View
17
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
10
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Pengertian Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah
untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan
pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda
dengan kebijakan moneter, yang bertujuan menstabilkan perekonomian
dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar.
Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak.
Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat
memengaruhi variabel-variabel berikut :
a. Permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi
b. Pola persebaran sumber daya
c. Distribusi pendapatan
Pemerintah yang menjalankan kebijakan fiskal adalah dengan maksud
untuk mempengaruhi jalannya perekonomian atau dengan perkataan lain,
dengan kebijakan fiskal pemerintah berusaha mengarahkan jalannya
perekonomian menuju keadaan yang diinginkannya. Dengan melalui
kebijakan fiskal, antara lain pemerintah dapat mempengaruhi tingkat
pendapatan nasional, dapat mempengaruhi kesempatan kerja, dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya investasi nasional, dan dapat
mempengaruhi distribusi penghasilan nasional (Wikipedia: 2018).
11
Tahun 1936 Keynes menerbitkan bukunya “The General Theory of
Employment Interest And Money” (Teori Umum Tentang Kesempatan
Kerja, Bunga dan Utang), yang merupakan dasar dari teori kebijakan
fiskal. Kebijakan fiskal sering dikaitkan dengan Keynesianisme, teori-teori
ekonomi Keynesian didasarkan pada keyakinan bahwa tindakan proaktif
dari pemerintah adalah satu-satunya cara untuk mengarahkan
perekonomian. Ini berati bahwa pemerintah harus menggunakan kekuatan
guna meningkatkan permintaan agregat dengan meningkatkan belanja dan
menciptkan kondisi uang mudah didapatkan, dimana akan merangsang
perekonomian dengan menciptakan lapangan kerja dan kemakmuran pada
akhirnya meningkat.
a. Konsep Dasar Kebijakan Fiskal Dilihat Dari Situasi dan Kondisi
Perekonomian Negara
1. Kebijakan Fiskal Ekspansif: peningkatan belanja pemerintah dan /
atau penurunan pajak yang dirancang untuk meningkatkan
permintaan agregat dalam perekonomian. Tujuan dari kebijakan ini
adalah untuk meningkatkan produk domestik bruto dan menurunkan
angka pengangguran.
2. Kebijakan Fiskal Kontraktif: pengurangan belanja pemerintah
dan/atau peningkatan pajak yang dirancang untuk menurunkan
permintaan agregat dalam perekonomian. Tujuan dari kebijakan ini
adalah untuk mengontrol inflasi.
12
b. Tujuan
1. Mengatasi Inflasi
2. Mengatasi pengangguran
3. Menciptakan pertumbuhan ekonomi
c. Fungsi
1. Alokasi
Fungsi kebijakan fiskal yang pertama adalah fungsi alokasi. Yaitu
pengalokasian atau atau mengatur sumberdaya yang sudah ada pada
masyarakat agar bisa lebih maksimal mengelolanya
2. Distribusi
Fungsi yang kedua adalah fungsi distribusi yaitu pemerataan hasil
pendapatan negara ke masyarakat secara totalitas, tidak hanya
orang-orang tinggi saja yang menikmati hasil pendatapan Negara,
namun masyarakat pun ikut serta menikmatinya.
3. Stabilitas
Fungsi yang terakhir adalah fungsi stabilitas yaitu menjaga sumber
daya-sumberdaya yang sudah ada agar setabil seperti kebutuhan
pokok masyarakat, lowongan pekerjaan atau kesempatan kerja yang
memadai.
13
2.1.2. Pengertian Perpajakan Secara Umum
Perpajakan secara umum pajak menurut Brotodiharjo dalam
Sukardji (2014:1) “Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat
dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat
ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaranpengeluaran umum berhubung dengat tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan”.
Sedangkan menurut Undang Undang No. 28 tahun 2007 tentang
KUP pengertian pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa bedasarkan
UU dengan tidak mendapat imbalan secaralangsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kesimpulan
dari berbagai pengertian pajak adalah :
a. Iuran rakyat yang diberikan kepada negara.
b. Bersifat memaksa
c. Dikenakan kepada orang pribadi atau badan
d. Dilandasi peraturan Undang Undang
e. Tidak mendapat imbalan secara langsung
f. Digunakan untuk kemakmuran rakyat.
14
2.1.3. Faktor yang mempengaruhi Penerimaan Pajak
Secara garis besar terdapat dua faktor yang mempengaruhi
penerimaan pajak yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal adalah faktor yang berkaitan dengan direktorat jenderal pajak
sendiri yang berupa keterbatasan akses terhadap data wajib pajak, data
wajib Pajak belum seluruhnya terekam pada sistem yang ada, jumlah
pegawai tidak sebanding dengan jumlah wajib pajak, dan adanya
pembebasan pajak bagi pengusaha tertentu. Faktor eksternal yang
mempengaruhi penerimaan pajak diantaranya adalah faktor wajib
pajak dan faktor makro ekonomi. Dari wajib pajak berupa rendahnya
kepatuhan wajib pajak untuk melaporkan pajaknya dengan benar,
adanya usaha penghindaran Pajak dengan melakukan tax planning, dan
adanya wajib Pajak yang tidak melaporkan kegiatan usahanya
(Suparmoko,2005:18) dalam (Ai Nety 2017).
Kondisi-kondisi makro ekonomi tertentu berpengaruh terhadap
penerimaan pajak. Faktor makro ekonomi tersebut diantaranya adalah
sebagai berikut :
a. Nilai Tukar Rupiah
b. Tingkat Suku Bunga
c. Pertumbuhan ekonomi
d. Harga Minyak di pasar Internasional
15
2.1.4. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)
Menurut Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) yang
bertanggung jawab atas kebijakan perpajakan, pajak penghasilan (PPh)
didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau
badan (subjek pajak/Wajib Pajak) atas penghasilan yang diterima atas
diperoleh (objek pajak) dalam Tahun Pajak. Ketentuan PPh telah diatur
dalam sejumlah pasal dalam UU PPh. Salah satunya adalah Pasal 17.
