjadi.
b. Meskipun reinforcement tidak diperlukan dalam pembelajaran, namun hal ini sangat membantu dalam hal pengaturan-diri pada anak. Mereka
dapat mengamati perilaku apa saja yang sedang terjadi di sekitar
mereka dan membedakannya menjadi reinforcement dan punishment,
lalu menggunakan pengamatan ini sebagai sumber informasi dalam
membantu mereka membuat batasan-batasan, mengevaluasi performa
22
mereka, membangun standar perilaku, menetapkan tujuan, kemudian
memutuskan kapan menerapkan hasil pengamatan tersebut.
c. Reciprocal Determinism menjelaskan model perubahan perilaku. Terdapat tiga sumber pengaruh dalam teori ini yang saling
berinteraksi: individu, perilakunya, dan lingkungan. Perlu diingat
bahwa lingkungan tidak selalu memegang peranan penting. Yang
paling penting untuk diketahui, perilaku yang ditampilkan oleh
seseorang juga membantu membentuk lingkungannya, yang kemudian
memberikan timbal balik terhadap dirinya. Pada Gambar 2.1.
Dijelaskan bagaimana hubungan antara Behavior (B) = perilaku,
Person (P) = individu atau kognitif/persepsi, dan Environment (E) =
lingkungan,yang saling berpengaruh (interlocking) dan bergantung
satu denganlainnya (interdependent).
Gambar 2.1
Hubungan antara Behavior (B) = perilaku, Person (P) = individu atau
kognitif/persepsi, dan Environment (E) = lingkungan
Dalam masa perkembangan, remaja menjadi lebih terampil
dalam pembelajaran melalui pengamatan (observational learning).
Observational Learning atau yang biasa dikenal dengan modelling
memiliki asumsi dasar, yaitu perilaku individu sebagian besar diperoleh
dari hasil belajar melalui observasi atau hasil pengamatan perilaku orang
lain (yang menjadi role model). Seperti halnya perilaku kekerasan dalam
pacaran menurut Minna (2010) dapat terjadi karena dampak buruk dari
lingkungan keluarga ataupun dari teman sebanyanya (peer group).
Thoresen (Shertzer & Stone, 1980) sebagaimana dikutip oleh
Surya (1988), memberi ciri-ciri pendekatan behavioral sebagai berikut:
a Kebanyakan perilaku manusia dapat dipelajari dan karena itu dapat dirubah.
E
P
B
23
b Perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individual dapat membantu dalam merubah perilaku-perilaku yang relevan; prosedur-
prosedur konseling berusaha membawa perubahan-perubahan yang
relevan dalam perilaku klien dengan merubah lingkungan.
c Prinsip-prinsip belajar sosial, seperti misalnya “reinforcement” dan “social modeling”, dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-
prosedur konseling.
d Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan-perubahan dalam perilaku-perilaku khusus klien diluar wawancara
konseling.
e Prosedur-prosedur konseling tidak statik, tetap, atau ditentukan sebelumnya, tetapi dapat secara khusus didisain untuk membantu klien
dalam memecahkan masalah khusus.
2. Tujuan Konseling Prilaku
Loekmono (2003) menjelaskan tujuan konseling perilaku yang
utama adalah menyediakan keadaan-keadaan dan lingkungan-lingkungan
agar perilaku yang tidak sesuai dapat dihapuskan sesudah itu konseli akan
diajar untuk menguasai perilaku baru yang sesuai untuk menggantikan
perilaku yang tidak sesuai itu. Menurut konselor konseling perilaku masa
kini, tujuan yang hendak dituju sebenarnya ditentukan oleh konseli sendiri
di dalam suasana hubungan yang hangat. Peran konselor adalah membantu
konseli memilih tujuan yang hendak dituju, agar sesuai untuk dirinya dan
diterima oleh masyarakat.
Cormier dan Cormier (dalam Loekmono, 2003) menjelaskan
bahwa proses penentuan tujuan ini biasanya dilakukan bersama antara
konselor dengan konseli menurut urutan berikut:
a. Konselor menjelaskan sifat dan msksud tujuan kepada konseli. b. Konseli menentukan perubahan atau tujuan khusus yang diinginkan. c. Konseli dan konselor mengkaji dan meilai kesesuaian tujuan yang
dinyatakan oleh konseli.
d. Secara bersama mengidentifikasi resiko-resiko yang berhubungan dengan tujuan itu dan menilai resiko-resiko itu.