Dalam UU No. 36 Tahun 2008 (revisi) tentang PPh, Pasal 17 berfungsi
dalam mengatur tarif yang diberlakukan Pemerintah terhadap Subjek
Pajak. Sebagaimana yang termaksud dalam UU No.36 Tahun 2008, PPh
Pasal 17 menjelaskan secara terperinci tentang tarif yang digunakan
untuk menghitung penghasilan kena pajak. Subjek pajak/Wajib Pajak
yang dimasukkan dalam UU ini meliputi Wajib Pajak (WP) orang pribadi
dalam negeri dan WP badan dalam negeri/bentuk usaha tetap. Berikut
adalah tarif pajak yang diatur dalam PPh pasal 17. Tarif tersebut adalah
yang ditentukan oleh pemerintah dan mewajibkan wajib pajak bagi
individual untuk tertib membayar pajak.
Pemerintah lewat PPh pasal 31 E menjelaskan, wajib pajak tidak
perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas
tersebut. Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah) adalah sebagai batasan maksimal peredaran
bruto yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan dalam negeri untuk
dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif sesuai dengan Pasal 31 E
16
ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Peredaran bruto adalah
penjualan atau penerimaan hasil usaha. Dalam Laporan Laba Rugi
(income statement) sering dibedakan antara penghasilan yang berasal dari
usaha dan non usaha. Nah istilah peredaran bruto adalah penghasilan
bruto (sebelum dikurangi beban pokok dan biaya) yang berasal dari
usaha. Sehingga maksud peredaran bruto sebesar Rp50.000.000.000,00
jelas tidak termasuk penghasilan lain-lain yang berasal dari penghasilan
non usaha. Alasan diberikannya insentif ini adalah Untuk mendukung
program pemerintah dalam rangka pemberdayaan UMKM. Mengurangi
beban pajak bagi WP badan UMKM akibat penerapan tarif tunggal PPh
Badan (Bayu,2017)
Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Tarif Pajak
Sampai dengan Rp50.000.000 5%
Di atas Rp50.000.000-Rp250.000.000 15%
Di atas Rp250.000.000-Rp 500.000.000 25%
Di atas Rp 500.000.000 30%
Sedangkan yang diatur dalam PP no 46 adalah Bagi Wajib Pajak
Orang Pribadi dan Badan yang menerima penghasilan dari usaha dengan
peredaran bruto (omzet) tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak, akan
dikenai pajak dengan tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final
17
sebesar 1% (satu persen). Ketentuan ini diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang PPh atas Penghasilan
dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu. Dalam PP tersebut diatur juga tentang kriteria
Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang tidak dapat memanfaatkan
aturan ini.
a. Wajib Pajak badan yang belum beroprasi secara komersial
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu satu tahun setelah
beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta) dan mewajibkan
wajib pajak dalam ketentuan PP no 46 adalah Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk
bentuk usaha tetap.
b) Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari
jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto
tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak
Saat ini PP 46 Tahun 2013 sudah digantikan dengan PP 23 tahun 2018
adapun perubahan pada tarif dan pengecualian wajib pajak sebagai
berikut :
18
- Tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final sebelumnya
dikenakan tarif 1% kini turun menjadi 0,5%
- Dihilangkannya pengecualian terhadap dua jenis wajib pajak yaitu:
a. Wajib pajak badan yang belum beroperasi secara komersial
b. Wajib pajak orang probadi yang melakukan kegiatan usaha
perdagangan dan atau jasa yang dalam usahanya
menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar
pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap dan
menggunkan sebagian atau seluruh tempat untuk
kepentungan umumyang tidak diperuntukan untuk tempat
usaha atau berjualan.
Dengan dihapuskannya pengecualian terhadap dua jenis wajib
pajak tersebut, maka PP 23 memiliki cakupan yang lebih luas
terhadap wajib pajak.
2.1.5. Pengertian Nilai Tukar Mata Uang (Kurs)
Pengertian /Definisi Nilai Tukar Mata Uang atau Kurs
Konsep penentuan kurs diawali dengan konsep Purchasing Power
Parity ( PPP ) yang pertama kali dikemukakan oleh (Gustav Cassell
1922:2) dalam (Ai Nety ,2017). Kemudian berkembang konsep dengan
pendekatan neraca pembayaran (balance of payment theory) dan konsep
selanjutnya adalah pendekatan moneter (monetary approach).
19
Nilai mata uang dari suatu negara yang cenderung menurun
menunjukkan negara tersebut mempunyai tingkat inflasi yang tinggi.
Inflasi suatu negara lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain berarti
harga barang-barang di negara tersebut naik lebih cepat dari negara lain.
Hal ini akan berakibat ekspor akan turun dan impor akan naik karena
harga barang-barang negara bersangkutan lebih mahal bila dibandingkan
dengan barang-barang negara lain. Dengan demikian supply dari mata
uang asing akan turun dan demand akan naik, sehingga nilai mata uang
asing akan naik (nilai mata uang domestik akan turun atau terdepresiasi).
Nilai tukar rupiah adalah harga rupiah terhadap mata uang negara
lain. Kebijakan nilai tukar rupiah dilakukan untuk mengendalikan
transaksi neraca pembayaran. Krisis ekonomi yang dialami oleh
Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya diawali dengan jatuhnya nilai
tukar rupiah dan mata uang asing lainnya terhadap nilai dolar Amerika.
Asumsi nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS dibutuhkan
untuk merupiahkan pos-pos penerimaan dan pengeluaran dalam RAPBN
maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja negara (APBN )yang nilai
aslinya dalam dolar AS. Pos penerimaan dalam RAPBN maupun
Anggaran Pendapatan dan Belanja negara (APBN) yang nilainya dalam
dolar AS adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang antara
lain dari ekspor baik migas maupun non-migas. Di samping itu ada juga
penerimaan dari pajak yang dalam hal ini bisa dari PPh maupun PPN
hasil ekspor migas maupun non -migas. Dalam kondisi kurs yang stabil
20
akan mendorong dunia usaha menjalankan kegiatannya dengan tenang
khusunya bagi usaha yang menggunakan valuta asing dalam transaksinya.
Fluktuasi kurs yang ekstrim dapat mengakibatkan perusahaan merugi
atau bahkan kolaps dan tidak dapat melanjutkan kegiatan usahanya.
Dalam menghitung penghasilan neto untuk kepentingan perpajakan,
kerugian akibat selisih kurs merupakan biaya yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto sehingga semakin besar kerugian akibat selisih
kurs maka semakin kecil keuntungan yang diperoleh perusahaan
sehingga Pajak Penghasilan yang dibayar juga semakin kecil. (Dietrich
Lerche, 2007 : 1) dalam (Ai Nety,2017)
2.1.6. Pengertian Kebijakan Akuntansi
Kebijakan Akuntansi menurut PSAK 25 (Penyesuaian 2014)
Kebijakan akuntansi adalah prinsip, dasar, konvensi, peraturan dan praktik
tertentu yang diterapkan entitas dalam penyusunan dan penyajian laporan
keuangan. Kesalahan periode sebelumnya adalah kelalaian untuk
mencantumkan, dan kesalahan dalam mencatat, dalam laporan keuangan
entitas untuk satu atau lebih periode sebelumnya yang timbul dari
kegagalan untuk menggunakan, atau kesalahan penggunaan, informasi
andal yang:
a. Tersedia ketika penyelesaian laporan keuangan untuk periode
tersebut; dan
21
b. Secara rasional diharapkan dapat diperoleh dan dipergunakan
dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan tersebut.
Kesalahan tersebut termasuk dampak kesalahan perhitungan
matematis, kesalahan penerapan kebijakan akuntansi, kekeliruan atau
kesalahan interpretasi fakta, dan kecurangan.
Material kelalaian untuk mencantumkan atau kesalahan dalam
mencatat pos-pos laporan keuangan adalah material jika, baik secara
sendiri atau bersama, dapat mempengaruhi keputusan ekonomik
pengguna laporan keuangan. Materialitas bergantung pada ukuran dan
sifat dari kelalaian untuk mencantumkan atau kesalahan dalam
mencatat tersebut dengan memperhatkan keadaan terkait. Ukuran atau
sifat dari pos laporan keuangan, atau gabungan dari keduanya, dapat
menjadi faktor penentu.
Penerapan retrospektif adalah penerapan kebijakan akuntansi baru
untuk transaksi, peristiwa, dan kondisi lain seolah-olah kebijakan
tersebut telah diterapkan.
Penerapan prospektif suatu perubahan kebijakan akuntansi dan
pengakuan dampak perubahan estimasi akuntansi, masing-masing
adalah:
a. Penerapan kebijakan akuntansi baru untuk transaksi, peristiwa
dan kondisi lain yang terjadi setelah tanggal perubahan kebijakan
tersebut; dan
22
b. Pengakuan dampak perubahan estimasi akuntansi pada periode
berjalan dan periode mendatang yang dipengaruhi oleh
perubahan tersebut.
Penyajian kembali retrospektif adalah koreksi pengakuan,
pengukuran, dan pengungkapan jumlah unsur-unsur laporan keuangan
seolah-olah kesalahan periode sebelumnya tidak pernah terjadi.
Ketika suatu PSAK secara spesifik berlaku untuk suatu transaksi,
peristiwa atau kondisi lain, kebijakan akuntansi yang diterapkan pos
tersebut menggunakan PSAK tersebut. Dalam hal tidak ada PSAK
yang secara spesifik berlaku untuk transaksi, peristiwa atau kondisi
lain, maka manajemen menggunakan pertimbangannya dalam
mengembangkan dan menerapkan suatu kebijakan akuntansi yang
menghasilkan informasi yang relevan dan andal.
Entitas memilih dan menerapkan kebijakan akuntansi secara
konsisten untuk transaksi, peristiwa dan kondisi lain yang serupa,
kecuali suatu PSAK secara spesifik mengatur atau mengizinkan
pengelompokkan pos-pos dengan kebijakan akuntansi yang berbeda
adalah hal yang tepat. Jika suatu PSAK mengatur atau mengizinkan
pengelompokkan tersebut, maka kebijakan akuntansi yang tepat
dipilih dan diterapkan secara konsisten untuk setiap kelompok.
Entitas mengubah suatu kebijakan akuntansi hanya jika perubahan
tersebut:
23
a. Dipersyaratkan oleh suatu PSAK; atau
b. Menghasilkan laporan keuangan yang memberikan informasi yang
andal dan lebih relevan tentang dampak transaksi, peristiwa atau
kondisi lainnya terhadap posisi keuangan, kinerja keuangan atau arus
kas entitas.
Penerapan Perubahan Kebijakan Akuntansi:
a. Entitas mencatat perubahan kebijakan akuntansi akibat dari penerapan
awal suatu PSAK sebagaimana yang diatur dalam ketentuan transisi
dalam PSAK tersebut, jika ada; dan
b. Jika entitas mengubah kebijakan akuntansi untuk penerapan awal
suatu PSAK yang tidak mengatur ketentuan transisi untuk perubahan
tersebut, atau perubahan kebijakan akuntansi secara sukarela, maka
entitas menerapkan perubahan tersebut secara retrospektif.
Ketika perubahan kebijakan akuntansi diterapkan secara retrospektif, maka
entitas menyesuaikan saldo awal setiap komponen ekuitas yang
terpengaruh untuk periode sajian paling awal dan jumlah komparatif
lainnya diungkapkan untuk setiap periode sajian seolah-olah kebijakan
akuntansi baru tersebut sudah diterapkan sebelumnya.
Perubahan Estimasi Akuntansi
Dampak perubahan estimasi akuntansi diakui secara prospektif dalam
laporan laba rugi pada:
24
a. Periode perubahan, jika dampak perubahan hanya pada periode
itu; atau
b. Periode perubahan dan periode mendatang, jika perubahan
berdampak pada keduanya.