24
e. Secara bersama juga mendiskusikan kebaikan yang diperoleh dai tujuan itu.
f. Berdasarkan informasi yang diperoleh mengenai tujuan yang dinyatakan oleh konseli, konselor dan konseli akan membuat
keputusan sebagai berikut:
1). Untuk meneruskan konseling atau, 2). Untuk mempertimbangkan kembali tujuan yang dinyatakan oleh
konseli atau
3). Untuk merujuk konseli pada konselor lain agar keinginan dan hasrat konseli tidak kosong dan konselor sendiri tidak merasa
hampa dan kecewa.
Dari uraian di atas bahwa dalam konseling perilaku yang
dipentingkan adalah perubahan perilaku, karena bagi pendukung konseling
perilaku, perubahan akan dengan sendirinya menghasilkan perubahan-
perubahan bagian lain seperti emosi dan kognitif.
3. Peranan Konselor dan Teknik Prosedur Konseling Perilaku
Menurut Loekmono (2003) ada 4 (empat) peranan utama yang
harus dimainkan konselor konseling perilaku yaitu :
a Dalam konseling perilaku konselor sebagai pakar, guru yang aktif mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang saintifik yang dapat
dipakai untuk mengobati masalah-masalah yang dihadapi konselinya.
b Konselor dijadikan model, atau contoh teladan untuk konseli. c Konselor hendaknya terampil dalam semua ataupun dengan sebagian
besar teknik yang dipakai dalam konseling perilaku yang beraneka
ragam.
d Konselor juga harus mempunyai orientasi yang baik ke arah penyelidikan dan statistik agar ia dapat melaksanakan penilaian dengan
obyektif.
Salah satu sumbangan terapi perilaku adalah pengembangan
prosedur-prosedur terapeutik yang spesifik yang memiliki kemungkinan
untuk diperbaiki melalui metode ilmiah. Dalam terapi perilaku, teknik-
teknik spesifik yang beragam bisa digunakan secara sistematis dan hasil-
hasilnya bisa dievaluasi. Teknik-teknik ini bisa digunakan jika saatnya
25
tepat untuk menggunakannya, dan banyak diantaranya yang bisa
dimasukkan ke dalam praktek psikoterapi yang berlandaskan model-model
lain.
Menurut Loekmono (2003) ada tiga hal yang menarik mengenai
teknik dan prosedur yang terdapat di dalam konseling perilaku:
a) Konseling perilaku mempunyai banyak teknik dan strategi yang telah diusahakan dan diketahui efektif.
b) Konseling perilaku mengutamakan perilaku yang nyata atau overt, maka dengan mudah dapat diketahui keberhasilannya atau kegagalan
suatu teknik atau strategi tertentu.
c) Konselor perilaku tidak membelenggu seorang konselor. Konselor dapat mengkombinasikan teknik-teknik dan strategi-strategi untuk
menjadikan pendekatan elektrik.
4. Strategi Yang Dipakai Dalam Konseling Kelompok Behavioral
Konseling kelompok behavioralistik adalah suatu proses
interpersonal yang dinamis yang memusatkan pada kesadaran berfikir dan
tingkah laku, seta melibatkan pada fungsi-fungsi terapi yang
dimungkinkan, serta berorientasi pada kenyataan-kenyataan,
membersihkan jiwa, saling percaya mempercayai, pemeliharaan,
pengertian, penerimaan dan bantuan (Loekmono, 2003).
Menurut Loekmono (2003) terdapat beberapa strategi yang
dipakai dalam konseling perilaku sebagai berikut: (1) Latihan Relaksasi.
(2) Desentisasi Sistematik. (3) Konseling Impulsif. (4) Aversif. (5) Latihan
Asertif. (6) Teknik-teknik kognitif. Dalam penelitian yang akan dilakukan,
peneliti memfokuskan kepada teknik latihan asertif.