Sepanjang perubahan estimasi akuntansi mengakibatkan perubahan
aset dan laibilitas, atau terkait dengan suatu pos ekuitas, perubahan
estimasi akuntansi tersebut diakui dengan menyesuaikan jumlah tercatat
pos aset, liabilitas, atau ekuitas yang terkait pada periode perubahan.
Berikut adalah bidang yang menimbulkan perbedaan kebijakan akuntansi
dan karena itu diperlukan pengungkapan atas perlakuan akuntansi terpilih:
a. Umum
a) Kebijakan konsolidasi
b) Konversi atau penjabaran mata uang asing meliputi pengakuan
keuntungan dan kerugian pertukaran
c) Kebijakan penilaian menyeluruh seperti harga perolehan, daya beli
umum, nilai penggantian
d) Peristiwa setelah tanggal neraca
e) Sewa guna usaha, sewa beli atau transaksi cicilan dan bung
f) Pajak
g) Kontrak jangka panjang
h) Franchise atau waralaba
25
b. Aktiva
a) Piutang
b) Persediaan (persediaan dan barang dalam proses) dan beban pokok
penjualannya
c) Aktiva dapat disusutkan dan penyusutan
d) Tanaman belum menghasilkan
e) Tanah yang dimiliki untuk pembangunan dan biaya pembangunan
f) Investasi pada anak perusahaan, investasi dalam perusahaan
asosiasi dan investasi lain
g) Penelitian dan pengembangan
h) Paten dan merek dagang
i) Goodwill
c. Kewajiban dan penyisihan
a) Jaminan
b) Komitmen dan kontinjensi
c) Biaya pensiun dan tunjangan hari tua
d) Pesangon dan uang penggantian
d. Keuntungan dan kerugian
a) Metode pengakuan pendapatan
b) Pemeliharaan, reparasi-perbaikan (repairs), dan penyempurnaan–
penambahan (improvement)
c) Untung-rugi penjualan aktiva
d) Akuntansi Dana, wajib atau tak wajib, termasuk pembebanan dan
pengkreditan langsung ke perkiraan surplus.
26
2.1.6.1. Kebijakan Akuntansi Persediaan
PSAK 14 Persediaan menyarankan penggunaan metode identifikasi
khusus untuk menentukan biaya persediaan, jika metode itu bisa
dipraktikkan. Persediaan juga bisa diukur menggunakan salah satu dari
beberapa model biaya lain sejauh penerapannya konsisten, yang di
antaranya adalah metode biaya rata-rata dan metode masuk pertama
keluar pertama (biasa disebut metode FIFO). PSAK 14 secara tegas
melarang penggunaan metode masuk terakhir keluar pertama (biasa
disebut metode LIFO). Mengacu pada alternatif-alternatif metode yang
diperbolehkan oleh PSAK 14, entitas menetapkan untuk menerapkan
metode tertentu, misalnya metode FIFO. Penerapan metode tertentu
oleh entitas itulah yang dimaksud dengan kebijakan akuntansi.
a. FIFO
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2014) merumuskan FIFO
sebagai berikut, “formula MPKP / FIFO mengasumsikan barang
dalam persediaan yang pertama dibeli akan dijual atau digunakan
terlebih dahulu sehingga yang tertinggal dalam persediaan akhir
adalah yang dibeli atau diproduksi kemudian”. Sedangkan menurut
Syafi’I Syakur Ahmad (2009;136) pengertian metode penilaian FIFO
adalah : “Metode FIFO mengasumsikan bahwa barang dagangan
yang pertama dibeli adalah barang dagangan yang pertama dijual
(the first merchandise purchased is the first merchasndise sold),
karena harga pokok penjualan dinilai berdasarkan harga pokok
27
persediaan pertama masuk maka harga pokok persediaan yang
tersisa terdiri dari harga pokok persediaan yang terakhir kali masuk.”
Semua kasus FIFO, persediaan dan harga pokok penjualan akan
sama pada akhir bulan terlepas dari apakah yang dipakai adalah
sistem persediaan perpetual atau periodik. Hal ini disebabkan karena
yang akan menjadi bagian dari harga pokok penjualan adalah
barang-barang yang akan dibeli terlebih dahulu,dan karenanya
dikeluarkan lebih dulu terlepas dari apakah harga pokok penjualan
dihitung seiring barang dijual sepanjang periode akuntansi (sistem
perpetual) atau sebagai residu pada akhir periode akuntansi (sistem
periodik). Selain dianjurkan oleh pemerintah , metode FIFO banyak
digunakan oleh perusahaan-perusahaan karena :
1. Perhitungan dan pelaksanaannya sederhana
2. Nilai persediaan akhir pada neraca sesuai dengan harga yang
berlaku sekarang
3. Dapat menghindari kerusakan dan keusangan persediaan
b. Rata-Rata
Menurut Kieso, Weygant dan Warfield (2007;417) pengertian
metode rata-rata yaitu : “Average cost method to calculate the price
of items contained in the inventory on the basic of the average cost
of the same goods are available for a period.” Maksudnya adalah :
“Metode biaya rata-rata menghitung harga pos-pos yang terdapat
28
dalam persediaan atas dasar biaya rata-rata barang yang sama yang
tersedia selama satu periode.” Pemakaian metode rata-rata biasanya
dapat dibenarkan dari sisi praktis, bukan karena alasan konseptual.
Metode ini mudah diterapkan, objektif dan tidak dapat dimanfaatkan
untuk memanipulasi laba seperti halnya beberapa metode penentuan
harga persediaan lainnya. Selain itu, metode pendukung metode
biaya rata-rata berpendapat bahwa secara umum perusahaan tidak
mungkin mengukur arus fisik persediaan secara khusus, dan
karenanya lebih baik menghitung biaya persediaan atas dasar harga
rata-rata.