Strategi yang digunakan dalam konseling kelompok behavioral
dalam penelitian ini adalah dengan menerapkan latihan asertif. Latihan
26
asertif (assertive training) adalah salah satu teknik dalam tritmen ganguan
perilaku dimana konseli diinstruksikan, diarahkan, dilatih, serta didukung
untuk bersikap asertif dalam menghadapi situasi yang tidak nyaman atau
kurang menguntungkan bagi dirinya. Menurut Corey (2007) perilaku
asertif adalah ekspresi langsung, jujur, dan pada tempatnya dari pikiran,
perasaan, kebutuhan, atau hak-hak seseorang tanpa kecemasan yang
beralasan. Langsung artinya pernyataan tersebut dapat dinyatakan tanpa
berbelit-belit dan dapat terfokus dengan benar. Jujur berarti pernyataan
dan gerak-geriknya sesuai dengan apa yang diarahkannya. Sedangkan pada
tempatnya berarti perilaku tersebut juga memperhitungkan hak-hak dan
perasaan orang lain serta tidak melulu mementingkan dirinya sendiri.
Sedangkan Alberti dan Emmons (2002) mendefinisikan
asertivitas sebagai perilaku yang mempromosikan kesetaraan dalam
hubungan manusia, yang memungkinkan kita untuk bertindak menurut
kepentingan diri sendiri, untuk membela diri sendiri tanpa kecemasan yang
tidak semestinya, untuk mengekspresikan perasaan dengan jujur dan
nyaman, untuk menerapkan hak-hak pribadi kita tanpa menyangkali hak-
hak orang lain. Menurut Sunardi (2010) Asertif dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk menyatakan diri dengan tulus, jujur, jelas, tegas,
terbuka, sopan, spontan, apa adanya, dan tepat tentang keinginan, pikiran,
perasaan dan emosi yang dialami, apakah hal tersebut yang dianggap
menyenangkan ataupun mengganggu sesuai dengan hak-hak yang dimiliki
dirinya tanpa merugikan, melukai, menyinggung, atau mengancam hak-
27
hak, kenyamanan, dan integritas perasaan orang lain. Perilaku asertif tidak
dilatarbelakangi maksud-maksud tertentu, seperti untuk memanipulasi,
memanfaatkan, memperdaya atau pun mencari keuntungan dari pihak lain.
L’Abate & Milan (1985) menjelaskan ada 3 (tiga) tipe perilaku asertif
yaitu : (Sunardi, 2010)
a. Asertif untuk menolak (Refusal Assertiveness)
Perilaku asertif dalam konteks ketidaksetujuan atau ketika seseorang
berusaha untuk menghalangi atau mencampuri pencapaian tujuan
orang lain. hal ini membutuhkan keterampilan sosial untuk menolak
atau menghindari campur tangan orang lain.
b. Asertif untuk memuji (Commendatory Assertiveness) Ekspresi-ekspresi dari perasaan positif seperti penghargaan, apresiasi
dan menyukai dapat dilihat untuk memfasilitasi hubungan
interpersonal yang baik. Kemampuan untuk memuji orang lain dalam
cara yang hangat, tulus dan bersahabat dapat menjadi kemampuan
yang memiliki kekuatan hebat dan berfungsi untuk membuat seseorang
menjadi penguat dan partner interaksi yang menyenangkan.
c. Asertif untuk meminta (Request Assertiveness) Perilaku asertif jenis ini terjadi ketika seseorang meminta orang lain
untuk membantunya mencapai tujuan atau memenuhi kebutuhannya.
Perilaku asertif ini sering dipadukan dengan penolakan, dalam situasi
menolak permintaan orang lain dan meminta perubahan berperilaku
meminta. Fungsi dari jenis perilaku asertif ini adalah agar menghindari
terjadinya konflik yang sama dikemudian hari.
Pengertian asertif seringkali disalah artikan dengan agresif,
berikut Sunardi (2010) menjelaskan relevansi asertif dengan non-asertif
dan agresif yaitu:
a. Asertif Dalam kehidupan atau komunikasi sehari-hari, orang yang
asertif akan lebih memilih pola interaksi “I’m okay, you’re okay” atau
menggunakan pernyataan-pernyataan yang lebih mencermintan
tangung jawab pribadi, seperti penggunaan kata-kata ”saya” dari pada
”mereka ” atau ”kamu”. Misalnya, ”saya sedih, marah, dan malu ketika
saya tahu ...” dari pada ”kamu pembohong, tidak disiplin, dan tidak
dapat dipercaya karena ....”. Dengan demikian, orang yang asertif akan
memiliki kebebasan untuk meluapkan perasaan apa pun yang
28
dirasakan, dan berani mengambil tanggung jawab terhadap perasaan
yang dialaminya dan menerima orang lain secara terbuka. Memiliki
keberanian untuk tidak membiarkan orang lain mengambil manfaat
dari perasaan yang dialaminya, tetapi orang lain pun memiliki
kebebasan untuk mengungkap apa yang dirasakannya.
b. Non asertif-pasif Dalam perilaku pasif, seseorang tidak tidak memberikan
reaksi atau mengekspresikan perasaan negatif yang dialaminya secara
jujur dan terbuka, tetapi dilakukan dengan menyimpan perasaannya
tersebut, menarik diri, menerima, atau menggerutu. Perilaku non
asertif-pasif hakekatnya adalah bentuk ketidakjujuran emosi,
kegagalan diri atau kekalahan diri yang didasari oleh perasaan-
perasaan takut, cemas, mengindari konflik, keininginan untuk mencari
jalan keluar paling mudah, dan bahkan ketidakmampuan untuk
memahami diri dan memenuhi kebutuhan untuk bersikap sabar. Pola
komunikasi yang berkembang pada kelompok nonasertif-pasif adalah
“I’m not okay, you’re okay”.
c. Non asertif-agresif Sedangkan pada perilaku nonasertif-agresif, reaksi yang
diberikan diekspresikan keluar dan dilakukan secara terbuka melalui
tindakan aktif berupa pengancaman atau penyerangan, dilakukan
secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk fisik atau
verbal. Tindakan yang dilakukan secara langsung, misalnya marah-
marah, memukul, menuntut, dominan, egois, menyerang, dan
sebagainya. Sedangkan tindakan tidak langsung, misalnya dengan
menyindir, menyebar gosip, dan sebagainya. Tindakan agresif ini
biasanya sengaja dilakukan dengan maksud untuk melukai,
melecehkan, menghina, mempermalukan, menyakiti, merendahkan dan
bahkan menguasai pihak lain. Dalam pola komunikasi mereka
cenderung menggunakan pola “You’re not okay, I’m okay”. Dengan
kata lain, seseorang dikatakan bersikap non-asertif, jika ia gagal
mengekspresikan perasaan, pikiran dan pandangan/keyakinannya
secara tulus, jujur, sopan, dan apa adanya tanpa maksud untuk
merendahkan hak-hak atau mengancam integritas perasaan orang lain,
sehingga justru menimbulkan respons dari orang lain yang tidak
dikehendaki atau negatif.
Pada hakikatnya, tindakan asertif yang merupakan tindakan
untuk mempertahankan hak-hak personal yang dimilikinya adalah
upaya untuk mencapai kebebasan emosi, yaitu kemampuan untuk
menguasai diri, bersikap bebas dan menyenangkan, merespon hal–hal
29
yang disukai atau tidak disukai secara tulus dan wajar, dan
mengekspresikan cinta dan kasih sayang pada orang yang sangat
berarti dalam hidupnya. Apakah seseorang menunjukkan perilaku
asertif atau tidak, akan tampak sekali dalam respons-respons yang
diberikan bagi bentuk pembelaan diri, ketika seseorang itu
diperlakukan tidak adil oleh orang lain atau lingkungannya.
Faktanya dalam kehidupan sosial sehari-hari, banyak orang
enggan bersikap asertif dan memilih bersikap non asertif, seperti
memendam perasaannya, berpura-pura, menahan perbedaan pendapat
atau sebaliknya dengan bersikap agresif. Keengganan ini umumnya
karena dilandasi oleh rasa takut dan khawatir mengecewakan orang
lain, takut tidak diterima oleh kelompok sosialnya, takut dianggap
tidak sopan, takut melukai perasaan atau menyakiti hati orang lain,
takut dapat memutuskan tali hubungan persaudaraan atau
persahabatan, dan sebagainya.
Padahal, dengan membiarkan diri untuk bersikap non-asertif
justru dapat mengancam hubungan yang ada karena salah satu pihak
kemudian akan merasa dimanfaatkan oleh pihak lain, tidak
menyelesaikan masalah-masalah emosional yang dihadapi,
menurunkan harga diri, atau bahkan dapat menjadi “bom waktu” yang
sewaktu-waktu dapat mengancam kelangsungan hubungan pribadi dan
sosial dan kesehatan mental seseorang, yaitu resiko terhadap timbulnya
kecemasan dan stres.