Metode penilaian rata-rata, yaitu :
1. Metode rata-rata sederhana (simple average method)
Harga beli dari setiap kali melakukan pembelian dibagi dengan
jumlah pembelian yang dilakukan pada akhir periode.
2. Metode rata-rata tertimbang (weighted average method)
Harga beli dari setiap kali pembelian dikalikan dengan unit yang
dibeli dibagi dengan jumlah unit pembelian, dilakukan pada akhir
periode.
2.1.6.3. Kebijakan Akuntansi Depresiasi
Penyusutan adalah proses akuntansi untuk mengalokasikan baiay
aset berwujud menjadi biaya secara sistematis dan nasional terhadap
29
periode yang diharapkan dapat memanfaatkan penggunaan aset
tersebut.(Keiso dkk 2011)
Jumlah yang dapat disusutkan dialokasi ke setian periode akuntansi
selama masa manfaat aktiva dengan berbagai metode yang sistematis,
metode yang dapat digunakan sebagai berikut :
a. Metode Garis Lurus (Straight-Line Method)
Metode ini disebut juga Straight-Line Method dan merupakan
metode yang paling sering digunakan untuk menghitung beban
penyusutan. Metode ini fokus pada penyusutan sebagai fungsi dari
waktu dan bukan dari fungsi penggunaan. Rumus perhitungannya
sebagai berikut:
Namun penggunaan metode ini dinilai kurang realistis karena
kegunaan aktiva sama setiap tahunnya.
b. Metode Saldo Menurun
Metode penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan cara ini,
beban depresiasi tahun pertama lebih besar daripada tahun
berikutnya. Metode ini didasarkan pada teori bahwa aktiva yang baru
akan dapat digunakan dengan lebih efisien dibanding aktiva yang
30
tua. Demikian juga dengan biaya perbaikan dan pemeliharaannya.
Aktiva yang baru akan memerlakukan akan memerlukan biaya
pemeliharaan dan perbaikan yang lebih sedikit dibanding aktiva
lama.Dengan metode ini diharapkan jumlah beban depresiasi dan
biaya pemeliharaan serta perbaikan dari tahun ke tahun akan relatif
stabil. Di tahun pertama, bila depresiasinya besar maka biaya
pemeliharaannya kecil. Sebaliknya di tahun terakhir beban depresiasi
kecil sedangkan biaya pemeliharaannya besar.
2.1.6.4. Penilaian Piutang
Weygandt, Kimmel, dan Kieso (2010) memberikan definisi atau
pengertian piutang adalah jumlah yang dapat ditagih/diklaim dari
seseorang atau perusahaan lain yang diharapkan akan dilunasi
dengan kas.
a. Jenis Piutang
Ada beberapa jenis piutang yang lazim dimiliki sebuah perusahaan
bisnis. Jenis-jenis akuntansi piutang yang umum tersebut adalah
Piutang Dagang (Account Receivable), Piutang Wesel (Notes
Receivable), dan Piutang Lain-lain. Penjelasan secara singkat tentang
masing-masing jenis piutang akan disampaikan berikut ini.
a) Piutang Dagang atau Account Receivable
Dikenal juga dengan istilah Piutang Usaha. Piutang usaha
merupakan sejumlah tagihan yang muncul dari pembelian kredit
31
yang dilakukan. Piutang usaha biasanya akan memiliki jangka
waktu 30 sampai 60 hari untuk dilunasi oleh pemilik utang. Tipe
piutang ini merupakan tipe piutang yang paling besar yang dimiliki
oleh perusahaan. Piutang usaha penting untuk dianalisis karena
jarang sekali transaksi jual-beli dalam jumlah besar dilakukan
secara tunai. Dalam praktiknya, piutang dagang yang bernilai besar
ini mengkhawatirkan perusahaan. Hal ini berkaitan dengan track
record pembelinya. Jika pembelinya merupakan orang yang disiplin
dalam melunasi, maka perusahaan tidak harus mencadangkan
kerugian piutang. Perusahaan punya landasan kepercayaan bahwa
pembeli akan melunasinya. Berbeda dengan pembeli dengan track
record utang yang buruk, perusahaan kemungkinan akan memiliki
beban kerugian piutang yang besar juga.
b) Piutang Wesel atau Notes Receivable
Piutang wesel sebenarnya penguatan dari piutang dagang. Dalam
praktiknya, piutang wesel merupakan sebuah janji tertulis yang
tidak bersyarat untuk membayar sejumlah uang di tanggal tertentu
dimasa yang akan datang akibat transaksi jual-beli secara kredit di
masa sekarang. Janji tertulis tersebut seringkali juga dikenal dengan
istilah lain, yaitu surat promes. Dalam surat promes, tertera
perjanjian kapan terjadi transaksi jual-beli secara kredit dan
pernyataan bahwa pembeli akan menyanggupi kewajibannya untuk
melunasi utang tersebut dengan nilai tertentu di masa depan. Sub
32
jenis dari piutang wesel adalah piutang wesel berbunga, di mana
sesuai namanya, piutang ini disertai dengan tingkat bunga tertentu.
Rumus untuk menentukan berapa nominal bunga piutang wesel itu
adalah :
rate (suku bunga) piutang wesel x waktu pelunasan x jumlah
piutang wesel
c) Piutang Lain-lain atau Other Receivable
Piutang lain-lain merupakan apapun bentuk tagihan yang tidak
terklasifikasi dalam jenis piutang dagang dan piutang wesel.
Beberapa contoh piutang yang termasuk dalam jenis piutang lain-
lain adalah piutang dividen, piutang bunga, uang muka pembelian,
tagihan langganan untuk pengembalian tempat barang, dan tuntutan
kerugian pada perusahaan asuransi.
b. Kerugian Piutang
Piutang dagang yang dimiliki oleh perusahaan belum tentu seluruhnya
dapat ditagih. Piutang usaha yang tidak dapat tertagih biasanya
dimanakan kerugian piutang dan dalam akuntansi dicatat dalam akun
kerugian piutang.