30
Alberti dan Emmons (2002) secara umum orang yang
berperilaku asertif, akan memiliki karakteristik antara lain sebagai
berikut:
a Mengekspresikan diri sendiri, b Menghomati hak-hak orang lain, c Jujur, d Langsung dan tegas, e Menyetarakan, menguntungkan kedua pihak dalam sebuah hubungan
baik dengan kata-kata (termasuk isi pesan) maupun tanpa kata-kata
(termasuk gaya pesannya),
f Positif sesekali (mengekspresikan kasih sayang, pujian, penghargaan) dan negatif sesekali (mengekspresikan batasan, amarah, kritik)
g Layak bagi orang dan situasi masing – masing, bukan universal h Bertanggung jawab secara sosial i Belajar, bukan pembawaan lahiriah
Karakteristik maupun ciri-ciri tersebut turut mendukung seseorang dalam
menampilkan perilaku asertif, dan turut menggambarkan bahwa asertivitas
tersebut bukan pembawaan lahiriah namun suatu keterampilan
interpersonal yang dapat dipelajari, dikembangkan dan ditingkatkan
(Alberti & Emmons, 2002).
Pada setiap pelatihan asertivitas yang diprakasai oleh Smith
(dalam Michel & Fursland, 2008), merumuskan mengenai “bill of
assertive rights”; hak-hak asertivitas merupakan hak yang kita miliki
sebagai manusia, yang terdiri sebagai berikut:
a. Hak untuk menentukan sendiri dalam bertingkah laku, pemikiran, dan emosi serta bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan
konsekuensi yang ditimbulkannya,
b. Hak untuk berkata “tidak”, c. Hak untuk mempertahankan perilaku diri sendiri tanpa dengan
menyatakan alasan atau penjelasan tertentu,
d. Hak untuk memberikan pertimbangan atau penilaian, jika kita bertanggung jawab untuk untuk menemukan solusi dalam
permasalahan orang lain,
31
e. Hak untuk merubah pemikiran diri sendiri, f. Hak untuk tidak setuju terhadap opini seseorang, g. Hak untuk membuat kesalahan dan bertanggung jawab terhadap
kekeliruan yang telah terjadi,
h. Hak untuk berkata “ saya tidak tahu”, i. Hak untuk membuat keputusan yang tidak masuk akal, j. Hak untuk berkata “ saya tidak mengerti”, k. Hak untuk berkata “saya tidak peduli”.
Bagian yang terpenting dari hak-hak asertivitas bahwa setiap
hak asertivitas yang dirumuskan tersebut berhubungan dengan rasa
kebertanggung jawaban terhadap diri sendiri dan juga terhadap individu
lain ketika sedang berinteraksi dengannya. Seringkali terdapat individu
yang berpikir bahwa mereka sedang berlaku asertif, tetapi mereka
mengkesampingkan hak-hak orang lain dan konsekuensi yang
ditimbulkannya.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Rees & Graham (dalam Sunardi,
2010), inti dari latihan asertif adalah penanaman kepercayaan bahwa
asertif dapat dilatihkan dan dikembangkan, memilih kata-kata yang tepat
untuk tujuan yang mereka inginkan, saling mendukung, pengulangan
perilaku asertif dalam berbagai situasi, dan umpan balik bagi setiap peserta
dari trainer maupun peserta. Menurut pendapat Corey (2007), manfaat
latihan asertif yaitu membantu bagi orang-orang yang:
a. Tidak mampu mengungkapkan kemarahan dan perasaan tersinggung. b. Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang
lain untuk mendahuluinya.
c. Memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak.” d. Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-
respons positif lainnya.
e. Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
32
Wahyuningsih, dkk (2010) juga menyatakan hal yang hampir
sama bahwa teknik latihan asertif sangat relevan digunakan pada
permasalahan yang menyangkut hubungan sosial. Misalnya dalam lingkup
sekolah, dan organisasi, dan sebagainya. Dimana seringkali terjadi
kebingungan pandangan mengenai asertif, agresi, dan sopan. Tujuan
latihan asertif diantaranya:
a Mengajarkan individu untuk menyatakan diri mereka dalam suatu cara sehingga memantulkan kepekaan kepada perasaan dan hak-hak orang
lain.