Terdapat dua metode yang digunakan untuk mencatat adanya kerugian
piutang yaitu:
33
a) Metode Cadangan (Allowence Method)
Metode cadangan digunakan apabila kerugian piutang yang biasa
terjadi cukup besar jumlahnya. Tiga hal yang penting yang perlu
diperhatikan dalam penerapan metode ini adalah :
1. Kerugian piutang tidak tertagih ditentukan jumlahnya melalui
taksiran dan dibandingkan dengan penjualan pada periode
akuntansi yang sama dengan periode terjadinya penjualan
2. Jumlah piutang yang ditaksir tidak dapat diterima, dicatat dengan
mendebet rekening Kerugian Piutang dan mengkredit rekening
Cadangan Kerugian Piutang
3. Kerugian piutang yang sesungguhnya terjadi dicatat dengan
mendebet rekening Cadangan Kerugian Piutang dan mengkredit
rekening Piutang Dagang pada saat dihapus dari pembukuan
Bila terjadi penerimaan kembali piutang yang telah dihapus maka
perusahaan membuat dua ayat jurnal yaitu :
1. Ayat jurnal untuk mencatat kembali piutang yang telah dihapus
sehingga tercatat kembali dipembukuan sebagai piutang
2. Jurnal untuk mencatat penerimaan kas dari piutang yang telah
dihapus
34
b) Metode Penghapusan Langsung (Direct Method)
Dalam penerapan metode ini jumlah kerugian tidak perlu ditaksir
dan dalam pembukan tidak perlu digunakan Cadangan Kerugian
Piutang. Apabila suatu piutang diyakini tidak dapat tertagih lagi,
maka kerugian akibat piutang tersebut langsung didebetkan kedalam
rekening Kerugian Piutang dan pada rekening piutang dagang
dikreditkan. Bila ditunjau dari penanding (Maching Concept)
metode ini tidak memberikan gambaran penanding yang tepat baik
dalam laporan laba rugi atau dalam neraca perusahaan. Karena
rekening Kerugian Piutang hanya akan menunjukan jumlah
kerugian yang diderita.
2.1.7. Pengertian Akuntansi Positif
Watts dan Zimmerman (1986, 1990) memberikan gambaran
tentang praktik akuntansi yang didesain untuk menjelaskan dan
memprediksi apa yang akan dilakukan perusahaan dan apa yang tidak
akan dilakukan perusahaan secara khusus, misalnya pemilihan metode
akuntansi. Teori akuntansi positif menjelaskan bagaimana akuntansi
keuangan dapat digunakan untuk meminimalisasi biaya keagenan dari
setiap pihak yangterlibat dalam kontrak yang masing-masingpihak
mengutamakan kepentingannya (Deegan, 2004) dalam Bayu Rochmad
2013. Teori akuntansi positif menggunakan perspektif ekonomi untuk
menjelaskan tentang perilaku manajemen dalam pemilihan kebijakan
35
akuntansi (Mangos dan Lewis 1995). Asumsi ekonomi dalam teori
akuntansi positif membuat kerangka piker menjadi terlalu sempit.
Asumsi ini menghalangi para peneliti terdahulu untuk memperluas
penelitian dan konteks penelitian yang lebih komplek. Mangos dan
Lewis (1995) mengkritik asumsi ekonomi murni sebagai dasar
penjelasan perilaku dalam pemilihan metode akuntansi.
Tiga hipotesis yang diformulasikan oleh Watts dan Zimmerman (1986) :
a. Hipotesis Biaya Politik
Dalam hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap,
makin besar biaya politik yang mesti ditanggung oleh perusahaan,
manajer cenderung lebih memilih prosedur akuntansi yang
menyerah pada laba yang dilaporkan dari masa sekarang menuju
masa depan. Hipotesis biaya politik memperkenalkan suatu
dimensi politik pada pemilihan kebijakan akuntansi. Perusahaan-
pemsahaan yang ukurannya sangat besar mungkin dikenakan
standar kinerja yang lebih tinggi, dengan penghargaan terhadap
tanggung jawab lingkungan, hanya karena mereka merasa bahwa
mereka besar dan berkuasa. Jika perusahaan besar juga memiliki
kemampuan meraih profit yang tinggi, maka biaya politik bisa
diperbesar.
Perusahaan-perusahaan juga mungkin akan menghadapi
biaya politik pada poin-poin waktu tertentu. Persaingan luar negeri
mungkin mengarah pada menurunnya profitabilitas kecuali
36
perusahaan yang terkena dampaknya ini bisa mempengaruhi proses
politik untuk bisa melindungi impor secara keseluruhan. Salah satu
cara untuk melakukan ini adalah dengan mengadopsi kebijakan
akuntansi income-decreasing (pendapatan menurun) dalam rangka
meyakinkan pemerintah bahwa profit sedang turun.
b. Hipotesis Kontrak Hutang
Dalam hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap,
makin dekat suatu perusahaan terhadap pelanggaran pada
akuntansi yang didasarkan pada kesepakatan utang, maka
kecenderungannya adalah semakin besar kemungkinan manajer
perusahaan memilih prosedur akuntansi dengan perubahan laba
yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa kini
Alasannya adalah laba yang dilaporkan yang makin meningkat
akan menurunkan kelalaian teknis. Sebagian besar dari perjanjian
hutang berisi kesepakatan bahwa pemberi pinjaman harus bertemu
selama masa perjanjian. Sebagai contoh, perusahaan yang
mendapat pinjaman boleh sepakat memelihara level tertentu dari
hutang terhadap harta, laporan bunga, modal kerja, dan harta
pemilik saham.