b Meningkatkan keterampilan behavioralnya sehingga mereka bisa menentukan pilihan apakah pada situasi tertentu perlu berperilaku
seperti apa yang diinginkan atau tidak
c Mengajarkan pada individu untuk mengungkapkan diri dengan cara sedemikian rupa sehingga terefleksi kepekaanya terhadap perasaan dan
hak orang lain
d Meningkatkan kemampuan individu untuk menyatakan dan mengekspresikan dirinya dengan enak dalam berbagai situasi sosial
e Menghindari kesalah pahaman dari pihak lawan komunikasi
Loekmono (2003) menjelaskan beberapa strategi yang harus
dilakukan dalam memberikan pelatihan asertif, antara lain;
a. Pengajaran – konselor menerangkan kepada konseli perilaku khusus yang diharapkannya;
b. Respons – konselor memberikan respons positif juga negatif kepada konseli berkaitan dengan perilakunya sesudah diberi pengarahan;
c. Percontohan – ada kalanya konselor menunjukan contoh perilaku kepada konseli. Ini dapat dilakukan secara hidup atau dengan memakai
audio visual;
d. Keasyikan – konseli akan berlatih melalui permainan peranan perilaku tertentu dan ia akan dikritik oleh konselor;
e. Penguatan sosial – dari waktu ke waktu konseli akan diberi pujian; f. Tugas atau PR - konseli akan diberi tugas untuk dikerjakan
Shaffer dan Galinsky (dalam Corey, 2007) menerangkan
bagaimana kelompok-kelompok latihan asertif dibentuk dan berfungsi.
Kelompok terdiri atas 8 – 10 anggota memiliki latar belakang sama, dan
33
session terapi berlangsung selama dua jam. Terapis bertindak sebagai
penyelenggara dan pengarah permainan peran, pelatih, pemberi kekuatan,
dan sebagai model peran. Dalam diskusi kelompok, terapis bertindak
sebagai ahli, memberikan bimbingan dalam situasi-situasi bermain peran,
dan memberikan umpan balik kepada para anggota. Lebih lanjut Shaffer
dan Galinsky (dalam Corey, 2007) menjelaskan prosedur dasar latihan
asertif dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Session pertama, yang dimulai dengan pengenalan diktatik tentang kecemasan sosial yang tidak realistis, pemusatan pada belajar
menghapuskan responss-responss internal yang tidak efektif yang telah
mengakibatkan kekurang tegasan dan pada belajar peran perilaku baru
yang asertif.
b. Session kedua, bisa memperkenalkan sejumlah latihan relaksasi, dan masing-masing anggota menerangkan perilaku yang spesifik dalam
situasi-situasi intrapersonal yang dirasakan menjadi masalah. Para
anggota kemudian membuat perjanjian untuk menjalankan perilaku
menegaskan diri yang semula mereka hindari.
c. Session ketiga para anggota menerangkan tentang perilaku menegaskan diri yang telah dicoba dijalankan oleh mereka dalam
situasi-situasi kehidupan nyata. Mereka berusaha mengevaluasi dan
jika mereka belum sepenuhnya berhasil, kelompok harus menjalankan
permainan peran.
d. Session keempat penambahan latihan relaksasi, pengulangan perjanjian untuk menjalankan perilaku menegaskan diri, yang diikuti oleh
evaluasi.
e. Session kelima bisa disesuaikan dengan kebutuhan anggota. Sejumlah kelompok sering berfokus pada permainan peran tambahan, evaluasi,
dan latihan, sedangkan kelompok lainnya berfokus pada usaha
mendiskusikan sikap-sikap dan perasaan yang telah membuat perilaku
menegaskan diri sulit dijalankan.
34
E. Hipotesis Penelitian
Sesuai dengan teori yang dikemukakan dalam konseling kelompok
behavioral maka hipotesis yang dikemukan dalam penelitian ini adalah :
Konseling kelompok behavioral mampu menurunkan perilaku kekerasan
dalam pacaran (KDP) pada siswa-siswi Kelas XI SMA Bhinneka Karya 2
Kabupaten Boyolali.
Recommended