Jika kesepakatan semacam itu dikhianati, perjanjian hutang
tersebut bisa memberikan/mengeluarkan penalti, seperti
pembatasan dividen atau tambahan pinjaman. Dengan jelas,
37
prospek dari pelanggaran kesepakatan membatasi kegiatan
perusahaan dalam operasional perusahaan itu sendiri. Untuk
mencegah, atau paling tidak menunda, pelanggaran semacam itu,
perusahaan bisa memilih kebijakan akuntansi tertentu yang bisa
meningkatkan laba masa kini. Berdasarkan hipotesis kesepakatan
hutang, ketika perusahaan mendekati kelalaian, atau memang
sudah berada dalam lalai/cacat, lebih cenderung untuk melakukan
hal ini
c. Hipotesis Rencana Bonus
Dalam hipotesis ini, semua hal lain dalam keadaan tetap,
para manajer perusahaan dengan rencana bonus cenderung untuk
memilih prosedur akuntansi dengan perubahan laba yang
dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa kini.
Hipotesis ini tampaknya cukup beralasan. Para manajer
perusahaan, seperti orang-orang lain, menginginkan imbalan yang
tinggi. Jika imbalan mereka bergantung, paling tidak sebagian,
pada bonus yang dilaporkan pada pendapatan bersih, maka
kemungkinan mereka bisa meningkatkan bonus mereka pada
periode tersebut dengan melaporkan pendapatan bersih setinggi
mungkin. Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan
memilih kebijakan akuntansi yang meningkatkan laba yang
dilaporkan pada periode tersebut. Tentu saja, sesuai dengan
38
karakter dari proses akrual, hal ini akan cenderung menyebabkan
penurunan pada laba dan bonus-bonus yang dilaporkan pada masa
yang akan datang, dengan taktor-faktor lain tetap sama. Namun
nilai masa kini (present value) dari kegunaan manajer dari lini
bonus masa depan yang dimilikinya akan meningkat dengan
memberikan perubahan menuju masa kini.
39
2.2. Tinjau Pustakan / Hasil Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Nama Penulis
Judul
Penelitian Variabel Hasil Penelitian
1 Ai Nety
Sumidartini .
2017
Pengaruh Nilai
Tukar Rupiah
Serta Tingkat
Suku Bunga
Terhadap
Penerimaan
Pajak Pada
Direktorat
Jenderal Pajak
Independen:
nilai tukar rupiah
terhadap dollar
amerika (X1), dan
suku bunga
Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) 3
bulanan (X2).
Dependent:
penerimaan pajak
(Y)
1. Terdapat pengaruh antara nilai
tukar rupiah dengan penerimaan
pajak dengan pengaruh sebesar
47,90% dengan sifat searah (positif),
dimana ketika dolar Amerika
mengalami apresiasi terhadap rupiah
maka perusahaan yang melakukan
ekspor barang akan mendapatkan
selisih lebih karena perbedaan kurs
dan selisih lebih tersebut merupakan
penghasilan yang merupakan objek
Pajak.
2. Terdapat pengaruh antara tingkat
suku bunga dengan penerimaan pajak
sebesar 52,20 % dengan sifat tidak
searah (negatif), dimana ketika
tingkat bunga tinggi maka biaya
perusahaan akan naik (karena bunga
adalah biaya) sehingga harga pokok
naik, laba berkurang, dan pajak
terutang berkurang. 3. Terdapat
hubungan yang signifikan antara,
nilai tukar rupiah, dan tingkat suku
bunga secara bersama-sama terhadap
penerimaan pajak dimana hasil
analisis linier berganda tiga variabel
menunjukkan nilai korelasi ( R )
yang dihasilkan model regresi
nilainya mendekati 1 yaitu 0,560.
2 Bayu, 2108 Pengaruh
Inflasi,
Pertumbuhan
Ekonomi Dan
Tarif Pajak
Terhadap
Penerimaan
Pajak Yang
Dimoderasi
Oleh Kebijakan
Akuntansi
(Studi Kasus
Pada
Perusahaan
Food and
Baverage Yang
Terdaftar Di
BEI Periode
2015-2017)
independen: Inflasi
(X1) , Pertumbuhan
Ekonomi (X2),
Tarif Pajak (X3)
Dependen :
Pendapatan Pajak
(Y)
1. Inflasi berpengaruh terhadap
penerimaan pajak
2. Pertumbuhan ekonomi
berpengaruh terhadap pendapatan
pajak
3. Tarif pajak berpengaruh terhadap
penerimaan pajak
4. Perana kebijakan akuntansi sebagai
moderasi inflasi terhadap penerimaan
pajak dapat memperkuat penerimaan
pajak
5. Peran kebijakan akuntansi sebagi
moderasi pertumbuhan ekonomi
terhadap penerimaan pajak dapat
memperkuat penerimaan pajak
6. Peran kebijakan akuntansi sebagai
moderasi tarif pajak terhadap
penerimaan pajak dapat memperkuat
penerimaan pajak
40
3 Bayu Rochmad,
(2013)
Pengaruh
Leverage,
Bonus Plan,
Dan Kekuatan
Buruh
independen: (X)
leverage,Bonus
plan
dan kekuatan buruh
Dependen :
Kebijakan
akuntansi (Y)
Leverage merupakan variabel
independen yang berpengaruh negatif
terhadap pemilihan kebijakan
akuntansi. Hal ini berarti semakin
tinggi leverage, maka akan memilih
kebijakan
akuntansi yang menurunkan laba.
Bonus plan merupakan variabel
independen yang berpengaruh positif
terhadap pemilihan kebijakan
akuntansi. Hal ini berarti semakin
tinggi bonus plan, maka akan
memilih kebijakan akuntansi yang
menaikan laba. Kekuatan buruh
merupakan variabel independen yang
berpengaruh negatif terhadap
pemilihan kebijakan akuntansi. Hal
ini berarti semakin tinggi kekuatan
buruh , maka akan memilih kebijakan
akuntansi yang menaikan laba.
4 Muhamad
Yunanto, (2016)
DAMPAK
KEBIJAKAN
FISKAL
TERHADAP
SEKTOR
INDUSTRI
independen: (X)
kebijakan vskal
Dependen : Sektor
Industri (Y)
Berdasarkan fakta empiris dapat
disimpulkan bahwa kebijakan fiskal
berdampak terhadap sektor industri.
Hal ini berdasarkan pada hasil
analisis IRF yang menunjukkan
adanya respon positif dari variabel
sektor industri terhadap guncangan
variabel penerimaan pajak dan
pengeluaran pemerintah.Hasil
analisis variance decomposition
menunjukkan persentase kontribusi
terbesar berasal dari variabel tingkat
suku bunga BI. Efektifitas Alat
Kebijakan Fiskal dalam upaya
peningkatan daya saing sangat
ditentukan dengan penentuan tujuan
dan subyek kebijakan serta pilihan
bauran kebijakan fiskal yang cocok.
Randy Al
Syafassi , 2011
Analisis
Pengaruh Suku
Bunga SBI,
Fluktuasi Kurs
Dollar AS dan
Tingkat Inflasi
Terhadap
Penerimaan
Pajak
Penghasilan
Independen : Suku
Bunga SBI (X1),
Fluktuasi Kurs
Dollar AS (X2) dan
Tingkat Inflasi (X3)
Dependen:
Penerimaan Pajak
Penghasilan (Y)
1. Kenaikan suku bunga SBI akan
menyebabkan kenaikan penerimaan
pajak penghasilan dan suku bunga
SBI akan berpengaruh terhadap
penurunan pajak penghasilan.
2.Kenaikan kurs USD akan
menyebabkan kenaikan penerimaan
pajak penghasilan dan kurs USD
akan berpengaruh terhadap
penurunan pajak penghasilan
3. Kenaikan inflasi akan
menyebabkan kenaikan penerimaan
pajak penghasilan dan inflasi akan
berpengaruh terhadap penurunan
pajak penghasilan
41
6 Mispiyanti, Ika
Neni Kristianti
(2017)
ANALISIS
PENGARUH
PDRB,
INFLASI,
NILAI KURS,
DAN TENAGA
KERJA
TERHADAP
PENERIMAAN
PAJAK
Independen : PDRB
(X1), Inflasi (X2)
dan Tenaga Kerja
(X3) Nilai Kurs
(X4) Dependen:
Penerimaan Pajak
Penghasilan (Y)
Berdasarkan hasil penelitian dan
diskusi mengenai analisis Pengaruh
PDRB, inflasi, nilai kurs, dan tenaga
kerja terhadap penerimaan pajak pada
Kabupaten Cilacap, Banyumas,
Purbalingga, Kebumen dan
Purworejo, maka dapat ditarik
kesimpulan yaitu secara parsial,
PDRB dan tenaga kerja berpengaruh
positif terhadap penerimaan pajak
pada Kabupaten Cilacap, Banyumas,
Purbalingga, Kebumen dan
Purworejo sedangkan inflasi dan nilai
kurs tidak berpengaruh terhadap
penerimaan pajak pada Kabupaten
Cilacap, Banyumas, Purbalingga,
Kebumen dan Purworejo
7 Sari Zawitri,
2016
Tingkat
Kepatuhan
Wajib Pajak
Badan Usaha
Setelah
Diberlakukanya
Taruf 1%(Final)
PPh (Studi
Kasus KPP
Pratama
Pontianak)
,2016
Independen :-
Dependen: Tingkat
Kepatuhan (Y)
terdapat peningkatan kepatuhan wajib
pajak badan di KPP Pratama
Pontianak sesudah adanya kebijakan
pajak 1% perbulan dari omzet
(peredaran bruto), jika dibandingkan
sebelum adanya kebijakan. Hal ini
ditunjukkan, dari total 91 responden
tingkat kepatuhan pajak sebelum
adanya kebijakan pajak 1% dari
omzet /bulan sebesar 51% memiliki
tingkat kepatuhan pajak yang rendah,
edangkan, sesudah adanya kebijakan
pajak 1% dari omzet /bulan 52%
2.3. Hipotesis
1.2.2. Pengaruh Kenaikan Tingkat Mata Uang Terhadap Penerimaan Pajak
Menurut Ai Nety (2017) Terdapat pengaruh antara nilai tukar rupiah
dengan penerimaan pajak dengan sifat searah (positif), dimana ketika dolar
Amerika mengalami apresiasi terhadap rupiah maka perusahaan yang
melakukan ekspor barang akan mendapatkan selisih lebih karena
perbedaan kurs dan selisih lebih tersebut merupakan penghasilan yang
merupakan objek Pajak. Meneruskan dari penelitian terdahulu maka
42
memastikan lagi seberapa besar pengaruh kenaikan tingkat nilai mata uang
terhadap penerimaan pajak pengahsilan (PPh).
H1: Kenaikan tingkat mata uang berpengaruh terhadap penerimaan
pajak
1.3.2. Pengaruh Kenaikan Tingkat Mata Uang Terhadap Penerimaan Pajak
Yang Dimoderasi Kebijakan Akuntansi
Dikarenakan 90% bahan baku produksi Indonesia yang masih
mengandalkan impor, jika terjadi depresiasi nilai tukar rupiah akan
mengakibatkan lebih banyak jumlah rupiah yang harus dikeluarkan untuk
mendapatkan satu dollar. Karena lebih banyak rupiah yang dikeluarkan
untuk mendapatkan satu dollar, maka harga bahan baku produksi impor
yang harus dibayar oleh Indonesia akan menjadi lebih mahal yang secara
otomatis akan meningkatkan jual barang dan jasa di masyarakat. Harga
jual barang dan jasa yang mengalami peningkatan di masyarakat akan
berpengaruh terhadap penurunan daya konsumsi masyarakat yang akan
berpengaruh pula terhadap penurunan pendapatan perusahaan. Apakah
kebijakan akuntansi dapat memoderasi kenaikan tingkat mata uang
terhadap penerimaan pajak.
H2: Kebijakan akuntansi memperkuat hubungan tingkat mata uang
terhadap penerimaan pajak
43
2.4. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
H2
H1
Tingkat
Mata Uang
Penerimaan
Pajak
Kebijakan
Akuntansi
Recommended